Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Bagian 5
mengikuti seluruh peristiwa itu." Siapa saja bila menyaksikan peristiwa itu serta mengikuti perkembangan
selanjutnya, pasti berkesimpulan dan menuduh Ma Ji-liong sebagai pembunuhnya, biang keladi dari
rentetan kasus yang berbuntut panjang itu.
Toa-hoan berkata, "Tapi aku berpendapat, dari pengamatanku di belakang tabir, di
balik peristiwa ini tentu ada muslihat keji yang terselubung."
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?" tanya Ma Ji-liong.
"Karena kejadian yang berlangsung secara 'kebetulan' dalam peristiwa itu terlalu
banyak," Toa-hoan menjelaskan. "Aku tidak percaya kejadian yang selalu kebetulan." Liang lahat di
tanah bersalju, batu jade milik Siau-hoan, tusukan tombak Kim Tin-lin yang tepat mengenai mainan
kalung, Coattaysu dan Peng Tio-hoan muncul pada saat yang tepat dan lain-lain, semua itu terjadi
secara kebetulan. Peristiwa yang terjadi secara kebetulan, umumnya sudah diatur secara
rapi, sudah direncanakan dengan sempurna.
Lebih lanjut Toa-hoan berkata, "Cia-hujin mengutus aku sebagai juri dengan tugas
memilih calon menantunya. Aku mendapat kepercayaan penuh, tugas dan kewajibanku tidak ringan,
apalagi peristiwa ini menyangkut masa depan Toa-siocia, maka aku hrus bekerja secara
hati-hati dan teliti. Setelah menghadapi persoalan rumit itu, aku tak berani mengambil keputusan."
Toa-hoan mengawasi Ji-liong, "Oleh karena itu, sengaja kubiarkan kau melarikan diri, aku
belum yakin bahwa kaulah biang keladi kasus ini, aku masih ingin memancing dan mencoba
dirimu, aku ingin tahu dari dekat, orang macam apa sebetulnya kau ini?"
Terpendam di bawah salju, sengaja memperlihatkan rambut kepala sambil merintih
lemah, itulah percobaan pertama. "Kalau kau tidak berhenti dan menolong aku dari timbunan
salju itu, hari itu juga aku sudah membunuhmu."
Pembunuh yang lagi buron pasti tak mau menolong gadis jelek yang tidak pernah
dikenalnya, menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting, apalagi Ji-liong menyerahkan jaket
berbulu dan kudanya kepada orang yang telah ditolongnya.
Tapi percobaan pertama belum memuaskan, belum meyakinkan bahwa Ji-liong bukan
pembunuhnya, maka perlu dilanjutkan dengan percobaan demi percobaan.
"Setelah beberapa kali kucoba, akhirnya aku percaya kau bukan orang jahat, kau
orang baik, hanya sifatmu saja yang terlalu angkuh. Aku menjadi curiga terhadap Khu Hong-seng,"
demikian tutur Toa-hoan lebih lanjut. "Rencananya memang amat rapi dan sempurna, susah aku
melihat titik kelemahan muslihatnya. Walau aku tahu kau terfitnah dalam kasus ini, namun aku
tak berdaya menolong kau membersihkan diri." Setelah menghela napas panjang Toa-hoan
melanjutkan, " Aku tak punya bukti. Untuk membuat Cia-hiujin percaya bahwa kau tidak berdosa dalam
kasus ini, aku harus punya bukti." Ma Ji-liong menyengir tawa, tawa yang getir, "Umpama Cia-hujin percaya, Coattaysu dan lain-lain pasti tidak mau percaya. Aku tetap menjadi kambing hitam di tangan mereka."
Seorang yang sudah dianggap atau dituduh pembunuh kejam oleh orang-orang gagah
dan pendekar, apalagi tokoh seperti Coat-taysu yang disegani dalam Bu-lim, mana mungkin
menjadi calon menantu Bik-giok Hujin. "Belakangan baru aku tahu," tutur Toa-hoan lebih lanjut. "Di saat aku menguntit
dirimu, sebelum tugas selesai, penyelidikanku juga belum mencapai hasil, kudengar Cia-hujin
sudah mengambil keputusan untuk memilih Khu Hong-seng sebagai calon menantu, malah hari
pernikahan juga sudah ditetapkan." Mendadak Ong Ban-bu menyeletuk, "Aku juga mendengar berita itu."
"Putusan yang sudah ditentukan Cia-hujin, jarang diubah, meski nasi sudah
menjadi bubur juga tidak menyesal," demikian ucap Toa-hoan sinis. "Kecuali aku dapat mencari bukti
bahwa peristiwa ini adalah rencana busuk Khu Hong-seng, Khu Hong-seng adalah biang keladi atau
pembunuh utamanya." Toa-hoan sudah bekerja keras, dibantu Ji Ngo lagi, namun sukar baginya menemukan
bukti yang diharapkan. Khu Hong-seng memang cerdik pandai, ia bekerja secara rapi dan penuh
perhitungan, orang sukar menemukan kesalahannya. Lebih hebat lagi secara gamblang ?a sudah memaparkan
kunci persoalai peristiwa ini, secara blak-blakan bicara dengan Ma Ji-liong, namun ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Umpama Ji- liong ganti memaparkan persoalan ini seperti apa yang diakui Khu
Hong-seng kepada orang lain, penegak hukum pun takkan mau percaya. Memang sulit bagi Ji-liong
untuk mengetengahkan alasannya. Bukan saja tak percaya, orang lain justru beranggapan
Ji-liong sengaja memfitnah Khu Hong-seng, bahkan akan lebih meyakinkan lagi bahwa dialah pembunuh
atau biang keladi dalam kasus ini. Khu Hong-seng memang cerdas, sengaja ia meletakkan dirinya pada posisi yang
paling celaka, pada kedudukan yang tidak menguntungkan, lalu secara licin meloloskan diri tanpa
meninggalkan jejak, karena ia tahu dan mahfum titik kelemahan sifat manusia umumnya.
Toa-hoan menghela napas pula, "Rencana itu bukan saja rapi dan sempurna, juga
telak, untuk itu harus diacungi jempol. Meski gagal menemukan bukti, gagal membongkar kejahatan
Khu Hongseng, aku tidak rela dan tidak boleh berpeluk tangan menyaksikan Toa-siocia
dipersunting oleh keparat itu." Mendadak Cia Giok-lun menghela napas, "Waktu ibu mengumumkan pilihannya, aku
sudah berangkat dari Bik-giok-san ceng. Bukan mencari Khu Hong-seng, tapi mencari
kau." "Aku mengerti," lembut suara Toa-hoan. "Meski perkataanmu kasar, sikapmu garang,
namun aku tahu di dalam hatimu kau masih menganggap aku sebagai saudara kandungmu
sendiri." Cia Giok-lun menyengir kecut, katanva, "Tapi mimpi pun aku tidak menduga,
mendadak kau menutuk Hiat-toku." "Untuk menjernihkan suasana, untuk menunda perkembangan lebih lanjut, terpaksa
aku harus mengamankan kau lebih dulu," demikian Toa-hoan menjelaskan.
Toa-hoan perlu waktu untuk mencari bukti, ia bekerja sepenuh tenaga untuk
membongkar kasus ini, maka jalan pendek yang perlu segera dilakukan adalah mengamankan Cia Giok-lun,
memaksa Ciahujin mengulur waktu atau menunda pernikahan putrinya. Jika mempelai perempuan
mendadak lenyap tak keruan parannya, upacara nikah tentu tak bisa dilangsungkan.
"Setelah kupikir-pikir, cara yang terbaik adalah kalian harus disembunyikan
bersama. Kecuali orang banyak sukar menemukan kalian, sekaligus kalian bisa bertatap muka, berkumpul
dan hidup dalam satu rumah. Aku yakin dengan cara yang kugunakan ini, kau akan memperoleh
kesempatan menyelami dan memahami orang macam apa sebetulnya Ma Ji-liong," ujar Toa-hoan
lebih lanjut. "Sengaja pula kuberi kesempatan padanya supaya tahu kau adalah gadis jelita,
perempuan sempurna, maksudku untuk mencoba dia pula dalam kamar gelap itu, apakah dia kuat
menguasai dirinya." "Untuk menjaga segala sesuatu, maka kau ikut menyamar dan tinggal di sini juga,"
ujar Cia Gioklun. "Agaknya kau belum lega, kau masih kuatir, maka kau masih harus mengawasi dari
dekat." Toa-hoan mengangguk, katanya, "Kalau dia berani berbuat tidak senonoh terhadap
kau, aku tidak akan membiarkan dia hidup sampai sekarang."
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas. "Kau tidak salah menilai dia," suaranya
mendadak berubah menjadi halus. "Dia memang bukan orang jahat."
Ma Ji-liong pasang kuping, mendengarkan saja, kunci persoalan berlika-liku,
sekarang ia baru mengerti duduknya persoalan.
Thiat Tin-thian mendadak menghela napas, katanya, "Dia memang orang baik,
kejadian ini sebetulnya kejadian baik, sayang sekali dia berkenalan dengan orang jahat."
"Kawan adalah kawan," Ma Ji-liong memberi komentar. "Kawan tidak perlu
diperdebatkan baik atau buruk, karena kawan hanya ada satu macam. Jika ia bersalah terhadapku,
mengkhianati aku, maka ia tak setimpal menjadi kawanku, tidak patut ia disebut kawan." Sikapnya
serius lagi keren, lanjutnya, "Aku tidak percaya adanya setan atau malaikat, aku hanya percaya
kepada kawan." Ji-liong percaya kepada kawan, karena dia tidak pernah keliru mengartikan makna
dari kebesaran dan keluhuran 'kawan' itu. Kawan memang hanya sebuah kata, satu pengertian yang
agung, suci dan serius. Kawan tak boleh diartikan secara bengkok, juga tidak boleh dianggap
remeh. "Aku tahu maksudmu," kata Thiat Tin-thian. "Tapi kalau kau tidak punya kawan
seperti aku, penyamaranmu takkan terbongkar, sekarang kau masih aman sebagai pemilik toko
ini. Apa yang telah terjadi, akulah yang membuatmu celaka."
"Apakah kau menyesal berkawan dengan aku?" tanya Ma Ji-liong. "Atau kau akan
memaksa aku menyesal telah berkawan denganmu?"
"Aku tidak menyesal," ujar Thiat Tin-thian. " Aku tahu kau pun pasti tidak
menyesal." Didorong oleh 'persahabatan' yang kekal, mereka memang tidak kenal apa artinya
'menyesal'. Tiba-tiba Ong Ban-bu menghela napas, "Melihat persahabatan dua kawan seperti
kalian, aku baru sadar, selama aku hidup hingga sekarang belum pernah aku punya kawan sejati."
-------------------------ooo00ooo-----------------------Rahasia penyamaran Ma Ji-liong memang terbongkar lantaran Thiat Tin-thian, lalu
bagaimana dengan Toa-hoan" Kalau bukan karena Ma Ii-liong, siapa yang tahu Thio-lausit
adalah samaran Toa-hoan" Siapa pula yang tahu kalau dia adalah murid Bik-giok-san-ceng" Kalau
bukan karena Ma Ji-liong, mana mungkin rencananya terbengkalai dan gagal di tengah jalan"
Tapi ia tidak marah, tidak mengomel, juga tidak menyesal. Kalau bukan karena Ma Ji-liong, bahwasanya
ia tidak akan melakukan semua ini. Ma Ji-liong bertanya, "Waktu kami terkepung, kaukah yang menolong kami dengan
kabut hijau itu?" "Ya," Toa-hoan menerangkan. "Kabut hijau itu dinamakan Jiu-han-yam buatan Bikgiok-san-ceng, lebih tebal dari kabut, juga lebih cepat buyar dibanding kabut. Bila asap dingin
itu berkembang, apa pun tidak kelihatan meski jarimu sendiri."
"Karena kau menggunakan Jiu-han-yam, maka mereka tahu di sini ada orang Bikgiok-san-ceng," Ma Ji-liong mencari tahu.
"Betul, setelah mereka tahu ada orang Bik-giok-san-ceng di sini, mereka tidak
berani bertindak secara gegabah," Toa-hoan berkata. "Selama mereka tidak beraksi, asal bisa
mengulur waktu, mungkin kita punya kesempatan meloloskan diri. Sayang sekali keadaan sudah jauh
berbeda, kita sudah tidak punya peluang untuk mengundurkan diri dari sini."
"Kenapa?" tanya Ma Ji-liong.
"Apa yang kau lihat di luar?" Toa-hoan balas bertanya.
"Kulihat puluhan pemuda berseragam hitam," sahut Ma Ji-liong.
"Apa kerja mereka di luar?" tanya Toa-hoan.
"Mereka menata batu-batu hitam bulat di atas tanah."
Bab 28: Rahasia Lembah Kematian
Apa yang menakutkan dari batu-batu hitam itu"
Asal orang tidak memaksa kau menelan batu itu, juga tiada orang yang menimpukkan
batu itu di atas kepalamu, perduli apa bila batu itu putih, hitam, biru atau kuning" Batu
hitam itu meski bentuknya bulat aneh tapi kan tidak perlu dibuat takut"
Anehnya Toa-hoan justru memperlihatkan rasa takut dan ngeri, demikian pula Cia
Giok-lun setelah mendengar adanya batu-batu hitam bulat itu menunjukkan rasa takut dan panik.
Mendadak Cia Giok-lun bertanya, "Batu-batu bulat yang kau lihat itu, apakah
hitam legam" Bundar lagi mengkilap?" "Ya." "Di mana kau lihat batu-batu itu?" tanya Cia Giok-lun.
"Dibawa pemuda-pemuda berseragam hitam itu," sahut Ji-liong. "Setiap pemuda
membawa sekeranjang batu hitam."
"Lalu?" "Satu persatu batu bulat hitam yang sama besar kecilnya itu ditata di atas tanah
dengan rapi." Cia Giok-lun tidak bertanya lagi. Mulutnya terkancing, sorot matanya seperti
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayangkan peristiwa yang mengerikan. Sikap dan mimiknya seperti Toa-hoan, bak bocah yang
mendadak melihat atau berhadapan dengan setan-iblis yang pernah disaksikannya dalam mimpi
buruk. Kenapa kedua nona ini begitu takut terhadap batu-batu hitam itu"
Thiat Tin-thian menjadi tertarik, maka ia bertanya, "Di daerah ini apakah ada
batu-batu seperti itu?"
"Tidak ada, pasti tidak ada," sahut Ji-liong. "Umpama ada batu bulat di sini
juga tidak sebesar itu, hitam lagi warnanya."
Ong Ban-bu mendadak menambahkan, "Waktu aku datang, sebelumnya sudah kuperiksa
beberapa li di sekitar kampung ini. Batu macam apa saja ada, tapi yang bundar hitam dan
mengkilap, jelas tak pernah kulihat meski hanya sebutir saja."
"Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa batu-batu hitam itu jelas diangkut
ke mari dari daerah yang jauh dari sini."
"Ya, pasti dari jauh."
Thiat Tin-thian heran, "Kenapa bersusah-payah mengangkut batu-batu sebanyak itu
dari jauh ke mari serta menatanya rapi di depan pintu?"
Sebetulnya tidak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini, tetapi Toa-hoan
segera menjelaskan, "Karena dia seorang gila. Orang gila kan bisa melakukan apa saja
yang tidak mungkin dilakukan orang lumrah."
Apa betul orang gila harus ditakuti"
Banyak orang gila di dunia ini, berbagai macam orang gila. Asal kau tidak
mengusik atau mengganggu dia, dia tidak usah ditakuti. Banyak orang yang tidak gila, orang
waras di dunia ini, justru lebih menakutkan dibanding orang gila.
Toa-hoan menerangkan, "Orang yang betul-betul gila tidak perlu ditakuti. Yang
menakutkan adalah orang yang kelihatan waras, lebih normal dibanding orang biasa, padahal dia
seorang yang betulbetul gila." Lebih jauh Toa-hoan menjelaskan, "Biasanya kau lihat dia bekerja secara sopan,
teratur dan rapi. Sikapnya juga ramah tamah, tutur katanya lembut, tapi bila penyakit gilanya
kumat, perbuatan apa pun berani dilakukan. Perbuatan yang tidak mungkin dilakukan orang gila juga
bisa dia lakukan." Lebih menakutkan lagi karena siapa pun tidak tahu kapan dia akan gila. Tidak
bisa ditebak kapan sakit gilanya itu kumat, maka orang takkan siaga, tidak menduga. Di saat kau
kira dia waras dan normal, mungkin saat itulah dia akan memotong hidungmu untuk umpan anjing.
Setelah hidungmu hilang, kau masih juga tak percaya bahwa dia benar-benar telah gila, dia yang
telah melukai dirimu. "Begitulah gambaran orang gila yang kumaksud, orang gila yang menakutkan," Toahoan mengakhiri ceritanya. "Kau pernah melihatnya?" Thiat Tin-thian bertanya.
"Aku tidak pernah melihatnya. Semula kukira selama hidup aku tak akan
melihatnya," setelah
menghela napas, Toa-hoan menambahkan, "Sayang sekali, tak lama lagi aku akan
melihatnya, bahkan berhadapan langsung dengan dia."
Mendadak Cia Giok-lun mengulurkan tangan menarik lengannya, "Apa betul dia ke
mari?" "Dia pasti datang," ujar Toa-hoan. "Jui-ham-yan telah mengundangnya ke mari."
"Setelah kau melihat batu hitam itu, kau tahu bahwa dia sudah datang?" tanya Ma
Ji-liong. "Betul," sahut Toa-hoan. "Di kolong langit ini, batu-batu hitam bulat seperti
itu hanya ada di tempat tinggalnya sana." "Dia tinggal di mana?" tanya Ji-liong.
"Di lembah mati," sahut Toa-hoan. "Lembah mati yang tak ada apa-apanya, yang ada
hanya batubatu bulat hitam mengkilap."
Dengan suara tertekan ia bercerita lebih jauh, "Lembah itu tak pernah diinjak
manusia, lembah yang kering kerontang, burung juga susah hidup di sana, apalagi manusia. Tetapi
berbeda dengan manusia yang satu itu, ternyata dia bisa bertahan hidup, malah hidup panjang
hingga sekarang." "Kenapa dia tinggal di lembah seperti itu?"
"Manusia adalah manusia. Meski dia gila, sebetulnya tidak mau dan tak rela
tinggal di lembah mati itu, tapi ada orang yang memaksanya."
"Siapa yang memaksa dia?"
"Di dunia ini hanya seorang yang bisa dan mampu memaksa dia," demikian tutur
Toa-hoan. "Hanya orang itu yang bisa memaksa dia melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan,"
tuturnya. Mendadak Toa-hoan bertanya, "Tahukah kalian, tiga puluh tahun yang lalu, di kalangan
Kangouw pernah muncul seorang tokoh besar bernama Bu-cap-sah?"
"Bu-cap-sah?" Ma Ji-liong mengulang nama itu.
"Ya, Bu-cap-sah, artinya Tiga Belas Tidak Punya."
"Kenapa dia bernama Bu-cap-sah?"
"Katanya dia tidak punya she, tidak punya nama, tidak punya ayah, tidak punya
ibu, tidak punya abang, tidak punya adik laki, tidak punya kakak, tidak punya adik perempuan,
tidak punya bini, tidak punya putra, tidak punya putri dan tidak punya kawan."
"Kan hanya dua belas 'tidak punya'?" tanya Ma Ji-liong. "Satu lagi tidak punya
apa?" "Tidak punya tandingan."
"Tidak punya tandingan?" Ma Ji-liong tidak percaya. "Betulkah dia tidak punya
tandingan?" "Tiga puluh tahun yang lalu, dalam usia dua puluh tiga tahun, dia sudah menyapu
jagat tanpa menemukan tandingan, kepandaian silatnya tiada bandingan di seluruh dunia."
Ma Ji-liong masih tidak percaya, "Peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun yang
lalu sebetulnya masih belum terlalu lama, kenapa sampai sekarang belum ada orang yang tahu?"
Mendadak Thiat Tin-thian menimbrung, "Ada orang yang tahu, banyak yang tahu, aku
juga tahu." Thiat Tin-thian berkata penuh keyakinan. "Tahun itu kebetulan aku berusia 19
tahun, tepatnya hari raya Ciong-yang, aku mendengar orang membicarakan tentang dirinya."
"Kau masih ingat dengan jelas?" tanya Ma Ji-liong.
"Sudah tentu jelas, karena hari itu kebetulan hari kelahiranku," Thiat Tin-thian
bercerita. "Pada hari
ulang tahunku itu, kebetulan dia berhasil mengalahkan Lian San-hun."
Lian San-hun adalah jago silat paling top masa itu. Dengan Heng-hun-jik-jit dan
Si-cap-kau-kiam, dia malang melintang di Kangouw, terutama 49 Jurus Ilmu Pedang Penyapu Mega
Menutup Matahari itu teramat lihai, jelas tidak asor dibanding Wi-hong-bu-liu Si-capkau-kiam ciptaan Kotojin dari Pa-san. "Setelah berhadapan, belum sempat dia melancarkan ilmu pedangnya yang 49 jurus
itu, Lian Sanhun sudah roboh binasa secara mengenaskan. Dikalahkan oleh pemuda yang baru terjun
di dunia persilatan." "Lian San-hun dikalahkan oleh Bu-cap-sah?" tanya Ma Ji-liong.
"Waktu itu aku tidak tahu siapa dia, aku hanya mendengar ada seorang jago pedang
tersohor di seluruh jagat bernama Yan Cap-sah. Tapi tiga bulan kemudian, aku selalu
mendengar orang bercerita tentang Bu-cap-sah seorang," tutur Thiat Tin-thian, lalu ia
menekankan, "Tiga bulan tepat,
sembilan puluh hari."
Tak tahan Ma Ji-liong bertanya lagi, "Bagaimana kau ingat bahwa tepat sembilan
puluh hari dia menggegerkan dunia persilatan?"
"Karena dari hari raya Ciong-yang hingga tanggal 8 bulan 11 tepat 90 hari. Dalam
jangka waktu 90 hari itu dia berhasil mengalahkan 43 jago-jago silat kosen yang paling terkenal
pada masa itu," demikian tutur Thiat Tin-thian. "Yang terakhir dia kalahkan adalah Ciangbunjin
Thiat-kiam-bun. Saat itu dia sedang berkumpul dengan anak muridnya, akan berpesta makan bubur
ayam campur tiram. Belum ada satu gebrakan, Ciangbunjin Thiat-kiam-bun ini dikalahkan lalu
dijungkir-balikkan ke dalam wajan di mana bubur ayam sedang dimasak."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Selanjutnya tidak ada."
"Tidak ada" Apa maksudnya tidak ada?"
"Tidak ada, maksudnya sejak hari itu Bu-cap-sah tidak pernah muncul lagi," Thiat
Tin-thian bercerita. "Selanjutnya, tiada orang persilatan yang mendengar kabar beritanya,
tiada orang yang pernah melihat jejaknya."
"Apa betul tiada orang yang tahu ke mana dia pergi?"
"Ya, tidak ada."
"Ada," tiba-tiba Toa-thoan menyeletuk. "Ada orang yang tahu di mana dia berada,
akulah orangnya." Apa yang aku tahu, orang lain pasti tidak tahu.
Suatu hari, entah dengan cara apa Bu-cap-sah berhasil menemukan Bik-giok-sanceng dan meluruk ke sana. Sehari menjelang tutup tahun, jadi pada saat orang-orang mempersiapkan
diri untuk menyambut datangnya tahun baru, Bu-cap-sah menantang bertanding Bik-giok Hujin
di Pui-kuipoh di luar Bik-giok-san-ceng.
Bik-giok Hujin memiliki kepandaian silat yang tiada taranya, tiada kaum
persilatan yang tahu sampai di mana taraf kepandaiannya. Yang pasti, belum pernah ada tokoh lihai
mana pun yang mampu mengalahkan dia. Maka dalam duel seru di luar Bik-giok-san-ceng itu, Bucap-sah akhirnya kalah setelah bertempur ratusan jurus. Kemampuan Bu-cap-sah sudah memecahkan
rekor dari para lawan yang pernah berhadapan dengan Bik-giok Hujin. Tidak ada orang yang bisa
mengalahkan dirinya, sejak dulu hingga saat ini, belum ada yang mampu mengalahkan dia.
Anehnya, di luar kebiasaan, Bik-giok Hujin tidak membunuh lawannya yang kurang
ajar ini, tapi hanya mengurung atau tepatnya menghukumnya di dalam lembah mati. Bu-cap-sah
diharuskan bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah itu dan membuat onar lagi di
luar. Rumput atau pohon tidak tumbuh, burung pun tidak bisa hidup di lembah itu.
Seperti juga Singsiok- hay yang terletak di kutub utara, dingin lagi belukar, belum pernah ada manusia
yang hidup di tempat itu. Sejak saat itu Bu-cap-sah tidak pernah muncul lagi. Riwayatnya menjadi legenda
kaum persilatan, namun lekas sekali keperkasaannya sudah dilupakan orang.
Toa-hoan berkata, "Tapi aku tidak pernah melupakan dia, karena Hujin sering
bilang kepada kami, di dunia ini hanya ada seorang yang bisa hidup di lembah mati, orang itu pasti
hanya Bu-cap-sah saja. Kalau dia mampu bertahan hidup di sana, bila dia merasa dirinya sudah
mampu menuntut balas, akan datang suatu hari dia pasti akan melanggar sumpah, keluar dari
lembah dan merajalela di dunia Kangouw." Ma Ji-liong berkata, "Apakah lembah mati itu hanya dihuni dia seorang saja?"
"Ya, hanya dia seorang," sahut Toa-hoan.
"Tapi kenyataannya ia punya delapan puluh empat orang anak buah yang cekatan."
Toa-hoan menghela napas, katanya, "Mungkin Hujin sendiri tidak menduga, entah
bagaimana dia bertahan hidup di lembah itu, juga takkan menyangka orang-orang itu juga bisa
hidup di tempat gersang itu. Tapi Hujin juga pernah bilang, suatu yang tidak bisa dilakukan
orang lain, Bu-cap-sah pasti bisa dan mampu melakukannya."
------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------Keadaan di luar semula amat tenang dan sepi. Mendadak berkumandang tawa
seseorang yang lantang. Dengan nada riang dan bangga, seseorang berkata di luar, "Banyak terima
kasih atas pujian Toa-siocia dan Toa-kohnio. Sebetulnya aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya
saja nasibku memang jauh lebih mujur dibanding orang lain, itu saja."
Dari suaranya, dapat diperkirakan jarak pembicaraan dengan rumah ini masih cukup
jauh, tapi setiap patah kata yang diucapkannya dapat didengar dengan jelas oleh semua orang
yang ada di dalam rumah. Setiap patah kata pembicaraan Ma Ji-liong dengan Toa-hoan di dalam rumah juga
ternyata dapat didengarnya dengan jelas.
Sambil mendongak, Toa-hoan bertanya, "Kaukah Bu-cap-sah?" Sengaja ia bicara
dengan nada rendah, suaranya tidak keras.
"Ya, aku di sini," sahut orang di luar itu.
Sengaja Toa-hoan menghela napas, katanya, "Kupingmu sungguh tajam, lebih tajam
dibanding telinga kelinci." Toa-hoan sengaja memancing amarah orang di luar itu, supaya orang menerjang
masuk ke dalam dan mudah disergap atau dijebak. Ternyata orang di luar juga cerdik, dia hanya
bergelak tawa, tawa yang riang malah, "Telingaku memang amat tajam, hasil latihanku selama beberapa
tahun di lembah yang sepi itu. Aku hidup sebatang kara dua puluh tahun di lembah mati,
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara apa pun tidak kudengar. Saking sebal dan pengap hampir gila rasanya, maka aku berdaya upaya
untuk mendengarkan suara yang tidak mungkin didengar orang lain."
"Suara apa?" tanya Toa-hoan.
"Umpamanya suara sepasang ular yang lagi bermain cinta di lubang istananya, kutu
cilik yang merayap di tanah, ular menelan katak, rayap menggerogoti akar pohon, suara kurakura yang sedang bertelur," sambil tertawa Bu-cap-sah berkata dengan bangga, "Pernahkah
kalian mendengar suara-suara itu" Sungguh mengasyikkan."
"Tidak ada, pasti tidak ada orang yang dapat mendengar ular bermain cinta dan
kura-kura bertelur."
Terdengar Bu-cap-sah berkata pula, "Tapi sekarang aku bisa mendengar semua,
malah mendengar dengan jelas sekali."
Bila manusia bisa mendengar suara-suara yang mendekati gaib itu secara jelas,
suara apa pula yang tidak bisa dia dengar"
Lebih jauh Bu-cap-sah berkata, "Untung sekarang aku tak perlu mendengarkan
suara-suara itu." "Lho, kenapa" Kau tidak suka lagi?" tanya Toa-hoan.
"Ya, aku tidak perlu mendengarnya lagi. Sejak lima tahun yang lalu, aku sudah
punya banyak teman untuk kuajak bicara," demikian kata Bu-cap-sah. "Lembah mati yang semula
tidak pernah dihuni manusia dan hewan, sekarang ada delapan ratus dua puluh empat orang yang
bisa kuajak bicara di sana. Kusuruh mereka bilang apa, mereka mengatakan apa. Aku ingin
bilang apa, mereka segera mengutarakan isi hatiku."
"Bagaimana kau bisa mencari orang sebanyak itu untuk menemani kau bicara?" tanya
Toa-hoan. "Karena nasibku amat mujur," Bu-cap-sah tertawa riang. "Kecuali batu hitam,
dalam lembah itu masih ada benda lain yang lebih berharga."
"Benda apa?" Toa-hoan ingin tahu.
"Emas, emas murni," amat riang suara Bu-cap-sah. "Kutanggung, seumur hidup
kalian belum pernah melihat logam mulia sebanyak itu."
Kalau seseorang memiliki sebongkah logam mulia bagaikan gunung, kerja apa saja
yang tidak dapat dia lakukan" Bu-cap-sah berkata lagi, "Setelah memiliki harta sebanyak itu, dari hari ke hari
hidupku makin gembira, senang dan tenteram. Ilmu silatku juga setingkat lebih maju, maka
timbul keinginanku keluar melihat keramaian dunia. Tujuanku yang utama sudah tentu untuk menengok
Cia-hujin dan Toa-siocia. Jika bukan lantaran dia, bagaimana aku bisa kaya-raya seperti
sekarang?" Tidak tahan Toa-hoan bertanya pula, "Dari mana kau tahu Toa-siocia berada di
sini?" "Sudah tentu aku tahu," ujar Bu-cap-sah tertawa. "Seorang yang sudah memiliki
emas banyak, jarang ada persoalan di dunia ini yang tidak diketahuinya."
"Kenapa kau tak masuk ke mari menengoknya?" Toa-hoan memancing.
"Buat apa tergesa-gesa. Sudah dua puluh tahun aku menunggu, apa salahnya aku
menunggu beberapa hari lagi?"
"Apa yang kau tunggu?"
"Aku sudah menyuruh orang membeli sutera dan kain halus lainnya. Sudah kupanggil
tukang jahit pakaian yang paling ahli untuk mengukur dan menjahit pakaian baru untuk Toasiocia. Sengaja kusuruh orang ke kotaraja untuk membeli bahan-bahan rias yang termahal buatan
Pek-sek-cay," demikian ujar Bu-cap-sah dengan tawa lebar. "Setelah Toa-siocia berganti
pakaian, berdancan dan dirias, aku pasti akan masuk dan bertemu dengannya. Sekarang aku tidak perlu
buru-buru, aku tidak suka perempuan yang kotor."
------------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------Riang gembira nada suaranya, tutur katanya juga sopan lagi halus. Tapi perasaan
Toa-hoan seperti batu yang kecemplung air dingin. Ia tahu makna menakutkan dari perkataan Bu-capsah. Bu-cap-sah menyenangi gadis yang didandani, gadis yang sudah bersolek, molek
jelita. Bila Cia Giok-lun sudah kelihatan ayu, ia siap mempersuntingnya. Biasanya kaum lelaki
hanya memakai satu cara untuk menyenangkan perempuan. Demikian pula bila lelaki akan memberi
hajaran, menuntut balas kepada perempuan, juga menggunakan cara yang satu ini.
Sudah tentu Thiat Tin-thian maklum cara apa yang akan digunakan orang gila itu.
Mendadak ia bertanya pada Toa-hoan, "Apakah dia manusia?"
"Kelihatannya mirip," sahut Toa-hoan.
"Bagus sekali," seru Thiat Tin-thian. "Kalau dia manusia, aku juga manusia,
kenapa aku tidak keluar menemuinya?" Bu-cap-sah yang ada di luar segera berkata, "Silakan keluar, lekas keluar, di
sini aku sudah menyiapkan sebuah meja perjamuan. Kutunggu kehadiran kalian di luar."
Thiat Tin-thian tertawa besar, katanya, "Memang aku ingin makan minum dengan
lahap dan sepuasnya." Mendadak ia bertanya pada Ong Ban-bu, "Kau ikut tidak?"
Ong Ban-bu segera berdiri, katanya, "Aku juga ingin makan."
Bab 29: Perjamuan Besar Meja perjamuan tidak kelihatan. Bahwasanya tiada meja perjamuan di luar rumah.
Tanah kosong yang semula becek itu kini ditaburi batu-batu hitam mengkilap. Di tengah taburan
batu hitam bulat mengkilap itu hanya ada sebuah dipan kecil yang terbuat dari kayu cendana
berbentuk persegi, terukir indah seluas satu meter persegi.
Di bagian belakang dipan persegi dengan ukiran antik itu, berdiri dua tiang kayu
setinggi satu meter. Tiang kayu untuk tempat sangkutan kelambu yang menjuntai turun. Seorang
laki-laki tinggi gede bercambang dengan telanjang dada berdiri di belakang dipan sambil
membusungkan dada. Dari tampang dan kalung bundar besar yang menggelantung di telinga kirinya,
dapat diperkirakan bahwa laki-laki gede ini adalah bangsa Persia. Pengawal Persia ini bermata biru
melotot bundar dengan topi pendek warna merah terbuat dari beludru, di pinggir kanan dihiasi
pita biru yang melambai ditiup angin, jaket sutera pendek ketat tanpa kancing berwarna hitam
disulam garis-garis benang emas tersingkap di bawah ketiaknya. Ikat pinggangnya lebar lagi tebal
berwarna merah maron, tangannya memegang gagang golok melengkung yang terselip di pinggangnya.
Bu-cap-sah duduk di atas dipan berkasur empuk, berbantal dua dan berkopiah mewah
seperti hartawan yang suka pamer kekayaan. Dari tampang dan sikapnya, orang ini tidak
mirip orang yang sebatang kara atau anak yang tidak beribu bapak, bukan orang yang tidak punya
she, wajahnya yang halus putih bersih pasti tidak mirip orang gila.
Roman muka laki-laki yang duduk di atas dipan itu putih, kalau tidak mau
dikatakan pucat, tapi kelihatan tampan. Sikapnya lembut tapi gagah. Dari mukanya yang pucat itu, sukar
orang menebak berapa usianya. Gerak-gerik dan senyumnya menarik simpati orang lain, apalagi
berpakaian mewah dan mahal. Orang akan silau oleh dandanan dan sikapnya yang perkasa, sehingga
tidak memperhatikan lagi usianya.
Mungkin meja perjamuan belum dipersiapkan, padahal tamu yang hadir sudah cukup
banyak. Coattaysu dah kawan-kawannya, seperti juga orang lain, mereka berdiri berkeliling di
sekitar dipan kayu itu. Kecuali dipan atau ranjang persegi itu, hakikatnya tiada meja kursi di
tempat itu, juga tiada benda apa pun untuk mereka duduk kecuali duduk bersimpuh di atas batu-batu bulat
hitam itu. Tapi setelah Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu beranjak keluar, laki-laki di atas
ranjang dengan sikapnya yang sopan dan ramah mempersilahkan para tamunya untuk duduk. Lalu ia
menoleh kepada pengawal Persia itu, katanya, "Menurut pendapatmu, apakah masih ada tamutamu lain yang akan datang?" "Kurasa tidak ada lagi, sekian saja sudah cukup," sahut pengawal Persia itu.
Sekali lagi Bu-cap-sah yang sedang berbaring di atas dipan itu mengangkat
sebelah tangannya menyilakan hadirin duduk. Kelakuannya persis seperti seorang cukong yang
mengundang tamutamunya berpesta di restoran. Lalu dengan sikap dibuat-buat ia berkata, "Silakan duduk,
silakan mencari tempat duduk. Sambil makan minum, boleh kita mengobrol." Orang pertama
yang duduk ternyata adalah Coat-taysu. Ia maju selangkah lalu duduk di atas kursi yang sama
sekali tidak ada, kursi yang tidak kelihatan. Pantatnya bergantung di udara, namun gayanya persis
seorang yang duduk santai di atas kursi sungguhan. Sesuai wataknya yang kaku, sikap dan rona
mukanya juga kaku, namun kepandaiannya memang mengagumkan. Kuda-kuda kakinya memang kokoh
kuat. Dengan cara jongkok seperti itu, sedikit pun ia tak kelihatan payah atau lelah.
Setelah ada contoh, maka orang banyak lantas meniru perbuatan Coat-taysu. Mereka
pun duduk bergaya seperti Coat-taysu. Hanya Thiat Tin-thian yang tetap berdiri tegak di
tempatnya. Bu-cap-sah berpaling ke arahnya, lalu bertanya dengan nada tinggi, "He, kenapa
tuan tidak duduk?" "Aku suka makan sambil berdiri," Thiat Tin-thian menjawab. "Makan sambil berdiri
bukankah dapat gegares lebih banyak?"
"Masuk akal," seru Bu-cap-sah sambil keplok. "Nah, kalian juga harus makan lebih
banyak. Hari ini sengaja aku siapkan hidangan istimewa. Ikan hitam dari Tang-hay, ikan
terbang dari Pak-hay, sarang burung dan udang galah dari Lamhay, sate kambing dari kotaraja dengan
panggang bebeknya sekalian, ikan asin dari Kanglam, kepiting goreng dari Tiangkang, dan
masih ada lagi panggang sapi dan kambing bakar utuh. Kurasa hidangan ini cukup kusediakan untuk
makan kenyang kita semua."
Bahwasanya menu yang diucapkan tadi tidak ada barangnya, tapi dia menyilakan
para tamunya makan dengan sikap ramah, membujuk supaya makan lebih banyak. Kecuali beberapa
menu yang disebutkan tadi, Bu-cap-sah juga menjelaskan tiga macam menu yang khusus
disiapkan untuk Coattaysu,
hidangan vegetarian. ----------------------------------------ooo00ooo----------------------------------------------Orang pertama yang bergaya dan bertingkah seperti orang makan ternyata juga
Coat-taysu. Karena Coat-taysu sudah mulai makan, sudah tentu orang lain sungkan untuk diam saja.
Padahal yang hadir adalah gembong-gembong silat yang pernah menggetarkan Bulim di wilayah masingmasing, orang-orang gagah dan ksatria Bulim. Tapi tingkah laku mereka sekarang mirip
bocah yang lain mainan, semua bergaya duduk dan menggerakkan kedua tangan seperti gerak orang
yang memegang sumpit dan mangkuk serta makan dengan lahapnya. Duduk di kursi yang
tidak kelihatan, makan dan menyikat.
Ada satu perbedaan dengan mainan anak-anak yang lagi bersandiwara di panggung
umpamanya. Orang tua atau tokoh-tokoh silat ini seperti tidak merasa bahwa kelakuan mereka
amat lucu dan menggelikan, namun sikap dan mimik mereka kelihatan amat prihatin dan was-was.
Kecuali Coattaysu, rona muka hadirin seperti orang yang tercekik lehernya oleh sepasang tangan
iblis yang tidak kelihatan. Wajah Coat-taysu tidak menunjukkan perubahan. Sumpit di tangannya bergerak naikturun seperti lazimnya orang yang lagi menjejalkan nasi dan lauk di dalam mangkuk ke mulutnya.
Tidak jarang sumpitnya diulur ke depan seperti mengambil sayuran, ikan dan daging. Dengan
lahap mulutnya bergoyang, lidah menari menikmati makanan yang dikunyah dengan penuh selera.
Entah yang dikunyah itu amarah, penasaran atau ketakutan" Atau mungkin air liur yang getir"
Sejak Coat-taysu terkenal dan disegani orang, kapan pernah berlaku runyam di
hadapan orang banyak, memalukan sekali. Tapi sekarang ia mengunyah dan menelan nama besar yang
diperoleh dengan cucuran keringat dan jerih payah selama puluhan tahun, selahap orang yang
melalap hidangan yang betul-betul sedap.
----------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------Merinding sekujur badan Thiat Tin-thian menyaksikan kenyataan yang lucu ini. Ia
tidak habis mengerti kenapa Coat-taysu sudi dan rela berbuat serendah itu" Sebagai pendekar,
entah dibuang ke mana jiwa ksatrianya, kenapa begitu takut terhadap si gila yang satu ini"
Tapi lamat-lamat Thiat Tin-thian akhirnya mengerti, orang gila macam apa
sebetulnya Bu-cap-sah.
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tadi Toa-hoan sudah menggambarkan secara jelas, tapi Thiat Tin-thian baru
sekarang betul-betul maklum. Padahal betapa jelas keterangan Toa-hoan tadi, tapi belum cukup
menggambarkan betapa menakutkannya kegilaan orang ini. Bu-cap-sah mengawasi Thiat Tin-thian. Hanya
Thiat Tin-thian yang berdiri diam, tidak menggerakkan tangan, tidak makan atau minum. "Kenapa
kau tidak makan?" tanyanya kemudian dengan nada serak.
"Makan apa?" Thiat Tin-thian balas bertanya.
"Lihat, sate kambing dan ikan asin dari Kanglam ini, sedap rasanya. Panggang
bebek ini juga harus dimakan mumpung masih hangat," Bu-cap-sah mengoceh penuh semangat.
"Masa kau tak melihat hidangan sebanyak ini?" tanya Bu-cap-sah.
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Ah, orang lain bisa melihat, kenapa kau tidak lihat?"
"Ya, mungkin aku tidak sepandai mereka. Makanan yang kau sebut tadi hanya
dihidangkan untuk orang-orang pandai, hanya bisa dilihat oleh orang pandai."
Bu-cap-sah menatapnya sekian saat, mendadak ia bergelak tawa, "Ternyata kau ini
orang pikun. Hidangan enak sebanyak ini, hanya orang pikun yang tidak bisa melihatnya."
Mendadak suaranya terputus, roman mukanya berubah beringas. Dengan melotot ia berpaling ke arah
Pang Tio-hoan yang kebetulan berada di sampingnya, semprotnya dengan gusar, "Kenapa kau
berbuat sekasar ini?"
"Aku berbuat apa?" tanya Pang Tio-hoan melenggong.
"Sekian banyak hidangan kusediakan di sini, kenapa kau justru merebut anak
anjing bakar kesenanganku?" "Anak anjing bakar apa?" Pang Tio-hoan berseru nyaring dengan nada tidak
mengerti apa yang dimaksud orang. "Di mana ada anjing bakar?"
"Barusan ditaruh di pinggir sini. Tapi barusan telah kau gares, kulit, tulang
dan dagingnya kau telan bulat-bulat," kelihatannya ia bukan saja marah dan penasaran, ia pun amat sedih
seperti anak kecil yang kehilangan boneka kesayangannya. "Anjing kecil itu sudah kupelihara sekian
tahun, kupandang seperti anakku sendiri, gemuk dan banyak dagingnya, kenapa kau
mengganyangnya" Kenapa kau rebut anjing bakarku?"
Berubah air muka Pang Tio-hoan. Hong-seng-thian Tayhiap Pang Tio-hoan sudah
terkenal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Dengan sepasang Gun-goan-thi-pay (Sepasang Tameng
Besi) yang beratnya enam puluh tiga kati, ia malang melintang di antara gunung dan sungai,
peristiwa apa yang tak pernah ia alami dan saksikan" Sudah tentu ia maklum bahwa Bu-cap-sah sengaja
mencari garagara hendak mempersulit dirinya.
Sekilas Tio-hoan melirik ke arah Coat-taysu, ia harap temannya itu mau bantu
bicara membela dirinya, bila perlu adu jiwa bersama si gila ini. Sudah sekian puluh tahun
mereka sebagai kawan seperjuangan, apalagi sejak belasan tahun yang lalu mereka tidak pernah
berpisah. Sebagai sahabat
kental, pantasnya Coat-taysu campur bicara membela dirinya, memberi penjelasan
umpamanya. Tapi tidak pernah ia bayangkan, bukan Coat-taysu si sahabat kental yang pertama
membantu bicara atau membela dia, tetapi sebaliknya Thiat Tin-thian, musuh yang ia benci dan ia
uber-uber selama ini. Thiat Tin-thian berkata, "Bahwasanya di sini tiada hidangan seperti yang kau
sebut tadi, apalagi anjing bakar segala. Tidak ada."
"Kau orang pikun, orang pikun takkan melihat hidanganku," Bu-cap-sah berteriak
sambil menuding Thiat Tin-thian. "Aku sendiri melihat anjing bakar itu ditaruh di sini, pasti
tidak keliru." "Mungkin kau salah lihat, kau melihat setan," jengek Thiat Tin-thian.
"Jadi kau yakin di sini tidak ada hidangan anjing bakar?" damprat Bu-cap-sah.
"Pasti tidak ada. Yang bilang ada adalah orang gila!" teriak Thiat Tin-thian, ia
pun mulai emosi. "Tapi aku bilang ada, sudah ditelan bulat-bulat ke dalam perut orang ini," wajah
Bu-cap-sah menampilkan senyum gaib, senyum yang menggiriskan, "Kau berani bertaruh
denganku?" "Berani saja, bertaruh apa?"
"Bertaruh dengan batok kepalamu, kalau anjing bakar itu berada di dalam
perutnya." Seketika Thiat Tin-thian merasa kaki tangannya menjadi dingin, perut mengkeret,
isi perut hendak tumpah. Kecuali bergidik, Thiat Tin-thian juga ngeri, ia sudah meraba apa yang
akan dilakukan si gila ini. Sudah tentu Pang Tio-hoan juga maklum. Mendadak ia meraung, dengan kalap ia
menerkam ke arah Bu-cap-sah. Hou-jiu-kun dan Gun-goan-thi-pay adalah dua ilmu tunggal yang diyakinkan Pang
Tio-hoan. Di samping sepasang tameng besi, ilmu cakar harimaunya juga pernah menggetarkan
Koan-tang. Sebelum kejadian, Pang Tio-hoan sudah dipengaruhi oleh suasana. Di saat kepepet
dan terdesak lagi, pikirannya menjadi kacau dan kalap. Orang kalap selalu ceroboh, bertindak
gegabah. Saking murka karena kalapnya, ia menerkam ke arah Bu-cap-sah tanpa memperhatikan
keadaan sekelilingnya, tanpa siaga bahwa di belakang Bu-cap-sah berdiri pengawal Persia
yang perkasa itu. Begitu Pang Tio-hoan meraung kalap, berubah rona muka Coat-taysu, betapapun ia
masih memperhatikan keselamatan temannya. Mendadak ia menjerit gugup, "Berhenti, lekas
berhenti!" Sayang peringatannya terlambat.
Begitu Pang Tio-hoan menerkam maju, golok melengkung di pinggang pengawal Persia
yang berdiri di belakang Bu-cap-sah segera terayun. Sinar golok berkelebat, darah pun
muncrat seperti hujan deras. Hanya ada satu cara untuk membuktikan apakah seseorang betul menelan seekor
anjing kecil, yaitu dengan cara yang paling liar, cara liar yang dilakukan orang purba jaman dulu,
menyembelih hewan buruannya dengan membedah perutnya. Cara menjagal binatang yang paling kejam dan
keji, cara yang dilakukan oleh orang buas, manusia sinting. Kali ini orang gila alias Bucap-sah mempraktekkan cara liar itu di sini, terhadap Pang Tio-hoan.
Sudah tiga puluh tahun Pang Tio-hoan malang melintang di Kangouw, namun hanya
dalam sekali sabet perut hingga dadanya telah robek dan merekah besar oleh golok melengkung
orang. Isi perut pun berhamburan. Pang Tio-hoan menjerit ngeri dan mampus terkapar di tanah.
Wajah hadirin segera berubah. Yang tidak tahan sudah tumpah-tumpah, yang
bernyali kecil segera melompat mundur dan lari. Ada juga yang menubruk ke depan secara nekat, daripada
mati konyol lebih baik melawan sekuat tenaga.
Bu-cap-sah terloroh-loroh, tawa latah yang mengerikan. Siapa yang mendengar
suara tawanya pasti merinding dan mengkirik bulu kuduknya. Selama hidup takkan melupakan loroh tawa
yang ganjil dan menggiriskan itu. Tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diri dari tebasan golok sabit pengawal
Persia itu. Di saat golok melengkung itu bergerak, sebutir batu hitam kecil tentu melesat lebih
dulu dengan kecepatan kilat. Batu hitam yang dijentik jari tangan Bu-cap-sah. Si gila ini
menjentik batu hitam dengan jari tengah. Begitu batu menderu kencang dan deras, batu tepat menutuk
Hiat-to lawan sehingga lawan tak berkutik lagi. Saat itulah golok melengkung pengawal Persia
menyambar lehernya. Hanya Coat-taysu dan Thiat Tin-thian serta dua-tiga orang lagi yang mampu
menyelamatkan diri, tapi mereka tidak mampu mendekati ranjang untuk menyerang Bu-cap-sah. Sinar
golok dan muncratnya darah mengaburkan pandangan mereka. Boleh dikata mereka tidak melihat
lagi bayangan Bu-cap-sah. Pada saat kritis itulah, mendadak mereka melihat Ma Ji-liong.
Ma Ji-liong terjun ke kancah pertarungan, menerjang ke dalam sinar golok dan
tabir darah yang berhamburan. Bukan mengantar jiwa, tapi keluar untuk menolong orang. Walau ia
sendiri tidak yakin dapat menyelamatkan diri, mundur secara utuh, tapi untuk menyelamatkan
kawan, ia harus berani menyerempet bahaya.
Tidak ada orang yang bisa mencegah dia, tidak ada orang yang bisa menariknya
mundur. Biar diri sendiri berkorban, ia tidak bisa berpeluk tangan menyaksikan pembantaian kejam
itu berlangsung. Orang-orang itu harus ditolong, mereka yang masih hidup harus dibebaskan dari
renggutan elmaut. Dalam waktu sekejap, hakikatnya Ma Ji-liong tidak memikirkan mati hidupnya
sendiri. -------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------Ma Ji-liong tidak mati, malah tidak terluka atau cedera. Meski sekujur badan
berlepotan darah, namun ia berhasil menolong beberapa orang. Tapi begitu ia masuk ke dalam toko
serba ada, begitu pintu tertutup, Ma Ji-liong lantas roboh terlentang dengan napas ngos-ngosan. Ia
nekat, menyerempet bahaya, mempertaruhkan jiwa raga, lalu siapa saja yang berhasil
ditolong oleh Ma Jiliong"
Bab 30: Penjahit, Pupur, Gincu Dan Tandu
Ma Ji-liong akhirnya sadar. Kegaduhan sudah sirap, alam semesta seperti
dilingkupi keheningan yang membeku. Kini Ji-liong rebah di atas ranjang besar itu, ranjang satusatunya yang ada di rumah itu. Sejak beberapa bulan yang lalu, baru pertama kali ini ia rebah di
atas ranjang. Cia Giok-lun duduk di samping mengawasinya dengan rasa kuatir dan penuh
perhatian. Di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua saja. Ma Ji-liong berusaha tersenyum, tapi
senyumnya getir dan nyengir, segera ia bertanya, "Mana orangnya?"
"Orang siapa?" Cia Giok-lun balas bertanya.
"Orang-orang yang kutolong itu?"
Cia Giok-lun tidak menjawab, ia malah balas bertanya, "Tahukah kau siapa saja
yang kau tolong?" "Aku tahu," sahut Ma Ji-liong. "Thiat Tin-thian kembali bersama aku."
"Kecuali dia, masih ada siapa lagi?"
"Masih ada Coat-taysu," sikap Ma Ji-liong kelihatan tenang dan wajar. "Coattaysu kembali bersama kami." Cia Giok-lun malah emosi, serunya, "Sadarkah kau bahwa orang yang kau tolong
adalah Coattaysu?" "Bagaimana aku tidak sadar?" Ma Ji-liong tertawa lebar. Kenapa ada sementara
orang yang bisa tertawa di saat tidak pantas tertawa"
"Kau sadar?" Cia Giok-lun memekik sambil terisak. Ia tak dapat mengekang
perasaannya lagi, suaranya melengking, "Kau sadar bahwa dialah yang menguber dirimu, orang yang
hendak membunuhmu sehingga kau menjadi buronan yang kepepet dan menghadapi jalan buntu"
Tapi kau masih mau menolongnya?"
"Yang kutolong adalah manusia," sahut Ma Ji-liong tegas. "Asal dia manusia,
perduli siapa dia, tak boleh aku berpangku tangan melihat dia mati di tangan si gila itu. Perduli dia
temanku atau musuh yang hendak menuntut jiwaku, sikapku takkan berubah, aku tetap menolongnya tanpa
kecuali." Cia Giok-lun menatapnya dengan pandangan aneh. Lama sekali baru ia bertanya,
"Kau bicara jujur"
Atau sengaja bermuka-muka di hadapanku?"
Ma Ji-liong tak menjawab, ia menolak memberikan jawaban.
"Kau betul-betul baik hati, kau tidak berpura-pura," desis Cia Giok-lun. "Tadi
kau betul-betul mempertaruhkan jiwa untuk menolong mereka." Mendadak ia menghela napas, lalu
lanjutnya, "Sebetulnya aku tidak percaya bahwa kau orang baik, tapi sekarang aku percaya."
---------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------Sejak tadi Coat-taysu berdiri mematung di pinggir rak toko di pojok sana. Sejak
ia masuk ke dalam toko serba ada ini, ia berdiri di sana, tidak pernah pindah atau bergerak, juga
tidak bersuara, melirik pun tidak kepada orang lain. Tapi badannya penuh berlepotan darah, pakaian
sobek, badan pun terluka. Tapi ia tetap bersikap tenang dan wajar, luka-luka juga tidak diobati,
darah dibiarkan mengalir. Masih ada dua kerabatnya yang tertolong bersama Coat-taysu. Kecuali Thiat Tinthian, ada dua orang yang ikut mengeroyok di rumah To Po-gi itu, tapi kedua orang ini
menganggap tidak pernah melihat Coat-taysu berada di dalam rumah itu. Sikap mereka seperti jijik,
seakan-akan bila didekati
Hwesio yang satu ini, maka mereka akan ketularan penyakit jahat yang bisa
merenggut jiwa mereka. Sudah tentu mereka tahu orang-orang yang ada di toko ini adalah musuh
besar Coat-taysu,
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas kedua orang ini takut tersangkut oleh permusuhan kedua pihak.
Coat-taysu tidak memperdulikan orang lain. Pandangannya kosong, ia berdiri
menjublek mirip orang linglung. Setelah hening sekian lama, tiba-tiba Toa-hoan bersuara lebih dulu, "Aku tahu,
setelah kejadian ini hatimu pasti mendelu. Asal kau mau berada di sini, kami pasti takkan
mengusirmu." Coat-taysu tetap bungkam, tidak memberi reaksi.
Toa-hoan berkata pula, "Apakah kau ingin berbicara?"
"Ya," tiba-tiba Coat-taysu berkata. "Tapi aku hanya ingin bicara dengan seorang
saja." "Bicara dengan siapa?"
"Aku akan bicara dengan Ma Ji-liong saja."
Rumah kecil di tengah pekarangan itu dalam keadaan kalang kabut, kotor dan tidak
pernah dibersihkan. Di dalam rumah yang jorok itulah Toa-hoan sebagai Thio-lausit
menetap empat bulan lamanya. Sungguh heran bahwa gadis yang biasanya suka kebersihan ini tahan
tinggal di tempat yang kotor seperti kandang hewan itu. Kini ada dua orang yang sedang bicara di
rumah kecil itu. Akhirnya Coat-taysu bertatap muka dengan Ma Ji-liong.
"Tadi kau telah menolongku," demikian Coat-taysu membuka kata. "Jikalau bukan
karena pertolonganmu, saat ini aku takkan berada di sini. Kalau aku tidak berada di
sini, seperti juga orangorang
itu, pasti sudah mampus di luar sana." Suaranya kalem, lalu ia melanjutkan,
"Tapi urusanmu dengan aku belum selesai, persoalan itu tetap harus dibereskan. Sehari aku belum
mati dan kau belum mampus, aku tetap akan membuat perhitungan dengan kau."
Ma Ji-liong tertawa, katanya tawar, "Aku menolong kau bukan menuntut imbalan,
bukan lantaran kau adalah Coat-taysu yang menuntut jiwaku. Aku tak akan memaksa kau untuk
membatalkan urusanmu dengan aku, menuntut imbalan kepadamu. Kalau aku punya maksud demikian,
buat apa aku menolongmu?" "Akan tetapi, persoalan itu belum boleh dianggap beres."
"Betul. Aku tidak perduli bagaimana sikapmu terhadapku sebelum ini, karena kita
belum tentu dapat mempertahankan hidup sampai besok."
"Tetapi sekarang kita belum mati," Coat-taysu berkata. "Penjahit belum datang,
pupur dan gincu juga belum diantar, si gila takkan menerjang ke mari dalam waktu dekat ini."
"Ya, semoga demikian."
"Tapi memang demikian," ucap Coat-taysu. "Aku paham sepak terjang si gila itu.
Ia anggap kita sebagai ikan dalam jaring, maka tidak perlu ia merenggut jiwa kita secara
tergesa-gesa." Demikian
katanya pula, "Oleh karena itu, bukan mustahil kita masih punya kesempatan untuk
meloloskan diri, maka aku ingin bicara dengan kau. Entah selanjutnya kita menjadi kawan atau
lawan, dalam jangka waktu dekat ini, aku Sin Coat-cu akan tunduk pada perintah seorang yang bernama
Ma Ji-liong saja. Selama hidupku, belum pernah tunduk apalagi diperintah orang, namun kali ini
terkecuali." Ma Ji-liong menatapnya lekat. Lama sekali baru ia bertanya, "Untuk hal itukah
kau ingin bicara dengan aku?" "Ya," pendek jawaban Coat-taysu.
Kecuali Thiat Tin-thian dan Coat-taysu, yang ditolong Ma Ji-liong masih ada dua
orang lagi. Seorang adalah Ong Ban-bu. Meski sebelah lengannya dipelintir putus oleh Toahoan yang menyaru sebagai Thio-lausit, untung dia tidak mampus oleh sambaran golok sabit
yang tidak mampu dikelit orang lain itu.
Di saat Coat-taysu berbicara dengan Ma Ji-liong, Toa-hoan bertanya kepada Thiat
Tin-thian, "Aku tahu saudara angkatmu jatuh ke tangan Coat-taysu, apa kau tidak ingin tahu
bagaimana nasib saudaramu itu?" "Sudah tentu aku ingin tahu," sahut Thiat Tin-thian.
"Kenapa tidak kau tanyakan kepadanya?" kata Toa-hoan.
"Aku tidak mau tanya, juga tidak ingin tanya," tertekan suara Thiat Tin-thian.
"Aku takut dia sudah
mati di tangan Hwesio gundul itu."
Jika benar Thiat Coan-gi sudah ajal ditangan Coat-taysu, Thiat Tin-thian harus
menuntut balas, pasti takkan membiarkan Coat-taysu berdiri di rumah itu.
"Tapi aku tak boleh membunuhnya," demikian kata Thiat Tin-thian lebih jauh.
"Dengan mempertaruhkan jiwa, Ma Ji-liong menolongnya, maka aku tidak boleh melukainya,
meski hanya seujung rambutnya saja."
Saat mana Ma Ji-liong sudah kelihatan keluar dari rumah kecil itu, Ong Ban-bu
mendadak berkata kepada Toa-hoan, "Aku juga ingin bicara empat mata dengan dia."
"Dengan siapa?" tanya Toa-hoan. "Bicara dengan Ma Ji-liong?"
"Betul," sahut Ong Ban-bu.
"Kau juga ingin omong?" Toa-hoan bertanya. "Apa yang ingin kau katakan apakah
hanya boleh diketahui dia saja?"
Ong Ban-bu menganggukkan kepala. Di waktu mengangguk, matanya mengawasi Thiat
Tin-thian, karena ia tahu Thiat Tin-thian pasti ingin bicara dengannya.
Thiat Tin-thian memang bertanya, "Tahukah kau kenapa kau belum mati?"
Ong Ban-bu menyahut, "Aku belum mati, karena kau melindungi aku. Dahulu kita memang kawan
juga musuh, sekarang kau anggap aku sebagai teman baik lagi."
"Tapi apa yang ingin kau katakan hanya boleh didengar Ma Ji-liong saja, kenapa
kau tidak bicara dengan aku" Jelas kau tidak percaya kepadaku?"
"Aku percaya kepadamu, tapi aku lebih percaya kepada Ma Ji-liong."
"Kenapa kau lebih percaya kepadanya?" desak Thiat Tin-thian.
"Karena Coat-taysu percaya kepadanya. Apakah Coat-taysu kawan baiknya?"
"Bukan." "Musuh besar dan kawan-kawan pun percaya kepada Ma Ji-liong, kenapa orang lain
tidak boleh percaya kepadanya?" Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, "Bagus," serunya memuji. "Bagus sekali
ucapanmu itu." Dengan keras ia menepuk pundak Ong Ban-bu, "Baiklah, kau boleh bicara empat mata
dengan dia." ------------------------------------ooo00ooo----------------------------------------------Ma Ji-liong tidak mengira bahwa Ong Ban-bu ingin bicara dengan dia, lebih tak
diduganya lagi kalau persoalan yang dibicarakan Ong Ban-bu adalah rahasia yang sebetulnya tidak
boleh diketahui orang lain. "Aku belum mati bukan karena Thiat Tin-thian melindungi aku," Ong Ban-bu
berkata. "Aku belum mati karena Bu-cap-sah tidak ingin membunuh aku." Lebih jauh ia membeberkan
rahasia Bu-capsah. "Kepandaian Tan-ci-sin-thong atau Jentikan Batu Menutuk Hiat-to yang diyakinkan
Bu-capsah memang sudah sempurna. Betapa cepat sambaran golok pengawal Persia itu juga
lebih unggul dibanding orang lain, akan tetapi orang-orang yang mati oleh tebasan golok sabit
itu bukan seluruhnya gugur oleh timpukan batu dan terbacok golok pengawal Persia itu."
"O, tidak seluruhnya?"
"Orang-orang yang mati itu, sebagian besar adalah mereka yang mau diperbudak dan
disogok oleh harta dan kedudukan," demikian Ong Ban-bu menjelaskan lebih lanjut. "Thio-sam
adalah kawan baik Li-si, mereka datang bersama. Thio-sam mau diperbudak setelah disiksa dan
diancam jiwanya oleh Bu-cap-sah, hal ini di luar tahu Li-si. Begitu golok melengkung di tangan
pengawal Persia menyabet, batok kepala Li-si terpenggal dan mati. Bukankah orang lain
beranggapan bahwa kematian Li-si lantaran tidak mampu menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok
musuh?" "Ya, pasti demikian anggapan orang," ujar Ma Ji-liong.
"Apalagi orang lain melihat Bu-cap-sah menjentik jari dan batu pun terbang,
apakah tidak beranggapan bahwa kematian Li-si lantaran tersambit Hiat-tonya oleh jentikan
batu Bu-cap-sah?" "Ya, betul." "Tapi kenyataannya bukan demikian," tutur Ong Ban-bu. "Sebenarnya Hiat-to mereka
bukan tertutuk oleh sambitan batu Bu-cap-sah, namun Hiat-to mereka tertutuk oleh kawan
sendiri di saat keadaan sedang ribut. Li-si mati karena sebelumnya Hiat-tonya sudah ditutuk oleh
Thio-sam, sudah tentu dia tidak mampu menyelamatkan diri dari tebasan golok melengkung itu."
Sampai di sini Ong Ban-bu menghela napas, "Aku membocorkan rahasia ini kepadamu karena aku tidak
ingin kau menilai ilmu silat Bu-cap-sah terlalu tinggi. Kuharap kau tidak memandangnya
sebagai malaikat yang digdaya." Ma Ji-liong bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang rahasia ini?"
"Karena aku juga diperbudak oleh Bu-cap-sah," Ong Ban-bu mengaku terus terang.
"Sebagai salah satu alatnya yang terpercaya, maka aku tidak mati di arena pertempuran tadi."
"Lalu kenapa kau membongkar rahasia ini kepadaku?" tanya Ma Ji-liong.
"Karena aku mempercayaimu," kata Ong Ban-bu. "Sekarang aku sudah yakin, engkau
pasti takkan mengkhianati orang lain."
Kecuali Coat-taysu, Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu, masih ada seorang lagi yang
ditolong oleh Ma Ji-liong. Usia orang keempat ini belum terlalu tua kalau tidak mau dibilang masih setengah
baya, tapi juga tidak muda lagi. Dilihat tampangnya, wajahnya tidak tampan, tapi juga tidak
jelek, pakaiannya tidak mewah, namun pasti tidak sembarangan. Setiap hari di mana saja kau bisa bertemu
banyak orang seperti laki-laki setengah baya ini. Mungkin karena kelihatannya dia biasa saja,
tiada tanda-tanda yang menyolok pada dirinya.
Menjadi orang 'biasa' kadang kala juga merupakan suatu cara yang baik untuk
mengelabui orang, suatu cara untuk menyelamatkan diri.
Jelas dan gamblang Toa-hoan adalah salah satu jenis orang seperti itu. Sejak
tadi dia memperhatikan orang biasa ini, mendadak ia bertanya, "She apakah engkau?"
Orang 'biasa' ini hanya tertawa lebar, manggut-manggut lalu menggelengkan kepala
pula, tingkah dan sikapnya seperti orang pikun dan linglung.
Toa-hoan bertanya pula, "Kau tidak mendengar pertanyaanku" Atau tidak bisa
bicara?" Orang 'biasa' ini tetap tidak bersuara. Kembali ia manggut-manggut lalu
menggelengkan kepala pula, namun mimik mukanya selalu tersenyum ramah.
Tiada orang yang tahu apa arti kelakuannya yang jenaka ini, demikian pula Toahoan juga tidak habis mengerti. Mungkin orang 'biasa' ini sengaja bertingkah dengan lucu dan
penuh teka-teki supaya orang lain tidak tahu.
Mendadak Toa-hoan tertawa juga meniru sikap dan tingkah orang, "Kau jelas bukan
orang tuli dan bisu, namun kau tidak mau memperkenalkan diri," suaranya tawar. "Memang kau
boleh tidak menjawab setiap pertanyaanku, tapi kalau orang lain yang bertanya kepadamu,
kalau kau tidak memberi keterangan, kan berabe jadinya."
Mendadak orang itu bersuara, ia balas bertanya, "Bukankah kalian sedang menunggu
seseorang?" "Menunggu seseorang" Ah, tidak," ujar Toa-hoan menggelengkan kepala.
"Lho, sudah lupa" Kalian kan menunggu tukang jahit," demikian kata orang itu.
"Tukang jahit utusan Bu-cap-sah untuk mengukur dan menjahit pakaian pengantin she Cia di
sini." Toa-hoan menatap tajam, "Dari mana kau tahu kalau Bu-cap-sah mengutus seorang
tukang jahit ke mari" Dari mana pula kau tahu kalau kami sedang menunggu dia?"
"Kenapa aku tidak tahu," ucap orang itu. "Aku malah tahu bahwa penjahit itu
sekarang sudah datang. Bukan saja kain, gincu dan pupur sudah dibawa, ia pun membawa sebuah
tandu berhias kembang untuk menjemput mempelai perempuan."
"Di mana penjahit itu sekarang?" tanya Toa-hoan.
"Berada di sini," orang biasa itu mendadak mengunjuk tawa yang tidak biasa. "Aku
adalah penjahit utusan Bu-cap-sah." Kalau dipandang dengan seksama, orang ini memang mirip penjahit. Tapi bila kau
perhatikan lebih lanjut, kau akan merasa dia tidak mirip apa pun. Terserah kau mau bilang dia
tukang apa atau ahli apa, orang lain pasti tak curiga.
Dalam setiap usaha yang ada di dunia ini, pasti ada orang sejenis dia, biasa dan
awam. Tampang biasa, sikap dan tingkah laku biasa, sederhana dan ramah tamah serta murah
senyum. "Aku adalah penjahit yang baik. Seratus li di daerah ini, aku yakin tiada
penjahit lain yang lebih baik dari aku," demikian kata orang 'biasa' itu dengan senyum simpul. "Hasil
karyaku cocok dan memenuhi selera, model mutakhir dan potongan pun memenuhi selera."
Penjahit yang baik memang selalu disenangi dan banyak langganannya. Kecuali
penjahit yang satu ini, dalam keadaan dan situasi begini, di tempat ini lagi, pasti tak ada orang
yang senang kepadanya, tiada orang yang mau menerima kehadirannya.
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tawa Toa-hoan kelihatan dipaksakan, katanya, "Aku juga bisa melihat kau memang
seorang penjahit yang baik. Tapi betapapun baik seorang penjahit, tanpa ada bahan untuk
bekerja, dia tetap takkan bisa membuat pakaian."
Bila pakaian selesai dijahit, Bu-cap-sah takkan memberi kesempatan kepada mereka
untuk duduk dan mengobrol secara santai begitu. Maka mereka mengharap penjahit ini tak bisa
menunaikan tugasnya, pakaian tidak rampung dijahit, karena jelas orang ini tidak membawa
kain dan benang, jarum atau gunting. Tukang jahit itu berkata, "Tadi aku sudah bilang, kain sudah kubawa, kutanggung
mutunya juga yang terbagus, warnanya baik, coraknya juga indah, mutunya tinggi. Kutanggung
takkan luntur meski dicuci seratus kali."
"Di manakah bahan pakaian yang kau bawa itu?"
Bab 31: Penjahit Luar Biasa
"Tadi aku sudah bilang kubawa, tentu ada di sini."
Toa-hoan, Cia Giok-lun, Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu menyaksikan penjahit ini
tidak membawa apa-apa, bertangan kosong, tetapi sambil bicara ia berputar satu lingkaran.
Waktu ia menghadap pula ke arah mereka, tangannya sudah memegang dua blok kain. Satu blok kain
sutera di tangan kanannya berdasar merah, malah tersulam kembang mawar kuning emas.
Sudah tentu Toa-hoan berempat berdiri melongo. Tak ada di antara mereka yang
melihat jelas dengan cara apa penjahit ini menyembunyikan dan mengeluarkan dua blok kain
sutera itu. Seperti main sulap saja, tahu-tahu bahan pakaian sudah tersedia. Beruntun penjahit itu
mengeluarkan lagi sebungkus pupur wangi, gincu dan minyak wangi. Sukar orang membayangkan dan
rasanya tidak masuk akal, barang sebanyak itu entah di mana ia sembunyikan.
Thiat Tin-thian berkata setelah menghela napas, "Sungguh tak dinyana, kami
gembong-gembong silat yang sudah kawakan berkecimpung di Kangouw juga dapat kau kelabui dengan
cara yang begini sepele. Aku rasa saudara tentu seorang kosen juga."
Dengan senyum manis penjahit itu menggelengkan kepala, katanya, "Aku bukan orang
kosen, sedikit pun aku tidak kosen. Yang pasti kau berperawakan lebih tinggi gede
dibanding aku. Orang yang bertubuh gede akan makin gagah dan enak dipandang bila mengenakan pakaian
karyaku." Dari atas sampai bawah ia memperhatikan tubuh Thiat Tin-thian, "Hanya sayang
pakaian yang melekat di tubuhmu sekarang jelek jahitannya, tidak cocok dengan potongan
tubuhmu. Lain kali kalau ada waktu, akan kubuatkan beberapa perangkat pakaian untukmu."
"Kalau tidak salah tadi aku mendengar kau bilang membawa juga tandu pengantin?"
tanya Thiat Tin-thian. "Kalau sudah tiba saatnya, tandu pengantin pasti akan ke mari," demikian ujar
penjahit itu. "Mempelai laki dan perempuan saja tidak gugup, tidak ingin lekas kawin, kenapa
justru kalian yang terburu nafsu." Mendengar penjahit ini bicara tentang 'mempelai laki dan perempuan', roman muka
semua orang pun berubah hebat. Terutama Cia Giok-lun, tubuhnya bergoncang dan berkeringat
dingin. Dugaan mereka tidak keliru. Ambisi Bu-cap-sah tidak kecil. Jika ia mempersunting
puteri tunggal Bik-giok-san-ceng, Bik-giok Hujin pasti bisa mati saking marahnya. Toa-hoan juga
harus bunuh diri dengan menumbukkan kepala ke dinding karena gagal menunaikan tugasnya.
Mendadak Thiat Tin-thian bertanya kepada Toa-hoan, "Apakah kita biarkan saja
orang ini membuat pakaian untuk nona Cia?"
"Tidak boleh, jangan beri peluang dia bekerja di sini," sahut Toa-hoan.
"Adakah penjahit di dunia ini yang tidak bisa membikin pakaian orang?"
"Kurasa ada, hanya dengan satu macam cara untuk membuat penjahit tidak bisa
bekerja." "Dengan satu cara" Lalu penjahit macam apa yang takkan bisa bekerja itu?"
"Penjahit yang sudah putus jiwanya."
Ternyata penjahit itu bersikap tenang dan wajar. Dengan asyik ia mendengarkan
percakapan mereka dengan tersenyum ramah, seperti orang linglung yang tidak mengerti apa arti
percakapan mereka. Akhirnya dia berkata, "Aku bukan penjahit mampus. Sekarang aku masih segar
bugar, penjahit bagus yang selalu bekerja penuh gairah."
"Sayang sekali, betapapun penjahit bagus akhirnya akan mampus juga," demikian
jengek Thiat Tinthian. Perlahan ia mengulurkan tangannya ke depan. Luka-lukanya sudah hampir sembuh. Di
mana telapak tangan besinya terangkat, ruas tulang tubuhnya mendadak berkeratakan
seperti petasan. Umpama penjahit itu orang pikun, manusia goblok, pasti juga paham apa maksud
perkataan Thiat Tin-thian. Mendadak ia berseru sambil mengangkat sebelah tangan, "Tunggu dulu,
aku masih ingin bicara." "Katakan, lekas."
"Persoalan yang ingin kubicarakan, hanya akan kubicarakan empat mata saja dengan
Ma Ji-liong," demikian kata penjahit itu.
"Dia tidak akan mendengarkan obrolanmu," jengek Thiat Tin-thian sambil mendesak
dua langkah. "Aku tahu dia tidak akan mau mendengar."
Mendadak Ji-liong menepuk bahu penjahit itu lalu menggandengnya keluar, ke
belakang. Tidak ada yang mencegah, tidak ada orang yang berani menentang. Suatu yang diputuskan Ma
Ji-liong, tidak ada orang yang berani menentang.
Rahasia apa yang dibicarakan penjahit itu dengan Ma Ji-liong" Kenapa hanya boleh
dibicarakan dengan Ma Ji-liong seorang saja"
Tidak ada orang yang tahu, tiada orang yang ingin tahu. Semua orang percaya
kepada Ma Ji-liong, seperti mereka percaya kepada diri sendiri. Siapa pun tidak tahu jelas, sejak
kapan keadaan seperti ini terjadi dan seperti menjadi ketentuan di sini, yang jelas keadaan sekarang
memang sudah demikian. ---------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------Cukup lama kemudian baru kelihatan Ma Ji-liong memasuki rumah besar pula. Toahoan berlari menyongsong sambil bertanya, "Mana penjahit itu?"
"Di belakang sedang mengukur badan Cia Giok-lun dan membikin pakaian."
"Kenapa kau memberi izin dia bekerja?"
"Dia seorang penjahit, kehadirannya di sini untuk membuat pakaian. Lebih dulu
mengukur badan, memotong kain lalu menjahit," demikian ucap Ma Ji-liong kalem. "Kan bukan hanya
dia seorang tukang jahit yang ada di dunia ini, kalau aku tidak memberi izin kepadanya,
penjahit lain juga bisa diutus ke mari." Penjelasan Ma Ji-liong tidak memuaskan, hati orang tidak lega dan puas. Sekarang
mereka perlu mengejar waktu, semenit lebih cepat, semenit lebih banyak peluang mereka.
Pantasnya Ma Ji-liong tahu akan hal ini, sayang ia justru berbuat bodoh, purapura tidak mengerti"
Di saat orang-orang di dalam toko serba ada itu menghela napas gegetun, Bu-capsah yang ada di luar toko malah bergelak tawa, "Sudah lama aku tidak pernah merasa kagum dan
memuji orang lain," demikian serunya. "Sekarang aku harus memuji kau."
"Kau kagum padaku?" tanya Ma Ji-liong. "Kenapa kau memuji aku?"
"Karena kau adalah Ma Ji-liong. Laki-laki gundul itu adalah musuh besarmu, sejak
lama dia ingin membekuk dan menguburmu hidup-hidup," demikian ucap Bu-cap-sah lantang. "Tapi
sekarang mereka tunduk kepadamu, rahasia apa pun hanya dibicarakan denganmu seorang saja.
Umpama tahu apa yang kau lakukan adalah perbuatan seorang goblok, namun tiada orang
yang menentang. Orang macam dirimu sebetulnya tidak setimpal mampus bersama mereka."
"Memangnya aku harus bagaimana?" tanya Ma Ji-liong.
"Kau harus keluar, berhadapan dengan aku dan menjadi sahabatku. Hanya kau yang
setimpal menjadi sahabatku." Ma Ji-liong segera menjawab dengan tegas, "Baik, aku segera keluar."
Habis bicara Ma Ji-liong melangkah keluar. Siapa pun tak menduga bahwa Ma Jiliong berani keluar dan betul-betul keluar, Bu-cap-sah sendiri juga tidak mengira.
Tapi Ma Ji-liong betul-betul melakukan perbuatan yang tidak mampu dilakukan
orang lain meski di alam mimpi sekalipun. Apa betul ia ingin bersahabat dengan si gila itu" Apakah
ia tidak tahu, begitu keluar jiwanya mungkin akan melayang di tangan si gila"
Apakah Ma Ji-liong juga seorang gila, gila seperti Bu-cap-sah" Biasanya ia
kelihatan waras, padahal ia juga gila, orang edan"
----------------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------------Setelah Ma Ji-liong membuka pintu kecil di samping pojok sana, baru orang banyak
terbelalak kaget. Toa-hoan memburu maju hendak menariknya, tapi batal. Thiat Tin-thian
mengawasi ToaKoleksi Kang Zusi hoan, Toa-hoan juga mengawasinya. Kedua orang ini seperti tak percaya bahwa Ma
Ji-liong mendadak berubah menjadi manusia gila.
"Apakah dia juga sudah gila?"
"Kelihatannya tidak."
Sebetulnya hanya Toa-hoan seorang di antara mereka yang paling paham tentang
pribadi Ma Jiliong, menyelami watak dan jiwanya, tapi sekarang Toa-hoan pun bimbang, ia tidak yakin
apakah yang dirasakan selama ini pada pemuda yang satu ini adalah benar dan sehat.
"Kelihatannya dia bukan orang bodoh."
"Otaknya memang amat cerdas."
"Lalu kenapa dia keluar?"
"Hanya Thian yang tahu."
Kejadian yang susah dimengerti, susah diterima nalar begini memang hanya bisa
diketahui oleh Thian saja, kenapa hal ini harus terjadi"
Mendadak Thiat Tin-thian bertanya, "Menurut pendapatmu, apakah penjahit itu
tidak mencurigakan?" "Ya, aneh dan patut dicurigai, harus diawasi."
Terhadap siapa saja, kalau seseorang dalam sekejap dapat menyulap dua blok kain
hanya dengan sekali putar badan, mengeluarkan dua blok kain sutera sebesar itu dari dalam
pakaiannya, maka dia pasti bukan orang biasa. "Aku tahu di kalangan Kangouw ada sejenis ilmu yang dinamakan Sip-sim-sut (ilmu
sihir), penonton dikelabui oleh kekuatan gaibnya sehingga pandangan kabur dan pikiran
ngelantur." "Ya, memang ada ilmu seperti itu."
"Menurut pendapatmu, apakah Ma Ji-liong bukan terpengaruh oleh ilmu sihir itu"
Maka ia mendadak berubah gila?"
Dugaan itu mungkin tepat, mungkin juga keliru. Tapi masih ada kemungkinan lain,
yaitu penjahit itu tengah menyandera Cia Giok-lun, lalu Ma Ji-liong diancam dan dipaksa
melakukan permintaannya. Agaknya jalan pikiran Thiat Tin-thian dan Toa-hoan sama. Tanpa berjanji kedua
orang ini serempak menerjang ke dalam lewat pintu kecil bertirai itu. Tapi begitu berada di dalam,
seketika mereka tertegun kaget, jauh lebih kaget dibanding waktu melihat Ma Ji-liong membuka
pintu dan beranjak keluar tadi, lebih kaget dibanding bila mereka melihat setan yang mengerikan.
Sudah puluhan tahun Thiat Tin-thian malang melintang di Kangouw, kejadian apa
saja pernah ia hadapi, tapi belum pernah ia menghadapi kejadian yang mengejutkan seperti kali
ini. Mereka hampir tidak percaya oleh pandangan matanya sendiri, tidak percaya menghadapi
kenyataan. ---------------------------------ooo00ooo------------------------------------------Mereka melihat apa" Bab 32: Tangan Yang Mengejutkan
Keadaan di dalam rumah sudah berbeda dibanding waktu mereka meninggalkan tempat
ini. Ranjang besar yang terletak di tengah ruang sudah dibongkar dan disingkirkan ke
pinggir. Cia Giok-lun yang semula harus meronta-ronta untuk berganti pakaian dan membersihkan
badan itu sekarang sudah berdiri tegak, berjalan atau bergerak dengan leluasa seperti
orang sehat. Tapi ini bukan sebab utama kenapa Thiat Tin-thian dan Toa-hoan kaget setengah
mati. Mereka kaget karena di dalam rumah melihat Ma Ji-liong lagi. Yang berdiri jajar di
pinggir Cia Giok-lun ternyata bukan penjahit tadi, tetapi adalah Ma Ji-liong. Ma Ji-liong masih dalam
penyamarannya sebagai Thio Eng-hoat. Padahal mata mereka belum lamur, melihat dengan nyata, dengan gamblang bahwa Ma
Ji-liong lewat di depan mereka, tapi sekarang mereka melihat dengan jelas pula seorang
Thio Eng-hoat alias
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ma Ji-liong berdiri segar bugar di hadapan mereka.
--------------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------Ternyata Thio Eng-hoat alias Ma Ji-liong yang mereka lihat beranjak keluar tadi
bukan Ma Ji-liong yang asli. Jadi dua kali mereka melihat Thio Eng-hoat, padahal dalam kesan
mereka Thio Eng-hoat adalah samaran Ma Ji-liong, dwi tunggal, dua orang yang menjadi satu. Kini di
dalam rumah mereka saksikan lagi seorang Thio Eng-hoat, padahal laki-laki ini tadi sudah
keluar rumah. Lalu dari mana dia masuk dan tahu-tahu sudah berada di dalam rumah pula. Lalu di mana
tukang jahit tadi" Karena ranjang besar itu dibongkar dan disingkirkan, kamar itu menjadi luang dan
lebar. Bukan duduk atau mondar-mandir, ternyata Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun berdiri diam
penuh perhatian di tempat itu, di mana tadi ranjang itu berada. Mata mereka tertuju ke lantai,
penuh perhatian mereka mengawasi lantai kosong itu. Begitu Toa-hoan dan Thiat Tin-thian menerobos
masuk, Ma Ji-liong segera mengangkat jari telunjuk mendekap mulut, memberi isyarat dengan maksud
supaya mereka tidak bersuara. Syukur Toa-hoan dan Thiat Tin-thian adalah orang-orang yang tabah. Meski
menghadapi kejadian yang mengejutkan, mereka tidak berteriak kaget. Agaknya mereka tidak lupa bahwa
si gila mampu mendengar ular yang lagi bermain cinta dan kura-kura bertelur.
Sigap sekali Toa-hoan berlari keluar. Waktu masuk lagi dia membawa kertas dan
alat tulis. Dengan tulisan ia bertanya pada Ma Ji-liong, "Siapa kau?"
Agaknya susah baginya membedakan apakah Thio Eng-hoat yang satu ini betul adalah
samaran Ma Ji-liong tulen. Orang ini betul adalah Ma Ji-liong. Cia Giok-lun memberikan kesaksian.
"Siapakah orang yang keluar tadi?" tanya pula Toa-hoan dengan tulisan.
"Tukang jahit itu," kembali Cia Giok-lun yang menjawab, sudah tentu dengan
tulisan pula. Walau sudah menduga hal itu, tetapi Toa-hoan dan Thiat Tin-thian tak mau percaya
begitu saja, "Bagaimana tukang jahit itu bisa berubah menjadi Thio Eng-hoat?"
Kali ini Ma Ji-liong tertawa. Dengan alat tulis ia menjawab pertanyaan itu,
tulisannya bergaya indah, "Kalau dia mampu mengubah aku menjadi Thio Eng-hoat, kenapa dia sendiri
tidak mampu merubah dirinya menjadi Thio Eng-hoat?"
Toa-hoan melongo. Ia betul-betul kaget dan heran, juga amat senang. Sungguh tak
pernah terbayang dalam benaknya kalau orang ini bisa datang ke mari. Sekarang ia paham apa yang
telah terjadi. Tapi Thiat Tin-thian masih belum mengerti. "Siapakah orang yang kalian bicarakan
itu?" tanyanya dengan tulisan juga. Toa-hoan segera menulis 'Giok-jiu-ling-long Giok Ling-long, tokoh besar yang
misterius, namanya sudah menggetarkan dunia persilatan sejak enam puluh tahun yang lalu.
------------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------Persoalan yang kelihatannya ruwet dan mengejutkan, kalau sudah terbongkar,
jawabannya ternyata amat mudah, sederhana dan sepele.
Sekarang Thiat Tin-thian juga sudah mengerti. Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long,
nama yang cukup memberi jaminan, memberi penjelasan tuntas.
Dengan tata rias yang tiada banding di dunia ini, menyamar menjadi seorang
tukang jahit yang kelihatannya biasa dan tidak menarik perhatian orang, sebagai tukang jahit
undangan Bu-cap-sah ia menyelundup ke mari. Tiada orang yang menduga bahwa ia akan dan sudah berada di
sini, oleh karena itu tiada orang yang melihat gejala-gejala yang mencurigakan pada
dirinya. Kesempatan waktu ia berhadapan empat mata dengan Ma Ji-liong tadi, ia merubah
dirinya menjadi seorang Thio Eng-hoat yang lain dengan bahan-bahan make-up yang selalu ia bawa
ke mana-mana. Baru sekarang Toa-hoan membayangkan, wajah tukang jahit tadi lapat-lapat memang
ada sedikit mirip dengan Thio Eng-hoat, beberapa segi malah ada titik persamaannya. Dengan
kemampuannya yang luar biasa, hanya sekedar memproses sini dan memperbaiki sana, dengan
keahlian kedua tangannya, lekas sekali wajahnya sudah berubah menjadi Thio Eng-hoat. Jelas hal
ini juga sudah ia rencanakan lebih dulu. Kenapa Giok Ling-long berbuat demikian" Kenapa ia menampilkan diri pula dalam
percaturan Kangouw sebagai Ma Ji-liong, berani keluar untuk menemui dan berhadapan langsung
dengan Bucap- sah" Toa-hoan tidak habis mengerti, Thiat Tin-thian juga bingung.
Lantai kosong di mana ranjang besar tadi berada, kecuali debu kotoran yang tidak
pernah disapu, tidak ada barang apa pun di lantai itu. Lalu apa yang dilihat dan diperhatikan
oleh Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun" Kenapa ranjang besar itu mereka bongkar" Toa-hoan dan Thiat Tin-thian juga
merasa bingung. Mereka bertanya dengan tulisan pada Ma Ji-liong, tapi yang ditanya hanya
tertawa-tawa saja, tawa yang penuh mengandung arti. Terpaksa mereka hanya ikut berdiri melongo seperti
orang bodoh mengawasi lantai kosong yang tidak ada apa-apanya yang bisa ditonton itu.
Di saat Toa-hoan dan Thiat Tin-thian menghela napas, merasa dirinya seperti
orang bodoh, mendadak mereka berjingkat mundur. Kembali mereka menyaksikan kejadian luar
biasa yang mengejutkan. -------------------------------------ooo00ooo----------------------------------------------Mereka berjingkat karena melihat sebuah tangan, tangan manusia. Lantai kosong
yang semula tiada apa-apanya itu, mendadak tanahnya kelihatan bergerak-gerak lalu mencuat minggir
seperti digali oleh seekor tikus dari dalam tanah, lalu muncul sebuah tangan manusia dari bawah
tanah. Tangan manusia yang kelihatan kasar, kekar lagi penuh tenaga, mirip benih pohon
yang mulai bersih mencuat keluar dari dalam tanah. Jari tengah, jari manis dan jari
kelingking tegak berdiri,
sementara jari telunjuk berpadu dengan ibu jari membuat lingkaran. Gaya tangan
seperti itu umumnya memberi tanda bahwa segala urusan sudah beres, berarti dia sudah
menunaikan tugas dengan baik, segala persoalan tidak perlu dikuatirkan.
Tangan siapakah yang muncul dari dalam tanah ini" Bagaimana mungkin tangan
manusia muncul dari bawah tanah" Toa-hoan dan Thiat Tin-thian tidak ragu dan bimbang bahwa
tangan itu benar milik manusia hidup. Tangan orang mati tak mungkin bisa bergerak dan memberi
tanda dengan gerakan. Sudah berapa lama Toa-hoan tinggal di rumah ini, tak pernah tahu ada sesuatu
gejala yang mencurigakan bahwa di bawah tanah ini ada dihuni orang. Dengan kemampuan Toahoan, tidak mungkin diketahui bila ada manusia hidup dan tinggal di bawah tanah di mana
mereka bertempat tinggal. Toa-hoan dan Thiat Tin-thian amat kaget begitu melihat tangan itu muncul dari
dalam tanah, tetapi Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun ternyata bersikap adem-ayem, tidak kaget sama
sekali, Cia Giok-lun malah tersenyum lega. Ma Ji-liong maju selangkah lalu membungkuk badan, tangannya diulur, dengan jari
telunjuk ia menutul tiga kali di ujung jari tengah tangan itu. Selang beberapa saat ia
menutul tiga kali, beruntun
ia menutul tiga kali tiga sama dengan sembilan kali.
Tangan yang mengejutkan itu mendadak mengkeret masuk ke dalam tanah. Tanah
kosong yang tiada apa-apanya itu kini betul-betul menjadi kosong, hanya bertambah sebuah
lubang. Lubang yang cukup besar untuk tangan orang diulur keluar atau tangan yang merogoh masuk ke
dalam lubang. Tangan itu sudah lenyap, tiada kelihatan, tapi lubang itu masih menganga meski
lubangnya tidak lebar. ----------------------------------------------ooo00ooo---------------------------------------------------Tangan keluar dari dalam lubang, lalu dari mana datangnya lubang itu" Tanah di
bawah rumah ini jelas bersatu dengan bumi, tanah di bawah rumah ini jelas tidak berbeda dengan
tanah di lain tempat. Di sini mungkin kau bisa menanam pohon atau rumput, pohon juga bisa
tumbuh berkembang dan berbuah, tapi tak mungkin tanpa sebab mendadak bolong atau
berlubang. Lubang yang sembarang waktu bisa dilalui tangan yang keluar dan masuk.
Toa-hoan mengawasi Thiat Tin-thian, Thiat Tin-thian juga mengawasi Toa-hoan,
lalu mereka menoleh bersama ke arah Ma Ji-liong. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi,
namun mereka yakin Ma Ji-liong bisa memberi penjelasan.
Ma Ji-liong masih asyik memperhatikan lubang itu, tidak memandang mereka,
melihat pun tidak, seluruh perhatian ditujukan ke arah lubang itu.
Lubang itu semula selebar mulut gelas, mendadak tampak berubah makin besar,
tanah di sekitar lubang mendadak bergerak seperti beriak. Makin lama riak gelombang makin besar,
tanah juga berguguran ke bawah hingga bergolak seperti air mendidih di dalam kuali.
Mendadak tanah yang bergolak itu seluruhnya amblas ke bawah, lubang kecil itu
mendadak berubah menjadi lubang gede, lubang sebesar permukaan meja bundar. Begitu lubang
menjadi besar, dari bawah tanah muncullah seseorang, seorang berwajah persegi yang
berlepotan tanah, namun cahaya matanya bersinar terang. Pertama dia mengawasi Ma Ji-liong sambil
tertawa, lalu berganti menatap Cia Giok-lun, Toa-hoan dan Thiat Tin-thian.
Tetapi keempat orang ini tiada yang mengenalnya, sudah tentu laki-laki ini juga
tidak mengenal mereka. Kedua pihak sama-sama belum pernah kenal, belum pernah bertemu apalagi
kenal. Orang itu melompat keluar dari dalam lubang, lalu membersihkan tanah di atas
badannya, berdiri di pinggir lubang yang dibuatnya. Sambil tersenyum puas ia mengawasi lubang besar
itu, sorot matanya tampak riang, puas dan bangga, seperti seniman yang sedang menikmati
buah karyanya yang paling diagulkan. Lama ia menikmati buah karyanya itu baru membalikkan badan. Alat tulis dan
kertas masih ada di atas meja, ia mengambil pena lalu menulis, "Silakan tuan-tuan masuk."
Lubang itu tidak begitu dalam, membelok lurus ke arah timur, mirip lubang gua
yang amat dalam dan panjang. Sebetulnya lubang ini tidak mirip gua, lebih tepat kalau dikatakan
gorong-gorong, lorong di bawah tanah yang sempit dan lembab.
Dapat diduga bahwa lorong ini digali dari tempat yang cukup jauh, mulut lorong
pasti jauh terletak di luar perkampungan yang sudah dibongkar dan dikuasai oleh orang-orang Bu-capsah dengan pengepungan yang ketat. Sekarang baru Toa-hoan paham, semua orang juga paham, lorong bawah tanah ini
adalah jalan satusatunya untuk mereka melarikan diri.
Sudah tentu tanpa diminta kedua kalinya, satu persatu mereka menyelinap masuk ke
dalam lorong. Ternyata lorong ini lebih panjang dari yang mereka bayangkan semula. Mereka
harus banyak memeras keringat dan tenaga, kadang kala mereka harus merangkak cukup jauh baru
berjalan lagi sambil membungkukkan badan. Maklum lorong itu dibuat secara darurat, jadi tidak
memenuhi syarat sebagai jalan rahasia di bawah tanah yang biasa dipersiapkan untuk
melarikan diri. Mulut lorong memang berada jauh di luar perkampungan yang sudah kosong dan luas, malah
melampaui beberapa jalan raya lalu membelok ke selatan.
Beberapa jam diperlukan untuk menerobos lorong yang pengap lagi lembab itu.
Begitu melompat keluar dari dalam lubang, mereka menghirup napas segar dan rasa lega. Tak jauh
dari mulut lorong berhenti sebuah kereta besar yang hanya dimiliki hartawan besar atau kaum
bangsawan. Kereta bercat hitam itu mengkilap bersih. Kereta ditarik empat ekor kuda yang gagah dan
kekar, jelas merupakan kuda-kuda pilihan yang sudah terlatih baik dan mampu berlari kencang.
Ada pula tiga buah kereta lain dalam bentuk dan ukuran sama berjajar di pinggir
hutan sana. Tiga kereta itu masing-masing menuju ke tiga arah, kusir kereta sudah duduk di
tempatnya siap menghalau kereta dengan cemeti di tangan.
Laki-laki kekar baju hitam yang menggali lubang itu melompat keluar lebih dulu.
Setelah orang banyak melemaskan otot dan menenteramkan napas dan perasaan, segera ia
memberikan
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjelasan, "Untuk menghindari pengejaran Bu-cap-sah, maka kita sediakan tiga
kereta lain yang sama bentuk dan ukurannya. Di atas kereta juga ditumpangi enam pria satu wanita,
tujuh orang, bekas roda kereta yang ditinggalkan di jalan raya juga pasti sama, tidak banyak
berbeda." Laki-laki ini bilang enam pria satu perempuan karena Toa-hoan masih berpakaian
laki-laki, sementara ia juga akan mengiringi Ma Ji-liong dan lain-lain naik kereta yang
terdekat. "Kita tidak usah menunggu Giok-toasiocia, ia punya cara dan akal untuk
menghadapi Bu-cap-sah, yakinlah bahwa dia dapat meloloskan diri tanpa kurang suatu apa," sembari bicara
laki-laki ini mengawasi Ma Ji-liong yang belum juga mau naik kereta. "Beliau sudah memberi
pesan kepadaku supaya tidak usah menunggu dia, karena dia tahu kau ini paling bandel, maka
beliau merasa perlu memberi pesan kepadaku."
Untung kali ini Ma Ji-liong tidak membandel. Begitu ia duduk di atas kereta,
sais kereta segera mengayunkan cemeti, "Tar!", enam belas ekor kuda serempak menggerakkan kaki,
tiga puluh dua roda kereta serempak menggelinding ke depan. Empat kereta empat arah yang
ditempuh, keempat kereta itu meninggalkan bekas roda dan tapak kuda yang sama.
Laki-laki penggali tanah itu berkata, "Dari empat jalan raya yang kita tempuh
ini, satu menuju ke Thian-ma-tong, satu lagi langsung menuju ke Siong-san, yang ketiga pergi ke Bikgiok-san-ceng." "Yang satu lagi menuju ke mana?" tanya Toa-hoan.
"Yang keempat ini adalah jalan yang dilalui Bu-cap-sah waktu datang ke sini,"
penggali lubang menjelaskan. "Jalan ini menuju ke lembah mati."
"Jalan mana yang kita tempuh?" tanya Cia Giok-lun penuh harap. "Apakah kita
langsung pulang ke Bik-giok-san-ceng?" "Bukan," sahut Toa-hoan. "Pasti bukan."
"Kenapa bukan?" tanya Cia Giok-lun.
Penggali lubang menjelaskan, "Karena Bu-cap-sah pasti juga sudah menduga bahwa
kita mungkin akan menempuh jalan itu."
Cia Giok-lun menghela napas. Toa-hoan berkata, "Ke mana kau akan membawa kami?"
"Lembah mati," sahut penggali lubang. "Karena siapa pun pasti tidak menduga
kalau kita justru pergi ke lembah mati, ke sarang Bu-cap-sah malah." Lalu ia menambahkan setelah
menarik napas, "Giok-toasiocia juga menganjurkan supaya kita menempuh jalan ini, ia bilang akan
menyusul kita di sana." Tidak ada yang bertanya 'Kenapa dia juga akan ke sana"', karena setiap orang
percaya, apa yang dilakukan Giok-toasiocia ada alasannya sendiri.
Kereta berjalan cepat dan tenang. Kabin kereta memang lebar dan panjang, mereka
dapat duduk santai dan takkan merasa penat atau gerah. Sejak kereta berangkat, Toa-hoan
selalu memperhatikan penggali lubang itu. Mendadak ia bertanya, "Tuan, apakah kau murid Kaypang?"
Melihat tindak-tanduk, dandanan dan tutur bicaranya, siapa pun akan beranggapan
bahwa penggali lubang ini adalah murid Kaypang, karena hanya murid Kaypang saja yang mampu
menunaikan tugas yang berat dan sukar ini. Hanya pihak Kaypang saja di bawah pimpinan
Kanglam Ji Ngo yang berani mengambil-alih tugas dan mencampuri urusan ini.
Tapi penggali lubang itu menggelengkan kepala, "Aku bukan murid Kaypang." Ia
menjawab sambil tersenyum, "Bahwasanya aku tidak pernah berkecimpung di Kangouw."
Jawabannya di luar dugaan orang banyak. Toa-hoan bertanya pula, "Kau she apa dan
siapa nama tuan?" Penggali lubang itu tampak bimbang sejenak. Agaknya ia segan memperkenalkan
diri, seakan-akan bila ia memperkenalkan diri maka namanya akan mengundang ejekan orang, dirinya
akan malu berhadapan dengan orang. Tapi setelah ditunggu dan diawasi sekian saat, akhirnya
ia menjawab dengan terpaksa, "Aku bernama Ji Liok."
"Ji Liok?" Toa-hoan berteriak. Orang banyak juga melengak heran. Toa-hoan
bertanya pula, "Pernah apa kau dengan Kanglam Ji Ngo?"
"Ji Ngo adalah engkohku yang kelima," sahut penggali lubang itu.
---------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------Kanglam Ji Ngo terkenal di seluruh jagat, ia mengepalai Pang terbesar di dunia,
anggotanya tersebar luas di seluruh pelosok Kangouw. Adalah pantas kalau adik Ji Ngo juga
seorang yang terkenal, anehnya siapa pun tidak pernah mendengar seorang yang bernama Ji Liok,
apalagi sebagai adik Ji Ngo. "Kalian tentu tidak tahu kalau Ji Ngo masih punya adik seperti diriku," demikian
ucap penggali lubang yang mengaku bernama Ji Liok itu. "Kalian pasti heran, adik Kanglam Ji
Ngo, kenapa tidak pernah muncul dalam percaturan dunia persilatan?"
"Ya, kau tidak pernah muncul, kami pun tak pernah mengenalmu."
Ji Liok tertawa getir, katanya, "Kalau aku sudah punya engkoh seperti Kanglam Ji
Ngo yang tersohor, memangnya apa yang bisa kuperoleh kalau berkecimpung di Kangouw"
Umpama aku berjuang seratus tahun juga akan tetap sebagai adik Ji Ngo." Ia mengawasi jarijari tangannya yang kasar, lalu ia melanjutkan dengan perlahan, "Apalagi aku tidak punya kemampuan
apa-apa, aku hanya pandai menggali lubang."
Ma Ji-liong mengawasinya, sorot matanya berubah hormat dan kagum. Biasanya ia
memang menghargai orang yang punya pambek, laki-laki yang tegas berpijak pada pendirian
sendiri, menghormati harga diri orang yang berani berdikari.
"Kau bilang tak punya kemampuan apa-apa kecuali menggali lubang," demikian
timbrung Ma Jiliong. "Padahal untuk menggali lubang bawah tanah dalam jarak sejauh itu, melampaui
empat jalan raya sepanjang tujuh-delapan puluh tombak, bukanlah pekerjaan yang ringan,
apalagi arah yang dituju sudah diperhitungkan dengan tepat, jalan keluarnya tepat menuju sasaran
yang sudah ditentukan di tengah rumah toko serba ada itu." Setelah menghela napas, Ji-liong
menyambung pula, "Kau bilang tidak mampu berbuat apa-apa, tapi lorong tanah sepreti itu,
kecuali kau siapa pula yang mampu menggalinya?"
Ji Liok tertawa lebar, "Mendengar pujianmu, aku baru merasa bahwa ternyata aku
memiliki keahlian khusus juga." Dengan senyum dikulum, ia melirik ke arah Ma Ji-liong,
"Sekarang aku baru paham kenapa Ngo-ko berkata demikian kepadaku."
"Apa yang dia katakan?" tanya Ji-liong.
"Ngo-ko bilang kau ini baik hati. Dalam keadaan apa pun kau tidak pernah
melupakan kepentingan orang lain," demikian ucap Ji Liok. "Dia juga bilang, orang seperti dirimu,
dalam masa hidupnya hanya pernah melihat dua orang saja."
"Dua orang yang mana?" tanya Ji-liong pula.
"Yang seorang sudah tentu dirinya sendiri," kata Ji Liok tertawa. "Seorang lagi
adalah engkau." Sorot matanya tampak hangat dan bersahabat, "Maka dia menyuruh aku bertanya
kepadamu, kau mau tidak bersahabat dengan orang yang hanya pandai menggali lubang?"
Ma Ji-liong segera mengulurkan tangan menjabat tangan Ji Liok.
Bab 33: Malam Tragis Di Gedung Besar
Kanglam Ji Ngo adalah pendekar besar yang terkenal, seorang cerdik, pelajar
ternama, ilmu sastra maupun ilmu silatnya jarang ketemukan tandingan, pokoknya serba bisa.
Tapi berbeda dengan Ji Liok yang satu ini. Seperti apa yang ia katakan sendiri,
kelihatannya mirip orang kasar, orang desa atau kampung yang bersahaja, kaki besar tangan kasar,
hidup tenteram dan sederhana. Menilai wajahnya yang persegi, kelihatannya tak cukup pintar, namun
bila tersenyum maka orang baru membayangkan wajah Ji Ngo melekat pada wajahnya juga.
Kini setiap orang mulai tertarik kepadanya. Semua merasa pribadinya tidak
seperti lahiriahnya yang sederhana dan biasa. Banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepadanya, karena
siapa pun ingin tahu lebih jauh siapakah dia sebenarnya.
"Kau belum pernah berkecimpung di Kangouw" Lalu apa kerjamu sehari-hari?" Ma Jiliong bertanya lebih jauh. "Kerja apa saja kulakukan," sahut Ji Liok. "Namun belakangan ini aku sering
memborong bangunan, jelasnya sebagai pemborong bangunan."
"Kau ini tukang batu atau tukang kayu?" sela Toa-hoan.
"Tukang batu aku dapat bekerja, tukang kayu juga kulakukan, pokoknya kerja kasar
yang halal dan dapat uang. Tapi dalam kerja besar ini aku hanya menggambar pola bangunannya
saja." Untuk membangun rumah harus dibuat pola gambarnya lebih dulu. Setelah pola
gambarnya dilukis dan diperinci secara cermat, baru kerja dimulai. Berapa tinggi bentuk rumah itu,
berapa dalam pondasi yang harus ditanam" Berapa pula sudut miring wuwungan yang akan
dibentuk" Berapa berat kekuatan yang ditopang" Setiap sudut ruang pun harus diperhitungkan dan
direncanakan lebih dulu. Setelah seluruhnya diperinci secara jelas, bangunan yang sudah dirancang
dengan baik itu pasti terbangun dengan hasil yang memuaskan. Karena sedikit salah perhitungan,
bukan mustahil rumah itu akan ambruk dan akibatnya tentu fatal.
Demikian pula untuk menggali lubang di bawah tanah, juga harus diperhitungkan
arah, jarak dan letaknya. Sedikit melenceng, jalan keluarnya pasti meleset jauh dari titik yang
sudah ditentukan. Demikian halnya dengan lorong bawah tanah yang digalinya itu. Bila melenceng
sedikit dan keluarnya di luar toko serba ada, atau malah muncul di depan Bu-cap-sah,
bukankah berarti ia menggali liang kuburnya sendiri. Celakanya adalah ketujuh orang di dalam toko
juga ikut menjadi korban sia-sia. Toa-hoan menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku tahu, kenapa engkohmu
sengaja mengutus engkau untuk menggali lubang itu. Untuk menggali lubang panjang di bawah tanah
seperti itu, jelas lebih sukar dibanding membangun sebuah gedung."
"Seorang diri aku takkan mampu menggali lorong sepanjang itu. Orang-orang yang
duduk di dalam kereta yang tiga itu adalah pembantuku yang boleh diandalkan."
Jelas rencana kerja ini pun sudah diperhitungkan secara matang dan tepat. Saat
datang orang-orang itu membantunya menggali lubang, waktu mau pergi dapat memancing Bu-cap-sah ke
arah yang sesat, jelas setiap orang sudah mengembangkan daya kemampuannya.
"Tentunya mereka adalah orang-orang engkohmu yang diutus untuk membantu kau
bekerja, betulkah mereka murid-murid Kaypang?" tanya Toa-hoan.
Siapa pun sependapat dengan pertanyaan ini. Ji Liok tertawa, katanya, "Mereka
juga bukan murid Kaypang. Mereka adalah pembantuku yang biasa bekerja di bangunan. Sebagai
pekerja bangunan, sudah layak bila mereka pun pandai menggali lubang."
Ji-liong melengak. Toa-hoan melenggong, demikian pula Cia Giok-lun dan Thiat
Tin-thian bungkam, heran dan takjub.
"Kau sendiri yang membuat rencana kerja ini?" tanya Ma Ji-liong.
Ji Liok tertawa pula, katanya, "Kalau engkohku menyuruh aku bekerja, maka aku
akan bekerja lebih baik dan nilainya tentu jauh lebih memuaskan."
------------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------------Rencana serapi itu, kerja besar yang memerlukan banyak tenaga, ternyata hanya
dipimpin oleh seorang kasar saja. Kelihatannya ia memang serba kasar, kaki tangan dan mukanya
kotor berlumpur, kuku jarinya juga hitam-hitam, tapi sekarang tiada orang yang berani
menganggapnya kasar dan kotor. "Di mana engkohmu sekarang?" tanya Toa-hoan.
Ji Liok menghela napas, sahutnya, "Setelah menyerahkan tugas ini, dia lantas
pergi entah ke mana, tidak mau turut campur lagi."
Mendadak Thiat Tin-thian menghela napas, katanya, "Jika aku punya saudara
seperti kau, aku pun akan bersikap seperti Ji Ngo, persoalan apa pun tidak perlu kukerjakan sendiri."
Waktu menghela napas, kedua matanya mengawasi Coat-taysu, siapa pun tahu bahwa
dia sedang terkenang pada saudara angkatnya Thiat Coan-gi.
Memang Thiat Coan-gi, saudara angkatnya itu mungkin tidak sembabat dibanding
adik Ji Ngo, tapi saudaranya itu juga mampu mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dikerjakan
orang lain. Kini saudaraya itu sudah gugur demi mempertahankan jiwa raga saudaranya.
Coat-taysu tidak memberikan reaksi, Apa pun yang diucapkan orang lain, kritik
apa pun yang ditujukan kepada dirinya, ia anggap tidak dengar saja.
---------------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------------
Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam makin larut. Waktu mereka naik ke kereta dan berangkat tadi, hari baru saja gelap. Kini
mereka sudah tiga jam menempuh perjalanan. Mereka berpendapat Ji Liok akan menempuh perjalanan semalam
suntuk, tapi dugaan orang banyak ternyata meleset.
Waktu itu kereta sedang memasuki sebuah kota besar. Entah apa nama kota ini,
yang pasti ada jalan raya yang cukup besar dengan gedung-gedung besar berderet di kedua pinggir
jalan. Bila kereta membelok ke arah kanan, keadaan di sini jauh lebih sepi kalau tidak mau dikata
lengang. Rumahrumah penduduk di sini sudah tutup semua. Dari bentuk bangunan dan jalan raya yang
beralas batu gunung yang tebal dan kuat, dapat diduga bahwa kota ini cukup besar dan makmur.
Diam-diam Toa-hoan dan Cia Giok-lun mengintip keluar lewat jendela. Di saat
kereta membelok lagi ke kanan memasuki sebuah gang yang tidak begitu lebar, setelah maju lagi
beberapa saat, tampak gang ini ternyata buntu. Meski cuaca sudah gelap, tapi dapat diketahui
bahwa gang ini tiada jalan tembus. Di sini hanya ada rumah gedung yang terletak di depan, tampaknya
milik hartawan kaya raya. Pintu gerbang pelindung rumah ini bercat merah. Di kanan kiri luar pintu
berjongkok dua batu singa
besar, di tengah adalah jalan rata yang dapat dilewati kereta untuk keluar
masuk. Semula pintu gerbang bercat merah itu tertutup rapat, tapi kereta kuda itu terus
maju ke depan, langsung mencongklang ke arah pintu gerbang yang tembus ke dalam gedung. Meski
pintu gerbang masih tertutup, jarak juga makin dekat, tapi laju kereta tetap dalam kecepatan
sedang. Kalau tidak segera dihentikan, sebentar lagi kereta kuda pasti akan menumbuk pintu gerbang
yang tertutup rapat itu. Belasan langkah sebelum kereta kuda itu tiba di ambang pintu, mendadak daun
pintu gerbang yang besar dan berat itu terpentang ke kanan kiri, maka kereta terus menerjang masuk
dan berhenti di pekarangan yang besar dan luas.
Begitu kereta kuda itu masuk ke pekarangan, pintu gerbang lantas tertutup lagi.
Pintu kereta lantas dibuka oleh Ji Liok. "Silakan kalian turun," kata Ji Liok.
"Turun" Untuk apa turun?" tanya Toa-hoan.
"Malam ini kita menginap di sini," demikian Ji Liok menjelaskan.
"Lho, kenapa harus menginap di sini?" Toa-hoan bertanya pula dengan nada keki.
Ji Liok tertawa, katanya, "Kurasa Bu-cap-sah akan mengira kita menempuh
perjalanan dengan tergesa-gesa di tengah malam."
Padahal Ma Ji-liong dan lain-lain juga beranggapan demikian. Kereta kuda dikira
akan terus menempuh perjalanan hingga fajar, maka Ji Liok mengambil keputusan secara tegas,
kereta berhenti dan menginap di gedung ini.
"Akalmu memang bagus," demikian puji Thiat Tin-thian sambil tertawa.
------------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------------Pekarangan besar dan luas, gedung itu pun besar dan megah bentuknya. Dindingnya
berkembang, sakanya terukir, jendela juga ditempel kertas putih bak salju, di tengah malam
buta rata begini kelihatan mengkilap. Tetapi gedung besar ini masih kosong melompong, tiada apa-apanya, tidak ada meja
kursi atau perabot rumah tangga lainnya, juga tidak ada penerangan lampu. Walau gedung ini
dalam keadaan gelap gulita, tetapi di luar sinar bintang berkerlap-kerlip, bulan sabit juga
mengintip di balik mega, sehingga keadaan terasa sunyi dan sepi.
Ji Liok menjelaskan, "Inilah salah satu gedung yang kuborong untuk dibangun.
Bangunan ini belum selesai, baru sembilan bagian rampung dikerjakan. Pemiliknya adalah seorang
pembesar tinggi yang sudah pensiun, menurut rencana pertengahan bulan depan baru akan pindah ke
sini." Saat itu masih tanggal muda, jadi masih ada satu setengah bulan lagi. Gedung ini
belum dihuni orang, tak heran kalau keadaannya masih kosong dan sepi.
"Siapakah yang membuka pintu tadi?" Toa-hoan yang suka rewel lalu bertanya.
"Salah seorang pembantuku yang kusuruh menjaga gedung ini," sahut Ji Liok. "Aku
tanggung dia tidak akan membocorkan jejak kita."
-----------------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------------Orang tua renta itu memang takkan bisa membocorkan rahasia siapa pun, karena dia
seorang bisu tuli. Seorang tua renta yang setengah pikun dan bungkuk, timpang lagi, usianya
sudah tua, badannya cacat lagi, jelas tidak punya gairah atau harapan hidup di masa depan,
sudah tiada urusan apa pun di dunia ini yang menarik perhatiannya.
Sebuah gedung megah yang kosong melompong, seorang tua cacat yang setengah
pikun, dengan hanya memiliki sebuah lampion kotor yang sudah buram cahayanya, di malam dingin
yang gelap di musim semi, tujuh orang buronan.
Lampion yang sudah butut itu tampak bergoyang-gontai ditiup angin malam. Si
kakek timpang tertatih-tatih berjalan di depan menunjukkan jalan. Orang takkan suka melihat
wajahnya, terutama anak perempuan, agaknya orang tua ini juga segan memperlihatkan tampangnya yang
buruk di depan umum, maka lampion ia gantung rendah dan ia pun berjalan sambil menunduk.
Tujuh orang dibagi empat kamar yang berbeda dan tersebar letaknya.
Ma Ji-liong sekamar dengan Ji Liok, Toa-hoan sudah tentu sekamar dengan Cia
Giok-lun. Thiat Tin-thian sekamar dengan Ong Ban-bu, Coat-taysu seorang diri di satu kamar yang
terpisah di tempat yang agak jauh. Tidak ada orang yang mau bercampur dan sekamar dengan dia, ia pun segan bergaul
dengan orang lain. Di tengah malam yang dingin di musim semi ini, seorang beribadah seperti Coattaysu, seorang diri tinggal di kamar kosong melompong, kenangan lama dan kejadian di depan mata,
dendam lama dan sakit hati baru terbayang di benaknya. Entah bagaimana ia harus menenteramkan
gejolak perasaannya" Setelah menempuh perjalanan jauh, apalagi mereka harus merangkak dan merunduk
jalan di dalam lorong bawah tanah tadi, badan terasa amat penat, tapi dalam keadaan seperti
itu, jarang ada orang yang bisa tidur. Cia Giok-lun tidak tidur. Di atas lantai ia lembari rumput kering, bagian atas
dilapisi tikar, mereka tidur di lantai dengan hanya beralaskan tikar. Deru angin malam di luar jendela
dirasakan seperti isak tangis perempuan yang ditinggal pergi oleh suami dan menyesali nasibnya
sendiri. "Kau sudah tidur belum?" tanya Cia Giok-lun.
"Belum." Toa-hoan juga tidak bisa tidur, maka Cia Giok-lun bertanya kepadanya, "Kenapa
kau tidak bisa tidur" Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Apa pun tidak mungkin kupikirkan, aku hanya tidak ingin lekas tidur."
Mendadak Cia Giok-lun tertawa, katanya, "Tidak usah kau membohongi, aku tahu apa
yang terkandung di dalam benakmu."
"Oh?" "Kau sedang merindukan Ma Ji-liong," demikian ucap Cia Giok-lun berseloroh. "Aku
tahu kau amat menyukainya." Toa-hoan tidak menyangkal juga tidak membenarkan, ia malah balas bertanya,
"Kenapa tidak bisa tidur" Apa pula yang sedang kau pikirkan?"
Jawaban Cia Giok-lun ternyata cukup mengejutkan siapa saja bila mendengar
perkataannya, "Seperti juga kau, aku juga sedang memikirkan Ma Ji-liong." Setelah menghela
napas, ia melanjutkan, "Beberap a bulan aku hidup serumah dengannya, tidur dalam satu
kamar meski tidak satu ranjang, setiap malam aku mendengar deru napasnya, kenapa sekarang aku
tidak merindukan dia" Sekarang aku berpisah dengan dia, bagaimana aku bisa tidur?"
Toa-hoan terdiam. Tanpa bicara, mendadak ia bangkit lalu melangkah membuka daun
jendela. Di tengah malam nan dingin seperti ini, seorang gadis seperti dirinya, jika isi
hatinya dikorek orang, apa pula yang bisa ia katakan" Agaknya Toa-hoan punya banyak persoalan yang
ingin dibicarakan dengan Cia Giok-lun. "Aku tidak punya kakak, tidak punya adik, sejak kecil
sebatang kara, aku ini anak yatim piatu," demikian kata Toa-hoan.
"Betul, aku juga anak tunggal, tidak punya saudara besar maupun kecil, sejak
kecil orang yang terdekat dengan aku hanya engkau," demikian kata Cia Giok-lun. "Selama hidup
hingga kini tidak pernah aku membayangkan bahwa kau akan membuatku celaka begini. Aku sudah
menganggap kau sebagai saudaraku sendiri, maka aku tidak pernah menaruh curiga sedikit pun
terhadapmu. Oleh karena itu, waktu kau menutuk Hiat-toku hari itu, sungguh aku terkejut setengah
mati." Setelah menghela napas, Cia Giok-lun meneruskan, "Sekarang aku sudah mengerti, sudah
maklum bahwa kau memang pantas menjadi saudaraku yang sejati. Apa yang kau lakukan memang
bertujuan baik, demi masa depanku. Tetapi waktu itu, kecuali kaget, aku juga dendam dan
membencimu." Toa-hoan berdiri diam saja menghadap keluar jendela, tidak menoleh juga tidak
menanggapi perkataannya. Cia Giok-lun melanjutkan, "Jika waktu itu aku pingsan oleh tutukanmu, mungkin
agak mending. Sayang sekali, meski badan tidak bisa bergerak, tapi aku masih dalam keadaan
sadar. Apa yang kau lakukan atas diriku bisa kurasakan dengan jelas, aku tahu apa yang kau lakukan
atas diriku." Suara Cia Giok-lun amat kalem, "Kejadian itu takkan kulupakan selama hidupku." Setelah
menghela napas, ia menyambung, "Kau membawa aku ke balaikota, kau mengurungku dalam
sebuah kamar remang-remang, membelejeti pakaianku hingga aku telanjang bulat, lalu merebahkan
aku di atas ranjang yang keras dan dingin. Tak lama kemudian kau membawa laki-laki untuk
melihat badanku yang bugil, setiap perbuatanmu kuketahui dengan jelas."
Mendadak Toa-hoan menghela napas, katanya, "Waktu itu aku kira kau sudah pingsan
dan tidak sadarkan diri, maka......."
Cia Giok-lun tidak memberi kesempatan, ia bertanya, "Tahukah kau, bagaimana
perasaan hatiku waktu itu" Tahukah kau, bila gadis perawan dalam keadaan polos dilihat seorang
lelaki, betapa remuk hatinya, saking malu rasanya ingin mati saja."
"Aku tidak tahu," sahut Toa-hoan. Ya, tidak tahu karena tidak mengalami dan
merasakan sendiri. "Sudah tentu kau tidak tahu," ujar Cia Giok-lun. "Karena kau belum pernah
dibelejeti pakaianmu, belum pernah ada laki-laki yang melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang bulat."
Dengan tertawa Cia Giok-lun menyambung, "Tapi kutanggung kau akan segera merasakan sendiri."
Muka Toa-hoan berubah, mendadak tubuhnya melompat ke atas menerobos jendela
Pergolakan Goa Teratai 2 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Senyuman Dewa Pedang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama