Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 17
Lo Tiauw dan kawan-kawan segera mengenali, bahwa kedua orang muda itu adalah
orangorang yang pernah bantu melindungi guci emas. Sambil bersenyum. Keng Thian mendekati
dan memberi hormat. "Taydjin, kapan pembongkaran penjara itu terjadi" Apa malam
ini?" tanyanya.
"Benar, baru kira-kira satu jam berselang," jawabnya. Hatinya bersangsi dan
menduga-duga, bahwa pembongkaran penjara dilakukan oleh kedua orang muda itu, tapi ia tak
berani menanya terang-terangan.
"Kami datang disini sudah dua jam lamanya," kata pula Keng Thian.
"Selama dua jam itu, Gan Sianseng terus menemani kami. Kecuali ia mempunyai
kepandaian memecah badan, tak mungkin ia pergi membongkar penjara."
Mendengar keterangan Keng Thian, di dalam hati In Leng Tjoe menduga, bahwa orang
yang membawa lari Liong Leng Kiauw adalah pemuda itu sendiri. Akan tetapi, karena
takut, ia tidak
berani membuka mulut. Sementara itu, melihat gelagat kurang baik, sambil
tersenyum Lo Tiauw
segera berkata: "Jika Djiewie Giesoe mengatakan begitu, perbuatan itu sudah
tentu bukan dilakukan oleh Gan-heng. Kami minta maaf untuk kecerobohan tadi, dan oleh karena
ingin buruburu berusaha untuk membekuk orang yang berdosa, sekarang kami minta perkenan untuk
berlalu." Sesudah para tamu berangkat, mereka duduk di ruangan tengah. Melihat paras Keng
Thian yang sangat guram, Gan Lok tertawa seraya berkata: "Sesudah ada orang yang
mewakili pekerjaan kita, kita boleh tak usah berabe lagi."
Alis pemuda itu berkerut. "Siapakah orang itu?" tanyanya. "Biarpun orang-orang
Hok Kong An bukannya ahli-ahli silat kelas utama, aku bisa membayangkan, bahwa malam ini
penjagaan di penjara sangat diperkuat. Mungkin sekali suami isteri In Leng Tjoe turut menjaga
disitu. Tapi orang itu telah berhasil membawa lari Liong Leng Kiauw. Siapa dia" Tak bisa
tidak, dialah seorang
yang berkepandaian luar biasa."
"Apa tak mungkin nenek Tong?" tanya Peng Go.
Keng Thian menggelengkan kepala seraya berkata: "Jika benar Tong Lootaypo,
apakah mungkin, bahwa pengawal-pengawal penjara tak dapat membedakan lelaki atau
perempuan"
Kenapa mereka menuduh Gan-heng?"
"Apakah Kim Sie Ie?" tanya pula si nona.
"Kurasa tak mungkin," jawab Keng Thian. "Meskipun dia seorang aneh, tapi
mengingat, bahwa
dia sama sekali belum mengenal Liong Leng Kiauw, tak bisa jadi ia sudi menempuh
bahaya untuk menolong Liong Sam."
Keng Thian tahu, bahwa bertahun-tahun Liong Leng Kiauw telah mementang
pengaruhnya di daerah Tibet. Maka itu, ia girang tercampur jengkel karena Liong Sam jatuh ke
dalam tangan orang yang belum diketahui siapa adanya. Mereka coba menebak-nebak, tapi tak
bisa menarik kesimpulan yang memuaskan.
Malam itu Keng Thian tak bisa pulas. Ia menggulak-gulik di atas pembaringan
sambil mengasah
otak. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi pula Hok Kong An guna
menyelidiki hal itu sedalam-dalamnya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia berangkat, utusan Hok
Tayswee, sudah datang di rumah Gan Lok.
Orang yang diutus Hok Kong An adalah Tjiauw Tjoen Loei dan
Yoe It Gok yang pernah turut melindungi guci emas. Kedudukan mereka adalah
pemimpin dan wakil pemimpin dari delapan pengawal utama di istana kaisar dan kedudukan mereka
masih jauh lebih tinggi daripada Lo Tiauw. Sesudah selesai menjalankan tugas mengawal guci
emas ke Lhasa, Hok Tayswee telah mengajukan permohonan kepada kaizar, supaya mereka berdua
tetap berdiam di Lhasa guna memberi bantuan dalam soal-soal ketentaraan dan permohonan itu
sudah diluluskan oleh Kian Liong.
Begitu fajar menyingsing, mereka sudah tiba di rumah Gan Lok. Melihat Keng Thian
dan Peng Go, Tjiauw Tjoen Loei segera berkata dengan sikap hormat: "Waktu Djiewie Giesoe
datang berkunjung kemarin, Tayswee tidak keluar menemui karena kesehatannya agak
terganggu. Untuk
kelalaian itu, beliau telah mengutus kami guna minta maaf."
Keng Thian yang sangat cerdas, lantas saja menduga, bahwa kedatangan mereka
mengandung maksud untuk meminta pertolongan. Ia bersenyum seraya berkata: "Orang-orang
dusun yang seperti kami, sebenarnya tak boleh mengganggu Tayswee. Kami insyaf, bahwa
Tayswee tentu diuruk pekerjaan-pekerjaan penting dan kami tak berani mengganggu lagi. Di
hadapan Tayswee,
mohon Djiewie menyampaikan permintaan maaf kami."
"Apakah Tong Tayhiap tak gusar terhadap kami?" tanya Tjiauw Tjoen Loei.
"Kenapa gusar?" Keng Thian balas menanya.
"Jika benar Tong Tayhiap tidak marah terhadap kami, kami memohon supaya Tayhiap
suka menolong mangkok nasi kami," katanya.
"Ah! Tjiauw Taydjin tak boleh bicara begitu!" kata Keng Thian.
"Bukankah Tong Tayhiap sudah tahu, bahwa semalam terjadi pembongkaran penjara?"
tanya Tjoen Loei pula.
"Ya," jawabnya. "In Leng Tjoe dan beberapa orang lain semalam telah datang untuk
urusan itu." "Dalam hal ini, kami semua telah mendapat malu besar," kata Tjiauw Tjoen Loei.
"Karena tidak
punya kemampuan, penjahat sudah berhasil membawa lari seorang pesakitan penting
dan lebih gila lagi, kami malah tak bisa melihat tegas muka penjahat itu. Barangkali Tong
Tayhiap juga tahu,
bahwa pesakitan itu adalah pesakitan sangat penting yang diperhatikan oleh
Hongsiang sendiri.
Jika dia tak bisa dibekuk kembali, semua orang disini, dari atas sampai di
bawah, sudah pasti tak
akan terluput dari hukuman. Maka, kami memohon belas kasihan Tong Tayhiap untuk
memberi pertolongan."
Mendengar pernyataan Tjiauw Tjoen Loei, Keng Thian segera menduga, bahwa Hok
Kong An sudah tahu tentang perampasan firman yang dilakukan olehnya. Mungkin, In Leng
Tjoe sendiri merasa malu untuk memberitahukan kejadian itu, tapi di samping In Leng Tjoe,
masih ada si Soeya yang menyaksikan kejadian tersebut. Oleh sebab itu ia menduga, bahwa Soeya
itulah yang sudah melaporkan kepada Hok Tayswee. Dari perkataan Tjiauw Tjoen Loei, ia
mendapat kesan,
bahwa orang masih menyangkanya sebagai orang yang sudah membawa lari Liong Leng
Kiauw. Maka itu, sambil tertawa ia segera berkata: "Dilihat gelagatnya, jika aku tak
bisa membantu kalian, aku sendiri pun tak akan terlolos dari kecurigaan."
Paras muka Tjiauw Tjoen Loei lantas saja menjadi merah. "Biarpun mempunyai
seratus kepala,
kami tentu tak berani mencurigakan Tong Tayhiap," katanya. "Hanya karena yakin,
bahwa Tayhiap mempunyai pandangan dan pergaulan yang sangat luas, maka kami mohon, supaya
Tayhiap sudi memberi petunjuk-petunjuk."
Keng Thian tak lantas menjawab, ia duduk bengong sambil menimbang-nimbang
tindakan yang harus diambilnya.
Sementara itu, Tjiauw Tjoen Loei jadi semakin bingung dan dari merah, parasnya
berubah menjadi pucat bagaikan kertas. Ia tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan
oleh pemuda itu.
"Tong Tayhiap," katanya dengan suara gemetar. "Dengan Liong Loosam, kami
sedikitpun tak mempunyai ganjelan atau permusuhan. Aku sendiri juga merasa sangat tidak tega
jika ia mesti mendapat hukuman mati. Kami hanya mengharap, supaya ia bisa kembali dan aku bisa
menyerahkannya kepada I n Leng Tjoe. Sesudah menyelesaikan tugas itu, aku akan
segera mengajukan permintaan berhenti dan pulang ke kampung sendiri. Huh-huh! Sesudah
Liong Loosam berada dalam tangan In Leng Tjoe, kami bebas dari segala beban. Jika
sampai terjadi apa-apa lagi, aku boleh tak usah campur-campur lagi!"
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Apakah Taydjin berada disitu, di waktu
terjadi pembongkaran penjara?" tanyanya.
Muka Tjiauw Tjoen Loei yang pucat mendadak berubah menjadi merah. "Justeru aku
dan Yoeheng yang sedang bertugas," jawabnya dengan suara kemalu-maluan.
"Heran benar!" kata Keng Thian. "Meskipun penjahat itu berkepandaian tinggi,
tetapi, mengingat tebalnya tembok penjara dan kuatnya kunci, tak mungkin ia bisa terbang
tanpa mengeluarkan suara."
"Bukan hanya suara, tapi suara yang sangat dahsyat," jawabnya. "Penjahat itu
telah menghancurkan tembok penjara!"
Keng Thian jadi semakin heran. "Kalau begitu, mana bisa jadi kalian tidak
melihat tegas muka
penjahat itu?" tanyanya.
"Kira-kira tengah malam, di dalam penjara mendadak terdengar suara gedubrakan
yang sangat hebat," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Kami segera memburu dan melihat berkelebatnya
satu bayangan hitam yang menggendong Liong Leng Kiauw. Mendadak, kami merasa seperti
kehilangan semangat, mata berkunang-kunang dan lutut lemas. Di lain saat, penjahat itu
sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi."
"Apa penjahat itu menggunakan biehio (hio untuk memabukkan orang)?" tanya Keng
Thian. Tjiauw Tjoen Loei menggelengkan kepala.
"Sedikitpun aku tidak mengendus bebauan luar biasa," katanya. "Untuk itu, kami
sudah berjaga-jaga. Semua orang yang bertugas membekal obat pemunah. Biehio yang
paling hebat tak
akan bisa merobohkan kami."
Sesudah berpikir sejenak, Reng Thian berkata: "Apa boleh kalian mengantar kami
untuk menyelidiki di penjara itu?"
"Bagus! Kami sebenarnya tak berani meminta begitu," jawabnya girang.
Setibanya di penjara, Keng Thian dan Peng Go segera menyelidiki dengan teliti.
Ternyata, tembok penjara tebal dan kokoh, sedang setiap pintu terbuat dari besi dengan
kuncinya yang besar. Waktu tiba di kamar (sel) Liong Leng Kiauw, mereka terkejut sebab dinding
berlubang besar, cukup untuk muat badannya satu manusia. Ditinjau bekas-bekasnya, tembok
itu rupanya digempur dengan menggunakan pundak. Keng Thian dan Peng Go merasa kagum bukan
main, karena tenaga yang begitu besar sungguh jarang terdapat dalam dunia. Tapi apa
yang paling mengherankan adalah pengaruh luar biasa yang dirasakan oleb para penjaga bui
pada waktu si penjahat sedang bekerja. Mereka semua merasa seperti orang linglung. Penglihatan
mereka mengenai tubuh si penjahat berlainan satu sama lain. Ada yang kata, penjahat itu
berbadan gemuk, ada yang kata kurus, ada yang kata tinggi dan ada pula yang kata kate.
Keng Thian menengok ke arah
Peng Go dan tiba-tiba ia terkejut, karena paras si nona kelihatan luar biasa,
seakan-akan orang
kehilangan semangat. "Peng Go Tjietjie! Kenapa kau?" tanyanya.
Sedari tiba di penjara, Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah kata dan
teguran itu mengejutkannya. "Lekas sediakan dua ekor kuda yang baik!" katanya dengan suara
nyaring. "Kita
harus mengubar ke jurusan barat!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Coba kau bersemedhi dan mengheningkan cipta," kata si nona.
Baru saja bersemedhi beberapa saat, hidung Keng Thian sudah mengendus semacam
bebauan wangi yang sangat halus dan luar biasa. Seumur hidup, belum pernah ia mencium
bebauan yang serupa itu. Sementara itu, atas perintah Tjiauw Tjoen Loei, dua ekor kuda sudah tersedia di
luar pintu penjara. Keng Thian melompat bangun seraya menanya: "Peng Go Tjietjie, bau apa itu?"
"Jangan tanya, mari kita berangkat," jawabnya sambil bertindak keluar. Tanpa
bicara lagi, mereka melompat ke atas punggung kuda yang lalu dikaburkan ke jurusan barat.
Kedua tunggangan itu adalah kuda-kuda pilihan yang larinya sangat cepat dan dalam
sekejap, mereka
sudah berada di luar kota.
Tibet adalah daerah yang luas dengan sedikit penduduknya. Sebagian besar
penduduk itu berkumpul di sebelah timur Lhasa, sedang di wilayah sebelah barat Lhasa hanya
terdapat tanah
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belukar dan gurun pasir. Di daerah itu, orang bisa berjalan puluhan li tanpa
menemui rumah penduduk. Waktu itu, di Tiongkok Selatan sudah masuk permulaan musim semi, tapi
Tibet masih tertutup salju.
Sesudah mengaburkan tunggangan beberapa lama di tanah yang tandus itu, tiba-tiba
Peng Go menahan les dan berkata: "Diculiknya Liong Leng Kiauw mungkin akan menimbulkan
kejadiankejadian
luar biasa."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Keng Thian sambil merendengkan kudanya dengan
tunggangan si nona. "Bukankah tadi kau mengendus bebauan wangi?" Peng Go balas menanya.
"Benar," jawabnya. "Bau itu halus luar biasa, sehingga sesudah bersemedhi,
barulah aku dapat
mengendusnya. Aku sebenarnya merasa heran, bagaimana kau bisa mengendusnya
dengan begitu saja." Si nona tertawa manis. "Kau tak usah heran," katanya. "Di Puncak Es terdapat
pohon bunga itu." "Bunga?" menegas Keng Thian. "Bunga itu Asioelo namanya," menerangkan Peng Go.
"Asioelo berarti setan atau memedi. Walaupun sangat halus, bau kembang itu tak gampang
buyar. Pada waktu bunganya sedang mekar, orang yang mengendus wanginya bunga itu, akan
berada dalam keadaan seperti mabuk arak, semangatnya seolah-olah terbetot keluar, matanya
berkunangkunang
dan lututnya lemas. Maka itulah, namanya Bunga Setan. Pohon bunga itu hanya bisa
hidup di tempat yang sangat tinggi. Sepanjang keterangan, di samping daerah
pegunungan Nyenchin Dangla, Bunga Setan hanya terdapat di pegunungan Himalaya. Di gunung
Nyenchin Dangla tidak terdapat lain orang pandai, kecuali keluargaku sendiri. Maka itu,
aku menaksir, bahwa orang yang menculik Liong Leng Kiauw datang dari daerah Himalaya."
"Aha!" kata Keng Thian dengan kaget. "Apa dia orang asing" Benar. Jika dilihat
dari kepandaiannya dalam menggempur tembok penjara, memang kepandaian itu bukan
kepandaian orang Han."
"Aku pun menduga begitu," kata Peng Go sambil menghela napas. "Jika dia datang
dari Nepal, aku kuatir perbuatannya itu mempunyai sangkut paut dengan diriku. Maka itulah,
andaikata orang
yang diculik bukan Liong Leng Kiauw, aku tetap harus menyelidiki sampai di
dasarnya,"
Di sepanjang jalan, dengan rasa heran mereka melihat tapak-tapak di atas salju,
tapi semua tapak itu bukan tapak manusia, maupun kuda. Apa tapak-tapak binatang yang belum
dikenal mereka" Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, di atas salju terlihat tetesan darah, yang
semakin lama jadi semakin banyak. Apa yang mengherankan ialah di jalanan itu sama-sekali
tidak kelihatan
tapak-tapak kaki. "Aneh," kata Peng Go. "Jika darah itu adalah darah manusia,
orang yang mengeluarkan darah pasti mempunyai ilmu berjalan tanpa meninggalkan tapak. Tapi,
jika ia memiliki ilmu yang begitu tinggi bagaimana ia bisa terluka?"
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus mengikuti tetesan darah itu. Tak lama
kemudian, Keng Thian mengeluarkan seruan kaget, karena di tengah jalan menggeletak dua
bangkai kuda. Mereka lalu mendekati dan ternyata, ke empat kaki kuda-kuda itu telah dibacok
putus. Mereka coba mencari kaki-kaki itu, tapi tidak bisa didapatkannya, mungkin sebab sudah
keuruk salju. Keheranan mereka semakin memuncak. Jika tetesan darah yang terlihat di sepanjang
jalan adalah kuda, kenapa tidak terlihat tapak-tapak kakinya" Mereka melompat turun
dari tunggangan
dan lalu menyelidiki terlebih teliti. Ternyata, di seputar bangkai kuda terdapat
tapak-tapak kaki
manusia yang samar-samar, antaranya tapak yang pendek dan kecil. Setelah
diakuri, tapak itu
ternyata tidak berjauhan besarnya dengan tapak kaki Peng Go. "Tapak wanita!"
kata Keng Thian,
yang, sesudah mengawaskan kedua bangkai kuda itu beberapa lama, mendadak
berteriak: "Aha!
Inilah tapak Tong Lootaypo!"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona.
"Lihatlah kedua kuda itu," jawabnya. "Banyak lebih kecil daripada tunggangan
kita, tapi kelihatannya kuat dan gagah. Kuda itu bukan sembarang kuda, mereka adalah kudakuda yang terkenal dari Soetjoan barat!"
"Benar," kata si nona. "Tong Lootaypo memang penduduk daerah itu. Tapi disini
terdapat dua ekor kuda. Siapa yang satunya lagi" Apakah nenek itu yang menolong Liong Leng
Kiauw" Mana
bisa jadi?"
Keng Thian pun merasa, bahwa hal itu adalah tak mungkin. Walaupun memiliki ilmu
silat yang tinggi, si nenek pasti tak akan bisa menggempur tembok penjara dengan kekuatan
badannya. "Pengalaman kita di hari ini benar-benar luar biasa," kata Keng Thian. "Jalan
satu-satunya, kita
harus menyelidiki terlebih jauh."
Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda dan berjalan mengikuti tapak-tapak
kaki di atas salju. Selagi turun di satu tanjakan, sekonyong-konyong terlihat pula tandatanda darah. "Disitu ada orang!" seru Keng Thian.
Tubuh orang itu tertutup salju dan hanya sebagian mukanya yang terlihat dari
luar. Buru-buru
mereka meloncat turun dari tunggangan dan menyingkirkan salju yang menutup badan
orang itu. Di lain saat, mereka berdiri terpaku, bahna kagetnya, baju orang itu, yang
ternyata adalah
Tong Toan, keponakan Tong Say Hoa, robek di sana-sini, sedang di pundaknya
terdapat tapak tangan yang berwarna merah.
"Dadanya masih hangat," kata Keng Thian. "Lekas berikan Yangho wan (pel untuk
menolak hawa dingin)."
Peng Go segera menyerahkan dua butir Yangho wan kepada Keng Thian yang lalu
memasukkannya ke dalam mulut Tong Toan dan menuang juga sedikit arak, yang
selalu dibawa dalam sakunya, supaya pel itu bisa turun ke dalam perut. Kemudian, dengan
mengerahkan lweekang, Keng Thian lalu mengurut sekujur badan Tong Toan untuk menjalankan darahnya yang
sudah hampir membeku. Selagi tunangannya bekerja, si nona mengawasi ke seputarnya.
Tiba-tiba ia berteriak: "Keng Thian! Lihat!"
Keng Thian menengok ke arah yang ditunjuk Peng Go. Ternyata, tak jauh dari situ,
terdapat sebuah batu gunung yang somplak atasnya dan kepingan-kepingan batu berhamburan
di bawahnya. Sebagai seorang ahli, ia segera mengetahui, bahwa somplakan itu adalah
akibat pukulan senjata. Sesudah memperhatikan beberapa saat, mendadak ia berseru: "Aha!
Tongkat Kim Sie Ie!"
Si nona menghela napas. "Ya," katanya dengan suara duka. "Sebaliknya dari pergi
ke Thiansan, dia datang kemari. Bukankah dia seperti mencari mati sendiri" Andaikata kita
sekarang dapat mencarinya, mungkin sudah tidak keburu untuk menolongnya." Peng Go berkata
begitu, karena tahu, bahwa Kim Sie Ie tak bisa hidup sebulan lagi.
Keng Thian tidak menyahut. Ia terus mengurut Tong Toan. Selang beberapa lama,
barulah terdengar suara merintih dari tenggorokan pemuda yang terluka itu.
"Ketolongan!" katanya sambil bangun berdiri dan mengambil kantong kulit yang
berisi arak susu kuda dari selanya. Ia menuang arak itu ke mulut Tong Toan yang perlahanlahan lalu membuka kedua matanya. "Ih!" katanya dengan suara lemah. "Kau" Apa aku sedang
mimpi?" Pengtjoan Thianlie bersenyum. "Jangan kuatir, kau hanya mendapat luka di luar,"
katanya. "Inilah Tong Keng Thian, putera paman Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan
pay." Dengan sorot mata duka, Tong Toan mengawasi si nona. "Terima kasih," katanya
dengan suara lemah. "Koei Kouwnio, inilah untuk kedua kali kau menolong aku." Harus
diketahui, bahwa waktu
Peng Go berdiam beberapa hari dalam gedung keluarga Tong untuk melindungi Tong
Lootaypo, dalam hati pemuda itu telah timbul rasa cinta terhadapnya. Hanya karena
mengetahui, bahwa
kepandaiannya tidak berbanding dengan Pengtjoan Thianlie, ia merasa malu untuk
memperlihatkan rasa hatinya. Sekarang, melihat Peng Go bersama-sama putera Tong
Siauw Lan, ia jadi merasa duka, akan tetapi, sebagai seorang baik-baik, dalam kedukaan itu,
ia merasa girang
sebab Pengtjoan Thianlie sudah mendapat seorang kawan yang kelihatannya
setimpal. "Mana Kouwkouw-mu (bibi)?" tanya si nona.
"Apa kalian tidak bertemu dengannya?" tanyanya dengan kaget.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. "Apa Kim Sie Ie cari-cari urusan lagi dengan
kalian?" tanyanya. Ia
menunjuk batu yang somplak itu dan berkata pula: "Lihatlah, bukankah batu itu
terpukul dengan
tongkatnya?"
"Aduh, begitu hebat!" kata Tong Toan. "Dia sebenarnya telah membantu Kouwkouw
dalam pertempuran melawan Ouwtjeng (pendeta asing)."
"Apa?" menegas si nona. "Siapa pendeta asing itu" Kim Sie Ie membantu Kouwkouwmu?" "Benar," jawabnya. "Jika tidak ditolong Kim Sie Ie, jiwaku tentu sudah melayang.
Yang menculik Soesiok (paman guru, Liong Leng Kiauw) adalah Ouwtjeng itu.
Waktu kecil, Liong Leng Kiauw telah dipelihara oleh Tong Say Hoa yang
mencintainya bagaikan
anak sendiri. Tapi guru Liong Sam adalah Tong Djiesianseng, ayah Tong Say Hoa,
sehingga Tong Toan memanggil Soesiok kepadanya.
Si nona kaget bukan main. "Oh, begitu?" katanya. "Kenapa di sepanjang jalan sama
sekali tidak terlihat tapak kaki manusia atau kuda?"
Sesudah minum arak susu kuda, sebagian tenaga pemuda itu pulih kembali. Ia
menghela napas dan mulai menutur dengan suara perlahan: "Tempo hari, ketika kau datang di
Soetjoan barat, kau
telah memberitahukan tentang di penjarakannya Soesiok.
Sebenarnya Kouwkouw ingin segera pergi ke Lhasa untuk memberi pertolongan, tapi
sungguh celaka, ia telah dilukakan Kim Sie Ie, sehingga sesudah berobat kurang lebih
setengah tahun,
barulah kesehatannya pulih kembali. Kami berangkat sesudah Tiongtjhioe tahun
yang lalu dan sudah belasan hari tiba di Lhasa."
"Aku semula menduga, orang yang membongkar penjara adalah Kouwkouw-mu," kata si
nona, "Memang, memang Kouwkouw mempunyai niatan begitu," kata Tong Toan. "Ia membuat
persiapan untuk beberapa hari lamanya. Ia sudah menyelidiki keadaan di penjara
dan menyediakan dua ekor kuda di luar pintu kota, supaya, begitu lekas Soesiok
tertolong, kami bisa
kabur dengan menunggang kuda. Kami sudah membuat rencana untuk membongkar
penjara pada tengah malam, kemarin malam."
"Pendeta asing itu juga datang pada waku itu, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tak salah," jawabnya. "Kemarin malam, baru saja kami tiba di luar tembok
penjara, mendadak
terdengar suara gedubrakan, disusul dengan suara tindakan yang ramai. Kami
mengetahui, bahwa di dalam telah terjadi perkembangan luar biasa dan lalu bersembunyi di
kaki tembok. Tak
lama kemudian, dari dalam melompat keluar seorang pendeta asing yang menggendong
seorang lain. Kouwkouw yang bermata jeli lantas saja mengenali, bahwa orang yang
digendong itu adalah
Soesiok. Ia berteriak-teriak dan memanggil-manggil nama Soesiok, tapi baik si
pendeta, maupun
Soesiok tidak menjawab. Menurut peraturan Kangouw, kedua belah pihak harus
saling memperkenalkan diri. Si pendeta yang mempunyai ilmu entengkan badan sangat
tinggi, kabur terus dengan diubar oleh kami.
"Begitu keluar dari tembok kota, Ouwtjeng itu lantas saja melompat ke punggung
kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Untung juga, kami pun sudah menyediakan kuda.
Kedua kuda kami sangat cepat larinya dan si pendeta telah kecandak di tempat ini."
"Kenapa di sepanjang jalan tidak tertampak tapak kaki kuda?" tanya Peng Go.
"Karena kuatir dikuntit orang, kami membungkusnya dengan kain wol yang tebal,"
jawabnya. "Mungkin si pendeta asing pun berbuat begitu."
Pengtjoan Thianlie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah mengasoh sebentaran, Tong Toan melanjutkan penuturannya: "Dalam jarak
kira-kira belasan tindak, Ouwtjeng mendadak berbalik dan melepaskan beberapa golok terbang
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan berbareng. Kouwkouw adalah ahli senjata rahasia yang pandai melepaskan dan
menyambut macam-macam senjata. Ia segera bergerak untuk menangkap golok-golok dengan
menggunakan ilmu Tjiantjhioe Kwan Im Sioebanpo (Dewi Kwan Im yang mempunyai ribuan tangan
menangkap laksaan mustika). Tapi di luar dugaan, ilmu melepaskan golok dari si pendeta
juga sangat luar
biasa. Waktu baru dilepaskan, golok-golok itu menyambar ke atas tapi begitu
berdekatan, arahnya
berubah dan menyambar kaki kuda. Demikianlah, delapan kaki kuda Soetjoan itu
jadi korban golok
terbang. Jika Kouwkouw masih muda atau serangan itu terjadi di siang hari,
mungkin sekali si
pendeta tidak akan berhasil."
Mendengar penuturan itu, Keng Thian merasa geli. "Keluarga Tong dikenal sebagai
ahli nomor satu di dunia dalam ilmu melepaskan senjata rahasia," katanya di dalam hati.
"Kekalahan ini pasti
mendukakan sangat hati si nenek."
"Kouwkouw jadi gusar bukan main," kata pula Tong Toan. "Ia segera menghujani
senjata rahasia kepada Ouwtjeng. Thielian tjie, Tokkilee, Ngoloei tjoe, Kimtjhie piauw
dan sebagainya menyambar-nyambar bagaikan gerimis, sehingga si pendeta jadi repot bukan main.
Dia melompat turun dari tunggangannya dan lalu menggunakan jubah pertapaannya sebagai tameng.
Sementara itu, Liong Soesiok masih tetap duduk di punggung kuda. Semula, kami menduga, ia
kena obat tidur. Tapi dengan pertolongan sinar bulan, kami melihat matanya terbuka lebar
dan mengawasi kami terlongong-longong. Kami yakin, bahwa jika Soesiok membantu, tidak terlalu
sukar untuk mengambil jiwa pendeta itu. 'Leng Kiauw!' teriak Kouwkouw. 'Tikamlah Honghoe
hiat-nya!' Tapi
Soesiok tidak bergerak, kedua matanya tetap mendelong seperti orang lupa
ingatan, sedang kaki
tangannya bergemetaran. Kami jadi jengkel tercampur kuatir.
"Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring, disusul
dengan berkelebatnya satu bayangan manusia!"
"Kim Sie Ie, bukan?" tanya Peng Go.
"Benar," jawabnya. "Kim Sie Ie. Sesaat itu, kami belum tahu, bahwa kedatangannya
adalah untuk memberi pertolongan. Kami kaget bukan main. Kouwkouw melayani Ouwtjeng
dengan hanya menggunakan senjata rahasia. Kami yakin, bahwa begitu lekas senjata
rahasia habis, si
pendeta akan segera menyerang dan kami berdua belum tentu bisa menandinginya.
Mana bisa kami melayani lagi seorang musuh alot seperti Kim Sie Ie" Kouwkouw berteriak
berulang-ulang untuk menyadarkan Liong Soesiok, tapi tetap tidak berhasil. Waktu itu, aku sudah
tidak memikir hidup. Aku bertekad untuk lebih dulu membinasakan si pendeta dan jika berhasil,
barulah menghadapi Kim Sie Ie. Aku segera maju mendekati dan menunggu kesempatan untuk
menerjang. "Di lain detik, Kim Sie Ie sudah tiba di gelanggang pertempuran, sedang aku
sendiri hanya terpisah tujuh delapan kaki dari si pendeta.
"Mendadak, Ouwtjeng menyabat dengan jubahnya dan beberapa senjata rahasia
terpukul balik dan menyambar ke punggung Kouwkouw. Sesaat itu, Kouwkouw sedang memutar tubuh
untuk menghadapi Kim Sie Ie dan ia sama sekali tak menduga, bahwa si pendeta bisa
menyerang dirinya
dengan senjata rahasianya sendiri.
"Pada detik itulah, tongkat Kim Sie Ie menyambar. Jika Kouwkouw menangkis
tongkat, ia tak
akan bisa menangkis senjata rahasia yang menyambar punggung dan begitu juga
sebaliknya. Melihat begitu, semangatku terbang.
"Sekonyong-konyong terdengar suara 'tring-tring-tring!' dan semua senjata
rahasia terpental ke
empat penjuru. Ternyata, di luar semua taksiran, tongkat itu bukan menghantam
Kouwkouw, tapi menyabat senjata-senjata rahasia itu."
Keng Thian tertawa. "Cara-cara Kim Sie Ie memang aneh sekali," katanya.
"Waktu itu aku berdiri terpaku dan memusatkan Seantero perhatian ke arah
Kouwkouw," kata
pula Tong Toan. "Tak dinyana, dengan menggunakan kesempatan itu, si pendeta
mengedut jubahnya yang lantas saja menyambar ke kepalaku. Kim Sie Ie membentak keras dan
melompat untuk menolong, tapi sudah tidak keburu. Mataku berkunang-kunang dan tidak ingat
orang lagi sampai ditolong oleh kalian."
"Kalau begitu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak diketahui olehmu,
bukan?" tanya
Keng Thian. "Tidak, aku tak tahu," jawabnya. "Kouwkouw sudah tua. Aku sungguh berkuatir."
"Menurut pendapatku, Tong Lootjianpwee tak kurang suatu apa," menghibur Peng Go.
"Jika dia menang, si pendeta tentu tak akan membiarkan kau hidup terus. Di samping itu,
kalau mereka terluka, di sekitar sini mesti terdapat tanda-tanda darah. Menurut taksiranku,
Tong Lootjianpwee
dan Kim Sie Ie telah mengubar pendeta itu."
"Mari kita mengejar terus." mengajak Keng Thian.
Salju mulai turun lagi, semakin lama jadi semakin lebat. Mereka yakin, bahwa
niatan untuk mengejar ketiga orang itu akan lebih sukar tercapai karena tapak-tapak tentu
keuruk dengan salju
yang baru turun. Tapi sebab tiada lain jalan yang lebih baik, mereka terpaksa
meneruskan pengejaran ke jurusan barat. Di sepanjang jalan, Peng Go diliputi kedukaan,
karena ia tak dapat
menebak, kenapa Kim Sie Ie tidak pergi ke Thiansan dan berkeliaran di daerah
yang belukar itu.
*** Hari itu, Kim Sie Ie kabur dari warung arak dengan rasa kemalu-maluan. Ia merasa
jengah dan mengambil keputusan untuk tidak menemui lagi Phang Lin dan puterinya. Ia lari
selari-larinya,
tanpa tujuan. Sesudah kabur tiga hari, ia tiba di daerah padang pasir dan
kesasar. Ia berada di
tempat yang tiada manusianya, sedang makanan kering yang dibawanya, sudah habis.
Sesudah menghitung-hitung, ternyata ia hanya bisa hidup kira-kira tiga puluh
hari lagi. Ia tertawa dalam hatinya. Ia merasa, bahwa mati di tanah belukar itu, lebih cepat
beberapa hari atau
lebih lambat beberapa hari, tidak menjadi soal. Ia tak takut mati, ia memang
siap sedia untuk
meninggalkan dunia yang penuh penderitaan. Tapi, di lain saat, ia berpikir lain.
Sebagai seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, ia merasa penasaran jika mesti mati kelaparan
di padang pasir.
Ia tak rela untuk mati cara begitu. Kim Sie Ie adalah seorang yang sungkan
menyerah kalah terhadap siapapun juga. Setelah mengetahui, bahwa ia tak akan bisa terlolos dari
kebinasaan, harapan yang satu-satunya ialah: Ia ingin mati secara mengesankan. Ia tak rela
untuk mati dengan begitu saja, dengan sepi-sepi saja.
Akan tetapi, ia sekarang berada di padang pasir, tanpa makanan dan tanpa air.
Hari itu, dengan
lapar dan haus, ia mendaki sebuah bukit pasir. Tiba-tiba ia melihat beberapa
batu besar yang
berlubang-lubang. Batu-batu di daerah padang pasir banyak lebih empuk daripada
baru biasa dan di lubang-lubang sering terdapat air, yang dinamakan "susu batu".
Dengan girang ia melihat, bahwa di beberapa lubang masih terdapat air. Sesudah
mengisap "susu batu" itu, perasaan hausnya menghilang, tapi rasa laparnya jadi semakin
hebat. Ia segera
bersila di belakang batu dan mengerahkan lweekang. Sesudah berlatih beberapa
lama, semangatnya terbangun dan rasa lapar mulai mereda.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara kelenengan unta. Ia girang bukan
main. Dengan merampas "perahu padang pasir" itu, ia pasti bisa menyelamatkan diri.
Tapi di lain detik,
ia berkata pada dirinya sendiri: "Dengan merampok binatang itu, aku bisa hidup
kurang lebih tiga
puluh hari lagi. Tapi dengan menolong diriku, si pelancong menjadi korban."
Dulu-dulu, Kim Sie Ie belum pernah memikirkan soal orang lain. Semenjak
berkenalan dengan
Pengtjoan Thianlie, Phang Lin dan puterinya, rasa membencinya terhadap manusia
perlahan-lahan berkurang. Kadang-kadang, di tengah malam yang sunyi, ia sendiri merasa heran
kenapa perasaannya telah berubah.
Semakin lama, suara kelenengan semakin dekat. Ia bersangsi sangat. Rampas atau
tidak rampas" Sekonyong-konyong, kesunyian gurun pasir dipecahkan dengan suara tertawa yang
nyaring dan luar biasa. Kim Sie Ie terkejut, karena suara itu tak asing bagi kupingnya.
Ia lalu mengintip
dari atas batu. Unta itu masih terpisah beberapa li, tapi sebab di padang pasir
tidak terdapat alingaling,
maka ia bisa melihat tegas. Ternyata, di punggung unta berduduk dua orang, yang
masingmasing mempunyai muka luar biasa. Dengan sekali melihat saja, ia sudah mengenali, bahwa
yang satu adalah Hiatsintjoe, sedang yang lain si pendeta lengan besi, Tang Thay
Tjeng. Ia gembira dan berkata dalam hatinya: "Aha! Hatiku bebas dari perasaan berdosa
jika merampas tunggangan dua manusia busuk itu."
Karena berada di padang pasir, mereka bicara dengan bebas tanpa kuatir didengar
orang. "Hiatsin Tooyoe," kata Tang Thay Tjeng. "Menurut katanya Hongsek Tooheng kau
sekarang bekerja pada kerajaan Tjeng dan mempunyai harapan untuk diangkat menjadi Koksu
(guru negara). Tapi kenapa, sebaliknya dari mengicipi kebahagiaan di istana kaisar,
kau sudah datang di
padang pasir ini. Apakah kau mempunyai tugas di tempat ini?"
Hiatsintjoe menghela napas panjang, paras mukanya berubah seram tercampur lucu,
seperti tertawa, bukan tertawa. "Hai!" katanya. "Jika mau dituturkan,
ceritanya panjang sekali. Aku juga ingin menanya kau. Kenapa kau juga berada di
padang pasir ini" Sesudah menyembunyikan diri tiga puluh tahun lamanya, kau muncul lagi dalam
pergaulan manusia. Aku yakin, kau sekarang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kenapa
sebaliknya dari
berkelana dalam kalangan Kangouw, kau kabur ke tempat yang sepi ini?"
Tang Thay Tjeng pun menghela napas. Mukanya berubah merah, karena malu. Sesaat
kemudian, barulah ia menjawab: "Hra! Kepandaian apa! Baru muncul, aku sudah
dirobohkan!"
Hiatsintjoe kaget dan heran. "Tang-heng," katanya. "Aku mengenal kau sebagai
seorang yang tak suka menyerah terhadap siapapun juga. Kenapa kau sekarang mengatakan begitu"
Siapa manusia itu" Bagaimana kau dirobohkannya?"
"Aku dirobohkan oleh Phang Lin, ie-ie (ipar) Tong Siauw Lan," jawabnya dengan
suara masgul. Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Lagi-lagi orang Thiansan pay,"
katanya dengan suara mendongkol.
"Sesudah menderita kekalahan beberapa kali, Hongsek Toodjin dingin hatinya dan
ia sekarang sudah kembali ke hutan batu untuk tidak muncul lagi dalam dunia pergaulan," kata
Tang Thay Tjeng. "Tapi aku sendiri masih penasaran. Aku ingin mencari satu orang guna mendapatkan
sejilid kitab yang luar biasa."
"Kitab apa?" tanya Hiatsintjoe. "Apa ilmu dalam kitab itu bisa menangkan ilmu
silat Thiansan pay?" "Belum bisa dipastikan," jawabnya. "Pada kurang lebih empat puluh tahun
berselang, siapakah
yang memiliki ilmu silat paling tinggi?"
"Ie Lan Tjoe, Lu Soe Nio dan Tokliong Tjoentjia," jawab Hiatsintjoe. "Ie Lan
Tjoe sudah meninggal dunia. Yang masih hidup adalah Tokliong Tjoentjia dan Lu Soe Nio."
"Yang sedang dicari olehku adalah murid Tokliong Tjoentjia," kata Tang Thay
Tjeng. "Kitab itu,
yang diberi nama Tokliong Pitkip, disimpan olehnya."
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Apa dia sudi menyerahkannya?" tanyanya
Mendengar sampai disitu, Kim Sie Ie merasa geli dalam hatinya.
Tan Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku mempunyai satu jalan
untuk memaksanya."
Hiatsintjoe tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tooheng," kata pula Tang Thay Tjeng. "Jika aku tidak salah melihat, kau sendiri
mempunyai ganjelan di dalam hati. Pikiran dua orang lebih sempurna daripada pikiran satu
orang. Bolehkah
kau memberitahukan siauwtee, apa yang menjengkelkan hatimu?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, sikapnya angkuh sekali, seolah-olah ia
memandang rendah kepandaian kawannya. Tapi, di lain saat, ia rupanya berbalik pikiran dan
berkata dengan
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara manis: "Tang Tooheng, jangan kau mimpi. Masakah orang mau gampang-gampang
menyerahkan kitab ilmu silat kepadamu" Lebih baik kau mengikuti aku mendaki
Puncak Mutiara 141 di Himalaya."
"Perlu apa?" tanya Tang Thay Tjeng. "Aku dengar, semenjak dulu belum pernah ada
manusia yang berhasil mendaki puncak itu, Apa kau mau cari mati?"
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Lebih baik mati daripada seperti sekarang," katanya
dengan suara getir. "Tak mati dan tak hidup, terus menerus dihina orang."
Tang Thay Tjeng heran bukan main. "Apa artinya perkataanmu?" tanyanya.
"Kau roboh dalam tangan Phang Lin dan kekalahan itu masih ada harganya,"
jawabnya. "Tapi
aku dijatuhkan oleh seorang houwpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah)."
"Siapa?" tanya pula Tang Thay Tjeng.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
"Aneh benar nama itu, aku belum pernah mendengarnya," kata si pendeta.
"Belakangan ini dalam Rimba Persilatan muncul orang-orang baru yang
berkepandaian sangat
tinggi," menerangkan Hiatsintjoe. "Sesudah dihajar dengan tujuh butir Sintan
oleh Pengtjoan Thianlie, sehingga sekarang lweekang-ku belum pulih kembali. Aku dengar, di
Puncak Mutiara terdapat banyak sekali rumput dan pohon yang mempunyai khasiat luar biasa dan di
antaranya terdapat serupa rumput dewa yang dikenal sebagai Tjiangtjoe Siantjo (Rumput dewa
mutiara merah). Sepanjang keterangan, orang yang makan rumput itu dapat menambah
lweekang-nya seperti juga ia berlatih tiga puluh tahun. Untuk bicara terus terang, dengan
suami isteri In Leng
Tjoe, aku sebenarnya mendapat tugas untuk menjalankan hukuman mati atas diri
Liong Loosam di
Lhasa. Tapi sekarang, sesudah dirobohkan orang, aku tak ada muka lagi untuk
berkelana dalam
kalangan Kangouw. Aku sudah tidak memikiri lagi segala pangkat Koksoe dan
tujuanku yang terutama adalah coba mendapat rumput dewa itu. Jika kau bersedia untuk mengikut,
aku akan merasa girang sekali."
Sementara itu, unta sudah mendekati tempat bersembunyinya Kim Sie Ie dan
beberapa saat kemudian, sudah mendaki bukit pasir itu. Tiba-tiba Kim Sie Ie melompat keluar
sambil tertawa nyaring. "Tahan!" teriaknya. "Kamu ingin mencari rumput dewa, aku hanya
menghendaki untamu!" Hampir berbareng, ia meloncat dan tangannya menyambar les, sehingga
binatang itu tak bisa bergerak lagi.
Hiatsintjoe gusar bukan main. "Kim Sie Ie! Mau apa kau?" bentaknya.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Apa kau tuli?" tanyanya. "Bukankah aku sudah
memberitahukan: Aku mau untamu!"
Hiatsintjoe dan Kim Sie Ie, yang sudah pernah bertempur beberapa kali, sama-sama
tahu kepandaian sang lawan. Dalam lweekang, Hiatsintjoe lebih unggul, tapi kalah
dalam ilmu melepaskan senjata rahasia, sehingga kekuatan mereka 'bisa dikatakan setanding.
Sekarang, sedang lweekang-nya belum pulih seperti biasa, ia merasa agak jeri dalam
menghadapi pemuda
itu. Tapi mengingat adanya Tang Thay Tjeng, ia merasa, bahwa dengan dua melawan
satu, pemuda itu akan dapat dirobohkan.
Memikir begitu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengenjot badan dan
bagaikan seekor elang, ia melayang turun dari punggung unta dan menubruk lawannya,
"Bagus!" teriak Kim Sie Ie sambil menyodok jalanan darah Tjongtjeng hiat, di
kempungan Hiatsintjoe, dengan tongkatnya. Dengan menggoyangkan badan di tengah udara,
Hiatsintjoe berhasil mengegos sodokan itu, tapi Kim Sie Ie sungkan memberi napas kepadanya
dan terus mengirim serangan berantai, sehingga ia terpaksa mundur beberapa tindak.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng. "Air bah merendam Liong-ong bio (Kuil Raja Naga),
kita semua adalah orang-sendiri. Hei! Mari kita bicara dulu!"
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Siapa sudi jadi orang sendirimu?" ia mengejek.
"Dengarlah dulu!" Tang Thay Tjeng berteriak pula. "Kau adalah murid Tokliong
Tjoentjia, sedang aku ahli waris Patpie Sinmo. Apa salah jika aku mengatakan orang
sendiri?" Kim Sie Ie terkejut, tapi di lain saat ia kembali tertawa dingin seraya berkata:
"Sedari tiga puluh
tahun berselang, guruku sudah bercerai dengan pihakmu. Siapa kesudian bersahabat
dengan kamu?" "Eh, jangan sombong kau," kata si pendeta dengan mendongkol. "Kau boleh menolak
persahabatan, tapi apa kau juga tak sayang jiwamu?"
"Apa?" menegas Kim Sie Ie, darahnya meluap. "Manusia semacam kau ingin mengambil
jiwaku" Maju! Kau kira aku takut?" Bibirnya bergerak, siap sedia untuk segera
menyemburkan jarumnya.
"Jangan kalap, kau dengarlah dulu," kata pula Tang Thay Tjeng dengan menahan
amarah. "Bukan aku yang menghendaki jiwamu, tapi gurumu sendiri yang sudah mencelakakan
kau. Itulah yang dimaksudkan olehku."
"Apa?" menegas pula Kim Sie Ie.
"Kau sudah menggunakan cara yang salah dalam melatih lweekang," jawabnya.
"Karena itu,
satu waktu lweekang-mu akan membakar dirimu sendiri. Apa belum ada tandatandanya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Kenapa dia tahu" Di lain detik, ia kembali tertawa
nyaring. "Benar!"
teriaknya. "Aku hidup tak lama lagi. Aku justeru sedang mencari-cari kawan untuk
menemani perjalanan pulang ke alam baka!" Hampir berbareng, ia menghunus pedang dan lalu
menyerang Hiatsintjoe secara nekat-nekatan.
"Thay Tjeng Tooyoe!" teriak Hiatsintjoe. "Tak usah banyak rewel lagi dengan
manusia ini. Jika
dia berhasil merampas unta, kita bisa mati di padang pasir ini."
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan bantuan si pendeta.
Tapi Tang Thay Tjeng sama sekali tidak bergerak. Ia berkata: "Tokliong Pitkip
adalah kitab ilmu
silat dari gurumu. Tapi kau tak tahu, bahwa sebelum menutup mata, ia telah
mendapatkan serupa
ilmu mujijat untuk menolong jiwa dari akibat latihan lweekang yang salah. Karena
tidak keburu mencatatnya dalam Pitkip, ia menulis pendapatannya itu dalam buku catatan harihari. Buku itu sekarang berada dalam tanganku. Apa kau mau aku menyerahkannya?" Tak usah
dikatakan lagi,
keterangan si pendeta adalah dusta belaka dan hanya mengandung maksud untuk
merampas Tokliong Pitkip.
Kim Sie Ie tergerak hatinya, sebab perkataan Tang Thay Tjeng kedengarannya cukup
beralasan. Karena perhatiannya terpecah, sesaat itu Hiatsintjoe mendapat
kesempatan untuk balas
menyerang dan ia mengirim beberapa pukulan dahsyat dengan telapakan tangannya
yang berhawa panas. Dikebas dengan angin panas, Kim Sie Ie yang sedang kehausan jadi
semakin haus. Dengan gusar buru-buru ia mengempos semangat dan segera dapat memulihkan
keunggulannya. Sesudah berhasil menindih musuhnya, ia berkata: "Baiklah. Serahkan dulu buku
guruku. Sesudah buku itu diserahkan aku akan mengampuni jiwa kawanmu."
"Huh!" kata si pendeta sambil tertawa. "Mana boleh begitu" Hentikan dulu
seranganmu."
Kim Sie Ie jadi curiga. Ia tertawa besar seraya membentak "Kau kira aku anak
kecil" Keluarkan
dulu buku itu!" Sambil berkata begitu, ia memperhebat serangannya, sehingga
Hiatsintjoe jadi
repot sekali. "Thay Tjeng Tooyoe!" teriaknya. "Perlu apa tarik urat dengan bocah
ini?" Si pendeta sangat bersangsi. Di satu pihak ia sungkan bermusuhan dengan pemuda
yang mau diakali itu, tapi di lain pihak, ia merasa tak tega sebab kawannya sedang berada
dalam bahaya besar. Tiba-tiba tongkat Kim Sie Ie menyambar bagaikan kilat dan Hiatsintjoe
sudah tak dapat
menangkis lagi.
Tang Thay Tjeng terkesiap. Ia tak sempat memikir panjang-panjang lagi dan lalu
menggoyang "pundaknya. Hampir berbareng, lengan besinya terbang menyambar. Dengan gerakan
indah, Kim Sie Ie kelit sambaran itu dan hampir berbareng, kakinya menendang Hiatsintjoe
yang lantas saja
jatuh terjengkang. Ia tak berhenti sampai disitu. Pedangnya berkelebat dan jubah
pertapaan Tang Thay Tjeng robek di bagian saku, yang ternyata tidak berisi apapun juga.
"Binatang!" bentak Kim Sie Ie. "Kau berani menipu aku?"
Si pendeta jadi bingung dan ketakutan. "Tidak... aku tidak berdusta," katanya,
terputus-putus.
"Aku berani bersumpah, bahwa gurumu meninggalkan sejilid buku catatan harihari." "Dimana kau
menyembunyikannya" Lekas keluarkan!" bentak pemuda itu.
Tang Thay Tjeng mundur beberapa tindak dan berkata sambil tertawa: "Aku mengaku,
bahwa aku tak mempunyai kebecusan. Buku itu telah dirampas oleh Tong Siauw Lan."
"Omong kosong!" teriak Kim Sie Ie. "Perlu apa Tong Siauw Lan merampas buku itu?"
Si pendeta kembali tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Dalam hal ini, ada
latar belakangnya yang tidak diketahui olehmu. Memang benar, Tong Siauw Lan yang
mempunyai kepandaian sangat tinggi, tidak memerlukan buku rahasia itu. Akan tetapi, selama
hidupnya, ia paling takuti gurumu Jika ilmu silat gurumu tersebar di dalam dunia, selalu
terdapat kemungkinan,
bahwa di belakang hari, ilmu silat itu akan lebih unggul daripada ilmu Thiansan
pay. Kau harus tahu, bahwa selama kurang lebih seratus tahun, ilmu silat Thiansan pay dianggap
sebagai ilmu silat yang paling liehay di kolong langit. Tong Siauw Lan adalah pemimpin
Thiansan pay. Dapatlah
dimengerti, jika ia tak mau membiarkan adanya ancaman bahaya di hari kemudian.
"Maka itulah, ia mau juga mengangkangi buku gurumu itu. Dengan demikian, biarpun
kau memiliki Tokliong Pitkip, tapi sebab tidak mengenal ilmu untuk menolong diri
dari akibat latihan
Iweekang yang salah, selama-lamanya kau harus mengandal kepadanya. Bukan saja
kau, tapi semua orang yang mempelajari ilmu silat Tokliong Tioentjia, harus meminta belas
kasihan Thiansan pay. Ringkasnya, turun menurun orang-orang dari pihakmu akan tetap
menjadi semacam budak dari partai Thiansan!"
Perkataan yang beracun itu, yang kedengarannya sangat beralasan, berhasil
mempengaruhi Kim Sie Ie. Sebagaimana diketahui, ia adalah manusia yang beradat angkuh dan ia
selalu merasa tak rela untuk meminta pertolongan siapapun juga. Untuk beberapa saat, ia
mengawasi si pendeta
dengan mata mendelong, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Melihat pancingnya agak
berhasil, Tang Thay Tjeng mesem dan berkata dengan nada mengejek: "Jika buku itu berada di
tangan orang lain, mungkin sekali masih agak gampang direbut pulang. Tapi di tangan
Tong Siauw Lan,
rasanya tiada manusia yang bisa merampasnya kembali."
Kim Sie Ie mengeluarkan suara di hidung dan darahnya mulai naik tinggi. Tapi ia
tak berani mengeluarkan suara besar, karena ia pun yakin, bahwa apa yang dikatakan si
pendeta bukan ejekan belaka. Mana ia sanggup melawan Tjiangboendjin dari Thiansan pay"
"Tapi, kau jangan kuatir," kata pula si pendeta. "Aku mempunyai akal yang
bagus." "Akal apa?" tanyanya.
"Tong Siauw Lan mempunyai satu anak laki-laki yang bernama Tong Keng Thian,"
sahutnya. "Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tapi aku yakin, kau masih bisa
membereskannya. Kau
hanya perlu menyerang dengan jarummu waktu ia tidak berwaspada. Kau harus
memasukkan jarum itu ke dalam jalanan darahnya, sehingga, biarpun ia mempunyai Thiansan
Soatlian, jiwanya
tak akan dapat ditolong, kecuali dengan obatmu sendiri. Huh-huh! Ia akan
terpaksa memohon
belas kasihanmu. Dan pada waktu itulah, kau boleh berunding dengan Tong Siauw Lan untuk
menukar obat dengan buku gurumu itu."
Itulah racun hebat yang disebar Tang Thay Tjeng.
Kenapa pendeta itu sudah merasa tak segan untuk mengatur tipu yang begitu busuk"
Dulu, lengan Tang Thay Tjeng telah patah karena pukulan Tiattjiang Sintan Yo
Tiong Eng. Walaupun yang memukul adalah Yo Tiong Eng, tapi peristiwa itu sudah terjadi
karena gara-gara
Tong Siauw Lan. Itulah sebabnya, setelah melihat Kim Sie Ie tak gampang ditipu,
ia lalu mengarang cerita untuk "meracuni" Tong Siauw Lan.
Alis Kim Sie Ie berkerut. "Meskipun busuk, tipu itu memang sangat bagus,"
katanya di dalam
hati. "Tapi apa aku bukan manusia" Waktu di Kimkong sie, bersama-sama Pengtjoan
Thianlie, Keng Thian pernah menolong jiwaku. Mana bisa aku menurunkan tangan yang begitu
jahat?" Melihat pemuda itu tetap membungkam, Tang Thay Tjeng jadi semakin besar hatinya,
"Jika kau setuju, aku sedia serupa tipu lain untuk memancing Tong Keng Thian," katanya.
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim Sie Ie menjebi dan matanya berkilat. Sekonyong-konyong ia berteriak: "Tak
nanti aku menuruti perkataan manusia busuk seperti kau!" Tangannya melayang dan tubuh Tang
Thay Tjeng terpental setombak jauhnya.
Sambil tertawa besar ia melompat ke punggung unta yang lalu dilarikan perlahanlahan, Tang Thay Tjeng merangkak bangun dan berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi
tentu saja tidak diladeni. Ia bingung tak kepalang. Buru-buru ia menolongi Hiatsintjoe yang
masih menggeletak di atas pasir untuk berdamai, bagaimana mereka harus meloloskan diri
dari gurun pasir itu. Di sela unta, Kim Sie Ie mendapatkan makanan kering dan dua kantong kulit berisi
air. Dengan hati bungah, ia lalu minum sepuas hati dan menangsel perut. Waktu itu, daerah
padang pasir sudah berada di permulaan musim semi, kapan siang hari lebih pendek dan malam
lebih panjang. Tak lama kemudian, cuaca mulai gelap dan angin dingin mulai turun, sehingga
pasir kuning pada
berterbangan ke tengah udara, Di antara angin yang menderu-deru, dalam hati
pemuda itu timbul
kembali rasa dukanya.
Ia menghela napas berulang-ulang dan ingat lagi kejadian-kejadian di masa yang
sudah selam. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat serupa pikiran. "Menurut katanya Hiatsintjoe,
di Puncak Mutiara terdapat rumput dewa yang bisa memperkuat lweekang," pikirnya. "Siapa
tahu kalau rumput itu juga mempunyai khasiat untuk menolong jiwaku" Hanya sayang, puncak
itu katanya sukar dipanjat dan belum pernah ada manusia yang berhasil memanjatnya." Sesudah
berjalan beberapa jauh lagi, ia mendapat lain pikiran, Ia merasa, bahwa biarpun tak
berhasil mendapatkan
rumput dewa, gagal dalam usahanya untuk mencapai puncak yang tinggi itu dan
harus binasa di
tengah jalan, kebinasaan itu masih ada harganya. Ia memang mengharap, jika mesti
mati, biarlah ia mati secara menggemparkan dan tak cuma-cuma. Mengingat begitu, lantas saja ia
mengambil putusan untuk mendaki Puncak Mutiara.
Sesudah mempunyai ketetapan, hatinya jadi gembira dan ia lalu menyanyi sekeras
suara, bagaikan seorang edan. Unta yang ditunggangnya rupanya kaget mendengar
nyanyiannya dan
lalu kabur sekeras-kerasnya. Kim Sie Ie tidak menggubris dan membiarkan binatang
itu lari semau-maunya. Dengan hati tenang, ia meneruskan perjalanan. Jika merasa capai, ia merebahkan
diri di atas punggung unta dan kalau haus atau lapar, air dan makanan selalu tersedia. Lewat
beberapa hari ia sudah keluar dari padang pasir itu.
Sesudah tak memerlukan lagi tenaga unta, Kim Sie Ie menyerahkan tunggangannya
kepada seorang saudagar Mongol yang ia kebetulan bertemu di tengah jalan. Orang itu
terheran-heran,
tapi Kim Sie Ie memaksa supaya ia suka menerimanya dan kemudian menanya jalanan
yang menerus ke pegunungan Himalaya.
Si saudagar menduga pemuda itu seorang gila, tapi dengan rasa berterima kasih,
ia lalu memberi keterangan jelas. Untuk pergi ke Himalaya, orang harus melewati satu
padang rumput yang luas, di sebelah barat Lhasa. Karena daerah itu banyak penduduknya dan
tidak kekurangan
air, maka seorang pelancong tak perlu membawa makanan kering atau air minum. Di
sampingnya memberi keterangan, ia juga membekali Kim Sie Ie sekantong daging, sebagai
balasan terima kasih. Waktu itu, di daerah Tibet baru saja masuk di permulaan musim semi dan salju
masih belum melumer. Dengan berjalan sendirian di padang rumput yang sangat luas itu, hati
Kim Sie Ie kembali diliputi dengan kedukaan. Pengtjoan Thianlie, Tong Keng Thian, Phang Lin
dan puterinya sering-sering terbayang di depan matanya. Dengan menimbang-nimbang secara
tenang, ia merasa, bahwa mereka itu adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat
mengagumkan. Kim Sie Ie berjalan tanpa mengenal waktu, tak perduli siang atau malam. Ia hanya
mengasoh jika merasa capai. Hari itu, ia berjalan terus menerus sampai jauh malam. Tibatiba turun angin
yang sangat dingin, disusul dengan turunnya salju. Ia merasa sangat lelah dan
segera merebahkan diri di atas satu batu besar. Tapi ia tak bisa pulas sebab rupa-rupa
pikiran masuk ke
dalam otaknya. Ia ingat, bahwa selama kurang lebih dua puluh tahun, ia selalu
membenci manusia, yang dianggapnya kejam dan selalu menghina dirinya. Tapi sebenarbenarnya, kecuali
waktu ia masih kecil, orang lain lebih banyak membuang budi kepadanya dan
malahan, ia sendirilah yang sangat sering menghina sesama manusia. Mengingat begitu, dalam
hatinya timbul serupa perasaan menyesal dan rasa ngantuknya lantas saja menghilang.
Ia mengawasi bintang-bintang di langit dan mengetahui, bahwa tak lama lagi fajar
akan menyingsing. Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara kuda yang
lari keras dan beberapa saat kemudian berbareng dengan berhentinya suara kaki kuda, terdengar
suara perkelahian. Dengan heran, Kim Sie Ie bangun dan memandang ke arah suara itu. Dengan bantuan
sepasang matanya yang sangat awas, ia melihat seorang wanita tua sedang
bertempur dengan
seorang pendeta asing, sedang seorang pemuda berdiri di pinggir jalan. Begitu
melihat ilmu menimpuk senjata rahasia dari si nenek, ia segera mengenali, bahwa ia adalah
Tong Say Hoa. Sebab sangat jauh, ia tidak bisa melihat tegas siapa adanya pemuda itu, tapi ia
menaksir, si pemuda tentunya Tong Toan. Sesudah menyaksikan beberapa saat, ia yakin, bahwa si
pendeta asing mempunyai kepandaian lebih tinggi daripada Tong Say Hoa.
Di dekat gelanggang pertempuran terdapat seorang lain yang mengenakan seragam
perwira tentara Tjeng dan duduk di atas punggung kuda. Mendengar si pemuda menggunakan
panggilan "Liong Soesiok" dan Tong Say Hoa memanggil "Leng Kiauw," hati Kim Sie Ie
mendadak berdebardebar.
Ia lantas saja ingat perkataan Hiatsintjoe, bahwa kaizar Tjeng telah menitahkan
tiga jago datang di Lhasa untuk mengawasi di jalankannya hukuman mati atas diri Liong
Loosam. "Apa
orang itu yang dipanggil Liong Loosam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia
mengenakan seragam
perwira tentara Tjeng dan bukan pakaian perantaian?"
Harus diketahui, bahwa sebagai orang kepercayaan Hok Kong An, Liong Leng Kiauw
telah mendapat perlakuan istimewa. Sebelum datangnya firman kaisar, biarpun sudah
dipenjarakan, ia
masih tetap mengenakan seragam itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Kim Sie Ie segera dapat mengendus,
bahwa Tong Say Hoa terancam bahaya. Ia yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasianya habis,
si pendeta asing akan segera menyerang. "Walaupun nenek itu sangat menyebalkan, ia adalah
salah seorang ternama dalam kalangan Rimba Persilatan," pikirnya. "Jika ia roboh dalam tangan
si pendeta asing, bukankah seluruh Rimba Persilatan Tionggoan akan turut mendapat malu?"
Berbareng dengan itu, ia merasa agak jengah karena perbuatannya terhadap keluarga Tong.
Diam-diam ia mengakui, bahwa perbuatan itu memang tak pantas.
Beberapa saat kemudian, si nenek benar-benar terancam maut. Tanpa memikir
panjangpanjang lagi, Kim Sie Ie lalu melompat dan memberi pertolongan pada detik yang sangat
penting. Begitu bergebrak, baik Kim Sie Ie maupun si pendeta asing merasa sangat kaget.
Setiap pukulan pemuda itu disertai dengan Iweekang yang dahsyat. Di lain pihak, jubah
pertapaan si pendeta seolah-olah tameng besi setiap kali terbentur tongkat, mengeluarkan
suara seperti benda
yang keras. Sementara itu, bantuan Kim Sie Ie sungguh-sungguh di luar dugaan Tong Say Hoa
yang jadi girang tercampur heran, Karena tidak dapat menggunakan lagi senjata rahasia
sebab bisa menyasar ke kawan sendiri, si nenek lalu menyerang dengan gendewa, dengan
menggunakan ilmu Kimkiong Sippattah (ilmu silat gendewa yang mempunyai delapan belas jalan).
Dikerubuti oleh dua musuh yang berkepandaian tinggi, dalam sekejap Ouwtjeng jatuh di bawah
angin. Tapi si pendeta pun bukan tolol cepat-cepat ia menukar taktik. Terhadap Kim Sie
Ie, ia hanya membela diri dan terus mencecer si nenek dengan pukulan-pukulan hebat. Diserang
cara begitu, belum cukup setengah jam, napas Tong Say Hoa yang sudah berusia lanjut, mulai
tersengalsengal.
Kim Sie Ie jadi jengkel. Ia yakin, bahwa tanpa perubahan, dalam tempo setengah
jam lagi, si nenek bisa roboh karena kecapaian. Biarpun ia tak takut untuk bertempur satu
melawan satu, tapi
kalau Tong Say Hoa roboh ia harus memberi pertolongan. Ia ingin sekali
menggunakan jarum
beracun, tapi lantaran belum tahu siapa adanya si pendeta, ia sungkan
mencelakakan jiwa orang
secara sembarangan.
Selang beberapa saat, si nenek berteriak: "Leng Kiauw! Leng Kiauw!" Tapi Liong
Leng Kiauw tetap tidak bergerak.
"Tong Lootaypo, siapa orang itu?" tanya Kim Sie le.
"Murid ayahku," jawabnya.
"Kenapa dia tidak meladeni?" tanyanya pula. "Apa dia kena ilmu siluman ?"
Tong Say Hoa segera memanggil-manggil lagi beberapa kali. Tiba-tiba badan Liong
Leng Kiauw bergoyang-goyang dan dari tenggorokannya terdengar suara "kerokok-kerokok". Si
nenek jadi girang dan coba mendekati, tapi ia segera dihalangi oleh musuhnya.
"Baiklah," kata Kim Sie Ie. "Biar aku yang hajar manusia tak punya pribudi itu."
"Jangan! Jangan!" berteriak si nenek.
"Kenapa jangan?" kata pula pemuda itu. "Tong Lootaypo, kau hanya perlu membela
diri untuk beberapa jurus. Aku akan segera kembali." Berbareng dengan perkataannya, ia
menghantam jubah si pendeta dengan pukulan Tjianliong sengthian (Naga terbang ke langit),
disusul dengan totokan ke jalanan darah Inboen hiat, di bawah dada si pendeta. Untuk melindungi
diri, Ouwtjeng memutar jubahnya bagaikan titiran. Tapi kedua serangan itu hanya serangan
gertakan dan pada
saat musuhnya membela diri, Kim Sie Ie menjungkir balik dan badannya hinggap di
atas punggung kuda, di belakang Liong Leng Kiauw.
Diluar dugaan, baru saja ia mau membuka mulut, tiba-tiba terdengar teriakan Tong
Say Hoa. Dengan terkejut, ia menengok. Ternyata, lengan si nenek sudah dicengkeram oleh
pendeta asing itu yang tengah mengangkat jubahnya tinggi-tinggi, siap sedia untuk menurunkan
pukulan yang membinasakan. "Turun!" bentaknya. "Jika tidak, aku cabut jiwa nenek tua ini!" Sesudah
bertempur begitu lama,
baru sekarang si pendeta bicara dan ia menggunakan dialek Pakkhia yang sangat
lancar dan bagus. Sebenarnya dengan lweekang-nya yang sudah cukup tinggi dan ilmu Kimkiong
Sippattah, Tong
Say Hoa sedikitnya masih bisa mempertahankan diri dalam sepuluh jurus. Tapi,
mendengar pernyataan, "si gila" yang mau menghajar Soetee-nya, ia jadi bingung dan segera
bergerak untuk coba mencegahnya. Tapi baru ia bertindak, si pendeta sudah menerjang dan
mengebas gendewanya dengan menggunakan jubah pertapaan. Hampir berbareng dengan
terpentalnya gendewa, ia merangsek dan mencengkeram lengan si nenek.
Kim Sie Ie terkesiap, ia kuatir Ouwtjeng membuktikan
ancamannya. Di lain saat, ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Baiklah.
Lepaskan Tong Lootaypo. Aku akan permisikan kau kabur." Ia melompat turun dan si pendeta
segera melepaskan
cekalannya. Tapi, sebelum ia melompat naik ke punggung tunggangannya, Kim Sie Ie menyembur.
Dia sungguh liehay. Begitu mendengar suara "srr" yang sangat halus, ia menyabat dan
ludah Kim Sie Ie menempel di jubahnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara menggeledek, dibarengi dengan muncratnya
kepingankepingan
batu. Si pendeta menengok dan ia terkejut tercampur heran, karena tongkat pemuda
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu menghantam satu batu besar. Mendadak, satu benda hitam berkelebat bagaikan kilat
dan dengan suara "bret," jubah pertapaannya berlubang besar! Sebagaimana diketahui, dalam
pertempuran antara jago dan jago, walaupun sedetik, masing-masing pihak tidak boleh memecah
perhatian. Melihat tangguhnya musuh, Kim Sie Ie yang sangat pintar, sudah sengaja memukul
batu untuk membelokkan perhatian si pendeta dan hampir berbareng, ia menghunus pedang yang
lalu ditikamkan ke dada musuh. Masih untung, berkat kecepatan si pendeta, tikaman itu
hanya mengenakan jubah. Tapi, biarpun terlolos dari kebinasaan, jubah yang sudah
berlubang itu tak
dapat digunakan lagi sebagai tameng.
Kim Sie fe sungkan memberi napas pada musuhnya. Ia mengirim serangan berantai,
menikam jalanan darah Thiantjoe hiat, Hiankie hiat dan Yangpek hiat, disusul dengan satu
tikaman membinasakan ke arah lutut si pendeta. Kim Sie Ie cepat, tapi Ouwtjeng lebih
cepat lagi. Sesudah
mengegos tiga tikaman, tiba-tiba dia berteriak: "Bagus! Tikamlah!" Jubahnya
berkelebat dan menggentak pinggang Tong Say Hoa untuk memapaki tikaman Kim Sie Ie yang
terakhir. Untung
juga, pada detik yang sangat penting, pemuda itu masih keburu menarik pulang
pedangnya. Jika
tidak, tubuh si nenek tentu sudah berlubang!
Ternyata, sesudah cengkeram;?! pada lengannya dilepaskan, Tong Say Hoa yang
sudah tua tidak bisa segera bergerak. Selagi ia mengerahkan Iweekang untuk menjalankan
aliran darahnya,
tiba-tiba Ouwtjeng menyapu dengan jubahnya, sehingga badannya terhuyung dan
memapaki pedang Kim Sie Ie.
Semua kejadian itu yang harus dituturkan agak panjang lebar, sudah terjadi cepat
sekali. Jika dihitung-hitung, meskipun jubahnya berlubang, pihak si pendeta yang memperoleh
kemenangan. Sambil tertawa berkakakan, ia melompat ke punggung kuda yang lalu dikaburkan
sekeraskerasnya.
Dengan demikian, usaha Tong Say Hoa untuk merebut adik seperguruannya mengalami
kegagalan. Bukan main mendongkolnya Kim Sie Ie. Sebelum ia keburu membuka mulut untuk
menanya si nenek, mendadak jeriji Tong Say Hoa menyambar dan menotok jalanan darah Djiekie
hiat-nya. Ia terkesiap, tapi sebelum sempat menegur, sekonyong-konyong hidungnya mengendus
serupa bau yang halus dan wangi. Walaupun masih berusia muda, ia adalah seorang yang
berpengalaman. Lantas saja ia sadar, bahwa pendeta itu telah melepaskan semacam racun dan si
nenek menotok jalanan darahnya, supaya racun tak masuk ke dalam dada. "Sungguh tepat jika
keluarga Tong dijuluki sebagai ahli senjata rahasia nomor satu di dalam dunia," katanya di
dalam hati. "Hidung
nenek tua itu ternyata banyak lebih tajam daripada hidungku." Hatinya heran
bukan main, karena
ia tak tahu bau apa adanya itu.
Di lain saat, Tong Lootaypo mendadak mengusap hidung Kim Sie Ie yang lantas saja
merasa dadanya lega dan jalanan darahnya yang tertotok segera terbuka. Waktu itu,
sambil memeluk Liong Leng Kiauw, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya.
"Ubar!" teriak si nenek. "Leng Kiauw kena obat lupa. Dia bukan sengaja tak suka
mengenal aku." Barusan walaupun tak tahu racun apa yang dilepaskan oleh si pendeta, ia mengusap
hidung Kim Sie Ie sambil mencekal Liongyanko, semacam obat yang bisa memunahkan segala
macam racun dan ternyata obat tersebut cukup manjur untuk melawan Asioelo.
Sehabis berteriak, Tong Say Hoa lantas saja mengubar sekencang-kencangnya. Si
pendeta sudah kabur jauh sekali dan biar bagaimana jugapun tak akan dapat dicandak. Tapi
si nenek tetap mengudak, bagaikan orang edan. Melihat begitu Kim Sie Ie merasa terharu. "Tak
dinyana, nenek yang menyebalkan ini mempunyai rasa cinta yang begitu besar terhadap Liong
Loosam," katanya
di dalam hati. Ia merasa tidak tega dan lalu membuntuti dari belakang.
Sesudah mengejar belasan li, dari sebelah kejauhan Kim Sie Ie mendadak melihat
Tong Say Hoa terpeleset dan jatuh terguling di atas tanah. Dengan kaget ia menghampiri
dan ternyata, nenek itu telah memuntahkan darah hidup, sedang paras mukanya pucat seperti
mayat. Melihat pemuda itu, ia membuka kedua matanya dan berkata dengan napas tersengal-sengal:
"Aku bakal
segera mati, Aku hanya memohon, supaya kau suka melihat-lihat keponakan
lelakiku."
Kim Sie Ie memegang nadi orang dan beberapa saat kemudian, ia berkata sambil
bersenyum: "Tak apa-apa, kau tidak akan mati. Kau hanya menggunakan tenaga melampaui batas.
Sesudah beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh kembali."
Tong Say Hoa menghela napas panjang. Ia juga tahu sebab-sebab dari robohnya itu.
Akan tetapi, siapakah yang akan merawatinya selama beberapa hari"
Pemuda itu rupanya dapat membaca apa yang dipikir si nenek. Ia kembali mesem dan
berkata pula: "Keponakanmu masih berusia muda dan badannya kuat, sehingga, meskipun
mendapat luka, ia tentu tak akan mati. Yang paling penting adalah kau sendiri yang harus
beristirahat dan
memelihara diri beberapa hari. Aku harap, kau jangan menganggap aku sebagai
manusia yang hanya bisa mengacau. Di samping mengacau, akupun pandai merawat orang. Di waktu
kecil aku pernah menjadi pengemis dan sudah biasa melayani orang. Belakangan, waktu berada
di pulau Tjoato, aku pun merawat soehoe, yang sering memuji kepandaianku."
Dengan berkata begitu, Kim Sie Ie memberitahukan penderitaannya di jaman lampau,
tapi perkataannya dikeluarkan dengan nada riang gembira. Mendengar itu, si nenek jadi
merasa terharu. Sebagai manusia biasa, ia juga sayang jiwanya. Tapi karena pernah
mempunyai ganjelan
dengan pemuda itu, ia merasa berat untuk meminta pertolongan. Di luar dugaan,
pemuda itu sudah mengangsurkan dengan suka rela. Maka itu, dalam rasa terima kasihnya, ia
juga merasa jengah. "Ah, semua orang mengejek dia sebagai Toktjhioe Hongkay, sebagai
pengemis gila yang
tangannya sangat beracun," pikirnya. "Tapi tak dinyana, ia mempunyai hati
kasihan. Benar juga
orang kata, hati manusia tak bisa dilihat dari romannya. Tapi kenapa sepak
terjangnya begitu
aneh?" Dengan telaten, Kim Sie Ie merawat si nenek dan benar saja, selang beberapa
hari, kesehatannya telah pulih kembali. Mereka lalu kembali ke tempat pertempuran
untuk coba mencari jejak Tong Toan. Sesudah ditolong Keng Thian dan Peng Go, waktu itu Tong
Toan sudah pergi ke Lhasa. Tong Say Hoa yang kuatir keponakannya mati keuruk di dalam
salju, telah membongkar salju di beberapa tempat, di sekitar gelanggang pertempuran. Sesudah
terbukti, bahwa Tong Toan tidak menemui ajalnya disitu, hatinya merasa agak lega dan
mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat untuk mencari si pendeta asing.
*** Dalam keadaan lupa ingat, untuk beberapa lamanya, Liong Leng Kiauw duduk di
punggung kuda, dalam pelukan Ouwtjeng. Sesudah melewati padang rumput, hari itu mereka
tiba di kaki sebuah gunung yang sangat besar. Bukit-bukit yang besar dan yang kecil berdiri
berentet-rentet,
sedang puncak-puncak yang tertutup salju menjulang ke atas langit. Si pendeta
menahan les kuda
dan memberikan obat pemunah kepada Liong Leng Kiauw. Angin dingin yang meniup
tak hentinya dan kembang salju yang melayang turun bagaikan kapas, sangat menyegarkan dan
Liong Leng Kiauw segera tersadar. Ia pernah mendaki banyak gunung yang tersohor, tapi
gunung yang menghadang di depan adalah lain daripada yang lain dan ia memandang dengan rasa
kagum. Si pendeta tersenyum seraya berkata: "Sesudah banyak capai beberapa hari,
sekarang kita boleh mengasoh." Ia melompat turun dari kuda, diturut oleh Liong Leng Kiauw.
Sebelum Leng Kiauw keburu menanya, si pendeta sudah mendului: "Liong Sam
Sianseng... salah, Kongtjoe dari Lian Thaysoe, di tempat ini kau boleh tak usah kuatir lagi.
Andaikata kaisar
Tjeng mengirim sepuluh laksa tentara, ia juga tak akan dapat menangkap kau."
Leng Kiauw terkejut. "Bagaimana kau tahu asal-usulku?" tanyanya.
Si pendeta tertawa berkakakan. "Jika aku tak tahu asal-usulmu, perlu apa aku
membuang tenaga untuk menculikmu?" katanya.
"Apa artinya perkataanmu?" tanya pula Leng Kiauw.
Ouwtjeng menuding dengan cambuknya seraya berkata: "Lihatlah!"
Liong Sam mengawasi ke arah yang ditunjuk. Jauh-jauh, di satu selat gunung, ia
melihat gerakgeriknya
tentara yang berjumlah besar, sedang di bawah pohon-pohon, lapat-lapat terlihat
tendatenda yang berderet-deret. Leng Kiauw kaget bukan main. "Siapa kau?" tanyanya.
"Aku bernama Taichiti, Koksoe (guru negara) dari negara Nepal," jawabnya sambil
tertawa. "Atas titah Raja, aku mengundang Sianseng (tuan) datang kemari untuk
merundingkan suatu
usaha besar."
"Apa?" menegas Leng Kiauw. Si pendeta mengawaskan, muka Liong Sam dan berkata
dengan suara perlahan: "Selama hidupnya, mendiang ayahmu, Lian Keng Giauw
Taytjiangkoen, telah
mengabdi kepada kaisar Tjeng dan telah berjasa besar sekali. Tapi pada akhirnya,
tak urung ia mesti binasa secara menyedihkan sekali. Maka itu, tidaklah heran jika Sianseng
bertekad untuk membalas sakit hati dan bertahun-tahun menderita di bawah perintah orang untuk
mencapai maksudmu itu. Rajaku merasa sangat bersimpati atas meninggalnya Lian
Taytjiangkoen dan
merasa kagum akan segala usahamu!"
"Soal membalas sakit hati adalah soal pribadiku sendiri, yang tiada sangkut
pautnya dengan negara Koksoe," kata Leng Kiauw.
Si pendeta bersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Biarpun Sianseng
telah berserikat dengan sejumlah Touwsoe tapi, Sianseng harus ingat, bahwa Hok Kong An
mempunyai tentara yang berjumlah besar, sehingga walaupun Sianseng berhasil melarikan diri
dari penjara, belum tentu bisa berhasil dalam seluruh usaha."
Mendengar itu, Leng Kiauw lantas saja mengerti maksud si pendeta. "Apa Koksoe
ingin membujuk supaya aku meminjam tentara dari negerimu?" tanyanya. "Hai! Jika aku
menggunakan cara itu, biarpun berhasil, aku tentu akan ditertawai orang."
"Sianseng salah," membantah si pendeta. "Dalam sejarah Tiongkok, meminjam
tentara dari luar
negeri bukan hal yang belum pernah terjadi. Untuk membalas sakit hati ayahnya,
Ngo Tjoe Sie telah meminjam tentara negeri Gouw guna menghukum rajanya sendiri. Sebagaimana
kutahu, orang-orang di jaman belakangan tak pernah mentertawainya.
Bahwa pendeta asing itu mengenal baik sejarah Tiongkok, adalah di luar dugaan
Leng Kiauw. Mendengar bujukannya, tanpa merasa ia bergidik dan bulu romanya bangun semua.
"Walaupun benar Ngo Tjoe Sie pernah meminjam tentara Gouw, tapi negeri Gouw adalah negeri
yang terletak di Tiongkok juga dan tentara Gouw terdiri dari sesama bangsa," katanya di dalam
hati. "Mana bisa
peminjaman tentara oleh Ngo Tjoe Sie dibandingkan dengan peminjaman tentara dari
negara Nepal. Di samping itu, pada akhirnya putera Raja Gouw -- yang mewarisi kedudukan
Raja Gouw tua - telah menghadiahkan hukuman bunuh diri sendiri kepada Ngo Tjoe Sie. Dengan
menyebutnyebut Ngo Tjoe Sie, apakah si pendeta ingin aku mendapat nasib seperti orang itu" Jika
aku meminjam tentara asing, aku bukan satu Ngo Tjoe Sie, tapi seorang yang boleh
dipersamakan dengan Gouw Sam Kwie!"
Melihat Leng Kiauw membungkam, si pendeta berkata pula: "Seorang luar biasa
harus melakukan pekerjaan yang luar biasa pula. Negeriku adalah negeri kecil yang
penduduknya sedikit
dan sama sekali tak punya niatan untuk menggeragoti wilayah Tiongkok. Untuk
sementara, Lian
Sianseng boleh menancap kaki dan memperkuat kedudukan di daerah Tibet untuk
menjagoi di wilayah sebelah utara padang pasir. Sesudah mengumpul tenaga, Sianseng boleh
maju terus ke daerah Tionggoan dengan kemungkinankemungkinan
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tiada batasnya. Jika di hari nanti Sianseng bisa menjadi tuan, dari sebuah
negara besar, maka negeriku yang kecil juga akan mendapat banyak manfaatnya!"
Seperti ayahnya, Liong Leng Kiauw pun mempunyai angan-angan besar. Mendengar
perkataan si pendeta, hatinya lantas saja tergerak. Selagi ia bersangsi, pendeta itu sudah
berkata pula: "Rajaku sudah membawa tentara sampai disini dan untuk sementara waktu berkemah
di selat gunung itu. Sesudah hawa udara menjadi lebih hangat dan salju melumer,
Aku sekarang mengundang Sianseng untuk menemui Rajaku, supaya bisa diadakan
perundingan yang lebih mendalam. Apakah Sianseng setuju dengan usulku itu?"
Leng Kiauw tidak menyahut. Ia memandang ke tempat jauh dengan mata mendelong.
Si pendeta tertawa pula seraya berkata: "Seorang laki-laki harus bisa mengambil
keputusan cepat dan tidak boleh terlalu bersangsi. Jika Sianseng maju ke barat, hari
kemudianmu tak bisa
ditaksir bagaimana besarnya. Tapi jika Sianseng tetap menolak, aku pun tidak
bisa memaksanya.
Hanya sepanjang pengetahuanku, kaizar Tjeng yang mempunyai banyak sekali kaki
tangan yang berkepandaian tinggi, telah bertekad untuk membinasakan Sianseng. Maka itu,
manakala Sianseng
balik ke jurusan timur, andaikata bisa melewati padang rumput dengan selamat,
mungkin sekali Sianseng sudah menemui bencana sebelum tiba di Lhasa. Sebelum mengambil
keputusan pasti,
aku memohon Sianseng suka menimbang dengan seksama."
Mendengar perkataan si pendeta yang cukup beralasan, Leng Kiauw segera berkata
dalam hatinya: "Sesudah tiba disini, biarlah aku menemui rajanya. Apa aku suka
belakangan."
Sebagai gunung yang tinggi dan besar luar biasa, Himalaya mempunyai hawa yang
berbedabeda. Di bagian atas, puncak-puncaknya ditutup es yang tak pernah melumer sepanjang
tahun. Di bagian tengah, di lereng gunung, hawanya seperti di musim dingin, dengan
kembang-kembang
salju berterbangan kian kemari. Tapi di kakinya, ratusan bunga mekar serentak
dan memberi pemandangan seperti di musim semi.
Selat gunung dimana tentara Nepal sedang berkemah, dikurung dengan bukit-bukit
tinggi yang merupakan aling-aling bagi angin dingin, sehingga, oleh karenanya, hawa disitu
nyaman dan hangat. Begitu masuk di selat, Leng Kiauw melihat tenda-tenda yang dipasang berderetderet. Di tengah-tengah perkemahan terdapat bendera raja dan di seputarnya dipasang dua
belas bendera panglima. Leng Kiauw yang mengenal tata tertib dalam ketentaraan Nepal, tahu
bahwa setiap sepuluh tangsi tentara dipimpin oleh seorang panglima dan setiap tangsi terdiri
dari lima ratus
serdadu. Maka itu, menurut perhitungan kasar, di selat tersebut berkumpul kurang
lebih enam puluh ribu tentara. Nepal adalah sebuah negri kecil dan dengan tentara yang
sebesar itu, dapat
dikatakan sang raja sudah mengirim seluruh kekuatannya ke tempat tersebut. Tapi
walaupun berjumlah tidak sedikit, tentara itu belum memenuhi sebuah selat dari Himalaya.
Sambil berjalan, hati Leng Kiauw berdebar-debar. Ia ingat keangkeran di jaman
lampau dari mendiang ayahnya yang berkuasa atas ratusan laksa tentara. Semenjak kecil, ia
telah beranganangan
untuk mengikuti jejak ayahnya yang ia sangat kagumi. Sekarang, jika mau, mimpi
itu bisa terwujut. Ia bisa mengepalai sepasukan tentara dan menerjang ke jurusan Lhasa.
Hanya sayang, kesempatan yang datang itu mengandung hinaan bagi kehormatan dirinya.
Demikianlah, sambil
berjalan, dua macam pikiran pro dan kontra, berkelahi dalam otaknya.
Mendadak di selat gunung terdengar suara ramai.
*** Sekarang mari kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang meneruskan
perjalanan ke arah barat untuk mencari Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie.
Satu hari kembali lewat dengan hasil nihil. Pengtjoan Thianlie jadi semakin
berkuatir, karena
lewatnya satu hari berarti semakin mendekatnya ajal Kim Sie Ie dan kekuatiran
itu terlihat tegas
pada paras mukanya.
Keng Thian sendiri sebenarnya tidak menaruh simpati kepada pemuda edan-edanan
itu. Tapi sesudah Kim Sie Ie menolong Tan Thian Oe dan Tong Say Hoa, pandangannya jadi
berubah. Hanya setiap kali ingat pengacauan Kim Sie Ie terhadap percintaannya, ia selalu
merasa mendongkol. Sekarang, dengan nyata ia melihat kekuatiran Peng Go akan keselamatan pemuda
itu. Jika hal ini terjadi di waktu dulu, sedikit banyak ia akan merasa jelus. Tapi sesudah
mengenal si nona yang
welas asih dan suci bersih, kejelusan tak timbul dalam hatinya. Sebaliknya dari
itu, ia malahan
lebih-lebih merasa kagum akan jiwa sang kecintaan yang mulia dan agung, la
yakin, bahwa setiap
perasaan jelus hanyalah berarti kecilnya jiwa sendiri.
Sesudah membedal kuda beberapa hari, mereka melewati padang rumput dan
pegunungan Himalaya sudah berada di depan mata. Mereka lalu masuk ke daerah pegunungan itu
dan berada di tengah bukit-bukit dan batu-batu karang yang angker dan penuh bahaya. Sambil
berjalan, mereka menikmati pemandangan alam yang indah luar biasa.
Keng Thian menghela napas.
"Benar juga orang kata, bahwa dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tiada
lawannya, yang satu lebih tinggi daripada yang lain," katanya dengan suara perlahan. "Tadinya
aku menganggap,
gunung Thiansan tiada tandingannya lagi. Panjangnya gunung itu tak kurang dari
tiga ribu li, sedang kedua puncaknya, yang satu di selatan dan yang lain di utara, seolah-olah
menembus langit. Tapi tak dinyana, Himalaya lebih hebat daripada Thiansan."
Belum jalan berapa jauh, di depan mereka tiba-tiba menghadang sebuah puncak batu
yang bentuknya luar biasa. Puncak itu yang berdiri terpencil tak jauh dari padang
rumput, menjulang ke
atas seperti satu kaca muka yang terbuat dari batu giok putih, Keng Thian dan
Peng Go memandangnya dengan rasa kagum dan mereka lalu maju mendekati. Mendadak Keng
Thian mengeluarkan seruan tertahan dan dengan paras yang mengunjuk keheranan, ia
melompat turun dari tunggangannya.
Hampir berbareng, Peng Go pun mengeluarkan teriakan kaget, karena ia melihat
tetesan darah di kaki puncak. "Ih! Apa Kim Sie Ie dan pendeta asing itu bertempur lagi di
tempat ini?" tanyanya.
"Darah siapa ini ?"
"Darah?" menegas Keng Thian.
"Apa kau tak lihat?" si nona balas menanya, sambil melirik tunangannya, Ternyata
mata pemuda itu tengah mengawaskan ke atas puncak. Ia dongak dan lapat-lapat, melihat
beberapa baris huruf di atas puncak itu. Harus diingat, bahwa puncak batu itu yang
berdiri lurus, sangat licin
permukaannya, sehingga tak mungkin dipanjat manusia. Maka itulah, terlihatnya
huruf-huruf tersebut merupakan kejadian yang lebih aneh daripada tetesan darah.
Mereka lalu maju terlebih dekat dan mengawasi tulisan itu yang berbunyi seperti
berikut: "Beberapa kali mendaki Thiansan lulus dari ujian, sepasang pedang kini naik ke
Puncak Mutiara,
gunung termashyur seolah-olah tempat tinggalnya dewa, tak tega melihat tentara
asing mengucurkan darah di selebar bumi!"
Setiap huruf, yang besarnya kurang lebih satu kaki pesegi, seperti juga terpahat
di batu karang.
Sesudah mengawasi beberapa lama, Pengtjoan Thianlie kembali mengeluarkan seruan
kaget. "Apa
dalam dunia ini ada manusia yang berkepandaian begitu tinggi?" tanyanya dengan
suara heran dan kagum. "Dilihat dari tulisannya, huruf-huruf itu pasti ditulis dengan jeriji
tangan!" Keng Thian tak menyahut, kedua matanya terus mengincar huruf-huruf itu. Mendadak
saja ia berseru: "Inilah buah tangannya ayahku!"
"Ayahmu?" menegas si nona. "Apa beliau tidak berada di Thiansan?" Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata pula: "Benar, aku rasa kau tak salah. Dilihat dari syair itu,
bukan saja ayahmu,
tapi ibumu pun turut datang kesini. Tapi untuk apa mereka mendaki Himalaya?"
"Sudah dua puluh tahun, ayahku tak pernah memegang senjata," kata Keng Thian
dengan suara perlahan. "Kenapa ia melukakan orang di tempat ini?" Pada jaman itu,
kepandaian Tong
Siauw Lan dan Phang Eng tiada tandingannya di kolong langit, sehingga dapatlah
dimengerti, jika
Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa darah itu adalah darah orang lain.
Dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cecak merayap di tembok), Keng Thian
segera memanjat puncak batu itu.
"Hati-hati!" teriak si nona. "Batu itu kelihatannya bergoyang-goyang.
"Tak apa," sahut Keng Thian. "Jika benar berbahaya, ayahku tentu tak akan
memanjatnya."
Selagi berkata begitu, matanya melihat sebuah batu yang separuh menonjol keluar,
sedang separuhnya lagi menempel di tembok batu itu. Biarpun memiliki ilmu mengentengkan
badan yang sangat tinggi, tapi karena dari bawah ia harus merayap ke atas tanpa pegangan,
maka waktu itu Keng Thian sudah merasa capai bukan main. Ia girang melihat batu yang menonjol
itu, sebab dengan memegangnya, ia bisa mengasoh sebentaran. Satu tangannya segera
menjambret batu
itu. "Awas!" teriak Peng Go.
Sedang mulut si nona belum tertutup rapat, sudah terdengar suara gcdubfakan,
disusul dengan jatuhnya batu yang baru saja dipegang Keng Thian. Hati Peng Go mencelos dan
mengawasi dengan mata membelalak. Bagaikan kilat, Keng Thian menendang dan badannya lantas
meluncur ke bawah. Batu itu melayang turun dengan kecepatan luar biasa, tapi masih
untung, jatuhnya
Keng Thian lebih cepat lagi dan untuk beberapa detik, punggungnya dibayangi
dengan batu tersebut dalam jarak beberapa kaki. Ia kaget bukan main, tapi sebagai seorang
yang berkepandaian tinggi, dalam kagetnya ia tak jadi bingung. Pada saat yang sangat
berbahaya, sambil mengerahkan Iweekang, ia menggoyang badannya yang lantas saja membelok
sedikit dan hampir berbareng, batu itu lewat di dekat kepalanya!
Tiba-tiba terdengar lagi suara gedubrakan hebat, disusul dengan jeritan kuda.
Ternyata kedua tunggangan mereka tertimpa batu dan lantas tewas jiwanya. Dengan jantung memukul
keras, Peng Go lompat menghampiri Keng Thian yang paras mukanya pucat dan kedua
lututnya berlumuran darah.
Dengan melupakan rasa malu, si nona memeluk tangannya dan air matanya mengucur
deras. "Puteri edan, kenapa kau menangis?" tanya Keng Thian sambil tertawa. "Tulangku
tidak patah. Andaikata patah, kau menangis pun tak ada gunanya."
Dengan muka bersemu merah, si nona memeriksa lutut Keng Thian dan benar saja,
biarpun lukanya tak terlalu enteng, urat dan tulangnya tidak terganggu. Diam-diam ia
merasa kagum akan
liehaynya sang tunangan. Begitu batu itu jatuh, Keng Thian menendang dengan
kedua kakinya, untuk memperlambat gerakan jatuh batu itu dan mempercepat gerakan jatuh tubuhnya
sendiri. Jika ia tidak berbuat begitu, mungkin sekali batu tersebut sudah menghantam
tubuhnya dan membinasakannya. "Tak heran jika orang menganggap Iweekang Thiansan pay sebagai
Iweekang yang paling unggul dalam Rimba Persilatan," kata si nona dalam hatinya. "Usia
Keng Thian tidak
kacek jauh dengan usiaku, tapi lweekang-nya banyak lebih tinggi. Ia sanggup
membentur batu yang beratnya ribuan kati dan hanya mendapat luka di luar."
Dengan hati-hati si nona melabur obat dan membalut luka Keng Thian dan kemudian
memberikannya sebutir Liokyang wan. "Entah kenapa, aku mudah mengucurkan air
mata," katanya seraya tersenyum. "Dulu, waktu burung betetku patah sayapnya, aku pun
sudah menangis. Di Nepal terdapat suatu dongengan rakyat. Menurut dongengan itu, di
jaman purba seorang puteri raja, yang tunangannya telah dibinasakan oleh seorang dukun. Pada
waktu pangeran itu -- ia adalah seorang putera raja - hendak dimakamkan, sang puteri
datang dan sambil memeluk jenazahnya, ia menangis sedu sedan. Air mata, itu telah membasahi
dada sang tunangan yang mendadak hidup kembali."
Keng Thian tertawa terbahak-bahak. "Aha! Sungguh mustajab air mata sang puteri!"
katanya.
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan saja bisa menyambung tulang, tapi juga bisa menghidupkan mayat. Dengan
adanya kau di dampingku, aku boleh tak usah takuti apapun juga."
Si nona tertawa manis. "Dari mana kau belajar bicara begitu," katanya sambil
menabok pipi sang tunangan. Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau dengan rasa
beruntung, "Heran betul!" tiba-tiba Keng Thian berkata.
"Heran kenapa?" tanya Peng Go.
"Batu itu!" jawabnya.
Pengtjoan Thianlie tersadar dan ia berkata: "Benar. Kenapa batu itu jatuh" Coba
aku menyelidiki." Ia berjalan sampai di kaki puncak dan mendongak. Segera juga ia
melihat, bahwa di
tempat bersambungnya batu menonjol itu -- yang sudah ambruk ke bawah - dengan
tembok batu, terdapat bekas-bekas bacokan golok atau kampak. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, ia merayap ke atas dan tangannya meraba-raba di sekitar
tempat sambungan itu. Ternyata, tanah dan lumut yang melekat disitu juga memperlihatkan
bekas-bekas diganggu orang. Tapi karena "pengolahannya" dilakukan secara halus, maka sebelum
jatuh, orang masih menganggap, bahwa batu yang menonjol itu merupakan bagian yang tersatu
dari puncak batu tersebut. Bukan main rasa herannya Pengtjoan Thianlie. Orang yang menaruh "racun" itu
tentulah bekerja sesudah Tong Siauw Lan meninggalkan tempat tersebut. Tapi siapa dia"
Kenapa dia berbuat begitu. Apakah dia sudah menduga, bahwa seorang lain akan memanjat
puncak itu untuk
membaca syair Tong Siauw Lan"
Keng Thian pun tidak kurang herannya, tapi, seperti si nona, ia juga tidak bisa
menduga-duga, tangan siapa yang sudah melakukan itu.
Dengan Peng Go menuntun Keng Thian, perlahan-lahan mereka melanjutkan
perjalanan. Untung juga, belum jalan berapa jauh, mereka bertemu dengan sebuah Honghotay,
peninggalan di jaman dulu. (Honghotay adalah sebuah bangunan tinggi yang di jaman dulu
digunakan sebagai
pertandaan untuk meminta bantuan tentara, dengan membakar kayu. Dengan melihat
api dan asap, kawan yang berada di tempat jauh dapat segera memberi pertolongan).
Sambil menuntun tunangannya, Peng Go masuk ke dalam bangunan itu. seraya
berkata: "Untung juga kita bertemu dengan tempat meneduh untuk beristirahat beberapa hari
sampai lukamu sembuh."
Honghotay adalah bangunan yang bertingkat dua, atasnya lancip, bawahnya lebar.
Bagian atasnya, atau loteng, biasa digunakan sebagai mercu untuk meninjau ke tempat
jauh, sedang bawahnya digunakan sebagai tangsi untuk serdadu. Pengtjoan Thianlie segera
membersihkan lantai dan sesudah mempersilahkan Keng Thian merebahkan diri, ia lalu keluar
untuk mencari makanan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa dua ekor ayam alas yang
lalu dijadikan barang santapan. Dengan dirawat oleh si nona dan saban-saban menelan
pel mustajab dari Istana Es, pada esokan harinya, luka Keng Thian sudah rapat dan satu dua
hari lagi, ia akan
sembuh seperti sediakala.
Malam itu, Peng Go kembali memburu dan mendapat seekor kambing kecil yang lalu
dibakarnya. Sebagai seorang puteri yang sedari kecil biasa dirawat, Peng Go sama
sekali tidak mengenal ilmu masak. Malahan membakar daging saja, ia tak mampu, sebagian hangus
dan sebagian mentah. Tapi bagi Keng Thian, daging yang mentah matang itu, merupakan
santapan yang terlezat dalam dunia!
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Kedua orang muda
itu tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang baik dan sambil menggandeng tangan,
mereka naik ke loteng untuk menikmati pemandangan malam terang bulan yang indah itu.
Sungguh permai! Himalaya seolah-olah mandi dalam lautan perak dan sinar es yang menyorot
dari puncakpuncak
yang tinggi memperlihatkan suatu pemandangan yang benar-benar luar biasa.
Sesudah memandang beberapa lama, si nona menghela napas seraya berkata dengan
suara perlahan: "Di sebelah sana adalah
negeri ibuku. Sungguh lucumeskipun
aku berkedudukan sebagai puteri Nepal, belum pemah aku menginjak negeri itu."
"Tak satu manusia pun yang menghalangi kau pergi kesitu," kata Keng Thian sambil
tertawa. "Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali ke negeri sendiri." kata si nona.
"Keng Thian tersenyum. "Dalam dunia ini tiada yang kekal," katanya. "Coba kau
pikir, siapa bisa
duga, Puncak Es bisa roboh dengan begitu saja?"
Peng Go tidak menyahut, parasnya kelihatan berduka sekali.
"Jika piauwko-mu (saudara sepupu) ingin menikah dengan kau, kau tak bisa tidak
pulang ke Nepal," kata Keng Thian.
"Piauwko-ku?" menegas si nona.
"Bukankah raja Nepal piauwko-mu?" kata pula pemuda itu, "Hm... menurut
taksiranku, pendeta
asing itu tentu kabur ke Himalaya. Aku kuatir, dugaanmu tidak meleset, dia
datang di Lhasa atas
perintah raja Nepal."
Peng Go membungkam. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbisik: "Kecuali kau,
dalam hatiku tak ada tempat lagi untuk lain lelaki..." Sehabis berkata begitu,
parasnya berubah merah.
Biarpun sudah tahu sama tahu, inilah untuk pertama kali si nona membuka rahasia
hatinya terangterangan.
Kegirangan Keng Thian meluap-luap dan matanya berlinang-linang karena kegirangan
yang melampaui batas. Sambil memegang pundak si nona, ia berbisik: "Apa benar"..."
Dengan perlahan Peng Go mendorong kecintaannya. "Kau tidak permisikan aku
menangis, tapi kau sendiri yang mudah mengucurkan air mata," katanya dengan suara terharu.
Tiba-tiba kesunyian sang malam diganggu dengan suara tindakan kaki manusia di
bawah loteng. "Siapakah yang menggerayang kesini di tengah malam buta?" bisik Keng
Thian. Peng Go menghunus Pengpok Hankong kiam dan membuat lubang kecil di papan loteng.
"Aha!" demikian terdengar seruan seorang. "Daging kambing bakar" Mana yang
punya?" Suara
itu adalah suara Hiatsintjoe yang menyeramkan.
"Jangan perdulikan yang punya," kata seorang lain. "Makan saja."
Keng Thian mengintip di lubang. Ia melihat seorang hweeshio, jangkung kurus
tengah berjalan
mendekati perapian dan waktu lengannya menyentuh meja batu, terdengar suara
beradunya logam. Orang itu adalah Tang Thay Tjeng yang tidak dikenal Keng Thian. "Siapa
dia?" tanyanya di
dalam hati. "Hiatsintjoe saja sudah merupakan lawan berat. Hweeshio itu
kelihatannya bukan
sembarang orang. Bagaimana baiknya" Lukaku belum sembuh, apa Peng Go bisa
melawan mereka berdua?" Sambil mengeluarkan beberapa batang Thiansan Sinbong, ia berbisik di
kuping Peng Go:
"Jangan ladeni mereka."
Peng Go mengangguk. Selagi hatinya penuh dengan rasa cinta, si nona memang tak
punya kegembiraan untuk bertempur.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan sambil mengunyah daging, ia berkata dengan suara
mendongkol: "Sungguh tolol orang yang membakar daging ini. Separuh hangus, separuh mentah."
Mendengar kecintaannya dimaki, Keng Thian gusar, tapi Peng Go sendiri hanya
bersenyum. Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Kau sungguh rewel," katanya. "Jika tak doyan,
jangan makan! Berikan semua, kepadaku, perutku lapar sangat. Di atas gunung mungkin lebih
sukar mendapat makanan." Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, mulutnya terus mengunyah daging.
"Semakin aku
ingat, semakin perutku panas," mendadak dia berkata lagi. "Sungguh kurang ajar
binatang Kim Sie
Ie! Jika aku berhasil mendapatkan, Tjiangtjoe Siantjo, huh-huh!... Aku akan
keset kulitnya!"
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Dari dulu sampai sekarang, belum pernah ada
manusia yang berhasil mendaki Puncak Chomo Lungma," katanya. "Jangan kau mengharap-harap
embun tengah hari. Jika kau bisa berhasil, Tuhan benar-benar memberkahi kau."
"Kalau kau takut mati, tak usah kau ikut," bentak Hiatsintjoe.
"Ikut tentu aku mesti ikut," kata si pendeta. "Seperti kau, aku pun sangat
dihina orang. Daripada dihina orang, lebih baik mati, daripada mati konyol, lebih baik cobacoba nasibku."
Mendengar pembicaraan yang tiada ujung pangkalnya itu, Peng Go tak mengerti apa
yang sedang dibicarakan. Ia hanya merasa heran, kenapa Hiatsintjoe gusar terhadap Kim
Sie Ie, sedang orang yang bersalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia tentu saja tak tahu
terjadinya pertempuran di padang pasir, dimana Hiatsintjoe dipukul pincang oleh Kim Sie Ie
yang sudah merampas juga unta mereka. Hanyalah sesudah mengalami banyak penderitaan,
barulah mereka bisa keluar dari padang pasir itu.
Selagi Hiatsintjoe mencaci Kim Sie Ie, tiba-tiba diluar terdengar suara kaki
kuda. "Celaka! Pemilik daging datang!" kata Tang Thay Tjeng sambil tertawa.
"Kalau dia rewel, aku hantam mampus padanya," kata kawannya.
"Jangan galak-galak," si pendeta tertawa haha-hihi. "Orang baik-baik tak boleh
sembarangan membunuh manusia."
Sementara itu, suara kaki kuda kedengaran berhenti di depan Honghotay. "Apa aku
kata?" demikian terdengar suara seorang anak tanggung yang sangat nyaring. "Aku sudah
kata, kalian tak usah bingung. Bukankah disini ada tempat meneduh" Ha-ha-ha! Bau daging
kambing! Wangi sungguh! Aku berani bertaruh, pemilik daging adalah seorang pelancong yang murah
hati." Keng Thian dan Peng Go saling memandang sambil mesem. Mereka mengenali, bahwa
suara itu adalah suara Kang Lam, si bawel.
"Ibu, rumah apa ini?" tanya seorang gadis.
"Tak tahu, tapi tak halangan jika kita numpang disini," jawab seorang wanita.
Keng Thian merasa heran. "Kenapa Yo Lioe Tjeng dan puterinya datang kemari?"
tanyanya di dalam hati. "Didengar dari suara tindakan, yang datang ada empat orang. Siapa
yang satunya lagi?" Sesaat kemudian, empat orang masuk dengan beruntun-runtun. Dari lubang papan,
Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa orang yang satunya lagi adalah Tong Toan.
*** Ternyata, selagi Kang Lam mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya ke Lhasa untuk
mencari Keng Thian, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tong Toan. Keluarga Tong dan
Yo adalah sahabat-sababat lama. Pada dua puluh tahun lebih berselang, satu gelombang hebat
telah terjadi karena Phang Lin telah kesalahan membunuh suami Tong Say Hoa dan peristiwa itu
hampirhampir menyeret juga Yo Tiong Eng dan puterinya. Sesudah gelombang mereda, keluarga
Tong insyaf bahwa kesalahan terletak di pihaknya dan merasa sangat malu akan
perbuatan mereka
terhadap Yo Tiong Eng. Maka itulah, perhubungan antara mereka dan Yo Lioe Tjeng
jadi terlebih rapat lagi. Biarpun Yo Lioe Tjeng berusia banyak lebih muda daripada
Tong Say Hoa, Tong
Toan selalu menganggapnya sebagai seorang tjianpwee dan memanggil Kouwkouw
(bibi) kepadanya. Tong Toan segera menceritakan pertemuannya yang luar biasa dengan Keng Thian dan
Peng Go. Sesudah mengetahui jejak Keng Thian, Yo Lioe Tjeng segera mengajak Tong Toan
pergi, menyusul ke jurusan barat.
Begitu masuk ke ruangan bawah Honghotay, mereka melihat Hiatsintjoe yang sedang
mempertunjuki kepandaiannya yang menyeramkan. Dia memasukkan kedua tangannya ke
dalam perapian yang sudah hampir padam dan dengan menggunakan ilmu Inhwee siosin
(Menarik api membakar badan), ia mengeluarkan hawa yang sangat panas di telapakan tangannya,
sehingga perapian itu, kembali membara. Dengan kulit tangan yang terkeset, tulang-tulang
jeriji kelihatan
tegas sekali di dalam bara. Tang Thay Tjeng sendiri terus mengunyah daging
kambing sambil menyender di meja batu, dengan memperlihatkan sikap acuh tak acuh.
Melihat kedua memedi itu, Yo Lioe Tjeng berempat kaget tak kepalang. Dengan
badan bergemetaran, Kang Lam mundur ke belakang Tjee Tjiang Hee.
Jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, tapi karena mempunyai banyak pengalaman,
parasnya sedikitpun tidak berubah. "Benar," katanya. "Tempat ini nyaman dan hangat. Kang
Lam, coba keluarkan arak dan daging ayam. Sebelum tidur, kita makan dulu."
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si kacung segera mengeluarkan sepotong paha ayam, tapi sebab sedang ketakutan,
ia tak punya napsu makan dan lalu mengangsurkannya kepada Tjiang Hee. "Kau makan saja
sendiri," kata si nona. "Daging bekalanku belum habis."
Sesudah menenteramkan hati sambil memegang, paha ayam itu, Kang Lam berkata
sambil tertawa haha-hihi: "Tong Tayhiap, telah berjanji untuk bertemu disini.
Sediakanlah sepotong
daging untuknya. Ha-ha! Tong Tayhiap bersahabat baik dengan Kongtjoe-ku dan ia
belum pernah salah janji, la kata, akan tiba disini tengah malam dan ia pasti datang."
Tjiang Hee kaget tapi segera juga ia mendusin, bahwa dengan perkataannya itu, si
kacung coba menakut-nakuti kedua musuhnya. Hanya lantaran hatinya ketakutan, tertawa
dan suaranya sangat tidak wajar.
Hiatsintjoe lantas saja mengeluarkan suara di hidung, sedang Tang Thay Tjeng
tertawa berkakakan. "Sayang sekali disini tak ada yang memukul kentongan, sehingga 'ku
tak tahu, apa sekarang tengah malam atau sudah lewat tengah malam," kata si pendeta dengan
suara menjengeki. Kang Lam kaget, ia mengerti, bahwa ia sudah salah omong. Untuk memperbaiki
kesalahannya, ia kembali tertawa seraya berkata: "Tong Tayhiap dan kita sama-sama datang dari
Lhasa. Biarpun kepandaiannya tinggi, ia tentu saja tidak bisa jalan begitu cepat seperti yang
menunggang kuda.
Tapi ia pasti datang. Sepoci arak ini lebih baik disediakan untuknya."
Dengan berkata begitu, Kang Lam lebih membuka kedok serdiri. "Plak!",
Hiatsintjoe menepuk
meja batu seraya membentak: "Kang Lam! Mari!"
Jantung si kacung melonjak, la mundur setindak dan berkata seraya menggoyang
tangan: "Jangan sungkan-sungkan, makan saja sendiri. Aku tak doyan daging kambing."
"Jangan rewel!" bentak pula Hiatsintjoe. "Siapa undang kau makan daging kambing"
Mari! Layani tuan besarmu minum arak."
"Arak ini adalah untuk Kim Tayhiap," katanya dengan suara bingung.
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Kim Tayhiapmu sudah mampus di padang pasir,"
katanya dengan suara mengejek. "Jangan banyak bacot! Kau ingin menakut-nakuti aku dengan
menggunakan nama Toktjhioe Hongkay" Hm! Kemari! Jika kau membandel, aku akan bakar badanmu."
Sehabis berkata begitu, ia mengebaskan tangannya dan hawa yang sangat panas lantas saja
menyambar. Tiba-tiba di luar terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. "Bagus!" seru
seorang. "Aku
paling doyan daging kambing!"
Hiatsintjoe menengok dan melihat dua orang aneh sedang berjalan masuk dengan
jungkir balik, dengan menggunakan tangan sebagai kaki. Sesudah melihat lebih tegas, ia tahu,
bahwa kedua orang itu patah tulang kakinya. Dilihat dari mata mereka yang dalam, hidung yang
mancung dan pakaian mereka, orang bisa lantas mengenali, bahwa mereka adalah orang Arab yang
dapat menggunakan bahasa Han dengan lancar sekali.
Begitu masuk, mereka bersila dan berkata sambil menuding Hiatsintjoe: "Wangi
sungguh daging itu. Coba berikan sepotong kepadaku."
Hiatsintjoe naik darahnya dan dengan mendelik, ia mengipas dengan kedua
tangannya dan hawa panas segera menyambar pada kedua orang itu. Tang Thay Tjeng buru-buru
memberi isyarat dengan kedipan mata untuk mencegah sang kawan berlaku semberono.
"Ha-ha-ha! Sungguh nyaman!" seru satu antaranya. "Dari gunung es masuk kesini
seperti juga masuk ke dalam surga." Dilihat dari muka dan gerak-geriknya, kedua orang itu
sudah lelah sekali.
Sesudah berjalan di atas salju dan kemudian diserang hawa panas, mereka pasti
sudah roboh jika
tak punya tenaga dalam yang sangat kuat. Mereka terus bersenyum-senyum dengan
sikap acuh tak acuh, seperti juga tidak merasakan kebasan tangan Hiatsintjoe.
Kedua orang aneh itu berbeda badannya, yang satu gemuk dan yang lain kurus. "Aku
dengar orang-orang di Tiongkok sangat ramah tamah terhadap tamu," kata si gemuk.
"Sekarang ternyata,
omongan itu dusta belaka."
"Apa kau kata ?" bentak Hiatsintjoe.
"Eh, apa kau mau cari-cari ribut?" tanya si kurus.
Hiatsintjoe tak bisa menahan sabar lagi. Ia melompat ke tengah ruangan dan
berteriak: "Mari!
Mari kita coba-coba. Kami berdua dan kamu pun berdua."
Si kurus menggelengkan kepala. "Perutku lapar," katanya sambil tertawa. "Tak
punya tenaga untuk berkelahi."
Dengan gergetan Hiatsintjoe mengambil sepotong daging yang sedang dipegang Tang
Thay Tjeng dan lalu melontarkannya sembari membentak: "Makan! Lekas makan!" Waktu
melemparkan, ia mengerahkan lweekang, sehingga daging itu menyambar dengan tenaga yang hebat.
Tapi si kurus tetap tenang. Ia membuka mulutnya dan menggigit potongan daging yang
menyambar itu. "Mana untukku?" tanya si gemuk.
"Kang Lam! Berikan daging ayam kepadanya!" memerintah Hiatsintjoe.
Melihat perkembangan yang luar biasa itu, si kacung jadi girang. Dengan sikap
hormat, ia mempersembahkan dua potong daging ayam kepada si gemuk.
"Makanlah. Kalau tak cukup, masih ada lagi," katanya.
"Mari araknya," kata si gemuk.
Tanpa menunggu perintah Hiatsintjoe, cepat-cepat Kang Lam mempersembahkan sepoci
arak kepadanya. "Benar," katanya sambil tertawa. "Sesudah makan minum, baru ada
kegembiraan untuk berkelahi."
Dengan sorot mata gusar, Hiatsintjoe mengawasi kedua orang itu, tapi Tang Thay
Tjeng berulang-ulang menggelengkan kepala seraya berkata: "Guna apa" Guna apa
berkelahi?"
Kawannya tidak meladeni. "Lekas! Lekasan sedikit!" teriak Hiatsintjoe.
Mereka makan minum perlahan-lahan sampai daging dan arak tiada sisanya lagi.
Tiba-tiba si kurus tertawa terbahak-bahak. "Sekarang aku sudah kenyang," katanya. "Mari!
Siapa yang mau berkelahi boleh datang kesini!"
"Sudahlah," membujuk Tang Thay Tjeng. "Kita sama-sama pelancong dan juga tak
punya permusuhan. Perlu apa, cari-cari urusan?" Ia berusaha untuk membatalkan
pertempuran karena
dalam perhitungannya, pihaknya jatuh di bawah angin. Dengan lweekang Hiatsintjoe
yang sudah banyak berkurang, ia menaksir, bahwa mereka berdua belum tentu bisa menandingi
kedua orang aneh itu. Di samping itu, masih terdapat empat musuh lain yang mungkin sekali
akan menyerang pihaknya. Ia tak takuti Tjee Tjiang Hee, Tong Toan dan Kang Lam, tapi gendewa
dan peluru Yo Lioe Tjeng tak boleh dipandang ringan.
Sekonyong-konyong paras muka si gemuk berubah menyeramkan. Ia tertawa nyaring
seraya berkata: "Boleh, boleh tak usah berkelahi. Tapi aku ingin meminjam serupa
barang." "Apa?" menegas Hiatsintjoe dengan perut panas.
"Berikan empat kakimu sebatas dengkul kepada kami," jawabnya. "Aku perlu sekali
dengan itu."
Ia berkata begitu dengan sikap sembarangan, seolah-olah yang mau dipinjamnya tak
berharga sepeser buta. Dapat dimengerti, jika Hiatsintjoe jadi kalap. Belum habis si gemuk mengucapkan
perkataannya, ia sudah mengenjot badan dan sambil melompat, ia menghantam sekuat
tenaga dengan kedua telapakan tangannya. Hebat sungguh pukulan itu! Yo Lioe Tjeng
berempat yang berdiri dalam jarak beberapa tombak, masih merasakan hawa yang sangat panas.
Kang Lam buruburu
bersila dan, tanpa memperdulikan segala apa, lalu mengerahkan lweekang Thiansan
pay, yang didapat dari Tong Keng Thian.
Dengan tenang si gemuk mengangkat tangannya untuk menyambut serangan itu. Di
lain pihak, sedang kedua kakinya belum hinggap di bumi, Hiatsintjoe merasa didorong serupa
tenaga yang sangat besar, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. Begitu kakinya menginjak
lantai, ia segera
mengirim pukulan kedua, tapi hawa panasnya sudah banyak berkurang.
Bukan main kagetnya Tang Thay Tjeng. Hiatsintjoe menyerang kalang kabut seperti
harimau edan, tapi ia tak bisa mendekati kedua lawannya dan tertahan dalam jarak kurang
lebih setombak.
Beberapa saat kemudian, gerakan-gerakan Hiatsintjoe menjadi kalut dan ia
menerjang terputarputar
bagaikan seekor laler yang masuk ke dalam jebakan.
Harus diketahui, bahwa ilmu yang digunakan oleh kedua orang itu adalah Imyang
Ngoheng Tjianglek, ilmu pukulan yang terdiri dari "negatif dan "positif", yaitu satu
pukulan mendorong
keluar, sedang pukulan yang lain membetot ke dalam. Dengan demikian, musuh yang
masuk ke dalam kalangan pukulan mereka seperti terseret ke dalam "pusar air", terus
terputar-putar tanpa
mampu meloloskan diri.
Tang Thay Tjeng sebenarnya sungkan bermusuhan dengan kedua orang itu, tapi
karena sahabatnya berada dalam bahaya, ia tak bisa berpeluk tangan. Sebagai orang yang
hati-hati, sebelum turun tangan lebih dulu ia memikin siasat untuk meloloskan diri. Ia
ingin menyerang
dengan menggunakan ilmu menubruk Niauw-eng dan jika serangannya gagal, ia bisa
lantas mengundurkan diri. Sedapat mungkin ia tak mau mengadu tenaga tangan dengan
musuhnya "Kaki
mereka patah dan mereka tentu tak bisa mengubar aku," pikirnya.
Tapi di luar dugaan, ilmu silat kedua orang aneh itu sungguh luar biasa. Begitu
Tang Thay Tjeng "terbang" ke udara dan sebelum tangannya menyentuh kepala musuh, si gemuk
tiba-tiba mendorong si kurus yang tubuhnya lantas saja melesat ke atas dan tangannya
membetot. Tang Thay Tjeng terkesiap, buru-buru ia menggoyang badan yang segera membelok ke
belakang. Gerakan si pendeta cukup cepat, tapi si kurus lebih cepat lagi. Hampir
berbareng, dengan satu
suara "hrr!", tubuh si kurus sudah melesat melewati kepala Tang Thay Tjeng dan
tangannya menjambret salah satu dari empat tiang yang terdapat di ruangan itu. Di lain
saat, dengan satu
tangan mencekal tiang, tangannya yang lain menghantam Tang Thay Tjeng.
Sebagaimana diketahui, ilmu menubruk Niauw-eng adalah gubahan Patpie Sinnio Sat
Thian Tjek berdasarkan cara berkelahinya burung Niauw-eng. Dengan latihan yang lama,
ia berhasil menciptakan semacam ilmu entengkan badan yang tiada keduanya dalam Rimba
Persilatan. Ilmu
mengentengkan badan dari lain cabang persilatan kebanyakan hanya merupakan
kepandaian lari
cepat, tapi dengan ilmu gubahan Sat Thian Tjek, seseorang bisa "terbang" bulakbiluk di tengah
udara. Tang Thay Tjeng adalah ahli waris satu-satunya dari Patpie Sinmo dan pada
waktu itu, kepandaiannya tidak lebih rendah daripada gurunya sendiri. Demikianlah, pada
sebelum tenaga pukulan si kurus menyambar tubuhnya, ia sudah "terbang" membelok. Tapi apa
lacur, baru saja ia
meloloskan diri, badan si kurus sudah melesat pula melewati kepalanya dan
menjambret tiang di
Dendam Jago Kembar 2 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Alap Alap Laut Kidul 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama