Ceritasilat Novel Online

Darah Ksatria 2

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Bagian 2


hoan." "Kenapa harus disayangkan?" Toa-hoan berkata.
Ma Ji-liong menjawab, "Jika namanya adalah Toa-hoan, tentu mudah menemukannya.
Sayangnya dia bernama Siau-hoan."
Lalu dia menjelaskan, "Tidak mungkin banyak gadis yang bernama Toa-hoan, tapi
yang bernama Siau-hoan pasti lebih sedikit lagi. Aku cuma tahu bahwa namanya Siau-hoan.
Bagaimana aku bisa menemukannya?" Toa-hoan berkata, "Walaupun kau tidak bisa menemukannya, tapi selalu ada orang
yang bisa." "Siapa yang bisa menemukannya?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan tidak menjawab. Dia malah bertanya, "Berapa banyak yang sudah kau minum
hari ini?" Ma Ji-liong berkata, "Delapan mangkok, delapan mangkok besar."
"Kau masih bisa minum semangkok lagi?" Toa-hoan bertanya.
"Tak tahu," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, "Apa kau masih sanggup minum banyak lagi?"
Ma Ji-liong berkata, "Entahlah... Biasanya aku minum tidak menggunakan mangkok."
"Apa yang kau gunakan?" Toa-hoan bertanya.
"Aku minum dari guci arak," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan tertawa. "Kau kira aku membual?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan berkata, "Jika kemampuan minum arakmu benar-benar hebat, aku bisa
membawamu menemui seseorang." "Siapa?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, "Seseorang yang tidak minum dari mangkok kecil (siau hoan)
tapi pasti bisa menemukan Siau-hoan itu."
"Lalu dia minum pakai apa?" Ma Ji-liong bertanya.
"Mangkok pecah," Toa-hoan menjawab.
Ma Ji-liong berkata, "Jika dia minum dari mangkok pecah, maka dia bernama Boahoan (Mangkok Pecah), bukan?" "Aku terkejut melihatmu semakin cerdas," kata Toa-hoan dengan senang.
Dengan mata bersinar-sinar, Ma Ji-liong berkata, "Mangkok pecahmu ini, apakah
dia bukannya Boa-hoan Ji Ngo?" "Siapa lagi kalau bukan dia?" Toa-hoan berkata.
*** Selain dia, memang tidak ada orang lain. Pasti tidak ada orang lain seperti dia.
Tidak ada orang yang bisa minum seperti dia, dan tidak ada orang yang memahami arak lebih baik
darinya. Tak seorang pun yang bisa menandingi kemampuannya makan, dan tak seorang pun yang
sangat pilihpilih soal makanan seperti dia.
Tapi dia bukan cuma terkenal dengan kemampuan makan dan minumnya. Dulu, jago
nomor satu di dunia Kang-ouw - Ye Kai - pernah menguraikan dirinya sebagai berikut, "Semiskin
debu, sekaya satu negara, terkenal ke seluruh dunia, tapi tidak seorang pun yang bisa
mengenalinya." Menggunakan kata-kata ini untuk menjelaskan tentang dirinya adalah yang paling
tepat. Garam adalah sumber kekayaan terbesar di dunia, dan perdagangan yang paling cepat
menghasilkan uang adalah yang berhubungan dengan minyak dan beras, sutera, kayu dan toko gadai.
Keluarga Ji di Kanglam bukan hanya merupakan pedagang garam terbesar, keluarga ini juga
terkenal dalam keempat usaha lainnya. Mereka tentu saja termasuk orang terkaya di antara orangorang kaya. Kekayaan mereka sama dengan kekayaan satu negara.
Keluarga Ji dari Kanglam terdiri dari lima bersaudara, dan Ji Ngo adalah orang
kelima. Orang paling miskin di dunia tentu saja pengemis. Ji Ngo juga salah seorang dari
tetua para pengemis, dan ketua partai pengemis yang sekarang. Walaupun namanya menonjol di
dalam Bulim, tapi tidak banyak orang yang pernah bertemu dengannya, dan dia biasanya tidak
dikenal orang. Tapi anak-buahnya adalah pengemis-pengemis di seluruh dunia, baik yang berada di
sebelah utara dan selatan sungai Tiangkang. Dan karena itu, jika orang ingin menemukan seseorang
yang tidak bisa ditemukan, maka orang itu harus pergi mencarinya.
"Kau bisa menemukan dia?" Ma Ji-liong bertanya.
"Jika aku tidak bisa, lalu siapa yang bisa?" Toa-hoan menjawab.
Ma Ji-liong bertanya, "Kau tahu di mana dia berada?"
Toa-hoan berkata, "Seharusnya kau tahu. Dia tentu saja berada di sebuah tempat
di mana dia bisa makan dan minum." Bagi pengemis, seluruh dunia adalah rumah mereka. Di mana ada makanan, maka
mereka pun makan di sana. Tempat mana pun adalah tempat yang baik untuk makan, dan tempat
mana pun juga baik untuk minum. Banyak tempat yang bisa dipakai untuk makan dan minum, dan di
mana-mana juga ada warung makanan dan warung arak yang kecil.
Toa-hoan membawanya ke sebuah rumah makan yang sangat kecil. Itulah rumah makan
yang benar-benar sempit, cuma ada dua buah meja rusak dan beberapa buah kursi yang
berantakan di dalamnya. Ma Ji-liong melangkah melewati ambang pintu dan tercium olehnya bau yang busuk.
Di atas salah satu meja kecil tersedia beberapa macam sayur asin yang warnanya sudah berubah.
Selain itu sayur itu pun tampak kering dan keras seperti setumpuk batu yang diambil dari selokan.
Meskipun orang yang hampir mati kelaparan, dia tentu tidak berani mencicipinya. Dengan melihat
sayur asin ini saja, orang bisa membayangkan bagaimana rumah makan ini dijalankan. Walaupun Ji
Ngo seorang pengemis, dia adalah ketua partai pengemis yang paling bersih dan paling pilihpilih soal makanan. Dalam urusan makan, dia tidak pernah sembarangan. Bagaimana mungkin dia mau
datang ke tempat ini untuk makan dan minum"
Di tempat ini tidak ada tamu, dan seorang pelayan tua tampak sedang tidur lelap.
Toa-hoan berjalan menghampiri dan membisikkan beberapa patah kata ke telinganya. Dia segera
bangun, sepasang matanya yang tadi seperti linglung tiba-tiba tampak bersinar dengan terangnya.
Dunia kang-ouw memang penuh dengan harimau mendekam dan naga bersembunyi. Mungkinkah orang tua
ini juga seorang jago Bulim yang sedang menyamar"
Dia terus mengawasi Toa-hoan dengan cara yang amat aneh. Jelas dia bersikap
setengah hormat dan setengah gembira, seperti seorang bocah yang tiba-tiba bertemu dengan seorang
idola yang sudah lama dikaguminya. Ma Ji-liong berwajah tampan, dan di seluruh dunia Kang-ouw
orang yang tampan seperti dirinya adalah langka. Biasanya dia akan menarik perhatian orang
ke mana pun dia pergi. Tetapi, anehnya, orang tua ini bahkan tidak meliriknya sedikit pun.
Berdiri di samping Toahoan,
dia seperti dianggap tidak ada. Ma Ji-liong merasa pengalaman ini sangat
menarik. Orang tua itu tiba-tiba menghela napas dalam-dalam. Lalu dia bergumam, "Aku
tidak mengira, aku tidak menyangka. Aku sama sekali tidak menduga."
Toa-hoan berkata, "Kau tidak menyangka aku akan berada di sini?"
Orang tua itu menjawab, "Hamba mendapat kesempatan untuk bertemu dengan nona,
hidupku ini tidak akan sia-sia."
Tiba-tiba dia berlutut, menjatuhkan dirinya ke lantai, dan merangkak untuk
mencium kaki Toahoan. Sikapnya amat mirip dengan seorang pejabat pemerintah setia yang sedang memberi
hormat pada kaisarnya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkata, "Ji Ngo sedang berada di
dapur, di belakang. Silakan ikuti hamba."
Ma Ji-liong merasa sangat aneh. Bagaimanakah asal-usul gadis buruk rupa yang
aneh ini" Orang itu memberinya hormat seperti ini. Dia pun menerimanya tanpa canggung sedikit pun,
seolah-olah dia sudah menduganya. Toa-hoan tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka ia berkata dengan lembut, "Dulu
orang tua ini pernah bekerja untuk kami sebagai pelayan di dapur. Adat-istiadat di dalam
keluarga kami memang selalu ketat." Ma Ji-liong ingin bertanya, "Jadi pelayan dalam keluarga kalian harus mencium
kakimu bila mereka melihatmu" Bahkan di istana kaisar tidak ada adat-istiadat seperti itu."
Tapi dia tidak sempat mengatakannya karena mereka telah berjalan memasuki dapur.
Tidak seorang pun bisa menduga bahwa rumah makan kecil dan bau ini akan
mempunyai dapur seperti ini. Ruangan dapur itu luas, bersih dan berkilauan. Semuanya tertata
rapi. Piring dan mangkok lebih mengkilap daripada cermin, dan bahkan tidak setitik debu pun yang
terlihat di tungku pembakaran. Thian-ma-tong adalah rumah milik keluarga bangsawan, di mana
orangorangnya tidak mau makan sembarangan. Tetapi dapurnya bahkan tidak sebersih dan seluas
ini. Tampak seseorang sedang memasak makanan di dapur. Bila orang sedang menggoreng
sesuatu, sikapnya tentu tidak kelihatan agung. Tapi orang ini merupakan kekecualian. Di
tangannya tergenggam sebuah sudip, tapi dia terlihat seperti Bu Tau-ji - pelukis terbesar
sepanjang masa - yang sedang memegang kuas, atau Sebun Jui-soat - jago pedang yang unik dan
termasyur itu - sedang memegang pedangnya. Sikap dan gerak-geriknya bukan saja indah, dia pun
benar-benar asyik dengan masakannya. Dia sedang menggoreng tahu, tahu isi udang. Karena sekarang tahu-tahu itu belum
selesai digoreng, maka orang tua tadi hanya berdiri saja di belakangnya, tidak berani mengusik.
Anehnya Toa-hoan juga tidak mengganggunya. Orang itu bertubuh sedang, dengan wajah yang halus dan
cerah. Dan meskipun penuh dengan tambalan, bajunya yang panjang itu bersih tak bernoda. Dia
seperti seorang laki-laki terpelajar. Ma Ji-liong tak sanggup berdiam diri terus. Dia lalu bertanya, "Apakah dia
adalah Kanglam Ji Ngo?" Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Siapa lagi kalau bukan dia?"
Tahu itu sudah selesai digoreng, dan periuk pun telah dipindahkan dari atas api.
Dia lalu menggunakan sudip untuk mengambil tahu itu satu demi satu. Setiap potongnya
dimasak dengan baik. Dimasak dengan suhu yang rendah, tahu-tahu itu sudah berwarna kuning,
ditumpuk di atas sebuah piring porselen berwarna putih seperti salju, tampak seperti gumpalangumpalan emas. Tapi gumpalan emas pasti tidak harum dan mengundang selera seperti ini. Dia memandang
tahu-tahu itu dan tampak sangat puas pada dirinya sendiri. Lalu dia gunakan kedua tangannya
untuk meletakkan piring tadi di atas sebuah meja kayu yang tidak bernoda. Lalu dia menghela napas
dan mengangkat kepalanya. Akhirnya dia melihat Toa-hoan dan berkata, "Kau rupanya."
"Ini aku," Toa-hoan berkata sambil tertawa terbahak-bahak. Dia tidak
memperlihatkan penampilan
yang memuakkan lagi. "Aku terkejut Ji Ngo mengenaliku."
Ji Ngo bersikap hangat kepadanya. Dia berkata, "Apa hari ini kau sudah minum?"
"Baru sedikit," jawab Toa-hoan.
Ji Ngo berkata, "Bagus, bagus sekali. Aku baru saja hendak mencari orang yang
bisa menemaniku minum." Sambil terkekeh dia berkata, "Minum arak itu seperti main catur. Perlu dua orang
baru menarik." Ji Ngo akhirnya menatap Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, "Apakah dia juga minum"
Bisakah dia minum?" "Kudengar kekuatan minum araknya cukup bagus," jawab Toa-hoan.
"Siapa yang bilang?" Ji Ngo bertanya.
Toa-hoan berkata, "Dia sendiri yang mengatakannya."
Ji Ngo bertanya, "Dia berkata begitu dan kau percaya begitu saja?"
"Kenapa kau tidak mencoba dan melihatnya sendiri?" Toa-hoan berkata.
"Bagus, bagus sekali," Ji Ngo terkekeh.
Tahu itu sangat enak. Ma Ji-liong sampai lupa menjaga sopan-santun. Dengan
sekali telan dia sudah menghabiskan tiga potong. Setiap potongnya diikuti dengan semangkok arak. Dalam
sekejap dia sudah minum tiga mangkok, tiga mangkok besar. Ji Ngo juga sudah minum tiga
mangkok. Ji Ngo benar-benar menggunakan sebuah mangkok yang pecah, mangkok pecah yang
sangat besar. Mangkok itu pecah menjadi tiga keping yang kemudian direkatkan kembali. Mangkok
itu berwarna biru terang, seperti warna langit setelah badai reda.
Tiba-tiba Ma Ji-liong berkata, "Mangkok yang bagus."
"Kau tahu ini mangkok yang bagus?" Ji Ngo bertanya.
Ma Ji-liong menjawab, "Mangkok ini dibuat oleh Chaifu, mangkok terbaik yang
pernah keluar dari tempat pembakaran. Kecuali sebuah yang ada di istana kaisar, pasti tidak ada
mangkok lain seperti ini di dunia ini."

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ji Ngo berkata, "Benar, memang cuma ada dua mangkok seperti ini di dunia ini."
Dia memandang Ma Ji-liong dan terkekeh, "Ternyata pandangan matamu cukup bagus.
Kau bukan hanya pandai melihat orang, kau pun pintar melihat mangkok."
"Bila melihat orang, pandangan matanya tidak begitu bagus," Toa-hoan berkata
dengan dingin. Sambil tertawa terbahak-bahak, Ji Ngo berkata, "Jika dia tidak pandai melihat
orang, kenapa dia bisa menyukaimu?" Toa-hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Wajah Ma Ji-liong sendiri sudah memerah
sedikit. Tiba-tiba Ji Ngo berkata, "Kalian berdua datang ke sini. Tujuan kalian tentunya
bukan untuk minum arak denganku." "Aku ingin mencari seseorang, tapi aku tidak tahu di mana dia berada," kata Ma
Ji-liong. "Kau ingin aku membantu menemukannya, bukan?" Ji Ngo bertanya.
"Benar!" Ma Ji-liong menjawab.
Ji Ngo bertanya, "Siapa yang ingin kau temukan itu?"
"Namanya Siau-hoan," kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo tertawa dengan kerasnya. Dia berkata, "Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan.
Kau sudah mendapatkan gadis 'hoan' yang ini, kenapa kau harus mencari Siau-hoan lagi?"
Pengamatan pendekar terkenal ini jelas tidak begitu bagus. Dia mengira Ma jiliong adalah kekasih Toa-hoan. Melihat kedua orang itu, yang satunya sangat buruk rupa, yang lainnya amat
tampan. Seharusnya dia dapat melihat bahwa mereka tidak sebanding.
Toa-hoan sengaja bertanya, "Kenapa Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan?"
Ji Ngo berkata, "Apabila kau ingin makan atau minum, mangkok kecil (siau hoan)
tidak bisa menampung sebanyak mangkok besar (toa hoan). Jadi Siau-hoan jelas kalah bila
dibandingkan dengan Toa-hoan." "Bagaimana dengan mangkok pecah (boa hoan)?" Toa-hoan bertanya.
"Mangkok pecah bahkan lebih baik daripada mangkok besar," Ji Ngo berkata.
Toa-hoan bertanya, "Kenapa begitu?"
Ji Ngo berkata, "Mangkok yang pecah berarti mangkok itu sudah melalui hal yang
baik dan buruk. Seperti manusia, orang harus melalui tantangan hidup untuk menjadi tua.
Pengalaman orang tua selalu lebih banyak daripada pengalaman seorang bocah, seperti jahe yang makin
tua semakin pedas." Lalu dia mengangkat mangkok pecahnya dan meneguk habis araknya. Sambil tertawa
terbahakbahak, dia lalu berkata, "Dan itulah sebabnya mangkok pecah lebih baik daripada mangkok
besar." Toa-hoan juga tertawa. Dia berkata, "Untunglah kita bicara tentang manusia,
bukan mangkok. Siauhoan yang ini bukan hanya lebih baik daripada Toa-hoan, dia juga lebih baik daripada
boa-hoan (mangkok pecah)." "Oh, ya?" Ji Ngo berkata.
Toa-hoan berkata pula, "Siau-hoan ini adalah gadis yang sangat cantik. Selain
itu dia juga lembut dan penuh kasih sayang."
"Bagaimana kau tahu?" Ji Ngo bertanya.
Toa-hoan menjelaskan, "Karena dia adalah kekasih Khu Hong-seng. Tentu saja
gadisnya si Tombak Perak tidak mungkin makhluk yang buruk dan aneh seperti diriku."
Ji Ngo tertawa dan berkata, "Siau-hoan ini rupanya milik orang lain. Tak heran
kenapa kau biarkan aku membantu dia menemukannya."
Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong membantah, dia juga tidak bertanya lagi.
Tiba-tiba dia berkata, "Ayo kita buat perjanjian."
"Perjanjian apa?" Ma Ji-liong bertanya.
Ji Ngo menjawab, "Kau tinggal di sini dan minum bersamaku, dengan menggunakan
mangkok besar. Lalu akan kuberitahukan cara menemukan Siau-hoan ini padamu."
"Baik," kata Ma Ji-liong.
"Dalam tiga hari, aku akan mendapatkan berita untukmu," Ji Ngo berkata.
"Aku akan tinggal di sini menemanimu minum selama tiga hari," Ma Ji-liong
menegaskan. Ji Ngo berkata, "Dengan mangkok besar?"
"Tentu saja menggunakan mangkok besar," kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo berkata, "Dan kau bertanding minum denganku?"
"Tentu," jawab Ma Ji-liong.
Ji Ngo menatapnya sekian lama. Lalu dia bertanya lagi, "Apakah kau tahu
kemampuan terbaikku?"
"Katakanlah," kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo berkata, "Kemampuan terbaikku adalah makan, minum dan tidur."
Ma Ji-liong berkata, "Aku tidak tahu dengan makan dan tidur, tapi minum.... aku
akan menandingimu." Ji Ngo bertanya, "Kau tidak takut mabuk?"
Ma Ji-liong menjawab, "Biarpun mabuk sampai mati, aku tetap akan minum."
Ji Ngo tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, "Bagus, benar-benar bagus."
Di dunia ini ada orang yang lebih suka mati daripada menyerah kalah. Ma Ji-liong
tentu saja termasuk orang seperti ini.
Melihat mereka berdua menenggak minuman mereka terus-menerus, Toa-hoan pun
menghela napas dan berkata, "Saat pergi dari rumah, ibuku sudah memperingatkan aku agar tidak
mabuk atau bercampur-baur dengan orang-orang mabuk. Dia bilang - semua pemabuk di dunia ini
sama saja. Mereka bukan saja tidak tahu siapa diri mereka, mereka juga selalu bertindak
bodoh dan tak masuk akal terhadap orang lain."
Toa-hoan melanjutkan lagi, "Dan kemudian dia berkata - bila bertemu dengan
seorang pemabuk, yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis yang cerdik adalah pergi jauh-jauh
secepatnya." Ma Ji-liong berkata, "Benar." Dia minum semangkok lagi dan berkata, "Benar
sekali." "Dua orang pemabuk tentu saja lebih buruk daripada seorang," kata Toa-hoan.
Ji Ngo berkata, "Benar." Dia juga minum semangkok lagi dan berkata, "Satusatunya yang lebih buruk daripada satu orang pemabuk adalah dua orang pemabuk."
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Sayangnya aku segera akan bertemu
dengan dua orang pemabuk." Ji Ngo bertanya, "Di mana" Di mana ada dua orang pemabuk?"
Toa-hoan berkata, "Agaknya akan ada di sini, tepat di hadapanku."
Ji Ngo memandang Ma Ji-liong. Ma Ji-liong memandang Ji Ngo. Dan mereka berdua
lalu tertawa terbahak-bahak. "Ibuku cuma menyuruhku lari bila bertemu dengan seorang pemabuk. Dia tidak
memberitahu apa yang harus kulakukan jika bertemu dengan dua orang pemabuk." Sambil tertawa
cekikikan, dia berkata, "Untunglah aku menemukan jalan keluarnya."
Ji Ngo bertanya, "Apa itu?"
"Aku harus mabuk juga." Dia menenggak semangkok besar dengan cepat. "Jika aku
mabuk, aku tidak perlu takut pada pemabuk lagi."
Ji Ngo bertepuk tangan dan berkata, "Benar."
"Tapi ada satu hal lagi," kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo bertanya, "Apa itu?"
Ma Ji-liong berkata, "Bukankah tiga orang pemabuk lebih buruk daripada dua orang
pemabuk?" Ji Ngo berkata, "Tentu saja." Lalu dia menghela napas, "Di dunia ini, kurasa
satu-satunya yang lebih buruk daripada dua orang pemabuk mungkin adalah tiga orang pemabuk."
"Dan sekarang aku sudah bertemu tiga orang pemabuk," kata Ma Ji-liong sambil
menghela napas. "Karena aku adalah salah seorang dari mereka."
Dia sendiri belum mabuk, maka ini bukanlah omongan orang mabuk. Hatinya masih
dibanjiri oleh berbagai macam perasaan. Seorang laki-laki tidak bisa melarikan diri dari
dirinya sendiri. Kesalahan dan tanggung-jawabnya tak bisa dihindari. Karena semua itu seperti
bayangannya sendiri, dari mana orang tidak bisa melarikan diri.
HARKAT PENDEKAR Saduran : Gan K. H Bab 7: Gadis Bernama Siau-hoan
Ma Ji-liong sedang mabuk. Bila seseorang minum bersama orang-orang yang bisa dia
percayai, maka amat mudah baginya untuk mabuk, dan dia mempercayai Toa-hoan dan Ji Ngo.
Bila hati seseorang sedang gundah, menderita ketidak-adilan, mudah juga baginya
untuk mabuk. Walaupun dia yakin bahwa kesalah-pahaman ini suatu hari akan terungkap, dia
tetap tak bisa menahan perasaan gundahnya.
Dia sudah minum selama dua-tiga hari dan karenanya dia pun mabuk. Dan bila
seseorang dalam keadaan seperti dia, apa pun yang dikatakan atau dilakukannya, dia tak akan
ingat dengan jelas. Meskipun dia ingat, pasti samar-samar seperti dalam mimpi, atau lebih mirip
seperti orang lain yang mengatakan atau melakukannya daripada dirinya sendiri.
Dia agaknya ingat dirinya pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya berjingkrak
kaget bila mengingatnya sekarang. Saat itu setiap orang sudah hampir mabuk. Dia lalu
mencengkeram tangan Toa-hoan dan berkata, "Maukah kau menikah denganku?"
Toa-hoan tertawa. Dia tertawa tiada hentinya sampai kehabisan napas. Lalu dia
bertanya, "Kenapa kau ingin aku menikah denganmu?"
"Karena aku tahu kau sangat baik padaku. Karena di saat orang lain mencurigaiku
dan memperlakukan aku sebagai pembunuh berdarah dingin dan berusaha membunuhku, tapi
kau mempercayaiku. Kau adalah satu-satunya orang yang bersedia menolongku."
Ma Ji-liong mengutarakan isi hatinya. Bila seseorang mabuk seperti ini, dia
pasti selalu mengatakan perasaan yang sebenarnya.
Tapi Toa-hoan tidak mempercayainya. "Kau cuma ingin menikah denganku karena kau
sedang mabuk. Tunggu sampai kau sadar, kau pasti akan menyesal."
Dia tertawa, tapi suaranya terdengar pedih. "Tunggu sampai kau bertemu dengan
gadis yang lebih cantik dariku, kau pasti ingin bunuh diri karena menyesal."
Lalu dia berkata pula, "Aku buruk rupa, dan aneh, dan jahat. Dan tidak terhitung
jumlah gadis yang lebih cantik dariku."
Sekarang Ma Ji-liong sudah sadar, dia tak ingat apakah Toa-hoan menerima
'lamarannya' itu. Tidak henti-hentinya dia bertanya pada dirinya sendiri, "Jika dia mengatakan ya,
apakah aku menyesalinya atau tidak" Sekarang, apakah aku masih ingin menikah dengannya?"
Tapi dia tidak tahu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini.
Lalu dia melihat seorang gadis, seorang gadis yang jauh lebih cantik daripada
Toa-hoan. Ketika dia terbangun, dia tidak berada di dapur itu lagi, dan Ji Ngo dan Toahoan tiba-tiba tidak kelihatan lagi. Dia menemukan dirinya sedang berbaring di sebuah ranjang yang
kecil tetapi lembut, yang juga beraroma harum dan sangat nyaman. Ranjang ini ditaruh di sebuah kamar
yang kecil tetapi amat bersih, sangat mewah dan amat harum.
Di kamar ini, orang bisa melihat beberapa batang pohon bunga di luar jendela. Di
bawah jendela terdapat sebuah meja rias kecil. Di atas meja rias ada sebuah cermin tembaga
yang mungil. Di dekat cermin ada sebuah pot berisi bunga bwe. Dan berdiri di sebelah bunga bwe itu
adalah gadis ini. Bunga bwe itu indah luar biasa, dan begitu pula gadis ini. Dan seperti bungabunga itu, dia pun cantik molek. Tapi walaupun dia mengenakan gaun merah, wajahnya kelihatan pucat
kebiruan. Meski matanya bening dan indah, tetapi sorot matanya memancarkan kesedihan yang
teramat sangat. Dia sedang memandang Ma Ji-liong. Dia sedang menatapnya dengan sinar yang sangat
aneh di matanya, seolah-olah dia setengah ragu dan setengah takut. Ma Ji-liong merasa
kepalanya sangat sakit. Dia tidak mengenal gadis ini, dia juga tidak tahu kenapa dia bisa berada
di sini. Tiba-tiba gadis itu bertanya, "Apakah kau Ma-kongcu, 'Pek-ma Kongcu' Ma Jiliong?" Ma Ji-liong menjawab, "Ya."
"Apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu?" gadis itu bertanya.
"Benar," kata Ma Ji-liong.
Gadis itu bertanya, "Apakah kau bertemu dengan Khu Hong-seng?"
Tapi Ma Ji-liong berkata, "Apakah kau juga mengenalnya?"
Gadis itu mengangguk. Alisnya dikerutkan dengan sedih. Lalu dia berkata dengan
lembut, "Aku she So, namaku Siau-hoan. Kau ingin bertemu denganku?"
"Tempat apakah ini?" Akhirnya Ma Ji-liong bertanya. "Kenapa aku bisa berada di
sini?" "Seorang Tuan Ngo yang membawamu ke sini," dia memilih untuk menjawab pertanyaan
kedua. Lalu, untuk menjelaskan kenapa dia mau menerima kedatangan seorang laki-laki
asing yang sedang mabuk, dia berkata, "Tuan Ngo berkata bahwa kau adalah teman Khu Hong-seng dan
cuma kau yang tahu di mana dia berada sekarang."
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Ji Ngo masih mampu mengantarnya ke mari. Seorang
laki-laki yang sedang mabuk tentu tidak bisa melakukannya. Dia tak pernah menyangka kalau ada
orang yang mampu mengalahkan dirinya dalam soal minum. Dia tiba-tiba menyadari bahwa dia
terlalu memandang tinggi dirinya sendiri.
Dengan sopan dia bertanya, "Apakah ini rumahmu?"


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hoan menjawab, "Aku tidak punya rumah. Tempat ini tidak bisa disebut
rumah." Ma Ji-liong paham apa maksudnya.
Tentu saja sebuah 'rumah' bukan sekedar sebuah rumah. Tidak perduli betapa pun
cantiknya sebuah rumah, sebuah 'rumah' dan sebuah rumah tetap tidak sama.
Siau-hoan berkata, "Dulu aku bekerja di Ti-hong-wan di kota Kay-hong sebagai
seorang..... seorang pelacur. Sejak kecil aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Hong-seng membawaku
keluar dari tempat itu dan membelikan rumah ini untukku."
Dia pun tersenyum, sebuah senyuman yang mengungkapkan penderitaannya. Lalu dia
melanjutkan, "Tapi, jika dia tidak ada di sini, bagaimana tempat ini bisa disebut rumah
lagi?" Ma Ji-liong menghela napas dan berkata, "Aku tidak tahu kalau dia adalah orang
yang begitu romantis!" Bagi seorang pemuda dari keluarga ternama dan kaya raya seperti Khu Hong-seng,
tergila-gila pada seorang perempuan seperti ini benar-benar amat menyentuh hati.
Siau-hoan berkata, "Walaupun dia keras dan tidak mau kalah, dia adalah orang
yang baik dan tegas." Berbicara tentang Khu Hong-seng, sorot matanya memperlihatkan emosi yang lembut.
Lalu dia meneruskan, "Dia begitu baik. Dia melakukan segalanya untukku. Dan dia tidak
pernah bersikap kasar padaku, seorang perempuan yang seperti ini..... Aku bisa bertemu dengan
seorang laki-laki seperti itu.... mati pun aku puas."
Ma Ji-liong berkata, "Kalian berdua masih muda, kenapa kau bisa mati?"
Siau-hoan tersenyum getir, "Seandainya kau datang terlambat, kau tidak akan
bertemu denganku lagi." Ma Ji-liong tiba-tiba teringat bagaimana Khu Hong-seng menggali liang di tanah
itu. Siau-hoan berkata, "Sebelum pergi, dia berjanji padaku bahwa paling lama dia
akan kembali tadi malam." Ma Ji-liong bertanya, "Bagaimana jika dia tidak pernah kembali?"
Dengan hati yang patah, Siau-hoan berkata, "Berarti dia sudah meninggalkan dunia
ini. Aku pun tentu akan menemaninya dalam kematian."
Walaupun suaranya lembut, tapi mengandung keputusan yang kuat untuk mati. Mereka
sudah bersumpah untuk tetap bersama dalam hidup dan mati.
Ma Ji-liong menutup mulutnya. Dia pun tidak tahu di mana Khu Hong-seng berada
sekarang. Saat Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan Coat-taysu mengejarnya, Khu Hong-seng tentu
tidak ikut dengan mereka. Walaupun dia tidak mati akibat tusukan tombak Kim Tin-lin, luka-lukanya pasti
tidak ringan. Ke manakah seorang laki-laki yang terluka parah bisa menuju"
Hari itu mereka semua pergi ke Han-bwe-kok karena undangan Bik-giok Hujin.
Apakah perempuan itu akhirnya muncul" Apakah dia yang membawa Khu Hong-seng ke Bik-giok-san-ceng"
Ma Ji-liong tidak yakin. Siau-hoan menatapnya, menunggu jawabannya. Ma Ji-liong benar-benar tak sanggup
mengutarakan isi hatinya, tidak ingin menyakiti gadis yang mengibakan ini lagi.
Siau-hoan menghela napas dengan lembut. Dia berkata, "Aku tahu jika dia masih
hidup, dia pasti akan kembali. Kenapa kau mendustaiku?"
Ma Ji-liong berkata, "Aku....."
Siau-hoan tidak membiarkannya bicara lagi. Dia memotong, "Kau memang tidak bisa
memperdayaiku. Aku tahu ini - dia dan aku saling mencintai. Itu sudah cukup
untukku." Sikapnya tiba-tiba menjadi dingin. Dia berkata, "Hari akan segera menjadi gelap.
Aku tidak berani menahan Ma-kongcu lagi."
Setelah dia berkata begitu, maka percakapan pun tidak bisa diteruskan lagi.
Ma Ji-liong cuma bisa pergi. Tapi, sebelum pergi, dia berkata, "Aku paham
keputusanmu dan aku tidak akan memaksamu. Tapi kuharap kau bisa menunggu selama tiga hari. Dalam
tiga hari ini, aku bisa memberikan kabar yang lebih banyak tentang Khu Hong-seng."
Siau-hoan tampak bimbang. Lalu akhirnya dia setuju, "Baik. Aku akan menunggu
selama tiga hari." Langit sudah menjadi gelap. Rumah Siau-hoan berada di mulut sebuah gang yang
sempit dan panjang. Ma Ji-liong menaikkan kerah bajunya sebelum melangkah keluar dalam
hembusan angin. Dia ingin menemukan Siau-hoan karena dia hendak menegaskan apakah Khu Hong-seng
mengatakan hal yang sebenarnya pada hari itu. Dia tidak meragukan Khu Hong-seng,
tapi dia benar-benar tidak punya petunjuk lain. Seperti orang yang hampir tenggelam, dia
harus berpegangan erat-erat pada apa pun yang terlihat di tangannya.
Sekarang ia sudah memastikan bahwa Khu Hong-seng benar-benar orang yang
romantis, cinta mereka sungguh menggugah hatinya. Dia ingin menolong mereka. Dia berharap dia
bisa mengetahui keberadaan Khu Hong-seng dalam waktu tiga hari ini.
Dia berharap dia bisa menyatukan kembali kedua kekasih ini.
Tapi dia tetap merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi dia tidak bisa
menunjukkannya. Dia selalu
merasa ada sesuatu yang terlalu sedikit dan terlalu banyak pada rumah Siau-hoan
itu. Tapi apakah yang hilang" Apakah yang terlalu banyak" Dia benar-benar tidak bisa
mengatakannya. Apakah Toa-hoan sekarang sudah bangun" Apakah dia pun merasa sakit kepala
seperti dirinya" Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia merindukan gadis itu. Gadis yang aneh luar
biasa, buruk rupa dan tidak rasional itu agaknya masih mempunyai sisi-sisi yang menarik.
Sayangnya ia tidak tahu dari mana gadis itu berasal, juga tidak tahu ke mana dia
hendak pergi. Mereka bertemu secara kebetulan. Nantinya mereka tentu akan pergi ke arah tujuan
masing-masing. Mungkin ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Ma Ji-liong menghela napas dan
memutuskan untuk tidak memikirkan gadis itu lagi.
Sekarang sudah akhir musim dingin. Ketika akhir tahun semakin dekat, setiap
keluarga tentu akan membeli baju Tahun Baru dan barang-barang lainnya. Di saat seperti ini, setiap
orang tentu memiliki uang di sakunya dan sibuk melakukan jual-beli. Persis di luar jalan
sempit itu juga terdapat sebuah pasar bunga yang mungil. Bunga lili dan wintersweet kebetulan
sedang mekar. Seorang isteri saudagar dan pelayannya yang masih muda baru saja kembali dari
belanja barangbarang Tahun Baru - jamur jarum, jamur kuping kayu, kurma merah, buah pek, pakis dan
rebung bambu - yang semuanya terkemas dalam sebuah keranjang. Gadis itu sedang
menjinjing keranjang di tangannya tapi matanya tertuju pada setangkai bunga seruni. Gadis berumur 1516 tahun mana yang tidak menyukai hal-hal yang indah" Bagaimana mungkin orang tidak menyukai
bunga seruni yang cerah dan harum itu"
Gadis itu tidak tahan lagi. Dia lalu bertanya, "Toa-naynay (Nyonya Besar), apa
kita beli saja beberapa tangkai bunga seruni ini?"
"Tidak," Si nyonya berbaju sutera menjawab dengan tegas, wajahnya tampak kaku.
Gadis muda itu tidak menjadi surut. Dia bertanya lagi, "Bunga-bunga ini tidak
mahal. Kenapa kita tidak membeli beberapa agar bisa kita pandang di rumah?"
"Karena aku tidak suka."
Sambil menghela napas, pelayan muda itu bergumam, "Nyonya terlalu banyak
pikiran. Tuan cuma pergi beberapa hari dan dia sudah tidak suka melihat bunga."
Walaupun pelayan itu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia masih sempat
bicara sendirian sebelum mengikuti majikannya pulang. Ini cuma urusan sepele dan tidak seorang
pun yang memperhatikan mereka. Tapi Ma Ji-liong lain. Isteri saudagar tadi membawa seorang pelayan untuk mendampinginya. Melihat latar
belakang keluarga Khu Hong-seng dan bagaimana cara pemuda itu memperlakukan kekasihnya,
mengapa Siau-hoan tidak mempunyai seorang pelayan pun di rumahnya"
Dan di atas meja rias kecil itu ada sebuah pot berisi bunga mawar. Bunga yang
masih segar. Jika Ma Ji-liong tidak muncul, dia tentu sudah bunuh diri karena urusan cinta.
Tapi kenapa dia masih sempat-sempatnya memetik bunga"
Sekarang dia tahu apa yang aneh pada rumah itu. Di ruangan itu tidak ada
pelayan. Dan pot bunga itu seharusnya tidak ada di sana.
Maka dia lalu membalikkan badannya. Sebagian besar orang yang tinggal di jalan
itu adalah keluarga-keluarga saudagar yang kaya. Rumah Siau-hoan lebih besar dari
kebanyakan rumah di tempat itu, dengan tembok yang tinggi. Pintu gerbangnya terbuat dari potongan
papan yang keras dan tebal, dengan kunci gembok di sebelah dalam.
Tapi jika Ma Ji-liong ingin masuk, hal itu benar-benar tidak sulit.
Dia sudah bisa melompati tembok seperti ini sejak berusia belasan tahun. Di
dunia Kang-ouw, Thian-ma-tong menduduki tempat yang tinggi karena ilmu ginkang dan ilmu
pedangnya. Dia curiga kalau Siau-hoan menyembunyikan sesuatu darinya, seharusnya dia melompati tembok
ini untuk menyelidiki rahasia gadis itu. Dia juga tahu bahwa jika dia ingin mengetahui
tabiat orang yang sebenarnya, dia harus mencari tahu di saat orang itu tidak menyadari bahwa dia
berada di sana. Sayangnya dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya,
dan tidak akan pernah. Dia memutuskan untuk mengetuk pintu. Tapi ketika dia hendak mengetuk, tiba-tiba
dia mendengar suara yang aneh. Dia mendengar seseorang tertawa. Suara tawa itu sendiri tentu tidak aneh.
Walaupun kejadian buruk sering terjadi di dunia ini, orang masih tetap bisa mendengar suara tawa
seseorang di manamana. Yang anehnya di sini adalah suara tawa ini adalah suara tawa seorang laki-laki.
Selain itu, suara tawa ini berasal dari dalam rumah tersebut, yang dibeli Khu Hong-seng untuk
Siau-hoan. Cuma ada seseorang, Siau-hoan, di sana, kenapa bisa terdengar suara tawa laki-laki"
Malam itu sunyi, dan begitu pula jalan tersebut. Walaupun suara tawa itu hanya
berkumandang sebentar, tapi dia mendengarnya dengan amat jelas.
Setiap orang yang terlibat dalam urusan ini, mengalami kematian yang tragis satu
demi satu. Ada orang yang selalu tertawa sebelum membunuh.
Apakah itu adalah suara tawa seseorang yang berusaha membunuh Siau-hoan untuk
membungkam mulutnya" Ma Ji-liong tidak perduli lagi dengan sopan-santun. Dia segera melompati tembok
itu. Di dalam ruangan tadi, tampak api unggun menyala berkobar-kobar, dan sebuah
jendela dibiarkan terbuka. Sambil bersembunyi di sebatang pohon cemara di luar rumah, dia bisa
melihat lewat jendela bahwa Siau-hoan sedang berdiri di ruangan tadi.
Tadi Ma Ji-liong melompat masuk lewat tembok dan kebetulan mendarat di atas
pohon cemara ini. Dia tidak ingin mengganggu orang lain. Tapi... dia sudah melihat mereka. Dia
melihat Siau-hoan dan seorang laki-laki. Dia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu.
Orang itu duduk membelakangi jendela. Sambil berhadapan dengan Siau-hoan, dia
bersandar di sebuah kursi yang empuk. Ma Ji-liong hanya bisa melihat sebuah kaki yang terjulur dari kursi tersebut.
Kaki itu mengenakan sebuah sepatu kulit yang amat indah, jenis sepatu yang hanya dipakai oleh lakilaki yang kaya dan selalu menyukai kemewahan.
Siau-hoan berdiri di depan laki-laki itu. Dia memandang laki-laki itu dengan
tatapan yang sangat aneh. Tiba-tiba dia berkata dengan dingin, "Kau benar-benar menginginkan aku
mati?" Dengan suara yang sama laki-laki itu menjawab, "Kau kira aku tidak tega" Kau
kira aku takut padamu?" Siau-hoan berkata, "Bagus. Kau ingin aku mati. Akan kuperlihatkan padamu."
HARKAT PENDEKAR Saduran : Gan K. H Bab 8: Hubungan Rahasia Ada orang yang sangat menyukai bunga. Tak perduli bagaimana pun suasana hati
mereka, mereka akan selalu memetik bunga dan meletakkannya di dalam pot.
Agaknya Siau-hoan tidak menyembunyikan apa-apa atau mempunyai sebuah skandal.
Dia benarbenar sudah memutuskan untuk mati demi cinta. Tapi kenapa laki-laki ini harus
memaksanya mati" Apa hubungannya dengan gadis itu" Apakah dia sahabat Khu Hong-seng yang datang
untuk memaksanya bunuh diri atas nama cinta atau datang untuk membungkam mulutnya"
Berpikir sampai sejauh ini, Ma Ji-liong tiba-tiba melihat sesuatu yang tidak
pernah dia bayangkan sebelumnya walaupun dalam mimpi. Mendadak Siau-hoan berjalan mendekat dan duduk


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di pangkuan laki-laki itu. Dia lalu melingkarkan lengannya di leher laki-laki itu
dan menggigit daun telinganya dengan perlahan.
Dengan terengah-engah dia berkata, "Kau ingin aku mati. Aku ingin kau juga
mati." Gaun luarnya tahu-tahu sudah merosot jatuh. Di balik gaun sutera yang ketat itu
terdapat pakaian dalam berwarna merah menyala, yang membuat kulitnya tampak semakin putih. Ma Jiliong benarbenar tidak sanggup menonton terus. Ini adalah skandal orang lain. Dia seharusnya
tidak mengorekngorek urusan mereka. Tapi... dia teringat pada Khu Hong-seng yang dirundung cinta di dekat liang itu.
Dia ingin berteriak dan memisahkan kedua orang yang hendak 'mati' itu. Dia juga bermaksud untuk
melompat masuk lewat jendela. Tapi dia malah melompat keluar tembok lagi dan mengetuk pintu gerbang. Dia
mengetuk beberapa kali sebelum akhirnya mendengar suara Siau-hoan dari dalam, "Siapa itu?"
"Ini aku." "Siapa kau" Bagaimana aku tahu siapa kau" Apakah kau tidak punya nama?" Nada
suara Siau-hoan tidak begitu ramah, tapi akhirnya ia keluar untuk membukakan pintu gerbang.
"Oh, kau!" Melihat Ma Ji-liong, dia tentu saja terkejut, tetapi ketenangannya kembali pulih
dengan cepat. Dengan muka tanpa ekspresi, dia berkata dengan dingin, "Aku tidak tahu kalau Makongcu akan datang lagi. Apakah kau khawatir kalau aku akan kesepian di malam hari" Apakah
kau datang ke sini untuk menghiburku sebagai pengganti Khu Hong-seng?"
Kata-kata ini amat menusuk. Mendengar ucapan seperti ini, orang yang mempunyai
maksud seperti yang dikatakannya itu tentu akan cepat-cepat pergi.
Sayangnya Ma Ji-liong tidak bermaksud begitu. Dia berkata dengan tenang, "Aku
tahu pasti bahwa kau tidak kesepian. Aku cuma khawatir kalau kau akan mati di tangan seseorang."
Wajah Siau-hoan memerah, lalu berubah pucat. Tiba-tiba dia membalikkan badan dan
berjalan masuk ke dalam rumah. Lalu dia berkata, "Ikutlah denganku."
Ma Ji-liong mengikutinya. Ternyata gadis itu membawanya ke ruangan tadi. Lakilaki itu telah lenyap. "Duduklah," perempuan itu menunjuk kursi empuk yang tadi diduduki laki-laki itu.
"Silakan duduk." Ma Ji-liong tidak duduk. Dia tidak melihat laki-laki itu, tapi dia melihat
sepasang sepatu kulit itu,
sepasang sepatu kulit yang amat indah.
Di kamar itu ada sebuah ranjang. Di belakang ranjang tergantung sehelai tirai
kain yang amat panjang. Tetapi ujungnya masih belum menyentuh lantai. Dan sepasang sepatu kulit
itu terlihat berada di bawah tirai. Siau-hoan bertanya, "Kenapa kau tidak duduk?"
"Agaknya kursi ini bukan diperuntukkan buatku," kata Ma Ji-liong.
Siau-hoan tertawa, tapi tentu saja tawanya itu tidak timbul dengan wajar. Dia
berkata, "Kau tidak duduk. Lalu siapa yang akan duduk di sini?"
"Agaknya ada seseorang," kata Ma Ji-liong.
Siau-hoan berkata, "Selain Khu Hong-seng, kau adalah satu-satunya orang yang
pernah menginjakkan kaki di kamar ini. Bagaimana mungkin ada orang lain?"
Dia menekan amarahnya, masih ngotot mengatakan bahwa tidak ada orang lain di
ruangan itu. Ma Ji-liong juga merasa marah. Dia tak tahan lagi, lalu dia melangkah maju dan
menyingkap tirai kain itu. Tentu saja memang ada seseorang di balik tirai itu. Tapi memang bukan orang
lain yang pernah datang ke ruangan ini. Karena orang di balik tirai itu ternyata adalah Khu Hongseng. Ma Ji-liong menghambur keluar dari kamar itu, keluar dari pintu gerbang, dan
keluar ke jalan sempit itu. Untunglah di luar sudah gelap.
Hari sudah gelap dan hawa terasa dingin menggigit, dan tidak ada siapa-siapa di
jalan raya. Kalau tidak orang tentu akan mengira kalau dia adalah orang gila.
Sekarang satu-satunya yang ingin dia lakukan adalah menampar telinganya sendiri
berkali-kali. Dia tidak akan pernah melupakan bagaimana dia menyingkap tirai kain tadi dalam
sekali sapuan, atau mimik muka Khu Hong-seng, atau bagaimana cara Siau-hoan menatapnya pada saat
itu. Dia seharusnya tahu bahwa Khu Hong-seng akhirnya akan pulang. Dia seharusnya
juga sudah menduga bahwa orang itu mungkin sekali Khu Hong-seng. Tapi, di saat merasa gusar
tadi, dia benar-benar tidak bisa berpikir. Dia juga seharusnya mengenali suara Khu Hongseng, tapi dia tidak memperhatikannya. Khu Hong-seng adalah seorang pemuda terpelajar dari keluarga bangsawan. Dalam
keadaan seperti tadi, anehnya, dia malah tertawa. Tapi, bagi Ma Ji-liong, kejadian tadi rasanya
lebih buruk daripada telinganya ditusuk-tusuk orang. Dan begitulah, dia pun melarikan diri seperti
dikejar-kejar orang dengan sapu ijuk. Kembali dia sendirian, tanpa uang dan tanpa tujuan, dan dia tetap tidak punya
petunjuk tentang apa yang sedang terjadi. Nyawanya seperti tergantung pada seutas benang, tubuhnya
tergantung di udara. Walaupun dia belum jatuh, dia mungkin akan segera ambruk menuju
kematiannya. Tapi dia keliru! Tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya tidak sendirian lagi. Di
belakangnya sudah muncul seseorang. Dia tidak memutar kepalanya untuk melihat siapa orang itu. Dia pun tidak tahu
kenapa perasaannya yang seperti tergantung pada seutas benang tadi tiba-tiba telah menghilang.
Orang itu menyusulnya, lalu memberikan sesuatu yang amat indah kepadanya.
Ma Ji-liong menerimanya. Sekarang yang paling dia butuhkan adalah obat untuk
sakit kepalanya. Dan orang itu dengan tepat telah memberikan sebungkus obat sakit kepala
kepadanya. Orang itu menunggu dirinya menelan obat tersebut. Lalu dia mengeluarkan tujuhdelapan bungkus obat lagi. Ada yang berupa pil bundar, ada pula yang berbentuk tablet. Bahkan
ada yang berbentuk bubuk. Dia memberikan semuanya kepadanya.
"Ini untuk menghilangkan pengaruh arak. Ini tablet emas ungu. Ini untuk
meredakan rasa sakit di perut. Yang ini bagus untuk sistem pencernaanmu....."
Ma Ji-liong tersenyum, "Memangnya kau pikir aku siapa" Kaleng obat?"
Dia balas tersenyum, "Aku tahu kau bukan kaleng obat. Kau adalah guci arak."
Lalu dia tertawa cekikikan, "Sayangnya, guci ini sangat-sangat kecil dan tidak
bisa menampung arak terlalu banyak."
Toa-hoan tampak lebih bersemangat daripadanya, dan rona mukanya juga lebih
cerah. Dalam hatinya dia berpikir, "Apakah kemampuan minum araknya lebih baik dariku?"
Ma Ji-liong tidak yakin. Dia pun terpaksa bertanya, "Kepalamu tidak terasa
sakit?" "Tidak," jawab Toa-hoan.
"Bagaimana bisa?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, "Karena aku tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain."
Ikut campur urusan orang memang merupakan sumber utama sakit kepala. Bukan hanya
bisa membuat orang sakit kepala, kepalanya juga akan terluka.
Lalu si nona bertanya, "Kau sudah bertemu Siau-hoan?"
"Hmm." "Bagaimana?" "Bagaimana apanya?"
"Bagaimana rupanya?"
"Dia sangat cantik."
Toa-hoan tertawa cekikikan, "Kalau dia sangat cantik, kenapa kau kelihatan
seperti baru bertemu hantu?" Sambil menghela napas, Ma Ji-liong menjawab, "Jika aku melihat hantu, hal itu
masih jauh lebih baik." "Lalu apa yang kau lihat?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong menjawab, "Aku melihat Khu Hong-seng."
Aneh, dia membicarakan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Semula dia mengira
bahwa dia tidak akan pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Tapi, entah karena alasan
apa, dia merasa bahwa dia boleh menceritakan semuanya pada gadis ini, dan tidak usah
menyembunyikan apa-apa. Toa-hoan tidak menertawakannya. Dia malah menghela napas dan berkata, "Jika aku
adalah kau, aku pasti ingin melarikan diri juga."
Ini memang sesuai dengan perasaannya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa walaupun
gadis ini kelihatan licik, kejam dan buruk rupa, tapi dia sebenarnya berhati baik. Selain
itu dia juga penuh pengertian dan simpatik. Inilah pertama kalinya dia memiliki perasaan seperti
ini. Tiba-tiba Toa-hoan berkata, "Tapi aku tidak paham."
"Apa yang tidak kau pahami?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan berkata, "Khu Hong-seng jelas-jelas tahu bahwa kau yang berada di sana,
kenapa dia harus bersembunyi?" Ma Ji-liong menjelaskan, "Mereka berdua masih belum menikah secara resmi. Dengan
latar belakang keluarganya, dia tentu harus berhati-hati. Jika aku adalah dia, aku
mungkin akan bersembunyi juga." Toa-hoan menatapnya. Sambil tersenyum lirih, dia berkata, "Aku tidak tahu kalau
kau pun bisa mempertimbangkan perasaan orang lain."
Ma Ji-liong bertanya, "Memangnya kau kira aku orang macam apa?"
Toa-hoan berkata, "Kukira kau adalah orang yang angkuh dan mementingkan diri
sendiri, tidak perduli apakah orang lain akan hidup atau mati."
Lalu suaranya mendadak menjadi lembut, "Tapi sekarang aku tahu bahwa aku
keliru." Gadis yang aneh ini bisa mengakui bahwa dirinya keliru. Hal ini tentu saja
membingungkan orang. Kembali Toa-hoan bertanya, "Apa yang dia katakan ketika dia melihatmu tadi?"
"Rasanya bahkan semakin serba salah karena dia tidak berkata apa-apa," jawab Ma
Ji-liong. "Dan apa yang kau katakan?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Dia berkata, "Apa yang bisa kukatakan di saat
seperti itu?" Toa-hoan berkata, "Apakah dia berusaha menangkapmu untuk Pang Tio-hoan?"
"Tidak," Ma Ji-liong menjawab.
Toa-hoan berkata, "Dan kau tidak bertanya kepadanya apa yang terjadi di Han-bwekok setelah kau pergi" Apakah Bik-giok Hujin sudah muncul" Apakah beliau memilihnya sebagai
menantunya?" "Aku tidak menanyakannya," jawab Ma Ji-liong.
Tiba-tiba dia balik bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang semua ini?"
Toa-hoan tersenyum. Senyumannya amat misterius. Dia berkata, "Tentu saja ada
yang memberitahuku." Ma Ji-liong bertanya, "Siapa?"
"Orang mabuk," kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Apakah orang mabuk itu adalah aku?"
Toa-hoan tertawa, "Kau tidak terlalu bodoh."
Ma Ji-liong cuma bisa tersenyum dipaksa. Dia tentu mengatakan banyak hal dalam
keadaan mabuk, tapi sayangnya dia sendiri tidak tahu apa saja yang sudah dikatakan olehnya.
"Bik-giok Hujin tentu tidak perlu memilih lagi. Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap
sudah mati. Kau telah menjadi sasaran kebencian seluruh dunia. Selain Gin-jio Kongcu Khu Hongseng, tidak ada yang cukup baik untuk menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."
Dia menghela napas dan meneruskan, "Meskipun Bik-giok Hujin ingin memilih, tidak
ada lagi yang bisa dipilih." Itulah kenyataannya. Setelah apa yang terjadi, Khu Hong-seng menjadi satusatunya calon. Ma Ji-liong berkata, "Tapi... tidak mungkin dia penjahatnya!"
"Kenapa tidak?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong menerangkan, "Karena dia sudah mempunyai kekasih sehidup semati. Dia
tidak ingin menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Aku pun tidak berpikir bahwa dia bisa
melakukan semua ini. Tapi, jika dia bukan penjahatnya, dan kau pun bukan, lalu siapa yang
membunuh semua orang itu?" Ma Ji-liong berkata, "Pasti Thian-sat!"
Toa-hoan bertanya, "Siapa Thian-sat itu?"
Ma Ji-liong berkata, "Thian-sat bukan nama seseorang. Itu adalah nama sebuah
organisasi rahasia, organisasi pembunuh bayaran."
Toa-hoan bertanya, "Tapi kenapa mereka melakukannya" Mengapa mereka
memfitnahmu?" Ma Ji-liong menebak-nebak, "Karena... mereka ingin menciptakan kekacauan."
Lalu dia menjelaskan, "Jika keluarga kami bertarung satu sama lain, dunia Kangouw akan porakporanda. Mereka akan mendapatkan kesempatan untuk naik."
Penjelasannya itu masuk di akal. Peristiwa seperti itu pernah terjadi di masa
lalu. Dan hal itu mungkin bisa terjadi lagi.
Ma Ji-liong berkata, "Sekarang mereka hanya sebuah organisasi penjahat biasa.


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika rencana mereka berhasil, mereka bisa menjadi sebuah partai yang terbuka dan berdaulat.
Karena saat itu tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan mampu untuk menghentikan mereka."
Toa-hoan berkata, "Karena saat itu seluruh keluarga sudah saling menghancurkan
karena perselisihan ini." Ma Ji-liong berkata, "Tapi aku tentu saja tidak boleh membiarkan hal itu
terjadi." Toa-hoan bertanya, "Apa rencanamu untuk menghentikan mereka?"
Ma Ji-liong berkata, "Pertama aku harus mencari tahu dulu siapa pemimpin Thiansat sebenarnya." "Bagaimana caramu melakukannya?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tidak menjawab. Dia benar-benar tidak punya petunjuk saat itu. Dia
pun tak tahu bagaimana cara memulainya.
Toa-hoan berkata, "Orang ini pasti tahu bahwa Bu-lim-si-toakongcu akan berada di
Han-bwe-kok hari itu." "Benar," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, "Bagaimana dia bisa tahu" Selain kalian berempat, siapa lagi
yang tahu tentang hal itu" Apakah kau pernah memberitahukan hal ini pada orang lain?"
Ma Ji-liong berkata, "Aku tidak. Tapi Khu Hong-seng......"
Tiba-tiba dia teringat bahwa Siau-hoan pernah menyebut tentang Han-bwe-kok.
Siau-hoan bertanya padanya - apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang
lalu" Dia pasti tahu bahwa mereka pergi ke Han-bwe-kok. Khu Hong-seng telah memberitahukan hal
itu kepadanya. Dan jika Khu Hong-seng bisa memberitahu hal itu padanya, maka dia pun
bisa memberitahukannya pada orang lain. Siau-hoan juga bisa buka mulut. Seperti lakilaki lainnya, dia pun tidak percaya kalau seorang perempuan bisa menyimpan rahasia. Ini adalah
satu-satunya petunjuk yang dimilikinya.
Ma Ji-liong berkata, "Aku harus bertanya padanya. Ada begitu banyak hal yang
baru bisa kupahami setelah bertemu dengannya."
Toa-hoan bertanya, "Apakah kau hendak pergi bertanya padanya?"
"Tentu saja," kata Ma Ji-liong.
Setelah berkata begitu, dia pun bersiap-siap hendak pergi.
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Kau benar-benar pandai memilih waktu.
Tidak ada waktu lain seperti ini. Sekarang mereka berdua mungkin sedang melakukan 'kau
ingin aku mati, aku juga ingin kau mati'. Mereka tentu akan sangat berterima-kasih bila kau memaksa
masuk untuk menolong mereka di saat seperti ini."
Ma Ji-liong tidak jadi pergi. Dia bisa membayangkan mimik wajah kedua orang itu
jika mereka melihat dia kembali ke sana. Situasinya tentu akan serba salah, dan tidak ada
orang yang akan menyambutnya dengan baik karena hal itu.
Ma Ji-liong bertanya, "Menurutmu, kapan seharusnya aku pergi ke sana?"
Mendadak sorot mata Toa-hoan memancarkan sinar yang aneh. Dia cepat-cepat
merendahkan suaranya, "Sebaiknya kau pergi sekarang juga. Pergilah cepat."
Hati seorang perempuan memang seperti cuaca di bulan enam. Perubahannya benarbenar cepat. Ma Ji-liong terpaksa bertanya, "Kenapa kau ingin aku pergi sekarang?"
"Karena jika tidak, kau tak akan bisa pergi lagi untuk selamanya," Toa-hoan
menjawab. Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, "Sekarang aku rasa sudah terlambat."
Saat itu mereka sedang berjalan di sebuah gang yang gelap. Ma Ji-liong tidak
perlu bertanya 'kenapa' lagi, karena dia telah melihat beberapa orang sudah menghadang mereka
di kedua ujung gang. Semuanya ada tujuh orang, tujuh orang berpakaian hitam.
HARKAT PENDEKAR Saduran : Gan K. H Bab 9: Musuh Dan Hati Yang Suci
Tak diragukan lagi, gang ini adalah tempat tinggal para saudagar kaya.
Orang-orang kaya ini harus menjaga diri dari perampok dan maling yang ingin
mencuri harta mereka. Karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas setelah matahari terbenam,
maka mereka harus tinggal di balik tembok yang tinggi. Dan begitulah, kedua sisi jalan
sempit itu diapit oleh tembok-tembok yang sangat tinggi, begitu tingginya sehingga orang yang memiliki
ginkang Thianma- hing-khong pun tidak sanggup untuk melompatinya.
Gang ini panjang dan sangat gelap. Di depan mereka ada empat orang, dan tiga
orang lagi di belakang. Ketujuh orang itu berpakaian serba hitam, pakaian yang ketat, masingmasing menggunakan sehelai kain hitam untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka melangkah
perlahanlahan seperti acuh tak acuh. Mereka tahu bahwa kedua orang itu seperti kura-kura dalam
tempayan, atau ikan yang terperangkap di dalam jala, tidak mempunyai jalan keluar lagi.
Ma Ji-liong merendahkan suaranya, "Kau tidak perlu takut. Aku akan meminta
mereka untuk melepaskanmu pergi."
"Dan mereka akan melepaskanku begitu saja?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong berkata, "Kau tidak punya sangkut-paut dengan mereka. Kenapa mereka
tidak mau melepaskanmu?" "Kau kira mereka datang untukmu?" Toa-hoan bertanya.
"Tentu saja," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, "Kau keliru."
Sambil menghela napas, dia melanjutkan, "Aku pun berharap mereka datang ke sini
untukmu. Sayangnya tidak begitu halnya."
"Kenapa tidak?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, "Kau dianggap seorang pembunuh. Menangkap pembunuh adalah hal
yang benar, dan orang-orang akan melakukannya secara terbuka, kenapa mereka harus menyembunyikan
wajah mereka di balik topeng hitam?"
Ma Ji-liong akhirnya teringat bahwa gadis ini pun berada dalam masalah seperti
dirinya. Ada orang yang ingin membunuhnya. Toa-hoan berkata, "Tapi kau tidak usah takut. Aku pun bisa meminta mereka untuk
melepaskanmu." Ma Ji-liong bertanya, "Kau kira aku bisa pergi?"
Toa-hoan menjawab, "Kita tidak punya hubungan. Orang-orang ini bukan mengejarmu.
Apa kau ingin mati denganku di sini?"
Ma Ji-liong berkata, "Bagaimana pun juga, aku tidak boleh membiarkanmu sendirian
di sini." "Kenapa tidak?" Toa-hoan bertanya.
"Karena aku tidak boleh melakukan hal seperti itu," kata Ma Ji-liong.
"Alasan itu tidak cukup baik," kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong berkata, "Menurutku, itu sudah cukup."
"Mungkin aku seorang perempuan jahat, seorang pencuri. Mungkin kau seharusnya
membantu mereka untuk menangkapku," Toa-hoan berkata.
"Aku tahu kau bukan orang seperti itu," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, "Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tidak tahu nama margaku."
Ma Ji-liong berkata, "Tapi aku percaya padamu."
Toa-hoan menatapnya. Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, "Kukira kau sudah
semakin pintar. Tidak kusangka kalau kau sedungu ini."
Walaupun tempat itu adalah sebuah gang yang panjang dan ketujuh orang itu
melangkah dengan perlahan-lahan, tapi sekarang mereka sudah benar-benar dekat. Dan mereka semua
menggenggam senjata, masing-masing merupakan senjata yang langka. Ada yang memegang Lionghong-kimhoan yang tidak pernah digunakan orang lagi sejak kematian Siangkoan Kim-hong di
tangan Siau-li Tam-hoa, dan ada pula yang membawa Yan-yan-gua-hou-lan.
Senjata-senjata itu sudah lama menghilang dari dunia Kang-ouw. Hal ini terjadi
karena, walaupun senjata-senjata itu amat ampuh, tapi juga sangat sukar untuk dipelajari. Dan
karena itu, orang yang bisa menggunakan senjata-senjata ini pasti bukan jago sembarangan.
Ma Ji-liong benar-benar tidak tahu cara mengatasi mereka, tapi dia tidak merasa
takut. Toa-hoan mendadak berkata, "Hei, kalian datang untukku atau untuk dia?"
Orang yang memegang Liong-hong-kim-hoan itu bertubuh kecil tapi kuat. Langkah
kakinya teguh, dan sinar matanya tampak berkilat-kilat di balik topeng hitam itu. Dia pasti
seorang jago yang tangguh. Dia menyeringai, "Bagaimana jika aku datang untukmu" Bagaimana jika aku datang
untuk dia?" Toa-hoan berkata, "Jika kalian memburunya, itu bukan urusanku. Aku bukan seorang
pendekar, juga bukan seorang laki-laki sejati. Jika kalian datang ke sini untuk
membunuhnya, maka aku tidak
ada hubungannya dengan kalian."
Orang itu berkata dengan dingin, "Tidak usah dijelaskan. Aku bisa melihatnya."
Toa-hoan berkata, "Tapi jika kalian mencariku, situasinya akan berbeda."
"Oh, ya?" laki-laki itu berkata.
Toa-hoan menjelaskan, "Walaupun masalahnya sendiri sudah cukup besar, dia tidak
akan berpangku tangan. Jika kalian ingin menangkapku, dia akan berkelahi dengan
kalian sampai mati."
Orang itu berkata, "Jadi jika kami ingin menangkapmu, maka kami harus
membunuhnya dulu." Toa-hoan melirik Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, "Benarkah itu?"
"Ya," jawab Ma Ji-liong.
Dia sendiri tidak tahu kenapa dia berkata seperti itu. Sebenarnya masih banyak
yang harus dia kerjakan. Rencana busuk itu belum tersingkap, dan karena itu dia tidak boleh
mati. Jika dia mati di sini sekarang, dia bukan hanya mengalami kematian yang tragis, fitnah dan
ketidakadilan yang dideritanya pun tidak akan pernah lagi diungkapkan. Tapi dia sudah mengatakan
ya. Dia tidak mau menarik kembali kata-katanya, dia juga tidak menyesalinya.
Toa-hoan berkata, "Hei, kalian dengar apa yang barusan dia katakan?"
Orang baju hitam itu menyeringai, "Agaknya dia bukan hanya seorang pendekar,
tapi juga seorang laki-laki sejati." "Agaknya memang begitu," kata Toa-hoan.
"Sayangnya orang seperti ini selalu mati muda," kata orang itu.
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Aku sudah mengatakan hal itu padanya.
Sayangnya dia tidak mau mendengarkan."
Sebuah bunyi "tring!" terdengar bergema ketika kedua roda itu saling
berbenturan, bunga api memercik ke segala penjuru. Di jaman dulu, Siangkoan Kim-hong menguasai dan
mengguncangkan dunia, dia pun mendirikan partai Kim-ci-pang yang memerintah dunia Kang-ouw. Dia
bukan hanya seorang laki-laki yang sangat berambisi, kungfunya juga luar biasa. Sayangnya,
dalam daftar senjata, Liong-hong-kim-hoan Siangkoan Kim-hong hanya tercantum di urutan kedua.
Tapi sebagian besar orang di dunia Kang-ouw yakin bahwa kungfunya tidak berada di
bawah jago nomor satu, Thian-ki Lojin. Selama beberapa saat orang itu menggenggam Liong-hong-kim-hoan di telapak
tangannya agar orang-orang mengenali senjata terampuh di dunia itu. Senjata seperti itu di
tangan orang seperti dia tidak akan menyamai aura yang dimiliki Siangkoan Kim-hong saat memerintah dunia
Kang-ouw, tapi kekuatannya tetap menakutkan.
Toa-hoan bahkan tidak melirik senjata itu. Dia sedang menatap Ma Ji-liong dengan
senyuman yang hangat dan gembira. Musuh-musuh tangguh sudah datang ke sini untuk membunuh mereka, dan hidup atau
mati akan diputuskan dalam waktu singkat. Anehnya, dia tampak sangat gembira. Hal ini
terjadi karena Ma Jiliong
tidak meninggalkannya dan pergi melarikan diri. Tak perduli apa yang pernah dia
katakan, apa yang sedang dia rasakan di hatinya sekarang agaknya lebih penting daripada
hidup dan mati. Ma Ji-liong tiba-tiba merasakan kegembiraannya yang meningkat. Sepasang matanya
yang jelek itu menjadi tampak lebih menarik. Keindahan dan keburukan memang tidak bisa
dipisahkan dengan jelas. Orang yang berbahagia biasanya akan terlihat cantik.
Toa-hoan bertanya dengan lembut, "Kau takut?"
Ma Ji-liong tentu saja tidak benar-benar hilang rasa takutnya. Perasaan takut
adalah salah satu kelemahan manusia yang paling sulit untuk ditaklukkan. Untunglah ada beberapa
macam perasaan yang bisa digunakan manusia untuk mengatasi rasa takut.
Toa-hoan berkata, "Jika kau takut, mungkin masih ada waktu bagimu untuk pergi."
"Aku tidak akan pergi," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan menghembuskan napas lembut. Lalu dia berkata, "Maka aku......"
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya itu. Suaranya seolah tiba-tiba terpotong
oleh sebuah golok yang tak terlihat, dan tenggorokannya dicekik oleh sesosok setan yang tidak
kelihatan. Sorot matanya juga memperlihatkan perasaan takut seakan-akan dia telah melihat hantu
yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ma Ji-liong memutar kepalanya untuk melihat. Apa yang dilihat gadis itu ternyata
hanya seseorang - seorang perempuan berbaju hitam yang amat sederhana dengan keranjang bunga di
tangannya. Dia baru saja berbelok memasuki gang itu.
Ma Ji-liong tidak memutar kepalanya lagi dan dia hanya bertanya, "Ada apa?"
Toa-hoan berkata, "Aku harus pergi. Kau tidak pergi, tapi aku harus."


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pergilah dia. Sebelum dia selesai bicara, tubuhnya sudah mengapung ke atas.
Tidak seorang pun yang bisa membayangkan bahwa dia akan mampu melompati tembok yang tinggi itu
seperti ini. Perempuan penjual bunga yang sederhana itu terus berjalan dengan kepala
tertunduk, seolah-olah dia tidak melihat adanya tembok tinggi di depannya. Melihatnya kepalanya akan
menubruk tembok, setiap orang pun mengira kepalanya akan pecah dan darah akan berhamburan. Tapi
tak disangkasangka, ternyata kepalanya tidak pecah tapi tembok itu yang hancur berantakan. Dengan
bunyi "brak!" yang keras, pada tembok setebal dua-tiga kaki itu sudah terukir lubang
berbentuk tubuh manusia, tembok yang tahan terhadap angin kencang dan api itu! Penjual bunga
yang sederhana itu berjalan menjebol tembok seolah-olah tembok itu terbuat dari sehelai kertas yang
tipis. Ma Ji-liong merasa terperanjat, dan begitu pula semua orang lainnya. Ilmu
ginkang Toa-hoan sudah cukup mencengangkan, tapi kungfu perempuan penjual bunga ini bahkan lebih hebat
lagi. Mendadak langit bertambah gelap, angin pun semakin dingin. Kedua perempuan itu
sudah pergi. Orang yang hendak mereka bunuh sudah pergi bersama angin. Tapi roda emas
perenggut nyawa itu masih berada di sini. Ma Ji-liong akhirnya bertanya, "Kalian mengejar dia atau aku?"
"Gadis itu," kata si orang baju hitam.
"Dia sudah pergi," kata Ma Ji-liong.
Si orang baju hitam berkata, "Sayang sekali kalau begitu."
"Kenapa?" Ma Ji-liong bertanya.
Orang baju hitam itu menjawab, "Seharusnya kau tahu. Golok yang sudah dihunus
harus melihat darah, kalau tidak malah akan mendatangkan nasib buruk."
Dia mempunyai senjata yang berbahaya di tangannya dan nafsu membunuh di sorot
matanya. Dia lalu meneruskan, "Kami semua di sini sama. Jika kami sudah mulai, maka kami
harus membunuh. Sekarang dia sudah pergi, maka kami hanya bisa membunuhmu."
"Bagus sekali," kata Ma Ji-liong.
Sebenarnya dia tahu kalau situasinya tidak begitu bagus. Tidak perduli siapa pun
yang dia hadapi, keadaannya tetap tidak begitu bagus. Dia tidak membawa senjata. Dia tidak punya
nafsu membunuh. Dan dia tidak punya pilihan.
Kenapa manusia harus membunuh manusia lainnya" Dia benci kekerasan. Tapi dalam
situasi tertentu, orang terpaksa harus menggunakan kekuatan untuk menghentikan
kekerasan. Dia pun menghimpun seluruh tenaganya. Dia hanya punya satu nyawa, dan dia tidak mau
mati. Dia harus menghentikan kekerasan ini.
Dengan mengeluarkan bunyi "tring!", kim-hoan (roda emas) itu berbenturan sekali
lagi, bunga api terpercik ke segala penjuru seperti air hujan. Tubuh Ma Ji-liong tiba-tiba
melesat seperti anak panah. Dia tidak punya nafsu membunuh, tapi dia punya sesuatu yang lain.
Yaitu keberanian! Tentu saja dia tidak mengincar orang baju hitam yang memegang kim-hoan itu, tapi
seorang lainnya. Taktik 'harus menangkap sang raja lebih dulu' tidak benar-benar bisa
digunakan dalam situasi seperti ini. Sekarang dia harus menyerang titik terlemah mereka.
Benar dan salah tidak bisa hidup berdampingan. Dalam situasi di mana seseorang
ditekan oleh kekuatan musuh yang berjumlah lebih banyak, jika dia bisa melindungi tubuhnya
sendiri, maka tubuhnya harus dilindungi. Jika dia bisa menghabisi salah seorang musuh, maka
musuh itu harus dibinasakan. Orang yang dia serang adalah Tuan Hitam.
She (marga) Tuan Hitam adalah Oey (kuning). Setiap orang memanggilnya Tuan Hitam
hanya karena dia adalah yang paling jahat dan bertubuh paling besar di antara mereka,
persis seperti seorang tuan besar. Tubuh Tuan Hitam tingginya delapan kaki sembilan dim, dan
bahunya selebar tiga kaki. Lengannya sebesar paha laki-laki dewasa dan tinjunya seukuran kepala
anak-anak. Kenapa Ma Ji-liong menganggap orang seperti ini sebagai titik terlemah dari
musuh" Apakah karena orang ini selalu mengikuti ke mana pun Roda Emas perenggut nyawa pergi"
Benalu tumbuh pada sebatang pohon besar agar bisa tetap hidup. Rubah yang licik selalu
mengandalkan kekuatan harimau agar dia bisa menakut-nakuti manusia. Yang lemah selalu berharap agar
mereka bisa bergantung pada yang kuat untuk mendapatkan perlindungan. Bagaimana kuat atau
lemahnya seseorang tentu saja tidak bisa dilihat dari penampilannya, dan penilaian Ma Jiliong ternyata tidak keliru. Senjata Tuan Hitam adalah sepasang lempengan besi yang agaknya berbobot 60-70
kati. Ma Jiliong bergerak menyerang, dan Tuan Hitam, dengan bersenjatakan lempengan besi itu,
membalas serangan itu dengan sebuah sapuan mendatar dan sebuah hantaman tegak lurus.
Sayangnya nilai sebuah senjata pun tidak bisa dilihat dari bobotnya saja.
Tinju Ma Ji-liong melayang masuk di antara sepasang lempengan besi itu dan
mendarat di atas batang hidung Tuan Hitam. Sebuah suara yang amat perlahan seperti bunyi
seseorang memukul daging pun terdengar. Tapi, tanpa menjerit sekali pun, Tuan Hitam sudah roboh
terjengkang di atas tanah. Saat orang itu terjungkal, Ma Ji-liong tentu saja bisa keluar dari kepungan itu
dengan segera. Dia pun bisa meloloskan diri lewat lubang di tembok sana. Tapi dia memutuskan tidak
melakukannya karena dia tiba-tiba merasa bahwa dirinya sanggup bertahan terhadap keroyokan
mereka dan dia bukannya tidak memiliki kesempatan sama sekali. Dan asalkan ada sedikit
kesempatan, maka dia tidak akan menyerah. Dia adalah orang yang angkuh, orang yang benar-benar sangat angkuh.
Tuan Hitam sudah roboh. Ma Ji-liong lalu menggaet salah satu lempengannya dengan
kakinya dan kemudian meraupnya dengan tangan kirinya. Lalu dia memanfaatkan situasi dan
mengayunkan senjata itu pada orang yang bersenjata roda emas. Tangan kanannya juga
menghantam dengan keras pada pergelangan tangan orang lainnya dan memukul jatuh senjata boan-koan-pitnya. Tapi roda emas tetap berada di tangan musuh, dan seseorang lainnya masih
memegang yan-yangua- hou-lan. Kedua pasang tangan dan kedua jenis senjata itu benar-benar menakutkan.
Ketika dia melihat kekuatan gabungan kedua senjata itu, dia baru menyadari kekeliruannya
yang tidak bisa dimaafkan. Dia terlalu memandang rendah musuh-musuhnya dan memandang tinggi
dirinya sendiri. Kesalahan seperti ini tidak akan pernah terulang karena sekali saja sudah cukup
fatal! Tapi dia masih bisa bertarung sampai mati! Bila seseorang sudah bertekad untuk mati dan
mengerahkan segala kemampuannya, maka dia bukan hanya berbahaya, tapi juga menakutkan. Dan
hanya orang yang sudah tersudut yang akan bertarung mati-matian, tapi kenapa orang-orang ini
pun tidak takut mati bersamanya" Pasti Thian-sat! Mereka memang datang untuk membunuhnya. Tiba-tiba dia menyadari hal ini.
Tuan Hitam berusaha bangkit. Hidungnya yang patah membuatnya sukar untuk
bernafas, maka dia pun hanya bisa terengah-engah. Tiba-tiba dia merobek bagian depan bajunya yang
besar. Lalu dia mendesis seperti orang gila, "Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!
Bunuh! Bunuh!" Itulah suara jeritan yang nyaring dan memilukan! Di balik bajunya yang robek,
terlihat belasan huruf merah darah di atas dada Tuan Hitam!
Thian-sat! Tak perduli apa pun cara yang harus mereka gunakan atau siapa yang harus mereka
korbankan, mereka pasti akan membunuhnya!
Tinju Ma Ji-liong terkepal erat. Dia menggertakkan giginya, bersiap untuk
bertarung mati-matian! Dia telah merobohkan seorang lagi dengan tinjunya. Dia tidak sempat melihat
siapa orang itu karena tiba-tiba dia melihat sekilas sinar perak, sinar perak dari sebilah
tombak yang sedang meluncur tiba. Tombak perak!
"Gin-jio (Tombak Perak) Khu Hong-seng."
Ketika tombak perak itu tiba, Khu Hong-seng lalu berkata, "Jika kalian ingin
membunuhnya, maka kalian harus mematahkan tombak perak ini dulu. Jika kalian ingin mematahkan
tombak ini, maka kalian harus membunuhku dulu!"
Dia tak pernah menyangka kalau Khu Hong-seng akan datang untuk menolongnya, tapi
memang Khu Hong-seng yang datang! Dan di tangannya tergenggam tombak perak.
Seseorang telah datang untuk ikut bertarung mati-matian dengannya! Kenapa orang
harus selalu berhadapan dengan musuh dulu baru bisa tahu bagaimana sosok orang itu sebenarnya
dan mengenali siapa teman yang sesungguhnya"
Tombak itu sudah menembus tenggorokan satu orang musuh, dan tinjunya telah
menghancurkan rusuk musuh yang lain. Kali ini setiap orang bisa mendengar suara tulang yang
hancur berantakan itu. Tidak ada lagi musuh yang roboh. Tiba-tiba semua telah menghilang. Tentu saja
dua orang yang bertekad untuk bertempur mati-matian lebih berbahaya daripada satu orang,
apalagi kalau kedua orang itu adalah Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong.
Tidak seorang pun yang tahu jam berapa saat itu, tapi malam sudah amat larut.
Jalan yang kecil itu pun terasa dingin dan gelap. Tahu-tahu Ma Ji-liong merasakan sebuah tangan yang
hangat sedang menggenggam tangannya. Suara Khu Hong-seng pun sama hangatnya. Dia berkata, "Aku tahu apa yang kau
butuhkan sekarang ini. Kau benar-benar membutuhkan secawan arak."
HARKAT PENDEKAR Saduran : Gan K. H Bab 10: Pertanyaan-pertanyaan
Arak itu memang tidak begitu enak. Juga bukan termasuk jenis arak yang bagus,
dan tentu saja bukan arak Li-ji-ang. Arak itu cuma sejenis arak yang bisa kau beli di pasar
biasa. Walaupun Ma Jiliong
tidak perduli, tapi Siau-hoan tetap menjelaskan dengan nada meminta maaf, "Hongseng sangat jarang minum di sini. Dia pun tidak pernah mengundang temannya ke sini.
Baru tadi aku membeli seguci arak ini."
Arak itu baru saja dibelinya, dan makanan baru saja dimasaknya. Ini terjadi
karena di tempat itu tidak ada seorang pun pelayan.
"Hong-seng sangat menyukai ketenangan. Dia tidak mau ada pelayan. Maka aku
mengerjakan segalanya di sini sendirian." Suaranya penuh mengandung kelembutan seorang
perempuan. Seluruh hidupnya berkutat di sekitar Khu Hong-seng. Dia pasti akan melakukan apa saja
yang diinginkan Khu Hong-seng. Cinta sudah cukup bagi mereka. Kenapa mereka butuh orang lain" Mengapa mereka
perlu arak yang bagus untuk diminum" Tiba-tiba Ma Ji-liong merasa iri pada mereka. Dia tak
henti-hentinya bertanya pada dirinya sendiri, seandainya dia memiliki seorang perempuan seperti
Siau-hoan ini - yang tidak memikirkan apa pun selain dirinya dan selalu melayani seluruh
kebutuhannya - maukah dia meninggalkan segalanya dan hidup sederhana seperti ini"
Tiba-tiba dia teringat pada Toa-hoan. Jika dia menikahi gadis itu, apakah gadis
itu akan memperlakukan dia seperti ini"
Ma Ji-liong tidak mencari tahu lebih lanjut. Pertanyaan ini bukan saja aneh,
tapi juga lucu. Tentu saja dia tidak akan menikahi seorang perempuan seperti Toa-hoan, meskipun
lehernya ditodong dengan sebilah pisau. Walaupun Toa-hoan sekarang tidak begitu buruk dan
jahat seperti sebelumnya, tapi dia masih jauh dari kesan menarik dan menyenangkan. Bagaimana
mungkin Pekma Kongcu menikahi gadis seperti itu" Ma Ji-liong mengangkat cawannya dan
menghabiskan araknya dalam satu tegukan, dia memutuskan untuk melupakan gadis tersebut sejak
saat itu. Agaknya Khu Hong-seng sudah cukup banyak minum. Dan karena hari ini dia ingin
minum, Siauhoan tentu saja ikut minum bersamanya. Mereka berdua tampaknya sudah agak mabuk, dan
tingkah mereka terlihat semakin mesra, agaknya mereka lupa kalau Ma Ji-liong berada
tepat di hadapan

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Ma Ji-liong sudah mulai merasa diabaikan, maka dia pun mencari
kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Semula dia hendak mengajukan banyak pertanyaan pada Khu Hong-seng, tapi sekarang
dia tidak mau lagi. Ini terjadi karena dia sudah sangat mempercayai Khu Hong-seng. Tepat
ketika dia akan bangkit, Khu Hong-seng tiba-tiba mengajak bersulang.
Dia menarik tangan Siau-hoan dan berkata sambil tersenyum, "Kau harus minum tiga
cawan untuk menghormatinya, tiga cawan besar."
Sambil cekikikan, Siau-hoan menggelengkan kepalanya, "Aku hanya akan minum
secawan." "Kau harus minum tiga cawan."
"Jika aku minum tiga cawan, aku pasti akan mati karena mabuk."
"Jika kau tidak minum, maka aku akan mencekikmu sampai mati."
Siau-hoan tersenyum memikat, sorot matanya penuh dengan perasaan cinta. Dia
berkata, "Aku lebih suka dicekik olehmu sampai mati."
"Benarkah?" "Tentu saja, sungguh."
"Bagus." Khu Hong-seng tersenyum, sambil meremas leher gadis itu dengan
tangannya. Lalu dia berkata dengan lembut, "Maka aku akan mencekikmu hingga mati."
Ma Ji-liong benar-benar tidak ingin mendengarkan lagi, dia juga tidak mau
bertindak sebagai penonton lagi. Seharusnya dia segera pergi, tapi tidak jadi. Karena ketika dia
bangkit, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya meskipun dalam mimpinya. Dia
melihat mata Siau-hoan yang indah melotot keluar seperti mata ikan mati, mukanya menjadi biru
dan tubuhnya menjadi kaku. Kali ini dia benar-benar mati. Khu Hong-seng benar-benar
mencekiknya hingga mati. Ma Ji-liong merasa terperanjat, seolah-olah lehernya juga sudah tercekik oleh
sebuah tangan yang tidak kelihatan. Napasnya tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menjadi kaku. Bahkan
tangan dan kakinya pun terasa dingin seperti es. Tubuh Siau-hoan akhirnya ambruk ke lantai, dan Khu
Hong-seng mengawasi tubuh itu tanpa perubahan sedikit pun di wajahnya.
Yang mengejutkan, di wajahnya malah tersungging sebuah senyuman.
"Berbohong itu buruk. Aku tidak pernah berbohong."
Sambil tersenyum dia berkata, "Kubilang aku akan mencekiknya hingga mati, dan
itulah yang kulakukan. Maka, nanti, apa pun yang kukatakan, kau harus mempercayaiku."
Ma Ji-liong tidak sanggup bicara. Dia cuma ingin muntah, membuang semua yang
baru saja dia makan dan minum. Tapi dia bahkan tidak bisa melakukannya.
Khu Hong-seng tertawa dengan riangnya, "Mengapa kau tidak bertanya kenapa aku
mencekiknya?" Dia tidak menunggu Ma Ji-liong bertanya. Dia malah mulai bicara lagi,
"Sebenarnya, aku sudah
berencana untuk membunuhnya sejak kami bertemu pertama kalinya. Aku menebus dia
dan membeli rumah ini agar terlihat mustahil kalau aku sebenarnya akan membunuhnya.
Aku memungut gadis ini karena dia bukan saja sangat cantik, tapi dia juga bodoh.
Perempuan seperti ini memang amat cocok untuk rencanaku."
Rencananya" Rencana apa"
Meskipun Ma Ji-liong tidak bodoh, tapi dia benar-benar belum paham tentang
segala kejadian ini. Khu Hong-seng menerangkan lagi, "Aku harus membuat semua orang tahu bahwa aku
sudah bertekad untuk mati dengan gadisku dan bahwa kami sudah bersumpah setia satu
sama lain dan maut pun tidak akan bisa memisahkan kami. Setiap orang pun akan percaya bahwa
aku tidak ingin menjadi menantu Bik-giok Hujin."
Sambil menghela napas, dia berkata, "Padahal sesungguhnya, aku sangat
menginginkan hal itu."
Tapi saingan-saingannya terlalu kuat dan dia sendiri pun belum tentu terpilih.
Dia melanjutkan, "Maka aku harus menyingkirkan kalian bertiga dulu."
Sesungguhnya, menyingkirkan tiga orang manusia tidaklah mudah.
"Untunglah aku tahu bahwa kalian semua adalah pemabuk, dan aku pun kebetulan
tahu bahwa Tohkongcu sudah memesan makanan dan arak dari Kik-hong-wan."
Maka dia menyuap seorang pegawai Kik-hong-wan untuk meracuni arak dan kemudian
memesan Thian-sat untuk membungkam orang-orang dari rumah makan itu.
"Tapi aku tidak menyangka kalau kau tidak mau minum."
Dia meneruskan lagi, "Untunglah rencanaku amat teliti. Aku punya orang-orang di
belakangku." Orang-orang itu adalah Kim Tin-lin dan Peng Thian-pa. Kim Tin-lin dulu pernah
ditundukkan olehnya, dan Peng Thian-pa sudah sejak lama menjadi kaki tangannya. Giok-pwe
yang tergantung di dadanya juga merupakan bagian dari rencana. Sesudah itu, semua saksi harus
disingkirkan. "Pang Tio-hoan dan Coat-taysu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku sengaja
menyuruh Peng Thianpa mengundang mereka minum di Kik-hong-wan dan membawa mereka ke Han-bwe-kok untuk
membuktikan bahwa aku benar-benar tidak bersalah dan bahwa kau adalah penjahat
yang sesungguhnya." Dia tertawa terbahak-bahak, "Tapi kau tidak boleh menyalahkan diriku. Kau hanya
bisa menyalahkan nasibmu sendiri yang buruk sehingga kau tidak meminum arak itu dan
mati begitu saja. Jika kau mati, maka kau tidak akan mengalami masalah seperti ini."
Sekarang dia tidak punya saingan lagi. Tapi, jika Siau-hoan tidak mati, dia
tidak punya cara untuk menjelaskan status dirinya, juga tidak bisa mencampakkannya begitu saja untuk
menjadi menantu Bik-giok Hujin. Maka Siau-hoan pun harus mati.
Khu Hong-seng menatap Ma Ji-liong. Lalu dia berkata, "Dan sekarang, apakah kau
hidup atau mati tetap tidak ada artinya. Setiap orang tahu bahwa kau adalah si pembunuh. Bila
kau tetap hidup, hal itu malah akan menjadi keuntungan buatku."
"Keuntungan apa?" Ma Ji-liong akhirnya sanggup bersuara. "Kenapa hal itu baik
untukmu?" Khu Hong-seng menghela napas dan mendadak berkata, "Apakah kau belum bisa
menebak kalau aku adalah ketua Thian-sat?"
Segalanya menjadi jelas, dan Ma Ji-liong pun berdiri tertegun. Selama ini dia
mengira bahwa dia tidak akan pernah memahami apa yang telah terjadi. Dia tidak menyangka kalau
penjahat yang sebenarnya akan memberitahukan semua ini padanya.
Tak tahan lagi dia pun bertanya, "Kenapa kau memberitahukan rahasiamu padaku?"
Sambil tersenyum, Khu Hong-seng berkata, "Karena........."
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Wajahnya tiba-tiba berubah, persis seperti
wajah Toh Cenglian yang ketakutan menjelang saat kematiannya. Mukanya yang pucat tiba-tiba menjadi
gelap. Dia berusaha bangkit, tapi kakinya malah menendang meja. Dan ketika meja itu
terbalik, maka dia pun terjungkal ambruk. Bab 11: Hukuman Gantung Ma Ji-liong tercengang. Bagaimana mungkin ada racun di dalam arak itu" Siapa
yang membubuhi racun" Mungkinkah Siau-hoan sudah tahu bahwa Khu Hong-seng akan membunuhnya,
maka dia memutuskan untuk meracuni arak itu lebih dulu" Ma Ji-liong minum dari guci arak
yang sama. Sekarang Khu Hong-seng mati keracunan, tapi kenapa dia tidak merasa apa-apa"
Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan semuanya juga begitu rumit.
Selain itu, semua peristiwa ini terjadi begitu tiba-tiba. Pikirannya menjadi kacau, dan dia bahkan
tidak sanggup menjawab meskipun pertanyaan yang paling sederhana. Sekarang, yang sebaiknya
dilakukan adalah meninggalkan tempat ini dengan segera. Mungkin sekali kejadian ini juga
merupakan sebuah rencana yang telah direkayasa dengan baik untuk menjebaknya. Dia sudah
memikirkan hal ini. Sayangnya, sementara dia sedang berpikir, dia benar-benar sudah terjebak.
Rencana itu memang akurat dan berbisa. Tak perduli siapa pun yang terjatuh ke dalam perangkap ini,
dia tidak akan bisa lolos. Di ruangan itu ada empat buah lampu, empat buah lampu kristal Persia yang sangat
mahal. Barang mahal adalah barang yang berkualitas. Meskipun jatuh ke lantai, lampu-lampu itu
tidak akan pecah. Keempat lampu itu dipasang dengan teguh di atas sebuah meja.
Tiba-tiba terdengar suara 'wut!', dan kap lampu pun pecah. Sinarnya tampak
berkerlap-kerlip. Saat itulah Ma Ji-liong merasakan gelombang tekanan yang luar biasa kuatnya
menghantamnya dari segala penjuru. Jantungnya berdebar dengan keras dan kencang. Napasnya hampir
berhenti. Hidungnya berdarah, dan dia pun bisa merasakan darah di tenggorokannya. Bola
matanya seperti akan melompat keluar. Dia sudah hampir pingsan. Tapi tekanan yang aneh dan
menakutkan itu tibatiba menghilang ketika empat orang manusia muncul di ruangan itu. Orang pertama yang
dilihatnya adalah Coat-taysu yang tidak punya hati ataupun perasaan itu.
Karena Coat-taysu sudah tiba, tentu saja Pang Tio-hoan juga berada di sini.
Orang ketiga adalah seorang hwesio yang amat kurus dan bermuka hitam, seperti seorang pertapa yang
berlatih ilmu menyiksa diri. Dan walaupun ia mengenakan jubah hwesio yang ditambal di sana
sini, tapi dia menggenggam seuntai tasbih giok yang tak ternilai harganya.
Orang terakhir adalah seorang tosu yang mengenakan jubah berlengan lebar,
memakai sandal jerami tanpa kaus kaki. Rambutnya disanggul, dan kulitnya putih berkilauan,
membuat dirinya kelihatan seperti sebuah patung yang diukir dari giok putih. Dia merupakan
kebalikan dari hwesio pertapa yang tampak kasar itu.
Keempat orang itu datang dari empat penjuru, dan tenaga dalam mereka muncul
mendahului kedatangan mereka, lwekang yang telah dilatih selama puluhan tahun. Orang-orang
ini pasti mengirimkan lwekang mereka untuk menutup jalan lari Ma Ji-liong dan menangkal
serangannya. Mereka menggunakan langkah terakhir ini terhadap Ma Ji-liong karena mereka yakin
bahwa dia akan melakukan apa saja untuk melarikan diri.
Tadi, saat energi mereka menyerangnya, kekuatan dari arah timur dan barat jauh
lebih hebat daripada yang datang dari arah utara dan selatan. Yang datang dari arah timur
adalah hwesio pertapa itu, dan Giok-tojin (tosu dari giok) tiba di tempat itu dari arah barat.
Ternyata kedua orang itu mempunyai lweekang yang jauh lebih dahsyat daripada Coat-taysu yang
termasyur ke seluruh dunia itu. Ma Ji-liong tidak perlu melihat mereka untuk tahu siapa mereka sebenarnya.
Nama Budha hwesio pertapa itu adalah Cia-go (tahan kesukaran). Dia memang tahan
terhadap berbagai macam kesukaran. Dia pernah pergi ke India, tapi dia tentu saja tidak
pergi ke sana untuk mencari kitab agama Budha. Dia malah mengembara ke seluruh negeri itu untuk
mencari kungfu misterius kaum Hud-bun (Budha). Tentunya perjalanannya itu tidak sia-sia belaka.
Dan Giok-tojin dulunya adalah Giok-long-kun yang berjuluk 'Satu Pedang Tanpa
Rintangan', yang pernah mengguncangkan dunia Kang-ouw. Semua pendekar di dunia ini pasti akan
gemetar ketakutan terhadap dirinya, dan semua perempuan cantik pasti akan menyerahkan
hatinya pada Giok-long-kun ini. Melihat keempat orang itu, hati Ma Ji-liong serasa karam. Tentu saja tidak
seorang pun di dunia ini yang bisa melarikan diri dari mereka, dan tidak seorang pun juga yang bisa
menyelamatkan seseorang dari cengkeraman mereka. Itulah kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Lampu-lampu belum dipadamkan. Ini terjadi karena mereka tidak ingin lampu-lampu
itu padam. Bila orang-orang ini ingin melakukan sesuatu, mereka tentu saja akan dan bisa
melakukannya. Jika tidak, tak seorang pun yang bisa memaksa mereka untuk bertindak. Agaknya mereka
tidak melihat Ma Ji-liong, karena pandangan mata mereka tertuju pada Khu Hong-seng.
Khu Hong-seng sudah berhenti bernapas, dan guci arak serta cawan telah terbalik
dan berserakan di lantai. Cia-go Hwesio memungut dan mengendusnya. Lalu, seperti sebilah golok
yang tajam, sinar dingin tampak berkilat-kilat di sepasang mata yang cekung itu. Dia pernah
mengikuti rute ke barat yang dahulu digunakan oleh pendeta Tong Sam-cong(1) saat melakukan perjalanan ke
Thian-tiok (India), dan jalur ini tentu saja tidak mudah untuk dilalui. Dia harus melewati
gunung-gunung yang tandus, sungai-sungai liar dan rawa-rawa, semua yang ada di sana pun amat
berbisa - serangga berbisa, ular berbisa, bunga beracun dan tanaman-tanaman beracun. Dia sudah
melihat hampir semua racun yang ada di dunia ini dan, karenanya, dalam hal racun dia hampir
sama ahlinya dengan Sin-long (Petani Sakti) yang termasyur itu.
Meskipun Coat-taysu telah menjadi orang beribadat selama puluhan tahun, sifatnya
yang tidak

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sabaran sama sekali tidak berubah.
Tak dapat menahan diri lagi, dia lalu bertanya, "Bagaimana?"
Cia-go Hwesio tidak berkata apa-apa dan menutup matanya. Coat-taysu menjadi
makin gelisah. Jika Cia-go Hwesio tidak bisa menebak racun apa yang telah diminum Khu Hongseng, tentu saja tidak ada lagi orang lain yang tahu di dunia ini. Untunglah Cia-go Hwesio
akhirnya angkat bicara. "Tidak ada racun di guci arak itu."
"Lalu di mana racunnya?"
"Di cawannya yang terakhir."
"Racun apa itu?"
"Itulah Jiu-jo-san yang dibuat dari tiga macam tumbuhan beracun - Jian-ki, Toanyang dan Siohun." "Bagaimana kau tahu?"
"Racun jenis ini tidak berwarna dan tidak berasa. Paling baik bila dicampur
dengan arak, karena dengan arak racun ini akan bekerja dengan sangat cepat."
"Berapa cepat?"
"Racun ini akan langsung bekerja setelah masuk ke tenggorokannya. Dan bila
mencapai usus, dia akan sama saja seperti ulat di musim gugur."
"Jadi racun di dalam tubuhnya sudah bekerja."
"Maka racun itu pasti berada di dalam cawan arak terakhirnya."
"Bisakah dia diselamatkan?"
"Orang tidak selalu harus mati karena racun ini. Jika kita bertindak cukup
cepat, racun ini masih bisa ditawarkan." "Bisakah kau melakukannya?"
"Aku tidak bisa, tapi dia bisa."
Cia-go Hwesio memalingkan kepalanya pada Giok-tojin. Lalu dia berkata, "Tidak
ada orang yang tahu tentang racun sebaik diriku, tapi dalam hal menawarkan racun, aku tidak
sebaik dirimu." Giok-tojin bertanya, "Bagaimana kau tahu kalau kau tidak sebaik diriku?"
Cia-go Hwesio menjawab, "Karena kau dulu seorang penakluk wanita dan aku bukan."
Giok-tojin tersenyum. Dia tidak punya pilihan kecuali mengakui hal itu. Sejak
dia berusia enam belas tahun, tak ada yang tahu berapa banyak perempuan yang telah berusaha
membunuhnya dengan racun. Ini terjadi karena kekasihnya terlalu banyak dan dia tidak pernah
pilih-pilih. Karena banyak perempuan yang memujanya, dan mereka tidak mau melepaskannya jatuh ke
pelukan perempuan lain, mereka pun tahu bahwa mereka harus meracuninya sampai mati. Jika
tidak, cepat atau lambat pikirannya akan berubah. Karena seringnya dia diracuni orang,
akhirnya dia menjadi terbiasa dengan racun. Bagaimana mungkin orang seperti dia tidak tahu cara menawarkan racun"
Cia-go Hwesio berkata, "Jika dia tidak tahu cara menawarkan racun ini, pemuda
ini pasti sudah mati." Coat-taysu bertanya, "Jika dia tidak bisa menawarkan racun ulat musim gugur ini,
apakah tidak ada orang lain yang bisa?"
Kali ini Giok-tojin sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Dia berkata, "Tidak."
Ma Ji-liong akhirnya paham. Ini bukan cuma sebuah perangkap. Tapi merupakan
seutas tali, tali yang akan digunakan untuk menggantungnya. Racun itu ada di dalam cawan arak
terakhir. Saat Khu Hong-seng meminum cawan itu, Siau-hoan sudah mati, jadi tidak mungkin dia
yang menaruh racun itu. Tapi jika Khu Hong-seng meracuni dirinya sendiri, siapa yang akan
percaya kalau dia berbuat begitu" Dan karena itu, Ma Ji-liong tentu saja menjadi tersangka.
Khu Hong-seng diracun dengan cara yang sama seperti Sim Ang-yap dan Toh Cenglian. Pasti racun di dalam guci arak di Han-bwe-kok juga adalah racun Jiu-jo-san ini.
Dan karenanya, tersangka peristiwa itu juga adalah Ma Ji-liong.
Khu Hong-seng sudah tahu bahwa Coat-taysu dan kawan-kawannya akan datang. Dia
sudah tahu pasti bahwa dirinya akan tertolong. Karena itu dia meracuni arak tersebut.
Barusan dia telah memberitahu Ma Ji-liong bahwa dialah penjahat yang sebenarnya,
tapi tak ada orang lain kecuali Ma Ji-liong yang telah mendengar pengakuannya itu. Tak
seorang pun di dunia ini yang akan percaya bahwa dia bisa meracuni dirinya sendiri. Dan meskipun Ma
Ji-liong ngotot mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang, tak ada orang yang akan
mempercayainya. Dan karena orang-orang menganggap bahwa Ma Ji-liong adalah orang yang meracuni
Khu Hongseng, mereka juga akan percaya bahwa dialah yang telah mencekik Siau-hoan hingga mati.
Mereka tidak akan menyelidiki lagi kenapa dia harus membunuh Siau-hoan. Memangnya masih
ada yang tidak bisa diperbuat oleh seorang pembunuh seperti dirinya"
Semua pembunuh harus mati. Sekarang Ma Ji-liong telah dihadapkan dengan hukuman
gantung. -----------------------------------------(1)Tong Sam-cong = pendeta Budha dalam cerita 'Perjalanan Ke Barat'
Bab 12: Kembang Melati Khu Hong-seng tidak mati. Inilah kali kedua dia berhasil selamat setelah
bersinggungan dengan maut. Ma Ji-liong teringat dengan tombak Kim Tin-lin dan bagaimana Khu Hong-seng
telah menyembunyikan Giok-pwe itu di dadanya. Saat itu nama Siau-hoan yang digunakan
olehnya untuk menjelaskan hal itu. Setiap langkah dan setiap detil rencananya benar-benar
dirancang dengan seksama. Dan setiap kalinya dia telah menyediakan perangkap kematian untuk
dirinya sendiri sehingga tidak ada orang yang akan mencurigainya.
Sekarang dia telah memuntahkan semua arak beracun itu, setiap orang bisa melihat
bahwa dia pasti akan selamat, dan mungkin dia akan hidup lebih lama daripada siapa pun.
Saat itulah perhatian mereka mulai dialihkan pada Ma Ji-liong, dan sorot mata
mereka amat mirip dengan senjata yang tajam.
Yang pertama bicara adalah Pang Tio-hoan.
Dia berkata, "Apa lagi yang hendak kau katakan?"
Ma Ji-liong tidak bisa berkata apa-apa. Jika dia mengungkapkan hal yang
sebenarnya, siapa yang akan percaya kalau Khu Hong-seng telah mencekik Siau-hoan hingga mati" Siapa
yang akan percaya kalau dia telah mengungkapkan rahasianya sendiri" Dan siapa yang akan
percaya kalau dia telah meracuni araknya sendiri"
Coat-taysu bertanya dengan dingin, "Apa yang akan kau berikan pada kami kali
ini?" Meskipun Ma Ji-liong punya sebilah pedang mestika di tangannya, setumpuk emas di
kantungnya, dan sehelai mantel bulu rubah di tubuhnya, tipuan lamanya tidak akan berhasil
lagi. Coat-taysu berkata, "Bukti kejahatanmu sudah amat banyak, tapi bila kau tidak
mengakuinya, kami tidak bisa mengikat tanganmu."
Ma Ji-liong tahu bahwa dia bukan hanya tidak bisa membersihkan dirinya dari
tuduhan, dia pun tidak bisa melarikan diri. Dia sangat paham akan hal ini.
Tapi asalkan dia masih bernapas, dia tidak akan pernah menyerah tanpa bertarung.
Coat-taysu berkata, "Dengan kami berempat berada di sini, menangkapmu akan sama
mudahnya dengan memakan kue. Tapi kami tidak mau menang cuma karena jumlah kami lebih
banyak darimu." "Aku paham," kata Ma Ji-liong.
"Apa yang kau pahami?" Coat-taysu bertanya.
Ma Ji-liong berkata, "Kau ingin bertarung sendiri denganku dan berharap kau
sendiri sudah sanggup membunuhku."
Lalu dia meneruskan dengan tenang, "Karena membunuh orang adalah hobimu."
Kalimat ini seperti jarum yang menusuk ke hati lawan. Tapi Coat-taysu tidak
perduli. Dia menyeringai, "Jika kau tidak ingin aku yang membunuhmu, kau boleh memilih
siapa pun yang kau inginkan untuk bertarung denganmu."
"Aku memilihmu," kata Ma Ji-liong.
"Bagus sekali," kata Coat-taysu.
Ma Ji-liong berkata, "Benar, seharusnya bukan kau. Walaupun lwekangmu tidak
sehebat Cia-go Hwesio dan ilmu pedangmu tidak sebanding dengan Giok-tojin, tapi pengalaman
membunuhmu jauh lebih banyak daripada mereka. Dan karena itu caramu membunuh pasti lebih
baik daripada mereka." Sambil menghela napas, dia melanjutkan, "Sayangnya, meskipun tahu hal ini, aku
tetap harus memilihmu." Coat-taysu tak tahan lagi dan bertanya, "Kenapa?"
Ma Ji-liong menjawab, "Karena aku selalu berpikir bahwa meskipun kau adalah
orang gila yang kejam, keras kepala dan angkuh, aku bisa berharap padamu untuk membawa keadilan
dan bila kau menuduh seseorang, maka kau akan bertindak bengis dan tidak akan membiarkan
orang itu hidup." Suaranya terdengar berduka ketika dia berkata, "Aku memilihmu karena aku harus
membunuhmu demi orang-orang yang telah salah dibunuh olehmu. Meskipun aku bukan
tandinganmu, aku bisa menjamin bahwa aku punya cara untuk membuat agar kau dan aku gugur bersama."
Coat-taysu terpaksa bertanya, "Cara apa?"
Mau tak mau dia harus percaya pada Ma Ji-liong. Ekspresi wajahnya mulai berubah.
Walaupun dia ingin membunuh Ma Ji-liong, dia sendiri pun takut terbunuh.
Dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya itu.
Tiba-tiba Ma Ji-liong tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, "Sesungguhnya kau
tidak sebengis yang orang kira. Kau takut pada kematian seperti juga orang lain."
Suaranya terdengar penuh dengan nada ejekan, "Sebenarnya aku tidak punya cara
tertentu untuk membunuhmu. Aku cuma ingin menakut-nakutimu saja, tidak lebih."
Bila jago-jago kungfu akan bertarung, mereka bukan hanya harus menenangkan
pikirannya, mereka pun harus mengendalikan emosinya. Kalau tidak mereka akan rapuh terhadap
serangan. Coat-taysu sudah lama paham akan hal ini.
Tapi saat itu amarahnya telah memuncak, bola matanya memerah seperti berdarah,
di keningnya muncul urat-urat biru. Kedua tangannya pun diulurkan seperti cakar burung
rajawali. Dia bergerak ke arah Ma Ji-liong, selangkah demi selangkah.
Ruangan ini berlantai papan kayu yang mengkilap, dan ke mana pun dia
menginjakkan kakinya, papan kayu itu segera hancur berkeping-keping.
Coat-taysu telah mengumpulkan seluruh tenaganya. Jika orang terpukul oleh
tangannya, dia tentu akan terjungkal mati! Tak pernah terpikir olehnya kalau dia mungkin akan membunuh orang yang salah!
Kecuali bunyi papan kayu yang hancur, seolah-olah tidak ada suara lain di dunia
ini. Mendadak mereka mendengar suara teriakan seseorang yang menjajakan bunga.
"Anggrek mutiara. Kembang melati."
Suara penjual bunga itu terdengar nyaring dan merdu seperti mengalun dari tempat
yang jauh. Tapi suara itu tiba-tiba bergerak semakin dekat hingga seakan-akan kata-kata tadi
diucapkan orang di pinggir telinga mereka. "Brak!", tiba-tiba sebuah lubang berbentuk manusia telah muncul di dinding yang
putih dan cerah itu. "Anggrek mutiara. Bunga melati."
Tiba-tiba seseorang telah muncul dari lubang di dinding tersebut. Dia adalah
seorang penjual bunga bertubuh ramping, memakai topi bambu dan bergaun hitam. Di tangannya terdapat
beberapa kuntum bunga melati yang terikat oleh seutas kawat besi.
Bunga melati yang harum tentu indah, dan begitu pula tangan penjualnya. Ma Jiliong tiba-tiba teringat, ketika mereka berada di jalan sempit itu, Toa-hoan telah pergi
bersamaan dengan kedatangan seorang perempuan penjual bunga yang misterius. Apakah yang akan
dilakukan perempuan itu di sini"
"Apakah Tuan suka bunga melati?"
Tiba-tiba dia meletakkan sekuntum melati di antara cakar rajawali Coat-taysu.
Seperti anak panah yang dipentang kencang pada sebuah busur, tangan ini mengandung tenaga yang akan
terlepas saat bersentuhan. Dan jika dilepaskan, bahkan batu karang pun akan hancur karenanya.
Yang mengejutkan, ternyata bunga melati itu tidak hancur. Malah sepertinya bunga
melati itu yang menusuk tangannya. Dan rasa sakitnya pun pasti telah menusuk hatinya, karena
setelah mendapatkan bunga itu, dia lalu melompat ke udara dan - seperti anak panah melesat keluar lewat jendela. Siapakah gadis penjual bunga ini" Kekuatan misterius macam apa yang dimiliki
bunga melati itu" Penjual bunga itu membalikkan badan dan berjalan menghampiri Giok-tojin.
"Tuan suka bunga melati?"
Dia mengambil sekuntum bunga lagi.
"Inilah sekuntum bunga melati yang harum dan indah. Tuan harus membelinya
sekarang juga. Kalau tidak, Tuan pasti akan menyesalinya nanti."
"Aku ingin membelinya. Berapa harganya?" Giok-tojin bertanya.
"Bungaku berharga pantas. Aku tidak pernah berlaku curang."
Suaranya terdengar jernih dan lembut, "Satu nyawa.... untuk sekuntum bunga


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melati." Giok-tojin tersenyum dipaksa. Lalu dia berkata, "Aku tidak sanggup."
Tiba-tiba dia melesat mundur, tubuhnya meluncur lewat lubang di tembok seperti
sebatang anak panah yang lepas dari busurnya. Cia-go Hwesio dan Pang Tio-hoan juga ikut pergi
dengan kecepatan yang sama. Sambil menghela napas, penjual bunga itu berkata, "Bunga melati yang begini
indah, kenapa tidak ada yang mau membelinya?"
Ma Ji-liong tiba-tiba berkata, "Mereka tidak mau, tapi aku mau."
Perempuan penjual bunga itu tidak berpaling. Dia hanya berkata, "Kau cuma punya
satu nyawa. Kau pun tidak akan sanggup."
"Bagaimana jika aku benar-benar ingin membelinya?"
"Aku tidak jual."
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak menginginkan nyawamu."
"Aku baru saja mendapatkan kembali nyawaku."
"Karena kau baru saja mendapatkannya kembali, seharusnya kau benar-benar
menghargainya." Sambil bicara, dia pun mulai melangkah. Ma Ji-liong lalu membuntutinya. Dan
mereka berdua pun berjalan keluar dari rumah itu dan masuk ke jalan raya yang gelap di luar sana.
Bab 13: Gadis Penjual Bunga
Malam yang dingin, tidak berawan dan penuh bintang. Di bawah sinar bintang,
punggung gadis penjual bunga itu terasa sudah dikenalnya, seolah-olah gadis itu adalah kenalan
lamanya. Dia tidak menggunakan ginkang, dia pun tidak lari. Tapi Ma Ji-liong tetap tidak mampu
menyusulnya. Maka dia lalu menggunakan Thian-ma-hing-khong yang termasyur di dunia Kang-ouw.
Tapi tibatiba gadis itu sudah menjauh 50-60 kaki. Dia berusaha menyusulnya lagi, tapi gadis
itu malah semakin jauh di depan sana.
Ketika dia menurunkan kecepatannya, maka langkah kaki gadis itu pun melambat.
Ketika dia berhenti, maka gadis itu pun berhenti.
Agaknya, meskipun gadis itu tidak mau dia menyusulnya, ia pun sebenarnya tidak
mau meninggalkan dirinya jauh-jauh di belakang.
Mendadak Ma Ji-liong bertanya, "Kau tidak membiarkan aku melihatmu karena kau
tidak ingin aku tahu siapa kau, benarkah begitu?"
Dia tidak menjawab. Dia pun tidak membantah.
Ma Ji-liong tertawa kecil, "Sayangnya aku sudah tahu siapa kau."
"Tentu saja kau seharusnya sudah tahu."
Dia tertawa cekikikan dan berkata, "Karena kau tentu tidak begitu bodoh."
Tentu saja gadis itu adalah Toa-hoan yang tadinya telah lari karena takut pada
seorang gadis penjual bunga. Saat ini dia telah mengenakan baju gadis penjual bunga itu, bahkan
keranjang bunga di tangannya juga milik gadis itu. Tapi di manakah penjual bunga yang misterius
itu" Ma Ji-liong tidak memahami gadis ini. Kehidupan Toa-hoan, kungfunya dan asalusulnya, semua terlalu misterius. Bagaimana dia dulu bisa terkubur di dalam es dan salju" Coattaysu dan Gioktojin termasuk jago-jago terbaik di dalam Bulim, tapi kenapa mereka begitu takut
padanya" Tidak seorang pun yang bisa menjelaskan kejadian yang terjadi di sekitarnya ini.
Semakin lama dia bergaul dengan gadis ini, sebaliknya dia malah semakin tidak bisa memahaminya.
Dan dia tentu saja tidak bisa pergi. Setiap kali gadis ini muncul, sesuatu yang
misterius tentu akan terjadi. Kali ini apa lagi yang akan diperbuat olehnya" Tipuan licik apa lagi
yang ada di dalam benaknya" Ma Ji-liong benar-benar ingin tahu.
Tentunya Toa-hoan punya tipuan lain. Dengan mata yang bersinar-sinar, tiba-tiba
dia berkata, "Aku sudah tahu bahwa kau adalah orang yang pemberani, maka kali ini aku akan
membawamu ke sebuah tempat yang aneh."
"Untuk apa?" "Untuk bertemu dengan seseorang." Toa-hoan sengaja bersikap misterius. "Seorang
perempuan yang amat aneh." "Pernahkah aku bertemu dengannya?"
"Mungkin pernah satu kali."
"Maksudmu gadis penjual bunga itu?"
"Kau memang tidak bodoh."
Lalu Toa-hoan meliriknya dan bertanya, "Kau berani pergi menemuinya?"
Ma Ji-liong tentu saja berani. Meskipun gadis penjual bunga itu adalah makhluk
pemakan manusia, dia tetap ingin bertemu dengannya.
Sambil mengedipkan mata penuh arti, Toa-hoan bertanya lagi, "Kau tidak akan
menyesal" Setelah kau bertemu dengannya dan apa pun yang terjadi, kau sama sekali tidak akan
menyesalinya?" Jawaban Ma Ji-liong sudah pasti. "Aku sudah banyak mengalami hal yang patut
disesalkan. Apa artinya kalau ditambah dengan satu lagi?"
Toa-hoan tertawa dan berkata, "Tidak ada artinya." Suara tawanya terdengar
nyaring seperti bunyi lonceng. "Memang tidak ada artinya."
Maka mereka pun berangkat. Dalam perjalanan, Ma Ji-liong terus bertanya-tanya
tentang tempat tujuan mereka. Dia memikirkan beberapa tempat yang aneh, tapi dia tidak pernah
menduga kalau gadis itu ternyata membawanya ke kantor pengadilan Xiangcheng.
Meskipun hakim di sini hanya berpangkat rendah, tempat ini tetap saja kantor
pengadilan dan ukurannya jauh lebih besar daripada yang dulu dibayangkan oleh Ma Ji-liong.
Jalan masuknya sudah ditutup, sehingga mereka pun masuk lewat pintu samping.
Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong memasuki kantor pengadilan. Di atas kepalanya
ada sebuah genderang dan di aula utama tergantung sebatang tongkat bambu untuk menghukum
terdakwa. Di situ juga dipertunjukkan segala jenis alat siksaan. Semua yang ada di sini
membuatnya merasa ganjil dan aneh. Di sana juga ada prajurit-prajurit bertopi merah. Walaupun hakim telah keluar
dari aula utama itu, di sana tetap ada prajurit-prajurit yang bertugas jaga, dua orang di tiap pintu.
Tapi prajurit-prajurit ini seperti buta semua matanya, tidak perduli akan kedatangan mereka.
Prajurit-prajurit itu pasti tidak buta. Dia dan Toa-hoan jelas-jelas berjalan
melewati mereka. Kenapa mereka tidak melihatnya" Apakah Toa-hoan menggunakan semacam ilmu sihir" Apakah
dia bisa menyembunyikan sosok mereka dari pandangan para prajurit itu"
Di belakang aula utama itu ada sebuah halaman yang suram, di sana juga ada dua
orang prajurit bertopi merah yang bertugas jaga. Tiba-tiba Ma Ji-liong berjalan menghampiri
salah seorang dari mereka dan berkata, "Hei, kau tidak melihatku?"
Prajurit itu tidak perduli, bahkan tidak meliriknya. Dia malah bertanya pada
temannya, "Apakah barusan ada orang yang bicara?"
"Tidak." "Apakah kau melihat seseorang?"
"Tidak, bahkan bayangan setan pun tidak ada."
Tentu saja Ma Ji-liong merasa heran. Jika bukan Toa-hoan yang membawanya datang
ke halaman ini, dia tentu akan mencoba untuk mencubit mereka. Apakah mereka akan kesakitan"
Sambil tertawa cekikikan, Toa-hoan berkata, "Meskipun kau berjungkir-balik di
depan mereka, mereka tidak akan melihatmu."
"Kenapa begitu?"
Tiba-tiba gadis itu merubah pokok pembicaraan dan berkata, "Apakah kau tahu
tempat apa ini?" Ma Ji-liong tidak tahu, tapi dia sudah bisa merasakan hawa yang menyeramkan di
tempat itu. "Ini adalah kamar mayat," kata Toa-hoan. "Jika ada orang yang terbunuh di daerah
ini, mayat mereka akan dibawa ke sini untuk diotopsi."
Ma Ji-liong tidak melihat jenazah, juga tidak mencium bau darah yang menyengat,
tapi perutnya sudah mulai terasa tidak enak. Di tempat seperti ini, tidak ada orang yang bisa
merasa tenang. Kenapa Toa-hoan membawanya ke sini"
Di halaman itu ada dua baris bangunan, tanpa lampu maupun jendela. Tapi dari
kamar terakhir di sebelah kanan, meskipun pintunya tertutup, sepertinya ada secercah cahaya yang
merembes keluar dari retakan pintu. Dan Toan-hoan berjalan memasuki pintu itu.
Ma Ji-liong tak tahan lagi dan bertanya, "Apakah kau membawaku ke sini untuk
bertemu dengan seseorang di kamar ini?"
"Kenapa kau tidak masuk dan melihat sendiri?" Dan gadis itu mendorong pintu
hingga terbuka. Di kamar itu memang ada cahaya, dan orang bisa melihat sebuah lampu yang redup
dan sebuah ranjang yang besar. Di atas tempat tidur ada selembar kain putih yang menutupi
sesosok tubuh di bawahnya. Walaupun mukanya tertutup kain, tapi kakinya tidak.
Yang pertama dilihat Ma Ji-liong adalah kaki itu, sepasang kaki yang seputih
salju dan betis yang indah. Jari-jari kakinya tampak lembut dan indah. Siapa pun yang melihat sepasang kaki
ini tentu segera menyadari bahwa ini adalah sepasang kaki wanita, yang tentunya milik seorang
perempuan yang cantik jelita. Ma Ji-liong sekarang teringat bahwa dia belum sempat melihat wajah gadis penjual
bunga tersebut di dalam gang gelap itu. Tak tahan lagi dia pun menghela napas.
"Apakah dia sudah mati?"
"Tampaknya begitu."
"Apakah kau yang membunuhnya?"
Toa-hoan menjawab dengan acuh tak acuh, "Dia selalu memandang rendah pada
diriku, dia mengira bahwa dia lebih baik dariku dan bisa mengalahkanku kapan saja. Asal
melihatnya, aku pasti lari. Itulah yang membuat dirinya menganggap enteng padaku."
Meremehkan musuh selalu merupakan kesalahan yang tak bisa dimaafkan.
Toa-hoan berkata dengan tenang, "Dia memandang rendah pada diriku, itulah
sebabnya aku masih bisa berdiri tegak sementara dia sudah ambruk. Bagiku, dia sama saja sudah
mati." Ma Ji-liong terpaksa bertanya sekali lagi, "Kau bilang, dia sama saja sudah
mati?" "Hmm." "Jadi dia sebenarnya belum mati?"
"Kenapa kau tidak melihat sendiri?" Gadis itu tersenyum misterius. "Lihatlah
baik-baik." Agar bisa dilihat, lembaran kain itu pun harus disingkap. Ma Ji-liong lalu
menyingkapnya dan segera melepaskannya kembali secara mendadak, wajahnya tiba-tiba menjadi merah
dan jantungnya berdebar-debar semakin keras. Walaupun dia belum melihat dengan jelas, dia tidak
berani melihat lagi. Di balik kain itu adalah tubuh seorang gadis yang telanjang bulat sama sekali.
Dia belum pernah melihat seorang perempuan dengan tubuh yang seindah dan wajah yang secantik itu.
Jika perempuan seperti dia benar-benar sudah mati, hal ini benar-benar patut
disayangkan. Toa-hoan bertanya lagi, "Lihatlah. Apakah dia sudah mati?"
Ma Ji-liong tidak tahu. Toa-hoan berkata, "Kau cuma melihatnya sepintas, tentu saja kau tidak tahu
apakah dia sudah mati atau tidak. Tapi kau tentu bisa melihat bahwa perempuan secantik dia itu adalah
langka." Ma Ji-liong mengakui hal itu.
Toa-hoan berkata, "Kalau begitu, seharusnya kau tahu bahwa dia masih hidup."
"Kenapa begitu?" Ma Ji-liong bertanya.
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Karena dia benar-benar terlalu cantik.
Aku tidak tega membiarkan dia mati. Meskipun aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku tidak
tega." Ma Ji-liong menghela napas.
Toa-hoan bertanya, "Kenapa kau menghela napas?"
Jodoh Si Mata Keranjang 9 Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Perguruan Sejati 10

Cari Blog Ini