Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Bagian 4
mengeroyok, dan akan ketahuan pula siapa dia sebenarnya.
Seorang pemilik sebuah toko, hidup tenteram dan rukun, pasti tak mau membela
Thiat Tin-thian yang terkenal jahat dan ganas, apalagi mau mempertaruhkan jiwa raga sendiri.
Demikian pula seorang yang berpikiran sehat dan punya akal budi lumrah, pasti tak mau
melakukan perbuatan bodoh, mengorbankan jiwa sendiri secara percuma.
Ji-liong bukan orang bodoh. Ia juga tahu, cara bagaimana harus mempertahankan
jiwa raga sendiri. Manusia hanya hidup sekali, hanya punya satu jiwa. Seperti juga manusia umumnya,
ia pasti sayang dan ingin mempertahankan hidupnya.
Sayang sekali pada detik-detik yang genting ini, mendadak Ji-liong sadar, ia
menemukan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan dengan jiwa orang hidup di dunia ini.
------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------Coat-taysu memang menduga di dalam sumur hanya ada dua orang saja. Jika ada
orang yang mendadak menerjang keluar, mereka pasti amat kaget. Di saat mereka kaget itulah,
kesempatan yang amat berharga untuk Ma Ji-liong turun tangan.
Meski hanya sedikit kesempatan, Ma Ji-liong takkan mengabaikannya. Umpama tak
ada kesempatan, Ji-liong tetap akan menerjang keluar melabrak musuh. Maka dengan
tekad bulat, dengan mengerahkan seluruh kekuatan, ia pun menerjang keluar.
Bab 21: Kesetiaan Yang Teruji
Manusia kenapa harus mempertahankan hidup" Apakah karena ia ingin melaksanakan
tugas dan kewajiban yang harus dilakukan" Kalau seorang beranggapan tugas yang mutlak ia
kerjakan tak mampu ia lakukan, lalu apa artinya ia bertahan hidup"
Sumur itu terletak di tengah pekarangan. Mentari pagi sudah memancarkan
cahayanya yang benderang, hawa sejuk dan nyaman, tampak merah darah. Darah memang berceceran di
tanah. Darah orang lain, juga darah dari tubuh Thiat Tin-thian dan Thiat Coan-gi.
Waktu Thiat Tin-thian menerjang keluar, sebilah Bian-to menyongsong batok
kepalanya. Golok tipis itu membacok lurus dengan jurus lihai, namun sekali raih sambil
menundukkan kepala, Thiat
Tin-thian berhasil menangkap pergelangan tangan orang terus dipelintirnya ke
kiri, berbareng tangan yang lain mencengkeram pundaknya. Di tengah raungan gusarnya, lengan
orang ini ia betot hingga putus seperti pengemis menarik paha ayam panggang layaknya. Sayang yang
menjadi korban kelihaian permainan telapak tangannya bukan Coat-taysu, juga bukan Pang
Tio-hoan, tapi seorang jago silat yang tidak terkenal.
Di luar pintu dapur ditaruh dua kursi, Coat-taysu dan Pang Tio-hoan tampak
bercokol dengan kereng tanpa bergerak. Dengan dingin mereka mengawasi buronan yang mirip tikus
di tengah jalan raya, terkepung rapat dan tak mampu melarikan diri. Jumlah orang yang berkumpul
di sini tidak sedikit, mereka adalah orang-orang yang ingin mengganyang gembong iblis pembunuh
saudara atau keluarganya, maka mereka pula yang harus beraksi, berebut pahala. Kecuali
menuntut balas, Coattaysu
dan Pang Tio-hoan segan turun tangan, mereka menjaga gengsi, tidak mau
menghadapi lawan yang sudah terluka. Coat-taysu, Pang Tio-hoan dan lain-lain memang tidak menyangka kalau di bawah
sumur masih ada orang ketiga. Setiap manusia, siapa pun orangnya, bila menghadapi suatu
peristiwa di luar dugaan atau di luar perhitungannya, sedikit banyak tentu akan terkejut. Begitu lena
sekejap saja, maka akan mengundang kesalahan yang fatal akibatnya.
Mumpung ada kesempatan, sebetulnya Ma Ji-liong sudah siap memberikan sergapan
yang mematikan. Asal seorang di antara dua gembong silat ini berhasil dilumpuhkan,
itu berarti ia punya harapan dan peluang untuk merobohkan lagi yang lain.
Sayang sekali perhitungan Ma Ji-liong meleset jauh dari dugaan semula. Begitu ia
menerjang keluar, ternyata Coat-taysu dan Pang Tio-hoan jauh beberapa tombak dari mulut
sumur. Namun Ma Ji-liong sudah terlanjur bertindak, sudah terlanjur bergerak, maka ia tetap
menerjang ke sana. Ia sudah bertekad berbuat sesuai rencana dan keinginan hatinya, tidak memikirkan
gagal atau berhasil. Apalagi keadaan segenting ini, ia tidak boleh berhenti atau membatalkan rencana.
Ma Ji-liong masih berpakaian hitam dari kain kasar, kedok kepalanya yang hitam
entah sejak kapan sudah ia tanggalkan, mungkin waktu pertama kali ia terjun ke dasar sumur tadi.
Selama berkecimpung di kalangan Kangouw, belum pernah Ma Ji-liong merasa gentar
menghadapi persoalan pelik, sekalipun di saat dirinya masih normal, normal dalam arti
dirinya adalah Ma Jiliong
tulen, bukan Thio Eng-hoat seperti sekarang. Wajah yang sekarang sudah tentu
bukan wajah Ma Ji-liong yang pernah dikenal oleh Coat-taysu, Thio Eng-hoat tidak dikenal
atau pernah dilihat oleh orang persilatan di mana pun.
Bahwasanya kepandaian Ma Ji-liong belum terhitung kelas wahid atau jago kosen
kalangan Kangouw, tapi sejak ia mulai belajar berjalan, ayah bundanya sudah melatih
dirinya hingga umur tujuh tahun mulai dipupuk dasar pelajaran silat. Ilmu silat Ji-liong mungkin tak
sejajar dengan ilmu silat Siau-lim dan Bu-tong yang sudah tercatat dalam lembaran sejarah sebagai
aliran silat yang ternama, perguruan besar yang disegani dan ditakuti, namun ilmu silat Thian-matong mempunyai ciri khas dan keistimewaan sendiri.
Seseorang bila berhasil dan sukses mengejar karir hingga terkenal, kuat bertahan
sampai lama, pasti mempunyai kemampuan yang luar biasa, keistimewaan yang boleh diagulkan, terutama
Ginkang dari keluarganya, ilmu ringan tubuh dari Thian-ma-tong.
Sudah puluhan tahun, turun temurun Ginkang Thian-ma-tong malang melintang, bagai
kuda terbang yang melesat di udara. Di kala menyergap musuh dari udara, perbawanya memang
amat mengejutkan. Seorang laki-laki baju hitam yang kelihatan kasar, sederhana dengan gerak tubuh
secepat kilat mendadak menerjang keluar dari dalam sumur yang semula dikira tidak ada orangnya
lagi, langsung menubruk ke arah dirinya, sudah tentu Coat-taysu amat kaget dan heran.
Menghadapi kejadian di luar dugaan, siapa pun pasti kaget dan panik, apalagi penyergap ini memiliki
Ginkang yang tinggi. Sigap sekali Thiat Tin-thian melemparkan korbannya ke samping. Dengan raungan
keras ia menjejakkan kaki, tubuhnya melesat ke depan mengejar Ma Ji-liong dengan tubrukan
katak, kedua tangannya ternyata dapat mulur beberapa senti lebih panjang. Tangkas sekali ia
berhasil mencengkeram ikat pinggang Ma Ji-liong, berbareng jari telunjuk dan jari
tengahnya menutuk Hiatto di belakang pinggangnya. Di saat suara raungannya belum sirap, sekuat tenaga ia
menarik dan melemparkan Ma Ji-liong ke belakang dari atas kepalanya. Mati pun Thiat Tinthian tidak rela sahabatnya ini berkorban untuk dirinya, ia harus mencegah perbuatan nekad Jiliong. Di saat Ma Ji-liong menyergap dari udara, dilihatnya Coat-taysu sudah berdiri
sambil mengulurkan kedua tangannya ke depan. Telapak tangannya dengan jari-jari setengah tertekuk
bagai cakar elang sudah berubah dua kali, dari warna hijau pupus menjadi merah maron, demikian
pula urat hijau di punggung tangannya juga berubah merah kuning, mirip cahaya matahari di kala
tenggelam ke peraduannya, mulai redup tapi gemerdep.
Tidak ada orang lain yang lebih paham kecuali Thiat Tin-thian, betapa mengerikan
pukulan Samyang- coat-hu-jiu itu. Secara lahir batin Thiat Tin-thian sudah merasakan betapa besar
siksa derita orang yang terkena pukulan keji ini, maka ia harus mencegah Ma Ji-liong
menyerempet bahaya demi dirinya. Coat-taysu yang sudah berjingkrak berdiri dan siap menyerang dengan kedua
telapak tangannya, kini menurunkan lagi kedua tangannya, lalu duduk pula di tempatnya, tatapan
matanya dingin, "Siapa orang ini?" pertanyaannya dingin kaku.
"Seorang kawan," sahut Thiat Tin-thian.
"Hm, kau juga punya kawan?" jengek Coat-taysu.
Thiat Tin-thian tertawa latah, serunya, "Orang she Thiat membunuh orang tak
terhitung banyaknya, musuh tersebar luas di seluruh pelosok dunia, tapi yakin kawanku tidak kalah
banyak dibanding kau. Apalagi kawan seperti dia, aku yakin selama hidupmu kau justru tak pernah
punya kawan seperti kawanku yang satu ini."
Lama Coat-taysu menatapnya dengan memicingkan mata, perlahan ia menoleh ke arah
Ma Ji-liong yang berdiri tak jauh di pinggir sana. "Apa betul kau kawannya?"
"Betul," tegas jawaban Ma Ji-liong.
"Apa betul kau rela berkorban untuk kawanmu ini?"
Ma Ji-liong menjawab, "Aku berani berkorban untuk diriku sendiri, jiwaku berani
kupertaruhkan." Ia tidak sengaja merubah suara, tapi suaranya memang berubah.
Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-long yang lihai bukan saja merubah bentuk
wajahnya, dia juga merubah suaranya. Sudah tentu Coat-taysu juga tidak kenal suaranya, maka ia bertanya pula,
"Tahukah kau, kenapa
aku hendak membunuhnya?"
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia memang tidak tahu.
Coat-taysu bertanya pula, "Tahukah kau siapa tiga saudara Nyo yang dijuluki
orang 'teman bak saudara, setia dan adil tiada bandingan'?"
Ma Ji-liong tahu. Meski tidak kenal, ia pernah mendengar kebesaran nama Nyo
bersaudara ini. Mereka tinggal di Ho-tiong, keluarga besar persilatan ini sudah turun temurun
menjagoi daerah itu dengan kekayaan yang berlimpah-limpah. Meski tiga saudara, namun mereka hidup
akur dan rukun, tri-tunggal yang kokoh kuat dan tak tergoyahkan, punya uang, ternama, berkuasa,
berjiwa besar, luhur budi, setia kawan, berbakti, suka membela keadilan. Tiga saudara dengan
keluarga masingmasing tinggal di dalam satu perkampungan besar, secara bergilir mereka meladeni ayah
bundanya yang sudah lanjut usia. Sikap Coat-taysu tampak prihatin, berat dan sedih, katanya pula, "Nah, dua puluh
sembilan orang anggota keluarga marga Nyo itu, besar kecil, tua muda, seluruhnya mati dalam
sekejap mata oleh golok Thiat Tin-thian. Tujuh belas perempuan muda yang masih hidup, ia jual ke
markas tentara di perbatasan untuk dijadikan babu dan pelampias nafsu tentara yang rakus berahi
itu." Mendadak Thiat Coan-gi meraung gusar sambil memburu ke depan, "Jangan kau
mengoceh demi kebenaranmu sendiri. Tahukah kau kenapa ia berbuat demikian?" Suaranya beringas
dan memilukan, "Tahukah kau dengan cara bagaimana ketiga saudara Nyo itu menyiksa
dan membunuh ayah bundaku" Menggagahi isteriku dan membantai putra-putriku?"
Coat-taysu menyeringai dingin, jengeknya, "Itulah pembalasan atas perbuatanmu."
"Betul, juga pembalasan atas perbuatan mereka!" hardik Thiat Tin-thian. "Tiga
saudara Nyo dan seluruh keluarganya, akulah yang membunuhnya. Aku yang berbuat, aku yang
bertanggung-jawab, tiada sangkut-paut dengan orang lain." Lalu ia menuding beberapa orang yang
tersebar di pekarangan, mereka adalah murid-murid berbagai perguruan yang dibawa Coat-taysu
untuk menuntut balas, mereka siap menjagal Thiat Tin-thian dan Thiat Coan-gi, "Orangorang ini tentu sanak-kadang atau teman baik keluarga Nyo, mereka sudah tahu kalau aku telah
terluka oleh SamKoleksi Kang Zusi yang-coat-hu-jiu. Mereka juga tahu, bila dapat membunuh aku, nama mereka akan
terangkat dan boleh menepuk dada di muka umum sebagai penumpas kejahatan. Sebaliknya kau
adalah pendekar besar, Coat-taysu yang tersohor, tidak perlu kau ikut rebutan pahala, celaka
kalau kau gugur di tanganku." Coat-taysu diam saja, hanya sorot matanya tampak gusar dan beringas.
Thiat Tin-thian juga makin beringas, lebih emosi, teriaknya, "Tapi aku belum
mampus, kalian ingin merenggut jiwaku, maka kau undang orang-orang bodoh yang gila jasa ini, tapi
yakinlah, sebelum aku ajal, aku masih mampu memelintir putus leher beberapa orang, memukul remuk
badan mereka." Coat-taysu menyeringai, katanya, "Mereka membela keadilan, mengejar kebajikan,
mati demi
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuntut balas sakit hati teman, tidak perlu dibuat menyesal, aku tidak bisa dan
takkan mencegah mereka berjuang demi kemuliaan."
Thiat Tin-thian berkata, "Baiklah, aku akan menyempurnakan mereka sekuat
tenagaku." Lalu ia menuding Ji-liong, "Apa yang pernah kulakukan sedikit pun tiada sangkut-pautnya
dengan orang ini. Asal kau membiarkan dia pergi, terserah siapa yang kau suruh memenggal
leherku, aku pasti takkan membalas." Lama Coat-taysu mengawasinya dengan mata terpicing, sekilas ia menoleh ke arah
Ma Ji-liong, "Sebelum hari ini, aku belum pernah melihat kau, kelihatannya kau bukan orang
jahat." Ma Ji-liong hanya mendengar, tidak bicara, tidak bertanya, tidak membantah juga
tidak memberi komentar. "Sejak kapan kau berkenalan dengan Thiat Tin-thian?" tanya Coat-taysu.
"Baru saja," sahut Ma Ji-liong.
"Ya, kapan?" desak Coat-taysu.
Thiat Tin-thian menimbrung, "Belum setengah hari ia kenal denganku."
Coat-taysu menghela napas, katanya, "Kenal belum setengah hari tapi sudah rela
mengadu jiwa untuk orang lain" Memang jarang ada manusia seperti dirimu." Mendadak ia menoleh
ke arah Ma Ji-liong, lalu katanya sambil mengulapkan tangan, "Kau pergi saja."
----------------------ooo00ooo-----------------------------------Ma Ji-liong tetap berdiri di tempatnya, berdiri tegak tidak bergeming.
Coat-taysu menatapnya lagi sekian lama, kemudian ia bertanya, "Kau tak mau
pergi?" "Aku tidak akan pergi," sahut Ma Ji-liong tegas. "Pasti takkan pergi."
That Tin-thian meraung lagi, "Kau harus pergi, lekas pergi."
"Hanya ada satu cara untuk memaksa aku pergi," suara Ma Ji-liong lantang tapi
tenang dan wajar, tegas lagi berani, "Bunuh aku dan gotong pergi."
Memicing mata Coat-taysu, jengeknya, "Tidak sukar membunuhmu. Tadi kalau dia
tidak menarikmu, sekarang kau sudah digotong pergi, tahu."
"Aku tahu." "Kau ingin digotong pergi?"
"Ya, bila perlu dan terpaksa."
"Kenapa kau ngotot ingin membela mereka?"
"Tidak kenapa."
Bahwasanya jawaban ini tidak kena sasaran. Seseorang boleh 'tidak kenapa'
berkenalan dan bersahabat dengan orang lain yang dianggap cocok, tidak memikirkan untung
ruginya, tidak perduli akibatnya, juga tiada maksud dan tujuan tertentu. Tetapi setelah berkenalan dan
bersahabat dengan orang itu, apa yang ia lakukan untuk temannya, bukan lagi dinilai dengan dua
buah kata 'tidak kenapa', tapi lantaran suatu ikatan atau tepatnya karena adanya jalinan
persahabatan yang meresap
akrab lahir batin, yang pasti jalinan persahabatan itu sukar dijelaskan
bentuknya. Karena suatu tujuan lantas berbuat atau melakukan, demi keadilan berani
melakukan, keberanian yang ditunjang kesetiaan, untuk memberikan pertanggungan jawab terhadap nurani
dan rohani, supaya dirinya tidak bisa tidur di tengah malam mana kala sedang bermimpi buruk.
Supaya dirinya tidak berdosa, menanggung beban batin di kala hidup, biar mati juga lega, mati
dengan tenteram. Kenapa bisa terjadi 'tidak kenapa'" Kalau sukses bagaimana" Kalau gagal kenapa
pula" Kalau hidup kenapa" Kalau mati bagaimana"
Sukses atau gagal, mati atau hidup tetap takkan goyah, terus maju tak mau
berpaling, tidak mau menundukkan kepala. Bab 22: Bukan Kabut Bukan Halimun
Ma Ji-liong mengangkat kepala, sinar mentari menyorot mukanya. Walau wajahnya
bukan lagi muka yang gagah dan tampan, bukan wajah yang bisa mempesona para gadis hingga
jatuh cinta padanya, tapi siapa pun yang melihatnya, sikapnya pasti hormat dan serius.
Thiat Tin-thian mengawasinya, "Transaksiku tadi sebetulnya cukup baik, boleh
sekarang juga teken kontrak, kenapa kau malah tidak setuju?"
"Karena aku juga akan menawarkan transaksi yang lebih baik untuk mereka,
kutanggung bila syaratnya sudah kujelaskan, mereka akan menerima dengan senang hati," demikian
bantah Ji-liong. "Transaksi apa?" tanya Coat-taysu. "Ada persoalan apa yang lebih baik daripada
transaksi yang ia tawarkan tadi?" "Mereka mempertaruhkan dua jiwa untuk menebus diriku," demikian ujar Ma Ji-liong
tertawa. "Jelas transaksi ini mengundang kerugian, kenapa aku setuju?"
"Lalu bagaimana dengan transaksimu?" tanya Coat-taysu.
"Kebalikannya, yaitu dengan satu jiwa menebus dua jiwa mereka," sahut Ma Jiliong. Coat-taysu menyeringai dingin, "Transaksimu tak bisa diterima."
"Lho, kenapa?" "Tidak ada orang yang dapat menebus jiwa kedua orang ini," sinis nada perkataan
Coat-taysu. "Tidak ada jiwa seseorang di dunia ini yang bernilai setinggi itu."
"Ada, hanya seorang saja," seru Ji-liong. "Aku tahu ada seorang yang cukup
setimpal untuk menebus jiwa mereka berdua."
"Siapa dia?" tanya Coat-taysu.
"Ma Ji-liong." Memicing mata Coat-taysu begitu mendengar nama Ma Ji-liong, dahi pun berkerut.
Ma Ji-liong alias Thio Eng-hoat ini juga memicingkan mata. "Aku tahu orang yang
ingin kalian cari bukan Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong adalah buronan kalian yang utama."
Coat-taysu mengangguk. "Dengan jiwa Ma Ji-liong, setimpal tidak untuk menebus jiwa mereka?"
"Ya, cukup setimpal," ujar Coat-taysu, jelas sekali perubahan mimik mukanya
berusaha menekan emosi. "Sayang sekali siapa pun tidak bisa menemukan jejak Ma Ji-liong."
"Ada orang yang bisa menemukan dan menunjukkan di mana sekarang ia berada," seru
Ma Ji-liong lantang. "Paling sedikit ada seorang yang dapat menunjukkannya."
"Siapa yang bisa menunjukkan jejak Ma Ji-liong?"
"Aku!" teriak Ma Ji-liong lantang, jelas ia pun berusaha mengendalikan diri.
"Bila kalian membebaskan kedua orang ini, aku tanggung kalian akan menemukan Ma Ji-liong."
Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, "Kau memang kawan baik, transaksimu juga
bagus sekali, sayang siapa pun takkan mau meneken kontrak yang kau tawarkan itu."
Suaranya serak dan tersendat. "Siapa mau percaya obrolanmu."
Coat-taysu diam saja, tidak perduli. Ma Ji-liong juga tidak menghiraukan ocehan
Thiat Tin-thian. Dua orang ini berhadapan, bertatap muka, saling pandang, meski mata memicing,
tapi sorot mata mereka setajam jarum. Sepatah demi sepatah Ma Ji-liong berkata, "Kau tentu tahu dan yakin, bahwa apa
yang kuucapkan bukan obrolan. Aku tidak membual."
"Ya, aku tahu," sahut Coat-taysu. "Tapi aku tak bisa dan tidak akan membebaskan
mereka lebih dulu sebelum memperoleh jaminan atau bukti."
"Kau tidak percaya kepadaku?"
"Bila kau serahkan Ma Ji-liong, mereka segera kubebaskan."
"Aku saksinya," seru Pang Tio-hoan dari samping.
Ma Ji-liong menyeringai, "Kalian tidak percaya kepadaku, kenapa aku harus
percaya kepada kalian?" "Karena aku adalah Pang Tio-hoan dan dia adalah Coat-taysu, sebaliknya kau
adalah manusia yang belum dikenal asal-usulnya." Sebetulnya alasannya kurang tepat, tapi justru
merupakan jawaban yang kena sasaran. "Kalau kau ingin aku teken kontrak, kau harus patuh kepada kami," demikian Coattaysu menegaskan. "Kalau tidak, terpaksa kami bunuh Thiat Tin-thian lebih dulu, lalu
membunuhmu." Pernyataan yang tegas, memang Coat-taysu orang yang serba tegas, hatinya kaku,
pendiriannya tidak pernah goyah, perasaannya beku, membunuh orang tanpa kenal kasihan.
Ji-liong tersudut, tiada pilihan lain, "Baiklah." Sambungnya kemudian, "Aku
percaya padamu." Tinjunya mengepal, "Aku adalah orang yang kalian cari."
"Jadi kaulah Ma Ji-liong."
"Aku adalah Ma Ji-liong."
Laki-laki setengah baya pemilik toko serba ada ini adalah Ma Ji-liong. Ma Jiliong menyerahkan diri sendiri, mengkhianati diri sendiri. Kalau ada orang yang bertanya, "Kenapa
kau menyerahkan diri?" Ma Ji-liong pasti tak bisa menjawab, karena tidak mungkin ia bilang
'tidak kenapa' lagi. Padahal Ji-liong sendiri tidak sadar, tidak tahu apa yang mendorong ia berbuat
demikian. Mungkin karena emosi" Atau karena darah yang mendidih di rongga dada" Karena setia
kawan" Atau karena kobaran semangat dan ingin menjebol belenggu keadilan yang tak terpecahkan"
Kenapa orang disebut manusia, karena manusia punya perasaan, punya perikemanusiaan. Peri kemanusiaan yang paling diagungkan di dalam kemanusiaan itu sendiri justru
sering tak bisa dijelaskan, susah dimengerti.
Ma Ji-liong mengangkat kepalanya, cahaya mentari masih menyinari mukanya, "Kau
tidak mengenalku karena wajahku sudah dirias orang," demikian ucap Ma Ji-liong. "Di
sini aku bersembunyi sebagai pemilik toko serba ada, cukup lama orang tidak menemukan
jejakku." Karena tidak bisa memperlihatkan aslinya, terpaksa Ma Ji-liong membuka rahasia sendiri,
soalnya Ji-liong tidak mampu mencuci bersih atau merubah wajahnya yang sudah dipermak menjadi
wajah Ma Jiliong yang asli. Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-long-nya telah merubah kulit
wajahnya dengan operasi yang tak mampu dilakukan orang lain. Namun rahasia ini tak
mungkin Ji-liong jelaskan secara terperinci, karena rahasia orang lain pantang ia bocorkan. Tapi
dalam perkara yang dihadapinya ini, Ma Ji-liong telah bicara dengan jujur, setiap patah kata adalah
kenyataan. Maka ia bertanya, "Sekarang, apakah kalian mau membebaskan mereka?"
Coat-taysu menoleh ke arah Pang Tio-hoan, Pang Tio-hoan juga sedang
mengawasinya. Rona muka mereka tidak kelihatan berubah.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Coat-taysu.
"Bagaimana pendapatmu?" Pang Tio-hoan malah balas bertanya. "Kalau benar dia
adalah Ma Jiliong, apa alasan dia berkorban untuk menolong Thiat Tin-thian?"
"Ya, tiada alasan," ujar Coat-taysu. "Sedikit pun tidak ada alasannya."
Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, "Aku tahu kau tidak akan dapat menipu
mereka, aku juga tahu siapa pun takkan mau percaya obrolanmu." Begitu keras ia tertawa sampai
napasnya sesak, mulut pun megap-megap. Ma Ji-liong juga ingin tertawa, tertawa sepuas-puasnya, tapi ia tidak bisa
tertawa. Ucapannya bukan bualan, setiap patah kata yang ia ucapkan adalah kenyataan, tetapi tidak ada
orang yang percaya kepadanya. Bukankah kejadian ini amat lucu dan menggelikan" Kejadian yang
mengundang gelak tawa orang hingga air mata meleleh.
Kalau Ji-liong bisa tertawa, kalau air matanya meleleh, termasuk jenis apakah
air matanya" Thiat Tin-thian masih berloroh-loroh, tampak air matanya sudah meleleh di pipi,
termasuk jenis apa pula air matanya" "Kau adalah keroco yang tidak diketahui asal-usulnya, tapi aku adalah Hoanthian-hu-te, perampok besar yang kejam, umpama jiwamu rangkap sepuluh juga takkan dapat menukar satu
jiwaku, lekas kau pergi saja." Ma Ji-liong membandel, dia tidak mau pergi.
Loroh tawa Thiat Tin-thian mendadak berhenti, mendadak ia meraung, "Kontrak
dagangmu jelas gagal, kenapa tidak lekas kau enyah dari sini?"
"Karena ia adalah kawanmu, kawanmu adalah sahabat baikmu," dingin suara Coattaysu. "Sebagai sahabat baik, ia bertekad untuk mengiringi kematianmu di sini."
Mendadak Thiat Tin-thian membalikkan tubuh, menatapnya dengan beringas, sorot
matanya memancarkan sinar gusar, ngeri dan panik. "Tadi kau bilang suruh dia pergi."
"Ya, aku pernah bilang, kusuruh dia pergi."
"Sekarang apakah kau tetap menyuruhnya pergi?"
"Bukan aku yang melarang dia pergi, tapi dia sendiri yang tidak mau pergi,"
dingin suara Coattaysu. "Tidak pernah aku memaksa orang, maka siapa pun kularang memaksa dia pergi.
Kalau ada yang berani memaksa dia pergi, biar aku yang membunuhnya lebih dulu."
Melotot bola mata Thiat Tin-thian, ujung matanya seperti hampir merekah, "Aku
mengerti, aku sudah mengerti." Desis suaranya setengah memekik sedih, "Sekarang aku sudah
tahu." "Kau tahu apa?" tanya Coat-taysu.
Gemertak gigi Thiat Tin-thian, tinjunya terkepal, desisnya geram, "Jiwamu sempit
pikiran cupat, hati kejam tangan gapah. Aku masih menganggap kau sebagai manusia lumrah, tapi
kau tidak bisa membedakan atau tidak mau membedakan salah dan benar, main bunuh habis perkara,
aku tetap menganggapmu sebagai manusia. Thiat Tin-thian malang melintang seumur hidup, tak
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhitung manusia yang terbunuh oleh kedua tanganku, bukan mustahil aku pernah salah
membunuh orang yang tidak berdosa, membunuh orang yang terfitnah, lalu apa artinya kalau suatu
ketika aku juga difitnah orang, umpama terpenggal batok kepala atau hancur luluh tubuhku juga
lumrah." Dengan nada tinggi dan beringas, ia meraung pula, "Tapi sekarang aku tahu, kenyataan
membuktikan bahwa kau bukanlah manusia."
Coat-taysu mendengarkan sambil memicingkan mata, lalu ia bertanya, "Kau ingin
melihat kawanmu mati lebih dulu" Atau ingin membiarkan temanmu melihat kau mampus dengan
konyol?" Mendadak Thiat Tin-thian memekik keras, bagai serigala kelaparan ia menjejakkan
kaki terus menubruk dengan kalap ke arah Coat-taysu. Tenaganya sudah hampir habis, tapi
tubrukan kalap dengan sisa tenaganya ini seperti singa mengamuk.
Pada saat genting itulah, dari luar pekarangan mendadak berkumandang suara merdu
yang melengking tajam, "Semua orang ingin hidup sehat, kenapa di sini ada orang yang
ingin mati?" Di saat nada tinggi merdu itu bergema di udara, dari luar tembok tampak muncul
segumpal halimun tebal yang melayang kencang ditiup angin, halimun tebal warna hijau pupus yang
melebar secara cepat itu ternyata berbau harum seperti kembang melati.
Bila beberapa patah kata ucapan merdu tadi selesai diucapkan, halimun tebal tadi
sudah berubah menjadi kabut hijau yang berkembang luas, setebal asap cerobong tungku besar
yang bergulunggulung ke empat penjuru. Padahal halimun hijau itu bukan kabut, kabut hijau itu bukan
halimun. Tak ada kabut warna hijau di dunia ini, tapi kelihatan bahwa yang tertiup oleh
hembusan angin lalu itu adalah kabut. Dalam jarak dekat, orang yang terbungkus dalam kabut tidak
bisa melihat orang atau keadaan di sekitarnya.
Seumpama Ma Ji-liong betul adalah Ma Ji-liong, tapi kalau dipandang dan diamatamati ternyata tidak mirip dan bukan Ma Ji-liong.
Bab 23: Orang Jujur Yang Tidak Jujur
Tubrukan nekat Thiat Tin-thian sebetulnya merupakan tubrukan mengadu jiwa dengan
sisa tenaga terakhir, sergapan yang akan menentukan mati atau hidup. Thiat Tin-thian sudah
bertekad mati, rela berkorban untuk menyelamatkan Ma Ji-liong, tetapi ia tidak mati, karena di saat
tubuhnya terapung di udara, tahu-tahu tubuhnya malah tertarik mundur ke belakang.
Ternyata berbareng dengan tubrukan Thiat Tin-thian itu, Ma Ji-liong juga
menubruk di belakangnya. Dengan kedua tangan ia cengkeram ikat pinggangnya serta menarik
sekuat tenaga. Di sana Coat-taysu juga sudah siap menyambut tubrukannya, tapi ia tidak jadi
melontarkan pukulannya. Begitu suara merdu itu bergema, kabut pun datang, gerakannya pun terhenti, wajah
yang semula kaku mendadak menunjukkan mimik aneh, romannya kelihatan ganjil.
Hanya sekejap Coat-taysu sudah tidak melihat Thiat Tin-thian lagi, kabut hijau
itu seperti terhembus keluar dari mulut iblis raksasa, seakan-akan pekarangan kecil itu
mendadak ditelan bulat-bulat. Kecuali kabut tebal itu, apa pun tidak terlihat lagi.
Lekas Ma Ji-liong membawa Thiat Tin-thian pulang kembali ke toko serba ada
miliknya itu. Coat-taysu dan kawan-kawannya juga tidak bisa melihat apa pun, sudah tentu
mereka tidak berani sembarangan bertindak, demikian pula Ma Ji-liong yang seperti orang buta di
tempat itu. Tapi sebagai penduduk yang sudah sekian bulan tinggal di daerah itu, sedikit banyak
ia sudah hafal keadaan sekelilingnya, apalagi ia pernah beberapa kali dolan ke rumah To Po-gi.
Maka Ji-liong tidak kuatir dirinya salah langkah seperti yang dikuatirkan Coat-taysu. Ia tidak
takut dibokong, juga tidak takut menumbuk tembok hingga tulang patah dan kepala bocor. Seorang yang
sudah berani mempertaruhkan jiwa raga, sudah siap berlaga dan mati di medan perang, lalu apa
lagi yang ditakuti" Dengan leluasa Ji-liong sampai di rumah tanpa kurang suatu apa pun.
----------------------------------ooo00ooo-------------------------------------Umumnya kalau orang tidur agak dini tentu bangunnya juga lebih pagi. Penduduk
kampung itu kebanyakan tidur sore-sore, biasanya begitu kokok ayam mulai bersahutan penduduk
sudah banyak yang bangun. Begitu fajar menyingsing, toko serba ada itu juga sudah buka pintu.
Tapi hari ini agak berbeda, keadaan tidak seperti biasanya.
Dengan menggendong Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong melompat masuk lewat pintu
samping. Sebelumnya ia sudah putar kayun keluar masuk lorong-lorong kampung yang sempit,
jorok dan bau untuk menghilangkan jejak dari pengejaran musuh. Setelah yakin dirinya tidak
dikuntit, langsung ia berputar ke belakang dan melompat masuk dari tembok belakang.
Begitu diturunkan, Thiat Tin-thian tampak lemah dan lesu, mirip orang lumpuh.
Walau sergapannya tadi berhasil digagalkan oleh Ji-liong, tapi dia sudah terlanjur mengerahkan
seluruh sisa tenaganya, kini tenaga seperti lepas dari badan sehingga sekujur tubuh terasa lemas
lunglai. Waktu Ma Ji-liong menyeretnya lari tadi, terpaksa dia menurut saja, padahal dia
tidak bisa melupakan saudaranya, Thiat Coan-gi. Walau Thiat Coan-gi bukan saudara
kandungnya, tapi selama beberapa tahun belakangan ini mereka berjuang bersama dan bertempur
berdampingan, mati hidup juga harus bersama. Di antara dua saudara ini sudah terjalin ikatan batin
yang kental, persahabatan yang kekal, lebih kental dibanding kentalnya darah.
"Aku tak boleh meninggalkan Coan-gi di sana," demikian desis Thiat Tin-thian
waktu dirinya digendong Ma Ji-liong. "Kita harus kembali dan menolongnya juga."
Kalau saat itu putar balik bukan saja sudah tidak keburu, salah-salah jejak
mereka bisa ketahuan musuh pula. "Yang diburu Coat-taysu bukan dia," demikian bujuk Ma Ji-liong. "Sebelum kau
jatuh ke tangan mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya."
Pekarangan belakang toko serba ada ini, bentuk dan luasnya mirip dan sama dengan
pekarangan rumah To Po-gi, cuma di sini tidak ada sumur. Di tengah pekarangan dibangun
sebuah rumah tambahan di mana Thio-lausit tidur. Kamar tempat tinggal Thio-lausit tampak
terbuka, Thio-lausit tidak berada di kamarnya, juga tidak ada di dapur, sementara pintu kamar mandi
terpalang dari luar. Umpama belum tidur pulas, Cia Giok-lun tentu terlena meski hanya sekejap,
demikian batin Ma Jiliong.
Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati, Ma Ji-liong mendorong daun pintu,
lalu menyelinap masuk. Tiada gangguan atau suara lirih sekalipun yang dapat
mengejutkan seseorang sehingga terjaga dari tidurnya.
Setelah diturunkan, Thiat Tin-thian dibimbing duduk di kursi rotan di mana ia
biasa duduk istirahat. Lalu ia berlari ke toko untuk mengambil segentong garam dan sekeranjang telur
ayam, ditaruh di dekat Thiat Tin-thian. Bayangan Thio-lausit ternyata juga tidak kelihatan di
dalam toko. Setelah melalap beberapa genggam garam dan dua butir telur ayam, keadaan Thiat
Tin-thian kelihatan lebih segar, barulah ia bicara, "Ini toko serba ada milikmu?"
"Ehm," Ma Ji-liong mengiakan.
"Siapakah perempuan di atas ranjang itu?" tanya Thiat Tin-thian. "Binimu?"
Susah Ji-liong menjawab pertanyaan orang. Ia tidak ingin membohongi Thiat Tinthian, namun ia juga tidak tahu, pantaskah ia mengakui hal itu" Atau harus menyangkal"
Hakikatnya ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Untung Thiat Tin-thian tidak bertanya lagi, ia menghela napas, "Seharusnya kau
tidak membawa aku ke tempat ini, tidak pantas aku berada di sini."
"Bukan saja kau harus kubawa ke mari, aku pun harus menyelamatkan jiwamu."
"Kenapa?" tanya Thiat Tin-thian tidak habis mengerti.
"Karena di sini ada seseorang yang mungkin dapat menyembuhkan lukamu."
Bercahaya bola mata Thiat Tin-thian, betapa pun ia senang, bergairah dan menyala
semangatnya. Asal ada orang yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, itu berarti ia punya
keyakinan lagi untuk menghadapi Coat-taysu, menuntut balas sakit hatinya. Dulu ia terlalu percaya
diri, terlalu yakin bahwa dirinya mampu dan kuat, sepenuh tenaga pukulan mengadu kekuatan melawan
Coat-taysu, umpama bukan tandingan juga harus gugur bersama. Kini setelah pengalaman
membuktikan dirinya bukan tandingan lawan, bahkan terluka parah lagi, maka Thiat Tin-thian tidak
berani mengulangi kesalahan, memburu keinginan yang belum pasti.
"Siapa yang dapat menyembuhkan lukaku?" ingin Thiat Tin-thian bertanya, tapi
belum ia membuka suara, seseorang sudah menyeletuk bicara.
Ma Ji-liong mengira Cia Giok-lun yang diam tak bergerak itu sudah tertidur
pulas, tapi mendadak ia bersuara, "Memang tidak pantas kau membawa orang ini ke sini. Ketahuilah, di
sini pasti tiada orang yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Kecuali keluarga Cia dan orangorangnya, siapa pun takkan dapat menolong jiwanya."
"Tapi kau........"
Mendadak Cia Giok-lun melotot, serunya, "Aku bukan anggota keluarga Cia yang kau
maksud, aku adalah bini pemilik toko serba ada ini."
Cia Giok-lun tahu, inilah kesempatan dirinya untuk memaksa Ma Ji-liong
membeberkan kenyataan, sudah tentu ia tidak mau mengabaikan peluang baik ini.
Mendadak Thiat Tin-thian berdiri, ia mencomot lagi beberapa genggam garam serta
ditelannya, lalu mencaplok dua butir telur ayam, "Biar aku pergi saja." Lalu ia betul-betul
melangkah pergi. Sudah dua puluh tahun ia malang melintang, ia tahu di balik persoalan dan keadaan di
rumah ini, pasti terselip sesuatu yang tidak boleh dijelaskan. Ia tidak ingin menyudutkan Ma Jiliong, membuatnya serba susah. Ia tidak mau dan pantang membuat teman yang mempercayai dirinya
susah. Jikalau kau ingin bersahabat dengan seorang teman, kau harus mengukir perkataan
ini di dalam sanubarimu. Seorang kawan sejati, pasti tak membiarkan kawannya susah, apalagi
menderita. Cia Giok-lun tidak memberi kesempatan Ma Ji-liong bicara, katanya, "Kau memang
harus lekas pergi, sekarang juga."
Tidak dinyana Thiat Tin-thian malah duduk kembali, "Aku tidak boleh pergi."
"Kenapa?" tanya Cia Giok-lun.
Jawaban Thiat Tin-thian justru ditujukan pada Ma Ji-liong. "Biar aku tinggal di
sini. Bila mereka meluruk ke mari, aku akan membantu kalian menghalau mereka atau mengadu jiwa."
"Mencari aku?" Ji-liong menegas dengan bingung. "Mana mungkin mereka mencari
aku?" "Bukankah Ma Ji-liong adalah buronan mereka yang utama, maka sekarang kaulah
orang yang mereka cari dan uber."
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak mengerti.
Thiat Tin-thian menghela napas, katanya, "Apa kau kira mereka tidak percaya pada
perkataanmu tadi?" "Kau kira mereka percaya?"
"Pasti percaya, percaya sekali."
"Tapi, bukankah mereka tidak mau menerima usulku?"
"Jangan bodoh. Kalau mereka menerima usulmu dan mengakui bahwa kau benar adalah
Ma Jiliong, maka mereka harus membebaskan kami berdua," ujar Thiat Tin-thian sambil
menyeringai dingin. "Kita bertiga sudah terkepung, seumpama burung dalam sangkar, siapa pun
tak mampu lari atau meloloskan diri, kenapa mereka harus menerima persyaratanmu" Kenapa harus
membebaskan aku?" Ma Ji-liong melenggong, berdiri menjublek sekian saat, mulutnya bungkam tak bisa
tertawa. Sekarang ia sadar dan mengerti, betapa keji dan culas hati manusia yang sudah
berkecimpung di Kangouw, lika-liku kehidupan kaum Bulim kadang kala sukar dibayangkan dengan
nalar sehat. Sejak tadi Cia Giok-lun diam dan mengawasi Ma Ji-liong, mendadak ia meronta
bangun dan duduk, serunya, "Jadi kau inilah Ma Ji-liong, penjahat besar yang buron itu?" Suaranya
serak, "Kau inikah Ma Ji-liong yang durjana dan sudah kelewat batas melakukan kejahatan itu?"
Darah seperti mendidih di rongga dada Ma Ji-liong, amarahnya berkobar, rasa
penasaran membuat ia naik pitam, "Betul, aku adalah Ma Ji-liong," suaranya juga serak. "Aku adalah
Ma Ji-liong, keparat yang telah banyak melakukan kejahatan."
Thiat Tin-thian menjublek di atas kursi.
Tahun-tahun belakangan ini, jarang ada kejadian apa pun di dunia ini yang bisa
membuatnya kaget,
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apalagi menjublek. Tapi perempuan ini seharusnya adalah bini Ma Ji-liong, kenapa
dia tidak tahu kalau Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong"
Ternyata Cia Giok-lun juga menjublek di tempatnya, lama sekali baru dia menarik
napas panjang, desisnya perlahan, "Kau bukan Ma Ji-liong."
"Akulah Ma Ji-liong, Ma Ji-liong tulen."
"Kau bukan Ma Ji-liong, bukan Ma Ji-liong!" demikian teriak Cia Giok-lun, tegas
suaranya. "Ma Ji-liong adalah penjahat keji lagi telengas, perbuatan kotor apa pun berani dan
pernah ia lakukan......" Mendadak suaranya berubah halus dan lembut, "Tapi sudah tiga
bulan dua puluh hari aku tinggal di sini berdampingan denganmu, aku tahu dan yakin kau pasti bukan
orang jahat, kau alim dan bajik, jujur lagi."
Ji-liong diam saja, ia memang tak mampu bicara, tenggorokannya seakan tersumbat.
Sejak kasus ini terjadi, ia sudah mulai biasa dihina, dicaci maki, difitnah. Rasa kasihan dan
simpati orang lain terhadapnya malah mengundang rasa sedih, murung dan masygul serta membuat
hatinya mendelu. Pada saat itulah di dalam toko mendadak terdengar suara orang, suara Thiolausit. Ji-liong sungkan berhadapan dengan Cia Giok-lun, maka ia segera memburu keluar.
Ternyata Thio-lausit memang ada di dalam toko, sedang menyapu lantai, gelagatnya
ia siap membuka toko. Ma Ji-liong menatapnya beberapa kejap. "Kau sudah pulang?" tanyanya.
"Aku tidak pulang," sahut Thio-lausit. "Aku tidak pernah keluar, kenapa harus
pulang?" Apa betul dia tidak keluar" Jelas tadi dia tidak berada di dalam rumah, juga
tidak ada di dapur, di toko juga tidak kelihatan bayangannya. "Tadi aku berada di kakus," demikian
Thio-lausit menerangkan. Padahal pintu kakus dipalang dari luar, itu berarti dia juga tidak berada di
sana. Siapa pun pasti maklum, orang yang membuang hajat tentu menutup dan memalang daun pintu dari
dalam, hal ini sudah diperiksa dan diperhatikan oleh Ma Ji-liong.
Setelah mengalami musibah ini, Ma Ji-liong sudah belajar banyak, sudah pandai
memperhatikan urusan-urusan kecil, karena sekarang ia sudah tahu, banyak urusan besar berhasil
dilihat, dinilai dan dibongkar dari urusan kecil yang tidak berarti. Kini diam-diam Ji-liong merasa
bahwa pegawainya yang setia ini ternyata tidak jujur.
Bab 24: Langganan Lama Dan Pemborong
Pada umumnya sebelum membuka pintu, toko serba ada perlu mengadakan pemeriksaan
pada barang-barang persediaannya, barang apa yang kurang dan perlu ditambah, menata
kembali secara rapi dan lain sebagainya, persiapan selalu diperlukan demi memberikan pelayanan
yang baik. Sebagai pegawai lama dan sudah berpengalaman, Thio-lausit setiap pagi
mengerjakan semua itu dengan rapi dan beres. Apalagi sudah delapan belas tahun sejak toko serba ada
ini dibuka Thiolausit sudah bekerja di sini, ia rajin bekerja, jujur dan setia, pengadaan barang
berada dalam tangannya, kalau di dalam toko mendadak kehilangan segentong garam dan
sekeranjang telur ayam, tidak mungkin ia tidak tahu.
Tapi Thio-lausit justru diam saja, seperti sudah tahu di mana barang itu berada,
maka ia bersikap adem-ayem saja. Kemarin sore turun hujan lebat, lumpur di jalan kampung itu cukup tebal dan
becek. Sepatu Thiolausit juga kelihatan berlumpur meski sedikit, belum kering juga, ini menandakan bahwa
barusan ia berada di jalanan. Apa betul barusan ia keluar" Ke mana" Kenapa tidak berterus
terang" Mendadak Ma Ji-liong sadar, bukan saja pegawainya ini tidak jujur, gerakgeriknya juga misterius, aneh dan patut dicurigai.
Sudah dua kali Ma Ji-liong dihinggapi perasaan seperti ini.
Thio-lausit sudah siap membuka daun pintu.
Tapi baru saja tangan Thio-lausit menurunkan palang pintu, Ma Ji-liong mendadak
berkata, "Hari ini kita tutup toko saja."
Thio-lausit menoleh dengan memiringkan kepala, katanya kemudian, "Apakah hari
ini hari besar?" "Bukan." "Hari ini kita merayakan sesuatu?"
"Tidak." "Lalu kenapa kita tidak membuka toko?"
Sudah tentu Ma Ji-liong tidak bisa memberikan penjelasan, juga tak bisa
mengarang cerita untuk mencari alasan. Ji-liong memang bukan pembual. "Toko ini adalah milikku, aku
yang berkuasa di sini," terpaksa Ma Ji-liong mengada-ada. "Kalau aku bilang hari ini tutup, maka
toko tidak buka." Thio-lausit menundukkan kepala, beberapa kejap ia terpekur. Alasan yang
dikemukakan majikannya sebetulnya tidak tepat, tapi sebagai pegawai ia harus tunduk dan
patuh pada perintah majikan. Tapi nyonya majikan yang berada di kamar justru menentang.
"Hari ini toko kita tetap buka seperti biasa, apa yang ia katakan jangan
dituruti." Itulah suara Cia
Giok-lun. Di mana-mana, omongan juragan perempuan memang jauh lebih manjur,
lebih berwibawa dan disegani dibanding juragan sendiri.
Ma Ji-liong memburu masuk, ia mulai naik pitam, "Kenapa omonganku tak boleh
dituruti" Kenapa kau mencampuri urusanku?"
"Bukannya aku mencampuri urusanmu, tapi temanmu ini yang meminta aku turut
campur," demikian sahut Cia Giok-lun.
Thiat Tin-thian berkata, "Toko serba ada ini harus dibuka seperti biasa."
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak mengerti.
"Sekarang mereka sudah tahu bahwa pemilik toko serba ada ini adalah Ma Ji-liong.
Setiap saat mereka bisa meluruk ke sini, kenapa aku harus membuka pintu mengundang mereka
masuk?" "Justru mereka sudah tahu kau ada di sini, maka kau harus tetap membuka toko
seperti biasa." "Kenapa?" "Kalau toko serba ada ini tutup, mereka pasti meluruk ke mari dan menerjang
masuk dengan kekerasan, dengan menjebol pintu," demikian kata Thiat Tin-thian. "Biar kita
buka saja pintu toko seperti biasa. Mereka belum tahu bagaimana keadaan kita di sini, aku berani
menjamin mereka takkan berani sembarangan bertindak."
Dengan suara dingin Cia Giok-lun menimbrung, "Kelihatannya setiap orang yang ada
di sini dapat berpikir lebih cermat dibanding engkau."
Terpaksa Ma Ji-liong mengancing mulut, terpaksa ia harus mengakui apa yang
dipikir Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian memang lebih cermat dan teliti, tapi bagaimana dengan Thiolausit" Apakah pegawai yang belum pernah berkecimpung di Kangouw ini juga memikirkan hal ini"
-----------------------------------ooo00ooo------------------------------------Empat lembar daun pintu sudah diturunkan dan ditaruh di pinggir, toko serba ada
dibuka seperti biasa. Thio-lausit memegang sapu, melanjutkan pekerjaannya membersihkan lantai
dan barangbarang dalam toko dibetulkan letaknya, seolah-olah ia sudah menyadari sebentar lagi
toko ini akan dibanjiri pembeli yang royal membuang duit, maka ia rajin bekerja sebagai tanda
hormat untuk menyambut mereka. Suasana di jalan kampung ternyata tenang-tenang saja, tidak terdengar suara apa
pun. Waktu Cukat Bu-hou (Cukat Liang) di jaman Sam Kok merancang muslihat kota kosong
yang terkenal itu, bukankah ia juga menyuruh tentara-tentara yang lanjut usia dan
cacat badan untuk membersihkan jalan dan membuka pintu kota untuk menyambut kedatangan Suma Gi"
Bukankah Suma Gi yang banyak curiga itu tak berani menerjang masuk ke dalam kota
setelah melihat keadaan itu"
Demikian pula peristiwa hari ini, bukankah seperti kenyataan dulu, padahal
hikayat kuno itu sampai sekarang masih sering dipuji dan diperbincangkan orang banyak, siapa pun
mengacungkan jempol memuji kecerdikan Cukat Liang. Pembuat karya cerita ini jelas juga seorang
cerdik pandai. Mendadak Thiat Tin-thian bertanya, "Orang yang menyapu di luar itu, apakah dia
pegawaimu?" "Ya, pegawai lama."
"Orang macam apa dia?"
"Orang jujur, pegawai setia," seolah-olah Ma Ji-liong sedang membohongi diri
sendiri. "Ia bernama
Thio-lausit." Bercahaya bola mata Thiat Tin-thian, katanya, "Aku suka orang jujur." Omongannya
mengandung arti 'hanya orang jujur yang bisa menipu orang-orang jahat, keji dan banyak
curiga'. Ia menyeringai dingin, "Coat-taysu yang terkenal di seluruh jagad sebagai kuncu itu, jelas
adalah manusia rendah yang jahat dan banyak curiga."
Ji-liong meresapi perkataan orang, betapa berang hatinya.
"Ia percaya kalau kau adalah Ma Ji-liong, ia bisa membunuh Thiat Tin-thian lebih
dulu baru menjagal Ma Ji-liong. Kalau ia berani berbuat demikian, aku malah kagum dan
memujinya," Thiat Tin-thian tertawa dingin, sambungnya, "Tapi ia tidak berani, di hadapan orang
banyak ia tidak akan melakukan perbuatan yang ingkar janji dan menjilat ludah sendiri, ia harus
bersikap sedemikian rupa supaya orang tahu bahwa ia betul-betul gembongnya yang membenci kejahatan."
Dengan kencang ia mengepalkan tinju dan mengacungkannya di atas kepala, "Sungguh gemas
dan benci, kenapa aku tidak dapat mencacah hancur Kuncu palsu itu, ingin aku memberantas
jiwa munafik orang-orang yang berkedok Kuncu."
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas panjang, katanya, "Sayang sekali kau tidak
mampu membunuhnya, tiada seorang pun Kuncu yang pernah kau bunuh, kau sendiri malah
yang akan mampus." Kenyataan memang demikian, siapa pun tidak akan membantah, kenyataan tak pernah
kenal kasihan. Betulkah kenyataan itu kejam"
Cia Giok-lun berkata pula, "Umpama mereka tak tahu keadaan di sini, belum berani
sembarangan bergerak, tapi toko serba ada ini tentu diawasi, sudah dikepung, jangan harap
kalian bisa meloloskan diri dari tempat ini." Suaranya mengandung makna yang aneh. Entah
merasa kasihan" Sedih atau menyindir" "Kalian dipaksa menunggu di sini, aku pun dipaksa menunggu
bersama kalian. Tapi pasti, entah cepat atau lambat mereka akan menyerbu, bukan mustahil
sekarang juga sudah mengutus orang untuk menyelidiki keadaan di sini. Tidak sukar untuk
mencari tahu keadaan kalian, karena tempat ini adalah toko serba ada, siapa pun boleh ke mari purapura membeli ini dan itu." Dengan suara tawar, Cia Giok-lun melanjutkan, "Bila mereka meluruk datang,
mungkin aku harus mampus bersama kalian, aku akan mati konyol dan penasaran."
Ini pun kenyataan, tidak bisa dibantah. Cia Giok-lun mengawasi Ma Ji-liong, "Aku
tidak perduli apa dulu kau pernah melakukan kejahatan. Aku ingin tanya kepadamu."
Pertanyaannya ini terasa seperti pecut, "Kau menyeret aku ke dalam kancah ini, mati secara penasaran,
apakah dalam sanubarimu tidak merasa berdosa?"
Begitu pertanyaan itu dilontarkan, pecut seperti menghajar tubuh Ma Ji-liong.
Tidak boleh, ia tidak boleh berbuat dosa terhadap gadis yang tidak bersalah, maka Ma Ji-liong berkata,
"Aku akan memberitahu kepada mereka bahwa kau tidak bersalah, tidak tahu apa-apa, tiada
sangkut-paut dengan kasus ini." Serak gemetar suaranya, lanjutnya, "Aku bisa mengantar kau
keluar lebih dulu." Cia Giok-lun menyeringai dingin, "Ke mana kau bisa menyingkirkan aku" Mereka mau
percaya bahwa aku tidak terlibat dalam kasus ini" Agaknya kau ingin melihat mereka
menyeret diriku seperti mencincang anjing kurap ke tempat jagal" Supaya aku disiksa dan
dikompas?" Ma Ji-liong sudah merasa dirinya seperti disiksa dan dikompas, ia kehabisan
akal, "Memangnya apa
yang harus dilakukan?"
"Bukan aku ini suka ribut dan bikin gara-gara, aku hanya menuntut beberapa hak
milikku saja." "Hak milik apa" Apa yang harus kukembalikan?"
"Kembalikan wajah asliku, pulihkan kondisi badan dan ilmu silatku," mendadak Cia
Giok-lun memekik dengan luapan amarah yang tak terbendung. "Entah dengan cara apa kau
membuatku begini. Jika kau seorang bajik, masih punya nurani, sekarang juga pulihkan
keadaanku." Sudah tentu Ma Ji-liong mati kutu, mana mungkin ia mengembalikan apa yang
dituntut oleh Cia
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giok-lun itu" Karena tak berani beradu pandang, Ji-liong melengos ke arah lain.
Ia tahu dirinya mirip maling kesiangan, dalam hati ia berharap gadis yang satu ini memegang
cemeti, ia rela dirinya dihajar dan disiksa dengan cara yang paling kejam daripada memikul beban
batin yang tak berujung pangkal. Di tengah keheningan itulah, tiba-tiba Thiat Tin-thian buka suara dengan nada
rendah, "Kelihatannya langganan pertama sudah datang untuk berbelanja."
Setiap pembeli, entah siapa pun dia, mungkin adalah utusan Coat-taysu atau matamata yang ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di sini.
Otot hijau di jidat Thiat Tin-thian tampak merongkol keluar, "Coba kau dengar,
dia membeli apa" Apa betul membeli barang-barang keperluan yang dibutuhkan" Atau akan membeli
jiwa kita?" Yang datang adalah nyonya muda yang sedang hamil tua itu.
Sebelum keluar Ma Ji-liong sudah mendengar tawa cekikikan nyonya centil itu. Di
sekitar kampung ini, nyonya muda ini memang terkenal cerewet dan suka mencampuri urusan orang
lain. Kecuali suka mengobrol, ia juga perempuan yang paling suka tertawa.
Hari ini dia kelihatan riang, senyum lebar selalu menghiasi wajahnya, riang dan
senang karena benih-benih kehidupan yang dikandungnya genap sembilan bulan, tak lama lagi
bakal lahir dari rahimnya. Ma Ji-liong tidak keluar, ia berdiri di belakang pintu. Terhadap orang yang satu
ini, ia boleh merasa lega. "Dia langganan lama yang tinggal di sebelah, setiap hari dia datang
membeli ini itu." "Setiap hari datang" Membeli apa?" tanya Thiat Tin-thian.
"Paling sering membeli gula merah," tutur Ma Ji-liong. "Ia berpendapat gula
merah seperti Jin-som, bukan saja dapat menambah kesehatan badan, juga bisa menyembuhkan berbagai
penyakit." Orang biasa tidak mampu membeli Jin-som karena mahal harganya, terpaksa mereka
membeli gula merah. Jin-som dan gula merah sama-sama adalah kepercayaan hidup manusia,
seperti orang yang memuja malaikat dewata, ada pula yang memuja roh suci.
Di luar dugaan, nyonya muda yang hamil tua itu hari ini bukan membeli gula
merah. Ma Ji-liong mendengar ia sedang bicara dengan Thio-lausit, "Aku tahu kau pasti heran,"
demikian katanya merdu dengan cekikikan, "Karena hari ini aku tak membeli gula merah seperti
biasanya." "Kau mau beli apa?" Thio-lausit bertanya.
"Beli garam," sahut nyonya muda itu.
Di toko ini memang ada menjual garam, setiap keluarga setiap harinya membutuhkan
garam, maka tidak perlu dibuat heran kalau ada orang yang membeli garam.
"Beli berapa?" tanya Thio-lausit pula.
"Malam nanti aku akan membikin dendeng dan telur asin, makin asin makin enak,
rasanya tanggung lezat," nyonya muda itu sengaja memberi penjelasan. "Aku beli tiga
puluh kati garam." Setiap hari banyak penduduk kampung yang membeli garam untuk masak atau
keperluan lain, namun jarang ada yang sekaligus beli tiga puluh kati. Padahal toko serba ada di
mana pun jarang ada yang menyediakan garam lebih dari dua puluh lima kati, persediaan sebanyak
itu pun sebulan baru habis terjual. Suasana menjadi tegang di dalam rumah. Otot hijau di jidat Thiat Tin-thian
tampak lebih besar. "Suruh dia masuk ke mari," desisnya dengan suara gemetar. "Kalau dia tidak mau
masuk, bekuk dan seret dia." Ma Ji-liong tidak bergerak dari tempatnya, ia hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa kau tidak keluar?"
"Perutnya besar," ucap Ma Ji-liong tegas.
Ada sementara persoalan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh dilakukan, tidak
mau melakukan. Biar mati tetap tidak akan dilakukan.
Tin-thian menatapnya sekian lama. Mendadak ia menghela napas dengan lesu,
ujarnya, "Kau memang orang yang baik, belum pernah aku melihat orang sebaik kau, sayang jarang
ada manusia seperti kau di dunia ini, umpama ada jumlahnya juga sangat sedikit."
Tiba-tiba Cia Giok-lun juga menghela napas gegetun, katanya, "Betul, aku pun tak
pernah melihat orang sebaik dia." --------------------------------ooo00ooo----------------------------------------Nyonya muda itu sudah pergi sambil membusungkan perutnya yang besar. Thio-lausit
sudah memberitahu kepadanya, "Garam sudah terjual habis, persediaan belum datang,
lebih baik nanti sore kau kembali lagi."
Sebelum pergi nyonya muda itu cekikikan geli. Agaknya ia merasa lucu, toko serba
ada sampai kehabisan bahan persediaan, tidak heran kalau ia cekikikan geli.
Thiat Tin-thian berkata, "Kau biarkan dia pergi, berarti kau memberitahu Coattaysu bahwa aku ada di sini, karena garam yang ada di toko ini diperuntukkan buatku."
Sudah tentu Ma Ji-liong maklum dan tahu akan hal ini.
Thiat Tin-thian berkata pula, "Oleh karena itu, aku berani bertaruh, tokomu akan
kebanjiran pembeli, daganganmu akan laris."
Ramalan Thiat Tin-thian memang menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, pembeli
kedua pun datang. Orang ini adalah pemborong. Dengan lagak seperti cukong, ia melangkah
masuk ke dalam toko, katanya dengan suara agak rendah sambil bertolak pinggang, "Aku
membutuhkan banyak barang, persediaan barang apa saja yang ada di toko ini, semua kuborong."
"Setiap barang yang tersedia di sini akan kau beli?" tanya Thio-lausit.
"Ya, semua kubeli," ucap orang itu. "Semua kuborong."
Bab 25: Ketemu Batunya Kalau ada orang yang mau memborong dagangan, berarti jualannya laris. Dagang
adalah dagang, kau punya barang apa, orang beli apa, apa yang orang ingin beli, kau harus
menjualnya. Berapa banyak orang yang ingin beli, selama persediaan lengkap, kau harus melayaninya.
Tampak oleh Ji-liong, roman muka Thiat Tin-thian mulai berubah, Ji-liong sendiri
juga merasakan air mukanya berubah. Sayang ia tidak melihat roman muka Thio-lausit, namun ia mendengar Thio-lausit
berkata, "Toko serba ada ini tidak besar, namun persediaan yang ada tidak kecil jumlahnya.
Barang yang kami sediakan juga banyak ragamnya. Kau seorang diri mana mampu membawa sekian
banyak?" "Aku akan menyuruh orang bantu mengangkutnya dengan cikar," demikian jawab
pemborong itu. "Kau sebut saja berapa harganya, aku akan bayar tanpa menawar, nanti akan
kusuruh orang ke mari mengangkutnya." Suruh orang mengangkut, siapa yang akan disuruh mengangkut"
Mengangkut barang dagangan" Atau mengangkut jiwa mereka"
Ma Ji-liong tetap tidak mau keluar menghapi pemborong itu. Mendadak ia merasa
adanya sesuatu yang ganjil. Ia yakin Thio-lausit yang ada di luar mempunyai akal untuk melayani
dan menghadapi pemborong itu. Didengarnya Thio-lausit sedang berkata, "Aku hanya pegawai toko. Urusan jualbeli dalam jumlah sebesar itu, tak berani aku memutuskan."
"Siapa yang bisa memberi keputusan?" tanya pemborong itu.
"Sudah tentu juragan kami," sahut Thio-lausit.
"Juraganmu ada tidak?"
"Ada di dalam, kau boleh masuk dan langsung bicara dengan beliau."
"Aku tidak mau masuk, suruh saja dia keluar."
"Lho, kenapa kau tidak mau masuk?"
"Kenapa bukan dia saja yang keluar?" sikap pemborong ini mulai kaku dan ketus.
Jawaban Thio-lausit lebih ketus lagi, "Karena dia adalah juragan. Perduli
juragan besar atau juragan
kecil, ia punya gengsi sebagai juragan."
Pemborong itu agaknya kurang senang, katanya, "Kalau dia tidak mau keluar, aku
batal membeli." Tiba-tiba Thio-lausit memberi pernyataan lantang, "Kau sudah datang ke mari, kau
sendiri yang menyatakan akan memborong seluruh isi toko ini, sebagai laki-laki, bicara
mengapa plintat-plintut,"
demikian tegur Thio-lausit. "Oleh karena itu, kau harus masuk."
Sepenuh perhatian Thiat Tin-thian mendengarkan percakapan mereka, sorot matanya
menampilkan rasa ragu, seperti menyelidik dan mengingat-ingat. Suara percakapan Thio-lausit
berdua tidak lirih, setiap patah kata terdengar jelas dari dalam, sebetulnya tidak perlu ia pasang
kuping, apalagi mendengarkan dengan seksama. Agaknya ia sedang membedakan, berusaha mengenali
suara pemborong itu, mungkin ia pernah mendengar atau kenal suara pemborong itu.
Ji-liong siap bertanya apakah ia tahu asal-usul pemborong itu, mendadak Thiat
Tin-thian sudah berseru, "Ong Ban-bu!" Suaranya tegang dan panik, "Awas, kedua lengan pegawaimu
itu." Dalam Bulim hanya ada satu Ong Ban-bu, Hun-kin-joh-kut-jiu dan Tay-lik-eng-jiaukang yang diyakinkan Ong Ban-bu menjagoi Kangouw, keculasan hati dan kegapahan tangannya
serasi dengan ilmu silat yang ia latih, kedua ilmu tunggal itu dikuasai dengan sempurna dan
terkenal tak pernah mendapat tandingan. Bila ia turun tangan, yang diserang adalah sendi tulang atau
Hiat-to lawan yang penting dan mematikan, lawan yang terserang kalau tidak lumpuh seketika,
cacat seumur hidup, jiwa pasti melayang.
Pemborong alias Ong Ban-bu yang berada di luar itu agaknya sudah turun tangan.
Peringatan Thiat Tin-thian terlambat. Belum habis ia bicara, Ji-liong sudah mendengar suara
tulang patah. Suara yang lirih, tapi cukup menusuk pendengaran, dari telinga langsung menusuk ke
sanubari, menusuk perut meresap ke tulang. Seketika Ma Ji-liong merasa perutnya mengkeret, tubuhnya mengejang kaku, sendi
tulang sekujur badan mendadak linu. Perduli Thio-lausit seorang jujur tulen atau pura-pura
jujur, jelek-jelek dia adalah pegawainya, selama tiga bulan dua puluh satu hari hidup bersama di dalam
satu rumah. Anehnya kupingnya hanya menangkap suara tulang patah, tapi tidak mendengar
jeritan atau keluh kesakitan. Hanya ada dua macam orang yang kuat menahan siksa dan kesakitan tanpa
mengeluarkan jeritan. Orang pertama adalah laki-laki yang keras kepala, keras tulangnya, teguh
pendirian. Macam kedua adalah orang yang sudah mati, atau orang yang mendadak semaput dan hampir
mampus. Ma Ji-liong sudah siap menerjang keluar, demikian pula Thiat Tin-thian sudah
melompat berdiri hendak menerobos keluar. Tapi sebelum mereka bergerak lebih lanjut, seseorang
sudah menyelinap masuk lebih dulu. Orang ini masuk dengan mundur, lengannya tampak terjuntai sebatas sikut,
ternyata sendi tulang di sikut kirinya terpelintir putus. Saking kesakitan, peluh dingin bercucuran di
selebar mukanya, sekujur badan juga basah kuyup seperti ayam kecemplung ke air, namun dia
menggertak gigi tanpa merintih. Orang ini memang laki-laki jantan, laki-laki sejati. Insan persilatan di
Kangouw, siapa yang tidak
tahu bahwa Ong Ban-bu adalah laki-laki tabah, keras kepala dan tahan uji.
Yang berjalan mundur ke dalam bukan Thio-lausit yang mereka kuatirkan,
sebaliknya Ong Ban-bu yang lihai dan telengas, Ong Ban-bu yang tersohor karena Hun-kin-joh-kut-jiu
tidak pernah dikalahkan musuh, jago nomor satu yang termasyhur di Bulim, berkuasa di wilayah
Hoay-lam, Ong Ban-bu yang pernah memelintir putus lengan dan mematahkan tulang rusuk jago-jago
kosen, tak terhitung jumlah musuh yang kecundang di tangannya.
Sekarang lengannya malah yang putus, dipelintir oleh Thio-lausit, pegawai toko
di sebuah kampung yang tidak ternama. Sudah tentu ia amat penasaran, namun bukti menunjukkan bahwa
lengan kirinya putus. Demikian pula Thiat Tin-thian yang tahu pribadinya, Ma Ji-liong
juga tidak percaya, tidak menduga bahwa pegawainya itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Peristiwa yang dianggap tak mungkin terjadi sudah menjadi kenyataan. Memang
tiada sesuatu yang mutlak di dunia ini. Satu hal harus dicatat, diukir dalam sanubari setiap orang,
kalau sesuatu yang dianggap tidak mungkin terjadi suatu ketika betul-betul terjadi, maka akan
merasa kaget, heran dan menderita. Karena bila peristiwa yang dianggap tidak mungkin itu betul-betul
terjadi, maka peristiwa itu pasti mengundang siksa derita. Ada kalanya derita itu jauh lebih
besar dibandingkan siksa patah lengan atau putus kaki.
-------------------------------ooo00ooo------------------------------------Bukan hanya mengunjuk rasa heran, rona muka Ong Ban-bu juga mengunjuk rasa
sakit, kaget dan takut. Selama hidup, belum pernah ia merasa takut seperti sekarang. Tapi pegawai
toko serba ada
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tak dikenalnya ini benar-benar membuatnya jeri.
Hun-kin-joh-kut-jiu (Gerakan Memelintir Tulang dan Mengunci Urat Nadi) dan Taylik-eng-jiaukang (Ilmu Cakar Elang Bertenaga Raksasa) adalah ilmu tunggal ciptaan Eng-jiau-ong
(Raja Cakar Elang) dari Hoay-lam yang tiada taranya. Ong Ban-bu adalah ahli waris murni Engjiau-ong yang lurus, jago kosen nomor satu dari Hoay-lam-bun.
Tak pernah terbayang dalam benaknya, hari ini, di saat dirinya akan menggasak
korban yang tak dikenal dan tidak ternama ini, dirinya malah kecundang. Hanya satu gebrak
setengah jurus, pegawai toko ini sudah mengunci gerakannya dan menutup jalan mundur dirinya, sekaligus
memelintir putus lengannya. Selangkah demi selangkah ia mundur, mundur karena didesak dan diancam oleh Thiolausit, mundur ke dalam rumah lewat pintu kecil yang berkain tirai itu.
Kain tirai menjuntai turun. Pegawai jujur yang bertampang biasa itu tidak
kelihatan ikut masuk. Ong Ban-bu terus mundur tanpa memperhatikan bahwa di belakang dan di sekitarnya
ada beberapa orang yang sedang memperhatikan dirinya, mengawasi dengan pandangan kaget, heran
dan tak habis mengerti. Sorot mata Ong Ban-bu kelihatan amat sedih, kesakitan yang amat
sangat, matanya lurus menatap ke depan seperti tidak melihat keadaan sekitarnya.
Mendadak Thiat Tin-thian maju selangkah seraya mengulurkan tangan menarik pundak
orang sehingga Ong Ban-bu jatuh terduduk di kursi rotan itu.
Semestinya Ong Ban-bu mengenal Thiat Tin-thian, mereka pernah menjadi teman
baik, kawan seperjuangan, tapi akhirnya mereka berselisih dan menjadi musuh bebuyutan, musuh
besar jelas lebih sukar dilupakan daripada kawan. Tapi ia seperti tidak kenal, tidak melihat
orang yang berdiri di depannya ini adalah Thiat Tin-thian, musuh yang ia segani dan takuti, seolaholah matanya sudah buta tapi melek, tidak melihat ada orang berdiri di depannya.
Keringat masih bercucuran dari jidatnya, membasahi selembar mukanya, mulutnya
mengigau seperti orang bermimpi, "Siapakah dia" Siapakah orang itu?"
Sudah tentu besar pula hasrat Thiat Tin-thian untuk mengetahui siapa sebenarnya
pegawai toko itu, maka ia berpaling dan bertanya pada Ma Ji-liong, "Siapa sebenarnya pegawaimu
itu?" Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak bisa menjawab. Ia pun tidak tahu
siapa dan bagaimana asal-usul pegawainya. Ia hanya tahu pegawainya itu bernama Thio-lausit, seorang
yang jujur dan setia, tindak-tanduknya mirip orang linglung. Dulu ia tidak punya pengalaman
gemilang, kelak juga takkan punya masa depan cemerlang, seakan hidupnya cukup makan minum sampai mati
di dalam toko serba ada yang makin kotor dan jorok ini.
Tiada orang yang kenal asal-usulnya, namun hanya dalam segebrak saja ia mampu
melumpuhkan Ong Ban-bu, jago kosen yang sudah menggetarkan Bulim.
Ma Ji-liong juga tidak habis mengerti, maklum Thio Eng-hoat atau juragan toko
serba ada yang sekarang bukan juragan yang lama, demikian pula pegawai yang satu ini juga bukan
Thio-lausit yang asli, bukan pegawai lama yang jujur itu.
Seharusnya Ma Ji-liong bisa menduga hal ini sejak mula, namun kenyataan memang
susah dimengerti, siapa sebetulnya pegawai ini. Ji-liong betul-betul tidak tahu.
------------------------------------ooo00ooo---------------------------------------Wajah Ong Ban-bu basah karena keringat, mulutnya terus mengigau, entah sudah
berapa kali mengulangi pertanyaan yang sama.
Mendadak Thiat Tin-thian mengayunkan tangan menggampar mukanya. Selama hidup Ong
Ban-bu mungkin tidak pernah digampar orang, apalagi setelah dia menduduki jabatan
tinggi dari perguruannya. Patah sikutnya betul-betul membuatnya patah semangat, malu dan
jatuh mental, sehingga dia mengigau seperti hilang ingatan. Namun tamparan Thiat Tin-thian
cukup membuatnya kaget dan sadar. Seperti orang baru terjaga dari mimpi yang lelap, dia
celingukan melihat orangorang
yang berdiri di sekitarnya. Begitu melihat Thiat Tin-thian, matanya lantas
memicing, bayangan ngeri terunjuk pada mimik mukanya. Kejadian masa lalu, kenangan lama
segera terbayang di dalam benaknya.
"Engkau........" desis Ong Ban-bu. "Engkau.......... di sini."
"Ya, aku di sini," suara Thiat Tin-thian seperti tertelan dalam tenggorokan,
jelas ia juga teringat akan masa lalu. "Seharusnya kau tahu kalau aku ada di sini."
Beberapa kejap Ong Ban-bu mengawasi, sorot matanya berubah makin sedih dan
tersiksa, katanya, "Aku tahu kau ada di sini, aku ke mari juga lantaran ingin merenggut nyawamu.
Aku tahu aku pernah bersalah terhadapmu, aku pernah memfitnahmu, mengkhianatimu. Oleh karena
itu aku makin membencimu, hasratku lebih besar lagi untuk membunuhmu." Cukup tegas apa
yang ia ucapkan, tapi kenyataan memang demikian.
Jika kau pernah mengkhianati orang, maka kau pasti membenci orang itu, kau akan
berusaha membunuh dan melenyapkan dia dari hadapanmu. Selama dia masih hidup, hatimu
takkan pernah tenteram. Selama hidup kau akan merasa berdosa, dibayangi oleh kesalahanmu
sendiri. Setelah keadaan berlarut sejauh itu, yang kau benci mungkin bukan dia lagi, tapi dirimu
sendiri. "Sepuluh tahun yang lalu," demikian kata Ong Ban-bu dengan suara bergetar. "Aku
pernah memfitnah engkau, karena saat itu aku pernah melakukan kesalahan terhadapmu, aku
takut kau tahu perbuatanku yang terkutuk itu, maka........ maka aku ingin meminjam golok orang
lain untuk membunuh engkau." "Aku tahu," kereng suara Thiat Tin-thian.
"Kalau betul kau tahu, kenapa tidak kau bunuh aku waktu itu?" sikap Ong Ban-bu
kelihatan lebih tersiksa. "Aku rela mati di tanganmu. Kalau waktu itu kau bunuh aku, nasibku
takkan seperti ini."
Ini pun kenyataan. Dapat gugur di tangan Hoan-thian-hu-te, rampok besar Thiat
Tin-thian, jauh lebih mending dibandingkan kecundang di tangan seorang pegawai toko.
Kekalahan yang terlalu fatal, teramat runyam, sangat mengenaskan. Thiat Tinthian meresapi perasaannya, tahu betapa besar derita batinnya. Pengalaman masa lalu sudah
lewat, namun duka lara tetap abadi sepanjang masa.
Di luar tidak terdengar suara apa pun, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Thio-lausit juga tidak masuk, tetap di luar menjaga toko, mirip seorang jujur, duduk di kursi
yang berada di pinggir pintu, bekerja rajin dan setia menunggu barang dagangan, tiada orang yang tahu
bahwa dia seorang jago silat kelas wahid yang memiliki ilmu silat tinggi.
Siapakah dia" Kenapa dia menemani Ma Ji-liong bersembunyi di toko ini" Mendadak
Ma Ji-liong menerobos keluar, hasratnya lebih besar untuk mendapatkan jawaban itu dibanding
Thiat Tin-thian. Thio-lausit duduk tenang dan tegak di atas kursi, di mana dia biasa duduk.
Keadaan toko ini pun seperti biasa, tapi keadaan di luar rumah justru berbeda dengan biasanya. Dalam
waktu seperti itu, biasanya jalan kampung yang jorok dan becek kalau hujan itu selalu ramai, di
sana kucing di sini anjing, keadaan biasanya ramai dan hiruk-pikuk. Meski jalan kampung ini dalam
wilayah yang berpenduduk miskin, tapi kehidupan di sini tetap diliputi suasana riang gembira.
Namun keadaan yang biasanya ramai itu kini berubah menjadi sepi lengang, bayangan seorang pun
tidak kelihatan di luar rumah, anjing dan kucing juga tidak tampak. Jalan kampung ini mendadak
berubah menjadi jalan mati, seperti tiada kehidupan di daerah sekitarnya.
Bab 26: Daerah Mati Berbeda dengan lazimnya, toko serba ada yang satu ini tidak mirip dengan toko
yang lain. Di toko lain ada meja dan lemari kasir. Di sini hanya ada sejilid buku yang sudah lusuh
dan luntur warna sampulnya dan sebuah meja kecil yang berlaci satu untuk menyimpan uang--itulah
meja kasir. Ma Ji-liong menarik kursi lalu duduk di meja kasir. Dari tempat duduknya ia
memperhatikan Thiolausit.
Seperti biasanya Thio-lausit tetap lugu, reaksinya lamban, wajahnya jarang
menampilkan mimik perasaan hatinya. Sekarang dia tetap dalam keadaan demikian. Kalau ada orang
bilang dalam sekejap tadi dia mampu mengalahkan Ong Ban-bu yang tersohor sebagai jago nomor
satu dari Hoay-lam, orang pasti tidak percaya.
Apakah wajahnya juga pernah divermak dengan tata rias Giok Ling-long dengan
Giok-jiu-linglongnya"
Siapakah dia sebenarnya"
Ada beberapa tokoh besar dalam Bu-lim ini yang mampu mengalahkan Ong Ban-bu
dalam segebrak saja" Lama Ma Ji-liong terpekur sambil memperhatikan orang ini. Mendadak ia membuka
mulut memanggil nama orang, "Toa-hoan."
"Toa-hoan?" Thio-lausit tampak gelagapan, gerak-geriknya seperti orang linglung,
"Kau minta Toahoan (mangkuk besar)" Mangkuk besar ada di dapur, apa perlu aku mengambilnya?"
"Tidak," sahut Ji-liong. "Toa-hoan yang kumaksud adalah nama seseorang."
"O, nama orang?"
"Kau tidak pernah melihatnya?"
"Toa-hoan yang pernah kulihat adalah mangkuk besar--bukan manusia."
Ma Ji-liong menghela napas, perlahan ia berdiri lalu menghampiri sampai di depan
orang. Mendadak ia turun tangan, dengan dua jari telunjuk dan jari tengah ia mencolok
kedua mata Thiolausit. Mata Thio-lausit segera terpejam. Hanya itu reaksinya. Kecuali kedua matanya,
sekujur badannya tak memberi reaksi apa-apa.
Sudah tentu Ji-liong tidak menyerang sungguhan. Mendadak ia sadar bahwa dirinya
adalah orang bodoh. Umpama Thio-lausit betul adalah orang jujur, betapapun tentu sudah tahu
bahwa juragannya takkan turun tangan keji terhadap dirinya yang setia dan rajin bekerja, tiada
alasan membuat dirinya cidera, sudah tentu ia takkan berhasil memancingnya mengeluarkan ilmu silat.
Ditanya tidak menjawab, dicoba juga gagal, lalu dengan akal apa baiknya" Di kala
Ma Ji-liong sedang bingung, tidak tahu bagaimana ia harus bertindak lebih jauh, dilihatnya
ada dua orang mendatangi dari ujung jalan kampung sebelah timur.
-------------------------ooo00ooo-----------------------Tok, tok, tok itulah suara sentuhan tongkat kayu yang beradu dengan tanah, dari
kejauhan sudah terdengar jelas. Yang datang ada dua orang, dua-duanya timpang, maka kedua orang ini memakai
tongkat. Kalau dipandang dari jauh, badan bagian atasnya saja, kelihatan seperti terdiri satu
orang. Maklum wajah, pakaian, sikap dan bentuk tubuh mereka mirip satu dengan yang
lain, seperti pinang dibelah dua, keduanya sama-sama memiliki kaki yang cacat, buntung dan tergantung
di udara, betapa jijik dan jelek tampaknya.
Tapi rona muka dan sikap kedua orang cacat ini amat serius, sinar mata mereka
dilembari keyakinan. Hanya ada satu perbedaan dari kedua orang ini, cacat kaki mereka yang
satu di sebelah kiri, yang lain di sebelah kanan.
Melihat keadaan kedua orang ini, Ma Ji-liong lantas teringat kisah lama, kisah
yang sudah lama tersiar luas di kalangan Bu-lim, yaitu dua tokoh besar yang sudah punya nama
gemilang di masa silam. Di ujung utara Sing-siok-hay di puncak Kun-lun san, ada sepasang saudara
kembar yang cacat badannya, mereka bernama Thian-jan dan Te-coat.
Karena cacat, mereka berjiwa aneh, sepak terjangnya menyeleweng dari kebiasaan
umum, demikian pula ilmu silat mereka juga serong, murid-murid yang mereka terima juga harus
saudara kembar yang cacat pula, anak-anak kembar dan cacat sejak dilahirkan.
Kaum persilatan angkatan tua banyak yang tahu tentang mereka, namun jarang ada
yang pernah melihat atau berhadapan langsung dengan mereka. Murid-murid Sing-siok-hay juga
jarang berkecimpung di Kangouw. Sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak ada murid
mereka yang datang ke Kanglam. Berita yang tersiar luas di luar itu simpang siur, berbeda satu dengan yang
lain. Ada sementara pihak yang bilang, pakaian murid-murid Sing-siok-hay mewah lagi mahal. Namun
potongan atau modelnya lucu dan tidak lazim dipandang mata. Malah katanya ada murid Sing-siokhay yang mengenakan jubah mutiara, maksudnya jubah yang dibuat dari rangkaian mutiara
besar kecil. Maklum cacat badan membuat mereka rendah diri, aneh dan suka melakukan sesuatu
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menonjol, mereka senang menonjolkan diri dengan cara-cara yang tidak lumrah bagi
pandangan manusia normal. Berbeda dengan kedua pemuda cacat ini, pakaian mereka biasa saja, tiada sesuatu
yang luar biasa pada kedua pemuda ini, tak berbeda banyak dibandingkan manusia umumnya.
Konon murid-murid Sing-siok-hay hanya boleh berkecimpung di Kangouw setelah
mereka lulus ujian. Bila guru mereka beranggapan mereka cukup tangguh dan takkan kalah
melawan jago-jago silat aliran lain, baru mereka diizinkan turun gunung, mengembara di Bu-lim
mencari pengalaman. Sebagai orang cacat, dalam meyakinkan ilmu silat sudah tentu jauh lebih sukar,
makan tenaga dan memeras otak, jauh lebih menderita. Bila mereka lulus ujian dan mulai
berkecimpung di Kangouw, tentu usianya sudah cukup tua.
Tapi kedua pemuda cacat kembar ini masih muda, gagah dan tampan, paling banyak
berusia 24 tahun. Mungkinkah dalam usia semuda itu mereka mampu meyakinkan ilmu tunggal
Sing-siokhay" Sudah yakin bahwa mereka tak terkalahkan"
Semua yang diuraikan di atas adalah berita yang tersebar luas di kalangan
Kangouw, namun berita itu sudah meresap, sudah berakar di sanubari orang-orang yang pernah mendengar
tentang kisah mereka, kejadian sering kali lebih nyata dari sesungguhnya, jauh lebih mudah
diterima oleh orang lain. Ketika suara tongkat berhenti, kedua orang itu pun sudah berada di depan mata.
Ma Ji -liong bangkit perlahan, lalu berputar menghadapi mereka. Dalam hati ia menduga, bahwa
kedua pemuda cacat ini memang benar adalah murid Sing-siok-hay, tapi ia bertanya dengan suara
lantang, "Kalian mau membeli apa?" "Kami tidak akan berbelanja," yang cacat kaki kirinya berbicara lebih dulu, lalu
yang kaki kanannya cacat menimbrung,"Kami hanya ingin melihat-lihat dan membuktikan sebetulnya kau
ini orang macam apa, dengan cara apa kau mampu menawan Ong Ban-bu?" Mereka bicara blakblakan, terus terang menyatakan maksud kedatangannya, tidak bermuka-muka juga tidak pasang
aksi. "Aku she Sun bernama Ca," yang cacat kaki kirinya bicara. "Dia adalah saudara
kembarku, bernama Sun Jia." "Soalnya aku dilahirkan sedikit lambat," yang cacat kaki kanannya menambahkan.
Nama mereka sangat sederhana, nama yang umum dan sering terdengar di kalangan
rakyat jelata, tidak seperti murid-murid Sing-siok-hay yang sering berbuat aneh, mengada-ada
dan tindaktanduknya misterius. Sun Ca berkata, "Kami terlihat seperti murid-murid Sing-siok-hay."
Sun Jia meneruskan pula, "Oleh karena itu, kau pasti juga beranggapan bahwa kami
adalah murid Sing-siok-hay." "Tapi kalau kau beranggapan demikian, kau keliru," ucap Sun Ca. "Dengan Singsiok-hay, hakikatnya kami tidak punya hubungan."
"Sepuluh tahun yang lalu, pernah kami meluruk ke Sing-siok-hay," Sun Jia
berkata. "Kami juga ingin mencari orang aneh yang diagulkan dalam berita itu, kami mengharap beliau
suka mengajar ilmu silat yang lihai kepada kami, supaya kami memiliki kepandaian yang tiada
taranya dan malang melintang di dunia Kangouw."
"Tapi kami amat kecewa, kami gagal menemui mereka."
"Puncak gunung itu hanya tanah belukar yang tidak pernah dijelajahi manusia.
Musim panas mentari amat terik laksana bara, musim dingin hawa membuat beku tulang sumsum,
orang biasa jelas takkan hidup di tempat itu."
"Kami menjelaskan tentang kenyataan ini, hanya supaya kau tahu ilmu silat yang
kami yakinkan sekarang adalah berkat latihan kami sendiri, latihan yang rajin dan tekun."
"Oleh karena itu, kau tak usah kuatir dan jangan menganggap kami orang cacat,
maka kau sungkan turun tangan." Ma Ji-liong mendengarkan mereka bicara sampai habis, dalam hati ia meresapi
sesuatu. Mereka adalah anak-anak muda, mereka tidak pura-pura, tidak bermuka-muka, tidak
bertingkah, bersikap tegas tidak aleman dan sungguh-sunguh. Mereka ingin memperjuangkan hidup
sendiri, mengangkat nama tanpa mendapat bantuan pihak lain. Walau mereka cacat badan, ternyata tak
rendah diri, juga tidak uring-uringan dan gampang mengumbar adat.
Ma Ji-liong tidak ingin bermusuhan dengan kedua pemuda cacat ini. " Aku tidak
ada maksud menahan kalian," katanya dengan suara tawar. "Setiap waktu kalian boleh datang
ke mari, juga boleh pergi sesuka hati kalian."
Mereka tidak pergi. Sepasang kembar yang cacat ini menatap Ji-liong dengan
pandangan yang sama, tajam dan mengancam, sorot mata mereka tampak ganjil.
Sun Ca pula yang membuka suara lebih dulu, "Kami tahu dan merasakan, kau tidak
menganggap kami sebagai musuh. Sayang sekali kau adalah Ma Ji-liong. Kalau orang lain, kami
ingin bersahabat denganmu." "Ternyata kau bukan manusia rendah budi, bukan orang jahat yang berhati kejam
seperti yang mereka gambarkan," demikian ucap Sun Jia. "Sayang sekali kau adalah Ma Ji-liong
yang harus dibekuk dan dihukum."
Dua saudara kembar ini sama-sama menghela napas, sama-sama membalik badan, "tok,
tok, tok", tongkat mereka berbunyi serempak, agaknya mereka siap meninggalkan tempat itu,
seakan-seakan mereka segan atau tidak akan bermusuhan lagi dengan Ma Ji-liong. Tapi mereka
tidak keluar, karena di saat tongkat mereka bergerak ketiga kalinya, baru saja ujung tongkat
menyentuh lantai, tangan Thio-lausit mendadak bergerak.
Ma Ji-liong hanya mendengar desir angin tajam memecah udara, dua batang tongkat
yang dipegang dua saudara kembar itu mendadak patah persis di bagian tengah, menyusul dua
benda kecil menggelundung jatuh bersama tongkat yang patah itu. Waktu Ji-liong melirik ke
sana, ternyata dua butir kacang tanah yang mematahkan tongkat kayu sebesar lengan bayi itu.
Thio-lausit gemar minum arak, kacang tanah adalah kawan intim bagi seorang yang
suka minum arak, makan kacang supaya tidak lekas mabuk.
Di atas meja Thio-lausit selalu bertumpuk kacang tanah. Thio-lausit mampu
menimpuk patah tongkat kayu sebesar lengan bayi yang montok, padahal dibacok golok pun tongkat
itu takkan putus seketika. Sun Ca dan Sun Jia tidak menduga. Walau mereka tidak jatuh karenanya, mereka
masih berdiri dengan sebelah kakinya yang utuh, bendiri tegak seperti terpukau atau berakar di bumi. Tapi roman
muka mereka tampak berubah hebat, demikian pula rona muka Ma Ji-liong juga
berubah. "Apa yang kau lakukan?" serunya spontan.
"Terpaksa aku harus menahan mereka," sahut Thio-lausit, wajahnya tidak
menunjukkan perubahan apa-apa. "Kau tak mau bertindak, biar aku yang menahan mereka."
Ma Ji-liong tidak sempat bertanya 'kenapa' lagi, karena dalam sekejap mata, ia
merasakan datangnya perubahan pada ujung jari tangan dan kaki, mulut serta ujung mata dan
setiap tempat yang peka. Begitu cepat perubahan terjadi, kejap lain ia merasakan juga badannya
mulai kejang dan pati rasa. Hanya sekejap setelah tongkat mereka patah, Sun Ca dan Sun Jia tiba-tiba
melambung tinggi ke udara. Meski hanya menjejak dengan sebelah kaki, tapi tubuh mereka meluncur
kencang bagai panah ke arah luar pintu.
Walau cacat badan, tapi di kala tubuh mereka melesat di udara, bukan saja
gayanya indah, kecepatannya pun bagai elang mengejar burung dara. Meski kedua pemuda ini tuna
raga, dari gerakan itu dapat dinilai betapa tinggi Ginkang mereka, jarang ada jago silat
semuda mereka dapat menandingi kemampuannya. -------------------------ooo00ooo-----------------------Menurut cerita, dalam jangka tiga ratus tahun mendatang, orang yang mempunyai
telinga paling tajam di seluruh dunia persilatan adalah seorang tuli. Seorang tuli benar-benar,
tuli tulen, namun dalam jarak tiga puluh tombak, dia bisa mendengar bisikan orang (baca Pukulan Si
Kuda Binal). Maklum dia bukan mendengar dengan telinga, tapi mendengar dengan mata. Cukup dia
melihat gerak bibir seseorang, bentuk mulut waktu orang bicara, maka dia dapat mendengar
apa yang diucapkan orang itu. ltulah ilmu tunggal orang tuli itu, kepandaian khusus yang
tidak mungkin dimiliki atau diyakinkan orang lain, ilmu hasil latihan dan gemblengan berat.
Karena dia tuli, maka dia berhasil meyakinkan ilmu tunggal yang tiada bandingannya.
Seseorang bila tubuhnya mempunyai ciri, entah ciri apa pun, jika dia bisa
memanfaatkan kekurangannya sendiri, sering terjadi usaha yang tak kenal lelah, jerih payahnya
akan mendatangkan sukses yang gemilang.
Bahwa Sun Ca dan Sun Jia yang tuna raga mampu meyakinkan Ginkang setinggi itu
juga lantaran mereka tapa daksa. Karena tahu dirinya tuna raga, maka mereka mau menggembleng
diri, latihan yang mereka lakukan jelas lebih sukar, lebih berat dan lebih menyiksa.
Secara mendadak tubuh mereka melambung tinggi begitu saja, seperti kaki mereka
dipasang pegas, gerakan keduanya pun serasi, cepat, indah lagi mempesona.
Gerak tujuan mereka ke arah luar pintu. Namun di saat tubuh mereka melorot
turun, ternyata kakinya tetap menginjak lantai di dalam toko. Begitu kaki anjlok ke bawah dan
menginjak tanah, lalu tak mampu melompat lagi. Bukan hanya tidak mampu melompat, mereka pun tidak
bisa bergerak, berdiri kaku seperti patung, ada empat Hiat-to di tubuh mereka
tertutuk. Delapan butir kacang tanah menggelinding di lantai.
Tokoh silat kosen yang memiliki kepandaian sejati, meski hanya menggunakan
kelopak kembang juga dapat melukai musuh, maka tidak perlu beran bila dengan kacang tanah
seseorang yang memiliki ilmu silat tinggi dapat menutuk Hiat-to di tubuh orang.
Namun belum ada orang tahu bahwa Thio-lausit yang pegawai toko ini adalah
seorang jago kosen yang memiliki kepandaian tinggi.
Kapan dan bagaimana Thio-lausit menyambitkan kacang tanah, bagaimana pula Sun Ca
dan saudara kembarnya kecundang" Ma Ji-liong tidak tahu, juga tidak sempat
menyaksikan karena keadaan dirinya juga sudah gawat, pandangannya mulai kabur, sekujur badan sudah
mengejang kaku. Ma Ji-liong tak merasakan, Thio-lausit segera berdiri dan menghampiri dirinya,
dari dalam kantung Sun Ca dia merogoh keluar sebotol obat. Dari botol kecil itu ia menuang dua
butir pil lalu dijejalkan
ke mulut Ma Ji-liong, selang beberapa saat kemudian baru Ma Ji-liong mulai pulih
kesadarannya. Sikap Thio-lausit biasa saja, tidak menunjukkan rasa tegang, senang atau kaget,
namun ia bertanya dengan suara tawar, "Sekarang tentu kau sudah tahu kenapa aku menahan mereka."
Ma Ji-liong sudah tahu. Ada beberapa adegan tidak sempat ia saksikan tadi, tapi
ia maklum banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini, tak usah kau saksikan sendiri pun kau bisa
maklum sendiri. Ia maklum kenapa dirinya mendadak kejang dan pati rasa, karena terkena racun
jahat yang ditaburkan Sun Ca dan Sun Jia. Jenis racun yang tidak kelihatan, tidak bisa
dirasakan dan tidak berwarna, ternyata lihai juga saudara kembar cacat ini menggunakan racun. Apa
yang mereka ucapkan tadi mungkin setulus hati, hanya omongan jujur untuk menarik perhatian
orang, hanya dengan bersikap jujur maka lawan dapat dibuat lena.
Di kala mereka bersikap tidak bermusuhan, saat itulah mereka menyerang dengan
cara mereka yang khas dengan racun jahat. Tanpa bayangan, juga tidak menunjukkan gerakan yang
mencurigakan. Umpama orang menganggap orang lain sebagai teman baiknya, tanpa hubungan yang
baik, takkan ada kesempatan dia mengkhianati temannya itu.
-------------------------ooo00ooo-----------------------Bukan berarti Ma Ji-liong tahu jelas duduknya persoalan, tapi setelah ia bisa
buka suara, ia lantas berkata, "Bebaskan mereka, sekarang juga biarkan mereka pergi."
"Kenapa kau melepaskan mereka?" tanya Thio-lausit heran.
"Karena aku adalah Ma Ji-liong. Karena melaksanakan tugas, mereka pantas berbuat
demikian." Mereka juga masih muda, sepak terjang anak muda umumnya memang demikian, mereka
ingin
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkenal, mendapat kedudukan dan disegani, ingin menjadi orang yang sukses,
orang besar, maka mereka tidak salah. Seorang pemuda harus punya cita-cita, mengejar nama, maka
usahanya itu pasti tidak salah. Setelah Hiat-to yang ditutuk di tubuhnya dibebaskan, Sun Ca dan Sun Jia segera
beranjak keluar, Waktu berjalan pergi, Sun Ca dan Sun Jia tidak berpaling, melirik pun tidak ke
arah Ma Ji-liong, mereka juga tidak menghaturkan terima kasih.
Ma Ji-liong juga sengaja melengos ke jurusan lain, ia tidak ingin menambah beban
batin dan rasa malu mereka. la bertanya pada Thio-lausit, "Apa betul kau tidak pernah melihat
Toa-hoan" Juga tidak tahu siapa dia" Apa betul kau sudah menjadi pegawai toko serba ada ini
selama delapan belas tahun?" Thio-lausit tidak menjawab, ia membungkuk badan memungut kacang tanah yang
berserakan di lantai, satu persatu diambil, dikuliti dan langsung dijejalkan ke dalam mulut.
Sambil mengunyah kacang tanah di dalam mulutnya, ia menghela napas, lalu bergumam, "Persoalan
yang harus dia ketahui tidak ditanyakan, kepada siapa dia harus bertanya juga tidak
diperhatikan, malah bertanya
persoalan yang tak berguna kepadaku."
"Aku tahu aku harus bertanya kepada Ong Ban-bu," demikian ucap Ma Ji-liong.
"Berapa banyak orang mereka yang meluruk ke tempat ini" Siapa pemimpinnya dan tokoh-tokoh silat
siapa saja yang ikut datang" Begitu?"
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak kau tanya kepadanya?"
"Karena pertanyaanku yang kuajukan kepadamu kurasa lebih penting."
"Penting, apanya yang penting?" Thio-lausit menghela napas pula. "Memangnya
kenapa kalau aku pernah melihat Toa-hoan" Bagaimana pula kalau tidak pernah melihatnya" Kenapa
kau justru bertanya hal ini?" "Karena aku ingin tahu sekarang dia di mana," tegas jawaban Ma Ji-liong. "Aku
benar-benar ingin tahu." "Dia ada di mana, apa sangkut-pautnya denganmu?"
"Sudah tentu ada sangkut-pautnya," Ma Ji-liong menatap Thio-lausit. "Jika kau
juga pernah merindukan seseorang, kau pasti tahu dan maklum perasaanku sekarang."
Wajah Thio-lausit tetap tidak menunjukkan perubahan apa-apa, tapi sisa kacang
tanah yang masih digenggam di telapak tangannya mendadak berjatuhan di atas lantai. Bergegas ia
berjongkok memungutinya lagi, seperti sengaja menghindari tatapan mata Ma Ji-liong yang
tajam dan hangat bagaikan bara. Di saat Ma Ji-liong berdiri menjublek, dari dalam rumah berkumandang teriakan
Cia Giok-lun, "Kalau kau ingin tahu tentang Toa-hoan, kenapa tidak kau tanya kepadaku."
Bergegas Ji-liong melangkah ke dalam. Di saat ia membalik badan menutup kain
tirai, mendadak dilihatnya sebaris orang dengan derap langkah lembut masuk ke jalan kampung dari
arah utara. Barisan ini terdiri dari 28 orang, muda, kekar, gerak- geriknya lincah dan
tangkas, gerak kaki dan tangan mereka amat rapi dan rata. Ke-28 pemuda itu seluruhnya berpakaian hitam
ketat dengan potongan dan model yang sama, dengan gerak kaki setinggi lutut berderap maju
dengan rajin, tangan kiri mereka menjinjing kantong kain hitam yang bentuk dan besarnya sama.
Apa isi kantong kain hitam itu" Apa kerja ke-28 pemuda berpakaian hitam itu di
tempat ini" Setiap orang pasti tertarik dan ingin tahu bila melihat barisan serapi itu. Yang sedang
ber jalan menoleh, yang sedang bekerja berhenti, semua memperhatikan barisan yang menyolok
pandangan, entah apa maksud kedatangan mereka.
Ternyata Ma Ji-liong tidak peduli, dia tetap melangkah ke dalam. Hanya sekilas
ia menoleh dan menatap keluar, lalu menyingkap tirai menyelinap masuk. Kecuali Toa-hoan, orang
lain, urusan lain, seperti tidak menarik perhatiannya.
Cia Giok-lun meronta berduduk, mimik mukanya kelihatan aneh, entah marah, derita
atau penasaran" Mungkin juga sedih" Berbagai perasaan campur aduk dalam relung
hatinya. Dengan melotot ia mengawasi Ji-liong. "Kau kenal Toa-hoan" Bukankah kalian
bersekongkol, mengatur rencana busuk ini untuk mencelakai aku?"
Ma Ji-liong diam, tidak menyangkal, juga tidak membantah. Ia tidak ingin
berdebat. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa menyangkal, juga tidak perlu menyangkal.
Jari-jari Cia Giok-lun yang kurus kering itu mencengkeram ujung selimut kapas
yang tebal itu, kelihatan tubuhnya gemetar.
"Selama beberapa bulan ini, kau selalu merindukan dia?" suara Cia Giok-lun
berubah serak terisak. "Tiga bulan lebih kau mendampingi aku, tapi setiap hari kau malah merindukan
dia?" Ma Ji-liong tidak mungkir, hal ini memang tidak perlu dibantah.
Tubuh Cia Giok-lun berguncang lebih keras. "Kenapa kau merindukan dia" Apa kau
mencintai wanita jelek itu?" Pertanyaan ini setiap hari mengganjal dalam benak Ma Ji-liong. Kenapa aku selalu
merindukan dia" Apa betul aku sudah kasmaran kepadanya" Kalau lagi kasmaran, maka perasaannya
bukan lagi suka, tapi dirinya sudah jatuh cinta. Karena cinta maka ia kuat bertahan sekian
lama menyembunyikan diri sebagai pemilik toko serba ada, karena cinta pula sehingga
amat keras dan begitu besar rasa rindunya. Tapi hal ini tak pernah Ji-liong pikirkan, Ji-liong
memang tak habis mengerti, kenapa dirinya punya pikiran demikian.
Mendadak Cia Giok-lun menghentikan isak tangisnya, badan juga tidak gemetar
lagi, jengeknya sambil menyeringai dingin, "Ingin tidak kau tahu siapa dia?"
"Ingin sekali," jawab Ma Ji-liong dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling.
"Jika kau tahu siapa dia sebenarnya, aku yakin kau akan kecewa;"
"Tidak, pasti tidak," tegas dan jelas jawaban Ma Ji-liong. "Peduli siapa dia,
sikapku terhadapnya takkan pernah berubah."
"Baiklah, biar kujelaskan," suara Cia Giok-lun seperti memekik. "Dia adalah babu
di rumahku." Ma Ji-liong tetap bersikap tenang dan wajar, "Kau adalah Toa-siocia, nona besar,
dia adalah babumu. Engkau seorang gadis cantik, sebaliknya dia buruk rupa. Tapi peduli kau
siapa dan dia siapa, aku tetap merindukan dia." Habis bicara ia beranjak keluar pula.
"Kembali kau!" pekik Cia Giok-lun. "Masih ada yang akan kuberitahukan kepadamu."
Ma Ji-liong tidak berbalik, juga tidak berpaling. Apa pun yang akan dikatakan
Cia Giok-lun, ia tidak mau mendengar lagi.
Dengan gemas Cia Giok-lun menjatuhkan diri, menyusupkan kepala ke bawah bantal,
lalu menangis gerung-gerung, menangis dengan sedih. Sebagai Toa-Siocia, atau nona
besar, ia memang amat binal, lebih brengsek dibandingkan putri raja, lebih agung dibanding
bidadari. Belum pernah ada orang yang melihat ia mencucurkan air mata. Apa pun yang ia minta, apa pun
yang ia inginkan di rumah maupun di luar, belum pernah tidak terkabul. Tapi kenapa kali ini ia
menangis" Karena apa ia mencucurkan air mata"
Thio Eng-hoat duplikat Ma Ji-liong ini hanya juragan toko serba ada di kampung
di mana sebagian besar penduduknya adalah kalangan rendah. Ma Ji-liong tidak lebih hanya keparat
yang berani melakukan kejahatan, seorang buronan yang akan dijatuhi hukuman mati oleh kaum
pendekar. Peduli untuk siapa dan kepada siapa, tidak pantas Cia Giok-lun mencucurkan air
mata. -------------------------ooo00ooo-----------------------Sejak tadi Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu hanya menonton saja dari samping,
diam, bersikap dingin. Mendadak Thiat Tin-thian menghela napas, "Aku ini laki-laki bergajul,
laki-laki yang suka pelesir, selama hidup entah berapa ratus perempuan yang pernah tidur denganku."
"Aku pun kira-kira demikian," ucap Ong Ban-bu.
"Tapi sejak mula hingga yang terakhir, belum pernah aku memahami jiwa mereka,
menyelami hati perempuan, seumur hidupku mungkin tak bisa memahami hati wanita."
Ong Ban-bu juga menghela napas, katanya gegetun, "Aku pun demikian."
-------------------------ooo00ooo-----------------------Ma Ji-liong berada di luar, tidak mendengar percakapan mereka. Begitu berada di
luar, ia kaget dan menjublek oleh perubahan yang terjadi di jalanan. Belum pernah ia membayangkan
di lorong yang jorok dan kotor serta becek itu, bisa menyaksikan perubahan yang benar-benar
mengejutkan. Hanya Thio-lausit saja yang tidak berubah. Gelagatnya pegawai ini sudah
terpengaruh oleh arak yang masuk ke perutnya. Poci arak sudah kosong dan menggeletak miring di atas
meja yang sudah reyot. Thio-lausit mendekam di meja, entah masih sadar atau sudah tertidur"
Sudah mabuk atau lagi sedih" Keadaan biasa memang demikian, kejadian hari ini bukan untuk yang pertama kali.
Perubahan yang mengejutkan telah terjadi dalam kampung yang berpenduduk serba kekurangan ini.
Bayangan manusia dan hewan sudah tidak kelihatan lagi, penduduk yang tinggal di gubukgubuk reyot sepanjang kampung itu entah sudah lari ke mana. Rumah mereka yang terbuat dari
papan beratap rumbia itu pun sudah tidak kelihatan, entah kapan dibongkar atau dipindah ke
mana. Tanah kampung itu kini telah kosong.
Hanya sekejap mata, dalam waktu singkat, rumah-rumah penduduk di sekeliling toko
serba ada ini telah dibongkar bersih. Dibongkar oleh ke-28 pemuda baju hitam yang berperawakan
tegap, kekar dan kuat. Isi kantong hitam yang mereka bawa ternyata alat pertukangan,
digunakan untuk menjebol dan membongkar rumah-rumah itu.
Gerak mereka rapi, hati-hati, kuat lagi cekatan. Genteng satu persatu dilempar
ke bawah, demikian pula papan dinding satu persatu dipreteli, paku satu persatu dicabut. Lekas
sekali bangunan rumah yang sudah dibongkar dipindahkan ke lain tempat.
Demikian pula perabot rumah tangga. Dari meja, kursi, almari, mainan anak-anak,
harta benda besar maupun kecil, seluruhnya diangkut dan habis. Penduduk kampung ini dari
keluarga miskin, namun dalam pandangan mereka, betapapun reyot dan miskin keadaan rumah mereka,
setelah sekian tahun tinggal di tempat itu, berteduh dari teriknya matahari dan hujan
lebat, berat dan sayang untuk meninggalkan tempat ini. Tidak sedikit malah penduduk kampung yang
dilahirkan di sini, kampung halaman di mana mereka tumbuh dewasa dan tua. Tapi sekarang rumah mereka
dibongkar, lenyap begitu saja, seluruh rumah di daerah ini sudah dirobohkan.
Perkampungan ini sudah bukan lagi kampung. Jalan sempit itu juga bukan jalan kampung lagi. Segala
apa yang ada di sini sudah berubah, semuanya sudah dipindahkan.
Dalam sekejap mata, perkampungan telah berubah menjadi tanah lapang yang kosong,
tanah lapang yang sebagian berlumpur. Tanah kosong, tanah mati, daerah mati, tiada kehidupan
lagi di tempat ini. Bab 27: Batu Hitam Mega putih, langit membiru. Di kejauhan masih ada bangunan rumah, ada toko,
suara orang dan keributan yang lazim terjadi dalam perkampungan. Langit tetap membiru, kehidupan
dalam toko itu pun masih berlangsung, tapi kehidupan dalam toko serba ada ini bukan lagi milik
Ma Ji-liong sendiri, seolah kehidupan sejati makin jauh meninggalkan Ma Ji-liong.
Selepas mata Ma Ji-liong memandang, yang terlihat hanya tanah kosong belaka.
Sekian lama ia menjumblek, kaget dan tidak mengerti, bagaimana perubahan ini berlangsung. Waktu
ia menoleh, dilihat Thio-lausit sedang menggeliat dan menguap, seperti baru sadar dari
pulasnya, entah sadar karena mabuk, atau karena sedih dan mendelu" Atau dari tidur pulas sungguhan"
Ada kalanya orang sadar lebih celaka daripada tidur, lebih enak mabuk saja, karena begitu ia
membuka mata, seketika ia membelalak, kecuali kaget, heran dan juga ngeri.
Ma Ji-liong bertanya kepada Thio-lausit, "Apa yang kau saksikan?"
"Tidak ada yang kusaksikan," sahut Thio-lausit. "Apa pun tidak menyaksikan."
Tidak menyaksikan apa pun adalah amat menakutkan dibanding kau melihat sesuatu yang mengerikan,
tidak tahu seolah-olah ditakdirkan menjadi ketakutan yang terbesar dan mendalam dalam
kehidupan manusia. Ma Ji-liong berkata pula, "Umpama mereka mengurung kita hingga mati kelaparan di
sini, sebetulnya tak perlu membongkar rumah-rumah penduduk itu, mereka kan bisa
bersembunyi di rumah-rumah itu untuk menyelidik keadaan kita di sini dari dekat." Ma Ji-liong
tak habis mengerti, kenapa rumah-rumah penduduk dibongkar hingga rata dengan tanah dan daerah
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkampungan itu menjadi tanah kosong. Dengan mengajukan pertanyaan, Ji-liong berharap Thiolausit bisa memberi keterangan kepadanya, ikut memecahkan teka-teki ini.
Belum Thio-lausit menjawab, dari arah barat muncul barisan 28 pemuda berpakaian
hitam ketat, mereka muncul dengan berbaris rajin dan rapi, langsung menuju ke depan tokonya.
Ma Ji-liong dapat membedakan ke-28 pemuda yang ini bukan barisan yang tadi, namun mereka
terdiri pemudapemuda kekar dan kuat juga, sama-sama berseragam hitam, hanya pakaian mereka masih
kering, belum basah oleh keringat, karena mereka belum bekerja berat. Yang mereka bawa
juga bukan kantong kain hitam, tapi keranjang bambu hitam.
Keranjang bambu ini kelihatan lebih berat karena isinya batu-batu hitam
berbentuk bulat seperti bola hitam mengkilap hingga kelihatan seperti mutiara hitam. Sudah dua puluh
tahun lebih Ji-liong hidup di dunia ini, tak pemah ia melihat batu seperti itu, susah ia mengenali
anak buah siapakah pemuda-pemuda gagah tegap dan cekatan ini. Batu hitam bulat dan mengkilap
seperti itu jelas susah ditemukan meski hanya satu atau dua butir saja. Gembong-gembong silat Kangouw
yang mampu memelihara atau mendidik pemuda-pemuda berseragam hitam seperti mereka juga
hanya beberapa gelintir saja. Yang lebih aneh lagi, pemuda-pemuda itu menata batu-batu dalam keranjang bambu
itu di atas tanah secara teratur, rapi dan rapat baris demi baris, mirip petani yang sedang
menanam padi di sawah. Gerakan mereka rapi dan rajin serta seirama lagi cepat, tanah kosong yang
berlumpur itu seketika tertutup oleh taburan batu hitam itu.
Lekas sekali keranjang bambu para pemuda Itu sudah kosong, kejap lain mereka
sudah berlari pergi dengan derap yang tetap rapi. Belum lenyap bayangan ke-28 pemuda yang ini, dari
arah Timur muncul lagi 28 pemuda lain dalam bentuk barisan yang sama, berseragam hitam juga
membawa keranjang bambu hitam berisi batu-batu bulat warna hitam mengkilap pula, derap
langkah mereka mirip pasukan kerajaan yang sedang mengadakan upacara di halaman istana.
Ma Ji-liong ingin bertanya pada Thio-lausit, apakah ia tahu anak buah siapa
gerangan para pemuda ini" Atau menerka dari mana asal mereka" Entah apa yang sedang dilakukan oleh
para pemuda itu" Ma Ji-liong belum sempat bertanya karena mendadak dilihatnya perubahan yang
ganjil pada wajah Thio-lausit. Sejak tadi Thio-lausit bersikap acuh tak acuh, malas dan mengantuk,
namun sorot mata yang tadi guram kini mencorong terang dengan menampilkan rasa takut dan ngeri.
Tanpa diperintah atau diminta oleh Ma Ji-liong, mendadak ia memburu keluar. Dengan kecepatan yang
luar biasa, satu persatu ia pasang daun pintu toko serba ada dan menutupnya rapat. Padahal
tadi ia bersikap bandel untuk tetap membuka toko ini seperti biasa supaya tidak menarik
kecurigaan musuh, mengapa sekarang tanpa diminta ia malah menutup toko"
Ma Ji-liong melenggong, diam saja mengawasi kelakuan pegawainya yang aneh. Tibatiba Thiolausit menarik lengannya terus diseret masuk ke dalam rumah. Hanya sinar pelita yang
menerangi keadaan rumah itu, remang-remang saja di dalam. Tiga orang yang ada di dalam
rumah kelihatan amat lesu dan kuyu. Tanpa bicara, begitu masuk Thio-lausit merogoh kantong di
balik bajunya mengeluarkan sebuah botol hitam dari kayu, langsung ia angsurkan kepada Thiat
Tin-thian. "Ini untukmu," suaranya gugup gelisah. "Makan dulu separuh, sisanya makan lagi
setengah jam kemudian, kunyah dulu baru ditelan."
Sudah tentu Thiat Tin-thian bertanya, "Ini apa?"
"Itulah Bik-giok-cu," ujar Thio-lausit. "Dalam jangka setengah jam setelah kau
makan obat itu, luka dalammu yang parah akan sembuh setengah bagian. Menjelang magrib nanti kau telan
lagi sisanya yang separuh, tengah malam nanti kekuatanmu akan pulih delapan bagian dari
keadaan semula." Mendadak ia menghela napas, lalu katanya pula, "Semoga kau kuat bertahan hingga
saatnya nanti." Mendengar 'Bik-giok-cu', bola mata Thiat Tin-thian seketika bercahaya. Tubuhnya
bergetar keras, ia tahu obat dalam botol kayu hitam yang ia pegang sekarang adalah obat mujarab,
satu-satunya obat penyembuh yang dapat menolong dirinya di kolong langit ini, obat mujizat
yang tak ternilai harganya. Tetapi Thiat Tin-thian tidak segera menelannya, ada beberapa persoalan
yang ingin ia ketahui lebih dulu, maka ia bertanya, "Siapa kau?" Pertanyaan itu ditujukan
kepada Thio-lausit, lalu sambungnya, "Dari mana kau bisa memiliki Bik-giok-cu ini?"
"Semua itu tiada sangkut-pautnya dengan kau. Pokoknya lekas kau makan obat itu
dan sembuh, titik." "Siapa bilang tiada sangkut pautnya," tegas jawaban Thiat Tin-thian. "Selama
hidup belum pernah Thiat Tin-thian menerima kebaikan atau bantuan orang lain. Kalau aku tidak tahu
kau siapa, mana boleh aku menerima obatmu?" Laki-laki yang tegas membedakan budi dan dendam,
lebih rela mati daripada hutang budi kepada orang lain, mati pun tidak mau berhutang budi kepada
orang yang tidak dikenalnya. Mendadak Ma Ji-liong menyeletuk, "Kau boleh menerima obatnya, juga harus
menerima budi pertolongannya, malah tidak perlu kau membalas kebaikannya."
"Kenapa?" tanya Thiat Tin-thian.
"Karena dia adalah temanku, demikian pula kau," tandas ucapan Ma Ji-liong."
Antara kawan, peduli siapa untuk siapa, tidak perlu menyinggung soal balas membalas kebaikan."
Tanpa bicara lagi, Thiat Tin-thian membuka tutup botol, lain menuang separuh isi
obat di dalamnya ke mulut serta ditelan begitu saja.
Mendadak Ong Ban-bu menghela napas lega, katanya pula, "Thiat Tin-thian,
sekarang boleh kau bunuh aku saja, sekarang mati pun aku tidak menyesal." Sekarang ia sudah tahu,
orang yang mengalahkan dirinya jelas bukan tokoh sembarangan, karena hanya murid Bik-giok
Hujin yang mempunyai Bik-giok-cu. Kalah di tangan anak murid Bik-giok Hujin jelas bukan
peristiwa yang memalukan. Kenyataan dirinya sudah kalah, kecundang, mati pun tak perlu
menyesal. Walau Ong Ban-bu tidak menjelaskan, namun Thiat Tin-thian cukup maklum perasaan
hatinya. Kini siapa pun berani memastikan bahwa Thio-lausit adalah anak murid Bik-giok
Hujin. Selama seratus tahun terakhir ini, belum pernah ada berita yang menyatakan Bik-giok
Hujin menerima murid laki-laki, maka dapat dipastikan bahwa Thio-lausit yang satu ini adalah
penyamaran seorang perempuan, seorang gadis.
Ma Ji-liong menatapnya lekat, sepatah demi sepatah ia berkata, "Sekarang apakah
belum tiba saatnya kau berterus terang?"
"Berterus terang tentang apa?" tanya Thio-lausit.
"Berterus terang bahwa kau adalah Toa-hoan."
Akhirnya Thio-lausit menghela napas panjang, ujarnya kemudian, "Betul, aku
memang Toa-hoan." Pegawai jujur yang tidak jujur ini memang betul adalah Toa-hoan. Bukan Toa-hoan
yang berarti mangkuk besar, mangkuk besar yang sering dipakai nyonya rumah di dapur, tapi
Toa-hoan yang satu ini adalah nama seorang gadis, gadis yang berdarah daging, manusia tulen,
gadis yang berani berbuat berani bertanggung jawab, Toa-hoan yang selama ini membuat Ma Ji-liong
rindu, gadis jelek yang membuat Ma Ji-liong kasmaran.
Apa selama ini Toa-hoan juga merindukan Ma Ji-liong" Jika muda-mudi ini samasama merindukan lawan jenisnya, kenapa selama tiga bulan lebih ia tega merahasiakan dirinya,
tidak memberitahu kepada Ma Ji-liong-liong bahwa dirinya menyaru menjadi Thio-lausit, pegawainya
yang jujur dan setia" Ma Ji-liong tidak habis mengerti, hati perempuan memang sukar dijajaki, tak
mudah diselami. Toa-hoan sudah mengulur tangannya. Begitu ujung jarinya menyentuh tangan Ma Jiliong, lekas ia menyurut mundur lagi. Tidak ada orang yang lebih kuasa mengendalikan perasaan
hatinya seperti dia. "Tenaga Thiat Tin-thian akan segera pulih, Ong Ban-bu tidak perlu mati,
demikian pula engkau," suara Toa-hoan dingin. "Asal ada kesempatan, kalian harus menerjang
keluar." Ma Ji-liong juga berusaha menahan gejolak hatinya, tapi tak tahan ia bertanya,
"Dan kau bagaimana?" "Aku......" Toa-hoan tergagap.
Mendadak Cia Giok-lun berteriak, "He, kenapa kalian tak bertanya pada diriku"
Bagaimana nasibku nanti?" Pelahan Toa-hoan membalik badan menghadapi Cia Giok-lun. Cia Giok-lun melotot
gusar penuh emosi, wajahnya dilembari dendam dan kebencian. "Kenapa kau membuatku celaka
begini rupa?" pekiknya dengan suara tersendat.
"Aku memang bersalah, berdosa terhadapmu," kata Toa-hoan. "Tapi kau harus
percaya kepadaku, maksudku baik, aku tidak akan membuatmu celaka."
"Tapi kenapa kau lakukan semua ini?"
"Supaya tugas yang kuemban tidak sia-sia, dapat menunaikan tugas dengan baik,
aku harus mencegah kau menikah dengan Khu Hong-seng," demikian jawab Toa-hoan. "Sejak
kecil kita dibesarkan bersama, maka aku tidak boleh berpeluk tangan melihat kau menikah
dengan orang yang keji, licik dan munafik itu."
Ma Ji-liong memekik kaget, "Jadi dia ini putri kesayangan Bik-giok Hujin?"
"Betul," sahut Toa-hoan. "Cia-hujin mengundang kalian berempat berkumpul di Han
bwe-kok, maksudnya untuk memilih seorang di antara kalian sebagai calon menantunya."
"Jadi hari itu kau juga berada di Han-bwe-kok?" tanya Ma Ji-liong.
Toa-hoan manggut, "Ya, aku ada di sana waktu kejadian itu berlangsung, aku
Mutiara Hitam 10 Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Pedang Kiri Pedang Kanan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama