Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 2

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 2


soehoe sukar terdapat dalam dunia ini."
Siauw Tjeng Hong kembali menghela napas panjang dan berkata: "Kau mana tahu,
bahwa di waktu muda, lantaran gara-gara tonjolkan kepandaian, aku sudah bentur bencana
dan tanam permusuhan hebat dengan beberapa memedi itu."
Thian Oe yang belum pernah dengar asal-usulnya sang guru, jadi merasa sangat
ketarik dan pasang kuping terang-terang.
"Apakah kau tahu, di kolong langit dalam jaman ini, ilmu pedang partai mana yang
paling bagus?" Tjeng Hong tanya muridnya.
"Bukankah soehoe pernah bilang, ilmu pedang yang paling bagus adalah dari
Thiansan?" jawab
sang murid. "Ilmu pedang dari Thiansan, yang digubah oleh Hoeibeng Siansu telah
diturunkan kepada Leng Bwee Hong dan kemudian diwarisi pula kepada Tong Siauw Lan. Mereka
itu adalah pendekar-pendekar besar dari setiap jaman dan rasanya sukar dicari tandingannya
di dalam dunia." "Benar," kata sang guru. "Akan tetapi ilmu pedang Thiansan, lantaran berpusat di
tempat jauh, sesudah jamannya Tayhiap Tong Siauw Lan, jarang sekali terlihat di daerah
Tionggoan. Maka
itulah, tiga cabang besar dari Rimba Persilatan di daerah Tionggoan adalah
Boetong, Siauwlim dan
Gobie. Partai kita, Tjengshia pay, adalah pecahan dari Gobie dan telah berdiri
sebagai satu partai
sendiri." Mendengar sang guru mau bicarakan soal partai-partai ilmu pedang dengan dirinya,
Thian Oe jadi merasa heran.
"Coba kau tebak, berapa usiaku tahun ini?" tanya sang guru.
Sembari awasi rambut orang yang sudah putih, Thian Oe menjawab: "Mungkin tidak
berjauhan dengan usia ayah." Ayahnya Thian Oe berusia lima puluh tahun lebih.
"Lantaran jengkel, rambutku jadi putih sebelum waktunya," kata Siauw Tjeng Hong
sembari tarik napas. "Sekarang aku baru berusia empat puluh lebih sedikit."
Thian Oe kaget. Sebelum ia menanya apa-apa, gurunya sudah lanjutkan
penuturannya: "Pada
tiga belas tahun berselang, aku berada di Soetjoan. Tahun itu kebetulan tahunan
Moh Tjoan Seng mengadakan kiatyan, yang diadakan saban sepuluh tahun sekali (Kiatyan = Dalam
agama Budha, memberi ceramah dan sedekah kepada orang-orang miskin). Moh Tjoan Seng adalah
tokoh kenamaan dari Boetong pay."
"Apakah Moh Tayhiap satu hweeshio (pendeta)?" tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru sembari tertawa. "Moh Tayhiap bukannya memberi ceramah
tentang keagamaan seperti caranya seorang pendeta. Ia memberi ceramah kepada orang
tingkat mudaan dari kalangan Rimba Persilatan. Menurut
pendengaranku, Moh Tjoan Seng adalah ahli pedang dari tingkatan tua dan ia
adalah puteranya
Koei Tiong Beng, ahli waris ilmu pedang Tatmo dari Partai Utara Boetong. Oleh karena
harus menyambung turunan keluarga Moh, ia jadi menggunakan she ibunya, yaitu she Moh.
Dalam kalangan Rimba Persilatan di daerah Tionggoan, ia diakui sebagai orang yang
mempunyai ilmu silat paling tinggi. Saban sepuluh tahun sekali, Moh Tayhiap membuka pintu dan
memberi ceramah tentang ilmu silat. Di sebelahnya itu, ia juga memberi petunjuk-petunjuk
kepada orangorang
dari tingkatan lebih muda. Maka itulah, saban-saban ia mengadakan Kiatyan,
orang-orang pandai dari berbagai cabang persilatan pada naik gunung buat mendengar
ceramahnya. Pada
tempo itulah, aku mulai kenal Loei Tjin Tjoe, Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe.
Waktu itu, di lehernya Ong Lioe Tjoe belum tumbuh daging lebih. Namanya ketika itu adalah Ong
Lioe (Lioe dalam artian "Mengalir") Tjoe. Selewatnya tahun tersebut, lantaran di lehernya
tumbuh daging lebih yang nonjol, orang-orang Kangouw tukar huruf Lioe (Mengalir) jadi Lioe
(Daging lebih).
Antara orang-orang yang hadiri Kiatyan terdapat pula seorang murid wanita Gobie
pay yang bernama Tjia In Tjin, tergelar Sengtjhioe Siannio (Dewi tangan malaikat).
Sepanjang warta, ia
mempunyai ilmu silat paling tinggi di antara orang-orang tingkat kedua dari
Gobie pay." Waktu
menyebutkan namanya Tjia In Tjin, badannya Siauw Tjeng Hong kelihatan sedikit
gemetar. Pada waktu biasa, girang dan gusarnya sang guru jarang terlukis di atas mukanya,
tapi sekarang ia kelihatannya sangat dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga Thian Oe
jadi merasa heran. "Tjia In Tjin adalah seorang wanita cantik dan ilmu silatnya pun sangat tinggi,"
Siauw Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. "Di sebelahnya itu, adatnya juga sangat ramahtamah. Dalam perguruan, aku dan ia memang masih terhitung ada sangkut pautnya. Dalam kalangan
Rimba Persilatan memang tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang dapat
bergaul secara bebas sekali. Maka itulah, ketika Moh Tayhiap mengadakan Kiatyan, aku dan ia
sudah bergaul rapat." Biarpun Thian Oe masih belum mengenal urusan cinta, akan tetapi, dengan melihat
cara bicara gurunya, ia sudah dapat menebak, bahwa gurunya sangat menyukai wanita yang
bernama Tjia In
Tjin itu. "Pada suatu hari," kata sang guru selanjutnya. "Aku dan ia rundingkan ilmu
pedang dari berbagai partai. Menurut ia, dalam jaman ini,- biarpun ilmu pedang
Boetong tersohor dan menjagoi di Tionggoan, akan tetapi dalam soal pukulan aneh
dan kemujijatan, ilmu pedang Gobie paling terutama.
"Lain-lain partai semuanya berada di sebelah bawah dan tidak berharga buat
dirundingkan, demikian katanya. Aku tidak nyana ia begitu temberang. Ketika itu aku masih
berusia muda dan
berdarah panas dan lantas saja berkata: "Aku rasa perkataanmu tidak begitu
tepat. Kau harus
mengetahui, bahwa saban cabang persilatan masing-masing mempunyai kebagusannya
sendiri. Dalam hal ilmu silat tidak ada yang boleh dibilang nomor satu dalam dunia."
Mendengar omonganku, ia cuma tertawa dingin dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Di antara orang-orang yang hadir dalam perhimpunan, Loei Tjin Tjoe adalah ahli
dari Boetong, Tjoei In Tjoe jagoan dari Khongtong, sedang Ong Lioe Tjoe adalah muridnya The
Peng, seorang ahli silat kenamaan di Djielam. Tjoei In Tjoe mempunyai satu adik lelaki, Tjoei
Ie Tjoe namanya,
yang juga masuk Gobie pay. Tak tahu lantaran apa, Ie Tjoe telah diusir keluar
dari perguruan, dan
pada tahun itu, ia pun hadiri ceramahnya Moh Tayhiap. Empat orang itu sering
berada sama-sama
dan mereka bergaul rapat dengan aku.
"Satu hari, kita kembali bicarakan ilmu silatnya berbagai partai, Loei Tjin Tjoe
mengatakan, bahwa Moh Tayhiap yang menjadi tjiangboen (pemimpin) dari Boetong pay, mempunyai
ilmu silat yang sedemikian tinggi, sehingga sudah tentu ilmu silat Boetong adalah yang
paling bagus di
kolong langit. Aku tidak setuju dan lantas berkata: "Bakatnya orang berbeda satu
sama lain, latihannya juga tidak bersamaan. Maka itu, kalau sang guru nomor satu dalam
dunia, muridmuridnya
belum tentu semua nomor satu. Mendengar perkataanku, Loei Tjin Tjoe lantas saja
menantang buat adu pedang dengan syarat lantas berhenti, jika ada yang kena
ketowel. Dalam pertandingan, aku yang kalah. Akan tetapi, aku telah kirim pukulan Senglo kogoan
(Bintang jatuh di tanah tinggi), yaitu pukulan istimewa dari Tjengshia pay, yang telah dapat
tembuskan tangan
bajunya Loei Tjin Tjoe. Biarpun kalah, aku jadi bukannya kalah seluruhnya.
Sesudah bertanding,
Loei Tjin Tjoe tertawa terbahak-bahak dan puji tinggi ilmu silatku. Melihat ia
tidak sombong dalam
kemenangannya, hatiku menjadi lega.
"Cuma saja, sesudah mendapat pengalaman begitu, aku mengambil putusan buat tidak
mau sembarangan adu pedang lagi. Tapi dalam dunia sering terjadi apa-apa yang tidak
diduga-duga. Belum lewat tiga hari sesudah mengambil keputusan begitu, aku kembali terpaksa
mengadu pedang." "Ahli silat panai mana lagi yang berlaku sombong dan soehoe tidak merasa
senang?" tanya
Thian Oe. "Bukan," jawab sang guru. "Kejadiannya terjadi satu malam sebelum Moh Tayhiap
bubarkan perhimpunan. Ong Lioe Tjoe mendadak datang sendirian dan tarik tanganku buat
diajak omong di
tempat sepi. Ia bilang Gobie Liehiap Tjia In Tjin mau jajal ilmu silatku dan
minta ia sampaikan
keinginannya kepadaku. Selainnya itu dijanjikan kedua belah pihak memakai kedok
dan pertandingan dilakukan di belakang gunung pada jam tiga pagi. Sesudah
bertanding, kedua belah
pihak lantas bubaran dan anggap seperti tidak kejadian suatu apa. Dengan cara
begini, siapa yang
menang dan siapa yang kalah, tidak akan merasa kurang enak hati. Aku menolak,
tapi Ong Lioe Tjoe lantas berkata sembari tertawa: 'Hm! Kau benar tolol! Tjia In Tjin
sebenarnya ada hati
terhadapmu, apa kau tak tahu" Ia sangat kagumi budi pekertimu, cuma belum
mendapat tahu tinggi rendahnya ilmu silatmu. Sesudah aku omong begitu terang, apa kau belum
mengerti maksudnya"' Mendengar begitu, hatiku jadi goncang dan menyetujui. Tapi siapa
nyana, disitu terselip satu akal busuk."
"Bagaimana?" tanya Thian Oe.
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong mengawasi ke tempat gelap dengan mendelong dan
kemudian berkata lagi: "Kau harus mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw, jika
seorang pria dan seorang wanita saling penuju, mereka paling suka menjajal ilmu silat,
seperti caranya
kalangan sastrawan adu bikin syair. Maka itu, mendengar perkataannya Ong Lioe
Tjoe, aku jadi girang bukan main. Akan tetapi, setelah mengingat bahwa Tjia In Tjin adalah
orang terpandai
dalam tingkat kedua Gobie pay, hatiku kembali merasa sangsi.
"Ong Lioe Tjoe seperti dapat baca jalannya pikiranku dan ia lantas berkata
sembari tertawa:
'Mengenai ilmu silat dan ilmu pedang, mungkin sekali kau masih kalah sedikit,
akan tetapi, kalau di
dalam beberapa puluh jurus saja, Jcau tentu tidak sampai menjadi kalah. Ia suka
sekali menggunakan pukulan Lengkim liantjie (Burung malaikat tarik sayapnya), dan dalam
puluhan jurus itu, pukulan tersebut rasanya mesti dikeluarkan sedikitnya satu kali.
Pukulanmu Senglo
kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi) justru adalah pukulan yang dapat pecahkan
Lengkim liantjie.' Memang juga, sesudah Tjengshia pay lepaskan diri dari
Gobie pay, telah digubah banyak sekali pukulan yang menjadi lawannya pukulan
Gobie. Maka itu, perkataannya Ong Lioe Tjoe bukannya dusta.
"Pada besok malamnya, sesuai dengan perjanjian, aku pergi ke gunung belakang.
Malam itu gelap-gulita, sedang sang angin meniup keras sekali, sehingga orang tidak dapat
melihat suatu apa dalam jarak yang lebih dari sepuluh tindak. Setibanya di gunung itu, benar
saja aku lihat bayangan orang yang memakai baju hitam dan mukanya ditutup kedok. Potongan
badannya orang itu bersamaan dengan badannya In Tjin. Aku dihinggapi perasaan tegang dan tidak
berani mengeluarkan sepatah kata. Sesudah cabut pedang, aku segera menyerang. Orang itu
balas menyerang seperti hujan angin dengan serangan-serangan yang membinasakan,
seakan-akan ia sedang adu jiwa. Aku kaget bukan main. Apakah Tjia In Tjin maukan jiwaku" Akan
tetapi aku berbalik pikir, mungkin sekali ia sengaja berbuat begitu, supaya aku keluarkan
segala kepandaianku. Aku tak dapat memikir panjang-panjang lagi sebab serangannya
semakin hebat. Mau tidak mau aku mesti keluarkan segala rupa kebisaanku buat layani padanya.
Dengan cepat tiga puluh jurus sudah lewat, tapi sebegitu jauh bukan saja pukulan Lengkim
liantjie tidak muncul,
malahan cara bersilatnya tidak mirip-mirip ilmu pedang Gobie dan lebih mirip
dengan ilmu pedang
Boetong. Bukan main heranku. Selagi mau menanya, dari tempat gelap mendadak
loncat keluar tiga orang yang lantas saja kerubuti aku. Sedang melawan satu orang saja, aku


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah kewalahan,
bagaimana ditambah lagi dengan tiga musuh tangguh" Dalam sekejap, aku menghadapi
bahaya. "Dengan lantas aku berteriak: "Hei! Aku ini adalah Siauw Tjeng Hong dari
Tjengshia pay. Siapakah adanya kau orang?" Teriakanku cuma disambut dengan tertawa dingin oleh
tiga musuh. Mendadakan terdengar satu suara tertawa nyaring. Berbareng dengan itu, satu
wanita baju hijau
loncat turun dari atas pohon. Ia tidak memakai kedok."
"Apa ia Tjia In Tjin?" menanya Thian Oe.
"Benar," jawab sang guru. "Ia benar Tjia In Tjin. Aku jadi bengong lantaran
kaget. Tiba-tiba
aku dengar sambaran golok dari samping dan satu bayangan hitam melesat ke
arahku. Hampir pada detik yang bersamaan, sebatang pedang yang mengkilap sudah sampai di depan
mukaku dan pukulan yang digunakan adalah Lengkim liantjie. Pikiranku sedang kalut, dan
buat tolong jiwa,
tanpa merasa aku menyambut dengan pukulan Senglo kogoan. Orang itu keluarkan
jeritan keras sebab satu lengannya kena terbabat kutung. Pada saat itu juga, pedangnya In Tjin
menyambar dan binasakan padanya!
"Aku berteriak, tapi pedangnya In Tjin sudah menyambar lagi dua kali dan persen
dua bacokan pada mukanya lawanku yang pertama. Dengan dua kali suara "srt", kedoknya robek,
dan biarpun dalam kegelapan, aku masih dapat lihat darah yang berketel-ketel. Lantaran
kesakitan, orang itu
cakar mukanya dan kedoknya jatuh. Melihat mukanya, aku jadi terkesiap!"
"Apakah soehoe jadi kaget sebab lihat mukanya tidak keruan macam?" tanya Thian
Oe. "Benar," jawab Tjeng Hong. "Mukanya ditapak jalak, sedang biji matanya yang
sebelah kiri kena ditusuk pedang, sehingga meletos keluar dan kelihatannya menakuti sekali!
Tapi itu belum seberapa. Begitu mengenali siapa adanya ia, aku jadi lebih-lebih kaget. Apakah
kau bisa tebak dia
siapa?" Mendengar penuturannya sang guru, hatinya Thian Oe berdebar-debar dan waktu
gurunya menanya, seperti orang kesima, ia balas menanya: "Siapa ia?"
Siauw Tjeng Hong tarik napas beberapa kali. "Loei Tjin Tjoe!" kata ia dengan
suara sember. "Ah! Kenapa Loei Tjin Tjoe?" kata Thian Oe.
"Tangannya Tjia In Tjin cepat sekali," Tjeng Hong lanjutkan penuturannya.
"Sesudah lukakan
Loei Tjin Tjoe, sembari tertawa nyaring, tangan kanannya yang mencekal pedang
menyabet satu kali, sedang tangan kirinya terayun dan beberapa senjata rahasia menyambar. Dua
orang lantas saja terguling. Antara empat orang yang sedang bertempur denganku, satu binasa,
tiga mendapat luka. Sebelum dapat tetapkan semangatku, Tjia In Tjin sudah berkata sembari
tertawa: "Kau juga
sebenarnya harus terima satu bacokan. Tapi mengingat kau sudah membantu aku,
maka aku suka mengampuni!" Sesudah berkata begitu, ia enjot badannya dan lantas menghilang di
tempat gelap. "Aku nyalakan umpan api dan buka kedoknya ketiga orang itu. Begitu lihat, aku
jadi lebih-lebih
terperanjat, sebab yang binasa adalah Tjoei Ie Tjoe, yang kena senjata rahasia
adalah Ong Lioe
Tjoe, yang kebacok adalah Tjoei In Tjoe, sedang Loei Tjin Tjoe menggoser di atas
tanah. Aku menghampiri dengan niat tolong bebet lukanya, tapi ia membentak dengan suara
keras: "Pergi!"
Ong Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga mengawasi dengan mata gusar. Dalam malam yang
gelap itu, tiga pasang mata yang bersinar mengincar diriku, seakan-akan matanya binatang
liar yang mengawasi sang pemburu. Aku mengkirik, balik badan dan lantas kabur sekeras
mungkin, tanpa pamitan dengan Moh Tayhiap."
"Dilihat begitu, Loei Tjin Tjoe agaknya sengaja mau celakakan soehoe," kata
Thian Oe. "Tapi
kenapa, ia juga pancing Gobie Liehiap Tjia In Tjin datang kesitu?"
"Kau cuma dapat menebak separoh," jawab sang guru. "Belakangan aku baru tahu,
bahwa Loei Tjin Tjoe-dan Tjoei Ie Tjoe kedua-duanya pernah melamar In Tjin. Lamarannya Loei
Tjin Tjoe ditolak sehingga ia mendapat malu besar, sedang Tjoei Ie Tjoe, sebab mau coba
nodai soetjie-nya
(kakak perempuan seperguruan), sudah diusir dari rumah perguruan. Malam itu,
Loei Tjin Tjoe sudah janjikan In Tjin buat mengadu pedang, dengan masing-masing memakai kedok.
Diam-diam ia atur tiga kawannya buat membantu padanya. Lantaran masih kuatir tak dapat
menangkan In Tjin, ia perintah Ong Lioe Tjoe pancing diriku.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya niat menarik keuntungan selagi aku dan In Tjin
bertempur. Tapi,
dengan menggunakan siasat yang sampai sekarang tidak diketahui olehku, sebelum
tiba jam yang dijanjikan, Tjia In Tjin berhasil pancing keluar Loei Tjin Tjoe, yang, dengan
serupa tangan jahat,
sudah dibikin kalang-kabut jalan darahnya, sehingga otaknya menjadi kalut.
"Malam itu, lantaran tidak sabaran, aku sudah tiba di gunung sebelum jam tiga.
Lantaran gelap dan sebab badannya Loei Tjin Tjoe hampir bersamaan dengan tubuhnya Tjia In Tjin,
aku jadi bergebrak dengan ia. Belakangan datanglah Tjoei In Tjoe bertiga. Mereka duga aku
sudah mengetahui akal busuknya dan berbalik membantu Tjia In Tjin. Maka itu, mereka
lalu menyerang.
Tjoei Ie Tjoe adalah murid Gobie pay dan tanpa disengaja, ia sudah menyerang
dengan pukulan Lengkim liantjie, sehingga menemui ajalnya. Jika malam itu tidak terjadi salah
mengerti, biarpun
ilmu silatnya In Tjin lebih tinggi lagi, aku rasa ia sukar dapat melawan empat
musuhnya itu. "Loei Tjin Tjoe sebenarnya mempunyai paras yang cakap dan bergelar Giokbin Holie
(Rase muka batu kemala). Sekarang mukanya rusak dan satu matanya menjadi buta. Dengan
begitu, ia jadi sangat sakit hati terhadap aku dan In Tjin. Tjoei In Tjoe sendiri menaruh
dendam lantaran
kebinasaan adiknya. Ong Lioe Tjoe kena terpanggang jarum beracunnya In Tjin, dan
sesudah lukanya sembuh, pada tempat bekas luka tumbuh daging lebih. Di sebelahnya itu,
ilmu silatnya pun tidak dapat pulih kembali seperti sediakala. Sesudah peristiwa malam itu,
Tjia In Tjin tidak
kelihatan mata hidungnya lagi. Tiga orang itu lantas saja tumpleki kegusarannya
atas diriku dan
selama sepuluh tahun, ubak-ubakan mencari aku buat dibinasakan."
Thian Oe dengarkan penuturan gurunya dengan perasaan seram sekali. "Kalau begitu
soehoe menjadi sinshe dan kemudian ikut kita ke Tibet, lantaran mau menyingkirkan diri
dari mereka,"
kata Thian Oe. "Ya!" kata Siauw Tjeng Hong sembari menghela napas panjang. "Sesudah peristiwa
malam itu, lantaran jengkel dan kuatir, rambutku menjadi putih sebelum waktunya. Cuma ada
satu hal yang aku masih belum dapat tahu terang. Sebab apa Ong Lioe Tjoe mau membantu Loei
Tjin Tjoe memasang jebakan itu?"
"Apakah itu orang yang kena ditendang jatuh kedalam jurang oleh soehoe?" tanya
Thian Oe. "Benar," jawabnya. "Lantaran terdesak, aku terpaksa binasakan padanya. Dendaman
ini jadi semakin dalam saja. Sepanjang warta, sesudah mendapat luka, Loei Tjin Tjoe terus
menerus berlatih dan sekarang ilmu silatnya sudah maju jauh sekali. Belasan tahun
berselang, aku sudah
bukan tandingannya, dan kalau sekarang bertemu lagi, jiwaku tentu akan
melayang!"
"Sesudah mendengar penuturan soehoe, aku merasa, bahwa biarpun perbuatannya Loei
Tjin Tjoe dan kawan-kawannya tidak pantas, akan tetapi tangannya Tjia In Tjin juga
terlalu kejam,"
kata Thian Oe. Mendadak Siauw Tjeng Hong kelihatan seperti orang terkesiap. Di antara
menderunya angin,
terdengar suara tertawa. Di lain saat, dari luar menyambar serupa benda. ...
Tjeng Hong kelit
sembari loncat keluar tenda. Akan tetapi, kecuali semburan air panas dan
sinarnya rembulan,
diluar tidak kelihatan barang satu manusia. Tjeng Hong terkejut. Ilmu entengi
badan orang itu
ternyata luar biasa tingginya, sebab dalam tempo yang begitu pendek, ia sudah
dapat menyingkirkan diri.
Dengan hati bimbang Tjeng Hong masuk lagi ke dalam tenda. "Lihatlah soehoe!"
kata Thian Oe dengan suara sedikit gemetar, sambil menuding dengan telunjuknya. Tjeng Hong
mengawasi ke tempat yang ditunjuk oleh muridnya. Ia lihat sepotong kulit kerbau, bagian
atasnya menembus
dan nyangkol di tenda, sedang bagian bawahnya tergulung. Lagi-lagi Tjeng Hong
terkejut. Walaupun kulit itu lebih tebal dari kertas, akan tetapi sebagaimana diketahui,
kulit bukannya benda yang dapat digunakan buat menimpuk. Bahwa orang itu dapat menggunakan
kulit seperti senjata rahasia yang menancap pada kain tenda, dapatlah dibayangkan berapa
tinggi tenaga dalamnya. Thian Oe ambil kulit kerbau itu yang di atasnya terdapat dua baris
huruf, ditulis dengan
menggunakan kuku dan berbunyi seperti berikut:
"Di atas telaga dan lautan terumbang-ambing belasan tahun, Hanya di Kanglam dan
Gobie Utara menetap buat sementara. Tuan-tuan lekas pergi ke telaga Thian-ouw, Cari
seorang yang dijuluki Thiekoay sian."
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong keluarkan sinar terang dan berkata seorang diri:
"Tadinya aku kira Loei Tjin Tjoe. Siapa tahu yang datang adalah Thiekoay sian (Dewa
tongkat besi). Ih,
inilah sungguh mengherankan!"
"Siapa Thiekoay sian?" tanya muridnya.
"Pada dua puluh tahun berselang, Thiekoay sian adalah seorang pendekar aneh yang
malang melintang di daerah Kanglam. Katanya, ia adalah muridnya Kanglam Tayhiap Kam
Hong Tie. Sesudah binasanya Liauw In, Kam Hong Tie cabut tongkat besinya soeheng itu yang
menancap pada batu di gunung Binsan dan turunkan ilmu silat tongkat kepadanya..."
"Cara bagaimana tongkatnya Liauw In bisa menancap di batu gunung?" tanya Thian
Oe. "Bermula, Liauw In adalah kepala dari Kanglam Pathiap (Delapan Pendekar
Kanglam),"
menerangkan sang guru. "Hubungan antara Liauw In dan Hong Tie adalah hubungan
setengah guru (Liauw In pernah ajarkan ilmu silat kepada Hong Tie). Belakangan oleh
karena Liauw In
langgar sumpahnya, Tujuh Pendekar Kanglam telah binasakan dia di hadapan makam
gurunya. Yang bunuh padanya adalah Liehiap Lu Soe Nio. Sesudah kalah dan sebelum tarik
napasnya yang penghabisan, Liauw In timpukkan tongkat besinya ke batu gunung dari gunung
Binsan, sehingga
tongkatnya nancap dalam sekali di batu itu. Belakangan Kam Hong Tie cabut
tongkat itu dan
turunkan ilmu silat tongkat kepada muridnya, sebagai satu peringatan untuk
soeheng-nya yang
pernah mewakili sang guru untuk mengajar ia. Nama muridnya Hong Tie adalah Lu
Tjeng. Sesudah mendapat tongkatnya sang supeh, ia robah namanya menjadi Thiekoay
(Tongkat besi).
Hong Tie ajarkan ia 108 jalan ilmu silat tongkat yang dinamakan Hokmo Tianghoat
(Ilmu silat Tongkat takluki iblis), dan oleh karena begitu, ia jadi dikenal sebagai Thiekoay
sian." "Apakah Thiekoay sian mempunyai hubungan dengan soehoe?" tanya Thian Oe.
"Waktu aku baru keluar dari rumah perguruan, namanya sudah tersohor di kalangan
Kangouw. Aku sangat kagumi ia, tapi belum mempunyai kesempatan buat bertemu muka," jawab
Siauw Tjeng Hong. "Kalau begitu soehoe belum kenal Thiekoay sian. Tapi kenapa ia djanjikan kau
buat bertemu di
Thian-ouw?" kata lagi sang murid.
"Yah, aku juga sedang pikirkan sebabnya," jawab Siauw Tjeng Hong. "Kedatanganku
di Thianouw adalah buat cari satu orang luar biasa. Jika disitu aku juga bisa bertemu dengan
Thiekoay sian, kejadian itu sungguh menggirangkan."
Omong-omong sampai disitu, Thian Oe ingat perkataannya itu wanita Tsang. "Orang
yang soehoe cari, apa masih mempunyai hubungan dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya ia.
"Apa" Pengtjoan Thianlie?" menegasi sang guru. "Nama itu kedengarannya luar
biasa, tapi aku
belum pernah dengar. Siapakah Pengtjoan Thianlie?"
"Aku pun tidak mengetahui," jawab Thian Oe. "Tapi menurut gadis Tsang itu, ia
juga berdiam di Thian-ouw." Sehabis berkata begitu, Thian Oe lantas tuturkan segala kejadian


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pertemuannya sama Chena di bukit es. "Tapi, apakah aku boleh mengetahui, siapa
yang sedang dicari oleh soehoe?" kata ia akhirnya.
"Aku dapat dengar, adiknya Tayhiap Moh Tjoan Seng yang bernama Koei Hoa Seng
telah kabur ke Tibet dan menetap di Thian-ouw sesudah kalah sejurus dalam pertandingan
pedang melawan suami isteri Tong Siauw Lan. Cerita ini tersiar luas, akan tetapi aku sendiri
tidak dapat pastikan
benar tidaknya. Akan tetapi oleh karena keadaan terlalu mendesak dan
kepandaiannya Loei Tjin
Tjoe lebih unggul banyak daripada aku, maka sesudah pikir pergi datang,
harapanku satu-satunya
adalah Koei Tayhiap, yang mungkin masih dapat singkirkan bencana yang sedang
mengancam."
"Kenapa adiknya Moh Tayhiap she Koei?" tanya Thian Oe.
"Pernikahan antara Koei Tiong Beng tjianpwee dan pendekar wanita Moh Hoan Lian
telah dikurniai tiga putera. Yang satu ambil she ayahnya, yang lain teruskan she
ibunya, sedang yang
satunya lagi pakai she ayah angkatnya. Yang paling tua bernama Moh Tjoan Seng,
yang kedua Tjio Kong Seng, sedang yang ketiga adalah Koei Hoa Seng. Antara ketiga saudara,
Moh Tjoan Seng mempunyai lweekang yang paling tinggi, sedang Koei Hoa Seng unggul dalam
ilmu pedang. Tingkatannya Koei Hoa Seng sangat tinggi dan jika ia sudi menolong, Loei Tjin
Tjoe tentu tak dapat berbuat apa-apa. Hai! Cuma tak tahu, apakah ia masih hidup dalam dunia
ini!" "Bagaimana kalau
kepandaiannya Thiekoay sian dibandingkan dengan Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Sesudah berpisahan belasan tahun, aku tidak tahu, sampai dimana kemajuan Loei
Tjin Tjoe,"
sahut sang guru. "Akan tetapi, sesudah lihat kepandaiannya Thiekoay sian yang
barusan, aku kira
Loei Tjin Tjoe masih belum mampu menangkan ia."
Sesudah berdiam beberapa saat, Siauw Tjeng Hong berkata lagi dengan paras muka
guram: "Aku dan Thiekoay sian tidak mengenal satu sama lain dan ia djanjikan aku buat
bertemu di Thian-ouw. Apakah maksudnya itu" Loei Tjin Tjoe adalah orang Boetong pay, yang
mempunyai hubungan luas sekali dalam kalangan Rimba Persilatan. Kalau Thiekoay sian datang
buat membantu Loei Tjin Tjoe, kedudukanku akan lebih celaka lagi!"
Thian Oe sebenarnya ingin usulkan supaya gurunya minta bantuan Thiekoay sian,
akan tetapi, sesudah dengar begitu, hatinya jadi semakin tidak enak.
Separoh malam guru dan murid berdiam dalam tenda yang robek itu. Angin dingin
meniup keras dan rasanya meresap ke tulang-tulang. Tak lama kemudian fajar menyingsing,
dan mereka lalu bereskan bekalannya. Tendanya musuh masih berada disitu. Waktu lari, mereka
tidak keburu ambil tenda tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, Thian Oe lantas benahkan tenda
orang. Tjeng Hong mengawasi dan berkata sembari menghela napas: "Lweekang-mu belum sempurna,
sehingga kau tidak dapat menahan hawa dingin. Baiklah. Kau boleh ambil tenda
itu." Siauw Tjeng Hong dinginkan air panas yang kemudian diisikan ke dalam tiga
kantong. Sesudah beres bebenah, mereka segera teruskan perjalanan dengan menunggang kuda.
Hari pertama hawa udara masih lumayan, tapi di hari kedua turun hujan salju, sehingga
Thian Oe menggetget lantaran kedinginan.
Pada hari ketiga, biarpun udara terang, tapi hawa jadi lebih dingin sebab
lumernya salju. Lewat
lohor mereka keluar dari mulut gunung dan keadaan bumi jadi lebih merata, sedang
kota Shigatse lapat-lapat sudah dapat dilihat.
"Malam ini kita bisa sampai di Shigatse," kata Tjeng Hong dengan suara girang.
Mendadak dengan satu suara "Ih!", paras mukanya jadi berubah. Thian Oe yang bermata jeli
lantas dapat lihat, bahwa di atas satu tanjakan sedang rebah satu pengemis yang rambutnya
kusut seperti rumput, sebelah mukanya terpendam dalam salju, kepalanya ditandelkan atas
sebatang tongkat
besi, pakaiannya rombeng, sehingga kulitnya kelihatan merah lantaran kedinginan.
Thian Oe yang mempunyai hati kasihan, lantas menghampiri dan dorong badannya
pengemis itu sembari berkata: "Hei! Hei! Jangan tidur disini!"
Pengemis itu miringkan badannya, yang hampir-hampir jadi tergelincir. Thian Oe
buru-buru angkat padanya. Pengemis itu mengulet dan mendadak membentak: "Jangan raba!"
Sekarang ia baru dapat lihat, pengemis itu pincang, dengan kaki kiri lebih
panjang dari kaki
kanan. Ia lantas menghaturkan maaf dan menanya: "Apa kau mau makan apa-apa?"
Pengemis itu perlahan-lahan angkat kepalanya dan kedua matanya kebentrok dengan matanya Thian
Oe, yang jadi sangat kaget, lantaran mukanya hitam seperti pantat kuali, rambutnya awutawutan, sedang kedua matanya bersinar tajam dingin bagaikan es.
"Taruh!" kata pengemis itu.
Thian Oe lantas taruh sekantong ransum kering di atas tanah. Orang itu tidak
menghaturkan terima kasih, ia miringkan badannya dan sesapkan lagi mukanya ke dalam tumpukan
salju. Waktu ia dongak, Thian Oe lihat kedua mata gurunya bersorot kuatir, seperti juga
mau suruh ia buru-buru tinggalkan tempat itu. Thian Oe segera loloskan baju .luarnya yang
terbuat dari bulu
onta dan kerebongi badannya pengemis itu. Sesudah itu, bersama gurunya, ia
tunggang kembali
kudanya. Tidak lama kemudian mereka tiba di tanah datar dan Siauw Tjeng Hong
barulah bernapas lega. "Soehoe, apa ada apa-apa yang kurang baik?" tanya Thian Oe.
"Apa kau perhatikan tongkat besinya?" Siauw Tjeng Hong balas menanya.
Thian Oe terkejut. "Apa ia Thiekoay sian?" ia tanya.
"Aku belum pernah bertemu dengan Thiekoay sian dan juga belum pernah dengar
bahwa ia itu adalah seorang pincang," kata Tjeng Hong. "Cuma saja, tongkat itu yang besarnya
seperti mangkok nasi, paling sedikit beratnya tujuh puluh kati. Pengemis biasa mana bisa
angkat tongkat yang begitu berat! Apalagi ia berani rebahkan diri di atas salju yang sangat
dingin. Maka itulah,
aku berani pastikan, ia itu bukannya orang biasa."
"Kalau ia benar Thiekoay sian, kenapa soehoe tidak mau coba-coba berkenalan?"
tanya lagi Thian Oe. "Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kangouw, mana kau tahu peraturan orang
Kangouw," kata sang guru sembari geleng-gelengkan kepalanya. "Kalau ia benar Thiekoay
sian, lebih-lebih
lagi aku tak dapat menegur di tempat itu."
"Kenapa?" tanya sang murid.
"Ia djanjikan aku bikin pertemuan di Thian-ouw, kawan atau lawan, masih belum
terang," menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Menurut peraturan Kangouw, sesudah tiba di Thianouw, barulah aku boleh bertemu dengan ianya. Di waktu itulah, baru aku boleh dengar
apa maksudnya. Andaikata kedatangannya adalah untuk sahabatnya buat jajal kepandaianku, satu
pertemuan yang dibikin lebih siang dari tempo yang dijanjikan, berarti suatu kesombongan dan
mau bertempur dengan ia, sebelum waktunya. Sekarang ini, kita masih belum tahu, apakah ia
Thiekoay sian atau
bukan. Kalau benar ia Thiekoay sian, dengan buka rahasia penyamarannya, kita
juga melanggar kebiasaan Kangouw."
"Kalau ia bukannya Thiekoay sian?" tanya lagi Thian Oe.
"Orang-orang aneh dari kalangan Kangouw yang kita tidak tahu benar asal-usulnya,
tak dapat diganggu secara sembrono," kata sang guru. "Apa kau lupa kejadian pada tiga hari
berselang, kapan kau coba dekati manusia-manusia itu?"
Thian Oe tidak berkata apa-apa, tapi hatinya kurang menyetujui perkataan
gurunya. Biarpun
benar waktu itu ia seperti juga menuntun anjing hutan masuk ke dalam rumah, akan
tetapi, dengan menolong si anak sekolah, mereka telah mendapat bantuan yang tidak
diduga-duga. Biarpun hatinya berpikir begitu, Thian Oe sungkan berbantahan dengan gurunya.
Mereka lantas pecut tunggangannya yang lantas lari terlebih cepat.
Kira-kira magrib, benar saja mereka tiba di kota Shigatse. Kota itu adalah kota
yang kesohor di
Tibet, cuma saja karena berkedudukan di tempat jauh dan sepi, jumlahnya
pelancong yang mundar-mandir tidaklah banyak dan dalam kota cuma terdapat sebuah rumah
penginapan yang
lumayan. Guru dan murid lantas masuk ke rumah penginapan itu. Sang pelayan yang
lihat mereka berpakaian seperti orang asing, buru-buru antar mereka masuk dengan sikap hormat
sekali. Tapi baru saja mereka menginjak lorak, di dalam mendadak terdengar suara ributribut. Siauw Tjeng Hong mengawasi dan hatinya terkejut. Ia lihat satu pengemis dengan pakaian
rombeng dan tongkat besi ditandelkan di tanah, sedang memaki kalang kabut: "Kau orang buka
rumah penginapan kenapa tidak kasih aku menginap disini. Hm, hm! Mata anjingmu betul
berminyak. Orang yang berpakaian bagus dihormat-hormati, sedang tuan besarmu yang
pakaiannya rombeng,
ditegur pun tidak!" Sehabis berseru begitu, ia ketruk tongkatnya dan satu ubin
persegi lantas hancur. "Mohon tayya (tuan besar) jangan gusar," kata pengurus rumah penginapan.
"Lantaran rumah
penginapan ini sangat kecil dan modal tidak seberapa, maka telah diadakan
aturan, ongkos sewa
kamar dan harga makanan harus dibayar terlebih dahulu."
Pengemis itu tertawa besar. "Ah, kenapa kau tidak bicara siang-siang. Apa kau
takut tuan besarmu nganglap?" kata ia. Ia rogoh sakunya dan keluarkan sepotong perak.
Sedang bajunya begitu rombeng, tak tahu perak itu ia taruh dimana. Sembari lempar perak itu di
atas meja, ia berkata: "Bereskan kamar, sediakan dua kati arak dan seekor ayam yang gemuk.
Baik-baik layani
tuan besarmu, mengerti! Apa" Kenapa matamu melotot" Apa uang tidak cukup?"
Si pengurus hotel yang tak duga pengemis itu mempunyai sepotong perak yang
begitu besar, jadi girang hatinya. "Dua tail sudah cukup," kata ia. "Siauwdjie, coba timbang
perak ini. Kalau ada
lebihnya, pulangkan kepada tayya."
Pengemis itu kembali tertawa berkakakan. Sembari kebaskan tangannya, ia berkata:
"Tak usah,
lebihnya ambil! Besok pagi, tuan besarmu mau lantas berangkat. Lain kali cuci
bersih-bersih matamu. Jangan lihat orang miskin lantas mau diusir."
"Maaf Maaf!" kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Kalau rawatan kurang
memuaskan, harap tayya sudi maafkan."
Siauw Tjeng Hong terkejut lantaran ia itu adalah pengemis yang tadi siang mereka
ketemu di tengah jalan. Mereka tunggang kuda, ia jalan kaki, tapi ia sampai lebih dahulu.
Andaikata ia potong jalan, toh kepandaiannya sudah cukup luar biasa. Tjeng Hong sebenarnya
mau mundur kembali, tapi kakinya sudah menginjak lorak, dan kalau mundur, orang bisa jadi
curiga. Maka itu,
ia ikuti terus pelayan rumah penginapan.
Tjeng Hong minta satu kamar besar buat dua orang. Sesudah mengunci pintu, guru
dan murid duduk saling berhadapan dengan perasaan masgul. Sesudah bersantap, mereka dengar
suara berbengernya kuda dan di luar datang lagi dua tetamu. Begitu masuk, mereka
berteriak-teriak
minta disediakan kamar dan makanan. Tjeng Hong melongok dari jendela dan lihat
kedua tetamu itu adalah pembesar tentara. Orang yang jalan duluan mengempit satu peti kayu
merah yang kelihatannya sangat berharga. Kamar mereka justru berhadapan dengan kamar Siauw
Tjeng Hong. Tjeng Hong melirik. Mendadak ia lihat di kamar sebelah depan juga muncul dua
kepala orang yang begitu nongol, lantas ditarik masuk kembali. Kepalanya kedua orang itu
diikat sama ikatan
kain putih, matanya blau, kumisnya merah dan ternyata adalah orang asing. Waktu
kepala mereka nongol, di bibirnya tersungging dengan senyuman luar biasa.
Tjeng Hong jadi heran. Waktu pelayan hotel masuk buat bereskan kamar, ia memberi
persen satu tail perak dan tanya siapa adanya itu dua tetamu asing.
"Bahasa mereka aku tidak mengerti," jawab sang pelayan. "Menurut katanya
pengurus, yang mengerti banyak bahasa, mereka itu adalah boesoe (pahlawan) dari Nepal."
Sesudah si pelayan pergi, Thian Oe lantas berkata: "Tahun yang lalu, orang
Gurkha dari Nepal
telah menyerang Tibet Barat. Mereka membunuh banyak penduduk pribumi dan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merampas kerbau
dan kambing yang tidak sedikit jumlahnya. Belakangan mereka kena dipukul mundur
oleh tentara kerajaan. Sudah hampir setahun mereka tidak berani masuk lagi di Tibet Barat.
Belakangan aku dengar keterangan ayah, bahwa sesudah keadaan menjadi reda, mereka mulai
bergerak lagi. Maka itu, kedua boesoe ini mungkin mempunyai tujuan yang kurang baik."
"Sesudah dua negara mengadakan perdamaian, memang juga tidak bisa diambil sikap
bermusuhan lagi dan perhubungan harus pulih seperti sediakala. Inilah ada
kelumrahan dalam
perhubungan antara negara dan negara," demikian Tjeng Hong memberi keterangan.
"Di antara
boesoe bangsa Nepal terdapat banyak sekali ksatria. Maka itu, kita tidak boleh
sama ratakan semua orang."
Mendengar nasehatnya sang guru, Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya.
"Andaikata benar ada apa-apa yang luar biasa, malam ini kau tidak boleh
bergerak," memesan
Siauw Tjeng Hong.
Selagi mereka omong-omong, di luar jendela mendadak berkelebat bayangan orang.
Thian Oe melongok dari jendela dan lihat seorang tua yang bermuka merah dan jenggotnya
kasar, sedang mundar-mandir di luar kamar.
Orang itu mendadak dongak dan menyanyi dengan suara nyaring sekali:
"Di bawah gunung Holan san
barisan laksana awan.
Gerakan tentara siang malam
dapat kedengaran,
Sapu debu di pakaian perang
dengan kebutan,
Angkat pedang buat tantang
pihak lawan. Sungguh 'ku ingin dapatkan gendewa malaikat buat memanah panglima musuh,
Supaya tak usah mendapat malu dan tangisi raja lantaran kalah dalam peperangan."
Belum habis nyanyian itu, dua perwira di kamar seberang sudah memaki: "Siapa
yang bikin ribut di luar, sampai aku tak bisa tidur" Kalau berani lagi, aku akan gebuk
supaya kau bisa
berkaok-kaok sepuas hati."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak gusar dan juga tidak berkata
suatu apa. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, yang terletak di sebelah kanannya kamar Siauw
Tjeng Hong. Waktu Thian Oe menengok, ia lihat kedua mata gurunya bersinar terang, sedang
paras mukanya mengunjuk kegirangan.
"Siapa orang tua itu?" tanya Thian Oe.
"Bintang penolong datang," kata gurunya.
"Apa?" muridnya menegasi. "Orang tua itu bernama Bek Eng Beng," sahut sang guru.
"Ia adalah seorang pendekar yang paling ternama di propinsi Siamsay dan Kamsiok.
Bagaimana dalam
ilmu .silatnya, sukar orang dapat mengukur. Ia adalah seorang mulia yang sangat
suka menolong sesama manusia, dan di sebelahnya itu, ia masih mempunyai hubungan rapat dengan
golongan kita. Cuma aku tidak tahu, sebab apa ia berada disini."
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjeng Hong niat keluar dari kamarnya buat
mengunjungi orang
tua itu. Tapi mendadak si pengemis aneh yang berdiam di kamar sebelah kiri,
berjalan keluar dan
setibanya di depan kamar Tjeng Hong, ia keluarkan suara tertawa. Tjeng Hong
kerutkan alis. Sekonyong-konyong ia tiup lampu dan tidur tanpa membuka baju.
"Kenapa soehoe tidak jadi pergi?" tanya Thian Oe.
"Malam ini, dalam rumah penginapan ini sudah datang begitu banyak orang pandai,"
kata gurunya. "Kalau dilihat gelagatnya, ini malam mesti terjadi apa-apa. Buat
sementara aku tidak
mau unjuk muka. Biarlah kita tunggu saja,"
Perasaannya Thian Oe menjadi tegang Ia ambil kantong senjata rahasia dari atas
meja dan taruh di bawah bantalnya.
"Oe-djie," kata Tjeng Hong. "Tidak perduli di luar ada kejadian apapun juga, aku
larang kau bergerak."
Mendengar perkataan gurunya, hatinya Thian Oe jadi semakin bergoncang. Ia gulakgulik di atas bantal dan tentu saja tidak dapat tidur pulas. Akan tetapi, sesudah lewat
sekian lama, di luar
tetap sepi-sepi saja. Tidak lama kemudian, kentongan berbunyi empat kali, tapi
masih juga belum
terjadi suatu apa. Thian Oe jadi merasa sangat ngantuk dan ia meramkan kedua
matanya. Dalam layap-layap, mendadak ia seperti lihat bayangan orang dan waktu membuka mata,
orang itu ternyata adalah gurunya sendiri yang sudah bangun berdiri. Ia loncat bangun
dengan perasaan
kaget. "Jangan bergerak," berbisik gurunya. "Aku mau keluar buat lihat-lihat."
Thian Oe tidak mengetahui, bahwa di atas genteng lewat satu tetamu malam. Cuma
saja sebab ilmu entengi badannya sangat tinggi dan gerakannya cuma mengeluarkan sedikit
suara, maka Thian Oe tidak dapat mendengar.
Tapi Siauw Tjeng Hong bukan saja sudah mendengar, tapi juga mengetahui, bahwa
gerakan itu adalah gerakan dari seorang ahli Heng-ie pay. Bek Eng Beng adalah tokoh dari
partai tersebut,
maka orang itu tentulah mesti ianya.
Tjeng Hong lantas salin pakaian hitam peranti jalan malam dan lalu loncat keluar
dari jendela. Begitu berada di luar, ia lihat satu bayangan hitam mendekam di payon kamar
seberang dan sedang mengintip ke dalam kamar. Tjeng Hong loncat ke atas genteng dan waktu
orang itu menengok, ternyata ia memang Bek Eng Beng adanya.
Tjeng Hong segera memberi tanda dengan gerakan tangan, buat mengasih tahu, bahwa
ia adalah seorang kawan. Biarpun sudah belasan tahun tidak pernah bertemu, Bek Eng
Beng kelihatannya masih belum lupa. Ia angkat tangan kanannya yang digoyang beberapa
kali, seperti juga mau bilang, Tjeng Hong tak usah campur urusannya. Siauw Tjeng Hong segera
mendekam di satu tempat ceglok di atas genteng. Ia lihat dalam kamar perwira itu dipasang
lilin sebesar lengan,
jendelanya ditutup separoh, sedang suara menggeros kedengaran keras sekali.
"Persiapan
semacam itu tidak akan dibikin, kalau bukannya orang itu mempunyai kepandaian
tinggi. Orang Kangouw yang tanggung-tanggung, begitu lihat persiapan begitu, tentu akan lantas
angkat kakinya. Tak dinyana, kedua perwira itu adalah orang-orang Kangouw - yang
berkepandaian tinggi," demikian Tjeng Hong berkata dalam hatinya.
Bek Eng Beng juga rupanya memikir begitu, sebab, sesudah mendekam lama, ia
kelihatan masih bersangsi. Sementara itu, suara menggeros kedengaran semakin santer. Di
lain saat, Bek Eng Beng rupanya sudah mengambil putusan. Ia cabut pedangnya dan bagaikan walet
menembus tirai, ia loncat ke dalam kamar.
Siauw Tjeng Hong lantas bergerak dan loncat ke tempat dimana barusan Bek Eng
Beng mendekam. Semua itu terjadi dalam tempo sekejapan mata saja. Begitu masuk,
tangannya Bek Eng Beng lantas menjambret ke peti kayu merah yang ditaruh di pinggir
pembaringan. Hampir
berbareng, kedua perwira sudah loncat dari pembaringan dan dua batang pedang
menyambar ke arah jalanan darah di kedua pundaknya Bek Eng Beng.
Tak malu Bek Eng Beng bergelar Siamkam Tayhiap (Pendekar dari propinsi Siamsay
dan Kamsiok). Diserang selagi membungkuk, badannya
mendadak lempeng dan melesat ke atas, sedang pedangnya sampok kedua senjata
musuh. Sebelum hinggap di muka bumi, badannya diputar, kaki kirinya menendang lebih
dahulu, disusul
dengan kaki kanannya. Itulah Lioeseng Kangoat Toeihong kiam (Ilmu pedang Bintang
sapu mengejar bulan dan angin) dan Lianhoan Tokbeng Wanyangkak (Tendangan berantai
membetot jiwa) dari Heng-ie pay yang digunakan secara saling susul. Dihantam secara
begitu, kedua perwira
itu lantas terdesak ke pojok kamar.
Bek Eng Beng berbalik buat jumput peti merah itu. "Bangsat yang bernyali besar!"
membentak satu perwira. "Malam ini kita pasang umpan buat tangkap ikan emas. Apa kau masih
berani turun tangan?" Baru saja Bek Eng Beng mau lonjorkan tangannya, di bebokongnya sudah menyambar
senjata musuh. Ia tendang peti itu sampai di pinggir pintu, sedang pedangnya tangkis
senjata musuh. Bek
Eng Beng menyerang dengan serangan-serangan yang
membinasakan, tapi kedua perwira itu pun bukannya lawanan empuk. Mereka putar
pedangnya secara rapat sekali dan berbareng mengirim serangan-serangan yang tidak kurang
hebatnya. "Barang apa terdapat dalam peti itu?" tanya Tjeng Hong dalam hatinya. "Tapi
biarlah aku bantu
Bek Tayhiap." Selagi ia mau loncat turun, mendadak terdengar suara gedubrakan
dan pintu kamar
terpentang akibat tendangan.
Berbareng dengan itu, dua boesoe Nepal menerobos masuk dengan sikap garang,
sedang satu antaranya lantas jumput peti merah itu.
Selagi kedua boesoe mau lari keluar, badannya Tjeng Hong melayang turun sembari
mengebut dengan hudtim-nya. Satu boesoe lantas memapaki dengan goloknya. Golok itu'
berbentuk bulan
sisir dengan tajamnya bengkok ke dalam. Itulah senjata yang bukan saja dapat
melukakan orang,
tapi juga dapat menggaet senjata musuh. Tapi hudtim-nya Siauw Tjeng Hong juga
adalah senjata mustika yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan. Kebutan itu bisa keras dan
bisa lemas. Begitu lekas ia membacok, boesoe itu rasakan goloknya seperti membacok kapas,
tanpa ada tenaga yang melawan. Hatinya terkesiap dan tarik pulang goloknya, tapi golok itu
sudah tergubat hudtim. Boesoe itu membetot, tapi goloknya tak dapat putuskan benang-benang
hudtim. Tjeng Hong kerahkan tenaganya dan membentak: "Lepaskan golokmu!" Lantaran sayang
goloknya, boesoe itu kerahkan seluruh tenaganya pada lengan kanannya buat lawan tenaga
musuh. Itulah justru yang diingini Siauw Tjeng Hong. Mendadakan saja tangan kirinya menyambar
dan betot peti merah itu yang dipeluk dengan tangan kirinya boesoe tersebut. Itu adalah tipu
yang dinamakan suara di timur, menyerang di barat. Oleh karena perhatiannya sedang dipusatkan
kepada sang golok, bagian kirinya jadi terbuka dan di lain saat, peti merah itu sudah pindah
ke tangannya Tjeng Hong. Boesoe itu seperti terbang semangatnya. Ia baru sadar, bahwa isinya peti itu ada laksaan kali
lipat lebih berharga dari goloknya. Sedang pikiran musuh kalut, dengan sekali
gentak saja, Siauw
Tjeng Hong bikin terpental golok musuh dari tangannya.
Ketika peti merah kena dirampas oleh sang boesoe, keadaan pertempuran dalam
kamar lantas jadi berobah. Kedua perwira dan Bek Eng Beng berhenti berkelahi dan ketiga
batang pedang lantas meluruk kepada dua musuh yang baru datang. Tapi baru saja pedang mereka
menyambar, peti merah itu sudah pindah ke tangannya Siauw Tjeng Hong. Semua itu sudah
terjadi dalam tempo sekejap mata.
Tapi boesoe itu juga bukan orang sembarangan. 1 Begitu goloknya terpental, ia
loncat, tangannya menyambar dan sanggap pulang goloknya itu. Berbareng dengan itu kaki
kanannya sapu kedua kakinya Siauw Tjeng Hong. Kawannya juga lantas menubruk dan kirim
tiga bacokan beruntun ke arah Tjeng Hong.
Dengan satu tangan memeluk peti merah, Tjeng Hong kelit serangan boesoe yang
pertama. Golok boesoe yang satunya lagi, ia sampok dengan hudtim-nya. Tiba-tiba ia
rasakan sambaran
angin tajam di bebokongnya dan pedangnya kedua perwira menikam dengan berbareng.
Ia menangkis dengan hudtim-nya, dan selagi perhatiannya ditujukan kepada
serangannya kedua
perwira itu, boesoe Nepal yang kedua berhasil merampas lagi peti merah itu. Bek
Eng Beng kebaskan pedangnya dan sampok pedangnya dua perwira. Pada saat itu, kedua boesoe
Nepal sudah menerobos keluar pintu dan terus kabur.
"Ubar!" berseru Bek Eng Beng sembari enjot badannya. Siauw Tjeng Hong dan dua
perwira berhenti berkelahi dan turut mengubar.
Bagaikan kilat, keenam orang itu berlari-lari melewati genteng-genteng rumah.
Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di luar kota. Antara mereka, Bek Eng Beng-lah yang
mempunyai ilmu entengi badan paling tinggi dan ia paling dahulu dapat menyandak.
Begitu kecandak, kedua boesoe Nepal lantas berbalik dan kerubuti Bek Eng Beng.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa saat kemudian, Siauw Tjeng Hong sudah menyusul. Dengan dua lawan satu, keadaan
kedua boesoe masih boleh juga, tapi begitu lekas Tjeng Hong turut ambil bagian, mereka
segera jadi keteter. Dengan hebat Eng Beng desak dua lawannya, yang napasnya jadi sengalsengal. Menggunakan kesempatan itu, Tjeng Hong putar hudtim-nya buat melindungi badan,
sedang satu tangannya menyambar buat rampas balik peti merah itu.
"Serahkan peti itu kepadaku!" mendadak kedengaran orang membentak. Dua perwira
yang ketinggalan ternyata sudah sampai disitu. Dua pedangnya menyabet dari kiri dan
kanan, ke arah boesoe Nepal yang peluk peti merah itu.
Diserang oleh empat orang yang mempunyai kepandaian tinggi, kelihatannya boesoe
itu tak akan dapat loloskan diri lagi. Tak dinyana, sembari membentak, ia timpuk mukanya
Bek Eng Beng dengan peti itu, yang lantas menanggapi. Sekarang
pertempuran kembali berobah. Dua perwira dan dua boesoe jadi berkawan dan
kerubuti Bek Eng Beng, yang cuma dibantu oleh Siauw Tjeng Hong seorang.
Demikianlah pertempuran berjalan dengan hebat. Dua perwira dan dua boesoe itu,
kalau satu lawan satu, tak ada yang bisa jadi tandingannya Bek Eng Beng atau Siauw Tjeng
Hong. Tapi dengan empat lawan dua, mereka jadi berada di atas angin. Selainnya itu, dengan
tangan memeluk peti merah, perhatiannya Eng Beng jadi terpecah. Sesudah lewat kurang
lebih lima puluh
jurus, mereka jadi kedesak dan cuma dapat membela diri, tanpa mampu balas
menyerang. Dua perwira dan dua boesoe makin lama menyerang makin hebat. Mendadak, sembari
membentak keras, Bek Eng Beng lemparkan peti itu kepada sang boesoe Nepal.
Melihat begitu,
dua perwira terkejut. Bek Eng Beng putar pedangnya dan menyerang kalang kabutan
sembari membentak: "Biar aku bikin mampus dahulu dua manusia ini!"
Sekarang dua perwira itu berbalik menghantam sang boesoe yang pegang peti merah.
Sembari tertawa nyaring, ia menangkis dengan goloknya dan berbareng lempar peti itu.
Siauw Tjeng Hong
yang berdiri paling dekat sambut? peti tersebut dan ia lantas saja dikepung oleh
dua perwira dan
dua boesoe! Peti merah itu yang tadi menjadi rebutan, sekarang jadi bibit
penyakit! Sesudah melawan beberapa jurus, Tjeng Hong lempar peti itu ke arah satu perwira.
Tidak dinyana, sembari tertawa dingin, perwira itu angkat tangannya buat hantam peti
itu. Bek Eng Beng terkesiap dan lantas loncat menyambut. Di lain saat, ia sudah dikepung oleh
kedua perwira dan kedua boesoe!
Selagi bertempur hebat, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring dan satu bayangan hitam berkelebat bagaikan kilat. Orang yang baru datang bukan lain
dari si pengemis aneh. Begitu tiba, ia putar tongkat besinya dan mengamuk secara aneh
pula. Keanehannya ialah ia hantam siapa juga yang menghalang di depannya. Si perwira,
si boesoe dan Bek Eng Beng semua dirabu olehnya.
"Kalau begitu ia mau bikin semua orang jadi lelah, akan kemudian menarik
keuntungan dan kantongi peti merah itu." pikir Tjeng Hong dalam hatinya. Selagi ia mau buka
kedoknya si pengemis, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat panjang dan
dalam gelanggang pertempuran, tambah lagi satu orang baru! Orang itu datang secara
luar biasa. Barusan, ketika si pengemis datang, suaranya terdengar lebih dahulu, belakangan
barulah manusianya muncul. Tapi kali ini, suara dan manusia datang berbareng.
Dengan bantuannya sinar rembulan, Siauw Tjeng Hong lantas kenali, bahwa orang
itu adalah si anak sekolah yang beberapa hari berselang telah tolong jiwanya dengan jarum
emas. Sembari tolak pinggang dengan satu tangannya, ia membuat setengah lingkaran dengan
tangannya yang lain. "Barang langka apakah yang membikin kalian jadi berebut?" ia tanya dengan
suara malasmalasan.
Munculnya si anak sekolah membikin semua orang jadi kaget dan mereka segera
hentikan pertempuran. Si-pengemis aneh tertawa dingin dan bawa sikap acuh tak acuh, tapi
sebenarnya ia pusatkan seluruh perhatiannya kepada anak sekolah itu dan siap sedia dengan
tongkatnya. Bek Eng Beng yang mempunyai banyak pengalaman lantas mengetahui, bahwa anak
sekolah itu bukannya sembarang orang. Sembari usap gagang pedangnya, ia memberi hormat
dan berkata: "Aku, Pokee Bek Eng Beng, ingin mengambil serupa barang dari tangannya
ini kedua kuku garuda. Jika tuan adalah seorang kawan dalam Rimba Persilatan, aku tak
berani minta bantuan, tapi memohon supaya tempatkan diri di luar gelanggang. Di lain hari,
aku tentu akan membalas budi ini." Harus diketahui bahwa Bek Eng Beng adalah pendekar besar di
propinsi Siamsay dan Kamsiok. Di beberapa propinsi Tiongkok Utara barat, namanya besar
sekali dan dikenal oleh semua orang kalangan Rimba Persilatan. Sekarang ia sendiri
memperkenalkan diri dan
menggunakan kata-kata yang menghormat. Menurut taksiran, usianya si anak sekolah
tidak lebih dari dua puluh tahun, sehingga tingkatannya tidak bisa berada di atas Bek Eng
Beng. Dalam omongannya itu, Bek Eng Beng tidak menonjolkan kedudukan sebagai tjianpwee
(orang dari tingkatan lebih tua), tapi cuma singgung soal pribudi dalam kalangan Kangouw. Ia
menaksir, sesudah dengar omongannya, biarpun tidak sampai membantu, si anak sekolah tentu
akan minggir. Tapi siapa nyana, ia cuma berkata dengan suara dingin: "Hm! Aku tahu!" Dari lagu
suaranya, seperti juga ia belum pernah dengar namanya Bek Eng Beng, sehingga Siauw Tjeng
Hong sendiri sampai merasa, si anak sekolah bersikap sedikit keterlaluan.
Mendengar perkataan yang dingin itu, kedua perwira jadi merasa sangat girang.
Sembari rangkap kedua tangannya, salah seorang berkata: "Kami adalah anggauta dari
Gielimkoen (Pasukan pengawal kaizar) dan menerima perintah Bansweeya (Kaizar) buat antar
serupa barang ke Lhasa. Tapi di tengah jalan, barang itu kena dirampas oleh bangsat tua ini.
Maka itu, kami memohon bantuan tuan."
Si anak sekolah kembali keluarkan satu gerendengan dan berkata dengan tawar:
"Yah, aku tahu!" Si pengemis tertawa dingin dan niat lantas lampiaskan amarahnya. Tapi mendadak
si anak sekolah maju dua tindak, dan setahu bagaimana, dengan sekali berkelebat,
tangannya sudah
dapat rampas peti merah itu dari cekatannya Bek Eng Beng! Bagaimana tinggi
kepandaiannya Bek
Eng Beng sudah sukar diukur, tapi toh, barang yang dicekal olehnya, sudah dapat
dirampas secara
begitu gampang! Hal itu bukan saja sudah membikin Siauw Tjeng Hong jadi
terkejut, tapi kedua
perwira dan kedua boesoe pun sampai keluarkan teriakan tertahan dan loncat
mundur beberapa
tindak. Si anak sekolah cepat bagaikan kilat, si pengemis pun tidak kurang cepatnya.
Hampir pada saat
yang berbareng, tongkatnya si pengemis berkelebat dan menimpa gegernya si anak
sekolah. Melihat bahaya itu Siauw Tjeng Hong yang pernah ditolong jiwanya, tanpa merasa
keluarkan teriakan "Ayo!"
Tanpa menengok, si anak sekolah menyampok dengan tangannya, sedang badannya
sudah melesat setombak lebih. Betul indah gerakannya itu! Pada sebelum si pengemis
tarik pulang tongkatnya, ia sudah berkata dengan suara nyaring: "Sungguh Thiekoay sian
bukannya cuma nama kosong!"
Tjeng Hong terkejut. Si pengemis aneh ternyata memang benar Thiekoay sian
adanya! Sementara itu, si anak sekolah sudah berkata lagi sembari tertawa: "Sekarang aku
mau lihat, barang luar biasa apakah yang membikin kalian jadi berebut sampai begitu." Ia
menepok dan peti
merah itu lantas terbuka. Ia ambil isinya, banting di atas tanah dan dengan satu
suara krontangan
benda itu pecah jadi delapan potong!
Bek Eng Beng keluarkan teriakan kaget. "Ah, bukannya guci emas!" ia berseru. Si
pengemis aneh juga kelihatan tidak kurang kagetnya. Ia goyang-goyang tongkatnya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Tjeng Hong mengawasi dan ternyata yang hancur itu adalah vas
porselen biasa. Ia
sungguh heran, kenapa mereka berebuti barang begitu.
Sesudah banting vas porselen itu, si anak sekolah dongakkan kepalanya dan
tertawa nyaring.
"Bibit bencana hilang, pertempuran berhenti," kata ia. "Kejadian ini bisa keja
Louw Tiong Lian 51
jaman sekarang jadi mati tertawa. Ha, ha! Sungguh menggembirakan! Sekarang aku
permisi pergi!" Ia kebaskan tangan bajunya, badannya melesat seperti seekor burung dan
berlalu seperti
terbang. Mendadak Bek Eng Beng menggereng. "Kau sudah nyebur ke dalam air, mana bisa
begitu gampang lepaskan senjata?" ia membentak sembari mengudak. Dua perwira dan dua
boesoe Nepal juga turut memburu sembari berteriak-teriak, sehingga suaranya
berkumandang jauh di
padang rumput yang luas itu.
Si pengemis aneh ketruk tongkatnya di atas tanah, tapi badannya tidak bergerak.
Melihat begitu, Siauw Tjeng Hong yang tadinya mau ikut mengubar, jadi urungkan
niatannya. Selagi ia
niat menegur, kedua matanya si pengemis mendadak mendelik.
"Hm, apa kau rasa bisa menyandak?" katanya dengan suara tawar. "Simpan tenagamu
buat pertemuan di Thian-ouw!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia angkat tongkatnya dan sabet pinggangnya
Siauw Tjeng Hong. Pukulan ini bukan saja datangnya tidak diduga-duga, tapi juga cepat
bagaikan kilat,
sehingga biarpun mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, Siauw Tjeng Hong tidak
akan dapat loloskan diri. Dengan satu suara "buk", tongkatnya si pengemis sudah mampir di
pundaknya. Ketika tongkat itu menyambar, dengan perasaan mencelos, Siauw Tjeng Hong berkata
dalam hatinya: "Tak dinyana aku mesti mati secara mengecewakan di tempat ini!"
Tapi aneh, sungguh aneh, ketika tongkat itu mampir di pundaknya, ia bukan
rasakan pukulan
biasa, tapi semacam dorongan hebat yang membikin badannya ngapung beberapa
tombak tingginya! Sebagai ahli silat, selagi berada di tengah udara, Tjeng Hong putar
badannya yang lantas turun ke bumi tanpa mendapat luka apa-apa! Dan waktu ia mengawasi
sekelilingnya, si
pengemis sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sungguh heran hatinya Tjeng Hong. Jika si pengemis mempunyai dendaman, kenapa ia
tidak turunkan tangan jahat"
Kalau tidak mempunyai ganjelan, kenapa juga ia permainkan dirinya" Biarpun sudah
lama tenggelam timbul dalam kalangan Kangouw, kali ini benar-benar ia tidak mengerti.
Sekarang marilah kita tengok rumah penginapan itu yang menjadi kacau balau
lantaran terjadinya pertempuran yang berlangsung dari dalam sampai diluar.
Tak usah dibilang lagi, pemilik rumah penginapan dan para tetamu jadi ketakutan
setengah mati dan pada mengumpat sambil sesepkan kepala. Sesudah orang-orang yang
berkelahi pergi
jauh, barulah pemilik hotel berani muncul sembari bawa lampu buat periksa
keadaan rumah penginapannya. Ia lihat kamarnya Bek Eng Beng, kamar kedua perwira, dua boesoe
dan kamarnya si pengemis semuanya terpentang dengan tidak ada manusianya. "Sudahlah!
Sudahlah! Aku sudah
duga, si pengemis bukannya orang baik!" ia kata sembari banting kaki. Ia tidak
berani maki itu
pembesar militer, itu kedua boesoe dan Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, maka si
pengemis yang menjadi korban.
Tapi si pelayan kelihatannya masih mempunyai liangsim (perasaan hati). "Berat
peraknya ada dua belas tail, aku sudah timbang," kata ia.
Mendengar perkataan itu, paras mukanya si pemilik hotel jadi berobah. Buru-buru
ia lari masuk ke kamarnya, akan kemudian keluar lagi sembari berteriak-teriak: "Bangsat!
Bangsat besar! Dia
berani colong perakku!"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata pemilik hotel adalah seorang sekaker yang suka sekali tukarkan perak
hancur dengan goanpo (potongan perak besar) buat disimpan. Beberapa hari berselang, ia baru
saja tukarkan sepotong goanpo yang beratnya dua belas tail. Barusan waktu dicari, potongan
perak itu lenyap!
Tak usah. disangsikan lagi, potongan perak itu tentu sudah dicuri oleh si
pengemis! Sembari
memaki, si pemilik hotel menangis pikirkan peraknya yang hilang.
Tan Thian Oe yang dengar itu semua, berkata dalam hatinya: "Pengemis aneh itu
liehay sekali, akan tetapi, dengan mau tidur dan makan gratis, ia agaknya keterlaluan." Sebagai
seorang pemuda yang berhati kasihan, tanpa pikirkan segala akibatnya, ia lantas berjalan
keluar dari kamarnya dan berkata: "Tiam tjoedjin (pemilik hotel) tak usah bersedih hati dan
mencaci maki. Goanpo itu biarlah aku yang ganti. Mpe pengemis adalah seorang tjianpwee-ku
(orang tingkatan
lebih tua). Adatnya aneh sekali dan aku rasa ia sengaja main-main dengan kau."
Si pemilik hotel merasa heran, kenapa Thian Oe yang pakaiannya indah seperti
seorang kongtjoe hartawan bisa kenal pengemis itu. Tapi mendengar kerugiannya bakal
ditutup, ia jadi
kegirangan setengah mati dan haturkan ribu-ribu terima kasih, tanpa berani
menanya melit-melit.
Waktu Thian Oe balik ke kamarnya, fajar sudah menyingsing, tapi gurunya belum
juga balik, sehingga hatinya merasa sangat kuatir. Mendadak ia dengar suara orang tertawa di
luar jendela. "Bocah ini hatinya baik sekali!" kata orang itu.
"Tjianpwee siapakah yang bicara?" ia menanya dengan perasaan terkejut. Ia tolak
jendela dan melongok keluar, tapi tidak kelihatan bayangan manusia. Begitu balik lagi
badannya, ia lihat satu
bungkusan di atas meja kecil, di pinggir pembaringan. Bungkusan itu ternyata
berisi baju bulu
onta yang ia hadiahkan kepada si pengemis dan sepotong goanpo! Thian Oe
terkesiap dan berkata: "Ah, tjianpwee itu benar-benar luar biasa."
Sesudah siang, barulah Siauw Tjeng Hong kembali di rumah penginapan. Guru dan
murid saling tuturkan pengalamannya yang semalam dan kedua-duanya merasa sangat heran. Mereka
tak tahu, apa pengemis itu kawan atau lawan. Mereka tak dapat tebak, kenapa Bek Eng
Beng, dua perwira dan dua boesoe Nepal sampai perebutkan satu vas porselen biasa. Sesudah
bersantap pagi, dengan perasaan masgul mereka lalu teruskan perjalanan.
Sesudah berjalan lagi setengah bulan, tibalah mereka di sebelah utara barat
Lhasa. Jauh-jauh
mereka lihat satu gunung tinggi menghadang jalanan.
Itulah gunung Nyenchin Dangla yang tingginya cuma kalah dari gunung Himalaya.
Waktu itu sudah masuk musim panas. Di kaki gunung ratusan macam kembang berbunga indah
sekali, sedang di lamping gunung, air yang bening laksana kaca mengalir legat-legot di
antara batu-batu
dan hawa udara kira-kira bersamaan dengan hawa musim semi di daerah Kanglam.
Tapi di sebelah atas, salju putih masih menutupi puncak gunung yang tinggi, sehingga
memberi pemandangan yang istimewa sekali.
"Aku dengar, Lootjianpwee Koei Hoa Seng berdiam di gunung ini." kata Siauw Tjeng
Hong. "Aku hanya berharap beliau masih hidup, supaya dapat menolong kesukaranku ini."
Guru dan murid yang sudah siap sedia dengan alat-alat, lantas mulai mendaki
gunung. Sesudah
berjalan tiga hari, barulah mereka tiba di pinggang gunung. Dari situ, mereka
dapat lihat sungai es
yang melingkar-lingkar seperti naga perak dan mengasih lihat lain pemandangan
yang mengherankan. Lapisan atas sungai es itu sudah menjadi lumer lantaran kena
sorotnya matahari
yang hangat. Tapi kembang salju dari puncak gunung selembar-selembar melayang
turun ke bawah, seakan-akan lembaran-lembaran kertas kristal yang jatuh di atas muka
sungai es itu. Lembaran-lembaran salju itu segera menjadi keras, yang tidak lama kemudian
menjadi lumer pula
lantaran hangatnya sang matahari. Maka itulah, sedari dahulu sampai sekarang
sungai es di pegunungan Nyenchin Dangla selalu tidak berobah. Disorot sinar matahari, lapisan
es itu merupakan benda transparan yang berwarna hijau muda dan keindahannya sungguh
sukar dilukiskan dengan sang kalam. Salju dari permulaan musim panas sifatnya lebih
keras dan basah,
dan di dalamnya mengandung lebih banyak air, sehingga pada sebelumnya menjadi
es, salju itu seperti juga bunga-bunga bwee yang ngambang di atas sungai es. Maka itulah, ada
satu syair yang berbunyi kira-kira seperti berikut:
Salju musim semi di tengah udara berterbangan, Sekuntum-kuntum bagaikan bunga
yang sedang mekar. Sehingga orang yang kurang pengetahuan.
Akan kira mereka itu bunga sungguhan.
Itulah syair yang sering diucapkan oleh mereka yang menyaksikan pemandangan yang
menakjubkan itu.
Selagi guru dan murid puaskan matanya, di sebelah bawah pinggang gunung mendadak
terdengar suara apa-apa. Dua orang berpakaian warna- abu-abu kelihatan loncat ke
atas puncak di seberang. Pegunungan Nyenchin Dangla penuh dengan puncak-puncak yang
antaranya cuma berjarak kira-kira satu li satu antara lainnya. Di lain saat, dua bayangan orang
itu sudah masuk ke
mulut gunung dan tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tjeng Hong dan Thian Oe merasa heran. Sementara itu, tiba-tiba kuping mereka
menangkap suaranya tetabuhan khim yang datang dari tempat jauh.
Mereka lantas saja tujukan tindakan ke arah tetabuhan itu. Semakin lama
berjalan, semakin
hangat hawa udara. "Beberapa hari yang lalu, makin tinggi, kita merasa makin
dingin. Tapi kenapa
sekarang, sesudah tiba di pinggang gunung, hawa jadi berbalik hangat?" tanya
Thian Oe. "Mungkin di bawah tanah ini terdapat sebuah gunung berapi," menerangkan Tjeng
Hong. Dengan perlahan, suara khim jadi semakin tedas kedengarannya. Sebagai satu ahli,
Thian Oe lantas mengetahui bahwa tetabuhan itu adalah o-khim yang bertali lima.
Suaranya tetabuhan itu sangat menyedihkan hati, dan sesudah mendengari berapa
lama, hatinya Thian Oe jadi bergoncang, sebab ia merasa pernah mendengar suara seperti
itu. Mendadak, suara khim diiring dengan nyanyian yang seperti berikut:
Di bawah sungai es seekor anak kambing.
Kehilangan ayah, kehilangan bunda.
Sang elang memburu dia. Mau dicengkeram, dijadikan santapan.
Pengtjoan Thianlie - oh, ciciku yang mulia!
Dengarkah kau teriakannya yang menyayatkan hati.
Tahukah kau penderitaannya" Tolonglah usir sang elang yang jahat,
Selama hidup dia tak akan melupakannya.
Thian Oe kenali. Suara itu keluar dari mulutnya Chena, itu gadis Tsang yang
aneh. "Soehoe",
kata ia dengan kaget tercampur girang. "Dengarlah! Nyanyian itu adalah
permintaan tolong
kepada Pengtjoan Thianlie. Tak salah lagi, Pengtjoan Thianlie berdiam di ini
tempat! Hai! Gadis itu
sungguh hebat penderitaannya. Nyanyian itu mengunjuk, bahwa ia kembali diubar
orang." Tanpa tunggu jawaban gurunya, Thian Oe cabut dua hoeito dan berlari-lari ke arah
suara nyanyian itu. Sesudah lewati satu lembah gunung, matanya dapat lihat satu telaga
yang sangat luas, yang seputarnya dikitari gunung. Telaga itu adalah telaga yang paling
tinggi dalam dunia,
yang dalam bahasa Tibet dinamakan Tengri Nor. Telaga tersebut terletak di tempat
yang tingginya lebih dari 4.672 kaki, sehingga lebih tinggi 800 kaki lebih dari telaga
Titicaca, di antara Peru dan
Bolivia di Amerika Selatan. Telaga inilah yang orang Han namakan Thian-ouw, atau
Telaga Langit. Air telaga bening jernih seperti kaca, sedang ombak halus menyapu ke sana-sini
tak hentihentinya.
Di tengah telaga terdapat lempengan-lempengan es yang mengambang, yang
berkilatkilat, lantaran tertojo sinarnya sang matahari. Air telaga seakan-akan menempel dengan
tepian langit, sang langit menempel dengan air telaga. Thian Oe jadi seperti orang
kesima. "Tempat ini
benar-benar bagaikan surga. Apakah benar Pengtjoan Thianlie tinggal disini?"
kata ia dalam hatinya. Di pinggir telaga penuh dengan rumput hijau dan pohon-pohon bunga yang
menyiarkan bau harum sekali. Dan di antara pohon-pohon kembang itu, kelihatan berkibar-kibar
selendang sutera
putih dari seorang wanita.
"Nona Chena! Aku disini!" berseru Thian Oe. Baru saja gadis itu menengok,
kembali terdengar
lain suara: "Nona Chena! Kami pun berada disini!" Berbareng dengan itu, dari
gombolan pohon loncat keluar dua orang tinggi besar yang berpakaian warna abu-abu. Sembari
nyengir, mereka
tubruk Chena. Thian Oe membentak sembari menimpuk dengan kedua hoeito-nya. Kedua orang itu
mengebut dengan tali pinggangnya dan kedua golok terbang tersampok jatuh ke dalam telaga.
Dalam kagetnya, Thian Oe dengar satu orang berteriak kesakitan, sedang yang
satunya jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Orang yang membantu Thian Oe adalah Siauw Tjeng
Hong yang telah timpuk jitu jalanan darah kedua orang itu dengan cabang pohon.
Kedua orang itu sebenarnya bukan makanan empuk, tapi lantaran mereka sedang
perhatikan hoeito-nya Thian Oe dan juga sebab tenaga dalamnya Tjeng Hong ada cukup tinggi,
maka biarpun jaraknya jauh, jalanan darahnya kena ketotok juga dan dirasakan sakit bukan
main, walaupun tidak sampai roboh klengar. Mereka tahu sedang berhadapan dengan orang pandai
dan buru-buru kabur buat minta bala bantuan.
Gadis Tsang itu berlari-lari dengan paras muka ketakutan. "Sudah tak ada apa-apa
lagi. Musuh sudah kena diusir oleh guru," kata Thian Oe. Melihat sikap muridnya, Tjeng Hong
jadi ingat pengalamannya sendiri, ketika diam-diam ia mencintai Tjia ln Tjin. Ia segera
jalan perlahan sekali,
supaya tidak mengganggu kedua orang muda.
Sekonyong-konyong dari gombolan pohon berkelebat bayangan orang. "Timpukan
bagus! Timpukan Bagus! Sahabat-sahabat lama sekarang bertemu kembali!" demikian
kedengaran satu
orang berkata. Hatinya Tjeng Hong mencelos. Dua orang kelihatan muncul. Pada mukanya orang yang
jalan di depan terdapat tapak golok tapak jalak, satu matanya buta, mukanya menyeringai,
sehingga kelihatannya menakuti sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe,
pentolan nomor satu
dari tingkatan kedua Boetong pay dan yang ditakuti oleh Siauw Tjeng Hong. Orang
yang jalan belakangan adalah Tjoei In Tjoe yang sudah sembuh lantaran kasiatnya soatlian
dan tangannya mencekal satu gendewa dengan tali baru.
Diudak oleh Tan Thian Oe, gadis Tsang itu berlari-lari lewat di pinggirnya Tjoei
In Tjoe, yang berkata sembari tertawa: "Sanma! Terima kasih buat soatlian-mu." Sesudah Chena
lewat, ia kebaskan gendewanya dan papaki Thian Oe. "Oe-djie, balik!" berseru Siauw Tjeng
Hong. Thian Oe hampiri gurunya, sedang si nona lari terus.
Loei Tjin Tjoe cabut pedangnya dan setindak demi setindak ia mendekati Siauw
Tjeng Hong. "Kejadian pada tahun itu, sebenarnya sudah terjadi lantaran tidak sengaja. Loei
Toako buat apalah mendendam sampai begitu," kata Tjeng Hong.
Loei Tjin Tjoe keluarkan satu suara "htn" dan spier mukanya berkerut, sehingga
macamnya menakuti sekali. "Kalau kau tidak ingin aku menaruh dendam, tidak sukar," kata
ia dengan suara
tawar. "Kau kemari dan kasih aku bacok mukamu dua kali dan kemudian korek biji
matamu." "Itu toh bukan dilakukan olehku," sahut Tjeng Hong. "Aku cuma secara tidak
disengaja sudah
membantu Tjia In Tjin."
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu mendelik. Ia jadi semakin gusar ketika
Tjeng Hong sebutkan namanya Tjia In Tjin. Ia dahulu adalah seorang lelaki yang berparas
cakap sekali dan
sekarang jadi tidak keruan macam. Sedang Tjia In Tjin tidak dapat dicari, semua
amarahnya jadi tumplek ke atas kepalanya Tjeng Hong.
Sesudah datang dekat, ia menuding sembari berkata: "Sahabat, kepandaianmu tidak
mundur, sedang akupun sudah berlatih beberapa macam ilmu. Belasan tahun berselang kita
pernah bertanding dan sekarang aku kembali mau persembahkan kebodohanku." Pedang lantas
berkelebat dan ia kirim satu serangan membinasakan.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Loei Toako kau mendesak siauwtee (adik) sampai di satu pojokan," kata Tjeng
Hong sembari meringis. Loei Tjin Tjoe kirim tiga serangan beruntun yang semuanya dapat dikelit oleh
Tjeng Hong. Bacokan Loei Tjin Tjoe yang satu lebih cepat dari yang lain dan serangan ke
empat, dalam gerakan Pekhong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), menikam jalanan darah
Tongboen hiat pada dadanya Siauw Tjeng Hong. Serangan itu hebat luar biasa dan kelihatannya
Tjeng Hong tidak akan dapat singkirkan dirinya lagi. Mendadak ia putar badan sembari
mengebut dan ribuan
benang halus lantas gulung pedangnya Loei Tjin Tjoe.
Oleh karena kuatirkan pembalasan, belasan tahun lamanya Tjeng Hong pikirkan cara
buat jatuhkan musuh. Ilmu silatnya Loei Tjin Tjoe banyak lebih tinggi, sehingga
kemungkinan satusatunya
adalah melawan dengan tipu. Dengan terus kelit tiga serangan, ia sengaja
perlihatkan rasa ketakutan, dan ketika musuh menikam habis dengan pedangnya, barulah ia
menggulung dengan kebutannya. Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong adalah
mustika dalam Rimba Persilatan. Hudtim itu rupanya mirip dengan buntut kuda, tapi sebenarnya
terbuat dari benang-benang emas hitam yang luar biasa uletnya dan tak dapat diputuskan dengan
senjata tajam. Melihat ilmu pukulannya yang sudah dilatih belasan tahun, mendapat hasil,
hatinya Tjeng Hong jadi girang sekali.
Loei Tjin Tjoe tertawa dingin dan lantas kerahkan tenaganya sembari betot
pedangnya. Di lain
saat, ribuan benang halus pada berterbangan di tengah udara!
Tjeng Hong mencelos hatinya. Ia tak duga, tenaga dalamnya begitu tinggi.
Sementara itu musuh kembali sudah menyerang tiga kali beruntun dan ia tidak dapat berbuat lain
daripada putar hudtim-nya buat menjaga diri, tanpa mampu balas menyerang lagi.
Semakin lama Loei Tjin Tjoe menyerang semakin cepat. Tjeng Hong terus mundur dan
dari kepalanya keluar uap putih, yang menandakan ia sudah kerahkan setaker tenaga
yang berada dalam dirinya. Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Loei Tjin Tjoe
mendadak meniup
dengan mulutnya, sedang pedangnya berbareng membabat. Saat itu juga, sebagian
hudtim-nya Tjeng Hong terbabat putus dan benang-benangnya berterbangan bagaikan rumput.
Jika benangbenang
hudtim-nya Tjeng Hong berkumpul jadi satu, senjata yang paling tajam tak akan
dapat memutuskannya. Akan tetapi, sesudah kena ditiup buyar oleh Loei Tjin Tjoe yang
berbareng kerahkan tenaga dalamnya ke badan pedang, hudtim itu jadi seperti sesapu yang
terbuka ikatannya dan tak sukar buat dibabat putus.
Bukan main sakit hatinya Tjeng Hong yang tidak berani berkelahi lagi. "Baiklah,
aku terima nasib!" kata ia dengan suara sedih.
Loei Tjin Tjoe keluarkan tertawa nyaring. Ia maju dua tindak dan matanya
mengawasi musuhnya. "Baiklah," kata ia sembari kebas pedangnya. "Aku akan kirim dua
sabetan tapak jalak
ke mukamu seperti contoh mukaku sendiri. Tjoei Hiantee, mari sini! Saksikanlah
bagaimana aku turunkan tangan!"
Satu perasaan dingin bagaikan es dirasakan oleh Tjeng Hong. Ia meramkan kedua
matanya, tak berani ia lihat pedangnya musuh yang mengkilap.
Tiba-tiba saja ia dengar suara "tring" dan Loei Tjin Tjoe kedengaran membentak:
"Bocah dari
mana berani membokong aku!"
Tjeng Hong buka kedua matanya dan lihat ujung pedangnya musuh miring dan
tergetar tak hentinya, dengan keluarkan sedikit suara mengaung. Teranglah bagi Siauw Tjeng
Hong, bahwa pedangnya Loei Tjin Tjoe kena terpukul miring dengan semacam senjata rahasia.
Heran benar hatinya. Siapakah yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi sehingga dapat
pukul miring senjatanya Loei Tjin Tjoe"
Baru saja Loei Tjin Tjoe habis membentak, satu suara menyahut: "Apa matamu buta"
Tuanmu berada disini." Loei Tjin Tjoe menengok dan lihat satu orang berdiri di sebelah
kanannya. Orang itu adalah satu pengemis yang mukanya seperti pantat kuali, rambutnya
awut-awutan, hidungnya dongak ke atas, sedang bajunya penuh tambalan. Tjeng Hong kaget
berbareng girang. "Thiekoay sian datang, tak tahu apa ia kawan atau lawan," kata ia dalam
hatinya. Tapi ia,
yang sudah tinggal tunggu kebinasaannya, tidak jadi lebih keder hatinya. Taruh
kata si pengemis
datang sebagai musuh, buntutnya toh sama saja. Adalah Loei Tjin Tjoe yang merasa
kaget dan bersangsi. Dengan terpincang-pincang si pengemis menghampiri.
Biarpun tahu orang genggam niatan kurang baik, tapi dengan andalkan
kepandaiannya yang
tinggi, Loei Tjin Tjoe tidak jadi keder.
"Siauw Tjeng Hong, boleh juga kau!" kata ia sembari tertawa dingin. "Tak kukira,
kau sudah sediakan sahabatmu." Ia lirik Tjoei In Tjoe, supaya kawannya bersiap untuk
bertempur. "Ha, ha!" tertawa si pengemis. "Hari ini aku bukan mau bantu orang berkelahi,
tapi mau menerima gebukan. Eh, bukankah kau niat kirim dua bacokan pada mukanya?"
"Apa?" kata Loei Tjin Tjoe. "Apa kau tidak tega dan mau gulung tangan baju?"
Si pengemis lagi-lagi tertawa.
"Aku pengemis miskin mana punya begitu banyak sahabat?" kata ia. "Cuma saja, aku
lihat ini Siauw sinshe mempunyai paras muka yang begitu halus, dan seperti juga kau,
dahulu tentunya
cakap sekali. Kalau mukanya dibacok, bukankah sayang sekali" Ha! Aku adalah
seorang yang sangat tahu diri. Aku tahu romanku jelek dan tak pernah ngimpi akan dicintai
oleh wanita cantik.
Maka itu, andaikata di atas mukaku tambah dua tapak golok, muka yang sudah jelek
tidak akan bertambah banyak lebih jelek. Ha! Biarlah aku talangi dua bacokan itu, hayolah
gunakan pedangmu! Eh, Siauw sinshe! Mau apa kau awasi aku" Apa kau tak suka hati pernah
digebuk olehku" Kalau tak suka hati, kau boleh lantas turun tangan!"
Siauw Tjeng Hong turunkan hudtim-nya. "Tak berani," kata ia sembari mundur.
Mendengar sepatah-sepatah perkataannya si pengemis mengandung ejekan, Loei Tjin
Tjoe lantas saja menjadi gusar.
"Baiklah! Kalau kau sendiri yang minta, lihatlah pedangku!" ia membentak,
sembari menyabet
dengan pedangnya yang menyambar bagaikan kilat. Si pengemis angkat tongkatnya
dan dengan suara "trang", lelatu api muncrat berhamburan, sedang badannya Loei Tjin Tjoe
melesat ke udara.
Selagi badannya masih berada di tengah udara, dengan satu gerakan Pengpok
kioesiauw (Garuda
terbang ke sembilan lapis langit), pedangnya menikam ke bawah.
"Bagus!" berteriak si pengemis yang lantas papaki dengan tongkatnya yang menotok
ke pusarnya musuh. Buat tolong dirinya, Loei Tjin Tjoe poksay (jungkir balik) turun
dan pedangnya menyambar ke pundaknya si pengemis. Sembari merengketkan sedikit pundaknya, si
pengemis menyampok dengan tongkat, sehingga pedang dan tongkat kebentrok sedikit. Semua
pukulan itu adalah pukulan yang membinasakan dan sudah terjadi dalam tempo yang sangat
cepat, sehingga
Siauw Tjeng Hong merasa sangat kagum dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, Loei Tjin Tjoe mendadak berseru dengan
suara kaget: "Apakah kau Thiekoay sian?"
"Apa?" kata si pengemis. "Kalau kau tidak berani bacok mukaku, akulah yang akan
gebuk bebokongmu tiga kali buat ajar adat!"
Loei Tjin Tjoe gusar sangat. "Biarpun kau Thiekoay sian, aku tak takut!" ia
membentak sembari
menikam. Si pengemis loncat sembari menyapu dengan tongkatnya dan mereka kembali
bertempur dengan sengit sekali, sehingga Siauw Tjeng Hong yang menyaksikan
merasa matanya berkunang-kunang. Pedang dan tongkat berkelebat-kelebat dan siapa yang meleng
sedikit saja, jiwanya tentu akan segera melayang.
Siauw Tjeng Hong cekal keras hudtim-nya, sedang Tjoei In Tjoe pegang gendewanya.
Mata mereka mengawasi jalannya pertempuran sambil siap sedia.
Sesudah lewat kurang lebih setengah jam, di atas kepalanya Loei Tjin Tjoe keluar
uap putih, sedang gerakan tongkatnya si pengemis jadi semakin perlahan. Siauw Tjeng Hong
keluarkan napas lega dan berkata dalam hatinya: "Untung juga Thiekoay sian masih lebih
unggul setingkat."
Walaupun gerakannya terlebih lambat, pukulannya si pengemis malahan jadi semakin
berat. Pedangnya Loei Tjin Tjoe sekarang sudah kena didesak dengan sang tongkat.
Berbeda dengan gurunya, Tan Thian Oe tidak pusatkan perhatian kepada gelanggang
pertempuran. Badannya berada disitu, tapi hatinya terus memikiri gadis Tsang
itu, yang sekarang
sudah tidak kelihatan lagi bayang-bayangannya.
Permukaan Tengri Nor, atau Thian-ouw, luar biasa luasnya.
Thian Oe lihat, di pojokan utara barat dari telaga tersebut, terdapat satu
sungai es yang kelihatannya seperti satu Thianho (Milky way), yang terbentang nyungsang. Sungai
es itu dari puncak gunung mengalir ke bawah, laksana satu air tumpah. Bisa jadi lantaran
adanya hawa yang
lebih hangat, berbeda dari yang lain, sebagian es di sungai tersebut pada lumer.
Di lapisan sebelah bawah, esnya keras seperti bukit-bukit, tapi di lapisan atas, es itu
lumer menjadi kepingan-kepingan besar dan kecil, yang dengan suara ribut mengalir ke sebelah
bawah dan terus
masuk kedalam telaga. Itulah sebabnya, kenapa di tengah telaga terdapat banyak
kepingankepingan
es yang pada ngambang.
Thian Oe dongak mengawasi ke atas. Di bagian atas dari sungai es, yaitu yang
berdekatan dengan puncak gunung, lapat-lapat seperti juga berdiri sebuah keraton, atau
sedikitnya satu
gedung yang sangat besar. Cuma saja lantaran jaraknya terlalu jauh, Thian Oe tak
dapat melihat tegas dan tak dapat menentukan, apakah yang kelihatan itu ada gedung-gedung atau
cuma batubatu belaka. Mendadak kupingnya dengar suara tindakan dan suara orang bicara. Di tempat, dari
mana gadis Tsang itu keluar, muncul sererotan orang yang sedang mendaki gunung. Yang
paling depan adalah tiga orang yang jalan berbaris. Dua orang yang di kiri dan kanan
adalah mereka yang tadi ditimpuk jatuh oleh gurunya, sedang orang yang berjalan di tengah
adalah satu Lhama
yang memakai jubah panjang warna merah. Setiba di pinggir telaga, mereka awasi
pertempuran antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe, dan kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, mereka lantas jalan menuju ke arah sungai es.
Di belakangnya tiga orang itu, terdapat dua boesoe Nepal yang Thian Oe pernah
ketemu dalam rumah penginapan di Shigatse. Tangannya kedua boesoe memegang hio Tibet,
sikapnya menghormat sekali dan tanpa menengok, mereka terus menuju ke arah sungai es,
dengan mulut kemak-kemik, seperti juga orang yang sedang berdoa.
Di belakangnya kedua boesoe terdapat lima atau enam orang. Antara mereka, ada
pemuda cakap, ada orang kasar, ada pendeta dan sebagainya.
Waktu tiba disitu, mereka kelihatannya ketarik dengan pertempuran antara si
pengemis dan Loei Tjin Tjoe. Mereka berhenti sebentar. Ada yang rundingkan jalannya
pertempuran, sembari
menunjuk-nunjuk, ada juga yang cuma omong-omong antara kawannya.
"Dua manusia ini benar tak tahu diri," demikian Thian Oe dengar seorang berkata.
"Kodok buduk mau makan daging angsa langit! Mereka kelihatannya sudah mendahului kita."
Belum sempat orang itu tutup mulutnya, dengan tongkatnya Thiekoay sian sontek
sepotong batu yang lantas menyambar ke arah orang yang barusan bicara. "Bagus!" berseru
orang itu sembari menyampok dengan dua tangannya dan batu itu terpental jatuh ke jurang.
Disontek oleh Thiekoay sian yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi, batu
itu mempunyai tenaga ratusan kati dan menyambar luar biasa cepatnya. Bahwa orang itu
dapat menyampok dengan gampang saja, merupakan bukti bahwa ilmu silatnya tidaklah
lemah. Siauw Tjeng Hong sungguh tak mengerti, kenapa di tempat itu muncul begitu banyak orang
pandai dengan berbareng.
Sesudah lihat tindakannya Thiekoay sian, orang-orang itu tidak banyak bicara dan
lalu menuju

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke arah sungai es. Thian Oe dengar, sembari jalan mereka itu beromong-omong.
"Bagaimana sih macamnya Pengtjoan Thianlie?" kata seorang.
"Namanya begitu bagus, orangnya tentu juga cantik," sahut seorang lain.
"Ah, kalau jelek, aku serahkan saja pada kau," kata seorang lagi.
"Jangan terburu napsu. Pengtjoan Thianlie kita belum pernah lihat. Tapi nona
Chena sudah cantik luar biasa," kata yang lain. Demikianlah mereka bicara sembari tertawatawa, sampai suaranya tidak kedengaran lagi.
Thian Oe kaget sekali, "Ah kalau begitu mereka maui Pengtjoan Thianlie dan niat
rampas juga nona Tsang itu," kata ia dalam hatinya.
Terhadap Pengtjoan Thianlie, Thian Oe cuma sangat kepengen tahu. Akan tetapi
terhadap Chena, ia mempunyai serupa perasaan yang sukar dilukiskan. Ia lirik gurunya yang
ternyata sedang pusatkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran.
Siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, sekarang sudah kelihatan
nyata. Thiekoay sian jadi semakin gagah, tongkatnya menyambar-nyambar seperti ular dan
naga, sesuatu sabetan mengeluarkan kesiuran angin yang menderu-deru, sehingga di empat
penjuru seperti juga penuh dengan bayangan Thiekoay sian dan tongkat itu berubah menjadi
puluhan batang. Loei Tjin Tjoe sudah terkurung dalam sinar tongkat dan lingkaran sabetan
pedangnya semakin lama jadi semakin ciut. Cuma saja, lantaran ilmu pedangnya memang sudah
sampai pada puncak yang tinggi, maka biarpun keteter, tongkatnya Thiekoay sian masih belum
dapat tembuskan sinar pedangnya.
Thian Oe tak mempunyai kegembiraan buat menyaksikan jalannya pertempuran.
Matanya ditujukan ke arah tempat sungai es masuk ke dalam telaga. Mendadak, kupingnya
mendengar suara luar biasa, sedang matanya dapat lihat bahwa di aliran atas sungai es itu,
terdapat satu titik
hitam yang turut mengalir *ke bawah. Dengan perlahan titik hitam itu menjadi
besar dan ternyata
adalah sebuah perahu kecil yang di dalamnya berduduk tiga orang.
Mukanya ketiga orang itu belum kelihatan nyata, akan tetapi, kecuali dua boesoe
Nepal yang masih berlutut, lain-lain orang keluarkan teriakan girang, sedang semua mata
ditujukan kepada
sungai es. "Apa yang datang Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, aliran air sungai es, yang dari puncak gunung turun ke
bawah, deras luar biasa. Di lapisan atas terdapat banyak kepingan-kepingan es, sedang di
lapisan bawah sembunyi bukit-bukit es. Jika kebentur dengan kepingan es, apalagi bukit es,
jangan kata perahu
kecil, perahu besar pun akan segera menjadi hancur. Tapi heran sungguh, perahu
kecil itu seperti
juga sedang laju di atas sungai biasa yang tenang airnya. Begitu lekas sang
perahu mendekati,
kepingan-kepingan es itu lantas minggir sendirinya, seperti juga didorong dengan
satu tenaga yang tidak kelihatan!
Biarpun tidak tahu cara bagaimana, Thian Oe mengerti, bahwa hal itu sudah
terjadi lantaran di
dalam perahu terdapat orang yang kepandaiannya tidak dapat diukur bagaimana
tingginya. Tak lama kemudian, perahu itu sudah datang dekat. Dalam perahu kecil terdapat
tiga wanita. Di sebelah kiri adalah Chena yang mukanya sekarang tersungging dengan senyuman
girang. Di sebelah kanan berdiri seorang wanita, yang dalam usia pertengahan, romannya
masih cantik sekali. Yang paling luar biasa adalah wanita yang di sama tengah. Rambutnya
awut-awutan dan
berdiri seperti jarum, mukanya putih meletak seperti juga bukan muka manusia,
kedua tangannya
dirangkap di dada dan sepuluh jerijinya seperti juga cakar ayam, dan dengan mata
yang mengawasi ke depan, rupanya wanita itu sungguh seperti satu mayat yang baru
keluar dari kuburan. Orang-orang yang melihat semua keluarkan teriakan tertahan, bahna
kagetnya. Tiga orang yang hatinya lebih kecil lantas saja balik badannya dan turun gunung.
"Apa Pengtjoan Thianlie berada di perahu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
"Kalau ia ada
disitu, jika bukan si wanita usia pertengahan, tentulah juga wanita yang seperti
mayat." Mendadak, gurunya keluarkan satu seruan kaget. Thian Oe menengok dan lihat muka
gurunya pucat bagaikan mayat, kaki tangannya gemetar, seperti orang yang sakit keras.
"Ah, sungguh tak
dinyana, aku bisa bertemu ia di tempat ini!" demikian gurunya berkata seorang
diri. "Soehoe, siapa yang kau maksudkan?" tanya Thian Oe.
"Gobie Lihiap Tjia In Tjin!" sahut sang guru.
"Apa wanita yang di tengah?" tanya lagi sang murid.
"Bukan, yang sebelah kanan," sahut Siauw Tjeng Hong. "Mukanya masih sama saja
seperti pada belasan tahun berselang."
Thian Oe terkejut. "Apakah wanita yang di tengah Pengtjoan Thianlie adanya?"
tanya ia dalam hatinya. Perahu itu sekarang sudah terpisah cuma belasan tombak saja dan sudah hampir
masuk ke dalam telaga. Lhama yang memakai jubah merah mendadak membentak:
"Yang mana Pengtjoan Thianlie?" Sehabis membentak begitu, badannya melesat ke
arah sungai es, kedua kakinya menotol kepingan es yang ngambang dan dengan kecepatan kilat
memburu ke arah perahu. Begitu berhadapan, ia angkat tangannya yang seperti kipas, yang
menyambar ke arah Tjia In Tjin. Rupanya si Lhama menduga, bahwa Tjia In Tjin adalah Pengtjoan
Thianlie. Dengan pukulan Lengshan tjiang (Pukulan gunung Lengshan), tangannya si Lhama
menyambar, sehingga Siauw Tjeng Hong keluarkan satu teriakan kaget.
Tjia In Tjin tertawa tawar, tapi sebelum ia dapat bergerak, wanita yang di
tengah sudah pentil
sekeping es ke arah uluhatinya Lhama itu. Dengan satu teriakan menyayatkan hati,
ia terguling dan badannya tersapu air yang mengalir ke bawah deras luar biasa. Mungkin sekali
badannya kebentur bukit es, sebab warna air lantas berobah merah!
Bukan main terkejutnya Siauw Tjeng Hong. Harus diketahui, bahwa orang yang
belajarkan ilmu
pukulan Lengshan tjiang, tentu mesti mempunyai juga ilmu Kimtjiongto dan
Tiatposan (dua macam ilmu weduk), dan badannya dapat melawan tekanan ribuan kati. Ditimpuk
dengan senjata rahasia, paling banyak kulitnya merasa sedikit gatal-gatal. Tapi, siapa nyana,
dengan kepingan es
yang begitu kecil, ia roboh dan melayang jiwanya!
Orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga, dapat dibagi menjadi tiga
rombongan. Satu
rombongan adalah itu kedua boesoe Nepal yang masih terus berlutut sembari
tundukkan kepalanya. Lain rombongan adalah si Lhama yang sudah binasa dan dua orang Tibet
yang ubarubar Chena. Mereka itu adalah orang-orangnya Touwsoe di Sakya yang diperintah buat
bekuk gadis tersebut. Rombongan ketiga yaitu orang-orang, yang lantaran dengar nama
wanginya Pengtjoan Thianlie sudah datang buat coba-coba meminang dengan niatan merampas
juga Chena yang cantik. Melihat liehaynya wanita dalam perahu itu, orang-orang rombongan
kedua dan ketiga
jadi ketakutan bukan main. Ada yang ketakutan sampai kaki tangannya lemas, ada
yang lantas balik badannya buat kabur dan ada juga, yang lebih besar nyalinya, ingin
menjajal-jajal dengan
jalan mengerubuti.
Sementara itu, jerijinya Chena kelihatan menuding dua kali. "Yang mau menangkap
aku adalah dua orang itu," kata ia. Wanita yang mukanya seperti mayat, lantas pungut
kepingan es yang
dipentil dengan jerijinya. Dua orang Tibet itu, yang baru tiga kali melangkah
dalam percobaan
kabur, kena kesambar jitu dan lantas terguling sembari muntahkan darah hidup!
"Orang-orang itu semuanya bukan orang baik-baik," berkata Tjia In Tjin. Wanita
itu kembali ayun tangan kanan dan tangan kirinya dan kepingan-kepingan es menyambar bagaikan
kilat. Dalam tempo sekejapan, kecuali kedua boesoe Nepal, semua orang sudah kena
dihantam kepingan es. Dua antaranya yang mempunyai kepandaian lebih tinggi, masih dapat
kabur dengan menderita luka berat. Yang lainnya semua roboh binasa!
Kejadian itu ada begitu mengejutkan, sehingga bukan saja Siauw Tjeng Hong dan
Tan Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, tapi Thiekoay sian dan Loei Tjin Tjoe pun
jadi lebih lambat serang menyerangnya.
Ketiga wanita itu lantas mendarat dan naik dari gili-gili dengan tindakan
perlahan. Saat itu,
kedua matanya Siauw Tjeng Hong kebentrok dengan matanya Tjia In Tjin, yang
mengawasi dengan paras muka seperti tertawa, tapi bukannya tertawa. Pada saat itu,
perasaan mencinta dan
membenci mengaduk jadi satu. Hatinya Tjeng Hong niat memanggil, tapi mulutnya
seperti terkancing. Tjia In Tjin cuma manggut-manggutkan sedikit kepalanya dan bersama
dua kawannya terus menghampiri gelanggang pertempuran.
Semakin dekat, mukanya wanita itu jadi semakin hebat. In Tjin berkata sembari
tertawa: "Hei
kawan hidup! Pengtjoan Thianlie sudah datang. Apa kau enak hati masih terus
hinakan anak cucunya" Lekas simpan tongkat pemukul anjing itu!"
Mendengar perkataan itu, hatinya Tjeng Hong mencelos. Ia sama sekali tidak
mengimpi, bahwa
wanita yang begitu cantik seperti Tjia In Tjin sudah mau menjadi isterinya
Thiekoay sian yang
begitu jelek rupanya. Thian Oe juga tidak kurang kagetnya. Sekarang dapat
dipastikan, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang mukanya seperti mayat.
Mendadak gadis Tsang itu berkata sembari tertawa: "Thianlie tjietjie, anak muda
itu adalah orang baik. Tjietjie, jangan bikin takut padanya."
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie usap kepalanya dan rambutnya yang seperti rumput
jatuh ke bawah. Rambut itu adalah rambut palsu. Ia buka jubah luarnya dan usap kedua
tangannya. Sekarang kelihatan, bahwa jeriji-jeriji yang seperti cakar ayam adalah jeriji
palsu dari sarung
tangan. Paling belakang ia usap mukanya dan locoti satu kedok. Pada saat itu,
Tan Thian Oe jadi
kesima! Disitu ia berdiri, cantik dan agung laksana satu dewi atau bidadari. Badannya
yang langsing ditutup dengan baju warna biru telaga, mukanya bundar laksana rembulan tanggal
lima belas, kedua alisnya panjang dan lentik, biji matanya yang bersinar terang berwarna
agak kebiru-biruan,
mulutnya kecil seperti buah engtoh yang masak, yang agaknya selalu tersungging
senyuman, rambutnya yang hitam jengat dikepang jadi dua cacing yang pada ujungnya diikat
dengan sutera merah, kulitnya halus ibarat batu kemala yang bersinar terang lantaran kena
sorotnya salju dan
sebagai pelengkap dari itu semua, gerakannya ayu dan halus! Tan Thian Oe sering
bayangkan kecantikannya Pengtjoan Thianlie, tapi apa yang sekarang ia saksikan adalah
melebihi dari segala
lamunannya. Pengtjoan Thianlie menyapu dengan matanya dan berkata: "Tolong berhenti
bertempur!"
suaranya halus, tapi sangat berpengaruh.
Thiekoay sian tarik pulang tongkatnya dan loncat berdiri di dampingnya Tjia In
Tjin. Loei Tjin
Tjoe juga lintangkan pedangnya di depan dada dengan paras muka yang heran
sekali. Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Loei Tjin Tjoe, lepaskan
pedangmu. Berlutut
tiga kali di hadapan Siauw sinshe dan lantas turun gunung!" Ia ucapkan
perkataannya dengan
lagu suara seperti seorang tingkatan lebih tua kepada orang dari tingkatan lebih
muda. Loei Tjin Tjoe terkesiap. Lantaran terlalu gusar, ia jadi tertawa besar. "Siapa
kau?" ia tanya.
"Dengan andalkan apakah, kau berani perintah aku berlutut di hadapannya?"
Loei Tjin Tjoe adalah jago terutama dari tingkatan kedua partai Boetong pay. Di
sebelahnya itu,
usianya sudah empat puluh tahun lebih, sedang Pengtjoan Thianlie baru kirarkira
berusia dua puluh tahun. Juga harus diingat, bahwa sudah banyak tahun ia mendapat nama besar
di kalangan Kangouw, sehingga adatnya jadi sombong sekali. Maka itulah dapat dimengerti,
perutnya seperti
mau meledak waktu dengar perkataannya nona yang cantik itu. . "Apa bunyinya
larangan kedua belas dari Boetong pay?" tanya Pengtjoan Thianlie. Bunyinya larangan ke 12
adalah: "Harus dapat


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membedakan yang mana benar, yang mana salah. Dalam segala urusan, harus tanya
diri sendiri, apakah ada berbuat kesalahan atau tidak. Dilarang, dengan andalkan kekuatan,
menghina orang."
Loei Tjin Tjoe terkejut. Ia merasa heran, kenapa wanita itu yang tinggal di atas
Puncak Es, bisa
mengetahui larangan-larangan dari partainya.
"Urusanmu aku sudah tahu semuanya," berkata lagi Pengtjoan Thianlie. "Asal
mulanya adalah salahmu sendiri. Tapi lantaran ingat walaupun hatimu kurang baik, tapi kau
bukannya melakukan
kedosaan besar, dan juga sebab dalam urusan itu terselip tangannya orang jahat,
maka aku ampuni kau dari hukuman mati. Hayo lekas haturkan maaf kepada Siauw sinshe!"
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu, mendelik. "Biarpun andaikata kau ini
adalah tjianpwee dari Boetong pay, kau masih tidak dapat campur urusanku," kata ia
dengan suara keras.
"Perlu apa aku ladeni omongan segala perempuan yang masih ada pupuknya!"
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berubah. "Murid siapa kau" Berani buka suara
begitu besar!"
kata ia. Loei Tjin Tjoe lintangkan pedangnya sembari mengawasi dengan sorot mata gusar
dan tidak sahuti pertanyaannya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, Thiekoay sian lantas
talangi: "Dia
adalah muridnya tjiangboen (pemimpin) Boetong pay, Hian In Toodjin." Hian In
adalah soetit-nya
(keponakan murid) Moh Tjoan Seng. Biarpun memegang tampuk pimpinan, tapi
lantaran suka sekali berkelana, ia jadi tidak banyak mengurus urusan partai, dan dari sebab
begitu, semakin
lama Loei Tjin Tjoe jadi semakin besar kepala.
"Apa yah?" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Aku dengar peraturan
Boetong pay dijaga
dengan keras sekali, sedang perbedaan antara tingkatan tua dan muda sangat
diindahkan. Apakah
sekarang keadaan sudah berobah" Kalau begitu, orang-orang tua dari partaimu
sudah tak dapat
mengurus kau, akulah yang mau talangi mereka mengurus kau!"
Loei Tjin Tjoe tidak dapat menahan sabar lagi. Ia -kebas pedangnya dan loncat
maju. "Baiklah!
Cobalah! Aku Loei Tjin Tjoe bersedia buat terima pengajaranmu!" ia berteriak.
"Oh, kalau begitu kau mau adu pedang denganku?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa. Ketika itu kedua tangannya kosong, sedang ia pun tidak membawa senjata. Selagi
Tjia In Tjin mau
serahkan pedangnya, Pengtjoan Thianlie berkata: "Tak usah!" Ia lantas jalan
menuju ke pinggir
telaga dan jumput sepotong es, yang berbentuk toya. Dengan menabas beberapa kali
sama tangannya, potongan es jadi merupakan sebatang pedang.
Sembari mesem Thianlie sabetkan pedang es itu. "Loei Tjin Tjoe," kata ia. "Jika
kau dapat melayani aku dalam sepuluh jurus, aku akan biarkan kau berbuat sesuka hati
terhadap Siauw sinshe." Waktu itu adalah kira-kira tengah hari dan sang matahari pancarkan
sinarnya yang hangat
dan gilang gemilang. Sedang kepingan-kepingan es yang ngambang di atas sungai es
sudah mulai lumer, apalagi es yang tercekal dalam tangan, yang menerima hawa hangat dari
badan manusia. Mendengar perkataannya Thianlie, Siauw Tjeng Hong jadi terkejut. "Taruh kata
Loei Tjin Tjoe tak dapat putuskan pedang es itu, dalam tempo cepat es itu toh akan menjadi
lumer. Bukankah
dengan demikian Pengtjoan Thianlie bikin jiwaku jadi seperti lelucon?"
Loei Tjin Tjoe lantas saja tertawa besar. "Baiklah," kata ia. "Inilah ada
perjanjian yang
dikatakan olehmu sendiri. Dan di pihakku, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat
putuskan pedang es itu, aku akan berlutut di hadapanmu!"
"Kemauanku adalah kau mesti berlutut di hadapan Siauw sinshe," kata Thianlie.
"Sudah, jangan banyak bacot. Aku turut segala perkataanmu. Sambutlah!" Pedangnya
lantas berkelebat dan coba tabas pedang es itu. "Jurus pertama!" Thiekoay sian
menghitung dengan
suara keras. Sabetan pertama cepat bukan main, ditambah dengan tenaga dalam yang sudah
dilatih oleh Loei Tjin Tjoe puluhan tahun lamanya.
Jangan kata es, biarpun senjata logam akan putus kena sabetannya itu. "Bagus!"
kata Thianlie sembari mesem dan pedang es berkelebat meluncur ke arah jalanan darah Hiankie
hiat di bagian dada. Serangan itu dilakukan dari suatu kedudukan (posisi) yang tak dapat
diduga, sedang Hiankie
hiat adalah jalanan darah yang kalau ketotol dapat membinasakan orang. Loei Tjin
Tjoe terkesiap.
Dengan Seantero kemampuannya ia membungkuk buat tarik pulang tenaganya yang
sudah dikeluarkan, dan dengan lintangkan pedangnya serta menggunakan banyak tenaga,
barulah ia dapat punahkan serangan yang sangat berbahaya itu. Sembari mesem, Pengtjoan
Thianlie tarik pulang pedang esnya dan gebrakan pertama sudah selesai.
Sesudah bikin rapi lagi kedudukannya, Loei Tjin Tjoe mendadak lakukan tiga
serangan beruntun. Itulah serangan dari ilmu pedang Lianhoan Tokbeng Kiamhoat (Ilmu
pedang berantai
membetot jiwa), yang sangat hebat dan sukar dijaga.
"Ilmu pedangmu masih jauh dari sempurna," kata Thianlie sembari tertawa.
Badannya bergerak
dan dalam sekejap sudah membalas dengan tiga serangan pula. Setiap serangan
berbeda satu dengan lainnya dan perubahan itu dibikin selagi sang pedang es tengah menyambar.
Sedang serangan Loei Tjin Tjoe dengan mudah dapat dipunahkan, serangannya Thianlie
sudah membikin matanya Tjin Tjoe menjadi kabur, sehingga ia terpaksa main mundur dan main
kelit. Sementara
itu, Thiekoay sian sudah menghitung empat kali.
Loei Tjin Tjoe terkesiap sebab ternyata ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie adalah
ilmu pedang Tatmo Kiamhoat dari Boetong pay! Tatmo Kiamhoat yang tulen telah menjadi hilang
pada jaman Kerajaan Goan, dan baru pada permulaan Kaisar Konghie (Tjeng), barulah Sin Liong
Tjoe dapat cari lagi itu ilmu pedang yang sejati, yang belakangan diwariskan kepada Koei
Tiong Beng. Lantaran begitu, Koei Tiong Beng menjadi leluhur dari Boetong pay cabang Utara.
Tapi oleh karena Tatmo Kiamhoat luar biasa sukarnya dan di sebelahnya itu, pulangnya lagi
ilmu pedang tersebut belum berapa lama, maka selama beberapa puluh tahun, jumlahnya orang
yang benarbenar
sudah dapat mewarisi tidaklah lebih dari beberapa orang saja.
Loei Tjin Tjoe adalah murid dari Boetong pay cabang Selatan. Walaupun ilmu
pedang Boetong Selatan dan Boetong Utara belakangan berendeng bersama-sama, akan tetapi,
pengetahuan orang-orang cabang Selatan terhadap Tatmo Kiamhoat ada lebih rendah daripada
orang-orang cabang Utara. Loei Tjin Tjoe sendiri tentu saja pernah belajarkan Tatmo
Kiamhoat, tapi belum
sampai pada puncak yang tinggi. Ketika lihat ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie
malahan lebih tinggi dari gurunya sendiri, dapat dimengerti kalau Loei Tjin Tjoe jadi kaget
bukan main. "Apakah tidak bisa jadi, perempuan ini benar-benar orang tingkatan atas dari
-Boetong pay?"
tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat satu hal dan hatinya jadi
lebih bingung lagi.
Tapi, selagi ia mau buka mulut buat menanya, ia lihat Thiekoay sian mengawasi
padanya dengan meseman mengejek, sehingga hatinya jadi panas sekali. "Baiklah! Biar aku buangbuangan jiwaku sekali ini," demikian ia kata dalam hatinya. Ketika itu Thianlie berdiri dengan
sikap tenang, ujung
pedangnya menuding dirinya, tapi tidak mau bergerak lebih dahulu. Inilah ada
sikapnya orang dari
tingkatan lebih tua jika menghadapi orang tingkatan muda.
Dengan adanya kelambatan begitu, pedang es yang dicekal oleh
Thianlie sudah lumer sebagian dan air es tak hentinya mengetel-ngetel. Pedang es
itu sudah jadi lebih tipis dan lebih kecil. Tiba-tiba saja Loei Tjin Tjoe ingat suatu cara
yang sangat beracun.
"Baiklah!" kata ia dalam hatinya. "Bagus sekali jika kau tidak mau menyerang.
Aku pun tidak mau buka serangan. Asal pedang esmu lumer, tanpa bertempur aku sudah dapat
kemenangan!"
Sebelum bertempur, mereka sudah janji bahwa pertempuran dilakukan dengan
menggunakan pedang. Maka itu, jika pedang esnya Thianlie lumer sampai habis dan belum bisa
dapat kemenangan, Loei Tjin Tjoe tidak bisa disalahkan menarik keuntungan dengan akal
bulus. "Hei! Loei Tjin Tjoe. Kau kenapa?" tanya Thiekoay sian dengan paras muka gusar.
Yang ditanya tidak meladeni. Ia cekal pedangnya dan mengawasi Thianlie dengan mata tajam.
Tapi Pengtjoan Thianlie tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia kembali mesem.
"Dengan adanya
niatanmu yang kurang baik, baiklah aku wakilkan Hian In Tootiang memberi
pelajaran kepadamu,"
kata ia. Sehabis berkata begitu, kedua jerijinya mementil dan air es menyambar
ke arah Tjin Tjoe.
Mendadakan saja ia rasakan kedua matanya kabur, beberapa ketel air es mengenakan
tepat pada mukanya dan sakitnya menembus ke tulang-tulang. Dalam keadaan yang kabur itu,
Pengtjoan Thianliee mendadak kirim satu serangan aneh.
Sebagaimana biasanya orang yang pandai silat, reaksi badan dan tangannya semua
terjadi tanpa merasa. Begitu ada gerakan musuh, gerakan membela diri muncul secara
otomatis. Demikianlah, begitu lihat Thianlie bergerak, tangannya Loei Tjin Tjoe yang
mencekal pedang juga
lantas bergerak buat mendahului menyerang.
Tapi baru saja pedangnya menyambar sampai di tengah jalan, ia ingat bahwa dengan
berbuat begitu, ia jadi masuk dalam perangkap. Ia niat tarik pulang pedangnya, tapi
sudah tidak keburu.
Hampir pada detik yang bersamaan, ia rasakan tenggorokannya dingin. Pedang esnya
Pengtjoan Thianlie ternyata sudah menempel pada tenggorokannya! Tenggorokan adalah bagian
tubuh manusia yang lemah dan jika Thianlie sedikit saja menggunakan tenaganya, jiwanya
Loei Tjin Tjoe akan segera melayang!
Thianlie tertawa sembari berkata: "Sebenarnya aku mau lihat kepandaianmu dalam
sepuluh jurus, buat mendapat tahu sampai bagaimana jauh majunya pelajaranmu. Tapi
lantaran hatimu
kurang bersih, aku kurangkan separuh dan cuma jajal kau dalam lima jurus" Apa di
hari kemudian kau masih berani kurang ajar terhadap orang yang lebih tinggi tingkatannya" Apa
kau masih berani hinakan orang dengan andalkan kegagahanmu?"
"Kau, apakah kau puterinya Koei Soesioktjouw?" tanya Loei Tjin Tjoe dengan suara
gemetar. "Kau menebak jitu," sahut Thianlie.
"Koei Soesioktjouw" yang disebutkan oleh Loei Tjin Tjoe adalah Koei Hoa Seng. Di
antara tiga Tugas Rahasia 3 Playboy Dari Nanking Karya Batara Bara Diatas Singgasana 21

Cari Blog Ini