Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
tok yang berwatak berangasan dan kasar.
"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih
seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin
merampasnya secara kekerasan. Maka harus
diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orangorang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang
masing-masing mengeluarkan
ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak
meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
"Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima
orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan
seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain
setelah beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita
yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi
pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Sengjin. Dalam pertempuran
seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau diadakan
satu lawan satu, terlalu lama.
Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang
bulu. Dengan demikian, satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia
telah lihai daripada yang lain."
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan
senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan
saling lirik , siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan
dari manapun juga! Benar-benar
merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!.Sin Liong yang masih
duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh
orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan
menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah
gulungan- gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas
bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu,
seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal
yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya,
sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena
pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga
sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika
sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan
tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kaiong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat
cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputarputar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak
menyerang siapa-siapa, hanya
menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadangkadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok"
tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu
rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah
mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan
mulailah mereka menujukan senjata
kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam
pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang
payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap. Sin Liong menjadi
bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk
ongkang- ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu.
Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh
perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat
tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak
sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan
dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang lakilaki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan
tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas
dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan
gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih
dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau
setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh
kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang
sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang
sedang berkelebatan hampir tak tampak itu" Sin Liong tidak lagi memperhatikan
pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan
nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he
Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri
sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh
sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan
Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi
muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam
yang parah. Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan
coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di
ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya
melayang turun. "Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka
gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu
malu sama sekali!" Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan
jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan
singkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan
untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila.
Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing.melintangkan
senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada
seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi
marah sekali. JILID 3 Bangsat kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?"
bentak Pat-jiu Kai-ong sambil mengusap pundaknya yang berdarah.
Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak pula
Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak
patah tulangnya. Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap
sama sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang
demi seorang. kemudian, setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, dia
berkata, " Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan
orang- orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba disini dan melihat lagak kalian, mau
tidak mau aku masuk dan hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang
sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu
Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya sambil menuding ke arah Pat-jiu Kai-ong. Raja
pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya, padahal
tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu
tongkatnya" "Dan ilmu otngkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee
Thian Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan
Raja Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus! Dia menuding arah Thian-tok.
"Brakkk!!" Batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena
dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya
menghina itu. "Manusia lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah
diputar hendak menyerang. Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!" Dan aneh,
suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan
menghentikan gerakan tongkatnya. "Aku melihat kalian masing-masing memiliki
kepandaian khusus namun masih mentah semua. Aku tidak membohong dan kalau tidak
percaya, marilah kalian maju seorang demi seorang, akan kuperlihatkan kementahan
ilmu silat kalian yang kalian pergunakna dalam pertandingna kacau balau tadi.
Hayo siapa yang maju lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian
sendiri!" Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan,
maka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat
ke depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba kaubuktikan
kementahan ilmu tongkatku!" Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini
menyerang, menggunakan tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini
dilanjutkan dengan memutar tongkat ke
atas menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adalah gerakan pedang, dia ambil dari Ilmu Pedang Pamo-kiam-hoat. Hal ini adalah rahasianya, maka dia heran sekali mendengar orang
tampan gagah itu mengenal ilmu tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka mereka
menahan kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal
ini benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya yang amat
sombong itu. Serangan Pat-jiu Kiam-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tibatiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu
tahu-tahu telah melayang turun dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang pohon,
yang daunnya telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak
tampak, dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin sebatang
tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-ong. Begitu dia turun, Pat-jiu
Kai-ong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap.
"Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang
kau rubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?" Dan orang itu pun kini mengimbangi
permainan ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang sama! Jurus demi
jurus dimainkan orang itu untuk
menangkis dan balas menyerang, namun.bedanya, serangannya jauh lebih cepat dan
lebih kuat tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu!Tokoh-tokoh lain hanya
menduga-duga, mengira orang baru itu meniru gerakan Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi
Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang bukan lain adalah ilmu
tongkatnya sendiri yang digubahnya sendiri! Dia menjadi bingung dan heran,
apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan dalam belasan jurus saja,
tiba-tiba terdengar suara keras, tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si
Raja Pengemis ini sendiri terpelanting dan mukanya pucat sekali karena tadi
ujung tongkat lawannya telah menyambar dahinya tepat diantara mata dan kalau
dikehendakinya, tentu dia telah tewas, akan tetapi orang aneh itu hanya
mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa sia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu
kepandaian yang jauh melampuinya, tahu pula bahwa nyawanya diampuni maka tanpa
banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik, "Aku mengaku kalah!"
Tentu saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi, dalam
pertandingan kacau balau, telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis, dan mereka maklum bahwa
selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupakan senjata
pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tenaga sinkang si Kakek Jembel yang amat
kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku kalah, tongkatnya
patah dan diantara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka mengira bahwa orang
yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu Kai-ong! "Si Jembel
tua bangka memang tolol!" Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan,
tombaknya melintang di tangannya, sedangkan
tangan kirinya dikepal, tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal
dengan sebutan Kang-jiu(Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam! Orang
itu tersenyum sabar. Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua Pat-jiu Kai-pang yang
terkenal" Heran ilmunya masih serendah itu sudah berani malang melintang di Heng-san. Dan
kau ini siapakah" Ginkangmu cukup lumayan akan tetapi permainan tombakmu belum
patut disebut Sin-jio(Tombak Sakti), dan pukulan itu, tentu yang dinamakan Lengan Baja,
sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena terlalu lemah, hemm, terlalu
lemah...!" Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya
kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-goyang
menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si keparat sombong! Tahukah engkau
dengan siapa engkau berhadapan" Aku adalah Thian-he Te-it (Nomor Satu Sedunia)
ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Kembali orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan
seluruh gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang sukar
dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar
biasa sekali, lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian sudah melayang turun
membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak di tangan Ciang Ham,
bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana caranya! "Nah, coba mainkan
ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajumu yang masih mentah itu." Thian-he Te-it
Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras dia menerjang,
tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadai belasan banyaknya, semua
mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian tertentu dari lawannya! Namun
orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang sama, bahakan
mata "tombaknya" berubah menjadi dua puluh lebih, membentuk bayangan tombak yang
menyilaukan mata dan terjadilah pertandingan tombak yang amat aneh karena
gerakan mereka sama. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian-he Te-it Ciang Ham.
Ilmu tombak itu adalah ciptaannya sendiri dan selama ini belum pernah diajarkan
kepada siapapun juga, merupakan kepandaian khasnya yang ampuh. Akan tetapi
sekarang dia melihat orang ini mainkan ilmu tombaknya dengan gerakan yang lebih
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat dan lebih kuat! Marahlah dia. "Setan kau!" dia memaki dan kini tombaknya membuat lingkaran
besar, menyambar-nyambar diatas kepala sedangkan lengan kirinya melakukan
pukulan maut karena lengan itu seolah-olah merupakan sebuah senjata baja yang kuat
sekali.."Bagus,"
orang itu berseru, tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan dan terdengar
suara "krekkk" ketika ujung tombak Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua buah
lengan. "Desss...!" Thian-he Te-it Ciang Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah,
menggunakan tangan kanan mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang terkenal
dengan sebutan Lengan Baja itu, yang berani menangkis senjata tajam lawan,
begitu bertemu dengan lengan lawan, berubah menjadi seperti bambu bertemu besi.
Tulangnya retak dan sakitnya bukan main! Dia pun bukan anak kecil, seketika
tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh
lebih tinggi, membuat dia seolah-olah berhadapan dengan gurunya, maka dia
meloncat ke belakang, meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!"
Hening sejenak. Lima orang tokoh lain terheran-heran, hampir tidak dapat percaya
akan peristiwa yang telah terjadi. Biarpun mereka mulai merasa heran dan gentar,
namun rasa penasaran membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu benarbenar lihai. Mereka hendak membuktikan sendiri apakah benar orang aneh ini dapat
memainkan ilmu istimewa mereka yang selama ini mengangkat nama mereka di tempat tinggi di dunia kangouw. "Hayo, siapa lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?" Orang itu
sengaja menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil
mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
"Aku ingin mencoba!" Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti
seekor kera dan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan kanan memegang
tongkat Kim-kauw-pang itu memutar-mutar tongkatnya.
"Nanti dulu," kata orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang terkenal
sekali sebagai ketua Kang-jiu-pang di Secuan" harap Pangcu (Ketua) menjaga agar
anak buahmu tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang dengan melakukan perbuatan melanggar hukum dan
memperbaiki ilmu silatnya." Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyanggoyang karena marahnya. "Dan Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak meniru
lagak seekor monyet" Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk Thian-tok, yang
kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan Ilmu Tongkat Kim-kauwpang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun." "Dugaanmu benar, akulah Thian-tok! Siapakah
namamu, manusia sombong?"
Thian-tok Bhong Sek Bin membentak marah. "ataukah kau tidak berani mengakui
namamu dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri ilmu orang lain?"
Biarpun diserang dengan kata-kata yang menghina itu, orang ini tersenyum saja
dan menjawab, "Namaku tidak ada perlunya kauketahui. Kalau aku tidak mampu
mengalahkan engkau dengan ilmumu sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri
dan boleh kau perbuat sesukamu terhadap diriku." Thian-tok lalu mengeluarkan
suara memekik nyaring seperti seekor kera marah, akan tetapi sebelum dia
menyerang laki-laki aneh itu telah menyambar tombak cabang pohon yang tadi
dilemparnya ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan jari
tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah dan
berubahlah tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan Kimkauw- pang di tangan Thian-tok! Thian-tok sudah menerjang dengan gerakan lincah
sekali. Kim- kauw-pang ditangannya diputar-putar sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan
pekik-pekik dahsyat dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar tongkat
sendiri. Namun dengan enaknya orang itu pun memutar tongkatnya, serupa benar dengan gerakan
Thian-tok bahkan mulutnya juga mengeluarkan pekik seperti monyet itu dan
terjadilah pertandingan yang aneh dan lucu, seolah-olah bukan sedang bertanding,
melainkan Thian-tok sedang
berlatih silat dengan gurunya.
Gerakan mereka sama, akan tetapi gerakan orang itu lebih cepat dan lebih mantap.
Kembali belum sampai dua puluh jurus terdengar suara keras, Kim-kauw-pang di
tangan Thian-tok patah-patah menjadi tiga.potong dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan
muka pucat karena tulang pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat betapa bekas suhengnya kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam di
punggungnya telah dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju.
"Keluarkan senjatamu, manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo lawan siang-kiam-ku
ini kalau kau memang gagah!"
Orang itu menjura, "Aha, kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal. Kulhat
tadi ilmu pedangmu adalah pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan kau pandai pula
menggunakan Ilmu Silat Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih mentah."
"Tak usah banyak cakap! Lawanlah ilmuku!" Bentak Tee-tok dengan marah dan dia
sudah menerjang maju. Laki-laki iut mematahkan tongkatnya menjadi dua potong
tongkat yang sama dengan pedang-pedang di kedua tangan Tee-tok, dan begitu dia menggerakkan
kedua tangannya, tampaklah sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang persis seperti
gerakan Tee-tok yang memutar sepasang pedangnya. Kembali terjadi pertandingan
yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya
pedang dengan tongkat, namun
anehnya, tongkat dari cabang pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus,
bahkan kedua tangan Tee-tok selalu terasa panas dan perih setiap kali pedangnya
bertemu tongkat! Dengan teliti Tee-tok memperhatikan gerakan orang dan dia
terkejut. Memang benar bahwa orang itu mainkan jurus-jurus ilmu pedangnya! Dan
bukan hanya mainkan jurus ilmu pedangnya,
bahkan telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang itu jauh lebih
lincah dan lebih kuat daripada dia.
Lewat lima belas jurus, Tee-tok berseru, "Aku mengaku kalah!" Dia meloncat
mundur, menyimpan pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke arah orang itu
sambil berkata, "Harap kau menerima penghormatanku dengan Pek-lui-kun!" Kelihatannya saja dia
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun dari kedua
telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang mendatangkan hawa panas dan yang
dapat membunuh lawan dari jarak tiga empat meter tanpa tangannya menyentuh tubuh
lawan! Itulah pukulan Pek-lui-kun(Kepalan Kilat) yang mengandung tenaga sakti
yang amat kuat! Orang itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya, sambil
tersenyum dia pun mejura dengan gerakan yang sama.
Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak oleh mata. Di tengah udara, diantara
kedua orang itu terjadi benturan tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok
terpental ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena
tenaganya Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat.
"Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang
dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran. "Engkau luar biasa sekali
dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!" Gin-siauw Siucai berkata sambil melangkah
maju. "Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku
penasaran sebelum melihat engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kauanggap masih mentah pula. Aku
adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan pensil bulu entah
kau bisa mainkannya atau tidak."
"Gin-siauw Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan
khawatir, aku tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku
meniru sulingmu, dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu." Orang itu memungut
sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin-siauw
Siucai, juga dia mencabut keluar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk
mencoret-coret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur. Akan
tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat
khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata
sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu
hanyalah sebatang pensil biasa saja.
Berkerut alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah
kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan meniru menggerak-gerakkan
pensil dan "suling" di tangannya, dia.lalu berkata, "Apa boleh buat, engkau sudah
memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan aku yang
menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin
terkenal, sungguhpun kami belum
tahu siapa kau. Nah, mulailah!" Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar
lawannya bergerak lebih dulu.
Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa
itu berkata, "Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan
pensilmu?" Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal jurusjurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya!
Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis
kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa
kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih kalah
jauh. Namun, Siucai ini merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia bertapa di
Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum pernah
diajarkan kepada siapapun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri oleh orang ini
tanpa dia mengetahuinya" Dia melawan mati-matian, mengeluarkan jurus-jurus
paling ampuh dari kedua senjatanya, namun karena kalah tenaga, setiap kali
tertangkis dia terhuyung. Seperti juga yang lain dia tidak mampu bertahan lebih
dari dua puluh jurus. Terdengar suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan
pensil patah-patah bertemu dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat
ke belakang, menjura dan berkata, "Kepandaian
Taihiap(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh mengaku kalah." Orang
itu tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang
hebat kepandaianmu." Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka
Gin-siauw Siucai menjadi makin kagum dan terheran-heran.
"Sekarang tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi
karena sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak
dapat kautiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong" Hendak kulihat apakah kau
mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?"
Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya
tosu ini amat cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ni mainkan ilmu silat tangan
kosong, bagaimana dia akan dapat menirunya" Akan tetapi dengan tenang dia
menjawab, "Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum
bertanding, saya harap Totiang tidak
keberatan untuk memperkenalkan nama." "Siancai...! Anda licik, sobat. Semua
orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama.
Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah..." "Aihh,
kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari pulau kura-kura" Telah lama mendengar nama
Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan
Totiang." "Nah, siaplah!" Lam-hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil
memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan
ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri! Diam-diam orang itu
memperhatikan dan tersenyum, lalu dia pun memasang kuda-kuda yang sama, kudakuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun (Tangan Kipas Sakti), semacam
ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi
halus seperti kapas, namun mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali.
"Hiiaaatttttt....!!" Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak
olehnya lawannya mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan
ilmu silatnya, akan tetapi betapa kagetnya melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik
berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru saja dia
pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk
memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh
jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas menyerang!
Kembali Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan
seperti juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan
serangan dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan
makin lama dia menjadi makin
penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun
sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu dan tiba-tiba
orang itu berseru, "Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat Bian-sin-kun!".Dan
dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi sudah
dikeluarkannya, delapan jurus paling
ampuh dari Bian-sin-kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai
Seng-jin sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga
dia terancam dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biarpun dia tahu bagaimana utnuk
memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga dan
kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya
pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak
terluka. "Siancai...engkau benar-benar seorang manusia ajaib..." akhirnya dia berkata
sambil bangkit perlahan-lahan. "Lepaskan aku...!" tiba-tiba terdengar seruan
halus dan semua orang menengok ke arah Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib
itu telah dipondong oleh lengan kiri Kiam-mo Cai-li. "Hei, lepaskan dia!" Enam
orang kakek sakti maju berbareng.
"Mundur!" Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan
kanan itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!"
Melihat ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua. Laki-laki
aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah maju dan
suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata, "Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang
tidak berdosa itu!" "Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung
payungku!" Dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang
tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu masih
tersenyum dan masih melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur dan dia
berkata, "Bocah itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia,
bunuhlah. Akan tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan
tubuhmu kepada Beruang Es untuk menjadi
makanannya!" Berkata demikian, laki-laki itu menanggalkan jubah luarnya.
"Kau...kau..Pangeran Han Ti Ong...."
"Pangeran Han Ti Ong...!" Para tokoh kang-ouw itu berteriak.
"Pangeran Pulau Es....!"
Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat
dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking panjang rambutnya menyambar
ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur
dengan serangan yang dahsyat. Laki-laki itu, yang disebut Pangeran Han Ti Ong, tenangtenang saja, tidak mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ular membelit lehernya, akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk, dia
menangkap payung itu dan sekali menggeakkan tangan pedang payung itu dan sekali
menggerakkan tangan pedang payung itu
membabat putus rambut yang melibat lehernya. Tangannya tidak berhenti sampai di
situ saja. Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu
putus setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin
Liong dapat dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu
sehingga tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Dengan Sin Liong dalam pondongan lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong
membalik dan menghadapi tujuh orang itu, tidak mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang
mangeluh dan merangkak bangun.."Apakah masih ada diantara kalian yang hendak mengganggu anak
ini" Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai....!" Lam-hai Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak
mengenal Ong-ya sehingga bersikap kurang ajar."
"Maafkan aku, Pangeran."
"Maafkan saya..."
Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta
maaf, bahkan wanita ini berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja, Kiam-mo Cai-li
tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!"
"Hemmm, terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian,
orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah."
Dengan kepala menunduk, tujuh orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal itu
meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan kepandaiannya, maka
hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap
dari tempat itu. "Hemmm...berbahaya..." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela
napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Locianpwe selain sakti dan budiman juga cerdik sekali..." Sin Liong berkata
memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian,
terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Locianpwe mengalahkan mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe
mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe
tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka
sendiri yang sudah Locianpwe catat berarti Locianpwe cerdik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah, mata yang tajam itu memandang heran dan kagum,
kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal
dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh
bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka
dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama
mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari
bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong
memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ maka
dia berseru, "Locianpwe....". Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa
heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara
ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suara bocah
itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan
bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin lIong berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locianpwe
menerima teecu sebagai murid."
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu.
"Bocah, siapa namamu?"."Teecu She Kwa, bernama Sin Liong. Dengan ringkas Sin
Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah
bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia
ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang
tentram dan damai di tempat itu. "Hemm, kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari
apakah?" "Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari
ilmu kesaktian." "Kalau kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak
ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka" Mereka itu
adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat." "Namun teecu masih melihat kekerasan di balik
kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu
kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Locianpwe." "Tapi
kau hendak belajar silat, mau kaupakai untuk apa" Bukankah kau lebih dibutuhkan
dan berguna berada disini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?"
"Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan
ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian
teecu disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati
orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini,
tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali.
Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe,
apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan" Teecu kini
melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk
menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan
kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah dan enak,
tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita ditempat
yang dingin itu." "Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat
dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang
dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya
sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah.
Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang
benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa,
juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada
dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah
karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak
ini sebagai murid lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya
pergi tadi. Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri
yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari
kauikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali
membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar
biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia
berkata, "Mau apa lagi?"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini
saja?" "Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."."Kalau aku melarangmu?"
Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi
Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan
membangkang dan tetap akan
mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun
sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini" Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik.
Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret
Suhu ke dalam kesesatan." Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan
tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan
kurang ajar ini dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku
menunggu." "Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!" Dengan
wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya
seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul
biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka
tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan
merupakan pekerjaan ringan dan mudah! Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan
melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan
kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus
biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh
tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan
tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja.
Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk
dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang
cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib." Han Ti
Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan
muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat
cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan
menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya
berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah
lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu.
Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau
lebih tepat diseeretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air
matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya
mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat
tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali. "Sudahlah, sudah
mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!" Sin Liong merasa
lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya
karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung Jenghoa-san, entah kemana! Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani
juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia
dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula
tempat dimana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat
berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, disana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh,
dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan
mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayatmayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan kesanasini.."Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu" Mereka adalah bekasbekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau
lakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu
duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang
akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk,
bahkan dari tempat dia duduk pun
tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak
kelihatan jijik atau segan. Kemudian, di kuti pandang mata Han Ti Ong yang
terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang
pisau kecil, pisau yang biasanya
dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah
terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah
mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han
Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat
kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai
pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat!
Dengan kagum dia meloncat bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang
beberapa sentimeter dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur
mereka." "Ehhh..." Mana mungkin, Suhu..."
"Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu" Lihat baik-baik!" Han Ti Ong lalu
mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya
mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna
kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat.
Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja
lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan
cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja,
cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah
lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu dan
berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu
sungguh sakti dan budiman." "Aahhh....!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia
mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut
budiman kalau mengubur mayat-mayat
itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh muridnya"
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh
kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka.
Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita
pergi, Sin Liong!" Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu
menggunakan ilmu berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur
menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang
dikempit(dijepit di bawah lengan) berseru, "Hai i Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu
dari kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau" Awas, kalau tidak penting
sekali, aku akan marah!"
"Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu"
Siapa tahu dia juga sudah mati disana..." Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin
Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak
jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia
berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau
tertidur saja..Dia tersenyum dan melihat muridnya sudha menjatuhkan diri
berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan
muridnya, "Eihh, Suhu! Dia seeorang wanita!" Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke
arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu
sudha meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan
dahsyat. "Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!" Wanita yang mukanya kotor matanya
merah dan rambutnya awut-awutan
itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat.
Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis tersedu-sedu dan bergulingan diatas tanah menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan....aughhh, jangan....lepaskan aku....lepaskan ...! Jangan bunuh
mereka...!" Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong
memandang penuh kasihan. Juga
Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
wanita yang berotak miring!
"Toanio(Nyonya), kau kenapakah..." Sin Liong melangkah ke depan. Tiba-tiba
wanita itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang
sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh.
"Hi-hi-hi-hikk!"
Aneh sekali, ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat
cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah
mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu
besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor
terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak. "Hi-hi-hik, kubunuh
engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku
bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!"
Kemudian dia menangis lagi. " Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tongpai habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Butong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa
pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua
belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda. "Nona, apakah
engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil
melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba-tiba
wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok.
Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia,
apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak.
Setelah memerikasa sebentar, dia menarik napas panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin
yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita
berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk
mengobatinya." "Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong megeluarkan
sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu
mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri
dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak..Dia sudah mendengar
dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang
dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan
yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya
berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa mata wanita itu yang tadinya
mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta, tidak
tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula." "Hemm, dalam hal mengenal
tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu" Akan tetapi aku mempunyai
kepandaian menusuk jarum, kepandaian
turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu." "Suhu, teecu mengajukan
sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan." "Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu
suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau..............kau gila.......?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang
jahat, bagaimana?" "Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap,
ilmu kepandaiannya tinggi.
Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayatmayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain
itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan
kumat gilanya dan apakah Suhu
tega membiarkan dia seperti itu?" Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan
lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan
rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya" Mengapa
dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini" Apakah dia sudah
"Ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah..." Dia tidak berani
membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya,
yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila
ini.. entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali. "Sudahlah,
kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita
membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya."
Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Dengan hati mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena
dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena
dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia lalu
mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin
Liong di bawah ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini secepat
terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw
itu" Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagiaan dada bajunya terdapat lukisan
burung Hong dan seekor Naga emas itu"
Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasai yang hanya
dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang
berhasil menemukan pulau itu kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai
dan mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni
Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan sebuah
kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil
kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga
nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang
lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap
pemberontak karena berani
menentang.kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluaraganya menjadi
pelariaan. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan
menggunakan sebuah perahu utnuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau
di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan
menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi
dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara
sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu
tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ
terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini
mengambi keputusan untuk menjadikan
Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia
kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya
sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan
kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup
aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para
pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang
biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang
luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan
kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para
pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es.
Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua
keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada
keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat,
sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah
tinggal di tempat sunyi itu.
Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di
daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya
sehingga dia adalah orang terpandai diantara para keluarga raja di Pulau Es.
Apalagi karena dengan kesukaannya
merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain
dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran
inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga
menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia jarang sekali memperkenalkan diri.
Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah cukup
bagi para tokoh kang-ouw untuk
mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di
Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia
kang-ouw. Para Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan
sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk
menjaga agar "darah" kerajaan tetap "asli". Akan tetapi, berbeda dengan semua
kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta kepada seorang dara puteri
penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal
biasanya, dara-dara yang berdarah "biasa" ini hanya diambil sebagai selir-selir
oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau
mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang
menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya
memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja!
Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada
waktu itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras
hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat
Hong(Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya
karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat
kuat! Pada pagi hari itu Swat Hong, nak perempuan berusia enam tahun lebih itu,
duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang
agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap
ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu. "Hong-ji (Anak Hong)..."
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu
meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya
dan menangis. Ibunya tertawa. :Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa
menangis" Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram" Awan hitam apakah yang
menghalanginya?" "Ibu, kau...kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam" Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi
ibumu tidak kejam terhadap manusia." Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau
isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat
Hong. "Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka" Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan terasa lagi dua titik air
mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan
bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah" Hayoh,
Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan
kedukaanya dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan
tetapi masih bercucuran air mata. Swat Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang
dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran
dan berkhawatir. "Ibu, mengapa ibu berduka" Apa yang terjadi" Apakah diam-diam ibu
begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?" Liu Bwee memaksa diri
tersenyum dan menghapus air matanya, mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar
baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan tetapi puterinya itu
adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya
semudah itu. "Ibu ada apakah" Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang
menyusahkan hati Ibu" Akan kuhajar dia!"
Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan
hati ibunya sudah berada disitu dan akan dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis
lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji,
kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya
sendiri?" Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biarpun
tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan
kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, LIu Bwee mengangkat tubuh anaknya,
dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan melempar tubuh
anak itu ke atas. Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah diantara permainan
mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara oleh Ibunya, terutama kalau
ayahnya yang melakukannya
karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun kini
lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun Ibunya tidak sekuat
ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi
dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat
membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang
dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan
menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia
melayang turun! "Haai i t...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit
sebelum menyerang. Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri
Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua
penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng oleh
suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang
sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia
pun cepat.mengelak, dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan
bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas!
Tubuh itu melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak girang,
"Hei i, Ibu... itu Ayah datang....!!" Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya
berdebar karena penuh rindu kepada suaminya.
Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung
perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor
ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua
orang lain di dalam perahu. Seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa
tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri
pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa
suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan tetapi entah mengapa,
kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik,
mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!"
JILID 4 Teriakan Swat Hong ini mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh
anaknya meluncur turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya
pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah memiliki ginkang
yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada
bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu
lagi, maka cepat dia menyambar sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan
tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga idak menyia-nyiakan
pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan dan
mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat
meloncat kebawah dengan aman. Seperti tidak pernah mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah
ibunya dan berteriak girang, "Ayah datang, Ibu?"
Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang
makin mendekat pantai. "Hei , Ayah bukan datang sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama
ayah di dalam perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah
perahu. "Wah, jangan-jangan itu selir dan putera..ayah!" Swat Hong yang memang berwatak
terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan kebiasaan para pangeran
untuk mengambil selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir
di luar pulau Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang
kepada anak laki-laki di dalam perahu itu. Mendengar ucapan yang tanpa disengaja
oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee menjawab, Perempuan itu masih terlalu
muda untuk menjadi ibu anak laki-laki itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah
selir Ayahmu karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee
sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget
ketika kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan
merasa menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang penuh cemburu tadi. Segera
digandengnya tangan anaknya dan untuk
mengapus kata-katanya dari hati anaknya dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita
disini saja" Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlari-larianlah mereka menuruni tebing untuk
menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita yang
penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya sehingga Swat Hong sudah
lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya, memang amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya
sungguhpun kegembiraanya itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang
sendirian saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin
yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan,
karena dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi
ketika mendapat kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini.dianggap
oleh mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya!. Apalagi
karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka kebencian mereka makin bertambah.
Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong
pangeran calon raja itu memperistrikan puteri mereka!
Pada waktu itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan
umum bahwa usianya takan bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan
kembalinya puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong
untuk mewariskan singasana
kepada puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada
para pangeran lain, suka merantau, isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak punya
selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja
terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang
mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang Bagi suaminya dan hal
inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa gembira hatinya
melihat suaminya pulang! Ketika ibu dan anak ini tiba dipantai, ternyata pasukan
kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati
itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan
dan ketika akhirnya perahu itu
menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat
Hong menjadi orang pertama yang berlari menyambut. "Ayah....!!"
"Ha-ha, Hong-ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong menerima puterinya itu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya keudara. Sambil
tertawa-tawa Swat Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya dengan
jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang dilakukanya kepada ibuya tadi.
"Ha-ha-ha, bagus juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang mencengkram
ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium dahinya.
Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri istrinya yang sudah maju
menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus, Harap kau baik-baik
saja selama aku pergi." Liu Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik
senyum itu tampak oleh Han Ti Ong ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya,
apalagi ketika mendengar suara istrinya lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit parah."
Han Ti Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati
istrinya. Dia sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa
menjelang kematian ayahnya, ada hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan
tahta kerajaan dan istrinya yang datang dari keluarga berdarah "rendah" itu
tentu saja mengkhawatirkan bahwa keturunan istrinya itu akan menjadikan
persoalan bagi pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata
menghibur, kemudian seperti teringat dia berkata,
"Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sing Liong
akan tetapi di daratan besar sana dia dikenal sebagai Sin-tong."
"Hai, seorang sin-tong (anak ajaib)" Hemm, ingin aku tahu sampai di mana
keajaibannya!" "Hong-ji, jangan!" ibunya menegur, akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan
pada saat itu, Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan
menghampiri gurunya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang
gadis cilik dengan gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah
menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil telah
menghantam dadanya. "Bukk!!" Tanpa dapat ditanyakan lagi, Sin Liong roboh
terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak. Akan tetapi dia bangkit
berdiri, mengebutkan pakaianya yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada
dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anakanak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk
memukul orang tanpa sebab." "Aihhh..." Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar
tertawa keras, "Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa disebut Sin-tong" Serangan biasa saja
membuatnya roboh terjengkang!"."Ha-ha-ha, kaulihat dia roboh, akan tetapi apakah
kau tidak lihat sesuatu yang ajaib" Dia tidak marah malah menyayangkan dirimu,
bukankah itu ajaib?" "Anak yang luar biasa dia..." terdengar Liu Bwee berkata
lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin Liong . Akan tetapi dia masih merasa
tidak puas dan berkata, "Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"
"He, Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak
kepada Sin Liong. Anak ini menggeleng kepala. "Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa
pun dan siapa pun." Swat Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng itu,
menegakan kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak takut, hayo kaulawan
aku!" Dia sudah siap memasang kuda-kuda. Sin Liong menggeleng kepalanya. "Adik
yang baik, aku tidak akan menggunakan kepandaian apapun juga untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain, apalagi terhadap seorang anak-anak seperti
engkau." Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan
sikap tenang saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu.
Tiba-tiba tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata
lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong, kau
terlalu sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong
menoleh, melihat ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari
prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat bahwa
dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni
pulau bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh
sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah
menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa, padahal Sin Lion adalah murid ayahnya
atau suhengnya (kakak seperguruan). Biarpun dia berwatak keras dan tidak
mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah berubah membuat Swat
Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan
sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah." Sin Liong
terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata, Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Sumoi.
Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu." "Hi-hik, wah, dia
baik sekali, Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng
tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan
pertanyaan-pertanyaan. "Siapakah nama lengkapmu, Suheng" Dari mana kau datang" Bagaimana kau dapat
menjadi murid Ayah" Apa saja yang sudah diajarkannya kepadamu" Mengapa pula kau disebut Sin-tong?"
"Payah juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru
saja menyerangnya seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap
demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia
memperkenalkan namanya, yaitu Kwan Sin Liong dan belum sempat menjawab
pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada
disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas
perahu. Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari
gangguan ingatannya karena malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua
orang. Wanita ini memang berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu
rambutnya yang awut-awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu
longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun
dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang
memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya.
"Dia ini siapakah?" Liu Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari
wajah pucat itu sambil didalam hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang
diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya..Akan
tetapi sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak, "Manusiamanusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke depan dan menyerang
Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat.
"He, Twanio! jangan begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat
karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya. Sedangkan para penghuni Pulau
Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang-tenang saja!
"Wuuuutttt... plak-plak...!"
Tubuh Kwat Lin terplanting ketika pukulannya tertangkis oleh Liu Bwee dan wanita
ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin
yang memang belum sadar benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan
menerjang lagi, Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya menotok pundaknya sambil
berkata, "Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya
disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian
tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang kelihatan
tangkas-tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya."
Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu
Bwee mengangguk-angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba.
"Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat
orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran
dan pasukan penghormatan. Tadi dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti
patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang
Raja yang sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini
sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal,
yaitu di bagian kiri istana besar.
Tepat seperti telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian
setelah pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat
menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam
upacara yang amat sederhana.
Dapat dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para pangeran yang
membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka
tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak secara
terang- terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam pulau itu, pada waktu
itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti. Maka, mereka itu hanya diam
saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk mencari peluang dan
kesempatan yang baik untuk
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang mereka
anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan
keluarga raja di Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat perawatan yang baik
dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han
Ti Ong sendiri, ditambah obat-obatan
berupa daun-daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong,
gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam
taman istana, taman yang bukan berisi bunga bungan hidup, melainkan terisi ukirukiran bunga dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan patung patung kayu.
Sudah berhari-hari, dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut
Raja Han Ti Ong, wanita malang ini harus
dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diam-diam
dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin lama dia menjadi
tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!"
Tiba-tiba Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya.
Sebagai seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap
waspada . Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ
sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat Lin yang kini sudah sembuh
sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur,."Siapakah engkau" Dan
mengapa engkau bisa berada di tempat aneh ini?"Melihat sikap gadis ini dan
mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan
kata-kata itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali,
telah kembali kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu
saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada di pulau itu.
"Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa
ingatan yang Nona derita belasan hari ini."
"Lupa ingatan" Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal
engkau dan tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."
"Memang begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar
sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini.
Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat
malang...." Tba-tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat,
"Kau... kau tahu apa yang terjadi kepada kami...?"
Raja Han Ti Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu
dengan senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua
belas orang suhengmu, dan aku dan muridku pula yang menolongmu membawa kesini kemudian
mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini
dan kau berada di Pulau Es." Mata yang indah ini terbelalak. "Apa..." Di... di
Pulau Es... dan aku telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..."
"Sekarang telah menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti,
Nona, dan aku belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut
namamu." Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima
kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong
saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau paduka menaruh kasihan
kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang juga...." "Nona The,
aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak
pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di
dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan merasa berbahagia
sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai seorang istriku,
istri ke dua." Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang
raja ini secara demikian terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil
dia sebagai isteri! Dia menjadi isteri raja" Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong" "Tidak!
Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya,
dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong." Han Ti Ong
mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara
perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau
menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona
akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan
yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku berani meminangnya secara terangterangan, karena aku yakin Nona akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal
Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong,
sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau
engkau menjadi istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya
dengan membalikan telapak tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam, memang buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan
gadis lagi dan tidak mungkin dia menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil
membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda yang dideritanya. Akan
tetapi, menjadi istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau
orang sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.."Apakah... apakah Paduka akan
mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya" tanyanya dan kini dia mengangkat muka,
memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa laki-laki ini gagah dan
tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
"Terserah kepadamu. kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin
memperistrimu. Kalau kau menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu
dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan aku berani
tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan musuhmu itu."
"Be...benarkah itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin
mendapatkan dirimu dengan jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan
andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga,
kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa
lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan
malapetaka yang menimpa Cap-sha Sin-hiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan
tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan
dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan,
agaknya akan sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang memperberat hatinya,
kalau dia pergi ke Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka
yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya
kalau semua orang mengetahuinya akan hal itu" Sebaliknya, kalau dia berada di
Pulau Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga
dia akan mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu!
Akan tetapi, benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam
waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong" Dia tidak akan puas
kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia
sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana
dia dapat membuktikan kesaktianya" Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya dan
terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong"
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong
yang juga sedang memandangnya. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin
berkata, "Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri.
Akan tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat
belajar di sini dan menangkan iblis itu?"
Han Ti Ong tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya.
"Inilah pedang yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu."
Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik akan tetapi segera
dihapusnya. Itulah Ang-bwe-kiam pedang dari twa-suhengnya!
"Engkau meragu, baiklah. Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji
apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau lebih lihai daripada Patjiu Kai-ong." Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu
Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah
mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu
namun akhirnya mereka semua kalah, sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau
hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai ukuran apakah dia
lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong"
"Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam
waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan
Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolaholah dapat membaca isi hati Kwat-lin.
Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum
dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai penebus
latihan ilmu untuk membalas dendam.
"Baiklah, saya akan menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan
mengeluarkan senjata."."Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan
pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha
Sin-hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan ini." Dia meraih kebawah dan
tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu karang itu
berbentuk panjang seperti pedang! "Harap Paduka siap!" Kwan Lin berseru dan
tiba-tiba pedangnya menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher
sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada.
Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus
hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut. Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat
Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya, leher dara itu tersentuh ujung batu karang
dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit
lirih karena maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh
Han Ti Ong tentu dia telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih
mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu.
"Paduka... Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi
Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut Bu-tong-pai!"
Han Ti Ong tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh
lebih lihai karena sekali serang berhasil, bukan" Nah, kalau engkau memiliki
kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu"
Kwat Lin tertegun, akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!"
"Boleh, boleh. kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung
bahwa engkau akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang
lagi, akan tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena
benar saja, dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan
oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung
tenaga mujijat sehingga biarpun dia
mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau menangis! Setelah
sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang
lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Saya menerima penawaran Paduka!"
Ha Ti Ong memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka
berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat
Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan
wajah karena malu itu. dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih,
"Aku tahu, Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik
terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang
mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan dan
kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat sekali
dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari,mari kita mengumumkan
pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus
pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan
memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu.
Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya
mengambil The Kwat Lin, sebagai istri ke dua, sunguhpun hal ini mendatangkan
bermacam- macam tanggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang
sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka
cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang
putera. Juga terjadi bermacam
tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula
harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil "orang luar"
sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui istri ke dua
ini mereka dapat "memukul" Liu Bwee yang mereka benci..Ternyata kemudian oleh
Kwat Lin Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika
meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka.
Raja itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah
dia menyerahkan dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya,
Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga
lambat laun dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat
sebagai dorongan terutama dengan mengorbankan dan menyerahkan diri sebagai
selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik
pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia
melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama
sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi
banyak kesengsaraan hidup, kini
menjadi seorang yang mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa
suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbul
ah keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa
berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain
menjadi permaisuri, juga menjadi pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru
dia akan mencari dan membunuh Pat-jiu Kai-ong.
Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang
kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek itu mempermainkanya,
merengut kehormatan dengan memperkosa secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat
dia diam-diam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu,
agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi
menjadi istrinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmunya! Sin Liong belajar ilmu
silat dengan tekun bersama suhengnya, Swat Hong yang lincah jenaka.Dan mulai
tampaklah bakatnya yang luar biasa.
Tidak mengherankan kalau para tokoh kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan
menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut Sin
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki
kecerdasan yang disebut Kwee-bak-put-bong
(sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diam-daim menjadi kagum sekali karena dia
harus akui bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh
muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat
yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang penuh kehalusan, kelembutan dan
kasih sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak
yang wajar seadanya. Benar-benar seorang bocah yang ajaib! Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa
diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang lumrah
bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidak baikan, terutama di
pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan perubahan pada diri bekas pendekar wanita
Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam"
suhunya, maka tentu saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan
keadaan dengan hati tidak enak. Yang dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu
apa-apa memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin
sebagai isteri kedua, Liu Bwee menderita tekanan batin yang amat hebat. Mulamula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam di dalam
kamarnya karena hal ini dianggapnya limrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang baru. Akan tetapi
perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih
yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin
mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap dikamarnya, dan kalau
sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya
untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya
datang hanya demi kesopanan belaka!
Hati seorang wanita amatlah halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah
marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula membenci! Setelah Kwat Lin
melahirkan seorang anak laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini
mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinya, merasa
kesepian, rasa rindu yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang
suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa,
menambah kebenciannya terhadap Kwan Lin yang makin dipuja suaminya itu. Liu Bwee
bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan
dia sama sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya apabila madunya itu
diangkat menjadi permaisuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu
Bwee adalah seorang wanita yang haus
akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya
setelah cintanya disia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat
Lin..Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam
bersoraklah para keluarga raja.
Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari seorang ibu yang masih
berdarah "agung" seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh
seorang iu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula
kebencian mereka yang terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka
condong kepada Kwan Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh
kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai
penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran
mahkota! Tujuh tahun telah lewat semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu
saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya selam tujuh tahun itu tidak
terjadi perubahan sesuatu, para penghuninya masih hidup dengan tenang dan
tentram penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja
Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam
mengendalikan pemerintahan kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup
bahagia, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun
sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan banyak! The Kwat Lin yang
kini menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga
kedudukan Liu Bwee tergeser menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita
pertama yang paling tinggi tingkat kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang
wanita yang memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan beberapa
tokoh lain di Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap
Pat-jiu Kai-ong agaknya telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia
tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari suaminya dan melihat puteranya
yang kini telah berusia enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat
biarpun tubuhnya agak kecil, sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya
sendiri sejak kanak-kanak. Sin Liong telah memperoleh kemajuan yang mentakjubkan
dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua ilmuyang diajarkan oleh raja itu, sekali
dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu beberapa
tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian sumoinya, dan setelah dia
berusia empat belas tahun, Sin
Liong telah jauh meninggalkan tingkat sumoinya.
Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam ilmu sinkang dia maju
pesat karena tanpa diperintah oleh suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih
seorang diri di bawah hujan salju yang amat dingin sehingga dia dapat menampung
inti sari tenaga im-kang yang amat hebat. Selain tekun mempelajari ilmu silat
yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang disembunyikan itu, Sin Liong juga
rajin sekali membaca kitab-kitab yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan
istana. Dia dikenal oleh semua ahli sastra di Pulau Es dan
mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong melihat ketekunan bocah ajaib
ini. Tidak ada bosannya Sin Liong membaca kitab-kitab kuno dan setiap bertemu
hurup baru yang tidak dikenalnya, dia mencatatnya untuk kemudian ditanyakan
kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak dibimbing langsung,
namun Sin Liong telah dapat memperkaya
perbendaharaan kata-kata sehingga dia mampu membaca kitab-kitab yang paling kuno
di dalam perpustakaan itu. Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa, karena selain huruf-hurufnya kuno, juga
huruf-huruf itu mengandung arti yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitabkitab yang amat kuno di pulau itu jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang.
Han Ti Ong sendiri segan membaca kitab-kitab itu, karena selain sukar, juga
isinya hanyalah sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya dan
melelahkan otaknya. Namun semua kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan
ini saja, namun anak ajaib ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi
didalam sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti yang masih
merupakan "rangka" terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu, bahkan
menemukan pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu yang selama
ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es, yaitu ilmu inti sari dasar gerakan semua ilmu
silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti Ong dapat mengalahkan tujuh
orang tokoh sakti dengan jurus-jurus, jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti
Ong menolong Sin Long di jeng-hoa-sian. Kini, secara tidak disengaja, bahkan di
luar kesadaran Sin Liong sendiri, bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu
"terselip" dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang kelihatanya tidak ada
gunanya itu. Selain memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama
berada di Pulau Es, Sin Liong memperoleh kesempatan memperdalam
ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat dengan jalan menyelidikinya di pulaupulau kosong di sekitar Pulau Es.
Dia memang mendapat tugas untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau itu
untuk kepentingan para penghuni Pulau Es, Dan dalam kesempatan.melaksanakan tugasnya
ini, Sin Liong tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi
tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia. Dengan adanya Sin Liong di Pulau Es,
banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan untuk ini, Han
Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan ilmu pengobatan
tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai
puteri raja, juga memperoleh kemajuan pesat dan dalam usia tiga belas tahun itu
dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari tandinganya.
Dengan demikian, hampir semua orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masingmasing. Raja Han Ti Ong memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang
telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami
malapetaka yang dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah
memperoleh banyak keuntungan, memperoleh
cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan ilmu kepandaian yang amat
hebat pula. Hanya seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun batin
yaitu Liu Bwee! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak
beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah wataknya
yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya di dalam kamar,
menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan biarpun
wajahnya tidak membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan pakaiannya
selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka dan selalu meneteskan darah,
batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan akan
belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah terpuaskan.
Keadaan di dalam istana dengan adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para
anggauta keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat
kesempatan untuk menjatuhkan wanita ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak
memperlihatkan sesuatu, merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau
meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua angauta keluarga raja, bahkan
dirasakan pula oleh Sin Liong dan Swat Hong. Sering kali Sin Liong kehilangan
kejenakaan Swan Hong yang
merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu termenung seorang diri,
dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia menegus, "Eh, Sumoi. Kenapa kau
termenung dan wajahmu suram" lihat, hari tidak sesuram wajahmu, sinar matahari mencairkan
salju dengan cahaya yang keemasan!"
Swat Hong memandang pemuda itu dan menarik nafas panjang. "Betapa aku tidak
tidak akan muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Suheng" Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah
dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi
aku menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu lagi.
Apakah karena Ibu Permaisuri...?" "Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua
itu. Hal itu adalah urusan mereka sendiri."
"Aku mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di
balik senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang
membuatnya seperti gila...." "Hushh...."
"Aku tidak membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil
nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biarpun
dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin
yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu kelihatan
berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Suheng, apa sih perlunya orang saling
mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?" "Itu bukan cinta,
Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lajim
menganggap hawa nafsu sama dengan
cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin memilikinya
untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi."
Sumoinya terbelalak. "Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana
memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena tertarik, dara yang mudah ini
sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang
suhengnya dengan berseri penuh godaan.."Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku
sudah kenyang membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk
diafal" Tidak ada bedanya dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai
perhiasan, dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong.
Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan
mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia menarik
napas panjang. "Suheng, kau tadi mencela aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga
seringkali melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal
di Pulau Es?" "Aku suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat
tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat
hukuman-hukuman yang dibuang ke Pulau
Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga
mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku" Maka urusan hukuman
Racun Darah 1 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Pedang Kiri Pedang Kanan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama