Ceritasilat Novel Online

Pedang Tanduk Naga 8

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 8


Dengan menggembor keras, ia gunakan jurus Koay-coa-hoan-sin atau Ular-anehmembalik-tubuh, diserempaki dengan gerak pukulan dari kedua tangannya dalam
jurus Lui-san-kiau-ka atau Guntur-kilat-saling-berhamburan. serangan jurus kedua
itu jauh lebih cepat dari yang tadi.
"Jurus kedua!" seru Gin Liong seraya bergeliatan dengan indah dan lincah.
Dua kali serangannya tak berhasil, membuat Beng thancu marah bukan kepalang,
wajahnya yang hitam makin seperti pantat kuali, Dengan menggemeretukkan
geraham ia membentak keras:
"Orang she Siau, engkau benar2 terlalu sombong!"
Setelah memperhatikan posisi Gin Liong, ia loncat seraya menghantam dengan
jurus Bong-hou-Jut-ku atau harimau-buas-keluar-sarang. Menampar, mendorong,
menyodok dan menabas. Gerakannya sudah tak menyerupai jurus2 ilmu silat lagi.
Melihat itu diam2 Gin Liong kerutkan dahi. Pikirnya, kalau ia mau balas
menyerang, sudah tentu batok kepala lawan akan hancur, Cepat ia salurkan tenaga dalam ke
tangan. Tetapi tiba2 ia teringat bahwa jurus ketiga dari serangan lawan belum
selesai. Terpaksa ia tarik kembali persiapannya dan tertawa geli sendiri.
Bahwa dalam menghadapi serangan kalap dari Beng thancu, Gin Liong masih enak2
saja, sekalian anak buah dan jago2 ko-jiu yang beradia disekeliling tempat itu
dapat melihat jelas. Hatinya Beng thancu sendiri yang masih tak menyadari dan nekad
melancarkan serangan dengan kalap.
Tiba2 terjadi suatu peristiwa yang menegangkan. Saat itu angin pukulan Beng
thancu sudah melebarkan ulung pakaian Gin Liong. Tangannya pun hanya terpisah
tiga inci dari jalan darah anak muda itu.
Ong Gi Tiong saking terkejutnya sampai berbangkit. Hong-hu Ing sendiri pun
berobah wajahnya, Telapak tangannya sampai mengucurkan keringat dingin,
Semua jago2 ko-jiu yang berada di kedua bangsal pun ada yang berteriak tertahan.
Hanya Yok Lan seorang yang tetap tersenyum duduk ditempatnya, ia sudah faham
akan gerak langkah sukonya.
Tiba2 puncak dari ketegangan itu meletus dikala terdengar Beng thancu berteriak:
"Maaf, Beng Kong-in berlaku kurang adat!"
Serempak pada saat itu juga terdengar Gin Liong pun menyahut: "Tak apa, kita
anggap saja jurus ini jurus yang ketiga!"
"Bum...!" Karena yakin akan dapat mengenai tubuh lawan maka dengan sekuat tenaga Beng
thancu terus gunakan kedua tangannya untuk menampar dengan sekuat tenaga,
Bum . . . . sederet pot bunga yang menghias samping kiri dari titian paseban
hancur berantakan. Beng thancu sendiri terhuyung-huyung jatuh dalam keping2 pot yang
hancur itu, Ketika bangun, mukanya berlumuran darah dan tubuhnya menggigil
keras. Melihat itu Gin Liong terkejut. Cepat2 ia menghampiri, mengangkatnya seraya
meminta maaf, Tetapi sekonyong-konyong Beng thancu membentak karas dan
ayunkan kaki kanannya menendang.
Jarak keduanya amat dekat sekali sehingga tanpa disadari, Yok Lan serentak
menjerit: "Liong koko...!"
Gin Liong sendiri memang terkejut. Untung ia dapat berkelit ke samping lalu
mendorongkan tangannya yang memegang tubuh orang: "Eh, apa-apaan ini?"
"Bum...!" bagaikan sebuah layang2 putus tali tubuh si hitam Beng thancu
terlempar sampai beberapa tombak dan jatuh ke tanah. ia muntah darah beberapa kali,
tubuh meregang-regang, jelas dia tentu menderita luka yang tak ringan. Melihat
itu Gin Liong cepat loncat menghampiri dan cepat melekatkan telapak tangan keperut
orang untuk menyalurkan tenaga dalamnya.
Tetapi rupanya keadaan Beng thhancu sudah tak tertolong lagi, wajahnya hitam
tampak pucat lesi, mata mendelik dan mulut masih mengumur darah hitam yang
sudah mengental. Gin Liong menghela napas, Terpaksa ia berbangkit dan menghadap ke muka ruang
meminta maaf kepada Hong-hu Ing.
Hong-hu Ing merah mukanya, ia merasa bahwa kesalahan terletak pada Beng
thancu sendiri. Cepat ia berdiri dan membalas hormat seraya tertawa: "Ah, Siau
siaupiap terlalu merendah diri, Beng thancu tak tahu kekuatan diri sendiri.
Bagaimana harus mempersalahkan Siau sauhiap . . ."
Tiba2 enam sosok tubuh berhamburan menuju kemuka ruang paseban dan
serempak berseru: "Hamba sekalian mohon diperkenankan untuk meminta beberapa jurus pelajaran
dari Siau sauhiap!" "Ilmu kepandaian Siau siauhiap memang hebat sekali, boleh dikata sudah mencapai
tataran yang tinggi, jangan kalian cari penyakit sendiri!" seru Hong-hu Ing.
Thancu kelima Lui-tian-pat-ciang, Ji thancu tampil selangkah, serunya: "Hanya
dengan demikian barulah kami sekalian mendapat kesempatan untuk menambah
pengalaman. Mohon kaucu suka memberi ijin!"
Keenam thancu itu memandang Gin Liong dengan geram, juga berpuluh-puluh
hiangcu kasak kusuk memperbincangkan Gin Liong.
"Tenang!" teriak Hong-hu Ing lalu berbangkit dan menghampiri keenam thancu itu.
"Adalah Beng thancu sendiri yang salah, apakah kalian tak melihat" Apalagi yang
dipertunjukkan Siau siauhiap itu masih belum seluruh kepandaiannya!" serunya.
Keenam thancu itu tundukkan kepala namun mereka masih membantah,
menyatakan bahwa soal mati bagi mereka itu soal kecil. Tetapi mereka hendak
menjaga keluhuran nama Thian-leng-kau agar jangan sampai diremehkan orang.
Apabila peristiwa Beng thancu itu tersiar keluar, orang tentu akan menertawakan
Thian-leng-kau." Hong-hu Ing tertawa nyaring: "Dunia persilatan hanya membicarakan tentang soal
kekuatan dan kelemahan tetapi orang persilatan sendiri sesungguhnya harus
menjunjung Kebenaran dan Kesalehan, mengapa..."
Baru Hong-hu Ing berkata sampai disini, tiba2 terdengar suara orang tertawa
dingin. Ketua Thian-leng-kau itu cepat berseru nyaring: "Hai, sahabat manakah yang tak
dapat memahami penjelasanku itu?"
"Kaucu memang berhati lapang tetapi karena orang telah datang hendak
menyelesaikan urusan darah, kiranya tentu takkan terhindar dari pertempuran".
Ternyata yang bicara itu adalah kelima imam dari Lo-san.
"Totiang, apakah maksud ucapan totiang itu." seru Hong-hu Ing dengan wajah bersunggguh2. Imam tertua dari Lo-san Ngo-to, ialah yang bergelar Pedang-darah, serentak
berbangkit dan berseru tajam: "Sambutlah serangan ini!"
Ia taburkan pedang ke udara, sehingga menimbulkan desis angin yang tajam,
kemudian berseru pula: "Budak, lihat pedangku!"
Gerakan imam itu diserempaki pula oleh ke empat kawannya. Mereka maju dan
menyerang Gin Liong dari empat penjuru.
Gin Liong menengadah, bersuit nyaring lalu bergerak berlincahan dalam tata
langkah Sing-hoau cek-kiong yang digabung dengan gerak Liong-li-biau.
Kelima pedang berhamburan laksana hujan mencurah tetapi Gin Liong tetap
berlincahan menyusup di tengah2 hujan sinar pedang itu.
Yang berada di paseban dan bangsawan, kecuali jago2 silat golongan ko-jiu juga
terdapat para ahli pedang, Mereka heran dan kagum menyaksikan pertandingan
itu. Mereka kagum akan ilmu permainan pedang kelima imam tetapi lebih kagum
lagi akan gerakan Gin Liong yang luar biasa anehnya.
Sepeminum teh lamanya tiba2 gerakan Gin Liong makin pesat dan beberapa saat
kemudian terdengar dia membentak: "Lepaskan!"
Tring, tring . .! terdengar dering melengking dan kelima batang pedang
berhamburan melayang ke udara, Empat dari kelima imam itu menjerit ngeri.
Tampak Gin Liong mencengkeram pergelangan tangan imam Pedang-darah dan
dengan wajah berseri tawa, berseru: "Aku hanya menyangka bahwa kalian berlima
imam ini mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Kiranya hanya kawanan
kantong nasi belaka!"
Sekalian ko-jiu dan anak buah Thian-leng-kau ter-cengang2 menyaksikan peristiwa
itu. Melihat Pedang-darah dikuasai Gin Liong ke empat kawannya terus hendak
menyerang, Tetapi cepat Gin Liong memperkeras cengkeramannya dan
membentak: "Siapa yang berani maju cari mati?"
Tangan imam Pedang-darah seperti dijepit baja, sakitnya bukan kepalang, ia memaki2 kalang kabut: "Budak, engkau tak menggunakan ilmu kepandaian
sesungguhnya, aku tetap tak menyerah!"
"Apa yang engkau maksudkan dengan ilmu kepandaian yang sesungguhnya itu?"
bentak Gin Liong. "Engkau menggunakan ilmu Mengaburkan mata dan gerakan langkah setan,
sungguh bukan kepandaian dari seorang gagah!" seru keempat imam.
Marah Gin Liong bukan kepalang, jika tak bertindak keras, ia tentu tak dapat
menundukkan kelima imam itu demikian pula tak dapat menundukkan kelima
imam itu demikian pula tak dapat pula merontokkan nyali sekalian anak buah
Thian-leng-kau. Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan hal itu kepada kelima imam.
"Baik, akan kuberimu kesempatan sekali lagi untuk menyaksikan ilmu kepandaian
yang sesungguhnya," seru Gin Liong seraya terus melesat memungut pedang
kawanan imam lalu melemparkan kepada pemiliknya, Setelah itu iapun mencabut
pedang Oh-hek-kiam. Melihat itu kelima imam mengira Gin Liong tentu akan mengajak bertanding
pedang, Maka tanpa memperhatikan pedang apa yang dipegang sianak muda,
mereka terus berhamburan mengambil pedang masing2.
Gin Liong tertawa dingin.
"Sebenarnya aku hendak mengajak kalian bertanding ilmu pedang, tetapi kulihat
kalian hanya kawanan kantong nasi dan pedang kalian hanya besi cor saja maka
aku hendak merobah acara, lihatlah!"
Ia segera gunakan ujung pedang untuk membuat sebuah garis lingkaran di tanah,
kemudian loncat kedalam lingkaran itu dan tertawa:
"Hayo, siapa yang mampu masuk ke dalam garis lingkaran ini atau dapat mendesak
aku setengah tapak saja keluar dari garis, aku orang she Siau, akan berjalan
dengan setiap langkah soja (memberi hormat) ke arah Ke-kong-san. Tetapi kalau kalian
tak mampu, hm . . ." Baru Gin Liong mengucap begitu tiba2 dari atas panggung melayang turun empat
sosok bayangan. Salah seorang diantaranya, ketika masih melayang di udara, sudah
berseru: "Toyu berlima, ijinkan kami Empat-iblis gunung Hong-san mewakili toyu
untuk melampiaskan penasaran toyu berlima!"
Empat orang lelaki pertengahan umur yang tulang mukanya menonjol dan bengis,
tubuh gagah perkasa segera mengepung Gin Liong.
Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa ke empat iblis itu ahli dalam tenaga gwakang (luar), tetapi mengapa mereka mau membantu kelima imam itu"
Ternyata keempat iblis itu mempunyai perhitungan sendiri, Mereka merasa
sanggup untuk mendesak Gin Liong keluar dari garis lingkaran.
Dihadapan jago2 silat dan tiga belas propinsi, nama mereka tentu akan
termasyhur. Andaikata tak berhasil, merekapun dapat meloloskan sendiri tak sampai kehilangan
jiwa. Karena melihat keuntungan itu, keempat iblis terus lancarkan serangan dengan
pukulan: "Budak she Siau, terimalah pukulan kami!"
"Bagus!" seru Gin Liong geli dan marah, Tanpa bergerak tetapi cukup dengan
melingkarkan tangan kirinya dalam gerak yang terdapat pada kaca wasiat ialah
tangan kiri mendorong tangan kanan menggurat, ia menyambut serangan mereka.
Terdengar angin menderu keras dan rubuhnya empat sosok tubuh ke tanah. Tidak
terluka, juga tidak berdarah tetapi hanya menggeletak kaku diluar garis
lingkaran. Seketika gemparlah sekalian anak buah Thian-leng-kau dan para ko-jiu. Saat itu
sesosok bayangan putih melesat dan melengking: "Liong koko, jangan . ."
Ternyata yang berseru itu Yok Lan, ia hendak mencegah Gin Liong supaya jangan
keliwat ganas tetapi terlambat Keempat iblis itu sudah menggeletak.
Gin Liong tak kira karena keempat orang itu begitu tak berguna. setelah
melepaskan pukulan baru ia menyesal tetapi sudah terlanjur,
"Mereka terlalu mendesak aku!" sahutnya,
Yok Lan masih menyesalinya, mengatakan bahwa mereka berdua tak mempunyai
dendam permusuhan dengan keempat iblis itu.
Dalam pada itu tiba2 kawanan imam Lo-san Ngo-lo sambil menghunus pedang
berpaling ke arah ruang paseban dan memaki Hong-hu Ing:
"Katanya Thian-leng-kau hendak mengadakan pi-bu untuk pergantian jabatan
tetapi ternyata diam2 telah menyembunyikan jago sakti untuk membasmi jago2
dari ketiga belas propinsi."
Ucapan kawanan imam itu telah membangkit jago yang duduk di deretan panggung
sudah hendak bergerak. "Totiang salah!" seru Hong-hu Ing dengan wajah serius.
"Kalau tidak begitu mengapa membiarkan saja budak itu melukai orang ditempat
ini?" teriak imam Pedang-darah.
Kali ini anak buah Thian-leng-kau yang terbakar kemarahannya.
Melihat Hong-hu Ing terjepit dalam kesulitan, segera Gin Liong loncat kehadapan
kelima imam itu dan berseru. "Dalam urusan ini, Thian-leng kau tak ada sangkut
pautnya, jangan kalian membuka mulut tak keruan!"
Melihat siasatnya untuk membangkitkan kemarahan sekalian jago dan anak buah
Thian leng-kau akan berhasil, imam Pedang-darah tak mau melepaskan. Dengan
tertawa mengejek, ia berseru: "Peristiwa ini terjadi dalam markas Thian-lengkau, bagaimana Thian-leng-kau tak tersangkut?"
Kemudian dengan lagak sombong, ia berkata kepada Hong-hu Ing, "Hong-hu kaucu,
omongan budak she Siau itu apakah bukan meremehkan Thian-leng-kau?"
Gin Liong benar2 marah sekali, ia bergerak tangan hendak menyambar imam
Pedang-darah itu: "Imam keparat, mengapa waktu cari perkara menantang aku,
engkau tak tunduk pada perintah Thian-leng-kau?"
Yok Lan cepat mencegah lalu berkata kepada kelima imam itu: "Apakah lotiang
berlima masih penasaran dalam adu kepandaian tadi?"
Melihat dara cantik itu juga menyanggul pedang imam Pedang-darah segera
getarkan pedangnya dan tertawa mengejek: "Dengan membawa pedang, nona
tentu juga seorang jago pedang yang hebat."
Merah muka Yok Lan, ia mengangguk pelahan.
"Ah, ilmu pedang itu dalamnya sukar dilukiskan dan sumbernya dari kalangan
agama, Aku sih hanya tahu sedikit kulitnya yang tak berharga, sudah tentu tak
layak disebut ahli pedang."
Imam Pedang-darah makin besar nyalinya, ia anggap Yok Lan tentu seorang nona
yang biasa saja dalam ilmu permainan pedang, ia mengejek.
Kalau tak mengerti ilmu pedang, perlu apa membawa pedang dan gegabah berani
buka mulut mengganggu pembicaraanku?"
"Bedebah, engkau berani menghina?" bentak Gin Liong,
Tetapi Yok Lan mencegahnya: "Liong koko, kembalilah ke tempat dudukmu dulu!"
Dara itu memberi kedipan maja dan Gin Li-ong pun menurut: "Hati2" pesannya.
Setelah Gin Liong kembali keatas paseban barulah Yok Lan tersenyum
mengeliarkan pandang mata kepada kelima imam gunung Lo-san, serunya:
"Apabila totiang berlima berminat, aku bersedia untuk melayani sampai beberapa
jurus dari serangan totiang . . ."
Seketika siraplah suasana saat itu, sekalian orang terkejut mendengar kata2 dara
itu. Imam Pedang-darah Say Tun Yang, kepala dari Lo-san Ngo-to atau lima imam
gunung Lo-san ber-seri2 gembira. serentak ia berpaling dan berseru kepada
keempat sutenya: "Sute, mundurlah kalian, aku . . ."
"Totiang, tunggu dulu," cepat Yok Lan berseru. "jika bertempur satu lawan satu,
hambar rasanya..." Imam Pedang-darah terbeliak: "Nona maksudkan . ."
"Totiang berlima maju serempak, agar lebih meriah." cepat Yok Lan menukas pula.
"Kalau kita berlima maju, apakah engkau dapat menelan habis?" teriak salah
seorang imam dalam nada yang cabul.
Yok Lan merah mukanya, tanpa banyak bicara lagi ia terus mencabut pedang
Tanduk-naga seraya berseru: "Jangan menghina, sekalipun aku seorang anak
perempuan tetapi pedangku tak pernah mengenal kasihan!"
Kelima imam itu serempak terbeliak, Dan seluruh hadirin pun bersorak gempar
menyaksikan seorang dara yang cantik tengah mencekal sebatang pedang pusaka
bersinar merah, Diam2 timbullah keserakahan imam Pedang-bayangan untuk
memiliki pedang Tanduk Naga itu.


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kami berlima maju, apakah engkau mau menyerah?" serunya.
"Jangan banyak bicara, silahkan maju!" bentak Yok Lan.
Imam Pedang-darah pun segera memberi isjarat kepada keempat sutenya: "Maju
serempak!" 41. Bertemu Ban-hong-liong-li
Dia sendiripun segera taburkan pedangnya untuk menyerang.
Sejak menerima ilmu pelajaran pedang dari Hun Ho sian-tiang, kemudian bersama
Gin Liong mempelajari ilmu pedang pada kaca wasiat itu, ilmu pedang Yok Lan
telah mencapai tataran yang puncak, Kelima imam dari Lo-san itu tak dianggap
berat. Tapi karena kuatir akan menimbulkan rasa tak puas dari kedua saudara pemimpin
Thian-leng kau, maka sejak tadi iapun tak mau unjuk diri. Maka ketika kelima
imam itu maju menyerang iapun gunakan tata langkah Cek-kiong-poh (langkah istana
Ungu), loncat mundur sampai dua tiga meter.
Sudah tentu kelima imam itu tak tahu dan mengira nona itu sudah ketakutan maka
mereka pun berhamburan loncat menerjang lagi.
"Bagus!" seru Yok Lan seraya memutar pedang, Terdengar dering gemerincing dari
senjata beradu, disusul dengan lengking teriak terkejut dan berhamburan sosok2
tubuh loncat mundur, tiba2 tampak Yok Lan sudah berdiri tegak mengulum
senyum. Ternyata yang loncat mundur itu adalah kelima imam, pedang mereka terbabat
kutung semua hanya tinggal separoh yang masih dicekalnya. Mereka ter-longong2
seperti patung. Kembali terdengar sorak gempar dari sekalian hadirin menyaksikan kesudahan
pertempuran itu! Yok Lan menundukkan kepala selaku membalas hormat kepada
mereka. "Nona Ki, lekas menyingkir!" se-konyong2 Hong-hu Ing ketua Thian-leng-kau
berseru nyaring. "Imam bangsat, kalian berani curang!" Gin Liong pun berteriak marah.
Dua sosok tubuh melayang turun seraya kebutkan lengan bajunya.
Yok Lan pun cepat gunakan tata langkah ceng-kiong-poh melayang tiga tombak
kebelakang. Ternyata kelima imam itu karena marah dan malu, nekad menaburkan kutungan
pedang ke arah Yok Lan. Habis menabur, mereka terus menerobos lari keluar dari
gunung. Ternyata kedua sosok yang melayang di udara itu, Hong-hu Ing dan Gin Liong,
keduanya menamparkan lengan baju untuk menghantam kutungan pedang.
Kemudian Gin Liong lanjutkan melayang jauh dan turun menghadang jalan kelima
imam makin ketakutan. Mereka mati2an lari.
Gin Liong paling benci kepada orang yang menggunakan senjata rahasia untuk
mencelakai orang, ia enjot tubuhnya lagi melayang melampaui kepala kelima imam
itu. "Liong-ko, biar aku yang menghajar kelima imam busuk itu." seru Yok Lan.
"Tidak, Lan-moay, aku harus mempontang-pantingkan mereka sampai mati
kehabisan tenaga." seru Gin Liong seraya menyerbu kelima imam.
Kelima imam itu benar2 tak berdaya, Mereka harus pontang panting menjaga
serangan Gin Liong yang bergerak cepat laksana bayangan, Tak berapa lama kelima
imam itu ter-engah2 napasnya, basah kuyup mandi keringat. Rambut dan
pakaiannya kusut tak keruan.
Memang Gin Liong sengaja mempermainkan mereka. Tak mau merubuhkan tapi
menyerang gencar dan memaksa orang harus mengikuti ber-putar2.
Melihat itu akhirnya Yok Lan berseru memperingatkan bahwa hari sudah sore,
harus lekas kembali kerumah penginapan.
Gin Liong terkejut dan membenarkan. Sekali terdengar dering tajam, Gin Liong pun
berseru nyaring: "Imam hidung kerbau, terimalah sedikit tanda mata."
Sinar pedang memancar, sirap dan tampak Gin Liong berdiri tegak mengulum
senyum. Kelima imam itu benar2 seperti copot nyawanya. Rambut mereka yang
menggerumbul lebat saat itu hanya tinggal segenggam rambut pendek di-tengah2
kepala. Yok Lan tertawa geli: "Liong-ko, engkau memang . ."
Hong-hu Ing yang masih berdiri tegak dan menyaksikan peristiwa iiu, diam2 cemas:
"Siau siau-hiap itu memang suka ber-olok2 keliwat batas, kemungkinan kelima
imam itu tentu takkan melupakan hinaan semacam itu."
"Orang she Siau, bagaimana engkau hendak menghukum aku?" seru imam Pedangdarah dengan geram. "Cukup sampai disini saja, kalian boleh lari membawa gundul kepala kalian
masing2" sahut Gin Liong.
Imam Pedang-bayangan menggeram.
"Baik, selama gunung masih menghijau, bengawan masih mengair, ingatlah, Lo-san
Ngo-to pada suatu hari pasti akan mencarimu lagi."
Habis berkata imam Pedang-darah itu segera mengajak keempat sutenya pergi.
Sekalian tamu2 persilatan, setelah menyaksikan permainan ilmu pedang Yok Lan
dan gerakan Gin Liong, merekapun kuncup nyalinya dan diam2 segera tinggalkan
gelanggang, Pada saat Gin Liong selesai menghajar kelima imam, tetamu2 itupun
sudah bersih semua. "Koko, pertandingan sudah selesai mengapa masih ter-longong2 digelanggang?"
tiba2 Hong-hu Yan menegur saudaranya.
Hong-hu Ing gelagapan dan segera mempersilahkan Gin Liong dan Yok Lan minum
teh dalam ruangan, Tetapi Gin Liong menolak dan menghaturkan terima kasih.
"Ah, Siau-heng terlalu sungkan. Sesama kaum persilatan, sudah tentu kita harus
bergaul seperti kawan. Aku merasa berterima kasih sekali apabila dapat dapat
menyambut Siau-heng. Nona Lan..." tiba2 ia berhenti, wajahnya merah karena tak
tahu harus mengatakan apa2.
Untung saat itu Hong-hu Yan segera datang dan menarik tangan Yok Lan: "Lan
moay-moay tentu sudah lapar, mari kita nikmati hidangan sambil ber-bincang2"
Walaupun berkata kepada Yok Lan tetapi memandang kearah Gin Liong. Sudah
tentu pemuda itu ter-sipu2 menghaturkan terima kasih atas kebaikan Hong-hu Yan.
Tetapi ia terpaksa harus lekas2 menuju ke rumah penginapan karena mempunyai
urusan penting. "Ya lain hari kami tentu akan memenuhi undangan, taci." kata Yok Lan.
Tetapi rupanya Hong-hu Yan tetap memaksa: "Ah, masakan begitu penting. Kalau
hanya beberapa jenak saja, tentu takkan menjadi halangan, Masakan nanti di
rumah penginapan kalian tak dahar."
Hong-hu Ing juga menambahkan bahwa rumah penginapan Liu-lim-tian itu tak
berapa jauh. Dengan ilmu lari cepat, kedua saudara itu tentu dapat mencapainya.
Tanpa menunggu jawaban Gin Liong, ketua Thian-leng-kau itu terus berpaling dan
memberi perintah: "Pertandingan hari ini telah selesai. Para thancu dan semua
anak buah Thian-leng-kau harap bersiap untuk mengantar tetamu kita."
Sambil memandang Gin Liong, Hong-hu Yan berbisik: "Engkau dengar itu"
Engkohku telah memerintahkan semua anak buah Thian-leng-kau untuk mengantar
keberangkatannya. Kemungkinan tentu upacara itu memakan waktu."
"Ah, sungguh . . membuat repot . .." Gin Liong tersenyum datar.
Hong-hu Yan tersenyum lalu menarik tangan Yok Lan menuju keruang besar. Gin
Liong pun terpaksa mengikuti. Ruang besar itu dihias mewah sekali seperti sebuah
gedung kediaman seorang pangeran.
Hidangan yang ber-macam2 dan lesat, segera dihidangkan Semua orang yang
berada dalam ruang serempak berbangkit ketika Hong-hu Yan, Yok Lan dan Gin
Liong masuk. Hong-hu Ing mengumumkan bahwa sekalian anak buah Thian-leng-kau boleh
berpesta se-puas2nya demi menyambut kedatangan kedua orang tetamu
terhormat dan merayakan selesainya pertandingan adu kepandaian.
Pesta berlangsung dengan meriah dan gembira. Untuk menghaturkan terima kasih
kepada Thian leng-kau, Gin Liong berjanji apabila mereka memerlukan bantuan
tenaganya. dia pasti sanggup datang.
Selesai perjamuan Gin Liong dan Yok Lan minta diri, Dengan diantar oleh Hong-hu
Ing dan Hong-hu Yan. keduanya melangkah keluar dari ruang, sepanjang jalan
menuju pintu markas, mereka melalui barisan kehormatan Thian-leng-kau yang
tegak berjajar dengan rapi.
Hong-hu Ing dan Hong-hu Yan sendiri mengantar sampai keluar markas, Hong-hu
Yan tampak berat hati untuk melepaskan kedua tamunya pergi, untunglah ia minta
agar Yok Lan setelah selesai dengan urusannya, kembali ke markas Thian-leng-kau
lagi. Pun Hong-hu Ing mendukung permintaan adiknya itu dengan meminta Yok Lan
sungguh2 memerlukan datang kembali ke markas Thian-leng-kau karena adiknya,
Hong-hu Yan tak mempunyai lain saudara lagi.
Demikian setelah berbasa basi, akhirnya Gin Liong dan Yok Lan tinggalkan markas
Thian-leng kau di gunung Kong-ke-san itu.
"Liong-ko, tampaknya Hong-hu Yan menaruh hati kepadamu." dalam perjalanan
Yok Lan berkata. "Ah, Lan-moay, menyapa engkau berkata begitu" Apakah engkau masih kurang
percaya kepada hatiku?" tanya Gin Liong, "kalau hatiku bercabang, biarlah
aku. .." "Sudahlah..." cepat Yok Lan memutus dari atas kudanya, "sekarang sudah
menjelang malam, entah kapan kita baru dapat mengejar Liong-li locianpwe" Ayo,
cepat sedikit." Gin Liong segera memacu kudanya, sepanjang jalan mereka tak bicara, seluruh
perhatian tercurah untuk mencongklangkan kudanya.
"Lan-moay. apakah disana itu?" tiba2 Gin Liong menuju jauh kemuka.
"Ah, mengapa ribut2 saja?" sahut Yok Lan.
"Apa engkau tak melihat apa?"
"Tidak" sahut Yok Lan. Tiba2 nona itu meloncatkan kudanya sampai tiga tombak
tingginya dan memandang kemuka "hai, apakah bukan seutas aliran panjang warna
merah meluncur kemuka."
Gin Liong juga loncat keatas pohon lalu berteriak girang: "Cepat, itu tentulah
Liong Li locianpwe yang menempuh perjalanan pada malam hari."
Kemudian setelah loncat turun ke atas punggung kuda, ia segera mencongklangkan
sekencang angin. Dalam beberapa waktu kemudian kota Liu-lim sudah tampak, Tetapi kuda hitam itu
tak menuju ke kota melainkan ke timur laut kota Liu-lim melintas hutan. Tetapi
ketika Gin Liong memandang kearah hutan itu, girang bukan kepalang. Cepat ia
loncat turun dan terus lari menuju kedalam hutan seraya berteriak tegang:
"Cianpwe, cianpwe betapa Liong-ji menderita susah payah mencarimu."
Gin Liong terus menubruk baribaan Ban Hong Liong-li yang tengah duduk di sebuah
persada makam yang menggunduk besar.
Ban Hong Liong-li ber-linang2 air mata, serunya terharu: "Liong-ji nak . ."
"Cianpwe . . ." Gin Liong ter-isak2.
Saat itu Yok Lan pun datang dan terus memeluk Ban Hong Liong-li.
"Ah, kalian tentu menderita . . aku . ." Ban Hong Liong-li tak dapat melanjutkan
kata2. ia memeluk kedua ana kmuda itu dan menangis.
Beberapa saat ketiga orang ini terbenam dalam keharuan, Setelah masing2 puas
menumpahkan perasaan hatinya selama ini, berkatalah Ban Hong Liong-li.
"Liong-ji, kaca wasiat yang enggkau peroleh itu merupakan suatu pusaka yang
tiada duanya dalam dunia persilatan. Sejak kini hidup mati. bangkit runtuhnya dunia
persilatan terbeban dibahumu. Engkau harus belajar dengan tekun dan
mengamalkan ilmumu itu demi kepentingan dunia persilatan."
Diam2 Gin Liong terkejut dalam hati karena ternyata Ban Hong Liong-li tahu
peristiwa itu. "Murid tentu akan mengindahkan nasehat cianpwe hanya saja . ." sampai disini Gin
Liong tak dapat melanjutkan kata2nya. Dalam perasaannya ia tak percaya kalau
Ban Hong Liong-li itu yang membunuh gurunya.
Tetapi sudah berpuluh ribu li ia menempuh perjalanan, bukankah tujuannya akan
mengejar jejak Ban Hong Liong-li" Bukankah ia hendak meminta penjelasan
tentang peristiwa pembunuhan suhunya itu"
Rupanya Yok Lan tahu apa yang hendak dikatakan Gin Liong, cepat ia berseru:
"Liong-ko. lekas engkau tunjukkan bukti supaya cianpwe dapat memeriksa."
Gin Liong tersadar, serentak ia berkata.
"Cianpwe, adakah cianpwe mengetahui juga tentang peristiwa sedih yang telah
menimpa suhu?" Mendapat pertanyaan itu, seketika wajah Bang Hong Liong-li berobah pucat, Air
matanya bercucuran deras dan dengan ter-isak2 ia berkata: "Aku . . ta . .
hu . ." Gin Liong terkejut. Diam2 ia membatin apakah wanita itu yang membunuh
suhunya. Segera ia mengeluarkan badik Kim-wan-jak lalu dipersembahkan
kehadapan Ban Hong Liong-li.
"Inilah . . senjata . . yang telah . . merenggut . . jiwa suhu . . " kata Gin
Liong dengan ter-sendat2. Melihat senjata itu pecahlah tangis Ban Hong Liong-li. Segera ia menyambar badik
emas dari suku Biau itu, menengadahkan kepala dan berseru dengan pilu.
"Wulanasa ! Wulanasa ! Apa artinya engkau hidup, engkau . . ."
Melihat Ban Hong Liong-li menangis seperti anak kecil, Yok Lan pun ikut
menangis. sedangkan dengan air mata bercucuran Gin Liong masih dapat mengajukan
pertanyaan: "Ciaupwe apakah engkau tahu senjata it ?"
Se-konyong2 Ban Hong Liong-li deliki mata dan terlongong sampai lama, Setelah
itu ia menunjuk pada empat huruf kecil pada batang badik itu.
"Wulanasa adalah nama kecilku." serunya.
Gin Liong makin tergetar serunya tak percaya: "Apakah . .."
"Dengan membawa bukti badik itu engkau hendak menuduh bahwa aku yang
membunuh suhumu?" Ban Hong Liong-li menukas tiba2.
"Liong-ji . . tidak . . berani . . " sahut Gin Liong ter-bata2.
Wajah Ban Hong Liong-li makin marah, serunya geram: "Tidak berani . .." Mengapa
engkau tidak menyatakan "bukan?" Begitu berjerih payah engkau mengejar aku,
apakah maksudmu bukan karena hendak menunaikan balas untuk si Hati-batu
Kiong Cu-hun itu?" Nada dan kata2 Ban Hong Liong-li penuh ketegangan yang memuncak.
Gin Liong sampai mundur dua langkah dan berseru: "Walaupun memiliki
keberanian sebesar langitpun, aku tentu tak berani menuduh begitu. Aku hanya
hendak mohon keterangan kepada cianpwe."
Dengan nada masih mendendam kemarahan Ban Hong Liong-li berseru: "Baik, akan
kuberimu sebuah keterangan!"
Habis berkata ia terus mencabut sebatang badik dari pinggangnya. Sebuah badik
emas yang sama bentuknya dengan badik yang dibawa Gin-liong tadi, kemudian
badik itu dilempar kemuka Gin Liong: "Sambutlah, periksa dulu badikku ini, baru
nanti kita bicara lagi!"
Gin Liong tak tahu apa yang harus dilakukan. Terpaksa ia melakukan perintah.
Setelah diperiksa dengan teliti jelas badik itu sama benar dengan badik emas
yang dibawanya tadi, Lalu ia menghadap pandang kearah Ban Hong Liong-li dan berkata
dengan bingung: "Cian-pwe."
"Masih belum jelas, bukan" Ah . ." Ban Hong Liong-li menghela napas rawan,
kemudian berpaling dan berkata kepada dua buah batu besar yang berada
disampingnya: "ceritanya panjang sekali, Duduklah, aku akan membuat kalian
mengerti duduk perkaranya."
Gin Liong dan Yok Lan lalu duduk dikanan kiri Ban Hong Liong-li. Tampak wanita
itu memandang jauh ke cakrawala, baru mulai membuka mulut.
"Liong-ji, tahukah engkau apa arti dari huruf "Sian-mo-kim-te" yang terukir pada
batang badik emas itu?"
Sahut Gin Liong. "Jika murid tak salah terka, huruf itu merupakan nama dan
seorang gadis Biau."
Ban Hong Liong-li mengangguk: "Benar, memang nama seorang gadis Biau, Dan
gadis itu engkau pun pernah melihatnya."
"Aku pernah melihat..." Gin Liong terkejut.
"Hm . ." "Cianpwe . ." "Dengarkan aku bicara lebih lanjut!" kata Ban Hong Liong-li lalu melanjutkan
ceritanya. "Menurut adat istiadat suku kami Biau, pada waktu melahirkan anak baik
perempuan atau lelaki, pada waktu selamatan hari yang ketiga, sanak pamili dan
handai-taulan, tentu datang memberi selamat dan membawa barang bingkisan."
"Bingkisan apa?" seru Yok Lan.
"Setiap orang harus membawa logam."
"Logam sebagai bingkisan?" Gin Liong terbelalak heran.
"Setiap orang Biau tentu memiliki sebatang golok. Golok itu sesungguhnya
diperuntukkan barang bingkisan pada setiap hari ketiga bilamana ada yang
melahirkan anak. Oleh karena itu yang keluarganya banyak, bingkisan logam yang


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterimanya pun makin banyak, Golok yang dibuatnya pun makin lebih tajam. Oleh
karena itu golok Biau terkenal tajam sekali."
"Kedua batang golok ini apakah dengan cara itu dibuatnya?" tanya Gin Liong.
Ban Hong Liong-li mengangguk, kemudian melanjutkan pula:
"Kedua badik Kim~wan-jau ini adalah dibuat dari beribu kati logam bingkisan
untukku dan gadis Biau yang bernama Sanukim. Oleh karena keluarga kami
merupakan dua keluarga yang terkemuka dalam suku Biau. Hampir sepuluh tahun
lamanya logam itu dibuat, sehingga setelah kami berumur sepuluh tahun barulah
dapat menerima golok itu. Dengan begitu, golok itu luar biasa tajamnya, jarang
terdapat tandingannya didaerah Biau."
Berhenti sejenak menghela napas, Ban Hong Liong-li melanjutkan pula:
"Kebetulan aku dan Sanukim lahir pada tahun, bulan dan hari yang sama. upacara
penerimaan golok dilakukan dalam sebuah paseban. Semua hadirin memuji kami
berdua seperti sepasang kakak beradik. Dalam upacara itu selain mengangkat
saudara pun kami berdua saling bertukar golok sebagai tanda pengukuh!"
Serentak Gin Liong sadar, serunya: "Ah, jika demikian, Sanukim itulah yang
membunuh suhu." "Tetapi mengapa ia harus membunuh suhu?" Yok Lan memberi tanggapan lain.
Ban Hong Liong-li kembali menghela napas panjang. sepasang matanya ber-linang2
mengambang air mata, mulutnya berkata pelahan:
"Hmmm !" "Cianpwe, Sanukim . .."
Ban Hong Liong-li cepat mencegahnya bicara lalu melanjutkan penuturannya:
"Aku dan Sanukim sama berangkat dewasa dan hubungan kami sudah seperti
saudara kandung. karena ia dari keluarga orang persilatan maka diapun
mempelajari ilmu silat. Sedang karena aku memiliki bakat dan kecerdasan maka
akupun memiliki ilmu silat juga, Entah sudah berapa puluh pemuda Biau yang putus
asa dan patah hati terhadap kami berdua tetapi kami berdua memang sudah
bertekad takkan menikah dengan pemuda Biau yang biasa."
Sejenak berhenti, Ban Hong liong-li melanjutkan lagi: "Daerah Biau yang selama
ini aman tenang, pada suatu masa telah dilanda oleh pergolakan. Pada waktu itu
muncullah seorang pemuda suku Han, seorang berbakat cemerlang dan memiliki
ilmu silat yang sukar diukur tingginya. Selama beberapa bulan, dia telah
menggetarkan daerah Biau dan tak ada seorangpun yang mampu menandinginya."
"Cianpwe, apakah engkau dan Sanukim tidak muncul untuk menghadapi pemuda
Han itu?" tiba2 Yok Lan menukas.
Ban Hong Liong-li berobah cahaya mukanya dengan berkata dengan geram:
"Justeru pertempuran itulah yang merusak . .."
"Cianpwe, apakah engkau kalah?" seru Gin Liong.
"Tidak." Ban Hong Liong-li gelengkan kepala: "Badik Kim-wan-ja dari Sanukim dapat
dipentalkan jatuh olehnya tetapi aku dapat menghadapinya selama tiga hari tiga
malam, walaupun sudah melangsungkan seribu jurus namun tetap belum ada yang
kalah dan menang!" Yok Lan sangat tertarik sekali sehingga ia mendesak: "Lalu ?"
"Kemudian kita damai dan bahkan menjadi sahabat baik, Kita bertiga berkelana
menikmati alam pemandangan yang indah di daerah Biau, be-renang2 ditelaga,
ber-nyanyi2 di bawah sinar rembulan, berlatih ilmu pedang sehingga tanpa terasa
telah berjalan sampai ber-bulan2."
42. Memilih pergi secara diam2
Tiba2 muka Yok Lan tersipu merah, serunya "Pergaulan antara pria dan wanita yang
sedemikian akrabnya mungkin akan menimbulkan untaian tali asmara."
"Engkau benar, nak." Ban Hong Liong-li berseru rawan, "sang waktu memang dapat
menumbuhkan asmara. Tanpa disadari aku dan Sanukim telah sama2 jatuh hati
kepada pemuda suku Han itu."
"Ah, itupun mudah," tiba2 Gin Liong menyelutuk, "dia kan dapat menentukan
pilihannya." Ban Hong Liong-li menghela napas dalam2, ujarnya: "Dia memang memilih. Setelah
tahu bahwa kami berdua mencintainya, ia lalu memutuskan memilih yang terbaik
daripada tiga puluh enam cara ialah dengan diam2 ia telah tinggalkan daerah
Biau, kembali ketanah Tiong-goan lagi."
"Mengapa cianpwe tak menyusulnya ke Tiong-goan dan menjelaskan kepadanya?"
tanya Yok Lan. "Ya," sahut Ban Hong Liong-li dengan tegang, "kutinggalkan ibuku dan tanpa
memberitahu kepada Sanukim, seorang diri aku menuju ke Tiong-goan. Aku
menjelajah tiga belas propinsi, namun ia tetap menghilang seperti segunduk batu
yang silam ditengah laut."
"Karena dia seorang persilatan, asal cianpwe menyelidiki pada orang2 persilatan
masakan tak dapat bertemu?" kata Gin Liong.
"Hm," dengus Bang Hong Liong-li, "setelah berjerih payah mengembara di empat
penjuru, perangaiku pun bertambah keras, Aku suka marah2 dan suka pula melukai
orang, Terutama jago2 silat yang namanya jahat, entah berapa jumlahnya yang
mati ditanganku, Tiga tahun aku berkelana dengan berlumuran darah . .."
Yok Lan menghela napas: "Tindakan cianpwe itu tentu didasarkan karena rasa
geram dan kedua kali untuk memancing supaya pemuda itu keluar dari tempat
persembunyiannya." "Tetapi adakah pemuda Han itu akhirnya mau keluar?" tanya Gin Liong.
Ban Hong liong-li gelengkan kepala.
"Ia tak mau muncul." kata Ban Hong Liong-li, "dalam pada itu Sanukim pun juga
tahu tindakanku dan akhirnya ia juga mencari ke Tiong-goan. Dia melakukan
pembunuhan di dunia persilatan dan liciknya, ia tak mau menggunakan namanya
sendiri melainkan memakai nama Ban Hong Liong-li. Tak peduli tokoh aliran Hitam
atau Putih, dibunuhnya semua. Dengan begitu jadilah Ban Hong Liong-li seorang
momok wanita yang dibenci dan ditakuti dunia persilatan."
