Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 4
"Tapi menurut pendapatku, rahasia ini sangat penting,"
kata Coh Liu-hiang sungguh-sungguh.
"Oo" Penting bagaimana?" tanya Ting Hong. "Coba, bila
orang lain tahu tangan kiri Ting-heng terlebih lincah dari pada
tangan kanan, kelak jika bergebrak degan Ting-heng, tentu
orang itu akan berhati-hati terhada tangan kirimu,"ujar Coh
l.iu-hiang. "Pendapat Coh-heng memang benar,"kata Ting Hong.
"Untung Cayhe tiada maksud bergebrak dengan kalian,
kalau tidak Cayhe bisa benar-benar rugi."
"Itupun belum tentu " tiba-tiba Thio Sam menyela. "Kalau
Ting-kongcu juga dapat membinasakan orang dengan tangan
kanan, bila orang lain hanya berhati-hati terhadap tangan kiri
Ting-kongcu, kan sama saja?"
Air muka Ting Hong tetap tidak berubah, ia tertawa dan
berkata, "Apakah Thio-heng menganggap Cayhe telah benyak
membunuh orang?" "Hm, maksudku adalah membunuh orang dengan dua
tangan kan jauh lebih leluasa daripada satu tangan dan juga
lebih cepat," jengek Thio Sam.
Dengan tersenyum Ting Hong menjawab, "Jika demikian
orang yang bertiga tangan kan lebih leluasa membunuh
orang?" Seketika Thio Sam tidak sanggup menjawab lagi. 'Orang
bertiga tangan' artinya pencopet atau pencuri.
Sekalipun Thio Sam tahu Ting Hong sengaja memakinya
sebagai 'pencopet', terpaksa ia cuma dapat mendengarkan
saja. Maklum, seorang bila pernah berbuat sesuatu yang
memalukan, biarpun dicaci maki selama hidup terpaksa hanya
dapat mendengarkan saja dan tidak berani menjawab.
Untung Ting Hong tidak berolok-olok lebih lanjut, sambil
memegangi bungkusan itu, ia bertanya, "Apakah Coh-heng
melihat sesuatu rahasia lain lagi pada diriku?"
"Ada satu lagi, yakni terletak pada isi bungkusan ini,
mengapa Ting-heng tidak membukanya?" jawab Coh Liuhiang.
"Baik, Cayhe memang berniat membuka," kata Ting Hong.
Sesudah bungkusan dibuka, air muka Ting Hong berubah.
Isi bungkusan itu adalah baju berlepotan darah yang
ditemukan Kim Leng-ci. . Sorot mata CohLiu-hiang tidak pernah meninggalkan muka
Ting Hong. Dengan suara berat ia lantas bertanya, "Apakah
Ting-heng tahu baju ini milik siapa?"
"Sudah tentu tahu, baju ini milikku," jawab Ting Hong.
"Darah yang mengotori baju ini, juga darah Ting-heng?"
"Cayhe tidak terluka, darimana bisa mengucurkan darah?"
jawab Ting Hong. Kau Cu-tiang mendengus, katanya, "Hm, darah orang lain
mana bisa mengotori baju Ting-heng, ini benar-benar aneh?"
"Apakah bukan Kau-heng sendiri yang kurang
pengetahuan dan banyak heran?" jengek Ting Hong.
"Kurang pengetahuan dan banyak heran apa?" Kau Cutiang
menegas. "Jika ada orang ingin menfitnah diriku, lalu mencuri bajuku
dan digunakan untuk membunuh orang, kejadian ini kan biasa,
mengapa mesti diherankan" Apalagi...." Ting Hong
mendengus, lalu menyambung pula, "Bila orang itu bertempat
tinggal satu kamar denganku apa sukarnya jika mau mencuri
pakaianku" Kan seperti mengambil barang di saku sendiri dan
sama sekali tidak perlu diherankan."
Kau Cu-tiang menjadi gusar, jawabnya, "Kau berbuat
sendiri, tapi malah memfitnah orag lain?"
"Yang memfitnah mungkin bukan diriku, tapi anda sendiri,"
jawab Ting Hong. Serentak Kau Cu-tiang berbangkit, sorot matanya
membara saking murkanya. Namun Ting Hong tetap tenang, jengeknya pula, "Apakah
kau juga bermaksud mengotori baju ini dengan darahku?"
Sekonyong-konyong Kongsun Jiat-ih menyela dengan
tertawa, "Ah, kukira Ting-kongcu terlalu jauh berprasangka,
Kau-heng berdiri karena ingin menyuguh satu cawan arak
kepada Ting-kongcu." Dia memandang Kau Cu-tiang dengan
melotot dan berkata pula, "Begitu bukan?"
Kau Cu-tiang menatap tajam pada Kongsun Jiat-ih dengan
muka sebentar pucat sebentar hijau, mendadak ia mengakak
dua tiga kali dan berkata, "Haha, betul, memang begitu
maksudku, tak tersangka Kongsun-siansing sudah tahu isi
hatiku " Lalu ia benar-benar ia mengangkat cawan kepada Ting
Hong dan berkata, "Mari silakan!"
Gemerdep sinar mata tajam Ting Hong memandang
Kongsun Jiat-ih, lalu pandang Kau-Cu-tiang, akhirnya ia pun
angkat cawan dan menenggaknya hingga habis, ucapnya
dengan tersenyum, "Padahal darah yang mengotori baju ini
juga belum pasti darah Hiang Thian-hui, bisa jadi darah babi
atau anjing untuk apa kita mesti merecoki hal yang belum
pasti dan merusak persahabatan sendiri?" Bicara sampai di
sini, mendadak tubuhnya bergetar, kulit mukanya tampak
berkerut-kerut "He, ada apa?" tanya Coh Liu-hiang khawatir.
Sekujur badan Ting Hong tampak menggigil, ucapnya
dengan parau, "Di.... di dalam arak ber.... ber...." Belum lagi
kata "beracun" terucapkan, tahu-tahu ia sudah roboh terkapar.
Hanya dalam sekejap, muka Ting Hong dari pucat berubah
menjadi kehijau-hijauan, lalu berubah lagi jadi kehitamhitaman,
darah pun merembes dari mulutnya, darah berwarna
hitam. Terlihat sorot matanya yang penuh rasa dendam dan
benci, ia mendelik kepada Kau Cu-tiang dan berteriak dengan
bengis, "Kau.... kau kejam amat!"
Kau Cu-tiang jadi terkesima, saking kagetnya sehingga
tidak sanggup bersuara. Cepat Coh Liu-hiang menutuk beberapa Hiat-to penting di
sekitar jantung Ting Hong, katanya, "Sabar Ting-heng, asalkan
racun tidak menyerang jantung, pasti akan tertolong."
Ting Hong menggeleng, ia tersenyum pedih, ucapnya, "Ter
.... terlambat, sudah.... sudah terlambat, meski kutahu
peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi, tak tersangka
tetap sukar ter-hindar dari kekejiannya..." Suaranya mulai
samar, setelah ganti napas, ia menyambung pula, "Budi luhur
Hiangswe terkenal di seluruh dunia, ku.... kumohon Cohhiangswe
suka "Jangan khawatir Ting-heng," kata Coh Liu-hiang. ''Kalau
pembunuh itu jelas berada di kapal ini, tidak nanti kubiarkan
dia lolos dari tuntutan keadilan."
"Ini bukan soal," ujar Ting Hong dengan sedih. "Seorang
kalau sudah dekat ajal, terhadap urusan apapun akan
dipandang hambar. Hanya saja.... hanya saja di rumah aku
masih punya ibu yang sudah lanjut usia, aku tak dapat
menunaikan baktiku lagi kepada orangtua, maka kumohon
Coh-heng sudi membawa abu tulangku ke rumah...."
Sampai di sini tenggorokan terasa tersumbat dan tak
sanggup meneruskan lagi. Coh Liu-hiang menjadi terharu dan ikut berduka, katanya,
"Maksudmu sudah kupahami, pesanmu pasti kulaksanakan."
Ting Hong mengangguk perlahan, seperti mau tertawa,
tapi belum lagi tersimpul terpejamlah matanya, senyum yang
simpatik itu takkan terlihat lagi untuk selamanya.
Coh Liu-hiang termenung sejenak, perlahan-lahan sorot
matanya beralih ke arah Kau Cu-tiang.
Pandangan setiap orang sekarang sama tertuju kepada si
jangkung itu. Muka Kau Cu-tiang tampak pucat seperti mayat,
keringat membasahi jidatnya. Mendadak ia berteriak histeris,
"Bukan aku, yang meracuni dia bukan diriku!"
"Tiada orang yang mengatakan kau yang meracuni dia,"
jengek Kongsun Jiat-ih. "Aku pun tidak ingin menyuguh arak padanya, tapi kau
yang menghendaki kusuguh arak padanya," kata Kau Cu-tiang
Kembali Kongsun Jiat-ih menjengek. "Dia sudah minum
beberapa cawan dan tidak keracunan, biarpun tanganku
bertambah panjang juga tak dapat menaruh racun dalam
cawannya." "Habis, apakah aku yang menaruh racun di cawannya?"
kata Kau-Cu-tiang. "Sekian banyak orang menyaksikan
sendiri, mungkinkah kutaruh racun di cawannya" Dia snediri
kan juga bukan orang bura?"
Coh Liu-hiang mengambil cawan arak Ting Hong itu, tibatiba
ia menghela napas, katanya, "Kalian sama-sama tidak
menaruh racun, sebab memang tiada seorang pun dapat
menaruh racun di cawan ini."
"Tapi arak di dalam poci kan juga tidak beracun, kalau
beracun, tentu kita pun sudah mampus keracunan," kata Thio
Sam. "Betul, hanya arak secawan terakhir yang diminumnya ini
yang beracun, tapi racun tidak tertaruh di dalam arak," ujar
Coh Liu-hiang. "Tidak di dalam arak" Habis tertaruh dimana
racunnya?"tanya Thio Sam.
"Pada cawannya," tutur Coh Liu-hiang. Perlahan-lahan ia
menaruh kembali cawan itu, lalu menyambung. "Ada orang
memoles racun yang sangat keras di dalam cawan ini.
Sebabnya Ting Hong tidak keracunan meski sudah minum
beberapa cawan arak, soalnya waktu itu cairan racunnya
belum lagi larut." Baru sekarang Kau Cu-tiang menghela napas lega,
gumamnya, "Untung Coh-hiangswe hadir di sini, memang
mujur benar dapat berada bersama Coh Liu-hiang."
"Tapi, apapun juga kan ada seorang yang menaruh racun,"
kata Kongsun Jiat-ih. "Nah, siapakah gerangan orang ini?"
"Setiap orang tahu cawan arak berada di dapur, siapa pun
takkan menaruh perhatian pada cawan arak kosong." tutur
Coh Liu-hiang. "Adalah sangat mudah bagi siapa pun yang
ingin memoles racun di cawan arak."
"Akan tetapi.... dari.... darimana si pembunuh itu tahu
cawan arak beracun ini pasti akan dipakai oleh Ting Hong?"
tanya Kau Cu-tiang. "Dia memang tidak tahu, dia juga tidak peduli.... cawan
arak beracun ini akan digunakan siapa pun, bagi si pembunuh
itu sama saja," kata Coh Liu-hiang.
Kau Cu-tiang berpikir sejenak, ucapnya kemudian dengan
menyengir, "Ya, memang betul, menurut pandangannya kita
ini cepat atau lambat toh harus mati semua, siapa yang akan
mati lebih dahulu tiada bedanya baginya."
Thio Sam jemput baju berdarah itu dan ditutupkan pada
muka Ting Hong, gumamnya, "Sepuluh orang menumpang ka
pal, sekarang telah mati tiga, berikutnya entah giliran siapa?"
Sekonyong-konyong terdengar suara "bluk", tahu-tahu Oh
Thi-hoa jatuh terkulai berikut kursinya. Namun robohnya
bukan karena mati keracunan melainkan cuma mabuk saja.
00ooo00 Beberapa orang yang mati lebih dahulu itu jelas terkena
pukulan Cu-seh-ciang, dan orang yang paling mungkin pernah
berlatih Cu-seh-ciang adalah Ting Hong.
Orang yang sekaligus dapat menggunakan tangan kanan
dan kiri dengan sama lincahnya ialah Ting Hong.
Orang yang mempunyai kesempatan paling banyak untuk
membunuh orang ialah Ting Hong.
Baju berdarah itupun milik Ting Hong.
Si pembunuh itu hakikatnya tiada lain ialah Ting Hong.
Tapi sekarang Ting Hong justru mati keracunan....
00ooo00 Oh Thi-hoa berbaring di tempat tidur seperti babi mampus.
Satu-satunya perbedaan dengan babi mampus adalah
babi tidak mengorok, sedangkan suara ngoroknya justru
menggelegar seperti bunyi guntur dan dapat terdengar dari
jarak jauh. Thio Sam kucek-kucek telinganya sambil menggeleng,
katanya dengan tertawa, "Waktu orang ini ambruk tadi, kukira
dia yang menjadi giliran berikutnya, sungguh aku terkejut."
Coh Liu-hiang tertawa, ucapnya, "Sudah kuketahui
sebelumnya dia takkan mati. Orang baik tidak panjang umur,
kejahatan hidup sepanjang masa, masa kau tak pernah
dengar pameo ini?" Thio Sam tertawa, katanya, "Meski tak terpikir olehku dia
takkan mati, tapi juga tak terpikir olehku dia akan mabuk
secepat ini, lebih-lebih tak terpikir olehku bahwa cara minum
arak nona Kim itu memang hebat."
"Apakah kau kira dia tidak mabuk?" tanya Coh Liu hiang.
"Sampai nyawa Ting Hong amblas tak diketahuinya, malahan
dia berulang-ulang menanyakan Ting Hong dan menyuruhnya
menjadi juri." "Sungguh bukan waktu yang tepat mabuknya kedua orang
ini," ujar Thio Sam dengan gegetun
"Hah, keliru kau," kata Coh Liu-hiang. "Justru sangat tepat
yang dia pilih untuk mabuk ini."
"Memangnya kenapa?" tanya Thio Sam.
"Karena dia mabuk, maka urusan apapun tidak perlu
dirisaukan lagi, si pembunuh juga pasti takkan mencari dia,
sebab dia tahu kita pasti akan berjaga di sampingnya."
"Hahaha, betul juga," Thio Sam jadi tertawa geli. "Kukira
dia ini orang tolol, padahal sebenarnya dia jauh lebih pintar
dari siapa pun." "Anehnya, orang yang pantas mati justru tidak mati, orang
yang tidak seharusnya mati justru malah mati."
"Maksudnya Ting Hong tidak seharusnya mati?"
"Setelah kurenungkan, hanya dia saja yang harus
dicurigai, pula cuma dia saja yang punya alasan untuk
membunuh orang." "Alasan" Alasan bagaimana?" tanya Thio Sam.
"Tanpa alasan, tentu tidak perlu membunuh orang,"
"Habis, apa alasan Ting Hong?"
"Dia tidak ingin kita menemukan gua emas di lautan sana."
"Jika dia tidak ingin begitu, mengapa mengundang orangorang
ini ke atas kapal?" "Sebab dia tahu, orang-orang ada kemungkinan dapat
menemukan tempat itu, maka dia sengaja mengumpulkan
mereka di suatu tempat begini, lalu satu per satu dibereskan
olehnya." "Dan sekarang dia sendiri malah mati lebih dulu," kata Thio
Sam.
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Makanya, kubilang apa yang kita percakapkan ini sama
dengan kentut, omong kosong belaka."
Thio Sam termenung sejenak, katanya kemudian, "Selain
Ting Hong. apakah tidak ada orang lain yang mempunyai
alasan membunuh?" "Alasan membunuh orang ada beberapa macam,
kebanyak an terdorong karena cinta, harta, dendam, ada juga
yang sengaja membunuh untuk melenyapkan saksi. Kukira
alasan Ting Hong adalah jenis yang terakhir ini," Coh Liuhiang
merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Sekarang
Ting Hong sudah mati, dasar ini tidak dapat digunakan lagi.
Sebab orang-orang ini tidak saling kenal satu sama lain, siapa
pun tidak tahu rahasia orang lain, ini suatu bukti tujuan si
pembunuh pasti bukan untuk menghilangkan saksi."
"Habis, apa tujuannya" Karena cinta" Ini tidak mungkin,
orang-orang ini kan tidak pernah merebut kekasih orang lain.
Demi harta, inipun tidak mungkin, selain Kongsun Jiat-ih, yang
lain jelas orang miskin."
Setelah berpikir sejenak, lalu dia menyambung pula,
"Meski Kim Leng-ci dan Hay Koa-thian terhitung orang kaya,
tapi mereka kan tidak selalu membawa harta benda, umpama
mereka dibunuh, apa pula yang bisa diperoleh si pembunuh?"
"Betul, Setelah kupikirkan, kecuali Ting Hong, hakikatnya
tiada seorang pun yang mempunyai alasan membunuh orang,
maka Ting Hong kupastikan sebagai pembunuhnya," kata Coh
Liu-hiang. "Dan bagaimana dengan Kongsun Jiat-ih" Sampai
sekarang tetap kuragukan asal-usul orang ini," ujar Thio Sam.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, lalu berkata, "Di antara
kesepuluh orang, bisa jadi ada satu-dua orang di antaranya
yang bermusuhan dengannya, tapi sama sekali tiada alasan
baginya untuk membunuh orang-orang ini."
"Namun bukti terpampang jelas, si pembunuhnya jika
bukan dia tentulah Kau Cu-tiang, malahan dia harus lebih
dicurigai daripada Kongsun Jiat-ih," kata Thio Sam.
Saat pintu dibuka, yang muncul ternyala Kongsun Jiat-ih.
Dalam kamar sudah dinyalakan 1ampu, sinar mata
Kongsun Jiat-ih seperti membawa semacam senyuman yang
aneh, dia pandang Coh Liu-hiang dan berkata, "Ada suatu
urusan yang akan kubicarakan dengan Coh-hiangswe "
"Oo" Urusan apa?" tanya Coh Liu-hiang
"Kedatanganku ke Kanglam ini kecuali ingin mencari gua
emas di luar lautan, tujuanku juga ingin mencari satu orang,"
tutur Kongsun Jiat-ih. "Oo?" kembali Coh Liu-hiang bersuara singkat Sebelum
paham tujuan pembicaraan pihak lawan, biasanya Coh Liuhiang
memang tidak suka banyak omong.
"Sudah cukup lama kuselidiki orang ini dan sebegitu jauh
tiada mendapatkan sesuatu keterangan, baru kemarin
kuketahui dia berada di atas kapal ini," tutur Kongsun Jiat-ih
pula. Setelah berpikir sejenak, Coh Liu-hiang berkata, "Yang kau
maksudkan jangan-jangan Kau Cu-tiang?"
"Betul, memang dia," kata Kongsun Jiat-ih.
"Sebenarnya dia itu orang macam apa" Apakah ada
permusuhan lama denganmu?" sela Thio Sam.
"Sebelum ini, Cayhe sendiri tidak pernah melihat dia.
darimana bisa ada permusuhan segala?" jawab Kongsun Jiatih.
"Habis untuk apa engkau mencari dia dengan susah
payah?" tanya Thio Sam.
Kongsun Jiat-ih tertawa, sikapnya tampak sangat senang,
katanya, "Sampai saat ini, apakah Hiangswe belum lagi dapat
mengenali diriku?" Coh Liu-hiang memandangnya lekat-lekat perlahan
matanya bercahaya, katanya, "Jangan-jangan engkau ini....."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar jeritan
ngeri di luar, itulah suara Kau Cu-tiang. ritan ngeri di luar,
itulah suara Kau Cu-tiang.
Kongsun Jiat-ih segera mendahului menerjang keluar.
Kau Cu-tiang tampak berdiri di bawah tangga sana dengan
penuh rasa terkejut, lengan kirinya berlumuran darah,
malahan sebilah belati menancap di bahunya.
"Cara bagaimana Kau-heng bisa terluka?" tanya Coh Liuhiang
sambil mengerut dahi. Tangan kanan Kau Cu-tiang tetap membawa koper hitam
itu dengan napas agak memburu ia menjawab, "Baru saja aku
turun sampai di sini, tiba-tiba belati ini menyambar, cepat lagi
jitu. Untung cukup cepat aku berkelit kalau tidak, mungkin
tengorokanku sudah tertembus oleh belati ini..."
"Siapa penyerangnya" Kau-heng melihatnya" tanya Coh
Liu-hiang. "Karena serangan tidak terduga. aku terkejut, kulihat
bayangan orang berkelebat, ingin mengejar sudah tidak
keburu lagi," jawab Kau Cu-tiang.
"Ke arah mana larinya orang itu?" tanya Coh Liu-hiang.
Kau Cu-tiang melirik Kongsun Jiat-ih sekejap dan tidak
menjawab. Padahal dia memang tidak perlu menjelaskan. Sebab
orang yang berdiri di kapal sekarang, kecuali Coh Liu-hiang
dan Oh Thi-hoa, yang mampu melukai dia hanya Pek-lak-cek
saja. Kongsun Jiat-ih lantas mendengus, katanya. "Memangnya
kau lihat sendiri orang itu berlari masuk ke kamarku?"
"Sep... seperti begitulah. tapi tidak. ,. tidak begitu jelas."
jawab Kau Cu-tiang. Kongsun Jiat-ih tak bicara lagi, ia melangkah ke pintu
kamarnya dan menolak daun pintu. Ternyata kamarnya
kosong melompong tiada seorang pun.
Kau Cu-tiang jadi melenggong.
Dengan ketus Kongsun Jiat-ih lantas berkata, "Pek-lak-cek
adalah anak tolol, sifatnya juga aneh, seharusnya dia memang
tinggal di dalam kamar, dengan demikian sukarlah baginya
untuk menghindari tuduhan orang lain."
"Dan sekarang dia berada dimana?" tanya Thio Sam.
"Setelah nona Kim mabuk, dia selalu menjaga di
sampingnya," tutur Kongsun Jiat-ih.
"Tapi karena tidak pantas lelaki dan perempuan berada
sendirian di dalam kamar, untuk menghindari
prasangka jelek, maka sengaja kucari seorang lagi untuk
menemani mereka." Apa yang dikatakan Kongsun Jiat-ih memang betul, sejauh
itu Pek lak-cek memang berjaga di samping Kim Leng-ci. hal
ini diperkuat kesaksian kelasi yang menemani mereka. Satu
langkah pun Pek-lak-cek tidak pernah meninggalkan kamar
Kim Leng-ci. Thio Sam mengerut kening. katanya, "Nona Kim dan Siau
Oh sama-sama mabuk hingga lupa daratan. Kongsun Jiat-ih
berada bersama kita pula, lalu siapakah gerangan yang
menyerang Kau-heng ini?" Tiba-tiba air mukanya berubah,
katanya dengan was-was, "Jangan-jangan selain kita bertujuh
ini, di atas kapal masih ada orang kedelapan lagi" Mungkin si
pembunuh ini adalah iblis yang dapat menghilang?"
*** Padahal di atas kapal memang tidak cuma mereka
bertujuh. Selain Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa. Kau Cu-tiang, Kim
Leng-ci, Kongsun Jiat-ih, Pek-lak-cek dan Thio Sam. masih
ada belasan kelasi kapal.
Apakah mungkin salah satu kelasi itulah pembunuhnya"
Belum lagi Coh Liu-hiang, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih
dan Thio Sam melangkah keluar kamar Kim Leng-cu
mendadak terdengar suara teriakan keras. Suara teriakan itu
jelas suara Oh Thi-hoa. Keruan kejut Thio Sam tidak kepalang, serunya dengan
muka pucat, "Wah, celaka Siau Oh dalam keadaan mabuk,
tidak seharusnya kita meninggalkan dia sendirian di sana."
Belum habis ucapannya, segera ia memburu kembali ke
kamarnya. Terlihat Oh Thi-hoa sedang berduduk di atas tempat
tidurnya dengan napas terengah. Matanya terbelalak lebar
penuh garis merah, tangannya mencengkeram sebuah
topeng, topeng buatan dari kertas, sudah diremasnya hingga
hancur. Melihat Oh Thi-hoa masih hidup tanpa kekurangan sesuatu
apa pun, seketika Thio Sam menjadi kheki malah,
dampratnya, "Apa yang kau teriakkan" Apakah kumat penyakit gilamu?"
Pandangan Oh Thi-hoa tampak kaku melototi dinding di
depannya, seakan-akan di situ tumbuh beraneka warna
bunga, meski Thio Sam berteriak keras, ternyata tak
digubrisnya. Thio Sam menjengek pula, "Hm, banyak minum beberapa
cawan arak saja lantas mabuk sedemikian rupa, kukira
selanjutnya jangan sok pamer lagi. jangan menantang minum
arak lagi dengan orang lain."
Oh Thi-hoa tetap seperti tidak mendengar ucapannya,
setelah termangu-mangu sekian lama, mendadak ia
berjumpalitan di tempat tidur, lalu berkeplok tertawa dan
berseru, "Hahaha, si pengganas itu ternyata betul bocah ini.
Hahaha, memang sudah kuduga pada suatu hari dia pasti
akan kubekuk." "Kau bilang siapa pengganasnya?" tanya Thio Sam.
"Ting Hong!" jawab Oh Thi-hoa sambil mendelik.
"Sudah tentu Ting Hong, siapa lagi kalau bukan dia."
Thio Sam memandangnya dari atas ke bawah, sedikitnya
berulang tujuh kali, akhirnya ia menghela napas, katanya,
"Memang sudah kuduga bocah ini pasti belum sadar dari
mabuknya, kalau tidak masakah bisa melihat setan?"
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak gusar, teriaknya. "Kau
sendiri melihat setan, setan alas!"
Gemerdep sinar mata Coh Liu-hiang. ia termenung
sejenak, lalu bertanya, "Apa benar barusan kau melihat Ting
Hong?" "Sudah tentu benar," jawab Oh Thi-hoa.
"Dimana kau melihatnya?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Di sini, di dalam kamar ini," kata Oh Thi-hoa.
Thio Sam lantas menjengek. "Tadi sudah jelas kau tertidur
seperti babi mampus, cara bagaimana kau dapat melihat
orang?" "Bisa jadi lantaran aku terlalu banyak minum sehingga
rasanya tidak enak, mendadak aku merasa mual dan ingin
muntah, seketika aku tersadar, tetapi rasanya masih pusing,
pula tenaga untuk merangkak bangun saja rasanya tidak ada."
Orang yang tidak sepenuhnya mabuk memang dapat tidur
dengan sangat lelap, tapi bila mabuk, rasanya menjadi sukar
untuk tidur dengan nyenyak.
Coh Liu-hiang mengangguk, sebab ia sendiri juga
mempunyai pengalaman begitu.
"Pada waktu aku berbaring. dalam keadaan samar-samar
itulah mendadak kurasakan ada seorang berada di kamar ini
dan mendekati tempat tidurku, sayup-sayup orang ini seperfi
memanggilku sekali."
"Kau membuka mata tidak?" tanya Coh Liu-hiang.
"Mataku memang setengah terpicing, maka dapat kulihat
seraut wajah yang pucat. tak jelas siapa dia. waktu
memanggil. aku pun malas untuk menjawab. Siapa tahu
mendadak ia hendak mencekik leherku." tangan Oh Thi-hoa
meraba leher sendiri, ia menghela napas panjang, lalu
menyambung, "Kuat sekali tangannya, aku tidak mampu
melepaskan diri, ingin menjerit juga sukar, maka sekenanya
tanganku mencakar mukanya."
"Dan mukanya lantas kena kau cakar lepas, begitu
bukan?" tanya Coh Liu-hiang sambil menatap topeng yang
dipegang Oh Thi-hoa. "Betul, memang begitulah," kata Oh Thi-hoa. "Waktu itu
dapat kulihat jelas orang itu ternyata Ting Hong adanya. Dia
sendiri juga terkejut karena topengnya dapat kucengkeram
lepas, kesempatan ini segera kugunakan untuk menggenjot
perutnya." Dia tertawa lalu melanjutkan, "Kau tahu kepalanku ini
cukup keras, jarang yang sanggup menahan genjotanku."
"Lalu mana orangnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Setelah kena kupukul perutnya, cekikannya. Lantas
terlepas, ia jatuh di tempat tidur depan situ, tapi waktu aku
melompat bangun hendak membekuknya. dia sudah
menghilang." Thio Sam tertawa, katanya. "Apakah kau tahu mengapa
bisa terjadi begitu?"
"Ya, aku memang tidak habis mengerti mengapa dia bisa
menghilang mendadak," jawab Oh Thi-hoa.
"Mau kuberitahukan kepadamu?" kata Thio Sam.
"Kau tahu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Coba jelaskan."
"Sebab apa yang kau katakan itu tidak lebih hanya dalam
impian belaka," kata Thio Sam. "Orang dalam mimpi sudah
tentu bisa datang dan hilang mendadak..."
Belum habis ucapannya, serentak Oh Thi-hoa melompat
bangun dan mencengkeram dada bajunya sambil berteriak
murka, "Masa kau tidak percaya pada ceritaku ini"
Berdasarkan apa kau tidak percaya?"
Hampir-hampir Thio Sam tak dapat bernapas karena
cengkeraman Oh Thi-hoa, dengan suara serak ia menjawab.
"Jika kau tidak mimpi. mana bisa kau melihat Ting Hong?"
"Mengapa aku tidak dapat melihat Ting Hong?"
"Karena Ting Hong sudah mati," ujar Thio Sam.
Baru sekarang Oh Thi-hoa terkejut tanyanya cepat, "Apa"
Ting Hong sudah mati" Kapan dia mati?"
"Sedikitnya sudah ada tiga-empat jam." jawab Thio Sam.
"Apa betul?" Oh Thi-hoa menegas. "Sudah tentu betul,
bahkan aku dan Kau Cu-tiang yang menggotongnya ke dalam
peti mati," jawab Thio Sam.
Perlahan Oh Thi-hoa berpaling dan menatap Kau Cu-tiang,
Orang jangkung itu mengangguk, katanya, "Betul, mayatnya
masih berada di dalam peti mati, sedikitpun tidak dusta."
Air muka Oh 'Thi-hoa menjadi rada pucat,
cengkeramannya lantas dikendurkan, gumamnya, "Habis
siapa orang tadi kalau bukan Ting Hong".... Apa betul aku
memang melihat setan?"
Melihat ketakuan Oh Thi-hoa yang bingung itu, Thio Sam
menjadi tidak tega. katanya dengan suara halus, "Seorang
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau banyak minum, mata memang suka kabur, mimpi buruk
juga sering terjadi. Pernah satu kali dalam keadaan mabuk
aku pun merasa bertemu dengan Kau-ce-thian dan Ti-pat kay,
kau percaya tidak?" Sekali ini Oh Thi-hoa tidak dapat omong lagi, ia
menjatuhkankan diri di tempat tidur dan menutup mukanya
dengan bantal. "Lebih baik begini," ujar Thio Sam tertawa. "Sehabis
minum arak. urusan apapun tak lebih menyenangkan dan
tidur." Mendadak Kau Cu-tiang berseru, "Kutahu tempat
sembunyi si pembunuh!"
"Oo" Kau tahu?" Coh Liu-hiang merasa heran.
"Pembunuh itu tentu menyamar sebagai kelasi dan
bercampur di antara mereka." jawab Kau Cu-tiang. "Sayang
sebelumnya kita tidak pernah berpikir tentang ini, makanya
kita menjadi saling curiga. Kalau tidak, mungkin si pembunuh
takkan mudah melakukan aksi terornya."
Coh Liu-hiang menganguk perlahan, katanya, "Ya. ini pun
mungkin terjadi." 'Bukan cuma mungkin. hakikatnya pasti demikian," kata
Kau Cu-tiang, dengan bernapsu lantas menyambung pula,
"Coba kau pikir. siapakah yang paling banyak kesempatan
berdekatan dengan cawan arak?"
"Kelasi yang berdinas di dapur," jawab Coh Liu-hiang.
"Betul," seru Kau Cu-tiang. "Ada lagi, justru lantaran
menyamar sebagai kelasi, maka Hay Koa-thian dan Hiang
Thian-hui tidak curiga sedikitpun"
"Ya, memang masuk akal," kata Thio Sam. "Mumpung
urusan belum kasip (terlanjur), mari sekarang juga kita
menyelidikinya." kata Kau Cu-tiang.
"Cara bagaimana menyelidikinya?" tanya Thio Sam.
Kau Cu-Tiang berpikir sejenak, katanya kemudian, kelasi
kapal ini pasti terdaftar namanya. lebih dulu kita periksa buku
daftar nama mereka, lalu kita tanya satu per satu. akhinya
pasti dapat kita temukan orangnya."
Gagasan ini memang boleh juga, cuma kurang tenaga.
Terpaksa semua orang berbagi kerja dan melaksanakan tugas
masing-masing. Thio Sam tetap tinggal untuk menjaga Oh Thi-hoa.
Pek-lak-cek juga tetap menjaga Kim Leng-ci.
Pintu kedua kamar itu sama terbuka, bila perlu kedua
pihak dapat saling memberi bantuan.
Kelasi yang menemani Pek-lak-cek itu bernama Tan Taytiong,
seorang yang jujur. ia tahu daftar nama para kelasi
tersimpan di kamar Kim Leng-ci ini. Sebab kamar ini terhitung
paling baik, di sinilah Hay Koa-thian tinggal sebagai nakhoda.
Setelah menemukan daftar nama itu di almari. Kau Cutiang
lantas mengajukan usul, "Sekarang Aku dan Cohhiangswe
serta Kongsun-siansing menuju ke arah masingmasing
untuk mencari para kelasi dan mengumpulkan mereka
di sini. Paling lambat dalam setengah jam kita harus bertemu
pula di sini." Gagasan ini pun sangat baik, hakikatnya memang juga
tiada gagasan yang lain. ooo000ooo Dek kapal tempat tinggal para kelasi itu sangat suram,
hanya sebuah pelita saja menerangi ruangan yang sumpek
itu. Agaknya para kelasi sudah tertidur nyenyak. Coh Liu-hiang
berseru memanggil. tapi tiada jawaban. ia coba menarik
tangan salah seorang kelasi itu, ternyata tangan itu sudah
dingin dan kaku. Rupanya semua kelasi yang berada di dek situ telah
menjadi mayat seluruhnya.
Tanda luka yang mematikan para kelasi itupun bekas
pukulan Cu-seh-ciang. Tangan Coh Liu-hiang menjadi rada dingin juga. Ia
melangkah mundur keluar dek, lalu memutar tubuh dan cepat
berlalu ke atas geladak. Di atas geladak terdapat empat orang. tapi semuanya juga
sudah mati. Bintang tampak berkedap-kedip di langit, angin laut
meniup berdesir, kapal sedang berputar perlahan di tengah
lautan. Maklum kapal tanpa juru-mudi. sebab juru-mudinya
juga mati. Di bagian dada ada tanda bekas pukulan warna
merah. Kemanakah Kau Cu-tiang yang mendapat tugas
memanggil kelasi" Mengapa Kau Cu-tiang juga menghilang"
Jarang sekali Coh Liu-hiang gemetar.
Pernah satu kali dia dan Oh Thi-hoa mencuri arak
simpanan orang, jika mereka tidak sembunyi di dalam guci
arak raksasa, hampir saja mereka kepergok, waktu itu hawa
sangat dingin sehingga arak di dalam gentong itu seakan-akan
menjadi es. Dia menggigil entah karena kedinginan atau
karena ketakutan, yang jelas dia benar-benar menggigil.
Tapi itu adalah kejadian lebih dua puluh tahun yang lalu.
Waktu itu dia baru berumur tujuh tahun.
Sejak kejadian itu, dia tidak pernah menggigil lagi, hingga
sekarang... Sekarang ia menggigil pula tiada hentinya, sebab
untuk pertama kalinya ia merasakan betapa luasnya dunia ini
dan betapa kecilnya diri sendiri. Untuk pertama kalinya ia
merasakan betapa misteriusnya kejadian di dunia ini dan
terbatasnya kecerdikan manusia.
Dia merapatkan leher bajunya, kemudian melangkah turun
ke kabin. Kongsun Jiat-ih sudah kembali. Melihat air mukanya dapat
diduga, dia tidak dapat menemukan seorang pun yang hidup.
Pertanyaan pertama yang diajukan Coh Liu-hiang adalah,
"Dimana Kau Cu-tiang" Sudah kembali ke sini belum?"
"Bukankah dia pergi mencari kawanan kelasi di atas
geladak bersama Tan Tay-tiong?" kata Thio Sam.
Coh Liu-hiang menghela napas. katanya, "Tidak ada. dia
tidak berada di sana."
"Jangan-jangan ia pun mengalami nasib malang seperti
yang lain?" kata Thio Sam dengan was-was.
Namun Coh Liu-hiang tidak menanggapi pertanyaannya.
Dia memang tidak perlu memberi jawaban.
Seketika Kongsun Jiat-ih berubah sikap, katanya, "Orang
ini...." Belum lanjut ucapannya, mendadak Oh Thi-hoa melompat
bangun dan mencengkeram leher bajunya sambil membentak,
"Jika Kau Cu-tiang mati pembunuhnya pasti dirimu dan bukan
orang lain." Sikap Kongsun Jiat-ih berubah pula, katanya sambil
menyengir, "Jangan-jangan mabuk Oh-heng belum lagi
sembuh." Cepat Thio Sam memburu maju dan menarik Oh Thi-hoa
sambil berkata, "Sekarang bukan waktunya kau bermain gila,
lekas lepaskan tanganmu!"
Oh Thi-hoa menjadi gusar, teriaknya, "Kau suruh aku
melepaskan dia" Apakah kau tahu siapa dia" Tahukah kau
bagaimana asal-usulnya?"
"Kau sendiri tahu?" tanya Thio Sam.
"Sudah tentu kutahu." jawab Oh Thi-hoa dengan suara
lantang. "Dia adalah bandit yang sekaligus membinasakan ratusan
prajurit pengawal di Khay-hong-hu, sedangkan Kau Cu-tiang
adalah utusan rahasia yang dikirim Him-ciangkun dari KwanKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
gwa untuk mengusut peristiwa itu. Karena menyadari
perbuatannya bakal ketahuan, maka lebih dahulu dia bunuh
Kau Cu-tiang untuk menghilangkan jejak."
Sekali ini Thio Sam benar-benar melengak.
Coh Liu-hiang juga merasa rada di luar dugaan.
Pek-lak-cek sudah memburu tiba, demi mendengar ucapan
Oh Thi-hoa itu ia lantas berhenti di tempatnya malah.
Yang paling aneh ialah Kongsun Jiat-ih, tidak gusar atau
takut, sebaliknya malah tertawa.
"Kau tertawa apa?" jengek Oh Thi-hoa dengan gusar.
"Biarpun tertawa|juga tiada gunanya, paling baik kau mengaku
terus terang saja." Dengan tetap tertawa, Kongsun Jiat-ih menjawab, "Untung
Coh-hiangswe kenal diriku, juga dapat menjadi saksi bagiku,
kalau tidak, urusan bisa runyam."
Sembari bicaraa ia terus menarik rambut panjang yang
menutupi kepalanya sehingga kelihatanlah kepalanya yang
botak dan telinganya sepasang daun kuping palsu buatan dari
sejenis logam yang peka. Jadi tidak cuma rambutnya saja palsu, daun kupingnya
juga palsu. rambut palsu tidaklah mengherankan. telinga palsu
yang jarang terlihat. "He, Pek-ih-sin-ni (Si baju putih bertelinga sakti)!" seru Oh
Thi-hoa. (Baca Maling Romantis)
Segera Thio Sam menukas, "Jangan-jangan yang terkenal
sebagai Pohthao (opas) nomor satu di dunia, Sin-eng Engloenghiong?"
"Ah, tak berani, Cayhe memang betul Eng Ban-li adanya,"
jawab 'Kongsun Jiat-ih' dengan tertawa. Jelaslah sekarang
bahwa nama Kongsun Jiat-ih juga nama palsu.
"Aha, sekali ini benar-benar telah salah wesel, opas
terkenal keliru dianggap bandit," seru Thio Sam dengan
tertawa. Muka Oh Thi-hoa menjadi merah, katanya, "Hal ini tak
dapat menyalahkan diriku. tapi si kutu busuk tua inilah yang
salah. Sudah sejak mula dia kenal Eng-losiansing, tapi dia
justru tutup mulut dan tidak mau memberitahukan kepada
kita." Coh Liu-hiang tersenyum kecut. katanya, "Padahal. hal ini
pun tak dapat menyalahkan diriku. yang harus disalahkan
adalah ilmu penyamaran Eng-losiansing sang teramat tinggi
sehingga orang yang berpengalaman seperti diriku juga dapat
dikelabui." "Ah, mana Cayhe mempunyai kepandaian setinggi ini."
ucap Eng Ban-li. Lalu ia menyambung pula dengan tertawa, "Justru lantaran
ingin menyamar. maka jauh-jauh kudatang ke tempat ahli rias
nomor satu di dunia ini- WaJahku yang hebat ini adalah hasil
karyanya." "Ahli Rias nomor satu" Jangan-jangan......" Thio Sam
melirik Coh Liu hiang sekejap dan belum lagi menyambung,
tiba-tiba Oh Thi-hoa menyela dengan tertawa, "Orang lain
mengira Coh Liu-hiang ahli rias nomor satu di dunia, kutahu
bukan dia." "Bukan dia, habis siapa ?" tanya Thio Sam.
"Ialah seorang nona cilik yang sangat cantik. kutu busuk
tua ini tidak lebih hanya muridnya saja," kata Oh Thi-hoa.
"Ah ingattah aku sekarang," seru Thio Sam.
"Orang sering bilang Coh Liu-hiang mempunyai tiga teman
cantik, yang satu berpengetahuan luas dan berdaya ingat
kuat, seorang lagi mahir memasak. orang ketiga mahir merias,
jangan-jangan yang kalian maksudkan ialah dia?"
"Betul, sedikitpun tidak salah, ialah nona So, So Yongyong,"
seru Oh Thi-hoa. Tanpa terasa Coh Liu-hiang meraba hidungnya. katanya,
"O, jadi Eng-losiansing telah bertemu dengan Yong ji?"
"Sebenarnya maksud Cayhe hendak minta petunjuk
kepada Coh-hiangswe." jawab Eng Ban-li. "Tak tahunya Cohhiangswe
tidak di tempat. yang kujumpai hanya nona So. nona
Song dan nona Li di sana, tapi perjalananku tidak sia-sia."
Dia tertawa, lalu menyambung pula, "Sesudah nona So
merias wajahku, dia bilang bukan saja orang lain tidak dapat
mengenali diriku lagi. bahkan Coh-hiangswe sendiri juga pasti
akan pangling." "Tangan perempuan memang lebih gesit daripada tangan
lelaki," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Hati perempuan juga lebih lembut, makanya senjata
rahasia sebangsa jarum serta ilmu merias dan sebagainya,
selain kaum perempuan lebih berhasil menguasainya daripada
kaum lelaki." Dengan gemas Oh Thi-hoa berkata, "Semula kukira Kau
Cu-tiang orang baik-baik. siapa tahu caranya berdusta
ternyata lebih licin daripada perempuan."
"Sudah sering kau tertipu oleh perempuan, kan pantas jika
sekali tempo tertipu oleh lelaki," ujar Thio Sam dengan
tertawa. Oh Thi-hoa melototinya sekejap, lalu berpaling dan berkata
kepada Eng Ban-li, "Biarpun Coh Liu-hiang pangling padamu,
seharusnya kan mesti kau katakan padanya."
Eng Ban-li menghela napas gegetun, katanya, "Soalnya
Cayhe khawatir kalau Kau Cu-tiang sudah bersekongkol
dengan Hay Koa-thian dan Ting Hong, makanya tidak berani
kukatakan terus terang di depan orang banyak. kupikir akan
mengadakan kontak dengan Coh-hiangswe secara diamdiam."
"Ah. pahamlah aku sekarang." ujar Oh Thi-hoa. "Pantas
Kim Cu-tiang selalu mengalangi pertemuanmu dengan kami,
kiranya ia khawatir rahasianya dibongkar olehmu..."
"Jika demikian, bahunya yang terluka itu tentu juga cuma
pura-pura dan dilakukannya sendiri," kata Thio Sam.
"Tujuannya hendak memancing keluar kita agar Englosiansmg
tidak sempat bicara sendiri dengan Coh Liu-hiang."
"Betul, tatkala mana sudah kupikirkan hal ini," kata Eng
Ban-li. "Cuma seketika belum dapat kubuktikan maksudnya
itu. Apalagi kedatanganku ini tidak cuma hendak menangkap
malingnya, tapi juga ingin mencari barang curiannya, sebab
itulah aku tidak berani bertindak secara gegabah."
"Dan siapakah Pek-heng ini?" tanya Coh Liu-hiang.
"Cayhe Pek Lak," kata Pek-lak-cek.
"Pek-heng inilah tokoh utama yang sesungguhnva di
bawah Him-tayciangkun, Kun-goan-tong-cu-kang adalah ilmu
andalannya, kekuatan Lwekangnya tiada bandingannya di
daerah Kwan-gwa," tukas Eng Ban-li.
"Jangankan Kwan-gwa, di daerah Kwan-lwe (dalam
wilayah tembok besar) mungkin juga jarang ada
bandingannya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Ah, mana berani," kata Pek Lak dengan rendah hati.
Bisa jadi lantaran sudah lama berdiam di tengah pasukan
yang berdisiplin keras, terutama di bawah Him-tayciangkun
yang terkenal keren, atau mungkin karenawajahnya juga
sudah dirias, maka apa pun yang diucapkannya tetap tanpa
memperlihatkan sesuatu tanda perasaan.
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebelumnya tidak tahu, baru kami ketahui setelah berada
di atas kapal," jawab Pek Lak.
"Tadinya kukira Kau Cu-tiang sudah kabur keluar lautan,"
tukas Eng Ban-li. "Karena mencari Coh-hiangswe juga tidak bertemu. pula
sudah lama kudengar nama kebesaran Thio-heng, maka kami
lantas berkunjung kemari, tak tersangka secara kebetulan
dapat menumpang di kapal ini."
"Cara bagaimana kalian mengenalinya" Apakah
sebelumnya kalian sudah pernah melihatnya?" tanya Coh Liuhiang.
"Meski tak pernah melihatnya, tapi sudah pernah
mendengar suaranya," jawab Eng Ban-li.
"Waktu dia mengganas di tempat bermalam Tin-wan
Ciangkun di Khay-hong-hu, kan tersisa seorang yang tak
terbunuh olehnya." "O, apakah gundik Ciangkun itu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Betul, nona itu dahulunya adalah bunga penghibur di kota
Kiuseng yang serba pintar, selain mahir memetik alat musik,
juga pandai menyanyi, selain itu dia juga mempunyai
semacam kepandaian khas."
"Kepandaian khas apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yaitu menirukan suara orang," tutur Eng Ban-li.
"Siapa pun asalkan suaranya pernah didengarnya satu kali
saja, maka dapat ditirunya dengan persis. Konon bila dia
menirukan suara bicara Him-tayciangkun sampai-sampai
nyonya Him juga tak dapat membedakannya."
"O, jangan-jangan waktu Kau Cu-tiang melakukan
keganasan, percakapannya didengar oleh dia?" tanya Oh Thihoa.
"Betul, justru lantaran itu, maka Him-tayciangkun memberi
tugas sulit ini kepada tua bangka sialan seperti diriku ini." ucap
Eng Ban-li dengan menyengir.
"Mungkin kalian belum tahu bahwa ketajaman
pendengaran Eng-losiansing tiada tandingannya di dunia ini,"
kata Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Kalau ada orang yang
sekali pandang takkan lupa lagi, maka Eng-losiansing adalah
sekali dengar takkan pernah lupa lagi."
"Sekali mendengar takkan lupa?" Oh Thi-hoa menegas.
"Ya, siapa pun asalkan percakapannya didengar oleh Englosiansing
maka selanjutnya sekalipun orang itu menyamar
dalam bentuk apa pun juga pasti akan dikenali kembali oleh
Eng-losiansing bila dia membuka suara."
"O, pahamlah aku sekarang," kata Oh Thi-hoa. "Jadi nona
kesayangan Tin-wan ciangkun itu telah menirukan suara
ucapan Kau Cu-tiang dan diperdengarkan kepada EngKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
losiansing, berdasarkan ciri suara yang didengarnya ini Englosiansing
dapat mengenali Kau Cu-tiang di sini."
"Betul, kukira demikian adanya," ujar Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Bila
urusan ini tak kualami sendiri, betapapun orang bercerita
kepadaku pasti tak kupercaya. Tampaknya orang she Kau itu
lagi sial, makanya bertemu dengan seorang ahli menirukan
suara dan seorang lagi ahli membedakan suara."
"Ini namanya dosa tak berampun kejahatan pasti
mendapatkan ganjaran yang setimpal," kata Eng Ban-li.
"Bisa jadi Kau Cu-tiang memang seorang bandit ulung, tapi
dia pasli bukan si pembunuh yang melakukan teror di sini,"
kata Oh Thi-hoa pula setelah berpikir.
"O, apa dasarnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ada beberapa hal dapat membuktikan dia pasti bukam si
pembunuh," tutur Oh Thi-hoa.
"Pertama, waktu dia dan kalian berada di luar, memang
betul ada seorang yang masuk kamar kita hendak
membunuhku. orang itu jelas bukan setan."
"Jika demikian, jadi di kapal ini masih ada orang
kedelapan?" kata Eng Ban-li sambil mengerutkan kening.
"Kedua, bila dia adalah pembunuhnya, sekarang dia pasti
takkan terbunuh," kata Oh Thi-hoa pula.
Siapa pun tidak melihat mayatnya, dari mana diketahui dia
sudah mati atau masih hidup," ujar Coh Liu-hiang.
"Bisa Jadi dia merasa berdosa dan telah kabur," tiba-tiba
Pek Lak menyela. "Lautan seluas ini, dia mampu lari kemana?" kata Oh Thihoa.
"Jika dia berada di kapal ini, kemana pula dia akan
bersembunyi" Apalagi dia kan tak mahir Cu-seh-ciang, juga
tidak mampu menggunakan lengan kanan dan kiri sekaligus,
mutiara yang kita temukan di tubuh mayat korban juga bukan
miliknya..." "Mutiara itu milikku!" tiba-tiba seorang mendengus.
Jelas suara Kim Leng-ci. Air muka si nona masih kelihatan
sisa-sisa habis mabuk, namun ucapannya itu cukup tegas dan
jelas tampaknya pikirannya sudah lebih jernih daripada Oh Thi
-hoa. Oh Thi hoa menghela napas panjang. lalu berkata,
"Mutiaramu mengapa bisa berada di tubuh orang mati"
Memangnya orang mati juga bisa mencuri?"
Namun Kim Leng-ci tidak menggubris, bahkan meliriknya
saja tidak. perlahan ia berkata pula, "Malam kemarin, karena
tak dapat tidur, mestinya kuingin naik ke geladak atas untuk
cari angin. Tapi baru saja keluar pintu kamar, segera kulihat
seorang sedang menuruni tangga dengan berjinjit seperti
maling khawatir kepergok. Aku jadii heran dan tertarik, segera
kubuntuti dia." "Penyakit terbesar perempuan adalah segala urusan ingin
tahu," gumam Oh Thi-hoa.
Kim Leng-ci tetap tidak menggubrisnya.
Ia menutur pula, "Waktu kuturun ke bawah, kulihat dua
orang yang biasanya bertugas jaga di luar gudang telah mati
terbunuh, sedangkan orang tadi sudah tidak kelihatan
bayangannya." "Masa begitu cepat menghilangnya?" kata Oh Thi-hoa.
"Siapa pun kalau habis membunuh orang, tidak nanti dia
berjalan perlahan " jengek si nona.
"Kau tidak melihat jelas siapa dia?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sudah tentu aku ti.... tidak melihatnya," jawab si nona.
"Waktu itu pintu gudang tertutup rapat, mestinya aku
hendak masuk ke sana, tapi segera kudengar suara bentakan
Hay Koa-thian, khawatir menimbulkan salah paham, terpaksa
kutinggal pergi, mengenai mutiara itu....." Dia pelototi Thio
Sam sekejap, lalu menyambung lagi, "Sejak pernah dicuri
orang satu kali, seterusnya tidak pernah tersimpan dengan
baik. makanya dapat jatuh di tubuh kedua mayat itu.
Kehilangan ini baru kuketahui setelah kukembali ke kamar."
"Bisa jadi lantaran waktu itu hatimu bingung dan pikiranmu
kacau maka kehilangan mutiara tidak lantas diketahui," ucap
Oh Thi-hoa dengan tak acuh.
Kim Leng-ci menjadi gusar, serunya, "Yang membunuh
kan bukan diriku, mengapa aku merasa bingung segala?"
"Meski pembunuhnya bukan kau. tapi kau kan rmelihat
siapa si pembunuh itu," ujar Oh Thi-hoa, "Cuma ada sesuatu
kelemahanmu tergenggam di tangan orang, makanya kau
tidak berani bicara terus terang."
Muka Kim Leng-ci menjadi merah dan tidak sanggup
bersuara lagi. "Tapi sekarang Ting Hong kan sudah mati, mengapa kau
juga masih tidak berani bicara?" ujar Oh Thi-hoa pula.
Kim Leng-ci menggreget. ucapnya kemudian, "Kalau dia
bisa mati. ini menandakan si pembunuh pasti bukan dia, untuk
apa pula kukatakan?"
Oh Thi-hoa berpikir sejenak. lalu berkata gegetun,
"Ucapanmu beralasan juga, paling sedikit si pembunuh pasti
bukan orang mati, orang mati tak mungkin bisa menjadi
pembunuh." "Bila pembunuhnya bukan Ting Hong, juga bukau Kau Cutiang,
pasti bukan Hay Koa-thian dan Hiang Thian-hui, juga
bukan Eng-losiansiang atau Pek Siauhiap, lebih-lebih
bukan nona Kim atau Coh Liu-hiang," kata Thio Sam.
Dia menghela napas lalu berkata pula kepada Oh Thi-hoa
dengan menyengir, "Wah, tampaknya si pembunuh itu kalau
bukan kau tentulah aku."
"Jelas kau belum mempunyai kemampuan sebesar ini,"
jengek Oh Thi-hoa. "Seumpama kau mampu jadi pembunuhnya. apakah kau
merasa gembira?" tanya Thio Sam. Maka bungkamlah Oh Thihoa.
"Sekarang isi kapal ini hanya tertinggal kita berenam,
dengan sendirinya kita bukan si pembunuh, lalu siapakah
gerangan si pembunuh itu?" kata Eng Ban-li.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Selain kita, di
kapal ini memang betul masih ada seorang lagi."
"Kau tahu siapa dia?" tanya Eng Ban-li.
"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.
Mendingan Eng Ban-li masih cukup sabar, tapi Oh Thi-hoa
sudah tidak tahan lagi, serentak ia berjingkrak dan berteriak,
"Kau tahu dia berada di mana?"
Coh Liu Hiang tertawa tak acuh, katanya, "Jika kau tidak
tahu tentu takkan kukatakan."
oooo000oooo Untuk membuktikan ucapannya, C oh Liu-hiang mulai dari
kamarnya sendiri. Kedua tempat tidur di kamarnya itu, satu di
antaranya ternyata 'hidup'.
Tanpa susah payah Coh Liu-hiang dapat menemukan
pegas yuang dapat memutar tempat tidur itu, di balik tempat
tidur ternyata ada sebuah jalan rahasia.
Oh Thi-hoa jadi terbelalak, serunya, "Sialan! Pantas dalam
sekejap orang itu lantas menghilang setelah jatuh di tempat
tidur, kiranya dia merat melalui lorong rahasia ini."
"Kebanyakan kapal memang ada jalan rahasia dan dinding
rangkap, hal ini mungkin sudah terpikir juga oleh Thio Sam,"
kata Coh Liu-hiang. Muka Thio Sam tampak rada merah, segera ia berkata,
"Tapi aku tidak paham lorong rahasia ini menuju kemana."
"Gudang barang di dek bawah," kata Coh Liu-hiang.
Beramai-ramai menujulah mereka ke dek dasar kapal.
Suasana di situ tetap suram dan seram, bau apek
menyesakkan napas. Enam peti mati masih tetap berjajar di
situ. Eng Ban-li menghela napas gegetun, katanya, "Dugaan
Coh-hiangswe ternyata sangat tepat, lorong rahasia ini
memang betul menembus ke gudang sini."
"Cuma sayang di sini tiada bayangan seorang pun, bahkan
bayangan setan juga tidak nampak," kata Oh Thi-hoa.
"Orang memang tidak ada, tapi setan paling sedikit ada
satu," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Mencorong terang sorot mata Oh Thi-hoa, serunya, "He,
apakah kau maksudkan Ting Hong?"
"Tapi Ting Hong kan cuma orang mati saja dan belum jadi
setan, dengan tanganku sendiri kumasukkan dia ke dalam peti
mati ini...." Thio Sam berdiri di samping peti mati pertama,
bicara sampai di sini ia sendiri jadi merinding, tanyanya,
"Apakah... apakah maksudmu dia hidup kembali?"
Coh Liu-hiang menghela napas, jawabnya, "Orang mati
hidup kembali sebenarnya sudah bukan hal baru bagiku..."
"Betul," tukas Oh Thi-hoa. "Misalnya si Paderi Sakti Buhoa,
dia juga pernah mati dan kemudian hidup kembali."
"Orang mati benar-benar dapat hidup kembali?" saking
heran Pek Lak ikut bertanya.
Maklum, dia seorang polos, lugu, sejak kecil hidup
terpencil di tengah istana panglima perang, terhadap seluk
beluk dan lika-liku dunia Kangouw, tentu saja kurang
pengalaman. "Bila benar-benar seseorang sudah mati, dengan
sendirinya tidak dapat hidup kembali," tutur Coh Liu-hiang,
"Tapi ada sementara orang bisa pura-pura mati dengan
macam-macam akal." "Pura-pura mati" Akal bagaimana pula?" tanya Pek Lak.
"Begini," tutur Coh Luiu-hiang. "Lwekang seseorang kalau
sudah terlatih sampai satu tingkatan tertentu, maka dia
mampu menahan pernapasan sendiri sekian lamanya, bahkan
bisa menghentikan denyut jantung dan menutup urat nadi
yang mengalir sehingga tubuh menjadi kaku dan dingin seperti
mayat. Cuma cara inipun tak tahan terlalu lama, paling-paling
juga cuma setengah jam saja. Pula, orang Kangouw yang
ebrpengalaman juga akan segera mengetahui bahwa dia
cuma pura-pura mati saja."
"Selain itu apakah masih ada cara lain?" tanya Pek Lak.
"Konon di dunia ini ada tiga macam obat ajaib, bila obat itu
diminum, maka akan menghentikan seluruh aktivitas organis si
tubuh manusia, seperti halnya ular yang tidur di musim dingin."
"Betul," tukas Eng Ban-li. "Kutahu satu di antaranya adalah
sejenis kacang polong yang berasal dari sebuah pulau kecil di
sektiar lautan antara negeri Hindu dan Persi."
"Tapi salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah
arak yang disebut 'arak pelarian cinta'," kata Coh Liu-hiang.
"Arak pelarian cinta" Aneh juga nama ini," kata Pek Lak.
"Soalnya si pencipta arak obat ini memang seorang
petualang cinta," tutur Coh Liu-hiang. Ia tertawa, lalu
menyambung pula, "Mengenai arak pelarian cinta ini, juga ada
ceritanya yang menarik."
"Silahkan Coh-hiangswe menjelaskan," pinta Pek Lak.
"Konon petulang cinta ini memang sangat cakap dan
pandai merayu, dimana-mana terdapat kekasihnya, tapi
akhirnya datang juga kesukarannya."
"Kesukaran apa?" tanya Pek Lak.
"Kehidupan manusia ini sebenarnya sama saja antara
lelaki dan perempuan, kalau perempuan takut tergoda oleh
lelaki, sebenarnya lelaki juga khawatir tergoda oleh
perempuan, lebih-lebih petualang cinta yang sudah biasa
hidup bebas, baginya yang paling menyenangkan ialah ' sekali
pakai, lalu tinggal'," Coh Liu-hiang tertawa, sambungnya
kemudian, "Tapi akhirnya ia menjadi rada kelabakan, karena
ada tiga perempuan yang terus lengket padanya dan tidak
mau terlepas, kemana dia lari, ke situ juga ketiga perempuan
itu mengejar. Dia sendiri adalah seorang Su-seng (sastrawan)
lemah, sebaliknya ketiga perempuan itu justru memiliki
Kungfu, berkelahi terang kalah, ingin lari juga tidak dapat, ia
hampir gila karena tak dapat melepaskan diri."
Thio Sam mengerling sekejap ke arah Coh Liu-hiang dan
Oh Thi-hoa, katanya tertawa, "Ini namanya kualat. Orang yang
suka makan nangka harus berani kena getahnya."
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Untung orang itu sangat luas pengetahuannya,
bacaannya sangat banyak, ia masih ingat macam-macam
catatan tentang obat racun dalam kitab-kitab kuno, karena
sudah kepepet, dia lantas menuruti suatu resep kuno dan
membuat semacam obat arak, setelah diminum, orangnya
akan menggeletak seperti orang mati, betapapun
kesengsemnya ketiga nona itu, orang mati tentu saja tidak
menarik lagi bagi mereka. Akhirnya dia lolos dari godaan
mereka dan dapat hidup dengan bebas dan tenteram."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi dengan
tersenyum, "Maka arak itulah disebut Arak Pelarian Cinta."
Dengan tertawa Oh Thi-hoa berkata, "Tampaknya kau pun
perlu sedia sedikit arak begituan dan selalu harus kau bawa."
Sinar mata Eng Ban-li tampak gemerdep, katanya,
"Jangan-jangan Coh-hiangswe menganggap kematian TIng
Hong juga cuma pura-pura saja."
Coh Liu-hiang tidak menjawab, tapi ia lantas mengangkat
tutup peti mati itu. Dimana ada mayat Ting Hong yang dikatakan sudah mati
itu" Dia memang betul sudah 'hidup kembali'!
Malahan di dalam peti mati kini tertulis sepuluh huruf
besar, entah ditulis dengan darah atau tinda, bunyi tulisan ini
adalah sebagai berikut : Coh Liu-hiang, tempat ini kuberikan
padamu! Dengan mendongkol Oh Thi-hoa segera membongkar pula
tutup peti mati myang lain, pada tiap-tiap peti mati itupun ada
tulisan, semuanya nama orang, yakni Oh Thi-hoa, Kim Lengci,
Eng Ban-li, Pek Lak dan Thio Sam.
"Bukan saja dia telah membagi rata peti mati ini kepada
kita, bahkan sebelum ini dia juga sudah tahu jelas tentang
asal-usul diri kita," kata Eng Ban-li dengan menyengir.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Dia
sendiri tidak tahu, Kau Cu-tiang yang memberitahu padanya."
"Hiangswe menganggap Kau Cu-tiang juga bersekongkol
dengannya?" tanya Eng Ban-li.
"Kau Cu-tiang berkepentingan dan ingin mohon
bantuannya, dengan sendirinya dia harus berkomplot
dengannya," tutur Coh Liu-hiang. "Setelah Ting Hong tahu
rahasia Kau Cu-tiang, kebetulan baginya untuk memperalat
titik kelemahan Kau Cu-tiang agar orang she Kau itu bekerja
baginya." OH Thi-hoa meraba hidung, katanya, "Meski urusan ini
samar-samar dapat kupahami, tapi masih tetap belum jelas."
"Jika ingin tahu jelas duduk perkaranya harus diceritakan
mulai awal," ujar COh Liu-hiang.
"Baiklah, coba ceritakan," pinta Oh Thi-hoa.
"Urusan yang begini ruwet dan penuh misterius, sebelum
kubikin jelas persoalannya, tentu aku tak dapat tidur dengan
nyenyak," kata OH Thi-hoa dengan tertawa. "Maka, sekalipun
ceritamu akan berlanjut selama tiga tahun juga akan
kudengarkan dengan asyik."
"Kunci persoalan ini terletak pada gua emas di laut lepas
sana," tutur Coh Liu-hiang. Tiba-tiba ia tertawa pada Kim
Leng-ci dan berkata pula. "Keadaan tempat yang
dimaksudkan itu rasanya nona Kim pasti tahu lebih banyak
daripada orang lain."
Kim Leng-ci menunduk, setelah lama berpikir akhirnya ia
menjawab dengan mengigit bibir, "Betul, di laut lepas sana
memang ada suatu tempat begitu, tapi di sana tidak ada
tetumbuhan, juga tiada arak dan daging segala."
"Habis apa yang ada di sana?" tanya Coh Liu-hiang.
"Di sana memang ada macam-macam, macam-macam
rahasia yang sukar dibayangkan orang, bahkan setiap rahasia
akan dijual menurut harga penawaran tertinggi," tutur Kim
Leng-ci. "Dijual menurut harga penawaran tertinggi?" Coh Liu-hiang
mengulang keterangan itu dengan mengernyitkan kening.
"Ya, sebab rahasia-rahasia itu selain memang bernilai
sangat tinggi jgua sangat besar dan penting sangkut pautnya,
maka penguasa di tempat itu setiap setahun sekali pasti
mengundang sementara orang yang bersangkutan agar
berkunjung ke sana untuk membeli rahasia-rahasia yang
berhasil mereka kumpulkan. Terkadang sebuah rahasia
diperebutkan orang untuk membelinya, karena itulah lantas
diadakan lelang, harga penawaran tertinggi yang
mendapatkan rahasia itu."
"Ehm, umpamanya.... Jing-hong-cap-sah-sik Hoa-san-pay,
begitu?" kata Coh Liu-hiang.
Kembali Kim Leng-ci mengigit bibir, jawabnya, "Betul,
rahasia Jing-hong-cap-sah-sik itu memang kubeli dari mereka.
Sebab seorang murid Hoa-san-pay pernah menghina diriku,
yang digunakannya tiada lain adalah ilmu pedang Jing-hongcapsah-sik, maka dengan segala daya upaya akupun
berusaha membeli ilmu pedang itu, akan kubalas dendam
supaya orang Hoa-san-pay itu juga terjungkal oleh ilmu
pedang yang sama." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Tapi
penguasa Siau-kim-kut itupun pernah memperingatkan
padaku agar ilmu pedang yang kubeli ini jangan sekali-sekali
dipertunjukkan di depan umum, jika larangan itu kulanggar,
maka ilmu pedang ini akan ditarik kembali."
Thio Sam mengerut kening, katanya, "Ilmu pedang yang
sudah dipelajari dengan baik, cara bagaimana dicabut
kembali?" Sudah tentu mereka mem... mempunyai cara sendiri," kata
Kim Leng-ci. Sampai di sini, nona yang biasanya tidak takut
pada langit dan tidak gentar pada bumi, sorot matanya
menampilkan rasa jeri. Jelas dia cukup kenal cara bagaimana
orang itu memperlakukan orang lain yang dianggap bersalah.
"Tempo hari, karena kau marah, tanpa sadar kau mainkan
Jing-hong-cap-sah-sik dan kebetulan dilihat Ting Hong, maka
kau diancam olehnya dan terpaksa melakukan sesuatu
perbuatan di luar kehendakmu, begitu bukan?" tanya Coh Liuhiang.
Kim Leng-ci mengangguk, matanya tampak agak merah.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Jika begitu, jadi
nona Kim pernah mendatangi tempat itu?"
"Ehm," si nona mengangguk.
"Sesungguhnya bagaimana bentuk pemimpin tempat itu?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
"Entah, aku sendiri tidak pernah melihatnya, siapa pun
tidak dapat melihatnya," jawab Kim Leng-ci.
"Sebab apa tak dapat melihatnya" Apakah dia dapat
menghilang?" saking tak tahan, akhirnya Oh Thi-hoa bertanya.
Kim Leng-ci melorotinya sekejap, jengeknya, "Setiba di
sana, kau tentu akan tahu sendiri apa sebabnya."
OH Thi-hoa menghela napas, ucapnya, "Melihat gelagat
sekarang ini, mungkin selamanya kita takkan datang ke sana,
mengapa tidak kau ceritakan saja sekarang?"
"Aku tidak suka bercerita," jawab Kim Leng-ci ketus.
Oh Thi-hoa ingin tanya pula, tapi Coh Liu-hiang tahu
bilamana anak perempuan seperti Kim Leng-ci sudah bilang
'tidak suka', maka biarpun menyembah padanya dan
membujuknya hingga mulut robek juga tidak dapat mengubah
pendiriannya. Sebab itu ia tahu bula tak dapat menanyai dia,
tentu akan marah, dan dia justru menghendaki kemarahannya.
"Dan sekarang mungkin sudah tiba waktunya mereka
melelang rahasia," kata Coh Liu-hiang. "Tentu Ting Hong
adalah orang yang ditugaskan menyambut kedatangan para
undangan. Sedangkan tamu-tamu yang tidak diundang seperti
kita ini tentu saja tidak akan disambutnya dengan baik."
"Dia juga khawatir kalau kita pun akan mencari ke sana,
maka jalan paling baik adlaah mencari akal untuk
mengumpulkan orang-orang yang tidak disukai mereka pada
suatu tempat, kemudian membunuhnya satu per satu," kata
Oh Thi-hoa. "Dan tempat yang paling ideal adalah di atas kapal," tukas
Thio Sam. "Di atas kapal, naik ke langit tak bisa, menyusup ke
bumi tak mungkin, ingin lari juga tiada tempat berpijak,
terkecuali terjun ke laut sebagai umpan ikan hiu."
"Tapi mengapa dia sengaja memasang beberapa peti mati
di sini?" kata Oh Thi-hoa pula. "Apakah karena khawatir ktia
terlalu meremehkan dia, maka sengaja pamer kekuatan agar
kita berjaga-jaga sebelumnya?"
"Sudah tentu bukan begitu maksudnya," ujar Coh Liu-hiang
dengan tertawa. "Bukan begitu maksudnya, lalu apa maksudnya" Sungguh
aku tidak mengerti," kata OH Thi-hoa.
"Dia bertindak begini, tujuannya agar kita saling curiga, bila
kita tidak saling percaya, tentu kesempatan akan lebih terbuka
baginya untuk turun tangan," tutur Coh Liu-hiang. "Apalagi
kalau seseorang sudah menaruh curiga terhadap sesuatu
urusan, maka segala apa pun akan dicurigainya, reaksinya
akan menjadi lamban, pikiran juga kacau."
"Betul, inilah siasat berdasarkan ilmu jiwa, yaitu bikin
bingung lawan, dengan begitu jadi mudah turun tangan," tukas
Eng Ban-li sambil manggut-manggut. Dia tertawa, lalu
menyambung pula, "Cuma sayang, dia tetap salah hitung satu
hal." "Salah hitung hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dia menilai rendah Coh-hiangswe, dia belum mahir
memahami pihak lawan dan tidak tahu kekuatan sendiri,"
jawab Eng Ban-li. "Dia mengira segala sesuatunya telah
diaturnya dengan rapi, tak tersangka tetap ada kelemahannya
dan dapat diketahui oleh Coh-hiangswe."
"Rupanya dia menyadari ada hal-hal yang tak dapat
mengelabui orang lain, maka dia lantas bertindak lebih dulu
dengan pura-pura mati," kata Thio Sam. "Dia mengira tiada
seorang pun akan menyangka bahwa orang mati adalah si
pembunuhnya." "Tindakan ini memang sangat lihai," kata Coh Liu-hiang.
"Semula aku memang mencurigai dia, tapi begitu dia mati, aku
menjadi bingung juga."
"Waktu itu mengapa tidak kau pikirkan mengapa dia
meninggalkan pesan padaku agar membawa pulang abu
tulangnya kepada ibunya?" kata Coh Liu-hiang dengan
menyesal. "Dia meninggalkan pesan begitu, sebab ia tidak mati
sungguh-sungguh, dia cuma khawatir kalau mayatnya akan
dibuang ke laut," jengek Oh Thi-hoa.
"Tapi dalam sehari di kapal ini telah mati beberapa orang,
apalagi semua orag tahu selekasnya akan menyusul orang
mati pula, maka ketika dia mati mendadak, orang lain tidak
menyangka dia cuma mati pura-pura saja, sebab menurut ilmu
jiwa, setiap orang pasti mempunyai sifat kebiasaan."
"Sifat kebiasaan bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sifat kebiasaan, yakni karena sesuatu yagn sudah
terbiasa," tutur Coh Liu-hiang. "Umpamanya segerombolan
domba terkurung di suatu kandang, apabila kawanan domba
itu akan keluar kandang, pintu kandang dipalang dengan
sepotong kayu, maka domba-domba itu akan melompati
palang kayu untuk keluar. Bil;a domba pertama sudah
melompat, domba kedua juga melompat dan begitu
seterusnya hingga domba keduapuluh juga sudah melompati
palang itu, bila mendadak palang itu disingkirkan, meski sudah
jelas pintu kandang tiada perintang lagi, namun domba yang
kedua puluh satu tetap akan main lompat, seperti juga kawankawannya
yang lebih dulu...."
Oh Thi-hoa menjadi dongkol, omelnya, "Tapi kita kan
manusia dan bukan domba."
"Inilah yang dinamai sifat kebiasaan, bukan hanya domba
yang punya sifat demikian, manusia juga," kata Coh Liu-hiang.
Sampai lama Oh Thi-hoa meraba hidungnya ala Coh Liuhiang,
ia menggeleng dan bergumam, "Apa yang diucapkan
orang ini terkadang sukar dipahami oleh siapa pun, tapi lebih
sering ucapannya memang masuk di akal, mengapa bisa
terjadi begini?" Coh Liu-hiang tertawa, katanya pula, "Ting Hong memang
sudah memperhitungkan dengan baik setiap urusan, cuma
sayang, pada akhirnya dia salah hitung lagi seseuatu."
"Salah hitung dalam hal apa?" tanya Thio Sam.
"Dia menilai rendah Oh Thi-hoa, dia mengira sekali Siau
Oh jatuh mabuk, maka segalanya menjadi lupa daratan, maka
kesempatan itu akan digunakannya untuk membereskan Siau
Oh. Tak terduga orang yang sering mabuk, bila siuman, jauh
lebih cepat daripada orang lain."
"Betul, cepat mabuk tentu juga cepat sadar kembali," tukas
Thio Sam dengan tertawa. "Karena usahanya membunuh Siau Oh gagal, dengan
sendirinya ia cepat melarikan diri melalui lorong di balik tempat
tidur yang dapat menjeplak itu, namun wajahnya keburu
dikenali Siau Oh, meski belum pasti kita mengetahui
rahasianya pura-pura mati itu, tapi orang macam Ting Hong itu
tak mau menanggung resiko, terpaksa ia gunakan cara
terakhir, yaitu kabur."
"Betul, apapun juga yang diperbuatnya selalu disertai
dengan jalan mundur teratur," kata Eng Ban-li. "Pura-pura mati
juga jalan mundurnya yang pertama, ketika jalan ini pun buntu,
terpaksa ia ganti jalan lain."
"Mungkin dia sudah berunding dengan Kau Cu-tiang, bila
keadaan gawat, Kau Cu-tiang disuruh memancing
menyingkirkan kita, dengan begitu ada kesempatan baginya
untuk kabur." "Lautan seluas ini, dia dapat kabur kemana?" ujar Pek Lak.
"Di atas geladak semula ada sebuah sampan, yaitu
sampan pertolongan darurat bila terjadi kecelakaan," kata Coh
Liu-hiang. "Waktu naik ke geladak tadi, kulihat sampan itu
sudah tidak ada lagi pada tempatnya."
"Sampan macam begitu bisa meluncur berapa jauh di
lautan lepas ebgini, sedikit gelombang besar saja dapat
menelannya," ujar Pek Lak.
"Kalau melihat cara kerja Ting Hong yang rapi, kukira di
sekitar sini pasti ada kapal mereka yang siap memberi
bantuan padanya," ujar Eng Ban-li.
Pek Lak terdiam sejenak, tiba-tiba tertawa dan berkata,
"Akhirnya dia sendiri kabur dan tetap tak bisa membunuh kita."
Mendadak Eng Ban-li tidak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang tersenyum getir, katanya, "Dia
meninggalkan kita, justru lantaran tahu kita tak dapat hidup
lama lagi." ***
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam keadaan yang betapa buruknya, Coh Liu-hiang
senantiasa optimis dan penuh harapan. Dia seperti tidak
pernah kenal apa artinya putus harapan.
Akan tetapi kata-kata "tak dapat hidup lama" kini justru
keluar dari mulutnya. "Tak dapat hidup lama" Mengapa tak dapat hidup lama?"
tanya Pek Lak dengan terkesiap.
"Lautan seluas ini, kita tak memiliki peralatan apa pun,
tidak punya peta, tidak ada kompas. Entah dimana ada pulau
dan dimana letak daratan," kata Coh Liu-hiang.
"Sebelum dia meninggalkan kapal ini, lebih dahulu dia
membinasakan semua kelasi, tujuannya untuk membuat kita
menghadapi jalan buntu."
"Tapi kita kan dapat putar haluan kembali ke arah semula,"
ujar Oh Thi-hoa. "Kapal ini cukup besar," kata Coh Liu-hiang dengan
menyesal, "Meski Thio Sam mahir ilmu pelayaran, sedikit
banyak aku pun paham, tapi dengan tenaga kami berdua
betapapun sulit untuk mengendalikan kapal sebesar ini
apalagi...." "Apalagi apa?" sela Oh Thi-hoa.
"Persoalan yang paling gawat adalah air minum dan
perbekalan.. " "Itu tidak menjadi soal," sela Oh Thi-hoa sebelum lanjut
ucapan Coh Liu-hiang. "Tadi sudah kuperiksa di bagian dapur
sana, air dan makanan tersedia cukup."
"Jika tidak salah dugaanku. Ting Hong pasti tidak
meninggalkan barang-barang itu," ucap Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa jadi melengak, segera ia memutar tubuh dan
berkata, "Akan kulihat lagi ke sana. bisa jadi dia lupa...."
"Tidak perlu dilihat lagi. dia tidak lupa," seru Eng Ban-li.
Seketika Oh Thi-hoa mematung di tempat seperti terpaku.
"Waktu mencari orang." tutur Eng Ban-li sambil menghela
napas panjang, "Kulihat gentong air di sana sudah
dihancurkan seluruhnya, satu cangkir pun tidak ketinggalan."
"Dan makanannya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Makanan memang masih utuh, sebab dia tahu mati
kehausan jauh lebih cepat mati daripada mati kelaparan,
malahan jauh lebih menderita," kata Eng Ban-li.
"Apa alangannya jika tidak ada air minum?" tiba-tiba Kim
Leng-ci ikut bicara. "Air laut begini banyak, diminum selama
hidup juga takkan habis,"
Nona ini benar-benar masih hijau dan sama sekali tidak
paham seluk beluk orang hidup, tentu saja semua orang
merasa geli, hampir saja Oh Thi-hoa terbahak-bahak.
Sebaliknya Kim Leng-ci lantas mendelik, omelnya, "Apa
yang kau gelikan" Memangnya aku salah omong?"
Oh Thi-hoa menahan ketawanya dan menjawab.
"Omonganmu memang benar, sangat benar,"
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Dahulu ada
seorang raja yang sangat arif. suatu hari beliau melakukan
inspeksi kota, dilihatnya sebagian besar penduduk kota
hampir mati kelaparan, beliau menjadi heran dan bertanya apa
yang terjadi" Maka pembesar setempat lantas melapor bahwa
karena musim kemarau yang panjang, panen terganggu,
maka rakyat tak dapat makan nasi. Sang raja bertambah
heran dan bertanya jika tak ada nasi, mengapa tidak makan
daging babi atau daging sapi?"
Dalam keadaan demikian masih ada orang sempat
mendongeng. kecuali Oh Thi-hoa mungkin sukar dicari orang
kedua. Kim Leng-ci tampak terbelalak mendengar cerita Oh Thihoa
itu, agaknya dia belum lagi paham kiasan ceritanya.
Melihat Kim Leng-ci sedemikian polos, dengan tersenyum
Eng Ban-li menjelaskan. "Air laut terlalu asin dan tak dapat
diminum, jika diminum bisa jadi akan tumpah-tumpah dan juga
menjangkitkan penyakit lain."
Muka Kim Leng-ci menjadi merah, ia mengigit bibir dengan
rasa malu, baru sekarang ia menyadari kedangkalan
pengetahuan umumnya. Mendadak ia berteriak, "He, lihat, apa
itu?" Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk,
kiranya di pojok sana ada sebuah kopor warna hitam.
Itulah kopor milik Kau Cu-tiang yang selalu dibawanya
kemanapun dia pergi. Oh Thi-hoa mendahului memburu ke sana, koper itu terus
dijinjing dan diperiksanya dengan teliti, katanya kemudian.
"Betul, inilah koper Kau Cu-tiang."
"Koper itu tidak pernah lepas dari tangannya dan
dipandang lebih penting daripada nyawanya, mengapa
sekarang ditinggalkan di sini?" ujar Thio Sam.
"Jangan-jangan koper itu sudah kosong?" kata Pek Lak.
Oh Thi-hoa mengangkat koper itu dan berkata. "Tidak
kosong, berat sekali rasanya. sedikitnya ada ratusan kati."
"Pertama kali kulihat dia, memang sudah timbul rasa
heranku. apa isi koper yang selalu dibawanya kian kemari ini"
Mengapa dia pandang koper ini sedemikian penting dan
berharga?" Thio Sam tertawa, lalu melanjutkan, "Tapi
sekarang tanpa membuka kopernya juga dapat kuterka apa
sebabnya." "O, bilakah kau pun berubah pintar?" tanya Oh Thi-hoa.
Thio Sam tidak menghiraukan ejekan Oh Thi-hoa, ia
berkata pula, "Isi koper ini pasti barang berharga hasil
rampokannya, makanya dia pandang koper ini sedemikian
penting." Seketika mata Pek Lak terbeliak, segera ia pun
menjulurkan tangan hendak memegang koper itu.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa dan berkata, "Mungkin kau
salah terka." "Masa salah terka?" tanya Thio Sam.
"Jika koper ini berisi harta benda yang tak ternilai, biarpun
Kau Cu-tiang lupa membawanya kabur, tentu Ting Hong
takkan lupa," ujar Coh Liu-hiang.
"Betul, jika tidak membawa harta benda itu hakikatnya dia
tidak memenuhi syarat untuk berkunjung ke sarang emas
sana," kata Eng Ban-li.
Perlahan-lahan Pek Lak menarik kembali tangannya,
mukanya menjadi rada merah.
Oh Thi-hoa melirik Thio Sam sekejap, katanya tertawa.
"Huh, kukira kau sudah pintar, rupanya masih tetap goblok."
Thio Sam balas melototinya dan menjawab, "Baik, coba
kau terka, apa isi koper ini?"
"Aku tidak dapat menerkanya, juga tidak perlu terka,"
jawab Oh Thi-hoa. "Koper berada di tanganku, asalkan kubuka
kan lantas tahu segalanya?"
Koper itu ada gemboknya, gembok yang kuat dan indah
buatannya. Oh Thi-hoa bergumam, "Jika koper saja ditinggalkan di
sini, mengapa kuncinya tidak ditinggalkan sekalian?"
Segera ia bermaksud membuka gemboknya, tapi
mendadak berhenti. ucapnya dengan tertawa, "Kan ada
seorang panglimanya tukang copet. untuk apa aku bersusah
payah?" Coh Liu-hiang tahu dirinya yang dimaksudkan Oh Thi-hoa.
ia tertawa, koper diterimanya, lalu diperiksanya dengan teliti.
Sejenak kemudian barulah ia berkata, "gembok ini buatan Tio
Moa-cu di gang Kunci di Pakkhia, aku pun belum tentu
sanggup membukanya."
"Bolehkah aku coba membukanya?" tiba-tiba Pek Lak
berkata, Betapapun dia merasa sangsi jika koper itu
diserahkan kepada orang lain.
"Hendaklah engkau hati-hati sedikit." kata Coh Liu-hiang,
"Ada sementara koper yang dipasang pegas dan alat rahasia
lain yang dapat membidikkan panah beracun, asap berbisa
dan sebagainya. Pada hematku, kalau bisa janganlah
membukanya." Pek Lak tertawa. katanya, "Toh kita sudah menghadapi
jalan buntu, apa alangannya kalau menyerempet bahaya
sedikit?" Dengan tangan kiri memegang koper, tangan kanan
segera melolos sebilah belati mengkilap dari laras sepatunya,
sekali pandang saja orang akan tahu belati ini pasti senjata
maha tajam. Oh Thi-hoa yang pertama tidak tahan dan berseru memuji,
"Pisau bagus!" Pek Lak tampak bangga, ucapnya. "Ini hadiah dari Him
tayciangkun. konon adalah benda berumur ribuan tahun."
Selagi ia hendak memotong gembok dengan belatinya,
sekonyong-konyong sikunya diangkat orang perlahan, tahutahu
koper itu sudah berpindah ke tangan Coh Liu-hiang.
Air muka Pek Lak berubah. katanya. "Apa Hiangswe...."
"Biasanya Hiangswe sangat hati-hati dalam setiap urusan,
turuti kata-katanya, pasti tidak salah," demikian Eng Ban-li
memotong ucapan Pek Lak. Maka Pek Lak tidak berkata lagi. namun sikapnya jelas
kelihatan penasaran. Coh Liu-hiang lantas berkata pula. "Kukira tidak mungkin
mereka meninggalkan koper ini tanpa sebab, karena itulah.
sekalipun kita ingin melihat isi koper. juga perlu berhati-hati."
Sembari bicara ia menaruh koper itu di pojok kejauhan
sana. "Apakah Coh-hiangswe mahir bermain sulap dan dapat
membuka koper dan jarak jauh?" jengek Pek Lak.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya, "Bolehkah kupinjam
pisaumu itu?" Pek Lak tampak ragu-ragu, tapi akhirnya belati itupun
disodorkan kepada Coh Liu-hiang.
Perlahan Coh Liu-hiang meraba mata belati itu. ucapnya
dengan gegetun, "Benar-benar senjata pusaka yang maha
tajam." Begitu kata-kata terakhir terucapkan. belati itupun
disambitkan. Sinar perak berkelebat "krek", gembok di atas koper
dengan tepat terpotong putus.
Terkesiap juga Pek Lak, serunya tanpa terasa.
"Bagus......." Baru saja dia berucap satu kata. mendadak terdengar pula
suara letusan yang menggelegar. seluruh kabin tergetar
hingga bergoyang-goyang. Koper hitam itu ternyata sudah
meledak. Badan kapal seketika berlubang karena ledakan itu. air laut
segera pula membanjir masuk.
Pek Lak melongo kaget. keringat dingin memenuhi
dahinya. Coba kalau tadi dia membuka koper itu. saat ini
tubuhnya pasti sudah hancur lebur menjadi abu.
Dengan gemas Oh Thi-hoa memaki, "Keparat, jahanam.
apakah dia khawatir kematian kita tidak cukup cepat?"
Dia ingin memaki pula, tapi sekarang waktu untuk memaki
orang pun tiada lagi. air laut telah menggenangi tempat
mereka berdiri hingga batas dengkul, bahkan masih terus
naik. "Lekas mundur, naik ke geladak," seru Eng Ban-li.
"Dalam waktu singkat, kapal ini akan tenggelam ke dasar
laut, apa gunanya ke geladak?" Ujar Thio Sam menyengir.
"Keji amat hati keparat itu, maki Oh Thi-hoa pula dengan
gemas. "Sampai-sampai. sampan itu dibawanya kabur."
"Tampaknya dia lari dengan menumpang sampan, itupun
termasuk dalam rencananya," ujar Thio Sam dengan gegetun.
"Ya, perhitungan orang itu boleh dikata sangat rapi,
sungguh membuat orang merasa kagum," kata Eng Ban-li
gegetun. Sesudah koper itu meledak. Coh Liu-hiang hanya berdiri
saja di situ seperti juga melenggong. kini mendadak ia
berkata. "Tapi dia tetap salah hitung sesuatu."
"Salah hitung apa?" tanya Oh Thi-hoa cepat.
"Peti mati!" jawab Coh Liu-hiang.
oooo0000oooo Memang betul. peti mati itu mirip sebuah sampan.
Dengan cepat keenam peti mati itu digotong ke atas
geladak, lalu diturunkan ke laut kebetulan enam orang. enam
peti mati. terbagi dengan rata.
Berduduk di dalam peti mati dan menyaksikan kapal itu
tenggelam dengan perlahan-lahan. Perasaan demikian kecuali
mengalami sendiri mungkin sukar dirasakan orang lain.
Maka tidak lama kemudian, lautan lepas sejauh pandang
mata tak bertepi itu hanya tersisa enam peti mati dengan
penumpangnya saja. Pemandangan ini bila tidak dsaksikan.
dengan mata kepala sendiri mungkin sukar dibayangkan
siapapun. Mendadak Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Keenam peti mati
ini sebenarnya hendak digunakan untuk mengakhiri kematian
kiita, siapa tahu sekarang malah menyelamatkan jiwa kita."
Thio sam juga tertawa, katanya. "Anehnya dia seperti
khawatir kita berjubelan, maka setiap orang disediakan
sebuah." "Ya, mimpipun dia tidak pernah membayangkan hal ini,"
seru Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Kuharap kelak akan bertemu lagi dengannya. dan akan
kuberitahukan apa yang terjadi ini. ingin kulihat bagaimana
perubahan air mukanya," kata Thio Sam.
"Tidak perlu lihat juga dapat kubayangkan air mukanya
pasti sangat lucu. seperti menyengir dan juga seperti
menangis," tukas Oh Thi-hoa.
Pek Lak memandangi mereka dengan melenggong.
Laut seluas ini dan tidak dapat membedakan arah. kapal
sudah tenggelam makan minum tiada lagi. jalan satu-satunya
sekarang cuma menanti ajal di dalam peti mati, Tapi kedua
orang itu ternvata masih dapat bersenda gurau dan tertawa,
seakan-akan apa yang terjadi ini sangat lucu bagi mereka.
Pek Lak benar-benar rada bingung, Ia tidak tahu bahwa
seseorang asalkan masih dapat tertawa. ini tandanya dia
masih mempunyai semangat dan gairah.
Seseorang kalau masih punya semangat dan gairah, maka
dia pasti dapat hidup terus.
Di sinilah letaknya kekuatan mereka. inilah keunggulan
mereka dari orang lain. Mendadak Coh Liu-hiang mengangkat beberapa ikat tali
dari peti mati dan berseru. "Jika kalian sudah cukup bergurau.
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang lekas berdaya mengikat keenam peti mati menjadi
satu. Lautan seluas ini. betapapun kita tak boleh terpencar."
"Hah, sempat juga kau membawa talinya, sungguh rapi
pemikiranmu," jawab Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Tapi apa pula gunanya tutup peti mati ini" Mengapa kita
harus membawanya?" tanya Thio Sam.
"Lewat lohor nanti, sinar matahari sangat terik. kita tidak
punya air minum, bila kepanasan, mana tahan lagi?" kata Coh
Liu-hiang. "Maka tutup peti mati, dapatlah kita tutupkan dan
tidurlah kita di dalam peti mati."
Mau tak mau Pek Lak menghela napas gegetun, ucapnya,
"Cara berpikir hiangswe benar-benar sangat rapi dan sukar
dibandingi orang lain. Sekalipun Ting Hong berhati keji dan
pintar mengatur perangkap, tapi masih selisih satu tingkat jika
dibandingkan dengan Hiangswe."
Sampai di sini barulah dia mengagumi Coh Liu-hiang.
"Kutu busuk tua ini memang bukan manusia, sampai aku
pun rada-rada kagum," Oh Thi-hoa juga merasa gegetun.
Tak peduli siapa pun Juga, lambat atau cepat, akhirnya
pasti akan kagum kepada COh Liu-hiang.
"Dalam keadaan luar biasa baru dapat dilihat
keluarbiasaan Coh-hiangswe," Eng Ban-li ikut bicara, "Pada
detik yang paling gawat antara mati dan hidup. barulab
diketahui bahwa Coh-hiangswe tetap Coh-hiangswe,
betapapun tak dapat ditandingi oleh siapa pun juga."
Coh Liu-hiang sendiri hanya duduk termenung saja. apa
yang dikatakan mereka seolah-olah tak didengarnya.
Hanya satu hal yang sedang dipikir Coh Liu-hiang, yaitu
cara bagaimana dapat menginjak daratan lagu dengan hidup"
oooo000oooo Lautan seakan bersambung dengan ujung langit. siapa
pula yang tahu dimana letak daratan yang diharapkan.
Sang surya baru saja menyingsing di ufuk timur sana, air
laut berkilauan karena sinar matahari yang gemilang itu.
Oh Thi-hoa kucek-kucek matanya, ucapnya sambil
menyengir, "Tampaknva jiwa kita tidak perlu diserahkan
kepada air laut. Nasibku biasanya tidak jelek. bisa jadi air laut
akan membawa kita ke daratan."
Thio Sam menghela napas, katanya, "Coba kalian lihat,
orang ini belum lagi tidur, sudah mimpi lebih dahulu."
"Mimpi?" Oh Thi-hoa jadi mendelik, "Memangnya tidak
mungkin terjadi?" "Sudah tentu tidak mungkin" kata Thio Sam.
"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa. Pertanyaannya itu secara
tidak langsung ditujukan pada Coh Liu-hiang, sebab ia tahu
Thio Sam takkan memberi jawaban, paling-paling memakinya
lagi. Maka berkatalah Coh Liu-hiang. "Air laut tidak sama
dengan air sungai. tidak mengalir ke suatu jurusan tertentu,
sebab itulah bila kita cuma berduduk saja tanpa bergerak.
biarpun tiga bulan lagi kita tetap akan terapung di sekitai sini."
Untuk sejenak Oh Thi-hoa melenggong, katanya
kemudian. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Air laut tidak bergerak. terpaksa kita sendiri yang harus
bergerak," ujar Coh Liu-hiang.
"Bergerak cara bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Tutup peti mati ini masih ada gunanya, yakni dapat kita
manfaatkan sebagai pengayuh." kata Coh Liu-hiang.
"Selain nona Kim, sekarang kita berlima harus bekerja
keras." "Mengapa aku harus dikecualikan?" teriak Kim Leng-ci.
Coh Liu-hiang tertawa dan tidak menjawab.
Oh Thi-hoa tidak tahan. ia berkata. "Sebab kaum
perempuan, terhadap perempuan dia suka memberi servis
istimewa." Kim Leng-ci melototinya sekejap. tanpa bicara lagi ia
mendahului angkat tutup peti mati terus mulai mendayung.
Oh Thi-hoa melirik Coh Liu-hiang sekejap, katanya dengan
tertawa. "Haha, tampaknya sekali ini kau telah salah jilat. Ada
sementara perempuan merasa dirinya terlebih unggul dari
lelaki, maka seharusnya kau perlakukan dia seperti lelaki.
Cuma saja..." Dengan hambar ia menyambung. "Jika ada
orang disuruh hidup nikmat dan tidak mau, maka sekalipun
orangnya mengaku pintar pasti juga sangat terbatas."
Tampak Kim Leng-ci hendak meraung pula. Pek Lak
menyela, "Nona Kim adalah ksatrianya kaum wanita. tidaklah
pantas jika kita pandang dia sebagai perempuan biasa."
"Baiklah jika demikian. kita berenam dapat dibagi menjadi
dua regu," kata Coh Liu-hiang. "Nona Kim, Pek-heng dan Englosiansing
satu regu, kemudian aku, Thio Sam dan Siau Oh
akan menggantikan kalian."
"Mendayung ke arah mana?" tanya Pek Lak.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, lalu katanya, "Tenggara!"
Pek Lak merasa heran, tanyanya pula, "Arah tenggara ini
akan menyongsong sinar matahari, sangat silau, mengapa
tidak menuju barat laut saja" Apalagi kita kan datang dari arah
sana, di sebelah sana pasti ada daratan."
"Tapi kapal kita sudah berlayar dua hari dan baru sampai
di sini," jawab Coh Liu-hiang. "Dengan kekuatan kita sekarang
jelas tidak mampu mendayung pulang ke sana."
"Tapi tenggara..."
Belum lanjut ucapan Pek Lak, cepat Coh Liu-hiang
memotong. "Konon di daerah tenggara sana banyak terdapat
pulau-pulau kecil yang tak dikenali namanya, apalagi jurusan
ini banyak dilalui kapal dagang yang menuju ke negeri timur
sana (kepulauan Okinawa Jepang sekarang). Apabila kita bisa
bertemu dengan sebuah kapal atau mendarat di suatu pulau
kecil. tertolonglah kita."
Pek Lak berpikir sejenak, ucapnya kemudian dengan
menyesal, "Ya. Coh-hiangswe memang jauh lebih cerdik
daripadaku, kembali aku tunduk dan kagum padamu."
Tutup peti mati itu sudah tentu sangat berat dan sangat
makan tenaga, mestinya tidak cocok digunakan sebagai
pengayuh. Syukur mereka adalah tokoh kelas tinggi dunia
persilatan. tenaga mereka pun jauh lebih kuat dan orang
biasa. Serentak tiga orang mendayung sekuatnya 'rakit' yang
terbuat dan enam buah peti mati itu, ternyata dapat laju
dengan cukup pesat. Yang paling giat mendayung adalah Kim Leng-ci. Nyata
dia sengaja hendak memperlihatkan bukti kepada Oh Thi-hoa
bahwa perempuan bukanlah kaum lemah seperti disangkanya.
Pandangan Pek Lak tidak pernah meninggalkan diri si
nona dengan tertawa ia berkata, "Tampaknya dalam segala
hal nona Kim tidak kalah daripada kaum lelaki, bahkan boleh
dikata lebih unggul."
Oh Thi-hoa berbaring di dalam peti mati dengan
memejamkan matanya dengan santai. "Dia memang cekatan,
cuma.... perempuan yang tak becus, jelas membuat pusing
kepala kaum lelaki perempuan yang terlalu cekatan juga sama
memusingkan bagi lelaki."
Ucapan Oh Thi-hoa ini beralasan.
Pada umumnya, lelaki memang suka menonjolkan diri di
depan kaum wanita sebagai 'pelindung' dan selalu 'kaum
kuat'. Terkadang meski di mulut mereka mengomeli kaum
perempuan dan dikatakan tak becus. padahal di dalam hati,
diam-diam mereka senang. Sebab itulah. perempuan yang pintar selalu akan berlagak
lemah di depon kaum lelaki, dengan demikian segala sesuatu
biar dikerjakan saja oleh kaum lelaki.
Sekali ini ternyata Kim Leng-ci tak mendelik dan muringmuring,
Maklum ia sedang kepayahan, tenaga untuk muringmuring
saja rasanya tidak ada lagi.
Tangannya sampai melepuh, sakitnya tak terkatakan.
lengannya juga kemeng dan pegal, kaku rasanya Meski dia
tetap mendayung dengan menggreget. tapi gerakannya jelas
sudah mulai lambat. Sungguh malang si nona jelita ini. biasanya di rumah
disanjung puji. makan-minum selalu diladeni. bilakah dia
pernah bekerja keras seperti sekarang ini"
Sejak tadi Oh Thi-hoa selalu melirik pada si nona.
sekarang mendadak ia melompat bangun. katanya, "Sudah
waktunya bergilir bukan?"
Pek Lak melirik Kim Leng~ci sekejap, ucapnya tertawa,
"Baiklah, memang sudah waktunya bergilir. aku sudah lelah."
Eng Ban-1i memandang Pek Lak, lalu dipandangnya Kim
Leng-ci, sorot matanya menampilkan senyuman tapi rada
sedih. Sebagai orang tua yang sudah kenyang asam garam
kehidupan manusia, matanya sudah terlalu banyak melihat,
tentu saja ia dapat meraba hati para muda-mudi ini.
Yang menggirangkan dia adalah pandangan Pek Lak
selamanya sangat tinggi, tak tersangka sekarang dia dapat
jatuh hati. Yang dikhawatirkannya ialah hasrat Pek Lak ini
akhirnya mungkin akan menemui kegagalan. Sebab ia melihat
juga, biarpun Kim Leng-ci sedang marah-marah dan mendeliki
Oh Thi-hoa, tapi sorot matanya itu sangat berbeda daripada
waktu memandang orang lain.
Ia paham, benci, dan cinta perempuan sukar dipisahkan.
oooo0000oooo Setelah bergilir, tutup peti mati yang berada di tangan Coh
Liu-hiang. Oh Thi-hoa dan Thio Sam itu lantas banyak
berbeda. Seketika rakit gabungan enam peti mati itu meluncur
dengan cepat laksana sebuah perahu gesit.
Kim Leng-ci duduk dengan kepala tertunduk,
dipandangnya tangan kiri yang putih halus itu kini berubah
menjadi merah melepuh. Pandang punya pandang air
matanya lantas berlinang.
Tapi siksaan ini adalah kehendak sendiri, siapa yang mesti
disesali" Terpaksa ia harus menelan kembali air matanya.
Oh Thi-hoa seperti tidak memperhatikan si nona, ia
bergumam, "Perempuan tetap perempuan dan tetap berbeda
daripada lelaki. Paling tidak. tangan pasti lebih halus daripada
tangan lelaki. makanya kalau seorang perempuan
menganggap dirinya sama seperti lelaki. itu berarti dia mencari
penyakit sendiri." Mendadak Pek Lak melonjak bangun, serunya sambil
melototi Oh Thi-hoa. "Bicara kan juga sangat makan tenaga.
mengapa Oh-heng tidak hemat tenaga untuk mendayung?"
Oh Thi-hioa hanya tersenvum hambar sama sekali, ia tidak
menggubrisnya. Pek Lak menjadi kikuk sendiri, makanya menjadi merah, ia
berpaling dan berkata kepada Kim Leng-ci, "Janganlah nona
marah, ocehan orang sebaiknya jangan kau gubris."
Ucapan Pek Lak ini sebenarnya bertujuan baik, siapa tahu
Kim Leng-ci mendelik, teriaknya dengan bengis, "Kugubris
ocehan orang atau tidak, peduli apa denganmu" Kenapa kau
ikut campur urusan orang lain?"
Pek Lak jadi melengak, mukanya merah seperti kepiting
rebus, malunya tidak kepalang.
Eng Ban-li berdehem beberapa kali, ucapnya dengan
tertawa, "Wah, terik sekali sinar matahari, tiada air minum lagi,
dalam keadaan demikian setiap orang tentu akan gopoh dan
sedikit-sedikit suka marah. Kukira lebih baik kita tutup saja peti
mati dan tidur, ada persoalan apa boleh kita bicarakan petang
nanti." Coh Liu-hiang menjilat bibirnya yang kering dan pecahpecah
itu, katanya, "Betul, jika kita terus begini, mungkin aku
pun tidak tahan lagi."
"Blang," Kim Leng-ci yang pertama-tama merebahkan diri
dan menutup peti matinya.
Segera Eng Ban-li menarik Pek Lak berbaring, katanya,
"Jangan terlalu rapat, beri peluang sedikit agar tembus
cahaya." Thio Sam menguap ngantuk, gumamnya, "Jika sekarang
aku diberi semangkuk air, wah, biarpun aku harus menjual diri
lagi juga tidak soal."
Oh Thi-hoa juga menjilat bibirnya, omelnya dengan
tertawa, "Jangan lupa, kau sudah pernah terjual satu kali."
"Terjual satu kali atau dua kali kan sama saja," jawab Thio
Sam dengan melotot. "Yang penting barang baik, kualitas
tinggi, dijual berapa kali juga tetap laku."
Oh Thi-hoa menghela napas, ucapnya, "Syukurlah kau
bukan perempuan..." Berbaring dalam peti mati sebenarnya tidak seenak seperti
yang dibayangkan. Meski cahaya matahari tidak langsung
menyinari. tapi rasanya seperti dipanggang, jauh lebih
tersiksa. Oh Thi-hoa benar-benar tidak tahan lagi, ia mendorong
tutup peti mati dan berduduk. Dilihatnya Thio Sam sudah lebih
dulu berduduk di sana dengan telanjang dada, sedang
mengipasi tubuhnya dengan baju yang ditanggalkan.
"Kiranya kau pun tak tahan," kata Oh Thi-hoa tertawa.
Thio Sam menghela napas, lalu katanya sambil menyengir,
"Ya, aku benar-benar tidak tahan lagi, hampir saja kukira diriku
telah berubah menjadi ikan panggang."
OH Thi-hoa tertawa, katanya, "Orang yang suka
memanggang terkadang juga perlu dipanggang, sudah terlalu
banyak kau memanggang ikan, kau memang perlu mencicipi
sendiri bagaimana rasanya kalau dipanggang." Mendadak ia
celingukan dan bertanya, "He, dimanakah si kutu busuk tua
itu?" "Mungkin sudah tidur," jawab Thio Sam.
"Selain orang mati, jika ada orang hidup yang dapat tidur
dalam peti mati, maka orang itu tiada lain pasti si kutu busuk
adanya," kata Oh Thi-hoa.
Thio Sam tertawa geli, katanya, "Betul, biarpun di dalam
kakus juga orang ini dapat tidur dengan nyenyak."
Oh Thi-hoa memandang sekelilingnya, namun tiada setitik
bayangan daratan yang terlihat.
Sinar matahari mulai suram, hari menjelang petang.
Tiba-tiba Thio Sam berkata pula, "Waktu berbaring di
dalam peti mati tadi, kurenungkan apa yang telah terjadi,
rasanya ada sesuatu yang tak kupahami."
"Urusan apa" Coba katakan, biar kuberi petunjuk
kepadamu," ujar Oh Thi-hoa.
"Bahwa Ting Hong hendak membunuh kita masih dapat
dimengerti, tapi mengapa Hay Koa-thian juga dibunuhnya?"
kata Thio Sam. "Bukankah Hay Koa-thian komplotannya?"
Oh Thi-hoa meraba hidungnya dan berkata dengan
sungguh-sungguh, "Bisa jadi tengah malam Hay Koa-thian
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah memperkosanya, maka Ting Hong dendam kepadanya."
"Kentut makmu, apa ini namanya petunjuk?" damprat Thio
Sam dengan tertawa. "Awas, jika mulutmu tidak disikat lebih bersih, sekali tempo
bisa kugunakan sebagai pispot tadah air kencingku," Oh Thihoa
juga mengomel. Mendadak seseorang menimbrung, "Dua buah mulut
busuk bergabung menjadi satu tentu saja lebih berbau
daripada jamban, mana aku bisa tidur nyenyak lagi?" Maka
Coh Liu-hiang lantas membuka tutup peti mati dan berduduk
juga. "Telinga orang ini benar-benar lebih panjang daripada
kelinci, harus hati-hati jika kau hendak mencaci-maki dia," ujar
Oh Thi-hoa dengan tertawa.
Coh Liu-hiang meraup air laut dan disiramkan ke tubuh
sendiri, tiba-tiba ia berkata pula, "Sebabnya Ting Hong
membunuh Hay Koa-thian, hanya ada satu alasan."
"Alasan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Setiap tahun sekali mereka mengundang dan mengantar
tamu, dengan sendirinya memerlukan kendaraan air yang
cukup," tutur Coh Liu-hiang. "Biarpun Hay Koa-thian sudah
dibeli dan menjadi antek mereka, tapi apa pun juga kan lebih
bebas jika mereka mengendarai kapal sendiri."
Thio Sam manggut-manggut, katanya, "Betul. Setelah Hay
Koa-thian dibunuh, beberapa puluh kapal Ci-keng-pang akan
berubah menjadi milik sendiri."
"Sedang Hiang Thian-hui adalah sahabat karib Hay Koathian,
jika ingin membunuh Hay Koat-hian, harus membunuh
Hiang Thian-hui dulu."
Oh Thi-hoa juga manggut-manggut, katanya, "Betul,
masuk diakal." "Tapi daerah operasi Ci-keng-pang berada di lautan,
sedangkan tamu udnangan mereka kebanyakan datang dari
daratan, untuk pergi ke lautan harus melalui Tiangkang."
"Betul juga," kata Thio Sam.
"Dan untuk melalui Tiangkang kan harus mengerahkan
kapal-kapal di bawah pimpinan Bu Wi-yang dan In Ciongliong,"
sambung Coh Liu-hiang. "Makanya sebelum
membunuh Hay Koa-thian, lebih dulu kedua tokoh bajak yang
malang melintang di sungai Panjang (Tiangkang) itupun harus
dibinasakan." Oh Thi-hoa merasa tidak paham, tanyanya, "Tapi Bu Wiyang
kian tidak mati, bahkan merangkap menjadi pemimpin
kedua Pang besar di sungai itu?"
"Siapa bilang Bu Wi-yang tidak mati?" tanya Coh Liu-hiang.
"Bukankah tempo hari kita saksikan Bu Wi-yang
membunuh In Ciong-liong di restoran itu?" kata Oh Thi-hoa.
"Orang itu adalah Bu Wi-yang palsu," kata Coh Liu-hiang.
"Palsu?" Oh Thi-hoa menegas dengan melengak.
"Ya, sebelumnya Ting Hong membunuh Bu Wi-yang lebih
dulu, lalu mencari seorang yang mirip gembong bajak itu untuk
menyamar," Coh Liu-hiang merandek sejenak, lalu
menyambung pula, "Mereka sengaja menggunakan panah Bu
Wi-yang untuk membunuh kedua orang di tepi sungai,
tujuannya supaya kita pun mengira Bu Wi-yang belum mati."
Oh Thi-hoa meraba hidung pula, katanya, "Tapi aku tidak
mengerti." "Tempo hari waktu di restoran itu, kita tidak tahu bahwa Bu
Wi-yang itu palsu, sebab kita memang tidak berhubungan
akrab dengannya, tapi seseorang telah mengenali
kepalsuannya." "Oo, siapa dia?" tanya Oh Thi-hoa.
"In Ciong-liong," jawab Coh Liu-hiang. "Justru lantaran dia
tahu Bu Wi-yang itu palsu, maka dia tampak terperanjat."
"Tapi... tapi kita tak dapat mengetahuinya, masa dia malah
tahu?" kata Oh Thi-hoa.
"Sebab berita yang tersiar di Kangouw memang tidak
salah, selama beberapa tahun terakhir ini In Ciong-liong dan
Bu Wi-yang, dari lawan telah berubah menjadi kawan, sebab
itulah dalam surat wasiat In Ciong-liong disebutkan,
kedudukan Pangcu diwariskan kepada Bu Wi-yang. Inipun
suatu tanda bahwa hubungan In Ciong-liong dan Bu Wi-yang
sangat baik, bahkan percaya penuh kepadanya."
Oh Thi-hoa meraba hidung pula, ucapnya sambil
menyengir, "Bukan saja aku tidak mengerti, bahkan semakin
bertambah bingung." "Mungkin In Ciong-liong sudah tahu Ting Hong dan
komplotannyaberm aksud membunuhnya, maka sebelumnya
dia telah meninggalkan surat wasiat," tutur Coh Liu-hiang.
"Kedua orang yang mati terpanah di tepi sungai itu memang
betul anak buah In Ciong-liong, tapi lantaran dia dan Bu Wiyang
sudah menjadi kawan baik, maka anak buahnya
memang betul diperbantukan ke tempat Bu Wi-yang."
"Maksudmu... Bu Wi-yang tahu kedua orang itu anak buah
In Ciong-liong?" tanya Oh Thi-hoa.
"Betul, sebab itulah saat di restoran sana Bu Wi-yang
palsu menuduh mereka sengaja diselundupkan ke tempatnya,
maka In Ciong-liong tambah yakin akan kepalsuannya."
"Coba uraikan lebih jelas lagi," pinta Oh Thi-hoa.
"Karena selama beberapa tahun terakhir ini In Cionglionmg
sering bertemu Bu Wi-yang, maka begitu berhadapan,
segera In Ciong-liong melihat adanya kelainan pada Bu Wiyang
palsu it. Maklumlah, ilmu rias sangat sukar mengelabui
kenalan dekat." "Tapi penyamaran Eng Ban-li dapat mengelabui kau?" ujar
Oh Thi-hoa. Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Soalnya dia menyamar
sebagai orang yang tidak kita kenal, pula bentuknya sangat
aneh. Apabila dia menyamar sebagai dirimu, sekali pandang
saja dapat kukenali dia."
"Jika demikian, bukankah ilmu rias tiada gunanya lagi?"
"Kegunaan ilmu rias hanya untuk menutupi wajah aslinya
sendiri agar orang lain tidak dapat mengenalinya, tapi sama
sekali tak dapat membuatnya berubah menjadi orang lain."
"Jika In Ciong-liong tahu Bu Wi-yang itu palsu, mengapa
tidak dia bongkar saja waktu itu?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Sebab waktu itu Ting Hong berada di sampingnya,
hakikatnya dia tak mendapat kesempatan untuk berbicara,
cuma...." "Cuma apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Akhirnya In Ciong-liong sempat memberi isyarat kepada
kita, sayang, waktu itu kalian sama sekali tak menaruh
perhatian." "Cara bagaimana dia memberi isyarat?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dia sengaja mencukil mata ikan sehingga mata ikan itu
jatuh ke piringku, maksudnya supaya kita tahu bahwa Bu Wiyang
itu adalah 'Hi-bok-kun-cu' (mata ikan dicampurkan dalam
mutiara), kiasan orang palsu."
Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, ucapnya dengtan
tertawa, "Meski isyarat itu sangat bagus daan cerdik, tapi
terlalu sulit untuk dipahami."
"Jika mudah dipahami, tidak terhitung isyarat lagi," ujar
Coh Liu-hiang. "Setelah mengetahui Bu Wi-yang itu palsu,
maka sebelum bertempur, In Ciong-liong merasa dirinya pasti
tak terhindar dari kematian, sebab itulah dia memberi isyarat
agar kita tahu bahwa kematiannya sedikit banyak ada
harganya." "Pantas waktu dia melangkah keluar, tampaknya dia
sangat penasaran dan masgul," kata Thio Sam.
"Ya, aku pun heran, padahal ilmu silat In Ciong-liong tidak
banyak berselisih dengan Bu Wi-yang, mana bisa sekali
gebrak Bu Wi-yang membunuhnya?" kata Oh Thi-hoa.
"Ting Hong memperalat Bu Wi-yang palsu untuk
membunuh In Ciong-liong, lalu membiarkan Bu Wi-yang palsu
memimpin Sin-liong-pang, selanjutnya Hong-bwe-pang dan
Sin-liong-0pang akan bergabung. Semua kapal milik kedua
Pang itu akan dapat dikuasai dan digunakan sesukanya,
seluruh lembah perairan Tiangkang juga akan berada di
bawah pengaruh mereka..."
"Jika demikian Ting Hong benar-benar seorang tokoh yang
maha lihai, akal 'sekali tembak dua burung' berlangsung
dengan sangat lancar dan juga keji," kata Thio Sam dengan
menyesal. Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika
tidak salah perkiraanku, mungkin Ting Hong tidak selihai itu, di
belakang layar pasti masih ada pengemudinya yang jauh lebih
lihai dan menakutkan."
"Tak peduli siapa orang ini, yang jelas kita tak dapat lagi
melihatnya," ujar Oh Thi-hoa dengan menyengir.
"Masih ada satu hal yang tidak kupahami," tiba-tiba Thio
Sam berkata pula. "Hal apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Jika In Ciong-liong saja dapat mengenali penyamaran Bu
Wi-yang palsu itu, anak buah Hong-bwe-pang sendiri yang
senantiasa berdampingan dengan sang ketua, masa tak dapat
mengenalinya malah" Bukankah rahasia penyamarannya
cepat atau lambat pasti juga akan ketahuan?"
"Kau salah," kata Coh Liu-hiang. "Pribadi Bu Wi-yang
terkenal sangat kereng dan disiplin, setiap anak buah Hongbwepang sangat patuh dan setia padanya, di samping rasa
hormat dan segan, siapa nyang berani mengawasi dia dengan
cermat?" "Betul juga," kata Thio Sam setelah berpikir. "Urusan yang
membingungkan, biloa diserahkan kepadamu, semuanya akan
berubah menjadi jelas dan beralasan."
Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Urusan
ini sebenarnya sangat ruwet dan juga misterius, sedikitnya
menyangkut tujuh atau delapan persoalan, bila sedikit kurang
cermat saja pasti suka memecahkannya."
"Sungguh aku tidak tahu cara bagaimana kau
memecahkan persoalan ini" Apakah bentuk otakmu berbeda
dengan orang lain?" kata Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sebenarnya ada juga
beberapa bagian yang tak dapat kupecahkan, tapi setelah
kurenungkan ketika berbaring di dalam peti mati tadi, sedikit
demi sedikit dapatlah kugabung lalu kupecahkan seluruhnya."
"Kiranya peti mati ini mendatangkan inspirasi bagimu," kata
Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Inipun ada betulnya," ujar Coh Liu-hiang sungguhsungguh.
"Jika orang ingin mencari sesuatu tempat tenang
untuk memikirkan sesuatu, maka di dalam peti mati adalah
tempat yang paling ideal."
"O, masa?" kata Oh Thi-hoa.
"Sebab seseorang bila sudah membujur dalam peti mati,
maka akan terasa dirinya terputus hubungan sama sekali
dengan dunia ramai, akan berubah tenang tenteram, banyak
hal yang tak pernah terpikir akan timbul pada saat demikian.
Banyak urusan yang mestinya sudah terlupakan akan
terbayang semuanya."
"Jika demikian, seharusnya Siau Oh sepanjangm hari
berbaring di dalam peti mati saja, sebab yangf dia minum
sesungguhnya terlalu banyak dan yang dipikirkannya terlalu
sedikit." Oh Thi-hoa melotot sekajap, katanya sambil mengerut
kening, "Memang ada suatu hal yang belum dapat
kupecahkan." "Apakah mengenai peta itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Betul, sebelum ajalnya In Ciong-liong diam-diam
memberikan peta ituj kepadamu, kuyakin peta itu pasti
menyangkut suatu urusan maha penting. Betul tidak?"
"Betul," jawab Coh Liu-hiang.
"Akan tetapi yang terlukis di peta itu hanya gambar kalong
melulu," ujar Oh Thi-hoa dengan menghela napas.
"Kukira pada gambar kalong itulah terletak kunci
rahasianya, pasti mengandung arti yagn sangat dalam, ucap
Coh Liu-hiang setelah berpikir.
"Dan sudah dapat kau pikirkan belum?" tanya Oh Thi-hoa.
"Belum," jawab Coh Liu-hiang cepat dan tegas.
Maka tertawalah OPh Thi-hoa, tampaknya dia hendak
berolok-olok pula. Mendadak terdengar seseorang berseru, "Kutahu arti
gambar kalong itu." Waktu semua menoleh, yang bicara kirianya adalah Kim
Leng-ci. Thio Sam tertawa, bisiknya, "Kiranya telinganya juga cukup
panjang." "Anggota badan perempuan memang ada dua yang lebih
panjang daripada lelaki, satu di antaranya adalah telinga," kata
Oh Thi-hoa. "Dan yang satu lagi," tanya Thio Sam.
"Lidah," jawab Oh Thi-hoa.
Dia berkata dengan suara tertahan, sebab waktu itu Kim
Leng-ci sudah bangun berduduk dari peti matinya. Sejak nona
itu bersikap kasar kepada Pek Lak. Aneh, sikap Oh Thi-hoa
terhadap nona itu menjadi jauh lebih halus.
"Nona Kim tahu arti yang terkandung pada gambar kalong
itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ehm." Kini Leng-ci mengangguk. Matanya kelihatan rada
bendol seperti habis menangis.
"Gambar kalong itu apakah melambangkan satu orang?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
"Bukan, tapi melambangkan tempat." jawab Kim Leng-ci.
"Tempat?" Coh Liu-hiang menegas, "Tempat apa itu?"
"Pian-hok-to (Pulau Kalong), dimana terletak gua emas
itulah namanya Pian-hok-to," tutur Kim Leng-ci.
Terbeliak mata Coh Liu-hiang. serunya. "Jika begitu, garisgaris
melengkung pada peta itu melambangkan air laut. .."
"Dan lingkaran itu melambangkan matahari, menunjukkan
arah ke Pulau Kalong itu." tukas Thio Sam.
Oh Thi-hoa juga lantas berseru, "Kalau begitu, asalkan kita
mengikuti arahnya, kita akan menemukan Pulau Kalong itu
dan asalkan dapat menemukan pulau itu. segala persoalan
pun akan dapat dipecahkan."
"Tapi mungkin setiba di pulau itu, persoalan dirimu juga
sudah dapat dibereskan seluruhnya!" jengek Kim Leng-ci.
"Apa artinya ucapanmu?" tanya Oh Thi-hoa.
Tapi si nona diam saja tanpa menggubrisnya.
"Kalau orang sudah mati. tentu segala persoalan menjadi
beres...... begitu bukan maksud nona Kim?" kata Coh Liuhiang.
Akhirnya Kim Leng-ci mengangguk juga, katanya, "Dahulu
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah berada di lautan lepas, selama lima enam hari
berlayar baru kucapai Pulau Kalong. Sekarang biarpun kita
menumpang kapal yang lebih besar. sedikitnya juga perlu
berlayar selama tiga empat hari. apalagi......" Sampai di sini
dia tidak melanjutkan lagi, akan tetapi bagaimana maksud
ucapannya itu cukup jelas.
Maklumlah, sekarang mereka hanya berakitkan peti mati,
seumpama dapat berlayar dengan lancar, tiada hujan tiada
badai, juga tak kehilangan arah, sekalipun mereka berenam
orang baja dan sanggup mendayung terus menerus....
katakanlah mereka dapat menempuh perjalanan dengan
kecepatan maksimal, paling sedikit juga diperlukan waktu
tujuh delapan hari. Padahal masih harus disoalkan makanan dan minum air,
dapatkah mereka bertahan selama tujuh delapan hari"
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan berkata. "Tujuh
delapan hari tanpa makan mungkin masih tahan, tapi tanpa
minum. siapa pun pasti tak sanggup."
"Jangankan bertahan tujuh delapan hari. sekarang pun aku
sudah kehausan setengah mati," ujar Thio Sam menyengir.
"Mungkin disebabkan mulutmu terlalu banyak bergerak,
maka juga cepat haus," jengek Oh Thi-hoa.
Thio Sam menarik muka. jawabnya. "Mati kehausan
adalah urusan kecil, mati konyol membikin penasaran Biarpun
mati kehausan, mulut tetap harus kugunakan untuk bicara."
Saat itu Eng Ban-li sedang memandangi langit, tiba-tiba ia
berkata dengan tertawa, "Mungkin kita takkan mati kehausan."
"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa.
Eng Ban-li tersenyum, senyuman kecut, katanya perlahan,
"Langit seperti makin rendah, mungkin selekasnya akan hujan
angin." Langit memang terasa sangat rendah, awan tebal seakanakan
hendak menindih di atas kepala mereka Mendadak
mereka merasa hawa udara sangat menyesakkan hingga
hampir tak dapat bernapas.
Thio Sam menengadah memandang cuaca, alisnya
berkerut rapat, katanya, "Ya, tampaknya seperti mau hujan
angin." "Hujan angin atau hujan badai," tanya Oh Thi-hoa. "Baik
hujan angin biasa atau hujan badai, kita tetap sangat sukar
bertahan." jawab Thio Sam menunduk.
Semua orang termenung, tanpa terasa sama menunduk
memandangi peti mati yang diduduki itu.
Peti mati terbuat dari kayu jati, buatannya sangat kukuh,
sebab itulah sampai sekarang tiada yang bocor.
Tapi peti mati tetap peti mati dan bukan kapal. Bilamana
terjadi angin badai, keenam peti mati itu pasti akan terdampar
berantakan oleh gelombang laut.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa tertawa, katanya. "Kita kan punya
seorang ahli pikir di sini, urusan apapun pasti dapat
dihadapinya, kenapa kita mesti khawatir?"
Dia berharap orang lain akan ikut tertawa, tapi ternyata
tiada seorang pun yang tertawa.
Dalam keadaan demikian, biarpun dia adalah seorang
badut yang paling jempolan, barangkali tiada seorang pun
yang mau menikmati lawakannya. Lawakannya itu tiada
sesuatu yang menggelikan.
Sebab setiap orang tahu Coh Liu-hiang bukan dewa.
menghadapi manusia mungkin bisa selalu menang, tapi
menghadapi Thian, menghadapi alam sama saja. ia pun tidak
berdaya sama sekali. Sang surya entah sejak kapan sudah tertelan oleh
samudera raya, cuaca menjadi gelap gulita. Hanya sepasang
mata Coh Liu-hiang saja yang masih berkelip-kelip
Oh Thi-hoa tidak tahan, ia buka suara pula, "Apakah
sekarang kau sudah mempunyai sesuatu jalan keluar?"
"Sekarang aku memang punya suatu gagasan." jawab Coh
Liu-hiang dengan tenang. Tentu saja Oh Thi-hoa kegirangan, cepat ia berseru,
"Bagus, lekas katakan, bagaimana gagasanmu, supaya
semua tahu." "Tunggu," kata Coh Liu-hiang singkat. Oh Thihoa
melengak. segera ia berteriak pula, "Tunggu! Inikah
gagasanmu?" Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, ucapnya, "Ya,
hanya inilah gagasanku."
"Betul, tiada jalan lain, terpaksa kita hanya dapat
menunggu saja," tukas Eng Ban-li. "Dalam keadaan demikian
memangnya siapa yang mampu mengemukakan gagasan
lain?" "Habis apa yang hendak ditunggu?" teriak Oh Thi-hoa,
"Tunggu kematian?"
Coh Liu-hiang dan Eng Ban-li diam saja. Biasanya kalau
diam berarti membenarkan.
Oh Thi-hoa jadi melengak sendiri, tiba-tiba "ia merebahkan
diri dan bergumam, "baiklah, jika harus tunggu kematian,
paling sedikit kita harus menunggu dengan rileks. Nah,
kenapa kalian tidak berbaring saja.... Rasanya orang
menunggu kematian tidak dapat dialami oleh setiap orang."
oooo0000oooo Menunggu kematian memang tidak enak rasanya Baik
cara menunggunya itu dengan berdiri, berduduk atau
berbaring. Tapi terpaksa mereka harus menunggu, sebab selam
menunggu memang tiada jalan lain.
Selama hidup Coh Liu-hiang, entah sudah berapa banyak
menghadapi lawan yang menakutkan, tapi siapa pun juga
yang dihadapi dan urusan apapun, tak pernah ia kehilangan
keberanian dan tidak pernah putus asa.
Semakin menakutkan musuh yang dihadapinya, semakin
besar pula keberaniannya, otaknya juga bekerja terlebih cepat
dan tajam, ia yakin segala persoalan di dunia ini pasti dapai
dipecahkannya. Hanya sekali ini. otaknya seperti kosong blong, apapun tak
dapat dipikirnya. Angin semakin kencang, ombak pun semakin tinggi. Rakit
peti mati mereka itu terlempar naik turun, selain
memegangnya erat-erat, apapun tak dapat dilakukan oleh
mereka. Malahan kalau kurang erat berpegangan, bisa jadi
akan terlempar ke laut. Tapi kalau benar-benar bisa terlempar ke laut, mungkin
akan terasa puas malah. 'Mati' sendiri tidak menyakitkan, yang
menyiksa adalah detik sebelum mati itulah.
Seseorang kalau masih dapat berontak, masih dapat
berjuang masih dapat melawan, maka takkan takut
menghadapi persoalan apa pun iuga. Tapi jika apa yang bisa
dilakukannya tiada lain kecuali menunggu saja, inilah yang
sangat menakutkan. Hanya dalam keadaan mencekam beginilah akan kentara
betapa keberanian seseorang
Meski wajah Coh Liu-hiang juga pucat, tapi masih tetap
tenang dan sabar, hampir tiada berbeda seperti biasanya.
Dan Oh Thi-hoa ternyata benar-benar telah tidur, malahan
kelihatan sangat nyenyak.
Eng Ban-li lagi menunduk. Kim Leng-ci menggigit bibir,
Thio Sam berkomat-kamit seperti lagi bergumam sendiri,
seperti juga sedang berdendang.
Hanya Pek Lak saja. dia tetap berduduk di tempatnya
dengan membusungkan dada, dengan mata terbelalak ia
pandang Kim Leng-ci butiran keringat memenuhi dahinya.
Entah sudah berapa lama, sekonyong-konyong Pek Lak
berbangkit ditatapnya Kim Leng-ci. katanya, "Nona Kim, aku
berangkat lebih dahulu, aku., aku.. " Belum habis ucapannya
ia terus melompat seperti hendak terjun ke laut.
Kim Leng-ci menjerit, tapi tangan Coh Liu-hiang secepat
kilat dapat meraih ikat pinggang Pek Lak.
Pada saat itu juga mendadak Thio Sam juga berteriak,
"He, apakah itu?"
Di permukaan laut yang gelap gulita itu. tiba-tiba muncul
setitik sinar. Kalau hujan badai sudah hampir tiba, darimana bisa ada
kerlipan bintang" Oh Thi-hoa kegirangan dan berteriak teriak. "Aha, itulah
lampu." Tempat yang ada lampunya kalau bukan daratan tentulah
di atas kapal. Kerlipan sinar lampu itu memang betul bintang,
bintang penolong. Mereka berusaha mendayung sekuatnya ke arah kerlipan
lampu. Meski angin meniup kencang dan gelombang ombak
sangat besar, tapi semua itu bukan apa-apa lagi bagi mereka.
Sinar lampu itu semakin terang dan semakin jelas.
Mereka mendayung dengan terlebih cepat, lambat laun
suara orang di kapal sana sudah dapat terdengar.
Coh Liu-hiang melirik Pek Lak sekejap, ucapnya dengan
tegas, "Seseorang asalkan tidak mati, dalam keadaan apapun
juga harus tahan uji. Kukira inilah pokok dasar kehidupan
manusia." "Betul," tukas Eng Ban-li. "Ada ucapan Coh-hiangswe yang
paling tepat, yaitu manusia tidak berhak membunuh orang
lain, tapi juga tidak berhak membunuh diri sendiri."
ooo000ooo Kapal itu sangat besar, setiap orang yang berada di kapal
itupun sangat sopan, halus tingkah lakunya, cara bicaranya
juga lemah lembut. Siluman Ular Merah 1 Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah Kelabang Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama