Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 32
kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.
"Eh, twako, kau mau apa?"
"Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya
menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah..."
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa
tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah
menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar
teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua
orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka
berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong.
"Cia-taihiap, pinto mengaku kalah..." kata tosu itu.
"Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya
mengaku kalah..." Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh
kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi
dari situ tanpa menoleh lagi.
Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong,
memegang tangan pendekar itu dan berkata, "Ah, sungguh tak pernah kusangka!
Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm,
tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap..."
Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. "Twako, kenapa engkau begini
sungkan" Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah
seorang manusia." Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri
yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. "Ah, Sin Liong... sungguh tak
pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!"
Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong
Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang
sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.
"Mari kita lanjutkin perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan kita sebaiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam," kata Ciu Khai Sun.
Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu
mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol dan makan malam di
rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya.
Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong,
"Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi
sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan
ji-wi?" Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan
menjawab singkat. "Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupakanmu, Ciu-twako."
Mendengar ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri gembira. "Wah,
kalian akan menikah" Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya
kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?"
Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka
merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira,
keduanya lalu tersenyum lega.
"Na-twako, kami... berdua saling mencinta..." pengakuan Bi Cu ini untuk
menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan
minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya.
"Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan
cinta kedua fihak, baru dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi
(selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim
undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!"
Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan
bekas suheng itu. "Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma
engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman."
Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan
dia menarik napas panjang. "Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa
sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh,
dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri."
Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih
menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu
akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi
Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa
pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala
peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di
depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka
tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka
merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih
gembira. *** Setelah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun
pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang
oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan
orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya,
karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.
Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira
bukan main. "Liong-koko...!" Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak dan
berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin
Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik
tirinya yang disayangnya ini.
"Kalian baik-baik saja, bukan?" tegurnya.
Setelah pertemuan tiga orang yang gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong
menyalam Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi bernama Kui Beng Sin, dan
memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui,
kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek. Dalam perkenalan ini, terjadi hal
yang amat menarik, yaitu pertukaran pandang mata antara dua orang dara kembar
itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu
tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka berdebar tidak
karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selamanya belum
pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik
manis dan lincah! Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin dan dua orang
adik kembarnya. Sambil menggandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu
dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Tujuh
orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, "Di manakah
ayah kalian" Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk
menemuinya?" Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedang Beng Sin segera
bangkit berdiri sambil berkata, "Dia beristirahat di dalam. Marilah kalau kalian
hendak bertemu, kuantarkan. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu
kita ini." Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba
di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik, "Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa...
ayahku telah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian,
terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang
menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Linmoi, tidak maukah kalian memaafkannya?"
Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh
besar pembunuh ayah kandungnya, sudah banyak kebencian di dalam hati Bi Cu
menurun, bahkan ada rasa tidak enak kalau sampai dia harus turun tangan membunuh
Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang
kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapapun juga, dua orang dara kembar
yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia
menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat
tidak enak baginya. Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati
membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali
tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong
dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia makin merasa
canggung dan tidak enak, dan dia tidak berkata apa-apa dan memblarkan Sin Liong
yang menjawab. "Beng Sin, antar sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana
keadaannya sekarang."
Beng Sin mengangguk lalu menarik napas panjang. "Menyedihkan sekali... dan kalau
keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan
pernikahanku?" Mereka tiba di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di situ dan Beng Sin menuding ke
kamar itu. "Dia selalu berdiam di kamarnya." Kemudian dia membuka daun pintu
lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu.
Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung. "Ayah, Sin Liong dan nona
Bhe datang untuk menengokmu, ayah," kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat
yang duduk di atas kursi itu.
Sin Liong dan Bi Cu terkejut melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang
pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus
kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan tiba-tiba pria itu bangkit
berdiri, memandang kepada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi
Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba
kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
"Ampunkan aku... ampunkan aku..."
Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat
itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit,
dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan, "Atau, kalau tidak mau
mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!" Dan dia sudah
memasang kuda-kuda. "Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk," Beng Sin berkata
dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung
hidup! "Mari... mari kita pergi..." kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong dan
pemuda ini merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi
Cu sama sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih
belum puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata
dengan suara halus. "Paman Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan
yang telah kaubunuh itu!"
Bibir Kui Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, "Bhe Coan... Bhe Coan..."
Lalu kembali dia menjatuhkan diri dan berlutut. "Ampunkan aku... ampunkan
aku...!" Sejenak kemudian dia sudah meloncat bangun dan seperti tadi dia
memasang kuda-kuda dan berkata, "Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita
bertanding sampai aku menggeletak mati!"
"Mari kita pergi!" Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya
diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia sudah
menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu.
"Kiranya ayahku telah berdosa pula kepada nona, maka biarlah aku yang mintakan
ampun dan menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk
memaafkannya," Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut!
Cepat-cepat Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya dan membangunkannya. Sin
Liong merangkulnya. "Beng Sin, engkau sungguh seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu
tidak mendendam, bahkan kami kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh
lebih menderita daripada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas dendam."
Beng Sin menghela napas. "Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia
hanya minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores
hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk."
"Apakah setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu?"
"Kadang-kadang dia keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman
di belakang rumah, tak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu,
kamarnya dan taman bunga."
"Sudahlah," kata Bi Cu. "Mari kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara
dengan gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua."
Mereka lalu kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak
bicara dengan asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biarpun baru saja
berkenalan, agaknya nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan,
dan antara Tiong Pek dan Kui Lin!
Lan Lan dan Lin Lin menjadi girang sekali ketika mereka melihat Sin Liong dan Bi
Cu kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin kelihatan gembira. Mereka lalu
memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu sibuk untuk menjamu para tamu
mereka dan tujuh orang muda-mudi itu makan minum sambil bercakap-cakap dan
bersendau-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa cocok satu sama
lain bertemu dan bercengkerama.
Akan tetapi, selagi mereka bergembira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari
belakang rumah. Sin Liong yang tercepat di antara mereka sudah meloncat dan lari
masuk, terus menuju ke belakang, diikuti oleh yang lain-lain. Dan di tengahtengah taman bunga di belakang rumah itu kelihatanlah pemandangan yang
mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya menggeletak
pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita luka
hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuatnya muntah darah.
Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua orang itu
tidak tertolong lagi. Pedang kakek brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui
Hok Boan membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali.
Lan Lan dan Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. "Dia
ini yang dulu menculik kami!" teriak Kui Lin.
Sin Liong juga ingat akan pengalamannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu
terdapat seoranq kakek brewok yang melarikan Lan Lan dan Lin Lin dan kebetulan
dia melihat hal itu, maka diapun menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan Kui
Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi kawan-kawannya. Bahkan monyet
betina yang menjadi induknya, yang merawatnya ketika dia masih bayi, tewas oleh
kakek brewok ini. Maka dia cepat mendekati, monotok beberapa jalan darah untuk
mengurangi penderitaannya, lalu bertanya, "Mengapa kau membunuh paman Kui Hok
Boan?" tanyanya. Orang itu terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. "Aku... Ciam Lok... puas
sudah dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan
ditinggalkannya..." dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini, nyawanya
menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu. Beng Sin, Lan Lan dan
Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu mengurus
jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun.
Sin Liong dan Bi Cu tinggal di Su-couw, ikut membantu keluarga Kui yang mengurus
pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini
telah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga membantu sampai selesainya
pemakaman. Kemudian, Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw untuk pergi ke Cinling-san. Di tempat ini, mereka disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira
sekali. Sampai beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap dan saling
menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong dihujani
pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya dari
kecil sampai dewasa. Beberapa bulan kemudian, atas persetujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai,
dilangsungkan pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu
dirayakan dengan amat meriah karena dihadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw
di empat penjuru, dan juga dihadiri pula oleh banyak tokoh-tokoh besar dari
pemerintah di kota raja! Bahkan Pangeran Hung Chih sendiri berkenan hadir! Semua
tamu memandang dengan gembira dan harus mengakui bahwa pasangan pengantin itu
memang tepat dan cocok sekali, apalagi melihat betapa dari dua pasang mata
pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih kalau mereka saling pandang.
Tidak semua cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu,
akhirnya menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama dan
setiap pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apabila rumah tangga
mereka didasari dengan cinta kasih. Apapun di dunia ini, baik yang oleh umum
dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah dan
mudah diatasi apabila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih. Yang umum
menganggap kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang umum menganggap sebagai
kesengsaraan akan terasa ringan apabila dihadapi oleh sepasang suami isteri yang
saling mencinta. Beberapa bulan kemudian, pengantin muda dan masih baru ini menghadiri pernikahan
yang diadakan di Su-couw, yaitu sekaligus tiga pasang pengantin dirayakan
pernikahannya, antara Kui Beng Sin dengan Ciok Siu Lan, Cui Khai Sun dengan Kui
Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin!
Demikianiah, cerita ini berakhir dengan catatan bahwa suami isteri Cia Sin Liong
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari Istana Lembah Naga,
hidup berbahagia di tempat sunyi itu. Harapan pengarang, semoga cerita Pendekar
Lembah Naga ini dapat menghibur hati para pembatanya di waktu senggang dan
mengandung manfaat bagi pembukaan kesadaran dan kewaspadaan kita bersama. Sampai
jumpa di dalam cerita "Pendekar Sadis" yang merupakan cerita sambungan dari
cerita ini. T A M A T Lereng Lawu, Agustus 1976
Kesatria Baju Putih 18 Pengemis Binal 04 Asmara Penggoda Kisah Pendekar Bongkok 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama