Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 3
melihat Nyi Sura berbicara. Dengan adanya kejadian ini banyak ucapan yang dikeluarkan oleh kedua orang itu. Telaga yang biasanya
berbicara banyak malah kebalikan. Ia banyak mendengarkan saat
orang tuanya berbicara. 100 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Kemudian Nyi Sura menjelaskan bahwa sifat-sifat Roh-roh Empat Elemen yang saling membantu dan meniadakan. Misalnya elemen api dan
air yang akan saling meniadakan, akan tetapi elemen api dan udara
atau api dan tanah dapat saling membantu. Demikian pula dengan
elemen udara dan tanah yang dapat saling meniadakan. Keempatnya dapat diletakkan pada sudut-sudut suatu bujur sangkar. Dengan
api dan air pada dua sudut berseberangan dan udara dan tanah pada
kedua sudut lainnya. Elemen pada sudut-sudut yang berseberangan
akan saling meniadakan sedangkan elemen-elemen yang bersebelahan
dapat saling membantu. Itulah sebabnya mengapa Ki Sura saat itu menggunakan obor untuk
menakut-takuti Undine. Undine adalah Roh Air dan elemen air merupakan musuh dari elemen api, yang dalam hal ini adalah obor yang
dibawa Ki Sura. "Akan tetapi ada yang membuatkan bertanya-tanya," tiba-tiba menyeletuk Telaga, "mengapa Undinen tertarik dengan Lantang?"
Semua terdiam. Baik Ki Sura, Nyi Sura maupun Telaga tahu bahwa
manusia, sebagai makhluk berdarah panas memiliki sifat yang tidak
terlalu cocok dengan Roh Air. Manusia lebih ke arah sifat Roh Tanah
dengan paduan kecil dari ketiga eleman lainnya. Perihal Lantang yang
diminanti oleh Undinen merupakan suatu teka-teki bagi mereka.
"Waktu dari menariknya, aku juga merasakan hawa dingin yang aneh
dari anak ini," ujar Ki Sura seakan-akan pada dirinya sendiri.
"Anak Lantang," lalu tanya Nyi Sura, "adakah engkau penyakit atau
kelainan sehingga tubuhmu bersifat dingin?"
Tiba-tiba saja hal itu menjadi jelas bagi Rancana. Ya, pasti itu
penyebabnya. Ketidaklancaran jalan darah dari Lantang yang menyebabkannya tidak bisa melancarkan hawa ke seluruh tubuhnya yang
menyebabkan. Ditambah dengan kondisi air yang dingin, akan membuat tubuhnya semakin dingin. Tidak ada hawa dari pusar yang
menghalau dingin itul. Sebab itu Undinen mengira bahwa Lantang
adalah salah seorang dari jenisnya. Lalu diceritakannya hal tersebut
oleh Rancana kepada Nyi dan Ki Sura serta Telaga. Lantang sendiri
hanya ikut mendengarkan karena tidak begitu mengerti.
101 "Hmm, begitu.. ya!" menghela napas Ki Sura, "malang sekali nasibmu, nak Lantang. Dapat menghimpun tenaga, akan tetapi tidak
bisa menggunakannya. Tapi itu merupakan kelebihanmu di daerah
ini." "Maksud Ki Sura?" tanya Rancana tak mengerti. Tentu saja ia gembira apa bila "kekurangan" Lantang merupakan suatu "kelebihan".
"Dengan adanya Roh-roh Air di sini, Lantang bisa memanfaatkan
aura mereka untuk menumbuhkan hawanya sendiri. Bukan hawa yang
biasanya diperoleh dari latihan-latihan. Melainkan hawa para Rohroh Air," jelas Ki Sura. Dia pun terdiam sambil melirik istri dan
anaknya. Terlihat bahwa ada suatu rahasia di antara mereka yang
berat dikatakan pada Rancana dan Lantang.
"Bila itu suatu rahasia, dan tidak untuk kami," kata Rancana, "tak
usahlah kami diceritakan dan diberi harapan. Lantang sendiri pun
telah pasrah hanya akan mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam
Semesta yang tidak memanfaatkan hawa yang dihimpunnya di bawah
pusar." "Kami," papar Ki Sura, "adalah orang-orang terakhir yang menjaga
suatu rahasia. Suatu cara pengolahan tenaga untuk dimanfaatkan
dalam gerakan bela diri. Akan tetapi kami tidak memiliki ilmu bela
diri, melainkan hanya cara mengolah tenaga belaka. Rahasia ini telah
lama disimpan. Dan memang ada pada saatnya untuk dibuka dan diwariskan. Kebetulan anak Lantang ini memenuhi persyaratan seperti
tertuliskan dalam salah satu cerita-cerita tua itu."
Nyi Sura dan Telaga pun mengangguk membenarkan. Itu juga sebagai isyrat bahwa mereka setuju bahwa cerita atau rahasia itu untuk
diperdengarkan kepada Lantang dan gurunya, Racana si Bayangan
Menangis Tertawa. Lalu diceritakanlah oleh Ki Sura mengenai sejarah
keluarga itu dan ilmu-ilmu yang harus dirahasiakan dan dijaganya.
*** "Misbaya, kemari!" perintah Ki Tapa sambil tangannya menggapai
Misbaya agar mendekat. "Akan kutunjukkan mengenai satu jenis cara
melepaskan diri dari cengkeraman belakang."
102 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Lalu dengan perlahan Ki Tapa berdiri membelakangi Misbaya, yang
kemudian dimintanya untuk memegang dengan erat kedua tangannya
dari belakang pada pergelangan tangan.
"Pegang yang kuat, jangan sampai lepas!" begitu perintah Ki Tapa.
Kemudian ia meminta murid-muridnya untuk memperhatikan apa
yang akan ditunjukkannya. Dengan perlahan, ditekuknya lututnya sehingga kedudukannya lebih rendah dari Misbaya. Sebagai akibatnya
pegangan Misbaya tidak lagi bisa seerat semula karena pergelangan tangannya telah habis tertekuk ke atas. Dengan cepat Ki Tapa
mengangkat tangan sebelah kanannya, yang masih digenggam oleh
Misbaya ke atas melewati kepala sehingg berada kira-kira di sebelah
kiri kepala. Misbaya mendongak ke belakang menyangka akan diserang dengan tangan itu oleh Ki Tapa. Pada saat itulah Ki Tapa
kembali merendahkan dirinya sehingga bahunya berada lebih rendah
dari dada Misbaya, untuk kemudian mengungkitnya dengan bahu,
sembil menjatuhkan tangan kanannya ke depan, seperti memotong.
Akibatnya Misbaya tercongkel dan terungkit ke atas dan terbalik.
Terlempar dan terkapar telentang di atas rumput yang hijau.
Rekan-rekannya terkesiap. Demikian mudah Misbaya terlempar dengan gerakan sederhana tadi. Sedemikian halus. Tak teduga dan cantik. Gerakan yang memanfaatkan batas-batas sendi manusia, sehingga
mau tak mau sang lawan harus ikut, atau sendinya akan terkilir atau
lepas. Salah satu jurus bantingan dalam ilmu Jalan Selaras dengan
Alam Semesta. Ilmu yang dibawah oleh Petapa Seberang ke Tanah
Tongkat Ditanam Jadi Tanaman. Ki Tapa sebagai salah satu penerus
dan pewaris ilmu-ilmu dari Petapa Seberang sudah tentu mengerti betul gerakan tersebut, yang hari ini diajarkannya pada murid-muridnya.
Melihat murid-murinya masih terkesima dan takjub pada gerakan itu.
Ki Tapa pun menggapai muridnya yang lain. Kali ini Gentong. Pemuda yang tinggi besar dan berbobot. Dari pandangan matanya, Ki
Tapa melihat ketidakyakinan murid-muridnya, bahwa Gentong pun
dapat dilemparkan dengan gerakan atau jurus yang sama.
Akan tetapi hal yang sama pun terjadi. Dan untuk itu, dikarenakan
postur tubuh yang lebih tinggi, lebih mudah bagi Ki Tapa untuk mencapai batas-batas perputaran sendi dari Gentong. Dan Gentong pun
103 terlempat sejajar dengan posisi tempat Misbaya tadi terkapar, dengan
debum yang lebih kentara tentunya.
Setelah beberapa kali memberi contoh menggunakan murid-murid
yang berbeda-beda, juga di antara murid-muridnya sendiri, Ki Tapa
pun memerintahakan mereka untuk melatihnya sendiri ratusan kali.
Sampai gerakan-gerakan tersebut menjadi mendarah daging. Muridmuridnya pun mengiyakan dan mulai melakukannya.
Lucu tampaknya, misalnya saja bahwa Paras Tampan berusaha untuk
menjatuhkan Rintah yang masih saja berdiri dengan stabil. Berbagai upaya telah dilakukannya. Akan tetapi tetap saja Rintah masih
berdiri dan menggenggam kedua tangannya di belakang dengan erat.
Melihat ini menghampiri datang Ki Tapa sambil menunjukkan arah
yang harus diambil oleh Paras Tampan agar pegangan Rintah menjadi
lunak, untuk kemudian membebaskan tangannya ke atas kepala, siap
mencongkelnya dengan bahu. Setelah diberi pentunjuk dapatlah Paras
Tampan melemparkan Rintah. Menyadari bahwa murid-muridnya terlihat belum paham, akhirnya Ki Tapa memutuskan lebih baik untuk
memberi petunjuk satu persatu berpasang-pasangan. Cara ini lebih
baik. Setiap murid akan melihat dan merasakan bagaimana jurus itu
diterapakan. Berganti-ganti mereka berperan sebagai yang membanting dan yang dibanting. Begitulah cara latihan dari ilmu Jalan Selaras
dengan Alam Semesta. Hari pun semakin sore dan para kawula muda itu terus giat berlatih di
bawah petunjuk-petunjuk Ki Tapa, yang mengawasinya dengan sabar
dan telaten. *** Persiapan perginya rombongan pedagang-pedagang tampak mendominasi kesibukan orang-orang Desa Luar Rimba Hijau pagi ini.
Bersamaan dengan itu pula, rombongan dari Pinggiran Sungai Merah
ingin berpamit untuk pulang karena orang yang sakit, yang menjadi
alasan mereka untuk menetap selama ini di Desa Luar Rimba Hijau,
sudah berangsur-angsur sembuh. Lebih cepat dari dugaan mereka
semula. Para pedagang yang tadinya hanya akan ditemani oleh beberapa orang wakil dari rombongan, menjadi ditemani oleh seluruh
rombongan. Kecuali Asap tentunya.
104 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Ki Tapa pun telah berpesan bahwa si sakit dapat pulang setiap saat.
Untuk Asap, mereka tidak akan menunggunya, karena selain telah
dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri, pun Kepala Desa
Luar Rimba Hijau, Ki Surya, telah menjamin bahwa Asap bersamasama dengan kawula muda desanya akan baik-baik saja selama dalam
pelatihan di dalam Rimba Hijau.
Rencana yang akan dilaksanakan adalah rombongan pedagang itu
akan bersama-sama dengan rombongan dari Pinggiran Sungai Merah
menempuh arah yang sama, ke arah barat. Ke arah di mana matahari terbenam. Pinggiran Sungai Merah terletak jauh di barat, untuk
mencapainya hanya terdapat dua cara, lewat Gurun Besar yang luas
dan gersang atau menyusuri Sungai Menggelegar (Dssel) di mana terdapat suatu desa yang bernama Desa Pinggir Sungai Menggelegar
(Dsseldorf). Sungai menggelegar merupakan kelanjutan dari sungai yang mengalir
keluar dari Rimba Hijau, Sungai Hijau orang menamakannya. Sungai
ini kemudian mengalir menuju ke arah barat daya untuk kemudian
bercabang, satu tetap ke arah barat daya dan lainnya langsung ke
selatan, menuju Lautan selatan. Pada percabangan inilah terdapat
Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Salah satu alasan orang mengapa
sungai ini dinamakan Sungai Menggelagar adalah terdapatnya saatsaat tertentu di mana air sungai bisa bertambah dengan pesat, bisa
akibat pasangnya air laut ataupun hujan di daerah hulunya, sehingga
sungai ini meluber sampai ke Padang Batu-batu yang berada di bagian
baratnya. Akibat luberan ini, Padang Batu-batu akan tergenang. Dan
entah bagaimana, aliran genangan-genangan ini di antara tonggakantonggakan karang dapat memberikan suara yang satu sama lain saling
menguatkan (beresonansi) sehingga menghasilkan suara menggelegar,
menggemuruh. Dari sanalah diyakini nama itu datang.
Setelah berbicang-bincang antara kelompok pedagang Desa Luar
Rimba Hijau yang diwakili oleh Ki Murah, Ki Rabat dan Ki Untung.
Nama-nama mereka sendiri telah mengisyaratkan bahwa mereka itu
adalah pedagang yang berupaya untuk menjual barang dengan murah,
jika bisa dengan potongan (Rabat) dan masih memperoleh keuntungan. Sedangkan dari pihak Rombongan dari Pinggiran Sungai Merah
diwakilkan oleh Rota Mera dan Reda, keduanya diangkat sebagai
ketua rombongan setelah Asap mulai ikut latihan di dalam Rimba
105 Hijau. "Jadi menurut nak Rota Mera sebaiknya kita mengambil Jalur Panjang dari pada Jalur Pendek..." tegas Ki Rabat agak masih belum
setuju. Menurutnya baiknya bila mereka memilih jalur yang sebaliknya, agar perjalanan cepat selesai dan transaksi perdagangan bisa
dilakukan. "Benar, Ki Rabat," ucap Reda mengiyakan pendapat rekannya, "hal
ini didasari oleh pengalaman rekan kami Bujang yang sakit itu. Ia
terkena gigitan Kadal Gurun saat sedang mencari obat-obatan di Gurun Besar. Dengan alasan ini kami pun datang ke sini melalui jalur
selatan." "Tapi bukankah dengan menggunakan Jalur Panjang yang lewat selatan ini, seperti kata kalian, akan memakan waktu dua kali lebih lama?"
tanya Ki Murah kemudian. "Benar, Ki," kali ini Rota Mera sendiri yang menjawab. "walaupun
dua kali lebih lama, akan tetapi lebih sedikit bahayanya. Di Gurun
Besar, selain ada banyak binatang-binatang beracun, juga terdapat
badai pasir dan penyamun-penyamun ganas. Mereka itu sering mencegat rombongan orang yang lewat dan merampoknya."
"Bila benar begitu, ya..., sudah sepantasnya bila kita memang memilih
Jalur Panjang." komentar Ki Untung. "Keterlambatan proses perdaganan dapat diterima, bila dikompensasi dengan terjadi atau tidaknya
proses tersebut." Kedua rekannya mengangguk-angguk setuju. Setelah membicarakan
beberapa hal lain, akhirnya memang diputuskan untuk memilih Jalur
Panjang. Jalur ini akan mengambil arah ke barat daya dari Desa
Luar Rimba Hijau, untuk kemudian menyusuri Sungai Menggelegar
sampai ke Pantai Selatan. Dari sana akan diambil arah ke barat sambil menyusuri pantai. Setelah beberapa hari perjalanan, dan Padang
Batu-batu tidak lagi terlihat di utara pantai, arah akan diubah menjadi menuju barat laut sampai bertemu dengan suatu sungai. Sungai
itu sudah Sungai Merah. Selebihnya tinggal menyusuri Sungai Merah
menuju ke utara, sampai ke Desa Pinggiran Sungai Merah.
Rombongan dari Pinggiran sungai merah mengatakan bahwa di sepan106 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
jang Sungai Merah, walaupun tidak terdapat banyak desa, akan tetapi
sering berdiam orang-orang yang hendak melanjutkan perjalanan baik
ke arah pantai atau utara. Dan orang-orang ini kadang memang membutuhkan sesuatu untuk bekal perjalanannya. Hal inilah yang menarik
para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Melakukan kontak dengan sebanyak-banyaknya orang untuk mengadakan kegiatan perdagangan. Di samping rombongan pedangan dan juga rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, terdapat lagi tambahan orang yang akan mengadakan perjalanan, yaitu Citra Wangi dan kedua orang tuanya. Citra
Wangi adalalah tunangan Paras Tampan, seorang pemuda yang saat
ini sedang berlatih di dalam Rimba Hijau bersama kawan-kawannya.
Keluarga itu mendengar betapa Desa Pinggiran Sungai Merah merupakan desa yang lebih besar dan maju dari pada Desa Luar Rimba
Hijau ini, tertarik untuk melancong ke sana. Terlebih berkaitan dengan ikatan antara Citra Wangi dan Paras Tampan. Akanlah sangat
bangga apabila pernikahan mereka nanti dilengkapi dengan baju-baju
yang dibeli dari tempat yang jauh. Berbeda dengan baju-baju yang
ada di sini. Berbekal niat itu ikutlah keluarga itu pada rombongan
yang akan pergi ke barat. Sambil tidak lupa mereka juga mendapat
titipan-titipan dari kerabat-kerabatnya yang tidak ikut pergi.
Sudah lajim bahwa orang yang belum pernah melihat tempat lain
akan merasa bahwa tempat itu pasti lebih indah dari tempat-tempat
yang pernah dikunjunginya. Walaupun pada kenyataannya, kadang
terjadi sebaliknya. Tempat yang diduga lebih indah itu, setelah dilihat malah menimbulkan kekecewaan karena tidak sebaik atau seindah
yang dikhayalkan. Setelah siap berangkatlah rombongan itu. Hari telah menjelang sore
saat rombongan itu berangkat. Titipan sana-sini para penghuni desa
masih menghiasi keberangkatan itu, sehingga kadang-kadang enggan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepasnya. Semakin banyak "titipan" semakin banyak pula keuntungan yang dapat diraih oleh para pedagang.
Tidak banyak orang yang ikut sebenarnya, hanya enam kereta yang ditarik masing-masing oleh dua ekor kuda. Dua kereta berisikan orangorang dari Desa Pinggiran Sungai Merah dan satu kereta digunakan
oleh Citra Wangi dan kedua orangtuanya serta sisanya adalah rom107 bongan pedagang dan barang-barang bawaannya. Kira-kira hanya
tiga puluhan orang berada dalam rombongan yang akan berjalan ke
barat itu. Perjalanan ke barat itu diperkirakan akan memakan waktu sebulan
setengah lebih karena mengambil jalan memutar. Bila langsung menempuh Gurun Besar, cukup diperlukan waktu dua sampai tiga minggu
saja. Perjalanan ini merupakan perjalanan terjauh yang pernah dilakukan oleh kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Sebelumnya mereka hanya berdagang di sekitar daerah mereka saja.
Paling jauh ke Desa Pinggir Sungai Menggelegar di selatan. Atau
desa-desa di sebelah utara dari Rimba Hijau. Dan ke barat paling
jauh sampai pinggiran dari Gurun Besar. Jadi ini merupakan pengalaman yang ditunggu-tunggu pula oleh kelompok pedangang itu.
Bila kegiatan ini membuahkan hasil, akan tercipta jalur perdagangan
baru antara bagian timur dan barat.
Sungai Hijau selepas dari Rimba Hijau dan Desa Luar Rimba Hijau mengalir perlahan dengan lebar yang kurang lebih sama. Mengalun melintasi hamparan spasial geogra"s secara hampir tanpa lonjakan atau kejutan. Benar-benar membosankan. Membuat siapa
pun yang duduk di atas kereta dan berjalan perlahan-lahan sambil memperhatikan sungai tersebut, akan menjadi terkantuk-kantuk.
Demikian pula dengan rombongan ini. Hampir sebagian besar dari
mereka terkantuk-kantuk melihat kiri-kanan hanya dilengkapi pemandangan yang biasa-biasa saja.
Dua hari perjalanan dilalui dengan lancar oleh rombongan itu. Lancar
dan sedikit membosankan. Diperkirakan dalam tiga atau empat hari
ke depan akan sampai mereka ke awalan Sungai Menggelegar.
Malam ketiga. Rombongan itu bermalan di pinggiran sungai, entah
sungai apa namanya, apakah masih termasuk Sungai Hijau atau tidak,
tiada yang tahu. Nama atau batasan geogra"s saat itu tidaklah terlalu
penting. Akan tetapi bila menilik dari airnya yang tidak lagi didominasi oleh warna hijau pada dasar sungai yang jernih, mungkin lebih
baik dinamakan Sungai Jernih.
Untuk melepaskan kebosanan, seorang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah memiliki gagasan untuk menceritakan suatu
108 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
hikayat atau dongeng yang terjadi di daerah Sungai Menggelegar.
Daerah yang akan mereka masuki dalam dua atau tiga hari lagi.
Yang bercerita adalah Rosata seorang tua setengah baya yang pernah mendengar cerita itu dari salah seorang penduduk Desa Pinggir
Sungai Menggelegar saat rombongannya menunju Rimba Hijau untuk
mengobati Bujang, yang terkena gigitan Kadal Gurun.
Entah kapan dan bagaimana mulainya, Desa Pinggir Sungai Menggelegar memiliki tingkat keteraturan pembangunan desa yang amat baik.
Pekerjaan-pekerjaan dibagi sedemikian rupa, sehingga masing-masing
insan bekerja untuk kebaikan desanya sesuai dengan peran dan kemampuannya. Hal ini sudah tentu mendukung majunya perekonomian dan juga pertanian desa. Adalah berbahaya apabila hal-hal yang
penting bagi kehidupan dibiarkan ditangani oleh orang yang tidak ahli
dalam bidangnya. Akan hancur suatu daerah, desa atau pun negeri
bila hal tersebut dibiarkan terjadi. Dan dalam Desa Pinggiran Sungai
Menggelegar hal ini ditangani dengan baik. Orang-orang yang mengurusi kepentingan umum dipilih dari yang ahlinya. Orang-orang yang
memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dijadikan pemimpin,
sedangkan yang hanya mampu bekerja dengan keras dijadikan bawahan. Setelah bertahun-tahun kegiatan kehidupan berlangsung dengan baik,
muncullah ide untuk membuat suatu peringatan bagi jenis-jenis pekerjaan yang telah dianggap berjasa untuk membangun desa itu. Untuk
itu dirancang dua belas jenis pekerjaan yang merupakan modal dan
kekuatan pembangunan desa. Kedua belas "gur itu kemudian dinamakan 12 Yang Berdiri (Stndichen) dan ditempatkan dalam suatu
taman di bagian utara kota, Taman Utara (Nordpark). Kedua belas "gur yang dimaksud itu adalah Kelompok Wanita Pemungut
Biji-bijian Tertinggal (hrenlesergruppe), Laki-laki Penyebar Bijibijian (Smann), Laki-laki Pelatih Burung Pemburu (Falkner), Lakilaki Penduga Penyakit Hewan (Spatenmann), Wanita Pengembala
Domba (Schferin), Laki-laki Pengembala Ternak (Hirte), Laki-laki
Pemain Musik (Musikanten), Laki-laki Petani (Bauer), Wanita Petani
(Buerin), Wanita Pemetik Anggur (Winzerin), Laki-laki Nelayan (Fischer) dan Awak Perahu (Matrose).
Dibangunnya patung-patung itu tidaklah menjadikan cerita mengenai
mereka menjadi heboh apabila tidak ada peristiwa yang berkaitan den109 gannya. Pada suatu malam yang sunyi dan agak dingin dibandingkan
dengan malam-malam sebelumnya. Akibat cuaca yang tidak nyaman
ini, orang-orang lebih banyak memilih untuk tinggal di rumahnya atau
tidak berlama-lama di luar rumah bila tidak ada keperluan.
Adalah Jingkit seorang nelayan sungai yang pulang terlalu larut
malam itu, ia baru saja menambatkan perahunya di dermaga Sungai Menggelegar, untuk kemudian mengangkat muatan-muatan hasil
tangkapannya hari itu. Dengan agak terburu-buru ia berjalan menuju
rumahnya yang terletak agak di utara. Biasanya ia mengambil jalan
pinggiran sungai untuk kemudian menyusurinya ke utara dan berbelok ke timur untuk mecapai rumahnya. Tapi entah kenapa malam
itu ia lebih memilih untuk melewati jalan dalam desa baru kemudian mengambil arah ke utara. Dengan demikian mau tidak mau
ia harus melewati Taman Utara di mana terdapat keduabelas Yang
Berdiri. Tidak ada masalah bagi Jingkit untuk melihat keduabelas
Yang Berdiri malam-malam. Ia malah kadang sering mengagumi
patung-patung itu. Dan merasa bangga bahwa profesinya sebagai
nelayan juga diabadikan dalam salah satu patung-patung itu.
Akan tetapi hal yang tidak biasa adalah rasa dingin yang dirasakannya
itu. Dingin yang bukan lagi dingin udara atau angin. Dingin ini
lain, sempat meresap ke dalam kulit dan menembus tulang. Membuat
tubuh benar-benar terasa lelah. Dan rasa dingin yang aneh ini benarbenar membuatnya shok karena ditambah dengan kenyataan bahwa
di dalam Taman Utara, di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri
itu berada, terasa amat lengang. Tidak ada satu pun Yang Berdiri
tersisa di sana. Semuanya hilang, membuat suasana yang telah dingin
dan sepi, menjadi semakin sepi dan mengiriskan. Tak tahan dengan
keadaan itu Jingkit pun lari lintang pukang. Tidak dipedulikannya
lagi ikan-ikan hasil tangkapannya dan juga rempat-rempat serta kainkain hasil pesanan istrinya yang terjatuh di tengah taman. Di mana
seharusnya keduabelas Yang Berdiri berada.
Malam yang menghebohkan. Setelah Jingkit memberitahu istrinya
akan hilangnya keduabelas Yang Berdiri, dan atas usul istrinya, ia
pun bergegas ke rumah Ki Tanah, kepal desa dari Desa Pinggir Sungai
Menggelegar. Kentongan bambu pun kemudian bertalu-talu, menyebarkan kabar ke seluruh penjuru desa, bahwa ada sesuatu yang tidak
beres. Penduduk dengan rasa-rasa cemas bergegas ke luar dari rumah
110 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
dan berkumpul di alun-alun desa untuk mencari tahu apa yang sedang
berlangsung. Hanya para laki-laki muda dan yang masih kuat yang
muncul. Sisanya bertahan di dalam rumah untuk menanti kabar ada
apa gerangan. Setelah Ki Tanah menenangkan warganya, kemudian dengan cepat
ia mempersilakan Jingkit, sebagai saksi satu-satunya yang ada, untuk mempersilakan menceritakan peristiwa yang dilihatnya. Ucapanucapan yang menyatakan keterkejutan terlontar selama penyampaian
itu. Dan pada akhirnya atas usul seorang warga, mereka bersamasama menuju ke Taman Utara untuk melihat lokasi keduabelas Yang
Berdiri. Setelah berjalan bersama-sama, dalam langkah yang tergesa-gesa,
tidak sampai air teh yang baru diseduh dingin, sampailah mereka di
satu bagian dalam Taman Utara di mana seharusnya keduabelas Yang
Berdiri itu berada. Alih-alih patung-patung tersebut yang terlihat,
hanyalah kegelapan dan dua belas lobang sebesar kerbau yang tertinggal menganga. Seakan-akan mengejek orang yang mencari-cari apa
yang pernah ada ditanamkan di dalam dan di atasnya.
Tiada suara di antara seluruh penduduk desa. Sunyinya saat itu
seakan-akan suara aliran sungai yang semilir dari jauh dapat terdengar
dengan jelas. Bertanya-tanya hati semua orang, bagaimana peristiwa
itu dapat terjadi. Memindahkan patung-patung yang beratnya hampir tiga kali kerbau bunting dengan tinggi dua kali orang dewasa. Dan
dua belas buah lagi. Benar-benar menyeramkan. Seakan-akan itu
bukanlah perbuatan seorang atau sekelompok manusia saja.
Sampai akhirnya berkatalah Ki Tanah, selaku pimpinan di sana,
"baiknya kita menenangkan diri dulu. Besok pagi-pagi kita rundingkan lagi. Siapa pun atau apapun yang mengambilnya, sudah di
luar kemampuan kita. Sekarang atau besok mengetahuinya akan sama
saja." Semua mengangguk-angguk setuju. Beberapa masih bergidik saat Ki
Tanah tadi menegaskan "apapun" sebagai alternatif yang melakukan
hal itu. Lalu orang-orang pun bubarlah.
111 Mendengar cerita yang dilantunkan Rosata itu tidak ada orang-orang
yang bersuara, bahkan sekecil apa pun suara. Pembawaan suasana
yang disajikan benar-benar membuat yang mendengarkannya terkesima dan seakan-akan terbawa ke sana saat peristiwa itu benar-benar
terjadi dihadapan mereka. Sebagian besar anggota rombongan dari
Pinggiran Sungai Merah telah mendengar cerita itu dari Rosata sebelumnya. Akan tetapi tetap saja mereka masih bergidik dan merinding mendengar cerita yang penuh misteri itu, lebih-lebih karena lokasi
tempat di mana kejadian itu pernah berlangsung tidak jauh dari tempat mereka bermalam saat ini. Tidak bisa dibayangkan ketegangan
keluarga Citra Wangi dan kelompok para pedagang dari Desa Luar
Rimba Hijau, yang baru pertama kali mendengar cerita menyeramkan
itu. Sunyi. Sesekali terdengar hanya suara jengkerik dan burung hantu.
*** Lima hari kemudian sampailah mereka di daerah Desa Pinggir Sungai
Menggelegar, perlu dua hari dari awalan Sungai Menggelegar untuk
mencari desa tersebut. Selama lima hari tersebut tidak ada apa-apa
yang patut diperhatikan terjadi dalam perjalanan rombongan itu.
Sungai Menggelegar terlihat biasa seperti sungai-sungai biasa lainnya, dengan lebar sampai sepuluh kerbau dewasa berjajar dan air di
tengahnya yang tenang, menandakan bahwa sungai itu cukup dalam.
Akan tetapi anehnya, pada sisi seberang, yaitu sisi barat, terdapat
banyak sekali batu-batu menjulang setinggi orang sampai setinggi pohon kelapa di pinggir sungai dan di daratnya. Akibatnya ada aliran air
dan udara yang lewat di antaranya menghasilkan suara yang menderu.
Bila banjir, kata seorang anggota rombongan yang pernah mendengar
suatu cerita, akan semakin keras suaranya. Bisa-bisa sampai menggelegar. Dengan cara itu orang juga jadi tahu apabila banjir bandang
akan datang dari hulu. Desa yang sepi, yang memiliki suasana hampir sama dengan Desa Luar
Rimba Hijau. Itulah Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Desa di mana
penduduknya banyak memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan
pencari batu-batuan ketimbang petani seperti di Desa Luar Rimba
Hijau. Batu-batuan yang dipilih umumnya bermotif cemerlang dan
112 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
campur-campur, kadang pula telah berpermukaan halus. Dengan suatu cara tertentu batu-batu ini dapat dipotong dan dibentuk untuk
dijadikan hiasan. Kelebihan inilah yang pertama kali terlihat oleh
orang-orang anggota perdagangan Desa Luar Rimba Hijau. Jiwa bisnis mereka memang telah melekat ke sanubari. Sedikit ada kelebihan
suatu daerah yang dapat dimanfaatkan untuk perdagangan, pastilah
langsung tercetus ide untuk mengembangkannya.
Bagi Citra Wangi, ibu dan ayahnya sendiri, Desa Pinggir Sungai
Menggelegar memberikan wawasan baru mengenai suatu desa, yang
tidak semestinya bertatanan melulu seperti Desa Luar Rimba Hijau.
Di sini mereka melihat banyaknya sampan-sampan dan perahu yang
ditambatkan di sepanjang sungai. Terdapat pula semacam Pasar
Terapung, di mana kegiatan perekonomian dan perdagangan terjadi
bukan di darat melainkan di atas perahu. Suatu suasana yang mereka
belum pernah lihat sebelumnya. Itulah salah satu kelebihan desa atau
tempat yang kehidupannya bisa dikembangkan sampai ke atas air.
Terdapat ikan-ikan aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Ada yang panjang dan pipih ada juga yang bersisik keperakan dengan
jenggotnya. Terlihat ikan tersebut menjadi agak berwibawa berenang
ke sana kemari dalam sebuah gentong besar yang dipertontonkan di
pasar pinggir sungai itu. Orang menyebutnya Arowana. Disebut pula
oleh orang yang mempertontonkan ikan itu, bahwa umur ikan ini bisa
tahunan dan dapat berukuran sampai sebesar orang dewasa. Bergidik
Citra Wangi membayangkan ikan berjenggot itu sebesar dirinya, dan
kemudian berenang-renang di sekitarnya, misalnya saat ia mandi di
sungai bersama teman-temannya.
Setelah puas melihat-lihat pasar dan juga hal-hal baru yang ada di
sekitar Desa Pinggir Sungai Menggelegar itu, ketiganya, Citra Wangi
dan kedua orang tuanya, kembali ke lokasi di mana rombongan itu
menyimpan kereta-kereta dan kuda-kudanya. Di sana tampak sedang
menunggu beberapa orang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai
Merah yang tidak ikut berjalan-jalan, karena mereka telah pernah
mampir di desa ini. Setelah menunggu beberapa lama, tampaklah anggota rombongan
pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, di antaranya terlihat Ki Murah, Ki Untung dan Ki Rabat, yang ditemani beberapa orang dari
113 Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Bisa diduga kawan-kawan mereka
itu adalah para pedagang-pedagang dari desa ini. Orang-orang yang
sejenis akan dengan mudah berkawan dan bersahabat, begitu kata
ujar-ujar kuno. "Nak Citra Wangi," gapai Ki Rabat dari jauh, "ini ada sesuatu yang
pasti menarik bagimu."
Mendengar panggilan itu, Citra Wangi pun menoleh kepada ayah dan
ibunya, minta persetujuan untuk menghampiri Ki Rabat. Keduanya
mengangguk tanda setuju. Bahkan ibunya pun turut berdiri untuk
ikut serta menghampiri Ki Rabat.
Bersemi senyum di wajah Ki Rabat melihat kedatangan mereka
berdua. Pikirnya, paling tidak kedua orang ini akan membawakan
kabar bagi kawan-kawanya di Desa Luar Rimba Hijau. Bila ia bisa
meyakinkan mereka betapa baiknya barang-barang di sini, sudah tentu
akan muncul produk baru yang bisa dijual di sana nanti.
"Ada apa, Ki?" tanya Citra Wangi sopan.
"Lihatlah, batu-batu hiasan ini.., indah, bukan?" katanya sambil menunjuk batu-batu gemerlap susu yang dibawa oleh rekan dagang yang
baru dikenalnya itu. Terdiam Citra Wangi dan ibunya melihat-lihat batu-batu berwarnawarni itu yang baru kali ini mereka lihat. Pernah mereka mendengar adanya batu-batu mirip telur bentuknya, kecil sebesar kuku jari
dan berwarna-warna mirip susu diberi pewarna. Suatu hiasanya yang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka hanya pernah dengar. Dan saat ini mereka menyaksikannya
sendiri. Betapa ingin mereka memilikinya. Mengenakannya.
Ki Rabat sebagai seorang pedagang ulung berdasarkan pengalamannya melihat bahwa kedua wanita tersebut telah terpesona oleh produk
barunya itu. Untuk menambahkan rasa ingin memiliki, ditambahkannya kata-kata, "untuk Citra Wangi dan Nyi Apik, ini harga khusus.
Tapi jangan bilang-bilang sama orang desa ya?"
Berseri kedunya mendengar kata "harga khusus" itu. Siapa pembeli
tak senang diberi "harga khusus", walaupun kadang mereka pun tahu
bahwa harga itu sebenarnya adalah harga yang telah dinaikkan dulu
114 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
untuk mendapatkan keuntungan berlipat, kemudian diturunkan, agar
seakan-akan terlihat bahwa barang tersebut menjadi murah harganya.
Cara seperti ini masih digunakan orang sampai saat ini.
Nyi Apik memilih dua buah yang berwarna merah dan ungu untuk
dirinya dan Citra Wangi memilih yang berwarna hijau muda dan
kuning bercampur biru. Selain itu mereka masih memilihkan beberapa untuk oleh-oleh. Di kejauhan Ki Rapih, suami Nyi Apik hanya
geleng-geleng kepala melihat istri dan putrinya begitu bersemangat
mengaduk-aduk batu-batu tersebut dalam wadahnya. Ia yang biasanya membatasi, saat itu membiarkannya saja. Peristiwa perjalanan
ini pun bukan peristiwa biasa, jadi harus dirayakan dengan cara yang
tidak biasa. Begitu pikirnya.
Setelah berunding sejenak, para anggota rombongan pun bersepakat untuk bermalam di Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Selain
suasananya yang nyaman, juga adanya pertemuan adat yang menarik
mereka. Pertemuan membicarakan hilangnya keduabelas Yang Berdiri
tersebut. Hati siapa yang tidak tertarik mendengar pembahasan mengenai hal itu. Para pedagang Desa Pinggir Sungai Menggelegar pun
mengatakan bahwa para tamu boleh mendengarkan pertemuan itu,
karena diharapkan dapat menjadi mata dan telinga untuk mencari
tahu di mana terdapat patung-patung itu sekarang.
*** Setelah lima minggu dalam perjalanan menuju Desa Pinggiran Sungai Merah, melaului Pantai Selatan, di mana di utaranya terbentang
Padang Batu-batu. Sampailah rombongan itu di padang rumput yang
luas. Padang rumput yang memisahkan sedikit jarak sampai mereka
tiba di Sungai Merah. Tinggal empat sampai lima hari lagi perjalanan,
sehingga sampailah mereka ke Desa Pinggiran Sungai Merah. Sebenarnya di sepanjang Sungai Merah terdapat juga beberapa rumah atau
kumpulan rumah-rumah penduduk, akan tetapi karena tidak memiliki
struktur pemerintahan, agak sulit dikatakan atau dinamai apa tempat
itu. Bukan desa. Walaupun demikian wajah sumringah kelompok pedagang tak dapat
disembunyikan. Tak jadi soal bagi mereka apakah itu desa atau hanya
sekelompok orang, sejauh subyek perdagangan mereka ada. Senanglah
115 hati mereka. Lain halnya dengan para anggota Rombongan dari Pinggiran Sungai
Merah, berbulan-bulan jauh dari kampung halaman telah menumbuhkan rindu di dalam hati mereka. Bersua kembali sanak saudara
merupakan satu-satunya obat bagi keadaan tersebut. Dengan demikian
sudah sepantasnyalah mereke juga berbunga-bunga hatinya, saat
langkah-langkah mereka sudah bisa dipastikan akan sampai ke kampung halamannya kembali, Desa Pinggiran Sungai Merah.
Pada jaman itu perdagangan memiliki cara yang unik untuk menyatakan alat penukar barang atau uangnya. Suatu lempengan logam
berbentuk segitiga sama sisi digunakan. Sisi-sisinya berukuran satu
dua kuku ibu jari panjangnya. Entah siapa yang mulai membuatkan
patokan, hampir semua di daerah sekitar Pinggiran Sungai Merah
memakai cara penukar barang yang sama. Dan uniknya pada barangbarang yang dijual, terdapat gambaran "mata uang" itu yang disebut
Tigaan. Untuk orang-orang utara dari Sungai Merah mereka memberi cetakan gambaran Tigaan sejumlah harga barangnya, semacam
stempel. Jadi orang yang tidak bisa berhitung pun dapat melakukan
transaksi. Cukup mencocokkan jumlah Tigaan yang dimilikinya dengan gambar Tigaan yang ada pada barang yang akan dibelinya. Bila
cocok, barang dan Tigaan berpindah tangan.
Akan teatpi orang-orang yang tinggal di selatan Sungai Merah lebih
kreatif. Mereka membuat lambang-lambang Tigaan yang menarik dan
lebih nyeni. Sebagai contoh untuk barang yang berharga enam Tigaan,
mereka gambarkan lambang segienam atau heksagonal, yang di dalamnya terlukis enam buah Tigaan. Atau Belah ketupat dan jajaran genjang untuk benda berharga dua Tigaan. Segitiga besar juga dapat
digunakan untuk barang-barang berharga empat Tigaan. Selain itu
ada pula corak-corak lain yang menambah nilai estetis dari barang
yang akan dijual. Melihat cara perdagangan yang menarik ini, pada kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau memikirkan untuk menerapkannya
sekembalinya ke desa mereka. Mereka berpikir dengan cara ini, akan
lebih mudah berdagang. Tidak lagi membawa produk-produk langsung yang kadang bisa rusak, cukup Tigaan sebagai hasil penjualan.
Yang di kemudian hari dapat digunakan kembali untuk berdagang.
116 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Dan atas keterangan seorang yang ditemuinya selama mereka berdagang di Pinggiran Sungai Merah, mereka ingin menemui semacam
kelompok yang membuat Tigaan tersebut. Tidak sembarang orang
dapat membuat Tigaan. Hal in dikarenakan sifat logamnya yang keras
dan aneh, juga keseragaman dari cap yang ada di atasnya. Pernah terdapat Tigaan palsu. Untuk mencegahnya, maka dibuat suatu cap di
atasnya sehingga orang dapat membedakan mana Tigaan yang asli
dan mana yang palsu. Hanya terdengar bahwa bahan dasar Tigaan
itu dapat diperoleh di daerah Gurun Besar. Dalam suatu lembah yang
terdapat di sana. *** "Ini adalah lingkaran Empat Elemen," terang Ki Sura perlahan pada
Lantang dan Rancana, "masing-masing elemen diyakini dalam ujarujar kuno sebagai pembentuk kehidupan ini."
"Segitiga dengan puncak ke atas melambangkan api. Ingatlah bahwa
itu bentuk api pada obor atau suluh. Segitiga dengan puncak ke bahwa
melambangkan air. Untuk itu ingatlah arah air yang selalu menuju ke
tempat yang rendah dalam mengalir. Lambang tanah, adalah lambang
air yang diberi garis mendatar di tengahnya. Bayangkan sebagai air
yang merembes ke dalam tanah."
"Dan satu lambang tersisa adalah udara. Api yang meresap dalam
sesuatu. Dan sesuatu itu adalah udara. Jadi lambang api diberi garis
mendatar di tengahnya..." begitu jelas Ki Sura pada kedua orang itu
perihal pemahamannya mengenai Empat Elemen. Suatu cara pandang
kuno mengenai kekuatan atau unsur-unsur yang membentuk alam ini.
Dengan memahami dulu inti dari cara pandang kuno itu baru dapat
dipelajari ilmu-ilmu yang didasarkan pada cara pandang itu. Ilmu
yang akan diturunkan oleh Ki Sura kepada Lantang dan dititipkan
juga melalui Rancana. Berkaitan dengan kondisi tubuh Lantang yang
aneh. Yang tidak dapat mengalirkan hawa, sebagaimana orang seharusnya bisa saat belajar ilmu kanuragan.
*** Lima tahun waktu pun berlalu. Bukan waktu yang sebentar apabila dalam berlalunya tersebut terjadi banyak perubahan-perubahan
dalam empat penjuru. Jalur perdagangan yang dibuka oleh pedagang117 pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, yang menghubungkan antara
bagian timur dan barat, dan juga utara dan selatan, membuat makin
banyaknya tumbuh desa-desa dan kota di sekitar jalur tersebut.
Tempat-tempat yang dulunya hanya merupakan kumpulan rumah
dan tidak memiliki pemerintahan berangsur-angsur menjadi desa.
Sedangkan desa-desa yang dulunya sudah teratur seperti Desa Luar
Rimba Hijau, Desa Pinggir Sungai Menggelegar, Desa Pinggiran Sungai Merah, Desa Air Jatuh dan Desa Paparan Karang Utara, tumbuh
menjadi kota-kota yang ramai dikunjungi orang. Di kota-kota tersebut
hampir ada semua keperluan. Terjadi pula perpindahan penduduk
dari desa-desa ke kota, dikarenakan banyak kemudahan untuk hidup
di kota-kota, sejalan dengan diterapkannya Tigaan sebagai mata uang.
Benar-benar perubahan yang cepat dalam kurun lima tahun ini.
Apabila lingkungan berubah, bagaimana dengan individu-individu
yang hidup di dalamnya" Dapatlah dikatakan secara naif bahwa
mereka sudah sepantasnya pun turut berubah. Entah sebagai agen
perubahan atau pun sebagai obyek modernisasi. Sisanya adalah orangorang yang dapat digolongkan sebagai ketinggalan jaman, yang belum
tentu jelek dalam artian luas.
Setelah bepergian bersama rombongan pedangan dari Kota Luar
Rimba Hijau, saat itu masih Desa Luar Rimba Hijau, lima tahun
yang lalu, akhirnya pindahlah keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ini pun atas desakan dari Citra Wangi dan ibunga,
Nyi Apik. Mereka begitu terpesona akan keadaan Desa Pinggiran Sungai Merah saat itu. Berangsung-angsur dengan berkembangnya desa
itu menjadi kota, semakin kuat niat mereka untuk hijrah ke sana.
Perubahan Desa Luar Rimba Hijau yang menjadi Kota Luar Rimba
Hijau pun tak dapat menghalangi niat mereka untuk pindah. Kemoderenan Kota Pinggiran Sungai Merah sebagai pusat informasi,
membuat mereka merasa kerasan. Dan bahwa orang harusnya tinggal
di suatu kota yang seperti itu. Bukan lagi di kota seperti Kota Luar
Rimba Hijau yang jauh dari mana-mana. Janji akan pertunangan
dengan Paras Tampan tidaklah terlalu dipersoalkan. Citra Wangi
sendiri yang mengatakan hal itu. Orang tua Paras Tampan hanya
dapat mengelus dada melihat hal itu. Tak tahu mereka bagaimana
anak mereka nanti menghadapi hal ini.
Rombongan pedagang Kota Luar Rimba Hijau, bersama-sama den118 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
gan Kota Pingir Sungai Menggelegar berkerja sama membangun suatu jasa pengiriman barang, yang mereka namakan Antaran Pasti,
yang memiliki semboyan "Antar barang sampai depan pintu dengan
mengarungi hutan, sungai dan gunung. Barang sampai pasti. Dijamin." Dengan berbekal jaringan yang kuat dan juga didukung oleh
pengawal-pengawal yang kuat, berani mereka memberikan jaminan
seperti itu. Akan tetapi tentu saja dalam batas-batas yang diperhitungkan. Jarang-jarang mereka berani melewatkan barang mereka
melalui Gurun Besar. Hanya untuk barang-barang tertentu yang tidak
terlalu berharga berani mereka melalui tempat itu. Akibat adanya jasa
pengantaran barang Antaran Pasti ini, semakin tidak ada bedanya antara barang-barang yang dapat dibeli di kota besar dan kota-kota di
pedalaman. Apa-apa pun dapat dipesan. Asalkan ada Tigaan. Tigaan
telah memainkan peran dalam kehidupan.
Hilangnya patung-patung keduabelas Yang Berdiri di Kota Pinggiran
Sungai Menggelegar beberapa tahun yang silam masih menyimpang
banyak tanda tanya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengusutnya. Akan tetapi hanya jalan buntu yang ditemui. Akhirnya para
penduduk bersepakat untuk melupakan saja peristiwa itu. Beberapa
patung dibangun kembali. Tidak utuh semuanya. Hanya enam buah
tiruan yang dibuat dan diletakkan di tempat di mana patung aslinya
seharusnya berada. Di tempat-tempat dudukan patung yang tidak
dibuat tiruannya diletakkan bunga-bunga di atasnya.
Jika itu adalah gambaran sekilas perubahan-perubahan pada penduduk dan kota-kota, dunia persilatan sendiri masih tampak ademayem saja. Perguruan Kapak Ganda semakin memapankan dirinya.
Dengan hampir dua ratusan murid-murid tingkat menengah, sehingga
dengan murid-murid tingkat bawah dan yang baru belajar mencapai seribuan orang. Jumlah yang cukup mengiriskan bagi perguruan
yang bermusuhan dengannya. Adapun hal ini dapat dicapai dengan
dibukanya cabang-cabang perguruan ini di berbagai kota. Perguruan
pusatnya tetap terdapat di Kota Paparan Karang Utara, akan tetapi
terdapat dua cabang besarnya yaitu di Kota Lembah Batu Langit dan
Kota Pinggiran Sungai Merah. Ketiga lokasi cabang-cabang perguruan ini entah mengapa melingkupi perguruan silat saingannya atau
lawannya, yaitu Perguruan Atas Angin yang berlokasi di Kota Air
Jatuh. 119 Lain halnya dengan Perguruan Kapak Ganda, lain pula halnya dengan Perguruan Atas Angin. Perguruan silat ini walaupun terlihat
juga berambisi untuk menambah jumlah murid, akan tetapi tidak seagresif Perguruan Kapak Ganda dalam melakukan proses perekrutan
anggota. Mereka masih memilih dan memililah murid-murid yang
dianggap berbobot. Baik dari segi bakat ataupun "nansial. Setelah tiadanya Lingkaran Dalam, puncak pimpinan perguruan dipegang
tunggal oleh Tapak Kelam. Saudara-saudaranya yang tinggal lima
orang bersama dirinya, ditempatkan sebagai Empat Pilar. Sisanya
adalah murid-murid tingkat rendahan. Tidak seperti dulu, bahwa tradisi Lingkaran Dalam dapat digonta-ganti oleh murid-murid tingkat
satu yang pandai, posisi ketua perguruan dan Empat Pilar mutlak
adanya. Dan memang tiada seorang pun dari murid-muridnya dapat
menandingi Empat Pilar atau pun sang guru. Sebenarnya di luar kelima orang ini masih terdapat sedikitnya tiga orang lingkaran dalam
yang cukup mumpuni. Dua orang dari mareka masih berkecimpung
dalam bidang kanuragan dengan membuka perguruan di kota lain.
Tidak menggunakan nama sebagai cabang Perguruan Atas Angin,
akan tetapi tidak pula menyembunyikan diri bahwa mereka mengajarkan ilmu yang sama dengan perguruan tersebut. Seorang Lingkaran
Dalam yang lain tidak diketahui rimbanya. Bayangan Hitam Berbisik
julukannya. Sejak meninggalnya Ki Jagad Hitam ia pun menghilang.
Saat terakhir hanya tampak ia berada di makam gurunya. Tiada
pesan yang ditinggalkan. Saudara-saudaranya dari Lingkaran Dalam
pun tidak begitu mempedulikannya, mengingat sifatnya yang agak
tertutup dan suka menyendiri.
*** Jalan setapak yang menuju lereng-lerang Gunung Hijau tampak membentang di depan matanya. Seorang pemuda tampak berdiri memandangi jalan setepak tersebut yang melingkar-lingkar seperti ular,
menanjak dan akhirnya hilang ditelan awan di atasnya. Benar-benar
menggirisi. Bila saja belum memiliki ilmu seperti yang telah dilatihnya
selama ini, bisa jadi pemuda itu akan mengurungkan niatnya untuk
mendaki gunung itu. Pemuda itu Paras Tampan sedang menunggu
waktu. Menunggu isyarat alam, saat yang tepat untuk mulai mendaki. Kegiatan ini merupakan ujian penghabisan bagi ia dan kawankawannya. Ujian bahwa ia dan kawan-kawannya telah tamat belajar di
120 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
dalam Rimba Hijau. Bukan perguruan silat, kata Ki Tapa, melainkan
hanya tempat menempa diri. Cukup Rimba Hijau, tanpa embel-embel
perguruan, jangan seperti yang disebutkan penduduk desa imbuhnya.
Dari dua puluh empat kawula muda yang berlatih saat itu, telah gugur
tujuh belas orang. Tinggal tujuh orang yang masih bertahan. Kawula
muda yang gagal telah pulang kembali ke Kota Luar Rimba Hijau untuk melanjutkan hidupnya. Walaupun gagal, sedikitnya mereka memiliki kebisaan dalam Ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta untuk
menjaga diri. Mereka pun diperbolehkan untuk melatih orang-orang
di kotanya. Beberapa dari mereka bahkan bekerja sama membentuk
suatu padepokan dan mengajarkan ilmu tersebut. Kegagalan mereka
semata-mata hanyalah karena bakat yang kurang cocok dengan ilmuilmu yang lebih tinggi. Untuk itu Ki Tapa telah mengajarkan ilmuilmu lain yang lebih cocok untuk mereka. Jadi untuk ukuran orang
biasa, mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Dan menjadi suatu kebanggaan bahwa mereka pernah berlatih di dalam Rimba Hijau.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketujuh orang yang tinggal adalah Gentong, Asap, Misbaya, Rintah,
Rantih, Kirani dan pemuda itu, Paras Tampan. Kedua kawula putri
terlihat amat berbakat dalam pengobatan, oleh karena itu mereka
tidak mengikuti ujian ini. Lima orang saya yang harus menggenapi latihannya dengan memanjat ke atas gunung dan melampaui
tempat-tempat yang ditugaskan oleh Ki Tapa. Pesannya, bahwa di
tempat-tempat tersebut bila berjodoh dapat bertemu peninggalanpeninggalan ahli-ahli silat jaman kuno, yang bertapa menuliskan
hasil-hasil karyanya di atas batu dan meninggal di sana. Akan tetapi
mengingat betapa banyaknya lorong-lorong batu, gua-gua dan juga
sisa-sisa pondok di atas pohon di gunung itu, tidak dapat dipastikan
apakah seseorang yang mampu untuk naik ke atas gunung dapat menemukan paling tidak satu catatan tersebut. Bahkan kadang terdapat
catatan-catatan palsu yang dibuat oleh orang-orang yang dulu pernah mencoba tetapi gagal, dan untuk turut menggagalkan orang lain,
dibuatnya catatan-catatan palsu tersebut. Untuk itu Ki Tapa pun
tidak dapat memberi petunjuk. Seorang seperti Ki Tapa pun belum
tentu memperoleh keberuntungan untuk memperoleh catatan-catatan
itu. Benar-benar nasib yang menuntun atau catatan-catatan itulah
yang mencari penerusnya. Untuk berguru sendiri di gunung itu masing-masing kelima orang itu
121 diberi waktu dua tahun. Apa pun yang terjadi, dapat atau tidak,
mereka harus kembali turun. Ki Tapa akan memilih dari kelima orang
itu nanti, dua orang yang akan menggantikannya. Menjaga Rimba
Hijau seperti dirinya. Sisanya dapat mengembara ke empat penjuru
angin untuk menambah pengalaman.
Keempat temannya telah lebih dulu berangkat. Dari urutan yang
ditarik, Paras Tampan mendapat bagian terakhir. Setelah matahari
tiada lagi di puncak titik kulminasinya, ia dapat berangkat. Misbaya mendapat giliran saat ayam belum berkokok. Menyusul kemudian Gentong. Rintah berangkat setelah matahari agak tinggi. Asap
mendapat giliran sehabis itu, saat matahari sedang tinggi-tingginya.
Dan sekarang gilirannya, Paras Tampan. Ia tidak tahu kemana ia
harus mengambil arah. Menurut Ki Tapa, ke arah mana saja tidak
jadi soal. Biarkan kitab-kitab itu yang menemuimu. Jadilah dirimu
sendiri. Jangan berpura-pura. Kitab atau catatan yang sesuai akan
mencari orang yang sesuai pula.
Sejenak Paras Tampan memejamkan matanya. Menenangkan dirinya.
Mengucap puja dan puji pada Sang Pencipta. Mohon bimbingan atas
ujian ini. Seraya pula tidak lupa mengucap syukur atas karunia yang
diterimanya selama ini. Bisa sampai di titik ini. Berdoa pula ia
untuk teman-teman seperjuangannya yang telah berangkat. Temantemannya yang telah pulang ke luar Rimba Hijau. Juga untuk Rantih
dan Kirani yang tidak turut serta, serta Ki Tapa gurunya. Setelah
merasa tenang, mulai beranjaklah Paras Tampan. Melangkahkan kaki
menempuh jalan setapak yang akan membawa perubahan besar bagi
hidupnya. *** Undinen itu bernama Xyra, seorang Undinen yang rupawan. Pertemuannya pertama kali dengan Lantang seorang anak manusia tidak
dapat menghilang dari benaknya. Masih terbayang bagaimana ia terpesona pada sosok anak kecil itu. Sosok yang membayangkan hawa
yang lain. Bukan hawa manusia bukan pula hawa bangsa Undinen.
Hawa yang menarik hatinya. Apalagi sejak anak itu Lantang mempelajari Ilmu Hawa Air atas bimbingan Ki Sura dan Nyi Sura, semakin
kental hawa anak itu menarik hatinya. Ada rasa nyaman dalam hawa
itu. 122 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
Baik Lantang, maupun kedua guru barunya Ki dan Nyi Sura, mengetahui keberadaan Undinen yang selalu mengamat-amati Lantang.
Mereka membiarkannya saja, karena tidak mengganggu. Bahkan keberadaannya kadang dapat membantu Lantang dalam mengendalikan
hawa dingin, mengingat sifat alami dari Undinen yang membuat hawa
di tempat ia berada menjadi amat dingin. Hal ini terutama baik apabila Lantang harus melatih ilmunya pada saat musim panas datang,
di mana tidak ada lagi tempat yang cukup dingin di Pulau Tengah
Danau itu. Saat itu biasanya Xyra sang Undinen telah mengerti
tanpa diminta, sering berada dekat dengan Lantang, walaupun tidak
menampakkan diri. Entah bagaimana telah tumbuh semacam persahabatan di antara mereka.
Rancana sudah satu tahun pergi meninggalkan Pulau Tengah Danau
itu. Ada urusan yang harus diselesaikannya. Ia hanya berpesan
pada Lantang, apabila telah selesai belajar, untuk mencarinya ke
timur. Di Rimba Hijau. Bila tidak dapat menemui dirinya, carilah Ki
Tapa. Pada awalnya sedih hati Lantang melihat kepergian guru pertamanya, Rancana yang dikenal sebagai Bayangan Menangis Tertawa,
akan tetapi lama kelamaan hilang kesedihan itu setelah tenggelam ia
dalam kesibukan mempelajari ilmu-ilmu pengolahan tenaga air yang
diajari oleh Ki dan Nyi Sura.
Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura, juga telah pergi merantau satu
tahun sebelum perginya Rancana. Ia mengambil arah ke selatan, menembus Padang Batu-batu terus ke Pantai Selatan. Ingin ia meluaskan
pengalamannya dan menambah ilmu. Bujukan orang tuanya agar ia
menunda perjalanannya tidak diindahkannya. Katanya dengan arif
bahwa dengan adanya Lantang, ayah dan ibunya telah mendapat ganti
dirinya. Ia juga telah menganggap Lantang sebagai adiknya sendiri.
Kedua orang itu saling memanggil kakak dan adik.
*** Cermin Maut tampak mematut-matut dirinya. Wajahnya yang tidak
lagi bisa dikatakan muda, masih terlihat cantik. Hal dikarenakan ilmu
awet muda yang diterapkannya. Di hadapannya tampak Sabit Kematian duduk, tanpa tudung kepalanya. Terlihat lucu karena tampak sosok wajah bulat yang hampir tiada ditumbuhi rambut di atas
kepalanya. Sosoknya menjadi tidak lagi terlihat menakutkan tanpa
123 tudung kepala yang biasanya menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan juga tanpa sabitnya. Di sisi lain dari meja di hadapan
keduanya duduk Mayat Pucat yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Ketiganya terdiam seakan-akan asik dengan pikirannya masingmasing. "Kakak Mayat Pucat..," ucap Cermin Maut perlahan memecah keheningan. "Apakah menurutmu wasiat dari adik Naga Geni itu benar
adanya?" "Hmm, maksudmu apa yang tertera di alas prasasti itu?" tanya Mayat
Pucat sambil menunjuk sehelai catatan peninggalan Naga Geni.
Tertulis di atas secarik kertas tulisan Naga Geni, yang berbunyi
"Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan
otot dan melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan
gerak dan menghilangkan bayangan. Batu-batu membuat lapisan
kulit menebal seperti besi dan Seribu Ramuan memberi tubuh asupan
yang berguna." "Menarik.., menarik..," gumam Sabit Kematian sambil menganggukangguk. Alih-alih membaca catatan peninggalan Naga Geni, ia
malah membolak-balik prasasti yang dimaksud dengan sabitnya.
Bisa dibayangkan berapa besar tenaga Sabit Kematian, yang dapat
membolak-balik prasasti seukuran kerbau itu. Ia rupanya telah beranjak pergi di saat Cermin Maut dan Mayat Pucat sedang berbicara.
"Di sini, di bawah syair yang dituliskan Naga Geni, masih ada
lambang-lambang aneh..!" katanya seakan-akan pada dirinya sendiri.
Lambang itu ditemukannya setelah mencongkel-congkel bagian yang
tertutup tanah liat kering. Di dalamnya ternyata terdapat guratanguratan yang membentuk sesuatu. Mungkin karena bentuknya yang
agak menjorok sejauh ibu jari, tidak ada orang yang mengira bahwa
warna coklat kehitaman itu bukanlah batu asli, melainkan hanya tanah
liat yang sengaja direkatkan dan dilapisi sedemikian rupa sehingga
terlihat seperti batu biasa.
Mendengar itu kedua saudara angkatnya langsung bagaikan terbang
melayang dari meja tempat mereka duduk menuju tempat di mana
prasasti itu tergeletak setelah diletakkan oleh Sabit Kematian.
124 BAGIAN 2. PERUBAHAN-PERUBAHAN
"Apa maksudnya ini?" tanya Cermin Maut tak mengerti. Di bawah
tulisan tersebut terdapat panah dan gambar sebuah segitiga yang
ujung lancipnya menghadap ke atas dan di setengah tingginya terdapat garis mendatar. Panah tersebut mengarah ke lambang tersebut.
Seakan-akan ingin mengatakan bahwa jawaban terdapat pada lambang
segitiga itu. "Tentu ada maknanya," ucap Sabit Kematian dengan ragu-ragu. Entah di mana, pernah rasanya ia melihat lambang seperti itu. Lupa.
Sudah lama sekali rasanya.
"Sudahlah, biarkan saja!" usul Mayat Pucat. "Paling-paling itu hanya
lambang yang tidak berarti. Lebih baik kita menafsirkan dulu, apa
maksud tulisan Naga Geni ini."
"Maksud Kakak Pucat," tanya Sabit Kematian, "apakah itu sebuah
kitab atau hanya sebuah jurus saja atau ilmu" Menurutku itu masingmasing sebuah kitab. Jadi ada empat buah kitab."
"Tapi lebih terdengar sebagai sebuah kiasan saja," usul Cermin Maut.
Ketiganya pun kembali termenung. Melayang dalam pikiran masingmasing. Memang Naga Geni tidak meninggalkan pesan apa-apa
terhadap pesan itu. Bagaimana ia dapat memperoleh prasasti dan
catatan itu. Prasasti itu sebenarnya bukan berada pada tempatnya
di sini, melainkan jauh ke arah barat laut di kota lain. Prasasti itu
berhasil dicuri oleh salah seorang muridnya dekat saat Perguruan
Kapak Ganda dan Perguruan Atas Angin sedang berseteru di Bukit
Utara beberapa tahun yang silam. Suatu pertempuran habis-habisan
bagi Perguruan Kapak Ganda. Murid yang dipesankannya untuk
mencuri itu adalah seorang murid pilihannya yang tidak dikenal oleh
murid-murid lainnya, bahkan oleh Penjuru Angin, yang merupakan
murid-murid tingkat tinggi perguruan itu. Murid ini dirancangnya
untuk menjadi penerusnya kelak karena bakatnya yang melebihi kedelapan orang Penjuru Angin. Akan tetapi tidak diperkenalkannya sosok
itu kepada khalayak ramai karena ia punya misi tertentu dengan orang
itu. Dan salah satunya adalah urusan mencuri prasasti di air terjun
Air Jatuh, yang merupakan daerah kekuasaan Perguruan Atas Angin.
Bagian 3 Hakim Haus Darah Perkara pencurian prasasti sebesar kerbau itu bukan urusan gampang,
apalagi membawanya sampai ke Perguruan Kapak Ganda. Bisa dibilang mustahil, mengingat perjalanan yang jauh dan juga penjagaan
yang ketak di Perguruan Atas Angin. Akan tetapi seperti dituliskan
dalam banyak Ujar-ujar Kuno, di mana ada kemauan di situ pasti
ada jalan. Dengan berbekal kemampuannya untuk menyamar, Murid
Rahasia dari Naga Geni berpura-pura sebagai pengukir prasasti dan
berkeliling menawarkan barang dagangannya. Untuk itu ia perlu pula
membawa batu-batu sebesar kerbau dalam keretanya. Tidak banyak,
cukup paling banyak tiga buah. Karena mana ada kereta yang mampu
membawa lebih dari tiga buah batu-batu sebesar itu.
Dengan dalih bahwa perguruan silat sebesar Perguruan Atas Angin
seharusnya memiliki prasasti sendiri untuk menceritakan kegagahankegagahan pendiri dan murid-muridnya, maka ia diterima untuk membuat salah sastu prasasti yang akan diletakkan di sekitar air terjun Air
Jatuh dalam lingkungan Perguruan Atas Angin. Ia diperintahkan untuk membuat prasasti yang menceritakan tentang Ki Jagad Hitam dan
Lingkaran Dalam. Oleh gurunya, Naga Geni, Murid Rahasia dipesankan untuk mencuri
satu prasasti di sana, yang menggambarkan bagaimana kedaan di sana
saat sebelum dan sesudah ilmu-ilmu dari Petapa Seberang diamalkan.
Suatu prasasti yang sebenarnya mengejek keberadaan Perguruan Atas
Angin yang meruntuhkan Perguruan Embun dan Angin sebagai pe125 126 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
waris ilmu-ilmu Petapa Seberang. Akan tetapi Ki Jagad hitam yang
tidak tahu sejarah prasasti itu tetap membiarkan prasasti itu berada
di tempat itu. Pernah Naga Geni mendapat pesan dari seorang pendekar perantau
bahwa dahulu kala terdapat tiga petapa yang merupakan sumber ilmuilmu di tanah ini. Salah seorangnya adalah Petapa Seberang, yang
keberadaannya diabadikan dalam prasasti itu. Mengingat cerita itu,
Naga Geni berkeyakinan bahwa prasasti itu tentu akan dapat bercerita
kemana perginya kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu warisan tersebut.
Dengan alasan inilah ia menitahkan Murid Rahasia untuk mencurinya.
Mencuri suatu prasasti tidaklah mudah. untuk itu Murid Rahasia
perlu terlebih dahulu merencanakannya dengan seksama. Gagasan
yang dipakainya, adalah ia akan membuat tiruan yang sama persis
dengan prasasti yang akan dicurinya itu, berikut tulisan di bawahnya. Tulisan di bawah prasasti itu telah ditemukannya secara tidak
sengaja. Selain syair ia menemukan pula lambang di bawahnya. Lambang seperti yang ditemukan oleh Sabit Kematian. Murid Rahasia
pula yang berinisiatif untuk menutupi lambang tersebut agar tidak
semua informasi di bawah prasasti itu dapat dibaca dengan mudah.
Setelah prasasti tiruan jadi, yang dibuatnya bersamaan dengan prasasti
pesanan Perguruan Atas Angin, ditukarnya prasasti itu dengan diamdiam sehingga tidak ada seorangpun yang tahu. Bahkan Ki Makam
yang kemudian hari mengambil keempat kitab di bawahnya tidak
mengetahui palsunya prasasti itu. Dan hal ini amatlah wajar, karena
selain kepiawaian Murid Rahasia menirukan bentuk prasasti itu, juga
bahwa Ki Makam sama sekali belum pernah melihat prasasti itu.
Sampai ia harus menggesernya untuk mengambil kitab-kitab sebagai
pelaksanaan pesan dari gurunya, Ki Tilu.
Lalu mengapa Murid Rahasia sampai tidak melihat kitab-kitab tersebut. Hal yang sama pun berlaku seperti tipuan yang dilakukannya.
Lubang di bawah prasasti itu telah ditutup dengan cara yang mirip dilakukan olehnya untuk menyembunyikan lambang itu kemudian. Dan
ia sama sekali tidak menyangkanya bahwa ada sesuatu persis di bawah
prasasti itu. Ki Makam tentu saja tahu karena telah dipesankan sebelumnya. 127 Dalam tiruan prasasti Murid Rahasia sengaja tidak mengukirkan lambang yang disembunyikannya. Secara naluriah ia merasa bahwa lambang itu memiliki arti penting bagi syair-syair itu, atau bahkan merupakan kuncinya. Lambang itu pula yang sebenarnya dipesankan oleh
Ki Tilu kepada Ki Makam untuk ke mana menyimpang kitab-kitab
itu. Ke timur, ke suatu gunung di tengah belantara hijau. Gunung
Hijau. Kembalinya Murid Rahasia membawa prasasti yang dipesan oleh gurunya Naga Geni tepat saat perguruannya telah dibumihanguskan oleh
Perguruan Atas Angin. Sesak kesedihan menjalar ke seluruh darahnya. Jika saja ia tahu akan perseteruan itu pasti ia lebih memilih
pulang untuk membantu gurunya. Dengan kemampuannya mungkin
saja ia dapat mempertahankan kehidupan guru dan saudara-saudara
seperguruannya. Akan tetapi sekarang apa yang dapat dilakukannya,
semua telah hancur dan hilang. Tujuan hidupnya pun juga. Setelah
menempatkan prasasti curian itu pada tempat latihan gurunya yang
terletak agak rahasia, sehingga tidak dibumihanguskan oleh Perguruan Atas Angin, Murid Rahasia pun pergi meninggalkan perguruan
itu. Ke arah barat ia melangkahkan kakinya. Ke arah Gurun Besar.
*** Seorang pemuda dengan pakaian yang amat sederhana berjalan cepat
di atas pasir yang panas di dalam lingkungan Gurun Besar. Langkahnya ringan dan mantap. Tidak terlihat terlalu dalam jejak kaki yang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditinggalkannya di atas pasir yang telah dilaluinya. Hal ini menandakan ada sedikit ilmu yang dimiliki pemuda itu. Setelah berjalan
bergegas beberapa lama, sampailah ia pada suatu danau kecil di tengah gurun. Danau yang cukup luas dengan kehijauan di sekitarnya.
Di pinggir danau itu terdapat sebuah rumah sederhana. Satu-satunya
rumah di kawasan itu. Tanpa membuang waktu bergerak ia menuju
rumah itu. Baru saja dibukanya pintu itu telah terdengar suatu suara menyambutnya, "ceritakan..., ceritakan.., bagaimana semuanya berlangsung."
Suara itu berasal dari seorang tua yang duduk di atas suatu rajang
sederhana yang terbuat dari kayu dan daun-daun. Sedang sedang
duduk bersila sambil menuliskan sesuatu di pangkuannya.
128 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
"Baik, guru!" jawab pemuda itu patuh. Tidak dirasakannya dongkol
atau pun kesal, bahwa orang itu, gurunya, sama sekali tidak menaruh
perhatian pada dirinya, melainkan hanya pada kabar yang dibawanya.
Sudah kenal pemuda itu pada tabiat gurunya. Sudah terbiasa ia. Jadi
mulailah ia bercerita. "Di timur makhluk tanah bercerita bahwa pada akhirnya hanya tinggal lima orang yang akan naik gunung untuk menentukan nasibnya.
Dua orang tambahan akan hanya jadi peracik obat. Makhluk air di
selatan mengatakan seorang telah pergi semakin jauh ke selatan, sementara gantinya sedang melatih tenaga air. Makhluk api dan udara
belum mengatakan apa-apa." Pemuda itu tampak berhenti sejenak
untuk mengambil napas. "Malah boleh dikatakan bahwa saya sama
sekali belum bertemu dengan makhluk api dan udara."
Orang tua itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Informasi ini
menggembirakan dirinya. Hal itu tampak dari senyumnya dan tawa
kecilnya. Lalu katanya, "bagaimana dengan pergerakan-pergerakan?"
"Yang di utara sudah menyebarkan cabang-cabang mengapit yang
agak di tengah. Yang agak di tengah hanya memusatkan kekuatan
di satu titik," jelas pemuda itu kemudian.
"Menarik..., lalu tiga kekuatan yang agak di tengah itu?" tanya orang
tua itu kemudian. "Beberapa saat belakangan ini tidak terlihat pergerakan mereka. Selain melatih mereka biasanya hanya mengunci diri di ruang semedi.
Tampak seperti ada yang direncanakan," terang pemuda itu.
"Dan urusanmu sendiri?" tanya gurunya akhirnya.
"Belum selesai guru. Saya masih tidak tahu ke mana harus mencari
kakak saya yang hilang itu," katanya tanpa ekspresi. Sudah telalu
lama ia berpisah dengan kakaknya. Tepatnya sejak ia menjadi murid
orang tua itu. Dan sudah selama itu pula ia mencari kakaknya. Jadi
bisa dikatakan sudah lupa bagaimana rasanya memiliki seorang kakak.
Pencarian itu pun dilakukan hanya karena pesan dari kedua orang
tuanya, yang saat ia jumpai sedang meregang nyawa.
"Berjanjilah untuk mencari adikmu!" kata salah seorang dari mereka.
129 Anak kecil itu pun mengangguk. Tak lama melepas nyawalah kedua
orang yang telah terluka parah itu.
Pemuda itu tak ingat jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan
gurunya itu. Saat ia sadar, ia telah berada di tengah gurun ini, Gurun Besar. Gurunya hanya mengatakan bahwa ia menemukan dirinya
pingsan di jalan dan membawanya ke sini.
"Bagimana menurutmu?" tanya sang guru kemudian.
"Tak bisa dielakkan, pasti akan terjadi" jawabnya tegas.
"Yakin sekali kelihatannya..," komentar gurunya sambil tersenyum.
"Berdasarkan tanda-tanda yang dibaca dan juga suara-suara dari empat elemen makhluk. Tidak bisa tidak. Pertempuran harus terjadi..."
gumamnya. Orang tua itu mengangguk-angguk. Bangga atas uraian muridnya
mengenai prediksi akan masa yang datang menjelang. Ia memang
mengajarkan murid-muridnya bagaimana mengali informasi tidak
hanya dari orang akan tetapi juga dari alam dan makhluk-makhluk
lainnya. Sebagai contoh makhluk-makhluk empat elemen.
"Tetapi guru, jika kita bisa membaca tanda-tanda jaman, mengapa
tidak tanda-tanda untuk diri kita sendiri?" tanyanya kemudian.
Mendengar pertanyaan itu gurunya tertawa kecil, "aku tidak akan
menjawabnya, carilah sendiri. Aku yakin kamu pasti bisa menjawabnya. Tapi perlu waktu."
Pembicaraan pun berlanjut mengenai hal-hal lain. Orang tua itu pun
kemudian mencatat beberapa hal yang dianggapnya perlu. Bila ingat akan sesuatu yang dirasanya penting tapi belum dicatatnya, ditanyakannya lagi hal itu dan pemuda itu dengan sabar mengulanginya
kembali. Walau mungkin suatu hal telah berulang kali dijelaskannya.
Begitulah kebiasaan dari guru dan murid yang tinggal di dekat Danau
Tengah Gurun Besar itu. Di luar pun angin berhembus perlahan menghempas pasir-pasir halus
kering menuju danau yang beriak kecil-kecil pada permukaannya.
Rumput-rumput kering yang bergulung-gulung tampak juga menari130 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
nari. Sunyi dan kering. Sepi.
*** Matahari yang masih malu-malu di ufuk timur menyambangi hari
itu bersama dengan kicauan burung-burung sebagai latarnya. Sinar
sang surya yang masih temaram menambah gagah ketinggian tebing
yang menjulang menghujam langit itu. Gunung Berdanau Berpulau.
Gunung tersebut membentang megah pada arah timur-barat, sampai ribuan kambing dewasa panjangnya. Sangar dan tampak seperti
berwibawa. Seorang pemuda tampak berdiri di kaki gunung itu. Ia
memandang ke arah utara, ke arah di mana Gunung Berdanau Berpulau berakar pada bumi. Ingin dikenangnya saat-saat ia dididik ayah dan ibunya di gunung itu.
Dilatih ilmu mengolah salah satu sumber tenaga di alam ini. Tenaga
yang mengalir, akan tetapi kadang dapat memudar seperti uap, atau
kadang dapat mengeras seperti es. Itulah jenis tenaga dalam yang dilatihnya. Diajarkan oleh kedua orang tuanya. Sudah saatnya sekarang
ia menambah ilmunya dengan merantau dan mencari guru untuk belajar ilmu bela diri. Ya, ilmu beladiri. Walaupun ia sudah dapat
menghimpun tenaga dalam atau hawa untuk menguatkan tubuh, tapi
ia belum memiliki ilmu beladiri. Ilmu itu tak diajarkan oleh orang
tuanya, karena mereka pun tak mengerti akan ilmu itu. Sudah turuntemurun keluarganya menyimpan suatu rahasia bagaimana mengolah
tenaga lembut tapi menyimpan kekuatan yang luar biasa itu, Tenaga
Air. Dan karena keluarganya hanya merupakan semacam "Pelestari
Ilmu" dari Tenaga Air tersebut, mereka tidak ambil pusing tentang
bagaimana cara memanfaatkan ilmu itu dalam pertempuran. Tugas
mereka hanya menjaga agar cara-cara melatih ilmu itu tidak punah.
Itu saja. Akan tetapi pemuda itu lain. Ia tidak ingin hanya menjadi Pelestari
Ilmu, melainkan juga pengguna ilmu itu. Untuk itu ia perlu belajar
ilmu beladiri. Suatu ilmu di mana ilmu tenaga yang telah dimilikinya
dapat diterapkan dalam gerakan-gerakan. Baik gerakan melindungi
diri sendiri ataupun menyerang orang yang menjadi lawannya. Dipandangnya sekali lagi gunung itu. Setelah puas merekam gambaran
dari obyek yang ada dihadapannya, dibalikkan tubuhnya. Sekarang ia
memandang pada bentangan luas suatu konstruksi geogra"s yang ter131 diri dari batu-batu belaka. Luas menutupi seluruh matanya, bahkan
sampai ke sudut kiri dan kanannya. Padang Batu-batu. Suatu entitas
lansekap yang berada di selatan Gunung Berdanau Berpulau.
Masih diingatnya pembicaraan terakhir dengan ayah dan ibunya, di
saat ia meminta ijin untuk pamit menimba ilmu di rantau.
"Telaga, sudah bulatkah tekadmu itu, nak?" tanya ibunya perlahan. Bergetar suaranya saat menanyakan itu. Perasaan seorang ibu
yang tidak mau berpisah dengan anaknya, membuatnya tidak seperti
biasanya. Nyi Sura yang umumnya terlihat dingin tanpa senyum
akan tetapi gagah, tampak agak rapuh di saat akan berpisah dengan
anaknya. Anak satu-satunya itu.
Lain halnya dengan suaminya, Ki Sura. Ia tenang-tenang saja. Seorang anak lelaki tak jauh beda dengan ayahnya nanti, begitu pikirnya.
Dulu sewaktu ia muda, ia pun pergi merantau. Dan sekarang anaknya
pasti akan pula mengikuti jejak sang ayah. Oleh karena itu sudah
lebih siap dirinya begitu mendengar keinginan anaknya untuk pergi
merantau menimba ilmu. Mendengar pertanyaan ibunya, mengangguklah Telaga. Lalu katanya
kemudian menegaskan, "ya ibu, saya sudah membulatkan tekad."
"Tapi..," jawabnya ibunya tercekat. Tak ditemukannya kata-kata untuk menghalangi keinginan anaknya saat itu.
Sudah sejak lama Telaga mempunya niat untuk merantau. Dan sudah berulang alasan diutarakan oleh Nyi Sura. Alasan-alasan yang
harus dipenuhinya sebelum ia diperbolehkan untuk merantau. Dengan patuh Telaga memenuhi semua tuntutan-tuntutan ibunya. Termasuk di dalamnya adalah belajar Tenaga Air sampai tingkatan ibunya,
yaitu tingkat tujuh dari dua belas tingkatan yang ada. Selain itu
ia harus pula menghafal teori dari sisa tingkatan yang belum dicapainya. Ayahnya sendiri baru mencapai tingkat sepuluh. Umumnya
hanya orang-orang berbakat dan amat tekun yang dapat mencapai
tingkat sebelas dan dua belas. Tingkatan ayahnya sudah termasuk
cukup tinggi untuk orang-orang biasa.
"Lalu ke arah mana rencanamu merantau?" tanya ayahnya memecah
keheningan yang timbul di antara mereka bertiga itu.
132 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
"Ke arah selatan, ayah," jawab Telaga cepat. "Aku pernah mendengar
bahwa di Padang Batu-batu terdapat sebuah tempat yang menarik
untuk dikunjungi." Ayahnya mengangguk-angguk mendengar jawab anaknya. Katanya
kemudian, "hati-hatilah. Berangkatlah pagi-pagi sekali, sehingga saat
tiba di Padang Batu-batu masih pagi. Berhenti saat malam dan carilah tempat yang baik untuk bermalam. Dan selalu hati-hati di sana."
Telaga mengangguk mendengar wejangan ayahnya. Beberapa petuah lainnya masih diberikan oleh ayahnya, untuk kewaspadaan dirinya
yang baru kali ini bepergian jauh seorang diri.
Sekarang membentang hari dan petualangan di depannya. Padang
Batu-batu. Melompatlah ia perlahan ke bawah, benar-benar meninggalkan wilayah Gunung Berdanau Berpulau, memasuki sebenarbenarnya wilayah Padang Batu-batu. Di dalam Padang Batu-batu,
terdapat banyak batu-batu yang menjulang keluar dari tanah, seperti
tiang-tiang, yang besar dan tingginya bervariasi. Kadang terdapat
batu-batu yang setinggi orang dewasa kadang lebih. Kadang selebar
kerbau atau gajah, kadang pula lebih. Batu-batu yang lebih lebih
kecil dari orang pun ada. Tapi untuk itu mungkin lebih tepat disebut
kerikil dari pada batu. Sulit untuk menentukan arah setelah masuk ke wilayah Padang Batubatu. Mirip hutan belantara, di mana pemandangan dan sinar matahari dihalangi oleh kanopi dari insan-insan nabati. Di sini pemandangan dihalangi oleh tiang-tiang atau gundukan batu-batu yang sangar,
dingin dan menantang. Untuk menentukan arah, dipanjatnya salah
satu batu yang cukup besar di hadapannya. Dengan lincahnya Telaga
dapat naik dengan mudah. Dalam setiap cengkeramannya tercipta
legokan-legokan dalam batu keras tersebut. Cengkeraman Kristal Es.
Jurus cengkeraman yang amat keras, dan menghujam juga dingin.
Dengan menggunakan jurus itu Telaga memanfaatkannya untuk menciptakan pijakan-pijakan dan pegangan-pegangan pada batu yang dipanjatnya. Tak berapa lama sampailah ia di atas batu tersebut. Dipandangnya
berkeliling. Masih tampak Gunung Berdanau Berpulau di salah satu
sisinya. Dalam arah yang berlawanan dilihatnya hanya batu-batu yang
133 berdiri berderet-deret acak, membentuk suatu pemandangan yang indah dan juga menyeramkan. Menyeramkan bagi mereka yang tersesat
di dalamnya. Bisa selama-lamanya tidak dapat keluar dari lingkungan
ini. Untuk saat ini tidaklah terlalu sulit menentukan arah. Dengan
memanjat suatu batu besar dan melihat di mana arah beradanya Gunung Berdanau Berpulau, ke arah berlawananlah ia harus menuju.
Meloncatlah ia turun dengan gerakan yang ringan dan beranjaklah ia
menuju arah yang sudah diingat-ingatnya tadi sewaktu berada di atas
batu itu. Empat hari itu berlangsung tanpa ada kejadian yang berarti. Telaga
berjalan dengan cepat ke arah selatan. Sejak kemarin sudah agak
sulit untuk menentukan arah dengan menggunakan Gunung Berdanau
Berpulau sebagai patokan, karena sudah tak begitu jelas terlihat. Gunung itu telah terhalang oleh batu-batu yang lebih tinggi dari batubatu yang dipilihnya untuk berpijak menentukan arah. Untuk itu ia
mengambil patokan lain, yaitu matahari. Ia harus berjalan ke suatu
arah dengan matahari berada di sebelah kirinya saat pagi hari dan di
sebelah kanannya pada sore hari. Menuju selatan.
Jika malam tiba, dicarinya ceruk yang cukup rapat akan tetapi kering untuk bermalam. Pada malam hari angin bertiup agak keras di
Padang Batu-batu. Selain itu ditambah dengan sempitnya ruang antara tiang-tiang batu, semakin cepat angin mengalir di antaranya.
Prinsip ini diperkenalkan oleh seorang Pengujar Benoli (Bernoulli),
yang juga menjelaskan mengapa burung dapat memanfaatkan udara
untuk mengapung ke atas atau ke bawah. Untuk makannya selain
telah membawa bekal, Telaga menangkap pula ikan-ikan kecil berupa
Beunteur dan Julung-julung atau Keuyeup (kepiting air tawar) yang
hidup di sela-sela tiang batu-batu yang dialiri air. Terdapat aliran
kecil-kecil air di sela-sela Padang Batu-batu. Tidak bisa dikatakan
sebagai sungai, karena kadang genangan tersebut berhenti dan tidak
mempunyai keluaran. Mengendap dan mengalir lewat bawah tanah
atau batu-batu yang perpori. Muncul di tempat lain seakan-akan sebagai genangan baru dan mulai kembali mengalirkan air. Benar-benar
lokasi geogra"s yang menawan hati.
Pada awalnya sulit juga Telaga menangkap ikan-ikan Benteur dan
Julung-julung serta Keuyeup karena mereka dapat dengan cepat
menyembunyikan dirinya ke dalam batu-batu di bawahnya. Bukan di
134 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
balik batu, melainkan di dalam rongga-rongga batu besar. Air yang
jernih membuat mereka dapat melihat Telaga secara langsung. Alam
ini memang indah dan juga pengasih sebagai karya cipta Sang Penguasa Alam. Sebagai contoh misalnya, Telaga mendapat pelajaran
bertahan hidup untuk menangkap ikan-ikan dan kepiting dari beberapa ekor burung mirip bangau yang berukuran sebesar ayam. Burungburung itu tidaklah langsung menyerang ikan-ikan dan kepiting begitu
melihatnya. Mereka memutarinya, sampai ke suatu sudut di mana
binatang yang akan menjadi mangsanya itu tak dapat melihatnya lagi.
Selain karena batasan pandangan juga karena efek pembiasan dari air.
Pengujar Senelius (Snellius) menerangkan mengenai efek pembiasan
cahaya ini. Untuk mempelajari ini Telaga sampai berendam dalam
air dalam suatu ceruk yang cukup dalam untuk melihat dari dekat
bagaimana burung-burung itu bisa berhasil dan juga bagaimana posisi
ikan dan kepiting yang diincarnya.
Sekarang Telaga telah memiliki "perlengkapan" untuk menangkap
ikan dan kepiting, yaitu tombak-tombak setinggi dirinya. Dengan meniru burung-burung yang berparuh panjang itu ia membuat
tombak-tombak tersebut. Tombak-tombak itu tidaklah cukup untuk
menangkap ikan dan kepiting, apabila tidak mengikuti cara mereka
untuk mengelabui mangsanya. Ada saat-saat tertentu dalam satu
hari, yang dibantu dengan posisi matahari, untuk mencari ikan dan
kepiting. Pada saat-saat seperti itu binatang-binatang itu dapat
dikelabui dengan mengambil arah tertentu, arah di mana binatang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
binatang itu tidak dapat melihat dengan baik, sehingga serangan
dapat dilakukan. Umumnya dapat diperoleh hasil dengan cara ini.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Telaga saat itu memahami mengapa burung-burung tersebut hanya
berburu pada saat-saat tertentu dan tidak sepanjang hari.
Hari keenam, sampailah Telaga di suatu tempat yang agak terbuka.
Terbuka bukan karena tiada lagi tiang batu-batu, melainkan karena
tiang-tiang yang ada agak terbenam ke dalam suatu cekungan. Cekungan itu membentuk suatu genangan air yang cukup lebar, walaupun
tidak selebar Danau Tengah Gunung di mana dia dulu pernah tinggal.
Mendapati tempat yang indah dan menyenangkan itu. Mengingatkan
dirinya akan masa kecilnya, maka mengasolah Telaga di atas sebuah
batu ceper di balik sebuah batu tinggi besar yang melindunginya dari
sinar matahari pagi yang telah berada cukup tinggi di langit. Tak
135 terasa datanglah kantuk dan Telaga pun tertidur.
Tak tahu berapa lama ia tertidur, Telaga terbangun saat ia mendengar
bisik-bisik orang. Walaupun amat lamat-lamat, akan tetapi karena ia
telah memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, dapat ia mendengarnya. "Sudah.., lemparkan saja di sini," kata orang pertama.
"Jangan, nanti cepat ketahuan," sanggah orang kedua temannya.
"Bagaiamana bila diberi pemberat dulu, batu," usul temannya yang
lain. Orang ketiga. Tak ada suara. Tak tahu Telaga apa usul itu disetujui oleh dua
teman pertamanya itu. Dengan berjingkit-jingkit mengendap-endap
Telaga mencari-cari dengan matanya, di mana orang-orang itu berada.
Akhirnya ditangkapnya tiga sosok orang di pinggir lain genangan air
itu. Dari kejauhan mereka bertiga tampak sedang mengerjakan sesuatu pada semacam gundukan atau bungkusan dari kain yang ada di antara mereka. Setelah memeriksa dengan seksama, kemudian ketiganya
membawa bungkusan itu di atas kepalanya dan mulai berjalan menyeberangi genangan air itu. Berjalan mereka perlahan-lahan, mungkin
karena beratnya bungkusan itu atau karena lantai genangan air yang
tidak rata, walaupun jernih.
Setelah kira-kira air mencapai pinggang mereka, berkata seorang dari
padanya, "nah itu ada sebuah legokan dalam air yang cukup dalam.
Lempar saja di sini."
Dengan berkecipuk keras, masuklah bungkusan itu ke dalam air setelah dilempar oleh ketiga orang itu. Perlahan mulai tenggelam bungkusan itu dengan disertai gelembung-gelembung udara yang menyembul
ke atas permukaan air. Ketiganya masih di sana. Menunggu sampai
tiada lagi gelembung-gelembung yang timbul. Kemudian berlalulah
ketiganya. Telaga terdiam melihat kejadian itu. Ia tidak tahu dan tidak memiliki
gagasan mengenai apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Bungkusan itu cukup besar dan berat. Entah apa isinya. Yang pasti mereka
tidak mau bungkusan itu diketahui orang. Di Padang Batu-batu me136 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
mang susah untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak ada tanah. Oleh
sebab itu mereka bertiga memilih menyembunyikannya dalam suatu
legokan yang cukup dalam di tengah-tengah genangan air itu. Jurang yang cukup dalam, sehingga walaupun airnya jernih, tidak dapat
dengan jelas terlihat dasarnya karena kurangnya sinar matahari yang
mencapai dasar. Niatan Telaga, yang tadi gembira melihat adanya orang di Padang
Batu-batu, untuk menyapa akhirnya diurungkan begitu melihat sesuatu yang serba misterius itu. Hati kecilnya membisikkan agar ia tidak
ikut campur. Maka ditunggunya sampai ketiga orang itu pergi.
Alih-alih pergi ketiganya malah duduk di salah satu batu ceper di
seberang sana. Ketiganya membuka pakaiannya dan menjemurnya di
atas batu-batu. Kelihatannya ketiganya tidak ingin dicurigai telah
berendam di dalam air. Suatu pikiran yang cerdas. Tapi tidak cukup
cerdas karena mereka tidak tahu kehadiran Telaga yang tertidur di
seberang lain dari genangan air itu.
Lapar juga Telaga menunggu ketiganya pergi. Sambil terus mengintai
dimakannya pelan-pelan bekalnya. Sepotong ubi yang dibawanya dari
rumah dan ikan Julung-julung kering dan remukan Keuyeup bakar
yang ditangkapnya kemarin. Sudah habis makan siangnya tapi ketiganya belum juga beranjak, walau telah dikenakan kembali pakaian
mereka yang kering itu. Tampak seperti sedang menunggu sesuatu
mereka itu. Selang tak berapa lama, tampak sebuah iring-iringan datang. Sekelompok gadis-gadis sambil membawa keranjang cuciannya. Mereke hendak mencuci dan mungkin juga mandi di genangan air itu. Ketiga
pemuda yang telah sedari tadi berada di sana tampak sumringah melihat rombongan yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Bergegas mereka
menyelinap ke sebuah batu besar di salah satu sudut genangan itu.
Masih dalam pinggiran yang sama. Tak lama kemudian sampailah
gadis-gadis itu di pinggir genangan.
Kata salah seorang dari mereka, "eh, rasa-rasanya tadi ada orang yang
berjemur di sini. Tapi kok tidak ada siapa-siapa ya?"
"Ah, kamu mimpi kali?" jawab temannya, "siang-siang gini "kan jarang
yang datang. Makanya kita nyucinya siang."
137 "Sekalian mandi..," jawab temannya terkekeh-kekeh genit.
Lainnya hanya mengiyakan.
Gadis yang curiga tadi tidak percaya begitu saja pada ucapan temannya, ia pun berjalan berkeliling ke satu sisi dan kemudian ke sisi lain
pinggiran untuk memeriksa siapa tahu ada yang bersembunyi untuk
mengintip mereka saat mencuci dan mandi di sana. Tak ditemuinya
seorang pun. Andai saja ia maju setombak dua lagi, akan ditemuinya
tiga orang yang bersembunyi di sana. Mereka telah beringsut mundur
dan pindah dari persembunyiannya semula saat gadis itu mencari-cari.
Telaga yang begitu melihat gadis-gadis itu akan mencuci dan mandi di
sana merasa risih, dan ingin segera menjauh. Tapi dengan adanya tiga
orang itu yang tadi telah membuang sesuatu, membuatnya menjadi
bertanya-tanya. Menyelinap rasa kuatirnya akan keselamatan rombongan gadis-gadis itu. Mereka pun mulai mencuci barang-barang bawaaannya. Setelah beberapa saat beberapa orang mulai pula menanggalkan kain yang
dipakainya untuk kemudian merendam dirinya sebatas dada. Tak
tampak ketelanjangan mereka karena dihalangi oleh air. Walaupun
demikian pemandangan itu mau tak mau membuat Telaga sedikit
berdesir. Membayangkan tubuh-tubuh itu dalam air yang jernih dan
bergoyang-goyang, membersitkan sedikit khayalan yang mengalirkan
darah lebih cepat ke beberapa organ tubuhnya. Dialihkan pandangannya dari rombongan itu ke arah ketiga pemuda yang bersembunyi
di pinggiran lain. Ketiganya telah kembali ke tempat mengintipnya
semua, setelah gadis yang memeriksa tadi mulai mencuci. Hanya
gadis itu yang tidak membuka pakaiannya. Ia hanya mencuci dengan
duduk di pinggiran genangan. Selebihnya telah berendam di tengah.
"Sarini, ayo mandi..!" ajak temannya yang telah berendam dan
berenang-renang. Dibiarkannya keranjangnya mengapung. Diayunkan
lengannya dan melajulah ia perlahan.
Yang dipanggil hanya tersenyum dan kembali mencuci pakaiannya.
Tak tergoda atas ajakan itu. Udara yang panas memang membuat
orang ingin berendam di dalam air genangan itu, tapi pesan orang tuanya mengingatkan bahwa hal itu tidak aman. Salain itu perasaannya
mengisyaratkan ada sesuatu. Sesuatu yang ia tidak dapat jelaskan.
138 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Keragu-raguannya membuatnya tidak ikut mandi. Ia mandi biasanya
hanya pada pagi hari, di mana belum ada matahari. Sehingga orang
tidak dapat mengintipnya dengan mudah. Tidak di siang hari bolong
seperti ini. Kawan-kawannya telah diperingatkan, akan tetapi mereka
hanya tertawa-tawa. Penakut disebutkan dirinya.
Tak lama kemudian selesailah gadis-gadis itu mencuci juga Sarini.
Sementara Sarini tampak beristirahat di pinggiran sambil mencuci
mukanya. Sisa gadis-gadis dalam rombongan itu tampak berenangrenang ke tengah. Telanjang. Tak sadar mereka bahaya yang mengintai mereka. Ketiga pemuda yang tengah mengintai itu, tampak oleh Telaga, seling
mengangguk satu sama lain. Lalu salah seorang dari mereka seperti
menarik sesuatu dari dalam air. Sepotong tali. Kemudian mereka
bertiga bergegas diam-diam pergi. Tidak seorang gadis pun, juga
Sarini yang melihat kepergian mereka.
Saat Telaga masih bingung dengan kelakuan tiga pemuda itu, tiba-tiba
jerit salah seorang gadis yang sedang mandi itu terdengar, "mayat,
ada mayat...!" katanya sambi menunjuk sebuah benda yang terapung
di tengah-tengah genangan air.
Akibat teriakan itu teman-temannya bergegas keluar dari air untuk
menyambar kain mereka masing-masing dan berpakaian. Tak urung
Telaga sempat pula menikmati kemulusan tubuh mereka saat mereka
keluar dari air untuk menyambar kain mereka. Tanpa membawa keranjang cucian mereka, bergegas rombongan itu pergi untuk memberi
tahu orang-orang di desanya.
Tak lama kemudian tampak berduyun-duyun orang-orang desa muncul
sambil membawa-bawa tongkat. Sebagian dari mereka terjun ke dalam
air dan mencoba menggapai gundukan itu dengan tongkat mereka.
Menepikannya dan mengamati. Di antara mereka tampak pula ketiga
pemuda tadi. Ketiga orang yang membuang mayat tersebut.
"Ini adalah Ki Rontok, si pedagang keliling," ucap salah seorang dari
mereka. "Bagaimana orang Desa Batu Barat bisa berada di sini?"
"Iya, benar itu Ki Rontok," jawab yang lain menegaskan, "wah bisa
berabe nih kita.." 139 Rekan-rekannya pun mengangguk-angguk.
"Habis kita nanti sama Hakim Haus Darah.." ucap salah seorang dari
mereka. Tak lama kemudian bersahut-sahutanlah ucap-ucapan di antara
mereka sehingga Telaga tidak lagi dapat mengerti ucapan-ucapan
itu. Hanya kata-kata "Hakim Haus Darah" yang jelas-jelas dapat
didengarnya. Benar-benar menarik kata-kata itu. Menumbuhkan
minatnya untuk lebih lanjut melihat kelanjutan dari peristiwa itu.
Setelah berunding sebentar kemudian mereka pun mengangkat mayat
itu, yang dikenali sebagai Ki Rontok, dengan tandu dari kain yang
mereka bawa. Bersama-sama mereka membawanya. Ujung-ujung
kain itu dipegang oleh satu orang, sementara di tengah-tengahnya
ada orang lain yang membantu. Enam orang membantu membawa
jenasah Ki Rontok. Telaga masih menunggu beberapa saat untuk melihat sampai orangorang itu pergi. Untuk kemudian mengikuti. Ia ingin melihat lebih
jauh apa yang akan terjadi dengan jenasah itu. Dan juga ingin melihat orang yang disebut-sebut sebagai "Hakim Haus Darah" yang terdengar ditakuti oleh orang-orang itu. Bersamaan pula ia ingin tahu
apa peran dari ketiga orang itu. Orang-orang yang tadinya menyembunyikan bungkusan di dalam genangan itu, yang mengatur sehingga
seolah-olah ditemukan oleh rombongan gadis-gadis yang akan mandi
dan mencuci di sana. Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi itu harus dilakoni Telaga. Ia tidak ingin terlihat berada di sana selama peristiwa
itu terjadi. Bisa-bisa ia yang dituduh. Bisa-bisa fatal akibatnya. Untuk itu ia perlu meyakinkan diri agar tidak terlihat oleh siapapun saat
meninggalkan tempatnya itu.
Akhirnya ia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang berada
di sana, setidaknya dalam jarak yang bisa melihat dirinya. Ia kemudian beranjak untuk pergi ke arah orang-orang itu tadi menghilang.
Ke sebuah jalan setapak di antara tiang-tiang batu. Saat ia bangkit
dan hendak berputar ke arah pinggir genangan, tampak olehnya seorang tua sedang menatapi dirinya. Kehadirannya yang tak disadari
Telaga itu membuat hampir copot jantung pemuda itu. Selain karena
140 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
peristiwa yang baru terjadi itu, juga menandakan ketinggian ilmu
meringankan tubuh dari si orang itu.
Orang tua itu tersenyum. Ia tahu kegundahan yang sepersekian saat
tersirat di wajah pemuda itu, lalu katanya, "Jangan kuatir. Aku si
orang tua, tahu siapa yang salah dan siapa yang benar."
Telaga hanya tersenyum kecut mendengar itu. Walaupun ia bukan
pelaku dari peristiwa itu, tapi ia kedapatan sedang mengintip. Dan
perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan "benar".
Telaga tidak tahu harus berbuat apa, dipandangi sajalah orang tua itu.
Tampak belum tua benar ia. Malah lebih ke arah seorang setengah
baya yang tampak dituakan oleh masalah. Sehingga terlihat jauh lebih
tua dari usia sebenarnya. Ketuaan yang dikarbit pemikiran yang tidak
terkendalikan. Dari postur tubuhnya yang tegap dan dibalut kain
bermotif kasar itu, terlihat tubuh yang terlatih. Tampak pula warna
busana yang aneh, yaitu sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri
hijau muda. Telaga baru menyadari suatu keanehan lagi, yaitu bahwa
orang itu memiliki kulit yang agak kehijauan. Keanehan ini dirasakan
pula saat melihat orang-orang tadi, yang dari kejauhan terlihat seperti
kebiruan. Tadinya dipikirnya karena warna pakaian mereka atau pantulan langit dan air. Akan tetapi setelah melihat orang tua ini dari
dekat, yakinlah ia bahwa itu adalah warna kulit mereka. Warna-warna
kulit yang aneh. Warna-warna yang dimiliki oleh Undinen, akan tetapi
terdapat pada manusia seperti dirinya.
Orang tua itu pun masih mematut-matut Telaga, sibuk dengan
pikirannya sendiri. Tak dibukanya percakapan, melainkan terus
mengamat-amati Telaga. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dinilainya. Selang tak berapa lama, tiba-tiba menghilanglah ia ke arah
kanan, setelah sebelumnya ia mendekat amat cepat ke arah Telaga,
bergetar dadanya saat orang itu menyentuhnya perlahan untuk kemudian menarik kembali tanggannya dan pergi. Lamat-lamat dari
kejauhan terdengar ucapannya, "kita akan bertemu lagi, anak muda.
Teruskanlah perjalananmu dan puaskan keingintahuanmu! Dan ingat
jangan sembunyikan kebenaran..!"
Bergidik Telaga menyaksikan halus dan tak terduganya gerakan orang
tua yang belum dikenalnya itu. Dari caranya bergerak, lebih tinggi
141 ilmu orang itu dari ayahnya dalam meringankan tubuh. Seram rasanya
membayangkan orang itu menjadi lawannya.
Kata-kata "puaskan keingintahuanmu" mengingatkan Telaga akan
rencananya semula untuk mengikuti orang-orang itu, orang-orang
yang tadi membawa jenasah Ki Rontok. Dan juga perihal Hakim
Haus Darah yang diomong-omongkan oleh mereka.
*** Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur adalah dua buah desa yang
berada di sekitar danau kecil Danau Genangan Batu di tengah-tengah
Padang Batu-batu. Kedua desa itu berlokasi agak jauh satu sama lain
dengan di tengah-tengahnya terdapat danau kecil tersebut. Umumnya jarang orang-orang dari mereka menuju danau itu jika tidak untuk
mencuci atau berenang-renang. Untuk kebutuhan air minum, umumnya mereka dapat memperolehnya dari rembesan air yang keluar dari
batu-batu di sekitar desa mereka.
Konstruksi rumah-rumah mereka pun agak sedikit menarik, bukan
dibangun di atas bumi yang kadang-kadang berair di kawasan Padang
Batu-batu melainkan di atas batu-batu atau tiang-tiang batu yang
cukup besar dan kokoh. Di atas beberapa tiang batu setinggi pohon
kelapa itu mereka lintangkan batu dan kayu membentuk semacam
panggung. Di atas panggung tersebut baru dibangun rumah dari kayu
atau bambu. Di Padang Batu-batu tidak banyak pepohonan yang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat tumbuh, akan tetapi entah bagaimana dan dari mana orangorang itu dapat memperolehnya. Mungkin mereka memang memiliki
cara tersendiri untuk menumbuhkan pohon-pohon itu untuk kemudian
mereka panen sebagai bahan pembuat rumah.
Kedua desa itu, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, yang terletak
sesuai dengan namanya di sebelah barat dan timur, dapat dibedakan
dari penghuni-penghuninya. Di bagian barat tinggal orang-orang
yang memiliki kulit agak kehijauan sedangkan di sebalah timur tinggal mereka-mereka yang memiliki kulit agak kebiruan. Pembagian itu
sudah lama terjadi sejak nenek moyang mereka. Tidak banyak terjadi
kawin campur di antara kedua penghuni desa yang belainan. Selain
adat, juga ada rasa kesombongan dan merendahkan desa lain yang
menghalangi pencampuran itu.
142 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Akan tetapi jika ada orang-orang yang memandang golongan lain lebih
rendah dan golongannya sendiri lebih tinggi, ada pula orang-orang
yang menghargainya. Dan bahkan dapat saling jatuh cinta. Orang
itu adalah Walinggih dari Desa Batu Barat dan Sarnini dari Desa
Batu Timur. Sudah tentu hubungan mereka itu tidak direstui. Baik
oleh kedua orang tua maupun penduduk dari kedua belah desa. Keduanya tidak peduli dan memilih tetap memelihara cinta mereka. Dan
membangun sebuah rumah jauh dari kedua desa itu, agak ke selatan
lagi dari Danau Genangan Batu.
Tahun-tahu berlalu dan keduanya hidup dalam penuh cinta dan kasih.
Buah hati pun lahir dari rahim Sarnini. Seorang bocah yang memiliki warna kulit biru kehijauan atau hijau kebiruan. Perpaduan warna
dari ayah dan ibunya. Walinggih dan Sarnini amat bangga terhadap
anak mereka. Gembira hati mereka. Hanya sayang kegembiraan
itu dinodai oleh rasa tidak senang beberapa orang baik dari Desa
Batu Barat maupun Desa Batu Timur. Mereka tidak suka Walinggih
dan Sarnini bahagia. Bila keluarga itu hidup tenteram dan bahagia sampai tua, akan terhapus mitos pertentangan antara kedua desa
itu. Akan terjadi peleburan. Dan itu bisa menghancurkan mereka
para pedagang, yang bisa-bisanya mengadu-adu Desa Batu Barat dan
Desa Batu Timur agar dagangan mereka laku. Kedua kelompok ini,
walaupun berasal dari desa yang berbeda tapi tahu sama tahu kegiatan
mereka. Mereka biasa memanas-manasi penduduk salah satu desa,
bahwa desa lain lebih maju karena adanya satu produk. Oleh karena
itu supaya tidak ketinggalan, desa yang lain juga harus turut serta
dengan membeli produk yang lebih baik. Selain itu terdapat pula
semacam penjaga keamanan dari kedua kelompok yang seakan-akan
menjaga keamanan, sementara konco-konco mereka dari kelompok
yang berlawanan melakukan kerusuhan. Dengan adanya para penjaga keamanan, situasi menjadi aman dan terkendali. Pernah suatu
saat warga desa tidak mau membayar pajak penjagaan, langsung saja
terjadi perampokan dan penculikan, yang dituduhkan pada desa yang
berlawanan. Cara-cara ini sudah tentu tidak baik, hampir sama dengan para pedagang senjata yang mendapat untung bila ada kon"ik atau perang antar daerah. Tapi para pedagang atau preman ini tidak peduli. Bagi
mereka Tigaan lebih penting. Budaya Tigaan ini pun mereka bawa
143 dari luar Padang Batu-batu, saat mereka berdagang ke Kota Pinggiran Sungai Merah, jauh di barat daya sana. Di kota itu mendengar
adanya dua desa yang berbeda dan tidak akur, seorang pedagang menjelaskan suatu cara berdagang yang lebih menguntungkan. Mengadudomba. Dengan cara ini pasti akan lebih laku, jelasnya. Juga intimidasi seakan-akan adanya ancaman, untuk kemudian menawarkan jasajasa pengamanan. Kedua kelompok itu mengangguk-angguk setuju
mendengar ide itu. Tigaan telah membutakan mereka akan semangat kebersamaan dan kekeluargaan kehidupan di desa. Yang penting
untung dapat diraup. Perubahan sosial dan kultur menjadi ke arah
yang lebih buruk bukanlah urusan mereka. Akibatnya keluarga Walinggih dan Sarnini menjadi ancaman bagi kon"ik antara kedua desa.
Bila kedua desa bersatu, bisa tahu orang-orang bahwa hal-hal yang
dipanas-panasi oleh para pedagang itu adalah bohong belaka. Hal
ini tidak boleh terjadi. Oleh karena itu disepakati di antara kedua
kelompok itu bahwa keluarga itu harus dibasmi. Kejamnya politik
perdagangan. Bahkan dalam ruang lingkup sekecil itu.
Lalu diupahlah beberapa orang dari luar Padang Batu-batu untuk
membunuh keluarga itu. Perlu diubah orang-orang yang cukup
berilmu karena Walinggih sendiri memiliki ilmu beladiri yang cukup
tinggi. Ia pernah merantau jauh ke utara dan menjadi guru orang
pandai di sana. Mungkin akibat ilmunya itu pula, ia menjadi tak
masalah memperistri orang dari Desa Batu Timur. Malam yang naas
itu Walinggih kebetulan sedang berada di Danau Genangan Batu,
bermalam untuk mencari sejenis ikan yang hanya muncul di malam
hari. Ikan itu dapat dimanfaatkan untuk obat istrinya yang sedang
sakit. Sebenarnya istrinya minta ditemani malam itu, akan tetapi
mengingat sakit sang istri yang sudah berlarut-larut, Walinggih tak
tega. Ingin ia mencari obat untuk kesembuhan istrinya itu. Minta
tolong ke penduduk kedua desa, tidak mungkin. Ia dan keluarganya
sudah seakan-akan dikucilkan.
Andai saja Walinggih ada di rumah, sudah tentu tidak mudah bagi
Asasin untuk membunuh kedua anak dan istrinya. Asasin yang merupakan kelompok terdiri dari empat orang itu berhasil dengan mudah membantai Sarnini dan anaknya. Kemudian mereka menunggu
Walinggih yang diduga akan pulang larut malam. Karena ditunggutunggu tidak datang. Akhirnya mereka, Asasin, pulang dan mela144 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
porkan itu kepada orang yang menyuruh mereka. Kedua kelompok
pedagang. Sudah tentu kedua kelompok itu takut dan menyatakan,
bahwa Walinggih pun harus dibunuh, bisa berabe nanti jika ia mengamuk, mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi para pembunuh
tidak mau. Perjanjian mereka adalah dibayar satu hari satu malam
untuk pekerjaan itu. Untuk kelebihan waktu, harus dibayar lain. Pulanglah mereka kembali ke kota mereka. Salah satu kota-kota di Pinggiran Sungai Merah di barat sana.
Walinggih yang baru saja pulang membawa ikan untuk obat istrinya
yang sakit, seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Ia melihat anak dan istrinya telah terbujur bersimbah darah di ruang tengah rumahnya. Bagai gila ia berteriak di tengah pagi buta. Menggiriskan hati suaranya, serta memekakkan telinga. Asasin sebagai
kelompok pembunuh profesional biasa meninggalkan tanda di lokasi
korban mereka. Sebagai bukti kesombongan mereka juga sebagai iklan bagi orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka. Akan
tetapi dalam kasus ini berakibat fatal. Demi mengetahui bahwa
pembunuhnya adalah Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal, Walinggih memburunya ke kota tempat kelompok itu membuka
layanannya. Dengan ilmunya yang telah mumpuni dan juga kemarahannya dibantainya semua orang yang ikut membunuh keluarganya,
setelah sebelumnya dikorek keterangan siapa yang menyuruh mereka.
Berbekal informasi itu kembalilah Walinggih ke Padang Batu-batu.
Dicarinya satu-satu orang-orang dari kedua kelompok pedagang itu.
Dihasibisinya langsung dengan pedang panjangnya. Dibelah persis
di tengah-tengah. Simetris. Dan ditinggalkannya begitu saja. Tidak
ada orang dari kedua desa itu yang bisa meredamnya.
Setelah semua orang yang bersalah habis. Walinggih pun kembali
ke rumahnya dan meratapi nasibnya. Pandangannya berubah terhadap kerukunan. Tidak bisa kerukunan antara kedua desa itu dicapai dengan cara baik-baik, pikirnya. Ia akhirnya mengambil sikap.
Jika ada pertentangan, tidak pedulu siapa yang mulai akan dibantainya. Ia kemudian menjadi musuh dari kedua desa itu, juga penolong. Orang-orang yang saling menimbulkan kerusuhan dibantainya.
Orang-orang yang hidup rukun bersyukur karena ada dirinya. Ia
kemudian dikenal sebagai Hakim Haus Darah karena kejamnya itu.
Dalam setiap perkara kejahatan, biasanya harus ada yang tersembelih
145 simetris, jadi dua bagian. Katanya suatu ketika, "potongan pedangku
ini akan memisahkan sisi baik dan sisi jahatnya. Semoga arwahnya
nanti damai di sana." Benar-benar pikiran yang gila. Tapi itulah
kenyataannya. Mengingat kejamnya Walinggih yang hampir seperti
jagal, membuat jarang orang mengadukan sesuatu kepadanya, kecuali
kasus-kasus yang parah. Atau kadang Walinggih sendiri yang turun
tangan apabila terjadi perkelahian antar kedua desa itu.
Akibatnya kehidupan menjadi tenang. Tiada lagi pertentangan di
antar kedua desa itu. Akan tetapi bukan ketenangan sebenarnya,
melainkan ketenangan dalam paksaan. Jika bertikai dan berlarutlaru, sampai Hakim Haus Darah turun tangan, fatal akibatnya. Yang
tertangkap basah bertikai akan dibantai. Alasannya boleh berbicara
belakangan. Telah pula ada upaya dari beberapa orang baik-baik untuk mengadukannya ke pemerintah pusat. Ya, walaupun Walinggih
Jawaban The Answer 2 Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Kamar Gas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama