Ceritasilat Novel Online

Pendekar Negeri Tayli 3

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 3


siwanita badju hitam dengan tadjam. Djing-siong Todjin, kaupun datang mentjari
perkara padaku, apa orang Ban-djiat-kok djuga tahu"
Wadjah seorang imam berdjenggot ubanan rada berubah, sahutnja: Tudjuanku adalah
membalas dendam murid, apa sangkut-pautnja dengan Ban-djiat-kok"
Ingin kutanja, sebelumnja kau telah minta bantuan Hiang-yok-djeh atau tidak"
tanja siwanita. Imam itu mendjadi gusar, sahutnja: Sekian banjak tokoh2 terkemuka berkumpul
disini masakan masih belum bisa memberesi kau"
Djawabanmu terus memutar, tentu kau sudah pernah minta bantuan Hiang-yok-djeh,
kata wanita badju hitam. Dan kau ternjata bisa keluar lagi dari Ban-djiat-kok
dengan selamat, boleh dikata redjekimu tidak ketjil.
Aku toh tidak masuk ke Ban-djiat-kok, siapa bilang aku telah datang kesana"
sahut Djing-siong Todjin.
Ehm, djika begitu, tentunja kau telah kirim seorang lain kesana sebagai
penghantar djiwa, kata wanita itu meng-angguk2.
Sekilas wadjah Djing-siong Todjin merasa malu, segera ia berteriak: Marilah kita
tentukan dengan sendjata, kenapa banjak mulut"
Menjaksikan pertjakapan wanita badju hitam dengan orang2 itu, Toan Ki dapat
melihat bahwa rombongan Tjin Goan-tjun itu masih belum pasti diatas angin, kalah
atau menang baru bisa diketahui sesudah bertanding. Tapi dari nada Djing-siong
Todjin tadi, terang imam itu sangat djeri pada siwanita badju hitam. Diam2 Toan
Ki sangat heran, orang2 itu berulang-kali menantang, tapi tetap tiada seorangpun
jang berani mulai bergebrak.
Tiba2 terdengar siwanita badju hitam berkata pada Toan Ki.
Hai orang she Toan, sekian banjak orang2 ini hendak mengerojok diriku, menurut
kau, bagaimana baiknja. Simawar hitam berada diluar, udjar Toan Ki. Kalau kau bisa terdjang keluar dari
kepungan, lekas kau menunggangnja melarikan diri. Teramat tjepat lari binatang
itu, pasti mereka tak mampu menjusul kau.
Lalu bagaimana dengan kau sendiri" tanja wanita itu.
Selamanja aku tidak kenal mereka, tiada dendam takada sakit hati, boleh djadi
mereka takkan bikin susah padaku kata Toan Ki.
Wanita badju hitam itu tertawa dingin, katanja: Hm, djika mereka suka pakai
aturan, tentunja aku takkan dikerojok orang sebanjak ini. Djiwamu sudah pasti
akan melajang. Pabila aku bisa lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu"
Toan Ki mendjadi sedih, sahutnja kemudian: Ada seorang nona Tjiong telah ditawan
oleh Sin-long-pang di Bu-liang-san, ibunja memberikan kotak emas ini kepadaku
suruh kusampaikan pada ajahku agar bisa diusahakan menolong nona itu,
Dji........ djikalau nona dapat lolos, harapanku adalah sudilah laksanakan
tugasku ini, untuk maka aku merasa sangat terima kasih. sembari berkata, ia
melangkah madju dan mengangsurkan kotak emas itu.
Kini djaraknja dibelakang wanita badju hitam itu hanja setengahan meter sadja,
tiba2 hidungnja mengendus sematjam bau wangi jang mirip bunga anggrek, tapi
bukan anggrek, seperti mawar, tapi bukan mawar, meski bau harum itu tidak
terlalu keras, namun membuat orang merasa pusing, tubuh Toan Ki mendjadi
sempojongan sedikit. Wanita itu ternjata tidak menerima kotaknja itu, tapi menanja: Kabarnja nona
Tjiong itu sangat tjantik, apakah ia kekasihmu"
Bukan, bukan! sahut Toan Ki tjepat. Nona Tjiong masih terlalu muda, lintjah dan
ke-kanak2an, mana..... mana bisa timbul maksudku jang tak senonoh itu"
Baru sekarang wanita itu ulur tanganja kebelakang utk mengambil kotak emas jang
diangsurkan Toan Ki itu. Pemuda itu melihat tangan siwanita memakai sarung
tangan sutera hitam hingga sedikitpun tidak kelihatan kulit badannja.
Pelahan2 wanita itu masukan kotak emas itu kedalam badjunja, lalu berkata:
Djing-siong Todjin, lekas enjah dari sini!
Ap...... apa katamu" imam itu menegas dengan tak lantjar.
Kau enjah keluar, harini aku tidak ingin bunuh kau, kata siwanita.
Mendadak Djing-siong Todjin mengangkat pedangnja dan membentak: Kau mengotjeh
apa segala" tapi suaranja gemetar, entah saking gusar, entah apakah karena
ketakutan" Kau tahu tidak bahwa memandang muka Sumoaymu, maka aku sudi mengampuni djiwamu.
kata siwanita badju hitam lagi. Nah, lekas enjah!
Wadjah Djing-siong Todjin seputjat majat, pelahan2 pedangnja menurun kebawah.
Mendengar kata2 wanita badju hitam itu sangat kasar dan membentak Djing-siong
Todjin enjah dari situ, Toan Ki menjangka imam itu pasti akan murka, siapa tahu
wadjah imam itu tampak ragu2 sebentar, lalu tampak djeri pula, sekonjong2
pedangnja djatuh kelantai, ia tutup mukanja dengan dua tangan terus lari keluar.
Tapi sial baginja, baru tangan hendak mendorong pintu, sinenek jang duduk
disamping Tjin Goan-tjun tadi telah ajun tanganja, sebilah Hui-to atau pisau
terbang melajang tjepat dan tepat mengenai punggung Djing-siong Todjin. Tanpa
ampun lagi imam itu terdjungkal, setelah merangkak beberapa tindak lagi, achirnja terkapar
binasa. Toan Ki mendjadi gusar, teriaknja: Hai, Lothaythay (nenek tua), imam itu adalah
kawanmu, kenapa mendadak kau turun tangan kedji"
Dengan lojo nenek itu berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang siwanita
badju hitam, utjapan Toan Ki itu seperti tak didengarnja.
Seketika kawan2nja djuga siap siaga untuk mengerubut serentak, asal sekali
diberi komando, kontan wanita badju hitam pasti akan di-tjatjah2
mereka. Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa penasaran, bentaknja keras2:
Hai, kalian semua laki2 mau mengerubut seorang wanita lemah, dimanakah letaknja
keadilan ini" Segera iapun melangkah madju hingga wanita badju hitam dihadang
dibelakangnja, lalu membentak pula: Hajo, kalian masih berani turun tangan"
Meskipun sedikitpun Toan Ki tidak bisa silat, tapi gagah perkasa dengan semangat
banteng jang tak gentar pada siapapun.
Djadi saudara sudah pasti ingin ikut tjampur urusan ini" dengan kalem Tjin Goantjun menanja. Ja, teriak Toan Ki. Aku melarang kalian main kerojokan, menganiaja seorang
wanita lemah. Hubungan pamili apa saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga
kau berani ikut tjampur urusan ini" tanja Tjin Goan-tjun lagi.
Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, tjuma segala apa didunia ini tidak
terlepas dari keadilan, maka kunasihatkan kalian suka sudahi urusan ini,
mengerojok seorang gadis lemah, terhitung orang gagah matjam apa"
sahut Toan Ki tegas. Lalu ia membisiki siwanita badju hitam: Lekas nona lari,
biar kurintangi mereka. Wanita itupun mendjawab dengan suara lirih: Djiwamu melajang demi membela
diriku, apa kau tidak menjesal"
Biar mati tidak menjesal, sahut Toan Ki
Kau benar2 tidak takut mati" Tetapi...... mendadak suara wanita itu
diperkeras: ...... kau sedikitpun tak bertenaga, masih kau berlagak kesatria
gagah" ~ se-konjong2 ia kebas tangannja, dua tali berwarna tahu2
melajang hingga kedua tangan dan kedua kaki Toan Ki terikat dengan kentjang.
Berbareng pada saat itu djuga, sebelah tangan lain siwanitapun mengajun berulang
kali, Toan Ki hanja mendengar suara gemerantang dan gedubrakan beberapa kali,
disana-sini sudah beberapa orang djatuh terdjungkal, menjusul sinar sendjata
gemerlapan menjilaukan mata, lalu pandangan mendjadi gelap, antero lilin didalam
ruangan telah dipadamkan semua oleh orang. Toan Ki merasa tubuhnja terapung seakan2 terbang dibawa seseorang.
Kedjadian2 itu datangnja terlalu tjepat hingga sekedjap itu Toan Ki tidak tahu
dirinja sudah berada dimana. Hanja terdengar sekeliling ramai dengan bentakan
orang: Djangan beri lolos perempuan hina itu! ~ Djangan takut pada panah
beratjunnja! ~ Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to! ~
menjusul terdengar pula suara gemerintjing jang ramai, banjak sendjata resia
terbentur djatuh. Ketika Toan Ki merasa badannja terguntjang lagi, menjusul suara derap kuda
berlari, njata dirinja sudah berada diatas kuda, tjuma kaki-tangannja terikat,
sedikitpun takbisa berkutik. Ia merasa tengkuknja bersandar dibadan seseorang,
hidung mengendus bau wangi, njata itulah bau harum jang teruar dari badan
siwanita badju hitam. Suara derapan kuda ber-detak2, enteng tapi anteng, suara bentak kedjar musuh
makin lama sudah makin ketinggalan djauh di belakang.
Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itupun hitam semua, ditambah
dimalam pekat dengan bau wangi semerbak, suasana mendjadi agak seram.
Sekaligus Oh-bi-kui alias simawar hitam berlari sampai beberapa li djauhnja.
Achirnja Toan Ki berseru: Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap
lekas lepaskan aku. Wanita itu mendengus sekali tanpa mendjawab.
Karena kaki-tangannja terikat, setiap kali kuda itu mentjongklang, tali pengikat
bertambah kentjang, makin lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanja
mendjulai kebawah hingga mirip orang digantung, Toan Ki mendjadi pening tak
tertahan. Maka serunja lagi: Nona, lekas lepaskan aku!
Plak, mendadak ia dipersen sekali tempilingan, dengan dingin wanita itu berkata:
Djangan tjerewet, tahu" Nona tidak tanja, dilarang kau bitjara!
Sebab apa" teriak Toan Ki mendjadi gusar.
Plak, plak, kembali ia digampar dua kali terlebih keras dari tadi, karuan Toan
Ki merah begap mukanja, telinganja sampai mendenging hampir2
pekak. Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia berteriak pula: Sedikit2
kenapa kau pukul orang" Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau.
Mendadak Toan Ki merasa tubuhnja terapung, tahu2 sudah terbanting ditanah oleh
wanita badju hitam itu, tapi anggota badannja masih terikat, bahkan udjung lain
dari tali pengikat itu masih dipegang oleh wanita itu hingga badan Toan Ki
terseret ditanah oleh Oh-bi-kui.
Wanita itu membentak tertahan suruh Oh-bi-kui berdjalan pelahan, lalu tanjanja
pada Toan Ki: Kau menjerah tidak sekarang" Mau dengar perintahku tidak"
Tidak, tidak! gembor Toan Ki. Tadi meski terantjam mati sadja aku tidak gentar,
apalagi sekarang hanja disiksa begini" Aku......
Sebenarnja ia ingin bilang: Aku tidak takut, tapi kebetulan waktu itu badannja
jang terseret ditanah itu membentur djalan jang tidak rata hingga kata2nja itu
terputus. Kau takut, bukan" kata siwanita badju hitam dengan dingin. Segera ia tarik
talinja hingga Toan Ki terangkat keatas kudanja lagi.
Aku takut apa" sahut Toan Ki. Lekas lepaskan aku!
Hm, dihadapanku, tiada seorangpun ada hak bitjara, kata wanita itu. Aku djusteru
hendak siksa kau, biar kau mati tidak, hidup tidak, masakan hanja sedikit
siksaan begini sadja" Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ketanah dan
diseret pula. Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnja: Semua orang tadi memaki dia sebagai
perempuan hina, njatanja ada benarnja djuga ~ Segera ia berseru pula: Lekas
lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho.
Kalau berani, boleh tjoba kau memaki, sahut wanita itu.Selama hidupku ini
memangnja aku sudah kenjang ditjatji-maki orang.
Mendengar kata2 orang jang terachir itu diutjapkan dengan nada penuh rasa sesal
dan derita, tjatji-maki Toan Ki jang sudah hampir dilontarkan itu mendjadi urung
dikeluarkan, hatinja mendjadi lemas.
Menunggu sekian saat tidak mendengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula:
Hm, masakan berani kau memaki!
Tidak berani" seru Toan Ki mendongkol. Aku mendjadi kasihan padamu, maka tidak
tega memaki. Emangnja kau kira aku takut padamu"
Wanita itu tidak gubrisnja lagi, mendadak ia bersuit mempertjepat kudanja,
segera Oh-bi-kui mentjongklang pesat kedepan. Karuan jang pajah adalah Toan Ki,
badannja ter-gosok2 oleh batu pasir tadjam hingga babak-belur dan berdarah
mengutjur. Kau menjerah atau tidak" seru siwanita.
Dengan keras Toan Ki memaki malah: Kau perempuan galak jang tak kenal baikdjelek ini! Memangnja aku adalah perempuan galak, tak perlu kau katakan, akupun tahu
sendiri. sahut wanita itu.Dan dimana aku tidak kenal baik-djelek segala"
Aku....... aku bermak........ bermaksud baik padamu....... mendadak kepala Toan
Ki membentur sepotong batu ditepi djalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri
lagi. Entah sudah lewat berapa lamanja, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanja
dingin2 segar, ia mendjadi siuman, menjusul terasa air merembes masuk kedalam
mulut, tjepat ia tutup napasnja, namun sudah tak keburu lagi, ia ter-batuk2
sesak. Dan karena batuknja itu, air masuk lebih banjak lagi kedalam mulut dan
hidungnja. Kiranja dia diseret oleh siwanita badju hitam ditanah, ketika mengetahui Toan Ki
djatuh pingsan, wanita itu sengadja keprak kudanja menjeberangi sebuah sungai
ketjil, karena terendam air, Toan Ki lantas sadar. Untung sungai itu sangat
ketjil, sekali melangkah, simawar hitam sudah menjeberang kesana.
Dengan badju basah kujup, perutnja kembung pula tertjekok air sungai, ditambah
memangnja badan babak-belur, karuan Toan Ki merasa sakit antero badannja.
Sekarang kau menjerah tidak" kembali wanita badju hitam itu menanja.
Sungguh susah dipahami bahwa didunia ini ada wanita sewenang2 seperti ini,
demikian pikir Toan Ki. Memangnja aku sudah tertjengkeram dibawah tangannja,
banjak bitjara djuga pertjuma.
Karena itu, beberapa kali siwanita badju hitam menanja: Kau menjerah tidak"
Sudah tjukup tahu rasa belum" ~ Namum Toan Ki tetap tak menggubrisnja, anggap
tidak dengar sadja. Wanita itu mendjadi gusar, damperatnja: Apa kau sudah tuli" Kenapa tidak djawab
pertanjaanku" Tetap Toan Ki tak gubris padanja.
Mendadak wanita itu tahan kudanja, ingin lihat apakah Toan Ki sebenarnja sudah
sadar atau belum. Tatkala itu sang surja sudah mengintip diufuk timur dengan tjahajanja jang
remang2, maka wanita itu dapat melihat djelas kedua mata Toan Ki terpentang
lebar lagi mendelik padanja dengan gusar.
Wanita itu mendjadi murka, damperatnja pula: Bagus, djadi kau tidak pingsan,
tapi sengadja main gila dengan aksi. Baiklah, mari tjoba2 kita adu kebandelan,
apa kau lebih lihay atau aku lebih kedjam"
Terus sadja ia melompat turun dari kudanja, dengan enteng ia melompat keatas
untuk mendapatkan sepotong ranting pohon, plek, segera ia sabet sekali dimukanja
Toan Ki. Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia lihat
muka orang berkerudung selapis kain hitam tebal, hanja dua lubang matanja tampak
sepasang bidji matanja jang hitam bersinar bagai kilat tadjamnja. Toan Ki
tersenjum, katanja dalam hati: Kau ingin aku mendjawab pertanjaanmu, hm, mungkin
lebih sulit daripada naik kelangit.
Dalam keadaan begini, masih kau bisa tersenjum" Apa jang kau gelikan"
maki wanita itu. Tapi Toan Ki sengadja meng-imik2 pula dengan muka badut, lalu tertawa lagi.
Plak-plek, plak-plek, kembali wanita itu menghudjani sabetan beberapa kali.
Namun Toan Ki sudah tak pikirkan djiwanja lagi, tetap ia tinggal diam. Tjuma
tjara menghadjar wanita itu sangat kedji, setiap kali, sabetannja pasti mengenai
tempat Toan Ki jang paling sakit, saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki
hampir2 mendjerit, tapi sjukur ia masih bisa mengekang diri.
Melihat pemuda itu demikian bandel, setelah merenung sedjenak, segera wanita itu
berkata: Baik, kau pura2 tuli, biar kubikin kau benar2
mendjadi tuli! ~ terus sadja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinarnja jang
gemerlapan, pelahan2 wanita itu mendekati Toan Ki. Ia angkat belatinja dan
atjungkan telinga kiri pemuda itu sambil membentak: Kau dengar kata2ku tidak"
Apa kau tidak inginkan daun kupingmu ini"
Masih tetap Toan Ki tak gubris, sinar mata wanita itu menjorot beringas, selagi
belatinja diangkat hendak disajatkan kekuping Toan Ki, tiba2 ditempat sedjauh
belasan tombak sana ada orang membentak: Perempuan hina, kau akan mengganas
lagi, ja" suaranja lantang berwibawa.
Tjepat wanita itu angkat tali pengikatnja hingga tubuh Toan Ki tergantung diatas
sebuah dahan pohon. Waktu menoleh, Toan Ki melihat orang jang bersuara itu
adalah seorang laki2 tinggi besar, bertangan kosong, pinggang terselip sebuah
golok. Laki2 itu tidak lari, tapi tahu2
sudah sampai didepan mereka, tjepatnja bukan main.
Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat, berbadju pendek warna kuning,
bermuka lebar, kedua kaki dan tangannja djauh lebih pandjang daripada orang
biasa, usianja sekira 30-an tahun, kedua matanja bersinar tadjam.
Tentunja kau inilah Kim Tay-peng" tegur wanita tadi. Orang bilang ilmu Ginkangmu
sangat hebat, tapi, hm, kalau aku sepandjang djalan tidak menanjai botjah ini
hingga djalanku terlambat, rasanja kaupun tak mampu menjusul aku.
Dan kalau bukan ada urusan lain hingga aku terlambat datang satu djam, rasanja


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaupun takkan bisa lolos. sahut laki2 itu ketus.
Dan sekarang kau sudah dapat menjusul aku, kata siwanita. Kim Tay-peng, mau apa
kau sekarang" Pendjual obat, Ong-lohan, dikota Sengtoh itu kau jang membunuhnja, bukan" tanja
laki2 itu. Kalau benar, mau apa" sahut siwanita.
Ong-lohan adalah sobatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnja tidak
pernah berbuat djahat, sebab apa hingga kau membunuhnja"
Sebabnja" sahut wanita itu. Hm, ada orang terkena panahku jang berbisa, Onglohan sengadja tampil ke muka untuk mengobatinja, hal ini kau tahu tidak"
Mendjual obat menjembuhkan orang, memang kewadjiban Ong-lohan kata Kim Tay-peng.
Sekonjong-konjong terdengar suara mendesis pelahan sekali, menjusul suara tjring
sekali. pula, sebatang panah ketjil telah menantjap di samping kaki Kim Taypeng. Pandjang panah itu hanja belasan senti, hampir anteronja amblas ke dalam
tanah. Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun masukkan goloknya ke dalam sarung
jang tergantung di pinggan.gnja.
Kiranja dalam sekedjapan itu sadja wanita itu sudah menjerang Kim Tay-peng
dengan panah, tapi Kim Tay-peng sempat tjabut golok untuk menangkis.
Njata, diam-diam ke dua orang sudah saling gebrak sedjurus.
Tjepat djuga gerakanmu, ja" kata si wanita.
Kaupun tidak lambat, sahut Kim Tay-peng.
Njata, nama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing memang bukan omong kosang.
Toan Ki terperandjat mendengar nama itu, tjepat ia berteriak: Ai, kau salah,
Kim-heng, dia bukan Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing!
Darimana saudara tahu" tanja Kim Tay-peng.
Kukenal Bok Wan-djing dengan baik, Bok Wan-djing adalah Tjiong-hudjin, tapi
perempuan djahat ini adalah seorang nona, kata Toan Ki.
Sekilas wadjah Kim Tay-peng tampak heran, katanja: Djadi Hiang-yok-djeh sudah
kawin" Entah orang she Tjiong mana jang sial itu.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis dua kali, dua batang sendjata rahasia djatuh
semua di pinggir Toan Ki, jang satu adalah panah ketjil warna hitam, jang lain
adalah sebuah mata uang. Di tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu
menantjap di tengah lubang itu.
Kiranja wanita itu telah menjambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim
Tay-peng sempat timpukkan mata uang itu hingga djiwa Toan Ki tertolong. Melihat
itu, barulah Toan Ki insaf barusan djiwanja telah berpiknik ke pintu gerbang
achirat, untung bisa balik lagi, ia dengar wanita itu bertanja dengan gusar:
Siapa bilang aku Bok Wan-djing sudah kawin" Setiap laki-laki di djagat ini tiada
seorangpun yang baik, siapa orangnja jang setimpal untuk mendjadi suamiku"
Ja, agaknja saudara ini telah salam paham. udjar Kim Tay-peng.
Mendengar wanita badju hitam itu mengaku sebagai Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing,
si kuntilanak berbau harum, Toan Ki pikir di balik itu tentu ada sesuatu jang
tak beres, sekalipun nona ini ganas dan djahat, rasanja tidak nanti sudi mengaku
sebagai isteri orang. Maka katanya: Betul djuga utjapan Kim-heng, jang kutahu
ialah isterinja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu jang bernama Bok Wan-djing.
Tjis, djadi perempuan keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-djeh
Bok Wan-djing" teriak wanita badju hitam dengan gusar.
Kim-heng, kata Toan Ki, Tjiong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa,
dengan nona badju hitam ini benar-benar suatu pasangan setimpal.
Baru selesai utjapannja itu, tiba-tiba sinar hidjau berkelebat di depan matanja,
sesuatu sendjata telah membatjok ke arahnja. Dalam keadaan terikat dan
tergantung, dengan sendirinja Toan Ki tak bisa menghindar, namun biar dia bisa
bergerak dan bersendjata sekalipun, tentu djuga susah menghindari serangan kilat
itu. Maka dengan pedjamkan mata, ia sudah pasrah nasib.
Mendadak terdengarlah suara gemerantang beberapa kali, sendjata nona badju hitam
itu ternjata tidak sampai di tubuhnja. Ketika membuka mata, ia lihat di depan
sana sesosok bajangan hitam dan segulung kabut kuning lagi melajang kian kemari
dengan tjepat luar biasa, di tengah bajangan hitam dan kabut kuning itu terdapat
berkelebatnja sinar putih pula, menjusul riuh ramai dengan suara trang-tjreng
saling beradunja sendjata.
Tuhan maha murah, semoga Kim-heng ini diberi kemenangan, diam-diam Toan Ki
mendoa. Tiba-tiba terdengar si nona badju hitam alias Bok Wan-djing membentak njaring,
kedua orang sama-sama melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah
dimasukkan ke sarungnja, dengan tenang berdiri di tempatnja.
Sebaliknja dengan pedang terhunus, Bok Wan-djing lagi memandang lawannja dengan
penuh perhatian. Kalah menang belum terdjadi, kenapa nona Bok tidak bertempur terus"
kata Kim Tay-peng. Hm, It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng, suatu tokoh gemilang di kalangan Kangouw
paling achir ini, huh! sahut Bok Wan-djing.
Ada apa maksudmu" tanja Tay-peng
Dalam 500 djurus, belum tentu mampu menangkan nonamu! sahut Wan-djing.
Benar! kata Tay-peng, Djikalau lebih dari 500 djurus"
Marilah kita boleh tjoba-tjoba, kata Bok Wan-djing. Berbareng udjung pedangnja
terus mengarah ke tenggorokan Kim Tay-peng.
Trang, Kim Tay-peng melolos goloknja buat menangkis dan kembalikan golok ke
sarungnja pula, lalu membentak: Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sedjati,
mana bisa bertempur sampai lebih 500 djurus dengan perempuan siluman ketjil
matjam kau" Utang darah pendjual djamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda
dulu. Tjuma kau harus berdjandji tak boleh mentjelakai djiwa saudara ini.
Lalu utang-piutang kita sendiri kapan diselesaikan" tanja Bok Wan-djing.
Nanti kalau dalam 500 djurus aku sudah dapat membereskan kau, dengan sendirinja
aku akan bikin perhitungan padamu, sahut Kim Tay-peng.
Djelas belum pesanku tadi"
Hm, bilakah kau pernah dengar Hiang-yok-djeh menerima pesan seseorang"
sahut Bok Wan-djing dengan angkuh.
Baiklah, kuhormati kepandaianmu jang hebat, anggaplah aku jang memohonkan
keselamatan saudara ini, kata Tay-peng.
Djadi kau sendiri jang memohon padaku" Bok Wan-djing menegas.
Ja, kumohon padamu, sahut Tay-peng dengan suara berat.
Maka terbahak-tawa dengan senang sekali Bok Wan-djing, selama bertemu dengan
dia, untuk pertama kali inilah Toan Ki mendengar suara ketawa nona itu jang
penuh gembira ria, tidak sadja senang luar biasa, bahkan membawa beberapa bagian
sifat kekanak-kanakan. Terdengar ia berseru pula: Haha, It-hui-tjiong-thian Kim
Tay-peng ternjata memohon sesuatu pada aku Bok Wan-djng, maksud baik permohonan
ini rasanja tidak pantas kalau kutolak.
Tjuma aku hanja berdjandji tidak membunuh orang ini, menghadjarnja atau
mengutungi kaki-tangannja tidak termasuk dalam djaminanku ini.
Habis berkata, tidak menunggu djawaban Kim Tay-peng lagi, ia terus bersuit,
dengan tjepat si mawar hitam mendekatinja, sekali tjemplak Bok Wan-djing sudah
berada di atas kuda, berbareng pedangnja terus disambitkan, tjret, tali jang
menggantung tubuh Toan Ki di dahan pohon itu terpapas putus. Toan Ki bersama
pedang itu djatuh bersama ke bawah, dan pada saat itulah dengan tepat Oh-bi-kui
atau si mawar hitam sudah berlari sampai di bawah pohon. Tangan kanan Bok Wandjing menjambar kembali pedangnja itu, tangan kiri mentjengkeram tengkuk Toan Ki
dan ditaruh di atas pelana kuda. Sekali tjongklang, setjepat terbang Oh-bi-kui
sudah berlari djauh. Melihat djurus pertundjukan Bok Wan-djing ketika hendak pergi itu, mau-tak-mau
Kim Tay-peng gegetun dan memudji: Sungguh lihay, perempuan siluman ini.
Setelah Bok Wan-djing masukkan pedang ke sarungnja, ia berkata di atas kudanja:
It-hui-tjiong-thian jang namanja terkenal di antero djagat ini hari ini djuga
tak bisa apa-apakan diriku. Hm, biar dia memperdalam pula ilmu silatnja,
emangnja setiap hari aku hanja tidur sadja, ilmu kepandaianku takkan tambah"
Wahai, botjah she Toan, sekarang kau menjerah tidak padaku"
Toan Ki hanja tinggal diam tak menggubrisnja, tetap membisu dan mentuli.
Agaknja hati Bok Wan-djing sangat riang, kembali ia berkata: Orang Kangouw sama
bilang It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng adalah djago muda jang djarang ada
tandingannja, ketjuali tokoh-tokoh angkatan lebih tua seperti Sam-sian-su-ok,
dia terhitung djago paling lihay. Tapi hari ini dia toh sudi memohon padaku.
Toan Ki mendjadi dongkol, katanja dalam hati: Dia hanja merasa laki-laki tidak
pantas melabrak seorang perempuan, makanja mengampuni kau, masih kau sembarangan
membual segala" Tapi tadi ia sendiripun menjaksikan sikap Kim Tay-peng, ia tahu meski nama Ithui-tjiang-than (sekali terbang mendjulang ke langit) terkenal di seluruh
djagat, tapi djuga tidak berani memandang enteng Bok Wan-djing.
Ia pikir perempuan siluman ini biarpun kedji dan ganas, tapi ilmu silatnja
memang benar-benar sangat lihay.
Selagi Toan Ki termenung, mendadak pundaknja ditarik Bok Wan-djing hingga
mukanja berpaling ke arahnja, demi nampak wadjah pemuda itu belum lenjap dari
rasa kagum, Bok Wan-djing terbahak-bahak, katanja: Botjah bandel, di mulut kau
tidak bilang, tapi dalam hati kau menjerah padaku, bukan"
Dan karena hatinja lagi senang, sepandjang djalan ia tidak siksa Toan Ki lagi.
Tidak lama, si mawar hitam telah membawa mereka ke suatu pekuburan. Segera Toan
Ki dapat mengenali tempat itu adalah djalan masuk ke Ban-djiat-kok. Ia lihat Bok
Wan-djing melompat turun dari kudanja terus menarik batu nisan kuburan itu,
tjaranja menarik batu nisan itu persis seperti apa jang Tjiong Ling adjarkan
pada Toan Ki. Begitu pintu kuburan terpentang, terus sadja Bok Wan-djing djindjing Toan Ki
melangkah ke dalam. Perawakan Toan Ki sedikitnja belasan senti lebih tinggi dari nona itu, bitjara
tentang bobot badan, sedikitnja djuga lebih berat 30-40 kati.
Tapi didjindjing olehnja, ternjata enteng sadja bagai membawa sebuah kerandjang.
Setelah masuk pula ke dalam peti mati, penjambutnja tetap si pelajan ketjil jang
menerima Toan Ki itu. Sampai di tempat jang terang, pelajan itu mendjadi kaget dan bertanja: Bokkohnio, ken.............. kenapa kau membawa Toan kongtju ke sini"
Di....... dimanakah Siotjia kami"
Panggil keluar njonjamu! bentak Bok Wan-djing sambil banting Toan Ki ke lantai.
Loya terluka parah, Hudjin tak bisa meninggalkan beliau, silahkan nona masuk ke
dalam sadja, kata si pelajan.
Peduli apa dengan Loyamu jang terluka segala, suruh njonjamu keluar!
bentak Bok Wan-djing bengis. Sekalipun Loyamu saat ini akan putus napasnja,
suruh njonjamu harus keluar djuga!
Pelajan itu tak berani bitjara lagi, ia mengia dengan ketakutan, lalu tjepat
masuk ke dalam. Tidak lama, Tjiong-hudjin nampak keluar dengan tersipu-sipu, katanja: Nona Bok,
kenapa kau tidak duduk dan bitjara di dalam sadja"
Bok Wan-djing tidak menjahut, ia menengadah ke atas tak gubris.
Tjiong-hudjin seperti sangat djeri pada nona badju hitam itu, dengan sabar ia
berkata pula: Bok-kohnio, apakah aku ada berbuat sesuatu kesalahan padamu"
Kau memanggil siapa sebagai Bok-kohnio" tanja Bok Wan-djing tiba-tiba.
Sudah tentu memanggil engkau, sahut njonja Tjiong.
Hm, kusangka kau sedang berkata pada diri sendiri, djengek Bok Wan-djing.
Kabarnja sekarang kau sudah ganti nama dan tukar she, kaupun bernama Bok Wandjing katanja, sungguh tidak njana bahwa nama Bok Wan-djing bisa mendapat
perhatian orang, tapi djulukan Hiang-yok-djeh toh bukan sesuatu nama jang enak
di dengar. Tapi kalau kau benar-benar mau, biar kupersembahkan padamu dengan
kedua tangan terbuka. Wadjah Tjiong-hudjin sebentar merah sebentar putjat, katanja kemudian dengan
suara halus: Nona Bok, aku memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas.
Soalnja karena aku terlalu kuatirkan puteriku, dengan harapan menggunakan namamu
jang besar dapatlah menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Ling-dji bisa
dilepaskan mereka. Mendengar. itu, kata Bok Wan-djing pula dengan nada rada halus: Apa benar namaku
bisa mempunjai pengaruh begitu besar"
Tjiong-hudjin kenal watak si nona jang suka dipudji dan diumpak, maka tjepat
sahutnja: Sudah tentu! Nama besar nona di kalangan Kangouw, siapa orangnja jang
tidak takut" Maka kujakin bila mendengar nama nona, biarpun njali orang Sinlong-pang sebesar langit djuga tak berani ganggu seudjung rambut Ling-dji.
Baiklah, tentang memalsukan namaku, tak perlu aku usut lebih djauh, kata Bok
Wan-sljiag. Tapi awas, bila lain kali kau sembarangan memakai namaku lagi, aku
tentu tak mau sudahi begini sadja. Kau adalah isterinja Tjiong Ban-siu,
apakah...... apakah.... Tjis! ~ sembari berkata, ia membanting kaki ke lantai
dengan keras. Lekas-lekas Tjiong-hudjin menanggapinja dengan ketawa-ketawa: Ja, ja, memang aku
jang salah! Karena bingung memikirkan Ling-dji, aku mendjadi lupa pada nama baik
nona jang masih sutji bersih.
Bok Wan-djing mendengus sekali, lalu menanja pula: Djing-siong Todjin telah
datang mentjari perkara padaku, hal ini sebelumnja kau sudah tahu, bukan"
Wadjah Tjiong-hudjin berubah seketika, sahutnja terputus-putus: Ja, dia......dia
pernah datang minta bantuan kami berdua untuk mengerojok nona. Tapi........tjoba
pikir, mana bisa kami berbuat demikian"
Ilmu silat suamimu sangat tinggi, kalau dia ikut mengerojok, mungkin djiwaku
sudah melajang, kata Bok Wan-djing.
Hubungan kami dengan nona sangat baik sedjak dulu, mana bisa kami berbuat
begitu" sahut Tjiong-hudjin. Dan demi melihat sorot mata Bok Wan-djing di balik
topeng hitamnja itu berkilat-kilat menjeramkan, tjepat ia berkata pula: Untuk
bitjara terus terang, sebenarnja kami pernah rundingkan tentang urusan itu. Tapi
suamiku menduga biarpun No-kang-ong Tjiu Goan-tjun, ditambah It-hui-tjiong-thian
Kim Tay-peng, Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut
belum tentu mereka bisa menangkan nona, sebab itulah, meski Djing-siong Todjin
mohon-mohon dengan sangat, toh suamiku tetap tak mau.
Utjapanmu ini adalah karanganmu belaka atau benar-benar keluar dari mulut
suamimu" tanja Wan-djing.
Kata-kata ini adalah suamiku sendiri jang katakan pada Djing-siong Todjin, sahut
Tjiong-hudjin. Bila nona tidak pertjaja, boleh tjari Djing-siong Todjin untuk
mendjadi saksi. Bok Wan-djing angguk-angguk, katanja kemudian: Djika demikian, djadi Tjiongsiansing sendiri merasa bukan tandinganku"
Kata suamiku, ilmu silat nona dalamnja susah didjadjaki, apalagi tjerdik tiada
bandingan, kami berdua amat tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mentjari
permusuhan lagi. Ha, Tjiong-siansing terang djeri padaku, tapi masih pakai kata-kata begitu untuk
menutupi rasa malunja itu, djengek Wan-djing.
Wadjah Tjiong-hudjin tampak merasa malu, sahutnja: Usia suamiku sudah landjut,
kalau lebih muda 20 tahun, boleh djadi masih sanggup melajani nona seratusduaratus djurus. Kembali Bok Wan-djing tertawa dingin, njata hatinja sangat senang.
Toan Ki jang terbanting di lantai itu dapat mengikuti pertjakapan mereka dengan
djelas, pikirnja: Tjiong-hudjin terus-menerus mengumpak nona ini., tapi
sedikitpun tidak kentara, terang diapun seorang jang sangat lihay. Dasar nona
galak ini suka diumpak orang, tapi aku djusteru ingin mengolok-oloknja.
Maka mendadak ia berseru: Waduh lagaknja melawan Kim Tay-peng seorang sadja Bokkohnio tak bisa menang, masih tjoba omong besar segala" Tadi mereka berdua
saling gebrak, sudah terang Kim Tay-peng lebih unggul, nona Bok dihadjar hingga
berlutut minta ampun, setelah memanggil sepuluh kali Kim-yaya baru djiwanja
diampuni...... Selagi Toan Ki hendak mentjerotjos terus, tiba-tiba Bok Wan-djing sudah melompat
datang dan mendepak dua kali di pinggangnja sambil membentak: Siapa bilang aku
kalah" Siapa jang menjembah minta ampun"
Tjiong-hudjin, aku bitjara padamu, kata Toan Ki, Nona Bok beruntun melepaskan 18
batang panah ketjil, tapi semuanja kena ditandingi Kim Tay-peng dengan 18 buah
mata uang. Ia dihadjar Kim Tay-peng hingga minta ampun dan berdjandji takkan
membunuh diriku.............
Karuan Bok Wan-djing sangat murka, sekali tangan kanan di angkat, segera pemuda
itu hendak dibunuhnja dengan panahnja jang berbisa.
Sjukur Tjiong-hudjin sempat berseru sambil melompat menghadang di depan Toan Ki:
Djangan, nona Bok! Asal-usul Toan kongtju ini tidak sembarangan, djangan kau
bunuh dia. Huh, hanja seorang sekolahan lemah jang tak bisa ilmu silat, asal usulnja bisa
hebat apa" Paling-paling adalah tjalon menantunja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Bansiu! djengek Bok Wan-djing mengolok-olok.
Tjiong-hudjin mendjadi djengah, sahutnja: Kami adalah keluarga Kangouw jang
kasar, mana berani mengharapkan menantu seperti Toan-kongtju.
Untung dia bukan orang Kangouw, djika dia bisa sedikit ilmu silat sadja, tentu
sekali tebas sudah kutjabut njawanja. kata Bok Wan-djing.
Segera ia teringat pada djandji sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh
Toan Ki, maka katanja pula: Mending djuga botjah ini ada sedikit baiknja, ketika
tahu ada orang hendak bikin susah padaku, dengan tjepat ia putar kuda kembali


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi kabar. Waktu Tjin Goan-tjun dan begundalnja mengerubut diriku, ternjata
iapun berusaha melindungi aku. Hehe, tjuma sajang, semangat besar, tenaga
kurang, djiwa kesatrianja sih boleh dipudji, tapi tiada punja kepandaian sebagai
seorang gagah. ~ bitjara sampai disini, nada suaranja mendjadi ramah, ia sambung
pula: Tjiong hudjin, hati botjah ini djauh lebih baik daripada kau. Kau sudah
tahu Djing-siong Todjin dan lain-lain hendak mengerodjok aku, tapi sengadja
suruhan Tjiong Hok minta pindjam kudaku si mawar hitam hingga aku tiada punja
tunggangan dan susah meloloskan diri. Sungguh hebat akalmu ini, sungguh kedji
muslihatmu ini! Saking bingung memikirkan keselamatan puteriku, sungguh aku tiada maksud
membikin susah nona, sahut Tjiong-hudjin. Kami suami-isteri djuga sudah tahu
bahwa Tjin Goan-tjun dan kawan-kawannja tak nanti mampu mengutik seudjung rambut
nona, pernah djuga kami nasihatkan Djing-siong Todjin djangan tjari mati
sendiri, dan sekarang mungkin djiwanja sudah melajang di bawah pedang nona. ~
padahal kematian Djing-siong Todjin itu hanja dugaannja sadja, ia lihat Bok Wandjing tak kurang suatupun apa, sebaliknja ilmu silat Djing-siong Todjin djauh di
bawah Tjin Goan-tjun dan lain-lain, tentu imam itu jang paling dulu mendjadi
korban. Maka sahut Bok Wan-djing: Hm, pandanganmu tjukup djitu djuga! habis berkata,
sekali melesat, tahu-tahu ia sudah sampai di samping Toan Ki, sekali angkat,
kembali pemuda itu didjindjingnja terus bertindak pergi.
Nona Bok, tunggu dulu, aku ingin mohon sesuatu. seru Tjiong-hudjin.
Berdasarkan apa kau hendak memohon padaku" tanja Bok Wan-djing dengan dingin
sambil menoleh. Apa jang kau mahon rasanja akupun takkan menjanggupi apa-apa,
maka paling baik djangan kau utjapkan sadja.
Selagi Tjiong-hudjin tertegun oleh djawaban itu, sementara itu Bok Wan-djing
sudah tinggal pergi sambil mendjindjing Toan Ki.
Setelah keluar dari liang kuburan dan mengembalikan batu nisan ke tempatnja, Bok
Wan-djing bersuit memanggil Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu ia
sendiripun mentjemplak ke atas.
Sepandjang djalan beberapa kali Wan-djing adjak bitjara Toan Ki, tapi pemuda itu
tetap bungkam tak gubris padanja. Tapi bila membajangkan betapa kedji dirinja
disiksa nona itu semalam, diam-diam Toan Ki kebat-kebit djuga dan tidak berani
membikin marah si nona lagi. Maka setengah harian kuda itu dilarikan, kedua
orang itu boleh dikata sementara itu bisa hidup damai berdampingan.
Sampai lohor, wah, tjelaka, mendadak perut Toan Ki terasa mules.
Pikirnja ingin minta Bok Wan-djing melepaskan dia agar bisa kada hadjat, tapi
kedua tangannja terikat, tak bisa memberi tanda, andaikan bisa, tjara memberi
tanda itupun rada-rada berabe. Terpaksa ia buka mulut: Aku ingin buang air,
harap nona lepaskan aku! Bagus, sekarang kau tidak bisu lagi, ja" Kenapa adjak bitjara padaku"
olok-olok si nona. Ja, terpaksa, sahut Toan Ki. Aku tak berani bikin kotor nona. Nona adalah Hiangyok-djeh (kuntilanak berbau wangi), kalau aku berubah mendjadi Djau-siau-tju
(botjah berbau busuk) kan tjialat"
Mau-tak-mau Bok Wan-djing mengikik geli djuga, ia pikir untuk mana terpaksa
harus melepaskannja, maka ia potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnja. Lalu
menjingkir pergi. Karena sudah sekian lamanja diringkus, tangan dan kaki Toan Ki mendjadi kaku tak
bisa bergerak, ia mengesot sampai sekian lamanja di tanah baru kemudian dapat
berdiri. Selesai kada hadjat alias kuras perutnja, Toan Ki melihat si mawar hitam lagi
makan rumput di dekatnja dengan djinak, pikirnja: Inilah kesempatan bagus untuk
melarikan diri! ~ pelahan-lahan ia mentjemplak ke atas kuda dan si mawar hitam
ternjata menurut sadja. Sekali tarik tali kendali, terus sadja Toan Ki larikan Oh-bi-kui ke utara dengan
tjepat. Ketika mendengar suara derapan kuda, segera Bok Wan-djing mengedjar
namun lari si mawar hitam teramat tjepat, betapapun tinggi ilmu Ginkangnja Bok
Wan-djing djuga tak bisa menjusulnja.
Sampai ketemu lagi, Bok-kohnio, kata Toan Ki sambil kiong-tjhiu, sementara itu
sudah berpuluh tombak djauhnja si mawar hitam mentjongklang. Waktu Toan Ki
menoleh pula, ia lihat bajangan Bok Wan-djing sudah teraling-aling pohon tak
kelihatan lagi. Bisa terlolos dari tjengkeraman hantu perempuan itu, Toan Ki
merasa senang sekali, berulang kali ia berseru agar si mawar hitam lari terlebih
tjepat. Ia pikir saat itu sekalipun Bok Wan-djing menjerangnja dengan Am-gi atau
sendjata rahasia, djuga tak bisa mentjapainja lagi.
Setelah berlari satu li djauhnja, selagi Toan Ki termenung entah masih keburu
menolang Tjiong Ling atau tidak, apakah menudju langsung ke Bu-liang-san atau
pulang ke Tayli dulu, sekonjong-konjong dari belakang berkumandang suara suitan
jang pandjamg njaring. Mendengar suara itu, seketika si mawar hitam putar haluan dan berlari kembali ke
arah tadi. Toan Ki sangat terkedjut, tjepat ia berteriak-teriak: Kuda jang baik, djangan
kembali kesana, djangan kembali, kudaku sajang! ~ lalu sekuatnja ia menarik tali
kendali agar si mawar ganti arah lagi.
Tapi meski tali kendali sedemikian kentjangnja ditarik Toan Ki hingga kepala si
mawar ikut mentjeng, namun binatang itu masih tetap lari lurus ke depan,
sedikitpun tidak menurut perintah Toan Ki.
Hanja sekedjap sadja, Oh-bi-kui sudah berlari sampai di samping Bok Wan-djing,
lalu berdiri tak bergerak lagi. Karuan Toan Ki serba runjam, malu tertjampur
dongkol. Aku pernah berdjandji pada Kim Tay-peng takkan bunuh kau. kata Bok Wan-djing.
Tapi kini kau bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol lari kudaku si
mawar. Maka apa jang kudjandjikan pada Kim Tay-peng itu selandjutnja kubatalkan!
Toan Ki melompat turun dari kuda, dengan gagah berani ia mendjawab: Oh-bi-kui
semula kau sendiri jang pindjamkan padaku dan sampai kini aku belum kembalikan
kau, mana bisa bilang aku mentjuri. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuhlah, seorang
laki-laki sedjati, tak perlu kuterima budi siapa-siapa.
Bok Wan-djing lolos separoh pedangnja, katanja dengan dingin: Hm, njalimu benarbenar tidak ketjil, apa kau sangka aku tidak berani membunuh kau" Kau andalkan
pengaruh siapa hingga berulang kali berani padaku"
Asal setiap perbuatanku tidak merugikan nona, buat apa aku mengandalkan pengaruh
orang lain" sahut Toan Ki.
Sorot mata Bok Wan-djing setadjam kilat memandang Toan Ki, tapi pemuda itupun
balas mendelik dengan tabah. Setelah saling melotot sekian saat, mendadak Bok
Wan-djing masukkan kembali pedangnja dan membentak: Sudahlah lekas kau enjah!
Buah kepalamu biar kutitipkan di atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa
perlu setiap saat bisa menagih kepalamu.
Sebenarnja Toan Ki sudah nekad, sungguh tak tersangka olehnja bahwa si nona bisa
membebaskannja begitu sadja. Untuk sedjenak ia tertjengang, tapi segera iapun
tinggal pergi. Sambil memandangi bajangan pemuda itu diam-diam Bok Wan-djing berkata di dalam
hati: Lelaki bandel seperti ini sungguh djarang ada di dunia ini. Padahal djago
silat umumnja kalau melihat aku tentu ketakutan setengah mati, tapi botjah ini
sedikitpun ternjata tidak gentar.
Setelah belasan tombak djauhnja, Toan Ki masih tidak mendengar suara derapan
kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok Wan-djiag masih berdiri di tempatnja dengan
termangu-mangu, pikirnja: Hm, tentu dia lagi pikirkan sesuatu akal kedji, matjam
kutjing mempermainkan tikus, aku hendak digodanja habis-habisan, habis itu baru
aku di bunuhnja. Baiklah, toh aku tidak bakal bisa lari, segala apa terserah
dia. Tapi makin djauh ia berdjalan, tetap tidak mendengar suara Bok Wan-djing
mengedjarnja, setelah melintasi beberapa simpang djalan, barulah ia merasa lega
dan pertjaja nona galak itu takkan mengedjarnja.
Dan karena hatinja sedikt lega, segera ia merasa tubuhnja jang babak belur itu
sakit perih, seorang diri ia menggumam: Ai, perangai nona ini demikian aneh,
boleh djadi karena kedua orangtua sudah meninggal, selama hidupnja banjak
mengalami matjam-matjam kemalangan. Mungkin djuga karena wadjahnja teramat
djelek maka tidak suka memperlihatkan muka aslinja pada orang. Ai, boleh dikata
seorang jang harus dikasihani djuga.
Kemudian ia pikir pula: Kalau, tjaraku berdjalan ini, mungkin sebelum sampai di
Tayli, aku sudah mati keratjunan Toan-djong-san. Padahal nona Tjiong lagi
mengharapkan pertolonganku dengan tak sabar, kalau aku tidak tampak kembali
kesana dan ajahnja djuga tak pergi menolongnja, tentu ia menjangka aku tidak
memenenuhi kewadjiban mengirim berita pada ajahnja.
Biarlah, bagaimanapun djadinja, aku harus memburu ke Bu-liang-san sana untuk
mati bersama dengan dia, agar dia tahu bahwa aku tidak mengchianati harapannja.
Setelah ambil keputusan begitu, segera ia ambil arah jang tepat dan menudju ke
Bu-liang-san. Lembah sungai Landjong itu sunji senjap, berpuluh li djauhnja tidak nampak
seorang pendudukpun. Hari itu terpaksa ia mesti mentjari buah-buahan sekedar
tangsal perut, malam harinja tidur meringkuk seadanja di lereng bukit.
Besoknja lewat lohor, kembali ia menjeberangi sungai Landjong, dekat magrib,
sampailah ia di suatu kota ketjil. Uang sangu jang dibawanja sudah terhanjut di
tengah danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah tjompang-tjamping,
ditambah perut sangat lapar, teringat olehnja ada sebentuk hiasan batu giok di
kopiahnja jang nilainja tak terkira. Segera ia tanggalkan batu permata itu dan
membawanja ke suatu warung beras satu-satunja di kota itu untuk di djual. Karena
tidak kenal benda pusaka, kuasa warung itu hanja berani membeli dengan harga
tiga tahil. perak. Toan Ki pun tidak banjak rewel, ia terima tiga tahil perak itu dan masuk ke
suatu warung nasi untuk makan. Pikirnja hendak membeli pakaian pula, tapi di
kota seketjil itu tiada toko kelontong jang mendjual pakalian.
Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnja di samping warung nasi itu, di suatu lapangan
ada orang mendjemur dua potong kain hitam.
Seketika pikirannja tergerak, teringat olehnja Tjiong-hudjin sengadja memalsukan
nama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing utk menolong puterinja, pikir Toan Ki: Kenapa
aku tidak menjamar sebagai perempuan galak itu untuk menggertak Sikong Hian"
Paling-paling gagal dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian, kan
hebat! Dasar watak orang muda, apa jang dia pikir, segera dia kerdjakan, terus sadja ia
membeli sepotong kain hitam, ia pindjam gunting dan djarum dan benang, lalu
berlagak sebagai pendjahit ulung untuk mendjahit pakaian di belakang warung nasi
itu. Selama hidup Toan Ki hanja kenal buku, membatja dan menulis, kini memegang
djarum, walaupun benda seketjil itu, namun rasanja seberat palu.
Untungnja bukan mendjahit pakaian bagus apa, hanja diperlukan membalut antero
tubuhnja asal tidak kelihatan, maka dimana masih renggang, disitu lantas
didjahit, kalau ada lubang, lantas ditambal.
Begitulah ia sibuk sendiri hingga mandi keringat, pegawai warung nasi menjangka
Toan Ki agak kurang beres otaknja, maka tidak urus perbuatannja, sampai malam,
orang sudah pergi tidur, Toan Ki masih sibuk mendjahit di pekarangan warung itu.
Hampir tengah malam, baru selesai Toan Ki menunaikan tugas. Ia tjoba pakai badju
baru itu, mending djuga badannja bisa tertutup rapat.
Sepasang sarung tangannja djuga kasar, tapi sedikitnja sepuluh djarinja dapat
masuk dan bergerak dengan bebas. Senang sekali Toan Ki, sambil mengenakan
pakaian serba hitam itu, ia tjoba ingat-ingat nada suara Bok Wan-tjing jang
tadjam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan beberapa kali. Ia tidak berani
pertjaja suaranja mirip orang, tapi bila mengingat Sikong Hian djuga belum tentu
pernah melihat dan mendengar suara Bok Wan-djing, betapapun memang sengadja
spekulasi, biarpun rahasianja terbongkar nanti, apa mau dikata lagi"
Setelah selesai menjamar, ia tjoba-tjoba merentjanakan bagaimana nanti kalau
sudah berhadapan dengan Sikong Hian, lalu meninggalkan warung nasi itu menudju
ke Bu-liang-san. Kota ketjil itu letaknja sudah dikaki gunung Bu-liang-san. Dibawah sinar bulan,
Toan Ki dapat menempuh arah jang tepat. Setelah dua djam lamanja, dari djauh
tampak lereng gunung sana sinar api berkelip-kelip, ia tahu disanalah tempat
tinggal Sin-long-pang, segera ia menudju ke tempat sinar api itu.
Kira-kira belasan tombak sebelum sampai di tempat sinar api itu, sekonjongkonjong dari tempat gelap melompat keluar seorang sambil membentak: Siapa jang
datang ini" Ada keperluan apa"
Toan Ki tertawa dingin sekali, ia tekuk suaranja dan menjahut: Hm, matjammu
djuga ingin tanja siapa diriku" Dimana Sikong Hian" Suruh dia menemui aku!
Melihat antero tubuh Toan Ki tertutup kain hitam, di bawah sinar bulan hanja
tampak kedua bidji matanja, orang itu mendjadi terkesiap, teringat olehnja
dandanan seorang iblis wanita jang mengguntjangkan Kangouw, maka tanjanja dengan
suara gemetar: Apakah kau............kau Hiang-yok"
Namaku boleh sembarangan kau sebut" bentak Toan Ki dengan gusar.
Karena terpengaruh oleh nama besar Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing, njali orang itu
mendjadi petjah, dengan gugup ia mendjawab: Sikong-pangtju terluka parah, tak
bisa.......tak bisa berdjalan, harap nona sudi...........sudilah ke sana!
Sial pikir Toan Ki, masakan seorang djedjaka ting-ting disangka nona segala.
Diam-diam iapun bersjukur orang tak bisa mengenalnja, maka sengadja ia mendengus
menirukan lagak angkuh Bok Wan-djing, katanja: lekas tundjukkan djalannja!
Pelahan-lahan Toan Ki ikut orang itu ke depan. Ia tahu, semakin lambat
djalannja, semakin sulit terbongkar rahasianja.
Sampai di tempat api unggun, ia lihat di sana-sini menggeletak beberapa orang
jang terpagut oleh Kim-leng-tju itu, Tjiong Ling diringkus kedua tangannja,
begitu melihat Toan Ki, ia mendjadi girang, terus sadja ia berseru:
Bok-tjitji, kau telah datang menolong aku!
Selama tersiksa beberapa hari, keadaan Sikong Hian memang sudah payah, ketika
melihat bentuk Toan Ki, ia sudah menduga pasti Hiang-yok-djeh jang namanja
mengguntjangkan Kangouw itu telah datang. Apalagi mendengar pula Tjiong Ling
menjapa tadi, ia mendjadi tidak sangsi lagi. Maka ia paksakan diri berbangkit,
kedua tangannja menahan dipundak kedua anak buahnja, lalu berkata: Tjayhe
terkena bisa ular, tidak bisa mendjalankan peradatan, harap ...... Harap nona
suka maafkan. Nona Tjiong adalah sobatku, kau tahu tidak" tegur Toan Ki dengan suaranja yang
melengking. Sesungguhnja Tjayhe tidak tahu, harap maaf, sahut Sikong Hian.
Lekas bebaskan dia, kata Toan Ki lagi.
Walaupun Sikong Hian gentar pada nama Hiang-yok-djeh jang besar itu, tapi
menduga sekalipun dirinja tidak terluka, untuk bertanding djuga bukan lawan
orang, pula sekali Tjiong Ling dibebaskan, kalau tiada obat pemunah ratjun Kimleng-tju, tiada lama lagi dirinja bersama anak buahnja tentu mati, dalam keadaan
demikian, betapapun hebat resikonja tak dipikirnja pula, segera djawabnja:
Apakah nona membekal obat pemunah ratjun ular itu"
Toan Ki mengeluarkan sebuah kotak emas dari badjunja, itulah barang jang
diterimanja dari Tjiong-hudjin, tjuma ketika diwarung nasi, ia sudah keluarkan
surat didalamnja dan menggantinja dengan adukan nasi dan tanah hingga penuh
sekotak. Lalu katanja: Ini adalah obat tunggal milik Kian-djin-tjiu-sat Tjiong
Ban-siu, dia sudi memberikan padamu, boleh dikata nasibmu lagi mudjur. ~ Sembari
berkata, ia lemparkan kotak itu ketanah.
Memangnja Sikong Hian sudah dapat menerka ajah Tjiong Ling adalah Kian-djintjiu-sat Tjiong Ban-siu, kini diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia lebih
pertjaja lagi. Maka tjepat djawabnja: Banjak terima kasih nona, banjak terima
kasih djuga kepada Tjiong-tayhiap.
Segera ada bawahannja mendjemputkan kotak itu untuk diserahkan pada Sikong Hian.
Ia buka kotak itu dan mengendus isinja, ia mentjium isi kotak itu berbau amisnja
ikan, rada2 berbau tanah djuga.
Setiap anggota Sin-long-pang adalah ahli obat2an, lebih2 Sikong Hian, segala
matjam obat, asal ditjiumnja, tentu diketahuinja betapa kadar obat jang
terkandung didalamnja. Apalagi sekarang obat itu merupakan ikatan djiwanja,
tentu sadja ia periksa lebih tjermat" Ketika diendus lagi dan merasa sedikitpun
tiada bau obat, takbisa ditahan lagi timbul rasa tjuriganja. Segera ia menanja:
Tolong tanja, nona, obat ini bagaimana memakainja"
Setiap orang minum setititik sadja, lewat 12 djam, ratjun Kim-leng-tju akan
lenjap semua, sahut Toan Ki. Nah, lekas kau bebaskan nona Tjiong!
Ja, sahut Sikong Hian sambil berdjongkok mengambil sebatang kaju jang terbakar
untuk menerangi tubuh Toan Ki.
Kalau ditempat gelap masih mendingan, kini sekali disinari, seketika
terbongkarlah borok Toan Ki. Tertampaklah pakaiannja jg hitam mulus itu disanasini mentjang-mentjeng djahitannja, hakikatnja tidak memper pakaian. Karuan
Sikong Hian bertambah tjuriga. Ia melangkah madju lebih dekat dan mentjium sekuat2nja beberapa kali, tapi sedikitpun tidak mengendus bau wangi apa2.
Pikirnja: Menurut tjerita orang Kangouw, tubuh Hiang-yok-djeh mengeluarkan
sematjam bau harum jang keras, dari djauh orang sudah mengendusnja, sebab itulah
diperoleh djulukan Hiang-yok-djeh.
Tapi orang ini sama sekali tiada bau wangi apa, sebaliknja malah rada2
bau apek. Apa mungkin orang ini hanja samaran sadja"


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sikap orang, Toan Ki tahu dirinja sudah mulai ditjurigai, karuan hatinja
kebat-kebit, tapi ia masih membentak: Kusuruh kau lepaskan nona Tjiong, kau
dengar tidak" Walaupun sudah tjuriga, namun Sikong Hian masih tak berani main kasar, dengan
merendah ia mendjawab: Harap nona maklum, sekian banjak orang kami telah dipagut
ular, djiwa masing2 tinggal sehari-dua-hari, djikalau obat pemberian Tjiongtayhiap ini tidak mandjur, kan djiwa kami akan melajang semua" Bukanlah Tjayhe
berani membangkang perintah Bok-kohnio, kami hanja minta nona Tjiong bersabar
beberapa hari lagi tinggal bersama kami, bila ratjun ular kami sudah
disembuhkan, pasti kami akan menghantar nona Tjiong kerumah, sekalian
menghaturkan terima kasih djuga kepada Bok-kohnio.
Kenapa kau berani mengotjeh segala, kukatakan lepaskan dia, kau harus lakukan!
kata Toan Ki dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua jang berdiri
disamping Tjiong Ling dan membentaknja: Lekas kau buka tali ringkusannja! ~ Dan
karena gugupnja, nada suara Toan Ki lupa ditekuk hingga kentara sekali kalau
suara pria. Kakek jang dibentak itu tjukup tjerdik, dibawah sinar api ia lihat pula isjarat
sang Pangtju, maka pikirnja: Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pantju
segan kasar padanja, aku hanja bawahannja, kasar sedikit rasanja tidak apa.
Pabila dia benar2 Hiang-yok-djeh, tentu Pangtju akan mintakan maaf bagiku.
Pendeknja, masih bisa mundur teratur.
Karena itu, segera ia mendjawab dengan suara keras: Bok-kohnio, tidaklah sulit
untuk melepaskan nona Tjiong. Tapi wadjah asli nona harus diperlihatkan pada
kami barang sekedjap sadja.
Kau berani ingin melihat wadjahku, apa barangkali kau sudah bosan hidup"
damperat Toan Ki. Diam2 kakek itu memikir: Betapapun lihay ilmu silatnja, wanita ini hanja seorang
diri. Dengan djumlah kami sebanjak ini masakan takbisa melawan seorang wanita" ~
namun demikian pikirnja, nama Hiang-yok-djeh sesungguhnja teramat besar, banjak
tjerita2 orang Bu-lim jang memudjanja setinggi langit, kalau pakai kekerasan,
boleh djadi dirinja akan tjelaka lebih dulu. Maka dengan tertawa katanja pula
dengan merendah: Sekalipun Siaulodji (aku orang tua jang rendah) punja sepuluh
njawa djuga tidak berani pada nona. Tjuma sudah lama kami mendengar nama nona
jang maha besar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat harap bisa menambah
pengalaman bila nona sudi mengundjukan barang sedjurus ilmu sakti.
Diam2 Toan Ki mengeluh tjelaka, tjepat sahutnja: Apa jang nona bisa adalah
kepandaian untuk membunuh orang melulu, tapi disini agaknja tiada orang jang
boleh dibunuh. Seorang tokoh Sin-long-pang didaerah Kuitjiu mendjadi tidak sabar, dengan suara
keras ia menjela: Kau ingin kami bebaskan orang, paling sedikit kau harus
undjukan sedjurus-dua dulu. ~ sembari berkata, terus sadja ia tampil kemuka.
Dalam pada itu rasa tjuriga Sikong Hian sudah mentjapai 90%, segera iapun
berkata: Baiklah, Ui-hiati, boleh tjoba2 kau minta petundjuk dari nona Bok.
Tokoh she Ui itu mendjadi tabah mendapat sokongan sang Pangtju, segera ia lolos
Kim-pwe-to atau golok berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang badja jang
terpasang diatas golok itu berbunji gemerantang, dengan gagah ia berdiri
dihadapan Toan Ki. Diam2 Toan Ki mengeluh Tjelaka, tidak djadi apa kalau rahasiaku terbongkar, tapi
nona Tjiong bakal mendjadi korban djuga, ~ dan demi nampak kegarangan lawan itu,
tanpa terasa ia mundur dua tindak.
Melihat langkah Toan Ki enteng tak ber-kuda2, hakikatnja seorang takbisa ilmu
silat, orang she Ui itu mendjadi lebih berani. Menjusul ia mendesak madju lagi
dua tindak, goloknja pura-pura membatjok kedepan hingga gelang badja menerbitkan
suara gemerintjing. Saking ketakutan berulang Toan Ki mundur beberapa tindak, sampai achirnja
punggung sudah menjandar disuatu pohon waringin.
Saat itu, beratus pasang mata orang2 Sin-long-pang sama terpusat atas diri Toan
Ki, dan karena mundur beberapa tindak, walaupun belum kentara samarannja, namun
sudah djelas kelihatan kalau dia takbisa ilmu silat.
Banjak diantara orang Sin-long-pang saling berbisik membitjarakan hal itu dengan
heran. Bok-kohnio, kata Sikong Hian kemudian. Silahkan kau beri adjaran sedikit pada
Ui-hiati itu. Tjuma sukalah nona berlaku murah hati, asal menjentuh badan,
lantas sudahi. Aku takbisa menjentuh badan sadja, sekali turun tangan, pasti bereskan njawanja,
kata Toan Ki. Makanja, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan diri sadja. ~
walaupun bitjaranja masih angkuh sekali, namun suaranja sudah gemetar hingga
kentara rasa hatinja jang ketakutan.
Silahkan, memangnja djiwa orang she Ui bolehnja hidup diudjung sendjata, bentak
djago she Ui itu mendadak sambil atjungkan goloknja.
Djangan bergerak, seru Toan Ki berlagak garang. Sekali aku turun tangan,
seketika djiwamu bakal melajang. Maka kunasihatkan kau undurkan diri sadja lebih
selamat. Silahkan nona memberi adjaran, sahut djago she Ui itu. Dan demi nampak kedua
kaki Toan Ki rada gemetar, tanpa bitjara lagi goloknja jang tebal besar itu
terus membatjok kedada Toan Ki. Tjuma nama Hiang-yok-djeh sesungguhnja teramat
disegani, maka serangan ini masih pura2 sadja, ketika beberapa senti golok itu
hampir mengenai dada Toan Ki, mendadak ia bilukan arahnja kesamping, sret, badju
hitam dipundak kiri Toan Ki jang terpapas sebagian.
Karuan Toan Ki terkedjut, sementara itu punggungnja sudah kepepet dibatang
pohon, untuk mundur lagi terang sudah buntu, diam2 ia mengeluh tjelaka, tjepat
ia berteriak: Nona Tjiong, Le ... lekas kau melarikan diri!
Sudah lama Tjiong Ling berkenalan dengan Bok Wan-djing, maka begitu lihat
perawakan Toan Ki, tingkah-laku dan lagak-lagunja, sangat berbeda daripada Bok
Wan-djing, sedjak tadi gadis itu sudah tahu Hiang-yok-djeh palsu, tjuma tak
diketahuinja siapa gerangan pemalsu itu. Kini demi mendengar suara teriakan Toan
Ki, seketika ia kenal pemuda itu, serunja ketelandjur: Djadi kau adalah ......
adalah Toan .... Belum djadi diutjapkannja, mendadak golok djago she Ui tadi sudah menjamber lagi
hingga badju dilengan kanan Toan Ki terkupas pula sebagian.
Haha! orang she Ui itu ter-bahak2. Hiang-yok-djeh, harini aku djusteru ingin
melihat wadjahmu jang sebenarnja, apakah setjantik bidadari, ataukah djelek
seperti Yok-djeh (genderuwo)"
Dengan tertawa segera seorang kawannja menanggapi dari samping: Diberi nama Yokdjeh, tentunja seorang genderuwo tua bangka, kalau tidak, mengapa selalu
mengerudungi muka sendiri.
Melihat dua kali batjokan kawannja berbasil tanpa mendapat perlawanan, bahkan
Toan Ki tampak kelabakan ketakutan, karuan mereka mendjadi berani, banjak
sindiran dan olok2 kasar tertjetus dari mulut mereka.
Ditengah sindir-edjek orang2 itu, mendadak golok orang she Ui itu menjamber pula
kemuka Toan Ki dengan gerak tipu Giok-liong-sia-hui atau naga putih terbang
miring, tjepat Toan Ki mendojong kebelakang, karena itu, kedua tangannja seakan2 terangkat keatas.Pada suat itulah, tiba2
terdengar suara bluk, tahu2 tubuh djago she Ui jang besar itu djatuh
terdjengkang, menjusul trang sekali, goloknja terpental djuga hingga gelang
badja diatasnja menerbitkan suara njaring. Ketika memandang orang she Ui itu,
tampak dia sudah roboh terlentang, batok kepalanja tertantjap sebatang panah
ketjil warna hitam dan tak berkutik lagi.
Dalam kedjutnja, tjepat dua orang Sin-long-pang sudah memburu madju untuk
memeriksa sang kawan, demi mengetahui orang she Ui itu sudah putus njawanja,
kedua orang itu mendjadi murka, dengan sendjata terhunus mereka menubruk pula
kearah Toan Ki. Tapi baru sadja tubuh mereka terapung, tiba2 terdengar suara
mendesis ser-ser dua kali, tahu2 kedua orang itu terbanting kebawah hingga
meringkuk bagai tjatjing, setelah keledjetan beberapa kali lalu tak bergerak
lagi. Seketika kawanan Sin-long-pang mendjadi panik, segera ada jang mengadjurkan
mengerubut madju semua. Benar djuga, lebih 20 orang sekaligus lantas menerdjang
kearah Toan Ki dari berbagai djurusan.
Melihat sekelilingnja penuh musuh bersendjata dan bermuka beringas, saking
ketakutan Toun Ki sampai kesima.
Tak terduga belum lagi setombak djaraknja mendekati Toan Ki, tahu2
lebih 20 orang itu sudah dipapak pula oleh samberan sendjata resia, seketika
ramai dengan suara mendesis, hudjan panah terdjadi, sekedjap sadja orang2 itu
sudah menggeletak terbinasa semua.
Orang2 itu adalah sisa kawanan Sin-long-pang jang masih kuat, tapi sekedjap
sadja mati semua, karuan Sikong Hian sangat terkedjut. Apalagi sebelumnja sudah
berpuluh anak buahnja terpagut Kim-leng-tju, sisa anak buahnja sekarang hanja
tinggal kelas rendahan sadia.
Hiang ...... Hiang-yok-djeh, benar2 kau tidak bernama kosong kedji amat
tanganmu! dengan sengit Sikong Hian berkata.
Mimpipun Toan Ki tidak menjangka bahwa dalam sekedjap sadja penjerang2
sebanjak itu bisa roboh mati semua, terang diam2 ada orang telah menolongnja,
tapi sekitarnja sunji-senjap, dimana bisa sembunji seorang kosen" Ketika melihat
kematian orang2 itu tjukup mengenaskan, hatinja rada tidak tega, maka katanja:
Sikong-pangtju, kau .... kaulah jang memaksa aku, se ... sesungguhnja aku merasa
me ... menjesal. Sikong Hian mendjadi gusar, katanja: Djiwa Lohu hanja satu ini, hendak bunuh
hendak disembelih boleh silahkan, Sin-long-pang hantjur-lebur ditangan Sikong
Hian, memangnja akupun tidak ingin hidup lagi.
Aku pasti ... pasti tiada maksud mentjelakai kau, sahut Toan Ki menjesal. Le ...
lekas kau bebaskan nona Tjiong sadja.
Dalam keadaan terharu, sebenarnja nada suara Toan Ki mendjadi berbeda sekali
daripada suara Bok Wan-djing jang tadjam dingin. Tapi Sikong Hian sudah kalap
menjaksikan anak-buahnja habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apa suara Toan Ki
itu suara orang laki2 atau perempuan, apa tulen atau palsu, segera ia membentak
pula: Achirnja toh mati, Tio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan she Tjiong
itu! Anak buahnja jang she Tio itu mengia terus mendekati Tjiong Ling, golok
terangkat terus membatjok kepala Tjong Ling. Tapi belum lagi sendjata itu
diajunkan, se-konjong2 suara mendesis tadi berdjangkit lagi sekali, dimana panah
ketjil itu sampai, kontan orang she Tio itu roboh terdjengkang, golok membatjok
dimuka sendiri hingga berlumuran darah.
Sebenarnja orang she Tio itu sudah menduga bahwa Hiang-yok-djeh pasti akan
menimpukan panahnja untuk merintangi batjokannja itu, maka diwaktu membatjok,
kedua matanja sudah tjurahkan seluruh perhatian kearah Toan Ki, asal tangan
Hiang-yok-djeh itu sedikit bergerak, segera ia bermaksud berdjongkok ketanah
untuk menghindar. Siapa duga datangnja panah itu sebelumnja sedikitpun tiada
tanda apa2. Tadi waktu berpuluh orang mengepung Toan Ki, dalam keadaan hiruk-pikuk hudjan
panah, semua orang djuga tidak djelas darimana datangnja panah berbisa itu. Kini
setjepat kilat orang she Tio itu djatuh binasa pula, darimana menjambernja panah
lebih2 tiada seorangpun jang tahu. Karuan sisa anak buah Sin-long-pang mendjadi
kesima ketakutan, beberapa diantaranja jang bernjali ketjil mendjadi lemas
kakinja hingga mendoprok tak bisa berdiri.
Kau lepaskan nona Tjiong, segera Toan Ki tundjuk seorang laki2 setengah umur.
Orang itu insaf bila tidak menurut perintah, sekedjab djiwanja djuga akan
melajang seperti kawan2 lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang tjukup keras,
tapi demi keselamatan djiwa sendiri, terpaksa ia mendekati Tjiong Ling dengan
takut2, ia lolos sebilah pisau dan memotong tali pengikat gadis itu.
Setelah bebas, Tjiong Ling mendekati Sikong Hian, katanja: Keluarkan obat
didalam kotak emas itu dan kembalikan kotaknja padaku.
Meski Sikong Hian sangsikan kasiat obat didalam kotak itu, tapi toh dia korek
djuga semua isinja ditelapak tangan, lalu serahkan kotak kosong itu kepada
Tjiong Ling. Dalam hati ia tjoba mentjari akal bagaimana untuk melawan panah
berbisa Hiang-yok-djeh. Setelah terima kotak emas itu, kembali Tjiong Ling ulurkan tangan dan berkata:
Serahkan sini! Apa lagi" tanja Sikong Hian mendongkol.
Obat pemunah ratjun Toan-djiong-san, sahut Tjiong Ling. Toan-kongtju telah
memintakan obat bagimu, kau harus berikan obat pemunahnja pula.
Tergerak pikiran Sikong Hian, ia mendapat akal, serunja lantas: Ambilkan
obatnja! ~ lalu ia menjebut beberapa nama ramuan obat.
Tjepat dua anak-buahnja mengeluarkan ramuan obat jang dimintanja itu dari peti
obat. Setelah ditjampur dan dibungkus. Sikong Hian berkata pula: serahkan pada
nona Tjiong. Setelah terima obat itu, Tjiong Ling berkata: Kalau obat ini tidak mandjur, akan
kubunuh habis Sin-long-pang kalian!
Sudah tentu obat ini tidak bisa menjembuhkan ratjun Toan-djiong-san.
sahut Sikong Hian dingin.
Apa katamu" tanja Tjiong Ling terkesiap.
Obat ini hanja bisa menunda bekerdjanja ratjun Toan-djiong-san selama tudjuh
hari, habis itu, kalau Lohu tidak mati, bolehlah kau minta obat pemunahnja
padaku, sahut Sikong Hian.
Sungguh gusar Tjiong Ling tidak kepalang. ia berpaling pada Toan Ki dan berkata:
Bok-tjitji, tua bangka ini tidak bisa dipertjaja omongannja, boleh kau panah
mampus dia. Tapi didunia ini hanja Lohu seorang jang sanggup meratjik obat pemunah Toandjiong-san, kata Sikong Hian.
Toan Ki mendjadi kuatir mendengar itu, pikirnja: Obat jang kuberikan padanja
memangnja palsu hanja adukan dari sisa nasi dan tanah, dengan sendirinja takkan
mandjur, kalau nanti ratjun Kim-leng-tju didalam tubuhnja bekerdja, seketika dia
akan mati, lalu bagaimana baiknja"
Tjiong Ling tjoba memandang Toan Ki tanpa berdaja, dalam gugupnja tiba2
timbul sifat keremadjaannja, tangan Sikong Hian terus ditariknja sambil berkata:
Sikong-pangtju, marilah kau ikut aku pergi mendjenguk Toan-kongtju.
Hai matjam apa pakai tarik2 begini" seru Sikong Hian gusar.
Toan-kongtju saat ini tentunja berada dirumahku, marilah kita pergi melihatnja,
sahut Tjiong Ling. Pabila ratjun Kim-leng-tju terdjadi apa2
dalam tubuhmu, ajah bisa djuga mengobati kau.
Toan Ki pikir akal sigadis itu bagus sekali, maka iapun berkata dengan dingin:
Marilah kita berangkat bersama, kau takkan mati!
Sikong Hian memandang sekedjap padanja, ia pikir kalau membangkang hingga
membikin marah Hiang-yok-djeh, bukan mustahil djiwanja akan melajang dibawah
panah beratjun orang. Tapi dirinja adalah seorang Pangtju, anak buahnja sudah
banjak jang djadi korban, kini dirinja kena dibekuk orang pula, apa djadinja
kalau kelak djiwanja selamat" Karena itu, ia mendjadi serba sulit.
Sikong-pangtju, Tjiong Ling mendjadi tak sabar terus menjeret orang, marilah
berangkat lekas! Kau sendiri boleh minum obat pemunah itu dulu, sisanja berikan
anak buahmu. Walaupun ragu2 namun Sikong Hian minum juga sebagian obat pemunah tadi; ia
kuatir kasiat obat kurang mandjur, maka sebagian besar ia minum sendiri, sisanja
tinggal sedikit baru diberikannja pada anak buahnja.
Tanpa bitjara lagi Tjiong Ling terus menjeret pergi Pangtju Sin-long-pang jang
sial itu. Walaupun terluka parah, tapi kalau Sikong Hian mau kipatkan tangan
Tjiong Ling, dengan mudah ia bisa bebaskan diri. Tjuma pertama ia djeri pada
Hiang-yok-djeh jang ganas itu, kedua kuatir obat pemunah jang telah diminum tadi
tidak mandjur, biarpun bisa loloskan diri, achirnja djuga mati, maka ada baiknja
djuga ikut pergi dengan mereka, mungkin masih ada harapan buat hidup. Maka
katanja kemudian. Memangnja aku ingin bertemu dengan ajahmu, ingin aku minta keadilan padanja. ~
Habis mengutjapkan kata2 jang bersifat menutupi malunja itu, segera ia bertindak
lebih dulu. Tjepat Tjiong Ling menggondel lengan ketua Sin-long-pang. Ketika lewat disamping
Toan Ki, sekalian ia gandeng tangan pemuda itu pula.
Melihat sang Pangtju diseret pergi orang, sisa anak buah Sin-long-pang mendjadi
ribut dan bisik2 membitjarakannja. Karuan Sikong Hian merasa malu dan
menundukkan kepala. Dengan bungkam Tjiong Ling menggandeng tangan kedua orang berdjalan terus, diam2
ia memikir: Kalau kubongkar rahasia Toan-kongtju, tentu situa Sikong Hian ini
akan berontak dan kami berdua terang bukan tandingannja. Tjuma Bok-tjitji terang
bersembunji disekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang banjak jang terbunuh,
dengan sendirinja adalah perbuatannja.
Berpikir begitu, segera ia berseru dengan suara sengadja diperkeras: Banjak
terima kasih atas pertolongan Bok-tjitji tadi.
Toan Ki terperandjat ketika mendadak mendengar seruan sigadis, setelah tenangkan
diri, dengan suara jang di-buat2 iapun mendjawab: Ah, orang sendiri tak perlu
sungkan2. Huh, masih berani bersandiwara, pikir Tjiong Ling geli, Tiba2 ia puntir
tangannja hingga Toan Ki kesakitan, hampir2 ia mendjerit. Ketika melirik
sigadis, tampak Tjiong Ling lagi mesam2 geli. Berbareng itu, diam2 gadis itu


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah djedjalkan kotak emas dan bungkusan obat pemunah jang diterimanja dari
Sikong Hian tadi ketangan Toan Ki.
Toan Ki tahu gadis itu sudah mengetahui rahasianja, maka mengangguk tanda terima
kasih. Pada saat itulah, tiba2 didjurusan barat sana ada suara suitan seorang, menjusul
sebelah selatan ada suara orang tepuk2 tangan pula. Habis itu, sesosok bajangan
setjepat terbang tampak memapak dari depan.
Kira2 beberapa meter didepan Toan Ki bertiga, mendadak orang itu berhenti dan
membentak dengan suaranja jang serak: Hiang-yok-djeh, emangnja kau bisa larikan
diri" ~ dari suaranja itu, Toan Ki dapat mengenali adalah Sam-tjiang-tjoat-beng
Tjin Goan-tjun, siradja pengamuk sungai.
Pada saat lain, terdengar pula suara seorang tertawa dingin dibelakang, waktu
Toan Ki menoleh, dibawah sinar bulan jang remang2 tampaklah seorang nenek dengan
tangan menghunus golok dan tangan lain sebatang gurdi badja jang bersinar
kemilauan. Tjelaka! diam2 Toan Ki mengeluh. Semoga Bok-kohnio lekas datang menolong! ~
seketika ia mendjadi bingung, tetap memalsukan nama Hiang-yok-djeh ataukah
membuka badju hitam mengundjukan muka aslinja sendiri"
Sedang ragu2 sementara itu dari kanan-kiri sudah bertambah lagi masing2
seorang. Jang sebelah kiri adalah seorang Hwesio tua berdjubah kuning, membawa
sendjata Hong-pian-djan atau sekop serba guna, suatu alat jang lazim dibawa kaum
paderi. Dan orang jang disebelah kanan kurang djelas wadjahnja, agaknja seorang
laki2 jang berusia belum landjut, punggung menggembol pedang.
Ternjata dalam sekedjap sadja Toan Ki alias Hiang-yok-djeh palsu, sudah
terkepung dari empat djurusan. Ia kenal Tjin Goan-tjun, sinenek dan Hwesio itu
adalah pengerojok2 dirumah Bok Wan-djing, kini mengedjar pula sampai disini,
dengan sendirinja laki jg satunja tentu adalah komplotan mereka djuga.
Kalian hendak tjari Bok-tjitji, bukan" tanja Tjiong Ling tiba2.
Benar, sahut sipaderi. Siapakah nona ini dan Tjianpwe itu" Silahkan menjingkir
kesamping sadja. Belum lagi Tjiong Ling mendjawab, tjepat Sikong Hian sudah menimbrung: Taysu
tentu adalah Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si, bukan" Dan jang ini tentunja Nokang-ong Tjin-loyatju, dan jang itu adalah Sin-si popo.
Tjayhe Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan kedangkalan pengalamanku, numpang
tanja siapakah nama jang mulia dari saudara jang ini"
Laki2 tak dikenal itu melangkah madju dua tindak hingga wadjahnja kini djelas
kelihatan, lalu sahutnja: Tjayhe she Su ............
Ah, kiranja adalah Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap! belum orang selesai
memperkenalkan diri, tjepat Sikong Hian sudah memotong. Selamat bertemu, selamat
bertemu! Su An itu balas menghormat orang, sahutnja: Sudah lama mendengar nama besar
Sikong-pangtju dari Sin-long-pang, betapa bahagia harini bisa berdjumpa disini.
Toan Ki kini dapat melihat usia Su An itu kira2 baru 30-an tahun, perawakannja
sedang, tapi gagah perkasa, djiwa kesatrianja tampak njata pada sikapnja jang
agung, berbeda sekali dengan sifat Tjin Goan-tjun dan Sin-sipopo jang sombong
takmau kalah itu. Diam2 timbul rasa suka Toan Ki pada pendekar muda itu.
Sebagai seorang tokoh Bu-lim jang sudah lama menetap didaerah Hun-lam, banjak
djuga nama djago2 silat terkemuka jang dikenal Sikong Hian, tjuma sedikit jang
tak dikenalnja, Diantara empat tokoh itu hanja Tjin Goan-tjun jang sudah pernah
bertemu, ketiga orang jang lain hanja dikenalnja dari sendjata serta diterka
dari umur mereka, tapi njatanjapun tepat dugaannja. Ia tahu betapa lihay ilmu
pukulan Tjin Goan-tjun, sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu diantara delapan
Hou-hoat atau pembela agama, dari Siau-lim-si, ilmu permainan Hong-pian-djan
terhitung nomor satu dikalangan murid Budha. Sin-sipopo mempunjai kepandaian
tunggal juga dengan goIok dan gurdi badjanja jang dimainkan berbareng dengan
ganas dan kedji. Su An jang terkenal dengan djulukan Oh-pek-kiam atau pedang
hitam-putih, paling achir ini namanja sangat tjemerIang didaerah Kanglam.
Walaupun ilmu silatnja jang sedjati belum diketahui sampai dimana tinkatannja,
namun dapat diduga pasti bukan segala matjam djago silat kerutjuk. Jang paling
kebetulan adalah keempat tokoh ini sekaligus datang mentjari Hiang-yok-djeh,
tentu sadja Sikong Hian tidak sia2kan kesempatan bagus ini untuk memindjam
tenaga keempat tokoh itu agar melenjapkan suatu penjakit bagi dunia persilatan.
Dengan keputusan itulah, segera ia pura2 angkat tangan memberi hormat sambil
berkata: Dan entah ada keperluan apakah kedatangan kalian berempat ini ke Buliang-san sini" ~ berbareng itu, tanpa menunggu djawaban Tjin Goan-tjun
berempat, terus sadja ia kipatkan tangannja hingga Tjiong Ling dan Toan Ki
tergentak mundur, bahkan Toan Ki jang takbisa ilmu silat terus terdjungkal
roboh. Sementara itu Sikong Hian sudah lantas melompat kesamping. Tapi karena
ratjun Kim-leng-tju teramat berat mengeram dalam tubuhnja, kakinja masih terasa
lemas, ia sempojongan dan hampir2 djatuh.
Semula Hui-sian berempat mengira Sikong Hian adalah begundalnja Bok Wan-djing,
walaupun tahu ilmu silatnja belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang
adalah suatu klik jang paling berkuasa didaerah Hunlam, orangnja banjak,
pengaruhnja besar, suka main obat ratjun dan asap berbisa, untuk itu agak susah
djuga untuk dilawan. Kini demi nampak Sikong Hian melompat menjingkir dengan
sempojongan, baru mereka tahu Pangtju Sin-long-pang itu sudah terluka parah.
Sekali Sikong Hian putar tubuh sambil bersandar disamping Hui-sian, ia berkata
dengan pilu: Teramat kedji tjara turun tangan Hiang-yok-djeh, sekaligus berpuluh
anak-buah Sin-long-pang sudah mendjadi korban keganasannja, sakit hati Tjayhe
ini pasti kubalas. Nona tjilik, segera Hui-sian berkata pula. Lekas kau menjingkir kesamping.
Kalian takkan mampu melawan Bok-tjitji, lebih baik lekas pergi sadja, sahut
Tjiong Ling. Dia adalah puterinja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu. Sikong Hian tjoba
mengkisiki Hui-sian. Kabarnja ajahnja masih hidup, paling baik kalau tawan dia
sadja. ~ njata dibalik itu ia ingin Hui-sian dapat menawan Tjiong Ling sebagai
djaminan agar kelak Tjiong Ban-siu terpaksa mengobati ratjun Kim-leng-tju
didalam tubuhnja itu. Mendengar Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu masih hidup, Hui-sian rada
tertjengang. Ia tahu iblis besar itu sangat susah dilawan, sekali terlibat
bermusuhan dengan dia, selandjutnja Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman, maka
sesungguhnja ia tidak ingin mengikat musuh lihay itu.
Mendadak ser sekali, Hong-pian-djan atau sekop serba guna, menjamber keatas
kepala Tjiong Ling. Tjepat gadis itu mengegos, tak terduga sekop itu terus
ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol ditengkuk sigadis.
Djurus serangan itu disebut Sui-ong-sit-hoan atau seperti kedepan, tapi
sebenarnja kembali. Jaitu suatu tipu paling lihay diantara 36 djurus Hok-modjan-hoat atau ilmu- sekop penakluk iblis. Gerak tipunja diluar dugaan orang,
tjepatnja luar biasa pula, maka musuh susah menghindarkan diri.
Ketika Tjiong Ling mendjerit kaget, tahu2 punggung sekop sudah mendempel
tengkuknja. Sekonjong2 sinar putih berkelebat, tjring sekali, Su An telah lolos
pedang menjampok djatuh sebuah panah ketjil. Sementara itu Hui-sian sudah tarik
sekopnja hingga Tjiong Ling ikut terseret kesampingnja, sekali pegang, tangan
kiri Hui-sian telah pentjet pergelangan tangan kanan sigadis hingga takbisa
berkutik, lalu katanja: Terima kasih atas pertolongan Su-tayhiap. ~ pabila
membajangkan kedjadian barusan, tanpa tertahan paderi itu berkeringat dingin,
tjoba kalau Su An tidak awas dan tjekatanhingga panah gelap itu disampok djatuh,
mungkin djiwanja sekarang sudah melajang.
Tampak Su An berpaling kearah datangnja panah gelap itu sambil membentak:
Silahkan keluar sadja, Bok-kohnio!
Diam2 Tjin Goan-tjun dan lain2 sama malu diri: Kiranja orang berbadju hitam ini
bukan Hiang-yok-djeh, untung Su An tjukup tjerdik dan tjekatan.
Ketika mereka memandang kearah datang panah itu, namun disitu sunyi-senjap gelap
gelita tiada bajangan seorangpun.
Mendadak, disebelah kiri terdengar suara tak sekali, sepotong batu kelihatan
djatuh ditanah, tjepat semua orang berpaling, tapi pada-saat jang sama, kembali
terdengar suara mendesisnja panah menjamber, tjring, lagi2 Su An menjampok
dengan pedang hinggasebatang panah ketjil jang mengintjar belakang kepala Sinsipopo dapat dihantam djatuh.
Ternjata sehabis menjerang Hui-sian, tjepat penjerang tadi sudah mengisar
kekanan, ia pantjing orang memandang kekiri dengan sepotong batu, berbareng
membokong Sin-sipopo pula.
Karuan nenek itu terkedjut dan gusar, ia putar goloknja dengan kentjang hingga
tubuhnja se-akan2 terbungkus segulung sinar putih, terus menerdjang kesemak2
rumput disebelah kanan sana. Rumput alang2 disitu menjadi bertebaran kena
dipapas goloknja, tapi tiada bajangan seorangpun kelihatan.
Tiba2 terdengar Su An bersuit njaring, segera ia melajang keatas sebatang pohon
besar diarah barat sana, menjusul terdengarlah suara trang-treng beberapa kali,
sekaligus pedang Su An ternjata sudah menjerang empat djurus kepada musuh.
Selagi Hui-sian pentang mata dan pasang kuping mengikuti pertarungan kawan
diatas pohon itu, mendadak dari udara menubruk turun sesosok bajangan hitam
keatas kepalanja. Tjepat djuga reaksi Hui-sian, sekali tangan kanan terangkat,
Hong-pian-djan lantas menjabet kearah bajangan itu.
Namun bajangan itu sempat menutul kakinja kebatang sekop sipaderi, dengan tenaga
endjotan itu, pedangnja tahu2 menusuk Sin-sipopo atau Sin Si-nio nama
sebenarnja. Sekuat tenaga Sin Si-nio ajun goloknja menangkis, sret sekali, tahu2
udjung golok telah putus tertabas pedang musuh, menjusul sinar pedang musuh
masih terus mengarah kemukanja.
Karena tak keburu menolong, tjepat Tjin Goan-tjun memukul ke punggung musuh.
Agaknja orang itupun tahu betapa lihay ilmu pukulannja Tjin Goan-tjun, maka
tidak berani menangkis dari depan, tjepat pedangnja menepok dipundak Sin Si-nio,
sekali tahan, sekali lontjat, dengan enteng orangnja sudah melontjat pergi.
Kalau orang itu tidak terpaksa, oleh karena digentjet oleh pukulan Tjin Goantjun dari belakang, tentu pedangnja itu tidak menepok, tapi memapas, dan tentu
tubuh Sin Sin-nio sudah terbelah mendjadi dua. Namun walaupun sudah dua kali
hampir2 djiwanja melajang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk madju pula
dengan kalap. Berbareng itu Tjin Goan-tjun dan Hui-sian pun merangsang dari
kanan-kiri. Tapi biarpun dikerojok tiga orang, orang itu masih bisa menjusur kian kemari
diantara kawan2 itu dengan lintjah dan luwes, njata itulah dia Hiang-yok-djeh
tulen jaug telah datang. Sementara itu Su An sudah melompat turun dari atas pohon, tapi ia tidak ikut
mengerojok sebaliknja masukan pedangnja kesarung, lalu berdiri disamping untuk
menonton. Su-heng, kata Toan Ki tiba2 mendekati Su An, harap kau suruh mereka djanganlah
berkelahi. Sungguh diluar dugaan Su An utjapan Toan Ki itu. Ia tjoba melirik Hiang-yok-djeh
palsu itu, lalu bertanja: Siapakah saudara sebenarnja"
Tjayhe bernama Toan Ki. Sungguh Tjayhe tidak paham pertjektjokan diantara Bokkohnio dengan kalian ini, demikian sahut Toan Ki. Tjuma tjara bertempur mati2an
begini, rasanja bukanlah djalan jang sempurna.
Salah atau benar, seharusnja bisa diselesaikan setjara berunding sadja.
Su An memandang sekedjap pula kepada pemuda itu, pikirnja: Benar djuga
utjapannja ini. Tapi pertjektjokan diantara orang Kangouw, selamanja
diselesaikan dalam ilmu silat, pabila pakai berunding segala, buat apa lagi
orang beladjar silat. ~ Toan Ki" Siapakah dia ini, belum pernah kudengar nama
seorang tokoh demikian. Dan selagi ia hendak menanja Toan Ki pula, tiba2 terdengar Tjiong Ling sedang
memanggil pemuda itu disebelah sana.
Segera Toan Ki mendekati gadis itu dan menanja: Ada apa"
Marilah lekas kita lari, kalau ajal mungkin tak keburu lagi, adjak sigadis.
Tapi Bok-tjitji lagi dikerojok orang, mana boleh kita tinggal lari"
sahut Toan Ki. Kepandaian Bok-tjitji teramat lihay, dia tentu ada djalan buat loloskan diri,
udjar Tjiong Ling. Namun Toan Ki masih geleng2 kepala, katanja: Tidak, dia datang untuk menolong
djiwa kita, kalau kita tinggal pergi begini sadja, hatiku merasa tidak enak.
Tolol, omel sigadis mendongkol. Kau tinggal disini, apakah kau bisa membantu
Bok-tjitji" Dalam pada itu Tjin Goan-tjun, Sin Si-nio dan Hui-sian bertiga masih sengit
menempur Bok Wan-djing. Kedua telapak tangan Tjin Guan-tjun sedemikian gentjar
mengerahkan tenaga2 pukulannja. Sekop serba guna Hui-sian menjamber kian kemari
dengan hebat, golok Sin Si-nio pun tidak ketinggalan membatjok dan
membabatdimana ada lubang. Namun Bok Wan-djing tampak sedikitpun tidak
kewalahan, bahkan pertjakapan Toan Ki dengan Su An dan Tjiong Ling barusan dapat
diikutinja semua. Ia dengar Toan Ki sedang berkata pula: Tjiong-kohnio, bolehlah
kau lari dulu. Bukanlah semestinja aku mengingkari kebaikan Bok-tjitji dengan
meninggalkannja dibawah kerojokan orang, Biarlah kutinggal disini, bila achirnja
ternjata Bok-tjitji takbisa melawan mereka, aku akan menasihati mereka dengan
omonqan baik2, boleh djadi keadaan masih bisa dikendalikan.
Masih kau berlagak" Paling2 djiwamu akan ikut melajang nanti! seru Tjiong Ling
gusar. Memangnja djiwaku ini sedjak tadi sudah melajang kalau bukan ditolong oleh Boktjitji, aku orang she Toan kalau lupa pada kebaikan orang, ajah dan pamanku
sendiri djuga takkan mengampuni aku, sahut Toan Ki tegas.
Tolol benar2! Pertjuma banjak bitjara dengan kau! kata sigadis. Terus sadja ia
tarik tangan pemuda itu dan diseret lari.
Tidak, tidak! Aku tak mau pergi! teriak Toan Ki. Tapi tenaga Tjionq Ling lebih
kuat daripadanja, ia mendjadi sempojongan kena diseret oleh gadis itu.
Melihat itu, diam2 Su An ter-heran2, pikirnja: Orang ini terang sedikitpun
takbisa ilmu silat, tapi djiwa setia kawannja sungguh harus dipudji. Lama
mendengar bahwa Hiang-yok-djeh ganas dan kedji, tiada punja seorang teman, entah
mengapa orang she Toan ini sedemikian berani hendak bitjara tentang kebaikan dan
setia kawan dengan momok perempuan itu"
Pada saat itu, tiba2 terdengar Bok Wan-djing berseru: Tjiong Ling, kau sendiri
lekas enjah, dilarang kau menjeret dia!
Tjiong Ling semakin ketakutan, ia seret Toan Ki terlebih tjepat.
Mendadak terdengar suara mendesing sekali, tahu2 diatas konde Tjiong Ling
menantjap sebatang panah ketjil. Berbareng terdengar Bok Wan-djing membentak:
Kalau kau tidak lantas lepaskan dia, awas, akan kupanah bidji matamu!
Tjiong Ling kenal watak Bok Wan-djing, sekali berkata, tentu bisa dilakukannja
djuga, tidak pernah beromong main2. Djika masih bandel, bukan mustahil bidji
matanja akan dipanah sungguh2. Karena itu, terpaksa Tjiong Ling lepaskan tangan
Toan Ki. Lekas kau enjah pulang kerumah, lekas! bentak Bok Wan-djing pula.
Tjiong Ling tak berani membantah, katanja pada Toan Ki: Toan-heng, harap kau
djangan berbuat kedjahatan, djagalah dirimu baik2. ~ Habis bitjara, dengan rasa
berat. ia berlari pergi dan sekedjap sadja sudah menghilang ditempat gelap.
Tunggu dulu, Tjiong-kohnio! gembor Sikong Hian. Obat pemunah dari ajahmu tadi
mandjur atau tidak" Mana Tjiong Ling mau peduli. Segera Sikong Hian bermaksud mengedjar, tapi baru
melangkah dua tindak, kaki sendiri terasa lemas dan djatuh mendoprok.
Sambil membentak pergi Tjiong Ling, Bok Wan-djing tetap berkeliaran kian kemari
diantara ketiga pengerojoknja dengan tjepat, tetap ia masih diatas angin.
Menjaksikan itu diam2 Su An me-nimang2: Kegesitan perempuan ini ternjata masih
djauh diatas kepandaianku. Hanja dalam hal ilmu pedang belum tentu dia mampu
melawan aku. ~ Dan karena mendjaga martabat sendiri, ia tidak sudi ikut
mengerojok seorang gadis, ia tunggu bila nanti ketiga orang itu dikalahkah baru
ia sendiri akan madju. Tak lama lagi mendadak permainan pedang Bok Wan-djing berubah, sinar pedang
menjamber kesana-kesini bagai hudjan mentjurah dari langit dan susah ditentukan
arah serangannja. Su An terkedjut, serunja: Kiam-hoat bagus!
Ditengah sorak pudjiannja itu, tiba2 terdengar Hui-sian mendjerit sekali, iganja
telah kena tusukan pedang. Menjusul pedang Bok Wan-djing menjamber pula kedepan
be-runtun2 tiga kali hingga Tjin Goan-tjun dipaksa melompat keluar kalangan
untuk menghindar. Ketika arah pedang Bok Wan-djing berganti pula, tanpa ampun
lagi Sin Si-nio sudah terkurung ditengah sinar pedangnja.
Tampaknja sekedjap pula djiwa Sin Si-nio pasti akan pergi menghadap radja
acherat, Su An tidak bisa tinggal diam lagi, tjepat pedangnja bergerak, bagai
kilat menjamber, ia menjela diantara lingkaran sinar pedang Bok Wan-djing, maka
terdengarlah suara gemerintjing beberapa kali, kedua pedang saling beradu
beberapa kali dengan ketjepatan luar biasa.
Meski Su An tepat turun tangan pada waktunja, namun tidak urung tubuh Sin Si-nio
toh terluka tiga tempat. Sedikitpun nenek itu tidak menghiraukan luka itu,
dengan kalap ja menubruk pula kearah Bok Wan-djing.
Dalam pada itu pedang Bok Wan-djing sedang bertempelan dengan pedang Su An.
Sedjak gebrakan diatas pohon tadi, ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak boleh
dibuat mainan, maka begitu Su An terdjun kekalangan pertempuran, antero


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatiannja sudah ditjurahkan pada lawan tangguh ini, sedikitpun tidak berani
ajal. Siapa duga tjara bertempur Sin Si-nio itu ternjata sedemikian nekadnja mengadu
djiwa, begitu menubruk madju, ia djatuhkan diri terus menggelundung kesamping
Bok Wan-djing, gurdi badja ditangan kanan terus menikam kebetis lawan itu.
Sjukur Bok Wan-djing sempat ajun kakinja dan berbalik Sin Si-nio terdepak pergi.
Dan karena sedikit ajal itu, tusukan pedang Su An sudah sampai didepan mukanja.
Dalam detik maha bahaja itu, pedang Bok Wan-djing setjepat kilat menangkis
keatas, ia insaf menjusul mana serangan2 musuh pasti akan lebih gentjar, maka ia
tidak mau didahului, berbareng 3-4
djurus mematikan terus dilontarkan kearah Su An.
Tjara serangan Bok Wan-djing itu adalah, dalam keadaan kepepet, musuh terpaksa
harus menjelamatkan diri sendiri lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil
menarik kembali pedangnja mendjaga diri.
Melihat gerakan musuh itu. Bok Wan-djing menarik napas lega. Selagi hendak ganti
serangan pula, mendadak bles, pundak kiri terasa kesakitan, ternjata kesempatan
tadi telah digunakan Sin Si-nio untuk menikamkan gurdi badjanja. Tapi Bok Wandjing pun tidak tinggal diam, kontan tangannja menggablok kebelakang hingga muka
Sin Si-nio seketika hantjur luluh dan terbinasa.
Sementara itu Tjin Goan-tjun dan Hui-sian lantas mengerubut madju lagi hingga
keadean kembali mendjadi tiga-lawan satu.
Hai, hai! Tiga laki2 mengerojok seorang perempuan, apa kalian tidak merasa malu"
segera Toan Ki bergembar-gembor.
Memangnja Su An ada maksud menarik diri dari pertempuran kerojokan itu, demi
mendengar teriakan Toan Ki, seketika ia melompat mundur setombak djauhnja sambil
berseru: Bok Wan-djing, lekas kau buang pedangmu dan menjerah sadja!
Tapi semakin gentjar permainan pedang Bok Wan-djing, ia tidak sempat mentjabut
gurdi badja jang menantjap dipundaknja itu, dengan menahan sakit, setjepat kilat
ia serang Tjin Goan-tjun dua kali dan menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihay
ketiga djurus serangan itu, tanpa ampun lagi pipi kanan Tji Goan-tjun kontan
tersajat suatu garis luka, begitu pula leher Hui Sian letjet keserempet pedang.
Walaupun luka kedua orang hanja enteng sadja, tapi tempat jang terluka itu
adalah tempat mematikan, sedikit ajal tadi, djiwa mereka tentu sudah melajang.
Saking kagetnja kedua orang, berbareng mereka melompat pergi dengan napas
memburu. Sajang, sajang! diam2 Bok Wan-djing gegetun tak berhasil mampuskan kedua lawan
itu. Tiba2 ia bersuit njaring, lalu terdengar suara derapan kuda, tahu2 Oh-bikui muntjul dari balik bukit sana. Sekali tjemplak, Bok Wan-djing melompat
keatas kuda itu. Ketika lewat disamping Toan Ki, sekali ulur tangan, Bok wandjing telah tjengkeram tengkuk Toan Ki dan diangkat keatas kuda pula. Dua orang
setunggangan terus berlari kebarat dengan tjepat.
Tidak djauh, se-konjong2 dari hutan ditepi djalan hiruk-pikuk dengan bentakan
orang, berpuluh orang mendadak melompat keluar menghadang ditengah djalan.
Seorang kakek tinggi besar jang berdiri ditengah lantas membentak: Hiang-yokdjeh! Sudah lama Lotju menunggu disini! ~ berbareng tali kendali simawar hitam
terus hendak ditariknja. Namun sedikit Bok Wan-djing kesampingkan kudanja, berbareng tangan lain
mengajun, tiga panah ketjil terus dibidikan.Kontan diantara gerombolan
penghadang itu terdjungkal tiga orang.
Tengah kakek tadi terkesiap oleh serangan mendadak itu, Bok Wan-djing sudah
sendal tali kendalinja hingga Oh-bi-kui se-konjong2 melompat kedepan melalui
atas kepala gerombolan orang itu. Dan sekali simawar hitam sudah mentjongklang,
manabisa lagi kawanan penghadang itu mengedjarnja"
Sebenarnja tidak kurang djago2 pilihan diantara para penghadang itu, tapi
semuanja djeri panah berbisa Bok Wan-djing jang lihay, walaupun masih tjoba
mengudak djuga, namun sebentar sadja mereka sudah ketinggalan djauh. Toan Ki
mendengar gerombolan orang itu mentjatji-maki kalang-kabut dibelakang: Perempuan
bangsat, para kesatria Hok-gu-tjeh tidak ingin hidup ber-sama2 kau! ~ Marilah
kedjar, kawan2! Bekuk perempuan bangsat itu dan tjintjang dia untuk membalas
sakit hati Tjo-toako! Suara tjatji-maki itu lambat-laun mendjauh dan tidak terdengar lagi.
Tapi rasa dendam kesumat jang terkandung didalam tjatji-maki itu masih terus
mengiang ditelinga Toan Ki. Selama beberapa hari ini ia sudah banjak mengalami
bahaja2, tapi tjatji-maki dengan rasa dendam jang tak terhimpas baru sekali ini
jang paling hebat. Karena itu, diam2 iapun mengkirik.
Bok Wan-djing membiarkan Oh-bi-kui berlari sesukanja dilereng gunung jang gelap
itu. Sampai disuatu bukit, ia lihat didepan sana ada djurang, terpaksa ia turun
kuda untuk mentjari djalan lain.
Djalan pegunungan di Bu-liang-san itu ternjata ber-liku2, mendadak didepan sana
ada suara seruan orang pula: Itu dia, kudanja sudah kelihatan! ~ Awas, tjegat
sebelah sana! ~ Ja, djangan sampai perempuan hina itu lolos lagi!
Dalam keadaan terluka, Bok Wan-djing tidak ingin bertempur lagi, tjepat ia
bilukan kuda kearah lain. Walaupun bukan lagi djalan pegunungan, sjukur simawar
hitam tjukup tangkas, dilereng bukit jang penuh batu2
padas itu ia masih berlari setjepat terbang.
Setelah berlari2 tak lama lagi, mendadak kaki depan simawar mendeprok, lututnja
kesandung sepotong batu padas, seketika larinja mendjadi lambat dengan kaki
pintjang binatang itu mulai tampak pajah.Toan Ki mendjadi kuatir, katanja: Bokkohnio, harap kau turunkan aku sadja, biar kau sendiri mudah melarikan diri. Aku
tiada permusuhan apa2 dengan mereka, andaikan aku tertangkap djuga tidak
mengapa. Hm, kau tahu apa" djengek Bok Wan-djing. Djika kau tertangkap orang Hok-gu-tjeh,
biarpun sepuluh njawamu djuga akan melajang.
Tapi mereka teramat dendam pada nona, ada lebih baik nona menjelamatkan diri
lebih dulu, udjar Toan Ki.
Memangnja pundak Bok Wan-djing lagi kesakitan, Toan Ki masih terus mentjerotjos
sadja, karuan nona itu mendjadi gusar: Hendaklah kau tutup mulut, djangan banjak
bitjara. Toan Ki tertawa, sahutnja: Tempo hari aku tidak suka bitjara, kau djusteru paksa
aku buka mulut. Kini aku adjak bitjara padamu, kau melarang aku malah. Ai, kau
nona ini benar2 susah diladeni.
Saking kesakitan, Bok Wan-djing mendjadi gemas, sekali tjengkeram, pundak Toan
Ki diremas hingga berkeriutan, djika keras lagi sedikit, boleh djadi tulang
pundak Toan Ki akan remuk.
Ja, sudahlah, aku takkan buka mulut lagi! tjepat Toan Ki berteriak sambil
meringis. Tiba2 simawar hitam telah mendaki suatu djalan pegunungan, karena djalanan itu
tjukup rata, djalan binatang itu mendjadi tjepat. Sementara itu sudah mendjelang
fadjar, tjuatja sudah remang2. Toan Ki dapat mengenali djalanan itu, katanja:
He, djalanan ini adalah menudju ke Kiam-oh-kiong, apakah nona ada permusuhan
dengan orang Bu-liang-kiam" ~ ia merasa dengan segala orang Bok Wan-djing suka
bermusuhan, andaikata tiada permusuhan dengan Bu-liang-kiam, rasanja nona itu
djuga tak mungkin bersahabat dengan mereka.
Maka Bok Wan-djing mendjawab: Hm, untuk bermusuhan bukanlah terlalu mudah, bunuh
sadja beberapa orang mereka, bukankah lantas djadi"
Tengah bitjara, Kiam-oh-kiong jang megah sudah tampak dari djauh.
Sudah beberapa harini Bu-liang-kiam dalam siap-siaga menantikan datangnja
serangan Sin-long-pang, tapi sampai kini masih tiada terdjadi apa2. Maka djago2
jang diundang itu seperti Be Ngo-tek dan lain2 sudah sama mohon diri karena
tidak ingin terlibat dalam persengketaan itu. Tapi Bu-liang-kiam sekte barat
betapapun adalah orang sendiri, walaupun diantara mereka sediri ada
perselisihan, namun melihat sesama golongannja terantjam bahaja, tak bisa tidak
mereka harus tinggal disitu untuk membantu. Maka waktu itu disekeliling Kiam-ohkiong setjara bergiliran selalu didjaga oleh anak murid Bu-liang-kiam dari Tangtjong dan Se-tjong. Didepan istana jang megah itu saat mana sedang didjaga oleh empat murid Buliang-kiam, mendjelang fadjar, mereka sudah sangat kantuk dan letih, tiba2
terdengar ada suara derapan kuda mendatangi dengan tjepat. Seketika semangat
empat orang itu terbangkit, tjepat mereka menghunus pedang dan menghadang madju.
Pemimpin dari empat orang itu bernama Tong Djin-hiong, segera ia membentak:
Siapa jang datang ini" Kawan atau lawan" Lekas beritahu namamu!
Melihat demikian garang sambutan orang2 Bu-liang-kiam itu, Bok Wan-djing
mendjadi dongkol, kalau turuti wataknja, tentu segera diterdjangnja dulu, urusan
belakang. Tapi kini ia terluka parah pundaknja masih menantjap sebuah gurdi jang
belum berani ditjabutnja, sebab kuatir akan keluar darah terlalu banjak. Iapun
kenal ketua Bu-liang-kiam, Tjo Tju-bok terkenal lihay dengan ilmu pedangnja,
tergolong tokoh terkemuka didaerah Hun-lam. Maka dengan sabar ia tahan kudanja
dan menjahut: Ada orang mengedjar kami, terpaksa harus menghindari sebentar ke
Kiam-oh-kiong, lekas kalian menjingkir!
Sungguh gusar sekali Tong Djin-hiong, pikirnja: Kurangadjar benar kau ini! Kau
diuber musuh, seharusnja kau memohon perlindungan pada kami dengan baik2, kenapa
bitjara setjara demikian kasar" ~ Maka sekali pedangnja melintang kedepan,
segera ia berkata: Siapakah kau ini" Ada hubungan apa dengan golongan kami"
Dan pada saat itulah, dari djauh sana terdengar suara teriakan orang2, njata
Tjin Goan-tjun dan kawan2nja serta orang Hok-gu-tjeh sudah menguber datang.
Tanpa bitjara lagi, sekali tarik tali kendali kuda, Bok Wan-djing membentak
njaring, se-konjong2 simawar hitam mentjongklang kedepan terus melompat lewat
diatas kepala Tong Djin-hiong berempat dan menerdjang kearah Kiam-oh-kiong.
Walaupun kaki Oh-bi-kui terluka, tapi dibawah keprakan sang madjikan, dengan
gagah kuat ia masih bisa lari dengan pesat. Karuan Tong Djin-hiong berempat
terkedjut, sambil mem-bentak2 mereka terus mengudak.
Tapi Bok Wan-djing tidak ambil pusing lagi, ia keprak simawar hitam menerdjang
masuk pintu gerbang Kiam-oh-kiong, menerobos keruangan tengah dan menembus
keserambi belakang. Seketika Kiam-oh-kiong mendjadi panik, ada 7-8 anak murid
Bu-liang-kiam hendak madju merintangi, tapi merekapun katjau-balau, kalau tidak
didepak oleh simawar, tentu kena ditusuk pedang Bok Wan-djing.
Tatkala itu Tjo Tju-bok baru bangun tidur. Selama beberapa harini dia memang
tidak pernah hidup tenteram, kini mendengar didalam istana terdjadi ramai2,
segera ia memburu keluar dengan pedang terhunus. Tiba2
ia dipapak oleh seekor kuda hitam, ia hanja menjangka Sin-long-pang telah mulai
menjerbu, sama sekali tak menduga ditengah istana itu ada kuda berkeliaran,
tanpa bitjara ia ulur tangan hendak menarik tali kendali kuda.
Tapi mendadak angin tadjam menjamber kemukanja, udjung pedang musuh sudah berada
didepan batok kepalanja. Betapa tjepat serangan musuh itu sungguh tak pernah
dialaminja selama hidup. Untung Tjo Tju-bok adalah djago kawakan, tjepat ia menunduk dengan gaja Hongtiam-thau atau burung Hong manggut kepala. Menjusul pedangnja menangkis keatas,
trang, kedua pedang saling beradu. Memang benar dugaannja, serangan lawan
datangnja setjara be-runtun2. Lekas2 Tjo Tju-bok djatuhkan diri ketanah sambil
menangkis lagi sekali, tapi mendadak pergelangan tangan kiri terasa sakit
sekali, kiranja kena didepak oleh simawar. Sekuatnja Tjo Tju-bok melesat
kesamping, sekilas dapat dikenalnja Toan Ki berada diatas kuda itu. He, kiranja
kau! tanpa merasa ia berseru. Tapi segera dilihatnja pula dibelakang pemuda itu
berduduk lagi seorang jang seantero tubuhnja terbungkus badju hitam mulus, tiba2
ia ingat seseorang, tak tertahan ia merinding
Hiang...... Hiang-yok....... demikian Tjo Tju-bok berteriak dengan gemetar,
dalam pada itu Bok Wan-djing sudah keprak simawar menudju ketaman bunga
dibelakang. Sebenarnja Tjo Tju-bok masih mempunjai sedjurus serangan menimpukan pedang,
kalau pedangnja ditimpukan, tentu dapat menantjap kebokong simawar. Tapi saat
pedang hampir terlepas dari tangan, ia telah melihat dandanan Bok Wan-djing
hingga pedangnja ditarik kembali mentah2. Dan sedikit ajal itulah, Bok Wan-djing
sudah keprak kudanja menudju kebelakang.
Ditaman belakang itu didjaga delapan anak murid Bu-liang-kiam, Kam Djin-kiat
termasuk diantaranja. Ketika mendadak nampak seekor kuda hitam berlari dari
ruangan depan, mereka mendjadi ter-heran2.
Dalam pada itu Bok Wan-djing sudah keprak kuda sampai dipintu taman, sekali
tabas, gembok pintu dikutunginja.
He, he! Bukit dibelakang adalah daerah terlarang, tidak boleh sembarangan
terobosan kesana! tjepat Kam Djin-kiat berseru. Namun Oh-bi-kui sudah
mentjongklang keluar dengan dua penunggangnja.
Walaupun Tjo Tju-bok sangat djeri pada Bok Wan-djing, tapi orang telah
menerdjang sesukanja didalam Kiam-oh-kiong, kini berlari kebagian terlarang pula
digunung belakang, betapapun dia takbisa tinggal diam lagi. Segera ia memberi
perintah, kawan2 dari Se-tjong diminta mendjaga Kiam-oh-kiong kalau2 diserbu
oleh Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh annak muridnja mengudak
kebelakang gunung. Melihat arah jang ditudju Oh-bi-kui itu adalah djalan jang pernah didatanginja,
segera Toan Ki berkata: Bok-kohnio, didepan sana ada rintangan djurang, kita
harus mengitar kearah lain.
Darimana kau tahu" tanja sigadis dengan tertjengang.
Djalanan ini pernah kulalui, sahut Toan Ki.
Bok Wan-djing dapat mempertjajainja, ia tahan kudanja dan ragu2
sedjenak, lalu bilukan Oh-bi-kui kedjalan ketjil di sebelah kiri.
Tak terduga djalan itu terus menudju kesuatu lereng bukit jang pandjang, makin
djauh makin tinggi dan makin ber-liku2, dengan susah pajah, achirnja dapat
mereka mentjapai suatu karang diatas bukit. Waktu Bok Wan-djing menoleh, ia
lihat para pengedjarnja terbagi dalam tiga kelompok sedang mengurungnja dari
kanan-kiri dan belakang. Jang sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Tjo Tjubok dari Bu-liang-kiam dan anak muridnja; Sebelah kanan hanja tiga orang. Jaitu
Su An, Tjin Goan-tjun dan Hui-sian; Sebaliknja pengedjar dibelakang itu adalah
orang2 Hok-gu-djeh. Su An tampak gesit sekali, setjepat terbang ia melompat dari batu padas jang
satu kebatu jang lain. Melihat itu, diam2 Bok Wan-djing terperandjat, tanpa
banjak pikir, terus sadja ia keprak kudanja kedepan.
Tidak djauh, mendadak didepan terbentang sebuah djurang jang lebarnja belasan
meter, dalamnja susah didjadjaki. Oh-bi-kui meringkik kaget dan tjepat berhenti
dan mundur beberapa langkah.
Menghadapi djalan buntu, sedang dari belakang pengedjar2 makin mendekat, tjepat
Bok Wan-djing ambil keputusan, segera ia tanja Toan Ki: Aku akan keprak kuda
melompat keseberang djurang sana. Kau akan ikut aku menghadapi bahaja atau turun
disini sadja" Toan Ki pikir kalau beban kuda itu berkurang, melompatnja tentu akan lebih
mudah, maka sahutnja: Biarlah nona menjeberang dahulu, nanti menarik aku lagi
dengan tali. Tapi waktu Bok Wan-djing menoleh, ia lihat Su An sudah menguber
datang, djaraknja tjuma beberapa puluh meter sadja.
Maka katanja tjepat: Sudah tidak sempat lagi! ~ ia tarik simawar mundur beberapa
meter djauhnja, pelahan2 ia tepuk2 perut kuda itu sambil berseru: Melompatlah
kesana, kuda baik! Se-konjong2 simawar membedal setjepatnja kedepan, sampai ditepi djurang,
binatang itu melompat sekuatnja. Seketika Toan Ki merasa seakan2 terbang
diudara, djantungnja se-olah2 ikut melontjat keluar dari rongga dadanja.
Dibawah desakan sang madjikan, Oh-bi-kui jang sudah terluka dan terlalu tjapek
itu telah melompat sepenuh tenaga, tapi hanja kedua kaki depan dapat mentjapai
tepi djurang sana, kedua kaki belakang tak sanggup lagi mengindjak tanah, terus
sadja tubuhnja terdjerumus kebawah.
Sjukur Bok Wan-djing dapat bertindak tjepat, pada saat berbahaja itu, ia terus
melajang sekuatnja kedepan sambil djamberet Toan Ki sekenanja.
Lebih dulu Toan Ki terdjatuh ditanah, menjusul Bok Wan-djing ikut terbanting
kedalam pangkuannja. Kuatir kalau gadis itu terluka, tjepat Toan Ki merangkul
gadis itu erat2. Dalam pada itu terdengar suara ringkikian simawar jang pandjang mengerikan,
binatang itu sudah tergelintjir kedalam djurang tak terkira dalamnja.
Bok Wan-djing mendjadi berduka, ia meronta lepas dari pelukan Toan Ki dan
berlari ketepi djurang. Namun permukaan djurang itu penuh tertutup kabut tebal,
simawar sudah tak kelihatan lagi.
Saat itu kebetulan Su An sudah mentjapai tepi djurang djuga dan menjaksikan
adegan ngeri itu, betapapun ia ikut ternganga kesima.
Melihat pengedjarnja tidak mampu menjeberangi djurang, hati Bok Wan-djing rada
lega. Tapi se-konjong2 kepala terasa pening, langit dan bumi se-akan2 berputar,
kakinja mendjadi lemas pula, seketika robohlah dia tak sadarkan diri.
Karuan Toan Ki kaget, tjepat ia memburu madju untuk menjeretnja mundur agar
gadis itu tidak tergelintjir kedalam djurang. Ia lihat kedua mata sinona
terpedjam rapat dan sudah pingsan. Selagi bingung entah apa jang harus
dilakukannja, tiba2 diseberang djurang sana ada orang berteriak: Lepaskan panah,
mampuskan kedua keparat itu!
Waktu Toan Ki memandang, ia lihat diseberang sana sudah berdiri 7-8
orang, kalau benar2 mereka melepaskan panah, wah, tjelakalah dirinja.
Segera ia pondong Bok Wan-djing, dengan susah pajah ia membawanja lari mundur.
Sjukur badan sinona tiada 100 kati beratnja, maka Toan Ki masih sanggup


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memondongnja lari. Serr, mendadak sebatang panah menjamber lewat disamping
telinganja. Dengan ter-sipu2 Toan Ki berlari pula kedepan sambil sedikit berdjongkok, serr,
kembali sebatang panah menjamber lewat diatas kepalanja. Ia lihat disamping kiri
sana ada sepotong batu besar, segera ia menubruk madju untuk sembunji dibelakang
batu. Dalam sekedjap itu, anak panah sudah berseliweran dan ber-matjam2 Am-gi
membentur batu padas itu hingga terpental djatuh.
Sedikitpun Toan Ki tidak berani bergerak. Bluk, se-konjong2 sepotong batu
sebesar mangga djatuh disampingnja. Njata, penimpuk batu itu sangat besar
tenaganja, tjuma djaraknja agak djauh, maka intjarannja kurang tepat. Toan Ki
pikir kalau terus disitu, achirnja kepala pasti akan tertimpa batu sambitan itu,
maka segera ia pondong sinona lagi dan berlari kedepan pula belasan meter
djauhnja, ia menduga sendjata2 resia musuh takkan mentjapainja lagi, lalu
berhenti. Setelah bernapas lega, Toan Ki taruh sigadis diatas tanah dibelakang sebuah batu
padas, kemudian ia tjoba mengintai keseberang djurang sana.
Ternjata djumlah orangnja sudah bertambah banjak dan kedengaran berisik sekali
lagi me-maki2 kalang-kabut, tampaknja seketika para pengedjar itu tidak mampu
menjeberang kemari. Pikir Toan Ki: Djika mereka mengitari djalan pegunungan dan
mendaki dari sebelah sana, rasanja nasib kami berdua susah djuga lolos dengan
selamat. Ia tjoba menudju ketepi djurang sebelah lain, tapi sekali melongok,
seketika kakinja ikut lemas saking kedjutnja. Ternjata dibawah djurang itu ombak
men-debur2 dengan hebatnja, suatu sungai dengan airnja jang bergelombang besar
tepat berada dibawah djurang itu. Ternjata disitu termasuk tepi sungai Landjong.
Melihat arus air jang begitu hebat, untuk mendaki dari situ terang tidak
mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu turun kedjurang, lalu mandjat keatas,
dirinja jang tak mengerti silat pasti susah mentjegahnja. Ia menghela napas, ia
pikir boleh djuga sementara terhindar dari bahaja, bagaimana djadinja nanti,
biarlah melihat gelagat sadja.
Ia kembali kesamping Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu masih belum sadarkan
diri. Selagi Toan Ki hendak berdaja menolongnja, tiba2
dilihatnja pundak sinona masih tertantjap sebuah gurdi badja, badjunja sudah
basah kujup oleh darah. Karuan Toan Ki terkedjut, dalam keadaan buru2
menjelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui kalau diri gadis itu terluka, kini
melihat darah mengutjur begitu banjak, pikiran per-tama2
timbul padanja jalah Djangan2 dia telah meninggal"
Maka dengan agak takut2 ia tjoba membuka sedikit kerudung muka Bok Wan-djing
untuk memeriksa napas dihidungnja sjukur gadis itu masih bernapas pelahan. Pikir
Toan Ki: Aku harus mentjabut gurdi itu untuk mentjegah darahnja mengutjur lebih
banjak. ~ tapi ia lihat gurdi itu menantjap sangat dalam, kalau ditjabut hingga
malah bikin djiwanja melajang, kan tjelaka" Namun dalam keadaan begitu, djalan
lain tiada lagi, diam2 ia hanja mendoa: Bok-kohnio, harapanku hanja menolong
kau, pabila karena itu malah mentjelakai djiwamu, itulah apa mau dikata lagi,
Pedang Naga Kemala 4 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Munculnya Si Pamungkas 1

Cari Blog Ini