Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 10
"Apa katamu" Ilmu sesat dari iblis tua di Sing-siok-hay" Apa engkau maksudkan
'Hua-kang-tay-hoat' itu?" tanja Tjing-sun heran. "Dan siapa jang kau katakan
mempeladjarinja?" "Hm, puteramu ini telah masuk kegolongan menjesatkan itu, apa tidak kuatir bikin
kotor nama baik keluarga Toan di Tayli sini?" djengek Tjiok-djing-tju.
Tjing-sun bertambah heran dan menjangka orang maksudkan peristiwa Lam-hay-goksin itu. Maka dengan tertawa katanja pula: "Tentang Lam-hay-gok-sin itu memang
benar dia telah penudjui anakku ini dan ingin menerimanja sebagai murid. Tapi
kedjadiannja adalah terbalik hingga dia jang telah mengangkat guru pada anakku.
Hal itu hanja main2 sadja dan takbisa dianggap sungguh2."
Namun Tjiok-djing-tju menggeleng kepala, sahutnja: "Meski ilmu silat Lam-hay-pay
tjukup hebat, tapi belum tentu mahir 'Hua-kang-tay-hoat'
ini." "Ber-ulang2 Hidung-kerbau bitjara tentang Hua-kang-tay-hoat sadja, sebenarnja
apa2an maksudmu ini?" tanja Tjing-sun bingung.
Karuan Tjiok-djing-tju mendongkol. Betapapun tak tersangka olehnja bahwa "Tjuhap-sin-kang" jang dimiliki Toan Ki itu bukan sadja tak diketahui ajah dan
pamannja, bahkan pemuda itu sendiri pun tidak tahu-menahu.
Maka mendadak ia berbangkit dan berkata, "Engkau memang tidak tahu atau berlagak
pilon" Aku orang she Tjiok meski orang pegunungan dan suka kelajapan di Kangouw,
tapi kedua kakiku ini pun bukan tjetakan dari besi, djauh-djauh dari Kanglam
kudatang kemari, kau kira tujuanku melulu hendak minta setjangkir teh ini" Djika
kalian tidak anggap aku sebagai kawan, biarlah sekarang djuga aku akan pamit."
Habis berkata, terus sadja ia bertindak keluar.
"Hek-kin, Thian-sik, rintangi Hidung-kerbau itu, minta pendjelasan padanja,"
seru Po-ting-te dengan tersenjum. "Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan
minum lebih dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu sadja?"
Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Tjiok-djing-cu, dengan terbahak-bahak
tjepat mereka melompat ke ambang pintu untuk merintangi.
"Hahaha, Tjiok-lauto, kau datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu
tandanja engkau bermaksud baik serta mengindahkan Hongya kami. Tapi tanpa pedang
engkau hendak menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanja tidaklah mudah!"
Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan padanja, pikiran Tjiok-djingtju tergerak pula, "Rasanja keluarga Toan tidak mungkin mengidjinkan anaktjutjunja beladjar ilmu siluman dari Sing-siok-hay jang kotor itu. Apa
barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinja, di luar tahu ajah dan pamannja"
Kalau kubongkar rahasianja itu berarti aku akan mengikat permusuhan dengan
pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ajah dan pamannja adalah lain daripada jang
lain, kalau tahu sesuatu tak boleh kutinggal diam."
Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan
sungguh-sungguh, "Toan-kongtju, djelek-djelek Tjiok-djing-tju adalah angkatan
lebih tua daripadamu. Sekarang aku mempunjai suatu pertanjaan, mengingat
hubunganku dengan ajah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap
engkau djangan marah."
"Tjiok-totiang mempunjai petundjuk apa, silakan bitjara, aku akan terima dengan
hormat," sahut Toan Ki.
Diam-diam Tjiok-djing-tju membatin botjah ini masih tetap berlagak pilon. Segera
katanja, "Sudah berapa lama Toan-kongtju berhasil mempeladjari 'Hua-kang-tayhoat'" Gurumu adalah Tjindjin jang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siokhay itu?" Toan Ki mendjadi bingung, ia garuk-garuk kepala, sahutnja: "Hua-kang-tay-hoat
dan iblis tua dari Sing-siok-hay apa" Wanpwe baru sekarang mendengar nama2 itu."
Pikir Tjiok-djing-tju mungkin orang jang mengadjar Toan Ki itu sengadja tidak
mengatakan asal-usul dan nama perguruannja itu. Maka tanjanja pula:
"Habis, darimana engkau beladjar ilmu itu, bagaimana wadjah orang itu?"
"Wanpwe tidak pernah beladjar silat apa2," sahut Toan Ki.
Dan pada saat itu djuga, se-konjong2 dari ruangan belakang berlari keluar
seorang dan tangan Toan Ki terus ditjengkeramnja. Kiranja orang itu adalah Uibi-tjeng. Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika badan paderi itu tergetar, tenaga
dalam tubuh se-akan2 membandjir keluar tak terhentikan.
Tanpa pikir lagi Ui-bi-tjeng ajun kakinja hingga Toan Ki didepak terdjungkal.
Tentu sadja semua orang kaget, be-ramai2 mereka berbangkit dan menanjakan ada
apa" "Kedua Toan-heng, botjah ini akan kalian binasakan sendiri atau biar Lotjeng
jang membereskannja?" tanja Ui-bi-tjeng tiba2 dengan suara gemetar dan berkerut2 mukanja. Kiranja ber-turut2 Boh-tam berenam telah sadar kembali dan telah mentjeritakan
kedjadian tenaga dalam mereka disedot habis2 an oleh Toan Ki. Karena itu timbul
pendapat Ui-bi-tjeng jang berlainan daripada Tjiok-djing-tju. Paderi itu
menjangka Toan Ki telah membalas susu dengan air tuba, ditolong malah mentung
dan merusak Lwekang keenam muridnja itu.
Apalagi waktu tangannja memegang tangan pemuda itu, seketika tenaga dalam
sendiri djuga akan diisap, maka ia mendjadi lebih jakin lagi akan tjerita
murid2-nja itu. Mula2 Po-ting-te dan lain2 merasa heran ketika mendengar utjapan Tjiok-djing-tju
tadi, mereka mengira imam jang biasanja djenaka itu sedang membadut. Tapi kini
demi nampak sikap Ui-bi-tjeng jang sungguh2 itu, barulah mereka insaf urusan
benar2 sangat gawat. Segera Po-ting-te pegang djuga tangan Toan Ki hendak menjeretnja bangun. Ketika
tangan menempel tangan, tiba2 hatinja tergetar djuga, tenaga dalamnja terus
merembes keluar. Tjepat ia tahan sekuatnja, berbareng lengan djubahnja mengebas
hingga Toan Ki digentak kesamping beberapa tindak. Lalu bentaknja dengan suara
bengis: "Sedjak kapan kau dapat beladjar sesat begini."
Sedjak ketjil sampai dewasa, djarang sekali Toan Ki melihat pamannja itu bitjara
dengan suara bengis padanja. "Saking gugupnja terus sadja ia berlutut dan
mendjawab: "Ketjuali 'Leng-po-wi-poh' itu, selamanja anak tidak pernah beladjar
ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu gerak langkah itu ternjata sedjahat ini.
Djika............ djika demikian biarlah anak takkan menggunakannja lagi mulai
sekarang, bahkan akan kulupakan sadja seluruhnja."
Po-ting-te tjukup kenal watak keponakannja itu jang teguh, selamanja tidak
pernah berdusta, terhadap orang tua djuga sangat menghormat, maka apa jang
dikatakan pasti tidak salah. Tentu didalamnja ada sesuatu jang gandjil, maka
katanja pula: "Kau menggunakan ilmu untuk melenjapkan tenagaku, hal ini sengadja
engkau lakukan atau karena terpaksa sebab mendapat tekanan dari orang lain?"
Toan Ki bertambah heran dan bingung: "Titdji ben............... benar2
tidak tahu sama sekali, darimana Titdji berani melenjapkan tenaga paman"
Hakikatnja Titdji tidak bisa sesuatu ilmu apa2!"
Tadi waktu Hui-tjin dan Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui jang
diagungkan, Si Pek-hong tidak bebas bertemu dengan orang luar, maka dia
menjingkir kedalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa putera kesajangannja
itu didepak terdjungkal oleh Ui-bi-tjeng, pula sedang ditegur oleh Po-ting-te,
saking gugupnja terus sadja ia keluar kembali.
Dan ketika melihat Toan Ki lagi berlutut dilantai dihadapan sang paman dengan
sikap bingung dan takut, sebagai ibu jang maha kasih, segera ia mendekati untuk
menarik bangun sang putera sambil berkata: "Ki-dji, djangan kuatir, segala
urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh.................." se-konjong2 ia merasa tangannja jang memegangi tangan sang putera itu se-akan2
tersedot dan tenaga dalamnja terus merembes keluar tak terhentikan.
Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah ber-siap2, tjuma diantara ipar tiada
boleh bersentuhan badan, maka tidak enak untuk menarik tangan Si Pek-hong, tapi
tjepat ia kebas lengan djubahnja hingga berdjangkit serangkum angin keras ketengah2 kedua orang itu, dengan paksa ia pisahkan daja lengket daripada tangan
ibu dan anak itu. "Kenapa kau............ kau............" seru Si Pek-hong kaget setelah dapat
menarik kembali tangannja. "Melihat kelakuan sang ibu jang kaget dan gugup itu,
Toan Ki masih belum sadar kalau dirinja jang mendjadi gara2, tapi tjepat ia
berbangkit hendak memajang sang ibu.
"Djangan Ki-dji!" lekas2 Tjing-sun mentjegahnja sambil mengadang diantara isteri
dan anaknja itu. Maka sekarang tahulah semua orang kalau pada badan Toan Ki itu ada sesuatu jang
tidak beres, tapi merekapun tidak tjuriga lagi bahwa pemuda itu mahir "Hua-kangtay-hoat" dan sengadja hendak mentjelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui
dari sikap Toan Ki jang polos dan lugu itu, sedikitpun tidak ber-pura2 atau
palsu. Pula, seumpama pemuda itu benar2
djahat dan kedji, rasanja djuga tidak mungkin Untuk membunuh ibu kandung
sendiri. "Ui-bi Taysu, Tjiok-totiang," tiba2 Sing-thay berkata, "apakah sebabnja Toankongtju bisa begitu" Hajolah, tjoba siapa jang lebih dulu dapat menerangkan!"
Mendengar itu, Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju saling melotot sekali, lalu sama2
memeras otak untuk menemukan djawaban dari persoalan itu.
Kiranja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju sebenarnja adalah dua kawan karib dimasa
dulu. Suatu kali, karena berdebat tentang agama jang dianut masing2 itu,
keduanja sama2 tidak mau mengalah hingga achirnja saling gebrak dengan ilmu
silat. Tapi karena kepandaian masing2 mempunjai keunggulannja sendiri2, maka
kekuatan kedua pihak boleh dikata setali-tiga-wang alias sama kuat. Beberapa
kali mereka pernah bergebrak bertanding, pada pengabisan kalinja, hampir-hampir
keduanja menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te jang telah
memisahkan mereka dengan Lwekangnja jang tinggi, tapi ketiga orang telah
menderita kerugian tenaga dalam jang besar hingga perlu merawat diri untuk waktu
tjukup lama. Sedjak itu satu Hwesio dan satu Tosu itu bersumpah tidak sudi
bertemu muka lagi. Siapa duga harini djusteru saling berdjumpa pula didalam
istana pengeran Tin-lam-ong ini.
Ko Sing-thay bermaksud melenjapkan persengketaan diantara kedua tokoh itu, maka
sengadja ia kemukakan persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu
bertanding ketjerdasan otak, tapi tidak bertanding dengan ilmu silat, dan djika
pertanjaannja tadi dapat dimenangkan oleh salah satu pihak, ia harap dapatlah
mengachir pertjetjokan diantara kedua orang itu.
Pertanjaan Ko Sing-thay itu sebenarnja lebih menguntungkan Tjiok-djing-tju,
sebab djedjak imam itu telah mendjeladjah kemana sadja, dengan pengalamannja
jang luas itu terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-tjeng jang sudah sekian
lamanja terasing dipegunungan sunji.
Namun biarpun Ui-bi-tjeng tidak tahu apa sebabnja Toan Ki mendjadi begitu, bagi
Tjiok-djing-tju, ketjuali menduga kepandaian pemuda itu adalah Hua-kang-tay-hoat
adjaran iblis tua dari Sing-siok-hay, lebih dari itu iapun tidak bisa
mengemukakan sesuatu logika Iain.
Maka dengan gusar Tjing-sun kemudian berkata: "Ketika Ki-dji dikeram didalam
rumah batu itu, tentu dia telah ditjekoki sesuatu obat ratjun apa2 oleh Djingbau-khek itu hingga ada ilmu sihir menggemblek dalam tubuhnja tanja
disadarinja." "Ja, masuk diakal djuga pendapatmu ini," udjar Po-ting-te mengangguk.
"Tentu Ki-dji telah terkena apa2nja, makanja bisa begini. Ki-dji, tjoba katakan,
waktu dikurung didalam rumah batu itu, apakah kau pernah pingsan?"
"Pernah," sahut Toan Ki. "bahkan beberapa kali Titdji tak sadarkan diri."
"Itulah dia!" seru Tjing-sun. "Pasti kesempatan diwaktu Ki-dji tak sadar itu
telah digunakan oleh Djing-bau-khek untuk memasukan ilmu sihir jang bisa
menghapuskan kepandaian orang kedalam badannja. Maksud tudjuannja tentu setjara
tak langsung Ki-dji hendak dipakai untuk mentjelakai sanak pamilinja, jaitu
supaja ilmu kepandaian kita akan lenjap semua ditangannja Ki-dji. Sungguh tipu
muslihat jang kedji ini harus dikutuk. Toako, urusan tidak boleh terlambat,
marilah kita harus segera mentjari akal untuk melenjapkan ilmu sihir didalam
tubuh Ki-dji itu." Dan diantara semua orang itu, dengan sendirinja Si Pek-hong jang paling kuatir,
tanjanja tjepat: "Ki-dji, apakah kau merasa badanmu ada menderita sesuatu?"
Toan Ki mengkerut kening, sahutnja: "Antero tubuhku terasa penuh terisi hawa
belaka, di-mana2 se-akan2 melembung dengan hebat, tapi djusteru susah untuk
dimuntahkan keluar. Hawa itu terasa meresap kesana-kesini didalam badan, mungkin
seluruh isi perutku telah katjau-balau diterdjang olehnja."
"O, kasihan!" seru Si Pek-hong terus hendak merangkul sang putera.
Sjukur Tjing-sun keburu mentjegahnja dari samping sambil berkata:
"Djangan menjentuh Ki-dji! Badannja keratjunan."
"Badan keratjunan", memang demikianlah pendapat semua orang jang hadir disitu.
Mereka mendjadi kasihan dan gegetun pemuda jang tampan itu mesti menderita
penjakit jang aneh itu. "Toapek, kita harus lekas berdaja untuk menjembuhkan Ki-dji," pinta Si Pek-hong
kepada Po-ting-te. "Harap Tehu (adik ipar) djangan kuatir," sahut Po-ting-te. "Didepan kita sudah
siap satu Hwesio dan satu Tosu, keduanja adalah tokoh nomor wahid dalam Bu-lim,
jang satu tadi telah maki Ki-dji habis2an, jang lain bahkan telah menendangnja
hingga terdjungkal, dengan sendirinja penjakit Ki-dji ini wadjib mereka
sembuhkan." Saat itu Ui-bi-tjeng dari Tjiok-djing-tju djusteru sedang peras otak memikirkan
penjakit apa jang diderita Toan Ki itu. Maka apa jang dikatakan Po-ting-te itu
sama sekali tak masuk dalam telinga mereka.
Se-konjong2 Ui-bi-tjeng berteriak: "He, ja!"
Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandangan kepadanja. Siapa duga paderi
itu lantas gojang2 tangannja dan menjatakan dengan menjesal: "Ah, salah, salah!
Obat ratjun itu melulu dapat merusak kepandaian sendiri, tapi takbisa
melenjapkan kepandaian pihak lain."
Pendjelasan itu membikin semua orang merasa ketjewa, kembali mereka muram.
Tiba2 Tjiok-djing-tju djuga berseru: "Ja, tentulah begitu!"
"Bagus!" teriak Sing-thay ikut bergirang. "Nah, apa sebabnja, lekas katakan?"
Dengan ber-seri2 segera Tjiok-djing-tju bertjerita: "Diluar lautan dipantai
Liautang terdapat sebuah pulau ular................... pulau ular............"
tiba2 wadjahnja jang berseri tadi semakin membujar hingga achirnja berubah
mendjadi lesu, ia geleng2 kepala dan menjambung:
"Wah, salah rekaanku, tak mungkin terdjadi begini."
Begitulah, suasana didalam ruangan itu mendjadi sunji senjap, tiada seorang pun
jang membuka suara lagi. Dalam keadaan hening itulah, terdengar diluar ada tindakan orang mendatang dan
segera ada suara seorang berseru: "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata2 musuh
jang pura2 tuli dan bisu telah tertawan diluar, pada mereka terdapat tulisan2
jang takbisa diampuni." - Kiranja jang lapor itu adalah Thaykam pelapor.
Mendengar kata2 "tuli dan bisu", pikiran Po-ting-te tergerak, tjepat tanjanja:
"Apakah benar2 orang bisu atau disebabkan lidah mereka telah terpotong?"
"Baginda memang maha sakti, lidah kedua mata2 itu memang bekas terpotong," sahut
Thaykam itu diluar. Po-ting-te memandang sekedjap kepada Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju dan Toan
Tjing-sun, diam2 ia membatin: "Njata Liong-ah Lodjin djuga sudah muntjul,
kesulitan2 selandjutnja tentu djuga semakin banjak lagi." Segera iapun berkata: "Thian-sik, tjoba kau keluar membawa masuk kedua tamu
itu!" Thian-sik memberi hormat sambil mengia, lalu bertindak keluar.
Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa dua pemuda jang berusia antara 18
atau 19 tahun dan memberi lapor: "Tjong-pian Siansing mengirim utusan untuk
menghadap Sri Baginda."
Kiranja apa jang disebut Liong-ah Lodjin atau sikakek tuli-bisu itu djusteru
sengadja memakai gelaran "Tjong-pian Siansing" atau sitadjam telinga dan tangkas
mulut. Maksudnja mengadakan meski kupingnja budek, tapi dapat mendengar lebih
djelas dari orang lain; meski bisu, namun kalau bitjara sebenarnja djauh lebih
tangkas daripada perdebatan siapapun.
Nama tokoh tuli-bisu itu sangat tenar didunia persilatan, tindak-tanduknja agak
aneh, tidak sutji djuga tidak djahat. Kalau ada orang jang bermusuhan dengan
dia, maka tjelakalah orang itu, selama hidupnja pasti akan selalu terlibat dalam
pertempuran dengan kakek tuli-bisu itu, kalau sakit hatinja belum terbalas,
tentu belum Selesai urusannja. Sebab itulah, siapapun djuga, baik ilmu silatnja
sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu, tentu mengindahi dan
menghormatinja untuk menghindari kesukaran2 jang mungkin terdjadi.
Sikap kedua pemuda tadi ternjata tjukup gagah, wadjah putih bagus, semuanja
memakai badju putih, tapi dibagian dada tertulis dua baris huruf: "Utusan Tjongpian Siansing ada sesuatu urusan hendak menjampaikan kepada Toan Tjing-beng
Siansing dari Tayli".
Sebagai radja, nama "Tjing-beng" dinegeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut
oleh siapapun. Tapi tulisan didada badju pemuda itu terang2an menjebut "Tjingbeng Siansing" tanpa sesuatu sebutan kebesaran lain, dengan sendirinja oleh
Thaykam tadi dianggap suatu perbuatan jang berdosa.
Namun Po-ting-te hanja tersenjum sadja, katanja: "Tjong-pian Siansing ternjata
sudi menjebut Siansing padaku, halmana sudah boleh dikatakan mengindahkan
diriku."
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te, mereka hanja menghormat dengan
membungkukan badan, tapi tidak berlutut dan mendjura.
Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis diatas setjarik kertas:
"Tjong-pian Siansing mempunjai, urusan apa, boleh segera lapor kepada
Hongsiang." Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lodjin itu luar biasa anehnja.
Setiap anak murid atau pengikutnja, semuanja dipotong lidah dan dirusak anak
telinganja hingga berwudjud orang tuli-bisu seperti dia sendiri, supaja tidak
bisa mendengar pembitjaraan orang, tapi diri sendiri djuga tidakbisa bitjara.
Peraturannja jang aneh dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw
umumnja. Maka untuk mendjawab pertanjaan Thian-sik itu, dengan sendirinja kedua pemuda
itu takbisa bitjara, tapi pemuda sebelah kiri lantas menanggalkan buntalan jang
dibawanja, ia mengeluarkan sepotong badju wanita warna djambon dan dikenakan
dibadan sendiri, lalu mengeluarkan bedak dan gintju untuk bersolek sekedarnja
dimuka sendiri. Pemuda jang lain lantas membantu kawannia itu melepaskan
rambutnja untuk dikepang mendjadi dua kutjir serta diberi berpita merah pula
hingga merupai dandanan gadis remadja.
Melihat kelakuan mereka, semua orang mendjadi heran dan geli pula. Tapi tiada
seorangpun jang dapat membade apakah maksud tudjuan Liong-ah Lodjin dengan
mengirimkan dua utusannja ini.
Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang gadis, lalu ia berdjalan beberapa
tindak dengan berlenggak-lenggok, kemudian ber-lompat2 dan ber-djingkrak2
sebagaimana lazimnja gadis remadja jang lintjah dan riang.
Meski, geli melihat kelakuan pemuda jang menjamar sebagai gadis itu, namun semua
orang menduga tindakan Liong-ah Lodjin ini tentu mempunjai maksud jang dalam,
maka tiada seorang pun jang berani tertawa. Hanja Toan Ki sadja jang tidak kenal
siapakah gerangan Liong-ah Lodjin itu, dengan bertepuk tangan ia lantas menanja
dengan tertawa: "Haha, kau berperan sebagai nona tjilik, dan dia mendjadi siapa
lagi?" Pemuda jang lain ternjata tidak menjamar apa2, tapi ia sengadja mendongak dan
berdjalan dengan membusung dada se-akan2 dunia ini aku punja. Dengan lagak tuan
besar ia berdjalan satu putaran diruangan itu.
Ketika sampai didepan "gadis remadja" tadi, tiba2 ia mengamat-amatinja dengan
ter-senjum2, bahkan terus mentjubit pelahan sekali dipipi gadis palsu itu.
Gadis palsu itu tampak tersenjum dan bibirnja ber-gerak2 menandakan telah
berbitjara apa2. Mendadak pemuda itu tempelkan mukanja dan mentjium sekali pipi
sigadis palsu. "Plak", tiba-tiba Sigadis palsu memberi persen sekali tamparan
kepada pemuda bangor itu. Namun dengan tjepat pemuda itu lantas djulurkan djari
telundjuknja menutuk keiga sigadis palsu.
Melihat gerakan tutukan djari itu, seketika Po-ting-te, Toan Tjing-sun, Ko-Singthay, Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Hoa Hek-kin dan kawan2nja sama terkedjut
semua hingga bersuara heran. Bahkan saking heran Tjing-sun dan Tjiok-djing-tju
berbangkit dari tempat duduknja.
Kiranja tutukan djari jang digunakan pemuda itu, baik gajanja, maupun tempat
jang diarah, persis adalah kepandaian tunggal keluarga Toan, jaitu
"It-yang-tji" jang hebat itu.
Gerak tutukan "It-yang-tji" itu tampaknja tidak sulit, tapi sebenarnja membawa
perubahan jang tak terkatakan hebatnja, sekali tutuk, baik tempat jang diarah
atau djaraknja, sedikitpun tidak boleh salah, kalau tidak, daja tekanannja
lantas takbisa dilontarkan seluruhnja.
Meski Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Ko Sing-thay dan Iain-lain tidak pernah
beladjar ilmu itu, tapi hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat rapat, maka
benar atau salah It-yang-tji jang digunakan itu tjukup diketahui mereka.
Merekapun tahu ilmu silat Liong-ah Lodjin itu adalah suatu aliran tersendiri dan
tergolong lunak, sama sekali berbeda seperti It-yang-tji jang mengutamakan
kekerasan. Tapi mengapa anak muridnja ini djuga dapat mempeladjari ilmu tutukan
djari itu" Hanja sekedjapan itu sadja rasa heran semua orang, sebab ditengah kalangan itu
keadaan telah berubah lagi. Ketika melihat lawan menutuk iganja, tiba2 sigadis
palsu tadi mengulur tangannja an dengan tjepat dapat menangkap djari lawan.
"Krek", tahu2 Jang djari sipemuda dipatahkannja.
Serangan balasan sigadis palsu ini mesti dilakukan dengan sangat aneh dan
tjepat, namun dapat diikuti semua orang dengan djelas Tapi tiada seorangpun
menduga sebelumnja bahwa gadis palsu itu bisa melontarkan tipu serangan itu.
Maka menjusul pemuda tadi telah melangkah madju, kembali djari tangan kiri
menutuk pula kedada sigadis palsu, tipu serangan jang dipakai tetap bergaja Ityang-tji. Tapi ketika kedua tangan sigadis palsu menjamber,
"krek", lagi2 djari pemuda itu dipatahkan.
Meski dua djarinja sudah patah, namun pemuda itu seperti tidak kenal apa artinja
sakit, ia masih tetap menjerang terus, hanja sekedjap sadja kembali ia keluarga
enam gerakan tipu It-yang-tji. Tapi gadis palsu itupun dapat menangkis dengan
tepat dan menggunakan enam gerakan jang ber-beda2 untuk mematahkan enam djari
sipemuda. Karena delapan djarinja telah dipatahkan dan tinggal dua buah djari djempol
sadja, pemuda itu tidak berani menjerang pula, ia putar tubuh terus melarikan
diri kesamping. Sigadis palsu ber-tepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda
sangat senang. Menjusul ia lantas ambil pensil dan menulis diatas kertas:
"Keluarga Toan dari Tayli, takbisa menangkan Bujung di Koh-soh" - Habis tulis,
segera sipemuda jang patah djarinja itu digandengnja pergi.
"Nanti dulu!" segera Thian-sik bermaksud mentjegat.
Namun Po-ting-te telah gojang2 kepala dan berkata: "Biarkan mereka pergi!"
Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua orang mendjadi tertekan, mereka
paham bahwa maksud Liong-ah Lodjin mengirim kedua utusannja itu adalah untuk
menundjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Tjing-sun bahwa orang she Bujung di Kohsoh itu sudah mempunjai ilmu jang chusus untuk mematahkan It-yang-tji. Walaupun
lt-yang-tji itu kalau dimainkan oleh Poting-te atau Toan Tjing-sun daja
tekanannja tentu djauh lebih lihay daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi
sama halnja pihak lawan tadi djuga tjuma seorang gadis remadja sadja, kalau
orang dewasa jang memainkan, dengan sendirinja kekuatannja djuga djauh lebih
hebat. Jang harus dipudji adalah sipemuda bisu-tuli tadi ternjata bisa menirukan
gerakan kedelapan djurus It-yang-tji dengan sangat tepat, meski tjara
mengerahkan tenaganja masih banjak kesalahannja tapi gajanja jang indah itu
sedikitpun tidak keliru. Sebaliknja tjara sigadis palsu itu mematahkan djarinja
itu ter-lebih2 hebat dan aneh pula, perubahan2nja ternjata susah diduga.
Namun Po-ting-te ternjata tidak mau mempersoalkan hal itu dengan tersenjum ia
tanja Tjiok-djing-tju: "Tjiok-toheng, djauh2 kau datang kemari, apakah ada djuga
hubungannja dengan persoalan orang Bujung di Koh-soh itu?"
"Tidak, tiada sangkut-pautnja dengan orang Bujung di Koh-soh itu,"
sahut Tjiok-djing-tju menggeleng kepala. "Tapi sebaliknja besar sangkutpautnja
dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan-keh kalian telah keterlaluan
menggemparkan kota Yangtjiu. Kaisar keradjaan Song mungkin tidak enak mengusut
perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang2 Bu-lim dari Tionggoan jang telah
merasa penasaran padamu."
Karuan, Po-ting-te terkedjut, tjepat tanjanja: "Manabisa djadi begitu"
Keturunan keluarga Toan kami melulu Ki-dji seorang, tapi selamanja ia tidak
pernah meninggalkan wilajah Tayli, darimana bisa mengatjau kekota Yangtjiu?"
"Yang-tjiu-sam-hiong, jaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, anggota
keluarga laki2 mereka jang berdjumlah 28 djiwa dalam semalam sadja telah tewas
semua dibawah tutukan It-yang-tji", demikian tutur Tjiok-djing-tju. "Toanhongya, katakanlah, dosa apakah Yang-tjiu-samhiong itu terhadap Toan-keh
kalian?" "28 djiwa mati semua dibawah tutukan It-yang-tji, apa betul2 dan tidak salah
lihat, Tjiok-toheng?" sahut Po-ting-te.
"Tjara It-yang-tji membunuh orang sangat halus, pihak jang terkena, seluruh
badannja terasa nikmat, anggota badannja djuga hangat2 tanpa derita sedikitpun,
makanja sang korban tetap bersenjum tanpa sesuatu luka, betul tidak begitu tanda
terkena It-yang-tji?" tanja Tjiok-djing-tju.
"Sedikitpun tidak salah tjara Hidung-kerbau melukiskan itu, se-akan2
dia sendiri pernah mengitjipi rasanja It-yang-tji", udjar Tjing-sun dengan
tertawa. Namun Tjiok-djing-tju tidak bisa tertawa lagi, katanja dengan sungguh2:
"Anggota keluarga Yang-tjiu-sam-hiong jang terbunuh itu itu semuanja mati dengan
wadjah tersenjum, diatas badan merekapun tiada sesuatu tanda luka apa2."
"Tapi majat mereka lemas seperti orang hidup, sedikitpun tidak kaku, bukan?"
sela Tjing-sun. "Ja," sahut Tjiok-djing-tju. "Kita tahu ada beberapa matjam ratjun bila sudah
membinasakan orang, wadjah sang korban djuga tampak ter-senjum2, namun tiada
sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini jang bisa mendjadikan majat sang korban
tetap lemas tanpa kaku sedikitpun seperti halnja korban jang terkena It-yangtji." "Tapi diantara anak murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu
Ki-dji seorang sadja, sedangkan dia sampai sekarang masih belum pernah beladjar
It-yang-tji," udjar Tjing-sun.
"Tjiok-toheng," kata Po-ting-te. "Kau bilang anggota keluarga Yangtjiu-sam-hiong
jang terbunuh itu adalah kaum laki2 semua, djika begitu, kaum wanitanja tentunja
masih hidup dan telah melihat wadjah sipembunuh itu?"
"Menurut tjerita He-hudjin dan Ong-hudjin, katanja pembunuh itu memakai kedok
kain hidjau, maka mukanja tidak djelas kelihatan, tjuma menurut taksiran terang
usianja masih muda," sahut Tjiok-djing-tju.
Po-ting-te menghela napas dan memandang sekedjap kepada Toan Tjing-sun.
Maka berkatalah Tjing-sun: "Tjiok-toheng, puteraku ini bisanja kemasukan ilmu
sihir dalam badannja, orang jang mentjeiakainja itu djusteru adalah anggota
keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal sebagai 'Thian-he-te-it-ok-djin'
(orang djahat nomor satu didjagat ini)."
- Lalu iapun mentjeritakan tjara bagaimana Toan Ki telah ditjulik dan dikurung
oleh Yan-king Thaytju didalam rumah batu itu. kemudian Ui-bi-tjeng telah
berusaha menolongnja. Pertandingan antara Yan-king Thaytju dan Ui-bi-tjeng sebenarnja jang tersebut
belakangan itu telah kalah, tapi Tjing-sun sengadja bilang Yan-king Thaytju jang
telah salah djalankan tjaturnja hingga mengaku kalah.
Karena itu Ui-bi-tjeng lantas berkata: "Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku,
pertandingan itu terang2an aku jang kalah. Toh seumpama Gu-pit-tju jang harus
melawan Yan-king Thaytju, dia djuga pasti akan kalah."
"Ah, belum tentu," sahut Tjiok-djing-tju.
"Djika begitu, marilah kita boleh tjoba2 satu babak," kata Ui-bi-tjeng.
"Bagus, aku djusteru ingin minta petundjuk padamu," kontan Tjiok-djing-tju
terima tantangan itu. "Hahaha, sungguh mentertawakan orang, haha!" tiba2 Ui-bi-tjeng terbahak2.
"Apakah jang menggelikan kau?" tanja Tjiok-djing-tju mendongkol.
"Aku tertawa karena ada orang jang begitu geblek," sahut Ui-bi-tjeng.
"Sudah terang kedjahatan itu dilakukan anak muridnja Toan Yan-king, tapi Toanhongya jang dimintai tanggung djawabnja."
Muka Tjiok-djing-tju mendjadi merah, sahutnja: "Emangnja kalau anak muridnja
Toan Yan-king itu bukan anak murid da keluarga Toan" Toan Yan-king itu she Toan
atau bukan?" "Ah, pokrol bambu!" sahut Ui-bi-tjeng.
"Ah, ngatjo-belo!" djengek Tjiok-djing-tju tak mau kalah.
Po-ting-te sudah biasa menjaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanja
tersenjum sadja, katanja kemudian: "Tjong-pian Siansing telah menjaksikan gadis
keluarga Bujung mematahkan ilmu It-yang-tji, boleh djadi sipemuda jang tjoba
menggoda sigadis jang dimaksudkan itulah sipembunuhnja Yang-tjiu-sam-hiong itu."
- Bitjara sampai disini, tiba2
sikapnja berubah kereng, katanja pula: "Sun-te, menurut pesan leluhur, soal
permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, sudah tentu kita tak boleh ikut
tjampur. Tapi sekarang ternjata ada orang telah menggunakan It-yang-tji untuk
melakukan kedjahatan diluaran, hal mana rasanja keluarga Toan kita tidak boleh
tinggal diam lagi." "Benar," sahut Tjing-sun.
Dalam hati kedua saudara itu sebenarnja mempunjai sesuatu pikiran jang sama,
tjuma tidak mereka katakan. Kalau ternjata orang she Bujung di Kohsoh itu mampu
menggunakan ilmu jang sangat lihay untuk mematahkan djari anak murid keluarga
Toan dan hal itu didiamkan sadja, tentu nama baik keluarga Toan di Tayli akan
sangat dirugikan. Maka Po-ting-te lantas berkata: "Sun-te segera membawa serta Sam-kong Su-un
(tiga tokoh dan empat djago, maksudnja Pah Thian-sik bertiga dan Leng Djian-li
berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-tju Taysu, sekalian boleh
djuga beladjar kenal dengan ilmu silat keluarga Bujung di Koh-soh jang lihay
itu. Yan-king Thaytju adalah keturunan lurus dari mendiang radja jang dulu,
kalau ketemu dia, hendaklah berlaku sopan dan menghormatinja. Kalau anak
muridnja ada berbuat sesuatu jang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu
hingga terang, lalu menangkapnja dan serahkan pada Yan-king Thaytju untuk
dihadjar sendiri, kita djangan sembarangan mentjelakai mereka."
Tjing-sun dan tiga tokoh serta empat djago sama mengia menerima titah baginda
itu. Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta, dengan tersenjum Poting-te
berkata: "Diago2 kita se-akan2 dikerahkan semua, maka biarlah Sian-tan-hou
tinggal dirumah untuk membantu aku sadja."
Ko Sing-thay mengiakan titah baginda itu.
"Pekhu," tiba2 Toan Ki berkata, "bolehkah Titdji ikut pergi bersama ajah untuk
menambah pengalaman?"
Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnja: "Badanmu masih keselurupan, aku masih
harus menjembuhkan kau, apalagi kau takbisa ilmu silat, kalau ikut pergi,
mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita sadja."
Wadjah Toan Ki mendjadi merah, dan baru sekarang ia menjesal mengapa dahulu
tidak beladjar silat hingga kini takboleh ikut pesiar ke Tionggoan jang indah
permai itu. Dalam pada itu perdjamuan untuk menjambut kedatangan Tjiok-djing-tju lantas
dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki duduk menjendiri orang lain tiada jang
berani mendekatinja, sebab kuatir kalau tersentuh ratjun djahat ditubuh pemuda
itu. Sudah tentu jang merasa paling kesal adalah Toan Ki karena se-akan2
terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni didalam badannja masih terus
bergolak karena takbisa dipusatkan.
Semakin lama duduk disitu, semakin tak tahan Toan Ki, hanja minum dua tjawan
arak ia lantas mohon diri untuk kembali kamarnja. Teringat olehnja pengalamannja
jang aneh selama beberapa hari ini, ia terkenang pula pada Bok Wan-djing dan
Tjiong Ling, kedua nona djelita jang baru dikenalnja itu entah kemana perginja
sekarang. Terpikir djuga olehnja puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi ~ jang telah
dilamarkan oleh kedua orang tuanja itu, nona itu selamanja tak pernah
dilihatnja, entah bagaimana perangainja dan tjotjok tidak dengan dirinja, pula
entah tjantik atau djelek mukanja.
Begitulah Toan Ki merebah dirandjangnja dengan matjam2 pikiran jang berketjamuk
dalam benaknja, sedangkan hawa murni dalam badannja masih terus bergolak tak
karuan rasanja, walaupun deritanja tidak sehebat seperti berkobarnja napsu waktu
minum Im-yang-ho-hap-san, tapi rasanja djuga susah ditahan. Sjukurlah achirnja
ia dapat pulas. Sampai tengah malam, mendadak ia terdjaga dari tidurnja ketika merasa kedua
tangannja digenggam kentjang oleh orang, dan baru sadja mulutnja terpentang
hendak mendjerit, tahu2 sepotong kain sudah didjedjalkan kedalam mulutnja.
Waktu ia berpaling sedikit, dibawah sinar pelita lilin jang remang2, ia lihat
sebuah wadjah jang putih tjakap sedang tersenjum padanja. Itulah Tjiok-djing-tju
adanja. Tjepat ia berpaling pula kesisi lain, jang per-tama2 tertampak olehnja
adalah dua djalur alis kuning jang pandjang melambai, itulah dia Ui-bi-tjeng.
Muka paderi, jang kurus itupun mengundjuk senjum jang penuh welas-asih dan
sedang angguk2 pelahan sebagai tanda agar pemuda itu tak perlu kuatir. Menjusul
ia lantas keluarkan kain penjumbat mulut Toan Ki tadi.
Toan Ki mendjadi lega melihat kedua tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk
memberi hormat. Namun Tjiok-djing-tju sudah lantas berkata padanja: "Hiantit
tidak perlu banjak adat, hendaklah kau merebah sadja dengan tenang, biar kami
berdua menjembuhkan ratjun djahat dalam tubuhmu."
"Sungguh Wanpwe merasa terima kasih tak terhingga mesti bikin susah kedua
Tjianpwe," kata Toan Ki.
"Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanja sedikit urusan ini, kenapa mesti
dipikirkan?" sahut Ui-bi-tjeng.
"Sedikit urusan" Huh, djangan membual dahulu, Hwesio", djengek Tjiok-djing-tju
tiba2. "Dapat tidak kita menjembuhkan dia, masih harus melihat hasilnja dulu".
Selagi Toan Ki hendak berkata pula, se-konjong2 terasa kedua telapak tangannja
tergetar, dua arus hawa sekaligus telah merembes masuk berbareng dari kanankiri, badan Toan Ki terguntjang sedikit, mukanja mendjadi merah membara se-akan2
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang mabuk arak. Kedua arus hawa murni itu mula2 berkeliaran kian kemari diantara urat2
nadinja, tapi kemudian semakin lemah dan semakin lambat, achirnja lantas lenjap.
Menjusul mana dari telapak tangan jang dipegang Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju
itu terasa merembes masuk lagi hawa murni jang lain.
Begitulah kira2 setanakan nasi lamanja. Toan Ki merasa separoh tubuh bagian
kanan makin lama semakin panas, sebaliknja separoh tubuh sisa kiri makin lama
makin dingin, jang kanan seperti dibakar, jang kiri seperti direndam es. Tapi
aneh bin adjaib, biarpun panas-dingin rasanja, namun nikmatnja tak terkatakan.
Ia tahu kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan Lwekang mereka jang tinggi
untuk mengusir ratjun dalam tubuhnja. Sudah tentu apa jang diduga Toan Ki itu
tidak benar seluruhnja. Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu entah sudah berapa puluh kali bertanding,
baik mengadu ketjerdasan maupun mengadu ketangkasan, dari pertandingan kasar
sampai perlombaan setjara halus, namun selalu sama kuatnja hingga susah
ditentukan siapa lebih unggul.
Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula dalam perdjamuan siang tadi,
keduanja sama2 masih mendongkol. Sampai tengah malam, diam2 kedua orang itu
mengelojor keluar ketaman berunding tjara bagaimana harus bertanding lagi.
Achirnja atjara pokok djatuh pada diri Toan Ki, mereka bersepakat untuk
menjembuhkan pemuda itu sebagai batu udjian mereka.
Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang, saking banjak membuang tenaga
untung ditolong oleh Po-ting-te hingga djiwa mereka dapat diselamatkan. Karena
itu, sekarang mereka agin memberi djasa2 baik bagi Po-ting-te untuk mengusir
ratjun dalam tubuh Toan Ki. Sebab, kalau bitjara tentang menjembuhkan penjakit
dengan Lwekang didunia ini rasanja tiada jang lebih kuat da It-yang-tji, tjuma
tenaga dalam jang harus dikorbankan sipemakai It-yang-tji itu terlalu besar.
Dari itu Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju telah bersepakat untuk menjembuhkan
Toan Ki masing2 separoh badan, kanan dan kiri, siapa jang lebih dulu berhasil,
dia jang menang. Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan kelihayan ratjun dalam tubuh Toan Ki
itu. Mereka tahu begitu menjenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera
akan bujar. Sebab itulah, begitu mulai, terus sadja mereka mengerahkan sepenuh
tenaga, sedikit pun tidak berani ajal, pikir mereka dengan tenaga kedua djago
pilihan seperti mereka, paling2 tjuma ratjunnja tidak bersih dilenjapkan, tapi
pasti tiada halangan bagi kesehatan Toan Ki.
Tak mereka duga bahwa apa jang mengeram didalam tubuh Toan Ki itu hakikatnja
bukan ratjun apa segala, tapi adalah sematjam ilmu sakti jang bisa menjedot hawa
murni orang jaitu tenaga sakti jang berasal dari sepasang katak Bong-koh-tju-hap
jang merupakan machluk mestika dialam ini. Karena katak2 itu telah dimakan oleh
Toan Ki, maka kasiat jang berada pada katak2 itu sudah terlebur didalam tubuh
pemuda itu hingga tiada mungkin dilenjapkan lagi. Apalagi daja isap tenaga Tjuhap itu memang sangat kuat, ditambah lagi hawa2 murni dari Lwekang jang dilatih
Boh-tam berenam, maka tenaga dalam jang dimiliki Toan Ki tatkala itu
sesungguhnja sudah tidak dibawahnja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju.
Tjuma sadja Toan Ki takbisa mendjalankan dan menggunakan tenaganja itu.
Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu mengerahkan tenaga mereka, karuan
seperti air mengalir kelaut sadja, seketika kena disedot oleh Tju-hap-sin-kang
dalam tubuhnja Toan Ki. Sebenarnja urusan memang djuga sangat kcbetulan, rupanja sudah takdir ilahi
dalam hidup Toan Ki harus mengalami kedjadian itu. Tjoba kalau bukan Ui-bi-tjeng
dan Tjiok-djing-tju dengan sukarela mau menjalurkan tenaga murni mereka kedalam
tubuh Toan Ki, betapapun kuat daja isap Tju-hap-sin-kangnja Toan Ki djuga susah
untuk menjedot Lwekang kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti
mampu melepaskan diri dari daja isap itu.
Dan sebabnja badan Toan Ki bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnja itu
adalah karena apa jang dijakinkan Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu memang
ber-beda2 sihwesio mejakinkan ilmu jang keras dari unsur Yang, sebaliknja si
Tosu mejakinkan ilmu bersumber pada unsur Im jang lemas. Dasar agama mereka pun
berbeda, ilmu jang dijakinkanpun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak
mungkin dipersatukan. Dalam pada itu mereka sudah merasakan setiap tenaga mereka jang dikerahkan
kebadan Toan Ki selalu lenjap seperti air mengalir kelaut, sedikitpun takbisa
ditarik kembali lagi. Halmana selamanja tidak pernah mereka alami. Semakin kuat
mereka kerahkan tenaga murni, semakin tjepat pula lenjapnja Lwekang mereka.
Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin menang masing2, tapi setelah
setengah djam kemudian, djantung Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju mulai berdebar2 dan tenaga mereka mulai matjet.
Ui-bi-tjeng insaf ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan, pasti antero
Lwekangnja akan ludas sama sekali. Segera ia berkata: "Tjiok-toheng. urusan ini
agak gandjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempeladjari apakah sebabmusababnja?" Sebenarnja Tjiok-djing-tju djuga mempunjai maksud begitu, tapi karena rasa ingin
menangnja, ia pikir orang jang telah lebih dulu minta padanja, maka sengadja
djawabnja: "Djika tenaga Taysu kurang tjukup, silahkan mundur dulu, tidak
mungkin Pinto memaksa orang jang sudah tidak kuat."
Ui-bi-tjeng mendjadi gusar: "Hidung kerbau. betapa tinggi kepandaiannja emangnja
aku tidak tahu" Hm, kau berlagak gagah apa?"
Tjiok-djing-tju djuga tahu bahwa tenaga mereka sebenarnja setali-tiga-wang alias
sama kuatnja. Tapi tempo hari sihwesio sudah menempur Yan-king Thaytju Lwekang
jang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan jang susah ditjari,
dirinja pasti akan dapat menangkan dia, bila kesempatan bagus ini lewatkan,
mungkin sampai mati kelak kedua orang djuga susah menentukan kalah dan menang.
Sebab pikiran itulah, maka Tjiok-djing-tju tetap bertahan sekuatnja dengan
harapan lawannja itu terpaksa akan undurkan diri lebih dulu.
Tak terduga Ui-bi-tjeng djuga mempunjai wataknja sendiri. Dalam segala hal ia
bisa berlaku tenang dan sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Tjiok-djing-tju
sungguh aneh sifatnja, asal ketemu, tentu marah, betapapun tidak mau mengalah.
Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh,
daja sedotnja semakin kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih
terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik kembali, akan tetapi sudah
tidak dapat lagi, dalam gugup mereka, terpaksa soal pertandingan mereka itu
harus dikesampingkan dan berbareng melepaskan tangan hendak meninggalkan badan
Toan Ki. Namun sudah telat, daja sedot Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka
bertambah lemah, tenaga murni mereka jang dilatih selama puluhan tahun itu
sebagian besar Sudah mengalir kedalam badan Toan Ki, sisa dalam badan mereka
sendiri tinggal sedikit sadja, dengan sendirinja tangan mereka mendjadi seperti
lengket dibadan pemuda itu dan takbisa ditarik kembali djadi mirip seperti Bohtam berenam tempo hari. Ui-bi-tjeng saling pandang sekedjap dengan Tjiok-djing-tju, pikir mereka:
"Sebabnja terdjadi begini, semuanja gara2 karena rasa ingin menang. Pabila
sedjak tadi lantas lepas tangan ketika mengetahui gelagat djelek, tentu tidak
sampai demikian djadinja."
Dan tidak lama pula, Hwesio dan Tosu itu sudah mulai lesu dan lemas, napas
mereka sudah kempas-kempis. Tjelakanja dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali
tidak tahu apa jang sudah terdjadi, kalau tahu bakal begitu, sedjak mula tentu
dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu, perbuatan jang
menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapapun tidak mungkin
dilakukannja. Tapi ia djusteru mengira kedua Lotjianpwe itu sedang mengusir
ratjun guna menjembuhkan dirinja, hawa murni dalam tubuhnja terasa bergolak
bagai air bah membandjir, makin lama makin keras, sampai achirnja saking
panasnja ia mendjadi mabuk dan seperti orang tertidur pulas, maka terhadap
bahaja jang sedang mengantjam Ui-bi-tjeng berdua itu sama sekali tak
disadarinja. Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah djam lagi. Ui-bi-tjeng dan Tjiokdjing-tju berdua pasti akan mendjadi tjatjat selama hidupnja Untunglah dalam
detik berbahaja itu, tiba2 pintu kamar didobrak orang dan masuklah seorang jang
bukan lain adalah Po-ting-te.
"Tjelaka!" serunja kaget ketika melihat keadaan ketiga orang itu.
Tjepat ia tarik lengan badju Ui-bi-tjeng dan dibetot hingga terlepas dari
lengketan Toan Ki. Menjusul iapun menarik pergi Tjiok-djing-tju dan berkata:
"Kalian berdua asal ketemu, tentu terdjadi gara2, aku sudah mentjari kalian,
siapa tahu kalian djusteru bersembunji dan sedang main gila disini." - Dan
ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sudah sangat pajah, dengan gegetun
katanja pula: "Ai, usia kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi jang mesti
kalian ributkan terus" Dengan pertarungan harini, tidak sedikit pula tenaga jang
telah kalian korbankan."
Ia tjoba memegang nadi Ui-bi-tjeng dan terasa denjutnja sangat lemah.
waktu memeriksa Tjiok-djing-tju keadaannja serupa. Ber-ulang2 Po-ting-te
menggeleng kepala, disangkanja kedua orang itu mengulangi lagi apa jang terdjadi
dahulu, jaitu keduanja sama2 mengalami tjedera. Sudah tentu tak terduga olehnja
bahwa tenaga murni kedua orang itu djusteru kena disedot oleh sang keponakan.
Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah menjangka keponakan itu
telah mendjadi korban dalam pertandingan kedua tokoh itu.
Tjepat iapun periksa nadinja, namun djalannja baik2 sadja, bahkan terasa ada
suatu tenaga sedotan jang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalam sendiri.
Karuan Po-ting-te terkedjut dan ragu2, sebab kalau melihat gelagat begitu,
agaknja tenaga dalam kedua tokoh Hwesio dan Tosu itu jang telah masuk kedalam
tubuh sang keponakan malah.
Ia memikir sedjenak, lalu memanggil dajang istana pengeran agar membawa Ui-bitjeng dan Tjiok-djing-tju kekamar jang terpisah untuk istirahat.
Besok paginja, Toan Tjing-sun beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kaka
baginda dan sang isteri untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-tjin dan Huisian. Meski hatinja masih kuatir karena keadaan sang putera jang keratjunan itu,
tapi mengingat kaka bagindanja sudah mulai turun tangan sendiri, tentu takkan
terdjadi apa2. Sebelum berangkat, ia tjoba djenguk Toan Ki, ia mendjadi lega
ketika melihat pemuda itu masih tidur njenjak dengan wadjah merah bertjahaja.
Setelah menghantarkan keberangkatan adik pengeran dan para kesatria, Po-ting-te
lantas pergi memeriksa keadaannja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju. Ia lihat
kedua tokoh itu sedang bersemadi dikamarnja sendiri2.
Wadjah Ui-bi-tjeng tampak putjat, badan gemetar. Sebaliknja muka Tjiok-djing-tju
merah membara bagai terbakar, terang kedua orang itu sama2
terluka parah, tenaga murni mereka banjak terbuang. Segera Po-ting-te menutuk
sekali dengan It-yang-tji ditempat Hiat-to masing2 jang penting kemudian baru
pergi mendjenguk keadaan Toan Ki.
Tapi baru sadja sampai diluar kamar pemuda itu, segera terdengar suara
gedubrakan dan gemerantang jang keras. Dajang jang mendjaga diluar kamar itu
tampak sangat kuatir, mereka berlutut menjambut kedatangan radja dan melapor:
"Sitju (putera pengeran) telah keselurupan dan sedang............ sedang angot,
kedua Thayih (tabib keraton) sedang mengobatinja didalam."
Po-ting-te mengangguk dan segera masuk kedalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang
ber-djingkrak2 didalam kamar sambil mengobrak-abrik isi kamar seperti medjakursi, mangkok-piring dan lain2. Kedua Thayih tampak bersembunji kian kemari
untuk menghindari "piring terbang" jang mungkin mengantjam kepala mereka.
"Ki-dji, kenapakah engkau?" tanja Po-ting-te segera.
Meski tangannja mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih djernih sekali, hanja hawa
murni dalam tubuhnja itu terlalu penuh hingga rasanja se-akan2
meletuskan kulit badannja, saking tak tahan, maka ia menggerakan anggota
badannja sekenanja hingga perabot didalam kamar telah dirusaknja, tapi aneh,
asal kaki-tangannja bergerak, rasa hawa dalam badan itu mendjadi longgar.
Ketika melihat pamannja masuk, segera Toan Ki berseru: "Pekhu, wah, tjelakalah
aku!" ~ berbareng kedua tangannja masih terus bergerak serabutan sekenanja.
"Bagaimanakah rasanja?" tanja Po-ting-te.
"Seluruh badanku rasanja seperti melembung semua," sahut Toan Ki.
"Pekhu, harap engkau buangkan sedikit darahku".
Po-ting-te pikir mungkin ada paedahnja djuga tjara itu, segera katanja kepada
salah seorang Thayih itu: "Tjoba kau ambil sedikit darahnja."
Tabib itu mengia dan segera membuka peti obatnja. Ia mengeluarkan sebuah kotak
porselen dan mengambil seekor lintah jang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu
diurat darah lengan Toan Ki agar darahnja diisap lintah itu.
Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam badannja tidak terdapat hawa
murni dari latihan Lwekang, maka ia tidak terpengaruh oleh daja sedot dalam
tubuh Toan Ki jang lihay itu. Akan tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan
Ki, terus sadja binatang itu berkelogetan tidak berani menggigit lengan jang
disediakan itu. Tentu sadja tabib itu heran, sekuatnja ia tekan lintah itu diatas lengan Toan Ki
agar darahnja terisap, tapi hanja sebentar sadja, bukannja mengisap darah,
sebaliknja lintah itu tahu2 sudah mati.
Karena kepandaiannja tak berhasil dihadapan radja, tabib itu mendjadi gugup
hingga mandi keringat, tjepat ia keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa jang
tadi, hanja sebentar binatang itu djuga mati kaku diatas lengan Toan Ki.
Melihat itu, sitabib mendjadi putus asa, tjepat ia berkata: "Lapor Hongsiang,
badan Sitju keratjunan jang maha djahat, sampai lintah djuga mati keratjunan." Ia tidak tahu bahwa Tju-hap-sin-kang jang terdapat dibadan Toan Ki itu
djangankan tjuma lintah, sekalipun ular jang paling berbisa pabila mentjium
baunja djuga akan menjingkir djauh2 dengan takut.
Po-ting-te mendjadi kuatir djuga, tjepat tanjanja: "Keratjunan apakah
sebenarnja, kenapa begitu lihay?"
"Menurut pendapat hamba." demikian kata tabib jang lain, "denjut nadinja sangat
keras dan panas, tentu terkena sematjam ratjun panas jang djarang terdapat,
adapun namanja............"
"Bukan," tiba2 tabib satunja menjela, "denjut nadi lemah dan dingin, ratjunnja
tentu tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat jang bersifat panas."
Kiranja dalam tubuh Toan Ki sudah terdapat tenaga murni Ui-bi-tjeng dari unsur
Yang jang panas, dan terdapat pula tenaga murni Tjiok-djing-tju dari unsur Im
jang maha dingin, makanja kedua tabib itu mempunjai pendapatnja sendiri2.
Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham, padahal kedua orang itu adalah
tabib keraton jang terpandai, tapi tak berdaja terhadap penjakitnja Toan Ki,
maka dapat dibajangkan ratjun dalam tubuh pemuda itu sesungguhnja terlalu aneh.
Dalam pada itu Toan Ki masih ber-djingkrak2 sambil menarik dan menjobek badjunja
sendiri hingga tak karuan matjamnja, Po-ting-te mendjadi tak tega, pikirnja:
"Rasanja soal ini harus dimintakan pemetjahannja ke Thian-liong-si"
Maka katanja segera: "Ki-dji, biarlah aku membawa kau pergi menemui beberapa
orang tua, kukira mereka tentu dapat menjembuhkan kau."
Toan Ki mengiakan. Karena rasanja semakin menderita, jang dia harap asal bisa
lekas sembuh, maka tjepat ia tukar pakaian dan mengikut sang paman keluar
istana, masing2 menunggang seekor kuda terus dilarikan kearah barat-laut, Thianliong-si jang dikatakan itu terletak dipuntjak Thian-liong diarah barat-laut
kota Tayli. Puntjak itu merupakan puntjak utama dari pegunungan Thian-liong jang
lerengnja memandjang dari barat-laut dan berachir di Tayli. Leluhur keluarga
Toan jang wafat semuanja dikubur dipegunungan itu.
Pegunungan Thian-liong jang pandjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puntjak
utama itu mendjadi seperti kepala naga dan disitulah leluhur keluarga Toan
dikubur. Dan oleh karena leluhur Keluarga Toan jang mendjadi radja achirnja
tentu tjukur rambut mendjadi Hwesio, maka semuanja lantas tinggal dikuil Thianliong-si itu. Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil keradjaan jang
terpudja. Dari itu djuga maka kuil itu sangat megah bangunnja dan terawat baik,
biarpun kuil2 ternama didaerah Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi
dan lain2 jang merupakan pegunungan terkenal dengan geredja2nja jang indah,
kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin djuga kalah. Tjuma letak Thian-liongsi itu terpentjil didaerah perbatasan, maka namanja tidak terkenal.
Setelah ikut sang paman sampai digeredja itu, Toan Ki melihat kemegahan Thianliong-si boleh dikata tidak kalah daripada keraton di Tayli.
Thian-liong-si itu adalah tempat jang sering didatangi Po-ting-te.
Meski dia diagungkan sebagai radja, tapi Hwesio2 dalam kuil itu banjak jang
terhitung angkatan lebih tua, makanja ketika Ti-khek-tjeng atau Hwesio penjambut
tamu dengan menghormat menjambut kcdatangannja, namun djuga tidak terlalu gugup
seperti umumnja orang biasa bila mendadak ketemu seorang radja.
Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.
Menurut urut2an bila Thian-in Taysu itu tidak djadi Hwesio,beliau masih
terhitung pamannja Po-ting-te. Sebagai alim-ulama,
paderi itupun tidak kukuh lagi pada urutan umur serta perbedaan pangkat, kedua
orang saling menghormat dengan deradjat sama. Lalu setjara ringkas Po-ting-te
mentjeritakan kedjadian Toan Ki keselurupan ratjun djahat itu.
Setelah memikir sedjenak, kemudian Thian-in berkata: "Marilah ikut aku ke Bo-nitong untuk menemui ketiga Suheng dan Sute disana."
"Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Tjing-beng
tidak ketjil," udjar Po-ting-te.
"Tin-lam-sitju adalah tjalon mahkota keradjaan kita, urusan keselamatannja besar
sangkut-pautnja dengan kesedjahteraan negara.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal kepandaianmu terang lebih diatasku, namun sudi datang bertanja padaku,
maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana,"
demikian kata Thian-in. Begitulah setelah menjusuri serambi samping dan belasan ruangan lain, achirnja
Thian-in membawa Po-ting-te dan Toan Ki sampai didepan beberapa buah rumah.
Rumah2 itu dibangun dengan kaju Siong semua, dindingnja djuga dari papan kaju
jang tak dikupas kulitnja, berbeda sekali dengan rumah2
lain jang dibangun setjara megah itu. Malahan diantara dinding2 dan pilar
kajunja sudah banjak jang sudah lapuk hingga lebih mirip perumahan kaum pemburu
dipegunungan sadja. Dengan wadjah sungguh2 Thian-in merangkap tangannja dan berkata kedalam rumah
itu: "Omitohud, Thian-in mempunjai sesuatu kesulitan. terpaksa mesti mengganggu
ketenteraman ketiga Suheng dan Sute".
"Hongtiang silahkan masuk!" demikian sahut seorang dari dalam.
Pelahan2 Thian-in mendorong pintu kaju dan melangkah masuk diikuti Poting-te dan
Toan Ki. Pintu itu mengeluarkan suara berkeriutan ketika didorong, suatu tanda
djarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.
Toan Ki mendjadi heran ketiga melihat didalam ruangan rumah itu terdapat empat
Hwesio jang berduduk terpisah diempat bangku batu, padahal tadi ia dengar Thianin mengatakan tiga Suheng dan Sute.
Ketiga Hwesio jang berduduk menghadap keluar itu, dua diantaranja mukanja kurus
kering, sebaliknja jang seorang lagi sehat kuat, Hwesio keempat jang duduknja
dipodjok timur sana, muka nja menghadap dinding dan tidak bergerak sedikitpun,
sedjak mula djuga sama sekali tidak berpaling.
Po-ting-te kenal kedua paderi jang kurus itu masing2 bergelar Thian-koan dan
Thian-siang, adalah Suheng2nja Thian-in. Sedang paderi jang kekar itu bernama
Thian-som adalah Sutenja Thian-in. Po-ting-te tjuma tahu bahwa Bo-ni-tong itu
ada tiga paderi saleh, tapi tidak tahu kalau masih ada lagi seorang Hwesio jang
lain, jaitu Hwesio keempat jang menghadap dinding itu.
Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas
hormat dengan tersenjum. Sedang paderi jang menghadap dinding itu entah sedang
semadi atau latihannja sedang mentjapai titik paling genting, maka sedikitpun
tidak boleh terganggu, dari itu tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.
Po-ting-te tjukup paham adjaran Budha, ia tahu arti "Bo-ni" jalah tenang, sunji.
Karena ruangan itu bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bitjara lebih baik. Maka
setjara ringkas ia lantas menguraikan pula bagaimana Toan Ki telah keratjunan
dan keselurupan itu. Katanja paling achir: "Mohon dengan sangat sudilah keempat
Taysu suka memberi petundjuk djalan jang sempurna."
Thian-koan merenung sedjenak, lalu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian
berkata: "Bagaimana pendapat kedua Suheng?"
"Ja, walaupun mesti membuang sedikit tenaga dalam, rasanja djuga belum tentu
kita takkan berhasil mejakinkan 'Lak-meh-sin-kiam'," sahut Thian-som.
Mendengar "Lak-meh-sin-kiam" itu, hati Po-ting-te terguntjang hebat, pikirnja:
"Waktu ketjil aku pernah mendengar tjerita ajah bahwa leluhur keluarga Toan ada
mewariskan sematjam ilmu jang sangat lihay dengan nama
'Lak-meh-sin-kiam'. Namun ajah mengatakan iapun tjuma mendengar namanja sadja,
tapi selamanja tidak pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga Toan
jang mahir ilmu itu, maka sampai betapa hebat sebenarnja ilmu itu tiada
seorangpun jang tahu. Kini Thian-som Taysu ini mengatakan sedang mejakinkan ilmu
itu, djadi memang benar2 ada ilmu jang aneh dan lihay itu."
Kemudian ia pikir pula: "Tampaknja ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang
mereka untuk menjembuhkan Ki-dji, djika demikian, tentu akan mengakibatkan
latihan ilmu 'Lak-meh-sin-kiam' mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnja
penjakit Ki-dji, sampai Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju djuga tak mampu
menolongnja, kalau tidak memakai tenaga gabungan kami berlima orang, mana dapat
menjembuhkan Ki-dji?" - Begitulah meski dia merasa menjesal mesti mengganggu
kemadjuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki jang
dianggapnja seperti putera kandungnja sendiri, terpaksa iapun tidak menolak.
Begitulah, tanpa bitjara lagi Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan
kepala menunduk ia ber-siap2 berdiri disudut timur-laut sana.
Segera Thian-koan dan Thian-som djuga berdiri dikedua sudut jang lain.
"Siantjay! Siantjay!" demikian Thian-ih mengutjapkan sabda Budha, lalu djuga
ambil tempat diarah barat-daja.
"Ki-dji," kata Po-ting-te kemudian, "keempat kakek Tianglo dengan tidak sajang
membuang tenaga dalam sendiri hendak menjembuhkan kau, lekas kau menghaturkan
terima kasih!" Melihat sikap dan kelakuan keempat paderi itu sangat kereng, Toan Ki tahu apa
jang bakal dilakukan mereka sungguh bukan urusan ketjil, maka tjepat ia mendjura
dan menghaturkan terima kasih kepada tiap2 paderi itu.
"Ki-dji, kau duduk bersila ditengah situ, longgarkan badanmu, sedikitpun djangan bertenaga, kalau terasa sakit atau gatal, djangan kau
kaget dan kuatir," pesan Po-ting-te kemudian.
Toan Ki mengia dan menurutkan perintah sang paman itu.
Segera Thian-koan Hwesio angkat djari djempolnja, setelah menghimpun tenaga
dalamnja, djempolnja lantas menekan di Hong-hu-hiat ditengkuknja Toan Ki, satu
arus hawa hangat dari It-yang-tji terus merembes masuk.
Hong-bu-hiat itu kira2 tiga senti dibawah rambut dibagian tengkuk, termasuk urat
nadi "Tok-meh". Menjusul Thian-siang Hwesio djuga rnenutuk Tji-kiong-hiat dan
Thian-som menutuk Tay-hing-hiat Thian-in ikut menutuk djuga kedua nadi jang lain
dan Po-ting-te menutuk Djing-bing-hiat.
Begitulah tudjuan mereka berlima itu jalah hendak menggunakan tenaga It-yang-tji
jang berunsurkan hawa Yang jang keras itu untuk mengusir ratjun dari tubuh Toan
Ki. It-yang-tji dari kelima tokoh keluarga Toan ini boleh dikata sama hebatnja, maka
terdengarlah suara men-desis2 pelahan, lima arus hawa panas berbareng menjusup
kedalam badan Toan Ki. Seketika pemuda itu terguntjang tubuhnja dan merasa
seperti mendjemur badan dibawah sang surya dimusim dingin, njaman dan segar
sekali rasanja. Ber-ulang2 djari kelima tokoh itu bekerdia, maka semakin bertambah djuga tenaga
dalam jang masuk dibadan Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan paderi2 lainnja sama
merasakan tenaga mereka jang masuk dibadan Toan Ki itu pelahan2 lantas bujar dan
tak bisa ditarik kembali lagi, bahkan terasa daja sedot dibadan pemuda itu
kuatnja luar biasa. Karuan mereka terkedjut dan ter-heran2 dengan saling
pandang. Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara gerungan "Huuuh........." jang sangat
keras hingga memekakan telinga, Po-ting-te tahu itu adalah sematjam ilmu Lwekang
jang maha tinggi dalam ilmu Budha, namanja "Say-tju-ho" atau auman singa.
Menjusul mana, terdengarlah paderi jang duduk menghadap dinding tadi sedang
berkata: "Musuh tangguh dalam waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thianliong-si selama ratusan tahun ini sedang terguntjang, apakah botjah ingusan ini
keratjunan atau keselurupan segala, kenapa mesti banjak membuang tenaga pertjuma
baginja?" Kata2 itu diutjapkan dengan penuh wibawa hingga susah untuk dibantah orang, maka
Thian-in lantas menjahut: "Ja, adjaran Susiok memang tepat!"
- Terus sadja ia memberi tanda dan kelima orang lantas melangkah mundur.
Meski daja sedot Tju-hap-sin-kang dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi
kalau hendak menghisap kelima tokoh itu berbareng, ternjata tidak kuat djuga.
Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu dengan panggilan "Susiok", tjepat Poting-te lantas memberi hormat djuga dan berkata: "Kiranja Koh-eng Tianglo jang
berada disini, maafkan dosa Wanpwe jang tidak memberi hormat sebelumnja."
Kiranja Koh-eng Tianglo itu paling tinggi tingkatannja didalam Thian-liong-si,
para paderi didalam geredja itu tiada satupun jang pernah melihat wadjah
aslinja. Po-ting-te djuga tjuma mendengar namanja dan selamanja tidak pernah
bertemu. Ia dengar paderi tua itu selamanja bersemadi diruang Siang-su-ih dan
djarang orang membitjarakannja, maka disangkanja paderi tua itu tentu sudah lama
Wafat. Siapa tahu sekarang djusteru didjumpainja disini.
"Urusan harus dibedakan mana jang penting dan mana jang tidak,"
demikian kata Koh-eng Tianglo pula. "Perdjandjian dengan Tay-lun-beng-ong dari
Tay-swat-san sekedjaplagi sudah akan tiba. Tjing-beng, ada baiknja djuga kalau
kaupun ikut berunding memberi pendapatmu."
"Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi
ibadatnja, kenapa ada perselisihan dengan kita?" Po-ting-te dengan heran.
Segera Thian-in mengeluarkan seputjuk surat jang berwarna kuning menjilaukan dan
diangsurkan kepada Po-ting-te. Ternjata sampul surat itu sangat aneh, rasanja
djuga antap, kiranja terbuat dari lapisan emas murni jang sangat tipis, diatas
sampul surat itu terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih jang ditulis
dalam bahasa Hindu kuno. Po-ting-te tjukup paham ilmu Budha, maka dapat membatja tulisan itu maksudnja:
"Dihaturkan kepada ketua Thian-liong-si". Dari sampul emas itu Po-ting-te
mengeluarkan setjarik kertas surat jang terbuat dari emas djuga, surat itupun
tertulis dalam bahasa Sangsekarta dan terdjemahannja kira2 adalah: "Dahulu aku
kebetulan bertemu dengan Bujung-siansing dari Koh-soh dinegeri Thian-tiok hingga
mengikat persahabatan jang akrab.
Dalam membitjarakan ilmu silat didunia ini, Bujung-siansing sangat memudji kitab
'Lak-meh-sin-kiam' dari geredja kalian dan menjatakan menjesal sebegitu djauh
masih belum dapat membatjanja. Belum lama berselang kabarnja Bujung-siansing
telah meninggal, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai tanda
persahabatanku, aku ingin memohon kitab jang dimaksudkannja itu kepada kalian
untuk dibakar dihadapan makam Bujung-siansing. Untuk mana dalam waktu singkat
aku akan berkundjung kemari, hendaklah djangan menolak permintannku ini. Sudah
tentu Siauong akan memberi timbalan jang setimpal dengan hadiah jang bernilai
tinggi, masakan aku berani mengambilnja dengan begitu sadja."
Tulisan Sangsekarta dalam surat itupun ditjetak dengan emas putih dengan sangat
indah, terang dibuat oleh pandai emas jang sangat pintar.
Melulu sampul dan surat itu sadja sudah merupakan dua matjam benda mestika, maka
dapatlah dibajangkan betapa royalnja Tay-lun-beng-ong itu.
Po-ting-te mengetahui Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau radja
agama pelindung negara dari negeri Turfan, kabarnja seorang jang tjerdik-pandai
dan mahir ilmu Budha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan Chotbah setjara
terbuka, maka banjak paderi2 saleh dari Thian-tiok dan negeri2 barat lainnja
sama berkundjung ke Tay-lun-si di Tay-swat-san untuk mengikuti tjeramah
keagamaan itu. Tapi dalam surat jang ditudjukan kepada Thian-liong-si ini dia
mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu silat dengan Bujung-siansing dari
Koh-soh serta bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-beng-ong
itupun seorang tokoh silat jang tinggi. Orang tjerdik-pandai demikian kalau
sudah beladjar silat, maka dapat dipastikan lain dari jang lain.
Lalu terdengar Thian-in berkata: "Itu 'Lak-meh-sin-kiam-keng' adalah kitab
pusaka geredja kita dan merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga
Toan kita di Tayli ini, Tjing-beng, ilmu silat keluarga Toan jang tertinggi
adalah terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah orang biasa, meski
terhitung sanak keluarga sendiri, namun terpaksa banjak rahasia ilmu silat kita
tak boleh dikatakan padamu."
"Ja, hal itu aku paham," sahut Po-ting-te.
"Anehnja," demikian Thian-koan ikut bitjara, "tentang geredja kita mempunjai
'Lak-meh-sih-kiam-keng', bahkan Tjing-beng dan Tjing-sun djuga tidak tahu,
mengapa orang she Bujung itu malah mengetahuinja?"
"Dan Tay-lun-beng-ong itu toh djuga seorang paderi saleh jang terkemuka didjaman
ini, mengapa begitu tidak kenal aturan dan berani meminta kitab setjara
kekerasan pada kita," udjar Thian-som dengan gusar. "Tjing-beng, oleh karena
Hongtiang suheng tahu musuh jang bakal datang itu tentu tidak bermaksud baik,
akibat dari urusan ini tidaklah ketjil, maka Koh-eng Susiok telah diundang untuk
mengatasi urusan ini".
"Sungguh memalukan djuga" Thian-in ikut berkata, "meski geredja kita mempunjai
kitab pusaka itu, tapi tiada seorangpun diantara kita jang mahir ilmu sakti itu,
bahkan mempeladjari djuga tidak pernah. Sedangkan ilmu jang dijakinkan Koh-eng
Susiok adalah sematjam ilmu sakti lain dari geredja kita, untuk- mana djuga
diperlukan sedikit waktu lagi baru bisa terlatih sempurna. Sebaliknja kalau
mengingat kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak mempunjai sesuatu
andalan, masakah dia berani setjara terang2an meminta kitab pusaka kita setjara
kekerasan?" "Sudah tentu iapun tidak berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam,"
udjar Koh-eng Tianglo tiba2. "Melihat isi suratnja itu, agaknja dia begitu
mengagumi Bujung-siansing dan orang she Bujung itupun sangat tertarik pada kitab
pusaka kita, dengan sendirinja Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinja sendiri.
Namun dia menduga dalam geredja kita tiada sesuatu tokoh jang luar biasa,
biarpun terdapat kitab pusaka djuga tiada orang mampu mejakinkan, makanja dia
tidak djeri pada kita."
"Djika dia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau memindjam dengan
baik2, mengingat dia adalah paderi saleh dalam Budha, paling banjak kita akan
menolaknja setjara terhormat dan urusan akan Selesai begitu sadja. Tapi ia
djusteru hendak meminta kitab itu untuk dibakar dihadapan orang jang sudah mati,
bukankah tindakan demikian terlalu menghina Thian-liong-si kita?" demikian
Thian-som berseru dengan gusar.
"Ai, Sute djuga tidak perlu mesti marah." sahut Thian-siang. "Kulihat Tay-lunbeng-ong itu bukan seorang jang bodoh, tapi dia hendak menirukan perbuatan orang
didjaman dulu dengan membakar kitab didepan kuburan sahabat, agaknja dia benar2
sangat kagum kepada Bujung-siansing itu."
"Apakah Thian-siang Taysu kenal bagaimana pribadi Bujung-siansing itu?"
tanja Po-ting-te. "Aku tidak tahu," sahut Thian-siang "Tapi mengingat betapa
seorang tokoh matjam Tay-lun-beng-ong djuga begitu kesemsem padanja, maka dapat
dipastikan Bujung-siansing itu pasti seorang jang lain dari jang lain." Berkata sampai disini, sikapnja ikut sangat kesemsem pada orang jang
dibitjarakan itu. "Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh," demikian kata Thian-in,
"kalau kita tidak lekas2 mejakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita
akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk se-lama2nja. Tjuma ilmu
pedang sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih
dalam waktu singkat. Tjing-beng, bukanlah kami tidak mau membantu menjembuhkan
Ki-dji, tapi kita kuatir terlalu banjak membuang tenaga, lalu musuh tangguh
mendadak datang, tentu kita akan susah melawannja. Tampaknja keselamatan Ki-dji
takkan terantjam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa harini biarlah
dia merawat dirinja disini, bila kesehatannja bertambah buruk, kita akan dapat
menolongnja setiap saat, sebaliknja kalau tidak apa2, nanti kalau musuh tangguh
sudah dienjahkan, kita akan berusaha menolongnja sepenuh tenaga."
Walaupun Po-ting-te sangat kuatirkan kesehatannja Toan Ki, namun demikian dia
adalah seorang jang bidjaksana, ia tahu Thian-liong-si itu adalah modal dasar
keluarga Toan dari Tayli, setiap kali keradjaan ada bahaja, selalu Thian-liongsi memberi bantuan sekuatnja. Selama lima keturunan keradjaan Tayli sudah
mengalami banjak kesukaran dan dapat berdiri sampai sekarang, djasa Thian-liongsi itu sesungguhnja tidak ketjil. Sebaliknja sekarang Thian-liong-si terantjam
bahaja, manabisa dirinja tinggal diam.
Maka berkatalah Po-ting-te: "Atas kebaikan Hongtiang, Tjing-beng merasa terima
kasih sekali. Entah urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Tjing-beng
dapat sekedar memberi bantuan?"
Thian-in memikir sedjenak, lalu menjahut: "Engkau adalah djago nomor satu dari
keluarga Toan kita dikalangan orang biasa, pabila engkau dapat menggabungkan
tenagamu untuk menghadapi musuh sudah tentu akan banjak menamhah kekuatan kita.
Tjuma sadja engkau adalah orang biasa, kalau ikut tjampur pertengkaran dalam
kalangan agama, tentu akan ditertawai Tay-lun-beng-ong bahwa Thian-liong-si kita
sudah kehabisan djago".
"Kalau kita melatih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri2, biar siapapun tiada
seorangpun jang bisa berhasil," tiba2 Koh-eng berkata. "Kitapun sudah memikirkan
suatu akal, jaitu masing2 orang melatih satu 'meh' (nadi, Lak-meh = enam nadi)
diantara Lak-meh-sin-kiam itu. Dikala menghadapi musuh, tjukup salah seorang
tampil kemuka, sedang kelima orang lainnja hanja membantunja dengan menjalurkan
tenaga dalam kepadanja. Asal lawan tidak mengetahui akal kita ini, tentu kita
akan menang. Tjara ini meski kurang djudjur, namun apa daja, keadaan terpaksa.
Tapi untuk mentjari orang keenam jang memiliki tenaga djari jang hebat, didalam
Thian-liong-si ini susah diketemukan lagi Kebetulan engkau telah datang
kemari ,Tjing-beng, marilah engkau boleh ikut mengisi kekurangan itu. Tjuma
engkau harus ditjukur dulu dan memakai djubah Hwesio."
"Kembali pada Budha memang sudah lama mendjadi tjita2 Tjing-beng, tjuma ilmu
sakti jang hebat itu selamanja Tjing-beng belum pernah
mendengarnja..............."
"Djika memakai akal itu, sudah lama engkau memahaminja, kini asal kau
mempeladjari tipu ilmu pedangnja sudah tjukup", sela Thian-som tjepat.
"Po-ting-te mendjadi bingung, tanjanja: "Silahkan Taysu memberi petundjuk."
"Tjoba engkau duduklah untuk bitjara lebih djelas," kata Thian-in.
Dan sesudah Po-ting-te duduk bersila diatas sebuah tikar, lalu Thian-in berkata
pula: "Apa jang disebut Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnja tidak ada wudjut pedang
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungguh2, hanja menggunakan tenaga djari dari It-yang-tji jang hebat hingga
mendjadikannja hawa pedang, ada kekuatannja tapi tiada wudjutnja, maka boleh
djuga dikatakan sematjam Bu-heng-gi-kiam (pedang hawa jang tak Berwudjut).
Tentang Lak-meh (enam nadi) diatas lengan itu adalah Thayim, Koatin............"
- Sambil berkata, ia terus mengeluarkan satu berkas kertas gulungan. Mungkin
sudah terlalu tua, maka gulungan kertas itu sudah bersemu kuning.
Setelah Thian-som menjambut gulungan kertas itu, lalu digantung diatas dinding.
Waktu gulungan kertas itu sudah terbuka, kiranja adalah sebuah lukisan bentuk
badan seorang laki2, diatas badan tertjatat dengan djelas tempat2 Hiat-to
mengenai enam urat nadi jang bersangkutan.
Po-ting-te adalah ahli It-yang-tji, pula "Lak-meh-sin-kiam-keng" itu berdasarkan
tenaga It-yang-tji, djadi sedjalan dengan ilmu silat Keluarga Toan mereka,
dengan sendirinja ia lantas paham begitu melihat gambar itu tanpa pendjelasan
lagi. "Tjing-beng," kata Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang radja dari suatu
negeri, untuk sementara meski dapat menjamar, tapi kalau sampai diketahui oleh
musuh, tentu akan sangat merugikan nama baik Tay-li-kok.
Dari itu, sebelumnja hendaklah kau pertimbangkan lebih masak."
"Madju terus, pantang mundur," sahut Po-ting-te tegas.
"Bagus," kata Thian-in. "Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diadjarkan pada anak
murid orang biasa, maka engkau harus mentjukur rambut djadi Hwesio baru aku bisa
mengadjarkan padamu."
Tanpa pikir Po-ting-te lantas berlutut kehadapan Thian-in dan berkata:
"Silahkan Taysu!"
"Kemarilah kau, biar aku jang mentjukur engkau," kata Koh-eng Taysu tiba2.
Po-ting-te menurut, ia lantas melangkah madju dan berlutut, oleh karena Koh-eng
duduk menghadap dinding, djadi Po-ting-te berlutut dibelakangnja.
Dengan anteng Toan Ki sedjak tadi masih meringkuk ditempatnja dengan perasaan
sadar, maka ia dapat mengikuti semua pertjakapan orang tadi, pikirnja: "Bitjara
kesana kesini ternjata selalu ada sangkut-pautnja lagi dengan orang she Bujung
itu." - Dan ketika melihat sang paman hendak ditjukur untuk mendjadi Hwesio,
diam2 ia terkesiap djuga. Ia lihat Koh-eng Taysu telah baliki tangan kanannja
dan meraba keatas kepala Po-ting-te, begitu kurus tangannja itu hingga benar2
tinggal kulit membungkus tulang belaka.
Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak memutar tubuh sedikitpun, hanja mulutnja
mengutjapkan sabda Budha, ketika tangannja kemudian diangkat, tahu2 seluruh
rambutnja Po-ting-te bertebaran djatuh ketanah, kepalanja sudah gundul kelimis,
biarpun ditjukur dengan pisau tjukur mungkin djuga tidak sehalus itu.
Sungguh kedjut Toan Ki tak terkatakan, sekalipun Po-ting-te, Thian-koan dan
lain2 djuga kagum tak terhingga atas ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka
terdengar Koh-eng Taysu berkata: "Sesudah masuk kedalam Budha, nama agamamu
adalah Thian-tim." "Terima kasih Suhu atas pemberian nama ini," sahut Po-ting-te dengan merangkap
tangan. Dan oleh karena Po-ting-te telah ditjukur oleh Koh-eng, menurut agama ia
mendjadi Sutenja Thian-in, walaupun dalam urut2an keluarga Thian-in sebenarnja
adalah pamannja. Lalu Koh-eng berkata pula: "Boleh djadi malam ini djuga Tay-lun-beng-ong itu
bakal tiba, Thian-in, boleh engkau adjarkan inti rahasia Lak-meh-sin-kiam
padanja." Thian-in mengia dan menundjukan tanda2 Hiat-to jang terdapat diatas gambar jang
tergantung didinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petundjuk itu untuk
mendjalankan tenaga murninja dimana djarinja menutuk.
Segera mengeluarkan suara mentjitjit jang pelahan.
Koh-eng sangat girang, katanja: "Tidak tjetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-koat
ini sangat ruwet perubahannja, namun hawa pedangan sudah dapat kau wudjutkan,
dengan sendirinja dapatlah engkau gunakan sesuka hati."
"Marilah sekarang djuga kita mulai berlatih," udjar Thian-in. "Susiok kusus
melatih Siau-siang-kiam dengan djari djempol, aku melatih djari telundjuk,
Thian-koan Suheng melatih djari tengah. Thian-tim Sute melatih djari manis dan
Thian-siang Suheng memakai djari ketjil. Sedangkan Thian-som Sute djuga melatih
djari ketjil tangan kiri. Waktu sudah mendesak, kita harus tjepat
mejakinkannja". Tjepat ia mengeluarkan pula enam lukisan. dan digantung disekeliling dinding,
keenam lukisan itu masing2 menundjukan titik2 Hiat-to sendiri2
dari enam orang jang harus dilatihnja dan menggambarkan dimana djari mereka
harus menutuk. Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa murni dalam tubuhnja semakin penuh dan
bergolak dengan hebat, djauh lebih menderita daripada sebelumnja, sebab tadi
Thian-in berlima telah tidak sedikit pula mentjurahkan tenaga dalam mereka
kedalam badan pemuda itu. Karena sang paman dan paderi2 itu sedang memusatkan
pikiran untuk melatih ilmu sakti, maka Toan Ki tidak berani mengganggu, ia
bertahan sekuatnja dengan ter-menung2. Dalam isengnja, tanpa sengadja ia tjoba
memandang kelukisan jang menggambarkan Hiat-to dibadan manusia jang tergantung
didinding itu, dan kebetulan pada saat itu tanpa merasa tangan kirinja sendiri
sedang me-londjat2 seakan2 ada sesuatu jang akan menerobos keluar dari bawah
kulit tangannja. Tempat jang ber-kedut2 seperti diterobos tikus itu tertjatat
sebagai "Hwe-tjong-hiat" diatas lukisan itu. Waktu ia melirik sang paman, ia
lihat Po-ting-te sedang memperhatikan gambar Siau-yang-keng jang kusus harus
dilatihnja dan tergantung didepannja itu, djari manis sang paman tampak sedang
bergerak pelahan. Toan Ki tjoba mengikuti tanda2 jang tertjatat diatas gambar
itu. Aneh djuga, karena pikirannja ditjurahkan untuk mengikuti garis2 jang
menghubungkan Hiat-to satu dan lain menurut gambar, se-konjong2 hawa murni dalam
tubuhnja itupun ikut berdjalan menurut perasaannja, mula2 hawa itu timbul dari
lengan menaik keatas bahu dan terus kepundak.
Dan meski tjuma sedikit hawa murni itu berdjalan. namun rasa Toan Ki jang muak
dan sesak tadi lantas terasa longgar. Njata tanpa sengadja ia telah tarik hawa
murni itu keurat nadi Sam-djiau. Tetapi karena tjara mendjakinkan hawa murni itu
sebenarnja adalah sematjam Lwekang jang sangat tinggi, Toan Ki tidak paham
seluk-beluknja setjara tepat, baru sebentar ia djalankan tenaganja, terus sadja
ia men-djerit2 aduh. Untunglah sebelum hawa dalam badannja itu kesasar, karena mendengar teriakannja,
segera Po-ting-te menanja: "Kenapakah Ki-dji?"
"Dalam badanku terasa penuh terisi hawa jang bergolak dan menerdjang kian
kemari, rasanja sangat menderita, waktu aku mengikuti garis2 merah diatas
lukisanmu itu, hawa ini lantas mengalir masuk kedalam perut, tetapi,
aduuuuh.................. tetapi hawa dalam perut makin lama semakin penuh
terisi dan sekarang rasa perutku se-akan2 meledak!"
demikian tutur Toan Ki sambil meringis.
Perasaan Toan Ki itu hanja dapat dirasakan oleh sipenderita sendiri, ia merasa
perutnja melembung dan seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain toh
keadaannja biasa sadja tiada sesuatu jang aneh.
Namun Po-ting-te tjukup paham tentang segala kemungkinan-kemungkinan bagi orang
jang melatih Lwekang. Perasaan perut melembung akan meledak itu umumnja tjuma
bisa terdjadi pada orang jang melatih Lwekang berpuluh tahun lamanja, tapi
selamanja Toan Ki tidak pernah beladjar silat, darimana bisa terdjadi begitu" Ia
pikir tentu gara-gara ratjun jang mengeram didalam tubuhnja itu. Karena itu, Poting-te mendjadi kuatir kalau-kalau ratjun itu akan mengamuk hingga hawa djahat
ketelandjur masuk kedjantung, untuk melenjapkannja tentu akan susah.
Biasanja Po-ting-te dapat bertindak tegas dan tjepat ambil keputusan.
Tapi kedjadian didepan matanja sekarang menjangkut baik buruk selama hidupnja
Toan Ki. Kalau sedikit ajal, mungkin akan membahajakan djiwa pemuda itu. Dalam
keadaan kepepet, biarpun akibatnja mungkin tjelaka, terpaksa harus ditjobanja
djuga. Maka katanja: "Ki-dji, biar kuadjarkan engkau tentang memutarkan hawa
menudju kepusat." ~ Habis ini, segera ia mengadjarkan penuntun ilmu itu kepada
Toan Ki sambil tangannja sendiri tetap berlatih menurut gambar.
Sambil mendengarkan petundjuk sang paman, terus sadja satu kata demi kata
dituruti Toan Ki untuk melaksanakannja. Dan inti Lwekang keluarga Toan dari
Tayli itu memang sangat hebat, selesai Toan Ki melakukan petundjuk sang paman,
hawa jang bergolak tadi djuga sudah dapat ditarik masuk semua kepusat. Maka
terasalah badannja makin lama semakin segar, rasanja enteng seakan-akan melajang
keudara. Melihat wadjah pemuda itu berseri-seri girang, Po-ting-te malah menjangka sang
keponakan itu terlalu dalam keratjunan dan kelak akan susah disembuhkan lagi.
Maka diam-diam ia sangat gegetun.
Meski Koh-eng Taysu sedjak tadi duduknja tetap menghadap dinding, tapi
pertjakapan kedua orang itu dapat diikutinja semua. Sesudah selesai mendengar
Po-ting-te mengadjarkan kepandaiannja kepada Toan Ki, segera ia berkata: "Thiantim, ketahuilah bahwa segala apa sudah takdir ilahi, maka engkau tidak perlu
kuatir bagi orang lain, jang penting sekarang lekas engkau melatih Siau-yangkiam sadja!" Po-ting-te mengia dan memusatkan kembali perhatiannja untuk melatih Siau-yangkiam jang diwadjibkannja diantara Lak-meh-kiam-hoat itu.
Dalam pada itu hawa murni dalam tubuh Toan Ki jang sangat padat itu sudah tentu
takdapat dipusatkan seluruhnja dalam waktu singkat, tjuma penuntun dasar jang
diterimanja dari Po-ting-te itu dapat berdjalan dengan lantjar dan semakin
tjepat. Begitulah ketudjuh orang jang berada didalam pondok itu masing-masing melatih
ilmunja sendiri-sendiri, tanpa merasa hari sudah malam dan subuh sudah
mendatang. Mendjelang pagi itulah Toan Ki merasa kaki-tangannja enteng leluasa tidak
tersisa sedikitpun hawa jang hendak meledak seperti kemarin itu. Ia tjoba
berdiri dan melemaskan otot-ototnja. Ia lihat sang paman dan kelima paderi saleh
itu masih asjik melatih ilmu pedangnja masing-masing. Ia tidak berani membuka
pintu untuk keluar, pula tidak berani bersusara mengganggu keenam orang itu,
saking iseng, ia tjoba mengikuti gambar didepan sang paman jang melukiskan
letak-letak urat nadi dengan ilmu pedang Siau-yang-kiam itu, dikala perhatiannja
terhadap gambar itu memusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa murni membandjir
keluar dari perutnja terus menerdjang kebahu. Jang paling aneh jalah dimana
pikiran Toan Ki ditjurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera hawa
murni jang mengalir dalam tubuh itu lantas menjusup kesana, djadi dari bahu
kelengan dan dari lengan kedjari. Tapi Toan Ki tidak dapat mendjalankan
Lwekangnja untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni menerdjang
keudjung djari, ia merasa djarinja seperti abuh hendak petjah, maka pikirnja: "
Ah, biarkan arus hawa ini kembali sadja." ~ Aneh djuga, begitu pikirannja,
begitu pula hawa murni itu lantas mengalir kembali keperutnja.
Kiranja tanpa merasa Toan Ki telah berhasil memperoleh inti dasar ilmu Lwekang
jang sangat tinggi, tapi ia sendiri sama sekali tidak tahu. Ia hanja merasa arus
hawa jang mengalir kian kemari dilengannja itu dapat dimainkan sesukanja.
Kemudian ia lihat Thian-siang Taysu diantara ketiga paderi Bo-ni-tong itu adalah
jang paling ramah-tamah, ia tjoba melongok gambar "Siau-im-keng-meh-toh" jang
wadjib dilatih paderi itu. Ia lihat titik nadi gambar itu dimulai dari "Kektjoan-hiat" dibawah ketiak terus menurun sampai di
"Siau-tjiong-hiat" diudjung djari ketjil. Kembali satu-persatu ia mengikuti
garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam tubuhnja mengalir lagi seperti
tadi menurut perasannja. Ternjata dalam waktu singkat sadja Toan Ki sudah dapat menembus semua urat nadi
dilengan itu. Dan karena Lak-meh atau enam nadi itu dapat ditembus, semangatnja
mendjadi segar malah. Dalam isengnja ia terus memeriksa pula gambar-gambar lain
jang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain itu, namun ia mendjadi pusing melihat
garis-garis merah, biru, hitam dan lain-lain jang ruwet itu. Pikirnja: "Ah,
begini sulit ilmu pedang itu, mana dapat aku ingat seluruhnja?" ~ Lalu pikirnja
pula: "Aneh, kenapa kedua paderi ketjil itu tidak menghantarkan makanan kemari"
Biarlah diam-diam aku mengelojor keluar untuk mentjari makanan."
Tapi pada saat itu djuga hidungnja lantas mentjium sematjam bau wangi jang
halus, menjusul terdengarlah suara orang bernjanji dalam pudjian Budha, suara
itu hanja sajup-sajup sadja, sebentar terdengar sebentar tidak.
"Siantjay, Siantjay! Tay-lun-beng-ong telah tiba, bagaimana dengan latihan
kalian?" demikian Koh-eng Taysu berkata dengan gegetun.
"Meski belum masak betul-betul, namun sudah tjukup untuk menghadapi musuh,"
sahut Thian-som. "Thian-in," kata Koh-eng pula, "aku tidak suka bergerak, bolehlah kau undang
Beng-ong bitjara keruang Bo-ni-tong ini sadja."
Thian-in mengia dan keluar.
Segera Thian-koan menjiapkan lima kasuran tikar dan didjadjarkan mendjadi satu
baris. Ia sendiri lantas menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-tingte keempat, Thian-som kelima dan ketiga jang luang itu disediakan untuk Thianin. Toan Ki tidak punja tempat duduk, terpaksa ia berdiri dibelakangnja Po-tingte. Tahu musuh tangguh bakal tiba, lekas-lekas Koh-eng dan Thian-koan berlima
mengapalkan sekali lagi petundjuk Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan itu
tjepat-tejapt digulung semua dan ditaruh didepannja Koh-eng.
"Ki-dji," kata Po-ting-te, "sebentar bisa terdjadi pertarungan sengit, tentu
diruangan ini akan penuh hawa pedang jang tadjam, tentu akan membahajakan
dirimu, sedangkan paman tak dapat melindungi kau, maka lebih baik engkau keluar
sadja sana!" Toan Ki mendjadi terharu, ia pikir: "Dari pertjakapan paman dan lain-lain,
agaknja ilmu silat Tay-lun-beng-ong itu teramat lihay, sedangkan ilmu pedang
paman ini baru sadja djilatih, entah mampu tidak melawan musuh, dan kalau
terdjadi apa-apa, lantas bagaimana baiknja?" ~ Maka katanja segera: "Pekhu,
aku ... aku ingin tinggal disini, aku kua ...
kuatirkan pertempuran nanti ...." ~ Bitjara sampai disini, suaranja mendjadi
parau dan tak lantjar. Hati Po-ting-te terharu djuga, pikirnja: "Anak ini ternjata sangat berbakti
kepada orang tua." "Ki-djie," tiba-tiba Koh-eng buka suara, "bolehlah kau duduk kedepanku sini,
betapa lihaynja Tay-lun-beng-ong itu djuga takkan mengganggu seudjung rambutmu!"
Meski nada Koh-eng Taysu itu tetap dingin sadja tanpa perasaan, namun dari
kalimatnja itu kentara sekali rasa angkuhnja.
Tentu sadja Toan Ki mengia dan membungkuk mendekati Koh-eng Taysu, ia tidak
berani memandang muka paderi itu, lalu duduk bersila dengan menghadap dinding
djuga. Memangnja tubuh ke djauh lebih tinggi dari Toan Ki, maka badan pemuda itu
hampir teraling-aling seluruhnja.
Po-ting-te mendjadi girang dan terima kasih, tadi ketika Koh-eng mentjukur
rambutnja dengan ilmu saktinja, kepandaian itu sudah tjukup untuk ditondjolkan
dalam dunia persilatan. Maka sekarang Toan Ki dibawah perlindungannja, sudah
tentu tidak perlu kuatir lagi.
Selang agak lama, terdengarlah suara Thian-in Hongtiang lagi berkata diluar. "
Atas kundjungan Beng-ong, silahkan masuk keruang Bo-ni-tong ini sadja!"
Lalu suara seorang lain menjahut: "Harap Hongtiang suka menundjukkan djalannja!"
Mendengar suara orang jang halus dan ramah-tamah itu, Toan Ki jakin Tay-lunbeng-ong itu pasti bukan seorang jang kedjam dan buas. Djika didengar dari suara
tindakan orang diluar, kedengarannja berdjumlah belasan orang banjaknja.
Kemudian terdengar suara pintu didorong oleh Thian-in sambil berkata:
"Silahkan Beng-ong masuk!"
"Maafkan!" sahut Tay-lun-beng-ong sambil melangkah masuk. Lalu ia masuk memberi
hormat kepada Koh-eng Taysu sambil berkata: "Wanpwe adalah Tjiumoti dari negeri
Turfan, dengan ini memberi sembah kepada Tjianpwe Taysu."
Diam-diam Toan Ki membatin: "Kiranja nama asli Tay-lun-beng-ong ini adalah
Tjiumoti." Maka menjahutlah Koh-eng Taysu: "Beng-ong datang dari djauh, maafkan kalau Lolap
tidak memberi sambutan jang pantas."
Dan sesudah saling mengutjapkan kata-kata merendah pula, kemudian Thian-in
menjilahkan duduk Tay-lun-beng-ong alias Tjiumoti itu.
Diam-diam Toan Ki ingin tahu matjam apakah Tay-lun-beng-ong jang disegani itu.
Pelahan-pelahan ia menoleh sedikit dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia
lihat disebelah sana berduduklah seorang paderi berdjubah kuning, usianja belum
ada setengah abad, sederhana dandanannja, tapi mukanja bertjahaja bagai permata
kemilauan. Baru melihat sekedjap sadja lantas timbul rasa suka dan kagumnja Toan
Ki. Waktu memandang pula keluar pintu, ternjata diluar sana berdiri 8 atau 9
laki-laki jang berperawakan berbeda-beda dan wadjah berlainan, tapi kebanjakan
bengis menakutkan, tidak seperti orang Tiongkok umumnja. Terang mereka
pengiringnja Tay-lun-beng-ong jang dibawanja dari daerah barat.
Kemudian dengan merangkap tangannja memberi hormat, Tjiumoti itu berkata: "Budha
berkata: tiada hidup takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakat Siautjeng
terlalu bodoh dan belum dapat memahami suka-duka dan mati-hidup manusia. Tjuma
selama hidup Siautjeng mempunjai seorang kawan karib, jaitu orang she Bujung
dari Koh-soh dinegeri Song. Siautjeng telah berkenalan dengan dia dinegeri
Thian-tiok, disana kami telah tukar pikiran tentang ilmu silat dan pedang.
Bujung-siansing itu ternjata sangat luas pengetahuannja, tiada sesuatu ilmu
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat didunia ini jang tak dipahaminja, berkat petundjuknja dalam beberapa hari,
segala pertanjaanku selama hidup jang tak terdjawab itu telah dipetjahkan
olehnja dalam sekedjap. Tak terduga orang pandai itu djusteru berumur pendek,
kini Bujung-siansing telah pulang kenirwana. Karena itu Siautjeng ada sesuatu
permohonan jang tidak pantas, sukalah para Tianglo menaruh belas-kasihan."
Sudah tentu Thian-in paham apa maksud tudjuan dibalik utjapannja itu.
Djawabnja segera: "Beng-ong dapat bersahabat dengan Bujung-siansing, itu berarti
ada djodoh, dan bila masa djodoh itu sudah habis, guna apa mesti dipaksakan
lagi" Bujung-siansing sudah lama wafat, mengapa terhadap ilmu silat didunia fana
ini mesti disajangkan pula" Tindakan Beng-ong ini apa tidak berlebihan?"
"Nasihat Hongtiang ini memang benar djuga," sahut Tjiumoti. "Tjuma Siautjeng
dasarnja memang agak bandel, meskipun sudah sekian lamanja toh kebaikan
persahabatan dahulu susah untuk dilupakan. Dahulu ketika Bujung-siansing bitjara
tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia jakin "Lak-meh-sin-kiam" dari Thian-liong-si
ini adalah nomor satu dari segala ilmu pedang, ia menjatakan sangat menjesal
karena selama hidupnja tidak sempat melihat ilmu pedang sakti itu."
"Tempat kami ini terpentjil didaerah perbatasan selatan, tapi toh mendapat
perhatian Bujung-siansing, sungguh kami merasa sangat bangga,"
sahut Thian-in. "Tetapi diwaktu hidupnja mengapa Bujung-siansing tidak datang
sendiri untuk memindjam lihat Kiam-keng (kitab ilmu pedang) kami ini?"
Tiba-tiba Tjiumoti menghela napas pandjang dan wadjahnja berubah sedih, sedjenak
kemudian barulah dia berkata: "Bujung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu
adalah pusaka geredja kalian, meskipun mohon lihat dengan terus terang djuga tak
mungkin diidzinkan. Ia bilang Toan-si dari Tayli diagungkan sebagai radja, tapi
toh tidak melupakan setia-kawan dalam Kangouw, tjinta negeri dan berkati rakjat,
maka ia tidak enak untuk melakukan pentjurian atau main ambil setjara paksa."
"Terima kasih atas pudjian Bujung-siansing itu," udjar Thian-in. "Dan bila
Bujung-siansing sudi menghargai Toan-si dari Tayli, Beng-ong adalah sobat
karibnja, seharusnja djuga suka memaklumi djiwanja itu."
"Ja, namun tempo dulu Siauwtjeng sudah ketelandjur omong besar bahwa Siau-tjeng
adalah Koksu (imam negara) dari Turfan, bukan sanak dan lain kadang daripada
keluarga Toan di Tayli, djikalau Bujung-siansing merasa sungkan untuk memintanja
sendiri, biarlah Siautjeng akan mewakilinja.
Sekali seorang laki-laki sedjati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup tak
boleh menjesal. Dari itu djandji Siautjeng kepada Bujung-siansing itu tidak
nanti kudjilat kembali."
Habis berkata, ia terus tepuk-tepuk tangan tiga kali. Maka masuklah dua lakilaki diluar itu sambil menggotong sebuah peti kaju tjendana dan ditaruh
dilantai. Waktu lengan badju Tjiumoti mengebas, tanpa dibuka tutup peti itu
lantas mengap sendiri. Maka tertampaklah sinar kemilauan, didalam peti itu
terdapat sebuah kotak ketjil dari emas. Segera Tjiumoti ambil kotak emas itu dan
disunggi diatas tangannja.
"Kita sama-sama orang diluar dunia ramai, masakah masih tamak terhadap benda
mestika apa segala?" diam-diam Thian-in membatin. "Apalagi keluarga Toan
diagungkan sebagai radja di Tayli, dengan harta pusaka kumpulan selama ratusan
tahun ini masakan masih kekurangan?"
Diluar dugaan Tjiumoti lantas membuka tutup kotak emas itu, apa jang dikeluarkan
dari kotak itu ternjata adalah tiga djilid kitab lama. Ketika ia balik-balik
halaman kitab itu sekenanja, sekilas Thian-in dan lain-lain dapat melihat isi
kitab itu ada gambarnja djuga ada tulisannja, semuanja tulisan tangan dari tinta
merah. Tiba-tiba Tjiumoti termangu-mangu, memandangi ketiga djilid kitab itu dengan air
mata berlinang-linang, sikapnja sangat menjesal dan berduka luar biasa. Karuan
Thian-in dan lain-lain mendjadi heran.
Namun Koh-eng Taysu lantas berkata: "Beng-ong terkenang kepada sahabat jang
sudah meninggal, batin belum bersih dari kedunawian, apakah tidak malu disebut
Ko-tjeng (paderi saleh)?"
"Taysu maha pintar dan maha sakti, sudah tentu Siautjeng tak mampu menjamai,"
sahut Tay-lun-beng-ong. "Tjuma ketiga djilid kuntji ilmu silat ini adalah
tulisan tangan Bujung-siansing jang menguraikan tentang titik pokok ke-72 djenis
ilmu tunggal dari Siau-lim-pay, diuraikan pula tentang tjara melatihnja dan
tjara memetjahkannja."
Halaman 9: Gambar Tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengeluarkan sebuah kotak emas, dari kotak itu
dikeluarkannja pula tiga djilid kitab jang sudah tua.
Semua orang terkedjut oleh keterangan itu, pikir mereka: "Ilmu silat tunggal
dari Siau-lim-pay termasjhur diseluruh dunia, konon sedjak Siau-lim-pay
didirikan, ketjuali didjaman permulaan ahala Song pernah ada seorang paderi
sakti jang berhasil melatih 36 djurus ilmu tunggal, selamanja tiada orang kedua
lagi jang bisa melebihi dari itu. Tapi Bujung-siansing ini dapat memahami kuntji
daripada ke-72 djenis ilmu silat Siau-lim-pay jang lihay, bahkan tentang tjara
bagaimana mematahkan ilmu-ilmu silat itupun dapat dipetjahkannja, hal ini benarbenar susah untuk dimengarti orang."
Maka berkatalah Tay-lun-beng-ong: "Bujung-siansing telah menghadiahkan ketiga
djilid kitab ini kepada Siautjeng, sesudah kubatja sungguh tidak sedikit
Siautjeng memperoleh manfaatnja. Kini Siautjeng bersedia menukar ketiga djilid
kitab ini dengan Lak-meh-kim-keng kalian. Pabila para Taysu setudju hingga
Siautjeng dapat memenuhi djandji kepada sahabat lama, sungguh Siautjeng merasa
terima kasih tak terhingga."
Thian-in terdiam, pikirnja dalam hati: "Apa jang tertjatat didalam kitab-kitab
itu bila benar adalah ke-72 djenis ilmu tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami
memperolehnja, bukan sadja dalam ilmu silat Thian-liong-si bakal sedjadjar
dengan nama Siau-lim-si, bahkan mungkin dapat lebih tinggi daripada mereka.
Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh ilmu Siau-lim-si, sebaliknja ilmu
tunggal dari geredja kami tak diketahui oleh Siau-lim-si."
Lalu Tay-lun-beng-ong menjambung lagi: "Dan diwaktu kalian menjerahkan kitab
pusaka kepadaku, silahkan menjalin dulu turunannja, dengan begitu pertama Taysu
telah berbuat baik kepada Siautjeng, untuk mana aku takkan lupa sampai tua,
sebaliknja tidak merugikan pihak Taysu; kedua, sesudah Siautjeng menerima kitab
pusaka kalian, segera akan kubungkus rapat-rapat, sekali-sekali takkan mengintai
isinja sedikitpun dan akan menjampaikan sendiri kitab pusaka kehadapan kuburan
Bujung-siansing dan dibakar disana, dengan demikian ilmu sakti dari geredja
kalian ini takkan tersiar diluaran; ketiga, ilmu silat Thian-liong-si memangnja
sudah hebat, dengan tambahan ilmu-ilmu sakti ke-72 djenis dari Siau-lim-pay ini,
diantaranja seperti "Tjian-hoa-tji", "Bu-siang-djiat-tji" dan "To-lo-yap-tji"
sangat berguna djuga untuk bahan perbandingan dengan It-yang-tji kalian."
Tjara berkata Tjiumoti itu sangat enak didengar dan menarik, masuk diakal pula,
maka Po-ting-te dan Thian-siang Taysu jang lebih dulu tertarik. Tjuma diatas
mereka masih ada Hongtiang serta sang Susiok, maka merekapun tidak enak untuk
mengutarakan pikiran mereka.
Segera Tay-lun-beng-ong melandjutkan lagi: "Mungkin usia Siautjeng masih muda
dan pengalaman tjetek, apa jang kukatakan barusan belum tentu dapat dipertjajai
para Taysu. Maka tentang ketiga djenis Tji-hoat (ilmu djari) tadi boleh djuga
Siautjeng memberi demonstrasi sekedarnja sekarang." ~ Segera ia berbangkit dan
berkata pula: "Tjuma apa jang dipahami Siautjeng ini masih sangat tjetek dan
kasar, bila ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi petundjuk. Sekarang aku
mulai dengan Tjiam-hoa-tji."
Habis itu, tertampak ia menggunakan djari-djari djempol dan telundjuk kanan
dengan gaja memetik bunga seakan-akan telah memetik setangkai bunga, dengan
wadjah bersenjum kelima djari tangan kiri kemudian mendjentik pelahan kekanan.
Diantara semua orang jang berada didalam ruangan itu, ketjuali Toan Ki, jang
lain-lain adalah ahli Tji-hoat kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa
indah dan lemah-lembutnja gaja gerakan itu.
Setelah mendjentik belasan kali, tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengangkat lengan
badju kanan, menjusul iapun meniup kemuka lengan badju sendiri itu, dalam
sekedjap sadja bertebaranlah berpotong-potong kain ketjil sebesar mata uang
hingga lengan badjunja berwudjut belasan lubang bundar.
Kiranja djentikan-djentikan ilmu "Tjiam-hoa-tji" tadi telah mengenai lengan
badju sendiri dari djauh, tenaganja lembut, tapi merusak badju, semula tampaknja
badjunja tiada kurang suatupun apa, tapi sekali ditiup angin, barulah kentara
betapa sakti kepandaian paderi itu.
Thian-in, Thian-koan dan Po-ting-te saling pandang sekedjap, dalam hati mereka
diam-diam terperandjat. Dengan ilmu It-yang-tji mereka, untuk melubang badju
seperti itu tidaklah susah bagi mereka, tapi untuk mentjapai tingkatan selihay
lawan itu, mau-tak-mau mereka harus mengaku masih kalah setingkat.
"Sekianlah," kata Tjiumoti kemdian dengan tersenjum. "Tenaga djari Tjiam-hoattji Siautjeng barusan terang djauh dibawah Hian-toh Taysu dari Siau-lim-si. Dan
tentang "To-lo-yap-tji" tentu sadja selisih lebih djauh lagi."
Habis berkata, tjepat ia berputar mengitari peti kaju jang berada dilantai tadi
dan menutuk beruntun-runtun dengan sepuluh djarinja, maka tertampaklah potongan
kaju bertebaran dan dalam sekedjap sadja peti itu sudah berwudjut seonggok bubuk
kaju. Sebenarnja Po-ting-te dan lain-lain tidak heran oleh kepandaian orang meremukkan
peti kaju mendjadi bubuk itu, tapi demi nampak engsel dan sebagainja dari logam
jang berada dipeti itupun hantjur berkeping-keping oleh tenaga djarinja, mautak-mau mereka terkedjut djuga.
Lalu berkatalah Tjiumoti: "Tjara Siautjeng menggunakan To-lo-yap-tji ini masih
sangat hidjau, diharap para Taysu djangan mentertawakannja." ~
Sembari berkata kedua tangannja sembari dimasukan dilengan badju sendiri.
Mendadak tumpukan bubuk kaju itu bisa menari-nari diudara seakan-akan didalangi
orang dengan sesuatu alat jang tak kelihatan.
Waktu Po-ting-te dan lain-lain memandang Tay-lun-beng-ong, paderi itu kelihatan
tetap bersenjum simpul, djubahnja sedikitpun tidak bergerak, njata tenaga
djarinja dilontarkan dari dalam lengan badjunja hinga tidak kelihatan wudjutnja.
"Ha, inilah Bu-siang-djiat-tji! (tutukan maut tak kelihatan) Sungguh hebat,
kagum, kagum!" demikian seru Thian-siang Taysu tak tertahan.
"Ah, Taysu terlalu memudji," udjar Tjiumoti. "Padahal bubuk kajunja tampak
bergerak, itu berarti masih kelihatan wudjutnja. Untuk bisa mentjapai tingkatan
sesuai dengan namanja hingga tanpa kelihatan, rasanja perlu melatih diri seumur
hidup." "Apakah didalam kitab pusaka tinggalan Bujung-siansing itu terdapat tjara-tjara
untuk memetjahkan "Bu-siang-djiat-tji" itu?" tanja Thian-siang.
"Ada," sahut Tjiumoti. "Ilmu pemetjahannja menggunakan nama seperti gelaran
Taysu." Thian-siang merenung sedjenak, kemudian katanja: "Ehm, namanja Thian-siang-tjihoat, Thian-siang mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali."
Setelah menjaksikan pertundjukan ketiga matjam tenaga djari sakti dari Tjiumoti
itu, Thian-in, Thian-koan, dan Thian-som mendjadi tertarik djuga. Mereka tahu
ketiga djilid kitab pusaka itu benar-benar memuat ke-72 djenis ilmu tunggal
Siau-lim-si jang termasjhur diseluruh dunia, apakah mesti terima tawaran tukarmenukar dengan "Lak-meh-sin-kiam,"
sungguh hal ini sangat meragukan.
Maka berkatalah Thian-in: "Susiok, djauh-djauh Beng-ong telah berkundjung
kemari, suatu tanda betapa teguh maksud tudjuannja ini.
Lantas bagaimana kita harus bertindak, harap Susiok suka memberi petundjuk."
"Thian-in, apa tudjuan kita beladjar silat dan melatih diri?" tanja Koh-eng
Taysu tiba-tiba. Sama sekali Thian-in tidak menduga bakal ditanja demikian oleh sang Susiok, ia
rada terkesiap, tapi segera djawabnja; "Demi membela agama dan negara."
"Pabila kita kedatangan orang djahat dan kita tidak dapat menginsafkannja dengan
djalan Budha dan terpaksa mesti turun tangan membasminja, untuk mana harus
menggunakan ilmu apa?" tanja Koh-eng pula.
"Djika sudah terpaksa, harus menggunakan It-yang-tji," sahut Thian-in.
"Dan dalam hal It-yang-tji, sampai ditingkatan berapa engkau telah berhasil
menjakinkannja?" tanja Koh-eng.
"Tetju terlalu bodoh, diwaktu latihan kurang giat, maka sampai sekarang baru
mentjapai tingkatan kelima," djawab Thian-in dengan berkeringat.
"Kalau menurut pendapatmu, It-yang-tji dari keluarga Toan di Tayli ini bila
dibandingkan Tjiam-hoa-tji, To-lo-yap-tji dan Bu-siang-djiat-tji dari Siau-limsi itu, jang manakah lebih bagus dan jang mana lebih djelek?"
"Ilmu tutukan itu sama2 bagus dan tergantung keuletan masing2." sahut Thian-in.
"Benar, dan kalau It-yang-tji kita dapat dilatih sampai tingkatan tertinggi,
lalu bagaimana?" "Dalamnja susah didjadjaki, Tetju tidak berani sembarangan omong!"
"Bila engkau misalnja dapat hidup seabad lagi, dapatkah engkau mejakinkan sampai
tingkat keberapa?" Keringat didjidat Thian-in mulai ber-ketes2, djawabnja dengan gemetar:
"Tetju tak dapat mendjawab."
"Dapatkah mentjapai tingkatan pertama?" tanja Koh-eng.
"Pasti takkan dapat," sahut Thian-in.
Maka Koh-eng Taysu tidak bitjara lagi.
Achirnja Thian-in berkata pula: "Petundjuk Susiok memang tepat.
Sedangkan It-yang-tji sendiri sadja kita tak mampu menjakinkannja hingga
sempurna, untuk apa mesti mengambil kepandaian orang lain lagi" Beng-ong telah
datang dari djauh, biarlah kami sekedar memenuhi kewadjiban sebagai tuan rumah."
~ Dengan utjapannja ini, tegasnja ia telah tolak tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.
Tjiumoti menghela napas, katanja kemudian: "Ai, semuanja gara2 mulut Siautjeng
jang usil, kalau tidak, tentunja tidaklah sesulit seperti sekarang ini. Tapi ada
djuga sepatah kata Siautjeng jang mungkin kurang sopan, pabila Lak-meh-sin-kiam
itu benar2 sebagus seperti apa jang dikatakan Bujung-siansing, sekalipun geredja
kalian memiliki lukisan pusakanja, namun bukan mustahil belum ada seorangpun
jang berhasil mejakinkannja. Dan kalau ada jang dapat mejakinkan, tentu ilmu
pedang itulah jang tidak sebagus seperti jang dikagumi Bujung-siansing."
"Sebenarnja ada sesuatu jang Lolap merasa tidak mengarti, bolehkah Beng-ong suka
memberi pendjelasan?" tanja Koh-eng.
"Silahkan?" sahut Tjiumoti.
"Tentang geredja kami memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng itu sekalipun anggota
keluarga Toan kami djuga tiada jang tahu, tapi darimanakah Bujung-siansing bisa
mengetahuinja?" tanja Koh-eng.
"Hal itu dahulu djuga tidak diterangkan oleh Bujung-siansing." kata Tjiumoti. "
Tapi menurut dugaan Siautjeng, tentunja ada hubungannja dengan Yan-king Thaytju
dari keluarga Toan."
Thian-in angguk2 dan ikut bertanja: "Djadi Yan-king Thaytju kenal pada Bujungsiansing?" "Ja, pernah Bujung-siansing memberi petundjuk beberapa djurus ilmu silat
padanja, tapi menolak menerimanja sebagai murid."
"Sebab apa menolak?" tanja Koh-eng Taysu.
"Itu adalah urusan pribadi Bujung-siansing, Siautjeng tidak enak banjak
menanja." sahut Tjiumoti. Dibalik kata2nja ini se-akan2 djuga minta Koh-eng
djangan banjak menanja. Tapi Koh-eng djusteru berkata pula: "Yan-king Thaytju itu adalah keturunan Toansi kami. segala tindak-tanduknja diluar, Thian-liong-si dan kepala keluarga Toan
berhak mengurusnja".
"Benar," sahut Tjiumoti dengan tawar.
Segera Thian-in Hongtiang ikut berkata: "Selama belasan tahun Susiok kami tidak
menemui orang luar, tapi mengingat Beng-ong adalah Ko-tjeng (paderi saleh)
didjaman ini, barulah Susiok mau menemuinja. Sekarang sudah selesai,
silahkanlah!" ~ sembari berkata ia terus berdiri sebagai tanda menjilahkan
tamunja pergi. Namun Tjiumoti menjahuti: "Bila Lak-meh-sin-kiam tjuma pudjian kosong sadja,
mengapa kalian memandangnja begitu penting hingga mesti mengorbankan
persahabatan Thian-liong-si dengan Tay-lun-si serta antara Tayli dan Turfan?"
"Apakah Beng-ong maksudkan, pabila kami tidak meluluskan permintaanmu, Tayli dan
Turfan akan terdjadi perang?" tanja Thian-in.
Sebagai kepala negara, sudah tentu Po-ting-te paling tertarik oleh tanja-djawab
terachir itu. Pelahan2 Tjiumoti berkata: "Sudah lama Koktju kami kagum pada negeri Tayli jang
makmur, sudah lama beliau ingin mengadakan perburuan kesini.
Tapi Siautjeng pikir tindakan itu pasti akan banjak ambil korban djiwa dan
harta, maka selama beberapa tahun Siautjeng selalu berusaha mentjegahnja."
Sudah tentu Thian-in dan lain2 memahami kata2 orang jang bersifat mengantjam
itu. Sebab Tjiumoti adalah Koksu dari negeri Turfan. Seperti djuga Tayli, rakjat
Turfan djuga memeluk agama Budha dan Tjiumoti itu sangat mendapat kepertjajaan
Koktju, perang atau damai banjak besar tergantung kepada kekuasaannja. Kini
kalau tjuma urusan sedjilid kitab hingga kedua negeri mesti terlibat dalam
peperangan, hal ini benar2 tidak perlu. Tapi bila sedikit digertak lantas
menjerahkan mentah2 apa jang diminta, bukankah sangat merosotkan kehormatan
Thian-liong-si dan keradjaan Tayli"
Maka berkatalah Koh-eng Taysu: "Djikalau Beng-ong bertekad harus mendapatkan
kitab kami ini, mengapa Lolap mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tunggal dari Siau-lim-si, kamipun tidak berani menerimanja. Meski sudah berpuluh
tahun Lolap menghadap dinding, namun tahu djuga bahwa kepandaian Beng-ong dari
Bencana Patung Keramat 1 Dewa Linglung 2 Geger Pedang Inti Es Misteri Kapal Layar Pancawarna 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama