Ceritasilat Novel Online

Dendam Asmara 4

Dendam Asmara Karya Okt Bagian 4


karena itu aku sendiri yang memberikan she dan nama
padanya, yaitu Un Kin ... Coba kau katakan, nama itu bagus
atau tidak?" Lagi-lagi Tiang Keng melengak. Tapi walau ia ditanya hal
yang ada di luar soal, toh ia mengangguk tanpa terasa.
Jawaban itu membuat Jie Giok tersenyum.
"Sejak kutolong dia, Kin selalu ikut aku." ia meneruskan
ceritanya. "Tahun ketemu tahun, dia menjadi besar, tetapi
tahun ketemu tahun, tawanya mulai lenyap sedikit demi
sedikit. Dia belum seharusnya menemukan tahun-tahun
kedukaan dan kesusahan hati. tetapi dia berduka melebihi
orang lain. Ketika kutanya dia, kenapa berduka, ia tutup
mulut, tidak mau memberitahuku. Tapi aku tahu, ia pasti
mendukakan dirinya, tentang asal usulnya. Nah, coba kau
pikir! Dia seorang anak gadis, usianya masih muda sekali,
akan tetapi dia tak kenal ayah dan ibunya, iajuga tidak tahu
she dan nama orang tuanya! Tidakkah hal itu sangat
menyedihkan?" Mau tak mau. Tiang Keng menghela napas.
"Kiranya nona berandalan itu punya riwayat yang begini
menyedihkan..." pikir Tiang Keng.
Karena itu, tanpa merasa ia jadi simpati. Ia ingat, bukankah
ia pun bernasib sama, yaitu yatim piatu" Cuma bedanya, ia
tahu siapa ayah dan ibunya, siapa namanya, dan hal-ikhwal
orang tua dan dirinya sendiri. Bahkan sekarang ia berdiri di
hadapan musuh besarnya! Karena berpikir demikian, ia jadi bingung sendiri.
Un Jie Giok memandang ke sekelilingnya, lalu tatapannya
jatuh pula ke muka si anak muda. Sikapnya dingin, matanya
tajam bagaikan pedang. "'Eh, kau sedang memikirkan apa?" dia menegur keras.
Tiang Keng yang sedang termenung jadi terperanjat.
"Apa kau sangka aku tidak tahu?" kata si nyonya tua, "Hm!
Hm! Seumurku, aku telah membinasakan orang banyak sekali,
akan tetapi belum pernah ada seorang yang berani mencariku
untuk menuntut balas! Tapi kau lain... kau ingin berbakti!
Baiklah, nanti akan datang harinya yang aku akan membuat
kau bisa mencapai cita-citamu itu...!"
Kembali Tiang Keng melengak.
"Apa artinya kata-katanya itu?" pikir Tiang Keng.
Jie Giok tertawa dingin. "Cuma sekarang kau sebaiknya mendengarkan katakataku!"
kata dia. "Saat kita bicara, bukan saja matamu tak
selayaknya diarahkan ke lain jurusan, juga hatimu tak boleh
kacau karena memikirkan yang bukan-bukan! Jika tidak...
hm!" Alis anak muda itu bangun, ia gusar sekali. Tapi cuma
sedetik, ia j adi tenang kembali. Ia menghela napas. Lantas ia
berkata, "Riwayat Un Kin itu tidak ada sangkut pautnya
dengan aku, oleh karena itu lebih dulu memberitahu aku apa
yang harus kulakukan ..."
Un Jie Giok tiba-tiba tertawa aneh.
"Memang riwayat hidup Un Kin tidak ada sangkut-pautnya
denganmu!" katanya. "Tapi itu sekarang! Kalau nanti... maka
sangkut-pautnya denganmu besar sekali! ..."
"Bagaimana itu bisa terjadi?" kata Tiang Keng heran.
Un Jie Giok mengangkat tangannya yang kurus untuk
merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin. Ia tidak
menjawab pertanyaan itu, tapi ia langsung berkata lagi.
"Sudah lama aku tinggal di Biauw-kiang." katanya lagi
"Maka itu aku jarang sekali pergi ke Kang-lam. Anak Kin selalu
ikut aku, sampai sedemikian jauh belum pernah dia berpisah
selangkahpun. Maka itu, melihat dia tahun ketemu tahun
bertambah duka, lantas aku mencari dan menggunakan segala
dayaku agar dia terhibur. Memang dia suka tertawa, akan
tetapi hatinya tetap berduka . . ."
Tiang Keng menghela napas. Ia berpikir pula. "Un Jie Giok
terkenal kejam. Siapa sangka terhadap anak pungutnya dia
begini cintanya. Jadi benar seperti Suhu sering mengatakan,
manusia itu walau bagaimana kejam pun, satu waktu atau di
suatu tempat, ada rasa prikemanusiaannya. Tadinya aku tidak
percaya itu, sekarang aku baru membuktikannya. Un Kin
menderita tetapi dia masih mempunyai guru yang
menyayanginya, ia masih beruntung..."
Lalu di depan pemuda itu terpeta bayangan wajahnya yang
cantik manis si nona Un, yang tertawanya mirip bunga di
musim semi. Ketika ia membayangkan hal itu, ia jadi lupa
pada pembicaraan yang belum jelas karena Jie Giok tetap
belum memberikan penjelasan padanya.
Jie Giok mengangkat kepalanya, lalu ia berkata, "Pada
suatu hari anak Kin datang padaku, dia mengatakan ingin
melihat orang-orang gagah di seluruh negeri. Dia minta
pendapat dan bantuanku. Anak Kin sudah tinggal lama
bersamaku, dia tahu dengan baik tabiatku, apa yang orang
lain tak berani bicarakan, dia pun tak berani
membicarakannya. Dari itu, permintaannya itu membuatku
heran. Bagaimana aku dapat membantu dia" Bagaimana aku
dapat mengumpulkan orang-orang gagah itu sedangkan
semua orang membenciku" Tetapi belum pernah dia minta
apa-apa dariku. Inilah yang pertama. Bagaimana aku dapat
menolak permintaannya" Aku berpikir sekian lama, aku tak
juga mendapatkan jalan..."
Jie Giok berhenti sebentar, tak lama ia melanjutkan lagi,
"Pada suatu hari saat aku sedang duduk diam sambil berpiki,
mendadak aku ingat peristiwa di puncak Sie Sin-hong itu...
Bukankah kau ingat dengan baik kejadian tersebut?"
"Hm!" Tiang Keng memperdengarkan suaranya yang tawar.
"Meskipun tubuhku hancur lebur jadi abu, tak nanti aku
melupakan peristiwa itu!" Mata si nyonya tua bersinar, la
terkejut. Ia lantas menatap wajah pemuda itu. Selang
sejenak, ia mengangguk dan tersenyum.
"Nak, aku paling menyukai tabiatmu ini!" kata dia. "Ah,
meskipun ayahmu sudah meninggal dunia, jika dia
mengetahui mengenai dirimu, bahwa dia mempunyai anak
bersemangat seperti kau pasti dia tersenyum bangga di alam
baka. ." Nyonya tua ini agaknya menyesal dan berduka berbareng
kagum. Tiang Keng mengangkat kepalanya, ketika ia memandang
muka si nenek, ia tidak melihat romannya yang kejam dan
tawar. Sebaliknya dia mirip seorang wanita tua yang murah
hati. Melihat demikian Tiang Keng tak tahu mesti gusar atau
berduka "Ketika peristiwa aneh itu terjadi di Tiat-coan-tauw di
puncak Sie Sin-hong, kau tentu menyaksikannya," kata Un Jie
Giok kemudian. "Hari itu, tepatnya sekitar seratus lie di tanah
pegunungan, semua binatang berbisa dan binatang liar
berkumpul. Semua tahu bakal ada bencana tapi semua datang
berbondong-bondong. Semua binatang itu datang untuk
mengantarkan jiwa. Ilmu silatmu lihay kau tentu punya guru
yang berilmu tinggi. Tapi, tahukah kau apa sebabnya terjadi
keanehan itu?" Tiang Keng diam untuk berpikir. Sebenarnya ia tak sudi
bicara akan tetapi ia toh buka mulut juga.
"Ketika itu di Tiat-coan-tauw bersembunyi semacam
binatang yang paling berbisa," jawab Tiang Keng. "Binatang
itu berbisa tetapi dia dapat menghembuskan bau harum luar
biasa hingga tidak ada binatang liar yang dapat menolak
pengaruhnya." Un Jie Giok tersenyum. "Benar!" kata dia. "Ketika itu aku mendapat pikiran jika aku
mengundang orang-orang gagah, orang-orang tidak akan sudi
datang. Tapi jika aku gunakan siasat seperti seng-cu atau
katak itu, ia menggunakan umpan yang berbau harum,
mungkin aku akan berhasil. Tak nanti orang-orang gagah itu
menolak pancinganku itu, hingga meskipun mereka
membenciku dan takut padaku, mereka pasti datang juga!"
Senang hati si nyonya ini. Dia tertawa.
"Aku tidak seperti kata Seng-cu itu," kata dia lagi. "Aku tak
dapat mengeluarkan bau harum, akan tetapi aku punya
sesuatu yang lain, melihat hal itu, siapapun pasti tertarik
hatinya. Mustika itu hendak kujadikan sebagai bau harumku
dan dengan mengandalkan bau harum itu pasti aku dapat
mengumpulkan orang-orang gagah dari seluruh negeri,
supaya mereka semua datang ke depan si Kin, anakku itu!"
Alis Tiang Keng berkerut. Sekarang ia mengerti duduk
persoalannya. "Ah, kiranya begini asal-usul lui-tay di Thian Bak-san itu...."
pikir Tiang Keng. Mendadak sirna suara tawa Un Jie Giok. Kembali ia nampak
berduka. "Tapi si Kin tidak menyetujui seluruh pikiranku itu," kata dia
masgul. "Si Kin berkata, walaupun mustikaku itu jadi mustika
yang orang inginkan, sekalipun dalam mimpinya ingin
memperolehnya, belum tentu ia dapat memancing semua
orang gagah berkumpul. Bagaimana jika yang datang itu
orang tak karuan" Jika itu terjadi, lebih baik dia tak melihat
mereka! Si Kin benar juga. Maka aku harus berpikir lagi"
"Kelihatannya Un Kin cerdas dan jernih pikirannya," ujar
Tiang Keng dalam hati. "Lewat tiga hari sejak pembicaraan kita itu," demikian ujar
Un Jie Giok. "Si Kin datang padaku seraya membawa tiga helai
gambar lukisan. Dia tunjukkan ketiga gambar padaku dia
menerangkan bahwa dia hendak membangun lui-tay di
gunung Thian Bak-san untuk mengadakan pertemuan
mengadu ilmu silat. Kata dia, dengan caranya ini maka semua
orang serakah pasti bakal datang dan selain itu bakal datang
anak muda yang masih bujangan. Mungkin ada orang yang
tertarik pada barang berharga, tetapi ada orang yang datang
karena terpengaruh ingin mengadu kepandaian silat atau
untuk menonton saja. Kata dia, manusia itu tak semuanya
bebas dari pengaruh harta dan nama, dari paras elok dan
gemar pada yang aneh-aneh...."
Mendengar demikian. Tiang Keng jengah sendiri.
"Sungguh memalukan ..." pikir Tiang Keng. "Aku tak peduli
pada harta maupun paras elok, tapi benar aku tertarik rasa
aneh, rasa ingin tahu. Dengan demikian Un Kin ternyata dapat
menerka dengan tepat hati manusia...."
Jie Giok melanjutkan ceritanya, "Mendengar pikiran si Kin
itu, aku heran. Lantas aku tanya dia, bagaimana jika di akhir
pertandingan ternyata si pemenang seorang berkepala
gundul" Apakah dia bersedia menikah dengannya" Dia hanya
tersenyum, tak men jawab. Sebaliknya dia bertanya apakah
aku setuju" Pikir punya pikir, akhirnya aku menerima
permintaannya itu. Setelah memberi izin, aku jadi menyesal.
Aku ingat, di kolong langit ini pasti tak banyak orang yang
dapat mengalahkannya. Beberapa orang itu pasti usianya
sudah lanjut atau mungkin tampangnya jelek. Jika si Kin
menikah dengan orang semacam itu, apakah dia bukan jadi
burung Hong yang mengikuti gagak?"
Berkata sampai di situ, si nyonya tua memandang ke arah
si anak muda. "Hari ini aku melihat kau," kata dia lebih jauh. "Maka aku
tahu di kolong langit ini benar-benar ada orang-orang yang
luar biasa. Orang yang berhasil mendidikmu menjadi begini
lihay pasti kepandaiannya sukar dicari. Meskipun aku tidak
tahu dia siapa dan kau pasti tak sudi memberitahu aku
mengenai gurumu itu, toh aku mengaguminya! Aku kagum
sebab bukan saja ia dapat mengajari ilmu silat yang
sempurna, juga dia dapat mendidikmu menjadi seorang lakilaki
sejati! Sedemikian jauh yang kuketahui, di dunia ini ada
orang-orang yang lihay ilmu silatnya tapi rendah
martabatnya!" la lantas menunjuk ke arah Gim Soan, anak muda berbaju
kuning yang tengah terkurung di dalam tarian silat Nie Tong
Sian Bu. Saat itu gerakan Gim Soan makin lama makin lemah,
suatu tanda tenaganya sudah mulai habis. Ia berkata. "Dia
bersama gurunya, masuk hitungan golongan yang rendah
martabat itu!" Lagu suara si nyonya menyatakan ia sangat
jemu dan benci. Pikiran Tiang Keng jadi kacau. Ia jadi terbawa
pergi terpisah jauh dari pokok masalahnya. Ia pun heran Jie
Giok sangat membenci pada Gim Soan.
Pikirnya, "Bukankah Jie Giok sebangsa dengan pemuda itu
serta guru si pemuda pun begitu" Kenapa sekarang dia bicara
begini" Tidakkah ini aneh?" Ia tidak tahu bagaimana bencinya
Jie Giok terhadap Ban Biauw Cin-kun In Hoan. Ia memandang
ke arah si nyonya tua, yang terus menunduk mengawasi jari
tangannya, seperti dia sedang memikirkan apa-apa yang
mengganjal di hatinya. Ia lantas berpura-pura batuk. Tapi si
nyonya tua diam saja, dia seperti tak mendengar suara batuk
itu. la jadi sangsi untuk menanyakan pada si nyonya itu,
sebenarnya dia hendak menyuruh melakukan apa. Ia lihat si
nyonya itu jadi tenang sekali, lenyap roman bengisnya, hingga
sebaliknya, dia tak lagi sebengis tadi.
"Dia pasti sedang berpikir sesuatu yang baik." pikir Tiang
Keng lebih jauh. "Dia jahat, mungkin dulu dia tak pernah
setenang ini .. .?" Karena itu Tiang Keng batal menegur orang itu, ia
berpaling ke arah Gim Soan, yang seperti terus terkurung di
antara sinar merah. Kawanan nona-nona itu tetap
mengepungnya, tampaknya mereka ayal-ayalan, tapi
sebenarnya mereka bergerak sama cepatnya seperti tadi!
Karena itu, tubuh si pemuda
hampir lenyap dari penglihatan . . .
0oo0 BAB 22. JIE GIOK MENGAJARI TIANG KENG KUNCI
PENAKLUK NIE TONG SIAN BU
Di mata Tiang Keng, meskipun jumawa dan angkuh, Gim
Soan seorang yang berkepandaian silat tinggi dan jarang ada
orang selihay dia. Sungguh lacur baginya, hari ini dia bertemu
dengan rombongan Nie Tong Sian Bu hingga dia terkurung tak
berdaya. Ini menunjukkan Hhaynya silat tari itu.
Karena itu, ia lantas mengawasi nona-nona itu untuk
memperhatikan cara mereka bergerak, ternyata sangat serasi
satu sama lain. Saking cepatnya mereka bergerak, hingga sulit
untuk dilihat dengan tegas. Tiang Keng yang tertarik akhirnya
terus mengawasi. Ini cocok dengan sifatnya yang menggemari
ilmu silat. "Kelihatannya Nie Tong Sian Bu hampir mirip dengan Kiu


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiong Pat-kwa Tin dari Bu Tong Pay," pikir Tiang Keng setelah
menonton sekian lama. "Cuma Pat-kwa Tin kalah cepat...."
Tiang Keng tertarik berbareng merasa heran. Ini karena ia
belum mengerti dasar Nie Tong Sian Bu itu. Maka ia berpikir.
"Dengan begini jelas Un Jie Giok lihay luar biasa, dia melebihi
kebanyakan orang. Kalau begini, bagaimana aku bisa
menuntut balas terhadapnya?"
Berpikir begini, pikiran si anak muda jadi kacau. Hebat jika
ia tidak sanggup melakukan pembalasan untuk ayahnya.
Tengah ia diam itu, tiba-tiba ia mendengar suara tawa dingin
dari Jie Giok. "Tari silat Nie Tong Sian Bu ini bukan tari silat paling
istimewa di kolong langit ini. Meski demikian, kau tak akan
mengerti hanya dengan melihat sekelebatan saja!" tutur Jie
Giok. Tiang Keng jadi terperanjat. Tak ia sangka kalau si nyonya
tua memperhatikannya. Jie Giok berkata lagi. "Tari silat ini mengutamakan langkah
kaki. Kalau kau memperhatikan hanya gerak-gerik tangan, kau
bakal gagal, jangan kata baru satu jam atau setengah harian,
sekalipun satu tahun pun tidak bakal ada hasilnya!"
"Sungguh aku harus malu!" pikir Tiang Keng.
Memang benar dugaan si nyonya tua ia memang lebih
mengutamakan mengawasi tangan nona-nona itu. Jie Giok
berhenti bicara, sebagai gantinya ia bertepuk tangan, satu kali
tetapi nyaring, seperti suara batu kumala diketuk. Atas
ketukan itu maka semua nona-nona itu lantas bergerak
dengan perlahan. Tiang Keng heran. "Apakah Jie Giok ingin menunjukkan keistimewaan tari
silatnya ini padaku, supaya aku mengerti?" pikir Tiang Keng.
Itulah tak masuk di akal, sangat bertentangan dengan
kenyataan. Tak mungkin hantu yang telengas itu mau
membuka rahasia kepandaiannya kepada orang lain, terutama
kepada orang yang terang memusuhinya !
Heran atau tidak, Tiang Keng melihat bukti. Nona-nona itu
bertindak perlahan, menyerangnya pun perlahan juga, hingga
tampak jelas cara mereka bergerak. Dalam herannya, diamdiam
ia girang. Gim Soan pun heran kenapa semua orang yang
mengepungnya mengendurkan gerakan. Ia memang sudah
kehabisan tenaga. Perubahan ini membuat ia girang sekali,
hingga semangatnya terempos lagi. Tenaganya seperti pulih
kembali. Untuk dia setiap detik istirahat sangat berharga. Ia
menyalurkan nafasnya, ia lantas menyerang dengan hebat. Ia
ingin lolos dari kurungan itu!
Walaupun nona-nona itu bergerak secara perlahan,
kuningannya tak dapat didobrak atau dipecahkan.
Mungkin Jie Giok sudah melihat aksi Gim Soan, atau
mungkin ia sudah memperlihatkan cukup lama pada Tiang
Keng maka ia bertepuk tangan lagi. Atas tepukan itu dengan
lantas nona-nona itu bergerak lagi dengan cepat seperti tadi!
Si jelek ini melirik ke arah Tiang Keng. Ia mendapatkan
pemuda itu sedang mengawasinya dengan perhatian penuh.
Ia batuk sekali. "Apakah kau sudah melihatnya dengan jelas?" tanya wanita
itu. Tiang Keng berpaling. "Terima kasih!" ucapnya. Ia pun tertawa. Karena
kecerdasannya, di dalam tempo yang singkat itu ia telah
berhasil mengetahui lebih daripada separuh kelihayan tari silat
itu. "Jie Giok berbuat begini, apa mungkin ini disebabkan ada
hubungannya dengan soal yang dia bakal berikan padaku?"
Tak sempat si anak muda berpikir lama, ia sudah
mendengar suara Jie Giok, dingin. "Sekarang masih ada tempo
beberapa hari untuk tiba pada harian Pee-gwee Tiong Ciu
(bulan delapan pertengahan Musim Ciu), maka itu di dalam
tempo beberapa hari ini, kau harus telah berhasil mencari
jalan untuk memukul barisan Nie Tong Sian Bu. Kau
berlatihlah dengan sungguh-sungguh, kelak di hari itu kau
boleh pergi ke Thian Bak-san!"
Tiang Keng melengak. "Apakah ini soal yang hendak kau minta aku
melakukannya?" tanya Tiang Keng tanpa sengaja.
Paras Un Jie Giok tidak berubah, dia seperti tidak
mendengar pertanyaan itu.
"Berhubung dengan urusan adu silat di Thian Bak San,"
kata dia meneruskan. "Orang bakal datang berduyun-duyun
dari kedua tepi Sungai Besar (Tiang-kang) serta jago-jago dari
selatan dan utara sungai Tiang Kang. Itu berarti sudah
separuh lebih dari seluruh jago di negeri ini, maka di
antaranya pasti tak sedikit orang yang lihay. Pada hari itu kau
bisa merobohkan semua jago yang naik ke atas panggung
pertandingan..." Nenek itu tersenyum, tapi lantas dia menambahkan,
"Melihat ilmu silatmu, kecuali tidak terjadi sesuatu yang luar
biasa, dalam sepuluh, delapan bagian kau pasti berhasil!"
Tiang Keng jadi semakin heran.
"Apa maksud Jie Giok ini?"
Jie Giok memandang pula, dia pun tersenyum.
"Sesudah itu kau harus sanggup memukul pecah Nie Tong
Sian Bu...." dia melanjutkan dengan sabar. "Di akhirnya, kau
harus bertanding dengan si Kin, muridku itu. Bertanding di
hadapan orang-orang gagah dari seluruh negeri. Asal kau
dapat merobohkan dia, maka ..." Ia berhenti untuk tertawa.
Hati Tiang Keng terguncang. Ia membuka mulut tetapi
suaranya tak keluar. Ia cuma melihat nyonya tua itu menatap
pula padanya. "Jika si Kin bisa menikah denganmu, legalah hatiku," kata si
hantu wanita. "Dia bertabiat buruk, di dalam segala hal kau
harus mengalah sedikit...."
Tiba-tiba suaranya berubah jadi keras dan berpengaruh,
"Jika kau memperlakukan dia dengan buruk, walaupun aku
sudah mati, sebagai setan aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan denganmu!"
Tiang Keng terkejut. Hebat ancaman itu. Karena itu, ia
mengawasi dengan mendelong.
"Apa ini yang kau ingin kulakukan?" kemudian ia bertanya
pula. Ia tak dapat menerka lain. Tapi ini membuatnya heran
sekali. Tapi Un Jie Giok hanya tersenyum.
"Benar!" sahutnya. "Jika aku tidak melihatmu sangat
cerdas, meski kau berlutut di depanku tiga hari tiga malam
untuk memohon, tidak nantinya aku meluluskan
permintaanmu!" Tiang Keng mencoba menenangkan diri, kemudian ia
berkata dengan terang dan jelas. "Barusan aku telah
dikalahkan olehmu, maka itu, meskipun kau memerintahkan
aku menyerbu ke dalam api yang berkobar-kobar, tidak nanti
aku menolak, tak nanti aku mengerutkan alis, akan tetapi
urusan ini...." Jie Giok menyela sambil tertawa dingin.
"Urusan ini bagaimana?" dia bertanya. "Apakah ini
bertentangan dengan prikemanusiaan, .kehormatan atau
kebijaksanaan" Apakah ini sesuatu yang tenaga manusia tak
dapat melakukannya?"
Tiang Keng melengak. la terus tunduk. Ia tak dapat
menjawab pertanyaan itu. Sia-sia saja ia berpikir untuk
membuka mulutnya. Benar apa yang dikatakan Jie Giok. Itulah
hal yang manusia dapat melakukannya. Seharusnya ia ingin
menepati janjinya. Tetapi, Un Kin itu murid musuh besarnya ...
Saat ia sedang kebingungan itu. Tiang Keng mendengar
nyonya itu kembali tertawa dingin dan berkata. "Kau sudah
berjanji padaku akan menerima dan melakukan apapun yang
kumau! Maka kau harus mengerti, kata-kata seorang ksatria,
sekali dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya!
Itu kata-kata yang keluar dari mulutmu sendiri dan aku
anggap apa yang kau ucapkan, harus kau wujudkan! Kau
seorang laki-laki sejati! Hm! Siapa tahu... sekarang kau bicara
begini! Tahukah kau, kau telah membuat aku si orang tua jadi
putus asa!" Tiang Keng mengangkat kepalanya, ia lihat mata Jie Giok,
dua-duanya sedang mengawasi secara mengejek kepadanya.
Dadanya jadi bergolak sendiri Lantas ia ingat pada suatu lakon
dulu, tentang seorang bernama Bwee Seng berjanji dengan
seorang nona akan bertemu di kolong jembatan. Sebelum si
nona tiba, air bah telah mendahuluinya. Bwee Seng tak ingin
salah janji, ia tidak mau pergi dari jembatan, ia menanti terus.
Ia memeluki tiang jembatan dan mati karenanya. Bwee Seng
mati tetapi kepercayaannya tidak ikut mati atau diingkarinya.
Karena itu, namanya jadi harum untuk selama-lamanya.
"Maka itu aku To Tiang Keng, apakah aku harus merusak
kepercayaanku?" ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Aku belum dapat berbuat setia pada negara, aku tak
mampu merawat orang tua. tetapi aku harus menjunjung
kepercayaan! Ayahku seorang gagah, Ayah tentu tak sudi aku
jadi seorang yang tak dapat dipercaya! Mana mungkin Ayah
menghendaki aku ditertawakan oleh Un Jie Giok" Tapi....?"
Ia diam lagi. Urusan ini sangat sulit.
Tetapi ia seorang laki-laki, lantas ia mengambil keputusan.
Ia pun berkata dengan suara nyaring. "Baiklah! Aku sudah
mengeluarkan kata-kataku padamu, aku akan pegang itu, aku
tak akan menyesal! Akan tetapi, meskipun aku menikah
dengan muridmu, dalam tempo tiga tahun, pasti aku akan
mencarimu untuk mewujudkan pembalasan sakit hatiku! Jika
kau menganggap aku melupakan maksudku mencari balas,
kau keliru besar!" Jie Giok tidak kaget atau takut, sebaliknya dia tertawa
lebar. "Jangan kata baru tiga tahun, sekalipun tiga puluh tahun,
pasti aku akan menantikan kau, asal kau bisa mewujudkan
pembalasanmu itu!" katanya dengan dingin. "Hanya aku
khawatir. Hm! Hm!" Lantas dia berhenti bicara. Itu sama
artinya dengan kata-kata. "Meski sampai seumur hidupmu,
buat mencariku untuk membalas sakit hatimu, kau tidak
mempunyai harapan" Tiang Keng pintar, ia dapat membaca hati orang. Maka
alisnya bangun, la ingin mengeluarkan kata-kata, untuk balas
mengejek. Tapi mendadak ia lihat hantu wanita itu
mengebutkan tangan bajunya sambil berdiri, matanya
mengawasi tajam, sinarnya dingin. Dia berkata lagi. "'Pada
hari Pee-gwee Tiong Ciu, tak peduli kau punya urusan penting
apa pun, kau harus berada di Thian Bak-san!"
Tiang Keng melembungkan dadanya.
"Sekalipun aku To Tiang Keng harus lebur jadi abu, pada
hari itu pasti aku akan datang ke Thian Bak-san!'" ia berseru.
''Kau boleh melegakan hatimu! Kami orang she To. belum
pernah ada anggota keluarga kami yang menghilangkan
kepercayaan!" "Bagus kalau begitu!" seru si nyonya sambil tertawa dingin.
Sesudah itu, nyonya tua itu melirik ke gelanggang
pertempuran. Kembali romannya berubah. Wajahnya menjadi
dingin seperti semula. Dengan langkah ayal, dia turun dari
keretanya. Sekali lagi dia bertepuk tangan perlahan.
Gim Soan tetap terkurung. Dia sudah bermandikan
keringat, rambutnya pun kusut. Dia terkurung dengan nafas
memburu. Kalau tadi ia tampak sangat angkuh, sekarang dia
menjadi tidak karuan macamnya. Bahkan sinar matanya tak
lagi tajam seperti tadi. Matanya menjadi suram Dia
memandang ke arah si nyonya tua untuk berkala dengan
suara bergetar. "Taruh kata guruku tidak akur denganmu, apa
perlunya kau menghinaku begini rupa?"
Belum berhenti suara si anak muda ini atau mendadak.
"Bruk!" Gim Soan jatuh di tanah, tenaganya habis sendiri. Saat itu,
meski orang biasa saja yang menghajar padanya, tak dapat ia
melawan.... Tiang Keng tak tega walaupun orang itu musuhnya dan
orang itu pun jumawa sekali. Perlahan-lahan ia memutar diri
untuk tak usah melihat keadaan orang yang menyedihkan itu.
Un Jie Giok tertawa, kedua tangannya diisyaratkan
perlahan-lahan, terus dia kembali ke keretanya.
Beberapa orang nona menghampiri
Gim Soan untuk dibangunkan dengan paksa. Satu nona
menotok jalan darah soan-kie di dadanya. Sesudah itu mereka
meninggalkannya, untuk menggiring kereta si hantu wanita.
Un Jie Giok berkata dingin. "Tak lama lagi akan tiba hari
Pee-gwee Tiong Ciu. maka pergilah kau mencari tempat yang
cocok untuk berlatih secara sungguh-sungguh! Dengan
kepandaianmu sekarang ini.... hm! Sekalipun kau sudah lihay.
kau tidak bakal berhasil!"
Tiang Keng tahu kata-kata itu ditujukan kepadanya, ia
mengawasi sambil melongo.
Walaupun perlahan jalannya, rombongan nona-nona
berbaju merah itu toh akhirnya lenyap dari pandangan mata.
lenyap teraling oleh rimba raya.
Anak muda ini menghela nafas. Ia berduka bukan main.
Tidak ia sangka bahwa ia bakal menemui kejadian seperti ini.
Yang ia paling tak duga ialah Un Jie Giok sudah
mengorbankan permusuhan di antara mereka berdua dengan
membeberkan rahasia Nie Tong Sian Bu supaya ia bisa
menikah dengan muridnya yang sangat disayangnya itu....
"Ah. entahlah bagaimana akhirnya...." pikir Tiang Keng
yang takut untuk memikirkan apa yang bakal terjadi di
kemudian hari. la terus berdiri diam disinari matahari yang
panas terik. Lewat sekian lama, baru ia tersadar.
"Entah siapa yang turun tangan atas kaum Koay Too Hwee
itu?" pikir Tiang Keng ketika ia ingat nasib kaum Golok Cepat.
"Mungkinkah Un Kin hendak meniru perbuatan si katak
bintang di puncak Sie Sin-hong itu, untuk memancing orangorang
gagah ke Thian Bak-san dan menumpas mereka di atas
gunung itu?" Menduga demikian hati si anak muda jadi miris sendiri.
Tanpa terasa, terbayang pula di depan matanya peristiwa
sepuluh tahun yang lalu di kaki puncak Sie Sin-hong waktu
kawanan binatang berbisa dan beburonan berebutan lari
berkumpul di Tiat-cian-tauw untuk menerima kematian....
"Bukankah semua binatang itu tahu mereka bakal mati?" ia
berpikir. "Kenapa mereka pergi juga" Bukankah besok lusa


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawanan orang gagah pun bakal makan umpan Un Kin"
Bukankah orang-orang gagah itu bakal bernasib sama seperti
kawanan binatang yang tak secerdas manusia itu?"
Berpikir demikian, Tiang Keng yakin bahwa lui-tay di Thian
Bak-san itu benar-benar perangkap untuk orang-orang gagah,
baik yang kemaruk harta maupun yang cuma ingin
menyaksikan pertandingan di sana.
"Aku tahu hal ini, aku harus berdaya," pikir Tiang Keng
kemudian. "Aku mesti cegah bencana itu! Tapi, bagaimana
caranya aku harus bekerja?"
Ia menjadi bingung sendiri...
Sementara itu dari arah belakang rimba, di luar tahu Tiang
Keng, muncul seorang imam berjubah abu-abu kehitaman
serta jenggotnya panjang. Meski dia memakai sepatu dasar
tebal, dia tidak menerbitkan suara sama sekali. Dia pun
muncul secara sangat mendadak. Rupanya dia sudah berada
lama di dalam rimba itu dan baru sekarang ia memperlihatkan
diri. Dia bertindak ke sisi si anak muda yang sedang
menunduk dan berpikir keras.
Tiba-tiba dia tertawa nyaring dan berkata. "Saudara,
kenapa kau mengerutkan alis dan wajahmu agak suram"
Apakah kau sedang dihinggapi urusan yang menyulitkanmu?"
Tiang Keng terkejut bukan main. Ia berpaling dengan
tubuh menggigil. Tapi ketika ia sudah melihat jelas, ia
mendapatkan seorang tua dengan kopiah tinggi dan wajah
berseri-seri mengawasi padanya. Kumis dan jenggot orang tua
itu panjang dan hitam, matanya tajam. Dia sudah tua tetapi
dia sehat, bahkan dia mirip seorang petapa. Ia pun
mengawasinya sambil melongo.
Orang tua itu terus memandangnya, dia tertawa dan
berkata lagi. "Umumnya dari zaman dahulu, anak-anak muda
tak biasanya mendapat kesusahan, tetapi kau lain. Aku lihat
kau tampan, romanmu gagah, jika aku tidak salah, kau pasti
memiliki ilmu silat yang tinggi. Kau bukan si mahasiswa yang
dibikin pusing oleh segala syair! Kenapa kau berduka?"
Sikap dan kata-kata orang tua itu mendatangkan rasa suka,
demikian juga kesan Tiang Keng. Akhirnya anak muda ini
tersenyum, segera ia memberi hormat sambil menjura.
"Terima kasih, Loo-tiang." ia mengucap. "Sebenarnya aku
berduka karena suatu keruwetan yang belum dapat kuatasi..."
Orang tua itu tertawa nyaring, ia mengurut kumisnya.
"Jika kau percaya padaku dan tak mengatakan aku ini
lancang, maukah kau menceritakan keruwetanmu itu padaku"
Aku ini memang bodoh tetapi aku lebih tua darimu, mungkin
aku dapat membantumu memikirkan masalahmu itu " kata si
orang tua. Tiang Keng mengawasi orang tua itu. Ia lihat sinar mata
orang tua itu sangat berpengaruh.
"Kau baik sekali, Loo-tiang, aku bersyukur," kata Tiang
Keng. Ia lantas berhenti. Mendadak timbul kesangsiannya.
si imam tak dikenal dan urusan demikian penting, urusan
mengenai keselamatan kaum rimba persilatan! Mana dapat ia
membeber rahasia itu kepadanya"
0oo0 BAB 23. TIANG KENG DIBUJUK SUPAYA BALAS DENDAM
Orang tua itu mengawasi, dia tertawa pula. "Kalau kau
tidak suka memberitahu, tidak mengapa," kata si orang tua.
"Bukan begitu, Loo-tiang," kata Tiang Keng, kelihatan agak
jengah. "Tetapi masalahnya sangat besar dan tak hanya
mengenai pribadiku sendiri. Jika Loo-tiang ingin
mengetahuinya juga. baiklah, nanti aku jelaskan."
Orang tua itu tersenyum. "Kalau begitu, aku tak akan menanyakannya lagi," kata
orang tua itu seraya mengurut kumisnya. "Tapi aku lihat
sikapmu ini tidak sempurna. Urusan sangat besar tetapi kau
diamkan saja, kau tidak mengajak orang lain untuk
memecahkannya bersama..." Ia mengurut kumisnya dan
menambahkan. "Perlu kau ingat, kecerdasan seseorang biar
bagaimana ada batasnya. Lihat saja kau sendiri, kau sangat
cerdas, toh kau tidak berdaya memecahkannya. Daripada kau
diam saja, hingga pikiranmu jadi kusut, lebih baik kau cari
orang yang dapat diajak berdamai untuk merundingkannya.
Pergaulan kita singkat sekali, maaf aku telah berkata begini."
Ia tertawa, matanya yang tajam menatap ke arah si anak
muda yang ada di depannya.
Tiang Keng menganggap omongan orang tua itu beralasan
sekali. Tetapi ia berusaha untuk berhati-hati. Dia tak mau
sembarang bicara pada orang yang belum dikenalnya dengan
baik. Tengah ia diam, orang tua itu berkata pula. "Jangan
khawatir, Saudara muda, aku tidak akan menanyakan
rahasiamu!" demikian katanya. "Kau tidak mau
memberitahuku pun tak apa, sudah saja."
Diam-diam Tiang Keng menghela nafas. Sebagai seorang
yang jujur, ia merasa sulit sendiri, la merasa tak enak
menampik permintaan orang tua itu. Orang tua itu baik hati,
dia bersedia membantu, tetapi ia malah menolaknya.
Seharusnya ia bersyukur dan mengucap terima kasih,
terutama ia harus membalas kebaikan orang itu.
Orang tua itu masih menatap ke arahnya. Dia lihat roman
orang tua itu agaknya puas. Demikian kelihatan dia
bersenyum. Tapi senyumnya terhalang kumis dan jenggotnya.
Tiang Keng diam. Ia merasa terus diganggu oleh
kesangsiannya. Mau bicara, salah, tidak bicara, rasanya malu.
"Kau baik sekali, Loo-tiang," kata Tiang Keng kemudian
sambil menghela nafas. "Aku menyesal telah menyia-nyiakan
kebaikanmu...." Orang tua itu tertawa seraya mengurut kumisnya lagi. Lalu
ia potong kata-kata si anak muda.
"Dengan berkata demikian, kau memandang aku sebagai
orang asing. Saudara muda!" kata dia sambil tertawa pula.
"Sekalipun kita baru berkenalan tetapi aku sangat
mengagumimu. Apa kau setuju jika aku menjadi tuan rumah
dan mengundangmu makan" Mari kita cari sebuah rumah
makan di sana agar bisa duduk bersama. Aku berharap dapat
membantu menghiburmu hingga hatimu tak terlalu ruwet
lagi..." Tiang Keng menjura memberi hormat sangat dalam
"Terima kasih, Loo-tiang," kata Tiang Keng. "Aku hanya
merepotkan Loo-tiang saja!"
Karena malu hati. Tiang Keng akhirnya menerima
undangan orang tua itu. Kemudian keduanya berjalan meninggalkan tempat itu. Di
sepanjang jalan mereka berbincang-bincang. Sikap orang tua
ini halus dan sopan, di sepanjang jalan selama berbincang ia
tak menyebut-nyebut mengenai rahasia Tiang Keng.
Saat mereka berjalan dan sudah dekat dengan tembok kota
Lim-an, makin lama kesan Tiang Keng pada sahabat barunya
ini semakin dalam. Dari cara orang tua itu berjalan Tiang Keng
segera mengetahui bahwa orang tua itu mengerti ilmu silat
dan ilmu meringankan tubuhnya tinggi. Tiang Keng bahkan
berpendapat, mungkin dalam soal ilmu meringankan tubuh,
dia kalah jauh dari si orang tua. Bahkan Tiang Keng menduga
bahwa orang tua ini seorang jago rimba persilatan yang
ternama. "Namaku To Tiang Keng," ia memperkenalkan diri.
"Bolehkah aku mengetahui nama Loo-tiang siapa?"
Orang tua itu tersenyum manis. "Aku seorang tua
pengembara." Sahut si orang tua. "Telah lama sekali aku telah
melupakan she dan namaku, tapi orang di kalangan Kang-ouw
menyebutku Kho Koan I-su. Sekalipun nama itu cocok untuk
namaku, namun sebenarnya aku sendiri malu mendapat nama
itu! Karena aku tak mampu menampik, maka terpaksa aku
terima panggilan itu. Sebutan Kho Koan artinya Topi Tinggi
dan itu cocok, karena kopiahnya tinggi. Sedangkan I-su
sebutan untuk seorang imam atau penganut agama Too atau
Too Kauw Sesudah berkata demikian Kho Koan I-su menunjuk ke
suatu arah. "Lihat merk yang terbuat dari kain hijau yang digantung
tinggi itu!" kata dia. "Itu sebuah warung arak kecil. Mari kita
ke sana! Warung arak kecil itu rasanya tepat daripada sebuah
rumah makan besar berlauw-teng!"
"Baiklah," kata Tiang Keng setuju.
Saat itu otak Tiang Keng sedang memikirkan nama imam
yang luar biasa itu. Seingat dia gurunya belum pernah
menyebut-nyebut nama itu, padahal gurunya gemar berkelana
dan luas pengetahuannya. Malah gurunya itu sering memberi
tahu nama-nama jago silat ternama di kalangan Kang-ouw.
Sekalipun demikian Tiang Keng merasa bersyukur dan bangga
bisa berjalan bersama, sekalipun ia harus mengimbangi imam
yang pandai berjalan cepat ini
Tak lama mereka sudah tiba di warung arak itu. Tiang Keng
mempersilakan orang tua itu masuk lebih dahulu. Dengan
sikap hormat ia mengikutinya dari belakang. Tak lama
keduanya sudah duduk di sebuah meja saling berhadapan.
"Ah tak peduli apakah nama itu nama sebenarnya atau
nama palsu, yang pasti orang tua ini sangat baik padaku,"
pikir Tiang Keng. "Siapa tahu diapun tak mau namanya
diketahui orang lain. Sebaiknya aku tak memusingkannya."
Karena Tiang Keng berpikir begitu hatinya tenang dan lega.
Ketika itu sudah lewat tengah hari dan di warung arak
sudah sepi sekali, tak ada tamu lain kecuali mereka. Pelayan
menyiapkan makanan mereka dengan tenang. Tak lama
pesanan mereka disajikan.
Setelah meneguk beberapa cawan arak, imam tua itu
mengambil sepasang sumpit sambil berkata. "Arak di tempat
ini tidak harum, makanannya pun mungkin kurang lezat, apa
aku tak dianggap kurang hormat?" kata Kho Koan I-su sambil
tersenyum. Tiang Keng tersenyum saat ia hendak menjawab ucapan
imam itu, tapi sudah didului. "Tapi tak apa, sekarang aku akan
bercerita untukmu, mudah-mudahan bisa menjadi pengganti
makanan lezat..." Imam itu tertawa riang, Tiang Keng pun ikut tertawa.
"Oh terima kasih, kalau begitu hari ini aku sangat
beruntung?" kata Tiang Keng. "Mulutku dapat makanan lezat
dan arak harum, sekarang ditambah lagi telingaku bakal
mendengar cerita yang menarik. Terima kasih Loo-tiang!"
Imam tua itu tertawa riang.
"Ceritanya tak terlalu menarik, tetapi jika kau sudah
mendengarnya pasti kau senang!" kata s imam tua.
Mendengar janji itu Tiang Keng heran juga. Segera ia
letakkan sumpitnya. "Apa barang kali cerita Loo-tiang ada hubungannya
denganku?" kata Tiang Keng.
Mata imam tua itu tampak bercahaya.
"Memang! Ceritaku itu memang ada hubungannya
denganmu, malah erat dan penting sekali!" jawab dia.
Mendengar jawaban itu Tiang Keng tercengang. Karena
herannya ia berpikir. "Aku tak kenal dengannya, bagaimana ia bisa tahu sesuatu
yang ada sangkut-pautnya denganku" Malah dia bilang
penting sekali. Bukankah aku masih muda dan baru muncul di
kalangan Kang-ouw. Lalu masalah apa yang ada hubungannya
denganku" Sungguh aneh sekali!" pikir Tiang Keng keheranan
dan tertarik tak sabar ingin segera mendengar cerita imam tua
itu. Malah jadi penasaran siapa sebenarnya imam tua ini.
Kho Koan I-su mengawasi dia sambil tersenyum. Sikapnya
sabar sekali. Tak lama ia mulai bercerita.
"Tigapuluh tahun yang lalu," ia memulai ceritanya. "Di
kalangan Kang-ouw terdapat sepasang jago silat yang sangat
termasyur. Pasti kau tak akan tahu karena kau masih muda!"
kata imam itu sambil tertawa. "Tetapi orang-orang yang sudah
tua aku yakin semua tahu, mereka bergelar Nio Beng Sianghiap...."
Imam itu berhenti sejenak saat pelayan menyajikan
hidangan baru ke meja mereka dan imam itu menyambar
makanan itu dengan sumpitnya. Sepotong ikan terjepit lalu ia
masukkan ke mulutnya. Tak lama ia sudah mulai mengunyah
daging itu dan tertawa. "Masakan yang lain di warung itu semua tak lezat, kecuali
ikan masak tahu ini!" kata imam itu. "Silakan kau coba, anak
muda!" Tiang Keng tak menolak, ia jepit ikan masak tahu itu. Dia
ikut merasakan enaknya masakan itu. Sebenarnya ia tak
tertarik pada makanan, apalagi ia tak yakin warung sekecil itu
bisa menghidangkan masakan selezat masakan di rumah
makan besar. "Sekalipun Nio Beng Siang Hiap sangat terkenal, lalu apa
hubungannya denganku?" pikir Tiang Keng.
Sesudah menelan ikan masak tahunya, imam itu
melanjutkan ceritanya. "Nio Beng Siang Hiap sangat terkenal, namun sebenarnya
ilmu silatnya tak terlalu lihay. Mereka memperoleh nama itu
karena mereka suami isteri yang tampan dan cantik.
suatu pasangan yang setimpal sekali! Kecantikan si isteri
sungguh cocok dengan ucapan "Ikan menyelam dan burung
belibis jatuh, rembulan menghilang, bunga pun jengah saking
malunya". Sedang suaminya mirip dengan perumpamaan
"Pohon kumala di antara angin". Banyak pria maupun wanita
yang keliru dan busuk hatinya, mencoba mengganggu suamiisteri
tersebut, tapi usaha mereka gagal semua, karena
pasangan itu saling mencintai dan hormat-menghormati satu
sama lain. Bertahun-tahun bahkan sampai belasan tahun
mereka merantau, belum pernah mereka cekcok satu sama
lain. Apakah itu dari pihak Nio Tong Hong maupun dari pihak
Beng Kie Kong." Mendengar kisah itu Tiang Keng melengak, otaknya
bekerja. "Jika aku bisa memperoleh isteri seperti itu, alangkah
bahagianya aku. Tapi apa hubunganku dengan mereka" Siasia
kau menduga-duga, kau tak akan mampu menerka
rahasiaku." "Karena sifat suami-isteri itu, "si imam tua melanjutkan.
"Maka lawan-lawannya itu terpaksa harus menunda niat
jahatnya!" Tiang Keng jadi penasaran karena cerita si imam belum
sampai pada apa yang ingin ia ketahui. Lalu ia angkat
kepalanya ia awasi imam itu. Justru saat itu pun si imam
sedang mengawasi ke arahnya. Hingga mau tak mau mata


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka jadi bentrok. "Sesudah suami isteri itu puas mengembara di sungai
Tiang-kang utara dan selatan, mereka lalu mengembara ke
Biauw-kiang bersama putera mereka," lanjut si imam
"Sekalipun mereka berdua hidup damai, sungguh celaka, saat
mereka berada di pegunungan Biauw-san mereka bertemu
dengan seorang wanita hantu hingga mereka jadi cerai-berai
dengan sangat penasaran...."
Mendengar cerita sampai di sini Tiang Keng tiba-tiba
bangun dari kursinya sambil mendorong cawan arak di
depannya. "Apakah hantu wanita itu bernama Siu-jin Un Jie Giok?"
tanya Tiang Keng dengan bernapsu
Kho Koan I-su tertawa lebar, la teguk arak di cawannya.
"Benar sekali!" jawabnya. "Memang orang rimba persilatan
menamakannya Ang-i Nio-nio!" kata imam tua itu. "Dia juga
menyebut dirinya sebagai Siu-jin Un Jie Giok. "
Mendengar jawaban itu Tiang Keng dongkol sekali. Ia juga
heran dan lupa bagaimana imam tua itu bisa tahu kalau dia
dan Un Jie Giok ada sangkut-pautnya. Ketika ia menyadari
kekeliruannya itu, ia langsung mengubah pertanyaannya.
"Apakah Un Jie Giok mencelakakan suami-isteri tersebut?"
kata Tiang Keng. Imam itu tersenyum. Ia mengangguk.
"Un Jie Giok menyebut dirinya Siu-jin, si orang jelek," kata
si imam. "Tapi sebenarnya itu belum cukup jelas untuk
melukiskan sifatnya yang buruk. Tapi justru dia jatuh hati
kepada Nio Tong Hong. Kau bayangkan saja Tong Hong punya
isteri cantik dan pandai juga lemah-lembut, mana tertarik
Tong Hong pada Un Jie Giok yang jelek seperti Bu Yam,"
tuturnya. Imam itu menghela nafas lalu menambahkan.
"Buruknya dari cinta akhirnya Un Jie Giok jadi cemburu,"
kata si imam. "Dia jadi membenci dan menganggap Tong Hong sebagai
musuh besarnya! Begitulah, dia bunuh Tong Hong di depan isterinya yang
saling kasih mengasihi itu....."
0oo0 BAB 24. TIANG KENG DIAJARI KHO KOAN I-SU SIASAT
MELAWAN MUSUH BESARNYA Tubuh Tiang Keng gemetar dan telinganya seperti
mendengar suara guntur. "Ayah suka menolong orang, ia juga seorang Kun-cu
(bijaksana) tetapi sayang ia celaka di tangan perempuan jahat
di depan isterinya, yaitu Ibuku." pikir Tiang Keng.
Ingat nasib orang tuanya Tiang Keng jadi berduka. Dia tak
mampu mencegah air matanya yang menetes keluar dan
meleleh di kedua pipinya....
Kho Koan I-su mengawasi ke arah Tiang Keng, diam-diam
ia juga ikut berduka. Saat ia lihat air mata Tiang Keng kini
membasahi bajunya yang berwarna hitam, si imam kelihatan
heran. Ia heran melihat bahan pakaian si anak muda. Ia terus
mengawasi baju Tiang Keng, alisnya berkerut otaknya bekerja.
Ia ingat sesuatu, lalu ia segera melanjutkan ceritanya.
"Karena kematian Nio Tong Hong maka Beng Jie Kong tak
mau hidup lebih lama lagi. Sungguh memilukan, karena saat
itu ia pun sedang hamil lima bulan. Karena itu ia tak ingin
bunuh diri dengan mengorbankan bayi yang masih ada di
dalam perutnya...." Suara si imam tua perlahan, tak lama terdengar ia
menghela nafas. Tiang Keng sedang berduka dan dugaannya makin
bertambah. "Nak, kau masih muda," kata si imam. "Pengalamanmu
masih kurang, dan kau lain dariku yang sudah tua. Beng Jie
Kong ingin bunuh diri tetapi tak mampu. Kita bayangkan
penderitaannya sungguh hebat. Ketika itu kalau tak salah
musim dingin, tetapi di pegunungan Biauw-san tidak terlalu
dingin, angin bertiup kencang. Jie Kong menelungkup di atas
tubuh suaminya yang telah menjadi mayat, la menangis
tersedu-sedu, suara tangisnya kadang-kadang terbawa angin.
Un Jie Giok memisahkan suami isteri itu. Mayat Nio Tong Hong
dikubur di kanan gunung Kong-lee-san sedang Beng Jie Kong
dibawa ke sebuah rumah batu. Jie Giok tidak membunuh isteri
Nio Tong Hong karena ia ingin menyiksanya. Saat itu Beng Jie
Kong menahan derita dan pasrah menerima kesengsaraan
demi anaknya yang ada di dalam perutnya.. "
Cara berceritanya Kho Koan I-su didramatisir hingga cerita
itu bertambah dramatis dan menyedihkan. Tiang Keng tak
tahu jika cerita itu sebenarnya ada kaitannya dengan dirinya.
Tak lama imam itu meneruskan kisahnya.
"Akhirnya lahirlah bayi perempuan dari kandungan Beng Jie
Kong. Anak itu lalu diserahkan kepada wanita Biauw kenalan
baiknya yang ia kenal beberapa bulan yang lalu di dalam
kurungan. Setelah berpesan pada wanita Biauw itu, ia lalu
pergi akan mencari Un Jie Giok untuk membalas dendam.
Sayang kepandaiannya tak memadai hingga ia harus binasa
juga di tangan Un Jie Giok....
Tiba-tiba emosi Tiang Keng memuncak, ia menggebrak
meja hingga mangkuk dan cangkir arak serta sumpit
melonjak. "Saudara muda, sabar," kata Kho Koan I-su sambil
menghela napas. "Dalam hidup manusia memang lebih banyak
dukanya daripada senangnya, oleh sebab itu saat hidup kita
harus tahu diri. Pepatah mengatakan bahwa dari sepuluh
bagian hidup ada delapan bagian yang tak menyenangkan
"Jika semua orang berpendapat begitu," kata Tiang Keng
dengan sengit. "Bukankah si jahat bisa malang-melintang
tanpa rintangan. Jika demikian di mana orang yang jujur
menempatkan dirinya?"
"Anak muda kau gagah aku kagum sekali!" kata si imam
sambil tertawa. Setelah itu wajahnya biasa kembali dan ia menarik nafas
panjang. "Sekalipun demikian kemarahanku terhadap Un Jie Giok tak
jauh berbeda dengan kemarahanmu. Setelah membunuh Jie
Kong si wanita jahat Un Jie
Giok membakar mayat Beng Jie Kong. lalu abunya ia sebar
di atas gunung Kong-lee-san. Abu itu sengaja ditebar
maksudnya agar Beng Jie Kong tak dapat menyatu kembali
dengan suaminya Nio Tong Hong...."
"Perempuan hantu itu kejam dan jahat, apakah ia juga
membiarkan anak perempuan suami isteri itu tetap hidup?"
tanya Tiang Keng. "Apa ia tak membasmi rumput sampai ke
akar-akarnya?" Ditanya demikian si imam tesenyum.
"Atas pertanyaanmu itu berarti kau terlalu memandang
rendah pada Un Jie Giok," kata si imam.
Tiang Keng diam walau otaknya bekerja.
"Kalau begitu, perempuan Biauw yang dikatakan kenalan
Beng Jie Kong itu masih orang Un Jie Giok. Apakah dia telah
diatur oleh si perem-puan jahat sejak awal untuk menghabisi
lawannya?" tanya Tiang Keng lagi.
Imam itu mengangguk mengiyakan sambil tertawa.
"Aku bilang kau cerdas, sekarang memang terbukti," kata si
imam. "Kiranya Un Jie Giok yang telah mengatur anak
buahnya untuk terus mengawasi Beng Jie Kong. Sayang Jie
Kong polos ia percaya saja pada orang yang berbuat baik
padanya padahal kebaikannya palsu..."
Tiang Keng menghela nafas panjang.
"Jika demikian, bukankah anak itu jadi terancam jiwanya?"
tanya Tiang Keng. Imam itu tertawa. "Kali ini kau salah terka!" kata si imam.
Tiang Keng keheranan mendengar jawaban itu. la awasi si
imam. "Ah barangkali anak itu tertolong oleh orang budiman
sepertiku?" pikir Tiang Keng.
"Bukan saja Un Jie Giok tak membunuh anak itu malah ia
sangat menyayanginya," kata si imam.
Mendengar keterangan itu Tiang Keng keheranan.
"Apa wajah anak itu mirip Nio Tong Hong hingga Un Jie
Giok memindahkan cintanya pada anak itu?" kata Tiang Keng.
Imam itu bertepuk tangan.
"Tepat sekali, anak muda! Kau memang seorang yang
cerdas, aku takluk padamu!" ia diam sejenak, lalu melanjutkan
lagi. "Un Jie Giok membenci setiap orang, tetapi pada anak itu
ia sangat sayang, tak heran ia menurunkan seluruh
kepandaiannnya pada anak itu!"
Alis Tiang Keng berdiri.Ia juga tiba-tiba bangun.
"Bukankah anak itu murid Un Jie Giok yang bernama Un
Kin?" tanya Tiang Keng.
Imam itu mengangguk perlahan, matanya menatap ke arah
Tiang Keng. Ia lihat Tiang Keng keheranan dan girang. Karena
masalah rumit yang sulit ia pecahkan tak ia duga sekarang
terbuka sendiri. Imam itu tertawa.
"Anak muda kau cerdas sekali," puji si imam. Ia menghela
napas panjang kemudian menambahkan. "Benar anak yatimpiatu
itu Un Kin yang kau sebutkan tadi. Sekarang Un Jie Giok
telah menyerahkannya kepadamu."
Tiang Keng mengawasi imam itu dengan tajam.
"Kalau begitu Loo-tiang sudah lama berada di dalam rimba
dan mendengarkan pembicaraanku dengan Un Jie Giok?" kata
Tiang Keng. Imam itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku tak membohongimu anak muda," kata si imam.
"Hidupku tak menentu, ke mana aku sampai itulah rumahku!
Tadi aku terlalu letih, maka aku beristirahat di rimba. Aku pilih
pohon besar dan lebat. Tak kusangka aku malah mendengar
pembicaraan kalian, aku minta maaf."
Seperti orang kehabisan tenaga Tiang Keng menjatuhkan
diri duduk ke kursinya. Sedang matanya terus menatap ke
arah imam tua itu. Pikiran Tiang Keng kacau sekali. Di
dadanya tercampur aduk berbagai perasaan, yaitu perasaan
gusar, heran dan ragu-ragu. Malah ia duga si imam telah
sengaja mengatur cerita agar bisa menceritakan kepadanya.
"Kisah Un Jie Giok dan Nio Beng Siang Hiap semakin
misterius, mengapa Kho Koan I-su mengetahuinya dengan
jelas" Padahal ia bilang ia seorang pengembara, jika benar
seharusnya ia tak tahu tentang kisah Un Jie Giok itu!" pikir
Tiang Keng. Otak Tiang Keng bekerja keras untuk membuka tabir
rahasia siapa imam tua ini sebenarnya.
"Siapa dia, mengapa ia baik padaku?" pikir Tiang Keng.
Tapi karena anak muda ini tak bisa menjawab
pertanyaannya, ia tatap terus si imam tua itu.
Si imam mengusap-usap kumis dan jenggotnya yang
berwarna hitam dan panjang itu. Semula ia banyak
tersenyum, tetapi sekarang senyumnya telah lenyap dan
wajahnya tampak agung. Tiang Keng jadi semakin heran dan
menganggap imam ini luar biasa. Sedang pada wajahnya tak
kelihatan ia ini orang licik.
Imam itu menatap ke arah Tiang Keng.
'Masalah ini bukan saja misteri namun ada sangkut-pautnya
dengan dunia Kang-ouw," kata si imam bersungguh-sungguh.
"Tak banyak orang yang tahu tentang rahasia Un Jie Giok,
bahkan suku Biauw yang bekerja sama dengannya pun sudah
dibunuh semua, ini untuk menutup rahasianya. Pergaulan Nio
Beng Siang Hiap sangat luas. sekalipun Un Jie Giok gagah
sekali, ia tak berani buka rahasia sendiri. Rupanya Un Jie Giok
khawatir kelak ada yang balas dendam. Hilangnya sepasang
jago itu mengherankan, namun lama-lama masalah itu pun
sudah dilupakan orang. Un Jie Giok tetap merahasiakan
masalah itu sampai Un Kin dewasa karena ia takut kalau Un
Kin mengetahui rahasianya. Bahkan ia sadar pasti Nio Beng
Siang Hiap pun tak rela anaknya disandera oleh si jahat
ini....." Imam itu menghela nafas, ia sangat berduka.
Tiang Keng masih mengawasi ke arah si imam.
"Loo-tiang, bagaimana kau bisa mengetahui rahasia ini?"
tanya Tiang Keng penasaran.
Itu pertanyaan dan keraguan yang baru ia sampaikan
sekarang. "'Satu saat aku pergi ke Biauw-kiang untuk mencari bahan
obat." kata si imam. "Suatu hari aku bertemu dengan seorang
Biauw yang hampir mati. Kiranya dia anak buah Un Jie Giok
yang lolos dari pembunuhan dan tahu banyak mengenai
rahasia Un Jie Giok. Seebelum meninggal dia minta agar aku
membalaskan sakit hatinya... ."
Sesudah itu si imam menghela nafas.
"Mana bisa aku membalaskan dendam orang Biauw itu, aku
sadar kepandaianku tidak cukup untuk mengalahkan Un Jie
Giok. Selain itu aku juga tak berani membuka rahasia ini pada
sembarang orang, hingga rahasia ini tetap terpendam
bertahun-tahun lamanya. Sebenarnya aku pun ingin sekali
melupakan masalah yang mengganjal di hatiku ini. Tetaoi
sekarang setelah aku bertemu dengan kau, semua aku
ceritakan padamu. Nak. kau tahu apa sebabnya aku berterus
terang kepadamu?" kata si imam.
"Justru soal itu yang sangat ingin kuketahui darimu," kata
Tiang Keng. Imam itu mengawasi Tiang Keng.
"Anak muda kau masih muda dan gagah, kau juga cerdas
hingga aku kagum padamu," kata si imam. "Padahal aku
sudah belasan tahun merantau, baru kali ini aku bertemu
pemuda sepertimu. Sebagai contoh, bisa kau bayangkan
sekalipun Un Jie Giok itu musuhmu, tetapi dia malah
menitipkan muridnya itu kepadamu. Hingga sekalipun Un Jie
Giok jahat, dia masih menghargaimu!"
Tiang Keng menggoyangkan tangannya, ia akan
mengucapkan terima kasih pada si imam, tetapi si imam
malah meneruskan kata-katanya. "Kita berdua bertemu secara
kebetulan. Jika sekarang aku bercerita tentang semua rahasia
Un Jie Giok padamu, semua itu hanya karena aku ingin minta
bantuanmu untuk membereskan masalah yang ruwet ini, agar
sakit hati Nio Beng Siang Hiap tidak terpendam untuk
selamanya. Paling tidak anak mereka bisa diselamatkan. Tak
selayaknya anak itu berada dalam kegelapan seperti sekarang
ini. Dan tak pantas untuk selamanya tetap berada di samping


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan jahat itu. Aku sudah tua dan tak berdaya, tapi jika
kau butuh bantuanku, aku bersedia bekerja sama denganmu!"
"Tentang masalah ini," kata Tiang Keng. "Jangankan ada
hubungannya denganku, sekalipun tidak, pasti aku ikut
campur, tetapi..." Tiang Keng menghela nafas dan menunduk.
Lalu ia meneruskan. "Sayang Un Jie Giok terlalu tangguh, aku
bukan tandingannya.... Lalu bagaimana aku bisa membantu
Loo-tiang, sedangkan sakit hatiku pun belum terbalas?"
Mendengar jawaban Tiang Keng imam itu tertawa.
"Aku tahu kau kalah olehnya. Anak muda." kata si imam.
"Tetapi kau tak kalah banyak hanya selisih sedikit, asal kau
memakai kecerdasanmu, aku yakin kau mampu
menyingkirkannya...."
Alis Tiang Keng berkerut. Tak lama ia berkata dengan
bersemangat. "Ah apa Loo-tiang berharap agar aku membuka rahasia
pada Un Kin dan ia bentrok dengan Un Jie Giok kemudian...."
Imam itu bertepuk tangan dan tertawa riang.
"Kau cerdas dan pandai. Anak muda," puji si imam.
"Ternyata kau bisa menebak pikiranku. Aku yakin jika Un Kin
sudah mengetahui bahwa gurunya yang mencintainya seperti
ibu kandungnya itu adalah musuh besarnya, mustahil dia diam
saja! Guru seperti ayah dan ibu, namun orang tua lebih tinggi
nilainya. Aku juga tahu Un Jie Giok sangat sayang pada Un
Kin, maka dalam pertarungan sekalipun Un Kin kalah, Un Jie
Giok tak akan tega membinasakan murid yang ia sayangi
bagai anak itu! Bahkan bukan tak mungkin malah karena ia
sayang dan menyesali dosa karena telah membunuh orang tua
muridnya, Un Jie Giok malah membiarkan Un Kin
membunuhnya... ." Mata Tiang Keng bersinar, ia anggap pendapat imam ini
benar. Ia juga melihat mata imam itu bersinar tanda gembira.
Tapi Tiang Keng pun heran, apakah imam ini bermusuhan
dengan Un Jie Giok hingga ia sangat membenci dan bernapsu
ingin membunuhnya. "Loo-tiang," kata Tiang Keng. "Kau punya siasat demikian,
mengapa kau tak bicara sendiri pada Un Kin?"
Imam itu mengangkat cawan araknya, ia menghirup arak
itu. Dia tak heran bahkan tak marah ditanya demikian.
"Aku sudah berpikir ke arah sana. namun aku tak bisa
melakukannya." kata si imam. "Jika aku yang menemuinya
dan membuka rahasia itu, setelah dia tahu dia tak akan
melupakan aku... Ah, aku ini sudah tua, keberanian di masa
mudaku sudah lenyap, sekarang aku jadi takut
mati....Sebenarnya aku malu untuk mengatakan soal ini....."
Ia letakkan cangkir araknya di meja. Sebelum Tiang Keng
bicara ia sudah menyambung kata-katanya, "Ketika aku lihat
kau berduka, maka aku menduga kau sedang dibuat susah
oleh dua masalah yang tak dapat kau pecahkan..." Ia
tersenyum dan melanjutkan lagi, "Kesulitan pertama karena
Un Jie Giok berharap kau menikah dengan Un Kin. Aku pun
maklum waktu itu kau belum mengetahui rahasia yang
kubeberkan padamu. Jika sudah tahu pasti kau tak bersedia
menikah dengan murid musuhmu. Tetapi kau telah berjanji,
mau tak mau kau harus mewujudkan janjimu itu dan kau
harus menikah dengan nona itu. Oleh karena itu kau jadi
pusing. Memang masalah ini tak boleh tersiar atau
diberitahukan pada orang lain. Kau pun tak boleh minta
bantuan orang lain. Tetapi sekarang masalahnya lain.
Sekarang kesulitan itu bukan kesulitan lagi. Benar Un Kin
murid Un Jie Giok dan disayang, tetapi Un Kin bukan
puterinya, bahkan dia musuh besarnya! Ini aneh tapi nyata!"
Tiang Keng menghela nafas. "Loo-tiang. kau cerdas!* kata
Tiang Keng. "Kiranya kau lebih cerdas dariku."
Sesudah berkata begitu Tiang Keng berpikir.
"Sungguh aneh imam ini. Saat aku menghela nafas, dia
bisa menebak isi hatiku. Tetapi setelah tahu isi hatiku, malah
ia bertanya padaku. Tampaknya ia sangat jujur terhadapku,
tapi mungkin juga ia memikirkan sesuatu, apa itu?" pikir Tiang
Keng bingung. Ia lihat si imam mengurut-urut kumis dan janggutnya.
"Aku bisa menerka masalah orang bukan karena aku
cerdas, tapi karena pengalamanku yang puluhan tahun." imam
itu menjelaskan. "Sebaliknya, kau cerdas karena bakatmu. Jika
kau kelak telah tua sepertiku, setelah pengalamanmu
bertambah banyak, aku yakin kecerdasanmu akan melebihi
siapapun." "Terima kasih atas pujianmu. Loo-tiang," kata Tiang Keng.
"Heran imam ini senantiasa memujiku," pikir Tiang Keng.
"Padahal usia maupun kepandaiannya melebihiku, mengapa
dia begitu baik terhadapku" Apa sebenarnya yang ada di
otaknya?" Sekalipun pengalamannya masih rendah namun ia merasa
curiga pada imam yang bersikap baik kepadanya ini. Ia
merasa yakin bahwa imam ini punya maksud tertentu atas
dirinya. Imam ini mengusap kumisnya saat ia lihat Tiang Keng
mengawasinya, ia pun tersenyum.
"Apa kau sedang memikirkan masalah yang kedua?" kata si
imam. "Aku hanya menerka asal-asalan saja. jika terkaanku
keliru, maka.." Tiang Keng tersenyum. "Apa Loo-tiang juga bisa memecahkan masalah yang
kedua?" kata Tiang Keng
Kho Koan I-su tertawa. "Kau cerdas dan bijaksana, Anak muda," katanya.
"Mengenai masalah yang kedua, aku kira ini bukan urusan
pribadimu, tapi aku yakin kau sedang memikirkan Dunia
Persilatan....." Dia diam sejenak untuk menatap dengan tajam je arah
Tiang Keng. Sesudah itu ia sambung lagi pembicaraannya.
"Apa yang kukatakan bukan pujian belaka, tapi keluar dari
hatiku. Mataku tak lamur. Mengenai dirimu aku tak salah lihat,
maka.....aku yakin dugaanku ini pun tak salah!"
Ia tertawa. Kembali ia mengawasi ke arah Tiang Keng yang
diam saja sambil menunggu si imam melanjutkan katakatanya.
"Sudah 40 tahun lamanya Un Jie Giok berada di tengah
suku Biauw," kata si imam. "Selama itu ia tak ikut campur
dalam masalah dunia persilatan. Semua itu bukan karena dia
sudah tak bersemangat atau tak ingin nama besar maupun
harta! Bukan karena itu! Tetapi karena dia masih merasa jerih
terhadap beberapa orang gagah, terutama kaum tuanya!
Hingga ia tak berani lancang berbuat jahat. Tapi akhir-akhir ini
ia tahu. dari sekian banyak jago tua selain yang telah
meninggal, kebanyakan sudah ada yang mengundurka diri dari
dunia persilatan. Tak heran kalau sekarang ia jadi gatal
tangannya, maka ia muncul lagi. Demikian juga pertandingan
di atas Lui-tai yang akan diselenggarakan di Thian-bak-san itu.
Sebenarnya pertandingan itu diadakan untuk kepentingan Un
Kin. Di samping itu Un Jie Giok pun mengambil kesempatan
akan menyapu semua jago, agar dia menjadi jago nomor satu.
Aku yakin kau sudah bisa menduga sendiri dari ucapan Un Jie
Giok. Oleh karena itu kau jadi berduka sekali..."
"Jika benar demikian, apakah kau punya daya Loo-tiang?"
kata Tiang Keng. "Barang kali kau bisa membantuku
mnghilangkan keruwetan hatiku itu!"
Imam itu tersenyum di matanya tampak bersinar puas.
Setelah meneguk araknya ia tersenyum lagi.
"Jadi tepat dugaanku itu!" kata si imam.
Ucapan Tiang Keng tadi membuktikan bahwa Tiang Keng
mengakui ketepatan dugaan si imam Setelah meneguk lagi
araknya si imam melanjutkan.
"Sebenarn>a masalah itu tidak mudah," kata si imam.
"Memang pantas jika kau begitu berduka. Sedang umpan yang
diumpankan di Thian-bak-san menarik hati para jago silat,
hingga mereka rela berjalan jauh untuk ke sana. Mereka
berdatangan secara bebondong-bondong. Keinginan mereka
demikian keras untuk memiliki benda-benda itu. mana bisa
kau cegah mereka itu! Mereka tak akan percaya padamu.
Malah mungkin mereka mencurigaimu. kaulah yang hendak
menguasai semua benda berharga itu!"
Keterangan itu membuat alis Tiang Keng berkerut.
"Benar!" kata Tiang Keng. "Mana mau mereka percaya
padaku! Mana mau mereka melepaskan kesempatan ini. Tapi
entah apa yang disiapkan Un Jie
Giok di Thian-bak-san" Sungguh kasihan jika banyak orang
terjebak dan celaka tanpa mereka sadari
Mau tak mau anak muda yang masih hijau dan polos ini
bicara seadanya Imam itu diam, ia seperti sedang berpikir
keras. Saat mengangkat kepalanya dia tertawa.
"Ceritaku yang pertama telah menghilangkan kesulitanmu
yang pertama, oleh karena itu sebaiknya kau gunakan cerita
itu untuk melenyapkan kesulitanmu yang kedua..."
Tiang Keng melengak. "Bagaimana caranya, Loo-tiang?" kata Tiang Keng.
"Begini, kau harus pergi ke Thian-bak-san sebelum acara
dimulai, temui Un Kin untuk menceritakan rahasia itu padanya.
Kau ceritakan selengkapnya jangan ada yang terlewat.
Sesudah itu....ha. ha...ha!" si imam tertawa. Kemudian ia
meneruskan kata-katanya. "Aku yakin, jika Un Kin percaya pada ceritamu tanpa sangsi
sedikitpun, maka kau boleh membantu dia. Jika kau berdua
mengepung Un Jie Giok, maka aku yakin Ang-i Nio-nio tak
akan lolos sekalipun ia gagah luar biasa! Dulu Nio Beng Siang
Hiap gagah dan bijaksana, orang pun kagum pada mereka.
Sekarang kau dan Nona Un bisa menggantikannya. Maka
selanjutnya bukan saja kau telah membunuh musuh kalian
bersama, kau pun bisa mendapat isteri yang cantik. Jika kalian
berdua behasil melenyapkan si jahat maka kalian akan dipuji
seperti orang tua Un Kin!"
Imam itu tertawa terbahak-bahak karena girangnya.
"Dengan demikian," si imam melanjutkan. "Orang jahat
berhasil kalian singkirkan dan pertandingan di lui-tai bisa
dilanjutkan sesuai waktunya! Selain itu bencana yang akan
menimpa kaum persilatan akan lenyap. Mari minum dan
kuucapkan selamat!" Imam itu kembali minum arak, tapi Tiang Keng diam saja.
Mata Tiang Keng mengawasi cawan araknya. Dia tak
menyentuh cawan itu atau digunakan untuk bersulang...
0oo0 BAB 25. KHO KOAN I-SU MELARANG TIANG KENG PERGI
KE THIAN-BAK-SAN Kho Koan I-su tak segera meletakkan cawan arak yang tadi
diangkatnya. Ia diam, wajahnya berubah beberapa kali.
Sekarang terlihat wajahnya jadi suram dan bengis. Wajahnya
yang kusut tadi telah lenyap. Saat itu Tiang Keng sedang
menunduk, ia tak melihat perubahan wajah imam tua itu. Saat
ia menengadah dan mengawasi wajah si imam, wajah imam
itu sudah berubah seperti sediakala. Sekarang dia malah
melihat imam itu sedang tersenyum.
Tak heran jika sampai saat itu To Tiang Keng tak tahu,
siapa sebenarnya imam itu dan apa maksud orang itu...
Sesaat secara bersamaan mereka mengangkat muka dan
mata mereka beradu, si imam tertawa
"Aku lupa memberitahukan sesuatu padamu," kata si imam.
"Sekarang di Thian-bak-san pasti telah diatur berbagai
perangkap, hanya kita belum tahu perangkap apa itu" Tapi
yang jelas itu pasti sangat berbahaya! Sepengetahuan-ku
untuk membantu usaha Un Jie Giok ini, dia telah mengundang
para jago kaum rimba hijau (kalangan penjahat) untuk
membantunya. Mereka itu adalah orang-orang yang tak di
terima di kalangan Kang-ouw sebagai golongan kaum
persilatan \ ang lurus. Sudah sejak setahun yang lalu ia
mengundang mereka untuk dipakai menghadapi jago-jago
silat dari golongan lurus bersih. Tegasnya mereka akan diadu,
setelah jago dari kalangan lurus habis dan mereka sudah
kelelahan, saat itulah Un Jie Giok akan menumpas mereka
yang sudah kelelahan itu...."
Mendengar keterangan itu Tiang Keng diam. bermacammacam
perasaan bercampur aduk di benaknya. Ia gusar
manakala ia ingat bahwa Un Jie Giok ini jahat. Sebaliknya ia
jadi berduka manakala ia ingat pada kesulitan yang
dihadapinya. "Saat masih kecil aku menyaksikan kejadian yang tak
kumengerti." kata Tiang Keng. "Kejadian yang terjadi di Sie
Sin-hong tentang katak Seng-cu yang mengherankan.
Mengapa katak itu demikian kejam. Setelah membunuh
binatang buas. ia juga membunuh binatang jinak seperti
kambing dan sebagainya. Pada-hal binatang-binatang itu
lemah. Tidakkah itu aneh" Tapi sekarang aku baru mengerti,
manusia pun ada yang jahat seperti katak Seng-cu itu!"
Suara Tiang Keng perlahan, la bicara seperti orang yang
hatinya sedang kacau. Imam itu tampak tertarik oleh cerita
Tiang Keng. Saat itu terlihat pelayan warung arak sedang berdiri di
depan pintu, wajahnya tampak jemu dan kesal, mungkin
karena kedua tamunya duduk makan minum terlalu lama. Ia
lihat mereka bicara, tertawa, dan menghela nafas panjangpendek.
kemudian diam membisu, hingga tingkahnya jadi tak
karuan. Tapi ada kalanya mereka juga gusar dan sengit. Dari
jemu sekarang ia jadi heran. Kedua tamunya itu tak
dikenalnya, siapa mereka itu dan apa pekerjaannya"
Ketika itu Kho Koan I-su mengawasi Tiang Keng.
"Sekarang aku ingin memberitahumu, anak muda," kata si
imam, ia kelihatan bersungguh-sungguh. "Yaitu mengenai
kepergianmu ke Thian-bak-san. Maka kuanjurkan sebaiknya
kau pergi siang-siang ke sana, tidak perlu menunggu sampai
pembukaan. Jika kau pergi ke sana pada hari pembukaan, aku
khawatir saat itu kau sudah dianggap sebagai menantunya!
Aku yakin dia tak akan mencelakai kau, tapi anak buahnya
lain. mereka semua penjahat besar! Mereka tak tahu kau ini
siapa. Bagaimana jika mereka turun tangan menyerangmu"
Aku tahu kau gagah, tetapi ingat sepasang tangan tak
mungkin dapat menghadapi empat buah tangan lawan....." si
imam menghela nafas. "Hari ini kita baru bertemu tetapi kau
sudah kuanggap sahabat baikku. Malah menurutku sebaiknya
kau jangan pergi ke Thian-bak-san..."
Sambil berkata imam itu melirik ke arah Tiang Keng.
Tiang Keng menggebrak meja, kelihatan ia gusar sekali.
"Lo-tiang, mengapa Anda memandang demikian enteng


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku?" kata Tiang Keng. "Sekalipun Thian-bak-san itu
gunung golok dan lautan pedang, aku harus ke sana! Aku
memang bodoh tetapi aku tak ingin keadilan diinjak-injak,
maka itu aku harus menolong kaum Rimba Persilatan dari
ancaman bahaya itu! Asal aku bisa berbuat baik. aku tidak
takut mati!" Si imam membungkuk untuk meletakkan cawan. Tiang
Keng yang tadi berbalik kembali menatap si imam. Wajah si
imam tersenyum puas, sayang Tiang Keng tak melihatnya.
0oo0 Di kota Lim-an, In Kiam tak mengetahui kalau To Tiang
Keng telah mendapat pengalaman dan sudah bertemu dengan
musuh besarnya. Bahkan sekarang Tiang Keng sedang
menghadapi masalah sulit dan aneh. Musuh besarnya
menyayanginya bahkan akan menikahkan Tiang Keng dengan
muridnya. Yang aneh musuh besarnya ini bersedia
membeberkan rahasia ilmu silatnya kepadanya. Selain
masalah pribadi, kini Tiang Keng pun berniat menyelamatkan
kaum Rimba Persilatan dari bahaya....
Tiba-tiba imam itu bangun dari kursinya, rupanya si imam
akan segera pergi. Kejadian ini membuat pemilik rumah
makan lega. Ketika itu matahari sudah tenggelam ke arah barat. Saat
Tiang Keng bangun, imam minta diri.
"Kita sudah lama berbincangbincang, aku kagum padamu,
anak muda! Syukurlah jika kau bisa menyelamatkan kaum
Persilatan dari bahaya....."
Tiang Keng mengangguk sambil mengantar si imam
berjalan keluar rumah makan. Kemudian ia kembali ke meja
tadi dan duduk sendirian. Sedang kecurigaan dan
kesangsiannya tak segera berlalu.....
Datangnya sang magrib membuat para tamu warung arak
itu berdatangan untuk makan dan minum. Mereka merasa
heran melihat Tiang Keng duduk sendirian. Mereka
mengawasinya lama sekali. Tiang Keng merasa ia sedang
diawasi. Ia bangun dan membayar makanan yang mereka
pesan. Kemudian berjalan keluar. Ia berjalan perlahan-lahan.
"Imam itu mencurigakan, tetapi omongannya masuk akal
juga," pikir Tiang Keng. "Sungguh tepat jika aku lebih awal
datang ke Thian-bak-san untuk menyingkirkan Un Jie Giok.
Sesudah itu tinggal masalah Un Kin..."
Ingat Nona Un Tiang Keng pun menghela nafas. Saat itu ia
seperti berhenti berpikir, ia memandang ke arah kota, ia lihat
tembok kota seperti bayangan. Ia berjalan terus. Sekarang ia
sudah dekat ke pintu kota. Tak lama ia sudah masuk dan
berjalan perlahan-lahan. Rumah-rumah di dalam kota sudah
memasang lampu, sebagai tanda liari ketika itu sudah malam.
Rupanya orang sudah melupakan peristiwa tadi malam.
Keadaan jadi seperti sediakala tak ada lagi yang ketakutan.
Malah di sana-sini terdengar suara tetabuhan serta nyanyian.
Di tengah jalan Tiang Keng berpapasan dengan orang yang
sedang lewat, di pinggang mereka masing-masing terselip
senjata tajam. "Aku rasa mereka datang dari tempat yang jauhnya ribuan
lie." pikir Tiang Keng melihat orang-orang itu. "Aku tahu
maksud mereka hanya karena uang, pedang dan wanita
cantik. Atau malah mereka hanya ingin menonton keramaian
saja! Tapi sadarkah mereka bahwa bencana sedang
mengancam mereka?" Ingat pada In Kiam, Tiang Keng berpikir.
"Aku kira In Loo-ya-cu berpandangan luas, tapi apakah dia
sudah tahu pada ancaman bahaya itu" Aku perlu menemui
beliau, masih ada waktu. Terlambat sehari tak apa... " pikir
Tiang Keng. Tiba-tiba Tiang Keng menghentikan langkahnya.
"Oh celaka aku lupa" kata Tiang Keng. "Tadi tak
kutanyakan pada Kho Koan I-su di bagian mana perangkap Un
Jie Giok dipasang, sedang gunung itu luas. Ke mana aku harus
mencarinya" Selain akan buang waktu dengan sia-sia aku pun
tak akan menemukan perangkap itu! Apalagi aku tidak tahu di
mana In Loo-ya-cu bermalam" Sedangkan kota Lim-an begini
besar, ke mana aku mencari beliau?"
Ia bingung sejenak. Tiba-tiba ia tertawa sendiri.
"Ah bodohnya aku, In Loo-ya-cu sangat terkenal. Jika aku
mau bertanya pada orang-orang yang kutemui, pasti aku akan
ditunjukkan penginapannya..."
Sesudah itu Tiang Keng berjalan lagi. la mencari orang
untuk menanyakan tempat bermalamnya In Kiam. Tiba-tiba ia
berhenti, telinganya mendengar suara musik hingga ia jadi
berpikir. Mula-mula suara musik itu sebentar terdengar
sebentar menghilang. Terpaksa Tiang Keng harus pasang
kuping. Suara kota berisik, tetapi ia segera menemukan suara
itu. Ternyata itu bukan tetabuhan biasa, tetapi suara seruling
bambu hijau yang dikenalnya milik nona-nona berbaju merah
itu. "Heran?" pikir Tiang Keng melongo. "Mungkinkah Un Jie
Giok ada di dalam kota?"
Lalu Tiang Keng mencoba mencari tahu dan telinganya ia
pasang untuk mendengarkan.
Suara seruling itu mula-mula terdengar sangat jauh, tetapi
makin lama makin dekat. Akhirnya bukan hanya Tiang Keng,
orang lain pun mendengar suara seruling itu.
Tentu saja suara seruling itu menarik perhatian mereka.
Orang-orang yang berada dalam rumah makan dan di rumahrumah
penduduk, semua keluar untuk mendengarkan
datangnya suara seruling tersebut. Bahkan orang yang
sedang berjalan kaki pun menghentikan langkah mereka.
Sebaliknya orang kaum Rimba Hijau (golongan Sesat atau
Hitam) yang juga disebut kaum Liok-lim dan kaum Rimba
Persilatan (Golongan Putih-bersih) atau Bu-lim Eng-hiong
mulai mencurigai suara seruling itu. Mereka berpendapat,
jangan-jangan akan tejadi sesuatu di
kota Lim-an malam ini... 0oo0 BAB 26. TIANG KENG BERTEMU KEMBALI DENGAN IN
KIAM Sebuah lampu terbuat dari kuningan tergeletak di sebuah
meja panjang. Cahaya lampu itu cukup bisa menerangi
seluruh ruangan. Di belakang ruangan itu terletak sebuah
kamar tidur. Kamar itu tak luas tetapi tidak gampang untuk
mendapatkannya. Untung nama To-pie Sin-kiam In Kiam
cukup terkenal, maka mereka berhasil menempati kamar itu.
Saat itu In Kiam dan puteranya sedang duduk menghadap
jendela, kadang-kadang mereka mendengar suara tawa tamu
lain. Tenyata sang malam tak bisa menghalangi orang
bergembira. Tapi In Kiam tampak murung.
"Sekarang hari sudah tak siang lagi, Ayah." kata Tiong
Teng. "Apakah Ayah akan keluar untuk mencari makanan?"
In Kiam menggelengkan kepalanya. Sinar lampu menyinari
wajahnya yang mulai keriput. Tiong Teng menghela nafas, ia
tahu ayahnya sedang kesal dan bingung memikirkan Tiang
Keng yang belum juga kembali.
"Sekalipun dia masih muda, namun ilmu silatnya lihay
sekali. Dia juga cerdas Ayah tak perlu mencemaskannya. Aku
yakin biar bagaimana dia tak akan celaka!" kata In Tiong
Teng. "Aku tak sedang mengkhawatirkan Tiang Keng," jawab
sang ayah sambil menghela nafas. "Tapi aku....." In Kiam tak meneruskan
kata-katanya. "Tahukah kau Tiong Teng, ke mana perginya
Kiauw Cian" Sudah beberapa hari dia tak muncul-muncul, aku
ingin bicara dengannya, menanyakan sesuatu padanya....."
Mendengar pertanyaan ayahnya. Tiong Teng jadi heran.
Tiba-tiba In Kiam berkata. "Tiong Teng apa kau dengar,
suara apa itu?" Angin malam bertiup dan masuk lewat jendela. Bersama
angin ikut terbawa suara aneh. Sebentar terdengar sebentar
menghilang..... Seperti juga ayahnya. Tiong Teng pun heran. Mereka saling
mengawasi dan pasang telinga. Saat Tiong Teng mau bicara
ayahnya sudah mendahului.
"Rasanya aku pernah mendengar suara musik itu..." kata In
Kiam agak ragu. Tapi sedetik kemudian ia menepuk jidatnya
dan berkata. "Ah tak salah lagi, itu suara tetabuhan ini aku
dengar di Biauw-kiang tiga puluh tahun lalu. Itu suara orang
meniup seruling bambu hijau... Tatkala itu aku masih
seusiamu sekarang!" Tiong Teng melengak dan In Kiam diam. Otaknya berpikir
keras. Tiba-tiba Tiong Teng memutar tubuhnya dan berlari ke
arah pintu. "Ayah kau tunggu di sini, aku akan memeriksanya,
mungkin....'" Ia tak meneruskan kata-katanya karena agak
sangsi. Rupanya Tiong Teng tak sudi menyebut nama Siu-jin
Un Jie Giok. To-pie Sin-kiam In Kiam yang berpengalaman langsung
teringat pada Ang-i Nio-nio, oleh karena itu ia tak mau diam di
kamarnya. "Mari kita lihat!" kata In Kiam.
Mereka segera keluar dari penginapan bersama-sama.
Keadaan di jalan raya terang benderang dan orang yang
berlalu lalang masih banyak. Namun keadaan agak sunyi
karena sekarang sudah tak terdengar suara orang tertawa
lagi. Nyanyian pun sudah tak terdengar. Suara yang terdengar
hanyalah suara seruling bambu itu.
In Kiam dan Tiong Teng terus mengikuti suara seruling itu.
Di sepanjang jalan orang yang kenal pada mereka memberi
hormat sambil membungkuk.
Sesudah melewati sebuah jalan, tiba-tiba Tiong Teng
berpapasan dengan seorang berpakaian abu-abu, tapi dalam
kegelapan malam jadi berwarna hitam. Orang jangkung itu
berdiri di antara orang-orang yang lainnya.
"Ayah lihat. Tiang Keng di sana!" kata In Tiong Teng.
In Kiam dengan cepat menoleh dan langsung bergegas ke
arah yang ditunjuk. Tiang Keng rupanya sedang melamun dan tak tahu In Kiam
datang menghampirinya. Tiang Keng baru sadar saat In Kiam
menarik tangannya. "Tiang Keng, kau tak apa-apa?" demikian In Kiam
menegurnya. Tiang Keng menggelengkan kepalanya.
"Jangan cemas, Loo-pee aku tak apa-apa," jawab Tiang
Keng tetapi suaranya tak lancar.
Ia merasakan cekalan In Kiam hangat di tangannya,
hatinya pun jadi girang. Itu sebagai tanda kasih sayang In
Kiam kepadanya. Sambil tersenyum Tiang Keng meraih tangan
Tiong Teng, kembali ia merasakan kehangatan tangan itu.
Mereka berdiri bertiga. Hal ini membuat orang yang lewat
jadi heran. Mereka mengawasi ketiga orang itu. Mungkin
mereka akan terus mengawasi In Kiam dan kedua anak muda
itu jika suara seruling tak terdengar lagi. Mereka semua
mengalihkan pandangan ke arah suara itu.
"Loo-pe, Toa-ko jangan cemas. Itu suara seruling yang
ditabuh oleh nona-nona berpakaian merah. Mereka murid Un
Jie Giok!" kata Tiang Keng. "Kiranya dia sudah sampai di Liman...."
In Kiam berpaling ke arah putera-nya. "Oh dia!" kata ln
Kiam dengan alis berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah
Tiang Keng dan bertanya. "Mengapa kau tahu itu?"
Tiang Keng sangsi. Ia bukan tak ingin menjawab
pertanyaan Loo-peenya, tapi ia berpikir tak baik ia bicara di
jalan umum. Rupanya ia khawatir orang lain bisa
mendengarnya. Tengah ia sedang diam sambil berpikir, ia lihat
orang banyak bergerak. Ketika itu orang-orang yang tadi
berdiri di tepi jalan bergerak ke tengah jalan raya. Sedang
yang tadi berada di lauw-teng sudah turun. Mereka berlarian
keluar rumah. Tak lama terdengar teriakan, "Dia datang!"
In Kiam terperanjat. Ia tahu beberapa puluh tahun yang
lalu Ang-ie Nio-nio sangat terkenal. Dia sering mendengar
orang menyebut-nyebut namanya, namun wanita hantu itu tak
pernah keluar dari daerah Biauw-kiang. Kemudian karena
namanya termasyur, setiap orang Kang-ouw jerih padanya.
To-pie Sin-kiam In Kiam pun tak terkecuali.
"Apa benar si hantu perempuan sudah ada di wilayah Kanglam
dan kini ada di kota Lim-an?" pikir In Kiam.
In Kiam memandang ke depan. Memang benar tak lama
tampak datang rombongan nona berbaju merah. Melihat
datangnya rombongan ini orang-orang yang tadi telah maju ke
tengah jalan dalam sekejap segera menepi.
Dari kedua tepi jalan, tampak sinar lampu menerangi
pinggiran jalan raya. Cahaya lampu-lampu itu menerangi
rombongan nona-nona berpakaian merah. Wajah mereka
agung dan berpengaruh sekali. Ditambah lagi nona-nona itu
cantik semua, kulit mereka putih dan halus.
"Memang benar mereka!" kata Tiang Keng. "Tapi mana
kereta berhiasnya?" Tiang Keng mengawasi rombongan nona-nona yang
memakai konde tinggi, masing masing mereka sedang
memegang seruling bambu berwarna hijau. Pakaian nonanona
itu sama seperti yang pernah Tiang Keng lihat Hanya
sekarang di masing-masing tangan nona-nona itu terdapat
naya (ayakan) bambu berisi bunga warna merah. Mereka
berjalan berbaris temui masing-masing dua-dua. Di belakang
iringan nona-nona cantik berbaju merah ini, terlihat
rombongan yang sengaja mengikuti mereka dari belakang.
Mereka adalah orang yang kagum dan ingin terus menonton
keindahan barisan nona-nona cantik itu. Namun Tiang Keng
heran, dia tak melihat kereta yang dihias indah yang biasa
dinaiki oleh Ang-ie Nio-nio.
In Kiam terus mengkuti rombongan nona itu dengan kedua
matanya tiba-tiba ia menoleh ke arah In Tiong Teng sambil
berkata, "Tiong Teng lihat bukankah mereka sudah kenal
dengan kita?" Tiong Teng coba menegasi rombongan itu.
"Ayah benar, semua nona itu memang sama seperti yang
pernah datang ke rumah kita." jawab Tiong Teng. "Tapi yang
berbeda adalah bahwa sekarang nona-nona itu usianya lebih
tua dari yang dulu datang ke rumah kita"
In Kiam mengelus kumisnya
"Ya, dulu kuduga mereka muridUn Jie Giok, sekarang
memang terbukti benar," kata ln Kiam. "tapi mengapa Ang-ie
Nio-nionya tak kelihatan'" Ialu mau apa mereka ke sini" Oh
mereka masing-masing membawa kemuning bunga. Apa
mereka akan menabur bunga, tapi di mana?"


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar kata-kata In Kum tersebut Tiang Keng
tersenyum. "Un Jie Giok tak datang, lalu mau apa nona-nona ini?" pikir
Tiang Keng. Mereka menduga maksud nona-nona itu. Tiba-tiba suara
seruling berhenti bersamaan dengan berhentinya langkah
nona-nona itu. Semua nona itu menyelipkan seruling bambu
yang terlilit benang merah itu ke pinggang.
Sekarang yang berada di jalan raya tinggal orang-orang
rimba persilatan. Karena penduduk satu demi satu
meninggalkan tempat itu. Sekalipun mereka ingin menonton
apa yang akan dilakukan oleh rombongan nona-nona cantik
itu. rupanya peristiwa beberapa malam lalu membuat
penduduk ngeri. Mereka yang tetap tinggal pun mematung tak
bergerak. Dua nona yang berada paling depan memberi hormat pada
orang-orang yang masih berada di tepi jalan raya. Sesudah itu
mereka berkata dengan nyaring bersama-sama, "'Kami para
pelayan menerima perintah majikan kami untuk memberi
hormat dan menyerahkan kartu nama pada Tuan-tuan
sekalian!" Suara kedua nona selain nyaring tampak kompak sekali.
Selain merdu kedua nona itu berwajah cantik menarik hingga
semua orang terpesona. To-pie Sin-kiam mengerutkan alisnya.
"Ang-ie Nio-nio benar-benar lihay! Lihat saja bagaimana ia
pandai mendidik semua muridnya. Saat bicara pun mereka
juga rapi sekali. Seolah yang bicara hanya seorang!" kata ln
Kiam pada puteranya. "Dulu saat mereka mengantar bingkisan untuk Ayah,
bukankah ada juga dua nona yang bicara bersama-sama"
Semula aku kira mereka saudara kembar....." kata Tiong Teng.
Dengan tak menunggu orang memberi jawaban, kedua
nona itu memberi tanda hingga nona-nona yang lain segera
menyebar ke empat penjuru.
Diam-diam Tiang Keng mencoba menghitung mereka,
ternyata jumlahnya tiga belas orang. Penonton mulai sadar
ketika melihat nona-nona cantik itu mendatangi.
Tiang Keng mengawasi kedua nona yang menjadi
pemimpin rombongan. Mereka melangkah ke arahnya. Mata
mereka tajam. Setelah dekat, mendadak mereka tertawa
manis. "Eh kau juga ada di sini!" kata mereka mendekati Tiang
Keng. In Kiam keheranan. "Kiranya kau mengenal mereka?" kata In Kiam pada Tiang
Keng. Ditanya begitu. Tiang Keng melengak. Sebelum Tiang Keng
menjawab pertanyaan In Kiam. nona di sebelah kanan
langsung bicara. "Bagaimana kami tak kenal, pagi tadi kami
sudah saling berjumpa."
Sambil tertawa nona itu mengulur tangannya ke dalam
naya bambu, mengambil sebuah sampul berwarna merah, lalu
ia angsurkan pada Tiang Keng. Setelah itu mata si nona
memain, sesudah itu ia berputar dan berjalan ke tempatnya
semula. Sambil melongo heran Tiang Keng menyambut sampul
merah itu dari tangan si nona. Dengan bantuan cahaya lampu
dia bisa membaca. Itu adalah undangan untuk datang ke
paseban It Liang Teng di luar kota Lim-an.
Kecuali hari, tanggal dan jam hadir, undangan itu tak
mencantumkan alamat si pengirim. Yang lainnya terlihat
gambar konde "Kuda Jatuh" Surat dan gambar itu tidak dilukis
melainkan ditempel-tempelkan. Bahannya dari benang emas.
Nona yang lain juga menyerahkan undangan pada orangorang
yang hadir di tempat itu. Mereka menyambut undangan
yang sama itu dengan tercengang-cengang. Setelah
menyerahkan undangan, mereka undur seperti kedua nona
tadi. Orang-orang mengagumi undangan yang mewah itu.
Undangan semacam itu amat langka. In Kiam sendiri
mengamati undangan itu dengan sek lama.
"Tiang Keng," kata In kiam. " Tadi ,jagi kau pergi ke mana"
Apa kau bertemu dengan Ang-ie Nio-nio?" Tiang Keng
menghela nafas. 'Aku menemui banyak sekali pengalaman,
biar akan kuceritakan nanti nada Loo-pee!" kata Tiang Keng.
viat Tiang Keng bicara dengan In kiam, nona-nona itu
sudah berbaris rapi kembali. Kemudian dua nona yang
menjadi pemimpin mulai bicara lagi
"Kedatangan kami sangat terburu-buru dan para orang
gagah di Lim-an mi jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu
kami tak bisa menemuinya satu persatu. Kami mohon pada
yang hadir di sini agar bersedia menyampaikan undangan
pada yang lain! Tolong beritahu hari, jam, dan tempat
pertemuannya. Kami tunggu kedatangan tuan-tuan sekalian!"
kata si nona. Setelah itu mereka memberi hormat sambil
merangkapkan tangan. Mata mereka bermain manis sekali,
sambil menutup mulut dengan jari tangan, mereka tertawa
perlahan. Setelah itu mereka berbalik lalu pergi.... Semua
yang hadir mengawasi sambil bengong ln Kiam batuk-batuk.
"Sungguh hebat Ang-ie Nio-nio'" kata In Kiam. "Dia undang
semua orang begini banyak, apa maksudnya" Apa benar dia
akan memilih seorang menantu" Apa ini pesta orang gagah,
tapi ah tak mungkin....!"
Orang-orang pun mulai ribut membicarakan masalah
undangan istimewa itu, mereka pun sedang kasak-kusuk
hingga mereka tak mendengar apa yang dikatakan ln Kiam
tadi. Di antara mereka ada yang girang luar biasa. Ternyata
pada setiap kartu nama mengandung emas seberat satu tail.
sesudah itu mereka lalu bubaran.
Sementara yang lain pun ikut gembira. Bahkan ada yang
bilang mereka harus pergi ke Thian-bak-san. siapa tahu di
sana mereka akan memperoleh keuntungan lebih banyak.
Saat nona-nona itu meninggalkan mereka, semua mata
tertuju ke punggung nona manis itu sampai mereka lenyap
dari pandangan, ln Kiam dan Tiong Teng mengawasi ke arah
Tiang Keng yang diam bagaikan patung. Rupanya ia sedang
berpikir keras mengapa dia tak bisa menerka maunya Un Jie
Giok Tak lama keadaan mulai ramai lagi. seolah mereka telah
melupakan peristiwa aneh yang barusan terjadi..
0oo0 BAB 27. TIANG KENG MENGUNTIT MURID-MURID UN JIE
GIOK Saat In Kiam, Tiang Keng dan Tiong Teng masih berdiri
diam, tiga orang melangkah mendekati mereka. Ketiga orang
itu dandanannya rapi sekali, sikap mereka pun halus namun
tampak gesit. Mereka memberi hormat.
"Semoga Tuan-tuan dalam keadaan baik-baik saja," kata
mereka. In Kiam sedang berpikir keras, melihat kedatangan mereka,
In Kiam tertawa. "Ah, rupanya kalian murid-murid yang pandai dari Cio Looyacu!" kata In Kiam yang mengenali mereka itu. In Kiam
menoleh ke arah puteranya. "Tiong Teng, beri hormat pada
mereka! Mereka ini murid-murid Cio Loo-ya-cu dari Yan Bu
Piauw Kiok yang ternama. Sudah sepuluh tahun kita tak
bertemu, aku girang melihat kalian begini gagah! Sudah lama
Cio Loo-ya-cu tak meninggalkan kota, apa beliau sehat-sehat
saja!" Saat mendengar kata-kata In Kiam wajah ketiga orang itu
berubah jadi murung. "Eh mengapa kalian ini?" kata In Kiam.
Salah seorang maju sambil memberi hormat.
"Suhu kami telah menutup mata tiga tahun yang lalu..."
katanya. Mendengar jawaban itu I n Kiam terkejut. "Ah benarkah?"
kata In Kiam. "Oh, sungguh tak kusangka, baru beberapa
tahun, aku telah kehilangan lagi seorang sahabat kekalku...
Pantas, setelah banyak yang tua-tua meninggal, dunia Kangouw
jadi begini, setiap hari badai dan gelombang
bermunculan!" Tampak In Kiam berduka sekali
Tiong Teng turut berduka, ia diam saja. Sesaat kemudian
In Kiam mengangkat kepalanya.
"Hiantit, kalian bertiga meninggalkan Kotaraja, apakah akan
pergi ke Thian-bak-san?" tanya In Kiam pada ketiga orang itu.
"Benar, Loo-ya-cu," jawab mereka.
In Kiam tersenyum, tapi saat ia menoleh ia kaget.
"Mana Tiang Keng?" tanyanya dengan suara keras dan
heran. Tiong Teng ikut terkejut. Ia pun menoleh, ia tak melihat
anak muda itu berada di situ. Rupanya saat In Kiam bicara
dengan tiga orang itu diam-diam Tiang Keng ngeloyor pergi.
In Kiam berduka alisnya berkerut.
"Ah Tiang Keng!" keluhnya. "Ke mana dia?"
Sesudah berkata begitu In Kiam lari ke depan, ia lihat
orang-orang masih berkerumun dan lalu-lalang di jalan raya.
Ia tak melihat keponakannya ada di sana. Ia berbalik akan
mencari di tempat lain, tapi tetap sia-sia.
"Mungkin Tiang Keng menemukan sesuatu," Tiong Teng
menduga-duga. Ia tahu Tiang Keng tak akan pergi begitu saja
tanpa sebab. Memang Tiang Keng masih muda namun anak
itu cerdas dan cekatan. Tiga murid Cio Loo-ya-cu tersenyum, mereka memberi
hormat pada Tiong Teng seraya berkata,"In Siauw-hiap, jika
Anda ada urusan, silakan besok saja kami menemui kalian!"
Sesudah itu mereka pergi karena mereka mengira ayah dan
anak itu sedang sibuk dan banyak urusan hingga mereka tak
ingin mengganggunya. "Terima kasih," kata Tiong Teng sambil mengangguk.
Setelah mereka pergi Tiong Teng pun bergegas akan
mencari ayahnya. Setelah bertemu keduanya bersama-sama
mencari Tiang Keng, tapi belum juga menemukan anak muda
itu. In Kiam bingung dan masgul.
"Ke mana perginya dia?" kata In Kiam bingung.
0oo0 Saat nona-nona berpakaian merah itu pergi. Tiang Keng
sedang berpikir keras. "Aku tahu Un Jie Giok memasang perangkap di Thianbaksan,
tapi di mana perangkap itu diletakkan" Jika aku
tunggu sampai saat pembukaan, aku rasa aku terlambat.
Mereka akan menemui Un Jie Giok, sebaiknya aku kuniii
mereka untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
Jika aku sudah tahu di mana perangkap itu diletakkan, aku
bisa bertindak mendahuluinya. ..."
Saat berpikir begitu ia lihat nona-nona itu hampir lenyap
dari pandangan Tak ayal lagi ia bergerak menyusul mereka
tanpa memberitahu lagi In Kiam dan Tiong Teng. Ia lari
membuka jalan di antara kerumunan orang hingga ada yang
terlanggar hampir jatuh. Sebelum orang itu melihat siapa yang
menabrak nya, Tiang Keng sudah lenyap menyusul nona-nona
itu. Nona-nona itu berjalan menuju Keluar kota, ketika itu langit
pun agak gelap, berbeda dengan keadaan di dalam kota.
Apalagi saat itu sudah larut malam Karena itu Tiang Keng jadi
kehilangan buruannya. Padahal samar-samar ia lihat mereka
menuju ke arah itu. Ketika ia pasang telinga, yang terdengar
hanya suara angin yang samar-samar bercampur dengan
suara roda kereta Maka tak ayal lagi ia berlari ke arah suara
itu. Saat Tiang Keng sedang berlari kencang samar-samar ada
bayangan berkelebat di sampingnya. Tapi tak dihiraukannya,
ia berlari terus hingga tak tahu itu bayangan apa. Karena
cepatnya Tiang Keng berlari tak lama samar-samar ia sudah
melihat sosok sebuah kereta di depan dia. Ia lari terus dan
jaraknya semakin dekat hingga tampak jelas kereta itu bercat
hitam mengkilap Sebuah kereta mewah yang ditarik oleh
empat ekor kuda. Di dalam kereta itu memancar cahaya dan
terpeta bayangan orang yang duduk di kereta itu. Samarsamar
Tiang Keng mendengar suara tawa yang diseling oleh
suara roda-roda kereta yang berisik.
Tiang Keng bisa mendengar suara tawa itu dengan jelas,
hingga ia yakin ia tak salah kuntit. Segera ia mempercepat
larinya untuk menyusul, lalu melompat dengan gerakan yang
ringan ke atas belakang kereta itu, hingga sekarang ia tak
perlu berlari-lari lagi seperti tadi. la menempel di belakang
kereta itu, membonceng Kereta tetap dilarikan dengan kencang, debu mengepul ke
udara. Tiang Keng tak menghiraukan debu yang membubung
di belakangnya. Dia hanya berpikir bahwa dia sedang
berusaha menyelamatkan orang banyak. Jalan yang dilalui
sangat jelek, kereta sering berguncang keras, hingga Tiang
Keng harus berpegangan keras agar tubuhnya tak terpelanting
dari atas kereta. Tak lama dari dalam kereta terdengar suara tawa dan katakata,
"Coba bayangkan, lucu tidak, orang yang cecongornya
seperti dia berniat mendapatkan Nona?"
Terdengar suara tawa. "Ya." kata yang lain. "Mereka semua undangan kita.
memang di antara mereka banyak yang tak semenggah, tapi
semuanya baik, hanya dia seorang yang paling menjemukan,
maka tak heran kalau nona kita memotong hidungnya!"
Kembali terdengar suara tawa riang.
"Sungguh kejam!" pikir Tiang Keng.
la mengerutkan alisnya tapi wajahnya tampak senang
entah apa yang membuat dia senang.
"Memang dia menjemukan," kata nona yang ketiga.
"Katanya duapuluh tahun yang lalu dia ternama. Sedang kita
masih muda, tak heran kalau kita belum pernah mendengar
nama Hoa-long Pit-ngo. Dulu ia terkenal, tapi sekarang lain!
Kau lihat, tadi saat ia mendaki tanjakan menggunakan ilmu
meringankan tubuh bernama "Leng-po Sip-pat-coan! Untung
Nona yang melayaninya, kalau orang lain. aku kuatir. "
Nona ini bicara sambil tertawa la baru berhenti nona lain
menyambung pembicaraannya.
"Kalau kau yang menghadapinya, mungkin kulitmu dikeset
seperti kambing dan tubuhmu dilemparkan ke pembaringan!"
kata nona lain. Wajah Tiang Keng berubah merah, tak lama ia mendengar
suara tawa riuh dari nona-nona itu.


Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas!" kata nona yang digoda. "Sekali lagi kau ngaco-belo
akan kurobek bacotmu!"
Sekali lagi terdengar suara tawa riuh.
Nona yang lain sambil tertawa berkata, "Kau...Aku tahu
kau.. Hatimu telah tergoda.... Lihat saja ketika kau awasi si
Jangkung yang bajunya berwarna gelap itu. ..Segera saja kau
mendahului kami berlari ke arah dia dan menyerahkan kartu
undangannya. Malah kau tak tahu malu berkulit muka tebal
bicara padanya. - "Aduh! - Ah, awas kau, kalau kau cubit lagi aku, akan
kukatai kau tergila-gila padanya, sedangkan dia tak sudi
padamu! Pantas kau bilang Hoa-long Pit-ngo ganteng, tapi dia
tak menyukaimu...." Kembali wajah Tiang Keng panas mungkin berubah merah.
Ia tak bisa mendengar senda-gurau. Ia tahu dialah yang
dimaksud dengan sebutan "si Jangkung berbaju warna gelap".
Sekalipun ia mendongkol tapi ia merasa geli juga. Biar
bagaimana senang juga ia mendengar dipuji-puji oleh si nona.
Nona yang digoda itu tak mau mengerti.
"Bagus kau ya, apakah kau kira aku tak tahu" Aku tahu
siapa yang kau sukai! Tahukah kalian, yang ia sukai adalah
pemuda yang ditangkap oleh Couw-koh, yaitu pemuda berbaju
kuning yang dikurung di dalam goa. Saat pemuda itu kita
kepung dengan Nie Tong Sian Bu, dia sudah menyukai
pemuda itu, tak heran saat dia menotok ia totok dengan
ringan sekali....." Tiang Keng kaget rupanya Gim Soan tertangkap oleh Couwkoh
(Nenek) dan dikurung di sebuah goa oleh Un Jie Giok.
"Guru Gim Soan ialah Ban Biauw Cin-jin," pikir Tiang Keng.
"Padahal Ban Biauw dan Un Jie Giok segolongan, mengapa Jie
Giok menahan muridnya" Aneh sekali!"
"Kalian berdua keterlaluan," kata seorang nona. "Di mana
saja kalian bertemu, kalian adu lidah! Itu kebiasaan buruk!
Belum pernah aku bertemu orang lebih buruk dari kalian.
Awas jika kalian tak mau berhenti...."
Mendengar sampai di situ Tiang Keng geli sekali.
"Mereka ini semua baik, sayang mereka anak buah si
wanita hantu." pikir Tiang Keng. Coba mereka tahu kalau
undangan itu mirip dengan panggilan maut, entah bagaimana
perasaan mereka?" Saat cambuk dibunyikan tiba-tiba kereta berbelok. Tiang
Keng sedikit terkejut, hingga pikirannya terganggu. Tiba-tiba
ia mendengar suara nona lain.
"Tahukah kalian aku juga agak heran....." tapi suara itu
berhenti sejenak. Kata-katanya serius. Mungkin si nona pikir
tak layak ia meneruskan kata-katanya.
"Kau keterlaluan, Ci," kata beberapa nona. "Kau biasa
bicara sepotong-sepotong, kau tak tahu perasaan orang
lain....." Nona yang tadi bicara itu agaknya kewalahan.
"Baiklah, nona-nona...." Ia berkata pula. "Baik aku berterus
terang. Mari. kuberitahu, aku heran karena... "
Lagi-lagi ia tak meneruskan kata-katanya.
Tiang Keng heran. "Mengapa ia ragu-ragu?" pikir Tiang Keng.
Tapi tak lama si nona mulai bicara, ia takut kawannya
rewel. "Tahukah kalian, siapa pemuda berbaju kuning itu?"
katanya. "Tahukah kalian murid siapa dia?"
"Mana kutahu!" kata seorang nona sambil tertawa.
"Sebaiknya Enci tanya dia, dia pasti tahu!"
Tiang Keng tersenyum. "Ah nona ini Jenaka sekali, tapi bandel sekali. Dia mulai lagi
membuat gara-gara." pikir Tiang Keng.
Memang benar tak lama Tiang Keng mendengar si Enci ini
bicara lagi. "Kau ini memang bandel! Katanya. "Orang sedang bicara
serius kau malah bergurau. Awas, sekali lagi kau ngaco. aku
tak mau bicara!" "Baik, Ci! Baik aku tak akan bicara lagi..." kata si bandel.
Nona yang lain tertawa riuh.
0oo0 BAB 28. TIANG KENG MENDENGARKAN SEBUAH RAHASIA
BERHARGA Kemudian enci ini tertawa juga. Ia tak tahan melihat
kejenakaan kawannya itu. "Kalian ingat tidak?" katanya
melanjutkan. "Dulu saat kalian masih kecil, ada seorang imam
sudah tua, tapi kelihatan tak terlalu tua, dia datang ke tempat
kita hendak mencari Couw-koh!"
Tiang Keng tercekat. "Apa yang si nona maksudkan Ban
Biauw Cin-jin?" Tiang Keng menduga-duga.
Segera ia memperhatikan kata-kata nona itu. Di dalam
kereta terdengar gumaman nona-nona itu agak perlahan.
"Aku sudah lupa." kata seorang nona. Ada juga yang
berkata, "Ya. aku ingat!"
"Saat itu usiaku lebih tua dua tahun dari kalian." kata si
Enci. "Dan aku masih ingat benar! Mengapa ia berani mencari
Couw-koh" Apa ia tidak tahu kalau Couw-koh paling benci
pada pria" Tapi imam itu kelihatannya baik, maka aku
bersedia mengantarkannya ke kamar Couw-koh....."
Suara nona ini perlahan sekali, rupanya ia bicara sambil
berpikir. "Saat Couw-koh melihat imam itu. kelihatan dia sangat
benci!" kata si nona melanjutkan. "Aku tak berani masuk ke
kamar Couw-koh, tapi aku pun serasa berat untuk
meninggalkan kamar Couw-koh. Lalu aku mencuri dengar di
balik pintu kamar. "Ah kiranya Enci juga tak tahu aturan!" sela si nona bandel
itu sambil tertawa. "Ah, nona ini benar-benar bandel," pikir Tiang Keng.
Si Enci mendongkol tapi ia tak menghiraukan ucapan si
bandel. "Kudengar Couw-koh bertanya bengis. 'Mau apa kau
datang ke mari"' si imam menyahut suaranya perlahan, hingga
aku tak mendengar apa yang ia katakan. Aku dengar bentakan
Couw-koh, 'Lekas pergi!" Aku terus menunggu. Aku tak
mendengar suara apa-apa dan si imam pun tak keluar dari
kamar Couw-koh. Aku khawatir mungkin si imam telah
dibunuh.. Kemudian di dalam kereta jadi sunyi. Tak terdengar lagi
suara tawa. kecuali suara si nona bandel. Rupanya ia tertarik
oleh cerita si Enci. Tiang Keng pun tertarik sekali. Ia yakin cerita si nona
sangat penting baginya.Ia coba mendengarkan lagi.
"Ketika itu nona kita ada di belakang gunung," kata si enci
yang ia maksudkan Un Kin. "Sedang kalian entah ke mana, hingga tinggal aku
sendiri di depan kamar Couw-koh. Aku dengar Couw-koh
mencaci tak hentinya, suaranya keras. Kemudian perlahanlahan
suara Couw-koh sirna. Sedang imam itu tetap berada di
dalam kamar....." Dia berhenti bicara sebentar, lalu melanjutkan lagi dengan
suara berat. "Kejadian itu terpendam dalam hatiku sampai saat ini.
Sampai sekarang aku tetap heran. Sekarang kuberitahukan
pada kalian, tapi ingat kalian jangan cerita lagi pada orang
lain! Jika kalian cerita, jiwa kalian bisa melayang!"
Tiang Keng menghela nafas panjang.
"Begini sulitnya wanita menyimpan rahasia," pikir Tiang
Keng. "Dia sendiri tak bisa menyimpan rahasia, bagaimana ia
minta orang lain tak membuka rahasia?"
Terdengar suara enci yang rupanya puas dan lega hatinya
karena bebannya selama ini telah buyar.
"Semula aku ingin mengintip ke dalam kamar," ia
melanjutkan. "Tapi aku takut, selang tak berapa lama aku
dengar lagi suara Couw-koh. Dia memanggilku, aku jadi
terkejut dan ketakutan bukan main. Aku takut Couw-koh
mengetahui aku menguping di luar kamar, aku juga tak berani
tidak datang setelah dia memanggilku...."
Suara nona itu perlahan ditambah lagi suara roda kereta
sangat berisik. Hal ini membuat Tiang Keng harus bersusah
payah memasang telinganya.
Keadaan di dalam kereta sunyi. sampai ada nona yang
bertanya. "Lalu Couw-koh memanggilmu mau apa?" Dan ada pula
yang berkata,"Kalau aku yang dipanggil, aku tak berani
datang, bagaimana kalau Couw-koh menghukumku?"
Si Enci menghela nafas. "Waktu itu aku juga berpikir sama denganmu," kata dia.
"Tapi aku memberanikan diri, aku berjalan masuk. Aku lihat si
Couw-koh sedang berbincang dengan si imam, aku tak melihat
Couw-koh sedang gusar, malah dia tersenyum. Aku dibawa ke
gunung sejak aku berumur tujuh tahun, belum pernah aku
melihat Couw-koh tertawa. Aku tak mengira ia bisa bicara
sambil tertawa dengan seorang pria. Ketika itu aku jadi heran
sekali hingga aku diam saja."
Semua nona-nona itu menahan nafas. Tak lama terdengar
mereka bertanya dengan bernafsu
"Benarkah begitu" Apa benar?" kata mereka.
Si Enci tidak langsung menjawab. Tak lama ia melanjutkan
ceritanya. "Aku heran, tapi keherananku tak kutunjukkan. Couwkoh
menyuruhku menyiapkan makanan dan arak. Lalu aku disuruh
menunggu di luar. Tak seorang pun boleh masuk, begitu
pesan Couw-koh padaku. Si imam mengawasiku ia tertawa,
agaknya dia sangat puas. Tadinya kesanku baik padanya
entah mengapa aku jadi benci padanya." Si nona menarik
nafas dan melanjutkan. "Saat si imam datang ketika itu lewat
tengah hari. Itu saat nona kita belajar. Aku menunggu sampai
keadaan gelap. Si imam tetap tak keluar juga. Aku lapar
sekali. Mereka berbincang perlahan sekali, terkadang
terdengar suara tawa mereka. Tapi suara mereka makin lama
makin perlahan, bahkan sampai tak terdengar lagi. Aku heran,
apa yang mereka lakukan berdua di dalam kamar itu?"
Di dalam kereta tak terdengar suara lagi, rupanya mereka
sedang memikirkan sesuatu seperti si enci ini. Mereka
memikirkan dan ingin tahu apa yang dilakukan si nenek dan si
imam di dalam kamar itu. Tiang Keng pun berpikir ia hampir tak percaya pada katakata
nona itu. Tapi ketika Tiang Keng ingat ucapan si nenek
tadi pagi Tiang Keng baru sadar.
"Bukankah Un Jie Giok membenci pria karena wajahnya
jelek?" pikir Tiang Keng. "Dia tahu tak akan ada pria yang
menyukainya, sedang Ban Biauw bisa menggunakan
kelemahannya itu. mungkin si imam bisa membujuk dan
merayunya, hingga robohlah hati si nenek. Jika benar begitu,
sungguh hina perbuatan Ban Biauw Cin-jin itu! Tapi mengapa
Ban Biauw berbuat demikian?"
Tiang Keng berusaha memecahkan teka-teki itu dengan
kemampuan otaknya. Namun, sebelum ia mendapat jawaban
mengenai teka-teki itu, ia dengar si enci bicara kembali.
"Saat cuaca sudah gelap, si nona muncul dari ruang
belakang," kata dia. "Lalu kuhadang si nona untuk mencegah
agar dia tidak masuk ke kamar Couw-koh. Tapi si nona
memaksa mau masuk juga, aku jadi ketakutan setengah mati.
Kalian tahu adat nona kita. jadi mana mampu aku
mencegahnya. Aku takut....Aku takut...."
Sampai dua kali kata-kata "aku takut" itu diulanginya, la
diam. Sekalipun dia tak mengatakannya, tapi orang sudah bisa
menerkanya. Kembali di dalam kereta jadi sunyi, jelas mereka
mengkhawatirkan keselamatan si nona.
Sementara itu kereta sudah mendekati Thian-bak-san dan
kota Lim-an sudah tertinggal jauh sekali.
Kereta dilarikan dengan kencang tapi sayang jalannya rusak
berat, hingga kecepatan kereta agak terhambat. Seandainya
orang naik kuda pasti dia sudah sampai di atas gunung itu.
Setelah sunyi sekian lama si enci menghela nafas dan mulai
bicara lagi. "Aku takut dan bingung," kata dia. "Aku ingin menarik
tangan nona kita. Tapi bukan aku bisa menariknya malah aku
tertarik dan masuk bersamanya. Bukan main ngeri dan
takutku hingga aku memejamkan mataku. Tiba-tiba aku
dengar suara Couw-koh. "Hai sedang apa kalian main tarikmenarik"
Lepaskan tangan kalian!" Aku tercengang, lalu
kubuka mataku...." Ia berhenti sejenak. Tiang Keng
keheranan, ia jadi tegang dan ingin tahu kelanjutan cerita si
nona. Hampir ia bertanya, tapi untung ia bisa menahan diri.
Sebaliknya beberapa nona bertanya seperti yang akan
dilakukannya. "Bagaimana eh?" kata mereka. Yang ditanya menghela
nafas. "Di dalam kamar hanya ada Couw-koh sendirian," kata
si nona. "Couw-koh rebah sambil bersandar di pembaringan.
Si imam tak ada entah kapan ia pergi
Nona-nona itu menghela nafas lega, begitu pun si enci.
"Sejak saat itu," dia melanjutkan lagi. "Tabiat Couw-koh
berubah sekali, mungkin kalian tak mengetahuinya, dia
semakin aneh! Adakalanya dia ramah sekali, tapi terkadang
galak sekali. Aku tahu sebabnya, tapi tetap kusimpan dalam
hati, mana berani aku mengatakannya."
Sampai di sini Tiang Keng sadar bahwa antara Un Jie Giok
dan Ban Biauw Cin-jin ada hubungan rahasia sangat istimewa.
Jika ia tak mendengar dari si enci, ia sulit percaya Ang-ie Nionio
bisa berlaku seperti itu. Sekarang ia sadar apa yang ia
dengar tadi pagi dan belum jelas, sekarang menjadi jelas
sejelas-jelasnya. "Sejak itu, beberapa tahun terakhir ini," si enci
melanjutkan, ia jadi senang bicara. "Diam-diam aku menaruh
perhatian! Sejak itu aku sering melihat si imam kerap kali
datang menemui Couw-koh. Mungkin di antara kalian pun
pernah melihat kedatangannya. Tapi mungkin kalian tak tahu
di antara Couw-koh dan si imam ada hubungan apa-apa.
Setiap ia pergi aku pernah mengintai, si imam selalu
membawa sebuah bungkusan. Aku juga tahu setiap saat
barang simpanan milik Couw-koh makin berkurang dan
semakin sedikit. Malah kadang-kadang Couw-koh turun
gunung seorang diri dan lama tak pulang-pulang. Dia tak
pernah bicara, tapi aku tahu dia sedang mencari siapa...."
Kemudian terdengar suara tawa nona-nona itu.
Tak lama terdengar suara si nona bandel berkata sambil
tertawa.

Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang aku tahu, Ci. Imam itu bernama Ban Biauw Cinkun!"
katanya. 0oo0 BAB 29. PENYUSUPAN TIANG KENG AKHIRNYA
TERBONGKAR Kereta besar itu sudah memasuki wilayah pegunungan.
Jalan semakin sulit, tapi si kusir bisa mengendalikan kereta itu
karena ia sudah tahu dan hafal jalannya, namun keretanya
berjalan agak perlahan sedikit. Tiang Keng sudah menduga
orang itu Ban Biauw Cin-jin, tapi setelah mendengar suara si
nona bandel ia jadi lebih yakin lagi.
"Kau benar-benar pintar," kata si enci. "Lalu apa kau kira
selain kau orang lain tak tahu juga" Awas jika rahasia ini
diketahui orang lain!"
"Jangan khawatir, Ci! Sekalipun aku diancam akan dibunuh,
aku tak akan buka rahasia!" kata si bandel.
"Hm!" si enci berdehem. "Tak kusangka, begitu gampang
Couw-koh bisa dikelabuinya," kata seorang nona yang tak
pernah tedengar suaranya ikut bicara. "Aku sudah menduga
lama si imam bukan orang baik, seumur hidupku aku tak ingin
kenal dengan segala pria"
Si enci kagum pada ucapan nona itu. "Bukan aku tidak tahu
orang she In itu mengincar baang-barang Couw-koh," kata dia
sambil menghela naFas. "tapi apa yang bisa kita lakukan" Aku kira Couw-su
kesepian seorang diri, hingga ada baiknya jika ada pria yang
menghiburnya...." "Aku tak berpikir sampai di situ," kata si bandel, "kau tahu
banyak, Ci! Coba kau katakan apa lagi itu."
Si enci bicara perlahan. "Tahukah kalian pemuda berbaju kuning itu murid siapa?"
tanya dia. "Oh!" semua nona mengeluarkan suara heran.
"Bukankah dia murid orang she In?" kata seorang nona.
"Benar," kawab si enci. suaranya perlahan. "Dia murid
orang she In sahabat Couw-koh itu.... Nah kalian pikir saja
sendiri, apakah itu tidak aneh. Mengapa Couw-koh mengurung
pemuda itu?" Tak lama terdengar bisik-bisik, mungkin orang sedang
menerka-nerka. Tiang Keng yang berada di atas kereta semakin mengerti.
Ia berpikir, setelah berhasil menguasai harta Un Jie Giok, si
jelek, Ban Biauw tak sudi kencan dengan si jelek itu, lalu ia
bersembunyi. Karena itu Un Jie Giok jadi kesepian. Ini
berbahaya. Cinta itu seperti air bah, setelah banjir hebat tak
ada yang akan mampu membendungnya...
Setelah berpikir begitu, ia mengawasi ke sekelilingnya,
terutama ke depan. Ia sadar ia sudah tiba di tempat tujuan.
Itu berarti akan tiba saatnya ia berhadapan dengan bahaya
baru. Tak heran ia jadi tegang.
Sekian lama nona yang ada di kereta itu bungkam.
"Mengapa mereka diam?" pikir Tiang Keng. "Apa mereka
berduka memikirkan Couw-kohnya atau sedang memikirkan
yang lain0" Kereta terus melaju, guncangannya semakin terasa, suara
roda semakin berisik. Di seluruh tempat keadaannya sunyi,
sampai suara kutu malam pun tak terdengar....
Saat sesunyi itu tiba-tiba terdengar suara nyaring,
"Berhenti!" Suara itu bekumandang jauh di seluruh lembah, telinga
Tiang Keng serasa mendengung.
"Berhenti! Berhenti!" kembali teriakan itu berkumandang
berulang kali. Sais langsung berseru dan menahan les kudanya. Keempat
kuda itu menahan langkah mereka, kaki depannya terangkat
dan kereta pun mendadak berhenti sambil mundui sedikit.
"Siapa?" terdengar suara bentakan dari dalam kereta.
Tak lama melompat beberapa bayangan dari dalam kereta.
Dari dalam rimba sejenak sunyi, tak lama terdengar suara
nyaring. "Apa kalian sudah mati semua" Mengapa kalian sampai tak
tahu ada orang yang membonceng di belakang kereta kalian"
Apa benar-benar kalian tak mengetahuinya?" kata suara itu
nyaring sekali. Tiang Keng terkejut, ia sadar telah kepergok. Tapi ia belum
tahu siapa orang lihay itu, maka ia menoleh ke arah rimba
untuk melihatnya Semua bayangan itu adalah bayangan nona-nona di kereta,
mereka berdiri tegak di kedua sisi kereta, mata mereka
mengawasi ke arah rimba. Merekajuga kaget oleh suara
bentakan peringatan itu. Dari dalam rimba terdengar suara tawa, disusul suara
nyaring bagaikan suara genta, "Sahabat yang membonceng
kereta, apa kau tetap ingin bersembunyi di sana dan tak mau
turun?" kata suara itu.
Tiang Keng sadar ia tak bisa bersembunyi terus, tapi ia tak
turun dari kereta, malah melompat ke atas atap kereta.
Kemudian ia mengawasi ke arah rimba dengan tajam, ia pun
menegur. "Sahabat yang ada di dalam rimba, kau juga sudah
seharusnya keluar dari persembunyianmu!" kata Tiang Keng.
Kawanan nona-nona itu kaget mendengar teriakan Tiang
Keng itu Mereka berseru dan berniat melompat ke atas kereta.
"Tahan!" kata suara dari dalam rimba.
Tak lama terlihat dua orang muncul dari dalam rimba.
Mereka adalah seorang imam dan seorang pendeta. Yang satu
bertubuh pendek dan yang lainnya jangkung. Yang satu kurus
kering dan yang satunya gemuk sekali. Yang kurus mirip
rebung memakai Ka-see atau jubah pendeta, sedang yang
seorang lagi mengenakan pakaian gerombongan dan di
pinggangnya terselip golok Kay-too, golok istimewa gegaman
(senjata) seorang pendeta. Sedang wajahnya pucat tak mirip
manusia yang masih hidup..
Si kate dan gemuk mengenakan jubah imam yang pendek
dan ringkas, sedangkan rambutnya kusut. Dia kelihatan
seperti orang yang baru bangun tidur. Di pinggang si kate
tergantung sebuah pedang yang lebih pendek dari pedang
biasa. Sarung pedang itu hitam mengkilap, bukan dari kulit
maupun logam. Selain tubuh mereka yang berbeda, suara
mereka pun berbeda, ada yang nyaring ada keras. Mereka
muncul secara bersamaan dan mereka pun jadi berendeng.
Hingga perbedaan mereka jadi makin mencolok, hebatnya
suara mereka menyeramkan.
Melihat kedatangan kedua orang itu, Tiang Keng
keheranan. "Siapakah mereka ini?" pikir Tiang Keng.
Ketika nona-nona itu sudah melihat tegas siapa mereka,
keadaan jadi sunyi dan nona-nona itu segera membungkuk
memberi hormat. Sikapnya hormat sekali.
Si pendeta dan si iman menghampiri Tiang Keng sambil
tertawa dingin. Sediktpun ia tak menghiraukan nona-nona
berpakaian merah itu. Mereka langsung berjalan ke arah
kereta, kemudian mengawasi ke arah Tiang Keng. Si imam
tertawa geli, ia menoleh ke arah si pendeta sambil tertawa
terus. "Ah kiranya dia bocah yang tampan sekali," kata si imam.
"Hwee-shio tua, pasti kau akan merasa kasihan. Tapi sayang
nafsu membunuhku tak pernah hilang!"
Kata-kata itu tak sedap bagi telinga Tiang Keng. Dengan
sangat dongkol Tiang Keng membentak.
Satria Baja Hitam 1 Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Tiga Macan Lembah Neraka 2

Cari Blog Ini