16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13
Sambil membicarakan kemungkinan penerimaan anggota baru bagi Pengawal Tanah Perdikan maka Glagah Putihpun menyatakan bahwa Sukra berminat sekali untuk dapat diierima menjadi Pengawal Tanah Perdikan.
"Tentu saja jika anak itu lolos dalam pendadaran," berkata Glagah Putih.
"Bukankah selama ini anak itu sudah membekali dirinya?"
"Ya. Ia sudah berlatih dengan tekun."
"Bagaimana menurut pendapatmu ?"
"Menurut pendapatku, bekalnya cukup memadai. Tetapi jika yang lain memiliki kelebihan, biarlah ia berlatih lagi untuk mendapatkan kesempatan di waktu-waktu mendatang."
"Pada saatnya ia akan di panggil."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika hal itu disampaikannya kepada Sukra, maka Sukrapun menjadi gembira pula.
"Kau berkata sebenarnya ?" bertanya Sukra.
"Aku akan membawamu kepada kakang Prastawa, agar kakang Prastawa tidak melupakanmu pada saat akan diselenggarakan pendadaran kelak. Aku berharap bahwa aku dapat menyaksikan pendadaran itu. Tetapi jika terpaksa aku sedang tidak ada di rumah, maka biarlah kakang Lurah Agung Sedayu atau Ki Jayaraga menyaksikannya. Apakah kau dapat lolos dari pendadaran atau tidak."
"Siapakah yang melakukan pedadaran ?"
"Para Pemimpin Pasukan Pengawal. Mungkin kakang Prastawa akan minta tolong kepada kakang Lurah Agung Sedayu untuk mengirim satu dua orang prajurit, membantu menilai mereka yang mengikuti pendadaran."
Sukra mengangguk-angguk. Namun pernyataan Glagah Putih bahwa mereka yang akan memasuki Pasukan Pengawal akan melewati pendadaran, telah mendorong Sukra untuk berlatih semakin keras.
Selama Glagah Putih berada di rumah maka Glagah Putih telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan Sukra. Tetapi Glagah Putih juga memberikan pesan-pesan agar Sukra memanfaatkan ilmu yang dikuasainya untuk kepentingan banyak orang.
"Kau harus berguna bagi sesamamu. Bukan sebaliknya, bukan karena kau memiliki kelebihan, kemudian kau berbuat sesuka hatimu. Bahkan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang lemah. Dengan demikian maka ilmumu bukan bermanfaat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya justru membebani banyak orang."
Jika biasanya Sukra kurang bersungguh-sungguh, hari itu nampaknya Sukra bersikap dewasa dengan wawasan yang nampak cukup luas menanggapi perkembangan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan tekun Sukra berusaha menempa dirinya. Ia tidak ingin mengecewakan Glagah Putih yang juga dengan bersungguh-sungguh membimbingnya.
Sambil mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan, akhirnya waktu yang sepekan itupun telah datang. Glagah Putih masih juga sempat membawa Sukra menemui Prastawa untuk menyatakan kesungguhan, bahwa Sukra ingin memba-suki lingkungan Pengawal Tanah Perdikan.
Ketika malam turun menjelang hari yang telah ditentukan, maka Glagah Putih dan Bara Wulanpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan seandainya seperti juga Pengawal Tanah Perdikan, mereka harus menempuh pendadaran, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bersiap. Mereka telah mempersiapkan berbagai ilmu yang berlapis yang puncaknya adalah ilmu yang mereka sebut Aji Namaskara yang setiap kali masih mereka sempurnakan sesuai dengan kitab yang ada di tangan mereka.
Glagah Putih untuk kepentingan tertentu, masih mampu bermain rinding yang getarnya dapat mempengaruhi pendengarnya. Sementara itu, Rara Wulanpun pada tataran yang lebih rendah dari Aji Namaskara, mampu melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sementara itu, dengan melengkapi unsur-unsurnya, maka kemampuan keduanya pada landasan Aji Namaskara menjadi semakin tinggi pula.
Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sendiri masih akan melakukan penjajagan bagi tugas-tugas keprajuritan, namun keduanya merasa berdebar-debar juga.
Karena itu, maka keduanya tidak segera dapat tidur nyenyak. Sampai tengah malam keduanya masih berbicara tentang berbagai macam kemungkinan.
Namun di dini hari keduanya sempat tidur sejenak.
Pagi-pagi sekali mereka sudah bangun dan berbenah diri. Mereka harus sudah berada di Mataram sebelum wayah pasar temawon. Karena itu, menjelang terang tanah mereka bersama Ki Lurah Agung Sedayu harus sudah berangkat ke Mataram.
"Mudah-mudahan sudah ada rakit yang menyeberang," desis Rara Wulan.
"Tentu sudah. Di dini hari, sudah ada rakit yang siap untuk menyeberang. Mereka yang mempunyai kepentingan yang sangat mendesak, akan dibantu dengan ikhlas oleh para tukang satang itu," jawab Glagah Putih.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah bersiap untuk berangkat. Kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mereka minta diri untuk waktu yang belum dapat mereka perkirakan.
"Jika Glagah Putih dan Rara Wulan harus menjalani pendadaran, mungkin kami akan bermalam. Bahkan mungkin dua malam. Tergantung sekali kepada ketentuan yang berlaku bagi penerimaan seorang prajurit."
Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih sempat berpesan kepaada Sukra yang juga melepas kepergian mereka, "Tunggu saja sampai kakang Prastawa memberi tahukan segala sesuatunya."
"Baik, kakang," jawab Sukra.
"Kau tidak akan banyak mengalami kesulitan."
"Mudah-mudahan, kakang."
Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera meninggalkan regol halaman rumah Ki Lurah Agung sedayu. Kuda-kuda merekapun berpacu dengan kencangnya, sementara langit masih berwarna hitam kemerahan.
Jalan-jalan masih sepi, sehingga kuda-kuda mereka itupun dapat berlari kencang menyusuri jalan-jalan bulak.
Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, hari masih pagi sekali. Namun ternyata sudah ada beberapa orang yang juga akan menyeberang, sehingga demikian Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan naik, maka rakit itupun segera bergerak.
Ketiga orang itu memasuki pintu gerbang kota menjelang wayah pasar temawon. Sehingga ketika mereka sampai di pintu gerbang kepatihan, maka mereka bertigapun menjadi sedikit tergesa-gesa.
Demikian mereka menuntun kuda mereka ke gardu penjagaan, maka Lurah prajurit yang bertugas berkata, "Ki Patih Mandaraka sudah menunggu Ki Lurah."
"Kami memang terlambat."
"Hanya sekejap. Bukankah sekarang wayah pasar temawon ?"
"Ya. Seharusnya aku sampai di sini sebelum wayah pasar temawon."
Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian diterima oleh Ki Patih Mandaraka di serambi.
"Ampun Ki Patih. Kami datang terlambat."
"Belum terlambat. Sekarang wayah pasar temawon."
"Seharusnya kami datang sebelum wayah pasar temawon."
Ki Patih tersenyum. Katanya, "Masih cukup waktu Ki Lurah. Nah, marilah. Kita pergi menemui Ki Tumenggung Purbasena. Bahkan sekaligus kalian akan menghadap Pangeran Singasari."
Ketiganya hanya singgah sebentar di Kepatihan. Merekapun kemudian telah pergi ke Istana. Tetapi mereka tidak akan menghadap Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Tetapi mereka akan menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena.
Bersama mereka adalah Ki Patih Mandaraka sendiri. Ki Patihlah yang telah membicarakan segala sesuatunya dengan Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena.
Sejenak kemudian, mereka berempat telah sampai ke istana. Pangeran Singasari dan Ki Purbasena ternyata telah menunggu kehadiran Ki Patih Mandaraka. Sementara itu, yang menghadap ternyata tidak hanya Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi ada beberapa orang lain yang juga telah menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena.
Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk di belakang orang-orang yang sudah lebih dahulu datang, sementara Ki Patihpun langsung mendekati Pangeran Singasari sambil berkata, "Kami datang agak terlambat ng-ger."
"Belum Ki Patih," yang menyahut adalah Ki Tumenggung Purbasena, "masih banyak waktu yang tersedia. Kamipun belum terlalu lama menunggu."
Ki Patih mengerutkan dahinya. Dipandanginya Tumenggung yang baru itu. Namun kemudian Ki Patih itupun tersenyum.
Tetapi sebelum Ki Patih menyahut, Pangeran Singasaripun berkata, "Marilah paman, silakan duduk."
"Terima kasih, ngger."
Ki Patih itupun kemudian duduk di sebelah Pangeran Singasari sambil berkata, "Aku datang bersama Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Seperti yang sudah aku katakan kepada angger Pangeran serta Ki Tumenggung Purbasena, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyatakan dirinya untuk mengabdi sebagai prajurit di Mataram. Selama ini kita tidak dapat ingkar, bahwa pengabdiannya tidak kalah dengan pengabdian seorang prajurit. Namun ia belum resmi ditetapkan menjadi prajurit Mataram."
"Ya, paman. Aku mengerti. Terakhir kita melihat apa yang mereka lakukan di Demak bersama Ki Lurah Agung Sedayu."
"Ya. Aku juga melihat mereka sekilas bersama Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh," sahut Ki Tumenggung Purbasena.
"Mereka memang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh," berkata Ki Patih Mandaraka.
"Baik, paman. Seperti yang sudah kami katakan kepada paman Patih, bahwa keduanya akan kami terima menjadi prajurit dalam tugas sandi. Mereka akan kami tempatkan kelak dalam Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh yang akan dikembangkan."
"Tetapi aku sudah mengatakannya pula, Pangeran. Bahwa siapapun yang akan menjadi prajurit, apalagi dalam penerimaan prajurit yang khusus ini, harus melalui pendadaran. Mataram harus yakin, bahwa prajurit-prajuritnya adalah orang-orang yang memang pantas untuk diangkat menjadi prajurit."
"Ya. Resminya memang harus demikian. Tetapi bukankah kita dapat menilai seseorang tidak sekedar pada saat pendadaran. Kita dapat menilai Glagah Putih dan isterinya Rara Wulan itu tidak sekedar pendadaran di sanggar terbuka di pungkuran. Tetapi kita telah melihatnya langsung, apa yang telah mereka lakukan di medan pertempuran," sahut Pangeran Singasari.
"Itu belum cukup, Pangeran. Dalam pertempuran kita dapat bekerja sama dengan banyak orang. Mungkin dalam kelompok-kelompok kecil atau bahkan dalam gelar. Tetapi seorang prajurit sandi harus didadar kemampuannya secara pribadi. Apalagi seorang perempuan. Bukankah tidak banyak perempuan yang memiliki kemampuan cukup. Karena itu, maka perempuan itu harus membuktikan kemampuannya dihadapan para calon yang lain, agar tidak menimbulkan prasangka buruk, seakan-akan karena mempunyai hubungan yang baik dengan para Senapati, ia langsung dapat diterima menjadi prajurit tanpa membuktikan kelebihannya."
Pangeran Singasari memandang Ki Patih Mandaraka. Namun keduanyapun kemudian tersenyum. Dengan nada dalam Ki Patih Mandaraka berkata, "Baiklah. Aku sependapat, bahwa semua calon prajurit khususnya yang akan berada didalam lingkungan tugas sandi ini akan mendapat pendadaran khusus. Pelaksanaannya tentu tidak akan makan waktu terlalu lama, karena jumlahnya tidak banyak."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Agaknya Ki Purbasena, seorang Tumenggung yang baru ditetapkan itu ingin menunjukkan betapa ia memang pantas untuk menjadi seorang Tumenggung.
Tetapi apa yang dikatakan itu memang masuk akal. Jika seseorang tidak dapat membuktikan kelebihannya maka tidak sepantasnya ia menjadi seorang prajurit khususnya prajurit dalam tugas sandi.
Pangeran Singasari itupun kemudian berkata kepada Ki Tumenggung Purbasena, "Selanjutnya, pelaksanaannya terserah kepada Ki Tumenggung. Yang harus menghadap Ki Tumenggung jumlahnya tidak banyak. Tidak lebih dari dua puluh orang. Agaknya Ki Tumenggung akan dapat menyelesaikannya esok dalam sehari. Mungkin Ki Tumenggung memerlukan bantuan beberapa orang Senapati yang lain yang dapat Ki Tumenggung tunjuk. Selanjutnya di akhir bulan, Ki Tumenggung akan dapat melakukan pendadaran para kelompok kedua. Selanjutnya ketiga dan keempat."
"Baik Pangeran. Aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya."
"Nah, sekarang aku serahkan mereka kepada Ki Tumenggung."
"Baik. Aku akan minta beberapa orang Senapati. Disini ada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi aku terpaksa tidak dapat minta bantuannya, karena dalam pendadaran ini akan ikut pula dua orang yang termasuk keluarga dekatnya. Selebihnya, pendadaran ini akan dilakukan oleh para Senapati yang serendahnya berpangkat Rangga, sementara Ki Lurah Agung Sedayu masih belum sampai pada tataran itu."
Pangeran Singasari tiba-tiba saja memotong, "Tidak ada tatanan seperti itu Ki Tumenggung. Pandadaran ini dapat dilakukan oleh seorang Senapati yang cakap tanpa menilai kedudukannya. Tetapi jika Ki Tumenggung berkeberatan karena ada keluarga dekat Ki Lurah Agung Sedayu ikut dalam pendadaran ini, aku tidak menyangkal."
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Dahinya berkerut. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya akan dimulai nanti sore dan esok dalam sehari."
"Sekarang kalian dapat beristirahat di longkangan dalam di belakang gerbang samping."
Demikianlah, maka orang-orang yang menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena itupun segera mengundurkan diri, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Merekapun kemudian berkumpul di serambi yang menghadap ke longkangan dalam. Beberapa helai tikar pandan yang putih telah di bentangkan, sehingga orang-orang yang berniat untuk mengikuti pendadaran itupun dapat duduk beristirahat.
Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di sudut serambi itu. Namun Ki Lurah Agung Sedayu tidak lama ikut duduk bersama mereka.
"Aku harus meninggalkan kalian disini. Keberadaanku disini mungkin tidak akan menguntungkan kalian."
"Ya, kakang. Aku mengerti. Tetapi kakang akan pergi kemana siang ini " Atau mungkin kakang akan kembali dahulu ke Tanah Perdikan?"
"Tidak. Aku akan ke kepatihan. Aku akan mohon ijin bermalam di kepatihan saja. Sampai pendadaran ini selesai, aku tidak akan menemui kalian agar tidak ada prasangka buruk dari para pengikut yang lain."
"Baik, kakang."
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ia masih sempat mencari Ki Patih yang kebetulan masih duduk bersama Pangeran Singasari. Tetapi Ki Tumenggung Purbasena telah tidak ada di an tara mereka.
"Kau tinggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan ?" bertanya Ki Patih.
"Ya, Ki Patih. Mereka sudah bukan kanak-kanak yang harus diantar. Selebihnya, keberadaanku bersama mereka akan dapat menimbulkan salah paham bagi para pengikut yang lain."
"Kau benar, Ki Lurah. Nah, sebaiknya kau tidak menemui mereka," berkata Pangeran Singasari pula.
"Ya, Pangeran."
"Tetapi apakah kau akan kembali ke Tanah perdikan atau kau akan bermalam di Mataram?"
"Jika diperkenankan, hamba akan mohon ijin bermalam di kepatihan, Pangeran?"
Pangeran Singasari tersenyum sambil berpaling kepada Ki Patih Mandaraka, "Bagaimana paman"'
"Tentu saja aku tidak berkeberatan. Tetapi Ki Lurah harus membayar tiga keping untuk semalam, termasuk makan malam dan makan pagi esok."
Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandarakapun tertawa. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.
Ketika kemudian Ki Patih meninggalkan istana, maka Ki Lurahpun ikut pula bersamanya.
Dalam pada itu, di longkangan, Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu saat-saat pendadaran. Mereka melihat sikap dan tingkah laku orar^g-orang yang menempuh pendadaran itu dengan dada yang kadang-kadang berdebaran. Namun kadang-kadang mereka harus menahan tawa mereka.
Seorang yang berperawakan tinggi, besar dan berkumis lebat, duduk tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan nada rendah menekan, orang itupun bertanya, "kau mau ikut pendadaran, Ki Sanak?"
Glagah Putihlah yang menjawab, "Ya. Kami ingin mengabdi sebagai seorang prajurit."
"Kenapa kau bawa perempuan ini" Apakah perempuan ini calon isterimu."
"Bukan calon Ki Sanak. Ia memang isteriku."
"O. Jadi kenapa kau ajak isterimu?"
"Ia juga akan ikut pendadaran. Isteriku juga ingin menjadi seorang prajurit."
"Ah," orang itu mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa, "Kau ini aneh-aneh saja. Setengah tahun yang lalu, aku ikut dalam pendadaran untuk memasuki prajurit dalam tugas sandi seperti sekarang ini. Tetapi aku tidak lulus. Aku diminta kembali setengah tahun lagi. Ketika kakakku, yang sudah menjadi prajurit sejak hampir dua tahun yang lalu, memberitahukan kepadaku, bahwa dibuka lagi kesempatan untuk menjadi prajurit dalam tugas sandi, aku telah melamarnya lagi. Tetapi jika enam bulan yang lalu, aku tidak dapat diterima meskipun aku sudah berbekal ilmu, maka apakah seorang perempuan sekarang akan dapat diterima" Bukankah isterimu itu hanya membuang-buang waktu saja" Mungkin serba sedikit ia sudah berlatih olah kanuragan. tetapi seberapa besar tenaga seorang perempuan" Ki Sanak. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa pendadaran untuk menjadi prajurit sandi adalah sangat berat. Lebih berat dari pendadaran untuk menjadi prajurit biasa."
"Kami akan mencoba, Ki Sanak. Entahlah, apakah kami akan berhasil atau tidak. Jika tidak, maka setidak-tidaknya kami sudah mempunyai pengalaman."
"Pendadaran ini akan disaksikan oleh banyak orang, termasuk para prajurit dan bahkan para Senapati. Daripada kalian berdua ditertawakan, lebih baik kalian urungkan saja niat kalian."
"Kami sudah sampai disini, Ki Sanak. Tanggung untuk mengurungkannya."
Orang itu tertawa. Katanya, "terserah kepada kalian."
Seorang yang lain, yang mendengar orang itu tertawa, bertanya, "Ada apa?"
"Orang ini," jawab orang yang bertubuh tinggi besar itu, "ia datang bersama isterinya. Kedua-duanya ingin ikut dalam pendadaran untuk menjadi prajurit dalam tugas sandi."
"Ya. Aku sudah merasa heran sejak mereka memasuki ruangan untuk menghadap Pangeran Singasari bersama Ki Patih. Nampaknya mereka mendapat belas kasihan Ki Patih sehingga mereka dapat diikut sertakan dalam pendadaran ini."
Tetapi seorang yang lain menyahut, "Bukankah justru Pangeran Singasari mengatakan, bahwa mereka sudah membuktikannya dalam pertempuran yang sebenarnya."
"Sudah dijelaskan oleh Ki Tumenggung. Dalam pertempuran mereka bertempur bersama-sama banyak orang, sehingga mereka tentu mendapat perlindungan dari para prajurit."
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar pembicaraan itu. Rasa-rasanya jantung mereka tergetar juga. Tetapi mereka merasa lebih baik berdiam diri saja. Mereka mencoba mengerti jalan pikiran orang-orang itu. Memang tidak sering terjadi seorang perempuan mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. Pada saat itu juga hanya ada seorang perempuan saja yang mengikuti pendadaran, sehingga keberadaannya memang menarik perhatian.
Rara Wulan sadar, bahwa ia memang banyak mendapat perhatian bukan saja dari mereka yang akan mengikuti pendadaran. Tetapi juga oleh para petugas yang mempersiapkan pendadaran itu.
Menjelang sore hari, kepada mereka dihidangkan minuman hangat serta makan, karena mereka harus segera mempersiapkan diri untuk mengikuti pendadaran tahap pertama.
Setelah makan dan minum, menjelang senja, orang-orang yang mengikuti pendadaran itu telah dibawa ke alun-alun pungkuran.
Di alun-alun pungkuran ternyata sudah menunggu Ki Tumenggung Purbasena serta beberapa orang perwira yang bersama-sama Ki Purbasena akan melakukan pendadaran terhadap orang-orang yang menyatakan diri untuk menjadi prajurit.
Tidak lama kemudian, maka Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandarakapun telah hadir pula. Ki Lurah Agung Sedayupun diperkenankan ikut pula bersama Ki Patih untuk menyaksikan pendadaran itu.
Setelah melakukan beberapa persiapan kecil, maka demikian gelap turun. Ki Purbasena itupun segera memberikan beberapa perintah kepada para pengikut pendadaran.
"Kalian akan diantar meninggalkan alun-alun pungkuran ini pergi ke suatu tempat. Kalian akan pergi berkuda. Mereka yang tidak dapat menunggang kuda, akan terhenti disini. Selanjutnya kalian harus kembali memasuki alun-alun pungkuran ini. Jalan-jalan akan dijaga sehingga kalian akan sulit dapat menembus penjagaan. Tetapi masih tetap ada beberapa jalan yang dapat kajian pergunakan untuk memasuki alun-alun pungkuran ini. Sebelum tengah malam kalian harus sudah berada di alun-alun pungkuran. Tengah malam itu akan ditandai dengan suara kentongan dengan irama dara muluk. Sedangkan beberapa saat sebelumnya akan dibunyikan kentongan dengan pukulan lima kali berturut-turut untuk memberikan isyarat, bahwa waktunya hampir habis."
Seorang yang bertubuh raksasa yang' telah mentertawakan Glagah Putih dan Rara Wulan itupun bertanya dengan suara yang lantang menggelegar, "Apakah kami boleh menyerang para penjaga, kemudian lewat dijalan yang dijaganya itu ?"
"Yang bertugas di setiap tempat penjagaan tidak hanya seorang. Jika seseorang menyerang mereka, maka ia justru akan kehilangan kesempatan, karena para prajurit yang lain akan membantu prajurit yang diserang itu. Kecuali jika orang itu mampu mengalahkan lima orang prajurit yang bertugas. Memang mungkin terjadi bahwa prajurit yang bertugas atau mereka yang menempuh pendadaran akan terluka. Tetapi tidak akan ada yang bersenjata. Dan tidak boleh terjadi pembunuhan dengan cara apapun juga."
Sementara itu, yang lainpun bertanya, "Apakah antara kami boleh berusaha memasuki alun-alun pungkuran ini bersama-sama?"
"Tidak. Kalian harus saling terpisah. Kalian harus berusaha memasuki alun-alun pungkuran ini sendiri-sendiri."
Tetapi ada seorang yang dengan sengaja berteriak, "Bagaimana kalau mereka itu suami isteri?"
Ki Purbasena justru menjawab dengan lantang pula, "Yang sekarang dilakukan adalah pendadaran untuk menjadi-prajurit. Bukan pengantin baru yang sedang berkasih-kasihan dibawah bulan purnama. Karena itu, maka mereka akan dinilai seorang-seorang. Mereka juga tidak boleh bersama-sama mencari jalan untuk memasuki alun-alun pungkuran ini."
"Kalau perempuan itu memasuki alun-alun pungkuran ini bersama-sama bukan dengan suaminya, apakah itu dibenarkan?"
Ki Purbasena menjawab sambil tersenyum, "Persoalannya akan menjadi berbeda. Orang itu akan didadar oleh suami perempuan itu sendiri."
Rara Wulan menahan perasaannya, karena hanya ada seorang perempuan, maka ia tahu, bahwa dirinya telah menjadi sasaran ejekan banyak orang.
Tetapi Rara Wulan yang mempunyai bekal yang memadai itu masih saja mampu menahan diri, sehingga ia sama sekali tidak menanggapi suara-suara yang dirasanya sumbang.
Demikianlah, setelah Ki Tumenggung Purbasena memberikan pesan-pesannya sejelas-jelasnya, maka pendadaran itupun segera dimulai.
Beberapa orang prajurit kemudian telah membawa kuda sebanyak para pengikut pendadaran. Kuda-kuda yang besar dan tegar. Disamping itu, prajurit berkuda telah siap pula mengantar para peserta pendadaran itu ke tempat-tempat yang telah ditetapkan.
"Sekarang, silahkan naik ke punggung kuda. Siapa yang tidak dapat berkuda, maka ia tidak akan mengikuti pendadaran selanjutnya."
Orang yang bertubuh tinggi besar, yang telah berbicara dengan Glagah Putih dan Rara Wulan di longkangan mendekati Rara Wulan sambil bertanya, "Kau pernah naik kuda?"
"Ya," Rara Wulan mengangguk.
"Hati-hatilah. Agaknya kuda-kuda itu adalah kuda-kuda yang tegar."
"Terima kasih. Aku akan berhati-hati," sahut Rara Wulan.
Orang itupun segera beringsut meninggalkan Rara Wulan. Namun seorang yang lain telah mendekatinya pula, "Kau takut melihat kuda-kuda itu?"
Rara Wulan memandang orang itu dengan kerut di dahi.
"Kalau kau takut, sebaiknya kau berkuda bersamaku saja."
Hampir saja Rara Wulan menampar mulut orang itu. Tetapi niatnya itupun diurungkan. Ia sadar, bahwa ia berdiri di hadapan para Senapati Mataram yang akan melakukan pendadaran. Bahkan Ki Tumenggung Purbasena sendiri, yang memimpin pendadaran itu, agaknya juga meremehkan Rara Wulan.
Karena itu, maka Rara Wulan harus menahan diri. Apalagi Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka ikut menyaksikan pendadaran pada tingkat pertama itu.
Sejenak kemudian, orang-orang yang mengikuti pendadaran itu telah berloncatan diatas punggung kudanya. Para Senapati yang mengamati pendadaran itu sudah mulai menilai cara-cara mereka naik ke punggung kuda. Seseorang yang tidak terbiasa naik kuda akan segera terlihat sejak ia meloncat ke punggung kuda itu.
Namun Glagah Putih masih sempat berbisik di telinga Rara Wulan, "Kau harus sabar Rara Wulan. Ternyata selain ujud kewadagan, kaupun harus mengalami ujian kesabaran dan kelonggaran perasaan."
"Aku hampir mengundurkan diri dan menantang mereka berkelahi kakang. Bahkan menantang Ki Tumenggung Purbasena sendiri."
"Aku mengerti. Ujianmu jauh lebih berat dari para peserta yang lain. Tetapi bukankah kita berharap bahwa kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik?"
Rara Wulan mengangguk. Demikianlah, sejenak kemudian, maka setiap peserta didampingi oleh seorang prajurit akan segera meninggalkan alun-alun. Para prajurit itu akan mengantar para peserta keluar dari alun-alun dan pergi ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Mereka harus kembali memasuki alun-alun sebelum tengah malam. Mereka harus mencari jalan yang paling aman.
"Yakinlah, bahwa ada jalan yang terbuka. Kalian harus menemukan jalan itu, agar kalian dapat kembali ke alun-alun. Jika kalian nekat melewati penjagaan, maka kalian harus berkelahi lebih dahulu. Mungkin kalian tidak akan dapat meneruskan pendadaran ini karena kesakitan. Tetapi seperti yang aku katakan, tidak boleh ada yang mempergunakan jenis senjata apapun. Tidak boleh ada kematian. Baik bagi mereka yang mengikuti pendadaran, maupun para prajurit yang bertugas."
Berurutan para prajurit membawa para peserta melintasi pintu gerbang alun-alun pungkuran. Mereka pergi ke tiga arah yang kemudian saling berpisah.
Prajurit yang membawa Rara Wulan itupun melarikan kudanya tidak begitu kencang. Di sepanjang jalan mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertugas.
"Kenapa kau ikut dalam pendadaran ini, nduk?" bertanya prajurit itu. Ternyata prajurit itu belum mengenal Rara Wulan.
"Aku sudah bersuami," desis Rara Wulan.
"O. Maaf Nyi," berkata prajurit itu, "justru karena kau sudah bersuami, aku menjadi ingin tahu alasanmu, kenapa kau mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit."
"Aku memang ingin menjadi seorang prajurit," jawab Rara Wulan.
"Apakah perkawinanmu tidak berbahagia, sehingga kau ingin lari dari suamimu?"
"Suamiku juga ikut dalam pendadaran ini."
Keduanyapun terdiam. Namun kemudian prajurit itupun berkata, "Aku dapat menolongmu. Nyi. Aku tahu, jalan-jalan sempit yang terbuka, sehingga kau akan dapat memasuki alun-alun lebih cepat dari orang lain."
"Aku sedang menempuh pendadaran. Aku tidak boleh bergantung pada orang lain."
"Jika saja kau tahu, ada diantara mereka yang mengikuti pendadaran ini telah menyuap para prajurit dan petugas yang terlibat dalam pendadaran ini."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, "Biarlah mereka yang mempunyai uang tetapi tidak mempunyai kepercayaan diri itu mempergunakan cara yang tidak dibenarkan. Tetapi aku tidak akan melakukannya."
"Kau tidak perlu menyuapku. Aku hanya ingin membantumu. Sebenarnya aku merasa kasihan kepadamu, bahwa kau seorang perempuan yang harus melakukan pendadaran sebagaimana seorang laki-laki."
"Terima kasih. Tetapi biarlah aku juga mengetahui apakah aku mampu melakukannya atau tidak."
"Agaknya kau memang seorang perempuan yang hatinya sekeras batu. Pikirkan baik-baik. Aku tidak ingin mendapat imbalan apa-apa. Aku hanya ingin menambah sahabat yang baik dan dapat saling mengerti."
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, tetapi aku tidak ingin mendapat bantuan dari siapapun dalam pendadaran ini."
"Kau memang keras kepala. Lihat, kau sekarang berada di daerah yang terpencil, Kau berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Aku berhak melakukan pendadaran pula bagi para calon prajurit."
"Bagus," jawab Rara Wulan, jawaban yang tidak diduga-duga oleh prajurit itu.
"Apa maksudmu ?"
"Aku hanya menanggapi kata-katamu. Jika kau merasa berhak melakukan pendadaran, maka lakukanlah."
"Perempuan sombong. Jika aku benar-benar melakukan pendadaran, maka kau akan terhenti disini. Aku dapat memberikan seribu alasan. Selanjutnya, kau hanya akan bermimpi untuk menjadi prajurit perempuan di Mataram."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya, "Dimana kita akan berhenti. Bukankah kau harus kembali ke alun-alun dengan membawa kuda yang aku pakai ini. Aku tidak mau kehilangan banyak waktu."
"Sudah aku katakan. Jika hatimu sekeras batu, aku dapat menghentikan kau disini."
"Ki Sanak. Jika aku memasuki pendadaran ini, itu berarti bahwa aku siap menghadapi pendadaran dengan cara apapun juga."
"Kau benar-benar sombong. Aku seharusnya meninggalkan kau disini. Tetapi karena kesombonganmu itu, aku akan memaksamu berlutut dihadapanku dan minta aku menolongmu."
"Itu tidak akan pernah terjadi. Jika aku gagal, maka aku akan kembali menjadi seorang petani. Tidak berhasil dalam pendadaran ini dan tidak menjadi seorang prajurit, bukan berarti kiamat bagiku. Jika aku berniat menjadi seorang prajurit adalah karena aku ingin mengabdi. Sementara itu, jalan pengabdian akan terbuka di segala bidang. Tidak hanya dibidang keprajuritan."
Tiba-tiba saja prajurit itu menarik kendali kudanya. Demikian kudanya berhenti, maka orang itupun segera meloncat turun sambil berkata lantang. "Turun, Kau tidak akan pernah dapat kembali ke alun-alun. Aku tidak hanya dapat menghentikanmu. Tetapi aku dapat membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke celah-celah batu-batu padas itu."
Rara Wulanpun segera meloncat turun pula. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "Kenapa kau tiba-tiba menjadi gua?"
"Seandainya aku laki-laki, apakah kau juga akan memperlakukannya seperti itu disini?"
"Tidak. Justru karena kau perempuan. Kau telah menolak tawaran-tawaranku yang aku sampaikan dengan niat baik. Apa salahnya aku bersikap sebagai seorang laki-laki terhadap seorang perempuan di tempat yang terpisah dari orang lain ini?"
"Sudah aku katakan, aku sudah bersuami."
"Persetan. Suamimu tidak ada disini. Sedangkan kau masih mempunyai banyak waktu sampai tengah malam. Jika aku menunjukkan celah-celah yang dapat kau lalui, maka kau akan dapat dengan cepat sampai di alun-alun."
"Lupakan sampah di otakmu itu. Kau cemarkan nama prajurit Mataram. Meskipun aku belum menjadi prajurit, tetapi aku tidak rela kau kotori nama kesatuanmu."
"Cukup." "Memang sudah cukup. Pergilah. Bawa kudaku itu pergi. Aku akan pergi ke alun-alun menurut jalanku sendiri. Aku tidak mau terlambat."
"Tidak. Kau tidak akan pergi ke alun-alun. Aku dapat berbuat apa saja atasmu disini."
"Sudah aku katakan, bahwa aku sudah siap melakukan pendadaran dengan cara apapun juga. Meskipun Ki Tumenggung Purbasena mengatakan, bahwa tidak akan ada kematian dalam pendadaran ini, tetapi aku siap dibunuh atau membunuh."
"Jadi kau berani melawan aku" Ingat, aku adalah prajurit Mataram. Sementara itu, kau baru akan memasuki dunia keprajuritan itu" Bagaimana mungkin kau berani melawanku."
"Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh."
Prajurit itupun menjadi sangat marah. Ia sudah kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka iapun segera menambatkan kudanya.
"Kau akan menyesal," geramnya.
Rara Wulanpun telah melepaskan kudanya pula. Iapun segera bersiap menghadapi kemungkinan buruk dari prajurit yang telah menjadi gila itu.
Sambil melangkah mendekati Rara Wulan prajurit itupun berkata, "Kau tidak mempunyai pilihan."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Sekali lagi aku peringatkan, tidak ada gunanya kau melawan. Aku adalah seorang prajurit. Sedangkan kau baru mengikuti pendadaran. Itupun belum tentu dapat diterima."
Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Tetapi ia bergeser sambil mengangkat tangannya di depan dadanya.
Prajurit itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Iapun segera meloncat menyerang. Tangannya terayun mendatar menampar ke arah kening.
Rara Wulan tidak menghindar. Tetapi ia sengaja menangkis serangan itu, sehingga terjadi benturan yang memang tidak terlalu keras. Tetapi benturan yang tidak terlalu keras itu telah mengejutkan prajurit yang telah menyerang Rara Wulan itu. Pada benturan yang tidak terlalu keras itu, terasa kekuatan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu cukup besar.
"Ia merasa memiliki bekal yang cukup," berkata prajurit itu didalam hatinya, "karena itu, maka ia berani mencoba melawan aku, meskipun ia tahu, bahwa aku adalah seorang prajurit."
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit. Prajurit itu mencoba untuk dengan cepat menekan dan mengalahkan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Perempuan itu, tidak segera dapat ditundukkannya.
Demikianlah keduanyapun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Tetapi prajurit itu harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Ternyata ia tidak mampu mengimbangi ilmu perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Serangan-serangannya tidak berhasil menembus pertahanan Rara Wulan. Namun justru serangan serangan Rara Wulanlah yang telah beberapa kali mengenai dadanya.
Prajurit itu terpental beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh terguling. Tetapi di luar dugaannya Rara Wulan dengan kecepatan yang tinggi telah meloncat sambil berputar di udara. Kakinya terayun mendatar, tepat mengenai kening prajurit itu, sehingga prajurit itu terlempar beberapa langkah surut.
Prajurit itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya. Tetapi prajurit itu telah terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Wajahnya bagaikan disurukkan ke batu-batu padas, sehingga beberapa gores luka menyilang di wajahnya. Hidungnya yang terantuk batupun telah berdarah pula.
Prajurit itu menjadi sangat marah. Wajahnya terasa pedih. Ketika ia mengusap wajah itu dengan lengan bajunya, maka terasa cairan yang hangat telah menodai baju keprajuritannya itu.
"Iblis betina," geram prajurit itu.
Tetapi prajurit itu tidak sempat berbicara lebih lanjut, Rara Wulanlah yang kemudian berloncatan menyerang. Tangannya telah terjulur lurus menghantam dada prajurit itu.
Sekali lagi prajurit itu terpental. Kemudian jatuh berguling di tanah berbatu padas.
Meskipun tulang-tulangnya terasa sakit, tetapi prajurit itu telah berusaha dengan cepat bangkit berdiri. Namun Rara Wulan yang marah itu sama sekali tidak memberinya kesempatan. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur menyamping dengan kaki terjulur lurus menghantam perutnya. Prajurit yang baru saja bangkit itu telah terlempar lagi. Tubuhnya telah menghantam sebatang pohon yang tumbuh dengan kokohnya.
Prajurit itupun kemudian jatuh terkulai dengan lemahnya.
Ketika Rara Wulan berdiri sambil bertolak pinggang di hadapannya, maka prajurit itupun berkata dengan suaranya yang bergetar, "Aku minta maaf. Jangan sakiti aku lagi. Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi atasmu."
"Aku ingin memilin lehermu," geram Rara Wulan.
"Jangan. Jangan, jangan. Aku minta maaf."
"Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh."
"Ampun, ampuni aku. Aku punya isteri dan dua orang anak kecil."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak Sementara prajurit itupun berkata, "Aku, aku akan menunjukkan kepadamu, jalur-jalur manakah yang tidak sedang dijaga."
"Sudah aku katakan, aku tidak memerlukan bantuanmu. Jika kau menunjukkan tempat-tempat yang terbuka itu, maka kau akan dapat memfitnahku."
"Perempuan yang keras hati," berkata prajurit itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka Rara Wulanpun kemudian berkata, "Terserah, apa yang akan kau lakukan. Aku sudah kehilangan waktu beberapa lama. Aku harus segera mencari jalan ke alun-alun."
Prajurit itu masih akan menjawab. Tetapi Rara Wulan telah berlari dan hilang di balik kegelapan.
Prajurit itupun kemudian tertatih-tatih berdiri serta membenahi pakaiannya yang ternyata telah terkoyak. Wajahnya yang tergores batu-batu padas terasa pedih, sementara hidungnya telah berdarah karena terantuk batu.
Untuk beberapa lama, prajurit itu berpikir, apa yang akan dikatakannya kepada kawan-kawannya tentang keadaannya. Bahkan kepada Ki Tumenggung Purbasena. Mereka tentu akan mempertanyakan, kenapa wajahnya tergores batu-batu padas serta hidungnya yang berdarah. Kenapa pula pakaiannya koyak, kusut dan kotor.
Namun akhirnya, prajurit itupun menemukan jawabnya. Karena itu, maka iapun segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya ke alun-alun. Sementara kuda yang dipergunakan oleh Rara Wulan itupun ditinggalkannya begitu saja tanpa terikat.
Seperti yang diduganya, ketika ia kembali ke kelompoknya, para prajurit berkuda yang mengantar orang-orang yang mengikuti pendadaran itu, segera dikerumuni oleh kawan-kawannya.
"Kau kenapa?" bertanya seorang kawannya yang melihat keadaan kawannya itu di bawah cahaya oncor.
"Kuda itu menjadi gila," geramnya, "kuda itu terkejut ketika ia melihat seekor ular yang meluncur menyeberang jalan. Ular itu terhitung ular yang besar bagi ular welang. Gelang-gelangnya nampak berkilat-kilat di gelapnya malam. Aku terkejut dan kuda yang aku pegangi kendalinya dan berlari di samping kudaku itupun terkejut pula. Ketika kuda itu meloncat sambil meringkik, aku mencoba menahannya. Tetapi kuda itu justru berlari. Aku terjatuh dan terseret beberapa puluh langkah. Aku memang tidak segera melepaskannya, karena aku harapkan kuda itu segera menjadi tenang. Tetapi ternyata tidak. Dan inilah yang terjadi."
Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka berkata, "sejak berapa tahun yang lalu kau menjadi prajurit dari Pasukan Berkuda Mataram yang nama kesatuannya disegani oleh kesatuan-kesatuan yang lain, sehingga kau sempat terseret oleh kuda itu. Bahkan sampai wajahmu tergores dan hidungmu tentu berdarah. Bahkan paka an m u menjadi lusuh, kotor dan koyak."
"Bukan hanya aku. Siapapun yang mengalami tentu akan bernasib seperti aku. Demikian tiba-tiba. Apalagi sebelumnya aku memang agak mengantuk."
"Kau tentu mengantuk. Semalam suntuk dan bahkan sampai matahari tinggi, kau masih bermain judi ketika kau sedang caos semalam."
"Aku menjadi penasaran. Aku kalah banyak. Bahkan lebih dari separo gajiku."
"Salahmu. Bahkan kau menjadi agak mabuk tuak."
"Malam ini aku diseret kuda gila itu," geramnya.
"Nasibmu memang buruk. Pergilah menemui tabib kesatuan kita. Tanpa diobati goresan-goresan di wajahmu itu akan dapat menjadi luka-luka yang akan meninggalkan bekas."
Prajurit itupun kemudian berkata kepada Lurahnya, "Ki Lurah. Aku akan berobat lebih dahulu sebelum terlambat, agar wajahku tidak menjadi cacat."
"Tabib itu ada di sini. Aku melihatnya duduk di belakang panggungan."
"Baik, Ki Lurah."
Prajurit itupun kemudian pergi ke belakang panggungan. Ia masih melihat Ki Tumenggung Purbasena berada di panggungan. Bahkan Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka. Nampaknya keduanya sangat tertarik pada pendadaran untuk memilih beberapa orang prajurit dalam tugas sandi yang terbaik.
Dalam pada itu, beberapa orang yang sedang menjalani pendadaran itu telah tersebar di berbagai tempat. Mereka berusaha untuk dapat sampai ke alun-alun. Mereka diperkenankan memakai berbagai cara. Bahkan dengan menerobos penjagaan jika saja mereka dapat melepaskan diri dari para petugas. Memang dimungkinkan mereka mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Tidak seorangpun boleh bersenjata. Yang mengikuti pendadaran maupun para prajurit yang bertugas. Selebihnya tidak boleh ada kematdan karena pendadaran tersebut.
Tetapi untuk menerobos penjagaan, tentu sangat sulit, karena yang bertugas di setiap penjagaan tidak hanya satu dua orang prajurit. Kadang-kadang lima, bahkan lebih.
Rara Wulan yang menyusup dalam kegelapan itupun dengan cepat mendekati alun-alun. Ia berusaha untuk menghindari benturan dengan para petugas. Rara Wulan berpegang pada keterangan Ki Tumenggung Purbasena, bahwa ada jalan yang terbuka, sehingga jika orang-orang yang mengikuti pendadaran itu berpandangan tajam dan mampu bergerak cepat, maka mereka akan dapat mencapai alun-alun tanpa harus melewati tempat-tempat yang dijaga oleh para prajurit.
Rara Wulan bahkan menyusup melalui halaman-halaman rumah. Ia tidak selalu menyusuri jalan-jalan, bahkan jalan setapak sekalipun. Sehingga karena itu, maka Rara Wulan itupun menjadi semakin dekat dengan alun-alun pula.
Beberapa orang lain yang mengikuti pendadaran, kadang-kadang tersesat ke sudut-sudut yang berada di bawah pengawasan para prajurit, sehingga mereka harus berlari-lari dikejar oleh prajurit yang bertugas untuk menangkapnya.
Tetapi para prajurit itupun menyadari, bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang mengikuti pendadaran. Karena itu, jika mereka berusaha melarikan diri, para prajurit itu tidak mengejar mereka seperti mengejar seorang penjahat. Biasanya orang-orang yang melarikan diri itu, memang dilepaskan begitu saja oleh para prajurit itu.
Sementara itu, Glagah Putih yang berjalan melewati jalan di dalam lingkungan hunian yang padat, masih belum terhambat.
Ia berjalan melenggang seperti seorang yang sudah menjadi tua, berjalan-jalan menjelang matahari terbit.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu berhenti. Telinganya yang sangat tajam, bahkan dengan mengetrap-kan Aji Sapta Pangrungu, mendengar beberapa orang yang sedang bercakap-cakap.
Glagah Putih tersenyum. Tentu beberapa orang prajurit yang sedang bertugas menjaga jalan yang menuju ke alun-alun itu. Tiba-tiba timbul keinginan Glagah Putih untuk bermain-main dengan mereka.
"Aku akan lari. Aku harap mereka tidak akan berhasil memburuku."
Glagah Putih itupun kemudian bergeser beberapa langkah maju mendekati sebuah gardu di simpang empat. Beberapa orang prajurit yang bertugas, telah mengambil tempat di gardu itu. Sementara para peronda malam itu mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Para prajurit itu terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul dari dalam gelap. Merekapun segera menyadari, bahwa orang itu tentu salah seorang prajurit yang mengikuti pendadaran.
Karena itu, maka merekapun segera berloncatan turun untuk menangkap orang yang tiba-tiba muncul dari kegelapan itu.
"Seharusnya kau lari dan bersembunyi. Tetapi kenapa kau justru mendatangi kami?"
Glagah Putih melangkah semakin dekat, sehingga cahaya lampu minyak di gardu itu menggapainya.
Prajurit yang bertugas di gardu itupun terkejut. Mereka mengenali orang itu. Orang itu memang salah seorang di antara mereka yang mengikuti pendadaran.
"Glagah Putih," sapa seorang prajurit.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi kaukah yang bertugas di sini?"
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Aku tidak sengaja. Sungguh aku tidak sengaja," berkata Glagah Putih, "Jika aku tahu, bahwa kalianlah yang bertugas di sini, aku tentu akan mengambil jalan lain."
Para prajurit itu berdiri termangu-mangu. Mereka mengenal Glagah Putih dengan baik. Ketika mereka berada di Demak, mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih.
Karena itu, seorang di antara merekapun berkata, "Seharusnya kau tidak usah mengikuti pendadaran. Setiap orang tahu, bahwa kau memiliki kelebihan. Bahkan jauh lebih baik dari para prajurit yang akan mendadarmu esok."
"Ki Tumenggung Purbasena menghendaki pendadaran itu dilaksanakan."
"Tantang saja Ki Tumenggung Purbasena esok di alun-alun," berkata salah seorang prajurit itu, "orang tentu akan mengira, bahwa Ki Tumenggung Purbasenalah yang sedang mengikuti pendadaran."
Para prajurit itu tertawa. Glagah Putih juga tertawa. Sementara itu seorang prajurit yang lainpun berkata, "Marilah. Duduklah. Kami telah membuat minuman hangat serta merebus ketela pohon."
"Kalian telah melanggar tatanan prajurit yang sedang bertugas. Dengan minuman hangat serta ketela rebus, kalian tidak akan dapat melakukan tugas dengan baik. Itulah sebabnya kalian tidak melihat aku lewat di kegelapan halaman sebelah, jika saja aku tidak dengan sengaja mendekati gardu ini."
"Kau tentu akan mengajak bermain kejar-kejaran."
Glagah Putih tertawa. Tetapi ternyata prajurit-prajurit itupun berkata di antara mereka, "Marilah, kita duduk dan minum lagi. Nanti minuman kita dingin."
"Itu lebih baik daripada berlari-lari mengejar Glagah Putih. Tentu akan sia-sia. Sampai di alun-alun ia tidak akan terkejar."
Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau mempunyai cara lain untuk menahan agar aku gagal dalam pendadaran itu."
"Cara lain yang mana?"
"Kau akan minta aku duduk sambil minum-minuman hangat dan makan ketela rebus. Tahu-tahu terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Nah, maka gagallah pendadaranku."
"Sebelum suara kentongan dengan irama dara muluk sebagai pertanda tengah malam, akan ada isyarat lain yang memberi-tahukan bahwa waktunya sudah hampir habis."
"Aku tentu lebih senang menunggu minuman itu menjadi agak dingin dan kemudian menghirupnya."
Para prajurit itupun tertawa pula.
Namun seorang di antara para prajurit itupun berkata, "Baik, baik. Pergilah. Lanjutkan usahamu menggapai alun-alun pungkuran sebelum terlambat."
"Kalian tidak mengejar aku?" bertanya Glagah Putih.
"Sudah aku katakan, satu usaha yang sia-sia."
Glagah Putih masih saja tertawa. Iapun kemudian minta diri kepada para prajurit yang bertugas itu sambil berkata, "Sembunyikan minuman dan makanan itu. Jika ada prajurit dari pasukan berkuda yang meronda, maka kau akan terjerat tatanan."
"Baik," prajurit itu tersenyum, "tetapi jangan laporkan kepada Ki Tumenggung Purbasena."
Demikianlah, maka Glagah Putihpun segera meninggalkan mereka.
Sementara itu, ternyata para prajurit yang bertugas itupun baru menyadari akan kesalahan mereka. Dengan cepat merekapun segera memindahkan mangkuk-mangkuk minuman serta ketela rebus itu ke belakang gardu. Namun mereka masih juga sempat menikmati minuman hangat serta ketela rebus mereka.
Namun ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka merekapun segera berloncatan ke depan gardu per-ondan itu. Dua orang justru berdiri di seberang jalan.
Empat orang prajurit berkuda agaknya sedang meronda berkeliling lingkungan yang mungkin dilalui oleh mereka yang mengikuti pendadaran. Mereka juga mengamati kesiagaan para prajurit yang bertugas di lingkungan itu.
Keempat prajurit berkuda itu berhenti di depan gardu perondan itu. Seorang di antara mereka bertanya, "Apa ada sesuatu yang terjadi di luar kendali?"
"Tidak, Ki Lurah," jawab seorang prajurit yang berdiri di depan gardu.
"Di mana para peronda yang seharusnya meronda di gardu ini" Apakah mereka sedang meronda berkeliling?"
"Tidak Ki Lurah. Mereka beristirahat malam ini. Gardunya kami pinjam untuk melakukan tugas kami malam ini."
"Kenapa mereka harus beristirahat" Bukankah mereka akan dapat menemani kalian dalam tugas ini?"
"Mungkin mereka akan dapat membantu kami. Tetapi mungkin mereka justru akan mengganggu tugas kami."
Lurah prajurit berkuda yang meronda berkeliling itu mengangguk-angguk. Kepada para prajurit yang bertugas di gardu itu, iapun berkata, "Hati-hati. Para peserta pendadaran itu tentu sedang berkeliaran mencari jalan. Tugas kalian bukan untuk menggagalkan mereka, tetapi untuk menilai kemampuan mereka. Karena itu, jangan perlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan seorang buronan yang sedang diburu."
"Baik, Ki Lurah."
Demikianlah, maka para prajurit berkuda itupun segera meninggalkan gardu itu untuk melanjutkan tugas mereka meronda di sekeliling lingkungan pendadaran.
Sepeninggal para prajurit berkuda yang meronda itu, para prajurit yang berada di gardu itupun menarik nafas panjang. Seorang di antara merekapun berkata, "Untunglah, bahwa Glagah Putih telah lewat di jalan ini."
"Ya. Kalau Glagah Putih tidak memperingatkan kita, maka kita akan dapat terjebak oleh mangkuk-mangkuk minuman hangat serta ketela rebus itu."
"Sebaiknya mangkuk-mangkuk itu segera kita kembalikan."
"Pemiliknya sedang tidur nyenyak. Jangan kejutkan mereka. Nanti saja, setelah lewat tengah malam. Bukankah kita berjanji kepada anak-anak muda yang seharusnya bertugas meronda untuk berkeliling sedikit lewat tengah malam sebagaimana mereka lakukan?"
"Ya." "Lewat tengah malam para peserta pendadaran itu sudah berkumpul di alun-alun. Setelah kita meronda berkeliling sambil mengembalikan mangkuk-mangkuk itu, kitapun akan pergi ke alun-alun."
Dalam pada itu, para peserta pendadaran itupun telah merayap semakin mendekati alun-alun. Mereka memang ada yang sempat dikejar oleh para prajurit yang bertugas. Tetapi para prajurit itu sengaja tidak menangkap mereka.
Dalam pada itu, Glagah Putih tidak banyak menemui kesulitan. Jauh dari waktu yang ditetapkan, Glagah Putih itu sudah duduk di sudut alun-alun itu. Tetapi ia masih belum menampakkan dirinya, karena para peserta yang lain juga belum berdatangan. Glagah Putih memang tidak ingin menarik perhatian dengan datang terdahulu di alun-alun itu.
Sementara itu, beberapa saat kemudian, Rara Wulanpun telah memasuki alun-alun itu pula. Tetapi Rara Wulan berada di sisi yang lain, sehingga Rara Wulanpun tidak melihat, bahwa Glagah Putih sebenarnya sudah berada di alun-alun itu.
Seperti Glagah Putih, Rara Wulan tidak ingin menjadi orang pertama yang tampil dalam pendadaran itu. Ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang dengan kelebihannya itu.
Karena itu, maka Rara Wulanpun duduk di sudut alun-alun itu pula. Tetapi berseberangan dengan Glagah Putih.
Baru beberapa saat kemudian, seorang laki-laki yang bertubuh kokoh, namun tidak begitu tinggi, telah meloncati dinding alun-alun. Iapun kemudian berlari menyeberangi alun-alun menuju ke depan panggungan, di tempat para Senapati duduk menunggu.
"Aku adalah orang yang pertama memasuki alun-alun," orang itu hampir berteriak. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi yang juga berlari menyeberangi alun-alun itupun berteriak pula " Aku adalah orang kedua."
"Bagus," Ki Tumenggung Purbasenapun bangkit berdiri untuk menyambut orang-orang yang mulai berdatangan itu.
Namun Ki Patih Mandarakapun berdesis, "Mereka bukan orang yang pertama dan kedua."
"Kenapa Ki Patih ?" bertanya Ki Tumenggung Purbasena, "jika bukan mereka, lalu siapa ?"
Namun Pangeran Singasaripun menyahut, "Paman Patih benar. Mereka bukan yang pertama dan kedua."
Ki Purbasena termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia bertanya, "Lalu siapakah yang pertama dan kedua?"
Ki Patihlah yang menyahut, "Sudahlah. Anggap saja kedua orang itu adalah orang yang pertama dan kedua."
Ki Purbasena masih saja bingung. Tetapi Ki Patih Mandaraka serta Pangeran Singasari yang memiliki penglihatan serta panggraita yang sangat tajam, dapat merasakan dan bahkan melihat bayangan dalam kegelapan di kejauhan, bahwa sudah ada orang yang datang sebelumnya. Meskipun keduanya tidak terlalu jelas terlihat oleh keduanya, namun mereka sudah menduga, bahwa keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun dalam pada itu, beberapa orangpun telah berdatangan pula. Baru kemudian kedua orang yang datang pertama dan kedua itupun berjalan ketengah alun-alun mendekati Ki Purbasena.
Glagah Putihlah yang lebih dahulu melangkah di belakang orang yang datang pada urutan ke tujuh. Rara Wulan yang melihat Glagah Putih, segera bangkit pula dan melangkah ke tengah alun-alun. Tetapi ia sengaja tidak mengambil urutan ke delapan, tetapi urutan kesembilan.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari telah berbisik di telinga Ki Patih Mandaraka, "Mereka yang datang pertama dan kedua telah menghadap Ki Tumenggung Purbasena pula."
"Bukankah mereka Glagah Putih dan Rara Wulan?"
"Ya," Pangeran Singasari mengangguk-angguk.
Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari tidak mengatakan apa-apa, ketika Ki Purbasena menyatakan bahwa Glagah Putih telah memasuki alun-alun pada urutan ke tujuh, sedangkan Rara Wulan datang pada urutan ke sembilan.
"Ternyata mereka bukan orang yang terbaik," berkata Ki Tumenggung Purbasena di dalam hatinya.
Malam itu, pada batas waktu yang ditentukan, di tengah malam yang ditengarai dengan kentongan dengan irama dara muluk, telah berhasil memasuki alun-alun delapan belas orang. Namun pada saat gema suara kentongan masih belum lenyap, dua orang yang lainpun telah menghadap'pula, sehingga keduanya masih mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya esok pagi.
Setelah semuanya berkumpul, maka Ki Tumenggung Purbasenapun telah mengumumkan urutan para peserta pendadaran memasuki alun-alun pungkuran, serta pernyataan Ki Tumenggung, bahwa semuanya berhak untuk mengikuti pendadaran berikutnya.
"Esok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di sini untuk mengikuti pendadaran tahap berikutnya. Kalian besok harus menunjukkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan. Ada tiga tahap pertarungan. Pertama adalah pertarungan di antara kalian. Karena jumlah kalian untuk pendadaran yang pertama ini dua puluh orang, maka kalian akan bertarung dalam sepuluh pasang. Tahap kedua akan terjadi pertarungan yang sama, tetapi dengan lawan yang berbeda. Sedangkan pertarungan yang ketiga adalah pertarungan di antara kalian dengan para perwira yang bertugas mendadar kemampuan kalian. Dalam pertarungan-pertarungan itu, yang penting bukan soal kalah dan menang. Tetapi para Senapati yang bertugas akan menilai kemampuan kalian. Landasan ilmu yang kalian miliki, watak dan sifat ilmu kalian serta perbandingan antara dasar-dasar olah kanuragan kalian dengan kecerdasan kalian menghadapi keadaan yang tiba-tiba. Kemampuan kalian untuk mengambil sikap pada saat-saat yang gawat. Karena itu, pada tahap terakhir, kalian akan melakukan pertarungan langsung dengan para Senapati yang sudah mempunyai hak untuk melakukan pendadaran menurut tataran kepangkatan mereka."
Para peserta pendadaran itu mendengarkannya dengan seksama. Sementara itu, di luar sadarnya, Ki Patih Mandaraka berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi agaknya Ki Lurah Agung Sedayupun sedang mendengarkan keterangan Ki Tumenggung itu dengan seksama.
Beberapa saat kemudian, maka pendadaran pada tingkat pertama itu sudah dianggap selesai. Esok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap berikutnya.
"Kalian sekarang diperkenankan untuk beristirahat. Kalian akan ditunjukkan kemana kalian akan menginap."
Demikianlah, maka para pemimpin yang menyaksikan pendadaran itupun segera meninggalkan alun-alun pungkuran. Ki Lurah Agung Sedayupun telah mengikut Ki Patih Mandaraka, karena ia akan bermalam di dalem kepatihan.
Sementara itu, para peserta pendadaranpun telah ditempatkan di sebuah barak yang tidak terdapat sekat-sekatnya. Sementara itu, pakiwan yang ada tidak mencukupi, sehingga para peserta yang ingin mandi harus bergantian atau bahkan mandi bersama-sama.
Karena itu, maka Rara Wulan harus menunggu dan mandi pada giliran terakhir. Sehingga baru di dini hari, Rara Wulan sempat membaringkan dirinya. Rara Wulan lebih senang tidur di serambi daripada tidur bersama para peserta yang lain. Tetapi selain Rara Wulan dan Glagah Putih ada pula tiga orang lain yang memilih tidur di serambi karena udara di dalam terasa agak terlalu panas.
Di pagi hari, Rara Wulan justru orang yang pertama pergi ke pakiwan sebelum yang lain terbangun. Baru setelah Rara Wulan selesai mandi dan berbenah diri, maka yang lainpun baru mulai bangun.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, para peserta pendadaran itupun telah berada di alun-alun pungkuran. Kepada mereka sengaja tidak diberikan makan pagi. Mereka hanya mendapat minuman hangat masing-masing semangkuk sebelum mereka berangkat ke tempat pendadaran.
Seorang yang bertubuh tinggi besar berkata kepada orang yang berada di sampingnya. "Aku terbiasa makan pagi sebelum masuk ke sanggar."
"Tidak makan pagi ini tentu termasuk salah satu syarat pendadaran," sahut kawannya, "untunglah, bahwa aku juga tidak terbiasa makan pagi."
Demikianlah, maka pada saat matahari terbit, para peserta telah siap melakukan pendadaran sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan.
Dua puluh orang peserta pada kelompok pertama yang masih akan disusul dengan kelompok-kelompok lain itupun segera berkumpul di depan panggungan demikian Pangeran Singasari serta Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tiba.
Ki Tumenggung Purbasena telah membagi dua puluh orang itu menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Mereka akan berhadapan dalam satu pertarungan. Tetapi menurut Ki Purbasena, yang penting bukannya kalah atau menang. Tetapi mereka harus menunjukkan kemampuan dasar mereka. Watak dan sifat dari ilmu mereka, serta kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan ilmu mereka setelah mereka menjadi seorang prajurit.
Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapat perhatian khusus. Keduanya harus berada dalam satu kelompok agar mereka tidak akan dapat saling berhadapan.
Jika itu terjadi, menurut Ki Tumenggung Purbasena, mereka akan dapat memainkan peran masing-masing sehingga ilmu mereka akan nampak lebih baik dari orang lain.
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik nafas panjang. Mereka harus melakukan segala ketetpan dan tatanan yang dibuat oleh pejabat yang bertugas mengatur pendadaran itu.
Sejenak kemudian, maka di alun-alun itu telah berhadapan sepuluh pasang peserta pendadaran yang siap untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Merekapun menyadari, bahwa yang penting bukanlah menang atau kalah. Sedangkan para Senapati yang bertugas telah siap menilai keduapuluh orang yang menempuh pendadaran itu.
Dalam pada itu, prajurit yang semalam berkelahi dengan Rara Wulan yang menyaksikan pendadaran itu berkata di dalam hatinya, "Orang yang berhadapan dengan perempuan itu adalah orang yang bernasib buruk seperti nasibku semalam. Untunglah kuda yang aku tinggalkan itu pulang sendiri. Jika tidak, nasibku akan menjadi lebih buruk lagi, karena aku harus mengganti. Setidaknya aku harus mencicil setiap bulan dipotong dari gajiku."
Sebelum pendadaran itu dimulai, Ki Tumenggung Purbasena masih melihat pasangan-pasangan yang akan bertarung di arena pendadaran.
Ketika Ki Purbasena mendekati Rara Wulan, maka peserta pendadaran yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itupun mengeluh, "Ki Tumenggung. Kenapa aku harus berhadapan dengan seorang perempuan. Hanya ada satu perempuan yang mengikuti pendadaran ini. Kenapa kebetulan sekali, aku yang harus menghadapinya. Kalau boleh, aku minta agar aku dihadapkan kepada peserta laki-laki yang cukup tangguh untuk memancing agar ilmuku dapat tertuang sehingga dapat dilihat oleh para Senapati yang menilai pendadaran ini."
"Tidak ada kesengajaan bahwa kau harus berhadapan dengan perempuan ini. Tetapi dalam urutan nama peserta, kaulah yang mendapat kesempatan untuk melawannya. Lakukan apa yang terbaik bagimu untuk menunjukkan kemampuanmu. Kita tidak boleh melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pendadaran ini. Jika ia sudah berani memasuki lingkaran pendadaran, maka tidak ada lagi laki-laki atau perempuan."
Peserta yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itu menarik nafas panjang. Tetapi ia telah menunjukkan kekecewaannya, karena ia harus berhadapan dengan seorang perempuan.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi ia berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia merasa bahwa yang dilakukan itu memang tidak terbiasa. Tetapi Rara Wuln sudah bertekad untuk melakukannya. Rara Wulan pernah mendengar cerita tentang seorang perempuan yang bernama Srikandi pada dunia pewayangan. Bahkan di masa kejayaan Demak, nama Kanjeng Ratu Kalinyamatpun dikenal sebagai seorang prajurit perempuan yang tangguh. Tidak hanya di darat, tetapi Kangjeng Ratu Kalinyamat juga seorang prajurit perempuan yang gagah berani di lautan. Dengan pedang di tangan Kangjeng Ratu Kalinyamat berdiri di atas kapal berpegangan pada tali tiang kapalnya yang membelah lautan di antara dentang meriam kapal-kapal asing yang berkeliaran di laut Jawa.
"Akupun tentu boleh memasuki dunia keprajuritan," berkata Rara Wulan di dalam hatinya.
Tetapi Rara Wulan tetap mengendalikan perasaannya. Ia tidak akan menyalahkan sikap peserta yang akan menjadi lawannya itu. Sikap itu sungguh dapat dimengertinya. Orang itu tentu akan merasa sangat malu jika ia dikalahkan oleh seorang perempuan. Tetapi ia akan dianggap wajar-wajar saja jika ia menang dari seorang perempuan.
Ketika kemudian Ki Tumenggung Purbasena bergeser mendekati peserta yang lain, maka orang yang berhadapan dengan Rara Wulan itupun bertanya, "Kenapa kau telah mencoba ikut dalam pendadaran ini, Nyi. Bukankah banyak lapangan pekerjaan yang sesuai kodratmu sebagai perempuan. Prajurit bukan pekerjaan yang tepat bagimu."
"Aku kira tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, Ki Sanak. Apalagi dalam tugas sandi. Aku kira perempuan akan dapat memegang peran justru lebih baik dari seorang laki-laki. Karena perempuan tidak terbiasa menjadi prajurit."
"Tetapi aku merasa kurang mapan. Jika aku berhadapan dengan seorang laki-laki, maka aku akan dapat mengerahkan segenap kemampuanku. Tinggal siapakah yang lebih baik di antara kami. Tetapi menghadapi seorang perempuan, aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Ki Sanak," berkata Rara Wulan yang perasaannya menjadi semakin tergelitik, "seperti dikatakan Ki Tumenggung Purbasena. Di sini tidak ada perempuan dan laki-laki. Yang ada adalah mereka yang mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit, khususnya dalam tugas sandi. Nah, itulah peganganmu Ki Sanak. Aku juga berpegangan dengan petunjuk Ki Tumenggung itu. Karena itu, jika aku mempunyai kelebihan dari Ki Sanak, itu adalah wajar-wajar saja."
"Kau jangan terlalu sombong, Nyi."
"Kaulah yang terlalu sombong karena kau laki-laki. Tetapi sebenarnyalah, pada tubuh seorang laki-laki, banyak terdapat kelemahan-kelemahan, melampaui seorang perempuan."
Wajah laki-laki itu menjadi tegang. Ia mencoba untuk melupakan bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang perempuan. Ia ingin mengenalinya sebagai seorang yang sombong dan tidak tahu diri.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah Ki Purbasena selesai mengamati pasangan-pasangan yang akan mengikuti pendadaran itu, maka Ki Tumenggung Purbasenapun memberi isyarat kepada para perwira yang akan menilai para peserta pendadaran itu.
Setelah segala sesuatunya siap, maka Ki Tumenggung Purbasenapun segera memberi aba-aba, bahwa pendadaran itu dimulai.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak hanya duduk saja di panggungan. Merekapun segera turun dan berdiri di antara gawar-gawar lawe yang membatasi setiap arena bagi peserta pendadaran itu.
Kepada seorang Rangga yang ikut mengawasi pendadaran itu, Ki Tumenggung berdesis perlahan-lahan, "Awasi Ki Lurah Agung Sedayu. Ia tidak boleh membantu adiknya suami isteri dengan cara apapun juga."
"Baik, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
Demikianlah, maka pendadaran itupun segera berlangsung. Sepuluh pasang peserta telah bertempur di bawah pengawasan para perwira yang bertugas. Sementara itu, rakyat yang tinggal di sekitar alun-alun pungkuran, bahkan dari tempat yang agak jauh, yang tertarik dengan pendadaran itu telah pergi ke alun-alun untuk menonton.
Sebenarnya dua puluh orang yang menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran itu, telah menunjukkan kelebihan mereka masing-masing. Pada umumnya mereka telah memiliki bekal yang memadai. Mereka sebelumnya telah berguru untuk menguasai ilmu kanuragan.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbasena, yang dinilai oleh para pengamat, bukanlah kalah atau menang dari para peserta. Mereka menilai dari berbagai macam segi. Juga kemungkinan untuk berkembang dari ilmu para peserta itu. Meskipun dalam pendadaran itu, seseorang dikalahkan, tetapi jika kemungkinan berkembang bagi ilmunya nampak lebih baik, maka orang yang kalah itu, masih akan dapat dipertimbangkan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.
Dalam pendadaran itu, Glagah Putih telah mendapat lawan seorang yang tubuhnya nampak kokoh. Dengan trampil orang itu berloncatan di arena. Tubuhnya nampak ringan, sementara tenaganya cukup besar dilambari dengan tenaga dalamnya.
Namun berhadapan dengan Glagah Putih, maka ilmu orang itu terasa menjadi sulit berkembang.
Tetapi Glagah Putih tidak ingin mematahkan kesempatan lawannya. Karena itu, setelah pertempuran di antara mereka mapan, maka Glagah Putihpun mendapat jalan untuk memberi kesempatan ilmu lawannya itu berkembang. Glagah Putih sendiri beberapa kali telah terdesak. Tetapi agar Glagah Putih sendiri tidak justru tersingkir, maka sekali-sekali Glagah Putihpun telah menunjukkan kelebihannya.
Adalah kebetulan, bahwa seorang Rangga yang harus mengawasi Glagah Putih bertempur di arena pendadaran itu adalah seorang Rangga yang mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih di Demak. Karena itu, maka Ki Rangga itu justru merasa heran, kenapa Glagah Putih masih juga diikutsertakan dalam pendadaran.
Dalam pada itu, seorang Rangga yang lain telah mendekatinya sambil berbisik, "Ki Tumenggung Purbasena berpesan, hati-hati jika Ki Lurah Agung Sedayu mendekat."
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih dalam pendadaran itu.
Ki Rangga yang menyampaikan pesan itupun menjawab, "Jangan beri kesempatan Ki Lurah Agung Sedayu membantu Glagah Putih dengan cara apapun juga."
"Membantu" Membantu dalam pendadaran ini, maksudmu?"
"Ya." "Kau belum pernah bersama-sama Glagah Putih berada di medan perang?"
"Medan perang" Bukankah baru sekarang Glagah Putih memasuki dunia keprajuritan" Itupun baru mengikuti pendadaran?"
"Kau tidak ikut ke Demak beberapa waktu yang lalu?"
"Tidak." Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih mengikuti pendadaran itupun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baik Baik Aku akan mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu."
Ki Rangga yang menyampaikan pesan Ki Tumenggung Purbasena itupun kemudian meninggalkannya dan kembali menemui Ki Purbasena sambil berkata, "Sudah, Ki Tumenggung. Pesan Ki Tumenggung sudah aku sampaikan."
"Bagus. Aku tidak ingin terjadi kecurangan dalam pendadaran ini. Semua harus berlangsung sebagaimana seharusnya."
Dalam pada itu, pendadaran itupun masih berlangsung. Semakin lama pertempuran antara pasangan-pasangan peserta pendadaran itupun menjadi semakin sengit. Masing-masing telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Bahkan ada diantara mereka yang hampir kehilangan kendali, sehingga mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun rata-rata kemampuan mereka memang seimbang.
Sementara itu, Rara Wulanpun masih juga bertempur, bahkan semakin seru. Lawannya yang telah meningkatkan ilmunya, justru menjadi heran. Perempuan itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan perempuan itu sekali-sekali sempat mendesaknya. Pada saat-saat tertentu, Rara Wulan telah memancing lawannya untuk bertempur semakin keras.
Baru kemudian, lawan Rara Wulan itu menyadari, bahwa lawannya, meskipun seorang perempuan, tetapi ia memang memiliki ilmu yang memadai untuk mengikuti pendadaran. Bahkan orang itu mulai menduga, bahwa sebenarnya perempuan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi.
Sambil bertempur, orang itupun berkata, "Maafkan aku, Nyi. Aku telah salah menilai kemampuanmu. Aku mengakui, jika kau ingin mengalahkan aku, kau akan dapat melakukannya Tetapi kau kendalikan dirimu, karena kau mencoba menjaga perasaanku."
Rara Wulan tidak menjawab. Ia masih saja berloncatan justru semakin cepat. Namun dengan demikian, maka lawan-nyapun dapat menumpahkan kemampuannya pula. Rara Wulan seakan-akan justru telah memancing ilmunya, sehingga para pengamat dapat melihat kelebihan-kelebihannya tanpa mencemaskan keadaan lawannya. Orang itu yakin, bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuannya, perempuan itu tidak akan diciderainya.
Demikianlah, mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya menjadi semakin terasa membakar kulit. Mereka yang mengikuti pendadaran itu menjadi semakin basah oleh keringatnya yang menjadi semakin deras.
Namun dengan demikian, maka ilmu merekapun telah meningkat semakin tinggi.
Sampai saatnya matahari sampai ke puncak langit, pertempuran diantara para peserta pendadaran itu masih berlangsung dengan sengitnya.
Para perwira yang bertugas untuk menilai para peserta pendadaran itu telah bekerja sebaik-baiknya. Mereka menilai para peserta itu sesuai dengan kemampuan mereka.
Menurut para perwira yang bertugas, maka agaknya para peserta itu telah memenuhi syarat untuk ikut dalam pendadaran yang berikutnya.
Sedikit lewat tengah hari, maka satu dua diantara para peserta itu sudah kelihatan menjadi letih. Tetapi mereka masih tetap mampu bertahan.
Akhirnya, pada saat yang ditentukan, telah terdengar isyarat untuk menghentikan pertempuran diantara para peserta pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena menganggap bahwa pendadaran pada hari pertama itu sudah selesai. Esok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap kedua. Para peserta itu masih akan berhadapan dalam pasangan-pasangan yang berbeda.
Prajurit yang semalam mengalami nasib buruk karena salahnya sendiri, bahwa ia telah mencoba mengganggu Rara Wulan, mengharap bahwa Rara Wulan akan memperlakukan lawannya sebagaimana ia memperlakukannya.
Tetapi ternyata Rara Wulan tidak berbuat demikian. Ia tidak menghajar lawannya sehingga beberapa goresan batu padas melukai wajahnya.
"Curang perempuan itu," berkata prajurit itu kepada dirinya sendiri, "ia tidak mempergunakan tingkat tertinggi kemampuannya untuk mengalahkan lawannya."
Namun bukan saja Rara Wulan yang tidak meningkatkan ilmunya sampai tataran tertinggi. Tetapi Glagah Putihpun berbuat demikian pula.
Demikian isyarat pendadaran itu berakhir, maka Ki Rangga yang menunggu Glagah Putih bertempur itupun berbisik, "Kau manjakan lawanmu itu."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia memang mengenal Ki Rangga yang menungguinya itu ketika Glagah Putih ikut ke Demak
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Kau dapat menghentikannya dalam sekejap." Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Ia pantas untuk ikut dalam pendadaran berikutnya."
"Ya. Ia memang pantas."
"Kalau aku menghentikannya dalam waktu yang singkat, maka kemungkinan itu akan menjadi sempit meskipun Ki Rangga dapat memberikan keterangan tentang kemampuannya."
Ki Rangga itupun tersenyum. Katanya, "Aku telah mendapat pesan khusus dari Ki Tumenggung Purbasena."
"Pesan apa?" "Aku harus mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu agar tidak membantu dalam segala bentuk."
Glagah Putih menahan tertawanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Ki Rangga yang mengawasi Glagah Putih itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih sambil berkata, "Aku harus segera memberikan laporan."
Ternyata bahwa semua perwira yang mengawasi pendadaran itu berpendapat bahwa semua peserta Dendadaran telah berhasil melampaui tahap pertama itu.
Esok mereka akan memasuki tahap berikutnya Para peserta itu akan memasuki arena pendadaran dengan lawan yang berbeda.
Demikianlah, maka nara peserta itupun telah diperkenankan kembali ke barak yang disediakan bagi mereka.
Merekapun segera membersihkan diri mereka untuk kemudian makan siang dan beristirahat.
Seperti sebelumnya, maka Rara Wulanpun pergi ke pakiwan pada kesempatan yang terakhir.
Setelah berbenah diri, maka para peserta itupun segera pergi ke ruang makan yang telah disediakan. Merekapun mendapat pelayanan makan siang yang cukup baik.
Selesai makan, maka merekapun telah duduk-duduk di serambi barak yang disediakan bagi mereka. Mereka mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Tetapi seperti kemarin, maka sikap merekapun masih saja aneh-aneh yang kadang-kadang agak kekanak-kanakan dan menggelikan.
"Mereka ingin menunjukkan kelebihan mereka," berkata Rara Wulan yang duduk di tangga serambi itu bersama Glagah Putih.
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Mereka adalah orang-orang yang masih kurang percaya diri. Tetapi keberhasilan mereka di tahap pertama ini, seharusnya membuat mereka lebih bersikap dewasa. Mereka tidak perlu lagi berbuat seperti kanak-kanak yang bangga karena menang bermain bengkat."
Rara Wulan tersenyum. Namun pembicaraan mereka terhenti ketika seseorang ikut duduk di tangga serambi.
Orang itu adalah orang yang dalam pendadaran yang baru saja dilakukan di alun-alun itu, berhadapan dengan Rara Wulan.
"Namaku Legawa," berkata orang itu.
"Namaku Rara Wulan. Mungkin kau sudah tahu. Ini suamiku, namanya Glagah Putih."
"Aku bangga atas perkenalan ini," berkata orang itu, "ternyata aku benar-benar salah menilai kemampuan Nyi Rara Wulan. Tetapi kemudian aku mendengar dari seorang prajurit yang sudah aku kenal, bahwa jangankan aku. Bahkan para Tumenggungpun akan mengalami kesulitan melawan kalian."
"Ah. Itu berlebihan," sahut Glagah Putih, "kami memang pernah beberapa kali ikut bersama para prajurit dalam perang yang sebenarnya. Tetapi kemampuan kami tidak lebih dari para prajurit itu."
"Itu adalah kelebihan kalian yang lain. Kalian selalu merendah. Untunglah bahwa Nyi Rara Wulan dengan tulus hati menjaga perasaanku, sehingga ia tidak membuat aku pingsan di medan pendadaran meskipun sebelumnya aku telah meremehkannya."
"Tidak apa-apa," sahut Rara Wulan, "aku mengerti sekali perasaanmu."
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Besok kita pasti tidak akan bertemu lagi, karena kita akan berganti lawan. Mudah-mudahan lawanmu tidak membuatmu marah sehingga kau tidak lagi dapat mengendalikan diri."
"Aku akan berusaha untuk tidak marah," jawab Rara Wulan."
Orang itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja duduk di serambi. Orang itupun kemudian masuk ke dalam barak dan berbaring di pembaringannya sebagaimana beberapa orang yang lain. Bahkan ada diantara mereka yang merasakan bagian-bagian tubuhnya yang sakit dan nyeri.
Ada diantara mereka yang kebetulan mengikuti pendadaran bersama kawan dekatnya saling memijit untuk mengurangi pegal-pegal di tubuh mereka.
Di sisa hari itu, mereka benar-benar mempergunakan waktu mereka untuk beristirahat. Namun ada juga yang sempat mendekati Rara Wulan sambil berkata, "Aku berharap esok kita akan bertemu di medan pendadaran. Aku akan memberimu kesempatan lebih baik dari orang yang tadi bertarung melawanmu."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia menjawab, orang itu sudah beranjak pergi.
"Jangan hiraukan," berkata Glagah Putih, "yang penting kita harus terlepas dari masa pendadaran ini sehingga kita berkesempatan menjadi prajurit. Baru kemudian, jika orang-orang itu masih saja menyinggung perasaan, kita akan memperingatkannya."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Sejak semula ia memang sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyinggung perasaannya, justru karena ia adalah satu-satunya peserta perempuan dalam pendadaran itu.
Namun agaknya orang yang menemui Rara Wulan itu mempunyai kawan seorang perwira prajurit Mataram yang dapat mempengaruhi penataan pasangan-pasangan peserta pendadaran yang akan bertarung di arena esok pagi. Kepada kawannya itu, orang itupun minta agar dapat diatur sehingga ia akan berhadapan dengan Rara Wulan.
"Kau ingin nampak sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dengan mengalahkan perempuan itu?" bertanya kawannya.
"Tidak. Aku justru akan memberinya banyak kesempatan untuk dapat memasuki tahap berikutnya."
"Tidak akan banyak gunanya. Tahap berikutnya adalah tahap yang sangat menentukan. Para peserta akan langsung berhadapan dengan para perwira prajurit Mataram yang bertugas dalam pendadaran ini."
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin meninggalkan kesan khusus di hati perempuan itu."
"Kau masih belum berubah. Jika kau diterima menjadi seorang prajurit dalam tugas sandi, maka kau manfaatkan kedudukanmu untuk memikat banyak perempuan."
"Ah. Tentu tidak. Jika aku sudah menjadi prajurit, maka aku justru harus tahu diri."
"Kenapa menunggu setelah menjadi prajurit?"
"Mumpung, kakang. Mumpung."
Prajurit Mataram itu menarik nafas panjang. Tetapi ia akan benar-benar berusaha ikut mengatur pasangan-pasangan para peserta pendadaran yang akan turun ke alun-alun dalam pertarungan di antara mereka.
Malam itu, para peserta pendadaran telah memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya untuk beristirahat. Sebelum wayah sepi bocah, pada umumnya mereka telah berada di pembaringan. Satu dua orang diantara mereka sempat menelan reramuan obat yang mereka bawa untuk membuat badan mereka tetap segar di keesokan harinya.
Di keesokan harinya, maka pada saat matahari terbit, para peserta itu sudah berada di alun-alun pungkuran sebagaimana hari sebelumnya. Merekapun segera mempersiapkan diri untuk masuk ke arena pertarungan antara para peserta pendadaran.
-ooo0dw0ooo- Jilid 387 TERNYATA orang yang menemui Rara Wulan dan menyatakan keinginannya untuk dapat berhadapan dalam pendadaran itu memang terjadi. Ketika para peserta itu kemudian memasuki arena pertarungan, maka orang itupun sambil tersenyum-senyum berkata, "Kita benar-benar dapat bertemu di arena pendadaran ini, nduk."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Katanya, "Aku sudah bersuami. Sebutan yang kau ucapkan itu hanyalah bagi anak-anak gadis remaja. Bahkan yang meningkat dewasapun mempunyai sebutan yang berbeda."
Orang itu tertawa. Katanya, "Aku tahu bahwa kau sudah bersuami. Akupun tahu siapa suamimu. Bukankah suamimu laki-laki yang duduk bersamamu di tangga serambi itu."
"Ya. Kenapa kau tidak ingin bertemu dengan suamiku saja?"
"Buat apa aku bertemu dengan suamimu" Jika aku bertemu dengan suamimu, maka suamimu tidak akan mendapat kesempatan untuk meneruskan pendadaran ini, karena aku akan membuatnya tidak berdaya sama sekali. Ia akan menjadi seperti seorang-yang dungu dan tidak berilmu sama sekali."
"Tetapi pada pendadaran hari pertama, para perwira di Mataram yang menyelenggarakan pendadaran ini sudah melihat, bahwa suamiku mempunyai kemampuan yang tinggi."
"Tetapi pendadaran hari inipun akan ikut menentukan. Tetapi beruntunglah, bahwa suamimu tidak bertemu dengan aku dalam pendadaran ini."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi jantungnya terasa bagaikan bergejolak. Orang ini jauh berbeda dengan orang yang kemarin dihadapinya dalam pendadaran itu.
Sementara itu, sejenak kemudian, telah terdengar isyarat, bahwa pendadaran itupun segera akan dimulai. Para perwira yang bertugaspun telah berdiri ditempat mereka masing-masing mengawasi setiap pasangan yang akan bertarung dalam pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena masih memperingatkan, bahwa yang sedang berlangsung adalah satu pendadaran untuk menunjukkan kemampuan para peserta serta kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Bukan arena untuk membalas dendam.
Ketika pertanda bahwa pendadaran itu dapat dimulai, maka setiap pasangan dari pertarungan dalam pendadaran itupun mulai bergeser. Diantara merekapun mulai terjadi pertarungan. Serangan demi serangan. Tetapi mereka sadar, bahwa yang dinilai bukanlah menang atau kalah. Tetapi landasan ilmu mereka.
Karena itu, maka merekapun telah berusaha untuk menumpahkan segala kemampuan mereka. Keanekaragaman unsur-unsur gerak, serta kecepatan gerak mereka.
Sementara itu, lawan Rara Wulan itupun mulai bergeser pula. Sambil tersenyum iapun berkata kepada Rara Wulan, "Mulailah nduk. Seranglah aku dengan segenap kemampuanmu."
Rara Wulan masih berdiri tegak. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Sementara orang itu masih tersenyum-senyum sambil berkata, "Ayo, jangan ragu-ragu. Tumpahkan segala kemampuanmu agar kau mendapat nilai yang baik dalam pendadaran ini. Dengan demikian, maka esok kau masih akan mendapat kesempatan untuk bertarung melawan seorang Senapati Mataram."
Rara Wulan masih saja berdiri tegak. Ia masih belum berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, perwira yang mengawasinya sempat memperingatkan keduanya, "Kenapa kalian tidak mulai" Kawan-kawan kalian sudah bertarung. Jangan banyak membuang waktu, mumpung hari masih pagi. Mumpung matahari belum terasa panasnya. Jika panas matahari menjadi terik, maka kalian akan cepat menjadi lelah. Akupun malas untuk berjemur disini sampai lewat tengah hari."
"Baik, Ki Rangga," lawan Rara Wulan itulah yang menjawab.
Kepada Rara Wulan iapun kemudian berkata, "Ayo, nduk. Jangan ragu-ragu. Mulailah. Serang aku dengan segenap kemampuanmu. Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan apa-apa."
Perwira yang mengawasi pertarungan antara keduanya itu sudah mengenal Rara Wulan, isteri Glagah Putih. Ia memang agak heran melihat sikap lawan Rara Wulan itu. Namun perwira itupun kemudian mengerti, bahwa orang itu tentu belum mengenal Rara Wulan yang sudah sering bekerja sama dengan para prajurit Mataram.
Karena itu, maka perwira itupun berkata pula kepada Rara Wulan, "Nyi. Kau dengar tantangan lawanmu?"
Rara Wulan memandang Senapati itu. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Baiklah Ki Rangga. Aku akan mencoba."
"Mencoba apa?" lawan Rara Wulan itu justru bertanya.
"Bersiaplah," berkata Rara Wulan kemudian.
Orang itu tertawa pendek. Katanya, "Aku sudah bersiap sejak tadi, nduk. Sekarang lakukan. Serang aku habis-habisan. Aku akan memberi kesempatan kepadamu agar Ki Rangga yakin, bahwa esok kau masih mempunyai kesempatan."
Ki Rangga yang mengawasi pendadaran itupun menjadi jengkel pula. Karena itu, maka iapun berkata kepada Rara Wulan, "jangan buang waktu, Nyi. Mumpung masih belum terlalu panas."
"Ya," lawan Rara Wulan itulah yang menyahut, "mulailah nduk Mumpung masih pagi."
Namun yang tidak tendugapun telah terjadi. Demikian orang itu terdiam, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah melibatnya dengan serangan ganda. Iapun segera meloncat sambil menjulurkan tangannya menghantam perut orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berdesah kesakitan. Demikian orang itu terbungkuk sambil memegangi perutnya, maka Rara Wulanpun menekan tengkuknya dengan keras sambil mengangkat lututnya, sehingga dahi orang itupun telah membentur lututnya itu.
Orang itupun berdesah mengaduh tertahan. Sementara itu Rara Wulanpun mendorong orang itu beberapa langkah surut. Demikian orang itu berusaha berdiri tegak, Rara Wulan telah meloncat menyerangnya. Sekali ia berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar menyambar kening orang itu.
Orang itupun terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.
Perwira yang mengawasinya justru menjadi tegang. Jika Rara Wulan menjadi benar-benar marah, ia akan dapat memotong kesempatan lawannya untuk memasuki pendadaran pada tahap berikutnya.
Tetapi ternyata Rara Wulan tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya itu berusaha untuk bangkit.
Beberapa saat kemudian, lawannya itupun sudah berdiri tegak. Tetapi mulutnya masih menyeringai menahan sakit di punggung dan keningnya. Sementara itu, kepalanya menjadi agak pening karena dahinya yang membentur lutut Rara Wulan.
"Perempuan iblis," ia menggeram, "kau mencari kesempatan pada saat aku belum benar-benar bersiap."
Perwira yang mengawasinya itupun mendekatinya sambil berkata, "Seharusnya aku tidak boleh membantumu. Tetapi aku ingin kau masih mendapat kesempatan esok pagi. Jika kau membuat perempuan itu marah, maka kesempatan itu benar-benar akan habis hari ini."
Orang, itu memandang Ki Rangga dengan kerut didahi. Iapun kemudian berkata, "Ki Rangga mencoba menakut-nakuti aku?"
"Tidak. Aku justru membantumu. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kau rangkap tiga, tidak akan dapat mengalahkannya. Aku pernah berada di medan perang bersamanya. Terakhir di Demak."
Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Saudaranya yang menjadi prajurit dan bahkan dapat mengatur pertemuannya dalam pendadaran dengan perempuan itu, tidak mengatakan apa-apa kepadanya tentang perempuan itu.
Sementara itu, perwira itupun berkata, "Jika kau tidak percaya, cobalah. Tetapi jika kau pingsan disini, maka esok kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, perwira itupun berkata, "Sebaiknya tunjukkan saja kemampuanmu yang tertinggi. Kau tidak usah sombong . Jangan ragu-ragu. Seranganmu dalam tataran ilmumu tertinggi, tidak akan membahayakan perempuan itu. Bukan sebaliknya."
Lawan Rara Wulan itupun termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan yang berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya.
Karena keduanya masih saja berdiam diri, maka perwira itupun kemudian berkata, "cepat lakukan. Atau aku akan menyatakan, bahwa kau tidak pantas untuk memasuki pendadaran esok."
Orang itupun baru sadar. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, perempuan itu memang berilmu tinggi.
Tetapi ia tidak segera mau menerima kenyataan itu. Ia ingin melakukan sebagaimana dikatakan oleh Senapati yang mengawasinya itu. Ia akan mengerahkan kemampuannya melawan perempuan itu. Apakah benar ia akan dapat mengatasinya.
Demikian, sejenak kemudian orang itupun mulai menyerang. Mula-mula ia memang agak ragu. Namun kemudian iapun segera mengerahkan kemampuannya. Kakinya berloncatan sementara tangannya terayun-ayun dengan cepatnya. Kemudian kaki atau tangannya mematuk dengan derasnya.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Senapati yang mengawasinya. Serangan-serangannya dengan mengerahkan segenap kemampuannya itu seolah-olah tidak berarti apa-apa bagi Rara Wulan.
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat kecewa kepada salah seorang yang masih berhubungan keluarga dengannya, yang telah berhasil mengatur pertarungan diantara para peserta pendadaran itu dengan mempertemukannya dengan Rara Wulan. Orang itu tidak mengatakan kepadanya, bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu adalah seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi ternyata bahwa Rara Wulanpun tidak ingin mematahkan kesempatan orang itu esok memasuki pendadaran pada tahap akhir. Ketika Rara Wulan melihat ketahanan tubuh serta tenaga lawannya mulai menyusut, maka Rara Wulanpun mulai mengendorkan serangan-serangannya.
Senapati yang mengamati pertarungan itu sempat berdesis di telinga lawan Rara Wulan itu, "Nah, kau percaya sekarang?"
"Ya. Aku percaya."
"Untunglah bahwa perempuan itu tidak dengan kejam memotong kesempatanmu. Jika kau ditekannya sampai menjadi pingsan, maka kau akan kehilangan kesempatanmu. Para peserta dinyatakan gagal kalau ia tidak menunjukkan kemungkinan bahwa ilmu akan dapat berkembang, memiliki landasan yang kokoh serta mampu bertahan dalam pendadaran sampai batas waktu yang ditentukan, serta tidak menjadi pingsan."
"Ya, ya. Aku harus mengaku," jawab orang itu.
Dengan demikian, maka untuk selanjutnya, lawan Rara Wulan itu tidak lagi mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Ia mengerti bahwa hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Yang kemudian ditunjukkan oleh lawan Rara Wulan itu adalah landasan kemampuannya serta kemungkinannya untuk berkembang lagi.
Senapati yang mengamatinya itupun kemudian berkata, "Nah, begitu akan lebih baik. Kau tidak akan dapat mengingkari kenyataan ini."
Demikianlah, haripun menjadi semakin siang. Bahkan matahari sudah sampai ke puncak langit. Namun pendadaran itu masih saja berlangsung. Masih belum ada pertanda, bahwa pendadaran di hari itu akan diakhiri.
Namun kemudian, ketika matahari mulai turun, maka terdengar isyarat bahwa pendadaranpun telah berakhir.
Ketika kemudian para Senapati yang mengamati pertarungan antara mereka yang mengikuti pendadaran itu berkumpul, maka merekapun berkesimpulan, bahwa semua yang mengikuti pendadaran dapat memasuki tahap ke tiga. Esok mereka yang mengikuti pendadaran itu akan langsung berhadapan dengan para Senapati itu sendiri. Namun mereka tidak tahu, Senapati yang manakah yang akan mereka hadapi seorang demi seorang.
Ki Tumenggung Purbasenapun kemudian menyatakan kepada para peserta pendadaran, bahwa esok mereka semuanya akan dapat ikut dalam pendadaran di tahap ke tiga.
"Tetapi jika ada yang kemudian terpaksa tertinggal, jangan kecewa. Kalian dapat menempa diri untuk kemudian mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya. Mungkin satu tahun lagi. Karena itu, beristirahatlah dengan baik, agar esok kalian benar-benar dapat menunjukkan puncak dari kemampuan kalian di hadapan para Senapati yang akan terjun langsung dalam pendadaran yang akan diselenggarakan esok."
Demikianlah, maka para peserta pendadaran itupun segera kembali ke barak masing-masing. Mereka segera mandi dan berbenah diri sebelum mereka pergi ke ruang makan. Baru kemudian merekapun segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk beristirahat.
Sebagian dari mereka mulai mereka-reka, apakah yang esok akan terjadi. Dua puluh orang Senapati itu tentu mempunyai watak yang berbeda-beda. Tentu ada yang baik sehingga memberikan banyak kesempatan kepada orang yang sedang menempuh pendadaran. Tetapi tentu ada yang sombong dan keras hati, yang merasa dirinya dapat menentukan hitam putihnya orang yang sedang mengikuti pendadaran itu, sehingga Senapati itu dapat berlaku semena-mena.
Atau bahkan ada Senapati yang ingin melepaskan dendamnya sehingga peserta pendadaran itu akan dapat menjadi sasaran.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun pendadaran pada tahap ke tiga itu harus dilakukan. Baru jika mereka dapat melalui pendadaran pada tahap ketiga itu, maka mereka akan dapat ditetapkan menjadi seorang prajurit dalam tugas sandi di Mataram.
Para peserta pendadaran itupun menyadari, bahwa besok mereka harus menunjukkan penampilan yang terbaik.
Sementara itu, pengalaman dari dua orang peserta pendadaran yang telah berhadapan dengan Rara Wulan, ternyata telah menyebarkan ceritera tentang kelebihan perempuan itu. Mereka harus mengakui kenyataan bahwa perempuan itu mempunyai kelebihan dari mereka.
Untunglah bahwa perwira yang menunggui pertarunganku dengan perempuan itu sempat memberi peringatan kepadaku," berkata peserta pendadaran yang harus berhadapan dengan Rara Wulan di hari kedua, "jika tidak, mungkin aku benar-benar akan tenggelam di hari kedua ini."
"Peringatan apa?"
"Perwira itu memberitahukan kepadaku, bahwa perempuan itu tidak akan dapat aku kalahkan meskipun aku rangkap tiga. Ternyata yang dikatakan benar, sehingga aku dapat mengendalikan diriku dalam pendadaran itu. Jika aku masih saja menghadapinya dengan sombong, mungkin aku akan dibuatnya pingsan."
Kawannya tertawa. Katanya, "Karena itu, lain kali jangan meremehkan orang lain. Dengan perempuan itu saja, kau sudah kalah. Apalagi dengan suaminya."
"Beberapa orang mengatakan, bahwa ilmu suami isteri itu seakan-akan tidak ada batasnya."
"Ah." "Tentu ada. Tetapi ungkapan itu sekedar ingin mengatakan bahwa ilmu keduanya sangat tinggi."
"Benar juga kata orang bawha sebenarnya keduanya tidak perlu ikut dalam pendadaran. Keduanya akan dapat berpengaruh terhadap pandangan para Senapati yang bertugas, seakan-akan yang lain tidak berdaya sama sekali."
"Tidak. Para Senapati itu cukup baik. Ternyata bahwa kita semuanya diperkenankan mengikuti pendadaran sampai pada tahap ketiga. Nah, mungkin dalam tahap ini nanti, ada satu dua diantara kita yang harus tinggal."
Orang itu mengangguk-angguk.
Pada saat itu, Ki Purbasena sedang berbicara dengan dua puluh orang Senapati yang akan bertugas esok. Seperti yang dikatakan oleh Ki Purbasena, maka Senapati yang akan ikut dalam pendadaran itu, serendah-rendahnya adalah seorang Rangga. Bahkan lebih separo dari para Senapati yang akan melakukan pendadaran adalah seorang Rangga. Sedangkan selebihnya adalah para Tumenggung dari berbagai macam kesatuan dalam lingkungan keprajuritan Mataram.
Pendadaran bagi para prajurit dalam tugas sandi memang agak berbeda dengan pendadaran bagi para prajurit dari kesatuan-kesatuan yang lain, yang mempunyai kekhususannya masing-masing.
Kepada para Senapati yang akan melakukan pendadaran, Ki Tumenggung Purbasenapun telah memberikan beberapa pesan.
"Mereka adalah peserta pendadaran. Karena itu, tanggapan Ki Tumenggung dan Ki Rangga atas kemampuan mereka juga harus berbeda dengan bila Ki Tumenggung dan Ki Rangga sedang bertarung yang sebenarnya. Mereka adalah pemula-pemula yang masih akan dikembangkan lebih lanjut bagi kepentingan tugas-tugas mereka. Karena itu, jika tidak terlalu jauh dari batasan kemampuan seorang prajurit, biarlah mereka mendapat kesempatan."
Para perwira itu mengerti maksud Ki Tumenggung Purbasena. Merekapun mengangguk-angguk mengiakan.
Tetapi ada juga seorang Rangga yang bertanya, "Bagaimana jika salah seorang diantara kita menghadapi seorang peserta yang tidak tahu diri. Yang mungkin karena ingin menyombongkan dirinya, memamerkan kelebihannya, sehingga melampaui batasan-batasan yang wajar dalam pendadaran?"
"Bukankah kita tidak akan kekurangan cara untuk meredakannya," sahut Ki Tumenggung Purbasena, "kita yang telah diangkat menjadi seorang Rangga atau seorang Tumenggung, tentu memiliki sesuatu yang menyebabkan kita pantas menduduki jabatan seorang Senapati. Menghadapi orang yang demikian, maka kita akan melunakkannya kemudian menguasainya sambil memperhatikan apakah ilmunya tidak dibayangi oleh ilmu hitam serta masih akan mampu dikembangkan."
Ki Rangga itupun mengangguk-angguk. Sementara Ki Purbasena itupun berkata pula, "Mungkin aku mengerti, siapakah yang kau maksudkan. Mungkin Ki Rangga mendengar dari mulut beberapa orang bahwa ada peserta pendadaran yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Jelasnya Glagah Putih. Biarlah aku sendiri yang akan mendadarnya. Apakah ia memiliki landasan yang cukup mapan untuk menjadi seorang prajurit. Jika ada orang yang mengatakan, bahwa bagi Glagah Putih dan isterinya, tidak lagi diperlukan pendadaran, itu adalah kekaguman yang berlebihan karena orang itu tidak melihat keadaannya sepenuhnya. Namun diperlukan seorang Senapati yang siap untuk menghadapi isterinya. Maksudku, siap untuk berlaku adil dan menilainya dengan wajar. Tidak terpengaruh oleh berbagai ceritera tentang dirinya.
Tidak seorangpun yang bersedia menyatakan dirinya. Tidak seorangpun diantara mereka yang ingin bertarung melawan seorang perempuan.
Karena itu, maka Ki Tumenggung Purbasenapun berkata, "Jika demikian, maka biarlah aku saja yang menunjuk."
Para Senapati itupun saling berdiam diri.
Namun tiba-tiba saja seorang diantara mereka berkata, "Tentu tidak ada diantara kita yang memilih untuk menghadapi perempuan itu. Baik diantara kita yang sudah mengenalnya, maupun yang belum. Baik kita yang pernah bersamanya di medan pertempuran atau dalam pertemuan dimana saja, maupun yang belum dengan alasannya masing-masing. Karena itu, sebaiknya diundi saja. Siapa yang dapat undi, maka ialah yang harus melakukan pendadaran atas perempuan itu."
Ki Tumenggung Purbasena termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Bagaimana pendapat para Tumenggung dan Rangga yang besok akan melakukan tugas ini."
Ternyata sebagian besar dari mereka setuju untuk diundi.
Ki Purbasenapun kemudian telah melakukan undian.
Tetapi Ki Tumenggung Purbasena sendiri tidak ikut dalam undian itu, karena ia telah memutuskan, bahwa Ki Tumenggung Purbasenalah yang akan melakukan pendadaran terhadap Glagah Putih, yang oleh beberapa orang dianggap tidak perlu dilakukan pendadaran atas dirinya dan atas isterinya.
Ternyata seorang Rangga yang sudah mengenal Rara Wulanlah yang telah mendapat undi. Ki Rangga Darmasupalah yang harus turun melakukan pendadaran atas Rara Wulan.
Sambil menarik nafas panjang, Ki Rangga Darmasupa itupun berkata, "Kenapa harus aku. Nah, siapa yang mau membeli hasil undian ini ?"
Kawan-kawannya tertawa. Seorang Tumenggung berkata, "Nasib Ki Rangga memang buruk. Tetapi Ki Rangga tidak dapat mengelak. Ki Rangga harus menerima nasib buruk itu dengan mengucap sukur."
Ki Rangga tersenyum. Ia tahu, bahwa Tumenggung yang berbicara itu belum mengenal Rara Wulan dengan baik. Karena itu, ia menganggap bahwa berhadapan dengan seorang perempuan justru satu keberuntungan, meskipun akan tersentuh harga dirinya.
Demikianlah, maka segala sesuatunyapun sudah selesai dibicarakan. Segala pesan-pesan telah disampaikan, sehingga esok tinggal melaksanakannya saja
Malam itu, para peserta pendadaran pada umumnya menjadi berdebar-debar. Mereka berharap bahwa mereka akan bertemu dengan seorang perwira yang baik, setidak-tidaknya melakukan pendadaran dengan wajar.
Sedangkan jika mereka kurang beruntung, maka mereka akan bertemu dengan seorang perwira yang garang, yang tidak ingin melihat keberuntungan orang lain.
Di pagi hari berikutnya, pagi-pagi sekali, para peserta pendadaran itupun sudah siap. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka tetap saja tidak mendapat makan pagi. Mereka hanya mendapat semangkuk minuman hangat sebelum mereka berangkat ke alun-alun pungkuran.
Ternyata alun-alun pungkuran menjadi lebih ramai dari biasanya. Orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun pungkuran atau bahkan dari tempat yang lebih jauh, mengetahui, bahwa akan diselenggarakan pendadaran tahap akhir bagi beberapa orang yang akan memasuki jagad keprajuritan. Bagi orang-orang yang akan menonton pendadaran itu, tidak akan dapat membedakan, apakah mereka akan memasuki tugas prajurit sandi atau tugas-tugas lain. Yang mereka mengetahui, bahwa akan ada pendadaran bagi bfllttrspt orang yang memasuki tugas keprajuritan.
Pendadaran pada tahap akhir bagi penerimaan prajurit di gelomban penerimaan yang pertama itu, lernyatu banyak menarik perhatian.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandarakapun telah hadir pula. Seperti hari-hari sebelumnya, Ki Lurah Agung Sedayupun telah ikut pula bersama Ki Patih serta duduk di panggungan. Selain mereka masih ada beberapa orang Senapati yang lain, yang akan ikut menyaksikan pendadaran tahap akhir pada gelombang penerimaan yang pertama itu.
Beberapa orang prajurit berkudapun telah siap untuk menjaga agar orang-orang yang menonton pendadaran itu tidak berdesakkan mendekati arena pendadaran sehingga dapat mengganggu.
Demikianlah, maka pada saatnya, Ki Purbasenapun telah mengumpulkan para peserta pendadaran serta para Senapati yang akan melakukan pendadaran itu.
Ki Tumenggung Purbasena masih memberikan beliornpa pesan terakhir. Baru kemudian ia menghadap Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka untuk melaporkan, bahwa pendadaran tahap akhir pada gelombang penerimaan yang pertama itu akan segera dimulai.
"Aku sendiri akan ikut melakukan pendadaran, Ki Patih. Karena itu, maka aku serahkan keseluruhan pelaksanaannya dalam pengawasan Ki Patih serta Pangeran Singasari, agar pendadaran ini dapat berlangsung dengan baik, wajar dan jernih."
"Baik," jawab Ki Patih, "aku akan turun ke arena bersama Pangeran Singasari. Aku akan mengamati jalannya pendadaran ini. Mudah-mudahan dapat berlangsung jujur, adil, wajar dan jernih."
Demikianlah, maka ketika waktunya sudah tiba, maka Ki Patihlah yang memberikan isyarat bahwa pendadaran dapat dimulai.
Ketika Glagah Putih mengetahui, bahwa yang akan melakukan penddaran atas dirinya adalah Ki Tumenggung Purbasena sendiri, maka Glagah Putihpun menarik nafas panjang. Meskipun tidak terucapkan, rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat jarak antara Glagah Putih dan Ki Tumenggung.
"Aku harus berhati-hati," berkata Glagah Putih di hatinya.
Demikianlah, maka pendadaran di alun-alun pungkuran itupun telah mulai. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pada hari itu, orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun pungkuran, bahkan dari tempat yang lebih jauh, yang menonton pendadaran itu telah bergerak lebih dekat, sehingga para prajurit berkuda yang bertugas menjadi agak sibuk menahan mereka. Kuda-kuda mereka bergerak hilir mudik di luar gawar yang dipasang untuk membatasi agar penonton tidak mendesak lebih dekat lagi.
Dalam pada itu, seorang Rangga yang harus melakukan pendadaran terhadap Rara Wulanpun justru merasa bahwa tugasnya menjadi sangat ringan. Kepada Rara Wulan iapun berkata, "Masih adakah gunanya jika aku melakukan pendadaran pagi ini ?"
"Kenapa Ki Rangga ?" bertanya Rara Wulan.
"Aku sudah mengetahui seberapa tinggi ilmumu. Sebaiknya kau sajalah yang melakukan pendadaran atasku, apakah aku pantas untuk menjadi seorang Rangga."
"Ah, Ki Rangga masih sempat bergurau."
Misteri Dewi Bunga Mayat 1 Wiro Sableng 076 Ku Tunggu Di Pintu Neraka Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama