Bara Maharani 13
Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 13 kakimu, kugebuk sampai kutung!" Sejak terjun ke dalam dunia persilatan Hoa Thianhong selalu punya hubungan luas dengan para jago Bulim terutama beberapa saat belakangan dia selalu dianggap sebagai pemimpin dari golongan kekuatan baru, ini hari setelah digampar orang tanpa sebab hatinya panas dan mendongkol sekali, tapi pemuda itu cerdik dan tahu gelagat, dia sadar bahwa nenek tua ini punya asal usul yang besar, meskipun lagaknya sok sekali akan tetapi sama sekali tiada maksud jahat terhadap dirinya. Karena itu setelah termenung sebentar akhirnya ia menahan sabar dan segera berlalu dari situ. Diarah sebelah Barat laut terdapat serentetan rumah penduduk, rupanya seperti sebuah dusun kecil, cepat Hoa Thian-hong lari menuju ke dusun tersebut, belum jauh dia lari tiba-tiba pemuda itu merasa dandanan sendiri lucu sekali, bukan saja pakaian luarnya tak ada sepatu yang dipakai cuma sebelah, maka dilepaskan sepatu yang tinggal satu satunya itu kemudian meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang. Setelah hampir masuk dusun, Hoa Thian-hong baru teringat kalau dalam sakunya tak ada uang sebab bajunya telah dibuang ke laut, pikirnya, "Sekarang aku tak punya uang untuk membeli makanan, apa daya" Apakah aku musti mencuri" Atau menodong?" Sambil berkata tanpa terasa ia telah mengelilingi dusun itu satu kali, dusun yang terdiri dari sebuah jalan raya belaka itu hanya mempunyai sebuah rumah makan saja di ujung jalan, pemuda itu segera berpikir, "Para hweesio saja dapat mencari makan dimana-mana, kenapa aku tidak berusaha mencobanya" Bagaimanapun toh aku tak boleh mati kelaparan, Yaah....... rupanya aku terpaksa tebalkan muka untuk makan gratis...." Setelah ambil keputusan, ia segera melangkah masuk ke rumah makan itu. Pelayan di pintu nampak tertegun dan berdiri melongo ketika menyaksikan Hoa Thian-hong dengan dandanan seperti pengemis masuk ke dalam rumah makannya, dengan suara ragu-ragu ia berseru, "Saudara adalah......." Orang-orang dusun seperti itu adalah orang yang menghargai pakaian tidak menghargai orangnya, melihat dandanan Hoa Thian-hong yang tidak karuan itu timbullah rasa sangsi dan curiga di dalam hatinya. "Bocah bagus... rupanya kau barusan mencari perempuan dan pulang kesiangan... haaah haaah...lain kali kau musti tahu diri," tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang. Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, gelak tertawa segera meledak memenuhi seluruh ruangan. Hoa Thian-hong sangat gusar, dia berpaling ke arah mana berasalnya suara tertawa itu, tampaklah pada meja makan sebelah kanan duduk tiga orang toojin berusia pertengahan yang menyoren pedang di punggung, orang yang barusan bicara adalah toojin yang duduk ditengah, gelak tertawa mereka bertiga pula yang kedengaran paling keras. Terdengar toojin yang berada di sebelah kirinya ikut menimbrung sambil tertawa. "Ngo Seng memang hebat sekali, rupanya tebakanmu tepat, coba lihat di atas pipinya terdapat lima buah bekas cakar yang nampak jelas sekali!...." Gelak tertawa yang amat nyaring kembali berkumandang memecahkan kesunyian. Hoa Thian-hong merasa gelak tertawa yang muncul dari samping kiri nyaring dan amat memekikkan telinga, jelas suara tertawa itu dipancarkan oleh seseorang yang memiliki tenaga dalam sangat lihay, tampak di meja makan sebelah kiri dekat pintu, duduklah empat orang pria, dua orang kakek berjubah warna hitam dan dua orang lainnya pria kekar berpakaian ketat, keempat orang itu sama-sama menggembol senjata. Ketika itu Sang surya telah condong ke barat dan merupakan waktu orang mencari penginapan, ruangan rumah makan boleh dibilang penuh dan sebagian besar telah terisi oleh tamu. Kecuali dua rombongan tersebut, para tamu lainnya rata-rata berdandan pedagang atau pekerja kasar, Hoa Thian-hong dengan sorot mata yang tajam segera menyapu sekejap seluruh ruangan itu, mendadak ia tertegun dan hampir saja berseru tertahan. Kiranya di sudut ruangan duduklah seorang dara baju kasar yang memiliki kecantikan wajah yang luar biasa, Hoa Thian-hong bukan hidung bangor tapi setelah menemui gadis cantik itu dia nampak begitu terkejut dan kaget hal ini menunjukkan bahwa gadis itu luar biasa sekali. Tidak Salah, dari raut wajah dan potongan badannya gadis itu ternyata mirip sekali dengan Pek Kun-gie, hanya saja gadis ini jauh lebih tenang kalem, halus dan sederhana. Waktu itu dengan kepala tertunduk dara itu sedang menikmati bakmi dihadapannya, terhadap gelak tertawa yang memenuhi seluruh ruangan bukan saja tidak ambil perduli bahkan bersikap seolah-olah tidak melihatnya. Mula-mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera dapat menduga siapakah dara itu. Entah apa sebabnya tiba-tiba pemuda itu merasa tersipu-sipu dan menyesal sekali mengapa masuk ke rumah makan dengan potongan badan yang tidak karuan. Tiba-tiba terdengar toojin berusia pertengahan yang duduk di tengah itu berseru kembali, "Keparat, melihat Wanita cantik sepasang matanya langsung terbelalak lebar, rupanya dia memang benar-benar seorang manusia hidung bangor!" Hoa Thian-hong teramat gusar sekali ketika dilihatnya orang-orang itu sebentar memandang ke arahnya sebentar lagi melirik ke arah dara cantik itu dengan wajah penuh ejekan, diam-diam dia menyumpah, "Tosu bajingan, kalian memang punya mata tak berbiji......" Teringat akan gamparan yang diterimanya hari ini, rasa mendongkol yang selama itu masih berkecamuk di dadanya segera disalurkan ke arah toojin berusia pertengahan itu, dalam hati timbullah rencana untuk memberi ganjaran kepada tosu tadi. Tepat di depan pintu masih ada meja kosong, setelah melirik sebentar pemuda itu segera maju ke depan dan duduk dengan membelakangi pintu. Rupanya sang pelayan juga tak tahu diri, dengan wajah cengar-cengir penuh ejekan dia menghampiri pemuda itu sambil bertanya, Tuan, apakah engkau juga akan minum arak?" "Bawa dulu secawan air teh!" jawab Hoa Thian-hong sambil menahan hawa marahnya. Melihat si anak muda itu adalah sasaran bahan tertawa bagi semua orang, mendengar pula logatnya berasal dari luar daerah, timbul pula niat pelayan itu untuk menggoda, dengan suara keras sengaja ia berteriak, "Ambilkan secawan air teh, air teh itu untuk kongcu yang sedang ketimpa kesusahan, kalau bisa cari yang dingin...." "Budak tak tahu diri!" sumpah Hoa Thian-hong di dalam hati, "kau juga berani menggoda diriku, Hmmm....tunggu saja nanti, akan kubereskan pula dirimu!" Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan membawa sepoci air teh dingin, sambil siapkan cawan dan sumpit sambil tertawa cengar-cengir ujarnya lagi, "Kongcu ya, rupanya kau baru saja mengalami perampokan, kau hendak pesan apa?" Sambil berkata, biji matanya dengan tajam menyapu seluruh tubuh Hoa Thian-hong, rupanya dia sedang memperingatkan kepada pemuda itu kalau di sakunya tak ada uang. Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia letakkan poci air teh itu di tengah meja, cawan didekatkan dengan mulut poci lalu mengambil sebatang sumpit dan ditancapkan di dalam cawan tersebut. Sungguh aneh sekali, sumpit itu seakan-akan menancap di dalam hiolo saja ternyata berdiri tegak dan sama sekali tidak goyang. Dalam sekejap mata ketiga orang toojin berusia pertengahan maupun dua orang kakek baju hitam dan dua orang pria berpakaian ketat itu berubah air muka, suasana jadi hening dan sunyi hingga tak kedengaran sedikit suarapun. Haruslah diketahui demonstrasi mengerahkan tenaga dalam ke tubuh sumpit itu sehingga dapat berdiri tegak di dasar cawan tak bisa dilakukan oleh setiap orang dengan mudah, namun Hoa Thian-hong bisa melakukannya dengan gampang dan tak berbekas, kejadian ini benar-benar luar biasa sekali. Tetapi yang terutama adalah kode rahasia yang diperlihatkan si anak muda itu, membuat orang merasa tercengang dan sama sekali diluar dugaan. Para pelancong dan pedagang yang hadir pula dalam rumah makan itu meskipun bingung dan tak habis mengerti, tetapi merekapun tahu kalau Hoa Thian-hong adalah se orang jago kangouw, untuk sesaat suasana ia di hening tak kedengaran sedikit suarapun, berpuluhpuluh pasang mata sama-sama dicurahkan ke arah pemuda itu. Tampak Hoa Thian-hong membuka penutup poci air teh tadi kemudian mengetuk tubuh poci itu perlahan. Traaang...traang...traaang...! bunyi nyaring yang bening dan merdu berkumandang keluar dari balik poci porslen yang kecil, ketika tersebar di udara suara tersebut kedengaran bagaikan bunyi lonceng kuil tosu yang berdentang nyaring. Semua hadirin terkesiap dan duduk dengan mata terbelalak mulut melongo, perhatian mereka semua terhisap oleh demonstrasi permainan yang aneh itu, bahkan dara cantik itupun menghentikan sumpitnya dan alihkan sepasang matanya yang bulat besar ke arah poci air teh tadi. Hoa Thian-hong berlagak bodoh, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apapun, ia berpaling ke arah sang pelayan yang telah pucat pias bagaikan mayat itu sambil berseru, "Tong thian It cuhiang, kau mengerti?" "Hamba mengerti.... hamba mengerti... Kongcu ya mau apa?" tanya pelayan dengan gemetar. "Hmm! Siapkan empat macam sayur yang paling lezat, nasi, arak wangi dan siapkan di atas nampan" Pelayan itu mengiyakan berulang kali, dengan badan masih gemetar buru-buru dia ngeloyor ke dapur. Tiba-tiba ketiga orang toojin berusia pertengahan itu saling bertukar pandangan sekejap kemudian bangkit berdiri dan maju menghampiri Hoa Thian-hong. Setelah tiba dihadapan pemuda itu, mereka berdiri berjejer dengan toojin yang disebut Ngo suheng berada ditengah, sambil silangkan telapak di dada memberi kode rahasia ia berkata, "Siapakah nama sahabat" Apakah baru saja masuk menjadi anggota perkumpulan?" "Aku tak boleh berbuat bodoh, kalau tidak tingkah lakuku pasti akan jadi bahan tertawaan di dalam Bulim" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati. Bukan menjawab dia segera balik bertanya, "Bagaimana sebutan kalian dengan Thian Seng Tootiang?" "Dia adalah susiok pinto bertiga!" Dengan wajah serius Hoa Thian-hong mengangguk. "Ehmm....... jadi kalian adalah anak murid dari kaucu?" Toojin itu membenarkan, ia menyahut, "Pinto bertiga adalah anak murid dari kaucu, sahabat, engkau mendapat penghormatan di sektor mana?" "Tak usah banyak bertanya," tukas pemuda itu sambil goyangkan tangannya, "Thian Seng tootiang menyebut saudara dengan aku, bila kalian tahu salah, ayoh cepat bayar rekening kalian dan cepat pergi!" "Ngo suheng, dia tentu orang gadungan yang mengaku-ngaku saja!" teriak Toojin di sebelah kiri mendadak. Toojin yang ada di tengah mendengus dingin, ia memandang sekejap ke arah Hoa Thian-hong lalu berkata, "Sahabat, kalau engkau tak mau menerangkan asal usulmu lagi, jangan salahkan kalau pinto akan kurang sopan terhadap dirimu!" "Huuuuh,..! Sejak tadi kau sudah tak tahu sopan, dosa kalian musti dihukum..... ayoh jalankan hukuman sendiri daripada aku musti repot!" Criiiiing....! Ketiga orang toojin itu mencabut keluar pedangnya dan segera menyebarkan diri, dengan membentuk posisi segitiga mereka tutup jalan mundur si anak muda itu. Suara hiruk-pikuk memecahkan kesunyian, para tamu yang sekeliling tempat itu sama-sama bangkit dari tempat duduknya dan mundur ke belakang, hanya empat pria baju hitam serta gadis cantik itu saja yang masih tetap duduk tak berkutik di tempat semula. Sikap Hoa Thian-hong tenang sekali, ia duduk tak berkutik di tempat semula dan sama sekali tidak berpaling ke sekeliling tempat itu, ujarnya, "Aku pernah menyaksikan suatu barisan yang disebut Sam Seng Bukektin, apakah kalian juga bisa menggunakannya?" Barisan Sam Seng Bu-kek-tin adalah barisan yang diwariskan Kiu-tok Sianci kepada tiga harimau dari keluarga Tiong, ilmu simpanan dari wilayah Biau itu Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jarang ditemui dalam Bulim, tiga orang toojin tersebut segera mengira kalau mereka sedang diejek, hawa amarah kontan berkobar dan nafsu membunuh tak terkendalikan lagi, Toojin yang berdiri di depan pintu tiba-tiba membentak keras, pedangnya digetarkan ke udara menciptakan berpuluh-puluh buah titik cahaya bintang yang mana langsung menusuk tulang punggung si anak muda itu. Hoa Thian-hong menjengek sinis, tubuhnya sama sekali tidak goyah dari tempat semula, menanti ujung pedang hampir menyentuh tulang punggungnya ia gerakkan lengan dan tiba-tiba mengirim satu pukulan ke belakang. Selama setahun dua tahun ke belakangan ini, dia selalu tekun memperdalam jurus pukulan 'Kun-siu-citauw' nya, terhadap penggunaan jurus pukulan tersebut boleh dibilang sudah hapal dan matang sekali, serangan yang dilancarkan barusan bukan saja hebat bahkan tepat mengarah kedada musuh. Tatkala Toojin itu menyaksikan ujung pedangnya sudah hampir menyentuh tubuh lawan namun pihak musuh tidak menunjukkan reaksi apapun, ia merasa terkejut bercampur girang, hawa murninya segera disalurkan keluar dan sekuat tenaga dia dorong pedangnya menusuk ke depan. Tiba-tiba segulung angin pukulan yang maha dahsyat bagaikan gulungan ombak disamudra meluncur ke muka, pedang dalam genggamannya segera bergetar keras, bukan saja tusukannya menceng setengah depa ke samping bahkan kuda-kudanya gempur dan badan Toya terjerumus ke depan langsung menumbuk bahu kanan pemuda lawannya. Ketika pertama kali Hoa Thian-hong berjumpa dengan Ciu It-bong, kakek telaga dingin pernah menyapu salju membentuk tiang salju yang berpusing di udara sehingga mengejutkan hatinya, jurus yang pernah dipergunakan oleh Ciu It-bong itu sekarang dipergunakan olehnya, semua inti kebagusan dan kehebatan dikeluarkan membuat pukulan itu bukan saja nampak aneh dan membingungkan bahkan bila seseorang tak punya kepandaian yang lihay, tentu tak akan tahu dimana letak kelihayan dari serangan tersebut. Bentakan keras bergema memecahkan kesunyian, cahaya kilat menyambar lewat, dua bilah pedang bersama-sama meluncur datang, satu dari kiri yang lain dari kanan. Semangat Hoa Thian-hong berkobar, tangannya berputar mencengkeram pergelangan tangan toojin yang ada di belakang tubuhnya, sekali ayun pedang tersebut segera menangkis ancaman dari sebelah kanan, tangan kiri diayun mengirim pula satu pukulan ke depan. Traaang...! bentrokan keras terjadi menimbulkan suara dentingan yang nyaring, percikan bunga api muncrat keempat penjuru dan kedua bilah pedang itu sama-sama tergetar patah. Semua peristiwa terjadi dalam sekejap mata, serangan Hoa Thian-hong mencekal pergelangan musuh, dengan pedang lawan memukul kutung pedang lawan semuanya dilakukan dalam sekali gerakan, dibalik serangan membawa pula pertahanan yang kuat dan rapat, tahuTiraikasih Website http://kangzusi.com/ tahu telapak kirinya telah menyampok miring pedang toojin yang lain kemudian merampas gagang pedangnya dengan jitu. Bagaikan sukmanya melayang tinggalkan, segera dengan ketakutan ketiga orang toojin itu loncat mundur ke belakang, andaikata di belakang bukan membentur dinding tembok mungkin mereka akan mundur lebih jauh lagi ke belakang.... Hoa Thian-hong tertawa dingin, cengkeramannya pada seorang toojin yang kena ditangkap makin dipererat, telapak kirinya diayun siap menampeleng orang itu, tapi ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia berpikir, "Ketiga orang ini tidak lebih cuma anak murid dari Thian Ik si tosu tua itu. ilmu silat mereka tak bisa menangkan diriku, kenapa aku musti gaplok mereka?" Sambil lepaskan celananya dia lantas membentak, "Bayar rekening kalian dan cepat enyah dari sini, lain kali kalau berani bicara sembarangan lagi.... Hmmm! lihat saja, akan kucabut jiwa kalian semua!" Dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, ketiga orang toojin itu saling berpandangan sekejap, tiba-tiba tooin di tengah melemparkan sekeping uang perak ke atas meja kemudian putar badan dan kabur dari situ. "Hay, masih ada uang arakku!" bentak Hoa Thianhong. Toojin yang mencekal pedang itu berjalan paling belakang, belum sempat tubuhnya melangkah keluar dari pintu telinganya terasa mendengung keras, dengan ketakutan dia melemparkan sekeping uang kemeja dan buru-buru ikut kabur dari situ. Jilid 22: Pek Soh Gie, saudara kembar Pek Kun Gie Hoa Thian-hong memandang hingga bayangan tubuh ketiga orang toojin itu lenyap dari pandangan, ketika menjumpai para tetamu tak berani kembali ke tempat duduknya masing-masing, ia tertawa geli dan segera serunya, "Mau apa kalian berdiri saja disitu" Masingmasing makan punya sendiri, apa yang musti ditakuti?" Mendengar perkataan itu para tamupun segera duduk kembali ke tempat semula, suara ramai dan hiruk pikuk semua orang berebut untuk duduk lebih dahulu ditempatnya semula, seolah-olah mereka takut kalau sampai terlambat sehingga menggusarkan Hoa Thianhong. Pada saat itulah dua orang kakek baju hitam serta dua orang pria berbaju ringkas itu membuang sekeping perak kemeja, kemudian diam-diam berjalan keluar dari pintu. Dalam hati Hoa Thian-hong berpikir, "Pek Soh-gie benar-benar seorang nona yang lembut, dan kalem sekali, aku dengar ia tak pernah melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan, kenapa bisa sampai disini?" Berpikir sampai disitu timbullah rasa pendekar dalam hatinya, kepada seorang kakek baju hitam yang kebetulan lewat disisinya dia menegur, "Eeei.... .apakah kalian berempat anggota perkumpulan Sin-kie-pang?" "Benar," kakek baju hitam itu mengangguk dan memberi hormat, "kongcu ada urusan apa?" "Jin Hian ada maksud mencelakai jiwa kalian, berangkatlah dari sini ke arah timur dan lebih baik jangan sampai berjumpa dengan orang-orang dari pihak Hong-im-hwie" Air muka kakek baju hitam itu berubah hebat setelah mendengar perkataan itu, tetapi dalam sekejap mata telah pulih kembali seperti sedia kala, segera sahutnya, "Terima kasih atas petunjukmu.... setelah memberi hormat iapun berlalu dari situ. Dalam sekejap mata keempat orang tadi sudah keluar dari pintu dan lenyap dari pandangan, sebaliknya dara ayu tadi masih tetap duduk di tempat semula sambil menikmati bakmi di mangkoknya. "Kenapa Pek Soh-gie kalau makan begitu lambat?" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "rupanya dia sengaja hendak mengulur waktu, entah apa maksudnya?" Dengan pakaiannya yang tidak genah, pemuda itu merasa rendah diri, tanpa terasa ia putar badan dan menanti sayur dan arak sendiri. Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan membawa sebuah nampan, di atas nampan terdapat empat macam sayur, sepoci arak wangi, satu tong kecil nasi putih dan empat perangkat cawan serta sumpit. Pemilik rumah makan berjalan mengikuti di belakang pelayannya, setelah memberi hormat katanya tergagap, "Dua macam sayur ini merupakan makanan paling baik dari rumah makan kami, kami tak sanggup membuatkan yang lebih bagus lagi.... dan arak.... araknya adalah...." Hoa Thian-hong geli melihat sikap orang itu, wajahnya berubah jadi hijau pucat, rupanya ia sudah ketakutan setengah mati sehingga berbicarapun terlalu dipaksakan, ia segera goyangkan tangannya sambil berseru, "Cukup.... cukup.... bukankah uangnya sudah dibayar?" "Oh.... sudah.... sudah.... masih ada sisa!" buru-buru pemilik rumah makan itu lari ke lacinya. Hoa Thian-hong tersenyum, sambil membawa nampan itu dia berjalan keluar dari pintu ruangan, dengan pandangan yang sengaja dia melirik sekejap ke arah gadis itu. Ketika tiba di jalanan ia tak bisa menahan diri lagi dan segera berpaling kembali ke arah rumah makan tadi. Sesosok bayangan manusia nampak berjalan pada jarak tiga empat tombak di belakang tubuhnya, orang itu bukan lain adalah gadis ayu tadi. sikap maupun langkahnya tenang seolah-olah seorang gadis yang mengerti ilmu silat, siapapun tak menyangka kalau dia adalah putri sulung dari ketua perkumpulan Sin-kie-pang. Ketika gadis ayu itu melihat Hoa Thian-hong berhasil menemukan jejaknya, pipi yang putih segera bersemu merah, biji matanya yang jeli berputar disekeliling tempat itu seakan-akan sedang mencari tempat persembunyian. Hoa Thian-hong sendiripun merasa pipinya jadi panas dan jengah sekali, setelah tertegun beberapa saat dia lantas bertanya, "Nona Pek apakah engkau ada urusan yang hendak disampaikan kepadaku....?" Perlahan-lahan dara ayu itu maju ke depan, lalu menjawab dengan suara ringan, "Koko, keempat orang yang kau jumpai tadi bukan anggota perkumpulan Sinkiepang" "Oooh.... jadi mereka orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie" tanya sang pemuda setelah tertegun sebentar. Gadis itu mengangguk. "Mereka sudah sembilan hari lamanya membuntuti diriku, dari Keng oh sampai tempat ini, orang-orang tersebut selalu mengun til di belakang atau denganku" "Sudah terjadi bentrokan?" tanya Hoa Thin Hong dengan alis berkerut. Gadis ayu itu menggeleng. "Belum!" Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, tiba-tiba sambil tertawa ujarnya, "Aku dan seorang angkatan tua yang sedang menantikan arak dan sayur, bagaimana kalau nona juga ikut kesitu?" Gadis cantik itu mengangguk, sambil mengikuti di belakang Hoa Thian-hong, berangkatlah mereka tinggalkan dusun tersebut menuju ke tempat dimana nenek baju abu-abu menunggu. Nenek itu masih tetap menanti di tempat semula, tongkat di tangannya masih tergenggam tapi ia sedang mengantuk, dalam hati. Hoa Thian-hong segera berpikir, "Waah.... untung dia tertidur, kalau tidak aku tentu dimarahi lagi...." Rupanya nenek tua itu mendengar suara langkah manusia, mendadak sambil menengadah dia membuka matanya. Buru-buru Hoa Thian-hong maju ke depan, serunya sambil tertawa paksa, "Nenek, arak dan sayur telah datang!" Dengan mata melotot nenek tua itu menyapu sekejap sayur dan arak di atas nampan, la lu tegurnya, "Huuh.... hasil mencuri?" "Oooh.... tidak, tidak.... toojin dari Thong-thian-kauw yang telah membayarkan rekeningku, lain kali kalau bertemu lagi pas ti akan kubayar hutang tersebut" Nenek tua itu mencibirkan bibirnya, sorot mata segera dialihkan ke arah gadis cantik yang berada di belakang pemuda itu. "Nona ini bernama Pek Soh-gie" buru-buru Hoa Thianhong memperkenalkan, "dia ada lah putri sulung dari ketua perkumpulan Sin-kie-pang!" Mendengar ucapan itu dari, balik mata nenek tua itu segera memancarkan cahaya yang amat tajam, dengan cepat dia menyapu sekejap wajah gadis she Pek itu. Pek Soh-gie buru-buru maju ke depan dan memberi hormat, katanya, "Soh-gie menyampaikan salam buat nenek" Kalau gadis itu bersikap wajar maka Hoa Thian-hong gelisah sekali, pikirnya dengan hati cemas, "Nona ini adalah seorang gadis baik, wah.... berabe kalau nenek ini naik pitam dan mengumbar nafsunya...." "Nona tak usah banyak adat!" terdengar nenek itu menyahut. Pek Soh-gie mengucapkan terima kasih sambil berpaling segera tanyanya, "Toako ini siapa namanya" Siaute baru pertama kali melakukan perjalanan, darimana toako bisa tahu asal usulku?" "Aku bernama Hoa Thian-hong...." pemuda itu memperkenalkan diri sambil tertawa. "Telur busuk cilik!" tiba-tiba suara nenek tua itu berkumandang disisi telinganya bagaikan bisikan nyamuk, baru saja aku peringatkan dirimu, Huuh.... baru berapa menit kau sudah mencari perempuan lagi!" Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dia tahu nenek tua itu memberi peringatan dengan ilmu menyampaikan suara, dengan wajah serius buru-buru sambungnya kembali, "Aku pernah mendengar nama nona dari ayahmu, maka setelah berjumpa aku segera mengenali kembali." Pek Soh-gie mengangguk, biji matanya yang jeli melirik sekejap ke arah nampan di tangan Hoa Thianhong lalu melirik pula ke arah nenek tua itu, mulutnya membungkam sedang otaknya berputar mencari penyakit diantara sikap yang tak wajar dari kedua orang itu. Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hoa Thian-hong maju kembali ke depan, sambil tertawa paksa ujarnya kepada nenek tua itu, "Nenek kau tentu lapar bukan" tempat ini tak ada meja, bagaimana?" "Hmm! Kau tanya aku, lalu aku harus tanya siapa?" bentak sang nenek dengan mata melotot. Hoa Thian-hong jadi gelagapan, melihat dia tak mau duduk di lantai terpaksa sambil berlutut dia angkat nampan itu ke atas, katanya lagi, "Nenek, silahkan minum arak. kalau sayurnya sudah dingin tentu tidak enak." Rupanya Pek Soh-gie tidak tega, ia maju ke depan dan segera siapkan cawan dan sumpit untuk nenek tua itu bahkan penuhi pula cawannya dengan arak wangi. Melihat ada arak wajah nenek itu menunjukkan rasa girang yang tak terhingga, dia angkat cawan dan menghabiskan arak terse but beberapa kali. Pek Soh-gie penuhi kembali cawan itu de ngan arak, sang nenek segera menggerakkan sumpit menikmati sayur dimangkok, Hoa Thian-hong yang menyungging nampan seketika merasa perutnya jadi keroncongan setelah mencium bau harum yang membuat perut jadi lapar itu. "Nona, kau sudah bersantap?" terdengar nenek tua itu menegur. Terima kasih nenek, Pek Soh-gie baru saja bersantap!" "Mau makan sedikit lagi?" "Soh-gie ikut ibuku bermakah pantang, aku tak berani mendekati barang-barang berjiwa!" Sekali teguk nenek tua itu menghabiskan isi cawannya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berkata, "Kho Hong-bwee kawin dengan Pek Siau-thian, kejadian itu benar-benar patut disesalkan. kasihan Kho Hong-bwee yang matanya buta tak bisa milih suami yang genah, Bun Siau-ih kawin dengan Hoa Goan-siu, orang bilang mereka adalah pasangan yang setimpal dan bahagia, siapa tahu burung terbang berpisah toh hidup mereka lebih banyak sengsaranya daripada bahagia, aaai.... gadis cantik kebanyakan bernasib jelek!" "Nenek kenal dengan ibuku?" tanya Pek Soh-gie dengan wajah sedih. "Aku si nenek tua telah seratus tahun hidup di kolong langit, sudah banyak kejadian tragis yang kusaksikan, siapa bilang tidak kenal dengan dua wanita tercantik di dalam dunia persilatan?" "Siapa nenek?" tiba-tiba Hos Thian-hong bertanya. "Aku adalah aku, apa itu siapa-siapa?" bentak sang nenek dengan mata melotot. Hoa Thian-hong yang kebentur pada batunya cuma bisa meringis tersipu-sipu, pikirnya, "Waaah.... rupanya nenek tua ini lebih suka anak perempuan daripada anak laki, tiap kali aku yang tanya tentu disemprot dengan kata tajam.... Huuh.... Sialan benar...." Rupanya Pek Soh-gie tak menyangka kalau pemuda itupun tak kenal dengan asal usul nenek tua ini, seielab tertegun sebentar katanya, "Hoa toako, apakah kau adalah keturunan dari Hoa Tayhiap dari perkampungan Liok Soat Sanceng?" Hoa Thian-hong mengangguk, teringat akan ayahnya yang sudah meninggal dan jejak ibunya yang tak menentu, hatinya jadi sedih dan sikappun menjadi uringuringan. Melihat pemuda itu murung, setelah termenung sebentar Pek Soh-gie berkata lagi, "Seringkali ibu membicarakan tentang ibu mu, katanya selama hidup dialah yang paling dikagumi, apakah dia orang tua terada dalam keadaan sehat walafiat?" Pemuda itu menggeleng. "Kesehatan ibuku buruk sekali, karena hendak mencari, aku sekarang telah berkelana di dalam Bulim, entah kini ia berada di mana" dan bagaimana Dasibnya?" Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya kembali, "Urusan ini rahasia sekali, harap nona jangan membocorkan di tempat luaran...." Soh-gie mengerti, tak usah toako peringatkan lagi"gadis itu menghela napas pan jang, sambungnya, akhir tahun berselang adikku telah datang dan berkumpu1 dengan kami, dia bilang sewaktu berada di tepi sungai Huang-ho telah memaksa Hoa toako sampai mati, setelah mendengar berita itu ibu amat sedih hingga muntah darah tak hen tinya, sejak itu hari kesehatan ibuku jadi melorot sampai akhirnya adikku mengirim surat lagi yang mengabarkan Hoa toako muncul kembali di kota Cho ciu, saat itulah hati ibuku jadi lega dan sakitpun berangsur-angsur pulih kembali seperti sedia kala" "Ibumu terhitung ibu yang bijaksana, sungguh membuat aku kagum, bila di kemudian hari ada jodoh tentu akan kusambangi sendiri dia orang tua," kata sang pemuda lirih. "Pek Soh-gie segera menyatakan rasa terima kasih. "Setelah adikku mendapat peringatan dan teguran dari ibuku, dia mulai menyesal terhadap perbuatan yang pernah dilakukan dan bersumpah akan merubah sikapnya yang jelek, dalam surat berikutnya dia telah memuji-muji sikap Hoa toako yang gagah dan berjiwa ksatria, tulisannya penuh mengandung pujian dan rasa hormat...." "Budak yang masih muda harus berwatak pendiam" sela nenek baju abu-abu itu dari samping" kalau binal memang sudah sewajarnya mendapat pendidikan yang ketat!" Ucapan nenek memang benar!" kepada Hoa Thianhong ia melanjutkan." adikku adalah sebangsa kaum wanita, sedang Hoa toako adalah seorang lelaki sejati yang berjiwa besar, kau pasti tak akan mendendam terhadap dirinya bukan?" "Kejadian toh sudah lewat, kenapa aku musti mendendam?" Nenek tua baju abu-abu itu menghabiskan kembali isi cawannya, tiba-tiba ia bertanya, "Pek Soh-gie, seorang diri engkau datang ke Timur, entah ada urusan apa?" "Ibu mengetahui bahwa badai pembunuhan bakal melanda dunia persilatan, karena kejadian itu hati beliau merasa murung dan sela lu tak tenang, beliau telah menulis sepucuk surat untuk ayahku dengan harapan ayah bisa menyadari usia tuanya serta mengundurkan diri dari masalah dunia, Soh-gie mendapat perintah untuk menyampaikannya" Nenek tua itu segera tertawa dingin. "Heeh.... heeh.... kau anggap Pek Siau-thian mau mendengarkan nasehat orang" ibumu memang berhati mulia, sayang dia te lah salah mencari orang!" "Menurut apa yang kuketahui," ujar Hoa Thian-hong pula, "Pek lo pangcu amat sayang dan menghormati istrinya, bahkan sayang sekali terhadap nona Soh-gie, cuma...." "Cuma kenapa?" bentak nenek itu. "Aaai....! Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini amat kalut dan rumit sekali, sekalipun Pek Lo pangcu tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan pun tindakannya tak akan bisa menyelamatkan badai pembunuhan ini...." Ia berhenti sebentar kemudian dengan wajah serius terusnya, "Walaupun urusan sudah tak bisa ditolong lagi, tapi cita-cita dan tujuan Pek Hujien serta nona Soh-gie memang patut dihormati dan dipuji setinggi langit" "Hmm....! rupanya tidak sedikit rahasia yang kau ketahui!" seru nenek tua baju abu-abu itu dengan suara dingin, "siang tadi aku lihat kau bicara lama sekali dengan Giok Teng Hujin, ditinjau dari sikapmu yang serius dan sungguh-sungguh rupanya banyak urusan penting yang telah kalian bicarakan?" Teringat pemandangan ketika ia sedang bercakapcakap dengan Giok Teng Hujin di tepi pantai ombak menggulung kencang, angin berhembus menderu-deru, lagipula ada Soat-jie berjaga di pantai, sekalipun nenek tua itu punya ketajaman telinga yang luar biasa rasanya juga tak mungkin bisa mendengar pembicaraannya, maka sambil tersenyum ia berkata, "Giok Teng Hujin membicarakan tentang asal usulnya. Aaai.... perempuan berwajah cantik seringkali bernasib jelek!" Dari sikap pemuda itu, sang nenek tahu bahwa ia tidak bicara jujur, dengan wajah gusar segera hardiknya, "Kau berani bicara bohong?" Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, pikirnya di dalam hati, "Teka teki yang menyelimuti asal usul Giok Teng Hujin, persoalan mengenai pedang emas jantan dan betina serta Pui Che-giok asli dan gadungan semuanya merupakan persoalan yang menyangkut masalah besar dalam dunia persi1atan, lagi pula diba1ik persoalan itu terdapat hal-hal yang bisa dipsrcaya dan hal-hal yang pasti dicurigai, perduli siapakah nenek tua ini rahasia besar tersebut tak boleh kubocorkan dengan begitu saja." Berpikir demikian, iapun lantas tertawa berhaha hihi sambil berseru, "Hiiih.... hiiih.... nenek, maaf yaah, berhubung soal ini menyangkut masalah besar dalam dunia persilatan, maka terpaksa aku tak dapat memberitahukan kepadamu" "Kau sungguh-sungguh tak mau bicara?" hardik sang nenek baju abu-abu dengan suara dingin matanya memancarkan cahaya tajam dan menatap wajah pemuda itu tak berkedip sementara tangannya diayun siap menggaplok pipinya. Hoa Thian-hong tersenyum. "Nenek.... kalau mau pukul silahkan pukul, karena urusan ini menyangkut rahasia dunia persilatan.... maka apa boleh buat, aku tak berani banyak bicara" Baik sang nenek baju abu-abu maupun Pek Soh-gie jadi tertegun, kalau dilihat dari sikapnya yang penurut terutama sewaktu diperintahkan untuk berlutut sambil memegang nampan, tak sangka kalau pemuda itu jadi berandal dan keras kepala sesudah berhadapan dengan urusan yang serius. Setelah tertegun beberapa waktu, nenek baju abu-abu itu jadi marah, tegurnya, "Engkau tahu siapa aku?" "Sekalipun aku sudah tahu siapakah nenek dalam persoalan ini akupun tak berani bicara sembarangan" Rupanya hawa gusar yang berkobar dalam dada nenek tua itu sudah tak terbendung lagi, ia berteriak kembali. "Kurang ajar.... dihadapan siapapun engkau sama saja tak akan bicara....?" "Benar, kecuali terhadap ibuku kepada si apapun aku tak akan menjawab...." Dengan gusar nenek baju abu abu itu segera bangkit berdiri, ia mengetukkan toyanya ke tanah dan membanting cawan sampai hancur kemudian gembornya, "Bun Sian Ih sekarang ada dimana?" Hoa Thian-hong jadi takut sekali, ia takut pipinya digaplok lagi oleh nenek itu, buru-buru jawabnya, "Aku sudah lama berpisah dengan ibuku sekarang aku benarbenar tak tahu beliau berada dimana?" "Hmm! telur busuk kecil, aku akan pergi mencari ibumu, akan kulihat engkau mau bicara atau tidak?" Sekali enjotkan badan tubuhnya sudah berada puluhan tombak jauhnya dari tempat semula. Hoa Thian-hong jadi amat gelisah, segera teriaknya, "Eeei.... orang tua, kitab catatan Ci yu jit ciatku...." "Nenekmu, apa itu Jit jiat pat ciat.... aku sama sekali tak tahu maki sang nenek. Dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Hoa Thian-hong jadi melongo dan tak tahu apa yang maa dilakukan, sambil memandang ke arah tenggara pikirnya, "Kalau dia tak tahu dimanakah ibuku berada, kenapa larinya menuju ke arah sana?" Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berbisik dengan suara lirih, "Hoa toako, hari sudah hampir gelap, kau sudah makan belum?" Hoa Thian-hong segera mendusin kembali dari lamunannya, ia lihat udara benar-benar sudah gelap gulita dan malam telah menjelang tiba, sedang ia sendiri sambil memegang nampan masih tetap berlutut di atas tanah, buru-buru si anak muda itu bangkit berdiri, katanya, "Nona, silahkan duduk di atas batu!" Pek Soh-gie menurut dan segera duduk, Hoa Thianhong yang sudah lapar sekali tanpa sungkan-sungkan segera menyambar semangkuk nasi dan menyikatnya dengan lahap. Takaran perutnya tidak kecil lagi pula makannya cepat sekali, dalam waktu singkat ia sudah menyikat habis semua makanan yang ada. Setelah kenyang ia baru letakkan nampan di samping sambil ujarnya, "Nona, dewasa ini wilayah Kanglam sedang banyak persoalan, tempat itu tidak aman dan berbahaya sekali, lebih baik kau tak usah pergi kesana....!" "Tapi aku harus bertemu dengan ayahku untuk menyampaikan surat dari ibuku!" "Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan ayahmu, titipkan saja surat itu kepadaku agar aku yang menyampaikan kepadanya, dengan begitu bukankah nona tak usah pergi kesitu sendiri!" "Hoa toako, dibalik perkataanmu aku dengar ada maksud tertentu, bolehkah aku tahu lebih jelas lagi?" tanya Pek Soh-gie tercengang. Hoa Thian-hong menghela napas panjang, ia menjawab, Ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie bernama Jin Hian, dia mempunyai seorang putra yang bernama Jin Hiong mati di tangan seorang perempuan, apakah nona tahu akan peristiwa ini?" Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku pernah dengar tentang peristiwa ini dari adikku, apakah teka teki yang menyelubungi peristiwa pembunuhan itu sudah berhasil dipecahkan....?" "Peiistiwa itu sampai sekarang masih tertangguh dan belum berhasil dipecahkan, Jin Hian menaruh curiga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh nona, tetapi berhubung kekuatan dan perkumpulan Sin-kie-pang dan Hong-im-hwie adalah seimbang ditambah pula masih ada perkumpulan Thong-thian-kauw di samping maka pertarungan untuk sementara waktu masih bisa dihindari. Kendati begitu situasi dalam dunia persilatan dewasa ini amat keritis dan berbahaya sekali pertarungan setiap saat bisa berlangsung. Kepergian nona menuju ke wilayah Kanglam boleh dibilang berbahaya sekali...." 000O0000 30 AKU keluar rumah baru pertama kali ini, aku tak pernah melakukan kesalahan apa pun juga!" seru Pek Soh-gie, "aku akan mengajak Jin Hian untuk membicarakan persoalan ini sebaik-baiknya sehingga urusan jadi jernih dan duduk perkara pun bisa dibikin terang, aku tak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut terus" Hoa Thian-hong menengadah dan menghela napas panjang. "Aaaaai dalam menghadapi persoalan dalam dunia persilatan, siapa kuat dia menang, sepatah dua patah kata tidak cocok, mayat akan bergelimpangan dimanamana dan darah akan mengalir memenuhi sungai, menanti ceng li bisa dibikin terang saat itu semuanya sudah terlambat" "Perkataan dari Hoa toako memang tidak salah" ujar Pek Soh-gie kemudian setelah berpikir sebentar. "Tetapi sebelum berjumpa dengan ayahku, aku tetap merasa tak lega hati, ditambah pula aku sudah rirdu sekali dengan adikku, aku ingin sekali berjumpa muka dengan dirinya. Mendengar ucapan itu, Hoa Thian-hong berpikir di dalam hatinya, "Nona ini cuma tahu soal cengli dan peraturan, tidak tahu bagaimana licik dan berbahayanya manusia di kolong langit, kalau ku biarkan ia berkelana seorang diri dalam dunia persilatan maka jiwanya setiap saat tentu akan terancam oleh mara bahaya" Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata kembali. "Apa rencana Hoa toako selanjutnya" Kau adalah keturunan dari keluarga pendekar, ilmu silat yang dimiliki sangat tinggi dan aku rasa musuh besarmu tentu tidak sedikit bukan jumlahnya?" "Benar, musuhku terbesar dimana-mana...." ia menghela napas panjang dan melanjutkan," aku bermaksud mengunjungi gunung Toa pa-san dan pergi ke markas besar perkumpulan Sin-kie-pang!" "Ayah dan adikku berada di wilayah Kanglam semua, ada urusan apa Hoa toako hendak berkunjung ke gunung Toa pa san?" tanya Pek Soh-gie dengan mata terbelalak. "Aku punya sebilah pedang baja yang tertinggal di dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, sekarang senjata itu hendak kugunakan karena itu terpaksa harus kucari kembali." "Perjalanan teramat jauh, menuju kesana pun membutuhkan banyak waktu, apakah tak bisa carikan gantinya dengan senjata lain?" Hoa Thian-hong menggeleng, "Thong-thian Kaucu menggunakan sebilah pedang 'Boan liong poo kiam' yang teramat tajam, aku harus menggunakan pedang baja yang berat untuk menandinginya, sebab kalau tidak maka pedangku tentu akan tergetar patah oleh pedang mustikanya!" "Aaaah....! Thong-thian Kaucu adalah seorang tokoh silat yang amat tersohor di kolong langit, apakah Hoa toaku harus bertempur melawan dia....?" "Ehmm, meskipun tenaga dalamnya sempurna dan ilmu silatnya tinggi, seandainya senjata andalanku bisa kutemukan kembali, maka aku mampu untuk bertarung melawan dirinya" Sambil loncat bangun sambungnya kembali, "Persoalan sudah ada di depan mata, aku tak berani membuang waktu dengan percuma lagi.... Nah selamat tinggal...." "Eeeei.... tunggu sebentar!" seru Pek Soh-gie setelah tertegun beberapa saat lamanya, gerakan tubuh yang dimiliki nenek tadi cepat sekali, sayang toako telah menyalahi dirinya...." "Percuma orang tua itu terlalu sombong dan tinggi hati, ia tak mampu membantu apa-apa terhadap diriku, apakah nona sudah pasti akan berangkat ke Timur?" "Benar, aku rasa tidak baik kalau urungkan maksud di tengah jalan," setelah berpikir sebentar, ia menambahkan, "Perjalananku lambat sekali, sekalipun ingin balik juga tak mungkin bisa mendampingi Hoa toako.... bila urusan memang sudah kritis sekali, salahkan toako berangkat lebih dahulu!" "Keempat orang jago dari perkumpulan) Hong-im-hwie tadi tentu sudah menantikan kedatanganmu disebe1ah depan sana, nona lebih baik menyingkir saja daripada harus berjumpa dengan orang-orang itu" "Siau li akan menuruti perkataan dari toako!" Untuk sesaat dua pasang mata saling bertemu dan memancarkan rasa berat hati untuk berpisah kemudian menunduk dan sama-sama membungkam. Lama sekali suasana jadi hening, tiba-tiba Hoa Thianhong menengadahkan dan berkata, "Nona, baik-baiklah jaga diri, aku mohon diri lebih dahulu" Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dibalik kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad, angin berhembus sepoi-sepoi mengibarkan ujung baju Pek Soh-gie yang berdiri seorang diri.... ia begitu polos dan sama sekali tak nampak genit, begitu tenang dan kalem seakan-akan tak tahu betapa licik dan berbahayanya kehidupan manusia di kolong langit.... Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia putar badan dan berangkat menuju ke arah timur laut meskipun perjalanan dilanjutkan dengan ilmu meringankan tubuh namun sikapnya masih tetap tenang dan sama sekali tidak menunjukkan tergesa-gesa atau gelisah. Tiba-tiba dari balik kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad, muncul empat sosok bayangan manusia yang menghadang jalan perginya. Buru-buru Pek Soh-gie menghentikan langkahnya dan memandang ke depan, setelah mengetahui bahwa keempat orang itu bukan lain adalah empat orang yang selama ini membuntuti perjalanannya, ia segera memberi hormat dan menyapa, "Saudara-saudara sekalian ada urusan apa menghalangi jalan pergiku" Kalau ada persoalan harap segera diutarakan keluar" "Kami rasa nona sudah tahu tentang asal usul kami semua bukan?" ujar kakek baju hitam yang ada disebelah kiri. "Jika kutinjau dari pembicaraan kalian yang seringkali mengungkap tentang Tang-kee kalian, aku juga saudara berempat tentulah para enghiong dari perkumpulan Hong-im-hwie, bukan begitu?" Rupanya kakek baju hitam itu adalah pemimpin rombongan diantara keempat orang itu, ia segera menjawab, "Tebakan nona sedikitpun tidak salah, kami berempat memang saudara-saudara dari perkumpulan Hong-im-hwie, lalu tahukah nona apa maksud kami datang kemari?" "Itulah yang tidak kuketahui! Sedari wilayah Kanglam sampai ke tempat ini, saudara berempat selalu mengikuti di belakang siaute, bolehkah aku tahu apa maksud kalian semua?" "Cong Tang-keeh kami ada sedikit urusan hendak ditanyakan Kepada nona, maka dari itu kami berempat sengaja ditugaskan untuk datang mengundang kehadiran nona, tetapi berhubung nona adalah kaum wanita yang patut dihormati maka selama ini kami tak berani mengganggu secara gegabah!" "Kalau begitu, siaute ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati saudara berumpat" "Nona tak usah mengucapkan terima kasih kepadaku, kini situasinya agak berbeda dan terpaksa kami harus menyalahi diri nona. "Jadi apa maksud kalian semua?" seru Pek Soh-gie dengan mata terbelalak. Kakek baju hitam itu tertawa kering. "Haaah.... haaah.... haaah.... dari sini menuju ke timur kita akan bertemu dengan para enghiong dari peibagai aliran, kami tahu bahwa kedudukan nona sangat terhormat, asal telah bertemu dengan anak buah dari perkumpulan Sin-kie-pang, maka dengan andalkan muka , kami tak mungkin undangan kami bisa dipenuhi oleb nona" "Kalau tidak kupenuhi bagaimana?" Kakek baju hitam itu tertawa terbahak-bahak. "Haaah.... haaah.... haaaah.... kalau kami gagal untuk mengundang kehadiran nona, terpaksa kita musti menanggung dosa dan harus menerima pancung kepala" Tertegun hati Pek Soh-gie mendengar ucapan itu. "Kalau memang begitu, aku akan mengikuti saudara sekalian untuk berjumpa dengan Jin Loo enghiong!" katanya. "Oooh.... nona sungguh berbesar hati, kami ucapkan banyak terima kasih lebih dahulu" Bicara sampai disini kakek baju hitam itu segera berpaling, dan memberi tanda kepada salah seorang pria berpakaian ringkas yang ada disisinya.... Pria baju ringkas itu Segera mengangguk dan menggerakkan tubuhnya, sekali lompat ia sudah berada di samping tubuh Pek Soh-gie, jari tangannya bagaikan sebatang tombak langsung menotok jalan darah cian ji hiat di tubuh gadis itu. Pek Soh-gie terperanjat, tubuhnya laksana kilat menyingkir ke samping, lima jari di pentang dan baru balas menyambar urat nadi dipergelangan pria baju ringkas tadi. Kebutan lima jarinya ini sepintas lalu nampak enteng dan lambat, tetapi penggunaan waktu dan ketelitian arahnya ternyata luar biasa sekali, andaikata pria baju ringkas itu tidak segera batalkan ancaman-nya maka dia tentu akan tersambar oleh ujung jari Pek Soh-gie. "Oooh.... kepandaian itu adalah ilmu andalan dari Kho Hong Kui tempo hari!" terdengar kakek baju hitam yang lain berseru, "ilmu silat keluarga kenamaan memang luar biasa sekali!" Sementara itu pertarungan di tengah kalangan sudah berlangsung lima jurus banyaknya, seharusnya ilmu silat yang dimiliki pria baju ringkas itu masih bukan tandingan dari Pek Soh-gie, sayang sekali dalam setiap serangannya gadis itu hanya berusaha untuk memunahkan ancaman lawan sambil melakukan pertahnan diri belaka, tak satu jurus seranganpun yang ditujukan untuk merobohkan musuh, dalam keadaan begini walaupun pria baju ringkas tadi tak mampu merebut kemenangan namun keadaannya tetap seimbang dan siapapun tak bisa merubuhkan lawannya. Setelah menyaksikan jalannya pertarungan beberapa saat, kakek baju hitam yang memegang komando itu mengerutkan alisnya, ia memberi tanda kepada pria baju ringkas lainnya. Pria tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun segera menerjang masuk ke dalam gelanggang. Dalam waktu singkat dua orang pria kekar itu segera mengerubuti seorang gadis yang cantik jelita dengan ketat. Pek Soh-gie yang baru pertama kali bergebrak melawan orang melayani serangan-serangan musuhnya dengan serius dan penuh ketegangan, semua serangan yang dilancarkan hanya ditujukan untuk memunahkan ancaman serta melakukan pertahanan diri, rupanya ia memang tak mampu melakukan serangan balasan. Tiba-tiba terdengar kakek baju hitam yang lain berkata, "Ang Jit ko, tadi setelah bajingan cilik itu meringkus tiga orang toojin dari perkumpulan Thongthiankauw, ketiga orang hidung kerbau itu pasti tak mau sudahi persoalan itu sampai disitu saja, urusan dinas kita penting sekali, lebih baik cepat-cepat kita ringkus orang itu dan melaporkan kepada Tang-kee kita!" Benar, ayoh kita turun tangan!" jawab kakek baju hitam yang satu sambil mengangguk. Tubuhnya segera menerjang ke depan, telapak tangannya menyambar dan membacok tubuh gadis itu. Pek Soh-gie yang sedang bertempur dengan serunya melawan dua orang musuh, jadi amat terperanjat ketika munculnya segulung desiran angin tajam yang mengancam punggungnya. Ia segera tekuk pinggang, bungkukkan badan lalu loncat maju ke depan, sepasang telapak disilangkan ke samping membendung datangnya ancaman itu. Kakek baju hitam kedua selama ini hanya berdiri di sisi lapangan segera ikut menerjang pula ke depan setelah menyaksikan kelincahan dan kegesitan gerak tubuh musuhnya, telapak tangan bagaikan golok langsung membacok kemuka. Dalam waktu singkat empat orang pria kekar bersamasama turun tangan mengerubuti seorang gadis cantik, hal ini membuat dara ayu itu jadi kerepotan dan musti loncat ke kanan berkelit ke kiri untuk meloloskan diri dari ancaman. Diam-diam Pek Soh-gie jadi gelisah melihat keadaan itu, cepat teriaknya dengan suara lantang, "Saudarasaudara Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekalian adalah orang gagah dari dunia persilatan, masa kalau ingin bertarung musti main kerubut" Hey.... kalian tahu akan peraturan Bulim atau tidak?" Kakek baju hitam yang memberi komando itu segera tertawa dingin. "Ayahmu sendiri juga suka berbuat demikian, apa salahnya kalau kami pun meniru cara ayahmu itu" Kalau nona ingin bicara tentang cengli, lebih baik bicarakan saja persoalan ini dengan ayahmu di kemudian hari!" "Hmm! Sedari tadi aku sudah tahu kalau kalian adalah manusia-manusia yang menggemaskan dan tak tahu dirif" tiba-tiba terdengar seseorang membentak dengan penuh kegusaran. Di tengah kegelapan meloncatlah keluar sesosok bayangan manusia, dia bukan lain adalah Hoa Thianhong, dengan serangan jari di tangan kanan serangan telapak di tangan kiri serentak dia lancarkan serangan secara berbareng. Plooook....! telapak kirinya dengan telak bersarang di atas bahu pria baju ringkas yang berada di hadapannya membuat tulang bahu pria itu terpukul hancur dan menjerit kesakitan, tubuhnya terlempar sejauh beberapa tombak dari tempat semula. Sebaliknya totokan tangan kanannya segera mengakibatkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema di angkasa, kakek baju hitam yang turun tangan belakangan tiba-tiba mundur sempoyongan ke belakang dengan tubuh gemetar keras, kemudian badannya roboh terjengkang ke atas tanah dan binasalah seketika itu juga. Hoa Thian-hong jadi sangat terperanjat, tiga jurus ilmu totokan 'menyerang sampai mati' yang dipelajari dari kitab Ci yu jit ciat itu sebenarnya hendak diturunkan kepada Bong Pay tempo hari, sewaktu bergebrak melawan Yan-san It-koay ia pernah menggunakannya satu kali, tapi karena kepandaian silat yang dimiliki Yansan It-koay jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka keampuhan dari tiga jurus totokan itu tidak terlihat. Siapa tahu serangan yang dilancarkan saat ini tanpa maksud apa-apa telah mengakibatkan kematian dari musuhnya, hal ini membuat dia jadi melongo dan berdiri tertegun. Semua kejadian berlangsung dalam sekejap mata, ketika jeritan ngeri itu berkumandang di angkasa kedua belah pihak sama-sama terperanjat dan pertempuranpun terhenti untuk sementara waktu. Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, "Jin Hian adalah seorang manusia yang licik dan berbahaya, dengan pembunuhan yang kulakukan sekarang berarti antara kita berdua sudah terikat oleh dendam, kenapa aku tidak bunuh sekalian keempat orang ini sehingga persoalan untuk sementara waktu bisa ditutup...." Setelah ambil keputusan di dalam hati, nafsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya, dengan ganas ia terjang kakek baju hitam yang memberi komando itu. "Hoa toako, jangan turun tangan keji!" teriak Pek Sohgie secara tiba-tiba. "Eeei.... aneh benar nona ini," batin pemuda itu dalam hati, "aku bantu dirinya untuk mengusir musuh, dia malah mintakan ampun bagi musuh-musuhnya" Tangan kanan bagaikan pagutan ular berbisa, laksana kilat segera menyeruduk ke depan. Melihat datangnya ancaman totokan jari yang begitu aneh, kakek biju hitam itu jadi terkesiap karena dia tak tahu bagaimana caranya untuk memunahkan ancaman tersebut, dalam gugupnya pinggang segera dite-kuk dan ia jatuhkan diri berguling di atas tanah, dengan suatu gerakan yang manis kakek itu melepaskan diri dari ancaman dan menggulung sampat sejauh satu dua tombak dari tempat semula. Tentu saja Hoa Thian-hong tidak mengijinkan lawannya kabur dengan begitu saja, kakinya segera melangkah ke depan dan dalam waktu singkat ia sudah berada di depan tubuhnya, dua jari ditekuk dan langsung menotok tubuh lawannya. "Hoa toako...." tiba-tiba Pek Soh-gie berteriak. Bentakan keras bergema di angkasa, pria baju ringkas yang masih segar tiba-tiba maju menyerang dari belakang. Hoa Thian-hong sama sekali tak pandang sebelah matapun terhadap datangnya ancaman itu, telapak kiri diayun kemuka dan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw, ia sambut datangnya serangan itu. Tenaga pukulan yang dipancarkan dari telapak kirinya jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan kekuatan serangan ketiga jari tangan kanannya, serangan yang dilancarkan laksana kilat itu dengan telak bersarang di atas tengkuk pria baju ringkas itu. "Aduuuh....!" jerit kesakitan berkumandang di angkasa, tubuh pria itu terpental ke udara dan segera roboh terjengkang di atas tanah, Karena harus dibaginya kekuatan serangan ini, datangnya serangan jari di tangan kanannya jadi lebih terlambat dari gerakan semula, menggunakan kesempatan itulah kakek baju hitam tersebut mendorong telapak nya ke depan lalu mengundurkan diri dari sana. "Hmmm.... mau lari kemana?" jengek Hoa Thian-hong sambil tertawa dingin, "kau tak bisa diampuni....!" Bagaikan bayangan tubuhnya segera mengejar ke depan. Tenaga dalam yang dimiliki si anak muda ini telah mendapat kemajuan yang amat pesat, serangan yang dilancarkan pada saat ini sukar ditandingi oleh manusia biasa. Kakek baju hitam itu tahu bahwa dirinya bukan tandingan lawan, melihat pemuda itu mengejar terus sadarlah dia bahwa sulit bagi dirinya untuk melepaskan diri. Dalam nekadnya ia segera membentak keras, telapak tangan didorong berbareng dan sambil mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya ia hajar si anak muda itu. Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak kiranya diayun menerima datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras. Blaam di tengah bentrokan nyaring kakek baju hitam itu mundur dua langkah ke belakang dengan sempoyongan, sepasang kakinya jadi lemas dan robohlah ia ke atas tanah. Tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong sekarang amat sempurna sekali, pukulan itu menggetarkan sekujur tubuh kakek baju hitam tadi sehingga isi perutnya bergeser semua dari tempat semula, pandangan matanya jadi gelap dan tak tahan lagi ia muntah segar, jelas luka dalam yang dideritanya teramat parah. Hoa Thian-hong maju ke depan sambil ayun tangannya, tapi tangan itu diturunkan lagi, pikirnya. "Seharusnya aku tak boleh melepaskan mereka berempat barang seorangpun, tetap membunuh orang yang sudah tak punya kekuatan untuk melawan adalah suatu perbuatan yang melanggar semangat jantan seorang pendekar sejati.... "Hmm! apa yang musti kulakukan?" Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata dengan nada lembut, "Hoa toako, apakah beberapa orang ini hendak kau bunuh?" "Siaute masih muda dan tak tahu urusan harap nona tak usah sungkan-sungkan kalau ingin bicara" Pek Soh-gie mengerutkan dahinya lalu maju selangkah ke depan, ujarnya, "Diantara keempat orang itu ada satu sudah mati terbunuh sedang sisanya terluka parah, Hoa toako! bagaimana kalau engkau bermurah hati serta mengampuni jiwa mereka untuk kali ini saja?" "Mereka sudah kenal siapa aku, bila kulepaskan mereka pergi maka Jin Hian pasti tak akan menyudahi persoalan ini...." Pek Soh-gie tundukkan kepalanya setelah mendengar ucapan itu, kepada kakek baju hitam itu segera tegurnya, "Kau kenal dengan kongcu ini?" "Kakek baju hitam itu meronta bangun, sorot mata penuh kebencian memancar keluar dari balik matanya, sambil menggigit bibir dia menjawab, "Hmm! telapak kiri Hoa Thian-hong.... sampai matipun aku tetap ingat." Pek Soh Oie jadi tertegun mendengar perkataan itu, meskipun ia berhati Welas dan tak suka membunuh orang, tetapi diapun merasa tak leluasa untuk memaksa Hoa Thian-hong melepaskan harimau pulang gunung, apalagi kalau sampat menanam permusuhan dengan orang. Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berkata dengan suara hambar, "Mengingat kau tidak takut mati dari masih terhitung sebagai seorang pria sejati, ini hari aku orang she Hoa mengampuni selembar jiwamu, setelah pulang katakan kepada Jin Hian bahwa dibalik peristiwa pembunuhan itu masih terdapat hal-hal yang lain. pembunuhnya adalah orang lain yang jauh diluar dugaannya, bila kami berjumpa lagi di kemudian hari akan kujelaskan sendiri persoalan itu kepadanya" Sementara itu dua pria baju ringkas yang terkejar oleh Hoa Thian-hong tadi, yang satu menderita patah tulang kaki sedang yang lain menderita patah tulang tangan, berhubung pemimpin mereka belum mati maka merekapun tak berani kabur lebih dahulu, kini setelah mendengar ucapan tersebut, mereka baru maju ke depan membopong tubuh kakek tadi kemudian kabur dari situ. Menanti ketiga orang itu sudah pergi jauh, Pek Soh-gie baru maju ke depan sambil berkata, "Hoa toako, kenapa kau balik lagi setelah pergi?" "Sejak tadi aku sudah melihat kalau keempat orang itu sedang berjaga-jaga di sekitar tempat ini, karena itu aku tidak pergi terlalu jauh" Perlahan-lahan mereka lanjutkan perjalanan ke depan, sambil tundukan kepalanya Pek Soh-gie berkata, "Terima kasih atas pertolongan dari toako...." Hoa Thian menghela napas panjang. "Aaaai....! Urusan sepele kenapa musti dipikirkan terus?" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Bertempur adalah suatu kejadian yang tak kenal akan belas kasihan, dalam menghadapi serangan musuh kita harus berusaha membuat posisi di atas angin, jangan hanya bertahan melulu tanpa melakukan serangan, sebab jika kau bertindak begitu maka menang tak mungkin bisa diraih, bila kau kehabisan tenaga maka saat itulah kematian akan membayangi dirimu. "Aku hanya bisa bertahan, tak bisa melancarkan serangan balasan" sahut Pek Soh-gie dengan kepala tertunduk, "Ilmu silat macam apapun bisa digunakan untuk bertahan maupun menyerang, asal kau punya niat untuk memukul orang maka serangan bisa kau lancarkan dengan segera" "Tapi aku tak ingin pukul orang" "Aaai....! Kau tak ingin pukul orang, sebaliknya orang lain ingin memukul dirimu, selama manusia masih hidup di kolong langit maka dia harus berusaha untuk mempertahankan diri, manusia itu berhati dengki dan penuh kebusukan, bila kau mudah dianiaya maka yang rugi akhirnya adalah engkau, sendiri, apakah kau ingin mati dengan penasaran?" "Aku bisa mempertahankan diri dengan sepenuh tenaga!" bisik gadis itu. "Nona ini punya watak suka damai.... lumrahnya tabiat itu sukar dirubah...." pikir pemuda itu. Dalam pada itu Pek Soh-gie sudah menengadah ke atas dan memandang wajah si anak muda itu dengan sepasang biji matanya yang bening, kemudian ujarnya, "Hoa toako, ada permusuhan apa antara engkau dengan Thong-thian Kaucu....?" "Thian Ik-cu sitosu tua itu adalah salah satu diantara pembunuh ayahku....!" Pek Soh-gie membungkam sejenak, selelah berpikir ia berkata kembali, "Daerah kekuasaan perkumpulan Thong-thian-kauw amat luas dan pengikutnya banyak sekali, dengan kekuatan Hoa toako seorang, mana kau mampu menandingi dirinya" Aku lihat lebih baik engkau cari ayahku saja serta merundingkan suatu siasat yang bagus untuk menyelesaikan persoalan ini...." Hoa Thian-hong tertawa nyaring dan segera gelengkan kepalanya. "Persoalan yang terjadi dalam dunia persilatan seringkali didasarkan pada budi dan dendam, bagaimanakah keadaannya sukar ditebak secara jitu, sekalipun memandang di atas wajah nona mungkin ayahmu suka menolong aku, tapi aku rasa ayahmu tak akan sudi bentrok secara langsung dengan orang-orang dari perkumpulan Thong-thian-kauw" Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie setelah mendengar perkataan itu, bisiknya kemudian, "Adikku sangat mengagumi diri pribadi Hoa toako, dia pasti akan membantu diri toako untuk mewujudkan cita-cita tersebut, aku rasa ayah yang amat mencintai adikku pasti akan mengabulkan permintaannya.... tentang soal ini aku rasa toako tak perlu pusing kepala" "Huuh.... mana kau tahu tentang peristiwa yang baru saja lewat, berhubung pinangan ayahmu yang kutolak, mungkin karena cinta bisa berubah jadi dendam," pikir Hoa Thian-hong, "hal ini semakin tak mungkin terjadi Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lagi...." Tiba-tiba terdengarlah suara irama musik dan tetabuhan berkumandang datang dari kejauhan, dari ujung jalan raya sebelah tenggara muncullah beberapa titik cahaya lampu. Pek Seh Gie angkat kepala memandang sekejap ke arah pemuda itu, lalu katanya, "Toako, kalau kau ada urusan lebih baik berangkatlah lebih dahulu.... jangan karena aku urusanmu jadi berabe...." "Hehmm.... aku akan menghantar nona beberapa jauh lagi. "Bagaimana kalau kita bersama menemui ayah" Aku akan suruh dia orang tua untuk mengutus seseorang pulang ke markas besar serta ambilkan pedang baja milik toako?" Hoa Thian-hong tertawa. "Pedang baja itu terjatuh ke tangan seorang manusia aneh yang bernama Ciu It-bong, orang itu ada permusuhan dengan ayahmu, aku rasa tidak gampang untuk merampas kembali pedang bajaku itu...." Mendadak dia angkat kepala dengan wajah tertegun, kiranya dari arah depan muncullah delapan orang tosu cilik berusia dua belas tahunan yang memakai jubah warna putih, di tangan mereka masing-masing memegang sebuah lampu lentera, dibelakangnya mengikuti pula delapan orang tosu cilik berjubah kuning, di tangan mereka memegang alat musik dan sambil memainkan alat tetabuhan itu selangkah demi selangkah mereka berjalan mendekat. Di belakang keenam belas orang tosu cilik tadi mengikuti pula delapan orang tosu berjubah merah yang pada bahunya tergantung sebilah pedang pendek, usia mereka rata-rata diantara empat lima belas tahunan, dan pada barisan paling belakang mengikuti pada sebuah tandu kecil yang digotong oleh empat orang tosu cilik berjubah kuning. Di atas tandu duduklah seorang tosu tua yang rambutnya berwarna keperak-perakan, dua orang tosu baju merah yang berusia tanggung mengikuti di kedua belah samping tandu tersebut, di tangan mereka yang seorang memegang sebilah senjata Ji gi berwarna hijau kumala sedang yang lain membawa sebilah pedang mustika. Beberapa saat kemudian kedua bilah pihak sudah semakin mendekat, terlihatlah tosu tua yang duduk di atas tandu kecil itu punya muka yang merah segar bagaikan bayi, sepasang alisnya yang putih bergoyang dan matanya memandang ke depan dengan sorot cahaya tajam Sekejap mata kedelapan buah lampu lentera itu telah menyebarkan diri ke kedua belah samping, permainan musikpun tiba-tiba berhenti. Pek Soh-gie segera menggeserkan badannya mendekati Hoa Thian-hong, bisiknya lirih, "Toako, rupanya ada urusan lagi?" "Benar!" jawab Hoa Thian-hong sambil tersenyum, "rupanya mereka sengaja datang untuk mencari garagara dengan kita...." Sementara itu tanda telah berhenti, tosu tua itu menekuk pinggangnya dan bangkit berdiri, tosu cilik yang membawa senjata Ji gi serta Poo kiam tadi segera berdiri di kedua belah sisinya. Tosu tua itu membuka matanya, sambil memandang ke arah Hoa Thian-hong dengan sorot mata tajam ia menegur, "Ooh, jadi kau adalah Hoa Thian-hong putra dari Hoa Goan-siu" Kenapa wajahmu kotor kakimu telanjang dan pakaianmu tidak genah?" Hoa Thian-hong tersenyum. "Dan kau sendiri" Apakah Thian Ik tosu tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw" Kenapa lagakmu seperti pembesar korup begitu?" "Kurangajar!" bentak tosu cilik yang membawa senjata Ji gi di belakang tosu tua itu. "Berhadapan dengan Kaucu, kau berani kurangajar.... ayoh berlutut!" "Oooh.... rupanya benar-benar tosu Siluman ini," pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "aku harus tetap bersikap tenang dan jangan menyebut dulu soal dendam ayahku...." Berpikir sampai disitu dia pun tertawa, katanya, "Pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang serta Cong Tangkee dari perkumpulan Hong-im-hwie sudah kutemui beberapa kali, mereka semua tak seorangpun yang bersikap lucu dan membadut seperti ketua dari perkumpulan Thong-thian-kauw ini" "Haaah.... haaaah.... haaaah...." kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu segera tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "perkumpulan kami adalah perhimpunan suatu agama, jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Sin-kie-pang ataupun Hong-imhwie, kami sengaja berbuat demikian demi laki perempuan penganut agama kami, tiupan terompet dan pukulan genderang adalah demi mengundang perhatian dari para penganut agama kami.... tentu saja keadaannya berbeda jauh sekali" "Oooh, kiranya begitu," ujar Hoa Thian-hong sambil tersenyum. "Kaucu tidak bersemayan dalan kuil It-goanTiraikasih Website http://kangzusi.com/ koan untuk menyucikan diri, mau apa engkau berkunjung kesini?" Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu mengelus jenggotnya dan menjawab. "Tempat bersemayanku tidak jauh letaknya dari tempat ini, kuil It-goan-koan hanya kugunakan sebagai tempat penyebaran agama kami, tempat itu bukan tempat kediamanku.... "Kaucu," tukas Hoa Thian-hong sebelum iman tua itu menyelesaikan kata-katanya. "pasukan musuh telah masuk ke wilayah kekuasaanmu, engkau bukannya pusing kepala menyusun siasat dan rencana untuk menghadapi serangan total itu, enaknya saja hidup senang di dalam rumah, apakah kan hendak menunggu sampai pasukan musuh telah tiba diambang pintu, kau baru buka pintu benteng untuk menyerah?" Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak. "Haaaah.... haaah. .haaaah.... bulan tujuh tanggal lima belas nanti, pinto akan membuka suatu pertemuan besar Kian ciau tay bwee di See thian, pada waktu itu aku mengharapkan pelbagai orang gagah dari segala lapisan masyarakat bisa ikut menghadiri pertemuan tersebut. Undangan buat saudara kecil telah kami sampaikan dan sekarang disimpan oleh Ciong Lian-khek....!" Ia berhenti sebentar, lalu sambil tertawa tergelak lanjutnya, "Saat ini pelbagai orang gagah di kolong langit sedang siapkan kuda melatih tentara agar bisa memperlihatkan kelihaiannya dalam pertemuan besar itu, saudara cilik, kenapa kau masih berlarian di tempat luaran" Kalau sampai jiwamu melayang, pertemuan besar Kian ciau tay hwee pasti akan keku-rangan kau seorang.... waaah! Kalau sampai begitu suasana tentu kurang meriah" "Bulan tujuh tanggal lima belas?" tanya Hoa Thianhong dengan alis berkerut." bukankah berarti tinggal delapan hari lagi?" Sambil tertawa Thong-thian Kaucu mengangguk. "Betul, selama beberapa hari ini sebagai besar para orang gagah dari kolong langit telah berdatangan semua kemari" "Senja tadi, aku telah menyalahi tiga orang muridmu," ujar sang pemuda sambil tersenyum. "Aaai.... itu bukan soal besar" tukas sang kaucu sambil tertawa. "Mereka berani mencari gara-gara dengan dirimu, itu berarti bahwa mereka tak tahu diri. Manusia yang tak tahu dari memang sudah sepantasnya kalau diberi hukuman" Setelah tertawa tergelak, lanjutnya, "Kalau dibandingkan terhadap beberapa orang dari Hong-imhwie, saudara cilik sudah bersiap lebih murah hati terhadap mereka, disini pinto ucapkan banyak terima kasih terlebih dahulu" Selesai berkata ia segera memberi hormat. Hoa Thian-hong balas memberi hormat, mereka berdua bicara dan bergurau dengan bebasnya seakanakan dua sahabat lama yang saling bertemu lagi setelah lama berpisah. Thong-thian Kaucu alihkan sorot matanya ke samping, sambil memandang wajah Pek Soh-gie dengan muka berseri-seri serunya. "Siapa nona ini" wajahnya cantik jelita bagaikan bidadari sedang pakaiannya sederhana sekali, sampai pinto sendiripun tak bisa menebak asal usulnya" Menyaksikan tingkah laku iman tua itu sedikit kurang beres, Pek Soh-gie tak sudi menjawab. Ia segera melengos dan memandang ke arah Hoa Thian-hong yang berada di sisinya. Hoa Thian-hong dapat menangkap maksud hati gadis itu, dengan wajah dingin jawabnya, "Dia adalah putri kesayangan dari Pek loo pangcu dari perkumpulan Sinkiepang, lebih baik pangcu tak usah banyak bertanya" Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ini benarbenar bermuka tebal, bukan gusar malah dia tertawa. "Sudah lama aku dengar katanya Pek Siau-thian mempunyai sepasang putri kembar yang memiliki raut wajah cantik jelita, raut wajah nona ini mirip sekali dengan wajah Pek Kun-gie yang seringkali berkelana di dalam dunia persilatan, apakah dia adalah siputri sulung nona Soh-gie?" "Hmmm.... sungguh banyak utusan yang diketahui kaucu, tidak salah nona ini memang nona Pek Soh-gie" "Kalau memang begitu sungguh aneh sekali," kata Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, "sudah lama aku dengar berita yang tersiar dalam Bulim mengatakan bahwa antara saudara cilik dengan Pek Kun-gie dari bermusuhan akhirnya berubah jadi sahabat dan kemudian jadi sahabat kental, kenapa sekarang malah melakukan perjalanan bersama dengan si sulung?" Hawa amarah kontan membakar dalam dada Hoa Thian-hong sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya di dalam hati, "Thian Ik si hidung kerbau ini adalah salah seseorang diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat aku akan mencabut pula selembar wajahnya, kenapa aku musti memburu napas pada saat ini....?" Ia tahu gelagat serta enteng beratnyan urusan, setelah berpikir begitu hawa amarah pun segera ditekan kembali, ujarnya dengan suara ketus. "Urusan pribadi dari aku orang she Hoa lebih baik tak usah dicampuri oleh Kaucu, saat pertemuan pada bulan tujuh tanggal lima belas sebentar lagi sudah tiba, bila perkataan dari kaucu belum selesai maka silahkan dilanjutkan pada pertemuan Kiam ciau tay hwee nanti!" Kepada Pek Soh-gie serunya. "Nona mari kita pergi" Gadis itu mengangguk, mereka berdua segera putar badan dan berlalu dari situ. Tiba-tiba Thong-thian-kauw mengerdipkan matanya ke kiri dan kanan, seketika itu juga terdengarlah desiran angin tajam menderu-deru, delapan orang tosu cilik berbaju merah segera menyebarkan diri di tengah jalan dan menghadang jalan pergi kedua orang itu dengan pedang pendek terhunus ditangan. Di bawah sorot cahaya bintang tampaklah sinar tajam yang mengilaukan mata memancar keudara, rupanya pedang pendek yang berada di dalam genggaman kedelapan orang tosu cilik jubah merah itu merupakan senjata mustika yang tajam sekali. 0000O0000 31 TERDENGARLAH Thong-thian Kaucu angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak, suaranya keras hingga menggetarkan seluruh jagad, ia berkata, "Hoa Thianhong, kau jangan gegabah dan bertindak seenaknya sendiri, ketahuilah bahwa ilmu silat yang kau miliki sekarang masih belum mampu digunakan untuk menerobos pertahanan ilmu barisan Kan lee kiam tin dari pun kaucu ini!" "Ilmu barisan Kan lee kiam-tin?" tanya sang pemuda dengan alis berkerut, "belum pernah kudengar nama barisan itu!" "Kalau engkau tak puas, silahkan untuk mencobanya sendiri!" Hoa Thian-hong mendengus dingin, sorot matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, rupanya dalam waktu yang amat singkat itulah kedelapan orang tosu cilik berjubah merah itu telah menyebarkan diri ke sekeliling kalangan, setiap orang menyilangkan pedangnya di depan dada dan berdiri tegak bagaikan batu karang, dilihat dari wajah mereka yang begitu serius tampaklah bahwa barisan itu benar-benar luar biasa sekali. Setelah seringkali mengalami bencana, pengalaman yang dimiliki Hoa Thian-hong luas sekali. Setelah mengamati sebentar situasi yang terbentang di depan mata saat ini, sadarlah pemudaitu bahwa musuh tangguh sedang dirinya lemah, kalau pertarungan dilangsungkan maka dialah yang bakal kalah atau bahkan terancam jiwanya. Oleh sebab itu sambil menahan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya, ia berkata kepada Pek Soh-gie, "Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan kaucu ini, silahkan nona berangkat lebih dahulu" Melangak hati Pek Soh-gie mendengar perkataan itu, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo setelah termenung sebentar katanya lirih, "Aku tidak terburu-buru ingin pergi, lebih baik kutunggu saja dirimu di tempat ini!" Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya, ia berpikir, "Aaaai....! Nona ini benar-benar terlalu jujur, musuh berada di depan mata ia masih tak sadar, bukannya berusaha untuk mencari akal guna meloloskan diri, ia malah bersikeras untuk tinggal disini.... aaai, apa dayaku sekarang?" Sementara itu Thong-thian Kaucu dengan sorot mata yang tajam sedang mengawasi kedua orang itu, dia merasa yang pria tinggi kekar dan berwajah tampan sedang perempuan lemah lembut berwajah cantik, bila mereka berdua berdiri berdampingan nampaklah begitu serasi dan mempersonakan hati orang. Lama kelamaan hatinya jadi panas, dari rasa kagum ia jadi dengki dan iri, sambil mendengus berat segera ujarnya, "Hoa Thian-hong, ayah dan ibumu adalah jagojago lihay dari kalangan lurus, sebaliknya kau rela menggabungkan diri ke dalam tubuh perkumpulan Sinkiepang, apakah tindakanmu ini tidak takut memalukan nama keluarga serta menurunkan derajat nenek moyangmu?" "Hmm! Selamanya aku orang she Hoa berkelana kesana kemari seorang diri, perbuatan suci bersih dan yakin tak pernah ternoda!, sampai sekarang aku sama sekali tidak bergabung dengan pihak Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie...." Tidak menanti sampai pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, kaucu dari perkumpula Thong-thian-kauw itu sudah menukas, Pengaruh perkumpulan Sin-kie-pang meliputi tujuh propinsi, jago lihay yang tergabung dalam perkumpulan itu banyak sekal sukar dihitung dengan jari, bilamana engkau memang bukan anak buah dari perkumpula Sin-kie-pang, lebih baik janganlah mencampuri urusan kami, tinggalkan Pek Soh Gi di tempat ini dan berlalulah seorang diri" "Eeei.... ada apa" jadi engkau hendak menahan nona Pek Soh-gie di tempat ini?" seru Hoa Thian-hong dengan alis berkerut. Dia adalah enghiong sejati, dalam pemikirannya Pek Soh-gie yang mulia dan halus berbudi tak pernah bermusuhan dengan orang, tak pernah bermusuhan dengan umat Bulim, siapapun tak punya alasan untuk bermusuhan dengan dirinya, tindakan Thong-thian Kaucu yang hendak menahan dirinya benar-benar merupakan satu kejadian yang sama sekali berada diluar dugaannya. Terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu tertawa dingin, lalu berkata, "Kau tak mau banyak bicara lagi, sekarang pun kaucu akan membuka sebuah jalan hidup bagimu, asal engkau suka berpeluk tangan dalam soal ini maka kau akan kubiarkan berlalu dari sini dalam keadaan sela-mat, sebaliknya kalau engkau membangkang maka kemungkinan besar dalam pertemuan Kiam ciau Tay hwee pada bulan tujuh tanggal lima belas nanti akan kekurangan engkau seorang" Hoa Thian benar-benar jadi naik pitam, bentaknya, "Sungguh memalukan sekali, tak kusangka engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar ternyata bermoral sebejad itu, aku orang she Hoa...." Tiba-tiba ia marasa bahwa sikap Thong-thian Kaucu sama sekali berdiam. ketika datang tadi ia bersikap bebas dan wajah penuh senyuman, sebaliknya sekarang nampak begitu licik dan memuakkan sekali. Tiba-tiba Pek Soh-gie berkata, "Kaucu! aku masih ada urusan dibadan sehingga tak dapat berdiam terlalu lama di sini, bila kaucu ada urusan harap segera diutarakan sekarang juga!" "Eeei.... bukankah barusan kau mengatakan sendiri bahwa kau tak ada urusan dan tidak ingin cepat-cepat berlalu dari sini?" seru sang kaucu dengan mata berkilat. Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie karena jengah, bibirnya bergerak seperti mau mengatakan sesuatu tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dengan wajah berubah ia bungkam dalam seribu bahasa. Thong-thian Kaucu tertawa dingin, sorot matanya dengan pandangan tengik menyapu terus raut wajahnya yang cantik itu, ujarnya kembali, "Dewasa ini para jago sedang saling bermusuhan satu sama lainnya, masingmasing pihak berusaha agar rencana besarnya bisa dicapai dengan sukses, Jin Hian serta ayahmu juga sedang bentrok dan kini malah bermusuhan satu sama lainnya, jika mereka tahu akan jejakmu dan engkau lanjutkan kembali perjalanannya ke depan, maka orangorang dari pihak Hong-im-hwie pasti akan berusaha menangkap dirimu" "Terima kasih atas petunjuk dari kaucu, asal aku bersiap lebih hati-hati, rasanya itu sudah lebih dari cukup" "Pihak Hong-im-hwie sangat berhasrat menangkap dirimu, sekalipun engkau bersikap hati-hati juga tak ada gunanya, apakah kau mampu menahan serangan mereka?" Jilid 23. Bertemu Kakek Telaga Dingin lagi KINI aku sedang menjalankan titah dari ibuku untuk segera berangkat ke kota Ceng kang guna menjumpai ayahku, sekalipun harus menempuh mara bahaya, tugas ini tak bisa kutunda dengan begitu saja" "Haaah.... haaaah.... haaaah...." Thong-thian Kaucu segera tertawa terbahak bahak" Meskipun kau memiliki keberanian untuk melanjutkan perjalanan dengan menempuh bahaya, tetapi pun-kaucu merasa tidak lega membiarkan engkau lanjutkan perjalanan seorang diri" Dari pembicaraan yang selama ini berlangsung, Hoa Thian-hong dapat menarik kesimpulan bahwa Thongthian Kaucu mempunyai maksud jelek terhadap dara ayu itu, dengan gusar ia mendengus lalu serunya, "Hmmm! Musuh tangguh sedang berada diambang pintu, kau sebagai kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw bukanya memikirkan perkumpulannya yang berada dipintu gerbang kehancuran, sebaliknya malah mencampuri urusan orang lain.... apakah engkau tak takut kalau perbuatanmu itu akan ditertawakan orang?" Dengan wajah berubah dan mata melotot besar Thong-thian Kaucu berpaling, kemudian serunya ketus, "Kau sibocah cilik, tahu apa" Saat ini situasi amat kritis dan masing-masing pihak sekarang berusaha merebut posisi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan kecerdikan-nya masing-masing, andaikata Jin Hian berhasil menawan putri sulung dari Pek Siau-thian ini, dengan adanya sandera di tangan maka apa yang dia minta pasti akan dikabulkan oleh orang she Pek itu.... coba bayangkan apakah urusan ini tidak menyangkut soal keamanan dari pihak Thong-thian-kauw" Apakah pun kaucu tidak pantas untuk mengurusinya?" "Benar juga perkataan itu," pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "Seandainya pihak Hong-im-hwie berhasil menguasai Sin-kie-pang, maka dengan kekuatan gabungan dua perkumpulan yang maha besar, pihak Thong-thian-kauw pasti akan mengalami kehancuran total." Sementara itu Pek Soh-gie telah berkata, "Kecerdasan kaucu benar-benar mengagumkan hati siau li, tolong tanya apakah maksud kaucu dan apa pula yang musti siau li lakukan sekarang...." "Turutilah anjuran dari kaucu dan jadilah tamu dari perkumpulan Thong-thian-kauw untuk sementara waktu, dengan cepat aku akan mengirim orang untuk memberi kabar kepada ayahmu agar dia datang menjemput sendiri dirimu...." Setelah mendengar perkataan itu, adalah Hoa Thianhong tentang apa yang sedang terjadi, bukannya gusar dia malah tertawa, katanya, "Haaah.... haaah.... suatu rencana yang amat bagus, suatu siasat yang benar-benar licik, rupanya bicara pulang pergi selama ini tujuannya tidak lain adalah engkau sedang menjalankan rencana besarmu.... agaknya kau hendak menganggap nona ini sebagai saudara agar pangcu dari Sin-kie-pang menuruti kemauanmu...." "Hmmm! bukan begitu, saja," tukas kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw dengan alis berkerut, "engkaupun akan sekalian kuringkus, agar orang tuamu serta komplotanmu bisa kupergunakan pula tenaganya" "Seandainya Sin-kie-pangcu serta sahabat dan kerabat keluarga Hoa kami tak mau menuruti kemauanmu, apa yang hendak kaulakukan?" "Hmmm! gampang sekali, kalau memang demikian keadaannya maka jiwa kalian berdua tak bisa diselamatkan lagi!" Hoa Thian-hong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaah.... haaaah.... haaaaah.... cara kerjamu benarbenar terkutuk dan memalukan sekali, aku rasa Jin Hian pribadi belum tentu mempunyai jalan pikiran serendah itu, ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ada lah manusia yang paling tak tahu malu diantara tiga kekuatan besar" "Hmmm! Siapa yang berhasil dia jadi raja, siapa yang gagal dia jadi buronan, siapa tinggi siapa rendah tak bisa ditetapkan dengan perkataan semacam itu!" "Haah.... haah.... haaah.... pendapat yang tinggi, pendapat yang tinggi.... meskipun aku orang she Hoa tidak becus, namun aku tak sudi menyerah kalah dengan begitu saja, silahkan kaucu turun tangan, aku ingin sekali minta beberapa petunjuk darimu!" "Hmm! aku sebagai ketua dari suatu kekuatan besar tak sudi turun tangan melayani kurcaci macam engkau!" Sambil berkata dia segera angkat senjata hudtimnya dan dikebutkan ke arah kawanan tosu cilik berjubah merah itu. Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya. "Kau anggap sebuah barisan pedang yang begini kecil benar-benar mampu mengurung kami...." teriaknya. Bentakan keras berkumandang di angkasa, cahaya tajam berkelebat menyilaukan mata, tiba-tiba selapis hawa pedang yang amat tajam mengurung datang dengan hebatnya. Hoa Thian-hong melototkan matanya, ia lihat kabut pedang yang menyelimuti tempat itu rapat sekali seolaholah dari enpat penjuru memancar masuk sinar perak yang amat tajam, begitu cepat datangnya serangan itu hingga tahu-tahu sudah tiba di depan mata. Dalam keadaan dan apa boleh buat, terpaksa dia enjotkan badan dan berkeling ke samping. Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, tiba-tiba terasa beberapa desiran angin tajam kembali membokong tubuhnya dan mengancam jalan darah penting di belakang pinggang. Buru-buru ia tekuk pinggang ke depan, menyalurkan hawa pukulan dan putar badan mengirim satu serangan dengan jurus Kun Siu Ci sau untuk membendung datangnya ancaman angin dingin dari belakang itu. Sementara itu Pek Soh-gie yang masih tetap berdiri di sisi lapangan, tiba-tiba diserang oleh seorang tosu cilik baju merah dengan sebuah totokan kilat, ia jadi kaget dan buru-buru loncat ke belakang untuk menghindar, dalam waktu singkat kedua orang itu segera terjerumus di dalam kepungan delapan orang tosu cilik dengan barisan pedangnya yang lihay itu. Hoa Thian-hong yang harus menerima kekalahan dalam satu jurus belaka, diam-diam merasa amat terkejut, ia segera pertingkat kewaspadaannya untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Dengan telapak kiri mainkan jurus Kun siu ci sau untuk melak ukan pertahanan, tangan kanannya diam-diam disaluri dan siap melancarkan serangan dengan jurus 'menyerang sampai mati' yang diketahui amat ampuh dan mengerikan itu. Sebagai pemuda yang, berpengalaman dan tenaga dalamnya cukup sempurna, setelah bertempur beberapa jurus dia mulai bisa menangkap gerak-gerik kedelapan orang tosu cilik baju merah itu, ia tahu bahwa mereka memiliki serangkaian ilmu pedang yang amat sakti dengan kematangan yang luar biasa, bila harus bertempur satu lawan satu mungkin mereka masih bukan tandingannya, tetapi setelah bergabung di dalam barisan pedang Kan Lee kiam tin ini maka kehebatan-nya sungguh luar biasa. Di tengah pertempuran, bayangan tubuh kedelapan orang tosu cilik baju merah itu mendadak lenyap tak berbekas, yang terrlihat hanyalah cahaya pedang yang berkelebat silih berganti, kian lama pertempuran itu berlangsung barisan pedang itupun bergerak semakin cepat, dengan sendirinya daya tekanan pun semakin hebat sehingga jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong.... Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie yang terjebak dalam barisan itu lama kelamaan jadi gugup dan gelagapan, mereka merasa keteter hebat dan tak mampu bergerak lebih banyak. Untung tujuan lawan ingin menangkap mereka dalam keadaan hidup, sehingga setiap saat terancam bahaya mereka selalu berhasil meloloskan diri dalam keadaan selamat kendati begitu keadaan mereka cukup mengcemaskan. Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berteriak dengan suara keras, "Pek Soh-gie, pedang dan golok tak bermata kalau kau mau menyerah dan mengaku kalah maka jiwamu bisa selamat, tetapi kalau tetap membandel, jangan salahkan kalau sampai jiwamu Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terancam" Pek Soh-gie tetap berlagak pilon dan seolah-olah tidak mendengar sesuatu di tengah pertarungan ia tetap bekerja keras menangkis serta membendung datangnya ancaman ancaman pedang yang muncul dari empat penjuru.... Pada dasarnya kepandaian silat yang dia kuasahi hanya ilmu mempertahankan diri, justru karena itulah kepandaian tersebut se gera menunjukkan manfaatnya dalam kerubutan barisan pedang itu. Lain keadaannya dengan Hoa Thian-hong, ilmu pukulan tangan kirinya hanya khusus digunakan untuk menyerang belaka, di bawah perubahan barisan Kan Lee Kiam tin yang serba rumit dan membingungkan ia jadi kewalahan sendiri, sebaliknya ilmu totokan Ci yu jit ciat di tangan kanannya tak mampu mengimbangi permainan telapak kirinya yang begitu cepat dan gencar itu.... Dalam waktu singkat pertempuran sudah berlangsung ratusan jurus banyaknya, tampak cahaya tajam memancar keempat penjuru, hawa pedang membumbung ke angkasa, cahaya tajam yang menyilaukan mata memancar keluar dari barisan Kan Lee kiam tin itu dan menelan tubuh Hoa Thian-hong berdua.... Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang menonton jalan-nya pertempuran itu dari sisi lapangan diam-diam merasa senang hati setelah menyaksikan kemenangan berada di pihaknya, setelah menyaksikan pula kecantikan wajah Pek Soh-gie yang begitu menawan hati, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya. "Gadis itu begitu cantik dan menawan hati, dalam seratus tahun sulit untuk menemui perempuan semacam ini, sedang Hoa Thian-hong adalah pemuda berbakat yang bisa di pakai tenaganya, aku tak boleh bertindak gegabah sehingga melukai kedua orang itu...." Berpikir sampai disitu ia segera enjotkan bidan dan menerjang masuk ke dalam barisan, jari tangannya bekerja cepat melancarkan sebuah totokan ke arah tubuh Pek Soh-gie. Sementara itu putri sulung dari Pek Siau-thian ini sudah tak kuasa menahan diri, ketika Thong-thian Kaucu melancarkan serangannya ia tak mampu melakukan perlawanan lagi. Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu jalan darah Gi sim nya jadi kaku dan sambil menjerit tertahan robohlah tubuhnya terkulai ke atas tanah. Thong-thian-kauw bekerja cepat, ia segera menyambar pinggangnya dan mengepit di bawah ketiak, senjata hud-timnya berkelebat kemuka langsung menyapu tubuh Hoa Thian-hong. Pemuda itu sangat gusar, tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping menghindarkan diri dari kebutan tersebut, telapaknya lang sung membabat ke depan. Serangan yang dilancarkan dalam keadaan marah ini sungguh luar biasa sekali, sulit bagi Thong-thian Kaucu untuk melayani dengan begitu saja, suara bentakan segera berkumandang diangkat, cahaya pedang yang menyilaukan mata meluncur datang dari depan belakang kiri maupun kanan, begitu gencar serangan itu memaksa Hoa Thian-hong harus menarik kembali serangannya sambil loncat ke samping. Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dia putar senjata hud-timnya, kemudian laksana kilat berkelebat kemuka. Sebelum Hoa Thian-hong sempat melakukan suatu tindakan, dua buah jalan darahnya tahu-tahu sudah ditotok oleh kebutan tersebut, kakinya jadi lemas dan tak tahan lagi ia roboh terjengkang ke atas tanah. Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, angin malam masih berhembus sepoi-sepoi. cahaya bintang bertaburan di angkasa, fajar sama sekali belum menyingsing. Air muka Thong-thian Kaucu berseri-seri, ia memandang sekejap ke arah Pek Soh-gie yang berada dalam kepitannya, dari balik mata memancarkan sorot cahaya yang mengandung birahi. Setelah jalan darah kakunya tertotok, Pek Soh-gie kehilangan semua tenaganya dan tak bisa berkutik, ketika ia sadar dan menyaksi kan dirinya berada dalam pelukan orang, wajahnya berubah jadi merah karena jengah, rasa malu dan marah bercampur aduk membuat gadis itu hampir saja menangis. Dalam keadaan begini ia tak bisa berbuat lain kecuali pejamkan mata rapat-rapat dengan wajah hijau kepucatpucatan, diam-diam ia merasa menyesal sekali.... Hoa Thian-hong sendiri berbaring di atas tanah dengan mata melotot bulat, ia memandang ke arah Thong-thian Kaucu dengan sorot mata dingin penuh kegusaran, ingin sekali dia loncat bangun dan melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi sayang, jalan darahnya tertotok dan ia tak mampu melakukan apa yang diinginkannya itu. Dalam keadaan begini pemuda tersebut hanya bisa mengatur napas sambil berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. "Hoa Thian-hong!" terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu berseru, "menurut laporan anak buahku, katanya kau malang melintang di dalam dunia persilatan tanpa tandingan, menurut penglihatanku berita yang tersiar dalam dunia persilatan tak bisa dipercaya sama sekali" "Tak usah banyak bacot" tukas Hoa Thian-hong dengan mata melotot, "mau cincang mau bunuh, cepat lakukan!" "Haah.... haaah.... haah...." Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya, "hanya beberapa orang bocah cilik saja tak mampu menangkan, buat apa engkau melakukan penjalanan di dunia persilatan serta mencari nama di kolong langit?" Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, dengan gusar ia berseru, "Seorang lelaki boleh dibunuh tak sudi di hina, engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar apakah tidak malu merosotkan derajat sendiri dengan sikap seperti itu?" Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, ia duduk kembali di atas tandunya dan meletakkan tubuh Pek Sohgie disampingnya, kemudian kepada tosu cilik yang membawa senjata Ji gi titahnya, "Totok jalan darah Sam yang nya!" Toosu cilik itu mengiakan dengan hormat lalu berjalan menghampiri si anak muda itu, dia ambil keluar tiga batang jarum perak yang panjangnya dua cun kemudian di tancapkan di atas jalan darah Gi cung, Gi ji serta Jit kan tiga buah jalan darah penting. Setelah jarum itu ditusuk ke dalam tubuhnya, dengan gerakan yang cekatan sekali dia tepuk bebas jalan darah sang pemuda yang tertotok. Setelah tiga urat pentingnya terkunci maka hawa murni tak dapat disalurkan lagi, dalam keadaan begini sekalipun seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam amat sempurnapun akan berubah menjadi seorang manusia lemah yang sama sekali tidak bertenaga. Cara ini aneh sekali dan hanya Thong-thian Kaucu seorang yang memahami. Hoa Thian-hong berusaha mencoba beberapa kali tapi setiap kali hawa murninya tak mampu dikerahkan keluar, akhirnya dia menghela napas panjang dan tanpa mengatakan sepatah katapun menantikan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Thong-thian Kaucu tertawa, dia ketuk gagang hudtimnya di atas tandu, empat tosu cilik baju kuning itu segera menggotong tandu tadi dan diiringi bunyi musik aneh, berangkatlah rombongan itu balik melalui jalan semula.... Hoa Thian-hong dengan digotong oleh dua orang tosu cilik baju merah berjalan di belakang tandu itu, sepanjang perjalanan otaknya berputar terus memikirkan semua ke jadian yang dialaminya selama sehari ini.... Pagi tadi ia masih menjadi tamu terhormat dari Giok Teng Hujin. waktu itu keadaannya begitu agung dan penuh wibawa. Kemudian tengah hari.... terbayang kembali kejadian ditepi laut, dimana Giok Teng Hujin munculkan diri di depannya dalam keadaan telanjang ia gelengkan kepala berulang kali, rasa malu dan menyesal muncul dalam hati kecilnya. Terbayang akan diri Giok Teng Hujin, tanpa terasa dia angkat kepala dan menengok ke arah Pek Soh-gie yang berbaring di atas tandu, ia temukan ketika itu Thongthian Kaucu yang berada disisinya dengan mengamati tubuh gadis itu dengan sorot mata aneh, ia segera teringat akan soal pedang emas, pikirnya, "Menurut petunjuk dari Giok Teng Hujin, katanya pedang itu semuanya terdiri dari dua batang yakni pedang jantan dan pedang betina, menurut dia pedang yang betina sekarang tersimpan di dalam pedang pusaka milik Thong-thian Kaucu...." Berpikir sampai disini tanpa terasa sinar matanya segera dialihkan ke arah kanan di mana tosu cilik baju merah itu memegang sebilah senjata pedang pusaka, ditinjau dari warna sarung pedangnya yang coklat dan antik bisa dibayangkan bahwa pedang itu tentulah sebilah pedang mustika.... Tapi.... benarkah pedang emas berada di dalam pedang pusaka itu" dan Thong-thian Kaucu sendiri tahukah tentang persoalan ini" Kemudian ia teringat kembali akan nenek baju abuabu yang munculkan diri secara mendadak, ia teringat kembali ketika pipinya di tampar dengan keras.... Pikirnya di dalam hati, "Aaaai....! Seharusnya dari dulu aku mesti tahu diri, berbicara tentang adat istiadat aku tidak terlalu terikat oleh adat yang tetek bengek tak karuan itu, sebaliknya tentang ilmu pedang aku hanya mengandalkan sejurus ilmu pukulan belaka, bukan saja ilmu pedang sudah kulupakan, tiga jurus ilmu totokan dari Ci yu jit ciat pun tak berhasil kuyakini...." Makin kupikir ia semakin menyesal hingga tanpa terasa keringat mengucur keluar membasahi tubuhnya, kini ia sudah tertawan dan mati hidupnya sukar diramalkan, kemungkinan bagi dirinya untuk merubah semua kesalahan itu kian menipis. Sementara ia sedang menyesal dan kecewa sambil berusaha mencari akal untuk meloloskan diri, tiba-tiba suara musik berhenti dan suasana berubah jadi sunyi senyap. Ia segera menengadahkan ke atas, tampaklah sebuah kuil yang megah dengan atap hijau tembok merah muncul di depan mata. Beberapa saat kemudian rombongan imam itu sudah berada diruang dalam, sambil bangkit dari tandunya Thong-thian Kaucu segera, memerintahkan, "Bawa nona itu masuk istana Yang sim tian dan jebloskan Hoa Thianhong ke dalam penjara bawah tanah!" Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie tanpa sadar saling bertukar pandangan, sorot mata mereka berdua sama-sama memancarkan kecemasan, bibir bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah katapun yang diutarakan keluar. Tampaklah empat orang tosu cilik itu segera menggotong tandu itu dan membawa Pek Soh-gie berlalu dari sana, sebaliknya dua orang tosu yang lain segera menggusur tubuh Hoa Thian-hong menuju ke arah bela kang istana.... Di belakang bangunan kuil itu didirikan sebuah rumah yang terbuat dari batu, disanalah biasanya Thong-thian Kaucu memenjarakan buronannya, setelah tiba disana kedua orang tosu baju merah itu segera serahkan Hoa Thian-hong kepada petugas penjara, oleh sang petugas pemuda itu dijebloskan ke dalam sebuah ruang batu yang kecil dan bertirai besi. Ruangan itu luasnya hanya delapan depa, ampat penjuru tiada jendela kecuali sebuah lubang hawa sebesar mangkuk di atas pintu baja, karena itu meskipun di tengah hari namun suasana dalam ruangan itu tetap gelap gulita dan terasa lembab sekali. Terdengar bunyi suara gemerincingan yang menggema memecahkan kesunyian, pintu ruangan ditutup dari depan. Hoa Thian-hong melihat ruangan itu kosong melompong, kecuali ia sendiri tak nampak ada benda lain lagi yang berada disitu. Diam-diam segera pikirnya, "Asal ketiga batang jarum perak yang menancap di atas dadaku bisa kucabut keluar, niscaya penjara batu yang kecil ini tak mampu mengurung diriku, cuma...." dia lepaskan pakaiannya dan meraba ketiga batang jarum perak itu, terasalah bendabenda itu menancap ke dalam tubuhnya hingga lenyap, bila dihari biasa asal dia mengerah kan tenaga dalam di atas jarinya maka jarum itu akan segera tercabut keluar, tapi sekarang hawa murninya tak mampu disalurkan maka tindakan semaeam itupun tak mungkin bisa dilakukan. Dengan putus asa pemuda itu hanya bergumam seorang diri, "Waaah.... kalau aku mati di tempat ini, hal itu benar-benar tak ada harganya...." Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh, Bulan tujuh tanggal lima belas pihak perkumpulan Thong-thian-kauw akan mengadakan pertemuan Kian ciau tay-hwee.... Hmmm! pertemuan Kian ciau tay hwee.... hanya akan berlangsung tujuh delapan hari lagi, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo waktu itu pelbagai aliran akan saling berjumpa, pelbagai keluarga yang bermusuhan akan bertemu satu sama lainnya pada waktu itu pembicaraan yang tidak cocok akan mengakibatkan banjir darah.... mayat akan bertumpuk bagaikan bukit.... dalam menghadapi pertemuan yang begini pentingnya, apa ibu akan hadir atau tidak.... Terbayang akan ibunya, ia merasa rindu bercampur sedih, rasa ingin hidup semakin menjadi.... dia ingin cepat-cepat lolos dari tempat itu dan bertemu kembali dengan ibunya. Mendadak suara gemerincingan berkumandang dari luar ruangan. Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, seolah-olah dia melihat Giok Teng Hujin dengan sanggulnya yang tinggi serta gaunnya yang panjang sedang munculkan diri diternpat itu. Suara gemerincingan sekali demi sekali berkumandang terus tiada hentinya, jantung terasa berdebar semakin keras, lama kelamaan ia mulai tak kuasa menahan diri.... Beberapa saat kemudian suara langkah kaki yang santai berhenti tepat di depan pintu ruangannya, diikuti pintu besi itupun dibuka orang.... Hoa Thian-hong mengintip keluar lewat celah pintu yang terbuka, namun tidak nampak seorang manusiapun berada disana, tanpa terasa ia bertanya dengan suara lirih, "Siapa?" Gelak tertawa yang rendah dan berat bergema diseluruh ruangan, suara tertawa itu begitu dingin dan menyeramkan seakan-akan muncul dari liang salju yang amat dalam, Hoa Thian-hong jadi merinding dan bulu kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri. Tiba-tiba pintu besi dibuka orang, seorang imam perawakan tinggi dengan sebilah pedang tersoren pada punggungnya bagaikan sukma gentayangan murcul di depan pintu. Hoa Thian-hong dengan tajam menatap imam itu beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia teringat kembali siapakah orang itu, tanpa te rasa sambil tertawa nyaring serunya, "Oooh.... aku kira siapa yang datang, tak tahunya adalah Ang Yap tootiang.... selamat datang, selamat datang...." Ang Yap toojin mendengus dingin, sambil menyeringai seram serunya, Hoa Thian-hong, kau tak mengira bukan, bakal menjumpai hari seperti ini....?" Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya lalu tertawa, katanya, "Kenapa musti ini hari" Kalau engkau hendak membalas dendam silahkan saja untuk turun tangan...." "Huuuh....! dalam keadaan begini kau masih bisa bicara keras" Kalau sucoumu sudah turun tangan.... Hmmm! Mungkin kau tak kuat menahan diri" Sembari berkata perlahan-lahan imam itu maju ke depan. Dari sikap lawannya dingin menyeramkan, diam-diam Hoa Thian-hong terkejut juga, pikirnya, "Kedatangannya pasti mengandung maksud maksud tertentu, tosu tua ini tentu akan menyiksa dan membunuh aku untuk melampiaskan rasa dendamnya...." Setelah tiga buah jalan darahnya disumbat oleh tusukan jarum perak, segenap kepandaian silatnya tak mampu digunakan lagi, sekalipun mara bahaya mengancam di depan mata namun ia tak mempunyai kemampuan untuk melarikan diri. Kiranya Ang Yap toojin secara diam-diam menaruh hati kepada Giok Teng Hujin, siapa tahu pihak perempuan sama sekali tidak punya minat terhadap dirinya, membuat hasrat yang terbenam itu selalu gagal un tuk mencapai apa yang dikehendakinya. Setelah melihat kemesraan yang di perlihatkan Giok Teng Hujin terhadap Hoa Thian-hong, rasa dengki dan cemburunya kontan berkobar dalam benak imam itu, rasa marah dan iri tadi berkecambuk terus kian lama kian bertambah tebal sehingga akhirnya hawa amarahnya tadi dilampiaskan pada si anak muda she Hoa. Suatu ketika pukulan Sau yang ceng kie yang dilancarkan Hoa In telah mengakibatkan ia menderita luka parah dan sampai saat itu belum juga sembuh, kejadian ini semakin membuat imam itu mendendam Hoa Thian-hong hingga merasuk ketulang sumsum, ia bersumpah dalam hatinya hendak membinasakan musuh cintanya itu dalam keadaan apapun jua. Criiing....! Suara gemerincingan bergema memenuhi angkasa, perlahan-lahan Ang Yap Toojin meloloskan pedangnya, dengan sorot mata memancarkan hawa nafsu membunuh dan muka menyeringai menyeram-kan, serunya, "Manusia she Hoa, kau pingin mati atau pingin hidup?" "Eeei.... aneh sekali pertanyaanmu itu!" kata sang pemuda dengan alis berkerut, "bukankah engkau bermaksud menghabisi jiwaku" Apa gunanya mengajukan penawaran tersebut?" Ang Yap Toojin tertawa dingin. "Heeeh.... heeeh.... jika engkau ingin hidup, tentu saja Too-ya dapat memberikan sebuah jalan kehidupan bagimu, cuma jalan itu sempit dan kecil sekali, aku takut engkau tak punya keberanian untuk melewatinya!" "Aku orang she Hoa tidak memiliki kemampuan apaapa, tapi aku rasa masih memiliki sedikit keberangan untuk menghadapi segala kejadian yang bakal menimpa diriku, coba katakanlah bagaimana sempit dan ke-cilnya jalan tersebut" Seandainya aku merasa sanggup untuk melewatinya, aku orang she Hoa pasti akan mencobanya" Ang Yap Toojin menggetarkan ujung pedangnya di atas raut wajah Hoa Thian-hong, ujarnya sambil tertawa menyeringai. "Jika dibicarakan sebenarnya tidak begitu menakutkan, bilamana engkau ingin hidup maka Too-ya akan merobek raut wajahmu yang tampan itu, agar Ciong Lian-khek mendapat kawan berwajah busuk macam diri mu itu!" mendengar perkataan tersebut, dalam benak Hoa Thian-hong segera terbayang kembali raut wajah Ciong Lian-khek yang penuh bercodet dan bekas bacokan senjata itu, wajah yang menyeramkan membuat hati pe muda itu jadi bergidik, pikirnya di dalam hati, "Sungguh aneh sekali peristiwa ini, apa sih sangkut pautnya antara wajahku dengan rasa dendamnya?" Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, tanpa sadar ia berteriak. "Oooh....! Sekarang aku mengerti" "Hmm! engkau belum tentu mengerti," jengek Ang Yap toojin dengan suara dingin. Hoa Thian-hong tersenyum. "Kedatanganmu kesini adalah masuk secara pribadi dan tanpa sepengetahuan ataupun seijin kaucu kalian, karena kau takut tidak mendapat persetujuan dari sang kaucu untuk mencabut jiwaku, maka muncullah ingatan dalam benakmu untuk merusak raut wajahku ini agar rasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu bisa dilampiaskan, bukankah begitu?" "Heeeeh.... heeeh.... heeeh.... tebakanmu memang sama sekali tidak salah," jawab Ang Yap Toojin sambil tertawa seram, "tapi tahukah engkau bahwa Too-ya pun sudah mengambil keputusan Untuk ber buat nekad" Asal engkau ingin mati maka Too-ya akan segera memenggal batok kepala ku kemudian kabur jauh-jauh dari tempat ini, perduli amat dengan kaucu atau bukan!" "Oooh....! rupanya rasa benci orang ini terhadap diriku sudah terlalu mendalam" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "waah.... berabe juga ini, apa yang musti kulakukan?" Setelah berpikir sebentar, dia alihkan kembali sorot matanya menatap tajam raut wajah imam tersebut, ia temukan bahwa ketika itu sepasang matanya telah berubah jadi merah membara, bibirnya bergetar keras sekali dengan air mukanya berubah jadi begitu mengerikan macam malaikat pembunuh dari neraka, sadarlah pemuda itu bahwa apa yang diucapkan lawannya mungkin sekali dapat dilakukan benar-benar. Maka diapun lantas mengangguk sambil ujarnya sungguh-sungguh, "Kalau begitu.... baiklah, akan kupikirkan sebentar...." "Too-ya malas untuk menunggu terlalu lama!" bentak Ang Yap Toojin sambil menggerakkan senjata pedangnya. Hoa Thian-hong berlagak pilon dan seolah-olah tidak mendengar perkataan itu pikirnya, "Meskipun raut wajah Ciong Lian-khek cianpwee sudah rusak dan menjadi buruk, akan tetapi ia tetap merupakan seorang lelaki sejati, ia tetap merupakan seorang pendekar besar yang berjiwa pahlawan.... urusanku belum sempat kuselesaikan semua, aku tak boleh mati dengan begitu saja.... aku harus berusaha untuk mempertahankan hidupku agar semua pekerjaan yang tertunde bisa kuselesaikan...." Berpikir sampai disitu, ia terbayang kembali akan pinangan dari Pek Siau-thian untuk putri bungurnya, lalu teringat pula akan perbuatan Giok Teng Hujin dirinya.... setelah berpikir sebentar akhirnya dia mengambil keputusan, dengan terus terang ujarnya. "Ang Yap, akan menyerah kalah.... anggap saja ini hari engkau lebih lihay dariku, si1ahkan merusak raut wajahku ini dengan ujung pedangmu itu.... aku orang she Hoa sudah ambil keputusan untuk memilih jalan kehidupan saja.... Rupanya Ang Yap Toojin merasa tercengang dan diluar dugaan mendengar keputusan dari lawannya, setelah tertegun sejenak ia segera menengadahkan ke atas dan tertawa seram. "Haahh.... haahh.... bagus sekali! rupanya kau si bangsat cilikpun merupakan manusia kurcaci yang takut mati!" Tubuhnya menerjang maju ke depan, pedangnya dikebaskan dan.... Sreeet! langsung membacok wajah pemuda itu. Keputusan Hoa Thian-hong untuk mengorbankan raut wajahnya dan mempertahankan kehidupan diambil karena keadaan yang terpaksa dan mendesak sekali, melihat datangnya sambaran cahaya pedang yang menyilaukan mata, hati terasa tercekat, tak mungkin bagi dirinya untuk menghindarkan diri lagi dari bacokan tersebut, terpaksa ia pejamkan matanya rapat-rapat. Criiing....! terdengar bunyi gemerincingan yang amat nyaring berkumandang memenuhi seluruh angkasa, pintu besi di depan penjara seolah-olah didorong oleh suatu kekuatan yang maha besar, tiba-tiba terbentang lebar dengan sendirinya. Begitu keras bunyi gemerincing tersebut sehingga membuat Ang Yap Toojin maupun Hoa Thian-hong merasakan telinganya jadi amat sakit sekali, imam setengah baya itu segera menghentikan gerakan pedangnya di tengah udara sedang Hoa Thian-hong pun membuka matanya kembali, tubuh mereka berdua samasama tergetar keras, pada saat yang ber samaan pula mereka sadar bahva diluar pintu ada orang, hanya tak tahu jago lihay darimanakah yang telah muncul disitu" Sementara itu pantulan suara yang amat nyaring tadi masih mendengung tiada hentinya diseluruh penjuru ruang penjara itu, dari kedahsyatan suara pantulan tersebut Ang Yap Toojin semakin yakin kalau orang yang bersembunyi di balik pintu adalah seorang jago lihay berkepandaian tinggi, dalam kejutnya dan kedernya timbul pikiran dalam benak imam tersebut untuk mengundurkan diri dari tempat itu. Tetapi ia merasa amat membenci terhadap Hoa Thianhong, rasa dendamnya sudah merasuk ketulang sumsum, meskipun berada dalam keadaan gugup dan kacau pikiran, namun imam tersebut tak rela melepaskan Hoa Thian-hong dengan begitu saja, pedangnya segera digetarkan kembali dan langsung menusuk ke arah ulu hati si anak muda itu. Hoa Thian-hong sangat terperanjat, dalam keadaan yang kritis dan sargat berbahaya itu dia himpun sisa tenaga yang dimilikinya dan segera lompat ke arah samping. "Binatang, sungguh besar nyalimu!" mendadak serentetan suara bentakan keras yang amat nyaring berkumandang memenuhi angkasa. Weeesss....! diiringi suara benturan keras, tiba-tiba pintu baja itu terpentang lebar. Semua peristiwa itu berlangsung hampir pada saat yang bersamaan, ketika mendengar suara bentakan, Ang Yap Toojin merasa hatinya tercekat, tanpa sadar tangannya jadi lemas dan tusukan pedangnya pun jadi miring ke samping hingga menyambar dada sebelah kiri lawannya. Selesai melancarkan tusukan tersebut, tanpa memandang sekejappun ia segera putar badan dan kabur keluar dari ruangan itu. Mendadak.... dihadapannya muncul seorang manusia aneh berperawakan tinggi basar, berambut panjang bagaikan akar dan berlengan tunggal menghadang tepat di depan pintu. Keempat anggota badan manusia aneh itu! ada tiga yang cacad, tinggi badannya mencapai empat depa dan persis menyumbat seluruh pintu masuk itu, mulutnya besar dengan sepasang mata memancarkan Cahaya biru, satu-satunya anggota badan yang masih utuh hanyalah tangan kirinya, waktu itu dalam genggaman tangan Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kirinya mencekal sebilah pedang baja yang besar dan Bentrok Rimba Persilatan 11 Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian Kekaisaran Rajawali Emas 5