"Ia tentu marah karena putus asa, ia melakukan pembunuhan itupun tentu hendak
memancing pemuda itu supaya keluar dari tempat persembunyiannya." kata Yok
Lan. Tampak wajah Ban Hong Liong-li agak tenang dan berkatalah dia dengan rawan:
"Rupanya Allah menaruh kasihan juga atas jerih payahku, Akhirnya aku berhasil
menemukan tempat persembunyiannya."
"Omitohud!" teriak Yok Lan girang, "apakah cianpwe sudah menemukan dia?"
"O, dimanakah ia bersembunyi?" seru Gin Liong ikut gembira juga.
Dengan nada hambar berkatalah Ban Hong Liong-li: "Di kuil Leng-hun-si di puncak
Hwe-sian-hong gunung Tiang-pek-san."
Serentak menggigillah Gin Liong. ia melonjak bangun dan menjerit: "Cianpwe,
pemuda Han itu . .."
"Giok-bin-su-seng Kiong Cu Hun." tukas Ban Hong Liong-li,
Gin Liong dan Yok Lan seperti disambar petir dan ter-longong2. Beberapa saat
kemudian baru Ban Hong Liong-li berkata:
"Pemuda Giok-bin-su-seng yang dulu sudah berobah menjadi Liau Ceng taysu,
Bukankah nasib memang hendak mempermainkan orang."
Air mata Yok Lan bercucuran ia ikut merasakan kesedihan hati Ban Hong Liong-li,
tanyanya dengan nada rawan: "Pada waktu itu bagaimana suhu memberi
keterangan?" "Bukan saja dia berkeras tetap hendak menjadi biarawan pun dia menganggap
bahwa peristiwa yang lampau itu sebagai suatu impian saja. Diapun menyesalkan
perbuatanku main bunuh dalawm dunia persilatan."
Gin Liong kerutkan alis, berkata: "Seharusnya cianpwe memberi keterangan
tentang tindakan Sanukim dan juga menerangkan bahwa yang cianpwe bunuh itu
hanyalah orang2 jahat saja."
"Sudah tentu aku menjelaskan begitu tetapi dia tetap tak percaya." Ban Hong
Liong-li gelengkan kepala.
"Aneh, mengapa suhu begitu keras kepala?" gumam Yok Lan.
"Ah, hal itu tak dapat mempersalahkan dia" kata Ban Hong Liong-li, "karena dia
ketahui perangai Sanukim itu lebih tenang dan alim dari aku. Begitu pula dia
menduga bahwa aku dan Sanukim tentu sudah bersepakat untuk mengadakan
pembunuhan di Tiong-goan itu."
Tiba2 Gin Liong teringat soal Ban Hong Liong-li telah dikurung dalam guha Kiukiok- tong, maka ia bertanya: "Kemudian bukankah suhu telah memenjarakan cianpwe di
guha Kiu-kiok-tong selama lima tahun?"
Ban Hong Liong-li gelengkan kepala.
"Tidak, suhumu hanya menasehati aku supaya kembali ke Biau-ciang, mensucikan
diri untuk menebus dosa."
"Lalu siapakah yang mengurung cianpwe dalam guha Kiu-kiok-tong itu?" tanya Gin
Liong pula. Ban Hong Liong-li tertawa hambar.
"Aku sendiri." "Cianpwe sendiri?" Gin Liong terkejut.
"Demi untuk menyatakan kesungguhan hatiku dihadapan suhumu dan hud-cou,
aku rela mengurung diri selama lima tahun sebagai penebus dosa. Dan aku
bersumpah bahwa selama lima tahun itu aku takkan membunuh. Kupilih gua Kiukiok-tong agar suhumu datang kesitu untuk mencegah, kedua kalinya . ." berkata
sampai disitu Ban Hong Lio-ng-li ter-sipu2 malu.
Tiba2 teringatlah Gin Liong bahwa pada ujung keluar guha itu dapat tembus kekuil
Leng-hun si, tepat dibelakang kebun dari tempat tinggal suhunya.
"Agar dapat bertemu dengan suhu, bukan?" cepat Gin Liong berkata.
Ban Hong Liong-li mengangguk: "Benar! setiap malam aku menuju ke hutan siong
memandang kearah tempat tinggal suhumu. Bermula suhumu tak tahu. Tak peduli
hujan angin ataupun turun salju, selama dua tahun, tak pernah aku tak datang ke
hutan siong itu. Pada suatu malam karena kurang hati2. begitu keluar dari guha,
aku telah menginjak salju sampai pecah sehingga menimbulkan suara dan
kepergok." "Seharusnya suhu dapat menerima cianpwe." kata Gin Liong dengan hati tergerak.
"Ah. mana begitu sederhana." Ban Hong Liong-li berkata tawar, "suhumu
meluluskan aku setiap malam pada hari2 yang bertanggal 3, 6, 9, boleh datang ke
kamar tinggalnya satu kali. Setiap kali datang, dia suruh aku berlutut di
kakinya untuk mendengarkan ia membaca kitab Kim-kong-keng sampai tujuh kali sebagai
doa mohon pengampunan atas dosaku. Setelah itu dia akan memberi pelajaran
tentang penerangan batin dan membimbing aku menuju kepintu Buddha."
Yok Lan menghela napas, "Apakah kesudahannya hanya begitu saja?"
"Begitu saja, pun aku sudah puas." kata Ban Hong Liong-li dengan rawan, "dan hal
itu berjalan sampai tiga tahun tetapi pada saat itu masa aku mengurung diri
dalam guha selama lima tahun pun sudah habis."
"Itulah sebabnya mengapa jago2 golongan Hitam ber-bondong2 datang hendak
menuntut balas kepada cianpwe." seru Gin Liong.
"Mengapa selama lima tahun itu mereka tak mau mencari cianpwe?" Yok Lan
menyelutuk. Ban Hong Liong-li tertawa hambar:
"Selama lima tahun itu entah berapa puluh kali mereka mencari aku tetapi telah
dihalau pergi oleh suhumu. Dengan bengis, suhumu menandaskan bahwa selama
lima tahun aku mensucikan diri dalam guha itu. tiada seorang persilatan pun yang
diperbolehkan datang cari perkara, Mereka gentar akan kesaktian suhumu
sehingga tak berani datang."
Gin Liong pejamkan mata seperti merenungkan sesuatu.
"Liong-ji apa yang engkau pikirkan?" tiba2 Ban Hong Liong-li menegurnya.
Gin Liong membuka mata dan memandang Ban Hong Liong-li tapi sampai lama tak
bicara. "Ai, mengapa engkau tak bicara?" seru Ban Hong Liong-li.
Sambil tundukkan kepala, Gin Liong menyahut enggan: "Kesimpulan dari
keterangan cianpwe tadi memberi kesan bahwa cianpwelah yang membunuh
suhuku." Ban Hong Liong-li tertawa dingin:
"Ceritaku belum selesai, bagaimana engkau berani mengatakan begitu?"
"Ya, cianpwe belum selesai bercerita, mengapa engkau terburu nafsu?" Yok Lan
ikut menyesali. Merah wajah Gin Liong. Memandang ke cakrawala ia berkata ter-sipu2 : "Rembulan
sudah condong ke barat kemungkinan malam sudah makin larut."
Ban Hong Liong-li tak menghiraukan dan melanjutkan ceritanya.
"Dari muka guha muncul Ma Toa Kong dan kawan2, sedang dari belakang datang
benggolan yang lebih besar lagi."
"Oh, siapa?" Gin Liong terkejut.
Dalam kerut wajah yang sukar diterka sedih atau marah, Ban Hong Liong-li
memandang badik Kim-wan-ja yang berada dimukanya dan berkata dengan nada
gemetar: "Pemilik badik ini Sanukim."
Yok Lan terperanjat. "Ketika mendengar aku masih hidup dan menjalani derita mengurung diri dalam
guha selama lima tahun, sikap Kiong Cu Hun yang berkeras tak mau merobah
pendiriannya, maka timbullah kemarahannya. Dia mendesak supaya aku mau
diajaknya membunuh suhumu. Cobalah kalian pikir, bagaimana mungkin aku
sampai hati untuk membunuh suhumu."
Darah Gin Liong bergolak keras sehingga badik yang dipegangnya itu ikut gemetar.
"Saat itu engkau, Liong-ji, sedang minum pemberianku pil Tok-liong-tan. Aku tak
dapat meninggalkan tempat itu dan harus melindungi engkau, Sanukim menerobos
keluar dari guha, Sejam kemudian ia kembali lagi keguha, menangis sampai
matanya membenjul. Dia memberitahu kepadaku bahwa dia . . telah membunuh . .
. Cu Hun . .." sampai disini Ban Hong Liong-li tak dapat menahan tangisnya. Yok
Lan pun ikut menangis. "Apakah suhu membiarkan saja dirinya ditusuk dengan badik itu?" tiba2 Gin Liong
bertanya. Sambil bercucuran air mata, Ban Hong Liong-li berkata: "Kebetulan saat itu
tanggal sembilan belas hari dimana aku boleh bertemu dengan Kiong Cu Hun. Melihat yang
datang Sanukim, suhumu pun menggunakan cara seperti yang dilakukan terhadap
diriku. Tetapi Sanukim tak mengacuhkan bahkan menasehatkan supaya suhumu
menanggalkan baju pertapaan dan kembali menjadi orang biasa lagi, ber-sama2
kembali ke Biau-ciang untuk menikmati sisa hari tua. ."
"Ah, itu suatu perasaan yang wajar dari setiap wanita." kata Yok Lan.
"Suhumu seorang lelaki yang berhati teguh sudah tentu dia tak mau menerima
permintaannya" Karena cinta, Sanukim membenci. Karena benci timbullah rasa
dendam. Menggunakan kesempatan disaat suhumu sedang pejamkan mata
melantangkan doa mantra, Sanukim mencabut badik Kim wan-ja dan menikamnya .
." Sampai disini Ban Hong Liong-li tak dapat melanjutkan kata2nya karena terbenam
dalam tangis tersedu sedan. Yok Lan dan Gin Liong pun ikut menangis.
Sesaat kemudian Ban Hong Liong-li melanjutkan pula:
"Pada saat kudengar pengakuan Sanukim telah membunuh suhumu, seketika
meluaplah kemarahanku. Aku kalap dan tak ingat apalagi, kuhantam dia dengan
pukulan Toa-lat-jiu-hwat sehingga kawan sepermainanku di masa kecil dan
Sanukim yang telah kuanggap sebagai adikku sendiri tewas..."
Pada saat itu teringatlah Gin Liong akan mayat seorang wanita yang berada dalam
guha, Kiranya dia Sanukim.
Pada saat itu Ban Hong Liong-li berkata pula dengan nada haru:
"Nasibku memang malang. Sejak kecil aku tak mempunyai ayah, Kekasih yang
paling kucintai didalam dunia akhirnya binasa dibawah badik Kim-wan-ja. Kawan
satu2nya pun mati ditanganku. Apakah masih punya gairah untuk hidup dalam
masyarakat ramai" untunglah aku telah mendapat banyak wejangan dan
penerangan batin dari Cu Hun, bahwa segala apa itu memang sudah terlingkup
dalam hukum Karma. Aku menyadari hal itu, Maka kuharap kalian . .."
Tiba2 Ban Hong Liong-li ayunkan badik Kim wan-ja kearah kepalanya sendiri.
"Hai..." Gin Liong dan Yok Lan menjerit kaget dan cepat menyambar tangan Ban
Hong Liong-li. Tring . .! badik tertampar jatuh tetapi tangan kiri telah
menggenggam sutera warna hitam, mengusap air mata, wajahnya pucat dan tegang.
"Cianpwe! cianpwe! Mengapa engkau berbuat begitu!" Yok Lan menjerit dan
memeluk tubuh ibu gurunya.
Dengan air mata bercucuran, Ban Hong Liong-li memandang sutera hitam
ditangannya dan berkata dengan ter-sendat2: "Tali pelenyap kesedihan hati,
seumur hidup tiada pernah mengenyam ketenangan, peristiwa di dunia ini laksana
air mengalir budi dan cinta bagai bunga gugur . ."
Setiap patah kata diucapkan dengan iringan air mata.
"Cianpwe, kini segala peristiwa telah terang, mengapa cianpwe masih begitu
berduka?" kata Gin Liong.
Ban Hong Liong-li tertawa rawan:
"Suku Biau hanya percaya pada dukun. Walaupun aku belum dalam meresapi arti


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada pelajaran yang telah diberikan suhumu selama beberapa tahun itu, tetapi
sedikit banyak aku telah mendapat kesadaran. Hidup itu tak lebih hanya impian
hampa belaka, Aku sudah memutuskan untuk mencukur rambut masuk menjadi
rahib. Aku akan mengabdikan hidupku dalam dunia yang telah dibukakan oleh
Buddha, Aku hendak melangkah kejalan yang ditempuh suhumu, mungkin kelak
aku dapat . . . bertemu dia."
Gin Liong dan Yok Lan hanya mendengarkan dengan pilu. Tetapi kedua anak muda
itu menyadari dan merasakan betapa penderitaan hati yang di alami Ban Hong
Liong-li. Keputusan wanita yang berilmu tinggi itu, memang merupakan jalan yang
sudah menjadi arah hidupnya.
Sayup2 terdengar ayam berkokok. Hari sudah mulai memancarkan penerangan.
Ban Hong Liong-li membungkus benda hitam yang ternyata rambut kepalanya, lalu
diberikan kepada Yok Lan dan Gin Liong.
"Liong-ji, Lan-ji! Suhumu memperlakukan kalian berdua seperti putera puterinya
sendiri, walaupun aku tak pernah melepas budi, tetapi perasaan hatiku kepada
kalian berdua juga seperti suhu-mu."
Gin Liong dan Yok Lan serempak berlutut dihadapan Ban Hong Liong-li: "Budi
cianpwe kepada murid berdua, laksana samudra dalamnya. Walaupun tubuh
hancur, namun murid berdua tetap akan berusaha untuk membalas budi cianpwe".
"Sepuluh tahun bersama suhumu, aku tak mempunyai peninggalan apa2, segulung
rambutku ini apabila nanti kalian pulang ke Leng-hun-si supaya engkau
sembahyangkan di depan jenasah suhumu dan tanamlah disamping Cu Hun.
Anggaplah sebagai . . tanda . . perkenalan."
Selekas melemparkan gulungan rambut kepada Gin Liong, Ban Hong Liong-li terus
loncat ke udara dan berseru ter-isak2: "Liong-ji Lan-ji ingatlah baik2 pesanku."
Gin Liong dan Yok Lan terkejut. Keduanya mengejar seraya memanggilnya:
"Cianpwe . ." Tetapi Ban Hong Liong-li seorang pendekar wanita yang sakti Gerakannya luar
biasa cepatnya. Hanya segulung sinar merah tampak melintas dalam keremangan fajar
dan tak lama sudah jauh sekali. Betapapun hendak mengejar namun sia2 saja
usaha Gin Liong dan Yok Lan.
Rupanya Ban Hong Liong-li iba juga melihat kesungguhan hati kedua anak muda itu.
Di sebuah tanah datar ia berhenti dan menghela napas.
"Di dunia tiada suatu perjamuan yang takkan berakhir. Kalian mempunyai jalan
hidup sendiri dan akupun hendak menuju ke tujuanku sendiri. Masing2 sudah
mempunyai garis perjalanan hidup sendiri, Hanya kuharap kalian, dapat selalu
mengingat peristiwaku dengan suhumu, agar dapat bertindak hati2, jangan
sampai...." Sebenarnya hati Ban Hong Liong-li sedang mengalami ledakan yang dahsyat tetapi
dengan sekuat kemampuan ia berusaha menekannya. Kemudian sambil gelengkan
kepala, ia dorongkan kedua tangannya.
"Aku tak dapat tinggal di dunia persilatan yang penuh derita batin." serunya
seraya melayang sampai 7-8 tombak dan pada lain kejap lenyap dalam kabut gelap.
Kedua anak muda itu tegak ter-longong2 sampai lama sekali, Kuatir sukonya
berduka, Yok Lan segera membuka mulut: "Liong koko, lo-cianpwe sudah pergi
jauh." Gin Liong seperti terjaga dari mimpi, ia menghela napas. "Ah, tak kira kalau
suhu seorang yang berhati keras begitu, Dia memutus asmara hati seperti memutus tali
saja. Tetapi dia tentu tak tahu bagaimana penderitaan Ban Hong Liong-li
locianpwe, yang walaupun hidup tetapi lebih sengsara daripada mati."
Yok Lan tak mau bicara berkepanjangan, ia segera mengajak sukonya untuk
mencari tempat istirahat. Mereka menuju kepenginapan Liu-lim-tian, Hari masih
pagi, jongos rumah penginapan menyambut keluar tetapi demi melihat kedua anak
muda itu menyelip pedang, buru2 ia mengatakan kalau tak ada kamar.
"Jangan takut, bung, pedang ini hanya untuk pelindung diri dalam perjalanan."
kata Gin Liong seraya mengeluarkan sekeping uang perak dan diserahkan kepada jongos
itu: "Lekas sediakan dua kamar, teh, hidangan pagi dan makanan untuk kuda kami,
Kalau kurang kutambah lagi."
Jongos itu silau melihat uang sekian banyak, Serta merta ia mempersilahkan kedua
tetamunya masuk. Begitu masuk kamar, Yok Lan terus tidur.
Tak berapa lama hari sudah pagi dan ramailah para tamu bangun, Diantaranya
terdengar orang berkata kepada kawannya. Dari nada suara orang itu. Gin Liong
seperti sudah pernah kenal.
"Saudara2" seru orang itu. "kita harus lekas melanjutkan perjalanan ke Hok-san
agar toako-ku jangan kepayahan menunggu."
"Sam-tiangke." seru seorang yang nadanya melengking seperti orang banci, jangan
kuatir urusan itu kami juga harus ikut campur, Menilik harta karun yang berada
dipunggung kudanya, tentu kami takkan melepaskannya."
Dari nada suaranya jelas mereka kawanan jago aliran hitam. Gin Liong tak
menghiraukan karena menganggap mereka tentu hanya jago2 silat tak berarti.
"Sam tiangke." tiba2 suara orang banci itu melengking pula, "Lo-toa kalian itu
hendak merencanakan secara terang atau secara diam2."
"Jika sukar menggunakan cara terang, terpaksa kita menggunakan jalan gelap."
sahut orang yang ditanya.
Dalam berkata itu, orang tersebut telah berjalan melalui jendela kamar Gin
Liong, Gin Liong mengintip dari celah jendela dan dua lelaki tinggi dan seorang pendek,
menggendong buntalan warna kuning, rupanya buntalan senjata.
Mereka bertubuh kekar, mata ber-kilat2 tulang pelipisnya menonjol dan berjalan
dengan gagah. Gin Liong tak tahu siapa mereka. Kemudian yang paling akhir,
tampak seorang lelaki berumur 40-an tahun, muka kurus, menyanggul sebatang
golok Gan-leng-to, Ciri satu2nya, sebelah kiri daun telinganya hilang.
Gin Liong seperti pernah melihat tetapi lupa dimana.
"Liong koko." tiba2 ia terkejut dan berpaling, Ternyata Yok Lan sudah berada
dibelakangnya. "Apa yang engkau lihat diluar itu sehingga engkau tak mendengar kalau aku masuk
ke kamar ini." Agak merah muka Gin Liong. sahutnya: "Sekawanan orang persilatan hendak
melanjutkan perjalanan."
"Mengapa sampai begitu asyik sekali engkau melihat mereka?" Yok Lan
menggerutu, "Liong koko, sejak bertemu dengan Liong-li locianpwe, tampaknya
engkau berduka. Kalau sampai mengganggu kesehatanmu bukankah sayang?"
"Ah, tidak . ." Gin Liong hanya dapat menjawab sekenanya.
"Hm, Liong koko, jangan engkau mengelabui aku. Coba lihat, kasur dan selimut
tidak kumal, jelas engkau tidak tidur, Hm, dalam beberapa bulan ini kulihat
engkau tak tenang tidur dan tak enak makan. seharusnya engkau banyak beristirahat."
Tahu bahwa semuanya itu memang amat cintainya, Gin Liong hanya menjawab:
"Banyak pesanan Ban Hong Liong-li yang belum kita laksanakan. Sudah tentu aku
gelisah, Apabila segalanya sudah selesai, pada waktu itu kemungkinan aku akan
mengikuti jejak suhu. ."
"Liong koko, jangan berkata begitu!" Yok Lan menjerit dan tutupkan jarinya ke
mulut Gin Liong. Dalam keadaan begitu, tiba2 diluar kesadarannya Gin Liong terus memeluk tubuh
Yok Lan, Yok Lan pun menyerah. Dia menengadahkan muka, menanti.
Dalam detik2 seperti saat itu, lupalah sudah Gin Liong akan segala kesadaran,
Gin Liong segera mereguk bibir Yok Lan, bagaikan seorang musafir yang kehausan.
Lama sekali barulah Yok Lan berusaha untuk meronta dan setelah melepaskan diri
lalu melengking: "Huh, tak malu, Baru saja mengatakan hendak masuk menjadi
paderi, tahu2 sudah menggigit bibirku!"
Gin Liong tak meladeni katanya: "Ah, lebih baik kita segera melanjutkan
perjalanan." "Tetapi kemanakah kita hendak pergi?" tanya Yok Lan.
"Karena tugas kita untuk mencari jejak pembunuh suhu sudah selesai, lebih baik
kita pulang untuk segera mengurus penguburan jenasah suhu dan sekali
melaksanakan pesan Liong-li locianpwe." kata Gin Liong.
Begitulah mereka pulang ke gunung Tiang-pek-san, Tetapi ditengah jalan tiba2 Yok
Lan mengingatkan Gin Liong akan Tio Li Kun yang tentu mengharap kedatangannya
di gunung Mo-thian-san. "Teringat taci Li Kun dipanggil pulang, tentulah gunung Mo-thian-san sedang
menghadapi bahaya. Baiklah kita singgah dulu kesana, koko", kata Yok Lan.
Gin Liong setuju, Tiba di gunung Mo thian-san, mereka disambut oleh barisan
obor. Seekor kuda melesat keluar dari mulut gunung, penunggangnya ternyata Siau-bunTio Tek Cun, orang keenam dari ketujuh saudara Tio.
Pertemuan itu sangat menggirangkan sekali. Gin Liong dan Yok Lan segera diajak
masuk kedalam markas. "Ai, Liong-ji, kalian tentu letih, silahkan engkau beristirahat diruang
perpustakaan dan nona Ki di kamar tidur," kata nyonyah Tio tua setelah menerima dan menjamu
kedatangan kedua anak muda itu.
Didalam ruang peristirahatannya, Gin Liong tidak tidur melainkan duduk
bersemedhi menyalurkan tenaga murni, ia mendapat keterangan dari ibu
angkatnya, nyonyah Tio tua, bahwa Patkoay atau Delapan manusia aneh, akan
menyerang gunung Mo thian-san.
Tetapi ternyata sampai tengah malam, tiada terdengar suara apa2. Pada saat Gin
Liong merasa heran, tiba2 daun pintu bergerak dan tahu2 sesosok tubuh hitam
telah menubruknya. Gin Liong terkejut dan cepat hendak tutukkan kedua jarinya ke perut penyerang
itu, Tetapi orang itu tak mau menghindar melainkan merentang kedua tangan dan
berteriak: "Hm, apakah engkau benar2 hendak membunuh jiwaku!"
Gin Liong terkejut: "Ah, taci Kun, engkau mengejutkan aku!"
"Huh, masih bisa bilang begitu?" si jelita Li Kun menggumam, "bukankah aku
hampir mati ditanganmu?"
Gin Liong tersipu-sipu: "Tetapi mengapa engkau tak mau bilang sehingga hampir
saja aku berdosa?" "Mati ditanganmu, aku puas," kata Li Kun.
Betapa pun Gin Liong seorang pemuda yang masih berdarah panas, Sudah tentu ia
tergerak mendengar ucapan si jelita.
"Liong koko," kata Li Kun, "sejak berpisah dengan engkau, aku selalu terkenang
padamu, cobalah pikirkan, aku sudah . ." ia tak melanjutkan kata2nya melainkan
tundukkan kepala kedada Gin Liong,
43. Surat dari Mo Lan-hwa Gin Liong tahu bahwa yang akan dikatakan si jelita itu tentu buah dari hubungan
mereka tempo hari. "Taci Kun, apakah . . . engkau sudah memberitahu hal itu kepada mamah?" tanya
Gin Liong. "Masakan aku berani bilang" Kalau mau bilang, engkau yang wajib bilang."
"Tetapi bagaimana aku dapat membuka mulut?" Gin Liong tersipu-sipu merah
mukanya. "Kalau engkau malu, masakan aku tidak?"
"Tetapi engkau dapat mengatakan kepada kelima ensoh, karena kalian... Kalian
sama2 kaum wanita, apalagi hubungan diantara ipar sendiri..."
"Aku tak peduli," kata Li Kun, "pokok aku sudah menjadi orangmu, terserah saja
engkau hendak mengapakan diriku, Kalau tak dapat hidup bersama, lebih baik aku
mati!" Berkata sampai disitu air mata Li Kun ber-derai2 membasahi pipinya.
Gin Liong tergopoh menghiburnya: "Taci Kun mengapa engkau berkata begitu" Aku
bukan seorang lelaki yang rendah budi, Apalagi kita sudah . . . mempunyai . .
hubungan darah, walaupun tak dapat hidup bersama tetapi kita akan mati seliang,
inilah janjiku." "Liong . .." cepat Li Kun menukas, "ucapanmu itu akan menjadi pedoman hidupku!"
Aku . .." belum selesai berkata tiba2 Gin Liong terbeliak, mendorong Li Kun,
meniup padam lampu dan berseru: "Hai, siapa itu."
Ia terus melesat keluar, loncat keatas genteng, Tetapi empat penjuru, tak tampak
suatu apa. "Apa yang engkau lihat?" tegur Li Kun yang menyusul.
"Orang." kata Gin Liong, "ilmu meringankan tubuhnya luar biasa hebatnya."
"Benar" Apa tak salah lihat?"
"Tidak." sahut Gin Liong. "kulihat orang itu berkelebat diluar jendela."
Tiba2 rombongan ana kbuah yang dipimpin oleh isteri engkoh Li Kun yang kelima
muncul dan menanyakan Gin Liong, Gin Liong agak sukar menjawab.
"Kita seperti melihat bayangan orang lewat digenteng, maka . . ." baru Li Kun
menerangkan begitu, isteri persaudara Tio yang ke tiga sudah menyeletuk tertawa,
"Ih, kita ini mengganggu kalian yang sedang berdua.. ."
Mereka berjumlah lima orang, isteri dari kelima saudara Tio. Yang lalu2 tertawa
mendengar olok2 itu. Gin Liong dan Li Kun tersipu-sipu malu.
"Ah, mari kita pergi," kata yang seorang.
"Kita berlima bersembunyi ditempat gelap, tetapi sejak tadi kita tak melihat
apa2," kata isteri persudaraan Tio yang tertua.
Akhirnya isteri jago Tio yang keempat tertawa: "Liong-te, harap engkau menemani
adik Li Kun untuk mencari bayangan itu!" habis berkata kelima nyunyah muda itu
segera pergi. "Ai, karena engkau, mereka sampai datang mengolok-olok kita," Li Kun
menggerutu. "Taci Kun, apakah dalam markas juga diadakan ronda?" tanya Gin Liong.
"Dalam markas hanya tinggal mamah seorang, yang lain2 engkoh dan ensoh semua
berada di luar untuk menjaga kemungkinan Pat-koay menyerang."
Tiba2 Gin Liong teringat seseorang.
"Ki sumoay . . . ." serunya.
Li Kun tertawa: "Oh, aku tolol. Kiranya engkau sedang memikirkan adik Lan,
Mungkin dia masih tidur nyenyak dikamarnya, cobalah engkau jenguk."
"Aku hanya bertanya saja," kata Gin Liong seraya loncat turun, Li Kun tetap
mengikuti dibelakangnya, Ketika Gin Liong lewat di jendela dia masih membau
hawa yang harum: "Taci Kun bayangan tadi tentu seorang wanita. Cobalah engkau
rasakan baunya masih harum."
Li Kun juga membau keharuman itu, ia terkejut: "Benar, mungkin bau harum dari
adik Lan." Mereka berjalan terus dan tiba2 terdengar bunyi terompet, Li Kun mengatakan
kalau terompet itu itu sebagai pertandaan untuk mengumpulkan anak buah yang
melakukan penjagaan disekeliling gunung. Saat itu hari memang menjelang terang
Li Kun kembali ke tempatnya sendiri sedang Gin Liong pun masuk lagi ke kamarnya,
Tak berapa lama fajarpun tiba, Surya pagi mulai memancarkan sinar.
Tiba2 terdengar gemuruh derap kaki orang dan sesaat kemudian muncullah Tio Tek
Cun dengan wajah tegang: "Liong-te, celaka!"
Gin Liong terkejut dan bergegas lari keluar: "Mengapa ?"
"Nona Ki telah pergi tanpa pamit!" seru Tek Cun.
"Liok-ko, apa katamu?" teriak Gin Liong seperti disambar halilintar.
"Entah bagaimana nona Ki telah pergi dari gunung ini. Dia meninggalkan surat."
"Mana suratnya ?"
"Berada di tangan mamah."
"Apa bunyi surat itu?"
"Sampulnya ditulis, diberikan kepadamu, maka tak ada yang tahu apa isinya . . ."
Gin Liong cepat menyeret tangan Tek Cun. walaupun Tek Cun tergolong jago yang
menonjol diantara ketujuh saudara Tio, tetapi ketika tangannya dicekal Gin
Liong, ia tak berdaya lagi, Gin Liong mengajaknya menuju ke markas besar menemui
nyonyah Tio tua. Tampak nyonya Tio tua marah2: "Tentu kita semua orang2 Mo-thian-san ini tidak
melayani dengan baik2 sehingga nona Ki pergi . . ."
Begitu melihat Gin Liong, nyonyah tua itu segera berkata dengan nada tenang:
"Liong-ji, Ki sumoay entah bagaimana . .."
"Mah, manakah surat yang ditinggalkannya?" cepat Gin Liong menukas.
Nyonyah Tio tua pun segera memberi sebuah sampul dan buru2 Gin Liong
membacanya: Kepada Siau Gin Liong suko,
Mendoakan agar suko dapat hidup bahagia sampai dihari tua dengan taci Li Kun.
setelah mempersembahkan hormat kepada suhu, aku akan mengikuti Liong-li


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

locianpwe. Tak usah menguatirkan diriku. Yok Lan.
Gin Liong tampak gugup, Setelah menyimpan surat ia segera berkata kepada
nyonyah Tio tua: "Mah, Ki sumoay pulang ke Leng-hun-si, dan akupun mohon diri
hendak menyusulnya."
Habis berkata ia terus melesat keluar. sekalian orang terkejut melihat gerak
gerik Gin Liong yang biasanya selalu tenang, Tetapi tak ada orang yang mengetahui
kecuali Li Kun. ia mendekati mamahnya dan berbisik: "Mah, engkau harus
mengambil keputusan."
Tiba2 muncullah Mo Lan Hwa kedalam markas, Sudah tentu sekalian orang
menyambutnya dengan gembira, Mo Lan Hwa mengatakan telah berjumpa dengan
Gin Liong tetapi ia tak tahu mengapa pemuda itu begitu tegang sekali.
"Nona Mo, aku hendak menyusul mereka, maukah engkau menemani aku?"
"Sudah tentu mau," kata Mo Lan Hwa. "Aku juga ikut, mah," seru Li Kun. "Jangan,
engkau jangan ikut, dikuatirkan nanti nona Ki . . .."
Tek Piu, saudara kelima dari gunung Mo-thian-san. serentak berseru: "Mah, jangan
pergi. Aku sanggup mengundang mereka kemari. Kita tak ada yang menyalahinya,
mengapa dia pergi tanpa pamit."
Memang Tek Piu itu kasar dan tolol tetapi jujur. Sekalian orang tertawa
mendengar kata2nya. "Tolol, jangan banyak bicara!" bentak nyonyah Tio tua.
"Tetapi aku kan tak bicara salah?" bantah Tek Piau.
"Semalam Pat-koay tak jadi datang, tentu ada sebabnya, Tetapi penjagaan markas
harus tetap diperketat, Nona Mo, mari kita berangkat." kata nyonyah Tio tua
pula. walaupun sudah tua tetapi kepandaiannya jauh lebih hebat dari kelima menantu
perempuannya Mo Lan Hwa pun mengikuti.
Pada hari ketiga mereka sudah tiba digunung Tiang-pek-san. Dari jauh sudah
tampak puncak Hwe-sian-hong yang menjulang tinggi.
Gin Liong lebih dulu sudah tiba di gunung dan terus bergegas mendaki kepuncak,
Telinganya yang tajam segera dapat menangkap suara orang menanais, Tetapi
ketika ia mendekat gereja Leng-hun-si, suara tangis itu sirap, ia terkejut, Tak
mungkin Yok Lan yang belum lama pergi, dapat mencapai gereja dalam waktu yang
sedemikian cepatnya, Cepat ia berlari menuju ketempat penyimpan jenasah gurunya. Di depan peti
jenasah Liau Ceng taysu, ia melihat sesosok tubuh rebah tak berkutik, Ah, siapa
lagi kalau bukan Ki Yok Lan, Kedua mata dara itu memejam, masih terlihat bekas air matanya yang belum
kering. wajahnya pucat, mulut mengancing rapat, kaki tangan dingin seperti es.
Dia tentu pingsan, "Sumoay ! Sumoay ! Mengapa engkau senekad itu?" seru Qin Liong ber-isak2.
Tetapi saat itu Yok Lan tak ingat apa2 lagi.
Karena berulang kali meneriaki tetap tak bangun, Gin Liong memegang
pergelangan tangan Sumoaynya untuk memeriksa denyur nadinya, Lemah sekali,
Gin Liong cepat mendudukkan tubuh sumoaynya, ia sendiri duduk dibelakangnya
dan melekatkan telapak tangannya ke punggung Yok Lan, lalu mulai menyalurkan
hawa murninya. Tetapi ia tahu bahwa tubuh sumoaynya itu sejak kecil memang lemah maka iapun
tak berani terlalu keras menyalurkan hawa murni. Dengan demikian sampai
berselang beberapa saat barulah tampak Yok Lan mulai dapat bernapas,
"Lan-moay, Lan-moay . . ," Gin Liong berbisik di dekat telinga si dara. Tetapi
Yok Lan tetap tak berkutik Setengah jam kemudian barulah tampak dada Yok Lan berombak. Gin Liong
gembira karena tahu bahwa detik yang krisis dari keadaan sumoaynya sudah lewat.
Walaupun tenaga dalam Yok Lan tak sehebat Gin Liong tapi ia juga memiliki dasar
tenaga dalam yang cukup baik, Maka setelah sadar, ia tahu kalau ada orang yang
menolongnya, "Lan-moay hati2lah, gunakan hawa murni dalam tubuhmu untuk menyambut
tenaga dalam dari telapak tanganku." seru Gin Liong,
Air mata Yok Lan membanjir deras serunya ter-sendat2: "Liong . . suheng . .
engkau . . mau apa . . kemari . ."
"Sudahlah nanti kita bicara lagi, sekarang ber-siaplah menyambut saluran tenaga
dalamku," Gin Liong cepat menukas,
Tetapi Yok Lan gelengkan kepala dan menghela napas lalu pejamkan mata lagi,
Tetapi Gin Liong tetap berusaha untuk menyalurkan tenaga dalamnya,
"Ah, Liong suko, engkau ini . . ."
"Jangan bergerak, lekas gerakkan hawa murni."
Yok Lan terkejut, jelas Gin Liong nekad hendak menyalurkan tenaga dalamnya. jika
ia tetap tak menghiraukan kemungkinan keduanya tentu akan terjerumus kearah
apa yang disebut Co-hwe-jip-mo atau saluran tenaga dalam yang tersesat sehingga
membuat tubuh cacad selamanya,
Yok Lan terpaksa melakukan perintah, Tak berapa lama tubuhnya terasa hangat
dan segar lagi. "Liong . . ah, suheng, terima kasih atas pertolonganmu, Kini bukan saja tenagaku
sudah pulih tetapi bahkan malah bertambah kuat, pulanglah ke Mo-thian-san agar
taci Kun tak bersedih hati."
Pucatlah wajah Gin Liong, katanya dengan ter-iba2: "Lan-moay, apakah engkau tak
tahu isi hatiku. Aku dengan . . taci Kun . . peristiwa itu diluar . . diluar . .
." "Tidak, kutahu, malam itu aku memang sudah tahu."
Merah wajah Gin Liong, "Oh, engkau . .."
"Lepas dari benar tidaknya karena pengaruh obat dari Dewi Mega, tapi kalian
berdua memang merupakan pasangan yang serasi, Tak usah menyesal."
"Lan-moay, dalam peristiwa terkutuk ttu. bagaimana aku harus meminta maaf
kepadamu dan kepada mendiang suhu?"
"Liong suko, apakah taci Kun tak sembabat dengan engkau?"
"Lan-moay, kalau engkau dapat memaafkan, engkau harus . . ."
"Setitikpun aku tak mendendam bahkan aku mendoakan kebahagiaan kalian
berdua." "Lalu mengapa engkau pergi?"
"Karena kuatir taci Kun tak leluasa bertemu dengan engkau." kata Yok Lan lalu
berputar tubuh menyeka air matanya dan berkata:
"Liong koko, pernikahanmu dengan taci Li Kun sudah jelas." katanya, "aku tak
menyangkal bahwa memang aku pernah mencintaimu tetapi sekarang sudah tak
mungkin lagi, Harap engkau jangan memikirkan diriku lagi, Kini aku sudah
menyadari sepasang syair yang tergantung dalam ruangan suhu: "Jika hendak
meniadakan keresahan hati, haruslah menghilangkan ke-Aku-an masing2
mempunyai garis hidup sendiri jangan iri pada orang, Kedua barisan syair itu
tepat sekali, pergilah, pergilah!"
Habis berkata Yok Lan terus lari masuk ke dalam biara Leng hun-si.
"Lan-moay!" Gin Liong menjerit kaget melonjak bangun dan terus mengejar.
Tiba2 dari arah Leng-hun-si muncul dua sosok bayangan, Salah seorang segera
berseru memanggil Gin Liong,
"Mah !" Gin Liong segera mengenali suara itu sebagai suara mamah angkatnya,
nyonyah Tio tua yang datang bersama Mo Lan Hwa.
"Mana nona Ki," tanya nyonyah Tio tua.
"Dia . . dia lari kedalam biara", habis berkata Gin Liong terus lanjutkan
larinya, Terpaksa nyonyah Tio tua dan Mo Lan Hwa mengikuti. Tetapi di dalam biara
walaupun sudah dicari ke-mana2 Yok Lan tak tampak.
"Heran, kemanakah dia?" seru Gin Liong,
Nyonyah Tio tua dan Mo Lan Hwa juga terkejut. Nyonyah Tio tua bertanya apakah
yang telah terjadi pada diri Yok Lan.
Tanpa malu Gin Liong lalu menuturkan hubungannya dengan Yok Lan dan pesan
dari mendiang suhunya agar kelak ia dan sumoaynya itu dapat terangkap sebagai
suami isteri, "Lalu mengapa dia tampak putus asa dan marah?" desak nyonyah Tio tua.
Karena didesak pertanyaan itu, apa boleh buat terpaksa Gin Liong membuka
rahasia hubungannya dengan Tio Li Kun,
Nyonyah Tio tua dan Mo Lan Hwa tertegun.
"Mah, dalam melakukan hubungan dengan taci Kun, aku benar2 terpengaruh oleh
obat bius dari Dewi Megah, sehingga diluar kesadaran aku telah melakukan
perbuatan yang tak senonoh kepada taci Kun, Untuk itu aku sanggup untuk
menerima hukuman apa saja yang hendak mamah jatuhkan kepada diriku." kata
Gin Liong, -. Nyonyah Tio tua tampak merenung, Sedang Mo Lan Hwa mengucurkan air mata, ia
menangis dalam hati, Harapannya untuk mendampingi Gin Liong, bagai awan
tertiup angin, Tiba2 wajah nyonyah Tio tua tampak cerah katanya: "Liong-ji, janganlah engkau
berduka untuk hal itu, Li Kun telah memberitahu hal itu kepadaku juga. Bahwa
sekarang diantara kalian sudah bersebadan, itu memang sudah menjadi diakibat
dari perbuatan kalian, Tidak hanya engkau, tetapi anakku si Li Kun itu pun
bersalah. Dan yang paling bersalah adalah si Dewi Mega yang telah melebarkan obat
perangsang kepada kalian, Ku percaya bahwa apabila dalam keadaan sadar, engkau
dan Li Kun tentu takkan bertindak begitu . ."
Gin Liong terdiam. "Setiap kesalahan harus kita perbaiki. Oleh karena hal itu sudah menjadi
kenyataan maka kita harus menerimanya. Engkau harus menikah dengan Li Kun demi
menyelamatkan kepentingan bibit yang telah terkandung dalam perut Li Kun."
"Sudah tentu aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, mah," Gin Liong memberi
penegasan, "Tetapi belum cukup begitu, Liong-ji," kata nyonyah Tio Tua pula, "engkau pun
harus melaksanakan pesan suhumu. Dalam hal itu aku dan Li Kun telah mengambil
keputusan, akan menyambut pernikahanmu dengan Yok Lan secara gembira.
Biarlah Li Kun mendapat saudara perempuan yang dapat ber-sama2 mendampingi
engkau . . " "Mah . . ." teriak Gin Liong terkejut.
"Dan masih ada keputusan lain, Liong-ji," kata nyonyah Tio tua lebih lanjut,
"bahwa kulihat hubunganmu dengan nona Mo Lan Hwa sudah meningkat sedemikian rupa
sehingga kasihan apabila nona Mo sampai kecewa, Oleh karena itu. biarlah
sekalian nona Mo menjadi isterimu agar kalian berempat dapat hidup dengan rukun dan
bahagia . . ." "Mah!" kembali Gin Liong menjerit kaget, Tak pernah ia menyangka bahwa
nyonyah Tio tua dan Tio Li Kun akan mempunyai hati yang selapang itu.
"Bukankah . . hai!" tiba2 nyonyah Tio tua menjerit kaget, Ternyata Mo Lan Hwa
yang sejak tadi berada dibelakangnya tahu2 entah kapan sudah lenyap, "mana
nona Mo Lan Hwa?" Gin Liong sejak tadi dicekam oleh perasaan kejut yang melandanya. Ucapan
nyonyah Tio tua memang benar2 tak pernah di-sangka2nya. Karena perhatiannya
tercurah kearah itu maka iapun tak sempat lagi memperhatikan gerak gerik Mo Lan
Hwa yang berada dibelakang mereka,
"Nona Mo. . .!" tak kalah kejutnya ia menjerit kaget, memandang kesegenap
penjuru tetapi tak melihat bayangan nona itu, Dia terus lari mengelilingi biara
Leng- hun-si namun bayangan nona itu hilang seperti di telan bumi,
"Bagaimana?" tegur nyonyah Tio tua seraya menghampiri Gin Liong yang tampak
tegak termenung diluar biara,
"Dia menghilang seperti bayangan . . ."
"Aneh." gumam nyonyah Tio tua, "mengapa nona Yok Lan dan nona Mo Lan Hwa
dapat melarikan diri sedemikian cepat?"
"Adakah dalam biara ini terdapat suatu jalan rahasia yang menembus keluar?"
tiba2 nyonyah Tio bertanya,
Gin Liong seperti disadarkan, Memang dibelakang taman tempat kediaman
mendiang suhunya terdapat sebuah jalan rahasia yang dapat menembus ketempat
guha persembunyian Ban Hong Liong-li dulu. Adakah kedua nona itu menggunakan
jalan rahasia itu" "Tetapi Yok Lan memang mungkin karena tahu akan jalan rahasia itu. Lalu
bagaimana dengan Mo Lan Hwa, bukankah dia tak tahu jalan itu" Lalu bagaimana
dia dapat menghilang secara tak berbekas?" Gin Liong membantah pikirannya
sendiri, Akhirnya ia memutuskan untuk menyusur Yok Lan ke jalan rahasia itu, Tetapi baru
ia hendak bergerak tiba2 muncullah Swat-san Sam-yu atau tokoh gunung Es, yani
Kim-yan-tay atau Tabung-pipa mas Hok To Beng, Hong-tiau-siu si Kakek Gila dan
Cui-sian-ong si Raja Pemabuk,
"Hai engkoh kecil!" seru Hok To Beng ketika melihat Gin Liong agak terkejut
melihat kemunculan ketiga tokoh itu. "mengapa engkau terkejut?"
"Tak apa2, Hok-heng, hanya . . ." agak tersekat Gin Liong hendak berkata,
"adakah Hok-toako berjumpa dengan taci Lan Hwa?"
"Sudah tentu." sahut Hok To Beng, "kedatanganku kemari memang disuruh dia."
"Disuruh taci Lan Hwa?" Gin Liong menegas kaget,
"Ya," sahut Hok To Beng seraya menyerahkan sebuah sampul surat kepada Gin
Liong. Gin Liong cepat membuka dan membacanya:
Adik Liong, Rupanya adik Yok Lan memang benar, Terus terang aku memang mencintaimu
tetapi kini aku sadar bahwa cinta itu tidak boleh bersifat egois, jika engkau
dapat melepaskan adik Lan yang telah dipesan mendiang suhumu, mengapa tak dapat
melepaskan diriku" Bunga gugur mempunyai arti tetapi air mengalir tiada tujuan
artinya, Akupun harus tahu diri, Kudoakan engkau hidup bahagia dengan nona Li
Kun sampai dihari tua. Aku yang pernah singgah dalam kenangan hatimu:
Lan Hwa Habis membaca pandang mata Gin Liong terasa ber-kunang2, kepalanva pening,
Bumi yang dipijaknya serasa amblas. Tubuhnya ter-huyung2 hendak rubuh.
untunglah Hok To Beng cepat menyambarnya.
"Mengapa engkau, siauheng?" tegur jago tua itu.
Gin Liong ngelumpruk duduk ditanah dan menyerahkan surat kepada Hok To Beng,
Setelah membaca tampak Hok To Beng kernyitkan alis.
"Mengapa?" tegur Hong-tiau-soh.
"Celaka, sumoay kita terluka." seru Hok To Beng
"Siapa yang mencelakai?" Hong-tiau-soh lalu memandang kearah Gin Liong dan
menegur, "he apakah engkau yang telah mencelakai sumaoy-ku?"
Habis berkata ia terus menghantam. Memang Kakek Gila itu terlalu aneh wataknya
dan sayang sekali kepada Mo Lan Hwa. Mendengar sumoay-nya terluka ia
menduga tentulah Gin Liong yang mencelakai. Maka tanpa banyak urus, ia terus
menghantam. Hok To Beng terkejut ia hendak mencegah tetapi tak keburu lagi. Bluk!, dada Gin
Liong termakan pukuian. Rupanya pemuda itu tak mau menangkis atau
menghindar dan seolah menyerahkan diri. ia terpental beberapa langkah lalu
muntah darah.,, "Gila!" bentak Hok To Beng seraya loncat menolong Gin Liong, "engkau memang
kakek gila Mengapa engkau memukulnya?"
"Dia melukai sumoay."
"Siapa bilang?" bentak Hok To Beng, "aku hanya mengatakan sumoay kita terluka
tapi bukan terluka tubuhnya melainkan terluka hatinya.
"Ah . . ." seru Hong-tiau-soh seraya bergopoh menghampiri Gin Liong, "maafkan
aku, siau-heng." "Hong jiko tak bersalah." kata Gin Liong, "memang aku sudah tak ingin hidup di
dunia lagi, Aku banyak berhutang dosa kepada orang sehingga membikin patah hati
mereka." "Liong-ji!" tiba2 nyonyah Tio tua berseru, "jangan engkau berkata begitu,
Bagaimana pertanggung jawabmu terhadap Li Kun?"
Tanpa menunggu penyebutan Gin Liong, nyonya Tio Tua membentak kepada Hongtia-soh: "He kakek gila, kalau Liong-ji sampai kena apa2 jangan engkau tanya
dosa, tentu aku akan mengadu jiwa dengan engkau."
Nyonyah Tio tua tahu bahwa Swat-san Sam-yu itu termasuk tokoh persilatan yang


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diagungkan kesaktiannya, Tetapi ia tak gentar.
"Aku tak mengerti duduk perkaranya." bantah Hong-tiau-soh maka aku telah
kesalahan tangan untuk itu aku sudah meminta maaf dan bersedia untuk menolong
jiwanya, Tetapi eh. mengapa engkau begitu garang sekali" Andaikata aku tak
merasa bersalah, kata2mu itu cukup menjawdi alasan untuk menggerakkan
tanganku menghajar mulutmu yang lancang itu."
Karena sudah terlanjur berkata keras nyonya Tio tua pun tak mau mundur.
Jawabnya: "Hm kudengar Swat-san Sam-yu diagungkan sebagai dewa persilatan.
Tetapi aku si nenek tua Tio, takkan mundur menghadapi mereka . ."
"Ha, ha, nyonya tua, engkau hendak menantang aku?" seru Hong-tiau-soh.
"Aku tak menantang tetapi aku tak gentar apabila harus mempertahankan
kehormatanku terhadap orang yang menghina aku."
"Hong tian-soh, maukah engkau menutup mulutmu." tiba2 Hok To Beng
menyeletuk, Kemudian ia berkata kepada nyonya Tio tua: "Nyonyah Tio
sebenarnya bagaimanakah hubunganmu dengan adik ini sehingga engkau begitu
mati2an hendak membela jiwanya?"
Nyonya Tio tua menganggap kata2 Hok To Beng itu beralasan ia menerangkan
bahwa Gin Liong itu anak angkatnya: "Disamping itu diapun calon suami anakku
perempuan . ." "Hai..." tiba2 Cui-siang-ong si Dewa Pemabuk menjerit, "dia calon menantumu"
Pantas, pantas sumoayku terluka hatinya. Kiranya dia sudah menjadi calon
menantumu, hmm . ." "Eh, apa huhungannya dia calon menantuku dengan engkau?" nyonya Tio tua
marah juga. "Sudah tentu mempunyai hubungan," sahut Cui-sian-ong tak kurang getasnya,
"adalah karena dia engkau rebut hendak engkau jodohkan pada anak
perempuanmu, maka sumoayku sampai terluka hatinya, Jadi jelas engkaulah yang
menjadi gara2 dari hancurnya hati sumoayku!"
"Apa katamu2. Aku merebut putera angkatku" Andaikata benar, apa pedulimu?"
sebenarnya nyonya Tio tua bermaksud juga hendak menjodohkan Mo Lan Hwa
kepada Gin Liong tetapi demi mendengar kata2 yang kasar dari Cui-sian-ong ia
marah sekali. "Jika begitu, engkau harus kuhajar!" seru Cui-sian-ong seraya maju menghampiri.
Nyonya Tio tua pun bersiap-siap.
Tiba2 terdengar derap kuda lari mendatangi dan tak berapa tama, muncullah enam
penunggang kuda ke biara Leng-hun-si. Dua orang penunggang kuda yang paling
depan, terdiri dari seorang pemuda cakap yang gagah, naik kuda hitam dan seorang
pemudi cantik naik kuda putih, sementara empat orang dibelakangnya terdiri dari
lelaki setengah tua. "Itulah Siau siauhiap, koko!" tiba2 gadis berkuda putih itu berseru seraya
menunjuk kearah Gin Liong yang masih duduk pejamkan mata, wajahnya pucat.
Sepasang muda mudi dan keempat pengiringnya serempak melayang turun dalam
gerakan yang gesit dan ringan, kedua muda mudi itu langsung menghampiri ke
tempat Gin Liong. Kemunculan rombongan penunggang kuda itu telah menghentikan ketegangan
diantara Cui-sian-ong dengan nyonya Tio tua.
"Siau sauhiap, kenapa engkau?" teriak pemuda cakap itu seraya lari menghampiri
Gin Liong. "Jangan memegangnya!" bentak Hong-tiau-soh dengan deliki mata, pemuda dan
pemudi itu terkejut. Mereka berpaling memandang Hong-tiau soh dan menegurnya
"Siapakah lo-tiangke ini?"
"Pantasnya aku yang harus bertanya, mengapa malah ditanya?" Hong-tiau-soh
menyindir. "Apa yang hendak lo-tiangke tanyakan?" pemuda itu rupanya berperangai sabar.
"Siapa engkau dan mengapa engkau hendak mengganggu engkoh kecil itu?" tanya
Hong-tiau-soh. "Dia adalah Siau Gin Liong sauhiap, kenalanku, Dia sudah berjanji hendak singgah
digunungku tetapi sampai sekian lama belum muncul kemudian kami mendapat
berita bahwa dia sudah kembali ke biara Leng-hun-si disini. Maka kamipun segera
menjenguknya." "Dimana gunungmu dan siapakah namamu?" tanya Hong-tiau-soh.
Si gadis merah mukanya. ia tak puas melihat sikap Hong-tiau-soh yang tak
memandang mata kepada si pemuda. Tetapi untunglah pemuda itu mendahului
berseru: "Aku tinggal di gunung Ke-kong-san . . ."
"Itulah markas Thian-leng-kau," cepat Hong-liau-soh menukas. "apakah engkau
orang Thian-leng-kau" siapakah namamu?"
"Ya." pemuda itu mengiakan, "aku Hong-hu Ing dan adikku Hong-hu Yan ini
memang anggauta Thian-leng-kau . ."
"Hong-hu Ing?" tiba2 Hok To Beng yang sejak tadi tak bicara, saat itu membuka
mulut. Pemuda itu mengiakan. "Oh, tak kira kalau ketua Thian-leng-kau yang bernama Hong-hu Ing itu ternyata
masih begini muda." seru Hok To Beng.
"Ah. lo-tiangke terlalu memuji." Hong-hu Ing merendah.
Memang Thian-leng-kau walaupun baru berdiri tetapi namanya sudah cukup
dikenal orang, Hong-hu Ing dan Hong-hu Yan termasyhur sebagai sepasang kakak
beradik yang lihay. Ketiga Swat-san Sam-yu dan nyonyah Tio tua terkejut, Mereka tak menyangka
bahwa pimpinan Thian-leng-kau yang begitu termasyhur ternyata masih seorang
pemuda dan pemudi yang muda belia dan cakap.
Kemudian Hong-hu Yan balas bertanya, setelah mendengar bahwa ketiga lelaki tua
itu ternyata Swat-san Sam Yu, iapun buru2 menghaturkan maaf, demikian juga
kepada nyonyah Tio. setelah saling berkenalan, Hong-hu Ing memberi hormat juga.
"Hok cianpwe" kata Hong-hu Ing, "apakah yang telah terjadi pada Siau sauhiap?"
Hok To Beng menjelaskan kesemuanya, Mendengar itu kejut Hong-hu Ing bukan
kepalang. "Jika begitu, aku harus berusaha untuk menemukan nona Yok Lan lagi." kata Honghu Ing cemas. "Aku ikut koko." seru Hong-hu Yan.
Berpikir sejenak, Hong-hu Ing berkata: "Jangan lebih baik engkau disini merawat
Siau sauhiap yang terluka itu. Setelah itu ajaklah dia pulang ke Ke-kong-san."
Nyonya Tio tua mendesah: "Soal diri Liong-ji, puteraku angkat itu, akulah yang
wajib merawatnya. Akan kubawa dia pulang ke gunung Mo thian-san."
Hong-hu Yan terkesiap dan memandang ke arah kokonya, Hong-hu Ing berkata:
"Jika demikian setelah engkau beri pertolongan seperlunya, engkau boleh
mengantarkan Siau sauhiap ke gunung Ke-kong-san"
"Ya, jika nona suka, silahkan mengunjungi gunungku, Anak perempuan. Li Kun
tentu gembira sekali menerima kedatangan nona," kata nyonyah Tio tua.
Karena sikap nyonya Tio yang ramah, Hong-hu Yan pun mau menerima undangan
itu, Diam2 ia pun hendak melihat bagaimanakah gadis Li Kun itu dan apakah
mempunyai hubungan dengan Gin Liong.
Setelah memasrahkan adiknya, Hong-hu Ing segera mengajak ke empat thancu
pengiringnya tinggalkan tempat itu.
"Jika begitu. hayo kita cari sumoay." seru Hong-tiau-soh seraya melangkah pergi,
Terpaksa Hok To Beng dan Cui-sian-ong mengikuti jejak mereka.
Setelah orang2 itu pergi. barulah nyonyah Tio tua menghampiri Gin Liong,
ujarnya: "Liong-ji, jangan engkau kelewat berduka, Aku akan mengatur urusanmu sehingga
beres, Takkan ada pihak yang rugi dan tersiksa hatinya."
Hong-hu Yan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia ingin tahu hubungan Gin
Liong dengan Tio Li Kun, Dengan tutur kata yang halus, ia minta keterangan
kepada nyonyah Tio tua tentang keadaan Gin Liong.
Nyonya Tio tua menuturkan dengan terus terang apa yang telah terjadi pada diri
Gin Liong pada akhir penuturannya ia menambahkan bahwa tiada keputusan yang
lebih bijaksana daripada menjodohkan ketiga nona itu kepada Gin Liong. Ketiga
nona itupun tentu tak keberatan mengingat hubungan mereka sangat akrab seperti
saudara sendiri. Diam2 Hong-hu Yan hancur hatinya, Dengan keadaan itu, jelas ia tiada mempunyai
harapan lagi untuk menjadi teman hidup Gin Liong, Namun ia memutuskan bahwa
ia harus berani berkorban juga. Ia harus merawat pemuda itu sampai sembuh baru
nanti meninggalkannya dengan membawa hati yang hancur.
"Liong-ji." kata Nyonyah Tio tua. "mari kita pulang ke Mo-thian-san biar mamah
dan saudara2 dapat merawat lukamu."
Gin Liong saat itu sudah tampak lebih baik keadaannya, ia menghela napas: "Mah,
hatiku masih bingung. Ijinkanlah aku untuk beberapa hari beristirahat disini,
Soal lukaku, kiranya tak menjadi soal. Harap mamah bersama nona Hong-hu pulang
dulu dan tolong sampaikan kepada taci Kun supaya baik2 menjaga diri. ." dalam
mengucap kata2 terakhir itu, tampak mata Gin Liong ber-linang2 dan suaranya tak
lampias. Dalam beberapa saat saja, Gin Liong sudah banyak berobah, jika tadi ia seorang
pemuda yang penuh semangat dan gesit, saat itu sudah seperti orang yang
kehilangan semangat hidupnya,
"Liong-ji, engkau harus percaya kepadaku." kata nyonya Tio tua pula. "aku tentu
akan mengatur semua urusan itu sampai menyenangkan hatimu."
"Terima kasih mah." kata Gin Liong dengan nada sukar ditebak.
"Baiklah, Liong-ji." akhirnya nyonya Tio tua berkata, "aku akan mengajak nona
Hong-hu pulang dulu. Tiga hari kemudian apabila engkau belum pulang, akan
kusuruh engkohmu datang menjemput kemari."
Setelah kedua wanita itu pergi, Gin Liong menghela napas panjang, ia merasa
telah kehilangan diri, kehilangan pegangan, ia mencintai Yok Lan tapi ia telah
mempunyai kewajiban terhadap Li Kun. iapun tahu bahwa Mo Lan Hwa dan Hong-hu Yan juga
menaruh hati kepadanya, Apabila ia menolak mereka tentu akan patah hati dan
menderita batin. Namun kalau ia menerima, tak mungkin ia dapat menerima
semuanya. Sampai lama ia duduk tepekur menyalurkan pernapasan dan mengheningkan cipta.
Entah berselang berapa lama, ketika membuka mata ternyata hari sudah larut
malam. Seluruh penjuru gelap dan sunyi senyap.
Pe-lahan2 ia berbangkit menuju ke tempat ruang penyimpan jenasah suhunya.
Sebuah peti mati diletakkan di tengah ruangan, hanya dipasangi penerangan
sebatang lilin. Pe-lahan2 ia menghampiri kemuka peti dan berlutut, ia pejamkan mata se-olah2
hendak berbicara dengan arwah suhunya.
"Suhu, murid bingung menghadapi persoalan hidup murid," katanya dalam
menyampaikan doa, "mohon suhu suka memberi petunjuk kepada murid, agar
murid dapat melaksanakan semua pesan dan harapan suhu . ."
Namun sampai lama, tak pernah Gin Liong merasa menemukan jawaban, Tiba2 ia
teringat akan pesan Ban Hong Liong-li untuk meletakkan gumpal rambutnya yang
telah dipotong disisi jenasah suhunya, Maka iapun segera melakukannya.
Setelah selesai, pilihannya pun teringat akan Ban Hong Liong-li yang bernasib
malang itu, ia heran mengapa suhunya begitu getas terhadap wanita.
"Ah . ." tiba2 ia tersentak dari lamunan, Ada sesuatu dalam pertanyaan itu yang
memancarkan sesuatu. Dan sesuatu itu dirasakan sebagai jawaban dari suhunya
terhadap pertanyaan yang di sampaikan dalam doanya tadi.
"Ah, tentulah suhu seorang yang berbudi luhur. Dia tahu kedua wanita itu sama2
mencintainya, jika ia menerima yang satu, yang lain tentu akan menderita. Maka
lebih baik ke-dua2nya tidak sama sekali maka suhu rela melepaskan keduniawian
dan mensucikan diri sebagai seorang paderi. ." berkata Gin Liong seorang diri.
"Tetapi ah, mengapa tidak kedua wanita itu diperisteri semua" Bukankah hal itu
akan membahagiaan semua pihak?" ia membantah pikirannya sendiri.
Gin Liong tak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun ia percaya bahwa suhunya
itu seorang lelaki jantan yang berbuat luhur, bijaksana dan berhati welas asih.
Tentu ada sebabnya mengapa dia tak mau melakukan hal itu, Kemungkinan besar,
dia hanya menginginkan satu tetapi tak ingin menyakiti yang lain.
"Ah, keadaan suhu terbalik dengan diriku, jika memang mereka mau menerima,
akupun terpaksa harus menerima mereka demi membahagiakan mereka semua.
Tetapi ternyata Lan-moay rela berkorban. Dia ingin mengikuti jejak suhu, Juga Mo
Lan Hwa mengikuti langkah Lan-moay, Ah, jika gadis2 itu berani berkorban demi
kebahagiaanku, mengapa aku sebagai seorang lelaki tak berani berkorban demi
mereka?" jawaban itu makin menonjol dan mengendap sebagai suatu keputusan
"Baik, aku akan mencari Lan-moay dan memberi penjelasan kepadanya, Tetapi jika
dia tetap hendak meninggalkan keduniawian aku pun akan masuk menjadi paderi
juga . . ." tiba2 ia hentikan pikirannya ketika teringat akan Li Kun yang telah
mengandung bibit anaknya. jika ia mengambil keputusan begitu, anak itu kelak
akan menderita batin seorang anak tanpa ayah.
"Ah . .. ." ia mengeluh, "anak itu tak berdosa apa2, mengapa dia harus memikul
kesalahanku?" Setelah agak lama merenung, akhirnya ia mengambil keputusan, Pertama, ia akan
mencari Yok lan" Kalau bertemu ia akan memberi penjelasan. Apabila Yok Lan
menerima, segala apa akan berlangsung seperti yang dikatakan nyonya Tio tua.
Tetapi kalau Yok Lan menolak, iapun akan masuk gereja menjadi pendeta.
Dan demikian pula apabila ia tak berhasil menemukan sumoaynya itu. Demi
menyelamatkan muka Li Kun, demi kepentingan anak itu, ia harus kembali kepada
Li Kun. Setelah anak itu lahir, barulah ia akan meninggalkan mereka dan
mengasingkan diri jauh dari pergaulan umum.
"Ya, demikianlah keputusan yang harus kuambil," akhirnya ia segera tinggalkan
gunung Tiang-pek-san untuk memulai pencariannya kepada Yok Lan." Tetapi dunia
begitu luas, kemanakan ia harus mencarinya "
Yok Lan sejak kecil sudah sebatang kara, tak mungkin dia menuju ke tempat sanak
keluarganya, Yok Lan pun tak mempunyai sahabat kenalan diluaran. Satu-satunya
tempat yang kemungkinan besar ditujunya yalah ke daerah Biau mencari Ban Hong
Liong-li. Ya, ia akan menuju ke daerah Biau.
Ternyata dugaannya memang benar. Setelah susah payah tiba didaerah Biau dan
menyelidiki akhirnya ia dapat menemukan tempat kediaman Ban Hong Liong-li
disebuah puncak bukit yang dikelilingi pemandangan alam yang permai. Disitu
terdapat sebuah biara disebut Bang-hong kwan. diketuai oleh rahib Ban Hong sinni. Pertemuan itu memberi kesan yang mengejutkan sekali pada Gin Liong, Tampak
wajah Ban Hong Liong-li sayu tapi tenang, Terutama sinar matanya terasa sejuk,
Suatu pertanda bahwa wanita itu sudah menemukan ketenangan hatinya dalam
melewati sisa hidupnya. "Oh, engkau Liong-ji." seru Ban Hong sin-ni dengan tenang, "bukankah engkau
hendak mencari Lan-ji?"
"Benar. cianpwe" kata Gin Liong. "apakah Lan-moay berada disini?"
Ban Hong sin-ni mengangguk.
Setelah menghaturkan terima kasih bahwa Yok Lan sudah diterima oleh Ban Hong
Liong-li, Gin Liong meminta ijin untuk menemui Yok Lan.
Ban Hong sin-ni menghela napas: "Memang hanya yang mempunyai jodoh baru
dapat diterima Hud, Lan-ji telah menemukan dunianya, kehidupan dan
kebahagiaannya disini . ."
"Cianpwe " Gin Liong berteriak kaget "adakah . . adakah Lan-moay sudah . .
mengikuti jejak cianpwe ?"
"Anak itu memang keras sekali hatinya," kata Ban Hong sin-ni, "pada hari itu
entah mengapa aku ingin ke Tiang-pek-san. Terus terang aku ingin melihat wajah suhumu
yang terakhir kalinya sebelum aku memasuki kehidupan sebagai seorang rahib."
Gin Liong menghela napas.
"Tetapi di tengah jalan aku bergtemu dengan gerombolan penyamun yang telah
menawan seorang gadis, Aku terkejut karena gadis itu bukan lain adalah Yok Lan.
Segera kuhajar kawanan penyamun itu dan kutolong Lan-ji. Lan-ji mengatakan
bahwa ia hendak ke daerah Biau mencari aku. Sudah tentu aku terkejut dan
meminta keterangan apa yang telah terjadi pada dirinya. Dengan terus terang ia
menceritakan tentang kisah hidupnya bersama engkau dan memutuskan akan
masuk menjadi rahib, Aku terkejut dan berusaha menasehati supaya jangan ia
meneruskan keinginannya. Dari halus sampai kasar, tetap anak itu menolak, jika
aku tak mau menerimanya, ia akan mencari biara di lain tempat. Akhirnya
kululuskan juga permintaannya itu. Kubawanya pulang kemari dan pada hari itu
juga ia telah memotong rambutnya resmi menjadi rahib."
Kembali Gin Liong terkejut.
"Dimanakah Lan-moay saat ini?" tanya Gin Liong.
"Lebih baik engkau jangan menemuinya, Liong-ji. Apa guna engkau bertemu jika
pertemuan itu hanya akan membawa kenangan yang pahit" Saat ini dia sedang
melakukan semedhi menutup diri di ruang semedhi. Dia baru akan keluar setelah
mencapai penerangan batin, ia titip pesan kepadaku, janganlah engkau
menemuinya lagi demi ketenangan hatinya dan kebahagianmu, Liong-ji."
Gin Liong tak dapat berkata apa2 kecuali mengucurkan air mata: "Cianpwe, berilah


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petunjuk kepada Gin Liong, bagaimana aku harus hidup?"
Tenang2 Ban Hong sin-ni menjawab: "Hiduplah menurut kodrat hidupmu. Jangan
paksakan dirimu melakukan hal yang bukan menjadi garis hidupmu. Kembali dan
menikahlah dengan nona Li Kun, demi kepentingan anakmu."
Gin Liong ter~menung2. Beberapa saat kemudian baru ia berkata: "Baiklah,
cianpwe aku hendak melakukan petunjuk itu. Tetapi tolong cianpwe sampaikan
pada Lan-moay, bahwa setelah kewajibanku sebagai seorang suami dan ayah
selesai aku tentu akan menyusul jejak Lan-moay . ."
"Liong-ji." cepat Ban Hong sin-ni berseru,
Tetapi Gin Liong setelah memberi hormat terus lari keluar."
Ban Hong sin-ni menghela napas: "Dunia memang suatu derita, Aku dan suhunya
harus menderita sepanjang hidup, kini mereka berduapun akan menuju kearah itu
juga, Entah berapa ratus ribu muda mudi yang akan tergelincir dalam lembah
penderitaan itu . ."
Kembali ke gunung Mo-thian-san, ternyata Honghu Yan sudah pulang. Gin Liong
melaksanakan rencananya juga, ia menikah dengan si jelita Li Kun dan tinggal di
gunung Mo Thian san. Pada suatu hari Swat-san Sam-yu berkunjung ke gunung Mo-thian-san. Ketiga
tokoh itu menerangkan bahwa sumoay mereka, Mo Lan Hwa, telah mensucikan diri
sebagai seorang rahib. "Apakah toako bertiga akan menuntut balas kepadaku?" tanya Gin Liong,
"Tidak, siau-hengte" kata Hok To Beng, "hal itu memang menjadi kehendak sumoay
sendiri, Begitu pula dia minta dengan sangat agar kami bertiga jangan melakukan
tindakan apa2 ketiga jangan melakukan tindakan apa2 kepadamu. Semua
kesalahan adalah tanggung jawab sumoay sendiri."
Gin Liong menghaturkan terima kasih, Setelah beristirahat beberapa waktu, Swatsan Sam Yu pun tinggalkan gunung Mo-thian-san.
Beberapa bulan kemudian, Li Kun telah melahirkan seorang bayi laki2 yang diberi
nama Hui Seng atau Cahaya Hidup.
Setelah anak itu genap berumur satu tahun, tiba2 seluruh penghuni gunung Mothian-san gempar dan bingung. Gin Liong telah lenyap dan hanya meninggalkan
sepucuk surat untuk nyonya Tio tua.
Isi surat mengatakan bahwa ia telah menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang
suami dan seorang ayah, Sekarang dia hendak menunaikan kewajibannya terhadap
diri sendiri. Ia akan mencari penerangan batin dan tinggalkan kehidupan ramai.
ia minta maaf kepada nyonya Tio tua, Li Kun dan puteranya.
Walaupun nyonya Tio tua mengerahkan anak buah Mo-thian-san dan beberapa
puteranya, untuk mencari jejak Gin Liong namun sia2 saja.
Gin Liong seperti hilang lenyap ditelan bumi. Beberapa tahun kemudian, dunia
persilatan mulai ramai membicarakan tentang diri seorang paderi muda yang
memiliki ilmu silat tinggi.
Paderi muda itu sering muncul dan setiap kemunculannya tentu menimbulkan
kegemparan Jago golongan hitam yang jahat, banyak yang cacad kehilangan ilmu
kepandaiannya sedemikian besar perbawa dari paderi aneh itu, hingga orang
persilatan gentar. Tunas2 muda yang menjadi harapan para cianpwe persilatan, karena soal asmara
telah tenggelam dalam laut kesunyian. Namun mereka masih memancarkan
pengaruh untuk menjaga kelangsungan dan ketenangan dunia persilatan.
T A M A T Kitab Mudjidjad 1 Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Terbang Harum Pedang Hujan 11

Cari Blog Ini