Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 13

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


menyetujui. Dalam keadaan seperti itu, selagi Sin Liong mendapatkan simpati
karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang
ditakuti, tentu saja apapun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka.
Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. "Nah, kakek
yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan
tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk
melanggarnya" Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!"
Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek
itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan
anehnya, kalau sedang marah kakek ini terjadilah hal yang lucu di luar
kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang
kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerakgerak, seperti kumis kelinci! Melihat ini, Sin Liong merasa geli sekali dan
diapun terkekeh-kekeh. Kakek raksasa itu menjadi makin marah. "Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa?"
"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau
tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek
yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu" Jangan jual mahal, ah!"
Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. "Bocah sialan!
Kaukira aku ini orang apa maka engkau berani main gila seperti ini" Dengar baikbaik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat tiga di Pek-lian-kauw,
dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ah, bocah macam engkau tidak
pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus
di tangan Kiu-bwee-houw!" Kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor
Sembilan) ini bukan tidak ada sebabnya mengapa dia tidak mau memperkenalkan
namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu lincah dalam bicara, pandai
mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja
menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, nama itu
akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia
she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar!
"Pantas... pantas...!" Sin Liong mengangguk-angguk. "Wajahmu seperti harimau,
lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang
golokmupun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan
tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu ada
sembilan" Coba kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!"
Tentu saja ucapan ini disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan
Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. "Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo
kaukatakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai
bahwa engkau telah mampus di tanganku!"
"Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!"
Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan
main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi
tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan
murid baru dan murid terakhir dari sucouwnya, yaitu Cia Keng Hong! Pernah dia
mendengar betapa seorang anak kecil yang aneh diambil murid oleh sucouwnya itu,
dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti ketika peti mati sucouwnya sedang
dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouwnya. Jadi inikah anak yang
menjadi murid terakhir dari sucouwnya itu" Diam-diam dia terkejut bukan main.
Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung
paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, seorang di antara
Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid
bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri. Keringat
dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap
keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cinling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang mencalonkan diri sebagai
calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini
yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!
"Sin Liong" Bocah sombong engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai"
Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh penting juga!"
Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai kalau dia sudah
merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu.
"Tokoh tingkat berapa" Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui
losinan banyaknya, sukar dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali!
Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!"
Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah
itu yang kelihatannya meremehkan diri, sebenarnya menyeret dia ke tempat rendah,
karena bukankah bocah itu seolah mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding
melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja" Kalau dia belum
terlanjur maju, tentu dia tidak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cinling-pai! Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tidak ada jalan lain
baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau
membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor
harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khi-kang, suara
yang keluar dari dalam perut dan menggetarkan jantung para pendengarnya,
terutama sekali Sin Liong yang berdiri di depannya. Kalau anak ini tidak
memiliki kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh
seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.
Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat mengerahkan
sin-kangnya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi
suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.
"Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macam pula. Seekor macam muda dan kuat
memang berbahaya, akan tetapi macam tua ompong macam engkau ini bukan menakutkan
melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda
saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak
engkau?" Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, "Tidak percaya!"
Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka
dengan marah dia membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
"Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macam ompong ini mampu
membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya."
"Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah
setan!" "Eh, kau menantang anjing" Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau
tidak menyesal nanti kalau dikalahkan anjing" Biar aku menjadi anjing dulu!"
Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan kaki
empat seperti seekor anjing. Selagi semua orang terheran-heran, tiba-tiba anak
itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor
anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak
itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu.
Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh
monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka
daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap "inti" dari suara
binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar,
suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara
anjing tulen. Melihat betapa pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan
menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka
yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Pek-lian-kauw yang
tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah melihat betapa
tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!
"Mampuslah!" Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan
tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang
telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap adalah tengkuk dan
pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai
tulang-tulangnya remuk. Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan
tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati
para tokoh Pek-lian-kauw. Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah menggunakan
jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul
dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi,
seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu
cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan
serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia
membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar
Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis), yaitu
ilmu yang amat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir
Anjing. "Huk-huk-hukkk!" Sin Liong menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia
menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah
betis yang lewat di depan mukanya.
"Brettt... aughh...!" Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua
orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan,
persis seperti seekor anjing.
Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit,
terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya. "Monyet cilik, akan kubunuh kau!" Kiubwee-houw berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar.
Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan
meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet! "Aha, kebetulan
sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet" Baiklah, dan mari kita lihat apakah
macan ompong mampu mengalahkan monyet!" Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh,
suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya
dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet.
Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar
bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan
ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik.
Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak
Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main
di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus
(mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawah seorang tokoh besar seperti
Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat
itu. Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal
sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam,
mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan
besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi
gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu
silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenal angin
saja. "Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah
ompong semua, cakar kukumu telah puntul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu
makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan
serangan itu sia-sia belaka karena "manusia monyet" itu dengan amat mudahnya
berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut
pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama
sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerakgerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.
Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu,
pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng
Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang
Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah
pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah
mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam
tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.
Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong
membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari
tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat
menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh. Tak terasa lagi lima
puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang,
hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa
itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai
ini. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa
Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai
(salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi
panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin
beringas nampaknya. "Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-lingpai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau
sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-lingpai?" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak
menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa
lelah sekali. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di
dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku
hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia?" Sin Liong mencaricari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah
kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah
pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah
pergi secara diam-diam. Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang
mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu
pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu
berkata, "Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cinling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cinling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawanlawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi
membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil di sini, maka akupun
tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian
ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena
sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan
ompong itu tentu roboh."
Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk
di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan
menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu
sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai,
orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!
"Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu
merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi
hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan
duduk kembali ke atas kursi kehormatan.
"Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan
ilmu Cin-ling-pai?" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu
saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan
oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya
bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki
kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya
tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan
kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat"
"Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau
akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil
merobohkan aku dalam satu jurus?" Kiu-bwee-houw bertanya.
"Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada
gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?"
"Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu
jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan
pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."
Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap
enak saja Sin Liong mengangguk. "Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku
ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang
harus kugunakan untuk merobohkan engkau" Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak,
ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok
Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun" Masih
ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sinkun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan
Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan
untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."
Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin
Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi,
disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Janganjangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu
yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat
Awan Gunung). "Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat
adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kaupergunakan dua ilmu itu
dan merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia
sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu
Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong
dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu
sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek
ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu
San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya
dipergunakan satu jurus saja.
Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu
yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek,
ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng,
tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya
ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!
"Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk
itu ke atas papan panggung!" bentaknya.
Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan
tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan
dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan
kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk
menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini
terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.
"Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu
jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san
(Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah
kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat
tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia
menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"
Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut.
Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono" Belum
diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil
merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah
bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar
mulut. Kiu-bwee-houw juga merasa geli. "Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!"
Dia mengejek. "Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!" Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang
tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena
pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula
dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani
main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan
ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang
panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu
bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha... hauhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati
ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk
menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada
pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh
pergelangan tangan lawan!
"Thi... Thi-khi-i-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia
mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sinkangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari
tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan
tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.
"Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan
kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh
raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh
itu ke atas papan panggung.
"Brukkk!" Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya
sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua
orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua
orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak
ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat.
Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari
dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh
sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Pada saat itu, nampak bayangan putih
berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat
duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Peklian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin
Liong. Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang
dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang
beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa
muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya
dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia
tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan
muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau
memang muridnya yang tidak hati-hati.
Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa
keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai
itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit,
maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya
mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut
menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri
sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus
dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang
pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus
penuh hormat ketika dia berkata, "Harap maafkan saya."
Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang
engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan
kaulawan pinto!" Kembali Sin Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara
Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap
locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah berkata
demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.
Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan
Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-liankauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia
dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami
penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai"
"Bocah hina, hayo kau naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu
menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun
dari atas panggung. "Syuuuuttt...!" Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah
pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat
berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.
"Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya dan
pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu
terkejut dan makin marah.
Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat
naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan
Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka
berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang
Gu Kok Ban. "Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya
bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau
bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda ramaja itu
diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti
secara sah." "Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari
para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh
para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa
orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat
kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka
ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa
golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.
Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke
atas. "Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!"
Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon
bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya
urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan
pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki
apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."
Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia
menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata, "Engkau tunggulah
saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.
Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan oleh ketua Sin-ciang Tiat-thouwpang diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk
saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu
dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan
harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar
si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.
Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masingmasing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak.
Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut.
Dia bertubuh tinggi kurus, mulutnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw
bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah amat terkenal karena dia
diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengenal
sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan
gelandangan, tentu saja Lam-thian Kai-ong ini biasanya mengundurkan diri di
tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain. Memang, di dunia kangouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan lain, karena agaknya
menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis" Tidak
ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat
sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar
dilawan! Hanya kabar-kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang
mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.
Adapun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu,
amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu
(pengawal barang kiriman), sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan
paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari
gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang
besar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang
tongkat, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja
sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah senjata Ouw-kauwsu. Dan
dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian
yang lihai. "Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu?"
Ouw-kauwsu bertanya. Raja Pengemis itu tersenyum. "Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan
peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan" Pertama dengan tangan kosong
dan kalau selama seratus jurus dengan tangan kosong ini belum ada yang menang
atau kalah, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing.
Benarkah begitu, pangcu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.
Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. "Hanya senjata di tangan, bukan
senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau
kedua calon saling menyetujui."
"Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing,
perlu apa menggunakan senjata rahasia" Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik."
Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang
meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan
mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya
kakek itu sehinga tongkat bambu dapat menancap di papan kayu yang keras itu
seperti sebatang anak panah saja.
Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, maka dia sudah siap
memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka
dan membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat
gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diseling totokan
jari tangan yang amat lihai. Agaknya Lam-thian Kai-ong juga mengenal ilmu itu,
maka dengan tenang diapun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk
mengimbangi lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari
tangan dan kecepatan. "Lihat serangan!" Ouw Bian mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir
berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan
menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan
pembukaan ini cukup mengandung maut!
"Bagus!" Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan
setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman
pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan
menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan
kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan
maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.
"Hemm... dukk!" Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis
tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan
oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling
mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan. Pertandingan berjalan makin
cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi
kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang
yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya
bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi
satu! Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai
calon bengcu masih dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa
kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal
kecepatan gerakan. Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia
mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan kedua cakar tangannya menjadi
makin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu gin-kang
(meringankan tubuh) itu dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit
dibandingkan dengan lawannya. Terjadilah serang-menyerang yang makin sengit.
Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan,
sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya.
Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan
segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masingmasing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak
buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong
tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan. Sungguh
mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang
menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang tidak kecil itu. Kiranya
di antara pengemis-pengemis itu banyak yang mempunyai simpanan uang besar!
Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang
bertanding itu belum juga dapat merobohkan lawan. Kalaupun ada pukulan atau
tendangan yang mengenai tubuh lawan, namun kenanya tidak telak dan tidak cukup
kuat untuk merobohkan lawan, padahal, dalam pertandingan ini, yang berlaku dan
yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar
panggung. Sebetulnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali dan sudah gatal-gatal
tangan mereka untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan
senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena merekapun mengerti
bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus
saling serang dengan semakin seru.
Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang
tinggi besar ke atas panggung, "Kalian berdua menggelindinglah!" Dan sungguh
luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu tiba-tiba
terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!
Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah
seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua mengenal,
terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut
munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini! Kakek itu bukan lain adalah
Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat
lihai. Dalam segebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang
bertanding tadi dari atas panggung sudah membuktikan betapa lihainya raksasa
muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang
pertama. Karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi,
yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, Kim Lok Cinjin wakil
ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang
ini agak gentar karena memang mereka sudah mendengar akan kehebatan ilmu dari
Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur
tenaga mereka, tiga orang sakti inipun merasa penasaran.
Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi
penyelenggara dan tuan rumah, cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura
kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun. "Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang.
Mengapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu" Kalau
lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?"
Demikian dia menegur dengan halus.
"Sekarangpun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!" terdengar suara halus
dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu telah berada di atas
panggung pula. Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hailiong-ong Phang Tek, kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan,
wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Orang ke dua
adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, berusia enam puluh tahun yang
tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil
berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.
Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban
menjadi makin gentar. Akan tetapi dia menyambut dengan hormat. "Kiranya Lam-hai
Sam-lo yang terhormat telah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh
mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki
sayembara?" "Kami bertiga!"
"Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang
calon..." "Ah, aturan mana itu" Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu
belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sesungguhnya kami yang
berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek,
maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan
ini, kami tidak mau gagal lagi. Kalau tadi kami agak terlambat adalah karena
kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka
kami segera datang dan apabila ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat
mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat
menjadi calon." Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini
bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo
dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan
kehilangan muka sebagai penyelenggara sayembara. Pula, dia mengenal siapa adanya
Lam-hai Sam-lo, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar
kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Kalau Lam-hai Sam-lo, yang menjadi
Beng-cu, tentu para anggauta liok-lim dan kang-ouw akan tergencet.
Dengan muka merah ketua ini lalu menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara
lantang berkata, "Tadinya ada lima calon, akan tetapi setelah dua di antara
mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong
Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi."
"Kim Lok Cinjin?" Tiba-tiba Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh
memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan.
"Benarkah itu" Sedangkan suhengnya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami
sebagai calon bengcu!"
Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu
itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouwpang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lamhai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha mendekati pemerintah dan mencari
kedudukan dengan menjilat-jilat, maka diapun enggan untuk mundur, sungguhpun dia
tahu betapa suhengnya sendiri merasa jerih kepada tiga orang kakek sakti itu.
"Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah
terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin
mundur kembali?" Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sinto Bouw Khi "Seekor harimaupun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka
biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi
pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"
Sikap inipun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong
oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap oleh
kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan
Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar dan dapat mengeluarkannya dari
tahanan. Di samping itu diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh daripada
cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu. "Terima kasih atas
pengertianmu, Sinto!" kata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang, "Apakah masih ada calon yang lain, ataukan hanya
kalian berdua saja?"
"Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal
hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin," jawab Sin-ciang Gu Kok
Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan
aku!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang
saudaranya itu mengangguk dan dengan ringan mereka berdua meloncat turun dari
atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.
Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung dan
menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. "Karena Tong-sicu sebagai wakil Sin-ciang
Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju."
Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru
saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah.
Maka karena dia sedang marah munculnya Lam-hai Sam-lo yang tidak disukanya itu
menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian tiga orang kakek itu luar
biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah
yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama Peklian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.
"Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan
dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto
untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak
itu. "Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat
kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu
lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari Lam-hai
Sam-lo. Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar
dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai
Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni
sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu
Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.
Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-liankauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam
pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah
mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan
naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan
kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.
Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan
tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar
dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.
"Plak! Plak! Plak! Plak!" Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan
dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam
adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin
tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan
berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara
bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya
bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan.
Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan
akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki
yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-liankauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.
Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga
ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat
perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh
lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat
dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi
dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum
terkalahkan. Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali.
Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia
belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia
mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat,
disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung
ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hekliong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan
mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main
golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena
bacokan golok sehinga terluka cukup parah.
"Memandang muka Kim Hwa, Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun
sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata
mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil
ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ
sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada
di situ. "Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya
curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala
botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya
dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.
"Hemm, apa maksudmu?" bentak Hek-liong-ong marah.
"Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata
sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela.
Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di
antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan
marah. "Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu
bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan
senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu
sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir
tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri
sebelum terlambat." "Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok
membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.
"Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita
tidak perlu turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia
mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah
dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja"
"Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi,
melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok
Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku
mendiamkannya saja" Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah
tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai
akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!" Sambil berkata demikian, Tong Siok
sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah
Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.
Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja
tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja
sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan
orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa
sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong
mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak
memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin
mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakakkakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia
tidak boleh sembarangan membunuh.
"Pergilah!" Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali
ke arah toya yang melintang itu.
"Trang... krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!
"Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan
lagak sombong sekali. Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu
dia berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu
seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah
ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam
serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang
kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.
"Sute...!" Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya
itu sudah menyerang dengan cepat.
"Ha-ha-ha!" Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut
untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.
"Dukkk...!" Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liongong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu
sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.
"Sluppp...!" Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa
betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah
menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan
mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini
tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!
"Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang
mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
"Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?" Tiba-tiba Hek-liong-ong
memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar
suara "krekk!" dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi
lemas! Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua
orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung
itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung
itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran
pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang
kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong
Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. "Eh, kenapa main-main
dengan perut orang?"
Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara "plakk" dan tubuh
Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan
terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus
kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum
bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah
dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul
Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan
perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas
panggung, goloknya tidak tercabut.
"Terima kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun
dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hailiong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke
atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.
Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya
itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah
bangkit kembali. "Siapa engkau, bocah setan?" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin
Liong dengan sikap mengancam.
"Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak
merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.
"Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?" teriak Hailiong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, "Keluarlah
kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"
Sin Liong tersenyum, "Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya
pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."
"Keparat!" Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah
kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama
dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga
tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua
tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!
Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh
Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek
pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya.
Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke
belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan
lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng
sepenuhnya. "Plakk...! Aihhhhh...!" Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara
teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja
itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini
pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya
menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia
bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh
keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat,
kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa
tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil
menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!
"BOCAH SETAN! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?" Tiba-tiba orang
pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan
mata melotot penuh kebencian.
Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki
keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak
dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua
tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek
sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kimliong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan
dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya
tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng
Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun
telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi "suhengnya" dan mempelajari
ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia
dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin
Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan
kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan
halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya
saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat,
bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas
dibarengi suara mencicit nyaring!
"Aihhh!" "Ohhh...!" Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka
terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka
balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hailiong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin
Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun.
Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan
beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa
yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.
Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang
dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan
jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan
Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.
"Manusia-manusia curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulanpukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya
yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar
dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu
sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran
angin yang kuat! Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke
belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih
kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut
mengurung. "Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?" bentak Hailiong-ong Phang Tek. Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah
mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan
kepalanya dan menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang
kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan
taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk
menyebut namanya!" Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini
kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan
mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang
Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah
bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk
kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah
pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka
menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja
mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan
menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam. Akan
tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cinling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa
sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah
mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat
pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka
teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini
benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa
malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung
serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.
Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi
ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia
telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara
langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari
isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek.
Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di
dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat
menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang
matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datukdatuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran
besar. Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus
menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke
belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong
juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak
cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas,
berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung
pula oleh tiga orang kakek itu.
Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan
terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama
hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti
pemuda remaja ini! Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang
paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja
itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum
tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana,
anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat
bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka
dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu,
kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu,
seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol
tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo
sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!
Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan
tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh
takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu
bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan
tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak
berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu
dapat lolos. Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang
menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga
orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk
membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Yang
hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini ratarata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan
fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati
mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga
seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di
fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali.
Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kunlun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton
dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain
tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan
itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa
yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti
para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk
menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja
mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang
datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan
Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa
pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan
sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki
kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu
atau tiga orang pengeroyoknya.
"Hyaaaaattt... aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang
Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata
ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan
amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh
lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara
meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin
Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh,
yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang
kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.
Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti
dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya
mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan
ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia
benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya
selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini
semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam
keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia
memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini
menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup,
bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang
timbul dari kewaspadaannya.
"Hemmm...!" Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari
pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang
menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas,
disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.
"Aihhhh...!" Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan
anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya
yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh
lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan
kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama
hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena
totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi.
"Celaka!" teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah
mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitabkitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab
yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut
Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi
semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama
Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas
rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian
aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak
sanggup mempelajarinya! Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh
totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras
sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang
mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun
yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun
golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan
tenaga sekuatnya. "Wuuuutttt...!" Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat
sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.
"Krekkk...! Takkk...!"
"Ahhhh...!" "Heiii...!" Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan
tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka
pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah
menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di
tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang
amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda
remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!
Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sinciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari "pengoperan" Kok Beng Lama secara luar
biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong
mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu
terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang
merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh
menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.
Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang
kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini
merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur,
disusul suara nyaring, "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang
pangeran...!" Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat
bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian
seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin
pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang
yang berpangkat besar. Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara
mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih
delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti
mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas
gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat
indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia
memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya
menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas
panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.
"Sam-lo, apa yang kalian lakukan" Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba pemuda
tampan itu bertanya dan tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena
pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya
yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu
yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu
melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk
tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat
betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat.
Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba
mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan
itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar
suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata, "Mohon paduka pangerang sudi mengampuni
hamba. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini."
Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda
itu "pangeran". Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara
lantang. "Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang
cepat memberi hormat!" Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang
pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat
mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke
atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-limpai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing
seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.
Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling
dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi
dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak
berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di
sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu
pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut,
hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang
sedang nonton pertunjukan wayang.
Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang
lantang, "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan
bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini"
Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"
"Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan
bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang
kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.
Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang
tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti
orang yang kurang percaya.
"Dia ini" Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga?" Mulutnya tersenyum-senyum,
manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam
seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan
main...! Ingin aku mencobanya!" Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin
Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka
mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu
adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian
depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!
Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih
berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya, maka
dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba
dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kunlun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa
yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan
diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi
pula itu. Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap
siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu
membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong
sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia
membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap
dalam genggaman kedua tangannya!
"Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya dan dengan gerakan
sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil
memandang tajam wajah yang tampan itu.
"Ehh...?" Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan
hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya,
melainkan karena mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau?" Kemudian
pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin
Liong. "Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini" Bukan main, kau
hebat sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata
kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, "Sam-lo,
dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak
kusangka dapat bertemu denganmu di sini!" Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng
Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!
Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk
bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi
pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan
sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa
tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin
Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya
sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.
"Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai
sahabatmu." "Eh" Kau lupa lagikah" Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu,
bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan
kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?"
Sin Liong ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras
untuk membunuhku!" "Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan" Kami
adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran,
adik kaisar! Kautunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan
tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu mengangkat
kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya
terdengar lantang, "Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan
pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat
menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak
saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu
akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat
diselesalkan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap
memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap
pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!"
Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa,
maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa
mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu
kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan
mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak
suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di
dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terangterangan karena hal itu berarti bunuh diri.
"Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu
pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di
mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"
Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat
menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda
tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan
yang berada di situ. "Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu
melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong
sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu,
tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan
kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi
meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota
menuju ke utara. *** "Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw
berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran
itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan
membalapkan kudanya yang besar dan gagah.
Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya
mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun
berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin
Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal
jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.
Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda
besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda
berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran. Sin
Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal
bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiubwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung
tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah
bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di
atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan
dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada
pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu
sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan
gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja
oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu
akan celaka. "Bunuh pembesar lalim!"
"Basmi penindas rakyat!"
Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan
mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah
lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi
mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi
mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong
memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah
dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah
meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon
yang tinggi di atas mereka!
Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu
celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata,
"Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk
menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"
Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang
yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk
meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun
dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah
sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek. "Hayo kalian cepat berlumba,
siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!" Dia mengejek dan tujuh orang itu
yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh
berlumba untuk merobohkan sang pangeran.
Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran
itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan
indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat
menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua
serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa
pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang
dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan
dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Peklian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya
lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda
bangsawan itu dengan mudah!
"Ha-ha, Sin Liong, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata
pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah
ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar
ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh
orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak
kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat
lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh
mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan
itu! "Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga
kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw sambil
menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu
menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun.
Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia
menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran.
"Kau... kau membunuh mereka?"
Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum.
"Mengapa tidak" Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh
aku?" Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan
tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja?"
Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya
lagi. "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan
kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi
hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka
sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong,
dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku.
Apa artinya tujuh orang pemberontak itu" Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku
pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang
merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan
kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!"
"Betapa kejam!"
Pangeran itu tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan
kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi
tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun
tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong,
aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh
ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang
harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan
digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap
anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang
pengalaman!" Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang
yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan
turun tangan menolong" Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran
yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di
hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah
sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.
"Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh" Mengalahkan
mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu." dia mencoba untuk
membantah. "Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih
banyak dan menghadangku pula di tempat lain" Itu bodoh sekali Sin Liong!
Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya
bicara tentang pemberontak-pemberontak itu" Pek-lian-kauw memang merupakan
segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke
selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."
Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong
agak heran mendengarkan pengakuan itu.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"
Han Houw tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh
kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah.
Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak
menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri
baginda mengutus aku pergi ke selatan."
"Ah... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?"
Han Houw tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin
pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku
menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan
bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."
Sin Liong mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan
itu?" "Ha-ha-ha, kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja
itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku
jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembahnyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu
dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku,
barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang
hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama
Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo" Apakah engkau berambisi
menjadi bengcu?" "Ah, sama sekali tidak. Juga suhengku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin
menjadi bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan
jujur dan bersih." "Ha-ha, engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia
ini" Kau harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari
kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu, aku
ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita masih muda,
Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke utara tentu
amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang aneh-aneh dan
kita hadapi berdua. Bagaimana?"
Sin Liong merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari
suhengnya untuk berkelana meluaskan pengetahuan, dan mencari pengalaman, karena
semua ilmu dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua
kitab itu oleh suhengnya telah dibakar, sesuai dengan "perintah halus" yang
diterima melalui getaran dari yang disebut Bu Beng Hud-couw. Dan dia sendiripun
belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya meninggal
dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri dan dia sama
sekali tidak ingin bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai puteranya,
dia tidak mempunyai tujuan.
"Apakah engkau sudah lupa akan Lembah Naga" Apakah tidak ingin kembali ke sana,
tidak rindu kepada tempat indah itu?" tiba-tiba terdengar suara halus pangeran
itu. Mata Sin Liong bersinar-sinar. "Lembah Naga...!" katanya dengan perlahan dan di
depan matanya membayang semua kehidupannya di waktu dia masih kecil, di lembah
yang tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.
"Ya, bukankah engkau berasal dari Lembah Naga" Namamu Sin Liong, hemm, naga
sakti. Engkau Naga Sakti dari Lembah Naga!" Pangeran itu tertawa gembira. Hampir
Sin Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapapun juga, ada rasa rindu di
dalam hatinya kepada tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada ibu
kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya maupun biang monyet yang
merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya,
tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali,
kehilangan gairah. "Mau apa aku ke tempat itu?" katanya lirih dan matanya memandang jauh dengan
kosong. "Mau apa" Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat
lama di waktu engkau bermain-main dahulu" Eh, Sin Liong, mari kau ikut
bersamaku, aku akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk
memilih guru. Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih
menjadi guruku, di Lembah Naga."
"Eh?" Sin Liong terkejut.
"Tidak tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah..."
"Ayahmu" Siapakah dia?"
"Raja Sabutai..."
"Bukankah engkau pangeran adik kaisar...?" Sin Liong menjadi bingung.
Han Houw mengangguk. "Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah putera kandung
mendiang Kaisar Ceng Tung!" katanya gagah. "Akan tetapi sejak kecil aku
dititipkan kepada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan
tahun depan, setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru
sebagai orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu
sebagai guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang
paling gagah di dunia ini."
"Hemm... kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han How. Dengan mudah saja engkau
membunuh tujuh orang Pek-lian-kauw tadi."
"Ah, masih belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi
orang yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan
orang yang paling dibenci oleh ayah..."
"Siapa orang itu?"
"Cia Keng Hong...!"
"Ahh...!" "Sayang ketua Cin-ling-pai itu telah meninggal dunia, akan tetapi masih ada
puteranya yang kabarnya lebih lihai lagi daripada Cia Keng Hong yang bernama Cia
Bun Houw. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari
aku mengalahkan Cia Bun Houw."
"Mengapa ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya?"
"Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo
sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah
berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini,
sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim
Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku
merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum
inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus
mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk
itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat
menjadi guruku." Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia,
dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya
berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di
hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan
manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan
ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya.
"Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.
"Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"
"Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu,
pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.
"Eh" Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran" Aihh, apakah engkaupun akan ketularan
penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku" Akan memuakkan sekali kalau begitu,
Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku
twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik,
bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja."
Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus
mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat
dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata,
"Baiklah, Houw-ko."
Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku
betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan
tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah
dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti
membunuh semut saja. "Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil
menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. "Ke
benteng" Mau apa pergi ke benteng?" tanyanya heran.
Han Houw tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan
di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan
binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di
sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan
mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara.
Senang, bukan?" Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini
agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk.
"Baiklah." Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan
penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan
tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada
emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan
diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang
tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat
menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anakanak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama
kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw dan Sin Liong
cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata
para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi
karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang
datang berkunjung! Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah
pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan
lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan
menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri
pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan
kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena
dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di
sekeliling tempat itu. "Mengapa, berhenti, Houw-ko?" Akhirnya dia bertanya.
"Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak
kaugantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan,"
kata pangeran itu sambil tersenyum.
Sin Liong juga tersenyum. "Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan
anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah
memanah..." "Ah, benarkah" Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat
menggunakan anak panah?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan
perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan"
Tidak akan habis dan sia-sia saja."
"Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya
panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang" Dan anak panah bukan hanya
senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh
dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi,
dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan
mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini
caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang
busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak
panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang.
Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat,
aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak
berdaun!" Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara
menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat
sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu
benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah
dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang
dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba
beberapa kali. Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk
mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan
Cinta Orang Orang Gagah 2 Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur Pedang Naga Kemala 12

Cari Blog Ini