Ceritasilat Novel Online

Via 4

Via Karya Dirgita Devina Bagian 4


aku tidak bertemu pemuda itu lagi dengan cara
seperti ini," batin Via kemudian melanjutkan
langkahnya ke kelas. *** 110 "Hei!" tegur Wiwid pada Alwi. Alwi lekas
menurunkan tangan dari kepala dan menoleh.
"Tumben, kau berbicara dengan Kak Via. Ada urusan
apa?" Urusan apa" Kedua mata Alwi melancip.
"Hanya menyapa memangnya tidak boleh?"
"Begitu saja sewot!" sanggah Wiwid lekas. "Atau
jangan-jangan, kau masih mengincar teman Kak Via,
ya" Siapa namanya" Kak Danti?"
"Tutup mulutmu!" Alwi pun melangkahkan
kakinya mendekati mulut kampus. Wiwid mengekor.
"Oh..., atau jangan-jangan...!" Wiwid tidak
mengindahkan perintah Alwi. Ia tidak menutup
mulut, melainkan terus bercuap-cuap. "Kau justru
mengincar Kak Via" Jadi, usahamu mendekati Kak
Danti hanya untuk mendekati Kak Via?" suara Wiwid
lantang di lapangan parkir. Semua dapat mendengar
setiap kata yang ia lontarkan dengan sangat jelas.
Alwi sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Ia
hanya mampu menyahut, "Kau jangan membuat
semuanya bertambah runyam...!"
Kata-kata itu justru memperoleh sambutan
meriah dari Wiwid. Ia tertawa terbahak-bahak. Entah
mengapa, ia turut merasakan hal yang sama seperti
Via. Ada kepuasan tersendiri mengerjai Alwi.
Sungguh pemuda yang malang, pikirnya di sela-sela
gelak yang terlontar. 111 Namun, tawa Wiwid tidak berumur panjang.
Senandung polifonik tiba-tiba terdengar dari dalam
tas kulit imitasi yang ia sandang. Cepat ia tarik
ponselnya yang tengah bernyanyi. Sebuah pesan
singkat baru saja masuk. "Ya, ampun! Aku lupa!" Wiwid menepuk kening.
SMS dari Mita barusan membuatnya ingat pada janji
yang telah ia buat. Sebelum berangkat kuliah, wanita
yang dianggap Wiwid sebagai "rekanan bisnis"
tersebut sempat menelepon. Intinya, beliau ingin
bertemu secepatnya di kampus. Dan jangan lupa,
Alwi tidak boleh tertinggal.
Oke, lekas-lekas Wiwid memasukkan ponsel.
Alwi yang telah meninggalkannya cukup jauh
kemudian ia kejar untuk ditangkap. Diseretnya
pemuda itu memasuki aula kampus tanpa belas
kasihan. Berkali-kali Alwi menjerit karena nyeri di
dada serta pundaknya masih belum hilang, justru
diperparah oleh gandengan Wiwid.
Setelah beberapa meter memasuki lorong
kampus, Alwi akhirnya berhenti meronta. Ia
menemukan suasana yang berbeda dibandingkan
beberapa hari lalu sebelum tidak dapat berkuliah.
Ada salah satu lorong yang dilintangi papan
peringatan. Tulisan merah dengan tanda seru yang
sangat besar memberi tahu bahwa jalur tersebut
tengah ditutup, terkecuali bagi petugas bangunan.
Tidak hanya itu. Lorong tersebut sebelumnya
masih begitu rapi. Namun sekarang, plavonnya
ambrol sepanjang puluhan meter. Dan sepanjang itu
pulalah ubin lantainya merengkah.
112 Penasaran, Alwi memakukan kakinya. Wiwid
terhentak karena pemuda itu tiba-tiba berhenti.
Dengan muka masam, ia pun protes, "Ayo! Kita sudah
ditunggu!" Alwi tak menanggapi Wiwid yang sudah
berkacak pinggang. Ia malah mendekati lorong
dengan tatapan heran. Bahkan, sampai ternganga-nganga. "Wid...," ujarnya kemudian.
"Apa?" Wiwid membalas sewot.
"Kampus kita kejatuhan meteor, ya" Sampai
amburadul begini...."
"Lebay...!" umpat Wiwid. Dihampirinya Alwi
untuk kemudian meluruskan, "Kalau meteor yang
jatuh, hancurnya nggak akan lurus begitu!"
"Lalu?" Wiwid menarik napas. Ia mengingat kejadian
kemarin siang, ketika tiba-tiba seisi kampus
menggelegar. Sumbernya berasal dari lorong yang
saat ini masih tertutup untuk umum. Debu pekat
mengepul dari sana. Beberapa mahasiswa berlarian
dengan wajah ditutupi debu serta dirembesi darah.
"Kejadiannya kemarin siang," jawab Wiwid
pula. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, empat
tulangan baja tiba-tiba jatuh menerobos atap paling
atas kampus, hingga ke lantai dasar."
113 Alwi mendongak. Tampak jelas bahwa tidak
hanya langit-langit di atas mereka yang hancur.
Langit-langit di lantai atasnya lagi juga ikut
berlubang, begitu pula tiga lantai lain yang juga ada
di atas sana. "Tulangan baja?" Alwi mengernyit. "Dari atap?"
Tiba-tiba, Alwi merasakan kepalanya pening. Ia
membayangkan caranya keempat tulangan baja itu
bisa berada di atap kampus, lalu jatuh dan
menerobos kelima lantainya. Bukankah..., lokasi
pembangunan gedung baru sekitar tiga puluh meter
dari gedung utama" Sementara itu, Wiwid mengangguk-angguk.
Dirinya mengiyakan bahwa semua itu benar. "Akibat
kejadian kemarin, sebelas mahasiswa terluka parah,"
jelasnya lagi. Alwi pun masih saja terheran-heran. Geram
akan tingkahnya yang mengulur waktu, Wiwid pun
mencubit pundak Alwi sekuat tenaga.
"Ada yang harus kita temui!"
*** Radon memperhatikan segelas kecil kopi panas
yang baru disajikan di hadapannya. Adonannya
hitam pekat. Uap putih mengepul tanda baru saja
diseduh. Radon pagi ini menyempatkan dirinya di
114 sebuah kedai kopi di sisi Jalan Gajah Mada, salah satu
jalan utama di Kota Pontianak.
"Silakan, Mister. Ini namanya "kopi pancong","
ujar si pelayan. "Kopi pancong?" Radon mengernyit. Dari mana
hidangan aneh ini mendapatkan nama yang sama
anehnya" Radon belum pernah bertandang ke Kota
Pontianak untuk mencicipi menu yang satu ini.
"Iya, Mister. Namanya begitu karena kopinya
hanya separuh, Mister. Pancong itu artinya potong,
Mister. Dipenggal!" jelas sang pelayan lagi.
"Jadi, pancong itu bukan sebutan hantu di kota
ini?" Radon membuat si pelayan terheran-heran.
"Maksud Mister "pocong?""
"Yes, that"s it!" jentik Radon.
"Mister bisa saja. Pocong tetap pocong di sini,
Mister." Radon mengangguk-angguk. Si pelayan itu
segera kembali ke dapur, karena dipanggil si
majikan. Ada banyak pelanggan yang harus dilayani.
Pagi yang masih agak dingin sangat mendukung
untuk minum kopi panas. Baru Radon mencicipi sedikit kopi yang
terhidang, ponsel miliknya berbunyi. Radon melihat
siapa yang menelepon, lalu menggeleng kecil.
115 "Ya, Tuan Braham?"
"Rencanamu berhasil?" suara di sana terdengar
sangat bernafsu. "Aku baru menjalankan rencana kedua
kemarin. Perlu waktu agak lama untuk melihat
hasilnya." "Kau tidak sengaja melambatkan kerjamu, kan"
Kau tidak sengaja hanya untuk jalan-jalan, kan" Aku
tahu tabiatmu!" "Jika tahu, jangan pertanyakan lagi. Kau tidak
bosan meneleponku terus" Jika ada kemajuan, akan
kukabari. Telepon aku jika memang ada keperluan
yang sangat penting."
"Kau ini. Selalu saja seenakmu." Braham
terdengar kecewa. Di dalam jaringan bisnis serta
kepemimpinannya, hanya Radon yang berani berkata
kasar dan kontradiktif terhadap keputusannya.
Braham memang memiliki pengaruh yang besar,
orang-orang takut pada pengaruhnya. Namun,
Braham juga berhati-hati untuk tidak terlibat konflik
dengan Radon. Tidak ada yang ingin kepalanya copot
karena dicekik oleh pemuda berambut perak
tersebut. Radon sebenarnya tahu apa maksud Braham
berniat sekali mempersunting Via sebagai salah satu
kaki tangannya. Selain untuk memperlancar
bisnisnya, ia mungkin berniat memanfaatkan Via
untuk menyingkirkan dirinya. Sedikit banyak,
116 Braham pasti menaruh khawatir pembawaannya yang sulit diatur.
dengan "Tapi, kebetulan kau masih ada di Pontianak,"
Braham ternyata masih memperpanjang panggilan
telepon. "Kau tahu partner kita Sam Wok" Ada
gelagat sepertinya ia ingin membangkang. Jadi, aku
mengutus beberapa orang untuk mengawasinya. Jika
memang benar Sam Wok membangkang, aku ingin
kau membereskannya nanti."
"I will. Kabari saja aku kepastiannya."
Telepon kemudian diputus. Usai mengembalikan ponsel ke saku, Radon memanggil
pelayan kedai kopi tadi. "Aku pesan tiga kopi
pancong!" *** SMS itu. Pesan dari pengirim yang ingin Mita
lupakan. Kali ini datang lagi. Tidak semesra dahulu.
Kini terang-terangan mengancam. Ingin membunuh
Mita. Jika ia tak dapat memilikinya, maka orang lain
pun demikian. Mita merasakan lagi keningnya memanas. Ia
memijit-mijitnya dengan maksud siapa tahu bisa
mengurasi sedikit rasa panas dan pening yang
menyertainya. Tanpa Mita sadari, Yasmine memperhatikan. 117 "Kau sakit, Mita?" Jasmine mulai menyelidiki.
"Ya, aku tahu. Jika kekasihmu sakit, kau juga pasti
merasakan yang sama. Apalagi, sampai dua kali."
Mita berhenti memijit-mijit kening. Ia menoleh
Jasmine. "Bukan begitu...," sahutnya lemah.
Bagai tak peduli, Jasmine kembali menimpal,
"Oh iya, bagaimana sampai kejadian yang kedua kali"
Katanya, yang ini parah" Kau belum cerita. Kau juga
tega tidak memberitahuku kemarin."
"Sudahlah, Jasmine. Jangan tambah kepalaku
pusing. Aku ingin menenangkan kepalaku sekarang."
"What?" Jasmine memasang tampang melongo.
"Kupikir yang namanya Mita itu tak bisa pusing."
"Kau ada-ada saja. Aku permisi dulu. Ada yang
harus kutemui." Lekas Mita tinggalkan Jasmine di
ruang dosen. Ia tak mau lama-lama di situ. Bisa gerah
tak tertolong. Sembari meninggalkan ruang dosen, Mita
sesekali melihat jam di tangan kirinya. Wiwid
seharusnya sudah menelepon sekarang. Tapi entah
kenapa, ponselnya tak berbunyi, selain menerima
SMS dari orang aneh misterius itu. Jadi, ia berinisiatif
untuk menunggu di luar ruangan saja, seraya
mencari udara segar. Langkah Mita kemudian terayun pelan menuju
lokasi konstruksi gedung baru kampus. Entah
mengapa, begitu matanya melirik lengan kran yang
118 menjulang tinggi, serta kerangka gedung yang tengah
disusun, hatinya tergerak untuk melihat lebih dekat.
Para pekerja baru bersiap-siap untuk mulai bekerja
saat itu. Hanya dua atau tiga mahasiswa yang
lalu-lalang. Mungkin, dari jurusan Arsitektur. Atau,
mungkin mahasiswa dari jurusan lain, tetapi punya
hobi fotografi. Ada yang membawa kamera DSLR


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lensa tele sepanjang 30 cm.
"Maaf, Bu Mita. Wiwid telat," Wiwid akhirnya
muncul. Setelah menelepon, ia dipinta menyusul ke
lokasi konstruksi. Ia tiba membawa muka
cengengesan sembari menyeret-nyeret Alwi. "Katanya, ada kabar baik, ya, Bu?"
"Lepaskan dulu Alwi. Dia, kan, belum sembuh,"
Mita meringis melihat Alwi yang juga meringis.
"Ups!" Wiwid cepat menjauhkan tangannya dari
tangan Alwi. Setelah melihat Alwi tak meringis lagi,
barulah Mita kembali bicara.
Ada dua kabar baik yang ingin ia sampaikan
dan satu kabar tak sedap. Semuanya tentang dirinya
dan Alwi. "Pertama, orang-orang yang kemarin menculikku sudah ditangkap polisi. Polisi bisa
melacak mereka dengan mudah karena mobil yang
mereka tinggalkan. Tapi kedua, mereka bukan
dalangnya. Masih ada orang lain di balik aksi
mereka. Orang yang memata-mataiku, Wi. Dia masih
bebas. Aku sangat khawatir, terlebih ia baru saja
mengirimiku pesan. Ia mengancamku."
119 Wiwid mendelik. "Mengancam" Orang berengsek itu berani mengancam Bu Mita" Dasar
rendahan! Beraninya dengan perempuan!" Ia
mengepal. Kencang-kencang ia mengepal, hingga
terdengar derik tinjunya di depan muka.
Alwi kemudian menurunkan tinju itu. Wiwid
memonyong. Dihembuskannya udara kencang-kencang lewat hidung ketika menoleh Alwi.
"Serahkan saja semuanya padaku. Ibu tenang
saja. Selama ada Alwi di samping Ibu, semuanya akan
aman-aman saja." Alwi menyombong.
"Aman?" sanggah Wiwid lagi. "Kau ditabrak,
kemarin Bu Mita diculik, kau pun ditembak. Kau
bilang itu aman?" Urat-urat di leher Wiwid
bertimbulan. Matanya melotot ke arah Alwi.
"Setidaknya, Bu Mita tidak apa-apa. Tubuhnya
bahkan tak lecet sedikit pun. Benar, kan?"
Mita mengangguk. Memang benar, tubuhnya
tak tergores sedikit pun. Paling, hanya nyeri ketika ia
harus dicengkeram erat oleh orang-orang yang
menculiknya. Tapi, sudah tak terasa lagi sekarang.
Justru Wiwid yang tampaknya marah.
telunjuki wajah Alwi. "Kau selamat kali ini!"
"Apanya...?" Alwi melongo.
Mita tertawa. Wiwid akhirnya sadar telah
bertingkah aneh. Ia menurunkan telunjuknya dan
120 menunduk dengan wajah merona merah. Alwi
menyentuh keningnya, takut kalau-kalau Wiwid
sedang tak enak badan. "Aku senang Ibu bisa tertawa lagi," Alwi
menyadarkan Mita bahwa suara tawanya agak
kencang. Ia coba memelankan suara, dan akhirnya
hanya tersenyum. Kini, Alwi menyesal telah
menyadarkan Mita. Senyum itu, senyum yang
sungguh lembut namun menyayat itu, kini kembali
lagi di depan matanya. "Kabar ketiga, ini tentang Danti," sambung Mita
kemudian. Seketika itu, Alwi merasa bagai dihembus
oleh angin dari pegunungan. "Aku sudah berbicara
dengan kakakku. Tentang kau dan Danti. Katanya,
Danti memang gadis yang keras kepala. Jika kau
gagal mengutarakan isi hatimu di luar sini, kau bisa
mencobanya di rumah. Malam ini, pukul delapan.
Ayah Danti dijadwalkan ada di rumahnya. Danti
tidak berani bersikap kasar jika di dekat sang ayah.
Jadi, segeralah bertindak. Kau sudah tahu rumah
Danti?" Polos, Alwi menggeleng. "Sudah kuduga. Ini alamatnya. Kau sama sekali
belum membuntuti Danti hingga ke rumah?" Mita
menggoreskan pulpen di telapak kanan Alwi.
"Takut...," balas Alwi enteng. "Siapa tahu, di
rumah bisa lebih ganas. Bau penguntit bisa tercium."
"Bodoh!" Wiwid tergelak.
121 "Kakak Ibu Dosen ternyata canggih juga. Bisa
tahu kebiasaan Danti. Jangan-jangan, mereka
tetangga?" puji Alwi.
"Kau masih ingat kakakku, kan" Namanya
Eldien?" Alwi mengangguk. Begitu pula Wiwid.
"Dia ibu tiri Danti." Mita ngeloyor.
"What?" Alwi serasa diseruduk ribuan banteng.
"Selama ini, kau memacari bibinya, Wi?" Wiwid
tak kalah histeris. 122 BAB 8 Alwi gemetar. Malam ini bagai sedingin kutub.
Lututnya sampai gemetar menggigil. Beruntung, ia
bisa sampai dengan selamat di depan pintu pagar
rumah Danti. Tak membeku di tengah jalan dan
menjadi tontonan anak-anak.
Gemetar itu kian menjadi begitu ia ingin
memencet bel. Ia dibuat bimbang. Rumor mengenai
hubungannya dengan Mita sudah menjadi rahasia
umum. Semua tahu tak terkecuali Danti, bahkan ibu
tirinya yang tak lain kakak kandung Mita juga ikut
mengetahui kabar tersebut. Alwi merasa bodoh telah
berkata mesra kepada Mita di hadapan kakaknya
tersebut beberapa waktu lalu.
Sementara Mita, ke mana orang yang ikut andil
membawanya ke dalam masalah ini" Selepas
pertemuan tadi pagi di kampus, beliau kemudian
lenyap bagai ditelan Bumi. Menurut Wiwid, hari ini
Mita memang tidak memiliki jadwal memberikan
kuliah. Ia datang ke kampus eksklusif demi Alwi.
Kabarnya kemudian baru terdengar selepas
Isya. Saat Alwi ketika ingin berangkat ke rumah
Danti, Wiwid memanggilnya dan menunjukkan isi
sebuah SMS. 123 "Sayang, sekarang aku ada di rumah temanku.
Jadi, jangan khawatir. Aku baik-baik saja Aku doain
semoga kamu dan Danti bisa lancar." Wiwid
terpingkal-pingkal usai membacakan SMS itu. Alwi
manyun. Itu yang membuat " setidaknya "
ubun-ubun Alwi terjaga dari hawa dingin di malam
hari. Uap panas mengepul karena jengkel. Berhubung
Alwi tak berani jengkel kepada Mita, ia memilih
jengkel kepada Wiwid saja.
Bel di pintu pagar lalu dipencet sekali. Alwi
panas dingin. Tak menyangka disambut sebuah
rumah dengan ukuran yang membuatnya kelilipan.
Bel dipencet untuk yang kedua. Tidak ada yang
keluar. Alwi semakin bimbang. menimbang-nimbang. Dan berharap ini yang
terakhir, Alwi memencet bel untuk yang ketiga.
Seseorang tampak keluar dari pintu depan
rumah. Seorang wanita. Ia menatap sebentar ke arah
pagar. Tahu siapa wanita itu, Alwi menundukkan dan
menutup wajahnya dengan tangan. Wanita itu lalu
tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Alwi, ya?" sapa Eldien.
Alwi kagok. Ia terpaksa mengangkat muka dan
mengangguk kaku. "Bawa bunga, mau ketemu Mita, ya?" Eldien
membuka pagar. Sengaja ia memancing di air keruh.
"Wah, kalau begitu salah alamat. Mita tidak tinggal di
sini." Mita memang berencana tinggal bersamanya
124 beberapa hari, tetapi batal. Terlebih beberapa jam
lalu, ia memberi kabar bahwa orang yang selama ini
meneror telah berhasil diringkus polisi.
"Maaf, saya cuma mau...." Alwi garuk-garuk
kepala. Dilanjutkan tak enak, dibiarkan juga bikin
nyesek. Eldien tersenyum. "Ya. Mita sudah memberi
tahu," jelasnya kemudian. "Ayo, silakan masuk. Maaf,
tadi sampai menunggu lama. Para pembantu sedang
cuti, rumahnya sendiri terlalu besar. Nanti, saya
minta ayah Danti untuk mengecilkannya." Eldien
tertawa renyah. Alwi hanya bisa cengengesan.
Alwi sebenarnya sudah hendak melangkahkan
kaki melewati garis pintu pagar. Namun, sebuah
suara berat menunda keberangkatan itu. "Siapa,
Ma?" suara itu bertanya. Alwi menoleh dan sesosok
tubuh tegak tampak berjalan mendekati mereka dari
belakang Eldien. Dari terpaan lampu di taman, jelas
sosok itu seorang pria. Usianya mungkin paruh baya,
namun masih terlihat pesona ketampanannya.
Jenggot hitam tipis menghiasi dagu pria itu.
"Ini, teman Danti, Pa," sahut Eldien. Seketika itu
Alwi membelalak. Itu ayahnya Danti! Ayah dari orang
yang selama ini ia incar! Calon mertua! Gaswat!
Pria itu berdehem setelah tiba di antara mereka.
"Teman apa teman?"
Alwi cengengesan. Tapi cuma pasang tampang
tak enak, rasanya tak sopan. Jadi, Alwi mengulurkan
125 tangan. "Nama saya Alwi, Pak. Teman satu kampus
Danti." "Oh...," pria itu mengangguk-angguk. Ia hendak
menyambut uluran tangan Alwi, tapi kemudian
malah menunjuk wajahnya. "Eh! Rasa-rasanya saya
pernah lihat kamu!" Alwi melongo. "Lihat di mana, Pak?"
Ayah Danti menatap lekat wajah Alwi.
"Kamu yang pernah bantu saya, kan" Kamu
bantu ngelawan geng motor yang mau merampok
saya." Aduh! Alwi kemudian ingat kejadian beberapa
hari lalu. Ia sempat keluyuruan hingga dini hari
setelah dari kafe tempat Via bekerja. Di perjalanan
pulang, ia menemukan segerombolan pemuda
menaiki sepeda motor mengepung sebuah mobil.
Naluri anak muda kemudian membawanya ke arena
laga tak seimbang. Berarti, orang yang ada di dalam mobil itu tak
lain ayah Danti. Namun tak mau terlihat sombong,
Alwi mengelak, "Mungkin, Bapak salah lihat."
Bisa jadi, karena situasi pada waktu itu
temaram. Namun, ada beberapa hal yang
membuatnya yakin. "Tapi, potongan rambutmu
sama. Bajunya juga sama." Atmadja menunjuk kaos
yang dikenakan Alwi. Tertulis "SEADANYA" di depan
dada. 126 Alwi ingin mengeles untuk sekali lagi. Namun,
seorang lain kembali muncul dari balik pintu rumah.
"Siapa, Pa?" itu suara Danti. Ia berjalan
mendekat. Alwi mendadak bagai diserang badai
salju. Gigilnya kian kuat.
"Aduh. Maaf, Pak. Maaf, Bu. Saya kemari
sebenarnya ingin menjenguk Danti. Kata teman-teman, dia sakit. Tapi sepertinya, dia sudah
sembuh. Saya juga tadi baru saja ditelepon teman.
Katanya, ada urusan penting di kampus. Jadi, harus
segera datang. Saya titip salam sama Danti, ya, Bu?"
Alwi sontak malah lancar berbohong.
"Nggak sekalian titip bunganya?" goda Eldien.
"Oh, iya. Ini titipan teman Danti yang lain.
Mohon diberikan kepada Danti. Terima kasih.
Permisi. Mohon maaf mengganggu."
Dan..., Alwi menghilang. "Siapa tadi?" Sekilas, Danti sempat melihat
sosok pemuda itu sebelum melarikan diri.
"Kayaknya, pernah lihat" Alwi, kan?" Walau tak
pernah satu kelas, mereka berada di satu tempat
latihan. "Iya," sahut Eldien singkat.
"Kenapa dia kemari" Kenapa cepat pergi" Dia
cari Bibi?" 127 "Dia cari kamu," Eldien mengangkat bunga
titipan Alwi. "Untuk ini," diserahkannya bunga itu
pada Danti. Danti menerima kumpulan bunga itu ragu-ragu.
"Ini apa maksudnya?"


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, kau tidak tahu dia pengagum rahasiamu?"
Danti terkesiap. Diremasnya bunga-bunga itu.
Namun, ia tersadar begitu matanya melihat sang
ayah. Buru-buru ia permisi ke dalam rumah
meninggalkan kedua orang tuanya di depan pagar.
"Kenapa dia?" sang ayah bingung.
"Mungkin, terlalu senang."
*** Alwi menoleh ke belakang serasa kakinya terus
menapak lari. Rumah Danti sudah tak terlihat,
bahkan pintu pagar di depan rumahnya pun sudah
tak tampak. Alwi akhirnya memutuskan berhenti,
kemudian menarik napas tersengal-sengal.
"Belum siap, belum siap...," ujarnya sembari
mengurut dada dengan napas yang masih
berkejaran. Perasaannya belum siap untuk menjumpai Danti secara langsung seperti tadi.
Makanya, ia buru-buru kabur.
128 Usai dadanya mulai tenang, Alwi kemudian
menarik napas sekali dengan dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. "Lebih baik, aku
menjumpai Via." Dan ia pun kembali melangkah, kini
dengan ayunan kaki yang lebih tenang.
*** Ada dua anak muda yang pacaran di pojok kafe.
Yang pemuda keningnya dibalut perban, sementara
yang pemudi tampak memelas kasihan kekasihnya
terluka. Berkurang beberapa persen kegantengan
pacarnya itu oleh karena dihantam sebongkah beton
tadi siang. "Sakit nggak?" sang gadis bertanya dengan bola
mata terus menatap perban itu. Dia benci
melihatnya, tapi terus menatapnya tak berkedip.
"Sakit, dong," jawab sang pemuda. Tapi yang
lebih tepat ialah ia tak ingat betapa sakitnya. Ia
pingsan seketika begitu sebongkah beton sebesar
lemari es satu pintu menghantam keningnya. Ia baru
bangun satu jam kemudian di rumah sakit. Barulah
kemudian, ia merasakan perih yang menjalar-jalar.
Baru sekarang lumayan rasanya.
"Kalau masih sakit, kita pulang saja. Kamu
istirahat di rumah. Atau, mau aku antar ke rumah
sakit lagi?" ujar sang gadis kemudian. Farah yang
kebetulan lewat di dekat mereka, langsung merem
129 melek menahan isi perutnya yang bergejolak
kegelian. Ingin tertawa rasanya tak mungkin.
"Aku nggak enak sama kamu. Kita, kan, sudah
janjian malam ini jalan-jalan," jawaban si pemuda
membuat hati sang gadis tambah luluh.
"Besok, jangan ke situ lagi, ya. Aku nggak tega
lihat kamu begini," dirangkulnya lengan sang
pemuda. Dipeluknya erat-erat sembari meletakkan
kepalanya di pundak sang kekasih.
Sang pemuda hanya mengangguk. Dalam
hatinya ia bergumam, tak mungkin lagi ke lokasi
kejadian tersebut di kampus. Sudah dibentangi garis
polisi. Sedang diperiksa mengapa hal yang serupa
seperti kemarin terjadi lagi hari ini. Tulangan baja
yang sedang dibawa oleh derek, tiba-tiba terayun ke
arah gedung kampus lama, hingga membuat
reruntuhan yang melukai sejumlah orang.
Wajah aneh Farah yang menahan tawa
rupa-rupanya dapat dibaca oleh Via. Sesampainya di
meja kasir, Via menegur, "Kenapa kamu?"
"Itu, ada yang pacaran di depan. Lucu,"
komentar Farah. Ia lalu menyerahkan serbet yang ia
pakai untuk mengelap sebuah meja pelanggan
kepada rekan kerjanya yang lain. Kebetulan,
rekannya itu akan menuju ruang belakang. Serbet itu
harus dicuci dan dikeringkan. Setelahnya, Farah
menggantikan Via di depan mesin kasir. Malam ini,
mereka iseng bertukar peran beberapa menit.
130 Via salah tanggap. Dipikirnya perban di kepala
pemuda itu yang membuat Farah merasa lucu. "Oh,
dia juga satu kampus denganku. Tadi siang,
kepalanya kena tiang yang rubuh."
"Untung masih hidup." Seketika itu, Farah
tergelak. Semua pelanggan cepat menoleh ke
arahnya. Via cepat-cepat menutup mulut Farah.
Ketika gadis itu meronta-ronta kehabisan napas,
barulah tangannya dibuka.
Farah membetulkan napasnya, kemudian
berujar, "Temanku ada yang kuliah di situ juga.
Katanya, pembangunan gedung baru jadi terhenti
gara-gara insiden yang sama terjadi dua kali
berturut-turut. Baru bisa dimulai lagi kalau
penyebabnya ketemu."
Via menggangguk-angguk. "Menurut Kakak, apa yang menyebabkan itu
terjadi?" "Entahlah," Via lekas menjawab. "Aku bukan
mahasiswa Arsitektur. Jadi, aku tidak tahu-menahu
soal kejadian itu." Ada benarnya juga, tapi Farah tetap memainkan
gurat bibirnya. Ia tak puas jawaban dari Via.
"Tampangmu membuatku hilang nafsu makan
tiga hari!" canda Via kemudian. Sontak Farah
memekik protes karena candaan itu.
131 Di sela pekik Farah, terdengar alunan nada dari
saku kemeja Via. Ia ambil ponsel dan menerima
panggilan Danti. *** "Via, kau belum pulang, kan?" Danti menyerbu
daun kuping Via dari ujung telepon.
"Belum," jawab Via lekas. "Mungkin satu atau
dua jam lagi. Sedang banyak tamu."
"Kau tak dijemput Andre, kan?"
"Ng!" Via tiba-tiba teringat. Andre. Ke mana
kabarnya" Seharian penuh tak mengontak. Oh iya,
dia pamit ke luar kota. Urusan keluarga katanya.
"Tidak," jawabnya kemudian.
"Kau jangan pulang sampai aku ke sana. Aku
yang akan mengantarmu." Danti menarik jaket kulit
tebal dari dalam lemari, mengenakannya, kemudian
menghadap cermin. Ponsel yang ia pakai
menghubungi Via dipindahkan ke atas pundak
sebelah kiri. Ia jepit di antara pundak dan pipi
kirinya agar tak terjatuh. Kedua tangannya yang
bebas kemudian mengambil pita rambut dari atas
meja dan mengikat rambutnya dengan kencang.
"Kau tak perlu repot," sahut Via. Ia dengar agak
gaduh di ujung telepon. Mungkin Danti tengah sibuk.
132 Kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas
tempat tidur kemudian diambil. Kunci ia genggam,
sedangkan dompet ia selipkan di saku belakang
celana. "Tidak. Aku memang ada rencana untuk ke
luar. Aku ingin cari angin." Bergegas pula Danti
menuju pintu kamarnya. Ia buka, kemudian tutup
dengan agak kencang. Kegaduhan kecil saat itu,
tertangkap jelas oleh pendengaran Via. Membuatnya
bertambah yakin sesuatu. Di luar kamar, sebenarnya sudah ada Eldien.
Katanya, ada yang ingin ia sampaikan, namun Danti
tak menanggapi. Ia justru pamit untuk pergi
sebentar. "Dan..., bicaramu sebenarnya?" lain kali ini. Ada apa Kamar Danti di lantai dua rumahnya. Beberapa
belas langkah dari pintu kamar, ia sudah menggapai
anak tangga untuk turun ke lantai bawah.
Cepat-cepat ia meniti anak tangga itu. "Nanti ketemu
aku cerita." "Perasaanku tak enak. Beri aku petunjuk.
Jangan buat pekerjaanku nanti jadi berantakan
gara-gara memikirkanmu." Via memaksa dengan
cara halus. Namun demikian, memang itu yang ia
takutkan. 133 "Kau ingat ceritaku tempo hari" Tentang
hadiah-hadiah yang dikirim oleh orang misterius
itu?" Tentu saja Via tahu. berkonsultasi padanya. "Iya."
Pelakunya selalu "Malam ini aku tahu siapa dia. Dia datang ke
rumahku, bahkan memberikan bunganya langsung
di hadapan orang tuaku." Danti berhenti sebelum
anak tangga terakhir ia pijak. Ia mengintip ke ruang
tengah. Bagus, tidak ada ayahnya. Maka, lekas-lekas
ia menuju pintu depan. "Kau yakin itu dia?"
"Tentu saja. Ibu Eldien yang memberi tahu."
Pintu depan dibuka. Danti menuju garasi di mana
mobil miliknya diparkir. Namun sesampai di sana, ia
terkesima untuk beberapa detik.
"Ayah...?" mobil Tuan Atmadja tidak ada. Hanya
ada dua mobil di sana, satu miliknya dan satu lagi
milik Eldien. Ayahnya pasti kembali pergi.
"Lalu, mengapa kau jadi seperti ini" Apa
hubungannya?" Danti menyalakan mesin mobil. "Apa kau tak
tahu seberapa jengkelnya aku dengannya" Takkan
sulit mencarinya besok. Akan kupatahkan lehernya
jika bertemu." 134 Ponsel ditutup. Kini, Via yang merasa tak enak.
Danti sekarang sudah tahu orang yang selama ini
memberinya hadiah secara misterius. Tapi, tak
dipikirnya Danti akan benar-benar sejengkel ini.
Bagaimana nasib Alwi besok"
Danti kembali ke meja kasir. Di sana, ia
disambut oleh Farah dengan riang gembira. Lagi-lagi,
Via dibuat keheranan. "Kakak, cowok yang waktu itu datang lagi."
"Siapa?" "Tuh...!" Farah menunjuk ke sebuah meja paling
pojok. Seketika itu, Via terbelalak. Mengetahui
dirinya dilihat oleh dua gadis manis di kafe, Alwi
balik menoleh mereka dan melambaikan tangan.
Terspesial untuk Via. *** "Ini bukan yang pertama kalinya tiang
penyangga Jembatan Kapuas I ditabrak oleh tongkang
pengangkut bauksit. Beberapa waktu yang lalu, tiang
penyangga yang berada tepat di tengah Sungai Kapuas
juga ditabrak hingga bergeser beberapa sentimeter.
Kali ini, setelah tiang tersebut berhasil diperbaiki,
kejadian yang sama berulang walau kerusakan yang
timbul tidak seberat sebelumnya."
135 Radon menurunkan koran pagi yang baru saja
ia beli sore ini. Matanya berpindah pada Jembatan
Kapuas I yang masih dihiasi warna-warni lampu
seperti malam-malam yang lain. Namun, kali ini tak
ada jejeran lampu yang berarak di atasnya. Kejadian
dini hari tadi, yang kini menjadi headline koran yang
ia baca, telah membuat jembatan sepanjang 400 m
tersebut ditutup kembali.
Hingga kini, tampaknya hanya itu yang
diketahui orang-orang. Kapal tongkang menabrak
tiang jembatan. Nahkoda kapal tongkang teledor.
Padahal yang tejadi, Radon terbangun pukul dua dini
hari. Seperti kebiasaan saat terbangun sepertiga
malam, ia mencoba kemampuan telekinetisnya untuk
menggerakkan benda-benda jauh. Ia payah akan hal
itu, jadi ia terus mencoba. Bingung mencari benda
yang bisa dipakai untuk latihan, ia melihat sebuah
tongkang. Ia arahkan tangannya pada tongkang
tersebut untuk memindahkan arahnya. Sayang, ia tak
bisa mengembalikan tongkang ke jalur yang benar.
Melihat tongkang kehilangan arah, Radon kembali
tidur. Maka, di malam ini, Radon mendekat
perlahan-lahan menuju jembatan itu. Ia abaikan
palang bertulis peringatan. Terus ia menyusur
melalui jalur khusus pejalan kaki. Hingga di
tengah-tengah, ia berhenti kemudian memandang ke
bawah. Sejumlah kapal merapat di bawah, di dekat
tiang penyangga. Orang-orang ramai di sana.


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepertinya masih memeriksa kondisi bangunan beton
tersebut. Dari kabar angin yang berhembus,
136 kerusakan telah berhasil diatasi. Mungkin saja, ini
terakhir mereka mengecek kesiapan sang jembatan
sebelum dibuka untuk umum.
"Let's we check it out...." Radon memejamkan
mata, kedua tangannya menggenggam pembatas di
sisi jembatan. Getaran halus tiba-tiba terasa pada pembatas
itu. Kemudian menjalar hingga ke seluruh bagian
jembatan, termasuk tiang penyangga. Orang-orang
yang ada di bawah sana masih belum menyadari hal
tersebut. Hingga beberapa detik kemudian, suara
sambungan rangka baja dan beton mulai terdengar
berderik. Orang-orang di bawah sana diam. Tegang,
sembari kepala-kepala mereka mendongak ke atas.
Mereka khawatir jembatan itu rubuh, namun sama
sekali tak ada yang melangkah untuk menjauh.
Hingga pada akhirnya, derikan itu hilang setelah
terasa kurang lebih satu menit. Getaran halus tadi
pun juga tak menjalar lagi.
Radon membuka matanya. Ia tertawa kecil,
"Jembatan ini masih kuat." Kemudian ia beranjak
dari sana melenggang tenang bagai tak pernah
terjadi sesuatu. Berbeda dengan dirinya, orang-orang
yang ada di bawah, berkumpul berdiskusi, sepakat
bahwa Jembatan Kapuas I belum siap untuk
dioperasikan besok pagi. 137 *** "Ada apa kau memintaku kemari?" Via
tolah-toleh. Tak enak rasanya duduk berhadap-hadapan dengan pelanggan kafe mengingat statusnya sebagai karyawan di tempat itu.
Takut ia orang-orang mengawasi. Takut pula ia
pemilik kafe melihat kejadian itu. Tapi, mau
bagaimana lagi" Lambaian tangan Alwi tadi
menyeretnya mendekat. Jadilah ia duduk, tetapi
punggungnya tak jejak di sandaran kursi.
Dicari-carinya muka Farah, berharap si rekan
kerja mau membantu. Namun yang ia dapat malah
acungan dua jempol dari jauh, serta ucapan, "Good
luck!" Walau tak bersuara, gerakan bibir Farah dapat
terbaca dengan mudah. Alwi memutar-mutar sedotan dalam gelas jus
alpukat yang ia pesan. "Aku baru saja dari rumah
Danti, Kakak Senior."
Jawaban Alwi segera berbalas sayup, "Oh...."
Pertanyaan terjawab kini, mengapa Danti menelepon
bahwa ia sudah tahu siapa pengagum rahasianya itu.
"Lalu...?" lanjut Via.
"Setelah dari rumah Danti, aku kemari. Sudah
lama tidak berjumpa Kakak Senior," Alwi membalas
salah tanggap. 138 "Maksudku, apa saja yang kau lakukan sewaktu
mengunjungi Danti?" Via meluruskan pertanyaannya. Alwi tampak berpikir beberapa detik. "Aku
memberinya bunga." "Terus...?" "Aku pulang." Via mengernyit. "Langsung pulang?"
Alwi mengangguk. "Iya."
"Tidak mengatakan apa pun?"
Alwi menggeleng. "Tidak."
"Berkata 'apa kabar'?"
Alwi menyeruput jus alpukat. "Tidak,"
jawabnya lagi, lalu lanjut menyeruput minuman
dingin tersebut. "Aku cinta kamu?"
Seketika itu Alwi terbatuk-batuk. Ia tersedak jus
alpukat. Andai tak cepat menutup mulut, mungkin
jus itu sudah muncrat-muncrit dari mulutnya.
"Maksudku, kau juga tak katakan itu pada
Danti?" 139 Sembari menenangkan tenggorokannya, Alwi
balas menggeleng. "Lho" Kenapa?" Via jelas bingung. Alwi sudah
lama mengincar Danti. Begitu bertemu, mengapa
hanya menyampaikan bunga tanpa berucap sepatah
kata pun" Alwi berdehem dua kali. Dikembalikannya
sedotan yang tadi ikut terbawa tangannya saat
refleks menutup mulut karena tersedak. "Aku gugup.
Aku tak pandai merangkai kata-kata. Tak mungkin
aku tiba-tiba datang, lalu mengucapkan 'aku cinta
kamu'." Benar juga batin Via. "Bagaimana jika aku
bantu?" tawar Via kemudian. "Danti tadi menelepon,
ia akan kemari. Aku akan siapkan meja untuk kalian
berdua. Siapa tahu dengan didukung suasana kafe
seperti ini, kau bisa mengutarakan isi hatimu."
Bukannya menjabat tangan Via dan berterima
kasih seperti yang sudah-sudah, kini ia justru
tiba-tiba berdiri. "Danti kemari" Sekarang?"
"Iya," jawab Via polos.
Alwi celingak-celinguk, ia takut Danti yang
diceritakan benar-benar sudah tiba di kafe. Yakin
gadis incarannya itu tak terlihat, ia lalu
meninggalkan kursinya untuk mendekati Via. Ia
berbisik, "Terima kasih atas tawarannya, tapi aku
belum siap." 140 Seketika itu, Via pun meragukan kejantanan
sosok pemuda yang kini berbisik di sampingnya.
Belum habis rasa herannya, sosok itu justru meraih
kedua tangannya untuk berjabat erat.
"Tapi, aku sangat-sangat berterima kasih atas
segala bantuan Kakak selama ini. Aku pulang dulu."
Alwi ngeloyor pergi. Langkahnya lebar-lebar.
Baru beberapa langkah saja, ia sudah tak tampak.
Tinggallah Via tercenung. Di hadapannya, ada gelas
yang masih berisi jus alpukat. Tinggal sedikit
memang. Tapi, itu belum dibayar.
141 142 BAB 9 Via membolak-balik ponsel atas pangkuannya. Baru saja Andre mengiriminya pesan.
Lagi-lagi meminta maaf tidak dapat menjemputnya
pulang. Menegaskan bahwa dirinya benar-benar
keluar kota. Ada urusan keluarga.
Tak apalah, pikir Via. Lagi pula, ia kini sudah
bersama sahabat dekatnya. Walau sepertinya dalam
masalah, Danti tetap bersikukuh mengantarnya
pulang kerja. Walau juga telah jauh larut malam.
Berhenti memainkan ponsel, Via melirik ke
samping. Danti masih saja diam semenjak mereka
memasuki mobil. Matanya lurus ke depan, tangannya
terus melekat pada roda kemudi. Laju mobil juga
ditahan oleh Danti pada kecepatan yang stabil.
Tapi, tunggu dulu! Via memang tak memandang speedometer. Ia
pun tak bisa menjangkau meteran itu. Namun,
perasaannya jelas merasakan. Mobil tidak melaju
dengan stabil. Kecepatannya pelan-pelan menanjak.
Tak kentara memang di mula-mula. Namun
sedikit-sedikit mulai bisa diyakini betul.
143 Lain penglihatan Via, lain pula di alur mata
Danti. Ia mengemudi seraya terus memupuk subur
kebencian di dadanya. Alhasil, berjumpa Via di kafe,
menikmati hidangan di sana sembari berkeluh-kesah,
tak jua melunturkan kekesalannya terhadap pemuda
yang malam ini muncul di kediamannya. Pemuda
yang ternyata selama ini memata-matainya,
mengetahui segala yang ia suka.
Makin lama, Danti merasa pandangannya
menyempit. Jalan di depan seolah menjauh. Posisinya
kini duduk, bagai terseret kian ke belakang.
Bunyi-bunyi di sekelilingnya, termasuk deru mobil
yang mengisi udara kabin, pun mulai tak terdengar.
Semua senyap. Hingga suatu ketika. Tampak sosok pemuda
menyeberangi jalan. Walau pandangannya menyempit dan mengecil, jelas itu pemuda yang
membawakannya kesengsaraan. Bukan malah
menginjak rem, Danti masih asyik mendorong pedal
gas hingga kecepatan mobil kian naik. Dan....
BRAK! Pemuda itu telak dihantam moncong mobil.
Tubuhnya terhempas di kap mesin. Membuat seisi
kabin berguncang. Seketika itu pun barulah Danti
tersadar. Cepat-cepat ia menginjak rem. Dengan
kecepatan mobil yang sekarang, mobil akhirnya
berhenti dalam posisi melintang di tengah jalan.
Beruntung, malam telah sangat larut, pengendara di
jalan raya tak nampak. Jadilah ia tak lagi disumpahi
serapah seperti kejadian tempo hari.
144 "Aku menabraknya!"
menabrak pemuda itu!"
Danti histeris. "Aku "Menabrak apa?" Via tak kalah kaget. "Kau
menabrak batu!" Danti tak mendengar perkataan itu. Cepat ia
melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Ia
coba mencari-cari sosok pemuda yang tadi ia hantam
begitu dahsyat. Namun, sejauh matanya mampu
melihat, hanya hamparan aspal jalan raya di bawah
naungan penerangan lampu jalan. Hanya mobil
mereka dan mereka berdua yang kini tampak. Tiada
orang lain, begitu pun pemuda itu.
"Tadi, aku jelas melihatnya. Aku menabrak
Alwi!" "Kau bicara apa?" Via yang baru keluar dari
mobil dibuat bingung. Ia sama sekali tak melihat ada
orang yang ditabrak oleh Danti. Yang ia tahu, Danti
menabrak sesuatu " sepertinya batu " yang membuat
mobil berguncang. Begitu mobil berguncang, Danti
tiba-tiba menginjak rem, dan kini mereka berhenti
tepat di tengah jalan. Melintang. Goresan hitam ban
mobil yang mengerem itu juga tampak meliuk
membekas. "Lihat" Hanya kita di sini."
Danti masih tampak bingung. "Tadi...."
"Kau hanya terbawa emosi. Pikiranmu jadi
kacau," ingat Via. 145 Walau belum sepenuhnya percaya, Danti
akhirnya kembali ke dalam mobil. Bukannya
memasang kembali sabuk pengaman, ia justru
melabuhkan keningnya di roda setir. "Jika berjumpa,
aku harus buat perhitungan dengan orang itu,"
ujarnya lirih kemudian. "Jika kau ingin buat perhitungan dengannya,
maka kau harus mengemudi dengan benar. Pastikan
nyawamu cukup sampai besok," tegur Via.
"Terima kasih nasihatnya...," sahut Danti. Masih
meletakkan keningnya pada kemudi. "Aku menginap
di rumahmu malam ini. Aku perlu teman tidur."
"Kalau begitu, kapan
pulang?" Via menagih janji.
kau mengantarku *** Radon memejamkan mata. Tubuhnya tak
bergeming walau angin bersuhu rendah menerpanya
dari berbagai arah. Ia tetap berbaring berbantalkan
lipatan tangan di salah satu tulangan baja di atap
Jembatan Kapuas I. Alarm jam tangannya menjerit tiga kali. Tak
begitu keras, namun masih terdengar di sela-sela
deruan angin. Radon membuka mata dan menarik
tangan kirinya dari belakang kepala. Sudah lewat
sepuluh menit dari tengah malam. Ia lalu
146 menegakkan punggungnya untuk kemudian duduk di


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas tulangan baja itu. Tenggorokannya yang kering mengingatkannya
sesuatu. Ia toleh ke arah yang tadinya berada di
ujung kepalanya saat berbaring. Ada sebuah kaleng
minuman soda. Ia raih, lalu cepat menuangkannya ke
dalam mulut. "Sial!" ujarnya pula. Baru sekali teguk, isi kaleng
sudah lenyap. Karena tak ada gunanya ia simpan,
maka kemasan logam itu ia lempar menjauh dari
badan jembatan. Sebelum tertarik gravitasi dan jatuh
ke tengah sungai, Radon mengarahkan telapak
tangan kanannya pada kaleng tersebut, kemudian
mengepal dengan cepat. Benda berbentuk tabung itu
pun seketika penyok mengkerut berbentuk bola. Ia
luruh jatuh ke sungai dan akhirnya tenggelam.
Menyusul kepergian sang kaleng, Radon
menerjunkan tubuhnya dari atap jembatan. Tentu
saja bukan ke dalam sungai, melainkan ke atas jalan
raya yang membentang di bawahnya. Tak sulit bagi
Radon untuk mendarat dengan mulus, walau tinggi
atap jembatan mencapai jarak lebih sepuluh meter.
Begitu menjejak aspal, Radon segera menyambangi sepeda motornya yang diparkir di sisi
jembatan. Ia naiki sembari menyalakan mesin.
Namun belum sempat ia memasukkan persneling,
deruan knalpot dan mesin kendaraan bermotor lain
dari arah depan dan belakangnya mengalihkan
perhatian Radon. 147 Puluhan sepeda motor berbondong-bondong
mendekat. Pengendaranya rata-rata bertubuh kekar
dan bertato. Sebuah mobil minibus juga ikut di
belakang rombongan sepeda motor yang tiba dari
arah depan Radon. Sembari menyaksikan mereka
mendekat, Radon menurunkan kembali kaki
penyangga sepeda motornya dan turun dari
dudukan. Rombongan-rombongan itu lalu berhenti
kira-kira dua puluh meter dari Radon berdiri. Pintu
minibus yang parkir di antara mereka kemudian
terbuka. Seseorang turun menyeret-nyeret seorang
yang lain. Orang yang diseret itu tangannya terikat di
belakang punggung, mulutnya dibekap kain hitam,
wajahnya babak belur berdarah-darah. Sementara
orang yang menyeret-nyeret, rambutnya gondrong
melewati bahu dan berwajah oriental.
Mesin motor-motor itu akhirnya mati. Pemuda
berwajah oriental tersebut maju ke depan lalu
mendorong orang yang ia seret hingga jatuh
bersimpuh di jalan. "Anjing!" makinya dengan wajah merah padam.
Tak puas memaki, ia lalu meludah ke kepala pria
yang tadi ia seret. Seolah tak tertarik dengan pertunjukan kasar
yang baru saja ia lihat, Radon kemudian melirik jam
tangannya. "Kalian terlambat dua belas menit."
Sama seolah tak tertarik, pemuda itu justru
membelakangi Radon dan berteriak, "Cepat!"
148 Seseorang lain turun dari mobil minibus. Ia
memegang kapak besar dan sebuah karung yang
sepertinya berisi. Sangat berat tampaknya, sehingga
karung itu harus diseret keluar dari mobil. Begitu
karung tersebut dijatuhkan ke jalan, cairan merah
serta-merta memuncrat di atas aspal. Separuh karung
pun dibaluri warna senada.
Karung itu terus diseret dan akhirnya
dilontarkan ke hadapan Radon begitu saja. Karena
ujung karung yang tak diikat, isinya berkeluaran.
Lima kepala manusia berguling-guling menyebar di
tengah jalan. Radon hanya melirik sekilas, lalu kembali
menghadap ke arah gerombolan di depannya. Kapak
besar tadi diserahkan kepada pemuda yang bermuka
marah memaki-maki. "Kami sekeluarga sudah muak di bawah kendali
kalian terus!" Jeritnya kemudian sembari mengacung-acungkan kapak. Radon tak pernah
berjumpa dengannya, tapi dari telepon yang ia
terima dari Braham, pemuda itu tampaknya putra
sulung seorang kepala mafia di Singkawang.
Semenjak ayahnya jatuh sakit, ia yang mengambil
alih bisnis keras tersebut.
"Kau yang namanya Lee?" sambut Radon
dingin. "Kau tak perlu tahu! Yang kami mau, kau bawa
pulang oleh-oleh kami itu. Tunjukkan ke bosmu!"
149 pemuda itu menunjuk-nunjukk kepala-kepala yang
tergolek dengan ujung kapaknya.
"Oh iya, masih ada yang kurang." Ia lalu
menerjang punggung tawanannya hingga wajahnya
jatuh tersungkur jalan. "Aku tambah oleh-olehnya." Dan, pemuda yang dipanggil Radon
dengan nama Lee tersebut kemudian mengayunkan
kapak besarnya tepat ke batang leher orang tersebut.
Satu lagi kepala tergolek. Darah bersimbah di
mana-mana. Lee terbahak-bahak. Ditendangnya
kepala itu ke arah Radon. Radon masih tak
bergeming. "Bawa pulang itu!" tunjuk-tunjuknya lagi.
Radon justru kembali menjawab dingin, "Maaf,
aku masih lama di sini." Jawaban tersebut membuat
muka Lee makin merah padam. "Lagi pula, aku
mendapat tugas dari Braham. Karena tampaknya
kalian benar-benar ingin melepaskan diri, maka aku
harus membersihkan kalian."
"Kurang ajar!" bentak Lee serta-merta. Lalu,
ditunjuk-tunjuknya muka Radon dengan kapak yang
berlumuran darah. "Kau mau kucincang?"
Radon tersenyum tipis. "Aku atau kalian yang
akan berakhir seperti itu?" Radon memutar
tubuhnya. Ia sudah bosan memandangi Lee. Jadi, ia
berbalik memandangi rombongan sepeda motor lain
yang tiba dari arah sebaliknya.
150 Panas kuping Lee mendengar ucapan tersebut.
Terlebih dari orang yang ia harapkan gentar akibat
atraksinya tadi. Sumbu pendek Lee tersulut. Kapak yang ia
genggam akhirnya dibuat terbang. Ia lempar ke arah
punggung Radon yang hanya dilindungi kemeja dan
jaket kulit. *** Puluhan pasang mata terkesiap. Mata kapak
yang menghantam punggung Radon, yang sebelumnya telah memenggal kepala puluhan orang,
kini hancur berantakan. Satu-satunya yang bisa
dikoyak oleh senjata tajam tersebut adalah jaket dan
kemeja Radon. Koyaknya melintang menganga,
sedangkan empunya masih tegap berdiri. Malah, tak
bergeming sedikit pun. Semua diam. Terperanjat mereka mendapati
kejadian demikian. Bahkan, Lee yang telah
berkali-kali membunuh orang tak dapat menyembunyikan ketakjubannya. Seorang pemuda
berdarah keturunan Eropa memiliki ilmu kebal"
Radon memutar lagi menghadap Lee. "Jadi,
kalian yang kemari atau aku yang ke sana?"
Persetan! Kepala preman bahkan orang penting
saja bisa ia cacah, kenapa tidak dengan bocah impor
151 sok sombong itu" Tapi entah kenapa, Lee merasa kali
ini sungguh berbeda. Maka, ia pun menanggapi
tantangan Radon dengan memerintahkan seluruh
anak buahnya turun menghajar Radon.
Berduyun-duyun mereka menyerbu bagai
ombak pasang. Tiap-tiap mereka berbekal parang
dan tongkat besi untuk melancarkan aksi. Tanpa
segan mereka ayun benda-benda itu ke tubuh Radon
yang masih setia berdiri di tempat. Hingga kemudian,
terdengar orang kesakitan bersahut-sahut, muncratan darah, dan tubuh-tubuh ambruk.
Radon membiarkan parang-parang itu mengoyak jaketnya. Namun secepat kilat pula, ia
sambar balik tangan-tangan yang menyerang,
memelintir, bahkan menariknya hingga copot.
Para pembawa tongkat pun tak kallah luput. Ia
cengkeram, lalu ia lempar ke tiang-tiang baja
jembatan. Beberapa terhempas punggungnya hingga
terlipat dua. Dan beberapa yang lain terhempas
kepalanya hingga hancur berserak.
Lee gemetar. Untuk pertama kalinya selama
menjalani profesi penjagalan, baru kali ini lututnya
dibuat mati rasa. Satu pemuda yang seharusnya jadi
makanan pesut di Sungai Kapuas, kini membuat para
pengikut royalnya bagai binatang hina. Terkoyak
tercabik. Darah dan otak mereka berceceran di
mana-mana. Tak satu pun luput. Padahal, banyak
bawahannya yang mencoba kabur begitu sadar
152 takkan mampu menundukkan Radon. Namun,
mereka juga ternyata tak mampu melarikan diri.
Ada yang cepat-cepat menaiki sepeda motor,
namun Radon melemparinya dengan tongkat besi
hasil rampasan hingga tengkoraknya tertancap.
Beberapa yang lain juga terbirit-birit begitu melihat
Radon mulai mengoyak tubuh rekan-rekannya bagai
selembar kertas tipis. Tapi lagi-lagi, Radon
melihatnya lalu melemparinya dengan parang,
hingga dadanya tertembus.
Lee berpeluh. Peluhnya besar-besar dan dingin.
Tepat di depan matanya, Radon menangkap anak
buahnya yang terakhir. Tangan orang itu ia
patahkan, hingga tak dapat melawan. Tubuhnya lalu
diangkat tinggi, kemudian dihempas di atas lutut,
hingga putus menjadi dua.
Jasad yang terpotong itu lalu dilempar begitu
saja, melewati sisi jembatan akhirnya jatuh ke
sungai. "Sial!" Lele memang pembunuh, tapi ia tak siap
mati. Melihat sekelilingnya digelimpangi mayat dan
lautan darah, ia yakin tak punya harapan menang
melawan Radon. Yang terlintas di kepalanya ialah
segera kabur. Maka, lekas ia berputar ke arah mobil
dan berlari sekencang-kencangnya.
Radon biarkan saja laki-laki yang semula
sombong itu kini berlari bagai banci. Ia pun lebih
memilih memungut sebilah parang dari jalan.
Panjang parang itu mungkin lebih dari satu meter.
153 Parang itu kemudian ia lempar ke arah Lee yang
masih terbirit-birit. Hanya tinggal mobil, parang yang baling-baling itu belakang. Membuat bagian. beberapa meter lagi mencapai
meluncur berputar-pputar bagai
menyambar tubuhnya dari tubuh Lee terbelah menjadi dua
154 BAB 10 "Kau duluan saja...."
Ucapan Danti membuat Via yang sibuk
mencopot sabuk pengaman menoleh sebentar. "Kau
tidak ingin sama-sama masuk kampus?"
"Aku baru ingat masih ada urusan."
Mencurigakan pikir Via. Tapi, sudahlah.
Paling-paling, ada kaitannya dengan perihal tadi
malam. Dendam itu ternyata tidak hilang walau
dibawa tidur.

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke...." Via kemudian membuka pintu mobil
dan turun. "Aku masuk ke kampus duluan. Jaga
dirimu baik-baik." Pintu mobil ditutup, bertepatan
dengan itu terdengar Danti menyahut padanya.
"Apa maksudmu dengan ucapan itu?"
Via tergelak dan segera beranjak meninggalkan
pelataran parkir. Sepeninggalnya Via, Danti hanya mampu
menghela dan menyandarkan tubuhnya pada jok
mobil dalam-dalam. Dulu, sebelum tahu, dirinya
155 bingung membongkar kedok asli si pengagum
rahasia. Tapi kini setelah ketahuan, ia kembali
bingung. Bagaimana caranya balas dendam" Di mana
laki-laki iseng itu sekarang"
Satu-satunya petunjuk bagi Danti adalah orang
yang ia cari berkuliah di tempat yang sama. Danti
pun mulai memperhatikan sekeliling, mengintip dari
balik jendela mobil. Jaga-jaga jika Alwi si maniak
menampakkan batang hidung. Soal bagaimana ia
memberi perhitungan nanti, itu perkara nanti. Tapi
dalam benaknya sendiri, sudah terbayang-bayang ia
menerjang Alwi hingga terlempar jauh.
Namun, ditunggui hampir seperempat jam,
pemuda itu masih tak terlihat. Danti mulai merasa
pesimis bisa menjumpainya di pelataran parkir. Bisa
saja, Alwi tak berkuliah hari ini. Atau jangan-jangan..., ia berkuliah, tetapi lebih dahulu tiba
di kampus. Brengsek! Danti cepat-cepat melepas rangkulan
sabuk pengaman yang sedari tiba belum ia copot.
Bergegas pula ia turun dari mobil dan membanting
pintunya untuk ditutup. *** Pagar "Dilarang Lewat" pagi ini bertambah
temannya. Garis polisi melintang memberi tahu
bahwa Jembatan Kapuas I tak dapat dilewati bukan
156 semata akibat ditabrak tongkang. Terlebih sejumlah
mobil polisi dan ambulans berderet di depannya.
Beberapa petugas berseragam coklat tampak sibuk
memastikan tak ada orang lain selain mereka
mendekati jembatan. Sementara orang-orang dari
ambulans tampak turun dari mobil membawa tandu
dan kantung-kantung mayat dengan jumlah tak
sedikit. Wiwid yang dalam perjalanan menuju kampus,
memutuskan untuk mendekat. Terlebih, dilihatnya
seorang polisi berpangkat briptu keluar dari sela dua
mobil sembari memapah rekannya yang berwajah
pucat. Ia dudukkan rekannya di trotoar, lalu
menyodorinya sebotol minuman mineral ukuran 1
liter. "Eh, kita mau ke mana?" Alwi protes melihat
rute yang ditempuh Wiwid tiba-tiba berubah. "Kita
tak sempat singgah. Bisa telat."
"Penumpang diem!" Wiwid menyahut galak.
Alwi sontak tutup mulut. Motor matiknya ia parkir tak jauh dari deretan
mobil polisi. Begitu turun, cepat-cepat menghampiri kedua polisi muda yang pernah
menjadi kakak kelasnya semasa SMA dulu. Karena
mereka agak jauh dari jagaan polisi lain, Wiwid
dengan mudah menjangkau keduanya.
"Bang Rauf!" sapanya tak sungkan. Polisi yang
berdiri, yang tadi memapah dan menyodorkan air
mineral, kemudian menoleh.
157 "Wiwid?" Briptu Rauf tampak kaget menjumpai
adik kelasnya menampakkan muka di TKP.
"Kenapa Bang Iman?" Wiwid menunjuk briptu
lain yang terduduk di trotoar.
Briptu Iman sepertinya tak peduli. Ia
berkumur-kumur dengan air mineral yang ia terima
dari Briptu Rauf, lalu sisanya ia pakai untuk cuci
muka. "Dia tak tahan lihat mayat," jawab Briptu Rauf.
Wiwid melongo, "Bukannya Bang Iman sering
menangani kasus kecelakaan" Di jembatan ada
kecelakaan, kan" Ramai sekali ambulansnya.
Kecelakaan beruntun, kah?"
Briptu Rauf menggeleng-geleng. kecelakaan. Sepertinya pembunuhan."
"Bukan "Pembunuhan apa?" sambar Briptu Iman. "Itu
pembantaian!" Wiwid tambah melongo. Bingung belum
mengerti pembicaraan kedua polisi temannya
tersebut. "Aku sering menangani kasus kecelakaan dan
pembunuhan. Tapi tak pernah separah ini...," ratap
Iman kemudian. "Mutilasi, Bang?" terka Wiwid.
158 "Lebih parah. Liat jak sorang." Iman menarik
napas panjang beberapa kali. Ia coba menenangkan
isi perutnya yang serasa bagai dikocok-kocok. Tadi di
jembatan, ia muntahkan semua makan paginya
karena melihat mayat-mayat di sana. "Kayaknye,
seminggu tak bise makan daging."
"Numpang lihat!" Wiwid nyelonong di antara
kedua briptu tersebut. Namun, Briptu Rauf lebih gesit
menangkap tubuhnya yang mungil bila mereka
berdua disandingkan. "Iman saja bisa begitu, apalagi kamu!" ingat
Briptu Rauf. "Lagi pula, lokasi dijaga ketat. Tidak
boleh ada yang masuk."
Wiwid memonyong. Terpaksa ia kembali ke
posisi semula, di samping Alwi. Sedangkan pada saat
itu, Alwi justru asyik menatap agak ke atas. Ke arah
jembatan yang tengah diisi oleh puluhan polisi dan
petugas medis. Jembatan Kapuas I memiliki postur
sangat tinggi. Sehingga dari posisi mereka berdiri di
dekat jalan masuk jembatan, puncak Jembatan
Kapuas I sudah dapat dilihat dengan jelas, termasuk
orang-orang yang sibuk di atas sana. Meski begitu,
apa yang mereka selidiki dan kumpulkan tak terlihat
betul. Hanya hamparan warna merah yang bisa
tertangkap mata dengan jelas.
Wiwid yang tertarik ikut mendongak, sampai
harus memicingkan mata. "Itu... apa" Merahnya
banyak sekali. Darah?"
159 "Ya, Tuhan. Aku pernah melihat ini," seloroh
Alwi tiba-tiba berujar. Yang lain serentak menoleh.
"Kau pernah melihatnya" Kapan" Di mana"
Siapa pelakunya" Berapa banyak?" buru Briptu Rauf
cepat. Alwi tergagap, "Ma..., maksudku di film.
Pelakunya pasti terinspirasi film. Pasti seorang
psikopat yang mampu mengoyak korbannya seperti
itu." Alwi lalu melirik jam tangan, lalu menangkap
tangan kanan Wiwid, kemudian menyeretnya
menjauhi kedua polisi itu. Alwi mengajaknya kembali
ke sepeda motor. "Cepat, Wid! Kita sama-sama ada
kuliah pagi! Permisi, Bapak-bapak!"
Kedua polisi itu menatap heran. Briptu Iman
yang telah merasa perutnya tak lagi bergelombang
seperti sebelumnya, kemudian berujar, "Dia bohong.
Aku jamin dia bohong. Kita tak pernah mengatakan
pelakunya hanya seorang. Dan, ia takkan mungkin
bisa melihat kondisi korban hanya dari sini."
Briptu Rauf menimpal, "Maksudmu, teman
Wiwid itu pelakunya?"
Briptu Iman bohong soal film." menggeleng, "Maksudku, dia Seorang polisi lain menghampiri mereka
tergesa-gesa, "Rauf! Iman!" sapanya begitu tiba.
Tegas, namun bervolume pelan. Tak ingin polisi lain
menoleh. "Komandan tadi dapat telepon dari intel.
Katanya, ada seorang penduduk di Gang Tiga di tepi
160 Sungai Kapuas. Ia meminjamkan ember pada seorang
pemuda berlumuran darah. Tapi..., tidak ada luka di
tubuhnya." Briptu Rauf dan Briptu Iman saling toleh.
*** Danti telah puas berputar-putar mengitari
kampus. Namun menjelang matahari tepat di pucuk
kepalanya, orang yang ia cari tak kunjung
menampakkan batang hidung. Belum cukup sampai
di situ, kejengkelannya kian berlipat ketika
memutuskan untuk kembali ke mobil. Telah terjepit
secarik kertas pada sweeper mobilnya. Secarik kertas
bertulis tangan yang sangat jelek.
"Maafkan atas kejadian tadi malam. Aku hanya
ingin mengutarakan isi hatiku."
Lancang! Danti menghempas kap mobil,
meronyok kertas itu, lalu membuangnya. Ia pun
cepat-cepat masuk dan menyalakan mesin. Siang ini
ada latihan karate di GOR Pangsuma. Mengingat Alwi
salah satu anggota perguruan yang taat, ia dapat
dipastikan menghadiri latihan sore ini. Kecuali, jika
ia termasuk laki-laki pengecut.
Tapi benar saja. Walau tak berjumpa di kampus,
Alwi muncul juga di tempat latihan. Saat itu, Danti
tak menyadari Alwi telah tiba, bahkan terus
161 menatapnya dari jauh. Pemuda itu
Keraguan berkecamuk dalam hatinya.
bimbang. "Jika kau sudah berani menampakkan mukamu
di depan Kak Danti, maka tak ada jalan lain untuk
mundur. Berhentilah menguntit diam-diam. Kau
harus terang-terangan. Jika tidak begitu, Kak Danti
akan menganggapmu laki-laki pengecut!" Nasihat
Danti yang terus terngiang itu tampak benar adanya.
Namun, Alwi masih perlu untuk menimbang-nimbang, hingga kemudian....
"Cepetan! Jadi cowok, kok, lelet?" ucapan Danti
yang lain menyodoknya hingga tersadar.
Maka, pelan-pelan Alwi lalu mendekati Danti. Ia
baru saja duduk di sebuah kursi panjang. Wajahnya
masih saja ditekuk seribu, dengan kerutan
nenek-nenek di dahi. Alwi tiba di sampingnya,
kemudian menyodorkan tangan.
Danti menoleh. Matanya kontan membelalak
lalu berdiri dengan telunjuk mengacung. "Kau?"
Alwi kaget sedetik, lalu balas dengan cengiran.
"Ya..., Alwi...," sahutnya. "Aku mau minta maaf
kejadian tadi malam. Aku mau...."
"Komite!" terperanjat. pekik Danti "Eeeh...?" 162 tiba-tiba. Alwi *** Komite yang Danti maksud tak lain adalah adu
tanding. Seketika itu terlintas di benaknya ia ingin
jotos-jotosan dengan Alwi. Dan tak kurang dari lima
belas menit setelah Danti mengutarakan tantangan
itu, mereka kini sudah berada di tengah gelanggang
olah raga, berseragam karate lengkap, dan siap
mengeluarkan jurus masing-masing.
"Aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi..., tampaknya akan sangat seru!" seorang siswa
baru berambut kriwil tampak antusias melihat
keduanya berdiri tengah-tengah arena. Ucapannya
disahut oleh rekan yang lain.
"Jika Simpai tahu, habislah kita." Ya, karena
mereka mengadakan pertarungan ini tanpa
sepengetahuan pelatih. Kembali ke tengah arena, Danti telah siap
dengan kuda-kudanya. Sementara Alwi, tampak
gemetar. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi
situasi demikian. Ia tak mungkin mengalah, karena
Danti tak menginginkan itu. Ia juga tak mungkin
melawan, karena Danti seorang wanita sekaligus


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang ia suka. Segala opsi menjadi tidak dapat
dipilih. "Apa... kita tidak bisa bicarakan ini baik-baik...?" Alwi masih mencoba jalur negosiasi.
163 Danti mengencangkan sabuknya yang telah
berwarna hijau. Ia kemudian menyahut, "Selama ini,
kau telah meneror hidupku. Kupikir setelah kau
mendapat bibiku, teror itu akan sirna. Tapi
rupanya..., kau masih belum puas. Laki-laki
sepertimu harus dihajar!"
Alwi melenting mundur. Aura gelap di sekujur
tubuh Danti tampaknya menyebar mengisi ruang di
sekitar mereka. "Tunggu! Tunggu!" Alwi masih mencoba. Ia
takkan berhenti mencoba. Tak ingin ia melecetkan
kulit seorang gadis yang selama ini ia cintai.
Sekalipun gadis itu ingin menghajarnya sampai mati.
"Aku dan bibimu tidak ada hubungan apa-apa!"
Semua penonton terbelalak. Mereka baru sadar
apa yang terjadi. Si kriwil yang semula antusias,
tambah semangat. Ia comot kacang garing milik
temannya, kemudian mulai ngemil sembari
komentar, "Tak kusangka, ini ternyata masalah
asmara. Cinta segitiga!"
"Aku dan bibimu tidak pacaran seperti yang kau
sangka! Kami hanya....!"
"Bohong!" Tak perlu menunggu lagi, Danti
melancarkan pukulan lebih dulu. Berkali-kali, tapi
Alwi mampu mengelak. Tak bisa dengan pukulan,
Danti mencoba kombo dengan terjangan. Berkali-kali
juga, Alwi mampu menghindar. Ia berguling-guling,
kemudian tiba-tiba saja sudah berhenti di belakang
Danti beberapa meter. 164 "Kau harus percaya! Jika tidak percaya, tanya
saja bibimu! Apa perlu aku telepon?"
Tunggu dulu...! Alwi mengingat-ngingat. Ia
ternyata tidak punya ponsel. Otomatis, ia tak dapat
menelepon Mita untuk konfirmasi. "Mampus aku...!"
"Katakan saja kau tak mau melawanku. Kau
pengecut!" Danti berbalik dan kembali menyerang.
Secepat kilat, tanpa jeda, tak memberi kesempatan
Alwi untuk balas menyerang atau berbicara untuk
meyakinkan Danti bahwa tak ada hubungan spesial
antara ia dan bibinya. Alwi berguling lagi. Usai berguling, ia tak
langsung berdiri. Ia masih berpikir bagaimana
menyelesaikan turnamen mereka berdua. Jika
mengelak terus, takkan pernah selesai. Jika balik
menyerang, tak ada jaminan ia bisa menghentikan
Danti tanpa menciderainya.
Menyerah saja! Tapi..., dengan cara yang
terhormat. Tidak menyerah begitu saja. Biarkan
Danti menghajarnya sampai puas. Sampai babak
belur pun tak masalah. Yang penting Danti bisa
berhenti. Bagus! Yang itu saja! Maka, Alwi berdiri dengan mantap. Ia berputar,
lalu tiba-tiba sebuah bogem mentah menghajar telak
mukanya. Alwi terhuyung nyaris tersungkur.
Hidungnya berdarah. Belum sempat ia yakin itu baru
saja dihajar oleh Danti, sebuah sepakan mendarat di
165 sisi kiri kepalanya. Saking kuatnya, membuat
tubuhnya berputar sekali di udara, sebelum akhirnya
jatuh terjerembab. Penonton bersorak begitu itu
terjadi. Namun, gara-gara menyepak kepala Alwi, Danti
pun merasakan nyeri amat sangat di kaki kanannya.
Ia terhuyung dan nyaris tersungkur. Dipeganginya
lutut kanannya. Sakit di ujung kaki, telah menjalar
hingga ke lutut. "Bangsat. Kepalanya keras sekali," umpat Danti
sembari menahan sakit. "Ampun..., tendangannya kuat sekali...." Alwi
masih mampu bergerak. Pelan-pelan ia menaikkan
tubuhnya. Tapi, tendangan di kepala telah membuat
penglihatannya memburam. Keseimbangannya juga
terganggu parah. Begitu ia sudah tegak di atas dua
kaki, nyaris beberapa kali ia hampir jatuh.
"Kurang ajar! Laki-laki brengsek itu masih bisa
berdiri!" Danti geram menyaksikan punggung itu
kembali tegak. "Tidakkah kau mengerti?" Tiba-tiba Alwi
berteriak. Semua diam. Danti tercekat. Alwi berputar.
"Pertarungan ini sia-sia belaka! Pahamilah, bahwa
tak ada seorang di muka bumi ini yang mampu
melukai orang yang ia cintai." Sisi romantisme Alwi
memancar. Beberapa siswi perempuan dibuat
terhanyut. "Aku... mencintaimu. Bahkan jauh
sebelum kau menyadarinya!" Alwi lagi-lagi berteriak,
166 menyentak setiap yang menengar, menghanyutkan
yang telah hanyut. Untuk beberapa detik, Danti juga ikut tersepona,
tapi kebenciannya terlanjur besar. Ia segera siuman.
"Jika memang kau membenciku, dan cara ini
yang kau pilih. Maka..., aku tak dapat menolaknya.
Lakukanlah yang kau inginkan."
Cukup ngelindurnya, Danti segera menyerbu.
Terjangannya mendarat telak di dada Alwi. Membuat
pemuda itu terhantam mundur, melambung,
kemudian jatuh terlentang. Belakang kepalanya yang
tak terlindung apa-apa membentur landasan yang
terbuat dari coran beton.
Alwi tergeletak. Kali ini, ia tak bisa lagi bergerak
untuk bangkit. Bahkan, berkedip pun tak mampu.
Hidungnya panas, penglihatannya buram, dadanya
sesak, kepalanya pusing setengah mati. Penonton
yang semula bersorak kegirangan tiba-tiba berubah
histeris. Darah menyebar dari balik kepalanya.
Membuat genangan yang kian lama kian melebar.
Dan ketika semua orang mulai berkerumun
mendekat, Alwi sudah tak ingat apa-apa lagi.
Gelap. 167 168 BAB 11 Seumur-umur, Danti tak pernah melihat darah
mengalir sebanyak itu. Seumur-umur, Danti tak
pernah menghajar orang hingga terluka. Seumur-umur.... Danti mematung di antara kerumuman
orang-orang. Matanya menatap lekat pada wajah
Alwi yang kini memucat, matanya terpejam, dihiasi
genangan darah di belakang kepala. Orang-orang
datang untuk membantu Alwi, namun dirinya tak
bergeming, padahal dirinyalah yang mengakibatkan
Alwi celaka. "Mobil! Kalian sudah telepon mobil ambulans"
Kita perlu mobil!" satu dari beberapa yang
mengangkat tubuh Alwi berteriak pada teman-temannya. Semua kontan bingung. Tak ada
yang berpikir untuk menelepon ambulans.
"Danti!" pekiknya kemudian. Danti terkesiap.
"Kau punya mobil! Antarkan Alwi ke rumah sakit!"
Tak ingat lagi dendamnya, Danti tiba-tiba
mengangguk. Cepat ia menyambar tasnya di pinggir
lapangan, merogoh kunci, dan menyerbu masuk
mobilnya di pelataran parkir. Begitu mesin mobil
169 menyala, teman-temannya yang memapah tubuh
Alwi pun tiba. Cepat mereka meluncur.
Di rumah sakit, Alwi digiring masuk ICU.
Berjam-jam ia di sana menjalani penanganan medis.
Menurut dokter, Alwi mengalami perdarahan luar
akibat luka benturan di kepala. Kondisi tersebut bisa
bertambah parah apabila ternyata, juga terjadi
perdarahan di otak. Danti pun diwanti-wanti oleh
sang dokter untuk siap mencari cadangan darah di
PMI karena tekanan darah Alwi kian menurun.
Darah yang mengalir belum bisa dihentikan. Dalam
kebimbangan yang menyergap seluruh tubuhnya,
Danti teringat sang bibi dan menelepon untuk segera
menyusul ke rumah sakit. *** Mita tiba di rumah sakit setelah beberapa waktu
sebelumnya Alwi telah dipindah ke kamar
perawatan. Teman-teman Danti yang ikut menunggui
proses pengobatan sedari awal kini telah pamit ke
rumah masing-masing. Jadilah Mita menjumpainya
tercenung seorang diri. Memasukkan kaki ke kamar, entah mengapa
Mita merasa langkahnya terayun menjadi berat.
Takut-takut, ia menoleh pada sosok yang terbaring di
atas tempat tidur. Tubuh itu ditutup penuh oleh
selimut. Hanya wajahnya yang tampak, dengan
kepala berbalut perban. 170 Benar saja, itu Alwi. Matanya terkatup rapat.
Tak disangkanya, setelah terakhir kemarin bertemu,
kini mereka kembali berjumpa di rumah sakit.
Keadaan pemuda itu tak lebih baik dibandingkan dua
hari lalu. Bahkan, terlihat sangat parah oleh perban
yang melingkar di kepalanya.
Mita serta-merta tak sanggup melanjutkan
langkah mendekati Danti. Ia justru menutupi
mulutnya dengan tangan. Sebongkah gejolak tiba-tiba
menghenyak ingin keluar dari dadanya menyaksikan
tubuh yang telah rela melindunginya kali ini harus
terbaring tak bergeming. Mita berusaha agar
perasaan itu tak terbaca oleh Danti, namun tarikan
napas kagetnya terlanjur terdengar. Danti menoleh,
dan menjumpai dirinya meneteskan air mata dengan
tubuh gemetar. Danti meremas kedua tangannya, kemudian ia
berdiri dari tempat duduk di samping ranjang Alwi,
dan menghambur ke arah Mita. Ia memeluk wanita
itu dengan erat. "Maafkan aku!" rintihnya pula.
"Maafkan aku...!" Air matanya yang seolah terkunci,
sedikitpun tak mengalir sedari tiba di rumah sakit,
kini bagai kehilangan gembok. Berderai lebih deras
dibandingkan sang bibi. Mita yang gamang, pun kemudian balas
merangkulkan tangan di tubuh Danti. Menjumpai
sosok di ranjang itu, entah kenapa kian
menggugurkan perasaannya untuk menyalahkan
gadis yang kini memeluknya seraya menangis.
Alih-alih menyalahkan orang lain, Mita malah
teringat akan dosanya melibatkan Alwi.
171 "Maafkan aku, Bi. Aku tak bermaksud
mencelakainya seperti ini.... Aku hanya ingin
membuat perhitungan...." Danti merintih di balik
isaknya. Mita terpejam untuk beberapa saat, coba
mengunci air matanya, kemudian membimbing Danti
kembali duduk di kursi yang semula.
"Berhentilah menangis. Aku tak sanggup
melihat orang lain menangis. Bukankah katamu di
telepon, Alwi hanya mengalami luka sobek di
kepala?" Mita merunduk. Ia menyeka air mata Danti
yang terlanjur tumpah. Tak ingin membuat bibinya
repot dan berada sedekat itu lebih lama, Danti
cepat-cepat menyeka air matanya sendiri. Mita
menyodorkan sapu tangan. Walau mendengar kata "hanya", serta mengembalikan kata "hanya" itu kepada Danti, Mita
tetap tak sanggup menepis rasa gelisah yang terus
menggelayut. Begitu pula rasa bersalah yang berayun
kian kencang. Debar di dadanya kian kencang berada
sejengkal tangan dari ranjang Alwi terbaring.
"Aku hanya ingin ia berhenti menggangguku.
Bukankah, ia sudah punya Bibi" Tapi..., aku tak
menyangka akan seperti ini...." Danti menerima sapu
tangan yang tersodor tanpa menoleh. Ia tak melihat
raut muka Mita yang berubah usai ia berujar
demikian. Mita merasa benar-benar tersodok. Tak
tahan lama-lama di samping ranjang Alwi, ia
kemudian mundur beberapa langkah. Matanya pun
ia alihkan ke punggung Danti.
Benar kata Danti. Ia tak menyangka akan
seperti ini. Begitu pun dirinya saat mencanangkan


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

172 sandiwara itu. Semuanya kini menggelinding di luar
kendali. Semuanya kini bergantung dari bagaimana
mereka bersikap dan mengambil peran masing-masing. Jika Alwi harus menanggung luka
fisik akibat sandiwara yang mereka buat, maka
dirinya harus mampu menanggung tanggung jawab
dipersalahkan. "Apa kau tahu...?" Mita kemudian membuka
cerita. "Apa kau tahu untuk siapa bunga yang ia
sodorkan saat kita bersama di koridor...?"
"Itu...," Danti memutar ingatannya ke beberapa
hari telah lewat. Terbayang masih separuh jelas, Alwi
melompat di hadapan mereka menyodorkan
serumpun mawar. "Itu untuk Bibi, kan...?"
"Seharusnya, itu untukmu."
Danti seketika mengernyit. "Untukku" Tapi...."
"Entah bagaimana ia bisa salah sasaran. Ia
justru memberikannya padaku. Tapi karena waktu
itu aku tidak tahu siapa yang sebenarnya ia incar,
dan aku juga ada masalah yang harus dibereskan,
aku menerimanya." "Bibi tak seharusnya menerima bunga dari si
brengsek itu." Danti masih belum paham. "Bibi
dengan senang hati menerimanya, tapi ia masih
mengganggu orang lain."
"Ketahuilah, aku yang menyuruhnya memberikan bunga padamu kemarin malam."
173 Seketika itu, Danti dibuat kian bingung. Bagaimana
mungkin seorang kekasih meminta pasangannya
memberikan bunga pada orang lain" Hubungan
macam apa ini" "Hubungan kami hanyalah
sandiwara, Danti. Aku memintanya memberikan
bunga padamu semata-mata untuk memenuhi syarat
timbal balik. Kupikir, kau telah tahu."
Tidak.... Danti tidak pernah tahu. Bahkan ketika
Eldien mencoba memberitahunya kemarin malam, ia
pun tak mau tahu. Ia langsung pergi keluar rumah
tanpa mendengar ucapan ibu tirinya rampung
terlebih dahulu. Mungkin, itu yang ingin disampaikan" Mita dan Alwi tak punya ikatan.
Mereka hanya berbohong. Jika itu benar, maka apa yang diucapkan Alwi
sebelum ia menghajarnya hingga tersungkur juga
benar. Pemuda itu berkali-kali mencoba meyakinkan,
tetapi ia terus melayangkan tinju, lalu menerjangnya
tanpa ampun. Danti tersandar. Dadanya kembali bergolak.
"Jadi..., ini semua salah paham?" Ia ingin sekali
menyalahkan bibinya karena telah menciptakan
sandiwara terkonyol sepanjang sejarah. Tapi..., ia pun
tak mampu meluputkan dirinya dari salah tak mau
mendengar. Andai ia mau menahan diri, tak ada
yang perlu menanggung kekhilafan ini.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Danti hanya
mampu mengusap wajah dan kepalanya yang pening.
174 "Ia sangat mengingatmu." mencintaimu. terus Cukup! Cukup! Danti tak sanggup untuk
mendengarnya. Namun, ia juga tak mampu
menghentikan Mita menyampaikan kebenaran. Sisi
lain hatinya merasa perlu mendengar apa yang
sebenarnya terjadi. "Alwi adalah pemuda yang baik. Tanggung
jawabnya tak pernah kujumpai pada pemuda lain,"
secara jujur Mita mengakui ia pernah menjalin
hubungan asmara dengan sejumlah pemuda.
Semuanya kandas, hingga ia memutuskan untuk
tidak terlibat lagi dengan hubungan semacam itu.
Menjadikannya sosok dingin pada pria semasa
menimba ilmu di perguruan tinggi. "Ia sudah dua kali
terluka untuk menghindarkanku dari maut. Tapi
bagaimana pun, kesimpulan terakhir ada padamu.
Aku tak memiliki wewenang mencampuri urusan
asmara kalian berdua."
Danti terus senyap. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalanya. Mita akhirnya
pamit untuk ke luar kamar. "Aku ada di luar jika kau
perlu sesuatu." Di luar, Mita melorotkan tubuhnya pada sebuah
kursi di pinggir lorong. Ia kemudian menghela lirih.
Andai Danti menyalahkannya atas kejadian ini, ia
pun telah pasrah. Dan rasa-rasanya, itu masih belum
cukup untuk menebus kesalahan yang ia perbuat.
Orang yang rela terluka untuk menyelamatkannya
dua kali dari maut, justru kini ia giring untuk terluka
lebih parah. Bahkan, harus menyeret korban lain.
175 Senandung halus memecah renungan Mita.
Cepat ia merogoh tas jinjing dan mengeluarkan
ponsel. Mengernyit sedetik ia sebelum menerima si
penelepon. Wiwid tak biasanya menghubungi selain
via SMS atau pesan instan.
"Bu Mita! Maaf, mengganggu." semarak suara
Wiwid menyambut begitu telepon darinya diangkat.
Terdengar bersemangat, namun sepertinya tidak
dalam kondisi senang atau bahagia.
Mita mencoba menyahut, pelan, "Ya" Ada apa,
Wid...?" "Ibu tahu di mana Alwi sekarang" Alwi sudah
tiga bulan menunggak sewa rumah. Ayah seharian
mengomel. Aku tak tahan mendengarnya. Konsentrasi belajarku jadi buyar."
Mita menjauhkan ponsel dari kuping. Ia
menghela sesaat. Agak panjang. Baru kemudian
kembali menarik ponsel mendekat.
"Alwi sekarang... ada di rumah sakit," jawabnya
pula. "What?" 176 BAB 12 "Ibu tak bercanda" Alwi" Masuk rumah sakit
lagi" Bagaimana bisa?"
"Kepalanya terbentur. Aku sekarang ada di
rumah sakit. Ia masih belum sadar."
Wiwid tercenung usai telepon ditutup. Setengah
tak percaya, ia mendengar kabar bahwa untuk ketiga
kalinya Alwi masuk rumah sakit. Dan kali ini,
kedengarannya agak mengkhawatirkan. Kepala
adalah organ vital. Wiwid memiliki seorang teman
yang terpaksa kuliahnya kandas usai mengalami
kecelakaan sepeda motor. Kepalanya terbentur
trotoar, dan kini ingatannya terganggu. Kadang ia
ingat teman-temannya, kadang lupa sama sekali.
Maka, diberitahukannya kabar itu kepada
ayahnya supaya tak lagi mengomel. Pernak-pernik
tugas kuliah pun ia kemaskan sekenanya. Karena
untuk kemudian, ia bergegas menurunkan sepeda
motor dan tancap gas tak peduli walau sudah
mendekati tengah malam. Setelah menerobos udara dingin selama kurang
lebih empat puluh menit, Wiwid akhirnya tiba
menggigil di rumah sakit. Bibirnya yang pucat
177 menahan dingin sekaligus perut yang kosong " tugas
kuliah minggu ini gila-gilaan sampai-sampai ia lupa
makan " membuat beberapa perawat jaga salah
tafsir. Perawat-perawat itu menghampirinya untuk
memberikan pertolongan pertama. Mereka pikir,
Wiwid menderita anemia akut yang harus segera
masuk ICU. Berhasil meyakinkan para perawat, Wiwid
bergegas menjumpai Mita di kantin rumah sakit.
Seorang diri ia duduk di pojokan. Menggenggam
sebuah gelas kaca. Uap hangat tampak mengepul dari
mulut gelas itu. Ditemani duduk oleh Wiwid, Mita mengaku
sebenarnya sudah sangat letih dan mengantuk.
Namun entah mengapa, padahal sudah hampir pukul
setengah satu, rasanya sangat sulit untuk tidur. Baru
beberapa detik terlelap mengunci mata, ia terbangun
seolah-olah ada yang membuat kaget. Jadilah ia
kemudian menghibur diri dengan memesan wedang
jahe di kantin rumah sakit.
Sesuatu tiba-tiba bergema di antara mereka.
Terdengar cukup pelan. Namun karena suasana yang
hening, membuat Mita mampu mendeteksi arah
suara itu berasal. Ia menoleh Wiwid, "Kau lapar?"
Wiwid nyengir. Ia yang telah merasakan
cacing-cacing di perutnya saling berkelahi, dengan
polos pun mengangguk. Terakhir kali ia makan
adalah jam tiga sore. Itu pun semangkuk mi instan.
Selebihnya, ia asyik mengerjakan tugas kuliah serasa
ngemil Chocolatos. 178 "Aduh" Dompet?" Wiwid kemudian tampak
bingung. Ia meraba-raba saku celananya. Semua
datar. Tak ada yang mengganjal. Ia raba pula saku di
bajunya. Cuma ada dua keping uang logam seribuan.
Begitu sadar telah lupa membawa dompet, Wiwid
kemudian menepuk jidatnya dengan kedua tangan.
"Ketinggalan?" timpal Mita.
Wiwid lagi-lagi mengangguk. Mukanya sekontan itu melusuh. Semua barang penting
termasuk SIM dan STNK ada di sana. Beruntung, di
sepanjang jalan tidak ada polisi yang menggelar
razia. Dan semoga saja, tetap seperti itu ketika ia
pulang nanti. Tersentuh oleh tampang bokek mahasiswinya
nan memelas, Mita pun dengan ikhlas dan ridho
dunia akhirat mentraktir Wiwid nasi goreng dan
segelas teh hangat. Jelas Wiwid girang tak kepalang.
Mukanya yang pucat bagai zombie baru keluar dari
lemari es, seketika itu juga merona bagai seorang
gadis habis dilamar kekasih tercinta.
*** "Jadi, bagaimana dengan Kak Danti?" tanya
Wiwid di sela-sela ia menyuap nasi goreng yang
masih hangat. Langsung dibuat begitu dipesan.
Uapnya mengepul semerbak menebarkan aroma
rempah-rempah yang mengajak lidah bergoyang.
179 Terlebih, bagi Wiwid yang perlu asupan pengganjal
lambung. "Sudah kusuruh pulang," jawab Mita singkat.
"Kenapa?" balas Wiwid tak kalah pendek.
Mita tidak lantas segera menyahut. Jemarinya
masih asyik memutar-mutar gelas berisi wedang jahe
yang masih utuh. Rasa hangat yang dirasakan oleh
kulit jemari dan telapak tangannya membuat ia betah
melakukan itu berlama-lama.
"Aku kasihan," Mita akhirnya menjawab. "Jika
dirunut, ini semua adalah salahku. Ini terjadi karena
sandiwara yang aku usulkan. Aku tidak ingin
membebankannya kepada orang lain."
"Iya," sela Wiwid.
keponakan Ibu sendiri."
"Terlebih, dia adalah Mita mengangguk kecil-kecil. Meski Danti
berkeras untuk terus di rumah sakit hingga Alwi
pulih, Mita tetap menelepon kakaknya untuk
menjemput gadis itu pulang. Ia memang berhasil
mengusir Danti dari rumah sakit. Namun, ia tidak
yakin untuk melepas keponakan barunya mengendarai mobil seorang diri. Sudah tengah
malam, sedangkan mental dan fisiknya terlihat


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu sangat letih. Wiwid menemani Mita hingga subuh hari.
Begitu langit mulai sedikit tampak kelihatan biru,
barulah Wiwid cepat-cepat pamit untuk pulang. Dan
180 di pagi harinya, ia kembali meluncur meninggalkan
rumah dengan tujuan ke kampus.
Baru memasuki pintu gerbang, perhatian Wiwid
teralih oleh benda besar yang berada di pelataran
parkir gedung utama. Setahu Wiwid, benda itu
adalah mobil derek yang seharusnya berada di
kompleks pembangunan gedung baru. Tugasnya
mengangkat tiang-tiang baja, bukannya malah
menyambut kedatangan para warga kampus di
depan gedung, sembari memamerkan lengannya
yang tinggi menjulang. Sebuah tiang beton terjuntai
tenang di ujung lengannya.
Mobil derek itu ternyata tidak sendiri. Ada
seorang pria di kabin kendalinya. Laki-laki itu
tampak mencoba menyalakan mesin dengan
memutar kunci starter. Berkali-kali hingga wajahnya
bermandikan keringat. Namun karena usahanya
tidak berhasil, maka dengan gurat jengkel ia pun
berteriak, "Mati, Do! Tak mau hidup! Benar, lah, ndak
ade yang rusak?" Kawannya di depan mobil derek hanya mampu
berdiri bertelekan pinggang. Ia menggeleng-geleng,
lalu menyahut, "Coba lagi! Sudah diperiksa
berkali-kali, tidak ada yang rusak! Itu mesin baru,
Met!" Pria di dalam kabin menggaruk-garuk kepala
sembari menggumam, "Habislah kalau mandor
sampai tahu." Sesuai instruksi sang rekan, ia kembali
memutar kunci starter. Dan ajaib, kali ini mesin
tersebut menderu. Tampak wajahnya girang, begitu
pula dengan laki-laki yang berdiri di depan mobil
181 derek. Laki-laki yang berdiri itu kemudian menjauh
dan meminta para mahasiswa di dekat sana untuk
menyingkir. "Jauh-jauh, Dek. Jauh-jauh!" perintah laki-laki
itu. Beberapa mahasiswa segera melompat mundur,
bahkan ada yang segera berlari pergi karena takut.
Lengan baja sang mobil derek yang menjulang lebih
dari dua puluh meter, mulai tampak bergerak.
Tulang baja yang terkait di ujungnya pun
berayun-ayun pelan. Wiwid ikut menyingkir. Langkahnya tambah
kencang ketika deru mesin mobil derek kian kencang.
Namun belum jauh ia melayahkan diri, suara
berderik yang mengerikan dari arah mobil derek
tiba-tiba terdengar. Wiwid refleks menoleh.
Disaksikannya mesin tersebut memutar lengannya
lebih dari 180 derajat. Jarak yang masih begitu dekat
dari gedung, membuat lengannya yang terdiri dari
rangka-rangka baja menghantam dinding gedung di
lantai paling atas. Tulangan baja yang masih menggantung ikut
terayun kencang akibat putaran itu. Rantai-rantai
yang mengikatnya tiba-tiba terlepas. Melihatnya,
orang-orang di pelataran parkir berteriak histeris.
Terlebih-lebih, baja itu justru meluncur ke arah
Wiwid. Gadis itu malah mematung. Kedua lututnya kelu
untuk bergerak. Hingga akhirnya, baja itu jatuh tepat
di hadapannya dengan dentuman yang sangat keras,
serta guncangan bagai gempa 5 SR. Satu detik
setelahnya, Wiwid jatuh terkulai dengan bibir pucat.
182 *** Untuk kedua kalinya, Alwi membuka mata dan
mendapati tubuhnya terbaring di rumah sakit.
Dengan kepala sedikit pening serta dilingkari oleh
perban, ia lalu mencoba untuk duduk. Pada saat
itulah, secarik kertas di atas dadanya bergulir jatuh
ke atas perut. Alwi melongo melihat lipatan kertas
itu. Tanpa menaruh curiga apa pun, kertas itu ia raih
dan lipatannya dibuka. Sehampar goresan tangan menyambut penglihatan Alwi yang masih rabun. Untuk itulah, ia
mengucek-ngucek matanya sebentar. Setelah agak
jernih, ia pun menemukan namanya tercantum pada
barisan paling atas. Dan pada saat itu juga, ia sadar
bahwa kertas yang ia temukan bukanlah kertas biasa.
"Kepada Alwi, ini adalah surat permintaan
maafku. Maafkan aku atas semua tindakan kasarku
selama ini. Maafkan aku karena harus meminta maaf
melalui tulisan, karena aku merasa tidak mampu
mengutarakannya secara langsung. Dan, maafkan aku
karena telah mengambil keputusan bahwa hubungan
kita tidak dapat berlanjut lebih dari sekadar teman."
Sebuah nama melengkapi bagian akhir surat
singkat tersebut. Danti akhirnya memberikan
jawaban. Namun sayang, jawabannya bukanlah
jawaban yang ditunggu oleh Alwi. Meski demikian,
Alwi hanya mampu melipat kembali surat itu dengan
sabar, serta mengembalikannya di atas selimut,
183 tempat di mana tadi ia temukan. Dan selanjutnya, ia
memijit-mijit kepalanya yang pening.
Ketika Alwi mengheningkan cipta karena
cintanya ditolak, gagang pintu kamar perawatannya
berputar. Wajah Mita menyembul dari balik pintu
dan sepertinya terlihat kaget.
"Alwi" Syukurlah, kau sudah bangun!" Wajah
kaget itu berubah ceria. Lekas-lekas ia menutup
pintu, kemudian duduk pada sebuah kursi di
samping ranjang Alwi. "Ibu?" Tak hanya Mita, Alwi pun menyambut
sama kaget. Tak disangkanya bahwa rekan
sandiwaranya menjadi orang pertama yang datang
menjenguk. Tapi tunggu dulu. Sepagi ini" "Mengapa
Ibu bisa di sini" Sejak kapan?"
Mita terdengar mendesah. Namun, ia kemudian
tersenyum dan menjawab, "Kamu pikir, siapa lagi
yang akan menungguimu di sini?"
Alwi diam sejenak. Beberapa wajah melintas di
kepalanya. Namun, tak satu pun wajah-wajah itu
termasuk orang yang mungkin akan menemaninya di
rumah sakit, bahkan sepanjang malam.
"Tepat sekali!" putus Mita tiba-tiba, seolah
mampu membaca isi pikiran orang lain. "Tidak ada
selain aku!" Alwi cengengesan. "Maaf, jadi merepotkan
Ibu...." 184 Pandangan Mita kemudian teralih pada secarik
kertas yang berisikan surat dari Danti. Dalam
sekejap, rona ceria di wajah Mita berubah redup.
Pelan, ia kemudian berujar, "Jadi..., suratnya sudah
kau baca?" Alwi melabuhkan ujung matanya pada titik
yang sama. Beberapa detik ia diam. "Sudah...,"
jawabnya pula dengan singkat.
Setelah beberapa saat hanya terdiam, Mita
tiba-tiba berujar, "Maaf...."
Itu membuat Alwi segera menoleh. Kerut di
wajahnya menandakan heran.
"Danti sebenarnya ingin menungguimu hingga
siuman," lanjut Mita. "Tapi, aku memintanya pulang
ketika kakakku datang menjemput. Kupikir, setelah
tahu bahwa kau telah melewati masa kritis, Danti
perlu menenangkan dirinya di rumah."
"Oh...," Alwi mengangguk kecil, tanda mulai
mengerti. "Mungkin, oleh karena itu, kulihat ia menulis
surat sebelum pulang. Ia sangat ingin meminta maaf,
jadi kuharap itu adalah isinya. Danti tidak
membicarakan apa pun tentang isi surat itu
kepadaku. Dan aku tidak berani melihatnya sebelum
kau membacanya lebih dulu. Jadi..., jujur. Aku punya
firasat tidak enak tentang surat itu, tapi kuharap aku
salah." 185 Alwi masih menggenggam surat Danti. Ia
menyibakkan selimut dan memutar tubuhnya turun
dari ranjang. Dengan isi kepalanya yang masih terasa
berputar, ia berjalan sempoyongan beberapa
langkah, untuk kemudian sedikit berolah badan
untuk merenggangkan semua otot di tubuhnya yang
kaku dan nyeri. Mita hanya mampu terkaget melihat tingkah
pemuda itu. Ia sempat ingin menghentikannya,
karena khawatir kondisi Alwi masih belum pulih.
Namun, ia terlambat dan akhirnya hanya bisa berdiri
mematung. "Ibu tidak salah," jawab Alwi dalam
gerakan-gerakan pinggangnya ke kiri dan kenanan,
seraya menjulurkan kedua tangannya di atas kepala.
"Isi surat Danti adalah permintaan maaf. Karena
mengingat ini salah paham, aku juga memaafkannya." Alwi tidak ingin mengungkit
masalah penolakan Danti atas semua usaha
pendekatannya selama ini. Jika ingat, hati ini jadi
terasa sakit. "Jika aku menjadi Ibu, aku mungkin juga
akan memintanya pulang. Bagaimana pun, aku tetap
tidak akan tega melihat Danti bersedih, sama seperti
melihat Ibu terus-terusan murung."
Mita tersipu-sipu. "Terima kasih telah perhatian
padaku." Alwi selesai pemanasan. Ia kemudian berdiri di
samping ranjang. 186 "Seharusnya, aku yang berterima kasih kepada
Ibu." "Loh?" "Ibu masih mau menemaniku di rumah sakit
hingga sekarang. Padahal, kita tidak memiliki
hubungan apa pun." Mendengar ucapan itu, Mita tak mau kalah
dengan menyahut, "Hei, bicara jasa, justru dirimulah
yang paling banyak membantuku selama ini. Lagi
pula, belum ada kata sepakat bahwa sandiwara kita
sudah berakhir, kan" Ditambah lagi, sangat sulit
untuk menghubungi keluargamu." Berdasarkan
informasi yang ia peroleh dari bagian administrasi
kampus, Alwi bukanlah penduduk asli Kalimantan
Barat. Ia lahir di Jakarta, sekitar dua puluh tahun
lalu. Semua catatan sekolahnya juga berasal dari luar
Pontianak. Kedua orang tuanya juga tidak berada di
kota ini. Alwi cengengesan. Mita sendiri jadi bertanya-tanya, mengapa pemuda seusia Alwi nekad
ke kota ini tanpa ditemani siapa pun. Apa tujuannya"
Apa ada masalah dalam keluarga" Mita ingin tahu,
bahkan sangat ingin tahu. Namun, sepertinya bukan
waktu yang tepat. "Meski begitu, kau punya teman yang setia,"
ujar Mita kemudian. Alwi menoleh.
"Siapa?" 187 "Wiwid juga kemari usai kukabari. Tengah
malam ia datang. Ia menemaniku sampai subuh.
Walau ia jago iseng dan tukang komersil, ia
sebenarnya juga baik hati sepertimu."
"Eh?" Alwi mengernyit. "Aku rasa, itu fitnah
terhadap Wiwid yang sangat kejam."
Nyaris Mita tersedak dan liurnya tersembur.
"Kau ini! Kepala sudah diperban, masih sempat
bercanda." Alwi mendesah. Ia lalu menyeret kursi lain dan
duduk di samping ranjangnya. Ia dan Mita kini saling
hadap. Ranjang yang semula ia baringi, kini beralih
fungsi sebagai meja pemisah. Alwi kemudian
menatap Mita dalam-dalam.
Mita cepat-cepat menunduk begitu sadar Alwi
telah memandanginya lebih dari 5 detik tanpa bicara.
Itu membuatnya risih sekaligus malu. "Berhenti
menatapku demikian. Kau membuatku tak enak...."
Bukannya meminta maaf, Alwi malah tertawa
kecil. "Aku hanya sedang berpikir."
"Berpikir apa" Kau tidak berpikir yang
macam-macam, kan" Karena, hanya kita berdua di
sini." "Tidak! Tidak!" cepat Alwi menyangkal. "Aku
sedang mengingat-ingat. Sebelumnya, aku tak
mengenal Ibu sama sekali. Kita tak saling kenal.
Kemudian beberapa hari lalu, kita berjumpa tak


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

188 sengaja. Dalam satu hari, kita menjadi akrab. Dan
kurang dari seminggu, hidupku berantakan." Alwi
melepas perban yang melingkar. Serta-merta Mita
membelalak. "Kau gila" Kau masih...!"
"Aku sudah sehat!" Alwi berdiri. Perban yang
baru ia lepas dikepal-kepal, lalu dilempar ke tong
sampah. "Pemuda gila! Benar-benar pemuda gila!" batin
Mita. Matanya masih tak mampu berkedip, tak
percaya apa yang baru terjadi. Usai melempar
perban, Alwi kini merapikan pakaiannya, kemudian
melenggang menuju pintu kamar.
"Aku pulang dulu. Tiba-tiba perasaanku tak
enak." "Alwi! Kau tak bisa pergi begitu saja!" Mita
cepat-cepat mengejarnya. Mendengar seruan tersebut, Alwi segera berhenti sebelum melewati
pintu. Sengaja ditunggunya Mita mendekat. Setelah
dekat, langsung disambarnya lengan Mita lalu
melanjutkan langkah meninggalkan kamar.
Mita bingung. Jelas-jelas ia dibuat bingung.
Kondisi fisik Alwi saja tak dapat ditebak,
terlebih-lebih jalan pikirannya. Maka jadilah ia diam
sembari terus digandeng oleh pemuda itu
meninggalkan rumah sakit.
189 190 BAB 13 Bisa dikata, Mita disandera olah Alwi sedari
meninggalkan rumah sakit. Ia minta diantar pulang
ke rumah untuk mandi dan ganti baju, lalu minta
diantar lagi ke kampus. Mita yang sadar diri, hanya
berani mengantar 50 meter sebelum tiba di tempat
tujuan terakhir. "Kuharap, kau mampu jalan kaki sendiri sampai
ke kampus. Aku hanya bisa mengantar sampai di
sini." "No problem!" Alwi turun dari sepeda motor
dengan sukarela. "Tapi, kenapa Ibu tidak ikut
sekalian?" "Kau memang gila, Alwi. Aku dosen di sana. Aku
belum mandi. Pakaianku juga masih yang kemarin."
Atas alasan tersebutlah, Mita hanya menaikkan kaca
helm serta menghindari untuk menoleh ke arah jalan
raya yang ramai. Mahasiswanya pasti banyak
lalu-lalang. "Tidak ada yang tahu." Alwi lalu mendekatkan
hidungnya ke ketiak Mita, lalu menjauh sebelum Mita
sempat menyadarinya. "Ibu masih wangi."
191 Refleks, Mita mengangkat sebelah tangan dan
hendak menarik hidung Alwi yang sedikit mancung.
Kebetulan, jarak hidungnya lebih dekat ketimbang
kepalanya yang kasihan jika harus dikemplang. Alwi
berhasil menghindar. "Walau setahu mereka kita berpacaran, mereka
tentu tahu juga batas-batasnya." Mita terdengar
geram. Alwi justru tertawa-tawa. Tangan kanan Mita
yang bebas kemudian ia salami dan cium.
"Terima kasih atas tumpangannya, Bu. Saya ke
kampus dulu." Mita mendelik. Alwi lekas-lekas kabur.
*** Memasuki lingkungan kampus, Alwi dikejutkan
oleh lintangan garis polisi. Sejumlah staf kebersihan
kampus tampak sibuk menyapu halaman. Serakan
beton di mana-mana. Sedangkan mobil derek sang
biang onar, masih tak bergeming kembali ke
peraduan. "Eh, ada apa ini" Ada apa ini?" Alwi
bertanya-tanya pada mahasiswa yang menonton
kesibukan tersebut. Tak seorang pun menyahut.
Hanya mengangkat pundak, lalu asyik menonton lagi.
192 Dalam bingung, Alwi melihat muka teman
sekelasnya, Mutiara. Rambut pirang gadis itu
menyolok di antara yang lain. Lekas ia menghambur
ke arahnya dan bertanya-tanya perihal yang terjadi.
"Aku juga baru datang, Wi," jawab Mutiara.
Matanya yang bulat terus menatap mobil besar di
tengah pelataran parkir. "Tapi kata orang-orang,
mobil dereknya ngamuk. Tuh, lihat. Gedung kampus
lantai atas jadi sebeh begitu." Ia pun menunjuk ke
puncak gedung utama. Ada lubang di sana. Mobil
truk Optimus Prime mungkin bisa telus.
"Becanda kamu, Tia. Masa mobil bisa ngamuk?"
"Terserah. Itu buktinya. Kalau mau lebih jelas
lagi, tanya anak juragan yang rumahnya kamu sewa!"
"Wiwid?" "Ho-oh!" "Kenapa dia?" "Pura-pura nggak tahu atau memang nggak
tahu" Dia hampir gepeng gara-gara mobil itu, Alwi!"
Tak usah pakai kata penutup, Alwi langsung
ngacir. Ditinggalkannya Mutiara menggeleng-geleng.
Tujuannya adalah kelas di mana seharusnya Wiwid
menerima kuliah. Namun, tak dijumpainya Wiwid di
situ. Teman-teman Wiwid bilang, ia dilarikan ke unit
kesehatan kampus usai tumbang karena kejadian tadi
pagi. 193 Berlarilah lagi Alwi, sekarang menuju unit
kesehatan kampus yang berada di sebelah gedung
utama. Namun masih jauh dari pintu keluar, ia sudah
menemukan sosok yang ia cari. Wiwid terlihat duduk
memelas di lorong, di sebuah kursi panjang seorang
diri, seraya memegangi kepala.
"Wiwid!" teriaknya sembari berlari mendekat.
Wiwid menoleh sebentar, lalu menunduk lagi.
"Wiwid, kau tak apa-apa?" Terengah-engah Alwi
membetulkan napas, lalu duduk di samping gadis itu.
"Aku dengar, kau...."
"Tenang...! Tenang...! Aku masih hidup," hibur
Wiwid, namun dengan suara datar.
"Iya, aku tahu kamu masih hidup. Tapi, tidak
luka-luka, kan?" Wiwid mengangguk pelan. "Tidak. Cuma pusing
saja. Tak kukira, pagi ini nyaris mati menyusulmu.
Eh?" Tiba-tiba, ia menoleh. "Wi! Bukannya kamu di
rumah sakit" Kepalamu pecah" Kenapa bisa di sini?"
"Asem! Kepalaku masih utuh, Wiwid! Aku di sini
tentu karena sudah sehat!"
"Yang benar?" Lupa akan pusingnya, Wiwid
menyambar kepala Alwi. Diputar-putarnya, dikucel-kucelnya, terutama di bagian belakang.
"Yang di situ jangan! Masih basah!" Cepat Alwi
menyingkirkan tangan Wiwid begitu sampai di
194 belakang kering." kepalanya. "Jahitannya masih belum "Hebat banget kamu, Wi. Tiga kali celaka, masih
hidup. Punya berapa nyawa" Bagi satu!"
"Jangan bicara ngawur. Belum sampai ajal, ya,
masih hidup." Alwi kemudian berdiri. "Tapi,
syukurlah kau tak kenapa-napa. Kupikir tadi, kau
terluka seperti yang lain."
Wiwid mendelik. "Wi, kepalamu benar-benar
konslet kayaknya. Sejak kapan kau perhatian
padaku?" "Eh?" Alwi menyambut heran.
"Sejak kepalamu terbentur...,
dicampakkan oleh Kak Danti?"
atau sejak "Eh" Eh?" Daun kuping Alwi berdiri. "Kawan
nggak bener ini. Melihat temennya bisa berdiri tegap
setelah menerima musibah, bukannya diberi selamat,
malah disindir. Keterlaluan. Sungguh terlalu!"
Kalimat terakhir ia latunkan selayaknya logat Raja
Dangdut. "Memangnya, kita teman?" pancing Wiwid.
Alwi menggeleng-geleng. "Sudahlah. Sekarang,
apa kau bisa jalan sendiri" Kalau tak bisa, aku bantu.
Tadi kata teman-temanmu, kau tak hadir di dua mata
kuliah. Jangan sampai di mata kuliah yang lain juga
tak hadir!" 195 "Iya, iya...!" Wiwid mengangguk-angguk, namun
bagai tak ikhlas. Ia kemudian menyodorkan kedua
tangannya pada Alwi. Alwi bingung. "Bantuin...."
Anak itu ngelunjak. Alwi menyesal telah
menawarkan bantuan. Namun, apa boleh buat" Ia
pun menyambut uluran tangan Wiwid, kemudian
membantunya berdiri. Tak hanya itu, ia juga harus
memegang kedua pundak gadis itu. Karena menurut
pengakuannya, ia masih pusing dan berjalan saja
masih sempoyongan. Oleh karenananya, ia tadi
singgah sebentar untuk duduk.
Sibuk membimbing langkah Wiwid, Alwi justru
tak memperhatikan langkahnya begitu tiba di koridor
utama. Ia tak melihat sosok tergesa-gesa yang baru
saja melewati pintu masuk. Begitu pun orang itu,
langkahnya dipacu sekencang mungkin, sementara
matanya meleng melihat jam tangan. Alhasil,
keduanya bertubrukan. Alwi terhantam keras dan
terjerembab jatuh ke lantai. Sedangkan orang yang
menabraknya menjerit kaget. Wiwid yang terlindung
malah menutup mata tak bergeming.
Alwi coba berdiri seraya memegangi pinggang.
"Belum pernah dapat SIM, ya" Lorong segini luas,
masih saja nabrak orang?" omel Alwi yang terlanjur
jengkel. Tak dilihatnya yang menabrak tadi ialah Via.
Buru-buru Via membantu untuk berdiri.
"Maaf, aku buru-buru. Danti tadi ketiduran di
pom bensin, jadi kami telat."
196 "Eh, Danti?" mendengar nama itu disebut-sebut,
kuping Alwi kembali berdiri. Cepat-cepat ia berdiri.
Dilihatnya orang yang membantu, barulah ia
mendelik. "Kakak Senior?"
"Alwi?" Via pun ternyata baru sadar. Orang
yang ia tabrak, tak lain adalah klien konsultasinya
yang paling setia. "Kudengar, kau masuk rumah
sakit. Kok...?" "Danti mana" Danti mana?" Alwi tak
menggubris Via. Matanya jelalatan mencari Danti.
Via menggeleng-geleng. Berhubung ia tak
melihat bagaimana sekaratnya Alwi kemarin, ia tak
menaruh keheranan yang teramat sangat. Ia pun
berujar, "Danti tidak ada di belakangku. Ia ada di
belakangmu." Spontan, Alwi memutar. Pada saat itu pulalah,
ia menjumpai raut tak percaya dari wajah seseorang
yang kemarin menghajarnya hingga babak belur.
Danti berdiri mematung, menatap ke arahnya dengan
kelopak mata membuka lebar. Lidahnya kelu
mendapati orang yang kemarin mengucurkan darah,
kini berdiri tegak. Bahkan tampak bersemangat bagai
tak pernah mengalami sesuatu.
Rasa tak enak lalu menyergap perasaan Alwi. Ia
pasang senyum cengengesan. Lalu, banyak mengucapkan kata, "Ng...."
"Bagaimana kau bisa...?"
197 "Ya, semuanya pasti bertanya, bagaimana aku
Sayap Sayap Terkembang 16 04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Para Ksatria Penjaga Majapahit 10

Cari Blog Ini