Dendam Asmara Karya Okt Bagian 2
ke arah si anak muda Serangan mereka sangat keras,
akan tetapi tak ada yang mengenai. Serangan itu tak bisa
sekalipun menyentuh ujung baju si anak muda itu. Cuma api
obor-obor yang bergerak-gerak karena tersampok oleh
kibasan nona-nona itu. To-pie Sin-kiam ln Kiam berdiri di undakan tangga. Dia
awasi mereka, selang sekian lama. parasnya berubah,
matanya bersinar. Kemudian mendadak dia menghela nafas
dan berkata dengan suara dalam, "Sungguh tidak kusangka
malam ini aku bisa menyaksikan larian Dewi Ni-tong Sian-bu
yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan
Tie Sie dan Ciok Ciam Liong mendampingi tuan rumah,
mereka mendengar perkataan tuan rumah, mereka pun
terkejut dan keheranan. "Ni-tong Sian Bu?" tanya para tamu mengulangi ucapan I n
Kiam. "Ya." sahut tuan rumah sambil mengangguk, ln Kiam
menghela nafas ketika dia menambahkan. "Setelah
kuperhatikan gerak-gerik si anak muda berbaju kuning itu, aku
tahu dia menggunakan ilmu silat Li-cong Cit-cian dari Ban
Biauw Cu. Sedangkan gerak-gerik nona-nona itu menunjukkan
mereka murid-murid si Hantu Wanita dari Biauw-kiang. Aku
khawatir, kalangan Kang-ouw (Dunia Persilatan) yang sudah
sekian lama tenang ini bakal mengalami perubahan yang
sangat besar dan kacau ..."
Tie Sie dan Ciam Liong terkejut sekali.
"Aku rasa tidak mungkin . " kata Ciam Liong perlahan.
"Menurut apa yang kudengar, mereka itu tidak mempunyai
murid. Ya. baru lewat sepuluh tahun, keadaan telah berubah
menjadi begini rupa . . ."
Dia diam sebentar, kemudian Ciam Liong menambahkan:
"Mungkin nona-nona itu murid dari Biauw-kiang tetapi si baju
kuning . aku sangsi apakah dia murid Ban Biauw Cin-jin . . "
Pembicaraan di antara orang-orang tua itu terhenti secara
mendadak. Mereka mendengar suara tawa yang nyaring, dan
menyusul gerakan si anak muda, tubuh si pemuda berbaju
kuning tiba-tiba mencelat tinggi, berputar dan kakinya ada di
atas dan kepala di bawah, saat turun ke bawah, dia
menyerang bahu kedua nona itu.
Nona-nona itu pun berseru nyaring, mereka berkelit, tidak
menangkis atau melawan, tapi mereka berputaran.
Kembali terdengar seruan Gim Soan yang menyerang
kedua nona itu. Demikian gesitnya si anak muda berbaju
kuning bergerak sehingga para tamu menjadi kagum sekali.
Serangan si baju kuning telah gagal. Tampak gerakan
keenambelas nona-nona itu jadi kacau, tetapi mereka
berputaran terus, suara nyanyian mereka terdengar semakin
keras. Sekarang baru terlihat jelas si baju kuning bergerak,
dengan begitu terlihat warna kuning dari bajunya itu berkibarkibar
tidak hentinya, menyaingi lambaian baju merah milik
nona-nona itu. Lagi-lagi To-pie Sin Kiam menghela nafas, alisnya pun
berkerut. "Di dalam ilmu meringankan tubuh," kata In Kiam perlahan
pada Ciam Liong. "Selain ilmu milik Thian San Pay yaitu Cit
Kim Sin-Hoat dan Hui Liong Ngo Sie serta Chong Eng Sip Sam
Si dari Seng Siang Kiam yang paling tersohor ialah Ching
Eng Pian dari Ban Biauw Cin-jin. Maka itu. saudara Ciok.
sekarang kau pasti sudah mengenali ilmu silat si pemuda ini
adalah kepandaian si Hantu Wanita yang aku sebutkan itu ..."
Ciam Liong yakin, dia menghela nafas.
Ketika itu mendadak kedua nona itu bertepuk tangan, maka
berhentilah mereka menyanyi. Sesudah itu, keenam belas
nona yang gerakan-gerakannya kacau segera memisahkan diri
keempat penjuru. Di antaranya ada yang mengerutkan alis
dan bibirnya merah karena lengan mereka terluka. Hanya luka
mereka itu tidak terlalu parah, sebab si baju kuning rupanya
tidak menggunakan kekerasan karena dia merasa kasihan
terhadap lawan-lawannya . .
Dengan berhentinya tarian nona-nona itu. si anak muda
memandang ke sekelilingnya. Tak lama dia sudah tertawa
terbahak-bahak. Dia menyampok dengan tangan bajunya
ketika dia berkata riang gembira. "Di malaman musim semi di
Kang-lam, di sana para Dewi sedang menyebar bunga, dan
mereka ditimpali oleh nyanyian dua nona cantik manis!
Mereka semua menarik hati! Tidak disangka-sangka aku bisa
tiba di sini dan mengalami malam yang indah ini!"
Kata-kata itu bersajak dan berirama. Mendengar kata-kata
itu kedua nona itu teitawa. Mereka menutup mulut mereka
dengan tangannya yang halus untuk menahan suara tawa
mereka. Namun. sekarang mereka langsung maju mendekat.
"Ah, kau tampaknya sungkan sekali!" kata salah satu nona
cantik itu. "Suara kami kasar tetapi kau katakan menarik hati,
kau membuat kami merasa malu "
Sambil berkata begitu, mendadak tangan mereka bergerak
menyerang dengan sepuluh jari mereka. Mendadak sepuluh
jari itu jadi keras dan tajam, mirip dengan pisau belati.
Gerakannya mencari jalan darah bun-hio, su-pek. tie-chong
dan hee-kwan dari si anak muda berbaju kuning.
Serangan mendadak itu membuat kaget para hadirin.
Mereka tidak menyangka, sambil bicara manis, kedua nona itu
menyerang lawannya dengan demikian kejam. Orang-orang
pun kagum oleh kehebatan serangan mereka.
Anak muda berbaju kuning itu tidak sedikitpun kaget atau
gugup, sebaliknya dia malah tertawa riang.
"Aku bukan Dewa, tak sanggup aku menerima kebaikan
kalian berdua. Nona-nona!" kata dia sambil mekompat untuk
berkelit jauhnya sampai lima kaki hingga serangan nona-nona
itu jatuh di tempat kosong.
Melihat kejadian itu, To Pie Sin Kiam In Kiam menghela
napas, alisnya berkerut. "Kelihatan setelah sepuluh tahun tak muncul kini Ban Biauw
Cin-jin telah mendapat kemajuan yang sangat pesat," kata ln
Kiam masgul. "Lihat saja muridnya yang luar biasa lihaynya
ini. Dulu Ban Biauw tidak selihay muridnya sekaranu ini. Heran
dia tidak bisa dirobohkan ilmu silat tarian Ni-tong Sian Bu . .
ya. dalam tempo sepuluh tahun lamanya mengapa saudara Ho
Jian-ku tetap tidak ada kabar ceritanya" Kemanakah perginya
dia" Mungkinkah dia pun telah memperoleh kemajuan yang
luar biasa?" Kembali orang tua ini ingat kepada saudara angkatnya itu.
Ketika itu pertempuran di antara anak muda berbaju kuning
dan kedua nona terus meningkat menjadi puluhan jurus, akan
tetapi anak muda itu tetap bisa bergerak dengan gesit dan
tetap tenang. Bahkan dia bukan seperti sedang berkelahi,
karena dia lebih banyak berkelit. Jelas sekali kegesitan dan
keringanan tubuhnya itu sangat luar biasa.
Akhirnya kedua nona itu jadi gelisah sendiri. Rupanya
kelihayan si anak muda di luar dugaan mereka. Orang jarang
menyerang tetapi setiap kali menyerang pasti berbahaya
sekali. Sebaliknya serangan mereka selalu gagal. Diam-diam
mereka jadi kuatir. Jelas mereka bukan lawan anak muda itu.
Pertempuran terus berlanjut. Mendadak anak muda itu
tertawa. Dia berkelit atas serangan si nona yang di sebelah
kiri, tubuhnya mencelat ke arah nona yang di sebelah kanan.
Dia tertawa lagi dan berkata dengan perlahan. "Nona. buat
apa kita bertarung" Percuma saja hanya membuat kita letih!
Sebenarnya aku merasa tidak enak hati
"Terima kasih!" sahut si nona perlahan, juga sambil tertawa
Suara si nona merdu sekali dan tertawanya pun manis, toh
kakinya bergerak dan sambil melompat dia menendang. Ketika
tendangan yang pertama gagal, dia mengulangi hingga tiga
kali saling susul. Gim Soan tertawa terbahak-bahak, tubuhnya berkelit
dengan lincah sekali. "Ah. Nona yang kejam!" kata Gim Soan sambil tertawa.
Kali ini dia mengibas dengan kedua tangannya ke arah dua
nona itu. Kedua nona itu merasakan desakan yang keras, mereka
saling melirik sambil tersenyum, terus keduanya bergerak
secara berbareng, melompat mundur hingga ke pojok tembok.
Para penonton terheran-heran, tak lama mereka
mendengar salah seorang dari nona itu sambil tertawa
berkata. "Kami sudah letih, kami sudah tak mau bertempur
lagi! Jika kau mau bertempur juga, kau bertempur saja
seorang diri!" Tatkala itu obor sudah mulai guram cahayanya, belasan
orang To Pie Sin Kiam In Kiam datang untuk mengganti
dengan obor-obor yang baru.
Saat itu kedua nona itu berdiri di pinggir tembok, dengan
tenang mereka menyingkap rambut di dahi mereka serta
merapikan pakaian mereka.
Di tengah gelanggang yang luas itu tinggal anak muda
berbaju kuning saja seorang, matanya jelalatan ke sekitarnya.
Agaknya dia bingung bagaimana harus bertindak selanjutnya
Saat itu. enam belas kotak yang dibawa oleh enam belas
nona itu masih tergeletak di depan tangga.
Setelah semua diam sekian lama. baru kedua nona itu
menghampiri semua kotak itu. sambil tertawa. Salah satu
nona berkata, "Kami datang untuk mengucapkan selamat
kepada ln Loo-ya-cu, tidak kami kira malah terjadi keributan,
kami menyesal sekali. Sebenarnya kami berniat tinggal lebih
lama di sini akan tetapi kami khawatir Nona kami menanti
terlalu lama, maka..." Dia segera membungkuk dan bersama
kawan-kawannya, sambil tertawa dia melanjutkan. "... Maka
itu kami mohon diri!"
Kemudian dia membungkuk lagi. dengan tanpa menunggu
tuan rumah bicara apa-apa.dia sudah memutar tubuh untuk
segera pergi. Melihat hal itu. anak muda berbaju kuning mengerutkan
alis. Dia melangkah maju mendekat. Melihat sikap itu, kedua
nona tertawa. "Kau lihay, kau juga tampan!" kata nona yang satu,
"Baiklah sebelum harian Tiong-ciu, (Perayaan kue rembulan)
kau boleh datang ke Thian-bak-san, mungkin...." dan dia
tertawa sambil menutup mulutnya. " . . Mungkin kau
beruntung bisa menjadi pasangan Nona kami! Nah, jangan
lupa. ya!" Pemuda itu mengawasi, kedua biji matanya berputar.
"Baik, baik!" sahut Gim Soan sambil tertawa. "Baiklah, aku
akan menuruti perintah kalian untuk pergi memenuhi janji
kalian ini. Cuma... jika Nona kalian sama telengasnya seperti
kalian berdua, belum apa-apa hatiku sudah jerih...'
Sesudah itu pemuda yang luar biasa ini tertawa, tubuhnya
bergerak, untuk melompat pergi.
Melihat kedua nona itu mau pergi, Kiauw Cian berjalan
menghampirinya, tetapi tiba-tiba dia jadi kaget. Di depan
matanya ada bayangan yang berkelebat, sebelum ia sadar apa
yang dilihatnya, pipinya sudah tertampar hingga
mengeluarkan suara nyaring. Kiauw Cian jadi gelagapan
karena heran dan kesakitan. Sesudah itu dia melihat sebuah
cahaya kuning berkelebat ke atas tembok. Sekarang tahulah
dia bahwa dia telah dihajar oleh si baju kuning, yang telah
angkat kaki. Dia berdiri melengak. mukanya merah dan pucat
bergantian. Dia merasa malu sekali. Akhirnya dia menghela
napas, terus melompat sambil pergi .
Tiong Teng melompat maju.
"Kiauw Sha-ko!" Tiong Teng memanggil. "Kiauw Sha-ko!"
Tapi Kiauw Cian sedang mendongkol dan malu. dia pergi
tanpa menoleh lagi. Setelah menginjak tembok dan melompat
turun ke bagian luar, dia lenyap di dalam kegelapan.
Para hadirin menghela nafas, sebab mereka tidak mengira
Kiauw Cian dibuat malu seperti itu.
Kedua nona itu saling pandang keheranan, keduanya
segera berjalan perlahan ke luar. di belakang mereka itu
mengiringi keenam belas nona pembawa kotak, begitupun
empat yang lainnya yang sejak tadi diam saja.
In Kiam menghela napas. Dia berjalan ke luar dan dia lihat
orang sudah pergi semua. Jelas mereka itu datang dengan
empat buah kereta dan pintu keretanya telah segera ditutup
rapat, ln Kiam cuma sempat mengawasi dengan masgul dan
batuk-batuk ke arah rombongan nona-nona itu.
Kemudian dia masuk ke dalam, dia lihat para tamu sedang
bicara kasak-kusuk atau diam sambil menundukan kepala
mereka. Hanya Tie Sie dan Ciam Liong, yang menghampirinya,
mereka menghibur ln Kiam agar tidak berduka. Mereka tidak
bisa bicara banyak lantaran mereka sendiri pun sedang masgul
dan bingung ... Tiong Teng mengawasi ayahnya, kemudian dia tertawa.
"Makanan sudah dingin tetapi masih bisa dihangatkan!"
kata Tiong Teng dengan nyaring. "Tuan-tuan. silakan masuk
ke dalam untuk duduk bersantap dan minum lagi! Fajar akan
segera menyingsing, mari kita makan sampai pagi!"
Undangan Tiong Teng itu diterima baik. semua masuk
kembali ke dalam untuk duduk di mejanya masing-masing.
In Kiam memandang pada semua tamunya, dia berkata
sambil menghela napas. "'Ini dia yang dikatakan, gelombang
yang di belakang mendorong ombak yang ada di depannya.
orang yang baru menggantikan orang lama! Ah. saudara Tie.
saudara Ciok. aku benar-benar sudah tua dan sudah tidak
berguna. Lihatlah beberapa orang muda barusan, semuanya
gagah luar biasa, maka dunia Kang-ouw selanjutnya bakal
menjadi dunia mereka ..." Tie Sie tertawa.
"Kakak ln!" kata Tie Sie, "Bukan aku sombong, sekalipun
kita sudah tua, tulang-tulang dan otot-otot kita masih belum
terlalu tua, jika cuma menghadapi sesuatu, kita masih dapat
menggunakan kepandaian kita! Kakak, buat apa kau angkatangkat
orang lain?" "Meskipun kau benar, saudara Tie," kata Ciam Liong, "Akan
tetapi orang gagah seperti si baju kuning barusan, belum
pernah aku menemuinya. Mungkin dia berimbang dengan
Tiong-goan Tay-hiap (Jago ternama dari Tiongkok) To Ho
Jian. Aku kira orang lain tidak ada yang dapat menimpalinya
In Kiam menghela nafas. Para tamu lainnya diam. Tapi
mendadak terlihat seorang melompat turun dari payon rumah,
dia langsung berkata dengan lantang.
"Pemuda baju kuning barusan terlalu sombong! Memang
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar dia gagah, akan tetapi jika dia mau disebut orang gagah
nomor satu sekarang ini. aku bilang sangat keliru. Sebab dia
masih berbeda jauh sekali!"
In Kiam dan semua tamunya keheranan. Orang itu
mengenakan baju panjang berwarna biru, bertubuh gemuk
sekali, perutnya besar, kakinya pendek, hingga dipandang
seumumnya, dia mirip buah anggur.
"Aku kira siapa, tak tahunya Souw Hian-tit!" kata In Kiam
sambil tertawa Ciam Liong dan Tie Sie diam. Mereka tidak puas oleh lagak
orang ini. Mereka pun mengenali orang pendek itu. dia seorang
piauw-su (pegawai ekpedisi) dari sebuah piuw-kiok
(perusahaan ekpedisi) di Kang-lam. Namanya dikenal juga tapi
tak terlalu tersohor. Si kate terokmok itu tertawa ketika dia berkata lagi. "ln
Loo-ya-cu, apakah kau tidak tahu sekarang ini telah muncul
seorang yang benar-benar luar biasa0 Kalau orang she Gim
dibanding dengan dia. perbedaannya sangat jauh!"
Ciam Liong tidak puas hingga terpaksa dia buka mulut.
"Souw Sie Peng!" kata Ciam Liong tawar. "Apakah kau
pernah bertemu sendiri dengan orang itu" Mengapa aku si
orang tua belum pernah mendengarnya" Siapakah dia?"
Sie Peng itu tertawa. "Jika aku belum melihatnya, mana berani aku menyebutnyebut
dia di hadapan para Loo-cian-pwee?" kata Sie Peng.
Suara Sie Peng tidak sedap didengar dan dengan mata
dikecilkan dia melirik ke arah Ciok Ciam Liong. Dia tertawa lalu
dia menambahkan. "Kalau aku mengatakannya, mungkin
orang tidak akan percaya! Cukup apabila aku menyebut
tentang ilmu meringankan tubuhnya saja. Dia dapat melompat
tinggi lima tombak! Bagaimana Loo-ya-cu. tidakkah itu luar
biasa?" Alis si jago tua In Kiam mengerut. Dia melengak.
"Seperti apa romannya?" Tanya In Kiam. "Berapa usianya
sekarang0 Bukankah dia pendek juga memelihara kumis dan
jenggot panjang" Bukankah dia bermuka lebar dan umurnya
kira-kira lima puluh tahun lebih?"
Sie Peng mengeluarkan kedua tangannya yang dia goyanggoyangkan.
"Bukan, bukan!" sahut Sie Peng berulang-ulang. "Dia belum
tua. bahkan paling-paling baru berumur kira-kira dua puluh
tahun saja. Romannya tampan sekali, dan dia memakai
pakaian kuning sama dengan pakaian si pemuda she Gim,
cuma tubuhnya sedikit lebih pendek dan lebih kurus."
ln Kiam menghela napas. "Kalau begitu dia bukan Ho Jian adikku ..." kata In Kiam
masgul. Tie Sie jadi tertarik. "Bukankah dia memakai baju kuning panjang?" Tie Sie
menegaskan. Sie Peng mengangguk berulang-ulang. Tapi Ciam Liong
masih mendongkol. "Kau telah melihat orang itu." kata Ciam Liong. "Tapi apa
kau tahu she dan namanya" Apa kau kenal pribadi
dengannya?" Mulut Sie Peng terbuka lebar Dia tertawa.
" Tapi aku tidak tahu pasti!" kata Sie Peng. "Bicara
sebenarnya, aku baru pernah bertemu satu kali saja
dengannya, aku tidak kenal padanya. Hanya ketika itu aku
sedang mengantar piauw (kiriman barang) dan sedang lewat
di gunung Gan-tong-san, mendadak..."
Ciam Liong menjadi tidak sabaran, berulang kali terdengar
suara dinginnya. "Hm!" kemudian dia berkata singkat. "Kalau
kau tidak kenal padanya, kau tak usah mengatakannya lagi!"
Sie Peng mempermainkan mulutnya, dia berpikir. "Tua
bangka. jangan bertingkah!" pikirnya. Buru-buru dia
mengambil tempat duduk, untuk minum dan makan.
Sang fajar telah tiba, maka itu. obor-obor pun segera
disingkirkan. Kotak-kotak kiriman nona-nona itu pun sekarang telah
dibawa masuk ke dalam, hingga di pedalaman terdengar kaum
wanita memuji dan bertanya-tanya, siapa yang mengantarkan
bingkisan seistimewa itu Dengan tibanya sang pagi. tamu-tamu satu persatu pulang,
cuma satu hal yang sama yaitu di hati mereka, mereka terus
memikirkan tentang lui-tay di atas gunung Thian-bak-san.
Hampir semua dari mereka berniat pergi mengunjunginya,
terutama bagi yang merasa dirinya pandai silat dan mereka
ingin mencoba keberuntungan mereka. Bagi mereka yang
berhati kecil akan datang hanya untuk menonton saja . . .
Tak lama ruang pesta pun telah menjadi sepi. Di sana
hanya terlihat tinggal para pelayan saja. Mereka sedang sibuk
merapikan ruangan. Beberapa pelayan sedang repot
menyajikan sebuah meja baru. Di sini tuan rumah duduk
berkumpul bersama sahabat-sahabatnya yang sudah berusia
lanjut. Tiong Teng ikut menemani ayahnya. Mereka
melupakan rasa kantuk, mereka asyik membicarakan urusan
lui-tay itu, terutama tentang si Tay-cu (Ketua) yang
membangun lui-tay. Satu hal telah diduga oleh ln Kiam, Taycu
itu pasti ada sangkut-pautnya dengan Un Jie Giok, si
Manusia Aneh Rimba Persilatan yang dulu sangat terkenal namanya
terutama di selatan dan utara sungai besar. (Maksudnya
sungai Tiang-kang) Hanya dalam sebulan Dunia Kang-ouw digemparkan oleh
berita tentang apa yang akan terjadi di gunung Thian-bak-san
dan telah munculnya seorang nona cantik dan kaya raya. Dia
memiliki emas dan mutiara serta beberapa "serdadu sakti".
Demikian juga dijalan umum Kang-lam, hampir tidak
putusnya orang berjalan atau menunggang kuda. Mereka
orang-orang Kang-ouw dan datang dari berbagai Propinsi atau
kota besar. Semua punya tujuan sama yakni akan pergi ke
Propinsi Kang-souw yang terletak di wilayah pegunungan.
Ketika itu sedang musim panas. Untuk sampai pada
pertengahan bulan delapan, ternyata masih sebulan lebih lagi.
Tapi rumah-rumah penginapan di sekitar Thian-bak-san sudah
penuh terisi. Di tempat-tempat ramai terlihat orang-orang
membawa berbagai macam senjata tajam. Roman mereka
tampak gagah. Di lain pihak banyak yang bertemu musuh
mereka. Mereka telah bertempur sebelum acara dimulai
hingga banyak yang terluka bahkan binasa
Dengan demikian pembesar negeri, terutama pihak
keamanan jadi bertambah kerjaan .
Ketika bulan tujuh sudah lewat, suasana di tengah jalan
jadi semakin ramai, terutama di kota Lim-an. kota yang
letaknys di sebelah kanan gunung Thian-bak-san. Di kota Liman,
di sebuah warung teh ramai suara tamu-tamu. Sambil
minum teh mereka berbincang-bincang.
Seorang yang kepalanya botak dan bertubuh tinggi besar,
ln Loo Ngo berkata. "Bukan aku hendak merendahkan
kemampuan sendiri, tapi memang benar anak muda berbaju
kuning itu lihay sekali. Buktinya Sin Eng Koan It Cay
dikalahkannya sebelum sampai tiga jurus. Yo Lao-tee. ilmu
pedang Go Bie Pay memang lihay. tapi dibanding kepandaian
anak muda itu. masih jauh kehebatannya!" kata In Loo Ngo.
Si botak bicara dengan salah satu di antara beberapa orang
kawannya yang duduk semeja dengannya. Sang kawan
berada di sisinya, tubuhnya kurus, matanya celong. air
mukanya dingin. Dia menenggak arak, habis itu, dia
tersenyum. "Kalau demikian katamu. In Ngoko, kau pasti tak salah!"
kata dia. "Cuma sebaiknya Ngo-ko ketahui, beda dengan di
lain tempat, di kota Lim-an ini banyak orang lihay. Aku
khawatir sekalipun dia gagah, sahabat she Gim itu sulit untuk
menjadi pemenang!" In Loo Ngo tertawa terbahak-bahak.
"Belum tentu, Yo Lao-tee!" kata In Loo Ngo. "Sayang saat
kejadian kau tidak hadir, jika kau hadir, kau pasti menyaksikan
sendiri, hingga aku tak usah bicara lagi di sini. Benar aku tidak
bohong!" Suara In Loo Ngo sangat keras hingga menarik perhatian
orang banyak. Dia tidak menghiraukan mereka itu, dia minum
dan makan. Ketika dia berpaling ke arah pintu, dia lihat
datangnya dua orang baru. Dia terperanjat sampai hampir
saja dia kesimpatan. Orang-orang melihat dua orang baru itu. dalam sepuluh,
sembilan dari mereka bangun, untuk menyapa dan
mengundang mereka duduk di meja mereka masing-masing.
Touw Eng bahkan bangun dan menghampirinya.
"In Loo-ya-cu!" dia memanggil. "Oh, Loo-ya-cu pun
datang" Silakan duduk di mejaku!"
Memang dua orang itu ialah In Kiam bersama Tiong Teng,
anaknya. Mereka melihat ke sekitarnya, lalu mengangguk
pada orang banyak, kemudian mereka duduk di meja ln Loo
Ngo. Tiong Teng kelihatan tidak puas. Ada satu orang yang
duduk terus, tidak menyapa dan tidak bergerak. Dia awasi Loo
Ngo dan bertanya, "Saudara, siapa saudara ini" Sungguh aku
asing benar padanya!"
In Loo Ngo memanggil pelayan untuk menambah cangkir
dan araknya, kemudian dia menoleh pada Tiong Teng sambil
tertawa. "ln Toa-ko. mari aku perkenalkan kau dengan seorang
sahabat yang sudah ternama!" kata In Loo Ngo.
Kemudian ia awasi orang yang duduk diam saja itu seraya
berkata lagi, "Yo Lao-tee, tahukah kau siapa yang sedang
duduk di depanmu ini" Mereka Loo-ya-cu bergelar To-pie Sinkiam
In Kiam dan ini ln Toa-ko yang bergelar Jin Gie Kiamkek."'
In Loo Ngo tertawa, sebelum memperkenalkan mereka.
"Yo Lao-tee ini Yo Cin bergelar Yo
It Kiam, murid pertama dari Partai Ngo (Go) Bi Pay yang
namanya tersohor di seluruh Tanah Siok! Ha, ha. ha. ha. tidak
kusangka kalian belum saling kenal satu sama lain, hingga tak
kusangka, akulah yang mengajar kenal kalian berdua!"
To-pie Sin-kiam In Kiam tersenyum.
"Memang aku telah lama mendengar soal Ceng Po Siang
Jin dari Ngo Bi Pay mempunyai seorang murid yang pandai,"
kata In Kiam "Aku gembira sekali hari ini aku bisa bertemu
dengan muridnya ini! Sesungguhnya, dia beroman keren
sekali!" Yo Cin mengangkat cawannya, dia cuma membungkuk
sedikit. "Loo-cian-pwee terlalu memuji!" kata Yo Cian sambil
tersenyum. Tiong Teng tidak puas. "Hm!" In Kiam memperdengarkan suara dingin, dia
menoleh ke arah pintu. Belum ada satu jam dari sejak In Kiam dan anaknya
sampai, orang-orang kalangan persilatan di kota Lim-an
segera mengetahui mereka segera menduga-duga maksud
kedatangan semua orang-orang itu. Mereka anggap sangat
luar biasa jika jago tua itu akan datang ke Thian-bak-san.
Sebaliknya, mereka yang kenal pada si jago tua. datang
menemui dia di warung teh terbesar itu. untuk pasang omong.
Tak lama. Yo Cin segera angkat kaki dari warung teh yang
memasang inerk "Liong Bun Kie" itu
"Dari mana sahabatmu yang jempolan itu. In Ngo-ya?"
tanya Tiong Teng. mengejek. Jin Gie Kiam Kek Tiong Teng
tetap tak puas kepada murid kepala Ngo Bie Pay itu. Karena
dia angggap orang itu sangat tinggi hati sikapnya.
"Tiong Teng, mana kesabaranmu?" kata In Kiam menegur
puteranya. In Loo Ngo tertawa saja. Dia orang ternama di daerah
Kang-lam, tetapi menghadapi Tiong Teng, dia sabar luar
biasa. Seperti biasanya, dengan ramah dia layani ayah dan
anak itu. In Kiam pandai membawa diri. Dia juga sadar, dalam
keadaan seperti itu. kota Lim-an pasti telah kedatangan orangorang
gagah dari berbagai kalangan. Maka itu. dia tidak mau
sembrono. Tiong Teng diam.
In Kiam tidak memperhatikan anaknya itu, dia lebih suka
melayani kawan-kawannya untuk minum sambil bicara tentang
berbagai masalah. Saat orang sedang bergembira, tiba-tiba dari luar terdengar
suara terompet yang suaranya lain dengan suara terompet
biasa. Mendengar suara terompet itu paras In Loo Ngo segera
berubah, cepat dia menolak cawannya dan bangkit berdiri.
"Itu isyarat dari Ang Kin Hwee!" kata ln Loo Ngo dengan
suara nyaring. Alis Tiong Teng berkerut "Pasti mereka itu Ang Kin Hwee dari Gan Tong San!" kata
Tiong Teng. "Kenapa perkumpulan itu bias berada di sini" Apa
mereka telah mendirikan markas sementara di sini" Apa Ang
Kin Sam Ho datang ke kota Lim-an?"
Menyusul suara terompet yang luar biasa itu, orang segera
mendengar suara jeritan hebat saling susul. Dan yang
mengherankan, datangnya jeritan itu dari empat penjuru, satu
demi satu jeritan itu terdengar semakin dekat...
Di warung teh "Liong Bun Kie", suara tawa itu segera sirna.
Di jalan-jalan umum yang ramai, orang berhenti berjalan.
Menyusul jeritan itu terdengar derap kaki kuda yang
berjumlah banyak sekali. Semua orang jadi kaget dan mereka
jadi ketakutan, semua berlari serabutan. Segera tampak
serombongan penunggang kuda dan kuda mereka
menyebabkan debu mengepul tinggi. Di antara kepulan debu
itu terlihat samar-samar para penunggang kuda yang
mengenakan ikat kepala berwarna merah, cuma mereka tidak
duduk tegak di atas kuda mereka.
Tiong Teng keheranan, dia berlari ke arah pintu untuk
melihat apa yang terjadi. Ketika sudah tiba di ambang pintu,
dia kaget. Dia lihat di jalan besar tampak garis merah seperti
darah, sedang sepasang lilin di warung teh itu cahayanya
berkelap-kelip sangat menyeramkan...
"Ayah!" Tiong Teng berkata pada In Kiam. "Ayah tunggu di
sini saja. aku hendak pergi melihat-lihat apa yang terjadi.. ."
Tiong Teng berjalan menuju ke jalan raya untuk melihat
lebih pasti, apa yang telah terjadi. Dia melihat darah
berceceran di sepanjang jalan besar itu. ketika dia percepat
langkahnya, makin jauh darah itu makin berkurang . .
0oo0 BAB 6. TIONG TENG MENYAKSIKAN PEMBANTAIAN
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
MISTERIUS Orang-orang menjadi khawatir dan ketakutan. Suara
terompet sudah berhenti tapi jeritan-jeritan menyayatkan hati
kadang masih terdengar dari kejauhan.
Tiong Teng keheranan dan ia ingin mengetahui apa
sebenarnya yang sedang terjadi. Dia berjalan dengan cepat di
jalan besar, sedang matanya terus mengawasi ke kiri dan
kanan jalan. Dia heran, ketika dia merasakan tangannya yang
mencekal ujung bajunya, terasa sedikit kejang..
Tiba di perapatan jalan, Tiong Teng melihat tiga orang
berpakaian ringkas berwarna hitam. Mereka semua
mengenakan ikat kepala berwarna merah, tubuh mereka
tinggi besar, tapi sekarang tubuh mereka hampir semuanya
berlumuran darah. Pada saat Tiong Teng tiba, mereka sedang
bergulingan di tengah jalan dan tampaknya sangat kesakitan.
Mereka tidak bisa bangun dan hanya bisa bergulingan sambil
merintih. Tidak jauh dari tempat mereka ada dua ekor kuda
dengan pelana yang masih lengkap, tapi tak ada
penunggangnya. Kedua binatang itu mengangkat kepalanya
sambil memperdengarkan suara ringkiknya yang nyaring.
Di tempat itu kelihatan orang-orang sedang lalu-lalang,
akan tetapi kebanyakan dari mereka semuanya hanya bisa
berdiri diam di tepian, tubuh mereka gemetar, muka mereka
pucat-pasi. Roman mereka pun sangat menyedihkan dan amat
ketakutan . Tiong Teng tidak tinggal diam seperti orang banyak itu, dia
bertindak cepat. Dia melompat ke tengah jalan raya, untuk
mengangkat atau membangunkan salah satu dari ketiga orang
yang bergulingan dan sedang merintih itu.
"Apa yang terjadi?" dia bertanya. "Kenapa kau terluka?"
Muka orang itu berlumuran darah. Dia membuka matanya,
mulutnya merintih. "'Kejam! Kejam!" kata orang itu. "Aku . ..."
Mendadak kaki orang itu terlonjor kaku, kedua matanya
mendelik, napasnya langsung berhenti. Mata orang itu tetap
mendelik, dari matanya mengalir darah segar
Tiong Teng terkejut. Buru-buru dia melompat pada dua
orang lainnya. Apa lacur, mereka itu pun sudah saling susul
menghembuskan napas terakhir mereka.
"Ah!" Tiong Teng mengeluh.
Jantung Tiong Teng memukul, darahnya bergolak.
Ang Kin Hwee (Perkumpulan Angkin Merah) dari gunung
Gan-tong-san yang biasa malang-melintang di Ciat-kang
Timur, memang banyak melakukan kesalahan, akan tetapi kali
ini pembasmian terhadap mereka sungguh terlalu kejam.
Karena itu, Tiong Teng jadi tidak puas.
Sekarang sudah banyak orang yang datang
menghampirinya, tapi mereka tak berani menginjak darah
yang berceceran di jalan raya. Di tengah perempatan jalan itu
hanya Tiong Teng sendiri yang masih tetap berdiri diam,
pikirannya kacau. Dia baru sadar ketika telinganya mendengar
ringkik kuda. Mendadak dia teringat sesuatu. Tiba-tiba dia
melompat ke sisi kuda itu, dia melompat naik, sesudah itu dia
tepuk bagian belakang binatang itu, kuda itu kaget, lalu
berjingkrak berdiri, untuk selanjutnya melompat dan berlari
kencang. Dia mengendurkan les untuk membiarkan kuda itu
kabur terus. Kuda itu berlari dengan kencang, sebentar saja beberapa
jalan besar telah dilewatinya. Di sepanjang jalan Tiong Teng
melihat darah berceceran, jarang tetapi tak pernah putus. Ada
yang banyak ada yang sedikit. Ketika kudanya masih berlari
kencang, sekonyong-konyong dia mendengar jeritan-jeritan
hebat seperti tadi. Tapi kali ini datangnya dari empat penjuru.
Ketika itu sudah malam, di jalan besar sudah terlihat sinar
terang dari api di rumah-rumah penduduk. Di jalan besar ada
orang yang tadi hilir-mudik tapi sekarang muka mereka itu
pucat, semua ketakutan. Mereka kelihatan bingung karena
mereka tak tahu dari mana datangnya semua jeritan dahsyat
itu . Putera In Kiam ini menahan kudanya, untuk memasang
telinga, dia lantas bisa mendengar dari arah mana datangnya
jeritan itu. Ke sana dia melarikan kudanya. Sedikitpun dia
tidak merasa takut. Sambil melarikan kudanya, hati Tiong Teng diliputi rasa
keheranan. Dia sadar Ang Kin Hwee menjadi jago di Ciat-kang
dan selain Ang Kin Sam Kiat, ketiga pemimpin utamanya, yang
lain-lain seperti para Tan-cu dan Hio-cu, semuanya lihay.
Sungguh mengherankan kalau sekarang mereka roboh!
Bukankah itu bukti bahwa musuh mereka lihay luar biasa"
Siapa musuh mereka itu"
Tiong Teng masih melarikan kudanya dengan cepat. Di lain
saat dia sudah meninggalkan bagian kota yang ramai dan
sekarang dia sudah berada di tempat yang penuh belukar dan
sangat sepi. Sesaat kemudian, dia sudah berada di luar kota
Lim-an... Buru-buru dia tahan larinya sang kuda. Tiong Teng
memandang ke sekelilingnya. Baru sekarang dia merasa
sedikit jerih. Seingatnya, dia belum pernah begitu gelisah
seperti itu. Saat dia sedang bingung, mendadak Tiong Teng melihat
berkelebatnya satu bayangan orang di tikungan di dekat dia
berdiri. Kudanya kaget dan berjingkrak, meringkik satu kali.
Buru-buru dia pegangi les kuda itu dengan keras, sedangkan
kedua kakinya dia pakai untuk menjepit tubuh sang kuda.
Tubuh Tiong Teng pun segera mendekam di punggung kuda
itu. Pada detik itu juga di depan kudanya terlihat seseorang
yang berkonde dan rambutnya kusut, baju orang itu tidak
keruan. Mukanya pucat dan kelihatan ketakutan. Mungkin dia
baru mengalami pengalaman yang sangat mengagetkan,
sehingga semangatnya belum pulih saat itu.
Kuda Tiong Teng sudah terlatih dengan baik, dengan cepat
kuda itu bisa tenang kembali dari kagetnya.
Setelah keduanya saling mengawasi dengan tajam, Tiong
Teng segera mengenali orang itu adalah Yo Cin alias It Kiam,
murid Ngo Bie Pay yang tadi sangat sombong itu. Sesudah It
Kiam mengawasi penunggang kuda itu, dia juga mengenali
Tiong Teng. It Kiam buru-buru menyarungkan pedangnya ke
sarungnya. "In Tay-hiap kau juga datang ke mari, apa kau juga datang
karena mendengar suara jeritan?" kata It Kiam.
"Ya!" jawab Tiong Teng.
Pertanyaan It Kiam itu membuat Tiong Teng berpikir, Tiong
Teng telah memutuskan tidak mau bicara banyak dengan It
Kiam yang angkuh itu. Tiong Teng pun menduga kedatangan
It Kiam ke tempat itu dengan maksud yang sama seperti
maksudnya. Yaitu ingin tahu mengapa ada jeritan yang
memilukan itu. It Kiam mengawasi, wajahnya pun masih tegang sekali
Selang beberapa saat, baru wajah It Kiam berubah mulai agak
tenang. Dia tertawa dingin ketika dia berkata pada Tiong
Teng. "Bagus, In Tay-hiap!" kata It Kiam.
Sesudah itu dia buru-buru pergi, tubuhnya lenyap di tempat
gelap. "Dia angkuh, tapi kepandaiannya benar-benar tak boleh
dianggap ringan," pikir Tiong Teng.
Tiong Teng kagum setelah menyaksikan kegesitan orang
she Yo itu. "Sudah sepantasnya dia ternama. Barusan dia agak tegang,
rupanya di depan sana ada sesuatu yang membuat hatinya
guncang." pikir Tiong Teng.
Tiong Teng sangsi untuk sekian lamanya, baru dia tepuk
leher kudanya untuik dilarikan dengan kencang. Sambil
menlarikan kudanya, dia mengawasi dengan teliti ke empat
penjuru. Dia melihat cahaya api di arah timur-laut. Sinar spi
itu merah marong dan naik tinggi ke langit. Dia larikan
kudanya sedikit maju ke depan, baru dia hentikan lari
kudanya. Sekarang dia telah berada di luar kota. Tak ayal lagi
dia melompat turun dari kudanya dan menghampiri ke arah
api. Saat itu dia melihat beberapa bayangan orang bergerak
kian-ke mari, telinga Tiong Teng pun mendengar suara jeritan
yang tak henti-hentinya . . .
Tiba-tiba tiga orang melompat melesat keluar dari arah api
yang sedang berkobar itu. Gerakan ketiganya cepatnya luar
biasa. Mereka melompat sejauh tiga tombak, mereka lari dan
menghilang. Tiong Teng buru-buru menghunus pedang lunak yang
diberi nama "Liong-bun Joan-kiam". Pedang itulah yang telah
mengangkat nama To Pie Sin Kiam In Kiam di masa mudanya.
Sekarang pedang itu diwariskan kepada puteranya ini.
Sesudah menghunus pedang itu, Tiong Teng maju lebih jauh
belasan tombak. Api yang ada di depannya menyala berkobar-kobar
membakar hampir semua rumah loteng yang tinggi dan besar.
Kebetulan saat itu ada seorang yang bertubuh tinggi besar
berlari keluar dari arah api yang sedang berkobar, kedua
tangan orang itu menutupi matanya. Dia langsung bergulingguling
di tanah untuk memadamkan api yang membakar
dirinya. Sekalipun dia telah bergulingan tak henti-hentinya,
namun dia belum berhasil memadamkan seluruh api yang
membakar pakaiannya. Tiong Teng melompat mendekati orang itu. Dia berniat
menolongnya, tapi sayang begitu sampai dia mendapatkan
orang itu sudah rebah tidak berkutik lagi.
0oo0 BAB 7. IN TIONG TENG BERTEMU DENGAN TO TIANG
KENG Api berkobar-kobar makin hebat. Di rumah-rumah itu sudah
tidak terdengar lagi suara jeritan lagi kecuali rintihan yang
menyayatkan hati dari beberapa orang yang bergeletakan di
tanah. Rintihan mereka sudah sangat lemah, pertanda bahwa
mereka akan segera menghembuskan nafas terakhir.
Tiba-tiba terlihat sepotong balok besar roboh. Suaranya
sangat berisik. Tiong Teng diam saja. Dia seperti tak
mendengar suara robohnya balok besar tersebut. Dia
terpesona oleh pemandangan yang sangat mengenaskan itu.
Karena belum pernah dia menyaksikan kejadian seperti itu.
Hawa api itu panas sekali tapi Tiong Teng justru merasakan
kaki dan tangannya dingin. Kemudian dia menghampiri
seorang yang paling dekat dengannya. Dengan tangan kanan
memegang pedang, dengan tangan kirinya dia rabah bahu
korban api itu. Pakaian orang itu sudah terbakar habis,
kulitnya melepuh dan dadanya terluka parah. Orang itu
bertubuh besar dan kekar tapi dia tidak sanggup melawan
panasnya api tersebut. Ketika bahunya diangkat, dia menjerit
keras. Matanya dibuka lebar, ia mengawasi Jin Gie Kiam-kek
Tiong Teng. Dia membuka mulut tetapi tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Tiong Teng mengawasi orang itu sambil menghela napas.
Dia mengenali korban api itu ialah Teng Toa-ya, ketua dari
Ang Kin Sam Kiat, salah satu dari tiga jago Ang Kin Hwee
(Perkumpulan Ikat Kepala Merah). Baru tiga bulan yang lalu
dia melihatnya dijalan Kang-lam saat orang she Teng itu
sedang mengayunkan cambuk mengaburkan kudanya. Dia
tersohor di dunia Kang-ouw, tapi sekarang hampir mati...
Sekalipun orang she Teng ini jahat. Tiong Teng merasa
kasihan juga melihat keadaannya.
"Saudara Teng, apakah kau masih kenali aku?" Tiong Teng
bertanya sambil menghela napas. "Bagaimana peristiwa ini
terjadi" Siapa yang telah mencelakakanmu?"
Mata jago Kawanan Ikat Kepala Merah itu memain,
mulutnya bergerak-gerak tapi dia tetap tidak dapat bicara.
"Bukankah pelakunya dari golongan Koay Too Hwee?"
tanya Tiong Teng. Koay Too Hwee adalah perkumpulan si Golok Cepat.
Teng Toa-ya menggelengkan kepalanya.
"Apakah mereka dari Hek Bie Tan?"
Tiong Teng bertanya lagi. "Mungkinkah dari Thay Ouw Shacaplak Cee" Atau dari Thian Im Kauw?"
Semua pertanyaan itu dijawab dengan gelengan kepala
oleh orang she Teng itu. Tiong Teng mengawasi, dia bingung dan berduka. Dia jadi
terkejut. Tiba-tiba dia lihat tubuh orang itu bergerak-gerak,
kemudian diam. Itu tanda jiwanya sudah melayang. Untuk
kesekian kalinya, Tiong Teng menarik napas panjang. Dia
lepaskan rangkulan tangannya.
Teng Toa-ya mati dengan mata mendelik. Sinar matanya
tertuju pada suatu arah, rupanya di saat terakhir, dia seperti
melihat sesuatu. Tiong Teng terperanjat, buru-buru dia menoleh. Dia
rasakan ada angin bertiup. Dia tidak melihat orang tapi dia
melihat sebuah mutiara kecil menggelinding di tanah. Sinarnya
merah seperti darah. Dengan cepat Tiong Teng melompat
maju. Justru saat itu juga, di depan dia terlihat ada bayangan
orang melompat. Bahkan bayangan itu mendahului dia
setengah langkah! Tiong Teng keheranan. Dia terpaksa
membatalkan niatnya untuk maju lebih jauh. Dia berdiri diam
mengawasi, rasa herannya jadi bertambah hebat hingga dia
tertegun sejenak. Dua orang nona telah berdiri di hadapannya. Mereka itu
adalah dua nona berpakaian serba merah yang datang ke
rumahnya sambil membawa rupa-rupa bingkisan. Kedua nona
itu yang mengepalai tarian Ni-tong Sian-bu saat meladeni Gim
Soan si pemuda berbaju kuning berkelahi.
Nona yang satu berdiri sambil tersenyum manis. Kawannya
memegang mutiara itu yang tadi dipungut dari tanah. Dia juga
tersenyum manis berseri-seri. Nona itu mengawasi Tiong Teng
seperti kawannya. Kedua nona itu buru-buru menutupi mulut mereka dengan
tangannya untuk mencegah suara tawanya keluar. Dia
memberi hormat pada Tiong Teng, kemudian nona yang satu
berkata dengan suara merdu.
"Aku kira siapa, tidak tahunya In Siauw-hiap! Mengapa
Siauw-hiap juga datang ke mari" Lihat, mutiara ini indah
sekali, sangat menarik hati! Apakah ini milik Siauw-hiap"
Bolehkah mutiara ini dihadiahkan saja pada kami berdua?"
Tiong Teng segera dapat menenangkan diri. Buru-buru dia
membalas hormat kedua nona itu.
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum lama aku tidak melihat kalian berdua Nona-nona,
ternyata kau jadi semakin manis!" kata Tiong Teng sambil
tertawa. "Kenapa Nona-nona tertarik pada tempat yang
berlumuran darah seperti ini?"
Mereka tidak menjawab hanya balik bertanya. Kedua nona
itu tertawa geli. Nona yang berdiri di sebelah kiri mengantongi
mutiara itu ke dalam sakunya.
Melihat hal itu, alis Tiong Teng berkerut. Melihat kelakuan
Tiong Teng, mereka tertawa geli.
"In Siauw-hiap," kata nona itu dengan manis.
"Karena kau tidak mengatakan mutiara ini milik Siauw-hiap,
maka kami hendak menyimpannya."
Nona yang di sebelah kanan menoel pipinya yang merah
dadu sambil tertawa. "Lihatlah, In Siauw-hiap, bukankah mukaku ini tebal sekali"
Melihat barang bagus langsung diambil dan dimiliki sendiri!"
"Bukankah kau sendiri ikut berebut denganku?" kata si
nona yang ada di sebelah kiri itu. "Tapi kau gagal, lalu kau iri,
bukan" In Siauw-hiap, aku kasih tahu padamu, di seluruh
kolong langit ini, dia ini orang yang paling tebal kulit
mukanya!" Tiong Teng berdehem. "Mutiara itu bukan milikku, cuma...," kata Tiong Teng.
Tiba-tiba Tiong Teng berhenti bicara. Tapi tak lama, dia
melanjutkan ucapannya. "Pasti mutiara itu harus jadi milik
kalian. Nona-nona!" kata Tiong Teng.
Nona yang berdiri di sebelah kiri tersenyum, sinar matanya
berputar-putar. "Terima kasih!" kata si nona.
Tapi tiba-tiba dia kelihatan kaget, muka nona itu berubah
jadi pucat, matanya mengawasi mendelong ke satu arah.
Nona yang berdiri di sebelah kanan sama kagetnya dan
matanya pun mengawasi ke arah yang diawasi oleh si nona
yang ada di sebelah kirinya.
Buru-buru Tiong Teng berpaling ke arah yang diawasi oleh
kedua nona itu. Segera dia jadi kaget dan heran, hampir saja
Tiong Teng tak percaya pada sepasang matanya sendiri.
Dari arah api yang sedang berkobar-kobar itu terlihat
seorang sedang mendatangi. Dia bertubuh jangkung, matanya
tajam dan bagus. Dia mengenakan baju panjang berwarna
abu-abu agak mengkilat. Pakaiannya begitu juga kopiahnya
yang warnanya serupa, tidak dimakan api. Dia berjalan
dengan tenang-tenang saja.
Pertama-tama orang itu memandang ke arah kedua nona
itu. baru dia memandang tajam ke arah pedang lunak yang
ada di tangan Tiong Teng. Kedua nona itu mengawasi orang
itu. tetapi tidak lama. Mereka sudah pulih ketenangannya,
bahkan keduanya bisa tersenyum lagi.
"In Siauw-hiap," kata nona-nona itu sambil tertawa manis.
"Kami mohon diri dulu. Nanti, selang dua hari. kami akan
berkunjung ke tempat In Loo-ya-cu. Kami minta tolong kau
sampaikan saja hormat kami kepadanya!"
Sambil berkata begitu, empat mata nona-nona itu
bergerak-gerak. Kemudian mata mereka menyapu ke arah
anak muda berbaju abu-abu itu Sesudah itu keduanya
bergerak untuk angkat kaki dengan cepat.
Pemuda berpakaian abu-abu itu tersenyum, air mukanya
menunjukkan bahwa dia kagum dan tertarik pada kedua nona
itu. Mungkin karena kecantikan mereka atau kegesitannya,
atau untuk kedua-duanya. Tapi dia tidak terus mengawasi ke
arah kedua nona itu karena mereka sudah lenyap dengan
cepat. Dia memutar tubuh menghadapi Tiong Teng untuk
memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan aku," kata dia sambil tertawa. "Bukankah aku
sedang berhadapan dengan Jin-gie Kiam-kek In Siauw-hiap In
Tiong Teng?" Tiong Teng tidak segera menjawab. Dia heran orang bisa
mengenali dirinya. Pemuda itu tersenyum. "Aku baru merantau, aku masih asing pada Dunia Rimba
Persilatan," kata si baju abu-abu. "Meskipun begitu, nama
siauw-hiap sudah tidak asing lagi bagiku, terutama aku
mengenali pedang siauw-hiap yang luar biasa itu. Bukankah
itu Liong-bun Joan-kiam" Tentang pedang itu, telah lama aku
mendengarnya, dari almarhum Ayah dan guruku. Tak heran
aku segera bisa mengenalimu, Siauw-hiap."
"Oh, kiranya dia mengenali pedangku...," pikir Tiong Teng.
Karena itu rasa herannya seketika jadi berkurang. Tapi dia
tatap orang itu. Dia mengawasi orang dari atas ke bawah. Dia
berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan ramah.
Tanpa terasa segera timbul kesan baiknya. Dia yakin orang ini
pasti lihay sekali. "Aku yang rendah benar In Tiong Teng," jawab Tiong Teng
kemudian. "Apakah saudara suka memberitahukan padaku she
dan nama saudara yang mulia serta siapa guru saudara yang
terhormat?" Sambil berkata begitu, Tiong Teng menyarungkan
pedangnya ke pinggangnya. Tiba-tiba si anak muda menghela
napas. "In Toa-ko," kata pemuda itui. "Apa benar kau ini In
Toa-ko. Apa kau sudah tidak mengenaliku lagi" Pada sepuluh
tahun yang lalu, aku Tiang Keng telah merepotkanmu, aku
minta diajari dua jurus ilmu pedang In Bun Kiamhoat
padamu..." Tiong Teng terkejut hingga dia melompat mundur. Tak
lama dia sudah melompat maju lagi, untuk menyambar tangan
orang itu dan dipegang erat-erat.
"Oh, kiranya kau adik Tiang Keng!" Tiong Teng berseru.
"Sepuluh tahun sudah kita tidak bertemu, bukan main
lamanya aku memikirkan kau! Adik Tiang Keng, kenapa kau
datang ke mari" Selama sepuluh tahun ini ke mana saja kau
pergi" Apakah Loo-pee baik" Begitu cepat sang waktu berlalu,
sekarang kau telah jadi begini besar dan tampan, bahkan kau
lihay sekali! Aku Kakakmu dan sekarang telah tua..."
Bukan main girangnya Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng.
Pemuda di depannya ini ternyata putera dari Tiong-goan Tayhiap
To Ho Jian yang terus jadi pikiran ayahnya siang dan
malam. In Kiam mengharap-harap kedatangannya. Dia masih
menatap wajah orang itu. Tiong Teng melihat selain rasa
girang, tampak juga perasaan duka yang samar terpeta di
wajahnya. Tiong Teng juga merasakan tangan Tiang Keng
yang dia cekal sedikit gemetar. Tiong Teng yakin perasaan
pemuda ini sedang tak tenang.
"Adik Tiang Keng kau... kenapa?" tanya Tiong Teng cepat
saat orang itu diam saja. "Apa mungkin Loo-pee...."
Tiong Teng kaget sendiri atas pertanyaannya itu. Padahal
tadi Tiang Keng berkata tentang ayahnya dengan menyebut
kata "almarhum".
Kedua mata Tiang Keng segera basah. Dia mengangguk
perlahan, air matanya meleleh turun.
"Benarkah Ayahmu telah tiada?" Tiong Teng menegaskan.
Tiang Keng sangat berduka karena pertanyaan itu. Mungkin
dia ingat pada peristiwa sepuluh tahun yang lampau di kaki
gunung Sie Sin Hong. Kini kejadian itu terbayang kembali di
depan matanya. Itu peristiwa yang sangat hebat dan menyedihkan. Saat itu
dia kehilangan ayah dan ibunya secara berbareng. Kematian
ayah dan ibunya itu menyakitkan hatinya dan sangat
mengenaskan. Karena itu, selang sepuluh tahun dia kini telah
berubah dari orang biasa menjadi seorang yang luar biasa.
Sudah sekian lama dia menahan hati untuk tidak menangis
apabila dia teringat pada orang tuanya. Tetapi sekarang ketika
ditanya oleh sahabat lamanya, kesedihannya datang kembali
secara tiba-tiba. Dia tidak sanggup menahan tangisnya lagi.
"Toa-ko," kata ia kemudian. "Ayah dan Ibuku telah menjadi
korban orang jahat, keduanya telah meninggal pada sepuluh
tahun yang lampau di kaki Sie Sin Hong gunung Hong-san...."
Tiang Keng agak sulit mengeluarkan kata-katanya itu.
Mendengar keterangan itu Tiong Teng kaget bagaikan
orang disambar geledek. Ia berdiri bengong. Jika bukan Tiang
Keng sendiri yang bicara, dia tidak akan percaya, apa benar
To Ho Jian telah binasa secara mengenaskan.
Keduanya sama-sama diam, mereka saling berpegangan
tangan. Tiang Keng merasakan hangatnya tangan orang yang
ada di hadapannya itu. Lewat sekian lama, pemuda she To lebih dulu membuka
mulut. "Toa-ko, mari antar aku ke tempat Loo-pee..." kata Tiang
Keng perlahan. Tiong Teng bagaikan baru sadar dari lamunannya.
"Mari!" dia mengangguk.
Mereka memutar tubuh untuk berjalan bersama. Saat itu
Tiong Teng telah melupakan peristiwa barusan. Cahaya api
memancar di belakang kedua orang itu. Mereka berjalan
bersama di tempat yang sunyi itu.
Tangan mereka berdua masih saling bergandengan.
Sekarang mereka merasakan tangan mereka masing-masing
mulai terasa dingin. "Adik," kata Tiong Teng sambil berhenti sebentar sesudah
mereka berjalan sekian jauh. "Jika sebentar kau bertemu
dengan Ayahku, jangan bilang dulu tentang Ayahmu sudah
menutup mata. Ayahku sudah berusia lanjut, aku khawatir dia
tidak kuat mendengar berita hebat itu.. ,"
Tiang Keng mengangguk. Dia memang sudah tahu "To-pie
Sin-kiam" sangat sayang pada ayahnya, seperti juga ayahnya
pun sangat hormat pada saudara angkatnya yang lebih tua
itu. Sahabat ayah Tiang Keng banyak, tapi tidak ada yang
melebihi kasih sayang jago tua she In itu.
Tiang Keng bersedih atas kematian ayahnya itu. Dia
anggap ayahnya bisa dibanggakan. Dia yakin tidak ada orang
seperti ayahnya yang begitu mengasihinya.
0oo0 BAB 8. TIONG TENG MELARANG TIANG KENG BERCERITA
PADA AYAHNYA Mula-mula mereka berjalan perlahan. Sehabis bicara
sebentar, Tiong Teng dan Tiang Keng berjalan lagi dengan
cepat. Akhirnya mereka berlari-lari ke dalam kota. Sambil
berlari. Tiong Teng berpikir, "Entah bagaimana ilmu
meringankan tubuh adik Tiang Keng ini sekarang..
Untuk mencobanya Tiong Teng melompat sejauh delapan
tombak. Itu adalah lompatan "Ceng-teng Sam-tiam-sui" atau
"Capung menyambar air sebanyak tiga kali".
Lalu liong Teng berpaling, dia mendapatkan anak muda itu
terus mengikuti di belakangnya. Diam-diam Tiong Teng
menghela napas. Selanjutnya dia berlari terus dengan cepat
tanpa menguji dan bicara lagi. Ketika itu sudah jauh malam.
Keadaan kota sangat sunyi. Semua toko yang ada di tepi jalan
raya pun telah tutup. Sebaliknya sejumlah hamba negara asyik
memeriksa dan menyingkirkan mayat-mayat sambil
membersihkan bekas-bekas darah. Terpaksa Tiong Teng dan
Tiang Keng berjalan dengan tenang supaya tidak
menimbulkan kecurigaan para petugas. Meski begitu beberapa
hamba negara itu mengawasi mereka dengan tajam. Tiong
Teng dan Tiang Keng bersikap tenang dan tidak peduli.
Tiong Teng sangat asing pada keadaan kota Lim-an. Dia
masih ingat secara samar-samar dan berhasil mencari "Liong
Bun Kie", rumah makan yang merangkap warung teh. Di muka
pintu warung teh itu tergantung dua buah teng-lo-Ieng
(lentera) besar dengan tulisan besar-besar. Dari dalam rumah
makan itu terdengar suara orang sedang berbincang-bincang.
Tatkala Tiong Teng mengetuk pintu, dia mendapat pertanyaan
dari dalam rumah makan. "Siapa?" tanya orang itu.
"Tiong Teng pulang?"
Tak lama pintu terbuka dan cahaya api mendadak
memancar keluar ke arah mata Tiong Teng. Sebelum dia
melihat jelas, tangannya sudah disambar dan ditarik masuk ke
dalam warung teh tersebut. Dia tidak melawan dan hanya
menurut saja karena dia tahu orang itu ayahnya.
"Tiong Teng, apa yang kau lihat?" tanya sang ayah.
"Mengapa kau pergi lama sekali?"
Berbareng dengan pertanyaan ayahnya itu. banyak mata
mengawasi dengan tajam ke arahnya. Dengan memaksakan
diri, Tiong Teng tersenyum. Dia tidak segera menjawab dan
hanya menujuk ke arah Tiang Keng yang masuk bersamanya.
"'Ayah, coba kau terka siapa anak muda ini?" ujar Tiong
Teng. To-pie Sin-kiam segera mengawasi ke arah Tiang Keng
yang berdiri di sisi puteranya. Dia melihat orang itu tampan
dan berdirinya tegak, bajunya bukan sutera dan bukan pula
cita biasa. Mata anak muda itu jernih dan hidungnya bangir.
In Kiam merasa kenal tetapi dia tidak ingat, dia ingat pada
seseorang yang romannya sangat berkesan di hatinya. Dia
tatap terus anak muda itu, sampai mendadak wajah In Kiam
menjadi terang. "Tiang Keng!" dia berseru. "Benarkah kau Tiang Keng?"
Tiang Keng pun merasakan rasa gembiranya saat bertemu
dengan orang tua itu. Dia buru-buru menjatuhkan diri dan
berlutut di depan si orang tua. Dia tidak dapat menahan diri
lagi dan menangis terisak.
"Loo-pee (paman)!"katanya. "Keponakanmu benar Tiang
Keng! Aku girang Loopee sehat."
In Kiam memegang tangan Tiang Keng untuk dibangunkan.
"Lekas bangun!" kata In Kiam dangan suara bergetar.
Dia cekal tangan anak muda itu dengan keras, hangat
seperti dia mencekal anaknya sendiri. Dia pun masih terus
mengawasi dengan tajam ke arah Tiang Keng.
"Sungguh tak kusangka! Mana Ayahmu" Mengapa dia tidak
datang bersama menjengukku si Tua-bangka ini" Apa dia telah
melupakan aku?" kata In Kiam.
Tiang Keng menahan hati agar tidak menangis. Dia
melengos untuk memandang ke arah Tiong Teng. Sebaliknya
yang diawasi malah sedang mengawasinya dengan sinar
matanya gelisah. Sebab dia khawatir Tiang Keng membuka
rahasia... "Selama beberapa tahun ini. Ayahku tidak pernah keluar
rumah lagi..." sahut Tiang Keng dengan berat. "Ayah cuma
berpesan padaku untuk menyampaikan hormatnya kepada
Loo-pee!" Sulit bagi Tiang Keng untuk berdusta pada ayah Tiong
Teng ini. Belum pernah dia melakukan hal itu. Terpaksa dia
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menekan batinnya sendiri untuk Tiong Teng maupun To-pie
Sin-kiam, In Kiam. "Bagus! Bagus!" kata In Kiam. dengan suara keras. "Sudah
begitu lama dia tak muncul! Dia sahabat macam apa itu"
Syukur aku masih tetap sehat...!" Mendadak ia diam, dia terus
menghela napas. Matanya mengawasi ke arah ponakannya
itu. Sinar matanya sangat mengasihi.
"Nak, jangan kaget," kata In Kiam. "Aku sangat memikirkan
Ayahmu." Tiang Keng mengerti kegirangan berbareng kedukaan
orang tua ini. Begitulah perasaan seorang sahabat sejati,
seorang saudara angkat. Apalagi dia adalah saudara tuaku,"
ujarnya. "Loo-pee," kata Tiang Keng kemudian, dengan sangat
berduka, "Loo-pee pasti mengenal baik sifat Ayahku itu. Jika
Ayah tak datang, harap Loo-pee bisa memakluminya . ."
To-pie Sin-kiam In Kiam memegang keras lengan kiri anak
muda itu dan meminta anak muda itu duduk di sisinya.
"Tiang Keng, aku dan Ayahmu bersahabat sudah puluhan
tahun lamanya. Di antara kita tidak ada ganjalan apa-apa,"
kata In Kiam. "Aku bisa memaklumi adat Ayahmu itu."
In Kiam tampak girang. "Sekarang, kau katakan padaku, mengapa kau datang ke
mari?" kata In Kiam. "Aku juga yakin pasti kau sudah mewarisi
kepandaian Ayahmu, bukan?"
Tiang Keng mengangguk. Kemudian dia menoleh ke Tiong
Teng sambil memberi isyarat agar yang bersangkutan segera
memberi penjelasan. Tiong Teng pun segera memberi
keterangan sehingga membuat semua yan hadir keheranan.
Wajah mereka berubah menjadi tegang. Tamu-tamu masih
banyak, api lilin pun dipasang terang, tetapi suasana
sebenarnya sangat tegang. Semua orang diliputi perasaan
tidak karuan, heran dan tidak enak hati, mereka gelisah
sendiri. Seorang pelayan yang membawakan teh hangat untuk
Tiang Keng. Mendengar keterangan Tiong Teng yang sangat
mengerikan, dia kaget sampai cawan teh yang ada di
tangannya terlepas jatuh dan pecah di lantai.
In Kiam sendiri tetap mengawasi anak To Ho Jian.
Sebaliknya Tiang Keng menuang teh sendiri, dia minum
perlahan-lahan. Dia yakin In Kiam ingin mendengar jawaban
darinya. Tapi dia perlu menenangkan hatinya. Dia harus bisa
menguasai diri. Sepuluh tahun yang lalu dia membantu gurunya
menguburkan jenazah ayah dan Ibunya di kaki "Sie Sin Hong"
di Hong-san. Itu saat yang sangat menegangkan baginya.
Sekarang dia harus menahan rasa haru dan susah hatinya itu
karena terpaksa harus berdusta kepada In Kiam.
Di lain pihak, dia senang bisa bertemu dengan sahabat
ayahnya ini. Dia merasa bersyukur, sama bersyukurnya ketika
dia berhasil diselamatkan gurunya di gunung Ong-ok-san. Di
gunung itu dia melewati hari-hari yang memilukan, serta bulan
dan tahun-tahun yang pahit.
Dia harus giat untuk menekuni pelajaran silat atas
bimbingan gurunya. Karena itu. hidup Tiang Keng sangat
berbeda dengan anak-anak muda lainnya, dia tidak mencicipi
hidup senang sebagai seorang bocah. Lama-lama dia menjadi
kerasan juga tinggal di gunung.
Ketika gurunya menyuruh dia turun gunung untuk
merantau untuk mendapatkan pengalaman sambil mencari
musuh besar orang tuanya, dia merasa berat meninggalkan
gurunya itu. Dia ingat pada segala benda yang ada di gunung
itu, seperti tembok batu, pembaringan batu, meja dan kursi
dari batu! Penghidupan di gunung yang sunyi tapi dia bisa
hidup dengan tenang. Dia ingat pada Su-khong Giauw, gurunya, yang sikapnya
keras, tapi menyayanginya. Dia masih hijau di kalangan
persilatan, tapi gurunya telah menjelaskan segalanya
mengenai Dunia Kang-ouw (Dunia Persilatan) hingga
pengetahuannya menjadi agak luas. Dia sudah mengenal
teorinya dan sekarang tinggal prakteknya.
In Kiam heran melihat anak muda itu hanya memegangi
cawan tehnya. Dia tidak segera meletakkan cangkir itu
kembali dan roman orang itu seperti sedang berpikir keras.
"Tiang Keng, apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya In
Kiam. "Kau ceritakanlah semuanya kepadaku! Tak apa kau
jauh dari Ayahmu, di sini ada aku yang dapat menjadi
wakilnya!" Tiang Keng mengangkat kepalanya, dia melihat sinar mata
sayang dari orang tua itu. Dia jadi terharu, hingga air matanya
meleleh keluar. "Eh, Tiang Keng kau kenapa?" tanya To Pi Sin-Kiam heran.
"Kau bicaralah! Apapun yang terjadi, aku akan membantumu!"
Mata anak muda itu berkunang-kunang. Dia menyesal
karena tidak bisa segera membuka isi hatinya di depan orang
tua yang demikian baik budi itu. Dia menepis air matanya.
"Loo-pee, keponakanmu...." kata Tiang Keng, tapi dia lihat
sinar mata Tiong Teng yang tajam sekali diarahkan
kepadanya. "Sejak keponakanmu pergi meninggalkan Ayahku
..." Kembali dia berhenti, dadanya terasa sesak.
In Kiam heran, dia menatap wajah anak muda itu.
"Tiang Keng, kau kenapa?" tanya In Kiam.
Tiong Teng menghampiri. "Tiang Keng ingat pada keadaan rumah tangganya!" kata
Tiong Teng, menyelak. "Sudahlah, Tiang Keng, kau sudah tiba
di sini, mari kita tinggal bersama, sedikitnya untuk beberapa
hari! Kau tahu sendiri, saudara, kota Lim-an tengah diliputi
kehebohan besar, jika kau tidak datang, entah apa yang aku
mesti lakukan . . . " " kata Tiong Teng sambil mengawasi anak
muda itu. Tiong Teng segera menuturkan pengalamannya. Kemudian
dia menambahkan "Perkumpulan Ang Kin Hwee didirikan
belum lama, tapi organisasi ini rapi sekali dan sangat
berpengaruh. Siapa sangka hari ini perkumpulan itu harus
hancur berantakan di kota Lim-an. Peristiwa ini sangat di luar
dugaan dan tak masuk akal... Siapakah orang yang menumpas
mereka itu?" Cerita Tiong Teng ini dapat mengalihkan perhatian To-pie
Sin-kiam. sang ayah. Dia mengerutkan alisnya, lalu berkata,
"Sejak aku menyaksikan kepandaian si baju kuning, murid Ban
Biauw Cin-jin, aku telah menduga bahwa Dunia Kang-ouw
bakal mengalami suatu malapetaka besar. Tiang Keng..."
katanya sembil mengawasi wajah anak muda yang terlihat
merah karena sedang gusar.
Tangan anak muda itu dikepalkan serta kedua matanya
bersinar bengis, sehingga In Kiam jadi heran sekali.
"Kenapa anak ini?" pikir In Kiam.
Dia tidak tahu kalau Tiang Keng sangat memikirkan sakit
hati ayahnya. In Kiam pun tidak tahu kalau Tiang Keng juga telah
mendengar masalah di gunung Thian Bak-san dan yang
menjadi Tay-cu adalah murid si wanita jelek Han Jie Giok.
Karena itu dia memaksakan diri datang ke Lim-an.
0oo0 BAB 9. TENG CIT DAN KAWAN-KAWANDIANCAM AKAN
DIBUNUH Tiang Keng turun gunung untuk mencari Ang-ie Sian-cu.
Siapa sangka dia gagal dan tak menemukan wanita jelek itu.
Bahkan dia mengira wanita jelek itu telah bersembunyi dan
hidup di suatu tempat. Maka itu Tiang Keng telah merantau ke
mana-mana yang dia rasa baik. Ketika dia tiba di Kang-lam.
dia mendengar tentang dibangunnya sebuah lui-tay di Thianbaksan. Ketika dia sampai di wilayah Lim-an, dia mendengar
telah terjadi peristiwa hebat ini. Dia tidak menduga kalau dia
justru akan bertemu dengan Tiong Teng.
"Tiang Keng," kata Tiong Teng. Tiong Teng khawatir sekali
pemuda itu tidak dapat menahan hati untuk tidak
menceritakan kejadian yang sebenarnya tentang ayah dan
ibunya kepada In Kiam. "'Ketika tadi aku sampai, kau tiba lebih dulu dariku, apa
yang kau lihat sebelumnya" Sebenarnya, siapa yang
menumpas kawanan Ang Kin Hwee itu?"
Tiang Keng mencoba menguasai hatinya.
"Sebenarnya aku sudah tidur ketika aku mendengar jeritan
yang mengerikan dan menyayatkan hati itu," sahut Tiang
Keng. "Lalu aku buru-buru keluar untuk melihatnya dan aku
menyusul sampai di rumah yang terbakar itu. Kebetulan aku
bertemu dengan seorang yang masih muda yang keluar dari
dalam rumah, dia melompat sambil membawa pedang
terhunus. Aku hendak bertanya apa y ang terjadi kepadanya,
tetapi tahu-tahu dia telah menerjang aku . .
"Hm! Dia pasti Yo It Kiam dari tanah Siok!" kata Tiong
Teng. "Aku lihat dia dalam keadaan seperti seorang gembel,
pasti dia telah dihajar olehmu. Adikku!"
Tiang Keng menggelengkan kepalanya.
"Tidak!" jawab Tiang Keng. "Ketika dia melompat keluar
dari dalam rumah yang terbakar itu, memang dia sudah tidak
karuan macamnya. Karena itu aku jadi curiga kepadanya.
Karena dia menyerangku, aku jadi mengenali dia bersilat
dengan ilmu silat pedang Ngo Bie Pay dan ilmu silatnya tidak
dapat dicela. Aku tidak punya waktu untuk meladeninya,
setelah melayani beberapa jurus aku membiarkan dia kabur."
Diam-diam In Kiam memuji anak muda ini. Dia yakin Yo It
Kiam telah dikalahkan oleh Tiang Keng, tapi pemuda itu tidak
mau menyebutkan hal itu. Karena dia seorang pemuda yang
halus budi pekertinya. Dengan sendirinya In Kiam jadi lebih
menyukai putera sahabatnya ini.
Lilin sudah mau habis, itu tandanya hari sudah larut malam.
Beberapa orang bangun, mereka mengangguk pada In Kiam
dan Tiong Teng, mereka membuka pintu dan mereka akan
pergi. Tapi mendadak mereka mundur lagi ke dalam dan paras
mereka semua berubah kaget dan pucat-pasi.
Tiong Teng heran. Dia berjalan ke arah pintu, maksudnya
akan melihat ada apa di luar sana. Ketika tiba di ambang
pintu, jalan besar yang tadi sunyi, sekarang sudah penuh
dengan orang-orang yang memakai ikat kepala dan mereka
berpakaian ringkas. Mereka semua membekal golok panjang.
Disinari oleh si Puteri Malam, semua senjata itu berkilauan
tampak sangat mengerikan hingga membuat kecut hati orang
yang melhatnya. Jumlah mereka lebih dari seratus orang, semua berdiri rapi
di kiri dan kanan jalan besar. Mereka berjumlah banyak tetapi
tidak bicara apa-apa, Tiong Teng mengerutkan alisnya, sambil berpaling ke
belakang dia bicara dengan suara dalam. "Biasanya kawanan
Koay Too Hwee dari Thay-heng-san tidak pernah mengganggu
pembesar negeri, kenapa sekarang mereka muncul dan
berkumpul di sini?" Ketika Tiong Teng kembali mengawasi ke jalan raya, orang
masih diam saja. Cuma mata mereka memandang ke
sekitarnya dengan tajam. Tubuh mereka tegak bagaikan
patung. Tadi banyak polisi dan orang lainnya, tapi sekarang tidak
ada lagi. Sebagai pemimpin orang rimba persilatan, dia tidak
bisa diam saja. Dalam keragu-raguannya, Tiong Teng
berpaling lagi ke belakang.
"Ayah, aku hendak pergi sebentar." kata Tiong Teng.
"Sebaiknya Ayah istirahat saja."
In Kiam mengurut jenggotnya, dia bangun dari kursinya.
"Hm!" In Kiam memperdengarkan suaranya. "Sekalipun
Ayah sudah tua. berusia lanjut tetapi sekarang belum
waktunya dia beristirahat!"
In Kiam melangkah keluar, matanya terus mengawasi ke
sekelilingnya Sudah lama dia tidak muncul di Dunia Kang-ouw
akan tetapi di detik ini semangatnya terbangun, hingga tanpa
menghiraukan maksud baik dari puteranya, dia justru
melangkah ke jalan besar.
Tiong Teng menghela napas, ia saling mengawasi ketiga
orang itu. Tubuh mereka tetap tak bergeming. Tidak seorang
pun yang menyapa atau menegur.
To-pie Sin-kiam In Kiam terus bertindak maju dengan
kumis dan janggut berkibaran di antara tiupan angin malam.
Tubuhnya tegak dan gagah sekali. Sambil berjalan ia menoleh
ke belakang, lalu sambil tertawa ia berkata, "Tiong Teng,
kalau kau letih, pulanglah ke penginapan untuk beristirahat,
biar Tiang Keng saja yang menemani aku!" Ia tertawa lagi.
"Usiaku sudah lanjut, menurut hatiku aku sudah tidak akan
hidup lama lagi, maka aku segan melewati malam yang indah
ini untuk tidur! Kalian orang-orang yang masih muda belia,
kalian perlu banyak tidur!"
Tiong Teng diam saja, ia cuma tersenyum meringis. Hebat
ayahnya itu, yang sesaat ini tampak menjadi luar biasa
bersemangatnya. Tiang Keng melihat kasih sayang di antara ayah dan
anaknya itu, ia berduka sekali. Ia jadi ingat bagaimana ia
disayangi oleh ayah dan ibunya tapi semenjak sepuluh tahun
yang lampau, ia telah kehilangan kehangatan di antara orang
tua dan anak. Ia mengangkat kepalanya, untuk melihat ke
atas. Ia segera sadar kalau sang waktu telah berjalan dengan
sangat cepat, bulan sudah condong rendah ke arah barat dan
sang fajar sedang merayap mendatangi
Cepat sekali ketiga orang itu jalannya. Mereka sudah
sampai di tikungan di mana mereka melihat tidak ada seorang
pun yang berada di kiri dan kanan jalan itu. Di tengah jalan,
yang berlantai batu hijau, tak ada lagi darah berceceran,
semua sudah dibersihkan dan kering. Di kedua tepi jalan,
semua pintu toko atau rumah-rumah penduduk telah tertutup
rapat. Tempat itu jadi sunyi sekali.
Dengan alis berkerut dan sambil mengusut janggut, In
Kiam bertindak ke jalan besar di sebelahnya. Ia berjalan
belum lama dan dari sebelah depan ia melihat beberapa orang
mendatangi ke arahnya. Orang-orang itu semua berbekal
senjata. Saat mereka sudah dekat, di antara mereka terdengar
teguran, "Sahabat siapa di sana" Tolong lekas perkenalkan diri
supaya kami tidak sampai keliru turun tangan, agar kita tidak
berselisih!" Tiong Teng melompat maju mendahului ayahnya. Ia pun
mementang kedua tangannya. "Aku In Tiong Teng! Aku
sahabat ketuamu orang she Teng!" demikian ia menjawab
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan nyaring. Seorang dari antara beberapa orang di depan itu melompat
maju. Dia bertubuh jangkung. Ia memperdengarkan suaranya
yang tegas. "Tiga batang golok di dalam gunung Thay-hengsan!"
Orang banyak tadi lantas berseru menyambut: "Semua
setan yang melihatnya membungkukkan tubuhnya!"
In Tiong Teng tertawa terbahak-bahak, ia menyambung,
"Golok cepat, golok sakti, menjepit golok terbang!"
Si jangkung melompat maju untuk menghampiri, sambil
tertawa lebar dia berseru, "Benar-benar In Tay-hiap!" dia
mengawasi In Kiam sambil berkata, "Inilah pasti In Loo-yacu!"
dia memberi hormat seraya berkata, "Aku yang muda,
Kiong Kie, tidak menyangka kita bertemu di sini. aku sangat
bahagia!" Tiong Teng membalas hormat itu.
"Kiranya kau saudara Kiong Sam-ya!" kata Tiong Teng
sambil tersenyum. "Sudah lama aku mendengar namamu
saudara, tapi baru hari ini aku bisa bertemu muka. Ternyata
namamu bukan sebuah nama kosong belaka!"
Tiang Keng yang berada sedikit jauh dari mereka berpikir.
"Aku pernah mendengar nama keluarga In, tak tahu aku
tentang berapa tinggi kepandaiannya. Tetapi melihat sikapnya
yang ramah ini, mereka pantas memperoleh nama baik."
Kiong Kie berkata pula, "In Tay-hiap, kata-katamu
membuat aku malu sekali."
In Tiong Teng mengawasi orang she Kiong itu.
"Bukankah Teng Cit-ya ada di sini?" kata Tiong Teng.
"Kalau aku tidak dikatakan lancang, Aku ingin diberitahu
apakah kedatangan perkumpulan saudara ke mari, bukan
karena suatu perselisihan?"
"Jika bantuan kami dibutuhkan," In Kiam menambahkan,
"silakan Kiong Sam-ya mengatakannya!"
Kiong Kie menghela napas, lenyaplah tawanya tadi.
"Bicara secara terus terang, Loo-ya-cu," kata Kiong Kie
dengan suara dalam. "Malam ini perkumpulan kami terancam
bahaya besar, hingga kemungkinan kehidupan kami bakal
mengalami keruntuhan seperti Ang Kin Hwee dari Gan Tongsan
dan kota Lim-an ini akan menjadi tempat kuburan kami..."
Ia melihat ke sekitarnya, terus ia menambahkan, "Loo-ya-cu
sudi membantu kami, kami sangat bersyukur. Pasti saudarasaudara
kami semua, yang berjumlah seribu orang lebih akan
bersyukur juga. Tempat ini bukan tempat kita bisa bicara
dengan leluasa, apakah Loo-ya-cu sudi ikut dengan kami
berjalan beberapa langkah" Teng Cit-ko juga ada di sana, dia
sangat mengagumi Loo-ya-cu, hanya sungguh menyesal dia
belum bisa berkunjung ke tempat Anda. Jika dia bisa melihat
Loo-ya-cu, entah berapa besar girangnya dia!"
Ucapan Kiong Kie sungguh-sungguh. Dia bertubuh
jangkung, berkumis dan memelihara janggut tipis. Dia tampak
gagah meski ketika itu hatinya tak tenang.
In Kiam melangkah maju seraya berkata, "Kiong Sam-ya,
mari antarkan aku si orang tua menemui ketuamu itu! Aku
pun ingin sekali melihat orang macam apa hingga mereka
demikian lihay dan berani memandang rendah kepada rekanrekanku!"
Kiong Kie tersenyum. Ia berjalan berendeng dengan jago
tua itu. Ia pergi ke sebuah rumah yang bagian depannya
sudah hangus terbakar. Ia mengetuk pintunya sebanyak dua
kali. Tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam. "Siapa?" ujar
suara itu. "Sam-pa-too!" sahut Kiong Kie. Artinya ialah: "Tiga bilah
golok." Pintu langsung dipentang.
Kiong Kie tidak segera melangkah masuk, tapi ia berpaling
ke belakang. Dia tersenyum sambil bertanya pada Tiong Teng.
"Saudara ini asing untukku, apakah saudara suka
memperkenalkannya padaku?" ia menunjuk ke arah Tiang
Keng. In Tiong Teng tertawa. "Kiong Sam-ya, apakah kau belum pernah mendengar
cerita dulu . . ." Baru orang berkata sampai di situ,
Tiang Keng sudah batuk perlahan sekali. Atas isyarat itu
Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng tertawa sebentar sebelum
menyambung kata-katanya. "Inilah saudara To Tiang Keng,
yang menjadi sanak dekatku! Silakan kalian berkenalan!"
Kiong Kie luas pengalamannya. Dia menduga anak muda
itu lihay ilmu silatnya, maka ia lantas membungkuk sambil
tersenyum. Tiang Keng membalas hormat itu. Sementara itu ia sudah
langsung memperhatikan rumah yang suram itu. Ketika ia
melangkah masuk mengikuti Kiong Kie dan Tiong Teng, ia
merasakan bau asap dan hawa panas. Ia segera mengetahui
bahwa itu sebuah bengkel besi.
In Kiam segera berdiri di sisi sebuah landasan besi, oleh
seorang yang bertubuh kekar. Dia terus diajar kenal dengan
sejumlah orang rimba persilatan yang berkumpul di dalam
ruang itu. Tiang Keng mendengar banyak nama yang tak ia kenal,
tetapi ia duga mereka itu bukan orang sembarangan. Setelah
berkenalan, baru mereka bicara. Orang yang memperkenalkan
mereka itu benar Koay-to Ceng Cit, kepala Koay Too Hwee,
perkumpulan Golok Cepat. Dengan alis tebalnya berkerut, ia
berkata, "Semenjak berdirinya Koay Too Hwee, sekali ini kami
terdiri dari orang-orang melarat. Aku tahu kami belum pernah
melakukan sesuatu yang tak pantas. Sekarang kami datang ke
mari bukan hendak bermaksud buruk. Kami cuma hendak
membantu meramaikan pertemuan di Thian Baksan. Siapa
tahu .. ." Keras suara ketua perkumpulan ini bicara tetapi mendadak
ia berhenti bicara, untuk menarik napas. Ia berduka hingga ia
merasa dadanya sesak. Tiang Keng mengawasnya. Dia heran mendapat anggapan
bahwa Teng Cit ini adalah orang Kang-ouvv sejati sehingga ia
ingin mengetahui tentang kesulitan orang.
"Kemarin malam aku tidur bersama Than Loo-jie," dia
melanjutkan, "lalu pada tengah malam aku merasa ada orang
mempermainkan rambutku. Aku kaget hingga aku berseru.
Ketika aku membuka mata, aku mendapatkan jendela sudah
terpentang dan sinar rembulan masuk ke dalam kamar. Aku
masih melihat bayangan seorang melompat keluar dari
jendela. Aku kagum sekali Belum pernah aku bertemu orang
segesit bayangan itu." Dia menghela napas. "Karena heran
dan terperanjat, aku mau melompat turun dari pembaringan
dan tanpa kuhiraukan kakiku telanjang. Mendadak aku merasa
kepalaku sakit. Ada orang yang menarik rambutku! ..."
Matanya memain, ia tampak gelisah. Ia seperti sedang
mengalami sesuatu yang menakutkan seperti malam itu. la
menghela napas lagi ketika ia meneruskan, "Aku lantas
berbalik. untuk melihat. Tidak ada orang. Karena heranku, aku
mendapatkan rambutku diikat pada rambut Than Loo-jie Ia
meraba kepalanya, ia jadi sangat lesu. Ia lantas berkata lebih
jauh, "Ketika itu perasaanku sama seperti perasaan Than Loojie.
Kami punya sedikit nama juga.
tetapi siapa tahu kami toh dapat perlakuan yang
memalukan itu. Bagaimana jika orang memindahkan kepala
kami" Bukankah dengan mudah saja baginya berbuat begitu"
Kami heran sebab kami tidak kenal orang itu. Kami punya
musuh tetapi tidak ada yang demikian lihaynya. Sesudah Than
Loo-jie membukakan rambut kami. baru duduk masalahnya
jadi jelas." Sambil berkata begitu, Teng Cit merogo ke sakunya ia
mengeluarkan sehelai kertas berwarna kuning dengan kedua
tangannya ia mengangsurkannya kepada In Kiam. Kertas itu
bertulisan : "Dalam tempo dua hari ini, segera menyingkir dari
Lim-an! Jika tidak, sekalipun ayam dan anjing tak akan
selamat lagi!" "Kertas ini diikatkan pada rambut kami," kata Teng Cit
menambahkan. "Seperti dalam surat itu, ancaman ini tak jelas
dari siapa dan tanpa nama juga tanpa tanda tangan
pembuatnya. Sia-sia saja kami menerka-nerka, siapa
sebenarnya penulisnya."
To-pie Sin-kiam In Kiam mengurut janggutnya.
'Surat ini tidak berarti!" kata In Kiam suaranya keras. "Kota
Lim-an kota merdeka dan siapa pun dapat memasukinya!
Siapakah orang itu hingga dia denikian berkuasa untuk
menyuruh kalian pergi dari sini?" Saking sengit, dengan
kepalan kirinya, ia menumbuk landasan besi. Ia berkata, "Aku
si tua bangka hendak melihat dia. aku ingin tahu berapa tinggi
kepandaiannya hingga dia berani galak begini rupa!"
Tiong Teng melirik ke ayahnya, ia lihat ayahnya benarbenar
gusar, sampai sepasang alisnya yang beruban berdiri.
Diam-diam ia merasa menyesal. Ia tak menghendaki ayahnya
menjadi gusar demikian macam.
0oo0 BAB 10. KEMATIAN THAN LOO-KIE YANG MISTERIUS
Koay Too Teng Cit menghela napas karena berduka. "Pada
mulanya aku pun berpikir demikian," katanya. "Koay Too
Hwee anggotanya berjumlah seribu jiwa lebih, apa yang harus
ditakutkan" Setelah kami berunding, kami mengambil
keputusan untuk tidak menghiraukan peringatan itu, kami
berpikir akan melihat perkembangan lebih jauh. Siapa tahu
tadi malam telah terjadi peristiwa hebat itu...."
Mata ketua Koay Too Hwee ini menunjukkan sinar
kekhawatiran, ia meraba batok kepalanya.
"Tadi malam kami tiga saudara tidak tidur," ia melanjutkan
keterangannya. "Habis minum arak sedikit, kami menanti di
dalam kamar. Kami mendengarkan kentongan tanda waktu
dibunyikan, sampai jam dua malam tak ada apa-apa.
Kentongan jam tiga pun berbunyi, keadaan tenang-tenang
saja dan kami yakin tidak akan terjadi sesuatu. Begitulah,
Than Loo-jie pergi ke luar, maksudnya untuk buang air.
Berdua Kong Loo-sam aku menunggunya. Aku heran dia
keluar lama sekali, sampai setengah jam. Dia belum juga
kembali. Kami tertawa dan mengatakan entah sedang apa dia
di luar. Suaranya pun tak terdengar sama sekali. Ketika
kemudian timbul kecurigaan, kami berdua pergi ke luar untuk
menyelidikinya. Bukan main kagetnya kami mendapatkan
Than Loo-jie rebah tak berkutik dan di tubuhnya tak
kedapatan luka. Dia mati dengan mata terbuka lebar, seperti
ia sedang mengawasi kami untuk minta agar kami
membalaskan dendam untuknya.. "
Tangan Tiong Teng mengepal, ia merasa tangannya itu
basah karena keringat. Entah kapan, keringatnya telah keluar.
Ketika ia melirik ke arah ayahnya. sang ayah sedang
mengerutkan alis dan paras mukanya tampak suram.
Orang-orang yang lain pun telapak tangannya basah.
Kiong Kie membuka sepasang matanya, biji matanya
tampak merah. Cuma Tiang Keng yang sikapnya tidak berubah. Dia sedang
memperhatikan penuturan Teng Cit. Ia berdiri diam saja.
Sang malam semakin larut Teng Cit menghela napas, sesudah itu baru ia melanjutkan
penuturannya. "Sekian lama kami berdua berdiri melongo.
Kami merasakan tubuh kami dingin tak karuan. Kemudian
kami pondong tubuh Than Loo-jie untuk dibawa ke dalam.
Begitu masuk kami jadi kaget sekali, di atas meja kami
terdapat sehelai kertas kuning yang lainnya. Kali ini kertas
kuning itu bertuliskan kata-kata 'sebelum malam terang bulan,
lekas tinggalkan kota Lim-an! Jika tidak, kalian akan pulang ke
akherat tanpa sakit lagi!'. Begitu isi tulisan pada kain kuning
tersebut." Ketika itu angin yang dingin bertiup masuk dari celah-celah
pintu, hingga api lampu hampir padam karena tipuan angin.
Teng Cit menutup rapat bajunya, ia menutur lebih jauh. "Aku
sudah merantau dua puluh tahun lebih, sudah biasa aku
menghadapi banyak pertempuran Aku tidak akan
mengerutkan alis. seandainya ada orang yang menikam aku
sebanyak tiga kali sekalipun. Tetapi sekarang aku tak malu
mengatakan bahwa hatiku jadi ciut sendiri hingga aku berpikir
menyesal aku tidak bisa segera angkat kaki meninggalkan
kota Lim-an ini. Aku tak punya kegembiraan untuk menonton
keramaian itu." Ia menarik napas sambil mengancingkan bajunya satu demi
satu. Lalu ia meneruskan kisahnya. "Setelah terang tanah, aku
memberitahu semua saudara kami agar mereka siap sedia
untuk pulang ke Thay Heng-san. Bahkan aku berpikir kami
akan cuci tangan dan mengundurkan diri dari Kang-ouw. Aku
pikir memang kami tak akan selamat jika hidup seperti ini.
Selain itu Thay Heng-san-pa-too dari tiga buah golok itu,
sekarang tinggal dua orang. Apa yang bisa kami perbuat"
Jangan kata untuk menuntut balas, musuh kami saja tak tahu
siapa dan kami tak dapat mencarinya! Mana mungkin kami
punya muka untuk hidup lebih lama di dunia Kang-ouw?"
To-pie Sin-kiam In Kiam batuk-batuk, ia memotong. "Tapi
perbuatan orang itu bukan perbuatan seorang gagah! Tombak
yang menyerang terang-terangan mudah untuk dikelit, panah
gelap sukar untuk ditangkis!"
"Meski benar begitu, Loo-ya-cu. tapi..." kata Teng Cit
bingung. "Di antara kami bertiga, Than Loo-jie paling tangguh. Tapi
ternyata dia menemui ajalnya tanpa ada perlawanan!
Bukankah itu suatu bukti bagaimana lihaynya lawan" Tidakkah
itu membuat hati orang gentar" Maka waktu itui, hatiku
menjadi sangat tawar. Ketika saudara-saudara kami sedang
berkemas-kemas, tiba-tiba kami kedatangan dua orang nona
berpakaian serba merah. Mereka dengan sekonyong-konyong
masuk. Kami heran karena mereka datang dengan wajah
berseri-seri. Begitu kami sudah berhadapan, mereka memberi
hormat pada kami. Para wanita itu bertanya mengapa tanpa
mendaki gunung Thian Bak-san lagi kami tergesa-gesa hendak
pulang! Coba Loo-ya-cu pikir, orang seperti kami mana berani
buka rahasia bahwa kami jerih kepada kedua nona manis itu"
Tidakkah itu memalukan sekali" Maka kami jawab saja dengan
sembarangan. Tapi kedua nona itu berkata pada kami mereka
meminta kami dengan sangat agar tak pulang. Mereka bilang,
jika kami batal pergi ke Thian Bak-san, itu berarti kami tidak
hormat pada majikan mereka...."
In Kiam dan puteranya saling mengawasi. Mereka tahu
dengan baik sekali kedua nona itu ialah nona yang membawa
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bingkisan di hari ulang tahunnya. Bahkan hati Tiong Teng
bercekat. Bukankah tadi ia telah melihat kedua nona itu di
tempat kebakaran" "Hatiku sedang pepat, aku tidak berselera melayani nonanona
itu bicara," kata Teng Cit melanjutkan ceritanya. "Maka
itu aku bilang dengan keras bahwa kami tak bisa pergi! Atas
jawaban kami itu kedua nona itu tertawa geli, mereka
mendekati aku dam mendadak mengulurkan tangannya
masing-masing. Di luar dugaan aku dibuat jumpalitan!"
Tiang Keng geli dalam hati. "Koay Too Teng Cit benarbenar
polos! Ia tak malu-malu membeberkan rahasia sendiri
saat dirobohkan oleh orang demikian! Pantas kalau dia jadi
kepala dari Koay Too Hwee," pikir Tiang Keng.
Oleh karena itu Tiang Keng jadi bersimpati kepada si Golok
Cepat. Ketika itu Teng Cit, sambil memperagakan dengan
tangannya melanjutkan keterangannya. "Ketika itu aku kaget
berbareng gusar sekali. Begitu aku melompat bangun, aku
lihat Kiong Loo-sam sudah membantuku mendahului
menerjang kedua nona itu. Kesudahannya aku menjadi
bertambah heran. Belum tiga jurus, Loo-sam telah dirobohkan.
Tatkala itu kami berada di dalam rumah penginapan Ban A n
di ruang sebelah barat, di sana ada belasan saudara-saudara
kami. Apa lacur mereka semua berhasil dipermainkan oleh
nona-nona itu. Semua rebah akibat totokan dan tak berkutik.
Aku menyesal bukan buatan. Ingin rasanya aku segera mati
saja saat itu. Sungguh, aku belum pernah dirobohkan orang
secara demikian!" Saking sengit, ketua Koay Too Hwee ini menepuk tangan.
"Sudah itu kami mendengar kedua nona itu berbicara
sambil tertawa riang. Mereka mengatakan barang siapa telah
datang ke Lim-an, mereka harus Thian Bak-san dan menemui
majikan mereka. Tidak ada yang boleh pergi begitu saja
kecuali jika sudah tidak bernapas lagi! Sesudah berkata
begitu, dengan cepat mereka membebaskan kami dari
totokannya. Setelah itu baru dengan tenang mereka pergi.
To-pie Sin-kiam In Kiam menghela napas. Ia tidak bisa
berkata apa-apa, ia percaya keterangan itu sebab ia sudah
pernah menyaksikan sendiri lihaynya kedua nona itu.
Sinar mata Tiang Keng berkilau. Dia ingin mengatakan
sesuatu tetapi batal. "In Loo-ya-cu," kata Teng Cit kemudian. "Coba Loo-ya-cu
tolong katakan, apa yang kami harus lakukan sekarang" Kami
mau pergi tapi tak bisa! Jika kami tidak pergi, apa jadinya
dengan kami" Kami toh sudah kehilangan kemerdekaan kami"
Di depan kami ada serigala, di belakang kami ada harimau,
maju atau mundur tetap saja salah! Maka itu bersama Loosam
aku berpikir nekat, tetapi...."
Sinar matanya lantas menjadi suram. Tak lama dia mulai
melanjutkan kisahnya lagi. "Loo-ya-cu tentu telah mengetahui
apa yang tadi terjadi atas diri kaum Ang Kin Hwee dari Gan
Tong-san. Mereka tidak ada hubungannya dengan kami dan
kami tidak mengetahui bagaimana terjadinya kecelakaan
mereka itu. Kami cuma menduga nasib mereka sama dengan
nasib kami... Loo-sam dan aku berpikir, jika kami mati, kami
pasti bakal binasa berdua. Tidak tahunya, contoh di sana
hebat sekali. Orang rupanya berpikir untuk menumpas habis.
Aku tidak takut mati tetapi tidak bisa mengorbankan semua
saudaraku! Maka aku pikir akhirnya untuk tidak mundur saja,
tapi akan melawan dengan nekat sekalipun
Diam-diam Tiang Keng mengangguk. Ia mengagumi orang
she Teng ini yang mulai terbangun semangat kejantanannya.
"Begitulah aku mengumpulkan saudara-saudaraku dan
menitahkan mereka bersiap sedia di jalan besar," kata Teng
Cit. "Aku ingin menyaksikan, apa yang mereka bisa mereka
lakukan terhadap kami! Dapatkah kami yang berjumlah dua
ratus jiwa binasa semua secara bersamaan?"
Teng Cit memaksakan diri tertawa, tangannya menunjuk ke
sekitarnya. "Lihat!" kata Teng Cit. "Lihat, aku masih mempunyai
sahabat-sahabat yang sejati! Sekarang aku juga memperoleh
bantuan Loo-ya-cu serta In Tay-hiap. dengan begitu hatiku
jadi bersemangat kembali!"
To-pie Sin-kiam In Kiam menghela napas. Ia tertarik pada
penjelasan itu. Lalu ia melihat keadaan cuaca saat itu.
"Segera langit akan menjadi terang," kata In Kiam.
"Mungkin...." Baru saja jago tua ini berkata demikian, dari luar terdengar
suara jeritan. Semua orang terkejut, sedangkan wajah Teng
Cit dan kawan-kawannya menjadi pucat seketika. Teng Cit
melompat ke pintu, kedua tangannya mendorong dengan
keras. Maka daun pintu yang kuat itu pun segera menjeblak
terbuka. Dari ambang pintu, ia melompat jauh ke luar,
matanya mengawasi dengan tajam ke depan, ke kiri dan
kanan. Di antara sinar rembulan yang cahayanya lemah, kelihatan
orang-orang Koay Too Hwee berdiri diam dalam kegelisahan.
Rupanya mereka kaget dan amat ketakutan...
Kecuali orang-orang Koay Too Hwee, di situ tidak ada
orang lain lagi. Teng Cit lari lebih jauh ke depan. Telinganya mendengar
berbagai jeritan tak putusnya, matanya melihat orangorangnya
dengan golok panjang di tangan roboh satu demi
satu meskipun tubuh mereka besar dan kekar.
Sesudah maju lagi, Teng Cit tidak melihat seorang pun. Ada
pintu-pintu yang dibuka sedikit lalu segera digabrukkan lagi.
Itu dilakukan untuk menyelamatkan diri. Ini pertanda bahwa
mereka takut dan tak mau ikut campur
Setelah melihat ke sekelilingnya. Teng Cit melompat naik ke
atas genting. In Kian dan puteranya menyusul keluar. Mereka pasang
mata dengan terang. Setelah itu, mereka menghampiri
korban-korban untuk diperiksa lukanya dan ingin tahu apa
yang menyebabkan mereka roboh. Setiap korban dadanya
berlubang. Dari lubang itu darah mengucur keluar. Itu luka
senjata rahasia. Tapi, senjata rahasia apakah itu dan dari
mana datangnya serangan itu" Tidak ada orang yang
melihatnya! Tiong Teng menghunus pedang lunaknya. Dia
mendampingi ayahnya sambil memasang mata dengan tajam.
Ia melihat masih ada orang-orang yang roboh tak berdaya tapi
penyerangnya tak tampak sama sekali. Mau tak mau, diamdiam
hatinya gentar juga.. . Teng Cit bagaikan sedang kalap.
Dia bergerak ke empat penjuru, maksudnya untuk mencari
musuh yang tak terlihat itu. Semua orangnya sudah bersikap
membela diri. Mereka berdiri belakang-membelakangi, golok
mereka dibolak-balik di depan dada mereka. Tapi senjata
rahasia yang seperti ada matanya itu, dapat menerobos di
antara golok itu dan menemui sasaran. Setiap kali dilepaskan
membuat sasaran itu roboh terkulai tanpa bersuara lagi....
Sekarang yang setiap kali terdengar ialahjeritann
korbannya.... Walaupun mereka terancam bahaya, semua orang Koay
Too Hwee tetap diam di jalan besar itu. Tak ada yang lari
untuk menyingkir. Ini suatu tanda bahwa mereka sangat
patuh pada tata-tertib dan sangat setia satu sama lain.
Tiang Keng memuji kepatuhan dan semangat orang-orang
Koay Too Hwee itu. Karena itu ia tidak bisa diam saja. Tadinya
ia cuma menyusul In Kiam dan Tiong Teng, sekarang ia
melompat maju ke depan seorang Koay Too Hwee untuk
pasang mata, sedang tangannya dikibaskan. Tak lama ia
berdiri di situ, sesudah melihat ke sekitarnya, ia melompat
mundur untuk berdiri di tempat yang terbuka. Di sini ia
membuka sebelah kepalannya, maka pada telapak tangannya
terlihat sebuah peluru besi kecil yang ada di depan batang
durinya. Ia masih hijau tapi pengetahuannya luas. Ketika itu ia
bisa segera mengenali ilmu silat Ngo Bie Pay yang ada pada
diri Yo It Kiam. Akan tetapi sekarang ia harus mengerutkan
alis, ia tak mengenali senjata rahasia ini meskipun ia sudah
mengingat-ingat berulang kali. Senjata rahasia itu bagus dan
hebat daya kerjanya. Sebab setiap kali dilepas pasti minta
korban. Di antara sinar yang suram dari sang fajar yang sedang
mendatangi, memang sulit untuk bisa melihat sambaran
senjata rahasia peluru berduri yang sangat kecil itu.
Tiang Keng memperhatikan jalan besar yang lurus itu. Di
kedua sisinya terdapat rumah dan toko-toko milik penduduk
yang semua pintunya tertutup rapat. Jadi tak mungkin
penyerangan datang dari arah pintu rumah atau toko itu.
Teng Cit tahu, kalau ia berkumpul di sebuah rumah ia
dengan mudah diserbu. Maka itu ia mengatur semua
saudaranya bersiap di tempat terbuka yang sukar untuk
dibokong atau disergap oleh musuh. Siapa tahu perhitungan
itu keliru. Justru mereka menjadi sasaran senjata gelap yang
luar biasa itu. Jangankan melawan, membela diri saja pun
mereka tidak sanggup. Sedangkan untuk melarikan diri.
mereka pantang. Teng Cit melihat kegagalannya itu. Dia
menyesal sesudah terlambat.
Dengan lewatnya sang waktu, jumlah korban terus
bertambah. Korban-korban itu sudah mendekati hampir
separuh jumlah orang Koay Too Hwee ....
Melihat demikian, Tiong Teng jadi khawatir. Dia lantas
bersilat guna menjaga ayahnya sambil sekalian membela diri.
Teng Cit juga membela diri berjaga dari setiap serangan
gelap musuh sampai akhirnya dia bersuara.
"Sahabat baik dari mana yang sedang sembunyi" Silakan
keluar sahabatku!" demikian kata Teng Cit. "Silakan kau temui
Teng Cit secara berhadapan! Jika kau tetap bersembunyi,
jangan gusar jika aku mencaci habis kau sampai pada
leluhurmu!" Percuma suara keras Teng Cit itu. Tak ada jawaban dari
empat penjuru angin. Kesudahan dari teriakan Teng Cit ini,
hebat sekali. Sesudah sekian lama dapat bertahan, akhirnya
runtuhlah semangat orang-orang Koay Too Hwee itu. Dengan
sebuah seruan, mereka bergerak untuk kaour secara
berpencaran ke berbagai arah. Tapi langkah mereka itu
mempercepat kebinasaan mereka.
Tiang Keng menenangkan diri. Dengan sabar ia terus
memasang mata ke segala jurusan. Ia dapat kenyataan
senjata rahasia itu datang dari berbagai penjuru tetapi ia tetap
tak menemukan penyerangnya. Akhirnya baru ia bertindak.
Dengan tiba-tiba ia melompat sambil berseru nyaring.
Tubuhnya mencelat tinggi, sebelah tangannya diayunkan. Dia
menyerang ke arah payon dari sebuah toko yang berdekatan.
Di bawah payon itu, seluruhnya gelap.
Hebat serangan Tiang Keng ini. Dengan suara berisik,
runtuhlah payon itu. balok dan papannya berjatuhan hingga
debu pun mengepul. Mendahului itu, sesosok bayangan
melesat. Kalau tubuh Tiang Keng datang dari satu arah,
bayangan itu kabur ke arah yang sebaliknya dan
berkelebatnya dia cepat bagaikan halilintar....
0oo0 BAB 11. PERTARUNGAN HEBAT DI ATAS TEMBOK KOTA
LIM-AN Dengan tak kalah cepatnya, Tiang Keng melompat
menyusul naik ke atas genting. Sampai di atas ia jadi kaget, la
melihat sesosok tubuh rebah, dan napasnya sudah berhenti.
Di sisi mayat tersebut tergeletak sebatang golok panjang.
Mayar itu tak diperhatikan lama-lama untuk dikenali sebagai
mayat Sien-too Kiong Kie, pemimpin ketiga perkumpulan Koay
Too Hwee..... Bukan main berdukanya pemuda she To itu, karena ia
terlambat, bayangan di depan dia sudah meninggalkannya
jauh sekali. Ia kagum pada orang yang tidak dikenal itu, yang
ilmu silatnya mahir sekali. Ia pun tidak melihat dengan jelas
tubuh orang itu, apa yang tampak cuma bayangannya saja .
Dalam gelap, saat sang fajar akan segera tiba. bayangan
dua orang itu terlihat lewat bagaikan terbang saja. Baru saja
dua bayangan itu lenyap, atau menyusul dua bayangan
lainnya berkelebat, dua bayangan ini pun tak kalah gesit tetapi
dan mengagumkan sekali. Tiong panjang dengan keras ....
Sementara itu Tiang Keng terus mengejar musuh
tersebut. Ia mengeluarkan seluruh kepandaian meringankan
tubuhnya, yang ia peroleh dari Su-khong Giauw, gurunya. Tak
lama ia sudah semakin dekat pada bayangan yang ada di
depannya, hingga jarak di antara mereka tinggal tiga tombak
saja jauhnya. Ia menyesal tadi ia agaj lambat.
Jarak tiga tombak tidak terlalu jauh. tetapi karena mereka
berdua kelihayannya berimbang. Tiang Keng tak dapat segera
menyusul lawannya itu. Mereka berlari-lari terus, sampai di depan mereka tampak
tembok kota. Di tempat itu bayangan di depannya itu berbelok
ke kiri, setelah itu terlihat tubuhnya melompat tinggi sekali.
Itu adalah tembok kota Lim-an, atau kota tua.
Diam-diam Tiang Keng girang. Ia mengejar terus. Saat
orang itu melompat naik, ia pun melompat juga. Ia naik ke
atas tembok kota itu. la melompat menyusul tanpa ragu-ragu
padahal dengan begitu ia dengan mudah bisa diserang oleh
lawan dan sangat berbahaya jika ia diserang saat ia melompat
tinggi. Ia harus menyusul musuhnya, jika tidak ia bakal
ketinggalan dan kehilangan orang itu.
"Bagus!" tiba-tiba terdengar seruan perlahan di atas
tembok kota. Tiang Keng terperanjat juga mendengar seruan itu. Segera
ia menggeser tubuhnya ke arah kanan, untuk menaruh
kakinya di atas tembok, sedangkan matanya segera
mengawasi ke arah suara seruan itu.
Di atas tembok kota di depan dia tampak berdiri seorang
bertubuh langsing dan kundainya tinggi, bajunya memain di
tiup angin. Ia tidak melihat tegas wajah orang itu tetapi ia
yakin bahwa orang itu pasti cantik. Ia mengawasi terus ke
arah orang itu. "Mau apa kau menyusulku?" demikian si anak muda
mendengar orang menegurnya. Kata-kata yang merdu itu,
didahului oleh suara tawa yang manis. Tiang Keng
tercengang. Ia heran sebab jika nona ini nona yang tadi
demikian kejam yang secara kasar main serang orang-orang
Koay To Hwee dengan tanpa perasaan.......
Biar bagaimana, pemuda yang masih hijau ini dan peristiwa
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sebaliknya luar biasa sekali.
Si cantik itu mengawasi, sinar matanya mendadak terang,
biji matanya jeli sekali. Kembali dia tertawa.
"Langit gelap begini," kata dia, "kau mengejar-ngejar aku!
Bukankah kita tidak bermusuhan satu sama lain" Mau apa kau
mengikutiku?" Ia mengangkat tangannya yang halus ke
mulutnya, untuk mencegah ia tertawa.
Samar-samar Tiang Keng melihat lengan nona itu yang
putih halus. "Memang aku tidak bermusuhan denganmu. Nona," bisa
juga pemuda ini buka mulut, dan bicaranya sabar sekali, "akan
tetapi aku ingin bertanya, ada permusuhan apa di antara Nona
dan orang-orang Kay Too Hwee hingga Nona perlu turun
tangan membinasakan mereka?"
Nona itu tertawa geli, tangan kanannya diangkat, dipakai
menyingkap rambut di dahinya.
"Apa yang kau bilang?" tanyanya, masih sambil tertawa.
"Aku tidak mengerti. . ."
Mengingat kematian menyedihkan dari orang-orang Koay
Too Hwee. hati Tiang Keng panas.
"Bukankah tadi Nona yang bersembunyi di tempat gelap?"
tanya ia dengan nada tak puas. "Bukankah orang-orang tak
berdaya itu mati satu demi satu karena senjata rahasia Nona"
Kenapa sekarang Nona berkata begini. Sungguh kau membuat
aku tidak mengerti, Nona!" dan dia tertawa tawar.
Nona itu seperti tidak mendengar suara orang, ia meraba
pipinya. Ia pun tunduk, seperti sedang berpikir. Sejenak
kemudian, baru ia berkata.
"Ya, aku ingat sekarang," katanya. "Memang aku pernah
berkata bahwa Koay Too Hwee bukan makhluk baik-baik,
sebab mereka suka merampas uang orang! Apakah laki-laki
yang bertubuh besar itu, yang orang binasakan, orang Koay
Too Hwee?" Ia mengeluarkan kedua tangannya, untuk
menepuk dengan perlahan, sesudah menepuk ia berkata pula,
"Ah, lega juga hatiku! Kiranya itu benar kawanan berandal!"
Nona ini seperti bicara sendiri, agaknya dia polos sekali.
"Tidak salah!" kata Tiang Keng dengan suara dingin.
"Orang yang Nona serang dengan senjata rahasiamu itu,
memang orang Koay Too Hwee!"
"Ah!" si nona berkata agak terkejut. "Aku membunuh
mereka?" Ia menggeser tangan dari hidungnya, dipindahkan
ke telinganya, untuk dipakai menutup telinganya, la juga
merapatkan kedua matanya, hingga tampak bulu matanya
yang panjang. "Ah. tak berani aku mendengar ucapanmu itu!" ia
menambahkan. "Sejak masih kecil sekali sampai usiaku
dewasa seperti ini, sekalipun semut tak berani aku
membinasakannya, apaulagi manusia! Kenapa kau bilang aku
telah membunuh orang?" Mendadak ia mengulur kedua
tangannya yang putih halus itu ke depan si anak muda. "Kau
lihat!" dia berkata lagi, "dapatkah kedua tanganku ini
membinasakan orang?"
Tiang Keng melengak memandang lengan orang itu.
Dengan munculnya sang fajar, ia melihat dengan tegas tangan
itu. Lengan itu memiliki sepuluh jeriji tangan yang halus dan
lancip, kuku-kukunya merah-dadu karena memakai sari bunga
mawar. Mau tidak mau, ia melengak. Ia sangsi, benarkah
tangan sehalus itu dapat membunuh orang" Toh barusan ia
melihat sendiri peristiwa berdarah itu ...
Tiang Keng berpikir. Ia ingat tadi ia melihat sesuatu yang
hitam di bawah payon. sampai ia menyerang. Kenapa si nona
bersembunyi di situ" Kenapa ia tak takut menyaksikan
pembunuhan hebat itu, sedang menurutnya ia tak berani
membunuh seekor semut pun"
Si nona tertawa melihat orang diam saja. Ia pun menarik
kedua tangannya. Ia tertawa pula.
"Eh, eh, mengapa kau diam saja?" tegurnya. "Aku tidak
sangka kau dapat bicara begini sedangkan kau tampaknya
sangat jujur dan polos! Benar, manusia itu tak dapat dilihat
dari romannya saja!"
Paras Tiang Keng berubah. Ia jengah berbareng tak puas
diejek begitu. "Aku bicara sungguh-sungguh." kata Yiang Keng sambil
tertawa dingin. "Kalau Nona tetap mempermainkan aku, harap
kau jangan sesalkan aku jika aku berlaku tak sungkansungkan
terhadapmu. " Nona itu tampak melengak. lak ia sangka bahwa ia sedang
berhadapan dengan seorang kuncu, seorang yang tak
kesengsam oleh kecantikan yang ia sangat banggakan,
sedangkan biasanya ia tahu, siapa saja yang melihat dirinya
langsung kagum atau tergila-gila sendiri oleh keelokannya.
Tiang Keng mirip sepotong besi dan suaranya pun tawar. Ia
hampir mengira bahwa pemuda di depannya ini buta
"Apa yang aku bilang, setiap patahnya benar!" Ia berkata
selang sejenak. Ia tertawa perlahan dan manis. "Jika kau tidak
percaya padaku, kau boleh menggeledah tubuhku ini, kau
boleh memeriksa aku apakah aku membawa senjata rahasia
atau tidak . .?" Ia pun mengibaskan tangannya, yang ia
angkat tinggi-tinggi, bahkan kemudian kun-nya, ia singkap
juga. Sekalipun Tiang Keng tahu si nona cantik dan menarik hati.
Tiang Keng tidak membiarkan dirinya bisa diakali.
la mewarisi sifat ayahnya, ia dapat membedakan antara
baik dan jahat, cantik dan jelek. Kekejaman di depan matanya
tadi pun tetap terbayang saja di mukanya.
Nona itu mengerutkan keningnya, ia menghela napas.
"Aku heran kenapa kau tidak percaya padaku?" kata dia
perlahan, dan masgul. "Ah, kau tidak tahu, seumurku belum
pernah aku bergurau dengan seorang pria!" kembali ia
mengawasi dengan tajam, agaknya dia meyesal.
Hati Tiang Keng terguncang juga. Ia merasa jengah
mendengar penyesalan itu. Inilah perasaan yang pertama ia
rasakan. Kembali muncul kesangsiannya bahwa nona begini
cantik dan halus, bisakah ia berbuat demikian telengasnya
Sang fajar, yang mengusir gelap gulita telah datang, ini
membuat wajah si nona jadi tampak tegas sekali. Walaupun
dia menyesal, dia terlihat benar-benar cantik sekali tubuhnya
langsing dan indah. Tiang Keng mengawasi orang ini, sampai mendadak nona
itu berdiri tegak dan berkata dengan dingin dan keren.
"Jika kau tidak percaya, baik, kau boleh anggap akulah
yang membunuh mereka itu!" Lalu dengan mendadak
tangannya meluncur ke depan muka Tiang Keng. Tiang Keng
kaget sekali sebab serangan itu di luar dugaannya. Syukur
Tiang Keng cukup tabah, dengan cepat ia melangkah mundur.
Si nona tertawa dingin, tubuhnya mencelat maju, sekarang
ia sudah maju seperti itu. la pun tak seharusnya mundur lagi.
Ia lihat wajah si nona yang kelihatan puas sekali. Rupanya si
nona senang melihat Tiang Keng terdesak oleh serangannya. .
Nona itu maju bukan untuk diam saja. Ia mengibas dengan
sebelah tangannya! Tiang Keng tidak bisa diam saja, ia pun mengibas untuk
menangkis serangan si nona. Ia menggunakan tipu silat
"Burung Hong mengibaskan sayapnya."
Nona itu mengawasi dengan tajam ke arah Tiang Keng. Dia
menarik tangannya, untuk diteruskan dengan tangan yang
lain, sedang sebelah kakinya diangkat dan berbareng dipakai
menendang Tiang Keng! Hebat nona ini. Dia gesit dan tenaganya sangat besar.
Sepasang alis Tiang Keng bangun. Ia berkelit ke samping
sambil tangannya menutup diri dari serangan itu. Dengan
begitu ia bebas dari serangan tangan dan kaki si nona.
Tampak nona itu heran. Ia mendapatkan pemuda itu
selamat dari serangannya yang berbahaya dan sekarang ia
sedang berdiri di sampingnya. Itulah tipu berkelit yang luar
biasa lihaynya. Ia mengawasi dengan tajam, kembali ia
tertawa dingin. "Bukankah kau hendak membekuk aku untuk membalaskan
sakit hati kaum Koay Too Hwee itu?" ia bertanya. "Sekarang
kenapa kau tidak .. ."
Tak menanti sampai orang bicara habis, mendadak Tiang
Keng membentak, "Benar!" sedangkan tangan kirinya
langsung menyerang dengan dua jari telunjuk dan tengah
tertuju ke arah si nina, serangan itu menuju ke arah kedua
mata si nona, maksudnya kedua mata itu akan dikorek keluar.
Di pihak lain tangan kanannya melayang ke arah bahu orang!
Nona itu kaget. Serangan itu tidak ia sangka sama sekali.
Sejak tadi cuma ia yang mempermainkan anak muda itu. Ia
yakin bahwa ia menang dalam ilmu meringankan tubuh.
Sebenarnya ia ingin meninggalkan pemuda itu jauh di
belakangnya, supaya mereka berdua tak perlu berhadapan,
siapa tahu, ia berhasil disusul oleh Tiang Keng. Karena orang
telah mengejar dan ia duga ia bakal tersusul, tadi ia sengaja
melompat naik, tapi niat itu ia batalkan begitu ia lihat cara ia
disusul oleh Tiang Keng. Terjadilah pembicaraan antara
mereka berdua. Tadi ia menyerang secara tiba-tiba, itu
disebabkan dari kejauhan ia melihat ada dua orang sedang
mendatangi ke arah mereka. Ia tahu mereka itu kawan si
pemuda. Ia menyesal serangannya itu gagal. Malah sekarang
ia menghadapi serangan balasan yang hebat dari Tiang Keng.
Ia terkejut akan tetapi ia berlaku tabah.
Tiang Keng menyerang tapi mendadak ia jadi menyesal
sendiri. Untuk menarik tangan atau serangannya sudah tak
mungkin. Ia jadi bingung sendiri.
Si nona hesit. Ketika serangan itu tiba, ia membuang diri
dengan cara melengak atau mendongak. Dengan demikkian,
selamatlah ia dari serangan itu. Dengan cepat ia berdiri pula,
dan membalas menyerang dengan tidak kurang gesitnya,
kedua tangan bajunya menyambar-nyambar keras sekali ke
arah Tiang Keng. Pertempuran mereka di tembok kota di bagian yang sempit,
hingga jika mereka kurang hati-hati atau keliru melangkah,
ada kemungkinan dia bakal jatuh dari atas tembok kota yang
tinggi itu. Karena itu. mereka bertempur sambil berbareng
bersikap waspada Kedua tangan baju si nona hebat sekali, dia tampaknya
unggul. 0oo0 BAB 12. PERTEMUAN TIANG KENG DENGAN NONA CANTIK
Tiang Keng merasa kasihan, ia lebih banyak membela diri
daripada menyerang. Dia menyerang cuma untuk
megembalikan serangan si nona. Tentang tenaga dalam, ia
merasa menang dari si nona. Tapi si nona lincah luar biasa.
Nona itu bertempur sambil melihat ke bawah tembok kota,
ke tempat jauh. Ia mau tahu kedua kawan anak muda itu
sudah tiba berapa jauh dari tembok kota. Begitulah ketika ia
melihat mereka sudah sampai di kaki tembok. Mendadak ia
melakukan serangan hebat, sebelah tangan bajunya
menyambar ke lengan kanan si anak muda, tangan kanannya
dan jari tanganya meluncur ke jalan darah kin-ceng!
Serangan hebat itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa.
Syukur Tiang Keng ini, murid Su-khong Giauw, yang pada
tujuh puluh tahun yang lampau sudah ternama. Ketika itu
kecuali golongan lurus, golongan sesat pun memiliki jago-jago
yang lihay. Ketika Su-khong Giauw muncul, ia menjagoi kalangan
Kang-ouw hanya dalam tempo beberapa tahun setelah
berhasil membunuh Tay Bok Sam Hiong (Tiga Jago Gurun).
Kemudian dengan pedangnya ia berhasil membunuh hantu
dari Cap-jie Lian-hoan-ouw. Kemudian bersama Khu Kun, dia
disebut Thian Tee Siang Sian (Sepasang Dewa Langit dan
Bumi). Ia menjadi Thian-sian, si Dewa Langit.
Sampai usianya sudah lanjut, ia tidak menikah dan tidak
punya murid. Ketika ia datang ke puncak Sie Sin Hong, ia
terlambat karena To Ho Jian, murid Khu Kun sedang dalam
bahaya dan tak berhasil dia tolong hingga ia menyesal sekali.
Karena itu. dia mengambil Tiang Keng sebagai murid satusatunya.
Ia girang Tiang Keng berbakat hingga dengan mudah
ia mampu mengajar dan mendidiknya hingga pandai. Itu
sebabnya mengapa kepandaian Thian Sian ini tak lenyap dari
Dunia Persilatan. Tiang Keng heran. Setelah bertempur sekian lama, ia belum
tahu si nona lawannya itu dari partai persilatan mana.
Mengenai berbagai partai, ia tahu banyak, gurunya telah
menuturkan semuanya. Dalam penasaran. mendadak ia
melompat tinggi setinggi tiga tombak.
Si nona heran. Ia juga melihat sepatu Tiang Keng yang
berwarna putih tetapi tidak kotor. Itu menandakan bahwa
Tiang Keng mampu mengejar dia tanpa menginjak tanah. Ia
jadi curiga, dia menduga lawannya hendak menggunakan tipu
silat yang luar biasa. Segera ia melompat menyingkir sejauh
lima kaki, matanya mengawasi dengan tajam ke arah Tiang
Keng. Ternyata Tiang Keng tidak berbuat apa-apa. Dia turun
dengan tenang. Si nona melengak. Sekarang ia lihat tampang orang yang
ganteng tetapi dingin seperti es....
Ketika itu kedua nona yang mendatangi seperti bayangan
itu sudah sampai di kaki tembok. Ternyata mereka adalah
nona-nona yang membawa bingkisan untuk ulang tahun untuk
To-pie Sin-kiam In Kiam. Tampak mereka girang dapat
menyusul si nona, tetapi mereka keletihan sekali. Nafas
mereka memburu keras, muka mereka berubah merah
kedaduan. Tetapi tak lama mereka dapat menenangkan diri kembali.
Setelah mengawasi ke atas, mereka saling pandang, kemudian
me-reka melompat naik. Tampak gerakan mereka bagaikan
sepasang kupu-kupu yang sedang melayang.. ,
Melompat sekitar dua tombak, mendadak nona yang di
sebelah kiri menekan bahu kawannya Oleh sebab itu tubuh si
nona bisa mencelat naik. Sebaliknya, kawannya turun kembali
ke tanah. Tiba di atas, ia tersenyum. menjurah pada si nona.
Setelah itu dari sakunya ia mengeluarkan sehelai tambang
merah untuk diturunkan ke bawah. Dengan bantuan tambang
itu, nona yang ada di bawah itu dapat melompat naik ke atas
untuk berkumpul bersama lagi.
Tiang Keng berseru sambil mengawasi ke arah si nona.
"Pernah apa kau dengan Un Jie Giok?" tanya Tiang Keng
dingin. Tiang Keng tidak dapat menerka ilmu silat si nona. Tibatiba
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia ingat pada wanita jelek, wanita yang sepuluh tahun
yang lalu di kaki puncak Sie Sin Hong.
Ketika itu wanita jelek itu bersama seorang nona cilik yang
cantik wajahnya. Samar-samar ia mengenali wajah nona cilik
itu. ia duga si nona cilik itu sudah dewasa dan menjadi
seorang gadis belia yang cantik manis.
Karena Tiang Keng teringat pada kejadian itu, di depan
matanya terbayang cara Un Jie Giok membinasakan ayah dan
ibunya. Maka bergolaklah dadanya.
Nona itu heran melihat sikap anak muda itu. Tapi ia telah
mendapat kawan, hatinya jadi tenang. Kembali ia bisa tertawa
dengan manis. Tiang Keng mengawasi nona itu. tanpa menoleh ia tahu
nona itu telah memperoleh kawan, akan tetapi ia tidak
menghiraukannya atau gentar.
"Oh, rupanya kau kenal pada Un Jie Giok?" tanya si nona
sambil tertawa. "Buat apa kau menanyakan tentang dia
kepadaku?" "Aku bertanya karena aku ingin tahu!" kata Tiang Keng.
"Jika kau tidak menjawab pertanyaanku dengan sungguhsungguh,
hati-hati kau! Jangan katakan aku takut padamu!"
Si nona menggerakkan tangannya, dia tertawa manis.
"Kau galak sekali!" kata si nona sambil menunjuk pada
anak muda itu. "Bagaimana kalau aku tidak menjawab
pertanyaanmu itu?" la tidak menanti jawaban Tiang Keng, mendadak ia
memerintah dengan bengis, "Siauw Keng! Siauw Leng! Kau
wakili aku membekuk bocah ini!"
Mendadak Tiang Keng tertawa nyaring, tubuhnya mencelat
tinggi. Ia kurang berpengalaman tetapi ia cerdas sekali, la
bersiap untuk melayani dua orang yang baru datang itu. Ada
baiknya lompatnya ini. Kedua nona itu, sudah lantas
menerjang, menubruk tempat kosong.
"Kau dapat melompat tinggi, apa kau kira orang lain tak
bisa?" seru si nona yang lantas mencelat naik dengan kedua
tangannya dikibaskan. Gerakan ini mirip dengan ilmu silat Bu Tong Pay yang
dinamakan Liu In Hui Siu (tangan baju Mega Melayang).
Tetapi sebenarnya itu jurus ciptaan Un Jie Giok yang diberi
nama Bu Siang Lo Siu (Sepasang Tangan Baju Tanpa
Tanding). Tiang Keng tidak mengenal ilmu silat itu. Dia pun tidak
ambil pusing, ia cuma tahu si nona bertiga pasti ada
hubungannya dengan musuhnya yaitu Ang Ie Sian-cu Un Jie
Giok, si Dewi Baju Merah.
Maka ia melompat untuk menyambar tangan baju si nona.
Untuk itu, ia mengerahkan tenaganya hingga lima jari
tangannya menjadi keras dan kuat seperti lima buah gaetan
besi. Ia menarik sambil berseru dengan suara keras.
Dengan suara robekan yang berisik, kedua tangan baju si
nona tertarik hingga robek separuhnya hingga terlihat separuh
lengannya yang putih. Nona itu kaget sampai parasnya
menjadi pucat. Tiang Keng melemparkan robekan tangan baju si nona.
Begitu si nona menaruh kakinya, ia maju lagi menyerang. Ia
seolah tidak ingin memberi hati pada si nona manis itu.
Si nona terkejut, tetapi ia berhasil berkelit. Ia jadi heran
dan mendongkol. Ia heran sebab tak tahu apa sebabnya Tiang
Keng telah menyerangnya dengan demikian hebat. Ia
mendongkol karena ia belum pernah terhina. Apalagi gadis ini
biasa dimanjakan. Oleh karena itu, ia melawan dengan sengit.
Tanpa terasa belasan jurus sudah berlalu.
Kedua budak si nona yang dipanggil Siauw Keng dan Siauw
Leng itu heran hingga mereka semua melongo. Mereka heran
sebab mereka tahu nona mereka tak pernah mendapat lawan
yang setimpal. Sekarang si nona mendapat lawan yang tangguh yaitu
pemuda tampan ini. Akibatnya tangan baju Siang Lo Siu
berhasil dirobek hingga buntung. Tapi mereka tidak diam saja,
lantas mereka maju untuk menyerang sambil berseru dengan
nyaring. Tiang Keng melayani ketiga musuhnya itu. Ia berdiri tegak
dan bergerak dengan gesit. Ia dapat melayani ketiga nona itu.
Sedangkan Siauw Keng dan Siauw Leng bersikap hati-hati
sekali, juga nona mereka. Ketika tangan bajunya robek, si
nona telah berlaku kurang hati-hati, ia tidak menduga Tiang
Keng lihay. Sekarang ia waspada, ia berlaku hati-hati.
Kelihatan mereka sama gagahnya, ternyata Tiang Keng tak
dapat segera mengatasi semua lawannya itu. Dengan
demikian, matahari pun telah mulai muncul di ufuk timur.
Dengan dengan demikian tibalah sang siang . . .
0oo0 BAB 13. PERTARUNGAN TIANG KENG DAN TIGA NONA DI
ATAS TEMBOK KOTA Sesudah bertarung sekian lama. Tiang Keng jadi
mendongkol karena ia tak dapat segera mengalahkan musuhmusuhnya.
"Jika benar mereka ini murid-murid Un Jie Giok dan jika
benar mereka ini tak dapat kukalahkan, mana mungkin aku
bisa mengalahkan gurunya" Dengan demikian tak sepantasnya
aku bicara soal balas dendam?" pikir Tiang Keng.
Karena ia berpikir demikian, ia jadi menyesal dan masgul
sekali. "Suhu menyuruhku agar aku menunggu tiga tahun lagi,
baru aku boleh turun gunung, tapi aku telah memaksa dan
aku turun gunung hingga akhirnya jadi sepeti ini. Sungguh aku
menyesal mengapa aku tidak mau mendengar kata-kata
Manusia Pemusnah Raga 1 Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Pendekar Riang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama