16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 23
"Kita harus mulai dari permulaan," sahut Sumbaga.
"Tidak," berkata Glagah Putih, "setidak-tidaknya kita sudah tahu, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berada di Panaraga."
"Bukankah sejak semula ia memang pergi ke Panaraga?"
"Diduga demikian. Pangeran Ranapati itu meninggalkan padepokannya begitu Pangeran Jayaraga berada di Panaraga. Tetapi bukankah waktu itu kita tidak tahu bahwa Pangeran Ranapati itu benar-benar pergi ke Panaraga" Namun sekarang kita tahu pasti, bahwa Pangeran Ranapati itupun benar-benar telah pergi ke Panaraga."
"Jejaknya sudah jelas, bahwa Pangeran Ranapati berada di Panaraga."
"Tetapi itu belum berarti bahwa Pangeran Ranapati sekarang berada di Panaraga."
"Maksud Ki Glagah Putih?"
"Pangeran Ranapati itu masih mampu bergerak dengan cepat. Mungkin saja ia justru telah meninggalkan Panaraga."
"Jika demikian, apa pun maksudnya pergi ke Panaraga jika ia kemudian harus pergi?"
"Itulah yang harus kita ketahui," sahut Glagah Putih, "tetapi mungkin pula ia masih berada di Panaraga. Bahkan mungkin Pangeran Ranapati sudah membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga dengan mengaku sebagai putera Panembahan Senapati yang mengasingkan diri di sebuah padepokan sehingga saudara-saudaranya tidak mengenalnya."
"Ya. Ada banyak kemungkinan," sahut Sumbaga.
"Besok aku masih akan memperkenalkan Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan dengan lingkungan ini, agar jika terjadi sesuatu, mereka telah menguasai medan. Tugas yang harus kita lakukan adalah tugas yang mengandung banyak sekali kemungkinan."
"Baiklah. Jika kakang Madyasta masih akan n lihat-lihat lingkungan ini, maka aku dan kakang Sungk a akan melanjutkan usaha kami untuk menelusuri jejak orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Mungkin kami akan mengulangi penelusuran kami. Kami akan melihat kembali batu lempeng yang menurut ceritera orang dipergunakan oleh Pangeran Ranapati untuk bermalam sebelum memasuki Panaraga. Pangeran Ranapati sendiri telah memerintahkan orang-orang disekitarnya membuat pagar kayu disekeliling batu itu. Mungkin kami menemukan petunjuk, kemana Pangeran Ranapati itu setelah meninggalkan tempatnya bermalam di batu lempeng itu.
"Hati-hatilah. Mungkin Pangeran Ranapati mempunyai maksud tertentu dengan membuat petilasan-petilasan seperti itu."
"Baik, kakang. Kami akan berhati-hati." Menjelang tengah malam, maka Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun meninggalkan rumah yang dihuni oleh Sungkana dan Sumbaga. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Namun agaknya Madyasta telah menguasai lingkungan itu, sehingga ia dapat mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan menghindari gardu-gardu peronda dan agar mereka tidak harus terlalu banyak menjawab pertanyaan anak-anak muda yang sedang meronda.
Demikian mereka sampai di rumah Madyasta, maka Madyastapun segera mempersilahkan keduanya untuk beristirahat.
Di dalam biliknya yang cukup luas dengan sebuah amben yang cukup luas pula bagi mereka berdua, Glagah Putih dan Rara Wulan tetap saja berhati-hati.
"Tidurlah dahulu," berkata Glagah Putih, "nanti jika aku sudah mengantuk sekali, kita akan bergantian."
"Ini sudah tengah malam kakang. Nanti kakang tidak sempat tidur."
"Tentu ada kesempatan. Nanti aku akan membangunkanmu."
Rara Wulan mengangguk. Iapun menyadari bahwa Glagah Putih ingin berhati-hati. Mereka berada di tempat yang sebelumnya tidak mereka kenal. Orang yang bernama Madyasta itupun hanya mereka kenal karena sebutan sandinya serta pertanda pada ikat pinggangnya.
Ketika Rara Wulan kemudian membaringkan dirinya diatas tikar pandan yang putih dan bergaris-garis biru, maka Glagah Putihpun duduk bersandar dinding.
Ternyata sejenak kemudian, Rara Wulanpun telah tertidur . Ia memang terlalu yakin akan perlindungan Glagah Putih.
Sehingga karena itu, maka Rara Wulan tidak mempunyai kecemasan sedikitpun juga. Dengan demikian, maka Rara Wulanpun segera dapat tidur nyenyak.
Sementara itu, malampun menjadi semakin sepi. Di bilik yang lain, terdengar Madyasta tidur mendengkur.
Ketika terdengar ayam jantan berkokok di dini hari, maka sebelum Glagah Putih membangunkannya, ternyata Rara Wulan telah bangun. Iapun kemudian duduk di bibir pembaringan sambil membenahi rambutnya.
"Beristirahatlah kakang. Aku sudah terlalu lama tidur."
"Belum. Kau belum lama tidur. Kau dengar ayam jantan berkokok itu. Bukankah waktunya masih dini hari."
"Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
Glagah Putih mengangguk. Glagah Putihpun sangat mempercayai Rara Wulan. Glagah Putih sadar, bahwa Rara Wulan memiliki kemampuan hampir sama seperti dirinya sendiri.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian yang membaringkan dirinya. Rara Wulanlah yang kemudian duduk bersandar dinding.
Ternyata dalam waktu singkat, Glagah Putihpun telah tertidur pula.
Namun Glagah Putih hanya sempat tidur beberapa saat. Ketika bayangan fajar mulai nampak di langit, iapun telah terbangun. Keduanyapun segera pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba mengisi jambangan. Derit senggot timba terdengar memecah sepinya dini hari menjelang fajar.
Beberapa saat kemudian, Madyastapun mulai terbangun pula. Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai mandi, maka Madyastapun telah pergi ke pakiwan pula.
Sejenak kemudian, terdengar derit sapu lidi di rumah sebelah. Ayam-ayam sudah turun dari kandangnya. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan, bernyanyi menyambut fajar pagi.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah mencari sapu lidi pula. Ada satu sapu lidi yang bertangkai, dan ada lagi yang tidak bertangkai. Karena itu, maka Glagah Putih dapat menyapu halaman bersama-sama. Glagah Putih dengan sapu lidi yang bertangkai, sementara Rara Wulan mempergunakan sapu lidi yang tidak bertangkai.
Madyasta sendiri justru segera pergi ke dapur untuk merebus air.
Tetangga sebelah menjadi agak heran mendengar suara sapu lidi di halaman rumah Madyasta, sementara asap mengepul di dapur. Jarang sekali Madyasta menyapu halaman, sehingga halamannya kadang-kadang nampak agak kurang bersih.
Tetapi hari itu, dua orang telah menyapu halaman depan.
Beberapa saat kemudian, setelah minuman selesai dituang, maka mereka bertigapun duduk di ruang depan. Madyastapun telah memberitahukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa mereka akan pergi berjalan-jalan meneruskan pengenalan mereka terhadap lingkungan di Panaraga.
Ketika matahari mulai naik, maka Madyasta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol halam an rumahnya, turun ke jalan. Mereka akan mulai berjalan mereka untuk melihat-lihat keadaan dan lingkungan.
Seorang perempuan separo baya yang kebetulan berdiri di regol halaman rumahnya, ketika melihat Madyasta lewat telah bertanya, "Masih pagi. Mau kemana ngger?"
"Ke pasar bibi," sahut Madyasta.
"Siapakah kedua orang ini" Aku belum pernah melihat sebelumnya."
"Sepupuku, bi. Mereka datang kemarin sore. Sudah lama kami tidak saling berkunjung."
"Apakah mereka suami isteri?"
"Ya, bibi." "Menyenangkan melihat sepasang suami isteri yang nampak serasi. Kapan-kapan singgah di rumahku ini ngger."
"Baik bibi," Rara Wulanlah yang menyahut, "pada kesempatan lain kami akan singgah."
"Apakah kalian akan lama tinggal di sini?"
"Mungkin bibi. Tetapi tentu tidak lama sekali." Demikianlah ketiganyapun segera melanjutkan perjalanan mereka untuk melihat-lihat lingkungan.
Sementara Madyasta telah meninggalkan rumahnya, Sumbaga masih duduk sambil memeluk lututnya menghadapi minuman hangat yang telah disiapkan oleh Sungkana.
"Cepat mandi," berkata Sungkana, "bukankah kita akan pergi ke batu lempeng yang sekarang dipagari itu?"
"Nanti dulu, kakang. Aku sedang menikmati minumanmu ini."
"Lihat, matahari sudah mulai naik."
"Bukankah kita tidak berurusan dengan matahari."
"Mumpung masih pagi. Kalau kau tidak segera mandi, aku akan pergi sendiri."
Sumbaga menggeliat. Ia masih minum beberapa teguk lagi. Baru kemudian ia bangkit berdiri. Tetapi Sumbaga tidak pergi ke pakiwan. Seperti biasanya ia lebih senang pergi ke sungai. Di sungai ia tidak perlu menimba air. Ia dapat mandi dengan air sebanyak apapun.
Baru kemudian, setelah matahari sepenggalah Sumbaga itu siap untuk berangkat.
Keduanyapun berjalan dengan cepat menuju ke pintu gerbang kota. Merekapun kemudian mengikuti jalan utama keluar dari kota. Mereka menuju ke sebuah petilasan yang dibuat oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Ia sendirilah yang membuat tempat itu menjadi tempat yang dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Dengan membuat pagar di sekitarnya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah menjadikan tempat itu mendapat perhatian lebih dari tempat-tempat di sekitarnya.
Jejak terakhir yang dapat diketahui oleh Sungkana dan Sumbaga dari orang yang menyebut Pangeran Ranapati itu adalah watu lempeng itu. Batu yang pipih, tetapi cukup lebar dan cukup panjang untuk tidur. Di atas batu itu, dibawah sebatang pohon preh tua yang besar, orang yang menyebut Pangeran Ranapati itu tidur di malam terakhir perjalanannya sebelum ia memasuki pintu gerbang Panaraga.
Namun setelah itu, maka Sungkana dan Sumbaga telah kehilangan jejak.
Sebelum tengah hari, Sungkana dan Sumbaga telah berada di dekat watu lempeng itu. Mereka duduk di atas akar preh raksasa yang tumbuh di dekat watu lempeng itu, sehingga daunnya yang rimbun menaungi batu yang pipih itu.
Tetapi pohon itu sendiri berada di luar pagar yang mengelilingi watu lempeng itu.
Ketika mereka melihat seorang tua yang sedang mencari kayu bakar disekitar tempat itu, maka Sungkanapun telah memanggilnya.
"Duduklah sebentar, kang," berkata Sungkana.
"Ada apa Ki Sanak."
"Aku ingin tahu, kenapa batu ini dipagari." Orang tua yang sedang mencari kayu bakar itu termangu-mangu sejenak. Namun Sungkanapun berkata, "Kau tidak usah mencari kayu bakar hari ini, kang. Kau dapat membeli saja kayu bakar yang sudah siap disurukkan kedalam perapian."
"Aku tidak mempunyai uang, Ki Sanak."
"Aku punya. Aku akan memberimu uang untuk membeli kayu bakar itu."
Orang itupun kemudian duduk pula diatas akar pohon preh yang besar itu.
"Kakang, kami ingin tahu, kenapa batu ini dipagari. Bahkan pagar kayu yang baik dan kokoh."
"Batu ini merupakan satu petilasan, Ki Sanak."
"Siapakah yang telah wafat disini?"
"Bukan petilasan dalam arti makam seseorang yang telah wafat Ki Sanak."
"Jadi?" "Tempat ini pernah dipergunakan oleh seorang Pangeran yang sedang lelana seorang diri untuk beristirahat. Bahkan bermalam dan tidur di batu yang pipih itu. Karena itu, maka Pangeran itu telah menghubungi Ki Bekel dan memerintahkan membuat pagar yang baik dan kokoh disekitar batu itu. Pangeran itu telah memberikan uang cukup kepada Ki Bekel untuk pembuatan pagar kayu ini."
"Siapakah nama Pangeran itu?"
"Pangeran Ranapati. Ia adalah putera Panembahan Senapati di Mataram."
"Lalu sekarang, kemanakah Pangeran itu pergi?"
"Pangeran itu akan pergi ke Panaraga. Di Panaraga telah diangkat adiknya untuk menjadi penguasa."
"Apakah Pangeran Ranapati itu akan menyusul adiknya yang menjadi penguasa di Panaraga?"
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak tahu."
"Ketika pagar ini dibuat, apakah Pangeran Ranapati itu menungguinya?"
"Tidak. Ia hanya meninggalkan uang dan pesan kepada Ki Bekel. Kemudian begitu saja Pangeran itu pergi."
"Kakang tinggal di padukuhan ini?"
"Ya. Aku tinggal di sudut padukuhan itu."
"Setiap hari kakang mencari kayu?"
"Hampir setiap hari. Isteriku juga sudah tua. Kasihan jika tidak tersedia kayu bakar di rumah."
"Kakang tidak punya anak?"
"Ada Ki Sanak. Tetapi sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku mempunyai tiga orang anak. Semuanya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku tinggal berdua saja dengan isteriku yang juga sudah tua."
Sungkana dan Sumbaga itupun saling berpandangan sejenak. Namun Sungkanapun kemudian berkata, "Baiklah kakang. Terima kasih. Anak-anakkupun sudah meninggalkan aku dan isteriku pula, sehingga aku juga tinggal berdua saja di rumah."
"Berapa anakmu Ki Sanak."
"Tujuh." "Tujuh" Berapa sekarang umurmu" Kau tentu lebih muda dari aku."
"Ya. Tetapi hampir setiap tahun anak-anakku mempunyai adik."
"Ah," orang itu menggeleng, "aku tidak percaya. Aku percaya bahwa anakmu tujuh. Tetapi tentu belum semuanya menikah."
Sungkanalah yang tertawa. Iapun kemudian memberikan beberapa keping uang sambil berkata, "Beli sajalah, kang. Kau tidak usah mencari kayu bakar hari ini."
Orang tua itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang tua itu menerima keping-keping uang itu sambil berkata, "Terima kasih."
"Pulanglah. Beristirahatlah hari ini karena kau tidak usah mencari kayu bakar."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah yang sebenarnya ingin kalian ketahui?"
"Petilasan ini dan orang yang telah membuatnya."
"Apakah Ki Sanak berkepentingan dengan Pangeran Ranapati."
"Tidak. Aku hanya ingin mengerti."
Orang tua itupun mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Terima kasih atas pemberian Ki Sanak. Aku akan pulang dan tidur. Sekali-sekali aku ingin tidur di siang hari. Nanti biarlah isteriku membeli kayu bakar di rumah tetangganya yang sering menjual kayu bakar ke pasar. Daripada esok pagi orang itu pergi ke pasar pagi-pagi sekali, tentu lebih baik kalau kayu bakar itu dibeli oleh isteriku."
Laki-laki tua itupun kemudian meninggalkan Sungkana dan Sumbaga yang masih saja duduk di akar pohon preh raksasa itu.
Namun mereka tidak melihat jalur yang dapat menunjukkan jalan untuk mengikuti jejak Pangeran Ranapati.
"Apakah sebaiknya kita pergi menemui Ki Bekel?" bertanya Sumbaga.
"Aku kita tidak akan banyak gunanya. Ki Bekel tentu juga tidak dapat menunjukkan jalur jejak Pangeran Ranapati. Apalagi jika Pangeran Ranapati itu sudah berniat untuk menghilangkan jejaknya dengan tujuan tertentu."
Sumbaga mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya pula, "Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita kembali ke Panaraga. Kita amati jalan dari tempat ini sampai memasuki pintu gerbang. Apakah ada pertanda atau petunjuk apapun tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu."
Keduanyapun segera bangkit berdiri. Perlahan-lahan mereka melangkah meninggalkan batu pipih yang disebut watu lempeng serta dipagari kayu itu.
Namun sebelum mereka melangkah beberapa puluh langkah, merekapun terhenti. Lima orang tiba-tiba saja telah berloncatan dan berdiri di tengah jalan. Seorang di antara mereka adalah orang tua yang tadi diberi uang untuk membeli kayu bakar.
Seorang yang bertubuh kekar dan berdada bidang berdiri di paling depan. Dengan suara yang bergetar iapun bertanya, "Apakah yang kalian cari Ki Sanak?"
Kedua orang yang baru saja mengamati watu lempeng itu saling berpandangan sejenak. Ternyata orang tua itu bukan sedang mencari kayu. Tetapi orang itu justru sedang mengawasi mereka berdua.
Yang kemudian menjawab adalah Sungkana, "Kami tidak sedang mencari apa-apa, Ki Sanak. Kami hanya tertarik pada petilasan itu, sehingga kami ingin tahu, apakah yang sebenarnya berada di dalam pagar itu. Dari orang tua itu kami mendapat keterangan bahwa peti-lasaan itu telah dibuat oleh Pangeran Ranapati. Bukan makamnya, tetapi Pangeran Ranapati pernah beristirahat di tempat itu. Bahkan bermalam dan tidur di atas batu itu."
"Kau tentu tidak hanya sekedar ingin tahu. Kau telah memberi aku uang beberapa keping. Terlalu mahal bagi orang yang sekedar ingin tahu. Kau tentu mempunyai satu maksud tertentu. Bahkan mungkin maksud yang buruk," berkata orang tua itu.
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa."
"Bohong," orang tua yang mengaku mencari kayu itu dengan cepat menyahut.
"Lalu apa kepentinganku dengan sebongkah batu pipih itu?"
"Itulah yang ingin kami ketahui," geram orang yang bertubuh kekar itu.
"Aku sudah memberikan penjelasan Ki Sanak. Kami tidak ingin bermaksud apa-apa. Kami hanya tertarik oleh pagar kayu yang bagus dan kokoh ini. Kemudian selembar batu yang besar dan pipih seperti memang sengaja dibuat."
"Ki Sanak. Untuk mengusut perkaramu, kami terpaksa membawa Ki Sanak berdua."
"Menghadap siapa?"
"Lurahe. Maksudku, pemimpin kami."
"Maaf. Kami tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa. Karena itu, kami merasa berkeberatan untuk ikut bersama Ki Sanak menemui orang yang belum aku kenal."
"Jangan membantah. Ki Sanak. Jika ternyata Ki Sanak tidak bersalah, maka Ki Sanak akan kami biarkan pergi. Tetapi jika Ki Sanak memang kami anggap merugikan kelompok kami, maka kami akan mengambil tindakan."
"Jangan begitu, Ki Sanak. Jangan berbuat semena-mena. Bukankah kami berdua tidak berbuat apa-apa. Apalagi merugikan Ki Sanak dan kelompok Ki Sanak. Coba katakan, kenapa aku merugikan Ki Sanak dan kelompok Ki Sanak."
"Bukan aku yang menentukan apakah kalian bersalah atau tidak. Tetapi pemimpinku."
"Maaf, aku merasa sangat keberatan untuk mengikuti Ki Sanak seperti yang Ki Sanak maksudkan."
"Kalian berdua tidak dapat memilih. Kalian tinggal mengikuti perintahku. Ikutlah kami untuk menghadap kepada pemimpinku yang akan memeriksa Ki Sanak berdua."
Tetapi Sungkana itupun menggeleng, sambil berkata, "Kenapa aku tidak dapat memilih. Tidak. Aku tidak akan ikut bersama Ki Sanak. Ki Sanak tidak berhak memaksa aku mengikuti perintah Ki Sanak, karena Ki Sanak bukan pemimpinku."
"Pemimpin atau bukan pemimpin, kau harus tunduk kepada kami. Jika kalian berkeberatan, maka kami akan memaksa Ki Sanak dengan kekerasan."
"Jangan mencoba memaksakan kehendak terhadap orang lain. Karena orang lain itu dapat juga berbuat seperti Ki Sanak."
"Cukup," bentak orang bertubuh kekar itu. "Aku tidak mau lagi mendengar kalian membantah perintah kami. Ikut kami atau kami akan mempergunakan kekerasan."
"Kami menolak perintah Ki Sanak. Jika Ki Sanak akan mempergunakan kekerasan, maka kamipun akan dapat mempergunakan pula untuk mempertahankan kebebasan sikap kami."
Orang bertubuh kekar itupun tiba-tiba mengangkat tangannya sehingga kawan-kawannyapun segera bergeser. Tiga orang langsung menghadapi Sungkana, sedangkan yang dua orang melangkah mendekati Sumbaga. Kelima orang itupun sadar, bahwa kedua orang itu tentu orang yang memiliki bekal ilmu, sehingga mereka berani menolak perintah mereka yang terdiri dari lima orang.
"Kesempatan Ki Sanak adalah kesempatan terakhir. Ikut kami atau kalian akan menyesal."
"Kalau kami ikut dengan Ki Sanak, justru kami akan menyesal. Karena itu, jangan ganggu kami."
Orang bertubuh kekar itupun segera memberikan isyarat. Kelima orang itupun serentak bergeser dan bersiap untuk bertempur.
Sungkana dan Sumbagapun segera mengambil jarak. Ketika kelima orang itu hampir serentak menyerang mereka, maka Sungkana dan Sumbagapun telah berloncatan pula. Orang yang pertama kali mendekati Sungkana, tiba-tiba telah terdorong surut. Sungkana bergerak dengan cepat sekali. Kakinya tiba-tiba sudah menghantam seorang dari ketiga lawannya.
Pertempuran segera meningkat. Orang-orang yang akan menangkap Sungkana dan Sumbaga itupun segera meningkatkan ilmu mereka. Mereka tidak mau bertempur berkepanjangan. Mereka ingin dengan cepat menyelesaikannya. Membawa kedua orang itu menghadap pemimpin mereka atau jika mereka mengalami kesulitan, maka mereka tidak akan dianggap bersalah jika mereka membunuh saja kedua orang itu.
Tetapi Sungkana dan Sumbaga itu sangat cekatan. Keduanya berloncatan dengan kecepatan yang tinggi, sehingga lawan-lawannya harus segera meningkatkan ilmu mereka pula.
Demikianlah, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Meskipun Sungkana dan Sumbaga harus menghadapi lima orang sekaligus, tetapi keduanya tidak segera dapat dikuasai oleh lawan-lawannya. Jika lawan-lawannya mencoba untuk mengepungnya, maka tiba-tiba Sungkana dan Sumbaga sudah berada di luar kepungan. Sementara itu jika Sumbaga harus bertempur melawan dua orang lawan, maka kedua orang lawannya itu harus mengerahkan kemampuan mereka untuk bertahan dari serangan-serangan Sumbaga yang cepat. Sedangkan Sungkana mampu berloncatan seperti burung sikatan memburu bilalang. Bahkan kadang-kadang ketiga orang lawannya itu menjadi bingung karena seakan-akan Sungkana itu tiba-tiba saja bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Ketiga orang lawan Sungkana itu ternyata menjadi sangat kesulitan untuk menembus pertahanan Sungkana. Meskipun mereka menyerang dari arah yang berbeda-beda, tetapi Sungkana tetap saja sulit untuk disentuh. Selain pertahanannya yang kokoh dan rapat, maka dengan tangkasnya ia dapat menghindari serangan-serangan lawannya. Bahkan serangan-serangan Sungkana sendiri kemudian datang bagaikan prahara yang menerjang ketiga orang lawannya itu.
Sedangkan kedua orang yang melawan Sumbagapun mulai mengalami kesulitan pula. Bergantian mereka terlempar dari arena. Bahkan ketika seorang yang terpelanting mulai bangkit berdiri, maka kawannya yang seorang lagi justru telah terlempar dan menimpanya, sehingga kedua-duanyapun kemudian telah jatuh terlentang saling menindih.
Dengan cepat keduanya berusaha untuk bangkit berdiri, sementara Sumbaga tidak memburu mereka.
Bahkan seakan-akan Sumbaga sengaja memberi waktu kepada mereka berdua untuk membenahi diri.
Demikian keduanya berdiri, maka keduanyapun menggeram. Keduanya menjadi semakin marah. Mereka beranggapan bahwa lawannya telah dengan sengaja mempermainkan mereka.
"Marilah," berkata Sumbaga, "kalian apa kami yang akan dapat memaksakan kehendak dengan kekerasan."
"Gila," geram salah seorang lawannya, "aku akan membantaimu dan membiarkan tubuhmu dikoyak-koyak oleh anjing liar."
"Kau tidak usah mengancam. Kita sudah terlibat dalam pertempuran. Tetapi jika kau menyerah, maka akupun tidak akan memaksakan pertempuran ini berlangsung lebih lama lagi."
"Kami tidak akan menyerah. Tetapi kami akan membunuhmu."
"Bagus," geram Sumbaga, "kau telah menggelitik perasaanku. Jangan menyesal jika akulah yang akan membantai kalian berdua."
Namun Sumbaga tidak sempat meneruskan kata-kata. Seorang dari kedua lawannya telah meloncat menyerangnya. Kakinya terjurus lurus mengarah ke dadanya.
Tetapi Sumbagapun sangat tangkas. Dengan cepat ia mengelak. Bahkan tangannyapun terayun dengan cepatnya, sehingga dengan jari-jarinya yang merapat, Sumbaga telah menyerang ulu hati lawannya itu.
Lawannya mengaduh tertahan sambil meloncat surut. Tetapi Sumbaga tidak dapat memburunya, karena lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula.
Pertempuranpun segera berlangsung pula dengan sengitnya. Tetapi kedua orang lawan Sumbaga itu seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Serangan-serangan Sumbaga menjadi semakin sering mengenai keduanya berganti-ganti.
Dalam pada itu, lawan Sungkanapun telah menjadi semakin terdesak pula. Seorang di antaranya menjadi sangat kesakitan ketika kaki Sungkana mengenai dadanya, sehingga tubuhnya terdorong dan membentur sebatang pohon.
Sedangkan kedua orang kawannya yang lainpun rasa-rasanya sangat sulit untuk dapat mengatasi keadaan.
Karena itu, maka tiba-tiba saja telah terdengar isyarat dari orang yang bertubuh kekar, yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Isyarat itu tidak perlu diulangi. Dengan cepat orang-orang itupun segera berlari meninggalkan arena pertempuran. Mereka berlari berpencaran dengan arah yang berbeda-beda.
Sungkana dan Sumbaga tidak mengejar mereka. Setelah sedikit membenahi pakaian mereka, keduanyapun segera meninggalkan tempat itu.
"Ternyata tempat ini selalu diawasi, kakang," berkata Sumbaga.
"Ya. Hampir saja kita terjebak. Untunglah bahwa mereka bukan orang-orang yang mrantasi, sehingga kami masih dapat melepaskan diri dari tangan mereka. Jika kami jatuh ke tangan pemimpin mereka, maka kita akan mengalami kesulitan. Kita akan diperas sampai darah kita kering. Jika kita tidak mampu mengatasi tekanan mereka dan sedikit saja berbicara tentang tugas kita, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan kakang Madyasta akan dapat menjadi dog pangamun-amun. Mereka tentu akan berusaha untuk mengambil mereka bertiga. Bahkan tidak mustahil bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ran pati itu akan menangani mereka langsung. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu adalah orang yang ilmunya sangat tinggi."
"Tetapi menurut pendengaran kita, Glagah Putih dan Rara Wulan adalah orang-orang yang ilmunya sangat tinggi."
"Bekal mereka memang banyak. Tetapi mereka masih terlalu muda. Kemudaan mereka tentu juga berpengaruh terhadap pengalaman mereka. Meskipun demikian, jika Ki Patih telah menunjuk mereka, maka Ki Patihpun tentu mempercayai mereka. Kita tahu, bahwa penilaian Ki Patih terhadap seseorang tidak pernah keliru."
"Itulah sebabnya, maka Ki Patih menunjuk aku untuk ikut pula dalam tugas ini."
"Ah, macammu." Sumbaga tertawa.
Demikianlah, untuk beberapa saat kemudian merekapun saling berdiam diri. Mereka berjalan cepat menjauhi batu pipih yang nampaknya selalu mendapat pengawasan itu.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah sampai di pintu gerbang kota. Setelah mereka yakin, bahwa tidak ada orang yang mengikuti mereka, maka mereka berduapun langsung pergi ke rumah Madyasta.
"Mudah-mudahan kakang Madyasta sudah ada di rumah," berkata Sungkana.
"Ya. Mudah-mudahan."
Dengan cepat keduanya menyelinap jalan kecil menuju ke rumah Madyasta.
Sebenarnyalah bahwa Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan memang baru saja pulang. Mereka baru saja mengelilingi Panaraga dan sekitarnya.
"Silakan duduk," Madyastapun mempersilahkan kedua orang yang baru saja datang itu.
"Kakang," berkata Sungkana, "hampir saja kami justru terjebak ketika kami melihat petilasan itu."
"Kau baru saja mendatangi petilasan itu?"
"Ya, kakang. Seperti yang sudah kami katakan. Kami akan mencoba menelusuri kembali, jalan dari petilasan itu sampai memasuki pintu gerbang kota. Jika saja kami menemukan sesuatu yang dapat kami pergunakan untuk mendapatkan jejak Pangeran Ranapati yang hilang itu."
"Siapakah yang telah menjebak kalian" " Sungkana dan Sumbagapun kemudian menceriterakan apa yang mereka jumpai dan apa yang merekaa alami di sekitar Batu yang pipih, yang kemudian oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu dipagari.
Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Ceritera itu memang sangat menarik.
Baru kemudian Glagah Putih itupun bergumam, "Dengan demikian maka orang-orang yang mengawasi petilasan itu sudah mengenali kakang Sungkana dan kakang Sumbaga."
"Ya. Mereka telah mengenali kami."
"Agaknya petilasan itu memang dibuat oleh orang yang mendirikan petilasan itu untuk menjebak."
Dengan kerut di dahi Sumbaga itupun bertanya, "Menjebak siapa" Apakah mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sengaja membidik seseorang atau sekelompok orang?"
"Mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu merasa bahwa dirinya akan diikuti oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena itu, maka ia sengaja membuat satu jebakan. Orang-orang yang mengikutinya itu akan kehilangan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Menurut perhitungannya, orang itu tentu akan berusaha menelusurinya kembali dimulai dari petilasannya yang terakhir menjelang pintu gerbang kota Panaraga."
Sumbaga, Sungkana dan bahkan Madyasta itupun mengangguk-angguk. Namun Madyasta itupun kemudian berkata, "Jika benar demikian, maka orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak sendiri di Panaraga. Ia sudah mempunyai kelompok yang dapat digerakkannya setiap saat sebagaimana orang-orang yang menunggui petilasan itu."
"Ya. Karena itu, maka sebaiknya kitapun membatasi hubungan kita. Maksudku, kami bertiga tidak akan terlalu sering berhubungan dengan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, sehingga para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak menghubungkan kami dengan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga. Jika mereka yang mengenali Ki Sungkana dan Ki Sumbaga itu mengetahui bahwa kita saling berhubungan, maka merekapun akan menjadi sangat berhati-hati menghadapi kami bertiga, sementara kami bertiga masih belum mengenali mereka."
"Ya," Sungkana mengangguk-angguk. "Kita harus berusaha membatasi hubungan di antara kita."
"Selebihnya, Ki Sungkana dan Ki Sumbaga harus menjadi lebih berhati-hati. Mungkin mereka berusaha untuk menguasai Ki Sungkana dan Ki Sumbaga untuk memeras keterangan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga untuk siapa Ki Sungkana dan Ki Sumbaga berdua bekerja."
"Ya. Kami memang harus berhati-hati. Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tentu akan berusaha mencari kami berdua."
"Karena itu, jika Ki Sungkana dan Ki Sumbaga akan melakukan tindakan-tindakan penting, beritahu kami. Sebaiknya kalian datang kemari pada saat-saat yang memungkinkan. Dengan demikian, maka kami akan dapat mengawasi Ki Sungkana dan Ki Sumbaga. Dalam keadaan yang memaksa, maka kami akan dapat membantu Ki Sungkana dan Ki Sumbaga meskipun akibatnya kami juga akan mereka kenali."
Ki Sungkana dan Ki Sumbaga mengangguk-angguk.
"Baiklah," berkata Ki Sungkana, "Kami akan sangat berhati-hati."
"Yang penting kami sadari, bahwa kita berhadapan dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang berilmu sangat tinggi. Bukan hanya berhadapan dengan seorang saja."
"Ya. Kita berhadapan dengan sekelompok orang. Kita belum tahu, apakah sekelompok orang itu merupakan kelompok yang kuat atau sekedar kumpulan orang-orang yang siap dikorbankan."
Tetapi orang-orang yang berusaha menangkap Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, agaknya masih tidak terlalu sulit untuk diatasi. Tetapi kita tidak tahu, siapa saja yang berada di belakang mereka. Tetapi setidaknya seorang di antara mereka kita ketahui, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Sejenak mereka terdiam. Nampaknya mereka sedang hanyut oleh gejolak perasaan mereka masing-masing.
Namun tiba-tiba Glagah Putih berkata, "Orang-orang yang menunggui petilasan itu akan dapat menjadi jalur untuk menelusuri dimana orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bersembunyi. Tetapi jalan menuju ke persembunyian orang itu tentu akan merupakan jalan yang sangat rumit."
"Ya," Madyasta mengangguk-angguk. "Rumit dan sangat berbahaya. Mungkin kita berhasil memasuki sarang orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu. Tetapi setelah itu kita tidak dapat keluar lagi."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Rara Wulanlah yang kemudian menyela, "Apakah mungkin aku dapat memasuki sarang mereka, kakang?"
"Kita belum tahu, Rara Wulan. Kita masih harus mengamati keadaan. Mungkin kita membutuhkan waktu yang panjang. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Yang kita hadapi adalah orang yang berilmu sangat tinggi."
"Tetapi kita harus mencari jalan. Sementara itu, kita juga belum tahu, apakah kita dapat berhubungan dengan Pangeran Jayaraga atau tidak."
"Ya. Apalagi jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah lebih dahulu berhasil berhubungan dengan Pangeran Jayaraga."
Kembali mereka terdiam. Glagah Putih dan Rara Wulan yang merasa tidak menemui kesulitan untuk melacak jejak orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu, karena orang itu sengaja meninggalkan jejak di sepanjang perjalanannya, akhirnya mereka sadari, bahwa itu hanyalah sekedar permainan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Jika saja orang itu mengetahui betapa Glagah Putih dan Rara Wulan itu kebingungan setelah mereka dengan lancar mengikuti jejaknya, ia tentu akan mentertawakannya.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan bukan orang yang mudah kecewa dan putus asa.
Mereka berdua akan mengerahkan segenap kemampuan mereka dan bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan ke pundak mereka.
Karena itu, maka Glagah Putihpun mulai memikirkan gagasan Rara Wulan. Apakah Rara Wulan akan dapat mencari jalan untuk memasuki lingkungan para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Tetapi Glagah Putihpun menyadari bahwa langkah itu tentu sangat berbahaya. Jika langkah mereka tergelincir sedikit saja, maka akibatnya tidak dapat mereka bayangkan.
Meskipun demikian, gagasan itu telah tersangkut di angan-angan Glagah Putih.
Ketika kemudian malam turun, maka Sungkana dan Sumbagapun meninggalkan rumah Madyasta. Mereka sepakat bahwa esok malam keduanya akan datang lagi ke rumah itu.
"Besok, sehari penuh jangan kemana-mana," pesan Madyasta kepada Sungkana dan Sumbaga, "orang-orang yang tadi kau kalahkan, mungkin sekali besok akan mencarimu."
"Ya. Mungkin mereka akan mencari kami dengan kekuatan yang berlipat."
Demikianlah, maka keduanyapun dengan hati-hati keluar dari regol halaman. Baru ketika mereka yakin tidak ada orang di jalan, merekapun berjalan dengan cepat menjauhi regol rumah Madyasta itu.
Baru sepeninggal Sungkana dan Sumbaga, maka Glagah Putihpun bertanya kepada Madyasta, "Bagaimana pendapat Ki Lurah, jika kita coba mengetrapkan gagasan Rara Wulan."
"Kau masih saja memanggil Ki Lurah. Kau akan dapat lupa, di tempat lain, di hadapan orang banyak, kau juga memanggil Ki Lurah. Panggilan itu akan dapat mengundang perhatian."
"Maaf," Glagah Putih tersenyum, "jika tidak ada orang lain, rasa-rasanya sepantasnya aku memanggil Ki Lurah."
"Jangan. Biasakan memanggil namaku, Madyasta."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Aku akan mengingat-ingat."
Namun kemudian iapun berkata, "Bagaimana pendapatmu tentang gagasan Rara Wulan."
"Apakah kita akan sampai hati untuk melepaskannya?"
"Rara Wulan pernah melakukannya. Ia pernah mengumpankan dirinya untuk mengungkap satu kejahatan."
"Dan Rara Wulan berhasil?"
"Ya. Waktu itu ia berhasil," Glagah Putihpun berpaling kepada Rara Wulan, "tetapi harus kita sadari, bahwa yang kita hadapi sekarang berbeda dengan yang kita hadapi pada waktu itu."
"Ya, kakang," sahut Rara Wulan, "dengan demikian, maka persiapan kitapun harus lebih baik. Tentu saja aku tidak mau menjadi korban sia-sia. Jika aku harus menjadi tumbal dari tugas ini, maka seharusnya bahwa pengorbanan itu memberikan arti."
"Tentu kami tidak akan mengorbankan kau Rara Wulan," sahut Glagah Putih, "kita akan bersama-sama menanggungkannya."
"Tentu setidak-tidaknya salah seorang dari kita harus tetap dapat melanjutkan perjuangan ini sampai tuntas."
"Sebaiknya kita mencari jalan lain," berkata Madyasta.
Tetapi Rara Wulan menyahut " Sebaiknya kita mencobanya. Aku akan berada di tempat terbuka bersama Sungkana dan Sumbaga. Jika benar ada orang yang memburu Sungkana dan Sumbaga, maka merekapun akan menemukan aku. Biarlah Sungkana dan Sumbaga berusaha melepaskan diri mereka. Sementara itu, orang-orang yang lain akan berusaha menangkap aku dan membawanya ke sarang mereka. Namun kakang Glagah Putih dan Madyasta yang belum dikenal itu akan dapat mengikuti aku sampai ke sarang mereka."
"Mengerikan," desis Madyasta.
"Jika terpaksa kalian tidak dapat mengikuti aku, maka biarlah aku yang berusaha melepaskan diri dengan caraku. Bukankah aku juga mempunyai kemampuan untuk melindungi diriku sendiri" Jika rencana satu dan rencana dua ini gagal, kita akan melakukan berdasarkan keadaan yang kita hadapi saat itu. Jika itupun gagal, apa boleh buat."
"Aku tidak dapat membayangkan, bencana yang dapat melibat kau, Nyi."
"Setiap perjuangan memerlukan keberanian untuk mengambil sikap. Aku dan kakang Glagah Putih telah melatih pendengaran kami dengan mendengarkan Aji Pameling. Meskipun masih belum begitu jernih, tetapi kami sudah mulai dapat menguasai Aji Pameling itu, sehingga kami akan dapat selalu berhubungan meskipun kami berada di jarak yang mungkin agak jauh."
"Bukankah Aji Pameling hanya dapat dipergunakan untuk memanggil serta pesan-pesan khusus, sehingga Aji Pameling tidak dipergunakan untuk berbincang-bincang seperti kita sekarang ini."
"Ya. Tetapi setidak-tidaknya kami saling dapat memberikan isyarat dimana kami berada."
Madyasta menarik nafas panjang. Kedua orang suami isteri yang masih sangat muda itu ternyata memiliki sebangsal ilmu yang sulit untuk dipelajari. Tetapi ternyata mereka sudah dapat menguasainya.
Karena itu, maka akhirnya Madyasta menyerahkan segala sesuatunya kepada suami isteri itu sendiri.
"Kami akan patuh kepada segala perintah kalian berdua," berkata Madyasta kemudian.
Glagah Putihpun menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Baiklah kami masih akan mempertimbangkan dalam satu dua hari ini. Baru kami akan mengambil keputusan. Kami sadari, bahwa kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi."
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah siap untuk menghadapi kemungkinan yang sangat buruk itu jika harus terjadi.
Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berjalan-jalan berkeliling Panaraga dan sekitarnya. Mereka berusaha benar-benar memahami lingkungan tugas mereka. Lorong-lorong kecilpun telah mereka lihat dan mereka ingat baik-baik.
Seperti yang sudah dipesankan, maka di hari berikutnya Sungkana dan Sumbaga sama sekali tidak keluar dari rumah. Mereka berusaha menghindari pengamatan orang-orang yang berusaha menjebaknya di dekat petilasan itu, namun tidak berhasil. Bahkan Sungkana dan Sumbaga dapat memberikan ancar-ancar ujud orang-orang itu kepada Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika mereka hertiga berada di alun-alun, maka merekapun duduk di bawah sebatang pohon besar yang rimbun. Ketika tiga orang lewat tidak jauh dari tempat mereka duduk, maka Glagah Putih telah menggamit Rara Wulan dan Madyasta sambil berdesis, "Kalian lihat orang-orang itu?"
Rara Wulan mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, "Maksud kakang, orang-orang itu adalah orang-orang yang berusaha menangkap Sungkana dan Sumbaga?"
"Ya," jawab Glagah Putih.
"Yang mana?" bertanya Madyasta.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ketika Madyasta mengikuti arah pandang Glagah Putih, maka iapun segera mengetahui orang-orang yang dimaksud.
"Ya. Agaknya mereka adalah tiga orang di antara kelima orang itu," desis Madyasta.
Jilid 395
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
TETAPI merekapun terdiam. Beberapa langkah di belakang mereka, ketiga orang itupun melihat tiga orang lagi yang berjalan searah dengan ketiga orang sebelumnya.
"Yang itu juga," desis Rara Wulan.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Lima orang dan bahkan ditambah dengan seorang lagi. Tentu orang itu seorang yang dipercaya untuk dapat mengalahkan kedua orang yang luput dari tangan kelima orang itu."
"Yang mana?" "Yang ciri-cirinya tidak disebut oleh Sungkana dan Sumbaga adalah orang yang bertubuh agak pendek dan membiarkan rambutnya tergerai di bawah ikat kepalanya."
"Orang itu tentu orang yang berilmu tinggi," desis Rara Wulan.
"Ya. Menilik sikapnya. Ia bersenjata golok yang besar, tetapi agak pendek."
"Sepasang." "Ya. Ia membawa sepasang golok."
"Kita hampir pasti bahwa orang-orang itulah yang mencari Sungkana dan Sumbaga."
"Untunglah bahwa Sungkana dan Sumbaga tidak keluar rumah. Jika mereka berada di sini sekarang, orang-orang itu tentu berusaha untuk membantainya."
Madyasta menarik nafas panjang. Ternyata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bukan seorang Pangeran yang sedang lelana seorang diri. Tetapi ia mempunyai gerombolan yang berbahaya di Panaraga.
"Jika orang-orang Panaraga pada suatu saat mengerti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, maka mereka akan dapat berprasangka buruk terhadap orang Mataram yang berada di Panaraga."
"Tetapi kita belum menemukan kenyataan apapun yang dapat kita pergunakan untuk menuduh, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah melakukan sesuatu yang melanggar tatanan dan paugeran. Bahkan kita belum tahu, dimana orang itu tinggal dan apa yang dilakukannya."
"Ya." "Siapa tahu, yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeraan Ranapati itu justru memberikan arti kepada orang-orang yang tinggal di sekitarnya."
"Ya." Ketiga orang itupun terdiam sejenak. Mereka memperhatikan ketiga orang yang kemudian tiga orang lagi yang berjalan di belakangnya, mengelilingi alun-alun itu. Tetapi agaknya mereka tidak menemukan orang yang mereka cari.
"Mereka tentu mencari dimana-mana," desis Glagah Putih.
"Bahkan mungkin mereka akan masuk keluar lorong-lorong sempit di padukuhan-padukuhan."
"Tetapi Sungkana dan Sumbaga menyadari bahaya yang mengancam mereka, sehingga agaknya mereka benar-benar tidak keluar dari rumahnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Namun beberapa saat kemudian, maka mereka bertiga pun segera bangkit dan meninggalkan alun-alun itu.
Orang-orang yang lewat di alun-alun itu merupakan gambaran kekuatan yang ada di belakang orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.
Karena itu, Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempertimbangkannya sebaik-baiknya.
Ketika malam turun, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Madyasta kembali membicarakan rencana Rara Wulan untuk memasuki lingkungan orang-orang yang telah berusaha menjebak Sungkana dan Sumbaga di dekat petilasan batu pipih itu.
"Sudahlah," berkata Madyasta, "kita mencari kesempatan yang lain, yang bahayanya tidak sebesar rencana ini."
"Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan lagi," sahut Glagah Putih.
Madyasta menarik nafas panjang.
Ternyata bahwa Rara Wulan tidak melangkah surut dari gagasannya. Ia akan berjalan-jalan di alun-alun atau di jalan-jalan utama yang lain di Panaraga bersama Sungkana dan Sumbaga. Jika mereka bertemu dengan keenam orang yang lewat di alun-alun, maka Sungkana dan Sumbaga akan melawan. Tetapi mereka tidak mampu mengalahkan lawan-lawannya dan melarikan diri. Dengan demikian, maka Rara Wulan akan mereka tangkap dan mereka bawa ke sarang mereka. Adalah tugas Glagah Putih dan Madyasta untuk mengikuti jejaknya. Sementara itu, Rara Wulan akan berusaha untuk meninggalkan jejak di tempat-tempat tertentu untuk mempermudah pelacakan Glagah Putih dan Madyasta selain mempergunakan Aji Pameling yang telah mereka kuasai.
Madyasta hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian besarnya tekad pengabdian kedua orang petugas sandi yang dikirim langsung oleh Ki Patih Mandaraka itu.
"Seharusnya malam ini Sungkana dan Sumbaga datang kemari," berkata Glagah Putih.
"Ya," sahut Rara Wulan, "kita akan mematangkan pembicaraan kita. Esok kita akan melaksanakannya."
Sebenarnyalah, ketika malam menjadi semakin dalam maka terdengar pintu rumah itu diketuk orang.
"Siapa?" "Panjer Wengi," sahut suara di luar.
Madyasta kemudian membuka pintu. Sungkana dan Sumbaga pun kemudian melangkah masuk dan duduk di amben yang besar itu bersama Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Kepada kedua orang petugas sandi itu, Madyasta menyampaikan gagasan Rara Wulan untuk memasuki lingkungan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Seperti Madyasta, maka Sungkana dan Sumbaga pun masih berusaha untuk mencegah niat itu. Namun Rara Wulanpun berkata, "Jika kita sia-siakan kesempatan ini, maka belum tentu kita akan mendapatkan kesempatan berikutnya."
"Bagaimana pendapat Ki Glagah Putih?" bertanya Sungkana.
"Apaboleh buat. Kita akan mencobanya. Tetapi tentu saja bahwa kita akan bersiap untuk melakukan apa saja dan dengan taruhan apa saja."
"Baiklah jika itu yang telah Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan putuskan."
Merekapun kemudian telah membicarakan kapan mereka akan melaksanakan rencana mereka.
"Esok pagi," berkata Rara Wulan.
"Jangan esok," sahut Sumbaga, "sebaiknya kita mengatur jantung kita lebih dahulu."
"Jadi?" "'Esok lusa. Besok sehari aku akan menenangkan perasaanku yang tentu sangat tegang menghadapi rencana yang sangat mendebarkan ini."
"Baiklah. Esok lusa kita akan melaksanakan rencana ini."
Demikianlah, sampai tengah malam Sungkana dan Sumbaga masih berada di rumah Madyasta. Mereka masih mematangkan rencana mereka yang penuh dengan bahaya itu.
Baru kemudian, sedikit lewat tengah malam, Sungkana dan Sumbaga minta diri meninggalkan rumah Madyasta itu.
Di keesokan harinya, Rara Wulan tidak ikut dengan Madyasta dan Glagah Putih yang keluar untuk semakin menguasai medan. Apalagi jika Rara Wulan akan dibawa oleh para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Ternyata pada hari itu, Glagah Putih dan Madyasta telah bertemu dengan keenam orang yang kemarin dilihatnya di alun-alun. Mereka berjalan dijalan utama sambil memandangi setiap orang lewat. Seperti kemarin, mereka berjalan bersama-sama tiga orang dalam satu kelompok dengan jarak beberapa langkah saja.
"Mereka benar-benar mendendam kepada Sungkana dan Sumbaga," berkata Madyasta.
"Ya. Tetapi kita tidak perlu mengikuti mereka. Sampai sekarang mereka sama sekali tidak memperhatikan kita. Tetapi jika kita mengikuti mereka, maka perhatian mereka akan mulai tertarik kepada kita."
Madyasta mengangguk-angguk. Keduanyapun kemudian berjalan ke arah yang berbeda dengan keenam orang itu. Namun mereka tahu, bahwa keenam orang itu masih saja berkeliaran untuk menemukan Sungkana dan Sumbaga.
"Kita memang tidak dapat menunda-nunda lagi. Jika dalam dua tiga hari ini mereka tidak menemukan Sungkana dan Sumbaga disini, mungkin mereka akan mencarinya di tempat lain. Dengan demikian, maka kesempatan bagi Rara Wulan untuk memasuki lingkungan mereka akan menjadi semakin kecil," berkata Glagah Putih.
Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, "Jika rencana itu sudah matang dihati Ki Glagah Putih, maka kami tinggal membantu pelaksanaannya saja."
Rencana itu memang sudah matang bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka benar-benar sudah siap untuk melaksanakannya. Rara Wulan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Di hari berikutnya, mereka memang tidak melakukan apa-apa. Hanya Madyasta saja yang keluar untuk melihat, apakah orang-orang yang berkeliaran mencari Sungkana dan Sumbaga itu masih menyusuri jalan-jalan di Panaraga.
Namun agaknya mereka sudah mulai jemu. Madyasta yang hanya berjalan sendirian itu melihat tiga diantara mereka justru duduk di bawah sebatang pohon gayam di pinggir jalan membeli dawet cendol. Namun tiga orang yang lain justru duduk di tempat yang agak jauh.
"Glagah Putih dan Rara Wulan benar," berkata Madyasta di dalam hatinya, "jika kami menunda-nunda lagi, orang-orang itu sudah menghentikan kegiatan mereka disini. Mungkin mereka akan berpindah tempat untuk menemukan Sungkana dan Sumbaga."
Ketika hal itu disampaikan kepada Glagah Putih, maka Glagah Putihpun memutuskan, bahwa esok mereka akan melakukan rencana mereka tanpa ditunda lagi.
Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Sungkana dan Sumbaga sudah siap untuk pergi keluar bersama dengan Rara Wulan.
"Namamu tentu bukan Rara Wulan, Nyi," berkata Sungkana.
"Panggil aku Ranti."
"Baik, Nyi Ranti."
"Aku harap bahwa keenam orang itu masih berkeliaran di jalan-jalan utama di kota ini."
Demikianlah, bahwa mereka bertigapun telah meninggalkan rumah Madyasta. Sementara itu, beberapa puluh langkah di belakangnya, Glagah Putih dan Madyasta mengikuti mereka dengan sangat hati-hati.
Sungkana, Sumbaga dan Ranti itupun berjalan bertiga menuju ke pasar. Mereka berharap bahwa orang-orang yang pernah menjebak mereka di petilasan itu mencari mereka di pasar pula.
Tetapi ternyata mereka tidak bertemu dengan keenam orang yang sudah beberapa hari berkeliaran itu. Perlahan-lahan Rara Wulanpun berdesis, "Jangan-jangan mereka sudah tidak mencari kalian di lingkungan ini."
Keduanya tidak menjawab. Ada semacam pertentangan di hati mereka. Disatu sisi mereka mengharap agar mereka bertemu dengan keenam orang itu, namun disisi lain mereka justru berharap agar orang-orang itu sudah meninggalkan Panaraga. Mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri. Tetapi mereka berpikir tentang Rara Wulan yang berniat memasuki sarang ular-ular berbisa.
Tetapi Rara Wulan sendiri justru menjadi cemas bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan keenam orang itu.
Karena mereka tidak bertemu dengan keenam urang itu di pasar, maka Sungkana dan Sumbagapun telah mengajak Rara Wulan untuk berjalan menyusuri jalan utama. Merekapun kemudian berhenti tidak jauh dari penjual dawet cendol. Tiga diantara keenam orang itu kemarin telah berhenti dan membeli dawet cendol di tempat itu.
Jantung Sungkana serasa berdenyut semakin cepat ketika ia melihat tiga orang yang telah dikenalnya itu berjalan ke arahnya. Sedangkan tiga orang yang lain berjalan beberapa langkah di belakang mereka.
"Itulah mereka," desis Sungkana
Sumbaga menarik nafas panjang. Katanya, "Hati-hatilah, Nyi. Ini bukan satu permainan yang sederhana. Tetapi satu permainan yang sangat berbahaya."
"Aku sadari, Ki Sumbaga. Tetapi aku sudah siap." Ketiga orang yang berada didepan itu semula tidak memperhatikan Sungkana dan Sumbaga yang duduk di pinggir jalan tidak jauh dari. penjual dawet cendol itu. Tetapi Sungkana ternyata dengan sengaja bangkit berdiri untuk menarik perhatian.
Namun yang memperhatikannya lebih dahulu adalah justru tiga orang yang berjalan di belakang.
"Mereka benar-benar orang yang telah menjebak aku dan Sumbaga," desis Sungkana.
Rara Wulanpun mengangguk kecil. Tiba-tiba saja salah seorang diantara ketiga orang yang berjalan di belakang itu berteriak, "He, inilah orangnya."
Ketiga orang yang berjalan di depan itupun berhenti. Mereka pun segera berbalik.
Sungkana dan Sumbaga dengan serta merta menarik tangan Rara Wulan untuk dibawa lari. Tetapi mereka tidak sempat melakukannya. Keenam orang itu dengan cepat telah mengepung mereka tanpa menghiraukan orang lain yang berada di jalan itu.
"Akhirnya kami menemukan kalian berdua," berkata orang bertubuh kekar yang tidak berhasil menangkap kedua orang itu.
"Kalian mau apa" Kalian telah gagal menangkap kami berdua. Jika sekarang kalian akan mencoba lagi, maka kalian-pun akan gagal pula."
"Hitung. Kami sekarang tidak hanya berlima. Tetapi berenam. Karena itu, kau tidak akan luput lagi dari tangan kami."
"Apa bedanya kalian berlima dan berenam?"
"Sombongnya orang ini," geram orang yang justru agak pendek, "kau tentu belum pernah mengenal aku, karena aku tidak ikut bermain-main waktu itu."
"Ya. Dari keenam orang ini, kau adalah orang baru. Orang yang tidak ikut menjebak kami di batu pipih itu."
Orang yang bertubuh agak pendek itu melangkah semakin dekat sambil berkata, "Rasa-rasanya untuk menangkap kalian berdua, aku tidak memerlukan kawan-kawanku yang lain. Aku sendiri akan menangkap kalian berdua. Biarlah kawan-kawanku menangkap perempuan itu. Mungkin junjunganku akan membutuhkannya."
"Junjunganmu" Siapa?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Nampaknya kau adalah orang yang selalu ingin tahu. Tetapi sayang, bahwa kau tidak akan pernah dapat mengetahuinya, karena junjunganku tentu tidak akan merendahkan dirinya menemuimu. Kau telah diserahkannya kepadaku. Dan akulah yang akan mengurusmu sehingga kau akan menjawab semua pertanyaanku."
Sumbagapun tertawa pula. Katanya, "Kawan-kawanmu berlima tidak dapat menangkap aku. Mana mungkin kau sendiri akan menangkap kami. Kau kira kami sebangsa kecoak yang tidak mampu melawan jika kau menginjakkan kakimu."
"Bagus. Kau memang harus melawan. Aku akan merasa sangat kecewa jika dengan sangat mudah aku dapat menangkap kalian berdua."
Sungkana dan Sumbagapun segera bersiap. Mereka berdiri di sebelah menyebelah Ranti untuk melindunginya.
Keenam orang yang akan menangkap Sungkana dan Sumbaga itu sama sekali tidak peduli terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Terhadap orang-orang yang kemudian merubungnya meskipun dari jarak yang agak jauh.
Tetapi tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. Wajah keenam orang itu nampak terlalu seram.
Namun orang yang bertubuh agak pendek itupun berkata kepada kelima orang kawannya, "Tangkap saja perempuan itu. Jangan hiraukan kedua cucurut yang mungkin berusaha untuk melindunginya." Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun orang bertubuh agak pendek itupun segera menyerang Sumbaga yang berdiri di sebelah Ranti.
Sumbagapun dengan tangkasnya mengolak. Tetapi dengan demikian, ia telah bergeser dan membuat jarak dengan Ranti.
Pada saat itu, kawan-kawan orang bertubuh agak pendek itupun berusaha menangkap Ranti.
Tetapi Sungkana tidak membiarkannya. Iapun segera meloncat menyerang orang-orang yang berusaha menangkap Ranti itu.
Pertempuranpun segera terjadi dengan sengitnya. Sumbaga bertempur melawan orang yang bertubuh agak pendek itu, sementara Sungkana harus bertempur melawan kelima orang yang lain.
Ternyata orang yang bertubuh pendek itu tidak segera mengalahkan Sumbaga. Bahkan Sumbngn justru mulai mendesak lawannya.
Namun Sungkana yang harus bertempur melawan lima orang itupun telah terdesak.
Orang bertubuh pendek itu mengumpat didalam hati. Ternyata ia tidak dapat mengalahkan lawannya. Jangankan menangkap kedua orang itu, melawan seorang diantara mereka pun ia mengalami kesulitan.
Sementara itu Ranti berusaha untuk menjauhi pertempuran itu. Bahkan ia telah bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun dua orang diantara kelima orang yang bertempur melawan Sungkana itupun segera menangkapnya dan menyeretnya sehingga Ranti itu mereka kuasai pula.
Sungkana yang kehilangan dua orang lawannya, sebenarnya akan dapat mengalahkan ketiga orang yang bertempur melawannya itu. Demikian pula Sumbaga akan mampu mengalahkan orang yang bertubuh agak pendek itu.
Tetapi menurut kesepakatan, mereka harus melarikan diri dan membiarkan Rara Wulan dibawa oleh keenam orang itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Sungkanapun telah memberikan isyarat kepada Sumbaga agar meninggalkan pertempuran itu.
Tetapi Sumbaga tidak ingin melarikan diri tanpa meninggalkan kesan apapun. Pada saat terakhir, ketiga jari-jarinya yang merapat sempat mengetuk dada orang bertubuh pendek itu, sehingga nafasnya menjadi sesak.
Pada saat itulah orang bertubuh agak pendek itu telah mencabut sepasang goloknya yang besar tetapi agak pendek itu.
Namun lawannya, Sumbaga telah meloncat melarikan diri.
Pada saat yang bersamaan Sungkanapun telah melarikan diri pula. Tetapi ia sempat menyakiti salah seorang lawannya, sehingga untuk beberapa saat orang itu berguling-guling di jalan.
Ternyata ibu jari Sungkana berhasil menyusup pertahanan orang itu dan tepat mengenai bagian bawah lehernya, sehingga orang itu terasa bagaikan tercekik untuk beberapa saat.
Tetapi orang itu tidak mati. Lambat laun, ia berhasil mengatasi kesulitan pernafasannya.
Orang yang bertubuh agak pendek, yang menyatakan dirinya mampu menangkap kedua orang itu, memang berusaha mengejarnya. Demikian pula kedua orang kawannya. Tetapi Sungkana dan Sumbaga itupun berlari terlalu cepat, sehingga keduanya berhasil menyusup diantara orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari jarak yang agak jauh.
"Iblis laknat," geram orang bertubuh pendek itu, "mereka ternyata pengecut."
"Tetapi perempuan itu ada di tangan kami."
Orang bertubuh agak pendek itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Perempuan itu ada di tangan kami." Sementara itu, Ranti masih saja meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan diri.
Seorang dari kedua orang yang memeganginya itupun membentak, "Jangan meronta-ronta. Jika kau masih saja meronta-ronta maka aku akan mempermalukan kau disini. Disini banyak orang yang sedang merubungi kita."
"Tetapi jangan pegangi aku seperti kalian sedang menangkap seorang pencuri."
"Kalau kau berjanji untuk tidak berbuat macam-macam, maka kami akan melepaskanmu."
"Macam-macam apa yang kau maksud?"
"Misalnya melarikan diri."
"Tidak. Aku tidak akan melarikan diri." Tetapi orang yang bertubuh agak pendek itu menyahut, "Biar saja jika ia akan mencoba melarikan diri. Tetapi jika ia tertangkap, maka seperti yang dikatakan kawanku itu, maka ia akan dipermalukan disini."
Perlahan-lahan kedua orang yang memegangi Ranti itupun melepaskannya, sementara itu, orang-orang yang lain-pun mengawasinya dengan sungguh-sungguh.
Tetapi Ranti memang tidak akan melarikan diri. Seandainya ia mencoba, maka enam orang itu serentak akan menerkamnya. Agaknya mereka tidak sekedar mengancam bahwa mereka akan mempermalukannya, jika ia benar-benar berusaha melarikan diri.
"Kau harus ikut bersama kami," berkata orang yang bertubuh agak pendek, "kau akan kami bawa menghadap kepada junjungan kami. Mungkin ia membutuhkanmu. Tetapi jika junjungan kami itu tidak membutuhkanmu, maka akulah yang membutuhkanmu."
Ranti terdiam. Tetapi bagaimanapun juga, terasa kulitnya meremang.
Namun orang yang tubuhnya agak pendek itu, sama sekali tidak membuatnya gentar ditilik dari sisi ilmu kanuragan. Tetapi sebagai seorang perempuan, rasa-rasanya Rantipun menjadi ngeri pula mendengar kata-kata orang itu.
"Marilah kita tinggalkan tempat ini," berkata orang yang bertubuh pendek itu selanjutnya.
"Aku akan kalian bawa kemana?"
"Kau akan tahu nanti. Sekarang berjalanlah agar kami tidak perlu menyeretmu."
Rantipun kemudian berjalan digiring oleh keenam orang itu.
Sementara itu, dari jarak yang agak jauh, Glagah Putih dan Madyasta berada di antara orang-orang yang menonton peristiwa itu. Demikian Ranti bergerak digiring oleh keenam orang itu, maka Glagah Putih dan Madyastapun ikut bergerak pula.
Diperjalanan salah seorang yang menggiring Ranti itupun bertanya, "Kenapa kau berjalan bersama kedua orang itu" Apakah hubunganmu dengan mereka?"
"Aku adalah adik dari salah seorang diantara mereka. Aku adalah adik dari orang yang tinggi kekurus-kurusan itu."
"Yang seorang lagi?"
"Kawan kakakku itu. Ia ingin mengambil aku menjadi isterinya. Tetapi aku masih akan memikirkannya."
"Beruntunglah kau sekarang berada di tangan kami. Jika nasibmu baik, maka kau akan dapat menjadi isteri seorang Pangeran. Setidak-tidaknya seorang selir."
Ranti justru berhenti. Dengan wajah yang tegang iapun bertanya, "Pangeran" Apakah kau sedang mengigau?"
Orang bertubuh agak pendek itu tertawa sambil mendekatinya, "Kami tidak sedang mengigau. Tetapi kami memang mengabdi kepada seorang Pangeran yang aku sebut sebagai junjunganku itu. Tetapi jika Pangeran itu menolakmu, setidak-tidaknya kau akan menjadi isteri seorang Tumenggung."
"Tumenggung siapa?"
"Aku adalah calon Tumenggung. Junjunganku sudah berjanji untuk mengangkat aku sebagai seorang Tumenggung. Tumenggung Jantranagara," tiba-tiba saja orang itu tertawa berkepanjangan.
Ranti terdiam. Seorang yang lain mendorongnya sambil berkata, "berjalanlah Kau dapat berbicara sambil berjalan."
Ranti tidak menjawab. Tetapi ia melangkahkan kakinya lagi.
Dalam pada itu orang-orang yang menyaksikan peristiwa itupun merasa gelisah. Tetapi tidak ada diantara mereka yang berani berbuat sesuatu. Namun seorang anak muda yang merasa sangat iba melihat Ranti dibawa oleh keenam orang itupun berkata, "Aku akan melaporkan kepada para prajurit."
"Dimana?" "Yang bertugas di regol kadipaten."
"Mereka bertugas di kadipaten, mereka tidak dapat pergi kemana-mana."
"Tetapi tentu ada petunjuk, kepada siapa aku harus memberikan laporan."
"Tetapi perempuan itu sudah menjadi semakin jauh."
"Mungkin sekelompok prajurit berkuda dapat memburu mereka."
"Siapa tahu, kemana perempuan itu dibawa pergi."
"Entahlah. Tetapi aku harus melaporkannya."
Anak muda itu memang pergi ke pintu gerbang kadipaten memberitahukan peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kami bertugas disini, anak muda. Kami tidak dapat pergi."
"Jadi kami harus lapor kemana?"
"Pergilah ke barak di belakang kadipaten ini. Mungkin mereka dapat membantumu."
Anak muda itupun meninggalkan gerbang kadipaten. Tetapi ia tidak pergi ke barak. Segala sesuatunya tentu sudah terlambat. Perempuan itu tentu sudah menjadi semakin jauh.
Anak muda itupun berkata di dalam hatinya, "Biarlah keluarganya saja yang melaporkan kepada para prajurit. Nanti atau esok. Sama saja. Perempuan itu tentu sudah disembunyikan oleh orang-orang yang membawanya."
Namun ternyata Rara Wulan tidak dibiarkan saja dibawa oleh keenam orang yang memaksanya untuk ikut bersama mereka. Ada dua orang yang dengan diam-diam berusaha mengamati kemana perempuan itu dibawa pergi, Rara Wulanpun setiap ada kesempatan telah memberikan pertanda di sepanjang jalan. Sekali-sekali tangannya menarik ranting-ranting gerumbul perdu. Dikesempatan lain, Rara Wulan telah menjatuhkan tusuk kondenya tanpa diketahui oleh orang-orang yang menggiringnya.
Ternyata perjalanan mereka cukup jauh, sehingga Glagah Putih dan Madyasta agak mengalami kesulitan untuk mengikuti mereka tanpa diketahui oleh keenam orang itu.
Namun Rara Wulanpun dengan sengaja berusaha selalu mengikat perhatian orang-orang yang membawanya. Bahkan kadang-kadang Rara Wulan bersikap seakan-akan hendak melarikan diri.
Dengan demikian, maka keenam orang itu perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Rara Wulan yang mereka kenal dengan nama Ranti itu. Mereka sama sekali tidak sempat berpaling. Bahkan sekali-sekali terdengar salah seorang diantara mereka mengancam perempuan itu. Jika ia berusaha untuk melatrikan diri, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk.
Tetapi ternyata Rara Wulan tidak dibawa keluar dari pintu gerbang kota. Mereka memang berjalan agak melingkarlingkar. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang untuk beberapa hari sengaja berusaha mengenali setiap jalan, setiap lorong, setiap jalan setapak di Panaraga, dengan cepat mengetahui, Rara Wulan itu akan dibawa kemana.
Ternyata Rara Wulan telah dibawa ke sebuah rumah yang sederhana di sudut kota. Rumah yang agak terpisah dari tetangga-tetangganya. Rumah yang sederhana itu mempunyai halaman yang luas. Bahkan dibelakangnya terdapat kebun yang masih nampak rimbun sekali. Pepohonan yang padat, gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman liar yang lain serta rumpun bambu yang masih terhitung lebat.
Dengan demikian, maka rumah sederhana itu rasa-rasanya memang agak terpisah dari rumah-rumah yang lain.
Glagah Putih dan Madyasta yang mengikuti Rara Wulan dari jarak yang agak jauh itu, masih sempat melihat keenam orang itu telah membawa Rara Wulan memasuki regol halaman rumah itu.
"Mereka ada di rumah itu, Ki Glagah Putih," desis Madyasta.
"Ya." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Madyasta," berkata Glagah Putih kemudian, "kita berada di satu lingkungan yang sangat berbahaya. Bukan maksudku mengecilkan arti kemampuanmu. Tetapi agaknya yang melakukan pengintaian ke dalam dinding halaman itu seorang saja."
"Tetapi jika kau memerlukan bantuan?"
"Rara Wulan akan dapat membantuku. Jika kita berdua, maka agaknya akan lebih mungkin menarik perhatian para pengikut Pangeran Ranapati itu."
Madyasta menarik nafas panjang. Tetapi ia dapat mengukur diri sendiri. Kemampuannya tentu tidak setinggi kemampuan orang yang secara khusus telah dikirim oleh Ki Patih Mandaraka.
Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya terserah kepadamu. Tetapi apakah kau mempunyai kemungkinan untuk berhubungan dengan Rara Wulan?"
"Kami telah mempelajari dan serba sedikit menguasai Aji Pameling. Kami dapat saling memberikan isyarat tanpa diketahui orang lain."
"Jika demikian, apa yang harus aku lakukan?"
"Pulanglah. Sampaikan kepada Sungkana dan Sumbaga, bahwa sebaiknya mereka tidak berkeliaran kemana-mana. Bahkan mungkin untuk sementara mereka tinggal bersamamu."
"Baik Aku akan menyampaikannya."
"Sekarang tinggalkan aku sendiri disini, Madyasta. Akupun belum akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin tahu, apakah benar bahwa di rumah itu tinggal orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati."
Madyasta itupun mengangguk-angguk kecil. Rasa-rasanya memang tidak sampai hati untuk meninggalkann Glagah Putih sendiri. Tetapi ia sadar, bahwa dirinya justru akan dapat mengganggu atau bahkan Glagah Putih harus melindunginya jika terjadi sesuatu.
Karena itu, maka Madyasta itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Madyasta, maka Glagah Putihpun bergeser semakin mendekati halaman dan kebun yang terhitung luas itu. Tetapi Glagah Putih masih belum berbuat sesuatu. Ia masih saja berdiri di bawah sebatang pohonyang besar yang tumbuh di pinggir jalan.
Jalan di depan rumah yang berhalaman luas itu memang termasuk jalan yang tidak begitu banyak dilalui orang. Setelah beberapa saat Glagah Putih berdiri di pinggir jalan itu, ternyata masih belum ada orang yang lewat. Sedangkan regol halaman disebelah halaman yang luas itupun nampak tertutup. Tetapi menilik regol halamannya maka agaknya rumah disebelah itu agak lebih baik dari rumah yang sederhana yang dikelilingi oleh halaman dan kebun yang luas itu. Tetapi halaman di sebelah itu juga kelihatan sepi.
Sebagai seorang yang berkemampuan tinggi, maka Glagah Putihpun akhirnya berhasil menyusup ke halaman belakang rumah sederhana, yang dipergunakan untuk menyimpan Rara Wulan.
Dengan Aji Pameling, Glagah Putih mulai menyentuh telinga hati Rara Wulan untuk memberikan isyarat bahwa ia sudah berada di halaman rumah itu.
Rara Wulanpun telah memberikan isyarat pula, bahwa masih belum ada sesuatu yang penting yang terjadi di rumah itu. Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu masih belum berada disitu.
Glagah Putihpun kemudian sempat beristirahat di bawah rumpun pisang yang lebat sambil menunggu isyarat-isyarat dari Rara Wulan yang diberikan lewat Aji Pameling.
Sebenarnyalah, bahwa orang yang bertubuh agak pendek itu berkata kepada Rara Wulan, "Junjunganku masih belum singgah kemari hari ini. Biasanya meskipun hanya sebentar junjunganku itu tentu menengok rumah ini. Kami selalu memberikan laporan tentang berbagai perkembangan yang terjadi di Panaraga. Termasuk perkembangan pemerintahan yang dilakukan oleh adik dari junjunganku itu. Pangeran Jayaraga."
Ranti tidak menjawab. Ia tidak mengetahui apapun tentang orang yang disebut junjungannya serta pemerintahan Pangeran Jayaraga.
"Kau jangan menjadi gelisah," berkata orang itu, "hari ini masih belum habis. Junjunganku tentu akan singgah disini. Jika tidak hari ini karena satu sebab, besok junjunganku itu tentu akan datang. Kau akan menghadap junjunganku itu untuk menyerahkan dirimu. Kau tidak akan ingkar, perintah apapun yang akan diberikan kepadamu."
Jantung Ranti itu berdesir. Tiba-tiba perempuan itu menangis. Air matanya mengalir dari pelupuknya menetes di-pangkuannya. Dengan lengan bajunya perempuan itu mengusap matanya yang basah karena air matanya itu.
Orang bertubuh pendek yang melihat Ranti menangis itu berkata dengan suara yang lunak, "Jangan menangis. Pada saatnya nanti, kau akan berterima kasih kepadaku karena aku sudah mempertemukan kau dengan junjunganku itu."
"Lepaskan aku, Ki Sanak," tangis Ranti, "biarlah aku pulang kepada Ibuku. Ibuku tentu sangat sedih karena aku tidak dapat pulang. Bahkan ibuku yang sudah tua itu akan dapat menjadi sakit dan akhirnya meninggal."
"Apakah ibumu sudah tua?"
"Sudah Ki Sanak Ibuku sudah tua."
"Jika ibumu sudah tua, maka sudah semestinya ia akan meninggal."
"Tetapi jangan aku yang menjadi sebabnya."
"Apapun sebabnya sama saja. Yang akan mati, biarlah mati. Mereka adalah orang-orang dari masa yang telah lampau. Tetapi kau yang masih muda adalah penghuni bumi ini sekarang dan masa mendatang. Karena itu, jangan hiraukan yang akan mati. Tetapi tataplah hari depanmu sendiri."
"Itu tidak mungkin. Sekarang adalah kelanjutan hari kemarin. Aku adalah anak ibuku. Ibuku itu adalah lantaran adaku."
"Bukankah kelahiranmu itu bukan atas kehendakmu" Karena itu, jangan hiraukan lagi. Jangan pikirkan ibumu. Pikirkan tentang dirimu sendiri. Jika kau beruntung maka kau akan diambil oleh junjunganku untuk menjadi isterinya. Pikirkan itu saja. Jangan pikirkan ibumu lagi."
Ranti semakin menunduk. Tanganya semakin sibuk mengusap matanya yang masih saja basah karena tangisnya. Bahkan Rantipun menjadi terisak.
Namun akhirnya Ranti itu ditinggalkan di dalam sebuah bilik yang ditutup dan diselarak dari luar. Nampaknya orang-orang yang berada di rumah itu masih menunggu kehadiran orang yang disebut junjungan mereka itu.
Dalam pada itu, Glagah Putih masih saja berada di kebun belakang. Setiap kali ia masih menerima isyarat dari Rara Wulan, bahwa orang yang disebut junjungan mereka itu masih belum datang.
Sementara itu, mataharipun menjadi semakin rendah. Bahkan kemudian senjapun mulai turun. Orang-orang yang berada di rumah itu mulai menyalakan lampu minyak. Bahkan ada di antaranya yang diletakkan di luar rumah. Agaknya lampu minyak itu dimaksudkan untuk menerangi jalan ke pakiwan.
Sementara itu, di regol halamanpun telah dipasang pula sebuah oncor yang nyalanya lebih besar dari lampu minyak.
Ketika mnalam mulai turun, maka sebenarnyalah orang yang disebut junjungan mereka itupun benar-benar telah singgah di rumah itu. Demikian Rara Wulan mendengar percakapan di luar biliknya, maka iapun segera mengetahui bahwa yang dimaksud dengan junjunganku itu telah benar-benar ada di rumah itu.
Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat dengan Aji Pameling kepada Glagah Putih yang masih berada di bawah rumpun pisang yang lebat di kebun belakang.
Glagah Putih itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat isyarat dari Rara Wulan. Ia tidak dapat berlama-lama berada di bawah rumpun pisang itu. Kulitnyapun sudah menjadi gatal dimana-mana karena digigit nyamuk.
Dengan sangat berhati-hati, Glagah Putihpun bergeser mendekati rumah itu. Apalagi hari sudah gelap, sehingga Glagah Putih itu akan lebih mudah untuk mendapatkan perlindungan.
Sementara itu, Rantipun menjadi berdebar-debar pula.
Ranti mendengar suara yang berat, tetapi menggantung datar. Suara yang sebelumnya belum pernah didengarnya di antara para penghuni rumah itu.
"Orang itu tentu orang yang disebut junjungannya itu," berkata Ranti di dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang bertubuh agak pendek itupun berkata, "Ampun Pangeran. Sehari ini kami sangat mengharapkan kedatangan Pangeran. Kami hampir kehabisan kesabaran, sehingga hamba sendiri hampir saja datang untuk menjemput Pangeran."
"Ada apa?" suara itu terdengar bergetar.
"Kami telah menemukan orang-orang yang kami curigai di dekat petilasan itu. Bersama mereka berdua terdapat seorang perempuan cantik yang masih muda, adik dari salah seorang di antara kedua orang itu, yang akan diperistri oleh seorang yang lain."
"Jadi mereka akan menjadi saudara ipar?"
"Ya." "Bawa kedua orang itu kemari."
"Ampun Pangeran. Kami telah bertempur melawan kedua orang itu. Tetapi keduanya sangat licik. Mereka tiba-tiba saja melarikan diri, menyusup di antara orang-orang yang berkerumun menyaksikan keributan yang terjadi itu."
"Maksudmu, mereka terlepas dari tanganmu?"
"Ya." "Jahanam kalian."
"Ampun Pangeran. Kami mohon ampun. Mereka berdua melarikan diri tanpa menghiraukan saudara perempuan mereka. Yang kemudian kami bawa, justru perempuan muda yang cantik itu."
Orang yang disebut Pangeran itu termenung. Namun kemudian katanya, "Bawa perempuan itu kemari."
"Baik, Pangeran."
Orang bertubuh pendek itupun kemudian telah pergi ke bilik tempat ia menyimpan Ranti.
Ranti mendengar pembicaraan itu. Karena itu, maka iapun telah menyampaikan isyarat dengan Aji Pameling kepada Glagah Putih.
Glagah Putih yang menerima isyarat itupun telah siap menghadapi kemungkinan apapun juga.
Tetapi agaknya rumah itu bukan akhir dari pencaharian Glagah Putih. Pangeran yang disebut junjungan orang-orang yang tinggal di rumah itu, hanya sekedar singgah. Tetapi tentu ada tempat yang lain, yang merupakan sarangnya yang sebenarnya.
Karena itu, maka dengan isyarat Glagah Putihpun menyampaikan pesan kepada Rara Wulan, bahwa mereka masih akan memperhatikan perkembangan keadaan.
"Kita ingin melihat sarang Pangeran itu yang sebenarnya," berkata Glagah Putih dalam pesannya.
Ternyata Rara Wulanpun tanggap akan pesan pendek Glagah Putih itu. Ia mengerti, bahwa jika ia harus dibawa pergi oleh Pangeran yang datang itu, ia tidak boleh menolak.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh agak pendek itupun telah membuka selarak pintu bilik Ranti. Bagaimanapun juga, namun Ranti itupun menjadi semakin berdebar-debar pula.
Demikian pintu itu terbuka, maka orang yang bertubuh pendek itu nampak berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
"Pangeran memanggilmu," berkata orang yang bertubuh pendek itu sambil tersenyum-senyum.
"Iblis kau," geram Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi mulutnya tidak mengucapkan kata-kata apapun.
"Marilah," berkata orang yang bertubuh pendek itu, "jangan takut. Kau sedang melangkah ke puncak keberuntunganmu. Tetapi kau tidak boleh lupa kepadaku. Jika kau mendapatkan kamukten karena pertemuanmu dengan junjunganku, kau harus ingat kepadaku. Kau harus membelikan aku timang emas bermata intan."
Ranti sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja berdiri di dalam biliknya dengan wajah yang menunduk.
"Kenapa kau masih membeku di situ. Jangan takut. Junjunganku menunggumu."
Selangkah-selangkah Rantipun melangkah maju. Namun orang bertubuh pendek itupun berkata, "Benahi pakaianmu. Sanggulmu dan seharusnya kau tidak berwajah murung seperti itu."
Ranti seakan-akan tidak mendengarnya. Ia sama sekali tidak membenahi pakaiannya. Tetapi Ranti itupun melangkah ke pintu biliknya.
Orang bertubuh pendek itu tidak memaksanya untuk berbenah diri. Tetapi orang itu telah menggiring Ranti untuk pergi ke ruang depan rumah itu.
Demikian Ranti memasuki ruang depan rumah itu yang tidak terlalu luas, ia melihat seorang yang duduk di amber ambu yang agak besar. Tetapi Ranti tidak berani memandang wajah itu, meskipun dalam sekilas ia sempat juga melihatnya.
"Duduklah," terdengar suara yang berat mengambang itu.
Ranti termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh agak pendek itupun mengulangi kata-kata junjungannya, "Duduklah."
Tetapi ketika Ranti akan duduk di bibir amben yang agak besar itu, orang yang disebut junjungannya itupun berkata, "Tunggu."
Rantipun tidak jadi duduk di bibir pembaringan itu.
"Berputarlah. Aku ingin melihat punggungmu." Ranti tidak segera memutar. Ia masih saja berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya tubuh perempuan itu bagaikan telah menjadi beku.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun orang yang duduk di amben itupun berkata lebih keras, "berputarlah. Aku ingin melihat punggungmu, kau dengar."
Tetapi Ranti tidak segera berputar. Ia justru berjongkok sambil menangis.
Namun Ranti itu masih juga terkejut ketika ia mendengar orang yang duduk di amben itu berkata lantang, "Ambil cambuk. Paksa orang itu berbalik. Kemudian paksa ia berjalan hilir mudik. Jika ia berkeberatan, cambuk perempuan itu sehingga ia mau melakukannya."
"Orang ini agaknya memang agak terganggu jiwanya," berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi sebagai Ranti maka iapun menjadi sangat ketakutan.
Orang yang agak pendek itupun kemudian mengambil cambuk di ruang dalam. Ketika cambuk itu dihentakkan sendai pancing, maka terdengar suara cambuk itu meledak.
Glagah Putih yang ada di luar terkejut. Tetapi sambil berjongkok serta menutup wajahnya Rara Wulan sempat menyampaikan isyarat, bahwa ia baik-baik saja.
Tetapi Ranti tidak berani membantah. Ketika sekali lagi orang itu membentak agar berbalik dan berjalan hilir mudik, maka Rantipun melakukannya. Meskipun dari pelupuknya mengalir air mata yang diusapnya dengan lengan bajunya, namun ia masih dapat berjalan dengan langkah yang agak dibuat-buat. Bukan saja untuk menarik perhatian, tetapi Ranti harus menyembunyikan langkahnya sebagai seorang perempuan yang berilmu tinggi. Orang yang disebut sebagai junjungan di tempat itu, tentulah seorang yang berilmu sangat tinggi sehingga ia akan dapat melihat kemampuan seseorang hanya dari caranya berjalan.
Tetapi Ranti telah menjaga langkahnya dengan sangat berhati-hati.
Tetapi dengan demikian, ia justru sangat menarik perhatian orang yang duduk di amben itu. Dengan nada datar iapun berkata, "Cukup. Sekarang duduklah."
Rantipun tidak dapat berbuat lain, kecuali duduk di bibir amben bambu itu.
"Namamu siapa nduk?" berkata orang yang disebut junjungan itu.
"Namaku Ranti, paman."
Tetapi orang bertubuh agak pendek itu membentaknya. "Sebut Pangeran, dungu. Kenapa kau panggil junjunganku dengan sebutan paman?"
Tetapi yang disebut Pangeran itu justru tertawa. Katanya, "Ia belum mengerti, dengan siapa ia berhadapan."
Ranti hanya menundukkan wajahnya. Tetapi ia nampak menjadi sangat ketakutan.
Dalam pada itu, maka orang yang duduk di amben itupun berkata, "Baiklah. Nanti, jika aku pulang, perempuan itu akan aku bawa. Biarlah ia beristirahat dahulu. Beri ia makan yang baik secukupnya. Jangan ganggu perempuan itu jika ia sedang beristirahat."
"Baik, Pangeran," jawab orang bertubuh pendek itu.
"Tetapi sebelumnya, tanyakan di mana rumahnya. Kalian pergi dahulu ke rumahnya untuk mengambil kakaknya dan kemudian kalian juga harus mengambil calon iparnya itu."
"Jangan Pangeran. Ampun. Jangan sakiti kakak dan laki-laki yang akan mengambil aku menjadi istrinya."
"Mereka akan merupakan duri di dalam dagingku. Aku ingin tahu, kenapa mereka mengamati petilasan yang aku tinggalkan di luar lingkungan kota Panaraga itu."
"Mereka adalah orang baik-baik, Pangeran. Ampunkan mereka."
"Aku ingin tahu, untuk apa mereka lakukan itu."
"Tentu tidak dengan maksud buruk Pangeran."
"Bawa perempuan itu ke biliknya. Kalian pergi malam ini untuk mengambil keduanya. Nanti aku akan membawa perempuan itu pergi setelah aku bertemu dengan kakaknya dan laki-laki yang seorang itu lagi."
"Baik, Pangeran."
Laki-laki bertubuh agak pendek itupun segera membawa Ranti kembali ke biliknya. Namun ia masih bertanya kepada Ranti, di mana kakaknya itu tinggal.
"Aku tidak mau menjawab," berkata Ranti.
"Jangan begitu, Ranti. Kau harus menjaga dirimu sendiri. Jika kau tidak mau mengatakan di mana rumahmu, maka junjunganku itu akan marah. Ia dapat berbuat apa saja atas dirimu jika ia marah. Meskipun semula ia tertarik kepadamu, jika ia marah, maka ia akan dapat berubah sikap."
"Tetapi kasihani kakakku itu."
"Tidak ada rasa belas kasihan pada junjunganku itu. Juga kepadamu."
Ranti menangis lagi. Kedua telapak tangannya telah menutup wajahnya yang basah.
"Tidak ada gunanya kau menangis Ranti. Sebaiknya kau katakan saja dimana rumahmu, agar aku dapat segeia melakukan tugasku. Jangan menunggu junjunganku itu marah."
Ranti benar-benar menjadi bimbang. Tetapi menurut perhitungannya, meskipun rumah itu dapat diketemukan, kedua orang itu masih mempunyai kesempatan untuk melawan dan melarikan diri.
Sementara itu, orang bertubuh agak pendek itupun telah menghentakkan cambuknya lagi sambil berkata perlahan, "Pangeran tentu mengira, bahwa aku telah mencambukmu karena kau tetap diam saja.
Rara Wulan benar-benar dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi ia berharap bahwa ia akan dapat menghubungi Glagah Putih untuk memberitahukan, bahwa orang yang menyebut dirinya Ranapati itu akan memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil Sungkana dan Sumbaga.
"Ranti," berkata orang bertubuh pendek itu, "katakan. Aku tentu tidak akan sampai hati menyakitimu untuk memaksa agar kau mengatakan di mana rumahmu. Karena itu, sebelum aku memaksamu, katakan saja di mana rumahmu itu, karena akhirnya kau tentu akan mengatakannya juga. Kau tidak akan tahan dengan tekanan kewadagan, karena jika junjunganku itu merasa terlalu lama menunggu, maka ia sendirilah yang akan turun untuk memaksamu bicara. Kalau junjunganku itu sendiri yang akan memaksamu bicara, maka aku tidak dapat membayangkan, kau akan menjadi apa."
Akhirnya Rara Wulan mengambil keputusan untuk mengatakan, dimana Sungkana dan Sumbaga itu tinggal. Bukan sekedar untuk menyelamatkan diri. Tetapi tujuannya untuk menemukan sarang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu masih belum berhasil. Apalagi menurut perhitungan Rara Wulan, kedua orang itu tentu akan dapat melarikan diri atau bahkan ia sempat menghubungi Glagah Putih.
Karena itulah, maka Ranti itupun telah menyebutkan tempat tinggal Sungkana dan Sumbaga.
"Kakang dan laki-laki yang akan menjadikan aku isterinya itu tinggal di satu rumah. Sebenarnya mereka bukan orang Panaraga. Tetapi mereka adalah orang-orang dari Mataram. Di Mataram hidup kami menjadi sangat kesrakat, karena kami tidak mempunyai tanah garapan yang memadai. Karena itu demikian kami mendengar bahwa Pangeran Jayaraga mendapat tugas di Panaraga, maka kamipun mencoba untuk bertualang ke Panaraga. Ternyata hidup kami di sini menjadi agak lebih baik. Meskipun kami hanya menjual tenaga untuk kerja apa saja dan bahkan kakang bersedia diupah untuk mengantar barang-barang yang dikirim ke tempat yang agak jauh, tetapi upah yang didapatkan cukup memadai. Apalagi kakang dan kawannya itu sanggup melindungi barang-barang kiriman yang harus dipertanggungjawabkan."
"Tunjukkan ancar-ancarnya."
Rantipun menunjukkan ancar-ancar rumah tempat tinggal Sungkana dan Sumbaga.
"Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada junjunganku. Apapun perintahnya, aku harus menjalankannya."
Demikianlah, maka orang bertubuh agak pendek itu segera meninggalkan Ranti dan menghadap kepada junjungannya untuk menyampaikan hasil usahanya untuk memeras keterangan Ranti tentang tempat tinggal kakaknya.
"Kau sakiti perempuan itu?"
"Tidak Pangeran. Perempuan itu nampaknya sudah menjadi sangat ketakutan."
"Aku dengar kau mencambuknya."
"Tidak Pangeran. Aku hanya meledakkan cambuk itu. Ia sudah menjadi gemetar dan hampir jatuh pingsan. Iapun kemudian dengan lancar menceriterakan tempat tinggalnya. Kedua orang laki-laki itu tinggal dalam satu rumah. Mereka bukan orang Panaraga. Tetapi mereka datang dari Mataram."
"Aku sudah menduga. Gaya bicara Ranti itu adalah gaya bicara orang Mataram. Tetapi kenapa mereka berada di sini?"
"Di Mataram mereka sulit untuk dapat mencari makan. Karena itu merekapun pergi ke Panaraga setelah mereka mendengar bahwa yang akan berkuasa di Panaraga adalah seorang Pangeran dari Mataram."
"Adimas Pangeran Jayaraga yang dimaksudkan?"
"Agaknya demikian, Pangeran. Di Panaraga mereka dapat hidup lebih senang. Mereka mendapat penghasilan lebih dengan menjual tenaga. Dengan mengantar barang atau mungkin maksudnya mengawal para pengantar barang."
"Bagus. Pergilah ke rumah itu. Bawa kedua orang itu kepadaku. Jangan gagal. Aku ingin bertanya, untuk apa mereka berkeliaran di dekat petilasan itu."
"Baik, Pangeran."
"Bawa lima orang kawanmu. Biarlah aku menunggu di sini bersama dua orang pengawalku itu."
"Baik, Pangeran."
"Pergilah sekarang. Kau harus kembali sebelum fajar."
"Mudah-mudahan mereka ada di rumah."
"Mereka tentu ada di rumah. Kenapa " Apakah kau menduga, mungkin mereka pergi?"
"Adik perempuannya ada di sini Pangeran. Mungkin mereka menjadi ketakutan, bahwa adik perempuannya itu akan menunjukkan rumahnya, sehingga kami akan datang menangkap mereka."
Orang yang disebut junjungan itupun merenung sejenak. Kemungkinan itu memang masuk akal. Tetapi orang itupun berkata, "Tetapi kau harus mencobanya. Pergilah ke rumah itu. Kau harus masuk ke dalamnya dan melihat di setiap sudutnya."
"Baik, Pangeran."
Demikianlah, orang bertubuh pendek itupun segera mengajak kelima orang kawannya untuk pergi mengambil kedua orang yang telah luput dari tangan mereka itu. Namun seperti pendapat orang yang bertubuh agak pendek itu, bahwa mungkin kedua orang yang mereka buru itu tidak berani pulang. Adik perempuannya akan dapat menunjukkan tempat tinggal mereka.
Sebelum pergi, orang bertubuh agak pendek itu masih sempat menyediakan makan bagi Ranti. Makan yang disediakan termasuk makan yang baik. Dengan lauk yang pantas.
Ketika orang-orang itu sudah pergi, maka Rara Wulanpun berusaha untuk menghubungi Glagah Putih dengan Aji Pameling. Rara Wulan memberitahukan bahwa para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sedang pergi menuju ke rumah Sungkana dan Sumbaga.
"Mereka tentu berada di rumah Madyasta," jawab Glagah Putih yang masih bersembunyi di belakang rumah.
Ketika Glagah Putih bertanya tentang keadaan Rara Wulan, maka Rara Wulan mengatakan, bahwa ia berada dalam keadaan baik.
"Aku mendapat makan enak malam ini," Rara Wulan sempat bergurau.
"Aku kelaparan di sini," jawab Glagah Putih. Rara Wulan tersenyum. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia akan mulai makan. Pintu biliknya yang dise-larak dari luar itupun terbuka.
"O," orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berdiri di depan pintu, "kau baru akan makan?"
Rara Wulan tidak menjawab.
"Baiklah. Makanlah," berkata orang yang menyebut dirinya Ranapati itu pula.
Rara Wulan hanya menundukkan wajahnya. Pintu itupun segera tertutup kembali dan Rara Wulanpun mendengar pintu itu diselarak dari luar.
Namun Rara Wulan masih mendengar Pangeran Ranapati itu bercakap-cakap, sehingga Rara Wulan tahu, bahwa masih ada orang lain di rumah itu.
Malam itu, Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Tetapi ia adalah orang yang terlatih wadagnya dan jiwanya. Karena itu, ia dapat bertahan tanpa beringsut dari tempatnya. Bahkan ia sama sekali tidak merasakan lapar dan haus.
Menjelang tengah malam, maka orang-orang yang mendapat perintah untuk mengambil Sungkana dan Sumbaga itu telah kembali. Ranti mendengar dengan jelas laporan mereka, bahwaa rumah itu kosong. Sungkana dan Sumbaga tidak ada di rumahnya.
"Jangan-jangan perempuan itu berbohong."
"Aku telah membangunkan tetangganya, Pangeran. Aku bertanya apakah rumah itu dihuni dua orang laki-laki bernama Sungkana dan Sumbaga. Tetangga itu membenarkannya. Rumah itu memang dihuni oleh dua orang laki-laki yang bernama Sungkana dan Sumbaga. Ketika aku bertanya, apakah di rumah itu juga tinggal seorang perempuan, tetangganya itu tidak begitu memperhatikan. Namun tetangganya itu memang pernah mendengar suara seorang perempuan di rumah itu."
Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu menggeram. Katanya, "Aku masih saja penasaran. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang itu di dekat batu pipih itu. Apakah mereka sekedar menjadi heran melihat batu pipih yang besar itu serta pagar yang mengelilinginya atau mereka mempunyai maksud-maksud yang lain."
Orang bertubuh agak pendek yang telah mendatangi rumah Sungkana dan Sumbaga tetapi kosong itu, tidak menjawab.
"Baiklah," berkata orang yang mengaku dirinya sebagai Pangeran Ranapati itu, "kita akan pergi ke sanggar. Ikutlah aku. Biarlah Reksa dan Dama saja yang menunggu rumah ini. Patilasan itu harus diawasi dengan baik. Mungkin ada orang lain lagi yang datang untuk mengamati patilasan itu dengan maksud-maksud tertentu."
"Marilah Pangeran."
"Bawa perempuan itu."
"Apakah ia juga harus berjalan di malam yang sudah menjelang dini hari ini?"
"Ya." "Apakah esok biarlah aku membawanya menyusul Pangeran?"
"Tidak. Aku mau perempuan itu pergi bersamaku sekarang."
Tidak ada yang dapat mencegahnya lagi. Orang bertubuh agak pendek itupun terpaksa mengetuk pintu bilik Ranti yang agaknya sudah tidur nyenyak.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan memang sempat tidur sejenak. Tetapi telinganya yang tajam, tentu mendengar setiap bunyi di dalam bilik itu. Iapun tentu dapat mendengar jika pintu biliknya itu dibuka, betapapun sangat berhati-hati. Tetapi derit pintu itu sudah cukup keras untuk dapat membangunkannya.
Orang bertubuh agak pendek itupun kemudian mengetuk pintu bilik Ranti. Meskipun ia dapat begitu saja mengangkat selarak dan membuka pintu itu, tetapi orang bertubuh agak pendek itu tidak mau mengejutkannya. Karena itu, maka iapun telah mengetuknya perlahan-lahan.
Dari dalam bilik itu terdengar suara Ranti, "Siapa?"
"Aku Ranti. Junjunganku memanggilmu. Kau akan diajak pergi ke sanggarnya."
"Ke Sanggarnya" Di mana letak sanggarnya?"
"Di dekat petilasannya itu."
"Di dekat petilasannya " Malam-malam begini."
"Tidak ada orang yang dapat membantahnya. Kau harus pergi. Benahi pakaianmu dan jangan mencoba untuk membantah jika kau tidak ingin menjadi lumat."
Ranti tidak menjawab. Iapun kemudian mendengar selarak pintu yang diangkat, serta pintu yang berderit terbuka.
"Marilah," berkata orang bertubuh agak pendek itu.
Ranti berdiri termangu-mangu. Namun iapun kemudian bertanya, "Di mana letak petilasannya itu" Jauh atau dekat?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Bagi orang bertubuh pendek itu serta kawan-kawannya, petilasan itu tentu dianggapnya hanya dekat saja. Tetapi tentu berbeda bagi perempuan itu. Apalagi di malam yang sudah menjadi larut, bahkan sudah merambah ke dini hari."
Tetapi orang bertubuh pendek itu tidak dapat berbuat lain kecuali membawa Ranti.
Karena itu, maka iapun berkata, "Ranti. Jangan bertanya apakah petilasan itu dekat atau jauh. Yang penting, kau harus mengikuti junjunganku pergi. Kau tidak mempunyai pilihan lain."
Ranti memang tidak akan dapat mengelak lagi. Iapun kemudian membenahi rambutnya. Baru kemudian ia melangkah keluar bilik itu.
Di ruang depan, orang yang disebut Pangeran itu sudah menunggu. Demikian Ranti datang, bersama orang bertubuh pendek itu, maka orang yang disebut Pangeran itupun segera berkata, "Marilah. Jangan sampai kesiangan. Sebelum fajar kita harus sudah sampai."
Demikianlah, maka orang yang disebut Pangeran itupun segera meninggalkan rumah itu. Orang bertubuh agak pendek itu telah menggiring Ranti bersama beberapa orang yang lain.
Ternyata yang tinggal di rumah itu lebih banyak dari dugaan Ranti. Setelah mereka pergi mengikuti orang yang disebut Pangeran itu, maka di rumah itu masih ada beberapa orang yang tinggal menunggui tempat itu.
Di malam yang gelap, Ranti harus berjalan mengikuti orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Dengan tertatih-tatih Ranti berjalan diikuti oleh orang yang bertubuh agak pendek itu. Nampaknya Ranti mengalami kesulitan berjalan di kegelapan. Sekali-sekali kakinya terperosok ke dalam lubang jalur roda pedati yang sering melewati jalan itu di siang hari.
Sebenarnyalah Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan berjalan di jalan yang betapapun rumitnya. Pandangan matanyapun sangat tajam, apalagi jika ia mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Tetapi sebagai Ranti maka ia mengalami banyak kesulitan sehingga jalannya-pun menjadi lambat.
"Seret perempuan itu jika ia tidak dapat berjalan cepat," berkata orang yang disebut Pangeran itu.
Orang bertubuh pendek itu tidak menjawab. Namun ia berkata kepada Ranti hampir berbisik, "Cepat sedikit Ranti, agar aku tidak harus menyeretmu."
Ranti tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan lebih cepat sedikit, meskipun setiap kali terdengar ia berdesah.
Sebenarnya Rara Wulan sudah tahu, di mana letak petilasan itu. Tetapi sebagai Ranti, maka ia menjadi bingung dalam gelap malam yang pekat. Apalagi jika mereka berjalan di padukuhan yang mempunyai rumpun bambu yang lebat.
Mereka memang harus memilih jalan-jalan sepi dan gelap untuk menghindari gardu-gardu perondan.
Seperti yang dikehendaki oleh orang yang disebut sebagai Pangeran itu, menjelang fajar, mereka telah sampai di sebuah rumah yang agak terpencil dari sebuah padukuhan kecil, di sebelah padukuhan tempat Pangeran Ranapati memagari batu pipih yang disebutnya sebagai petilasan itu.
Ketika mereka akan memasuki padukuhan itu, maka merekapun berhenti sejenak. Orang yang disebut Pangeran itu memerintahkan dua orang pengikutnya untuk mendahului memasuki padukuhan itu. Ketika kedua orang itu tidak memberikan isyarat apa-apa, maka barulah orang yang disebut Pangeran itu memasuki padukuhan itu pula dan kemudian memasuki regol halaman sebuah rumah yang agak terpencil.
Demikian mereka hilang di balik regol halaman, maka seorang yang mengikuti mereka itupun telah bergeser dan meloncat ke halaman rumah di sebelahnya. Namun sejenak kemudian orang itupun telah meloncati dinding halaman dan berada di halaman samping rumah yang dipergunakan sebagai sarang oleh orang yang disebut Pangeran itu.
Sejenak Glagah Putih menunggu. Ia mendengar lamat-lamat orang yang disebut Pangeran itu memberikan beberapa perintah. Ketika ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, maka ia mendengar orang yang disebut Pangeran itu berkata, "Masukkan perempuan itu ke biliknya. Besok aku akan berbicara kepadanya."
"Baik, Pangeran," jawab orang yang bertubuh pendek itu.
Demikianlah, maka Rantipun telah dibawa ke dalam sebuah bilik yang telah disediakan. Demikian Ranti duduk, maka ia telah mendengar pintu bilik itu diselarak dari luar.
Sejenak kemudian, dengan Aji Pameling, Rara Wulanpun sempat berhubungan dengan Glagah Putih. Dengan isyarat Rara Wulanpun mengatakan, bahwa agaknya di sisi malam ini dan esok sehari ia akan berada dalam keadaan aman.
"Kakang dapat beristirahat, makan dan baru esok jika malam turun, kakang datang lagi ke mari."
"Jika terjadi sesuatu esok, beri aku isyarat," berkata Glagah Putih.
"Baik, kakang."
Demikianlah, sebelum fajar, Glagah Putihpun telah meninggalkan sarang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu lagi. Ia tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Pangeran itu.
Tetapi sesuai dengan perhitungan Rara Wulan, maka setidak-tidaknya sampai esok malam, tidak akan terjadi apa-apa dengan Rara Wulan itu. Meskipun demikian, ia tidak boleh berada terlalu jauh dari padukuhan itu.
Namun satu hal yang penting, bahwa dengan demikian Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mengetahui setidaknya dua tempat tinggal orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Satu di dalam lingkungan dinding kota, sedang yang satu lagi berada di padukuhan di sebelah padukuhan yang dibangun sebuah petilasan dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Glagah Putih mempergunakan waktunya yang sehari untuk bertemu dan berbicara dengan Madyasta. Adalah kebetulan bahwa Sungkana dan Sumbaga juga berada di rumah itu.
"Berhati-hatilah," berkata Glagah Putih.
"Sejak semalam kami berada di sini," sahut Sungkana.
"Untunglah kalian berada di sini. Semalam orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati mengirim orang ke rumah kalian untuk menangkap kalian."
"Darimana ia tahu rumah kami?"
"Rara Wulan. Tetapi aku sudah mengatakan kepada Rara Wulan, bahwa kalian berdua tentu tidak berada di rumah. Kalian berdua tentu berada di sini."
"Lalu, apa yang mereka lakukan?"
"Karena kalian tidak ada, maka merekapun segera kembali. Tetapi mereka sudah mencoba untuk membuktikan bahwa rumah itu benar rumah kalian. Mereka telah bertanya pada tetangga kalian."
"Untunglah aku tidak terlalu banyak berhubungan dengan tetangga, sehingga mereka tidak terlalu banyak mengetahui tentang diriku."
"Sekarang, untuk sementara Sungkana dan Sumbaga jangan terlalu sering keluar. Kalian masih tetap diburu. Biarlah Madyasta yang tidak mereka kenal berusaha mencari keterangan, apakah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga."
"Baik. Aku akan berusaha. Aku mengenal beberapa orang pejabat di istana Pangeran Jayaraga. Meskipun mungkin agak lamban, tetapi agaknya aku akan mendapatkan keterangan itu."
"Baiklah. Kita akan melakukan tugas kita masing-masing."
"Apa yang harus kami lakukan?" bertanya Sungkana dan Sumbaga hampir berbareng.
"Pada saatnya kalian akan mendapatkan tugas yang mungkin tidak kalah beratnya. Untuk sementara kalian dapat beristirahat di rumah ini."
"Kami akan merasa seperti di penjara."
Glagah Putih tertawa sambil bertanya, "Apakah kau pernah dipenjara?"
Keduanyapun tertawa pula. Demikian pula Madyasta.
Setelah memberikan beberapa pesan, maka Glagah Putihpun segera bersiap-siap untuk kembali ke rumah yang agak terpencil, di padukuhan sebelah padukuhan tempat petilasan Pangeran Ranapati itu dibangun.
Dengan pengalamannya semalam, maka Glagah Putihpun kemudian telah membeli makanan yang dapat disimpan semalam suntuk.
Di hari itu, Ranti harus menghadap orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Pangeran itu berharap agar Ranti berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
"Kalau kau berhasil, maka kau akan mendapat anugerah yang tidak pernah kau impikan, Ranti. Kau perempuan yang seakan-akan tersisih dari pergaulan hidup, akan dapat menjadi selir seorang pangeran. Tetapi segala sesuaatunya tergantung kepada dirimu. Kepada kemampuanmu menyesuaikan diri."
Ranti hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab.
"Hari ini kau masih akan berada di dalam bilikmu. Mungkin esok dan lusa juga. Tetapi pada suatu hari kau akan mendapat kesempatan untuk hidup bebas sebagaimana orang lain di rumah ini. Nah, sejak saat itu kau akan mengalami pendadaran, apakah kau pantas menjadi selir seorang Pangeran atau tidak."
Namun dalam pada itu, pada saat orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berbicara kepada Ranti, seorang perempuan yang nampaknya sedikit lebih tua dari Ranti, memandanginya dengan sorot mata yang tajam. Ketika Ranti sempat memandang wajahnya sekilas, ia melihat pandangan mata perempuan itu seakan-akan menusuk sampai ke jantungnya.
"Kantil," berkata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. "Kau akan mempunyai seorang kawan. Perempuan ini akan tinggal di sini. Jika ia mampu menyesuaikan dirinya serta dapat menarik perhatianku, maka ia akan dapat aku angkat menjadi selir untuk menemanimu."
Perempuan itu tersenyum sambil berkata dengan lembut, "Ampun Pangeran. Hamba akan menerimanya sebagaimana hamba menerima saudara hamba sendiri."
"Ajari perempuan itu, apa yang harus dilakukannya sehingga pada suatu saat ia akan dapat menjadi perempuan yang pantas untuk menjadi seorang selir dari seorang Pangeran."
"Hamba Pangeran. Hamba akan melakukannya. Hamba akan sangat bergembira mempunyai seorang saudara di sini. Selama ini hamba merasa bagaikan hidup sebatang kara."
"Apakah kau tidak menganggap bahwa aku ada?"
"Maksud hamba, hamba tidak mempunyai saudara lagi."
Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tersenyum. Katanya, "Sekarang, aku bawakan seorang saudara perempuan bagimu. Mudah-mudahan ia segera dapat menyesuaikan diri."
"Hamba mengucapkan terima kasih, Pangeran."
"Nah, bawa perempuan ini kedalam biliknya. Untuk selanjutnya, kau akan mengurus perempuan itu, Ajari apa yang pantas dilakukan. Dalam waktu dua tiga hari ini, ia masih akan tetap berada di dalam biliknya seperti yang telah aku katakan."
"Hamba Pangeran."
"Ranti. Ikutlah mbokayumu. Anggap bahwa ia adalah kakak perempuanmu sendiri."
Ranti tidak menjawab. Ia hanya mengangguk saja. Di wajahnya masih membayang ketakutan yang mencekam.
Demikianlah, maka Kantilpun kemudian telah mengajak Ranti untuk pergi ke biliknya. Dengan kata-kata lembut serta wajah yang manis Kantil itupun berkata, "Marilah adikku. Kau dapat beristirahat didalam bilikmu. Jangan takut. Aku akan selalu melindungimu."
Ketika Ranti berjalan ke biliknya, ia melihat beberapa orang laki-laki mengawasinya. Dengan lembut pula Kantilpun berkata, "Mereka tidak akan mengganggumu. Siapa yang berani mengganggumu, akan aku singkirkan untuk selama-lamanya."
Ranti sama sekali tidak menjawab. Ia berjalan saja ke biliknya diikuti oleh perempuan yang disebut bernama Kantil itu.
Namun demikian Ranti itu masuk, maka Kantil yang mengikutinya segera menutup pintu bilik itu. Tiba-tiba saja ia mendorong Ranti sehingga Ranti itupun terjerembab ke pembaringannya.
Ranti terkejut sekali, Ketika ia mencoba berdiri dan berbalik, ia melihat mata Kantil itu menyala kembali. Sorot matanya yang tajam itu bagaikan langsung menusuk ke jantungnya.
"Perempuan jalang," geram Kantil, "Kenapa kau dapat sampai ke rumah ini " Kau tahu, bahwa aku adalah isteri Pangeran Ranapati. Seharusnya aku adalah satu-satunya perempuan di rumah ini. Sekarang tiba-tiba saja kau hadir disini."
Wajah Ranti membayangkan ketakutan yang amat sangat. Ketika Kantil melangkah setapak demi setapak maju, Ranti justru surut kebelakang. Namun akhirnya ia telah berdiri melekat pembaringannya sehingga Ranti itu tidak dapat bergeser mundur lagi.
"Apa yang kau lakukan mbokayu."
"Perempuan laknat," geram Kantil, "kenapa tiba-tiba kau berada di rumah ini " Siapakah yang membawamu kemari dan mengumpankanmu kepada Pangeran Ranapati ?"
"Aku tidak tahu, mbokayu. Yang aku tahu, beberapa orang pengikut Pangeran Ranapati itu berusaha menangkap kakakku! Tetapi kakakku dapat melarikan diri. Tetapi justru akulah yang dibawanya kemari. Jadi keberadaanku disini, sama sekali bukan karena keinginanku sendiri."
"Kau bohong. Kau berusaha memikat hati Pangeran Ranapati agar kau diambilnya sebagai seorang selir. Kau lebih muda dan lebih cantik dari aku. Dengan demikian, kau mempunyai harapan untuk mendesak kedudukanku."
Sepuluh Anak Negro 3 Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur Hantu Langit Terjungkir 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama