16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
Ki Tumenggung Untara mengangguk-angguk. Ki Tumenggung itupun kemudian bertanya, "Bukankah kau sudah singgah dipadepokan paman Widura ?"
"Ya, kakang." "Kau sudah mendengar beberapa keterangan dari paman Widura tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati ?"
"Keluarga seorang cantrik tinggal tidak terlalu jauh dari padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Cantrik itulah yang bercerita tentang Pangeran itu. Iapun bercerita tentang seorang putut yang dikenalnya, Putut Witala."
Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk. Iapun kemudian justru bertanya, "Apakah cantrik itu tahu bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah meninggalkan padepokannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka sehingga kau harus melacaknya ke Timur ?"
"Sudah kakang. Ketika cantrik itu mendapat kesempatan pulang, Pangeran Ranapati itu sudah pergi."
Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk pula. Kemudian dengan nada datar Ki Tumenggung itupun berkata, "Tidak banyak yang kami ketahui, Glagah Putih. Mungkin tidak akan lebih banyak dari keterangan cantrik di padepokan paman Widura itu. Namun satu hal yang mencurigakan bagi kami, agaknya keterangannya bahwa ia adalah putera Panembahan Senapati itu sangat meragukan. Seorang petugas sandi pernah mencoba menelusuri, siapakah ibu dari orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu. Menurut beberapa keterangan yang sengaja digelar, bahwa ibunya telah meninggal. Tetapi seorang petugas sandi pernah mendapat katerangan, bahwa seorang perempuan mengaku bahwa Pangeran Ranapati itu adalah anaknya."
Glagah Putih mengerutkan dahinya, sementara Rara Wulanpun berkata, "Ki Patih juga mengatakan, bahwa Pangeran Ranapati itu tentu bukan putera Lambu Peteng Panembahan Senapati. Ki Patih tahu benar kehidupan Panembahan Senapati sejak remajanya. Ki Patih meyakini, bahwa Panembahan Senapati tidak pernah berhubungan dengan perempuan yang kemudian melahirkan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu."
"Ya, Ki Patih yang dahulu disebut Ki Juru Mertani itu tentu tahu benar jalan kehidupan Panembahan Senapati sejak masih disebut Sutawijaya dan kemudian bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Patih tentu mengenal putera-putera Panembahan Senapati, sejak putera yang lahir dari Nyai Semangkin yang bernama Raden Rangga, kemudian putera yang lahir dari Rara Lembayung yang kemudian bergelar Pangeran Purbaya, serta putera-puteranya yang lain dari isteri-isterinya yang lain. Nyai Adisara, Nyai Bramit, Nyai Riya Suwanda dan lain-lain."
"Ya, kakang. Sedangkan perempuan yang disebut ibu orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu tidak dikenal oleh Ki Patih. Apalagi kalau ada perempuan lain yang mengaku sebagai ibunya."
"Tetapi aku berani meyakini, bahwa orang itu memang bukan putera Panembahan Senapati. Jika ia memang putera Panembahan Senapati, maka ia akan dapat menghadap Panembahan Senapati semasa hidupnya. Bahkan mungkin bersama ibunya. Meskipun Panembahan Senapati tidak lagi dapat menerima perempuan itu, tetapi jika benar anak itu adalah anaknya, maka tetap saja ia putera Panembahan Senapati."
"Itulah yang ingin aku ketahui, kakang. Aku ingin mencari keterangan lebih jauh tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati sebelum aku melacaknya ke Timur."
"Kau tidak akan mendapat banyak keterangan tentang orang itu. Tetapi kau dapat mencobanya. Tetapi kau harus berhati-hati. Para muridnya yang ditinggalkannya terlanjur menganggap pemimpinnya itu putera Panembahan Senapati yang pantas disembah. Karena itu, maka para muridnya menjadi sangat setia kepadanya. Bukan saja sebagai seorang murid dari sebuah perguruan, tetapi mereka berharap bahwa mereka akan dapat menikmati kamukten jika Pangeran Ranapati itu berhasil menggapai kedudukan tertinggi di Mataram. Atau setidak-tidaknya mendapat pangkat dan jabatan yang tinggi."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun bercerita tentang rencananya untuk pergi memanjat kaki Gunung Merapi itu bersama cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Widura itu.
"Pergilah. Tetapi kau harus sangat berhati-hati."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbincang beberapa saat dengan Ki Tumenggung Untara. Mereka berhenti sejenak ketika dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Sambil menghirup minuman hangat, Ki Tumenggung Untarapun berkata, "Sayang, kau tidak dapat bertemu dengan Sabungsari. Sudah dua hari ini Sabungsari aku tugaskan ke Mataram yang mungkin sekali Sabungsari harus pergi ke Ganjur."
"Sabungsari," sahut Glagah Putih dengan serta-merta, "sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kakang Sabungsari. Ketika kita pergi ke Demak, aku juga tidak melihatnya."
"Waktu itu Sabungsari tidak ikut pergi ke Demak. Aku tidak dapat meninggalkan barak ini begitu saja. Karena itu, aku tugaskan Sabungsari memimpin barak ini selama aku pergi ke Demak."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "sebenarnya aku ingin bertemu dengan kakang Sabungsari."
"Ada kemungkinan Sabungsari akan dipindahkan ke Ganjur. Para pemimpin di Mataram melihat kelebihan pada Sabungsari, sementara akupun telah memberikan laporan tentang kelebihannya itu. Karena itu, ketika Senapati yang memimpin pasukan di Ganjur sudah wnktunya mengundurkan diri karena umurnya, maka Sabungsari merupakan salah satu calon. Karena itulah ia aku perintahkan pergi ke Mataram menghadap Pangeran Singasari yang bersama-sama dengan beberapa orang Senapati akan memilih salah seorang diantara para calon itu. Mungkin akan ada semacam pendadaran diantara mereka."
"Mudah-mudahan kakang Sabungsari dapat terpilih."
"Anaknya sudah agak besar sekarang."
"Jadi kakang Sabungsari sudah mempunyai anak?"
"Ya." Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun segera teringat kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak dikurniai seorang anakpun. Tetapi Glagah Putih sendiri akan memohon dengan sungguh-sungguh, agar Yang Maha Agung mengurniai anak kepadanya. Satu atau dua atau berapapun."
Demikianlah, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun minta diri.
Sementara itu, Nyi Untara yang baru saja keluar untuk ikut menemui mereka berkata, "Kenapa begitu tergesa-gesa. Aku masih belum mendengar cerita kalian."
"Mungkin lusa aku akan kembali kemari mbokayu," jawab Glagah Putih, "kami masih mempunyai waktu yang longgar."
"Kenapa sekarang begitu tergesa-gesa ?"
"Nanti kakang UnUirii kesiangan."
"Aku sudah memberikan pesan lewat seorang prajurit demikian aku mengetahui kau datang," sahut Ki Tumenggung Untara.
"Lain kali kami akan singgah lagi, kakang dan mbokayu," berkata Glagah Putih kemudian.
"Lain kali kami akan berada di sini sehari penuh," sambung Rara Wulan.
Nyi Tumenggung tertawa. Katanya, "Sejak dahulu kalian hanya berjanji saja. Tetapi kalian selalu berada di padepokan. Kalian datang hanya sebentar-sebentar."
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya tertawa saja.
Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "kami akan pergi ke rumah cantrik itu, kakang."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan rumah Ki Tumenggung Untara. Mereka sudah berjanji akan pergi bersama cantrik yang rumahnya berada didekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.
Ketika mereka sampai di padepokan kecil di Jati Anom, maka cantrik itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menemui Ki Widura dan menceriterakan hasil pembicaraan mereka dengan Untara.
"Memang tidak banyak keterangan yang akan kalian dapatkan. Bahkan setelah kau pergi ke rumah Punta."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Ya, ayah. Tetapi rasa-rasanya usahaku untuk mengetahui serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah kami genapi."
"Ya," Ki Widura mengangguk-angguk pula, "kau memang perlu mencobanya."
Seperti Untara, maka Ki Widurapun telah berpesan, agar Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhati-hati. Dapat saja terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak terduga-duga.
Beberapa saat kemudian, maka Punta, cantrik yang tinggal di dekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itupun sudah siap di halaman.
"Kami mohon diri, paman. Mungkin kami akan bermalam satu atau dua malam di rumah cantrik itu."
"Bicarakan dengan cantrik itu dan keluarganya. Kau datang sebagai siapa " Sepupunya, atau sepupu ayah atau ibunya atau siapa, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Persoalan yang harus diperhitungkan adalah persoalan yang dapat timbul dengan keluarga Punta yang tinggal di dekat padepokan itu. Jika keberadaan kalian berdua di rumah itu menimbulkan kecurigaan, mungkin persoalan yang sebenarnya akan timbul justru setelah kalian meninggalkan rumah itu."
"Ya, ayah. Kami akan sangat berhati-hati."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meninggalkan padepokan kecil itu bersama Punta. Mereka sengaja menempuh jalan yang agak jauh dari barak Ki Tumenggung Untara. Kemudian memanjat naik Gunung Marapi.
Jalan yang mereka lewati terasa mendaki semakin lama semakin tinggi. Mereka berjalan dijalan kecil diantara putegalan. Namun kemudian, mereka mulai melewati padang perdu. Kemudian merekapun sampai ke pinggir hutan. Untuk beberapa lama mereka berjalan menyusuri hutan yang semakin luma menjadi semakin lebat.
"Kalau kau pulang, kau juga melewat julan ini ?" berkata Glagah Putih.
"Aku dapat memilih jalan lain, kakang. Jalan yang tidak harus melewati jalan setapak di pinggir hutan. Aku dapat melewati jalan lain yang melewati bulak-bulak panjang serta beberapa padukuhan kecil."
"Kenapa sekarang kau pilih jalan di pinggir hutan ini ?"
"Jalan ini lebih dekat. Bahkan selisihnya agak jauh."
"Jadi setiap kau pulang kau pilih jalan yang lebih dekat ini?"
"Tidak. Aku memilih jalan yang lain."
"Kenapa ?" "Sekarang aku berjalan bersama kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan. Aku tidak lagi merasa takut, jika ada binatang buas yang kebetulan sedang melintas di pinggir hutan. Bukankah kakang Glagah Putih dan mbokayu Sekar Mirah pernah Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan, sehingga kakang berdua sudah sangat mengenal tabiat hutan yang selebat apapun seisinya."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Mereka memang memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengenali isi hutan. Bahkan keduanya dupat mengetahui, binatang apa yang ada di sekitar mereka, lewat hembusan angin. Penciuman merekapun menjadi sangat tajam sebagaimana binatang buas yang dapat mencium mangsanya atau binatang lain. Juga binatang-binatang liar yang lain, yang hurus segera menyelamatkan diri jika mereka mencium bau binatang yang dapat menerkam dan membunuhnya.
Seperti seekor binatang hutan, sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan dupat membedakan bau dari berjenis-jenis binatang di hutan. Bahkan jika didekat mereka ada seekor tikus tanah.
Demikianlah, maka mereka bertiga berjalan dengan cepat melintas di pinggir hutan. Namun beberapa saat kemudian, lorong itupun telah berbelok, semakin lama menjadi semakin jauh dari hutan.
"Di hutan itu masih banyak terdapat binatang buas," berkata Punta.
"Ya," sahut Glagah Putih yang juga telah mencium bau seekor harimau kumbang yang berada di dahan pepohonan. Tetapi harimau kumbang itu justru bergeser menjauh.
Sambil berjalan merekapun kemudian sepakat untuk menempatkan Glagah Putih sebagai sepupu Punta yang tinggal di Mataram. Sudah lama sepupunya itu tidak menengok ayah dan ibu Punta, sebagai paman dan bibinya."
"Apakah ayah dan ibumu dapat mengerti ?"
"Tentu. Ayah dan ibu bukan orang yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang berkembang di lingkungannya."
"Bagaimanu dengun saudara-saudaramu ?"
"Mereka memung sering datang menengok ayah dan ibu. Jika ada diantara mereka yang datang, merekapun akan dapat mengerti."
Demikianlah di sore hari, mereka telah sampai ke rumah Punta. Mereka disambut oleh ayah dan ibu Punta dengan gembira. Demikian pula kemanakan laki-laki yang masih remaja itu. Ia merasa sangat senang, bahwa Punta sempat pulang.
Puntapun segera memperkenalkan Glaguh Putih dan Rara Wulan kepada ayah dan ibunya.
"Kakang Glagah Putih adalah putera guru. Sedangkan mbokayu Rara Wulan itu adalah isterinya."
"Terima kasih, bahwa angger berdua bersedia datang ke rumahku ini," berkata ayah Punta.
Puntapun kemudian menceritakan keperluan Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah bersedia datang ke rumah mereka.
"Keduanya sedang mengemban tugas dari Ki Patih Mandaraka di Mataram."
Kedua orang tua itu mengangguk. Ketika kemudian Punta mengatakan bahwa keduanya akan mengaku sebagai sepupunya, maka ayah Punta itupun menyahut, "Kami merasa mendapat kehormatan yang sangat besar ngger, bahwa kami akan dapat membantu tugas-tugas angger. Sebenarnyalah kami hanyalah orang-orang gunung yang tidak dapat berbuat apa-apa."
"Terima kasih paman dan bibi. Terima kasih pula atas perkenan paman dan bibi, bahwa kami diijinkan untuk menginap di sini barang dua atau tiga hari."
"Silahkan ngger, silahkan. Rumahku sekarang terasa amat sepi, setelah anak-anakku tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku bahkan merasa senang sekali, bahwa angger bersedia bermalam di sini. Rumahku akan menjadi lebih ramai. Seakan-akan ada di antara anak-anakku itu yang datang mengunjungiku."
"Bukankah ada anak ayah benar-benar datang ?" berkata Punta.
"Ya, ya. Kau memang telah datang mengunjungi aku."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa tertahan, sementara Punta berkata, "Hampir saja ayah melupakah bahwa aku juga anaknya yang justru sekarang datang mengunjunginya."
"Tentu tidak ngger, cah bagus," berkata ibunya, "kau sekarang justru menjadi anak tunggal setelah saudara-saudaramu berumah tangga sendiri."
Puntapun tertawa pula. Demikianlah, sejak hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal di rumah orang tua Punta. Yang mengaku sebagai saudara sepupu Punta. Glagah Putih adalah anak adik dari ayah Punta.
"Nah, sekarang siapakah nama kakang. Tetapi bukan Glagah Putih dan Rara Wulan."
"Ya, Namaku Wira dan isteriku namanya Kenari."
"Kenari adalah nama jenis burung," sahut Punta.
"Ya. Ada juga semacam pohon yang buahnya keras, sekeras batok kelapa. Tetapi kecil-kecil," berkata Glagah Putih.
"Ya. Anak-anak sering membuat cincin dari kulit buah kenari yang keras itu."
Sementara itu, malampun telah turun. Kemanakan Punta yang masih remaja, yang tinggal bersama kedua orang tuanya, telah menyalakan lampu minyak.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian pergi ke pakiwan.
Berbeda dengan pada waktu keduanya berada di kepatihan dan dipadepokan, maka di rumah Punta, Glagah Putih sempat ikut menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan.
Setelah maka malam, maka Punta telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke banjar. Biasanya beberapa orang duduk-duduk di banjar sampai wayah sepi bocah. Mereka berbincang tentang sawah dan ladang, tentang air yang mengaliri sawah mereka dan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan mereka sehari-hari.
Ketika Punta dan Glagah Putih yang menyebut dirinya bernama Wira itu sampai di banjar, ternyata di banjar sudah ada empat orang yang duduk sambil berbincang-bincang.
Mereka menyambut kedatangan Punta dengan ceria serta mempersilahkannya duduk diantara mereka.
"Kau sempat pulang lagi Punta. Bukankah kau belum terlalu lama pulang."
"Ya, paman. Ketika kakak perempuan menikah."
"Siapakah angger ini " Agaknya aku belum pernah melihatnya."
"Sepupuku, paman. Nah. karena sepupuku datang ke padepokan, maka aku telah mendapat kesempatan lagi untuk pulang mengantarnya. Sudah lama sekali sepupuku tidak mengunjungi ayah dan ibu."
Puntapun kemudian telah memperkenalkan orang yang disebutnya sepupunya yang bernama Wira itu.
"Ia datang bersama isterinya."
Orang-orang yang sudah ada di banjar itupun kemudian memperkenalkan diri mereka masing-masing. Demikian pula tiga orang yang datang kemudian, merekapun segera telah diperkenalkan oleh Punta dengan sepupunya itu.
Keberadaan Glagah Putih di rumah Punta memang tidak terlalu banyak menarik perhatian. Namun ketika hal itu didengar oleh Putut Witala yang memang sering datang berkunjung ke padukuhan itu, atau bertemu dengan orang-orang padukuhan di sawah atau dimanapun, agaknya telah mengusik perasaannya. Ada semacam perasaan curiga, bahwa yang datang di rumah Punta itu seseorang yang mempunyi kepentingan yang khusus, justru pada saat orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak ada di padepokan.
Apalagi Putut Witala tahu, bahwa Punta adalah salah seorang cantrik dari padepokan di Jati Anom. Meskipun padepokan di Jati Anom itu terhitung padepokan kecil, namun menyimpan kekuatan dan kemampuan yang besar.
Karena itu, demikian ia mendengar bahwa saudara sepupu Punta yang tinggal di Mataram datang, maka Putut Witala yang sudah saling mengenal dengan Punta itu justru datang ke rumahnya.
Punta memang sudah mengira, bahwa Putut Witala akan datang ke rumahnya untuk berkenalan dengan Glagah Putih. Putut Witala tentu ingin tahu, apakah benar yang datang itu hanya sekadar ingin mengunjungi kedua orang tua Punta.
Karena itu, ketika Putut Witala datang, maka tanpa diminta oleh Putut Witala. Puntapun telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai saudara sepupunya yang bernama Wira dan Kenari.
Namun ternyata yang terjadi diluar dugaan Punta. Putut Witala sama sekali tidak tertarik kepada laki-laki yang bernama Wira. Tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah justru perempuan yang bernama Kenari.
"Namamu aneh," berkata Putut Witala.
Kenari, seorang perempuan yang sangat pemalu itu menundukkan wajahnya tanpa menjawab sepatah katapun.
Yang kemudian menjawab adalah Wira, "Namanya memang aneh. Ketika ibunya melahirkannya, ayahnya memelihara banyak sekali burung kenari."
"Kau sangat beruntung Wira. Kau telah mendapat seorang isteri yang sangat cantik."
"Ah," sahut Wira, "di Mataram perempuan seperti isteriku itu terdapat dimana-mana."
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang Glagah Putih, Glagah Putih itu tidak memperhatikannya. Sementara itu Puntapun menjadi berdebar-debar mendengarnya.
"Kau jangan meremehkan seorang perempuan," berkata Putut Witala, "apalagi perempuan secantik isterimu itu."
"Aku tidak meremehkannya. Maksudku, isteriku itu biasa-biasa saja. Ia bukan seorang perempuan yang sangat cantik."
Putut Witala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memandangi Rara Wulan dengan tanpa berkedip.
Rara Wulan yang merasa dirinya dipandang dengan tajamnya oleh Putut Witala, justru menjadi semakin menunduk.
Namun Putut Witala itu tidak terlalu lama berada di rumah Punta. Beberapa saat kemudian, iapun minta diri.
Punta melepas Putut Witala itu sampai ke pintu regol. Namun ketika Putut Witala itu meninggalkan pintu regol iapun berkata, "Punta. Aku ingin berbicara kepadamu. Tetapi jangan ada orang lain. Karena itu, nanti sebelum senja, aku tunggu kau di gumuk Wudun, di sebelah simpang empat itu."
"Untuk apa ?" bertanya Punta.
"Ada yang ingin aku katakan kepadamu."
"Kenapa tidak kau katakan sekarang ?"
"Aku tidak mau ada orang lain."
"Bukanlah disini juga tidak ada orang lain."
"Tetapi Wira dan isterinya itu memperhatikan kita."
Punta mengangguk-angguk. Katanya, "Baik. Aku akan pergi ke gumuk Wudun sebelum senja."
Demikian Putut Witala itu pergi, maka Puntapun segera menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Hampir berbisik Punta berkata, "Pernyataanmu agak mengejutkan aku."
"Aku hanya ingin menjajagi sikap Putut Witala, Punta. Jika dugaanku benar, maka aku akan mempunyai jalan untuk menjajagi kemampuannya."
Punta agaknya dapat mengerti pula. Namun Rara Wulanpun berkata, "Bukanlah aku akan kaujadikan umpan, kakang."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kita perlu menjajagi kemampuannya. Meskipun kita tidak dapat memperhitungkan kemampuan Pangeran Ranapati dengan sekedar menjajagi kemampuan muridnya, tetapi setidaknya kita dapat mengenali jenis dan watak aliran dari ilmu yang diturunkan oleh Pangeran Ranapati itu."
"Tetapi apa yang nampak pada Putut Witala tentu jaraknya sangat jauh dari ilmu Pangeran Ranapati."
"Ya. Kita tahu. Meskipun demikian, aku menduga, bahwa ada gunanya kita tahu seberapa tinggi ilmu Witala yang sudah disebut sebagai seorang Putut itu."
Punta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan berkata, "Sebaiknya sekali-kali kaulah yang menjadi umpan."
"Tentu aku tidak berkeberatan kalau misalnya kau ingin menjajagi ilmu seorang perempuan cantik."
"Ah, kau. Kau tentu berdoa, agar kau dapat dikalahkannya."
Glagah Putih dan Punta itupun tertawa.
Namun Punta itupun kemudian berkata, "Nanti, menjelang senja, Puntu Witala minta aku datang ke gumuk Wudun. Ada yang ingin dikatakannya."
"Kau akan datang ?"
"Ya. Aku harus datang agar segala sesuatunya segera menjadi jelas."
"Baiklah. Datanglah."
Sebenarnyalah ketika kemudian langit menjadi muram karena matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat langit, maka Puntapun telah pergi ke gumuk Wudun untuk memenuhi janjinya kepada Putut Witala.
Ketika ia sampai di gumuk Wudun, ternyata Putut Witala sudah ada di gumuk itu bersama dengan dua orang cantriknya.
"Ternyata kau benar-benar datang, Punta," desis Putut Witala dengan nada datar.
"Ya. Aku selalu memenuhi janjiku."
"Bagus," berkata Putut Witala, "duduklah. Aku ingin berbincang-bincang denganmu."
Punta memang menjadi agak berdebar-debar. Tetapi iapun segera duduk di atas sebuah batu di hadapan Putut Witala.
"Punta," berkata Putut Witala, "terus terang. Demikian aku melihat perempuan isteri sepupumu itu akupun segera tertarik kepadanya."
Punta mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi ia adalah isteri sepupuku itu, Witala."
"Sekarang, aku ingin minta tolong kepadamu. Cari cara, agar perempuan itu dapat berada di padepokanku."
"Apakah kau sudah gila," sahut Punta.
"Ya, aku memang sudah gila sejak aku melihat perempuan itu. Tetapi kau harus memikirkan bagaimana caranya kau dapat memenuhi permintaanku itu."
"Tentu tidak mungkin. Aku tidak akan dapat mengkhianati sepupuku sendiri."
"Tetapi kau tidak mempunyai pilihan. Aku ingin perempuan itu berada di padepokanku. Sementara itu, rumah ayah dan ibumu ada di dekat padepokanku. Kau harus memikirkan banyak kemungkinan yang dapat terjadi jika kau tidak mau memenuhi permintaanku."
"Kau mengancam Putut Witala."
"Ya." Punta memandang Putut Witala dengan tajamnya. Dengan geram iapun berkata, "Kau dapat mengancam aku. Kita sama-sama murid dari sebuah perguruan. Tetapi jangan mengancam keluargaku."
"Aku sengaja mengancam keluargamu. Karena itu, usahakan agar perempuan itu ada di padepokanku."
"Tidak. Aku tidak mau."
"Jadi kau ikhlaskan keluargamu mengalami kesulitan " Kau biarkan ayah dan ibumu mengalami nasib yang sangat buruk di tanganku ?"
"Putut Witala. Dengarkan aku baik-baik. Kalau kau mengancam aku, persoalan kita akan kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki. Kita sama-sama berguru pada sebuah perguruan. Meskipun letak perguruan kita termasuk tidak terlalu jauh, tetapi selama ini tidak pernah terjadi persoalan diantara perguruan kita. Karena itu, jika kau mengancam aku, maka aku ingin persoalan kita tidak mengkaitkan perguruan kita masing-masing."
"Sudah aku katakan, aku tidak mengancam kau. Tetapi aku mengancam ayah dan ibumu. Jika kau tidak dapat membawa perempuan itu ke padepokanku, maka kau akan menyesali akibatnya. Ayah, ibu serta rumahmu akan menjadi korban kebodohanmu."
"Putut Witala. Dengar pula keteranganku ini. Kau tahu, bahwa aku berguru kepada Ki Widura. Ki Widura bukan saja salah seorang murid utama Kiai Gringsing yang mempunyai beberapa saudara seperguruan. Tetapi Ki Widura adalah paman Ki Tumenggung Untara. Jika kau celakakan keluargaku, aku akan minta guruku untuk membantuku. Guruku akan minta saudara-saudara seperguruannya atau bahkan Ki Tumenggung Untara dengan seluruh pasukannya, segelar sepapan. Kalau kau celakakan ayah dan ibuku, maka padepokanmu akan menjadi abu. Para cantrik akan ikut hangus terbakar di dalamnya. Sementara kau sendiri akan dipanggang pula di dalam api."
"Licik. Kau sangat licik Punta. Itu bukan sikap dan watak seorang laki-laki. Apalagi yang mengaku sebagai murid sebuah perguruan yang dihormati."
"Apa artinya kelicikan itu bagimu. Putut Witala. Kaulah yang telah berbuat licik lebih dahulu jika kau celakai orang tuaku, karena orang tuaku tidak tahu apa-apa. Orang tuaku adalah petani-petani tua yang hanya tahu jalan dari rumah sampai ke sawah. Kenapa pula ia harus ikut menanggung beban karena ketamakanmu " Nah, jika kita sama-sama menjadi gila, terserah kepadamu. Tetapi nanti jika gurumu pulang, maka Pangeran Ranapati mengutukmu sehingga nyawamu tidak akan pernah mengalami ketenangan, karena dengan pokalmu, maka sebuah padepokan seisinya telah musnah. Justru pada saat gurumu tidak ada."
"Pengecut," geram Putut Witala yang kemudian mengumpat-umpat kasar.
"Bukan aku pengecut itu. Tetapi kau sendiri."
"Kenapa aku ?" "Jika kau bukan pengecut, maka bukan begitu caramu untuk mendapatkan seorang perempuan."
"Apa yang harus aku lakukan ?"
"Perempuan itu mempunyai seorang suami. Katakan kepada laki-laki suami perempuan itu, bahwa kau memerlukan isterinya. Tantang laki-laki itu dan rebut isterinya dengan jantan."
Putut Witala menggeram. Sementara Punta berkata selanjutnya, "Kalau aku berani melakukannya, aku bersedia menyampaikan kepada sepupuku. Ia juga bukan seorang pengecut. Aku kira ia akan menerima tantanganmu."
Wajah Putut Witala menjadi tegang. Namun menurut penglihatannya, suami perempuan itu tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu besar. Bentuk tubuhnya biasa-biasa saja. Sikapnyapun tidak menunjukkan kegarangan seorang yang mempunyai kemampuan yang tinggi.
Karena itu, maka Putut Witala itupun berkata, "Bagus. Katakan kepada suami perempuan itu, bahwa aku menantangnya. Taruhannya adalah perempuan itu. Jika aku menang, maka perempuan itu akan aku bawa ke padepokan."
"Jika kau kalah ?"
"Terserah, apa yang akan dilakukannya."
"Kenapa kau ragu-ragu melakukannya. Kenapa kau tidak menantangnya berperang tanding sampai mati. Kalau kau mampu membunuhnya, maka dengan sendirinya perempuan itu dapat kau perlakukan apa saja karena ia sudah tidak mempunyai suami lagi."
Putut Witala menggeram. Agaknya Punta yakin sekali akan kemampuan Wira, suami Kenari. Karena Punta seorang yang berilmu, maka ia tentu dapat menilai, seberapa tinggi ilmu yang dikuasai oleh Wira.
"Tetapi Punta tentu tidak dapat mengukur seberapa tinggi ilmuku," berkata Putut Witala didalam hatinya, "Karena itu, maka Punta tentu menganggap bahwa ilmu sepupunya itu akan mampu mengatasi ilmuku."
Karena itu, maka Putut Witala itupun berkata dengan nada tinggi, "Baik. Katakan kepada sepupumu, bahwa aku menantangnya berperang tanding sampai tuntas."
"Nah, itu baru seorang laki-laki. Aku tahu, sepupuku tentu akan mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawanya, meskipun ia mengatakan bahwa di Mataram perempuan seperti isterinya itu terdapat dimana-mana. Tetapi sedumuk batuk akan sama harganya dengan senyari bumi, yang akan dipertahankan sampai mati."
Putut Witala itupun menggeram. Katanya, "Jangan menyesal, bahwa sepupumu akan terbaring di tanah tanpa dapat bernafas lagi. Ia akan mati setelah lehernya aku patahkan."
"Terserah, apa yang akan kau lakukan."
"Katakan kepada sepupumu, aku akan menunggu di sini esok siang. Aku akan membunuhnya sebelum senja. Aku sendiri tidak akan bersenjata. Aku akan membunuhnya dengan tanganku. Terserah sepupumu, apakah ia akan membawa senjata atau tidak. Jika ia merasa lebih mantap dengan mempergunakan senjata, biarlah ia bersenjata."
"Baik. Aku akan mengatakan kepadanya. Esok siang aku akan membawanya kemari. Biarlah terjadi apa yang akan terjadi. Tentu saja aku minta sepupuku itu membawa isterinya pula."
"Bagus. Ternyata kau tahu apa yang aku butuhkan. Sebelum aku mengatakannya, kau sudah mengerti apa yang aku inginkan."
Demikianlah, maka Puntapun kemudian minta diri untuk pulang. Sekali lagi ia mengatakan kepada Putut Witala bahwa esok siang akan membawa sepupunya suami isteri untuk datang ke gumuk Wudun itu.
Ketika Punta kemudian sampai di rumahnya, maka lampu-lampu minyakpun sudah dinyalakan. Ayahnya yang melihatnya memasuki regol halaman segera bertanya, "Dari mana saja kau Punta. Angger Glagah Putihlah yung tadi mengisi pakiwan. Sedangkan angger Rara Wulan menyapu halaman."
Punta tersenyum sambil menjawab, "Aku ada keperluan sedikit dengan seorang kawanku ayah."
"Keperluan apa ?"
"Tidak apa-apa. Tetapi sekarang sudah selesai." Tetapi malam itu, Puntapun telah memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa esok Putut Witala menunggunya di gumuk Wudun.
"Besok Siang?" "Ya. Putut Witala berniat membunuhmu sebelum senja."
"Mudah-mudahan aku dapat menyelamatkan diriku sendiri."
"Aku esok ikut bersamamu, kakang. Jika saja ada yang berbuat curang."
"Baik. Tetapi kaupun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Menurut Putut Witala, besok ia tidak akan membawa senjata. Terserah kepada kakang, apakah kakang akan membawa atau tidak."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia memang tidak pernah nampak membawa senjata karena senjatanya sudah melekat di lambungnya. Demikian pula Rarn Wulan. Nampaknya sebagaimana kebanyakan perempuan ia hanya membawa sehelai selendang. Tetapi selendang itu adalah senjata yang sangat berbahaya."
Bagaimanapun juga, ternyata Punta dan bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi gelisah pula meskipun alasannya berbeda-beda.
Punta yang belum pernah mengetahui seberapa tinggi ilmu Putut Witala, masih saja merasa cemas Meskipun ia sangat mengagumi kemampuan Glagah Putih di saat terakhir sebagaimana dilihatnya di sanggar, tetapi beberapa kemungkinan masih dapat terjadi. Bahkan Puntapun juga mencemaskan, bahwa Putut Witala dapat saja berbuat curang.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan justru mencemaskan ayah dan ibu Punta yang sudah tua. Jika kemarahan Putut Witala itu ditujukan kepada kedua orang tuanya yang sudah tua itu, maka keuuanya akan mengalami nasib buruk.
Ketika hal itu dikatakannya kepada Punta, maka sambil tersenyum Puntapun berkata, "Jangan cemaskan ayah dan ibuku."
"Jika kau tidak ada di rumah ?"
Puntapun kemudian telah menceritakan ancamannya justru ketika Putut Witala mengancam kedua orang tuanya.
"Jadi Putut Witala memang sudah mengancam ayah dan ibumu."
"Ya. Tetapi aku sudah mengancamnya kembali."
"Ternyata kau cerdik juga. Dengan demikian, agaknya Putut Witala tidak akan mengganggu ayah dan Ibumu."
Malam itu, Punta telah mengajak Glagah Putih yang disebutnya bernama Wira pergi ke rumah tetangganya yang isterinya sedang melahirkan. Ternyata suara Punta cukup bagus ketika ia mendapat giliran untuk melantunkan tembang Dandanggula beberapa bait.
Lewat tengah malam, maka Puntapun mengajak Wira pulang. Ia harus beristirahat. Esok, tenaganya diperlukan untuk melakukan perang tanding dengan Putut Witala. Perang tanding itu sendiri agaknya bukan sekedar main-main. Putut Witala akan berperang tanding sampai tuntas.
Glagah Putinpun berusaha untuk dapat benar-benar beristirahat. Besok ia akan memasuki arena perang tanding dengan seseorang yang belum diketahui tingkat kemampuannya. Mungkin murid Pangeran Panapati itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan bahkan mungkin ia menguasai beberapa Aji yang sulit ditandingi.
Glagah Putihpun memang dapat tidur pulas. Justru Rara Wulanlah yang sulit untuk memejamkan matanya. Baru di dini hari Rara Wulan dapat tidur pula.
Tetapi mereka tidak dapat tidur terlalu lama. Pagi-pagi mereka sudah bangun. Kemudian membantu kedua orang tua Punta membersihkan halaman sedangkan Rara Wulan berada di dapur merebus air.
Punta sendiri sibuk mengisi jambangan sebelum ia sendiri mandi.
Pagi itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengisi waktunya dengan berjalan-jalan di lereng Gunung Merapi. Ternyata bahwa di lingkungan di sekitar padukuhan tempat tinggi Punta, air masih cukup untuk kebutuhan para petani, sehingga sawahpun nampak subur di segala musim.
Di beberapa tempat nampak sawah yang berjenjang seperti sebuah tangga raksasa yang diwarnai dengan hijaunya daun padi yang tumbuh dengan suburnya.
Punta yang mengantar keduanya membawa Glagah Putih dan Rara Wulan kesebuah kolam yang agak luas namun tersekat menjadi beberapa bagian.
"Ayah, ibu dan kemenakanku itulah yang memelihara belumbang ini. Dahulu masih ada aku dan saudara-saudaraku. Tetapi sekarang kami sudah pergi, sehingga belumbang ini menjadi kurang terpelihara."
"Tetapi masih ada banyak ikan di dalamnya," sahut Rara Wulan.
"Ya," jawab Punta, "dahulu kami sempat memilah-milah ikan menurut jenisnya. Tetapi ayah dan ibu tidak lagi sempat melakukannya, sehingga ikannyapun mulai berbaur. Bahkan banyak yang ikut hanyut di pembuangan air jika kolamnya menjadi terlalu penuh. Meskipun kami sudah memasang anyaman bambu sebagai saringan."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, dengan semacam irig bambu yang besar, Puntapun menangkap beberapa ekor ikan yang sudah agak besar untuk dibawa pulang.
"Ibu akan membuat pepes guram eh."
Demikian mereka pulang, maka Puntapun segera pergi ke dapur untuk menyerahkan ikan yang ditungkapnya di belumbang.
"Buat pepes ibu. Sudah lama aku tidak makan pepes gurameh."
"Aku sudah menyiapkan lauk buat kalian," berkata ibunya, "aku sudah mengambil beberapa butir telur di petarangan."
"Apa salahnya ditambah dengan pepes gurameh ?"
Ibunya hanya tersenyum saja.
Sedikit lewat tengah hari, ibu Punta itu sudah selesai masak. Iapun segera menyiapkan makan siang bagi Punta dan kedua orang tamunya yang diakunya sebagai sepupunya itu.
"Bagaimana dengan paman ?" bertanya Rara Wulan ketika ibu Punta itu mempersilakannya makan.
"Pamanmu masih berada di pategalan. Biarlah nanti aku menunggunya," jawab ibu Punta.
Setelah makan siang serta beristirahat sebentar, maka Puntapun mengingatkan Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa Putut Witala menunggu mereka di gumuk Wudun siang itu.
"Baik. Sebentar lagi kita akan pergi ke gumuk Wudun."
Ketika kemudian mereka minta diri kepada ayah dan ibu Punta untuk melihat-lihat lereng Merapi yang letaknya lebih tinggi maka ayah Punta itupun berkata, "Kenapa harus siang-siang begini sehingga sinar matahari akan terasa sangat terik."
"Tetapi udara disini terasa sejuk, paman. Tidak seperti di ngarai. Jika panas matahari menyengat, maka udarapun menjadi sangat panas, sehingga rasa-rasanya tubuh ini bagaikan terpanggang."
Ayah Punta tidak dapat menahan. Tetapi ia tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Glagah Putih di gumuk Wudun.
Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah diantar oleh Punta naik ke tempat yang lebih tinggi Putut Witala berjanji untuk menunggu mereka di gumuk Wudun. Sebuah gumuk kecil yang berada dikaki Gunung Merapi itu. Sebuah tempat yang jarang sekali didatangi orang.
Ketika Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta sampai di tempat itu, mereka melihat Putut Witala sudah berada di tempat itu pula. Demikian ia melihat ketiga orang itu datang, maka Putut Witala itupun segera menyongsongnya.
"Teryata kau benar-benar seorang laki-laki," berkata Putut Witala.
"Bukankah sudah sewajarnya bahwa aku harus menerima tantanganmu. Soalnya bukan menang atau kalah. Tetapi aku juga mempunyai harga diri."
"Bagus. Aku mengajak beberapa oranh saudara seperguruanku. Mereka akan menjadi saksi apa yang ukan terjadi kemudian. Dengan beberapa orang saksi, maka aku tidak akan dapat dianggap bersalah atas kematianmu. Kita sudah sepakat berperang tanding, sehingga kematian diantara kita adalah akibat kesepakatan kita itu. Termasuk segala macam taruhannya."
"Baik. Meskipun aku tidak mengira sama sekali, bahwa disini aku akan bertemu dengan seseorang yang menantangku berperang tanding. Aku datang kemari untuk menengok paman dan bibi yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi aku memang tidak dapat mengelak lagi. Musuh tidak dicari, tetapi jika ia datang, aku tidak akan lari."
Putut Witala tertawa. Katanya, "Ternyata kau benar-benar seorang laki-laki. Dengan demikian, aku tidak akan merasa sangat bersalah jika aku membunuhmu nanti. Agaknya kau sudah benar-benar siap untuk mati."
"Aku tidak datang untuk membunuh diri. Tetapi kematian tidak terlalu menakutkan bagiku, karena aku harus mempertaruhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki."
"Bersiaplah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Punta akan menjadi saksimu. Setelah kau mati, maka isterimu akan aku bawa ke padepokanku."
Glagah Putih tidak menjawab lagi, sementara itu terasa tubuh Rara Wulan meremang. Sebenarnya ia ingin menjawab pernyataan Putu Witala itu. Tetapi ia harus menyesuaikan diri dengan sikap Glagah Putih.
Glagah Putih sendiri menjadi berdebar-debar ketika ia benar-benar sudah berhadapan dengan Putut Witala. Nampaknya Putut Witala adalah seorang yang sangat yakin dan percaya akan dirinya serta akan kemampuannya.
Demikianlah, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka memilih di tempat yang agak luas dan datar. Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Putut Witala yang pada umumnya dari angkatan yang lebih muda, berdiri melingkari arena. Sedangkan seorang yang lebih tua dari mereka, juga seorang Putut ada diantara mereka. Putut Patrajaya. Putut dari angkatan yang justru lebih tua dari Putut Witala.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Namun Putut Witala masih saja tersenyum-senyum. Ia sempat berpaling Putut Patrajaya sambil berkata, "Kakang, bukankah pilihanku tidak salah."
"Ya. Pilihanmu tidak salah. Tetapi bahwa kau memilihnya itulah yang salah seperti yang sudah aku katakan."
Putut Witala tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jika aku lepaskan pilihanku, maka kakang sendiri yang akan memilihnya."
"Ada perbedaan diantara kita, adi. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada adi. Aku dan saudara-saudara kita hanya akan menjadi saksi dalam perang tanding ini."
Seorang cantrik yang bertubuh tinggi besar yang tataran ilmunya hanya berselisih selapis dengan Putut Witala berkata dengan nada suaranya yang besar dan berat. Jangan bicara dengan kakang Putut Patrajaya tentang seorang perempuan. Tetapi jika kau gagal kakang, aku yang akan menyelesaikannya. Meskipun aku lebih muda dari kakang, tetapi aku mempunyai kelebihan. Aku mempunyai tenaga lebih besar dari kakang."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, bocah edan. Aku tidak akan gagal."
"Kapan kita akan mulai?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
"Baik. Baik. Kita akan segera mulai," demikianlah, maka keduanyapun telah bergeser saling mendekat. Keduanya telah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Putut Witala yang sangat yakin dirinya itupun tiba-tiba telah meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga Glagah Putih sempat terkejut karenanya.
Tetapi dengan sangat tangkas pula, Glagah Putihpun bergeser menghindar, sehingga serangan Putut Witala itu tidak sempat mengenainya.
Tetapi Putut Witala tidak memberi kesempatan kepada Glagah Putih. Serangannya beruntunpun segera memburunya.
Glagah Putih yang seakan-akan kehilangan kesempatan untuk menghindar itupun meloncat surut beberapa langkah. Ketika Putut Witala memburunya, maka Glaguh Putihpun dengan cepat meloncat tinggi-tinggi. Sekali ia melingkar di udara, kemudian dengan kedua kakinya ia hinggap kembali di atas tnnah, justru di belakang Putut Witala.
Putut Witala terkejut. Demikian pula saudara-saudara seperguruannya yang melingkari arena. Bahkan terdengar decak kekaguman pula diantara mereka.
Putut Witalapun segera berutar. Dengan kecepatan yang tinggi iapun menyerang Glagah Putih sejadi-jadinya. Ia ingin dengan cepat mengakhiri perkelahian itu, sehingga kecuali memenangkan perang tanding, maka saudara-saudara seperguruannya sempat melihat, bahwa ia benar-benar telah berada di lapisan pertama dari para murid di perguruannya.
Putut Patrajaya memperhatikan pertarungan itu dengan saksama. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka iapun dapat mengenali, bahwa lawan Putut Witala itupun seorang yang berilmu sangat tinggi pula.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang berada di seputar arena itu melihat, bahwa keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, sehingga pertarungan itupun menjadi semakin sengit.
Namun serangan-serangan mereka agaknya masih belum menembus pertahanan masing-masing. Dengan kecepatan yang tinggi mereka saling menyerang. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi pula mereka saling menghindar.
Namun sebenarnyalah bahwa Glagah Putih masih saja menjajagi tingkat ilmu lawannya. Menurut penilaian Glagah Putih, Putut Witala memang berilmu tinggi. Namun diantara unsur-unsur geraknya, masih banyak terdapat celah-celah yang berbahaya.
Dibanding dengan kemampuan rata-rata murid di lapisan pertama pada perguruan Ki Widura, maka murid-murid Ki Widura masih mempunyai beberapa kelebihan. Tetapi itupun bukan ukuran mutlak, bahwa ilmu Ki Widura lebih tinggi dari ilmu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.
Meskipun demikian, dengan menjajagi kemampuan muridnya, serba sedikit Glagah Putih akan mendapat sedikit gambaran dari kemampuan gurunya. Apalagi murid yang terhitung diantara murid-murid terbaik yang sudah dipercaya untuk menyandang gelar Putut di sebuah padepokan, sebagaimana lawan Glagah Putih itu. Putut Witala.
Pertarungan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Witala telah mengerahkan kemampuannya. Serangan-serangan-nyapun datang beruntun seperti badai.
Tetapi kali ini ia mendapat lawan Glagah Putih. Seorang yang berilmu sangat tinggi, yang sedang mengemban tugas yang sangat berat dari Ki Patih Mandaraka.
Namun Glagah Putih tidak ingin mengalahkan lawannya dengan serta-merta. Ia ingin memperlakukan lawannya seperti kanak-kanak yang sedang menerbangkan layang-layang. Sekali-sekali benangnya diulur memanjang. Tetapi kadang-kadang ditahan, sehingga layang-layang itu sempat terbang semakin tinggi.
Putut Witala yang mengerahkan ilmunya itu, ternyata masih saja sulit untuk dapat menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan jika sekali-sekali terjadi benturan, maka Putut Witalapun selalu tergetar surut.
Dengan demikian, maka Putut Witala itupun menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin garang, langsung mengarah ke sasaran yang paling berbahaya di tubuh lawannya.
Tetapi serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Glagah Putih mampu menghindarinya dengan tangkas, atau menangkis serangan-serangan itu sehingga terjadi benturan.
"Gila orang ini," geram Putut Witala didalam hatinya, "ternyata ia mampu melindungi dirinya dengan ilmunya."
Tetapi Putut Witala yang terlalu yakin akan kemampuannya itu tidak mau melihat kenyataan itu. Iapun semakin meningkatkan serangan serangannya dengan semakin mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
Namun ternyata bahwa serangan-serangannya itu tidak berhasil menggoyahkan pertahanan Glagah Putih.
Para cantrik yang menyaksikan perang tanding itu menjadi semakin tegang. Mereka yang terlalu bangga akan kemampuan Putut Witala, merasa heran, bahwa Putut Witala tidak segera dapat mengalahkan lawannya.
Tetapi Puntapun kemudian menjadi semakin yakin, bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Putut Witala. Apalagi Punta yang sudah berada di tataran pertama dalam urutan para cantrik Ki Widura, yang sudah menguasai ilmu dan kemampuan sebagaimana Putut Witala justru sudah tidak menjadi tegang lagi menyaksikan pertempuran yang nampaknya menjadi semakin sengit. Punta yakin bahwa Glagah Putih dengan sengaja memberikan beberapa kesempatan kepada lawannya, agar Putut Witala itu tidak dipermalukan dihadapan adik-adik seperguruannya.
Tetapi Putut Patrajaya berpendapat lain. Seperti Punta ia yang berada di seberang batas dari pertarungan itu, dapat menilai apakah yang sebenarnya terjadi. Ia mulai dapat melihat kelemahan-kelemahan pada adik seperguruannya yang sudah berhak menyandang gelar Putut itu. Iapun dapat melihat kelebihan-kelebihan pada lawan Putut Witala yang menyebut dirinya bernama Wira itu.
"Alangkah bodohnya Witala," berkata Putut Patrajaya didalam hatinya, "lawannya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga Putut Witala tidak akan dapat memenangkan perang tanding itu."
Putut Patrajaya itu menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa hari itu adalah hari Putut Witala yang terakhir. Beberapa saat lagi, Putut Witala akan terkapar di tanah. Ia tidak lagi dapat diajak berbincang, bergurau dan sekali-sekali berbantah.
Tetapi Putut Patrajaya tidak ingin menodai harga diri Putut Witala serta harga diri padepokannya. Karena itu, maka Putut Patrajayapun tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan itu. Biarlah mereka yang berperang tanding itu menyelesaikan sesuai dengan yang seharusnya terjadi atas mereka.
Namun Putut Patrajaya memang menyesali tingkah laku Putut Witala. Ia sudah mencoba memperingatkannya, agar Putut Witala tidak berniat mengambil perempuan yang sudah bersuami. Meskipun seandainya suaminya tidak dapat mempertahankan isterinya dalam perang tanding seperti luwan Putut Witala itu.
Tetapi Putut Witala tidak menghiraukannya.
Dalam pada itu, Putut Witala sudah mengerahkan kemampuannya, namun ia masih saja belum berhasil mengalahkan lawannya. Bahkan serangan-serangan lawanynlah yang lebih banyak mengenai sasarannya. Lawan Putut Witala itulah yang lebih banyak berhasil menyusupkan serangannya. Beberapa kali serangannya telah mengenai bahu, lambung, dada dan bahkan ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya dengan kaki yang menebas mendatar. Dengan derasnya kakinya telah menyambar kening Putut Witala, sehingga Putut Witala itupun terlempar dan jatuh terguling di tanah. Tubuhnya tergores batu-batu padas yang keras dan runcing.
Namun Putut Witala dengan sigapnya telah bangkit berdiri. Meskipun goresan-goresan itu tidak terlalu dalam, namun oleh keringatnya, terasa menjadi pedih.
Putut Witala itupun menggeram. Matanya bagaikan membara oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi Putut Witala harus menelan kenyataan itu, bahwa ia masih belum dapat mengalahkan orang yang menyebut dirinya Wira.
Tetapi Putut Witala masih tetap percaya, bahwa ia akan dapat memenangkan perang tanding itu.
Karena itu, maka iapun masih saja berusaha meningkatkan ilmunya Dihentakkannya kemampuannya untuk mendesak Glagah Putih beberapa langkah surut.
Meskipun Putut Witala berhasil, tetapi hanya untuk sekejap saja. Glagah Putihpun segera menjadi mapan dan hentakan-hentakan Putut Witala sudah tidak berarti lagi. Serangan-serangannya telah membentur pertahanan Glagah Putih yang rapat. Sementara itu, tenaga dan kekuatan Glagah Putih yang nampaknya masih utuh itu, terasa menjadi jauh lebih besar dari tenaga dan kemampuan Putut Witala yang sudah menjadi semakin menyusut.
Putut Patrajaya sekali-sekali harus memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat kekalahan Putut Witala yang sangat menyakitkan itu. Bahkan sampai saatnya Putut Witala hampir mati, ia masih belum mengakui kenyataan nkan kekalahannya itu.
Sementara itu, Putut Witala memang masih mengerahkan kemampuannya yang tersisa. Tetapi ia sudah sering kehilangan kendali. Ketika ia meluncur menyerang dengan satu kakinya, sedangkan Glagah Putih dengan gerak yang sederhana bergeser kesamping, maka Putut Witala telah terseret oleh tenaga serta berat tubuhnya sendiri, sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab.
Meskipun demikian, Putut Witaka masih saja menggeram marah. Mulutnya nampak bergetar sedang giginya terkatub rapat-rapat.
Putut Patrajaya tinggal menunggu, kapan lawan Putut Witala itu mencekik adik seperguruannya sampai mati.
Sebenarnyalah Putut Witala itu benar-benar sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali ia terjatuh, bukan oleh serangan Glagah Putih. Tetapi oleh tarikan tubuhnya sendiri.
Dalam pada itu. Putut Patrajayalah yang kemudian berteriak, "Wira. Tidak sepantasnya kau mempermainkan lawanmu. Apakah kau ingin disebut seorang yang ilmunya tidak terlawan" Atau barangkali sebutan-sebutan lainnya, sehingga kau permainkan lawanmu seperti itu" Kalau kau sudah yakin memenangkan perang tanding itu, selesaikan lawanmu seperti yang seharusnya kau lakukan."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Putut Witala sudah benar-benar tidak berdaya. Ketika ia berdiri dan melangkah maju, maka hampir saja ia jatuh berguling.
Sementara itu, Glagah Putihpun menggeram. Dipandanginya Putut Witala dari kepalanya sampai ke ujung kakinya. Tidak ada niatnya sama sekali untuk membunuh orang itu. Ia hanya ingin menjajagi kemampuannya.
Namun tiba-tiba yang tidak didugapun telah terjadi, Putut Witala yang sudah tidak mampu berdiri tegak itupun tiba-tiba telah berlutut sambil berkata, "Jangan bunuh aku Wira. Jangan bunuh aku. Aku beijanji tidak akan mengganggu lagi. Aku juga tidak akan mengganggu keluarga Punta."
Bukan hanya Glagah Putih yang terkejut. Putut Patrajayapun terkejut pula. Bahkan dengun serta merta iapun berkata, "Adi Witala. Apa yang kau lakukan itu" Kau telah menodai harga dirimu sendiri. Kaupun telah menodai harga diri padepokan kami. Perang tanding yang disepakati adalah perang tanding sampai tuntas. Seorang diantara kalian yang berperang tanding harus mati. Kau tidak dapat merengek mohon belas kasihan agar kau tetap hidup setelah kau kalah dalam perang tanding ini."
"Maaf kakang. Sebenarnya aku tidak ingin bersungguh-sungguh. Aku tidak ingin mati."
"Gila. Kau memang tidak pantas untuk hidup."
Sementara itu, Glagah Putihpun kemudian berkata, "Jika kau minta aku tidak membunuhmu, cepat tinggalkan tempat ini."
"Terima kasih, Wira. Aku akan pergi."
Tetapi Putut Patrajaya itupun menggeram, "Jika lawanmu tidak membunuhmu aku yang akan membunuhmu."
"Ampun, kakang. Jangan lakukan itu," rengek Putut Witala pula.
Sementara itu, Glagah Putihpun berkata, "Ki Sanak. Kau tidak berhak membunuhnya. Akulah yang berperang tanding. Purba dan Wisesa ada di tanganku. Jika aku tidak membunuhnya, maka tidak ada orang lain yang berhak membunuhnya. Kecuali jika kalian esok atau lusa, setelah keadaan Putut Witala baik kembali, telah membuka perang tanding sendiri."
Putut Patrajaya itupun menggeram. Namun kemudian iapun segera meninggalkan tempat itu tanpa minta diri.
Beberapa orang cantrik yang lain menjadi bingung. Tetapi mereka merasa kasihan kepada Putut Witala yang sudah kehilangan harga dirinya itu.
Namun Glagah Putih itupun kemudian berkata sekali lagi, "Pergilah. Aku juga akan pergi. Jika terjadi sesuatu pada paman dan bibi, maka guru Punta akan minta bantuan prajurit Mataram yang ada di Jati Anom. Padepokanmu akan diratakan dengan tanah justru saat gurumu tidak ada di padepokan."
Ternyata Glagah Putihlah yang telah pergi lebih dahulu meninggalkan tempat itu, bersama Rara Wulan dan Punta.
Disepanjang jalan, mereka masih membicarakan tingkat kemampuan Putut Witala yang ternyata tidak lebih tinggi dari Punta sendiri.
"Kita hanya mendapat sekadar ancar-ancar," berkata Glagah Putih, "tetapi tidak ada yang menarik perhatian. Semuanya masih pada tataran sewajarnya."
Rara Wulan yang juga berkepentingan mengangguk-angguk. Jika tataran ilmu Witala itu sudah diberi gelar Putut di padepokan itu, maka ilmunya tentu sudah melampaui saudara-saudaranya.
Sebelum senja mereka sudah sampai di rumah Punta. Ayah dan ibu Punta yang sedang duduk di serambi bangkit menyongsong mereka. Dengan nada cemas ayah Punta itupun bertanya, "Darimana saja kalian ngger. Sampai menjelang senja kalian baru pulang."
Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, "Kami berjalan-jalan menyusuri jalan setapak paman. Udaranya terasa sejuk. Pemandangan di lereng Gunung Merapi nampak sangat menarik, sehingga kami menjadi lupa waktu."
"Kalian pergi ke padepokan itu ?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi kemudian ia menggeleng, "Tidak, paman. Kami hanya menemui beberapa orang muridnya untuk berbincang-bincang."
Orang tua itu mengangguk-anggiuk. Namun iapun berkata, "Kau nampak letih ngger."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, "Sedikit, paman."
"Nah, silahkan duduk. Nanti kalau keringat kalian sudah kering, silahkan mandi."
"Ya, paman." "Kau belum mengisi jambangan pakiwan. Punta."
Punta tersenyum. Katanya, "Ya, ayah. Aku akan mengisinya."
Tetapi Glagah Putihpun menyahut, "biarlah aku membantunya, paman."
Demikianlah, keduanyapun duduk beristirahat di serambi samping. Ibu Puntapun kemudian telah menghidangkan minuman hangat bagi mereka bertiga.
"Kapan keringatku kering, jika aku minum minuman hangat ini, ibu?" bertanya Punta.
"Kalau begitu, kau tidak usah menunggu keringatmu kering," sahut ibunya.
Punta tertawa. Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Ketika ibu Punta itu meninggalkan mereka dan kembali duduk di serambi depan bersama suaminya, maka ketiganyapun segera menghirup minuman hangat itu. Sebenarnyalah bahwa mereka memang haus. Apalagi Glagah Putih.
Sementara mereka duduk sambil minum minuman hangat, mereka masih saja berbicara tentang Putut Witala, kemampuannya serta sikap beberapa orang cantrik dari padepokan itu.
"Putut Patrajaya nampaknya agak berbeda dengan Putut Witala," berkata Glagah Putih.
"Ya. Tetapi nampaknya Putut Witala mempunyai wewenang yang lebih besar di padepokan itu," sahut Punta, "mungkin gurunya lebih dekat dengan Putut Witala, atau barangkali Putut Witala itu masih mempunyai sangkut paut darah keturunan dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun bergumam, "Tetapi apakah benar Putut Witala tidak akan mengganggu keluargamu, Punta?"
Punta menggeleng. Katanya, "Tidak. Ia benar-benar tidak akan mengganggu ayah dan ibu. Putut Witala tahu benar akan kekuatan prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara. Jika Ki Untara marah, maka padepokan itu akan benar-benar disapu seperti debu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Kau bertumpu pada kekuatan orang lain."
"Untuk menghadapi orang-orang licik, kadang-kadang kita juga harus berlaku licik."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa berkepanjangan.
Dengan penjajagan itu, maka kebutuhan Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya sudah terpenuhi. Karena itu maka Glagah Putihpun berkata, "Punta. Karena keperluanku datang kemari sudah selesai, maka sebaiknya esok kita kembali saja ke padepokan."
"Jangan esok, kakang. Tetapi lusa."
"Kenapa?" "Rasa-rasanya aku masih ingin tinggal di rumah sehari lagi. Aku ingin benar-benar beristirahat tanpa memikirkan persoalan apapun. Selama aku berada di rumah kali ini, aku justru menjadi tegang. Nah, biarlah esok aku melepaskan ketegangan itu dengan berada di tengah-tengah kawan-kawanku semasa remaja."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata, "Baiklah. Kita akan turun esok lusa."
Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada sehari lagi di rumah Punta. Kepada ayah dan ibu Punta. Glagah Putih dan Rara Wulanpun memberitahukan, bahwa keperluan mereka telah selesai. Sehingga esok lusa mereka akan mintra diri."
"Baiklah ngger. Tetapi jika tugas-tugas yang angger emban telah selesai kelak, aku harap angger singgah lagi kemari. Sebenarnyalah bahwa aku menjadi kesepian setelah anak-anak tinggal di rumah mereka sendiri-sendiri. Semenbtara Punta berada di padepokan."
"Aku akan berusaha paman dan bibi. Kelak, jika tugas-tugasku telah selesai, maka aku akan singgah lagi ke mari."
Sebenarnyalah Punta telah mempergunakan waktunya yang sehari untuk menemui kawan-kawannya yang masih berada di padukuhan. Rasa-rasanya masih asyik juga bergurau dengan mereka. Sebagian dari mereka, bahkan telah berkeluarga. Sedang masih ada juga yang belum.
Tetapi yang sehari itupun segera lewat. Matahari terasa beredar sangat cepat, sehingga tiba-tiba saja senjapun telah turun.
Malam itu, setelah makan malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengutarakan niatnya bahwa esok pagi mereka akan minta diri bersama Punta yang harus kembali ke padepokan.
"Kenapa begitu tergesa-gesa?" bertanya ayah Punta.
"Kami sudah cukup lama berada di sini, paman. Akupun telah mendapatkan bahan-bahan yang memadai. Sementara itu, Punta tidak dapat lebih lama lagi meninggalkan padepokannya."
"Baiklah ngger. Tetapi jangan lupa, pada suatu kesempatan aku harap angger singgah di rumahku ini."
"Tentu paman. Meskipun aku tidak dapat menyebut, kapan aku akan singgah. Tetapi aku harap, aku akan mendapat kesempatan yang cukup untuk tinggal disini bersama Punta."
"Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas kepada angger berdua, nampaknya tugas angger adalah tugas yang cukup berat, sehingga karena itu, maka angger harus melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sangat berhati-hati."
"Baik, paman. Kami berdua mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang paman dan bibi berikan kepada kami untuk membantu tugas-tugas kami."
"Yang aku lakukan tidak ada harganya dibandingkan dengan tugas yang dibebankan di bahu angger berdua."
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin malam maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah dipersilahkan untuk beristirahat. Esok mereka akan menempuh perjalanan menuruni kaki Gunung Merapi pergi ke padepokan kecil di Jati Anom.
"Bukankah hanya sebuah perjalanan yang pendek saja paman. Apalagi jalannya menurun sehingga rasa-rasanya kami tinggal menggelinding saja, sehingga saat matahari sepenggalah, kami sudah sampai di Jati Anom."
Orang tua Punta itu hanya tersenyum saja. Sejenak kemudian, pada wayah sepi uwong, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada dalam biliknya. Demikian pula Punta yang merasa dirinya telah menjadi segar setelah beristirahat sehari penuh.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah tertidur nyenyak.
Pagi-pagi sekali mereka telah bangun. Seperti biasanya, Punta dan Glagah Putih bergantian mengisi jambangan di Pakiwan, sementara Rara Wulan membantu ibu Punta di dapur. Beberapa saat kemudian, setelah mandi, maka merekapun segera berbenah diri.
Ayah dan ibu Punta masih minta Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta sendiri untuk makan pagi. Kemudian menjelang matahari terbit merekapun telah siap untuk berangkat.
Udara di kaki Gunung Merapi itu terasa dingin. Dihutan lereng pegunungan, burung-burung liar berkicau dengan suaranya yang melengking tinggi, seakan-akan sedang menyanyikan tembang untuk menyambut terbitnya matahari pagi
Demikianlah Glagah Putih, Rara Wulan dan Puntapun meninggalkan rumah itu. Kedua orang tua Punta dan kemenakannya yang remaja telah melepas mereka di pintu regol halaman rumahnya.
Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itupun telah menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka memilih jalan yang lain, bukan jalan yang mereka lewati pada saat mereka berjalan naik. Mereka tidak melewati bulak-bulak panjang yang hijau. Padukuhan-padukuhan yang sederhana, tetapi diliputi oleh kehidupan yang tenang dan terasa damai.
Perjalanan mereka memang bukan perjalanan yang jauh. Tetapi seperti ketika mereka berangkat, maka pada saat mereka pulang, mereka memilih jalan yang tidak terlalu dekat dengan barak pasukan Ki Tumenggung Untara. Mereka akan langsung pergi ke padepokan lebih dahulu. Baru kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi menemui Ki Tumenggung.
Ketika mereka melewati pasar, pasar itu nampak cukup ramai. Ada beberapa orang penjual nasi tumpang di pasar itu.
Disudut pasar terdapat dua bengkel pande besi yang membuat peralatan pertanian. Bahkan mereka mampu juga membuat senjata yang sederhana.
Beberapa saat Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta berhenti di depan pasar untuk melihat-lihat. Seorang perempuan menjual beberapa buah golek kayu yang manis dengan sungging yang halus. Sedang disisi yang lain, beberapa orang penjual kain tenun telah menggelar dagangannya.
"Kau darimana Punta. Pagi-pagi sudah berkeliaran di pasar?"
Punta berpaling. Dilihat seorang kawannya berdiri termangu-mangu. Kemudian orang itu masih saja bertanya, "Apakah kau sudah mendapat ijin dari gurumu?"
Punta tertawa. Katanya, "Tentu sudah. Aku diperintahkan oleh guru untuk mesan beberapa alat pertanian."
"Bukankah di padepokanmu ada juga bengkel pande besi dan beberapa orang cantrik juga sudah pandai membuat alat-alat pertanian?"
Punta mengernyitkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Kami memerlukan agak banyak. Sebagian memang akan kami buat sendiri, tetapi sebagian kami masih harus memesan."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Aku juga akan membeli sebatang slumbat besi untuk mengupas kelapa."
"Aku, aku, sudah dari sana," jawab Punta agak gagap. Orang itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian pergi meninggalkan Punta sebelum diperkenalkan dengan Glagah Putih.
Ketika orang itu sudah menjauh, justru Rara Wulanlah yang bertanya, "Siapa orang itu ?"
"Aku sudah lupa, kapan aku mengenalnya. Tetapi ia seorang yang kurang dapat menyesuaikan dirinya. Ia pernah berguru pada seorang yang berilmu tinggi di Mataram. Justru karena itu, ia merasa memiliki banyak kelebihan dari mereka yang berguru di perguruan yang jauh dari kota, sebagaimana perguruan di Jati Anom. Ia sering datang ke padepokan. Berbicara kesana-kemari. Sebenarnya saudara-saudara seperguruanku kurang senang kepadanya, karena ia selalu menggurui. Mengajari dan kadang-kadang mencela apa yang kami lakukan di padepokan kami."
"Tentang olah kanuragan?" bertanya Rara Wulan pula.
"Tentu tidak. Meskipun ia sering datang ke padepokan, ia tidak pernah sempat menyaksikan latihan-latihan yang bersungguh-sungguh di sanggar tertutup atau di sanggar terbuka. Yang pernah dilihatnya adalah latihan-latihan pemanasan bersama-sama para murid dari segala tingkatan di halaman samping padepokan kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun bertanya, "Tetapi bagaimana dengan ilmu orang itu sendiri."
"Mungkin ia memang sudah agak lama berguru. Tetapi masih harus banyak yang dipelajari kalau ingin menempatkan dirinya diantara mereka yang berilmu tinggi."
Di luar sadarnya, Glagah Putihpun berpaling. Ia masih melihat orang itu berdiri di muka pintu gerbang pasar. Nampaknya ia juga sedang memberikan petunjuk-petunjuknya kepada dua orang kawannya yang ditemuinya di pintu gerbang pasar.
Tetapi pembicaraan mereka tidak lama. Kedua kawannya itupun segera meninggalkannya. Agaknya mereka merasa jenuh untuk berbicara dengan orang yang sombong itu.
Punta yang juga memperhatikan orang yang berdiri di depan pintu gerbang pasar itu berkata, "Hanya aku yang kadang-kadang dapat memaksa diri untuk berbicara agak panjang dengan orang itu. Aku dapat menjadi pendengarnya yang baik."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata, "Kau memang seorang pendengar yang baik, Punta. Apapun yang dikatakan orang lain kepadamu."
Punta justru tertawa karenanya.
Demikian, mereka segera melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa langkah. Mereka segera meninggalkan pasar dan berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan yang berbelok ke Utara.
Ketika mereka sampai di padepokan, matahari masih belum sampai ke puncak. Sementara itu, Ki Widura dengan beberapa cantrik pada tataran pertama sedang berada di sanggar. Jika Punta ada di padepokan, kadang-kadang Ki Widura memerintahkan Punta dengan beberapa orang saudara seperguruannya pada tataran tertinggi di padepokan itu, untuk ikut mengawasi pada cantrik dari tataran pertama itu.
Sambil menunggu Ki Widura, maka Punta, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berbaur dengan para cantrik. Glagah Putih dan Rara Wulan lebih senang menyaksikan para cantrik yang secara khusus mendalami pekerjaan pande besi di bengkel. Seorang yang sudah memahami benar-benar pekerjaannya, memberikan beberapa petunjuk kepada beberapa cantrik yang sedang memperdalam ketrampilannya di bengkel itu. Di perapian yang panas sehingga keringat mereka membasahi tubuh mereka.
Para cantrik yang bekerja di bengkel untuk membuat alat-alat pertanian itu telah membuka baju mereka agar mereka tidak merasa seperti dipanggang diatas bara.
Tanpa mengenakan baju, gerak tangan merekapun menjadi lebih cekatan. Yang menggerakkan ububan, lengannya tidak terganggu oleh lengan bajunya.
Ternyata beberapa orang cantrik benar-benar telah cekatan. Mereka mengangkat palu tinggi-tinggi, kemudian terayun menghantam sepotong besi yang sudah membara dengan arahan yang harus dibidik dengan tepat agar alat yang dibuatnya dapat jadi seperti yang diharapkan.
Sementara itu, Puntapun telah memasuki sanggar terbuka. Empat orang cantrik pada tataran yang sudah terhitung tinggi, sedang berlatih memperkokoh kaki mereka secara khusus.
"Bagus," desis Punta, "teruskan. Kakimu akan menjadi anggauta tubuhmu yang sangat berarti."
Keempat cantrik itupun meneruskan latihan mereka. Beberapa saat Punta justru menunggui mereka serta memberikan beberapa petunjuk. Para cantrik itu tidak saja berlatih memperkokoh dan mempercepat gerak kaki mereka secara khusus, tetapi merekapun sekaligus telah melatih keseimbangan mereka juga.
Sedikit lewat tengah hari, maka para cantrik itupun beristirahat. Merekapun pergi ke pakiwan untuk mencuci muka, tangan dan kaki.
Baru kemudian mereka pergi ke dapur untuk makan siang.
Ki Widurapun telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan siang bersamanya. Sambil makan, Glagah Putih dan Rara Wulan menceriterakan perjalanan mereka ke rumah Punta, sehingga Glagah Putih berhasil menjajagi kemampuan Putut Witala.
"Seorang yang telah mendapat gelar Putut, adalah seorang yang telah tuntas ilmunya, ngger. Tetapi ia belum memiliki ilmu sebaik gurunya. Bahkan mungkin masih jauh dari kemampuan gurunya itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka memang menyadari, bahwa ilmu Putut Witala tentu masih jauh dari tingkat ilmu gurunya. Menurut Ki Patih Mandaraka orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati yang juga menyebut dirinya Singa Wana adalah orang yang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, Ki Widurapun berkata pula, "Pangeran Ranapati itu pernah naik lebih tinggi lagi dari padepokannya di lereng Gunung Merapi dan bertapa untuk beberapa lama mempertajam ilmunya. Mungkin iapun telah menjalani ilmunya yang lain yang dapat membuatnya menjadi orang yang sulit dicari tandingnya. Sehingga pada suatu hari, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu meninggalkan pertapaan dan padepokannya mengembara ke Timur."
"Tentu sesudah Pangeran Jayaraga mendapat kedudukan baru di Panaraga."
"Mungkin, Glagah Putih," Ki Widura itupun mengangguk-angguk sambil mengingat-ingat. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kau yakin bahwa kepergian orang yang disebut Pangeran Ranapati itu ada hubungannya dengan tugas Pangeran Jayaraga di Panaraga?"
"Tidak, ayah. Ki Patihpun tidak. Tugasku adalah mencari orang yang menamakan diri Pangeran Ranapati itu dan membawa pulang ke Mataram. Kecuali jika di lapangan aku menemukan alasan yang kuat bahwa aku tidak perlu membawanya pulang."
"Atau kalau terjadi kecelakaan, "sambung Rara Wulan, "kecelakaan itu dapat saja terjadi pada kedua belah pihak."
Ki Widura menarik nafas panjang. Katanya, "Kalian harus berhati-hati. kalian harus selalu berdoa pula, agar kalian berhasil."
"Ya, ayah," jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng. Glagah Putihpun kemudian meneruskan, "Aku minta ayahpun selalu berdoa untuk kami."
"Ya. Aku akan selalu mendoakan kalian berdua." Dalam pada itu. Ki Widurapun kemudian bertanya, "Apakah kau masih akan menemui kakangmu Untara?"
"Ya. Ayah aku akan menemuinya lagi dan sekaligus minta diri. Aku tidak boleh terlalu lama disini. Esok aku akan berangkat ke Timur. Mungkin esok aku masih akan singgah di Sangkal Putung."
Ki Widurapun mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa tugas yang dipikul oleh anak dan menantunya itu adalah tugas yang berat. Namun jika Ki Patih Mandaraka memilih Glagah Putih dan Rara Wulan, tentu bukannya tanpa alasan."
"Sore nanti aku akan menemui kakang Untara," berkata Glagah Putih kemudian.
Setelah beristirahat sebentar, maka Ki Widurapun telah siap pula untuk memasuki sanggar tertutup bersama murid-muridnya pada tataran yang teratas. Diantara mereka terdapat pula Punta yahgjuga sudah ada di Padepokan.
Sementara Ki Widura berada di sanggar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk pergi ke Jati Anom menemui Ki Tumenggung Untara.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di rumah Untara, maka yang menemui mereka adalah Nyi Untara. Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian dipersilahkan duduk di pringgitan.
"Kakangmu berada di barak," berkata Nyi Untara, "biarlah ia dipanggil."
"Tidak usah mbokayu. Biar kami saja pergi ke barak."
"Jadi kalian saja yang akan ke Barak?"
"Ya, mbokayu. Kami juga ingin melihat barak kakang Tumenggung yang belum lama ini baru saja dipugar."
"Ah, tidak dipugar. Hanya sekedar memperbaiki atap yang bocor, dinding yang renggang dan kerusakan-kerusakan kecil lainnya. Sebulan lagi akan datang musim hujan. Jika barak itu tidak diperbaiki secara keseluruhan dan hanya ditambal sulam saja, maka kebocoran atapnya hanya akan berpindah-pindah saja dari satu tempat ke tempat yang lain."
"Bukankah barak kakang Tumenggung juga diperluas?"
"Kakangmu memanfaatkan gumuk kecil di sebelah baraknya untuk membuat sanggar terbuka. Sedangkan di bekas sanggar terbuka yang lama, memang dibangun barak karena barak yang sudah ada sebenarnya terasa terlalu sempit."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan jtupun minta diri untuk menemui Untara di baraknya.
"Nanti, dari barak aku akan singgah kemari."
"Sungguh?" "Sungguh," Rara Wulanlah yang menyahut.
"Aku akan menyediakan minum buat kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan regol halaman rumah Untara. Baraknya terletak tidak terlalu jauh dari rumah Untara.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke barak, maka prajurit yang bertugaspun segera menyampaikannya kepada Ki Tumenggung, karena sebagian besar para prajurit di barak Ki Tumenggung Untara itu sudah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Silahkan," seorang prajurit mempersilahkan mereka memasuki ruang khusus untuk menerima tamu-tamu penting Ki Tumenggung Untara.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah duduk di ruang khusus itu, diterima oleh Ki Tumenggung Untara.
"Kami sudah berusaha untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang lingkungan yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, kakang," berkata Glagah Putih.
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan ketika mereka melihat Ki Tumenggung itu tersenyum. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, "Ya. Kau sudah mendapat keterangan cukup jauh. Kau sudah menjajagi kemampuan salah seorang Putut di padepokan itu. Namun agaknya Putut itu tidak memenuhi keinginanmu, karena Putut itu ternyata terlalu lemah dihadapanmu."
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Dengan serta merta Glagah Putih itupun bertanya, "Darimana kakang Tumenggung mengetahuinya?"
"Ketika kau mengatakan, bahwa kau akan mencari keterangan lebih jauh dan pergi ke rumah cantrik dari padepokan paman Widura, aku telah mengirimkan beberapa orang prajurit sandi untuk mengawasi keadaan."
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Sebelum mereka mengatakan sesuatu, Ki Tumenggung itupun berkata, "Jangan tersinggung. Kau juga prajurit sandi. Tetapi prajuritku adalah prajurit yang sudah berpuluh tahun melakukan tugas sandi. Ia mempunyai pengalaman yang jauh lebih luas dalam tugas-tugas sandi meskipun tingkat ilmu mereka berada pada tataran yang jauh dibawah tingkat ilmu kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun keduanyapun kemudian tertawa pendek. Dengan nada tinggi Glagah Putih itupun berkata, "Kami memang masih harus mentertawakan kemampuan kami dalam tugas sandi."
"Jangan berkecil hati," berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum, "justru karena kalian memiliki ilmu yang tinggi, maka kalian merasa mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin kau hadapi dalam tugas-tugas kalian. Sedangkan petugas sandi yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmumu, akan merasa harus lebih berhati-hati. Mereka harus mengandalkan kemampuan mereka dalam menyamarkan dirinya dalam tugas-tugasnya daripada harus mengandalkan ilmu kanuragan mereka."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata bahwa kecerdikan dan sikap sangat hati-hati, diperlukan sekali dalam tugas-tugas sandi tanpa harus mengandalkan ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu Ki Tumenggung Untara itupun bertanya, "Nah, bagaimana pendapatmu dengan kemampuan salah seorang Putut murid orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu?"
"Seperti yang kakang Tumenggung katakan. Ia masih belum waktunya untuk ditetapkan menjadi seorang Putut yang dihadapan para murid dapat mewakili gurunya."
"Memang Glagah Putih, Hanya dihadapan gurunya. Karena itu, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berani memberikan gelar Putut kepadanya."
"Tetapi dalam keadaan yang mendesak, bukankah ia harus berhadapan pula dengan orang di luar perguruannya."
"Itu jarang terjadi. Atau mungkin dengan sengaja orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu meninggalkan jejak yang samar. Dengan kelemahan yang dapat dilihat pada para muridnya yang sudah digelarinya Putut, maka orang akan mengira, bahwa iapun merupakan seorang guru yang lemah. Tetapi orang itu akan keliru. Pangeran Ranapati bukan orang yang lemah."
"Tetapi Pututnya yang seorang lagi, yang ikut menjadi saksi dalam perang tanding itu, agaknya memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetapi wewenangnya lebih kecil dari Putut Watala, Putut yang turun dalam perang tanding itu."
Ki Tumenggung Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Masih banyak yang harus diketahui."
"Tetapi aku tidak dapat terlalu lama menunggu disini, kakang. Aku harus segera pergi ke Timur. Pangeran Jayaraga sudah berada di Panaraga."
"Baiklah. Tetapi kau belum mempunyai bahan yang cukup banyak. Sementara itu prajurit sandiku juga belum berhasil menemui perempuan yang mengaku ibu dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Orang itu sendiri mengatakan, bahwa ibunya sudah meninggal."
"Ya. Mungkin kakang dapat meneruskan penelusuran itu lewat para prajurit sandi. Jika perlu, aku akan datang lagi untuk mengetahui kebenaran kabar itu."
"Baiklah. Tetapi kau harus sadari, bahwa tugasmu adalah tugas berat. Apalagi jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berhasil membayangi tugas-tugas Pangeran Jayaraga."
"Ya, kakang." "Kapan kau akan berangkat?"
"Esok pagi. Kami berniat untuk singgah di Sangkal Putung. Sudah lama uami tidak pergi ke Sangkal Putung atau mungkin dongeng dari kaki gunung Merapi tentang seorang putera Lembu Peteng dari Panembahan Senapati itu juga terdengar dari Sangkal Putung."
"Sekali lagi pesanku, kalian harus sangat berhati-hati. Kalian jangan terlalu bersandar kepada tingkat ilmu kalian yang tinggi dalam tugas sandi kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Apa yang dilakukan para petugas sandi dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara, yang mempunyai peng alaman yang sangat luas itu, telah mengajarkan kepada mereka, bahwa keberhasilan para prajurit sandi tidak saja tergantung dari kemampuannya, tetapi juga kecerdikan, hati-hati dan kecepatan menanggapi satu persoalan yang tiba-tiba saja dihadapi. Namun lebih dari semuanya itu, kemampuan dan ilmu yang tinggi itu mempunyai berbagai macam peng aruh untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan berbagai macam pesan dari Ki Tumenggung Untara, maka merekapun segera minta diri.
"Aku berjanji kepada mbokayu untuk singgah di rumah kakang. Mbokayu tadi sedang menyiapkan minuman hangat."
Ki Tumenggung Untara tersenyum. Dihatinya ia menyimpan harapan bahwa Glagah Putih akan dapat menjadi seorang prajurit yang tidak kalah dari Ki Rangga Agung Sedayu. Kecerdasannya, ketajaman pandangan, pendapat dan panggraitanya serta ilmunya.
Seperti yang dijanjikan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan memang singgah di rumah Ki Tumenggung Untara sejenak. Nyi Tumenggung sudah menyediakan minuman yang sudah siap dituang. Demikian tamunya itu datang, minuman itu baru dituang di mangkuk agar tidak dingin.
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di pringgitan rumah Ki Tumenggung. Mereka mendengar bahwa Sabungsari masih belum kembali ke barak justru dari Nyi Tumenggung.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak begitu lama berada di rumah Ki Tumenggung. Setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan yang telah disediakan, maka merekapun minta diri.
"Kenapa kalian begitu tergesa-gesa. Kenapa kalian tidak menunggu kakangmu pulang dari barak?"
"Bukankah kami sudah menemuinya di barak."
"Tetapi tentu sekedar persoalan tugas yang kalian emban. Disini kalian dapat berbicara tentang apa saja."
"Lain kali, mbokayu," sahut Rara Wulan sambil tersenyum, "Kami berharap bahwa kami dapat menjalankan tugas kami dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga kami akan segera dapat datang lagi kemari."
Nyi Tumenggung tidak dapat menahan mereka. Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung.
Di halaman mereka bertemu dengan seorang remaja yang melihat sorot matanya masih sangat muda. Tetapi melihat ujudnya, remaja itu seakan-akan sudah menjadi seorang anak muda yang dewasa.
"Beri salam pada pamanmu," berkata Nyi Tumenggung.
Remaja itupun kemudian membungkuk hormat. Ketika Glagah Putih mengacungkan tangannya, remaja itu menyambutnya kemudian mencium tangan itu. Demikian pula tangan Rara Wulan.
Ketika Glagah Putih menepuk bahu remaja itu, maka iapun mengerutkan dahinya sambil berkata, "Harapan bagi masa mendatang mbokayu."
"Ah, nakalnya bukan main. Kesenangannya bermain-main dengan kuda."
"Satu permainan yang bagus. Apakah ia juga senang berada di sanggar."
"Ya. Bersama ayahnya."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara remaja itupun telah berlari ke pintu seketeng.
"Ia agak kudang mengenal unggah-ungguh. Aku harus lebih keras mengajarinya."
"Ia masih anak-anak, mbokayu."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah keluar dari pintu regol halaman dan turun ke jalan, sementara Nyi Tumenggung melepas mereka sampai di tangga pintu regol halamannya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menyusuri jalan kademangan Jati Anom. Jalan yang sudah dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak.
Di padokan, Ki Widurapun bertanya kepada mereka, apakah mereka benar-benar akan meninggalkan padepokan esok pagi.
"Ya, ayah," jawab Glagah Putih, "Kami akan singgah sebentar di Sangkal Putung, kemudian langsung menempuh perjalanan ke Timur."
"Kalau begitu kalian perlu berbenah diri. Apa saja yang akan kau persiapkan untuk kau bawa esok."
"Tidak ada yang harus dipersiapkan ayah."
Ki Widura tersenyum. Anaknya memang tidak pernah mempersiapkan apa-apa untuk dibawa jika ia pergi mengembara. Yang tidak boleh ketinggalan adalah ikat pinggangnya, sebagaimana Rara Wulan selalu membawa selendangnya. Selendangnya yang sangat khusus baginya.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengadakan pertemuan dengan para cantrik di padepokan kecil itu untuk minta diri.
"Sebenarnya kakang ini mau kemana?" bertanya seorang cantrik.
Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, "Aku adalah seorang pengembara. Karena itu, kerjaku adalah mengembara. Esok aku akan pergi kearah matahari terbit."
Seorang cantrikpun kemudian bertanya, "Kau akan melihat apa yang ada di balik cakrawala, kakang."
"Ya. Aku ingin melihat sarang matahari. Dimana ia tidur dimalam hari."
Para cantrik itupun tertawa.
Namun pertemuan itu tidak berlangsung sampai terlalu larut. Glagah Putih dan Rara Wulan harus beristirahat sebaik-baiknya. Esok mereka akan berangkat pagi-pagi . Singgah di Sangkal Putung sejenak untuk menengok keluarga Ki Demang serta menyampaikan pesan sungkem Ki Rangga Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Mereka masih belum sempat pergi ke Sangkal Putung. Mungkin setelah Ki Rangga selesai memugar baraknya, baru mereka akan dapat pergi ke Sangkal Putung.
Dikeesokan harinya, keduanya bangun pagi-pagi sekali sebelum langit menjadi merah. Keduanyapun segera berbenah diri sebelum mereka bersiap-siap untuk mulai dengan perjalanan panjang mereka. Bukan sekedar perjalanan dan pengembaraan biasa untuk mengenali lingkungan baru bagi keduanya. Tetapi keduanya telah mengusung beban yang cukup berat.
Setelah minum-minuman hangat serta makan pagi yang disiapkan oleh para cantrik, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri.
Ada ketegangan yang nampak membayangi wajah Ki Widura. Ki Widura sadar benar, bahwa anak dan menantunya itu sedang menjalankan tugas yang berat. Mereka harus memburu seorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, yang akan dapat menyalahgunakan nama Panembahan Senapati bagi kepentingannya sendiri.
Sementara itu, Ingkang Sinuhun telah memerintahkan Pangeran Jayaraga untuk memegang kembali kekuasaan di Panaraga.
Ki Widura dan beberapa orang cantrik telah melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padepokan kecil di Jati Anom itu. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak meninggalkannya, maka Ki Widura itu masih berpesan, "Hati-hatilah kalian ngger."
"Doa dan restu ayah akan menyertai kami," sahut Glagah Putih.
"Aku akan selalu berdoa bagi keberhasilan dan keselamatan kalian. Jika kelak kalian kembali, aku ingin segera mendengar kabar kedatangan kalian."
"Ya, ayah. Aku akan segera kemari."
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian meninggalkan padepokan kecn itu. Tujuan pertama mereka adalah Sangkal Putung.
Jarak antara Jati Anom sampai ke Sangkal Putung memang tidak begitu jauh. Wayah pasar temawon, mereka sudah akan sampai ke rumah Swandaru. Mungkin Swandaru akan terkejut melihat kedatangan mereka di wayah pasar temawon.
Disepanjang jalan ke Sangkal Putung menjelang matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mentertawakan sikap Agung Sedayu menjelang masa dewasanya. Agung Sedayu sangat takut kepada hantu yang tinggal di randu alas, yang disebut hantu bermata satu, meskipun ia tahu, bahwa yang disebut mata satu itu adalah bekas cabang yang telah patah. Tetapi Agung Sedayu selalu membayangkan bahwa bekas cabang yang patah itu sebenarnya mata dari hantu bermata satu.
Namun di pagi hari, menjelang matahari terbit, terasa perjalanan ke Sangkal Putung itu justru menyegarkan tubuh mereka. Udara yang sejuk, kicau burung liar di pepohonan serta jalan yang menurun, rasa-rasanya membuat perjalanan mereka menjadi semakin cepat.
Sebenarnyalah sedikit lewat wayah pasar temawon, keduanya telah berada di depan regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Rumah yang terhitung besar di atas halaman yang luas.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang yang baru sibuk memotong dahan-dahan kayu yang sudah nampak tua serta daunnya mulai menguning di halaman sebelah pendapa segera menyongsongnya.
"Kalau tidak salah, bukankah ini angger Glagah Putih dari Jati Anom?" bertanya orang itu yang ternyata pernah mengenal Glagah Putih.
"Ya, paman. Apakah kakang Swandaru ada?"
"Ada, ada. Aku akan memanggilnya." Orang itupun segera masuk ke pintu sekoteng. Sejenak kemudian, maka pintu pringgitanpun terbuka.
Swandaru dan Pandan Wangi keluar dari ruang dalam untuk menyambut tamunya yang disebut oleh seorang pembantunya dari Jati Anom.
"Marilah, adi Glagah Putih dan Rara Wulan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera naik ke pendapa dan dipersilahkan duduk di pringgitan.
"Bukankah adi berdua baik-baik saja?" bertanya Swandaru, "dan bagaimana dengan keluarga di Tanah Perdikan serta barangkali adi telah singgah di Jati Anom?"
"Semua baik-baik saja, kakang . Demikian pula keluarga di Jati Anom. Aku memang sudah singgah di Jati Anom menemui ayah dan kakang Untara."
"Sokurlah." "Dan bagaimana dengan kakang?"
Swandaru tersenyum. Katanya sambil berpaling kepada Pandan Wangi, "Kami baik-baik saja sekeluarga, adi."
"Sokurlah. Semoga Yang Maha Agung akan selalu melindungi kita semuanya."
"Semoga adi. Kedatangan adi agak mengejutkan kami. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa. Barangkali adi hanya ingin menengok kami sekeluarga setelah agak lama tidak bertemu."
"Tidak ada apa-apa kakang. Kami memang datang untuk sekedar singgah menengok keadaan kakang Swandaru sekeluarga di Sangkal Putung. Kamipun membawa sungkem kakang Rangga Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah bagi Ki Demang serta salam mereka kepada kakang Swandaru sekeluarga."
"Kalau tidak salah, adi menyebut kakang Rangga Agung Sedayu, begitu?"
"Ya. Kakang Agung Sedayu sudah di wisuda menjadi seorang Rangga."
"Sokurlah. Seharusnya kakang Agung Sedayu sudah mendapatkan pangkat lebih tinggi lagi. Mungkin seorang Tumenggung. Tetapi kakang Agung Sedayu tidak suka memperlihatkan jasanya. Ia lebih senang diam namun melakukan sesuatu yang berarti."
"Ya." Glagah Putih mengangguk-angguk, "namun akhirnya Ingkang Sinuhun menyetujui usul kenaikan pangkatnya."
"Aku akan berusaha untuk dapat mengunjunginya untuk menyampaikan ucapan selamat."
"Kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah juga berniat untuk datang kemari, kakang. Tetapi saat ini kakang Agung Sedayu sedang sibuk memperluas baraknya. Jika kerja itu sudah selesai, maka kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah akan mengunjungi Ki Demang."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Ayah memang sangat mengharapkan mereka datang. Sekarang ayah sudah hampir pikun. Biarlah aku minta ayah menemui adi Glagah Putih."
"Sudahlah, kakang. Jika Ki Demang sedang beristirahat. Sungkem kami berdua saja nanti kakang sampaikan."
"Tidak apa-apa adi," Pandan Wangilah yang menyahut, "ayah masih nampak kuat. Tetapi penglihatannya sudah agak berkurang."
Pandan Wangilah yang kemudian bangkit berdiri dan masuk ke ruang dalam. Selain mempersilahkan Ki Demang, Pandan Wangipun telah minta pembantunya untuk mempersiapkan hidangan bagi tamu-tamunya.
Sejenak kemudirn Ki Demang telah keluar dari pintu pringgitan dibimbing oleh Pandan Wangi. Sambil duduk Ki Demangpun bertanya, "Angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan?"
"Ya, Ki Demang," sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.
"Inilah keadaanku sekarang, ngger. Mataku sudah mulai buram. Tetapi pendengaranku masih baik. Aku langsung dapat mengenali suara angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan, meskipun penglihatanku atas angger berdua sudah tidak begitu jelas lagi."
Ki Demangpun kemudian mulai bertanya tentang keselamatan keluarga anak dan menantunya di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika kemudian Glagah Putih menceritakan bahwa Agung Sedayu sudah diwisuda menjadi seorang Rangga, maka Ki Demarigpun nampak menjadi gembira.
Untuk beberapa lama Ki Demang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan di pringgitan. Ketika kemudian seorang pembantu menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka Ki Demang itupun berkata, "Silahkan angger berdua. Aku akan beristirahat di serambi. Setiap pagi aku berjemur di panasnya matahari di serambi."
"Silahkan, silahkan Ki Demang," sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng pula.
Ketika Ki Demang sudah tidak lagi duduk bersama mereka di serambi, maka Glagah Putihpun mulai berbicara tentang tugas yang diembannya. Ia percaya bahwa Swandaru dan Pandan Wangi tidak akan membocorkan rahasianya, karena merekapun tahu tentang tugas-tugas yang harus dirahasiakan.
Swandaru dan Pandan Wangi mendengarkan ceritera Glagah Putih dan Rara Wulan itu dengan seksama. Sekali-kali mereka mengangguk-angguk. Namun kemudian Swandaru itu menyela, "Kami sudah meragukan, bahwa orang itu benar-benar putera Panembahan Senapati. Meskipun aku belum mengenal langsung orangnya, tetapi serba sedikit aku pernah mendengar tentang orang itu."
"Apa saja yang pernah kakang dengar."
"Salah seorang isterinya tinggal di kademangan ini."
"Salah seorang isterinya?" bertanya Glagah Putih dengan serta-merta.
"Ya. Untuk beberapa lama ia berada di padepokan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu. Tetapi ketika Pangeran Ranapati itu pergi meninggalkan padepokannya, maka perempuan itu pulang ke rumahnya." Pandan Wangilah yang menjawab, "dengan bangga isterinya sering menceritakan tentang suaminya yang diyakininya sebagai seorang Pangeran, meskipun pengakuannya masih harus diperjuangkan. Menurut isterinya, kepergian Pangeran itu dalam rangka usahanya untuk mendapatkan pengakuan tentang kenyataan dirinya."
"Kenapa perempuan itu meninggalkan padepokan?"
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Perempuan itu memang agak banyak berbicara. Baik tentang dirinya sendiri, maupun tentang suaminya. Ia meninggalkan padepokan itu karena isteriisteri orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu saling mendengki. Saling iri dan bahkan saling memfitnah. Menurut perempuan itu, tentu saja bahwa ia adalah orang terbaik diantara beberapa orang isteri orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Karena itu, pada saat suaminya tidak ada di padepokan, ia lebih baik pulang ke rumahnya saja."
Rara Wulanpun kemudian bertanya, "Apakah perempuan itu juga berceritera tentang tujuan kepergian suaminya" Untuk apa dan barangkali perempuan itu menyebut, kemana?"
"Perempuan itu tidak tahu, suaminya akan pergi kemana. Tetapi seperti aku katakan tadi, menurut perempuan itu, suaminya sedang berusaha membuka tabir kebenaran tentang dirinya, bahwa ia adalah seorang Pangeran, putera Panembahan Senapati."
"Jadi perempuan itu tidak pernah menyinggung kemana suaminya pergi?"
"Tidak. Entahlah jika ia berceritera kepada orang lain."
Swandarupun menyambung pula, "Mungkin suaminya memang tidak pernah mengatakan kepadanya, apa yang akan dilakukannya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja Swandaru itupun berkata kepada Pandan Wangi, "Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan masalah-masalah pribadi. Tetapi bukankah hampir semua orang mengatakan, bahwa Nyi Mas Saminten mempunyai hubungan yang khusus dengan Sumirat?"
"Kata orang, kakang. Tetapi aku juga tidak begitu memperhatikan persoalan-persoalan pribadi seperti itu."
"Nyi. Kita memang tidak akan berurusan dengan masalah pribadi diantara mereka. Tetapi dalam hubungan tugas adi Glagah Putih, mungkin Sumirat yang dikatakan orang menjadi sangat dekat dengan Nyi Mas Saminten itu dapat membantu. Hubungan antara Sumirat dan Saminten, menurut kata orang, berlangsung sejak Saminten kembali dari padepokan Pangerannya itu."
Padan Wangi termangu-mangu sejenak. Nampak ada keseganan di wajahnya, bahwa seakan-akan ia harus mencampuri persoalan yang sangat pribadi itu.
Namun Swandaru itupun kemudian berkata, "Bagaimana pendapatmu Nyi, bahwa aku akan mempergunakan hakku sebagai pemangku jabatan Demang di Sangkal Putung, untuk minta keterangan kepadanya tentang hubungannya dengan Saminten."
Pandan Wangi menarik napas panjang. Tetapi iapun berkata, "Untuk satu kepentingan yang lebih besar, dapat saja kakang melakukannya."
Swandaru itupun kemudian bergumam, seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri, "Baik. Aku akan memanggilnya dan minta beberapa keterangan kepadanya tentang hubungannya dengan Nyi Mas Saminten. Sebagai seorang yang melaksanakan tugas ayah, aku dapat saja menganggap bahwa yang dilakukannya itu adalah satu tindakan yang kurang pantas. Apalagi Sumirat sendiri masih terikat dalam hubungan keluarga. Ia inasih mempunyai isteri dan anak yang menjadi tanggungannya."
"Kakang Swandaru akan memanggilnya?" bertanya Glagah Putih agak ragu.
"Ya. Jika adi memerlukannya. Mungkin ada sedikit tambahan keterangan tentang orang itu."
"Baik, kakang. Aku akan menunggu."
Swandaru itupun kemudian mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ruang dalam, sementara itu, Swandaru telah memerintahkan seorang pembantunya untuk memanggil seorang laki-laki yang bernama Sumirat- Seorang laki-laki tampan yang masih terhitung muda, meskipun ia sudah mempunyai dua orang anak.
Sumirat memang agak terkejut ketika seorang pembantu Swandaru yang menjalankan tugas Demang di Sangkal Putung mendatanginya menyampaikan panggilan kepadanya untuk menemui Swandaru.
"Ada apa?" bertanya Sumirat.
"Entahlah. Aku tidak tahu. Ki Swandaru tidak mengatakan apa-apa, kecuali memerintahkan kepadaku untuk memanggil Ki Sumirat menghadap pagi ini."
Meskipun dengan jantung yang berdebaran, maka Sumiratpun segera menghadap Ki Swandaru di rumah Ki Demang Sangkal Putung.
"Ada apa, kakang?" bertanya Sumirat demikian ia duduk di pringgitan. Bersama Swandaru dan Pandan Wangi.
"Sebelumnya aku minta maaf, Sumirat. Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalan-persoalan pribadi. Tetapi kau tahu sendiri, bahwa lingkungan kita masih kuat dibayangi oleh adat yang turun temurun dari nenek moyang kita. Sebenarnya aku tidak ingin menyalahkanmu. Tetapi aku hanya ingin menyampaikan keluhan-keluhan tetangga-tetangga kita kepadaku."
Sumirat itu menarik napas panjang. Ia segera menyadari, bahwa yang dimaksud Swandaru tentu hubungannya dengan Nyi Mas Saminten, yang sedang ditinggal pergi suaminya.
Karena itu, maka Sumirat itupun langsung saja bertanya, "Maksud kakang, hubunganku dengan Nyi Mas Saminten?"
Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, "Ya. Sebenarnya aku sudah lama ingin memperingatkanmu, bahwa hubungan seperti itu hanya akan mendatangkan persoalan saja. Sumirat. Semua orang pernah mengalami satu masa dimana otaknya diselubungi oleh kegelapan. Nah, hal seperti inilah yang ingin aku sampaikan kepadamu."
Sumirat memang merasa tersinggung. Tetapi ketika ia menatap wajah Swandaru, ia tidak menangkap kesan bahwa Swandaru itu sedang marah. Ia melihat wajah Swandaru tetap tenang dan bahkan ia justru melihat sikap kebapaan.
"Sumirat," berkata Swandaru, "disini ada Pandan Wangi. Aku tidak ingin mengaku bahwa aku adalah orang yang putih bersih tanpa cacat. Tetapi hubunganmu dengan Nyi Mas Saminten itu perlu kau renungkan kembali. Bukankah Nyi Mas Saminten itu isteri seorang Pangeran yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang besar?"
Sumirat itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, "Bukan aku yang mulai, kakang."
"Tetapi bukankah kau tahu, bahwa suami Nyi Mas Saminten itu adalah Pangeran Ranapati, putera Panembahan Senapati?"
"Ya, kakang." "Nah, jika setiap orang membicarakan hubunganmu, apakah pada suatu ketika Pangeran Ranapati tidak akan mendengarnya" Padahal Pangeran Ranapati adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi."
"Tetapi Pangeran Ranapati itu tidak ada di padepokannya. Juga tidak ada di pertapaannya."
"Ia sekarang sedang pergi. Tetapi bukankah ia akan kembali lagi ke padepokannya atau ke pertapaannya."
Sumirat termangu-mangu sejenak. Namun kemudiaan katanya, "Kemungkinan itu kecil sekali, kakang. Menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati itu sedang menuntut haknya sebagai seorang Pangeran. Jika Pangeran Jayaraga mendapat tugas di Panaraga, serta Pangeran yang lain mendapat kedudukan yang baik, kenapa Pangeran Ranapati tidak. Karena itu, maka Pangeran Ranapati itu pergi meninggalkan pertapaannya."
"Bukankah jika Pangeran Ranapati itu berhasil, ia akan kembali untuk mengambil isteri-isterinya?"
"Kenapa harus mengambil isteri-isterinya yang dari padesan dan padukuhan disekitar padepokannya" Ia tentu akan mengambil puteri-puteri bangsawan untuk dijadikan isterinya dan melupakan isteri-isterinya yang ditinggalkan di padepokan."
"Mungkin dari satu sisi, memang tidak ada persoalan, Sumirat," sahut Pandan Wangi, "tetapi kau harus memikirkan isteri dan anak-anakmu" Di samping itu, hidup dalam satu lingkungan kau tidak dapat menutup mata dan menutup telinga. Kau harus juga menghiraukan sikap orang-orang disekitarmu."
Sumirat menarik nafas panjang. Sementara Swandaru itupun berkata, "Sumirat. Bagaimanapun juga, kau harus tetap memperhatikan Pangeran Ranapati."
Sumirat masih saja termangu-mangu . Namun kemudian katanya, "Ada dua pilihan yang akan dihadapi oleh Pangeran Ranapati. Mukti atau mati. Yang manapun yang akan didapatkannya, menurut Nyi Mas Saminten, memastikan bahwa Pangeran Ranapati tidak akan kembali. Jika ia berhasil mukti, maka ia akan berada di Mataram. Ia akan mengambil puteri-puteri keraton untuk dijadikan isterinya. Ia tidak akan menghiraukan lagi Nyi Mas Saminten, apalagi Nyi Mas Saminten tidak mempunyai anak sama sekali. Sedangkan kalau mati, ia justru akan semakin jelas."
"Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pangeran Ranapati sekarang, sehingga ia dihadapkan pada pilihan, mukti atau mati."
"Tidak seorangpun yang tahu. Tetapi menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati itu telah pergi ke Timur."
"Ke Timur untuk apa?"
"Tidak ada yang tahu."
"Apakah ada hubungannya dengan Pangeran Jayaraga yang mendapat tugas di Panaraga?"
Sumirat menarik nafas. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, "Aku tidak tahu pasti, kakang. Namun menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati memang sering menyebut nama Pangeran Jayaraga yang bertugas di Panaraga. Tetapi aku tidak tahu, dalam hubungan apa Pangeran Ranapati menyebut nama Pangeran Jayaraga itu."
Swandaru itupun mengangguk-angguk. Sementara Pandan Wangipun berkata, "Sumirat. Apapun yang akan dilakukan oleh Pangeran Ranapati, apakah ia akan mukti atau akan mati, sebaiknya kau tidak menghubungkan dengan sikapmu sebagai seorang suami. Sebagai seorang ayah."
Sumirat menarik nafas panjang.
"Selagi kau masih melihat jalan kembali. Jika pada suatu saat, diluar perhitunganmu, Pangeran Ranapati itu kembali, maka persoalannya akan jauh berbeda. Apalagi jika Pangeran Ranapati itu kembali dengan hati yang kecewa. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan untuk mukti, tetapi ia tidak mati," berkata Pandan Wangi pula.
Sumirat masih saja tetap berdiam diri.
"Sumirat," berkata Swandaru kemudian, "seharusnya kau tahu bahwa Pangeran Ranapati adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Selain itu ia mempunyai sebuah perguruan serta murid-muridnya yang jumlahnya banyak. Jika terjadi apa-apa, maka sebenarnyalah sulit bagiku untuk melindungimu. Karena itu, jika kau mau mendengarkan nasehatku, sebaiknya kau menjauhkan diri dari Nyi Mas Saminten. Agar tidak terlalu mengejutkan, maka kau dapat melakukannya perlahan-lahan."
Sumirat mengangguk-angguk. Namun ia dapat mengerti nasehat Swandaru dan Pandan Wangi. Jika Pangeran Ranapati itu ternyata tidak mukti tetapi juga tidak mati, maka ia tentu akan menjadi sasaran kekecewaannya jika ia masih berhubungan dengan Nyi Mas Saminten.
Karena itu, maka Sumirat itupun berkata, "Baiklah, kakang dan mbokayu. Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk dapat menuruti nasehatmu. Pangeran Ranapati memang sangat menakutkan."
"Bagus. Aku berharap bahwa tidak akan terjadi apa-apa atas dirimu. Agar tidak menimbulkan gejolak diliati Nyi Mas Saminten, kau dapat melakukannya sedikit demi sedikit."
"Ya, kakang. Aku tidak ingin terjerumus dalam kesulitan karena hubunganku dengan Nyi Mas Saminten."
Demikianlah Sumiratpun kemudian minta diri. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa permainan yang dilakukan itu adalah permainan yang sangat berbahaya. Pangeran Ranapati sebagaimana dikatakan oleh Swandaru, adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Swandaru sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi pula, tetapi agaknya Swandaru tidak akan bersedia untuk mempertaruhkan nyawanya apabila Pangeran Ranapati menjadi sangat marah kepada Sumirat. Apalagi dalam persoalan ini, Sumiratlah yang telah bersalah.
Sepeninggal Sumirat, maka Swandaru dan Pandan Wangi telah menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil tersenyum Swandaru berkata, "Ada dua hasil yang sekaligus kami dapatkan. Yang pertama, kita dapat meyakini bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memang pergi ke Timur. Bahkan agaknya memang ada hubungannya dengan penetapan Pangeran Jayaraga untuk menjadi penguasa di Panaraga. Kemudian, kami dapat menyadarkan bahwa tindakan Sumirat itu memang keliru."
Candle Light Dinner 1 Sapta Siaga 01 Serikat Sapta Siaga Bumi Cinta 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama