Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 6
Goan Sui-hun adanya. entah anda....''
Tidak sampai Goan Sui-hun habiskan ucapannya, orang
itu lantas memberi hormat dan berkata. "Akhirnya GoanKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kongcu tiba juga di sini dari tempat sekian jauhnya. hamba
sekalian terlambat menyambut mohon dimaafkan."
"Apakah di sini Pian-hok-to?" tanya Goan Sui-hun. "Betul!"
jawab orang itu. Mendengar itu. semua orang menghela napas panjang,
entah merasa lega. girang atau cemas.
Meski sudah sampai di tempat tujuan. tapi sesungguhnya
apa yang akan terjadi di sini" Berapa orang yang dapat pulang
dengan hidup" * * * * * Di kejauhan sana masih tetap gelap gulita dan misterius.
Pian-hok-to masih tetap terselubung kegelapan dan penuh
rahasia. Siapa pun tidak tahu di sana itu surga atau neraka"
Sedikitnya dalam bayangan pikiran setiap orang. surga tentu
tidak berbentuk demikian.
Orang yang berdiri di puncak karang itu mendadak
melayang ke atas, sekali kakinya menutul haluan kapal,
segera ia mengapung ke puncak tiang layar.
Baru sekarang semua orang dapat melihat jelas orang itu
memakai baju hitam mulus muka juga tertutup oleh kain hitam
Tangannya memegang seutas tali panjang. ujung tali itu lantas
diikat pada pucuk tiang layar.
Tali itu kelihatan melintang di udara menjurus ke tempat
gelap sana, entuh ujung tali yang lain terikat dimana" Dengan
tertawa si baju hitam lantas berkata, "Ombak sangat besar,
batu karang juga sangat curam, silakan kalian melalui
jembatan." "Jembatan" Jembatan apa?" tanya Goan Sui-hun dengan
kening berkerut. "Jembatan tali ini," jawab si baju hitam. "Setelah berada di
atas jembatan, asalkan tidak terperosok ke bawah, dapatlah
langsung mencapai surga di tengah pulau kami. Tocu sedang
menunggu kedatangan tuan-tuan sekalian." Dia tertawa
nyaring lalu menyambung pula, "Dan setiba di sana. tentu
tuan-tuan akan merasakan perjalanan ini tidaklah sia-sia."
"Tapi kalau terjatuh ke bawah jembatan. lantas
bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
"Bagi orang yang tidak yakin dapat melintasi jembatan ini,
lebib baik tinggal saja di sini," jawab si baju hitam dengan
hambar. "Meski jembatan ini dapat mengantar orang ke surga.
tapi bila sampai terjatuh, mungkin akan terjerumus ke neraka
dan tak dapat menitis lagi."
"Orang yang dapat melintasi jembatan ini mungkin sangat
terbatas. apakah anda menyuruh aku hanya memikirkan
kepentingan sendiri dan tidak menghiraukan keselamatan
orang lain?" ujar Goan Sui-hun.
Si baju hitam tertawa, jawabnya. "Sudah tentu masih
tersedia satu jalan lain. orang yang tidak mampu melintasi
jembatan ini dipersilakan menempuh jalan satunya lagi."
"Jalan lain macam apakah itu?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Bila hari sudah terang, tentu tuan-tuan akan tahu sendiri
bagaimana jalan itu," kata si baju hitam.
******* Hari belum lagi terang tanah.
Orang pertama yang naik ke atas jembatan dengan
sendirinya ialah Goan Sui-hun. Sebelum melangkah pergi
agaknya ia hendak bicara apa-apa kepada Coh Liu- hiang,
tapi akhirnya diurungkan niatnya. Dia seperti yakin Coh Liuhiang
dapat memahami isi hatinya.
Ko A-lam melintasi jembatan itu, Ginkang murid Hoa-sanpay
dengan sendirinya tidak lemah. Sejak tadi ia berdiri di
samping Oh Thi-hoa. sebelum berangkat, dia sempat bertanya
pada Oh Thi-hoa. jalan mana yang akan ditempuhnya.
Belum lagi Oh Thi-hoa bersuara. Coh Liu-hiang telah
mewakilkan menjawab. "Kami akan mengambil jalan yang
lain." Ko A-lam tak bicara apa-apa lagi. sebab dia paham
maksud ucapan Coh Liu-hiang itu.
Setelah Ko A-lam, giliran berikutnya adalah Hoa Cin-cin,
mendadak dia menoleh dan memandang Coh Liu-hiang.
seperti ada yang hendak dikatakan. tapi tidak berani
diucapkannya. Coh Liu-hiang tertawa. katanya tersenyum,
"Jangan kuatir, aku pasti akan pergi juga ke sana. kupikir jalan
yang lain akan jauh lebih aman dari perjalanan ini."
Muka Hoa Cin-cin menjadi merah.
Diam-diam Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. Ada
sementara persoalan tau dapat dipahaminya.
Mengapa anak perempuan yang ditemukan Coh Liu-hiang
selalu begitu mulus, murni dan lembut"
Sebaliknya anak perempuan yang dikenalnya kalau tidak
angin-anginan dan judes, tentu galak seperti macan betina.
ooo000oooo Jembatan tali itu bergoyang-goyang di tengah tiupan angin
kencang. Dengan sendirinya orang yang berjalan di atas jembatan
tali itupun bergoyang-goyang dan setiap saat dapat terjerumus
ke bawah, terjerumus ke neraka dan tak mungkin menitis lagi.
Tampaknya mereka masih terus melangkah ke depan
setindak demi setindak, dengan perlahan mereka melangkah
ke tempat gelap. Setiap orang sama menahan napas dan
berkeringat dingin. Seumpama akhirnya mereka dapat
melintasi jembatan itu. lalu akan tiba dimanakah mereka"
Yang sedang menanti kedatangan mereka di ujung
jembatan tali sama bisa jadi iblis yang diutus datang dari
neraka. Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata pada Coh Liu-hiang.
"Seharusnya kita ikut pergi bersama mereka, mengapa kau
tak mau?" "Kita kan tidak memiliki kartu undangan. juga bukan tamu
yang disukai, bila kita pergi bersama mereka, kukira cuma
akan menambah susah dan takkan menguntungkan siapasiapa."
"Tapi cepat atau lambat kita kan harus ke sana juga, dari
mana kau tahu jalan satunya lagi itu lebih aman daripada
melintasi tali ini?"
"Dengan melalui jalan satunya. sedikitnya takkan menarik
perhatian orang." "Betul," sela Thio Sam. "Kita dapat masuk ke sana dengan
menyamar sebagai kelasi, lalu bertindak menurut keadaan."
Tiba-tiba ia melihat Kim Leng-ci berdiri di samping segera
ia bertanya, "Dan kau. nona Kim, mengapa engkau tidak ikut
pergi bersama mereka?"
"Aku tidak suka," jawab Kim Leng-ci dengan ketus.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Maksud nona Kim seharusnya dapat dipahami kita."
"Sudah tentu kupaham mengapa dia tidak ikut pergi, sebab
dia ingm mendampingi aku," demikian hampir ucapan ini
terlontar dari mulut Oh Thi-hoa.
Untung Coh Liu-hiang lantas menyambung pula
ucapannya tadi, "Jika Kau Cu-tiang sudah muncul, tentu Ting
Hong juga berada di sana Padahal dia sudah sirik terhadap
nona Kim, bila sekarang nona Kim ikut ke sana, bukan
mustahil akan mengalami bahaya."
Oh Thi-hoa meraba hidungnya, tiba-tiba ia merasa orang
lain jauh lebih cerdik daripada dia dan jauh lebih realistis.
Didengarnya Coh Liu-hiang berkata. "Ada suatu hal ingin
kuminta petunjuk kepada nona Kim."
"Kalian kan serba tahu, untuk apa minta petunjukku?"
jengek Kim Leng-ci. "Kami tidak tahu sesungguhnya Pian-hok-to ini pulau yang
bagaimana keadaannya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Betul" sambung Thio Sam. "Yang paling aneh ialah di
pulau itu ternyata banyak penghuni. tapi mengapa tiada setitik
sinar lampu apapun, apakah orang-orang yang tinggal di pulau
itu dapat melihat dalam keadaan gelap?"
Tiba-tiba sorot mata Kim Leng-ci menampilkan perasaan
takut. tanpa omong apa-apa, terus berputar pergi. Asalkan
"Pian-hok-to" disebut, mulut nona itu lantas terkancing rapat
seperti terjahit sama sekali tidak mau memberi keterangan.
"Tadinya kukira orang yang mempunyai penyakit sinting
adalah Thio Sam. baru sekarang kutahu yang sakit adalah
nona itu," ujar Oh Thi-hoa dengan mendongkol.
Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Jika nona
Kim tidak mau bicara tentang Pulau Kalong ini, tentu dia
punya kesulitan sendiri."
"Kesulitan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Bisa jadi...... bisa jadi Ia pernah diperingatkan orang dan
dilarang mengeluarkan rahasia pulau ini," kata Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa sengaja mengeraskan suaranya dan berlagak
seperti orang mengancam. "Jika kau berani membocorkan
rahasia pulau ini kedua matamu akan kucungkil dan lidahmu
akan kupotong..... begitu bukan ancamannya?"
"Bisa jadi lebih seram daripada itu," ujar Coh Liu-hiang.
"Kau kira dia takut?" tanya Oh Thi-hoa. "Jika ancaman itu
datangnya darimu, tentu saja dia tidak takut. Tapi ada
sementara orang yang berani berbuat, apa yang telah
diucapkan akan dilakukannya," ujar Coh Liu-hiang.
"Seumpama ia benar-benar takut, sekarang kan tiada
orang Pian-hok-to di sini, siapa tahu dia membocorkan selukbeluk
pulau ini atau tidak?"
"Apa kau yakin di atas kapal ini pasti tiada terdapat orang
Pian-hok-to?" Oh Thi-hoa jadi bungkam dan tidak dapat menjawab,
selang agak lama barulah ia menghela napas, katanya sambil
menyengir, "Sekarang aku hanya mengharapkan sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Thio Sam.
"Kuharap bilamana kita sudah berada di pulau itu, jangan
sampai orang membual kita berubah menjadi kalong."
sekuatnya ia kucek-kucek hidung. lalu bergumam. "Sekalipun
aku berubah menjadi seekor anjing juga kutahan, kalau
berubah menjadi kalong, menjadi kelelawar, wah......"
00ooo00 Akhirnya ufuk timur mulai terang. bentuk sebuah pulau
juga mulai nampak jelas di depan sana.
Dengan kecepatan maksimal Oh Thi-hoa berganti pakaian
sebagai kelasi, lalu berdiri di haluan kapal dan menunggu.
Sesungguhnya bagaimana bentuk Pulau Kalong ini"
Apakah terdapat beratus-ratus atau beribu-ribu ekor kalong
yang terbang melayang di udara pulau itu"
Karena ingin tahu itulah, maka dia menunggu dan
menunggu lagj. Dan akhirnya dapatlah ia melihat apa yang diharapkannya.
Cuma dia menjadi kecewa dan tercengang,
Di atas pulau tiada terdapat seekor kalong pun, bukan saja
kalong. bahkan tiada sesuatu apapun.
Pulau Kalong ini tidak lebih hanya sebuah bukit karang
tandus, tiada bunga, pohon, rumput, binatang dan tiada
kehidupan. Orang-orang yang kelihatan semalam juga entah
menghilang kemana. Oh Thi-hoa berkaok-kaok penasaran, "Busyet! Jadi inilah
Pulau Kalong. Inikah gua emasnya" Hah. tampaknya kita
telah dibohongi bulat-bulat."
Coh Liu-hiang juga sangat prihatin. ia tidak memberi
komentar apa-apa. "Hah, malah diberitahukan di sini ada pemandangan indah.
ada arak yang tak habis terminum. scmua itu ternyata cuma
kentut maknya busuk. persetan semua hakikatnya tiada
bayangan ^setan pun di sini," demikian Oh Thi-hoa uringuringan
sendiri. "Lain-lain memang tidak ada. tapi setan kan jelas ada?"
ujar Thio Sam. "Mana ada setan" Kau melihatnya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Beberapa orang yang datang semalam, apa kalau bukan
setan" Orang-orang yang ikut pergi bersama mereka itu
mungkin juga sudah dibawa masuk ke neraka."
Sudah tentu Thio Sam cuma berseloroh saja, tapi omong
sampai di sini tanpa terasa ia sendiri jadi merinding. katanya
pula sambil menyengir terhadap Coh Liu-hiang. "Menurut
pendapatmu, orang-orang itu bersembunyi kemana?"
Coh Liu-hiang tidak bersuara. Sebelum sesuatu persoalan
dibikin terang. selamanya ia tidak banyak komentar. Dan jelas
peristiwa inipun rada membingungkannya.
Oh Thi-hoa membuka suara pula, "Bisa jadi, sebelumnya
mereka menyiapkan kapal lain dan menunggu di sini, begitu
orang-orang itu dibawa ke sana, segera kapal
diberangkatkan." "Ehm.... masuk diakal." ujar Thio Sam sambil berkeplok.
"Mungkin pula tempat ini bukan Pian-hok-to, tujuan mereka
hanya ingin meninggalkan kita di sini," sambung Oh Thi-hoa.
"Bagus. masuk diakal juga." tukas Thio Sam pula.
"Dan peduli tempat ini Pian-hok-to atau bukan, yang jelas
kita akan mati konyol di pulau karang ini," kata Oh Thi-hoa
dengan menghela napas. "Betul," kata Thio Sam. "Untung kapal ini terjepit di tengah
batu karang. maka tidak sampai tenggelam Tapi siapa pun
tidak mampu memindahkan kapal yang kandas ini, terpaksa
kita harus tinggal selama hidup di atas kapal."
"Bila di pulau ini ada pepohonan, betapapun kita masih
dapat membuat kapal atau membikin sebuah rakit, tapi sayang
pulau sialan ini sama sekali tiada tetumbuhan apapun,
jangankan pohon." "Kau tunggu sebentar," kata Thio Sam tiba-tiba.
Tiada yang tahu apa yang akan dilakukarnnya. Yang jelas
dia terus berlari ke kabin kapal, ketika berlari balik lagi
kelihatan dia membawa sebuah kaleng.
"Apakah kau mencarikan arak bagiku?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dalam keadaan begini, arak pun tidak ingin kuminum lagi."
"Ini bukan arak tapi garam." jawab Thio Sam sambil
membuka tutup kaleng itu.
"Garam?" Oh Thi-hoa menegas. "Untuk apa kau membawa
garam sebanyak ini?"
"Kata orang. garam dapat digunakan menolak keangkeran,
juga dapat menghilangkan sial," tutur Thio Sam "Nah. silakan
kau cicipi sedikit."
Dengan ragu-ragu Oh Thi-hoa memandangnya, akhirnya
dicicipj juga setitik.
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hayo, tambah lagi sedikit," desak Thio Sam.
"Harus makan berapa banyak supaya bisa menghapus
kesialan?" gumam Oh Thi-hoa.
"Sebaiknya satu kaleng penuh kau makan semua," kata
Thio Sam. "Keparat, apa kau gila"!" serentak Oh Thi-hoa berteriak.
"Apakah kau sengaja hendak membunuhku?"
"Mungkin dia hendak membikin dirimu menjadi dendeng
agar kelak dapat digunakan sebagai ransum bilamana sudah
kehabisan bahan makanan." sela Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Hm. biarpun dia makan satu karung garam, dagingnya
tetap kecut. aku lebih suka mati kelaparan daripada makan
dagingnya." ujar Thio Sam dengan tertawa.
"Sesungguhnya apa artinya ini?" tanya Oh Thi-hoa gusar.
"Tiada arti apa-apa." kata Thio Sam tak acuh. "Aku cuma
pernah mendengar cerita orang. katanya..., katanya bila tikus
sudah banyak makan garam. maka akan berubah menjadi
kalong. Aku jadi ingin mencoba bila manusia kebanyakan
makan garam, apa juga akan berubah jadi kalong seperti
halnya tikus?" Belum habis ucapannya. Oh Thi-hoa menggamparnya.
Thio Sam sudah menduga akan tindakan Oh Thi-hoa,
cepat ia melompat mundur. katanya sambil tertawa,
"Sebenarnya akan kugunakan diriku sendiri sebagai kelinci
percobaan. tapi aku pun kelinci percobaan, tapi aku pun tidak
ingin mati konyol di sini, sekalipun benar-benar berubah jadi
kalong juga tiada artinya bagiku." Sejenak Oh Thi-hoa
menatap Thio Sam tajam-tajam. akhirnya ia bertanya. "Apakah
maksudmu hendak bilang tempat ini adalah Pulau Kalong?"
"Jika pulau ini bukan Pulau Kalong, maka aku pun bukan
Thio Sam. tapi Thio sialan," kata Thio Sam.
"Kalau betul tempat ini Pulau Kalong, lalu kemanakah
perginya orang-orang itu?"
"Di dalam gua." jawab Thio Sam.
"Aha, betul juga." seru Oh Thi-hoa dengan terbeliak. "Di
antara batu karang ini pasti ada gua rahasianya, penghuni
Pulau Kalong ini pasti bertempat tinggal di dalam gua,
makanya tidak kelihatan sinar lampu apa pun."
Mendadak ia gaplok keras-keras pundak Thio Sam. lalu
berkata pula dengan tertawa, "Hahaha, kau keparat ini
memang lebih pintar daripada bapakmu ini. mau tak mau aku
mengaku kalah dan kagum padamu."
"Sudahlah. lebih baik kau tidak kagum saja padaku," ujar
Thio Sam sambil meringis kesakitan dan setengah berjongkok
karena gaplokan keras Oh Thi-hoa itu. "Jika kau tambah
kagum lagi. bukan mustahil tulangku akan rontok seluruhnya."
"Eh. dimanakah Eng-siansing," tiba-tiba Coh Liu-hiang
menyela. "Eng-siansing" Eng Ban-li maksudmu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ya rasanya sudah cukup lama tidak kulihat orang ini."
"Bisa jadi ia berada di bawah dan sedang bertukar
pakaian," ujar Thio Sam.
Seperti tidak ada di sana, waktu kunaik kembali ke sini,
kulihat pintu kamarnya terbuka," tutur Oh Thi-hoa. Dengan
tertawa lalu ia menyambung pula, "Orang tua kebanyakan
tidak tahan lapar, mungkin dia ke dapur mencari makanan."
"Di dapur juga tidak ada," kata Thio Sam "Waktu kuambil
garam tadi, di dapur tiada seorang pun."
Para kelasi kapal berkumpul di buritan, ada yang sedang
berunding ada juga yang termenung bingung Dalam keadaan
demikian, tiada seorang pun yang berpikir soal makanan lagi.
"Terakhir kalinya kalian melihat dia dimana?" tanya Coh
Liu-hiang dengan mengernyitkan dahi.
"Jika tidak salah, semalam waktu makan." jawab Oh Thihoa.
"Tidak setelah kapal kandas. kulihat dia juga berada di
geladak," ujar Thio Sam.
"Lalu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Selanjutnya tak kuperhatikan lagi." jawab Thio Sam.
Waktu itu suasana sedang kacau-balau, tentu saja tiada
yang sempat memperhatikan orang lain.
Coh Liu-hiang tampak tambah prihatin, mendadak ia
berkata pula, "Asalkan dia masih berada di kapal ini, tentu
takkan hilang. Mari kita mencarinya."
Tapi baru saja mereka bertiga berlari sampai di pintu
kabin. terlihat Kim Leng-ci berdiri di sana dan mengalangi
jalan. "Nona Kim sudilah kau memberi jalan, kami harus mencari
orang." pinta Thio Sam sambil tertawa.
"Mencari siapa?" tanya si nona. Tanpa menunggu
jawaban. dengan hambar ia menambahkan. "Jika Eng Ban-li
yang akan kalian cari, kukira tidak perlu dicari lagi."
"Tidak perlu" Mengapa tidak perlu?" tanya Oh Thi-hoa
tercengang. Tapi Kim Leng-ci sama sekali tidak menggubrisnya.
Dengan mengiring tawa Thio Sam lantas berkata, "Janganjangan
nona Kim mengetahui dia berada dimana?"
"Dimana dia berada aku malah tidak tahu. namun jelas
kutahu dia tidak lagi berada di atas kapal ini."
"Jadi ia sudah angkat kaki"!" teriak Oh Thi-hoa pula.
"Kapan dia pergi. mengapa aku tidak tahu?"
Tetap Kim Leng-ci tidak menggubrisnya. Dalam
pandangannya sekarang, di dunia ini seolah-olah tiada
terdapat lagi orang macam Oh Thi-hoa ini.
Kim Leng-ci menjengek, katanya, "Hm, aku kan tidak
punya kelebihan mata, mengapa aku melihatnya, sebaliknya
kalian tidak?" Setelah melampiaskan rasa gemasnya, kemudian dia
menyambung. "Waktu Goan Sui-hun dijemput orang Pian-hokto,
pada saat itulah diam-diam ia memberosot turun melalui
samping kapal. Waktu ini aku pun berdiri di atas geladak,
sebelum pergi malah titip pesan padaku agar disampaikan
kepada kalian, katanya dia telah menemukan sesuatu dan
harus cepat-cepat menguntitnya. Sesudah de Pian-hok-to
nanti, dia akan berusaha menemui kalian."
Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. ucapnya sambil
menyengir, "Bagus, sungguh pemberani. tampaknya nyali
orang tua ini jauh lebih besar daripada kita."
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Engsiansing
adalah detektif terkenal nomor satu di dunia ini,
ketajaman indera pendengarannya bahkan tiada
bandingannya. Ada sementara urusan yang bisa dikerjakan
olehnya tapi tidak mungkin dapat dikerjakan oleh kita."
"Betul. Seperti suasana semalam, betapapun tajam
penglihatanmu juga tidak ada gunanya. sebab lampu memang
sama sekali tidak dapat dinyalakan, maka segala urusan
harus didengarkan dengan telinga.
"Apalagi dia terkenal sebagai detektif paling terkenal.
caranya mengusut dengan sendirinya lain daripada yang lain,"
ujar Oh Thi-hoa. "Cuma sayang, apapun yang didengarnya
sekarang tak dapat diberitahukan kepada kita."
"Sekarang kita akan pergi ke pulau sana atau menunggu
dijemput orang?" tanya Thio Sam.
"Kita sudah menunggu satu malam, menunggu lebih lama
lagi juga tidak soal. supaya tidak diperhatikan orang. Eh, betul
tidak, kutu busuk tua?" kata Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang seperti tidak mendengar pertanyaannya,
sebaliknya ia malah bertanya, "Mana saudara Pek kita?"
"Eh, ya. rasanya sudah lama tidak kulihat dia...." seru Oh
Thi-hoa dengan melenggong. "Jangan-jangan dia ikut
berangkat bersama Eng Ban-li."
"Waktu kapal kandas, ia seperti tidak berada di geladak,"
kata Thio Sam. "Betul, Eng Ban-li memang berangkat sendirian." tukas
Kim Leng-ci. "Habis kemana dia" Masa sembunyi?" ujar Oh Thi-hoa
sambil mengernyitkan dahi.
"Mari kita cari dia, tak peduli kemana dia. kita harus
menemukan dia." ajak Thio Sam.
Beramai-ramai mereka lantas turun ke kabin. kamar
pertama di sebelah kiri adalah tempat tinggal Goan Sui-hun.
Di situ sudah kosong, tiada seorang pun.
Dengan sendirinya kamar ini cukup indah dan resik. tapi
warnanya boleh dikatakan kacau-balau dan membikin pusing
kepala orang yang memandangnya.
Kamar orang buta memang tidak memerlukan perpaduan
warna yang serasi, orang buta tak dapat melihat, cukup diraba
dengan tangan saja, asalkan terasa halus lunak sudah
merupakan kenikmatan baginya.
Kamar kedua adalah tempat tinggal Coh Liu-hiang bertiga.
Dengan sendirinya sekarang juga kosong. Di kamar Kim Lengci
dan Eng Ban-li tentu saja juga tidak terdapat siapa-siapa.
Waktu mereka mendatangi kamar pojok kanan. kamar
terakhir. pintu ternyata masih dipalang dari dalam.
"Tentunya Kau Cu-tiang tinggal di sini, mungkinkah dia
yang membunuh Pek Lak. lalu mayatnya disembunyikan di
kolong ranjang?" kata Thio Sam, seakan-akan hal itu telah
terjadi dan dilihatnya sendiri.
Air muka Oh Thi-hoa rada berubah. cepat ia mendobrak
pintu sekuatnya. Pintu terbuka, tapi di dalam kosong
melompong, apapun tidak ada sampai tempat tidur juga tidak
ada. Dengan mendongkol Oh Thi-hoa melototi Thio Sam.
terpaksa Thio Sam pura-pura tidak tahu.
Kamar tidur Ko A-lam dan Hoa Cin-cin terasa masih
berbau harum, cuma penghuninya juga sudah pergi. Kamar
sebelahnya adalah tempat kecelakaan Koh-bwe Taysu.
Setiba di depan pintu, Thio Sam lantas mengkirik. katanya.
"Kukira kamar ini tidak perlu diperiksa." "Kenapa tidak?" tanya
Oh Thi-hoa. "Sejak beliau mengalami kecelakaan. kamar ini
sudah dicuci bersih. siapa yang berani masuk ke sini?"
"Mengapa tidak berani?" tanya pula Oh Thi-hoa. "Koh-bwe
Taysu mati penasanan. arwah beliau tentu masih menunggu
di dalam dan ingin menuntut balas," kata Thio Sam pula
dengan tertawa. Sampai di sini kembali ia merinding lagi.
Orang yang suka menakut-nakuti orang, sering-sering
akan ketakutan sendiri malah Apalagi kalau terbayang betapa
lihainya ketika Koh-bwe Taysu masih hidup, setelah mati tentu
juga akan menjadi setan yang bengis.
Air muka Kim Leng-ci tampak rada pucat, dengan
menggigit bibir ia berkata, "Kamar ini janganlah diperiksa."
Sebenarnya Oh Thi-hoa juga rada merinding, bisa jadi dia
akan lewatkan kamar ini bila si nona tidak menambahkan
ucapannya itu. Tapi lantaran Kim Leng-ci menganjurkan
jangan memeriksa kamar itu, Oh Thi-hoa jadi sengaja mau
memeriksanya. Pintu kamar itu tertampak digembok dari luar.
Thio Sam bergumam pula, "Kalau kamar tergembok dari
luar, orang lain mana bisa masuk ke situ?"
Belum habis ucapannya, sekali puntir, Oh Thi-hoa telah
patahkan gemboknya dan menolak daun pintu.
Sekonyong-konyong terdengar suara ciat ciut yang
menyeramkan. Apakah ini suara setan"
Baru saja Oh Thi-hoa hendak mundur keluar, tahu-tahu
sepotong benda hitam menyambar ke mukanya.
Secara otomatis Oh Thi-hoa menyampuk dengan
tangannya, kontan benda hitam itu jatuh ke lantai sambil
mengeluarkan suara mencicit.
Kelelawar, kalong! Yang terpukul jatuh ke lantai itu kiranya
cuma seekor kelelawar saja.
Tapi saat ini, bagi pandangannya di dunia ini mungkin
tiada makhluk lain yang lebih menakutkan daripada kelelawar,
seketika ia merasa seluruh ruas tulang tubuhnya seakan-akan
linu. Darimana datangnya kelelawar ini, datang dari neraka"
Bisa jadi kamar ini pun sudah berubah menjadi neraka Kalau
tidak, mengapa kamar ini masih berbau anyir darah, padahal
sudah tercuci bersih"
Mendadak Thio Sam menjerit "He, darah... lihatlah di tubuh
kelelawar ini ada darahnya!"
Kelelawar yang hitam itu tampak berlumuran darah merah.
"Kupukul mati dia, tentu saja berdarah," Oh Thi-hoa
berusaha menjelaskan. tapi tidak urung suaranya menjadi
rada keder. Thio Sam menggeleng, katanya. "Kelelawar sekecil ini.
mana bisa mengeluarkan darah sebanyak ini" Konon.... konon
kelelawar suka mengisap darah manusia!" Sambil bicara ia
jadi menggigil sendiri. Muka Kim Leng-ci berubah pucat dan menyurut mundur.
Mendadak Coh Liu-hiang mengalangi si nona dan berkata
dengan suara tertahan. 'Tampaknya di kapal ini masih penuh
bahaya, kita sama sekali tidak boleh terpencar."
"Tapi... tapi kelelawar... darimana.... darimana datangnya
darah?" kata Kim Leng-ci dengan parau dan terputus-putus.
"Coba kuperiksa ke dalam kamar," kata Coh Liu-hiang.
Dipelopori Coh Liu-hiang, barulah semua orang berani
masuk. Di dalam kamar sangat gelap. bau darah bertambah
menusuk hidung. Pek Lak tampak menggeletak di tempat matinya Koh-bwe
Taysu kemarin itu. bahkan gaya membujurnya juga serupa.
Cuma pada dadanya bertambah sebuah cap tangan dan
darah tampaknya masih mengalir.
Kim Leng-ci merasa mual, cepat dia memmutar tubuh dan
tumpah-tumpah di pojok kamar.
Satu-satunva orang yang masih sanggup bersuara
mungkin cuma Coh Liu-hiang. Ia tercengang agak lama,
kemudian baru berkata, "Ti-sim-jiu ... Dia juga mati oleh
serangan Ti-sim-jiu."
"Siapa. siapa yang membunuhnya" Dan apa sebabnya?"
gumam Thio Sam. Mendadak Oh Thi-hoa membalik tubuh dan menghadap
Kim Leng-ci, mukanya tampak pucat dan kelihatan
menakutkan, sekata demi sekata ia tegur nona itu, "Coba
julurkan tanganmu!" Kalau tadi Kim Leng-ci tidak menggubrisnya. sekarang dia
menjawab dengan suara rada gemetar, "Untuk.. untuk apa?"
"Aku ingin melihat tanganmu." kata Oh Thi-hoa.
Tapi Kim Leng-ci malah menyembunyikan tangannya ke
belakang. jawabnva sambit menggigit bibir, "Tanganku tidak
menarik, silakan kau lihat tangan orang lain saja."
"Orang lain sudah pergi semua, mana bisa menjadi
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembunuh di sini!" jengek Oh Thi-hoa.
Seketika Kim Leng-ci menjerit. "Apa maksudmu" Kau kira
akulah yang membunuh dia?"
"Siapa lagi kalau bukan kau?" jawab Oh Thi-hoa bengis.
Suara teriakan Kim Leng-ci tambah keras, tidak kalah
kerasnya daripada suara Oh Thi-hoa. "Berdasarkan apa kau
tuduh aku sebagai pembunuhnya?"
"Lebih dulu kau mengadang kami di sana, kemudian
menyuruh kami jangan masuk kamar ini, jelas lantaran kau
kuatir kami menemukan mayatnya. betul tidak?" tanpa
menunggu jawaban si nona, segera Oh Thi-hoa menyambung
pula, "Apalagi sekarang Koh-bwe Taysu sudah meninggal, Ko
A-lam dan Hoa Cin-cin juga sudah pergi, orang yang mahir Tisimjiu di kapal ini hanya tinggal kau saja."
Sekujur badan Kim Leng-ci tampak gemetar saking
menahan emosinya, serunya terputus-putus. "Kau.... kau
bilang aku mahir Ti-sim-jiu?"
"Jika kau dapat memainkan Jing-hong-cap-sah-sik
kebanggaan Hoa-san-pay tentu kau pun dapat belajar Ti-simjiu."
Saking gemasnya, sampai bibir Kim Leng-ci berubah putih,
jengeknya, "Hm. anjing bisa kentut, kau pun pintar kentut,
apakah itu berarti kau pun anjing?"
Oh Thi-hoa melengak, agak lama melototi si nona, tiba-tiba
ia menghela napas katanya, "Boleh terserah padamu, mau
maki atau mau pukul diriku, betapapun kita adalah sahabat.
Cuma, sahabat tinggal sahabat, keadilan tinggal keadilan.
apapun juga aku harus menuntut keadilan bagi yang sudah
mati." Kim Leng-ci juga mendelik padanya. air mata tampak
berlinang-linang dan merembes keluar, meleleh di pipinya
yang putih lalu menetes di leher bajunya yang berwarna ungu
muda. Pedih juga Oh Thi-hoa, tapi terpaksa ia keraskan hati dan
pura-pura tidak tahu. Kim Leng-ci membiarkan air matanya bercucuran tanpa
mengusapnya, dia masih melototi Oh Thi-hoa, katanya
dengan tegas, "Jika kau yakin aku adalah pembunuhnya, apa
pula yang dapat kukatakan. terserah padamu...." Belum habis
ucapannya, pecahlah tangisnya, ia mendekap muka dan
tergerung-gerung. Oh Thi-hoa mengepal tinjunya erat-crat, termangu-mangu
sejenak. lalu membalik tubuh perlahan.
Coh Liu-hiang masih berjongkok di samping mayat Pek
Lak, entah apa yang dilihatnya.
Oh Thi hoa menggreget dongkol. serunya. "He. menurut
kau. cara bagaimana harus kulakukan padanya."
Tanpa menoleh Coh Liu-hiang menjawab. "Kukira lekas
kau minta maaf padanya. lebih cepat lebih baik."
"Apa" Minta maaf" Kau suruh aku minta maaf?" Oh Thihoa
menegas dengan heran. "Ya bahkan tidak cukup minta maaf saja, kau masih harus
katakan padanya bahwa kau ini memang brengsek, si tolol
yang sok pintar, habis itu gamparlah pipimu sendiri beberapa
kali." Oh Thi-hoa jadi melenggong, katanya sambil meraba
hidung. "Kau benar-benar menghendaki aku berbuat
demikian?" Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Sekalipun hal ini
sudah kau lakukan. belum tentu nona Kim memaafkanmu."
"Masa kau anggap dia bukan pembunuhnya?" tanya Oh
Thi-hoa ragu-ragu. "Sudah tentu bukan," jawab Coh Liu-hiang. "Berdasarkan
apa kau berkata demikian?" "Pertama, mayat Pek Lak sudah
dingin dan kaku, darahnya juga sudah lama membeku. kuku
jarinya saja sudah biru hitam."
"Hal inipun sudah kulihat, setiap orang mati mempunyai
tanda-tanda begitu."
"Tapi seorang mati sedikitnya harus tiga jam kemudian
baru akan berubah begitu."
"Tiga jam.... maksudmu dia mati sebelum tengah malam?"
"Betul. saat itu kapal membentur karang dan kandas, nona
Kim juga berada di atas geladak. bahkan berdiam di sana
hingga lama, mana mungkin turun kemari membunuh orang?"
Oh Thi-hoa jadi melongo tak bisa omong lagi.
"Selain itu, dengan ilmu silat Pek Lak. sekalipun Koh-bwe
Taysu hidup kembali juga tak bisa membunuhnya dengan
sekali pukul. kecuali dia cuma berdiri melenggong dan lupa
melawan." "Bisa jadi dia tidak tidak mengira orang itu akan
membunuhnya, maka dia sama sekali tidak berjaga-jaga." kata
Oh Thi-hoa ragu-ragu. "Tapi sampai sekarang wajah Pek Lak masih kelihatan
menampilkan rasa terkejut dan seram, jelas sebelum mati dia
melihat seseorang atau melihat sesuatu kejadian yang amat
menakutkan," setelah tertawa lalu Coh Liu-hiang melanjutkan.
"Dan setiap orang, tentu takkan merasakan nona Kim adalah
orang yang menakutkan, betul tidak?"
Oh Thi-hoa melenggong pula, mendadak ia membalik
tubuh dan menjura kepada Kim Leng-ci, ucapnya, "Ya, aku....
aku bersalah. akulah yang kentut, harap engkau jangan marah
lagi dan sudi memaafkan diriku." Kim Leng-ci melengos ke
sana dan menangis lebih sedih.
"Ya, aku memang berengsek, orang tolol yang sok
pintar,"gumam Oh Thi-hoa menyengir. "Aku memang pantas
mampus, kepalaku dipenggal seratus dua puluh kali juga
pantas." Mendadak Kim Leng-ci berpaling dan bertanva. "Kau
bicara setulus hati?"
"Sudah tentu setulus hati," jawab Oh Thi-hoa. "Aku tidak
ingin memenggal kepalamu, aku cuma ingin memotong
lidahmu saja agar selanjutnya kau tidak dapat sembarangan
omong," ucap Kim Leng-ci. "Sret, ia melolos belatinya dan
berkata pula dengan melotot. "Nah. berani tidak kau
memberikan lidahmu?"
"Bisa menyelamatkan kepala sudah puas bagiku. cuma
sebuah lidah saja apa artinya, masa kutolak?" ujar Oh Thi-hoa
sambil menyengir. "Baik, julurkan lidahmu!" seru Kim Leng-ci.
Oh Thi-hoa benar-benar memejamkan mata dan
menjulurkan lidahnya. "Julurkan panjangan sedikit," kata si nona. Ingin bicara.
tapi lidah terjulur. tentu saja tidak mampu bersuara, terpaksa
Oh Thi-hoa hanya menyengir saja.
Dengan tertawa Thio Sam menambahkan, "Nona Kim, jika
mau potong lidahnya harus dipotong sebatas bongkot, agar
nanti jika kita kehabisan makanan, lidah ini dapat dibuat
bistik." "Kurasa lidahnya tidak cukup panjang. lebih baik kalau
ditambah lagi kedua daun telinganya," ujar Thio Sam.
"Boleh ditambah pula batang hidungnya, toh cepat atau
lambat hidungnya pasti akan terlepas dikucek-kucek sendiri
olehnya," sela Coh Liu-hiang tiba-tiba.
Serentak Oh Thi-hoa berteriak. "He. kalian anggap diriku
ini apa" Babi panggang?"
Mendadak Kim Leng-ci tertawa meski air mata masih
meleleh di wajahnya. Perempuan yang menangis sambil tertawa memang jauh
lebih mempesona, mirip setangkai bunga yang mekar dihiasi
butiran embun. Seketika Oh Thi-hoa terkesima memandang si nona. Tibatiba
ia merasa perempuan yang paling disukainya tetap Kim
Leng-ci. Nona ini tidak sok berlagak, tidak aleman dan juga tidak
genit-genitan. Tidak sirikan juga tidak suka dendam. Suka
terus terang, polos dan jujur.
Dalam keadaan betapa buruk, dia masih dapat bergurau
untuk melonggarkan perasaan sendiri yang tertekan,
berbareng juga untuk menghibur orang lain.
Perangainya yang suka marah-marah cepat datangnya,
tapi lenyapnya juga cepat. Sifat ini mirip benar dengan dirinya.
Singkat kata, Oh Thi-hoa merasa kebaikan si nona terlalu
banyak untuk dihitung satu per satu. Jika anak perempuan
sebaik ini dikesampingkan begitu saja, kemana lagi akan
mencarinya" Maka diam-diam Oh Thi-hoa bertekad, selanjutnya akan
baik-baik kepada si nona, tidak akan membuatnya marah lagi.
Dengan termangu-mangu Oh Thi-hoa memandangi Kim
Leng-ci dan melupakan orang lain yang berada di sekitarnya.
Thio Sam menghela napas, katanya sambil menggeleng,
"Nona Kim tidak jadi memotong lidahnya. tapi tampaknya
sukmanya suda kepotong."
"Bukan saja sukmaku, hatiku pun ikut terpotong," gumam
Oh Thi-hoa. Dengan pelahan, Kim Leng-ci mengetuk kepala Oh Thihoa
dengan punggung belatinya sambil mengomel dengan
tertawa. "Maa kau masih punya hati" Kukira hatimu sudah
lama dimakan anjing!?"
Tawa anak gadis sesudah menangis memang mirip
cahaya matahari sesudah hujan gerimis. Hal ini membuat
'plong' juga perasaan semua orang yang semula sangat
tertekan. Tapi ketika Kim Leng-ci melihat mayat Pek Lak. seketika
lenyap pula tertawanya, katanya, "Mengerikan sekali
kematiannya, siapa.... siapakah yang turun tangan sekeji ini?"
"Semalam ketika kapal menubruk karang dan kandas,
rasanya setiap orang berada di geladak," ujar Thio Sam.
"Waktu itu kuketahui Pek-siansing tidak... tidak ikut hadir di
sana, tadinya kukira dia tidak".. tidak berani bertemu
denganku, maka..,. maka sengaja tinggal di kamarnya.
Kalau.." kalau dia tak menghindari diriku, mungkin.....mungkin
dia tak kan terbunuh," kata Kim Leng-ci dengan mata merah
dan pedih. "Ini bukan salahmu," seru Oh Thi-hoa. "Yang membunuh
dia kalau bukan Kau Cu-tiang pasti Ting Hong. Sebab hanya
Kau Cu-tiang saja yang punya alasan untuk membunuhnya.
Ketika dia mengetahui mereka juga berada di kapal ini, tentu
saja dia terkejut dan takut, maka berusaha membunuhnya."
"Memang beralasan," sela Thio Sam. "Cuma sayang.
waktu itu Kau Cu-tiang sudah pergi sebelumnya."
Oh Thi-hoa terkesiap, katanya pula dengan nada
gelagapan. "Bisa jadi.... bisajadi mereka kabur setelah
membunuh, kita kan tidak dapat memastikan kapan matinya
Pek Lak, betul tidak?"
"Tapi Kau Cu-tiang dan Ting Hong jelas tak dapat
menggunakan Ti-sim-jiu," ujarCoh Liu-hiang.
"Darimana kau tahu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sebab Ti-sim-jiu yang diyakinkan Koh-bwe Taysu ini justru
khusus digunakan untuk menghadapi orang di Pian-hok-to ini,"
tutur Coh Liu-hiang. "Inipun membuktikan bahwa Ti-sim-jiu
yang lihai itu tidak sampai bocor keluar."
"Betul," kata Oh Thi-hoa. Setelah berpikir. "Menurut
keterangan nona Hoa, katanya Koh-bwe Taysu juga baru saja
berhasil meyakinkan Ti-sim-jiu."
"Jika demikian. orang yang mahir Ti-sim-jiu kan ada tiga
orang?" kata Thio Sam.
"Memang betul ada tiga orang." sahut Oh Thi-hoa.
"Tidak, tinggal dua saja, sebab Koh-bwe Taysu sudah
mati," tukas Coh Liu-hiang.
"Aku berani menjamin pembunuhnya pasti bukan Ko A-lam
sebab semalam dia berada bersamaku. tak mungkin bisa
pergi membunuh orang," kata Oh Thi-hoa pula.
Kim Leng-ci seperti ingin ngomong apa-apa. tapi urung
setelah memandangi Coh Liu-hiang sekejap.
Thio Sam lantas berteriak, "Aha. betul. semalam nona Hoa
orang terakhir yang naik ke geladak, waktu dia datang,
kebetulan kulihat dia, waktu itupun kulihat sikapnya rada-rada
tak beres." Oh Thi-hoa melotot. tanyanya.
"Maksudmu Hoa Cin-cin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?" jawab Thio Sam.
"Tak mungkin," ujar Oh Thi-hoa sambil menggeleng. "Jika
kalian menuduh dia sebagai pembunuhnya. aku tidak
percaya." Kim Leng-ci meliriknya sambil mendengus, "Hm. kau cuma
percaya aku saja yang dapat membunuh orang?"
"Terkadang aku pun bisa pingsan bila melihat darah," kata
Thio Sam. "Untuk mati mungkin sangat sulit, kalau ingin
pingsan memang sangat mudah."
"Apapun juga, aku tidak percaya nona cilik selembut itu
dapat membunuh orang," kata Oh Thi-hoa. "Jika benar dia
menjadi pembunuh. kukira ada orang akan sedih setengah
mati," Ia melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu bertanya. "Betul
tidak, kutu busuk tua?"
Tapi Coh Liu-hiang tidak memberi komentar apapun. Tibatiba
Kun Leng-ci menghela napas dan berkata. "Terus terang
melihat kelembutan nona Hoa itu, aku pun tidak percaya dia
sanggup membunuh Pek Lak."
"Benar, jangan lupa ilmu silat Pek Lak tergolong Jago
kelas satu, bahkan Ko A-lam mungkin juga bukan
tandingannya. Sedangkan Hoa Cin-cin masih muda belia, ilmu
silatnya tak nanti lebih tinggi daripada Ko A-lam, mana bisa
dia membunuh jagoan sehebat Pek Lak?"
Thio Sam melenggong juga, ucapnya kemudian,
"Sebenarnya aku pun tidak bilang nona Hoa itu pembunuhnya,
aku cuma merasa ada kemungkinan begitu."
"Tapi aku merasa sama sekali tiada kemungkinan begitu,"
ujar Oh Thi-hoa. "Jika bukan dia, lalu siapa" Masa arwah Koh-bwe Taysu
gentayangan mencari korban?" gumam Thio Sam.
Kim Leng-ci jadi pucat dan takut lagi, ia tarik Oh Thi-hoa
dan membisikinya, "Tempat ini terasa seram, kalau mau
bicara marilah bicara di atas saja."
"Betul, orang Pian-hok-to mungkin sudah datang
menjemput kita," kata Oh Thi-hoa.
Setelah mereka keluar semua, mendadak Coh Liu-hiang
berjongkok dan mengorek sesuatu di lantai dengan kuku
jarinya lalu dibungkusnya dengan secarik kertas kecil dengan
hati-hati. Memangnya apa pula yang diketemukannya"
ooooo00000ooooo Rombongan kelasi yang semula berkumpul di atas
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geladak, kini sudah tidak keiihatan lagi. orang sebanyak itu
telah menghilang dalam waktu singkat.
Keruan Kim Leng-ci melenggong bingung.
"He, jangan-jangan orang Pian-hok-to sudah datang tadi
dan membawa mereka pergi?" seru Thio Sam.
'Tanpa dijemput orang. masa kita sendiri tak dapat pergi ke
sana?" tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata dengan gemas.
"Sedikitnya nona Kim tentu tahu jalan rahasia keluar
masuk mereka?" Thio Sam coba memancing.
Kim Leng-ci tidak menjawab, mukanya semakin pucat.
"Tidak apa-apa. seandainya kau tidak tahu. kami tetap
dapat mengetahuinya." ujar Oh Thi-hoa dengan suara lembut.
Dia tertawa lalu menyambung pula, "Sudah banyak kejadian
aneh dan peristiwa rumit yang pernah kita alami dan semua
dapat kita pecahkan dengan baik."
Mendadak Kim Leng-ci menarik tangan Oh Thi-hoa.
katanya dengan gemetar, "Bagaimana bila kita tidak pergi ke
sana?" "Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa heran.
"O, ti..... tidak.... tidak apa-apa..." jawab si nona dengan
menunduk. "Kalau kita sudah sammpai di sini, masa tidak jadi ke
sana?" ujar Oh Thi-hoa.
"Apalagi kita pun tak dapat mundur kembali, hakikatnya
tiada pilihan lain bagi kita," tukas Thio Sam.
"Akan tetapi.... tahukah kalian betapa seram tempat itu,"
kata Kim Leng-ci dengan badan menggigil.
Semua orang termenung. Sejenak kemudian barulah Coh Liu-hiang berkata, "Kalau
nona Kim bilang begitu. kupercaya Pian-hok-to pasti suatu
tempat yang menakutkan dan lain dari pada yang lain, bisa
jadi sama sekali tak dapat kita bayangkan."
"O, nona Kim. kumohon dengan sangat, sudilah kau
terangkan, sebenarnya macam apakah Pulau Kalong yang
mengerikan itu" Sesungguhnya apanya yang begitu
menakutkan?" tanya Thio Sam.
Sampai lama Kim Leng-ci termenung, akhirnya ia bersuara
sekata demi sekata,"Aku tidak tahu!"
"Hahahaha!" Oh Thi-hoa tertawa geli.
"Aku benar-benar tidak tahu." teriak Kim Leng-ci mendadak
dengan mendongkol. "Sebab aku tak dapat melihat apapun."
"Aneh. kau tidak dapat melihat apapun?" Oh Thi-hoa
menegas dengan heran. "Kalian tidak melihat apa-apa.
mengapa merasa takut?"
Dengan gregetan Kim Leng-ci menjawab, "Justru tidak
dapat melihat apapun maka menakutkan."
"Sebab apa" Sungguh aku tidak paham." ujar Oh Thi-hoa.
"Aku paham," tukas Thio Sam.
''Hm, kau paham kentut!" jengek Oh Thi-hoa.
Thio Sam tidak marah. katanya pula, "Coba jawab. hal apa
yang paling menakutkan di dunia ini?"
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, lalu jawabnya. "Kesepian
kukira yang paling menakutkan di dunia in. adalah kesunyian."
"Saat ini kita sedang bergulat dengan elmaut dan bukan
waktunya berlibur dan membuat sajak!" kata Thio Sam dengan
mendongkol. "Habis apa yang paling menakutkan menurutmu?" jawab
Oh Thi-hoa. Thio Sam memandang jauh ke sana, katanya kemudian.
"Kegelapan! Karena kegelapan maka tak dapat melihat
apapun." Dia menghela napas, lalu menyambung pula, "Baru
sekarang kupaham arti Pulau Kalong itu."
"Apa artinya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kau tahu tidak apa kekurangannya pada badan kalong
atau kelelawar dan sejenisnya?"
Oh Thi-hoa menggeleng dengan bingung.
"Mata, kelelawar punya mata tapi tak dapat melihat.
mereka adalah makhluk hidup yang buta!" tutur Thio Sam.
"Jadi kau maksudkan. orang-orang di Pulau Kalong adalah
orang buta semua?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kukira begitu." ujar Thio Sam.
"Tapi.... tapi apakah orang buta juga menakutkan?"
gumam Oh Thi-hoa sambil berkerut kening.
"Orang buta sudah tentu tidak menakutkan. tapi kalau kita
sendiri juga berubah buta. itulah yang menakutkan!" kata Thio
Sam sambil menyeringai. Mau tak mau berubah juga air muka Oh Thi-hoa, katanya.
"Masa kau kira bila kita sampai di Pian-hok-to sana. kita juga
akan berubah menjadi buta?"
"Ehmm," Thio Sam mengangguk.
"Persetan." jengek Oh Thi-hoa. "Hm. ingin kulihat dengan
cara bagaimana mereka akan membutakan matakut kecuali
mereka mahir ilmu gaib."
Kim Leng-ci menghela napas katanya. "Mereka tidak perlu
menggunakan ilmu gaib. barangsiapa tiba di sana akan
berubah menjadi buta dengan sendirinya."
ooooooo00000ooooooooo Tandus, gersang! Itulah keadaan pulau yang misterius ini. Batunya berwarna
kelabu pucat. dingin keras, seram.
Ombak masih mendampar di pantai pulau dengan
suaranya yang gemuryh. Batu karang memenuhi sekeliling
pulau. hampir setiap arah ada bangkai kapal yang kandas di
situ sehingga mirip sebangsa kambing atau kelinci yang
tergigit binatang purba. Betapapun kuat dan ringannya, kapal
juga sukar berlabuh di situ.
Di tengah suasana seram itulah Oh Thi-hoa berdiri di atas
sepotong batu karang di tepi pantai memandang sekelilingnya.
Akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh
suatu tempat yang mengerikan."
"Jika tidak menyaksikan sendiri biarpun dibunuh juga tidak
kupercaya di dunia ini ada tempat begini, tapi ternyata ada
manusia yang dapat hidup di tempat demikian." kata Thio
Sam. "Bisa jadi mereka bukan manusia, melainkan setan, sebab
tempat ini hakikatnya mirip kuburan benda hidup tapi tidak
kelihatan," kata Oh Thi-hoa.
"Ya. bahkan kapal yang utuh saja tidak ada, tampaknya
setiap yang berada di sini jangan harap lagi akan pergi."
"Apakah kau benar-benar pernah datang ke sini satu kali?"
tiba-tiba Oh Thi-hoa bertanya kepada Kim Leng-ci. "Ehm," si
nona mengangguk. "Kemudian cara bagaimana kau
meninggalkan tempat ini?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Pian-hok Kongcu menyuruh orang mengantar
keberangkatanku," jawab Kim Leng-ci.
"Dan kalau tidak diantar, dapatkah kiranya kau pergi
sendiri?" "Jika tidak diantar terpaksa aku harus mati di sini!" jawab
Kim Leng-ci dengan menunduk.
Begitu berada di pulau ini, lidah si nona serasa begitu kaku
sehingga setiap ucapannya seakan-akan sangat memakan
tenaga. Habis berkata tadi butiran keringat lantas menghiasi
dahinya. Mendengar keterangan itu, Oh Thi-hoa menjadi ngeri juga
sehingga berkeringat dingin.
Kalau dulu dia pernah menghadapi musuh yang tangguh
dan tempat yang betapapun bahayanya, tapi semua itu dapat
dihadapinya dengan tenang, sebab tempat-tempat ini cukup
banyak peluang untuk kabur bilamana perlu. Tapi sekarang
yang dihadapinya adalah sebuah pulau karang di tengah
samudera raya. Sebuah tempat yang buntu.
Coh Liu-hiang sejak tadi hanya termenung saja. tiba-tiba ia
bertanya, "Pian-hok Kongcu (Tuan muda kelelawar) yang kau
katakan itu apakah Tocu (penguasa pulau) di sini?"
"Ehm," si nona mengangguk.
"Apakah kau tahu dia she apa dan siapa namanya?"
"Tidak.... tidak tahu.... tiada seorangpun tahu."
"Dan juga tiada seorang pun yang pernah melihatnya?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
"Tidak.... kan sudah kukatakan. setiap orang yang
berkunjung ke sini akan berubah menjadi buta."
"Hah. jika demikian yang paling untung sekali ini jelas ialah
Goan-kongcu." ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Untung" Untung apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dia kan orang buta?" jawab Coh Liu-hiang.
Mendadak Kim Leng-ci menengadah dan berkata,
"Hiangswe.... lekas kita pergi saja, mungkin masih keburu..."
"Pergi dan sini" Kemana?" tanya Coh Liu-hiang.
"Kemanapun boleh. daripada di sini."
"Tapi apa yang dapat kita lakukan" Tempat ini tiada
terdapat jalan lain."
"Kita dapat mencari sebuah kapal rusak dan sembunyi di
situ, kita tunggu bila ada kapal lain datang kemari...."
"Harus tunggu berapa lama?" sela Oh Thi-hoa.
"Berapa lamapun jadi, daripada di sini," jawab si nona.
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Bagiku tentu saja
suka mengawanimu menunggu. tapi kau tidak kenal sifat kutu
busuk tua ini." "Tapi.... Hiangswe, apakah kau tak ingin pulang dengan
hidup" Tempat ini sesungguhnya teramat berbahaya." seru
Kim Leng-ci. "Semakin seram ucapanmu, semakin dia tak mau pergi!"
kata Oh Thi-hoa. "Sebab apa?" tanya si nona.
"Sebab urusan semakin berbahaya semakin menarik
baginya," tutur Oh Thi-hoa. "Selama hidup paling suka
menyerempet bahaya. suka bertualang. suka perangsang,
apakah nanti bisa pulang dengan hidup atau tidak adalah soal
lain baginya." Kembali Kim Leng-ci menunduk. ucapnya perlahan,
"Kutahu kalian tentu.... tentu mengira aku ini takut mati....
padahal yang kutakutkan bukanlah soal mati."
"Kutahu, di dunia ini memang ada hal-hal lain yang jauh
lebih menakutkan daripada mati," kata Coh Liu-hiang dengan
tenang. "Sebab itulah..., apabila nona Kim tidak mau tinggal di
sini, kami pun tak bisa memaksa."
"Kau kan dapat menyuruh Thio Sam tetap tinggal di sini
mengawanimu, ini memang kewajibannya," ujar Oh Thi-hoa.
Thio Sam melotot dan berkata. "Asalkan nona Kim suka,
dengan sendirinya akan kutemani dia, cuma dia tidak mau
terima diriku, tapi minta kau..."
Mendadak Kim Leng-ci menatap Oh Thi-hoa dan bertanya,
"Apakah kau mau menemani aku?"
"Sudah........ sudah tentu," jawab Oh Thi-hoa sambil
mengusap keringat. "Cuma...."
"Cuma apa?" tanya si nona.
Oh Thi-hoa memandangnya sekejap, tertatap oleh sorot
mata si nona, akhirnya ia menghela napas perlahan dan
berkata. "O, tidak apa-apa, akan kutemani kau."
Kim Leng-ci menatapnya lekat-lekat, sampai lama barulah
ia berkata dengan perlahan. "Bisa mendengar ucapanmu ini
apalagi yang kutakuti"...."
oooooooooo0000000ooooooooo
Akhirnya mereka tiba di balik sepotong batu karang yang
menyerupai pintu angin, di situ terikat seutas tali baja panjang
dan di atas tali tergantung sebuah kereta luncur.
Tali baja itu menjurus ke dalam sebuah gua yang gelap
gulita. Ke sinilah Kim Leng-ci membawa mereka.
"Apakah tempat ini jalan masuknya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ya. ketika itu dari sinilah kumasuk ke sana." tutur Kim
Leng-ci. "Mengapa tiada terdapat seorang penjaga pun"'" tanya Oh
Thi-hoa pula. "Hakikatnya tidak perlu penjaga, sebab setiap orang yang
berada di sini kan tiada jalan lain kecuali meluncur masuk ke
sana," kata Kim Leng-ci. "Dan sekali sudah masuk ke sana.
untuk keluar lagi boleh dikatakan sesulit...... sesulit naik ke
langit." "Tempat apakah pada akhir persinggahan kereta luncur
ini?" tanya Coh Liu-hiang.
"Inilah tempat mereka menyambut tamu."
"Di sanakah Pian-hok Kongcu menyambut tamunya?"
"Terkadang Ting Hong yang berada di sana."
"Sesungguhnya Ting Hong itu pernah apanya Pian-hok
Kongcu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Seperti muridnya."
Setelah berpikir sejenak. lalu Coh Liu-hiang bertanya pula.
"Dari sini ke sana kira-kira berapa jauh?"
"Akupun tidak tahu persis berapa jauh," jawab Kim Leng-ci.
"Aku cuma ingat, ketika aku berhitung sampai tujuh puluh
sembilan, kereta luncur itu lantas berhenti."
"Tampaknya anak perernpuan memang lebih cermat
daripada lelaki, andaikan aku pernah datang kemari, tidak
nanti aku main hitung segala," kata Oh Thi-hoa dengan
tertawa. "Seumpama berhitung juga takkan tepat hitunganmu," sela
Thio Sam. "Hakikatnya kau tidak tahu hitungan, sampai
berapa cawan arak yang kau minum juga tidak jelas...,
terkadang sudah terang kau minum tiga puluh cawan, tapi kau
mengaku sudah minum delapan puluh cawan."
"Kutahu kau pintar berhitung. sebab arak yang kau minum
tidak pernah lebih dan tiga cawan," ujar Oh Thi-hoa.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, tanyanya, "Eh. dapatkah
kau berhitung sampai lima puluh?"
Dengan mendelik Oh Thi-hoa menjawab, "Sudah tentu ..."
"Baik, begitu berada di atas kereta, kita lantas mulai
berhitung, bila hitungan mencapai lima puluh, segera kita
terjun ke bawah," kata Coh Liu-hiang.
oooooo00000oooooo Baru saja hitungan mereka sampai sepuluh, kereta luncur
sudah memasuki kegclapan. Kegelapan yang tiada ujung
pangkalnya, kegelapan yang tak diketahui cetek dan
dalamnya, satu titik sinar saja tidak ada. Juga tiada suara
apapun. Tubuh setiap orang meluncur mengikuti kereta gantung itu,
hati mereka pun terasa tenggelam ke bawah.
Kalau ada sesuatu yang menakutkan di dunia ini, maka hal
itu adalah kegelapan yang tidak nampak apapun.
Ketika mereka berhitung sampai dua puluh lima, cahaya
pada mulut gua tempat masuk mereka pun tiada kelihatan
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Setiap orang asemakin gerah, sesak napas dan cemas.
Apakah jalan ini benar-benar jalan masuk ke neraka"
Dengan erat Oh Thi-hoa menggenggam tangan Kim Lengci,
ketika hitungannya sampai empat puluh enam, barulah ia
melepaskan tangannya dan perlahan menepuk bahu si nona.
"Empat puluh tujuh.... empat puluh delapan....... empat
puluh sembilan.... lima puluh....loncat!"
Seketika Thio Sam merasa dirinya seperti sepotong batu
yang anjlok ke bawah. Dan tempat apakah di bawah sana"
Bukit bergolok" Wajan berminyak mendidih atau lautan api"
Apapun juga yang terdapat di bawah sana, terpaksa ia
paSrah nasib. Hakikatnya ia tak dapat berhenti lagi.
Dalam amat tempat ini, sampai sekian lama masih belum
mencapai dasar.... Thio Sam sengaja memejamkan mata malah. Pada saat
itulah sekonyong-konyong ia merasa seperti menyentuh
sesuatu. Segera ia bermaksud menahan tubuhnya, tapi
terlambat. Sekalipun di bawah tidak libih hanya sepotong batu,
tempat kakinya akan terbanting patah.
Syukurlah mendadak sebuah tangan mendadak terjulur
dari samping dan menyanggahnya dengan perlahan. Sudah
tentu ia tidak dapat melihat tangan siapa itu, tapi selain Coh
Liu-hiang rasanya tiada orang lain lagi.
"Ai. mempunyai kawan sebagai Coh Liu-hiang benar-benar
beruntung bagiku," demikian pikir Thio Sam.
Baru timbul pikiran begitu. tiba-tiba tangan itupun beruntun
menutuk beberapa Hiat-to di tubuhnya.
Sejenak suasana menjadi sunyi. rasanya tambah panas
dan menyesakkan napas. Seperti seekor ikan mati saja. Thio Sam dilemparkan orang
ke tanah. Dia mengertak gigi, menahan sakit dan tidak
bersuara. Orang itupun tidak bertanya, terdengar suara tindakannya
yang perlahan meninggalkan tempai itu.
Keadaan gelap gulita, jari sendiri saja tak kelihatan.
Tempat apakah ini" Apakah penjara" Dimanakah Coh Liuhiang,
Oh Thi-hoa dan Kim Leng-ci"
Thio Sam berharap nasib kawan-kawannya itu akan lebih
baik daripada dirinya. Pada saat itulah, terdengar suara langkah seseorang
mendekatinya. Lalu seorang dilempurkan pula ke tanah.
bahkan terbanting lebih keras.
Rupanva nasib Oh Thi-hoa tidak lebih mujur daripada Thio
Sam. waktu jatuh dia masuk ke sebuah jaring, tapi bukan
jaring sembarang jaring, melainkan jaring kawat yang keras
sehingga tulangnya tergentak sakit, bantingan tadi malahan
hampir membuat tulangnya terlepas.
Kontan ia mencaci maki, tapi betapapun ia berkaok-kaok
tetap tiada orang menggubris. Langkah orang tadi sudah
menjauh. "blang". terdengar pintu ditutup, dan suaranya dapat
diduga kalau bukan pintu batu tentulah pintu besi.
"Siau Oh"..-" mendadak didengarnya suara seorang
memanggilnya perlahan. "He. Thio Samkah di situ?" jawab Oh Thi-hoa terkejut.
"Ya, tak tersangka kau pun datang kemari," kata Thio Sam
dengan gegetun. "Keparat, sekali ini benar-benar terjungkal dengan
penasaran, sampai bayangan lawan juga belum terlihat, tahutahu
sudah kejeblos di tangan orang." omel Oh Thi-hoa
dengan gemas. Selama hidupnya sudah banyak menyerempet bahaya dan
mengalami peristiwa yang menakutkan. tapi setiap kali
sedikitnya dia sempat mengadakan perlawanan. Namun sekali
ini kesempatan melawan saja tidak ada.
Thio Sam menghela napas, katanya. "Baru sekarang
kutahu apa sebabnya nona Kim merasa takut, agaknya kita
seharusnya menuruti nasehatnya."
Dengan gregetan Oh Thi-hoa menanggapi, "Baru sekarang
juga kutahu Pian-hok Kongcu itu bukan manusia. sebab kalau
dia manusia tentu takkan menggunakan cara sekeji ini."
Tampaknya begitu kita sampai di sini, segera diketahui
oleh mereka," ujar Thio Sam.
"Setiap gerak-gerik kita diawasi oleh mereka, sebaliknya
kita tidak melihat mereka. Inilah yang benar-benar
menakutkan." "Mana nona Kim?" tiba-tiba ia bertanya pula.
Oh Thi-hoa tak menjawab, sebaliknya balas bertanya,
"Dimanakah si kutu busuk tua itu" Mengapa tidak kelihatan?"
Belum habis ucapan Thio Sam, mendadak pintu terbuka
lagi. Kembali suara langkah seseorang mendatangi lalu
membanting seseorang ke lantai.
Seketika hati Oh Thi-hoa dan Thio Sam tercekam.
Pintu tertutup lagi, segera Oh Thi-hoa berseru, "Kutu
busuk, apa kau?" Tapi orang itu tidak menjawab.
Thio Sam menjadi kuatir serunya. "Jangan-jangan
nasibnya memang lebih jelek daripada kita, dia telah tewas."
"Tidak mungkin. mana bisa orang mati digusur kemari?"
"Seumpama dia mati, tentu juga lukanya tidak ringan,
kalau tidak, masa tidak dapat bersuara?" kata Thio Sam.
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kau
dapat bergerak tidak" Coba mendekat ke sana dan periksa
dia." "Keadaanku mirip kepiting mampus..." kata Thio Sam
dengan lesu. "Kau sendiri bagaimana?"
"Wah, lebih konyol daripada kepiting mampus," jawab Oh
Thi-hoa. "Bisa jadi orang.... orang ini bukan Coh Liu-hiang, tapi
nona Kim?" Asalkan Coh Liu-hiang tidak mati, maka mereka ada
harapan akan tertolong. Sebab itulah mereka berharap orang
yang baru digusur masuk ini ialah Kim Leng-ci.
Tapi Oh Thi-hoa lantas berkata dengan tegas, "Pasti bukan
nona Kim." "Masa" Darimana kau tahu?" tanya Thio Sam. Oh Thi-hoa
tidak menjawab lagi. "Kenapa kau diam saja" Urusan apa yang tak dapat kau
ceritakan?" omel Thio Sam.
Tapi Oh Thi-hoa bungkam. Setelah berpikir, akhirnya Thio Sam berkata dengan
rawan, "Jika Coh Liu-hiang juga terkurung di sini, maka nasib
kita pasti tamat." Sekonyong-konyong orang itu menanggapi. "Aku bukan
Coh Liu-hiang." Jelas suara ini datangnya dari tempat orang yang baru
dilempar masuk itu. Malahan suaranya kedengaran sudah
dikenal. "Siapa?" berbareng Oh Thi-hoa dan Thio Sam bertanya.
Orang ini menghela napas panjang, jawabnya. "Aku bukan
manusia. Tapi binatang. hewan. hewan yang tidak tahu budi."
"Hah. Kau Cu-tiang. kiranya kau?" seru Thio Sam.
Betul. memang suara Kau Cu-tiang.
Sekarang Oh Thi-hoa juga ingat, serunya, "He. mengapa
kau pun masuk ke sini?"
"Inilah ganjaranku yang setimpal." jawab Kau Cu-tiang
dengan sedih. "Apakah Ting Hong... "
"Dia lebih-lebih bukan manusia. bahkan hewan pun
bukan," sela Kau Cu-tiang dengan gemas sebelum lanjut
ucapan Thio Sam. "Mengapa dia memperlakukan kau cara begini?" tanya Oh
Thi-hoa. Kau Cu-tiang lantas bungkam. Tapi biarpun dia tidak
mengaku. dalam hati Oh Thi-hoa dapat membayangkan apa
yang terjadi. 'Habis mams sepah dibuang'. setelah tak
terpakai. maka konyollah nasib Kau Cu-tiang.
Seorang kalau suka mengkhianati kawan, tentu dia juga
akan dikhianati orang lain. Memang begitulah nasib penjilat di
dunia ini, nasib konyol. Sayup-sayup Kau Cu-tiang seperti sedang merintih,
agaknya dia terluka. Sebenarnya Oh Thi-hoa hendak menyindir dan
mendampratnya, sekarang ia menjadi tidak tega, ia cuma
menghela napas panjang dan berkata, "Untung si kutu busuk
itu belum sampai mengalami nasib seperti kita."
"Kan sudah kukatakan, dalam keadaan betapapun
gawatnya, dia pasti sanggup..." belum habis ucapan Thio
Sam, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka lagi dan ada
suara tindakan orang pula.
Yang datang sekali ini ternyata dua orang......
Seketika hati Oh Thi-hoa dan Thio Sam tercekam pula.
Betapapun Coh Liu-hiang juga manusia dan bukan
malaikat dewata, di tempat segelap ini, betapapun tinggi
kepandaiannya juga tiada gunanya.
ooooooooo0000000ooooooooo
Coh Liu-hiang memang mempunyai pengalaman
tersendiri. Begitu dia terjun ke bawah kereta luncur itu, segera
ia merasakan keadaan yang tidak beres.
Pembawaannya mempunyai sesuatu kelebihan yang aneh,
yaitu dapat merasakan dimana beradanya bahaya.
Dan sekarang bahaya itu berada di bawah kakinya.
Namun tubuhnya sudah kadung jatuh ke bawah dan tidak
mungkin bisa balik ke atas lagi, juga tidak bisa berhenti.
Agaknya di dunia ini tiada seorang pun yang mampu
mengubah nasibnya yang tragis.
Yang mampu mengubah nasibnya hanya dia sendiri.
Barang siapa kalau ingin nasib sendiri berubah. maka orang
yang paling dapat diandalkan ialah dirinya sendiri.
Sementara itu kereta gantung tadi sudah meluncur jauh ke
sana. Begitu terjun ke bawah dan timbul firasat tidak baik,
seketika Coh Liu-hiang memancalkan kaki di udara sehingga
dia terjungkir dan mengapung lebih tinggi ke atas, kedua
kakinya bertekuk dan sempat menggantol Pada tali baja yang
melintang di udara itu. Legalah hati Coh Liu-hiang setelah
usahanya berhasil. Bilamana daya reaksinya sedetik terlambat
dan kakinya tidak keburu menggantol pada tali baja, ia akan
terjerumus ke bawah, terjerumus ke dalam perangkap seperti
apa yang dialami Oh Thi-hoa dan Thio Sam.
Tidak lama kemudian, dapatlah ia mendengar teriakan
terkejut dan raungan gusar Oh Thi-hoa, suaranya sangat
singkat, lalu suasana kembali sunyi.
Tetapi kesunyian tidak identik dengan aman. Dalam
kegelapan, dimana-mana tersembunyi mara bahaya.
Sambil bergelantungan di kawat baja itu, Coh Liu-hiang
harus mengambil keputusan maha penting dalam waktu
sesingkatnya, yaitu keputusan yang menyangkut matihidupnya.
Dia dapat melompat ke atas kawat baja dan mundur
keluar, ia pun dapat menuju ke pusat Pian-hok-to melalui
kawat baja itu. Tapi segera ia memastikan kedua jalan itu tidak dapat
ditempuh. Sebab pada kawat baja sana pasti ada perangkap
lain yang lebih berbahaya sedang menunggu. Lebih-lebih ia
tidak dapat pergi dengan meninggalkan kawan-kawannya
yang terjebak. Kawat baja itu terasa mulai bergoyang. kereta
gantung itu seperti meluncur balik. Segera Coh Liu-hiang
mengayun kawat baja itu sehingga bergoyang kian kemari,
jarak ayunan itu makin jauh dan tinggi.
Ketika tinggi ayunan kawat baja itu terasa cukup,
mendadak Coh Liu-hiang melepaskan kakinya dan meluncur
ke sana. Ginkang Coh-hiangswe tiada bandingannya, bahkan
burung yang bersayap juga tak dapat menandinginya. Meski
ini cuma isyu saja di dunia Kangouw, tapi memang tidak
terlalu berlebihan dan mendekati kenyataan.
Berkat ayunan itu, sekali melayang dapatlah ia meluncur
sejauh tujuh delapan tombak. Jika orang lain mungkin
luncuran sejauh dan sekeras ini akan membuat kepalanya
pecah tertumbuk dinding batu.
Namun Ginkang Coh Liu-hiang memang tinggi luar biasa,
ia meluncur dengan kepala di dep.an dan kaki di belakang.
maka begitu ujung jari menyentuh dinding karang, seketika
tubuhnya dilemaskan, sekujur badan lantas menempel dinding
terus merosot perlahan ke bawah.
Setelah merosot beberapa tombak, perlahan ia menahan
tubuhnya sehingga mirip seekor cecak yang menempel di
tembok. Dengan cermat ia mendengarkan apa yang terdapat di
bawah. Tiada sesuatu suara pun yang terdengar, tapi penuh
macam-macam bau, ada bau harum arak, buah-buahan dan
teh, juga ada bau harum pupur wanita.
Tempat apakah ini" Ia coba menempelkan telinganya di dinding, maka
terdengar di bawah dinding sana seperti ada suara dengusan
napas yang terputus-putus dan tertahan, lalu diselingi tawa
ngikik perempuan. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman, Coh Liu-hiang
tahu jenis suara apa itu. Ia tahu bilamana perempuan
mengeluarkan suara tertawa geli dan puas seperti itu,
sungguh ia tidak ingin mendengarkan suara tertawa begitu di
tempat begini. Lapat-lapat ia pun mendengar debaran
jantungnya sendiri. Ketika debar jantungnya sudah mulai agak tenang,
perlahan ia mulai menggeser lagi ke kiri dengan 'Pia-houkang'
atau ilmu cecak merayap di dinding.
Akhirnya ia dapat menemukan darimana datangnya suara
tertawa tadi, ke situlah dia merayap turun.
Ia yakin, tempat yang ada suara tertawa seperti itu tentu
akan jauh lebih aman daripada tempat lain.
Kegelapan memang menakutkan. tapi sekarang kegelapan
malah membantunya, asalkan tidak bersuara, tentu tiada
seorang pun akan menemukan dia. Dan Coh Liu-hiang
memiliki Ginkang maha tinggi sudah tentu tidak nanti
menimbulkan suara. Dia merayap terus ke bawah. ketika ia menyentuh sesuatu
yang kemudian diketahuinya adalah daun pintu. ternyata
suara tertawa genit tadi keluar dari balik pintu ini. Hanya saja
suara tertawa tadi kini telah berganti menjadi suara keluhan
yang mendebarkan jantung.
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berpikir, akhirnya Coh Liu-hiang tidak jadi
mendorong daun pintu itu. "Ada yang harus dilakukan
seseorang, ada pula yang tidak boleh diperbuat seseorang".
Dan untuk hal beginian, maka ia pun tidak ingin
mengganggunya. Ia coba menggeser lagi ke kiri, ia menemukan satu sayap
pintu pula. Di balik pintu itu tiada sesuatu suara apapun. Ia
coba mendorong perlahan daun pintu dan ternyata terus
dibuka. Segera di belakang pintu ada orang berseru. "Silakan
masuk!" Suaranya merdu memikat sehingga sukar bagi orang
untuk menolak undangannya.
Padahal Coh Liu-hiang tidak dapat melihat apa yang
terdapat di belakang pintu dan juga tidak dapat menerka siapa
perempuan itu serta ada berapa orang di situ" Bisa jadi kalau
dia masuk ke situ, untuk selamanya takkan keluar lagi dengan
hidup. Akan tetapi ia toh tetap masuk ke situ.
Sesuatu keputusan ditentukan hanya dalam sekejap saja,
tapi akibat dari sesuatu keputusan sering-sering akan
mempengaruhi selama hidup seseorang.
Bau harum di dalam rumah semakin semerbak dan
memabukkan. Begitu melangkah ke dalam, segera seseorang
menjatuhkan diri ke pelukannya. Tanpa memandang juga Coh
Liu-hiang tahu itu adalah tubuh perempuan. perempuan
telanjang bulat. Kulit badannya halus licin, buah dadanya tegak kenyal,
segenap bagian tubuhnya seperti membara.
Sungguh luar biasa, tempat yang asing, perempuan yang
tidak dikenalnya, kegelapan dan....
Berapa orang lelaki di dunia ini yang mampu melawan
rangsangan yang memikat ini" Dengan sendirinya timbul juga
reaksi badaniah pada diri Coh Liu-hiang. Perempuan itu
tertawa cekakak cekikik. malah terus menggerayangi badan
Coh Liu-hiang yang timbul reaksi spontan itu. Dengan suara
manis memikat, perempuan itu berkata, "Ehmmm, kau masih
muda. sudah lama dan lama sekali aku tidak pernah
berdekatan dengan orang muda. Yang datang ke sini hampir
seluruhnya adalah roang tua, tua bangka, ya bau, ya kotor,
ya..... ya tidak 'becus' lagi dan ......"
Ia terus merangkul Coh Liu-hiang erat-erat, seakan hendak
menelannya bulat-bulat. Sedemikian 'hot' perempuan itu, sampai Coh Liu-hiang
sendiri terkejut. Hakikatnya perempuan itu bukan lagi manusia
tapi lebih mirip seekor srigala betina yang lagi birahi.
Tangan perempuan itu terus menggerayangi tubuh Coh
Liu-hiang, kasarnya melebihi lelaki yang paling sadis, dengan
napas terengah-engah ia berseru tak sabar, "Hayolah, lekas
tunggu apa lagi"!"
Rupanya 'serigala betina' ini sudah terlalu lama kelaparan
dan kehausan begitu mendapat sasaran buruannya, ia sudah
tidak tahan lagi. tidak sabar lagi. rasanya ingin segera
merobek-robek dan mengoyak mangsanya.
Gerak-gerik perempuan itu memang sadis. mendekati gila.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas. Belum pernah
ia menemui perempuan begini. sebenamya ingin mencoba
rasanya ''sadisme' cuma sayang, sekarang bukan waktu yang
cocok. Perempuan itu sedang meratap, "O, sayang.." marilah ...
kumohon dengan sangat, jangan.... jangan kau tunggu lagi.
aku ... aku tidak tahan...."
Mendadak Coh Liu-hiang memotong ucapannya, "Coba
katakan dulu. sedikitnya aku mesti mengetahui siapa kau?"
"Aku tidak punya she, juga tidak punya nama. cukup
asalkan kau tahu aku ini perempuan.... semua perempuan
yang berada di sini kan sama saja."
"Tempat apakah ini?" tanya Coh Liu-hiang.
Perempuan itu seperti terkejut, ia menegas. "Masa.... masa
kau tidak tahu tempat apa ini?"
"Ya, aku memang tidak tahu," jawab Coh Liu-hiang.
"Kau..... kau tidak tahu. lalu cara bagaimana kau datang?"
Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, perempuan itu
merangkulnya lagi sambil berkeluh, "O, aku tidak ambil perduli
siapa kau, tidak memusingkan cara bagaimana kau datang
kemari. Cukup asalkan kau seorang lelaki, maka aku tidak
peduli segalanya." "Jika aku tidak mau membuktikan?" jawab Coh Liu-hiang.
Perempuan itu menghela napas panjang, katanya, "Maka kau
harus mati!" Coh Liu-hiang tahu ucapan itu bukan ancaman, seorang
kalau sudah datang di sini memang setiap saat dan dimana
pun bisa mati. bahkan dapat mati dengan sangat cepat.
Jika Coh Liu-hiang ingin selamat, ingin mencari tahu
rahasia tempai ini. maka lebih dulu harus menaklukkannya.
Untuk menaklukkan perempuan jenis ini hanya ada satu cara.
Tapi Coh Liu-hiang ingin menggunakan cara lain.
Mendadak ia pencet Hiat-to mematikan di tubuh perempuan
itu sambil menggertak, "Jika aku mati, maka kau harus mati
lebih dahulu. Jika kau ingin hidup, maka kau harus berdaya
lebih dahulu agar aku tetap hidup."
Tapi perempuan itu tidak takut, sebaliknya dia malah
tertawa, jawabnya, "Mati" Kau kira aku takut mati?"
"Orang yang bilang di mulut tidak takut mati sudah banyak
kujumpai, tapi orang yang benar-benar tidak takut mati belum
pernah kulihat," ujar Coh Liu-hiang.
"Jika begitu, sekarang kau sudah melihat satu," kata
perempuan itu dengan tertawa.
"Tapi aku pun dapat menyiksa kau hingga jauh lebih
menderita daripada mati."
"Menderita?" perempuan itu menegas. "Orang macam
diriku ini masa ada penderitaan lain lagi yang dapat
menyiksaku?" Coh Liu-hiaing tidak dapat bersuara lagi, seban ia tahu apa
yang diucapkan perempuan itu memang betul.
"Dengan cara apapun tidak dapat kau gertak diriku, sebab
hakikatnya aku bukan manusia lagi," kata perempuan itu.
"Asalkan kau bantu aku, maka aku pun akan membantumu,"
kata Coh Liu-hiang sambil menghela napas. "Apapun
kehendakmu juga akan kupenuhi."
"Aku cuma menghendaki lelaki, menghendaki kau," kata si
perempuan tegas. Kalau hendak menaklukkan perempuan jenis ini, hanya
ada satu cara, hakikatnya tiada pilihan lain.
ooooooooo0000000000ooooooooo
Betapapun besarnya gelombang ombak akan segera
berlalu, datangnya cepat, perginya juga cepat.
Sekarang badai sudah reda dan akhirnya lenyap.
Perempuan itu berbaring lemas di sana. seolah-olah runtuh
seluruhnva. Hidupnya seakan-akan hanya untuk kepuasan sejenak.
Seorang kalau hidupnya hanya untuk kesenangan sekejap.
maka betapa tragis hidupnya itu.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasa dia jauh lebih malang dari
perempuan mana pun yang pernah dijumpainya, sebab
kehidupannya sudah kehilangan arti, tiada kemarin, juga tiada
esok. Kemarin hanya kegelapan belaka, esok bahkan bertambah
gelap, hidupnya sama dengan menanti kematian.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Asal aku dapat
keluar dengan hidup. tentu akan kubawa serta dirimu."
"Tidak perlu," jawab perempuan itu.
"Apakah kau ingin tinggal selamanya di sini?"
Perempuan itu mengiakan. "Mungkin kau sudah lupa keadaan dunia luar sana, di sana
tidak segelap ini, di sana ada cahaya. juga ada bahagia."
"Tidak, aku tidak mau. tidak suka cahaya. tidak mau
bahagia, aku suka kegelapan," jawab si perempuan.
Apapun yang diucapkannya selalu dengan nada yang
sama, selalu manis dan genit, bahwa perempuan yang hidup
dalam kegelapan begini bisa mengucapkan kata-kata
demikian. sungguh sukar dibayangkan siapa pun.
Dia sudah kehilangan perasaan sama sekali, katanya pula,
"Yang kuinginkan sudah kau berikan padaku. Kau sendiri
menghendaki apa?" "Aku... aku cuma ingin tanya beberapa soal padamu."
"Tidak perlu kau tanya siapa diriku. hakikatnya aku bukan
manusia. aku cuma perempuan jalang. Setiap orang yang
datang ke sini boleh mencari aku dan akan kusambut dengan
gembira." Di ruangan yang sempit dan gelap inilah seluruh
kehidupannya, seluruh dunianya Di sini tidak kenal tahun,
bulan. juga tak dapat dibedakan siang atau malam.
Dia hanya dapat menunggu selamanya dalam kegelapan,
Menunggu dengan telanjang bulat, menunggu sampai dia
mati. Kehidupan ini hakikatnya bukan kehidupan manusia. siapa
pun tidak tahan. Tapi perempuan ini justru sanggup dan tahan.
Kehidupan begini cukup satu hari saja sudah dapat
membuat orang gila, membuat orang kalap dan berubah
menjadi hewan yang buas dan rakus. Sebab itulah apa yang
diperbuat perempuan ini dapatlah dimaklumi dan dapat
dimaafkan. Tiba-tiba Coh Liu-hiang memberosot turun dari tempat
tidur serta mengenakan bajunya.
Perempuan itupun tidak menahannya, ia cuma tanya, "Kau
akan pergi?" "Mau tak mau aku harus pergi," jawab Coh Liu-hiang.
"Akan kemana?" tanya pula perempuan itu. Coh Liu-hiang
menghcla napas, jawabnya. "Sampai saat ini aku sendiri tidak
tahu." "Kau tahu tempat apakah di luar sana?"
"Tidak tahu." "Jika tidak tahu. hakikatnya satu langkah saja tidak boleh
kau pergi. Bisa jadi, begitu kau keluar dari rumah ini, seketika
kau akan mati." "Ya, bisa jadi...... tapi apapun juga aku harus
mencobanya." "Mengapa kau tak meminta bantuanku?" tibatiba
perempuan itu bertanya. Coh Liu-hiang tertegun, sebab ia
tidak sampai hati. Ia tidak tega omong, juga tidak sampai hati
meminta dia berbuat sesuatu. lebih-lebih memperalat dia,
sebab sekarang telah timbul semacam perasaan dosa dalam
benaknya. Kalau ada orang yang sampai hati memperalat perempuan
malang iini, maka dosanya sungguh boleh dikatakan tak
terampuni. Sampai lama Coh Liu-hiang diam saja, ia menghela napas,
kemudian berkata, "Pokoknya asalkan aku dapat keluar
dengan hidup. tentu aku akan kembali kesini untuk
mengeluarkanmu." Perempuan itupun termenung hingga lama, lalu berkata,
"Engkau.... engkau sangat baik."
Tiba-tiba suaranya penuh perasaan halus ia menyambung
pula, "Kau ingin kemana, dapat kubawa kau ke sana."
"Tidak.... tidak, besar sekali bahayanya jika kau ikut
padaku," kata Coh Liu-hiang.
"Bahaya?" perempuan itu tertawa. "Mati saja aku tidak
takut, masa kutakut bahaya segala?"
"Tapi aku...." "Aku sendirilah yang mau mengantar suka rela," ujar
perempuan itu. "Hampir tak pernah kulakukan sesuatu dengan
suka rela. sedikitnya kau harus memberi kesempatan padaku."
00ooo00 Di dunia ini meski tiada kegelapan yang kekal, tapi juga
tidak ada terang yang abadi. Sebab itulah kehidupan manusia
selalu diliputi banyak kejadian yang tragis. banyak melahirkan
puisi yang menyedihkan dan nyanyian yang mengharukan.
Tapi betapa sedih dan harunya sajak, rasanya tak dapat
menandingi kalimal sangat sederhana tadi, kalimat yang
memilukan hati. "Hampir tak pernah kulakukan sesuatu
dengan suka rela." Mungkin sangat sedikit orang yang benar-benar dapat
memahami isi dan arti yang terkandung pada kalimat yang
memilukan ini, sebab memang jarang ada yang mengalami
nasib tragis begini. Apalagi, umumnya manusia hanya tahu
pada penderitaan sendiri saja, tapi tak mau tah penderitaan
orang lain. Tapi Coh Liu-hiang justru sangat memahami hal-hal ini.
Dia paham cara bagaimana ikut merasakan kegembiraan
dan kesuksesan orang lain, ia pun sangat memahami
kemalangan orang lain. Selalu ia berusaha membagi
kelebihan kegembiraan seseorang kepada orang lain yang
memerlukannya. Sebab itulah Coh Liu-hiang selalu bertualang, berkelana,
menyerempet bahaya dan ingin ikut campur urusan apapun
juga. Bila perlu ia juga mencuri, bahkan merampas dengan
kekerasan. Itulah Coh Liu-hiang, panglimanya maling, si
bagus bangsat. Dalam kegelapan, Coh Liu-hiang digandeng perempuan itu
dan berjalan ke depan dengan perasaan menyesal dan
terharu. "Siapa namamu?" tanya Coh L iu-hiang. "Aku tidak
punya nama.... aku cuma sebuah alat... alat pelampiasan,"
jawab perempuan itu hambar. "Jika kau berkeras ingin tahu,
maka bolehlah kau panggil diriku Tang-sam-nio (si perempuan
ketiga sebelah timur), sebab kamarku terletak pada nomor tiga
di sebelah timur." Padahal tiap orang, betapapun rendahnya dia, tentu
mempunyai nama. Bahkan kucing dan anjing terkadang juga
diberi nama. Tapi aneh, mengapa perempuan ini tidak punya
nama" "Kau ingin kubawa ke sana" Lari keluar?" tanya
perempuan itu. "Atau ingin mencari Pian-hok Kongcu?"
"Tidak," jawab Coh Liu-hiang. "Sekarang aku ingin
menolong dulu kawan-kawanku."
Kawan nomor satu. Urusan kawan lebih penting, kadang
orang mengira hidup Coh Liu-hiang hanya untuk orang lain.
Akan tetapi dia suka, dia cuma berbuat apa yang
disukainya. Tiada orang yang dapat memaksa dia.
"Kutahu di sebelah sana ada sebuah penjara," tutur
perempuan itu. "Tapi entah kawan-kawanmu dikurung dimana.
bisa jadi mereka sudah terbunuh."
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hal ini memang sama sekali tak berani dipikirkan oleh Coh
Liu-hiang. "Tempat ini terdiri dari tiga tingkat," tutur perempuan itu
pula. "Sekarang kita berada di tingkat paling bawah."
Nyata hidupnya memang benar-benar di nerakanya
neraka. "Tingkat terbawah ini ada tiga deret rumah timur, barat dan
selatan. Bagian tengah adalah ruangan duduk, sering kami
mengiringi orang minum arak di situ."
Seketika Coh Liu-hiang ingat pada rumah pelacuran yang
pernah dikunjunginya. Di tempat-tempat begitu juga ada
sebuah ruangan duduk dan para nona tinggal di kamar-kamar
sempit sekelilingnya. mereka menunggu. menunggu tamu,
menunggu uang yang akan membeli masa remaja mereka.
Kalau dibandingkan tempat ini, jelas mereka jauh lebih
beruntung. Tapi berapa banyak bedanya" Memangnya siapa
yang benar-benar suka melakukan perbuatan mesum begitu"
Siapa pula yang dapat melihat bekas air mata di bawah pupur
mereka" Biasanya. perempuan yang sudah bercokol lama di tempat
begituan juga bisa berubah kaku, pati rasa, tapi juga bisa
lelah. Tentu saja mereka pun ingin kabur, tapi bisa kabur
kemana" "Kedua tingkat di atas sana, selama ini baru satu-dua kali
kulihat." demikian tutur perempuan itu. "Untung penjaranya
terletak di tingkat paling bawah ini. setelah keluar pintu dan
mengikuti dinding kanan, lalu belok ke belakang. tibalah di
sana." Kedengarannya penjara ini terletak sangat dekat, tapi
sekarang Coh Liu-hiang merasa jaraknya sedemikian jauh,
seolah-olah sukar dicapai.
oooooooo0000000000oooooooooo
"Hanya di dalam rumah ini kita boleh bicara, sekeluarnya
dari sini tidak boleh lagi mengeluarkan suara apapun juga.
Dimana-mana terpasang perangkap maut. Kita berjalan
dengan perlahan dan hati-hati daripada gagal mencapai
tempat tujuan." Demikian sebelum meninggalkan tempat sempit itu si
perempuan berpesan kepada Coh Liu-hiang.
Kini mereka terus mennggeremet ke depan dengan sangat
perlahan dan hening. Coh Liu-hiang merasa tangan perempuan itu mulai basah,
jelas berkeringat dingin. Mau tak mau ia pun merasa sesuatu
firasat yang tidak enak. Pada saat itulah Tang-sam-nio tiba-tiba berhenti,
genggamannya bertambah erat.
Meski tidak dapat melihat apa-apa, tapi Coh Liu-hiang
merasa ada orang datang. Yang datang dua orang, meski cara berjalan mereka hatihati,
tapi tetap menimbulkan suara yang sangat lirih.
Sudah tentu tidak setiap orang di Pian-hok-to ini memiliki
Ginkang tinggi, tapi bilamana dipergoki kedua orang ini, maka
akibatnya sukar dibayangkan.
Coh Liu-hiang menempel rapat pada dinding sambil
menahan napas. Kedua orang itu terus maju ke sini dengan
perlahan, seperti sedang ronda. juga seperti sedang mencari
apa-apa. Bilamana ada setitik sinar saja, segera mereka akan
mengetahui. jarak mereka dengan Coh Liu-hiang tidak lebih
hanya dua-tiga kaki saja jauhnya. Tapi di Pulau Kalong ini
tidak boleh ada setitik sinar pun, siapa pun dilarang membawa
sesuatu benda yang dapat menerbitkan cahaya ke pulau itu.
Begitu ketatnya larangan itu. sampai barang makanan juga
dimakan dingin dan mentah. sebab kalau ada api tentu juga
akan ada sinar. "Pulau ini mutlak harus selalu gelap!" inilah perintah Pianhok
Kongcu. Perintah ini dipegang teguh dan dipatuhi dengan baik.
Kedua orang ini tak bersuara, tapi tiba-tiba Coh Liu-hiang
mendengar suara orang. Kiranya tepat di sampingnya adalah sebuah pintu. dari
balik pintu itulah suara tadi tersiar keluar. Entah sejak kapan
daun pintu sudah terbuka.
Suara seorang lelaki sedang berkata, "Untuk apa kau tarik
diriku" Apakah kau masih ingin minta Pit-hun-oh (sejenis pipa
tembakau yang berbentuk seperti botol yang diberi air, kalau
dihisap akan timbul suara bunyi air) jamrud ini?" Seorang
perempuan lantas memohon dengan suara halus. "Ya, sudilah
engkau memberikannya kepadaku, bila kau berikan, apapun
akan kuserahkan padamu."
"Kan sudah kau serahkan segalanya padaku tadi?" ujar
lelaki tadi dengan hambar.
Tambah lunak suara perempuan itu, katanya, "Tapi...... tapi
lain kali bila......"
"Lain kali?" jengek lelaki itu. "Darimana kau tahu lain kali
akan kucari lagi" Perempuan di sini kan tidak cuma kau
seorang saja?" Seketika perempuan itu bungkam dan persoalan ini seperti
sudah berakhir. Tiba-tiba lelaki tadi berkata pula, "Kau kan tidak isap
tembakau, mengapa kau berkeras minta pipa tembakau ini?"
"Sebab aku.,. aku menyukainya," jawab perempuan itu
perlahan. "Aku suka.... suka pada lukisan yang terukir di situ."
"Kau dapat melihatnya?" lelaki itu tertawa.
"Tapi dapat kuraba. Kutahu lukisan itu melukiskan
pemandangan alam. serupa panorama yang ada di kampung
halamanku, bila aku merabanya, rasanya seperti pulang ke
rumah... " Suaranya sangat perlahan sehingga seperti orang
mengigau, mendadak ia pegang lelaki itu pula dan memohon
dengan sangat. "Sudi.... sudilah engkau memberikan pipa itu
kepadaku. sebenarnya aku anggap diriku ini orang mati. tapi
bila kuraba ukirannya. seketika aku seperti hidup kembali. Bila
meraba ukirannya. aku merasa dapat menahan segala
penderitaan apa pun. Selamanya aku tak pernah menyukai
sesuatu benda apapun. kumohon dengan sangat. sudilah
engkau memberikannya padaku. Lain kali bila.... bila kau
datang lagi, tentu aku akan....."
Ratapan itu sama memilukannva seperti apa yang
diucapkan Tang-sam-nio. Hampir saja Coh Liu-hiang tidak
tahan dan ikut memohon baginya.
Tapi belum lagi habis ucapan perempuan itu, "Plak"
sekonyong-konyong terdengar suara tamparan keras,
agaknya perempuan itu telah digampar hingga jatuh.
Lalu terdengar lelaki itu mendengus. "Hm, lebih baik
tanganmu digunakan meraba lelaki saja. perempuan hina
macam kau juga berani..."
Mendadak Tang-sam-nio melepaskan pegangan Coh Liuhiang
terus menubruk ke arah lelaki itu.
Murka! Hanya kemurkaan saja yang dapat menyadarkan orang
dari pati rasa. Hanya kemurkaan saja yang dapat membuat
orang melupakan segalanya. Dan Tang-sam-nio telah kalap
dan tidak pedulikan apapun juga ketika menubruk orang itu.
Ia merasa tamparan orang itu seakan menampar
mukanya. Sudah tentu mimpi pun lelaki itu tidak tahu akan
ditubruk orang dari samping, ia menjerit kaget dan "tring",
sesuatu benda terjatuh ke lantai, jelas itulah pipa tembakau
yang dimaksudkan. Kedua orang yang sedang ronda tadi segera berhenti
begitu mendengar suara orang dan berdiri diam di samping,
setelah mendengar jeritan kaget itu, serentak mereka
menubruk maju. Bisa jadi pada detik itu juga semua perangkap akan
digerakkan. Mungkin Coh Liu-hiang juga akan terjebak ke
dalam cengkeraman 'kalong', segala daya upaya tampaknya
akan gagal total. Gagal hanva oleh sebuah pipa tembakau
saja. Padahal untuk sampai di sini, entah sudah berapa banyak
kfesukaran yang ditempuh Coh Liu-hiang dan berapa imbalan
yang telah dibayarnya. sekarang dia harus berkorban cuma
lantaran sebuah pipa tembakau. Bilamana ada orang
mengetahui akan nasibnya, tentu orang akan menyesal dan
mungkin akan menangis baginya.
Akan tetapi Coh Liu-hiang sendiri tidak menyesal. Sebab ia
tahu persoalannya bukan lantaran sebuah pipa tembakau,
melainkan kehormatan insani, harkat manusia. Betapapun
harga yang harus dibayarnya ia pun rela, sekalipun harus
mengorbankan jiwa juga dia tidak sayang.
Segera Coh Liu-hiang juga bergerak, memapak ke arah
kedua peronda tadi, seketika kedua orang itu merasa ada
prang menyongsong mereka, namun terlambat, sikut Coh LiuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
hiang dengan telak menyodok lambung mereka. Gerakan Coh
Liu-hiang sungguh cepat luar biasa, kecepatan maksimal yang
dapat dicapai oleh manusia dan tidak nanti dapat dibayangkan
orang lain. Habis itu terus memutar balik dan menghadapi lelaki tadi.
Tang-sam-nio sudah terpental karena hantaman orang itu.
Terdengar orang itu sedang membentak. "Siapa kau"........."
Belum habis ucapannya. tahu-tahu pukulan dahsyat Coh
Liu-hiang sudah menyambar tiba.
Sekali ini orang itu sudah waspada. ia sempat
menghindarkan serangan Coh Liu-hiang, orang yang bisa
datang ke Pian-hok-to sudah tentu bukan sembarang orang.
Segera ia menggeser langkah dan menampar pula. yang
digunakan adalah gerakan 'Toa-sui-pi-jiu' (gerakan
membanting dan melempar) yang lihai.
Akan tetapi dia keliru. Dalam kegelapan begini, mestinya
dia tidak perlu mengeluarkan tenaga pukulan sedahsyat itu
sebab deru angin pukulannya berbalik menunjukkan tempat
dimana dia berada. Karena itulah, begitu tangannya bergerak,
seketika urat nadi pergelangan tanganjuga lantas terpencet
lawan. Mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa musuh yang
dihadapi sedemikian hebat. Padahal ia sendiri tergolong tokoh
terkenal, sudah banyak pengalaman. tentu lebih sering
menang daripada kalah, maka dia masih dapat hidup jaya
sampai sekarang. Tapi mati pun dia tidak percaya bahwa di
dunia ini ada seseorang dapat memegang urat nadinya hanya
dalam satu gebrakan saja.
Keruan ia kaget dan membentak, "siapa kau"..... Tetapi
belum habis ucapannya, sekujur badan lantas lemas.
beberapa Hiat-to penting telah tertutuk hingga tak bisa
berkutik lagi. Tangan yang menutuknya itu bergerak sangat cepat dan
enteng. ternyata jauh lebih berguna daripada gerak 'Toa-suipijiu'nya yang maha kuat. Segera ia mendengar seorang membisikinya, "Ingat,
mereka juga manusia, jangan kau aniaya mereka!"
Asalkan manusia maka dia harus diperlakukan sama adil.
Siapapun tidak berhak merampas harkat dan jiwa orang lain.
ooooo00000oooooooo Makhluk hidup di dunia ini hanya sebangsa kalong dan
kelelawar saja yang dapat terbang berdasar daya perasa
sendiri. Waktu terbang, kelelawar membawa semacam suara aneh
dan khas. bilamana suara ini menyentuh sesuatu benda,
seketika akan diketahui oleh kelelawar itu. Jadi semacam
sistem radar zaman sekarang.
Sekarang Coh Liu-hiang mendengar semacam suara yang
aneh, segenap penjuru seakan-akan penuh dengan suara
khas ini. Ia tahu manusia kelelawar dari neraka mulai datang.
Alat perangkap belum lagi digerakkan, juga tidak ada senjata
rahasia yang terbidik, sebab di sini masih banyak tetamu
undangan. hakikatnya mereka pun belum jelas apa yang
terjadi di sini. Akan tetapi selekasnya mereka pasti akan tahu.
Tidak ada orang yang dapat melawan mereka dalam
kegelapan yang tiada harapan ini. Sebaliknya mereka sudah
terbiasa dalam kegelapan, ilmu silat dan serangan mereka
mungkin tidak menakutkan jika dilakukan di tempat yang
terang, tapi dalam kegelapan jiwa setiap orang dapat
direnggutnya. Coh Liu-hiang juga manusia. ia pun tidak terkecuali dan
sukar terhindar dari nasib buruk itu.
Cuma segala apa memang selalu terjadi dalam sedetik
yang sangat singkat. Jika sekarang Coh liu-hiang mau kabur
atau merayap ke atas dinding umpamanya, tentu tiada orang
yang mampu mengejarnya, sedikitnya ia dapat
menyelamatkan diri dari ancaman maut ini.
Tapi di dunia ini ada juga orang yang benar 'tam-su-ya',
artinya konsekuen terhadap sesuatu, terhadap orang atau
urusan Dalam keadaan bagaimanapun gawatnya, tidak nanti ia
meninggalkan kawan. Dan begitulah pribadi Coh Liu-hiang.
Didengarnya Tang-sam-nio membisikinya, "Lekas lari,
belok ke kanan, di depan sana...." Tapi baru sampai di sini,
Coh Liu-hiang menarik tangannya dan berseru tertahan.
"Hayo, lari....."
"Tidak aku tidak mau pergi," jawab Tang-sam-nio. "Harus
kutemukan dulu pipa tembakau itu dan kuberikan padanya ."
Coh Liu-hiang menghela napas gegetun dan hendak
bicara lagi. Dalam keadaan demikian, jiwa sendiri juga sukar
diselamatkan, tapi perempuan ini malah ingin menemukan
pipa tembakau yang jatuh itu, seakan-akan pipa tembakau itu
jauh lebih penting daripada jiwa sendiri
Jika orang lain tentu akan menganggap perempuan itu
sudah gila. atau paling tidak tentu tolol andaikan tidak
ditinggalkan, tentu akan menyeretnya pergi secara paksa.
Tapi Coh Liu-hiang tidak berbuat begitu. Ia tidak pergi
sendiri, juga tidak menyeretnya secara paksa, ia pun tidak
merintangi kehendak perempuan itu. Sebaliknya ia malah
membantunya mencari. Sementara ia tahu yang dicari sesungguhnya bukan pipa
tembakau segala, yang dicarinya adalah peri kemanusiaan
yang sudah jatuh. harkat manusia yang hilang.
Untuk ini Coh Liu-hiang harus bantu menemukannya.
Memang begitulah pribadi Coh Liu-hiang. Demi berbuat
sesuatu yang dia anggap harus dikerjakan maka dia tak peduli
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala akibatnya, sekalipun golok mengancam di atas
kuduknya juga takkan mengubah pendiriannya.
ooooooooo000000000ooooooooooo
"Akhirnya pipa tembakau itu ditemukan tidak?"
Inilah pertanyaan Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang
setelah mendengar ceritanya.
"Sudah tentu ketemu." jawab Coh Liu-hiang. "Dan bila pipa
tembakau itu ditemukan. bisa jadi saat itu jiwamu yang akan
hilang " "Bukankah sekarang aku masih hidup segar bugar?" Oh
Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Kau keparat ini
memang selalu mujur. Tapi dalam kegelapan begini, cara
bagaimana kau menemukan pipa tembakau itu" Itu kan sama
saja seperti menggagap jarum di dasar lautan?"
Coh Liu-hiang tertawa. jawabnya secara aneh, "Jarum kan
tidak berbau?" "Jarum tak berbau, sedang pipa tembakau berbau. Waktu
pipa tembakau jatuh ke dasar lantai, tutupnya terlepas. dan
baunya tersebar, meski kami tak dapat melihatnya, tapi dapat
mencium baunya sehingga ketahuan dimana letak benda itu."
Sekarang Oh Thi-hoa benar-benar menyerah, ia menghela
napas panjang. katanya, "Ehm, kau benar-benar anak yang
berbakat tinggi, jika diriku, dalam keadaan begitu tak nanti
timbul pikiran semacam ini. Jika aku yang disuruh mencari,
mungkin tiga hari juga tak dapat menemukannya."
"Ya, terus terang. aku pun rada kagum terhadap diriku
sendiri," kata Coh Liu-hiang.
"Padahal, meski otakmu sangat encer. tapi hidungmu kan
cacat. mengapa mendadak jadi tajam juga daya kerjanya?"
"Justru lantaran ciri hidungku ini bila mengendus bau
tembakau lantas bersin. maka untuk mencari pipa tembakau
itu menjadi lebih mudah."
Mau tak mau Oh Thi-hoa menggeleng kepala dan
menghela napas pula, katanya, "Terkadang aku pun tidak
paham, mengapa setiap kali menghadapi bahaya, selalu
timbul pikiranmu yang baik dan mendapat akal yang paling
bagus hingga segala bahaya berubah menjadi aman.......
sesungguhnya ini memang keahlianmu atau cuma mujur
saja?" oooo000oooo Waktu Coh Liu-hiang menyerahkan pipa tembakau kepada
perempuan yang malang itu, saking terharunya, perempuan
itu mencucurkan air mata. Sungguh tak tersangka oleh
perempuan itu bahwa dia masih mempunyai air mata untuk
dicucurkan. Sekarang, sekalipun dia mati juga bukan soal lagi,
sedikitnya ia sudah menemukan sesuatu yang paling berharga
pada sifat manusia, betapapun masih ada orang yang
menganggapnya sebagai manusia dan mau memperhatikan
dia. Tapi bagi Coh Liu-hiang, setelah pipa tembakau itu
ditemukan, mau tak mau ia harus tetap tinggal di situ. Tiada
jalan lagi baginya untuk pergi.
Suara aneh tadi kini telah memenuhi segenap penjuru dan
membuat orang mengkirik. jelas tempat ini sudah terkepung,
entah berapa banyak orang yang datang, juga tak diketahui
orang-orang macam apa yang datang ini.
Sampai dinding batu juga timbul suara aneh dan khas,
kepungan mereka rasanya seperti sebuah jaring yang
mencakup segala penjuru dan tiada sesuatu lubang apapun.
Rasanya Coh Liu-hiang tidak bisa kabur, kemana pun dia
pergi pasti akan terjaring. Tapi jika dia tinggal diam saja di sini,
kan juga akan ditemukan oleh mereka"
Dia seperti sudah buntu, tiada jalan lolos lagi. Jika Oh Thihoa
sejak tadi tentu dia sudah menerjang dan mengadu jiwa
dengan mereka. Tapi Coh Liu-hiang tidak bertindak demikian.
Coh Liu-hiang mempunyai cara kerja sendiri. Dia selalu
mendapatkan akal yang paling baik pada saat yang paling
gawat. Ruangan ini paling-palng dua-tiga tombak persegi,
hanya ada sebuah meja. sebuah bangku dan sebuah ranjang,
tiada jendela juga tiada pintu tembus lain. Ruangan ini jadi
seperti sebuah gentong dan Coh Liu-hiang justru berada di
dalam gentong. Orang yang datang jelas sangat banyak, sedikitnya
ratusan, yang masuk menggeledah ke situ juga ada tujuhdelapan
orang. Setiap orang memegang sepotong pentung
kecil panjang. Pentung ini seperti sungut pada bangsa
serangga, digunakan untuk mencari barang yang
mencurigakan. Jadi pentung ini sama dengan mata mereka
dalam kegelapan. Untuk mencari dua orang di dalam sebuah kamar yang
begitu kecil, sudah tentu tidak sulit, asalkan 'sungut' mereka
menyentuh tubuh Coh Liu-hiang, maka pasti akan tertangkap.
Dengan pentung itu. orang-orang itu telah memeriksa
setiap pelosok ruangan itu, sampai kolong tempat tidur, di
bawah meja. bagian langit-langit, tiada sesuatu tempatpun
yang dilewatkan Tapi sebegitu jauh Coh Liu-hiang tidak
ditemukan. Kemanakah Coh Liu-hiang bersembunyi" Dia
bukan dewa, bukan ahli sulap, apakah dia benar-benar dapat
menjadi seekor kutu busuk dan sembunyi di sela-sela tempat
tidur" Apalagi dia membawa serta Tang-sam-nio. Dua orang
sebesar itu dan bersembunyi di dalam ruangan sekecil itu,
mengapa tak bisa ditemukan oleh mereka" Sungguh aneh,
sungguh sukar dimengerti"
Agaknya orang-orang yang masuk menggeledah itupun
rada terkejut dan heran, mereka mulai menyiksa perempuan
malang tadi dan menanyai dia. "Kemana orang tadi?"
"Orang apa" Hakikatnya tiada kedatangan siapapun."
"Jika tak ada yang datang. cara bagaimana ketiga orang
itu bisa mati?" "Entah, sama seka1i aku tidak melihat apa-apa, cuma
kudengar suara jeritan. bisa jadi mereka saling membunuh
sendiri." Suara perempuan itu kedengaran gemetar sambil
merintih, jelas dia mengalami siksaan yang amat berat. Tapi
dia tetap mengertak gigi dan bertahan, mati pun dia tidak mau
mengaku. Mendadak seseorang bertanya. "Yang mati itu siapa?"
Suaranya seperti sudah dikenal, itulah suara Ting Hong.
Segera ada yang menjawab dengan sangat hormat, "Yang
mati Tio Kang, tokoh ternama dari Toa-beng-hu. Selain itu ada
lagi kedua saudara kita dari peronda keenam puluh sembilan."
Keterangan ini membuat Coh Liu-hiang ikut terkejut. Ia
tahu Tio Kang berjuluk "Tan-cing-khay-pi" atau satu tangan
menghancurkan pilar. Ilmu silatnya tergolong jago kelas satu
di dunia Kangouw, Coh Liu-hiang sendiri juga tidak mengira
dapat merobohkannya hanya dalam satu kali gebrak saja.
Manusia baru dapat mengerahkan kesanggupannya yang
paling besar apabila dalam keadaan kepepet. Setelah berpikir
sejenak baru Ting Hong berkata pula.
"Ketiga orang ini tidak mati. masa orang hidup atau mati
tak dapat kalian bedakan?"
Tiada seorang pun yang berani menjawab. Habis itu lantas
terdengar suara keluh perlahan Tio Kang.
"Apa-apaan ini" Siapa yang menutuk Hiat-tomu?" tanya
Ting Hong. "Siapa tahu?" jawab Tio Kang dengan penasaran
Hakikatnya bayangan setan saja tak kulihat."
"Cara bagaimana ia menutuk Hiat-tomu?" tanya pula Ting
Hong setelah termenung sejenak.
"Entah, darimana dapat kulihat" Tahu-tahu Hiat-toku
tertutuk begitu saja," jawab Tio Kang, "Apakah.... apakah
kalian tidak menangkapnya?"
"Tidak," jawab Ting Hong.
Salah seorang menukas, "Sejak tadi kami mengepung
tempat ini, biarpun seekor lalat pun tak dapat terbang keluar."
"Hm, lalat mungkin tak dapat kabur keluar tapi orang ini
pasti dapat lolos," jengek Ting Hong.
Tio Kang menghela napas gegetun, gumamnya, "Dia
hakikatnya bukan manusia, tapi setan, selama hidupku ini
belum pernah kulihat gerak tangan yang begitu cepat."
"Tentunya kau dapat menerka siapa dia?" ujar Ting Hong.
"Engkau sendiri tahu siapa dia?" tanya Tio Kang.
"Ehmm," agaknya Ting Hong mengangguk.
"Siapa?" "Coh Liu-hiang!"
Mendengar nama ini, seketika Tio Kang tertegun, ia
termenung sejenak, lalu berkata, "Darimana kau tahu dia itu
Coh Liu-hiang?" "Jika dia bukan Coh Liu-hiang, sejak tadi jiwa kalian tentu
sudah melayang, kalian pasti terbunuh agar tidak memberi
keterangan!" Tio Kang tidak bersuara lagi, air mukanya sangat lucu,
sedikitnya pasti menyengir.
'To Swe' Coh Liu-hiang, panglimanya pencuri, si maling
budiman, selama ini dalam keadaan bagaimanapun, belum
pernah dia membunuh pecundangnya. Selama beratus tahun
ini, di antara pendekar-pendekar ternama di dunia persilatan
yang tangannya tak berbau darah. mungkin cuma Coh Liuhiang.
Hal ini sudah lama tersiar di dunia Kangouw dan menjadi
cerita, dengan sendirinya Tio Kang sendiri pernah mendengar.
Bahwa dia ternyata kebentur Coh Liu-hiang, untuk ini ia
sendiri tidak tahu apakah mujur atau malang, untung atau sial.
Ting Hong termenung sejenak, katanya kemudian,
"Sekarang kalian mundur ke tempat penjagaan masingmasing."
"Mundur" Akan.,., akan tetapi..." ada yang ragu-ragu.
"Mau apa jika tak mundur?" jengek Ting Hong,
"Memangnya Coh Liu-hiang akan tinggal di sini menunggu
kalian?" Terpaksa orang itu mengiakan dan memerintahkan kawankawannya
agar mundur ke pos penjagaan masing-masing.
"Dimulai pada peronda ketujuh puluh nanti. setiap jam
ditambah lagi dengan enam regu peronda," demikian Ting
Hong menambahkan perintahnya. "Asalkan ketemu orang
yang tidak membawa tanda pengenal, bunuh saja habis
perkara." ooo0000oooo "Sesungguhnya kau sembunyi dimana waktu itu?"
Demikian pertanyaan Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang ketika
diceritakan pengalamannya, serupa orang lain, ia pun tak
dapat menerkanya. "Di tempat tidur, sejauh itu kami berbaring saja di tempat
tidur," demikian tutur Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Di tempat tidur?" teriak Oh Thi-hoa tertawa. "Dua orang
sebesar kalian berbaring di tempat tidur dan tidak ditemukan
mereka" Apakah mereka orang tolol atau memang goblok?"
"Sudah tentu aku memakai akal."
"Akal apa" Masa di tempat tidur itu ada alat rahasianya?"
"Tidak ada, di tempat tidur itu tidak ada apa-apanya selain
selimut saja." "Habis menggunakan akal apa" Masa kau benar-benar
berubah jadi kutu busuk dan menyusup ke sela-sela tempat
tidur?" "Coba kau terka akal apa yang kugunakan?"
"Persetan! Siapa yang dapat menerka akal setan apa yang
kau gunakan?" Coh Liu-hiang tertawa. lalu berkata, "Sebenarnya akal
yang kugunakan sedikitpun tidak aneh. Begini caranya,
kusuruh perempuan itu tidur di satu sisi dan menarik kencang
selimutnya, sedangkan aku berbaring di sisi yang lain dan juga
menarik kedua ujung selimut, ketika pentung mereka menyapu
lewat di atas selimut tentu saja di atas tempat tidur tiada
terdapat apa-apa, tak tahunya kami justru berbaring di bawah
selimut." Oh Thi-hoa tercengang hingga lama, lalu menghela napas
panjang dan bergumam, "Busyet. akalmu ini memang sama
sekali tidak aneh. Tapi hanya kau setan alas ini saja yang
mampu memikirkan akal yang tidak aneh ini."
"Sudah tentu telah kuperhitungkan, mereka pasti tak
menyangka kami berbaring di tempat tidur, apalagi selimutnya
sudah kami bentang rata di atas," ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi saat itu cukup asalkan ada setitik cahaya saja, maka
tamatlah riwayatmu." kata Oh Thi-hoa.
"Jangan lupa, di Pulau Kalong ini sama sekali tidak boleh
ada setitik cahaya apapun," kata Coh Liu-hiang. "Segala
sesuatu di dunia ini ada faedahnya tentu juga ada cirinya.
Mungkin Pian-hok Kongcu tak pernah menyangka bahwa
kegelapan di pulaunya ini malah banyak membantu
kesukaranku." "Tapi mereka beronda seketat itu, cara bagaimana kau
dapat lolos?" "Begitu mereka mundur pergi, segera pula kukabur. Sebab
aku pun tahu penjagaan mereka pasti bertambah ketat setelah
kejadian itu. tapi waktu mereka mundur bersama tentu juga
agak kacau. jika kesempatan baik itu tidak kugunakan,
selanjutnya jangan harap akan dapat lolos."
'Tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan', inilah
pedoman hidup Coh Liu-hiang yang selalu ditaatinya.
ooooo000ooooo Dalam kegelapan. Oh Thi-hoa dan Thio Sam benar-benar
mati kutu. Selagi mereka menggerutu panjang-pendek. tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang datang ke arah mereka. Suara
tindakan dua orang. Suara langkah seorang lebih berat, tapi langkah yang
seorang lagi sangat enteng, seenteng setan iblis atau badan
halus, jika Oh Thi-hoa tidak menempelkan telinganya ke lantai,
hakikatnya tidak dapat mendengarnya.
Siapa lagi yang mempunyai suara langkah kaki seringan
itu kecuali Coh Liu-hiang. Ginkang Coh Liu-hiang memang
terkenal tiada bandingannya di dunia ini.
Tinggal setitik harapan yang masih tersisa dalam hati Oh
Thi-hoa, segera ia mencoba menegur, "Kutu busuk tua!"
Pendatang lantas menjawab. "Siau Oh"
Seketika Oh Thi-hoa melenggong. setitik harapannya yang
terakhir rupanya juga hanyut sekarang. Dia berharap Coh Liuhiang
masih bebas di luar dan akan berusaha menolongnya,
siapa tahu kini si 'kutu busuk' itupun tergusur ke dalam
penjara. Dengan gemas ia lantas berkata, "Keparat, mengapa kau
pun datang kemari"' Selama ini kepandaianmu kan maha
Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat" Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, ia mendekati Oh Thi-hoa.
"Kau masuk sendiri ke sini?" tanya Oh Thi-hoa bingung.
"Sudah tentu kumasuk sendiri, aku kan bukan ikan?" ujar
Coh Liu-hiang dengan tertawa. Lalu ia membuka jaring dan
melepaskan Hiat-to Oh Thi-hoa yang tertutuk. Oh Thi-hoa
menghela napas ucapnya sambil menyengir,
"Aku memang ikan, ikan sialan, kepandaianmu memang
jauh lebih tinggi daripadaku."
Dalam pada itu Hiat-to Thio Sam sudah dibuka Coh Liuhiang,
ia bertanya, "Darimana kau tahu kami berada di sini?"
"Berkat bantuan sahabatku ini, dia yang mengantarku ke
sini," kata Coh Liu-hiang.
"Sahabatmu" Siapa dia?" tanya Thio Sam heran.
"Dia bernama Tang-sam-nio.... kuyakin kelak kalian pun
dapat bersahabat dengan baik."
"Sudah tentu. kawanmu adalah juga kawanku. Cuma
sayang, sekarang kita tak dapat melihatnya," kata Oh Thi-hoa
dengan tertawa. Lalu ia menyambung. "Eh. Tang-sam-nio.
baik-baikkah kau" Aku bernama Oh Thi-hoa, ada lagi seorang
temanku bernama Thio Sam."
"Baik..." suara Tang-sam-nio rada gemetar. bisa jadi
lantaran dia tak pernah mempunyai sahabat. Maklum. selama
ini tiada seorang pun yang mau menganggapnya sebagai
sahabat. "Mana nona Kim?" tanya Coh Liu-hiang.
"Entahlah...... " cepat Thio Sam mendahului menjawab.
"Bisa jadi Siau Oh tahu, tapi dia tidak mau omong."
"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang. "Setan yang tahu apa
sebabnya," jawab Thio Sam.
Oh Thi-hoa termenung agak lama, habis itu baru berkata
dengan geregetan, "Sudahlah, kita tak perlu mencarinya."
Coh Liu-hiang jadi terkejut, "Kenapa" Masa dia sudah....."
"Hakikatnya dia tidak terjun ke bawah," kata Oh Thi-hoa.
"Apa betul?" seru Thio Sam.
"Sejak mula kuberdiri di sampingnya, ketika hitungan
sudah genap lima puluh. Segera kuterjun ke bawah tapi dia
tetap diam saja di atas kereta. pasti tidak keliru lagi."
"Mengapa dia tidak ikut terjun?" tanya Thio Sam bingung.
"Dia memang sahabat lama orang di Pian-hok-to ini. untuk
apa dia ikut terjun bersama kita" Bukan mustahil kereta luncur
itupun perangkap yang sengaja dipasang untuk menjebak
kita," kata Oh Thi-hoa dengan gemas.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya. "Sudah dua kali
kau salah menuduh dia. hendaklah jangan sampai terjadi lagi
ketiga kalinya." "Kau bilang salah menuduh dia, memfitnah belaka?" tanya
Oh Thi-hoa dengan mendongkol.
"Ehm." Coh Liu-hiang mengangguk.
"Jika begitu, coba jelaskan. mengapa dia tidak ikut terjun
bersama kita?" Apakah berhitung sampai lima puluh saja dia
tidak mampu ?" "Apa yang dilakukannya itu justru demi kita, demi kau." ujar
Coh Liu-hiang. Hampir saja Oh Thi-hoa berteriak lagi. katanya. "Demi
diriku" Demi supaya aku terjun ke dalam jaring ini?"
"Dia pasti tidak tahu di bawah ada perangkapnya," kata
Coh Liu-hiang. "Jika begitu kan seharusnya dia ikut terjun ke sini!"
"Bila dia ikut terjun juga, bukankah kereta luncur itu akan
kosong?" "Memangnya kenapa kalau kosong?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kalau Pian-hok Kongcu tahu kereta gantung itu meluncur ke
sana tanpa suatu sebab, tentu akan menduga pasti ada orang
menyusup masuk ke sini dan dia pasti juga akan memperketat
penjagaan. Sebab itulah nona Kim sengaja tinggal di atas
kereta, ia lebih suka mengorbankan diri sendiri demi
keselamatan kita." Tiba-tiba Tang-sam-nio menghela napas panjaang,
ucapnya dengan rawan, "Engkau seakan-akan selalu
memikirkan kebaikan orang dan selalu berpikir jauh......."
"Makanya banyak orang yang menganggap dia sangat
menyenangkan," kata Thi0 Sam dengan tertawa.
Oh Thi-hoa juga menghela napas, katanya, "Jika dia
bertekad berbuat begitu, mengapa sebelumnya aku tidak
diberitahu?" "Jika kau diberitahu, apakah kau akan tinggal diam dan
membiarkan dia berbuat ebgitu?" tanya Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menggentakkan kaki dan bergumam. "Ai,
tampaknya aku memang benar-benar brengsek dan konyol."
Di sini seperti masih ada seorang teman lagi, siapa dia?"
tanya Coh Liu-hiang tiba-tiba.
"Kau pasti tak dapat menerka siapa dia," ujar Thio Sam.
Tapi Coh Liu-hiang lantas berucap dengan tak acuh,
"Jangan-jangan Kau-heng?"
Seketika Thio Sam melengak, katanya sambil menyengir.
"Wah, tampaknya kau seperti dewa saja. cara bagaimana kau
tahu akan dia?" Sudah tentu Coh Liu-hiang tahu. sebelumnya sudah
diduganya orang macam Kau Cu-tiang itu pasti akan
mengalami nasib demikian.
"Apakah Kau-heng terluka parah?" tanya Coh Liu-hiang.
Kau Cu-tiang merintih perlahan, katanya. "Hiangswe tidak
perlu mengurus diriku. memang inilah ganjaranku yang
setimpal. Engkau... kalian silakan pergi, Pian-hok Kongcu
berada di tingkat teratas saat ini mungkin sedang menjamu
tetamunya." Mendadak seseorang menanggapi dengan nada dingin,
"Mereka juga takkan pergi. mereka akan tinggal di sini untuk
menemani kau, menemani kematianmu."
Suara orang itu datang dari luar pintu, sukar untuk
dilukiskan betapa menakutkan. betapa mengerikan nada
suaranya itu, hakikatnya mirip suara tangisan setan di kuburan
sunyi di tengah malam buta. Belum habis ucapan orang,
serentak Oh Thi-hoa menerjang ke sana. Tapi baru saja Oh
Thi-hoa bergerak, pintu penjara sudah tertutup rapat.
Pintu itu adalah pintu batu, tebalnya hampir satu meter,
dindingnya jangan ditanya lagi, jauh lebih tebal.
Bila pintu batu itu digembok dari luar. maka tempat ini akan
berubah menjadi sebuah kuburan dan rombongan Coh Liuhiang
akan terkubur hidup-hidup di sini.
"Cara bagaimana kau masuk ke sini tadi?" tanya Oh Thihoa
kepada Coh Liu-hiang. "Di luar memang ada gemboknya, tapi gembok telah
kurusak," jawab Coh Liu-hiang.
"Setelah kau masuk kemari, pintunya kau tutup kembali?"
'Sudah tentu kututup kembali. mana boleh kubiarkan ada
orang mengetahui pintunya terbuka?"
"Dan adakah orang tahu kalian masuk ke sini?"
"Di luar tiada penjaga. mungkin mereka yakin tiada orang
yang mampu kabur dan penjara yang tertutup rapat ini." "Jika
demikian, darimana datangnya orang tadi?" Maka Coh Liuhiang
tak dapat bicara lagi. "Bisa jadi... bisa jadi orang itu sejak mula sudah menguntit
di belakang kalian," tiba-tiba Thio Sam berkata.
"Ai, mungkin....." gumam Coh Liu-hiang. Kembali Oh Thi
hoa menjerit, "Mustahil, mana mungkin Coh Liu-hiang tidak
tahu dikuntit orang dari belakang. kecuali orang itu adalah
badan halus." "Kau berteriak apa" Di sini memang ada setan, kalau kau
menjerit-jerit lagi, mungkin setannya akan mencarimu." kata
Thio Sam. "Aku sendiri hampir berubah menjadi setan, masa kutakut
pada setan" jawab Oh Thi-hoa dengan geregetan.
"Eh, siapakah yang masih menyimpan geretan api?" tibatiba
Thio Sam bertanya. "Darimana ada geretan api" Jangan lupa, kita ini diciduk
orang dari dalam laut," kata Oh Thi-hoa dengan mendongkol.
"Aku punya," tiba-tiba Kau Cu-tiang berkata. "Aku masih
menyembunyikan sebuah geretan api di balik kaos kakiku."
"Hah, tidak digeledah mereka?" seru Thio Sam girang.
"Geretan ini buatan 'Pi-lik-tong' (nama pabrik korek api) di
kotaraja yang biasa melayani pesanan pihak kerajaan,
bentuknya kecil mungil dan tidak takut air," tutur Kau Cu-tiang.
"Betul, aku pun pernah mendengar, konon geretan api
sekecil ini bernilai ribuan tahil perak, jarang ada orang yang
mampu membelinya," tukas thio Sam.
"Aha, sudah kutemukan, inilah geretannya," seru Kau Cutiang.
Tapi mendadak Tang-sam-nio berteriak, "Jangan, tidak
boleh menyalakan api di sini."
"Tidak boleh" Apakah kuatir diketahui musuh?" tanya Oh
Thi-hoa. "Kita terkurung di sini, apa yang perlu ditakutkan?"
Lalu ia menyambung pula dengan tertawa. "Apalagi aku
pun ingin melihat wajahmu, setiap teman baik si kutu busuk
mesti kulihat?""
Kembali Tang-sam-nio berteriak parau. "Tidak, jangan,
kumohon dengan sangat, janganlah menyalakan api. jangan!"
Suaranya penuh rasa seram dan takut. Padahal mati saja
dia tidak takut. mengapa takut pada cahaya api"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang ingat tubuh Tang-sam-nio masih
telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, Maka diam-diam ia
menanggalkan baju luar sendiri dan menyelampirkan di tubuh
perempuan itu. Dengan gemetar Tang-sam-nio berkata pula. "Kumohon
dengan sangat, janganlah menyalakan api, aku..... aku takut."
Tapi, waktu itu cahaya api sudah terang.
Begitu sinar api menyala. seketika semua orang terkesiap
dan melenggong. Padahal di tengah kegelapan yang mendekati keabadian
ini, sekalipun setitik sinar sudah cukup membuat orang
kehirangan setengah mati.
Tapi sekarang wajah setiap orang mengunjuk rasa kaget,
heran, ngeri dan haru yang tak terkatakan.
Apa yang menyebabkan timbulnya macam-macam
perasaan itu" Pandangan semua orang sama tertuju pada
Tang-sam-nio. Meski tubuhnya sudah dilampiri baju luar Coh Liu-hiang,
tapi tetap tak dapat menutupi garis tubuhnya yang gempal dan
menarik serta pahanya yang indah itu. Di bawah cahaya api,
kulit badannya terlihat seputih salju.
Air mukanya putih pucat seperti kertas, mungkin lantaran
sepanjang tahun tidak pernah melihat sinar matahari. Tapi
wajah yang pucat itu tampaknya menjadi lebih menggiurkan.
Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan mungil, pada waktu
bicara juga kelihatan sangat menarik.
Dia benar-benar seorang perempuan cantik. Siapa yang
melihatnya pasti akan tertarik. mana bisa merasa takut malah"
Sebabnya adalah karena matanya.
Rahasia Benteng Kuno 1 Pendekar Bloon 18 Batu Lahat Bakutuk Sepasang Pedang Iblis 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama