Ceritasilat Novel Online

Via 3

Via Karya Dirgita Devina Bagian 3


Yakin semua masih terkunci dengan rapat, kini
giliran ia mengintip dari balik pintu kamar.
"Bodoh...! Bodoh...! Bodoh...!" makinya dalam
hati seraya menjulurkan mata untuk mengintip.
Kencang-kencang ia tadi kabur, tetapi jendela kamar
ditinggalnya tertawa dengan lebar. Orang maniak itu
bisa saja sudah ada di dalam kamarnya sekarang. Ia
begitu teledor. Amit-amit! Mita lekas mengambil vas bunga dan
kembali ke pintu. Ia intip sebentar barang sepuluh
detik. Barulah setelahnya, ia membuka pintu
pelan-pelan. Ia masuk penuh waspada dengan vas
bunga dari keramik yang siap melukai kening siapa
pun. Mita berputar-putar. Sepi. Kamarnya kosong
tanpa orang lain. Maka, lekaslah ia menghampiri
jendela untuk ditutup. Begitu pun tirainya yang
dikembalikan saling berpadu. Vas bunga yang semula
ia ambil dari ruang tengah, sekarang diletakkannya
begitu saja di atas meja.
Buru-buru menyambar lemari dan memilah-milah pakaian. Namun begitu ia sempat
melirik jam dinding, seketika itu juga isi kepalanya
serasa membeku. Jam telah menunjukkan pukul
delapan pagi lewat hampir lima menit. Yang
terbayang-bayang sekarang adalah ia akan terlambat.
Ia harus segera pergi dari rumah, secepatnya. Tapi,
model pakaian apa yang cocok"
Ah, masa bodoh! Kemeja hitam dan celana panjang hitam ditarik
dari lemari. Dilemparkan ke atas tempat tidur, lalu
digulung dan dimasukkan dalam kantong kresek
yang juga ia temukan dari dalam lemari. Ponsel, tas,
dan dompet ikut serta ke dalam kantong itu.
Dan, saatnya berangkat. *** Jasmine cemberut. Wajahnya ditekuk bagai
jeruk purut. Bibirnya pun tak lupa maju sembari
menatap ponselnya yang baru saja mengatainya
tulalit. Ini yang kedelapan kali, sehingga Jasmine
berniat melemparkan ponselnya itu andai tidak
segera sadar bahwa sang ponsel adalah pemberian
mantan kekasihnya dua bulan lalu.
"Ini Mita pergi ke mana, sih" Ditelepon, kok,
malah nggak nyambung?" Jasmine akhirnya
mengomel dan memilih kembali ke tempat
duduknya. Tepat di samping kanannya adalah meja
Mita. Beberapa hari lalu, meja tersebut sempat
berubah menjadi taman. Namun semenjak insiden
kecil berdampak sistemik itu terjadi, maka dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya, meja Mita kini
hanya diisi oleh setumpuk buku yang berkaitan
dengan dunia ekonomi dan akuntansi. Aneh.
Berselang satu helaan napas, orang yang ia
risaukan akhirnya muncul di ruang dosen. Langkah
Mita tampak cepat-cepat. Kehadirannya dibalut
setelan hitam. Itu membuat Jasmine terkesima. Baru
kali ini ia menyaksikan Mita berpenampilan seperti
akan pergi melayat. Belum lagi, rambut panjangnya
yang selalu digerai, kali ini digulung dan ditusuk
sumpit di belakang kepala.
Jadilah Jasmine terus mengekor arah wanita itu
hingga singgah di tempat duduk. Mita yang semula
berusaha untuk tidak menghiraukan, akhirnya risih
dan balas menoleh. "Ada apa?" Tatapan heran Jasmine ajaib berubah iba.
"Kau... baik-baik saja, kan?" tanyanya hati-hati.
Mita mengernyit. Dengan yakin ia menjawab,
"Tentu saja. Aku masih hidup."
"Bukan! Maksudku...." Jasmine menyeret
kursinya mendekati Mita. Berbisik ia menyambung,
"Ada apa denganmu" Tidak biasanya kau
berpenampilan seperti ini. Rambutmu kenapa"
Banyak ketombenya jadi harus sampai dijepit begitu"
Lihat, Mita! Tidak ada dosen wanita di sini yang
menata rambutnya sepertimu. Dandanan katrok.
Lalu.... Ya, ampun! Ada apa dengan pakaianmu"
Siapa yang meninggal" Atau, jangan-jangan...."
Penyakit Jasmine tampaknya begitu parah. Mita
berusaha mengikuti arah bicaranya yang tak keruan.
Niatnya untuk menjawab bahwa ia baru keluar dari
kamar mandi kampus segera terhalang. Tapi
mungkin, itu lebih baik. Jasmine tak perlu tahu
bahwa dirinya cuci muka, gosok gigi, dan berganti
pakaian di sana. "Jangan-jangan kenapa?"
"Bocah meninggal?" yang kau terima cintanya. Dia Meninggal" Sekonyong-konyong, Mita sesak
napas. Di pelupuk matanya, terbayang saat Alwi
menemaninya pulang dari rumah sakit, meskipun
pada saat itu yang sebenarnya sakit bukanlah
dirinya. Dan di pagi ini, akibat perkataan Jasmine
yang memperparah kinerja otaknya, membayangkan Alwi tengah dibalut kain kafan.
Orang-orang berdatangan melayat, membaca Surat
Yassin. Setelah beberapa detik terdiam bagai kehilangan tenaga, Mita lalu berdiri dengan lutut
gemetar. "Ini tidak boleh dibiarkan," keluhnya. "Aku
permisi dulu." "Ke mana?" cegah Jasmine.
"Kelas B-Pagi Manajemen. Ada mata kuliahku
hari ini." Jasmine melirik jam tangannya. "Masih dua
puluh menit. Kau ingin tecogok di luar kelas
menunggu kuliah Pak Khairul selesai?"
"Sekaligus ada urusan lain. Permisi." Mita
mengayunkan langkah. Ia meninggalkan tanda tanya
besar yang terus bergelayut di kepala Jasmine.
Merasa semua pertanyaannya belum terjawab, dosen
wanita yang hanya lebih tua tiga bulan bertugas dari
Mita tersebut buru-buru mengejar.
"Hei, ada apa denganmu?" ulangnya. "Apa yang
terjadi" Apa ada hubungannya dengan kecelakaan
yang menimpa Alwi?" "Kecelakaan?" Serta-merta, Mita memaku
langkahnya. Cepat ia berbalik pada Jasmine.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Seingat Mita, ia belum
menceritakan apa pun kepada orang lain terkait
masalah tersebut. Ia hanya menelepon Wiwid dan
kakaknya untuk menjenguk ke rumah sakit dan
memberi dukungan semangat. Mita yakin keduanya
bukanlah tipikal penggosip.
"Kelas D-Pagi Komunikasi. Jadwal mengajarku
di sana baru saja selesai. Alwi tergolong mahasiswa
teladan, tapi pagi ini untuk pertama kalinya ia
membolos mata kuliahku. Beberapa temannya
memberi tahu bahwa Alwi mengalami kecelakaan.
Parah atau tidaknya, aku malah disuruh bertanya
pada mahasiswi lain dari kelas B-Pagi Manajemen.
Menurut mereka, mahasiswi itu tahu lebih banyak.
Rumah mereka bersebelahan."
Mahasiswi kelas B-Pagi Manajemen, orang yang
tahu banyak soal Alwi, dan rumah mereka hanya
terpaut jarak beberapa meter. Itu Wiwid.
Teman-teman Alwi merekomendasikan orang yang
tepat. Hanya saja, Jasmine mengaku lupa menghapal
nama lengkap gadis itu, tak terkecuali nama
sapaannya. Mentang-mentang dirinya tidak pernah
mengajar di kelas tersebut.
"Aku tadi meneleponmu. Aku rasa, kau juga
seharusnya tahu kondisi Alwi, kan" Tapi nomormu
sama sekali tidak aktif."
"Yang benar?" Sedetik, gurat wajah Mita tampil
tak yakin. Namun sesegera pulalah ia membuka tas
kecil yang ia selepangkan. Ponselnya ia keluarkan.
Tombol ponsel ia tekan beberapa kali, namun
layarnya tetap saja menggelap.
"Ya, Tuhan!" serunya pula seraya menepuk
kening. Kepalanya yang semula hanya terasa hangat
dan pening, kita ditimpal berdenyut-denyut bagai
dihantam martil. "Aku lupa mengecas ponselku,"
sambungnya. Dan sekarang, ponsel milik Mita
tersebut sudah tidak berdaya. Dicoba menekan
tombol power beberapa detik, monitor LCD-nya
menyala sekejap, lalu kembali tak menampilkan
apa-apa. Padam. Jasmine menggeleng-geleng. Bocah itu telah
membuat Mita bagai cacing kepanasan. Terlebih,
sudah satu minggu terakhir hujan tak kunjung turun.
Maklum saja, karena sudah memasuki musim nikah.
"Jadi, bagaimana kesayanganku itu?" kabar mahasiswa Mita menjeling, lalu meluruhkan tubuhnya di
sebuah kursi kosong. Ia melupakan niatnya untuk
menyambangi kelas B-Pagi Manajemen lebih awal.
Lututnya serasa tak kuat diajak berjalan.
Mita menggeleng kecil. Jasmine menyambut
kaget. "Apa" Bagaimana kau bisa tidak tahu" Dia
pacarmu, kan?" Seisi kantor menoleh. Mita memberi kode
dengan telunjuk di depan bibir agar Jasmine sedikit
memelankan suara. "Kau jangan membuatku malu...!" lanjut
Jasmine. Entah apa maksudnya. Bukankah yang lebih
pantas merasa malu adalah Mita"
"Kita ini senasib," balas Mita terpaksa
bertampang jengkel. "Aku sudah mencoba menelepon
Wiwid, tetapi nomernya pagi ini juga tidak aktif."
Justru Jasmine yang mendesah mendengar
kabar itu. Ia mengambil kursi tak jauh dari Mita, lalu
meratap, "Bocah itu pasti terluka parah. Sampai-sampai, ia tidak bisa pergi kuliah hari ini...."
Cepat-cepat Mita menyanggah. "Tadi malam ia
masih sempat mengantarku pulang."
"Halo" Apa kau tak mengerti" Tidak mungkin
Alwi mengaku sakit di depanmu. Ia ingin menjaga
perasaanmu supaya tidak khawatir. Itulah laki-laki!"
Jasmine ada benarnya. Mita tercenung
beberapa detik, lalu tiba-tiba berdiri. "Aku harus
menemui Wiwid sekarang. Titip cas ponselku, ya?"
Mita pergi. Ditinggalnya Jasmine yang terlihat
pasrah diserahi ponsel tewas.
*** Perihal menunggu, Wiwid tidak senang
menunggu jika harus di dalam kamar. Meskipun
seseorang yang berjanji akan menemuinya itu akan
tiba beberapa jam kemudian, seolah pantang baginya
di dalam rumah. Maka, netbook miliknya yang baru
selesai diperbaiki ia angkut ke teras, begitu pun
sejumlah buku materi pokok dan kamus. Lengkap
bergelar tikar dan cemilan.
Berselang hampir satu jam kemudian, ponsel
miliknya berdering. Wiwid melirik tak acuh layar
ponsel yang tergeletak tepat di samping kanan
netbook-nya. Begitu sadar bahwa ia ditelepon oleh
rekanan bisnis, maka secepat kilat ia menyambar
ponsel tersebut dan menyapa sang penelepon.
"Bu Mita, sudah berangkat?" sapanya dengan
senyum merekah. Sepasang bola matanya turut
berbinar, bagai mentari pagi yang menyeruak penuh
semangat dari ufuk timur. "Oh...," namun cahaya itu
sedikit meredup. Rekanan bisnisnya menyampaikan
kabar tak sedap. Mita yang sedianya berkunjung
sekitar pukul dua siang ini, terpaksa menunda jadwal
hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Ada
masalah dengan sepeda motornya, sehingga harus
dilarikan ke bengkel terdekat.
"Iya, Bu. Wiwid tunggu. Semoga masalahnya
lekas beres." Meski demikian, senyum di bibir Wiwid
masih terus terpasang. Ia menutup telepon dengan
mengedipkan sebelah mata. Lalu seolah kembali
sibuk mengetik, ia pun tertawa terkekeh-kekeh.


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak pernah Wiwid sangka, terlibat dalam
masalah Alwi membawa sedikit keuntungan. Alwi
memang mahasiswa kere, tidak jelas pekerjaannya
apa, dan selalu menunggak bayar sewa rumah. Tapi
karena Alwi pula, ia bisa jajan di kampus tanpa
menguras sedikit pun uang dari celengannya. Ibu
Mita selalu memberi imbalan apabila minta bantuan
kepadanya. Seperti tadi pagi. Meskipun sempat disemprot
karena ponselnya tidak aktif akibat juga sama-sama
kehabisan daya baterai, Mita akhirnya meminta
bantuan untuk mempertemukannya dengan Alwi.
Tidak di kafe seperti tempo hari, melainkan langsung
di tempat tinggalnya. Dosen wanita itu tampaknya
kurang percaya dengan apa yang Wiwid sampaikan,
bahwa Alwi tidak kenapa-napa. Hanya kurang enak
badan karena pulang terlalu larut papar gadis itu.
Padahal, Alwi yang meminta Wiwid mengatakan hal itu apabila Mita menanyakan
keabsenan dirinya dari kampus. Pagi-pagi, Alwi
menggedor jendela kamar Wiwid hanya untuk
menyampaikan perihal tersebut. Dan tidak seperti
biasanya, pemuda berkantong tipis itu menyodorkan
selembar uang lima puluh ribu rupiah.
Mula-mula, dipandanginya heran, lalu berubah
takjub. Kemudian, ia sedikit membuang muka dan
menyahut angkuh, "Oke, siapa tahu nanti
tenggorokanku kering." Dan, disambarnya uang itu.
Setelah kejadian tadi pagi, batang hidung Alwi
tidak tampak hingga sekarang. Sempat Wiwid ingin
mengecek sepulang kuliah, namun urung usai
mendengar laporan dari ibundanya. Beberapa jam
setelah Wiwid turun dari rumah, Alwi datang
menemui ibunya dengan wajah kucel. Ia membeli
dua kantong batu es. Batu es" Sampai dua kantong" Untuk apa" Alwi
pesta minum sirup" *** Alwi mengalami apa yang disebut sakit kepala.
Sebenarnya, sudah ia rasakan semenjak keluar dari
rumah sakit tadi malam. Namun, hingga ia
mengantar Mita sampai di depan rumah, sakit
kepalanya masih hanya berupa nyeri di bagian
kening yang lecet. Hingga kemudian seiring matahari
terbit, kepalanya pun mulai terasa hangat. Isi
kepalanya berdenyut-denyut tak keruan.
Di pagi ini, denyutan itu tambah parah. Belum
lagi seluruh tubuhnya terasa nyeri. Alhasil, Alwi
tergeletak tempat tidur dengan mata merem-melek. Diajak tidur, rasa sakitnya menjalar.
Diajak berjaga, matanya seolah digantungi beban
kantuk berton-ton. Sungguh di luar dugaan bagi Alwi.
Mobil sedan itu memang tidak menghancurkan
tubuhnya, tetapi memberikan rasa remuk-redam
yang terus menggerogoti. Dengan demikian, sudah sangat jelas. Kasus tadi
malam tidak akan berakhir begitu saja. Pengemudi
mobil itu adalah orang yang tidak baik. Sesegera
mungkin harus dilabrak. Tapi..., bagaimana caranya"
Pergi ke kamar kecil saja harus tertatih-tatih.
"Besok sajalah, jika sudah sembuh...." Alwi
kembali terpejam. Begitu pelupuk matanya mengatup, wajah cemas Mita tiba-tiba terbayang.
Kembalilah Alwi membuka mata. Terseok-seok ia
kemudian turun dari tempat tidur, turun dari
jendela, lalu menggedor jendela kamar Wiwid. Gadis
itu harus menyampaikan bahwa dirinya kini tidak
apa-apa. Ia hanya sedikit pusing karena kurang tidur.
Jadi, tidak bisa kuliah. Mita tidak boleh dibuat terlalu
khawatir. Wiwid mengangguk-angguk. Gadis itu sudah
jelas mau menyampaikan, tapi mungkin karena efek
sakit kepala itu, dengan sangat-sangat bodohnya Alwi
menyodorkan satu-satunya lembaran uang terbesar
yang ia miliki sebagai tanda jasa. Untung saja, ia
tidak perlu berhutang untuk membeli dua kantong es
batu untuk mengompres kepala dan sekujur
tubuhnya yang nyeri-nyeri. Ibunda Wiwid memberikannya cuma-cuma, meskipun ia berniat
membeli. Mungkin, ibunda Wiwid kasihan dengan
kondisinya yang kucel nan lebam itu. Apalagi, perban
di kepalanya belum dibuang.
Dan menjejak sore, Alwi masih tergeletak di
tempat tidur. Peningnya memang berkurang, tapi
hanya sedikit. Sedikiiiiiiiiiit sekali. Plus nyeri yang
masih membalur di bagian tubuh yang terlindas.
Bahkan ke kamar kecil pun rasanya enggan,
terkecuali sudah terasa di ujung tanduk.
Alwi pada saat itu baru saja merebah. Gedoran
pintu yang sangat keras tiba-tiba mengguncang
telinganya. Bersungut-sungut, Alwi menyumpal
kedua kupingnya dengan jempol tangan.
"Siapa yang tidak tahu diri mengganggu
istirahat orang" Tidak tahu apa tuan rumah sedang
sakit...?" Alwi meringis. Penderitannya seolah
bertambah oleh gedoran pintu itu.
"Alwi! Bangun!" terdengar pekik dari arah pintu
yang terus digedor. Itu suara dari putri tunggal
pemilik rumah yang ia sewa. Wiwid. "Ini sudah sore!
Sampai kapan kamu mau tidur?"
Mendengar suara gadis selaras-seloros itu, Alwi
tambah meringis. Ia memutar pelan hingga
telungkup di atas tempat tidur, lalu menarik bantal
dan menutupkannya ke kepala.
"Ini ada Bu Mita! Beliau datang jauh-jauh
khusus menjengukmu! Kau tidak ingin Bu Mita
kecewa, kan?" Ya, ada Mita bersama Wiwid sekarang. Ia
muncul lebih cepat dari yang diduga. Begitu
mendengar vonis montir bahwa sepeda motornya
harus menjalani rawat inap, secepat itu pula Mita
mencari kendaraan umum. Dan syukurlah, hanya
perlu waktu kurang lebih setengah jam perjalanan.
Itu sudah termasuk berputar-putar mencari alamat
rumah Wiwid yang baru pertama kali ia kunjungi.
Mendengar nama Mita disebut, Alwi menyingkirkan bantal yang nyaris membuatnya mati
kehabisan napas. Kali ini, dipasangnya telinga
benar-benar, berharap Wiwid menyebut nama itu
sekali lagi. "Halo, Alwi! Kalau sampai lima kamu tidak
keluar, Ibu Mita akan pulang!" Wiwid sudah capek
menggedor. Kepalan tangan kanannya memerah.
Jadi, ia pun mengancam dengan menghitung, "Satu...!
Dua...! Tiga...!" Belum sampai hitungan terakhir, pintu
akhirnya terbuka. Tampak wajah kucel Alwi dari
balik pintu. Napasnya tersengal-sengal. Turun dari
tempat tidur untuk sampai di serambi adalah
perjuangan yang bukan main. Karena tergopoh-gopoh dengan langkah terseok-seok, ia
sempat menabrak beberapa perabot hingga jatuh
berhamburan. Dan itu membuat nyeri di tubuhnya
kian bertambah. "Eh, Ibu...." Alwi cengengesan. Kehadiran
Wiwid yang tepat di depan hidungnya tidak ia ambil
hirau. Begitu pintu dibuka, sepasang matanya
langsung mencari kehadiran Mita yang saat itu
berdiri tak jauh di belakang Wiwid. Senyum dosen
muda itu mengembang begitu tatapan mereka
bertemu. Syukurlah, Alwi masih hidup. Itu yang Mita
pikirkan. "Maaf, lama. Silakan masuk, Bu...." Pintu dibuka
dengan lebar. Mita mengangguk pelan, lalu
menjangkakan kakinya ke dalam ruang tamu yang
tak seberapa luas. Tidak ada perabot lain selain enam
buah kursi dan satu buah meja panjang. Kesemuanya
terbuat dari kayu. Dinding dibuat polos, tanpa ada
poster, lukisan, atau foto yang menempel.
Melihat dan mendengar bahwa hanya Mita
yang dipersilakan masuk, Wiwid seketika itu naik
darah. Ia protes, "Aku capek-capek menggedor
pintumu, tetapi tidak dipersilakan masuk?"
Alwi melengos. "Masa bodoh!" Ia sudah
mempersilakan Mita duduk di salah satu kursi
tersebut. Ditanyainya pula Mita ingin minum apa.
"Tidak usah repot," sambut Mita. Senyum
manisnya tidak pernah hilang. Namun kali ini, tidak
terlihat menyayat seperti hari-hari yang lalu. Ada
yang aneh dengan senyum Mita sekarang. "Aku di
sini hanya sebentar. Hanya ingin mengetahui
kondisimu." "Tidak perlu sungkan. Dari rumah Ibu ke sini
cukup jauh. Akan kubuatkan es teh manis." Ajaib,
Alwi tampak bugar kini. Ia melecut meninggalkan
tamunya untuk ke dapur sebelum Mita sempat
berpesan. Teh manisnya jangan terlalu manis.
Sementara itu, ia lupa. Atau mungkin, ia sengaja
lupa. Wiwid masih memajukan bibirnya di depan
pintu karena tidak dipersilakan masuk. "Masa
bodoh?" ulangnya. "Ya, masa bodoh!" Lalu, ia
melangkah masuk tanpa permisi dan menyusul Alwi
ke dapur. Di dapur, Alwi yang berlagak sehat, kemudian
terbungkuk-bungkuk. Melihat wajah Mita, denyut di
kepalanya berpindah pinggang karena berpura-pura dalam kondisi fit. Setelah menenangkan tubuhnya beberapa saat, barulah ia
terseok-seok kembali. Ia mengincar satu-satunya
lemari di dapur. Dari sana, ia menemukan satu kotak
teh celup yang masih utuh. Ia ambil dua gelas dan
meletakkan bungkus teh celup di dalamnya.
Kemudian, ia pun bingung. Tidak ada air panas. Batu
es yang ia simpan di dalam termos juga sudah
mencair. Bagaimana ini"
"Sebaiknya, kau temani Ibu Mita. Biar aku yang
siapkan minum." Alwi menoleh. Wiwid berdiri di pintu dapur
sembari bertelekan pinggang.
"Ayo!" Kedua mata Wiwid melebar.
Alwi terpaksa mengangguk. Tampak ragu, ia
meninggalkan dapur. Sebelum melintasi Wiwid,
sempat-sempatnya ia berhenti sejenak hanya untuk
berkata, "Gulanya ada dalam toples di laci paling
bawah lemari." "Aku tahu!" Wiwid mengangkat tangan, bersiap
memukul pinggang Alwi yang masih lebam. Refleks
karena melihat tangan yang siap membuatnya
menjerit, pinggang Alwi melentik dan ia bergegas
pergi. Wiwid umpatnya. menggeleng-geleng. *** "Dasar bodoh!" Si bodoh itu kembali ke ruang tamu. Mita
menyambut dengan senyum, sementara cengar-cengir. Didekatinya satu kursi, lalu pelan-pelan melabuhkan pantatnya di sana. Begitu
rebah, napasnya pun menghela panjang, seperti
habis buang hajat.

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau baik-baik saja, kan?" Mita akhirnya
bersuara. Gelagat Alwi bagai orang yang terkena
wasir. Bisa jadi, pinggangnya yang terlindas itu masih
sakit. Alwi cengengesan. "Baik..., baik...," angguknya.
"Tapi, kau tidak masuk kuliah."
"Oh...." Alwi tampak berpikir. Diulangnya
rekaman isi kepalanya hingga beberapa jam lalu,
barulah ia menyahut, "Tadinya memang tidak enak
badan. Mungkin, karena pulang terlalu larut. Saya
baru bisa tidur sekitar jam dua pagi."
"Bukan karena mobil itu?" sambar Mita cepat.
"Ng...," lagi-lagi Alwi menimbang. "Sedikit
banyak. Pinggang dan kepalaku juga masih sedikit
sakit." Sedikit sakit" Wiwid keluar dari dapur. Ia
tersenyum-senyum sembari meletakkan tiga gelas
berisi teh manis dingin di atas meja. Ia takkan lupa
wajah Alwi ketika tersembul dari balik jendela
kamarnya tadi pagi. Begitu memelas. Wiwid juga
sempat melihat pemuda itu pulang ke rumahnya
dengan terbungkuk-bungkuk. Itu yang dinamakan
sedikit sakit" "Hehe...!" Wiwid keceplosan terkekeh. Segera ia
menutup mulut ketika mendengar Alwi berdehem.
"Silakan diminum, Bu," alihnya pula kemudian.
Mita mengangguk kecil. Hanya dipandanginya
gelas itu sebentar, kemudian berucap, "Aku senang
melihatmu baik-baik saja. Aku sangat khawatir."
"Sekarang, tidak perlu lagi, kan?"
Lagi-lagi, Mita mengangguk. Ia melirik jam
tangannya, kemudian bangkit dari kursi. "Maaf, aku
permisi dulu." Yang lain ikut berdiri. "Cepat sekali," tanggap Wiwid. "Ibu mau ke
mana?" "Aku ada janji dengan kakakku. Beberapa hari
ini, mungkin aku akan tinggal bersamanya."
Keduanya pun maklum. Mita kemudian segera
pamit. *** Keduanya melambai pada langkah Mita yang
terus menjauh. "Kau tidak ingin menemani Ibu Mita
sampai di depan gang?" bisik Wiwid.
"Kau gila?" balas Alwi. "Tubuhku masih sakit.
Aku juga tidak ingin Ibu Mita terus terngiang
kejadian semalam karena aku mengantarnya."
Mita berbelok ke kanan setelah keluar dari
pekarangan. Wiwid kemudian kembali ke ruang
tamu dan duduk di salah satu kursinya. "Padahal, Ibu
Mita sudah berbaik hati untuk menjengukmu."
Wiwid lalu menghabisi air teh dari gelas Mita yang
sama sekali tidak dijamah. "Aku rasa, Ibu Mita
menaruh perhatian lebih terhadapmu. Sampai-sampai, sangat khawatir dengan kondisimu karena insiden tadi malam. Aku
sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi kalian
telah dimakan oleh permainan kalian sendiri."
"Kau benar...," Alwi ikut duduk. "Maksudku,
insiden tadi malam mungkin saja terkait sandiwara
kami. Ibu Mita boleh saja khawatir akan kondisiku
dan merasa bersalah. Tapi sebenarnya yang sangat
perlu dikhawatirkan adalah dirinya sendiri."
Keduanya saling pandang. Wiwid lalu berdiri
dan berujar, "Lebih baik, aku menemani Bu Mita.
Kau istirahat sajalah, supaya lekas sembuh, dan tidak
membuat Bu Mita khawatir lagi."
"Tumben, kau perhatian," sambut Alwi curiga.
Itu justru membuat Wiwid geram. Ia yang telah
berada di belakang Alwi, refleks mendorongkan tinju
tangan kanannya ke pundak Alwi yang masih nyeri.
Kontan saja, Alwi meringis kesakitan. Wiwid yang
tersadar, justru nyengir lalu melompat ke luar
rumah. Lekas-lekas ia pasang sandal dan melarikan
diri. *** "Oke, Alwi baik-baik saja," begitu batin Mita.
"Tidak ada tanda-tanda bahwa nyawanya terancam."
Mita pun menghela. Ia sudah berada di pinggir jalan
raya, menunggu kendaraan umum yang lewat.
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" Lelah
berdiri namun tak satu pun kendaraan umum
bersedia singgah, Mita lalu mendekati kursi yang tak
jauh dari sana. Ia duduk dan lagi-lagi menghela.
Masalah asmara memang rumit, pikirnya.
Sekalipun yang ia jalani sekarang hanyalah
sandiwara, namun masalah yang muncul seolah
melebihi sepasang kekasih yang telah menjalin
hubungan bertahun-tahun. Siapa pun orangnya yang
telah mencelakai Alwi, ia pasti tidak senang dengan
hubungan tersebut. Ia mungkin tidak hanya berhenti
sampai di sini. Tadi malam, Alwi menjadi korban. Ke
depannya" Siapa yang tahu.
Mita melirik jam tangan. Ini sudah terlalu sore
dari yang ia jadwalkan. Sementara kendaraan umum
selalu melintas dengan kapasitas penuh. Mita mulai
waswas. Kakaknya mungkin kini sudah pulang dari
kantor. Apa harus ditelepon lebih dulu untuk
menjemputnya di sini"
Baru saja ia hendak merogoh ponsel dari dalam
tas. Sebuah lantunan mengalun panjang dari
ponselnya. Seseorang menelepon. Berharap itu
adalah Eldien, Mita secepat mungkin menemukan
ponselnya dan menariknya keluar. Namun, teks yang
terpampang layar ponsel membuatnya mengernyit. Bukan nomor yang ia harapkan. Nomor
baru. Ragu, Mita menerima telepon Didekatkannya telinga pada speaker.
itu. "Halo?" Hening. Tidak ada yang menyahut.
"Halo" Siapa ini?"
Telepon ditutup. Mita menghempas jengkel. Hampir ponsel itu ia
lemparkan kembali ke dalam tas jika ia tidak segera
ingat harus menelepon Eldien. Saat ia sibuk mencari
nomor Eldien dari daftar telepon ponselnya, sebuah
minibus berwarna biru mendekat. Kendaraan itu
berhenti tepat di depannya. Seorang laki-laki turun
dari minibus. Dan tanpa diduga, ia membekap mulut
Mita dan menariknya masuk. Mita tak berkutik.
Meski ia meronta, suaranya tak terdengar, tubuhnya
pun terlindung oleh minibus. Pintu ditutup, dan
kendaraan itu melesat pergi dengan cepat.
BAB 3 "Yakin, sekarang tak salah orang?" Radon
kembali menerima telepon dari atasannya saat
mengendarai sepeda motor menuju bandara. Di
tengah jalan itu pula, ia tahu bahwa dirinya tak akan
kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Sudah ada
rekannya yang lain di bandara. Ia telah menyiapkan
tiket pesawat menuju Pontianak. Hari ini juga
berangkat. Radon harus menjemput Via.
"Ini benar-benar dia. Ken mengirimkan
foto-fotonya," jawab Braham di sela-sela tarikan
napas mengisap cerutu. Matanya pun kini masih tak
puas memandangi ratusan foto kiriman anak
buahnya yang kini masih di kota yang terkenal
dengan Tugu Khatulistiwa tersebut. Dibolak-baliknya
berjam-jam. Berjam-jam pula ia tak berhenti
berdecak. Supaya tak ada anak buahnya yang melihat
tingkah kekanakannya itu, ia mengunci diri di dalam
kamar dan memberitahukan Revo agar tidak ada
seorang pun yang mengganggu.
"Bagaimana dengan tugasku yang lain" Masih
ada yang harus kita bereskan, bukan?" Seharusnya,
kepolisian berterima kasih kepada sindikat yang
dipimpin oleh Braham. Mereka berperan aktif dalam
penumpasan jaringan-jaringan mafia obat terlarang
yang beranak-pinak di negeri ini. Tapi..., bagaimana
mau berterima kasih" Sementara yang lain digulung
habis oleh mereka, bisnis Braham sendiri kian maju
dan bertambah besar, serta kian tak tersentuh.
Braham terkenal di antara rekan seprofesinya
sebagai pengusaha dengan taktik licik "kanibalisme".
"Itu gampang, itu gampang. Begitu Via ikut
dengan kita, mereka bukan apa-apa. Kita bisa
mengenyahkan mereka bagai debu tak berharga."
"Tapi kuberi tahu. Ini takkan mudah. Gadis itu
pernah menolak," kenang Radon. Ia dan Via sudah
pernah berjumpa. Bahkan, pernah cukup dekat
sebagai teman. Sebelum akhirnya, Via tahu apa yang
dikerjakan oleh Radon selama ini.
"Biar kuingatkan juga," balas Tuan Braham tak
mau kalah. "Kau pernah melakukannya sekali
untukku. Bahkan, kau memberikan dua orang seperti
Via sekaligus. Kurasa, satu Via bukan masalah
bagimu. Berangkat saja ke sana, bawakan ia untukku.
Bagaimana pun caranya."
"Cih!" balas Radon menggumam. Atasannya
sudah gelap mata kekuasaan, dan tak ingin cakarnya
hilang. Ia memang pernah membawakan Braham
dua orang berkemampuan serupa seperti dirinya dan
Via. Bahkan, kemampuan kedua orang itu tak dapat
dianggap remeh. Tapi, itu cerita berbeda. Jauh berbeda dengan
Via sekarang. Ia bisa mendatangkan keduanya,
karena memiliki sesuatu yang membuat mereka
dengan mudah bertekuk lutut. Sementara Via....
"Kau tak pernah berhenti membuatku repot,"
balas Radon akhirnya. Terdengar bosnya terkekeh di
ujung telepon. Lalu, komunikasi diputus.
Sesampai di bandara, orang yang dijanjikan
Braham telah menunggu. Ia menyerahkan tiket
pesawat yang segera lepas landas menuju Pontianak
siang itu juga. Tak banyak tanya, Radon mengambil
tiket tersebut sembari menitipkan kunci sepeda
motor kesayangannya. *** "Ia sebenarnya tak pergi terlalu jauh. Masih di
sekitar Kalimantan," terang Ken, utusan Braham
begitu mendapati kabar ganjil akibat ulah Via
beberapa waktu lalu. Ia mengemudikan mobil sedan
hitamnya meninggalkan Bandar Udara Supadio dan
bersiap memasuki pusat ibu kota.
"Tapi, dua tahun baru kita temukan lagi,"
tanggap Radon. Ia duduk di depan bersama Ken.
Jendela di sampingnya dibiarkan terbuka. Angin
yang berhembus masuk memainkan rambutnya yang
keperakan. "Dia lebih lihai bersembunyi dibanding yang
kita kira. Seandainya bukan karena orang-orang yang
dulu pernah kau bawa, mungkin kita tidak akan
pernah tahu ada gadis seperti dia."
Ya, kedua orang yang sempat disinggung oleh
Braham saat meminta Radon segera terbang
menemui Ken. Salah satu di antaranya memiliki
kemampuan mendeteksi pemilik kemampuan telekinetis seperti Radon dan Via. Karena dirinyalah,
keberadaan Via diketahui untuk pertama kalinya.
Dan semenjak itu, perburuan dimulai.
"Tapi, apa kau yakin itu memang benar dia"
Benar-benar Via" Kau pernah terkecoh, kan?"
singgung Radon pula. Ia masih ingat kejadian sekitar
lima bulan lalu. Kejadiannya nyaris persis dengan
kejadian yang disambangi Ken kali ini. Sama-sama
menimpa sejumlah pria, pun terjadi di Kalimantan.
Tapi bedanya, kejadian lampau itu menyebabkan
semua pria tersebut tewas mengenaskan.
"Kau ini. Jika aku tahu itu akibat black magick,
aku takkan mau capek-capek ke sana dan sempat
salah tafsir. Kali ini, aku benar-benar yakin itu Via.
Aku sempat bertemu dengannya secara langsung
berkali-kali. Face to face. Sungguh keuntungan ia tak
mengenaliku." Radon terkekeh, "Kau memang patut bersyukur
ia tak mengenalimu. Entah apa yang bisa ia perbuat
padamu jika ia tahu kau bekerja untuk Braham."
Ken diam sejenak. Ia meremas sedikit lebih
keras sarung roda setir sembari mempertahankan
laju mobil yang ia kendarai. Lalu, ia pun berujar,
"Aku sungguh tak percaya ada orang lain yang
mampu berbuat sama brutalnya sepertimu. Terlebih,
ia seorang gadis."

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Radon berhenti memain-mainkan kotak rokok
yang tertatak di atas dasbor di hadapannya. Usai
mengeluarkan beberapa batang, ia kembalikan lagi
semuanya ke dalam kotaknya. Ia letakkan kotak
rokok itu ke atas dasbor seperti sedia kala, lalu
menyandarkan punggungnya ke kursi. Radon tak
pernah merokok. Ia memang memiliki niat untuk
merokok, tapi tak pernah terlaksana. Tugasnya tak
menyisakan waktu untuk itu.
"Orang yang melacak keberadaan Via, orang
yang kau dengar kisahnya selama ini...," papar Radon
kemudian dengan jeda antarkata agak perlahan,
memberikan penekanan yang membuat Ken
memasang kupingnya untuk lebih fokus. "Ia juga
seorang gadis. Ia bisa membuat tubuhmu hancur tak
berbekas dalam sekejap mata. Bahkan, tanpa pernah
menoleh ke arahmu." "Kau bercanda...!" sambut Ken merasa dikadali
oleh Radon. "Terserah kau saja. Kita akan ke mana?"
*** Ken tak bisa berlama-lama di Kalimantan.
Sebagai salah satu sumber utama informasi bagi
bisnis Braham, ada tugas intelijen lain yang harus ia
laksanakan. Sejumlah jaringan di bawah kekuasaan
Braham yang dulunya pernah ditundukkan,
disinyalir menyusun rencana untuk memberontak. Ia
harus memastikan kabar itu. Dan jika benar, maka
giliran Radon yang bertindak.
Jadi, ia akan membimbing Radon dalam sebuah
diklat setengah hari. Tujuan pertama begitu
meninggalkan bandara adalah kediaman Via yang
sekarang. Sebuah rumah kecil yang terletak agak
menyendiri di dalam gang. Kediaman tersebut dipilih
sebagai tujuan pertama karena posisinya yang hanya
beberapa kilometer sebelum mencapai pintu masuk
Kota Pontianak. Cukup beberapa menit sana, Ken meluncurkan mobilnya kembali ke jalan raya. Kali
ini, ia membawa Radon ke suatu tempat lumayan
jauh dari rumah tersebut. Berkali-kali berbelok,
hingga akhirnya menemukan sebuah gedung
lumayan besar. "Gedung itu baru diresmikan empat tahun lalu.
Universitas Swasta Pontianak. Via berkuliah di sana.
Aku rasa, kau perlu tahu. Karena selama yang
kupantau, lima puluh persen Via menghabiskan
waktunya di tempat kuliah," terang Ken seraya
menemani Radon menikmati segelas jus di tepi jalan
raya. Mereka memandangi bangunan yang dimaksud
oleh Ken dari jarak sekitar tiga ratus meter. Agak
riskan menurut Ken untuk memantau lebih dekat.
Setahu dirinya, Via kini berada di sana sekarang.
Radon tak berkata apa-apa. Matanya tajam
menyorot. Bibirnya terus menyeruput jus yang
ditraktir oleh Ken. Ia tak sadar sebagai objek candid
camera anak sang penjual jus. Bocah perempuan
berusia sekitar sepuluh tahunan itu meminjam
ponsel ayahnya dan menjepret Radon berkali-kali. Ini
pertama kalinya ia bisa melihat bule dari dekat.
"Jika jusmu sudah habis, kita akan putar
kembali ke arah bandara sekaligus ke tempat
terakhir. Tempat kerja Via. Aku akan meninggalkanmu di sana."
*** Itu Mirna Cafe "n Resto. Berdasarkan informasi
dari Ken, bangunan satu lantai yang disemaraki
warna merah itu adalah tempat Via bekerja paruh
waktu. Posisinya berada di sisi jalan Ahmad Yani,
jalan yang sama yang akan membawa Ken kembali
ke bandara. Radon ia turunkan di sana sembari
meninggalkan sebuah pesan.
"Kau lihat sepeda motor di pojok itu?" Ken
menunjuk sebuah sepeda motor sport yang berada di
pojok pelataran parkir Mirna Cafe "n Resto.
Warnanya merah menyala. Membuat senyum di bibir
Radon mengembang. Ia suka warna merah. Seperti
warna darah. "Kudengar, kau suka naik sepeda motor. Itu alat
transportasimu di sini. Jadi, mobil ini kukembalikan
ke tempat rental." Dan Ken pun meluncur, meluber
bersama padatnya jalan Ahmad Yani kala itu.
Sepeninggalnya Ken, Radon memeriksa sepeda
motor yang ditunjukkan oleh Ken. Masih baru.
Bodinya mengkilap tanpa gores sehelai benang pun.
Diduganya Ken mungkin melarikan sepeda motor
seharga ratusan juta itu dari showroom di kota ini.
Tapi, terserahlah. Yang penting....
"Kurang ajar," gumam Radon pula. "Tidak ada
kuncinya. Si brengsek itu tidak memberikanku
kuncinya." Disaat ia menggeram jengkel, Ken
mungkin tertawa terbahak-bahak sembari menyetir.
Radon kemudian memperhatikan sekeliling.
Begitu aman pikirnya, ia lalu menggenggam stang
sepeda motor kuat-kuat. Kedua matanya pelan-pelan
menutup. Lalu beberapa detik setelahnya, mesin
kuda besi itu akhirnya meraung halus.
*** Sudah hampir setengah tiga sore. Sudah hampir
setengah jam pula Via menumpang di angkot. Ia
akhirnya menjejakkan kaki di depan sebuah pintu
masuk. Ini adalah Mirna Cafe "n Resto. Tempat Via
bekerja paruh waktu. Karena bukan hari libur, kafe tak begitu ramai.
Hanya terlihat beberapa pengunjung di pojokan.
Umumnya bapak-bapak. Bicara macam-macam,
mulai dari proyek di perbatasan Kalimantan dan
Malaysia, hingga kebiasaan unik istri mereka di akhir
pekan. Sementara di depan pintu masuk, ada
sekelompok mahasiswa yang masih lengkap
mengenakan jas almamater kampus. Tampak
kentara, mereka mahasiswa dari universitas yang
hanya sepuluh menit berjalan kaki dari kafe.
Seandainya Via belum mendaftar di kampusnya
sekarang, ia pasti lebih memilih di universitas yang
bersebelahan dengan Mirna Cafe 'n Resto. Tempat
kerjanya ini telah dengan suka cita menerimanya
sebagai karyawan paruh waktu. Sekelompok
mahasiswa itu sepertinya memanfaatkan titik akses
gratis di kafe. Via mempercepat jalannya menuju pintu di
dekat meja kasir. Pintu dengan label "Staff Only" itu
tiba-tiba membuka, sebelum Via sempat memutar
gagang. "Astagfirullah, Via!" Rasmi yang turut sebagai
pramusaji paruh waktu itu mengurut dada.
Jantungnya berdegup keras. Rasmi memang terkenal
kagetan. "Kau dari mana saja?" sambarnya
kemudian, masih menahan jantungnya yang
bergendang ria bagai orkes dangdut di malam
Minggu. "Maaf, telat. Angkotnya mogok. Mau cari yang
lain, pada penuh." "Cepat, ganti baju!" Rasmi meninggalkan daun
pintu. Via berseloros masuk. Namun sebelum ia
benar-benar melewati temannya, ia menahan
langkah sesaat. "Ibu Mirna ada?"
"Saat ini kau beruntung. Ibu Mirna sedang
keluar." "Terima kasih!" Dan Via melenyap. Rasmi
menggeleng-geleng menuju meja kasir.
Sampai di meja kasir, giliran Rasmi yang
disambut wajah jengkel rekannya. Farah, si Arab
dalam bentuk mungil itu, memonyongkan bibirnya
yang tipis. "Ke toilet, kok, lama banget?" Farah berujar
sepelan mungkin. "Maaf, lagi dapet...," balas Rasmi tak kalah
berbisik. "Takut bocor" Makanya, pake pembalut yang
aku ceritain kemarin."
"Apa namanya" Biore?" terka Rasmi mencoba
mengingat, justru membuat Farah kian manyun.
Gara-gara pembalut, Rasmi bergegas kembali ke
toilet. Padahal, ia baru saja ingin menghampiri
sebuah meja yang telah diisi tiga gadis. Sepertinya
mahasiswi, karena membawa beberapa buku di
tangan mereka. Belum memutar gagang, pintu berlabel "STAFF
ONLY" tersebut kembali tiba-tiba terbuka. Via
menyambut dari balik pintu.
"Hehe...." Rasmi nyengir. Sebuah papan klip,
lengkap dengan kertas catatan menu dan pulpennya,
ia sodorkan dengan paksa di dada Via. "Kebetulan.
Ada tamu di meja delapan belas. Kristi tidak mau
menggantikanku, begitu pula Aish dan Farah.
Sementara kini, aku dipanggil oleh alam. Mohon
bantuannya untuk mencatat pesanan mereka. Terima
kasih." Rasmi menerobos bertampang bengong. dan Via hanya dapat Meja nomor delapan belas berada di dekat pintu
masuk, di sisi kanan kafe. Jadi, Via harus melewati
depan meja kasir, karena pintu ruang pramusaji
berada di sebelah kiri. Begitu Via berada tepat di depan meja kasir,
seorang gadis lain menghampiri meja delapan belas.
Ia bergabung, dan langsung terlibat percakapan
hangat. Seketika itu juga, Via hanya bisa mematikan
langkah. Nira" "Ssts! Kak Via!"
Via sontak berputar. "Mengapa hanya berdiri?" Farah menegurnya.
"Cepat, hampiri mereka!"
Via balas mengangguk, namun tak segera
berjalan. Ia malah memindai sekeliling, kalau-kalau
ada pramusaji yang lowong. Dan hasilnya, yang
terlihat adalah dua pramusaji di dua meja terpisah
saling berjauhan. Mereka sibuk melayani tamu di
meja-meja itu. Mencatat apa yang mereka pesan.
"Ssst!" Via lagi-lagi berputar, menyambut dingin. dan wajah Farah Di antara bimbang meneruskan langkah
menuju meja itu, Via akhirnya lebih memilih
menarik diri. Ia hampiri Farah yang masih berparas
dingin. Lebih dingin dari wajah penguin di Kutub
Selatan. "Ada apa" Apa Kakak juga kedatangan tamu
khusus seperti Kak Rasmi?"
Via menggeleng. Ia letakkan papan klip
pemberian Rasmi di atas meja, tepat di depan Farah.
"Aku mau saja untuk mencatat pesanan
pelanggan. Asalkan, bukan ke meja delapan belas.
Jika salah seorang pelanggan di meja itu melihatku,
keadaan bisa berubah kacau."
"Masalah pribadi?" Farah menyimpulkan cepat.
Via mengangguk. "Sejak kapan?" "Sejak SMP." "Belum selesai?"
"Sepertinya, sulit untuk diselesaikan. Bisakah
untuk menggantikanku kali ini?"
Farah tampak berpikir sejenak. Ia lalu
mengangguk dan meraih papan klip tersebut. Ia
sudah ingin meninggalkan meja kasir, namun
seorang pelanggan datang untuk membayar.
"Kakak bisa mesin kasir ini, kan?"
Via menggeleng. Itu mesin kasir baru. Via
belum pernah menggunakannya dan belum pula
belajar untuk mengoperasikannya.
Farah menghadap tunggu sebentar, Pak?"
bapak-bapak tadi. "Bisa Bapak-bapak pelanggan itu melirik jam tangan.
"Saya sudah tidak ada waktu lagi untuk menunggu."
Mungkin, beliau harus sudah pergi ke proyeknya
yang diperbatasan Kalimantan dan Malaysia itu.
Seorang pelanggan di meja delapan belas turut


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggil. Ia mengacungkan tangan, meminta
pelayan kafe mencatat pesanannya.
"Maaf, Kak...." Farah meletakkan papan klip
kembali. Via berusaha menahan gemetar. Wajahnya
keburu pucat dan penuh khawatir.
"Antarkan saja ke meja delapan belas. Jika ia
pintar, ia akan berpura-pura tidak mengenal Kakak."
Farah segera menghitung bon bapak-bapak itu.
Dengan tangan dingin, Via meraih papan
catatan menu tersebut dari meja. Ia menghela napas
panjang untuk menghimpun keberanian, lalu
berputar. Dalam sekitar dua puluh lima langkah,
meja delapan belas tepat di depan Via.
"Mohon maaf, apa pesanan Anda?" Via
mencoba profesional. Wajahnya tampak tenang kini,
namun jantungnya menggoyang cepat tak mau
memelan. Tanpa sadar, beberapa gelas milik
pelanggan di dekat sana, muncul buih-buih seperti
mendidih. Seorang gadis yang duduk di sebelah kanan Via
berujar, "Nasi goreng rempah dengan ayam
panggang madu. Minumnya teh manis."
Nira yang Via hindari duduk tepat di sisi
kirinya. Segera gadis itu menoleh ke arah Via.
Serta-merta, ia pun memukul meja. Memang tidak
begitu keras, namun cukup menggetar beberapa
barang di atas meja. Via terkesiap. Jantungnya serasa
mati berdegup. Dan buih-buih di beberapa gelas
kontan melenyap. Nira berkemas, menarik tasnya dan berdiri.
"Ayo! Lebih baik, kita makan di tempat lain.
Pelayan di sini tidak becus!"
Begitu saja Nira beranjak. Sahabatnya yang
ditinggal hanya bertampang bengong.
"Terlambat sedikit, kan, wajar...!" Ia berusaha
menahan Nira, namun bukan pokok itu masalahnya.
Nira sudah menembus pintu kafe. Dan terpaksa, ia
turut beranjak dari kursi dan turut pergi.
Semua mata menatap Via sekarang. Setelah
beberapa saat mematung, Via pun tiba-tiba berputar
dan melangkah cepat ke pintu kafe.
"Nira, aku minta maaf!" Hanya itu yang bisa Via
lontarkan usai melewati pintu kafe.
"Kalian saling kenal?" Sahabat Nira tampak
lebih bingung. Nira berbalik. "Sudah berkali-kali kau minta
maaf, tapi itu sama sekali tidak mengembalikan
penglihatanku!" "Ini masalah pribadi?" gadis yang berdiri di
antara mereka itu semakin bingung.
"Nira..., aku...."
"Tidak sengaja" Sengaja maupun tidak, kau
telah membuatku cacat! Mataku tidak normal lagi!"
Nira kembali melangkah, menuju sebuah mobil. Ia
pertama-tama masuk, disusul sahabatnya yang masih
bingung. Mereka pun pergi.
Sepeninggalnya Nira, Via mematung di landas
parkir. Bibirnya tak sengaja berkata, "Jika kau yang
buta mata kiri telah dianggap cacat, lalau aku
dianggap apa?" "Kita adalah generasi manusia yang sempurna,
yang mampu mengendalikan apa pun hanya dengan
memikirkannya. Hanya manusia-manusia bodoh
generasi usang itulah yang mengganggap kita cacat,
tidak normal," terdengar suara dari belakang. Via
berputar. Seorang pemuda melangkah menghampiri.
"Radon?" Pemuda yang tak lain tangan kanan Braham itu
tersenyum tipis. Ia melanjutkan ucapannya, "Oleh
karena itu, Via. Kuingin kau bergabung bersama
kami. Bersama-sama, kita bisa memusnahkan kaum
lemah dan usang itu dari muka Bumi. Selanjutnya,
kita akan membangun dunia baru, yang dipenuhi
oleh manusia setengah dewa seperti kita."
Tepat di depan mengulurkan tangan. Via, Radon berhenti. "Jabat tanganku dan kita akan bergabung untuk
membentuk dunia baru."
Via hanya menatap tangan Radon yang terulur.
Lalu menaikkan wajahnya dan berkata, "Bukankah
kau dan bosmu itu bergerak di bidang bisnis obat
terlarang" Fokus kalian hanyalah materi. Sejak kapan
turut pula mengurusi masalah ideologi dan
kemanusiaan?" Radon tersenyum. "Maaf. Aku ternyata cukup
banyak menonton film. Baiklah. Aku kemari karena
Braham memintanya. Ia ingin kau bergabung."
"Tidak ada alasan yang bisa memaksaku ikut
bersama kalian. Kalian telah cukup menyengsarakan
hidup ibuku. Dan aku tidak ingin itu terjadi padaku."
Via melangkahkan kaki. Dilewatinya begitu saja
Radon yang masih mengulurkan tangan.
Radon akhirnya menarik tangannya kembali.
Seraya berputar mengikuti langkah Via, ia berucap,
"Di luar sini aku dianggap sebagai orang aneh yang
tak berguna. Tapi bersama mereka, kehadiran kita
sangat diperlukan. Kau tidak akan terbuang lagi."
Via sejenak mematung. Tak lama, ia pun
menjawab, "Aku tak ingin melumuri tanganku
dengan darah sepertimu." Dan dada itu terasa sesak.
Secepatnya Via kembali melangkah.
BAB 4 Saat itu, mobil yang dikendarai Eldien tengah
melaju meninggalkan kantornya di kompleks industri
Sungai Raya Dalam. Ponsel yang ia letakkan di atas
dasbor tiba-tiba bergetar. Namun baru ia ingin
menjangkau alat komunikasi tersebut, getaran ponsel
pun serta-merta mati. Dengan penuh tanda tanya, Eldien membuka
daftar masuk. Sebuah panggilan tak terjawab dari
Mita terpampang di urutan paling atas. Mita
mengernyit heran. Baru kali ini adiknya memutus
telepon sebelum diangkat. Untuk memastikan apa
yang terjadi, Eldien memutuskan untuk menelepon
balik. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau
berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat
lagi.... The number that you are...."
Eldien menutup telepon. Gurat-gurat di
keningnya tambah banyak. Setelah missed call,
sekarang ponsel adiknya tidak aktif. "Masak, sih,
baterainya lagi-lagi habis?"
Rasa-rasanya, memang tidak mungkin. Tadi
siang, Mita sempat menelepon. Ia memberi tahu
bahwa ponselnya hampir sepanjang pagi tidak aktif
karena kehabisan daya baterai. Semua telepon tidak
ada yang bisa masuk, begitu pula SMS yang selalu
ter-pending. Selain untuk meminta maaf, Mita juga meminta
izin. Ia berencana tinggal bersama Eldien untuk
beberapa hari. Mita memang tidak memberi tahu
alasannya. Sedangkan bagi Eldien, ia tidak merasa
perlu menanyakan hal tersebut. Adalah wajar apabila
Mita menumpang menginap di rumah saudari
kandungnya sendiri. Selagi bingung menimbang mengapa ponsel
Mita kembali mati, padahal belum sehari lewat diisi
ulang, Eldien dikagetkan oleh dua suara letusan yang
terdengar beruntun. Kabin mobil berguncang seolah
menabrak sesuatu. Setir yang semula stabil
mendadak bagai ditarik ke sebelah kiri. Cepat-cepat,
Mita menepi dan menghentikan laju mobil. Ia
terperangah setelah turun. Kedua ban mobil di
sebelah kiri gembos mengenaskan.
*** "Mbak masih beruntung...," ujar seorang teknisi
bengkel di pusat kota setelah beberapa saat
memeriksa kondisi ban mobil milik Eldien. Eldien
terpaksa menelepon mobil derek untuk membawa
mobilnya ke bengkel besar. Tidak ada bengkel yang ia
anggap kompeten di sekitar kejadian, karena
semuanya adalah bengkel sepeda motor. Lagi pula,
bengkel yang terdekat jaraknya sekitar lima ratus
meter. Kepalang tanggung, dibawa saja ke pusat kota
untuk fasilitas yang lebih memadai.
Mendengar komentar itu, Eldien cepat
menyahut, "Untung apanya" Yang kempes sampai
dua biji." Ia harus keluar uang hampir tiga juta
rupiah. "Ban mobil Mbak pecah. Jangan-jangan, habis
nabrak ranjau. Kalau dilihat dari robeknya, sih,
bukan ranjau sembarangan."
"Memang benar," Eldien mengiyakan. Sebelum
diantar ke bengkel, mobilnya sudah diperiksa oleh
petugas mobil derek. Kedua petugas tersebut
mengatakan hal yang sama. Bahkan, mereka sempat
menyisir lokasi sekitar untuk memastikan dugaan
tersebut. Dan hasilnya, salah seorang petugas mobil
derek menemukan tongkat kayu di tepi jalan. Di
tongkat itu, tertanam tiga bilah besi runcing bagai
mata pisau. Eldien menggeleng-geleng melihat benda
mengerikan itu. Sekilas sempat mengingatkannya
akan cakar Wolferine. "Sudah jelas ini ulah orang, Mbak. Makanya,
Mbak beruntung nggak kenapa-napa. Sebelum Mbak,
kita sudah kedatangan tiga mobil dengan kondisi
yang sama. Bedanya dengan Mbak, pemilik mobilnya
dirampok. Pokoknya, hati-hati, deh, kalau ban mobil
kita tiba-tiba kempes di jalan. Jangan asal turun."
Meski merasa dikuliahi, Eldien tetap mengangguk-angguk. Ada benarnya kokoh yang satu
ini. Beruntung, sore ini Tuhan masih melindunginya
dari bahaya. Eldien mengaku ia turun tanpa
persiapan. Begitu parkir di tepi jalan, langsung saja ia
membuka pintu mobil tanpa lihat situasi.
"Jadi, bannya bisa diganti sekarang?" Eldien
melirik jam tangan. Sudah hampir jam enam sore.
Sayup-sayup, bahkan sudah terdengar azan dari
beberapa masjid. Teknisi itu mengacungkan jempol. "Sip. Tiga
puluh menit lagi, mobil Mbak sudah bisa dibawa
pulang." Maka, jadilah Eldien melabuhkan tubuhnya
pada sebuah kursi di pojok bengkel. Untuk mengisi
waktu, ia sudah mempersiapkan ponselnya untuk
kembali menghubungi Mita. Sungguh, ia masih
dibuat penasaran oleh ponsel adiknya yang kembali
tidak aktif. Terlebih sebelum diketahui tidak aktif,
adiknya masih sempat menelepon meskipun segera
putus sebelum diangkat. Panggilan kali ini juga berakhir tanpa hasil.
Pesan dari operator lagi-lagi menyatakan bahwa
nomor ponsel Mita masih tidak aktif. Eldien
mendesah. Selentingan rasa khawatir mulai melintas
di dadanya. Meski merasa was-was akan kondisi
adiknya itu, Eldien masih mencoba untuk
berprasangka baik. Berharap adiknya justru sudah ada di rumah,
Eldien kemudian mencari-cari nomor ponsel Danti.
*** Percuma saja. Danti pun tidak tahu-menahu
soal kedatangan bibinya hari ini. Ia mengerutkan
dahi menerima telepon dari Eldien, lalu menyahut
bahwa tidak ada seorang pun di rumah selain dirinya
sekarang. Ia juga memastikan, bahwa hingga detik
ini, ia dan bibinya belum pernah berkontak telepon
sedikit pun. Bertukar nomor ponsel saja mereka tidak
pernah. "Lain kali, akan kupinta nomor ponselnya...,"
ingat Danti kemudian. Orang yang mereka bicarakan, saat ini berada
di rumah sakit yang sama ketika kemarin Alwi harus
diobati karena dilindas oleh mobil. Ia terduduk
lunglai di depan kamar perawatan Alwi yang telah
menjalani operasi pengangkatan peluru. Kedua
lututnya seolah tidak mampu lagi menopang untuk
berdiri. Rekaman ketika dada Alwi merembeskan
darah segar seolah terus berputar di kepalanya.
Membuat kulit wajah Mita yang putih kian
bertambah pucat. Saat semua asa serasa pupus, Mita tak percaya
seseorang begitu nekad melompat di depan mobil
minubus yang tengah melaju kencang. Tambah tak
percaya lagi bahwa itu adalah Alwi. Ulahnya
membuat mobil yang membawa kabur dirinya
berhenti di sebuah jalan yang sangat sepi. Tak
seorang pun melintas sore itu. Sengaja diambil oleh si
supir mobil kalau-kalau Mita berteriak minta tolong
andai bekapan mulutnya terlepas.
Dengan tubuh yang sudah babak belur, Alwi
masih meladeni orang-orang bertubuh besar itu baku


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hantam di jalanan. Entah bagaimana caranya, Alwi
masih bisa menang. Orang-orang bertubuh besar itu,
yang membuat mulutnya sakit karena dibekap sekuat
tenaga, akhirnya tergolek lemas di atas aspal.
Susah payah dengan tangan terikat, Mita turun
dari mobil. Saat itulah, ia mendengar letusan dari
jauh bagai petasan. Tak berapa lama, darah mengalir
dari dada Alwi. Pemuda itu roboh di hadapannya.
Mita seketika itu berontak melepaskan tali di
tangannya, membuang saputangan di mulutnya, lalu
bersimpuh dan meraung sejadi-jadinya memangku
tubuh Alwi yang bermandikan darah.
*** Wiwid kemudian datang. Beberapa saat lalu, ia
pamit mencari toilet. Dan pada saat itu, ia
meninggalkan Mita masih menemani Alwi di kamar
perawatan. Melihat Mita sekarang justru duduk
seorang diri di lorong, Wiwid memelankan langkah
yang setengah berlari. Melongo ia memasang wajah
memperhatikan tampang pucat dosennya di kampus
tersebut. "Eh, Bu Mita" Kenapa ada di luar" Alwi sudah
siuman?" tegur Wiwid begitu mendekat.
Mita menoleh perlahan, lalu menggeleng kecil.
"Tidak. Dia masih tidur. Aku kemari karena tidak
tahan melihatnya seperti itu." Seolah, seisi dada Mita
diiris tipis-tipis lalu ditaburi garam dan merica jika
mengingat kejadian tersebut, ditambah lagi harus
melihat kondisi Alwi yang tidak begitu baik, bahkan
lebih buruk dari kemarin. Pemuda itu menolongnya,
bahkan sampai bertaruh nyawa. Dosen macam apa ia
sampai membuat mahasiswanya terluka sedemikian
parah. Entah balas budi macam apa yang harus ia
lakukan untuk menebus hutang jasa sedemikian
besar" "Oh...!" Wiwid mengambil tempat di sebelah
kiri Mita. Namun begitu tubuhnya baru menyentuh
landasan kursi, Wiwid justru melejit kembali
melentikkan punggungnya. Ada sesuatu yang
mengganjal di bagian belakang celananya. Lekas ia
rogoh. Sebuah ponsel layar sentuh dengan penutup
baterai yang tidak mau lagi mengunci mengingatkan
Wiwid pada kejadian tadi sore.
Dipandanginya lagi Mita yang masih terduduk
lesu, baru kemudian ia menyapa pelan. "Ibu Mita...."
Mita menoleh. Pikirannya yang seolah berputar
tak berujung, untuk sesaat berhenti di tempat. Wiwid
segera menyodorkan ponsel itu.
"Aku rasa, ini ponsel Ibu. Kutemukan di pinggir
jalan tadi sore." Mita meraih ponsel tersebut. Perlu beberapa
detik baginya untuk meyakini bahwa ponsel itu
memang benar-benar ponsel miliknya yang terjatuh
saat diculik. Karena terhempas begitu keras, penutup
baterainya terlepas dan rusak, tidak lagi mampu
mengatup. Sedangkan layarnya yang diklaim hanya
mampu digores oleh kristal, tampak masih begitu
mulus. Karena insiden itu juga, ponselnya kini tidak
lagi menyala. Tombol daya ditekan. Lampu backlight LCD
ponsel kemudian berpendar. Logo sebuah vendor
ponsel ternama muncul untuk beberapa detik, lalu
berganti oleh deretan ikon. Tahu ponselnya masih
bisa selamat, Mita segera mendekapnya di dada.
Benda yang sangat vital. Sejumlah nomor penting
tersimpan di sana. Tak kalah lega dengan Mita, Wiwid turut
menghela panjang. Ia kemudian melirik jam tangan,
lalu buru-buru berdiri begitu sadar sekarang sudah
pukul sepuluh malam. "Maaf, Bu. Aku harus pulang. Meskipun aku
sudah menelepon, orang tuaku tidak mudah
percaya." Mita mendongak dan menggangguk pelan. "Iya,
sebaiknya kau pulang. Aku sudah menyusahkan
orang lain. Aku tidak ingin itu bertambah dengan
menyusahkan dirimu."
Wiwid cengengesan. Di dalam hati, ia
menggumam justru lebih senang berada di rumah
sakit. Jika berada di rumah, ia takut akan kembali
dijodohkan. Entah mengapa, beberapa hari belakangan isu tersebut cukup santer beredar.
Setelah mengucapkan salam, Wiwid berputar.
Mita terus memandangi langkah gadis itu yang terus
menjauh. Hingga tiba-tiba, ponsel yang masih ia
genggam bergetar membuatnya kaget.
Sebuah pesan singkat baru saja masuk. Sang
pengirim tak lain adalah kakaknya sendiri, Eldien.
*** Sesak. Via merasakan sesak di dadanya kian
bertambah. Kehadiran Nira serta kemunculan Radon
membuat udara seolah-olah kian memampat.
Akibatnya, konsentrasi Via menjadi buyar. Berkali-kali ia harus menerima teguran dari sesama
pegawai di kafe. Bahkan karena kehilangan fokus
saat bekerja, segelas jus jeruk yang masih dalam
perjalanan menuju meja pelanggan tak sengaja ia
buat terjatuh. Segala isinya tumpah di lantai,
sedangkan gelasnya pecah berhamburan.
Via panik. Cepat-cepat menjongkok memunguti kaca gelas yang tersebar dengan tangan
kosong. Ia seolah tak perduli kaca-kaca itu menikam
kulit tangannya. Via baru tersadar ketika satu
potongan gelas yang cukup besar membuat sayatan
yang agak dalam di jemari tangan kanannya.
Luka di jemari kedua tangannya kini berbalut
plester luka berantiseptik. Denyutannya melengkapi
tarikan napas Via yang terhimpit. Ia pada saat itu
hendak mengenakan sweater di ruang serbaguna
khusus karyawan kafe, ketika Rasmi menyusul
masuk untuk mengemaskan alat-alat kosmetiknya di
situ. "Eh, Via...," sapanya di sela-sela berkemas. Shift
mereka telah selesai. Kafe juga sudah ditutup. Tinggal
menunggu beberapa karyawan selesai bersih-bersih,
maka semua pintu akan digembok. "Ada apa
denganmu hari ini?" lanjut Rasmi. Ia memperhatikan
betul bagaimana air wajah Via sepanjang sore hingga
malam. Seolah mendung bergelayut di wajahnya.
"Aku yang datang bulan, mengapa kamu yang
sepertinya tidak enak perasaan" Kamu datang bulan
juga?" Via selesai mengancingkan sweater-nya. Ia
berputar pada Rasmi dan menjawab, "Tidak.... Aku
mungkin hanya kurang tidur. Kemarin, aku
mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam."
Tugas dari tiga orang dosen yang harus ia kumpulkan
tadi pagi terpaksa dijadikan kambing hitam. Kurang
tidur bagi Via adalah hal biasa. Bahkan, ia pernah
seharian tidak tidur, namun kondisinya tetap prima.
Tapi, berbeda dengan sekarang. Semua
semangat yang ia miliki bagai terbang ditiup angin
oleh karena Nira. Gadis itu selalu membentak tak
ramah jika bertemu. Dendamnya mungkin sudah
dipendam sepenuh hati, lalu berurat dan berakar
sehingga sangat sulit dicabut.
"Aku pulang dulu. Sepupuku sudah menjemput
di depan. Kau tak apa-apa kutinggal sendiri?" Rasmi
memasukkan ponselnya ke dalam tas. Baru saja
sepupunya mengirim SMS bahwa telah berada di
depan kafe. Ia ingin Rasmi segera keluar, karena
kondisi sudah larut. Mereka harus cepat tiba di
rumah. "Aku baik-baik saja...," jawab Via perlahan,
membuat Rasmi tidak mudah percaya. Gadis itu terus
memandangi Via yang mengemasi tasnya bagai orang
yang tak lagi selera makan. Hingga akhirnya, ia
teringat lagi SMS itu. Maka, cepat ia pamit pada Via
dan segera beranjak pergi.
"Jangan melamun terus! Tak baik bagi
kesehatan!" masih sempat Rasmi berpesan, sebelum
batang hidungnya benar-benar lenyap.
Via hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk.
Selanjutnya, ia menyelepangkan tas kecil miliknya,
kemudian ikut beranjak meninggalkan kamar
sumpek tersebut. Jalan satu-satunya untuk meninggalkan kafe adalah pintu depan. Jadi, mereka
harus melewati tiga pegawai laki-laki yang masih
tersisa. Ketiganya masih saja sibuk mengelap meja
serta menyapu lantai untuk keperluan esok.
*** "Tidak sengaja" Sengaja maupun tidak, kau telah
membuatku cacat! Mataku tidak normal lagi!"
*** Via mematikan langkah di trotoar begitu
kalimat menyakitkan itu kembali terngiang di
pendengarannya. Kata-kata dari Nira memukul
hatinya hingga dasar jurang paling dalam. Perihnya
menjalar ke bawah hingga lutut, membuat kakinya
gemetar menahan tubuhnya yang dikepung hawa
dingin di malam hari. Begitu pun perihnya turut
menjalar ke atas, membuat pipinya basah dirembesi
air matanya yang tiba-tiba tumpah tak tertahan.
Tak habis pikir dirinya mengapa selalu
mengharap maaf pada orang seperti Nira. Orang
yang tak tahu berterima kasih. Bukankah karena Via,
ia masih bisa menikmati kekayaan orang tuanya"
Bukankah karena Via, ia masih bisa bernapas hingga
kini" Walau, hal itu harus mengorbankan miliknya
yang lain " penglihatan Nira.
Bodohnya, betapa pun Nira membenci dirinya,
Via tetap tak mampu balas membenci gadis itu.
Semakin ia mengingat, semakin justru dirinya
merasa sebagai pesakitan, orang yang memang patut
dipersalahkan. Dan kini, ia hanya mampu menunduk
menyembunyikan air matanya dari terpaan lampu
jalan dan lampu kendaraan yang lalu lalang. Tak
ingin perasaannya meluap kian menjadi, lekas ia
menaikkan ujung lengan baju hangatnya yang
panjang untuk menyeka pipinya yang basah.
Belum selesai, tiba-tiba bagai ada angin panas
yang menyeruak dari arah belakang. Terpaannya
memang tak kencang, tapi cukup membuat tubuhnya
bagai terdorong ke depan saat pertama kali
merasakannya. Dan serta-merta, entah kenapa justru
ia mengingat Radon pada saat seperti itu. Refleks, ia
menoleh ke belakang. Jangan-jangan, ia diikuti oleh
pemuda itu. Tapi..., tidak ada. Tidak tampak kehadirannya.
Walau begitu, perasaan Via sudah terlanjur tak enak.
Maka, buru-buru ia menyelesaikan menyeka pipinya,
sembari kemudian melanjutkan langkahnya yang
kini lebih dipercepat. "Sial! Kenapa orang itu harus muncul
sekarang?" umpatnya gamang. Sementara orang yang
ia maki di dalam hati, kini tersenyum agak jauh dari
sana. Ia bersembunyi di pelataran parkir sebuah
bank swasta. Tingginya tembok membuat dirinya
terlindung sempurna. Setelah Via kian jauh, barulah Radon keluar
menunggangi sepeda motornya yang berwarna
merah itu. Ia memasuki jalan raya dan meluncur ke
penginapan yang telah disewa oleh Ken sebelum
meninggalkan Pontianak. BAB 5 "Kau... juga bisa?"
"As you see," Radon tersenyum mendapati
wajah gadis di hadapannya berubah kaget.
*** Jam sekolah telah usai hampir satu jam lalu.
Namun, Via tak kunjung tiba di rumahnya. Di
perjalanan pulang, ia menyinggahkan dirinya di
sebuah taman yang tampaknya sudah tak terawat.
Tanaman-tanaman liar dibiarkan tumbuh subur
membentuk semak belukar. Cat yang melapisi
sejumlah alat bermain seperti ayunan pun tampak
telah mengelupas. Daun-daun kering tersebar di
berbagai tempat. Begitu pun genangan air
membentuk kolam-kolam kecil hasil curahan hujan
tadi pagi. Walau terlihat telah tua, rantainya mungkin
sudah ringkih, begitu pun tiang besi yang
menopangnya mulai

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkarat. Via justru menghampiri satu dari tiga ayunan yang ada di sana.
Pelan ia duduk, lalu dengan ujung kakinya yang
menjejaki tanah, ia mendorong tubuhnya, hingga
ayunan pelan-pelan bergerak maju dan mundur tak
begitu jauh. Taman itu memang tampak kotor dan tak
terawat. Namun bagi Via, tempat itu merupakan
tempat paling tenang di Bumi ini. Di sana, ia bisa
menikmati suara angin. Di sana, ia bisa menikmati
derik rantai ayunan yang bergesek-gesek. Di sana, ia
bisa menikmati ketenangan tanpa dihujam mata-mata yang curiga dan membenci.
"Aku... tak paham, mengapa kau bisa betah di
tempat ini?" sebuah suara mendongakkan wajah Via
yang semula terus menatap tanah. Sesosok pemuda
berbalut jaket kulit hitam berdiri kira-kira sepuluh
meter di hadapannya. Rambutnya yang perak dan
kulitnya yang putih tampak mencolok di taman
kumuh tersebut. Tak menunggu Via menjawab, Radon kemudian
melangkah mendekat. "Beberapa hari belakangan,
kulihat kau senang sekali berdiam di taman ini.
Sendirian. Tak pernah kulihat kau bersama
temanmu." "Kehidupan pribadiku bukan objek wisata...,"
sahut Via sembari meletakkan ujung matanya
kembali ke tanah. Ujung kakinya berjinjit-jinjit pelan,
melanjutkan ayunannya yang sempat terhenti.
"Pergilah! Carilah tempat lain yang lebih indah." Ia
masih menganggap Radon wisatawan yang tersesat.
Karena memang, perjumpaan pertama mereka
beberapa minggu lalu diawali dari Radon yang
menanyai sebuah tempat. Pemuda itu mencegat Via
sepulang sekolah, lalu menanyainya dengan bahasa
Inggris, bercampur bahasa Indonesia yang agak
kacau. Sejak saat itu, Radon beberapa kali terlihat. Tiap
kali memunculkan muka, ia selalu menodong Via
untuk menemaninya berjalan-jalan. Namun, selalu
Via tolak. Ia hanya menuruti permintaan Radon
membacakan peta kota Pontianak yang sudah kumal.
Menunjukkan lokasi-lokasi yang mungkin menarik
untuk dikunjungi. "Tak ada melihatmu." yang lebih indah, selain bisa Lagi-lagi, Via menengadah. Sekarang, bagai
tersentak oleh sengatan listrik. Apa maksudnya
dengan kata-kata barusan"
"Kau mencoba menggodaku?" simpul Via
dengan lekas. Tampaknya, kekhawatirannya terungkap sekarang. Radon kerap kali meminta
bantuan memang karena ada maksud yang
terselubung. Tapi, rasa-rasanya mustahil seorang
pemuda British dapat tertarik pada pemudi pribumi
berpenampilan rata-rata. Atau jangan-jangan..."
Radon tergelak sesaat. Ia merogoh sesuatu dari
balik jaketnya, lalu mengunjukkan sebuah apel cukup
besar berwarna merah mengkilap. "Kau mau?"
Tunggu dulu. Via menatap buah apel itu
dalam-dalam. Keanehan mulai terlihat kian jelas
sekarang ini. "Sejak kapan bahasa Indonesiamu
sefasih sekarang?" Baru tiga hari lalu seingat Via,
Radon masih terbata-bata berbahasa Indonesia. Tapi
sekarang, di taman ini, hanya berselang tiga hari,
Radon si rambut pirang itu bahkan tak berucap
sedikit pun dengan kosa kata bahasa Inggris.
Kalimat-kalimat Indonesianya mengalir lancar tanpa
sumbat. "Kau mulai sadar...?" Radon tak menjawab. Ia
justru balik memberikan soal.
"Kau bukan wisatawan. Sudah berapa lama kau
tinggal di Indonesia" Apa yang kau mau dariku?"
Radon menarik apel yang ia ulurkan. "Kau tak
pandai basa-basi, ya" Langsung ke intinya."
Jelas Via tak pandai mengulur-ulur. Menjadi
pribadi yang tertutup membuatnya tak mengenal
istilah berbasa-basi. "Sudah sejak kecil aku tinggal di negeri ini,"
jawab Radon kemudian. Entah itu bohong atau
kenyataan. Bisa saja ia baru tiba di Indonesia, namun
telah lama belajar berbahasa Indonesia di negerinya
di seberang laut. "Aku kemari memang khusus untuk
mencarimu." Ini makin aneh. Ini makin aneh. Via berhenti
berayun. Ia langsung berdiri dan menatap Radon
dengan sudut mata meruncing.
"Mencariku" Apa perlumu?" Via memohon
dalam hati. Semoga ini bukan karena kemampuannya yang ia coba untuk kubur
dalam-dalam. Tak boleh ada orang lain yang tahu.
Tak boleh. Radon menggenggam buah apel yang semula ia
sodorkan pada Via setinggi dada. Genggaman itu
kemudian membuka, lalu pelan-pelan diturunkan
lagi. Namun ketika telapak tangan yang menopang
buah itu beranjak turun, sang apel tak serta-merta
menjatuhkan diri. Ia melayang. Bagai tergantung di
udara oleh seutas tali tak terlihat.
Via mundur selangkah. Ia terkaget begitu apel
tersebut bergerak ke arahnya.
"Kau... juga bisa...?"
"As you see," Radon tersenyum mendapati
wajah gadis di hadapannya berubah kaget. "Aku
jauh-jauh membeli apel itu untukmu. Ambillah."
Via ragu. Tangannya tak bergerak meraih apel
seperti yang dipinta oleh Radon. Hingga kemudian,
apel tersebut tiba-tiba saja meluncur, bagai tali yang
mengaitnya terputus oleh gunting. Via refleks
menyambut sebelum buah itu benar-benar jatuh ke
tanah. "Kita sama, oleh karena itu aku mencarimu."
Radon mendekati ayunan yang ditinggalkan oleh Via.
kemudian duduk, lalu mulai mendorong-dorongkan ujung kakinya di tanah.
Tangan Via gemetar memegang apel dari Radon.
Ia yakin itu bukan karena rasa takut, melainkan rasa
yang lain. "Aku masih belum bisa percaya. Selama
ini..., aku sendiri."
"Tidak. Kau tidak sendiri. Buktinya, ada aku di
sini sekarang. Dan jika kau ingin tahu, masih ada
orang lain di luar sana dengan bakat seperti kita.
Mereka juga hidup bersembunyi, persis sepertimu."
Via bungkam. Jemarinya kelu walau diajak
menggenggam buah apel. Lama-lama, ia turut
merasakan tempurung lututnya mulai goyah. Ia perlu
tempat untuk bersandar, atau lebih baik tempat
menopang tubuhnya yang lunglai seketika.
Radon mengawasi langkah Via yang diseret.
Gadis itu menuju ayunan yang berada di sisi
kanannya. Via tak bersuara, hingga akhirnya
benar-benar duduk di ayunan itu.
"Selama ini, aku pikir aku sendiri. Tapi
ternyata..., ada yang lain sepertiku. Aku tak pernah
berjumpa dengan mereka. Mungkin, seperti yang kau
bilang. Mereka sepertiku, hidup bersembunyi. Jika
memang demikian, bagaimana kau bisa menemukanku" Selama ini, aku menutup diri, agar
tidak ada yang tahu apa yang kusembunyikan."
Radon berhenti berayun-ayun. "Aku punya
teman dengan bakat luar biasa. Ia mampu melacak
orang-orang seperti kita. Oleh karena itu, aku bisa
menemukanmu." "Kalau begitu, ia pasti juga bisa menemukan
yang lain. Kau pasti sudah bertemu dengan mereka
juga," sahut Via cepat.
Radon diam sesaat, lalu menggeleng pelan.
"Sayangnya, kemampuannya itu di luar kendalinya.
Ia tewas, tepat setelah berhasil melacakmu."
Harapan untuk berjumpa sosok-sosok lain
bernasib sama seketika itu juga serasa pupus.
Tatapan Via yang semula berbinar, kemudian tampak
redup pelan-pelan. "Maaf...," ujarnya kemudian. "Aku
turut berduka." Radon berdiri. Ia membetulkan jaketnya, lalu
berputar menghadap Via. "Tak perlu meminta maaf.
Menemukanmu adalah keinginannya yang terakhir.
Kau berada di hadapanku sekarang, itu membuatku
merasa senang." Via merasai jemarinya kembali gemetar. Ada
sebuah perasaan yang seolah ingin meluap di dalam
dadanya. Berbagai rasa yang saling bercampur dan
beraduk-aduk. Namun, ia tak mampu melepaskan
perasaan itu. Semakin kuat dadanya disesaki,
semakin layu seluruh persendiannya.
"Sudah sore, aku harus pergi. Kau juga harus
segera pulang. Lain kali, kita akan berjumpa lagi dan
berbincang lebih banyak. Sampai jumpa."
Via tertunduk. Tak menyahut. Dibiarkannya
Radon beranjak tanpa melihat wajahnya yang kini
pelan-pelan basah. Karena jemari yang makin tak
mampu menggenggam, apel pemberian Radon ia
letakkan di sampingnya, di atas ayunan yang ia
duduki. "Aku...," punggung Via tiba-tiba berguncang saat
Radon telah jauh. Dadanya yang sesak, akhirnya kini
memuntahkan isinya. "Aku juga senang berjumpa
denganmu!" Dan, lekas ia menutup wajah dengan
kedua telapak tangan. Rembesan air mata kini
mengalir dengan deras. Tetesannya yang dahulu
hampa oleh kesepian, kini dipenuhi oleh asa dan
harapan. *** Bis yang ditumpangi Via berguncang cukup
keras. Membuat penumpang yang ada terlonjak dari
atas tempat duduk masing-masing.
"Apa itu Pak Supir?" teriak seorang bapak-bapak
yang duduk paling belakang.
"Batu, Pak, eh!" sahut sang supir, tak kalah
berteriak. Raungan mesin bis menggema di seantero
kabin kendaraan tersebut. "Tak nampak! Itam!"
"Bukan orang, kan, yang kau tabrak?"
"Tadaklah!" Percakapan saling nyaring kemudian berakhir.
Bapak-bapak di ujung belakang kabin lanjut
memejamkan mata. Ia tadi tengah tidur pulas ketika
mobil tiba-tiba melompat, hampir menjatuhkannya
ke lantai. Jadi, sebelum kembali memejamkan mata,
sempat ia mengingatkan sang supir untuk tidak
menabrak batu lagi. Via duduk sekitar lima baris kursi di depan pria
itu. Bukan hanya tidur sang penumpang di belakang
tersebut yang terganggu akibat insiden kecil tadi,
melainkan juga lamunan Via ikut terhentak.
Tapi, syukurlah. Via jadi sadar bahwa pipinya
diam-diam mulai kembali basah. Buru-buru ia
menyeka dengan ujung lengan baju hangat. Tak ingin
ia ada yang melihat air mata itu, sekali pun kini di
dalam bis tak seberapa yang menumpang.
"Mengapa kau harus muncul lagi...?" ratapnya
kemudian. Mengingat Radon, hatinya bagai diiris-iris
lebih tipis. *** Orang yang diratapi Via, kini tengah menikmati
pemandangan Sungai Kapuas dari balik jendela
kamar hotel. Cahaya lampu dari gedung di sepanjang
sisi sungai memantul berwarna-warni. Panorama
tersebut bertambah semarak dengan gemerlap lampu
yang menghiasi Jembatan Kapuas I yang melintang
panjang menghubungkan dua daratan. Lampu-lampu
mobil dan sepeda motor tampak berderet-deret di
atasnya. Melintas silih berganti tak henti-henti.
"Si brengsek itu ternyata pintar memilih
tempat," Radon terkekeh. "Aku bisa memandangi


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungai itu sepanjang malam, tapi tempat tidur di sini
lebih menggoda." Maka, Radon meninggalkan sisi
jendela untuk menghampiri tempat tidur ukuran
double. Ia rebahkan tubuhnya dan mulai terlelap.
Namun, belum utuh mimpinya berjalan, ponsel
yang terletak di atas tempat tidur berbunyi sangat
kencang. Segera Radon membuka mata dan raih, dan
mendapati nama Braham terpampang di layar
ponsel. "Radon! Kau sudah berjumpa dengannya?"
langsung saja pria itu menyambar dengan sebuah
pertanyaan. Radon terpejam sesaat. Bosnya ini ternyata
masih ingat saja. "Radon! Kau tidur?"
"Ya, aku berjumpa pelan-pelan membuka mata.
dengannya." Radon "Besok kau bisa bawa dia?" Ya, ampun. Braham
benar-benar tak sabar. "Aku takut aku perlu waktu cukup lama."
"Apa" Berapa lama?" Nada suara Braham
meninggi. "Entahlah," jawab Radon santai, masih
berbaring di atas tempat tidur. "Dia bukan anak SMA
lagi. Tidak bisa dibujuk semudah dulu. Lagi pula, dia
sudah tahu siapa kita. Takkan mudah, sangat takkan
mudah." "Hah! Seharusnya, kita sudah mendapatkannya
waktu itu!" "Tapi ia hampir membunuh kita."
"Kecuali kau." "Tapi, aku tak ingin Tuan Braham tewas, jadi
kubiarkan ia pergi. Lagi pula, aku tak melihat
keurgensian ia bersama kita. Ia tak stabil. Tak bisa
diandalkan. Hanya aku, itu sudah cukup."
"Waktu itu, kau hanya cari aman, Radon," sahut
Braham lagi. Kali ini, sudah tak setinggi tadi nada
bicaranya. "Kuulang lagi, kau bisa menundukkan dua
orang yang lebih hebat dari Via, itu berarti Via juga
bisa kau tundukkan. Aku ingin secepatnya!
Secepatnya! Kalau perlu, besok aku kirim anak
buah." "Aku tak perlu anak buah sekarang. Aku hanya
perlu rencana." "Jangan lama-lama!" Telepon ditutup.
Radon segera menjauhkan ponsel dari kuping,
dilontarkannya sekenanya di atas tempat tidur.
"How long is it" It"s up to me." Dan ia
melanjutkan tidur. BAB 6 Cahaya putih menghampar. Menyambut penglihatan Alwi yang buram. Beberapa kali
mengerjapkan mata, barulah pelan-pelan jadi jelas
apa yang sebenarnya menghampar itu. Kepingan-kepingan plavon kamar yang dibaluri
cahaya dari empat buah lampu neon yang berpijar
terik. "Sial...," umpatnya kemudian lirih. "Aku masuk
rumah sakit lagi...."
Alwi berusaha bangkit dari berbaring. Ia tarik
kedua tangannya untuk bertopang. Namun begitu
tangan kirinya bergerak mencari landasan, ia
tiba-tiba terkejut. Ditariknya lekas tangan kirinya.
Berusaha ia pun menoleh apa yang baru saja ia
sentuh. Ada sosok tubuh wanita melabuhkan kepalanya
di samping pembaringan Alwi. Rambutnya panjang
tergerai di atas selimut yang Alwi kenakan. Mungkin,
kepala orang itu yang baru saja Alwi pegang. Rasanya
memang keras ketika disentuh. Jelas, itu kepala.
Selain keras, juga terasa ada serabut-serabut. Sudah
pasti itu rambut. Tapi..., siapa gerangan orang itu" Berani-beraninya tidur di sini" Wajahnya tak terlihat,
karena dipalingkannya ke ujung tempat tidur yang
lain. Alwi menegakkan punggung. Nyeri di dada,
serta di beberapa persendian membuatnya sedikit
meringis. Begitu ia berhasil duduk sempurna,
tangannya kemudian meraih kepala itu. Ditunjuk-tunjuk, didorong-dorong.
"Hei, tegurnya. hei. Siapa, sih" Bangun! Bangun!" Beberapa kali digoyang, akhirnya tubuh itu
bergerak. Kepalanya pelan-pelan meninggalkan bibir
ranjang. Rambutnya yang tergerai menyebar, terseret
menjuntai menutupi wajah. Makin terlihat tak jelas.
Namun begitu tangannya naik ke muka,
menyibak rambut-rambut panjang itu, Alwi
mendelik. "Bu Mita?" sambutnya kaget. Tak disangkanya,
ia tadi memainkan kepala dosennya sendiri.
Mita yang baru bangun itu pun tak kalah kaget.
Melihat Alwi duduk dengan tegap, kedua tangannya
lekas-lekas merapikan rambut. Kini, raut muka
herannya terpampang jelas.
"Alwi" Kau sudah siuman?"
"Seperti yang Ibu lihat." Alwi kemudian
memutar kakinya. Ia turun dari ranjang. Mita
tambah terpana. "Eh" Eh" Kau jangan turun! Lukamu!" ingat
Mita. Alwi berbalik. Dipandanginya sesaat perban
yang melingkar di dadanya, menutupi luka tembak
yang baru ia peroleh kemarin sore.
"Dua atau tiga hari juga akan sembuh. Ibu
jangan ingatkan lagi. Sakit yang waktu itu masih
terasa, jangan ingatkan juga soal sakit ini."
"Kau bicara apa?" Mita mengernyit.
"Yang penting, aku sudah merasa sehat. Jangan
diingatkan kalau aku sakit. Kalau terus-terusan
merasa sakit, aku tidak bisa kuliah. Nanti, tidak bisa
lulus dengan nilai bagus." Alwi tiba-tiba saja
membengkokkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan,
juga meregangkan tangannya ke atas dan ke bawah.
Melihat hal tersebut, seketika itu juga Mita
melompat dari kursi yang ia duduki. "Alwi! Jangan
macam-macam! Pada dasarnya, sama saja kau masih
sakit!" Bunyi sesuatu retak tiba-tiba membahana. Alwi
mengaduh ketika pinggangnya dibengkokkan ke
belakang. "Sudah kubilang! Sudah kubilang!" cepat-cepat
Mita menghampirinya, lalu memapahnya menuju
tempat tidur. "Bandel!" kemudian refleks ia mencubit
pinggang kiri Alwi sekencang jidatnya.
Alwi praktis meminta maaf. meraung. Mita tersadar dan "Sebaiknya, kau duduk saja di tempat tidur.
Istirahat. Diam di sini sampai sembuh."
Alwi hanya bisa mendesah dan menurut. Usai
membantu naik ke ranjang, Mita menarikkan selimut
untuk menutupi separuh tubuh Alwi yang hanya
bercelana panjang warna hitam. Ia bertelanjang
dada. Baju kaosnya terpaksa digunting dokter saat
operasi pengangkatan peluru.
Mita kemudian menghilang sejenak. Ia ke
kamar mandi. Dari pintunya yang terbuka, terdengar
deruan air meluncur dari keran jatuh ke wastafel.
Beberapa kali terdengar tadahan dan cipratan. Tak
berapa lama, Mita kembali muncul dengan wajah
lebih segar. Rambutnya yang tadi berurai, kini
dihimpun diikat jadi satu di belakang kepala.
"Kamar ini luas, tapi kenapa tidak ada pasien
lain?" Alwi baru sadar akan anomali kamar
perawatan yang ia tempati. Bersih, harum, rapi, luas.
Tapi, tak tampak keberadaan pasien lain. Bahkan,
tirai sekatnya pun tak ada.
"Ini kamar VIP. Kakakku yang pesan," jawab
Mita. Ia menuang dua gelas air. Satu gelasnya ia
sodorkan pada Alwi. "VIP?" "Kakakku berterima kasih karena kau telah
menyelamatkanku. Ia ingin kau mendapat perawatan
terbaik." "Kakak Bu Mita sungguh perhatian. Tapi, ia tak
perlu berbuat seperti ini. Perawatan biasa sudah
sangat cukup." Mita memandangi Alwi sesaat, untuk kemudian
menunduk menutupi wajahnya dengan kedua
tangan. Sebelum menunduk, ia melihat pemuda itu
meneguk gelasnya seolah lama tak menyentuh air.
"Aku malu," ujarnya kemudian usai menarik
napas dan menghela agak panjang. Ia tak lagi
menutup muka, membiarkan ujung matanya
membentur marmer di lantai kamar rumah sakit.
"Eh?" Alwi menoleh.
"Aku sangat malu. Kakakku yang tak ada
sangkut pautnya secara langsung memberikan timbal
balas seperti ini. Sedangkan aku" Sedangkan aku
yang ditolong, justru tak dapat memberikan apa-apa,
kecuali luka di dadamu dan ucapan "terima kasih
banyak". Aku sungguh malu, Alwi."
"Melihat Ibu baik-baik saja, itu sudah cukup,"
Alwi menyahut. "Itu artinya, usaha dan pengorbananku tidaklah sia-sia."
"Tapi...," Mita melirih. "Tapi tidak seperti ini.
Aku tak pernah menyangka akan seperti ini."
Bergegas ia menegakkan leher, menoleh dengan mata
berkaca-kaca. "Kemarin kau tertabrak, hari ini
tertembak, besok..." Besok tidak ada yang mampu
menebaknya, Alwi." Mata itu kian berbinar. Mita lagi-lagi
menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai
sembab. "Sudah kupikirkan ini sepanjang malam.
Kita berhenti sampai di sini. Resikonya terlalu besar.
Aku tak mau membahayakan hidupmu dan juga
mungkin orang lain di sekitarku."
Alwi mengernyitkan dahi. Ia maklum Mita akan
menyerah, tapi itu justru membuatnya prihatin. "Ibu
ingin menghentikan sandiwara ini?"
Mita mengusap kedua pipinya, baru kemudian
berani menatap Alwi dan berujar mantap, "Tidak
hanya berhenti bersandiwara, aku juga akan
mengundurkan diri sebagai dosen. Semalam, aku
sudah membicarakan ini dengan kakakku, membicarakan segala kemungkinan dan profesi yang
bisa kujalani setelah tidak menjadi dosen. Aku
mungkin akan mengajar di LPTK lain, di luar kota,
mungkin di luar Kalimantan."
Alwi tiba-tiba meletakkan gelasnya yang telah
kosong di atas meja di samping ranjang dengan agak
keras. Bunyinya berdenting. Mita tersentak kaget.
"Ibu telah menyeretku dalam kekacauan ini. Ibu
harus bertanggung jawab. Bukan dengan berhenti
begitu saja bagai pengecut. Kita jalani ini bersama,
selesaikan semua bersama. Tak ada yang menjamin
masalah ini akan berakhir begitu Ibu pergi, kan?"
Kalimat terakhir Alwi. Dia benar. Orang maniak
itu. Bisa saja mengikuti langkahnya ke mana pun.
Mungkin akan terus mengejarnya hingga ke ujung
dunia, hingga ke liang lahat. Tapi....
"Tapi, itu lebih baik. Aku tak sanggup melihat
orang lain menderita karenaku. Aku siap
menanggung semuanya!"


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu Mita bodoh!" tiba-tiba saja cacian itu
terlontar dari mulut Alwi. Mita terhentak
mendengarnya. Matanya membulat. Belum Mita
menyahut, Alwi sudah menyambung, "Sudah
kubilang, kita selesaikan bersama. Kita akan
temukan orang itu dan membuatnya tak berani lagi
bertingkah. Aku rela mempertaruhkan nyawa untuk
melindungi Ibu." Sambutan dari Alwi bagai menyulut petasan
bangga di ruang dada Mita yang sesak. Membuatnya
kaget mendengar untaian kata-kata heroik itu, yang
meluncur dari mulut seorang pemuda bau kencur
seperti Alwi. Membuat ia bergegas menegakkan
leher, menoleh dengan mata berkaca-kaca. Kalau saja
Alwi seorang gadis, sudah ia peluk erat-erat, andai
juga tak babak belur. Alwi turun dari ranjang. "Permisi, aku mau
pulang." Mita mendelik. Lekas ia menghentikan Alwi di
depan pintu kamar. Dipintanya Alwi untuk tidak
gegabah dengan keluar dari rumah sakit dengan
tubuh masih babak belur. Mau tak mau, Alwi
menurut. *** Nira memasuki mobilnya di pelataran parkir
kampus. Wajahnya ditekuk. Beberapa teman
mengajak untuk makan siang di Mirna Resto 'n Cafe.
Nira yang tidak ingin lagi menyambangi tempat
tersebut spontan memberi usul di tempat lain.
Namun, reputasi yang terlanjur populer di
kalangan para anak muda, terlebih satu-satunya
tempat hangout yang gaul di dekat kampus,
teman-temannya tidak rela untuk pindah tempat.
Tanpa perlu panjang lebar lagi, Nira pun menolak.
Lebih baik hari ini ia langsung pulang ke rumah dan
mandi. Cuaca sungguh terik, seterik perasaannya jika
mengingat tentang Via. Persneling sudah di posisi mundur. Nira
menekan pedal gas. Namun, mobil miliknya sama
sekali tak beranjak. Semakin dalam ia menambah
gas. Mesin mobil kian meraung. Dan lagi-lagi, mobil
tidak mundur. "Apa yang salah?" Nira menoleh dari jendela.
Seorang pemuda berambut perak dan berkulit putih
berdiri di belakang mobil. Tak ada orang lain, hanya
dia. Serta-merta, Nira melabrak, "Hei, Mister!"
Pemuda yang ia tegur tak lain adalah Radon. Ia
menoleh. Seketika itu, bagian belakang mobil Nira
bagai terhempas pelan. "Kau memanggilku?" berpura-pura tidak tahu. sambut Radon, Bagus, bisa bahasa Indonesia juga bule itu, batin
Nira. Maka, ia pun menyahut, "Tentu saja, Mister.
Kau apakan mobilku?"
Ditanya demikian, Radon justru tersenyum.
Sembari mendekat, ia berujar, "Attitude-mu buruk,
Nona. Apa demikian caranya jika bertemu orang
asing untuk pertama kali?" Nira begitu kasar berucap
di telinga Radon. Bahkan seorang bos mafia yang
pernah ia bunuh, tak sekasar itu nada bicaranya. Apa
karena orang itu tak sempat memakinya, karena
terlalu cepat dibunuh"
Tak paham dengan siapa ia bicara, Nira tetap
mempertahankan ucapannya yang kasar, "Kau mau
aku sopan denganmu" Untuk apa sopan dengan
orang yang mengerjai mobilku, padahal baru
pertama bertemu?" Radon menggeleng-geleng. "Kau sungguh tidak
dapat diatur." "Apa maumu?" hardik Nira.
"Tenanglah, aku tidak ingin berbuat macam-macam. Aku hanya ingin kita bicara. Ada
baiknya kau keluar dari mobil, sehingga kita terlihat
lebih akrab." Pintu mobil tiba-tiba terbuka. Nira terpaksa
keluar. Begitu Radon telah tepat di depannya, ia
memberanikan diri untuk bertanya kembali, "Apa
yang ingin kau bicarakan?"
"Kau mengenal seseorang yang juga mampu
melakukan hal seperti ini?"
Perhatian teralih ke jendela pintu mobil di
samping Radon. Jendelanya yang menutup pelan-pelan turun membuka. Jika ini bukan mobilnya
sendiri, ia pasti sudah merasa dikerjai. Namun,
turunnya jendela itu mengingatkan Nira pada
seseorang. "Via...," ucapnya pula. "Jadi, kau sahabat Via"
Kau kemari untuk membuat perhitungan denganku?"
"Bodoh," sambut Radon. "Jika Via mau, ia bisa
datang sendiri untuk menghancurkan hidupmu
sekali lagi. Kedatanganku untuk menawarkan kerja
sama." *** Berbeda dari hari biasanya. Langkah menuju
tempat kerja begitu berat. Via bahkan harus berhenti
beberapa saat, memperhatikan sekeliling, lalu
mendesah sebelum melewati pintu masuknya.
"Radon, di mana kau" Ia pasti takkan pergi
begitu saja setelah kejadian kemarin," batin Via.
Pengunjung Mirna Cafe "n Resto saat itu sangat
lengang. Tak lebih dari sepuluh orang pelanggan di
dalam kafe. Tapi, kedua mata Via berusaha mencari
keberadaan pemuda mencolok yang sedari kemarin
mengganggu perasaannya. Tentu tak ditemukan, karena pemuda itu
memang tidak ada. "Eh, Kak Via!" suara Farah mengagetkan Via,
membuatnya menoleh sedikit tersentak. "Kakak telat
lagi. Untung saja Bu Mirna hari ini nggak di kafe juga.
Nanti bisa diomelin, loh."
Via menunduk lesu. "Maaf...." Dan ia menuju
ruang staf di belakang, meletakkan tasnya, berganti
seragam, kemudian keluar lagi menemani Farah.
"Kakak maafnya jangan sama aku. Sama Bu
Mirna. Kakak sebenarnya ada apa" Kayaknya, dua
hari ini agak aneh. Kakak dapet juga, ya?" Ujung
mata Farah melancip. Via menggeleng pelan. "Bukan. Kurang tidur."
Farah memajukan mulutnya. Itu alasan yang
kemarin. Padahal, Farah sudah berharap ia dapat
alasan baru sore ini. Via mengambil kursi dan melabuhkan
tubuhnya di sana. Lagi-lagi, ia mendesah. Hari ini, ia
terlambat bukan karena kendaraan yang ia tumpangi
mogok di jalan. Melainkan, ia perlu menenangkan
hatinya. Kehadiran Nira ditimpali Radon kemarin,
masih membuat dadanya bagai penuh sesak.
Ia ingin bercerita, tapi tak tahu harus bercerita
kepada siapa. Kepada Danti" Tidak. Ia tidak ingin
membebani gadis itu. Persoalan yang ia pendam
bukanlah persoalan yang bisa diterima oleh
orang-orang biasa seperti Danti dan yang lain.
"Cerita kepada Ibu?" terlintas pertanyaan
tersebut sesaat setelah ia meninggalkan kampus. "Ya,
itu tak ada salahnya. Ibu takkan mengerti. Yang
penting, aku bisa bercerita."
Dan, Via bergegas meluncur ke sebuah rumah
sakit. Rumah sakit khusus penanganan pasien yang
mengalami gangguan jiwa. Rumah sakit itu telah tiga
tahun terakhir dihuni oleh ibundanya. Tekanan
hidup karena kemampuan Via di luar rata-rata,
cemoohan orang-orang, hingga beberapa kali
disambangi orang tak dikenal, membuat sang bunda
depresi. *** 100 Pindah ke kota ini ternyata tidak menyelesaikan
persoalan. Ibunya sudah terlanjur jatuh ke lembah
beban hatinya yang paling dalam. Ibunya tak lagi
bisa diandalkan untuk membiayai hidup, tak bisa lagi
bekerja, hanya tercenung di kamar, menangis.
Via mencoba menggantikan peran ibunya
seluruhnya. Ia mencari kerja, maka ia pun tak dapat
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Maksud hati mereka pindah ke Pontianak adalah
selain mencari ketenangan hidup, Via juga ingin
meneruskan sekolahnya. Ia baru lulus SMA saat
pindah tempat tinggal. Dengan ijazah yang ada, Via hanya mampu
diterima sebagai pramusaji. Seminggu bekerja,
semua tampak baik-baik. Namun, semuanya berubah
di suatu malam. Ia temukan sang bunda tergeletak
bersimbah darah di dapur. Pucat pasi. Darah-darah
yang menggenang di lantai berasal dari pergelangan
tangan kirinya. Nadinya tersayat. Sebuah pisau
tergenggam lemas di tangan kanan sang bunda.
Dua minggu penuh Mesti " sang ibu " dirawat
intensif. Selama dirawat, ia hanya berdiam
termangu. Tak banyak bicara, bahkan seolah lupa
segalanya. Dan beberapa hari sebelum dibawa
pulang, Mesti kembali mengulangi perbuatannya.
Beruntunglah kali itu tak berhasil.
Semenjak kejadian tersebut, Via tak sanggup
meninggalkan ibunya seorang diri. Ia takut jika
ibunya kembali melakukan hal yang sama. Tetapi
pula, ia tak mungkin selalu berjaga. Siapa yang akan
membiayai perawatan di rumah sakit"
101 "Maaf saya mengatakan ini," ujar dokter yang
merawat ibunda Via. Ia meminta Via berbicara hanya
dua mata di ruangannya. "Ibumu tampaknya lebih
menderita karena perasaan yang tertekan. Ia depresi.
Rumah sakit ini bukanlah tempat yang tepat."
"Apa ini artinya kami dipinta untuk keluar dari
rumah sakit?" tebak Via curiga.
"Bukan begitu," sanggah sang dokter segera.
"Ibumu, ia tak cocok dirawat di rumah sakit umum.
Ia perlu perawatan intensif di rumah sakit yang
khusus menangani kejiwaan. Rumah sakit ini
memiliki kerja sama dengan rumah sakit jiwa untuk
beberapa kasus khusus. Jika Nak Via berkenan, kami
akan memindahkannya ke fasilitas rumah sakit
rekanan kami tersebut. Ia akan ditangani oleh
ahlinya." Mendengar itu, Via serta-merta berdiri. Tak
tahan kupingnya merasa panas. "Ibuku tidak gila!"
pekiknya kemudian keluar, berlari, dan menangis.
Walau ia menolak, namun pada akhirnya sang
ibu tetap dirawat di rumah sakit jiwa, bersama
ratusan pasien sakit jiwa yang lain. Di dalam hatinya,
Via memang sadar. Ia takkan mampu merawat sang
ibu dengan kondisi demikian seorang diri. Ia takut
pula kehilangan sang bunda, setelah kehilangan
hidupnya yang normal. *** 102 "Bu Mesti sedang tidur siang. Kalau bisa, jangan
dibuat bangun. Beliau biasanya marah," seorang
perawat mengingatkan Via sebelum memasuki
kamar perawatan ibunya. Dan memang, ibunya
tampak tertidur pulas. Dari laporan yang ada, ibunya
sudah mulai mau berkomunikasi.
Via melangkah perlahan mendekati ranjang
ibunya. Makin dekat, makin tampak wajah tenang
wanita paruh baya itu. Menatapnya, membuat Via
merasakan sedikit damai. Hanya ibunya satu-satunya
harta berharga di dunia ini. Hanya ibunya
satu-satunya alasan bagi Via untuk tetap menjalani
hidup. Walau, hidup itu sendiri bagai berton-ton
beban yang kini tengah menghimpit dirinya.
Via mengambil tempat duduk, memandangi
ibunya barang sesaat, lalu menjatuhkan air mata.
Kali ini, bibirnya tak perlu mengatakan apa-apa. Air
matanya yang bercerita bahwa betapa perihnya
hatinya saat ini. Hampir satu jam matanya
berlinangan. Ia berharap ibunya terbangun dan mau
mengucapkan sesuatu, sehingga hatinya sedikit
terhibur. Namun, kelopak mata ibunya tetap
mengatup, bahkan hingga ketika ia beranjak untuk
pulang. *** "Kak Via!" 103 "Ah!" Via tersentak kembali. Lekas ia menoleh
Farah yang keningnya kini berkerut-kerut.
"Kakak nggak enak badan, ya" Jangan
sering-sering begadang, Kak." Seolah paling ahli,
Farah menasehati Via. Via hanya menyambut dengan
menggangguk kecil.

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ng...." Farah kemudian menyapu pandang seisi
kafe. "Oh iya, Kak," ujarnya lalu membuat Via
kembali menoleh. "Pemuda yang suka kemari,
nyariin Kakak, kok, udah nggak keliatan lagi, ya?"
Via mengingat-ingat sejenak. "Alwi...?" tebak Via
kemudian. Giliran Farah tampak berpikir. "Kalau tidak
salah, itu namanya. Kakak tahu ia sekarang di mana"
Kenapa ia nggak keliatan lagi?"
Via menggeleng. Ia tak tahu kabar Alwi
belakangan. Kabar terbaru yang ia dengar adalah
pemuda itu sempat ditabrak mobil. Tapi, tak
membuatnya luka parah. Mungkin saja itu
membuatnya tak lagi muncul di kafe. Atau, mungkin
karena alasan lain, alasan ketika malam terakhir
mereka berjumpa, ketika Alwi terlihat berdua
bersama dosen baru yang bernama Mita tersebut.
"Kakak bohong, nih. Jangan-jangan, dia nggak
muncul lagi karena cintanya Kakak tolak. Iya, kan?"
104 "Jangan sembarangan, ih!" Via berdiri. Ia ingin
menghampiri meja pelanggan yang tampaknya ingin
memesan. "Tapi, pengagum Kakak kayaknya nggak
abis-abis. Hilang satu, datang satu lagi," ucapan Farah
yang sekarang membuat Via tak jadi melangkah.
"Maksudmu apa?" Via tak bermasuk bernada
marah. Namun sepertinya, ucapannya kali ini
tampak seperti jengkel. Farah lekas meminta maaf.
"Itu...," ujarnya setelah meminta maaf. "Tadi
sebelum Kakak datang, ada pemuda lain yang nyariin
Kakak. Kali ini bule. Tapi, bahasa Indonesianya
lancar banget. Farah jadi bisa ngeladenin dia
ngobrol." "Bule...?" Via mengernyit. "Namanya...?"
"Ng..., Jason..." Thomson...?" Farah coba
mengingat-ingat. Nama si bule agak aneh. Jadi, sulit
untuk mengingatnya. "Radon?" timpal Via.
Farah menjentikkan jari. "Iya! Kalo nggak salah,
itu namanya!" Seketika itu juga, Via merasakan kedua kakinya
gemetar. Dunia seolah goyang. "Orang itu...,"
batinnya. "Ia masih belum pulang juga. Tempat ini,
kota ini bagai tak aman lagi."
105 Dan, Farah untuk ke sekian kali terpaksa
menegurnya karena tampak tercenung. Farah
memintanya untuk pulang saja jika benar-benar
tidak enak badan. 106 BAB 7 Ini sejarah. Pertama kalinya Alwi mau
dibonceng oleh Wiwid ke kampus. Biasanya, ia pasti
menolak. "Apa kata dunia" Anak kos, kok, minta
digoncengi anak yang punya kos" Bapakmu nanti
marah. Sudah enak, minta lebih enak."
Alasan ngawur bagi Wiwid. Lalu, sekarang
mengapa Alwi rela dibonceng"
"Badanku sekarang remuk. Sakit kalau dibawa
dempet-dempet di kendaraan umum. Tenang, nanti
aku bayar," enteng sekali Alwi menyahut.
"Kau anggap aku ojek?" Wiwid terpekik. Alwi
cuma nyengir. Tak kurang dari setengah jam, mereka tiba di
kampus. Memasuki pelataran parkir, ujung mata
Alwi membentur sosok Via. Gadis itu kerap tampak di
matanya berjalan seorang diri. Begitu pun sekarang.
Dengan merangkul beberapa buku materi pokok di
dadanya, berjalan tanpa mempedulikan mahasiswa lain. Gurat mata sendu dan raut wajah
107 datar sedikit tertunduk menemani langkah Via di
pelataran parkir. Sepeda motor berhenti. Alwi turun dan tanpa
pamit meninggalkan Wiwid yang sibuk memarkir
sepeda motornya. Ia berjalan dan berhenti di jalur
langkah kaki Via. Beberapa meter lagi, mahasiswi
tersebut akan tepat berada di hadapannya.
Dan benar saja, Via terus melangkah.
Keberadaan Alwi sama sekali tidak ia sadari. Hingga
pada akhirnya, Alwi menyapa sebelum ia menubruk
pemuda itu. "Pagi, Kakak Senior!" Salam dari Alwi membuat
Via terperanjat. Kepalanya lekas mendongak dan
seketika itu langkahnya berhenti. Nyaris pula ia
menjatuhkan buku-buku yang ia peluk.
"Oh..., pagi...!" sahut Via agak gagap. Susah
payah ia berusaha memeluk buku-bukunya kembali
dengan erat. "Kakak Senior baik-baik saja?" tembak Alwi
langsung pada sasaran. Via menyambut dengan kening mengernyit.
Gelagatnya yang selalu memikirkan kejadian
kemarin ternyata dapat dibaca oleh orang lain
dengan mudah. Maka, dengan jawaban gagap, sekali
lagi ia menyahut, "Iya..., tentu. Aku baik-baik saja."
108 "Oh...!" Alwi berpura-pura mengerti. Meski
demikian, ia sadar bahwa Via menyembunyikan
sesuatu. Via melirik jam tangan. Kuliahnya hari ini akan
dimulai tiga puluh menit lagi. Jadi, ia pamit dari
hadapan Alwi dan kembali berjalan. Bukannya
membiarkan Via pergi, Alwi justru mengekorinya.
"Kakak Senior!" panggilnya.
"Sudah beberapa kali aku katakan, jangan
panggil aku 'Kakak Senior'," tegur Via sembari terus
melangkah. "Oh maaf, aku sudah terbiasa." Alwi terus
menyusur. "Ng..., aku lihat Kakak tidak bersama
Danti. Bagaimana kabar Danti, Kak?"
Via menggeleng-geleng. Pemuda yang menjadi
ekornya itu ternyata masih mengingat Danti. "Aku
pikir, kau sudah lupa," goda Via.
"Aku takkan lupa dengan cinta pertamaku,"
balas Alwi tak kalah gombal.
Via berhenti dan berputar. Giliran Alwi yang
terkaget karena langkahnya tiba-tiba dihadang.
"Lalu, mengapa kau justru menjalin hubungan
dengan Ibu Mita" Kau ingin mempermainkan
temanku?" 109 Posisi sekarang berputar 180 derajat. Alwi
menyahut gelagapan, "Aku..., Ibu Mita..., kami
hanya...." "Ternyata, aku selama ini salah menilai. Melihat
kegigihanmu, aku pikir kau adalah pemuda yang
setia. Tapi ternyata, kau tak lebih dari playboy." Via
kemudian ngeloyor pergi. Ditinggalkannya Alwi
garuk-garuk kepala. Setelah agak jauh, barulah Via
berani tersenyum. Tak disangkanya, ia mampu
mengatakan itu di hadapan Alwi. Maksudnya
memang bercanda. Tetapi jika dianggap serius....
Masa bodoh! Cepat-cepat Via meloloskan tubuhnya ke pintu
masuk kampus. Begitu masuk, ia berhenti sejenak
dan mengintip ke pelataran parkir. Alwi masih
mematung. Ia garuk-garuk kepala, sementara Wiwid
terlihat mendekat. "Tapi..., mengapa harus Alwi?" Via tiba-tiba
merasakan sesuatu. Setiap kali ia murung, mengapa
harus Alwi yang menjadi korbannya untuk dapat
tersenyum" "Ya, Tuhan. Semoga untuk ketiga kalinya
Raja Tengkorak 2 Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori Nama Tuhan Yang Keseratus 4

Cari Blog Ini