Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 26

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 26


dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya
mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan memiliki dua
sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Dan di samping
itu, melihat bakatnya yang hebat, diapun mewarisi khi-kang yang amat hebat dari
Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.
Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya
dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika
mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran
ini memiliki tenaga yang amat kuat!
Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggauta keluarga Cin-lingpai, atau golongan mereka, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, maka biarpun
kini yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut,
dia sama sekali tidak berani memandang ringan. Maka diapun bersilat dengan cepat
sambil mengerahkan tenaganya. Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan
lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal
ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan diapun lebih banyak bertahan
daripada menyerang, karena dia ingin sekali melihat lawannya ini mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini
sebagai sandera. Melihat betapa isterinya agaknya belum juga mampu mengalahkan pangeran itu, Souw
Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih
jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pangeran itu, akan tetapi
sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya
berkelahi dengan orang lain. Maka dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring
dan turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia
mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan
menggunakan tenaga Im-yang-sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras
dan kadang-kadang menyelingi dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san,
yaitu totokan satu jari yang ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.
"Hemm, bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira. Dia melihat bahwa
pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan maupun tenaganya, namun memiliki ilmu
silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw
memang telah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang
suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah
dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama
Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena
memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.
Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali
tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia tahu bahwa pangeran
ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian
suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.
Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara teriakan
melengking nyaring yang menggetarkan keadaan sekelilingnya. Kwi Beng sendiri
sampai terhuyung dan meloncat ke belakang tergetar oleh suara isterinya itu. Han
Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu dipergunakan oleh Mei Lan
untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakkk!" Han Houw terhuyung dan biarpun dia berhasil menangkis, namun
serangan itu amat hebatnya, membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah
karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan
aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan
menjerit dan cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada
kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran
itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.
"Ha-ha-ha!" Han Houw tertawa dan diapun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.
Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya.
Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia
terkejut dan terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu. "Lebih baik
engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikkanmu tentu aku
akan bersikap manis kepadamu."
Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan
diapun sudah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda
itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di
sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng
telah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke
arah dada Han Houw. "Ehh!" Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal
pukulan ampuh. Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat
dan menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan
tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyapok dan ketika kaki
Kwi Beng tertangkis, tubuhnya terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan
terbanting keras kalau tidak segera disambar lengannya oleh Mei Lan.
Lie Seng terkejut sekali melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari
pukulan-pukulannya yang hebat tadi dan betapa mudahnya pula dia membuat
tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia
bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apalagi dia melihat sendiri betapi
sucinya dan suami sucinya tidak mampu mengalahkannya.
"Pengacau, siapakah engkau?" bentaknya.
"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk menangkap aku katanya!"
kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi, hatinya besar dengan
munculnya sutenya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak
akan mampu menandingi lawan. Kalau sutenya ikut membantunya, dia yakin akan
dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.
Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang
pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si pernah menyebut-nyebut
pangeran ini, bahkan menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya
sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu mampu
mengundurkan pasukan pemerintah!
"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.
"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."
Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, sebaliknya
dia malah menegur, "Kalau begitu, mengapa engkau hendak menangkap suciku ini"
Apa salahnya?" "Ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau
menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong,
pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak
itu suka menyerah." "Hemm, mana aturan demikian" Kalau memang hendak menangkap, mana surat kuasa
atau surat perintah untuk menangkapnya" Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja
pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andaikata benar mereka
melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan
suci" Kalau hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan
alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap!"
Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng
Han Houw merasa kagum dan meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti
ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"
"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan
menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw itu
seorang yang baik dan gagah, akan tetapi kalau benar engkau pangeran itu dan
kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta,
sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"
Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini kakak kandung dari Ciauw Si"
Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus
memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tak pernah
dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Semua
perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara.
Akan tetapi kalau kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang
lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tidak akan
membangkang lagi karena akupun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Setelah
berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi
meninggalkan halaman rumah itu.
Para tetangga yang berkerumun di depan, melihat perkelahian itupun lalu bubar
karena mereka tidak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw
Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan
diliputi kegelisahan. Setelah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius
dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang
amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat
mengalahkannya!" Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Sucinya
itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada
tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu
mengalahkan pangeran ini!
"Bagaimanapun juga, kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci,
kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak
berlagak!" kata Lie Seng, masih merasa terkejut.
Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh
kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau
benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula
akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh
pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh
dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita
dapat melawan pemerintah."
Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir. "Jadi,
bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum
bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya,
bukan keselamatan diri sendiri.
Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk
seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah.
Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada di situ bersama
sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan
dada. "Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa..." katanya terengah. "Aku... aku
mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."
Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja.
"Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting
dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah." Lalu dengan singkat dia menceritakan
tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan
sebagai puteri pemberontak.
Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan
berhati keras itu segera berkata, "Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk
itu dan membunuhnya?"
"Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga
Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang
pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu
amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."
"Ohhh...?" Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran
yang memiliki kepandaian setinggi itu. "Habis, bagaimana baiknya?"
"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie
Seng. Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka
merasa tegang dan khawatir. "Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus
melarikan diri?" akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa
penasaran. "Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain..." kata suaminya.
"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh dibilang
semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang
kauberikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!"
isterinya mencela. Souw Kwi Beng menarik napas panjang. "Isteriku, memang hubungan kita dengan para
pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan
memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu
kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat di sini tentu tidak dapat
menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."
Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang
pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon
bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu
minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan
itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki
ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lainlain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu
kepala daerah Yen-tai. "Saya tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu setelah dipersilakan
duduk. "Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan
Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan
bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari
kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk
mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak
dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk
memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi
dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!"
Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang
itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang. "Nah, tidak urung begini
jadinya," kata Souw Kwi Beng, "itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah
berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain
kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah
kita lari menyeberang ke selatan."
Yap Mei Lan nampak gelisah. "Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"
"Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula,
cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa" Tentang aku..."
"Mari kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.
Lie Seng menggeleng kepala. "Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak
kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian
berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian
berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku
sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan
kitapun akan segera pergi hari ini juga."
Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini
saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak
berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu
mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya
berpelukan dan menangis. "Enci, hati-hatilah di jalan..." Sun Eng berkata.
"Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus
membawa bekal..." Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamamya dan memberi
banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan
terharu hatinya. Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula.
Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti
barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah
dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang
untuk mengatur perusahaannya.
Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu
meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di
pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri
memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam. Teringatlah dia kepada
Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi
secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan
dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.
Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun
Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalanbuntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan
pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya
yang diletakkan di atas meja. Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran
ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jarijari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia
membaca surat tulisan tangan Sun Eng!


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanda Lie Seng tercinta. Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu.
Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba
saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku,
koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai.
Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat
tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali inipun karena
cintaku kepadamu. Yang mencinta selamanya, Sun Eng "ENG-MOI...!" Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar,
memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya"
Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu" Sejenak dia termangu, terduduk di
atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang
menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya!
Kemudian dia mengerti. Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut
menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan
suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan
hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang
menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan
pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yentai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang
ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.
Akan tetapi, apa yang akan dilakukan" Membunuh pangeran itu" Ah, lamunan kosong
belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa" Apa yang dilakukan oleh
kekasihnya itu" "Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalanbuntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan
di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus
mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng
dengan taruhan nyawanya! Tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah
atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan
bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han
Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja"
Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu
tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini
setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika
pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air
matanya. Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu
menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam
saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia
harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan
perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya
dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi
menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun
dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga
diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau
perlu dia akan berkorban nyawa! Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya
kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya.
Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa
kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng.
Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat
kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selatu akan
tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!
Demikianlah, dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan
pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng
sehingga pria inipun sampai tidak memperdulikan lagi semua benda itu, bahkan
pergi tanpa membawa apapun!
Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudah dapat melakukan
penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang
karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran
itu membawa pasukan setempat menyerbu rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu
saja suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama
meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan
terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan.
Pangeran Ceng Han Houw menjadi kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tidak
membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin agar terus
mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera
ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk para pegawai, dia
membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana diapun mendapatkan rumah kosong
belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.
Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus
mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada
keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin,
menuju ke utara karena dia hendak kembali ke kota raja.
Akan tetapi dua hari kemudian, ketika kereta itu melewati sebuah hutan, dia
melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Kusir kereta
tentu saja menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang,
dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apalagi melihat
betapa pakaian wanita itu robek-robek sehingga nampaklah kulit paha yang putih
mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu dan dia sudah
meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat
wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup akan tetapi keadaannya
memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecetlecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.
Han Houw membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Ketika tubuh itu
membalik, dia terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan
main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus sekali dan agaknya tadinya
terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam
dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan,
dengan bibir penuh lembut dan lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah.
Usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakalan yang
robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang
padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang
mulai masak! Cepat Han Houw meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah
sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia
mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya amat lelah dan mungkin sekali
kelaparan! Wanita itupun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia
menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya
Han Houw terpesona. Mata itupun amat indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya
terselimut duka yang mendalam.
Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ah,
biarkan aku mati..."
"Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"
Wanita muda itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati daripada hidup
merana... aku akan tersiksa..."
"Hemm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka
sekalipun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut
bersamaku, nona." Wanita itu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam
saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria
yang tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"
Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"
"Aduhh...! Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat berlutut dan memberi hormat,
akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau
tidak cepat dirangkul Han Houw.
"Siapa namamu?"
"Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."
Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap,
membuat hatinya makin berdebar penuh gairah. "Maukah engkau ikut bersamaku,
menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?" Dia berbisik dekat telinga
wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.
"Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."
Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau
tertarik oleh kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya
yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"
"Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu... hamba tentu akan
dibunuhnya..." Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya" Mengapa engkau
lari dari suamimu?" "Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biarpun dia
kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba
tidak dapat menahan lagi dan hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga
malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."
Semakin girang hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung
hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya dan membuat suara dengan napasnya seperti
tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria
lain! "Pangeran...! Jangan..."
Tentu saja sikap ini amat menyenangkan bagi Han Houw dan dia tersenyum. "Kalau
begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja.
Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke
dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng dan
dibawanya ke dalam kereta.
Tirai kereta ditutup dan dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan
kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!
Dapat dibayangkan betapa senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita
secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk
rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena
merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja
ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.
Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang
diciuminya itu adalah Lie Seng4, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan
main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan diri
kepada seorang pria lain, betapapun tampan, gagah dan tingginya kedudukan pria
yang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur. Inilah
satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi
kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan
keluarga Cin-ling-pai dengan menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia
dapat memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa
sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie
Seng. Diam-diam Sun Eng merasa heran betapa cintanya terhadap Lie Seng telah merubah
dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu bahwa dulu, sebelum dia
bertemu dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa girang bukan main
bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu,
pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, dan berkedudukan tinggi pula!
Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan
hati yang demikian perihnya"
"Eh, kenapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya setelah
puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi
yang halus dan kemerahan itu.
"Hamba... hamba takut..." bisik Sun Eng.
"Takut" Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu
dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, berhenti di kota
ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" kata Pangeran Ceng Han Houw ketika
melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota. Sun Eng digandeng
turun setelah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah dan pangeran itu
bersama Sun Eng disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang
dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang digandeng oleh sang pangeran,
maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan! Han Houw diberi kamar terindah
di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan
pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berduapun dijamu
dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa
seolah-olah dia hidup dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk
menghormati dan menyenangkan dia!
Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika malam itu dia
terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya dapat menyerah,
bahkan demi untuk tercapainya rencana yang dijalankannya, dia tidak hanya
melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya daripada itu, dia
mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.
Pangeran Ceng Han Houw semakin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang
cerdik ini merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua
kelihaianmu yang penuh gairah ini?"
Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.
"Ah, pangeran... saya yang setiap hari menderita... merasa tersiksa dalam
pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang mengangkat
tubuhnya sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu
merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... maka, tentu
saja saya merasa amat berterima kasih dan girang..."
Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau
puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai
saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini,
seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir
yang lain. Selir-selir seorang bangsawan atau hartawan pada waktu itu tidak ada
yang berani menentang kalau suami mereka yang lebih tepat disebut majikan
mengambil selir baru. Apalagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya
tunduk dan takut sekali kepada sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan
keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.
Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani
para pelayan, hidup serba mewah dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para
selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik
mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan
tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai
beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han
Houw. Mempergunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar,
sewaktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit
demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya
sehingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang
pangeran! "Aku adalah putera tiri Raja Sabutai yang besar!" demikian dalam "mabuknya"
sambil membelai Sun Eng penuh gairah berahi Han Houw berbisik. "Dan aku menjadi
orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi
dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"
Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan
sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri
penuh gairah, Sun Eng dapat "menuntun" Han Houw sehingga pangeran muda ini
akhirnya menceritakan semua cita-citanya. Dia ingin menjadi jago nomor satu di
dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih
besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh
kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak
menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri
di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan
melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini
akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut
tahta kerajaan. "Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"
Sun Eng merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang
pria lain manapun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."
Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan
engkau mungkin menjadi permaisuriku!"
"Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."
"Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke
tiga atau selir terkasih."
"Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."
Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin
pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.
Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman.
Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi
rotan yang kepalanya merupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai
pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum
nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih. Sun Eng duduk paling dekat
dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun
Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir
yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang
selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan
tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa
orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan
muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat
itu. Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa
yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam,
ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah
dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa
kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam
dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun
Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir
lain. Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil daripada semua pengorbanannya.
Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai
bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liunio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena
keluarga itu adalah musuh besar subonya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa
sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justeru pembunuh dari panglima
kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang
memusuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan
diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia
mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh
tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada
kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya" Tanpa bukti, tentu saja
tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai
seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran!
Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan
dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tibatiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang
menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit
dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia
berkata, "Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."
Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di
sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun
tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam
ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.
"Pangeran, bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik. Pangeran menoleh
dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia
melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang
membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia
tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan
rasa iri tersembunyi oleh para selir.
"Hanya engkau saia yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang
segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke
kamar baca itu. Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar
itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan
Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh
mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun
Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.
"Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.
Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang
kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran
tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia
berkata, "Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang
paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu." Sun Eng
menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang
bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang
penuh perhatian. Seorang di antara mereka adelah seorang kakek berusia enam
puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok menyeramkan. Dia
tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal,
karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo
yang amat ditakuti orang. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing,
mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa
mereka adalah orang-orang cerdik. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang
dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara
singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan
sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya
menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya enam
puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini
seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.
"Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja
dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."
Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu
menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi
karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika
dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang
merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat
itu lalu tertawa. "Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan
peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah
diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara
sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah
menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?"
Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah,
pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap
untuk membantu paduka."
"Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu
perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor
satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka.
Kau boleh atur pertemuan besar itu..."
"Baik, pangeran."
Melihat selirnya yang tercinta kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik,
Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau lebih
baik pergi mengaso dulu. Eh, baiknya kotak ini kaubawa dan kausimpan dulu baikbaik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan
para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak
tertarik." Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan
sikap manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan
mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka..." Di dalam ucapan ini
terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran
itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan
suara lirih. "Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai
pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia tidak
melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan
sikap tersipu-sipu. Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang
pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru
berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa
kotak hitam terukir indah itu.
Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas
kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun
sebuah surat laporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng
Han Houw, betapa pangeran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan
dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu
apabila Raja Sabutai mengadakan serbuan! Dan betapa keluarga Cin-ling-pai
difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakan selengkapnya dalam pelaporan itu,
tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari
penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah selesai membuat surat itu, Sun Eng
berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia
meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas
genteng. Berubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya
tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.
Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam
belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang
dianggap musuh oleh sang pangeran, karena pejabat itu merupakan pembesarpembesar yang amat setia kepada kaisar. Oleh karena itu bayangan hitam yang
berkelebatan di malam hari berlompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju
ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua
yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya
hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak
dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak
mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat
dengan kaisar. Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang
besar menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin
karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan
negara." Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar
ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam
begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw
ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera
menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi
keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga
menghadapi segala kemungkinan.
Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan
orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua
yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang
selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ahhh...!" Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan
penuh selidik. "Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng
Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan
kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat namun
jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat
dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada
keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Sekarang hamba mohon
diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat
melarikan diri." Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu
tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya
dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya.
"Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona
melakukan semua ini?"
"Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka
hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat
tinggal, taijin," Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat
dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga
membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar
dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal
membuka buntalan itu. Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam
dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan
dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai
mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang
sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng
Hwa yang sekarang! Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua
pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng.
Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para
pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh
panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada
kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw
dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah
menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga
gagah yang dianggap pemberontak. Malam itu juga para pembesar ini mengadakan
perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk
menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran
kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang
bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari kaisar. Malam itu
juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut bukti-buktinya, maka pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan
melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja
Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun
Eng. Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi
dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk
menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam
menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi
perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah
seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong
Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng
Tung. "Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan
mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus
maupun, kalau perlu kasar!"
Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara
tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur
rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.
*** Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada
Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik. Menteri
Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat
penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia
telah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja,
bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan! Akan tetapi di samping perasaan bangga
bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga
dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada
perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia
telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua
yang dilakukannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya
dengan Lie Seng" Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi!
Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia
merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada
sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah
melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng
karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk
mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor! Padahal, tujuannya adalah
untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak
merasa bangga, tidak merasa bahagia, sebaliknya malah, tercapainya tujuan itu
membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya.
Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu
menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cinling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada
dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari
rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya,
dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia
tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua
ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri "disulap"
menjadi perbuatan "baik" demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu
membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah suci. Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua
tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguhpun boleh
saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi kesenangan atau
kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang
terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau
cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan membutakan mata
terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan
adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan
tidak benar, mana mungkin akhirnya benar" Tidak mungkin menanam rumput keluar
padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.
Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah
nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala
tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan
ini tentu melahirkan tindakan yang benar. Dan tindakan benar adalah tindakan
wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau
keuntungan dari tindakan itu.
Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap
bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan
dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang
ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci
kekotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan
kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal,
kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun
dia telah "berjasa" terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan!
Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu
gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia terlalu
memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari
tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!
Seketika pucat wajah Sun Eng, apalagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah
yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya
setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah
tampan yang kini tersenyum dingin itu.
"Bukankah engkau ini Eng-moi" Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi!
Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan
gerakanmu demikian gesit?"
Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mampu menjawab
dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap.
"Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari
angin..." jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai
mencari jalan keluar maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran
itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah
mengepung tempat itu. "Jalan-jalan makan angin..." Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baikbaik di rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.
"Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!" Karena takutnya Sun Eng
bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri
untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahutahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak
ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satusatunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.
"Minggir!" bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke
arah dada lawan. Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja
wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan
dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya. Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw
melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki
ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia
bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu
menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat
dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!
Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng,
maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya
mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi
pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang
menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun
Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk!" Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek
ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat
menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han
Houw. Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka
dia membalik dan dengan nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher
pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul.
Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di
leher dan dia mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plakk!" Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh
pangeran itu. "Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?" bentak Han Houw dengan marah dan dia
mengerahkan tenaga. Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi
kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung
rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis
memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han
Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok
dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk
mencari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.
"Di mana kotak itu" Di mana surat itu?" desisnya marah.
"Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar..." Sun Eng
menjawab sedapatnya saja.
Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya
mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling
roboh. "Bawa dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu
pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong
Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.
Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup
adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa
kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar
bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini,
pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau
usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya
kepada kaisar dan kalau kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini
dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.
Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di
dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas
bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadangkadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.
"Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu,
betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Dia mengepal
tinju. "Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu!
Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu
untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh
aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kauserahkan seluruhnya kepadaku, hanya
untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau
sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.
Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat
dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu
rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di
langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan
cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih
itu. "Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw.
"Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting,
hayo kaukatakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau
menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi
mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak
mendatangkan kesenangan padaku."
Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pangeran itu.
Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup
parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak
mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar merupakan pukulan
bagi harga dirinya. Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergilagila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri
kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan
gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini
bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai
seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!
Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih
terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga
wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.
"Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap
aku" Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita
selama ini" Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih
untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin
dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak
hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..." Suara pangeran itu
merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu
dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu
wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali
ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan
mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.
Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."
"Engkau minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau
minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan
kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakan engkau
menyimpannya?" Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras. "Tidak akan kuberikan, biar
aku dibunuh sekalipun!"
Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan
kemarahan. "Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu
memusuhi aku! Kalau begitu, biar kaurasakan siksa neraka lebih dulu, hendak
kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan
Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati,
juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu
terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak
halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita
itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya
kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih
kemerahan itu menjadi telanjang.
Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tububnya
menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu
menggeletakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia
mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah
obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.
"Sun Eng, kaulihat baik-baik apa yang kupegang ini" Aku tidak ingin bahkan
merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau
mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan
kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"
Akan tetapi Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi
itu sudah nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat
itu akan bisa kaudapatkan kembali!" Suaranya penuh tantangan bahkan mengandung
ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi
musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satusatunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.
"Keparat!" Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu
ke telapak kaki kanan Sun Eng.
Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan
tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul
dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang
menderita nyeri luar biasa itu.
"Masih belum mau mengaku?" Pangeran itu menarik obornya. Akan tetapi rasa nyeri
masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar
sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher
Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan
ke atas pembaringan. "Sun Eng, kalau kaki kirimu juga kubakar, engkau takkan dapat bertahan nyerinya.
Bakaran ke dua lebih nyeri lagi maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan
surat itu. Tidak akan ada faedahnya engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak
ada gunanya bagimu."
Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan dengan memukul
musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Bagiku tidak ada gunanya,
akan tetapi bagi sri baginda kaisar berguna sekali!"
"Apa?" Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan
memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat
menyerahkan surat itu kepada... eh, kepada siapa surat itu kauserahkan tadi"
Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar dan diam-diam
Sun Eng tersenyum. Pangeran itu ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit
bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api
obor. "Aaahhh...!" Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya
terbuka karena dia tidak dapat menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya
terbelalak dan biarpun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjeritjerit namun dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya
penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya
bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.
"Mengakulah! Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang
merasa gelisah ketakutan ini menjadi makin bengis.
Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri
amat menusuk, dan setelah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki
kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan dan terkulai pingsan. Han
Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua
kakinya dan berjalan hilir-mudik dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia
kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang
muncul untuk memanggil para pembantunya.
Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol yang masih berada di
situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang rebah menelungkup dalam
keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini
hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.
"Celaka...!" Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku,
akan tetapi dia membayangkan bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"
"Ahhh...!" Tiga orang inipun menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan
bingung. "Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang
dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok...
ah, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu
diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke arah
kedua kaki wanita itu. "Maka, kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini.
Bagaimana baiknya?" "Satu-satunya jalan, dia herus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak
malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang
Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun
mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok
yang hitam dan lebat sekali, kasar seperti kawat-kawat baja. Ada sesuatu pada
sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan
main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguhpun dia sendiri
bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.
"Dia keras kepala dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata
Han Houw dengan sikap kehabisan akal.
"Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Mongol itu. "Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Kalau engkau bisa
menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia
sampai mampus!" kata sang pangeran penuh geram.
"Lebih baik jangan sampai dia mati dulu, mungkin dia masih berguna untuk kita,
pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan
dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.
"Pendapat itu benar, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua. "Wanita itu
adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat
itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa
mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."
Ceng Han Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia
telah mempermainkan aku, menipuku, bahkan mengkhianatiku dan membuat aku
terancam bahaya begini hebat. Kaubawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia
mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.
"Harap paduka jangan khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita
bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, lalu menghampiri pembaringan dan
memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau
sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan
yang nampak membusung karena kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang
punggung. Lalu dia melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh
kekejaman. HAN HOUW kini berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek.
"Sebaliknya kalau Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, paduka
malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu
terjatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara
sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di
sini. Hamba akan mengawal paduka."
Hai-liong-ong Phang Tek menggeleng kepala. "Hamba tidak setuju dengan usul itu,
Pangeran. Andaikata benar surat itu ke tangan kaisar, paduka tidak perlu gentar
atau tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu
bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka sudah mengaku salah. Hamba
kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita
rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan
lebih mempercayai paduka dan andaikata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau
akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh,
mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"
Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan
tetapi, bagaimana kalau beliau memanggilku dan memeriksaku, bertanya tentang
surat dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan suaranya
membayangkan kegelisahan.
"Harap paduka tidak khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan.
Misalnya, menyangkal bahwa surat itu adalah surat aseli dari ayahanda paduka
Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu aseli" Paduka dapat
mengatakan bahwa paduka mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin
surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu
domba." "Ah, bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau
sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari
Lam-hai Sam-lo itu berseri.
"Bukan hanya itu saja, pangeran. Andaikata kaisar menaruh curiga, masih banyak
waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw
yang membantu paduka, maka apa sukarnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di
sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara" Dengan demikian baik atau
buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang berkhianat itu, tetap saja
gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"
"Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasihat negara kalau gerakanku
berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang. Mereka lalu berunding terus
dengan asyik sambil makan minum karena kini sang pangeran tidak segelisah tadi
setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat dari Hai-liong-ong Si
Raja Naga Laut itu. Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan
tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai
cara, dengan bujukan dan pura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada
ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu
berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan
atau kepada siapa diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun
Eng yang sudah sadar. "Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian
Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku
berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat
mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan
oleh pangeran, untuk menyiksa, bahkan membunuhmu kalau engkau tidak mau mengaku.
Kenapa engkau berkeras kepala, nona" Mengakulah dan aku bersumpah untuk
menyelamatkanmu." "Aku tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.
"Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran
agar engkau seka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup
bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."
"Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.
Habislah kesabaran Gaulanu dan dia menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu
nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa
yang paling hebat bagi seorang wanita" Engkau pernah diperkosa" Ya" Pernah" Nah,
aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku kalau engkau tidak mau
mengaku!" Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Dan dia memang sudah
memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, juga
perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh
pangeran itu" Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga,
akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!
"Aku tak perduli!" bentaknya.
Wajah brewokan itu menyeringai. "Ha, kaukira hanya diperkosa satu kali saja"
Hemm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai
engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan kalau aku kewalahan, akan kupanggilkan
pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau
mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"
Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia
memejainkan matanya tanpa mau menjawab lagi.
"Brettttt...!" Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi ketika merasa
betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat
sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya
dengan belaian yang amat kasar. Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada,
Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan
lemas seperti telah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi. Entah berapa
lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak
perduli lagi, yang dipermainkan seolah-olah bukan tubuhnya lagi, perasaannya
sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan
terlupa apa yang sudah terjadi atas dirinya, sampai tiba-tiba pipinya ditampar
keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.
"Plakkk!" Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu. "Phuh,
perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat
daripada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan,
mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja
sampai di mana engkau dapat bertahan! Biarpun engkau seperti mayat, akan tetapi
mayat yang cantik dan tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha!"
Gaulanu keluar dari dalam kamar akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang.
Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Dia
memang sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja. Ada tangan-tangan dan
muka seperti serigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama
sekali tidak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini
berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya
dia tidak ingat apa-apa lagi!
Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar
suara Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau
mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya
kalau masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan
mati kalau hanya ditiduri! Tapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas
pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia hidup!"
Gaulanu meninggalkan kamar itu dan kini Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan
jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak
sadar. Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang
mengerikan kalau orang melihat keadaan dalam kamar di mana Sun Eng seperti
seekor domba yang direjang oleh banyak serigala buas! Bahkan lebih buas daripada
serigala, karena binatang buas apapun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk
dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada
rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam
daripada pembunuhan. Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di
atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada
lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosanya. Mungkin juga belasan orang
pengawal yang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua. Kini mereka
makan minum dan menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh
mangkok dan cawan arak! Kadang-kadang mereka memaksa mulut Sun Eng untuk
dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk. Muka wanita
yang cantik itu sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belalanbelaian kasar. Para pengawal makan minum sambil tertawa-tawa dan bersendaugurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang
kotor. Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar.
Yang terasa olehnya hanya rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu
bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Tiap denyut darah
mendatangkan rasa nyeri yang menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh,
bahkan makin dicurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan
membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu, rasa nyeri itu secara anehpun
tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat
percaya akan hal ini kalau tidak dirasakannya sendiri. Itulah perasaan tubuh
yang mati" Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan"
Pangeran Ceng Han Houw yang menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap
tidak mau mengaku biarpun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang
tiada taranya bagi seorang wanita.
"Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah
dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati,
tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"
Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap dalam hatinya
mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan dalam keadaan terhina dan
setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu. Seorang
wanita yang selain cantik manis, pandai sekali dalam seni bermain cinta, seorang
wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, dan masih ditambah lagi berhati
baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang,
sungguh sayang sekali, bukan kepada dia ditujukannya kesetiaan dan cintanya itu.
Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali!
Dengan hati kesal dia menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai
penjagaan malam ini agar jangan sampai dia lolos. Dan ini, kauminumkan
kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."
Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu sambil tersenyum
menyeringai. "Dia akan mati seketika, pangeran" Mengapa tidak menggunakan ini
saja?" Dia mengacungkan tinjunya.
Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.
"Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."
"Aku tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau heran mengapa aku bersusah payah
menggunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya
dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti
sekarang?" Gaulanu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu
menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua
selir yang lain dan diapun melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan
membenamkan diri ke dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantikcantik. Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat laksana bayangan setan saja
berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat
oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar
biasa, sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu
berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorangpun
pengawal. Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan
dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka,
pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri
pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie
Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!
Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali ketika kekasihnya, atau
isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya
tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang amat menggelisahkannya karena
kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu
membunuhnya! Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa
kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-lingpai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu
tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di
mana adanya Sun Eng. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama
pangeran itu, dan dia sendiri telah lebih dulu ke kota raja sehingga ketika dia
melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada,
demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya. Dalam keadaan
bingung ini Lie Seng lalu kembali ke selatan dan dia mencari Cia Bun Houw dan
Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta
pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi
sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya
sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng
telah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan
perbuatan nekat seperti itu!
Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang
menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun
Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid
pula. Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu
merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie
Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini melakukan perbuatan
nekat yang amat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga
Cin-ling-pai. "Saya tahu bahwa dia melakukan ini karena merasa rendah diri, karena menjadi
isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Dan dia kini
hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun
Houw, bagaimanakah kalau sudah begini" Apakah saya harus turun tangan sendiri di
kota raja tanpa ada bantuan sedikitpun dari paman berdua bibi yang menjadi guruguru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas
kejadian ini?" Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Mereka memang menyadari bahwa
mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi
hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas
menjadi isteri keponakan mereka itu. Di dalam hati mereka kini tidak lagi
membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng,
mereka merasa tidak enak sekali.
"Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan
kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan
menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.
"Akupun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang. Nyonya yang usianya
sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya
bangkit maka diapun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong
rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan
nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus ikut pula
bertindak dan tidak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta
merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar penurutan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi
mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat
berkata apapun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu
mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka
berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih
sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela
kalau puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan
seperti yang didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai
puteranya untuk membiarkan puteranya menikah dengan seorang wanita yang rendah
budi dan hina! Seperti itulah macamnya "cinta" yang berada dalam batin kita! Kita menganggap
bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak
diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia SESUAI dengan keinginan
kita! Kita selalu hendak mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita,
menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita
akan berbahagia kalau dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak
melakukan itu. Semenjak anak kita masih kecil, kita ingin mengaturnya,
membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita
sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukanbentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan
santun, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita
ingin melihat anak kila menjadi "anak tauladan" seperti yang kita cita-citakan
dan gambarkan. Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok
dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali
bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita
kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita
ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati
kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita
begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama
sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita gariskan
itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin
bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka
hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorangpun anak kecil yang normal
akan merasa suka menjadi "anak tauladan" seperti yang digariskan orang tua,
duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk
dengan sopan, bicara lemah lembut, tertawapun "diatur", bernyanyi kalau disuruh
nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang
tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti
itu. Dia ingin bebas gembira. Namun apa daya, orang tua "yang amat mencintanya"
itu mengajarkan lain, menghendaki lain.
Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin
membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan
garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekalipun,
selama kita masih dapat menguasainya, kita akan selalu membuat anak kita sebagai
jembatan untuk mendapatkan kebanggaan dan kesenangan. Semua ini mungkin tidak
kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan
kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi
cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan
alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa
benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau anak kita sudah dewasa, dalam
menentukan jodohpun kita selalu mau ikut campur, berdiri terdepan untuk
melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan
penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Selera dan pandangan anak
kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa
selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.
Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus
kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun
diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap
orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang "anak penurut" dan
setiap orang tua akan membenci anak yang "tidak penurut", maka kitapun
melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan
tahun ini. Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri.
SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA" Ataukah yang kita namakan cinta itu
sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita
untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu"
Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta
dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati
kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak
berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi" Mungkinkah ada cinta kalau kita
masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri" Nah,
marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang
yang palsu sebagai yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata
pendapat umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak
kita, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si
Umum sekalipun! Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan
berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri
kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya
sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.
Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan,
diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan kepada Sun Eng dan diam-diam dia
melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap
In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.
Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota
raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang
tepat sekali kalau kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja
menolong murid kalian itu, karena kota raja merupakan tempat berbahaya sekali
dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, kiranya
hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga dan
melindungi anak kalian Kong Liang di sini."
Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan
perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat
karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw,
Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.
Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini memperoleh kesempatan untuk
memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan seperti seekor burung
rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya sehingga
peronda itu sama sekaii tidak mampu bergerak maupun bersuara.
"Katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik sambil
mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya. Jari-jari tangan Lie
Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan setengah mati.
Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan
tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Di... di... kamar tahanan... di belakang..."
"Hayo antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang. Dia tadi
bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di
mana. Dia telah mencari keterangan sebelum menyusup ke dalam istana itu, dan
dari keterangan yang diperolehnya dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw
mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut
nama. Maka, setelah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan
mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga
girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, sungguhpun berita itu
amat menggelisahkan hatinya.
Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, mengintai dari balik
jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat
terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal
yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ dan bersendaugurau. Sendau-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan kepada tubuh Sun
Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.
"Ngekk!" sekali menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng!
Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini,
bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng sudah menerjang masuk melalui pintu
dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi. Cia Bun Houw dan Yap In
Hong terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat
mengerti betapa hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti
itu. Mereka sendiripun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan
merekapun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang
mengeluarkan sinar emas karena itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan
biasanya digulung seperti sabuk pinggang.
Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia telah membikin
pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh
dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong
menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang
Mongol yang kelihatan tangguh itu. Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat
berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tibatiba ada sinar emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil
menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.
Bun Houw mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya.
Terdengar bunyi nyaring dan golok itu patah. Ketika tangan yang mencengkeram
perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!
Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan
menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian karena tadi orang inilah yang
mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat
menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng,
maka pukulannya itu dilakukan dengan sekuat tenaga, menggunakan tenaga Thian-te
Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.
"Desss!" Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar dan
diapun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.
"Eng-moi...!" Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru
itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat
menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyanggoyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru
saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan.
Sementara itu, beberapa orang pengawal sudah berteriak-teriak, akan tetapi
segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat,
semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng
dan memperkosanya secara bergantian dan kasar tanpa mengenal kasihan sedikitpun
juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!
"Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan lari, kami lindungi!" kata
Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng lalu memondong tubuh Sun Eng yang
terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar.
Benar saja, teriakan-terlakan para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada sinar emas berkelebat,
tiga orang terdepan roboh dan yang lain menjadi terkejut sekali. Apalagi karena
mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan
jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan
pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar
diikuti pandangan mata. Dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan
tawartan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.
"Kejar...!" "Pukul tanda bahaya!"
Sebagian daripada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda
bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran
Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan setelah menghibur diri dan
hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian
lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.
"Celaka, ada yang melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata Hailiong-ong yang segera ikut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang
sudah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal
dan bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana
mereka itu lari. Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi marah sekali dan dia memerintahkan
Nyi Wungkuk Bendo Growong 1 Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi Kisah Pedang Bersatu Padu 1

Cari Blog Ini