Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 11

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


gilanya... sungguh patut dikasihani..."
"Tapi locitnpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati
karena saya! Ah, locianpwe mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tidak
berdosa!" "Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu hanya untuk
menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia
karena kesalahannya sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah
tua. Engkau tidak membunuh, apalagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu,
di luar pengetahuanmu."
"Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main,
apalagi sekarang tubuhnya masih merasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh
dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang setelah dia
tahu bahwa yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sin-kang dari
kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan
serem, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya!
"Sudahlah, Sin Liong. Daripada meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar
kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau
tidak tahu siapa dia. Dia itu adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan.
Ilmu kepandaiannya luar biasa sekali sehingga akupun tadi hampir celaka dan
kalah olehnya kalau saja engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah
guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia
bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin
Liong. Aku sama sekali tidak bermusuh dengannya, apalagi ingin membunuhnya!"
Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek ini adalah ketua Cin-lingpai, kakek ini adalah kong-kongnya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru
dari putera kong-kongnya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan
tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini dia bertanya, "Dia...
dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?"
Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan
dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi. "Ah, puteraku itu
bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya
masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu.
Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking
girangnya, akan tetapi dia menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi,
bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?"
"Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia
menyerangku..." "Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?"
Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan
kepada anak ini tentang sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah
Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cinling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok
antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biarpun ternyata bukan puteri
Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari
percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai. Akan
tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng
Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia
Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak
kecil yang ditolongnya itu.
"Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadangkadang kambuh. Dan sekarang, dia sedang kambuh, maka dia menyerangku. Sudahlah,
Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."
Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali
tanah berbatu itu, Sin Liong ikut-ikut dan... betapa heran hatinya ketika dia
mampu pula menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walaupun
tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung dan beberapa kali kayu itu patah
dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan
menggali tanah yang keras!
Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu
besar di depan kuburan sebagai nisan, dan menggunakan jari telunjuknya untuk
menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi
MAKAM KOK BENG LAMA. Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata
adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam
saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mujijat itu. Anak ini benar-benar
hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau
melakukan hal-hal aneh, apalagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di
dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya.
"Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu,
bukan?" Anak itu mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya ada hawa bergerak-gerak,
locianpwe." "Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?"
"Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama
telah pindah ke dalam tubuh saya."
"Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng. Biarpun
kuberikan ilmu itu dalam keadaan darurat, akan tetapi berarti engkau telah
mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak
mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun
Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin
Liong." Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."
"Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya engkau harus berjanji. Tidak
sembarang orang boleh memiliki Thi-khi-i-beng, dan setelah engkau terlanjur
memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan
mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak
engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia."
"Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut. Untung
bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa
Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kong-kongnya, karena andaikata tidak
demikian, dia lebih memilih mati daripada ditekan!
"Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan kaupergunakan
untuk membunuh orang, kecuali dalam pembelaan diri, dan juga kau berjanji bahwa
engkau tidak akan mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada siapapun juga sebelum aku
mati, dan kalau terpaksa kauajarkan kepada orang kelak, engkau harus menyuruh
dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran."
Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek
itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya
terdengar kakek itu berkata, "Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah
muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh
perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan
menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak,
tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan
dapat hidup lama." Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara
bersamadhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng
sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Sin Liong masih duduk bersamadhi dan dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya
tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguhpun
gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya
terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat
terbawa oleh tubuhnya. Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa betapapun juga, anak ini
memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang
terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Maka dia mengambil keputusan untuk cepat pulang
saja ke Cin-ling-san, biarpun hatinya masih penasaran dan menyesal bahwa dia
belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw
itu. Dia sendiripun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga.
*** Ketika mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda
kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-lingsan, maka diapun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan
tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah
pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia
merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu, dia berjalan sambil
menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di pegunungan itu.
Dari lereng sudah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, bangunan yang menjadi
tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di
daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apalagi
semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggauta Cinling-pai untuk meninggalkan puncak dan para murid atau anggauta Cin-ling-pai
lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cinling-pai dan hidup sebagai petani-petani. Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal
berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan
wanita. Kakek ini dan cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur.
Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak
mengunjungi ketua mereka. Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di
puncak telah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu
adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menanti kedatangannya kakek itu
dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan
tertahan kemudian tubuh kakek itu melesat dengan cepatnya ke atas puncak. Sin
Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan
dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di
antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.
"Kau..." Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!
Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun
Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih
muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Adapun pria dan wanita lain yang berada
di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari
ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan orang tuanya ketika Cia Keng Hong
menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena puteranya itu
telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak bersikeras mempertahankan
kehendaknya sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi
suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang
menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia
karena semenjak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi.
Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya
Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan
menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya,
hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria
yang sesungguhnya dicintanya itu, dan minta pertolongan Yap Kun Liong untuk
pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu.
Pergilah pendekar Yap Kun Liong dan akhirnya dia berhasil menemukan Cia Bun Houw
dan Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah
selatan. Yap Kun Liong membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok
ayahnya, dan Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati
ayahnya, lalu bersama isterinya ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka
berhenti dulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka
semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah tiba di puncak itu, mereka menemukan tempat
kosong dan mereka menanti di situ selama dua hari.
Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng
Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan
tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka biarpun
sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan
Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat. Berbagai
macam perasaan mengaduk hatinya. Rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan
mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat
menahan lagi dan dia jatuh tergulingg dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng
yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.
Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa
kakek itu memandang kepada laki-laki gagah yang berbaju kuning dan menggerakgerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang
telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya
dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak, "Kau manusia jahat...!"
Semua orang terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya
diserang oleh anak yang datang bersama ayahnya tadi. Lebih terkejut lagi hati
empat pendekar yang berilmu tinggi itu ketika melihat betapa tubuh anak lakilaki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnyag dengan gaya seperti seekor
harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan
kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah
dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa
kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!
"Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali. Tentu saja bagi
pendekar ini yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, serangan Sin Liong itu tidak
merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini kaget melihat betapa seorang anak
kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga
sin-kang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa sungguhpun gerakannya
ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas daripada gerakan
silat. Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong sudah membalik lagi dan
menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti
yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang
terkumpul di pusarnya itu. Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke
dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul dan mengerahkan
tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw terkejut karena angin
pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sin-kang
yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini
laku menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di
mana kekuatan anak yang luar biasa ini.
"Dukkk! Aihhh...!" Kini Cia Bun dia mengeluarkan teriakan. Siapa yang tidak akan
kaget ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang amat
dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau
tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sin-kangnya tersedot ke luar!
Itulah Thi-khi-i-beng! Ataukah lain ilmu iblis yang dapar menyedot sin-kang
lawan" Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, tentu saja dengan sekali
mengerahkan tenaga membetot, lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan
yang mempunyai daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak
itu. Akan tetapi, Sin Liong tidak perduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama
sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia
merasa penasaran mengapa dia belum dapat menghantam orang yang telah membuat
kakeknya sampai roboh pingsan itu.
"Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan
gerakan yang ganas. Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu nampak bayangan
berkelebat, jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin
Liong yang luput menyerang lawannya tadi.
"Dukk! Ahh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main. Karena
tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar
dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa mempergunakan tenaga sakti, khawatir
kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak
Sin Liong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa
tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main!
Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, raguragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki
tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Maka diapun menjadi marah dan kini
tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat,
bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.
"Dess...!" Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan
darahnya tertotok. Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di
dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan
darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jerih, bahkan matanya
melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang
penuh kebencian. "Kalian tunggu saja..." desisnya, "kalau locianpwe Cia Keng Hong sampai mati,
aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!"
Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci
kalian...!"

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau
kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu
dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.
"Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang menurunkan
kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia
memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu"
Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw berkata, "Aku melihat dia tadi
menggunakan Thi-khi-i-beng."
Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua
lalu menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.
"Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek
itu bangkit duduk. "Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng
lalu merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Kakek itu tidak mau
dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatihtatih memasuki pondoknya.
Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam.
Bun Houw dan encinya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka
itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah
mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka
parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka
dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu
oleh Yap In Hong dan kakaknya, Yap Kun Liong.
Seperti telah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari
Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan
semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun
yang lalu, kakak dan adik inipun tidak pernah saling jumpa, apalagi karena Kun
Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Lengkok. Biarpun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta
kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan
hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masingmasing. Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan
percakapan yang asyik, saling menceritakan keadaan mereka masing-masing. Hanya
keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin di hati mereka,
dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak
membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang
sakit itu. Yap Kun Liong juga menasihatkan yang lain agar jangan sembarangan
terhadap bocah ini, karena diapun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik
kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar
sakti Cia Keng Hong, apalagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai
Thi-khi-i-beng. "Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan
siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju. Anak
itu benar-benar amat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata
mendelik marah dan memang Sin Liong merasa tidak suka kepada empat orang ini,
terutama kepada Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena telah
membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga
tidak ingin tahu, dan diapun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya.
Diapun ingin menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan
apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun
Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah
empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari
Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan. Biarpun dia diberi sebuah kamar,
akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di
kamar Cia Keng Hong dan di situ dia duduk bersila, bersamadhi seperti yang telah
diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan diapun tidur dalam keadaan bersila.
Melihat cara anak itu bersamadhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu
bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai.
Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat
Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia
sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apalagi ketika
sebagian dari tenaga sin-kangnya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di
dalam tubuh Sin Liong. Biarpun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari
tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi-i-beng dan dengan demikian
selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, namun luka
yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan
hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya
itu, dia jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat
yang membuat dia jatuh sakit. Baru setelah sepekan dirawat dengan penuh
perhatian oleh putera dan puterinya, Cia Keng Hong sembuh dari demam dan
ingatannya kembali. Biarpun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun
duduk dan bicara. Ketika melihat Sin Liong duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum
dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok
Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang
sejuk." Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar
dan di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu
halus yang menjadi tempat duduk dan tempat samadhi kakek ini. Di situlah dia
duduk bersila dan empat orang pendekar itupun duduk di atas tanah di depannya.
"Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula
keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang
pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang
itu bukanlah musuh kakeknya.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri
berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.
Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar
matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka
semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas. Cia Keng Hong memandang
ke kanan dan alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan.
Melihat puteranya kini telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga
puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita
dan gagah, dia melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang
lalu. Jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia
dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka" Padahal, mereka itulah yang
akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, mereka berdualah yang
akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan
mereka berdualah, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula.
Mengapa dia bercampur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang
itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya" Betapa
bodohnya dia, dan betapa bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan
perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk
menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya
dengan Bun Houw (baca kisah Dewi Maut), dan ke dua betapa Bun Houw telah
ditunangkan dengan gadis lain. Namun, segala macam alasan itu sesungguhnya
hanyalah untuk mempertahankan pebdiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini
nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.
Dan ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk
bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, dan
hatinyapun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar
memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori
oleh nafsu berahi. Betapa mereka saling mencinta, dia dapat merasakannya, namun
keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai sahabat-sahabat yang
saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu! Lalu
dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah
hati Cia Keng Hong karena biarpun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara
sepatah katapun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata
tidak banyak gunanya lagi.
"Sin Liong, setelah beberapa hari kau berada di sini, apakah engkau sudah
mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri. Empat orang
pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itupun menoleh dan memandang
kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.
"Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.
"Ah! Engkau belum mengenal mereka" Lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di
sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!"
Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang
matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.
Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong
mendengar perkenalan itu. Jadi laki-laki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan
beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang
dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipujipuji sebagai pendekar sakti itu. Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk
di situ bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu" Dan
wanita itu telah turun tangan menotoknya! Dia kini memandang kepada Yap In Hong
dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin
Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.
"Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun HoUw mengerutkan alisnya.
Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya.
"Ada apakah Sin Liong?"
Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan
sinar mata aneh, dan kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan
kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar. Melihat ini,
Bun Houw cepat berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika
ayah terkejut dan tak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran
sekali melihat dia memiliki sin-kang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi-ibeng!" Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ah, kiranya begitukah"
Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau
cepat minta maaf, biarpun kau melakukan hal itu tanpa kausadari."
Sin Liong menunduk, kemudian menghadap kakek itu sambil berkatap "Maafkan saya,
locianpwe." Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya!
Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah
kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang
telah meninggalkan ibu kandungnya ini menjadi suami wanita lain, mana mungkin
hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian"
"Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok
Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun
Houw, juga dia dapat dibilang muridku karena hanya dia seorang yang telah
mewarisi Thi-khi-i-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah
menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu
mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat
melihat puteranya kembali.
"Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki
sin-kang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi-i-beng pula?" tanya Bun
Houw. Betapapun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena
itu, diapun mempunyai perasaan tidak senang kepada Sin Liong!
"Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama,
ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."
"Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget.
"Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan yang merasa sayang kepada kakek pendeta
Lama itu. "Hemmm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena diapun merasa amat kagum
kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena
mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu
(baca cerita Petualang Asmara).
"Ayah, apakah yang telah terjadi" Bagaimana suhu sampai meninggal dunia" Apakah
dia dibunuh musuh?" Ayahnya menggeleng kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan
agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia
ini. Betapapun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri." Dengan
singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan tentang pertemuannya dengan Kok Beng
Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sin-kang dan betapa
Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh
tenaga dari Kok Beng Lama, biarpun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan
betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi-i-beng kepada anak itu untuk
menolongnya. Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan
kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain.
Memang anak luar biasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu engkau adalah suteku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan
girang. "Engkau she apakah?"
Sin Liong sejenak menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan
air mata, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan
tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang
isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri.
Hatinya terasa nyeri, 1upa dia bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!
"Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.
"Eh, kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biarpun usianya sudah empat puluh tujuh
tahun masih cantik dan masih juga keras hatinya itu berseru. "Lalu siapakah nama
ayahmu?" Sin Liong memandang sejenak kepada puteri kakeknya yang sesungguhnya adalah
bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa
ayah bundaku." Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya,
dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu.
Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Napiauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya.
Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang
wanita yang benar-benar memiliki kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa
wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku
telah membebaskannya dari tangan wanita itu."
"Sin Liong, siapakah wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik
karena diapun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau
ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, su dah pasti
bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat
main-main. Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan
tetapi karena semua orang memandang kepadanya dan sinar mata mereka menunjukkan
bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia teringat
akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata,
"Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh,
dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan
membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi,
saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang
yang she Cia, Yap dan Tio."
"Ehhh?" "Ahhh?" "Heiii...?" Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw
dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu.
Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah
pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu
berhadapan dengan mereka.
"Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya
Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.
"DAN she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap
In Hong. "Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata.
"Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar
ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun,
teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko
dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua
orang iblis tua itu!"
"Akan tetapi mereka itu sudah mati!" kata Yap In Hong. "Pek-hiat Mo-ko telah
tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun
Houw. Bun Houw mengangguk-angguk. "Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu
ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan
tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia
disalamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat
Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita." Bun Houw mengerutkan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In
Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan matimatian. Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu...
ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil
menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu
pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh
sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhatihati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.
Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari
luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara
berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun
Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan
pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya.
"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami
berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu"
Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"
Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih
akan tetapi wajahnya agak pucat. "Ayah, kami berdua saling mencinta, saling
menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan
melakukan hubungan jina" Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun
ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan
kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan?"
Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu
gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini
matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu
mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang
menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.
"Houw-ji... kaumaafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras
kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kaumaafkanlah aku, anakku..."
Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa
sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih
oleh rasa sesal dan haru.
"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin
susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih.
"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku
seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga
sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kaupanggil In
Hong ke sini!" Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan
In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In
Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak
tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita.
Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini
aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian
suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin
sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati..."
"Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut "ayah
mertua" dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.
Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini
muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun
Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih
sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan
juga perasaan malu-malu. Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan
terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."
Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak
bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini
menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak
memberi berkah. "Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan
keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama
belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi
kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah
kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."
Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu,
menjodohkan mereka sehingga mereka dapet menjadi suami isteri secara sah oleh
persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang
sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga
saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang
yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi "lampu hijau".
Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan
oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.
"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan
kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena
itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian
berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri.
Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau
saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah
menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."
Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa
malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka
ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat
ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan
hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup
bahagia. Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong
sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada
beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga
terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia
Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai
dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah.
Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak
ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah
perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya
kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap
orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia,
dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup.
Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan
mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cinling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"
Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah
berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan
sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena
hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi
lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.
Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari
menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong
dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah
selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka
saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jarijari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu
duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang,
kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah
dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu. "Kun Liong, apa yang
kaupikirkan?" Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah
empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih
gadis remaja, masih tetap cantik menarik.
"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan
apa yang sedang kaupikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."
Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak
kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang.
Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, katakata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena
sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.
"Lalu, bagaimana pendapatmu?" Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk
memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena
sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun
Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih
besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka
berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal
serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka
hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung
penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan
membahagiakan hati. "Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling
berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"
Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata, "Sebetulnya,
apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang" Di
manapun, asal kita berdua, apa bedanya?"
Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku
meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sinyang, akupun tidak akan menolak tinggal di sana."
Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa
tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang
keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya
dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau
mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan
ini, dia cepat berkata lagi.
"Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau
pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi,
hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw
dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi
merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw
Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita
ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka.
Mengertikah engkau?"
Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk. "Tepat sekali. Memang
semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak
diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu.
Dan bagaimana dengan puteramu?"
"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini
memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari
Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit
kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera
menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In
Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.
Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja,
Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa girang
karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran
kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang
pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran
sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga
memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun di antara mereka tahu betapa
anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi
tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah
anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi
akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir
untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan
empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.
"Eh, kenapa kau menangis?"
Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia
melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat
keluar ke atas pipinya. "Menangis" Apakah saya menangis, locianpwe?" tanyanya sambil menggerakkan tangan
mengusap dua titik air mata itu.
Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua
putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan
sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan
kekerasan dan kekejaman ini.
"Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan
oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam
waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau
dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang
pendekar, seperti anak-anakku itu."
Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia
kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya
yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya.
"Terima kasih, locianpwe, terima kasih..."
Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu
kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang
segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah
seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya
tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena
pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan
sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya
semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa
dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan
segala macam sebutan dan omongan.
*** Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari
itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya
kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih
dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini
menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat
biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak
mudah dikuasai oleh Ciauw Si. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin
Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar
ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu
silat tinggi yang rumit, mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolaholah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di
dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di
dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku
dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya.
Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar.
Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya.
Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti
sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya
sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua
ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.
"Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh
belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan
teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan,
seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi
ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua
teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin
Liong yang luar biasa cerdasnya.
Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal
semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia
telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu
seorang diri kelak. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali
tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai
masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal
sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Akan tetapi semenjak
Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian
Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca
cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak
murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga,
masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk
mengunjungi guru besar mereka itu.
Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang
berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang
pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak
menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan
keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar
kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang
paling berbakat! Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cinling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam
kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari
tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti
itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cinling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong
sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas
anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan
besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu
dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang
mereka bicarakan. Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta
golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokohtokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu
sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.
Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani
mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti
yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah
dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara
memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat
pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua
ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia
sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.
Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah
sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja.
Dia bersamadhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini
tenggelam di dalam samadhinya, dan biarpun kini kesehatannya sudah pulih
kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Diapun sudah
tidak berminat lagi untuk memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan
batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi
kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan
telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dengan wanita yang
dipilihnya. Diapun sudah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati
kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan diapun merasa lega bahwa dia bertemu
dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan
semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada
dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong
bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa
sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Tidak
ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka samadhinya demikian
mendalam, membuat dia lupa segala.
Kakek itu yang sudah bebas dari kekhawatiran, tidak tahu bahwa pada saat dia
tenggelam dalam samadhinya itu tiba-tiba muncul dua orang yang mendaki puncak
dan dengan gerakan yang cepat sekali memasuki taman di belakang pondoknya.
Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka
hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan
gurunya, Hek-hiat Mo-li! Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini, telah berhasil menewaskan
seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio
Sun. Sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar
dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil
dibunuhnya. Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai
putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan
pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian
kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu
dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlalu mengandalkan
kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah. Baru setelah
dia bentrok dengan Cia Keng Hong, dia terkejut setengah mati dan merasa jerih,
meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah
hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah
berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio lalu menceritakan
kepada gurunya tentang pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan
mengatakan pula betapa lihainya pendekar tua itu.
Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan
memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan
lamanya guru dan murid ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benarbenar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san dan pada senja hari
itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk
bersamadhi seorang diri. Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu
melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersamadhi itu mengepul uap
putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa makin jerih. Akan tetapi
tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap
putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan
"kosong", maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu
meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil
mengerahkan tenaga sin-kang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi
berani dan diapun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah
tengkuk kakek itu. "Blukk! Plakkk!" Hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai
punggung dan tengkuk Cia Keng Hong hampir berbareng akan tetapi kedua orang
penyerang gelap itu terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li
patah menjadi dua potong sedangkan Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan
kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur.
Ketika menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan samadhi yang
amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya sudah amat
tinggi, apalagi karena dia telah menguasai Thi-khi-i-beng dengan sempurna, maka
tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri dan begitu pukulan-pukulan itu tiba,
tenaga sin-kangnya sudah bergerak dan menolak dan mengejutkan kedua orang
lawannya, namun sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam
tubuhnya! Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan
main dan takkan dapat tertahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuatpun.
Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar,
bahkan andaikata diterimanya dalam keadaan sadar sekalipun, tentu dia akan
terluka hebat. Akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan
gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi makin
jerih, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah marah bertemu dengan seorang di
antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan
tongkatnya. Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu
dan dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu
terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sinkang yang hebat, dan hal ini makin membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi
parah. Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan
kekuatan sin-kangnya dia tidak akan dapat membikin jerih dua orang lawan tangguh
ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan
lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong
mengeluarkan suara melengking dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke
arah dua orang lawannya dan kembali guru dan murid itu terhuyung ke belakang,
biarpun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri.
Suara melengking itu mengejutkan belasan orang anggauta Cin-ling-pai yang sedang
berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin
Liong. Mereka semua menjadi terkejut dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke
kebun di belakang. Ketika melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang
bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua
bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan
tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh
Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba terdengar gerengan seperti suara
seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat
dan bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan
dengan pukulan kedua tangannya.
Semenjak dia kecil, Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang
disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu.
Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, biang monyet yang
memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Kini,
melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apalagi
mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong
Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi yang
sudah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya.
Dia menyerang seperti seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini
mendorong keluar semua tenaga sin-kang yang mengeram di dalam tubuhnya.
Melihat Sin Liong, wanita itu mengenalnya dan tentu saja memandang rendah,
bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya.
"Desss...! Ihhhh...!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia
meloncat bangun, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa
pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia
terlempar, dan hampir saja dia celaka!
Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para
anggauta Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat
Mo-li yang merasa penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia
Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia
Keng Hong. Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan
gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, dan membarengi dengan
tamparan tangan kirinya. Itulah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun
yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi
pundaknya kena ditampar sehingga diapun terlempar dan jatuh bergulingan seperti
halnya Kim Hong Liu-nio tadi. Akan tetapi baik nenek muka hitam ini maupun Kim
Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan
hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu bertahan terhadap pukulan
sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang
kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li amat sukar dilawan dan barulah pendekar
Cia Bun Houw berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong berhasil melukai
Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan
nenek itu (baca cerita Dewi Maut).
Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan
di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka
tidak mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawan ini. Apalagi
hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sin-kang pula sehingga
keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi.
Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi
lawan. Kini para anggauta Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek dan wanita cantik itu,
dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang
dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main,
kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai
merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggauta Cin-ling-pai yang
roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari
ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja dalam ilmu silat masih kalah jauh
dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam
sampai bergulingan. Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan
saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering
kali tangannya melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi-i-beng yang amat
ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya
untuk melepaskan diri terhadap ilmu mujijat itu, tentu dia sudah kena ditempel
dan disedot sampai tehaganya habis oleh anak ini!
Setelah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia dan
muridnya takkan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-lingpai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang
bernama Yap Kun Liong tentu dia dan muridnya akan celaka.
"Mari kita pergi!" bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh,
pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul
gurunya. Sin Liong yang marah sekali sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggauta
Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah, "Jangan
kejar...!" Sampai lama Sin Liong dan para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah
lenyapnya dua orang musuh itu, kemudian para bekas anggauta Cin-ling-pai itu
sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.
"Kong-kong...!" Teriakan itu mengejutkan semua orang. Mereka menengok dan
melihat Sin Liong menangis di depan kakek yang telah duduk bersila kembali di
atas batu itu. Semua bekas anggauta Cin-ling-pai berlari menghampiri dan
terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak
bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang
amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan
napas terakhir sambil duduk bersila.
Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan
jantung dan melukai isi dada dan perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar
biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jerih
hati musuh-musuhnya. Akan tetapi justeru perlawanannya itu membutuhkan
pengerahan tenaga dan dalam keadaan luka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal
ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah dan yang mencabut
nyawanya setelah dia duduk bersila.
Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam
kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu "kong-kong" karena dia
memang merasa amat sayang kepada kong-kongnya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya
mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah
selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis dan
setelah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung, ketika melihat
para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah itu,
bersama empat orang anggauta Cin-ling-pai lainnya, membawanya masuk ke dalam
pondok. Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan dengan peti
jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para
anggauta itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak
pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Akan tetapi dia hanya duduk bersila di
dekat peti jenazah kongkongnya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya
duduk bersila seperti sebuah arca.
Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, para keluarga empat orang
anggauta Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong
datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan
beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dan Yap In Hong,
lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama.
Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan,
Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai uniuk
mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang yang kenal
baik dengan ketua Cin-ling-pai, kong-kong dari Lie Seng. Akan tetapi, ketika
mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cinling-pai telah tewas. Setelah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dan isterinya bercakap-cakap
dengan empat orang itu. Sebenarnya, kalau saja tidak terjadi hal yang
menyedihkan berhubung dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu
akan menggembirakan sekali, Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, dan Lie
Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkar, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan
dengan Cia Bun Houw (baca Dewi Maut)! Akan tetapi, mereka semua sedang berkabung
dalam kedukaan, maka tentu saja tidak ada suasana gembira dalam pertemuan
mereka. Hanya In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah
memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu.
Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, kini tangisnya tidak seperti ketika
menangis di depan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu
kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan
barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang
pundaknya. "Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!" dia menghibur.
Kwi Eng mengangkat muka memandang dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan
tangisnya makin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang
membuatnya terbelalak dan terkejut sekali, "...bagaimana... takkan berduka...
kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?"
Tentu saja bukan hanya In Hong yang terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia
Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik
jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa
nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat
dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya
muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh Tio-twako" Siapa?" Bun Houw berseru dengan penasaran
sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun
dibunuh orang pula. Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menceritakan
tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang dalam suatu pertempuran
gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio.
"Iparku itu hanya ingin mendamaikan antara Panglima Lee Siang dan ketua Hwa-i
Kai-pang," demikian dia menutup ceritanya, "akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i
Kai-pang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio
itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..."
"Kim Hong Liu-nio...?" Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Kiranya
perempuan itu pula yang menjadi gara-gara?" Kini giliran empat orang itu, Yap
Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek
Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!
"Dan semua ini adalah gara-gara bocah itu!" tiba-tiba Bun Houw berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat
peti jenazah dengan muka pucat. Mendengar kata-kata ayah kandungnya yang
menuding kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya
menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya.
"Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio karena menolong bocah itu!" Bun
Houw berkata penuh penyesalan. "Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami
bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul
bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan
siapapun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!"
Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan kemarahan
itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya, "Sin Liong, menurut keterangan
para anggauta Cin-ling-paim nenek itu berwajah hitam. Engkau yang mengenal Kim
Hong Liu-nio, tentu engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu"
Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?"
Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai
nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahannya. Akan tetapi
sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang
menyelamalkan nenek yang juga guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong,
selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi
anak itu. Sin Liong yang sejak tadi mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali,
penasaran dan juga marah-marah mendengar ayah kandungnya sendiri memaki dan
menyalahkannya, tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan
oleh Yap In Hong itu. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, alisnya
berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras.
"Kalau dia tidak bisa bicara lagi, biar saja tak usah ditanya!" Bun Houw yang
masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, berkata lagi. "Tak
perlu mendapatkan keterangan anak sial itupun sudah jelaslah bahwa nenek muka
hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya.
Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh
mereka!" "Tidak perlu!" Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak
dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Seperti sebuah
gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin
Liong bangkit berdiri, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua
tangannya dikepal dan dia berkata, "Akulah yang akan membalas kematian kongkong! Akulah yang akan mencari musuh-musuh besar itu dan membunuh mereka. Aku
tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya
namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar
seolah-olah mereka itu adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal,
namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang
rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!"
"Bocah lancang mulut...!" Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh
lengannya. "Ssttt...!" kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata
penuh kagum dan tertarik. Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat
sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah
mengenal anak ini, entah di mana dan kapan.
"Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci,
paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Semua itu hanya untuk
menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tidak bertanggung
jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari
mereka itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!" Setelah
mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin
Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan
apapun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka
mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran. Ketika dia
bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka
dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak
bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya. Dan
dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua,
karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh
pula kong-kongnya. Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In
Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat
tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua
orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit
tertahan, "Ayahhhh...!" Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia
Giok Keng yang begitu tiba di situ terus menjatuhkan diri berlutut di depan mati
jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu
akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang
pingsan itu. Kembali hujan tangis di tempat itu karena semua orang yang
menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang
tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu.
Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw
Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw.
Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng
sudah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti
jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan.
Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedusedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw.
Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan
kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya melihat
encinya, apalagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan
ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunyapun tidak diketahuinya.
Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan
betapa ayahnya sesungguhnya amat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali
dengan ayahnya, kini ayahnya telah mati dibunuh orang, atau setidaknya,
meninggal akibat pertempuran melawan orang lain. Dia mengerti bahwa sebenarnya
ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan
murid itu dan menurut cerita para anggauta Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah,
bahkan membikin jerih musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu
bahwa ayahnya memang telah tua dan lemah, telah banyak berkurang tenaganya
sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan
tewas. Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi
penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang
aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini
sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan
tetapi tentu sudah tua sekali karena mukanya yang kurus itu penuh keriput,
matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos dan halus kulitnya, hanya ada
sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di
tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tapi kurus, dengan
dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban,
bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling. Hidungnya pesek dan
mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup baik-baik sehingga
balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal
beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biarpun amat buruk dan
menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari
leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki
bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang baru sepuluh tahun usianya! Tubuh itu
kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil
pula. Siapakah adanya kakek aneh itu" Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang
mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki
kesaktian hebat, yang datang dari barat dan telah lama merantau di dunia utara,
di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek!
Di dalam cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk
kaum sesat yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular
Selaksa Racun) dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara.
Datuk ini tewas di tangan Cia Keng Hong.
Kakek cebol aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok
itu. Dia masih muda ketika mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang
pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu
yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang
nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi kecuali
dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu dan akan
kecewalah dia sebagai seorang keturunan keluarga Ouwyang, keluarga yang terkenal
sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas. Akan tetapi, dia tahu
betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini mempunyai keluarga
yang terdiri dari orang-orang lihai. Inilah yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek
harus menahan diri sampai bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai puluhan tahun
lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu. Sampai puluhan
tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari
para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru setelah dia merasa
bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi daripada
tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan barat
sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar
keluarga Ouwyang itu. Akan tetapi, betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia
tiba di puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu telah berada di
dalam peti mati! Pada waktu itu, semua keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan
dibangkitkan kembali kedukaan dan keharuan mereka oleh kedatangan Cia Giok Keng.
Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek
cebol itu. Akan tetapi Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga
yang bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa
terkejut dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh amat
menonjol di antara para tamu sehingga dia diam-diam memperhatikan ketika kakek
itu seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang
pendek dan lucu. Akan tetapi, tidak seperti para tamu lain yang memberi penghormatan kepada
jenazah dengan hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan
peti jenazah dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang.
"Cia Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah
puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan kini datang berkunjung, engkau melarikan
diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti, hatiku
selamanya akan merasa penasaran!"
Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia
Giok Keng sudah meloncat berdiri dan menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar
mata berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, tibatiba terdengar suara gerengan aneh seperti seekor binatang buas yang marah,
disusul teriakan, "Jangan ganggu jenazah kakekku!"
Penyerangan yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan
Ouwyang Bu Sek. Tak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati,
tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas. Ouwyang Bu
Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa,
pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia
kagum dan kaget, juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh
besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat
menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya. Maka dia mendiamkan saja anak itu
menyerangnya, kemudian setelah terkaman datang dekat, tiba-tiba dia menggerakkan
tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong.
"Dess! Desss!" Pukulan kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh
kakek cebol itu, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong ketika merasa
betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilempar ke dalam air.
Tenaganya amblas dan pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat
tenaga pukulan buyar, dan tahu-tahu dia sudah kena dipegang dan dicengkeram
pundaknya. Ketika Sin Liong hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja
tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya
seperti lumpuh, semua jalan darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia
tidak mengerahkan tenaga lagi!
"Jahanam berani engkau mengacau di sini!" Bun Houw sudah membentak dan sambil
meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu.
Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu,
Ouwyang Bu Sek terkejut dan kagum. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan
kirinya mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan biarpun kakek cebol itu
berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya
tergetar. Pada saat itu, terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah
menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti
angin puyuh menerjangnya! Diapun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan
kembali pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat
ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik
itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang
pertama. "0rang tua, siapa engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?" Tiba-tiba
terdengar bentakan halus dan Ouwyang Bu Sek makin kaget karena tahu-tahu suara
itu telah berada di belakangnya dan ketika dia membalik, dia melihat seorang
laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya
mendatangkan angin dahsyat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah
pundaknya. Ternyata orang inipun lihai bukan main, dapat bergerak tanpa
diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin
atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung
kekuatan dahsyat! Cepat dia mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu
menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah ringan dan pandang mata penuh
kemarahan, dia menjadi jerih juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang
hebat! Kalau hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan
gentar. Akan tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang
memiliki kepandaian seperti mereka, biarpun dia sudah memiliki kesaktian hebat,
dia tahu bahwa akhirnya dia yang akan celaka.
"Ha-ha-ha! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai
tubuh anak ini!" Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu
sebagai perisai. Melihat ini, Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang
terakhir, cepat berhenti dan demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah.
Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Biarpun mereka tidak
senang kepada Sin Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah
orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu
tadi sudah berhasil merusak jenazah kalau tidak dihalangi dan diserang oleh Sin


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah
menawan Sin Liong. Kakek cebol itu jelas memiliki kepandaian tinggi, maka kalau
mereka nekat menyerang dan kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai
senjata atau perisai, tentu anak itu yang akan kena pukulan.
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang
Bu Sek, mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya hendak menagih hutang
nyawa kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya
dengan menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan
hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!" Setelah berkata
demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu ternyata
dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawanya melayang jauh dan dia
lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong.
Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. "Ouwyang..." Ah, kiranya keluarga dari dia si
jahat itu...!" Semua orang mendekati pendekar ini.
"Siapakah yang kaumaksudkan, Yap twako?" tanya Bun Houw.
"Dahulu ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang
di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih
keluarganya yang datang untuk membalas dendam," jawab Yap Kun Liong.
"Dan dia telah membawa pergi Sin Liong!" In Hong berkata dengan suara menyesal.
"KITA tidak mampu mencegahnya," kata pula Cia Giok Keng penasaran.
"Biarlah aku akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu," kata Lie Seng
dengan penuh semangat. "Benar kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas
kembali anak itu, ayah!" kata Yap Mei Lan kepada ayahnya.
Yap Kun Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya. "Kukira tidak
bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan
membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak
itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya
ingin mempergunakan Sin Liong tadi sebagai sandera agar dia dapat lari dari sini
dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu agar kita menjadi
berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu dari musuh
besarnya." Semua orang teringat kini betapa tadi Sin Liong berteriak agar kakek itu jangan
niengganggu jenazah kong-kongnya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu
Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong
adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
"Kalau begitu, biarkan sajalah," kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada
anak itu. "Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai
berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula, sampai-sampai
ayah turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah gara-gara bocah itu.
Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan orang-orang macam kakek ibils
tadi." Semua orang tidak ada yang mau membantah, karena merekapun tidak mengenal siapa
sebenarnya Sin Liong, anak yang demikian disayang oleh mendiang Cia Keng Hong
sehingga ditarik sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga
bahwa anak yang bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong telah dipilih
untuk menjadi ahli warisnya dan telah diberi pelajaran seluruh ilmu yang
dimilikinya, walaupun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan
tentu saja mereka, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah
benar-benar cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya!
Kita tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah
melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita
mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti
itu. Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Dia telah memperlihatkan kepada
semua keluarga musuhnya, juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang
kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga
Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya bahwa hari
ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu
dari ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi
sudah terkejut dan kagum sekali ketika bocah ini menyerangnya. Seorang bocah
yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki
tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang
tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali
kelihaiannya itu. Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama
sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apalagi menangis! Setiap
kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat
sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, dan wajah yang sedikitpun tidak
kelihatan takut atau khawatir! Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali
dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong
kalau merasa betapa anak itu sudah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus
menerus dalam keadaan lumpuh.
Setelah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah
yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu
memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itupun memandangnya
dengan sinar mata berapi-api.
"Ha-ha-ha, mengapa engkau melotot kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa
untuk menutupi kemendongkolan hatinya. Dia ingin melihat cucu dari musuhnya ini
menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia
sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam
kepada Cia Keng Hong, akan tetapi ternyata setelah dia memiliki kepandaian,
musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat
cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.
"Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam.
Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"
Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam,
kecuali tentu saja kalau menghadapi musuh! Apalagi jahat, dia malah menentang
kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.
"Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya" Kau
sombong, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala
batu, ya" Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"
"Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuh aku, kakek tua bangka yang berhati
curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"
Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia
dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini
ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.
"Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut" Mari kita sama-sama melihatnya!
Kalau aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis
ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!" Setelah berkata demikian, dia
menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.
Setelah hari menjadi gelap, kakek itu telah mendaki sebuah puncak bukit yang
penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan luas. Sambil terkekeh
senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat
tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.
"Kau tidak mengenal takut" Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"
Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya
itu, lalu tiba-tiba dia meludah, "Cuhh! Daripada minta ampun kepadamu, lebih
baik aku mati seribu kali!"
Ouwyang Bu Sek berjingkrak, berloncatan saking marahnya. Sudah gatal-gatal kedua
tangannya hendak menghantam anak itu dan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan
mati. "Begitu, ya" Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!" teriak kakek itu
dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu
salib dengan kedua lengan terpentang itu.
Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang
menyeramkan, apalagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun
ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua iblis dan
setan berkeliaran di tempat itu.
Malam makin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong
menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makluk-makluk aneh dan
berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka
cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu
seperti berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah
bentuknya. Bukan main indahnya Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang
terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di
dalam hatinya menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya
karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia
telah berkorban untuk kong-kongnya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang
gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biarpun dia akan mati
karenanya, dia merasa puas. Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah
kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa
ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada
seorangpun di antara mereka yang memperdulikannya. Dia juga tidak butuh dengan
pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan
hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka!
Tiba-tiba, di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di
sekelilingnya, terdengar suara aneh. Suara melengking nyaring yang makin lama
makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tidak mampu bergerak
karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tibatiba matanya terbelalak. Dia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah
semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang
penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia
melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya
dan yang mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis!
Tak salah lagi. Mana mungkin ada mahluk lain seperti ini"
Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa,
dia tabah dan sebentar saja rasa kaget dan ngerinya telah mereda, bahkan kini
dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa
mahluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil
bersepatu dan tiba-tiba dia tersenyum, "Kakek cebol tolol! Kaukira aku takut
dengan permainanmu ini?"
Mendengar ucapan itu, mahluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa dan sekali
berkelebat mahluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali. Sin Liong
menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja hendak menakutnakutinya, pikirnya. Hemm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh,
minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati aku tidak akan
memperlihatkan rasa takut di depanmu. Demikianlah watak Sin Liong, makin ditekan
dia, makin melawan dia. Makin dihimpit, makin keras dia menentang. Dia seperti
baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan
merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia melihat bayangan sebuah kerangka
manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah
bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang
amat tajam itu melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerakgerakkan kaki tangan kerangka itu dan dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kakek tolol. Kaukira aku anak kecil yang mudah kautakut-takuti begitu
saja" Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut
padamu?" Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya.
Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran
kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal.
Pedang Awan Merah 2 Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu Memburu Iblis 10

Cari Blog Ini