Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 4

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 4


digabung jadi satu ialah Goat Sian).
"Benar," sahut sang dayang sembari manggutkan kepala.
"Bagus," kata si pemuda, "Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi kebodohanku
dan mengubah sepasang lian untukmu." Ia mesem-mesem dan sambung omongannya: "Aku
ingat syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku pinjam syair itu untuk mengubahnya.
Dengarlah: "Sinar bulan tiada cacatnya, jendela jodoh, pintu merah, setiap tahun dikitari.
Sang dewi patah hatinya, lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan "bulan" (goat) digabung
sama perkataan "dewi" (sian), jadilah Goat Sian, namanya dayang itu.
"Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri" adalah sebagian dari syairnya
Lie Gie San yang
berbunyi seperti berikut:
"Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri."
Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie seperti satu
bidadari, yang dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton es seorang diri. Pengtjoan Thianlie
kerutkan kedua alisnya. Tanpa merasa, ia sudah mengikuti si pemuda menyeberangi jembatan
itu! Dengan main bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat permusuhan antara mereka
berdua" Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya dan berkata
sembari tertawa: "Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak usah kalian mengusir. Aku
sekarang mau pergi, besok tengah hari aku akan balik buat penuhi janji."
Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju putih lalu
pentang kedua kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari pemandangan.
Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai bicarakan ia,
antaranya juga Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju putih dan Pengtjoan Thianlie tak
dapat diukur bagaimana tingginya, maka besok tentulah juga bakal terjadi pertempuran yang
sangat hebat. Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian Oe buat
diajak saksikan
keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping mereka sudah dengar suara tetabuhan
khim yang merdu sekali. "Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie" Main khim pagi-pagi adalah
diluar kebiasaannya," kata Chena.
Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah lagu
"Tjioelam" dari
Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut berbunyi kira-kira seperti
berikut: Di Selatan ada pohon tinggi, tapi
tak ada tempat meneduh.
Di Hankiang si cantik berenang,
tak mungkin dapat diubar.
Ibarat luasnya Sungai Hansoei,
jangan harap dapat
menyeberang. Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,
jangan harap dapat diputari.
Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat dicuri oleh
lelaki mana juga.
Kata-kata yang digunakan dalam syair itu semuanya petunjuk yang samar-samar.
"Kenapa Pengtjoan Thianlie mainkan lagu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Apakah ia
ibaratkan dirinya
seperti itu gadis Hankiang" Memang juga, jika dibandingkan, Pengtjoan (Sungai
es) adalah lebih
sukar diseberangi daripada Hankiang."
Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara khim
mendadak berhenti.
Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang berdebar hatinya, sebab saat
pertemuan antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih sudah tiba.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali. Lagu itupun
adalah petikan dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-kira sebagai berikut:
Kembang putih putih, embun menjadi es.
Jiwa hatiku, berada di seberang. Melawan arus air, aku mencari ia, terputarputar jauh sekali.
Mengikuti arus air, aku mencari ia, terombang-ambing di tengah air yang tiada
tepiannya. Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki sedang cari
kecintaannya, yang
boleh dipandang, tapi tidak boleh dipegang, penuh dengan perasaan cinta dan
sedih dengan berbareng. Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang lagi, yaitu si
pemuda baju putih, yang satu tangannya memegang suling batu kemala, sedang di pinggangnya
tergantung sebatang pedang panjang, sehingga ia kelihatannya jadi lebih cakap dan angker.
"Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa soal adu
pedang," kata
ia sembari pegang gagang pedangnya.
"Kau juga pandai meniup suling," sahut Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
"Ilmu pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu, lebih-lebih aku harus minta
pengajaranmu."
Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim, yang lain tiup
suling, manalah seperti dua musuh yang mau bertempur"
"Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?" kata si pemuda.
"Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?" kata
Pengtjoan Thianlie. "Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak memaksa.
Pergilah, disini
bukan tempatmu."
Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari tertawa:
"Kecuali adu
pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau turun gunung" Baiklah, kita
janji saja begini:
Jika aku kalah, aku tidak akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah, kau harus bantu
aku melindungi guci emas itu."
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Memang juga dalam dunia ini
tak hentinya manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa mendeluh sekali. Baiklah, cabut
pedangmu."
Didengar dari lagu omongannya, Pengtjoan Thianlie seolah-olah merasa, bahwa
dalam pertempuran sebentar, ia pasti menjadi pihak yang menang.
Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas mengeluarkan sinar
berkilaukilauan
dan hawa dingin yang sangat hebat. Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga adalah
Pengpok Hankong kiam, tapi tidak sama dengan pedang yang digunakan oleh para dayangnya.
Pedang itu terbuat dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam gua es dan umbul
dingin. Thian Oe
dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan yang dapat menahan segala rupa
hawa dingin, tapi toh mereka masih bergidik begitu lekas pedang itu dicabut dari
sarungnya. Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik keluar pedangnya
sendiri. Ia berdiri di sebelah bawah, ia berkata: "Silahkan!"
Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat, lantas saja
menyambar. Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si pemuda sudah ngapung ke atas
beberapa kaki tingginya, sedang Pengpok Hankong kiam lewat di bawah kakinya. Tanpa
merasa, Pengtjoan
"Thianlie keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah menyerang dengan
serangan Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu menuju ke arah tiga jalanan
darah musuh yang membinasakan, tapi tidak dinyana, serangan sehebat itu dapat disingkirkan
secara begitu gampang oleh si pemuda baju putih.
Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas menyerang. Ia
kirim dua tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah kanan dan satu tikaman di
tengah-tengah, setiap
serangan di kirim dengan gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu teriakan
"Bagus!", Pengpok
Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan gerakan yang berobah-robah
luar biasa cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali kelihatan menyambar lehernya si
pemuda. "Sungguh
indah Tatmo Kiamhoat!" berseru si pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia
sudah loloskan diri dari serangan Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui kiamhoat-nya, akan
tetapi, ia sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang sedang digunakan oleh pemuda tersebut.
Dengan demikian, kesombongannya lantas hilang beberapa bagian.
Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang secara hebat.
Pedangnya menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga matanya orang yang melihat
menjadi kabur. Pengtjoan Thianlie jadi sengit. Cara bersilatnya mendadak berobah dan di lain
saat, bayangannya
dan sinar pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-olah dalam taman itu
muncul bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie.
"Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama kosong," kata
si pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. "Ia ternyata sudah tambahkan banyak
pukulanpukulan luar biasa ke dalam Tatmo Kiamhoat." Memang juga, kedua orang tuanya Pengtjoan
Thianlie sudah tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam Tatmo Kiamhoat.
Dengan gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu sudah menambah
dengan sarinya ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan ilmu pedang dari Tiongkok asli.
Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa sengitnya. Masingmasing keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa mendapat hasil. Menit lepas menit,
jam lepas jam, dari tengah hari mereka sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-duanya
masih tetap segar dan belum ada yang keteter.
Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang, terdengar.
Dengan berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan masing-masing periksa
pedangnya yang ternyata sama kuatnya dan masih tetap utuh seperti biasa.
"Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?" tanya si pemuda baju putih sembari
tertawa. "Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok kau datang
lagi," sahut
Pengtjoan Thianlie.
"Hatiku merasa tidak tega," kata lagi si pemuda. "Dengan bertempur disini kita
bikin rusak pemandangan indah dari keratonmu."
Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-gunungan dan
batubatu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak lantaran tertabas pedang.
"Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban. Sungguh
sayang!" kata si
pemuda. "Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis bagaimanakah
baiknya?" kata si pemuda sembari mesem-mesem.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Apa kau tidak bisa turun gunung sendiri?"
kata ia dengan suara tidak sabaran.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau," kata si pemuda.
"Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui kau lagi" Di sebelahnya itu,
ketemu tandingan
setimpal adalah salah satu kejadian paling menggembirakan dalam
penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa cari lagi
satu tandingan seperti kau?"
"Habis bagaimana pendapatmu?" Pengtjoan Thianlie menanya tanpa merasa.
"Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai tetamu," sahut si
pemuda. "Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada kurang sopan, akan tetapi aku merasa
berwajib undang kau satu kali. Maka pada besok tengah hari, aku undang kau datang ke
lembah es buat mendapat suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas rata Puncak Es,
masih tidak ada
halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di tempat ini dan merusak
keindahan keratonmu."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu, lantaran kuatir
bikin rusak - keindahan keraton, ia belum keluarkan semua kepandaiannya.
Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si pemuda.
"Baiklah, aku
iringi Keinginanmu!" jawab ia dengan suara bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia
lantas ingat, bahwa
ia sekarang toh sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya!
Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-gunungan dan batu

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran. Mendadak ia tertawa dan berkata:
"Hiasan sebuah taman adalah ibarat pakaiannya seorang gadis, yang saban-saban harus
ditukar coraknya.
Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru." Tanpa perdulikan
didengar atau tidak
oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja bicara panjang lebar mengenai cara-cara
menghias taman.
Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan Thianlie
yang kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya. Mendengar perundingannya
si pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu lantas pada mendekati dan
berkumpul di seputar ia. Pengtjoan Thianlie berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang enak
buat semprot dayang-dayangnya di hadapan orang luar.
Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan berkata: "Sayang
sekali kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah aku tidur lagi di bawahnya
Puncak Es!"
"Yah, pergilah!" kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar.
"Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi," kata si pemuda sembari
mesem. "Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin tidur. Sedang tuan rumah sungkan
menerima tetamu, aku pun paling baik jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!"
Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan, sedang mulutnya
tak hentinya bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam taman itu. Sebentar ia ceritakan
cara menggunting daun-daun kembang ini, sebentar ia bentangkan cara merawat pohon
itu. Bicaranya bukan saja sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan yang
mendalam mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang mendengari jadi
bengong, dan tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang mewakili sang majikan
buat mengantar tetamu.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat panggil pulang
dayangdayangnya.
Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di belakangnya
gerbang itu terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang menyiarkan bau harum sekali.
"Pemandangan
disini luar biasa bagusnya. Kenapa tidak dibuat toeilian?" kata si pemuda
sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa. "Dalam dua hari
memang juga mau ditulis dan kemudian dicukil," sahut satu dayang. "Paduka Puteri bilang..."
"Jangan banyak bacot!" membentak sang majikan.
"Ah, kalau begitu belum ditulis beres," kata si pemuda. "Nama dayang mana yang
kau ingin gunakan buat toeilian itu?"
Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. "Aku lihat kau sudah kepengen sekali,"
ia mendadak berkata. "Nah, coba kau tolong karangkan."
Si pemuda tertawa nyaring. "Baiklah," kata ia. "Lagi-lagi kau mau uji aku. Aku
ini memang tak tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan kebodohanku."
Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: "Toeilian yang mau dibuat menggunakan
namanya. Ia bernama Hoei Kheng."
Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf "kosong", yang lain huruf
"berisi", benarbenar
sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng adalah dayang yang biasanya membantu
Pengtjoan Thianlie mengambil kertas dan menggosok bak dalam kamar tulis, sehingga sedikit
banyak ia mengerti juga syair. "Tak bisa dapat?" ia tanya sembari tertawa.
"Kalau dipaksa-paksa bisa juga," jawab si pemuda. "Gerbang ini sangat tinggi,
maka perlu dibikin toeilian yang agak panjang. Begini sajalah:
"Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. Yang bergoyang tertiup
angin di pegunungan kosong.
Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan.
Awan yang indah menyinari lautan perak.
Melayang-layang di selebar langit.
Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya,
mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya."
Demikianlah huruf pertama "Kepintaran" (Hoei) dari syair yang kesatu ditimpali
dengan huruf pertama "Indah" (Kheng) dari syair yang kedua, sehingga dapatlah "Hoei Kheng"
atau namanya dayang itu. Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si pemuda
umpamakan ia seperti
lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan cuma sang rembulan yang menjadi
kawannya, sehingga menambahkan kesedihan.
Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong seperti orang yang
sedang ngelamun. Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:" Eh, coba karang
lagi buat tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku, Yoe Pcng." Tempat itu adalah
satu pendopo delapan pasegi yang berdiri di atas satu empang teratai, yang penuh dengan
pohon-pohon teratai
dan rumput air yang dinamakan "peng".
"Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-lebih sukar
dipasangkan,"
kata si pemuda sembari tertawa. "Baik juga pemandangan disitu dapat dipinjam
buat menggubahnya. Kau dengarlah:
"Lembah sunyi, gunung belukar. Sinar rembulan menindih lain-lain warna.
Batang peng (rumput), daun teratai.
Suara hujan menutup suara teratai."
Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng (namanya semacam
rumput). Lembah sunyi, gunung belukar,
batang rumput (peng), daun teratai,
masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di sebelah bawah,
si pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu yang berbunyi:
Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah rontok,
sambil mendengari jatuhnya sang hujan.
Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya, tapi juga
mengenakan dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah mau menyatakan simpatinya
kepada ia, yang
dengan penuh kesunyian, bertempat tinggal dalam keraton es. Hatinya si nona jadi
tergoncang. Ia tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian sedemikian tinggi, baik dalam ilmu
surat, maupun dalam ilmu silat.
"Sudahlah, jangan mengantar terus," kata si pemuda sembari angkat kedua
tangannya. "Terima kasih, terima kasih."
Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah ikut
menyeberangi jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi bersemu dadu dan berkata
dengan suara tawar: "Piara semangatmu, besok kita adu pedang lagi."
"Baiklah," kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia sudah menghilang
di antara pepohonan. Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas jembatan. Ia
dongak ke atas dan
memandang itu lembaran-lembaran awan yang mengambang, dengan paras muka sedih.
Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran ingat, bahwa
besok ia sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas balik ke kamarnya buat mengasoh.
Selagi rebahrebahan,
mendadak seorang dayang datang dan memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie
undang ia bersantap malam.
Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh seorang dayang
dan ia selalu makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu, ia merasa agak heran mendengar
undangannya Pengtjoan Thianlie.
Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang dayang pergi
ke keratonnya Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak-belok, mereka tiba pada satu telaga es.
Di kakinya puncak
gunung Nyenchin Dangla terdapat satu gunung api, sehingga pemandangan dalam
keraton adalah lain dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat, disitu terdapat bunga-bunga
yang mekar sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap hijau sepanjang masa. Di tengah
telaga terdapat
teratai putih, teratai merah, bunga Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain
bunga yang anehaneh.
Di sebelahnya itu, kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah telaga,
dan jika sang angin meniup dengan perlahan, bebauan yang harum menyambar-nyambar ke dalam
hidung. Sungguh orang tak tahu, musim apa adanya itu" Apa musim semi, apa musim
rontok, apa musim dingin atau musim panas!
Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok putih mulus.
Disorot dengan sinar matahari magrib, pendopo itu mengeluarkan warna-warni yang luar biasa
indahnya. Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di sebelahnya
Pengtjoan Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe lantas memberi hormat dan
mengambil tempat
duduk di samping gurunya. Selain masih sedikit layu, paras mukanya Thiekoay sian
sudah pulih seperti biasa. "Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang usianya
laksaan tahun,"
kata Thiekoay sian. "Kalau tidak ada mustika itu, aku masih harus mengasoh
beberapa hari lagi."
Suaranya tawar sekali yang mana menandakan perasaan
berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo berdiamnya dalam
keraton es. Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: "Masih ada sedikit hawa
dingin yang belum
habis. Kau masih harus minum air godokan rumput Sinlongtjo. Rumput itu bisa
didapat di sebelah
selatan Puncak Es dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie
pergi memetiknya."
"Terima kasih," sahut In Tjin dengan pendek.
"Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak Es dan
mungkin pulangnya laat sekali," kata Pengtjoan Thianlie. "Lusa pagi kalian harus
berangkat, maka itu, aku
siapkan meja perjamuan ini buat memberi selamat jalan."
Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan membungkuk sebagai
pernyataan terima kasih. Sikap mereka kaku sekali, tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya
tidak memperdulikan.
Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: "Thiekoay sian, kau
sudah berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu pedang dari macam-macam
partai. Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang, yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu
pedang apa adanya itu?" Sehabis berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang
luar biasa. "Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku buat
mengadu pedang," ia sambung keterangannya. "Selain itu, ia mempunyai senjata rahasia
yang juga luar biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas hitam!"
"Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu," sahut Thiekoay sian.
"Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu," kata
Pengtjoan Thianlie.
"Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu" Apa di dalamnya tidak terdapat cacat
yang bisa diserang?"
"Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?" kata Thiekoay sian dalam hatinya.
"Biarlah aku gertak padanya!" Memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Ilmu pedang itu
adalah ilmu pedang
Thiansan yang kesohor di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah gubahan
tjianpwee Hoei Beng
Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu pedang dan tambah sama
gubahannya sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia yang dapat pecahkan ilmu
pedang itu!"
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: "Oh, kalau begitu
Thiansan Kiamhoat!" Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan Thianlie dahulu pernah
dikalahkan oleh
Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur
ke Tibet dengan niatan memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo
Kiamhoat, akan kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi sama Thiansan
Kiamhoat. Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya Thiansan pay dan tak
diduga, pemuda itu
adalah orang dari partai tersebut. 91
"Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi," Thiekoay sian


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambung keterangannya. "Namanya Thiansan Sinbong dan bahannya cuma bisa didapat di
Thiansan. Bukan
emas dan juga bukan besi, tapi sifatnya lebih keras dan emas dan besi. Bentuknya
juga macammacam,
ada yang panjang seperti anak panah, ada yang bundar seperti mutiara. Dahulu
Leng Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya lantaran Thiansan Sinbong dan dari sini
bisa dilihat liehaynya senjata rahasia itu."
Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan berkata
dengan suara tawar: "Ah, belum tentu tak ada tandingannya di kolong langit!"
"Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin sekali masih
setanding,"
kata Thiekoay sian. "Cuma saja dalam dunia persilatan, jika kita menemui lawanan
tangguh, pada sebelum ingat kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga akan kekalahan,
maka itu, terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati." Dengan berkata begitu, Thiekoay
sian seperti juga mau
bilang, ia bukan tandingannya pemuda tersebut.
Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara di hidung.
Sebenarnya ia mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul ilmu pedangnya pemuda itu, dan
kedua, cacatnya
ilmu pedang tersebut. Sekarang, soal pertama ia sudah mengetahui, tapi dalam
soal kedua, menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan dan
sama sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia jadi merasa sangat berdongkol
dan berkata dengan suara kaku: "Dalam dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat
dipecahkan. Setiap ilmu
silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar bagaimanapun juga,
aku harus menyatakan terima kasih buat segala pengunjukanmu. Sekarang marilah aku undang
kalian suami isteri minum kering tiga cangkir arak. Pertama buat membilang terima kasih, dan
kedua, buat memberi selamat jalan." Seorang dayang lantas menuang arak dan mereka lalu minum
kering tiga gelas. Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti juga tidak
kuat tahan pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke pinggir telaga, tapi sebelum sampai
disitu, ia sudah muntahkan arak dan makanan dari dalam perutnya.
"Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan bunga," kata
Pengtjoan Thianlie. "Sifatnya halus sekali dan bukannya arak yang keras. Kenapa In Tjin
tjietjie jadi tak
tahan?" Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati, Tjia In Tjin
balik ke meja perjamuan dengan muka pucat.
"Kenapa?" tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah, tapi tidak
menyahut. Dilihat
macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak. Pengtjoan Thianlie lantas perintah
satu dayang ambil es dan selampe, tapi In Tjin goyang tangannya dan berkata: "Tak usah! Tak
usah!" "Bukankah kau mabok arak" Dikompres sama es, maboknya bisa lantas hilang," kata
Pengtjoan Thianlie. Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Melihat
begitu, sang suami agak mendusin dan lantas berkata: "Ah, aku tahu. Coba aku tebak
penyakitmu."
Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik: "Jangan ribut!
Aku... Aku ada..." "Ada apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang ngidam dan
baru saja hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya Thiekoay sian sudah
mendekati setengah
abad, tanpa mempunyai anak. Maka itu, tentu saja ia jadi girang sekali, dan
dalam kegembiraannya, ia keja jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah. Melihat
begitu, Thian Oe
dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran.
"Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?" tanya si nona sembari melirik.
"Kesehatanmu
belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau terlalu gusar. Baiklah,
sekarang sudah laat, aku
harus lantas balik ke keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas turun gunung dan
tak usah menemui
aku lagi."
Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu, Pengtjoan
Thianlie tak dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya sedih lantaran ingat, lusa pagi
ia sudah mesti berlalu dari tempat itu. Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju putih
itu akan bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi ia tak
tahu, apa Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena, itu gadis
Tsang yang luar
biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia
meramkan kedua matanya, tapi sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar.
Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan keluar jalanjalan di dalam taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah gedung yang aneh itu. Rembulan yang
sangat terang menyelimuti bumi dengan sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia dengar
suara tindakan dan buru-buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan. Di lain saat,
pintunya gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang memakai baju putih kelihatan
keluar. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri.
Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it, Pengtjoan
Thianlie masuk ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang lebih satu jam lamanya. Apa yang
dilakukan olehnya, tidak diketahui oleh siapa juga.
"Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku mau curi
rahasianya,"
kata Thian Oe dalam hatinya. "Adatnya sangat luar biasa. Ia tentu akan memberi
hukuman berat!"
Thian Oe jadi ketakutan. Ia tak berani bergerak dan tahan napasnya.
Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat mengumpatnya
Thian Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras. Mendadak, dalam jarak kurang lebih
setombak dari Thian Oe, ia berhenti dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe terbang
semangatnya dan keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga, Pengtjoan Thianlie
sudah mengetahui
tempat mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela batu. Matanya
mendadak lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang menuju ke arah utara barat,
yaitu ke jurusan
gedung tempat mengasohnya. Thian Oe terkejut.
"Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?" demikian kedengaran
Pengtjoan Thianlie menanya.
Thian Oe lega. "Chena tentulah mau cari aku," kata ia dalam hatinya. "Tak tahu,
ia mau omong apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia."
"Thianlie tjietjie," demikian kedengaran Chena menyahut. "Aku cari kau terputarputar, tak tahunya kau berada disini."
Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta.
"Ada apa kau cari aku?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?" Chena balas
menanya. "Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?" kata Pengtjoan Thianlie. "Legakan
hatimu. Walaupun
andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun tidak akan sampai kena dijatuhkan
oleh pemuda itu." "Maka itulah..." Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan omongannya.
"Maka apa?"
"Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya," kata Chena. "Aku
ingin sekali...
Aku kepengen..."
"Ingin nonton?"
"Benar, tjietjie," kata Chena. "Aku anggap, kalau tidak saksikan pertempuran
itu, mungkin selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan pertempuran yang sedemikian
hebatnya."
Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi melihat Chena
begitu pandang tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda dan begitu kagumi ilmu pedangnya,
tanpa terasa ia
jadi tertawa. "Aku sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat, tapi
sekarang aku bikin
kecualian," kata ia. "Baiklah, besok kau dan seorang dayangku boleh nonton dari
puncak gunung di sebelah barat."
"Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu pedang?" tanya
Chena dengan suara agak tidak puas.
"Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya
pertempuran," kata
Pengtjoan Thianlie. "Terhadap kau, aku sudah bikin kecualian itu. Apa kau masih
belum merasa puas" Mari, ikut aku pulang. Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang. Aku sudah
janji akan ajar
kau tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji itu."
Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap. Sesudah
mengumpat beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar. Wewangian yang keluar dari
rumah aneh itu jadi semakin keras dan seakan-akan mempunyai serupa tenaga membetot. Tanpa
merasa Thian Oe menghampiri pintunya dan tangannya meraba-raba gelang-gelangan pintu. Gelanggelangan pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-putar dan sesudah memutar dua
kali, sang pintu
mendadak bergerak dan terbuka sendirinya!
Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya seperti juga
dibetot. Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung itu, tanpa merasa ia sudah
bertindak masuk. Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-tengah terdapat
patungnya seorang wanita yang mukanya bundar seperti rembulan, sedang rambutnya yang
berwarna emas terurai di kedua pundaknya. Dari mukanya ternyata wanita itu adalah seorang
wanita asing. Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia dengar suara orang
batuk di belakangnya.
Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka sangat
gusar! Semangatnya Thian Oe terbang. "Nyalimu benar besar," Pengtjoan Thianlie berkata
dengan suara tawar. "Mau apa kau masuk kesini?"
Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku... aku... tidak
tahu tidak boleh masuk kesini."
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. "Tak tahu?" ia menegasi. "Chena
belum pernah beritahukan kau" Aku tak percaya! Kalau dia tidak memberitahukan, dialah yang
bersalah. Aku nanti tanyakan dia. Aku tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara saja
terus terang, jangan
salahkan orang yang tidak berdosa."
Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga kuatir
Pengtjoan Thianlie
nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Benar, barusan aku
berdusta. Pada hari
pertama, Chena sudah memberitahukan."
Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. "Tapi kenapa kau toh sudah mencuri
masuk?" ia
membentak. "Hm! Kau orang, guru dan murid, memang bukannya orang baik. Apa
gurumu yang ajar kau masuk kesini?"
"Bukan," jawab Thian Oe. "Aku sendiri yang mau masuk disini. Disurung dengan
hati yang kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk kesini."
Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang ia dapat
memandang keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat pojokan gedung itu
dipasang lampulampu,
sedang pada temboknya terdapat mutiara-mutiara yang mengeluarkan sinar terang.
Sesudah berdiam beberapa hari di keraton es, baru ini kali Thian Oe lihat
Pengtjoan Thianlie
gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin seperti es seperti juga
menembus sampai pada
uluhatinya. Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi kesemutan dan
lemas. Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan Thianlie. Di bawah pimpinan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Tjeng Hong, ia sudah belajar silat tujuh atau delapan tahun lamanya. Dalam kalangan
Kangouw yang biasa, ilmu silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi sekarang, menghadapi
Pengtjoan Thianlie,
ia sama sekali tidak berdaya dan badannya diangkat begitu rupa, seperti juga
anak ayam disambar
ulung-ulung. "Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!" kata
Pengtjoan Thianlie
dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia putar badannya Thian Oe dua kali
di tengah udara.
Thian Oe rasakan kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu apa, ia
rasakan badannya
ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas lantai. Thian Oe
keluarkan teriakan
ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan segera melayang. Tapi,
begitu lekas badannya mengenakan lantai, disitu mendadak terbuka satu lubang dan badannya
lantas masuk ke dalam lubang itu. Waktu jatuh di dasar lubang, ia rasakan sakit, tapi
belakangan ternyata tidak
mendapat luka yang berarti.
Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat tangannya
sendiri. Lubang
di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup ia dengar
suara tindakan.
Rupanya Pengtjoan Thianlie sudah berlalu dari situ.
Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat sekali. Buru-buru
ia bersila dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia sudah mempunyai dasar ilmu dalam
(lweekang), sehingga beberapa saat kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak begitu
menderita lagi dari hawa dingin dan basah itu.
Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe. Mengingat
perkataan "kau
jangan keluar lagi," ia jadi bergidik. Apa benar ia bakal dipenjarakan disitu
seumur hidup" Ia lantas
saja ingat ayahnya, gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena. Dengan mereka
itu, ia tak akan
dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih bersifat satu bocah. Mengingat
begitu, ia lantas saja kucurkan air mata dan menangis segak-seguk.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tindakan
orang di atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya: "Ah, kalau Pengtjoan
Thianlie lihat aku
menangis, ia tentu akan tertawakan aku." Ia tidak merasa sakit hati, tapi ia pun
sungkan perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu, ia
segera bersila dan
meramkan kedua matanya.
Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin jauh dan
akhirnya tidak kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak mengetahui, bahwa suara kaki itu
adalah tindakannya
Chena dan satu dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka belum seberapa
tinggi dan tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat mendengarnya. Mereka berdua
bangun sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak gunung yang terletak di sampingnya
Puncak Es, buat
saksikan adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan
dilangsungkan pada waktu tengah hari.
Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama kemudian,
kupingnya dapat
dengar suara nyanyiannya burung-burung yang baru sadar dari tidurnya.
Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia berkata dalam
hatinya: "Satu penyair ahala Tong ada bilang:
'Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala tempat terdengar
suara nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan angin, tahukah kau berapa banyak
bunga jatuh berhamburan"'
Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku sekarang justru
sebaliknya dari
keindahan itu. Dengan mendengar suaranya burung-burung itu, langit tentunya
sudah menjadi terang. Semalam Chena mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang
terkurung disini
dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali tidak
ada hujan maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat topan yang sangat hebat!"
Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan badannya lelah,
tapi ia tidak rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang diri dalam gua yang gelap itu dan
rasakan sang tempo jalan luar biasa perlahan.
Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu adu pedang
antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. "Ah, sekarang tentunya mereka sudah
bertempur di kakinya Puncak Es," kata ia dalam hatinya. "Sayang sungguh kedua mataku tidak
mempunyai rejeki buat menyaksikan."
Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar biasa, yang
semakin lama jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua bergoyang-goyang. Thian Oe
terkesiap dan hatinya
penuh tanda tanya. Tiba-tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang panas. Ia
jadi semakin heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja dinding, tapi
lantainya gua pun
turut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan satu suara gedubrakan,
beberapa batu dinding mental keluar dan sinar matahari masuk dari lubang itu! Badannya Thian
Oe pun terpelanting di atas lantai lantaran goncangan yang sangat keras.
"Ah, inilah gempa bumi!" Thian Oe berteriak dengan suara di tenggorokan.
Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-gunung api yang
masih bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering terjadi gempa bumi besar dan
kecil. Thian Oe juga
mengetahui kenyataan itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami kejadian
tersebut. Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang. Badannya jadi
gemetar. Rasa takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru dipergoki oleh
Pengtjoan Thianlie dalam
rumah terlarang itu.
Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya terdengar. Suara
itu ada terlebih
hebat dari apa yang satu manusia pernah bayangkan. Bumi bergoyang-goyang dan
seakan-akan segera terbalik. Seperti orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya. Kepalanya
puyeng, matanya berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan!
Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap keluar dari
dinding yang melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam debu warna kuning, sehingga
sinarnya matahari
turut berwarna kuning. Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah magrib.
Thian Oe lantas
kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri dan jalan
beberapa tindak
sambil memandang keadaan di seputarnya.
Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi tidak sampai
roboh. Thian Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk ke dalamnya, tapi lantas pergi ke
taman sambil berlari-lari. Disitu banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang
pada terguling dan
rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan puing, tapi ada juga
yang masih utuh.
Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi tidak mendapat jawaban. Seluruh
keraton es jadi
sunyi senyap. Bukan main takutnya
Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya memanggilmanggil Chena dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat ketemukan, malahan burung-burung dan
binatangbinatang
lainnya juga rupanya sudah pada kabur.
Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan yang lebih
mengejutkan lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke awan, yang tadinya berhadapan
dengan keraton es, sekarang sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi! Puncak Es itu, yang
siang malam pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu pemandangan luar biasa dari
pegunungan Nyenchin
Dangla. Thian Oe ketakutan, tapi sekarang ketakutannya itu dicampur dengan
perasaan sayang.
Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang lebih jauh.
Secara menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es raksasa masih terus
menggelinding ke
bawah. Ia juga lihat bahwa di seputar keraton bertambah banyak sekali batu
besar. Ia mengetahui, bahwa batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es sedang roboh.
Masih untung ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-keraton itulah yang
masih tinggal utuh. Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong sekian lama.
Ia ingat, waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si
pemuda baju putih tentunya juga sedang bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara
begitu, bukankah badan mereka dengan segera jadi perkedel" Walaupun ia baru saja kena
disemprot dan dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat kecantikannya, usianya yang masih
begitu muda dan
kepandaiannya yang sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe dongak ke atas dan
berkata dengan suara gemetar "Oh, Thian, kenapa begitu tega?" la juga ingat Chena yang
menonton pertempuran dari puncak gunung yang terletak di sebelahnya Puncak Es. Apakah ia
bisa terlolos dari mala petaka itu" Depan matanya lantas saja terbayang senyuman aneh dari
gadis Tsang itu,
yang ia pertama bertemu di atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena,
berbayang pula Pengtjoan Thianlie yang cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe bergidik dan tak
berani ngelamun terlebih jauh.
Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang sesudahnya dimakan,
memberikan ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-putar seraya memanggilmanggil, dengan
harapan kalaukalau
bisa bertemu manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata manusia, binatang pun ia
tidak ketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap seperti kemarin, masih
terus siarkan keharumannya yang luar biasa. Yang paling mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah
berputaran di seluruh keraton, ia tidak ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang
dari seluruh keraton dapat menghilang dengan begitu saja" Taruh kata mereka semua binasa
ketimpa reruntuk
rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat diketemukan juga. Walaupun
tidak banyak, satu dua toh mestinya dapat diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak
ketemukan barang
satu mayat! Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya sudah ada yang
pulang buat lihat-lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan belum ada barang
satu manusia yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin Thian Oe jadi pusing sekali.
Ia tidak mengerti
apa artinya semua kejadian itu.
"Apa kau sedang mengimpi?" ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan segera
berteriak kesakitan.
Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi!
Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat keluar dari
peledakan gunung
dengan perlahan disapu bersih oleh sang angin malam. Di bawah sinar rembulan
yang laksana perak, keraton es masih tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah kenangan
yang menyedihkan. Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi
sembari memanggilmanggil.
Ia agaknya tidak mengenal capai.
Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara perlahan
kedengaran: "Oe-djie, apakah kau?"
Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang paling berharga
dalam dunia ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu datang, yaitu dari bawah
reruntuknya satu kamar
yang roboh. Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan Thiekoay sian yang
rebah dengan pakaian ternoda darah.
"Soehoe! Kau?" tanya Thian Oe dengan suara terharu.
"Benar. Aku," jawab sang guru. "Coba minta sedikit makanan. Oh, ambil air lebih
dahulu." Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil air telaga


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lantas diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh beberapa saat, Thiekoay sian berkata:
"Kita berdua
guru dan murid, sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih ada
lain orang yang
hidup?" Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian menghela napas
dan berkata pula: "Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa ia tidak akan turun
gunung, kecuali jika
Puncak Es roboh. Sekarang puncak itu sudah ambruk, cuma barangkali ia sudah
terpendam buat selamanya dan tidak dapat lagi turun gunung." Sehabis berkata begitu, ia ingat
isterinya yang sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat begitu, hatinya jadi
sangat kuatirkan
keselamatannya sang isteri.
"Soehoe, apa kau terluka?" tanya Thian Oe.
"Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu," sahut sang guru. Tapi
sebenarnya, lukanya
Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang kesehatannya belum pulih, ia kembali mesti
terima goncangan hebat di dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun berkat
lweekang-nya yang sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi tenaga latihan
sepuluh tahun jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian masih dapat berjalan, itu hanya
terjadi berkat pertolongan sang tongkat.
Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan mulut terus
memanggilmanggil,
tapi hasilnya nihil.
"Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri di dalam kamar
buat mengobati lukaku," demikian Thiekoay sian tuturkan pengalamannya. "Sesudah itu,
aku dengar suara berlari-larinya dan teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku
dengar suara orang
memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai puncak yang
sangat penting,
dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali. Maka itu aku teruskan
latihan itu. Selagi aku
mau akhiri latihan menurut peraturan dan kemudian mau pergi keluar.buat
menanyakan, kejadian
hebat sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri turut ambruk."
Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik kesimpulan, bahwa pada
waktu terjadinya gempa bumi, di dalam keraton masih terdapat banyak dayang. Tapi
kemana perginya
mereka" Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat membikin
pemeriksaan terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang roboh, kerugian harta benda
agaknya tidak terlalu
besar. Kawanan burung juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan bahan makanan
didalam keraton adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak usah kuatir.
"Soehoe, apa yang kita harus perbuat?" tanya Thian Oe sesudah selesai dengan
pemeriksaannya.
Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: "Menurut perintahnya Pengtjoan
Thianlie, hari ini aku
mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan kepandaianku seperti sekarang ini, aku
tak akan bisa turun gunung pada sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya."
Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat dilewati oleh
orang yang tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau oleh orang yang tidak mengetahui
sifatnya sang air.
"Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita tidak dapat
berbuat lain daripada langgar perintahnya Pengtjoan Thianlie," kata lagi Thiekoay sian
sembari tertawa getir.
"Kita tidak dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma berharap
Pengtjoan Thianlie
masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari tempat ini." Tapi harapan
itu hanya tinggal
harapan belaka. Sesudah lewat tujuh hari, jangan sentara Pengtjoan Thianlie,
dayangnya saja tak
seorang yang muncul. Selama hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih
dan akhirnya ia
dapat usir keluar sisa hawa dingin yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari itu, ia
kembali berada di
depannya itu gedung yang penuh rahasia. Sebagaimana diketahui gedung itu belum
roboh, cuma dindingnya saja yang sudah miring. Mengingat pengalamannya, sebenarnya Thian Oe
tidak mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi ia merasa tidak tahan
buat tidak tolak pintunya dan masuk ke dalam.
Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya wanita itu masih
berdiri seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu apa, ia dapat meneliti keadaan
disitu. Ia lihat pada
dinding yang miring penuh dengan macam-macam ukiran manusia yang sedang bersilat
dengan gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-gerakan ilmu pedang
tersebut sangat
berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di Tiongkok.
"Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya Pengtjoan
Thianlie," kata
Thian Oe seorang diri. "Tidak heran kalau ia larang orang masuk kesini. Ia
sering datang buat
bersembahyang. Patung itu tentulah patung ibunya."
Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi lebih sulit
lagi buat diketahui.
Sebab tidak niat belajarkan ilmu pedangnya lain orang, sesudah mengawasi
beberapa lama, Thian
Oe segera keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya.
Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa hawa dingin
dalam tubuhnya.
Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak, tapi sekarang ia dapat bergerak pula
dengan leluasa dan tidak usah lagi dapat pertolongannya tongkat.
Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang dilihat dalam
gedung aneh itu. Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia berkata:
"Aku rasa kau
harus angkat satu guru lagi."
"Apa" Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?" tanya Thian Oe
dengan suara kaget. "Bukan," kata Thiekoay sian. "Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu silat tidak ada
batasnya. Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku dan sudah mempunyai kepandaian
yang bersamaan dengan aku, toh kepandaianmu itu masih belum cukup buat bertanding
dengan ahli silat kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih
yang ilmu silatnya
luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama jubah merah saja masih berada
di sebelah atasanku."
Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan sejujurnya.
"Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali," sang guru berkata pula. "Aku
harus berlatih lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada harapan bisa turun dari gunung ini.
Dalam tempo sepuluh
tahun, kalau ada musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita dapat melawannya.
Itulah sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu silat yang tinggi dan
angkat lagi seorang guru lain."
"Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya guru baru itu?"
tanya Thian Oe dengan perasaan heran.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay sian.
"Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana kita boleh
pelajari ilmu pedangnya?" kata Thian Oe sembari gelengkan kepalanya.
"Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya," jawab Thiekoay
sian. "Cobalah kau
pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah mati dan semua dayangnya pun ikut
binasa, bukankah
ilmu pedang itu akan jadi hilang dari muka bumi" Buat menggubah ilmu pedang yang
luar biasa itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak tenaga, pikiran dan
tempo. Kalau ilmu
pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam baka rohnya kedua orang tua itu
tentu tidak akan merasa senang. Selain itu, kehilangan tersebut juga merupakan satu kerugian
yang sangat besar bagi dunia persilatan."
Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk terhadap gurunya
yang berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu pergi ke gedung itu buat
meneliti gambargambar
di dinding. Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat sulit dan tak
mungkin dapat dipelajari oleh orang yang belum mempunyai dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay
sian adalah murid utama yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Apa yang
dipelajari oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia persilatan,
walaupun berbagai
cabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa, akan tetapi dasar-dasarnya
tidak berbeda banyak. Demikianlah, sesudah mempelajari tiga hari lamanya, Thiekoay sian sudah
dapat menyelami artinya gambar-gambar itu.
Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh (ilmu silat
dalam). Sesudah
belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, Thian Oe sudah
mempunyai dasar-dasar lweekang. Ditambah dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay sian, ia dapat
kemajuan sangat pesat dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat mulai belajarkan
ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat. Di waktu
pagi, ia belajar ilmu
silatnya Thiekoay sian, sedang pada sorenya, ia belajar ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie. Dengan kerepotan sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu.
Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe jalan-jalan
di dalam taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga siarkan bebauan yang sangat
harum. Sesudah selang beberapa bulan, keadaan dalam taman sudah mulai pulih seperti
dahulu, sedang burung-burung juga sudah pada balik kesitu.
Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada tiga bulan
berselang, adalah
Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman tersebut, tapi sekarang, ia berada
seorang diri, sedang nasibnya gadis itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu
dayang-dayang yang seperti lenyap dari muka bumi.
Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini. Mendadak
hidungnya dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu pojok taman. Sesudah berdiam
tiga bulan lamanya, ia sudah kenal baik segala tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ.
Ia sudah dapat membedakan wanginya macam-macam bunga. Tapi wewangian yang baru ia endus
adalah wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan heran, ia segera menuju ke pojok
taman, dari mana harum-haruman itu datang.
Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa yang luar
biasa adalah pada
pohon itu terdapat satu buah tunggal, besarnya seperti mangkok dan warnanya
merah terang. Buah itulah yang menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat pohon itu dan
petik buah tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke uluhatinya. Ia masukkan
ke dalam mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan saja harum dan manis luar
biasa, tapi juga
mempunyai semacam hawa menyegarkan yang seakan-akan menembus sampai di pusarnya.
Sesudah makan habis Thian Oe lalu turun dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh
taman cuma terdapat satu pohon begitu yang berbuah tunggal.
Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. "Apa aku kena makan
buah beracun?" tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi cari gurunya. Tapi
baru saja lari puluhan tindak, perutnya jadi semakin mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia
tak tahan lagi dan lalu buang-buang air besar.
Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia rasakan satu
perobahan yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan enteng luar biasa! Ia coba-coba
enjot badannya dan tubuhnya lantas melesat ke atas dan hinggap di atasnya satu pohon
besar. Tingginya pohon itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi ia cuma


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melompat kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah itu, dengan gampang
ia dapat melompat dua tombak lebih.
Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada siapa ia
segera tuturkan
pengalamannya yang luar biasa.
Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan ternyata
omongannya tidak
dusta. Sang guru juga turut bergirang dan berkata: "Keunggulan ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie berdasarkan kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri kau punya ilmu
entengi badan yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau sudah mendapat berkah yang
begitu luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu entengi badan, walaupun kau
belum bisa dapat
menandingi Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah
berada di sebelah
atasanku!"
Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie,
benar saja ia rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin berkat kegesitannya yang berlipat
ganda. Hari itu,
sesudah makan malam, seorang diri ia pergi -lagi ke taman buat berlatih pula
dengan pedangnya.
Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan semua pukulan-pukulan
yang sukar dapat ia jalankan secara otomatis.
"Sungguh indah ilmu pedang itu!" mendadak terdengar suaranya satu orang. Thian
Oe menoleh dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian.
"Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali," kata Thiekoay sian. "Kalau dilihat
begini, tidak usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun dari gunung ini. Cuma saja, biarpun
ilmu entengi badanmu sudah maju jauh, kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan, sesudah
aku berada dekat sekali denganmu, barulah kau mengetahui."
Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu buat melatih kuping kepada
muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang dapat membedakan macam-macam senjata
seperti senjata rahasia, dengan cuma dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah memberi
semua petunjuk secara terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu.
"Sekarang aku mau coba padamu," kata Thiekoay sian. "Coba kau balik badan dan
aku akan datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya angin, kau mesti lantas
menimpuk dengan
batu. Aku mau lihat, apa kau dapat menimpuk jitu atau tidak." Thiekoay sian
lantas pergi ke
tempat yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu.
Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang sangat enteng
mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya: "Kenapa terdengar
tindakannya dua
orang" Apa soehoe sengaja keluarkan ilmu luar biasa, atau kupingku belum
terlatih baik?"
Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak sempat memikir
panjangpanjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk. Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan
batu itu terpukul balik. Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke arah Thian Oe
luar biasa cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya menghantam begitu
hebat. Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay sian:
"Pendeta jahat!
Jangan lukakan muridku!" Berbareng dengan itu satu senjata rahasia menyambar dan
kebentrok dengan batu itu. Kedua-duanya kemudian jatuh kedalam telaga es.
Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya. Orang yang
muncui dari samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah merah yang pernah datang ke
keraton es dan belakangan kena diusir oleh Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu
mengikuti satu boesoe
yang berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari menyeringai, sedang
gurunya memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget dan heran.
Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada Thiekoay sian
yang tidak mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga ia cuma geleng-gelengkan
kepalanya. Thian Oe
yang mengerti juga sedikit bahasa Nepal lantas berkata: "Soehoe, ia datang buat
cari tahu dimana
adanya Pengtjoan Thianlie."
Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan tongkatnya dan
gerakgerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es itu ambruk dan mungkin Pengtjoan
Thianlie sudah mati tertindih gunung yang ambruk itu.
Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe ucapkan beberapa
perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta itu kelihatan jadi lebih
gusar lagi. Mendadak dalam bahasa Tibet, ia ucapkan perkataan "guci emas" dan tangannya
membuat satu gerakan merampas.
Perkataan "guci emas" dan gerakan itu membikin Thiekoay sian mengerti apa yang
dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau menanya: "Apa kau niat
merampas guci emas?" Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi kepandaiannya Kanglam
Tayhiap Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam bahaya, tapi ia pantang berdusta.
Maka itu, dengan
suara angkuh ia segera berkata:
"Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!"
Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan sianthung-nya.
Dalam hal ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan tangannya Thiekoay sian, si
pendeta anggap Pengtjoan Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan sang boesoe
muda, bahwa Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata benar. Demikianlah, dengan
adanya dua macam
kegusaran yang menjadi satu, tanpa menyelidiki lebih lanjut, si pendeta lalu
membuka serangan.
Di lain pihak, Thiekoay sian yang mempunyai ganjelan, juga jadi sangat gusar
melihat caranya si
pendeta yang datang-datang sudah menyerang membabi buta. Ia kerahkan tenaganya
dan menyampok sama tongkat besinya. Dengan satu suara keras, kedua senjata kebentrok
dan Thiekoay sian terhuyung beberapa tindak.
Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih dan bukan
tandingannya si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia dengar sang guru berseru: "Oedjie! Lari! Kalau
tidak dengar perkataanku, aku tidak akui lagi kau sebagai murid!"
Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin selamatkan
jiwanya. Sebagai
seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah ia tega tinggalkan gurunya dalam'
keadaan yang berbahaya itu. Sebaliknya dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut ternganga.
Sementara itu, kedua orang sudah bertempur belasan jurus.
Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah Thian Oe. Dengan
menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh Thian Oe, kena dibikin
terpental oleh si
pendeta, ia mengetahui ilmunya Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak memandang
mata dan perhatiannya lalu dipusatkan kepada gelanggang pertempuran." .
Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta' sudah bertempur kurang lebih
dua puluh jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi gerakan-gerakannya Thiekoay sian
sama sekali tidak jadi kalut dan masih dapat menyambut serta membalas sesuatu serangan.
Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang membikin Thian Oe
jadi terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan sekali, kedua kakinya bertindak
menurut kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang tongkatnya diputar keras sehingga menerbitkan
angin yang menderu-deru. Ia tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu Hokmo Tianghoat yang
paling banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah gurunya pertama kali bertempur
melawan si pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah mengatakan, bahwa masih untung Thiekoay sian
baru keluarkan sembilan puluh enam jurus Hokmo
Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai seratus
delapan jurus, Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat. Dan sekarang, dengan kesehatan
yang belum pulih, sang guru kembali menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui hebatnya
bahaya yang mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia bergerak, gurunya
sudah deliki padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan satu tegoran lantaran ia tidak
buru-buru angkat
kaki. Saat itu, satu bentrokan senjata yang sangat keras terdengar dan kedua
lawan sama-sama
mundur beberapa tindak dengan badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka maju
kembali dan bertempur semakin sengit.
Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan Hokmo Tianghoat
adalah buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan diri. Tapi tidak dinyana,
lantaran perasaan
cinta terhadap sang guru, si murid jadi tidak dengar kata dan rela binasa
bersama-sama. Thiekoay
sian mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu sangat melihat pribudinya
sang murid, di lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya Thian Oe. Dan sungguh kasihan,
biarpun hatinya
mau, Thiekoay sian tidak 179
dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus dipusatkan
kepada sang lawan. Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama
yang terdiri dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah dijalankan habis, dan bagian kedua
yang juga terdiri dari tiga puluh enam jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi Thiekoay
sian kerahkan tenaga lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari Hokmo Tianghoat.
Oleh karena hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai mati, tak tahu dari mana
datangnya, tenaganya jadi bertambah berlipat ganda, sehingga buat sementara dapat juga ia
mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan sianthung-nya
menyambar ke atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian. Ketika itu bajunya Thiekoay sian sudah
basah dengan keringat yang terus turun berketel-ketel dari badannya. Melihat sambaran senjata
lawan, sambil membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya. Sianthung-nya si pendeta dapat
dibikin terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok sudah jadi sedikit bengkok!
Melihat begitu,
jantungnya Thian Oe memukul semakin keras.
Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis dijalankan.
Sekarang pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay sian bergerak perlahan-lahan
seperti juga beratnya ribuan kati. Saban kali badannya bergerak, tulangnya kedengaran
berkrotokan, sedang
urat-urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua menandakan, bahwa ia sedang
menggunakan seluruh tenaga yang masih ketinggalan dalam badannya. Si pendeta jubah merah
juga hilang segala sikapnya yang memandang enteng dan tumplek semua perhatiannya kepada
gerakan sang lawan. Seperti dalam pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga
dengan duduk bersila dan goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama
Thiekoay sian semakin
mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah kerahkan semua tenaga
dalamnya, tapi lantaran
memangnya kalah tenaga, sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu.
Sedapat mungkin, ia
berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel senjata musuh
dan tak dapat lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot cukup dekat, si pendeta akan
segera turunkan
pukulan yang membinasakan. Ketika itu dari 108 jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah
jalankan jurus yang ke-106. Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si pendeta mendadak
membetot keras sembari membentak: "Robohlah!"
Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya tunduk ke depan
seperti juga akan segera terguling di hadapannya si pendeta. Semangatnya Thian Oe
terbang. Segala
rupa perhitungan lenyap dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya, badannya
melesat seperti anak
panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat yang terletak di bawah
dadanya si

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat menolong gurunya. Ia tidak
perhitungkan lagi
jiwanya. Ia malahan tidak perhitungkan apakah serangan itu bisa berhasil atau
tidak. Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar, begitu juga
terdengar teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga tombak jauhnya.
Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan juga sebab
mengetahui ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si pendeta jubah merah sama sekali
tidak memandang mata padanya. Selainnya itu, kawannya, yaitu si boesoe muda, juga
berada disitu, sehingga lebih-lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia tentu saja
tidak mengetahui,
bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya tidak seberapa, ilmu
entengi badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama ahli silat kelas utama. Dengan
sekali loncat saja,
ia sudah lalui jarak tiga tombak itu dan kirim tikamannya dengan sepenuh tenaga.
Si boesoe muda sudah tidak keburu menolong, sedang si pendeta, yang lagi pusatkan Seantero
perhatiannya kepada Thiekoay sian guna robohkan lawanan itu, sudah tidak dapat menangkis lagi
dan jalanan darahnya kena ditikam secara telak sekali!
Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta, tikaman Thian Oe
belum cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada ketika badannya bergoyang akibat
tikaman itu, Thiekoay sian tidak mau kasih lewat kesempatan yang baik itu dan lantas kirim
satu sabetan ke
arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo Tianghoat. Dengan dua
serangan hebat yang datang hampir berbareng, andaikata si pendeta mempunyai badan tembaga, ia
toh tidak akan dapat pertahankan dirinya lagi. Masih untung, berkat ilmu silatnya yang
sangat tinggi, ia
tidak lantas jadi binasa. Tapi biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan
tenaga dalamnya
menjadi buyar, sehingga ilmu silatnya tidak akan dapat pulang kembali, jika ia
tidak berlatih lagi
dari tiga sampai lima tahun.
Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri gurunya,
mendadakan Thiekoay sian berteriak: "Minggir!"
Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah ia. Pada saat
itu, Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya melesat bagaikan kilat. Itulah jurus
Sinmo kwiwie (Siluman balik ke kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo
Tianghoat. Sebegitu
jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus penghabisan.
Kalau toh jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti yang menggunakannya bersedia
buat binasa bersama-sama sang lawan. Thiekoay sian menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga
yang ia dapat kumpulkan dalam dirinya. Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat
loloskan diri dari serangan yang sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay sian mengenakan dadanya
dan dari depan terus tembus sampai ke belakang. Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh
binasa. Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang begitu mengerikan.
Kaki tangannya lemas dan ia tidak berani menengok lagi. Di lain saat, ia dengar suara
berkereseknya daun-daun. Rupanya si pendeta jubah merah sudah melarikan diri.
Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan memanggil:
"Oe-djie, mari!" Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka yang pias
seperti kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita sakit keras dan keadaannya
banyak lebih hebat daripada waktu bertempur dengan si pendeta jubah merah pertama kali.
Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: "Soehoe, bagaimana
keadaanmu?"
"Muridku," jawab sang guru. "Malam ini adalah malam perpisahan kita!"
Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras. Thiekoay sian
terharu, tapi ia lantas tertawa dan berkata dengan suara lemah: "Dalam dunia ini, tidak ada
perjamuan yang tidak ada akhirnya. Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi."
"Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat banyak sekali
obatobatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan supaya soehoe bisa lihat yang mana
dapat digunakan," kata Thian Oe dengan suara sedih.
Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Dalam keadaan badan yang
belum pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis seratus delapan jurus Hokmo
Tianghoat. Biarpun
aku makan semua obat mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat ditolong lagi. Aku
tidak mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang aku mau pesan
kepadamu."
Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya.
"Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah mengetahui
bahwa kau mempunyai pribudi yang sangat tinggi," kata sang guru. "Aku berani pastikan,
bahwa di belakang
hari kau akan berhasil dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau minta satu
pertolonganmu."
"Soehoe bilang saja," kata Thian Oe.
"Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai turut binasa,
dan kalau di kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu, bilang padanya, bahwa aku pesan
supaya dia rawat anak kita baik-baik. Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu angkat
kau sebagai guru," demikian Thiekoay sian memberi pesanannya.
Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang mempunyai anak.
Akan tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak mau menanya melit-melit. Ia
cuma manggutmanggutkan
kepalanya, sebagai tanda bersedia buat turut pesanan itu.
"Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau," kata lagi sang
guru. "Ilmu
tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah kau turunkan ilmu silat itu
kepada anakku. Tongkat ini kau simpan baik-baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah
kepadanya dan bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si pendeta itu,
meskipun malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti akan jadi orang yang bercacat.
Maka itu, siapa juga
tidak usah membikin pembalasan apa-apa. Apa kau bersedia buat jadi gurunya
anakku itu?"
"Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa, pesanan soehoe
murid akan jalankan satu persatu," jawab Thian Oe dengan suara sedih sekali.
Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia kumpulkan tenaganya
dan kemudian berkata pula: "Dahulu aku pernah terima pesanannya soetjouw-mu dan Moh
Tjoan Seng lootjianpwee buat coba cari turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee. Sekarang kita
sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei tjianpwee. Maka itu
andaikata Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya dan sampaikan penuturanku
ini. Sekarang Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat cari pamannya."
Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing lantaran
perasaannya yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya dan napasnya jadi semakin
perlahan. Dengan hati-hati, Thian Oe dukung gurunya itu.
Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay sian berkata:
"Itu... itu
guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus membantu pihak yang mana. Tapi, biar
bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu... itu pemuda
baju putih... omongannya ada juga benarnya. Kau... kau pergilah cari padanya..." Semakin lama
suaranya semakin perlahan dan belum habis ia bicara, kedua kakinya berkelejet dan
Thiekoay sian tinggalkan dunia ini buat selama-lamanya.
Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah gurunya dalam
taman itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu boesoe muda. Sesudah beres
mengubur, ia bersihkan semua bekas-bekas darah dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak dan lihat
sang rembulan sudah doyong ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang dan sang
malam sudah mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini. Dalam
keraton es yang
sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang diri. Hatinya sedih
berbareng takut.
Keraton dan tamannya yang begitu indah sekarang hilang keindahannya dan ia
segera mengambil
keputusan buat segera menyingkir dari tempat itu.
Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas bebenah. Ia bekal
makanan kering, bereskan barang-barangnya dan keluar dari keraton es. Tapi baru saja
jalan puluhan tindak, ia sudah mandek lagi. "Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana aku bisa
seberangi sungai es?" tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam
keraton itu dengan
peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia tidak mau.
Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang aneh. Suara
itu, yang Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul dan sebentar hilang. "Apa
mau gempa bumi lagi" Tapi kenapa suaranya tidak jadi lebih keras?" tanya ia dalam hatinya.
Dengan hati berdebardebar,
ia lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain saat, sudah menghilang
pula. Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu bukannya
gempa bumi. la jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan banyak sekali mustika. Apakah datang
orang jahat yang niat mencuri barang-barang berharga itu" Walaupun ia sudah mengambil
putusan buat tidak
berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga bulan lamanya dalam
keraton itu, setahu
bagaimana, dalam hatinya timbul semacam perasaan menyayang yang luar biasa. Ia
tahu, bahwa sesudah ia pergi, keraton yang seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya
kawanan tikus, akan tetapi, sebegitu lama ia masih berada disitu, ia tidak mau orang merusak
atau menduduki keraton tersebut. Maka itulah, ia lalu berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi. "Apa manusia"
Kalau manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah," pikir Thian Oe. Sesudah
ketelanjur balik, ia
segera ambil putusan buat memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba di dekat
telaga es, kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan dengan indapindap menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan jalanan-jalanan disitu
dan juga sebab ilmu entengi badannya sudah sempurna, maka gerakannya tidak dapat diketahui oleh
tetamutetamu yang baru datang itu.
Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat berdiri tiga
orang. Yang di tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada Nyepa Omateng. Dua orang yang
berdiri di kedua sampingnya Omateng adalah itu dua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
"Suara apa itu?" tanya Omateng. "Apa bukan gempa bumi lagi?"
"Rasanya bukannya gempa bumi," sahut boesoe yang berusia lebih tua. Mereka
berbicara dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian Oe.
"Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-rupanya disini
masih ada manusianya," kata lagi Omateng. "Tapi heran, tidak ada bayangannya barang satu
manusia." Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: "Pengtjoan Thianlie!" Tapi
kecuali kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa lagi. Mereka lantas saja
perlihatkan paras muka
ketakutan. "Jika Paduka Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar," kata
yang satu. "Apa
mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?" sahut yang lain. "Ah, kalau sampai
kejadian begitu,
bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!"
Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat perintah rajanya
buat mencari Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak mengerti, kenapa juga Omateng mesti
ikut-ikutan. Biarpun Nyepa itu pernah menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat
membenci dia. Dalam hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk.
"Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin pemeriksaan," kata


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Omateng. "Tidak bisa," kata boesoe yang lebih tua. "Tempat ini adalah tempat suci dari
agama negara kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga tidak boleh masuk kesitu."
"Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita masuk buat
lihat-lihat?" kata
Omateng. Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa bumi. Sembari
nyengir kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang langkahnya buat masuk ke dalam.
Mengingat akan larangannya
Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang terdapat
disitu, Thian Oe
lantas saja loncat keluar seraya membentak: "Omateng! Besar sungguh nyalimu!"
Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat siapa yang
datang, ia lantas
tertawa. "Tan kongtjoe, kau?" kata ia. "Mana Chena?"
"Jangan bicara yang tidak perlu," kata Thian Oe. "Kau orang keluar dari sini!"
"Ah, itulah heran!" kata Omateng. "Apa kau sudah jadi majikan dari keraton ini?"
"Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?" kata lagi Thian Oe dengan
suara gusar. "Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?" kata Omateng sembari
tertawa. Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok.
Thian Oe naik darahnya. "Pergi!" ia membentak sembari menikam dengan pedangnya.
"Waduh, Tan kongtjoe!" kata Omateng sembari tertawa besar. "Kau mau main-main
senjata?" Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe sedikitpun tidak pandang
mata pemuda itu.
Ia merasa pasti akan dapat robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi Thian Oe
sekarang bukannya Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari Tatmo
Kiamhoat. Ujung
pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik membabat ke
kanan dan tanpa
tercegah lagi, pundaknya Omateng kena digores. Bagus juga ilmunya Thian Oe belum
cukup tinggi, sedang Omateng pun bukannya lawanan lemah. Kalau bukannya begitu,
tabasan yang barusan tentu sudah kutungkan pundaknya.
Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan Seantero perhatian
buat lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah dan dengan beruntun kirim tiga
bacokan. Tapi biar bagaimanapun juga, kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia terus kena
didesak mundur. Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran tidak
habisnya. "Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng," berseru Omateng. "Dia sudah
mencuri masuk disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa
salah lagi dialah
yang membunuh Pengtjoan Thianlie yang sedang terluka akibat gempa bumi. Dia
rupanya ingin merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!"
Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-benar sudah
membikin panas hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut goloknya yang berbentuk bulan sisir dan
menyerang dengan berbareng.
"Dengar dahulu keteranganku!" berseru Thian Oe.
"Mau bicara apa lagi?" membentak Omateng yang terus mencecer sehebat bisa supaya
pemuda itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya seorang yang pandai omong dan juga
memang sebenarnya ia sudah curi belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran
begitu, ia tidak dapat
memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya terus menyerang dengan
sengit dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-panjang. Demikianlah dengan
pedang di tangan kiri dan tongkat gurunya di tangan kanan, Thian Oe melawan dengan
keluarkan dua macam ilmu silat dengan berbareng, yaitu ilmu pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya
Thiekoay sian. Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus sudah lewat.
Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu silat yang
sangat tinggi itu,
Thian Oe belum matang betul dan tenaga dalamnya juga belum cukup kuat. Maka
itulah, semakin
lama ia berkelahi, semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh ketiga lawan
itu. Kedua boesoe
Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma tangkis-tangkis saja seranganserangannya Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng yang sungguh-sungguh maui jiwanya
pemuda itu. Setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan, yang ditujukan kepada
bagian-bagian badan yang lemah. Melihat Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging
senyuman yang licik
sekali. Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini lebih keras dan
nyata. Keempat orang yang sedang bertempur kaget dan pada loncat keluar dari gelanggang,
sehingga Thian Oe
bisa buang napasnya. Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna memberi keterangan,
mendadak suara itu berhenti dan Omateng segera membentak: "Lebih baik bekuk dahulu
manusia ini, baru
bikin penyelidikan." Sehabis membentak, ia lantas menyerang, diturut oleh kedua
boesoe Nepal. Napasnya Thian Oe sengal-sengal dan keadaannya jadi semakin berbahaya.
"Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!" berseru
Omateng. Bukan main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat laksana kilat, Omateng coba
kelit tapi pundaknya kembali tergores ujung pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia
membentak: "Binatang! Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku
putuskan kedua lenganmu!"
Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak kedudukan
Tiongkiong dan lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua kali Thian Oe melukakan Omateng,
kedua boesoe Nepal juga jadi berdongkol dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan
lagi. Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan duga bakal
binasa di tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari menyeringai, ia sabetkan
goloknya ke arah
pundaknya Thian Oe. Lantaran kena didesak dengan dua goloknya si boesoe Nepal,
sekali ini Thian Oe tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat berbahaya, mendadakan
saja Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget dan hentikan serangannya.
"Mau apa kamu orang datang kesini" Apa mau cari mampus?" demikian Thian Oe
dengar bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat dayang-dayang keraton es pada
meluber keluar dari antara pohon-pohon kembang, sedang orang yang barusan membentak
adalah Goat Sian, yaitu dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie!
Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin ia merasa
seperti juga berada dalam impian.
Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup, mereka sudah
bersiap-siap buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah keraton terdapat satu gua es
yang ribuan tahun tidak pernah mengenal sinarnya matahari. Ayah ibunya Pengtjoan Thianlie
mengetahui, bahwa sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak di dekatnya Puncak Es dan
terpisah kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai gunung berapi itu meledak dan
terjadi gempa bumi, keraton es bakal turut tergetar, akan tetapi kerusakannya tidak bakal
seberapa besar.
Sebagai penjagaan terhadap batu-batu yang terlempar akibat robohnya Puncak Es,
siang-siang mereka sudah siapkan tempat mengumpat di gua itu. Mereka membuka satu jalanan di
bawah tanah yang di tembok dengan batu gunung yang sangat keras. Dalam gua itu selalu
sedia bahan makanan buat beberapa bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat
menggunakan es yang dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat
menghadapi gempa
bumi sudah dibikin dengan seksama.
Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay sian yang sedang
berlatih seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe yang berada di dalam guanya gedung
terlarang, semua dayang menyelamatkan dirinya dengan masuk ke dalam gua es itu. Tapi biar
bagaimanapun juga, perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya takdir.
Sebagai akibat gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah dan tutup jalanan
di bawah tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak dan dengan bekerja samasama, tiga bulan lamanya mereka gali tanah yang menutupi jalanan. Suara luar biasa yang
didengar Thian Oe
dan yang lain-lain adalah suara menggali tanah.
Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget lantaran lihat
kedatangannya itu beberapa tetamu yang tidak diundang. Dengan dikepalai oleh Goat Sian,
sembilan dayang
segera cabut Pengpok Hankong kiam dan mengambil tempatnya masing-masing dalam
barisan Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas saja menyambar-nyambar
sehingga Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget. Thian Oe yang sudah belajarkan
ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa pel mustajab, dapat melawan hawa yang
dingin itu. Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong kiam buat
segera turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat mengeluarkan sepatah
kata. Kedua boesoe Nepal itu buru-buru meratap meminta ampun dan memberitahu maksud
kedatangannya. Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan Pengtjoan
Thianlie mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu memberitahukan kepada dayang
kepala. Dayang kepala itu segera teriaki satu tanda perintah dan barisan Kioethian Hianlie
lantas terpencar. "Kalau
bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud jahat, sudah pasti kau tidak
bisa pulang kembali," membentak ia. "Baiklah! Sekarang kau orang boleh pergi. Tapi kalau
berani datang lagi,
kami tentu tidak akan berlaku sungkan lagi."
Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi, tapi sudah
didahului oleh salah seorang dayang. "Kongtjoe (Puteri) kami tak perlu diurus oleh kau orang,"
kata ia, sembari
kebaskan Pengpok Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi dinginnya hawa. Sembari
berteriak keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela napas panjang. Mereka
rangkap kedua tangannya buat memberi hormat ke arah gedung terlarang dan lalu berjalan pergi.
Sekarang cuma ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang berdiri bengong di hadapannya para dayang
itu. Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: "Kau masih berada disini?"
"Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara terpaksa
berdiam disini lantaran tidak bisa keluar," sahut Thian Oe. "Buat kelancangan itu, aku mohon
dimaafkan."
"Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?" tanya lagi Goat Sian.
"Aku duga kalian tidak akan kembali lagi," sahut Thian Oe. "Dan lantaran kuatir
ilmu pedang itu
menjadi lenyap dari muka bumi..."
Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan perkataannya, lantaran
sejumlah dayang sudah naik amarahnya dan pada mencaci dirinya. "Hm!" kata yang satu. "Kau
masih begitu kecil, tapi hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya
kami mati semuanya!"
"Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah mencuri masuk ke
dalam tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai niatan buat menduduki keraton es
ini!" kata
yang lain. Beberapa dayang yang pemandangannya sempit lantas saja mau cabut
pedangnya buat mengusir Thian Oe.
Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga dayang kepala
masih mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya, ia berkata dengan suara
angker: "Sesudah kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, Puteri kami sebenarnya niat
kurung kau seumur hidup. Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya, kami tak dapat berlaku
sungkan lagi. Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu Puteri kami, maka tanpa diminta
kami suka ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam lebih lama di tempat ini!"
Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa dipegang keras
sekali, sehingga


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun ia sendiri tidak berada dalam keraton itu, para dayangnya tidak berani
langgar segala peraturannya. Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu menggebah
Thian Oe dengan sikap keren sekali.
Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. "Akupun mau berlalu," ia
berkata dengan suara angkuh. "Cuma saja lantaran kalian belum balik, aku kuatir sembarang orang
masuk disini, sehingga aku jadi berdiam sampai di ini hari."
"Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala." kata satu dayang dengan suara
menyindir. "Pujian itu tak dapat aku menerima," jawabnya dengan suara kaku. "Cuma saja
lantaran ingin melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan jiwanya di tempat ini. Sesudah
aku berlalu, harap
kalian tolong lihat-lihat kuburannya." Sesudah berkata begitu, air matanya
menetes turun dari
kedua pipinya. "Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?" tanya Goat Sian dengan suara kaget. "Ia
binasa cara bagaimana?"
Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi. Mendengar begitu
hatinya Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda itu secara sedemikian kasar,
akan tetapi, dayang itu yang coba tiru-tiru majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya. Di
sebelahnya itu,
mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian Oe adalah lelaki
satusatunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda itu.
"Baiklah," kata ia. "Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya Thiekoay sian.
Kau berangkatlah! Apa perlu aku perintah orang antar padamu?"
"Tak usah," sahut Thian Oe yang masih berdongkol.
"Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?" tanya lagi Goat Sian.
"Tidak," jawabnya dengan pendek.
Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: "Paduka Puteri pernah
mengeluarkan perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami tidak dapat turun dari
gunung ini. Perintahnya
itu kami tidak berani langgar. Sesudah kau turun gunung, manakala Puteri kami
masih berada dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki."
Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya Pengtjoan
Thianlie. Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat mengesankan. Ia angkuh dan tinggi
hati, tapi keangkuhannya keluar secara wajar dan bukannya "kesombongan dibuat-buat dari
beberapa orang dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia menjawab dengan
suara terharu: "Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu."
Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng tongkat
gurunya, tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari keraton es. Selagi
berjalan, ia dengar
helahan napas dari beberapa dayang. "Ah, di antara dayang-dayang itu terdapat
juga orang-orang
yang baik hatinya," ia menggerendeng dan hatinya jadi terhibur.
Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya sungai es, ia
jadi berkuatir.
Dengan kepandaiannya yang begitu cetek, dapatkah ia lewati sungai tersebut" Cuma
saja lantaran tadi sudah menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak enak buat
balik lagi guna
minta pengantar.
Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang, sesudah lewat
tiga bulan, sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju putih bertumpuk-tumpuk, di
lereng gunung daun-daun berwarna kemerah-merahan. Dengan perasaan masgul, Thian Oe berjalan
terus. Mendadak matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara. Ternyata
sesudah robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api dan asap, yang
sehingga sekarang masih belum padam.
Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat Pengtjoan
Thianlie dan si
pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang di bawahnya Puncak Es tersebut.
"Mereka lebih
banyak mati daripada hidup," kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat sang
soenio (Tjia In Tjin)
dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak.
"Harap saja Tuhan melindungi mereka," kata ia dalam hatinya. "Kalau mereka masih
hidup, walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan mencarinya."
Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu. Dengan
pikiran kusut dan
bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung. Sesudah jalan beberapa lama, ia
merasa kedudukan bumi sudah berobah dan tidak bersamaan lagi dengan keadaan pada waktu
ia naik ke keraton es. Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh dari
keraton. Ia ingat,
dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon yanglioe, sedang di pinggir
sungai berdiri satu
pohon lioe yang sangat besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi
sekarang, dimanakah
adanya sungai es tersebut"
Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan lagi kirakira setengah jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang satu telaga yang luar biasa
luasnya, sehingga
air telaga seperti juga menempel dengan tepian langit dan tepian langit menempel
dengan telaga. Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran disorot sinarnya
matahari, kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu bukan lain daripada Thianouw, Telaga Langit atau Tengri Nor!
Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe mengetahui apa
sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi banyak sekali. Sungai es
itu, yang turun dari atas gunung terus sampai di Thian-ouw, ternyata sudah diuruk dengan
Puncak Es yang roboh itu! Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu jalanan telah
terbuka antara keraton es dan telaga Thian-ouw!
Bukan main girangnya Thian Oe: "Tak heran kalau itu dua boesoe dan Omateng bisa
datang ke keraton es," kata ia dalam hatinya.
Keadaan Thian-ouw masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang bening dan
pohonpohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk mengasoh di pinggir telaga dan
isikan kantong kulitnya dengan air yang bening. Lama sekali ia duduk termenung
disitu dan sampai lewat lohor barulah berjalan lagi.
Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati hidupnya
Pengtjoan Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau bukan bertemu secara
kebetulan, maka ia
lalu ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet
dimana berdiam jenderal Hok Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban dirusak oleh
Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera meninggalkan Sakya
buat pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong An. Sebagaimana diketahui,
hal itu telah diberitahukan kepada Thian Oe oleh si kacung Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa
sekarang ia ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa dengan maksud menemui ayahnya.
Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota Chaklun yang
terletak antara
Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat yang tidak banyak penduduknya.
Sebuah kota yang
dinamakan kota besar kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus rumah penduduk.
Chaklun juga terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat satu rumah
penginapan. Thian Oe
minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan sesudah makan malam, ia lalu
rebahkan dirinya di atas pembaringan lantaran merasa capai sesudah lakukan perjalanan
seharian suntuk.
Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar sebelah. Dengan
heran, ia panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu menanyakan siapa yang sakit.
"Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari," sahut Tiam
Siauw Djie. "Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang menyedihkan," kata
Thian Oe. "Apa
disini tidak ada tabib?"
"Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa," sahut si pelayan. "Sesudah
bongmeh (periksa nadi), ia tidak berani tulis surat obat."
"Penyakit apa?" kata Thian Oe. "Kalau diceritakan sangat luar biasa," Tiam Siauw
Djie berkata dengan suara perlahan. "Hari itu, kedua perwira tersebut yang menginap disini
minum arak di ruangan luar. Kau tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat melayani
orang-orang yang
kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita muda yang rupanya
mampir buat makan
dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing, hidungnya mancung dan matanya
rada-rada berwarna blau. Sembari nyengir, kedua perwira itu keluarkan beberapa perkataan
mengejek. Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma tertawa dingin dan berkata: "Kalian suka
main-main disini.
Biarlah kalian mengasoh beberapa hari." Sehabis berkata begitu, tak tahu ia
gunakan ilmu apa,
mendadakan saja di depannya kedua perwira itu berkelebat sinar yang sangat
dingin. Aku yang
menonton dari sebelah kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu
lalu lemparkan sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-teriak
kedinginan kedua
perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung dirinya dengan selimut, tapi
itu semua ternyata
tidak menolong. Selama tiga hari, mereka berada dalam keadaan ngelindur,
badannya sebentar
panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya luar biasa?"
Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu tentulah juga
Pengpok Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie"
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa penyakitnya," kata ia
kepada sang pelayan. Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: "Tuan, ada satu
tuan mau periksa penyakitmu."
Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan suara teriakan
tertahan. "Siapa kau?" tanya satu antaranya.
Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira yang
mengantar guci emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di Shigatse.
"Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya," sahut Thian Oe.
"Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse."
Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe tidak
munculkan muka,
sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga apa-apa. Sesudah Thian Oe
perkenalkan dirinya,
salah seorang lantas berkata: "Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?" Ia lalu minta
Tiam Siauwdjie berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: "Ada urusan apa Tan-heng
datang kesini?"
Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga giginya pada
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 17 Gento Guyon 9 Maut Merah Pendekar Satu Jurus 7

Cari Blog Ini