Ceritasilat Novel Online

Pendekar Elang Salju 9

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 9


Tabiat seorang putri Wisma Samudera yang selalu memberi perintah secara otomatis
langsung terlihat keluar. Ia terbiasa menjaga jarak terhadap siapa pun, walau
dalam hati sudah ingin merapat.
Paksi Jaladara tersenyum lebar, "Aku tidak mengerti ... apa yang kamu maksud
dengan 'macam-macam' itu?"
Mereka mulai melangkah berjalan berdampingan, bergandengan menuju gundukan yang
agak menjulang. "Jangan pura-pura tidak mengerti, lah!" sergah Retno sambil menyentak tangan
Paksi Jaladara. "Aku memang mau melakukan pengawasan disana," kata Paksi Jaladara sambil
mengiringi langkah Retno yang masil lunglai karena baru bangun tidur, " ...
setelah itu soal lain."
"Setelah itu apa?" Desak Retno, membiarkan tangannya diayun-ayun seperti anak
kecil digandeng orangtuanya.
"Kamu cantik kalau baru bangun," sahut Paksi Jaladara seperti tak peduli
pertanyaan Retno. "Setelah itu apa?" desak Retno, sama tak pedulinya.
"Aku senang menjadi pangkuan tidurmu," kata Paksi Jaladara.
"Setelah disana, apa yang akan kakang lakukan?" suara Retno, sedikit meninggi.
"Apakah kamu mimpi indah?" tanya Paksi Jaladara.
Langkah mereka berdua tak terganggu oleh percakapan yang simpang siur ini.
"Kakang mengajakku di atas sana," kata Retno berubah normal lagi, " ... setelah
itu, apa yang akan kakang lakukan?"
"Biasanya mimpi di hari terang selalu indah," kata Paksi Jaladara sambil memetik
bunga rumput yang mereka lintasi, lalu diselipkan di bibir.
"Kakang!" Sergah Retno sambil berhenti melangkah.
Terpaksa Paksi Jaladara ikut berhenti melangkah, memutar tubuhnya menghadap
gadis itu yang sedang menatap tajam kepadanya.
Pemuda itu tersenyum. Sedikit nakal! "Nah," seru Retno dalam hati, "sekarang mulai terlihat sinar nakal di matanya!"
"Apa yang akan kamu lakukan setelah kita sampai disana?" tanya Retno sambil
terus menatap tajam. Tangannya masih terayun-ayun perlahan dalam genggaman tangan pemuda itu.
"Aku akan ... menciummu," sahut Paksi Jaladara tenang, dengan senyum samar, dan
dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan kenakalan, sedikit keliaran,
berganti-ganti dengan semburat kecil birahi. Semua terbuka terpampang di kedua
mata yang tak berkedip itu.
Retno membuka mulutnya. Tetapi ia menutupnya lagi, karena tak tahu apa yang bisa
ia ucapkan! "Berani juga dia!" pikirnya.
Lalu Paksi Jaladara melangkah mendekat, justru Retno Palupi mundur selangkah,
lalu berhenti karena bagian punggung membentur batang pohon. Mereka berada di
sebuah jalan setapak yang sedikit menikung ke kiri.
Lengang, tak ada orang di sekeliling. Sepi, kecuali oleh suara burung yang
pulang kandang dari mencari nafkah sepanjang hari.
Lalu Paksi Jaladara melangkah lebih dekat lagi. Retno sejenak ragu, tetapi lalu
tersenyum. "Aku ingin tahu seberapa pandai ia merayu gadis, meski ini untuk pertama kalinya
untukku," ucapnya dalam hati.
Lalu Paksi Jaladara mendekatkan wajah. Mulut membuka sebentar, lalu segera
menempel lembut di mulut Retno yang telah siap menerima lumatan pemuda itu.
Dengan sepenuh hati pemuda itu mengulum bibir Gadis Naga Biru yang merah merona
penuh gairah, basah mengundang seperti semangka matang.
Paksi menikmati bibir itu, seperti seorang petualang menikmati temuan barunya!
Ciuman mereka berlangsung cukup lama, dan baru berhenti setelah terdengar
lenguhan kecil dari dalam mulut Retno Palupi. Retno menyeka bibirnya yang basah
dengan punggung tangan, sedang Paksi Jaladara masih sibuk mengatur nafasnya.
"Kakang benar-benar nakal."
"Aku memang nakal, sejak dulu," kata Paksi Jaladara sambil tersenyum setelah
nafasnya reda. Mereka berdua mulai melangkah lagi. Tetapi kini sudah tidak bergandengan, tapi
tangan paksi melingkar mesra di pinggang gadis itu.
"Aku suka menciummu," kata Paksi Jaladara. "Mulutmu harum sekali."
Retno tertawa, mengeluarkan jurus 'apa-peduliku"' dengan muka yang sengaja
memiaskan ketenangan, seperti menguap dan menggeliat sehabis tidur panjang.
Tidak istimewa! "Kamu tidak menikmatinya?" Kata Paksi Jaladara menyimpulkan sendiri.
Tadinya Retno menyangka akan mendengar nada kecewa.
Ternyata tidak! Paksi Jaladara mengucapkan kalimat itu seperti menyampaikan berita kematian.
Walaupun yang diberitakan sebetulnya mengerikan, berita kematian selalu bernada
datar. Seperti itulah nada suara Paksi Jaladara!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Dua
"Kita bisa ulangi lagi," ucap Retno dengan nada datar pula. "Kakang mau?"
Paksi Jaladara tersenyum sambil hendak meraih tangan Retno, tetapi Retno menolak
dengan halus. Lalu ia tiba-tiba berlari ke depan dan berseru, "Ayo! Kejar aku!"
Terpaksalah Paksi Jaladara ikut berlari mengejar si burung centil yang cantik
itu! Ketika mereka berdua sampai di atas gundukan, Retno menengadahkan mukanya dan
berbisik, "Ayo, cium lagi. Itu kalau kakang benar-benar berani."
"Tidak masalah selama kau yang menyuruhnya!" sahut Paksi sambil menahan senyum.
Tak peduli apakah 'perintah' itu patut atau tidak, Paksi menarik leher Retno
lebih dekat lagi. Dengan gerakan perlahan tetapi penuh kepastian, pemuda itu
mengulum lembut bibir merah merekah yang tersedia. Ciumannya kali ini sedikit
lebih bernafsu dibanding sebelumnya. Paksi Jaladara tidak hanya mengulum, tetapi
juga menjelajahi ruang dalam yang penuh harum nafas Retno itu dengan ujung
lidah. Dan Retno juga meladeninya dengan semangat membara. Ia bahkan membiarkan raganya
terbawa arus kencang yang membuat jantungnya berdegup lebih keras. Ia membuka
mulutnya lebih lebar, ikut menerima lidah Paksi yang meronta-ronta liar di
dalam. Seperti tuan rumah yang ramah, menyambut tamu yang memang diundang!
Retno bahkan memeluk leher pemuda itu, menempelkan dada padat membusung miliknya
ke dada Paksi yang bidang dan kekar. Ia membiarkan ujung-ujung bukit kembarnya
bergeletar samar ketika bergesekan dengan tubuh tegap itu. Ribuan rasa geli
serentak menyebar langsung ke seluruh tubuh. Retno pun mendesahkan apa yang
dirasakannya. Ia merasa lebih baik menyerah!
Dan Paksi menjadi lebih berani. Ia meraih tubuh gadis semampai itu lebih dekat
lagi. Ia menelusuri punggung gadis itu, membawa kedua tangannya yang nakal ke
bagian belakang tubuh yang sintal padat terbalut celana panjang itu dan
disana ... ia meremas-remas dengan mesra disana.
Dan Retno Palupi kembali mendesah, kini seperti ingin menyatukan saja seluruh
tubuhnya ke tubuh tegap itu.
Saat Retno mencoba melepaskan diri, Paksi justru menahannya ... dan Retno Palupi
membiarkan lagi Paksi Jaladara memagut bibirnya. Rasanya tubuh Paksi bagai besi
sembrani yang terus menarik tubuhnya untuk menempel semakin erat. Gerakan
meronta yang ia coba lakukan tadi justru menambah gesekan-gesekan tak sengaja
yang penuh kenikmatan. Retno justru merasa ingin lebih kuat dipeluk dan diremas!
"Hmmmmm ... " Retno menggumam, mencoba mendorong dada Paksi tetapi dengan
setengah hati. Setelah memagut bibir gadis itu dan meremas pinggulnya sekali lagi, akhirnya
Paksi melepaskan ciumannya.
"Kakang betul-betul nakal ... " desah Retno sambil melangkah mundur. Dalam hati
Retno berteriak, "akhirnya aku bisa menjerat elang liar itu!"
Nafasnya terdengar jelas terengah-engah. Wajahnya merah merona, dan Paksi bisa
melihat sinar matanya yang berbinar menggairahkan.
"Sama denganmu ... " jawab Paksi, pendek.
saat kedua sedang dalam proses pemulihan diri, terdengar pekikan nyaring dari
atas. Awwkkk! Awwkk ... ! Paksi mendongak ke atas. terlihat sesosok bayangan putih keperakan berputaran di
langit. "Benar dugaanku," gumamnya.
"Dugaan apa, kakang?"
"Ada penyusup!"
"Bukankah tempat ini sudah diberi pagar gaib oleh Kakang Wanengpati?"
"Benar! Tapi dengan Ilmu 'Kelambu Gaib', pagar itu bisa ditembus siapa saja
tanpa menjebol hancur pagar itu," kata Paksi, "kita kesana!"
Pemuda itu berkelebat cepat ke arah selatan, diikuti dengan Gadis Naga Biru yang
langsung mengerahkan ilmu lari cepat.
Lapp! Blass! Sebentar kemudian sudah terlihat dua titik putih dan biru yang berlari
berdampingan. "Hebat juga ilmu larinya," pikir Paksi Jaladara sambil mengurangi sedikit tenaga
agar bisa berlari sejajar dengan si gadis cantik.
"Kita intai dari atas sana," kata Paksi sambil berkelebat cepat ke atas pucuk
cemara, diikuti dengan Retno Palupi yang melayang ringan dan hinggap di pucuk
cemara sebelahnya. Mata elang Paksi mengedar ke sekeliling, tapi tidak
diketemukan penyusup yang dimaksud si perak.
"Lebih baik kugunakan saja kekuatan Rajah Elang Putih," pikir Paksi sambil
mengusap dahi dengan tangan kanan.
Tentu saja perbuatan pemuda kekasihnya itu cukup aneh dalam sudut mata Retno
Palupi. "Apa yang dilakukannya?" pikirnya.
Setelah diusap tiga kali, terlihat cahaya putih temaram karena tertutup ikat
kepala merah di dahi Ketua Muda Istana Elang. Kemudian ia kembali mengedarkan
pandangan dan akhirnya berhasil menangkap enam titik hitam di kejauhan.
"Ada enam orang yang menyusup ke tempat kita, Retno."
"Enam orang" Disebelah mana, aku tidak melihat mereka, kakang." kata Retno
Palupi celingak-celinguk seperti monyet.
Paksi tersenyum kecil melihat gaya Retno.
"Tentu saja tidak terlihat, karena mereka masih menggunakan Ilmu 'Kelambu Gaib'
untuk menutupi sosok jati diri mereka." ucap Paksi, " ... lebih baik kita turun
ke bawah. Aku yakin mereka akan lewat di tempat ini."
"Baiklah!" Mereka berdua lalu turun dari atas pohon. Jika Retno Palupi langsung menginjak
tanah setelah berjumpalitan beberapa kali, justru Paksi melayang turun bagai
segumpal asap. Tubuhnya seringan daun, bagai angin yang berhembus. Itulah jurus
'Ribuan Li Selaksa Ombak' yang dulu diajarkan Tabib Sakti Berjari Sebelas
digabungkan dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai' sehingga pemuda itu bisa melayanglayang di udara dengan bebas.
"Edan! Jurus apa yang digunakannya" Ayah saja tidak bakalan mampu melakukan ilmu
melayang bebas seperti yang dilakukan Kakang Paksi." batin Retno Palupi sambil
memandangi tubuh tegap yang kini telah berdiri kokoh dihadapannya.
"Bagaimana dengan mereka kakang?"
"Sebentar lagi sampai di tempat ini."
"Tapi aku tidak bisa melihat mereka jika Ilmu 'Kelambu Gaib' belum dilepas."
Paksi Jaladara tidak menjawab pertanyaan gadis itu, tapi malah melangkah
mendekat. Retno diam tanpa gerak. Tangan si Elang Salju meraih kepala Gadis Naga Biru dengan gerakan pelan penuh
kelembutan. "Wah ... mau dicium lagi nih" Gimana ya" Aku khan tidak bisa menolak kalau
begini caranya," pikir Retno Palupi.
Buhh! Paksi justru meniup mata gadis itu yang langsung terpejam. Segumpal udara hangat
langsung menerpa sepasang mata indah si gadis.
Pedas! "Aduuh .. apa yang Kakang Paksi lakukan," pekik Retno Palupi sambil menyusut
sudut mata yang berair. "Perih, nih!"
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Sementara Retno Palupi cemberut karena matanya pedas, enam sosok yang diselimuti
Ilmu 'Kelambu Gaib' telah sampai di tempat itu. Mereka berenam berjalan dengan
tenang. Tidak ada satu suara pun keluar dari bibir. Enam orang itu mengenakan
baju warna-warni, tiap satu orang menggunakan pakaian yang serba seragam
Ada yang seluruh tubuhnya merah semua, jika kuning maka semuanya kuning, kecuali
bagian mata tentunya. Bahkan salah seorang diantaranya memakai baju-celana
hitam-hitam bermata juling dengan rambut jabrik mengeluarkan bau apek menyengat.
Mungkin sudah tahunan tidak pernah mandi dan lebih parahnya lagi ... sudah
jelek, hitam, muka penuh hiasan panu dimana-mana, gigi atas keluar dari
peredaran alias nongol. Lengkap sudah kejelekan yang ada mahkluk satu ini!
Mereka berenam biasa disebut Enam Tikus Gila, terdiri atas Tikus Muka Merah,
Tikus Gigi Hitam, Tikus Kaki Biru, Tikus Mata Hijau, Tikus Tangan Kuning dan
Tikus Bayangan Coklat. Walau ilmu silat mereka biasa-biasa saja, tapi sebagai
tokoh persilatan papan atas (itu menurut mereka), Enam Tikus Gila patut
diperhitungkan. Tentu saja yang diperhitungkan adalah kejahatannya. Jika ada
pembunuhan massal dimana-mana, maka orang-orang akan segera menunjuk Enam Tikus
Gila, yang dengan bangganya akan langsung mengakui perbuatan itu adalah hasil
karya mereka, meski pada kenyataan tidak sama sekali. Jika ada gegeran yang
melibatkan orang banyak, pasti Enam Tikus Gila ikut nimbrung di dalamnya, meski
cuma sekedar setor muka dan adu debat.
Beberapa tokoh persilatan akan berpikir puluhan kali jika ingin bersinggungan
dengan mereka. Bukannya takut dengan ilmu pas-pasan Enam Tikus Gila, atau
gurunya sekalipun si Kumis Tikus, tapi yang ditakuti adalah kelicinan dan
kelicikan yang dimiliki Enam Tikus Gila. Mereka seakan satu hati jika ada salah
satu dari anggota mereka yang tertimpa musibah. Meski mereka saudara seperguruan
tapi bukan saudara kembar, tapi yang jelas mereka kembar disatu tempat.
Kembar jeleknya! Yang paling menakutkan adalah justru bubuk bius yang dimiliki Enam Tikus Gila
yang tidak berbau, tidak berwarna serta tidak berasa sama sekali, hanya tibatiba lawan menjadi lemas kemudian jatuh tertidur pulas. Andai tidak mati duluan,
lawan yang terkena bubuk bius akan bangun enam hari kemudian. Benda itulah yang
sebenarnya disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.
Bukan main! Enam Tikus Gila memberikan nama mentereng Bubuk Sukma Merana pada senjata
andalannya. Setiap ada Enam Tikus Gila tentu ada Empat Macan Bengis, sobat sekaligus saingan
mereka dalam mengarungi dunia hitam. Hanya kebetulan saja Empat Macan Bengis
harus melakukan suatu tugas rahasia, sama seperti apa yang ditugaskan pada Enam
Tikus Gila. Seperti halnya saat ini, Tikus Gigi Hitam matanya langsung hijau saat melihat
gadis cantik dengan kulit putih mulus sedang berdiri sejajar dengan pemuda
berbaju putih. "Tampaknya si cantik sedang ada masalah dengan pemuda jelek itu," bisiknya pada
Tikus Kaki Biru, yang ada didekatnya, "Lihat saja, dia menangis."
"Monyong tonggos, jangan kau main belakang! Ingat tugas yang diberikan pada
Ketua Topeng Tengkorak Emas pada kita," sahut Tikus Kaki Biru mengingatkan Tikus
Gigi Hitam, " ... salah-salah nyawamu bisa terbang meninggalkan badan busukmu."
"Alaaaahhh .... ini juga dalam rangka menjalankan tugas," elak si Tikus Gigi
Hitam dengan jakun naik turun memandangi kemontokan tubuh gadis berbaju biru
yang sedang mengusap-usap mata. "Kugoda aaah ... " katanya sambil mendekati
gadis cantik itu. "Hoi, jangan macam-macam!" bisik kawannya sedikit lebih keras.
Kali ini Tikus Bayangan Coklat yang berkata, meski matanya juga jelalatan
melihat pemandangan indah yang tersedia di depan mata. Meski berkata jangan
macam-macam, justru dirinya ikut menyusul Tikus Gigi Hitam.
Benar-benar hidung belang!
Dua dari Enam Tikus Gila yang merasa bahwa Ilmu 'Kelambu Gaib' masih digunakan
berjalan dengan cengar-cengir, sedang empat kawannya yang sama bejatnya, hanya
meringis kesenangan sambil membayangkan gadis itu 'dikerjain' tanpa diketahui
siapa orang yang mengerjainya.
Namun, dua tikus itu tidak sadar bahwa mereka seperti mendatangi sarang harimau.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah rasa pedas di matanya menghilang, barulah Retno Palupi bisa melihat
kembali dengan jelas. Dan justru yang pertama kali dilihatnya adalah Tikus Gigi
Hitam yang berjalan mendekatinya.
"Hi-hi, kakang ... lihat ada tikus ginong kesini. Mungkin minta diracun biar
cepat mampus," kata Retno Palupi.
Suara yang terdengar merdu di telinga hingga membuat Tikus Gigi Hitam bagai
dipuji sebagai orang tertampan di dunia.
Kebagusan amat! "Tikus ginong?" tanya Paksi heran sambil menahan senyum.
"Iya, ginong alias gigi nongol. Hi-hi-hik!"
Kali ini suara merdu Retno Palupi agak sedikit keras.
Tentu saja Paksi tertawa keras mendengar gaya berkata Retno Palupi yang memutarmutarkan tangan di depan mulutnya.
Yang paling kaget justru Tikus Gigi Hitam!
"Apa si cantik itu membicarakan aku?" tanya pada Tikus Bayangan Coklat.
"Ya .. iya, lah! Siapa lagi coba?"
"Tapi kok dia tahu aku, sih" Bukankah ilmu pemberian ketua bisa membuat diri
kita tidak kelihatan oleh siapa pun?"
"Aku sendiri juga bingung, kenapa gadis itu bisa mengetahui keberadaan kita."
kata Tikus Bayangan Coklat sambil tetap berjalan mendekat, " ... janganjangan ... " "Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan dia tahu keberadaan kita karena mencium bau harum tubuh kita
berdua. Ilmu pemberian ketua pastilah ilmu sakti. Ilmu hebat. Tanpa tanding."
seru Tikus Bayangan Coklat menyombongkan ilmu pemberian Topeng Tengkorak Emas.
Tikus Gigi Hitam mencium-cium lengan, ketiak dan sekitar tubuhnya.
"Iya juga sih! Sudah lama sekali aku tidak mandi." katanya, "Mandi terakhir
kira-kira empat bulan yang lalu, itu pun terpeleset saat mengejar musuh tangguh,
dan nyungsep di kubangan tahi kerbau."
"Musuh tangguh apa'an" Wong cuma mengejar ayam hutan buat sarapan kok dibilang
musuh tangguh?" kata heran si Tikus Bayangan Coklat.
Tentu saja Paksi Jaladara dan Retno Palupi saling pandang, kemudian suara tawa
mereka meledak keras, membelah suasana pagi yang bersinar cerah itu.
"Hua-hah-ha-ha! Rupanya pembual berteman dengan penipu! Alias sama-sama tukang
bo'ong!" seloroh Paksi Jaladara.
"Brengsek! Mulut pemuda itu harus disumpal dengan batu!" maki Tikus Bayangan
Coklat. "Kalau yang gadis disumpal pakai bibir saja, kalau dengan batu kasihan." timpal
Tikus Gigi Hitam. Sejarak satu tombak dari tempat berdirinya Paksi Jaladara dan Retno Palupi, dua
tikus itu berhenti. "Kau yang kanan dan aku yang kiri," kata si Tikus Bayangan Coklat dengan tangan
siap-siap menubruk mangsa.
"Enak saja! Bagian gadis cantik kau embat duluan."
"Ngga bisa! Aku kan yang paling tua!" tukas Tikus Bayangan Coklat.
"Tapi aku yang melihat duluan! Jadi mestinya aku dulu!"
"Tapi anuku sudah sampai di ubun-ubun!" bentak Tikus Bayangan Coklat,
menggunakan kata 'anu' untuk mengungkapkan sesuatu jika diajak debat cepat.
"Anu apa?" "Maksudku ... nafsuku sudah menthok butuh penyaluran."
"Setan brengsek, memangnya cuma anumu saja, aku juga!"
Akhirnya mereka berdua malah saling buka mulut tanpa ada yang mau mengalah!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Tiga
"Retno, merekalah yang disebut Enam Tikus Gila! Ilmunya tidak seberapa tinggi,
tapi mereka pandai menggunakan racun penidur," bisik Paksi Jaladara setelah
mengenali siapa adanya enam orang penyusup tersebut.
"Tenang saja, kakang! Darah dalam tubuhku sudah mengalir penawar segala macam
racun! Tak bakalan aku tumbang melawan mereka," bisik Retno pula sambil melihat
adu mulut antara dua orang didepan mereka. "Terus, apa yang harus kita lakukan"
Apa perlu kita tawan?"
"Tidak perlu kita tawan, lebih baik mereka dibereskan secepatnya! Sebentar lagi
Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi ... " bisik si Elang Salju, " ... sedang
tugas kita melindungi pemilik Mutiara Langit Merah masih menunggu. Tidak ada
waktu untuk bersilang pendapat dengan mereka."
"Kita bunuh maksudnya?"
"Benar! Kita bunuh mereka sebelum memberi laporan pada ketuanya. Aku yakin
tujuan mereka kemari untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan yang ada di
padukuhan ini dan itu tidak bisa dibiarkan," bisik Paksi Jaladara, " ... ini
terpaksa! Sebab dunia persilatan dipertaruhkan disini!"
"Baik! Kita bunuh habis!" desis Gadis Naga Biru.
Gadis itu berjalan satu tindak ke depan, sambil membentak, "Kalian sudah selesai
pentang bacot belum?"
Suara itu langsung menyadarkan dua orang yang sedari tadi adu mulut.
"Jika sudah, kau mau apa gadis cantik?" kata Tikus Gigi Hitam sambil tersenyum.
Justru melihat senyuman itu, membuat Retno Palupi mau muntah.
"Jadi ... kalian sudah puas pentang bacot didepanku?"
"Benar!" "Kalau begitu ... bersiaplah pentang bacot di neraka!" seru Gadis Naga Biru
sambil melancarkan jurus serangan bertenaga dalam tinggi ke arah dua orang itu.
Wutt! Wutt ... ! Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat terperanjat kaget. Sebisa mungkin
menghindari serangan gadis cantik yang ternyata tidak kalah galaknya dengan
kucing beranak. Wutt! Wuss ... ! Mereka berjumpalitan ke belakang, sehingga serangan dadakan Gadis Naga Biru
kandas ditengah jalan. Melihat serangan pertama gagal, putri tunggal Wisma Samudera berganti jurus
dengan cepat. Tangan kiri menebas cepat bagai merobek-robek angin dimana
serangan tapak mengalir bagai anak sungai, rapat bagai jaring-jaring ikan yang
menebar. Kali ini jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut' dikerahkan, dimana jurus
ini merupakan rangkaian jurus pertama dari 'Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong'!
Wuss! Wutt ... ! Tiga empat serangan tapak bisa dihindari, tapi selebihnya, tubuh Tikus Gigi
Hitam dan Tikus Bayangan Coklat langsung menjadi bulan-bulanan bayangan tapak
yang mengurung rapat. Menjerit kesakitan saja sudah tidak sempat, apalagi
mempertahankan diri. Prak! Brakk! Prookk! Karena memang bertujuan membunuh, Retno Palupi mengerahkan setengah dari
kekuatan hawa tenaga dalam yang dimilikinya. Tentu saja pendekar kelas kambing
macam dua tikus itu tidak berarti apa-apa dihadapan putri tunggal Majikan Wisma
Samudera, Ki Dirga Tirta.
Sambil memutar tubuh bagai baling-baling, jurus tapak datang bagai gelombang
laut yang menerpa silih berganti.
Prakk! Prakk! Krakk! Kembali terdengar suaranya berderak tulang patah mengiringi hujan serangan yang
tanpa henti. Brughh! Dua onggok tubuh terpuruk saat Retno Palupi menarik pulang serangannya. Seluruh
tulang Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat hancur lumat. Dan tentu saja
seperti apa yang dikatakan Retno Palupi, kemungkinan besar mereka akan
melanjutkan perang mulut di akhirat!
Empat orang rekan mereka begitu terkesima melihat kejadian yang berlangsung
cepat di depan mata. "gila!" "Gadis kejam!" "Kurang ajar!" "Apa ya?" Plakk! "Brengsek! Mengumpat tidak perlu kata-kata bagus, langsung saja kenapa, sih!?"
bentak Tikus Muka Merah sambil menampar telinga kanan Tikus Mata Hijau.
"Oh ... dasar korong bekicot, kau!" bentak Tikus Mata Hijau, sambil matanya
dipelototkan lebar-lebar.
"Huh ... makian telat!" bentak Tikus Kaki Biru.
"Biarin!" "Gadis busuk! Berani sekali kau membunuh mati teman kami" Apa kau tidak tahu
siapa kami, hah!" bentak si Tikus Muka Merah.
Jika marah begitu, mukanya semakin merah saja!
"Aku tidak perlu tahu siapa kalian!" sahut Paksi Jaladara sambil melenting ke
atas, berputar setengah lingkaran, lalu sepasang kakinya silih berganti
melakukan tendangan berantai 'Elang Menapak Di Salju'. Pancaran hawa sedingin
salju mengiringi jurus tendangan 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan Paksi
Jaladara. Meski hanya menggunakan setengah bagian dari tahap pertama dari Kitab
Sakti 'Hawa Rembulan Murni' yang bernama 'Temaram Sinar Rembulan' sudah membuat
empat orang yang tersisa menggigil kedinginan.
"Ini jurus berhawa dingin! Satukan 'Tenaga Sakti Tikus Api', cepat!" bentak
Tikus Muka Merah sambil memasang kuda-kuda kokoh.
Berturut-turut tiga orang tersebut melakukan hal yang sama. Tikus Kaki Biru,
Tikus Mata Hijau dan Tikus Tangan Kuning sambil menempelkan kepalan tangan
mereka membentuk setengah lingkaran untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Tikus Api'.
Ilmu ini diciptakan oleh mereka berenam menjadi satu ilmu khas tersendiri. Si
Kumis Tikus pun tidak kuat menahan gabungan tenaga mereka berenam.
"Hantam!" Begitu mendengar aba-aba 'hantam', enam pasang tangan langsung menghantam bagian
punggung Tikus Muka Merah.
Bukk! Bukk! Bukk! Memang ilmu ini cukup aneh, seharusnya mereka menempelkan tangan untuk
mengirimkan tenaga dalam ke tubuh kawannya, tapi justru menghantam dengan
sepenuh tenaga. Begitu menerima limpahan tenaga dari tiga kawannya, tubuh Tikus
Muka Merah bagai diselimuti kobaran api.
"Heaaa ... !" Teriakan keras terdengar saat sepasang tinju Tikus Muka Merah menerjang ganas.
Jurus yang sederhana tanpa tipu daya!
Plakk! Plakk! Blarr! Dhuuar ... !!! Bertemunya sepasang tinju dengan sepasang kaki menimbulkan ledakan kecil,
diikuti dengan terpentalnya empat sosok tubuh ke segala arah.
Brugh! Ternyata, mereka adalah anggota Enam Tikus Gila yang tersisa.
Rupanya jurus 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan berhasil menembus
benteng pertahanan dari 'Tenaga Sakti Tikus Api', sehingga Ketua Muda Istana
Elang pun langsung membagi-bagikan tendangan maut dengan kecepatan kilat.
Tiga orang langsung tewas seketika. Kepala Tikus Kaki Biru pecah, dada kiri
Tikus Mata Hijau jebol dan ulu hati Tikus Tangan Kuning melesak ke dalam
membentuk tapak kaki. Yang sedikit lebih baik hanyalah Tikus Muka Merah.
Tubuhnya bengkak-bengkak disana-sini tak karuan. Darah kental kehitaman mengalir
deras menganak sungai. Tangannya berusaha meremas sesuatu. Tapi sorot mata tajam Paksi melihatnya.
Sebuah kerikil kecil ditendang dan melayang cepat menghantam pergelangan tangan.
Wutt! Plakk! Tangan itu langsung terkulai lemas.
"Kau tidak perlu membuang racun, Tikus Muka Merah," kata Paksi Jaladara berjalan
mendekat. "Khhau ... ssshh ... sshiiaa ... phhaa ... ?"
"Aku pelindung padukuhan ini," ucap Paksi pendek. "Selamat tinggal, tikus
jelek!" lanjutnya, sebab pemuda itu sudah berketetapan tidak akan melakukan
negosiasi dengan lawan, karena taruhannya terlalu besar.
"Thungg ... ghuu ... "
Terlambat! Kaki Paksi sudah berkelebat cepat.
Prakk! Dada kiri Tikus Muka Merah langsung jebol terhantam hawa maut sedingin salju!
"Aku tahu kau akan memohon pengampunan atau apa saja untuk mempertahankan
hidupmu. Tapi aku tidak bisa mengabulkannya, maaf!" ucap Paksi setelah
mengakhiri hidup Tikus Muka Merah. "Simpan saja pengampunanmu di alam
keabadian." Gadis Naga Biru segera menghampiri si Elang Salju.
Pemuda itu justru mendongak ke langit.
"Gerhana Matahari Kegelapan sebentar lagi terjadi. Kita harus secepatnya kembali
ke padukuhan." kata Paksi Jaladara.
"Benar, kakang!"
Keduanya langsung berkelebat cepat. Karena tidak mau ketinggalan, Paksi langsung
menyambar pinggang Retno Palupi, dan bagai lesatan angin langsung berkelebat
cepat, lima kali lebih cepat dari saat mereka berkejar-kejaran.
Lapp! Lapp! Angin bagai menampar-nampar wajah cantik Retno Palupi.
"Cepat sekali dia berlari," pikir gadis itu sambil merangkul erat Paksi.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Empat
"Kita kedatangan penyusup," kata Paksi sesampainya di rumah Ki Dalang Kandha
Buwana. "Kalau begitu, sama dengan yang dijumpai Rintani dan Seto Kumolo," sahut
Wanengpati. "Siapa mereka?"
"Empat Macan Bengis!"
"Dimana mereka sekarang" Apa tertawan?" tanya Paksi lagi.
"Mereka tewas semua."
"Bagus!" "Kenapa kau katakan bagus?" balik tanya Nawala dengan heran. "Bukankah lebih
baik kita tawan agar bisa kita mintai keterangan?"
"Untuk apa menawan mereka" Percuma! Resiko yang kita tanggung terlalu besar
hanya untuk mengorek keterangan yang tidak perlu." tutur Paksi Jaladara,
mengemukakan pendapatnya. "Lagi pula, aku bersama Retno Palupi telah menamatkan
riwayat Enam Tikus Gila di dekat hutan sana."
"Retno Palupi?" tanya Wanengpati heran. "Siapa dia?"
"Aku!" seru Gadis Naga Biru dari luar.
Saat itu ia sedang bercakap-cakap dengan Rintani, Ayu Parameswari, dan Nawara.
Bahkan dengan Nawara, Retno Palupi seperti bertemu dengan seorang kakak
perempuan, meski usia mereka tidak terpaut jauh, lebih tua Nawara sedikit.
Begitu mendengar suara khas lengkap dengan kecentilannya, tahulah mereka siapa
yang bernama Retno Palupi.
"Tidak lama lagi, Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi. Kita harus tetap pada
rencana yang telah kita susun rapi," ujar Paksi Jaladara memimpin rapat, sebab
pemuda itu telah disepakati memimpin garis pertahanan di Padukuhan Songsong
Bayu, " ... tapi kita ada sedikit perubahan rencana."
"Perubahan rencana" Bukankah rencana kita sudah matang" Kenapa perlu dirubah
lagi?" tanya Raja Pemalas.
"Begini ... sewaktu terjadi penyusupan yang dilakukan oleh Enam Tikus Gila,
mereka menggunakan Ilmu 'Kelambu Gaib' ... "
"Apa?" seru Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba bersamaan, sebab
mereka tahu betul kehebatan Ilmu 'Kelambu Gaib' yang bisa menembus pagar gaib
sehebat apa pun. "Benar, paman! Ilmu 'Kelambu Gaib' dan kemungkinan besar, para pengikut Si
Topeng Tengkorak Emas serta para pemilik Rajah Penerus Iblis akan menggunakannya
untuk mengelabui mata kita," tutur Paksi Jaladara. "Dan satu-satunya cara untuk
mematahkan ilmu ini adalah dengan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu'
yang Paman Kandha miliki atau ilmu-ilmu lain yang sejenis."
"Setahuku mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' justru memperkuat daya
kesaktian Ilmu 'Kelambu Gaib' ... " tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana. " ...
dengan cara bagaimana Ilmu 'Kelambu Gaib' bisa dilunturkan kekuatannya?"
"Dengan cara dibalik membaca mantra dan naik ke tempat yang tinggi, misalnya di
atas pohon." "Benar!" kata Wanengpati tiba-tiba, "Ayah, bukankah mantra 'Rajah Kalacakra
Pangruwating Diyu' akan semakin menguatkan Ilmu 'Kelambu Gaib' jika di rapal di
atas tanah, kenapa kita tidak membuat kebalikannya, dengan merapal mantra dalam
susunan terbalik dan berada di atas ketinggian?"
"Betul katamu, Waneng! Kita bisa mencobanya, siapa tahu berhasil. Kurasa dengan
bantuan Sepasang Raja Tua, rencana ini bisa berhasil dengan gemilang."
"Dengan senang hati kami akan membantu."
"Hanya itu saja perubahan yang kita lakukan, selebihnya semua sesuai dengan


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencana. Ada pertanyaan?"
"Kapan mantra terbalik ini harus dirapal?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana.
"Sesaat setelah Gerhana Matahari Kegelapan terjadi."
Semuanya mengangguk pelan tanda mengerti.
"Baiklah, semuanya siap di posisi masing-masing." kata Paksi membubarkan
pertemuan singkat itu. -o0o- Nawara berjalan lambat-lambat dengan kepala tertunduk, memandangi daun-daun yang
berserakan, seperti hati dan pikirannya yang gundah.
"Aaah ... kenapa aku harus jatuh cinta pada pemuda yang sudah punya pilihan
sendiri," pikir gadis bersulam rajawali. "Betul-betul cinta yang salah tempat!"
Tentu saja tingkah laku Nawara tidak luput dari tatap pandang Retno Palupi dan
Paksi Jaladara. Keduanya saling pandang. Retno Palupi menganggukkan kepala
melihat tatapan permohonan dari Paksi.
"Lebih Kakang Paksi temani Nawara, kasihan dia. Mungkin sedang mengalami masalah
pelik." "Kau tidak marah?"
"Kenapa harus marah padamu" Toh tambah satu lagi aku juga tidak keberatan," kata
Retno Palupi sambil mengedipkan mata.
"Tambah satu lagi" Apa maksudmu?" tanya Paksi Jaladara, heran.
"Nanti kakang akan mengetahuinya. Cepat temani dia!" kata Retno Palupi sambil
mendorong-dorong Paksi untuk menyusul Nawara, "Lagian tempat kalian berdua juga
berdekatan. Nanti aku menyusul."
Kali ini Paksi lebih baik menyerah, menuruti kehendak sang Tuan Putri!
Baru berjalan beberapa langkah, Retno Palupi mengirimkan bisikan jarak jauh,
yang hanya bisa didengar oleh Paksi seorang.
"Kakang ... aku mencintaimu."
Paksi tersenyum kecil, sambil menoleh, bibirnya berkemik-kemik mengucapkan
sesuatu. Dari gerak bibir Paksi, Retno Palupi bisa membaca dengan jelas bahwa ucapan itu
adalah 'Aku juga mencintaimu, Nimas Retno'!
Keduanya saling melempar senyum kemudian Paksi balik badan, menyusul ke arah
Nawara. "Nawara ... tunggu!"
Nawara berhenti. Jantungnya berdebar kencang, bagai saling berlari mendahului di
dalam dada. "Kakang Paksi ... " desis Nawara.
"Boleh jalan bareng?" tanya Paksi setelah ia sampai di sebelah gadis berpedang
kepala rajawali bertolak belakang itu.
Gadis itu hanya mengangguk pelan meng-iya-kan.
Keduanya berjalan lambat-lambat dalam keheningan. Tidak ada kata. Serba membisu.
Dan yang pasti ... Seperti dua patung hidup yang berjalan!
"Apa ... kau sakit?" tanya Paksi melihat wajah gadis itu pucat pasi.
"Tii ... tidak, Aku sehat-sehat saja."
"Tapi wajahmu pucat begitu. Kau pasti sakit," kejar Paksi dengan cepat. "Lebih
baik kau beristirahat saja di dalam."
"Aku tidak apa-apa." jawab Nawara, lalu berdiam diri.
Paksi berupaya melanjutkan pembicaraan, "Pertarungan hidup mati akan segera
terjadi di tempat ini ... kau sudah siap?"
Nawara menunduk, "He'eh ... "
Entah kenapa, Paksi sulit sekali menyusun kata-kata yang bisa mengungkapkan apa
yang ingin dikatakannya pada Nawara.
"Brengsek! Kenapa aku jadi orang bego sih" Lain sekali jika bersama Retno
Palupi," pikir Paksi.
"Begitu," kata Paksi Jaladara, tanpa sepenuhnya tahu apa yang ia maksud sepotong
kata 'begitu'. Bah, apanya yang 'begitu'"
"Yaa ... begitulah," jawab Nawara tetap menunduk.
"Bagaimana perjalananmu tadi pagi ke hutan dengan Retno" Menyenangkan?" tanya
Nawara memecah kesunyian, terdengar nada bergetar di dalam sana.
Paksi sejenak tertegun, lalu menyahut cepat, "Tidak ada yang istimewa sama
sekali ... biasa saja ... "
"Hi-hi-hik ... " tiba-tiba Nawara tertawa kecil, sadar dengan tanya jawab konyol
mereka berdua. Paksi juga tertawa, menyadari bahwa Nawara dan ia sendiri dalam situasi yang
aneh. Seonggok daun asem kering bergemerisik terbang terbawa angin, melewati jarak
antara Paksi dan Nawara yang berdiri berhadapan di bawah pohon asem yang
sebagian besar daunnya telah rontok.
"Kulihat kau terlihat bersedih belakangan ini?"
Akhirnya Elang Salju berhasil mengeluarkan pertanyaan penting.
Nawara mengangkat muka. Kedua matanya yang bening sejenak menyiratkan sinar
mesra, tetapi lalu segera meredup menghilang kembali.
"Masih sedih?" desak Paksi karena Nawara tak menjawab.
"Lumayan," jawab Nawara pendek, kedua matanya menatap langsung ke Paksi,
terlihat binar kemesraan yang terpancar samar.
"Maaf," kata Paksi pendek, menatap pandang gadis di depannya, mencoba
menyampaikan pesan bahwa ucapannya itu adalah ungkapan langsung dari dalam lubuk
hati. "Untuk apa minta maaf?" Kata Nawara, jernih bening seperti mata pedang yang baru
terasah. "Karena aku mengungkapkan kesedihanmu, mungkin?"
Nawara menggeleng perlahan.
"Aku sudah tidak sedih lagi ... sekarang ini."
"Benar?" Gadis itu mengangguk, sambil tersenyum kecil.
"Lalu, kenapa kau bersedih?" tanya Paksi semakin heran.
"Peduli apa kakang mengetahui aku sedang sedih atau tidak?" Nawara balik
bertanya. "Karena aku dan Retno pikir kamu sedang susah hati, maka aku berusaha
menghiburmu," sahut Paksi cepat. Apa-apaan ini" sergah hatinya.
Nawara mendengus pelan, nyaris tak jelas, "Dasar tak punya perasaan!"
Pemuda itu terpana. "Lho ... siapa yang tak punya perasaan?" sergahnya membalas. "Aku!?"
"akang cuma peduli pada apa yang terjadi pada diri kakang sendiri!" sahut Nawara
ketus. "Lho kok ... " kata Paksi terputus.
"Kakang Paksi tidak peduli sama sekali terhadap apa yang aku rasakan sekarang.
Sedih,s enang atau marah, apa peduli kakang padaku ... !" Kata Nawara, menerobos
kuat di antara relung-relung kerikuhan.
"Lho ... apa maksudmu?" Ucap Paksi sungguh tak mengerti, pikirnya, "Ketemu saja
baru dua hari, gadis ini kok ngomongnya bikin sengsara hati?"
"Ah ... sudah, lah!" sergah Nawara.
Paksi menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat. Gadis di depannya
ini menawarkan teka-teki yang sulit diterjemahkan oleh otak pintarnya.
"Bahkan Kakang Paksi tidak usah peduli pada perasaan yang kurasakan saat ini!"
lanjut Nawara seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan cara terbaik untuk
mengungkapkan pendapat dengan baik.
"Nawara ... aku tak mengerti apa maksudmu! Kau membuatku semakin bingung,"
potong Paksi, cepat. Nawara menyela cepat dan lebih keras dari sebelumnya, seperti seorang hakim
kerajaan menuntut seorang penjahat rimba persilatan golongan hitam kelas kakap
yang menghadapi risiko hukuman mati. "Kakang Paksi tidak pernah mengerti
perasaanku. Tidak mau tahu!"
Paksi terpana. "Sinting!" sergahnya dalam hati. "Kenapa gadis cantik ini jadi
marah-marah di depanku, padahal sebelumnya ia seperti anak kucing yang manis?"
"Aku sudah berusaha, tapi ... " ucapan Paksi terhenti sendiri. "Sebenarnya ...
apa maksudnya, kok aku jadi bingung sendiri" Dari tadi kata 'perasaan' diulangulang terus?" pikirnya.
Nawara menunggu sejenak, lalu karena tak ada kelanjutannya gadis itu menyambung,
"Tapi Kakang tidak betul-betul berusaha. Tidak pernah sungguh-sungguh ingin
mengetahui perasaanku!"
Paksi terdiam. Daun-daun ikut diam. Pohon asem pun ikut diam.
Nafas Nawara terdengar sedikit memburu. Gadis itu seperti mengeluarkan tenaga
berlipat ganda untuk mengungkapkan semua yang barusan ia ungkapkan.
Sesungguhnyalah Nawara merasakan jantungnya berdebur sangat kuat dan emosinya
seperti air sungai yang banjir bandang hendak meluap menerjang ke tepian.
"Aku tak mau diganggu! Aku mau sendirian," bisik Nawara tiba-tiba.
Tanpa menunggu reaksi Paksi, gadis itu balik badan dan melangkah cepat ke lokasi
penjagaan yang memang cuma terletak beberapa tombak saja dari tempat mereka
berdiri. Dia di sudut utara, bersama dengan Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang
Api. "Aku ikut!" Tahu-tahu Paksi sudah berkata begitu sambil menyusul Nawara.
"Aku ngga mau kakang ikut ... !" sergah Nawara ketus sambil terus melangkah,
bahkan langkah kakinya semakin melebar, "Aku mau sendiri!"
"Nawara ... " bujuk Paksi lembut, " ... aku masih ingin bicara denganmu."
"Aku capek!" sahut gadis yang memang bisa sekeras baja dan setajam pedang itu.
Paksi terdiam. Dengan lesu ia membiarkan Nawara pergi, memandangnya menghilang
di balik gerbang padukuhan.
Setelah sekitar dua helaan napas, pemuda itu berbalik menuju tempatnya yang
memang juga cuma beberapa langkah dari situ. Namun, walaupun secara fisik jarak
itu dekat, tapi terasa seperti beribu-ribu tombak dalam pikiran Paksi.
Letih sekali ia menjalaninya!
"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Paksi pada diri sendiri.
"Masak pemuda romantis seperti Kakang tidak mengerti juga?" sebuah suara merdu
menyeruak. "Nimas Retno ... "
"Apa Kakang paham yang aku maksudkan?" tanya Retno sambil duduk bersebelahan
dengan Paksi di sebuah dipan panjang.
Paksi hanya menghela napas panjang sambil menggeleng lemah.
"Nawara juga ... menyukaimu, Kang!"
"Heh?" pemuda itu terlonjak kaget. "Apa kau bilang?"
"Nawara juga mencintaimu, seperti halnya aku mencintaimu." tutur Retno Palupi,
tidak ada nada kecemburuan yang keluar bibir dan sinar matanya. "Dari sinar
matanya saja aku bisa melihat, mungkin cintanya kepadamu lebih besar dari
cintaku kepadamu." Benar-benar gadis luar biasa!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Lima
Seorang gadis, apalagi termasuk dalam kategori cantik, tentu akan sangat memuja
pasangannya setinggi langit dengan segala kelebihan dan kekurangan yang
dimilikinya. Jika ada gadis lain yang menyukai pemuda yang disukainya, rasa
panas pasti menggelayuti seluruh pori-pori dalam tubuhnya.
Dalam arti luas ... cemburu buta!
Justru Retno Palupi melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan seorang gadis
yang mempunyai pasangan tampan dan rupawan. Dia membiarkan saja gadis itu ikut
pula menyukai pemuda disukainya tanpa ada rasa cemburu atau iri hati. Malahan ia
bangga, pemuda pilihannya ternyata bisa menarik minat gadis lain, yang berusaha
mencoba masuk dalam kehidupan mereka berdua.
"Tunggu ... tunggu dulu ... jadi yang kau maksud dengan 'tambah satu lagi'
adalah ini?" tanya Paksi dengan tatap pandang menusuk ke dalam mata Retno
Palupi. "Aduh ... Kakangku ini pinter deh." kata gadis itu dengan senyuman manis
terukir. "Dan aku yakin, Kakang Paksi tidak akan menolak gadis secantik Nawara."
"Bagaimana Nimas bisa berkata seperti itu?"
"Berarti Kakang orang tolol bin bego! Karena aku juga seorang gadis. Tahu betul
bagaimana watak seorang laki-laki terhadap seorang wanita, apalagi dia cantik
jelita," urai Retno Palupi panjang lebar.
"Jika aku menerimanya, bukankah itu tidak adil untukmu, Nimas."
"Tidak juga!" kata Retno Palupi, enteng, " ... selama Kakang bisa membagi diri
dengan adil antara kami berdua, aku tidak keberatan." lalu berdiri lambatlambat, berjalan ke arah bagian belakang Paksi.
"Kami berdua ... kami berdua ... ! Memangnya aku sudah pasti setuju apa dengan
usul gilamu itu," sungut Paksi Jaladara sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal, walau dalam hati ia merasa senang juga dipuji seperti itu.
Yang jadi masalah adalah prakteknya, itu yang sulit!
Sambil memeluk mesra Paksi dari belakang, yang tentu saja, langsung merasakan
kekenyalan gumpalan padat menghangati sekitar punggung si pemuda. Retno Palupi
merebahkan kepala di punggung Paksi. Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja
menyeruak keluar dari dalam dada, menyebabkan Gadis Naga Biru memejamkan mata.
"Kakang harus bisa menerimanya, seperti halnya menerima diriku," suara berbisik
terdengar lirih di telinga kiri Paksi.
Bulu kuduk pemuda itu langsung meremang karena geli.
"He-he-he ... "
"Apa yang Kakang tertawakan?" tanya heran Retno Palupi.
"Biasanya para laki-laki yang merayu gadisnya agar ia bisa mendua, tapi kini
justru terbalik! Nimas merayuku agar menduakan dirimu! Benar-benar kekasih ajaib
kau ini," kata Paksi sambil mencubit pelan hidung mancung Retno.
"Yah ... aku hanya berbagi kebahagiaan saja dengan orang lain, masak tidak
boleh?" kata Retno, manja.
"Tentu saja boleh! " kata Paksi menggantung. "Tapi ngomong-ngomong ... "
"Apa?" Sambil menarik kepala Retno sedikit ke samping, tepat pada telinga gadis, ia
berbisik mesra, "Milikmu besar juga."
Dan tanpa permisi ... Cupp! Sebuah ciuman cinta mendarat di pipi halus gadis itu.
"Iihh ... Kakang curang!" katanya sambil melepaskan pelukan.
Mereka bercanda ria dan tertawa-tawa lepas di sebuah bangku kecil yang memang
cukup untuk mereka berdua, itu pun harus duduk berdempetan.
Tanpa terasa, waktu sudah semakin siang. Saat-saat Gerhana Matahari Kegelapan
sudah menunjukkan tanda-tanda bakal terjadi.
Si Elang Salju langsung menyadari perubahan alam yang masih samar itu.
"Retno, apa kau merasakan sesuatu"' tanya Paksi, masih memeluk Gadis Naga Biru.
"Aku merasakannya Kakang. Hawa berubah menjadi sedikit dingin, dan angin ...
seperti berhenti berhembus saat ini," ucap Retno Palupi, " ... apa tanda-tanda
bencana bakal terjadi sekarang?"
"Mungkin saja," pemuda itu berkata sambil melepas pelukan, lalu bangkit berdiri,
"Nimas, kembalilah ke posisimu."
"Baiklah, Kakang! Berhati-hatilah," kata Retno sambil menggenggam erat tangan
pemuda itu, dan menghadiahkan ciuman hangat di bibir pemuda berbaju putih-putih,
yang langsung dibalas dengan lumatan mesra.
"Kau juga harus hati-hati, Nimas," kata Paksi, lalu sambungnya, " ... Kakang ada
sesuatu untukmu. Kau tunggulah sebentar disini."
Tanpa menunggu jawaban, Si Elang Salju berkelebat pergi, dan bagai angin pula,
ia telah kembali ke tempat itu. Di tangannya tergenggam dua buah benda yang
panjangnya bertolak belakang.
"Aku tahu Nimas tidak membawa senjata ... "
"Aku biasa tidak bersenjata, Kakang." ralat Retno Palupi.
"Tidak ada salahnya memiliki senjata. Disini ada Sepasang Golok Terbang Mengejar
Bulan dan Pedang Samurai Kazebito ... " kata Paksi sambil mengangsurkan dua
senjata anehnya. "Silahkan Nimas pilih salah satu."
"Tapi Kakang ... ini kan pedang dan golok milikmu."
"Aku tidak keberatan, Nimas."
Retno tahu, waktu yang mereka miliki tidaklah banyak, ia harus segera mengambil
keputusan saat itu juga. Tangannya mengarah ke Sepasang Golok Terbang Mengejar
Bulan, tapi ia urungkan. Justru tangan halus itu mengarah ke Pedang Samurai
Kazebito. "Bagaimana jika pedang panjangmu yang kupilih?"
"Aku setuju! Sebenarnya sudah kutetapkan Nimas memegang pedang ini," kata pemuda
itu sambil mengangsurkan Pedang Samurai Kazebito pada gadis itu. "Nimas bisa
jurus pedang?" "Jelek-jelek begini aku handal menggunakan Ilmu 'Pedang Naga Laut' warisan
kakekku," sahut Retno Palupi.
"Syukurlah kalau begitu."
"Dengan senjata sekecil itu apa Kakang yakin bisa menggunakannya." kata Gadis
Naga Biru, melihat sepasang senjata yang disebut golok itu.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sangat yakin!"
"Sangat yakin?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
Tak lama, keduanya segera berpisah, tentu saja sebelumnya ciuman hangat bertaut
di bibir pasangan kekasih itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring di angkasa.
Awwwk ... awwwkk ... ! Pekikan elang yang panjang nyaring melengking, sebagai pertanda bahwa musuh
telah menembus pagar gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang dibuat dari Mutiara
Hastarupa Hastawarna yang diletakkan di delapan sudut Padukuhan Songsong Bayu.
Semua orang yang memiliki Bintang Penakluk Iblis langsung memposisikan diri
masing-masing di delapan sudut arah mata angin.
Pemilik bintang satu, Si Elang Salju sebagai Pewaris Sang Angin menduduki posisi
timur. Pemilik bintang dua, Jin Kura-kura sebagai Pewaris Sang Air menduduki posisi
tenggara. Pemilik bintang tiga, Rintani yang juga murid Kutu Buku Berbambu Ungu bersama
dengan Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng yang juga Ketua Perguruan
Gerbang Bumi menduduki posisi selatan.
Pemilik bintang empat, Simo Bangak sebagai Pewaris Sang Tanah menduduki posisi
barat daya dan barat, meski cukup berat, tapi bocah sableng itu justru menikmati
tugas gandanya, karena bintang ke lima juga tertera rapi di tubuhnya.
Pemilik bintang enam, Gadis Naga Biru putri tunggal Majikan Wisma Samudera
menduduki posisi barat laut, lengkap dengan Pedang Samurai Kazebito yang masih
berada dalam sarung. Pemilik bintang tujuh, Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api menduduki posisi
utara bersama dengan Nawara.
Pemilik bintang delapan, anak Wanengpati yang masih dalam kandungan ditempatkan
di posisi timur laut. Dikarenakan bintang ke delapan masih dalam kandungan maka
diletakkan pada sudut yang berdekatan dengan posisi timur agar mudah diawasi,
selain itu masih dijaga ketat Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala,
sedangkan Ki Dalang Kandha Buwana dan suami Dhandhang Gendhis yaitu Wanengpati
berdiri tegak di atas pucuk-pucuk pohon. Mereka berdua berkedudukan paling
diandalkan untuk melumpuhkan Ilmu 'Kelambu Gaib' yang kemungkinan besar
digunakan pihak lawan. Beberapa saaat kemudian, desiran angin terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana terang benderang menjadi sedikit redup, seperti pada petang hari.
Semua orang yang ada ditempat itu langsung bersiaga penuh mengetahui tanda-tanda
bencana telah muncul. Tiba-tiba tubuh Paksi bergetar, bulu kuduknya merinding, "Ada hawa pembunuh yang
sangat kuat dari beberapa orang di depanku."
Jarak sepuluh tombak dari arah pemuda itu kembali terasa hawa pembunuh yang
semakin dahsyat! "Gila," pikirnya, "Rasanya selama ini belum pernah aku bertemu dengan hawa
pembunuh sekuat ini! Aku harus memberitahu Paman Kandha."
Dengan ilmunya yang sudah tinggi, Paksi segera mengirimkan suara jarak jauh yang
ditujukan pada Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
"Paman Kandha, lantunkan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu', sebab
mereka ada sejarak sepuluh tombak dari tempat kita berdiri." kata si Elang
Salju. Dua orang itu segera saling pandang, dan mengangguk hampir bersamaan.
Sebentar kemudian, terndengar lantunan mantra yang aneh.
Tidak umum. Tidak sebagaimana mestinya.
Mantra sakti yang terbalik!
Bersamaan dengan gaung mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' mengalun,
terjadilah kehebohan di delapan sudut penjuru mata angin.
Bushh ... buussh ... ! Kepulan asap warna-warni membumbung ke atas dengan cepat, lalu hilang di udara.
Begitu kepulan asap menghilang, tampak sepasukan makhluk gaib yang telah
mengepung tempat itu! Semua orang yang berada di wilayah itu mengalami keterkejutan yang teramat
sangat, diantaranya sampai mengeluarkan keringat dingin tanpa mereka sadari.
Jumlah pasukan makhluk gaib terlalu banyak sehingga Paksi Jaladara dan kawankawan sulit mengetahui jumlah pasti makhluk-makhluk negeri siluman itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jika begini caranya sulit sekali menumpas
mereka," pikir Paksi Jaladara.
Pemuda itu berusaha setenang mungkin dalam menghadapi bahaya yang ada didepan
mata! Benar-benar pemuda pilihan!
Didepan Si Elang Salju sendiri berdiri puluhan bahkan mungkin ratusan siluman
kera dengan beraneka ragam bentuk dan jenis yang berteriak-teriak, jingkrakjingkrak tak karuan. Paling depan sendiri berdiri kokoh sesosok tubuh kekar
dengan gada besar di atas pundak. Tubuhnya memang seperti sosok manusia, tapi
tarikan bibir dan selebar wajahnya berbulu lebat dengan mata menyala kuning
kemerahan bagai mutiara. Yang lebih menggidikkan, ternyata makhluk itu memiliki
sebentuk ekor panjang yang ujungnya memiliki gaetan dari besi hitam.
Dialah Senopati Monyet Plangon!
Sementara itu, di depan Jin Kura-kura yang berada di posisi tenggara, tersebar
ribuan jenis hewan berbisa berbentuk kalajengking yang dipimpin tiga siluman
kalajengking berkepala manusia, terdiri dari kala kuning yang kehilangan tangan
kiri, kala hijau dan kala biru. Merekalah yang disebut sebagai Kelompok Kala
Maut pimpinan Senopati Kala Hitam, orang yang berdiri berkacak pinggang
berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh ekor kalajengking melilit
pinggang. Wajah tirusnya sebentar-sebentar menyeringai menampakkan seribu
kelicikan. Sedang Rintani murid Kutu Buku Berbambu Ungu dan Seto Kumolo Ketua Perguruan
Gerbang Bumi juga tak kalah kagetnya. Sebab dihadapan mereka berdiri ratusan siluman beraneka ragam bentuk. Ada tuyul, jin kecil-kecil,
setan berkepala besar, tengkorak berjalan dan sebagainya.
"Kakang, bagaimana menghadapi siluman seperti mereka" Apa ilmu-ilmu kita mempan
pada mereka?" tanya lirih Rintani dengan rasa khawatir.
"Aku sendiri juga tidak tahu, Rintani! Ini adalah pertarungan teranehku yang
pertama," bisik pula Seto Kumolo, sambil menggenggam erat tangan kekasihnya,
seolah berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman. "Kita serahkan saja pada
Hyang Widhi!" Rintani pun semakin erat menggenggam tangan Seto Kumolo, seakan tidak mau
dipisahkan. Justru yang paling bahagia adalah Simo Bangak kali ini!
Lho, kok bisa" Tentu saja bisa, sebab di hadapan bocah sableng itu berdiri seorang wanita
cantik berambut panjang dengan tubuh manusia dari kepala hingga sebatas pusar,
sedang dari pusar kebawah seluruhnya bertubuh ular. Tentu saja bocah gendeng itu
gembira, karena lawan yang dihadapinya meski termasuk jenis siluman ular
berbadan manusia, tapi Senopati Taksaka Sunti, si wanita siluman ular hadir
dalam keadaan telanjang bulat sehingga menampakkan segala kemolekan tubuh sintal
dan montok miliknya. Rambut panjangnya menutupi sebentuk gumpalan padat
menggelembung yang ada di depan dada, sedang di belakangnya ribuan jenis ular
melata sambil menjulur-julurkan lidah merah bercabang dua.
Kali ini, Senopati Taksaka Sunti datang lengkap dengan Barisan Ular Setan
andalannya! Sedang di bagian barat, entah darimana datangnya, seorang pemuda berbaju coklat
buntung tanpa kancing bercelana pangsi hitam sudah berada ditempat itu. Sepasang
pisau panjang telanjang bercahaya biru keemasan tergenggam erat di tangan. Meski
tidak cukup tampan, tapi sinar matanya teduh mententramkan hati.
Semua orang yang ada disitu bertanya-tanya dalam hati tentang siapa adanya si
pemuda berpisau panjang yang datang tak diundang.
Tanpa menoleh, pemuda itu berkata pelan, namun jelas, "Den Paksi! Semoga
kedatanganku ke tempat ini belum terlambat."
Kata 'Den Paksi' mengagetkan si Elang Salju, sontak ia menoleh ke sumber suara
yang sangat akrab ditelinganya.
"Kakang Gineng?"
"Apa kabar Den Paksi," kata si pemuda yang ternyata Gineng adanya, "Saya diutus
guru untuk membantu ke sini."
"Guru" Maksudmu ayahanda ... "
"Bukan, Den Paksi! Tabib Sakti Berjari Sebelas adalah guru kedua saya, setelah
Ki Ragil Kuniran tentunya." kata Gineng, "Cerita selengkapnya lebih baik nanti
saja." Paksi Jaladara hanya mengangguk pelan, pikirnya, "Yang dimaksud Si Perak sebagai
utusan dari istana mungkin Kakang Gineng. Entah bagaimana caranya Kakang Gineng
bisa menjadi murid kakek tabib." lalu lanjutnya, " ... syukurlah kekosongan di
posisi barat terisi juga. Biarlah babi raksasa itu dihadapi Kakang Gineng."
Kali ini Senopati Babi Angot, si siluman babi yang berbentuk babi raksasa
berhadapan muka dengan Gineng, murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau
Khayangan. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Enam
Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera sendirian menghadapi lawan
yang tidak ringan. Seorang laki-laki berkepala serigala coklat bermata merah
darah berdiri tegak dihadapannya, sedang tepat dibelakangnya berdiri tiga
siluman serigala dengan bentuk dan rupa sejenis dengan sang pimpinan. Seluruh
tubuh penuh bulu-bulu coklat kehitaman yang terlihat samar-samar.
Dialah Senopati Segawon Alas, senopati berdarah campuran antara manusia murni
dengan siluman serigala tulen. Begitu melihat lawan dihadapannya adalah seorang
gadis cantik jelita, air liur Senopati Segawon Alas menetes terus tiada henti.
"Hehehe, dia masih perawan," katanya sambil mendengus-dengus, "Pasti darah dan
dagingnya terasa nikmat di lidah. Betul begitu, kawan-kawan?"
"Auuung ... auuung ... "
Suara lolongan serigala menggema bersahut-sahutan, langsung membuat bulu kuduk
Gadis Naga Biru meremang berdiri saat telinganya menangkap raungan serigala haus
darah. Tanpa sadar, kakinya mundur setindak.
Akan halnya Ayu Parameswari dan Nawara berhadapan dengan siluman bermuka kuda
dengan rumbai hitam di belakang kepala.
Senopati Jaran Panoleh! Seluruh Pasukan Kuda Iblis yang terdiri dari lima belas orang siluman kuda
berkepala manusia berbaris rapi di belakangnya. Seketika napas Senopati Jaran
Panoleh mendengus-dengus liar mengetahui dua gadis muda cantik jelita berdiri
menantang dihadapannya. Hasrat membara di dalam dirinya bagai disulut dengan
api, berkobar-kobar menginginkan pelampiasan.
"Tidak bisa menikmati tubuh Taksaka Sunti, justru digantikan dua gadis cantik
dari alam manusia ... hemm ... tidak ada jeleknya," pikirnya memelototi tubuh
indah Ayu Parameswari dan Nawara saling bergantian. "Betul-betul sempurna!"
katanya diiringi dengan ringkikan kuda.
Hiieeeghh ... ! Tentu saja dua dara cantik itu merasa diri mereka ditelanjangi oleh tatapan liar
lawan! "Dasar siluman keparat!" desis lirih Nawara.
Sepasang pedang dilolos dari balik punggung secara perlahan.
Srrang! Sriing! Dua pedang yang sama-sama bergagang kepala rajawali bertolak belakang telah
keluar dari sarungnya, dan siap menghirup darah lawan. Pedang putih keperakan di
tangan kiri, sedang tangan kanan memegang sebilah pedang bersinar hijau
kekuning-kuningan. Pada mulanya pedang ini berada di tangan Kucing Iblis
Sembilan Nyawa yang telah tewas tanpa memiliki jantung dan hati.
Melihat pedang bersinar hijau kekuning-kuningan berada di tangan Nawara,
Senopati Jaran Panoleh tersentak. "Bagaimana mungkin Pedang Giok Hijau Rajawali
Gaib milik si Dewa Rajawali Sakti kenapa bisa berada di tangan gadis itu" Celaka
... celaka .... ! Kenapa aku harus berhadapan dengan pedang pusaka yang paling
aku takuti itu?" Tentu saja wajah pias Senopati Jaran Panoleh yang cuma sekejap itu tidak luput
dari tatap pandang Ayu Parameswari.
"Nawara, tampaknya siluman kuda itu gentar dengan pedang di tangan kananmu,"
bisik Ayu Parameswari sambil mengembangkan kipas merahnya, pikirnya, "Dengan
begini tidak perlu aku menggunakan Ilmu 'Susup Sukma Gaib' warisan guru."
"Aku tahu! Meski sekilas, aku bisa melihat rasa takut di matanya." desis Nawara.
"Kalau begitu ... akan kucongkel mata mesumnya dengan pedang ini!"
Kepungan segala jenis mahkluk itu hanya tidak melakukan apa-apa, selain hanya
mengepung orang-orang persilatan itu saja. Mereka terlihat sedang menunggu
sesuatu yang akan terjadi di tempat itu. Meski terdengar desah dan aneka suara
menggema di tempat itu, tapi penghuni alam gaib dari Kerajaan Iblis Dasar Langit
tetap dalam posisi sebelumnya.
Tidak menyerang dan tidak beranjak dari tempat mereka berdiri!
Justru orang yang paling ditunggu oleh Paksi tidak ada diantara para makhluk
gaib yang meluruk ke tempat itu.
"Aneh ... kemana perginya si Topeng Tengkorak Emas?" gumam Paksi, " ... atau
jangan-jangan ... " Di sisi timur laut, Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala, melindungi
Nyi Dhandang Gendhis yang sedang hamil tua. Nyonya muda itu berada dalam sebuah
ruang batu yang telah diberi pagar gaib oleh ayah mertuanya, dan tentu saja
kalung emas terukir mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' terkalung indah
di lehernya. Dan di sekeliling empat orang persilatan tersebut, masih berlapis
dengan Bidadari Berhati Kejam, tiga orang murid utama Partai Ikan Terbang, Tiga
Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah serta Ketua Perguruan Perisai
Sakti, Perisai Baja Bermata Sembilan dengan dua orang muridnya Suratmandi dan
Wiratsoko yang telah siap dengan klewang tanpa sarung.
Ketika angin bisa dikatakan berhenti berhembus, di langit meloncat kilatan petir
tanpa suara. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Bersamaan dengan loncatan
bunga api di langit yang paling panjang dan paling lama, awan kelabu bergulunggulung dari segala penjuru seakan berusaha menutupi pancaran sinar matahari.
Begitu gulungan awan kelabu menebal, di atas langit terlihat jelas bola kuning
raksasa yang sebelumnya memancarkan sinar garang sedikit demi sedikit memerah,
semakin lama semakin merah pekat kehitaman, kemudian pada akhirnya tertutup
sebentuk bayangan hitam yang bentuk dan wujudnya sama besar dengan sang mentari
hingga seluruh tempat itu menjadi gelap gulita, pekat tanpa cahaya, seakan bumi
dan seluruh isinya diguyur dengan tinta hitam dari langit.
Untuk ketiga kalinya, Gerhana Matahari Kegelapan terjadi di muka bumi!
Ketika Gerhana Matahari Kegelapan terjadi di bumi, bagaikan muncul dari alam
gaib, ribuan cahaya bagai kunang-kunang beterbangan di segala pelosok mata angin
mengiringi seberkas cahaya merah pekat berkilau yang turun dari langit, saling
tegak lurus menghunjam bumi.
Plashh ... ! Semua mata memandang pancaran cahaya agung kemerahan yang semakin lama semakin
mengecil. Terus mengecil ... terus mengecil dan ... terus mengecil. Bahkan
cahaya kunang-kunang juga semakin rapat mengerumuni pancaran tiang cahaya,
hingga seperti bentuknya laksana pilar yang menyangga langit.
Tiba-tiba saja ... Pyarr ... ! Tiang langit pecah, meledak tanpa suara!
Namun, pecahan tiang langit yang tetap dikerumuni cahaya kuning bagai kunangkunang berputaran cepat di angkasa. Semakin lama semakin cepat dan pada akhirnya
... Wuuungg ... !! Diikuti suara meraung layaknya ribuan naga angkasa mengamuk, pecahan tiang
langit seperti dihempaskan ke bawah dan langsung menukik ke arah Nyi Dhandhang
Gendhis berdiam diri. Blashh ... !! Nyi Dhandhang Gendhis yang tidak siap dengan kejadian itu langsung terlonjak
kaget, tapi kekagetannya sirna tatkala pecahan tiang langit hanya berputaran
mengelilingi dirinya. Cahaya kunang-kunang berputaran lambat-lambat, sedang
pecahan tiang langit berwarna merah kemilau bagai bintang bertaburan masih tetap
di posisi semula, berputaran di sekeliling tubuh Nyi Dhandhang Gendhis.
Werr ... werr ... ! Perlahan-lahan, tubuh ibu muda itu terangkat naik, bagai di topang tangan-tangan
kasat mata. Sejarak satu tombak, luncuran berhenti bergerak. Yang terlihat
adalah, Nyi Dhandhang Gendhis berdiri melayang setinggi satu tombak di selimuti
cahaya merah berkilauan bagai bintang bertaburan sedang cahaya kunang-kunang
membungkusnya dengan rapat.
"Apa yang terjadi?" gumam Wanengpati, tetap berdiri di atas pucuk pohon.
"Sebentar lagi kau akan mengetahuinya, anakku," kata Ki Dalang Kandha Buwana.
Sebuah bisikan lembut terdengar jelas di telinga ayah anak dalang itu.
"Sebentar lagi proses kelahiran akan terjadi! Saat pecahan tiang langit merah


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai bersatu dan masuk ke dalam tubuh bayi, lantunkan mantra sakti kalian.
Jangan ditunda lagi!"
Suara tanpa wujud menggema di dalam dinding-dinding telinga Wanengpati dan Ki
Dalang Kandha Buwana. Suara itu begitu asing di telinga, saat mereka berdua
melihat ke sekelilingnya, tidak satu pun orang yang berbicara pada mereka, semua
terpaku memandang kejadian menakjubkan itu.
"Siapakah ... "
"Tanyalah pada Paksi!" potong cepat si suara tanpa wujud.
"Bagaimana, Ayah?" tanya Wanengpati pada ayahnya.
"Kita turuti saja," jawab Ki Dalang Kandha Buwana pendek.
Perlahan-lahan, cahaya merah berkilauan memasuki bagian pusar Nyi Dhandhang
Gendhis. Srepp ... ! Saat cahaya merah itu masuk seluruhnya ke dalam perut buncit si nyonya muda,
sekujur tubuh wanita hamil itu bergetar lembut bagai menerima sentuhan hangat
melenakan. kejadian itu berlangsung cepat dan hanya sebentar. Cahaya merah
berkilauan keluar kembali dari dalam perut lewat pusar, tapi terjadilah keanehan
yang sulit diterima akal sehat. Dari pusar Nyi Dhandhang Gendhis tiba-tiba
keluar sebentuk gumpalan benda bulat bergerak-gerak lembut diselimuti cahaya
merah berkilauan. Benda yang bergerak-gerak itu semakin lama semakin
membesar ... membesar dan terus membesar.
Sosoknya menyerupai bayi manusia!
Dua helaan napas berlalu. Sosok itu semakin lama semakin jelas bentuknya. Ketika
selesai membentuk raga sempurna, cahaya merah berkilauan memancarkan sinar ke
segala penjuru. Sriiing ... pyar ... pyar ... !!
Ratusan ekor kalajengking, ular-ular setan, kuda siluman dan sebagian besar
penghuni alam gaib musnah terkena terjangan sinar merah itu.
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... !
Barisan pengepung langsung geger!
Mereka serabutan lintang pukang tak karuan menghindari terjangan sinar merah
yang ternyata bisa menewaskan bangsa penghuni alam gaib.
"Sinar apa itu?" desis Raja Pemalas.
"Itulah yang dinamakan Sinar Pelebur Ruh, seperti apa yang dituturkan mendiang
Panembahan Wicaksono Aji dahulu," sahut Bidadari Berhati Kejam.
Bersamaan dengan pancaran sinar merah, dari atas ketinggian terdengar lantunan
mantra ilmu gaib untuk mengusir makhluk halus dan sejenisnya.
Mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu'!
Mendengar suara mantra yang paling ditakuti para penghuni alam gaib dan
sejenisnya, membuat situasi menjadi pengepungan kendor dimana-mana. Suara
letusan dan letupan berulangkali terdengar. Suara jerit kesakitan para penghuni
alam gaib menyebar kemana-mana bagai ratapan dari dalam kubur.
"Panasss ... panasss ... tobattt ... ampuuun ... !"
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... ! Blabb ... blabb ... blubbb ...
blushhh ... ! Kepulan asap berbau menyengat langsung menyeruak di sekitar tempat itu.
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... !
Akhirnya ... seluruh tempat itu bersih seperti sebelumnya. Tidak ada desisan
ular dan kalajengking, pekikan kera-kera juga menghilang, ringkikan kuda dan
lolongan serigala sudah tidak terdengar lagi. Akan tetapi, lantunan mantra sakti
itu ternyata tidak mempan terhadap enam senopati tangguh Kerajaan Iblis Dasar
Langit. Atau dengan kata lain, mereka berenam bisa bertahan dari lantunan mantra
sakti tingkat tinggi. Enam senopati masih berdiri di tempat masing-masing, hanya
saja pancaran 'Tenaga Gaib Siluman' sudah dikerahkan untuk menahan daya lebur
mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' yang dilantunkan Ki Dalang Kandha
Buwana dan anak laki-lakinya.
Dari arah selatan, melesat dengan kecepatan kilat sebentuk bayangan hitam, dan
sasarannya adalah raga sempurna bayi mungil!
Blassh ... ! Kejadian itu terlalu cepat sehingga sulit diikuti pandangan mata. Namun, kembali
kejadian aneh terjadi. Cahaya kunang-kunang yang mengelilingi si ibu dan anak
tiba-tiba memancarkan kilau cahaya kuning terang, seolah melindungi mereka
berdua. Sriiing ... pyarrr!! Sosok itu kaget, tapi sudah terlambat untuk menghindar karena cepatnya ia
berkelebat dan cahaya kuning terang menerjangnya. Sontak ia mengempos hawa
tenaga dalam sebisa mungkin untuk melindungi diri.
Bwoshh ... !! Begitu tubuh si bayangan tersentuh kilau cahaya kuning terang, muncul kobaran
api yang langsung menyergap sosok bayangan dengan cepat, menjalar laksana petir
menyambar. "Aaaakhh ... ammpuun ... tolooonggg ... !!"
Teriakan kesakitan kembali membuncah di tempat itu sambil bergulingan berusaha
memadamkan api yang membakar tubuh. Namun anehnya api itu bukannya padam, justru
makin berkobar-kobar menjilat-jilat tubuh mangsanya. Sebentar kemudian, gulingan
tubuh berhenti. Kejadian itu hanya sesaat berlangsung.
Begitu dicermati, sosok tubuh terbakar yang ternyata adalah perempuan bongkok
dengan tangan kiri dan kaki kanan buntung sebatas siku tewas dengan tubuh hangus
terbakar api. "Ratu Sesat Tanpa Bayangan," desis Gineng begitu mengenali siapa adanya tokoh
yang berniat buruk pada Nyi Dhandhang Gendhis dan anaknya yang terlindung di
dalam bola cahaya kunang-kunang. Ia bisa mengenali Ratu Sesat Tanpa Bayangan
dengan adanya tongkat ular kobra yang tergeletak di samping mayat si nenek
sesat. Gineng tidak menyangka sama sekali bahwa tokoh sakti sekelas Ratu Sesat Tanpa
Bayangan harus kehilangan nyawa secara mengenaskan dengan tubuh hangus terbakar.
Padahal ia tahu seberapa tinggi kesaktian dari nenek sesat yang dulu pernah
membuatnya gentar saat Ratu Sesat Tanpa Bayangan dan Gerombolan Serigala Iblis
menyerang Padepokan Singa Lodaya kurang lebih sepuluh tahun silam.
"Itu ... Sinar Pelebur Raga!" ujar Bidadari Berhati Kejam. "Tubuh hangus
terbakar adalah akibat tersengat api gaib Sinar Pelebur Raga yang melindungi
bayi itu!" Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Tujuh
Keadaan di tempat itu yang sedikit terang karena adanya pancaran sinar dari bola
cahaya kunang-kunang yang terus berputaran tanpa jeda.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan pihaknya, Paksi Jaladara segera memberi
perintah. "Pewaris Sang Api! Laksanakan tugas!"
Ayu Parameswari yang mendengar perintah, langsung berkelebat cepat yang tentu
saja membuat para pengepung siaga menyerang.
Wutt ... ! Dara berbaju merah tidak melakukan serangan apa pun, tapi malah berloncatan dari
satu pohon ke pohon lain yang mengelilingi tempat itu. Bersamaan dengan itu
pula, api pun menyala terang. Rupanya Paksi Jaladara sudah membuat persiapan
jika Gerhana matahari Kegelapan terjadi. Puluhan bahkan ratusan obor ditempatkan
di segala penjuru, dan begitu dinyalakan membuat tempat kediaman Kakek Pemikul
Gunung dan sekitarnya, bahkan dalam jarak lima belas tombak terlihat terang
benderang. Jlegg! Begitu tugasnya selesai, Ayu kembali ke tempatnya semula.
Saat api obor menyala terang, terjadi kehebohan untuk kesekian kalinya. Meski
tidak sebanyak sebelumnya, tempat itu kembali terkepung dengan beragam jenis
penghuni alam gaib. Seperti halnya si Elang Salju, pihak lawan juga telah
membuat persiapan matang. Prajurit alam gaib tidak dimunculkan seluruhnya,
sehingga yang mengalami kemusnahan hanya sebagian saja. Topeng Tengkorak Baja
sudah mengantisipasi bahwa kekuatan Sinar Pelebur Ruh tidak akan bertahan lama.
Sesuai dengan praduga, sinar maut tersebut hanya memancar sesaat saja sedang api
gaib Sinar Pelebur Raga justru diluar dugaan. Cahaya gaib Sinar Pelebur Raga
justru masih melindungi sosok Nyi Dhandhang Gendhis dan bayi yang kini dalam
pondongan. "Aauuuung ... lebih baik kalian menyerah! Percuma saja melawan kami, Enam
Senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit, auuungg ... " kata Senopati Segawon
Alas, jumawa. "Dan biarkan kami mendirikan kerajaan kami di atas bumi. Dengan
begitu kita bisa hidup berdampingan dengan damai."
"Kalian tidak perlu membujuk-bujuk kami, iblis keparat! Percuma saja!" bentak
Joko Keling, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam cangkang kura-kura, kemudian
berkomat-kamit sebentar. Setelah itu benda dalam genggamannya dibanting ke
tanah. Bluubb, blubb, blubbb ... !
Asap hijau pekat mengepul keluar disertai suara air yang keluar dari dalam
tanah. Begitu asap menghilang, terlihat di hadapan Jin Kura-Kura puluhan sosok
manusia berlendir dengan sebuah tempurung kura-kura di punggungnya.
"Pasukan Manusia Rawa! Serang ... !!"
Begitu aba-aba serang dilontarkan, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung
menyergap maju. Demikian juga dengan para pengepung yang melihat lawan telah membuka serangan,
langsung menerjang pula diiringi teriakan yang beraneka ragam. Ada desisan ular,
cekikikan tuyul-tuyul, tarapan para kuntilanak, ringkikan kuda siluman semua
campur aduk menjadi satu.
Bahkan Enam Senopati pun dengan ganas menyerang orang-orang yang ada di hadapan
mereka! Si Elang Salju yang tidak mau basa-basi segera mengerahkan segenap kemampuannya.
Dikeluarkanlah ilmu tenaga sakti berhawa sedingin salju yang asalnya dari Kitab
'Hawa Rembulan Murni' langsung ke tahap ketiga 'Di Bawah Sinar Bulan Purnama',
dengan ilmu ini ia menyergap cepat Senopati Monyet Plangon.
Wushh ... ! "Edan! Pemuda ini memiliki hawa dingin yang paling ditakuti bangsa kera," pikir
Senopati Monyet Plangon, sambil berjumpalitan mengerahkan jurus 'Kera Hitam
Melayang Jatuh' untuk menghindari sergapan hawa dingin.
Melihat lawan bisa lolos, membuat Paksi Jaladara bergerak cepat laksana bayangan
putih sambil menggerakkan sepasang tangan memutar di atas kepala. Segera saja
tubuhnya dikelilingi oleh sebentuk cahaya putih tipis yang memendar-mendar
memancarkan hawa dingin. Wess! Bwooshh ... !! Dan dari sepasang telapak tangan kembali memuntahkan hawa sedingin salju
sehingga debu-debu salju dan serpihan-serpihan es terbentuk didalam pusaran
disertai liukan angin tajam, dengan tangan bergerak memutar-mutar memilin udara
yang ada di sekitar tempat itu. Pukulan 'Sepasang Angin Mengguncang Salju'
langsung dikerahkan pada gebrakan pertama, sebab pemuda itu berpikir jika
terlalu lama dalam pertarungan, dikhawatirkan membuat lawan yang lebih berat
akan mencuri serang di kala mereka lengah.
Whess ... ! Weeerr ... ! Beberapa kera siluman yang mengeroyoknya langsung terseret pusaran angin
menggila. Lalu tangan kiri dikibaskan ke arah kerumunan kera yang jaraknya masih
beberapa tombak di depan.
Whess ... !! Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kerumunan kera bagai diterjang badai salju hingga barisan kera pecah berantakan,
bahkan ada yang tewas dengan tubuh hancur membentuk serpihan-serpihan darah dan
daging beku. Namun beberapa ekor diantaranya masih ada yang lolos dan menyambar
ke arah pemuda itu dengan kecepatan kilat.
Tangan kanan Paksi Jaladara kembali bergerak dengan cepat.
Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kembali terdengar letupan keras disertai dengan salju yang berhamburan kemanamana, kali ini sisa-sisa gerombolan kera langsung hancur berkeping-keping,
takluk dibawah tangan si anak muda!
Tubuh pemuda itu masih diselimuti selapis hawa putih keperakan hingga
memunculkan nuansa dingin membeku begitu selesai menggunakan Pukulan 'Sepasang
Angin Mengguncang Salju'. Napasnya terlihat tenang, setenang air danau.
"Pemuda keparat! Kau telah membunuh anak-anakku! Terimalah kematianmu!" Senopati
Monyet Plangon membentak keras sambil lincah berjumpalitan tak karuan disertai
pekikan-pekikan keras. Kiikh, kiikhh ... ! Rupanya senopati kera tersebut juga berniat sama dengan lawan, langsung
menggunakan ilmu tingkat tinggi tanpa perlu beradu jurus yang melelahkan,
sehingga sebentuk hawa hitam kental berbentuk kera raksasa bagai membayangi
seluruh tubuh Senopati Monyet Plangon.
Itulah tingkat puncak 'Tenaga Gaib Siluman Monyet' milik Senopati Monyet Plangon
dari alam gaib! Melihat lawan telah mengerahkan kekuatan gaib, Paksi Jaladara hanya tersenyum,
lalu melepas ikat kepala merah dengan pelan.
Srett ... ! "Jurus terakhir cocok diujicoba sekarang," pikirnya.
Paksi Jaladara yang masih mengerahkan kekuatan hawa tenaga sakti yang bersumber
dari Kitab 'Hawa Rembulan Murni' tahap ke tiga, kemudian menggabungkannya dengan
jurus ke delapan belas dari Ilmu Silat 'Elang Salju' yang diwariskan oleh si
Elang Berjubah Perak. Jurus 'Menyatu Menjadi Elang Raksasa'!
Mendadak terpancar cahaya menyilaukan keluar dari Rajah Elang Putih yang kini
tidak tertutup lagi, terus menyelimuti tubuh Paksi yang sedikit demi sedikit
terangkat naik ke atas, dan bersamaan itu pula tampak sesosok elang putih
raksasa sedang mengepakkan sayap-sayap perkasa di langit kelam, kemudian menukik
ke bawah dengan cepat diiringi pekikan menggelegar.
Awwkk! Awwkk! Weesshh! Sasarannya adalah bayangan hitam berbentuk kera raksasa!
Jdharr ... ! Dhuuarr ... ! Jdharr ... ! Blamm ... !!
Dentuman keras terjadi akibat beradunya sosok bayangan elang putih raksasa yang
berasal dari jurus 'Menyatu Menjadi Elang Raksasa' bertemu dengan bayangan hitam
berbentuk kera raksasa yang berasal dari 'Tenaga Gaib Siluman Monyet'. Dua
mahkluk beda jenis dan bentuk itu saling serang disertai pekikan elang dan
monyet silih berganti. Benar-benar pertarungan yang seru!
Sedikit demi sedikit, sosok kera terdesak karena serangan atas yang dilakukan
elang putih. Pada suatu saat, si elang berkelit ke samping sambil mengibaskan
cakar kanan kiri bergantian.
Wutt .. wutt ... ! Prakk ... pratt ... crakk ... !
Tangan kiri kera raksasa hancur berantakan setelah dicakar oleh elang raksasa
itu. Kera raksasa meraung keras menahan kesakitan, tapi sebuah sambaran keras
dari sayap kanan elang langsung membuat kera raksasa tumbang.
Brakk! Begitu jatuh ke tanah, hawa 'Tenaga Gaib Siluman Monyet' menghilang. Yang
terlihat pundak kiri Senopati Monyet Plangon hancur akibat cakaran elang
raksasa. Kali ini lukanya benar-benar parah dan sulit sekali disembuhkan. Jika
melawan manusia biasa dan mengalami luka, dengan mudah Senopati Monyet Plangon
mengobati lukanya dan sembuh dalam sekejap. Akan tetapi kali ini yang dihadapi
adalah pemuda pilihan, pemuda yang dinaungi Rajah Elang Putih sehingga berhak
menduduki jabatan Ketua Istana Elang, dilindungi Mutiara Langit Putih atau
dikenal dengan nama Pusaka Rembulan Perak dan terlebih lagi, pemuda yang menjadi
lawannnya adalah pemilik Bintang Penakluk Iblis ke satu!
Begitu turun ke tanah, bayangan elang pun raib, yang tampak adalah sosok Paksi
Jaladara yang berdiri gagah.
"Kau ingin aku yang menghabisimu atau kau menghabisi dirimu sendiri?" tanya
Paksi Jaladara alias si Elang Salju, datar.
Senopati Monyet Plangon tidak menjawab, justru menoleh ke kanan kiri seakan
mencari sesuatu. Telapak tangan kiri Paksi menegang kencang terselimuti cahaya tipis kuning
keemasan dan yang kanan terselimuti cahaya tipis putih keperakan saat melihat
lawan tidak menjawab pertanyaannya. Dua cahaya tipis kuning keemasan dan putih
keperakan semakin lama semakin menebal hingga menjalar sampai pergelangan tangan
dan naik sampai siku. Dua buah ilmu pukulan dahsyat luar biasa berbeda sifat
yang menakutkan sebentar lagi akan digelar.
Pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan' dan 'Tapak Rembulan Perak' dilontarkan
bersamaan! Si Elang Salju menggeser kaki kiri ke belakang, kedua tangan di tarik ke samping
pinggang, kemudian didorongkan ke depan dengan mantap, diikuti dengan hentakan
kaki kanan ke bumi. Wuushh! Srakk! Srakkk ... !!!
Terlihat bayangan sepasang telapak tangan raksasa berwarna kuning keemasan
menebarkan hawa panas membara dan putih keperakan hawa menebarkan sedingin salju


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggebah cepat laksana kilat dan menghantam Senopati Monyet Plangon yang
terkesiap melihat datangnya serangan maut yang dilancarkan lawan.
Blarrrr ... ! Blaammm ... !
Tubuh siluman monyet hancur lebur berkeping-keping termasuk pula beberapa
penghuni alam gaib yang berada di belakang Senopati Monyet Plangon, yang
diantaranya tiga siluman serigala yang mengeroyok Gadis Naga Biru ikut menjadi
korban serangan gabungan Pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan' dan Ilmu 'Tapak
Rembulan Perak'. Bahkan ratusan siluman ular yang melihat beberapa temannya
tewas mengenaskan, saling berebutan keluar dari tempat itu. Tapi mereka lupa
bahwa Ilmu 'Kelambu Gaib' telah ditawarkan, sehingga begitu menyentuh pagar gaib
yang ditanam ditempat itu, tubuh mereka langsung mengabu.
Kembali Kerajaan Iblis Dasar Langit kehilangan salah satu senopati tangguh!
Di sisi timur laut, Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala, yang
melihat bahwa Nyi Dhandang Gendhis dan bayinya telah dilindungi cahaya kuning
kunang-kunang serta melihat bahwa si Elang Salju telah menyelesaikan pertarungan
dengan siluman kera, mereka berempat segera menggebah maju.
"Heeea ....! Hiaaaat ... !"
Selain pemilik Delapan bintang penakluk Iblis dan pemilik mantra sakti, yang
paling menakutkan dari lawan adalah Sepasang Raja Tua. Raja Pemalas dengan Ilmu
'Tapak Tangan Putih' tingkat ke lima belas di tangan kiri dan Ilmu gaib
'Sangkakala Braja' di tangan kanan bagaikan malaikat maut pencabut nyawa. Akan
halnya Raja Penidur yang mengerahkan 'Kidung Sang Baka' dan 'Tapak Inti Ungu'
tingkat ke dua belas juga tidak bisa dibuat main-main.
Blamm ... blarr ... ! Blusssh ... bless ... !!
Berulang kali para makhluk halus harus main petak umpet dengan dua jago tua ini
menghindari serangan gabungan tersebut.
Meski rata-rata yang dihadapi adalah jenis setan yang menggunakan Ilmu 'Baju
Besi Iblis' tingkat merah dan hitam, tidak membuat Sepasang Raja Tua gentar,
bahkan semangat dan jiwa mereka bagai terlahir muda kembali saat mengetahui
jumlah lawan semakin lama semakin sedikit.
"Tukang mimpi, kita beradu cepat siapa yang paling banyak membuat setan brengsek
ini menemui penciptanya!" serunya sambil melontarkan Ilmu 'Sangkakala Braja' ke
depan. Wutt! Blamm ... ! "Siapa takut! aku yakin orang malas sepertimu tidak bakalan menang melawanku!"
tukasnya disertai hentakan 'Kidung Sang Baka' ke kiri dan kanan secara
bersamaan. Wuss! Blarrr ... ! Sementara itu, Bidadari Berhati Kejam, tiga jago muda dari Partai Ikan Terbang,
Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah serta Ketua Perguruan
Perisai Sakti yang bergelar Perisai Baja Bermata Sembilan dengan dua orang
muridnya, Suratmandi dan Wiratsoko telah lebih dulu masuk dalam kancah
pertarungan. Sratt ... sratt .. crasss ... crass ... !
Bluuub, blubb, blushh ... !
Dikarenakan sebelumnya telah tahu kelemahan dari para makhluk gaib itu yang
menyerang kali ini, membuat mereka yang tidak berbekal ilmu-ilmu gaib pemusnah
bisa dengan leluasa melakukan pengurangan jumlah lawan. Si nenek bersenjatakan
Pedang Pusaka Besi Kuning tanpa segan-segan mengerahkan Ilmu 'Pedang Sukma
Gelap' dengan pancaran hawa 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' tingkat tujuh sehingga
sekujur badan si nenek dan pedangnya yang berkelebatan diselimuti pancaran
cahaya kuning buram. Crass! Crass ... ! Beberapa tuyul hitam dan hijau yang mencoba menyergap dari arah samping harus
merelakan tubuh mereka terbelah dua, lalu meledak disertai asap tebal dan lenyap
tak bekas. Bagaimana pun juga pamor gaib besi kuning merupakan salah satu benda
keramat yang juga ditakuti bangsa mahkluk gaib, bahkan siluman sekelas Ratu
Siluman Kucing dibuat keder oleh pamor gaib tersebut.
Melihat penjagaan di sisi timur laut dalam keadaan kosong seperti yang sudah
direncanakan sebelumnya, si Elang Salju bergegas menghampiri bola cahaya kuning
dan berdiri tepat di depannya, sedang tangan kiri dan kanan terlihat mengibas
cepat dalam aturan-aturan tertentu.
Swiing ... sritt!! Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun
anehnya kedua benda bagai gerakkan tangan-tangan gaib, yang dengan lincah
mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu bergerak,
maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang sama secara bersamaan pula.
Crass! Crass! Crass! Crass ... !
"Aaakhh ... huakkhh ... !"
Bushhh ... bushhh ... ! Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Delapan
Rupanya Sepasang Golok Mengejar Bulan telah beraksi. Sepasang golok berbentuk
lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di bagian tengah bergerak dalam
aturan-aturan tertentu seperti menggunakan jurus-jurus pedang. Untuk pertama
kalinya pemuda sakti berbaju putih menggunakan jurus pedang tunggal aliran
Partai Matahari Terbit yang bernama jurus 'Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat'
untuk menggerakkan sepasang golok lengkung. Adakalanya tangan kiri bergerak
dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan
pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!! Suara gesekan angin semakin keras menyayat laksana ratapan hantu di siang
bolong. Semakin cepat bergerak, suara sayatan semakin membuat gendang telinga
para penghuni alam gaib laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum. Saat dilanjutkan
dengan gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang
berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan
kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayangan putih kehitaman,
sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan
jurus yang sama. Tampak dua bayangan yang seolah saling berlomba membantai
lawan. Kali ini gabungan Ilmu 'Mengendalikan Badai' dan jurus pedang 'Terbit Di Timur,
Tenggelam Di Barat' bagai tangan panjang Paksi Jaladara.
Rrrtt ... critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Kepulan asap abu-abu semakin banyak memenuhi tempat itu.
"Pantas Kakang Paksi bersikukuh menggunakan golok uniknya, rupanya ia mahir
menggunakan senjata aneh itu dengan cara luar biasa," kata hati Gadis Naga Biru
atau Retno Palupi yang menggunakan Ilmu 'Pedang Naga Laut' warisan sang kakek
lewat Pedang Samurai Kazebito yang digenggam dengan tangan kanan, sedang tangan
kiri merapal 'Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong', sehingga diantara desingan
pedang terselip suara gemuruh ombak yang menghantam batu karang. Saking cepatnya
ia bergerak membuat tubuh gadis itu berubah menjadi sebentuk bayangan biru yang
berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai camar di laut.
Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera bertarung sengit dengan
Senopati Segawon Alas, dimana 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah dikerahkan
hingga maksimal bahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat dikerahkan sampai
tingkat tertinggi. Sehingga seluruh arena pertarungan dipenuhi dengan gulungan
bayangan pedang yang menari-nari liar disertai suara tapak menggemuruh laksana
badai di laut beradu tanding dengan hujan cakar serigala yang gesit dan
adakalanya melakukan gebrakan-gebrakan tak terduga. Bahkan lontaran beberapa
pukulan sakti sering terdengar diantara celah-celah pertarungan.
Akan tetapi, terdapat keanehan pada gerak siluman serigala di kala pedang aneh
yang ada di tangan lawan mengejar dirinya. Siluman berdarah campuran yang kebal
senjata karena Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat tidak berani membenturkan
sepasang tangan dengan pedang aneh panjang melengkung di tangan gadis jelita
yang menjadi lawannya. "Aneh, kenapa aku memiliki rasa takut terhadap pedang melengkung di tangan gadis
itu?" pikirnya sambil mengerahkan tendangan beruntun ke arah kuda-kuda kokoh si
dara cantik berbaju biru. "Lebih baik aku rebut dulu pedangnya, baru orangnya
kuhabisi belakangan."
Wukk! Wukk! Gadis Naga Biru melenting sambil mengayunkan pedang panjang lewat jurus 'Naga
Siluman Menjulurkan Lidah' berusaha membuntungi sepasang kaki Senopati Segawon
Alas dari atas, sedang tangan kanan menyerang dengan jurus 'Selaksa Tapak
Membelah Laut'. Werr ... swerrr ... ziing ... !
Melihat kaki terancam putus sebatas lutut sedang bagian atas dihadang puluhan
tapak yang datang bagai gelombang membuat Senopati Segawon Alas mengambil resiko
tinggi. Mengandalkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklatnya, manusia serigala
berguling ke depan dan membiarkan bagian punggung terhantam serangan lawan.
Dess! Prakk! Brakk! Bersamaan dengan itu pula, sepasang kakinya berhasil lolos dari sergapan pedang,
namun ia melupakan satu hal!
Bagian ekor! Di bagian itu terlupa sama sekali, karena ia hanya memikirkan sepasang kaki.
Hingga tanpa bisa dicegah lagi, ekor panjang Senopati Segawon Alas terbabat
putus setengah lebih. Crasss ... !! "Aaauuuungg ... "
Suara raungan serigala kesakitan langsung terdengar keras. Darah kental coklat
kehitaman menetes keluar dari bekas potongan ekor.
"Sial ... ternyata mata pedang berasal dari batu dingin dari Pegunungan
Himalaya," terdengar gumaman lirih saat merasakan rasa dingin menjalar masuk
lewat bagian ekornya yang terpotong putus. Darah kental kecoklatan menetes
keluar disertai bau amis.
Melihat lawan terluka membuat serangan Retno Palupi semakin meningkat.
"Serigala jelek! Lebih baik kau menyerah saja!" serunya sambil memutar-mutar
pedang membentuk gulungan-gulungan tajam, kemudian dikibaskan ke depan diiringi
bentakan keras. "Terima jurusku ... ! Hiyaaa ... !"
Wuuukk ... wuuk ... werr ... !
Sebentuk gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' langsung menggebah
maju disertai serangan tapak yang menyusul belakangan. Jurus kedua dari 'Tiga
Belas Pukulan Telapak Kosong' yang bernama 'Dewa Samudera Memecah Gelombang'
menggebah dengan dashyat bagai mendorong maju gulungan hawa pedang dari jurus
'Tarian Naga Laut'! 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah tidak seperti sebelumnya, menurun separoh
lebih karena putusnya bagian ekor, sebab di bagian ekorlah sebenarnya merupakan
titik lemah paling utama dari ilmu tenaga gaib tersebut. Meski tanpa sengaja
terputus oleh lawan, membuat Senopati Segawon Alas harus berpikir dua kali lipat
memapaki dua jurus serangan lawan. Namun saat ini tidak ada waktu lagi untuk
berpikir panjang. Tidak ada pilihan lain, dengan kekuatan tersisa ia
mengemposkan 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' ke tahap yang paling tinggi bisa ia
kerahkan. "Brengsek! Hanya bisa pada tingkat ke lima!" pikirnya kuatir, sedang serangan
lawan kini sejarak setengah tombak lagi di depannya.
Diikuti raungan keras, sepuluh kuku jari Senopati Segawon Alas berubah
memanjang. Crakk! Crakk! Crakk! Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' dengan manis memotong-motong hawa pedang dari
jurus 'Tarian Naga Laut', bahkan puluhan serangan tapak dari jurus 'Dewa
Samudera Memecah Gelombang' pun kandas di bawah Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala
Setan' yang dilancarkan si manusia serigala.
Blarr ... blarrr ... ! "Ha-ha-ha! Bagus, rupanya kemampuanmu tidak setangguh yang kukira, anak
manusia!" seru Senopati Segawon Alas setelah mengetahui bahwa tenaga sakti milik
lawan tidak sehebat penampakannya. Hal itu membuat semangatnya meninggi
seketika. Namun rasa senangnya hanya sesaat. Tiba-tiba sebuah gulungan kecil
menyeruak di antara pecahan hawa pedang dan tapak.
Crass! Crass! Crass! Crass!
Akibatnya, dari ujung jari sampai pangkal lengan Senopati Segawon Alas terbabat
putus membentuk potongan-potongan daging kecil-kecil.
Plukk! Plukk! Blushh ... !!
"Auuuungg ... auuungg ... Bangh ... shhat ... !"
Kembali terdengar raungan serigala kesakitan untuk kedua kalinya, kali ini lebih
keras dan lebih menyayat hati!
Kehilangan ekor masih bisa ditumbuhkan lagi dengan bertapa selama dua purnama,
tapi kehilangan dua tangan sekaligus dalam waktu bersamaan justru membutuhkan
waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan tangan baru yang sama bentuk dan sifatnya.
Rupanya Gadis Naga Biru menerapkan teori 'di dalam jurus ada jurus'. Saat ia
mengerahkan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' memang dikerahkan bentuk
hawa bayangan tanpa ada tenaga dalam yang menyertainya. Demikian pula dengan
jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' yang meski terlihat garang dari luar,
tapi kosong di dalam. Itulah sebabnya mengapa Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan'
milik Senopati Segawon Alas dengan mudah membuat dua jurus maut tersebut
tercerai-berai. Begitu dua jurus pancingannya berhasil memancing kelengahan
lawan, jurus 'Naga Meliuk Menelan Mangsa' yang berbentuk sebuah gulungan kecil
menerobos di antara celah-celah jurus yang hancur.
Dan hasilnya, dari ujung jari sampai lengan Senopati Segawon Alas hancur
tercacah-cacah! Kembali senopati Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah telak!
"Bagaimana" Kita lanjutkan pertarungan?" kata Gadis Naga Biru sambil menodongkan
ujung mata pedang ke leher Senopati Segawon Alas diiringi senyum penuh
kemenangan. "Kau hebat, anak manusia! Aku mengaku kalah padamu! Kalau mau bunuh, bunuhlah!"
seru Senopati Segawon Alas, namun di otak liciknya ia berkata lain, "Setahuku,
para manusia biasanya akan melepaskan lawan yang sudah menyerah kalah. Begitu ia
lengah ... aku bisa membokongnya dari belakang!"
"Kalau begitu ... dengan senang hati, sobat!"
"Tung ... " Crasss ... ! Pedang Samurai Kazebito langsung berkelebat cepat dari kiri ke kanan di atas
leher. Buushhh ... ! Jurus sederhana tanpa variasi telah menamatkan riwayat Senopati Segawon Alas
dengan kepala lepas dari lehernya.
"Huh, siluman jelek macammu berusaha mengkadali aku" Tolol bin bego namanya,"
gerutu Gadis Naga Biru. Tiba-tiba dari mulut Gadis Naga Biru menetes darah segar!
Rupanya serangan terakhir lawan secara tidak langsung mengenai bagian dalam
tubuhnya sedikit berguncang, hingga membuat gadis cantik berbaju biru laut
mengalami luka dalam meski tidak terlalu parah. Gadis itu segera menyusut darah
yang menetes keluar. Paksi Jaladara yang melihat Gadis Naga Biru terluka, segera berkelebat
menghampiri. "Kau terluka, Nimas?"
"Hanya luka ringan, kakang. Tidak apa-apa."
"Lebih baik kau sembuhkan dulu lukamu di sana," kata Paksi Jaladara sambil
memapah Gadis Naga Biru, lalu berjalan cepat di depan bola cahaya kuning kunangkunang. "Cepat telan ini," kata Paksi Jaladara sambil memasukkan sebuah bola kecil ke
dalam mulut kekasihnya. Gadis Naga Biru menurut saja, membuka mulut dan menelan benda putih yang rasanya
manis dan harum, kemudian duduk bersemadi menyembuhkan luka.
Dengan tewasnya Senopati Monyet Plangon dan Senopati Segawon Alas, membuat para
pendekar yang lain semakin bersemangat.
Di posisi lain, Senopati Babi Angot si siluman babi telah berubah bentuk menjadi
celeng hutan seukuran kerbau bunting. Berbulu hitam legam seperti arang dan
mengkilat seperti berminyak. Sudah berulang kali Gineng, murid tunggal Tabib
Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan menyarangkan tendangan dan pukulanpukulan sakti tapi selalu meleset. Tidak ada satu pun yang tepat sasaran.
"Aneh, semua jurus-jurusku seperti menyentuh benda licin. Jurus 'Pisau Lidah
Naga' seperti tidak berguna sama sekali," pikirnya sambil menyerang beberapa
titik kelemahan celeng raksasa yang main seruduk dengan sepasang taring tajam di
mukanya. Syutt! Sett!! Kembali jurus 'Pisau Menusuk Enam Nadi' gagal.
"Bocah ingusan! Grook ... Kau tidak akan bisa menembus Ilmu 'Kulit Celeng Emas'
dengan cara apa pun! Grook!" seru Senopati Babi Angot sembari menyeruduk ke
depan dengan cepat. Memang pada dasarnya siluman babi ini tidak memiliki satu jurus silat pun dan


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia pula satu-satunya senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit yang tidak
memiliki jurus-jurus silat, akan tetapi jika ilmu-ilmu kesaktian, dialah
gudangnya. Ilmu 'Baju Besi Iblis' bisa dikuasai hingga tingkat emas, sedang para
senopati lain paling banter cuma tingkat hitam, coklat atau merah itu pun sudah
bisa dibilang tangguh. Dan dia pulalah satu-satunya siluman yang berani
menggabungkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat emas dengan 'Tenaga Gaib Siluman
Babi' hingga menghasilkan ilmu baru yang dinamainya sendiri Ilmu 'Kulit Celeng
Emas' dimana ilmu berupa selubung cahaya hitam keemasan yang bisa mementalkan
segala macam senjata dan pukulan sakti apa pun baik dari golongan manusia dan
mahkluk gaib. Sekilas kemampuan Ilmu 'Kulit Celeng Emas' mirip sekali dengan
Ajian 'Belut Putih' atau Ilmu 'Lembu Sekilan' yang bisa mementalkan serangan
dalam jarak sejengkal tangan. Akan tetapi yang paling diandalkan siluman babi
ini adalah sebentuk benda bulat merah muda seperti gelang yang tersangkut di
hidungnya. Benda sakti yang paling diburu para manusia yang konon katanya bisa
membuat kebal, menghilang tanpa bayangan bahkan menjadi orang paling sakti di
seluruh jagad. Rantai Babi! Gineng bergerak lincah menghindari serudukan lawan.
Brakk! Pohon jati sebesar sepelukan orang dewasa langsung tumbang!
"Gila, pohon segede gitu bisa tumbang," pikir Gineng sambil menghindari rubuhan
pohon jati. "Kepalanya pasti dari batu dia!"
Brassh ... ! Begitu pohon tumbang menyentuh tanah, Gineng kembali melakukan serangan yang
lebih dahsyat. Kali ini ia tidak menggunakan Ilmu Silat 'Tangan Seribu Depa'
atau pun Jurus 'Pisau Lidah Naga' yang diajarkan oleh Ki Ragil Kuniran, tapi
sebentuk ilmu silat yang hanya dimiliki oleh orang-orang dari Pulau Khayangan.
Ilmu Silat 'Aliran Pulau Khayangan'!
Sepasang tangan Gineng bergerak lincah menampar, menebas, menusuk dan menotok
dengan kecepatan kilat disertai hamparan hawa panas menggila.
Tukk! Takk! Took! Prakk! Jrubb!
Hawa serangan panas langsung menyusup masuk ke dalam tubuh lawan. Berulang kali
Gineng melakukan serangan tersebut hingga celeng raksasa merasakan sekujur
tubuhnya bagai dimasukkan dalam kuali mendidih, sehingga beberapa bagian dari
tubuh Senopati Babi Angot yang terselubungi Ilmu 'Kulit Celeng Emas' terlihat
koyak di hampir seluruh tubuhnya.
Dan akibatnya ... tubuh besar itu bagai di bakar api dari dalam!
Grroook ... groookk ... !
Dengusan keras keluar dari lubang hidung disertai semburan api. Rupanya Senopati
Babi Angot berusaha meredam hawa panas yang membakar tubuh dari dalam dengan
menggunakan kelebihan Ilmu 'Kulit Celeng Emas'-nya. Tanpa perlu tempo lama,
tenaga asing yang masuk ke dalam tubuh bisa dikeluarkan sebagian besar.
"He-he-he, anak manusia! Rupanya kau masih berhubungan dengan si Naga
Khayangan!" "Huh, aku tidak kenal dengan si Naga Khayangan!" seru Gineng setelah melihat
jurus 'Menampar Matahari Menghias Langit'-nya gagal.
Memang perlu diketahui, pemuda yang dulu pernah menjadi kusir Ki Ragil Kuniran
ini memang baru tiga tahun lamanya diangkat sebagai murid terakhir dari Ki Gedhe
Jati Kluwih atau yang terkenal dengan julukan Tabib Sakti Berjari Sebelas. Namun
dengan waktu yang sependek itu, ia sudah harus turun gunung membantu Paksi
Jaladara yang sedang menghadapi masalah pelik yang erat kaitannya dengan
kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Sampai-sampai silsilah Aliran
Pulau Khayangan pun tidak sempat diceritakan oleh gurunya, karena waktu itu
sudah sangat mendesak sekali.
Dengan berbekal ilmu silat baru, ia langsung beradu cepat dengan waktu yang
semakin sedikit dan pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan tepat pada
waktunya. "Apa" Kau tidak kenal dengan si Naga Khayangan?" kata Senopati Babi Angot dengan
heran. "Lalu bagaimana kau bisa menguasai 'Tenaga Sakti Pulau Khayangan'?"
"Karena aku murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan!" bentak
Gineng sambil melancarkan dua pukulan lurus ke depan.
"Huh, cuma 'Tonjokan Dewa Melintas Langit'! Apa bagusnya?" jengek Senopati Babi
Angot sambil menggoyangkan kepala.
Dari Rantai Babi meluncur seberkas cahaya merah yang langsung memapaki gumpalan
api yang berasal dari 'Tonjokan Dewa Melintas Langit'!
Blamm! Gineng langsung terpental ke belakang disertai tersemburnya darah merah dari
mulut. Brugh! Pemuda itu terkapar dengan napas kembang kempis, jelas bahwa murid dari Tabib
Sakti Berjari Sebelas dalam kondisi terluka parah.
Meski cuma satu serangan saja, Rantai Babi yang ada di hidung Senopati Babi
Angot sekelas dengan gempuran delapan orang tokoh sakti rimba persilatan. Jika
pemuda itu masih bisa menggerakkan kepala dan jari tangan itu sudah merupakan
keberuntungan yang tak ternilai.
"Celaka! Siluman babi ini lebih kuat dari perkiraanku sebelumnya," pikir Gineng
sambil berusaha bangun. Baru saja mengangkat kepala, sebuah bayangan hitam sudah melayang di udara, siap
menimpa tubuh Gineng dari atas.
"Mampus kau, anak muda!" seru Senopati Babi Angot dari ketinggian.
Gineng hanya bisa membelalakkan mata dan bayangan kematian terlintas di dalam
benaknya. Meski otaknya menginginkan ia bergerak menghindar, tapi luka dalamnya
tidak memungkinkan tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun juga. Semua bagian
tubuhnya seperti dirontokkan dari dalam.
Satu-satunya yang masih bisa bergerak hanyalah jari tangan kiri!
"Simbok! Guru! Ki Ragil! Aku pamit mendahului kalian!" seru Gineng keras-keras
sambil menghimpun 'Tenaga Sakti Pulau Khayangan' sekuatnya.
Paksi Jaladara yang melihat Gineng dihimpit maut hanya bisa terpana. Pemuda itu
seakan terbius oleh kejadian yang terjadi di depan mata. Sulit sekali si Elang
Salju menggerakkan kaki tangan yang seolah-olah terpaku kencang di bumi.
Wutt!! Blamm ... Blamm ... !
Tubuh celeng hutan jelmaan dari Senopati Babi Angot dengan keras menghantam
tubuh lunglai Gineng. Bobot ribuan kati dengan manis menggencet tubuh pemuda
yang dulu sangat akrab dengan Paksi Jaladara. Tiba-tiba sebentuk kesadaran
muncul dalam keterlambatan.
"Kakang Gineng!" seru Paksi sambil jatuh berlutut melihat Gineng yang sudah
dianggap sebagai saudara sendiri mati mengenaskan. Mata pemuda itu nanar
memandang kepulan debu yang membuncah menutupi tempat pertarungan antara Gineng
dengan Senopati Babi Angot terjadi.
Begitu debu meluruh, terlihat suatu pemandangan ganjil!
Tubuh celeng raksasa itu seperti mengambang sejarak sejengkal dari tubuh Gineng,
sedang pemuda itu terlihat menutup mata sambil tangan kiri menusukkan sesuatu ke
dalam perut lawan yang berusaha menindihnya dari atas.
"Kau ... kau ... grookk ... "
Hanya itu yang terdengar dari mulut Senopati Babi Angot yang secara berangsurangsur berubah wujud menjadi sesosok tubuh besar laki-laki dengan badan gemuk
luar biasa. Seluruh tubuhnya terbungkus baju tebal warna hitam, hanya di bagian
hidung yang tetap berbentuk seperti moncong babi sedang di tangan kanan terdapat
sebentuk gelang Rantai Babi. Sesaat kemudian tubuh serba hitam itu diselimuti
pijaran cahaya biru keemasan yang membungkus dengan cepat tubuh besar yang
semula ingin menindih Gineng.
Sratt ... srattt ... rett ... !!
Sebuah senyum terukir di bibir bertaring.
"Terima kasih, anak muda! Kau telah menyempurnakan diriku yang terbelenggu dalam
naungan iblis," kata lirih Senopati Babi Angot.
"Apa maksudmu?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh
"Hi-hi-hik, rupanya hanya itu permintaanmu, cah bagus!" kata Senopati Taksaka
Sunti, lalu sambungnya, "Baiklah ... aku kabulkan permintaanmu! Tapi ... ada
syaratnya." "Syarat?" "Nyawaku sebagai taruhannya, tentu saja aku punya syarat untukmu!"
"Baiklah, katakan saja!" sahut Simo Bangak enteng, pikirnya, "Emangnya gue
pikirin!" "Jika kau tidak bisa membunuhku, kau harus jadi pengikutku ... selama-lamanya!"
Dengan pura-pura berpikir keras, akhirnya Simo Bangak menjawab dengan jawaban
mengambang, "Menjadi pengikut wanita cantik sepertimu kukira tidak ada
jeleknya." "Bagus! Ingat dengan janjimu!" kata Senopati Taksaka Sunti kegirangan tanpa
pikir panjang, pikirnya, "Akhirnya keinginanku tercapai."
"Dengan apa kau akan memenggalku?"
"Dengan ini!" Tangan kiri meraba pinggang kanan. Melihat gerakannya saja, sudah bisa
diperkirakan anak itu benar-benar bertangan kidal.
Srakkk! Criiing! Sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih sepanjang satu setengah kali
panjang golok biasa tercabut keluar dari sarung kulit harimau yang
membungkusnya. Jika gagang golok warna putih berbentuk kepala harimau, justru
bilah golok semuanya berwarna hitam kelam dengan pendaran cahaya hitam temaram.
Golok Hitam Taring Harimau!
Begitu Golok Hitam Taring Harimau keluar dari sarung, sepasang mata harimau Simo
Bangak yang berwarna hijau menyala semakin terang dengan sebuah garis kuning
melintang di tengah bola mata. Cahaya hijau terang bagaikan setitik cahaya
menerangi suasana kelam akibat Gerhana Matahari Kegelapan.
"Dengan golok seperti itu kau akan memenggalku bocah" Hi-hi-hi-hik!" ejek
Senopati Taksaka Sunti, "Perlu kau ketahui, ribuan senjata pusaka bangsa manusia
tidak akan mempan terhadap Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-ku, bocah ganteng!"
"Kau masih tetap mengijinkan aku memenggal lehermu?" tanya Simo Bangak.
Kali ini suaranya terdengar berat dan dingin, tidak seperti sebelumnya yang
cenderung ugal-ugalan. "Boleh ... boleh .... ! Aku beri kau tiga kesempatan! Aku tidak akan bergeser
sedikit pun dari tempatku!" ucap Senopati Taksaka Sunti dengan sombongnya.
"Tidak akan membalas?"
"Sesuai keinginanmu, bocah muda!"
Simo Bangak segera menghempos 'Hawa Sakti Seribu Harimau' langsung ke tingkat
dua belas, hingga sebentuk hawa padat berpendar-pendar paduan antara hitam dan
hijau membungkus seluruh tubuh si bocah dalam jarak sejengkal.
Jwosssh ... wosshh ... !!
"Hehh, ilmu picisan seperti itu tidak bakal mempan padaku, bocah!" seru sang
lawan. Lain di kepala lain di ekor, itulah sifat asli seekor ular!
Melihat pancaran hawa si bocah yang berbeda dari sebelumnya, Senopati Taksaka
Sunti menambah daya pental dari Ilmu 'Selongsong Kulit Ular' hingga ke tingkat
menengah. Werr ... ! Begitu 'Hawa Sakti Seribu Harimau' sudah pada puncaknya, Simo Bangak melenting
ke tinggi atas sambil mengelebatkan golok di tangan kiri sampai menerbitkan
suara mengaum keras bagai harimau lapar. Salah satu jurus dari dua jurus 'Golok
Taring Harimau' yang bernama 'Taring Harimau Menaklukkan Dewa' telah digelar,
dimana Golok Hitam Taring Harimau berkelebat cepat ke sana kemari bagaikan mulut
harimau yang terbuka lebar siap menerkam mangsa.
Craanng ... crangg! Benturan keras disertai percikan bunga api terjadi saat Golok Hitam Taring
Harimau dengan telak menebas leher Senopati Taksaka Sunti yang mengerahkan tahap
menengah Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-nya. Begitu serangan pertama gagal, tangan
kanan Simo Bangak berkelebat cepat ke arah golok di tangan tangan kiri.
Sratt!! Golok terbagi menjadi dua!
Tentu saja Senopati Taksaka Sunti terkejut bukan alang kepalang mengetahui golok
di tangan bocah itu ternyata golok berpasangan!
Simo Bangak langsung memutar tubuh ke bawah sehingga posisi kaki di atas dengan
kepala dibawah, sedang tangan kanan yang memegang golok langsung menggerakkan
jurus kedua yang bernama 'Di Dunia Penuh Taring Harimau' sehingga seluruh tubuh
Senopati Taksaka Sunti bagai dikurung ribuan bayangan golok yang merencahnya.
Crangg ... Criing!! Triing! Triing!
"Mampus kau!" pekik Simo Bangak sambil menggerakkan golok sebelah kiri, menusuk
ke arah pusar! Blesssh!!! "Huaaaa ... " Senopati Taksaka Sunti langsung menjerit saat Golok Hitam Taring Harimau
terbenam hingga sampai gagangnya, tembus ke punggung. Tubuh panjang itu langsung
menggelepar-gelepar di tanah sambil mendekap pusarnya yang tertusuk golok.
Mustika Lidah Naga 1 2 Dewi Ular 62 Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Remaja 9

Cari Blog Ini