Dendam Asmara Karya Okt Bagian 8
berada di dalam. Bu Kin keheranan, kedua matanya dibuka lebar-lebar.
"Sahabat, kalian ini siapa?" kata Tiang Keng. "Silakan
masuk, mari kita bicara!"
Di antara mereka bertiga Tiang Keng paling miskin
pengalaman, namun matanya sangat jeli. Saat Bu Kin tadi
bicara. Tiang Keng melihat ada dua bayangan melompat ke
atas pintu, la pikir mereka sedang kebingungan. Un Kin
melihatnya belakangan. Sekarang terlihat tegas dua orang yang masih muda berdiri
di hadapan mereka. Rupanya mereka sedang kebingungan.
Jelas mereka bukan anak buah Un Jie Giok. Un Kin ingat pada
keributan tadi. Mungkin kedua orang inilah yang dicurigai dan
kepergok, lalu dikejar-kejar serta dicari-cari.
Kedua orang itu terus mengawasinya, karena yakin. Tiang
Keng tak berniat jahat, keduanya masuk. Tiang Keng
mengawasi mereka dengan tajam.
namun kedua orang itu tak bisa melihat ke dalam kamar
yang gelap itu. Salah seorang dari mereka agak curiga, ia
menyalakan api. Sekarang mereka bisa saling mengawasi
dengan jelas. Kedua orang itu sama-sama tampan, tapi mereka kelihatan
sedang gelisah. Yang membuat Tiang Keng keheranan, kedua
orang itu berpakaian serba kuning, pakaian yang sama yang
dikenakan oleh Gim Soan. Tiang Keng sudah lupa. mereka
berdua pernah bertemu di atas gunung, yaitu saat masih kecilkecil.
Mereka datang bersama Gim Soan dan gurunya Ban
Biauw Cin-kun In Hoan. Selang sepuluh tahun, mereka telah
dewasa semua. Sebenarnya mereka turun gunung bersama Gim Soan, tapi
Gim Soan pergi ke Selatan, lalu mereka berdua berpisahan.
yang seorang ke tepi sungai besar dan yang satunya lagi ke
Se-coan dan Siam-say. Saat pesta di rumah To-pie Sin-kiam.
Souw Sie Peng pernah menyebut-nyebut, bahwa ia pernah
bertemu dengan anak muda di kaki gunung Gan-tong-san. Dia
adalah salah seorang dari mereka berdua, yaitu Tiat Tat Jin.
Kepandaian ketiga murid Ban Biauw Cin-jin ini seimbang.
Mereka tak mengecewakan menjadi murid si imam. Karena
mendengar kabar tentang pi-bu yang akan diadakan di Thianbaksan, mereka yang tertarik datang ke Thian-bak-san. Tiat
Tat Jin dan saudara seperguruannya, Cio Peng, datang
terlambat. Tapi di kota Lim-an mereka menemukan tanda
rahasia dari gurunya. Itu sebabnya mereka langsung
menyusul. Di suatu tempat yang dijanjikan, mereka bertemu
dengan gurumya. Ternyata guru mereka telah berhasil
menolong Gim Soan. Saat itu gurunya melarang mereka ikut
pertandingan di Thian-bak-san tanpa diberi tahu alasannya.
Karena Gim Soan sudah merasakan dihajar musuh, ia tak
berani membantah pesan gurunya. Tidak demikian dengan
Tiat Tat Jin dan Cio Peng, diam-diam mereka berkasak-kusuk.
"Suhu melarang kita mengambil bagian, jika kita datang
sebelum pertandingan dimulai, apa salahnya?" kata Tiat Tat
Jin. Karena kedua anak muda itu tak bisa menahan gejolak
hatinya, diam-diam mereka mendaki gunung Thian-bak-san
Mereka tak tahu kalau di atas gunung banyak orang gagah
dan ternyata mereka kepergok. Karena tak sanggup melawan
orang-orang Un Jie Giok. mereka berniat kabur. Mengapa
mereka bisa lolos, karena saat mereka tiba Tiang Keng sedang
berhadapan dengan si imam dan pendeta, serta tiga jago dari
Hay-lam. Sedangkan Tiang Keng bisa naik tanpa gangguan,
karena saat itu orang sedang sibuk menghadapi kedua
pemuda itu. Kedua pemuda ini cerdik, mereka bisa lolos dan
meninggalkan Siauw Tiat Hong dan Gu-it San, mereka terlihat
oleh Tiang Keng. Semula mereka pikir mereka tak akan bisa
lolos lagi. Maka itu mereka berniat akan bertarung matimatian.
Mereka heran ternyata Tiang Keng baik hati dan
sabar. Ia menyaksikan To-su Tauw-to juga si cantik Un Kin.
Ketika diawasi demikian tajam oleh kedua pemuda itu, Un
Kin tidak puas. Saat itu hatinya memang sedang sumpek.
Sambil mengeluarkan suara "hm" ia kibaskan tangannya,
tak ampun api di tangan salah satu pemuda itu pun padam.
Keadaan tempat itu jadi gelap seperti tadi.
Keadaan jadi sunyi, yang terdengar hanya nafas mereka
masing-masing. Mereka semua waspada karena belum tahu
apa yang ada di hadapannya. Tiat Jin dan Cio Peng diam.
mereka tak ingin menyalakan api lagi. sekalipun sebenainya
mereka sangat ingin melihat wajah Un Kin yang cantik.
Tapi tiba-tiba dari belakang Tiang Keng dan Un Kin terlihat
sinar terang., hingga membuat mereka terperanjat.
0oo0 BAB 36. UN JIE GIOK MELUMPUHKAN DUA MURID IN
HOAN Tiang Keng langsung berkelit ke samping. Ia membalikkan
tubuhnya lalu mengawasi ke arah datangnya sinar. Ia kaget,
di atas meja sudah bercokol seorang perempuan tua,
wajahnya buruk sekali, ia mengonde rambutnya dan
berpakaian serba merah. Kiranya orang itu Ang-ie Nio-nio Un
Jie Giok! Un Kin juga sudah menoleh dan melihat orang itu.
"Suhu!" kata si nona. Nona Un melompat ke depan meja.
Un Kin tak sadar kalau musuh besarnya adalah gurunya
sendiri, tapi si guru menyayangi dirinya seperti menyayangi
anaknya sendiri. To-su Tauw-to pun terperanjat. Tak ia kira si nenek bisa
muncul demikan tiba-tiba. Hanya sekejap hatinya tenteram
kembali. Ia melompat ke samping, karena tak mau mengawasi
perempuan jelek itu lama-lama.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng terperanjat juga. mereka diam
saja. Mereka berdua keheranan, bagaimana caranya tiba-tiba
perempuan jelek itu bisa berada di antara mereka.. Tapi
mereka langsung bisa menebak, bahwa perempuan buruk itu
Un Jie Giok adanya. Mereka awasi tangan si nyonya yang
sedang memegang sebutir mutiara yang menimbulkan sinar
dan mengagetkan mereka. Di lain saat mereka sadar harus segera pergi dari tempat
itu. Mereka awasi terus si nyonya jelek itu, hati mereka gentar
bukan main. Betapa tajam sinar mata perempuan jelek yang
sejak tadi mengawasi mereka itu. Serasa mereka sulit
bernafas saat ditatap oleh si nyonya bengis itu.
Un Jie Giok duduk tak bergeming di atas meja, sinar
matanya bercahaya, kelihatan wajahnya yang buruk dan
bengis. Kedua belah pipinya menonjol bagai sepasang tanduk
ular naga yang jahat, sedang hidungnya bengkok bagaikan
paruh burung garuda. Ketika ia duduk begitu ia mirip dengan
hantu perempuan. Sesaat keadaan jadi sunyi sekali. Tiat Tat Jin dan Cio Peng
tampak jerih bukan main. diam-diam dan perlahan sekali, kaki
mereka bergerak mundur, setindak demi setindak. Mereka tak
ingin ada orang melihatnya. Tapi tiba-tiba terdengar teriakan..
"Berhenti!" bentak si nyonya.
Suara si nyonya tua bengis dan berwibawa Tat Jin dan Cio
Peng berhenti melangkah mendengar suara bentakan itu.
Ketika itu angin yang dingin berhembus masuk, mengenai
punggung, tanpa terasa mereka menggigil.
"Kalian berduakah yang lancang naik gunung dan lari kianke
mari?" tanya si nyonya tua dingin.
Mata kedua anak muda itu celingukan. Punggung mereka
terasa semakin dingin. Mereka mirip seekor tikus yang
ketakutan melihat kucing yang hendak menerkam mereka.
Suara Un Jie Giok tajam menusuk telinga. Un Kin yang
selama ini ikut dengan si nenek pun. ikut ngeri hingga
jantungnya berdebar-debar. Apalagi saat ia lihat sinar mata
gurunya. Itu sinar mata yang tak penah ia lihat sebelumnya.
Sinar mata itu mengandung kemarahan. Ia tak tahu sang guru
gusar pada orang lain atau kepadanya.
"Barangkali ia sudah tahu aku yang melepaskan Gim
Soan?" pikir si nona.
Saat nona Un sedang khawatir ia mendengar suara tawa
menyeramkan dan kata-kata ejekan, "Aku kira dengan berani
naik ke atas gunung, nyali kalian besar sekali! Kiranya nyali
kalian kecil seperti nyali tikus!"
Wajah Tat Jin dan Cio Peng berubah merah. Sejenak
mereka ingin membusungkan dada mereka, tapi entah
mengapa keberanian itu tak ada. Mulut mereka saja yang
komat-kamit tak keluar suara.
Un Jie Giok seperti menunggu jawaban, ia diam.
Akhirnya Tat Jin bisa melegakan hati dan perasaannya.
"Boan-pwee (aku yang rendah), bersama adik seperguruan
Cio Peng datang ke mari atas suruhan Guru kami....."
Tat Jin berkata begitu karena ia tahu gurunya dengan
nyonya jelek ini bersahabat dan saling kenal. Maka itu ia
berharap orang akan memandang gurunya itu...
Tapi Un Jie Giok memotong ucapan Tat Jin.
"Jadi semula kau ingin menemuiku, bukan hendak main
gila?" kata Un Jie Giok.
Kedua anak muda itu mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu siapa gurumu itu?" tanya Un Jie Giok.
Suara si nyonya tetap dingin dan matanya tetap bengis.
Kedua anak muda itu tak melihat sinar mata si nyonya tua
dan mereka tak bisa menerka hatinya. Maka legalah hati
mereka berdua. Mereka seolah mendapat harapan.
"Guru kami bernama Ban Biauw Cin-jin In Hoan. beliau
sahabat Loo-cian-pwee." jawab Tiat Tat Jin.
Dalam keadaan terjepit demikian mereka terpaksa berani
menyebutkan nama dan gelar guru mereka.
"Oh!" suara Jie Giok hampir tak terdengar. Sedang matanya
terus menatap ke arah kedua anak muda itu. Ia seolah hendak
menjajaki hati mereka berdua.
"Jadi kalian murid In Hoan ..." si nenek meneruskan. "Tak
heran.." Suaranya begitu perlahan, seolah dia sangat baik, tapi
mendadak ia melompat tangannya ia ulurkan. Tangan kanan
menyentil, dan tiba-tiba mutiara di tangannya itu melesat
menyambar ke jalan darah ciang-tay di dada Cio Peng. Di lain
saat tubuh si nyonya tua sudah berada di depan Tat Jin, serta
jari tangan kanannya menotok jalan darah ciang-tay anak
muda itu. Kedua murid In Hoan itu tidak berdaya sama sekali, mereka
tertotok dan keduanya terguling rebah di lantai. Sementara itu
Tiang Keng hanya bisa menghela nafas.
"Jika aku yang ditotoknya. apakah aku bisa mengelak?"
pikir Tiang Keng. Sebelum pertanyaan di otaknya terjawab, mutiara yang tadi
mengenai Cio Peng bergulir ke kakinya, la membungkuk, dan
menjemput mutiara itu. Kemudian ia menunggu serangan si
nyonya tua agar ia tahu jawaban yang ada di otaknya itu.
Tapi Un Jie Giok tidak menyerangnya. Ketika mutiara itu
sudah berada di tangan Tiang Keng. Un Jie Giok pun sudah
kembali ke atas meja dan duduk lagi seperti tadi.
Mau tak mau Tiang Keng jadi melengak. Saat menoleh ke
arah Un Kin. ia lihat si nona sedang mendelong di sisi meja.
matanya mengawasi ke bawah.
Kemudian Tiang Keng melirik ke arah To-su Tauw-to yang
berdiri diam di pinggiran tembok, matanya sedang mengawasi
Un Jie Giok. Agaknya dia keheranan.
'"Aku yakin pendeta ini baru pertama kali ini melihat
kepandaian Un Jie Giok"!" pikir Tiang Keng.
Tak lama ia melirik Tat Jin dan Cio Peng. Tubuh mereka
diam tak bergerak. Keduanya mirip dua sosok mayat yang
sudah kaku. Tiang Keng menghela nafas lagi. ia perhatikan
mutiara yang ada di tangannya. Itu sebutir mutiara yang
indah... Sekarang Tiang Keng tak banyak berpikir lagi, ia hanya
melangkah ke arah meja untuk meletakan mutiara itu di atas
meja. dekat kaki si nyonya tua. Ia menahan hati untuk tidak
mengawasi nyonya tua buruk itu. Tapi tak terasa ia angkat
juga kepalanya. Ia kaget ternyata nyonya tua itu pun sedang
mengawasi dia. Perempuan jelek yang ada di depannya ini. musuh
besarnya. Tapi aneh sekarang Tiang Keng jadi tak menentu
pikirannya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Lalu ia
ingat janjinya pada Un Jie Giok. Kemudian ia batuk sekali dan
menoleh ke arah lain. "Ternyata kau juga datang ke mari! Bagus!"kata si nyonya
tua. Ia bicara seolah baru tahu anak muda itu ada di antara
mereka.... Tiang Keng diam saja. seolah-olah ia tak mendengar katakata
nyonya tua itu. "Bu Kin Tay-su." kata Un Jie Giok. "Aku dengar ilmu silat
Siauwlim-pay hanya bagian luar saja. Aku kira ucapan itu
hanya untuk mengelabui orang saja! Apa benar begitu?"
To-su Tauw-to melengak. Ia tak mengerti pertanyaan
nyonya itu. Tapi ia jujur, ia lalu berkata, "Benar, itu memang
kata-kata untuk mengelabuhi orang. Partai Siauw-lim-pay
sejak didirikan oleh Tatmo Couw-su sampai sekarang..."
Un Jie Giok memotong kata-kata orang sambil tersenyum.
"Partai Siauw-lim terkenal di kolong langit, mengenai
riwayatnya aku sudah mengetahuinya."
To-su Tauw-to diam. " Tay-su. kau bertubuh sehat dan kekar, sekali lihat saja
orang sudah tahu bahwa ilmu silat bagian luarmu telah
sempurna benar. Ilmu silat Siauw-lim-pay punya dua bagian,
luar dan dalam, karena ilmu luarmu mahir sekali, maka ilmu
tenaga dalamnya pun pasti tidak berbeda jauh. Benarkah
ucapanku itu?" Mendengar pertanyaan Un Jie Giok itu. bukan hanya si
pendeta tapi Tiang Keng dan Un Kin keheranan. Ternyata Cio
Peng dan Tat Jin yang sekarang tak berdaya pun jadi heran
dan merasa aneh. "Aku belajar sejak masih muda, aku..." kata si pendeta, tapi
langsung dipotong oleh Un Jie Giok.
"Sudah! Tak perlu Tay-su menceritakannya, aku sudah
tahu." kata Jie Giok. "Ilmu silat bagian dalammu pasti tak ada
celanya. Oleh karena itu aku yakin kau pun mengenal ilmu
totok. Benar bukan?"
Aneh sekali sikap nyonya ini. ia bertanya pada si pendeta,
tapi ia selalu menyelak dan memotong pembicaraan orang.
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hingga dengan demikian si pendeta hanya menyahut. "Oh!"
serta mengangguk saja. "Sekarang, coba Tay-su totok pemuda yang berada di
sebelah kiri, agar ia bebas dari totokanku. Aku yakin Tay-su
bisa melakukannya. Benar, bukan?"
Kembali pendeta ini melengak. la benar-benar tak mengerti
sedang main sandiwara apa. Si pendeta meletakkan
senjatanya di tembok, ia melangkah menghampiri Tiat Tal Jin.
Ia membangunkannya dengan menggunakan telapak
tangannya yang besar untuk menepuk sekali, disusul dengan
dua kali totokan di sisi pinggang pemuda itu.
Siauw-lim-pay terkenal ilmu silat luar (Gwa-kang) dan
dalam (Nui-kangnya). Si pendeta bisa membuktikannya. Ia
bisa membebaskan Tat Jin yang tubuhnya ia dorong beberapa
langkah, ia langsung berjalan menuju ke pinggir tembok. Ia
kelihatan tak puas terhadap pemuda yang lemah itu.
Tat Jin berjalan dua langkah, tapi tiba-tiba ia jadi limbung.
Ketika sudah berdiri kembali, mendadak ia muntah reak
kental, lalu ia menoleh, mengawasi ke arah Un Jie Giok sambil
melongo. Akirnya ia menunduk, sambil berpikir karena heran.
"Aneh perempuan jelek ini. dia yang menotokku. mengapa
orang lain yang ia suruh membebaskan aku" Mau apa dia
sebenarnya?" pikir Tat Jin.
BAB 37. UN JIE GIOK BERNIAT MERACUNI IN HOAN
LEWAT KEDUA MURIDNYA Mata tajam dari si perempuan jelek mengawasi ke arah Tiat
Tat Jin. Ia kelihatan seperti seorang pemburu yang puas pada
hasil buruannya. Tak lama sambil tertawa dingin, dia tanya
Tat Jin, "Pasti kau tahu ilmu totok dan cara
membebaskannya?" Tat Jin menunduk tidak menjawab.
Un Jie Giok seolah tak butuh jawaban Tat Jin, kembali ia
tertawa dingin lalu ia berkata lagi, "Tikus kecil yang sedang
rebah itu pasti adik seperguruanmu, bukan?"
Hati Tiat Tat Jin panas bukan main atas kata-kata itu, ia
angkat kepalanya. Baru saja ia menengadah sedikit lalu ia
menunduk kembali. Un Jie Giok berkata lagi. "Sekarang kau boleh pergi, dan
kau angkat adik seperguruanmu itu! Totok dan bebaskan dia!"
kata Un Jie Giok. Tiat Tat Jin agak ragu-ragu. Tapi tak lama, ia memutar
tubuhnya dan menghampiri adik seperguruannya. Ia berbuat
seperti To-su Tauw-to, ia mengangkat tubuh adik
seperguruannya itu. lalu ia totok, ia menotok dengan lebih
cepat dari si pendeta. Cio Peng pun bebas dari totokan itu.
Un Jie Giok mengeluarkan suara dingin, ia tak menoleh
atau menghiraukan kedua pemuda itu. Tiat Tat Jin dan Cio
Peng berdiri mematung, mereka tak tahu apakah mereka
harus pergi atau diam saja di situ. Mata mereka saling
mengawasi, mereka sama-sama ingin tahu apa yang
diinginkan oleh si hantu perempuan jelek itu. Mereka pun
sama-sama tidak berdaya. Sesaat suasana tempat itu sunyi. Mereka sama-sama ingin
tahu langkah apa yang akan dilakukan oleh Un Jie Giok
selanjutnya. Tiang Keng diam saja. ia merasa kasihan kepada
kedua pemuda berbaju kuning itu. Akhirnya Un Jie Giok
bicara, tapi ia bicara seperti pada dirinya sendiri.
"Ada yang berani kurang ajar padaku, tapi mereka tak bisa
hidup lama, tubuhnya berlumuran darah. Ada yang beruntung,
mereka masih punya waktu 49 jam untuk mengurus sesuatu
walau akhirnya mati juga. .. Atau jika mereka cerdas, mereka
bisa tidak harus mati.."
Semua orang melengak mendengar kata-kata Un Jie Giok
ini. Aneh kata-kata hantu perempuan itu. Tiang Keng pun jadi
tak sabaran. "Apa maksudmu?" kata Tiang Keng dengan suara dalam.
Sepasang mata Un Jie Giok bersinar, ia mengawasi kedua
anak muda itu. "Apa kau pernah mendengar ilmu silat yang katanya telah
lenyap dari kalangan Kang-ouw, namanya ilmu Cit Ciat Tiong
Ciu." kata dia dengan dingin.
Tiang Keng gemetar karena kaget, ia mengawasi ke arah
To-su Tauw-to yang ia lihat juga kaget. Wajahnya pucat-pasi,
begitu pun Cio Peng dan Tiat Tat Jin. kini wajahnya seperti
mayat "Jika dia terkena ilmu itu." kata Jie Giok dengan suara
dingin. 'Dia bisa tak segera mati, bahkan tak ada perubahan
pada tubuhnya, sebab kelihatannya seperti biasa saja, tapi
lewat 49 jam, ia roboh muntah darah dan binasa.
Kematiannya sangat tersiksa! Sekalipun dewa. ia tak akan
tahan penderitaan itu....."
Mata Jie Giok menyapu ke semua orang, lalu ia
meneruskan dengan suara perlahan, "Orang yang terkena
pukulan ini. sekalipun ada yang menolong membebaskan jalan
darahnya, ia tak akan tahu dan merasa bahwa dia telah
menjadi korban, kecuali jika dia meraba dan menekan tulang
di belakang lehernya, tulang ketujuh di punggung dan jalan
darah di kedua iganya dan kedua lututnya. Dengan
demikian.." la bicara perlahan, akan tetapi tubuh Tiat Tat Jin tiba-tiba
gemetar. Kedua pemuda itu jadi ketakutan sekali. Tanpa
merasa mereka meraba bagian-bagian yang disebutkan oleh
Un Jie Giok tadi. Bukan main kagetnya mereka karena mereka
pernah mendengar kedasyatan pukulan Cit Ciat Tiong Ciu atau
Tangan Berat Memotong Tujuh. Dan setelah meraba
tubuhnya, mereka merasakan sedikit nyeri pada tulang
punggung mereka, juga pada enam jalan-darah yang lain.
Artinya pukulan itu telah memutus jalan darah mereka. Kedua
murid In Hoan ini baru sadar dan tak ada orang yang mampu
menyembuhkan orang yang tekena pukulan itu..
Sinar mata perempuan tua yang tajam masih memancar ke
arah mereka. Perempuan tua itu tersenyum menyeramkan.
Tiba-tiba Cio Peng berlutut.. "Aku... aku minta ampun.
"terdengar Cio Peng berkata.
"Rupanya kau anak yang cerdik." kata Un Jie Giok.
Kepala Cio Peng tunduk, ia masih muda, ia tak mau mati.
Maka ia pun tanpa malu-malu minta ampun. Sebenarnya
permintaan yang memalukan sekali, tapi dilakukannya karena
ia pikir lebih baik terhina daripada binasa.
Tiang Keng menoleh ke arah lain la anggap perbuatan Cio
Peng itu rendah sekali, sekalipun sebenarnya ia merasa
kasihan. Jika ia berhadapan dengan orang lain, atau di tempat
lain. mungkin ia akan mengulurkan tangan untuk menolong...
Sekarang, ia hanya bisa menghela nafas. Ia tak berdaya. Jika
ia bisapun. belum tentu ia membantunya..
Kembali ia mendengar suara gabrukan, ia tak menoleh
karena ia tahu itu pasti Tiat Tat Jin yang belutut untuk minta
ampun seperti Cio Peng pada Un Jie Giok.
Tak lama terdengar suara dingin dari Un Jie Giok.
"Kiranya kau juga cerdik!" kata Un Jie Giok. "Kau tahu mati
itu tak enak!" Terdengar To-su Tauw-to menghela nafas, sepasang
alisnya berkerut, ia ambil senjatanya, lalu berjalan keluar
ruangan. Ia tidak menoleh lagi. Ia jemu menyaksikan kejadian
itu. Ia tak mau mati, tetapi ia tak mau dihina.
Un Jie Giok tertawa perlahan, tangannya merogoh ke
sakunya. Ia mengeluarkan bungkusan berwarna merah dadu
kecil, bungkusan itu dia lemparkan ke lantai ke arah kedua
anak muda itu. "Itu obatnya, tak berwarna dan berbau juga tak ada
rasanya." kata dia. "Kalian boleh mencampurnya dengan arak
atau air, terserah kalian, sesuka kalian! Jika obat ini diberikan
oleh seorang murid pada gurunya, maka guru itu tak akan
merasakan sesuatu, dia tak akan tahu apa-apa...." Un Jie Giok
tertawa. "Nah, apa kalian sudah tahu maksudku?"
Tubuh kedua pemuda itu gemetar semakin hebat.
Mata mereka mengawasi ke arah bungkusan obat itu, hati
mereka berguncang keras. Hidup! Hidup itu indah, maka harus disayangi.
Hati mereka masih memukul keras, mereka harus memilih,
jiwa mereka atau nyawa guru mereka!
Si lemah tetap lemah, pengecut tetap penakut, hingga Ban
Biauw Cin-jin In Hoan harus menyesal karena saat ia
mengambil murid dan mendidiknya, ia telah bersikap keras
dan kejam. Dia seperti tak menghiraukan jiwa orang lain.
Tat Jin dan Cio Peng mengulur tangan mereka. Tat Jin
yang lebih dahulu berhasil menyentuh bungkusan kecil
berwarna merah dadu itu. Tangan Tat Jin gemetar keras. Lalu
bungkusan itu ia serahkan pada adik seperguruannya. Dia
letakkan bungkusan itu ke tangan Cio Peng....
Un Jie Giok tertawa keras dengan suara dingin.
"Aku tahu kalian semuanya cerdas." kata Un Jie Giok.
"Memang ada orang yang cerdas karena bakatnya, dia bawa
bungkusan obat itu. dalam waktu dua belas jam dia sudah
berhasil membuat obat itu masuk ke dalam perut gurunya. Dia
tak tahu cara apa yang dia gunakan. Demikian juga dengan
kalian, maka dengan demikian kalian akan berhasil merampas
kembali nyawamu!" Tak lama Jie Giok tertawa lagi. wajahnya berubah.
"Sekarang lekas kalian pergi!" kata Jie Giok.
Ia kibaskan lengan bajunya hingga terlihat tangannya yang
kurus kering. "Lekas pergi!" bentaknya.
Kembali Jie Giok tertawa menyeramkan.
Tat Jin dan Cio Peng terkejut. Mereka sangat ketakutan,
mereka mirip dengan dua ekor kelinci, mereka melompat
bangun, lalu mereka memutar tubuh dan lari keluar ruangan.
Dalam sekejap mereka sudah lenyap di balik kegelapan
malam. "Hm!" kembali terdengar suara si jelek. "Hm! Manusia
cerdas!" Tapi tiba-tiba ia menoleh ke arah Un Kin. Sambil
mengawasi, ia berkata. "Anak Kin, kau ikuti mereka! Kau
perhatikan ke mana perginya dua anak yang lemah dan
pengecut itu! Kau bisa?"
Aneh Un Jie Giok ini. la menyuruh Un Kin. tapi ia juga ingin
minta persetujuannya dulu. Tetapi ia juga tak bersedia
memberikan kesempatan orang untuk memilih....
Un Kin agak sangsi. Kedua matanya yang sayu memandang
ke arah leng-pay dan wajah Tiang Keng.
"Ya. Suhu." sahut Un Kin. "Aku.."
Dari wajah Jie Giok yang bengis tersungging sebuah
senyuman. Ia tertawa. "Segera kau pergi!" kata dia. "Sekalipun ilmu meringankan
tubuhmu lebih baik dari mereka, kau harus segera pergi
mengejarnya. Masalah di sini kau tinggalkan saja sebentar!"
"Ya!" kata Un Kin.
la berlari ke luar ruangan. Di ambang pintu mendadak ia
berhenti, menoleh ke arah Tiang Keng dan berkata. "'Kau
jangan pergi, tunggu aku!" kata Un Kin.
Suaranya lenyap bersamaan dengan tubuhnya yang juga
lenyap di balik pintu dalam kegelapan malam.
Tiang Keng hanya bisa mengawasi dengan melongo la
keheranan. Walaupun ia ingin mengatakan Un Jie Giok adalah
musuh besarnya pada Un Kin. namun ia tak bisa.....
Ketika anak muda itu memperhatikan ke arah Un Jie Giok.
ia lihat tubuh Jie Giok yang tadi duduk tegak di atas meja.
sekarang jadi bungkuk. Ketika ia memperhatikan sinar
matanya, kembali ia keheranan. Ia lihat itu sinar mata yang
mengasihi, sayang, seperti sinar mata cinta seorang isteri
kepada suaminya, atau sinar mata sayang dari seorang ibu
pada anaknya. Saat Tiang Keng berdiri diam. Jie Giok berkata dengan
perlahan. "Kau bukan seorang yang cerdas!" kata Jie Giok suaranya
berat dan dingin. Bukan menjawab Tiang Keng malah bertanya.
"Kau dari mana'.'" tanya Tiang Keng. Nyonya tua itu
tertawa dingin. "Ada orang yang karena urusan orang yang
dicintainya, ia sering mendapat masalah yang mendukakan
hatinya." kata Jie Giok. "Seumur hidupku belum pernah aku
menguping pembicaraan orang lain. akan tetapi..."
la tertawa, sedangkan tangannya menunjuk ke atas.
Tiang Keng mengikuti arah tangan Jie Giok yang menunjuk
ke atas. ternyata di atas genting terdapat sebuah lubang.
Hingga ia sadar dan tahu mengapa Un Jie Giok bisa tiba-tiba
muncul dari situ "Jadi kau sudah tahu semuanya?" kata Tiang Keng.
Un Jie Giok mengangguk "Semua telah kudengar." kata dia.
"Ya. aku sudah tahu semuanya!"
la menarik dan menekuk tanganny a. lalu merogoh ke
dalam sakunya. Ketika tangan itu dikeluarkan, sekarang di
tangannya itu tergenggam sebuah bumbung kecil yang
mengeluarkan sinar keemasan.
"Ini alat melepas jamin Ngo ln Hong Jit Touw Kut Ciam,"
kata Jie Giok bengis luar biasa. "Sudah lama kubidikkan alat ini
ke arahmu! Jika kau ucapkan sebuah kata.. Hm! Maka jarum
rahasia ini akan terbenam di ulu hatimu!"
Jantung Tiang Keng berdebar. Nama senjata rahasia itu :
Ngo In Hong Jit Touw Kut Ciam yang artinya jarum panas
seperti teriknya matahari yang tembus ke ulu hati!
Tiang Keng heran bukan main. Heran karena si nyonya
memiliki ilmu menotok Cit Ciat Tiong Ciu yang sudah lama tak
beredar lagi di kalangan Kang-ouw, kiranya sekarang dia juga
pandai menggunakan senjata rahasia beracun dan lebih lihay
lagi. Tetapi Tiang Keng sedikitpun tak takut.
"Jarakmu itu pun tak akan bisa berbuat banyak
terhadapku!" kata Tiang Keng dengan gagah.
Sinar mata Un Jie Giok memain. Mendadak ia tertawa
terbahak-bahak. "Kau benar-benar bukan manusia cerdas!" kata dia nyaring.
"Apakah kau belum sadar bahwa aku akan membunuhmu?"
Ia tertawa lagi, setelah behenti ia berkata. "Aku hendak
membunuhmu tapi kau tak segera pergi!"
Tiang Keng membusungkan dadanya, ia tertawa dingin.
"Aku tahu tak mudah kau bisa membunuhku!" kata Tiang
Keng menantang. Sinar mata si nyonya tua berkelebat.
"Bagaimanapun aku akan membunuhmu!" katanya.
"Sekalipun kau akan pergi, tapi kurasa waktunya sudah
terlambat! Sesudah kau kubunuh bersama ln Hoan. maka di
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dunia ini tak ada lagi orang yang mengetahui rahasia ini! Maka
untuk selamanya Anak Kin jadi milikku!"
Perlahan-lahan ia menunduk wajahnya jadi kelihatan lebih
tua. "Untuk selamanya Un Kin akan jadi milikku!" kata dia lagi.
"Sampai aku mati, tak ada orang bisa merampasnya! Ya. tak
akan ada orang lain!?"
Ia awasi bungkusan berwarna keemasan itu. ia permainkan
di tangannya. "Kau bukan orang yang cerdas! Bukan orang cerdas!
Seharusnya kau pergi sejak tadi!"
Tiba-tiba Tiang Keng tertawa dengan suara nyaring.
"Rahasia yang kau katakan selamanya tak ada orang yang
tahu"!" kata Tiang Keng dengan suara keras, la lalu tertawa
lagi. "Ketahui olehmu di dunia ini tak ada rahasia yang benarbenar
rahasia! Kecuali...."
Un Jie Giok membentak sebelum Tiang Keng menyelesaikan
kata-katanya. "Kecuali kau kubunuh!" kata Jie Giok.
Mendadak ia mengibaskan lengan bajunya, ia melompat
bangun dari atas meja. Tiang Keng segera melihat sesuatu
yang mirip dengan mega berwarna merah melayang ke arah
kepalanya. Ia sadar pada ancaman bahaya maut, segera ia
mendek. kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong
dengan keras sekali. Hebat dorongan itu, sampai mutiara jatuh ke lantai dan
tubuh Jie Giok pun terdorong mundur.
Sedetik kemudian nyonya tua itu sudah maju lagi, sambil
tertawa ia berkata. "Aku tahu kepandaianmu berapa tinggi"
Melawanku, kau tak akan sanggup bertahan sampai limapuluh
jurus! Saat itu aku yakin si Kin belum kembali! Ha... ha... ha!
Aku tak perlu menggunakan senjata rahasiaku untuk
membunuhmu! Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri,
agar selamanya tak ada orang yang tahu rahasiaku. Ya
selamanya!" Sekali lagi si nyonya tertawa. Suara tawanya
membangkitkan bulu roma. Suara tawanya itu ditutup oleh
sebuah serangan hebat. Tiang Keng sudah siaga, ia melawan.
Luar biasa gesitnya Un Jie Giok menyerang Tiang Keng
secara beruntun sebanyak lima kali. Semua serangannya
sangat berbahaya, tapi Tiang Keng yang senantiasa waspada
bisa mengatasi serangan Un Jie Giok ini. Tapi saking gusar
Tiang Keng pun membalas dengan lims serangan hebat ke
arah Jie Giok. Kiranya ia jadi nekad, ia tak merasa takut atau
gentar. Bahkan ia tak berniat kabur atau menghindar, la
menyerang ngan hebat sekali. Suara angin serangan mereka
terdengar menderu-deru. Ketika sudah lewat sepuluh jurus. Jie Giok jadi gelisah
sendiri. Jangankan berhasil membunuh Tiang Keng. untuk
menang di atas angin saja sudah sangat sulit Wajahnya
berubah jadi merah-padam dan pucar-pasi disebabkan panas
sekali hatinya juga bingung.
Tiang Keng memang kalah pengalaman dan kurang latihan,
tetapi tingkat kepandaian mereka setingkat dan tak berbeda
jauh. Maka dengan Tiang Keng melawan mati-matian
setengah nekad. ia bisa bertahan menghadapi si hantu
perempuan. Bagaimanapun, saat pertama kali pertarungan, ia
telah memperoleh sedikit pengalaman.
0oo0 BAB 38. UN KIN MENGETAHUI RAHASIA BESAR YANG
DIPENDAM UN JIE GIOK Un Jie Giok bergerak dengan cepat dan berat. Setiap
serangannya dibarengi dengan tenaga yang keras. Mau tak
mau Tiang Keng pun harus mengeluarkan tenaga, hingga
Tiang Keng sangsi apakah ia mampu menghadapi lawan yang
tangguh ini sampai seratus jurus.
Meja tempat sembahyang dan yang tadi dipakai duduk oleh
Un Jie Giok telah roboh akibat tendangan si nyonya tua bengis
dan bertenaga besar itu. Tiang Keng sadar tanpa senjata ia
akan kewalahan. Suatu ketika Tiang Keng berhasil menyambar
salah satu kaki meja yang berantakan itu. Saat serangan L'n
Jie Giok tiba. kaki meja itu ia gunakan sebagai senjata untuk
menangkis. Ia pegang kaki meja itu dengan tangan kirinya,
maka tangan kanannya bisa setiap saat menotok ke arah Jie
Giok Malah tangan kanannya itu menyambar ke kepala si
nyonya tua. Jie Giok bergerak mendek sambil berseru dan mundur.
Kesempatan ini digunakan oleh Tiang Keng untuk
menyerang Jie Giok dengan kaki meja di tangan kirinya. Dia
gunakan kaki meja itu seperti pedang dan dengan sebelah
kakinya, ia menendang. Maka dalam gebrakan itu ia telah
menggunakan empat macam pukulan. Sungguh hebat kaki
meja yang bergerak seperti pedang itu.
Sekalipun Un Jie Giok terancam serangan lawan, namun ia
tetap tenang dan tak ciut hatinya. Ia tertawa nyaring dan
tajam, sedang tubuhnya bergerak dengan cepat. Dengan
tangan kirinya dia mencoba merampas kaki meja yang ada di
tangan kiri Tiang Keng. Dengan demikian ia menggunakan
ilmu silat tangan kosong melawan senjata Tiang Keng harus
waspada, sedikit ayal. maka kaki meja akan terampas oleh
lawan. Un Jie Giok menggunakan tangan kanan untuk menotok
Tiang Keng. Sebagai alat totok ia gunakan bumbung kecil di
tangannya. Bumbung itu berkilauan keemasan hingga
menyilaukan mata Tiang Keng.
Demikian mereka bertarung hebat, menguji kepandaian
dan tenaganya. Kedua lawan memiliki keistimewaan masingmasing.
Yang satu masih muda dan gagah, sedang lawannya
sekalipun sudah tua tapi gesit dan berpengalaman.
Tiang Keng melayani dengan setiap saat ia harus
mengerahkan tenaga dalamnya. Hal itu penting agar ia bisa
tetap bertahan. Ia kalah latihan, tapi ia murid seorang ahli
silat ternama, maka ia keluarkan seluruh kepandaiannya.
Demikian hebatnya pertarungan itu. tanpa terasa sudah
seratus sepuluh jurus telah mereka lewati. Saat Tiang Keng
ingat ia tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan nyaring.
"Hanya dalam lima puluh jurus kau akan membunuhku!
Tapi, hm aku khawatir... "
Sebelum Tiang Keng tutup mulut, ia lihat Un Jie Giok sudah
melompat ke arah kaki meja. Tiang Keng kaget! Jika kaki meja
itu berhasil dirampas musuh, setiap saat dia bisa ditotok oleh
bumbung lawan yang lihay. Karena ia tak sempat berkelit, ia
lalu menangkis dengan keras.
Dua senjata beradu keras sekali, tangan Tiang Keng
bergetar. Bumbung menekan, terpaksa Tiang Keng bertahan.
Ia rasakan tenaga Jie Giok kuat sekali. Untuk memperkuat
kuda-kudanya. Tiang Keng berseru, ia mengempos
semangatnya. Mutiara yang menggelinding sudah sampai ke depan pintu.
Tiang Keng mencoba tetap bertahan.Saat itu ia rasakandorongan yang semakin kuat dan bertambah kuat saja.
Datangnya serangan itu bagaikan bergelombang, yang satu
punah, datang yang lain. Saat demikian sekalipun ia berpikir
akan menghunus pedangnya, ia tak punya kesempatan lagi.
Saat ia perhatikan wajah si hantu perempuan itu, wajah itu
tampak kejam dan bengis sekali.
Mendadak Un Jie Giok tertawa
"Aku takut kau bukan orang yang cerdas!" kata dia. "Jika
kau sudah mati, maka rahasiaku tak akan ada orang yang
tahu! Untuk selamanya Un Kin akan jadi milikku!"
Jantung Tiang Keng bergetar. Tak disadarinya peluh telah
mengucur deras. Diam-diam Tiang Keng menghela nafas.
Jelas ia tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi Tiang
Keng pantang menyerah, ia masih ingin mncoba kekuatannya
yang terakhir. Tapi.. Mendadak sebuah tubuh berkelebat di pintu, bagaikan
bayangan tubuh orang itu menghampiri. Dia seorang yang
mengenakan pakaian berkabung dan rambut terurai.
Wajahnya pucat, tapi sepasang matanya bersinar. Mula-mula
ia menghela nafas panjang, lalu berkata dingin.
"Tak perlu kau bunuh dia. rahasia itu telah kuketahui!"
katanya. Baik Tiang Keng maupun Un Jie Giok kaget. Masing-masing
melompat mundur. Keduanya berpaling ke arah pintu. Di sana
berdiri nona Un Kin. cahaya mutiara menyinari wajahnya yang
pucat. Un Jie Giok menggigil, dia mundur lima langkah, lalu dia
sandarkan tubuhnya ke tembok. Sambil mengulur tangannya
yang kurus kering dan suara sember karena gemetar, dia
bertanya. "Kau... Kau... Mengapa kau sudah kembali?"
Un Kin mengawasi dengan wajah tanpa perasaan. Ia
angkat kakinya hendak melangkah masuk ke ruangan.
la membungkuk, untuk memungut leng-pay yang
menggeletak di lantai. Kemudian leng-pay itu ia rangkul, ia
berdiri tegak dan matanya memandang tajam ke arah
gurunya, sedang dari mulutnya terdengar suara dingin,
sepatah demi sepatah. "Ayahku telah kau bunuh, benar atau tidak!" kata Un Kin.
Kata-kata itu tajam menusuk ke hati Un Jie Giok, hingga
tiba-tiba tubuhnya menggigil. Tanpa merasa ia mundur ke
pojokan. Un Kin terus menatap dengan tajam.
"Aku sudah tahu ayahku kau yang membunuhnya." kata si
nona. "Benar. Tidak " Katakan benar tidak?"
Sambil berkata si nona melangkah mendekati si nyonya tua
perlahan-lahan. Tiang Keng menyeka peluh di dahinya, ia sadar telapak
tangannya pun telah berpeluh. Hatinya goncang. Itu adalah
saat-saat berbahaya bagi Un Kin.
Makin lama nona Un makin dekat pada gurunya.
"Berhenti!" tiba-tiba Un Jie Giok membentak nyaring.
Un Kin kaget, ia menghentikan langkahnya.
Setelah membentak Un Jie Giok menghela nafas, kemudian
ia menunduk."Ya, aku yang membunuh ayahmu." kata dia
perlahan. "Aku yang membunuhnya...."
Un Kin meraba rambutnya yang bagus, tiba-tiba ia
melompat sambil tertawa nyaring seperti orang kalap.
"Kau membunuh Ayahku!" kata Un Kin. "Ya. kau bunuh
Ayahku! Juga kau bunuh Ibuku." Un Kin tertawa hanya kali ini
tawanya sedih. Tiang Keng merasa tangannya dingin. Suara tawa itu
menusuk hati sangat tajam.
Un Kin mulai melangkah lagi.
"Ibuku juga kau yang membunuhnya, kan?" kata si nona.
air matanya meleleh deras.
"Benar tidak?" ia menegaskan.
Ia melangkah maju. langkahnya berat, setiap langkah
begitu berat seolah seperti godam ribuan kati yang siap
menimpa jantung Un Jie Giok....
Perempuan jelek itu terus bersandar di tembok sambil
menggigil. "Jangan mendekat padaku!" Jie Giok membentak.
Tangannya ia tudingkan. "Jangan mendekat, kau tahu tidak.
Jangan kau paksa aku membunuhmu! Jangan kau paksa aku
membunuhmu!" Un Kin tertawa dengan suara sedih.
"Kau hendak membunuhku?" kata Un Kin sambil tertawa.
"Memang lebih baik kau bunuh aku! Kau toh sudah
membunuh Ayah dan Ibuku..
Tapi kata-kata Un Kin itu dipotong oleh suara tawa Un Jie
Giok, tubuhnya mencelat ke arah pintu. Kemudian terdengar
kata-katanya yang tajam. "Aku telah membunuh ibumu! Ha... haa! Aku telah
membunuh ibumu!" kata Jie Giok.
Tiang Keng terkejut sejenak, ia tak melihat si nyonya tua
karena sudah menghilang di balik pintu. Hanya dari kejauhan
masih terdengar suara tawa dan kata-katanya yang ia ulangulang.
"Aku telah membunuh ibumu! Aku telah membunuh
ibumu!" begitu ia berteriak-teriak seperti orang edan.
Dalam sekejap ruangan itu jadi sunyi, yang terdengar
hanyalah nafas Tiang Keng dan Un Kin berdua.
Un Kin berdiri mematung, ia seolah kehilangan sukma. Saat
ia sadar tubuhnya gemetar, kemudian ia menangis tersedusedu.
la tak bisa berbuat apa-apa, karena ia tak kuat melawan
kesedihan hatinya, maka ia menumpahkan semua derita itu ke
dalam tangisnya.... Tiang Keng lihat tubuh Un Kin terhuyung, ia terkejut dan
lupa segalanya. Tak ia sadari ia menubruk dan menyambar
pinggang Un Kin, agar nona itu tidak sampai terjatuh ke lantai.
"Nona!" ia berteriak. "Kau kenapa. Nona?"
Un Kin diam saja dia hanya terisak. Bukan main susah
hatinya. Di luar dugaan dia ternyata gurunyalah musuh
besarnya, orang yang membunuh orang tuanya! Bertahuntahun
ia dirawat oleh gurunya itu dengan penuh kasih-sayang.
tapi ternyata.. "Lalu bagaimana aku sekarang?" kata si nona. "Ayah. Ibu
mengapa kalian tak memberi kesempatan agar aku bisa
melihat wajah kalian!"
Ia terisak, karena saat itu ia tak melihat wajah kedua orang
tuanya, kecuali dalam khayalan. Sedang wajah Un Jie Giok tak
pernah hilang dari matanya.
"Ah. mengapa nasibku begini buruk?" Un Kin mengeluh.
Tanpa terasa nona ini menangis, air matanya membasahi
tubuh Tiang Keng. Tiang Keng tidak berani bergeser, ia tak tega menggeser
tubuh si nona. la tetap merangkul si nona. ia biarkan si nona
menangis maupun melamun dalam pelukannya.
Tak berapa lama kemudian dari luar sudah tampak cahaya
terang meskipun masih samar-samar. Sang fajar sudah
merayap mendatangi, bersamaan dengan itu bertiuplah silir
angin yang dingin sekali.
Tiang Keng tetap diam. la tak mau mengganggu kesedihan
si nona. Karena ia pikir tangisnya itu bisa melegakan hati si
nona. Jika ia tegur pasti si nona akan bertambah duka.
Tak lama fajar pun menyingsing, tandanya sang siang
sudah datang. Ketika itu sudah lama Tiang Keng tak mendengar suara
isakan si nona. Sekalipun suara napasnya terdengar berat.
Rupanya ketika itu tak terasa Un Kin tertidur lelap. Nyenyak
dalam rangkulan si anak muda yang memeluknya erat-erat.
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiang Keng tetap diam. ia mencoba merapatkan matanya
untuk mencoba menenangkan hatinya. Dengan demikian ia
pun bisa beristirahat. Tiba-tiba nona Un bangun. Ia rasakan hawa dingin sekali.
Ia membuka matanya, dan ia angkat kepalanya hingga ia bisa
melihat wajah si anak muda.
Tiang Keng merasa tubuh si nona bergerak, ia duga si nona
terjaga, maka ia pun menunduk untuk melihatnya, karena itu
sinar mata mereka jadi beradu pandang.....
Sesudah menengadah nona Un tunduk kembali.
Jantungnya berdebardebar. Ia sadar malu dan terperanjat.
Segera ia bangun, untuk duduk di lantai. Dari mulut si nona
terdengar helaan nafas. Agaknya ia ingin bicara tetapi selalu
gagal. Tak lama ia duduk lalu berdiri, la mengawasi pintu, lalu
menarik nafas lagi. "Sudah terang tanah." kata si nona perlahan. "Aku harus
pergi..." la menoleh, sinar matanya sayu.
Tiang Keng mengawasinya. "Tanpa kuberi penjelasan, kau pasti tahu aku akan pergi ke
mana." kata Un Kin. "Aku akan mencari musuh besarku.. Kau
juga akan berangkat, bukan" Sekarang sudah pagi!"
Sesudah itu Un Kin melangkah ke arah pintu, la seperti
ingin melihat apa benar sekarang sudah pagi. Ternyata kabut
sudah buyar. Un Kin menoleh, ia mengawasi si anak muda. Ia seolah
merasa tak akan bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.
Bukankah ia pun hendak mencari musuh besarnya. Mungkin ia
bakal menghadapi bahaya maut! Dengan demikian seolah ia
sedang mengantarkan jiwa.
0oo0 BAB 39. TIANG KENG BERSAMA UN KIN MENCARI MUSUH
BESARNYA Tiang Keng bangun. Ia awasi si nona, hingga mata mereka
bentrok satu sama lain. Tiang Keng diam ketika si nona sudah
sampai di ambang pintu. Tiba-tiba Tiang Keng sadar.
"Nona!" Tiang Keng memanggil.
Un Kin merandek menahan langkahnya, ia menoleh. Tiang
Keng mengawasi si nona sekian lama.
"Nona. tahukah kau ke mana perginya Un Jie Giok?" kata
Tiang Keng. Si nona menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu." jawab si nona perlahan. Ia menghela
nafas. "Tetapi aku yakin aku bakal bisa mencarinya. Aku pasti
berhasil... " Tiang Keng menghampiri si nona.
"Kalau begitu mari kita bersama-sama mencarinya!" kata
Tiang Keng. Nona Un melengak. "Kita?" ia bertanya.
Tiang Keng tidak menjawab, ia menengadah ke langit
sambil menarik nafas. "Sebaiknya ketahui olehmu. Ayah dan Ibuku juga binasa di
tangan dia!" kata Tiang Keng.
Nona Un kaget. "Apa?" kata si nona. "Apa katamu?"
"Sepuluh tahun yang lalu di kaki puncak Sie Sin-hong di
gunung Hong-san...." Sahut si anak muda.
'Oh! Keluh Un Kin. "Oh. aku ingat! Aku ingat di gunung
Hong-san.. . Ya ketika itu kau di sana... kiranya itu kau!"
Si nona langsung menunduk.
"Maka itu aku bersedia menemanimu." kata Tiang Keng.
Pemuda ini tak perlu menjelaskan lebih jauh. karena nona
Un sudah mengetahui duduk persoalannya.
Un Kin mengangkat kepalanya, ia mengawasi ke arah si
anak muda dan anak muda itu pun sedang mengawasinya.
Lagi-lagi sinar mata mereka beradu.
Tiang Keng memegang tangan Un Kin. dadanya berombak.
Nona Un diam tapi dadanya ikut bergerak-gerak.
"Jika aku membantumu menuntut balas, itu artinya aku
juga membalas sakit hatiku sendiri," kata Tiang Keng. "Tapi
sekarang entah ke mana perginya Un Jie Giok. Tapi kita bakal
menemukannya, bukan?"
Muda-mudi ini diam sejenak. Un Kin tak menjawab katakata
Tiang Keng. Tiang Keng terus menunggu jawaban si
nona. Tapi rupanya tak lama mereka sudah jadi seia-sekata.
Tak berapa lama mereka keluar dari wihara itu dan berjalan
menuju ke Thian-bak-san. Itu adalah sarang Un Jie Giok.
Mereka sadar mereka sedang menempuh bahaya. Bukan
karena Un Jie Giok sangat lihay bagi mereka, tapi di atas
gunung pun banyak jago-jago silat ternama, undangan Jie
Giok. Dengan demikian pasti jago-jago itu akan menghadapi
mereka berdua... Sekalipun demikian mereka maju terus
pantang menyerah. Matahari sudah semakin tinggi membuyarkan kabut.
Cahayanya memancar ke segala penjuru. Daun-daun di sekitar
gunung tampak hijau. Tiang Keng berjalan di samping nona Un.
"Musuhmu..." kata si nona. "Kecuali Jie Giok, ada lagi yaitu
imam bernama In Hoan. Maka jika kita tak bisa menemukan
guruku, kau akan kutemani mencari si imam. Hanya untuk
yang bisa kuatur.. "
Un Kin menarik nafas. Ia tak melanjutkan kata-katanya.
Sebenarnya ia putus asa....
Tiang Keng mengangguk. "Tadi malam mengapa kau bisa segera kembali lagi?"' kata
Tiang Keng pada si nona. Tiang Keng baru ingat pada masalah itu. karena heran si
nona bisa kembali demikian cepat. "Apa barang kali In Hoan
ada di sekitar tempat ini?" ia berpikir.
"Sebenarnya aku tidak menguntit mereka, tapi kuhadang
mereka di tengah jalan. Aku minta agar mereka mengatakan
tempat guru mereka!" jawab Un Kin "Ketika itu pikiranku
sedang kusut. Aku heran kenapa guruku menyuruh aku
menguntit mereka, padahal saat itu bisa saja ia tanyakan pada
mereka tempat gurunya. Aku yakin mereka tak berani
berbohong. Sekarang aku baru sadar, selain ia ingin
menyuruhku pergi, ia juga hendak membunuhmu!"
Tiang Keng mengawasi si nona dengan tajam.
"Jika tadi malam kau tak segera kembali, mungkin. " kata
Tiang Keng.. "Mungkin..."
Un Kin tersenyum, ia bisa menebak ke mana maksud katakata
Tiang Keng itu. "Sekarang aku mengerti, apa artinya pembalasan," kata si
nona. Tiang Keng mengangguk Mereka terus berjalan, sekarang mereka telah memasuki
tempat yang banyak pepohonannya.
"Perubahan suasana ini mungkin akan membuat orang
banyak yang putus asa. " kata si nona. Ia pun menghela nafas
panjang. "Banyak yang datang dengan suatu maksud, tapi
sasaran mereka gagal.... Ini ada baiknya. mungkin ini
keberuntungan kita. jika tidak..."
Tiang Keng mengangguk. "'Oh. ya! Aku akan menanyakan
sesuatu, boleh tidak?" kata Tiang Keng.
"Katakan saja!" kata si nona
Tiang Keng menarik nafas sebelum ia mengajukan
pertanyaannya. "Aku ingin membicarakan orang-orang Koay To Hwee...."
kata Tiang Keng. Tapi tiba-tiba ia berkata lagi. "Ah sudahlah,
lebih baik aku tak menanyakannya, lagi pula itu sudah
berlalu....'" Un Kin tahu maksud pertanyaan Tiang Keng.
"Kau jangan kuatir," jawab si nona. "Mereka itu tidak
binasa di tanganku! Mereka juga bukan dibunuh oleh pelayanpelayanku!"
Tiang Keng bernafas lega.
Memang ia tak berharap si nona akan menjawab. "Mereka
terbunuh olehku!" ia tersenyum. Tapi ia tak tahan untuk tak
berkata lagi. "Yang mengherankan, mereka tak tahu siapa yang
membunuhnya.. .." kata Tiang Keng.
Un Kin kembali menghela nafas.
"Untuk selamanya tak akan bisa kau terka siapa pembunuh
mereka itu," kata si nona.
Tiang Keng mengawasi tajam.
"Seandainya aku memberitahumu, pasti kau tak akan
percaya," kata si nona lagi "Tapi kelak kau akan tahu sendiri!"
Tiang Keng heran. Sambil berjalan otaknya pun bekerja.
"Apa dia Ban Biauw Cin-jin In Hoan?" kata Tiang Keng.
Tiang Keng penasaran keingintahuannya sangat keras
Nona Un menggeleng kepala.
"Apa beberapa orang murid imam itu?" tanya Tiang Keng
lagi. Kembali Un Kin menggelengkan kepala.
Tiang Keng makin keheranan.
'"Aku benar-benar tak bisa menerkanya." kata Tiang Keng.
"'Siapa orangnya yang bisa menggunakan senjata rahasia
sehebat itu. jika bukan In Hoan dan sebangsanya!"
Un Kin tertawa perlahan. "Senjata rahasia itu bernama Bu Eng Sin Ciam (Jarum Sakti
Tanpa Bayangan)." si nona menjelaskan. "Sebenarnya jarum
itu aku yang melepaskannya..."
Mendengar jawaban itu Tiang Keng terperanjat. Mendadak
ia menghentikan langkahnya, wajahnya berubah.
"Kau?" kata dia. "Kau"
Un Kin tidak terperanjat oleh pertanyaan itu. Malah ia
tersenyum manis. "Tapi senjata rahasiaku itu tak berbahaya dan tak melukai
orang, tetapi malah sebaliknya bisa menolong orang..."
Tiang Keng melongo, ia mengawasi nona yang ada di
depannya. "Bisa menolong?" kata Tiang Keng. keheranannya jadi
bertambah. "Apa artinya kata-katamu itu?"
"Ceritaku panjang, nanti saja akan kuceritakan perlahanlahan."
kata Un Kin. "Yang penting sekarang kau percaya
padaku dan aku tak akan membohongimu!"
Sambil berkata si nona menunduk, wajahnya berubah
merah-padam. Tiba-tiba ia menunjuk ke arah depan.
"Lihat di sana!" kata si nona. "Itu pintu gerbang dan itu
adalah tempat yang akan dijadikan tempat pertandingan silat
itu!" Tiang Keng mengawasi ke depan.
"Katanya dia tak akan mendustaiku." pikir Tiang Keng.
Tiang Keng melihat sebuah jalan kecil yang menanjak. Dia
mengawasi ke gerbang dari daun-daun yang ditunjuk oleh si
nona. Gerbang atau kaca-kaca itu tingginya lima tombak dan
lebarnya tiga tombak. Di kiri kanan gerbang itu digantung
sepasang lian (syair) yang berbunyi "Menengadah melihat
langit luas tanpa batas, menunduk mengawasi jago-jago
Rimba Persilatan". Kata-kata itu sungguh temberang.
"Itu pasti tulisan Un Jie Giok!" kata Tiang Keng.
"Bukan!" kata Un Kin sambil menggeleng kepala.
"Lalu tulisan siapa?" tanya Tiang Keng.
"Pasti kau tidak bakal menyangka siapa penulis lian itu"
sahut si nona. Kembali Tiang Keng keheranan.
"Siapakah penulisnya?" tanya Tiang Keng.
"Penulis lian itu adalah Sin-tauw Kiauw Cian, si Raja Copet!"
sahut Un Kin. "Apakah dia Sin-tauw Kiauw Cian - si hartawan, yang
membawa-bawa lukisan perempuan yang dia puji-puji di
mana-mana?" Tiang Keng menegaskan. "Sungguh tak
disangka, mengapa ia ada hubungan dengan Un Jie Giok?"
Un Kin tertawa dingin. "Itu seperti pepatah mengatakan, tahu muka, tak akan
mengetahui hatinya!" kata Un Kin. "Baik buruknya hati
manusia itu, sukar ditebak. Di kalangan Kang-ouw siapapun
mengatakan Kiauw Cian itu orang baik, tapi yang sebenarnya,
hm! Sudahlah, aku tahu sekali mengenai dirinya!"
Saat Un Jie Giok memutuskan akan memancing semua jago
silat datang ke Thian-bak-san. Jie Giok sudah mengatur
semuanya dengan sempurna. Tetapi ia masih membutuhkan
orang yang pandai bicara untuk mempropagandakan
pancingannya itu. Jie Giok tak ingin memakai orang yang
sembarangan. namun ia juga tak bisa bekerja sendiri. Setelah
dipikir-pikir, akhirnya Jie Giok mengirim tiga orang utusan
untuk memilih calon juru-bicara itu. Setelah orang itu
diperoleh, mereka lalu diundang ke atas gunung. Salah
seorang dari orang yang terpilih itu adalah Kiauw Cian,
sedangkan salah seorang dari teman Kiauw Cian sangat benci
kepada Un Jie Giok. Orang itu lalu dibunuh supaya ia tak
membocorkan rahasianya. Saat hendak dibunuh ia memakimaki
Un Jie Giok. Sedang yang seorang lagi orangnya
pendiam, ia menurut saja, tapi malamnya ia mencoba kabur.
Tapi celaka ia kepergok dan dirintangi serta akhirnya dibunuh
juga. Sebaliknya si Raja Copet, selain bersedia bekerja sama.
ia juga mengajukan bermacam-macam usul. Saat ia turun
gunung akan menyiarkan pertemuan para jago silat, ia
membawa gambar dan mutiara banyak sekali.
Un Kin mengisahkan semua tentang Kiauw Cian pada Tiang
Keng, hingga pemuda ini sangat benci dan ingin
membunuhnya. "Orang semacam dia, aku tahu banyak sekali!" kata si
nona. "Ada orang yang di kalangan Kang-ouw sangat terkenal,
tapi hm. ternyata.... Nanti sesudah kau ada di dalam, kelak
kau akan menyaksikan sesuatu yang tak pernah terpikir
olehmu!" Tiang Keng menghela nafas, ia mengikuti si nona terus
berjalan ke arah gapura. Sesudah berjalan beberapa tombak
jauhnya, mereka menemukan jalan bercabang dua, pada
setiap jalan terdapat papan kayu pek berisi pemberitahuan.
Papan yang satu berbunyi : "Inilah jalan yang benar, silakan
Tuan berjalan dari sini". Papan yang lain bertulisan : "Jika
lewat dari jalan ini sulitnya seperti mendaki langit"
Setelah membaca tulisan itu Tiang Keng berpikir keras.
"Rupanya Un Jie Giok ingin menguji ilmu meringankan
tubuh setiap orang..." pikir Tiang Keng.
Saat Tiang Keng sedang berpikir ternyata Un Kin
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil jalan yang sulit itu.
"Dia bertabiat keras sekali, pada saat begini pun ia tak ingin
menunjukkan padaku, bahwa dia tak sudi menunjukkan
kelemahannya. Dia malah mengambil jalan yang sulit! Ah.
bukankah akan lebih baik jika ia menghemat tenaga, agar
tenaga tersebut cukup untuk menghadapi musuh nanti?" pikir
Tiang Keng. Ketika itu si nona yang sudah berjalan agak jauh ia
menoleh ke belakang, tangannya menggapai. Maka tak ayal
Tiang Keng pun menyusulnya.
0oo0 BAB 40. TIANG KENG DAN UN KIN MENEROBOS SARANG
UN JIE GIOK Tabiat Tiang Keng keras. Memang, menurut suara hatinya
ia juga lebih suka memilih jalan yang dikatakan sulit seolah
mendaki langit. Ia anggap, ia cocok dengan perasaan si nona
yang memilih jalan yang sulit itu. Dengan demikian dengan
cepat mereka telah melewati jalan sejauh belasan tombak. Ia
lihat jalan makin sempit dan benar-benar sulit dilalui. Tapi bagi
mereka itu bukan suatu rintangan.
"'Jika jalan ini dianggap sulit seperti memanjat langit, maka
di dunia ini sungguh banyak jalan yang sulit!" pikir Tiang
Keng. Sambil berpikir Tiang Keng terus berlari-lari mendaki. Lewat
belasan tombak kemudian ia jadi heran. Jalan itu bukan makin
sulit, malah ia menemukan jalan itu rata, sekalipun orang tak
bisa silatpun mereka bisa berjalan di tempat ini dengan
leluasa! Saking heran Tiang Keng jadi curiga. Lalu ia berkata
pada si nona. "Jika jalan ini disebut sulit, lalu bagaimana dengan jalan
yang lainnya itu" Barangkali jalan itu empuknya seperti ketika
kita berjalan di atas kapas?" kata Tiang Keng. Un Kin tertawa.
"Kembali tebakanmu salah!" kata si nona.
Tiang Keng keheranan, tapi hanya sebentar, kemudian
sadar. "Ah! Kalau begitu ini akal Un Jie Giok, bukan?" kata Tiang
Keng. "Jalan yang bagus sukar dilalui, jalan yang jelek mudah
dilewati. Bukankah dengan demikian banyak orang yang
terjebak dan terperdaya. Sembilan dari sepuluh jago silat jadi
korbannya!" Un Kin mengangguk. "Kali ini kau menebaknya tepat sekali!" kata si nona. "Jalan
yang bagus dan rata serta tak mencurigakan, tapi sebenarnya
banyak perangkapnya. Jangankan orang yang kepandaian
ilmu meringankan tubuhnya rendah, sekalipun yang lihay, jika
dia lalai, dia pasti terjebak! Apalagi di jalan yang disebut
seratus langkah pasir. Atau sungai yang diberi nama sepuluh
tombak sungai beracun. Sedikit saja orang kurang hati-hati,
jiwanya bisa melayang."
Sesudah itu Un Kin diam sebentar, baru ia meneruskan lagi
kata-katanya. "Kebanyakan orang yang datang ke mari. mereka ingin
merampas mustika." kata si nona. "Mereka kebanyakan bukan
orang lihay, maka mereka tak mau membuang tenaga, lalu
memilih jalan yang bagus. Hingga dengan demikian mereka
terjebak, bukan saja tak berhasil mengambil mustika, malah
mereka pun binasa! Sedang yang lihay. mereka memilih jalan
yang sukar. Berbagai rintangan yang ringan bukan halangan
baginya. Hingga ia bisa mencapai tujuannya tanpa rintangan!"
Tiang Keng menghela nafas.
"Un Jie Giok benar-benar lihay!" pikir Tiang Keng. "Dia
sungguh berbahaya! Ada pepatah yang mengatakan, barang
siapa berani mendekati gin-cu (pewarna) dia akan merah,
barang siapa mendekati bak (tinta), maka ia akan hitam. Itu
memang benar. Demikian dengan Un Kin yang selama ini
dididik dengan keras dan kasih sayang dari Jie Giok. maka Un
Kin jadi berhati keras, agak kejam. Ah. tapi mudah-mudahan
saja setelah dia selalu dekat denganku, kemudian ia bisa..."
Mendadak Tiang Keng berhenti melamun, ia berpikir
lamunannya terlalu jauh. Lalu ia melangkah ke depan, sampai
akhirnya mereka sampai di ujungjalan. Di sini mereka
menemukan sebuah gapura lain, di tempat ini tak ada lian.
hanya ada tiga buah huruf besar berbunyi ; Tee It Kwan
artinya kota nomor satu. Un Kin berdiri di bawah Pay-louw (gapura), dan mengawasi
Tiang Keng sambil tersenyum.
Wajah Tiang Keng bersemu dadu.
"Eh kau sudah sampai lebih dulu." kata Tiang Keng. Un Kin
tertawa. "Aku lihat kau sedang berpikir, maka kau kulewati," kata si
nona. "Entah apa yang sedang kau pikirkan?" Ia mengawasi
wajah Tiang Keng, ia lihat wajah Tiang Keng merah dadu.
mendadak ia sendiri lalu menunduk.
Dalam waktu yang singkat kedua muda-mudi itu telah
mendapat perasaan yang luar biasa hingga mereka lupa kalau
mereka pernah jadi lawan satu sama lain. Kesan baik yang
timbul di antara mereka membuat mereka berdua tersenyum.
"Di sini seluruhnya terdapat tiga buah gapura." kata nona
Un. "Di gapura pertama ini ada tiga buah lui-tay (panggung
tempat bertanding). Pada gapura nomor dua terdapat Lo-hanhio
dan Bwee-hoa-cung (Patok bunga bwee). Pada gapura
yang ketiga disiapkan bagi kaum Lay-kee (ilmu tenaga dalam)
untuk mereka saling menguji kepandaiannya. Masing-masing
seperti Kim-too-hoan-ciang. Ngo-bong-sin-cu. Kek-san-pa-gu.
Sesudah melewati ketiga gapura itu baru..." la berhenti bicara
sejenak, wajahnya jadi merah, tapi segera ia bicara lagi, "Tapi
sekarang semua itu sudah tak kuhiraukan lagi!"
Tiang Keng menghela nafas.
"Untuk semua ini entah berapa biaya yang dikeluarkan,
belum lagi tenaga Un Jie Giok," kata Tiang Keng. "Sungguh
tabiatnya aneh sekali! Semua itu dia atur untuk mencelakakan
orang lain, juga mencelakakan diri sendiri. Dari In Hoan aku
dengar, setiap perangkap sangat berbahaya, sedang orang
yang mengatur lui-taynya semua manusia iblis. Lalu di mana
mereka sekarang?" "Para undangan Jie Giok sebagian belum sampai, yang
sebagian sudah ada di dalam. Mungkin sekarang mereka
sedang tidur." kata Un Kin.
Sebelum kata-kata Un Kin selesai diucapkan, di balik Paylouw
terdengar suara panggilan.
"Nona kami di sini!"
Mau tak mau Tiang Keng dan Un Kin terkejut, keduanya
langsung menoleh dengan cepat. Dari atas Iauw-teng bambu
di samping pay-louw, melompat tiga orang, mereka melayang
bagaikan burung walet dan terlihat tiga nona yang
mengenakan pakaian serba merah yang ringkas.
Mula-mula mereka mengawasi ke arah Un Kin. Ketika
melihat Tiang Keng mereka jadi heran, mereka berdiri dan
sangat tercengang. Mungkin sedikit pun mereka tak mengira
nona mereka akan berada bersama-sama dengan Tiang Keng.
Ketiga nona itu adalah nona-nona yang mengantarkan
undangan ke kota Lim-an. Setelah mengawasi sebentar,
mereka langsung mau bicara.
Tapi didahului oleh Un Kin.
"Ada apa?" kata si nona.
Ketiga nona itu melengak, mereka saling mengawasi heran.
"Hwee-shio dari Siauw-lim-pay ," kata nona yang paling
tua. "Bentrok dengan Cian Lie Beng To dan Bu Eng Lo-sat,
entah apa sebabnya, tadi pagi-pagi mereka memaksa si hweeshio
bertarung... ." Alis Un Kin berkerut. "Sekarang keadaannya bagaimana?" tanya si nona.
"Tadi kami lihat hwee-shio itu sedang menghadapi Bu Eng
Lo-sat. mereka bertarung di atas patok Lo-han-hio, tempat
yang menjadi gapura kedua." sahut pelayan itu. "Sekalipun
bertubuh besar dan berat hwee-shio itu bergerak sangat gesit,
tubuhnya ringan, tapi saat ia akan mendapat kemenangan,
mendadak Cian Lie Beng To menghentikan pertarungan. Dia
bilang hasil pertandingan itu seri dan tak perlu diteruskan.
Lalu Bu Eng Lo-sat digantikan oleh Tiat-kiam Sun Yang yang
akhirnya imam dan hwee-shio itu bertarung hebat di atas
patok Bwee-hoa-cung!"
Un Kin tertawa dingin. "Itu siasat pertandingan berganti-ganti bagai roda kereta!"
kata si nona kesal. "Sungguh tak tahu malu!" kata Tiang Keng sengit.
"Semula kami kira mereka sedang bergurau," kata nona
pelayan itu. "Tapi makin lama mereka bertarung makin hebat,
tak ubahnya mereka sedang mengadu jiwa! Kami bingung dan
takut, kami tak bisa berbuat apa-apa, lalu kami lari ke dalam
untuk melapor tapi ternyata Couw-koh tidak ada di tempat.
Kau juga tak ada. Karena itu kami jadi bingung..."
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi.
"Un Jie Giok tak ada" Ke mana dia?"
Begitu yang ada di benak mereka berdua. Wajah Un Kin
jadi muram. "Teruskan ceritamu!" kata si nona.
Ketiga nona itu jadi ketakutan sekali, belum pernah mereka
melihat wajah Un Kin begitu bengis. Dua nona langsung
tunduk, hanya yang tertua langsung bicara lagi.
"Ketika kami lari keluar, mereka sudah bertarung di tempat
lain, di gerbang ketiga. Di sana seorang yang bertubuh tinggi
besar yang disebut Ngo Teng Sin Ciang menghadapi si hweeKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
shio dalam barisan Kim-too-hoan-ciang. Si hwee-shio sudah
kelelahan, tubuhnya sudah mandi keringat, nafasnya
memburu. Tapi kakinya masih tetap gesit dan tenaganya
sangat kuat. Ngo Teng Sin Ciang sangat tangguh, mereka
berimbang.." Tiang Keng menghela nafas.
"Bukan kebetulan Siauw-lim-pay menjadi jago Rimba
Persilatan." kata Tiang Keng, kagum. "Padahal To-su Tauw-to
hanya ahli tingkat dua. Tapi tenaga dan kepandaiannya harus
dikagumi. Maka tak sembarang orang bisa mengalahkannya!"
Tiang Keng berkata begitu karena ia tak mengetahui si
hwee-shio seorang pria sejati. Dia juga telah meyakinkan ilmu
Cap-sha Tay-po Heng-lian dari ilmu Tong Cu Kang untuk
beberapa puluh tahun tanpa henti.
"Setahu kami mereka yang berjaga di gapura ketiga lihay
semuanya. Barang siapa kurang waspada, ia pasti celaka!
Maka siapapun yang terluka, maka lukanya berbahaya sekali.
Mereka semua orang undangan Couw-koh dan nona sendiri.
Kami tak berdaya mencegah pertarungan itu. Akhirnya kami
berpencar, yang lain mencari Couw-koh dan kami mencari
nona. Ternyata kita bertemu di sini!" kata si pelayan paling
tua. Sambil berkata nona-nona itu tetap mengawasi ke arah
Tiang Keng. mereka jadi heran kenapa musuh mereka ada
bersama si nona. "Apa benar Couw-koh tak ada di kamar Lek-tiok-hian?"
tanya Un Kin. "Benar tidak ada!" kata si pelayan. "Kami sudah... "
"Apa kau sudah memeriksanya dengan benar?" desak si
nona. "Kami sudah mencarinya dengan teliti sekali," sahut si
pelayan. "Oh!" keluh Un Kin. "Lalu apakah sekarang Bu Kin Tay-su
masih bertarung?" "Saat kami meninggalkannya, mereka sedang bertarung
hebat sekali." jawab si pelayan.
Kembali dia melirik ke arah Tiang Keng.
Tiang Keng menyaksikan tingkah nona pelayan itu, mau tak
mau wajahnya jadi berubah merah.
Un Kin menarik nafas, ia menoleh ke arah Tiang Keng.
"To-su Tauw-to sedang bertarung, kita harus melihatnya,
bukan!" kata si nona pada Tiang Keng.
"Benar," kata Tiang Keng.
"Un Kin selama belasan tahun bersama Un Jie Giok,
sekalipun cara bicaranya mirip, tapi ia selalu mengakhiri katakatanya
dengan pertanyaan, bukan____ Ah sudah mengapa
kupikirkan!" pikir Tiang Keng.
Tiang Keng mengawasi ke bagian dalam, selain ranggon
masih ada pagar dari bambu, kursi dan meja, berarti tempat
itu tempat bersenang-senang. Kelihatan jalan berbatu yang
menanjak ke arah bukit. Di sana terdapat tanah datar dan di
situlah berdiri tiga buah lui-tay yang terbuat dari kayu pekyang.
Setiap lui-tay lebarnya lima tombak kali tiga tombak.
Semua sudah dihias indah sekali seperti panggung untuk
penunjukan wayang orang. "Ah jika setiap lui-tay itu digantungi lian. baru tepat!" kata
Tiang Keng. Un Kin melirik ke arah Tiang Keng.
"Lian macam apa kiranya?" tanya si nona.
"Aku pernah mendengar dongeng tukang cerita," kata
Tiang Keng. "Misalnya lian yang berbunyi : dengan kepalan
menghajar harimau dari gunung selatan, dengan kaki
menendang naga dari utara. Atau lian lainnya: orang gagah
nomor satu dari dunia Kang-ouw, jago Rimba Persilatan tanpa
lawan. Jika ketiga lui-tay itu tanpa lian jadi kurang pantas.
Si nona tertawa perlahan.
Ketiga nona pelayan itu pun ikut tertawa.
Tiang Keng malah menghela nafas.
"Di sini." kata Tiang Keng. "Ternyata dongeng dan
kenyataan jauh berbeda sekali! Dalam dongeng banyak yang
sedap-sedap, sebaliknya dalam kenyataan banyak kepahitan
dan kesedihan. Benar, kan?"
Un Kin mengangguk perlahan.
0oo0 BAB 41. BU KIN TAY-SU DISELAMATKAN OLEH TIANG
KENG Mereka meneruskan perjalanan hingga mereka tiba di
sebuah lembah. Di situ terdapat jalan cukup panjang, jauhnya
belasan tombak. Sekarang mereka terhadang oleh hutan
lebat. Di sebuah pohon terlihat sebuah papan bertulisan "Teejiekwan" atau kota yang kedua.
Segera Un Kin masuk ke dalam hutan. Tiang Keng pun
mengikutinya, anak muda ini terus pasang mata dengan jeli.
Ia lihat beberapa gubuk yang seolah tiangnya terbuat dari
pepohonan dan dibangun indah sekali. Dengan demikian
orang jadi betah tinggal di hutan itu. Tiang Keng kagum dia
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghela nafas. Ia lihat setiap gubuk dipasangi tulisan
berbunyi . Tempat untuk merawat orang yang terluka.
"Ah. sungguh sempurna rencana Un Jie Giok sampai
demikian telitinya!" pikir Tiang Keng.
Tiga nona berbaju merah anak buah Un Kin berjalan di
belakang Tiang Keng. mereka sering memperhatikan Tiang
Keng, terkadang mereka saling pandang dengan sesama
temannya. Di tengah rimba terdapat sebuah tempat terbuka yang
tanahnya rata. Pasti tempat itu sengaja dibuat demikian.
Pohon kayu yang besar-besar, kulitnya sudah dibersihkan,
dan diletakkan di berbagai tempat hingga balok-balok itu jadi
berfungsi sebagai tempat duduk. Masih terdapat sebuah
lapangan yang di tengahnya terdapat banyak bangku panjang.
Di situ terdapat empat lingkaran terkurung oleh balok-balok
besar. Kalangan atau lapangan pertama tak karuan penuh batu
yang tidak teratur. Di situ terdapat tulisan . Loan-sek-tin
(Barisan batu), yang kedua penuh pasir dan ditulisi Houw-seetin
(Barisan pasir), sedang tempat yang ketiga terdapat
delapan puluh satu patok kayu dan diberi nama Bwee-hoachung
(Barisan patok kayu bunga Bwee). Patok kayu itu
sangat terkenal di kalangan Siauw-lim-pay. Lapangan yang
keempat diberi nama Lo-han-hio (Patok ikatan hio), seikatdcmiseikat hio didirikan, tapi di antara ikatan hio sudah
terlihat ada yang patah-patah.
Menyaksikan keadaan tempat itu Tiang Keng tertawa
dingin. "Pasti Bu Kin Tay-su tadi bertarung di tempat ini," pikir si
anak muda. Kemudian Tiang Keng memperhatikan ke sekitarnya.
"Ah. tak heran jika Un Jie Giok bersusah payah
membangun tempat merawat orang yang terluka. tempat ini
memang menyeramkan dan masuk akal kalau dia menyiapkan
tempat itu. Setiap orang yang bertarung di atas lapangan itu.
lalu siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan terluka?"
pikir Tiang Keng. Tiang Keng berpikir sambil berjalan, ia sudah melewati
Houw-see-tin dan Lo-han-hio. Tubuh Tiang Keng bergerak
gesit dan ringan. Dengan tak mendapat rintangan mereka
memasuk hutan, ia mengikuti nona Un. Sedang di belakang
dia mengikuti para nona pelayan berbaju serba merah. Mereka
jelas keheranan, sambil mengawasi bagian belakang Tiang
Keng, tiba-tiba ketiga nona itu tersenyum.
Sesudah berjalan sekitar belasan tombak. Tiang Keng
tersentak kaget. Un Kin menarik nafas, perlahan lalu melirik ke
arah Tiang Keng. "Itu semua ciptaan Sin-touw Kiauw Cian." kata si nona
Kiranya yang mengherankan Tiang Keng adalah dua baris
peti mati terbuat dari kayu pek-yang dan diatur rapi sekali di
kedua tepi jalan. Jumlah peti mati entah berapa, sebab tak
terlihat jelas. Di jalan yang sempit dan berbahaya itu. setiap
hati orang yang melihatnya pasti tidak akan tenteram.
Tiang Keng maju terus dengan cepat.
"Hm!" dia mengeluarkan suara di hidung. Dia kelihatan
sengit la pikir, jika ia bisa bertemu dengan Kiauw Cian di tempat
itu, dengan tak banyak bicara lagi ia akan menghajar orang
she Kiauw itu. Jarak jalan jauhnya sekitar satu lie dan saat itu angin
berhembus terasa dingin sekali. Suatu saat mereka tiba di
sebuah ujung jalan, di sini mereka menemukan sebuah gapura
bertulisan Tee-sha-kvvan (Kota yang ketiga). Di tanah tegalan
ini berdiri empat buah panggung. Dari belakang panggung itu
terdengar suara berisik, suara orang saling membentak ramai
sekali. Tiang Keng dan Un Kin mempercepat larinya. Tiba di depan
panggung mereka langsung melompat naik, maksudnya untuk
melihat ke arah suara bentakan-bentakan itu. Tinggi
panggung sekitar tiga tombak, dengan demikian mereka bisa
melihat segenap penjuru dengan leluasa sekali.
Di tengah empat buah panggung itu digelar pasir rata
sekali, di sana ditancapkan golok-golok yang tajamnya
menghadap ke atas Karena sudah diasah golok-golok itu
berkilauan ketika terkena cahaya. Di kin dan kanan panggung
terletak para-para senjata, di sana tergantung golok pendek
yang terikat dengan rantai, namun kelihatan berat sekali dan
modelnya lain daripada yang lain. Semua rantai yang dipakai
menggantung golok ada bandulnya. Bandul inilah yang terus
berbunyi saat angin bertiup kencang.
Tak lama Tiang Keng melihat dua sosok tubuh manusia
yang bergerak-gerak. Demikian cepatnya hingga mereka bagai
bayangan. Dari mulut mereka terdengar suara bentakan yang
tak henti-hentinya. Ketika Tiang Keng mengawasi ke arah lui-tay, ia
menyaksikan belasan orang sedang duduk menonton. Tiang
Keng mengira mereka adalah jago-jago dari Rimba Persilatan
yang terdiri dari golongan tua maupun muda. Banyak yang
rambutnya sudah beruban, ada yang wajahnya penuh dengan
bewok, ada imam yang berkonde tinggi. Pakaian mereka pun
beraneka warna, wajahnya tampak garang.
Tiang Keng mengawasi ke arah mereka, sebaliknya mereka
pun mengawasinya, tapi semuanya tetap duduk tak ada yang
bergerak atau bersuara. Tiang Keng dan Un Kin keduanya melompat ke atas
panggung. Mereka berdiri berendeng. Munculnya sepasang
anak muda ini telah membuat orang-orang mengawasi, tapi
mereka tetap diam. Mungkin mereka menganggap Tiang Keng
termasuk sahabat mereka juga. Diam-diam ada lima orang
yang kemudian bergerak, setelah mereka mengenali siapa
anak muda tersebut. Mereka berlima adalah Pay Kiam Pian
Too dan Hay-lam Sam Kiam. orang yang kemarin pernah
bertarung dengan si anak muda.
Sesudah mengawasi sejenak Un Kin melompat turun, ujung
kakinya menginjak ujung golok. Sinar matahari menyinari
wajahnya yang cantik, anginpun bertiup perlahan. Rambut si
nona tertiup angin begitu pun pakaiannya.
Menyaksikan kegesitan dan ringannya tubuh Un Kin, Tiang
Keng kagum. Sekarang orang banyak segera bangkit untuk
memberi hormat. "Pagi-pagi sekali Nona sudah datang!" kata mereka.
Un Kin masih muda, ia murid satu-satunya dari Un Jie Giok.
Dia memiliki kepandaian sangat tinggi, tak heran kalau para
jago silat itu hormat kepadanya. Un Kin mengambil sikap
ramah, ia membalas hormat itu. sambil tersenyum ia berkata
manis. "Selamat pagi para Loo-cian-pwec sekalian!" kata Un Kin.
Kemudian Un Kin menoleh ke arah rombongan Ngo Hong
Sin Cu Tin. la saksikan dua orang itu sedang bergerak dan
gerakannya gesit sekali. Mereka adalah To-su Tauw-to dan
Cian Lie Beng To. Un Kin tertawa dingin sambil berkata.
"Kenapa Bu Kin Tay-su berkelahi?"
Ucapan Un Kin tak dijawab Seseorang terlihat melompat ke
arah barisan golok. Orang itu bertubuh kurus jangkung.
Kelihatannya ia lihay dalam ilmu meringankan tubuh.
Begitu orang itu sampai Un kin langsung menyapa.
"Siauw Tay-hiap." kata si nona sambil melirik. "Apa kau
tahu mengapa mereka berkelahi?"
Sebelum menjawab Bu-eng lo-sit tertawa nyaring.
"Perkelahian ini dikarenakan kami sudah lama mengagumi
ilmu silat kaum Siauw-lim-sie!" jawab Bu-eng Lo-sat "Itu
sebabnya kami mohon petuinjuk padanya dan tak punya
maksud lain!' "O begitu?" kata si nona. namun suaranya sedikit
mengejek. Setelah U Kin tertawa dingin, ia melanjutkan
katanya. "Ketahui olehmu. Kim Too Hoan Ciang dan Ngo Bong
Sin Cu bukan tempat orang untuk mengadu kepandaian!" kata
Un Kin. Mendengar teguran itu Siauw Tiat Hong melengak. Tak
lama kemudian ia tertawa.
"Jika orang bisa berhati-hati, aku kira tak ada bahayanya!"
kata Siauw Tiat Hong. Baru saja Tiat Hong tutup mulut, dari tengah lapang
pertandingan terdengar suara nyaring hingga semua orang
terpaksa menoleh ke arah suara di lapangan pertandingan.
Melihat Un Kin datang, semangat pendeta dari Siauw-limsie
itu bangkit secara tiba-tiba. Ia segera menyerang dengan
hebat dan sebutir Ngo-bong-sin-cu melayang ke arah
lawannya. Gu It San bertubuh bungkuk, ketika ia mendek untuk
menghindar dari serangan Ngo Bong Sin Cu, dengan demikian
ia berhasil membebaskan diri dari serangan itu. Tiba-tiba ia
membalas, ia sampok sebutir mutiara yang lain.
To-su Tauw-to. atau si pendeta Siauw-lim-sie, menyerang
sambil berseru lagi. Ternyata dua senjata rahasianya beradu di
tengah jalan, suaranya nyaring sekali. Celaka baginya tangan
baju si pendeta tergores sin-cu yang lainnya. Mau tak mau
kaget juga dia. tubuhnya jadi limbung.
Menyaksikan keadaan lawan sedang limbung, Cian Beng To
girang sekali. Dia tertawa, tubuhnya melompat mundur
sebanyak tiga langkah ke belakang, la tidak ingin menyerah,
tapi malah pasang kuda-kuda dan menyerang dengan kedua
tangannya. Dia melontarkan empat buah senjata rahasia biji
Ngo Bong Sin-cu. Sekalipun serangan itu dilakukan
bersamaan, namun sasarannya berbeda-beda.
Melihat lawan menyerang dengan senjata rahasianya, si
pendeta Siauw-lim-sie jadi putus asa. Ia sebenarnya gagah,
tapi karena sudah letih sekali dan harus bertarung secara
beruntun, tak heran jika kegesitannya jadi agak berkurang.
Saat ia diserang, ia belum siap pasang kuda-kuda. Saat itu
tubuhnya masih agak limbung. Ia kaget dan menghela nafas.
Dia yakin kali ini ia bakal celaka dalam barisan Ngo Bong Sin
Cu Tin.. Saat pendeta yang sudah putus asa dan menerima nasib,
mendadak telinganya mendengar suara senjata rahasia yang
nyaring beberapa kali. disusul oleh jeritan yang menyayat hati
dari Gu It San. Ketika itu ia merasakan lengannya ada yang
memegang, tubuhnya mundur setombak lebih jauhnya, baru
ia bisa berdiri tegak, la membuka matanya, sebab tadi ia
pejamkan untuk menerima nasib. Ia lihat matahari terang
benderang. Memang Ngo Hong Sin Cu masih menyambarnyambar
simpang-siur. namun ia sudah berada jauh di luar
kalangan, di tempat yang aman....
Ternyata ia ditolong oleh Tiang Keng.
0oo0 BAB 42. MUNCULNYA SI ORANG TUA ANEH DI TENGAH
GELANGGANG Tiang Keng menolong si pendeta Siauw-lim-sie pada saat
yang tepat. Sambil bersiul keras ia melompat ke arah si
pendeta, ia pegang tangannya yang ia tarik dan bawa
menyingkir sejauh satu tombak dari tempat pertandingan.
Menyaksikan lawannya telah ditolong oleh Tiang Keng, Gu It
San menyerang lagi dengan hebat. Rupanya Gu It San tak
senang si pendeta selamat dari serangannya. Ia melompat,
lagi-lagi ia gunakan kedua tangannya untuk melemparkan
senjata rahasia yang lihay ke arah Tiang Keng dan si pendeta.
Menyaksikan serangan maut yang kejam itu. Tiang Keng
mengerutkan dahinya. Dengan menggunakan tangan bajunya,
dia menangkis serangan lawan. Tiang Keng mengibas ke
belakang, ke arah penyerangnya. Saat ia mengibas, ia
gunakan tipu silat Liong Bwee Hui Hong atau Ekor Naga
Mengebut Angin Menyaksikan anak muda itu hendak merintangi maksudnya.
Gu It San tertawa. "Hai. kau mau mencari mampus sendiri,
ya?" Ia angkat sepasang tangannya ke depan dadanya, lalu ia
dorong ke depan dengan keras. It San mengerahkan seluruh
tenaganya Ia yakin jika tangan mereka beradu maka tangan
Tiang Keng akan patah. Di luar dugaan, sebelum tangannya bentrok dengan tangan
Tiang Keng. tiba-tiba ia merasakan dorongan sangat keras ke
arah dadanya. Ia sadar bahaya mengancam dirinya. Sialnya.
Gu It San tidak sedang berada di tanah, hingga tubuhnya
bergoyang. Terpaksa dia mundur tiga langkah. Tapi celaka
lima butir sin-cu menghajar punggungnya
Ia rasakan tubuhnya bergetar, hatinya mencelos dingin,
sedang mulutnya terasa bau amis. Sambil menjerit darah
segar menyembur dari mulutnya. Sebenarnya Gu It San
mengerti ilmu Kim-ciong-tiauw (ilmu kekebalan) dan Tiat-pousan.
sehingga tubuhnya tak akan mempan senjata tajam.
Namun karena sedang bergerak, sin-cu berhasil melukainya.
Tiang Keng melompat ke arah pendeta Siauw-lim-sie yang
sedang terpesona oleh gerakan Tiang Keng.
"Tay-su, apa kau tak terluka?" tanya Tiang Keng.
Wajah pendeta itu berubah merah, la ingat sikapnya pada
pemuda ini tempo hari. Sekarang justru ia ditolong oleh si
anak muda. Si pendeta langsung memberi hormat.
"Anak muda. terima kasih. Hari ini aku takluk kepadamu!"
kata dia. Tiang Keng tersenyum, ia membalas hormat itu. "Anda
terlalu memuji!" Tiba-tiba Bu-eng Lo-sat (Lo-sat Tanpa Bayangan)
melompat ke Ngo Bong Sin Cu Tin. ia berniat mengangkat
tubuh Gu It San. Dia bergerak dengan gesit di atas patok
golok. Dia bawa mayat sahabatnya itu ke tepi pelataran
pertandingan. Lalu ia letakan di situ.
"Ah. kiranya ia sudah tewas!" kata Bu-eng Lo-sat.
Mendengar ucapan Bu-eng Lo-sat Tiang Keng kaget. Dia
tak menyangka lawannya tewas. Ia kelihatan sangat
menyesal. Ia melompat dari patok golok ke arah Tiat Siauw
Hong. "Sahabat mungkin dia masih bisa tertolong!"
Namun Bu-eng Lo-sat mendadak menoleh dan membentak,
"Pergi dari sini! Jangan mendekat!"
"Aku bermaksud baik, mengapa kau berlaku kasar begitu?"
kata Tiang Keng. "Apa" Bermaksud baik" Hm! Aku belum pernah mendengar
ada kucing menangisi tikus yang diterkamnya!" kata Bu-eng
Lo-sat kasar. "Kau tak akan mampu mengelabuiku. Aku bukan
anak kecil." Tiang Keng kaget. Ia mengerti kondisi Bu-eng Lo-san Ia
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awasi tubuh Gu It San yang mandi darah. Dua matanya
melotot dan kelihatan bengis. Sambil memejamkan mata
Tiang Keng menghela nafas.
"Sebenarnya maksudku baik. tapi jika kau tak percaya...."
Sebelum Tiang Keng selesai bicara, tiba-tiba Un Kin muncul di
sampingnya. "Jika dia tak percaya, ya sudah!" kata si nona.
Tiang Keng menarik nafas.
"Aku tak bermusuhan dengannya, aku juga tak sengaja
melukainya... aku jadi tak enak hati...." kata Tiang Keng.
Si nona tertawa dingin. "Bagaimana jika ia berhasil membunuh Bu Kin Tay-su?"
tanya si nona. "Jika kau tak menolongnya, siapa yang akan
menyalahkanmu" Apa kau akan membiarkan Bu Kin binasa?"
kata Un Kin. Tiang Keng menunduk dan diam, ia menghela nafas
panjang. Tiba-tiba Bu-eng Lo-sat berdiri tegak.
"Aku tak peduli kau bermaksud baik atau jahat," kata Bueng
Lo-sat. "Yang jelas Gu It San mati di tanganmu! Kelak,
keluarganya pasti akan mencarimu!"
Tiang Keng kaget, ia menunduk. "Balas dendam, ya anak
Gu It San akan sepertiku menuntut balas! Aku sekarang ingin
balas dendam. Ini tak akan ada habisnya! Entah kapan akan
berakhir?" pikir Tiang Keng.
Tiba-tiba Un Kin berkata pada Bu-eng Lo-sat Tiat Siauw
Hong dengan nyaring. "Kau sahabat Gu It San, jadi kau akan
menuntut balas?" Mata Tiat Siauw Hong berputar sambil mengawasi si nona.
"Membalas dendam demi sahabat itu wajib!"
"Jadi kau mau membalaskan sakit hati sahabatmu dan kau
akan membunuh orang yang membunuh sahabatmu, bukan?"
kata si nona. Ditanya demikian Tiat Siauw Hong melengak. "Bukankah itu
wajar?" Un Kin bersikap tenang. "Memang dia telah
membunuh sahabatmu, tapi dia bukan musuhmu, kenapa kau
ingin membunuhnya" Apa alasanmu" Adilkah itu?" kata Un
Kin. "Siapa bilang tak beralasan?" kata Siauw Hong. "Aku
membalaskan sakit hati sahabatku, aku kira itu pantas!"
'Kau benar, kau akan membunuh orang yang sebenarnya
tak bermusuhan denganmu. Kau bilang itu pantas! Sekarang
aku tanya, bagaimana jika Gu It San berhasil membunuh si
pendeta?" Tiat Siauw Hong melengak. Un Kin tak
menunggunya bicara, ia sudah berkata lagi.
"Gu It San jelas akan membunuh sahabat kami, lalu kami
menolongnya. Apakah tindakan kami itu tak pantas?" kata Un
Kin. Kata-kata Un Kin yang terakhir membuat Tiat Siauw Hong
terdiam dan bungkam. Melihat lawan kalah bicara. Un Kin
berkata lagi. "Nah, sudah. Kau bawa mayat sahabatmu itu,
mengapa diam saja!" kata Un Kin.
Ia membungkuk lalu ia pondong tubuh Gu It San. tak lama
ia berjalan dan menghilang dari tempat itu. Tiang Keng masih
kecewa, ia tunduk saja. Tiba-tiba dari satu tempat ia
mendengar ada yang bicara.
"Seorang nona yang lihay! Bu-eng Lo-sat dibuatnya pergi
seperti seekor tikus!" kata orang itu.
Selesai bicara orang itu melompat ke arah kedua anak
muda itu Ketika Tiang Keng menoleh, ia kagum pada ilmu
meringankan tubuh orang ini. Ia seorang pria beruban dengan
pakaian seperti pakaian perempuan. Namun ia tak memelihara
kumis maupun jenggot. Menyaksikan dandanan dan sikap
orang itu. Tiang Keng jadi geli tapi itu dia tahan untuk tak
tertawa. "Aku kebetulan sampai, kepandaian silatmu belum pernah
kusaksikan. Namun aku kagum caramu menggoyang lidah!"
kata orang itu. Selain pakaiannya yang luar biasa, orang tua ini pun
memiliki suara seperti perempuan. Un Kin heran dan dongkol.
Ia tak kenal orang ini. ia juga tak tahu kapan orang itu
datang. Un Kin menoleh pada para pelayan, mereka iuga
bingung. "Maafkan aku. mataku agak rabun. Lo-cian-pwee..." Tapi
sebelum Un Kin menyelesaikan kata-katanya, orang itu sudah
menyela sambil tertawa. "Nona, pasti kau heran! Aku ini siapa" Aku diam-diam
datang tadi malam dengan maksud mengejutkan kalian
semua!" kata si orang tua.
"Jika tadi malam tak terjadi insiden, tak semudah itu kau
bisa sampai ke mari...." pikir Un Kin.
Sebenarnya di antara orang yang ada di tempat itu ada
yang mengenal nya. Tapi mereka hanya diam.
"Nona kau tak kenal aku. tapi aku mengenalmu. Aku si
orang tua sudah lama mendengar kecantikanmu, terlebih
keganasanmu hingga aku ingin datang ke Thian-bak-san!"
kata si orang tua. Mendadak mata Un Kin melotot. "Kau pernah apa pada Hoa
Long Pit Ngo?" tanya Un Kin.
Orang tua itu tertawa, wajahnya sudah keriput dan
matanya merah tapi dua baris giginya rata dan putih. "Matamu
tajam sekali. Nona! Aku Pit Su, kakakku tak berguna seperti
juga aku sendiri!" jawab si orang tua.
Mendengar jawaban orang itu Un Kin sedikit terkejut. "Jadi
kau adalah Pit Su yang bergelar Giok Long (Pria Kemala)?"
Mendengar ucapan si nona, orang tua itu tertawa. Sambil
membuka dan menutup matanya, orang tua itu mengangguk.
Tiang Keng kaget, ia berpikir. Dia ingat saat membonceng
kereta ke Thian-bak-san. Dia pernah mendengar para pelayan
bercerita bahwa Un Kin pernah memotong hidung Pit Ngo.
Sekarang Pit Su datang untuk balas dendam. Pit Su bergelar
Giok Long sedang Pit Ngo bergelar Hoa Long (Pria Bunga).
"Benar kedatangannya pasti untuk balas dendam," pikir
Tiang Keng siaga. Dia siap membantu jika Un Kin diserang.
Nona-nona pelayan Un Kin juga mengawasi.
"Oh jadi kedatanganmu untuk membalas sakit hati
adikmu?" tanya Un Kin.
"Sabar, Nona. Aku bukan hendak menuntut balas." kata Pit
Su. "Kau salah besar!"
Un Kin dan Tiang Keng tercengang mereka mengawasi
dengan heran. "Pit Ngo sudah tua dan tolol!" kata Pit Su. "Dia tak tahu
diri. Siapa suruh dia ingin makan daging angsa kahyangan"
Jangan kata kau hanya memotong hidungnya, kau potong
telinganya pun aku tak keberatan. Aku bahkan akan bertepuk
tangan untuk menyatakan setuju!" kata Pit Su.
Tiang Keng dan Un Kin heran
"Memang sekalipun seekor naga beranak sembilan, sifat
anaknya akan berlainan. Sekarang Pit Ngo tak tahu malu.
sebaliknya Pit Su berlapang dada. Memang menilai orang tak
bisa dari romannya saja."
Kesan Un Kin dan Tiang Keng jadi baik terhadap orang tua
ini. "Kalau begitu maafkan," kata Un Kin. "Apakah
kedatanganmu untuk menemui guru?"
Un Kin tak ingin semua orang tahu ia sudah bentrok
dengan gurunya, maka ia masih menyebut kata guru.
"Bukan! Bukan itu maksudku!" kata Pit Su.
"Orang ini aneh sekali," pikir Tiang Keng. "Mau apa dia?"
"Aku bukan seperti Pit Ngo yang bersahabat dengan
gurumu, kedatanganku tentu saja bukan untuk berkunjung
pada gurumu. Kalau...."
Ia berhenti lalu tertawa dua kali. Setelah itu dengan dibuatbuat
ia menyipitkan matanya serta mengawasi ke arah si nona
dengan tingkah ceriwis. Dia awasi Un Kin dari atas ke bawah
dan sebaliknya..... Un Kin jadi tak enak hati. mau menegur dengan kasar pun
jadi serba salah.. "Kalau begitu kedatangan Loo-cian-pwee hanya untuk
menyaksikan pemandangan yang indah saja, begitu?" kata Un
Kin sambil tersenyum manis sekali.Kebetulan saat itu Tiang
Keng mengawasi ke arahnya.... ia melengak!
0oo0 BAB 43. TIANG KENG MENGALAHKAN PIT SU
Si nona tak melihat Tiang Keng mengawasinya, namun ia
tahu pasti anak muda itu sedang mengawasi ke arahnya, la
puas. Tiba-tiba ia menghentikan tawanya. Sedang Pit Su yang
sejak tadi asyik menikmati kecantikan si nona jadi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Cantik! Sungguh cantik!" kata Pit Su terus memuji
kecantikan si nona. Tiba-tiba ia bertekuk lutut di depan si nona cantik, kedua
tangannya ia pentang. Menyaksikan sikap tengil orang tua itu
Un Kin melengak. ia mundur tiga langkah, lalu berjalan ke tepi
tak mau mengawasi orang tengik itu.
"Loo-cian-pwee, apa maksudmu berbuat begitu?"' tanya si
nona. Pit Su menengadah lalu berkata.
"Apa kau benar-benar tidak tahu maksudku?" katanya.
Un Kin menggelengkan kepala.
"'Aku benar-benar tidak tahu." jawab si nona. Pit Hu
membuka kedua tangannya yang ia lekatkan ke dadanya.
"Benarkah kau tak tahu?" ia menegaskan. "Sebenarnya aku
sedang melamarmu agar kau mau menikah denganku. Ketahui
olehmu, sekalipun aku kakaknya Pit Ngo. tetapi wajahku lebih
muda dari Pit Ngo Jika kau menolak cinta Pit Ngo. itu wajar
sekali, tapi pasti kau tak akan menolak cintaku!"
Tiang Keng dan Un Kin tercengang mendengar ucapan Pit
Su tersebut. Kok masih ada orang setua itu tak tahu malu.
Mau tertawa tak bisa. tersenyum pun tidak mampu mereka
lakukan. Tiba-tiba di sekitar panggung terdengar suara tawa
para hadirin. Saat itu Giok Long Pit Su masih berlutut di depan
Un Kin. "Aku rela berlutut di hadapan orang banyak dan kau. ini
membuktikan bahwa aku sangat mencintaimu...." kata Pit Su.
'"Apa kau tega akan mencelakakan aku. tak mungkin bukan?"
Mendengar ucapan itu Tiang Keng yang sejak tadi diam
saja. sekarang habis sabarnya dan jadi dongkol sekali.
"Tua bangka. tutup mulutmu!" bentak Tiang Keng.
Pit Su diam dan sedikit kaget, ia awasi orang yang
membentak dirinya. "Aku bicara sendiri, apa hubungannya denganmu" Apakah
kau cemburu?" jawab Pit Su dengan kesal.
Wajah Tiang Keng merah padam. "Bangun!" bentak Tiang
Keng dengan suara keras. Pit Su mengangkat mukanya yang keriput mirip kulit jeruk
itu. Matanya melotot tajam dan alisnya berdiri tegak.
"Siapa kau" Beraninya kau kurang ajar! Hm! Rupanya kau
sudah bosan hidup. ya?" bentak Pit Su tak kalah sengitnya.
Sikap Pit Su yang tadi halus, berubah jadi garang sekali, la
lupa saat itu ia masih berlutut di depan si nona. Menyaksikan
tingkah Pit Su yang tengil itu. ketiga nona pelayan itu tak
tahan untuk tidak tertawa, namun mereka berusaha menahan
tawanya. Tiang Keng gusar sekali. Ketika ia hendak
membentak, tapi telah didahului oleh suara tawa Pit Su.
"Aku bicara dengan nona ini. Jika ia bersedia
mendengarkan kata-kataku, tak ada yang boleh ikut campur.
Dasar bocah tak berguna, hm. kau mau mampus ya?" bentak
Pit Su dengan garang. "Kau terlalu usil. bocah!"
Mendengar ucapan itu Tiang Keng melengak. ia teringat
sesuatu, kata orang perempuan senang dipuji-puji. sekarang
Pit Su pun sedang memuji-muji Un Kin.
"Orang she Pit. aku sudah mendengar ocehanmu yang tak
karuan dan aku belum mengusirmu atau mencacimu. Tahukah
kau kenapa begitu?" kata Un Kin.
Ketika itu Pit Su sedang gusar, wajahnya merah padam.
Saat mendengar kata-kata Un Kin yang merdu, kemarahan Pit
Su pun reda. "Barangkali karena cintaku yang sungguh-sungguh, hingga
hati Nona tergerak..." Sebelum kata-kata Pit Su selesai Un Kin
membentak. "Bukan!" Pit Su terperanjat, ia berhenti bicara.
"Kalau begitu karena suaraku enak didengar, maka... " kata
Pit Su lagi. "Bukan!" bentak Un Kin lagi.
"Lalu?" kata Pit Su.
"Karena aku ingat semasa masih kecil." jawab Un Kin.
"Ketika itu aku sedang duduk berjemur mandi cahaya
matahari. Tiba-tiba datang seekor anjing gila yang berlari-lari
ke arahku, lalu anjing itu kuhajar hingga anjing itu lari terbiritbirit!
Tapi. ketika itu datang Louw-ko-ku. dia gusar, lalu
menegurku. Dengan gusar aku dimaki-maki. Dia bilang. Anak
perempuan harus tenang dan sabar. Mengapa aku harus
meladeni anjing gila?"
Un Kin tersenyum manis, saat itu matahari menyorot ke
wajahnya yang menambah keelokan si nona. Menyaksikan
kecantikan si nona Pit Su jadi bengong.
"Benar! Sekarang pun Nona begini sabar, aku yakin sejak
kecil kau mendapat pendidikan yang sempurna.. " kata Pit Su
sambil tertawa. Un Kin tersenyum manis sekali.
"Belum tentu aku tenang dan sabar." kata si nona. "Tapi
yang benar, aku tak mirip seekor anjing gila. Kelak jika datang
anjing gila lagi. maka akan kubiarkan dia menggonggong."
Sejenak Un Kin diam. ia awasi Tiang Keng baru ia
melanjutkan kata-katanya.
"Jika detik ini ada anjing gila lagi yang menggonggong di
depanku, pasti tak akan kudiamkan lagi. Aku sudah..." Si nona
menunduk dan tertawa, hingga kata-katanya tertunda
sejenak. "Sekarang telah ada orang yang melindungiku." si
nona melanjutkan. Mendadak si nona menoleh ke arah Tiang Keng. "Tiang
Keng. maukah kau mengusir anjing gila ini?" kata si nona.
Sejak tadi Tiang Keng memang sangat dongkol karena Un
Kin terus meladeni Pit Su. saat ia mendengar kata-kata si
nona. Tiang Keng sadar, la jadi geli sekali, la sadar si nona
sedang mempermainkan Pil Su. hingga dalam keadaan genting
pun si nona masih bisa melucu. Ia awasi Pit Su yang wajahnya
jadi merah-padam. Tiba-tiba Pit Su bangun, ia awasi si nona
sambil membentak. "Perempuan celaka! Kau benar-benar tak tahu diri!" kata
dia. "Kau... Sebelum Pit Su selesai bicara, tiba-tiba ia merasakan
dorongan keras ke arah dadanya. Ini dorongan yang belum
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah ia rasakan seumur hidupnya. Ia kaget buru-buru
menghindar dan melompat lima kaki jauhnya untuk
menghindari serangan hebat itu. Baru kemudian ia mengawasi
ke arah si penyerang, ternyata itu adalah Tiang Keng.
Wajahnya bengis, ia sedang mengaw asi ke arahny a.
"Jika kau tetap berdiri di sini. sebanyak tiga kali akan
kukibaskan tanganku. Jika kau terluka. jangan katakan aku tak
bermurah hati padamu!" kata Tiang Keng.
Tiang Keng melaksanakan ucapannya, hingga Pit Su pucat.
Dia kaget oleh dorongan keras itu. hingga mundur sejauh tiga
langkah. Sia-sia Pit Su bertahan, terpaksa ia meninggalkan
gelanggang. Tiang Keng pun tak tega mencelakai lawan, la
menyesal telah melukai Gu It San hingga tewas. Saat itu Tiang
Keng melihat Pit Su yang tampak tidak gusar, malah berbalik
ia akan pergi. Tapi....di luar dugaan, tiba-tiba ia berbalik dan
menyerang bagaikan kilat ke arah Tiang Keng. Tiga kali
tangannya menyerang secara bergantian. Pit Su menyerang ke
arah tiga jalan darah ciang-tay. hian-kwan dan leng-coan.
Jarak Pit Su dan saat itu Tiang Keng sangat dekat, ditambah
lagi senjata rahasia Pit Su itu luar biasa.. Tiba-tiba mata Tiang
Keng jadi silau karena senjata lawan sudah di depannya. Un
Km kaget bukan main. wajahnya pucat, sedang mulutnya
berseru tertahan. Un Kin melompat ke arah Tiang Keng.
Sedang si anak muda tak bergerak untuk menghindar, la
hanya menarik mundur dadanya, tak heran jika ketiga senjata
rahasia itu mengenai tubuhnya. Mata si nona berkunangkunang,
kepalanya pening, ia terhuyung beberapa langkah
hingga hampir terguling. Sebaliknya Pit Su yang angkuh
tertawa terbahak-bahak karena puas.
"Kau sangat sombong, bocah! Sekarang kau ketahui
kelihayan Pit Toa-yamu!" kata dia. Saat Pit Su maju. ia
merandek kaget karena secara tiba-tiba Tiang Keng
membusungkan dadanya dan ketiga senjata rahasia Pit Su
berjatuhan ke tangan Tiang Keng. Pit Su kaget, ia heran
bagaimana musuh yang terkena senjatanya tak terluka.
Penonton pun kaget. Sekarang mereka lihat anak muda itu
berdiri tegak tak kurang suatu apa. Saat Un Kin sadar, ia
membuka matanya, la jadi kaget dan girang saat tahu Tiang
Keng tak kurang suatu apa. mulutnya jadi ternganga
keheranan. Tiang Keng tersenyum ke arah Pit Su. Tiba-tiba tangan
Tiang Keng terayun dan ..dan berbareng tiga batang jarum
halus melayang ke arah Pit Su yang kejam itu.... Jarum itu
bernama Ngo-leng Kong-ciam, jarum inilah yang telah
mengangkat nama Pit Su hingga jadi sangat ternama.
Sekalipun tak sehebat jarum milik Un Jie Giok yang bernama
Bu-eng Sin-ciam. namun jika jarum itu mengenai lawan,
akibatnya cukup fatal. Konon katanya tak peduli orang telah
berlatih ilmu Kim-ciong-tiauvv. Tiat Pou Sam atau Cap-sha
Thay -po Hang-lian. ia tetap akan celaka jika terkena jarum
itu. Pit Su tak menduga, mimpi pun tidak, kalau Tiang Keng
mampu menangkap tiga jarum itu dan menyerang Pit Su
dengan senjata milik Pit Su ke arah mukanya. Mau tak mau Pit
Su harus mendek untuk menghindarinya hingga ketiga jarum
itu melayang di atas kepalanya. Saking kagetnya ia jadi jadi
mandi keringat dingin, la baru sadar pada apa yang artinya
jerih, la jadi bingung dan penasaran, la tak tahu mengapa
Tiang Keng bisa begitu kebal dan lihay. Pit Su tak mengetahui
kalau Tiang Keng mengenakan baju buatan Su Khong Hoa
yang kebal senjata, terbuat dari kulit ular di gunung Hong-san.
Untuk memperoleh bahan pakaian kebal itu. tidak mudah. Tak
heran jika Un Jie Giok pun bersedia melakukan perjalanan
yang jauhnya ribuan lie. Khasiat pakaian kulit ular itu selain
tak mempan senjata juga tak tembus air dan tahan api.
Jarum milik Pit Su tersedot, sehingga kekuatan
serangannya tak hebat lagi. ditambah lagi jarum itu mengenai
baju tak mempan senjata itu. Tiang Keng berdiri tegak, ia
beroman gagah luar biasa.
"Eh. kau masih tak mau pergi !" bentak Tiang keng.
Pit Su kaget mendengar bentakan itu. ia melongo.
Sementara wajahnya pucat-pasi. Diam-diam ia menghela
nafas panjang, lalu ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
Tiba-tiba.. "Tahan!" bentak Un Kin dingin. Terpaksa Pit Su merandek.
"Kau telah menggonggong lama di sini. apa kau akan pergi
begitu saja?" kata Un Kin.
Tiba-tiba si nona mencelat, tahu-tahu ia sudah ada di
samping Pit Su, "Adik kesayanganmu telah meninggalkan sepotong
telinganya, kau pun harus memberi tanda mata untuku!" kata
Un Kin. Pit Su kaget bukan main. ia mendongkol juga bingung. Un
Kin tak peduli orang itu jerih, ia menggapai ke arah tiga
budaknya, salah seorang berlari menghampiri. Dengan
sepasang tangannya pelayan ini mengangsurkan sebilah pisau
belati satu kaki panjangnya pada Un Kin. gagangnya indah
sekali. Saat pisau itu dihunus, terlihat berkilauan. Un Kin
menyambut pisau belati itu dengan tangannya yang putih
halus, kemudian ia menyentil dan terdengar suara nyaring.
"Tring!"' "Apa yang hendak kau tinggalkan, hidung atau telinga?"
kata Un Kin. 'Tapi keduanya juga boleh!"
Bukan main kagetnya Pit Su. keringat dingin tanpa terasa
keluar dari tubuhnya. "Celaka aku.,." keluhnya.
Dalam kagetnya ia tak punya pilihan lain. juga tak mau
dipermalukan di depan umum. la sadar bukan tandingan Tiang
Keng. tapi sebisanya ia akan melawan. Saat ia sedang
berpikir, tiba-tiba ada angin berkesiur dari belakang, ia kaget
dan menoleh. Ia jadi bertambah kaget ketika ia melihat Tiang
Keng telah berada di dekatnya.
"Sudahlah, biarkan ia pergi!?" kata Tiang Keng pada Un Kin.
Kata-kata ini melegakan hati Pit Su yang sudah ketakutan
setengah mati. Mendengar permintaan Tiang Keng tersebut
Un Kin tertawa. "Aku tak akan meniru kelakuan mereka, tadi aku hanya
ingin menggertak!:" kata si nona sambil tertawa.
"Bagus!" kata Tiang Keng sambil melambaikan tangannya
ke arah Pit Su. "Apa kau tak mau segera pergi?"
Tiang Keng tampak senang karena Un Kin menuruti katakatanya,
padahal biasanya Un Kin bersikap berandalan
Tiga pelayan itu heran, tiba-tiba nona mereka berubahdan
sangat taat pada si anak muda. Pit Su dongkol, ia awasi Tiang
Keng penuh kebencian. Tiba-tiba ia menghela nafas panjang.
"Ya. gunung yang biru tak berubah, sungai yang hijau terus
mengalir...." Bersamaan dengan kata-katanya itu. Pit Su melompat jauh
dan menghilang. Dari kejauhan terdengar suara Pit Su yang
masih bergema. "Budi dan kebaikan ini. kelak akan kubalas!"
kata Pit Su. Un Kin mengawasi kepergian Pit Su. lalu ia berbisik kepada
Tiang Keng. "Kau berbuat baik padanya, tapi belum tentu ia berterima
kasih padamu. . Apa kau dengar apa katanya tadi" Mungkin
dia bukan akan balas budi. tapi membalas dendam padamu!
Kenapa kau bersikap demikian kepadanya?" kata Un Kin.
"Kita harus jadi manusia yang tak perlu kecewa." kata
Tiang Keng. "Tentang orang lain yang akan berbuat apa
terhadapku, terserah dia saja! Aku berbuat baik bukan untuk
mengharapkan balasan!"
Sambil berkata Tiang Keng mengawasi Un Kin. Matanya
basah oleh air mata. Tiang Keng terharu namun ia girang
karena ia berhasil merebut hati si nona. Un Kin sejak kecil di
bawah asuhan Un Jie Giok. sekarang hatinya telah berubah
jadi baik. "Ada sesuatu yang belum kau ketahui." kata Tiang Keng.
"Coba sejak kecil kau ikut dengan guruku pasti kau..."
Sebelum Tiang Keng menerus-kan kata-katanya, mereka
mendengar suara jeritan yang mengerikan. Suaranya
menyayat hati. suara itu jauh tapi datangnya dari arah Pit Su
pergi... Wajah Tiang Keng berubah guram.
"Itu suara Pit Su," kata Tiang Keng pada Un Kin. "Apa
artinya ini?" 0oo0 BAB 44. UN JIE GIOK MEMOTONG TELINGA DAN HIDUNG
PIT SU Mendengar pertanyaan Tiang Keng. Un Kin menggeleng
kan kepala. Mendadak Un Kin ingat sesuatu, tiba-tiba
parasnya berubah. Sebelum para penonton di bawah lui-tay
menonton dengan diam. Padahal di antara para penonton itu
terdapat sahabat-sahabat Pit Su yang dapat membantunya.
Tapi aneh mereka tak bergerak dan hanya diam.
Kiranya hal itu ada sebabnya, pertama mereka tidak berani
dengan kelihayan Tiang Keng. Kedua mereka tak ingin
membuat kesalahan terhadap Un Kin. Mereka sadar murid Un
Jie Giok ini pun lihay sekali. Namun ketika mereka mendengar
jeritan Pit Su dari kejauhan, mereka berdiri serentak dan
berpaling ke arah suara yang mengerikan itu.
Saat menoleh, mereka melihat dua sosok bayangan sedang
berlari-lari mendatangi, tak lama kedua bayangan itu sudah
dekat dengan mereka. Tiang Keng mengenali kedua bayangan itu. mereka adalah
Siauw Tin dan Siauw Keng. dua nona yang pernah ia lihat saat
anggota Ang Kin Hwee binasa. Ketika ia memperhatikan
tangan Siauw Tin. tangan nona itu sedang memegang sebuah
bungkusan dari kain berlumuran darah, pasti isinya anggota
tubuh manusia. Saat Tiang Keng memperhatikan dengan
tegas, ia terperanjat. Ternyata isi kain itu sepasang telinga
dan sebuah hidung manusia. Tiang Keng berseru tertahan.
"Apa arti semua ini?" tanya Tiang Keng.
Kedua nona itu tidak menjawab pertanyaan Tiang Keng.
Keduanya saling mengawasi, kemudian dengan wajah dingin
mereka berjalan mendekati Un Kin dan berdiri di depannya.
Melihat itu. alis Un Kin berkerut.
"Couw-ko memerintahkan kami berdua untuk
menyampaikan benda ini kepada Nona." kata salah seorang
nona. Kemudian nona ini menambahkan. "Kata Couw-ko
bagaimana pun sikap Nona kepadanya, jika ada orang yang
berani kurang ajar kepadamu. Couw-ko tak mau tinggal diam
dan mengawasi saja. Maka Couw-ko telah mewakili Nona
memotong sepasang telinga dan hidung Pit Su. Beliau lalu
memerintahkan kami untuk mengantarkannya pada Nona!"
Sambil berkata demikian Siauw Tin menyodorkan kedua
tangan untuk menyerahkan bungkusan sepasang telinga dan
hidung itu. Tiang Keng kelihatan heran, ia berpikir Un Jie Giok
benar-benar lihay. "Dia tak kelihatan batang hidungnya,
bagaimana ia bisa tahu dengan jelas keadaan di tempat ini?"
pikir Tiang Keng Un Kin melongo mengawasi kedua pelayan itu, ia awasi
sapu tangan yang berlumuran darah di tangan Siauw Tin.
Pikirannya pun jadi kacau.
Tahu barang di tangannya tak disambut oleh Un Kin. Siauw
Tin mempermainkan matanya, lalu ia membungkuk dan
meletakkan bungkusan sepasang telinga dan hidung itu ke
tanah. Sambil menghela nafas, ia berkata. "Jika Nona tak mau
menerimanya, maka kuletakkan benda ini di sini. Cukup sudah
asal Nona tahu bagaimana sikap Couw-ko kepadamu... ."
Mata Siauw Keng pun berputar-putar, ia ikut bicara. "Couwko
menyuruhku menyampaikan pesan padamu. Jika Nona
tetap ingin mencari beliau untuk menuntut balas. Couw-ko
siap akan memuaskan hati Nona! Dia bilang nanti malam ia
akan menunggumu di ruang kuil tadi malam...."
Mata Siauw Keng mendadak merah, dengan suara perlahan
ia melanjutkan kata-katanya.
"Couw-ko bilang ia juga mengundang To Siang-kong agar
datang bersama Nona..." kata Siauw Keng.
"Sebentar lagi akan tiba saatnya kami bakal berkumpul di
sana menunggu Nona berdua." kata Siauw Ini "Sejak kecil
kami berdua sudah hidup bersama dengan Nona. kami senang
Nona tak menganggap kami ini budakmu. Maka kami berjanji
di kemudian hari kami akan membahu, kebaikan Nona. Akan
tetapi...." Siauw Tin berhenti sejenak, matanya mengawasi ke bawah.
"Akan tetapi jika nanti malam kita bertemu, saat itu kami telah
menjadi musuh-musuh Nona Maka jika kau akan membunuh
Couw ko. maka kami harap kau juga bunuh kami....."
Sesudah itu Siauw Tin menghela nafas panjang,
melanjutkan kata katanya.
"Kami tak sepandai Nona. namun kami sudah mendengar
kata-kata mu. Kami tak peduli Couw-ko orang seperti apa.
tetapi sedemikian lama ia telah memperlakukan kita dengan
baik sekali juga kepadamu Nona..."
Ucapan kedua nona itu membuai kepala Un Kin pusing
sendiri, la di.uu dari sudut matanya keluar air. Un Kin
menunduk. Tiang Keng mengawasi la sudah mendengar semua
pembicaraan kedua nona itu. ia mau bicara tapi selalu
dibatalkan. Tiba-tiba Un Kin bicara "Sakit hati orang tuaku luar biasa,
hingga aku pikir tak mungkin aku bisa hidup bersama musuh
besarku!" kata Un Kin "Kalian telah bicara, aku mengerti dan
aku menyesal, tetapi....."
Siauw Tin mendongak. "Kami tahu isi hatimu. Nona!" kata Siauw Tin yang
memotong kata-kata Un Kin. "Pasti kami juga tak akan
memaksa Nona dan kami juga pernah mendengar tentang
peristiwa zaman dahulu yaitu dongeng tentang memotong
jubah dan memutuskan ikatan hubungan persaudaraan serta
menggaris tanah membuat batas...."
Kata-kata Siauw Tin berhenti sejenak. Siauw Tin
menggerakkan tangannya. Dia masukkan ke sakunya, lalu
mengeluarkan sebilah pisau belati. Kemudian dengan tangan
kirinya ia sambar ujung bajunya, dan dengan pisau di tangan
kanan ia membabat ujung bajunya. Terpotonglalah ujung
bajunya menjadi dua potong. Sesudah itu sambil merapatkan
giginya, dia berkata lagi. "Sejak saat ini Nona dan aku tak
saling mengenal lagi!"
Setelah itu ia menancapkan pisau belatinya ke tanah,
sesudah melemparkan pisau itu. Siauw Tin diam. tak urung air
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya mengalir juga. Ketika ia lirik, ia lihat Un Kin pun
menangis Kedua nona itu saling mengawasi.
Tiang Keng menghela nafas, ia berpaling ke jurusan lain. la
heran mengapa di dunia terjadi kejadian seperti itu...,
Semua penonton terpaku diam. Mereka tak tahu apa yang
terjadi sebenarnya. Beberapa penonton itu sudah ada yang
ngeloyor pergi Siauw Keng menghela nafas panjang. "Sesudah urusan jadi
begini rumit, aku tak tahu harus bilang apa?" katanya. "Kami
sadar. Nona cerdas melebihi kami berdua, kami yakin Nona
punya jalan keluar yang terbaik. Tapi..." ia berhenti bicara,
lalu ia berpaling ke arah Tiang Keng. Kemudian ia berkata
pada si anak muda. "To Siang-kong. kau cerdas, maukah kau menjawab
pertanyaanku?" kata Siauw Keng.
"Katakan saja." kata Tiang Keng.
"Seorang ibu yang melahirkan anak harus mendapat
balasan dari sang anak. namun seseorang yang merawat anak
dari kecil, sekalipun bukan anak kandungnya, bukankah budi
yang besar pantas mendapat balasan?" kata Siauw Keng.
Tiang Keng berpikir sejenak, ia tak tahu harus bagaimana
menjawab pertanyaan itu. Tetapi Siauw Keng tak menunggu
jawaban dari Tiang Keng. bersama Siauw Tin keduanya
membalik tubuh dan pergi.
Beberapa nona-nona yang lain mengawasi dengan heran
tanpa bicara mereka pun ikut pergi.
Un Kin berdiri diam. pikirannya kacau. Ia bingung, apakah
sakit hati orang tuanya perlu dibalas" Tapi kasih sayang Un Jie
Giok yang merawatnya sejak kecil, juga budi yang harus ia
balas, saat itu ia dibingungkan oleh ucapan Siauw Keng dan
Siauw Tin berdua. Ini rumit, masalah antara budi dan
permusuhan. Un Kin jadi bingung dan sulit berpikir. Sesudah
sekian lama baru ia angkat kepalanya. Ia lihat tempat itu telah
sunyi. Semua orang yang tadi berkerumun di lui-tay sudah
pergi semuanya. Un Kin hanya melihat Tiang Keng sedang
berdiri diam. bahkan To-su Tauw-to pun entah ke mana
perginya. Matahari memancar dengan sinarnya yang terang, hingga
golok yang dijadikan patok berkilauan cahayanya.
Un Kin membungkuk mengambil belati yang tadi
ditinggalkan oleh Siauw Keng dan Siauw Tin. Lalu pisau itu ia
satukan dengan pedangnya.
Saat itu angin bertiup perlahan hingga Un Kin merasakan
hawa dingin, la menoleh ke arah Tiang Keng. Sekian lama ia
diam saja. Mendadak ia tubruk Tiang Keng. tak lama ia
lepaskan dirinya dari rangkulan Tiang Keng. Kemudian dia
menangis meraung-raung. Barang kali ia anggap hanya Tiang
Keng-lah yang menjadi andalannya. Ia merasakan hawa
hangat saat Tiang Keng merangkulnya.
Setelah agak tenang dan berhenti menangis, ia berkata
perlahan pada Tiang Keng.
"Bagaimana sekarang?" kata Un Kin. "Apa yang harus
kulakukan. Tiang Keng?"
Tiang Keng menunduk. Dadanya berdebar-debar, dada
Tiang Keng bagaikan telaga yang berombak tapi
perlahan.....Ia usap-usap rambut Un Kin dengan lembut. Un
Kin yang tadi sudah berhenti menangis, tiba-tiba menangis
lagi. ia terisak-isak. Kehalusan Tiang Keng membuat rasa
sedihnya bangkit lagi. Tapi tangis itu ada baiknya bagi Un Kin.
dengan demikian hati si nona jadi agak lega.
Tiang Keng bingung oleh kata-kata Siauw Keng. Budi
membesarkan anak sama dengan budi melahirkannya. Itu
memang benar. "Bisakah ia membiarkan si Nona menuntut balas pada Un
Jie Giok" pikir Tiang Keng sangsi. "Atau harus kuanjurkan agar
dia balas budi?" Lama Tiang Keng berpikir, tapi kemudian ia mengambil
keputusan. secara perlahan-lahan ia tepuk-tepuk bahu si
nona. "Mari kita pergi!" kata Tiang Keng.
Un Kin mengangkat kepalanya, ia awasi Tiang Keng. lalu
ikut berjalan mengikuti anak muda itu. Mereka berjalan
perlahan-lahan, tak ada yang mau menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Sekarang mereka telah tiba ke tepi jalan, di tempat banyak
peti-mati Melihat peti-peti mati itu. pikiran Tiang Keng yang
sedang mumat lalu berteriak, ia menyerang ke arah peti mati
itu. tak ampun lagi peti mati itu jadi berentakan. Berbareng
dengan hancurnya peti mati itu. ada tubuh manusia terlempar
sambil mengeluarkan suara jeritan mengerikan. Tubuh itu
jatuh dan diam tak bergerak lagi. Tiang Keng kaget. Ia
melompat menghampiri tubuh orang itu. la menyaksikan
wajah orang berpakaian hitam itu menyeramkan.
Tubuh orang itu terlentang. wajahnya seperti kaget dan
ketakutan. Un Kin terkejut, ia menoleh ke sekitarnya. Tapi
keadaan di tempat itu tetap sunyi. Tak lama mereka melihat
sesuatu yang luar biasa. Beberapa peti mati bergerak
perlahan-lahan, berjalan. Un Kin hampir tak percaya pada
matanya. Padahal saat itu hari masih siang, tapi hati si nona
tak urung gentar juga... 0oo0 BAB 45. UN KIN DAN TIANG KENG BERHASIL MENANGKAP
KAUW CIAN Un Kin melengak sejenak, tiba-tiba ia arahkan sepasang
tangannya ke arah dua peti mati yang sedang bergerak maju.
Tangan Un Kin menyambar dua sinar putih ke arah kedua peti,
tak lama dua senjata rahasia itu telah tembus ke dalam peti
dan disusul oleh suara jeritan mengerikan. Dari dalam peti
mengalir darah segar dan menetes ke jalan raya.
Tiang Keng melompat ke sisi Un Kin. mata mereka saling
mengawasi. Tiba-tiba dari ujung jalan gunung terdengar suara
gembreng tiga kali. suaranya nyaring sekali. Kemudian sisa
dari 110 peti mati yang berjejer di tepi jalan, semua tutupnya
terbuka. Melihat kejadian itu hati Tiang Keng terkejut, bersamaan
dengan itu berkelebat ratusan cahaya berkilauan halus. Sinar
itu menyambar ke arah Tiang Keng dan Un Kin berdua. Dalam
kagetnya Tiang Keng sempat menyambar tangan Un Kin. lalu
menarik mengajak melompat tinggi. Dengan demikian benda
yang berkilauan itu lewat di kaki mereka.
Un Kin kaget hingga ia berseru keras. "Bu Eng Sin Ciam!"
kata si nona. Benda-benda itu adalah senjata rahasia Jarum Tanpa
Bayangan yang lihay luar biasa Un Kin agak jerih, sebab sulit
menghadapi senjata rahasia yang lihay itu.
Tiang Keng pun tak kurang kagetnya. Syukur ia ingat
sesuatu, mendadak dada Un Kin ditolaknya. Un Kin kaget, tapi
masih sempat mendorong, dan menangkis serangan Tiang
Keng. Akibatnya kedua tubuh mereka terpental mundur tiga
tombak jauhnya dari tempat semula dan turun di tepi jalan
raya tak kurang suatu apa. Dengan demikian serangan jarum
yang kedua pun tak berhasil mengenai mereka.
Tiang Keng yang kaget merasakan telapak tangannya
dingin, la merasa ngeri dengan ancaman bahaya itu. Tapi ia
pun bersyukur dan tak tinggal diam. Tiang Keng bergerak
cepat luar biasa, melompat ke arah suara gembreng. Ia lihat
di sebuah peti mati yang tutupnya sudah terbuka, ada orang
berpakaian serba hitam. Tangannya memegang sebuah
gembreng. Tangan yang lain memegang pemukul gemreng.
Saat ia akan memukul lagi gembreng itu. ia lihat Tiang Keng
sampai ke tempatnya. Dia kaget dan ketakutan himgga
gembreng terlepas dari tangannya. Tiba-tiba ia melompat
keluar dari peti mati itu. lalu kabur ke kaki gunung.
"Kau mau lari ke mana?" teriak Tiang Keng.
Tiang Keng mengejar orang itu dengan cepat. Un Kin pun
ikut mengejar. Orang berpakaian serba hitam itu gesit luar
biasa, ia berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
lihay sekali. Dia gunakan tipu Pat-pou-kan-siam. Melihat
demikian. Tiang Keng berseru pada Un Kin.
"Jangan biarkan dia lolos!"
Kedua muda-mudi ini mengejar dengan kencang, mereka
mengeluarkan seluruh kemampuan mereka hingga berhasil
menyusul orang berpakaian serba hitam. Makin lama jarak
mereka semakin dekat.... Orang itu merasa kalau ia tak akan lolos dari kejaran dua
muda-mudi itu. berlari sambol menoleh ke belakang dan
berteriak. "Awas piauw!" kata dia.
Tiang Keng dan Un Kin kaget. Mereka memperlambat
pengejarannya. Un Kin cerdas dan matanya awas. begitu
orang itu berpaling ia langsung ber-teriak. "Kiauw Cian!"
Pada saat yang bersamaan sebuah benda berkilauan
menyambar ke arah mereka berdua.
Tiang Keng gesit, benda itu dia sampok dan berhasil
menjatuhkan sebatang piauw atau senjata rahasia lawan, dan
benda itu jatuh ke dalam rumpun.
"Apa benar dia Kiauw Cian?" tanya Tiang Keng pada Un
Kin. Tugas Rahasia 2 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Teluk Akhirat 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama