Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
jagoan yang mengawal dan membantu mereka."
"Ihh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"
"Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena
tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari
kota raja itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah
sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita
nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya
berkilat. Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat
turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulurkan tangan hendak
meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya dengan kecepatan
seperti kilat menyambar. Komandan Ciok menjerit satu kali dan roboh dengan
kepala retak-retak dan tewas seketika!
Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng
lalu berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai
gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan
seluruh kepandaiannya berlari cepat.
Sementara itu, di luar dan dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim
Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan
mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li
bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-1ampu
sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di situ mulai gelap
dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang
pilihan. Tiba-tiba di dalam kegelapan yang mulai menyelimuti bumi itu terdengar teriakan
melengking, teriakan seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga
khi-kang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.
"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo
terjebak oleh musuh!"
Dan dari pintu depan penjara itu, muncul seorang wanita yang bukan lain adalah
Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung,
akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng
menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik dan roboh menutupi muka
mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng sudah mengelebatkan pedangnya dan roboh
pula dua orang penjaga lain. Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga
mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang
mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan
dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat
orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang
terlempar entah ke mana! "Suhuuu! Subooo! Keluarlah sebelum terlambat!" teriak lagi Sun Eng sambil
mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat
ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.
"Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?" bentaknya dan dengan gerakan yang
dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini sudah meloncat dan menyerang
Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, telah
menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di
pergelangan tangan itu. Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu amat ampuh ini, maka cepat
ia mengelebatkan pedangnya menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang
itu untuk membacoknya buntung.
"Trikkk!" Sun Eng terkejut bukan main karena wanita cantik yang berpakaian indah
itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika tangan itu
bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas!
Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung
benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dah mengirim serangan bertubi-tubi
ke arah lawan yang lihai itu.
Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang
menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.
"Suhuuu! Subooo! Lekas keluar...!"
Akan tetapi Sun Eng menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah
menyambar ke arah matanya. Dia cepat mengelak mundur dan mengelebatkan
pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut pada pedangnya dan ternyata itu
adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia
terkejut, miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung
sabuk yang biarpun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun
Eng terhuyung ke belakang.
"Cepppp!" Pada saat itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan ini
yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung tak dapat ditangkis atau ditolak
oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja
belakang pundak kirinya tertusuk tombak. Darah mengucur keluar dan Sun Eng
menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, memutar pedang dan mengamuk. Akan
tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua
gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan
terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong
Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.
Betapapun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In
Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio,
apalagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya
kembali gadis itu terluka oleh bacokan golok yang merobek celana dan kulit paha
kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah.
Namun, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu
dia meneriaki suhu dan subonya untuk segera melarikan diri!
"Perempuan sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat
orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu.
Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada sinar api meluncur ke arah
dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat. Sun Eng
terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya
terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena
sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Mellhat robohnya gadis ini, dua orang
penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tidak berdaya lagi untuk
mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut
maut dengan mata terbuka!
"Trang-trang...!" Pandang mata Sun Eng silau oleh berpijarnya bunga api dan dua
orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri dan tubuhnya
disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik
saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang
menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah.
Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!
Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya
dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di
mana keempat orang itu ditawan. Diapun terheran-heran melihat kesibukan para
penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika dia melihat ada wanita
mengamuk dan dikeroyok, terutama ketika wanita itu berteriak-teriak menyebut
suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu,
siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa
yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga
dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungya tidak pernah mempunyai murid
seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia
melihat gerakan wanita itu, dia terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek
Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini
memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu
terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan
menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika
berteriak-teriak ke dalam.
Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang sekali berkelebat dan sekali
tangkis merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan
main. "Tarr-tar-tar!" Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke
tiga jalan darah maut. Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan
menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk
yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan
tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari
pegangan Lie Seng seperti seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut
dan maklum akan kelihaian masing-masing.
"Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita
ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang
pengeroyok dari samping. Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan
dua orang pengeroyok lain. Dua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok,
akan tetapi Lie Seng menyambut mereka seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya
kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.
"Siapa yang kausebut suhu dan subomu?"
"Cia Bun Houw dan Yap In Hong!"
Lie Seng terkejut. Kiranya wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia
sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar
tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun,
maka diapun percaya akan hal ini.
"Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"
"Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka,
lekas minta suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.
Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan
penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang
amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran
yang diatur dan diberi bahan bakar dan minyak.
"Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!"
Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khi-kangnya, maka suaranya
terdengar amat nyaring. Kini giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar
bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan
menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subonya!
Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali
tidak memperdulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong
menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko jangan
menghiraukan anak durhaka itu."
Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya
mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam
saja. Biarpun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan
mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak
memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak
seperti yang difitnahkan orang kepada mereka.
Akan tetapi, ketika mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka
terkejut sekali. "Celaka, kita benar-benar terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya
tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun
Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!"
Mereka lalu mengerahkan sin-kang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar
sakti yang memiliki kepandaian tinggi, begitu mereka mengerahkan sin-kang dan
menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu patah-patah
semua dan terdengar suara pletak-pletok. Yap Kun Liong sedikit membantu
isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak
begitu kuat sin-kangnya. Setelah bebas dari belenggu, mereka berempat lalu
menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat
bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.
"Awas senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak dan
menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan. Mereka meloncat
keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong
Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subonya untuk
membantu subonya membunuh empat orang musuh besar itu! Kini mengertilah empat
orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan
belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka
akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah
ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liunio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.
"Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak
marah ketika melihat musuh besarnya itu.
"Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, hehheh!" Hek-hiat Mo-li tertawa dan Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba
dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang
sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai.
Sedangkan di belakang mereka masih berdiri puluhan orang perajurit yang
dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.
Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos
begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang
mereka ruangan mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama
muridnya dibantu begitu banyak perajurit.
Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu
terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis karena kembali datang
hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan
In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh
kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu. Dan
pada saat itu, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio dan tiga belas orang Mongol itu
sudah menerjang dengan hebatnya menyerang empat orang pendekar yang tidak
bersenjata itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana
empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.
Sementara itu, setelah Kim Hong Liu-nio kini membantu gurunya untuk menghadapi
empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para perajurit penjaga yang
mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri.
Panglima ini berteriak marah, "Kalian berani memberontak terhadap pasukan
pemerintah" Hayo menyerah sebelum menerima hukuman berat!"
Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak memperdulikan luka-lukanya
itu menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya menggunakan nama pemerintah
untuk menipu dan mencelakakan orang!" Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan
cepat. Lee Siang menangkis dengan pedangnya, akan tetapi dengan putaran
tangannya, begitu pedangnya tertangkis, wanita yang sudah luka-luka itu dapat
meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak
Lee Siang. "Ahhh!" Lee Siang berteriak kesakitan dan bersama empat orang pengawalnya dia
menubruk ke depan. Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, akan tetapi dia sendiri dikepung oleh banyak
perajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki tangannya, melemparlemparkan dan merobohkan banyak orang yang mengepungnya seperti serombongan
semut. Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat
kepandaiannya Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini
sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah maka gerakannya menjadi lemah dan
tenaganya juga sudah banyak berkurang. Setelah dia berhasil membunuh dua orang
pengeroyok pula, akhirnya dia terdesak hebat sekali. Lie Seng juga terkepung
ketat dan sibuk menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng segera
berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalagimu!
Cepat sebelum terlambat!" Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka
jalan mendekati Lie Seng, tanpa memperdulikan luka baru di pangkal lengan kiri
yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya telah
berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya mengucur banyak darah dan mukanya
pucat sekali, Lie Seng terkejut, kagum dan juga terharu.
"Kausuruh aku lari" Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh seorang
pengeroyok. "Aku..." Biarlah, aku girang dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau
larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia
kurang waspada. "Nona, awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari
Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng. Gadis ini menggeliat miringkan
tubuhnya, dan biarpun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya,
namun tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.
"Keparat curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk
ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee
Siang. Panglima ini mencoba untuk mengelak, namun dia kalah cepat dan pukulan
itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini
retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika! Lie Seng menyambar
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa
empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan
diapun lalu meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh
Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan
tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah
tirinya, paman dan bibinya itu pasti akan dapat meloloskan diri dari kepungan
musuh. Dugaan Lie Seng memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang
pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun
Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas orang Mongol yang
diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong
Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apalagi para pengawal penjaga, setiap
kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal! Hal ini sama
sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio,
yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi
geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah
keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.
Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio ketika dia melihat
kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihhya
dan menangis, tidak memperdulikan lagi kepada empat orang musuhnya. Mundurnya
Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan
akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan
secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu mempergunakan gin-kang dengan
loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga
nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram,
diikuti muridnya yang menangis sepanjang jalan!
"Sudah, apa perlunya menangis lagi" Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan
dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kautangisi
seorang laki-laki yang mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak. Bentakan ini membuat
Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan
meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak,
bersumpah dalam hati untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah
menewaskan kekasihnya itu!
Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari
mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini" Dendam-mendendam hanya
merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan dan
kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa
bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain. Jadi jelaslah
bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pasti timbul tindakan kekerasan
yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan
kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk
diri sendiri tak dapat tidak menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja
yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan
semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik
kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan
lain-lain yang kesemuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran daripada si
aku juga. Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis maupun tebal, dalam
batin kita" Si aku tercipta oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan
tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak.
Pikiran mengenangkan pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu, sehingga
timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak.
Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si akupun muncullah. Si aku
sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin
menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya
manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati
yang dianggapnya menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan
dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus
keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan
kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang
menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!
Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan
kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu
mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si
aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan
kekerasan" Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah
selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya
sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya
menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan
permusuhan setiap hari. *** Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah sekali. Dia
melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah
pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya,
padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka.
itu. Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia
berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan
pohon-pohon tua di sana-sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis
yang pucat itu. Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan
rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya
penuh luka, di punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan
darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes. Kemudian dia pergi
mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka
yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek
celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya
melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang halus, melainkan
sibuk mencuci luka itu penuh perhatian. Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan
senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian terluka itu,
tentu saja jari-jari tangannya menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu,
namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.
Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa,
selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan
bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih
dan wajar. Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan
telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi dengan bayanganbayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak
menimbulkan apa-apa, seperti kalau kini melihat ketelanjangan seekor kucing
saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh bayangan-bayangan yang muncul
dari kenangan, bayangan-bayangan yang dianggap menyenangkan, mendatangkan
nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu
amarah, dan segala macam nafsu lagi. Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh
pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang
menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber
segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi
konflik lahir antara manusia.
Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Barulah lega hati Lie Seng karena hal
ini menandakan bahwa dia telah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh
obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh baglan
atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.
"Aaahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan dia
membuka matanya. Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan
gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat
bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi
pengeroyokan pasukan ketika dia berusaha menyelamatkan suhu dan subonya. Sungguh
aneh sekali. Mengapa pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra"
"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena
merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda
itu, hatinya merasa ngeri.
Sejak tadi, setelah berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai
memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia,
wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut dan mendatangkan
perasaan iba dan suka. Rasanya belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis
seperti ini, apalagi tadi dia melihat betapa gadis ini telah berusaha
menyelamatkan keluarganya, dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia
merasa herhutang budi, kagum dan suka. Dia seperti tenggelam ketika memandangi
wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang
manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia tersenyum. Hatinya girang
karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.
"Jangan khawatir nona. Engkau telah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu
akan sembuh." "Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut. Tadi dia
tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas
pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini,
diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi
terasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali punggungnya. "Aduhhhh...
punggungku..." Dia menggeliat.
Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh
punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu
lebih enak, bukan" Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah
adalah luka-luka di paha, pundak dan punggung."
Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka
itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang
pemuda yang duduk di depannya itu dan tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali,
jantungnya berdebar tegang.
"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan sepasang matanya
memandang penuh selidik. Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati.
Maafkan aku yang telah lancang..."
"Maafkan" Ahh, engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan
masih minta maaf" Engkau tentu seorang sagah perkasa yang sakti maka engkau
dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku
berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"
"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tidak perlu bersikap sungkan karena menurut
pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw. Dia adalah pamanku,
karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama paman dan bibi.
Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang
lain." "Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah
seperti tadi, melainkan agak kepucatan.
"Mengapa" Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Scng mendekat dan
pandang matanya penuh iba.
Melihat ini, Sun Eng menggeleng kepala menunduk dan memejamkan matanya, berusaha
mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan
subonya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka.
Dan pemuda perkasa yang telah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan
suhunya! Dan hubungan antara dia dan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini
tentu akan mendengar tentang dia, suhu dan subonya tentu akan bercerita banyak
tentang dia! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk
pedang berkarat. Dan takkan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini.
Pandang mata yang kini demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu
akan berubah menjadi jijik, marah dan benci.
Lie Seng memandang dengan alis berkerut, penuh dengan perasaan iba. Ingin dia
menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu penanggungan rasa nyeri
dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya
berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh
paha dan punggung dara itu!
"Nona... eh, siapakah namamu?"
"Aku she Sun, namaku Eng."
"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran mengapa aku tidak pernah
mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."
"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan
dan menyebutku nona?"
"Engkaupun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."
"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut
lain" Akan tetapi aku..."
"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan
berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi,
juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."
"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan
pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"
Lie Seng mengangguk. "Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai
yang terkenal itu?" Kembali Lie Seng mengangguk.
"Ah, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ah, dan aku tentu lebih
tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti
mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan
akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.
"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."
"Nah, apa kataku" Aku lebih tua, sepatutnya menyebutku cici kepadaku."
Melihat wajah yang cantik itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang
tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng
tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang
aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."
"Engkau tetap Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang amat besar dan
agung, sebaliknya aku..."
"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan
dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali
tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat
bertemu kelak." "AH, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biarpun
dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan
tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap,
engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak
berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan
aku sekarang juga, taihiap..." Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya
lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subonya
kepadanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak
akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda
seperti Lie Seng ini, pemuda yang amat menarik hatinya, yang amat mengagumkan
hatinya. "Eh, cici Sun Eng... kenapa engkau" Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng
tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak
berharga... kau pengilah, tinggalkan aku seorang diri..."
Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan kedua tangan
menyembunyikan mukanya, pundaknya tenguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng
tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua
lengan dara itu. "Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini..."
Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka
seperti ini." "Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap." Dara itu lalu
membalikkan tububnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh
dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari
lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak
cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.
"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau sengaja hendak
menghancurkan hatiku" Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"
Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda
itu. Setelah dia dapat menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan
rangkulan itu, merighapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,
"Ah, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk
berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekalipun..."
"Siapa bilang demikian" Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani
mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan
kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang
gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku" Dan mengapa?"
"Engkau tidak tahu, taihiap... ah, lebih baik kita berpisah seperti ini,
sekarang sebelum engkaupun membenciku. Aku... aku takkan dapat tahan lagi. Semua
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku
lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau
membenciku pula." "Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apapun yang terjadi denganmu,
aku tidak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau"
Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata
penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis
ini. Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget
dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan. Akan tetapi Lie Seng tidak
mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan
membiarkan kepalanya didekap pada dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia
memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian
dahinya dan tiba-tiba dia meronta.
"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya dan Lie Seng melepaskan
pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
"Maaf... kaumaafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri dan berlaku tidak
sopan padamu, maafkan aku."
"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan
tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu, untuk kauperlakukan sebaik ini.
Aku tidak pantas kaucinta, aku... aku..."
"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta padamu, mengapa tidak
pantas" Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu
nampak terkejut. "Apakah... aku hendak maksudkan bahwa engkau telah...
bersuami?" Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi
pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukan
seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami!
Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak
patut! Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya.
"Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak
kaudengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku,
taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat
mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu
ingat bahwa betapapun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang
yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."
"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia telah merangkul
gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Ceritakanlah kepadaku
semuanya, dan jangan takut!"
"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"
"Enci Eng, kauanggap aku ini orang apakah" Aku cinta padamu karena engkau,
karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimanapun
tentang dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya
jalan untuk menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kauderita ini."
Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia
menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang
agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap.
Biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir dalam hidupku, tergantung dari
anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap
menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku kalau engkaupun
membenciku. Nah, kaudengarkan baik-baik, taihiap." Dara itu dengan tubuh lemas
menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di depannya.
Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut
karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai
latar belakang kehidupan yang amat pahit.
Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya untuk mencari kekuatan dari
hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia mengambil keputusan untuk menceritakan
segala-segalanya tentang dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak
ingin kelak pemuda yang mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang
belum diceritakannya. Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang
luar biasa ini, tanpa mempunyai rahasia sedikitpun juga. Tinggal terserah kepada
pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci
setelah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak
akan menyalahkan Lie Seng, sungguhpun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup
menghadapi pukulan batin ini.
"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek, berjuluk
Kiam-mo dan dia dulu sebagai seorang perampok besar, kemudian sampai dia
meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiangshi." Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu setelah terus
terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu.
Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung
kesungguhan dan penuh pengertian, dan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih
dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang dan kemesraan yang ditujukan
kepadanya, membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya
berdegup kencang. "Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika
beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah
membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama
ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."
"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng
memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati
Sun Eng akan tetapi bahkan memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan
keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!
"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak
suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru
berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi
merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu
dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang
seperti anak mereka sendiri." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas
panjang, wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.
Lie Seng mengargguk-angguk. "Sudah sepatutnya itu karena engkau adalah seorang
anak dan murid yang amat baik dan berbakti."
"Jauh daripada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia
kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo mengusirku dan tidak mau lagi
mau mengaku sebagai murid..."
Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Dia menjadi pucat dan
memandang dengan mata terbelalak. "Apa..." Mengapa begitu" Apa yang terjadi...?"
Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang
dan takut. Ya, dia amat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu" Beranikah
dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini,
memperlihatkan segala kebusukannya" Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh
pria hebat ini" Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan
taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tidak kuasa untuk mengangkat muka,
tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia
melanjutkan ceritanya. "Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"
"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki
wajah yang menunduk. "Ya, aku telah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai
suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita
tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhuku sendiri! Ah, mau aku rasanya
mati kalau mengingat itu semua. Kaudengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam
aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu
saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada
muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"
Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk,
tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya
ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan
memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya. Dan Lie Seng
duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya
seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tidak
merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.
Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri,
akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang
lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan
penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat tetap
selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang melakukan penyelewengan dalam
kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit.
Hanya saja, bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit
itu tidak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang
waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena
itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang
menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya
malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan
kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang
yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang
terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri
bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah
menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau
mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang
tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walaupun
pada suatu waktu dia bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau
waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka
mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam
kehidupan ini. Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung.
Terlalu hebat berita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan
yang dicintanya itu. "Taihiap..." Terdengar suara Sun Eng yang kini sudah memandang kepadanya dengan
sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia
tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali
mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah
kukatakan bahwa aku tidak berharga..."
Lie Seng menggeleng kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih
lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga"
Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau
jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya hal itu" Seorang seperti dia tentu dengan
mudah akan menjatuhkan hati gadis yang manapun juga, maka kalau engkau jatuh
cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu,
seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ah, untuk itu saja, untuk
kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki
pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak
menyalahkannya, bahkan menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria
ini menyatakan cinta kepadanya! Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah
menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan
makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh malapetaka melihat
pria ini nanti membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua
penuturannya. Ah, betapa ingin dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau
kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah daripada
harus menceritakan kesemuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat
jalan lain baginya. Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti tersiksa, seperti cacing
terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam
batin dara itu terjadi pertentangan hebat.
"Enci Eng, sudahlah. Kalau engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, akupun tidak
ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapapun juga, pandanganku terhadap
dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."
Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes
dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu
dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya.
Pria seperti ini boleh dia agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai
untuk menyandarkan dirinya selama hidup! Akan tetapi dia ragu-ragu. Lie Seng
belum mendengar semuanya dan kalau sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik
muka. Akan tetapi lebih baik begitu daripada kelak terjadi hal yang sama.
Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.
"Dengarkan, taihiap, dengarkan baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan
tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo
marah dan membenciku, maka aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu
adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di
dunia ini. Setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar...
aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..." Melihat muka
yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan
sekali. Dia memang sudah menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu
gelap dan penuh kepahitan.
"Sudahlah, enci Eng..."
Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah,
Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu
menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal
pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanya
merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan
nafsu-nafau berahinya..."
"Cukup, enci Eng..."
"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."
Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya
membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang
dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi. Akan tetapi Sun Eng sudah
merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu
bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang
kiamat. "Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan
diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak
meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"
"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.
"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau,
pindah dari pelukan satu kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta
kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun, yang kutemui
hanya pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka,
hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."
"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Mengerikan sekali wajahnya,
pucat dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita
kenyerian hebat. Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya.
Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah
kepada Lie Seng. "Perempuan macam ini engkau cinta" Ah, taihiap, sudah kukatakan
aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang
sudah kaudengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau
mengakui muridnya ini, bahkan tidak sudi menerima ketika aku datang hendak
menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga
memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."
Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan tidak bergerak, menunduk dan
memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri
sendiri memeriksa hatinya sendiri. Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka
sekali, akan tetapi dia makin kasihan kepada wanita ini, makin mencintanya! Dia
merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya
melupakan semua peristiwa yang pahit itu! Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi,
barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh
cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tidak mengenal baik buruk, cinta bukanlah
sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah
cinta, di atas baik buruk!
Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak,
tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah
air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu
berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan
lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak
mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.
Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada
keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan
dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti
tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.
"Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan
terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."
Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara
pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara
banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam
permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih
hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah
pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum
tahu apa-apa! Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka,
perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan
melepaskan diri. "Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng
yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.
"Aku cinta padamu, enci Eng..."
"Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku
percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah
mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yahg gelap gulita. Dan demi Langit dan
Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku,
pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi...
ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya
begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta
kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin
mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi. Taihiap,
berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam
hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan
kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan
kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih,
taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini!
Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta
kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku
mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita
berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini,
tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada
cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap,
selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."
Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan
tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan
memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari
pemuda itu! Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu
menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu.
Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi
dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar,
menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis
itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya" Apakah gadis itu tidak percaya
kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri" Sun Eng memiliki
kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak"
"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia
berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar
jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan
terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.
Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu,
kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya
untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi
hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat
coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.
Bertemu dan berpisah bagai mimpi
Lie dan Sun membuat janji suci
akan bertemu di awal musim semi!
Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga
dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari
cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya,
ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu
dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar
sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang
dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun
istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan
tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan, namun
pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang
mengakibatkan tewasnya banyak pengawal, cukup menggegerkan. Apalagi Kim Hong
Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud
memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini
dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat "pemberontak" yang
buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu
bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah!
*** Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan
Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu
merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi
dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh
mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.
Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali
bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat
di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para
pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besarg adalah perkumpulan Jeng-hwapang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai
oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tokong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di
antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Peklian-kauw yang terkenal. Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita
luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu
pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang
tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris
tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya,
bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam
yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa
Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam
tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan
tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang
memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah
berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari
Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah
lihai dari suhengnya itu.
Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka
dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali
perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya,
pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini,
dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi
perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil
pemungutan "pajak jalan" dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup,
belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar
atau dari rombongan yang lewat.
Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena
suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat
menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya
tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula
melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara
para anak buah yang memuji dan mengaguminya.
Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali,
yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan
gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia
tinggal di luar tembok besar dahulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita
ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan
suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu
untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa! Sungguh keji sekali
penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya
sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis
ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak
bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena
itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam,
jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang
untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih,
akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang
mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah
ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.
Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini,
dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya,
sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan
dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya
sebagai hal remeh. Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu
membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk
melayaninya makan minum dengan gembira. Biarpun dia telah memerintahkan beberapa
orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian
indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu
selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan
penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan
dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan
oleh seekor harimau yang menangkapnya.
Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut
dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena
biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan
oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan
pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan
tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka
dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu
duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa
dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak
tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat
menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati
permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya
lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama
mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.
Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak
memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh mengejutkan dan
mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang
itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang
seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang
yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka
sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau
Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan,
dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi
hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba
melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan
menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal. Setelah di luar daerah
yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka,
dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu
dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwapang dengan tenang. Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwapang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang
yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka meliwati pintu
gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi
terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa
yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya
walaupun mereka telah dikurung banyak orang.
"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin,
apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.
Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia
dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran
yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini,
teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang
dan dengan suara lantang dia berkata.
"Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo
suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"
Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang
menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang
bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal
pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng
Han Houw dan membentak. "Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami"
Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jarijari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!
Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jarijari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si
kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat
keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya
ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah. Anak panah
itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk
menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya,
maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini
terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.
Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu.
Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh
orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda
ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara
mereka! "Siapa dia...?"
"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"
Ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang
turun tangan karena selain kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak
panah itu membuat mereka ragu-ragu.
"Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh
anak panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya nyaring sekali dan penuh
wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah
Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini
nampak jerih menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu
lemah lembut! "Pemuda sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara keren dan
semua anggauta Jeng-hwa-pang merasa lega, lalu bersibak dan memberi jalan masuk
kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh
seorang anggauta Jeng-hwa-pang. Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si
pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu
karena dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suhengnya untuk diajak
menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang.
Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua
orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran
sekali, apalagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan
tewas. Han Houw dan Sin Liong cepat membalikkan tubuh memandang. Sin Liong segera
mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dia pernah
ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini,
ketika dia dilempar ke dalam lubang ular! Akan tetapi begitu dia melihat kakek
berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu dia
terkejut dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal
Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lamhai Sam-lo dan biarpun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia
dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.
Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah
menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah
berubah. Apalagi diapun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati
oleh Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan
pemuda bangsawan itu, namun diapun sudah merasa jerih.
Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa
kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat
betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.
"Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami?"
bentaknya sambil melangkah maju.
Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi
dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang
lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi
sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau" Dan buka matamu, lihat anak panah siapa
ini" Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya
kuantarkan kembali kepadamu, harus kautukar dengan kepalamu! Dan kau tidak
mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.
"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku
ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.
Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song
Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak.
"Pasukan Api, maju!" teriaknya.
Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap
berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun
bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat
apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat
dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek. Cara mereka memegang
gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini
sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung.
Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu,
makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan
teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah
sedang mainkan tari obor.
"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang
dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.
Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia
tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh
dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan
kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara
angkatnya bilamana keadaan memerlukannya.
Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong.
Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis
disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat
pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang
malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap
hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api
obor. "Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak. Dengan teratur
sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin
(Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari
tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!
Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan
secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang,
dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi
tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan
mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong!
Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa,
akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan
pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubitubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun,
kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan
banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh
kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan
ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya
dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran
sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga
sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor
mengenai tubuhnya! Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song
Kam merasa panasaran sekali.
"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak
otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua
barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh
orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan
berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.
Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini
pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan
aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu
menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama
yang amat baik dan rapi. "Ehhh...?" Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan
langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum
terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung
tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si
pemegang obor sampai terhuyung ke belakang. Maklum akan kelihaian pasukan Ngoheng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor
itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk
menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan,
tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para
pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya,
gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki
tenaga yang cukup kuat. Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun
mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap
saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.
"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk
pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin
Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan
anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngoheng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!
"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus
membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong
menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan
tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri,
terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor
tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga
rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya,
sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara
pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong
karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi
ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan
meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan
oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sinciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya
dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada
pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya
mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!
"Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu" Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jenghwa-pang" Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami" Ha-ha-ha,
adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!" kata Han Houw
sambil mentertawakan Gak Song Kam.
Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa
jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika
diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa
sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor
tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw
maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Lebih baik melawan
pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang
sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh
Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa
membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwapang dan hidup bersenang-senang.
"Wuuuut, ting-tinggg...!" Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara
berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan
halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.
"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau
juga anggauta Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti
itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang
yang mengurung tempat itu.
Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong
segera berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu
menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan
mendukung Lam-hai Sam-lo!"
"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin
banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya
sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin
berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.
"Wuuuttt!" Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh
pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya.
Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke
arah perut lawan. Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput,
rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar
dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan
berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai
sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.
Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu
memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. "Cring...!" Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata
bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu
seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang
lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat
sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai.
Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai
menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya
dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum
bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.
Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia
sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia
mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan
memang dugaannya ini tepat. Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya
hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan
mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar
yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan
pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan
kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong
tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperilhatkan
kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan
gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua
sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu.
Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak
pernah berhasil, juga mulai dia merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa
pangeran ini benar-benar amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek
dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai
yang datang menyambar! Dengan tangan kosong dia berani menangkis rantai! Hal ini
mengejutkan hati Sin Liong dan menggirangkan hati Bouw Song Khi. Rantai itu
terbuat daripada baja murni dan digerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang.
Batu karangpun akan hancur terkena hantaman ujung rantai, apalagi tangan yang
terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!
"Plakk!" Tangan itu menangkis ujung rantai dan rantai itu membalik, hampir
menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama
sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Bouw Song Khi menjadi pucat. Tak
disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong
kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu telah
mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li! Nenek iblis ini, bersama
mendiang Pek-hiat Mo-ko, telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang
membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya,
bahkan kedua tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka. Dalam cerita
Dewi Maut, para pendekarpun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko
dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In
Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari
Raja Sabutai, yaitu kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki
mereka den akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan
melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan
pula kepada Ceng Han Houw den hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia
kelemahannya sendiri! Setelah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja
dia menghadapi scrangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan
rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucat wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba tangan
kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk
beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini
untuk membius wanita yang diculiknya.
Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan malapetaka baginya. Kalau
tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggap tidak ada
sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan
racun, pangeran muda ini menjadi marah. Dia meloncat untuk menghindari dan tibatiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga
sehingga biarpun Bouw Song Khi berusaha menghindar, tetap saja mata kirinya
menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.
Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya mendekap
matanya karena terasa kenyerian yang sampai menyusup ke dalam jantungnya. Han
Houw menggerakkan pedangnya yang sejak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang
itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang
terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.
Melihat ini, Gak Song Kam menjadi kaget bukan main, juga amat marah. Dia
berteriak mengeluarkan aba-aba bagi semua anak buahnya untuk maju mengeroyok,
sedangkan dia sendiri lalu mengerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang
mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan, disambut oleh Sin Liong! Han
Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini lalu menggerakkan
pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.
"Ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang sungguh tak tahu diri dan sudah
selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar Lembah Naga! Kami adalah
Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan hari ini Jeng-hwa-pang akan
terbasmi habis oleh kami!" Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang
amat congkak ini, dan dia merasa ngeri melihat betapa Han Houw mengamuk dengan
pedangnya, merobohkan para anggauta Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput
saja. Tentu saja para anggauta Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai
itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah
muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susulmenyusul. MELIHAT keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir
sekali. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya
yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai
sasaran, dia makin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya. Ketua
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dahulupun ketika Jeng-hwa-pang
diserbu oleh Kim Hong Liu-nio dan dia tahu bahwa baginya tidak ada harapan untuk
menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini,
ternyata dua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan
wanita iblis itu, bahkan sutenya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas
dan kini sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan
memakai sorban berhiaskan batu permata itu!
"Heiiiiikkkkk!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring
dan begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku
hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik
paku-paku dan jarum-jarum itu semua mengandung racun yang amat ampuh dan
menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!
Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti
Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek, sehingga dia telah memiliki kematangan dan
ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu amat
tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak
dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan
cukup membahayakan karena senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat
jahat. Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli
racun, maka diapun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir
balik dan terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan
tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan
alat peledak yang mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia lalu
meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya
untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio
menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan
tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya,
menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak
tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka
melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong
mempergunakan gin-kangnya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, kemudian dia
berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan
diri. "Jangan harap akan dapat lari lagi seperti dulu, pangcu!" Sin Liong berkata dan
dia merasa muak akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak
meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apabila
keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua
yang tidak memperdulikan keadaan anak buahnya.
Akan tetapi melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam
yang semakin panik itu menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan
nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan
pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia
menyelamatkan diri. Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan
tubuhnya dan dari samping lengannya mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa
kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu. Gak Song
Kam mengeluh, pedangnya terlepas dan dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya
Sin Liong telah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan
akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan telah terpelanting dan roboh
pingsan. Memang sama sekali tidak terkandung niat di hati Sin Liong untuk
membunuh orang, maka diapun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang
kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.
"Ha-ha, bagus. Liong-te, engkati telah berhasil merobohkannya!" Terdengar soara
Han Houw bersorak dan Sin Liong melibat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat,
lalu sinar pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih
pingsan. "Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia memejamkan mata melihat darah
muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu telah memegang kepala yang buntung itu
pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!
Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik.
Melihat betapa pasukan obor roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute
dari ketua mereka oleh Han Houw yang kemudian mengamuk dan merobohkan banyak
kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya
karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih
mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu. Akan tetapi,
begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kepalanya dijambak dan diangkat oleh
pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwapang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!
Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke
arah anak buah yang melarikan diri.
"Trakkkk!" Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah
yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!
Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para
anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ.
Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita
yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan
panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan
yang lucu. "Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"
Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah diantara bangunan itu menarik
perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dati mana terdengar
jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan
kiranya dia telah didahului oleh Han Houw yang sudah menerjang daun pintu rumah
itu dan melompat ke sebelah dalam.
Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Betapapun garang dan ganasnya sikap
pangeran itu terhadep musuh-musuhnya, namum di dalam dadanya terdapat watak
pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang
menjerit-jerit itu. Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah
itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda
yang manis dan kelihatan ketakutan.
Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan
kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang
diculik Bouw Song Khi dan belum sumpat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah
selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian di sana,
kau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha!" Pangeran
itu lalu lari sambil memondong gadis itu.
Sin Liong bardiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta,
menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tidak berdaya dalam
pondongan lengan pangeran yang kuat itu.
"Houw-ko..., lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar.
Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau
gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak perduli, seperti yang
dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam
rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu
meronta dan menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi
seorang penjahat yang memaksa wanita.
Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus
memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar
terus, dan ketika dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda
sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas
punggung kuda, diapun lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar.
Terjadilah kejar-kejaran di malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil
membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.
"Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela
melayanimu, mengapa engkau memaksa seorang gadis yang tidak mau?" berkali-kali
Sin Liong berteriak dan membujuk. Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak
menolongnya, gadis, itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus
melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan
permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik daripada kuda yang
ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.
Kejar-kejaran itu berlangsung sampai pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa
bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw dan terguncang-guncang.
Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi. Dan kini timbul
kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap adik angkatnya itu
main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong mengejar terus, dia
mulai merasa terganggu dan marah.
Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda
yang sudah megap-megap kelelahan itu.
"Houw-ko, berhentilah dulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong di
belakangnya, Han Houw menoleh dan melihat adik angkatnya itu sudah mengejar
dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu
melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di
atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah
dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.
Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun
dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu
beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan,
dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.
"Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kauambillah dia! Kauminta
baik-baikpun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam
suntuk!" Sin Liong menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku kalau aku mengganggu
kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali
bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houwko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."
"Melakukan perbuatan jahat" Apa maksudmu?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku
dAn sinar matanya memancarkan kemarahan.
Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkannya
dan masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu
melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya"
"Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu dan hendak memperkosanya,
memaksanya, dan engkau masih bertanya apa maksudku?" dia berkata dengan suara
bernada teguran. Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah
itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan
kedua tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku
demikian" Kaukira aku ini laki-laki macam apa" Sungguh engkau menghinaku dan tak
mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke
depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!
"Ehhh...!" Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak lalu meloncat ke
belakang. Akan tetapi, Han Houw yang sudah melanjutkan serangannya dengan
tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua
kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan
cepatnya. "Plak-plakk!" Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis karena mengelak terus
akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena dia
tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini. "Houw-ko, jangan...!"
"Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut" Sudah berani menghina tidak
berani menanggung akibatnya?" bentak Han Houw dan dia terus menyerang lagi, kini
mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin "menguji" adik
angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda
bangsawan ini juga mengerahkan sin-kangnya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin
Liong terdesak hebat sekali. Ketika dia mengelak dan mengatur langkah untuk
menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan
Han Houw. "Desss...!" Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya
karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai
terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat
dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu
menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.
Dalam keadaan bergulingan itu, Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka
diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.
"Dukkk...!" Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat
Heng Thian Siau To 2 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Kisah Si Bangau Putih 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama