Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 18

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


Sin Liong berada di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini
menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. "Dan ibumu masih ada...?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu
aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar
kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet
barang-barang mereka..."
"Ah, kaumaksudkan... pemuda gendut itu?"
"Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis..."
"Dua gadis kembar yang cantik manis itu?"
"Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku."
Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. "Kalau si gendut dan
yang lain-lain itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal
di tempat orang yang pernah kuganggu?"
"Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenailmu. Pula, ada hal lain yang amat
perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah
mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara."
"Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang
pangeran itu." Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia
bertemu dengan pangeran ini dan sang pangeran suka kepadanya sehingga
mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menceritakan tentang
kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung tentang kelihaian Ceng Han Houw. Biarpun
demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu
heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran!
"Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara
angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?"
"Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan
dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang
biasa, bebas melakukan apa-apa tanpa diperhatikan orang."
"Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh
pemberontak dan dikejar-kejar pasukan" Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa
engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani
mengganggumu?" Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlalu cerdik untuk menerima ceritanya
yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa
membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi, diapun amat cerdik dan cepat dia mengambil keputusan untuk membuka
sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.
"Ah, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu."
"Eh" Kaumaksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?"
"Benar." "Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada
apa-apa antara dia dan engkau."
"Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai
pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah
melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku
dikejar-kejar pasukan."
"Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?"
"Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku."
"Ahh...!" Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya. Sebelum
mendengar ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu
dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu
menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman,
sungguhpun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong.
Kini, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata
wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa
berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.
"Dan ayah kandungmu, Sin Liong?"
Pemuda itu menggeleng kepala. "Sudah mati!"
"Kasihan engkau, sudah yatim piatu."
"Sama dengan engkau, Bi Cu."
"Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?"
"Untuk apa" Kalau engkau kelak mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan
kaulakukan, Bi Cu?" "Membunuhnya!" "Demikian juga aku."
"Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?"
"Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba."
"Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?"
"Hanya dari Na-piauwsu."
"Ah, dengan kepandaianmu seperti itu, mana mampu engkau menandingi wanita itu"
Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong?"
"Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu."
"Cukup lumayan, biarpun aku tidak berani memastikan apakah aku akan mampu
menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya amat lihai itu. Sekarang dengarlah
ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong."
Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan amat menarik bagi Sin
Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara
remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun
ini. *** Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng
Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh musuh-musuhnya yaitu piauwsu dari Ginto-piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan telah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang
anak buah Ciok Khun. Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan
isterinya dan beberapa orang anggauta Ui-eng-piauwkiok yang dipimpin oleh Napiauwsu itu. Bahkan putera Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin
Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu. Akan tetapi muncul Kim Hong Liunio yang timbul watak gagahnya melihat tiga orang anak-anak bertanding matimatian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh
Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin
Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.
Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini Tiong Pek dan Bi Cu hanya
dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya. Kemudian muncul para anggauta
Ui-eng-piauwkiok yang segera mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng-piauwkiok
berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggauta piauwkiok itu
cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai
dimakamkan. Bahkan setelah selesai pemakaman itu, para tokoh Ui-eng-piauwkiok yang menjadi
pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han, mengadakan rapat dan kemudian
diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng-piauwkiok yang sudah terkenal dan
dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong
Pek. Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu
kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka
pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan
juga rumah keluarga. Na itu dipakai sebagai pusat, sedangkan yang memimpin
adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan
melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja
ini. Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa
kesepian dan kehilangan, dan merasa tidak senang lagi tinggal di rumah besar
itu. Apalagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila
kepadanya. Beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami
isteri! Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang
sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim
bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.
"Sumoi, marilah duduk dekat denganku di sini." Dia menepuk papan bangku di
sebelahnya. Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, "Di sinipun sama saja, suheng." Dia
sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek.
"Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali."
"Di sinipun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?" Diam-diam
dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun semenjak tewasnya Napiauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak kalau Tiong Pek ingin
memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau
mengeluarkan kata-kata manis merayu!
"Sumoi, kenapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku"
Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri" Kita tinggal menanti
beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi
suami isteri." Bosan sudah Bi Cu mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. "Suheng, engkau
selalu bicara tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil, usiaku
baru dua belas tahun, untuk bicara soal pernikahan!"
"Akan tetapi kita telah saling bertunangan!"
"Sejak kapankah kita bertunangan?"
"Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua
paman di Ui-eng-piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang
ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi
jodohku." Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia
berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia telah hidup di dalam
lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggauta
sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek amat baik kepadanya, bahkan dia harus
mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya.
Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang
wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Uieng-piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi,
dia sendiri merasa tidak suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang amat
baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan!
Apalagi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang
tanpa dia mengetahui siapa pembunuhnya!
"Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau
mengatakan bahwa kita telah bertunangan."
Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang sejak masa
kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin
mencinta sumoinya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir,
maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.
"Seperti paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu sudah mengambil
keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal
dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku
merupakan pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah makin
besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur
persembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar
mereka dapat tenang di alam baka."
Para tokoh Ui-eng-piauwkiok itu terdiri dari lima orang, dipimpin oleh pembantu
utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi
besar, berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung
sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru
kepada seorang guru silat kenamaan di selatan. Jadi orang she Louw ini masih
terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar ucapan keponakannya ini, Louw Kiat
Hui mengangguk-angguk dengan girang.
"Memang kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan kalau demikian
permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu diresmikan dan dilakukan
sembahyang besar-besaran dan mengundang tamu-tamu sebagai saksi."
"Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya," jawab Tiong Pek dengan girang.
Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpandangan luas. "Perjodohan
adalah pertalian hidup antara dua orang manusia," katanya dengan wajah serius,
"oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah
dua orang yang akan mengikatkan diri dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh
karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya
kalau kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu."
Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga,
karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng-piauwkiok itu memandang
kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah
lebih dulu berada di situ.
"Ada apakah Louw-susiok memanggilku?" tanyanya. Bi Cu, seperti juga Tiong Pek,
kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan diapun menyebut
susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu
memimpin perusahaan itu. "Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong
Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan
isterinya." Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu
sengaja diatur oleh suhengnya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan
mereka. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa
panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.
"Apakah yang susiok maksudkan" Aku tidak mengerti," jawabnya lirih sambil
menunduk. Lima orang pimpinan Ui-eng-piauwkiok itu tersenyum, dan saling pandang.
Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka
kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!
"Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng
dan isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling
dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka telah
lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang
dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita
mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami
bermaksud untuk mengadakan sembahyang dan meresmikan pertunanganmu dengan Tiong
Pek, disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Dan sebelum itu, kami
sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu
tentang maksud kami itu, Bi Cu."
Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya,
menduga bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang
pernikahan, dia tentu akan menjawab "terserah kepada susiok", atau hanya
mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi
tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!
Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ ketika mereka melihat Bi
Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara
gemetar, "Tidak, susiok, aku masih terlalu kecil untuk bicara tentang
perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu."
Dia menundukkan mukanya kembali.
Louw Kiat Hui saling berpandangan dengan teman-temannya, dan mengerling kepada
Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang
tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya
lantang dan mendesak. "Bi Cu, mengapa engkau menolak" Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan
Tiong Pek" Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan
isterinya?" Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu
benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na,
dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta
sehingga tidak pantaslah kalau gadis ini menolaknya.
Gadis yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak
mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas
ketika terdengar dia berkata, "Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga
sefihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya
sama sekali susiok sekalian tidak pernah mengingat keluargaku, tidak mengingat
orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan memutuskan sendiri tentang
perjodohanku." Louw Kiat Hui terkejut. Kembali dia saling berpandangan dengan para temannya,
kemudian dia berkata dengan suara lembut, "Ah, Bi Cu, jangan engkau beranggapan
seperti itu. Andaikata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah
tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang
tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan
ayahmu..." "Ayah dibunuh orang, dan sampai sekarang aku belum tahu di mana kuburnya!
Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohan tanpa
memperdulikan keadaan ayah" Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah,
dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, aku tidak


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini." Setelah berkata demikian,
sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian lari memasuki kamarnya di mana
dia membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.
"Sudahlah, susiok. Dia memang benar. Kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah
pertunangan resmi diundurkan dulu, betapapun juga kami toh sudah dapat dibilang
bertunangan, biarpun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba
untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara," kata Tiong Pek
yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.
Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana mempunyai
kesempatan untuk menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar
tembok besar" Memang sekali-kali pernah mereka ini mengawal barang atau orang
sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi
tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Napiauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa
pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan"
Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Cu makin merasa gelisah dan tidak kerasan
berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia telah berhutang budi kepada
keluarga Na, betapa pemuda itu memang amat baik kepadanya. Inilah yang
menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin
menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi diapun tidak mungkin dapat membalas
cinta Tiong Pek. Setiap hari Bi Cu termenung duka, apalagi setelah lewat
berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui dan para
paman yang lain mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara
itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan makin mesra, pandang mata
pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu
mendatangkan rasa iba dalam hatinya. Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan
pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, larilah dia meninggalkan
rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!
Pada keesokan harinya, Tiong Pek dan para tokoh Ui-eng-piauwkiok menjadi geger
melihat kepergian Bi Cu yang tidak meninggalkan pesan apapun. Mereka menjadi
bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga
bahwa tentu gadis kecil itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang
pembunuh ayah kandungnya.
Dugaan semua tokoh Ui-eng-piauwkiok ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran
selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui dan empat orang
temannya, bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang
beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah
saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri
pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek
muncul. "Mari kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu," kata Louw Kiat Hui dengan sikap halus
tanpa banyak kata-kata teguran.
"Tidak, aku tidak mau...!" Bi Cu menangis. "Aku hendak pergi mencari pembunuh
ayah. Tinggalkan aku sendiri!"
Tiong Pek menghampiri Bi Cu dan memegangi tangannya. "Sumoi, mengapa engkau
hendak meninggalkan aku" Apakah kesalahanku kepadamu?"
"Tidak, suheng, engkau tidak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang
bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh
ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting."
Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. "Bi Cu, engkau
harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara."
Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini
memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam diapun
merasa penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa
pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.
"Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana" Aku tidak mau
kembali! Apakah susiok demikian jahat...?"
Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. "Bi Cu!" Suaranya
terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, "Omongan apa yang kaukeluarkan ini"
Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri,
sehingga akhirnya engkau pasti celaka, maka barulah kami benar-benar jahat!
Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan
rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau
adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!"
Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu
dia lalu membantah, "Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas
budi, apa itu namanya, paman?"
Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali
suaranya halus, "Sudahlah. Mari kita semua pulang ke Kun-ting dan segala sesuatu
dapat dibicarakan dengan tenang di sana."
Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik
rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia
mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui
ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar.
Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu
bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah
pasti gadis kecil ini akan mengalami malapetaka di tengah jalan. Ilmu silat yang
dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.
Karena lelah, maka akhirnya mereka bermalam di sebuah kuil di tengah perjalanan.
Kuil itu adalah kuil seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang
muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang
terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan
kamar. Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui
sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran,
sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah
pembaringan di kamar sebelah.
Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah
tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para
piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri dan seorang
piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu.
Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis
perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!
Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil disusul
menyambarnya sebuah batu kecil yang tepat mengenai lampu yang tergantung di luar
kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui
cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.
"Siapa di situ?" bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia
meloncat ke arah suara batuk tadi. Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada
angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remangremang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu
yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget
hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun
pintu dan memasuki kamar Bi Cu!
"Heiii... tahan...!" Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika
dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!
"Lepaskan dia!" bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.
"Plakk! Tranggg...!" Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.
"Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?" teriak Louw Kiat Hui sambil
mengejar. Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas
muka orang karena cuaca yang gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia
tidak berani lancang mempergunakan pedangnya.
Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan
gerakan sembarangan. "Plakk! Ahhh...!" Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu
membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia
menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya,
membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah
lambung. Namun, dengan lincah dan mudahnya, bayangan itu mengelak terus sampai
lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu
sedemikian kuatnya sehingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum
piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok. Para piauwsu lain
terbangun oleh suara gaduh, akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok,
bayangan itu telah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil
membawa pergi tubuh Bi Cu!
Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama
para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan
jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang
lemah itupun tidak dapat memberi keterangan. Louw Kiat Hui dan teman-temannya
lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu,
namun, jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang
itupun tidak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang
sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!
Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali.
Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan biarpun para
piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi
Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Siapakah yang menculik Bi Cu" Mari kita ikuti pengalamannya semenjak malam dia
lenyap dari kuil itu. Ketika itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba
dia mendengar suara gaduh dan pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan
orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, bayangan orang itu
telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata, "Mari kau ikut bersamaku
melarikan diri dari mereka, anak yang baik."
Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tidak mampu bergerak lagi. Dia
merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Kalau menyerah, dia
belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh katakata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para
piauwsu itu. Apalagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia
makin bingung dan khawatir. Akan tetapi ketika dia dibawa pergi dengan
berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, tahulah Bi Cu bahwa pembawanya
adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi kini dia sudah melihat orang itu,
seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan seperti baju
pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus
dan mukanya seperti tikus!
Setelah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu
dah memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke
kota raja. "Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa
mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku tahu bahwa engkau tidak
suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka
paksa untuk ikut dengan mereka?"
Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku
hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu
aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.
Kakek itu tersenyum. "Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi
engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja
pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh
ayahmu" Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah
pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"
Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan
segera menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap
diri teecu!" katanya.
Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun.
"Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin
seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau
boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang
melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku,
namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang.
Mengertikah engkau, Bi Cu?"
"Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"
Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini engkau tidak boleh
memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan
mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi
mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan
mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk
menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka."
"Kalau tidak, memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"
"Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas
bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan
mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan
setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah
engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau
terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu."
Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan
di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng
ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para
anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka. Biarpun
Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua
anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai
murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan
pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam
dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas
sekali. Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan
didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.
*** "Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis
itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda
di pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.
"Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!"
"Eh" Bubar" Mengapa?"
"Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."
"Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas" Siapa yang membunuhnya?"
"Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta
pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri
tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan
itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun
Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."
"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan
atas diri ayah kandungnya itu.
"Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi
dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa
suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang
bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin
para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta
Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka
ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami
menolongmu mati-matian."
Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal
yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia
tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang telah
menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"
"Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah
menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau
dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Napiauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi
setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih
belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku
akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."
"Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku,
kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga
dan aku mengenal daerah di utara."
Bi Cu tersenyum. "Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi
musuh besarmu." Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersamasama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim
piatu memang sudah selayaknya saling bantu."
"Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."
"Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana
tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di
depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun
itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai
di sini Bi Cu termangu-mangu.
"Sin Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena kalau
kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."
"Ah, mereka tidak akan tahu..."
"Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk,
baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang
kehadiranku..." Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan
bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa
teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu
tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata
mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di
situ! "Baik, kautunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk.
Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak
nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta
keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang
tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati
samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan
dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang
tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu,
terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakanbentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan
keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain
adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing
memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin
Liong dengan ganasnya! Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa
kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan
pedang itu. "Eh... oh... nanti dulu...!" serunya.
"Maling hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak seorang di antara sepasang dara
kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya
ke arah dada Sin Liong! "Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke
dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua
kaki Sin Liong! "Eittt... tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke
belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung
pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin
menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun
gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun
tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan yang
tiba-tiba itu. "Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang
lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari,
namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.
Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar
itu makin marah. "Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka
digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong. Diam-diam Sin
Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia
memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sinkang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia
ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik
kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak
pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat
cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang rating kayu sebesar
lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.
"Trakk! Trakkk!" Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan
ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini
terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka
nyeri! "Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.
Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada
Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"
"Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri" Aku adalah
Sin Liong..." kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.
Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari
menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!" Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan
wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara
kembar itu dengan penuh kasih sayang.
"Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan
cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"
Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang
kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di
tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang
mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu
Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari
mendiang Hwa-i Sin-kai. "Liong-ko, siapakah dia?" tanya Lan Lan.
Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi
Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah
Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku."
"Ahhh...!" Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum
ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara
kembar itu tersenyum demikian manisnya.
"Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Kenapa tidak
langsung masuk dari pintu depan?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan
kalian sekeluarga?" "Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di
dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang mendahului
mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.
"Ayah. Liong-koko telah pulang...!"
Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan
mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira
melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan
diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin
Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik
tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai
siapa-siapa. Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba
di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini
sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga,
dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di
dusun itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan
dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu
Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena
memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga,
Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di
Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun
dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan
tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan
Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan
tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang
mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya
dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika
mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapapun juga,
Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak
senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut
kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut
masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya
membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang lakilaki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai
seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar,
tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya.
Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu
masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus
dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui
Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa
anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa
sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan
sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.
"Ahhh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya
ramah. "Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja,
bekerja sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap
tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok
Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin
Liong dengan penuh perhatian.
"Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin
berkunjung ataukah ada keperluan lain" Dan siapakah nona ini?" Dia memandang
kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat,
membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.
"Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin Liong
berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah."
Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut
sekali dan juga terheran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya
kepadaku, Sin Liong."
Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan
dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu
dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang
hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung
tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah
mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio
adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak
menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba muncul iblis betina
musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak.
Saya melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu
ini yang menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak
menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan
harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai
keadaan menjadi aman."
Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin
Liong itu. Mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan
pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam
hatinya, apalagi mendengar bahwa Sin Liong kini dianggap pemberontak dan
dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia merasa gentar, takut
kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar dan sampai ke situ, apalagi kalau
sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentu dia
akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman
berat! Akan tetapi, pada wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Benar, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di
sini!" sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia makin merasa tidak enak
untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai
perasaan apapun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya,
hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan
saudara seibu dan sekandung, biarpun berlainan ayah.
"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya
kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu
mengejar ke sini." "Kita akan lawan bersama!" terlak Lan Lan. "Apalagi di sini ada enci Bi Cu.
Ayah, enci Bi Cu ini lihai sekali, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko,
akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang
kami!" Bi Cu tersenyum dan dia tidak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu
yang dianggapnya amat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah dan gerakgeriknya sehingga biarpun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak
mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana
Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan
kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah di
leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan,
sedangkan Lin Lin lebih pendiam.
Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan makin tertarik kepada Bi Cu dan dia
memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari sepasang matanya
tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ah, kiranya nona memiliki kepandaian silat yang tinggi" Kalau boleh saya
bertanya, siapakah guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh
lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya memandang sejenak lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena
dia meragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah
tirinya, dan ketidak terusterangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu
cepat menerangkan, "Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya
nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kai-pang yang
tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu" Apalagi setelah perkumpulan itu
dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i Kai-pangcu..." Bukankah... bukankah perkumpulan itu..." Dia tidak
melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang merasa bahwa dia tidak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong
menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong
memang tidak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak
berlindung di sini" Maka dia mengangguk. "Benar, paman. Guruku adalah mendiang
ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi
semua itu adalah fitnah, Hwa-i Kai-pang yang telah dimusuhi dan kini terpaksa
dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan akupun sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Hwa-i Kai-pang, bahkan bukan menjadi anggautanya biarpun aku
menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."
SELAMA Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang
ini telah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan
memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu
kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua,
biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi
kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa
kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan
binasa." "Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman
menolong kami. Kamipun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga
kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa" Engkau hendak ke sana..." Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong menggeleng kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun
Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan
memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu, yang
menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut
dan heran mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang
jauh. "Benar, paman, dan Bi Cu ingin bertanya sesuatu kepada paman, mengingat bahwa
paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berdebar karena kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali
kenang-kenarigan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum
kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu
dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona, apakah yang hendak kautanyakan kepadaku" Memang banyak juga aku mengenal
tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cun tidak asing bagiku."
Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia
akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin mengetahui
apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal
di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, namun kini dia sudah siap
menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan
sungguhpun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Diam-diam Sin Liong yang sejak
tadi mengawasi ayah tirinya itu, merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekantekan itu, namun dia diam saja.
"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya
sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang amat
dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang
sedang dilanda ketegangan dan harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan
melengkapi keterangannya cepat-cepat sambil memandang wajah Hok Boan penuh
perhatian dan pengharapan.
"Ah, Bhe Coan..." Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang" Tentu saja aku
mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu girang sekali. "Memang dia telah meninggal dunia, paman Kui. Aku
tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya
kepada paman..." "Ayahmu..." Ah, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja
Kui Hok Boan kelepasan bicara karena memang dia dahulu pernah mendengar dari Bhe
Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang
dititipkan kepada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang
bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu adalah
seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning.
Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak
angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah
selatan kota raja. Dia tidak tahu pula malapetaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang
hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman
mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia."
Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh
harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.
Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan,
belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari
cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia
tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya
halus, datang bertamu ke rumah pandai besi atau ahli pembuat pedang yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe
Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan
tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya. Dalam
kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya
isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu
mengadakan hubungan perjinaan di dalam rumah Bhe Coan sendiri! Akhirnya, setelah
pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjina di dalam
kamarnya itu. Kemarahan yang meluap-luap membuat Bhe Coan menusukkan pedang yang
baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan. Hok Boan mengelak dan pedang itu
menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan menggunakan kepandaiannya
untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapapun dia meninggalkan dua
jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana, paman Kui" Maukah paman menceritakan kepadaku tentang kematian
ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya ketika dia melihat tuan rumah duduk
termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh" Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia.
Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang
kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok
Boan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah
dalam. Melihat sikap tuan rumah yang seperti tergesa-gesa itu, diam-diam Sin
Liong merasa heran sekali. Dia melihat seolah-olah ayah tirinya menjadi gugup
dan bingung ketika ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!
Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui
Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka,
pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang
dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justeru bertanya kepadanya
tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak, dan
rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu
akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya. Dia menduga-duga sampai
berapa jauh dara itu tahu tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya
bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan
dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.
Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari
tangannya yang memang cekatan dan pandai menulls itu bergerak cepat
menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapatrapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan
mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari
saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian
setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan di kamar
tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang cepat datang memenuhi
panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin
Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Eh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin" Kenapa aku tidak melihat
mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru
akan pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada
dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa heran, akan tetapi mereka
segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar
ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke situ untuk mengambil guci arak
dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.
"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada
komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepatcepat dan kembali cepat."
"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Kenapa ayah tidak menyuruh pelayan saja,
atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan
membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda
saja agar cepat!" "Biar aku yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi
Cu," kata Lin Lin. "Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua,
jangan khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku
masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam,
lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah jenaka akan tetapi
karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang
ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana.
Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas
sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus
bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda.
Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya"
Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini
akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian,
sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian
sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti
pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda
pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam
almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu di mana Sin
Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan
dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki
dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di
sini," bisik Bi Cu. "Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda.
Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun
jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."
Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri
betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah.
Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan
dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya
terukir indah. "Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan
kalian di sini," katanya.
"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi
derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok
Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang
dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu
kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang
ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja
ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat
baik. Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu
sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolaholah dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa
pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk
menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi
hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan
batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.
Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang
mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda
mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara
sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.
"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua
ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam
itu. "Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Linmoi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi
sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita" Andaikata ada yang
berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi
dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang
tergantung di pinggangnya.
Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri
kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Eh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat yang kaubawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di
dalam rumah kita. Sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar
aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau mencurigai ayah?"
"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun
tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah.
Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu" Aku khawatir, enci."
Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari
dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita buka dan baca dulu isinya!"
"Ahh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi
dengan perekat ini." Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari
rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka
surat ayahnya itu dan membaca isinya.
"Engkau benar, adikku. Biarpun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita
harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka berdua lalu turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka
sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersamasama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun yang terhormat
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin
Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya. yang setia kepada negara,
Kui Hok Boan. Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya
dugaanmu benar, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah telah mengkhianati
mereka! Ah, sungguh celaka!"
Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu
berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana akalnya" Ah, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong
oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko.
Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya" Kalau kita tidak menyampaikan
surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti
menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamatnya,
akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja
melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwanciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada
Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu
datang." "Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang
sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam
telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri
harap melakukan perjalanan lambat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau,
engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa
tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu,
malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."
Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita
berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin. Mereka berdua
lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat
itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masingmasing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke
kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya
lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan
ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh
keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh
pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong
adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal
serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat
penangkapan terhadap Sin Liong itu" Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong
adalah seorang pemberontak" Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi
kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan
betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya
adalah seorang yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan
kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita
iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!"
teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga
kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di
hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya
melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap
dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah
matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah
dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali
dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan
datang berkunjung ke rumah mereka.
Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun
bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke
tempat kerjanya. "Eh, nona Kui Lin..."
"Aku Kui Lan, ciangkun."
"Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum
mampu membedakan antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu
tertawa. "Dengan siapa nona datang" Dan bagaimana kabar ayahmu?"
"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."
"Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."
"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali,
karena banyak pekerjaan menanti di rumah."
"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balasan."
Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu.
Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan
mata bersinar-sinar. "Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus
segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia
berada di kota raja..."
"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."
"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah
menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu kelihatan
gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang
dimaksudkan "dia" oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari
pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah
membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.
Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal
istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya,
dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang
hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu
mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat
untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapatkan seorang kawan
yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak
berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari
hartawan she Kui itu. Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga
mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana karena
selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh
bantuan seorang "dalam" apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan
sesuatu dari fihak yang berkuasa.
Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya
sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan
itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How,
berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke
atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di
dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena
wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai
pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang
menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah
ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi
majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan
bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.
Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun,
ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke
dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan
memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap,
berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu
yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang
dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan
pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.
*** Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui" Seperti
kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka
untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin
Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang
buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.
Selagi mereka bercakap-cakap, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan.
Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk. "Ah, harap paman
tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang
menemani mereka untuk makan minum.
"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari
silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."
Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan
lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan
pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang
kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak
keras." Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia
mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu.
Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi
dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.
"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan
ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.
"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu tersenyum. "Pula,
mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang
tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak,
aku tidak biasa minum."
Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja. "Aku sendiripun tidak
begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat
seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."
Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di
dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu
yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun
pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya
yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia
mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka,
akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa
bersembunyi di balik pintu" Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika
mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di
balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan
pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik
pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi
dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang.
Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di
atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka
dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang
bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini
masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa.
"Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata
mempersilakan sambil menghampiri meja.
"Terima kasih, aku sudah makan cukup," kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih
melanjutkan makannya. Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit" Dan ini... ah,
kenapa arak dalam guci masih penuh" Apakah kalian tidak mau minum arak yang
kusuguhkan?" "Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," jawab Sin Liong sambil
meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.
"Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk
kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi
kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat,
terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan
pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan" Nona,
engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu
kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat
datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui
Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu
merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak
berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.
"Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah," jawabnya
dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi
sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa
gembira. "Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada
mendiang suhumu belum kauminum." Dia menuangkan lagi secawan.
Bi Cu tersenyum. "Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum
secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini
tadi saja sudah membuat perut terasa panas."
"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."
Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh
perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja
itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah
yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah
cantiknya Bi Cu. "Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat
menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan
arak, harap kau suka menerimanya!" Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam
cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga
cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak
itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang
amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan menguasai hawa asing itu di
dalam perutnya sehingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu
yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan
sendiri. Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi
mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.
"Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah
diperslapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong,
engkaupun agaknya perlu mengaso."
Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat
keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu
mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.
Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih
segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga
terpaksa dia memegangi tangannya.
Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu
adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas
pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa. "Ah,
kasihan, dia sudah amat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kaupun
tentu amat lelah, Sin Liong."
Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu. "Aku mengaso
juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi
Cu. Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin
Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti
di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui
arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing
itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum
yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa
pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi" Melihat
keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat
dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng.
Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan
telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan.
Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa
gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila,
sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya,
terutama dari arah kamar Bi Cu.
Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar
kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menangkap
kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia
tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang
tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah lakilaki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu
keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang diantara
mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain
yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan
kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya
semua ini" Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya,
namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat
syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah
jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun
jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar! Sin Liong tetap diam saja,
menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela
itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari
jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu
bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!
"Siapa kau...?"
"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena
lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.
"Eh, adik Lin..." Mengapa kau...?"
"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat
pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan
dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.
"Hemm, dari mana kau tahu" Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja
bahwa kami berada di sini?" Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik
tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.
"...ayah..." Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik
tirinya di dalam gelap remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja
melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya.
"Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"
Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi
melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh
antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di
jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani
membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku
diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu
pergi sebelum terlambat!"
"Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat
bius..." "Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tidak melanjutkan
kata-katanya. Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku
cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Aku akan
pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah
hendak keluar melalui jendela itu.
"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong menoleh. "Kau... harap kaumaafkan ayahku...!"
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.
"Demi aku, demi enci Lan...!"
Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah,
Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu
malam ini." "Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini
terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah
untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari
kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap,
nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."
"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."
"Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu"
Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan?" Suara Lin Lin terdengar
penuh kegelisahan. "Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh
Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong
berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa
bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka
dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan. Tak lama kemudian dia mendengar
suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di
antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.
"Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang" Mana Lan-moi?"
"Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan
seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau belum tidur,
Sin-ko" Mana ayah?"
"Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."
"Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam" Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota
raja?" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini
tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin. Betapa inginnya untuk
keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang
terancam, apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia
menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap
menghampiri jendela kamar Bi Cu. Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa
mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang
gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah
miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan
minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia
mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja,
sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu
di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam
kamar melalui jendela! Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua
orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan,
kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa
menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang
masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu. Karena dia tahu bahwa pasukan
kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke
barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke
utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil
jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak
pegunungan liar, kemudian baru ke utara.
Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat
mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali, namun malam itu gelap
hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus
memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja
dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Betapapun juga, karena
pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun dalam
rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari
sarangnya! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya
dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang "tamu" itu. Hatinya lega melihat
betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua
kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula
menjaga di situ! "Eh, engkau sudah pulang" Mana Lan Lan?"
"Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan
terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan
perjalanan ke kota raja."
"Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?" tanya ayah ini sambil memandang
wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk
Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau tidak
tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"
"Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sinko." Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya. "Kenapa Lan Lan belum juga pulang"
Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama
pasukan..." "Mungkin enci Lan lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan Hok
Boan mengangguk. Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya
pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di
sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia
merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia
tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang
muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia
merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini
selesai, makin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun
pintu kamar itu. "Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!"
Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai,
lalu berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"
Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu,
akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup
pintunya itu. "Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan datang,"
kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso
ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."
"Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi
mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."
Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun
juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum
pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat menggunakan
kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan
dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar
jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu.
Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul
dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini
dan langsung bertanya, "Bagaimana?"
Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri
berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan
dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Ayah sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu?" kata pula Lin Lin yang kini
berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi
ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah
mereka. "Eh, eh, mengapa kalian ini" Apa maksud kalian?" Kui Hok Boan membentak, purapura tidak mengerti. "Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa
maksud ayah?" kata Lin Lin.
"Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu" Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke
sini dan..." "Ayah tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan
kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini
untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"
Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah,
kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan" Itu lebih baik lagi.
Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontakpemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan
perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang
pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah
keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya
kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."
"Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara
seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan
berseru. "Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin
Lin menyambung. "Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak
usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak
memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada
Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan,
dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."
"Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan
berani. "Dan aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.
Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua
orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke
tempat kedua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut
melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu,
lebih terkejut lagi melihat Hok Bean mendobrak pintu kamar Sin Liong.
"Krakkkk!" Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok
Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata
kamar itupun telah kosong.
"Keparat...!" Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya
menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.
"Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.
Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang, mata ayah mereka dengan
berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah
melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah,
membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku
menyampaikan surat ke Kwan-ciangun..."
"Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi
melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.
Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya
itu. "Keparat! Kalian anak-anak durhaka!" bentaknya dan tangannya bergerak cepat
menampar ke depan dua kali.
"Plak! Plak!" Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak
oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.
"Ayah boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.
"Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.
"Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri" Kalian sudah bosan hidup?"
Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi,
siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut
di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan
berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah
ramah dan bertubuh gendut.
"Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia
menerima hukuman mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan
gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.
"Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir,
sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!"
Kwan Siong Bu penuh semangat.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring, "Wah, sungguh
mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah
perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"
Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika
mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ,
padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang
ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang
seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat
indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas.
Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan
angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita,
pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang
tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu
salib. Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain
adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng
Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka
dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu" Maka, dengan
kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan
nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah
melencat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang
Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena
terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.
"Lan dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak
perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas
mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini
sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung
mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi
dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.
"Iblis betina keji!" bentak Lan Lan.
"Kau harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.
"Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw
tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang
sucinya. "Hemm, pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak
cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah
pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental
jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara
kembar itu terpelanting ke kanan kiri!
"Berani kau merobohkan mereka!" bentak Kwan Siong Bu marah.
"Engkau wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.
Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin.
Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok
besar di tangannya. "Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan dan
dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur,
tidak jadi melanjutkan serangan mereka.
Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah
tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan
Dendam Si Anak Haram 3 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Terbang Harum Pedang Hujan 9

Cari Blog Ini