Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku kalau saatnya tiba.
Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di
Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, partai-partai
persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago
nomor satu di dunia. Setelah itu, aku menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw dan
kita mengadakan gerakan orang gagah sedunia menentang kelaliman kaisar. Nah,
karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te,
dengan harapan engkau akan suka membantu pergerakan kami ini."
Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut bukan main, akan tetapi dia belum
sepenuhnya dapat percaya apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar
terlalu aneh baginya. "Aku tidak perduli tentang itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu
selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapapun tidak mengganggu selembar rambut Bi
Cu." Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik.
Memang telah diduganya hal ini. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi
dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.
"Liong-te, tentu engkau belum percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Marilah,
adikku, mari kita menemui piauw-cimu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti
kita di Istana Lembah Naga."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu
mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu bertepuk
tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru!
Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung
oleh ratusan orang perajurit yang bersenjeta lengkap. Dia bersikap tenang dan
waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor
kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana
Lembah Naga. "Lihat, adikku, bukahkah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika mengadakan perjalanan bersama?"
Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikankebaikan pangeran kepadanya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat
akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diamdiam dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kongkongnya itu. Mengapa
wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria
macam pangeran ini, pikirnya heran.
Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang amat dikenalnya itu, Sin
Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan amat ketatnya, penuh
dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan maupun yang menjaga
sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak. Diam-diam dia
terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu,
agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu.
Dan kenyataan inipun agak melegakan hatinya, karena seandainya pangeran itu
mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak
masuk ke Istana Lembah Naga"
Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang
amat dikenalnya walaupun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu di waktu dia
tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat
dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara
mereka adalah Bi Cu! Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat
turun dari atas kudanya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Juga Bi Cu
sudah berlari cepat ke depan menyambut.
"Sin Liong...!"
"Bi Cu...!" Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan
ketat. "Sin Liong... ah, Sin Liong...!" Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul
dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia. Kalau saja tidak ingat
bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri
pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa
orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan
tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan
kebahagiaan mereka dan kerinduan hati masing-masing.
Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak sehat,
dan pakaiannya rapi, rambutnyapun rapi, sungguhpun wajahnya agak pucat dan sinar
matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu
Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia tidak pernah dapat melupakan Bi Cu
dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.
"Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah,
Si-moi." Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan
Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka tiba di
ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong lalu
menjura kepada pangeran itu dan berkata, suaranya terharu, "Ternyata ucapanmu
terbukti benar, Houw-ko, maka terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh
bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan
tidak terganggu." "Siapakah akan membohongimu. Liong-te" Apalagi setelah aku menjadi kakak iparmu
pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya
adalah cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"
Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong lalu menjura dengan
hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah, "Mana mungkin aku yang rendah
berani mengaku adik misan Lie-lihiap?"
Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong
sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan
merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa
tidak ada seorangpun di antara keluarga mereka yang tahu" Pula, anak ini katanya
pernah ikut kong-kongnya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmuilmu lengkap dari kong-kongnya itu, termasuk Thi-khi-i-beng! Akan tetapi kalau
sudah begitu, mengapa masih juga belum ada yang tahu"
"Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau
berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku telah mendengar dari pangeran
bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak
mengerti sama sekali dan tidak ada seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai
yang tahu pula. Bagaimanakah sesungguhnya" Kalau engkau putera paman Cia Bun
Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tidak seorangpun di
antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"
Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan
hati jujur dan tanpa prasangka buruk, akan tetapi dia mendengarnya dengan hati
merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya lalu berkata lirih, "Sesungguhnya
rahasia ini takkan kuceritakan kepada siapapun juga, hanya tanpa kusengaja telah
bocor sehingga diketahui orang. Maafkan, lihiap, aku tidak dapat menceritakan
duduknya perkara, karena ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun
Houw." Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya marah kepada
pendekar itu. "Maka, kalau sampai urusan ini dibicarakan dan rahasia ini
dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan
sendiri!" Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia
yang tidak menyenangkan, "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang
kong-kong. Kalau engkau putera kandung paman Bun How, berarti kong-kong Cia Keng
Hong adalah kong-kongmu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau
she Cia dan engkau laki-laki pula! Mengapa engkaupun tidak mau mengaku kepada
kakekmu sendiri?" Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia menarik napas
panjang dan berkata, "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi
mengampuni aku. Aku memang sengaja tidak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga gagah perkasa! Sedangkan aku
ini orang apakah" Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak
untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?"
Diam-diam Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh
memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak
menegur karena dia dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga
Cin-ling-pai. Selain itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu begitu
saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw
itu sendiri tidak pernah mengakui hal itu"
Tiba-tiba Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat
betapa kekasihnya seperti orang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya,
padahal selama ini Lie Ciauw Si sedemikian ramah dan baiknya, segera berkata,
"Ah, apa sih artinya keturunan" Bagiku, biar Sin Liong itu putera raja ataupun
anak pengemis sekalipun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau
kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"
Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai
dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi
kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang
ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu
tadi. "Ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Dan ucapan itu sekaligus
membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tak terbatas, Liong-te! Biarlah
aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"
Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini
dengan girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur
dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya
Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si amat akrab,
melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti
seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak
menentang kelaliman kaisar, maka diapun kena dibujuk. Dia sanggup untuk membantu
Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan
diam-diam diapun tidak mempunyai maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia
ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu
menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia
sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.
Mereka berempat lalu makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Diamdiam Sin Liong merasa heran mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu
lainnya untuk ikut pula berpesta. Dan diapun masih bingung apa yang akan
dilakukannya kalau dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Moli berada di situ. Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan
alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat
menduga melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak
termenung dan muram wajahnya.
"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu
sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi suatu perjuangan yang amat penting
yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat dan kerja sama yang erat. Oleh
karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di
mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang
kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."
Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang tajam
mencorong. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"
"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang
saja, agaknya akan timbul perkelahian kalau engkau bertemu dengan suci Kim Hong
Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku
tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri,
Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Akan tetapi,
dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tidak akan menimbulkan
keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh
yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan
kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau
maksudku, Liong-te?"
Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh amat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji takkan membikin ribut,
Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa merekapun tidak boleh mengganggu aku
dan Bi Cu seujung rambutpun."
Pangeran itu tersenyum dan diam-diam diapun kagum. Kini Sin Liong benar-benar
telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anakanak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu
merupakan saingan paling berat baginya ini.
"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja
tiba dan tentu lelah, persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar
kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."
Tiba-tiba wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko,
kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui.
Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tak mungkin kami tinggal
sekamar!" "Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga berkata,
mukanya merah sekali dan dia menunduk.
"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang
tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin
menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh
semua orang. "Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa
engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah." kata
pangeran itu sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong amat "takut"
terhadap wanita, dan sampai kinipun, biarpun sudah sama-sama saling mencinta,
tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw,
hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.
Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat
mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi
ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat
baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ. Setelah mereka
berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tak dapat menahan
lagi kerinduan hati masing-masing dan merekapun saling rangkul dan saling
berciuman sampai hampir kehabisan napas. Akhirnya, gelora hati yang rindu itu
agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat
kolam ikan di dalam taman itu.
"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku
belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."
"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan
hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa,
dalam keadaan apapun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di
jurang itu" Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah
engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"
"Memang benar, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong!
Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga
sekalipun, tanpa engkau di sampingku, leblh baik aku berada di dalam jurang
seperti dulu itu asal bersamamu."
Sin Liong merasa terharu sekali dan memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan
mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita takkan
berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa akupun tidak akan mau
hidup tanpa engkau di dekatku."
Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Sampai lama mereka tinggal duduk seperti itu, tanpa berkata-kata
karena kata-kata sudah tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Katakata bahkan membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali
sampai di sanubari dalam keadaan hening dan sadar sepenuhnya akan kehadiran
masing-masing itu. Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada
di sini. Betapapun baiknya pangeran ini, namun jelas bahwa dia hendak mempergunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."
"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."
"Enci Ciauw Si" Ah, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknyapun merasa tidak enak
dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."
"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."
"Itu kan alasannya! Betapapun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin
Liong. Perlu apa kita ikut campur dengan segala macam gerakan itu" Lebih baik
mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"
Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."
"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... eh, kau tahu,
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pangeran sendiri memujimu di depanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya
engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"
Sin Liong menggeleng kepala. "Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang
pasukan" Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan.
Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi
tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku
berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan
melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat
perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang
wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja
dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak
terhadap kerajaan begitu saja dengan maksud memperebutkan kedudukan, pasti dia
tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Biarpun aku sudah
berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi membantu untuk melakukan
penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan
bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu
dia melakukan kejahatan."
Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di
dalam dunia ini. Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk
menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja
didasarl oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan
diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji
yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat
berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janjijanji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan
mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak. Semma ini
hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan
dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud tercapai
sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan
sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang
telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka
itu. Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang
kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janjijanji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang
berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau
terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut
saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang
tak kunjung terpenuhi itu!
Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan
cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi
atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan
pribadi" Kapankan segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu
bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan
sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para
pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat
melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya"
Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya
merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah
gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya"
Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau
mereka sendiri tidak melakukannya" Yang penting dalam hidup ini adalah
penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata
kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.
Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tidak senang tinggal di Lembah
Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa
khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan
orang pasukan. Dan selain mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, diam-diam
Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan
diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih, bahkan dia mendengar
dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri, wanita gagah itu menikah
dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang
lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!
*** Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan rasa tidak enak
kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan
atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali
karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh
Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan
memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang
pangeran! Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke manapun juga di
seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja sendirian. Kalau dia mengajak Bi Cu,
maka mendadak saja penjagaan diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah
dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai
sandera! Betapapun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan
dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia
juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet
betina besar. Dia bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu
saja tidak ada seekorpun monyet yang mengenalnya. Padahal dahulu, hampir semua
monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya. Akan tetapi diapun
cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tidak mungkinlah baginya untuk melarikan
diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buan
pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi
yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tak mau dia menempuhnya
karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.
Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut
melakukan penjagaan. Pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan
lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan
perondaan di sekeliling lembah yang amat sunyi itu,kadang-kadang membayangkan
apa yang akan terjadi di lembah itu. Dia sudah mengajak Bi Cu beberapa kali
mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana dan di situ dia
bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua
riwayatnya tentang ibunya yang buntung sebelah tangannya, tentang dirinya yang
sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun
Houw. "Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu.
Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir karena hubungan antara ibu kandungku dan
Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui
Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In
Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai
sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang
mengetahuinya. Biarpun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya...
aku hanyalah anak gelap..."
Bi Cu merangkul dan mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, engkau anak terang
anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak
perduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak
malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu
saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.
Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak
Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu diapun baru saja
kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Diapun ingin sekali tahu apa
yang sesungguhnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia
Bun Houw. Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. dan
agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya
kepada siapapun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan
diapun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya.
Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi
ayah kandungnya itu ataupun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!
Terhadap Bi Cu, apapun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemm, kalau pendekar
itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Kalau tidak, diapun tidak butuh
menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu
kepadanya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak
memperdulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang
ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta
dirinya, bukan keturunannya.
Senja telah mendatang dan biarpun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari
yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang
matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak
beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang
itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan
sambil bersembunyi. Dia tadipun ketika pergi menuju ke makam ibunya, masih
tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan
bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau
yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan
mereka, pikirnya. Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikitpun juga.
Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya
karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang malam secara bergilir,
penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembag Naga merupakan jalan masuk
ke lembah itu, tidak terjaga" Ke mana perginya semua penjaga di situ yang
jumlahnya belasan orang itu" Sebagai seorang yang oleh pangeran dipercaya untuk
melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa
berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan
penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.
Sin Liong dengan gerakan ringan sekali lalu meloncat ke arah sebatang pohon
tinggi dan dari puncak pohon itu dia meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana
perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba, dia menahan seruan heran melihat tubuh
beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang
tidur nyenyak, ataukah sudah tewas" Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat
itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu
rebah malang-melintang, sama sekali bukan tidur nyenyak atau mati, melainkan
tidak sadar dalam keadaan tertotok semua! Ada musuh menyelundup masuk! Musuh
yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai sajalah yang berani merobohkan para
penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau
membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu
dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan
meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.
Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan.
Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya dua orang itu
sedang menanti malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk
menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat
sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan
tetapi cepat bukan main. Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sedang duduk di atas
rumput, bersila, dan agaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong
mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu
dari belakang kelihatan belum tua benar. Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tanpa
menoleh telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau
menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai!
Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!
Sin Liong mengenal bahaya, maka diapun meloncat berdiri dan mengelak ketika
sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk
bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil
membentak, "Robohlah!"
Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan sungguhpun dia
merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia
menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Duk! Aihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung dan mengeluarkan seruan tertahan,
karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu
menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.
Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping.
Tahulah dia bahwa ada orang pandai menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka
sambil memutar kakinya, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang
karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.
"Desss...!" Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama
terkejut. Apalagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak
kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya
sendiri, Cia Bun Houw! Maka kini teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Yap In
Hong, ibu tirinya, isteri ayah kandungnya! Di fihak Cia Bun Houw, diapun
mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia
teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan
yang telah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang
tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar
mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu
Pangeran Ceng Han Houw! "Engkau...?" Cia Bun Houw membentak dan Yap In Hong juga menunda serangan
lanjutannya mendengar ini. Dia memandang dan sekarangpun dia teringat kepada Sin
Liong. "Eh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Diapun membentak marah.
Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat
ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi diapun merasa tidak senang
melihat ibu tirinya, apalagi mendengar dia disebut setan cilik!
"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian, "Di sini amat
berbahaya." Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"
"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."
"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Kaukira, kalau engkau yang
berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"
"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena diapun merasa
betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang telah dilimpahkan
oleh ketua Cin-ling-pai, mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat
budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!
Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan
hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"
"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia
sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong. Akan
tetapi, Sin Liong dengan sigap dan cepatnya mengelak, memutar tubuhnya dan tahutahu diapun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap
In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.
Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka
dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Terjadilah perkelahian yang seru
dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.
Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Sama sekali tidak
pernah terdesak malah, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang
tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu dapat mainkan Thai-kek Sinkun dengan amat baiknya, menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan
tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya! Bahkan ketika
kedua orang suami isteri yana amat lihai itu mendesaknya dengan gerakan cepat,
Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok
Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi-i-beng untuk menyedot tenaga dua orang
pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget
sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena
kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri
anak ini! Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya dan
mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan
dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu
yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena betapapun juga, dia
hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari
Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang pemuda ini menghidapi
dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama! Maka mereka itu seolah-olah hanya
"berlatih" saja, sungguhpun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami
isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apalagi setelah lewat
lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu
merobohkan Sin Liong! Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga
biarpun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka
selalu mengendalikan serangan mereka dan kalau sampai Sin Liong terkena pukulan,
tentu saja bukan pukulan mematikan.
Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan main. Ayah kandungnya ini memang
hebat, dan ibu tirinyapun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya
amat sukar baginya untuk memperoleh kemenangan, apalagi harus melayani dua
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang. Akan
tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada
mereka, sungguhpun dalam gerakannya itu telah dibantu oleh kemajuan yang didapat
ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang perajurit yang
dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong
Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Itu adalah pasukan penjaga dari
sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan
dipimpin oleh kakek itu. Melihat ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk
menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah Pangeran Hung Chih. Akan tetapi
kini mereka ketahuan. Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah agak berat,
apalagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi
maklum bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang
berada di daerah itu. Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking, nyaring
yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan
dahsyat itu luar biasa sekali, mengandung tenaga khi-kang kuat sehingga beberapa
orang pengawal terguling roboh. Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin
Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin
bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar
yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan
kelihaian suami isteri itu dan merasa jerih untuk pergi mengejar sendirian saja,
lalu tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.
"Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."
Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang
dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu
tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak
tahu bahwa memang kakek ini kagum bukan main melihat dia mampu menandingi
pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar
terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian
memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah
Naga. Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong
pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong,
ke mana saja engkau sampai malam begini" Hatiku merasa gelisah selalu."
Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu,
betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan suami
isteri itu melarikan diri.
"Ah, ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.
Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tak disangkanya dia
akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia
lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han
Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.
"Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi muncul ayah
kandungmu dan ibu tirimu..."
"Harap engkau tidak menyebut-nyebut tentang ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!"
Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Kalau Bi Cu
yang menyebutnya, hal itu lain lagi!
"Ah, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap
mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang
paling hebat di masa ini telah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini.
Kenapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te" Bukankah
engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka" Mengapa engkau tidak menerima
mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung"
Kau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku
sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"
Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran
dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang
gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu dan tahu bahwa kalau
pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan
memang benarlah. Han Houw kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang
diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan
tetapi diapun girang melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak
membelanya dan setia kepadanya sehingga pemuda ini, untuk menjaga keamanan di
situ, tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri! Tentu saja dia tidak
tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, melainkan karena Sin
Liong didesak dan diserang oleh mereka.
Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus tetapi mengandung teguran dan
penyesalan, "Liong-te, mengapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku
berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun
Houw dan bibi In Hong" Ah, aku sudah mengutus orang menyampaikan surat kepada
keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi begitu paman dan bibi muncul,
engkau malah menyerang mereka."
Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang
jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentu mengandung halhal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Maka diam-diam dia merasa lega bahwa
ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman
bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.
"Maafkan, Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie
Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama
artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak
akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua
merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi curiga dan
menyerang mereka. Terjadilah perkelahian kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek
dan pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."
"Sudahlah," pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal
hatinya terasa lega karena betapapun juga, dia agak jerih terhadap suami isteri
itu. "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam
pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan
duduknya perkara dan aku mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In
Hong!" Pangeran itu menyebut dua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya begitu
sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu
menjadi keluarganya. Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi
menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran
menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan
jagoan nomor satu di dunia!
Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga,
melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan
Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!
Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga"
Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama
dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng
dari dalam tahanan di istana Pageran Ceng Han Houw. Akan tetapi, Sun Eng tidak
dapat ditolong dan meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa berduka
sekali itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri
dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri
urusan duniawi! Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui
Pangeran Hung Chih, kemudian mereka menerima berita baik sekali, yaitu bahwa
mereka sekeluarga Cin-ling-pai telah dibebaskan daripada tuduhan memberontak dan
tidak lagi menjadi buruan pemerintah. Dengan girang mereka lalu menyampaikan
berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan
Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian
menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena
mereka sudah berjanji dengan Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu
menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw. Demikianlah, kedatangan mereka ke
utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu melakukan penyelidikan tentang
kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah
dipergoki oleh Sin Liong! Setelah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah
Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan tentang Lembah Naga yang terjaga
ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang
lebar, kemudian mengutus seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan
itu ke sebelah dalam Tembok Besar. Mereka berdua sendiri masih menanti di luar
Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan
pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw.
Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong. "Bocah setan itu benar-benar
lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu memiliki
semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua
kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"
"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang.
"Aku sendiri sebagai putera tunggal ayah tidak mewarisi Thi-khi-i-beng, juga
enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnyapun tidak. Yang mewarisi hanyalah
kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu kini
mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"
"Dia telah menggabung ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Dia akan
merupakan lawan yang tangguh sekali!"
"MEMANG benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku
menurunkan semua ilmu mereka kepada becah tak berbudi itu sehingga kini semua
ilmu kita sendiri dipergunakan untuk melawan kita dan membela pangeran
pemberontak. Sungguh penasaran sekali, dan kalau saja mendiang ayah dan mendiang
suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa
menyesal sekali." "Sudahlah, tidak perlu kita gelisah dan khawatir. Bagaimanapun juga, dia masih
amat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran
itu, siapa tahu" Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan
keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu
sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya
di Lembah Naga." Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil
memasang mata dengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan
para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya telah disebar oleh kaki
tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya. Semua tokoh kang-ouw
yang "merasa berkepandaian" diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam
undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa dalam pertemuan itu akan dipilih
seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jagoan nomor
satu di dunia ini! Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan
tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan
main. Akan tetapi merekapun tahu bahwa akan terjadi keramaian lain yang sama
sekali tidak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Hen Houw si pemberontak itu.
Mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.
*** Telah terlalu lama kita menginggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang
gagah perkasa itu. Setelah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama
keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang telah menjadi nikouw, sedangkan ayah
kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja
bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Hal ini merupakan kenyataan pahit
bagi Beng Sin karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka kepada orang yang
ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!
Dengan hati perih sekali setelah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah
menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui
Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin
Nikouw, ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan
tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui
kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciokpiauwsu yang baik budi dan gagah itu. Dia tidak lagi mengharapkan ayah
kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan
perjodohan dengan seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu,
karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, seayah berlainan
ibu! Maka dengan besar hati dia meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda
gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu
keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, telah
menantinya dengan penuh harapan.
Dan apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon
mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan meriah sekali. Siu Lan, dara itu,
tidak mengeluarkan sepatahpun kata, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi
cerah sekali, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan
berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan
tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lalu melarikan diri
dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas
pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!
Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda
itu dengan girang, dan mereka mendengarkan dengan wajah serius ketika Beng Sin
menceritakan segala yang telah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa kalau dia mau
menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu
saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.
Yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya
sendiri..." Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu dan isterinya. Akan tetapi
setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka
karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciokpiauwsu menarik napas panjang dan berkata, "Engkau tidak bersalah dalam hal itu.
Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."
Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu
menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya telah berpisah, dan ibunya
kini menjadi nikouw dan tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia
sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya
itu dan dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya,
sebagai nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.
Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga
kagum. Pemuda calon mantunya ini benar-benar seorang yang amat jujur, tidak mau
menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Jauh lebih baik mempunyai seorang mantu yang jujur seperti ini daripada kalau menyembunyikan dan
merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan sikap jujur seperti itu, Beng
Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah
kandungnya sendiri! "Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan
kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan
mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal
tinjunya. "Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi!
Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"
"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kedua orang adikmu itu
telah selamat." "Eh" Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biarpun agak malumalu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati
Ciok-piauwsu. "Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu,
demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah
Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak
sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."
Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga
girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.
"Ah, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan
mereka berada di kota ini" Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak
senang. "Benar, dan mereka kini telah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat
mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat
berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan
sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."
Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng
kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu berkata, nada suaranya
bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati
kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai
seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi dan bijaksana. Akan tetapi, semua
itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hendak bersikap murtad dan
kejam terhadap ayah kandung sendiri."
"Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa
kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu
sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran
itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas.
"Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu
adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya,
apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau
memaafkannya" Dia sekarang... ah, sakit parah..."
"Ahhh...?" Beng Sin terkejut.
"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit
yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati
orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat
ayah mereka sakit." Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu
menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah
kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak
budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu,
bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta
wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak
terhadap seorang adiknya.
"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."
Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah
rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng
Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga
Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang
mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di
rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan
untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu
mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-engpiauwkiok, untuk "dijalankan" sehingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan
dan tidak akan habis dimakan menganggur begitu saja.
Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung,
keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua
tangan Beng Sin sambil menangis.
"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.
"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.
Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua
orang dara kembar yang disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih
kepada Thian bahwa kalian dalam selamat..." katanya berulang-ulang.
Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik
tirinya, sedarah dengan dia, seayah!
"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.
"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui
Lin. Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahukah dua
orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka" Dan sudah
dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu" Yang paling buruk harus dibicarakan
lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata, "Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku
telah... membunuh Bu-ko..."
Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua
itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.
"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian
karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko
dan dari... dari ayah..."
"Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga
mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah...
dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari
kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya
keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu
betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah
menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang lakilaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah
menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman
Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri.
Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua
orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka. "Bagaimana...
ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan
bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga
Ciok bahwa dia sakit payah?"
Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, tubuhnya tidak apaapa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."
"Tetapi bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar,
dia hampir merasa dapat mengerti.
"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."
"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam duka dan sesal.
Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.
Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke
dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.
Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat
orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan
dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja.
Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan
biarpun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu
rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng
Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.
"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.
"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.
"Beng Sin... Beng Sin... anakku..." kata orang tua itu lirih seperti berbisik.
Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di
depan orang tua itu sambil menitikkah air mata. "Ayah...!" Dia tidak dapat
bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara
apakah" "Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau
tidak membunuh aku sekalian" Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh
ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti
aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku
semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang
tua itupun menangis seperti anak kecil!
Beng Sin terkejut dan momandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan
Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan
menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang
tua itu masih terdengar. "Dia selalu begitu..." kata Kui Lin berbisik. "Kalau ditanggapi, makin menjadijadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."
Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia
harus menderita batin seperti itu..."
"Itukah hukum karma" Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui
Lin meragu. "Betapapun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita. Ayah kita pernah melakukan
kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak
sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.
Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan
segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati
mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu
mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi
menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.
Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat" Apakah gunanya penyesalan"
Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu
sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian" Ataukah penyesalan sekedar
merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang
menderita akibat perbuatannya sendiri" Betapa seringnya kita menyesal, akan
tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang
kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada dalam keadaan tidak
waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan,
dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi,
tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu
hanya mementingkan kesenangan. Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu
kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba
andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali
perbuatannya mengejar kesenangan itu" Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang
makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat
dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula
orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui
mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan
yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat
kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita
sehar-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini"
Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah
kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat.
Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan
meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan
kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan
kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan
tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu
dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan
terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan
kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi
saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan
sadar adalah sekarang ini!
Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah
benar itu" Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya
sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendirisendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang
kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta
kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang,
ingin baik dan sebagainya!
Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan
diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal
keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang
perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!
*** Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw
itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga
banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk
datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor
satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa
yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk
menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun
tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang
termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya
agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada
menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.
Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih,
maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai
persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga
mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula
partai-partai kecil. Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat
empat orang pendekar atau dua pasang suami isteri yang berpakaian sederhana,
akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orangorang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong
tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.
Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan
kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat
dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw
dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran
berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil
keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain
mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang
pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu
memisahkan mereka satu dari yang lain.
"Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh..." keluh Cia Giok Keng, keluhan yang
sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib
Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh.
Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat
terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong
seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang
sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang
jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie
Ciauw Si. "Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada
encinya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk
menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi
ternyata pangeran itu telah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya
sebagai isterinya!" Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu.
Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok
Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata
lantang, "Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar
orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"
Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia
berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan
bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan
perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita
harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan
atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali
menyesatkan." Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu.
Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu dilanda
kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya
perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati
sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat
dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan
betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggalkan keluarga Cin-ling-pai
karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian,
terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu
kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa
yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara
semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang
justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh
kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan
kemungkinan seperti ini. Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian
indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar
daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para
tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw
itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga
sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin
tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga,
ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta
besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias
dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.
Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya
siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para
pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan
mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di
antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar
bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah
itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi
hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat
membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi
isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat
orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara
banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu
menyolok. Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan
mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya
Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.
Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang
Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw
mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat
Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang
dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.
Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali
mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman
dan bibinya. "Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu
dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku
dapat menghadapnya di sini saja?"
Ceng Han Houw menggelengkan kepalanya. "Kurasa hal itu kurang biiaksana, Si-moi.
Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kangouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu
akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat
kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus
menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita rundingkan bersama
sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu."
Pangeran itu memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau
sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai
isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling
dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal
di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau
sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini
saja." Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia
menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan
mengangguk. "Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya
kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian," katanya melirik
kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu
mengangguk. "Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu,
Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian."
Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam
kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa
memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi
peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan
apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena
harus melindungi kekasihnya itu.
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar
mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah
meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin
Liong berjalan di sebelah kirinya.
Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman
keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan
keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka
lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh
kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya
yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup
mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu
menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia
berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke
ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikitpun dia tidak kelihatan
canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah
perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan
indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap
tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita
dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun
juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu
terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.
Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya
dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di
samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak
keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat
bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar
Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan
lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam
tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya,
dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir.
Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan
di samping sang pangeran pula. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap
Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pandangan yang luas
itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu
bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi
pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng
Lama" Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang
berbakat ini terdapat batin yang rendah" Dia bergidik melihat sepasang mata anak
muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri,
dan wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana
mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian
mudahnya oleh pemberontak ini"
Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang
pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan
Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di
kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang
lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat
duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat
keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat
mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk
mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain
itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia
lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia
miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang
dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan
membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu
kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya
ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cinling-pai memandangnya dengan marah.
Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan
melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu,
pikirnya. Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang
dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan
penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa
tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh
angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang
besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga
penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu yang bermacam-macam bentuk
dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu.
Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya.
Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang
seperti hidup. Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci
perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah
cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak sehingga ruangan
itu penuh bau arak yang sedap.
Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw
lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan
nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur
dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib, "Silakan cuwi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"
Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang
ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi
sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengundang
seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw
hanyalah memillh golongan mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang
mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan masyarakat, atau juga
membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah
partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak
akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan
pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang dianggap sebagai orangorang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng
Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan
antara yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di
undangan itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat
nomor satu di dunia! Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu
yang sudah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani
menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar
berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!
"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan
perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena
dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan
demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang, "Kami mengucapkan
terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat
selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan
bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan
seluruh rakyat jelata" Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan
pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah
melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak kepada orangorang gagah perkasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah
ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah
diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila kita
mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita
berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling
tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang
patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!" Dan seorang
pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah
tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari
kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja
terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok
yang membawa bendera Siauw-lim-pai.
Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak
untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri
sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"
Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih
berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa
pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang. "Saya bernama Ciu Khai Sun
sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan
tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang
bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang
bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya
dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat.
Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."
Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut
ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga
tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi
tenang kembali. "Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.
"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan
keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu
namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang
bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan
musyawarah apabila terjadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita
semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Setelah berkata demikian, pemuda
gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi.
"Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik
kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.
"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi
semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng
Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya, "Terima
kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang
setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan
tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat
masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang
akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu
itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu.
Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan
bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan" Kita
akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orangorang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap
kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan
menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia.
Siapapun boleh boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak
tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku
sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"
Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut
sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut
karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran
itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula
di situ ayah kandungnya! "Houw-ko," bisiknya. "Aku tidak dapat menerima ini!" Sin Liong bangkit berdiri
dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda
pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring, "Cu-wi,
maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikutikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!" Dan
diapun duduk kembali. Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, "Cu-wi, lihat betapa
sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat...
kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi
calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji!
Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat
melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"
Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak.
"Houw-ko, aku tidak mau!" Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan mendekati Sin
Liong, menghardik dalam bisikan pula.
"Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku" Ingat, Bi Cu berada di tanganku,
dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."
Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata
terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar
ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih
hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar
pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat
betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak
mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati
daripada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.
"Aku tidak sudi!" katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, menuju
ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat
Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang
pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun
makin keras tertawa dan bersorak.
Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, "Apa yang telah kaulakukan
ini, pangeran?" "Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil." Pangeran itu
berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu
tidak berisik. "Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan
cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik
angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri!
Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena
kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa
yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi
calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"
Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan
menjura ke arah penonton yang menjadi semakin riuh bertepuk tangan memuji karena
memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak
pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api,
sepasang mata ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke
kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya
sambil mengepal tinju kirinya.
Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah
berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.
"Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?" kata Bun
Houw dengan marah. "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?"
"Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah," bisik Cia Giok
Keng. "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si."
Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin
Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi" Permainan apakah yang
dilakukan oleh Pangeran itu"
Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya
sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima
pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis, "Biar aku maju
sebagai calon menghadapinya!"
"Ah, jangan begitu, enci Keng!" adiknya menyela.
"Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya
akan mendatangkan aib bagi nama keluarga." kata Yap Kun Liong menyabarkan
isterinya. Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya
kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengahtengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran.
Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang
tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar
itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya
lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar. "Pangeran, saya
Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak
berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya
mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan
saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar
pertemuan ini menjadi lebih gembira." Sambil berkata demikian, matanya yang
lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa
yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah
isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi
Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata
kepada isterinya dengan suara halus.
"Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong."
Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus
melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum
bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena
betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata
sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung
Merah Berlengan Besi itu.
Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh
kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang
yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa
cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum
pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh tidak rugi
sekali ini, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti
ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa
wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang pangeran dan
tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka diapun menyeringai
dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.
"Orang she Loa, kau mulailah!" Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.
"Eh... oh... mana saya berani mendahului?" kata Loa Khi yang meringis seperti
seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan
matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati
Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya
sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan
tangan maut menyerang orang ini.
"Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!" kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan
kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih
menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya
dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan,
tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya
mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut
pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka tahu bahwa
kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak
memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya,
merasa kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kudakudanya itu. Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan
lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri,
yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah
lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar
wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk
menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang
cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk
menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorongnya maju adalah untuk
dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat
serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan
dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum
akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan
cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya bergerak
menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menangkap kaki
yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke
arah dada Ciauw Si! "Hemmm...!" Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat,
kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan
jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin
pukulan dahsyat menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia
berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya
untuk menjaga diri. "Desss...!" Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si
dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada.
Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji
kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan
tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu
terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya
sesak dan sukar bernapas!
Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rombongan,
maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawalpengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa
orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang.
Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali
ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus!
Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat
untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan
niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang
ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang
berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk.
Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan
terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki
tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah
mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang
melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan.
Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai
pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan
kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie
Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga
dan menentang kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw
untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian.
Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh
Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han
Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya.
Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang
meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw,
suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di
bagian luar tempat itu, "Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya
pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan
nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran
sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali menguji kebodohan
sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."
Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh
perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang
tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw! Han
Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah
ketika dia berkata halus dan lantang, "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami
terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling
menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago
menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang
memperkenalkan diri."
"Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang
amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu
Kemelut Kadipaten Bumiraksa 3 Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis Hati Budha Tangan Berbisa 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama