Ceritasilat Novel Online

Legenda Kelelawar 3

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 3


tombak, Hay Koa-thian dan Ting Hong sengaja tidak menuruh
kelasinya menurunkan tangga tali, jelas mereka hendak
menguji kemampuan kedua orang di perahu itu, ingin tahu
cara bagaimana memindahkan keempat peti emas itu ke atas
kapal. Terlihat si tukang perahu telah mengikat erat keempat peti,
lalu dia pegang tambang tambatan perahu, terus diputar
sehingga menimbulkan suara menderu, nyata pada ujung
tambang terikat sesuatu benda besi, mungkin sebangsa
jangkar kecil. "Berr", mendadak tambang panjang itu dilepaskan hingga
melayang ke arah kapal, "crat", jangkar menancap di geladak
haluan kapal, agaknya sangat dalam menancapnya.
Tukang perahu itu menarik sekuatnya, rupanya ingin
mencoba apakah tambangnya cukup kuat atau tidak. Habis itu
ujung tambang yang lain diikat pada tonggak yang terdapat di
haluan perahu. Hay Koa-thian tertawa, katanya, "Tampaknya mereka
hendak menggunakan tali ini sebagai jembatan
penyeberangan." "Semoga mereka tidak terjatuh ke dalam sungai." Ucap
Ting Hong dengan hambar. Sebenarnya berjalan di atas tali belum tergolong Ginkang
kelas tinggi, sekalipun pemain akrobat biasa juga mampu
berjalan mondar mandir di atas tali.
Meski sekarang Ting Hong dan Hay Koa-thian dapat
melihat si baju kelabu ini berwibawa, tapi jelas tidak tinggi ilmu
silatnya. Jika dia sendiri dapat menyeberang kemari melalui
tali itu sudah untung, sedangkan si tukang perahunya mungkin
terpaksa harus diangkat kemari. Belum lagi ke empat peti itu.
Cara bagaimana memindahkannya ke atas kapal, inilah tanda
tanya besar. Selesai mengikat tali tadi, benar juga, segera si baju
kelabu melompat ke atas tali, hanya dua kali lompatan saja dia
sudah meluncur sejauh empat-lima tombak, ketika hendak
melompat lagi, tampaknya tubuhnya kurang mantap dan
tenaga kurang. Coh Liu-hiang ikut berkhawatir baginya, kalau-kalau jatuh
ke dalam sungai. Tapi syukurlah pada saat terakhir "bruk" orang itu sempat
mencapai dan jatuh di haluan kapal, mirip sepotong batu yang
jatuh dari udara, sehingga pintu kabin bergetar.
Tampaknya selain tenaga dalam orang ini tidak kuat, juga
Ginkangnya kurang tinggi, orang begini ternyata berani
membawa empat peti emas ke kapal Ci-keng-pangcu,
nyalinya sungguh luar biasa besarnya.
Sambil menggendong tangan. Hay Koa-thian memandangi
orang itu dengan tersenyum simpul, sorot matanya seakan
serigala yang sedang memandangi kambing gemuk yang
kesasar. Coh Liu-hiang menghela napas, pikirnya dengan gegetun,
"Saudara ini benar-benar telah salah menumpang kapal
bajak." "Wah, rupanya saudara juga seorang tokoh dunia
persilatan," demikian Hay Koa-thian memuji dengan tertawa.
Si baju kelabu menunduk, jawabnya dengan napas
tersengal, "Ah, sudah tua, sudah tua, tidak berguna lagi."
"Di perahu sana masih ada seorang, entah seperjalanan
dengan anda atau tidak?" kata Hay Koa-thian pula
"Dia muridku, biarlah kusuruh dia kemari untuk memberi
hormat kepada Hay-pangcu," kata si baju kelabu.
"Ah, jangan sungkan, murid seorang ahli pasti juga sangat
hebat," ujar Hay Koa-thian.
Si baju kelabu ternyata tidak rendah hati dan juga tak
berterima kasih, dia lantas berseru memanggil, "Pek-lak-cek,
kemarilah kau, awas keempat peti itu," Ia lantas menggeleng
kepala dan berkata dengan tersenyum, "Sejak kecil muridku
sudah bersifat seperti Lakcek (lilin), kalau tidak disulut tidak
menyala, sejak kecil biasa kupanggil Pek-lak-cek (Lilin putih),
untuk nama poyokan ini, janganlah kalian menertawainya."
Mendadak Kau Cu-tiang berkata, "Apa perlu kubantu dia
menyeberang kemari?" Meski maksudnya hendak pemer
Ginkang, tapi sesungguhnya ia memang bermaksud baik.
Tak tersangka si baju kelabu 1antas menggeleng dan
berkata, "Kukira tidak perlu, ia masih sanggup menyeberang
kemari." Hay Koa-thian tertawa, kalau sang guru saja hampir
terjungkal ke sungai, apa mungkin muridnya mampu
menyeberabg kemari melintas jembatan tali"
Saat itu terlihat Pek-lak-cek telah pegang pengayuh serta
mengikat keempat peti itu pada kedua ujung pengayuh itu, lalu
dipikulnya, sekali lompat ia telah melayang ke atas tali.
Seketika hati semua orang ikut berdebar, mereka mengira
sekalipun si Lilin putih itu dapat hinggap di atas tali, pasti juga
tali akan putus. Bobot empat peti emas itu kalau dijumlah sedikitnya pasti
ada beberapa ratus kati, mampu memikulnya saja sudah
tergolong kuat, apalagi memikul sembari menggunakan
Ginkang dan berjalan di atas tali.
Siapa tahu, bukan saja Pek-lak-cek sanggup memikul
empat peti emas dengan enteng, bahkan dapat berjalan di
atas tali seperti berjalan di tanah datar.
Hay Koa-thian tidak dapat bersuara lagi, Kau Cu-tiang juga
terkesima. Kau Cu-tiang suka bangga pada Ginkang sendiri, jika
disuruh memikul empat peti emas dan melintasi jembatan tali
itu bukan soal sulit baginya, tapi kalau jalannya harus
selambat Pek-lak-cek, maka belum tentu dia mampu.
Berjalan di atas tali tergolong Ginkang gampang-gampang
sulit, makin lambat jalannya di atas tali semakin sukar pula
Mendadak si baju kelabu berseru khawatir, sebelah kaki
Pek-lak-cek terpeleset, orang berikut peti pikulannya akan
terjerumus ke dalam sungai.
Tak terduga, hanya tampak bayangan berkelebat, entah
cara bagaimana, tahu-tahu dia sudah berdiri dengan tegak di
haluan kapal. Agaknya gerakan terpeleset itu hanya pura-pura
saja, tujuannya ingin pamer kepandaian.
Semula orang tidak memperhatikan Pek-lak-cek, sekarang
mau tak mau memandangnya beberapa kejap. Habis itu
barulah semua orang tahu apa sebabnya dia bernama Peklakcek atau lilin putih. Kulit badannya memang putih mulus, dipandang di bawah
sinar lampu, putih kulit badannya itu seakan-akan tembus
cahaya hingga urat dan tulangnya hampir-hampir kelihatan.
Warna putih demikian jelas adalah semacam penyakit, tapi
juga membawa daya tarik yang aneh dan sukar diuraikan.
Wajah si Lilin putih ini juga cukup cakap, panca inderanya
boleh dikata sempurna, tapi juga membawa semacam sikap
yang ketolol-tololan, seperti takut-takut dan suka kaget, mirip
anak kecil yang pernah mengalami sesuatu yang sangat
menakutkan. Baju yang dipakainya juga putih, cuma sekarang kotor,
begitu kotor hingga hampir sukar dibedakan warna aslinya.
Orang macam begini sebenarnya sangat sukar
menimbulkan kesan baik bagi orang lain. Tapi entah
mengapa, kesan Coh Liu-hiang tidaklah jelek. Melihat si Lilin
putih, Coh Liu-hiang seperti melihat anak dekil yang habis
dihajar orang tuanya, yang ada cuma kasihan padanya tanpa
rasa jemu.Terhadap gurunya, pandangan semua orang menjadi lain
Orang cuma melihat topinya yang berpinggiran lebar
sehingga hampir menutupi seluruh mukanya. Tapi setelah
masuk kabin kapal, di bawah cahaya lampu, betapapun orang
ini tidak dapat lagi mentupi seluruh wajahnya, semua orang
dapat melihat sebagian kecil wajahnya yang tak tertutup itu.
Meski cuma sebagian kecil saja wajahnya yang kelihatan,
tapi sekali pandang orang lantas merasas cukup, seketika
orang akan merinding, mengkink, seperti. punggung habis
dirimbati ular. Sungguh sukar untuk melukiskan wajah yang aneh itu.
Boleh dikata mirip sepotong bakpau yang rusak dikukus atau
sebutir telur yang rusak direbus, buah delima yang telah
dikupas kulitnya atau sebiji tomat yang busuk, siapa pun tidak
dapat mene mukan hidung dan mulut di wajahnya yang luar
biasa ini. Pada bag,an yang seharusnya terdapat hidung, kini
hanya terlihat dua lubang saja, dari hidung inipun terembus
hawa mendesis, suara mendesis ini mirip suara ular kobra.
Lalu tempat yang seharusnya ada mulut sekarang cuma
tersisa segumpal daging merah yang kisut, setiap kali bicara,
gumpalan daging ini merekah mendadak dan kelihatan
beberapa giginya di sela-sela lubang yang merekah itu.
Biasanya Coh Liu-hiang paling sabar dan dapat
menyimpan perasaan. Tapi sekarang, melihat orang
berbentuk luar biasa ini, mau tak mau timbul juga rasa
harunya, sungguh ia tak sampai hati untuk memandangnya
lagi. Syukur orang ini tahu diri, begitu masuk kabin kapal,
segera ia mencari sudut yang paling gelap dan duduk di situ.
Muridnya, Pek-lak-cek atau si Lilin putih, juga mengintil di
belakang. Kedua tangannya mengepal seperti petinju yang
siap naik ring. Coh Liu-hiang tahu, apabila ada orang berani berlaku
kasar terhadap gurunya, tentu kepalan si Lilin putih akan
segera bekerja, ia percaya orang yang mampu menahan
sekali tonjokan si Lilin putih pasti tidak banyak.
Guru dan murid itu sama-sama anehnya, sampai Oh Thihoa
dan Thio Sam yang biasanya suka ngoceh, sekarang
seperti tersumbat mulutnya.
Akhirnya Ting Hong yang membuka suara, ia tertawa dulu,
apapun yang akan diucapkan tidak pernah lupa tertawa lebih
dulu. Katanya kemudian, "Hari ini kita dapat berlayar bersamasama,
tampaknya kita memang ada jodoh. Entah siapakah
nama anda yang mulia, sudilah kiranya memberitahu?"
Ucapan ini dengan sendirinya ditujukan kepada si baju
kelabu, tapi pandangannya justru terarah pada poci arak di
atas meja. Maklum, poci arak ini memang jauh lebih sedap
dipandang daripada muka si baju kelabu.
Si baju kelabu lantas menjawab, "Cayhe Kongsun Jiat-ih
alias Siang-can." Dia menghela napas panjang, lalu
menyambung pula, "Para hadirin dapat membayangkan nama
Cayhe ini sesuai dengan maknanya, memang nyawa yang
tersisa dari mala petaka (Jiat-ih), adapun Siang-can dengan
sendirinya juga sudah melukiskan diriku yang berduka (Siang)
dan cacat (Can) ini."
Padahal tanpa dijelaskan juga dapat diduga orang ini pasti
pernah mengalami kisah hidup yang sangat mengerikan, kalau
masih dapat hidup sampai sekarang, sungguh perjuangan
yang tidak mudah. Sebab tidak mungkin ada orang dilahirkan
dengan wajah seburuk ini.
Ting Hong lantas berkata dengan tertawa, "Betapa tinggi
ilmu silat murid anda, sungguh jarang terlihat di dunia
Kangouw, kita semua merasa sangat kagum...."
"Dia bernama Pek-lak-cek dan tiada nama lain, juga tidak
mempunyai kawan." kata si baju kelabu yang mengaku
bernama Kongsun Jiat-ih. Ting Hong termenung sejenak, lalu tertawa dan berkata
pula, "Beberapa kawan yang hadir di sini semuanya adalah
ksatria termashur di dunia persilatan, biarlah Cayhe
memperkenalkan mereka kepada Kongsun-siansing."
Mendadak Kongsun Jiat-ih menghela napas panjang,
jawabnya, "Meski bodoh, tapi Cayhe tahu diri, asalkan orang
punya mata tentu ngeri dan menyingkir jauh bila melihat diriku.
Sebab itulah selama belasan tahun ini aku tidak pernah
berharap mengikat persahabatan dengan siapa pun. Sekali ini
apabila bisa mendapat tempat berduduk sekedarnya,
cukuplah bagiku untuk berterima kasih sedalam-dalamnya."
Dengan tegas ia sendiri menyatakan tidak ingin berkawan
dengan para hadirin, bahkan nama orang lain juga tidak mau
tahu. Dalam keadaan demikian, sekalipun Ting Hong pintar
bicara juga terpaksa tak dapat berbuat apa-apa.
Mendadak Hiang Thian-hui berdiri, ia memberi hormat dan
berseru, "Terima kasih, terima kasih!"
"Apa yang anda terima kasihkan?" tanya Kongsun Jiat-ih.
"Aku berterima kasih karena engaku tidak mau berkawan,
jika kau ingin berkawan denganku inilah yang repot," jengek
Hiang Thian-hui. Kongsun Jiat-ih tidak marah malah menjawab dengan tak
acuh, "Ya, Cayhe memang tidak suka membikin repot orang."
Padahal jika dia marah juga orang lain tak dapat
melihatnya. Hay Koa-thian berkata pula, "Jika Kongsun-siansing tidak
ingin diganggu, sebentar Cayhe akan menyediakan kamar
tenang bagi kalian, cuma sayang...." dia angkat cawan arak
dan menyambung, "Harap kalian memberi kesempatan
padaku sekedar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah,
silakan dahar dulu."
"Betul, seumpama tidak mau berkawan kan harus makan
nasi juga," jengek Hiang Thian-hui.
Mendadak Pek-lak-cek berkata, "Apakah kau tuan rumah
di sini?" "Bukan," jawab Hiang Thian-hui.
"Baik, aku mau makan," kata Pek-lak-cek, segera ia angkat
poci arak di atas meja terus ditenggaknya, sekaligus lebih
setengah poci arak itu telah berpindah ke perutnya. Padahal
poci itu cukup besar hingga hampir mirip sebuah guci, meski
isinya sudah dituang sebagian oleh Hay Koa-thian tadi, tapi
isinya paling sedikit masih ada empat-lima kati.
Setelah menghabiskan arak sebanyak itu, air muka Peklakcek sama sekali tak berubah, tampaknya dia masih
sanggup minum lebih banyak lagi.
Seketika mata Oh Thi-hoa terbelalak, serunya dengan
tertawa, "Aha, tak tersangka di sini ada seorang peminum
yang hebat, bagus, sungguh bagus!"
Orang yang gemar minum arak akan merasa senang bila
melihat orang lain juga gemar dan sanggup minum.
Namun Pek-lak-cek seperti tiada tempo luang untuk
mendengarkan ocehan Oh Thi-hoa, kedua tangannya bekerja
cepat, dalam sekejap satu piring besar berisi Ciobak (daging
masak saus kecap) yang baru disajikan telah dilalapnya


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersih. Satu porsi Ciobak itu sebenarnya disediakan buat makan
sepuluh orang, sedikitnya ada tiga-empat kati daging.
Sungguh tak tersangka nafsu makan anak muda ini
sedemikian mengejutkan, padahal perawakannya tak lebih
besar dari orang lain. Oh Thi-hoa tertawa senang, katanya, "Bagus, benar-benar
ksatria muda yang hebat!"
Tapi Hiang Thian-hui lantas mendengus, "Hm, jika tukang
gegares juga dianggap ksatria, maka di dunia ini pasti akan
penuh ksatria." Pek-lak-cek seperti tidak mendengar ucapan Hiang Thianhui,
pelan dia melangkah keluar kabin, setiba di luar pintu
barulah dia membalik tubuh, ucapnya sekata demi sekata
sambil melototi Hiang Thian-hui, "Keluar sini kau!"
Air muka Hiang Thian-hui rada berubah, tapi lantas menje
ngek, "Keluar ya keluar, memangnya siapa gentar padamu?"
Mestinya Hay Koa-thian hendak mencegah pertengkaran
mereka, tapi Ting Hong mengedipi agar jangan ikut campur.
Dengan gegetun Kongsun Jiat-ih berkata, "Sejak tadi
sudah kukatakan, muridku itu berwatak lilin, kalau tidak disulut
tidak menyala, sekali disulut lantas terbakar. Sekarang kalian
sudah melihat buktinya."
"Orang she Hiang itu memang punya penyakit, sepanjang
hari hanya ingin cari setori melulu, kebetulan jika sekarang
ada orang mau memberi hajaran padanya," kata Kau Cu-tiang.
"Asalkan bisa menonton pertunjukan menarik, siapa yang
akan dihajar tidak menjadi soal bagiku," kata Oh Thi-hoa de
ngan tertawa Maka ramai-ramai semua orang ikut keluar kabin, di sana
terlihat Pek-lak-cek sama sekali tak menggubris Hiang Thianhui,
sendirian ia menuju ke haluan kapal.
Saat itu kapal belum berlayar, perahu yarg dibawanya
masih mengapung di permukaan air sungai. Sekali raih, Pek
lak-ceh mencabut jangkar yang menancap di haluan kapal itu,
mendadak ia membentak, tahu-tahu perahunya melayang ke
atas. Ketika Pek-lak-cek menarik tali jangkar, perahu itu
meluncur kearahnya secepat anak panah terlepas dari busur.
Meski perahu itu tidak besar, tapi sampan yang paling kecil
juga dapat menindih mati orang. Apalagi sekarang perahu itu
meluncur tiba dari udara, kekuatannya tidak kurang dari ribuan
kati, hanya mendengar deru anginnya saja sudah membikin
dua kelasi yang berdiri di haluan kapal itu lari menyingkir
dengan ketakutan. Semua orang mengira sekali ini Pek-lak-cek pasti akan
tertumbuk mampus oleh perahu itu, umpama tidak mati juga
akan sekarat. Ia berjongkok dan perahu itupun telah
disanggahnya dengan tepat dan mantap.
Tanpa terasa semua orang berseru, "Bagus'"
Air muka Pek-lak-cek tetap tidak berubah, napas juga tidak
tersengal, dengan menyanggah perahu ia menuju ke tepi
geladak dan diturunkannya dengan pelan, lalu ia berpaling
dan berkata singkat kepada Hiang Thian-hui, "Tidak usah
banyak bicara." Muka Hiang Thian-hui sebentar merah sebentar pucat, ia
menggentak kaki, dengan gemas terus menuju ke buritan, ia
dorong si juru mudi, ia sendiri lantas pegang kemudi dan
memandang jauh ke permukaan sungai di tengah kegelapan
malam dan tidak berpaling lagi.
Seterusnya siapa pun tidak pernah lagi melihat dia turun
ke kabin, juga tiada yang pernah mendengar perkataannya....
******* Sementara itu poci arak di atas meja sudah diisi penuh
lagi. Perlahan Pek-lak-cek masuk kembali ke kabin, ia angkat
poci, corong poci tepat mengarah ke mulut, hanya sekejap
saja isi poci telah dihabiskan pula. Habis itu barulah ia kembali
ke pojok sana dan berdiri di belakang Kongsun Jiat-ih,
Wajahnya tetap menampilkan mik seperti anak kecil yang
takut-takut dan ketolol-tololan.
Oh Thi-hoa mengacungkan jempol, serunya memuji, "Kutu
busuk tua, sudah kau lihat tidak" Cara begitu baru dapat
dikatakan minum arak. Jika caramu minum itu paling-paling
hanya dapat disebut menjilat arak." Lalu ia menggeleng dan
berkata pula, "Malahan menjilat juga tidak, hanya dapat
dikatakan mengendus arak."
Mendadak Kim Leng-ci berseru, "Tuang enam poci arak!"
Ucapan ini entah ditujukan kepada siapa, yang jelas Thio
Sam lantas mengiakan. Padahal ia sendiri tidak tahu arak
tersimpan dimana. Di atas kapal inipun tidak perlu dia
menuang arak. Tapi dia tetap membawa poci yang sudah
kosong itu dan melangkah keluar sambil bergumam, "Diriku
dibeli dengan berlaksa tahil perak, pekerjaanku hanya disuruh
menuang arak saja, apakah cara demikian tidak rugi?"
Oh Thi-hoa mendengus. "Hm, tidak perlu terburu-buru,
bisa kau tunggu nanti, lambat laun pasti tahu rasa."
Kim Leng-ci melototinya sekejap, tapi tidak menanggapi.
Sementara itu Thio Sam sudah pergi jauh. Tidak lama
kemudian, enam poci arak telah dijajarkan di atas meja.
"Nah, kau minum empat poci, aku minum dua poci," kata
Kim Leng-ci. Ucapannya ini tanpa alamat tujuan, tapi setiap orang sama
memandang ke arah Oh Thi-hoa.
"Apakah nona Kim berbicara padaku?" ucap Oh Thi-hoa
dengan tertawa sambil meraba hidung, gaya meraba hidung
ala Coh Liu-hiang ini kini tampaknya lebih luwes daripada Coh
Liu-hiang sendiri. "Tampaknya begitu," timbrung Ting Hong tertawa karena
Kim Leng-ci tidak menjawab melainkan cuma mendengus.
Oh Thi-hoa memandangi keempat poci arak di depannya,
gumamnya, "Umpama isi satu poci lima kati, empat poci
berarti dua puluh kati. Seumpama kuhabiskan arak sebanyak
ini tanpa mabuk, tapi apakah perutku muat?"
"Kalau tidak punya perut sebesar itu, mana bisa
mengembuskan suara sebesar itu?" ujar Thio Sam dengan
adem ayem. "Wah, tampaknya cara menjilat pantat orang ini sangat
mahir, benar-benar budak teladan," kata Oh Thi-hoa.
"Sudah, tidak perlu banyak cingcong. Kau mau minum
tidak?" segera Kim Leng-ci mendelik.
"Minum, pasti kuminum " kata Oh Thi-hoa. "Cuma bukan
sekarang waktunya." "Haha, minum arak kan bukan upacara kawin, masa pakai
waktu segala," seru Thio Sam dengan tertawa.
"Caraku minum arak terkenal dengan nama 'mati melihat
sinar'. Sekarang malam sudah larut, bila fajar menyingsing
dan terang tanah, maka satu tetes saja aku tidak minum "
"Memangnya harus tunggu kapan?" tanya Kim Leng-ci
"Besok, bila hari mulai gelap..."
Mendadak Kim Leng-ci melengos dan menjengek, "Baik,
besok juga boleh, masa kau bisa lari?"
Oh Thi-hoa melirik Ting Hong sekejap, ucapnya dengan
tak acuh, "Bila sudah berada di sini, mungkin tiada seorang
pun yang ingin pergi lagi, betul tidak?"
Ting Hong tak menjawab, sebaliknya Kongsun Jiat-ih
lantas menanggapi, "Pergi sih akhirnya pasti akan pergi, cuma
kapan, dimana dan cara bagaimana perginya, itulah yang
belum bisa diketahui oleh siapa pun juga."
******* Kabin kapal penumpang Hay Koa-thian ini bersusun dua
tingkat bawah adalah tempat tidur ketujuh belas kelasi dan
juga gudang perbekalan, keadaan di situ gelap gulita dan
berbau apek. Tingkat atas, ruangan tempat mereka makan minum, di
belakangnya ada empat buah kamar. Di zaman itu kapal
penumpang ini malah tergolong besar dan mewah.
Kongsun Jiat-ih dan muridnya, si Lilin putih, mendapatkan
sebuah kamar kabin, Kim Leng-ci sendiri satu kamar, Kau Cutiang
dan Ting Hong berkumpul menjadi satu kamar, sisanya
satu kamar terpaksa harus berjubel antara Coh Liu-hiang, Oh
Thi-hoa dan Thio Sam bertiga.
Karena kamar kabin sudah penuh terisi tamu. Hay Koathian
sebagai tuan rumah terpaksa gelar tikar di ruang depan.
Saat itu Oh Thi-hoa sedang berduduk di atas bantal
dengan kaki telanjang sambil melototi Thio Sam. Begitu
masuk kamar, pekerjaan Oh Thi-hoa yang pertama adalah
membuka sepatu dan melepas kaos kaki.
Menurut tata hidup Oh Thi-hoa, ia anggap kaki orang harus
sering telanjang agar dapat hawa, soal dicuci atau tidak
adalah urusan sekunder. Thio Sam pencet hidung sambil mengerut kening, katanya,
"Wah, rupanya hidung buntu juga ada faedahnya, paling
sedikit takkan tercium bau bacin kaki orang."
"Kau anggap kakiku berbau bacin, begitu?" tanya Oh Thihoa
dengan mendelik. "Bau bacin sih mendingan, kakimu bukan cuma bacin saja,
bahkan bacinnya sangat aneh," kata Thio Sam dengan
gegetun. "Jika aku pun membeli seorang budak, lalu kutaruh kakiku
di depan hidungnya, betapapun dia pasti takkan bilang kakiku
bacin, betul tidak?" tanya Oh Thi-hoa.
"Memang betul," jawab Thio Sam dengan tertawa. "Orang
kaya biarpun kentut juga harum apalagi kaki."
"Jika begitu, kenapa tidak kau cium kaki majikanmu yang
kaya itu" "Sebenarnya akan kulakukan, cuma kukhawatir ada orang
cemburu" "Cemburu" Siapa yang cemburu'" tanya Oh Thi-hoa
dengan gusar. Thio Sam tidak menggubrisnya lagi, ia malah
menempelkan telinga ke dinding kapal. Kabin kapal dibatasi
papan kayu, di sebelah adalah kamar tempat Kongsun Jiat-ih
dan Pek-lak-cek. sebuah kamar kabin, Kim Leng-ci sendiri satu kamar, Kau
Cu-tiang dan Ting Hong berkumpul menjadi satu kamar,
sisanya satu kamar terpaksa harus berjubel antara Coh Liuhiang,
Oh Thihoa dan Thio Sam bertiga. Karena kamar kabin sudah penuh terisi tamu. Hay Koathian
sebagai tuan rumah terpaksa gelar tikar di ruang depan.
Saat itu Oh Thi-hoa sedang berduduk di atas bantal
dengan kaki telanjang sambil melototi Thio Sam. Begitu
masuk kamar, pekerjaan Oh Thi-hoa yang pertama adalah
membuka sepatu dan melepas kaos kaki. Menurut tata hidup Oh Thi-hoa, ia anggap kaki orang harus
sering telanjang agar dapat hawa, soal dicuci atau tidak
adalah urusan sekunder. Thio Sam pencet hidung sambil mengerut kening, katanya,
"Wah, rupanya hidung buntu juga ada faedahnya, paling
sedikit takkan tercium bau bacin kaki orang."
"Kau anggap kakiku berbau bacin, begitu?" tanya Oh Thihoa
dengan mendelik. "Bau bacin sih mendingan, kakimu bukan cuma bacin saja,
bahkan bacinnya sangat aneh," kata Thio Sam dengan
gegetun. "Jika aku pun membeli seorang budak, lalu kutaruh kakiku
di depan hidungnya, betapapun dia pasti takkan bilang kakiku
bacin, betul tidak?" tanya Oh Thi-hoa.
"Memang betul," jawab Thio Sam dengan tertawa. "Orang
kaya biarpun kentut juga harum apalagi kaki."
"Jika begitu, kenapa tidak kau cium kaki majikanmu yang
kaya itu" "Sebenarnya akan kulakukan, cuma kukhawatir ada orang
cemburu" "Cemburu" Siapa yang cemburu'" tanya Oh Thi-hoa
dengan gusar. Thio Sam tidak menggubrisnya lagi, ia malah
menempelkan telinga ke dinding kapal.
Kabin kapal dibatasi papan kayu, di sebelah adalah kamar
tempat Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek.
"Hm, dasar budak, sekali budak tetap budak," jengek
OhThi-hoa. "Menjilat pantat, mencuri dengar pembicaraan
orang, menyanjung puji, semua adalah kepandaian khas kaum
budak." Thio Sam tetap tidak menggubris, mimik wajahnya kini
tampak aneh. Terlihat sebentar ia mengerut kening, lain saat
dia tersenyum, lalu menggeleng-geleng kepala. Kemudian
manggut-manggut, kelakukannya itu mirip seorang penonton
sandiwara yang lagi asyik mengikuti cerita pentas yang
menarik. Sesungguhnya apa yang sedang dilakukan kedua orang di
kamar sebelah dan apa yang dibicarakan mereka"
Oh Thi-hoa jadi tidak tahan dan ingin tahu juga, ia coba
bertanya, "Apa yang kau dengar di sebelah?"
Thio Sam seperti tidak mendengar ucapannya dan tetap
pasang kuping dengan cermat.
Oh Thi-hoa bersabar lagi sejenak, akhirnya ia benar-benar
tidak tahan, segera ia pun menempelkan telinganya ke
dinding. Tapi keadaan di kamar sebelah sunyi senyap seperti
kuburan, tiada suara sedikitpun.
"Aneh, mengapa tidak kudengar sesuatu suara?" tanya Oh
Thi-hoa sambil mengerut kening.
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Memang tidak ada suara
apa-apa, jika ada yang kau dengar barulah aneh."
"Tidak ada suara?" Oh Thi-hoa melengak. "Habis mengapa
dia mendengarkan dengan begitu asyik?"
"Itu namanya tiada suara lebih baik daripada ada suara,"
kata Thio Sam dengan tertawa geli. "Soalnya aku merasa
bosan mendengarkan ocehanmu, telingaku harus diberi
kesempatan untuk istirahat."
Seketika Oh Thi-hoa melonjak gusar, segera ia bermaksud
menggampar Thio Sam, tapi sebelum tangan terangkat, tibatiba
ia sendiripun merasa geli, omelnya dengan tertawa,
"Sialan! Belum lama kau bertemu dengan si kutu busuk ini,
tapi hampir setiap jurus kebusukannya dapat kau tiru,
mengapa tidak kau tiru kepandaian lain?"
"Ini namanya belajar busuk mudah, belajar baik sukar,"
ujar Thio Sam tertawa. "Apalagi kepandaiannya suka memikat


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan memang tidak ingin kupelajari, aku cuma ingin
belajar bagaimana cara membikin dongkol kau, bila dapat
membuatmu kheki setengah mati, maka puaslah rasa hatiku."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata, "Jika ada orang di
sebelah juga mencuri dengar pembicaraan kita, inilah baru
menarik. Dia pasti mengira aku mengurung dua ekor anjing
gila di dalam kamar dan sekarang sedang terjadi anjing
menggigit anjing." "Jika aku ini anjing gila, lalu kau sendiri apa" Srigala?"
jawab Oh Thi-hoa. "Kukira srigala juga lebih baik daripada anjing gila, srigala
paling-paling juga cuma menggigit perempuan, kalau anjing
gila menggigit setiap orang, baik perempuan maupun lelaki
tanpa pandang bulu," kata Thio Sam.
Selagi Oh Thi-hoa mendelik dan hendak mendamprat,
sekonyong-konyong ada orang bersuara di luar pintu, "He,
apakah di dalam kamar kalian ada srigala dan juga anjing" Ai,
kan aneh, padahal sebelumnya kamar sudah kusuruh
bersihkan." Jelas itu suara Hay Koa-thian.
Coh Liu-hiang memberi isyarat kepada Oh Thi-hoa dan
Thio Sam, habis itu barulah dia membuka pintu dengan
tertawa, "Eh, kiranya Hay-pangcu belum tidur?"
Hay Koa-thian tidak menjawab, tapi lantas ia melongok ke
dalam kamar, lalu bergumam, "Mana srigalanya" Dan mana
anjingnya" Mengapa tidak kelihatan?"
Coh Liu-hiang tak tahu apakah orang memang bodoh atau
pura-pura bodoh, dengan tertawa ia menjawab, "Kalau Haypangcu
sudah datang, biarpun gerombolan srigala juga akan
lari terbirit-birit."
Hay Koa-thian tertawa, cuma sekarang tampaknya dia
sedang menanggung pikiran, air mukanya juga kurang cerah,
walaupun tertawa, tapi tertawanya sangat dipaksakan, pula
sinar matanya tampak gemerdap dan berulang-ulang
celingikan kian kemari, tiba-tiba ia merapatkan pintu kamar
dengan sikap gugup. Sudah tentu Coh Liu-hiang menjadi rada bingung, ia tidak
tahu orang hendak main gila apa, terpaksa ia mengikuti setiap
gerak-gerik orang. Setelah memasang palang pintu, barulah Hay Koa-thian
menghela napas lega, desisnya kemudian, "Apakah ada
sesuatu gerakan di kamar sebelah?"
"Tidak ada," jawab Oh Thi-hoa. "Sehabis makan minum
kenyang, tentunya sudah tidur."
Hay Koa-thian tampak berpikir sejenak, lalu berkata pula
dengan mengernyitkan dahi, "Coh-hiangswe sudah menjelajah
setiap pelosok dunia, pergaulan juga sangat luas, entah
sebelum ini apakah pernah melihat mereka?"
"Belum pernah," jawab Coh Liu-hiang.
"Coba silakan Hiangswe mengingatnya lagi...."
"Siapa pun juga, asalkan pernah kulihat satu kali, rasanya
pasti takkan kulupakan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Hay Koa-thian manggut-manggut, katanya dengan
menyesal, "Soalnya bukan Cayhe suka curiga, tapi lantaran
gerak-gerik kedua orang ini terlalu aneh, lebih-lebih si murid,
tampaknya seperti tidak waras, tapi ilmu silatnya justru begitu
tinggi, sebaliknya sang guru malahan kelihatan sangat lemah.
Semula kukira mereka sengaja menyimpan kepandaian, tapi
setelah kuteliti lagi, tampaknya juga tidak begitu."
"Betul, seumpama mereka pandai berpura-pura, masa bisa
mengelabui mata orang banyak?" tukas Oh Thi-hoa.
"Ya, makanya menurut pendapatku, mereka pasti bukan
guru dan murid." Kata Hay Koa-thian.
Habis apa hubungannya kalau bukan antar guru dan
murid?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kukira Pek-lak-cek pasti tokoh Bu-lim yang diundang
Kongsun Jiat-ih untuk mengawalnya, demi mengelabui mata
setiap orang, dia berlagak bodoh dan pura-pura jadi
muridnya." Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya, "Maksu Haypangcu....
nama Pek-lak-cek itu juga nama palsu, begitu?"
"Nama Kongsun Jiat-ih pasti juga palsu," ucap Hay Koathian.
"Orang ini pasti mempunyai kedudukan tinggi serta
orang berada, kalau tidak mana mungkin dapat mengundang
tokoh besar seperti Pek-lak-cek untuk melindunginya, pula....
mukanya pasti juga tidak aneh begitu, dia sengaja menyamar
dengan wajah buruk, tujuannya agar orang lain merasa mual
dan tidak memandangnya, dengan demikian kelemahan
penyamarannya juga takkan ketahuan."
"Pandangan Hay-pangcu sungguh tajam, caramu
menganalisa sangat jelas, sungguh mengagumkan," puji Coh
Liu-hiang. Pandangan Hay Koa-thian ternyata tidak banyak berbeda
daripada pendapatnya, apa yang dikatakannya itu bukan
umpakan belaka. "Lalu apa maksud tujuan mereka datang kemari dengan
susah payah begitu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ini memang sangat mencurigakan," kata Hay Koa-thian
dengan tersenyum, tiba-tiba ia menahan suaranya dan
menyambung pula dengan lirih, "Cayhe akan memperlihatkan
sesuatu kepada kalian bertiga untuk bantu memecahkan
persoalan ini." "Barang apa" Tampaknya rahasia?" kata Oh Thi-hoa.
Belum lagi Hay Koa-thian menjawab, mendadak terdengar
pintu diketuk orang. Air mukanya berubah seketika, cepat ia
pasang kuping di daun pintu dan mendengarkan dengan
cermat sampai lama sekali, barulah membuka pintu dengan
pelan, lalu ia melongok keluar, kemudian desisnya, "Mari ikut
aku, segera kalian akan jelas bila sudah melihatnya."
Di luar kamar kabin itu ada sebuah jalan lorong yang
sempit, pada ujung lorong sana ada sebuah tangga kecil yang
menembus ke dek bawah. Hay Koa-thian mendahului turun ke
sana, jalannya sangat enteng dan sangat hati-hati seolah
khawatir didengar orang. Di bagian bawah adalah dek yang sepanjang tahun tak
tertembus sinar matahar, gelap dan lembab, begitu menuruni
tangga, sayup-sayup terdengar suara ngorok para kelasi yang
sedang tidur nyenyak. Ketujuh belas kelasi bergiliran bekerja tanpa membedakan
siang dan malam, saking kecapaian, dengan sendirinya tidur
mereka sangat lelap. Pada umumnya orang yang bekerja
berat, bilamana sudah tertidur akan akan sukar untuk
dibangunkan. Gudang perbekalan terletak di kaki tangga, pintu gudang
tergembok rapat, dua orang berjaga di situ dengan muka
pucat dan siap memegang golok yang tergantung di pinggang,
sorot mata mereka menampilkan rasa cemas dan khawatir.
Hay Koa-thian mendahului mendekati mereka dan
menegur, "Sesudah kupergi, apakah ada orang lain datang ke
mari?" Kedua orang itu memberi hormat dan menjawab bersama,
"Tidak ada." "Baiklah, buka pintu!" kata Hay Koa-thian pula. "Tidak
peduli siapa pun yang datang lagi, jangan diperbolehkan
masuk kemari." Setelah pintu terbuka, segera Hay Koa-thian mengendus
semacam bau yang aneh, bau amis dan busuk, seperti bau
ikan asin yang bacin, juga mirip bau sayur yang mulai layu,
pula seperti bau mayat yang mulai membusuk.
Thio Sam mengerut kening, diliriknya kaki Oh Thi-hoa yang
telanjang itu, dilihatnya pula sikap Hay Koa-thian yang
misterius itu, dia juga lupa mengenakan sepatu waktu keluar.
"Apa yang kau lirik?" semprot Oh Thi-hoa dengan melotot.
"Betapapun, kakiku tidak berbau sebusuk ini."
"Ini adalah bau khas yang cuma ada di gudang kapal," kata
Hay Koa-thian dengan menyengir. "Tapi bahan makanan dan
air minum tersimpan di gudang kecil di samping dapur sana."
Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya, "O syukurlah,
kalau tidak, selanjutnya bisa jadi aku tidak berani makan nasi."
"Tapi arak kan tersimpan di sini, apakah selanjutnya kau
pun tidak berani minum arak lagi?" tanya Thio Sam.
Di gudang memang bertumpuk macam-macam barang,
diantaranya memang betul ada beberapa ratus guci arak. Di
tengah gudang mestinya ada tempat luang, tetapi sekarang
juga tertimbun sederet barang yang tertutup kain minyak.
Belum lagi Oh Thi-hoa menanggapi olok-olok Thio Sam
tadi, mendadak Hay Koa-thian menyingkap kain minyak
penutup itu dan berseru, "Coba kalian lihat, barang apakah
ini?" Ternyata yang ditutup itu adalah enam peti mati.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Sudah banyak peti mati
yang kulihat, tapi Hay-pangcu sengaja mengundang kami ke
sini, apakah juga cuma untuk melihat peti mati belaka?"
Dengan air muka prihatin Hay Koa-thian berkata, "Di kapal
yang biasa berlayar, sebenarnya tidak nanti ada peti mati."
"Oo" Kenapa" Memangnya kapal berlayar tidak pernah
mengubur kematian orang?" tanya Oh Thi-hoa.
"Orang yang hidup di lautan, umpama mati juga akan
dikubur di dalam laut, hakikatnya tidak perlu pakai peti mati
segala." kata Hay Koa-thian.
"Jika begitu, darimana datangnya beberapa peti mati ini?"
tanya Oh Thi-hoa. "Pertanyaan yang menarik, sebab memang tiada yang
tahu darimana datangnya peti mati ini!" kata Hay Koa-thian.
"Masa tiada seorang pun yang melihat waktu keenam peti
mati ini dimuat ke atas kapal?" tanya Oh Thi-hoa pula dengan
melenggong. "Ya, tidak ada, " jawab Hay Koa-thian dengan prihatin lalu
ia menyambung pula, "Setiap kali sebelum berlayar, seperti
biasa aku pasti mengadakan pemeriksaan segala apa yang
perlu, sebab itulah ketika kalian masuk kamar, segera
kudatang ke sini " "Pada waktu itulah baru kau temukan keenam peti mati
ini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ya, maka aku lantas menegur petugas gudang, tapi tiada
yang tahu siapa pengirimnya, dan kapan peti mati ini diantar
kesini. Dua orang pengurus gudang sudah cukup lama bekerja
padaku, selama ini bekerja dengan jujur, tidak pernah
berdusta." "Jika bukan orang yang dapat dipercaya, tentu Pangcu
takkan menyuruh mereka menjaga gudang," kata Coh Liuhiang
setelah berpikir sejenak.
"Memang betul," kata Hay Koa-thian.
"Seumpama betul peti mati ini dimuat ke kapal tanpa
permisi, kukira juga tidak menjadi soal, melihat bahan kayu
peti mati yang baik ini, sedikitnya dapat ditukarkan beberapa
arak yang enak," ujar Oh Thi-hoa
"Dasar pemabuk asal buka mulut pasti tidak lupa
menyebut arak, "omel Thio Sam. "Kenapa tidak kau pikirkan
kapal penumpang Hay-pangcu ini apakah boleh didatangi
orang sesuka hati, apalagi membawa enam peti mati di luar
tahu siapa pun. Dan untuk apa dengan susah payah keenam
peti mati ini diantar ke sini jika tiada tujuan tertentu."
"Coba katakan, apa tujuan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tampak sedang meraba hidung, mendadak
bertanya, "Tahukah kau yang menumpang kapal ini bersama
kita seluruhnya ada berapa orang?"
Sejak Oh Thi-hoa meniru caranya meraba hidung, sudah
jarang Coh Liu-hiang meraba hidung lagi, tapi sekarang
penyakit lama itu kambuh lagi, jelas dia sedang menghadapi
sesuatu persoalan yang sangat sulit dipecahkan.
Setelah berpikir sejenak, Oh Thi-hoa menjawab, "Kau, aku,
Thio Sam, Kim Leng-ci, Kau Cu-tiang, Ting Hong, Kongsun
Jiat-ih, Pek-lak-cek, ditambah lagi Hay-pangcu dan Hiang
Thian-hui, seluruhnya tepat sepuluh bulat."
Mendadak ia seperti ingat apa-apa, air mukanya rada
berubah dan bergumam pula. "Sepuluh penumpang, tapi di
sini hanya ada enam peti mati, apakah ini enam di antara
kesepuluh orang akan matii di sini?"
"Tampaknya pengantar peti mati inipun berhati baik," kata
Thio Sam. "Dia tahu kita dibesarkan di daratan, mati juga
mesti ditanam dalam tanah, maka sengaja mengirimkan enam
peti mati." Ia melirik Hay Koa-thian sekejap, lalu menyambung, "Haypangcu
dan Hiang Thian-hui adalah yang hidup di lautan,
dengan sendirinya tidak perlu pakai peti mati."
"O, jadi maksudnya, di antara kita sepuluh orang, sedikit
nya harus mati delapan orang, aku dan Hiang Thian-hui jelas
pasti akan mati?" tukas Hay Koa-thian dengan rada cemas.
"Jika begitu, di antara kita bersepuluh, sedikitnya ada dua
orang yang akan hidup, lalu siapa mereka?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yang hidup, dengan sendirinya ialah pembunuh
kedelapan orang yang lain," ucap Hay Koa-thian sekata demi
sekata. Thio Sam memandangi keenam peti mati itu dan
bergumam, "Aku seperti melihat enam orang berbaring dalam
peti." "Enam orang siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Seorang ialah Coh Liu-hiang, yang kedua ialah Oh Thihoa,
seorang lagi seperti perempuan...." Thio Sam bicara
dengan lambat dan perlahan, sinar matanya menatap peti mati
dengan lekat sehingga menimbulkan suasana seram.
Meski tahu orang hanya mengacau saja, tidak urung Oh
Thi-hoa merinding juga, segera ia menambahkan, "Dan
seorang lagi ialah kau sendiri, bukan?"
Thio Sam menghela napas panjang, katanya, "Betul,
memang tidak salah, aku sendiri pun seperti rebah dalam peti
mati, yang ini!" Dia menuding ke depan, seketika jantung semua orang
ikut berdetak keras, tanpa terasa Thio Sam ikut mengkirik.
Wajah Hay Koa-thian menjadi pucat, ucapnya dengan
parau, "Siapa lagi yang dua orang" Dapatkah kau
mengenalnya?" "Wah, samar-samar, sukar dikenali," kata Thio Sam
menyengir sambil mengusap keringat.
"'Apakah Hay-pangcu ada curiga Kongsun Jiat-ih dan PekLak-cek adalah pembunuhnya?" tanya Coh Liu-hiang.
Hay Koa-thian diam saja tanpa menjawab. Gemerdap sinar
mata Coh Liu-hiang, katanya, "Hubungan Ting-kongcu cukup
erat dengan Hay-pangcu, kenapa Hay-pangcu tidak


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merundingkan hal ini dengannya?"
Hay Koa-thian termangu-mangu sejenak, akhirnya
menghela napas panjang dan berkata, "Yang dilihat Thio-heng
ini memang tidak salah, Cayhe juga merasa kalian bertiga dan
nona Kim pasti bukan orang yang bermaksud jahat, makanya
kudatang berunding dengan kalian."
"Masa Hay-pangcu juga menaruh curiga terhadap Tingkongcu?"
tanya Coh Liu-hiang. Kembali Hay Koa-thian diam saja, butiran keringat dingin
tampak menghiasi jidatnya.
Segera Coh Liu-hiang mendesak pula, "Tampaknya Haypangcu
sudah cukup lama berhubungan dengan Tingkongcu."
Hay Koa-thian tampak ragu-ragu untuk menjawab akhirnya
ia mengangguk. Terbeliak mata Coh Liu-hiang, segera ia mendesak lagi,
"Jika demikian, seharusnya Hay-pangcu kenal baik asal-usul
dan seluk-beluk Ting-kongcu?"
Kulit daging ujung mata Hay Koa-thian tampak kedutan,
katanya, "Aku tidak mencurigai dia, cuma.... cuma ...." Kulit
daging mulutnya juga mengejang hingga tak sanggup bicara
lagi. Oh Thi-hoa menjadi tak tahan, tanyanya, "Cuma apa?"
Hay Koa-thian seperti tidak mendengar apa yang
dikatakan Oh Thi-hoa, ia memandang kesima ke depan, agak
lama barulah ia berkata perlahan, "Entah mengapa, sejak In
Ciong-liong, In-pangcu meninggal, sering aku merasa
berdebar dan kedutan, inilah alamat tidak enak, seakan-akan
ajalku sudah dekat."
Mata Coh Liu-hiang mencorong terang, tanyanya,
"Kematian In-pangcu ada sangkut-paut apa dengan Hay-pangcu?"
"Aku.... aku cuma merasa matinya rada-rada aneh," kata
Hay Koa-thian. "Aneh?" tukas Oh Thi-hoa dengan mengernyitkan dahi.
"Apanya yang aneh?"
"Kita tahu Bu Wi-yang. Bu-pangcu berjuluk panah sakti,
kemahirannya memanah boleh dikata tiada bandingan, tapi
kalau bicara tentang ilmu silat sejati, rasanya tak seberapa
lebih tinggi dari In-pangcu."
"Betul," sela Thio Sam. "Setahuku, ilmu silat mereka
setingkat, hanya dalam hal main panah Bu-pangcu memang
lebih tinggi, sebaliknya In-pangcu lebih unggul di dalam air."
"Waktu di Sam-ho-lau semalam, ketika Bu-pangcu
bertanding dengan In-pangcu, kalian berdua kan juga hadir di
sana," tutur Hay Koa-thian pula dengan suara tertahan.
"Pertarungan mereka hanya berlangsung sebentar saja,
rasanya tidak lebih dari sepuluh gebrakan, lalu In-pangcu
tewas di bawah pukulan Bu-pangcu.... Bukankah kematiannya
itu sangat aneh dan juga terlalu cepat?"
Oh Thi-hoa termenung sambil melirik Coh Liu-hiang
sekejap, lalu katanya. "Jangan-jangan Bu-pangcu juga serupa
Kim Leng-ci, telah berhasil meyakinkan semacam ilmu silat
yang sangat lihai?" "Ya, memang bisa jadi demikian," jawab Coh Liu-hiang.
"Namun Bu-pangcu sudah lanjut usia, sekalipun masih gagah
dan kuat, jelas otot tulangnya tidak setangkas orang muda,
daya ingatan juga sudah berkurang, kalau belajar ilmu juga
tidak secepat orang muda, sebab itulah belajar ilmu apapun
harus dimulai selagi muda." Dia menghela napas, lalu
menyambung, "Dan inilah susahnya orang tua, siapa pun tak
kuasa." "Hal ini pun sudah pernah kupikirkan," kata Hay Koa-thian.
"Aku pun anggap tidak mungkin mendadak Bu-pangcu
berhasil meyakinkan semacam Kungfu maha lihai yang dapat
membinasakan In-pangcu hanya dalam sepuluh jurus."
"Jika begitu, bagaimana duduk perkaranya menurut
pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Hay Koathian,
sinar mata kedua orang ini sama-sama menampilkan
perasaan aneh, seakan kedua orang inimempunyai pikiran
yang mengerikan, cuma tak berani diutarakan. Habis saling
pandang, kedua orang pun bungkam.
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "In Ciong-liong dan
Bu Wi-yang sudah sering saling labrak dan tidak cuma satu
kali saja, dengan sendirinya tinggi rendah, dengan sendirinya
tinggi rendah ilmu silat masing-masing cukup jelas bagi pihak
lain." "Betul, mungkin tiada orang ketiga yang lebih jelas
daripada mereka sendiri," tukas Thio Sam.
"Tapi malam kemarin waktu di Sam-ho-lau, sebelum
mereka bergebrak, sikap dan gerak-gerik In Ciong-liong
kelihatan sangat aneh," ujar Oh Thi-hoa.
"Aneh bagaimana?" tanya Thio Sam
"Sebelumnya dia seperti sudah tahu bilamana dia keluar
pintu bersama Bu Wi-yang, maka untuk seterusnya takkan
melangkah pulang lagi," tutur Oh Thi-hoa. "Apakah mungkin
disebabkan dia tahu Kungfu Bu Wi-yang sekarang sudah lain
daripada biasanya?" "Kendatipun Bu Wi-yang sudah berhasil meyakinkan
semacam Kungfu khas dan siap melayani In Ciong-liong,
selayaknya ini kan dirahasiakan, lalu darimana In Ciong-liong
bisa mengetahuinya?" tanya Thio Sam.
"Betul, mengapa pula In Ciong-liong merasa dirinya pasti
akan mati" Jangan-jangan mendadak dia menemukan
sesuatu rahasia?" ujar Oh Thi-hoa dengan mengerut kening.
"Lalu rahasia apa yang ditemukannya itu?"
Mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia berpaling dan tanya
Coh Liu-hiang, "Waktu dia akan keluar bersama Bu Wi-yang,
bukankah In Ciong-liong minta kau mewakilkannya minum
satu cawan arak, ingat tidak?"
"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.
"Kukira kalau cuma satu cawan arak saja dia masih
sanggup menghabiskan, tapi dia sengaja minta kau minum
baginya, tindakan itu pasti punya tujuan tertentu." kata Oh Thihoa.
"Tujuan apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Cawan arak yang dia serahkan padamu seperti ada
sesuatu benda, masa tidak kau perhatikan?"
"Begitu dia menyerahkan cawan arak itu, segera
kutenggak habis, aku tidak melihat sesuatu benda apapun,"
jawab Coh Liu-hiang. Dia tertawa, lalu menyambung,
"Selamanya aku minum arak dengan mulut dan bukan dengan
mata." "Akhir-akhir ini matamu semakin lamur tampaknya," kata
Oh Thi-hoa menyesal. "Selanjutnya lebih baik kau menjauhi
perempuan, kalau tidak, dua tiga tahun lagi mungkin kau akan
berubah menjadi kakek tuli dan buta."
"Kukira itu tidak menjadi soal," ujar Thio Sam dengan
tertawa. "Ada sementara orang perempuan justru menyukai
kakek, sebab kakek-kakek pada umumnya jauh lebih tahu
cara bagaimana harus sayang pada istri muda, bahkan orang
tua juga lebih banyak uang daripada orang muda."
"Perempuan yang suka pada orang tua juga serupa kau,
berjiwa budak," jengek Oh Thi-hoa.
Sejak tadi Hay Koa-thian hanya termangu-mangu saja,
entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi dari air mukanya
yang menampilkan rasa susah itu, jelas yang dipikir sesuatu
persoalan yang sangat sulit diselesaikan.
Sampai sekarang barulah ia menghela napas panjang, lalu
berkata dengan tertawa, "Sungguh beruntung bagiku dapat
berkenalan dengan anda bertiga, Cayhe hanya ingin.... ingin
mohon sesuatu kepada kalian."
Meski dia menyebut "kalian" dan "anda bertiga", tapi yang
dipandang hanya Coh Liu-hiang seorang saja.
"Asalkan dapat dilaksanakan oleh tenagaku, pasti takkan
kutolak," jawab Coh Liu-hiang.
Jika ucapan ini keluar dari mulut orang lain, paling-paling
hanya dapat dianggap sebagai basa-basi antar kawan saja.
Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang jelas
berbeda dan cukup berbobot. Setiap orang Kangouw tahu,
setipa kata Coh Liu-hiang sama dengan emas.
Hay Koa-thian menghela napas lega, air mukanya tampak
jauh lebih cerah, katanya, "Apabila Cayhe mengalami sesuatu
yang tak terduga, kumohon Coh-hiangswe suka...." Sembari
bicara ia mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Tapi baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar suara
"klotak", seperti ada orang mengetuk pintu dengan keras.
Air muka Hay Koa-thian berubah pucat, cepat ia simpan
kembali kotak kecil tadi, sekali lompat ia mendekati pintu
sambil membentak tertahan, "Siapa itu?"
Pintu dipalang dari dalam, dari luar ternyata sunyi senyap.
Dengan suara bengis Hay Koa-thian membentak, "Ong Tek-ci,
Li Tek-piau, siapa itu yang di luar?"
Ong Tek-ci dan Li Tek-piau adalah kedua penjaga tadi, tapi
entah mengapa, juga tiada suara jawaban kedua orang ini.
Air muka Hay Koa-thian berubah hebat, cepat ia menarik
palang pintu, segera ia menerobos keluar.
Waktu Coh Liu-hiang ikut keluar, dilihatnya wajah Hay
Koa-thian pucat pasi seperti mayat dan berdiri mematung di
sana dengan keringat dingin memenuhi dahinya.
Kedua penjaga menggeletak, sudah menjadi mayat.
Tiada kelihatan noda darah pada kedua mayat itu. Air
mukanya juga kelihatan biasa saja, agaknya waktu mati tetap
dalam keadaan tenang, tidak mengalami sesuatu penderitaan.
Cepat Hay Koa-thian membuka baju mereka dan diperiksa,
ditemukan ada bekas telapak tangan merah tepat di punggung
kedua korban. Jelas sekali hantam urat nadi jantung kedua
orang itu lantas tergetar putus dan binasa seketika.
"Lihai amat tenaga pukulannya," seru Oh Thi-hoa sambil
menjulurkan lidah. Bekas telapak tangan pada punggung kedua korban itu
terdiri dari tangan kanan dan kiri, jelas penyerangnya satu
orang dan dilakukan sekaligus.
"Tampaknya pukulan ini Kungfu sejenis Cu-seh-ciang (ilmu
pukulan pasir merah)," kata Coh Liu-hiang.
"Betul, pukulan Cu-seh-ciang memang meninggalkan
bekas merah begini," kata Oh Thi-hoa.
"Nama Cu-seh-ciang dikenal setiap orang, padahal cara
berlatihnya sudah lama lenyap," ujar Coh Liu-hiang. "Selama
dua tiga puluh tahun terakhir ini, hampir tidak pernah lagi
terdengar ada tokoh ahli Cu-seh-ciang yang menonjol di dunia
Kangouw." "Pernah kudengar ada seorang 'Tan-ciang-tui-hun'
(pukulan pemburu nyawa) Lim Bun, yang dilatihnya adalah
Cu-seh-ciang," tutur Oh Thi-hoa. "Tapi itu pun sudah lama
berselang, kini Lim Bun sudah mati dan tak diketahui apakah
dia mempunyai keturunan atau tidak?"
"Betul Tan-ciang-tui-hun Lim Bun terkenal sebagai ahli Cusehciang," kata Coh Liu-hiang. "Tapi yang dilatihnya juga
cuma satu tangan saja. Sedangkan orang ini dapat
menggunakan kedua tangan sekaligus, bahkan sudah terlatih
sehebat ini, sungguh jarang ada."
"Konon orang yang berlatih Cu-seh-ciang akan dapat
diketahui dari tangannya," tiba-tiba Hay Koa-thian berkata.
"Waktu mula-mula berlatih memang telapak tangan akan
bersemu merah," kata Coh Liu-hiang. "Tapi bila sudah
sempurna, warna merah itu akan lenyap, hanya waktu
melancarkan pukulan akan kelihatan telapak tangannya
bersemu merah, dalam keadaan biasa takkan kelihatan
sesuatu ciri apa-apa."
"Jika demikian, kecuali kita berempat yang berada di sini,
orang selebihnya ada kemungkinan pembunuh mereka ini,"
kata Hay Koa-thian dengan menghela napas.
"Kecuali seorang saja yang tak mungkin," ujar Thio Sam.
"Oo?" Siapa?" tanya Hay Koa-thian.
"Kim Leng-ci," jawab Thio Sam.
"Apa dasarnya?" tanya Hay Koa-thian pula.
"Coba kau lihat, bekas telapak tangan ini sangat besar,
tidak mungkin tangan perempuan," kata Thio Sam.
"Hm, dasar budak tetap budak," jengek Oh Thi-hoa
mendadak. "Tampaknya Kim Leng-ci tidak sia-sia membuang
uang membeli seorang budak seperti kau ini."
"Tapi tangan orang perempuan kan juga ada yang besar,"
ujar Hay Koa-thian. "Menurut ilmu nujum, perempuan yang
bertangan besar pasti kaya dan jaya, bukankah nona Kim juga
dari keluarga kaya dan jaya?"
"Hah, rupanya Hay-pangcu juga mahir menujum?" jengek
Thio Sam. "Konon air muka pembunuh juga ada tanda-tanda
pembunuh, ini pun menurut ilmu nujum, entah Hay-pangcu
dapat melihatnya atau tidak?"
Belum lag, Hay Koa-thian menanggapi, tiba-tiba terdengar
jeritan ngeri. Suara ini seperti datang dari geladak di atas
sana, meski kedengaran sangat jauh, tapi suaranya tajam
menyeramkan dan terdengar jelas.
Air muka Hay Koa-thian berubah pula, ia membalik tubuh
terus menerobos ke atas. Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Ai, tampaknya
kapal ini tidak membawa kemujuran, banyak halangan dan
rintangan, jika ingin meninggalkan kapal dengan hidup
rasanya tidaklah mudah!"
Mendadak Coh Liu-hiang mengeluarkan sesuatu dari balik
baju Ong Tek-ci, katanya tertahan, "He, lihat, apa ini?"
Yang dipegang adalah satu biji mutiara sebesar gundu.
Air muka Thio Sam berubah seketika, serunya. "He, inilah
mutiara yang pernah kucuri dari nona Kim itu."
"Kau tidak keliru?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tidak, pasti tidak, aku kan ahli mutiara," jawab Thio Sam
tegas. Dia mengusap keringat dahinya, lalu berkata pula,
"Mengapa mutiara nona Kim bisa ada di tubuh orang mati ini?"
"Mungkin dia kurang hati-hati dan terjatuh di sini," kata Coh
Liu-hiang. "Jika demikian, apakah Kim Leng-ci adalah
pembunuhnya?" tanya Thio Sam dengan terkesima.
Coh Liu-hiang tak menjawab, dia sedang berpikir, dengan
hati-hati ia menyimpan mutiara itu lalu melangkah ke geladak.
Oh Thi-hoa menepuk pundak Thio Sam, katanya, "Kalau
sang majikan adalah pembunuh, budaknya juga dapat dituduh
sebagai pembantu pembunuh, kau harus hati-hati."
Waktu Oh Thi-hoa dan Thio Sam naik ke geladak, di
buritan tampak berkerumun orang banyak, Kim Leng-ci, Ting
Hong, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, semua
berada di situ.

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang Thian-hui yang tadi pegang kemudi di situ, sekarang
sudah lenyap, hanya di geladak kapal bertambah secomot
darah yang masih segar. "Darah Hiang Thian-hui!" seru Oh Thi-hoa. "Apakah dia
terbunuh" Dimana mayatnya?"
Mata Hay-Koa-thian tampak merah, mendadak ia berteriak
bengis, "Ci Hong, Loh Kiat, apakah hari ini kalian yang dinas
pegang kemudi?" Di tengah kerumunan tampil dua orang dan
memberi hormat, mereka mengiakan bersama.
"Kemana kalian tadi?" tanya Hay Koa-thian dengan gusar.
"Hiang-jiya yang menyuruh menyingkir, kami tidak mau
pergi, Hiang-jiya lantas mendelik dan mau memukul, terpaksa
kami pergi," tutur orang yang bernama Ci Hong dengan
gemetar. Segera yang bernama Loh Kiat menambahkan, "Kami pun
tidak berani pergi jauh tapi membantu Sim-losam menggulung
tambang di sebelah sana."
"Tadi apakah kalian mendengar sesuatu suara?" tanya
Hay Koa-thian. "Ketika mendengar suara jeritan, segera kami memburu
kemari," tutur Ci Hong. "Tapi sebelum tiba di sini, kami
mendengar suara "plung" satu kali, waktu kami pandang
Hiang-jiya, beliau ternyata sudah lenyap."
Semua orang saling pandang sekejap, mereka tahu suara
"plung" itu tentu karena mayat Hiang Thian-hui tercebur ke
sungai. Sekarang mereka yakin orang she Hiang itu pasti
banyak celaka daripada selamat.
Hay Koa thian sudah bersahabat cukup lama dengan
Hiang Thian-hui, air matanya lantas berlinang, ucapnya
dengan suara parau, "O, jite, akulah yang membikin celaka
dirimu, tidak seharusnya kuajak kau ke sini..."
"Kan belum lama mayatnya kecebur, biar aku menyelam
ke bawah, mungkin dapat ditemukan," kata Thio Sam.
Waktu itu kapal sudah mendekati muara laut, ombak
bergulung-gulung. Tapi tanpa pikir Thio Sam lantas terjun ke
bawah mirip seekor ikan raksasa.
Segera Hay Koa-thian berteriak, "Kurangi kecepatan, kapal
berhenti! Adakan penghitungan orang."
Di tengah suara teriakannya itu, para kelasi lantas
berpencar, anak buah Ci-keng-pang memang sudah terlatih
dan sangat disiplin, meski terjadi peristiwa gawat, semuanya
tetap tenang. Dalam waktu singkat kapal berhenti, segera
terdengar suara mengabsen bergema susul-menyusul.
Selang sejenak, orang yang bernama Ci Hong berlari
datang dan memberi hormat kepada Hay Koa-thian serta
melapor, "Kecuali Ong Tek-ci dan Li Tek-piau, yang lain masih
ada." Kalau orang lain masih ada, yang mati dengan sendirinya
ialah Hiang Thian-hui. Mendadak Hay Koa-thian berlutut di depan genangan
darah itu. Gemerdap sinar mata Ting Hong, ucapnya dengan suara
tertahan, "Betapa tinggi ilmu silat Hiang-jiya cukup kukenal,
aku justru tak percaya dia dikerjai orang begitu saja, sebab
orang Kangouw yang mampu membunuhnya juga sangat
terbatas." Waktu berkata demikian, sorot matanya menyapu muka
para hadirin, dimulai dari Kau Cu-tiang, Coh Liu-hiang, Oh Thihoa
dan Pek-lak-cek, tapi Kongsun Jiat-ih dan Kim Leng-ci tak
dipandangnya sama sekali. Jelas maksudnya orang yang
mampu membunuh Hiang Thian-hui hanya keempat orang itu
saja. Oh Thi-hoa lantas menjengek, "Betapa tinggi ilmu silat
Ting-kongcu, bukan saja cukup kukenal, bahkan semua orang
pun cukup jelas. Waktu peristiwa ini terjadi, entah Ting-kongcu
berada dimana tadi?"
Maksud ucapannya ini sangat gamblang, hakikatnya dia
hendak bilang Ting Hong adalah pembunuhnya.
Tapi Ting Hong tenang-tenang saja, jawabnya dengan tak
acuh. "Pada waktu itu Cayhe sedang berbaring di ranjang."
"Kau-heng kan satu kamar dengannya, tentu kau
melihatnya?" tanya Oh Thi-hoa.
Sikap Kau Cu-tiang seperti agak susah, jawabnya dengan
tergagap, "Waktu itu aku sendiri sedang.... sedang pergi
buang air, tidak berada di kamar."
Mendadak Coh Liu-hiang berkata, "Padahal orang yang
membunuh Hiang-jiya-tidak perlu ilmu silatnya lebih tinggi dari
Hiang-jiya." "Bila tidak lebih tinggi ilmu silatnya, apakah mampu
membunuhnya?" ujar Oh Thi-hoa.
"Bisa jadi lantaran Hiang-jiya tidak menyangka orang itu
akan membunuhnya, maka dia sama sekali tidak berjaga-jaga
sehingga orang itu berhasil menyerangnya."
Hay Koa-thian menengadah, katanya dengan gemas,
"Betul, kalau tidak, waktu mereka bergebrak tentu akan
menimbul kan suara, Ci Hong berdua tentu akan mendengar,
tapi lantaran orang itu menyerang secara diam-diam, maka
tidak terdengar sesuatu suara."
"Begitulah, makanya setiap orang yang berada di kapal ini
mungkin adalah pembunuh Hiang-jiya," kata Coh Liu-hiang.
"Tapi orang lain kan tiada permusuhan apa-apa dengan
Hiang-jiya mengapa turun tangan keji kepadanya?" jengek
Ting Hong sambil melototi Kau Cu-tiang.
"Untuk apa mendelik padaku" Memangnya aku
bermusuhan dengannya?" tanya Kau Cu-tiang dengan gusar.
"Waktu Kau-heng bertengkar dengan Hiang-jiya di Samholau, kukira hampir semua orang ikut menyaksikan, bukan
cuma aku sendiri," jawab Ting Hong dengan tak acuh.
Seketika pandangan Hay Koa-thian beralih ke arah KauCu-tiang, sorot matanya penuh rasa benci seakan-akan Kau
Cu-tiang telah dianggap sebagai pembunuhnya.
Dengan muka merah Kau Cu-tiang berseru, "Waktu itu aku
cuma bilang ingin mencoba kepandaiannya dan tidak
menyatakan akan mencabut nyawanya."
"Apakah Kau-heng hendak mencabut nyawanya atau tidak
hanya Kau-heng sendiri yang tahu," jengek Ting Hong pula.
"Apalagi setahuku, waktu Hiang-jiya terbunuh, Kau-heng
sendiri entah pergi kemana?"
"Kan sudah kukatakan, waktu itu aku sedang buang air....."
"Buang air dimana?" tanya Ting Hong.
"Sudah tentu di kakus, masa boleh kukencing di
hadapanmu?" jawab Kau Cu-tiang.
"Memangnya siapa yang melihat kau pergi ke kakus?" kata
Ting Hong pula. "Tidak ada, waktu itu tiada seorang pun yang berada di
kakus," jawab Kau Cu-tiang.
"Hm, masa begitu kebetulan, tidak cepat, tidak lambat,
ketika Hiang-jiya terbunuh dan Kau-heng kebetulan ingin
buang air, pula kebetulan di kakus juga tiada orang lain lagi....
hehehe, semua ini sungguh sangat kebetulan, serba
kebetulan," demikian jengek Ting Hong.
Seketika Kau Cu-tiang meraung murka, "Persetan kau!
Darimana aku tahu air kencingku akan keluar mendadak dan
cara bagaimana pula kutahu di kakus tidak ada orang."
"Jangan gelisah, Kau-heng," tiba-tiba Coh Liu-hiang
menyela. "Bukti nyata dan lengkap, jelas Kau-heng bukan
pembunuhnya." "Bukti nyata" Dimana?" tanya Ting Hong.
"Bila pembunuhan ini dilakukan secara diam-diam, jarak si
pembunuh dan Hiang-jiya pasti sangat dekat," tutur Coh Liuhiang.
"Padahal Kau-heng dan Hiang-jiya jelas tidak akur
mana mungkin Hiang-jiya membiarkan Kau-heng
mendekatinya. "Betul, jika dia melihat aku mendekat, mungkin dia akan
segera melonjak," tukas Kau Cu-tiang.
"Coba lihat noda darah di lantai ini." kata C oh Liu-hiang.
"Darah Hiang-jiya yang mengalir keluar amat banyak, jika
pembunuh itu melakukan keganasannya dari dekat, tentu
bajunya akan terciprat darah." Dia pandang Kau Cu-tiang
sekejap, lalu menyambung, "Baju Kau-heng kering dan bersih,
pakaian cukup rajin, bila dia habis membunuh lalu berganti
pakaian, kukira juga takkan terjadi secepat ini."
"Betul, begitu mendengar jeritan, segera kuburu ke sini,
mana sempat berganti pakaian segala," tukas Kau Cu-tiang.
"Untuk ini aku dapat menjadi saksi," tiba-tiba Kim Leng-ci
menambahi. "Waktu kudatang, dia sudah berada di sini."
"Dalam hal ini, siapa pun pembunuhnya jelas tidak keburu
berganti pakaian," kata Coh Liu-hiang pula. "Yang bisa
dilakukan dalam waktu sesingkat ini hanya menanggalkan
baju yang berlepotan darah, lalu dilemparkan ke laut atau
disembunyikan." "Jika demikian, saat ini pakaian si pembunuh pasti masih
rapi dan bersih?" jengek Ting Hong sambil melototi Kau Cutiang.
Yang dikenakan Kau Cu-tiang sekarang hanya pakaian
dalam dan tidak memakai baju luar.
Namun Kau Cu-tiang tetap tenang, ucapnya, "Cayhe
memang tidak biasa tidur dengan memakai baju panjang."
"Betul, tidak mungkin orang tidur dengan pakaian rapi "
kata Kim Leng-ci. "Waktu kudengar suara jeritan tadi, segera
kulari ke sini, aku pun tidak memakai baju luar, memangnya
aku pun dianggap sebagai pembunuhnya?"
Si nona memang betul cuma memakai pakaian dalam saja,
tidak memakai kaos kaki, sehingga kedua kakinya tampak
putih mulus. Segera pandangan Oh Thi-hoa beralih ke arah kaki yang
putih itu, katanya pelahan, "Sebelum pembunuhnya diketahui,
setiap orang tak terhindar dari sangkaan, sekalipun orang
kaya juga tak terkecuali. Orang kaya tidak pasti bukan
pembunuh, bukankah begitu nona Kim?"
Sebenarnya Kim Leng-ci hendak meraung, tapi demi
melihat mata Oh Thi-hoa yang melotot mengincar kakinya
yang mulus itu, seketika mukanya menjadi merah dan tanpa
terasa ia menyurut mundur hingga lupa membuka suara.
Sementara itu Thio Sam telah menongol di permukaan air
dan berseru "Tidak ada, tidak kutemukan apapun, gelombang
air cukup keras, ikan mati saja tiada, apalagi orang mati."
Segera Hay Koa-thian melempar seutas tambang,
serunya, "Apapun Thio-heng sudah berusaha sedapatnya, aku
dan Hiang-jite merasa berterima kasih. Lekas Thio-heng naik
ke atas." ********** Hari sudah terang, sekembalinya di kamar, segera Oh Thihoa
menjambret leher baju Coh Liu-hiang dan berkata. "Breng
sek, sekarang kau pun tidak jujur lagi padaku. Memangnya
kau kira dapat menipu tuan Oh ini?"
"Siapa yang menipu kau" Apakah penyakit gilamu sudah
kumat?" tanya Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Masa kau tidak dusta padaku?" seru Oh Thi-hoa dengan
mendelik. "Sebelum mati In Ciong-liong minta kau mewakilkan
dia minum araknya, dalam cawan itu jelas ada semacam
benda, mengapa kau bilang tidak ada apa-apa?"
Sementara Thio Sam sudah ganti pakaian kering
pemberian Hay Koa-thian dan sedang berbaring di tempat
tidur, dengan tertawa ia menyela, "Orang sering bilang Oh Thihoa
adalah manusia yang paling goblok, tadinya aku tidak
percaya, tapi sekarang baru kutahu olok-olok itu memang
tidak salah." "Kentut makmu," demikian damprat Oh Thi-hoa dengan
gusar. "Kau tahu apa?" .
"Dan kau" Kau tahu apa?" jawab Thio Sam. "Tahu kentut.
Tadi dia tidak bicara sejujurnya adalah karena Hay Koa-thian
juga hadir di sana, kenapa kau jadi marah-marah begini?"
"Kenapa kalau Hay Koa-thian hadir di sana?" kata Oh Thihoa
penasaran. "Kukira dia bukan orang busuk, pula dia
berdiri satu garis di pihak kita, mengapa kita harus mengelabui
kita?" Thio Sam menghela napas gegetun, katanya, "Tadinya
kukira kau cuma tahu kentut, hakikatnya kentut saja kau tidak
tahu. Padahal Hay Koa-thian hanya membawa kau ke
gudangnya yang menyimpan beberapa guci arak dan kau
lantas menganggap dia sebagai sahabatmu yang sejati."
"Hm, masa aku serupa kalian, selalu curiga kepada siapa
pun," jengek Oh Thi-hoa. "Jika menuruti jalan pikiran kalian, di
dunia ini mana ada orang yang dapat kalian percayai?"
"Tidak ada, memang tidak ada," kata Thio Sam.
"Terkadang pada diri sendiripun aku tak percaya, apalagi
orang lain." "Paling sedikit kau masih suka berterus terang, tidak
seperti si kutu busuk ini," jengek Oh Thi-hoa.
"Kau benar-benar percaya penuh kepada Hay Koa-thian?"
tanya Thio Sam. "Dia kan sudah bicara segalanya, sedikitpun tidak meraha
siakan apa-apa...." "Hm, hendak memancing ikan harus pakai umpan,
darimana kau tahu ucapan Hay Koa-thian itu bukan umpan?"
"Umpan" Maksudmu dia hendak memancing" Memangnya
apa yang hendak dipancing?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dia hendak memancing keterangan kita, tentu saja dia
harus bicara dulu untuk menarik perhatian kita. Padahal apa
yang diucapkannya itu tidak lebih hanya dugaan saja, kalau
dia dapat menduga tentu orang lain juga bisa, jadi uraiannya
yang panjang lebar itu hakikatnya sama dengan nol besar,"
tanpa menunggu tanggapan Oh Thi-hoa, segera Thio Sam
menyambung, "Mengenai keenam peti mati itu, tiada yang
tahu siapa yang mengirim, bukan mustahil perbuatan Hay
Koa-thian sendiri." Tangan Oh Thi-hoa yang mencengkeram leher baju Coh
Liu-hiang lantas dikendurkan, baru sekarang Coh Liu-hiang
berkata dengan tertawa, "Betul, penumpang kapal ini kan tidak
tuli dan buta, jika dikatakan ada orang membawa keenam peti
itu ke atas kapal tanpa diketahui siapa pun juga, rasanya hal
ini tidak mungkin terjadi, hanya dia sendiri...."
"Paling tidak dia bukan pembunuh Hiang Thian-hui." Seru
Oh Thi-hoa penasaran. "Waktu Hiang Thian-hui mati, jelas dia
berada bersama kita, betul tidak?"
"Ehmm,"'Coh Liu-hiang mengangguk.
"Menurut pendapatku, kalau Kau-Cu-tiang bukan
pembunuhnya, maka yang paling mencurigakan ialah Kim
Leng-ci, Ting Hong dan Kongsun Jiat-ih."'


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul," kata Coh Liu-hiang pula.
"Untuk mengangkut peti mati ke atas kapal di luar tahu
orang memang tidak mudah, ketiga orang itu kan punya uang
dan berpengaruh. Kata orang 'setan juga doyan duit'. Asalkan
punya uang, segala apapun dapat diperbuat,"
"Tapi selain ketiga orang itu, masih ada dua orang lagi
yang harus dicurigai," kata Coh Liu-hiang.
"O, siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yaitu Loh Kiat dan Ci Hong yang memegang kemudi
kapal," kata Coh Liu-hiang.
"Dengan kepandaian mereka itu, masa mampu membunuh
Hiang Thian-hui?" "Jika hari ini mereka yang dinas kerja dan mereka berada
di samping sana tentu tidak dicurigai Hiang Thian-hui, apalagi
orang yang angkuh seperti Hiang Thian-hui itu pasti tidak me
naruh perhatian terhadap mereka. Jika hendak membunuh
Hiang Thian-hui secara diam-diam, hanya mereka itulah yang
punya kesempatan dan peluang terbesar."
"Ya, lantaran mereka bukan orang penting sehingga tiada
orang yang memperhatikan mereka, maka setelah melakukan
keganasan, dengan leluasa mereka dapat berganti pakaian
dengan waktu yang cukup singkat," kata Thio Sam.
"Waktu itu Hay Koa-thian kebetulan berada bersama kita,
bukan mustahil tujuannya hendak menyuruh kita menjadi
saksi bahwa waktu Hiang Thian-hui terbunuh, dia tak berada
di tempat, dengan demikian akan terbukti dia bukan
pembunuhnya." "Tapi inipun tak dapat membuktikan ia tak pernah
menyuruh orang lain membunuh Hiang Thian-hui," kata Thio
Sam. "Jika demikian, kau anggap Hay Koa-thian adalah
pembunuhnya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Aku tidak menuduh dia adalah pembunuhnya, aku Cuma
bilang dia juga harus dicurigai," jawab Thio Sam.
"Menurut pendapatku, orang yang paling mencurigakan
ialah Kim Leng-ci," jengek Oh Thi-hoa.
"Sebab apa?" tanya Thio Sam.
"Jika dia bukan pembunuh, mengapa mutiara besar
miliknya itu bisa berada di mayat Li Tek-piau?" kata Oh Thihoa.
"Setiap orang patut dicurigai, kukira terlalu dini bila
menentukan siapa pembunuhnya sekarang," ujar Coh Liuhiang.
"Memangnya harus menunggu sampai kapan kalau tidak
sekarang?" kata Oh Thi-hoa.
"Siapa pun pembunuhnya, membunuh orang pasti ada
tujuannya," kata Coh Liu-hiang. "Maka kita harus mencari tahu
lebih dahulu apa maksud tujuan si pembunuh itu."
"Ehm, betul juga," ujar Oh Thi-hoa.
"Betapapun lihainya sang pelaku, setelah membunuh,
sedikit banyak akan meninggalkan jejak dan tanda-tanda,
maka kita menunggu sampai dia sendiri memperlihatkan ciricirinya
itu." "Maksudmu, petunjuk yang ada sekarang belum cukup dan
masih harus menunggu dia membunuh beberapa orang lagi,
begitu?" jengek Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Aku cuma
berharap dia hendak membunuh pula, semoga kita dapat
mendahului dan membekuknya."
"Bila selanjutnya dia tidak membunuh lagi, kan kita pun tak
dapat membekuk dia?"
"Jangan lupa peti mati itu masih banyak yang kosong,
sebelum peti mati itu terisi penuh, tidak nanti, dia berhenti
bekerja," kata Coh Liu- hiang dengan tersenyum.
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "Jika demikian,
menurut perkiraanmu, siapa sasaran kedua yang akan
diincarnya?" "Ini sukar dikatakan..., bisa jadi kau, mungkin pula aku."
"Kalau begitu, sebelum mati lekaslah kau perlihatkan
padaku barang yang kau simpan itu?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanva, "Paling tidak orang ini
punya mata maling yang tajam. Dalam cawan arak yang
kuterima dari In Ciong-liong memang betul ada sesuatu
benda." "Gambar apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sudah kuperiksa hingga setengah harian dan tetap tidak
tahu apa arti gambar itu," jawab Coh Liu-hiang sambil
mengeluarkan secarik kertas.
Di atas kertas itu terlukis seekor kelelawar atau kalong di
sekitar kalong ada garis melengkung, banyak pula titik-titik
hitam, lalu di pojok kiri atas dilukis satu lingkaran yang
bergaris-garis seperti sinar.
"Garis-garis yang melengkung ini agaknya tanda air," ujar
Coh Liu-hiang. "Ehm, benar," kata Thio Sam.
"Dan lingkaran ini seperti tanda matahari," kata Coh Liuhiang
pula. "Betul," tukas Thio Sam.
"Dan tanda apa titik-titik hitam besar dan kecil ini?" tanya
Oh Thi-hoa. "Bisa jadi.... bisa jadi sebagai tanda batu karang di tengah
air...." "Matahari, air, batu karang, adalagi seekor kalong.... apa
artinya semua ini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dengan sendirinya gambar ini mengandung arti yang
sangat mendalam, dengan sendirinya juga suatu rahasia yang
maha besar, kalau tidak, masakah sebelum ajal In Ciong-liong
menyerahkannya padaku dengan cara misterius?"
"Mengapa tidak dia katakan terus terang saja, malah main
teka-teki begini?" ujar Oh Thi-hoa.
"Waktu itu tiada peluang untuk bicara baginya..."
"Betul," sela Oh Tht-hoa. "Waktu di Sam-ho-lau, aku pun
merasa cara bicara In Ciong-liong agak gelagapan dan tidak
pantas sebagai seorang tokoh pimpinan suatu organisasi
besar...." Belum habis ucapannya, mendadak Coh Liu-hiang
melompat ke pintu, dengan cepat ia menarik daun pintu. Dan
di depan pintu ternyata berdiri satu orang.
Ternyata Kim Leng-ci adanya.
Begitu Coh Liu-hiang membuka pintu, seketika muka si
nona menjadi merah, kedua tangan disembunyikan di
belakang, entah apa yang dipegang, tampaknya hendak
bicara, tapi urung. Segera Oh Thi-hoa berolok-olok, "Kita asyik mengobrol di
sini, tak tersangka nona Kim telah menjadi penjaga pintu bagi
kita, sungguh kita harus berterima kasih kepadanya."
Kim Leng-ci menggigit bibir, ia melengos dan melangkah
pergi dengan dongkol. Tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia
menoleh dan berseru, "Kemari kau, Thio Sam!"
Thio Sam mengiakan sambil melompat turun dari tempat
tidur. "Ada pesan apa nona?" tanyanya dengan mengiring
tawa. "Budak ini sungguh penurut, jika nona Kim menyuruhnya
membunuh pasti akan dilaksanakannya," jengek Oh Thi-hoa.
Kim Leng-ci tidak menggubris ocehannya, ia
mengeluarkan sebungkus barang yang disembunyikan di
belakang punggung dan berkata pula, "Bungkusan ini
hendaklah kau simpan dan jaga dengan baik."
Thio Sam menerimanya sambil mengiakan.
"Bungkusan barang ini baru kutemukan, boleh kau buka di
periksa isinya, tetapi awas jangan sampai hilang, akan
kupenggal kepalamu sebagai gantinya," kata si nona.
"Jangan khawatir nona," jawab Thio Sam pula dengan
tertawa "Barang apapun, jika sudah berada padaku, biarpun
maling sakti nomor satu di dunia juga jangan harap dapat
mencurinya." Kim Leng-ci mendengus, segera ia melangkah menuju
kamar depan, "blang", dengan keras ia gabrukkan pintu
kamarnya. "Di kamar kita ini memang ada seorang maling sakti nomer
satu di dunia," kata Oh Thi-hoa. "Maka kau harus simpan baikbaik
barang itu, awas jika kepalamu terpaksa dijadikan
gantinya, kan bisa konyol."
Belum habis ucapannya, mendadak daun pintu kamar
yang satu lagi terbuka, Ting Hong tampak melongok keluar,
sorot matanya seperti tidak sengaja melirik sekejap pada
bungkusan yang dipegang Thio Sam, lalu menyapa dengan
tertawa, "Kalian belum tidur?"
"Ting-kongcu mungkin juga seperti kami, sukar pulas bila
berada di tempat baru," kata Coh Liu-hiang.
Mata Ting Hong tampak berkedip-kedip, lalu mendesis,
"Ada sedikit urusan yang ingin kubicarakan dengan Cohhiangswe,
entah sekarang boleh tidak?"
Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, pintu kamar sebelah
juga mendadak terbuka, yang melangkah keluar ternyata
bukan Pek-lak-cek, juga bukan Kongsun Jiat-ih, tapi Kau Cutiang.
Air muka Kau Cu-tiang tampak pucat kehijau-hijauan, sinar
matanya buram, koper hitam tetap dibawanya. Ketika melihat
Coh Liu-hiang dan lain-lain sama berdiri di luar pintu, seketika
ia melenggong kaget. "Kukira Kau-heng lagi pergi buang air, sedang kupikirkan
akan memperkenalkan seorang tabib sakti untuk memeriksa
penyakit ginjalmu," kata Ting Hong.
Muka Kau Cu-tiang sebentar pucat sebentar merah,
jawabnya dengan tergagap, "Aku memang pergi buang air,
waktu lewat sini, tiba-tiba timbul keinginanku untuk
mengobrol." "O, kiranya Kau-heng memang kenal mereka, sungguh tak
terduga olehku," kata Ting Hong sambil menatap orang
dengan tajam. Lalu ia melirik Coh Liu-hiang sekejap dan
berkata dengan tertawa, "Mungkin tidak tersangka oleh Cohhiangswe
bukan?" Kau Cu-tiang berdehem beberapa kali, jawabnya, "Aku
dan mereka pernah bertemu sekali dua kali saja, tidak.... tidak
terlalu karib...." sambil bicara ia terus menyelinap masuk
kamar. "Bila Ting-heng ingin memberi petunjuk, silakan kemari
saja," kata Coh Liu-hiang kemudian.
Ting Hong berpikir sejenak, katanya, "Rasanya kita sudah
lelah dan perlu istirahat, kita bicarakan malam nanti saja."
Segera ia menyurut ke dalam dan menutup pintu.
Pintu kamar satunya juga sudah tertutup, tapi sejauh itu
Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek sama sekali tidak menongol.
Oh Thi-hoa sudah tidak tahan, belum lagi Coh Liu-hiang
merapatkan pintu kamarnya segera ia menggerutu, "Zaman ini
hati manusia memang sukar diraba, tak tersangka orang
macam Kau Cu-tiang juga bisa berdusta. Jelas dia kenal
Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, tapi waktu naik kapal,
mereka berlagak seperti tidak saling kenal."
"Ya, dia mengaku belum pernah mengembara di dunia
Kangouw, kecuali Coh Liu-hiang. tiada yang dikenalnya,
kiranya semua itu dusta belaka. Orang yang dia kenal jauh
lebih banyak daripada kita," demikian Thio Sam menggerutu.
"Semula kukira dia benar-benar masih hijau dan tidak
paham seluk-beluk dunia Kangouw, bicaranya blak-blakan,
tindakannya terang-terangan, siapa tahu semua ini kedok
belaka," demikian Oh Thi-hoa menambahkan.
"Apa yang diperbuatnya itu sengaja diperlihatkan agar kita
menaruh curiga padanya, padahal bisa jadi sebelumnya sudah
bersokongkol dengan Kongsun Jiat-ih."
"He, tidak, tidak betul, harus kuperiksa ke sana," seru Oh
Thi-hoa sambil melonjak bangun.
"Apa yang tidak betul" Periksa apa?" tanya Thio Sam.
"Bukan mustahil dia pembunuhnya, Kongsun Jiat-ih dan
Pek-lak-cek adalah sasaran yang kedua, bisa jadi sekarang
kedua orang itu sudah mati."
Sejak tadi Coh Liu-hiang termenung, baru sekarang ia
mengangguk dan buka suara, "Sesudah Kau Cu-tiang keluar
tadi, pintu kamar lantas ditutup orang dari dalam, jika orang
mati apakah dapat menutup pintu?"
"Oh Thi-hoa jadi melengak mau tak mau ia pun manggutmanggut
dan bergumam, "Tampaknya akupun ketularan
kalian, jadi suka curiga." Diapandang Thio Sam sekejap, lalu
berkata pula, "Mengapa tidak kau buka bungkusannya,"
"Untuk apa mesti dibuka?" jawab Thio Sam.
"Dia bilang sendiri, kau boleh membuka dan melihat
isinya," kata Oh Thi-hoa.
"Dan kalau aku tidak mau?"
"Masa kau tidak ingin tahu apa isi bungkusan itu?"
"Akan kubuka nanti bila kau telah tidur," kata Thio Sam tak
acuh. Kembali Oh Thi-hoa melengak, ia tertunduk dan terdiam
sejenak, mendadak dengan gerakan kilat, ia rampas
bungkusan yang dipegang Thio Sam itu, serunya sambil
tertawa, "Aku bukan Coh Liu-hiang, tidak dapat mencuri, tapi
dapat kurebut...." Dengan cepat ia membuka bungkusan itu, tapi suara
tertawanya lantas berhenti seketika setelah melihat isi
bungkusan itu. Kiranya cuma berisi sepotong baju. Baju panjang
belepotan darah. Warna baju itu hijau muda, kainnya dari kwalitas yang baik,
halus dan enteng, kalau dipakai tentu sangat enak. Tapi di
bagian dada baju itu banyak terciprat darah.
"Kupernah melihat baju ini," kata Oh Thi-hoa.
"Dimana?" tanya Thio Sam.
"Tempo hari, waktu Ting Hong menyambut kedatangan
Koh-bwe Taysu, baju inilah yang dipakai," jawab Oh Thi-hoa.
Seketika air muka Thio Sam berubah, ucapnya, "Dan
bagaimana dengan darah ini" Apakah darah Hiang Thian-hui"
Masa Ting Hong adalah pembunuhnya?"
"Sejak mula memang sudah kucurigai dia," kata Oh Thihoa
dengan gemas. "Tapi Kim Leng-ci sangat penurut pada
setiap ucapan Ting Hong, mengapa dia sengaja
mengantarkan baju berdarah ini ke tempat kita?"
Thio Sam berpikir sejenak, katanya kemudian, "Bisa jadi
dia belum tahu baju ini milik Ting Hong, mungkin...."
"Mungkin Kim Leng-ci sengaja hendak mengirim bukti,"
tiba-tiba Oh Thi-hoa menyela.
"Mengirim bukti apa?" tanya Thio Sam.
"Dia tahu kita menemukan mutiara di mayat itu dan tahu
pula kita mencurigainya, maka sengaja mencuri pakaian Ting


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong serta dikotori dengan darah, dengan demikian perhatian
kita dapat dialihkan pada baju berdarah ini," setelah
mendengus, Oh Thi-hoa menyambung pula, "Padahal
seumpama kau membunuh orang dengan memakai bajuku,
apa aku pembunuhnya?"
"Tapi dalam soal ini masih ada dua hal yang
mencurigakan," kata Coh Liu-hiang.
"Dua hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Pertama, Kim Leng-ci adalah seorang puteri keluarga
terhormat, kalau disuruh membunuh orang, memang dia juga
bisa membunuh, tapi jika disuruh mencuri baju orang lain,
mungkin dia takkan mampu mencurinya."
"Betul, darimana dia tahu dimana baju Ting Hong disimpan
dan begitu saja dapat dicurinya?" cepat Thio Sam menukas.
"Kedua," kata Coh Liu-hiang pula. "Jika dia ingin
mengalihkan perhatian kita, dia tak akan mengantar sendiri
baju ini. Orang yang menjadi pencuri, betapapun khawatir
konangan." "Apa kau kira baju ini sengaja ditaruh di tempat yang
mudah terlihat oleh Kim Leng-ci, dengan begitu si nona akan
menemukannya dan diantar kepada kita?" kata Thio Sam.
"Inipun mungkin, tapi Ting Hong juga bisa jadi
pembunuhnya, setelah membunuh, karena waktunya sangat
mendesak maka dia tidak sempat menyembunyikan baju
berdarah ini...." "Kau Cu-tiang kan tinggal sekamar dengan Ting Hong"
sambung Thio Sam. "Jika dia mau mencuri pakaian Ting
Hong, kukira dapat dilakukannya dengan mudah, sebab itulah
si jangkung itu semakin mencurigakan bagiku."
"Mengapa tidak kau tanya pada majikanmu darimana dia
mendapatkan baju ini?" ujar Oh Thi-hoa.
Thio Sam menggeleng, katanya, "Aku tidak berani,bisa jadi
aku akan didamprat. Jika kau kau ingin tanya boleh silakan
kau tanya sendiri, masa kau tidak berani?"
Serentak Oh Thi-hoa melompat bangun, jengeknya,
"Mengapa aku tidak berani" Masa dia akan mengigitku?"
Segera ia pun menerobos keluar dan mendekati pintu kamar
Kim Leng-ci. Tapi waktu tangannya terangkat dan hendak menggedor
pintu mendadak keberaniannya lenyap. Bila membayangkan
betapa Kim Leng-ci akan mendelik padanya dengan bertolak
pinggang, mau tak mau ia menjadi merinding.
"Mungkin dia sudah tidur, jika aku ribut dan dia terjaga
bangun, adalah pantas jika dia marah padaku, sama halnya
bila orang mengacau tidurku, tentu aku pun akan marah,"
demikian Oh Thi-hoa menimang-nimang.
Untuk mengetuk pintu kamar perempuan juga diperlukan
pengetahuan yang luas, selain ada tehniknya, juga diperlukan
ke-beranian. Akhirnya Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya. "Ah,
toh malam nanti semua orang akan bertemu, biarlah nanti saja
kutanyai dia." Kebanyakan lelaki juga mempunyai ciri khas, yakni
bilamana mereka tidak berani berbuat sesuatu, maka selalu
dapat mengemukakan sesuatu alasan yang tepat, tidak nanti
mengakui dirinya tak punya keberanian.
Karena itulah, akhirnya Oh Thi-hoa melangkah kembali
kekamarnya. Di dalam kamar hanya ada dua tempat tidur, karena
mereka tinggal bertiga, maka ditambah tikar lagi di lantai.
Waktu Oh Thi-hoa masuk kembali ke kamarnya, kedua tempat
tidur itu sudah terisi penuh.
Thia Sam tampak berbaring dengan bertumpu kaki dan
sedang bergumam, "Sungguh aneh, mengapa tak kudengar
suara ketukan pintu" Jangan-jangan nyali tuan Oh kita tidal
lebih besar dari pada orang lain, hanya mulutnya saja yang
omong besar, pada waktunya ternyata tidak berani mengetuk
pintu. Dengan mendongkol Oh Thi-hoa lantas berteriak, "Ini
tempat tidurku, mengapa kau berada di situ?"
"Tempat tidurmu?" Thio Sam menegas dengan terbelalak.
"Siapa yang menentukan tempat tidur ini bagimu" Apakah
gubernur jenderal yang menentukan?"
Oh Thi-hoa menjadi gregetan, tapi apa daya, orang
berbaring seenaknya di situ. Segera ia menjengek, "Ah,
tempat tidur kabin kapal hakikatnya seperti tempat tidur anak
kecil, pendek lagi sempit, lelaki gagah kekar seperti diriku ini
kan lebih enak tidur di lantai."
Tapi baru saja membaringkan diri, mendadak ia melompat
bangun dan berseru, "He, kau memang terlalu, diberi satu
minta dua, dikasih hati minta ampela, kenapa kau ambil
bantalku?" "Tidur di lantai kan lebih leluasa dan lebih enak, lantaran
kau khawatir tak mau bangun lagi saking enaknya tidur di
lantai, maka Hay Koa-thian sengaja tidak menyediakan bantal
bagimu," kata Thio Sam dengan tertawa.
Oh Thi-hoa tambah gregetan, tiba-tiba ia mendapat akal,
mendadak ia berseru dengan tertawa, "Hahaha, kiranya kau
pun serupa si kutu busuk ini, hidungmu buntu sehingga tidak
mengendus bau sedap."
"Bau sedap apa?" tanya Thio Sam.
"Tadi aku kan duduk di atas bantal dan aku telah kentut...."
Belum habis ucapan Oh Thi-hoa, serentak Thio Sam
melemparkan bantal itu ke arah Oh Thi-hoa.
"Hahaha, kiranya kau mudah kena tipu," seru Oh Thi-hoa
dengan tergelak-gelak. "Jika kau omong urusan lain, mungkin aku takkan
percaya," kata Thio Sam. "Tapi bicara tentang kentut, kau
memang nomor satu d, dunia, kentut seratus orang mungkin
tidak sebanyak kentutmu."
00ooo00 Peristiwa yang terjadi selama dua hari ini sesungguhnya
teralu banyak dan dan terlalu menakutkan, pula tidak diketahui
akan terjadi peristiwa ngeri apalagi.
Malam ini, Oh Thi-hoa mengira dirinya tidak dapat tidur
Dia pernah mendengar cerita, orang yang sukar pulas,
obat paling mujarab adalah berhitung, hitunglah sebanyakbanyaknya
dan akhirnya akan tertidur tanpa terasa.
Karena itu Oh Thi-hoa siap berhitung seribu atau selaksa,
jika tetap tak dapat pulas, maka dia akan keluar minum arak.
Siapa tahu, baru saja dia berhitung sampai dua puluh tujuh
sudah tertidur nyenyak. Entah sudah berselang berapa lama, ketika mendadak Oh
Thi-hoa terjaga bangun oleh suara ketukan pintu yang riuh.
Suara ketukan itu sangat pelan, "tuk-tuk-tuk", terus
berbunyi, agaknya sudah terketuk agak lama.
Serentak Oh Thi-hoa merangkak bangun, kepala terasa
pusing dan mata sepat, sekuatnya ia membuka pintu, rasa
dongkolnya akan dilampiaskan kepada orang yang mengetuk
pintu. Tak tahunya, begitu pintu terbuka, ternyata tiada bayangan
setan pun, apalagi bayangan manusia.
Akan tetapi suara "tuk-uk-tuk" itu masih terdengar.
Setelah menenangkan diri baru diketahui Oh Thi-hoa
bahwa suara itu bukanlah suara ketukan pintu, tapi dinding
papan kamar sebelah yang sedang diketuk-ketuk orang.
"Brengsek," gerutu Thi-hoa. "Entah apa yang sedang
dilakukan keparat itu" Apa sengaja hendak mengacau tidur
orang?" Segera ia pun mengetuk papan dinding dengan keras dan
berteriak, "Siapa itu?"
Penghuni kamar sebelah adalah Kongsun Jiat-ih danPeklakcek, maka yang mengetuk dinding itu pasti salah seorang
diantaranya Benar juga, segera ada suara orang di kamar sebelah, Oh
Thi-hoa menempelkan telinganya ke dinding barulah dapat
didengarnya suara orang yaitu Kongsun Jiat-ih.
Dengan suara tertahan, Kongsun Jiat-ih sedang bertanya,
"Apakah Coh Liu-hiang di situ" Bagaimana kalau kemari untuk
bicara sebentar?" Kiranya Kongsun Jiat-ih mengetuk papan dinding hanya
karena ingin mencari Coh Liu-hiang. Selama dua hari ini
setiap orang seakan-akan ingin mencari dirinya.
Tentu saja Oh Thi-hoa sangat mendongkol, selagi hendak
mengomel, sekilas dilihatnya kedua tempat tidur sudah
kosong, Coh Liu-hiang dan Thio Sam entah sudah mengeluyur
kemana. Dalam pada itu orang di sebelah sedang berkata pula
dengan suara tertahan, "Bisa jadi Coh Liu-hiang belum tahu
siapa Cayhe, tapi...."
"Tidak perlu kau katakan juga kutahu siapa kau," seru Oh
Thi-hoa dongkol. "Saat ini Coh Liu-hiang tidak berada di sini."
"Oo, kemanakah dia?" tanya orang di sebelah.
"Orang ini shio Tho (kelinci, lambang kelahiran), karena
itulah dia suka kelayapan kian kemari, saat ini dia entah
berada dimana," jawab Oh Thi-hoa.
"Dan anda...." "Aku she Oh," kata Oh Thi-hoa. "Ada urusan apa kau cari
Coh Liu-hiang" Katakan saja padaku, kukira sama saja."
"Oo!" hanya suara itu saja yang terdengar, lalu tidak ada
lanjutan lagi. Oh Thi-hoa menunggu pula sampai sekian lama, makin
dipikir semakin merasa urusan ini agak ganjil.
Kongsun Jiat-ih dan Coh Liu-hiang jelas tiada sangkut-paut
apa-apa, untuk apa mendadak ia mencari Coh Liu-hiang, pula
tak mau mencarinya secara terang-terangan, tapi main
sembunyi seperti maling takut konangan"
Sesunguhnya ada urunan rahasia apakah yang hendak
dikatakannya kepada Coh Liu-hiang.
Teringat kepada Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa jadi
mendongkol, omelnya ,"Kutu busuk tua ini makin lama makin
brengsek. Diam-diam mengeluyur pergi tanpa memberitahu
padaku." 00ooo00 Sementara itu Coh Liu-hiang dan Thio Sam lagi bersandar
memandangi sinar sang surya di waktu senja yang gilang
gemilang. "Sebelum kujelajahi lautan, bagiku pemandangan di sungai
sudah cukup mempesona, sesudah berada di lautan lepas,
barulah kutahu betapa kecilnya sungai, aku menjadi tidak ingin
pulang ke sana lagi," kata Thio Sam dengan gegetun.
Coh Liu-hiang tersenyum, selagi ia hendak menanggapi,
tiba-tiba dilihatnya Ting Hong sedang melangkah kemari dari
haluan sana dengan sikap cemas, belum lagi dekat sudah
berseru, "Apakah hari ini kalian melihat Hay-pangcu?"
"Sejak berpisah tadi pagi, sampai saat ini belum berjumpa
lagi," jawab Coh Liu-hiang sambil mengerut kening.
"Sudah lelah seharian, bisa jadi dia kepulasan, mengapa
Ting-kongcu tidak mencarinya ke kabin bawah?" ujar Thio
Sam. "Sudah kucari ke sana," jawab Ting Hong. "Tempat
tidurnya masih rapi dan bersih, jelas belum pernah ditiduri
orang "Apakah orang lain juga tiada yang melihat?" tanya Coh
Liu-hiang, mau tak mau ia menjadi tertarik juga.
Air muka Ting Hong tampak pucat.senyum yang ramah itu
lenyap, dengan suara berat ia berkata, "Sudah kucari kemanamana,
orang terakhir yang melihat Hay-pangcu ialah Ci Hong."
"Ci Hong?" Coh Liu-hiang menegas sambil mengernyitkan
dahi. "Ya, menurut cerita Ci Hong, katanya waktu lohor ia meli
hat Hay-pangcu berdiri sendirian di haluan kapal, memandang
jauh ke lautan lepas sana dengan kesima, berulang-ulang
mulutnya menyebut nama-Hiang-j iya. Ci Hong menyilakan dia
dahar siang juga tidak digubris. Sejak itu tiada seorang pun
yang melihat dia lagi."
"Apa waktu itu tiada orang lain di atas?" tanya Coh Liuhiang.
"Tatkala itu kebanyakan kelasi kapal sedang makan siang
di kamar masing-masing, hanya di buritan ada dua
pengemudi, tiga orang sedang pasang mata," setelah
menghela napas, lalu Ting Hong menyambung, "Keenam
orang inipun tidak melihat Hay-pangeu di haluan kapal."
"Jangan-jangan Ci Hong berdusta." ujar Thio Sam.
"Kukira tiada alasan baginya untuk berdusta," kata Ting
Hong. "Bisa jadi orang lain lagi sibuk sehingga tidak
memperhatikan Hay-pangcu naik ke geladak, waktu Haypangcu
berdiri di haluan kapal juga tidak lama."
"Habis, kemanakah dia" Apakah mungkin terjun ke laut?"
ujar Thio Sam. "Aku pun khawatir, jangan-jangan Hay-pangcu terlalu
berduka atas kematian Hiang-jiya, karena pikiran cupet,
akhirnya dia bunuh diri," kata Ting Hong dengan muram.
"Tapi Hay-pangcu bukan orang yang mau bertindak
demikian," kata Coh Liu-hiang tegas. "Dimana Ci Hong, ingin
kutanya dia?" "Hari ini dia tidak bertugas, saat ini sedang istirahat di dek
bawah," jawab Ting Hong.
"Mari kita cari dia," ajak Coh Liu-hiang.
00ooo00 Dek kapal itu tidak terlalu luas, belasan orang berjubel di
suatu ruanngan,dengan sendirinya keadaannya kacau balau
tidak teratur kotor dan berbau.
Tempat tidur C i Hong adalah ruangan ketiga pada deretan
sebelah kanan, orangnya sedang berbaring di situ, selimut
menutupi kepalanya, tapi kedua kaki terjulur keluar, malahan
sepatunya juga tidak dibuka, sungguh aneh cara tidurnya ini.
Agaknya saking lelahnya, begitu menjatuhkan diri di ranjang
terus terpulas sehingga sepatu pun tidak keburu dilepas.
Loh Kiat juga berdiri di situ dan tidak tidur, demi
mendengar Ci Hong yang dicari, segera ia berteriak untuk
membangunkan kawannya itu.
Sampai sekian lama Ci Hong tetap diam saja, Loh Kiat
menjadi gregetan, ia lantas mengguncang-guncang badan
sang kawan, tapi sebegitu jauh tidur Ci Hong nyenyak sekali.
Loh Kiat menyengir, katanya, "Kalau sudah minum arak,
tidur orang ini lantas seperti babi mampus."
Thio Sam melirik Coh Liu-hiang sekejap, katanya dengan
tertawa, "Penyakit orang ini rupanya tidak banyak berbeda
dengan Siau Oh." Tapi tertawanya mendadak jadi membeku ketika Loh Kiat


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyingkap selimut yang menutupi kepala Ci Hong.
Tampak Ci Hong telentang di tempat tidur dengan sangat
tenang, namun air mukanya sangat menakutkan. Keadaannya
serupa dengan mayat yang mereka temui di depan pintu
kabin. Kaki Loh Kiat terasa lemas dan tidak sangup berdiri
lagi,"bruk", ia jatuh terduduk.
Siapa pun dapat melihat bahwa orang yang telentang di
tempat tidur itu bukan lagi orang hidup.
Cepat Coh Liu-hiang melompat maju, segera ia
menyingkap leher baju Ci Hong. benar saja, di depan dadanya
terdapat sebuah cap tangan warna merah.
Bekas telapak tangan kiri.
Jelas Ci Hong juga telah terbunuh, menjadi korban pukulan
maut pembunuh gelap itu. "Inilah Cu-seh-ciang!" seru Ting Hong.
Thio Sam meliriknya sekejap dan menjengek, "Tajam be
nar padangan Ting-kongcu, agaknya engkau juga pernah
berlatih Cu-seh-ciang." Sinar mata Coh Liu-hiang tampak gemerdep. katanya
kemudian, "Entah siapakah yang datang ke sini tadi?"
Loh Kiat tampak berkeringat dingin, jawabnya gemetar,
"Aku.... aku baru saja turun ke sini, waktu itu Ci Hong sudah....
sudah berada di sini dan tidur. Orang yang bekerja kasar
seperti kami, bila sudah terpulas memang sukar
dibangunkan." Apa yang dikatakan Loh Kiat memang benar, Thio Sam
membangunkan kesembilan orang lain yang tidur nyenyak dan
ditanyai, ternyata tiada seorang pun yang tahu ada orang luar
masuk ke situ. "Tapi baru saja kan Ting-kongcu datang ke sini untuk
menanyai Ci Hong, masa kalian juga tidak melihatnya?" tanya
Coh Liu-hiang dengan hambar.
Namun para kelasi itu hanya menggeleng kepala. Sikap
Ting Hong tetap tenang, katanya, "Tadi aku memang pernah
datang kemari, tapi waktu itu Ci Hong masih hidup, ketika
kutanyai dia. nona Kim juga hadir di sini, dia bisa menjadi
saksi." Lalu ia menyambung pula, "Habis itu lantas aku
menuju ke kamar makan untuk menanyai keenam orang yang
pagi tadi bertugas di geladak, barulah kucari Coh-hiangswe
dan Thio-heng, semua ini berlangsung tidak lebih dari
setengah jam. " "Dan dimanakah nona Kim sekarang?" tanya Thio Sam.
"Nona Kim berpisah denganku di tangga geladak sana, dia
ingin mencari Oh-heng, Kau-heng dan Kongsun-siansing,
entah sudah bertemu belum?" tutur Ting Hong.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian,
"Dimanakah letak kamar makanitu?"
00ooo00 Kamar makan yang dimaksud, terletak di samping dapur,
tidak luas, hanya dua meja saja sudah hampir memenuhi
ruangan itu. Rupanya tidak cuma soal tidur saja sangat
sederhana, cara makan kaum kelasi juga sangat bersahaja.
Di atas meja makan tampak tiga buah mangkuk besar,
satu mangkuk berisi Ang-sio-bak, daging babi masak saus
kecap. Semangkuk lagi adalah ikan goreng sayur, mangkuk
yang ketiga adalah kuah yang warnanya mirip air cuci piring.
Gentong nasinya sangat besar. Rupanya soal makan di
kapal memang tiada pembatasan. Maklum memerlukan
tenaga kasar yang bekerja keras, maka syarat utama harus
memberi makan sekenyang-kenyangnya.
Sekarang isi mangkuk, yaitu lauk-pauknya, hanya tersisa
sebagian saja, isi gentong nasi juga hampir kosong.
Keenam orang yang sedang makan, dua mendekap di
meja, dua lagi rebah di samping kursi, dua orang yang lain
menggeletak di dekat pintu, semuanya sudah menjadi mayat!
Luka yang mengakibatkan kematian mereka pun serupa,
yaitu bekas telapak tangan warna merah.
Kembali korban Cu-seh-ciang!
Kedua orang yang mendekap di meja mati paling dulu, dua
orang lagi tampaknya baru saja berdiri lantas dipukul terkapar
di samping kursi, dua orang terakhir sempat berlari ke pintu,
tapi sebelum keluar mereka pun terpukul binasa.
Keenam orang ini terbunuh dalam waktu sekejap saja.
Thio Sam menggreget, ucupnya gemas, "Cepat amat kerja
pembunuh ini." "Jika demikian, tampaknya Hay-pangcu juga lebih banyak
celaka dari pada selamatnya," ujar Coh Liu-hiang dengan
menghela napas menyesal. Ting Hong juga menghela napas panjang, ucapnya, "Betul,
saat Hay-pangcu diserang, bisa jadi Ci Hong dan keenam
orang ini menyaksikan, pembunuh ini terpaksa harus
membunuh mereka pula untuk menghapus saksi." Dia
menggeleng, lalu berkata pula dengan pedih, "Bilamana tadi
mau menceritakan rahasianya mungkin mereka takkan
mengalami nasib malang begini. Entah cara bagaimana si
pembunuh itu dapat membuat orang-orang ini tutup mulut
rapat?" "Mungkin mereka tidak sempat berbicara," dengus Thio
Sam sambil melirik Ting Hong, lalu katanya pula, "Begitu Tingheng
menanyai mereka segera terbunuh, apakah tidak sangat
kebetulan sekali?" Namun Ting Hong tetap tenang saja, ucapnya dengan
sedih, "Ya, jika aku tidak menanyai mereka, mungkin takkan
mati secepat ini... apa yang terjadi ini hanya berlangsung
kurang dari setengah jam, dalam waktu sesingkat ini, siapa
gerangan yang mampu rurun tangan keji secepat ini?"
"Hm, kukira setiap orang dapat berbuat," jengek Thio Sam.
Gemerdep sinar mata Ting Hong, katanya, "Dalam waktu
setengah jam ini, apakah kalian pernah melihat Kongsun Jiatih
dan Kau Cu-tiang" 00ooo00 Sementara itu semua orang telah berkumpul lengkap.
Dengan suara lantang Oh Thi-hoa lantas berkata, "Aku
dapat menjadi saksi, sejak tadi Kau Cu-tiang terus berbicara
denganku, tidak nanti dia keluar untuk membunuh orang."
"Bagaimana dengan Kongsun-siansing," tanya Ting Hong.
"Kami guru dan murid juga berada dalam kamar, hal ini
pun diketahui oleh Oh-heng," jawab Kongsun Jiat-ih.
Oh Thi-hoa menjengek, katanya, "Betul, aku memang
berbicara denganmu dari balik dinding kamar, tapi sesudah itu
lalu bagaimana'" "Sesudah itu kami tetap berada dalam kamar," kata
Kongsun-Jiat-ih "Kemudian datang nona Kim mencari kami. . "
"Betul, waktu kucarimemang betul berada di kamarnya,"
tutur Km Leng-ci "Tapi kemana perginya kalian pada waktu setelah aku
berbicara denganmu dan sebelum nona Kim datang ke
kamarmu?" tanya Oh Thi-hoa. "Waktu luang itu kukira cukup
bagimu untuk membunuh beberapa orang."
"Hakikatnya seharian kami guru dan murid tidak keluar
satu langkah pun," kata Kongsun Jiat-ih
"Tapi Kau-heng jelas melihat kalian kaluar, lalu cara
bagaimana kau akan menjelaskan?" jengek Oh Thi-hoa
Dengan sorot mata tajam Kongsun Jiat-ih menatap Kau
Cu-tiang, tanyanya sekata demi sekata, "Bilakah kau pernah
melihat kami guru dan murid keluar kamar?"
Air muka Kau Cu-tiang tampak berubah, jawabnya,
"Kudengar di luar ada suara tindakan orang, maka aku lantas
melongok keluar, kebetulan dapat kulihat ada seorang sedang
mendaki tangga maka kukira Kongsn-siansing adanya."
"Kiranya kau hanya 'mengira' saja dan tidak benar-benar
melihat diriku," dengus Kongsun Jiat-ih.
Kau Cu-tiang menyengir, katanya pula, "Waktu itu
orangnya sudah hampir sampai di atas geladak, aku cuma
sempat melihat kakinya, sehingga tidak dapat memastikan
siapa dia." Oh Thi-hoa melototi sekejap, terpaksa ia pun tutup mulut.
Semua orang bungkam, tiada yang bicara sehingga
suasana dalam kabin mirip pekuburan.
Tiba-tiba terdengar suara "plung" sekali di luar, sejenak
kemudian terdengar pula suara yang sama.
Semua orang sama paham suara apa itu. Jelas para kelasi
sedang mengubur para kawannya yang meninggal itu ke
lautan, suara "plung-plung" itu meski kedengarannya sangat
biasa, tapi penuh rasa seram dan mengerikan laksana suara
genta neraka yang sedang memanggil calon penghuni baru.
Belum lagi lewat satu hari, di atas kepal penumpang itu
sudah mati sembilan orang. Lantas sisanya dapat hidup
berapa lama lagi" Giliran siapa berikutnya yang akan
direnggut jiwanya" Si pembunuh sudah jelas berada di dalam kabin kapal ini,
tapi semua orang justru tidak tahu siapa dia.
Mestinya Coli Liu-hiang berharap akan mendapatkan
sedikit petunjuk yang berharga bilamana si pembunuh
melakukan terornya lagi. siapa tahu cara kerja si pembunuh
ternyata sangat licin dan bersih, kejadian berikutnya ternyata
tidak meninggalkan bekas apapun juga.
Semua orang sama termangu-mangu, siapa pun tidak
berani memandang orang lain, setiap orang sama was-was,
khawatir kalau dituduh sebagai pembunuh, juga seolah-olah
takut akan dijadikan sasaran berikutnya oleh si pembunuh.
Entah sejak kapan di atas meja sudah tersedia hidangan,
ta pi tiada seorang pun yang angkat sumpit dan mulai makan.
Selang agak lama, tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata, "Seorang
kalau belum mati, maka dia harus makan nasi...."
Dan baru saja mereka mengangkat sumpit hendak dahar,
mendadak Thio Sam menjengek, "Tetapi sesudah makan,
sukar diduga siapa yang akan mati dan siapa yang tetap
hidup." Seketika Oh Thi-hoa menaruh kembali sumpitnya.
Maklum, siapa pun tidak berani menjamin bahwa di dalam
santapan itu tiada diberi racun.
Coh Liu-hiang tersenyum hambar, ucapnya, "Tapi kalau
tidak makan tentu akan mati kelaparan, mati kelaparan tentu
tidak enak, mati keracunan kukira akan lebih baik daripada
mati kelaparan." Tanpa ragu-ragu lagi segera ia angkat sumpit
dan benar-benar mulai mencicipi semua santapan yang
tersedia, lalu arak diminumnya pula seteguk.
"Bagus, Coh-hiangswe memang benar-benar gagah
perkasa dan tidak bernama kosong," puji Kau Cu-tiang.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Jika kau kira dia berani mati,
maka keliru besar kau. Dia hanya mempunyai semacam
kepandaian khas, yakni dapat membedakan di dalam
makanan ada racunnya atau tidak, malahan aku pun tahu
darimana dia mendapatkan kepandaiannya khas itu."
Kongsun Jiat-ih menghela napas gegetun, katanya, "Bisa
berada bersama Coh-hiangswe, sungguh sangat beruntung. "
"Jika kau pembunuhnya, mungkin takkan merasa
beruntung lagi, tapi akan merasa sial," jengek Oh Thi-hoa.
Kongsun Jiat-ih tidak menggubris, dia angkat cawan arak
sendiri dan menegaknya hingga habis
Siapa pun tidak tahu mengapa hari in, Oh Thi-hoa selalu
mencari perkara kepada Kongsun Jiat-ih. Tapi setelah
menghabiskan beberapa cawan arak, perasaan setiap orang
telah bertambah lebih tenang.
Tiba-tiba Ting Hong berkata, "Keadaan luar biasa, kukira
kita jangan minum terlalu banyak, meski nona Kim dan Ohheng
sudah berjanji akan adu minum arak, kukira lebih baik
ditunda pula sementara, apabila salah seorang di antara
kalian sampai mabuk, urusan mungkin bisa runyam."
Mendingan kalau dia tidak menyinggung soal ini, begitu
dikemukakan, seketika Kim Leng-ci tidak tahan, segera ia
menjengek, "Minum sekarang atau ditunda tidak menjadi soal
bagiku, yang pasti, yang bakal mabuk pasti bukan diriku."
Tentu saja Oh Thi-hoa penasaran, ia pun mendengus,
"Memangnya aku yang bakal mabuk?"
Kim Leng-ci tidak omong lagi, segera ia berteriak,
"Bawakan poci arak...."
00ooo00 Orang yang sudah beberapa tahun berkecimpung di dunia
Kangouw tentu tahu beberapa macam orang yang paling sulit
dilayani, kalau bisa menyingkir sejauh-jauhnya.
Orang-orang yang dimaksud, pertama ialah kaum Su-seng
atau orang sekolahan yang kelihatan lemah lembut. Kedua,
kaum Hwesio atau Tosu. Ketiga, kaum kakek-kakek berusia
lanjut. Masih ada lagi yang paling sulit dihadapi ialah perempuan.
Beberapa macam orang itu, bilamana berani
berkecimpung di dunia Kangouw, tentu mempunyai
kepandaian andalan. Pengalaman tempur Oh Thi-hoa sangat luas, sudah tentu
ia cukup tahu apa yang disebut tadi.
Akan tetapi dalam hal minum arak memang lain,
betapapun kuatnya orang minum, jika sudah berusia lanjut,
kekuatan minumnya pasti akan mundur. Apalagi perempuan,
karena fisik dan juga kondisi lain, kekuatan minum araknya
tentu tak dapat dibandingkan dengan lelaki.
Pengalaman minum arak Oh Thi-hoa juga sangat banyak,
tentu ia paham segala seluk-beluk minum arak, dia tidak
gentar berlomba minum arak dengan perempuan atau kakekkakek.
Tapi urusan apapun di dunia kadang ada kecualinya.
Seperti adu minum arak sekarang, begitu Kim Leng-ci baru
menghabiskan cawan arak pertama, segera Oh Thi-hoa
menyadari dirinya telah terperangkap.
Di dunia Kangouw terkenal pameo yang mengatakan,
'Sekali seorang ahli begerak, segera akan diketahui berisi atau
tidak'. Pameo inipun cocok untuk melukiskan orang minum
arak. Bagi orang yang sudah berpengalaman, cukup melihat
caranya memegang cawan arak dapat dinilai kuat dan
tidaknya minum arak. Seorang yang kuat minum, caranya
memegang cawan sedemikian luwesnya dan enteng.
Sebaliknya orang yang tidak sanggup minum, memegang
cawan arak kecil saja rasanya seperti memegang benda
beratus kati beratnya. Cuma apapun juga Kim Leng-ci tetap seoang perempuan,
caranya minum arak tetap juga menggunakan cawan.


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbeda dengan Oh Thi-hoa, dia tidak sehalus itu. Dia angkat
poci arak, corong poci menghadap mulut terus dituang begitu
saja. Di depan perempuan, mati pun Oh Thi-hoa tak mau unjuk
kelemahan. Belum lagi Kim Leng-ci menghabiskan isi poci
pertama, Oh Thi-hoa sudah menghabiskan dua poci arak.
Kau Cu-tiang berkeplok tertawa, "Kekuatan minum Ohheng
benar-benar hebat, melulu soal kecepatan saja sukar
ditandingi oleh siapa pun juga."
Air muka Oh thi-hoa tak berubah sedikitpun, ia melirik Kim
Leng-ci sekejap, lalu bergelak tertawa, katanya, "Mengadu
minum arak harus juga dilakukan dengan cepat, jika cara
perlahan-lahan, satu poci baru habis selama tiga hari tiga
malam, cara demikian biarpun anak kecil umur tiga juga bisa."
Kim Leng-ci balas menjengek, "Hm, apa gunanya cepat,
jika akhirnya toh mabuk, apakah terhitung hebat" Kalau
mengadu mabuk, setiap orang pun mampu menenggak
beberapa poci.....Betul tidak, Thio Sam?"
"Betul, sangat betul," jawab Thio Sam cepat..."Ada
sementara orang orang sebenarnya tidak kuat minum, yang
ada padanya cuma keberanian untuk mabuk. Kalau toh harus
mabuk, biarpun menenggak sepuluh poci juga tidak soal.
Padahal orang kalau sudah hampir mabuk, arak yang masuk
mulutnya akan terasa cemplang seperti air putih, sedikitpun
tiada rasanya. Maka minum banyak tidak terhitung kepandaian
sejati, yang hebat ialah banyak minum tapi tidak mabuk."
"Hm, kalau benar aku sampai mabuk, maka kau yang
pertama-tama harus hati-hati," kata Oh Thi-hoa menarik muka.
"Aku perlu hati-hati apa?" jawab Thio Sam.
"Bila penyakit gila arakku sudah kumat, maka aku menjadi
benci kepada kaum penjilat pantat seperti halnya kalau kulihat
kutu busuk, satu per satu pasti akan kupites hingga mampus,"
kata Oh Thi-hoa. Tiba-tiba ia tertawa terhadap Coh Liu-hiang
dan menambahkan, "Tapi kau tidak perlu khawatir, meski kau
ini kutu busuk tua, tapi kau tidak pintar menjilat."
Coh Liu-hiang sedang bicara dengan Ting Hong, sama
sekali ia tidak memperhatikan apa yang dikatakan Oh Thi-hoa.
Thio Sam menghela napas, gumamnya, "Wah, orang ini
belum lagi mabuk, tapi sudah sembarangan menggigit orang
seperti anjing gila. Jika benar mabuk, semua orang perlu hatihati
sedikit." 00ooo00 Saat itu Ting Hong berduduk di samping Coh Liu-hiang
dan sedang membisikinya, "Apa yang dikatakan nona Kim itu
memang beralasan. Cara minum seperti Oh-heng itu
sesungguhnya sukar terhindar dari mabuk."
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya, "Tidak heran jika dia
mabuk, kalau tidak mabuk barulah mengherankan."
"Tapi sekarang kan bukan waktunya minum arak,
mengapa Coh-heng tidak menasehati dia?" kata Ting Hong.
"Apabila sudah minum arak, orang ini lupa daratan, tidak
kenal sanak tidak peduli kadang, siapa pula yang dapat
menasehati dia?" ujar Coh Liu-hiang menyesal. Lalu ia tertawa
dan menatap Ting Hong, katanya, "Apalagi kebanyakan orang
di sini kan sedang menunggu dan ingin melihat bagaimana
keadaannya sesudah mabuk, untuk apa kunasehati dia?"
Ting Hong terdiam sejenak, katanya kemudian, "Janganjangan
Coh-heng juga menganggap aku sedang menunggu
dirinya mabuk?" Coh Liu-hiang menjawab dengan hambar, "Jika tadi Tingheng
tidak menyinggung hal janji mereka, tentu sekarang
mereka tidak perlu berlomba minum arak segala. Dan kalau
sudah mengadu minum, mana bisa tidak mabuk?"
"Tapi.... tapi maksudku tadi kan menasehati mereka agar
menunda janji mereka..."
"Mending bila Ting-heng tidak menasehati mereka, sekali
menyinggung malah mengingatkan mereka," kata Coh Liuhiang
tertawa. "Ting-heng sudah dua-tiga hari bergaul
dengannya, masa belum tahu wataknya yang kepala batu dan
bandel seperti keledai, ditarik tidak mau jalan, dihalau malah
mundur." Ting Hong terdiam sejenak, ia menghela napas panjang,
katanya dengan tersenyum getir, "Mungkin sampai saat ini
Coh-heng masih salah sangka pada diriku, tapi cepat atau
lambat pada akhirnya Coh-hengpasti paham akan
kepribadianku....." Mendadak Coh Liu-hiang memotong
ucapannya, serunya, "Hey, Thio Sam, mengapa benda itu
tidak kau perlihatkan kepada Ting-heng?"
"Ya, kurena asyik menyaksikan mereka berlomba minum
hingga hampir kulupakan urusan yang lebih penting," kata
Thio Sam dengan tertawa. Sembari bicara ia terus menuju ke
kamar kabin sana. Gemerdep sinar mata Ting Hong, ia coba bertanya "Coh
heng ingin memperlihatkan benda apa padaku'"'
"Barang ini memang sangat hebat, siapa saja yang
menerimanya seketika rahasia hatinya akan diketahui oleh
orang lain," jawab Coh Liu-hiang.
Ting Hong tertawa, katanya, "Wah, jika begitu, janganjangan
barang ini punya daya tarik sebangsa kekuatan gaib?"
"Ya, memang rada-rada gaib," jawab Coh Liu-hiang.
Meski Ting Hong masih berlagak tertawa, tapi tertawanya
tampak sangat dipaksakan.
Sementara itu Thio Sam muncul kembali dengan
membawa sebuah bungkusan, tidak diserahkan kepada Ting
Hong, tapi kepada Coh Liu-hiang.
Sambil memegang bungkusan itu, dengan tajam Coh Liuhiang
menatapTing Hong, katanya sekata demi sekata,
"Apabila Ting-heng merasa mempunyai sesuatu isi hati yang
tidak ingin diketahui orang lain, kukira lebih baik jangan
menerima bungkusan ini."
Ting Hong tersenyum, katanya, "Dengan ucapan Coh-heng
ini, apakah diriku dianggap mempunyai sesuatu rahasia yang
tidak boleh diketahui orang lain?"
Coh Liu-hiang hanya tersenyum saja tanpa menjawab,
pelahan ia menyodorkan bungkusan itu kepada Ting Hong.
Tadinya semua orang tertarik pada adu minum arak antara
Kim Leng-ci melawan Oh Thi-hoa, tapi sekarang pandangan
semua orang lantas beralih ke sebelah sini, terkecuali Kim
Leng-ci dan Oh Thi-hoa berdua. Mereka sudah terpengaruh
alkohol, kini selain arak, tiada urusan lain yang bisa menarik
bagi mereka. Akhirnya Ting Hong menerima bungkusan yang
disodorkan oleh Cdh Liu-hiang. Ia pun menjulurkan tangannya
dengan sangat perlahan, seakan akan khawatir dari dalam
bungkusan itu mendadak menerobos keluar seekor ular
berbisa dan memagut tangannya.
Semua orang juga heran dan sangat tertarik, tiada yang
tahu apa isi bungkusan itu dan misteri apa yang terkandung di
dalamnya. Padahal tidak ada sesuatu keanehan yang terdapat
pada bungkusan ini. Setelah memegang bungkusan itu, Ting Hong tertawa,
katanya, "Sekarang apakah Coh-heng telah dapat melihat
sesuatu rahasia pada diriku?"
"Sedikit banyak sudah kulihat," jawab Coh Liu-hiang.
"Oo"Apa yang terlihat olehmu?" tanya Ting Hong.
Mencorong terang sinar mata Coh Liu-hiang, jawabnya,
"Sudah kulihat sekarang bahwa Ting-heng biasa
menggunakan tangan kiri."
Ting Hong tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan
tertawa, "Betul, waktu masih kecil, aku memang kidal, makan
atau menulis suka pakai tangan kiri, sebab itulah sering aku
dimarahi ayahku. Sesudah dewasa barulah kebiasaan itu agak
berubah, tapi masih sering juga tanpa terasa kugunakan
tangan kiri." "Jika demkian, tangan kiri Ting-heng sama lincahnya
dengan tangan kananmu?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Mungkin malah lebih lincah daripada tangan kanan," ujar
Ting Hong. Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Seharusnya rahasia ini
tidak pantas Ting-heng katakan."
"Ini kan bukan suatu rahasia yang maha penting, kenapa
tidak boleh kukatakan?"
Beruang Salju 1 Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu Rahasia Makam Mahesa 2

Cari Blog Ini