Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 11
Tay-lun-si itu djauh lebih hebat daripada 72 djenis ilmu2 dari Siau-lim-pay."
Tjiumoti merangkap kedua tangannja dan berkata: "Apakah maksud Taysu jalah
supaja Siautjeng mempertundjukan sedikit kepandaianku jang djelek ini?"
"Beng-ong mengatakan bahwa Lak-meh-sin-kiam-keng kami tjuma pudjian kosong
belaka dan tidak berguna dipraktekan, maka biarlah kami lantas beladjar kenal
beberapa djurus dengan Beng-ong," demikian sahut Koh-eng.
"Apakah memang benar seperti apa jang dikatakan Beng-ong bahwa Lak-meh-kiam-hoat
kami ini hanja bernama kosong dan tidak berguna, lalu untuk apalagi mesti kami
sajangkan" Dengan rela akan kami serahkan kitab jang diminta Beng-ong."
Diam2 Tjiumoti terkesiap oleh djawaban itu. Dahulu diwaktu ia berbitjara tentang
"Lak-meh-sin-kiam" dengan Bujung-siansing, keduanja berpendapat Kiam-hoat itu
memang sangat bagus, tapi mungkin susah dijakinkan oleh tenaga manusia. Kini
mendengar utjapan Koh-eng, agaknja bukan Koh-eng sadja jang dapat memainkan
Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannja jang lain djuga bisa. Tapi segera iapun
mendjawab: "Djikalau Taysu sekalian sudi memberi petundjuk dengan Sin-kiam jang
hebat itu, sungguh Siautjeng merasa sangat beruntung sekali."
"Sendjata apa jang dipakai Beng-ong, silahkan mengeluarkan," kata Thian-in
segera. Tiba2 Tjiumoti menepuk tangan, maka masuklah laki2 tinggi besar jang menunggu
diluar itu. Tjiumoti berkata beberapa patah dalam basa asing dan laki2 itupun
meng-angguk2, lalu keluar dan membawa masuk seikat dupa kepada Tjiumoti,
kemudian laki2 itu undurkan diri pula keluar.
Semua orang merasa heran untuk apakah dupa itu. Dupa itu adalah benda lemah dan
mudah patah, masakan dapat digunakan sebagai sendjata"
Tertampak Tjiumoti lolos sebatang dupanja, lalu tangan lain meraup segenggam
bubuk kaju terus dikepal hingga mengeras, dupa itu lantas ditantjapkan
ditengahnja dan ditaruh diatas lantai. Dengan tjara jang sama ia djadjarkan enam
batang dupa dengan djarak kira2 belasan senti satu sama lain. Menjusul ia menggosok2 kedua telapak tangannja terus menggesek kedepan, berbareng udjung keenam
batang dupa itu lantas menjala dan tersulut.
Karuan Thian-in dan lain2 terkedjut, betapa tinggi tenaga dalam paderi asing ini
sungguh sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-tingte lantas mengendus pula bau belirang jang terbakar, maka tahulah mereka,
kiranja diputjuk dupa2 itu terdapat obat bakar, sekali Tjiumoti menggosok obat
bakar itu dengan tenaga dalamnja, segera dupa2 itu menjala. Meski perbuatan itu
tidak mudah dilakukan, namun Poting-te merasa dirinja masih mampu melakukannja
djuga. Sesudah menjala, asap dupa lantas mengepul mendjadi enam djalur.
Tjiumoti berduduk sambil kedua tangannja terpentang mentjakup kedepan, sekali ia
kerahkan tenaga dalamnja, keenam djalur asap itu terus membengkok dan menudju
kearah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.
Kiranja ilmu Tjiumoti ini disebut "Hwe-yam-to" atau golok berkorbarnja api.
Meski tanpa wudjut dan takdapat diraba, tapi lihaynja bukan kepalang untuk
membinasakan lawan. Namun maksud tudjuan Tjiumoti sekarang tjuma ingin mendapat
kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka hanja enam batang dupa
dinjalakan untuk menundjukan kemana arah tenaga serangannja ditudjukan, pertama
sebagai tanda ia telah jakin pasti lebih unggul dari lawan2nja, kedua sebagai
tanda welas-asihnja jang tidak ingin membunuh orang, tapi tjuma saling mengukur
kepandaian silat masing2.
Begitulah, ketika enam djalur asap itu sampai didepannja Thian-in dan lain2,
mendadak asap itu lantas berhenti dan tidak menjambar madju lagi.
Sungguh kedjut Thian-in dan lain2 bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk
mendesak madjunja asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk
memberhentikannja, terang kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada jang
duluan. Thian-som tidak mau undjuk lemah, sekali djari ketjil kiri terangkat,
"tjus," sedjalur hawa putih djuga memantjar dari Siau-tjiong-hiat kearah asap
jang berada didepannja. Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, tjepat luar biasa
tali asap itu lantas menjambar kembali kearah Tjiumoti.
Tapi ketika sudah dekat, waktu tenaga "Hwe-yam-to" jang dikerahkan Tjiumoti
diperkeras lagi, djalur asap itu lantas berhenti dan tidak mampu madju lagi.
"Ehm, memang hebat," kata Tjiumoti sambil memanggut. "Ternjata didalam Lak-mehsin-kiam memang adalah satu tjabang "Siau-tjiong-kiam" seperti ini.
Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa kalau
dirinja tetap duduk, daja tekanan ilmu pedangnja itu akan susah dilantjarkan.
Maka segera ia berdiri dan melangkah tiga tindak kekiri, dengan tenaga dalamnja
itu ia menjerang lebih kuat dari sana.
Segera Tjiumoti angkat tangan kiri dan tenaga serangan itu lantas tertahan.
Thiam-koan ikut bertindak djuga, sekali djari tengahnja menegak, "tjus," iapun
menusuk kedepan dengan "Tiong-tjiong-kiam".
"Bagus, inilah Tiong-tjiong-kiam-hoat!" seru Tjiumoti sambil menangkis.
Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak tampak ia terdesak.
Toan Ki duduk didepannja Koh-eng, ia dapat menoleh kekanan dan miring kekiri
untuk mengikuti pertarungan hebat jang susah diketemukan dalam Bulim itu. Meski
dia tidak paham ilmu silat, tapi tahu djuga bahwa Hwesio2
itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka, lihay dan bahajanja
pertandingan Lwekang ini djauh lebih hebat daripada bertanding dengan sendjata
tadjam. Ia lihat djurus2 ilmu pedang dan golok jang dikeluarkan Tjiumoti, Thian-som dan
Thian-koan itu sangat lambat. Setelah belasan djurus, tiba2
pikirannja tergerak: "He, bukankah Tiong-tjiong-kiam jang dimainkan Thian-koan
Taysu itu tiada ubahnja seperti apa jang kubatja dalam gambar itu?" ~ pelahan2
ia lantas membuka lukisan Tiong-tjiong-kiam-hoat jang memang terletak didepannja
itu. Ia tjotjokan antara gerakan hawa putih jang menjambar kian kemari itu
dengan petundjuk dalam gambar, njata ilmu pedang itu memang sama, maka djelaslah
baginja ilmu pedang itu. Sungguh girang Toan-ki bukan buatan. Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat jang
dimainkan Thian-som itu. Ilmu pedang inipun sama dengan gambar.
Tjuma Tiong-tjong-kiam-hoat itu lingkungannja lebih luas dan daja tekannja lebih
keras, sebaliknja Siau-tik-kiam lebih lintjah, menjusup kian kemari dengan
matjam2 perubahan jang rumit.
Melihat kedua Sutenja sama sekali tidak lebih unggul menggerojok Tjiumoti,
Thian-in mendjadi kuatir latihan mereka belum masak, djangan2
segala gaja permainan mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong jang maha pintar
itu. Segera ia berseru: "Thian-siang dan Thian-tim Sute, marilah kita turun
tangan!" Berbareng Thian-in atjungkan djari telundjuknja, ia keluarkan Siang-yang-kiamhoat. Menjusul Thian-siang djuga memainkan "Siau-tjiong-kiam"
dengan djari ketjil kanan. Sedang Po-ting-te menjerang dengan "Koan-tjiongkiam," jaitu dengan djari manis.
Tiga arus hawa pedang jang hebat serentak menerdjang kearah tiga djalur asap
musuh. Sudah tentu jang paling untung adalah Toan Ki, melihat "Siang-yang-kiam" jang
dilontarkan Thian-in itu djauh lebih kuat daripada Thian-som berdua, tjepat ia
membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia mendjadi lebih heran pula ketika melihat
gerakan ilmu pedang sang paman sebaliknja sangat lambat dan berat.
Memang diantara djari2 tangan umumnja djari telundjuk paling lintjah dan hidup,
sebaliknja djari manis kaku dan bodoh. Makanja Sian-yang-kiam mengutamakan
kegesitan dan kelintjahan, sebaliknja Koan-tjiong-kiam gerak-geriknja lambat dan
berat. Saking asjiknja Toan Ki mengikuti ilmu2 pedang itu sambil berpaling kesini dan
menoleh kesana, tanpa merasa suatu waktu kepalanja telah menempel didepan
hidungnja Koh-eng Taysu. Ia merasa risih ketika tengkuknja se-akan2 di-sebul2
karena napas orang tua itu. Tanpa sengadja ia terus mendongak, tapi apa jang
dilihatnja membuatnja ternganga kaget.
Ternjata wadjah jang dilihatnja itu aneh luar biasa, separoh muka sebelah kiri
merah bertjahaja, daging penuh, kulit gilap, mirip muka anak ketjil. Tapi muka
jang separoh sebelah kanan kurus kering tinggal kulit membungkus tulang.
Ketjuali kulitnja jang kuning hangus itu, sedikitpun tiada dagingnja hingga
tulang pipinja menondjol mirip setengah rangka tengkorak sadja.
Dalam kagetnja tjepat2 Toan Ki menoleh dan tidak berani memandang lagi, hatinja
mendjadi ber-debar2 pula. Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat mejakinkan
"Koh-eng-sian-kang" ilmu Budha subur dan kering, makanja wadjahnja separoh "koh"
(kering) dan separoh "eng" (subur).
Tiba2 Koh-eng Taysu membisikinja: "Kesempatan bagus djangan dibuang, lekas
perhatikan ilmu pedang!"
Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan tjepat mentjurahkan perhatiannja untuk
mengikuti ilmu pedang Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta ditjotjokan
dengan gamabr2 Kiam-boh jang bersangkutan.
Bila kemudian ketiga tjabang Kiam-hoat itupun sudah selesai dipeladjarinja,
sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan Thian-koan sudah ulangan kedua
kalinja. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnja, Toan Ki sudah dapat memahami
dimana letas kebagusan Lak-meh-kiam-hoat itu. Ia merasa garis2 jang terlukis
digambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih jang dipantjarkan dengan tenaga
dalam itu benar2 tiada habis2 perubahannja dan dapat dikerahkan pergi-datang dengan hidup, kalau
dibandingkan apa jang terlukis digambar, terang lebih ruwet tapi lebih padat.
Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat jang dimainkan Thian-in,
Thian-siang dan Po-ting-te djuga sudah selesai. Tiba2 djari2
ketjil Thian-siang mendjentik pula dengan djurus "Hun-hoa-hut-liu" atau membelai
bunga menjingkap daun Liu. Njata untuk kedua kalinja ia telah mainkan ilmu
pedangnja pula. Tjiumoti mengangguk sedikit. Menjusul Thian-in dan Po-ting-te djuga mengadakan
perobahan pula dari permainan ilmu pedang mereka jang sudah selesai itu. Tapi
mendadak didepan tubuh Tjiumoti bersuara mentjitjit daja tekan "Hwe-yam-to"
ternjata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan pedang kelima lawannja
ditolak kembali semua. Kiranja semula Tjiumoti tjuma bertahan sadja dengan tudjuan mengikuti permainan
Lak-meh-sin-kiam kelima orang lawannja itu hingga selesai, habis itu barulah
mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah balas menjerang, kelima djalur
asap putih segera menari dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang djalur asap
keenam tetap berhenti kira2 satu meter dibelakang tubuh Koh-eng Taysu.
Koh-eng Taysu sengadja hendak melihat sampai dimana kekuatan bertahan musuh.
Namun Tjiumoti sadar djuga bila terlalu lama menahan djalur asap jang keenam
itu, tenaga dalamnja jang terbuang akan terlalu banjak. Maka kini ia mulai
pusatkan tekanannja kedjalur asap keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai
mendesak madju kebelakang kepalanja Koh-eng.
Toan Ki mendjadi kuatir, tjepat katanja: "Thaysuhu, awas, djalur asap musuh
sedang menjerang engkau."
Koh-eng meng-angguk2, ia terus membentang lukisan "Siau-siang-kiam,"
jaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam menurut gambar jang harus dimainkannja itu
didepan Toan Ki. Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian,
segera ia membatja isi daripada gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siangkiam
dalam lukisan itu hanja sederhana sadja garis2
petundjuknja, tapi memiliki tenaga maha kuat jang tiada taranja.
Sambil membatja lukisan itu, Toan Ki tidak lupa djalur asap musuh jang
mengantjam Koh-eng tadi. Ketika ia menoleh pula, ia lihat djalur asap itu
tinggal beberapa senti sadja dibelakang kepalanja Koh-eng. Ia mendjadi kaget dan
berseru: "Awas!"
Mendadak Koh-eng membaliki tangannja kebelakang, kedua djari djempolnja menahan
kedepan berbareng, dengan suara mentjitjit dua kali, sekaligus ia serang dada
kanan dan pundak kiri Tjiumoti. Kiranja serangan musuh tadi tak ditangkisnja,
sebaliknja Koh-eng melakukan serangan kilat diluar dugaan musuh. Ia
memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat madjunja, untuk bisa mengenai
dirinja masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia bisa mendahului
menjerang sasarannja, tentu musuh akan kerepotan.
Tjiumoti sendiri dapat memikirkan kemungkinan2 itu, maka sebelumnja ia sudah
bersiap untuk mendjaga kalau mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu jang merupakan
lawan paling kuat. Tapi jang dia duga tjuma satu djurus serangan Siau-yang-kiam
jang lihay dan tidak menjangka Koh-eng sekaligus dapat menjerang dua pedang
dengan sasaran dua tempat. Tjepat ia kerahkan tenaga jang sudah disiapkan itu
untuk menangkis tenaga tusukan jang mengarah dadanja itu, menjusul kakinja
memetul, baru2 ia melompat mundur dengan tjepat. Tapi betapapun tjepatnja tetap
kalah tjepat daripada hawa pedang jang tak kelihatan itu, "tjret," tahu2 djubah
bagian pundak terobek dan merembes keluar darah.
Saat lain Koh-eng Taysu telah tarik kembali djarinja dan hawa pedang ikut
mengkeret kembali, maka patahlah keenam batang dupa sekaligus.
Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain2 ikut menarik kembali djuga hawa pedang
mereka, perasaan kuatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.
Tjiumoti melangkah madju lagi, katanja: "Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan
main hebatnja, Siautjeng merasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sinkiam itu, ha, kiranja tjuma omong kosong belaka.
"Kenapa omong kosong, silahkan memberi pendjelasan." kata Thian-in.
"Dahulu jang dikagumi Bujung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang)
dan bukan Kiam-tin (barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam," sahut Tjiumoti "
Walaupun benar Kiam-tin dari Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat,
tapi kalau diukur djuga tidak lebih seperti Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan
Kun-goan-kiam-tin dari Kun-lun-pay. Agaknja belum dapat dikatakan Kiam-tin jang
tiada bandingannja didunia ini.
Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat, Tjiumoti anggap dirinja
sekaligus telah menandingi keenam lawan, sebaliknja pihak lawan tiada seorangpun
jang mampu menggunkan Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinja memainkan Hwe-yam-to
itu. Thian-in merasa apa jang dikatakan orang memang benar, ia mendjadi bungkam
takbisa mendjawab. Namun Thian-som lantas tertawa dingin, katanja: "Biar Kiamtin atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi apakah Beng-ong jang telah menang
atau pihak Thian-liong-si kami jang telah menang?"
Tjiumoti tidak mendjawab, ia pedjamkan mata memikir sedjenak, selang agak lama,
lalu djawabnja: "Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini
Siautjeng sudah pasti akan menang."
Halaman 21: gambar Dengan tenaga "Hwe-yam-to-hoat" jang hebat, seorang diri Tay-lun-beng-ong
menandingi Lak-meh-sin-kiam jang dimainkan Koh-eng Taysu dan Thian-in berenam.
Thian-in terkedjut, tanjanja: "Djadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi?"
"Apa boleh buat," sahut Tjiumoti. "Seorang laki-laki harus dapat dipertjaja.
Sekali Siautjeng sudah berdjandji pada Bujung-siansing, mana boleh mundur
setengah djalan?" "Lalu, andalan apa Beng-ong jakin pasti akan menang?" tanja Thian-in.
Tjiumoti tersenjum, sahutnja: "Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakan
masih belum dapat menerkanja" Terimalah seranganku!"
~ Sembari berkata, kedua tangannja terus mendorong kedepan dengan pelahan.
Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika merasa didesak oleh dua
arus tenaga dalam jang kuat dari arah-arah jang berlainan.
Thian-in dan lain-lain merasa daja tekanan musuh itu tidak kuat untuk ditahan
oleh ilmu Lak-meh-sin-kiam, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk
menangkis, hanja Koh-eng Taysu sadja tetap pakai kedua djari djempol untuk
menjambut tenaga musuh dengan ilmu "Siau-yang-kiam" dari Lak-meh-sin-kiam itu.
Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu, segera Tjiumoti menarik kembali
lagi serangannja dan berkata: "Maaf!"
Thian-in saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te, keduanja sama-sama paham
bahwa ilmu Hwe-yam-to paderi asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sinkiam mereka. Sekali bergerak Tjiumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga jang
berlainan, maka sekalipun Siau-yang-kiam jang telah dilontarkan Koh-eng Susiok
itu mendesak lebih kuat djuga tak mampu menangkan dia.
Pada saat itu djuga, tiba-tiba tampak ada asap mengepul didepan Koh-eng Taysu,
asap itu mengepul mendjadi empat djurusan dan mengepung kearah Tjiumoti.
Terhadap Hwesio jang duduk menghadapi dinding itu memangnja Tjiumoti sangat
djeri, kini mendadak nampak ada asap hitam menjerang kearahnja, seketika ia
mendjadi bingung apa masksud orang, iapun keluarkan Hwe-yam-to-hoat untuk
menahan dari empat djurusan dan tidak balas menjerang, disamping berdjaga-djaga
kalau Thian-in dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam iapun memperhatikan
serangan apa jang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.
Namun jang kelihatan hanja asap hitam makin lama makin tebal, daja serangan Koheng bertambah hebat. Diam-diam Tjiumoti mendjadi heran:
"Tjara serangannja dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama"
Koh-eng Taysu adalah seorang paderi terkemuka didjaman ini, kenapa menggunakan
tjara keras seperti ini?"
Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin begitu semberono, tentu dibalik
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangannja itu ada pula muslihat lain, maka dengan siap siaga ia menantikan
segala kemungkinan. Selang tak lama, mendadak empat djalur asap itu terpentjar lagi, satu mendjadi
dua dan dua mendjadi empat, dalam sekedjap sadja djalur asap berubah mendjadi 16
djalur dan merubung kearah Tjiumoti.
"Hanja kekuatan panah jang sudah hampir djatuh, apa artinja?" demikian pikir
Tjiumoti sambil mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap djalur asap
lawan. Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba djalur-djalur asap itu
bersebaran memenuhi seluruh ruangan itu hingga seperti kabut tebal. Namun
sedikitpun Tjiumoti tidak gentar, iapun kerahkan antero kekuatannja untuk
melindungi seluruh tubuhnja. Lambat-laun kabut asap itu tampak mulai menipis,
Thian-in berlima kelihatan berlutut dilantai dengan sikap sungguh-sungguh,
bahkan wadjah Thian-koan dan Thian-som tampak mengundjuk rasa sedih.
Tjiumoti tertegun sedjenak, segera ia mendjadi sadar: "Wah, tjelaka!
Kiranja situa Koh-eng ini insaf tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-kiam-boh
telah dibakar olehnja."
Ternjata lukisan-lukisan Lak-meh-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga
dalam It-yang-tji jang dipantjarkan Koh-eng Taysu itu. Ia kuatir kalau Kiam-boh
itu akan direbut Tjiumoti, maka untuk mengelabui lawan itu, ia sengadja
menjerangnja dengan kabut asap, ketika kabut asap lenjap, sementara itu Lak-mehkiam-boh djuga sudah terbakar habis.
Thian-in dan kawan-kawannja adalah tokoh-tokoh ahli It-yang-tji, maka begitu
melihat asap hitam tadi, mereka lantas tahu sebab-musababnja.
Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri daripada benda
itu djatuh ditangan musuh. Dan dengan demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan
Tay-lun-beng-ong mendjadi takbisa diselesaikan dengan mudah.
Kedjut dan gusar Tjiumoti tak terkatakan, biasanja ia sangat andalkan
ketjerdasannja, tapi kini telah dua kali ketjundang dibawah tangannja Koh-eng
Taysu. Dan kalau Lak-meh-kiam-boh sudah terbakar, perdjalanannja ini mendjadi
sia-sia belaka tanpa hasil, sebaliknja malah sudah mengikat permusuhan dengan
Thian-liong-si. Segera ia berkata sambil memberi hormat: "Buat apa Koh-eng Taysu
mesti bertindak sekeras ini" Siautjeng mendjadi merasa tidak enak mengakibatkan
musnanja kitab pusaka kalian, baiknja kitab itu toh takkan dapat dilatih oleh
tenaga seorang sadja, musna atau tidak memangnja djuga sama. Siautjeng mohon
diri." Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi sesuatu djawaban, sedikit ia memutar
tubuh, sekonjong-konjong pergelangan tangan Po-ting-te terus ditjekalnja, lalu
katanja pula: "Koktju (kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama kebesaran
Po-ting-te serta sangat ingin dapat berkenalan, maka sekarang djuga silahkan
ikut Siautjeng pergi ke Turfan."
Kedjadian ini benar-benar diluar dugaan dan sangat mengedjutkan.
Serangan mendadak itu ternjata sama sekali takdapat dihindari oleh Poting-te
jang berilmu silat setinggi itu, apalagi Kim-na-djiu-hoat atau ilmu tjara
menangkap dan mentjekal Tjiumoti itu sangat aneh, sekali Hiat-to pergelangan
tangan terpegang, biarpun dengan tjepat Po-ting-te harus kerahkan tenaga
dalamnja untuk melepaskan diri dari tutukan orang, namun sama sekali tidak
berhasil. Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap waktu dapat
terantjam, maka orang lain mendjadi sangat sulit untuk menolongnja. Meski Thianin dan lain-lain merasa tindakan Tjiumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan
pamornja sebagai tokoh ternama, tapi mereka tjuma marah belaka tanpa berdaja.
Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahak-bahak, katanja kemudian:
"Dia dahulu memang benar adalah Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan
tahta dan mendjadi paderi, gelarnja Thian-tim. Nah, Thian-tim, djika kepala
negara Turfan sudah mengundang kau, tiada halangannja engkau ikut berkundjung
kesana." Dalam keadaan terpaksa, mau-tak-mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang
Susiok. Kalau dirinja dalam kedudukannja sebagai radja Tayli ditawan oleh musuh,
tentu Tjiumoti akan pandang dirinja sebagai tawanan mahal. Tapi kalau dirinja
sudah meletakkan tahta dan kini sudah mendjadi Hwesio, maka apa jang ditawan
Tjiumoti sekarang tidak lebih tjuma seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si
sadja, boleh djadi dirinja akan segera dibebaskan.
Akan tetapi Tjiumoti tidak mudah diakali. Sebelumnja ia sudah menjelidiki dan
tahu didalam Thian-liong-si itu ketjuali Koh-eng Taysu, diantara paderi-paderi
angkatan "Thian" tjuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba telah bertambah lagi
seorang Thian-tim, tenaga dalamnja djuga tidak lebih lemah daripada keempat
paderi jang lain, pula dari wadjahnja jang kereng dan sikapnja jang agung,
begitu melihat segera Tjiumoti mendjuga dia pasti adalah Po-ting-te.
Ketika mendengar Koh-eng Taysu menjatakan Po-ting-te sudah meletakkan tahtanja
dan mendjadi Hwesio, diam-diam Tjiumoti memikir pula: "Ja, konon setiap radja
Tayli bila sudah landjut usianja tentu mengundurkan diri untuk kemudian mendjadi
paderi, maka kini kalau Po-ting-te djuga menjutjikan diri ke Thian-liong-si
sini, hal inipun tidak mengherankan.
Tapi umumnja seorang radja mendjadi Hwesio tentu diadakan upatjara keagamaan
setjara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan setjara diam-diam tanpa diketahui
umum." Karena itu, segera katanja pula: "Baik Po-ting-te sudah mendjadi Hwesio ataupun
belum, pendek kata aku harus mengundangnja berkundjung ke Turfan untuk menemui
kepala negara kami." ~ Sembari berkata, terus sadja Poting-te diseretnja menudju
keluar. "Nanti dulu!" seru Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka
sudah mengadang diambang pintu.
"Siautjeng tiada maksud membikin susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu
mendesak, terpaksa Siautjeng tidak dapat mendjamin keselamatannja lagi," kata
Tjiumoti. Berbareng tangannja bersiap-siap mengantjam dipunggungnja Po-ting-te.
Thian-in tjukup kenal betapa lihaynja orang, sekali Po-ting-te sudah
ditjengkeram urat nadinja, pasti tak berdaja lagi untuk melawan. Maka ia
mendjadi bungkam, tapi tetap mengadang ditempatnja.
"Kedatangan Siautjeng kesini tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap
mendiang Bujung-siansing, beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting Hongya,
tidaklah hilang sama sekali arti perdjalananku ini, maka sukalah kalian memberi
djalan," kata Tjiumoti.
Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu-ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah
kepala negara Tayli, mana boleh kena digondol lari oleh musuh"
Tjiumoti mendjadi tidak sabar, serunja: "Kabarnja para paderi dalam Thian-liongsi sini sangat bidjaksana, kenapa menghadapi urusan ketjil ini mesti bingung seperti anak ketjil sadja?"
Dalam pada itu jang paling kuatir adalah Toan Ki ketika melihat sang paman
ditawan musuh. Semula ia menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari
tangan musuh, siapa tahu makin lama Tjiumoti makin garang.
Thian-in dan lain-lainpun tampak tjemas dan gusar, tapi toh takbisa berbuat apaapa, apalagi setindak demi setindak Tjiumoti mulai melangkah keluar. Toan Ki
mendjadi gugup, tanpa pikir lagi ia terus berteriak:
"Hai, lepaskan pamanku!" ~ Segera ia pun berdjalan keluar dari aling-alingnja
Koh-eng Taysu. Sedjak tadi Tjiumoti sudah mengetahui djuga didepan Koh-eng ada berduduk seorang
lagi jang tak diketahui siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menjuruh
seorang duduk didepannja. Kini melihat orang itu bertindak keluar, ia mendjadi
heran, tanjanja segera: "Siapakah engkau?"
"Tak perlu kau tanja siapa aku, lekas engkau lepaskan pamanku," sahut Toan Ki
sambil ulur tangannja hendak menarik tangan Po-ting-te jang lain.
Po-ting-te mendjabat djuga tangan Toan Ki jang diulurkan sambil berkata: "Kidjie, djangan kau urus diriku, lekas kau pulang dan minta ajahmu segera naik
tahta menggantikan aku. Kini aku sudah berupa seorang Hwesio tua jang tiada
artinja, buat apa dipikirkan?"
Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika tubuh Po-ting-te tergetar, segera
ia merasakan daja sedot "Tju-hap-sin-kang" dari tubuhnja Toan Ki. Dan pada saat
jang sama djuga, Tjiumoti djuga merasakan tenaga murninja terus merembes keluar.
Dalam hal Lwekang Tjiumoti lebih tinggi banjak daripada Po-ting-te, ia menjangka
Po-ting-te sedang menggunakan sematjam ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnja,
tjepat ia himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni dengan Po-ting-te.
Kalau Po-ting-te tertawan oleh Tjiumoti adalah dikarenakan sama sekali tidak
menduga paderi asing itu bakal berbuat setjara pengetjut, tapi tenaga dalam dan
ilmu silat Po-ting-te sedikitpun tidak berkurang, maka ketika mendadak merasa
kedua tangan sendiri berbareng timbul dua arus tenaga maha kuat saling membetot
keluar, terus sadja timbul akalnja untuk
"memindjam tenaga orang untuk melawan tenaga jang lain," ia gunakan ilmu itu
untuk mempertemukan kedua arus tenaga jang hebat itu. Dan begitu kedua tenaga
itu saling bentrok, Po-ting-te jang berada ditengah itu mendjadi bebas dari
ikatan tenaga-tenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Tjiumoti. Tjepat ia
melompat mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersjukur harini
ternjata berkat pertolongan keponakannja itu.
Dalam pada itu kedjut Tjiumoti sungguh tak terkatakan, pikirnja:
"Ternjata dunia persilatan di Tionggoan telah muntjul pula seorang djago kelas
wahid, mengapa aku sama sekali tidak mengetahui" Usia orang ini paling banjak
tjuma 20-an tahun, mengapa sudah setinggi ini kepandaiannja?"
Tadi Tjiumoti mendengar Toan Ki mendengar Po-ting-te sebagai paman, ia mendjadi
lebih ragu-ragu lagi, sebab selamanja belum didengarnja bahwa diantara angkatan
muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh kelas satu begini" Sungguh
tak tersangka olehnja bahwa sergapannja jang sudah berhasil menawan Po-ting-te
itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda tak terkenal, tentu sadja membuatnja
sangat penasaran. Maka dengan mengangguk pelahan kemudian iapun berkata: "Selamanja Siautjeng
menjangka Toan-si di Tayli ini kusus hanja mejakinkan ilmu keturunan leluhur dan
tidak mempeladjari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanja jang
gagah begini ternjata sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk
mempeladjari "Hoa-kang-tay-hoat" jang aneh itu. Aneh, sungguh aneh!"
Njata biarpun Tjiumoti seorang tjerdik pandai djuga telah salah sangka Tju-hapsin-kang jang dimiliki Toan Ki itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.
Dengan tertawa dingin Po-ting-te lantas mendjawab: "Sudah lama kudengar Tay-lunbeng-ong adalah seorang saleh dan mempunjai pengetahuan luas, tapi mengapa bisa
menarik kesimpulan jang lutju itu" Sing-siok Lomo (iblis tua dari Sing-siok-hay)
banjak melakukan kedjahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mempunjai
hubungan apa-apa dengan dia?"
Dan sedang Tjiumoti tertjengang oleh djawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut
berkata: "Engkau adalah tamu, maka Thian-liong-si menjambut engkau dengan
hormat, tapi setjara litjik engkau telah membokong pamanku, mengingat kita
sesama murid Budha, maka kami berusaha mengalah sedapat mungkin, sebaliknja kau
semakin mendapat hati, seorang alim ulama masakah sekasar seperti engkau ini?"
Diam-diam semua orang ikut senang mendengar Toan Ki mendamperat Tjiumoti,
berbareng merekapun berwaspada kalau-kalau dari malu Tjiumoti mendjadi gusar dan
mendadak melontarkan serangan kepada pemuda itu.
Tak tersangka Tjiumoti tetap tenang-tenang sadja, katanja: "Sungguh harini aku
sangat beruntung dapat berkenalan dengan seorang tokoh muda.
Maka sudilah memberi petundjuk barang beberapa djurus agar menambah pengalaman
Siautjeng." Tapi dengan terus terang Toan Ki mendjawab: "Aku tidak bisa ilmu silat,
selamanja aku tidak pernah beladjar apa-apa."
Tjiumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak pertjaja. Katanja:
"Pandai, sungguh pandai. Biarlah Siautjeng mohon diri sadja!" ~ dan sedikit
tubuhnja bergerak, dimana lengan badjunja mengebas, tahu-tahu tangannja menjusup
keluar, sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan kearah Toan
Ki. Toan Ki sama sekali tidak paham tjara bagaimana bertempur dengan ilmu silat maha
tinggi itu, maka diserang musuh dengan tipu jang sangat lihay, ia sendiri masih
belum sadar. Sjukur Po-ting-te dan Thian-som telah menolongnja dari samping,
berbareng mereka memapak serangan Tjiumoti itu dengan djari-djari mereka. Tjuma
begitu kena benturan tenaga dalam Tjiumoti jang maha kuat itu, tubuh mereka
lantas menggeliat, bahkan Thian-som terus muntahkan darah segar.
Melihat Thian-som muntah darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Tjiumoti
telah membokong pula. Ia mendjadi gusar, ia tuding paderi itu sambil memaki: "
Kau Hwesio asing jang tidak kenal aturan ja!"
Dan karena dia menuding sekuatnja, pikirannja bekerdja, hawa murni pun mengalir,
otomatis lantas keluar satu djurus Kiam-hoat dari "Siau-yang-kiam." Lwekang Toan
Ki sekarang sebenarnja sudah tiada bandingannja didunia ini, sedjak ia duduk
didepan Koh-eng Taysu dan membatja gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta tjara
bergeraknja, ketika tanpa sengadja djarinja menuding, tanpa disadarinja gerakan
itu tepat sekali seperti apa jang telah dilihatnja dalam gambar, maka
terdengarlah suara "tjus,"
serangkum tenaga dalam jang maha kuat dalam gaja "Kim-tjiam-to-djiat"
atau djarum emas menghindarkan maut, terus sadja ia tutuk kearah Tjiumoti.
Sama sekali Tjiumoti tidak menjangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian
kuatnja, bahkan djurus kutukan "Kim-tjiam-to-djiat" itu tampak sangat tjekatan
dan merupakan serangan Kiam-hoat jang paling tinggi.
Dalam kagetnja, tjepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak
tangannja. Serangan Toan Ki itu ternjata tidak melulu mengedjutkan Tjiumoti sadja, bahkan
Koh-eng, it dan lain-lainpun merasa heran, diantaranja jang paling heran sudah
tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki:
"Inilah aneh sekali" Aku tjuma menuding sekenanja, mengapa Hwesio ini menangkis
dengan sungguh" Eh, ja, barangkali tudinganku tadi gajanja mirip dengan sesuatu
tipu serangan, dan Hwesio ini menjangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Ha-ha-ha,
djika demikian, biarlah aku menggertaknja lagi."
Segera Toan Ki berseru: "Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa!
Lihatlah sekarang kumainkan Kiam-hoat dari Tiong-tjiong-kiam!" Berbareng djari
tengahnja sekarang jang menuding. Gajanja memang tepat, tapi sekali ini ternjata
tidak membawa tenaga dalam jang kuat.
Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, memangnja Tjiumoti sudah siapkan
tenaganja untuk menjambut, tak terduga serangan Toan Ki itu ternjata tidak
membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkedjut sebab mengira serangan pemuda itu
mungkin hanja pantjingan belaka, tetapi sesudah tutukan kedua kalinja tetap
kosong tak berisi, barulah Tjiumoti bergirang: "Memangnja aku tidak pertjaja
didunia ini ada orang mahir memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-tjiong-kiam
sekaligus, dan njatanja botjah ini memang tjuma main gertak sadja hingga aku
tadi diingusi." Dasar watak Tjiumoti memang tinggi hati, dan orang jang tinggi hati tentu
dengki. Kedatangannja ke Thian-liong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah
ketjundang beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas mengundjuk gigi sedikit,
tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan merosot.
Segera telapak tangan kirinja memotong kekanan dan kekiri beberapa kali, lebih
dulu ia tutup djalan bantuan Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnja,
menjusul tapak tangan kanan terus memotong kepundak kanan Toan Ki. Tipu serangan
"Pek-hong-koan-djit" atau pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah
satu djurus paling bagus dari Hwe-yam-to-hoat dengan penuh kejakinan bahu Toan
Ki pasti akan dibelah olehnja.
Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som berseru kuatir: "Awas!"
~ berbareng djari mereka terus menutuk serentak kearah Tjiumoti.
Serangan serentak mereka itu adalah serangan jang memaksa musuh harus menolong
diri sendiri lebih dulu. Tak tersangka lebih dulu Tjiumoti sudah membungkus
tempat-tempat bahaja tubuhnja dengan tenaga dalam jang kuat, sedang serangannja
kepada Toan Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan antjaman Po-ting-te bertiga.
Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagatnja
tentu tidak menguntungkan, tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk
kedepan sekuatnja, dalam kuatirnja itu, hawa murni dalam tubuhnja dengan
sendirinja bergolak, maka sekaligus Siau-tjiong-kiam ditangan kiri dan Siau-tikkiam ditangan kanan telah dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh,
bahkan begitu kuat tenaganja hingga mampu balas menghantam Tjiumoti dengan daja
tekanan jang hebat. Karuan Tjiumoti kelabakan, tanpa pikir lagi ia bertahan
sekuat-kuatnja. Setelah beberapa kali menutuk, lapat-lapat Toan Ki sudah dapat merasakan bahwa
terlebih dulu harus timbul sesuatu maksudnja, habis itu barulah kerahkan tenaga
dan menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa murninja barulah dapat
bekerdja serentak. Namun mengapa bisa begitu, dengan sendirinja ia masih
bingung. Begitulah dalam sekedjap sadja Toan Ki menutuk berulang-ulang menurutkan
perasaannja jang timbul dari apa jang dilihatnja digambar-gambar Lak-meh-sinkiam itu. Djarinja bekerdja dengan tjepat dan indah hingga makin lama Tjiumoti
makin heran dan terkesiap. Sekuatnja ia kerahkan tenaga dalamnja untuk melawan
Lak-meh-sin-kiam jang lihay itu, hingga seketika hawa pedang samber-menjamber
dengan tadjamnja. Selang sebentar, Tjiumoti merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat,
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perubahan Kiam-hoatnja djuga tiada habis-habisnja dan susah diraba.
Makin lama Tjiumoti makin heran dan menjesal telah gegabah meretjoki Thianliong-si, tahu-tahu kini muntjul seorang tokoh muda selihay ini.
Sekonjong-konjong ia menjerang tiga kali, lalu berseru: "Berhenti dulu!"
Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia takdapat menguasai hawa murni
dalam tubuhnja, maka ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia mendjadi
bingung tjara menarik kembali tenaga dalamnja, terpaksa djarinja diangkat keatas
sehingga menuding keatap rumah. Berbareng hatinja memikir: "Biarlah aku tidak
keluarkan tenaga lagi, tjoba apa jang dia hendak katakan."
Tapi sekilas sadja Tjiumoti jang maha pintar itu sudah dapat melihat sikap
bingung Toan Ki itu, tjaranja menarik kembali hawa murninja tampak kerepotan,
kentara sekali kalau masih sangat hidjau. Sedikit tergerak pikirannja, terus
sadja Tjiumoti melompat madju terus mendjotos kemuka Toan Ki.
Tentang Toan Ki berhasil memperoleh peladjaran Lak-meh-sin-kiam jang hebat itu
adalah disebabkan setjara kebetulan serta ada djodoh sadja, tapi mengenal ilmu
silat jang paling umum sekalipun sebenarnja dia tidak paham. Maka ketika
djotosan Tjiumoti itu tiba, biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah
dihindari, namun bagi Toan Ki malah sebaliknja susah ditangkis.
Umumnja segala matjam kepandaian didjagat ini lazimnja dipeladjari mulai dari
jang tjetek, kemudian menudju jang dalam, tidak mungkin memahami jang dalam,
tapi malah tidak bisa jang tjetek, dan hanja ilmu silat Toan Ki itulah merupakan
suatu ketjuali besar. Ketika melihat dirinja didjotos, walaupun serangan itu
sangat sederhana, tapi ia djusteru kelabakan menangkisnja. Karuan kesempatan itu
tidak diabaikan Tjiumoti, mendadak ia hentikan djotosannja ditengah djalan dan
terus menjampok tangan Toan Ki kesamping, menjusul dada pemuda itu lantas
didjamberertnja ditempat "Sin-hong-hiat." Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki
terasa lemas linu takbisa berkutik.
Walaupun Tjiumoti telah dapat melihat diantara ilmu silat Toan Ki itu terdapat
banjak lubang-lubang kelemahannja, tapi toh tak terduga olehnja bahwa setjara
begitu gampang pemuda itu dapat ditangkpanja. Ia kuatir Toan Ki sengadja ditawan
dan masih ada tipu mulsihat lain, maka begitu kena tjengkeram Sin-hong-hiat
didada pemuda itu, menjusul ia menutuk pula
"Tan-tiong," "Tay-tui" dan beberapa Hiat-to penting lainnja. Tapi pada saat jang
sama, Tjiumoti djuga merasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus-menerus
merembes keluar melalui telapak tangan kanan jang mentjengkeram dadanja Toan Ki
itu. Tjepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri sambil mundur
beberapa tindak, lalu katanja:
"Siausitju (tuan ketjil) ini sudah apal benar dari ilmu Lak-meh-sin-kiam,
sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ..." sambil bitjara, ia
megap2 djuga, sebab sekali mulutnja mengap, tak tertahan lagi hawa murninja
lantas merembes keluar, terpaksa ia bitjara dengan tjepat dan berputus: " .....
namun Siausitju ini sama ..... sama sadja sebagai Kiam-boh hidup, biarlah kubawa
ke ..... kekuburan Bujung-siansing untuk dibakar hidup2 disana, bukankah
se ..... serupa djuga ....
"Dan karena kuatir kelemahannja diketahui Koh-eng dan kawan2nja , tjepat
Tjiumoti keluarkan serangan Hwe-yam-to-hoat lagi be-runtun2
beberapa kali, sekali melesat, keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu.
Ketika Po-ting-te, Thian-in dan lain2 hendak mengedjar, namun mereka kena
dipaksa kembali oleh serangan2 Tjiumoti jang hebat itu.
Begitu sampai diluar, segera Tjiumoti lemparkan Toan Ki kepada sembilan laki2
jang mendjaga diluar itu sambil membentak: "Lekas berangkat!"
Segera dua laki2 diantaranja berlari madju menjambuti tubuhnja Toan Ki dan
digondol lari melalui djalan jang tidak semestinja seperti mereka datang tadi.
Tjiumoti sendiri lantas merasa tenaga murninja tidak merembes keluar lagi begitu
terpisah dengan tubuh Toan Ki, ia tetap melontarkan serangan2 Hwe-yam-to-hoat
jang hebat kepintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain2 mendjadi
tertahan didalam dan susah membobol djaring2an golok musuh jang tak berwudjut
itu. Setelah mendengar derapan kuda begundalnja sudah pergi agak djauh dengan
menggondol Toan Ki, kemudian tertawalah Tjiumoti, katanja: "Haha, Kiam-boh
kertas terbakar, kini memperoleh Kiam-boh jang hidup malah.
Bujung-siansing boleh tidak usah merasa kesepian lagi dialam baka, beliau segera
akan mendapat teman." ~ Dan sekali tangannja memotong, terdengarlah suara
gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong telah dipatahkan olehnja, menjusul tertampaklah
bajangan orang berkelebat, setjepat angin ia sudah menghilang dari pandangan
mata. Ketika Po-ting-te dan Thian-som kemudian memburu keluar, namun Tjiumoti sudah
pergi djauh. "Hajo lekas kita kedjar!" seru Po-ting-te. Segera iapun mendahului
berlari kedepan. Tjepat Thian-som ikut dibelakangnja untuk mengedjar musuh.
Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinja
ditaruh diatas kuda dengan tengkurap hingga kepalanja mendjulur kebawah. Karena
itu ia dapat melihat sibuknja kaki kuda bekerdja, debu bertebaran memnuhi
mukanja. Ia dengar beberapa laki2 itu sedang mem-bentak2 dalam bahasa asing
entah apa jang dipertjakapkan. Ia tjoba menghitung kaki kuda, seluruhnja ada 40
buah, itu berarti ada 10 penunggang kudanja. Setelah belasan li djauhnja, sampailah mereka disuatu simpang djalan.
Terdengar Tjiumoti berkata beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil
djalan kiri, sedangkan Tjiumoti sendiri bersama laki2 jang menggondol Toan Ki
serta tiga orang lain lagi membiluk kedjalan kanan.
Beberapa li pula, kembali ada simpang djalan lagi, kembali Tjiumoti membagi diri
mereka mendjadi dua rombongan.
Toan Ki tahu Tjiumoti sengadja hendak mementjarkan perhatian pengedjarnja agar
bingung kemana harus mengedjar mereka.
Dan tidak lama kemudian, tiba2 Tjiumoti melompat turun dari kudanja, ia ambil
seutas sabuk kulit untuk mengikat pinggangnja Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu
lantas didjindjingnja terus dibawa menudju ke-lereng2 bukit.
Sedangkan kedua begundalnja mengeprak kuda mereka kedjurusan barat.
Diam2 Toan Ki mengeluh: "Wah, tjelaka! Djika demikian, sekalipun Pekhu
mengerahkan pasukan besar untuk mengedjar, paling banjak tjuma kesembilan lelaki
itu jang dapat ditangkap kembali, tapi susah untuk mendapatkan aku."
Meski tangannja mendjindjing seorang, namun tindakan Tjiumoti tidak mendjadi
lambat. Makin lama makin djauh dan makin tjepat djalannja. Dalam waktu beberapa
djam lamanja ia selalu berkeliaran diantara lereng2 gunung jang sunji.
Toan Ki melihat sang surya sudah mendojong diufuk barat dan menjorot dari
sebelah kiri, maka tahulah dia bahwa Tjiumoti membawanja menudju keutara.
Petangnja, Tjiumoti angkat tubuh Toan Ki untuk diletakkan diatas satu dahan
pohon, ia ikat sabuk kulit itu diatas ranting pohon, sama sekali ia tidak adjak
bitjara pada pemuda itu, bahkan memandangnjapun tidak, hanja sambil mungkur ia
sodorkan beberapa potong roti kering padanja. Untuk mana iapun membuka Hiat-to
dilengan kiri Toan Ki agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.
Dengan tangan kiri jang sudah dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak
menjerangnja dengan Siau-tik-kiam, siapa duga sekali Hiat-to besar ditubuhnja
tertutuk, hawa murni seluruhnja ikut tertutup, maka djari tangannja tjuma dapat
bergerak sadja, tapi tak bertenaga sedikitpun.
Begitulah, selama beberapa hari Tjiumoti terus mendjindjingnja keutara.
Beberapa kali Toan Ki memantjing pembitjaraan orang dan menanja mengapa dirinja
ditawan serta untuk apa menudju keutara" Namun tetap Tjiumoti tidak mendjawab.
Setelah belasan hari, mereka sudah berada diluar wilajah Tayli, Toan Ki merasa
arah jang ditempuh Tjiumoti telah berganti menudju ketimur-laut, tapi tetap
tidak mengambil djalan raja, sebaliknja selalu mendjeladjahi lereng gunung dan
alas belukar, tjuma tanahnja tampak kian lama kian datar, sungai pun semakin
banjak, setiap hari hampir beberapa kali mesti menjeberang sungai.
Tjara perdjalanan Tjiumoti dengan mendjindjing Toan Ki se-akan2 orang
mentjangking hewan itu, sudah tentu sangat menherankan orang jang berlalu-lalang
disampingnja. Tapi sampai achirnja, Toan Ki sendiri merasa bosan djuga setiap
kali berdjumpa dengan orang ditengah djalan.
Sungguh mendongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik
perempuannja, jaitu Bok Wan-djing, walaupun setiap hari ia dihadjar dan disiksa,
banjak penderitaan jang dirasakannja, tapi rasanja toh tidak kesal seperti
ditawan Tjiumoti sekarang ini.
Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat bitjara orang jang berlalulalang mulai ramah-tamah dan enak didengar, diam2 ia membatin:
"Ah, tentu tempat ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangtje). Ia membawa
diriku kekuburannja Bujung-siansing, rasanja tidak lama lagi sudah akan tiba
ditempat tudjuannja. Ilmu silat paderi asing ini sedemikian lihay, sampai Pekhu
berenam djuga tak mampu merobohkan dia.
Sekarang aku djatuh dibawah tjengkeramannja, terpaksa aku menjerah pada nasib,
masakah aku masih ada harapan buat lolos?"
Berpikir begitu, hatinja mendjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak
untuk memandang keadaan sekitarnja. Tatkala itu adalah pergantian antara musim
semi dan musim panas, hawa sedjuk pemandangan indah, angin meniup silir2
memabukkan orang. Sudah lebih sebulan Toan Ki mendjadi barang tjangkingan Tjiumoti, hal itu sudah
biasa baginja. Kini melihat pemandangan alam jang indah permai itu, hatinja
mendjadi gembira, tanpa merasa ia ber-njanji2 ketjil sambil menikmati
pemandangan danau jang indah dipinggir djalan.
"Huh, hari adjal sudah dekat, masih begini iseng?" djengek Tjiumoti.
"Manusia mana didunia ini jang takkan mati?" sahut Toan Ki dengan tertawa. "
Paling banjak engkau tjuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanja
kelak?" Tjiumoti tidak gubris padanja lagi. Ia tjoba menanja orang dimana letaknja "Somhap-tjheng." Tapi meski sudah beberapa orang ditanja, tetap tiada seorangpun
jang tahu dimana beradanja kampung itu.
"Tidak pernah kudengar sesuatu dusun jang bernama Som-hap-tjheng, barangkali kau
salah dengar, Hwesio," demikian kata seorang tua.
"Djika begitu, apakah engkau tahu seorang hartawan she Bujung, dimana rumahnja?"
tanja Tjiumoti. "Dikota Sohtjiu sini banjak orang she Tan, she Li dan she lain2nja, semua
hartawan besar, tapi tidak pernah mendengar ada hartawan she Bujung" sahut orang
tua itu. Sedang Tjiumoti bingung, tiba2 didengarnja suara seorang sedang berkata didjalan
ketjil ditepi danau sana: "Kabarnja orang she Bujung itu tinggal di Yan-tju-oh
kira2 tigapuluh li dibarat kota, marilah kita menudju kesana!"
"Ja, kita sudah sampai tempatnja, kita harus ber-hati2!" demikian sahut seorang
jang lain. Suara pertjakapan kedua orang itu sangat pelahan, maka Toan Ki tidak mendengar,
sebaliknja Lwekang Tjiumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan sangat
djelas. Diam2 ia heran apakah orang sengadja bitjara kepadanja"
Ketika Tjiumoti berpaling, ia lihat seorang berperawakan gagah berpakaian
berkabung, seorang lagi kurus ketjil mirip pentjoleng. Tapi sekilas pandang
sadja dapatlah diketahui Tjiumoti bahwa kedua orang itu memiliki ilmu silat
semua. Dan belum lagi ia ambil keputusan apa mesti menanja kedua orang itu atau
tidak, mendadak Toan Ki sudah lantas berseru: "Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!"
Kiranja laki2 kurus ketjil bermuka djelek itu tak-lain-tak-bukan adalah Kim-suipoa Tjui Pek-khe, simesin hitung emas. Dan laki2 jang lain adalah murid
keponakannja, Tui-hun-djiu Ko Gan-tji.
Sesudah kedua tokoh itu tinggalkan Tayli, dengan semangat jang berkobar2 mereka
hendak membalas dendamnja Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka djuga tahu susah untuk
melawan orang she Bujung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapapun akibatnja,
maka achirnja mereka tiba djuga di Koh-soh.
Sebelumnja mereka telah menjelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga
Bujung, jaitu Yan-tju-oh, dan setjara kebetulan telah tiba pada waktu jang sama
dengan Tjiumoti dan Toan Ki.
Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Tjui Pek-khe tertjengang
sedjenak, tapi segera ia melompat kedepannja Tjiumoti dan berkata dengan
heran: "He, Siauongtju (putera pangeran ketjil), kiranja kau" Eh, Toahwesio,
lekas engkau melepaskan Kongtjuya ini, apa kau tahu siapa dia?"
Sudah tentu Tjiumoti tidak pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi
karena dia lagi bingung mengenai tempat tinggalnja Bujung-siansing, kini
kebetulan kedua orang ini mengetahui tempatnja, maka iapun tidak marah terhadap
kata2 Tjui Pek-khe tadi. Ia taruh Toan Ki ketanah membiarkan pemuda itu berdiri
sendiri, lalu melepaskan Hiat-to dikakinja, kemudian berkata: "Aku hendak pergi
kerumah keluarga Bujung, harap kalian berdua suka menundjukkan djalannja."
Pengetahuan dan pengalaman Tjui Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak
teringat olehnja siapakah gerangan Hwesio ini. Maka tanjanja:
"Numpang tanja, siapakah gelaran sutji Taysu" Mengapa membikin susah kepada
Siauongtju ini dan untuk keperluan apa hendak pergi kerumah keluarga Bujung?"
"Banjak omong tiada gunanja, nanti tentu akan tahu sendiri," sahut Tjiumoti.
"Apakah Taysu adalah sobat baik Bujung-siansing?" tanja Tjui Pek-khe pula.
"Benar, makanja kalau Ho-siansing mengetahui dimana letak Som-hap-tjheng tempat
tinggal Bujung-siansing itu, harap memberitahukan djalannja," sahut Tjiumoti.
Tadi ia mendengar Toan Ki menjerukan "Ho-siansing" kepada Tjui Pek-khe, maka ia
menjangka tokoh Ko-san-pay itu benar2 she Ho.
Geli2 dongkol Tjui Pek-khe, sambil meng-garuk2 kepala ia tjoba menanja Toan
Ki: "Bagaimana baiknja, Siauongtju"."
Toan Ki mendjadi sulit djuga oleh pertanjaan itu. Ia pikir ilmu silat Tjiumoti
itu teramat tinggi, didunia ini mungkin tiada seorangpun jang mampu melawannja,
apalagi tjuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannja, kalau
berani berusaha buat menolongnja, paling2 tjuma menghantarkan njawa sadja, lebih
baik memperingatkan mereka sadja agar lekas2 melarikan diri. Maka tjepat
katanja: "Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh
tertinggi dari Tayli, achirnja akupun tertawan olehnja. Katanja dia adalah sobat
kentalnja Bujung-siansing, maka aku hendak dibakarnja hidup2 didepan kuburan
Bujung-siansing untuk memenuhi sesuatu djandjinja. Kalian berdua selamanja tiada
sangkut-paut apa2 dengan keluarga Bujung, maka silahkan menundjukkan djalannja
sadja, lalu bolehlah kalian pergi."
Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te dan djago2 lain di Tayli, Tjui
Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjadi kaget. Lebih2 ketika mendengar pula bahwa paderi
itu adalah sobat baiknja orang she Bujung.
Namun meskipun lahiriah Tjui Pek-khe itu djelek, tapi batinnja berdjiwa
kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinja bersembunji didalam Tinlam-onghu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu kebaikan apa2.
Kini Siauongtju berada dalam kesulitan, mana boleh dirinja tinggal diam tidak
urus" Betapapun sekarang sudah berada di Koh-soh, memangnja keselamatan djiwa
sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan mati ditangan musuh atau orang lain toh
sama sadja. Berpikir begitu, sekali tangannja bergerak, segera ia menarik keluar sebuah
Suipoa jang bersinar emas kemilauan, ia angkat tinggi2 sendjatanja itu dan
dikotjak hingga mengeluarkan suara gemerintjing jang ramai.
Katanja: "Toahwesio, kau bilang Bujung-siansing adalah sobat baikmu, sebaliknja
Siauongtju ini adalah kawan karibku. Maka lebih baik engkau melepaskan dia
sadja!" Melihat sang Susiok sudah bersiap, Ko Gan-tji tjepat melolos djuga rujung lemas
jang melilit dipinggangnja.
"Hehe, apakah kalian adjak berkelahi?" djengek Tjiumoti.
"Sekalipun tahu takkan mampu menandingi engkau, namun apa boleh buat, betapapun
aku ingin mentjoba, mati atau hidup .... auuuh!" mendadak Tjui Pek-khe mengaduh
sebelum selesai utjapannja.
Kiranja mendadak Tjiumoti telah samber rujung jang dipegang Ko Gan-tji itu,
sekali menjabet, tahu2 Suipoa emas Tjui Pek-khe itu kena tergubat, ketika rujung
bergerak pula, kedua matjam sendjata itu mentjelat berbareng menudju ketengah
danau disisi kanan. Tampaknja kedua sendjata itu sekedjap lagi akan ketjemplung kedalam danau, tak
tersangka tenaga jang dikeluarkan Tjiumoti itu ternjata sangat aneh dan tepat,
udjung rujung itu mendadak mendjengat keatas dan tepat menggubat pada suatu
ranting pohon Liu ditepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas,
digantungi lagi dengan sebuah Suipoa emas, maka tiada hentinja ranting itu
berguntjang naik turun, air danaupun beriak oleh karena Suipoa emas itu
menjentuh air. Ko Gan-tji itu berdjuluk "Tui-hun-djiu" atau sipenguber njawa, suatu tanda
betapa tjepat gerak-geriknja, apalagi rujung lemas itu adalah sendjata tunggal
perguruannja jang terkenal, siapa sangka hanja sekali gebrak sadja sudah
dirampas musuh. Bahkan tjara bagaimana Tjiumoti mendekati dan merebut sendjata,
tjara bagaimana menggubat Suipoa emas lalu orangnja melompat kembali tempatnja
semula, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sama sekali tidak djelas melihatnja.
Kemudian sambil merangkap kedua tangannja, Tjiumoti berkata dengan suara lemahlembut: "Harap sudilah kedua tuan ini menundjukkan djalannja."
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dan bingung apa jang harus mereka
lakukan. Maka terdengarlah Tjiumoti berkata pula: "Djikalau kalian tidak suka
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadjak kami kesana, silahkan menundjukkan arahnja sadja, biar Siautjeng
mentjarinja sendiri kesana."
Melihat ilmu silat sihwesio begitu tinggi, tapi sikapnja ramah-tamah, Tjui Pekkhe berdua mendjadi ragu2 dan serba salah, hendak main kasar toh orang bersikap
sopan, hendak mengadjak bitjara setjara baik2, terang putera pangeran dari Tayli
ditawan olehnja. Untunglah pada saat itu terdengar suara meriaknja air, dari udjung danau sana
tampak tiba sebuah sampan didajung oleh seorang gadis ketjil berbadju hidjau,
sambil mendajung, gadis itupun sembari bernjanji dengan gembiranja, lagunja
indah, suaranja merdu hingga makin menambah permainja suasana danau itu.
Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam Kanglam dari sjair2 gubahan
pudjangga jang pernah dibatjanja. Kini dihadapi pemandangan permai dengan
njanjian merdu, semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 dan lupa daratan bahwa
dirinja waktu itu sedang terantjam bahaja, serentak sadja ia memandang kearah
sigadis itu. Ia lihat kedua tangan sigadis putih bersih bagai batu kemala jang
bening tembus. Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji ikut tertarik djuga dan memandang sigadis.
Hanja Tjiumoti sadja tetap membuta dan membudek, katanja: "Djika kalian toh
tidak sudi memberitahu letak Som-hap-tjheng, biarlah Siautjeng mohon diri
sadja." Saat itu sampan sigadis sudah dekat menepi. Maka utjapan Tjiumoti itu dapat
didengarnja, terus sadja ia menjela: "Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-tjheng,
entah ada keperluan apakah?"
Suara gadis itu ternjata sangat njaring dan manis hingga bagi jang mendengar
akan timbul rasa nikmat jang tak terkatakan. Usia gadis itu ternjata baru
belasan tahun, wadjahnja lemah-lembut, dandanannja serasi.
Diam2 Toan Ki memudji: "Wanita daerah Kanglam sungguh tak tersangka setjantik
ini." Maka mendjawablah Tjiumoti: "Siautjeng hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah
apakah nona sudi menundjukkan djalannja?"
"Nama Som-hap-tjheng djarang diketahui orang luar, entah dari mana Taysuhu
mengetahuinja?" tanja gadis itu dengan tersenjum.
"Siautjeng adalah sobat lama Bujung-siansing, kini sengadja datang berziarah
kekuburannja sekedar memenuhi djandji dimasa dulu," sahut Tjiumoti.
Gadis itu merenung sedjenak, lalu katanja: "Wah, agak tidak kebetulan.
Djusteru kemarin dulu Bujung-kongtju bepergian, kalau Taysuhu datang lebih dulu
tiga hari, tentu akan dapat berdjumpa dengan Kongtju."
"Sungguh menjesal tidak sempat berkenalan dengan Kongtju, namun djauh2
Siautjeng datang dari negeri Turfan, biarlah aku berkundjung kemakam Bujungsiansing sekedar memberi penghormatan terachir."
"Djikalau Taysuhu adalah sobat baik Bujung-loya, marilah silahkan minum dulu
ketempat kami, kemudian akan kusampaikan maksudmu, maukah?"
"Pernah apakah nona dengan Bujung-siansing dan tjara bagaimana aku harus
menjebut setjara hormat?" tanja Tjiumoti.
"Ah, aku tjuma dajang jang melajani Kongtju memetik Khim dan meniup seruling,"
sahut sigadis dengan tersenjum manis. "Namaku A Pik, maka djanganlah Taysuhu
sungkan2, panggil sadja A Pik."
"O, baiklah," kata Tjiumoti dengan sangat hormat.
Lalu si A Pik berkata: "Djalan dari sini ke Yan-tju-oh harus melalui djalan air
semua, djikalau tuan2 ini hendak kesana semua, marilah kuhantar dengan sampan
ini, maukah?" Setiap kata "maukah" jang ditanjakan oleh A Pik, kedengarannja begitu luwes dan
simpatik hingga membuat orang tidak enak untuk menolak. Maka berkatalah
Tjiumoti: "Djika begitu, terpaksa mesti membikin repot nona."
~ Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan melompat keatas sampan dengan
enteng. Sampan itu hanja ambles kebawah sedikit dan sama sekali tidak
terguntjang. A Pik tersenjum kepada Tjiumoti dan Toan Ki, maksudnja se-akan2 memudji
kehebatan kepandaian orang.
Lalu Ko Gan-tji djuga membisiki Tjui Pek-khe: "Bagaimana, Susiok?"
Sebenarnja kedatangan mereka jalah ingin menuntut balas pada orang she Bujung,
tapi kedudukan mereka kini mendjadi serba salah dan sangat lutju kelihatannja.
"Djika tuan2 sudah datang di Sohtjiu, pabila toh tiada urusan penting lain,
marilah silahkan mampir djuga ketempat kami untuk minum2," demikian kata A Pik
lagi dengan tertawa. "Djangan tuan2 ragu2 terhadap sampan jang ketjil ini,
biarpun bertambah lagi beberapa orang djuga tidak nanti tenggelam."
Pelahan2 A Pik mendajung sampannja, ketika lewat dibawah pohon Liu tadi, tiba2
ia ambil Kim-sui-poa dan rujung lemas jang tergantung diranting pohon itu.
Sekenanja ia ketik2 bidji Suipoa hingga menerbitkan suara "tjrang-tjreng" jang
njaring. Mendengar beberapa suara njaring itu, dengan girang Toan Ki terus berkata: "He,
apakah nona sedang memetik lagu "Djay-song-tju" (memetik bidji arbei)?"
Hlm. 39: gambar "Djika tuan sudah datang di Sohtjiu dan tiada urusan lain, marilah silahkan
mampir sekalian ketempat kami untuk minum2 sebentar," demikian kata si A Pik
jang mengaku sebagai pelajan Bujung-kongtju.
Kiranja bidji Suipoa jang diketik si A Pik telah mengeluarkan suara jang berbeda2 hingga berwudjut irama musik dari lagu "Djay-song-tju"
jang merdu. Dengan tersenjum A Pik mendjawab: "Ah, kiranja Kongtju djuga pandai seni suara,
maukah memetiknja barang selagu djuga?"
Melihat gadis itu lintjah ke-kanak2an, ramah-tamah menarik, maka sahut Toan Ki
dengan tertawa: "Ja, tapi aku tidak dapat memetik Suipoa." ~ Lalu ia menoleh
kepada Tjui Pek-khe, katanja: "Ho-siansing, Suipoamu telah digunakan orang
sebagai alat musik jang bagus."
"Benar, benar!" sahut Tjui Pek-khe dengan senjum ewa, "nona benar2
seorang seniwati, alat hitungku jang kasar itu, sekali berada ditangan nona,
djadilah segera sebuah alat musik jang bagus."
"Ai, ai, maafkan, djadi ini adalah milik tuan?" seru A Pik gugup. "Wah, alangkah
bagusnja Suipoa ini. Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Suipoa djuga
terbuat dari emas. Ho-siansing, inilah kukembalikan."
Sambil berkata, terus sadja A Pik angsurkan Suipoa jang dipegangnja itu. Tapi
Tjui Pek-khe berdiri ditepi danau, dengan sendirinja tidak sampai menerimanja.
Memangnja iapun merasa berat mesti kehilangan kawan setianja jang selalu
dibawanja itu. Maka dengan enteng ia lantas melompat kehaluan sampan untuk
menerima Suipoa itu. Kemudian ia berpaling melotot sekali kearah Tjiumoti. Namun
wadjah paderi itu tetap bersenjum-simpul dengan welas-asih, sedikitpun tidak
marah. Setelah Suipoa dikembalikan pemiliknja, kini tinggal rujung lemas itu jang masih
dipegang si A Pik. Ketika tangan kanannja memegang badan rujung dan sekali
digesut dari atas kebawah, karena gesekan kuku djarinja dengan ruas2 rujung
lemas itu, maka terbitlah suara matjam2 suara njaring jang menarik hingga mirip
orang memetik harpa. Ternjata sematjam sendjata jang pernah melajani berbagai
djago2 Bu-lim itu setelah berada ditangan si A Pik, kembali telah berubah
mendjadi sematjam alat musik lagi.
"Bagus, bagus!" saking senangnja Toan Ki ber-teriak2. "Sungguh pintar sekali
nona, hajolah silahkan memetiknja satu lagu."
Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-tji: "Mungkin rujung ini adalah milik
tuan ini bukan" Aku telah sembarangan mengambilnja, sungguh terlalu tidak tahu
aturan, harap dimaafkan. Marilah tuan, silahkan tuan naik djuga keatas sampan,
sebentar akan kusuguh dengan daharan enak."
Sebenarnja Ko Gan-tji sedang mendendam sakit hati karena gurunja dibunuh orang
she Bujung, tapi menghadapi seorang nona tjilik jang selalu bersenjum manis dan
ke-kanak2an, betapapun rasa dendam dalam hatinja djuga tidak mungkin
dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnja: "Dia bersedia membawa kami ketempat
tinggal orang she Bujung, itulah jang djusteru sangat kami inginkan,
bagaimanapun djuga aku harus membunuh beberapa orang mereka untuk membalas sakit
hati Suhu." Karena itu, ia mengangguk terima tawaran A Pik, lalu iapun melompat keatas
perahu. Dengan hati2 dan menghormat A Pik menggulung rujung lemas itu dan dikembalikan
kepada Gan-tji. Sekali dajungnja bekerdja, segera sampannja meluntjur kearah
barat. Tjui Pek-khe saling menukar isjarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-tji. Diam2
mereka memikir: "Hari ini kita telah memasuki gua harimau, entah bakal mati atau
hidup. Menghadapi keluarga Bujung jang kedjam dan sinona jang kelihatannja
lemah-lembut ini, betapapun kita harus waspada djangan sampai masuk perangkap
musuh." Begitulah sampan si A Pik terus meluntjur kedepan, setelah membiluk kian kemari,
achirnja masuklah sampan itu ketengah danau jang luas.
Sepandjang mata memandang, danau itu se-akan2 tanpa udjung dan bergandengan
rapat dengan langit. Karuan Ko Gan-tji bertambah was-was, pikirnja: "Danau besar
ini tentulah Thay-oh adanja. Aku dan Tjui-su-siok tidak dapat berenang, asal
nona tjilik ini putar balik sampannja, pasti kami berdua akan kelelap kedasar
danau sebagai umpan ikan, djangankan lagi bitjara hendak menuntut balas bagi
Suhu." Rupanja Tjui Pek-khe djuga mempunjai firasat jang sama. Ia pikir kalau dajung
sampan dapat dipegang sendiri, bila nona itu hendak membalikkan sampannja tentu
akan lebih sulit. Maka segera katanja: "Nona, marilah kubantu engkau mendajung,
engkau boleh menundjukkan arahnja sadja."
"Ai, mana boleh djadi begitu," sahut A Pik tertawa. "Kalau diketahui Kongtjuya,
wah, tentu aku akan didamperat tidak dapat menghormati tamu."
Melihat orang tidak mau, rasa tjuriga Tjui Pek-khe semakin bertambah, katanja
pula dengan tertawa: "Haha, bitjara terus terang, sebenarnja kami ingin
mendengar nona memperdengarkan ilmu kepandaianmu memetik sesuatu lagu dengan
rujung lemas kawanku itu."
"Ilmu kepandaian apa?" udjar A Pik tertawa. "Kalau diketahui A Tju, pasti dia
akan mentjemoohkan aku suka pamer didepan tetamu."
Tapi Tjui Pek-khe terus memgambil rujungnja Gan-tji dan diserahkan kepada A Pik,
katanja: "Ini, petiklah lekas!" ~ Sembari berkata, terus sadja ia sambuti dajung
sampan dari tangan sigadis.
"Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu itupun pindjamkan aku sebentar,"
kata A Pik. Diam2 Pek-khe mendjadi kuatir: "Dia telah ambil sendjata2 kami, djangan2 ada
tipu muslihat apa2?" ~ Namun karena sudah ketelandjur, terpaksa iapun
menjerahkan Suipoa emasnja itu.
Tapi Suipoa itu lantas ditaruh diatas geladak sampan oleh A Pik, sambil berduduk
ia tarik gagang rujung dengan tangan kiri, udjung rujung itu diindjak dengan
kaki kanan hingga rujung lemas itu tertarik dengan lempeng, lalu menarilah
kelima djari kanannja meng-gesek2 diatas rujung hingga menerbitkan matjam2 nada
suara jang njaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).
Sambil menggesek rujung, terkadang djari A Pik djuga sempat memainkan bidji
Suipoa jang terletak dihadapannja itu, suara "tjrang-tjring" dari bidji Suipoa
itu berselang-seling dengan suara "trang-tring" gesekan rujung hingga
kedengarannja sangat menarik. Sampai puntjaknja, saking gembiranja A Pik terus
bernjanji pula mengiringi irama musik jang dimainkannja sendiri dengan merdu
itu. Mendengar suara sigadis jang mengalun empuk itu, sungguh semangat Toan Ki seakan2 diombang-ambingkan diangkasa raja dan mendjadi seperti orang linglung. Ia
gegetun mengapa baru sekarang dirinja sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula
Bujung-kongtju mempunjai seorang dajang sepandai itu, maka dapatlah dibajangkan
tokoh matjam apa madjikan sidajang itu.
Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian iapun kembalikan Suipoa dan rujung
itu kepada Pek-khe berdua. Katanja dengan tertawa: "Memalukan, tidak enak
didengarkan, harap djangan ditertawai tuan tamu. Nah, dajunglah kesana, ja
benarlah!" Pek-khe menurut dan mendajung sampan itu kesuatu muara sungai ketjil, di
permukaan air situ tampak banjak tumbuh daun teratai jang lebat. Tjoba kalau
tiada petundjuk si A Pik, tentu tiada jang tahu bahwa disitu ada djalannja.
Setelah mendajung pula sebentar, kemudian A Pik berkata pula: "Biluklah kesana!"
Dan permukaan air tempat baru ini ternjata penuh tumbuh daun Lengkak dengan
buahnja jang ke-merah2an. A Pik memetik beberapa buah lengkak jang merah itu, ia
berikan Ko Gan-tji tiga buah, kemudian memetik pula bagi jang lain.
Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang,
sedikitpun ia sudah tak bertenaga, untuk mengupas kulit Lengkak terasa pula
tidak kuat. Maka berkatalah A Pik dengan tertawa: "Rupanja Kongtjuya bukan orang
Kanglam, makanja tidak biasa mengupas Lengkak.
Biarlah aku mengupasnja untukmu."
Segera ia mengupas beberapa bidji dan diserahkan kepada Toan Ki.
Melihat daging Lengkak itu putih bersih, ketika dimakan rasanja manis gurih,
dengan tertawa Toan Ki berkata: "Rasa lengkak ini enak dan tidak membosankan,
mirip sekali dengan njanjian nona tadi."
Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnja dengan tersenjum:
"Membandingkan njanjianku dengan Lengkak, baru pertama kali ini kudengar.
Terima kasih, Kongtju!"
Dan belum selesai sampan itu menjusur rawa Lengkak itu, A Pik telah menundjukkan
arah lain lagi jang penuh tumbuh rumput kumbuh jang lebat.
Mau-tak-mau achirnja Tjiumoti mendjadi was-was djuga, diam2 ia mengingat baik2
djalan jang dilalui perahu itu, agar nanti kembalinja tidak kesasar. Tapi rawa2
daun teratai, lengkak dan rumput kumbuh itu hakikatnja serupa sadja tak ada
perbedaannja, apa lagi tumbuh2an air itu setiap waktu bisa berubah tertiup angin
hingga dalam sekedjap sadja keadaan sudah berlainan daripada semula. Tjiumoti,
Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berusaha djuga mengikuti sinar mata si A Pik
untuk mengetahui tjara bagaimana gadis itu mengenali djalannja, namun tampaknja
gadis itu atjuh-tak-atjuh sadja, sambil memetik Lengkak sembari memain air dan
memberi petundjuk tanpa pikir, se-akan2 djalanan air jang bersimpang-siur itu
sudah merupakan satu peta jang apal baginja.
Begitulah setelah sampan itu didajung berlika-liku kian kemari selama dua djam,
lewat lohor, dari djauh tertampaklah pohon Liu me-lambai2
dengan rindangnja dan dibalik pohon tertampaklah udjung emper rumah.
"Itulah dia sudah sampai," seru A Pik segera. "Ho-siansing, telah setengah hari
membikin tjapek engkau, terima kasihlah." ~ Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe
sebagai Ho-siansing, maka iapun menirukannja.
Dengan tertawa getir Pek-khe mendjawab: "Asal bisa makan Lengkak sambil
mendengarkan njanjianmu, biarpun aku disuruh mendajung selama setahun dua tahun
djuga mau." "Ha, apa susahnja djika engkau benar2 senang makan Lengkak dan suka mendengarkan
njanjianku," seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa.
"Untuk mana asal engkau tinggal sadja dilembah danau ini dan selama hidup ini
djangan meninggalkan sini."
Pek-khe mendjadi kaget oleh utjapan: "selama hidup tinggal dilembah danau" itu,
ia tjoba melirik gadis itu, ia lihat A Pik tetap bersenjum simpul sadja seperti
tidak punja maksud apa2 dibalik kata2nja itu. Namun begitu hati Pek-khe mendjadi
kebat-kebit djuga. Segera A Pik mengambil penggajuh dari tangannja Pek-khe dan mendajung sampannja
ketepian jang penuh pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga
kaju terbuat dari ranting pohon Siong mendjulur dari tepi kedalam air. A Pik
menambat perahunja diatas ranting pohon itu serta mendahului mendarat.
Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah disana-sini ada beberapa buah
gubuk jang dibangun ditengah sebuah pulau ketjil atau disemenandjung sana.
Gubuk2 itu ketjil mungil dan tjukup indah.
"Apakah disini inikah Som-hap-tjheng dari Yan-tju-oh?" tanja Tjiumoti.
"Bukan," sahut A Pik menggeleng kepala. "Tempat ini adalah kediamanku jang
dibangun oleh Kongtju, djelek dan sederhana, sebenarnja tidak pantas untuk
menjambut tamu. Tjuma Toasuhu ini menjatakan ingin berziarah kemakamnja Bujungloya, aku sendiri tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silahkan tuan2
tunggu sementara disini, biarlah kubitjarakan dulu dengan Entji A Tju."
Mendengar itu Tjiumoti mendjadi dongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan
diagungkan kedudukannja sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri
Turfan. Djangankan di negerinja sendiri itu dia sangat dihormati oleh kepala
negara Turfan, sekalipun pemerintah2 Song, Tayli dan negara2
tetangganja djuga pasti menjambut kedatangannja dengan penuh penghormatan.
Apalagi dia adalah sobat lama Bujung-siansing, kini ia datang sendiri buat
ziarah, kalau Bujung-kongtju bepergian karena memang sebelumnja tidak tahu,
itulah tak dapat disalahkan, tetapi seorang dajang seperti A Pik ini, tamu agung
itu tidak dibawa keruang tamu untuk dihormati sebagaimana mestinja, sebaliknja
malah dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelajan, karuan sadja Tjiumoti
merasa terhina. Tapi demi dilihatnja sikap A Pik tetap ke-kanak2an seperti biasa sadja,
sedikitpun tidak mengundjuk maksud merendahkan, maka ia pikir mengapa mesti
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meretjoki urusan begitu dengan seorang pelajan ketjil.
Kemudian Tjui Pek-khe telah menanja: "Siapakah entji A Tju jang kau katakan
itu?" "A Tju ialah A Tju, dia tjuma lebih tua sebulan daripadaku, lantas berlagak
sebagai Entji orang," demikian sahut A Pik dengan tertawa. "Ja, apa boleh buat,
terpaksa aku harus memanggil dia Entji, habis, siapa suruh dia lahir sebulan
lebih dulu" Namun engkau tidak perlu memanggilnja sebagai Entji, kalau tidak
tentu lagaknja akan semakin garang."
Sembari berbitjara, dengan lintjahnja A Pik terus menjilahkan keempat tamunja
itu masuk kedalam pondoknja.
Toan Ki melihat didepan gubuk itu tergantung sebuah papan ketjil jang
bertuliskan "Khim-im-siau-tiok" atau pondok mungil suara harpa. Gaja tulisannja
sangat bagus. Setelah masuk, A Pik silahkan semua orang berduduk, kemudian
lantas disuguhkannja air teh dan beberapa matjam makanan. Tehnja wangi,
makanannja sedap, karuan tiada hentinja Toan Ki memudji.
"Silahkan Kongtju menghabiskannja, persediaan masih tjukup," demikian A Pik.
Sambil melangsir penganan2 kedalam perutnja, terus-menerus Toan Ki memberi
pudjian tiada habis2nja. Sebaliknja Tjiumoti, Pek-khe dan Gan-tji bertiga tidak
berani menjentuh minuman dan makanan itu sebab kuatir kalau didalam makanan itu
ditaruh ratjun. Diam2 Toan Ki mendjadi tjuriga djuga, pikirnja: "Tjiumoti ini mengaku sebagai
sobat lama Bujung-siansing, tapi kenapa berlaku se-hati2 ini "
Pula tjara orang keluarga Bujung menjambut kedatangannja djuga rada tidak
beres." Tjiumoti itu ternjata sangat sabar, ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum
dan selesai mentjitjipi semua penganan jang disuguhkan itu dengan pudjian2
setinggi langit, kemudian barulah dia berkata: "Dan sekarang haraplah nona suka
memberitahukan kepada Entji A Tju jang kau katakan tadi."
"Tempat pondok A Tju itu dari sini masih berpuluh li djauhnja, hari ini terang
tidak keburu kesana lagi, biarlah tuan2 berempat tinggal semalam disini, besok
pagi2 aku lantas membawa kalian ke "Thing-hiang-siau-tiok"
(pondok ketjil jang wangi) ."
"Tahu begitu, mengapa nona tidak tadi2 membawa kami langsung kesana?"
tanja Tjiumoti dengan mendongkol.
"Kenapa mesti buru2 ?" sahut A Pik. "Selama ini aku tiada teman mengobrol,
rasanja terlalu sunji. Kini kedatangan tamu sebanjak ini, sudah tentu aku ingin
kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini."
Sedjak tadi Ko Gan-tji hanja berdiam sadja. Kini mendadak ia berbangkit dan
membentak: "Dimana tempat tinggal anggota keluarga Bujung"
Kedatanganku kesini bukan untuk minta makan-minum dan untuk mengobrol dengan
engkau, tapi datang buat membunuh musuh. Sekali orang she Ko sudah berani datang
kemari, memangnja akupun tidak pikir bisa keluar dari sini dengan hidup. Maka
lekaslah kau laporkan sana, nona, katakan aku adalah anak murid Kwa Pek-hwe dari
Ko-san-pay, hari ini sengadja datang untuk menuntut balas sakit hati Suhuku itu"
Habis berkata, sekali rujungnja menjabet, terdengarlah suara gedubrakan jang
keras disertai hantjurnja sebuah medja dan sebuah kursi.
Namun sedikitpun A Pik tidak kaget djuga tidak marah, katanja dengan tenang: "
Sudah banjak orang2 Kangouw jang gagah perkasa datang hendak mentjari Kongtju,
setiap bulannja paling sedikit ada beberapa rombongan.
Diantaranja banjak djuga berlagak garang dan kasar seperti Ko-toaya ini
......" Belum selesai utjapannja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek
pendek ketjil berdjenggot dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa
tongkat, sambil mendatangi ia berkata: "A Pik, siapakah jang lagi ribut2
disini?" Tjepat Tjui Pek-khe melompat bangun dan berdiri sedjadjar dengan Ko Gan-tji
sambil membentak: "Suhengku Kwa Pek-hwe sebenarnja ditewaskan oleh siapa?"
Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanja penuh keriputan, usianja kalau
tiada seabad, paling sedikit djuga lebih dari 80 tahun.
Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suaranja jang serak: "Kwa Pek-hwe"
Ehm, manusia dapat hidup sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah waktunja djuga
untuk mati!" Memangnja Ko Gan-tji sudah tidak sabar lagi hendak membalas sakit hati sang
Suhu, kini mendengar pula kata2 sikakek jang kasar itu, ia mendjadi murka,
sekali rujungnja bekerdja, terus sadja ia sabet kepunggung kakek itu. Ia kuatir
kalau Tjiumoti merintangi tindakannja, maka serangannja sengadja dilontarkan
dari djurusan jang tak bisa dihalangi paderi itu.
Siapa duga Tjiumoti tjuma ulur tangannja sadja, seketika tangannja seperti
mengeluarkan tenaga sedotan, rujung Ko Gan-tji itu kena ditarik ketangannja dari
djauh. Lalu katanja: "Ko-tayhiap, kedatangan kita ini adalah tamu, ada apa2
hendaknja dibitjarakan setjara baik2, djanganlah memakai kekerasan." ~ Habis
berkata, ia remas2 rujung rampasannja itu hingga tergulung mendjadi satu, lalu
dikembalikan kepada Gan-tji.
Muka Ko Gan-tji mendjadi merah djengah, ia mendjadi kikuk apakah mesti menerima
kembali sendjatanja itu atau tidak. Tapi demi dipikir tudjuan pokoknja jalah
untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani ditanggungnja. Maka
dengan agak malu ia terima kembali rujung itu.
Hlm. 47: gambar Belum selesai A Pik melajani tetamunja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul
seorang kakek pendek ketjil, rambut dan djenggot sudah putih sebagai perak.
Lalu Tjiumoti berkata kepada sikakek: "Siapakah nama Sitju jang terhormat ini"
Apakah masih pamili dengan Bujung-siansing atau sahabatnja"."
Kakek itu tertawa, sahutnja: "Aku tjuma seorang budak tua Kongtju sadja, masakah
punja nama terhormat segala" Kabarnja Taysuhu adalah sobat baik mendiang Loya
kami, entah ada keperluan apakah?"
"Urusanku harus kukatakan berhadapan dengan Bujung-kongtju," sahut Tjiumoti.
"Tapi sajang, kemarin dulu Kongtju telah bepergian, entah kapan baru dapat
pulang," kata sikakek.
"Djika begitu, kemanakah Kongtju pergi?" tanja Tjiumoti.
"Wah, aku mendjadi lupa," sahut kakek itu sambil ketok2 djidat sendiri,
"beliau seperti mengatakan hendak pergi kenegeri He atau Tayli, ja, entah Turfan
atau negeri mana lagi."
Tjiumoti mendjadi kurang senang oleh djawaban itu, terang tidak mungkin seorang
sekaligus keluar negeri sebanjak itu, ia tahu budak tua itu sengadja berlagak
pikun, maka katanja: "Djika demikian, akupun tidak menunggu lagi pulangnja
Kongtju, harap Koankeh (kepala pengurus rumah tangga) suka membawa aku
bersembahjang kemakam Bujung-siansing sekedar memenuhi kewadjiban sebagai
seorang sobat lama."
"Ah, permintaan ini aku tidak berani menerima, akupun bukan Koankeh segala,"
sahut sikakek sambil gojang2 tangannja.
"Djika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian" Dapatkah kutemui dia?"
tanja Tjiumoti. "Ehm, baiklah, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh," kata sikakek sambil
mengangguk. Ia putar masuk kebelakang dengan langkah sempojongan sebagaimana
lazimnja orang tua sambil menggerundel pandjang-pendek: "Ai, djaman ini memang
terlalu banjak orang djahat, banjak jang menjamar Hwesio dan Tosu untuk menipu
orang. Huh, orang tua seperti aku pengalaman apa jang tak pernah terdjadi, mana
dapat aku diingusi!"
Mendengar itu, saking gelinja sampai Toan Ki terbahak.
Sebaliknja A Pik lekas2 berkata kepada Tjiumoti: "Taysuhu, harap engkau djangan
marah, Ui-pepek itu benar2 seorang pikun. Ia mengira dirinja sendiri sangat
pintar, tapi kata2nja djusteru selalu menjakiti orang."
Dalam pada itu Tjui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-tji kesamping serta
membisikinja: "Keledai gundul ini mengaku sebagai sobat orang she Bujung, tapi
orang disini terang2an tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita
djangan sembarangan bertindak, biarlah melihat dulu apa jang akan terdjadi."
Ko Gan-tji mengia dan kembali ketempatnja tadi. Tapi karena kursinja sendiri
telah dihantjurkan oleh sabetan rujungnja tadi, ia mendjadi tidak punja tempat
duduk lagi. Maka dengan tersenjum ramah A Pik lantas memberikan kursinja, katanja dengan
tersenjum: "Harap Ko-toaya duduk kursi ini sadja!"
Gan-tji mengangguk puas, pikirnja: "Andaikan aku dapat membunuh bersih antero
anggota keluarga Bujung, paling sedikit dajang tjilik ini harus kuampuni."
Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda tanja jang aneh.
Ketika sibudak tua she Ui tadi masuk, diam2 ia merasa ada sesuatu jang kurang
beres. Tapi soal apa, ia sendiripun tak bisa mendjawab. Ia tjoba memperhatikan
alat perabot ruangan itu, kemudian memandang A Pik, Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan
Ko Gan-tji, namun tiada sesuatu tanda mentjurigakan jang dilihatnja. Tapi
anehnja perasaannja djusteru semakin merasa ada sesuatu jang tidak beres.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muntjul
seorang laki2 kurus setengah umur. Orang ini memiara djenggot matjam djenggot
kambing, gerak-geriknja menundjukkan seorang jang tjekatan dan pandai mengatur
rumah tangga, pakaiannja djuga radjin, djari tengah kiri memakai sebuah tjintjin
berbatu kemala jang besar. Agaknja inilah dia Koankeh keluarga Bujung.
Orang itu lantas memberi hormat kepada tamu2nja dan berkata: "Hamba Sun Sam
menjampaikan salam hormat kepada tuan2 sekalian. Taysuhu, engkau bermaksud
ziarah kemakam Loya kami, untuk mana kami menjatakan sangat berterima kasih.
Tapi Kongtjuya sedang bepergian, tiada orang jang dapat membalas kehormatan
Taysuhu nanti, hal ini akan kelihatan kurang pantas.
Maka kelak kalau Kongtjuya pulang, biarlah kusampaikan sadja maksud baik Taysuhu
ini ...." Bitjara sampai disini, tiba2 Toan Ki mengendus sematjam bau harum jang halus.
Seketika pikirannja tergerak, ia tjuriga: "Apakah mungkin demikian halnja?"
Kiranja tadi waktu sibudak tua masuk keruangan situ, Toan Ki lantas mentjium
sematjam bau wangi jang halus sedap. Bau harum ini lapat2
seperti bau harum jang teruar dari badannja Bok Wan-djing, walaupun didalamnja
memang banjak perbedaannja, namun satu hal adalah pasti, jaitu bau wangi badan
anak perawan. Semula Toan Ki menjangka bau harum itu timbul dari badannja A Pik, maka tidak
menaruh perhatian. Tetapi sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itupun lenjap.
Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu jang kurang beres.
Sebab mustahil badan seorang kakek tua bangka begitu bisa menguarkan bau harum
anak perawan?" Kemudian ketika Koankeh kurus jang mengaku bernama Sun Sam itu muntjul, kembali
Toan Ki mengendus bau wangi jang sama, maka timbul pikirannja pula: "Barangkali
dibelakang rumah ini tertanam bunga apa2 jang aneh, siapa sadja jang keluar dari
ruangan belakang tentu membawa bau harum jang menggontjang sukma itu. Kalau
tidak, maka budak tua itu dan sikurus ini pastilah samaran kaum wanita."
Meski bau wangi itu menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, tapi karena terlalu halus
baunja, maka Tjiumoti bertiga sedikitpun tidak tahu.
Sebabnja Toan Ki dapat membedakan bau harum jang halus itu adalah karena dahulu
ia pernah disekap bersama Bok Wan-djing didalam kamar batu oleh Djing-bau-khek
alias Yan-king Thaytju itu. Maka bau harum jang halus jang timbul dari badan
anak perawan itu susah dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalamannja
dulu itu sangat berkesan dan djauh lebih keras malah daripada bau wangi segala
matjam wangi2an lainnja. Meski ia mentjurigai Sun Sam itu adalah samaran wanita, tapi sesudah dipandang
dan di-amat2i, toh tiada sesuatu tanda jang mejakinkan. Bukan sadja gerak-gerik
Sun Sam itu memang lakunja kaum laki2, bahkan mukanja dan suaranja djuga persis
seperti kaum laki2 umumnja. Tiba2 teringat oleh Toan Ki: "Kalau wanita menjamar
sebagai lelaki, bidji lehernja sekali2
tak mungkin dipalsukan."
Karena itu, ia tjoba memperhatikan leher Sun Sam, namun djenggot kambingnja itu
tepat mendjulur kebawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada
bidji leher atau tidak. Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan pura2 menikmati lukisan jang
tergantung didinding sana, dari samping lalu ia melirik untuk mengintjar
lehernja Sun Sam. Sekali ini dapat dilihatnja dengan djelas bahwa leher Sun Sam
halus lurus tiada sesuatu jang menondjol dilehernja. Ketika mengawasi dadanja
pula, tampak dada Sun Sam itu penuh montok. Walaupun tanda ini tidak dapat
dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki2
kurus tidaklah lazim memiliki dada jang montok.
Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki mendjadi sangat senang, pikirnja:
"Ini dia sandiwaranja masih belum tamat, biarlah aku mengikuti terus
permainannja." Dalam pada itu terdengar Tjiumoti sedang berkata dengan gegetun:
"Dahulu aku telah berkenalan dengan Loya kalian dinegeri Thian-tiok serta saling
mengagumi ilmu silat masing2, disanalah kami telah mengikat persahabatan kekal.
Sungguh tidak njana segala apa didunia fana ini memang mudah berubah, orang
bodoh seperti aku ini djusteru masih diberi hidup, sebaliknja Loya kalian malah
sudah mendahului kenirwana. Djauh2
aku sengadja datang dari Turfan untuk sekedar memberi hormat dihadapan makam
sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa mesti dipikirkan"
Maka haraplah Koankeh suka membawa aku kesana."
Sun Sam tampak mengkerut kening, agaknja merasa serba salah, katanja:
"Aku ..... aku ....."
"Entah Koankeh merasakan kesulitan apa, silahkan memberi pendjelasan,"
tanja Tjiumoti. "Ja, sebab watak Loya kami, sebagai sobatnja tentu Taysuhu tjukup tahu," sahut
Sun Sam. "Loya kami paling tidak suka ada orang berkundjung kepadanja, ia bilang
orang jang datang mentjarinja kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin
rusuh, pasti adalah mohon beladjar dan ingin mendjadi muridnja. Jang lebih
rendah lagi bisa djuga datang untuk pindjam uang atau bila jang empunja rumah
lengah, terus mentjuri. Beliau mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih2 tak dapat
dipertjaja lagi, auuuuh..... maaf....." ~ Tiba2 ia seperti tersadar telah
menjinggung Tjiumoti, maka tjepat menutupi mulutnja.
Tingkah laku menutupi mulut dengan tangan itu terang lazimnja dilakukan oleh
kaum anak gadis, bidji matanja jang hitam pekat mendelik itupun mengerling
sekedjap. Meski hanja sekilas sadja tingkah laku demikian, namun Toan Ki jang
selalu menaruh perhatiannja itu sudah melihatnja, dia bertambah senang lagi: "
Ha, Sun Sam ini bukan sadja memang samaran wanita, bahkan adalah seorang nona
jang masih sangat muda."
Ketika ia melirik A Pik, ia lihat udjung mulut gadis itu tersimpul senjuman jang
litjik. Maka Toan Ki mendjadi lebih jakin lagi, pikirnja:
"Sun Sam ini sudah terang sama orangnja dengan sibudak tua tadi. Boleh djadi
adalah entji A Tju jang dikatakan itu."
Dalam pada itu Tjiumoti sedang berkata: "Memang manusia baik2 didjagat ini lebih
sedikit daripada orang jang djahat. Kalau Bujung-siansing tidak suka banjak
bergaul dengan chalajak ramai, itupun adalah djamak."
"Ja, dari itulah Loya kami telah meninggalkan pesan agar siapa pun jang datang
hendak ziarah kekuburannja, semuanja ditolak," kata Sun Sam. "Ia bilang para
keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar
kuburannja. Aija, maaf Taysuhu, keledai gundul jang dimaksudkan Loya kami itu
besar kemungkinan bukan ditudjukan kepadamu."
Diam2 Toan Ki mendjadi geli oleh pertundjukan itu, ini namanja
"dihadapan Hwesio memaki keledai gundul," benar2 sangat tepat. Pikirnja:
"Keledai gundul ini tetap tidak marah sama sekali, semakin djahat dan semakin
litjik orangnja, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai gundul ini benar2
bukan sembarangan orang."
Malahan Tjiumoti terus berkata lagi: "Apa jang dipesan Loya kalian itu memang
ada benarnja djuga. Dimasa hidupnja dahulu terlalu banjak permusuhan jang telah
ditanamnja, kalau waktu hidupnja musuh tidak berani padanja, sesudah beliau
wafat, bukan mustahil ada jang berusaha membongkar djenazahnja untuk membalas
sakit hati." "Berani mengintjar djenazah Loya kami" Hahaha, djangan mimpi!" udjar Sun Sam
dengan tertawa. "Tapi aku adalah sobat baik Bujung-siansing, aku hanja ingin memberi hormat
dihadapan makamnja dan tiada maksud lain, hendaklah Koankeh djangan bersangka
djelek," kata Tjiumoti.
"Dengan sungguh2 hal ini Siaudjin tidak berani mengambil keputusan, sebab kalau
pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongtju pulang dan mengetahui, bukan mustahil
aku akanmemdapat gandjaran jang setimpal,"
kata Sun Sam. "Tapi begini sadjalah, biarlah kumintakan keputusan Lothaythay,
nanti kuberitahukan lagi kesini."
"Lothaythay (njonja besar)" Lothaythay jang mana?" tanja Tjiumoti heran.
"Bujung-lothaythay adalah Entjim daripada Loya kami," sahut Sun Sam.
"Setiap tamu jang berkundjung kemari kebanjakan menghadap untuk mendjura dan
menghormatinja. Kini Kongtju tidak dirumah, segala apa harus minta keputusan
kepada Lothaythay". "Baiklah djika begitu," kata Tjiumoti. "Harap kau sampaikan kepada Lothaythay
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa Tjiumoti dari Turfan menjampaikan salam selamat kepada beliau."
"Ah, engkau terlalu baik, terima kasih, tentu akan kusampaikan pada Lothaythay,"
sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia kebelakang.
Diam2 Toan Ki membatin: "Nona ini sangat litjin dan djenaka, entah apa maksud
tudjuannja mempermainkan keledai gundul Tjiumoti ini?"
Selang tidak lama, terdengarlah suara berkeriat-keriut orang berdjalan, dari
dalam muntjul seorang nenek tua. Belum tiba orangnja bau harum jang sedap halus
tadi sudah tertjium oleh Toan Ki, maka ia mendjadi geli: "Ha, sekali ini dia
telah menjamar mendjadi njonja tua."
Tertampak njonja tua itu memakai kun dari sutera warna tjoklat, tangannja
memakai gelang kemala, gelungannja berhias aneka mutiara permata, dandanannja
agung terhormat, mukanja sudah berkeriput, matanja lapat2 seperti sudah kurang
penglihatannja. Mau-tak-mau Toan Ki harus memudji dalam hati akan kepandaian
menjamar orang, bukan sadja samarannja sangat persis, bahkan dapat dilakukan
dalam waktu singkat. Begitulah sambil ber-ingsut2 dengan tongkatnja njonja tua itu berdjalan ketengah
ruangan, lalu berkata: "A Pik, apakah sobat baik Loyamu telah datang" Kenapa
tidak mendjura padaku?" ~ Sembari berkata, kepalanja tampak menoleh kesana
kesini seperti lazimnja orang tua jang sudah pikun dan kurang penglihatannja.
A Pik memberi tanda kepada Tjiumoti dan membisikinja: "Lekaslah mendjura! Sekali
engkau sudah mendjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu
pasti akan diluluskan."
Njonja tua itu lantas miringkan kepalanja, tangannja terangkat ditepi telinga
seperti orang sedang mendengarkan sesuatu, lalu tanja keras2: "A Pik, kau
bitjara dengan siapa" Orang sudah mendjura belum?"
Maka berkatalah Tjiumoti: "Lothaythay, baikkah engkau" Siautjeng memberikan
salam hormat." ~ Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng kedua tangannja
mengerahkan tenaga hingga terdengarlah suara "dak-duk"
diatas lantai seperti kepala orang mendjura jang mem-bentur2 lantai.
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji, diam2 mereka terkesiap oleh
tenaga dalam sihwesio jang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka
berdua tidak mampu menangkis satu djurus serangannja.
Sementara itu sinjonja tua lantas manggut2 dan berkata: "Baik, baik, sangat
baik! Orang djahat didjaman ini memang terlalu banjak, djarang sekali ada orang
djudjur. Seumpama orang mendjura sadja toh sengadja pura2 segala, sudah terang
tidak mendjura, tapi sengadja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui
pandanganku jang sudah berkurang ini.
Ehm, engkau ini sangat baik, sangat penurut, keras sekali engkau mendjura ja."
Saking gelinja tak tertahan lagi Toan Ki tertawa mengekek.
Pelahan2 njonja tua itu menoleh dan menanja dengan pandangan matanja jang melajap2, lalu tanjanja: "A Pik, suara apa tadi" Apa ada orang kentut?" ~ Sambil
berkata, ia terus meng-kipas2 didepan hidungnja.
"Bukan orang kentut, Lothaythay," sahut A Pik menahan tawa. "Tapi Toan-kongtju
ini telah tertawa sekali."
"Toan" Apanja jang putus?" tanja sinenek.
"Bukan Toan artinja putus, Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongtju keluarga
Toan," sahut A Pik menerangkan.
"Ehm, Kongtju terus-menerus, memang jang kau ingat selalu Kongtju sadja," udjar
sinenek sambil manggut2. "Lothaythay sendiri masakah djuga tidak selalu terkenang pada Kongtjuya?" sahut
A Pik agak merah mukanja.
"Apa katamu" Kongtjuya kepingin makan djenang?" tanja sinenek.
"Ja, Kongtjuya kepingin makan djenang, bahkan lebih suka pula engkau punja kue
mangkok," sahut si A Pik.
Sudah tentu Toan Ki mengarti pertjakapan kedua orang itu bertjabang, maka ia
mendjadi lebih jakin lagi sinenek itu pasti samaran si A Tju.
Kemudian nenek itu memandang kearah Toan Ki dan berkata: "Kau botjah ini
berhadapan dengan orang tua mengapa tidak mendjura?"
"Lothaythay," sahut Toan Ki. "Ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan engkau, tapi
tidak enak kalau didengar orang lain."
"Kau bilang apa?" tanja sinenek sambil mendjulurkan kepalanja kedepan.
"Begini," kata Toan Ki. "Dirumah aku mempunjai seorang keponakan perempuan
ketjil, namanja A Tju, ia telah pesan padaku agar menjampaikan beberapa kata
kepada Lothaythay dari keluarga Bujung."
"Ah, semberono, semberono!" ber-ulang2 sinenek menggeleng kepala.
Namun Toan Ki melandjutkan pula dengan tertawa: "Keponakanku si A Tju itu memang
sembrono dan terlalu nakal. Dia paling suka menjaru seperti monjet, hari ini
menjaru monjet djantan, besok menjamar monjet betina, malahan pintar main
sunglap segala. Tapi sering kutangkap dia dan hadjar bokongnja."
Kiranja sinenek ini memang benar samaran si A Tju, temannja A Pik.
Kepandaiannja menjamar memang pintar luar biasa, bukan sadja wudjutnja mirip,
bahkan tutur kata dan gerak-geriknja dapat menirukan dengan tepat dan bagus
tanpa tjatjat sedikitpun. Sebab itulah maka orang sepintar Tjiumoti dan
sepengalaman Tjui Pek-khe djuga kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum jang
teruar dari badannja itulah dapat dibongkar rahasianja oleh Toan Ki.
Karuan sadja A Tju sangat terkedjut, namun lahirnja ia tetap tenang sadja,
katanja kemudian: "Anak baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah aku
melihat anak setjerdik engkau ini. Anak baik djangan usil, nanti Lothaythay
tentu memberikan kebaikan padamu."
Toan Ki pikir dibalik kata2 orang itu terang meminta agar dirinja djangan
membuka rahasianja, karena tudjuannja jalah untuk melajani sikeledai gundul
Tjiumoti, dan ia kebetulan sedang mentjari kawan untuk menjelamatkan diri.
Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas mendjawab:
"Lothaythay djangan kuatir, sekali Tjayhe sudah datang disini, segala apa aku
tentu menurut perintah Lothaythay."
Dasar A Tju itu memang sangat nakal, segera katanja pula: " Bagus, anak baik,
engkau benar2 anak penurut sekali. Nah, sekarang lekaslah engkau mendjura tiga
kali kepada Lothaythay, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu."
Toan Ki melengak. Kurangadjar, pikirnja. Masakah seorang putera pangeran jang
diagungkan dari negeri Tayli disuruh mendjura kepada budak ketjil"
Melihat sikap Toan Ki ragu2 dan serba susah, A Tju tertawa dingin, katanja: "Ada
manusia jang sudah dekat adjalnja, tapi masih sombong dan angkuh luar biasa.
Anak baik, ingin kukatakan padamu, pastilah takkan merugikan engkau djika
mendjura beberapa kali kepada nenekmu ini."
Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan bersenjum-simpul sedang melirik
padanja, kulit badannja jang putih bersih itu bagai buah manggis segar jang baru
dibuka, udjung mulutnja terdapat setitik andeng2 ketjil menambah ketjantikannja
jang menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia menanja: "Entji Apik, katanja
engkau masih mempunjai seorang teman entji A Tju. Apakah dia ................
dia setjantik molek engkau?"
"Ai, ai, rupaku jang djelek melebihi siluman ini mana berani dibandingkan entji
A Tju," sahut A Pik dengan tersenjum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan,
kalau entji A Tju mendengar pertanjaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah
bahwa entji A ju itu berpuluh kali lebih aju daripadaku."
"Apa betul?" Toan Ki Menegas.
"Guna apa aku mendustai kau?" sahut A Pik tertawa.
"Berpuluh kali lebih tjantik dari kau, didunia ini tentu takada lagi", udjar
Toan Ki, "Ja, ketjuali .............. ketjuali sidewi didalam gua.
Asal setjantik engkau sudah susah ditjari orangnja."
Wadjah A Pik mendjadi ke-merah2an, katanja dengan malu2 kutjing: "Kau disuruh
mendjura kepada Lothaythay, tidak perlu kau memudja-pudji diriku."
"Wah dimasa mudanja, Lothaythay pasti djuga seorang wanita maha tjantik,' kata
Toan Ki pula. "Untuk bitjara terus terang, merugikan atau tidak kepadaku sama sekali tak
kupikirkan, tapi disuruh mendjura kepada wanita maha tjantik, aku benar2 suka
dan rela." ~ Habis berkata, benar sadja ia terus berlutut sambil berkata dalam
hati: "Djika sudah mau mendjura, maka harus jang keras sekalian. Memangnja aku
sudah pernah mendjura beratus kali kepada patung dewi didalam gua itu, apa
halangannja kalau kini tjuma mendjura tiga kali kepada wanita tjantik di
Kanglam?" ~ Lalu iapun mendjura tiga kali sampai kepalanja membentur lantai.
Dalam hati A Tju sangat girang, pikirnja: " Kongtjuya ini terang sudah tahu
kalau aku tjuma seorang pelajan, tapi toh sudi mendjura padaku, sungguh susah
ditjari orangnja," ~ Maka katanja kemudian: "Ehm, anak baik, pintar sekali kau.
Tjuma sajang aku tidak membawa uang retjeh untuk djadjan engkau..."
"Sudahlah asal Lothaythay djangan lupa, kasihlah lain kali bila ketemu lagi,"
sela A Pik tiba2. A Tju melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pekkhe dan Gan-tji: "Dan kedua tamu ini mengapa tidak mendjura djuga kepada nenek?"
Gan-tji mendengus dengan gusar, serunja keras2: "Kau dapat ilmu silat atau
tidak?" "Kau berkata apa?" A Tju menegas.
"Kutanja engkau bisa ilmu silat atau tidak?" Gan-tji mengulangi."Djika berilmu
silat tinggi, biarlah orang she Ko ini terima kematian dibawah tangan Lohudjin
(njonja tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, akupun tidak perlu banjak omong
dengan engkau." A Tju menggeleng kepala, katanja berlagak pilon: " Kau berkata tentang ulat atau
lalat apa segala. Ulat tidak ada disini, kalau lalat sih banjak. Idiiiih kotor
ah!" ~ Lalu iapun berpaling kepada Tjiumoti: "Toahweshio, katanja engkau hendak membongkar
huburannja Bujung-siansing, sebenarnja engkau ingin mentjuri benda mestika apa dikuburannja?"
Tjiumoti sudah dapat melihat djuga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan
pura2 tuli, tjuma belum tahu kalau A Tju sebenarnja seorang gadis tjilik telah
menjaru sebagai seorang tua. Maka diam2 ia bertambah waspada, ia pikir: "Bujungsiansing sadja sudah begitu lihay, angkatan tua dirumahnja tentu lebih hebat
lagi." Maka ia sengadja pura2 tidak dengar tentang pertanjaan tadi tapi mendjawab:
"Siautjeng adalah sobat baik Bujung-siansing, karena mendengar berita wafatnja,
djauh2 dari negeri Turfan datang kemari sekedar memberi salam terachir
kepadanja. Waktu almaarhum masih hidup, Siautjeng pernah berdjandji akan
mengambilkan gambar Lak-meh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk
dipersembahkan kepada Bujung-siansing. Selama djandji itu belum terpenuhi,
sungguh Siau-tjeng merasa sangat malu."
Mendengar kata2 "Lak-meh-sin-kiam-boh" itu seketika A Tju terkesiap. Ia tahu
ilmu silat itu bukan sembarangan, dirinja djuga belum lama dapat mendengar dari
Kongtju. Ia saling pandang sekedjab dengan A Pik dan sama2
berpikir sihwesio itu sudah mulai membitjarakan atjara pokoknja.
Maka sahut A Tju: " Ada apa tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?"
"Begini," tutur Tjiumoti, "Dahulu Bujung-siansing berdjandji pada Siautjeng asal
dapat mengambilkan Lak-meh-sn-kiam-boh untuk dibatjanja barang beberapa hari,
sebagai timbal-baliknja beliau membolehkan Siautjeng membatja kitab2nja beberapa
hari dipondok 'Lang-goan-tjui-kok'
dikediaman kalian ini."
A Tju terkedjut, ternjata paderi asing itu kenal nama "Lang-goan-tjui-kok" atau
pondok air indah, mungkin apa jang dikatakan itu memang benar2
adanja. Tetapi ia tetap berlaga pilon dan menanja pula: "Kau bilang
'Lang-goan-tjui-kok' apa" O, kau kepingin makan kue mangkok" Itulah mudah,
dirumah kami selalu sedia kue mangkok."
Tjiumoti benar2 kewalahan, ia berpaling dan berkata kepada A Pik:
"Lothaythay ini entah benar2 sudah pikun atau tjuma berlaga pilon. Jang terang
sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di
Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh
sini. Mengingat Siautjeng pernah bersobat dengan Bujung-siansing maka sebenarnja
bermaksud mentjurahkan sedikit tenagaku jang tak berarti itu untuk membantunja.
Tapi Lothaythay sedemikian sikapnja, sungguh membikin hati orang mendjadi
dingin." A Tju sama sekali tidak gubris utjapannja itu, ia malah berseru kepada A Pik:
"He, A Pik, kau dengar tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lengkaslah kau
membuat kue mangkok jang hangat2 untuknja."
"Gulanja belum beli, Lothaythay," sahut A Pik dengan menahan geli.
"Pakailah gula batu,"kata A Tju."Tepungnja habis, Lothaythay!" sahut A Pik pula.
"Wah, aku benar2 sudah pikun, lantas bagaimana baiknja?" udjar A Tju achirnja.
Dasar anak gadis Sohtjiu memang terkenal lintjah dan pintar bitjara, pula kedua
dajang tjikik ini se-hari2 sudah biasa bergurau dan saling ber-olok2, keruan
tingkah laku mereka ini membuat Tjiumoti benar2 mati kutu. Maksud kedatangannja
ke Sohtjiu ini memangnja berharap dapat berdjumpa dengan Bujung-kongtju untuk
berunding sesuatu urusan penting.
Siapa duga orang jang ditjari tidak ketemu, sebaliknja masih bertemu dengan
orang2 jang mengotjeh tak keruan hingga membuatnja bingung.
Namun Tay-lun-beng-ong ini benar2 satu tokoh jang hebat, sedikit memikir, segera
ia jakin Bujung-lothaythay, Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengadja
meritanginja agar tidak dapat masuk perpustakaan
"Lang-goan-tjui-kok" untuk membatja. Kini tidak peduli lagi mereka berlagak
apapun djuga, asalkan sudah dikemukakan dengan kata2, kelak apakah mesti pakai
kekerasan atau setjara halusan, dirinja sendiri sudah lebih dulu dipihak jang
benar. Maka dengan sabar dan ramah iapun berkata: "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu
sekarang djuga sudah Siautjeng bawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan
pergi membatja ke 'Lang-goan-tjui-kok'."
"Bujung-siansing sudah wafat kini," kata A Pik. "Pertama djandji lisan itu tak
berbukti. Kedua, meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorangpun
diantara kami jang paham. Maka sekalipun dahulu ada perdjandjian apa2, dengan
sendirinja sudah batal."
Namun A Tju lantas berkata: "Kiam-boh apakah itu" Dimana" Tjoba kulihat dulu
apakah tulen atau palsu!"
"Toan-kongtju ini telah apal semua lukisan Lak-meh-sin-kiam itu," sahut Tjiumoti
sambil menundjuk Toan Ki. "Kini telah kubawanja kemari, maka sama sadja seperti
kubawa gambar2 aslinja."
"Huh, kukira Kiam-boh apa segala, kiranja Taysuhu tjuma bergurau sadja," djengek
A Pik. "Siautjeng mana berani sembarangan bergurau?" sahut Tjiumoti sungguh2.
"Lak-meh-sin-kiam-boh jang asli itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liongsi, sjukur Toan kongtju ini telah dapat mengapalkan seluruh isinja denga baik".
"Sekalipun Toan-kongtju benar2 apal, itupun adalah urusannja Toan-kongtju
sendiri," udjar A Pik. "Dan andaikan mesti pergi ke Lang-goan-tjui-kok, jang
benar djuga Toan-kongtju jang pantas kesana. Apa sangkutpautnja dengan Taysu?"
"Untuk memenuhi djandji Siautjeng dahulu itu, Siautjeng ingin membakar Toankongtju ini dihadapan makamnja Bujung-siansing," kata Tjiumoti.
Keruan Semua orang terperandjat oleh utjapan itu. Tapi melihat sikap paderi itu
sungguh2 dan sekali2 bukan berkelakar, kedjut merka mendjadi lebih hebat.
Maka berkatalah A Tju: "Ha, bukankah Taysu ini sedang bergurau" Masakah seorang
baik2 akan kaubakar hidup2?"
"Ja, Siautjeng hendak membakarnja, rasanja iapun takkan mampu membangkang,"
sahut Tjiumoti dengan tawar.
Segera A Pik berkata pula: "Taysu bilang Toan-kongtju telah apal semua isi Lakmeh-sin-kiam-boh, njata alasanmu ini sengadja di-tjari2 sadja.
Pikirlah betapa lihaynja ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar2 Toan-kongtju
mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?"
"Ja, benar djuga utjapanmu ini," sahut Tjiumoti. "Tapi nona tjuma tahu kepalanja
tidak tahu ekornja. Toan-kongtju justeru telah kututuk Hiat-to jang penting,
antero tenaga dalamnja tak dapat dikeluarkannja."
Nomun A Tju masih menggeleng kepala, katanja: "Lebih2 aku tidak pertjaja pada
alasanmu ini. Untuk membuktikan kebenarannja, tjoba kau melepaskan Hiat-to Toankongtju dan suruhlah dia memainkan Lak-meh-kiam-hoat itu. Tapi kujakin 99%
engkau pasti bohong."
Tjiumoti manggut2, sahutnja: "Baiklah, boleh djuga ditjoba!"
Kiranja waktu datang tadi, karena kesemsem oleh ketjantikan A Pik, pula sangat
tertarik oleh njanjiannja jang merdu, maka Toan Ki telah memberi pudjian kepada
dajang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula mendjura tiga kali kepada A Tju, hal
inipun memperoleh simpatik dajang ini.
Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Tjiumoti, segera kedua dajang tjilik
itu sengadja menipu paderi itu supaja melepaskan Hiat-tonja Toan Ki.
Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima setjara mudah oleh Tjiumoti.
Segera paderi itu men-tepuk2 beberapa kali didada, paha dan pundaknja, lalu Toan
Ki merasa djalan darahnja lantas lantjar kembali, sedikit ia mengerahkan hawa
murninja, terasalah bergerak dengan sempurna.
Ia mentjoba mendjalankan tenaga menurut Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sinkiam itu, ia tarik tenaga dalamnja ke Tiong-tjiong-hiat didjari tengah kanan,
maka terasalah djari itu sangat panas, ia tahu asal sekali djarinja menuding
kedepan, djadilah sedjurus tusukan pedang jang lihay.
"Toan-kongtju," demikian Tjiumoti lantas berkata, "Bujung-lothaythay tidak
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertjaja engkau sudah mahir Lak-meh-sin-kiam, maka silahkan engkau
mempertundjukannja. Begini, seperti aku menabas sebatang ranting pohon Kui ini."
Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus memotong miring kedepan
dengan penuh tenaga dalam jang hebat. Itulah satu djurus jang lihay dari "Hweyam-to". Maka terdengarlah suara "krak" sekali, sebatang ranting pohon jang
tjukup besar dan berada dipelataran sana tahu2 telah patah sendiri.
Saking kagetnja sampai Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjerit. Meski sebelumnja
mereka tahu ilmu paderei asing itu sangat lihay lagi aneh, tapi mereka pertjaja
palinng2 djuga tjuma sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi
menjaksikan betapa tinggi Lwekangnja jang digunakan untuk menabas ranting pohon
dari djauh itu, barulah mereka sadar telah salah sangka.
Maka Toan Ki berkata sambil menggojang kepala: "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat
apa2, lebih2 tidak tahu tentang Lak-meh atau Tjhit-meh-kiam-hoat segala. Batang
pohon orang jang indah itu kenapa engkau rusak tanpa sebab?"
"Kenapa Toan-kongtju mesti merendah diri," sahut Tjiumoti. "Diantara djago2
Toan-si di Tayli, engkaulah tokoh nomor satu. Didunia ini ketjuali Bujungkongtju dan aku sihewshio mungkin tiada seberapa orang lagi jang mampu
menandingi engkau. Tapi keluarga Bujung di Koh-soh ini adalah gudangnja ilmu
silat didunia ini, bila kau suka pertudjukan beberapa djurus, kalau ada salah,
boleh djadi Lothaythay nanti akan memberi petundjuk2 seperlunja, bukankah hal
itu nanti akan menguntungkan kau?"
"Toahweshio, sepandjang djalan kau terlalu kasar padaku, kau telah membanting
dan menjeret aku kesini, untuk mana aku mandah sadja diperlakukan sesukamu
Telapak Setan 10 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Pedang Naga Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama