Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 3
menyengir. "Kutanya padamu, mengapa semua lampu di rumah-rumah itu bisa padam mendadak
secara serentak?" "Kalau minyak sudah habis, dengan sendirinya lampu padam."
"Dan kemana perginya si penggali cacing."
"Sesudah lampu padam, dengan sendirinya ia pergi mencari minyak."
"Didapatkan tidak?" tanya Jing-jing pula.
"Justru dia mendapatkan minyak, maka dapat kami menemukan dirimu."
"Penggali cacing itu memangnya manusia?"
"Bukan saja manusia, bahkan manusia baik. Tidak minyak saja yang dia dapatkan,
dia malah memasak satu kuali bubur dan menyuruh kami makan sekenyangnya."
Jing-jing jadi melenggong sampai sekian lamanya, kemudian bertanya pula, "Kalian
berada dimana pada waktu lampu padam?"
"Di belakang," tutur Siau-hong.
"Aku berada di depan, mengapa kalian pergi ke belakang, untuk apa?"
"Jika kau berada di depan, mengapa kami harus berada di depan juga" Kami kan
bukan pengekor, mengapa tidak boleh melongok ke belakang?"
Mendadak Jing-jing berteriak, "Koan-keh-po dan putra kesayangan, masuk sini
semuanya." Kereta lantas berhenti, orang yang dipanggil juga menghadap seluruhnya. Ia
bertanya kepada mereka seperti dia tanya Siau-hong tadi, tapi jawaban mereka
juga sama. Mereka pun tidak mengerti mengapa tanpa sebab dia menumbukkan kepala
sendiri sehingga jatuh kelengar.
Sungguh tidak kepalang keki Liu Jing-jing, hampir saja ia jatuh semaput lagi. Ia
coba bertanya pula, "Masa kalian sama sekali tidak melihat tangan itu?"
"Tangan apa?" tanya Koan-keh-po.
"Tangan setan yang mencekik leherku," tutur Jing-jing.
"Ya, kulihat," mendadak Siau-hong menyela dengan tertawa, "bukan cuma melihatnya
saja, bahkan kubawa sekalian."
"Dimana?" seru Jing-jing dengan sinar mata mencorong terang
"Di sini," kata Siau-hong sambil mengeluarkan seutas tali penggantung kerai
jandela, pada saat itu terdapat beberapa kaitan kecil sepanjang satu inci,
kaitan serupa kuku tangan, lalu sambungnya,
"Inikah tangan setan yang meraba lehermu?"
Seketika Jing-jing melenggong dan tidak dapat bicara lagi.
Mendadak Hay Ki-koat bergelak tertawa, serunya, "Hahaha, tak tersangka, pendekar
wanita termashur kita juga bisa jatuh kelengar kaget oleh sepotong tali."
"Padahal dapat kau maklumi hal ini," ujar Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Hay Ki-koat,
"Dia kan perempuan, makhluk lemah di dunia, ini, apalagi usianya juga sudah
lanjut," Siau-hong menghela napas, lalu menyambung, "Perempuan seusia dia adalah
pantas kalau sok sangsi dan curiga serta macam-macam prasangka."
Esoknya lagi, cuaca juga cerah.
Dari pagi sampai petang, sangat sedikit Liu Jing-jing berbi-cara, total jenderal
yang diucapkannya sepanjang hari ini mungkin tidak lebih banyak daripada
perkataannya pada waktu makan siang pada hari-hari biasa.
Air mukanya juga kurang sedap, entah lantaran kagetnya be-lum hilang atau karena
tegang berhubung waktu operasi sudah ham-pir tiba.
Jarak mereka ke tempat tujuan, yaitu Bu-tong-san, paling lama tinggal setengah
hari perjalanan saja, tapi sejauh itu tidak ada kabar berita dari Lau-to-pacu.
juga tidak ada petunjuk-petunjuk terakhir kepada mereka. Sebab itulah, bukan
saja Liu Jing-jing tampak ber-ubah, orang lain juga rada tegang.
Siapa pun tidak tahu berapa banyak sukses mereka dalam operasi ini. Terutama
bila mengingat lawan yang akan mereka ha-dapi adalah tokohnya tokoh dunia
persilatan seperti Ciok Ho, Thi-ko, Ko Hing-kong dan sebagainya.
Apalagi selain ketujuh orang itu, entah berapa banyak lagi tokoh kelas tinggi
lain yang telah berada di Bu-tong-san.
"Kau pikir Sebun Jui-soat akan hadir tidak?" demikian timbul perbincangan di
antara mereka. "Mungkin dia takkan hadir."
"Sebab apa?" "Sebab dia lagi mencari Liok Siau-hong, dia pasti takkan me-nyangka Liok Siauhong berani datang ke Bu-tong-san."
Pembicara terakhir ini adalah Liok Siau-hong sendiri, dia bica-ra demikian,
mungkin karena di dalam hati dia berharap akan terjadi demikian pula.
Petang hari, di dalam kota pada umumnya sangat ramai, karena mereka menyusuri
jalan raya yang ramai sekali.
"Seumpama Sebun Jui-soat tidak hadir, Bok-tojin pasti berada di sana, akhirakhir ini meski dia sudah hampir mengundurkan diri seluruhnya dari dunia ramai,
tapi peristiwa pengangkatan pewaris tidak mungkin dia tinggal diam dan tidak mau
tahu." "Ya, kalau Bok-tojin hadir, tentu Koh-siong Kisu juga akan hadir, melulu dua
orang ini saja sukar dihadapi."
"Kuyakin Lau-to-pacu sudah mempunyai cara menghadapi mereka, kalau tidak,
mengapa sejauh ini dia tidak memasukkan kedua orang ini ke dalam rencananya?"
"Apapun juga sekarang kita tidak perlu memikirkan hal ini," kata Siau-hong.
"Lantas apa yang perlu kau pikirkan?"
"Kukira lebih penting memikirkan kemana kita akan makan."
Saat itu Piauko, Koan-keh-po dan Hay Ki-koat seluruhnya berada di dalam kereta,
seperti mau bicara, tapi serentak tutup mulut, semuanya hanya memandang ke
sebuah Ciulau atau restoran di seberang jalan sana.
Kereta berjalan sangal lambat pada waktu mereka berlalu, kebetulan ada tiga
orang masuk ke Ciulau itu.
Yang seorang bermuka merah dan berkepala botak, sinar matanya,tajam serupa
elang, orang kedua tinggi kurus, cara berjalannya bergoyang sampan, serupa orang
tak tahan tiupanangin. Orang ketiga memegangi pundak kedua orang pertama tadi, tampakpya sudah agak
mabuk, dia ini seorang Tojin yang berambut ubanan.
Ketiga orang ini saluruhnya dikenal Siau-hong. Piauko, Koan-keh-po dan Hay Kikoat juga kenal mereka. Yang bersinar mata tajam seperti elang itu adalah pemimpin besar ke 12
pelabuhan, Eng-gan-lojit, atau Lojit si mata elang.
Sedangkan orang yang tinggi kurus seakan-akan setiap saat bisa jatuh bila
barjalan itu adalah Ko Hing-kong, pemimpin gerombolan Gan-tan-san yang terkenal
dengan Ginkangnya itu. Adapun Tosu tua yang agak mabuk itu adalah tokoh Bu-tong-pay yang baru saja
mereka singgung tadi, yaitu Bok-tojin.
Meski memandang ketiga orang itu, tapi Piauko berharap kereta mereka lekas
berlalu ke sana. Siapa tahu mendadak Liok Siau-bong berseru, "Berhentikan kereta!"
Piauko terperanjat, "Untuk apa?"
"Sebab kita hendak makan di restoran ini."
"Tidak kau kenal ketiga orang itu?" tanya Piauko dengan ter belalak.
"Kukenal mereka, tapi mereka tidak kenal diriku," jawab Siau-hong.
"Jika sampai dikenal mereka, lantas bagaimana?" ujar Piauko.
"Bila sekarang mereka mengenali kita, setiba di Bu-tong-san pasti juga akan
dikenali mereka." Piauko berpikir sejenak, akhirnya ia mengerti maksud Siau-hong, "Jadi hendak kau
uji mereka apakah dapat mengenali kita atau tidak?"
"Ya, toh kita harus menyerempet bahaya, lebih baik dikenali mereka di sini
daripada dikenali di. Bu-tong-san nanti." Baru habis ucapannya, Liu Jing-jing lantas berterriak, "Berhenti!"
Semua orang merasa jalan pikiran Liok Siau-bong ini sangat baik, tidak ada orang
pun yang membantah. Sebab sekarang rflereka belum masuk ke restoran itu, tapi
bila mereka sudah berada di sana, tentu mereka akan menyesal, dan orang yang
paling menyesal ialah Liok Siau-hong sendiri.
Restoran ini sangat mengutamakan dekorasi, segala alat perabot juga sangat
mewah, tapi pengunjungnya ternyata tidak banyak.
Sekarang adalah waktu bersantap malam, tapi di atas loteng restoran yang
terpajang indah ini hanya ada tiga meja tamu.
Rombongan Ko Hing-kong itu tidak cuma bertiga, sebab di atas loteng sudah ada
seorang telah menunggu. Orang ini tinggi besar dan gagah berwibawa, dari sikap dan dandanannya, orang
ini seharusnya tokoh terkenal di dunia persilatan.
Tapi Liok Siau-hong justru tidak kenal dia, bahkan melihat saja belum pernah.
Padahal hampir semua tokoh Bu-lim ternama pasti dikenalnya.
Pada meja sebelah sana dikelilingi tamu paling banyak, arak yang ditenggak juga
paling banyak, di antara tamu itu ada lelaki dan perempuan.
Pakaian lelakinya sangat perlente, tampaknya kalau bukan saudagar kaya tentulah
anggota keluarga bangsawan, yang parempuan cantik molek, tidak kikuk, jelas
biasa berkelana di dunia ramai.
Meja yang paling sedikit tamunya cuma diduduki satu orang saja. Seorang berbaju
putih, seputih salju. Melihat orang terakhir ini seketika tangan Siau-hong berkeringat dingin, sungguh
tak tersangka olehnya akan bertemu dengan orang ini di sini, kalau tidak,
biarpun ada orang mencambuknya dari belakang juga dia takkan masuk ke restoran
ini. Sekali sudah naik ke atas loteng, untuk turun lagi jelas tidak keburu lagi.
Terpaksa Siau-hong mencari suatu tempat berduduk, Liu Jing-jing memandangnya
dengan dingin, hampir dapat melihat butiran keringat pada wajah Siau-hong yang
merembes di balik kedoknya.
Sebaliknya si baju putih sama sekali tidak memandang mereka, melirik saja tidak.
Mukanya kelam, pedang terletak di atas meja.
Yang diminumnya adalah air, air putih dan bukan arak. Jelas setiap saat dan
dimana pun siap membunuh orang.
Waktu Bok-tojin menyapanya, si baju putih juga seperti tidak melihatnya. Tokoh
Bu-tong-pay yang termashur ini seakan-akan tidak terpandang olehnya.
Pada hakikatnya memang tidak ada seorang pun yang terpandang olehnya.
Bok-tojin lantas tertawa malah, gumamnya sambil tertawa dan menggeleng kepala,
"Tidak kusalahkan dia, betapa dia bersikap kurang sopan juga takkan kumarah
padanya." "Sebab apa?" tanya si kakek tinggi besar.
"Sebab dia Sebun Jui-soat!" jawab Bok-tojin.
Si baju putih memang betul Sebun Jui-soat yang tidak ada keduanya di kolong
langit ini. Pedang sakti yang tidak ada bandingannya di dunia ini.
Selama tangannya masih memegang pedang, selama itu pula dia berhak meremehkan
siapa pun juga. Bisa jadi yang dapat dilihatnya sekarang hanya ada satu barang, yaitu Liok Siauhong. Sakit hati serupa racun yang aneh, meski dapat membikin ce laka jiwa orang, tapi
juga dapat mengembangkan kekuatan setiap orang yang terpendam, membikin tekadnya
tambah teguh, bertambah cepat dan peka reaksinya.
Apalagi pada pendekar pedang yang sekali menyerang tidak pemah melihat ini
memang terdapat sapasang mata setajam mata elang.
Meski sekarang sama sekali tak terduga olehnya bahwa Liok Siau-hong justru
berada di depannya, tapi sedikit Liok Siau-hong memperlihatkan cirinya, pastilah
sukar terlolos dari pandangannya yang tajam itu.
Hidangan sudah dipesan, pelayan lagi bertanya, "Tuan tamu ingin minum arak?"
Cepat Liu Jing-Jing mendahului menjawab, "Hari ini kami tidak minum arak,
setitik saja tidak minum."
Arak mudah membuat orang lena, sedikit terlena saja cukup mengakibatkan
kesalahan fatal. Akan tetapi arak juga dapat mengendurkan saraf yang tegang, menenangkan pikiran.
"Hari ini kami tidak minum setitik arak, tetapi akan minum sebanyak-banyaknya,"
tiba-tiba Siauhong menukas dengan tertawa. Ia tepuk bahu Piauko dan berkata
pula, "Hari ini adalah ulang tahun putraku ini, hari bahagia mana boleh tanpa
arak. Ayolah bawakan dulu satu guci Tiok-yap-jing."
Liu Jing-jing melototi Siau-hong dengan mendongkol, tapi Siau-hong berlagak
tidak melihat, dengan tersenyum ia berkata pula, "Lelaki dilahirkan berjiwakan
arak, ucapan perempuan tidak perlu didengar. Marilah kalian berdua juga ikut
berduduk dan minum bersamaku."
Terpaksa Koan-keh-po dan Hay Ki-koat berduduk.
Di sebelah sana Bok-tojin lantas bertepuk tangan dan tertawa, "Sungguh tepat,
ucapan perempuan memang tidak perlu didengar, cukup kata-kata ini saja harus
diberi pujian." Dengan cepat arak diantar, cara minum juga sangat cepat.
Setelah tiga cawan arak masuk perut, pulihlah ketenangan Liok Siau-hong, matanya
mulai bersinar. Sekarang dia sudah keluar dari bayangan gelap Sebun Jui-soat, seakan-akan sudah
lupa bahwa di atas loteng restoran ini masih ada seorang demikian.
Tiba-tiba sorot mata Sebun Jui-soat yang tajam beralih ke arahnya.
Bok-tojin juga sedang menatapnya, mendadak ia mengangkat cawan dan berkata
dengan tertawa, "Sahabat yang berjiwakan arak ini, bolehkah kusuguh engkau satu cawan?"
"Menurut sama dengan menghormat, sepantasnya aku pun balas menyuguh tiga cawan
kepada Totiang," jawab Siau-hong dengan tertawa.
Sambil bergelak Bok-tojin terus mendekati Siau-hong, terpancar sorot matanya
yang tajam, tanyanya sembari menatap Siau-hong, "Siapa she Anda yang terhormat."
"She Him, artinya beruang," jawab Siau-hong.
"Perkenalan secara kebetulan, seyogianya tak boleh kuganggu Anda," ucap Boktojin, "cuma cara minum arak Him-heng sungguh sangat mirip dengan seorang
sahabatku." Berdetak jantung Liu Jing-jing, namun Lok Siau-hong tetap tertawa gembira,
jawabnya, "Dimanakah beradanya sahabat Totiang?"
"Jauh di ujung langit, dekat di depan mata," sahut Bok-tojin.
Hampir saja jantung Liu Jing-jing melompat keluar dari rongga dadanya, arak
dalam cawan Liok Siau-hong juga hampir tercecer.
Sebaliknya Bok-tojin lantas menengadah dan menghela napas panjang, sambungnya
pula, "Thian suka sirik terhadap orang berbakat tinggi, meski sahabatku ini
sudah mangkat jauh di dunia lain, namun di sini ada arak, juga ada sahabat, bisa
jadi rohnya telah kembali lagi di depan mataku."
Jing-jing menghela napas lega, juga Siau-hong merasa lega, sebab mereka tidak
memandang Sebun Jui-soat.
Wajah Sebun Jui-soat yang pucat itu seakan-akan tembus cahaya, sebelah tangannya
sudah memegang tangkai pedang.
Mendadak di luar jendela bergema suara mendenging satu kali. Hanya pada waktu
pedang dilolos dari sarungnya mengeluar kan suara mendenging nyaring begini.
Seketika sinar mata Sebun Jui-soat mencorong tajam. Pada saat yang sama, dalam
kegelapan udara seperti ada sinar kilat menyambar, selarik sinar perak menyambar
masuk melalui jendela dan langsung menusuk Sebun Jui-soat.
Pedang Sebun Jui-soat masih terletak di atas meja dan belum terlolos dari
sarungnya, tapi sebuah cawan arak yang berisi air di samping sarung pedang,
mendadak melejit ke atas dan memapak sinar pedang.
"Tring", cawan arak hancur berkeping dan muncrat membawa beratus titik air
membentuk kabut. Sinar pedang lenyap, dari balik kabut lantas muncul satu orang, seorang berbaju
hitam, mukanya juga memakai kedok kain hitam, hanya kelihatan matanya yang
bersinar. Pedang tidak terletak di meja lagi, tapi sudah terpegang di tangan.
"Lolos pedangmu!" ucap baju hitam sambil menatap tajam.
"Tujuh orang adalah jumlah yang terlalu sedikit, kenapa kau harus mati?" jengek
Sebun Jui-soat. "Tujuh orang?" si baju hitam merasa bingung.
"Di seluruh dunia ini, yang pantas menggunakan pedang hanya ada tujuh orang
lermasuk dirimu," kata Sebun Jui-soat. "Bukanlah pekerjaan mudah untuk belajar ilmu pedang sampai
setaraf ini." Lalu dia memberi tanda dan menambahkan, "Pergilah kau!" "Kalau tidak pergi akan
mati?" "Ya,"
sahut Sebun Jui-soat tegas.
"Hm, yang akan mati mungkin bukan aku, tapi kau!" jengek si baju hitam Mendadak
pedangnya menyambar lagi.
Bok-tojin bekernyil kening, ucapnya, "Jurus serangan ini tidak di bawah jurus
dewa turun dari langit Yap Koh-seng. Memangnya siapakah orang ini?"
Tidak ada yang tahu siapa orang ini, hanya Liok Siau-hong saja yang tahu.
Teringat olehnya pertemuan dengan orang yang sekali tusuk denganpedangnya dapat
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menembus batu padas di garis pemisah antara mati dan hidup waktu mau masuk ke
Yu-leng-san-ceng tempo hari. Yaitu Ciok Ho, manusia yang tidak bermuka.
Ciok Ho memang bertekad ingin mencari Sebun Jui-soat dan menentukan kalah dan
menang dengan dia. Tiba-tiba terdengar suitan nyaring, pedang Sebun Jui-soat juga sudah terlolos
dari sarungnya. Tidak ada yang mampu melukiskan betapa cepat dan gerak perubahan pedang mereka.
Tidak ada yang sanggup melukiskan pertarungan mereka ini.
Hawa pedang berhamburan, mangkuk piring di atas meja sama berantakan dan hancur,
angin tajam memecah udara, memaksa napas setiap orang hampir-hampir terhenti.
Keempat kakek berbaju perlente itu tetap tenang saja, anak perempuan yang
mendampingi mereka tampak pucat ketakutan.
Sekonyong-konyong selarik sinar pedang melayang ke udara, si baju hitam melompat
ke samping dan hinggap di atas meja kawanan kakek itu. Sinar pedang Sebun Juisoat menyerang dari atas sekujur badan si baju hitam yang terkurung di bawah
sinar pedang. Dalam keadaan demikian, menghindar tidak bisa, mengelak juga sukar.
Siapa tahu pada detik itulah mendadak papan loteng ambles ke bawah, meja juga
ikut anjiok ke bawah, si baju hitam yang hinggap di atas meja juga ikut jatuh ke
bawah, keempat kakek yang berduduk dengan tenang itu juga jatuh ke bawah.
Ternyata papan loteng restoran mendadak berlubang besar serupa bumi mendadak
pecah, karenanya semua ikut jatuh ke bawah, sinar pedang Sebun Jui-soat
menyambar lewat di atas lubang, perubahan ini jelas juga sangat di luar dugaan
Sebun Jui-soat. Selagi ia hendak menerobos ke bawah melalui lubang loteng, siapa tahu papan yang
anjiok ke bawah itu mendadak melayang naik lagi ke atas dan "crat", dengan tepat
lubang tadi tertambal dengan rapat.
Meja kursi masih berada di atas papan loteng yang berlubang tadi, keempat kakek
perlente itu juga masih duduk di situ dengan tenang. Papan loteng yang anjiok ke
bawah itu seolah-olah diisap ke atas oleh kaki mereka, Semenlara itu si baju
hitam tadi sudah menghilang.
Sinar pedang lenyap, pedang sudah masuk ke sarungnya, Sebun Jui-soat memandang
mereka dangan sorot mata dingin dan rada tercengang.
Ko Hing-kong, Lojit si mata elang, dan Bok-tojin juga saling pandang dengan
terkesiap. Dengan sendirinya mereka tahu sekarang bahwa keempat kakek berpakaian mewah itu
bukanlah sebangsa saudagar kaya segala, juga bukan pembesar yang lagi pesiar
dengan pakaian orang biasa, tapi mereka adalah tokoh dunia persilatan yang sukar
dijajaki kungfunya. Mereka telah membikin papan loteng berlubang dan anjiok ke bawah dengan tenaga
dalam, lalu dengan tenaga dalam pula mengisap ke atas lagi papan loteng yang
anjiok itu dan merapat kembali di tempat semula, memangnya ada berapa orang di
dunia persilatan zaman ini yang mampu berbuat damikian"
"Tiga orang saja," ucap Sebun Jui-soat tiba-tiba.
Ketiga kakak perlente itu diam saja dan menantikan ucapannya lebih lanjut.
"Yang mampu menyambut ke 49 jurus seranganku seluruhnya hanya ada tiga orang,"
kata Sabun Jui-soat pula.
Kiranya dalam sekejap tadi sekaligus ia telah menyerang 49 kali. Padahal untuk
membunuh orang belum pernah dia menge-luarkan keseluruhan 49 jurus.
Kakek yang tertua di antara ketiga kakek perlente itu akhirnya membuka mulut,
"Kau kira dia satu di antara ketiga orang yang kau maksudkan itu?"
"Bukan," sahut Jui-soat.
"Oo"!" si kakek melengak.
"Ketiga orang itu semuanya adalah pimpinan suatu perguruan besar, biarpun darah
tercecer di bawah pedang juga tidak nanti melarikan diri," ucap Sebun Jui-soat
dengan dingin. "Jika begitu dia terhitung orang keempat," ujar si kakek.
"Tidak ada orang keempat," kata Jui-soat.
"Pedang masih berada di tangan Anda, kenapa tidak kau coba lagi apakah kami
sanggup menyambut ke 49 jurus seranganmu?"
"Biarpun mampu, di antara kalian berempat paling banyak hanya akan tersisa tiga
saja." "Dan kau sendiri?" tanya si kakek.
Sebun Jui-soat menjadi bungkam.
Memang untuk menghadapi empat orang sekaligus, dia memang tidak yakin pasti akan
menang. Sebaliknya keempat kakek itupun bungkam. Mereka pun sama tidak yakin mampu
mengalahkan Sebun Jui-soat.
Salah seorang gadis yang berbaju hitam sutera tipis yang ikut bersama kawanan
kakek itu mendadak berteriak, "Hai, Kuku, akhirnya dapat kutemukan dirimu,
sungguh susah payah kucari engkau selama ini."
Sembari berseru ia terus berlari ke arah Liok Siau-hong. Keruan Siau-bong
melengak. Selama hidupnya sabatangkara, sekarang mendadak bertambah dengan seorang
'putra', kini tiba-tiba ada orang memanggilnya "Kuku" (paman, adik ibu) pula.
Gadis itu terus berlutut di depan Siau-hong sambil menangis, ratapnya, "O, Kuku,
masakah engkau tidak kenal padaku lagi" Aku ini kan Siau Jui, keponakanmu yang
sering kau gendong waktu kecil dahulu."
Mendadak Siau-hong merangkulnya dan berseru, "Ah, masa aku tidak kenal padamu.
Eh, dimanakah ibumu?"
Siau Jui hampir tidak sanggup bernapas karena rangkulan erat Siau-hong itu,
dengan agak megap- 'megap ia menjawab, "Ibu sudah meninggal."
"Dan mengapa dapat kau ikut kawanan orang tua itu ke sini?"
"Aku ... aku tak berdaya, mereka ... mereka ...." belum lanjut ucapan Siau Jui,
menangislah dia tergerung-gerung.
Siau-hong berjingkrak gusar dan menerjang ke depan kawan kakek itu sambil
mendamprat, "Mengapa kalian menganiaya se orang gadis" Jika tidak, mustahil dia menangis
sedemikian sedih?" Dia jambret leher baju seorang kakek dan mendamprat pula, "Usia kalian sudah
lebih tua daripadaku, tapi menganiaya seorang gadis yatim, apakah kalian
terhitung manusia" Biar kulabrak kalian."
Ia menarik kakek itu sekuatnya, Siau Jui juga memburu tiba dan menarik Siau-hong
dari belakang, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh, papan loteng itu
anjiok lagi ke bawah, ketiga orang jatuh saling dekap.
Tampaknya Sebun Jui-soat juga tercengang. Yang dihadapinya tadi mungkin sekali
adalah lawan yang paling menakutkan selama hidupnya ini. Akan tetapi mendadak
yang dihadapinya sekarang melulu sebuah lubang besar.
Terpaksa ia tinggal pergi. Waktu berlalu di depan Bok-tojin, tiba-tiba ia
berhenti dan menegur, "Baik-baikkah kau?"
"Baik, sangat baik," Bok-tojin juga tercengang, tapi lantas bergelak tertawa.
"Haha, tak tersangka engkau masih kenal padaku."
"Pernah kau lihat Liok Siau-hong?"
Bok-tojin tidak tertawa lagi, sahutnya dengan menyesal, "Tidak kulihat dia,
siapa pun tidak ada yang melihat dia." Sebun Jui-soat mendengus
Bok-tojin membelokkan pokok percakapan, "Apakah engkau akan hadir juga ke Butong-san?" "Tidak," jawab Jui-soat. "Sebab apa?" tanya Bok-tojin.
"Aku berpedang, Bu-tong-san ada Kay-kiam-giam (tebing menanggalkan pedang)."
"Pedangmu tidak boleh ditanggalkan?" Sebun Jui-soat mengiakan.
Mendadak si kakek tinggi besar dan kereng itu menjengek, "Kau pun tidak berani
membawa pedang ke Bu-tong-san?"
"Aku cuma berani membunuh orang," ucap Jui-soat dengan dingin. "Asalkan kau
bicara lagi satu kata, segera kubunuh kau."
Tiada seorang pun berani bicara lagi.
Pedang masih berada pada Sabun Jui-soat, ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Liok Siau-hong masih terus berkutetan dengan kakek perlente tadi, sama sekali
Jui-soat tidak memandang mereka.
Jalan raya masih ramai dengan cahaya lampu yang terang.
Memandangi kepergian Sebun Jui-Sioat hingga jauh, kemudian si kakek tinggi besar
menghela napas dan berucap, "Apakah betul-betul di dunia ini hanya tiga orang
yang mampu menandingi ke 49 jurus serangannya?"
"Betul," kata Bok-tojin.
"Adakah orang yang mampu menanggalkan pedangnya?" tanya si kakek.
"Tidak ada," sahut Bok-tojin
"Apakah benar dia tiada tandingannya di dunia ini?" tanya Ko Hing-kong.
Mendadak si kakek tinggi besar tertawa, ucapnya, "Mungkin tidak ada orang yang
mampu melucuti pedangnya, tapi ada seorang yang dapat membunuhnya."
"Siapa?" tanya Ko Hing-kong dan si mata elang Lojit.
Tertawa si kakek tinggi besar tampak sangat misterius, ucapnya perlahan, "Cepat
atau lambat orang ini pasti akan muncul, boleh kalian tunggu dan lihat saja
nanti." Persengketaan yang timbul mendadak seketika lantas berakhir, meski membingungkan
bagi pandangan orang lain, tapi dalam hati mereka yang bersangkutan tahu sama
tahu. Sesudah Sebun Jui-soat pergi, Liok Siau-hong juga lantas berangkat. Dengan
sendirinya kawanan kakek berpakaian perlente itu tidak merintanginya, seperti
tidak pernah terjadi apapun.
Sakarang Liok Siau-hong sudah berada kembali di dalam keretanya yang nikmat itu,
kereta mulai dilarikan ke depan. Si gadis berbaju sutera hijau, keponakannya
yang molek itu, berduduk di depannya, meski air mata belum lagi kering di
wajahnya, tapi tiada lagi rasa duka sedikit pun, malahan dia mengulum senyum,
seolaholah merasa geli terhadap apa yang terjadi tadi.
Tampaknya Liok Siau-hang juga merasa geli terhadap kejadian ini, katanya tibatiba, "Benar kau keponakanku?"
"Ehm," si gadis mengangguk. "Ibumu adikku?" tanya Siau-hong pula. "Ehm," si nona
tetap mengangguk. "Sekarang dia sudah mati?" "Ehmm."
"Apakah sekarang hendak kau bawa kami ke rumahmu?" "Ehm."
"Ada siapa saja di rumahmu?" "Ada orang orang yang pasti disukai olehmu."
"Darimana kau tahu kusuka pada siapa?" "Dengan sendirinya kutahu," jawab Siau
Jui sambil berkedip-kedip.
"Ada berapa orang?"
"Tidak sedikit."
Tertawa Siau Jui tampak misterius, mendadak ia melongok keluar jendela dan
berteriak memberi perintah kepada kusir, "Belok kiri pada simpang jalan di
depan, rumah ketiga di sebelah kanan bercat merah, berhenti saja di situ."
Gang itu cukup rajin, jalan batu yang resik, di balik dinding kedua sisi jalan
bunga flamboyan tampak mekar dengan indahnya, suasana riang gembira di balik
dinding sukar lagi ditutupi.
Pintu merah pada rumah ketiga sebelah kanan jalan memang terbuka, di depan pintu
tergantung beberapa buah lampu istana berwarna merah muda.
Begitu masuk ke rumah itu Siau Jui lantas berteriak, "Lekas kemari semua, Kuku
kita datang!" Belum lagi berhenti seruannya, berbondong-bondong berlari keluar dari halaman
sana belasan anak perempuan. Semuanya masih muda belia, serupa burung pipit
saja, serentak bercuat-cuit tidak ada hentinya.
Maklum, anak perempuan manakah yang tidak suka kepada Kuku"
Beramai-ramai mereka segera mengerumuni Liok Siau-hong, ada yang menarik
tangannya, ada yang menarik ujung bajunya, semuanya memanggil, "Kuku!"
Kembali Siau-hong melengak, "Mereka semua ini keponakanku"!"
Siau Jui mengangguk, "Ya, masa engkau tidak suka kepada mereka?"
Mau tak mau Siau-hong mengangguk, "Suka, tentu suka?"
"Ya', kutahu engkau pasti menyukai mereka," ujar Siau Jui dengan tertawa. Lalu
ia memperingatkan kawanan anak perempuan itu, "Tapi kalian harus hati-hati, Kuku
kita ini memang orang baik, hanya sedikit saja cirinya, yaitu rada tidak beres
bilamana merangkul, bisa bikin orang sesak napas."
Tambah riuh tertawa anak perempuan itu, "He, rupanya kau sudah dirangkul
olehnya?" "Kuku tidak adil, jika merangkul dia, kami juga harus dipeluk."
"Ya, aku pun minta dipeluk Kuku!" teriak yang lain.
Liok Siau-hong tengak-tangok ke sana sini, lagaknya seperti ingin merangkul ke
kanan dan ke kiri. Liu Jing-jing menyaksikan itu di samping, selagi ia hendak berbuat sesuatu untuk
menyadarkan Siau-hong agar tidak keblinger, siapa tahu tindakan Siau Jui
terlebih cepat, mendadak ia menarik Siau-hong dan diajak pergi.
"Hei, mengapa kau bawa lari Kuku?" teriak kawanan anak perempuan itu, "Dia bukan
monopolimu, dia kan juga Kuku kami."
Siau-hong setuju, "Jika semua memang keponakanku, perlu juga kutemani mereka."
Namun Siau Jui tidak menghiraukan dia, ia terus menyeretnya ke serambi belakang,
setiba di situ baru mengendurkan tangannya, lalu melirik dengan senyum tak
senyum, omelnya, "Tampaknya tidak kecil ambisimu, padahal kawanan budak liar itu
semuanya macan betina, masa kau tidak takut akan dicaplok mereka bulatbulat
besama tulangmu?" Ucapan ini tidak mirip lagi lagak bicara seorang keponakan terhadap pamannya.
Sesungguhnya siapakah Siau Jui ini" Mengapa mengaku Liok Siau-hong sebagai Kuku"
Untuk apa pula ia menyeret Siau-hong ke sini"
Sambil berkedip Siau-hong sengaja bertanya, "Eh, barangkali kau ingin berada
berduaan bersamaku?"
Siau Jui tertawa ngikik, ucapnya, "Aku sih tidak setabah itu, tadi seluruh ruas
tulangku hampir remuk oleh rangkulanmu, jika berada berduaan bersamamu, kan bisa
tambah hancur?" "Terkadang aku juga sangat lembut, lebih-lebih pada waktu tidak ada orang lain
lagi," kata Siauhong.
Siau Jui sengaja menghela napas, "Pantas orang sama bilang engkau ini mata
keranjang, ternyata keponakan sendiri juga kau incar."
"Siapa bilang aku mata keranjang?" tanya Siau-hong. "Kata seorang," jawab Siau
Jui. "Siapa?" desak Siau-hong. "Dengan sendirinya juga seorang yang sangat kau sukai, kujamin bila kau lihat
dia, seketika engkau akan melupakan orang lain."
Terbeliak mata Siau-hong, tanyanya cepat, "Dimana dia?"
Siau Jui menuding sebuah pintu pada ujung serambi sana dan berkata, "Dia sedang
menunggumu di sana, sudah lama menunggu, tidak cepat kau pergi ke sana?"
"Dan kau?" tanya Siau-hong.
Siau Jui tertawa ngikik pula, "Aku kan cuma comblang yang menyampaikan berita
dan tidak dapat membawa orang masuk kamar pengantin."
Di serambi panjang itu tergantung beberapa lentera berkerudung warna jambbn,
cahayanya terlebih lembut daripada cahaya rembulan.
Kawanan budak liar itu ternyata tidak menyusul ke sini, Liu Jing-jing juga tidak
ikut kemari. Pintu hanya setengah dirapatkan saja, di balik pintu sunyi senyap, tidak
terdengar suara manusia. Sesungguhnya siapakah yang menunggunya di dalam" Apakah sebuah perangkap
menyenangkan atau sebuah jebakan maut.
Selagi Liok Siau-hong merasa ragu, Siau Jui telah mendorongnya dari belakang
sehingga masuk ke dalam pintu itu.
Cahaya lampu di dalam rumah terlebih lembut, kelambu tempat tidur tertutup,
suasana rada-rada mirip keadaan kamar pengantin baru.
Sekarang pengantin lelaki sudah masuk kamar, lantas dimanakah pengantin
perempuannya" Di balik kelambu juga sunyi tiada suara manusia, agaknya memang tidak ada orang
di situ, tapi di atas meja sudah tersedia beberapa macam hidangan dan satu poci
arak. Hidangan yang tersedia itu semuanya kegemaran Liok Siau-hong, araknya juga Tiokyap-jing kesukaannya. Tidak perlu disangsikan lagi orang yang menunggunya pasti kenal padanya, bahkan
sangat memahami pribadinya. Apakah Yap Ling yang telah mendahului tiba di sini
dan sengaja hendak membuatnya kaget"
Kalau bukan Yap Ling, siapa pula yang tahu dia inilah Liok Siau-hong"
Ia coba mengenangkan setiap perempuan yang pernah dikenalnya, rasanya tidak
mungkin ada yang tahu akan kedatangannya.
Ia tidak mau berpikir lagi, selagi ia hendak berduduk dan mencicipi santapan
malam yang tadi belum selesai, mendadak di balik kelambu ada orang barkata,
"Malam ini boleh kau makan minum sepuasmu, boleh kau makan minum dengan siapa
pun, sampai mabuk juga tidak menjadi soal.
Besok baru kita mulai bekerja."
Siau-hong menghela napas demi mendengar suara orang ini, khayalan yang timbul
lagi seketika sirna.
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas itulah suara Lau-to-pacu.
"Kan banyak cara dapat kau gunakan untuk bertemu denganku, mengapa mesti pakai
cara begini dan membuatku kegirangan percuma?" kata Siau-hong dengan menyesal.
"Sebab apa yang hendak kubicarakan denganmu sekarang tidak boleh didengar oleh
orang ketiga," ujar Lau-to-pacu. Akhirnya muncul juga orangnya, pakaiannya masih tetap berwarna,kelabu, masih
tetap memakai caping bambu, dandanannya sungguh tidak serasi dengan keadaan
kamar yang serupa kamar pengantin ini.
Arak pun tidak ingin diminum lagi oleh Siau-hong, ucapnya dengan menyengir,
"Apakah hendak kau caci-maki diriku?"
"Apa yang kau lakukan tadi memang sangat berbahaya, kalau sebelumnya aku tidak
mengatur seperlunya, bukan mustahil Bok-tojin dapat mengenali dirimu, mungkin
Sebun Jui-soat juga sudah mengenalimu."
Suaranya ternyata sangat ramah, sambungnya pula, "Namun sekarang urusan sudah
berlalu, ternyata tidak berpengaruh terhadap pekerjaan kita."
"Jadi apa yang terjadi tadi sudah kau ketahui seluruhnya" Memangnya tadi kau pun
hadir di sana?" tanya Siau-hong. "Aku tidak hadir di sana, tapi kutahu."
Siau-hong menghela napas, "Kekagumanku kepadamu sebenarnya bukan lantaran kau
serba tahu segala apapun."
"Memangnya kau kagum mengenai apa?"
"Bahwa dapat kau pikirkan menyuruh Hwesio tua seperti Bu-hou dan Bu-pa membawa
orang perempuan dan minum arak segala, melulu hal ini saja mau tak mau harus
kukagumi dirimu." Memang luar biasa, bahwa beberapa tuan besar yang royal dengan membawa orang
perempuan dan makan minum itu ternyata bekas Hwesio saleh dari Siau-lim-si,
kecuali Lau-to-pacu, siapa pula yang dapat mencetuskan gagasan begini"
Sebab itulah meski Sebun Jui-soat dan lain-lain merasa ilmu silat dan gcrakgerik mereka agak mencurigakan, tapi juga tidak pernah menyangka mereka adalah
Bu-hou dan Bu-pa yang diketahui sudah mati itu, telah hidup kembali.
Di dunia Kangouw memang juga banyak orang kosen yang berkungfu tinggi dan enggan
menonjolkan diri. Dengan hambar Lau-to-pacu berkata pula, "Justru karena tak terduga oleh orang
lain, maka kejadian itu tidak berpengaruh terhadap pekerjaan kita."
"Akan tetapi pada tanggal 13 nanti mereka akan muncul juga di Bu-tong-san
"Betul, tetapi waktu itu mereka sudah berubah menjadi kaum Tosu pengembara yang
datang untuk mengucapkan selamat, tak ada orang yang akan memperhatikan mereka."
"Dan.bagaimana dengan diriku" Pada hari itu aku akan berubah menjadi orang macam
apa?" "Kau jadi seorang Tojin pelayan, setiap saat harus kau layani tamu agung yang
berada di ruangan pendopo."
"Wah, boleh juga tugas ini," ujar Siau-hong sambil menyengir.
"Pada hari itu, tamu yang datang di Bu-tong-san pasti akan ramai sekali, tentu
tidak ada orang akan memperhatikan seorang Tosu pelayan."
"Dan apa tugasku yang sebenarnya" Menghadapi Ciok Gan atau melayani Bok-tojin?"
tanya Siauhong. "Kedua-duanya bukan tugasmu, sudah ada orang lain yang kuberi tugas untuk
menghadapi mereka." "Lantas bagaimana dengan diriku" Tentunya engkau tidak cuma menugaskan diriku
untuk melayani tetamu saja."
"Dengan sendirinya ada tugasmu yang lain, malahan sukses atau gagalnya pekerjaan
kita ini, kuncinya justru terletak pada dirimu."
Siau-hong menenggak secawan arak, teringat kepada tanggung jawab sendiri yang
begitu besar, tanpa terasa ia menghabiskan lagi secawan. Sungguh ia rada tegang.
Lau-to-pacu lantas menuang juga secawan arak dan dikecupnya sedikit, lalu bicara
pula perlahan, "Tugas yang kuberikan padamu bukanlah membunuh orang, aku cuma menyuruhmu
mengambilkan sejilid buku."
"Buku" Buku apa dan buku siapa?"
"Buku piutang," tutur Lau-to-pacu. "Buku itu semula kepunyaan Bwe-cinjin,
sesudah dia mati, buku piutang itu lantas jatuh ke tangan Ciok Gan."
"Seorang ketua Bu-tong-pay terhormat begitu masakah perlu mengurus pembukuan
sandiri?" tanya Siau-hong dengan tidak mengerti.
"Ya, setiap hufuf dalam buku piutang itu selalu ditulis oleh mereka sendiri."
"Dan yang tertulis di dalam buku itu pasti bukan tagihan biasa."
"Memang betul."
"Lantas apakah yang tercatat di situ?"
Mendadak Lau-to-pacu menenggak habis isi cawannya, lalu berucap dengan suara
parau, "Yang tercatat dalam buku itu adalah mengenai jiwa raga beratus-ratus
orang." "Orang siapa?" tanya Siau-hong.
"Semua orang yang berkedudukan dan ternama, orang kaya."
"Ada sangkut paut apa antara jiwa raga beratus orang itu dengan buku piutang
Ciok Gan ini?" Siauhong tambah tidak mengerti.
"Karena yang tercatat di dalam buku itu menyangkut rahasia kehidupan pribadi
orang-orang itu." "Rahasia yang tidak boleh diketahui orang luar?" Siau-hong menegas.
Lau-to-pacu mengangguk, "Jika Ciok Gan mengumumkan rahasia mereka itu, maka
jangan harap lagi orang-orang itu dapat menancapkan kaki di dunia Kangouw,
bahkan mungkin sekali nama mereka akan runtuh dan mati tak terkubur."
Siau-hong menghela napas panjang, "Ai, seorang ketua Bu-tong-pay yang dihormati
masakah sampai melakukan pemerasan dengan senjala membeberkan rahasia pribadi
orang?" "Seharusnya tidak pantas mereka lakukan, tapi toh sudah mereka lakukan," jengek
Lau-to-pacu. Mendadak suaranya berubah menjadi penuh rasa benci dan dendam, "Kalau saja
mereka tidak memeras orang dengan ancaman akan membeberkan rahasia pribadi
orang-orang itu, mana bisa terjadi Ciok Ho merusak wajah sendiri pada malam
sebelum dia diangkat menjadi pejabat ketua Bu-tong" Dan tidak mungkin orang lain
mengetahui rahasia pribadi orang-orang seperti Koh Hui-hun, Ko Tiu, Liu Jingjing, Ciong Bu-kut dan lain-lain."
"Jadi rahasia pribadi mereka itu sengaja disiarkan oleh Bwecinjin dan Ciok Gan?"
tanya Siau-hong. "Lantaran pemerasan mereka tak berhasil, mereka lantas bertekad akan
membinasakan orang-orang itu. Umpama orang-orang itu ingin bertobat dan menjadi
orang baik juga tidak ada kesempatan lagi," tutur Lau-to-pacu dengan dendam.
"Dan engkau telah memberi suatu kesempatan kepada mereka," ujar Siau-hong.
"Aku cuma memberi sekali kesempatan kepada mereka, bukan suatu kesempatan."
"Memangnya apa bedanya?" kata Siau-hong.
"Mereka kan ingin menjadi manusia baru dan bukan menjadi orang mati," kata Lauto-pacu. Orang yang hidup di Yu-leng-san-ceng itu masakah ada bedanya dengan orang mati"
Hanya buku catatan mengenai rahasia pribadi mereka dimusnahkan barulah benarbenar ada kesempatan bagi mereka untuk menjadi manusia baru.
Dengan mengcpal kedua tinjunya erat-erat Lau-to-pacu menegaskan, "Maka tujuan
operasi kita ini hanya boleh sukses dan tidak boleh gagal!"
"Prak", cawan arak teremas hancur, darah segar merembes keluar dari celah-celah
jarinya. Siau-hong memandang darah segar yang menetes itu, tiba-tiba ia terhanyut dalam
lamunannya. Ia bertanya apakah tepat tindakan Lau-to-pacu ini" Jika tepat, jika benar,
apakah dirinya perlu membantu melaksanakan urusannya ini hingga mencapai sukses"
Bu-tong-pay adalah perguruan ternama, Bwe-cinjin dan Ciok Gan cukup dihormat dan
disegani orang, betapapun Siau-hong tak pernah menyangsikan kepribadian mereka.
Akan tetapi sekarang terhadap semua itu perlu dinilainya kembali.
Lau-to-pacu sedang menatapnya dengan tajam, seperti ingin tahu apa yang terpikir
pada lubuk hati Siau-hong yang paling dalam itu.
Sesungguhnya apa yang sedang dipikirkan Liok Siau-hong" Perlahan Lau-to-pacu
berkata pula, "Kupaham, jika engkau tidak rela berbuat sesuatu, siapa pun tidak dapat memaksa
dirirnu. Sebab itulah.aku mengharuskan kau tahu duduk perkara ini yang
sebenarnya." Tiba-tiba Siau-hong bertanya, "Jika tujuanmu demi menolong orang, mengapa perlu
membunuh orang pula?"
"Orang yang hendak kubunuh adalah orang-orang yang tidak boleh tidak kudu
dibunuh." "Ong Cap-te, Ko Hing-kong, Cui-siang-hui, orang-orang ini semuanya kudu
dibunuh?" Lau-to-pacu menjengek, "Hm, coba jawab, melulu mengandalkan anak murid
kepercayaan Bwecinjin dan Ciok Gan saja apakah mampu mendapatkan rahasia pribadi
orang sebanyak itu?"
"Jadi orang-orang yang hendak kau bunuh ini pernah bekerja bagi mereka, menjadi
penyelidiknya?" Lau-to-pacu mengangguk, "Ya, sebab rahasia pribadi orang-orsng itu sendiri juga
tergenggam di tangan Bwe-cinjin dan Ciok Gan."
Tangan Siau-hong terkepal kencang juga, akhirnya ia bertanya, "Buku catatan itu
berada dimana?" "Tersimpan di dalam kopiah pertapaan Ciok Gan," jawab Lau-to-pacu.
Seketika hati Siau-hong tenggelam. Ia maklum, semasa mudanya Ciok Gan sudah
terkenal sebagai jago pedang yang disegani di dunia Kangouw, akhir-akhir ini
tentu maju terlebih pesat kungfunya, meski biasanya jarang orang melihat
kepandaiannya, tapi menurut pikiran umum, ilmu pedangnya pasti di atas Boktojin. Tidak perlu disangsikan lagi, Ciok Gan termasuk satu di antara ketiga jago
pedang yang disegani dan pernah disinggung Sabun Jui-soat.
Kopiah pertapaan pejabat ketua Bu-tong-pay tidak cuma melambangkan keangkeran
perguruan Bu-tong, kopiah itu sendiri juga mestika yang tak ternilai harganya,
apalagi di dalam kopiah masih tersimpan lagi rahasia sebesar ini.
"Aku pun tahu, adalah bukan pekerjaan mudah jika ingin menanggalkan kopiah yang
dipakai Ciok Gan itu," kata Lau-to-pacu.
"Dan mengapa kita harus turun tangan pada waktu kopiah terpakai di atas
kepalanya?" ujar Siauhong.
"Sebab pada waktu itulah kesempatan kita satu-satunya," tutur Lau-to-pacu dengan
alasan yang cukup, "sebab kecuali dia sendiri, siapa pun tidak tahu pada waktu
biasa kopiah itu disimpan dimana."
"Wah, rasanya aku tidak sanggup melaksanakan tugas," kata Siau-hong sambil
menghembuskan napas panjang.
Maklumlah, pada hari itu, di ruang pendopo kuil Bu-tong-san pasti terang
benderang dengan cahaya lampu, jago kelas tinggi yang hadir juga tak terhitung
jumlahnya, jika hendak menanggalkan kopiah yang dipakai ketua Bu-tong-pay di
depan orang sebanyak itu, siapakah yang mampu melakukannya"
"Hanya kau, pasti dapat kau lakukan!" ucap Lau-to-pacu dengan yakin.
"Seumpama dapat kutanggalkan kopiahnya juga pasti tidak mampu membawanya lari di
depan pandangan orang sebanyak itu," kata Siau-hong.
"Bukan di depan pandangan orang banyak, pada waktu kau turun tangan tidak ada
yang melihat dirimu." "Mengapa tidak melihat diriku?"
"Sebab pada saat itu, ke-72 buah lampu yang terdapat di luar-dalam ruang pendopo
akan padam secara serempak pada saat yang sama."
Jika minyak pada lampu itu kering, dengan sendirinya lampu akan padam.
Sedikitnya kami sudah menguji lima ratus kali, sudah jelas dan pasti bila minyak
lampu tersisa tiga tetes saja, maka pada saat dia mengumumkan siapa ahli waris
yang diangkatnya segera lampu akan padam. Agen kita yang sudah berada di Butong-san pada saatnya nanti pasti akan membikin minyak pada setiap lampu pendopo
itu cuma tersisa beberapa tetes saja.
Rencana ini sungguh sangat rapi.
"Tapi pada ruang pendopo tentu juga masih ada nyala lilin," kata Siau-hong.
"Hoa Gui yang bertanggung jawab mengenai hal ini, kepan daiannya menghamburkan
senjata rahasia sukar ditandingi siapa pun," tutur Lau-to-pacu.
Dengan demikian rcncana ini hampir tidak ada lubang kelemahan lagi. Pada waktu
lampu padam, suasana pasti panik, pada saat itulah Liok Siau-hong akan turun
tangan untuk merampas kopiah.
Ciok Ho bertugas membunuh Ciok Gan, Bu-hou bersaudara membunuh Thi-koh Hwesio,
Piauko akan membunuh Koh-tojin cilik, Koan-keh-po membunuh Lau-jit si mata
elang, Hay Ki-koat membunuh Cui-siang-hui, Koan Thian-bu membunuh Ko Hing-kong,
Toh Thi-sim membunuh Ong Cap-te, tugas masing-masing sudah teratur dengan baik.
"Tidak peduli apakah mereka akan berhasil melaksanakan tugas atau tidak, yang
pasti, bilamana lampu menyala lagi, serentak mereka pun akan mengundurkan diri
dengan baik. Kau pun begitu, biarpun kopiah tidak berhasil kau dapatkan, kau pun
harus angkat kaki, sebab dalam keadaan begitu pasti tidak ada kesempatan untuk
turun tangan lagi kedua kalinya."
Lalu Lau-to-pacu menambah lagi, "Jadi berhasil atau tidak harus cepat kau
kembali ke sini. Setelah lampu menyala kembali, semua orang pasti akan
mencurahkan perhatian untuk menolong kawan yang terluka, siapa pun takkan
memikirkan siapa yang menghilang dari ruang pendopo dan juga tidak ada orang
akan mengejar ke sini."
"Apalagi pada waktu itu sama sekali tidak ada yang tahu sesungguhnya apa yang
terjadi." " Tanpa terasa Liok Siau-hong menghela napas pula, ucapnya, "Sungguh aku kagum
padamu." Selama hidupnya entah sudah berapa banyak dia ikut campur tipu muslihat orang,
tapi tidak ada satu pun yang lebih hebaf dari-pada sekali ini.
Rencana Lau-to-pacu sungguh hampir tidak ada cirinya sama sekali.
Akan tetapi masih ada beberapa hal perlu ditanyakan. "Mengapa kita tidak
membunuh Ciok Gan lebih dulu baru kemudian mengambil kopiahnya?"
"Sebab kita tidak yakin dapat merobohkan ia dengan sekali serang!" jawab Lau-topacu. Tapi operasi hanya boleh sukses dan tidak boleh gagal, urusan ini memang sudah
menguras segenap tenaga dan pikirannya.
"Jika aku tidak ikut serta dalam operasi ini, siapa yang akan melaksanakan
tugasku ini?" tanya Siauhong pula.
"Yap Soat!" jawab Lau-to-pacu.
"Mengapa dia?" Siau-hong tersenyum getir.
"Ginkangnya kan sangat tinggi, juga hebat pembawaannya melihat dalam kegelapan,
dalam keadaan tidak terduga-duga dia menyerang Ciok Gan, sedikitnya ada tujuh
delapan bagian pasti akan berhasil."
Mendadak ia genggam tangan Siau-hong dengan kuat dan menyambung pula, "Sedangkan
kau ada sembilan bagian, bahkan lebih dari itu, kau pasti akan berhasil. Kutahu
kemampuanmu bekerja tanpa keliru dalam kegelapan, bahkan engkau mempunyai
sepasang tangan yang tidak ada bandingannya di dunia ini."
Dia memegang tangan Liok Siau-hong serupa memegangi benda mestika yang sukar
dinilai harganya. Sebaliknya Liok Siau-hong sedang memandangi tangan Lau-to-pacu. Tangan yang
kurus kering dan kuat dengan kuku yang panjang.
Apabila tangan ini memegang sebilah pedang yang cocok, apakah tangan ini takkan
lebih menakutkan daripada tangan Sebun Jui-soat"
Sesugguhnya siapakah gerangan orang ini"
Jika Liok Siau-hong memutar tangannya dan balas mencengkeram urad nadi orang,
lalu menanggalkan capingnya, segera akan diketahuinya siapa dia.
Biarpun kesempatan akan berhasil tidak terlalu banyak, sedikitnya dia dapat
mencobanya. Tapi Liok Siau-hong tidak mau mencoba.
Hal ini membuatnya marah terhadap dirinya sendiri, mendadak ia bertanya dengan
suara keras, "Masakah tidak pernah kau pikirkan mati-hidupnya?"
Lau-to-pacu melengak, "Siapa yang kau maksudkan?" "Anak perempuanmu, Yap Soat!"
"Jika tidak ada gunanya dipikir, untuk apa pula dipikirkan?"
"Tahukah kau, setelah ibunya meninggal masih juga di Segera Lau-to-pacu memotong
ucapannya, dengan sorot mata tajam ia melototi Siau-hong dan berucap, "Boleh kau
minta kulakukan apapun bagimu, tapi selanjutnya jangan sekali-kali kau singgung
lagi perempuan itu di depanku."
Sungguh aneh, memangnya kenapa" Padahal Sim Sam-nio adalah istri Yap Leng-hong
dan melahirkan seorang anak perempuan baginya, jika Sim Sam-nio bersalah
terhadap Yap Leng-hong dan bukan kepadanya, lantas apa sebabnya dia juga benci
kepada Sim Sam-nio" Liok Siau-hong tidak mengerti, berpikir sampai sekian lama tetap tidak mengerti.
Rasa marah Lau-to-pacu dengan cepat dapat di atasinya, katanya pula, "Besok
tidak ada pekerjaan, kau bebas untuk melakukan apapun, esok lusa pagi-pagi akan
kuatur keberangkatanmu ke Bu-tong-san."
Dia lantas berbangkit, jelas hendak mengakhiri pembicaraan ini, "Kepala pelayan
di Bu-tong-san bernama Peng Tiang-cing, setiba di sana, segala apa keperluanmu
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan diatur olehnya."
"Kemudian?" tanya Siau-hong.
"Kemudian boleh kau tunggu saja di sana."
"Menunggu sampai waktunya lampu padam."
"Betul, menunggu sampai lampu padam," Lau-to-pacu melangkah keluar, lalu menoleh
dan menambahkan, "Mulai sekarang engkau bergerak sendiri dan tidak perlu lagi
mengadakan kontak dengan orang lain, juga tidak ada orang yang akan mencari
dirimu." Siau-hong tersenyum getir, "Mulai sekarang, mungkin anak isteriku pun tak dapat
kujumpai." "Tapi engkau takkan kesepian, engkau masih mempunyai banyak keponakan
perempuan." Tanggal 13 bulan empat sebelum fajar, suasana Bu-tong-san masih gelap gulita
setelah berada di pinggang gunung, hawa bertambah dingin.
Suasana sunyi senyap, gumpalan asap putih mengambang di sekitar kaki gunung,
entah awan, entah kabut"
Dipandang dari jauh, samar-samar sudah kelihatan bayangan kuil kuno yangmegah
itu. Setiba di sini, penunjuk jalan lantas pergi, katanya, "Boleh kau tunggu di sini,
selekasnya akan datang orang yang akan membawamu ke atas."
Siau-hong tidak bertanya, juga tidak ingin tahu siapakah pengantar ini. Meski
hari ini merupakan hari luar biasa, namun semangat Siau-hong tidak begitu segar.
Maklumlah, terlalu banyak keponakan perempuannya.
Untung dia tidak terlalu lama menunggu, dari kegelapan segera didengarnya orang
bertanya dengan suara tertahan, "Kau datang untuk apa?"
Inilah kata sandi menurut perjanjian mereka, jawabnya adalah, "Datang mencari
kacang, tiga belas biji kacang."
Dari kegelapan lantas muncul satu orang. Siau-hong lantas menegur, "Siapa kau?"
"Peng Tiang-cing!" jawab orang itu.
Peng Tiang-cing kelihatannya memang" rada-rada mirip kacang, pendek, buntak,
matanya mencorong terang, gerak-geriknya gesit, dengan cepat ia mengamati Liok
Siau-hong dua-tiga kejap, lalu menegur dengan menarik muka, "Kau baru minum
arak?" Dengan sendirinya Liok Siau-hong habis minum arak, malahan tidak sedikit arak
yang diminumnya. "Di sini dilarang minum arak, dilarang memandang orang perempuan, berjalan
dilarang terlalu cepat, bicara dilarang terlalu keras," demikian Peng Tiang-cing
memberikan serentetan dilarang.
"Apakah di sini juga dilarang kentut?" tanya Siau-hong dengan tertawa.
Peng Tiang-cing menarik muka, jengeknya, "Aku tidak tahu sebelum ini apa
pekerjaanmu, aku pun tidak ingin tahu, yang pen ting, setiba di sini mau tak mau
engkau kudu patuh pada peraturan."
Siau-hong tidak tertawa lagi. Ia tahu telah bertemu lagi dengan seorang yang
sukar dilayani. "Ada lagi satu hal hendaknya kau ingat betul," kata Peng Tiang-cing pula.
"Hal apa?" tanya Siau-hong.
"Setiba di atas gunung hendaknya kau tidur sepuasmu, jangan sekali-kali bergaul
dengan orang lain, bilamana ada orang bertanya padamu, katakan saja kau datang
membantuku." Setelah berpikir, ia menambahkan pula, "Suteku Tiang-jing adalah seorang yang
cerdik dan lihai, bila berhadapan dengan dia, cara bicaramu perlu lebih hatihati." "Aku pasti akan sangat berhati-hati," jawab Siau-hong.
"Baik, ikut padaku," kata Peng Thian-cing, tidak cuma gerak-geriknya gesit,
Ginkangnya juga cukup hebat.
Sungguh Siau-hong tidak menyangka, seorang Tosu kepala pelayan bisa memiliki
kepandaian setinggi ini. Peng Tiang-cing juga merasa di luar dugaan bahwa Liok Siau-hong ternyata dapat
mengikuti dia dengan ketat, betapa cepat dia berlari, selalu Siau-hong mengintil
di belakangnya dalam jarak yang sama.
Jelas Lau-to-pacu tidak memberitahukan Peng Tiang-cing tentang asal-usul Liok
Siau-hong. Kecuali Lau-to-pacu sendiri, agaknya apa yang diketahui setiap orang tidak
terlalu banyak. Sebab itulah andaikan satu-dua orang di antaranya gsgal
melaksanakan tugasnya juga takkan mempengaruhi rencana seluruhnya.
Hari belum terang tanah, namun bagian dapur di belakang gunung sudah ramai orang
bekerja, ada yang menanak nasi, ada yang memotong sayur, ada yang menimba air
dan sebagainya, setiap orang sama sibuk menunaikan tugas masing-masing, jarang
ada orang bicara. Jelas disiplin di sini cukup keras, kepala pelayan Tiang-cing
jelas terlebih kereng terhadap anak buahnya daripada sikapnya terhadap Liok
Siau-hong tadi. Di belakang dapur ada dua baris rumah gubuk, pada rumah ujung sana tertimbun
berpuluh keranjang asinan lobak yang belum kering terjemur, di pojok rumah
terdapat sebuah balai-balai bambu.
"Boleh kau tidur di sini." kata Peng Tiang-cing kepada Liok Siau-hong.
"Boleh tidur sampai kapan?" tanya Siau-hong. "Sampai kudatang lagi mencari
dirimu, makanan juga tersedia di sini."
"Makan lobak kering ini?" Siau-hong menegas dengan terkejut.
"Lobak kering juga makanan orang," jengek Peng Tiang-cing.
Siau-hong menghela napas, gumamnya sambil menyengir, "Wah, bila terlalu banyak
makan lobak kering mungkin akan kentut melulu."
"Boleh juga tidak perlu kau makan, biarpun kelaparan satu hari kan tidak sampai
mati?" Peng Tiang-cing siap tinggal pergi. "Nah, apakah masih ada urusan yang
belum mengerti?" "Hanya satu," ujar Siau-hong.
"Apa" Katakan!"
"Kuheran mengapa engkau tidak ganti profesi menjadi sipir bui saja."
Habis omong Siau-hong terus menjatuhkan diri di atas balai-balai, ditariknya
selimut yang ada untuk menutup kepalanya, segala apa tidak dipedulikan lagi.
Terdengar suara "blang" yang keras, agaknya terpaksa Peng Tiang-cing
melampiaskan rasa dongkolnya terhadap daun pintu.
Siau-hong tertawa di dalam selimut. Menghadapi orang demikian dia suka mencari
akal untuk membikin keki padanya, setiap kesempatan tidak dilaluinya dengan
percuma, kalau bisa harus membuatnya keki setengah mati.
Akan tetapi selimut yang dibuat menutupi kepala Liok Siau-hong sudah lebih duhj
membuatnya kelabakan setengah mati karena baiinya. Cepat ia mengeluarkan kepala
untuk mengganti napas, tapi bau lobak kering tidak lebih enak daripada bau
selimut dan balai-balai ini, hanya orang yang pilek saja mungkin masih tahan
tidur di sini. Dalam pada itu remang-remang di ufuk timur sudah kelihatan, kertas jendela sudah
mulai terang, cahaya sang surya pun menembus ke dalam rumah.
Dengan mata terbelalak ia memandangi jendela satu-satunya di rumah gubuk ini,
sungguh celaka jika dia hanya disuruh berbaring di sini sepanjang hari. Apalagi
sekarang perutnya terasa keruyukan, laparnya minta ampun. Jika dia diharuskan
makan caipuh (lobak kering), lebih baik dia mati kelaparan.
Dalam keadaan runyam begini, jika dia masih sanggup ngendon di tempat ini, jelas
dia bukan Liok Siau-hong, betapapun ia harus pergi ke dapur untuk mencari
makanan. Jika di atas gunung bakal kedatangan tamu agung sedemikian banyak, di dapur
tentu saja banyak tersedia makanan seperti jamur dan sebagainya.
Meski biasanya dia lebih suka makan daging dan ikan, jika sekali tempo ciacai
(makan sayur) rasanya juga tidak jelek. Ia cuma anti lapar saja, ia perlu
mengisi perut. Ia anggap setiap orang berhak bebas dari kelaparan.
Sang surya sudah cukup tinggi di langit, pekerja dapur sedang mengatur makanan
ke dalam tempat makanan untuk diantar kepada yang berhak menerima.
Meski makan pagi yang sederhana, tapi cara pengolahannya cukup baik, jelas
hendak diantarkan kepada para tamu agung.
Selagi Siau-hong hendak mencari akal untuk mendapatkan sebuah kotak makanan
untuk dibawa ke kamarnya, mendadak terdengar seorang berseru, "Kemari kau!"
Pembicara itu ternyata adalah seorang Tosu setengah umur, mukanya lonjong
seperti muka kuda, tampangnya tidak enak dipandang.
Siau-hong memandang ke kanan-kiri dan memeriksa ke belakang, ternyata tidak ada
orang lain di sekitarnya. Jelas dirinya yang dipanggil si Tosu muka kuda ini.
Terpaksa ia mendekatinya.
Tenaga pembantu sementara yang dikerahkan ke bagian dapur agaknya tidak cuma
Siau-hong saja, hal ini terbukti Tosu muka kuda itu tidak menanyai asal-usulnya
melainkan terus menyodorkan sebuah kotak makanan besar kepadanya dan menyuruhnya
mengantar ke Ting-tiok-siau-wan' (nama pavilyun), bahkan dipesan agar diantar
dengan cepat. Segera Siau-hong angkat kotak makanan dan melangkah pergi. Dilihatnya yang
terisi di dalam kotak makanan itu adalah satu porsi rebung cah jamur, satu porsi
kacang kapri, satu porsi tahu ang-sio dan satu kuali bubur yang masih mengepul.
Semua makanan ini sangat mencocoki seleranya, sungguh ia ingin makan dulu dan
perkara belakang. Jika dia benar-benar berbuat demikian, maka dia pasti juga bukan Liok Siau-hong.
Cara bekerja Liok Siau-hong selalu pakai pertimbangan, betapapun ia tidak mau
membikin runyam urusan. Bahwa makanan sebaik ini yang diantar, jelas yang tinggal di Ting-tiok-siau-wan
itu pasti tamu agung khusus. Persoalannya sekarang adalah dia tidak tahu dimana
letak Ting-tiok-siau-wan itu.
Selagi dia hendak mencari seorang yang agak ramah untuk bertanya, tiba-tiba
dilihatnya seorang yang paling tidak ramah. Peng Tiang-cing sedang memandangnya
dengan dingin di depan sana.
Sesudah dekat, dengan suara tertahan Peng Tiang-cing bertanya, "Apakah kau tahu
siapa yang tinggal di Ting-tiok-siau-wan?"
Dengan sendirinya Siau-hong menggeleng tanda tidak tahu.
"Ialah Thi-koh Hwesio dari Siau-lim-si."
Seketika tangan Siau-hong berkeringat. Ia kenal Thi-koh, Hwesio tua ini tidak
cuma mempunyai mata yang tajam, sebelum menjadi Hwesio, dia adalah seorang
pothau (polisi, detektif) terkenal.
Segala macam perbuatan kaum penjahat tidak ada satu pun yang tidak dipahaminya.
Konon keahliannya adalah kepandaian menyamar, sampai bandit nomor satu di dunia
Kangouw masa lampau 'si muka seribu' juga terjungkal di bawah tangannya.
"Jika samaranmu diketahui olehnya, maka tamatlah riwayatmu," jengek Pang Tiangcing pula. "Bolehkah aku tidak ke sana," Siau-hong menyengir.
"Tidak bisa " "Sebab apa?" "Sebab orang yang menyuruhmu ini ialah Song Tiang-jing, dia sedang mengawasi
gerak-gerikmu." Syukur Ting-tiok-siau-wan atau pavilyun nyanyian bambu tidak sulit dicari,
sesuai petunjuk Peng Tiang-cing, sesudah menyusuri sebuah jalan kecil berbau
telur, terlihatlah rumpun pohon bambu yang menghijau permai.
Setiba di sana, Siau-hong melihat ada seorang berjalan di depannya, pakaiannya
yang berwarna biru sudah luntur hingga hampir berubah menjadi putih seluruhnya,
malahan di sana sini banyak tambalan.
Siau-hong kenal orang ini, tanpa melihat mukanya juga dapat dikenalnya.
Peraturan Kay-pang (sindikat kaum pengemis) sangat keras, kantung goni yang
tersandang pada punggung setiap anggota teratur dengan baik dan tidak boleh
dilanggar. Bilamana kedudukan seorang anggota adalah murid berkantung tujuh,
maka kantung goni yang tersandang di punggungnya harus tujuh buah, lebih banyak
sebuah saja tidak boleh, kurang satu juga dilarang.
Murid berkantung tujuh sudah terhitung pimpinan Kay-pang, hanya Pangcu atau
ketua saja yang berhak menyandang sembilan buah kantung goni.
Tapi kantung goni yang tersandang di punggung orang yang berjalan di depan Liok
Siau-hong ini ada sepuluh buah.
Sejarah berdirinya Kay-pang sudah sekian ratus tahun lamanya, hanya terjadi
kekecualian ini saja, sebab orang ini telah berjasa besar bagi Kay-pang, tapi
setelah berjasa, dia lantas mengundurkan diri, hendak diangkat menjadi Pangcu
saja ditolaknya. Untuk menghormati dia dan sebagai tanda terima kasih atas jasanya, segenap
anggota Kay-pang yang berpuluh ribu jumlahnya itu telah memotong secuil kecil
kantung masing-masing, lalu dijahit menjadi sebuah kantung istimewa dan
dihadiahkan kepadanya sebagai lambang kebesaran dan kejayaannya dalam organisasi
mereka. Dan orang inilah Ong Cap-te adanya, si Ong berkantung goni sepuluh.
Liok Siau-hong menundukkan kepala dan sengaja memperlambat jalannya.
Usia Ong Cap-te sekarang sudah mendekati delapan puluh tahun, boleh dikatakan
tokoh Kangouw kawakan, sesepuh dunia persilatan yang jarang ada bandingannya,
segala urusan Kangouw hampir tidak ada lagi yang dapat mengelabui mata
telinganya. Sungguh Siau-hong tidak ingin dirinya dilihat pengemis tua ini, celakanya justru
sukar menghindarinya. Jelas Ong Cap-te juga hendak menuju ke Ting-tiok-siau-wan,
di sana sudah menunggu banyak sahabatnya, dengan sendirinya semua sahabatnya itu
adalah tokoh Bu-lim yang terhormat.
Bok-tojin, Ko Hing-kong dan Lau-jit si mata elang, semuanya sudah menunggu di
situ, ada lagi si kakek yang tinggi besar dan kereng itu.
Sesungguhnya siapakah dan apa kedudukan kakek ini"
Lalu ada lagi seorang Tosu setengah baya berdandan rapi dan berwajah putih
dengan jenggot yang jarang-jarang, dia inilah Koh-tojin cilik dari Pah-san.
Seorang lagi berdandan sederhana dan pendiam, seorang muda yang penuh percaya
kepada dirinya sendiri dan senantiasa cinta kepada sesamanya, ternyata Hoa Banlau yang sudah lama berpisah itu.
Tidak ada orang tahu Hoa Ban-lau adalah seorang buta, dia sendiri seperti juga
melupakan hal ini. Meski dia tidak dapat memandang dengan mata, namun dia dapat melihat dengan
pikiran dan perasaannya, dia dapat memahami, bersimpati dan memperhatikan
kepentingan orang lain. Sebab itulah kehidupannya senantiasa padat dan berharga.
Setiap kali Siau-hong melihat Hoa Ban-lau, dalam hati selalu timbul semacam
peras'aan hangat yang tak terkatakan.
Itu bukan cuma perasaan persahabatan saja, juga semacam perasaan hormat yang
timbul dari lubuk hatinya.
Di dalam kamar terpajang dengan indah dan teratur dengan resik, waktu Siau-hong
masuk ke situ, mereka sedang membicarakan apa yang dialami Bok-tojin di restoran
tempo hari. Dengan sendirinya Liok Siau-hong juga sangat tertarik oleh bahan perbincangan
mereka, maka ia sengaja bekerja dengan sangat lambat, sedapatnya ia
menghindarkan adu pandang dengan orang-orang ini.
Agaknya mereka pun tidak memperhatikan Liok Siau-hong, pembicaraan mereka tidak
pernah berhenti. "Apa yang dikatakan Sebun Jui-soat memang betul," demikian ucap Bok-tojin,
setiap gagasannya memang selalu diperhatikan kawan-kawannya, "yang mampu
menghadapi jurus serangan kilatnya pasti tidak lebih dari lima orang."
"Kau pun tidak tahu asal-usul pendekar pedang berbaju hitam dan berkedok itu?"
yang bertanya ialah Koh-tojin dari Pah-san.
Ia sendiri juga jago pedang ternama, Hwe-hong-kiam warisan keluarga Koh bersama
dengan Liang-gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay dan Hui-liong-kiam-hoat dari Kun-lunpay sama-sama disebut sebagai tiga ilmu pedang besar.
"Betapa hebat permainan pedang orang itu tampaknya tidak di bawah Koh tua
dahulu," ucap Bok-tojin pula sambil merenungkan kembali apa yang dilihatnya.
"Anehnya, yang digunakan seperti juga ilmu pedang Bu-tong-pay, tapi jauh lebih
tajam dan keji lagi."
"Menurut pandanganmu, bagaimana kalau dia dibandingkan dirimu sendiri?"
Yang bertanya sekali ini ialah Ong Cap-te, hanya dia saja yang dapat mengajukan
pertanyaan ini. Bok-tojin tertawa, "Sedikitnya sudah sepuluh tahun kedua tanganku tidak pernah
memegang pedang lagi."
"Apakah tanganmu tidak merasa gatal?"
"Bila tanganku terasa gatal, segera kugunakan untuk memegang biji catur dan
cawan arak," ucap Bok-tojin dengan tertawa. "Dengan begitu rasanya menjadi lebih
menyenangkan daripada memegang pedang, juga jauh lebih aman."
"Sebab itulah tempo hari kau hanya menonton saja?"
"Aku hanya dapat menonton saja, sebab tanganku memegang cawan arak, juga
memegang poci?" "Sahabatmu yang kau katakan menganggap arak sebagai jiwanya itu sesungguhnya
siapa?" "Orang itu kabarnya adalah pembesar negeri yang pensiun dan hendak pulang ke
kampung halaman, kukira agak mencurigakan keadaannya," tiba-tiba Lau-jit si mata
elang menimbrung. "Mencurigakan?"
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, meski sedapatnya dia berlagak kaku, tapi jelas kungfu bagian kakinya
tidaklah lemah, begitu dia terjungkal ke bawah loteng, ternyata tidak mengalami
cedera apapun. Tampaknya dia sangat mirip dengan seorang kenalan baik kita."
Mendengar sampai di sini jantung Liok Siau-hong hampir melompat keluar dari
rongga dadanya, sungguh ia ingin lekas mengeluyur pergi saja.
"Memangnya mirip siapa?" terdengar seorang bertanya.
"SukongTi-seng!"
Seketika Siau-hong menghela napas lega dan tidak ingin pergi lagi.
Mereka lantas membicarakan pula keempat kakek yang gerak-geriknya kelihatan
misterius itu. "Bukan saja Lwekang keempat orang itu sangat tinggi, gaya mereka pun hampir sama
satu dengan yang lain," ujar Bok-tojin. "Orang semacam mereka itu, satu saja
sukar dicari, tapi sekaligus mereka berempat muncul mendadak, serupa jatuh dari
langit." "Ya, yang lebih aneh adalah sikap dan gerak-gerik mereka hampir sama," sela Ko
Hing-kong, "sampai wajah mereka juga mirip satu sama lain seperti saudara sekandung saja."
"Saudara sekandung?" tukas Thi-koh Hwesio sambil mengernyitkan dahi. "Saudara
sekandung macam begitu kutahu cuma
Dia tidak melanjutkan, biasanya dia memang tidak suka sembarangan menarik
kesimpulan, dengan kedudukannya juga tidak boleh sembarangan memastikan begitu
saja. Akan tetapi para tokoh Kangouw kawakan yang hadir sudah dapat menangkap
maksudnya, "Kau maksudkan Bu-hou dan Bu-pa bersaudara?"
Thi-koh tidak membenarkan juga tidak menyangkal.
Bok-tojin tertawa pula, "Seumpama mereka masih hidup di dunia ini juga tidak
mungkin membawa serta kawanan nona 'Boan-jui-lau' dan minum arak di tempat
umum." "Kawanan nona dari Boan-jui-lau (nama tempat hiburan)?" tanya Ong Cap-te.
"Tampaknya kau seperti tahu benar aturan ini, jangan-jangan kau pun pernah
mengunjungi Boan-jui-lau?"
"Dengan sendirinya pernah kupergi ke sana," jawab Bok-tojin dengan tertawa.
"Asalkan bisa minum arak, tempat apapun kudatangi."
Ong Cap-te bergelak tertawa, "Wah, cara bicara Tosu tua ini serupa benar dengan
Liok Siau-hong." Pokok pembicaraan mereka seperti hendak terbelok lagi atas diri Liok Siau-hong,
segera Siau-hong bermaksud mengeluyur pergi lagi.
Mendadak si mata elang Lau-jit berkata, "Ada lagi satu hal terlebih sukar
dimengerti." "Hal apa?" tanya Bok-tojin.
"Seorang pembesar negeri yang sudah pensiun mengapa bisa mendadak berubah
menjadi seorang Tosu pelayan?" kata si mata elang.
Seketika kaki dan tangan Liok Siau-hong terasa dingin, hendak kabur pun sudah
terlambat. Serentak si mata elang melompat maju dan mengadang di depan Siau-hong sambil
mendengus, "Tidak boleh pergi!"
Liok Siau-hong berlagak kaget, "Mengapa aku tidak boleh pergi?"
"Sebab apa yang kurasakan tidak mengerti ini hanya dirimu saja dapat
menjelaskan," ucap si mata elang.
Ko Hiang-kong juga melompat maju dan berseru, "Betul, dia inilah sahabat yang
memandang arak seperti jiwanya sendiri. Mengapa dia bisa berada di sini?"
Seketika kamar yang semula tenteram itu diliputi hawa pembunuhan. Barang siapa
kalau menjadi pemimpin besar ke-12 pelabuhan, dalam sebulan sedikitnya ada
beberapa orang akan dibunuh olehnya.
Ko Hing-kong yang culas dan kejam itupun tokoh yang cukup terkenal di dunia
Kangouw. Asalkan mereka mulai bergerak, seketika akan terjadi pembunuhan.
Begitulah dari muka belakang mereka mencegal jalan Liok Siau-hong, bersayap juga
sukar kabur dari rumah ini.
Namun bila di dunia ini masih ada seorang yang dapat lolos dari rumah ini, maka
orang itu pastilah Liok Siau-hong adanya.
Mendadak ia bergelak tertawa dan berucap, "Wah, tampaknya aku kalah."
"Jelas kau kalah," jengek si mata elang Lau-jit.
"Selama hidupku sedikitnya sudah ribuan kali aku bertaruh dengan orang, baru
sekali ini aku mengalami kekalahan mengenaskan," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Bertaruh" Bertaruh apa?" tanya si mata elang.
"Ada seorang bertaruh denganku, asalkan aku mampu berdiam seminuman teh di sini
dan tidak dikenali orang, maka kalahlah dia dan aku akan dijamu di restoran,
kalau tidak, seterusnya akan kupanggil dia telur busuk."
Si mata elang hanya mendengus saja. Pada hakikatnya dia tidak percaya obrolan
Liok Siau-hong. Tapi dia bertanya juga, "Siapa orang yang bertaruh denganmu itu?"
"Dengan sendirinya dia memang telur busuk, bahkan telur maha busuk dan paling
besar." "Siapa?" si mata elang menegas.
"Liok Siau-hong!" jawab Siau-hong.
Nama ini membikin semua orang melengak, "Hah, dia belum mati?"
"Orang mati masakah dapat bertaruh denganku?" ujar Siau-hong.
"Dimana dia sekarang?" tanya Lau-jit.
Siau-hong sengaja menengadah dan memandang jauh keluar jendela sambil memberi
tanda dan berseru, "Ayolah, lekas masuk kemari!"
Dengan sendirinya semua orang sama berpaling ke sana, tapi Siau-hong sendiri
lantas kabur melalui arah lain.
Daun jendela kedua sisi ruangan itu sama terbuka", secepat terbang Siau-hong
melayang keluar, sebelah kaki menginjak pada emper rumah. Ketika emper rumah
runtuh, segera dia melompat bebe rapa tombak jauhnya ke sana.
Di belakang ada suara orang membentak, Ginkang setiap orang juga cukup tinggi,
emper rumah yang runtuh itu hanya dapat merintangi pengejaran mereka sejenak
saja, selekasnya mereka akan memburu keluar lagi.
Sama sekali Liok Siau-hong tidak berani menoleh, ia tetap lari ke depan.
Tokoan atau kuil agama To ini adalah bangunan kuno, tinggi, besar, megah dan
luas, meski banyak tempat yang dapat dibuat sembunyi, tapi Siau-hong tidak
berani mengambil resiko. Kini sudah tanggal 13, orang yang perlu hadir sudah datang, yang datang ini
adalah tokoh kelas tinggi seluruhnya. Dimana pun dia bersembunyi ada kemungkinan
akan ditemukan, bila ditemukan oleh siapa pun, jelas sangat sulit baginya untuk
lolos. Dengan sendirinya ia tidak dapat kabur turun gunung, urusan yang akan terjadi
nanti tidak boleh diabaikan, juga tidak ingin ditinggalkannya.
Terlihat bayangan orang berkelebat, di atas rumah depan sana sudah ada orang
mengejar ke sini. Menyusul dari kanan kiri juga muncul bayangan orang, empat penjuru sudah
terkepung seluruhnya, hampir tidak ada jalan lari lagi baginya. Terpaksa ia
melompat turun ke bawah. Orang di bawah agaknya terlebih banyak, dari sana sini sudah bergema suara orang
berlari. Cepat ia membelok dua-tiga tikungan rumah, mendadak di depan muncul seorang yang
lagi menatapnya dengan dingin, mukanya yang berpotongan muka kuda itu kaku tanpa
memperlihatkan sesuatu perasaan, dia inilah saudara seperguruan Peng Tiang-cing,
wakil kepala pelayan, Song Tiang-jing.
Tentu saja Siau-hong terkejut, sedapatnya ia menyapa dengan tertawa, "Engkau
baik-baik." "Aku tidak baik, kau terlebih tidak baik," jengek Tiang-jing. "Asalkan aku
berteriak, serentak mereka akan memburu ke sini, biarpun sekali hantam dapat kau
robohkan diriku juga tak ada gunanya."
"Habis apa kehendakmu?" tanya Siau-hong sambil menyengir. "Aku cuma minta kau
paham hal ini." "Aku sudah paham."
"Jika begitu, sebaiknya biarkan kubekuk dirimu, selanjutnya juga ada baiknya
bagimu." Siau-hong menghela napas, "Baiklah, toh aku tidak mampu lolos lagi, biarlah
kuberi kebaikan padamu."
Terbeliak mata Tiang-jing, segera ia melompat maju.
"Hendaknya jangan terlalu keras cara turun tanganmu," kata Siau-hong.
"Baik!" ucap Tiang-jing.
Baru saja ia buka mulut, tahu-tahu secomot barang telah terjejal ke dalam
mulutnya, baru saja ia hendak menghantam, tahu-tahu bagian iga sudah tertutuk.
Segera Siau-hong lari ke pengkolan rumah di depan sana, sedangkan Tiang-jing
hanya dapat memandangnya dengan terbelalak tanpa bisa berkutik.
Akan tetapi ia tahu Liok Siau-hong tetap tidak dapat kabur, sebab bila membelok
lagi ke depan, sampailah di ruang pendopo kuil besar itu.
Dan pejabal ketua Bu-tong-pay saat itu berada di ruang pendopo.
Di depan ruang pendopo adalah sebuah halaman yang luas, siapa pun tidak dapat
menyembunyikan diri, meski cahaya di dalam ruang pendopo agak guram dengan asap
dupa yang bergulung-gulung, tapi Siau-hong toh menyelinap juga ke dalam. Agaknya
memang sudah direncanakan akan bersembunyi di sini.
Ia tahu pada umumnya orang-orang mempunyai titik buta, bersembunyi pada tempat
yang paling menyolok justru semakin tidak mudah dikelemukan.
Sekarang sudah lewat waktu sembahyang pagi, umpama di ruang pendopo itu masih
ada orang tentu juga sudah terkejut oleh suara ramai-ramai di luar. Sungguh tak
tersangka olehnya bahwa di dalam pendopo masih ada satu orang.
Seorang Tojin yang berperawakan jangkung, sedang berdiri termenung di depan meja
sembahyang, entah lagi berdoa bagi keselamatan umat manusia atau lagi
merenungkan dosanya sendiri di masa lampau.
Di atas meja sembahyang di depannya tertaruh sebilah pedang Jit-sing-po-kiam
atau pedang pusaka bintang tujuh yang melambangkan kebesaran dan kekuasaan sang
ketua. Dengan sendirinya orang ini ialah Ciok Gan, pejabat ketua Bu-tong-pay.
5 Tentu saja Siau-hong terkejut, begitu masuk, serentak dia melompat ke atas.
Belandar ruang pendopo itu sedikitnya sepuluh tombak tingginya dari permukaan
lantai. Tidak ada orang mampu sekali lompat mencapai sepuluh tombak tingginya.
Tapi Liok Siau-hong letap Liok Siau-hong, selagi mengapung di udara, segera
ujung kaki kanan menginjak telapak kaki kiri, dengan tenaga tolakan ini kembali
tubuhnya menjulang lebih tinggi lagi ke atas dan kembali sekali lagi dengan cara
yang sama dapatlah dia mencapai belandar tengah ruang pendopo.
Ciok Gan masih tetap berdiri termenung di situ, seperti orang yang tidak sadar
dan tidak tahu apapun.Baru saja Siau-hong menghembuskan napas lega, serentak Ong
Cap-te, Ko Hing-kong si mata elang dan lain-lain menerjang masuk.
"Adakah orang yang baru saja masuk ke sini?" tanya mereka.
Perlahan Ciok Gan membalik tubuh dan menjawab, "Ada!"
Terdengarnya jawaban "ada" ini serupa tertuduh mendengar vonis kematian yang
dijatuhkan kepadanya bagi Siau-hong.
Didengarnya seorang bertanya lagi, "Dimana orangnya?"
"Di sini," kata Ciok Gan dengan tertawa, "Aku inilah baru saja masuk ke sini."
Semua orang sudah pergi, sampai Ciok Gan juga sudah pergi.
Bilamana ketua Bu-tong-pay bilang tidak ada orang lain masuk ke situ, maka
sekalipun ada orang melihat jelas Liok Siau-hong berada di situ pasti juga akan
menyangka matanya sendiri sudah lamur.
Banyak orang menganggap setiap kata ketua Bu-tong-pay jauh lebih dapat dipercaya
daripada matanya sendiri. Sebab Ciok Gan pasti tidak berdusta, dengan ketajaman
mata telinganya masakah dia tidak tahu ada orang masuk ke situ"
Tiba-tiba Liok Siau-hong teringat kepada permainan anak kecil, apabila seorang
anak bersembunyi di belakang kursi paman, lalu anak yang Iain datang bertanya,
selalu paman akan bilang tidak ada orang sembunyi di sini.
Padahal Ciok Gan bukan pamannya, mengapa dia menutupi tempat sembunyinya"
Untuk ini Siau-hong tidak sempat memikirkannya.
Debu di atas belandar sangat tebal, tapi dia toh berbaring di situ dengan
harapan dapat tidur sebentar. Sekarang jelas dia tidak dapat memperlihatkan diri
lagi, ia harus menunggu di sini, menunggu sampai waktu lampu padam.
Bila saat itu tiba, dari atas belandar dia tetap bisa turun tangan. Sebab itulah
dia memilih tempat sembunyi ini, di sini sedikitnya tidak ada bau busuk lobak
kering. Cuma sayang, masih juga dia tidak dapat tidur. Ia kuatir jatuh ke bawah. Bukan
saja takut jatuh ke bawah, juga kuatir debu di atas belandar bertebaran ke
bawah. Maka runyamlah dia, sampai bergerak saja tidak berani.
Ketika teringat olehnya rasa laparnya, ia mulai menyesal, menyesali diri sendiri
mengapa tidak berlaku prihatin, kan lebih baik berdiam di rumah itu, betapa bau,
lobak kering kan tidak sebusuk apa yang dibayangkannya.
Dalam pada itu ada beberapa orang masuk lagi ke ruangan pendopo, ada yang sibuk
membersihkan lantai, ada yang mengatur kursi, ada pula yang bertanya, "Siapa
yang bertugas mengurus minyak lampu?"
"Tecu Tiang-cin," sahut seorang.
"Sudah ditambah belum minyaknya?"
"Sudah!" Rupanya penanya itu sangat puas, agaknya cara bekerja Tiang-cin biasanya memang
raj in dan dapat dipercaya.
Anehnya, mengapa anak murid Bu-tong-pay bisa dibeli oleh Lau-to-pacu" Terhadap
seluk-beluk Bu-tong-san mengapa dia juga sedemikian hapal"
Siau-hong tidak memikirnya. Akhir-akhir ini dia seperti enggan menggunakan otak
untuk memikirkan apapun. Orang-orang itu sudah ada yang pergi, tertinggal beberapa orang saja yang
berjaga di ruang pendopo.
Selang sekian lama pula, terdengar oleh Siau-hong beberapa orang itu sedang
kasak-kusuk, yang dibicarakan adalah 'mata-mata musuh' yang menyamar sebagai
Tosu pelayan. "Sungguh aku tidak mengerti, di sini kan tidak ada rahasia apa-apa, mengapa ada
mata-mata musuh, memangnya mau apa?"
"Mungkin dia bermaksud mencuri."
"Mencuri barang Tosu miskin seperti kita ini?"
"Jangan lupa, tamu yang datang beberapa hari ini adalah tamu agung semua."
"Bisajadi dia bukan pencuri, juga bukan mata-mata musuh." "Habis apa?"
"Pembunuh gelap, hendak membunuh tetamu kita." "Sekarang belum dapat kita
tangkap dia?" "Belum." "Kukira dia sudah kabur ke bawah gunung, dia bukan orang dungu, masakah. masih
berani linggal di atas gunung untuk menanti kematian."
"Yang celaka ialah Tiang-cing, konon dia yang membawa orang itu ke atas gunung,
saat ini pemimpin besar ke 12 pelabuhan itu sedang mengadakan pemeriksaan
kepadanya." Konon kepandaian Hun-kin-co-kut-jiu (cara membikin tulang keseleo dan otot
terkilir) si mata clang Lau-jit lain daripada yang lain, di bawah tangannya,
orang mati pun terpaksa harus buka mulut. Dan apakah Tiang-cing akan mengku"
Betapa banyak rahasia rencana Lau-to-pacu yang diketahuinya"
Selagi Siau-hong merasa kuatir, tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang,
dua orang berlari masuk dengan napas terengah dan menyampaikan berita yang
mengejutkan, "Tiang-cing sudah mati!"
"Cara bagaimana matinya?" tanya seorang.
"Waktu Jisusiok mendesak pengakuannya, mendadak dari luar menyambar masuk
sepotong bambu dan memanteknya hidup-hidup di atas kursi."
"Pembunuh gelap itu tertangkap tidak?"
"Tidak, kakek guru dan para paman guru sudah mengejar keluar."
Siau-hong menghela napas, apa yang terjadi ini tidak mengejutkan dia, membunuh
untuk menghilangkan saksi, hal ini biasa di-lakukan oleh mereka.
Cuma memantek mati seorang di atas kursi, kepandaian ini tidak banyak dikuasai
orang, bahkan Piauko dan Koan-keh-po juga tidak mempunyai kemampuan ini. Kecuali
pembunuh ini, siapa pula yang telah menyusup ke atas Bu-tong-san"
Bu-hou dan Bu-pa bersaudara serta Ciok Ho jelas tidak berani naik ke Bu-tong-san
sedini ini, jangan-jangan yang datang ialah Lau-to-pacu"
Cara bagaimana dia datang ke sini, dengan menyamar sebagai apa dia datang"
Mungkinkah juga menyamar sebagai Tosu pekerja"
Mendadak di bawah ada orang bertanya pula, "Matinya Tiang-cing kan tidak ada
sangkut-pautnya dengan kita, untuk apa kau lari ke sini untuk menyampaikan
berita ini?" "Tidak ada sangkut-pautnya denganmu, tetapi ada sangkut-pautnya dengan Tiang-cin
Suheng "Ya, kupaham," sela seorang lagi, "sesudah Tiang-cing mati, Tiang-jing juga
dihukum, dengan sendirinya Tiang-cin Suheng akan menggantikan mereka sebagai
kepala kita, jadi kalian datang menyampaikan berita menyenangkan ini."
Tampaknya para Tosu pekerja ini tidak taat kepada ajaran agama, diam-diam mereka
juga berebut kedudukan dan ingin berkuasa.
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi Siau-hong merasa gegetun, tiba-tiba terdengar serentetan suara tajam aneh
berkumandang dari luar. Sampai dia tidak tahu suara apakah itu, yang jelas anak
telinga serasa pekak. Dalam sekejap itu ruang pendopo telah berjangkit serentetan suara jeritan ngeri
dan teriakan singkat, "He, kau."
Belum lanjut ucapan itu, segala suara lantas terputus secara mendadak.
Siau-hong tidak tahan, perlahan ia coba melongok ke bawah, tapi hanya memandang
sekejap saja, seketika kaki dan tangan terasa dingin.
Di bawah semula ada sembilan orang, sembilan orang hidup, tapi hanya dalam
sekejap saja sembilan orang hidup itu telah berubah menjadi orang mati. Leher
kesembilan orang telah tersayat putus, tidak perlu disangsikan lagi, jelas
semuanya mati oleh tebasan pedang.
Hanya sekali serang saja lantas membinasakan. Padahal anak murid Bu-tong-pay
kebanyakan punya dasar kungfu yang kuat, tapi dalam sekejap saja mereka telah
terbunuh. Suara aneh tadi kiranya suara mendesing sambaran pedang.
Sungguh pedang yang cepat dan serangan yang keji. Biarpun Sebun Jui-soat yang
malang melintang itu juga belum tentu lebih hebat daripada orang ini.
Lantas siapakah gerangan pambunuh ini" Mengapa dia membinasakan kawanan Tosu
pekerja yang tidak ada artinya ini.
"Ah, lantaran Tiang-cing," tiba-tiba Siau-hong paham persoalannya. "Dia
memperhitungkan, setelah Tiang-cing mati, orang lain pasti akan menanyai Tiangcin, maka lebih dulu ia bunuh Tiang-cin untuk menutup mulutnya."
Jika demikian, pembunuh Tiang-cing tentu juga dia. Bahwa orang ini dapat pergidatang dengan bebas di Bu-tong-san yang keramat ini dan membunuh sesukanya,
sesungguhnya apa kedudukannya di sini.
"He, kau...." Sebelum mati Tiang-cin sempat berucap demikian, jelas karena dia kenal orang ini
dan juga tidak menyangka si pembunuh ialah orang ini. Siau-hong jadi menyesal,
apabila suara aneh tadi berjangkit segera ia melongok, mungkin itulah satusatunya kesempatan bagi-nya untuk melihat wajah asli pembunuh itu. Tapi
kesempatan baik sudah berlalu dan takkan diperoleh pula selamanya.
Orang mati jelas tak dapat buka mulut, betapa lihai cara si mata elang
menyiksanya juga sukar memperoleh pengakuannya.
Maka semua rencana dan acara pasti akan berlangsung seperti biasa. Terpaksa
Siau-hong menunggu lagi, menunggu sampai hari gelap, menunggu sampai lampu
dinyalakan hingga lampu padam pula.
Rasanya orang menunggu sungguh tidak enak.Lambat-laun tiba juga magrib, hari
sudah mulai gelap, lampu di ruangan pendopo sudah dinyalakan. Namun di atas
belandar tetap sangat gelap.
Cahaya matahari tidak dapat menyinari tempat ini, cahaya lampu juga tidak, di
dunia ini memang terdapat banyak tempat yang selamanya tidak mendapatkan cahaya.
Banyak manusia juga begitu, tidak pernah mendapat cahaya, selalu hidup dalam
kegelapan. Memangnya Liok Siau-hong sudah berubah menjadi orang begini" Masakah selama
hidupnya tidak ada kesempatan untuk menonjol dan akan selalu bersembunyi dalam
kegelapan seperti tikus, menghindari Sebun Jui-soat"
Mungkin dia masih ada kesempatan, bisa jadi operasi ini adalah satu-satunya
kesempatan baginya, sebab itulah dia tidak boleh gagal. Akan tetapi ia sendiri
tidak yakin dan pasti. Siapakah yang yakin mampu mengambil kopiah dari atas
kepala Ciok Gan" Tiada seorang pun yang teringat olehnya.
Ruang pendopo di bawah bergema pula suara langkah orang, seorang yang berjalan
paling depan melangkah dengan berat, tapi suara langkahnya tetap sangat ringan.
Mau tak mau Siau-hong mengintip pula ke bawah, tertampak sebarisan Tojin
berjubah ungu dan berkopiah merah berturut-turut masuk ke situ, yang paling
depan ternyata Bok-tojin adanya.
Dia bersahabat sekian lama dengan Bok-tojin, baru sekarang diketahuinya betapa
hebat kungfu tokoh tua Bu-tong-pay ini.
Ciok Gan belum muncul, kursi utama di tengah masih kosong. Bok-tojin lantas
berduduk pada kursi kedua. Meski dia disegani dan terhormat, tingkatannya sangat
tinggi, tapi selama sang pejabat ketua hadir, dia tetap harus mengalah. Inilah
peraturan Bu-tong, juga etika Kangouw umumnya, siapa pun tidak dapat
mengubahnya. Cahaya lampu di tengah pendopo terang benderang, ada suara genta bergema di
luar, Bok-tojin lantas keluar menyambut, para tamu beruntun telah datang. Sikap
setiap orang tampak sangat prihatin, sikap si mata elang Lau-jit dan lain-lain
terlebih serius, jelas belum lupa kepada peristiwa yang terjadi siang tadi.
Si kakek tinggi besar itupun hadir, tempat duduknya bahkan lebih terhormat
daripada tempat duduk si mata elang. Memangnya apa kedudukannya" Mengapa selama
ini tidak menonjol di dunia Kangouw" Sebab apa pula saat ini dia muncul
mendadak" Terus menerus Siau-hong menatap kakek ini, ia merasa dirinya
seharusnya kenal orang ini, tapi justru tidak kenal.
Kursi yang tersedia di ruang pendopo tidak banyak, maklumlah, orang yang berhak
mendapatkan tempat duduk terhormat memang tidak banyak. Tamu yang datang
tidaklah sedikit, yang tidak mendapatkan tempat duduk terpaksa hams berdiri.
Thi-koh Hwesio, Ciok Gan, Ong Cap-te, Cui-siang-hui, Ko Hing-kong, Koh-tojin
dari Pah-san dan si mata elang, di belakang mereka banyak berdiri orang, setiap
orang itu ada kemungkinan sedang menunggu mencabut nyawa mereka.
Di antara orang-orang yang berdiri itu ada yang sudah pernah dinyatakan mati dan
kini telah hidup kembali" Lantas siapakah di antara mereka ialah Toh Thi-sim"
Siapa Koan Thian-bu, siapa nenek Lo"
Siau-hong terus mengamat-amati orang-orang itu, ia sedang mencari mereka. Wajah
mereka sesudah menyamar, kecuali Lau-to-pacu dan Kian-long-kun, hanya Liok Siauhong saja yang tahu. Kian-long-kun sudah melukiskan wajah samaran mereka kepada Liok Siau-hong. Di
hotel kelas satu, kakus tentu juga cukup luas, kecuali membuang hajat dapat pula
digunakan mengerjakan urusan lain.
Jika anjing yang dibunuh Hay Ki-koat itu anjing sungguhan, lantas kemana
perginya Kian-long-kun, si jaka anjing" Apakah ra hasia ini juga cuma diketahui
oleh Liok Siau-hong saja" Dengan cepat dapatlah Siau-hong menemukan mereka,
bahkan Ciok Ho yang tidak punya wajah itu sekarang juga sudah mempunyai sebuah
muka. Jelas mereka sedang mengincar sasaran masing-masing dengan ketat, mereka
menunggu, begitu lampu padam, serentak turun tangan.
Satu-satunya orang yang tidak menjadi sasaran agaknya cuma Bok-tojin saja,
apakah lantaran sudah lama dia tidak ikut campur urusan dunia Kangouw, maka Lauto-pacu tidak menjadikan dia sebagai sasaran operasinya" Siau-hong tidak
berpikir lebih banyak lagi, sebab pada saat itu sasarannya sendiri juga telah
muncul. Ketua Bu-tong-pay dengan berkopiah warna emas telah masuk di bawah iringan empat
Totong (Tosu anak-anak) yang memegang berbagai peralatan.
Ciok Gan Totiang yang dihormati dan disegani ini bukan cuma kungfunya saja yang
memang tinggi, pada waktu mudanya dia sudah kenyang pengalaman tempur, ilmu
pedang, Lwekang dan kesalahannya sudah jarang ada bandingannya. Akan tetapi
sekarang dia kelihatan sangat lelah, sangat loyo, bahkan rada tegang. Ya, Giok
Gan memang rada tegang. Menghadapi tamu agung sebanyak ini, meski mau tak mau dia harus menyambut mereka
dengan tersenyum, namun di dalam hati terasa tegang dan gopoh. Selama sepuluh
tahun terakhir jarang sekali terjadi hal begini atas dirinya.
Hari ini, lamat-lamat seperti timbul semacam firasat tidak enak dalam hatinya,
ia tahu pasti akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan.
"Bisa jadi aku memang harus mundur," demikian dia sedang berpikir. "Perlu aku
mencari tempat yang tenang dan sepi, kubangun dua gubuk dan seterusnya tidak
ikut campur persoalan dunia Kangouw dan juga tidak menemui siapa pun."
Tapi sayang, sampai saat ini, semuanya itu tetap merupakan khayalan belaka,
apakah selanjutnya dia benar-benar dapat mengundurkan diri dari dunia Kangouw
pada saat yang tepat, untuk ini ia sendiri tidak yakin benar.
Bilamana dia merasa tegang dan lelah, akan dirasakannya belakang lehernya
mengeras dan kepala pun sakit. Lebih-lebih sekarang, karena memakai kopiah emas
yang tidak ringan bobotnya, kepala terasa tertindih dan tambah sakit.
Dalam pada itu para tetamu serentak berdiri menyambut kedatangannya. Ia tahu
mereka menghormati dirinya hanya karena dia pejabat ketua Bu-tong-pay. Meski dia
tidak seluruhnya menyukai orang-orang ini, mau tak mau ia harus memperlihatkan
senyuman manis dan menegur sapa dengan para tetamu.
Semua ini bukankah mirip main sandiwara belaka" Jika dia sudah berperan, biarpun
kuduknya tambah kaku dan kepala tambah sakit, terpaksa dia harus bermain terus.
Cahaya lampu di ruang pendopo terang benderang. Dipandang di bawah cahaya lampu,
Thi-koh Hwesio dan Ong Cap-te jelas terlebih letih dan lebih tua daripada dia.
Padahal mereka seyogianya juga harus pensiun dan hidup tenteram di rumah saja,
hakikatnya mereka tidak perlu datang ke sini. Sesungguhnya Ciok Gan enggan
bertemu dengan mereka, terutama Ong Cap-te, jelas-jelas seorang berjiwa sempit
dan berhati culas, sakit hati sedikit saja pasti menuntut balas, tapi lagaknya
justru seperti seorang tokoh pehgelana yang berbudi luhur dan sok jenaka.
Ada lagi si Koh-tojin cilik yang suka bercermin itu, pantasnya dia menjadi germo
saja, mengapa menjadi Tosu segala"
Upacara sudah mulai berlangsung, setiap acaranya entah sudah berapa kali pernah
dilakukan Ciok Gan, apa yang perlu dikatakan juga entah sudah berapa kali pernah
diucapkannya. Karena itulah semuanya berjalan dengan lancar biarpun dalam
hatinya sedang memikirkan macam-macam urusan.
Menyusul tiba saatnya dia harus mengumumkan nama ahli warisnya. Ia coba melirik
beberapa anak muridnya yang terhitung penting, yang besar harapannya diangkat
menjadi ahli waris, kelihatan mereka juga sama tegang.
Jika nama yang diumumkannya nanti bukan nama beberapa murid ini, lalu bagaimana
air mukanya" Dan apa pula reaksi orang lain" Semua ini pasti sangat menarik. Teringat hal
ini, tanpa terasa tersembul senyuman pada ujung mulutnya, hampir saja ia
bergelak tertawa. Tapi dia dapat mengekang perasaan sendiri, selagi dia siap
melaksanakan acara pokok dalam upacara ini, sekonyong-konyong sebuah lampu yang
biasanya tidak pernah padam, kini mendadak sirap.
Seketika timbul firasat tidak enak dalam hatinya, ia menyadari alamat jelek yang
dirasakannya sebelumnya segera akan terbukti. Hampir pada saat yang sama, hanya
sekejap saja ke 72 lampu di seluruh ruang pendopo serentak juga padam semua.
Berbareng terdengar desir angin tajam yang ramai, beberapa api lilin di meja
sembahyang juga tertimpuk padam. Ruang pendopo yang semula terang benderang
seketika berubah menjadi gelap gulita.
Dalam kegelapan lantas bergema serentetan jeritan ngeri, menyusul terdengar
angin kencang menyambar dari atas belandar ke arah kepalanya, mengguncangkan
kopiah pertapaannya. Waktu ia hendak memegang kopiahnya, tahu-tahu kopiahnya
sudah terbang. "Cring", serentak Jit-sing-kiam, pedang tujuh bintang yang tergantung di
pinggangnya juga terlolos, tapi bukan dilolos oleh Ciok Gan sendiri. Cepat ia
melompat ke atas, segera terasa bagian iga
"nyes" dingin, rasanya seperti tersayat oleh mata pedang.
Semuanya itu hampir terjadi juga pada sekejap itu secara serentak. Pada
hakikatnya semua orang tidak tahu apa yang terjadi, dengan sendirinya juga tidak
tahu cara bagaimana harus menghadapinya. Di tengah suara jeritan ngeri tadi
agaknya juga terdapat suaratlokoh kelas tinggi seperti Thi-koh Hwesio, Ong Capte dan lain-lain. Kemudian terdengar suara bentakan Bok-tojin, "Siapa yang membawa' geretan api"
Lekas nyalakan lampu!"
Suaranya terdengar tetap sangat tenang, tapi Ciok Gan dapat mendengar di tengah
suaranya itu mengandung juga rasa sakit. Apakah Bok-tojin juga terluka" Meski
semua itu berlangsung dalam sekejap saja, tapi selamanya sukar dilupakan oleh
siapa pun. Akhirnya lampu menyala kembali, tapi semua orang tambah terkejut, tambah ngeri.
Siapa pun tidak percaya kepada apa yang terlihat, tapi semua ini justru kejadian
nyata .... Thi-koh Hwesio, Ong Cap-te, Koh-cinjin dari Pak-san, Cui-siang-hui, Ko Hingkong, si mata elang Lau-jit, ada pula beberapa anak murid Bu-tong-pay yang
penting, semuanya tergeletak di tengah genangan darah. Malahan pada pinggang Ong
Cap-te tertancap pula sebilah pedang, hampir sebagian besar mata pedang itu
bersarang di tubuhnya. Tubuh Tok-tojin juga berdarah, meski terluka, tapi sikapnya paling tenang,
"Pengganas pasti masih berada di sini, sebelum jelas duduknya perkara, hendaknya
samua orang tetap tinggal di tempat masing-masing."
Karena kejadian yang luar biasa ini, nada Bok-tojin juga berubah sangat kereng,
"Barang siapa asalkan melangkah keluar satu langkah saja akan sukar terlepas
dari tuduhan sebagai pengganas, maka jangan menyesal jika anak murid Bu-tong
akan bertindak tegas kepada Anda."
Ternyata tidak ada orang berani sembarangan melangkah, tidak ada yang ingin
tersangkut dan menimbulkan rasa curiga orang. Anehnya, orang yang masih berada
di ruang pendopo tidak ada yang membawa senjata, lalu darimana datangnya senjata
untuk membunuh itu dan sekarang kemana perginya senjata itu" Meski tidak parah
luka Ciok Gan, tapi jelas dia terlebih berduka, murka dan lesu daripada orang
lain. Dengan suara tertahan Bok-tojin berkata kepada Ciok Gan, "Pengganas ini tidak
cuma seorang saja, setelah berhasil menyerang, sangat mungkin mereka lantas
mengundurkan diri dalam kegelapan, tapi tidak mungkin mereka meninggalkan Butong-san seluruhnya."
"Jika semua orang harus tetap tinggal di sini, lalu siapa yang akan mengtyar
mereka?" kata Ciok Gan.
"Biar aku yang pergi," ucap Bok-tojin. Ia pandang anak murid Bu-tong yang siap
menerima perintah dan berkata pula, "Perlu kubawa beberapa pembantu."
"Anak murid perguruan kita terserah kepada Susiok untuk memberi perintah
seperlunya," ujar Ciok Gan.
Segera Bok-tojin berangkal dengan membawa sepuluh orang, dengan sendirinya semua
anak murid Bu-tong-pay pilihan. Melihat kepergian Bok-tojin yang tergesa-gesa
itu, tiba-tiba sorot mata Ciok Gan menampilkan semacam perasaan yang sangat
aneh. Dalam pada itu si kakek tinggi besar dan belum diketahui identitasnya itu diamdiam menggeser ke belakang Ciok Gan, katanya dengan suara tertahan, "Ternyata
betul terjadi demikian." Ciok Gan mengangguk, mendadak ia berseru dengan
bersemangat, "Karena kejadian mendadak dan luar biasa ini, diharap hadirin tetap
menunggu sementara di sini. Bu-an, bawalah muridmu dan memindahkan para korban
ke ruang samping, Bu-keng dan Bu-sik, pimpin anak murid kalian memeriksa
sekeliling kuil, apabila menemukan sesuatu senjata hendaknya segera lapor."
"Paling benar harus kau suruh mereka menggeledah diriku lebih dulu," kata si
kakek tinggi besar mendadak.
Ciok Gan tersenyum getir, sahutnya, "Jika engkau mau membunuh orang, masakah
perlu pakai senjata?"
"Jika demikian, aku pun ingin ikut Susiokmu pergi mengejar pembunuh," kata si
kakek. "Silakan," seru Ciok Gan.
Kakek itu memberi hormat, sekali lompat, secepat terbang ia melayang pergi.
Serentak terdengar suara tidak puas di antara tetamu, "Kami dilarang pergi,
mengapa dia boleh pergi?"
"Sebab kedudukannya berbeda dengan orang lain."
"Memangnya siapa dia?"
"Dia adalah ..."
Mendadak terdengar suara ribut memutus ucapan orang lain, dua Tosu berjubah ungu
tampak berlari masuk dengan mengangkat sebilah pedang, jelas pedang inilah Jitsing-kiam simbol kebesaran ketua Bu-tong-pay.
Akan tetapi benda mestika sang ketua yang lain, yaitu kopiah emas, tetap lenyap
tanpa bekas. Sampai tengah malam, kopiah emas itu tetap tidak diketemukan. Dalam keadaan
begitu, hanya satu orang saja yang tahu dimana beradanya kopiah emas itu. Dengan
sendirinya orang ini ialah Liok Siau-hong. Entah darimana dia membeli sebuah
caping ukuran paling besar dan dipakainya hingga menutupi hampir seluruh
mukanya. Kopiah emas itu justru berada di atas kepalanya, tertutup oleh caping besar itu.
Kopiah pusaka itu berhasil dicomotnya dari atas kepala Ciok Can dengan jarinya
yang tidak ada bandingannya itu.
Gerak tangannya ternyata tidak pernah meleset. Akan tetapi pada saat dia turun
tangan tadi, sekujur badannya telah basah kuyup air keringat.
Ia tahu operasi sekali ini telah mencapai sukses seluruhnya, pada waktu dia
melayang keluar pondopo, didengarnya suara jeritan Thi-koh Hwesio dan lain-lain.
Kini baju Liok Siau-hong sudah kering, dia berputar beberapa kali di gang yang
gelap dan berdekatan, setelah yakin tidak ada orang mengejarnya, lalu ia
menyelinap masuk melalui pintu belakang ke Boan-jui-lau, rumah pelesir yang
banyak dihuni nona cantik itu. Taman belakang sunyi senyap, tak terdengar suara
manusia, juga tidak kelihatan cahaya lampu.
Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masa orang-orang itu belum kembali ke sini?"
Selagi ia hendak mencari seorang untuk ditanyai, tiba-tiba terdengar suara
mendesis di balik semak pohon bunga, "Di sini!"
Jelas itulah suara Liu Jing-jing. Ketika berhadapan dengan Siau-hong, sikapnya
tampak sangat aneh, seperti kejut, heran, seperti juga girang, ia menegur. "He,
kau pun berhasil!" Siau-hong mengangguk, "Dan bagaimana dengan orang lain?"
"Hampir semuanya sudah kembali ke sini dan sedang menunggu Lau-to-pacu," tutur
Liu Jing-jing. Ia menggigit bibir dan melirik Siau-hong sekejap, lalu berkata pula, "Namun aku
tidak menyangka sekali ini benar-benar berhasil dengan baik."
"Mengapa tidak kau sangka?" tanya Siau-hong.
"Sebab aku tetap mencurigai dirimu," jawab Jing-jing, "terutama mengenai Kianlong-kun, juga si pelayan yang menertawakan anjingmu itu serta si penggali
cacing di rumah keluarga Yap
"Semua itu hanya dapat membuktikan rasa curigamu sedikitnya sepuluh kali lebih
besar daripada orang lain," kata Siau-hong dengan tertawa. Liu Jing-jing juga
tertawa, baru saja ia memegang tangan Siau-hong, mendadak dari balik semak bunga
ada cahaya lampu menyorot keluar.
Baru tahu Siau-hong bahwa tempat pertemuan itu ternyata terletak di bawah semaksemak pohon. Meski setiap detil rencana mereka sudah teratur dengan baik, tapi sebelum tiba
saat terakhir, kecuali Lau-to-pacu sendiri, tetap tidak diketahui seluruhnya
oleh orang lain. Sampai saat ini tetap tidak ada orang tahu wajah asli Lau-to-pacu, selekasnya
dia pasti akan datang. Ruangan di bawah tanah ini sangat longgar, lubang hawa dibuat dengan sangat
bagus, namun napas semua orang tetap terasa sesak.
Orang yang ikut serta dalam operasi besar ini kini sudah hadir seluruhnya,
ternyata tidak terjadi sesuatu di luar perhitungan, juga tidak ada yang cedera.
Ada sementara orang bajunya berlepotan darah, mungkin karena terlalu keras waktu
turun tangan sehingga darah korbannya muncrat.
Selayaknya mereka bergembira, sebab apa yang mereka lakukan malam ini jelas akan
mengubah sejarah dan nasib dunia persilatan umumnya.
"Mengapa tidak ada arak?" ada orang bertanya. "Pekerjaan kita sudah mencapai
sukses besar, mengapa kita tidak dapat minum arak sekadar merayakannya"
"Sebab Lau-to-pacu belum lagi pulang."
"Mengapa dia belum pulang ke sini?"
"Karena masih banyak urusan yang harus dikerjakannya," terdengar suara orang
berkumandang dari luar ruangan bawah tanah itu. "Dia masih harus menahan
pengejar bagi kalian dan juga mengumpulkan semua hasil kemenangan ini."
Kisah Para Pendekar Pulau Es 20 Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Rahasia Golok Cindar Buana 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama