Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 1
Elemen Kekosongan Nein Arimasen Tlatah Alemania, Mei 2007
Kisah-kisah 1 Kisah Rimba dan Gunung Hijau 5
2 Perubahan-perubahan 65 3 Hakim Haus Darah 125 4 Penjaga Keseimbangan 185
5 Yang Kembali dan Yang Tumbuh 247
6 Tato 309 7 Orang-orang Abadi 373 8 Menari Bersama Air 441 9 Kisah-kisah antar Ruang dan Waktu 505
3 4 KISAH-KISAH Bagian 1 Kisah Rimba dan Gunung Hijau Kisah ini dimulai pada suatu masa di suatu tempat, saat suatu pagi
terlihat akan mengantar pada suatu hari yang cerah. Kabut tipis
yang mengambang masih berusaha mencegah sinar sang surya untuk
mencapai hamparan permadani hijau berkloro"l di dataran tinggi itu.
Orang menamakan gunung yang ada di sana sebagai Gunung Hijau,
karena di kakinya terdapat suatu hutan belantara yang dinamakan
hutan Rimba Hijau. Kata-kata Hijau tersebut selain datang dari
bentuk "sik alam sekitarnya yang dipenuhi oleh jasad-jasad nabati
berkloro"l, juga dikarenakan pada saat-saat tertentu terdapat gas
berwarna hijau yang dikeluarkan oleh rawa-rawa di sekitar hutan tersebut. Kadang pada saatnya orang hampir tidak dapat melihat apa pun
yang ada di belakang kabut yang tercampur dengan gas berwarna hijau tersebut. Rimba Hijau dan Gunung Rimba Hijau merupakan sepasang misteri
yang membuat orang-orang desa yang tinggal di daerah luaran kedua tempat tersebut amat berhati-hati membicarakannya. Bukan saja
karena wujudnya saja yang sudah menyeramkan bagi orang yang melihatnya, akan tetapi juga karena baru-baru ini terdapat suatu peristiwa
mengiriskan yang membuat orang menjadi bertanya-tanya.
Kejadian itu bermula dari datangnya sekelompok orang yang apabila
ditilik dari sandang yang dikenakannya, adalah golongan pendekar.
5 6 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Mereka ini terdiri dari empat orang. Keempatnya adalah saudara
seperguruan, di mana hal ini terlihat dari cara mereka saling memanggil satu sama lain dengan "kakak" atau "adik" yang diikuti dengan
urutannya. Orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan berkulit
gelap. Orang kedua memiliki tinggi yang hampir sama dengan orang
pertama, akan tetapi dengan postur yang amat kurus, sehingga terlihat seperti galah. Orang ketiga bertubuh rata-rata orang kebanyakan
dengan ciri khusus yaitu rambutnya yang dijalin-jalin seperti sumbu
kompor. Dan orang keempat memiliki postur tubuh agak pendek akan
tetapi dengan otot-otot kekar yang melebihi ketiga saudara seperguruannya. Keempatnya berlari cepat seperti terbang saat memasuki hutan Rimba
Hijau. Kedatangan mereka tidak sembunyi-sembuyi. Beberapa petani
yang sedang mengerjakan sawahnya dilalui mereka tanpa menyapa.
Dan yang menggirisi adalah mereka tidak lagi perlu menggunakan
pematang untuk melewati sawah-sawah sebelum mencapai mulut
hutan, akan tetapi cukup dengan menggunakan pucuk-pucuk padi
yang belum dipanen sebagai pijakan. Pucuk-pucuk tersebut hanya
bergoyang-goyang kecil, seakan-akan keempat orang tersebut adalah
burung-burung Pipit saja.
Melihat hal ini para petani tidak ada yang berani bersuara. Mereka
diam saja dengan muka penuh tanda tanya dan kekuatiran. Hal ini
dikarenakan sesuatu hal pasti akan terjadi, dan mau tidak mau pasti
akan mempengaruhi mereka, para penghuni desa di sekitar hutan dan
gunung tersebut. Dulu kala, menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun,
sebelum hutan dan gunung tersebut menjadi terlarang dan berwarna
hijau yang disertai dengan adanya kabut dan gas tersebut, adalah seorang tua pertapa yang datang ke desa itu. Ia menemui kepala desa
dan menyatakan niatnya yang hendak menyepi ke gunung yang dikelilingi oleh hutan tersebut. Ia kemudian mewanti-wanti bahwa mulai
saat itu gunung dan hutan menjadi tempat terlarang bagi siapa pun.
Akan tetapi apabila penduduk desa ada yang membutuhkan pertolongan dalam pengobatan, maka ia dapat dihubungi dengan memberikan
tanda-tanda di suatu tempat yang telah ditentukan.
Dikarenakan sikap orang tersebut baik dan tidak mengisyaratkan hal
7 yang bukan-bukan, maka tentu saja kepala desa mengabulkan permintaan dan sekaligus mematuhi larangannya. Dan hal tersebut dipatuhi secara turun-temurun tanpa dipertanyakan mengapa. Begitulah orang-orang desa yang masih lugu dan bebas dari prasangka. Oleh
karena itu hiduplah mereka dengan baik dan tenteram. Pernah suatu
kali terjadi wabah penyakit, dan teringatlah orang akan sang pertapa
yang dapat dimintai pertolongan, sesuai dengan janjinya dulu. Setelah memberikan tanda-tanda pada tempatnya beserta berita mengenai
wabah penyakit yang menyerang, ditinggalkannya tempat tersebut.
Dan keesokan harinya ditemuilah dua buah keranjang bambu besar
berisi rempah-rempah obat yang disertai dengan petunjuk bagaimana
memanfaatkannya. Dengan menggunakan obat-obatan tersebut, sembuhlah para penduduk desa itu. Oleh sebab itu mereka menghormati hutan dan
gunung tersebut sebagai tempat kediaman seorang sakti yang senantiasa menjaga mereka, apabila mereka mematuhi dan menghormati
larangan-larangannya. Dan pertolongan itu bukan hanya sekali dua
kali, melainkan telah berkali-kali. Dengan demikian tidaklah aneh
bahwa orang-orang desa mengeramati tempat tersebut
Dan hari itu datanglah keempat pendekar dengan rupa yang aneh bagi
orang kebanyakan. Tanpa "ba-bi-bu" dan tanya-tanya, langsung saja
memasuki hutan Rimba Hijau dan lenyap ditelannya. Orang-orang
yang tidak saja belum sempat bertanya, dan juga agak segan melihat kepandaian keempat orang tersebut, menjadi was-was. Mereka
pun pulang untuk melaporkan kejadian tersebut kepada kepala desa
mereka. Tak ada yang dapat dilakukan para penghuni desa tersebut. Mereka
hanya dapat menunggu dengan harap-harap cemas, kelanjutan dari
masuknya keempat orang tersebut ke dalam hutan Rimba Hijau.
Dan hal yang dikuatirkan pun terjadi pada keesokan harinya. Di tempat di mana orang biasa meletakkan tanda-tanda, apabila ingin memperoleh pertolongan obat-obatan dari penghuni hutan dan gunung,
tergeletak keempat orang pendekar yang kemarin memasuki hutan.
Akan tetapi disayangkan bahwa keempatnya telah melepas nyawa, sehingga tidak dapat ditanyai apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sebuah pesan singkat yang ada, yang meminta penduduk desa untuk
8 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
menguburkan keempat orang tersebut di sekitar tempat itu, untuk
menjadi peringatan yang lain agar tidak memasuki hutan dan gunung.
Waktu pun berlalu bagai dihempuskan angin. Dan pada suatu hari
datang kembali secara berterang orang-orang yang berkeinginan untuk
masuk ke dalam hutan Rimba Hijau.
Jika dulu keempat orang pendekar itu masuk ke hutan dan gunung
tanpa basa-basi, maka hari ini datanglah serombongan orang yang
terlebih dahulu bertegur-sapa dengan penghuni desa dan menyatakan
ingin menemui kepala desa, untuk minta ijin memasuki gunung dan
hutan. Seorang muda yang merupakan ketua dari rombongan itu menyatakan
niatnya kepada kepala desa untuk memasuki wilayah yang dikeramatkan oleh penduduk itu.
"Kepala desa yang terhormat, kami rombongan dari Pingiran Sungai
Merah berniat untuk memasuki hutan dan gunung di pinggir desamu
ini," katanya dengan sopan, "berilah kami ijin."
"Maaf saudara dari Pinggiran Sungai Merah," jawab sang kepala desa
dengan bimbang, "hutan dan gunung itu bukanlah milik kami, sehingga kami tidak dapat memberikan ijin. Akan tetapi telah disampaikan secara turun-temurun di antara kami penduduk desa ini, bahwa
hutan dan gunung itu tidaklah boleh dimasuki, jika tidak dilarang.
Penghuninya dan kami telah saling berjanji. Kami tidak mengganggu
dan mereka akan membantu bila kami dalam musibah."
"Maksudnya?" tanya pemimpin rombongan, yang kemudian diketahui
bernama Asap. "Ya, dulu sekali, sewaktu sungai-sungai masih jernih mengalir dan
kadal-kadal sebesar kerbau masih berkeliaran, ada seorang pertapa
yang meminta untuk tinggal menyepi di hutan dan gunung itu."
Lalu diceritakanlah oleh kepala desa itu riwayat bagaimana gunung
tersebut menjadi suatu pantangan untuk dimasuki, dan bagaimana
penghuninya yang tidak pernah terlihat membantu penduduk desa
saat desa diserang wabah penyakit.
Dan diceritakannya pula mengenai nasib keempat pendekar yang ma9 suk ke sana, akan tetapi pulang dalam keadaan siap berkalang tanah.
Mendengar hal tersebut, Asap menjadi tertarik dan semakin kuat niatnya untuk memasuki hutan dan gunung tersebut.
"Saudara Asap dari Pingiran Sungai Merah, urungkanlah niat kalian
untuk memasuki hutan dan gunung itu," pinta sang kepala desa,
"selain untuk kebaikan kalian sendiri, juga untuk kebaikan kami.
Bagaimana bila nanti penghuni hutan dan dan gunung marah kepada
kami, karena kalian tidak menggubris larangan kami ini."
Mendengar itu, Asap menjadi tidak enak. Ya, ia tahu untuk rasa
takut, ia dan kawan-kawannya akan dapat menghadapi hal itu karena
mereka adalah orang-orang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan
dan juga sedikit sihir. Akan tetapi untuk akibat yang akan diterima
oleh penghuni desa itu, merupakan suatu tanggung jawab moral yang
harus ditanggungnya. Bila saja ia bisa agak tak peduli dengan hal itu.
Tapi sayangnya tidak. Setelah berunding dengan orang-orang serombongannya, akhirnya
berterus-teranglah Asap tentang maksudnya untuk memasuki hutan
dan gunung tersebut. Ia dan kawan-kawannya bermaksud untuk mencari sejenis tumbuhan yang akan dipergunakan sebagai obat untuk
mengobati saudaranya yang sakit, yang juga berada di dalam rombongan itu. Sakitnya itu tidak biasa, yaitu ia kehilangan ingatannya,
akan tetapi dapat memberikan arah ke hutan dan gunung itu, ke suatu tempat di mana terdapat obat-obatan untuk menyembuhkannya.
Suatu penyakit yang akan lebih dipandang orang sebagai suatu kesurupan atau kemasukan jiwa lain. Akan tetapi sudah banyak orang-orang
yang biasa menangani hal seperti itu dipanggil dan mereka menyerah.
Bukan karena orang yang sakit itu melawan, akan tetapi karena yang
sakit itu menjawab semua pertanyaan dengan baik dan ramah, dan
menyatakan bahwa obat satu-satunya hanyalah di dalam hutan di
kaki gunung itu. "Jika kebutuhan saudara dari Pinggiran Sungai Merah adalah untuk
pengobatan, ada baiknya kita meminta petunjuk dari penghuni hutan
dan gunung dengan menggunakan cara-cara yang biasa kami lakukan,
ketimbang melanggar pantangan dengan memasuki hutan dan gunung
itu sendiri," kata kepala desa.
10 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Asap dan kawan-kawannya pun setuju, karena mereka melihat itu sebagai suatu jalan tengah. Mereka tidak ingin memberikan kesusahan
kepada penghuni desa yang telah ramah menerima mereka ini.
Tak lama kemudian berkumpulah para warga dusun itu untuk mengadakan urung rembug dalam niatan menolong anggota rombongan
yang sakit dengan memohon bantuan dari penghuni hutan dan gunung, dengan memberikan tanda-tanda untuk berkomunikasi di tempat yang telah ditentukan. Akhirnya dari hasil urung rembug tersebut diputuskan ada dua orang warga yang cukup dituakan yang akan
menemani anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah untuk
berdiam di sekitar tempat yang telah ditentukan untuk berkomunikasi
dengan penghuni hutan dan gunung. Mereka ini membekali dirinya
dengan berbagai keperluan untuk berkomunikasi dengan penghuni
hutan dan gunung. Setelah persiapan matang, berangkatlah empat orang anggota rombongan, seorang yang sakit dan dua orang wakil dari desa itu menuju
tempat pertemuan yang telah ditentukan dengan membawa syaratsyarat untuk berkomunikasi dengan penghuni hutan dan gunung.
Tempat yang dituju oleh rombongan adalah semacam tanah lapang
yang dengan tanpa perawatan hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput
setinggi kuku jari, di mana ditengahnya terdapat tumpukan batu-batu
bekas kuil atau candi jaman dulu, jaman di mana kadal-kadal sebesar kerbau masih banyak berkeliaran dan sungai-sungai masih jernih
mengalir. Bekas candi atau kuil tersebut terlihat biasa saja, memiliki bentuk
empat sisi yang sama panjang, dengan panjang sisi-sisinya antara tiga
sampai empat kerbau dewasa berjajar. Tumpukan batu-batu tersebut tersusun rapi sehingga mirip sebuah panggung yang berjarak setinggi dengkul dari rerumputan di sekitarnya. Di keempat sisi yang
masing-masing menghadap keempat arah mata angin utama, yaitu
utara, timur, selatan dan barat itu terukur berbagai macam simbol
yang asing bagi orang kebanyakan. Simbol-simbol tersebut terukir
dalam batu dan terisikan oleh sejenis logam, sehingga warnanya dapat dibedakan dengan sekitarnya, oleh sebab itu dari jauh lambanglambang tersebut sudah dapat terlihat dengan samar-samar.
11 Sekitar seratur langkah sebelum menghampiri pelataran batu tersebut seorang dari desa mengangkat tangannya sebagai isyarat anggota
rombongan untuk berhenti. Kemudian memerintahkan agar keempat orang penandu dan orang yang sakti tersebut untuk beristirahat, sementara ia dan temannya perlahan mendekat dengan hormat
ke pelataran tersebut. Sesampainya di sana kedua orang tersebut
berhenti dan membuka perbekalan yang mereka bawa dan mulai
memperhatikan simbol-simbol yang terpahatkan di keempat sisi yang
menghadap ke masing-masing mata angin. Apabila diperhatikan lebih
lanjut ternyata di atas pelataran dekat dengan masing-masing sisi terdapat lobang-lobang sejumlah delapan buah seukuran kepalan tangan
pada tiap sisinya, sehingga jumlah keseluruhan lobang-lobang ada
empat dikalikan delapan buah.
Setelah membaca sebuah semacan lontar yang merupakan bagian
dari perbekalan, orang pertama memerintahkan temannya untuk
memasang sejumlah tongkat pada lobang-lobang yang telah ditentukan. Tongkat-tongkat tersebut ternyata terbagi menjadi dua macam,
yaitu yang ujungnya menggembung terbuat dari kain yang dibasahkan
oleh semacam minyak dan yang terbuat dari kaca tembus pandang. Setelah beberapa saat mengamati tulisan pada lontar tersebut,
akhirnya orang pertama mengangguk puas pada pemasangan tongkattongkat tersebut. Kemudian kembalilah mereka kepada rombongan
yang sedang berdiam tidak jauh dari pelataran batu tersebut.
Melihat itu semua Asap, kepala rombongan dari Pinggiran Sungai
Merah, yang juga merupakan salah seorang penandu, tidak dapat
menahan diri untuk tidak bertanya kepada salah seorang dari desa
tersebut, yang meminta dipanggil Ki Gisang.
"Maaf Ki Gisang yang saya hormati, boleh saya tahu apa arti dari
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemasangan tongkat-tongkat tersebut?"
Ki Gisang tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum. Tentu saja
hal ini membuat Asap semakin penasaran jadinya, yang jelas-jelas
dapat terlihat dari raut mukanya. Dan sebelum ia bertanya kembali,
orang kedua dari desa, Ki Kampar, menyahut, "Saudara Asap, apa
yang baru kami lakukan adalah cara berhubungan yang diajarkan oleh
penghuni hutan dan gunung kepada kami."
12 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
"Suatu cara yang belum pernah saya lihat sebelumnya," kata Asap
dengan sejujurnya. "Untuk sementara simpanlah pertanyaan saudara itu. Jika saudara
beruntung, mungkin saudara bisa memperoleh kesempatan untuk
mendengar sendiri penjelasannya dari mereka, penghuni hutan dan
gunung," akhirnya Ki Gisang mengucapkan kata-kata.
Mendengar ini ini, Asap menjadi malu dan takhluk. Ia sadar bahwa
keingintahuannya tidaklah pada tempatnya. Penduduk desa telah
amat baik menerima ia dan rombongannya dengan ramah, dan bahkan
mau membantu untuk menghubungkannya dengan penghuni hutan
dan gunung. Dan ia masih bertanya-tanya lagi.
Hening dan sunyi. Angin yang berbisik-bisik tidak dapat menghalau keheningan yang mencekam itu. Tapi semua orang tahu, bahwa
mereka memang harus menunggu. Keheningan itu tidak sia-sia.
Merasa bahwa apabila membunuh waktu untuk bertemu dengan
Penghuni Hutan dan Gunung itu hanya dilakukan dengan menunggu
saja, tak tega rasanya Ki Gisang, setelah ia melihat bahwa orangorang dari Pinggiran Sungai Merah tersebut malah menjadi gelisah
dan mulai berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Katanya kemudian,
"Tempat ini disebut oleh Penghuni Hutan dan Gunung sebagai Portal
atau Gerbang. Di sini kami dapat memberikan tanda-tanda yang akan
disampaikan pada mereka atau seseorang di sana, karena saya tidak
tahu berapa jumlah sebenarnya penghuni di sana, walaupun biasanya
orang yang datang hanya satu dan selalu orang yang sama, melalui
suatu cara tertentu. Bagi kami cara untuk menyampaikannya tidaklah
penting. Bantuannyalah yang berarti bagi kami."
Kemudian lanjutnya, "akan tetapi hal itu diketahui pula olehnya
bahwa kami pernah suatu saat menjadi bertanya-tanya bagaimana
cara seperti ini dapat bekerja dalam memberi dan menerima kabar."
Saat berbicara Ki Gisang tersenyum, mengingat betapa dulu ia
bersikap seperti pemuda Asap ini, selalu ingin tahu dan penasaran.
Pengalaman mengajarkan padanya bahwa kadang diam dan mengamati itu bisa lebih baik dari bertanya-tanya tetapi tidak berpikir.
"Keempat sisi dari alas Portal ini melambangkan keempat mata angin
13 utama: utara, timur, selatan dan barat. Masing-masing sisi memiliki
arti sendiri-sendiri," lanjut Ki Tampar yang kemudian menceritakan
perihat arti-arti dari lambang-lambang dan cara berkomunikasi dengan Penghuni Hutan dan Gunung, sebagaimana mereka berdua diajarkan dulu. "Apakah kalian berdua telah mengerti?" orang itu bertanya kepada
Tampar dan Gisang muda, dua pemuda yang baru saja diajarkannya
bagaimana orang dapat mengartikan deretan lambang-lambang yang
baru saja digambarkannya di atas pasir.
"Ki Tapa, maaf bila saya masih bertanya," ucap Tampar.
"Tanyakanlah apa yang hendak kau tanyakan Tampar. Lebih baik
sekarang bertanya, dari pada keliru di kemudian hari," jawab Ki Tapa,
sang pertapa tua sambil tersenyum.
"Begini Ki Tapa..., lambang-lambang ini, mengapa perlu dituliskan
dalam huruf-huruf asing.. Yunani.., kenapa tidak alam aksara kita
saja?" "Kalau menerut kamu sendiri bagaimana" Atau kamu Gisang, apa
pendapatmu?" kata Ki Tapa yang menjawab pertanyaan Tampar dengan pertanyaan balik sekaligus melibatkan Gisang dalam pembicaraan
tersebut. "Kalau menurut saya, Ki Tapa memiliki alasan mengapa lambanglambang tersebut ditulis dalam huruf Yunani ketimbang dalam aksara
kita." "Dan alasannya?" desak Ki Tapa tertarik. Ia menduga-duga apakah
Gisang ini memiliki kecerdikan yang diperkirakannya.
"Salah satu alasan adalah agar cara-cara berkomunikasi ini tidak dapat dengan mudah dipelajari oleh orang-orang yang tidak diinginkan,"
jawab Gisang dengan yakin.
"Benar.. benar.., kamu benar sekali Gisang," sahut Ki Tapa dengan
gembira, "memang ada alasan seperti itu yang membuatku memilih
terlebih dahulu dua orang dari kalian untuk kuajari cara-cara berkomunikasi seperti ini."
14 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
"Boleh kami tahu alasan yang mendasari semua ini, Ki Tapa?" tanya
Tampar dengan hormat. "Alasannya sudah tua sekali, bahkan lebih tua dari umurku ini," ucap
Ki Gisang sambil menerawang, mengingat-ingat cerita yang telah didengarnya turun-temurun. Dari gurunya, kakek gurunya dan guru
dari kakek gurunya. Sudah sekitar empat puluh dasa warsa cerita
itu diturunkan dalam perguruannya. Dan ia sebagai orang terakhir
harus menjaganya. Dan Hutan dan Gunung Rimba Hijau ini dirasakan
merupakan tempat yang ideal untuk menyimpan rahasia tersebut.
Lanjutnya, "Guruku, kakek guruku dan guru dari kakek guruku, adalah turuntemurun pertapa dari Perguruan Angin dan Embun. Nama perguruan
itu sendiri memiliki arti yang tak terkalahkan namun lembut dan yang
menyegarkan serta menyembuhkan. Kami dalam perguruan diajarkan
ilmu-ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh dan juga untuk menyembuhkan tubuh apabila sakit. Awalnya ilmu-ilmu itu dibawa oleh seorang pertapa juga, akan tetapi dari negeri seberang. Bertahun-tahun
sejak itu, guru dari kakek guruku membuka perguruan untuk membantu suatu penduduk desa di daerah yang tandus. Dengan tujuan
agar mereka dapat hidup dengan baik dalam alam yang keras itu.
Keadaan menjadi berangsur-angsur membaik. Semua penduduk menjadi lebih sehat dan kuat, walaupun mereka tidak memiliki banyak
yang dapat dimakan. Efesiensi adalah kunci dari ilmu-ilmu itu. Apa
yang dapat kita makan dan kita hirup harus dimanfaatkan. Pikiran
harus bersih, sehingga tidak terbuang energi sia-sia untuk menangani
pikiran-pikiran ngawur dan sesat."
Ki Tapa terdiam sejenak. Masih mengingat-ingat cerita yang diturunkan padanya, dan juga bagian-bagian yang pernah dialaminya
sendiri, sampai ia tiba di desa ini.
"Akan tetapi sayangnya keadaan yang aman dan tenteram itu tidak
berlangsung lama. Saat orang-orang dari desa lain melihat bahwa
desa yang tadinya tandus, dan diperkirakan bahwa orang-orangnya
akan mati dengan sendirinya, tiba-tiba saja bangkit seakan-akan ada
keajaiban. Mereka tidak suka. Mereka menginginkan desa itu menjadi desa tidak berpenghuni, sehingga tanah di sana, dapat diolah
oleh mereka. Bukan menjadi lahan pertanian, akan tetapi karena ada
15 kandungan suatu bahan di dalam tanahnya yang dianggap berharga.
Sudah pernah ada penawaran dari desa-desa di sekelilingnya, agar
penghuni desa yang tandus itu pindah, sedesa-desanya ke tempat yang
lebih subur, dan memberikan tanahnya kepada mereka. Akan tetapi
para penghuni desa itu jelas menolak. Bukan dengan alasan ingin
mengangkangi bahan berharga tersebut, melainkan karena desa tersebut merupakan tanah turun-temurun mereka."
"Mereka telah berupaya mencari jalan tengah, dengan mengijinkan
penduduk lain dari luar desa untuk menggali bahan tersebut dengan
membagi hasilnya kepada mereka, akan tetapi usul tersebut ditolak. Orang-orang tersebut menginginkan keseluruhan desa, bukan
hanya sebagian yang diijinkan saja. Akibatnya mereka mencoba
menghalang-halangi perdagangan ke desa tersebut, sehingga lambat
laun matilah perekonomian desa itu yang kemudian disusul dengan
kemarau berkepanjangan."
"Untung saat itu lewatlah sang Petapa Seberang, yang berasal dari
tanah seberang. Ia melihat ketidak-adilan tersebut, akan tetapi karena
pada dasarnya ia berwelas-asih, ia tidak ingin menghadapi kekerasan
dengan kekerasan. Apa jadinya bila ia menghancurkan orang-orang di
sekitar desa yang menghalangi perekonomian desa itu, apabila penduduk desa itu sendiri tidak berani melakukannya. Untuk itu ia mencari seorang penduduk desa yang dinilainya cocok untuk diajarkan
ilmu-ilmunya. Dan terpilihlah guru dari kakek guruku, Ki Patuh."
"Petapa Seberang tidak mengajarkan ilmu kanuragan, melainkan ilmu
menjaga kesehatan dan mengobati jika sakit. Dengan ilmu tersebut
penduduk desa dapat hidup dengan jumlah makanan dan minuman
yang minim. Selain itu tenaga mereka menjadi berlipat ganda, sehingga mereka dapat mulai membuat sumur dan sumber air lainnya,
untuk mengairi ladang-ladang mereka. Setelah Ki Patuh dianggap
cukup menerima ilmunya Petapa Seberang pun melanjutkan perjalannya, sambil menitipkan sebuah kitab yang berisikan sari dari ilmuilmunya, untuk dipelajari oleh Ki Patuh dan diwariskan pada muridmuridnya. Saat itu Ki Patuh belum mengambil murid."
Jeda terjadi sesaat waktu Ki Tapa menarik napas panjang. Sambil dipikir-pikirnya kembali jalinan kisah-kisah yang merentang dari
waktu lampau sampai masa kini. Kemudian ia melanjutkan ceritanya.
16 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang tidak berani memotong karena sudah benar-benar terbuai oleh cerita Ki Tapa tersebut.
"Ki Patuh kemudian mengambil empat orang murid Ki Setunggal, Ki
Duo, Ki Tilu dan Ki Uu, yang berarti pertama, kedua, ketiga dan
keempat. Kakek guruku adalah Ki Tilu. Keempat murid tersebut
belajar dengan sungguh-sungguh ilmu-ilmu Ki Patuh yang berasal
dari Petapa Seberang. Masing-masing murid mengambil kekhasan
masing-masing yang dibagi oleh Ki Patuh mejadi empat mata angin, timur, selatan, utara dan barat. Masing-masing saling mengisi
dan melengkapi. Jika diibaratkan dengan bahan-bahan di sekeliling
kita, jurus-jurus keempat orang itu disebut sebagai Jurus Udara, Jurus Api, Jurus Tanah dan Jurus Air, keempatnya akan menghasilkan
kombinasi lain apabila dipadukan berdua-berdua. Misalnya Jurus
Api dan Tanah akan memberikan kekeringan, Jurus Air dan Tanah
akan menghasilkan dingin, Jurus Air dan Udara akan membuat basah
dan Jurus Udara dan Api akan membuat panas. Pemaknaan keempat elemen (udara, api, tanah dan air) dengan dua pasang kualitas
yang berlawanan (panas & dingin dan basah & kering) dilakukan oleh
Aristoteles. Karena keadaan-keadaan yang dihasilkan, kering, dingin,
basah dan panas ini adalah yang dibutuhkan untuk kehidupan, maka
pemahaman ini digunakan untuk membantu penduduk desa menjadi
lebih sehat dan kuat."
"Pada intinya semua penduduk desa harus mempelajari keempat jurus
tersebut sampai tahapan dasar, yang dibimbing oleh masing-masing
dari empat murid utama tersebut. Sedangkan bila ada yang berbakat
maka dapat mendalami satu sampai dua jurus itu sampai pada tahapan berikutnya." Lalu tiba-tiba hampir bersamaan Tampar dan Gisang mengajukan
pertanyaan, menyalurkan keingintahuannya yang sudah memuncak,
"akan tetapi Ki Tapa, apa hubungannya antara ilmu menjaga kesehatan tubuh tersebut dengan bercocok tanam?"
"Dengan menggunakan ilmu-ilmu tersebut, seseorang menjadi lebih
peka terhadap lingkungannya. Misalnya Jurus Udara, membuat orang
mejadi awas akan adanya perubahan dalam hawa yang kita hirup.
Akant terjadi hujan, adanya racun dalam udara, pergerakan angin dan
hal-hal lain yang terkait dengan udara. Demikian pula dengan tanah,
17 orang akan menjadi awas terhadap kehidupan yang dapat didudukung
oleh tanah, bahan-bahan apa yang kurang, sehingga harus ditambahkan agar tanaman dapat tumbuh subur dan sebagainya."
Lalu lanjut Ki Tapa, "contoh lain adalah misalnya dengan menggabungkan Jurus Air dan Tanah yang menciptakan dingin, orang dapat mencari-cari sumber air, bahkan di daerah yang kering sekalipun.
Dengan cara ini, pembuatan sumur akan menjadi amat efesien."
Mendengar penjelasan ini kedua orang muda tersebut kemudian
mengangguk-anggukan kepalanya, mencoba mencerna dan memahami
penjelasan Ki Tapa. "Lalu mengapa Ki Tapa sampai kemari, bila keadaan di desa tersebut
sudah membaik?" tanya salah seorang dari mereka tidak mengerti.
"Nah, baru beberapa dasa warsa kemudian terjadilah hal yang benarbenar menjengkelkan."
"Maksudnya?" "Dengan semakin baiknya kehidupan dan petanian penduduk desa,
maka kehidupan mulai kembali berjalan, dan mereka mulai kembali
mencoba untuk melakukan perdagangan. Jalan-jalan yang tadinya diisolasi atau jembatan-jembatan yang diputus, sekarang tidak menjadi
masalah karena tubuh para penghuni desa itu menjadi lebih kuat dan
terlatih." "Akan tetapi," lanjut Ki Tapa, "kekuatan tubuh mereka yang di luar
rata-rata kekuatan orang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi orangorang di luar desa, yang menganggapnya sebagai suatu ilmu kanuragan, untuk mempelajarinya, sementara orang-orang yang ingin menguasai desa masih berusaha dengan berbagai cara untuk menguasai
tanah di desa tersebut."
"Beberapa orang desa menjadi kemaruk akan imbalan-imbalan yang
diberikan oleh orang-orang luar, apabila mereka mau mengajarkan
bagaimana mereka dapat memiliki kekuatan tubuh seperti itu. Kemudian mereka dengan berbagai cara memohon pada para murid
utama Perguruan Embun dan Angin, agar orang-orang luar ini dapat
diberikan pula pengajaran, dengan mereka di belakangnya menda18 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
patkan imbalan. Sudah tentu keempat murid utama itu menolak,
karena mereka tahu bahwa orang-orang yang diajukan itu tidak memiliki watak yang baik. Mengajarkan ilmu pada orang yang tak berwatak
baik akan menyebabkan malapetaka di kemudian hari."
"Akhirnya dengan berbekal ilmu-ilmu yang masih di bawah keempat murid utama tersebut orang-orang yang dapat diiming-imingkan
imbalan bersatu untuk membuat suatu perguruan sendiri untuk
menentang Perguruan Angin dan Embun. Nama perguruan tersebut
adalah Perguruan Atas Angin, yang telah menyiratkan ketinggian hati
anggota-anggotanya. Mereka ini memang memiliki ilmu-ilmu kanuragan selain ilmu untuk menjaga kesehatan tubuh. Dengan demikian
mereka mulai dapat menekan penduduk desa lainnya untuk bergabung
bersama mereka." "Tapi, kata Ki Tapa sebelumnya, bahwa hanya dengan ilmu menjaga
kesehatan tubuh orang dapat memiliki kekuatan berlipat ganda, jadi
tidak akan dengan mudah kalah oleh suatu ilmu kanuragan bukan?"
tanya Gisang tidak mengerti.
"Memang benar," sahut Ki Tapa, "akan tetapi orang-orang di luar
desa itu pun cerdik, mereka kemudian melatih orang-orang yang telah
memiliki ilmu menjaga kesehatan tubuh ini dengan ilmu kanuragan
sehingga mereka menjadi lebih kuat."
Terdiam sebentar Ki Patuh, sambil sesekali menghela napas, mengingat kembali kisah desa yang diseret ke arah kekacauan oleh penduduknya sendiri. Kemudian lanjutnya, "setelah merasa kuat dan tak terkalahkan mulailah mereka menyerang langsung Perguruan Angin dan Embun untuk
merebut kitab pusaka yang ditinggalkan Petapa Seberang. Keempat
murid utama dan Ki Patuh gurunya bertempur bahu membahu, hanya
mengandalkan kekuatan tubuh saja, tanpa pengetahuan ilmu bela diri.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam waktu singkat kelimanya dapat ditangkap."
"Siksaan-siksaan dilakukan untuk mendapatkan jawaban di mana tersimpannya kitab pusaka tersebut, yang kemudian diketahui bernama
Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Untungnya kelima orang
tersebut benar-benar telah menyerap kekuatan alam melalui pembelajaran dengan sungguh-sungguh kitab pusaka tersebut, sehingga
19 walaupun mereka tidak dapat melepaskan diri, akan tetapi siksaansiksaan tersebut dapat teratasi."
Tak tahan kedua pemuda tersebut menyuarakan kejengkelan hatinya,
"betapa tak tahu terima kasih orang-orang penghianat itu, sudah ditolong..." "Begitulah sifat kebanyakan manusia, silau pada sesuatu yang tidak
dimilikinya. Jika saja dulu waktu orang-orang di luar desa mau menggunakan jalan seperti orang-orang yang belajar ilmu ini, maka sudah
dapat dipastikan orang-orang tersebut dapat memperoleh tanah di desat tersebut. Cara halus dengan iming-iming kadang lebih manjur dari
kekerasan." "Setelah hampir setahun kelima orang teresebut tidak juga mau membuka rahasia di mana tersimpannya Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa, akhirnya dengan kejam kelima orang tersebut di kubur hiduphidup dalam tanah. Berbulan-bulan di dalam tanah, menunjukkan
bahwa terdapat pula batasan kekuatan tubuh manusia, walaupun suatu ilmu dimilikinya. Satu per satu kelima orang itu meninggal sampai
tinggal seorang yaitu Ki Tilu, karena kebetulan keahliannya adalah Jurus Tanah, sehingga ia dapat berlaku mati suri saat di dalam tanah.
Gurunya sendiri Ki Patuh tidak dapat karena ia mempelajari keempat
jurus tersebut secara seimbang."
"Jika hampir semuanya meninggal, lalu bagaimana ilmu tersebut dapat diturunkan pada Ki Tapa," bertanya Tampar kemudian.
"Pertanyaan yang baik sekali," sahut Ki Tapa gembira. "Memang apabila dipikirkan maka itu merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Guruku salah seorang penduduk desa yang tidak ikut dalam Perguruan
Atas Angin ataupun Perguruan Angin dan Embun, ditugaskan untuk
memakamkan kelima orang tersebut yang setelah diperiksa tidak lagi
menghembuskan nafas. Saat itu hanya guruku seorang yang berada
di lokasi makam, karena ia kebetulan memang penunggu makam."
"Sebenarnya timbul pula pertanyaan, jika mereka telah dikubur
hidup-hidup dan kemudian ternyata telah mati, kenapa harus kembali dikuburkan di tempat lain, kenapa tidak langsung dikuburkan
kembali di tempat tersebut. Salah seorang anggota Perguruan Atas
Angin yang tadinya bekas anggota Perguruan Angin dan Embun
20 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
menjadi tidak tega, dan ingin menghormati mendiang kelima bekas
gurunya tersebut. Dengan tak terlalu tulus, orang-orang luar yang
menjadi anggota utama Perguruan Atas Angin pun menyetujuinya,
akan tapi tidak memperbolehkan orang-orang menghadiri dan membantu proses pemakaman, melainkan hanya guruku, sang penjaga
makam, Ki Makam orang menyebutnya, yang boleh melakukannya."
"Saat itu sudah lewat petang, dan hampir gelap. Guruku Ki Makam
harus cepat-cepat menguburkan kelima orang tersebut atau ia harus
menginapkan kelimanya di atas tanah dan dijaga untuk dimakamkan
keesokan harinya. Dan ia tidak ingin. Lebih baik dikerjakan hari ini,
biar semua selesai. Setelah memilih tempat yang cukup terhormat
menurutnya, digalilah lima buah lubang yang empat di pinggir dan
satu di tengah, mirip posisi pusat dan empat mata angin. Begitulah pesan bekas anggota Perguruan Angin dan Embun. Dan ia harus
memakamkan Ki Patuh di tengah dan Ki Setunggal di timur, Ki Duwo
di selatan, Ki Tilu di utara dan Ki Uu di barat. Karena adanya rerimbunan dan tumpukan tanah hasil penggalian lubang makam, maka Ki
Tilu dimakamkan terakhir. Dan inilah yang menyebabkan guruku
masih dapat menerima pesan terakhir dari Ki Tilu."
Mendengar itu kedua anak muda tersebut tanpa dapat dicegah menjadi merinding. Bila Ki Tapa bercerita seperti dugaan mereka, berarti
Ki Tilu bangkit dari kematiannya untuk memberi pesan kepada Ki
Makam. Benar-benar cerita yang sukar dipercaya.
"Sebenarnya tidaklah terlalu aneh," lanjut Ki Tapa, "keahlian Ki Tilu
adalah tanah atau bumi, jadi di dalam tanah adalah tempat ia biasa berada, selama napasnya dapat diselaraskan dengan bumi, hiduplah ia. Akan tetapi sayangnya selama proses penyiksaan telah dilakukan berbagai cara, termasuk menyiramkan air pada mereka yang
dikuburkan, sehingga ilmu Ki Tilu tidak dapat digunakan sepenuhnya.
Dan setelah tubuhnya berkenalan kembali dengan udara bebas, mulailah sel-sel tubuhnya kembali berdenyut perlahan-lahan dan hidup
kembali. Jika saja ia langsung kembali dimakamkan, mungkin akan
terus dalam keadaan itu sampai benar-benar habis nafasnya."
Ki Tapa beristirahat sejenak untuk mengambil napas dan menenggak
air yang dibawanya. 21 "Re"eks karena adanya udara bebas membuat kesadarannya sedikit
terguncang sehingga ingin cepat-cepat sadar untuk bangun dan menolong saudara-saudara seperguruannya dan juga gurunya. Ini yang
membahayakan, sehingga paru-parunya keracunan. Untunglah ia
masih bisa menghimpun tenaga intinya sehingga dapat bangkit dan
sadar, walau hanya untuk beberapa jam."
Hening sejenak, dan angin pun bertiup perlahan dan lembut malumalu, seakan tidak berani menggangu pelantunan cerita tersebut.
"Bangunnya Ki Tilu sudah pasti membuat Ki Makam terkejut setengah mati, hampir saja copot jantungnya, jika Ki Tilu tidak buruburu menenangkannya. Setelah memperoleh penjelasan, terharulah
Ki Makam, bahwa Ki Tilu salah seorang dari penolong desanya masih
hidup. Akan tetapi saat ia ingin memberi kabar itu kepada penduduk desa yang masih setia pada Perguruan Angin dan Embun, Ki
Tilu mencegahnya. Ia mengatakan bahwa tidak banyak waktu lagi
baginya, dan ia ingin Ki Makam menjadi muridnya dan berjanji untuk
meneruskan ilmu-ilmu mereka dan menyelamatkan Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa. Setelah memberitahu di mana letak kitab
tesebut, kemudian Ki Tilu meminta Ki Makam untuk bersila di hadapannya agar dapat diberi tenaga inti terakhirnya, yang didominasi oleh
Tenaga Tanah, sehingga dapat menjadi lebih mudah untuk belajar isi
Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa lebih lanjut."
Kedua anak muda tersebut Tampar dan Gisang mendengarkan cerita
tersebut dengan penuh perhatian, tanpa terasa mulut mereka menganga. Sudah tentu hal membuat Ki Tapa tersenyum sangat.
"Setelah pemindahan tenaga tersebut berlangsung, meninggallah Ki
Tilu. Dan dimakamkanlah ia oleh Ki Makam sebagaimana rencana
semula. Hanya sekarang ia memiliki tugas baru, yaitu mencari Kitab
Jaga Kesehatan dan Jiwa, mempelajarinya dan menyelamatkan serta
mengamalkannya. Untuk itu Ki Makam tidak terburu-buru, karena
ia melihat bahwa Ki Patuh dan keempat muridnya yang telah belajar lanjut ilmu itu pun tidak dapat menanggulangi ilmu kanuragan,
apalagi ia yang baru diberi sedikit dasar. Tenaga inti dari Ki Tilu
yang mungkin melebihi latihan tahunan, tapi belum ada apa-apanya
apabila menghadapi ilmu kanuragan dari Perguruan Atas Angin. Untuk itu ia berlaku sabar dan akan menunggu saat yang tepat untuk
22 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
mengambil kitab tersebut serta mempelajarinya."
Cerita yang menarik tersebut membuat Asap dan kawan-kawannya,
termasuk yang sakit sampai tidak dapat berkata apa-apa. Mereka
hanya mendengarkan dan tidak ada pun komentar. Suatu cerita yang
mereka belum pernah sekalipun mendengarkan atau membayangkannya. Saat itu matahari sudah mulai turun, sehingga membuat cuaca
menjadi sedikit remang-remang.
Saat Ki Gisang hendak melanjutkan, terdengar suara semacam suling yang melengking tinggi dan rendah berganti-ganti. Memekakkan
telinga sehingga semua yang mendengarnya harus menutup telinganya.
"Itu tandanya bahwa Penghuni Hutan dan Gunung telah melihat pesan kita," kata Ki Tampar menjelaskan. "Mari kita pasang petunjuk
berikutnya." Kemudian Ki Gisang dan Ki Tampar mulai menyalakan tongkattongkat yang berupa obor, akibatnya tongkat-tongkat yang berupa
ujung kaca, memantulkan sekaligus membiaskan tongkat-tongkat yang
merupakan obor, sehingga memberikan kilauan yang aneh akan tetapi
indah. "Ini adalah kode kedua yang harus dilakukan. Jika hanya salah satu
kode saja dan tidak berurutan, maka komunikasi dengan Penghuni
Hutan dan Gunung tidak dapat berlangsung," jelas Ki Gisang, melihat
muka-muka penuh tanda tanya dari Asap dan kawan-kawannya.
"Tongkat yang berujung kaca ini melambangkan udara dan yang
bergagang obor ini melambangkan api. Karena permasalahan yang
kita hadapi adalah panas dalam hal ini saudara yang sakit ini, maka
kedua tongkat tersebut yang digunakan."
"Dan urut-urutannya juga menjelaskan apakah kami yang bermasalah
atau orang luar yang kami ingin bantu. Sebagai contoh bila kami
yang bermasalah, maka kami akan datang waktu subuh, untuk terlebih
dahulu memasang obor sebagai simbol api, baru menunggu fajar untuk
kemudian memasang simbol udara," tambah Ki Gisang.
Asap dan kawan-kawannya mengangguk-angguk mencoba memahami
uraian yang bagi mereka sama sekali baru tersebut.
23 "Kita masih punya banyak waktu, biasanya Penghuni Hutan dan Gunung dapat merasakan apa permasalahannya dan sedang memikirkan
cara memecahkannya. Biasanya ia akan datang langsung dengan obatnya dalam kasus ini," jelas Ki Gisang.
"Ada yang ingin mendengar kelanjutan ceritanya?"
Dan semua pun mengangguk. Ki Tampar pun tertawa kecil sambil
berkata, "baiknya aku saja yang cerita kakang, biar kakang masih ada
nafas nanti saat Penghuni Gunung dan Hutan tiba. Jika kakang terus
yang bicara, lelah nanti pasti."
Ki Gisang pun mengangguk setuju dan mempersilakan Ki Tampar
untuk melanjutkan cerita yang telah dimulainya tadi.
Setelah setahun hanya melatih tenaga inti yang diberi oleh Ki Tilu
pada akhir hayat kepadanya, Ki Makam baru berani untuk memperaktekkan sedikit-sedikit gerakan yang dipesankan. Untuk Kitab
Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, ia belum berani mencarinya. Sesuai
dengan pesan Ki Tilu, setidaknya tunggulah sampai sepuluh tahun.
Hitungan ini bukan saja untuk melenyapkan kecurigaan juga untuk
memberi waktu tubuh Ki Makam agar terbiasa dengan tenaga inti
hasil operan Ki Tilu, agar selanjutnya dapat langsung mempelajari
kitab tersebut. Untuk melenyapkan kecurigaan bahwa ia mempelajari jurus-jurus asli
dari Perguruan Angin dan Embun yang telah tiada itu, Ki Makam
memohon pada Perguruan Atas Angin, agar diajari sedikit ilmu menjaga kesehatan tubuh dan kanuragan, agar ia menjadi sehat dalam
melaksanakan tugasnya. Karena alasan yang dipikir jelas itu, Ki
Makam memperoleh ijin dan dilatih oleh murid-murid tingkat bawah.
Sementara itu walaupun tidak berhasil memperoleh Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa warisan dari Petapa Seberang, akan tetapi
salah seorang dari luar, yaitu Ki Jagad Hitam, yang merupakan guru
dari Perguruan Atas Angin, memiliki kecerdikan yang sangat. Ia
menyuruh orang-orang bekas Perguruan Angin dan Embun untuk menunjukkan cara berlatih mereka dan kemudian dipelajarinya untuk kemudian digabungkan dengan ilmu kanuragan ciptaanya, yaitu Jurus
Pukulan Perusak Isi Perut. Suatu pukulan yang amat jahat. Orang
yang terpukul oleh jenis pukulan ini tidak akan terlihat memar di
24 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
luarannya, akan tetapi rusak isi perutnya, jantung, paru-paru, hati.
Dan akan meninggal dalam hitungan jam. Jurus ini dulu tidak mempan terhadap Ki Patuh dan kelima muridnya, karena walaupun mereka
tidak bisa ilmu kanuragan, akan tetapi pemahaman mereka akan Kitab
Jaga Kesehatan dan Jiwa sudah tinggi sehingga pukulan jenis ini tidak
lagi memiliki arti. Dengan memperhatikan bagaimana jurus-jurus Udara, Api, Tanah
dan Air dilakukan, walaupun baru tingkat dasar, Ki Jagad Hitam
dapat menarik sari-sari ilmu tersebut ke dalam inti jurusnya. Apabila
saat ini Ki Patuh dan kelima muridnya masih hidup, mungkin mereka
dapat terluka dalam, atau minimal pingsan terkena kembangan baru
tenaga inti dari Pukulan Perusak Isi Perut dari Ki Jagad Hitam ini.
Untuk menutupi latihannya Ki Makam hanya melatih jurus-jurus
Udara, Api, Tanah dan Air yang telah diajarkan oleh murid-murid
Perguruan Atas Angin. Jurus-jurus lain yang telah dibisikkan oleh Ki
Tilu di saat sekaratnya, masih disimpannya di dalam hati.
Adalah suatu kejadian lucu di mana Ki Makam lupa untuk tidak memperlihatkan jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun, pada
suatu latihan, sehingga ia mendapat teguran dari salah seorang pelatihnya, Gajah Duduk. "Makam, apa itu gerakan yang kamu buat" Tak kenal saya posisi itu.
Ngaco kamu!" "Maaf.. maaf.. kakak Gajah," kata Ki Makam sambil terkejut, setelah
menyadari bahwa ia bukan melakukan yang diminta. Terlebih bahwa
ia tanpa sadar melakukan jurus-jurus asli yang tingkatan sebenarnya
lebih tinggi dari jurus-jurus yang diajarkan oleh Gajah Duduk. Untung saja Ki Makam diajar oleh murid-murid tingkat bawah, sehingga
adanya jurus-jurus tingkat tinggi tak akan disadari.
Mulai saat itu Ki Makam lebih berhati-hati untuk tidak, dengan tak
sengaja, melakukan jurus-jurus asli dari Perguruan Angin dan Embun.
Sepuluh tahun telah berlangsung dan tak terasa Ki Makam telah mencapai tingkat ketiga dari murid-murid Perguruan Atas Angin. Masih
ada dua tingkat lagi dan Lingkaran Dalam yang merupakan tingkatan
di atasnya. Murid-murid tingkat satu adalah murid-murid dengan
25 pemahaman baik semua jurus ajaran Ki Jagad Hitam, sedangkan
lingkaran dalam, dibatasi hanya enambelas orang, yang mendapatkan
latihan khusus dalam keempat unsur rampasan dari Perguruan Angin dan Embun, yaitu Penjaga Udara, Api, Tanah dan Air. Masingmasing penjaga terdiri dari satu kelompok yang beranggotakan empat
orang. Keempatnya memiliki kemampuan yang seimbang. keenambelas orang ini dapat pula memainkan serangan kelompok, empat orang
satu unsur, delapan orang empat unsur atau langsung berenambelas.
Hanya sang guru Ki Jagad Hitam yang dapat menanggulangi keenambelas orang ini sekaligus.
Keanggotaan dari enambelas orang ini dipertahankan melalui suatu
ujian tingkat. Bila murid-murid tingkat satu dapat mengalahkan salah
seorang dari Lingkaran Dalam ini, maka posisi tersebut dimilikinya,
sedangkan orang yang kalah harus menjadi murid tingkat satu. Tidak
banyak murid tingkat satu yang ingin menjadi Lingkaran Dalam,
karena resikonya adalah mati dalam perebutan posisi itu dan juga
latihan-latihan keras untuk meningkatkan ilmu supaya bisa kompak
dengan anggota Lingkaran Dalam yang lainnya. Pernah terjadi sampai empat orang Lingkaran Dalam terluka dalam latihan dan lumpuh,
untuk itu empat posisi diperebutkan oleh hampir duapuluh orang
murid tingkat satu. Ki Makam sebagai seorang murid tingkat tiga tidak berantusias untuk menjadi murid tingkat satu atau bagian dari Lingkaran Dalam. Ia
berlatih hanya untuk menutupi latihan sebenarnya, yaitu jurus-jurus
asli dari Perguruan Angin dan Embun yang telah hancur. Setelah
sepuluh tahun berlatih secara diam-diam Ki Makam dapat dengan jelas melihat kekurangan-kekurangan penerapan jurus-jurus asli pada
ilmu-ilmu ajaran Ki Jagad Hitam. Dengan pengetahuan ini, ia dapat
dengan mudah naik menjadi murid tingkat dua bahkan satu, tetapi
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hal itu tidak dilakukannya. Karena murid tingkat satu adalah muridmurid yang paling dipercaya dan mendapat banyak tugas. Sedangkan murid-murid tingkat empat dan lima merupakan pekerja-pekerja
kasar. Oleh karena itu ia memposisikan dirinya pada murid-murid
tingkat tiga, aman di tengah-tengah.
Sekarang yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana cara mencari
Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa seperti yang dipesankan oleh mendiang Ki Tilu kepadanya, yang juga guru pertamanya. Dengan semakin
26 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
banyak murid-murid Perguruan Atas Angin, akan semakin sulit tugasnya. Walaupun dengan tingkatannya, hanya dua puluh murid tingkat
satu, dan tiga puluh lima murid tingkat dua yang akan merupakan
permasalahannya. Sang guru dan Lingkaran Dalam umumnya banyak
berlatih dan menyepi. Memang benar dikatakan orang, yaitu apabila kita berharap dan
dengan sabar menanti sambil selalu mengucapkan syukur pada Yang
Maha Kuasa, maka penantian akan membuahkan kesempatan untuk mencapai harapan. Kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Ki
Makam pun tiba. Pada suatu hari datanglah serombongan orang yang
merupakan murid-murid tingkat dua yang telah keluar dari perguruan
dan kembali kepada pekerjaannya semula. Mereka ini datang dalam
keadaan yang menyedihkan, luka-luka dan sakit. Mereka ini ternyata
telah memperoleh serangan dari Perguruan Kapak Ganda pimpinan
Naga Seni, seorang seniman dan juga ahli kanuragan terkenal dari Paparan Karang Utara. Walaupun Naga Seni sendiri tidaklah seorang
yang haus akan ketenaran, akan tetapi sifatnya yang selalu membela
murid-muridnya ini membawanya pada banyak ajang perkelahian.
Peristiwa itu pun bermula dari bersuanya murid-murid Perguruan
Atas Angin dengan Perguruan Kapak Ganda di suatu perhelatan.
Dalam acara tersebut memang terdapat acara pertandingan ketangkasan kanuragan, akan tetapi dalam suasana persahabatan. Memang pada dasarnya darah muda, salah seorang murid Perguruan
Kapak Ganda dikalahkan oleh murid Perguruan Atas Angin, dan ini
membuatnya tidak terima, lalu memanggil saudara-saudara seperguruannya untuk membalaskan kekalahannya, akan tetapi di luar arena.
Dari mutu ilmu kanuragannya, memang murid-murid Perguruan Atas
Angin lebih unggul, karena umumnya mereka tidak diijinkan keluar
dari perguruan jika tidak memiliki tingkatan setidaknya tiga atau
dua. Bisa dibayangkan betapa lihainya mereka. Jadi serangan ketidakpuasan murid-murid Perguruan Kapak Ganda tidak membawa
hasil, bahkan menambah rasa malu mereka. Dan tanpa malu-malu
mereka melaporkannya pada Naga Seni, sang guru, bahwa mereka
dihina oleh Perguruan Atas Angin, dan juga sang guru.
Mendengar ini, tanpa melakukan telaah lebih dulu, langsung saja Naga
Geni dan kedelapan murid utamanya, Penjuru Angin, melabrak murid27 murid Perguruan Atas Angin. Menjadikan mereka bulan-bulanan, dan
menyuruh mereka pulang dan melapor pada Ki Jagad Hitam, bahwa
Perguruan Atas Angin tidak ada apa-apanya dibandingkan Perguruan
Kapak Ganda. Buntut dari peristiwa itu membuat Ki Jagad Hitam bak kebakaran
jenggot. Mukanya yang sudah hitam terlihat menjadi semakin hitam,
menandakan amarahnya sudah membangkitkan tenaga inti dari Pukulan Perusak Perutnya. Bila dalam keadaan demikian tak ada seorang
pun yang berani membantahnya.
Setelah ditetapkan bahwa semua murid tingkat satu dan dua akan ikut
untuk membalaskan kekalahan itu, sedangkan Lingkaran Dalam diminta untuk berjaga-jaga di belakang, jika sewaktu-waktu dibutuhkan
mereka juga dapat muncul. Rombongan yang seakan-akan akan pergi
perang itu melingkupi hampir delapan puluh orang, telah siap untuk
berangkat. Setelah berpesan pada murid-murid tingkat tiga dan di
bawahnya untuk baik-baik menjaga perguruan, pergilah mereka dengan keyakinan akan kemenangannya.
Kesempatan ini tidaklah disia-siakan oleh Ki Makam. Tak lama
setelah rombongan berangkat, berkemaslah ia juga untuk mengambil
Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa yang disembunyikan di suatu
air terjun Air Jatuh tak jauh dari pemakaman. Tempat itu sebenarnya bukan apa-apa, hanya saja sering dijadikan tempat menyepi
dari Lingkaran Dalam dan Ki Jagad Hitam, sehingga boleh dikatakan
Ki Makam tidak memiliki kesempatan.
Ki Makam sempat bingung karena di tempat yang dipesankan Ki
Tilu untuk mengambil kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa, terdapat pula
tiga buah kitab lainnya. Mengingat bahwa kitab-kitab tersebut juga
warisan dari guru dari kakek gurunya, yaitu Petapa Seberang. Diambilnya semua kitab-kitab tersebut.
Setelah dapat memperoleh kitab-kitab tersebut, dengan alasan masuk
ke daerah tersebut untuk memeriksa dan karena kebetulan yang menjaga adalah murid tingkat empat dan lima sehingga Ki Makam tidak
mengalami banyak masalah, Ki Makam bergegas kembali ke rumahnya dan mengambil perlengkapannya. Sekarang hanya tinggal saatnya
menunggu malam untuk keluar dari sana.
28 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa kembali datang. Pada malam
itu hujan turun dengan derasnya ditambah kabar bahwa Ki Jagad
Hitam dan Rombongannya mengalami pertempuran yang seimbang
sehingga butuh bantuan seluruh murid. Dengan dalih ingin segera
menolong, Ki Makam segera berangkat akan tetapi tidak ke arah utara
menuju Paparan Karang Utara, melainkan ke timur, ke arah Gunung
dan Rimba Hijau. Setelah dibantu oleh hampir seluruh muridnya Ki Jagad Hitam
akhirnya dapat memperoleh kemenangan. Kepergian Ki Makam sebenaranya tidak akan menerbitkan kecurigaan, karena banyak di antara
murid-murid Perguruan Atas Angin yang tewas dalam pertempuran
itu sebagai ganti punahnya Perguruan Kapak Ganda, jika saja seorang
murid yang menjaga Air Jatuh tidak terlepas omong bahwa Ki Makam
pernah mampir ke sana. Awalnya Ki Jagad Hitam tidak merasa ada
kaitan antara dua peristiwa tersebut, yaitu hilangnya Ki Makam dan
masuknya ia ke Air Jatuh sebelumnya. Tapi naluri kecerdikannya
mengisyaratkan adanya sesuatu di antara kedua peristiwa tersebut.
Maka dengan seksama ia mencari-cari di rumah Ki Makam dan di
Air Jatuh, apa yang bisa disimpulkan di sana. Akhirnya terlihatlah
ia bahwa posisi suatu prasasti di Air Jatuh tidak seperti keadaan
semula. Prasasti yang menggambarkan bagaimana keadaan desa itu sebelum
dan sesudah ilmu-ilmu dari Petapa Seberang diamalkan di sana.
Prasasti tersebut terlihat pernah digeser, dari guratan-guratan yang
ditimbulkannya di atas batu. Dalam hal ini Ki Makam belum cukup
kuat untuk mengangkat prasasti itu, melainkan hanya menggesernya.
Sedangkan Ki Jagad dengan hanya satu tangan dapat mengangkatnya
dan meletakkan di tempat sejauh tiga langkah dari tempat semula,
tanpa kehilangan napas. Di bekas tempat dudukan semula prasasti
yang berukuran sebesar kerbau itu terdapat lubang kecil, di mana di
sisinya terdapat liang seperti tempat menyimpan sesuatu. Bagai tak
percaya Ki Jagad Hitam membaca tulisan di dasar lubang tersebut.
"Di masing-masing sisi lubang ini, pada masing-masing liang terdapat empat kitab peninggalan Petapa Seberang. Yang menemukannya
berjodoh untuk mempelajari dan mengamalkannya."
Seakan ingin meletus kepala Ki Jagad Hitam membaca tulisan terse29 but. Kitab Jaga Kesehatan dan Jiwa yang dicari-carinya, berada di
bawah kakinya sendiri. Tempat itu sering digunakannya bersamasama dengan Lingkaran Dalam untuk berlatih, bahkan prasasti itu
sering digeser-geser, walaupun tidak sejauh hari ini, sehingga dahulu
lubang tersebut tidak tampak.
"Makam si penghianat, harus kita cari dia dan juga kitab-kitabnya
itu," geramnya. "Maaf guru, di sini tertulis empat kitab, sedangkan guru hanya mencari satu kitab bukan?" tanya seorang dari Lingkaran Dalam.
"Betul guru!" sahut lainnya.
"Hmm, betul juga," kata Ki Jagad Hitam, "lebih baik kita cari tahu
dulu apa tiga kitab lainnya agar tidak dapat nanti Makam membohongi kita bila tertangkap."
"Di sini ada tulisan guru," sahut beberapa orang yang telah membalik
prasasti sebesar kerbau bersama-sama itu sehingga alasnya terlihat.
"Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan
otot dan melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan
gerak dan menghilangkan bayangan. Batu-batu membuat lapisan kulit
menebal seperti besi dan Seribu Ramuan memberi tubuh asupan yang
berguna." "Kelihatannya kitab-kitab ini untuk mengolah tenaga inti, ilmu
meringankan tubuh, semacan ilmu kebal dan buku obat-obatan,"
duga seorang dari Lingkaran Dalam.
"Dia harus di cari guru, pusaka-pusaka ini adalah milik kita," ucap
yang lain. Mulai saat itu seluruh murid Perguruan Atas Angin diperintahkan untuk mencari Ki Makam untuk merebut kembali keempat kitab pusaka
tersebut. Akan tetapi sayangnya Ki Makam bagai hilang ditelah bumi,
sama sekali tidak ada jejaknya.
Sampailah pada suatu saat Ki Makam bertemu dengan seorang anak
kecil yatim piatu yang memiliki tulang dan watak yang bagus. Dia
beri nama anak itu Tapa menggantikan nama sebelumnya, yang telah
30 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
dilupakan oleh anak itu. Ia hanya ingat sering dipanggil "Gembel"
oleh orang-orang di sekitarnya.
Ki Makam pun melatih Tapa dengan giat sehingga hampir seluruh
kemampuannya dapat diturunkan pada anak itu. Setelah ia merasa
tiba waktunya, berpesanlah ia bahwa Tapa harus menyimpan baikbaik keempat kitab pusaka tersebut. Ia boleh menggunakan kemampuannya hanya di saat-saat terdesak saja. Dan menghembuskanlah
Ki Makam nafasnya yang terakhir.
Melihat dari keadaan tersebut dapatlah dikatakan bahwa keberadaan
keempat kitab pusaka tersebut benar-benar boleh dikatakan tidak
diketahui, lalu mengapa sekarang Ki Tapa perlu sembunyi di Gunung
Hijau dan hutan Rimba Hijau di timur" Hal ini sebenarnya adalah suatu kecerdikan dari mendiang guru Perguruan Atas Angin, Ki Jagad
Hitam, di mana ia setelah mengobrak-abrik Air Jatuh, memperoleh
catatan-catatan lain bagaimana orang dapat mengetahui apakah orang
lain memiliki Tenaga Inti Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, melalui
pengamatan auranya. Dengan kecerdikannya dan sisa umurnya Ki
Jagad Hitam menciptakan Ilmu Pandang Terawang, yang khusus digunakan untuk mencari orang-orang pengamal Kitab Jaga Kesehatan
Tubuh dan Jiwa. Dan ilmu ini diturunkan pada anak-muridnya.
Adalah kesialan bagi Ki Tapa yang di masa tuanya memutuskan untuk merantau dan dalam perjalanannya secara tidak sengaja bertemu
dengan murid-murid Perguruan Atas Angin. Sebenarnya tidak ada niatan dari murid-murid Perguruan Atas Angin tersebut untuk memperhatikan seorang tua renta dengan baju kasar dan sederhana itu. Akan
tetapi secara tidak sengaja salah seorang murid mencoba melatihkan
Ilmu Pandang Terawang yang ditujukan sebenarnya pada seorang di
sebelah Ki Tapa, akan tetapi alih-alih orang tersebut yang terlihat auranya, malah aura Ki Tapa yang terlihat sebagaimana dijelaskan sebagai aura seorang pengamal Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa.
Sontak saja mereka kaget, dan bergegas menangkap Ki Tapa.
Walaupun telah tua renta, tapi Ki Tapa masih bukan lawan mereka,
mungkin juga bukan lawan Ki Jagad Hitam apabila masih hidup.
Akan tetapi sifatnya yang tidak suka kekerasan, membuatnya lebih
memilih kabur ketimbang bertempur, sehingga sampailah ia di Desa
Luar Rimba Hijau ini. Seperti telah diceritakan sebelumnya, setelah
31 mendapat restu dari kepala desa dan meminta agar hutan dan gunung tidak dimasuki, dan apabila mereka butuh bantuan dapat memanggilnya, Ki Tapa memilih dua orang yang akan diangkatnya sebagai penghubung. Dan untuk itu mereka berdua diajarinya cara-cara
berkomunikasi menggunakan portal atau gerbang batu ini.
Ki Tampar pun menarik napas lega setelah selesai menceritakan kisah
ini. Ia dan Ki Gisang telah berpuluh tahun menjadi penghubung,
dan mungkin saja ada salah satu dari rombongan ini yang akan menjadi penerus mereka, umumnya penduduk desa tidak berminat pada
pekerjaan ini, karena dibutuhkan kecerdikan dan juga kesabaran.
Asap dan kawan-kawanya mengangguk-angguk mendengar kisah yang
benar-benar sama sekali baru bagi telinga mereka itu. Mereka
masih terdiam berusaha meresapi kisah yang bagi mereka itu amat
menakjubkan. Tak lama kemudian terdengar lagi suara seruling, akan tetapi dengan
nada yang berbeda, rendah dan cepat lambat.
"Ia datang," kata Ki Gisang.
"Ya, berlakulah hormat," sambut Ki Tampar.
Para anggota rombongan pun bergegas bangun, juga si sakit berusaha
duduk sambil menunggu orang yang dinanti itu mendekat. Tak lama
kemudian seakan-akan muncul dari asap, tampaklah seorang tua, Ki
Tapa, yang sudah terlihat amat tua akan tetapi masih berjalan dengan
ringannya, di hadapan mereka.
"Wah ramai sekali di sini," katanya riang, "dan siapa orang-orang ini,
Tampar, Gisang?" "Mereka dari Pinggiran Sungai Merah, Ki Tapa," sahut Ki Gisang,
"saudara Asap pemimpin rombongan," katanya sambil menunjuk
Asap dan menggapainya supaya berbicara pada Ki Tapa.
"Saya, Ki Tapa," sahut Asap hormat.
"Mengapa orang-orang Pinggiran Sungai Merah bisa terkena Racun
Hitam Panas ini" Bukankah di wilayah kalian tidak kadal gurun yang
dapat menyebabkan racun itu?" tanyanya.
32 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
"Benar Ki Tapa," jelas Asap, "luka itu diperoleh saudara ini saat
pergi ke Gurun Besar untuk mencari obat bagi saudaranya. Obat
berhasil diperoleh, tapi ia tidak tahu bahwa di dalam tasnya bersembunyi seekor kadal gurun. Saat ia mengambil obat tersebut, digigitlah
tangannya. Kami sudah mencoba menahannya dengan telur kelabang
dan ludah cacing." "Pilihan yang bagus, tapi bagaimana kalian tahu aku ada di sini?"
"Di dunia persilatan sudah terdengar kalau Ki Tapa adalah pewaris
dari Petapa Seberang, yang ahli obat-obatan."
"Hmm, orang-orang Perguruan Atas Angin, bener-benar banyak
ucap," sahutnya kurang senang.
Tidak ada yang memberi jawaban atau bereaksi atas ucapan itu.
"Sudahlah, ini sudah kubuatkan obatnya. Dari jauh sudah kurasakan
adanya panas, tapi belum bisa kutebak berasal dari Racun Hitam
Panas atau Racun Merah Membara, untung aku membawa kedua penawar tersebut." "Terima kasih Ki," sahut ketua rombongan itu dengan penuh syukur.
Hal yang sama juga terlihat dari anggota rombongan yang lain.
Telebih tampak pada wajah si sakit.
"Sebaiknya kalian tinggal dulu untuk sementara di desa itu," katanya,
"jika sudah sembuh benar, barulah pergi. Tak baik bila si sakit terlalu
lelah dalam perjalanan."
"Baik Ki," sahut Asap mewakili teman-temannya.
"Tampar, Gisang, aku ingin bicara sebentar," gapainya pada kedua
orang tersebut. Setelah berada kira-kira dua puluh langkah dari sana dalam satu kali
tindakan saja, berkatalah Ki Tapa,
"Bagiamana menurut kalian Asap itu?"
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik Ki, saya juga setuju," sahut Ki Tampar.
Ki Gisang menggangguk pula, tanpa berbicara. Mereka telah lama
33 mendapat pesan dari Ki Tapa untuk mencari orang yang dapat dijadikannya ahli waris. Mereka berdua tidak mau karena menyadari
kemampuan mereka yang tidak mumpuni, selain sebagai penghubung.
"Baiklah kalau kalian setuju," kata Ki Tapa kembali, "tolong cari
keterangan apa dan bagaimana jati dirinya."
"Baik Ki," sahut mereka hampir berbarengan.
Kemudian lenyaplah Ki Tapa dan kembalilah rombongan dari Pinggiran Sungai Merah itu kembali ke Desa Luar Rimba Hijau untuk beristirahat dan malam pun semakin larut yang diwarnai dengan suara
jangkrik yang bersahut-sahutan merdu.
Dalam perjalanan pulang menuju Desa Luar Rimba Hijau, Ki Gisang
bertanya kepada Asap, karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Saudara Asap," katanya, "dulu saudara mengatakan bahwa temanmu
itu terkena semacam sakit ingatan yang aneh, di mana ia seperti gila
akan tetapi dapat memberikan arah di mana obat untuk penyakitnya
dapat diperoleh." "Benar Ki Gisang," jawab Asap dengan hormat.
"Lalu mengapa tidak kau ceritakan hal itu kepada Ki Tapa, dan engkau malah mengatakan bahwa engkau mengetahui keberadaaan Ki
Tapa dari orang-orang persilatan. Bukannya dari si sakit sendiri?"
tanya Ki Gisang kembali. "Sebenarnya, pada suatu ketika, saat si sakit sedang dalam pengobatan," jelas Asap, "ini pun menurut dia, bahwa ada suatu malam
datang seorang berilmu tinggi yang menerangkan apabila ingin sembuh, harus mencari obatnya di sini, di Rimba Hijau dan Gunung Hijau." "Temuilah Ki Tapa di Rimba Hijau dan Gunung Hijau. Mintalah
obat kepadanya. Dialah satu-satunya pewaris Petapa Seberang, yang
ahli obat-obatan tiada taranya di dunia persilatan," lanjut orang itu,
sambil lalu menjelaskan bahwa racun yang mengenai orang itu disebut sebagai Racun Hitam Panas. Kemudian menjelaskan pula orang
itu di mana letak Rimba Hijau dan Gunung Hijau, dan bagaimana
34 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
cara mencapainya dari Desa Pinggiran Sungai Merah. Sambil tak
lupa berpesan agar terlebih dahulu minta ijin pada orang-orang Desa
Luar Rimba Hijau sesampainya di sana, karena merekalah yang akan
menjadi penghubung dengan Ki Tapa.
Karena keadaannya yang setengah sadar akibat terkena Racun Hitam
Panas, maka si sakit sering meracau mengenai Ki Tapa dan Rimba
Hijau serta Gunung Hijau, seakan-akan tiada hal lain yang dipikirkannya. Pun saat ditanya, awal-awalnya ia dapat menjawab dengan baik,
dan kemudian menekankan bahwa ia ingin ke Rimba dan Gunung Hijau untuk mencari obat bagi dirinya. Sampai akhirnya kepada Desa
Pinggiran Sungai Merah memutuskan untuk mengikuti pesan si sakit
untuk pergi ke Rimba dan Gunung Hijau. Asaplah yang ditugaskan
sebagai ketua rombongan. Mendengar cerita itu baik Ki Tampar maupun Ki Giasang menganggukangguk. Mereka lega karena Asap tidak berbohong, hanya saja lupa
mengatakan perihal ini kepada Ki Tapa. Kejujuran merupakan salah
satu prasyarat bagi orang yang akan menjadi murid Ki Tapa.
Lalu lanjut Ki Tampar, "Bila engkau bertemu kembali dengan Ki
Tapa, ceritakan hal tersebut, yang baru saja kamu ceritakan kepada
kami. Mungkin ada pesan tersembunyi dari orang berilmu tinggi tersebut kepada Ki Tapa. Selain pula untuk mengatakan sejujurnya apa
yang menyebabkan kamu dan rombonganmu dapat ke sini."
Asap mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbersit rasa bingung
dalam hatinya, mengapa perkataan sekecil itu menjadi berarti bagi
orang-orang ini. Untuk sementara disimpannya dulu kebingungannya
itu. Mungkin juga bukan apa-apa, pikirnya.
Dan kemudian kesunyian pun mengisi perjalanan itu sampai ke Desa
Luar Rimba Hijau. Setelah rombongan tida di rumah yang disediakan buat mereka dan si sakit menerima pengobatan seperti yang
dipesankan oleh Ki Tapa, beristirahatlah seluruh rombongan dari
Pinggiran Sungai Merah, sebagaimana halnya pula penghuni Desa
Luar Rimba Hijau. Dan malam pun semakin larut.
*** Pagi yang cerah bagi penghuni Desa Luar Rimba Hijau. Seperti biasa
35 para penghuni mulai bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya, bekerja untuk melangsungkan kehidupan mereka. Penduduk desa tersebut
umumnya memiliki mata pencaharian bertani, akan tetapi ada juga
beberapa yang bekerja sebagai pedagang dan pengrajin. Ketiga pekerjaan ini sebenarnya salinglah berkaitan satu sama lain. Para pedagang membatu menjualkan hasil-hasil pertanian, dan pengrajin, selain meningkatkah nilai tambah hasil-hasil pertanian, juga membantu
para petani dalam membuatkan alat-alat yang dapat meningkatkan
efesiensi dalam bercocok tanam.
Untuk mengatur agar tidak terjadi pertentangan di antara para petani,
pedagang dan pengrajin, di Desa Luar Rimba Hijau itu, terdapat
semacam pamong desa yang bertugas untuk mengatur tata kehidupan
dari masing-masing kelompok tersebut. Di desa itu terdapat empat
orang yang dikenal sebagai juru, atau ahli dalam bidangnya, yaitu
Juru Tani, Juru Dagang, Juru Karya dan Juru Cipta. Masing-masing
berurusan dengan kelompok para petani, pedagang, pengrajin dan
adat-istiadat yang berkiatan dengan peribadatan. Jika dihubungkan,
maka Ki Gisang dan Ki Tampar termasuk dalam bagian kelompok
yang dipimpin oleh Juru Cipta. Di atas keempat juru atau ahli tersebut terdapat Kepada Desa yang bertugas menjaga ketentraman sosial
dari warganya. Di luar dari keempat kelompok juru tersebut terdapat
pula semacam kelompok yang bertugas menjaga keamanan desa dari
serangan-serangan luar desa, walaupun hal tersebut jarang sekali terjadi. Ini karena Desa Luar Rimba Hijau tidak memiliki sesuatu yang
membuat orang-orang dari luar desa ingin menguasainya.
Selain itu ketentraman desa itu juga terjaga dikarenakan letak desa
yang terpencil dan jauh dari desa-desa lain. Oleh karena itu para
pedagang biasanya hanya pergi ke luar desa sekali tiap dua kali bulan
purnama muncul. Terlalu sering akan amat tidak menguntungkan,
baik bagi mereka para pedagang sendiri ataupun bagi pembelinya,
karena harga-harga akan menjadi mahal, untuk menutupi lelahnya
perjalanan yang jauh tentunya.
Dan pagi itu, setelah orang-orang yang bekerja sebagai petani pergi
ke sawah atau ladangnya, untuk memeriksa tanamannya atau sekedar
mengairinya, beberapa orang yang berprofesi sebagai pedangang tampak berkumpul di dekat suatu pohon dekat dengan balai pertemuan
desa. Mereka tampak sedang berbincang-bincang sesuatu. Umum36 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
nya mengenai apa yang dapat dijual ke luar desa dan apa yang dapat
nanti di bawa kembali ke desa untuk dijual kepada penduduk di sini.
Kejadian seperti itu sudah seperti biasanya, sebelum mereka pergi ke
luar dari desa, mereka berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang
menyangkut perdagangan mereka. Umumnya terdapat sekitar empat
kelompok pedagang yang akan pergi keluar desa ke arah empat penjuru mata angin, karena di arah yang berbeda terdapat kota-kota atau
desa-desa yang berbeda yang dapat merupakan tempat untuk menjual
dan membeli barang-barang kebutuhan.
Akan tetapi hari itu, kemeriahan pembicaraan bertambah dengan
adanya rombongan dari Pinggiran Sungai Merah yang sedang berdiam
untuk sementara di desa itu, guna mengobati anggotanya yang sedang
sakit. Para pedagang itu berdiskusi apakah ada baiknya untuk
berbicara sesekali dengan anggota rombongan tersebut, dalam rangka
mencari informasi apa-apa saja barang kebutuhan yang mereka perlukan. Jika para rombongan itu membutuhkan sesuatu dan mereka
masih lama berdiam di desa ini, sudah tentu dapat mejadi langganan
baru bagi para pedagang tersebut. Apalagi jika mereka dapat pula
menceritakan apa-apa yang dapat dijual dan dibeli di Desa Pinggiran
Sungai Merah. Suatu desa yang belum pernah dicapai para pedagang
dari Desa Luar Rimba Hijau ini.
"Sudah, kita coba datangi saja mereka," usul seorang pedagang yang
dikenal sebagai Ki Untung.
"Benar usulnya itu, kita paranin saja. Toh mereka pasti senang jika
diajak berbincang-bincag," sambut Ki Rabat.
Kemudian terlontar usul-usul lain yang pada intinya bermakna sama,
bahwa para anggota rombongan itu perlu didekati untuk mencari tahu
apakah mereka dapat menjadi pelanggan dari para pedagang itu.
Tiba-tiba diskusi itu berhenti karena lewatlah sang Kepala Desa, Ki
Surya, seorang yang disegani di desa itu karena kearifannya. Para
pedagang umumnya merasa sungkan pada Ki Surya, karena ia sering kali mengingatkan mereka untuk tidak terlalu banyak mengambil
untung dari para penduduk desa. Ia menasehati bahwa janganlah
suasana perdagangan yang hanya mementingkan keuntungan di bawa
ke dalam desa. Boleh berdagang akan tetapi sewajarnya, jangan sam37 pai menimbulkan keributan. Dan para pedangang itu tunduk, karena
apa yang diutarakan oleh Ki Surya itu benar adanya. Dan keluargakeluarga mereka juga petani di desa ini, yang tidaklah mungkin mereka
peras atau manfaatkan sehabis-habisnya untuk perdagangan mereka.
"Selamat pagi, Ki Surya," sapa mereka hampir bersamaan.
"Selamat pagi, semua," balas Ki Surya dengan ramah, sambil memperhatikan satu per satu wajah-wajah para warganya yang tergabung
dalam kelompok pedagang ini. Lalu tanyanya pada Juru Dagang, yang
saat ini dipegang oleh Ki Murah, "ada apa ini Ki Murah" Akankah
ada lagi perayaan sebelum perjalanan ke luar desa?"
Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum para pedagang keluar dari
desa menuju keempat mata angin, para penduduk mengadakan perayaan, di mana pada saat itu semua penduduk berkumpul untuk saling
melakukan kegiatan perekonomian. Menukar-tukarkan hasil pertanian
dan kerajinannya. Dan juga pesanan-pesanan yang dicatat oleh para
pedagang untuk ditukarkan di kota atau desa lain dengan hasil-hasil
pertanian dan kerajinan mereka, sudah tentu dengan potongan sebagai ongkos perjalanannya.
"Ah, untuk itu belum Ki Surya," jawab Ki Murah tersenyum, "masih
satu bulan lagi, karena kami bersepakat untuk mengundurkannya,
mengingat hasil panen dan kerajinan belum cukup berlebih untuk
diperdagangkan." "Lalu apa yang sedang kalian perbincangkan" Terlihat amat menarik
dari kejauhan," tanya Ki Surya setengah menggoda, karena ia tahu
tidak ada lain yang menjadi pembicaraan para pedagang kecuali
barang dagangannya. "Ada usulan yang telah disepakati oleh kami," jawab Ki Rabat melihat
bahwa Ki Murah agak sungkan menjelaskannnya kepada Ki Surya,
"untuk berbincang-bincang dengan orang-orang dari Pinggiran Sungai
Merah. Menjajagi apa-apa yang ada di sana dan siapa tahu ada yang
bisa didagangkan dengan mereka."
"Usul yang baik itu," kata Ki Surya, "lakukanlah!"
"Terima kasih Ki Surya," jawab Ki Rabat.
38 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
"Akan tetapi jangan terlalu memaksa walaupun mereka bukan orang
sini. Saat ini mereka merupakan tamu-tamu kita," mengingatkan Ki
Surya lebih lanjut. "Baik Ki Surya," jawab mereka serempak.
Kemudian berlalulah Ki Surya, melanjutkan perjalanannya memeriksa
keadaan di sekeliling desa. Dan pada saat itu bergegaslah para pedagang beranjak menuju suatu rumah yang sedang dijadikan pondokan
oleh rombongan dari Pinggiran Sungai Merah.
*** Beberapa hari pun berlalu dengan tenang tanpa ada kejadian yang
berarti di Desa Luar Rimba Hijau, persiapan rombongan pedagang
yang kali ini akan dipimpin oleh Ki Murah dan Ki Rabat telah mencapai tahap akhir. Kelihatannya rombongan itu akan pergi dalam
waktu kurang dari seminggu. Masih ada beberapa perjanjian dagang yang belum selesai yang masih menunggu kepastian. Salah satu
perjanjian dagang tersebut sudah tentu berkaitan dengan rombongan dari Pinggiran Sungai Merah. Setelah orang-orang dari kelompok
perdagangan ini bertemu dengan orang-orang dari Pinggiran Sungai
Merah, terciptalah suatu pembicaraan ngalor-ngidul yang menarik,
sampai akhirnya, karena memang didasari oleh otak perdagangan yang
kampiun, dapat ditemui adanya suatu barang yang kelihatannya dapat didagangkan antara Desa Luar Rimba Hijau dan Desa Pinggiran
Sungai Merah. Akan tetapi untuk memastikan hal itu, rombongan
yang dipimpin oleh Ki Murah dan Ki Rabat perlu berkunjung terlebih
dahulu ke sana. Dan sebagai tanda kepercayaan, beberapa orang dari
rombongan ikut pulang ke desanya, dan juga sebagai petunjuk jalan.
Selain itu anggota rombongan yang pulang juga memiliki keperluan
untuk menyampaikan kabar ke kepala desa Pinggiran Sungai Merah,
bahwa orang yang sakit sudah diobati dan sedang dalam tahap perawatan. Suatu pagi yang cerah, membuat salah seorang anggota rombongan
Pinggiran Sungai Merah, Asap ingin berjalan-jalan mengelilingi luaran
desa. Ia mengagumi sistem tatanan desa, yang di luarnya terdapat
beberapa daerah yang diperuntukkan bagi keperluan yang berbedabeda, ada perumahan, perkebunan basah, perkebunan kering, parit39 parit melingkar dan tanah lapang luas. Bagian terakhir ini digunakan
sebagai padang rumput untuk memberi makan ternak seperti sapi dan
kambing. Dari bincang-bincangnya dengan salah seorang penghuni
desa yang kebetulan bertempat tinggal di sebelah rumah tempat ia
dan rombongannya menginap, dijelaskan bahwa pembagian daerahdaerah di desa ini memiliki arti tersendiri, dan ini sudah merupakan
aturan turun-temurun di desa ini.
"Jelasnya bagaimana, paman Baja?" tanya Asap ingin tahu, sambil menghirup teh yang disajikan oleh Nyi Antini, istri Ki Baja.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Keakraban yang ditawarkan oleh suami istri ini, membuatnya kerasan.
Apalagi mereka tidak mempunyai anak, sehingga dengan adanya rombongan yang tinggal di sebelah rumahnya, dan adanya seorang muda
seperti Asap, membuat mereka bersemangat untuk bercerita. Dan untuk menunjukkan keakraban tersebut, Asap diminta untuk memanggil
mereka paman dan bibi. "Begini nak Asap," jelas Ki Baja sambil berhenti untuk menerawang,
mengingat-ingat cerita yang dulu diturunkan oleh nenek moyangnya,
"dahulu kala, sebelum Gunung dan Rimba Hijau mejadi terlarang,
desa kami dikenal sebagai Desa Ujung, karena letaknya yang jauh
dari mana-mana. Jarang ada orang yang bertandang kemari. Oleh
karena itu tidak ada gunanya tatanan atau pembagian desa yang baik,
karena toh tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi pernah suatu
ketika terjadi wabah di desa ini, yang sebenarnya disebabkan oleh
cara hidup yang kurang sehat dari penghuninya sendiri."
Kehidupan Desa Ujung yang amat sederhana dan alami memberikan
sentuhan keheningan dan kenyamanan bagi orang-orang yang mencintai alam. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaaan bahwa cara hidup
manusia kadang merusak tatanan alam yang telah alami tersebut.
Salah satu kebiasaan penduduk Desa Ujung yang tidak baik adalah
cara mereka membuang kotoran, entah itu hasil keluaran tubuh, atau
hasil olahan dapur atau kerajinan. Mereka membuangnya langsung
ke sungai sehingga mencemari sungai. Pada saat itu dengan menggunakan bahan-bahan yang masih alami, sebenarnya tidaklah ter
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi pencemaran yang mengkhawatirkan sehingga bisa menimbulkan
keracunan. Hal lain terjadi, yaitu karena kandungan-kandungan tertentu dari kotoran-kotoran yang mereka buat ditambah dengan kondisi lingkungan sekitar Desa Ujung yang kondusif, membuat sejenis
40 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
organisma kecil semacam jamur dan ganggang dapat tumbuh dengan
subur. Orang menyebutnya Hamparan Hijau, karena sering membentang terhampar baik di atas air yang tenang maupun di atas tanah
yang lembab. Nenek moyang penghuni Desa Ujung telah mengetahui
bahwa Hamparan Hijau tidak baik bagi ternak mereka. Dan bila tidak
baik bagi ternak, sudah tentu tidak baik bagi pemilik ternaknya. Oleh
karena itu ada larangan untuk memakannya.
Jika dahulu kala, sebelum aktivitas penghuni Desa Ujung sedemikian
meningkat sehingga kotoran yang dihasilkan sampai membuat perkembangan Hamparan Hijau menjadi sedemikian ganas, orang tidak akan
menyadari bahaya yang siap mengincar setiap saat. Bahaya yang akan
muncul bila keseimbangan alam terganggu. Pernah ada orang tua-tua
yang mengatakan bahwa Hamparan Hijau di sekeliling desa bertambah banyak, dan sebaiknya para penghuni mulai memperhatikannya.
Akan tetapi hal ini dianggap sepele, dan mereka hanya menghalaunya
dengan menggunakan alat-alat pertanian, dan membuanngnya jauh
di luar desa. Pada saat yang bersamaan orang-orang penghuni Desa
Ujung sedang gandrung terhadap suatu pengolahan hasil panen menjadi makanan, yang diperoleh dari luar desa. Dengan cara ini hasil
panen dapat diolah menjadi bahan baku makanan yang dapat disimpan lama. Oleh karena saking gandrungnya, terjadi pengolahan secara
besar-besaran yang berakibat meningkatnya kotoran yang mencemari
sungai. Akan tetapi hal itu tidak diperhatikan. Orang lebih memperhatikan hasil bahan olahan yang diperoleh. Variasi apa yang dihasilkan, dan bagaiman ketahanannya dalam penyimpanan.
Sedikit demi sedikit, akan tetapi pasti, Hamparan Hijau mulai berkembang. Menutupi air dan tanah lembab di sekitar desa. Karena adanya
kesibukan baru, para penghuni desa jarang jauh keluar desa, sehingga
tidak lagi memantau perkembangan Hamparan Hijau, ditambah juga
dengan lokasi lahan-lahan pertanian yang terpusat di tengah desa,
membuat mereka kurang alasan untuk jauh keluar dari desa. Alam
mungkin sedang marah atau ingin memberi peringatan kepada mereka,
dengan didahuluinya oleh hujan deras dan angin, sehingga Hamparan
Hijau yang berada di sungai atau kobakan jauh dari desa Ujung, dapat
terbang bersama air dan angin, dan menggenangi semua lahan-lahan
pertanian yang ada. Akibatnya sudah tentu fatal. Tanaman-tanaman
tidak dapat dengan mudah dipanen. Harus dicuci bersih sebelum
41 dimasak. Dan air untuk mencuci pun kebanyakan sudah tercemar.
Akhirnya dengan terpaksa mereka makan makanan yang di dalamnya
terkandung sari-sari dari Hamparan Hijau. Hasilnya sudah pasti bisa
diduga, para penghuni Desa Ujung keracunan.
Keracunan yang menjangkiti hampir seluruh daerah tersebut membuat seakan-akan Desa Ujung telah sampai pada saat akhirnya. Tinggal menunggu waktu untuk binasa, tanpa ada orang tahu akan adanya
desa itu. Terlebih desa tersebut memang jauh dari mana-mana.
Tapi memang kehendak Yang Maha Kuasa tiada yang bisa menduga,
pada saat kritis seperti itu datanglah seorang petapa yang menilik dari
pakaiannya bukanlah orang yang berasal dari daerah di sekiling Desa
Ujung, mungkin pula bukan berasala dari pulau yang sama. Orang
tersebut kebetulah adalah ahli pengobatan, dan mengenali dengan betul akibat keracunan yang ditimbulkan oleh Hamparan Hijau. Akan
tetapi selama hidupnya ia belum pernah melihat begitu luasnya Hamparan Hijau menyerang, sampai hampir membinasan satu desa.
Dengan berbekal pengetahuan yang dimilikinya, orang itu mengobati
penduduk desa, sembari juga ia mempelajari alasan mengapa Hamparan Hijau sampai bisa tumbuh meluas seperti itu. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa kondisi lingkungan dari Desa Ujung
yang dekat dengan rimba dan gunung itu memang kondusif untuk
perkembangan Hamparan Hijau. Sedikit saja ada tambahan nutrisi
di air dan tanah lembab, Hamparan Hijau dapat berkembang dengan
pesat secara gila-gilaan.
Setelah seluruh penduduk Desa Ujung sehat kembali sang penolong
tersebut, yang minta dirinya dipanggil Petapa Lain Pulau, mengajak
penduduk desa untuk mengubah desanya agar lebih sehat dan baik.
Juga memberitahu perihal kelakuan Hamparan Hijau yang lebih ganas
karena didukung oleh kondisi geogra"s setempat. Dengan tuntunan
Petapa Lain Pulau, mulailah penduduk membagi desa dalam daerahdaerah tertentu seperti yang saat ini. Dan Hamparan Hijau yang berada di dalam desa dimusnahkan, sedangkan yang berada di luar desa
dibuang ke dalam Rimba Hijau, dengan mengalihkan sedikit aliran
sungai, dapat dirancang sedemikian rupa sehingga jika terdapat Hamparan Hijau, suatu pintu air dapat dibuka, sehingga akan mengalir
masuk ke dalam Rimba Hijau. Dan sampah-sampah yang tadinya
42 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
mencemari di sekitar desa, dialihkan ke dalam hutan. Petapa Lain
Pulau telah mengamati bahwa di dalam Rimba Hijau terdapat pula
komunitas Hamparan Hijau yang tak kalah padatnya dibandingkan
di sekitar desa, saat terjadi peristiwa tersebut. Akan tetapi tidak
tampak dari luar. Dengan demikian pembuangan kotoran dari desa
ke hutan, tidak akan merusak keseimbangan alam di sana. Untuk
memperingati hal tersebut nama Desa Ujung diganti menjadi Desa
Luar Rimba Hijau, yang mengisyaratkan bahwa para penghuni desa
hanya diperbolehkan di luar Rimba dan Gunung Hijau. Dan Petapa
Lain Pulau berpesan bahwa ia akan berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Apabila ada musibah yang terjadi di Desa Luar Rimba
Hijau, ia dengan senang hati akan menolongnya. Begitu pesannya.
Sejak saat itu rimba dan gunung menjadi terlarang, dan juga menjadi lebih hijau dari sebelumnya, karena ditambah dengan kabut hijau
yang kadang-kadang nampak membuat daerah tersebut menjadi lebih
disegani untuk dimasuki. Ki Baja menarik napas panjang setelah bercerita. Terlihat bahwa ia
meskipun menikmati dalam melantunkan kembali kisah tersebut, telah
terbuang banyak tenaganya. Tenaga kasar yang umumnya bertahan
saat bertani, tidak sesuai untuk digunakan saat mengungkapkan suatu
cerita yang panjang. Asap yang sedari tadi mendengarkan dengan tekun, melihat bahwa
Ki Baja seperti ingin ditanya. Hal ini terlihat jelas dari wajahnya
yang minta tanggapan. Dan dalam waktu ini kebetulan Asap memang memiliki pertanyaan. Sebelum telah diceritakan bahwa ia dan
rombongannya telah bertemu dengan Ki Tapa, dan hal ini diceritakan
pula oleh Ki Tampar dan Ki Gisang, bahwa Ki Tapa adalah penghuni
Rimba dan Gunung Hijau. Akan tetapi dari kisah Ki Baja, penguni
Rimba dan Gunung Hijau adalah Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu
mengajukan pertanyaanlah Asap mengenai hal tersebut.
"Untuk itu ada baiknya, nak Asap bertanya langsung kepada Ki
Tapa," jawab Ki Baja, "sejauh yang saya tahu Ki Tampar dan Ki
Gisang pun pernah bertanya hal yang sama. Akan tetapi Ki Tapa
mengaku tidak mengenal atau pernah bertemu dengan Petapa Lain
Pulau." Asap pun mencatat itu dalam hatinya. Bila ia ada kesempatan untuk
43 bertemu dengan Ki Tapa lagi, akan dicoba untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Yang dalam mana ia tidak tahu bahwa akan ada
suatu peristiwa yang akan mengubah jalan hidupnya berkaitan dengan
kisah di balik hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain Pulau ini.
*** Orang yang belum melihat dan merasakan sendiri kejam dan brutalnya perang sudah tentu tidak akan dapat menikmati kesehari-harian
yang amat "biasa" dan "tenang". Kadang berita ketidakadilan di seberang lautan memicu orang untuk ikut campur, dengan semangat
menggebu-gebu berpendapat, bahwa salah satu pihak adalah salah
dan yang lain adalah benar. Bila ia dapat turut serta dalam kon"ik
tersebut, sudah dipastikan akan dilakukannya. Ia akan bertempur untuk membela kebenaran. Berperang. Membunuh demi kemanusiaan.
Ironis bukan, bahwa kedamaian yang dicita-citakan haruslah diperoleh
dengan pertumpahan darah, dengan melayangnya nyawa, membumbungnya jerit tangis kesedihan orang-orang. Baik keluarga yang ditinggalkan maupun para korban yang ditindas oleh para prajurit. Sudah bukan rahasia lagi bahwa selalu terdapat korban dari luar lingkup
para pelaku perang. Orang-orang sipil. Orang-orang yang "sah" untuk
ditindas dalam keadaan darurat, dirampas haknya, diperkosa kebebasannya, ditindas kemauannya, semua untuk kepentingan penguasa.
Kelompok yang memanggungkan kon"ik pertentangan berdarah, demi
kemanusiaan dan kedamaian.
Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam perang, yang pada awalnya memang terjun ke dalam perang karena dorongan rasa keadilannya, rasa kebangsaanya, akan tetapi tetap disertai dengan rasa
kemanusiaannya dan tidak terlarut dalam kekejaman dan kenikmatan
menyaksikan pembantaian sesamanya, umumnya memperoleh hikmah
yang dapat membuatnya benar-benar mensyukuri makna dari kedamaian dan kehidupan yang "biasa-biasa" serta tenang. Mereka-mereka
ini akan berupaya dengan segala tenaga, bakat dan pikirannya untuk selalu mencegah terjadinya kon"ik, mencegah terjadinya perang
kembali. Akan tetapi umumnya orang-orang seperti ini tidak suka
menonjolkan diri. Mereka lebih suka membantu menyelesaikan permasalahan dan kemudian menghilang, tidak mengharapkan imbalan
dari hasil jasanya itu. Kedamaian dan senyum yang mengembang dari
orang-orang yang ditolongnya, sudah merupakan anugrah yang me44 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
limpah, cukup untuk dikenang dan disyukuri oleh orang-orang seperti
ini. Adalah Petapa Lain Pulau yang merupakan murid dari murid dari
murid, entah keturunan keberapa, dari seorang ahli bela diri ternama Kang Sang Peng (Zhang Sanfeng), yang berasal dari Tanah
Daratan Tengah yang awalnya merupakan seorang petapa pula, akan
tetapi setelah ia meninggalkan perguruannya untuk hidup sebagai
orang biasa, ia melihat banyak hal yang merupakan kontradiksi dengan yang diajarkan oleh perguruannya dalam berbagai "lsafat yang
menjelimet. Banyak kenyataan-kenyataan yang membuatnya terkejut,
bahwa orang sedemikian mudah tergoda oleh harta dan tahta. Pembesar menindas rakyat, pejabat menindas bawahan, dan sebagainya.
Dan hal yang paling menyedihkannya adalah terlibatnya ia dalam kon"ik untuk melawan adik seperguruannya sendiri, yang menghambakan
diri menjadi tentara untuk menindas rakyat. Telah berulang kali ia
bertemu dengan adik seperguruannya dan membujuk agar ia meninggalkan kedudukannya sebagai tentara, yang saat itu telah menduduki
pangkat jenderal yang mengepalai ribuan tentara, akan tetapi adik
seperguruannya selalu menolak. Bahkan di kali terakhir, adiknya mengajaknya untuk bersekutu dengan tentara dengan janji-janji pangkat
dan kemewahan. Kang Sang Peng habis kesabarannya dan sempat
berujar bahwa mulai saat itu ia akan menentang sang adik seperguruan
dengan cara kekerasan, sampai sang adik seperguruan menyadari kekeliruannya. Boro-boro menurut, karena ditegur dengan keras, sang adik
seperguruan malah menantangnya dengan keras, sambil mengatakan
bahwa Kang Sang Peng sebaiknya bersembunyi, karena mulai saat itu
ia akan memasang harga kepala sang kakak seperguruan sebagai orang
yang dicari oleh negara. Perseteruan antara dua saudara itu menjadi bumbu yang semakin memperumit peperangan. Dan Kang Sang
Peng dalam rangka melawan adiknya tersebut, terpaksa bergabung
dengan kaum pemberontak dan ikut bergerilya untuk menyerang pasukan pemerintah. Setelah beberapa kali bertempur Kang Sang Peng
menyadari bahwa ilmunya tidaklah cukup kuat untuk melawan adik
seperguruannya itu. Sang adik telah belajar banyak dari berbagai
guru pandai dalam kemiliteran sehingga kemampuannya berkembang
dengan pesat. Dalam keadaan luka parah dan depresi, dengan masih ditemani oleh
45 beberapa temannya, kaum pemberontak, yang setia kepadanya, Kang
Sang Peng menemukan bahwa yang penting dalam pertempuran antara dua orang bukanlah hanya banyaknya jurus atau kekuatan luar
yang penting. Kesadaran tentang apa yang dilakukan dan ketenangan
dalam mengambil keputusan untuk menyerang atau mengelak itu pun
penting. Selain dari pada itu, untuk pertempuran dalam jangka waktu
yang lama, diperlukan siasat sedapat mungkin tidak banyak menghabiskan tenaga, jika bisa manfaatkan tenaga lawan untuk menyerang
dirinya sendiri. Seperti gerak melingkar, membelokkan tenaga lawan,
agar ia terpukul oleh tenaganya sendiri. Dengan dasar pengetahuannya dalam bela diri Seni Bertempur (Wu Shu), ia menciptakan ilmu
yang dikenal sebagai Pukulan Tanpa Tanding (Taijiquan) yang pada
dasarnya lebih melatih kekuatan internal ketimbang eksternal. Dengan ilmu baru ini Kang Sang Peng dapat mengalahkan adiknya untuk
kemudian memusnahkan ilmu silatnya dan mengirimkannya kembali
adiknya kembali ke perguruan untuk dihukum bertapa Menghitung
Hari Menghadap Dinding selama sisa hidupnya.
Selanjutnya karena perbedaan padangan dan juga pencerahan yang
diperolehnya, membuat Kang Sang Peng kembali meninggalkan perguruannya untuk membuka kelompoknya sendiri yaitu Perguruan Gu
Dang (Wudang), yang dalam mengembangkan bela dirinya lebih menitikberatkan pengembangan bagian dalam tubuh ketimbang luarnya.
Gerakan-gerakan yang diajarkan akan berguna untuk membangun
sirkulasi hawa dalam tubuh. Pada penggunaannya dalam pertempuran, untuk murid yang telah ahli, aliran hawa itu akan dengan
sendirinya mengalir menuruti pikiran. Oleh karena itu walaupun
gerakan-gerakan yang dilatih tidak terlihat berguna, akan tetapi
perasaan bagaimana hawa digerakkan itulah yang penting. Setelah tahu cara hawa digerakkan dalam tubuh, dari pusat di bawah
pusar menuju suatu bagian tubuh, gerakan yang dimaksud sudah
tidak diperlukan. Hanya pikiran yang dibutuhkan. Akan tetapi sebelum menjadi ahli gerakan-gerakan tersebut merupakan sarana untuk
membantu melakukan visualisasi.
Jika Petapa Lain Pulau adalah murid dari Perguruan Gu Dang, maka
lain halnya dengan Petapa Seberang, yang berasal dari Negeri Matahari Muncul. Sang Guru Tua (O Sensei) adalah seorang ahli bela diri
yang mengalami pencerahan yang salah satunya juga akibat adanya
46 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
perang. Morehe Uwesiba (Morihei Ueshiba) yang dulunya juga telah
merupakan seorang ahli bela diri, memperoleh tiga kali pencerahan
yang membawanya pada penciptaan ilmu barunya Jalan Selaras dengan Alam Semesta (Aikido). Pencerahan pertama yang diperoleh sang
Guru Tua Morehe Uwesiba terjadi saat ia melawan seorang seorang
jago pedang kondang yang menyerangnya dengan ganas, akan tetapi
berhasil dikalahkannya dengan tangan kosong dan juga tidak melukai
sang penyerang. Setelah itu Guru Tua Morehe Uwesiba pergi ke taman
dan tiba-tiba tanah bergetar, uap keemasan bergelombang muncul
dari dalam tanah dan menyelimuti dirinya. Sang Guru Tua merasakan
dirinya berubah menjadi wujud keemasan, dan terlihat bahwa tubuhnya menjadi seringan bulu. Pada saat itu ia menyadari sifat alami dari
penciptaan: Jalan Pendekar adalah untuk mewujudkan Cinta Suci, suatu jiwa yang merangkul dan menghidupi semua hal.
Pencerahan berikutnya diperoleh Guru Tua Morehe Uwesiba 180 pergantian bulan berikutnya, saat masih dini hari dan baru sebentar lewat
tengah malam. sang Guru Tua sedang melakukan ritual pembersihan,
secara tiba-tiba ia tidak ingat sama sekali semua jurus-jurus yang pernah dipelajarinya. Semua jurus dan kembangan yang diturunkan oleh
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gurunya, terlihat oleh Morehe Uwesiba sebagai sesuatu yang sama
sekali baru. Mulai saat itu ia memandang bela diri sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan, ilmu pengetahuan, pengobatan dan
kebaikan, dan bukan lagi alat untuk melempar dan menangkap orang
seperti sebelumnya dipelajari.
Dua puluh empat pergantian bulan berikutnya, saat mana hampir
semua kerajaan-kerajaan dari segala penjuru saling berperang, Guru
Tua Morehe Uwesiba kembali mendapatkan pencerahan mengenai Roh
Perdamaian Agung. Dalam pencerahannya ini, ia memahami bahwa
pengertian mengenai Jalan Pendekar telah disalahartikan sebagai alat
untuk membunuh dan menghancurkan pihak lain. Mereka-mereka
yang mencari persaingan telah membuat kesalahan besar. Menyerang, melukai dan menghancurkan adalah kesalahan terburuk yang
dilakukan oleh orang-orang. Jalan sebenarnya dari Jalan Pendekar
adalah mencegah pembantaian, dinamakan - Seni Kedamaian, kekuatan dari cinta kasih. Petapa Seberang yang saat itu masih kecil, berjodoh untuk belajar
pada keturunan keberapa dari Guru Tua, dan menjadi murid dari su47 atu perguruan untuk mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam
Semesta yang dilengkapi dengan "lsafat Seni Kedamaian. Bakatnya yang baik dan sifat dasar hatinya yang penyayang membuatnya
dapat belajar ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta lebih cepat
dari orang-orang seusianya. Dengan "rasa" ketimbang dengan pikiran,
Petapa Seberang menyelami gerakan-gerakan ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta, yang berupa berdiam tetapi tidak kaku, mengalah
tetapi tidak kalah, dan juga yang dilengkapi dengan kuncian-kuncian
dari Kuncian Satu sampai Kuncian Enam, dari arah putar kanan dan
putar kiri, dari gerakan berdiri dan gerakan berlutut, semuanya dicernanya dengan baik. Guru yang mengajarnya sampai geleng-geleng
kepala melihat kemampuan Petapa Seberang mencerna ilmu yang diajarkannya. Akan tetapi walaupun demikian, Petapa seberang memiliki satu kelemahan, yaitu menghafal nama jurus-jurus dan "lsafat
dari gerakan yang diajarkan. Ia hanya bisa mempraktekkannya apabila diserang, akan tetapi tidak apabila disuruh menyebutkan. Ini
merupakan suatu keunikan tersendiri dari Petapa Seberang, sampai ia
dijuluki Petapa Seberang Si Pelupa Jurus.
Lain halnya kisah Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang, lain pula
cerita dari Petapa Gunung Es yang berasal dari suatu tempat jauh di
ketinggian, yang dikenal sebagai Atap Langit. Ia belajar ilmu beladiri
yang awalnya dikembangkan orang di sana sudah lebih dari puluhan
ribu pergantian bulan yang lalu, di mana ilmu tersebut pada awalnya
diciptakan untuk bertahan hidup pada lingkungan Atap Langit yang
dingin dan berudara tipis. Menurut ujar-ujar para tetua ilmu tersebut,
berdasarkan pada tujuh buah unsur "loso"s, yaitu: keberanian, tantangan, kepemimpinan, pengorbanan, kebersamaan, kedamaian dan
ilmu pengetahuan. Sejalan dengan berlalunya waktu, ilmu tersebut
pernah hilang dari Atap Langit, sampai seorang dari Negeri Matahari
Terbit, yaitu Tagasi menemukan buku yang masih terbuat dari kulit
yang berisikan tanda-tanda simbolis dan bukan tulisan. Untuk itu
Master Tagasi memerlukan waktu sampai empat ratus bulan berganti
untuk memahami kitab tersebut dan belum sepenuhnya. Sebagaimana
unsur "loso"s dari ilmu tersebut, terdapat pula tujuh macam elemen
murni dari kekuatan alami dalam tubuh manusia. Kitab tersebut kemudian disebut sebagai Kitab Tujuh Rahasia. Menurut kitab itu ketujuh unsur rahasia tersebut mengandung tenaga yang maha dasyat
dan kekuatan insting sejati dari seorang manusia.
48 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
Akan tetapi dengan mulai dikenalnya berbagai senjata mematikan
yang sering digunakan dalam perang, ilmu murni yang menyatakan
kedasyatan fungsi tubuh manusia, perlahan mulai hilang ditelan
waktu. Master Tagasi, yang saat itu belum menjadi seorang pendekar kondang, tetap dengan tekun mencoba mencari orang-orang
lama yang masih memahami ilmu tersebut, yang dikemudian hari
diberi nama Takeda ini. Usahanya tidak sia-sia, perjalanannya dari
Negeri Matahari Muncul, menyeberangai Pegunungan Tinggi Tiada
Habis sampai ke Kaki Langit, membuahkan banyak pertemuan dengan
banyak petapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri. Dari mereka
ini Tagasi menimba banyak ilmu yang merupakan penjelasan dan
pecahan-pecahan dari ilmu yang diajarkan kitab tersebut. Perjalan
Master Tagasi membuahkan banyak pengikut dan murid, yang salah
satu di antaranya adalah Petapa Gunung Es ini.
Awalnya Petapa Gunung Es telah mempelajari ilmu Seamm-Jasani
atau dikenal pula sebagai Alayavijnana, yang berarti Ilmu Muda Selamanya, yang membuat orang saat berlatihnya menjadi semakin sehat, awet muda dan tidak cepat pikun dan juga dapat digunakan untuk mencegah depresi, penyakit, serta untuk pencapaian kedamaian
di dalam, kesabaran dan ketenangan. Saat ia bertemu dengan Master Tagasi, Petapa Gunung Es merasa ilmunya telah mumpuni, akan
tetapi saat berdialog dan saling bertukar ilmu, ia merasa belum apaapa. Dan Master Tagasi dengan rendah hati menjawab, bahwa ia juga
sedang mencari jawaban dari ilmu yang tertulis dalam Kitab Tujuh
Rahasia tersebut. Akhirnya Petapa Gunung Es pun mengangkat Master Tagasi sebagai gurunya, dan bersama-sama mereka, juga dengan
pengikut lainnya, yang saat itu telah berjumlah lima orang, mencari
keterangan lebih lanjut mengenai ilmu itu dari petapa-petapa yang
berdiam di sekitar Kaki Langit.
Pada suatu masa yang tercatat dari sejarah Master Tagasi dan tiga
puluh orang master lainnya bertandang ke Kawasan Gunung Lautan
Awan di Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, di sana ia mencapai dua tahap terakhir dari tahapan kesempurnaan dari ilmu Takeda
seperti tertulis dalam kitab tersebut, yaitu Penglihatan Dalam dan
Pemahaman Dalam, yang diperolehnya melalui suatu pencerahan saat
melihat bagian dari kawah yang menyerupai simbol dalam kitab tersebut. Pencerahan ini membentuk dasar dari keyakinannya bahwa Tu49 juh Rahasia dapat dicapai melalui metoda Pertahanan Diri. Terdapat tujuh tahapan untuk mencapai kesempurnaan dari ilmu ini, yaitu
Cara Bernafas, Pengendalian Otot, Gerakan Tubuh, Pemusatan Pikiran, Pergerakan Hawa, Penglihatan Dalam dan Pemahaman Dalam.
Nama ilmu ini sendiri, Kateda, merupakan simbol yang diambil dari
halaman terakhir dari kitab ini, Tujuh Rahasia. Pada suatu masa
Master Tagasi tutup usia dan diperabukan di kawah Gunung Lautan
Awan bersama dengan kitab asli dari Kitab Tujuh Rahasia tersebut,
yang merupakan permintaan terkhirnya. Para penerusnya dapat mempelajari ilmu Takeda dari kitab-kitab salinan yang telah diterjemahkan
dalam berbagai bahasa. Petapa Gunung Es sebagai salah satu orang yang hadir saat upacara
perabuan Master Tagasi benar-benar merasa kehilangan. Karena selain ia benar-benar seorang guru yang selalu mengedepankan kedamaian dan kemanusiaan, ia juga merupakan seperti ayah bagi para muridmuridnya. Keakraban dalam perguruan tersebut benar-benar membuat mereka semua seperti berada dalam keluarga besar.
Terdapat banyak kesamaan antara Petapa Gunung Es, Petapa Lain
Pulau dan Petapa Seberang, walaupun mereka belajar dari guru atau
master yang berlainan akan tetapi masing-masing guru tersebut memperoleh pemahaman bahwa kedamaian dan ketenangan harus dijaga,
dan tugas utama dari seorang pendekar bukanlah berperang, tapi menjadi kedamaian. Perang adalah pilihan terakhir yang harus diambil.
Dan karena kesamaan itulah ketiga petapa tersebut secara kebetulah bertemu di Pulau Gunung Api yang terletak di Laut Antara Dua
Pulau, di mana mereka pada awalnya memilih pulau tersebut karena
letaknya yang aneh dan alamnya yang keras. Mereka berpikiran sama
untuk memperdalam ilmunya dengan memanfaatkan kedasyatan alam
di sana. Pertemuan ini menimbulkan keakraban di antara ketiganya sehingga
mereka pun saling mengangkat saudara, sehingga sampai muncul
keingingan untuk membentuk suatu perguruan baru dengan menggabungkan ilmu-ilmu mereka tersebut.
"Kakang Gunung Es," tanya Petapa Lain Pulau, mereka telah menetap urutan kakak dan adik angkat mulai dari Petapa Gunung Es,
Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang berdasarkan urutan usia saja,
50 BAGIAN 1. KISAH RIMBA DAN GUNUNG HIJAU
"jika menurut Kitab Tujuh Rahasia dari Master Tagasi tersebut, sudah sampai tahap berapa kakang ini?"
Petapa Gunung Es tidak langsung menjawab, melainkan merenung
dulu sebentar, lalu ujarnya, "aku sedang dalam Pemusatan Pikiran,
dan sedikit awal Pergerakan Hawa. Akan tetapi banyak hal yang
belum aku mengerti di sini."
"Misalnya," imbuh Petapa Seberang.
"bahwa dalam kitab tersebut dikatakan hawa dikendalikan pikiran,
tapi pada bagian sebelumnya, dikatakan pusatkan pikiran untuk jangan berpikir," jawabnya dengan serius, "ini membuatku jadi bingung
dan kadang-kadang lupa dengan ujar-ujar yang tertuliskan."
"Ini mirip seperti yang dialami Guru Tua Morehe Uwesiba, yang tibatiba lupa apa yang dipelajarinya," sahut Petapa Seberang menambahkan. "Bukan adik Seberang," jawab Petapa Gunung Es, "sama sekali lain.
Kalau Guru Tua lupa karena ia sudah mencapai Pemahaman Dalam,
sedangkan aku baru sampai tahan Pergerakan Hawa dan Pemusatan
Pikiran." "Kalau aku lupa, karena memang tidak mengerti kenapa harus ada
penjelasan jurus-jurus itu," lanjut Petapa Seberang dengan tersenyum
malu. Kedua saudaranya tersebut juga sama-sama tersenyum. Mereka
Tangan Hitam Elang Perak 3 Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti Pendekar Sadis 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama