Ceritasilat Novel Online

Via 5

Via Karya Dirgita Devina Bagian 5


bisa berdiri bugar seperti sekarang?" Alwi memotong
ucapan Danti. Semuanya mengiyakan dalam hati.
"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin, karena aku
teringat pada seseorang yang sangat kusayang." Saat
berkata demikian, Alwi menatap Danti lekat-lekat.
"Tapi..., suratku...." Danti tak ingin Alwi masih
terjerumus dalam perasaannya. Ia tak menaruh hati
pada Alwi, seharusnya Alwi menyadari hal tersebut.
"Sudah kubaca hingga titik terakhir," jawab
Alwi yakin. "Oleh karenanya...." Ia kemudian
menyodorkan tangan. Telapaknya membuka hendak
saling berjabat. "Bagaimana jika kita lupakan
semuanya, lalu memulai dari awal" Sebagai teman."
Danti mematung. Bukan karena tawaran itu,
melainkan karena masih tak percaya. Melihat
kekakuan itu, Via mengambil inisiatif. Ditariknya
tangan Danti, kemudian dibantunya berjabat dengan
Alwi. "Begini lebih baik," simpulnya pula.
Namun karena masih saja kaku, Via lagi-lagi
berinisiatif melepas jabatan mereka. "Kau masih mau
terus di sini, atau segera ke kelas?"
Danti terkesiap. "Oh, iya. Maaf. Kami harus
segera ke kelas. Sudah terlambat."
Alwi mempersilakan keduanya meneruskan
jalan. Namun setelah keduanya agak jauh, baru ia
teringat sesuatu. Diserunya nama Danti, hingga gadis
itu menoleh. 198 "Aku lupa minta maaf! Maafkan aku! Aku
takkan mengganggumu lagi! Kau bisa pegang
janjiku!" Lama menoleh, Danti kemudian balas tersenyum. Satu yang tak diketahui oleh kedua gadis
tersebut. Usai ditinggalkan, Alwi kembali kepada
Wiwid dengan berurai air mata. Terpaksa Wiwid
menenangkannya. "Berhentilah menangis. Cepat bantu aku ke
kelas." 199 200 BAB 14 Kafe sudah tutup. Sebuah mobil Avanza warna
perak memasuki pelataaran parkir. Pemuda yang
menyetirnya turun dengan setelan parlente dan
bergegas masuk ke dalam kafe.
"Maaf, Mas. Kafenya sudah tutup." Seorang
pelayan laki-laki menegur pemuda itu. Ia
menunjukkan papan yang tergantung di pintu depan.
Meski kafe sudah tutup, pintunya sendiri tidak
ditutup untuk keperluan bersih-bersih.
Andre sang pemuda yang nyelonong masuk
hanya manggut-manggut. "Saya tahu. Saya tahu,"
balasnya. "Saya ke sini untuk jemput seseorang."
"Siapa, Mas?" "Tuh!" Arah muka Andre menunjuk lurus ke
pintu belakang. Tampak Via baru saja keluar dari
sana. Ia telah mengenakan sweater, berarti siap
untuk pulang. "Andre?" Via tampak terkejut. Tak dikiranya
Andre akan datang. Ia lalu mendekat dengan masih
memasang tanda tanya besar di kepalanya. "Kukira
kau masih sibuk" Katanya, ada urusan keluarga di
201 luar kota." Begitulah, beberapa hari ini Andre bagai
lenyap ditelan bunyi. Sebelum hilang, ia sempat
memberi kabar bahwa ada urusan keluarga yang tak
bisa ditinggalkan. Mungkin, beberapa hari lamanya.
"Sudah pulang, Via. Sebenarnya, aku ingin
mengajakmu. Mengenalkan dengan keluargaku.
Tapi..., semuanya mendadak."
Via mencoba paham. "Yah, mau bagaimana lagi.
Keluarga yang utama." Meski agak kecewa beberapa
hari tak bisa bersama, Via tetap mengembangkan
senyum. Ia tak ingin Andre melihat wajah
kecewanya, padahal baru pulang dari perjalanan
jauh. "Pacarmu, Via?" sela rekan kerjanya yang
menegur Andre tadi. Seumur-seumur selama Via
menjalin hubungan dengan Andre, baru kali ini
mereka menyadari bahwa Andre adalah kekasih Via.
Padahal, Andre termasuk pelanggan tetap di Mirna
Cafe 'n Resto. "Tentu saja, dong, Masbro!" potong Andre.
"Tak kukira, pacarmu kelas kakap! Haha!"
rekannya itu kemudian tertawa sembari terus
menyapu. Ia melihat kedatangan Andre dengan
mobil yang masih mengkilap tadi. "Kupikir,
mahasiswa kere yang hampir tiap malam itu."
"Eh?" Andre merasa tersentil. "Kau punya
selingkuhan?" tuduhnya langsung.
202 "Mas Nur! Jangan bicara sembarangan!" tegur
Via spontan. Masih dengan tertawa, Noercholis si rekan kerja
Via lalu melipat tangan. "Maaf, maaf. Itu tadi cuma
bergurau. Pacarnya Masbro orangnya setia! Nggak
pernah saya lihat dia dekat dengan cowok lain di sini.
Termasuk sama kita-kita. Bukan begitu, Bang Yul?"
"Mantep!" karyawan lain yang tengah mengelap
meja mengacungkan jempolnya yang paling besar.
Keduanya kemudian cekikikan.
Singkat kata, Andre mengajak Via pulang
bersamanya. Ia yang akan mengantar hingga ke
depan rumah. Mereka keluar dari kafe, lalu
menghampiri mobil satu-satunya di tempat parkir.
"Mobilmu ganti lagi...?" Via terheran-heran. Ini
keempat kalinya ia naik di mobil milik orang yang
sama, namun dengan jenis berbeda. Via masih ingat
mobil terakhir Andre, sebuah jip warna hitam. Juga
masih mengkilap. Jika benar Andre membeli mobil
baru seperti yang sudah-sudah, ia siap untuk
memberikan nasihat agar tidak menghambur-hamburkan uang. Bagaimana nasib
keluarga mereka nanti jika uangnya hanya
dihabiskan untuk membeli mobil" Lagi pula, Via
belum tahu secara jelas pekerjaan Andre dan kedua
orang tuanya. Seberapa kaya mereka. Apakah
setingkat atau lebih tinggi dibandingkan Danti"
203 "Jip yang kemaren apes," jawab Andre.
Dibukakannya pintu agar Via masuk lebih dulu. Usai
ditutup, ia menyusul masuk dari pintu sebelahnya.
"Apes bagaimana?"
Mesin mobil dinyalakan. Mobil bergerak
mundur beberapa meter, lalu berputar dan akhirnya
melaju masuk jalan raya. "Kan, aku bawa untuk urusan keluarga. Tapi
apes, dalam perjalanan menabrak anak sapi orang.
Digebukin massa, lalu dibakar."
"Benar, Ndre?" Via tak menduga jawaban itu.
Ditatapnya Andre, sembari memegang pundaknya.
"Tapi, kau tidak apa-apa, kan?"
"Nyaris digebukin juga. Tuh, pundak kiri masih
sakit." Kontan, Via menjauhkan tangannya dari
pundah kiri Andre. Mendapati itu, Andre malah
berujar, "Tapi kalau dipegang sama kamu, sakitnya
hilang." "Gombal!" sambut Via.
"Pipiku juga sakit, nih. Minta dielus sama kamu.
Siapa tahu sakitnya hilang."
"Gombal! Gombal! Gombal! Nggak mempan!"
204 "Ya, sudah...," "Tampaknya...."
putus Andre kemudian. "Tampaknya apa?"
"Tampaknya kata teman-temanmu di kafe itu
benar. Kamu punya selingkuhan, kan" Sudah tak
sayang aku lagi, kan?"
Oh, tidak! Via tak mampu jika harus
berhadapan dengan gombal selevel ini. Ia sontak
memelas dan membalas, "Sudah mereka bilang juga,
kan" Itu bergurau."
"Buktinya apa?"
Via mendesah sesaat. Ia akhirnya menyerah dan
kemudian memegangi pundak Andre. "Iya, aku masih
sayang kamu. Ini buktinya. Lekas sembuh...."
Andre terkekeh-kekeh. Via sendiri tak peduli
walau Andre berbohong soal sakitnya. Pemuda itu
memang kadang suka mencari perhatian. Dan..., itu
selalu berhasil. "Pipinya juga jangan lupa."
"Iya!" ditamparnya pelan pipi Andre, baru
kemudian dielus-elus. Asyik berkasih-kasih, tiba-tiba mobil dihantam
dari sisi Andre menyetir. Sebegitu kerasnya benturan
itu, hingga seisi kabin berguncang dan kaca-kaca
hancur berantakan. Via yang kaget menjerit histeris.
205 Mobil yang ia tumpangi terdorong ke sisi jalan,
hingga menaiki trotoar dan menabrak pohon.
*** "Turun! Turun kau, Bangsat!" pintu mobil
dibuka paksa. Andre yang masih kebingungan diseret
turun oleh sejumlah pemuda. Mereka ditengarai
berasal dari sebuah mobil yang terparkir tak jauh
dari mobil Andre. Bagian kiri mobil mereka agak
ringsek, sepertinya mobil itulah yang telah
mendorong mobil Andre hingga menabrak pohon
dan mesinnya mati. Andre tak dapat berbuat banyak. Ia diapit oleh
banyak orang. Usai berhasil diseret turun, ia
kemudian dihajar beramai-ramai.
"Andre! Tidak! Hentikan!" Via tak sanggup
melihat kekasihnya diperlakukan semena-mena. Ia
turun, lalu menarik beberapa pemuda yang dapat ia
raih. Namun, ia hanya seorang, serta tanpa
penjagaan. Dengan mudah, tangannya pun ditangkap. Ia dicengkeram hingga tak mampu
bergerak dan membantu Andre yang kini tergeletak
di jalan dengan wajah babak belur. Ia lalu dikencingi.
"Jangan apa-apakan dia!" pekik Via. "Kalian
biadab!" 206 Seorang yang tampangnya sok kuasa mendekati
Via. Ditangkapnya rahang Via, ditekannya ke atas.
"Siapa yang lebih biadab" Kami atau pacarmu yang
menghamili pacarku?"
"Tidak! Tidak mungkin!" jerit Via lagi. Baginya
itu bohong dan tidak patut dipercaya.
Si pria itu tertawa. Ia lalu berujar, "Hai, Busuk!
Seharusnya, kau bersyukur! Kau itu pria busuk, tapi
mendapat pacar cantik dan setia!"
Andre pelan-pelan berdiri. "Kau mau apa?"
balasnya sempoyongan. "Sini, lawan aku!"
"Kampret!" pekik si pria yang sok jago. Maka,
rekan-rekannya kemudian menghajar Andre sekali
lagi. "Nasi sudah menjadi bubur," ujarnya kemudian
dengan enteng. "Andre telah meniduri pacarku.
Kalau begitu, tak ada salahnya aku juga menikmati
tubuh kekasihnya." Ia pun terbahak-bahak. Wajah
mesumnya kemudian mendekati tubuh Via. Hendak
diciumnya bibir Via, tapi Via berhasil mengelak
walau dalam dekapan rekan si bejat. Namun, ia
sudah tak dapat mengeles lagi begitu ia diseret
memasuki semak-semak, dibaringkan di tanah, lalu
dibuka kaki dan tangannya.
Pria itu masih saja terbahak-bahak. Ia melepas
ikat pinggangnya, kemudian menarik restletingnya
turun. Dan seolah tak tahan lagi menahan nafsunya,
ia langsung merebah di atas tubuh Via.
207 Via memekik lebih kencang. Teramat kencang.
Tubuh pria yang baru saja menindihnya, tiba-tiba
terpental jauh ke tengah jalan. Rekan-rekannya
sontak keheranan apa yang baru saja terjadi. Angin
mendadak berkibas bagai hendak turun badai.
Untuk sesaat, mereka membiarkan Andre
merasai perih di sekujur tubuhnya. Tatapan keempat
pemuda itu kemudian teralih ke semak-semak. Dua
orang teman mereka yang bertugas meregang Via di
tanah, ikut juga terlempar menyusul sang pimpinan.
Via pelan-pelan berdiri. Angin kian kencang


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkibas. Semua tatapan membelalak mendapati bola
mata Via diliputi warna putih. Pupilnya mengecil
hingga nyaris setitik tinta. Andre yang tak kalah
terkejut kehilangan keseimbangan dan jatuh
terduduk. Sedangkan empat orang yang menghajarnya, lalu terlempar begitu Via menatap ke
arah mereka. Via menatap Andre. Nyaris pula pemuda itu
ikut terjungkal. Via mendadak tersadar. Pupilnya
kembali melebar dan angin menyurut. Andre
mengerahkan sisa tenaganya untuk menyeret
mundur. Tak pernah ia melihat Via seperti itu.
"Andre..., kau baik-baik saja...?" Via melangkah
menghampirinya, namun Andre justru bangkit
berdiri dan mundur. "Jangan! Jangan mendekat!" Andre berteriak
bagai kesetanan. 208 "Andre?" Via gamang.
"Kau bukan manusia! Kau setan!" Andre bagai
kehilangan rasa perih di sekujur tubuh. Ia melompat
mundur kian jauh, lalu berlari meninggalkan Via dan
mobilnya. Via yang masih dalam kebingungan, hanya
mampu melihatnya lenyap dalam gelap malam.
Ia terus berdiri bak patung. Via baru menyadari
yang telah terjadi setelah orang-orang yang ingin
mencelakainya berdiri terseok-seok, kemudian
menghambur ke arah mobil mereka untuk segera
enyah dari lokasi. Daun-daun berserakan. Ranting-ranting bergelimpangan.
Pada detik yang sama, Via teringat kejadian
yang nyaris sama. Di depannya, tubuh-tubuh pemuda
bau alkohol bergelimang darah, menggeletak di
trotoar dan jalan raya. Mereka naas usai kemampuan
yang ia miliki meledak tiba-tiba.
"Apakah...?" Kedua tungkai Via serta-merta
melayuh. Tubuhnya rubuh bersimpuh menyadari
yang telah ia perbuat. Punggungnya berguncang
dihantam golak hatinya. Seiring dengan itu, air
matanya luruh tak kalah deras.
Cinta itu hilang dalam sekejap. Kemesraan itu
direnggut dalam sesaat. *** 209 Danti merebahkan badan di tempat tidur.
Ponselnya berbunyi dan ia membaca SMS yang baru
saja datang. Rupanya dari Via. Katanya, tidak usah
repot menjemput. Andre menyempatkan dirinya
singgah di kafe. "Kau tidur saja yang nyenyak. Jangan sampai
tertidur di SPBU lagi." Dua kalimat terakhir membuat
Danti tersenyum. Via masih ingat saja gumamnya.
Namun, memejamkan mata malam ini ternyata tak
semudah tadi pagi di pengisian bahan bakar. Pun, tak
sama mudah seperti ia terlelap di jam kuliah.
Beruntung, Via tak tahu yang ini.
Hingga hampir setengah jam, Danti coba
menanti bunga tidur. Tetapi tetap matanya celik.
Mencoba pejam lagi, tetap tercelang. Hingga akhirnya
ia bosan. Ia raih ponsel lalu menelepon Via. Ingin
menanyakan apakah mereka jalan-jalan dulu atau
langsung pulang ke rumah. Maklum, mereka sudah
lama tak terdengar jalan berdua.
"Sesekali ganggu orang pacaran, tak apalah,"
sungut Danti yang masih jomblo. Tak ada pemuda
yang berani mendekatinya, kecuali pemuda tak
waras seperti Alwi. Dan itu pun, ia tolak
mentah-mentah. Nada bahwa panggilan tersambung terdengar di
ujung telepon. Danti menunggu berdebar-debar.
Diangkat atau tidak. Benar saja, panggilannya tak
dijawab dan nada dengung berganti tulalit.
210 "Dasar, Via. Nggak diangkat. Kalau nggak mau
ditelepon, matiin aja ponselnya sekalian," malah
Danti yang menggerutu. Ia coba telepon sekalli lagi.
Kali ini, baru tersambung sudah langsung
diangkat. Anehnya, yang terdengar hanya hening.
"Via" Kau di sana...?" Danti penasaran.
"Jemput aku...." Bagai jarum yang tiba-tiba
menusuk kuping. Suara via terdengar serak dan
berat. Danti melompat dari tempat tidur tanpa tanya
lagi. Ia ambil celana panjang dan memasangnya
sambil menjinjit-jinjit mencari jaket. Ketika dirasa
seragam malamnya sudah siap, buru-buru ia sambar
kunci mobil dan berderap turun.
"Via kenapa" Tak biasanya...?" Danti lebih
memikirkan cemas yang ia derita, ketimbang
hembusan AC yang menusuk. "Kalau Andre kurang
ajar padanya, kubuat ia tak punya anak!" Pikiran
jelek pun hinggap. Apa lagi selain itu" Kabar terakhir
Via pamit akan pulang bersama kekasihnya. Lalu
kemudian, suaranya terdengar perih dan meminta
dijemput. Jika tidak digerayangi, pasti dicampakkan!
"Apa tak ada laki-laki yang beres di dunia ini?"
Danti mengomel sendiri sepanjang jalan. Saat
mengatakan itu, yang terlintas di kepalanya malah
Alwi. Pemuda itu seolah menempel jelas di ujung
matanya saat mengulurkan tangan untuk saling
berjabat. "Pret, malah ingat dia!"
211 Via akhirnya terlihat di salah satu ruas sepi
Ahmad Yani 2. Gadis itu berjalan lemas sembari
memeluk tubuhnya sendiri. Danti cepat-cepat turun
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. "Di mana
Andre?" Via justru memeluk Danti dan menangis. Danti
yang kebingungan, akhirnya balas merangkul tubuh
Via yang menggigil. Pada saat itu pula, ia menyadari
pakaian Via tak lagi bersih. Ada noda tanah di
beberapa tempat. "Kau kenapa" Pakaianmu kenapa bisa kotor
begini?" Via menggeleng-geleng tak mampu menjawab.
Ia masih menangis. Menumpahkan perih yang
datang hanya dalam waktu semalam. Danti pun tak
mampu memikirkan hal yang lebih baik ketimbang
mengantar Via pulang. "Malam ini, kau tidak tidur sendiri. Kau pulang
ke rumahku." 212 BAB 15 Danti menekan tombol power pada ponselnya.
Lockscreen terhampar. Gambar langit dengan latar
depan sebuah kunci pola dan jam digital. Sudah
pukul tiga pagi dan matanya masih saja terjaga.
Sepertinya, ia akan lagi-lagi tertidur di pom bensi dan
di kampus. "Ampun...," gumamnya kemudian sembari
memijit-mijit kening. Rasanya sakit kepala, terlebih
setelah mendengar cerita dari Via. Rekannya tersebut
baru bisa bercerita usai membersihkan diri dan
mengganti pakaian. Postur tubuh yang sedikit mungil
dibandingkan Danti membuat Via tak sulit
mengenakan pakaian Danti yang rata-rata beraroma
sporty. Kini, ia tampak pulas di tempat tidur. Danti
turun dari kursi meja belajar dan membetulkan
selimut yang menutupi tubuh letihnya. Alih-alih ikut
berbaring, Danti malah melorot di samping ranjang
dan duduk di lantai. Hanya dagunya yang dilabuhkan
pada kasur. Posisi demikian memberi kesempatan
baginya menatap wajah Via saat tertidur. Kebetulan,
Via memiringkan tubuhnya ke kanan, membuat
beberapa rumpun rambutnya berlabuh di depan
wajah. 213 "Aku bukan dirimu, Via.... Tapi..., kutahu yang
kau alami lebih berat dariku. Sungguh suatu
perjuangan kau masih bertahan hingga kini...." Danti
lekas-lekas mengusap air matanya yang tak terduga
menetes. Wajah damai depannya menyembunyikan beragam kisah. Senyum halus
yang tergurat saat ia tidur, justru bagi Danti bagai
gembok perkara yang mahadahsyat. "Sampai kapan
kau akan menyimpannya sendiri" Kau sudah
kuanggap kakak, sekaligus adik...."
Pada akhirnya, Danti pelan-pelan ikut terseret
mimpi. *** Kokok ayam jago tetangga dari kompleks
sebelah menyeruak sayup. Via pelan-pelan membuka
mata. Merasa tubuhnya sudah tak letih, coba ia
duduk dan meregangkan tangan. Begitu tangan
kanannya yang diangkat dan diulur tinggi-tinggi
berlabuh, sesuatu yang keras tak sengaja terhantam.
Cepat Via menoleh. Ia jumpai Danti masih setia
dalam mimpinya. Via menggoyang pundak Danti beberapa kali.
Disebutnya pula nama gadis itu agar lekas bangun.
Namun, Danti tak bergeming. Masih wajahnya
setengah tertelungkup di atas kasur.
214 "Danti, bangun. Kau tak seharusnya tidur
begini. Ayo, naik atas ranjang."
Pada akhirnya, nyawa Danti yang keluyuran
kembali ke dalam raga. Matanya melek, tapi separuh.
Ia mengangkat wajah dan menatap Via sambil balas
tanya, "Ada apa...?"
"Kau jangan tidur di situ. Di atas tempat tidur."
"Hm..., ngantuk...." Danti kembali menutup
mata. "Eh, tidur jangan di situ. Nanti badanmu sakit."
"Bangunkan aku kalau sudah pagi...." Danti
menyahut dengan wajah menelungkup dan mata
memejam. Via mendesah. "Ini sudah pagi."
"Jam berapa...?"
Via menoleh-noleh. Ditemukannya jam dinding.
Agak lama ia perhatikan, barulah ia bisa membaca
waktu yang tertampil, "Jam... delapan."
"Jam delapan apa...?"
"Jam delapan pagi! Tadi, ada ayam berkokok."
"Eh, buset!" Tiba-tiba, Danti berdiri. "Mampus!
Jam delapan! Jam sembilan ada kuliah Pak Yunus!
Mati! Mati! Kalau telat, bisa dapat E!" Via dibuat
215 heran oleh Danti yang hilir mudik tak keruan. Ia
menarik laci meja belajar, lalu menutupnya. Ia
membuka selimut Via, lalu menutupnya. Ia menarik
jaketnya yang tergantung di kursi, lalu melemparnya.
"Apa yang kau cari?" Via bertanya karena
bingung. "Aku harus kuliah, Via! Aku harus mandi!"
"Kalau kau mau mandi, kau harus ke kamar
mandi." Via menunjuk pintu di depan tempat tidur.
"Mampus! Mampus! Mampus!" Danti menuju
pintu itu sembari menepuk jidat. Pintu dibuka, ia pun
masuk. Pintu lalu ditutup setengah dibanting. Lama
tak kedengaran suaranya, Danti keluar lagi.
"Kau juga ada kuliah pagi ini, kan?"
Via mengangguk. "Iya, juga jam sembilan."
"Ayo, mandi denganku saja. Biar cepat!"
"Mandi saja dulu. Aku nanti saja. Kepalaku
masih pusing." Pintu ditutup lagi. Selanjutnya, terdengar
curahan air untuk beberapa menit. Via yang merasa
aneh, kembali menatap jam di dinding. Benar, jam
delapan. Tapi.... 216 Danti keluar dengan tubuh hanya berbalut
handuk. Rambutnya basah awut-awutan. Ia buka
lemari dan menyambar beberapa potong pakaian.
"Danti...," tegur Via.
"Aku sudah selesai. Giliranmu cepat!"
"Ng..., sudahlah," Via kemudian turun dari
tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi seraya
terus melihat Danti sibuk memadankan pakaian.
Danti tampaknya tak bisa diganggu. Itu pikir Via,
sehingga ia lebih memilih bungkam.
Tak sampai beberapa detik di kamar mandi, Via
balik ke luar. "Danti!" panggilnya kembali.
"Apa lagi?" Danti membongkar-bongkar lemari.
Entah apa yang ia cari. Mungkin pakaian yang tadi ia
ambil tidak cocok, jadi harus cari lagi.
"Tidak ada handuk."
Danti menepuk jidat. "Aduh! Handukku yang
lain kotor. Belum dicuci. Pakai ini saja!" Danti sudah
ingin menarik handuknya. Tapi Via melarang.


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau pakaian saja dulu. Aku bisa menunggu"
"Kita sudah telat, Via. Tak bisa tunggu-tungguan
begitu." Danti kemudian mengambil selimut. Ia tutup
seluruh tubuhnya bagai kelambu. Tak berapa lama,
tangannya kemudian tersembul menunjukkan
selimut. 217 "Ambil!" Via mengambilnya. "Bajuku!" Via ambil sepasang baju dan celana yang
tergeletak di atas kasur. Diletakkannya di tangan
Danti. "Terima kasih!" tangan itu kembali ke dalam
selimut. Via lekas berpulang ke kamar mandi.
Via tak terburu-buru seperti Danti. Danti hanya
perlu 10 menit untuk mandi, sedangkan Via dua kali
lipatnya. Via selalu menghimbau Danti untuk sabar
saat gadis itu berkali-kali meneriakinya untuk segera
cepat selesai. Sedangkan ketika Via keluar dari kamar
mandi berkemban handuk, tampak Danti masih
semrawut. Rambutnya berantakan dan ia sibuk
mencari-cari sisir yang lenyap entah ke mana.
"Kupikir, kau sudah siap," komentar Via.
Danti hanya mendengus. Sisir yang dicarinya
hampir tiga menit, ia temukan di bawah kasur. Lekas
ia berbalik ke cermin dan merapikan rambutnya.
Usai bersisir, benda itu ia serahkan pada Via yang
sama sekali belum berpakaian. Lemari dihalangi oleh
Danti. Gadis itu tiba-tiba berbalik. "Ng.... Sepertinya
ada yang aneh." 218 "Aneh apa?" "Sepertinya, lengkap." ada pakaianku yang belum Via kemudian melambaikan tangan agar Danti
menghampirinya. Begitu tepat di depan muka, Via
kemudian menarik kerah baju Danti hingga gadis itu
agak membungkuk. "Kau belum pakai itu," telunjuk kirinya lentik ke
arah dada Danti. Spontan, Danti menegakkan
punggung dan menyilangkan tangannya di depan
dada. "Pantas...!" desahnya kemudian.
"Pastikan juga kau tak lupa pakai yang di situ."
Via menunjuk ke arah celana, lalu ngeloyor menuju
lemari. Sepeninggalnya, Danti menepuk-nepuk
keningnya berkali-kali. *** Menunggu Via selesai berbenah, Danti lebih
dulu turun. Ia juga telah melengkapi "onderdil"
pakainnya yang kurang. Begitu turun, langsung ia
menuju dapur dan menemui Eldien tengah memasak
di sana. Danti jelas bingung karena ibu tirinya
ternyata belum berangkat ke kantor. Sedangkan
Eldien, juga tak kalah kaget. Tak biasanya Danti lari
219 ke dapur dengan tergopoh-gopoh. wajah panik dan langkah "Maaf, aku tak sempat bantu Bu Eldien masak,"
Danti tampak mencari-cari sesuatu. Ia buka lemari,
laci, bahkan tudung saji.
"Tak apa. Tapi, kau cari apa?"
"Roti, nasi, mie, atau apalah yang bisa dimakan.
Aku sudah terlambat." Letih membolak-balik,
akhirnya ketemu juga dua potong roti. Langsung ia
sambar dan mengolesinya dengan selai coklat.
"Kau terlambat" Kegiatan apa sepagi ini?"
"Pagi" Ini sudah hampir jam sembilan!"
Eldien berbalik berkacak pinggang. Celemek
menghiasi bagian depan tubuhnya. "Jam sembilan"
Ini masih jam enam!"
"Eh?" Barulah Danti ingat. Ia rogoh saku celana.
Ketemu ponsel, ia tekan tombol power-nya.
Menghampar lockscreen dengan widget sebuah jam
digital. Terpampang besar-besar angka "06:17".
"Amit-amit...." kesahnya kemudian sembari
menjatuhkan diri ke atas kursi. "Tapi, jam di
kamarku...." "Sudah ingin kuberitahu. Jam di kamarmu mati.
Tapi..., kau tampaknya sibuk. Jadi, kubiarkan saja."
220 Via menyusul ke dapur. Pakaiannya senada dengan
Danti, namun lebih rapi dan tampak anggun.
Danti menelungkupkan wajahnya di meja
makan. "Bangunkan aku kalau sarapannya sudah
siap...." Eldien menggeleng-geleng. Via kemudian
membantu ibu tirinya memasak. Via memberikan
pemakluman agar Danti tak diusik. Keselamatannya
di jalan bergantung pada gadis itu.
*** Pukul setengah delapan mereka akhirnya turun
ke jalan raya. Di rumah, di hadapan Eldien, Via
mampu menyembunyikan gurat perihnya. Namun
kembali ke dalam mobil, membuat Via merasakan
atmosfir yang sama tatkala bersenda gurau bersama
kekasihnya. Sekaligus ia teringat akan orang-orang
bejad yang seenaknya datang membuat semuanya
hancur berkeping-keping. Danti terpaksa menegurnya berkali-kali. Ia tak
ingin Via tercenung. Karena tiap kali Via seperti itu,
kabin mobil jadi terasa hangat. Lama-lama, menjadi
gerah dan memaksa Danti menaikkan hembusan AC.
Namun kali ini, AC sama sekali tak berfungsi. Mati.
Mau tak mau Danti membuka jendela mobil.
221 "Aku harap, AC-nya mati bukan karena
ulahmu," senggol Danti. Mukanya diterpa angin
membuatnya terpaksa memicing.
Via menoleh bingung. "Kau dengar ini saja." Danti membuka laci
dasbor. Ia menarik sebuah flash disk warna ungu.
Ditancapkannya pada perangkat audio di tengah
dasbor. Usai menekan beberapa tombol, melantunlah
lagu anak-anak dengan tempo cepat. Via hanya
mampu membalas dengan senyum tipis. Danti
memang pandai merusak suasana hati seseorang.
Pantas saja tak punya kekasih.
Puluhan lagu melantun hingga tiba di kampus.
Walau agak mengganggu, Via tetap berterima kasih
karena tak harus larut mengenang malam yang pahit.
Mereka akhirnya bernyanyi bersama-sama mengikuti
lirik lagu terakhir. Sebuah lagu yang dibawakan oleh
Tasya, tentang menjelang hari libur. Pelan-pelan,
mobil merapat ke tempat parkir.
Asyik bernyanyi-nyanyi kecil, sebuah jip
melintas di depan mereka. Sebuah mobik yang Via
hapal benar siapa pemiliknya. Sebuah mobil yang
menghentikan bibirnya melafalkan syair lagu nan
riang. Cepat-cepat justru Via mencopoti sabuk
pengaman dan turun dari mobil. Danti melongo
mendapati Via meninggalkannya.
*** 222 Andre terkesiap saat berbalik. Via tiba-tiba saja
sudah berdiri di belakangnya. Padahal sewaktu
melintas di pelataran parkir, ia sudah sangat
berhati-hati untuk tidak menemukan gadis itu. Walau
Andre masih bisa menahan rasa keterkejutannya, Via
dapat dengan jelas mengetahui bahwa Andre terkejut
akan kehadirannya itu. "Pagi, Andre...," Via coba menyapa. "Kabarmu
baik, kan?" Semua kesan romantis itu. Jalinan akrab
yang telah mereka bina. Seolah ambruk. Kini kembali
kaku. Bagai tak ada kenal.
Bukannya menyahut, Andre malah ngeloyor
pergi. "Baik katanya?" gumam pemuda itu sambil
berjalan sedikit pincang. Lebam usai dihajar memang
tak tampak. Namun, sobek kecil di kening dan
pipinya bisa teridentifikasi karena ditempeli plester
luka. Andai ia tak ingat telah berhari-hari bolos
kuliah, ia takkan mau ke kampus.
"Andre! Kau kenapa?" Via terpaksa memanggil
dengan suara agak keras. Andre akhirnya berhenti
dan berbalik. Danti yang sebenarnya ingin menyusul
cepat-cepat menahan langkah. "Aku salah apa" Aku
salah apa sampai kau acuhkan seperti ini?"
"Salahmu?" sahut Andre akhirnya. "Kau mau
tahu salahmu" Kau sudah tak jujur!" Jawaban itu
bagi Via bagai petir yang tepat menyambar di
ubun-ubun. Bagaimana Andre bisa menunduhnya tak
jujur" "Selama ini kau sembunyikan bahwa kau itu
bukan orang! Kau setan!"
223 "Hei! Jaga mulutmu!" Danti tak tahan
mendengar temannya disebut bukan manusia.
Terpaksa keluar dari persembunyian. "Jangan-jangan, kau yang berhati iblis! Kau
campakkan orang yang sangat mencintaimu!"
"Jangan ikut campur!" tunjuk Andre. "Kau juga
sudah dikibuli orang ini, ya" Kau tak pernah lihat dia
melempar orang hanya dengan melihatnya" Manusia
mana yang bisa begitu" Kecuali ia menuntut ilmu
hitam!" "Kau tak tahu apa-apa tentang Via!" bentak
Danti tak kalah galak. "Ya, karena ia sudah tak jujur padaku! Kita
putus!" Andre melengos. Tak lagi ia menoleh.
Langkahnya gancang meninggalkan kedua gadis itu.
Ia benar-benar tak peduli apa yang kini Via rasakan.
Hatinya yang cuma satu itu, yang telah ia berikan
pada seseorang yang sangat ia percaya untuk
menjaganya, kini dibuang begitu saja.
Sudah tak mampu lagi. Via tak dapat
membendung air matanya untuk kembali berurai.
"Aku rasa, hubungan kita juga tidak dapat
dilanjutkan...," rintihnya lirih. "Kau juga sudah tidak
jujur padaku...." Danti tercengang. Tak dinyana ia menjadi saksi
kandasnya hubungan sepasang kekasih. Terlebih-lebih, salah satunya tak lain sahabatnya
sendiri. Tak tahan melihat Via terisak menahan
224 perih, Danti datang mendekapnya. Via berbalik
merangkul lebih erat, lalu meraung sejadi-jadinya.
Danti mengitari sekeliling. Perselisihan itu
banyak yang menyaksikan. Ia khawatir orang-orang
masih menonton dan menanggapi apa yang Andre
ucap. Tapi, syukurlah. Pada saat itu tak ada lagi mata
yang menyorot ke arah mereka. Masih-masing telah
sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Danti harap,
apa yang telah mereka dengar hanya dianggap angin
lalu. Hanya kata-kata yang lumrah terlontar pada
sepasang kekasih yang bertengkar, kemudian
berpisah. Meski demikian, ada satu orang yang terluput
dari ujung mata Danti. Ia memandang kejadian
tersebut dari kejauhan. Duduk santai di dalam
mobilnya, lalu tersenyum penuh gurat licik.
225 226 BAB 16 Danti rasa, apa yang telah terjadi pagi ini takkan
membawa suasana kondusif di bangku perkuliahan.
Lebih baik ia antar Via pulang dan titip absen.
Setelah Via berhenti meraung dan mampu
mengendalikan emosinya yang meledak sesaat, ia
lalu memapah Via menuju mobil.
Nira mengikuti langkah mereka dari jalur
bersebelahan. Dengan langkah agak lebih cepat, ia
mampu mendahului kedunya. kemudian memotong jalur dan menghadang langkah Danti
sebelum mencapai pintu mobil.
"Maaf, kami harus pergi...," Danti kenal siapa
Nira. Mereka pernah berjumpa beberapa kali. Via
juga pernah bercerita kisah kelamnya bersama gadis
itu. Namun, kali ini ia tak tahu maksud Nira tiba-tiba
datang mencegat. Ia juga tak mau bertengkar.
"Aku ada urusan dengan Via.
tinggalkan kami." Nira tak mau kalah.
Kau

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa Mendengar itu, Danti menarik kian dekat tubuh
Via. Tak boleh ada yang main-main dengan Via saat
ini. Pasang badan pun Danti berani jika orang-orang
itu cari masalah. 227 "Via tidak bisa diganggu. Kau tidak lihat
kondisinya sekarang" Ia harus istirahat."
Sayangnya, Nira masih berkeras. Ia tak
bergeser, malah menyahut, "Aku kemari tidak untuk
mengganggu. Aku kemari justru ingin menawarkan
penyelesaian masalah. Masalah yang telah lama
terjadi di antara kami berdua."
Tawaran yang tampaknya menarik. Via
menyentuh tangan Danti yang merangkul pundaknya. Ia kemudian memberi isyarat untuk
melepas rangkulan itu. "Aku sudah tidak apa-apa,"
ujarnya kemudian. Meski berat, Danti tetap melepas pundak Via
dari penjagaannya. Ia kemudian mundur selangkah
memberi ruang keduanya berdiskusi.
"Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan?"
Via memulai. Sesekali dadanya tampak menahan
guncang. Matanya belum pudar warna merah akibat
menangis. Senyum mengembang lebar di bibir Nira. "Aku
telah memikirkannya. Siapa pun perlu kesempatan
kedua. Kau mendorongku di sekolah, itu bukan suatu
kesengajaan. Aku memang celaka, tetapi karena hal
itulah aku masih hidup. Itu kesempatan kedua
bagiku. Sedangkan kesempatan kedua untukmu...."
Beberapa orang di pelataran parkir tak sengaja
menatap ke langit. Mereka menjumpai sesuatu bagai
menggantung oleh tali tak tampak. Walau sangat
228 tinggi dan kelihatan sangat kecil, beberapa di antara
mereka mengenal benda yang tergantung itu sebagai
batangan baja. Benda yang seharusnya berada di
lokasi konstruksi gedung baru.
Tak seberapa lama ketahuan melayang di atas,
tiba-tiba batangan baja itu meluncur jatuh. Arahnya
lurus diperkirakan menimpa salah satu dari kedua
gadis yang tengah berbincang itu. Mereka-mereka
yang sadar, kemudian meneriaki keduanya.
Tapi Nira bagai tak terpengaruh. Ia hanya
tersenyum dan mendongak. Benda yang dikatakan
orang-orang akan menimpa mereka kian jelas
wujudnya. "Lakukan yang sepatutnya kau lakukan
sejak dulu...." Via menangkap maksud dari ucapan Nira. Gadis
itu, ia masih belum puas, ia ingin melihat apa yang
seharusnya Via lakukan saat balok kayu jatuh hendak
menimpanya bertahun-tahun yang telah lewat.
Bukan malah mendorongnya dengan kemampuan
telekinetis, melainkan seharusnya menyingkirkan
balok tersebut. Tapi.... Semua kemampuan yang ia miliki. Tak
semudah itu menggunakannya. Takkan mungkin di
depan umum. Dan tak pernah lagi muncul saat ia
memerlukannya. Telekinetis yang ia sandang muncul
saat jiwanya meledak-ledak. Saat mentalnya terpuruk
tak sadar. Nira bunuh diri jika harus mengujinya
seperti ini. 229 "Waktumu hampir habis...." Batang baja kian
dekat. Beratnya bisa beratus-ratus kilogram. Tubuh
manusia akan langsung hancur jika tertimpa. Via tak
dapat berbuat banyak selain hanya berdiri dengan
gurat bimbang yang sangat kentara.
"Jangan paksa aku...!" rintih Via. "Aku tak
bisa...!" "Ingat, ini kesempatan keduamu." Nira sungguh
persuasif. Tapi bagaimana pun, Via tak yakin masih
memegang hak prerogatif akan kemampuan tersebut.
Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berjudi
antara hidup dan mati. Ia ayunkan tangan kanannya
saat tinggal tiga meter batang baja melumat kepala
Nira. Serentak sesuai yang ia lakukan, benda
konstruksi itu pun melenting. Tiba-tiba terpental dari
rute utama dan menghantam liar puluhan kendaraan
yang terparkir. Pun nyaris menikam beberapa
mahasiswa, andai Via tak segera menahan lajunya
dari jauh. Batangan baja itu akhirnya berhenti di udara.
Mahasiswa-mahasiswa yang nyaris terkena hanya
mamatung, jadi Via memutuskan untuk membuang
batangan baja itu ke tempat yang lebih aman. Namun
disayangkan, saat ia memindah benda tersebut, ia
kehilangan daya cengkeram dan besi seberat ratusan
kilo itu jatuh di atas mobil lain hingga nyaris rata
dengan tanah. Kelopak mata Via kembali memerah. Bulir-bulir
air ikut menggenang di sudut-sudutnya dan
meluncur luruh. "Aku sudah mengambil kesempatan
230 keduaku. Aku telah melakukannya
Kuharap, itu sudah cukup...."
untukmu. "Itu lebih dari cukup." Nira kemudian berseru,
"Kalian semua, lihatlah apa yang dilakukan orang ini!
Kalian bertanya-tanya apa yang terjadi belakangan,
bukan" Jawabannya sudah ada di depan mata
kalian!" Via merasa tubuhnya bagai ditusuk seribu
pedang saat tahu siasat Nira. Sakitnya teramat sakit,
hingga tak terasa apa-apa lagi. Tubuhnya seketika itu
juga limbung. Danti segera menangkapnya saat ia
mulai jatuh. "Dasar kau wanita ular!" sumpah Danti. Via
yang bersimpuh tubuhnya mengeras. Napasnya
tersengal-sengal. Ia tak terisak dan meraung lagi,
tetapi air matanya bercucuran ke tanah. Danti tak
pernah melihat Via tertekan sedemikian rupa.
Nira malah tersenyum puas. Ia bergumam ke
arah Via, "Kau pikir, aku bisa melupakan begitu saja
yang telah kau perbuat?" Setelah itu, ia kembali
berseru, "Orang ini bermain-main di antara nyawa
kalian. Sedangkan ia tak mampu mengendalikan
permainannya. Sungguh ia tak pantas berada di sini!"
Usai berkata demikian, Nira berputar dan
melenggang pergi. Danti ingin sekali menerjang
punggung gadis itu seperti ia dulu pernah ingin
menerjang Alwi. Kali ini, ia benar-benar berniat
membuatnya cacat permanen.
231 Namun, Via tak bisa ditinggal. Menghajar Nira
pun tampaknya tak akan menyelesaikan soal.
Ditambah lagi.... "Kalian lihat apa?" Orang-orang memperhatikan
mereka. Tatapan-tatapan itu bagai dijangkiti curiga.
Mereka mungkin tak terhasut oleh Andre. Tetapi Nira
benar-benar menohok dengan bukti yang nyata.
"Lebih baik kalian urus urusan kalian sendiri!"
Seorang mahasiswa yang mengenal Danti
tiba-tiba menyahut, "Kau yang jangan urusi dia lagi!
Kau lihat apa yang ia lakukan tadi" Dia yang
membuat celaka kampus kita! Besok-besok kau juga
akan celaka olehnya!"
"Aku tak peduli! Biar pun aku mati karenanya,
aku akan tetap melindungi Via! Kalian tak tahu
apa-apa! Kalian tak tahu apa-apa!"
Danti ingin memeluk Via lebih erat, namun
tiba-tiba ia bagai terdorong. Ia coba sekali lagi, dan
dorongan itu tambah kuat.
"Via...?" "Pergilah...!" "Via, aku takkan meninggalkanmu."
"Pergilah! Aku bukan siapa-siapa!" Via yang tak
pernah berkata kasar, kini tiba-tiba membentak.
Danti terperanjat setengah mati. Tambah terkejut lagi
ia ketika dirinya dan orang-orang di sekeliling bagai
232 dihenyak dari atas. Tak bisa bergerak. Tertekan ke
bumi. Kendaraan-kendaraan yang terparkir juga
bernasib sama. Sasisnya hingga menyentuh ban.
Bahkan beberapa mobil harus kehilangan kaca
karena kabinnya tertekan hingga melewati batas
daya rangka. "Apa ini" Apa ini" Kenapa badanku?" yang lain
tampak histeris. Mereka terkungkung, namun
kerangkeng itu tak tampak.
"Aku juga tak bisa bergerak! Dia ingin
membunuh kita! Kita akan mati!" jerit yang lain.
Danti gemetar. Posisinya paling dekat dengan
Via. Mungkin karena itu, bernapas pun rasanya
sangat sulit. Bagai ingin mengembangkan paru-paru
di dalam air. "Via!" pekiknya pula dengan sisa udara dalam
dadanya. "Aku yakin bukan kau pelakunya! Jadi
jangan lakukan yang tak pernah kau lakukan! Via!
Kumohon!" Udara yang bagai mencekik itu tiba-tiba hilang.
Semua terhuyung. Danti cepat-cepat menarik napas.
Paru-parunya nyaris pecah.
"Nira benar. Aku tak layak di sini lagi." Via
berdiri. Tanpa mengucap salam atau berpamitan, ia
langsung memacu langkahnya meninggalkan Danti
yang masih terduduk di jalan. Danti hendak ikut
bangkit dan mengejar, namun lututnya kelu dan
nyeri. 233 "Via! Kau mau ke mana" Tunggu aku! Via!"
Via tak menggubris. Sama sekali ia tak menoleh
atau berhenti. Langkahnya melejit meninggalkan
halaman kampus, hingga akhirnya ia menghilang di
pintu gerbang. Tak tampak lagi.
Kini, giliran Danti yang menangis bersimpuh di
pelataran parkir. *** Jauh sebelum kejadian di pelataran parkir, Alwi
dan Wiwid telah tiba di kampus. Keduanya
mendadak bagai sepasang kekasih. Menunggu jam
masuk kuliah, mereka sepakat menghabiskan waktu
di kantin. "Kenapa gerah sekali, ya?" Alwi tiba-tiba
berkipas dengan tangan. Wiwid menatapnya dengan
kening berkerut. "Kau gila" kegerahan?" Ini baru jam delapan, sudah "Tapi, beneran panas. Pinjam clipboard-mu!"
Disambarnya papan klip milik Wiwid. Dipakainya
untuk berkipas. "Jangan pakai clipboard-ku! Pesan teh es sana!"
Wiwid menyambar balik papan klip yang dirampas
234 Alwi. Tak mau ia kertas-kertas yang dijepit pada
papan itu bertebaran. Alwi itu sejenis makhluk yang
ceroboh. Alwi cemberut. Ia turuti perintah Wiwid.
Namun, yang ia pesan bukan tes eh, melainkan jus
jeruk. Bagi Wiwid, masa bodoh apa yang ia pesan.
Yang penting, jangan mengusiknya saat menggambar.
Ia yang lihai menggoreskan pensil dapat order
menggambar latar untuk sebuah proyek komik
seorang teman di luar kota.
"Eh, Wid...!" Alwi tiba-tiba memanggil namanya.
"Apa?" Wiwid menyahut datar. Sedikit pun tak
menoleh pada Alwi. "Bisa pinjamkan aku tisu atau saputangan?"
"Untuk apa?" Barulah Wiwid mengangkat
wajah. Dilihatnya Alwi menutup mulut dan hidung
dengan sebelah tangan. "Kau kenapa?"
"Aku mimisan...," jawab Alwi tetap masih
menutup hidung dan mulutnya. "Banjirnya. Deras
banget...." Benar saja. Baru berkata begitu, Wiwid melihat
ada beberapa tetes cairan merah yang jatuh dari
balik tutupan tangan Alwi. Wiwid jelas kalut. Ia lihat
kotak tisu di atas meja, ternyata kosong. Mau tak
mau, ia buka tasnya dan menyodorkan tisu
cadangan. 235 Sungguh, tampang Alwi kini bagai mayat siap
dikubur. Kedua lubang hidungnya disumbat oleh tisu
putih. Walau prihatin, Wiwid sempat juga
terpingkal-pingkal. "Aku pulang saja...." Alwi beranjak
meninggalkan meja kantin. Wiwid melongo.
dan "Yah, ngambek...," sindirnya.
"Bukan ngambek. Aku memang harus pulang.


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau mimisan, aku suka pusing. Percuma saja ikut
kuliah, takkan masuk ke kepala."
"Pusingmu itu karena kau kekurangan darah.
Aku antar." "Tak perlu! Tak perlu!" Alwi bagai menghindar.
Langkahnya makin laju. "Nanti aku cari tumpangan
lain saja!" Wiwid garuk-garuk kepala. "Alwi makin aneh
saja, sejak kepalanya terbentur, dan sejak cintanya
dicampakkan." Tak perlu lama setelah Alwi meninggalkan
kantin, suara gaduh tiba-tiba terdengar dari arah
gedung utama. Semua terkejut karena kerasnya
bunyi itu dan tak seperti suara dari proyek gedung
baru. Alwi lupa mimisannya, lalu berlari cepat-cepat
menuju pelataran parkir. Tisu yang menyumbat
hidung ia copot lalu buang.
236 Ia terperanjat. Begitu pula beberapa mahasiswa
yang ikut tiba di lokasi kejadian. Beberapa mobil dan
puluhan sepeda motor bergelimpangan. Sejumlah
hanya ringsek ringan, sejumlah yang lain hancur
total. Sebuah batang baja tampak menindih sebuah
mobil, membuatnya gepeng tak dapat dikendarai lagi.
Tampak pula Via berlari meninggalkan tempat
parkir menuju jalan raya. Seseorang beberapa kali
menyeru namanya agar berhenti, namun tak
digubris. Alwi mengenal suara itu. Lekas ia menuju
sumbernya dan menemukan Danti terisak bersimpuh
di jalan. "Danti, kau kenapa?" Alwi ingin membantunya
berdiri. Namun, gadis itu malah melarang.
"Bantu aku..., bantu aku menghentikan Via.
Bawa dia pulang...!"
"Tapi..., Via kenapa?" Alwi kelihatan bingung.
"Bawa saja dia pulang!"
237 238 BAB 17 Nira tersenyum lebar. Bahkan, senyum puasnya
itu tak bisa kuncup sepanjang jalan. Hingga ia tiba di
kampusnya sendiri. Andai ia tak dapat menahan rasa
senang itu, mungkin dirinya sudah tertawa
terbahak-bahak. Orang yang telah membuatnya
hidup dalam kecacatan, kini sudah ia buat cacat
mentalnya. "Kau bahagia sekali. Kau dapat kado ulang
tahun?" Radon sudah menyambut saat Nira turun
dari mobil. Nira menutup pintu dan menekan tombol
alarm. "Tentu saja," jawabnya. "Terima kasih atas
bantuanmu, Mister. Aku sekarang tidak perlu repot
untuk memikirkan pindah dari kota ini." Yap, yang
perlu pindah sekarang bukan dirinya, tetapi Via.
Radon mengulurkan tangan. "Aku
seharusnya berterima kasih atas bantuanmu."
yang Nira tak mengerti maksud Radon. Namun, ia
tetap menyambut uluran tangan tersebut dan
berjabat erat. "You're wellcome."
239 Lalu bak pelayan istana, Radon kemudian
mempersilakan Nira lewat. Karena ia tahu, Nira pasti
ingin masuk ke dalam kampus. "Please, Young
Lady...." Nira tambah tergelak. Sepeninggalnya ia, Radon tak lantas pergi.
Pemuda itu diam sejenak. Sejak tiba di kompleks
perguruan tinggi tersebut, ia telah tahu bahwa
tengah diawasi. Braham juga sempat meneleponnya
agar tidak gegabah. Kasus pembantaian di Jembatan
Kapuas I tengah diselediki oleh Kepolisian
Kalimantan Barat. Braham juga sempat menyayangkan cara kerja Radon yang terbilang
"kotor". "Jika tak suka caraku bekerja, jangan gunakan
aku," balas Radon yang membuat Tuan Braham tak
bisa membalas lagi. Telepon akhirnya ditutup dengan
pesan agar ia tak bertindak serampangan.
"Apa ini termasuk tindakan serampangan?"
Radon lalu mengarahkan telapak tangannya ke
sebuah minibus. Kira-kira, jaraknya 30 meter dari
tempat ia berdiri. Setelah lama hanya terhampar,
telapak tangan itu kemudian dikepal. Minibus
tersebut berguncang, terdengar sesuatu jatuh di
dalamnya. Darah mengucur dari sela pintu ke kolong
mobil. *** 240 Keluar dari kampus, Alwi bingung. Ke mana ia
harus mencari Via" Via sudah tak terlihat lagi. Kota
Pontianak cukuplah luas, banyak tempat yang bisa
didatangi gadis itu. Pertanyaannya, tempat yang
mana" Berharap tak salah arah, Alwi nekad terus
menyusuri trotoar jalan utama.
Ratusan meter darinya, Via memilih jalan kecil
nan sepi. Di sana, ia merasa letih dan memutuskan
untuk berhenti. Napasnya tersengal bercampur lelah
dan perih. Air matanya masih deras sulit untuk
dibendung. "Aku harus pergi. Tak peduli apa pun, aku harus
pergi dari sini!" Itu yang terus terngiang. Via mencuci
pikirannya sendiri dari apa-apa yang seharusnya
menahan ia tetap bersama Danti dan yang lain.
Semuanya gelap. Yang ia pikirkan adalah segera
enyah. Tak penting itu ke mana, yang penting ia
harus lenyap dari depan mata orang-orang itu.
Via berputar dan siap lanjut berlari. Namun,
sosok pemuda yang sudah berdiri tegap di
hadapannya membuat ia terperanjat.
"Aku dengar, kau ingin pergi. Kau bisa ikut
aku." Radon muncul membawa penawaran. Tak sulit
bagi Radon menemukan Via, karena kaki tangan
Braham kini menyebar di mana-mana, termasuk
telah mengintai Via sejak keberangkatannya ke
kampus. 241 Via tak menyahut apa-apa. Matanya kian merah
menahan marah, kesal, bercampur pedih. Ia menatap
Radon lekat-lekat, lalu pergi melintasinya begitu saja.
Radon berbalik. "Kau ingin pergi ke mana"
Takkan ada yang mau menerimamu! Kau hanya bisa
bersembunyi. Dan persembunyian itu cepat atau
lambat akan terbongkar!"
Via masih lurus berjalan. Langkahnya lebar-lebar. Biarlah bersembunyi dan terus bersembunyi. Jika terbongkar, ia akan pergi ke
tempat lain dan bersembunyi lagi. Atau kalau perlu,
ia pergi ke tempat terpencil. Hidup di sana dan mati
di sana seorang diri. Tak merepotkan orang lain!
"Sekali kemampuanmu terbongkar, kau akan
terus dicari! Sampai ke ujung dunia pun kau akan
tetap dicari!" Via akhirnya berbalik dan menyahut, "Kuingatkan kau sekali lagi dan yang terakhir kali!
Aku takkan membantu kalian sebagai pembunuh
atau pun membantu siapa saja! Takkan pernah! Dari
pada aku menjadi pembunuh sepertimu, lebih baik
kalian bunuh saja aku!"
Ia kembali berbalik. Langkahnya berlanjut kian
cepat. Di pikiran Via kini, ia harus kembali ke
rumahnya, mengemaskan barang-barang, kemudian
enyah. Sedangkan Radon yang memperoleh jawaban
sekasar itu justru tersenyum bagai puas. Sudah lama
ia menanti kata-kata demikian. Membunuh Via
adalah keinginan terbesarnya.
242 "As you wish...." Ia mengangkat tangan
kanannya lagi. Telapaknya menghadap Via yang kian
jauh. Namun demikian, ia sulit untuk mengepal.
Tangannya yang teracung juga gemetar dan tak bisa
fokus. Selalu bergeser. Lalu tiba-tiba, tangannya berhenti gemetar,
seolah terkunci. Udara di sekeliling tangannya bagai
menjadi padat sekeras beton. Tidak! Lebih keras lagi
dibandingkan baja. Bagi Radon, baja setebal apa pun
takkan mampu menghalangi kelingkingnya, namun
udara ini sama sekali tak bisa ia tembus.
Berusaha kian kuat, kian ia terkunci. Hingga
akhirnya, Radon tersadar. Ia berhenti menarik
tangannya. Ia biarkan terus mengacung tergantung.
"Aku tahu ini bukan Via. Via tak stabil ini.
Keluarlah jika kau bukan pecundang!" Usai berkata
demikian, tangan kanannya yang menggantung itu
bagai dipelintir. Berputar setengah lingkaran,
sedangkan sikunya tertekuk berlawan arah nyaris
patah. Radon meringis, namun hanya terlihat sedetik.
"Kau masih ingat aku?"
*** Radon tergelak. Sosok pemuda lain yang
muncul dari sebuah gang benar-benar di luar
243 dugannya. Namun menjumpai sosok itu, sekaligus
pula ia ingin tertawa. "Kau masih hidup rupanya. Kupikir, kau sudah
jadi makanan cacing!" Itu Alwi. Radon mengenalnya
sebagai rekan seprofesi beberapa tahun lalu. Namun
kemudian, Alwi menghilang dan tiba-tiba muncul
sebagai rival. Alwi mengesat darah yang kembali mengalir
dari hidungnya. Namun kini, tak begitu banyak
dibanding di kantin. Melihat darah itu, Radon
tertawa pendek. "Menyingkirlah dari Via. Jangan ganggu lagi
hidupnya. Beritahukan itu pada bosmu kalau kalian
semua masih ingin hidup."
Tangan Radon yang menggantung tiba-tiba
berhasil mengepal. Sangat erat. Lalu ia tarik dan
akhirnya terlepas dari belenggu udara yang dibuat
oleh Alwi. Alwi sendiri langsung terhuyung. Ia
memegangi kepalanya yang mendadak berdenging.
Begitu ia mengangkat wajah, Radon telah
menghilang. *** Polisi ramai. Pelataran parkir dijaga ketat.
Mahasiswa yang ingin mengambil kendaraannya
harus menunjukkan KTP dan SIM. Nira yang baru
244 tiba jadi tampak bingung. Ia mencari-cari apa yang
sebenarnya dikerjakan oleh polisi-polisi itu.
Tampaklah sebuah minibus di ujung lapangan parkir.
Polisi ramai sana. Mereka kemudian mengeluarkan tiga kantong mayat dari dalam mobil.
Nira bergidik begitu sadar telah terjadi pembunuhan.
Beberapa polisi juga berkumpul. Mereka
tampaknya berdiskusi alot. Seorang di antaranya
membawa sebuah tablet dan menunjukkan sesuatu
pada seorang yang lain. Usai melihatnya, polisi-polisi
itu menghampiri sebuah mobil sedan warna perak,
terparkir sekitar 30 meter dari mobil minibus.
"Ini mobilnya, kan?" Walau jauh, Nira bisa
mendengar yang mereka bicarakan kini.
Seorang yang membawa tablet, melihat lagi
layar tabletnya. "Ya, benar. Nomor polisinya itu."
Nira mengernyit. Kenapa sekarang merembet ke
mobilnya" Polisi-polisi itu juga mengintip ke dalam
mobil. Mereka kitari kendaraan roda empat tersebut
mulai dari depan, hingga belakang. Dan ketika
sampai di bagasi, polisi-polisi itu berhenti. Mereka
sepertinya menemukan sesuatu yang membuat
heran. Salah seorang yang memakai sarung tangan lalu
menjongkok. Ia usap bagian bawah bagasi. Seketika
itu Nira terbelalak. Sarung tangan sang polisi yang
semula putih bersih, kini berlumuran warna merah.
245 "Darah" Bagaimana bisa?" Seorang polisi
melihat kehadiran Nira. Ia memandang tablet,
kemudian memandang Nira lagi. Firasat Nira


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah buruk ketika sang polisi pelan-pelan
tampaknya mendekat. Nira cepat-cepat berputar dan meninggalkan
tempat itu. Ia tak peduli mobilnya kini. Yang penting,
ia menjauh dulu dari polisi-polisi itu bagaimana pun
caranya. "Darah itu, bagaimana bisa ada di sana?"
gumam Nira sepanjang jalan. Takut masih diikuti, ia
segera bersembunyi di balik sebuah tembok. Benar
saja, polisi itu muncul seperti mencari-cari seseorang.
Merasa tak menemukan yang ia cari, polisi itu
kembali ke pelataran parkir. Namun kemudian, ia
kembali dengan memerintahkan lima polisi lain
untuk menyebar. "Aku dijebak" Oleh siapa?" Nira sudah
berpikiran yang tidak-tidak. Jangan-jangan, Via yang
melakukan ini. Tapi sampai membunuh orang lain"
Jika ingin jujur, Via takkan mungkin. Lagi pula,
mengapa harus bersusah-susah menjebak, jika
membunuh orang bisa segampang itu"
"Radon...?" Jika harus membandingkan antara
Via dan Mister Bule, Radon-lah yang memiliki bakat
licik. Menjebak Via adalah Ide Radon. Mungkin saja
dia, tapi apa tujuannya" Ia baru mengenalnya
beberapa hari. Kerja sama di antara mereka pun
berakhir baik. 246 "Tak ada waktu. Aku harus pergi. Makin lama
berdiam, makin cepat aku ditemukan." Polisi-polisi
itu, Nira yakin tak mau mendengar alasan apa pun.
Semuanya bakal jadi mentah jika ia tak memiliki
bukti yang kuat. Sedangkan bukti apa, ia sendiri
masih belum paham yang sebenarnya terjadi.
Menyerahkan diri bisa saja tindakan yang sangat
konyol. Dirasai sudah aman, bergegas Nira keluar.
Langkahnya diayun cepat menuju gerbang depan
kompleks universitas. Pelataran parkir sendiri
berada di tengah-tengah kompleks. Sesekali ia
menoleh ke belakang kalau-kalau masih saja diikuti.
Sayangnya, ia memang tidak diikuti, namun
ternyata pintu gergang juga dijagai oleh polisi.
"Sial!" Dua orang polisi yang berjaga membawa
senapan laras panjang. Mahasiswa yang lewat harus
menunjukkan KTP. Tetapi Nira mencoba bandel.
Pura-pura ia tak tahu. Ia lewati saja penjagaan kedua
polisi tersebut yang asyik memeriksa identitas tiga
orang mahasiswa. "Tunggu sebentar!" salah satu polisi tersebut
ternyata sadar Nira melintas. Ia lintangkan laras
senapannya tepat di wajah Nira. "Tunjukkan KTP
atau kartu mahasiswanya, Mbak."
Nira menelan ludah. Senapan! Moncong
senapan itu tepat di wajahnya! Polisi itu segera
menurunkan laras senapannya tatkala menyadari
Nira gemetar. 247 "KTP atau kartu mahasiswanya, Mbak."
Nira kian gugup. Ia buka tas jinjingnya dan
mencari-cari KTP. Entah bagaimana, saat membolak-balik isi tas, kunci mobilnya justru
terdorong jatuh. "Pak Polisi, bisa bantu aku?"
Polisi itu paham. Ia menjongkok memungut
kunci mobil Nira. Namun belum ia bangkit berdiri,
Nira tiba-tiba berlari meninggalkannya memasuki
jalan raya. Tak peduli lalu lintas ramai, ia
menyeberang serampangan. "Hei, jangan kabur!" Polisi itu berdiri. Ia angkat
senapannya dan menodong ke arah punggung Nira
yang kian jauh. "Hei, hei, hei!" rekannya segera mendorong
turun laras tersebut. "Kau mau apa?"
"Dia kabur. Harus ditembak. Jangan-jangan, dia
yang kita cari." "Lihat-lihat juga kalau mau nembak. Bukannya
menangkap orang, kau malah nanti bunuh orang.
Lapor saja komandan!"
*** 248 Danti merangkak masuk ke dalam mobil. Kedua
lututnya nyeri. Setelah beberapa saat menenangkan
diri hingga nyeri itu dirasa hilang, barulah ia
menyalakan mobil dan menekan pedal gas
dalam-dalam. Ia harus menemukan Via bagaimana
pun caranya. *** Braham terlonjak di atas kursi santainya di atap
gedung. "Kau bilang apa?" Revo sang bawahan
tiba-tiba naik ke atas dan mengabarinya sebuah
kabar yang tak pantas telinganya dengar. Membuat
istirahat siangnya bermandikan angin sepoi-sepoi tak
lagi terasa nikmat. "Ya, kudengar Radon akan membunuh Via.
Bahkan, ia telah menyiapkan persenjataan untuk
itu." "Brengsek!" maki Braham pula. Koran-koran
yang selalu menutup tubuhnya saat bersantai di atap
gedung ia sibak, hingga bertebaran ditiup angin.
"Anak itu selalu saja gegabah! Telepon dia! Aku ingin
bicara dengannya!" Revo mengangguk. Ia keluarkan ponsel dari
saku celana dan membuat panggilan. Begitu
terdengar panggilannya diangkat, ponsel langsung ia
sodorkan pada Braham. 249 "Radon! Kau kurang ajar! Jangan lukai Via
sedikit pun! Bawa dia kemari hidup-hidup!" Braham
tiba-tiba saja memuntahkan amarahnya. Revo tak
pernah melihat tuannya sebegitu jengkel terhadap
Radon, hingga murka sedemikian.
Namun, Braham kemudian bagai bungkam.
Mukanya merah padam. Ponsel Revo lalu ia lempar
hingga hancur bercerai-berai. Revo makin terperanjat. "Tuan kenapa?" "Kau pergi saja! Aku ingin menenangkan diri!"
Revo masih bingung. Ia tak beranjak.
"Kau pergilah! Ponselmu nanti kuganti!"
*** Berbeda dengan Braham, Radon malah
tersenyum sendiri. Ini kali pertama ia memutuskan
bertindak di luar perintah Braham terlalu jauh. Dan
kali pertama pula ia mengancam atasannya sendiri.
"Jika kalian masih ingin berbisnis, biarkan aku
menyelesaikan ini dengan caraku." Kata-kata
tersebutlah yang ia balaskan hingga muka Braham
memerah, ia murka hingga ubun-ubun, tetapi tak
dapat menyangkal apa-apa.
250 Tak ingin lagi diganggu oleh Braham, Radon
meremas ponselnya hingga remuk. Ia buang bangkai
ponsel itu bagai remah-remah roti tak berharga.
"Senapannya sudah siap?" Ia kini berada di atas
tumpukan tiga kargo di Pelabuhan Kota Pontianak.
Bersamanya di atas tumpukan itu, adalah seseorang
dari jaringan Braham yang biasa bertugas sebagai
snipper. Orang itu kini tengah tiarap, sembari
mengintip dari teropong yang terpasang pada
senapan laras panjangnya. Ia membalas dengan
membuat lingkaran dengan jari.
"Bagaimana dengan target kita?"
Radon diam sejenak. Ia menyapu sepanjang
jalan di depan pelabuhan. Berdasar informasi dari
beberapa orang yang ia sebar, Via berbelok kemari.
Dan benar, hingga di suatu titik, ia melihat Via
ratusan meter di depan. "Ia sudah sampai di lampu
merah." "Oke," sang penembak jitu kemudian menggeser
posisi senapannya. Ia mencocokkan informasi Radon
dan menemukan Via tengah berjalan di tempat
tersebut. "Sasaran kita seorang perempuan. Apa tidak
lebih praktis kau membereskannya dengan tanganmu sendiri?" "Jika itu bisa kulakukan, sudah kulakukan sejak
dulu." Via terlihat berhenti. Ia bagai bingung. Namun
setelahnya, ia kembali bergerak dengan langkah lebih
251 cepat. Di depan sebuah toko yang tak lagi beroperasi,
ia kembali berhenti. Pagarnya yang tertutup, ia seret
kemudian masuk ke halamannya dan menghilang di
balik tembok. "Sasaran sembunyi" Dia tahu kita buntuti."
"Tidak, dia tidak tahu," jawab Radon yakin.
"Intuisinya masih kacau. Ia hanya berhenti untuk
beristirahat dan menenangkan perasaannya."
"Lalu" Kita pindah posisi?"
Radon menggeleng. tembok itu?" "Kau bisa menembus "Ini senapan Pindad terbaru. Jangkaunnya
hingga 2 km dan pelurunya bisa menembus baja.
Gadis itu hanya beberapa ratus meter dari sini dan ia
berlindung di belakang tembok beton yang sudah
tua. Aku jamin 100% bisa. Asal kau tidak memberi
arahan yang keliru."
"Bagus, kalau begitu tembak dia."
Si penembak jitu menatap Radon. "Kau yakin?"
"Aku bisa melihatnya dari sini," Radon berujar
demikian karena matanya lebih kuat dibandingkan
teropong mana pun. Bahkan, ia bisa memindahkan
posisi lensa matanya sendiri hingga mampu
melakukan zoom in. "Ia kini duduk di balik tembok
itu. Tembak tepat pada kertas iklan yang menempel
di dinding. Kepalanya tepat di sana."
252 *** Begitu masuk ke pelataran toko tersebut, Via
langsung duduk bersandar di balik temboknya. Ia
menangis memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali ia
menutup mulut dengan tangan untuk menghindari
raungannya terdengar orang-orang di jalan. Kakinya
letih, hatinya perih, kepalanya tak lagi bisa berpikir
jernih. Walau demikian, luapan air matanya tetap tak
bisa mengering. Sekali lagi Via meraung di balik bekapan
tangannya sendiri. Ia tak dapat menahan golak
dadanya saat teringat Danti dan sang bunda. Namun
bertepatan pula dengan itu, letupan menyambar
tembok di belakang kepalanya, menghamburkan
debu-debu beton, menyentak kepalanya hingga ia
jatuh tersungkur. Pelatuk telah ditarik. Radon tersenyum puas
menyaksikan lubang yang tercipta. Tepat seperti
yang ia inginkan. Tepat menyambar kepala Via. Gadis
itu juga dilihatnya tergeletak di tanah.
"Tapi..., ada yang aneh...." Senyumnya
kemudian hilang. Matanya masih lekat ke tembok.
"Aneh apa?" "Peluru itu memang mengenai kepalanya, tapi
tidak menembusnya." Radon bisa melihat sendiri.
Proyektil peluru yang dikatakan mampu menembus
253 baja tersebut justru menempel di lubang tembok,
dengan bentuk nyaris pipih. Tidak juga ada darah.
"Yang benar saja?" sambut si penembak kaget.
"Itu kepala manusia, bukan kepala Optimus Prime!"
"Gawat!" Radon tiba-tiba melompat dari kargo.
254 BAB 18 Tembok yang disandari oleh Via tiba-tiba
hancur berantakan. Mobil yang lalu lalang di jalan
raya di depannya pun tiba-tiba oleng, kaca-kacanya
pecah, mesinnya mati. Radon beruntung melompat terlebih dahulu.
Karena baru ia menjejakkan kaki di tanah,
kargo-kargo yang ia tumpuk tiba-tiba juga ringsek
lalu hancur bercerai-berai. Si penembak jitu yang
tertinggal, terpelanting puluhan meter, kemudian
jatuh tak sadarkan diri. Usai menyaksikan kargo-kargo itu hancur,
Radon dapat melihat kargo-kargo lain tiba-tiba
terangkat. Puluhan kargo dari kompleks pelabuhan
kini bergerak menuju Via. Tak hanya kargo,
pagar-pagar besi hingga tiang-tiang baja tercerabut


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan melayang ke arah yang sama.
Radon menyambangi tubuh si penembak jitu
yang tak bergerak sama sekali. Ia ambil radio panggil
yang terselip di pinggang pria itu. "Di sini Radon.
Persiapkan semua senjata yang kalian miliki. Kita
akan membunuh banteng."
255 Selanjutnya, ia tangkap sepeda motornya saat
mulai terseret. Ia kendarai meninggalkan pelabuhan.
Senyumnya mekar karena ia akan berburu hewan
buas. *** Di lain tempat, Alwi kebingungan tak
menjumpai Via. Namun sebuah perasaan aneh,
membuatnya mendongak ke atas. Genteng-genteng
rumah di sekitarnya terbengkas dan terbang ke
sebuah arah. Padahal, tidak ada angin sama sekali.
Alwi tergagap menyaksikan fenomena tersebut.
Tambah tak bisa berkata-kata lagi saat sebuah tiang
reklame di dekatnya tercabut dan menyenggolnya
hingga nyaris terjungkal.
Tersadar itu ulah Via, ia pun berlari mengejar
papan reklame tersebut. Namun, ia tak mampu lagi
melanjutkan langkahnya saat memasuki jalan utama.
Ribuan benda melayang-layang di sekitarnya,
meluncur ke suatu titik dengan sangat cepat. Via.
Benda-benda itu meluncur ingin menghunjam
tubuh Via. Gadis itu berdiri di tengah jalan dengan
bola mata memerah dan terus mengeluarkan air
mata. Namun, tak satu pun benda-benda itu
mencapai tubuhnya. Semuanya hancur berantakan,
seolah ada kubah yang sangat keras menyelimuti
tubuh Via dalam radius lima meter.
256 "Via! Hentikan! Sadarlah!" Alwi berseru. Hanya
ia manusia di ruas jalan tersebut. Orang-orang lain
telah lari terbirit-birit.
Via tetap menangis. Benda-benda yang
terangkat dan melayang ke arahnya kian banyak dan
meluas. Tetapi tetap saja, benda-benda yang hancur
tak mengenai kulitnya sedikit pun.
Di tengah-tengah kegaduhan itu, Danti muncul
bersama mobilnya. Melihat Via yang diserang dari
berbagai arah, membuatnya menjerit histeris.
"Danti! Hentikan! Percuma, tak mendengarmu!" Alwi menegurnya. Mereka berjumpa
di trotoar yang sama. "Tapi, Via bisa hancur jika lama-lama seperti
itu!" "Danti, menyingkir! Di belakangmu!"
"Apa?" Danti menoleh ke belakang. Sebuah truk
melayang terlalu rendah dengan rute tepat mengarah
di mana kini ia berdiri. Bukannya merunduk seperti
kata Alwi, matanya malah melotot. Mau tak mau,
Alwi merangkul dan merundukkan tubuhnya ke
jalan. Tepat setelah itu, truk melintas dan
menyambar mobil Danti. Kedua mobil itu kini
berputar-putar di udara dan bergabung dengan
benda-benda yang lain menyerbu tubuh Via.
"Justru kita yang akan hancur jika lama-lama di
sini," Alwi melepaskan rangkulannya dari tubuh
257 Danti. Danti sendiri tak bergerak usai ia peluk
erat-erat. Matanya masih melotot. Mulutnya
menganga. "Hei! Sadar!" terpaksa Alwi menampar pelan
pipi Danti. Gadis itu langsung histeris.
"Mobilku! Itu mobilku!"
"Danti! Uang ayahmu masih bisa beli yang
seperti itu sepuluh buah lagi! Tapi uang ayahmu tak
bisa membeli siapa pun untuk menggantikan Via!"
Barulah Danti bisa menenangkan dirinya.
"Kau menyingkirlah. Menjauh dari tempat ini.
Aku akan menyadarkan Via."
"Kau?" sambar Danti langsung. "Kau ingin
menyadarkannya" Kau tahu apa tentang Via" Aku
hanya memintamu untuk menemukannya dan
terima kasih telah menemukannya untukku. Biar aku
saja yang menyadarkannya!" Danti berdiri dan tanpa
pikir langsung berjalan ke arah Via.
Alwi menyusul dan menangkap tangan Danti.
"Kau tak lihat kondisi Via sekarang" Ia sangat ingin
menghancurkan dirinya sendiri, tetapi jiwanya yang
lain menolak itu!" Danti kemudian sadar, benda-benda yang
mengarah ke mereka juga hancur berantakan. Oleh
karenanya, mereka masih bisa berdiri tengah-tengah kekacauan tanpa ikut terseret.
258 Darah kembali mengalir dari hidung Alwi. "Aku
tak bisa menjagamu dan menyelamatkan Via
sekaligus. Jadi, kumohon menyingkirlah dari neraka
ini." "Jadi..." Kau dan Via...?"
Sebuah deruan terdengar melintas di sisi
mereka. Sebuah roket meluncur tepat ke arah Via
dan meledak dengan dahsyat. Kobaran api
membungkus tubuh gadis itu. Namun setelah hilang,
Via masih berdiri dengan kokoh.
Menyusul satu roket tersebut, belasan roket
yang lain menyerbu. Hujan ledakan mengguncang
sekeliling, bahkan menggetarkan jalan yang mereka
pijak. Alwi tercekat. Itu hanya seorang Via, dia bukan
monster yang harus dihujani senjata berat.
Mereka berdua berbalik ke arah munculnya
roket-roket itu. Sejumlah orang berpakaian sipil
tampak berderet di tengah jalan ratusan meter dari
mereka. Di antara mereka, berdiri seorang pemuda
berkulit putiih dan berambut perak. Radon. Mereka
mempersiapkan roket lebih banyak lagi!
"Kurang ajar kalian!" Alwi melepaskan Danti.
Kedua tangannya kemudian mengibas saling silang.
Puluhan bangunan di sisi kiri dan kanan jalan
mendadak rubuh menutup akses mereka.
Danti membatu. Ia tambah bingung. Via baru
saja dihujani ledakan dan masih berdiri kokoh.
Sedangkan Alwi yang kemarin ia buat kritis, dengan
259 mudah meruntuhkan puluhan gedung. Tak ada
pilihan bagi Alwi selain mengiringnya ke pinggir,
menuju tempat yang aman. "Kau diamlah di sini. Jangan ke mana-mana!"
Usai berkata demikian, Alwi langsung berlari ke
tengah jalan dan memacu langkahnya menuju Via. Ia
harus bisa mengeluarkan Via dari selubung itu. Ia
harus menyadarkan Via agar tidak menghancurkan
dirinya sendiri. "Via! Kau harus menghentikan ini!" Alwi
mengibaskan kedua tangan. Puluhan benda yang
nyaris mengenai selubung Via langsung terpelanting
berbalik arah. Namun setelah ratusan meter,
benda-benda itu kembali terseret.
"Apa kau memaksaku untuk berbuat kasar?"
Tangannya dikepalkan ke arah Via. Gadis itu
terhuyung. Namun, benda-benda yang terangkat
masih saja terus mengalir.
"Ya! Akan kuladeni kau! Akan kukeluarkan kau
dari sana bagaimana pun caranya!Karena aku juga
menyayangimu! Kau tak boleh pergi begitu saja! Kau
dengar?" Via terhuyung sekali lagi. "Alwi...?"
"Keluarlah dari sana!"
Via menggeleng pelan. "Aku... tak... bisa...!"
260 Badai barang-barang kian kencang. Alwi yang
masih berlari berteriak, "Via! Siap-siaplah kau!"
Tubuhnya tiba-tiba melejit bagai cahaya. Bahkan
Danti tak sempat berkedip ketika dilihatnya Alwi
yang semula ratusan meter dari Via, kini sudah
berdiri di depan gadis itu. Ia kemudian melayangkan
tinju ke arah selubung yang menyelimuti tubuh Via.
** BERSAMBUNG ** 261 262 Creative Commons Attribution-No
Derivative Works 3.0 Unported
CREATIVE COMMONS CORPORATION IS NOT A
LAW FIRM AND DOES NOT PROVIDE LEGAL
SERVICES. DISTRIBUTION OF THIS LICENSE DOES
NOT CREATE AN ATTORNEY-CLIENT
RELATIONSHIP. CREATIVE COMMONS PROVIDES
THIS INFORMATION ON AN "AS-IS" BASIS.
CREATIVE COMMONS MAKES NO WARRANTIES
REGARDING THE INFORMATION PROVIDED, AND
DISCLAIMS LIABILITY FOR DAMAGES RESULTING
FROM ITS USE. License THE WORK (AS DEFINED BELOW) IS PROVIDED UNDER
THE TERMS OF THIS CREATIVE COMMONS PUBLIC LICENSE
("CCPL" OR "LICENSE"). THE WORK IS PROTECTED BY
COPYRIGHT AND/OR OTHER APPLICABLE LAW. ANY USE OF
THE WORK OTHER THAN AS AUTHORIZED UNDER THIS
LICENSE OR COPYRIGHT LAW IS PROHIBITED.
BY EXERCISING ANY RIGHTS TO THE WORK PROVIDED
HERE, YOU ACCEPT AND AGREE TO BE BOUND BY THE TERMS
OF THIS LICENSE. TO THE EXTENT THIS LICENSE MAY BE
CONSIDERED TO BE A CONTRACT, THE LICENSOR GRANTS
YOU THE RIGHTS CONTAINED HERE IN CONSIDERATION OF
YOUR ACCEPTANCE OF SUCH TERMS AND CONDITIONS.
263 1. Definitions a. "Adaptation" means a work based upon the
Work, or upon the Work and other pre-existing works,
such as a translation, adaptation, derivative work,
arrangement of music or other alterations of a literary
or artistic work, or phonogram or performance and
includes cinematographic adaptations or any other
form in which the Work may be recast, transformed, or
adapted including in any form recognizably derived
from the original, except that a work that constitutes a
Collection will not be considered an Adaptation for the
purpose of this License. For the avoidance of doubt,
where the Work is a musical work, performance or
phonogram, the synchronization of the Work in
timed-relation with a moving image ("synching") will
be considered an Adaptation for the purpose of this
License. b. "Collection" means a collection of literary or
artistic works, such as encyclopedias and anthologies,
or performances, phonograms or broadcasts, or other
works or subject matter other than works listed in
Section 1(f) below, which, by reason of the selection
and arrangement of their contents, constitute
intellectual creations, in which the Work is included in
its entirety in unmodified form along with one or more
other contributions, each constituting separate and
independent works in themselves, which together are
assembled into a collective whole. A work that
constitutes a Collection will not be considered an
Adaptation (as defined above) for the purposes of this
License. c. "Distribute" means to make available to the
public the original and copies of the Work through sale
or other transfer of ownership.
d. "Licensor" means the individual, individuals,
entity or entities that offer(s) the Work under the
terms of this License. 264 e. "Original Author" means, in the case of a
literary or artistic work, the individual, individuals,
entity or entities who created the Work or if no
individual or entity can be identified, the publisher;
and in addition (i) in the case of a performance the
actors, singers, musicians, dancers, and other persons
who act, sing, deliver, declaim, play in, interpret or
otherwise perform literary or artistic works or
expressions of folklore; (ii) in the case of a phonogram
the producer being the person or legal entity who first
fixes the sounds of a performance or other sounds;
and, (iii) in the case of broadcasts, the organization
that transmits the broadcast.
f. "Work" means the literary and/or artistic work
offered under the terms of this License including
without limitation any production in the literary,
scientific and artistic domain, whatever may be the
mode or form of its expression including digital form,
such as a book, pamphlet and other writing; a lecture,
address, sermon or other work of the same nature; a
dramatic or dramatico-musical work; a choreographic
work or entertainment in dumb show; a musical
composition with or without words; a cinematographic
work to which are assimilated works expressed by a
process analogous to cinematography; a work of


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

drawing, painting, architecture, sculpture, engraving
or lithography; a photographic work to which are
assimilated works expressed by a process analogous to
photography; a work of applied art; an illustration,
map, plan, sketch or three-dimensional work relative
to geography, topography, architecture or science; a
performance; a broadcast; a phonogram; a compilation
of data to the extent it is protected as a copyrightable
work; or a work performed by a variety or circus
performer to the extent it is not otherwise considered
a literary or artistic work.
g. "You" means an individual or entity exercising
rights under this License who has not previously
violated the terms of this License with respect to the
265 Work, or who has received express permission from
the Licensor to exercise rights under this License
despite a previous violation.
h. "Publicly Perform" means to perform public
recitations of the Work and to communicate to the
public those public recitations, by any means or
process, including by wire or wireless means or public
digital performances; to make available to the public
Works in such a way that members of the public may
access these Works from a place and at a place
individually chosen by them; to perform the Work to
the public by any means or process and the
communication to the public of the performances of
the Work, including by public digital performance; to
broadcast and rebroadcast the Work by any means
including signs, sounds or images.
i. "Reproduce" means to make copies of the Work
by any means including without limitation by sound or
visual recordings and the right of fixation and
reproducing fixations of the Work, including storage
of a protected performance or phonogram in digital
form or other electronic medium.
2. Fair Dealing Rights. Nothing in this License is
intended to reduce, limit, or restrict any uses free from
copyright or rights arising from limitations or exceptions that
are provided for in connection with the copyright protection
under copyright law or other applicable laws.
3. License Grant. Subject to the terms and conditions of
this License, Licensor hereby grants You a worldwide,
royalty-free, non-exclusive, perpetual (for the duration of the
applicable copyright) license to exercise the rights in the Work
as stated below: a. to Reproduce the Work, to incorporate the Work
into one or more Collections, and to Reproduce the
Work as incorporated in the Collections; and,
266 b. to Distribute and Publicly Perform the Work
including as incorporated in Collections.
c. For the avoidance of doubt:
i. Non-waivable Compulsory License
Schemes. In those jurisdictions in which the
right to collect royalties through any statutory
or compulsory licensing scheme cannot be
waived, the Licensor reserves the exclusive
right to collect such royalties for any exercise
by You of the rights granted under this
License; ii. Waivable Compulsory License Schemes. In those jurisdictions in which the
right to collect royalties through any statutory
or compulsory licensing scheme can be waived,
the Licensor waives the exclusive right to
collect such royalties for any exercise by You of
the rights granted under this License; and,
iii. Voluntary License Schemes. The
Licensor waives the right to collect royalties,
whether individually or, in the event that the
Licensor is a member of a collecting society
that administers voluntary licensing schemes,
via that society, from any exercise by You of
the rights granted under this License.
The above rights may be exercised in all media and
formats whether now known or hereafter devised. The above
rights include the right to make such modifications as are
technically necessary to exercise the rights in other media and
formats, but otherwise you have no rights to make
Adaptations. Subject to Section 8(f), all rights not expressly
granted by Licensor are hereby reserved.
4. Restrictions. The license granted in Section 3 above
is expressly made subject to and limited by the following
restrictions: 267 a. You may Distribute or Publicly Perform the Work
only under the terms of this License. You must include
a copy of, or the Uniform Resource Identifier (URI) for,
this License with every copy of the Work You
Distribute or Publicly Perform. You may not offer or
impose any terms on the Work that restrict the terms
of this License or the ability of the recipient of the
Work to exercise the rights granted to that recipient
under the terms of the License. You may not
sublicense the Work. You must keep intact all notices
that refer to this License and to the disclaimer of
warranties with every copy of the Work You Distribute
or Publicly Perform. When You Distribute or Publicly
Perform the Work, You may not impose any effective
technological measures on the Work that restrict the
ability of a recipient of the Work from You to exercise
the rights granted to that recipient under the terms of
the License. This Section 4(a) applies to the Work as
incorporated in a Collection, but this does not require
the Collection apart from the Work itself to be made
subject to the terms of this License. If You create a
Collection, upon notice from any Licensor You must, to
the extent practicable, remove from the Collection any
credit as required by Section 4(b), as requested.
b. If You Distribute, or Publicly Perform the Work
or Collections, You must, unless a request has been
made pursuant to Section 4(a), keep intact all
copyright notices for the Work and provide,
reasonable to the medium or means You are utilizing:
(i) the name of the Original Author (or pseudonym, if
applicable) if supplied, and/or if the Original Author
and/or Licensor designate another party or parties
(e.g., a sponsor institute, publishing entity, journal) for
attribution ("Attribution Parties") in Licensor's
copyright notice, terms of service or by other
reasonable means, the name of such party or parties;
(ii) the title of the Work if supplied; (iii) to the extent
reasonably practicable, the URI, if any, that Licensor
specifies to be associated with the Work, unless such
268 URI does not refer to the copyright notice or licensing
information for the Work. The credit required by this
Section 4(b) may be implemented in any reasonable
manner; provided, however, that in the case of a
Collection, at a minimum such credit will appear, if a
credit for all contributing authors of the Collection
appears, then as part of these credits and in a manner
at least as prominent as the credits for the other
contributing authors. For the avoidance of doubt, You
may only use the credit required by this Section for the
purpose of attribution in the manner set out above
and, by exercising Your rights under this License, You
may not implicitly or explicitly assert or imply any
connection with, sponsorship or endorsement by the
Original Author, Licensor and/or Attribution Parties, as
appropriate, of You or Your use of the Work, without
the separate, express prior written permission of the
Original Author, Licensor and/or Attribution Parties.
c. Except as otherwise agreed in writing by the
Licensor or as may be otherwise permitted by
applicable law, if You Reproduce, Distribute or Publicly
Perform the Work either by itself or as part of any
Collections, You must not distort, mutilate, modify or
take other derogatory action in relation to the Work
which would be prejudicial to the Original Author's
honor or reputation. 5. Representations, Warranties and Disclaimer
UNLESS OTHERWISE MUTUALLY AGREED TO BY THE
PARTIES IN WRITING, LICENSOR OFFERS THE WORK AS-IS
AND MAKES NO REPRESENTATIONS OR WARRANTIES OF ANY
KIND CONCERNING THE WORK, EXPRESS, IMPLIED,
STATUTORY OR OTHERWISE, INCLUDING, WITHOUT
LIMITATION, WARRANTIES OF TITLE, MERCHANTIBILITY,
FITNESS FOR A PARTICULAR PURPOSE, NONINFRINGEMENT,
OR THE ABSENCE OF LATENT OR OTHER DEFECTS,
ACCURACY, OR THE PRESENCE OF ABSENCE OF ERRORS,
269 WHETHER OR NOT DISCOVERABLE. SOME JURISDICTIONS DO
NOT ALLOW THE EXCLUSION OF IMPLIED WARRANTIES, SO
SUCH EXCLUSION MAY NOT APPLY TO YOU.
6. Limitation on Liability. EXCEPT TO THE EXTENT
REQUIRED BY APPLICABLE LAW, IN NO EVENT WILL
LICENSOR BE LIABLE TO YOU ON ANY LEGAL THEORY FOR
ANY SPECIAL, INCIDENTAL, CONSEQUENTIAL, PUNITIVE OR
EXEMPLARY DAMAGES ARISING OUT OF THIS LICENSE OR
THE USE OF THE WORK, EVEN IF LICENSOR HAS BEEN
ADVISED OF THE POSSIBILITY OF SUCH DAMAGES.
7. Termination a. This License and the rights granted hereunder
will terminate automatically upon any breach by You
of the terms of this License. Individuals or entities who
have received Collections from You under this License,
however, will not have their licenses terminated
provided such individuals or entities remain in full
compliance with those licenses. Sections 1, 2, 5, 6, 7,
and 8 will survive any termination of this License.
b. Subject to the above terms and conditions, the
license granted here is perpetual (for the duration of
the applicable copyright the Work). Notwithstanding the above, Licensor reserves the
right to release the Work under different license terms
or to stop distributing the Work at any time; provided,
however that any such election will not serve to
withdraw this License (or any other license that has
been, or is required to be, granted under the terms of
this License), and this License will continue in full force
and effect unless terminated as stated above.
8. Miscellaneous a. Each time You Distribute or Publicly Perform the
Work or a Collection, the Licensor offers to the
270 recipient a license to the Work on the same terms and
conditions as the license granted to You under this
License. b. If any provision of this License is invalid or
unenforceable under applicable law, it shall not affect
the validity or enforceability of the remainder of the
terms of this License, and without further action by
the parties to this agreement, such provision shall be
reformed to the minimum extent necessary to make
such provision valid and enforceable.
c. No term or provision of this License shall be
deemed waived and no breach consented to unless
such waiver or consent shall be in writing and signed
by the party to be charged with such waiver or
consent. d. This License constitutes the entire agreement
between the parties with respect to the Work licensed
here. There are no understandings, agreements or
representations with respect to the Work not
specified here. Licensor shall not be bound by any
additional provisions that may appear in any
communication from You. This License may not be
modified without the mutual written agreement of
the Licensor and You. e. The rights granted under, and the subject
matter referenced, in this License were drafted
utilizing the terminology of the Berne Convention for
the Protection of Literary and Artistic Works (as
amended on September 28, 1979), the Rome
Convention of 1961, the WIPO Copyright Treaty of
1996, the WIPO Performances and Phonograms Treaty
of 1996 and the Universal Copyright Convention (as
revised on July 24, 1971). These rights and subject
matter take effect in the relevant jurisdiction in which
the License terms are sought to be enforced according
the corresponding provisions the implementation of those treaty provisions in the
applicable national law. If the standard suite of rights
granted under applicable copyright law includes
271 additional rights not granted under this License, such
additional rights are deemed to be included in the
License; this License is not intended to restrict the


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

license of any rights under applicable law.
Creative Commons Notice Creative Commons is not a party to this License,
and makes no warranty whatsoever in connection
with the Work. Creative Commons will not be
liable to You or any party on any legal theory for
any damages whatsoever, including without
limitation any general, special, incidental or
consequential damages arising in connection to
this license. Notwithstanding the foregoing two
(2) sentences, if Creative Commons has expressly
identified itself as the Licensor hereunder, it shall
have all rights and obligations of Licensor.
Except for the limited purpose of indicating to
the public that the Work is licensed under the
CCPL, Creative Commons does not authorize the
use by either party of the trademark "Creative
Commons" or any related trademark or logo of
Creative Commons without the prior written
consent of Creative Commons. Any permitted use
will be in compliance with Creative Commons'
then-current trademark usage guidelines, as may
be published on its website or otherwise made
available upon request from time to time. For the
avoidance of doubt, this trademark restriction
does not form part of this License.
Creative Commons may be contacted at
http://creativecommons.org/.
272 Tentang Penulis Informasi lebih lanjut mengenai Dirgita bisa dijumpai di
beberapa tempat berikut. YM: dirgitadevina WP: http://dirgita.wordpress.com.
FB: http://facebook.com/dirgita (tak aktif sementara).
G+: http://google.com/+DirgitaDevina.
TW: http://twitter.com/dirgita.
K.com: http://kemudian.com/users/dirgita.
273 274 Duel Antar Animorphs 2 Goosebumps - Darah Monster 2 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 6

Cari Blog Ini