Ceritasilat Novel Online

Perang Ilmu Gaib 1

Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Bagian 1


Perang Ilmu Gaib Oleh : Mpu Wesi Geni Sumber DJVU : Dewi KZ Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Harga Rp. 4.000,- Cetakan Pertama 1988. Hak Pengarang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
Tidak diperkenankan mengutip atau mencetak kembali buku ini tanpa izin penerbit.
Mengapa diterbitkan TULISAN dari hasil penyelidikan dan renungan Mpu Wesi Geni ini digubah dalam
bentuk sebuah kisah yang mengetengahkan dunia yang kita huni dan dunia abadi
yang kelak akan menjadi tempat terakhir bagi kita semua.
Dunia abadi merupakan rekaan penggubah berdasarkan segala perbuatan manusia di
atas bumi. Amal sesuai ajaran semua agama atau makar yang jelas-jelas dilarang,
karena menimbulkan kekacauan, rasa sakit dan aneka ragam penderitaan sesama
hamba Allah. Diuraikan pula tentang adanya dua macam hukuman bagi mereka yang tidak takut
akan larangan Tuhan : siksa kubur dan siksa akhirat.
Semoga buku ini tidak sekedar merupakan bacaan mengikat, tetapi terutama dapat
menjadi renungan bagi sesiapa mau merenungkan dan dapat menarik butir butir yang
berfaedah daripadanya. Penerbit. Sedikit mengenai Penggubah
MPU Wesi Geni memulai kariernya sebagai penulis dengan mengarang cerpen-cerpen,
banyak dimuat oleh majalah "Senang."
Sebelum itu - dan kini - ia banyak bertualang dari satu ke lain pulau. Termasuk
pengembaraan di hutan-hutan lebat untuk mencobakan ilmu pawang yang penah
dituntutnya. Membuat binatang buas seperti harimau, ular
raksasa dan gajah menghindar atau tidak akan mengganggu.
Dalam bertualang Mpu Wesi Geni juga menyelidiki apa yang dinamakan ilmu gaib dan
kebatinan. Untuk itu ia mengunjungi dan di mana mungkin menuntut ilmu dari
orang-orang berkebolehan khusus itu. Banyak anggota masyarakat masih tidak
percaya atau meragukan kebenaran ilmu-ilmu ini. Ilmu ini diperdalam oleh Mpu
Wesi Geni, sehingga ia sekarang - menurut keterangannya - sudah kian menguasai
rahasia yang berkaitan dengan kebatinan dan kegaiban.
Penggubah buku ini kini sering menyepi di pantai Selatan dan Utara Pulau Jawa,
di sekitar Pemalang dan Pelabuhan Ratu.
1 ADA pameo orang mengatakan "what is a name?"
Apalah arti sebuah nama. Sampai ke mana pengaruh sebuah nama terhadap manusia,
terhadap pulau, belum ada hasil riset yang menentukannya. Mungkin karena
termasuk inkon-vensionologi yang hasil risetnya untung-untungan dan tak ada pula
yang mau mengumpulkan data-data tentang pengaruh sebuah nama terhadap seseorang.
Umpamanya nama Syeh Siti Jenar, mengapa maknanya harus CACING" Dan Wesri Geni,
mengapa harus berarti BESI API" Sesungguhnya, adakalanya nama mendukung sebuah
misi spiritual alam gaib.
Demikian pula dengan nama Mastery. Entah apa alasan orang tuanya, yang ketika ia
masih remaja sudah meninggal, memberikan nama itu kepadanya. Akan tetapi yang
pasti, nama itu tidak ke Barat dan tidak pula ke Timur.
Bisa juga terpotong menjadi dua bagian, yakni Mas dan Tery. Tery atau teri bisa
diartikan sebagai ikan kecil yang bentuknya tidak berarti.
Sejak masa kanak-kanaknya Mastery telah menunjukkan hal-hal yang aneh. Di kota
kecil tempat ia tinggal, pernah lepas seekor kerbau liar yang baru dijerat dari
dalam hutan belantara. Kerbau seperti itu biasanya matanya ditutup dengan tikar
tua yang dilipat-lipat. Tak tahu mengapa harus dengan tikar. Mungkin karena
radiasi tempat duduk manusia itu dapat menjinakkan ternak yang masih liar. Dan
mengapa pula tali hidung kerbau seperti ini harus dari tali ijuk yang panjangnya
sedepa, hanya pawang hutan pula yang tahu kekuatan dan magis yang terkandung di
dalamnya. Dapat dibayangkan betapa ributnya pasar kota kecil itu begitu mengetahui ada
kerbau liar mengamuk dengan tali hidungnya sudah lepas. Dan tikar penutup
matanya, sebahagian sudah koyak. Sehingga ia menyerang apa saja, sampai ke
benda-benda yang hampir tidak bergerak sekalipun.
Orang yang sedang berjalan, dan ibu-ibu yang sedang berbelanja, merasa tanduk
kerbau itu telah mengancam mereka dari belakang.
Kata orang, "Tanpa tali di hidung, binatang itu tidak dapat dikendalikan!"
Mastery yang pada waktu itu masih berumur sekitar 11 tahun, menjawab, "Aku dapat
memasukkan tali ke hidung kerbau itu!"
Sekelompok laki-laki dewasa yang meninggalkan kedai dan jualannya, memandang
Mastery dengan mata kosong.
Bahkan ada yang dengan tersenyum sinis.
Pak Hamid yang menegur, "Apa kau mau mati!"
"Betul, Pak." ucap Mastery lagi, "kalau saya bisa, saya dikasih hadiah apa?"
Ketika itu ayah Mastery masih hidup.
Juga ikut memandang anaknya dari atas ke bawah.
Berakhir pada mata anaknya. Terpancar sinar bersungguh-sungguh dari mata bocah
itu. Dan orang tua Mastery, tidak berkata apa-apa mengenai kehendak anaknya itu.
Sampai Syahbandar yang punya kerbau itu meminta izin kepada Abdul Bahrum, ayah
Mastery. "Terserah saja, asal anak saya tidak cedera!" Sebagai jaminan, seorang polisi
yang mahir menembak, mengawasi kerbau itu. Jika Mastery terancam, Syahbandar pun
rela kerbau itu ditembak. Mastery meminta kepada orang banyak yang agak berani,
untuk menghalau. kerbau liar itu masuk ke sebuah kandang. Yang terdiri dari
pagar bambu bulat yang tingginya sedada orang dewasa. Dengan susah
payah dan ribut sekali akhirnya kerbau itu dapat juga dihalau ke pintu masuk
kandang. Sekitar sepuluh orang dewasa yang berhasil, terperangah setelah selesai
melakukan pekerjaan yang hampir sama dengan bunuh diri itu.
"Jangan kasih rumput sampai sore!" pinta Mastery.
Sungguhpun tak tahu apa maksud dan kegunaan permintaan itu, kehendak Mastery
dilaksanakan. Kerbau liar itu tidak diberi rumput dari tengah hari sampai
sorenya. Yang mula-mula dilakukan Mastery ialah membuka baju kausnya. Dan melemparkan
baju itu tepat menyangkut sebagian pada serabut tikar penutup mata kerbau tadi.
Serat-serat tikar tua membuat baju kaus itu menempel.
Kemudian kerbau itu dipancingnya ke sudut kandang dengan segumpal rumput segar.
Sehingga binatang itu melangkah ke sudut, mulai memakan rumput yang hanya
sedikit. Pada sisi yang lain dibelakangnya ditumpahkan dua goni rumput segar.
Mastery lalu memasukkan badannya yang kecil ke bawah jerejak pagar sebelah
bawah, sehingga berada dalam tumpukan rumput yang cukup tinggi. Entah apa yang
dikerjakannya di dalam tumpukan itu. Kerbau yang masih lapar setelah
menghabiskan rumput yang sedikit di sudut pagar, menuju tumpukan rumput yang
banyak. Setelah matanya mengawasi tumpukan itu dari sobekan tikar, Mastery diam
tak bergerak di bawah rumput.
Ketika binatang itu mulai makan, kelihatan rumput bergerak-gerak bukan karena
sekedar tertarik oleh mulutnya, tetapi juga oleh si Mastery yang sedang
memperbaiki sikapnya di dalam tumpukan rumput. Dengan tiba-tiba kerbau itu
terkejut. Dan Mastery cepat menarik dirinya ke luar pagar.
"Tali hidungnya sudah tertusuk!" teriak Mastery, "cepat ikat, jangan sampai
lepas lagi!" Orang melihat, bahwa tali
ijuk memang telah melalui lubang hidung binatang itu.
Sampai lima depa di kiri-kanan lubang hidungnya. Melihat kejadian itu, Mat Madun
yang cepat gerak refleksnya, lantas menjambak kedua tali itu dari luar pagar.
Membubui dan kemudian menariknya sehingga simpul tali itu kini terpasang tepat
di depan hidung binatang liar itu.
"Anak ini seperti ada jinnya, Abdul Bahrum!" ucap MatMadun yang baru selesai
menambatkan tali hidung hewan liar itu ke tiang pagar. Orang dewasa lain
berkerumun mengelilingi Mastery yang duduk di sisi ayahnya.
"Bagaimana kau buat sampai bisa begitu?" tanya Syahbandar, "kau kuberi hadiah
sepasang kambing gunung. Mastery yang masih belum berbaju mengatakan,
"Kulemparkan baju kausku kepadanya, agar bauku di dalam tumpukan rumput tidak
dirasakannya lagi karena sudah sama dengan bau keringatku pada baju di dekat
hidungnya. Ketika ia mulai makan kuintip hidungnya dari celah-celah rumput.
Begitu hidungnya mendekat, kumasukkan rotan cacing yang belakangnya bersambung
dengan tali ijuk panjang. Begitu ujung rotan masuk ke sebelah, kutarik ujung itu
sambil mundur ke luar pagar di bawah tumpukan rumput."
Orang-orang dari dalam pasar mengelilingi Mastery, juga ibu-ibu yang kembali
berbelanja. Wajah Abdul Bahrum merah padam karena anaknya menjadi perhatian
orang banyak. Syahbandar datang kembali dengan sepasang kambing gunung yang
indah tanduknya. Sambil menepuk-nepuk bahu, dan mengusap rambut Mastery ia
berkata, "Kambing ini untukmu! Kau pasti menjadi anak yang luar biasa di masa yang akan
datang!" Selain itu bermacam kejadian rumit dan anehaneh dilakukan Mastery di kota kecil
tempatnya tinggal. Ketika
itu belum ada timba plastik. Kalau orang mengambil timba yang jatuh ke dalam
sumur biasanya dengan galah, maka Mastery dengan besi magnit yang digantungnya
ke dasar sumur. Sampai berpuluh timba dan kaleng kosong dikeluarkannya. Kalau
anak-anak lain melompat mandi ke dalam sungai dari tebing atau dari jembatan, ia
menarik sebatang bambu tua yang tumbuh di tepi sungai.
Melengkung sampai hampir rata dengan tanah. Lalu dipotongnya seluruh ranting dan
cabang bambu serta pucuknya. Setelah itu ia telentang di dekat ujung bambu yang
sedang melentur kuat itu. Akhirnya ia memotong akar yang mengikat di bawah
kepalanya. Begitu akar itu putus, bambu itu melenting dengan membawa badannya
jauh terangkat ke atas permukaan sungai. Sebelum ia jatuh ke permukaan air,
biasanya ia sempat bersorak dan meliuk-liukkan badannya dengan gerakan-gerakan
menakjubkan. "Memang anak itu seperti ada jinnya," kata Syahbandar yang kebetulan sedang
berada di atas perahu, melihat kejadian aneh dan menggelikan itu. Dalam umur 15
tahun ia telah menghilang dari tempat kelahirannya. Sekolah dengan berpindahpindah kota, tanpa diketahui oleh ayahnya Abdul Bahrum bagaimana anaknya itu
bisa hidup dan meneruskan sekolah tanpa dibiayai. Dan dari mana dia mendapat
ongkos untuk pindah-pindah kota, bertualang di sepanjang Pulau Sumatra sampai ke
pulau-pulau kecil seperti Pulau Simeulu, Rupat, Bengkalis, Pulau Panjang dan
lain-lain. Pemah ia mendatangi sebuah pekuburan yang amat luas.
Ditatapnya tanah pekuburan itu dari tepi jalan. Nalurinya mengatakan, bagaimana
pun, di antara ratusan kuburan itu, tentu ada yang mengandung hal-hal yang
mencengangkan. Karena itu ia masuk ke kawasan pekuburan ini, mencari kuncen yang mengawasi dan
mengurus kebersihannya. Sekarang dia bukan anak laki-laki belasan tahun lagi. Ia telah dewasa. Jalan
hidup yang ditempuhnya, melalui berbagai kejadian yang aneh-aneh. Yang mungkin
jarang sekali dilakukan dan dialami orang lain. Apakah ada kegunaannya, dia
sendirilah yang tahu. Menjadi ilmu yang mubazir atau bermanfaat.
'Tak! Pak Kuncen!" ujar Mastery menegur dari depan gubuk pengurus wakaf itu.
Sungguhpun orang yang dipanggilnya tidak kelihatan.
"Siapa" Mau memesan lahat, ya?" sahut Kuncen Jamono. Yang telah dua puluh dua
tahun mengurus kebersihan tanah wakaf pekuburan umum itu.
Pak Jamono ke luar dari balik batang pohon kamboja dengan tangan yang masih
bertanah. Ia disambut Mastery dengan ramah dan berkata, "Saya mau bicara dengan
Bapak sebentar!" "Aduh, masih ada kerja membersihkan sudut sana,"
jawab Pak Jamono. Mastery sejenak tersimak.
"Ini pakaian untuk bekerja di kebun, saya bawakan untuk Bapak. Mungkin Bapak
sudi berbicara dengan saya sebentar." Pak Jamono memandang sepasang baju katun
tebal seragam dengan celananya itu. Sudah lama ia mengimpikan baju kerja yang
demikian. Seperti yang selalu dipakai oleh tukang-tukang listrik. Setelah
bertanya Mastery dari mana dan perlu apa, mereka duduk di beranda, di atas balebale bambu dipecah. Pak Jamono mengeluarkan teko yang kelihatan beberapa bagian
catnya sudah terkelupas. Sehingga kelihatan lapisan dalamnya yang terbuat dari kaleng.
"Pasti Bapak telah lama sekali di tanah wakaf ini," ujar Mastery duduk dengan
enak bersandar pada tepas dinding beranda.
"Wong yo lebih dari dua puluh tahun, kok," jawab Pak Jamono.
"Nah, selama itu, dari sekian banyak kuburan di smi, manakah yang Bapak rasa ada
keanehannya?" tanya Mastery, menatap wajah Pak Jamono yang kelihatan seperti
mencoba mengingat-ingat sesuatu yang hampir dilupakannya. Setelah yakin, ia
menatap Mastery dengan wajah cerah.
"Ada ... ada!" "Bagaimana, Pak" Yang mana?" tanya Mastery beruntun.
"Itu . . . itu!" ucap Pak Jamono sambil menunjuk ke celah-celah dahan kamboja
dan beberapa cabang pohon bunga setinggi pinggang.
"Di sini saja kita bercerita, Pak," tukas Mastery, "nanti baru kita ke sana."
Pak Jamono bercerita, setelah menunggingkan ujung ceret berisi teh ke cangkir
mereka. Diceritakannya sekitar tujuh tahun yang lalu, ada seseorang dikuburkan.
Mungkin ternama juga karena banyak orang yang mengantarkan jenazahnya. Setelah
orang-orang membacakan doa dan tahlil, mereka pun beranjak pulang. Akan tetapi
baru saja tujuh langkah meninggalkan tanah pusara, terdengar seperti ada suara
dentuman-dentuman di bawah tanah pekuburan.
Seperti bunyi geledek yang teredam tanah di atasnya.
Semua orang terhenti ketika mendengar bunyi itu.
"Di celah-celah gumpalan, tanah yang baru ditimbun, kelihatan asap mengepul,
seperti asap cerutu. Baunya sengit, seperti bau sesuatu yang terbakar," Pak
Jamono mengakhiri ceritanya.
"Yang mana kuburan itu, Pak?" potong Mastery seperti akan bergerak dari
duduknya. "Mari kita ke sana. Saya tunjukkan!" tambah Pak Jamono sambil berdiri membawa
tembilang yang ujungnya bertanah.
Melalui belok-belok jalan setapak di celah-celah pusara yang banyak, mereka
berhenti. Kira-kira lima langkah di depan keduanya, sebuah kuburan diperhatikan
Pak Jamono dengan nanap. Juga menarik perhatian Mastery, menunggu petunjuk orang
tua itu. "Inilah yang kumaksud."
"Tak ada rumput yang tumbuh, ya Pak?" ucap Mastery.
"Memang! Itu termasuk keanehannya juga!"
Mastery bertanya apakah Pak Jamono mengetahui siapa jenazah itu ketika ia masih
hidup di dunia. Dengan mengerutkan kening lebih dahulu, Pak Jamono menyahut,
"Kalau tak salah .. . orang pintar juga. Malah katanya ada keturunan rajanya.
Begitu yang Bapak dengar."
"Kerjanya?" "Wah, kalau soal itu Bapak tak tahu pasti. Tetapi kata orang, ia orang pandai
tempat orang-orang meminta pertolongan, jika sakit dan hal-hal lain-lain. Habis,
Bapak tak begitu tahu."
"Baik, . . baik saya sudah maklum!" potong Mastery.
Kemudian kelihatan Mastery berbicara panjang lebar, dengan kedua tangannya
seperti menggambarkan sesuatu bentuk. Dan dengan ujung ranting, ia menggarisgaris di atas tanah. Diperhatikan Pak Jamono dengan minat yang tercurah. Dan ia
mengangguk-angguk. Sebentar-sebentar terlihat garis-garis keheranan di wajahnya.
Akhirnya Mastery menyodorkan sejumlah uang kepada Pak Jamono.
Diterima orang tua itu dengan enggan, dan malu-malu.
"Harus, . . . pengganti jerih-payah dan tenaga Bapak!"
ucap Mastery. Pak Jamono kembali mengambil sekop dan perkakas lain. Mastery ikut mengawasi apa
yang dimintanya kepada orang tua itu. Sebuah lubang panjang di. samping lahat
kuburan tua itu, digali Pak Jamono dengan sedikit perasaan takut dan ragu-ragu.
Kemudian dinding tanah lahat kuburan lama ditohoknya sedikit dengan pangkal
sekop. Tanah keropos terbuka selebar peci. Pak Jamono hendak
terlompat ke luar ketika dilihatnya kerangka manusia yang kain kafannya sudah
lapuk dan melorot dimakan tanah.
"Apa ini ndak berdosa, Nak?" tanya Pak Jamono, dengan napas sesak.
"Nanti kita tutup kembali, Pak!" kata Mastery, "Yang saya perlukan hanya satu
malam saja." Kemudian dibuatkan sebuah papan penutup lubang panjang itu. Sampai Kamis sore,
baru seluruhnya selesai.

Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebatang bambu, yang panjangnya sekitar satu setengah depa yang telah dibobol
sekat ruasnya, tertegak di atas papan yang telah diberi lubang seluas lingkaran
bambu terpacak itu. Pada pukul 10 malam, Mastery meminta Pak Jamono membalut tubuhnya dengan kain
mori putih, seperti bentuk jenazah yang akan dikuburkan. Lampu semprong yang
menerangi pekerjaan itu, tak menarik perhatian orang yang lewat di jalan raya.
Mastery turun ke bawah lubang.
Membaringkan tubuhnya seperti jenazah yang dimasukkan ke dalam lahat. Mori di
ujung kakinya terikat. Di bagian kepala terbuka. Burung malam mendengus di
cabang kamboja. Pak Jamono berkeringat. Mungkin bukan saja karena kerja yang
mengeluarkan tenaga, tetapi juga oleh ketakutan yang belum pernah dirasakan
selama ia menjadi kuncen tanah wakaf pekuburan umum ini.
"Tutupkan papan dan timbun aengan tanah, Pak," ucap Mastery. Semula Pak Jamono
ragu-ragu. Bagaimana kalau orang muda ini benar-benar mati di dalam, sungguhpun
udara untuknya bernapas bisa masuk dari rongga lubang bambu yang terpacak
setentang wajahnya" Dari lubang bambu dikeluarkan seuntai tali yang panjangnya
sampai ke gubuk Pak Jamono.
"Kalau terasa tali saya tarik, cepat-cepat tolong bongkar kembali tanah di atas
saya, Pak." ujar Mastery lagi.
Kemudian tanah berjatuhan ditimbunkan Pak Jamono ke papan penutup di atas
Mastery berbaring berbungkus mori putih.
Entah apa yang dikatakan Mastery, tidak tersimak lagi oleh orang tua itu. Akan
tetapi setelah telinganya didekatkannya ke mulut lubang bambu di atas tanah,
baru ia mendengar, "Bapak boleh pulang sampai saya beri tanda dengan ujung tali
yang ada pada Bapak!"
Pak Jamono melangkah sesudah beberapa kali menoleh ke arah "kuburan" Mastery.
Pikiran Pak Jamono ragu-ragu.
Bagaimana kalau laki-laki itu betul-betul mati" Apakah akan ditimbunnya terus di
bawah batu nisan yang memang sudah ada di atas tanah pusara itu" Bagaimana kalau
orang tahu. Ia bisa dituduh membunuh seseorang, dengan jalan menimbunnya seperti
orang mati. Pak Jamono menarik napas panjang sambil bersoal-jawab di dalam hatinya.
"Begini lama hidup sebagai kuncen kuburan, baru kali ini ada orang yang kerjanya
senekad dan seaneh ini. Apa perlunya dia berbuat begitu?"
Selama ini, Pak Jamono tidak pernah diikuti perasaan takut sedikit pun. Walau
gubuknya berada di sudut tanah wakaf itu juga. Akan tetapi perbuatan dan
kehendak laki-laki aneh ini telah menimbulkan rasa takutnya. Seolah-olah seluruh
pohon bunga kamboja yang ditiup angin malam, mengajak dan menemplaknya. Dan
burung malam yang berbunyi "Kuss .... kussss," seperti menyindirnya mengatakan,
"Bungkus .. bungkus." Ia menghibur diri, dengan kopi tubruk yang kental, agar ia
tidak mengantuk mengawasi ujung tali yang ke luar dari lubang bambu di
atas makam buatan yang berisi Mastery. Malam semakin larut. Pak Jamono mengawasi
jam beker meja yang belnya sudah tidak berbunyi lagi sejak jatuh dari lemari.
Gelisahnya, seperti menantikan kelahiran anaknya, Tono, yang sedang pulang
kampung menjumpai ibu dan neneknya.
Mastery sendiri berkeringat di dalam lubang panjang pengap. Sungguhpun lubang
angin dari bambu tertanam di depan hidungnya, tetapi udara tidak berembus
seperti di alam bebas. Keringat mulai membersit, menembus baju dan melembabkan
mori pembalut badannya. Jarum jam Election yang beradium, diawasinya di dalam
gelap di bawah tanah. Pukul 12 kurang tujuh menit.
Berdebar keras juga jantung Mastery, apakah percobaannya akan ada hasilnya atau
tidak. Ia pernah mengikuti pesantren kecil-kecilan dengan murid hanya kurang
dari seratus orang. Di sana ia serba sedikit mendengar wejangan kiainya tentang
alam kubur dan alam akhirat kelak. Masih terbayang olehnya, bagaimana temantemannya sesama mengaji, benar-benar terpukau oleh wejangan guru mereka.
Sungguhpun yang dibicarakan itu merupakan kejadian alam gaib, tempat yang belum
pernah didatangi seseorang yang kemudian pulang dengan membawa kebenaran
kejadian. Sedangkan dia mendengar ceramah itu dengan keyakinan separuh-senanih.
Mungkin karena hatinya keras degil dan bandel untuk menerima begitu saja berita
gaib yang dikisahkan kiai mereka. Namun Mastery juga yakin tentu bukan dia saja
yang ragu-ragu mendengar berita sesudah mati itu. Mungkin ada yang lebih ragu
ataupun sinis menerimanya.
Hanya dengan mulut mereka yakini, tetapi hati mereka tetap ragu-ragu menerima
dan mengakuinya. Hampir bersamaan waktunya dengan Pak Jamono memperhatikan
jarum beker dempet menjadi satu pada angka dua belas yang tegak lurus, Mastery
juga melihat radium jarum jam tangannya berdempet, membentuk sebuah garis kecil
cahaya seperti kelelawar terpotong-Tiba-tiba sekali, seperti petir menyambar,
dengan bunga api yang menyilaukan mata, ruangan lahat di sebelahnya berbunyi
bergemertak. Hampir sama dengan bunyi daun basah terbakar. Ia telah berlatih
menghadapi ketakutan dan kengerian. Sejak kiainya di pesantren dahulu
mengajarkan murid-muridnya tidur di atas kuburan sepanjang malam.
Ada yang menangis, ada yang sampai terkencing-kencing di atas kuburan dalam
melaksanakan perintah kiai mereka ini.
Akan tetapi masuk sampai ke liang lahat, baru sekali ini dilakukannya.
Bunyi itu berdebar-debar beberapa kali, mengeluarkan bunga api. Lalu membakar
jenazah di sebelahnya, yang tiba-tiba dilihat Mastery telah berdaging kembali
seperti mayat yang baru dimakamkan. Tubuh manusia di sebelahnya itu melen-tiklentik dan meliuk-liuk karena api yang amat panas dengan tiba-tiba itu. Kulit
tubuhnya berge-lembungan, dan pecah-pecah mengeluarkan darah dan cairan kental
yang bergemertak disambut nyala api. Ulat-ulat besar, ada yang kelihatan
melenting, keluar dari kulit yang pecah. Kemudian putus terjuntai mengeluarkan
cairan yang berbau amis, menguap karena panas. Tubuh mayat itu berubah seperti
batu bara retak-retak. Ada pula terdengar suara-suara bergaum dahsyat, seperti
halilintar. Akan tetapi artinya tak sanggup tertangkap gendang telinga Mastery.
Kecuali berupa hardikan dan ancaman belaka.
Akan tetapi anehnya, panas api itu tak sampai menyakiti kulitnya sendiri.
Sungguhpun jarak mayat di sebelahnya hanya sehasta darinya. Bagaimana ini bisa
terjadi, pikir Mastery. Apakah ada yang menyekat" Adakah sekat alam
kubur dengan alam hidup" Cepat-cepat ditariknya lengan yang amat dekat dengan
lubang kuburan di sebelahnya.
Walau tidak ada rasa sakit, atau melepuh kena panas.
Perlahan-lahan ditariknya pergelangan tangan untuk melihat radium jarum jamnya.
Setengah dua malam! Mayat itu masih terbakar. Batok kepalanya mengeluarkan bunyi letusan. Perutnya
menggembung dahulu kemudian mengempis, setelah bagian yang hangus mengeluarkan
uap. Baunya busuk. Bagai dinding WC kering yang dibuat menjadi api unggun. Ulat dan
cacing bertemperasan, kemudian masuk kembali melalui lubang hidung, telinga dan
mata mayat. Kerongkongan Mastery kering. Mungkin karena seluruh persediaan
keringat, telah keluar dari pori-pori kulitnya.
Api mulai reda dengan lambaiannya seperti jerami terbakar. Meninggalkan mayat
itu seperti patung arang yang gemetaran. Retak-retak dan luruh ke permukaan
tanah. Sebentar terjadi pertukaran cahaya, samar-samar membayang kembali tulang
belulang yang terbalut kain robek-robek dimakan tanah.
Pandangan itu kembali seperti biasa. Bagai tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Bisakah ini, pikir Mastery. Benarkah kejadian yang menyita keringatnya tadi"
Perlahan-lahan ia akan meraih ujung tali yang terjuntai di mulut lubang bambu.
Terdengar suara gemuruh, seperti kesibukan orang berbaris. Ada orang berduyunduyun, seperti baru pulang dari perjalanan, dan terdengar ucapan-ucapan mereka,
"Sudah tiba waktunya alam barzah akan ditutup."
Kemudian hening, sepi. Dan Mastery memandang ke tulang-tulang yang terbujur. Tak
sedikit pun ada tanda-tanda bekas terbakar. Atau bara api yang telah padam.
Ujung tali ditariknya, dengan lebih dahulu membuka sebagian mori yang membungkus
badannya. Pak Jamono terlompat dari jongkoknya di tanah. Cepat-cepat disodokkannya sekop membongkar
timbunan yang menutup Mastery di bawah. Setelah itu ia berseru ke dalam lubang
bambu, "Nak,. . Nak Mas ... kau tak apa-apa?"
"Bongkarlah, Pak .... di dalam panas sekali!" terdengar bergaung jawaban Mastery
pada rongga tanah di bawah.
Hari telah setengah empat pagi. Debuk-debuk tanah terdengar lembab oleh Mastery
dari balik papan di atas tempat ia berbaring semalaman. Ketika papan diangkat
Pak Jamono, ia memandang laki-laki itu dengan nanap.
Mungkin ia memperhatikan, apakah orang itu benar-benar hidup dengan roh
sebenarnya, atau sebagai makhluk jadi-jadian.
"Bapak kelihatan pucat?"
"Habis, semalaman saya berpikir, Den, bagaimana kalau Aden. tidak ke luar lagi
atau papan ini runtuh ketika saya tinggalkan," ucap Pak Jamono dengan kikuk.
Embun pagi meliuk-liuk memikul rimbunan dedaunannya. Terasa bagi Mastery, betapa
indahnya alam bebas. Di luar dengan tiupan angin dan dedaunan rimbun. Dan
burung-burung kecil mulai berlompatan dari dahan ke dahan sampai ke ranting
rendah. Menarik ujung-ujung ulat yang tersembunyi di celah kelopak bunga-bunga
dengan paruhnya. Cahaya bintang mulai pudar terkena bias cahaya matahari yang
akan terbit. "Betapa jauhnya beda alam bebas dengan liang lahat sana. Apalagi jika liang
sesempit itu dipenuhi siksa pada waktu yang ditentukan," pikir Mastery di dalam
hati. "Nak Mas, kok termenung?" tegur Pak Jamono, yang juga terhenti menimbun lubang
itu kembali, "Apa Nak Mas ada membawa cincin atau pusaka berharga?"
"Tidak, Pak. Hanya pengalaman yang sukar masuk akal.
Pasti sedikit sekali orang yang mau percaya," ucap Mastery, sambil membersihkan
dan melipat mori yang tadinya menjadi pembungkus tubuhnya. Kain itu diberikannya
kepada Pak Jamono dengan ucapan, "Untuk Bapak yang telah ikut bersusah-payah
membantu keinginan saya,"
Mastery memandang ke langit biru.
Alam barzah telah ditutup, segala roh telah kembali dari perjalanannya menjenguk
keluarga yang masih hidup. Ada yang kembali dengan cerah. Ada yang kembali
dengan wajah masam, karena ahli familinya tidak melakukan doa yang baik-baik
kepada mereka yang telah wafat.
Sambil mengisap rokok, Mastery bertanya lagi kepada Pak Jamono, apa ada lagi
kuburan lain yang mempunyai keanehan, selain yang telah ditidurinya semalam
tadi. "Eh ... eh ada juga Nak Mas," sahut Pak Jamono dan melengos berkeliling seperti
mencari tempat yang ditujunya.
Pak Jamono mengingat-ingat, kemudian menceritakan, bahwa ada jenazah yang setiap
kali diturunkan ke liang lahat, panjang kuburannya harus ditambah. Seolah-olah
mayat itu bertambah panjang, atau tanahnya yang menyusut dari ukuran semula.
"Sampai tiga kali liang lahat harus ditambah lagi panjangnya. Itu pun pada saat
diturunkan, lutut jenazah harus agak ditekukkan!" ulas Pak Jamono mengakhiri
ceritanya. "Yang seperti itu, kata orang, semasa hidupnya almarhum tamak akan tanah, suka
memindah-mindahkan batas tanah orang lain. Sehingga tanahnya menjadi bertambah
lebar dengan cara curang," ulas Mastery.
Pak Jamono terperangah memandang laki-laki di hadapannya, dan menukas "Tampaknya
Nak Mas banyak tahu yang aneh-aneh dan gaib."
Mastery hanya tersenyum, dan menyisipkan ujung rumput ke celah mulutnya.
"Pantas tak tumbuh rumput di atas kuburan ini, Pak."
"Mengapa, Nak Mas?"
"Seperti puncak gunung berapi, juga tak ditumbuhi rumput dan pohon."
"Apa di bawahnya ... eh ada api?" gugup Pak Jamono akan meneruskan kisah yang
hampir sama dengan dongeng.
Mastery mencatat nama yang tertera di atas batu nisan kuburan yang didampinginya
semalam. Pak Jamono menanyakan, apa ada gunanya dicatat, sedangkan orangnya
sudah mati. "Iseng saja, Pak."
-oo0dw0oo- BEBERAPA hari kemudian, Mastery kelihatan mundar-mandir mencari sebuah rumah.
Kemudian bertanya kepada beberapa orang yang masih kenal dengan almarhum yang
dicatatnya. Dari bertanya sambung-menyambung begitu, sampailah ia kepada
keluarga Istana Sultan yang dahulunya merupakan pusat sejarah. Ia disambut oleh
seorang laki-laki setengah umur, yang rambutnya kemerahan seperti peranakan
Eropa. "Itu termasuk kakek buyut kami juga. Apa perlunya Saudara tanyakan?" jawab orang
itu. Yang tampaknya sedikit heran, mengapa ada orang yang bukan famili, menanyakan
keluarga mereka yang dihormati. Sungguhpun telah wafat.
"Saya dengar beliau orang berilmu," jawab Mastery.
"Eh, . . . memang. Beliau berumur panjang. Sejak kesultanan di zaman Belanda,
baru meninggal sesudah beberapa tahun penyerahan Kedaulatan. Beliau memang orang
berilmu sehingga sering dipanggil Sultan dan bangsawan.
Kemudian laki-laki separuh baya itu menceritakan, bahwa kakek buyut mereka
sangat ahli dalam hal menundukkan manusia. Terutama perempuan. Bila telah kena
salamannya, istri pegawai Belanda pun akan ikut dengan dia.
"Apakah itu kira-kira ilmu amalan atau azimat?" tanya Mastery seperti mereka
telah akrab, dan telah saling kenal sejak lama. "Saya pengagum ilmu yang anehaneh orang-orang tua dahulu," ujar Mastery lagi menguatkan pertanyaannya.
"Yang pernah saya dengar, entah betul entah tidak, kakek buyut kami itu
mempunyai azimat sepotong kepala ular lidi yang sudah kering. Dan anehnya pada
mulut ular lidi yang sudah kering itu, ada kodok bancet yang juga kering. Kodok
itu kelihatannya sudah tertelan sampai ke kerongkongan ular lidi, tetapi kedua
ujung kakinya masih di luar mulut ular."
"Wah, pantas kekuatan salamannya luar biasa!" ucap Mastery.
"Maksud Saudara . . .?" usut Wan Faisal keheranan mendengar ucapan orang yang
baru dikenalnya itu. "Itu azimat kuno sekali. Dulu dipergunakan oleh raja-raja untuk menundukkan
lawannya begitu mereka saling bersalaman. Orang yang kena salaman pemilik azimat
ini, seperti kodok bancet di dalam rahang ular lidi keadaannya.
Tetap ingat dan tunduk kepada yang empunya azimat itu."
"Ternyata Saudara lebih tahu dari kami yang keluarga beliau," ucap Wan Faisal,
kemudian mempersilakan Mastery minum kopi yang telah dihidangkan pembantu rumah
tangga sejak tadi. "Hanya saja masih banyak rahasia terkandung dalam cara-cara membuat azimat itu,"
susul Mastery lagi. "Misalnya, hari apa leher ular lidi itu harus dipotong, dan apa ramuan untuk
merendamnya agar mempunyai pengaruh menyedot kepada orang yang disalaminya."
"Akh ... itu ... itu membuat susah saja," sambut Wan Faisal sambil menggerakkan
tapak tangannya bagai menampik, "Kami anak cucu yang tinggal, tidak lagi
tertarik kepada ilmu-ilmu yang dipakai orang-orang tua kami dahulu."
Kemudian Mastery menanyakan apakah azimat itu masih ada. Ia ingin sekali walau
sekedar melihat saja. "Sore beliau dimakamkan, barang itu masih ada. Tetapi hari berikutnya, hilang
begitu saja dari dalam lemari beliau yang tetap tertutup."
"Mungkin ada yang mewarisi?" duga Mastery dengan mata menyelidik.
"Saya rasa,... .tak ada, karena kami sekeluarga besar, biasa-biasa saja, tak
seperti almarhum kakek buyut kami itu."
Mastery menanyakan berapakah anak almarhum yang masih hidup.
"Ada . . . eh . . . sekitar 34 orang semua," ucap Wan Faisal, tetapi kemudian ia
bagai menyesal karena menjawabnya dengan polos.
"Dari seorang isteri" Rasanya terlalu banyak," ulas Mastery.
"Dari ... 4 istri, dan dari bekas isterinya yang lain."
Sebagai selingan pembicaraan, Wan Faisal mengatakan bahwa almarhum semasa
hidupnya lebih dari 90 kali menikah. Dan sering dipanggil orang untuk
menundukkan pengantin-pengantin yang belum mau tidur seranjang dengan suaminya.
Kepada Mastery diperlihatkan Wan Faisal foto almarhum kakek buyut mereka itu
semasa hidupnya. Tinggi besar dengan batang hidung kukuh dan dagu berat ciri
khas orang berkharisma tinggi dan dipatuhi orang lain.
Terbayang kembali oleh Mastery apa yang dialaminya pada malam Jumat Kliwon di
dalam lahat almarhum. Mengapa sampai terjadi siksa yang membuat rumput pun tidak tumbuh di atas
pusaranya" Mungkinkah orang tua itu mempergunakan ilmunya untuk sembarang jalan. Sehingga
menjadi dosa yang amat besar. Yang harus dibayarnya dengan siksa kubur,
selainnya nanti di akhirat"
"Saya rasa Saudara orang aneh," ucap Wan Faisal.
"Mengapa Saudara tidak mewawancarai pengusaha, atau penguasa yang sedang duduk
di pemerintahan, untuk mempelajari jalan sukses beliau-beliau itu?"
"Ha, ha, kalau soal itu sudah ada yang mengurusnya yaitu wartawan-wartawan.
Sedangkan saya bergerak di bidang lain yang tidak mungkin disukai sembarang
orang,"

Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tukas Mastery. "Kalau boleh saya tahu bidang pekerjaan Saudara, saya akan senang sekali. Dan
pintu kami selalu terbuka untuk menerima Saudara sembarang waktu yang
diinginkan," ucap Wan Faisal. Ia melihat laki-laki di hadapannya itu lembut dan penuh
pengertian, mudah bergaul, dalam waktu singkat bisa membentuk perkenalan seperti
telah kenal bertahun-tahun. Dan ada pengaruh aneh pada wajah orang yang tibatiba dapat berkenalan dengan kakek buyut mereka yang telah wafat itu
"Saya senang dengan ilmu . . . !" ucap Mastery acuh tak acuh.
"Sudah saya duga, .... pekerjaan Saudara pasti aneh dan lain dari yang lain!"
kata Wan Faisal. Malamnya, sepulang dari rumah Wan Faisal di dalam kompleks ke Suitanan, Mastery
masih berpikir-pikir tentang kodrat kepala ular lidi menelan kodok bancet, yang
membuat si empunya menjadi seperti rahang ular lidi, dan orang-orang yang
disalami menjadi seperti kodok bancet.
Masih adakah orang yang mengerjakan azimat seperti itu"
Dalam lamunan demikian, laki-laki itu terlena ke dalam tidurnya. Akan tetapi roh
kesadarannya masih mengambang dalam pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai
jawabannya. Ketika itulah tempat tidurnya digoncang detar-detar bunyi cemeti di udara.
Kelihatan cemeti itu seperti seluruhnya terbuat dari api, dengan pangkal sebesar
lengan. Akan tetapi bagaimana api bisa menjadi benda padat seperti itu, tak sanggup ia
memahami. Dari balik kabut merah, tampillah seseorang dengan tubuh bilur-bilur seperti
bekas cemeti. Sebagian kulitnya malah ada yang koyak. Di kiri-kanan orang itu
ada dua orang lagi yang wajahnya samar-samar. Seperti cahaya di
balik kaca buram. Cemeti itu berdetar-detar lagi. Orang itu semakin dekat ke
tempat Mastery berbaring. Tanpa berpakaian. Kemaluannya dikerubuti ulat dan
lintah yang besar-besar. Dan ulat-ulat itu mengerenyam liar seperti tawon lebah
yang bergantung pada sarangnya. Walaupun ada yang terlihat jatuh ke tanah,
tetapi tak tampak kelihatan menjalar. Sedangkan lintah-lintah yang melengkung,
dengan perut besar masih bergantungan di tempat itu. Akan tetapi yang punya
badan tidak dapat berbuat apa-apa sedikit pun. Mastery masih terkatung-katung di
tengah alam sadar dan tidak. Sehingga walaupun ia berusaha membuka mata, tetapi
tidak berhasil juga. , Setindak lagi orang yang dikenalnya seperti foto yang diperlihatkan Wan Faisal
itu semakin dekat dengan tempat ia berbaring tidur.
Kelihatan mulut orang itu bergerak-gerak disusul bunyi suara lembut dan lunak,
"Aku menyesal menerima ilmu itu dari seberang, membuat aku tak mengenal lagi
mana perempuan yang halal bagi laki-laki, dan mana yang haram.
Dan ilmu itu tak mau tinggal di dunia. Ia mengikuti aku sampai ke liang kubur.
Sampaikan pesanku kepada anak-anakku, semoga ada di antara mereka yang banyak
itu termasuk anak saleh, yang dapat menghapuskan siksa kubur ini dariku."
Ketika Mastery akan menyahut bahwa pesan itu akan disampaikan, bayangan orang
itu sudah hilang dari pemandangan mimpi setengah sadar.
"Mengapa aku yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan itu?" ucap lubuk hati
Mastery. *d*w* II Di dalam hatinya ada sesuatu yang mendesak agar ia melangkahkan kaki ke
seberang. Mastery tidak mengetahui dengan pasti mengapa Pulau Jawa menariknya
sedemikian kuat. Kalaupun ada alasan itu, tidaklah banyak berarti, yakni
kenangan semasa ia masih sekolah SMP. Pada waktu ini ada mata pelajaran khusus
dengan setiap murid diberi kebebasan bercerita di depan kelas. Topik cerita
boleh dipilih sendiri apa yang menarik bagi masing-masing murid.
Pelajaran seperti ini dahulu dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengutarakan
pendapat terhadap sesuatu persoalan dengan bahasa Indonesia yang baik. Teranganangan kembali oleh Mastery, bagaimana ia diejek dan disindir oleh teman-teman
sekelasnya karena ia menjadikan Pulau Jawa sebagai pokok pengupasannya di depan
kelas. Ketika itu, ia diberi pula kesempatan untuk membuat peta Pulau Jawa di atas
papan tulis. "Ada-ada saja kau, Mas," ucap Ahmad kawan sebangkunya, "Padahal pergi ke sana
pun kau belum." "Aneh si Tery, mempidatokan yang belum pernah dilihatnya," ucap Syahlul siswa
tergagah yang duduk di bangku paling belakang.
Mendengar itu, Pak Nasib, seorang guru bahasa Indonesia, tersenyum dan berkata
menenangkan suasana, "Boleh saja! Setidaknya si Mas memakai bahasa Indonesia yang baik dalam
mengemukakan pendapatnya tentang Pulau Jawa yang dimaksudnya."
Seperti mendapat pembelaan, Mastery melaksanakan tugasnya. Yang sudah tentu,
bukan berdasarkan kenyataan yang pernah dilihatnya. Melainkan berdasarkan peta
dan tanggapan di dalam dirinya sendiri. Seperti ada
hubungannya dengan mimpinya beberapa bulan yang lalu.
Mula-mula ia melihat sebuah pulau yang panjang sekali berbentuk naga. Kemudian
pulau itu putus di bagian tengahnya menjadi naga berkaki. Kemudian putus lagi di
bagian ekornya menjadi pulau seperti monster berekor.
Sayup-sayup, seperti dilumuri tabir kabut, bentuk itu muncul menjadi seperti
bentuk Pulau Jawa sekarang, dengan Madura sebagai ekornya. Sedangkan ekor naga
di bagian timur, putus-putus menjadi Kepulauan Sunda kecil, d"ri mulai Bali,
Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan seterusnya. Mimpi itu selalu saja timbul
menjadi kenangan yang amat dalam pada dirinya namun sampai ia menamatkan
pelajaran di Sekolah Guru, tidak juga ia menemukan di dalam sejarah, tentang
kebenaran mimpinya itu. Mastery masih ingat, betapa ributnya teman-teman sekelasnya ketika ia
membicarakan bahwa Pulau Jawa adalah pulau aneh, dengan, gunung-gunung berapi
yang banyak sekali, bahkan lebih banyak dari gunung berapi di seluruh permukaan
sebuah benua. Dan ia juga mengatakan bahwa Pulau Jawa adalah pulau seluruh
makhluk kasar dan gaib. Sementara Pak Nasib sebagai guru Bahasa Indonesia, hanya
manggut-manggut mendengar cerita siswanya itu.
"Bahkan saya merasa, mungkin dari tanah pulau itulah dibentuk Adam di surga!"
keterangan Mastery yang terakhir ini membuat situasi kelas semakin ribut dengan
ejekan dan sindiran sinis kepadanya. Akan tetapi ia diberi kebebasan terus oleh
Pak Nasib untuk meneruskan tanggapannya mengenai pulau itu. Ia masih ingat
bagaimana ketika ia menyinggungnya pula.
Selesai jam pelajaran Bahasa Indonesia, Mastery dipanggil oleh Pak Nasib dan
berkata, "Dari mana kau mendapat bahan cerita seperti itu, Mas?"
Agak ragu-ragu dan malu Mastery menjawab, "Pertama dari mimpi, Pak."
"Kau mempunyai bakat spiritual yang amat besar, nantinya," ucap Pak Nasib.
Ketika itu Mastery belum memahami apa makna ucapan Pak Nasib.
"Bahan ceritamu tadi seluruhnya datang dari pikiranmu sendiri?" tanya Pak Nasib
lagi mengawasi Mastery dari ujung kaki sampai ke wajahnya. Seorang siswa yang
biasa-biasa saja, kulit putih kemerahan, kepala agak besar, dan telinga panjang
yang bergelambir di bawahnya. Dari bentuk
rambut terlihat satu masa nanti ia akan berdahi luas karena sebagian rambutnya
akan gugur mulai dari bagian depan kening.
"Bapak tak tahu, apa jurusan yang akan kau pilih pada suatu ketika nanti," ucap
Pak Hasib lagi sesaat kemudian,
"Apakah kau pernah belajar dari orang lain tentang apa yang kau terangkan tadi?"
"Tidak, Pak," jawab Mastery, "hanya pernah ada orang yang keluar dari dalam diri
saya sendiri yang menceritakan hal itu kepada saya secara lengkap, tetapi tidak
seluruhnya lagi saya ingat."
"Maksudmu, kau ketika itu berhadapan dengan orang yang sama bentuknya dengan
kamu?" "Ya, Pak!" jawab Mastery, "tetapi saya takut menceritakannya kepada orang lain."
"Apakah kamu berbohong?"
"Tidak, Pak saya bercerita benar, karena ingin sekali mengetahui sesungguhnya
yang telah terjadi pada diri saya, Pak. Mungkin dari Bapak saya akan memperoleh
petunjuk tentang kejadian diri saya itu!" tukas Mastery, sementara guru-guru
yang lain, mulai tertarik dengan soal jawab itu.
Sesudah kejadian itu, buku gambar Mastery penuh dengan coretan-coretan dan sket
berbentuk Vulau Sumatra dengan Pulau Jawa ketika masih bersambung, dengan Pulau
Jawa berbentuk ular, Pulau Ule Ule (Olele) sebagai kepala ular, Pulau Jawa berbentuk naga, dan yang
sekarang ini Pulau Jawa berbentuk harimau dengan ekornya Pulau Madura.
Sejak itu Mastery menempuh perjalanan hidupnya sendiri. Menjelajahi pulau dengan
mengikuti beberapa tukang obat pinggir jalan, menjadi anak buah kapal antar pulau, mengikuti
seorang pawang hutan, dan berteman dengan seorang pemburu. Dan akhirnya ia
berjumpa dengan seorang tua, ketika bus yang ditumpanginya diturunkan ke rakit
pelayangan di sebuah sungai besar di daerah Sumatra Selatan.
"Semoga kau hati-hati saja, Nak!" ucap orang tua itu,
"ibarat kendaraan berlapis baja, jangan kau dekati tempat-tempat pertempuran.
Sebab kau akan dipaksa untuk mengikuti pertempuran itu di salah satu pihak yang
ingin mengambilmu sebagai golongan mereka."
Belum sempat Mastery menanyakan makna perkataan orang tua itu, nakhoda rakit
sudah mengatakan bus akan dinaikkan. Ucapan itu serentak dengan bunyi rakit
terantuk dengan tepi sungai di seberang. Mastery mencari orang tua yang
menasehatinya tadi. Akan tetapi rupanya dia sudah naik ke bus lain.
Ucapan inilah yang masih tetap dikenangnya sampai bertahun-tahun. Hingga ia
sampai di daerah Sungai Musi Palembang. Hujan sedang lebat. Jembatan Ampera saja
yang tidak bergoyang ditiup angin kencang. Mastery akan berlari ke ujung
jembatan, tetapi hujan tiba-tiba bagai ditumpahkan dari langit.
Di balik garis-garis hujan yang seperti arsir pada lukisan komik, ia melihat
sebuah tudung hitam seperti bersandar pada terali titi itu. Seraut wajah yang
tidak kelihatan dengan tangan memegang tudung itu, bagai tidak menghiraukan
buncah alam dan gemuruh sekitarnya. Payung hitam itu cukup besar untuk dua
orang. Mastery jadi ragu-ragu sebab setelah beberapa langkah lagi dari orang
yang memakai payung itu, dia baru menyadari bahwa yang didatanginya itu seorang
perempuan. Yang masih tetap saja menekurkan kepalanya ke permukaan air Sungai
Musi yang keruh. Tanpa menghiraukan kenek oplet yang memanggil-mang-gilnya.
"Saya kehujanan, Dik," sapa Mastery, "kalau boleh saya mau numpang berpayung
menunggu hujan teduh. Dan saya, .... tidak akan mengganggumu, Dik."
Permintaan Mastery, tidak disahuti perempuan itu.
Selain hanya sedikit saja memaliskan muka tetapi dengan mata tetap tertunduk.
Dan kelihatan mata itu bersemu merah. Seperti baru saja berhenti menangis.
Mastery memilih teduhan payung di kiri perempuan itu.
Karena tempat itu yang masih lapang, sehingga tak sampai tersenggol tubuh
perempuan itu. Mastery ikut juga memperhatikan air Sungai Musi yang banyak membawa buih dari
gunung. Akan tetapi tidak ditemuinya pemandangan lain, yang kiranya dapat
membuat perempuan itu sedemikian nanap menekurinya.
"Maafkan saya, . . . adik ini dalam keadaan susah kelihatannya," tegur Mastery
perlahan. Perempuan itu masih diam saja, hanya mengubah letak berdiri kakinya.
Dan kelihatan wajahnya berangsur teduh.
"Setiap orang, paling tidak sekali dalam hidupnya, mendapat kesulitan yang
paling berat. Termasuk saya juga,
.... mungkin. Kalau Adik ini mau menceritakannya kepadaku, mungkin akan ringan
sedikit. Apalagi, kalau kita pikirkan bersama jalan keluarnya."
Perempuan itu menangis lagi sejenak. Mastery ikut berdiam diri. Ingat bahwa tiap
lampu akan kehabisan minyak, sejenak akan menyala terang sebelum padam. Ia
yakin, selesai tangis yang akhir ini perempuan di sampingnya itu akan berangsur
tenang dan lembut hatinya.
"Saya tadi sebenarnya mau bunuh diri!" ucap perempuan itu perlahan, tetapi
terlempar ke tengah persoalan yang mengerikan."
"Jangan, Dik! Lebih-lebih sekarang ini! Bisa saja orang menuduh aku yang
menolakkanmu dari atas Jembatan Ampera ini. Apakah kau sampai hati membuat aku
terlibat sengsara seperti itu?"
"Mengapa terlibat dengan aku?" tukas perempuan itu lagi.
"Habis.....di sini kan kita berdua saja satu payung!"
Di wajah perempuan itu kelihatan melintas suatu kecerahan baru. Bibirnya
bergerak seperti hendak tersenyum. Mungkin karena merasa lucu dengan ketakutan
laki-laki di sampingnya. Mungkin juga karena baru menyadari bahwa apa yang akan
dilakukannya, dengan tiba-tiba dapat melibatkan orang lain yang tidak tahu
menahu. "Salah Mas sendiri, mengapa ke mari?"
"Biar diusir, aku tak akan mau pergi sekarang!" tukas Mastery, "sebelum kita
bersama-sama meninggalkan tempat ini."
Mastery lalu mengatakan, walau dia pergi sekarang, tetapi sejak tadi sudah ada
orang yang mempersaksikan, bahwa mereka pernah sama-sama di bawah satu payung di
dalam hujan lebat. Percik air hujan menerpa permukaan jembatan, membasahi kaki mereka. Mastery
sendiri, celana sampai ke batas lututnya telah lembab. Di depan hidung mereka
air hujan turun melalui kain payung. Perempuan di sampingnya seperti mengandung
magnit kuat sekali. Berlainan dengan gadis-gadis yang dijumpainya di dalam
pergaulan dan perjalanan. Sungguhpun Mastery masih bertanya-tanya dalam hati
apakah cuma karena ia telah lama tidak bergaul cjengan perempuan"
Tidak! Tidak! Enam bulan yang lalu, ia juga pernah tidak bergaul dengan
perempuan, tetapi pengaruhnya tidak sekuat seperti sekarang ini. Dengan sudut
mata, diperhatikannya kulit perempuan yang hitam manis itu. Jari-jarinya yang
halus runcing memegang tangkai payung. Perge-langan tangannya yang kecil bulat
padat. Kulit perempuan itu licin berkilau, seperti digosok minyak. Mastery merasa kulit
perempuan di sampingnya ini adalah paling halus dari yang pernah dilihatnya.
Sungguhpun wajahnya tidak termasuk cantik sekali, dari pinggang baju yang
longgar dan penuh gelombang, Mastery dapat menerka bahwa perempuan di sampingnya
berpinggang ramping sekali. Dengan tali pinggang dari kain, yang sebagian
tertutup oleh kendoran blouse-nya.
Akan tetapi ke bagian bawah, dilihatnya pakaian itu ketat menutupi seluruh
badan. Berujung pada sepasang kaki yang bagus bentuknya dengan tapak kaki kecil
dan jari yang tersusun di permukaan sandal. Dan pergelangan kaki itu juga kecil
bulat, tanpa memperlihatkan urat-urat sedikit pun. Dengan mata kaki yang hampir
tidak kelihatan. Mastery memang sudah membiasakan diri melihat alam tembus, sungguh pun diberi
penyekat-penyekat lain. Bahwa yang di sisinya sekarang ini, bertubuh bagus,
seperti yang diidam-idamkan semua laki-laki.
Mastery dengan lembut bertanya mengapa perempuan itu mau bunuh diri.
"Hidup saya jadi susah, Mas!" ucapnya perlahan, "karena orang-orang yang
mengenal saya, mau berbunuhan gara-gara saya. Saya kan jadi merasa berdosa."
"Tentu orang-orang yang telah mengenalmu dekat sekali."
"Ya, begitulah! Mana mungkin yang cuma baru kenal seperti Mas."
"Mungkin juga, sejak waktu ini kita akan menjadi akrab sekali," ulas Mastery
menduga-duga apakah perempuan muda yang di sampingnya sekarang ini mudah untuk
ditarik ke atas ranjang. Apakah ia masih gadis atau tidak"
Namanya Sri Sekarwati, kampung asalnya Prambanan.
Sudah pernah punya suami, seorang anggota Polri, tetapi walau sudah dua tahun
mereka belum juga punya anak.
Suaminya, bekerja sebagai anggota polisi khusus menjaga keamanan kereta api
sampai ke kapal ferry yang menghubungkan Merak dengan Lampung.
"Coba Mas bayangkan, betapa perasaan seorang istri, jika tiba-tiba datang
seorang wanita yang hamil tua ke rumahnya. Dan mengatakan suami saya itu yang
membuatnya demikian!" ucap Sri Sekarwati luruh.
"Pasti pukulan dahsyat sekali bagi jiwamu," sahut Mastery sambil menarik napas
panjang. Ketika itu, kebetulan suaminya sedang tidak berada di rumah. Sedang ke rumah
teman sekerja berjarak beberapa petak rumah asrama. Sri Sekarwati langsung
mengambil stengun yang tergantung di dekat pintu. Tak tahu cara menggunakannya
ia langsung memukul kepala wanita hamil tua itu dengan popor senjata ini.
Sehingga kepalanya mengeluarkan darah.
"Dapat Mas bayangkan bagaimana ributnya asrama ketika itu!"
"Tentu hebat sekali."
"Dunia ini bagai runtuh ketika suami saya mengakui bahwa memang ia yang membuat
wanita itu sampai hamil begitu. Hujan mulai reda, curah-annya menjadi lebih
halus dan ringan, jatuh miring ke permukaan sungai Musi.
Pejalan kaki mulai berani memotong Jembatan Ampera tanpa memakai payung.
"Sri menceritakan, sejak itu ia lari dari suaminya. Akan tetapi suaminya tetap
menguntitnya sampai ia meninggalkan pekerjaan sehingga mendapat beberapa kali


Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peringatan dari atasan. Sri mengeluh, karena ia belum punya anak. Ia rela
suaminya mengawini perempuan itu dengan tetap memakai namanya di dalam daftar
keluarga. Agar atasan tidak mengetahui peristiwa yang dapat menurunkan nama baiknya
sebagai alat negara. "Makanya saya menjauhkan diri dari Jakarta ke mari.
Tetapi sampai di sini saya menghadapi kejadian dalam bentuk lain. Laki-laki yang
pernah menolong saya, hampir saling berbunuhan karena saya," ucap Sri Sekarwati
dengan mengangkat wajahnya yang sejak tadi menekuri permukaan Sungai Musi.
Pertama kali ia memaliskan matanya kepada Mastery yang telah ke luar dari
teduhan tudung dan yang di wajahnya masih kelihatan bintik-bintik air hujan.
Mastery belum berani menanyakan walau sudah bisa menduga bahwa semua laki-laki
itu pernah membawanya tidur bersama. Karena tak mungkin rasanya mereka sampai
mau berbunuhan jika tidak ada alasan tersembunyi di dalam diri perempuan yang di
sampingnya sekarang. "Aku juga bukan orang sini," ucap Mastery, "Jika kau mau, mari ke tempatku
menginap. Di sana kita cari jalan ke luar kesulitanmu itu."
"Jangan, Mas! Di sini saja sudah berbahaya! Kalau kebetulan di antara mereka ada
yang melihat kita berduaan di terali ini, Mas akan menjadi bulan-bulanan
mereka." "Bulan-bulanan?"
"Biarpun kelihatannya saya sendiri, tetapi saya bagai dikepung mereka!" Sri
menjelaskan. Di antara mereka ada pejabat menengah, ada juga alat negara yang
mudah kalap, ringan menggunakan tangan dan senjata.
Baru terlompat ucapan Mastery, "Apakah mereka pernah bermalam bersamamu?" dengan
pertanyaan yang menurut Mastery susunan kalimatnya lebih halus dan sopan.
"Apa sangka Mas, jeleknya hidup seorang janda seperti saya ini, karena kemauan
saya sendiri" Tanpa memperhitungkan juga dosa laki-laki yang menguasai dan
mengancam saya!?" Mastery tersimak. Entah apa yang mendorongnya lebih dalam memasuki persoalan
yang sedang menimpa Sri Sekarwati. Yang dirasanya pasti mengandung hikmah dan
rahasia yang amat pelik. Sungguhpun bunyinya amat sederhana.
"Adik sangka saya akan lari jika mereka datang dengan segala tuduhannya! Sepala
mandi biar basah sekalian. Aku juga kini termasuk di antara mereka yang
mengelilingimu, Sri."
"Mas, nekad, ya"! Sebaiknya Mas tinggalkan saya sendiri sebelum mereka datang."
"Tidak!" "Saya mohon ditinggalkan!"
"Tidak! Kalau perlu, biar mereka membuang saya ke bawah sana!"
"Terserah ... !" keluh Sri Sekarwati akhirnya.
Hanya beberapa menit, terdengar suara sebuah jip berderit bannya di atas
jembatan. Seorang laki-laki berpakaian dinas ke luar dari depan, dan langsung
berkata kepada Sri Sekarwati, tanpa sedikit pun memedulikan laki-laki di
sampingnya. "Ayo pulang! Kalau tidak kuhancurkan rumah dan isinya itu!" ancam orang
berpakaian seragam dan bertubuh kekar itu. Akan tetapi rupanya Sri Sekarwati
termasuk perempuan yang sudah sering diancam. Dia seperti tidak takut sedikit
pun, dan tidak bergerak dari tempat bersandarnya pada terali jembatan. Mastery
merasa belum punya alasan untuk mencampuri apa yang terjadi di depan matanya.
Laki-laki bertemperamen tinggi itu, langsung menjambak lengan Sri Sekarwati
untuk memaksanya naik ke atas jip.
Ketika itulah Mastery merasa terpanggil untuk membuktikan apa yang pernah
dikatakannya tadi kepada Sri.
"Saya juga sedang mengajaknya pulang!" ucap Mastery.
"Saudara siapa?" ujar orang berseragam itu.
"Saya juga berhak bertanya, Saudara siapa?" balas Mastery.
"Jangan campur urusan orang, ya?" ulas orang yang mungkin disegani atau ditakuti
orang lain karena mudah kalap dan melakukan kekerasan itu.
"Saudara yang tiba-tiba mencampuri urusan kami berdua!" jawab Mastery, yang
mengubah berdirinya membelakangi terali jembatan.
"Kami akan menikah!" songsong Mastery.
Mata orang itu terbelalak merah, dan sambil ber-kacak pinggang, ia berkata,
"Kawin! Selama saya masih ada di sini, dia tidak akan bisa kawin dengan siapa
pun!" ancam orang itu lagi dengan garang, sehingga air mukanya merah, seperti
orang baru habis minum memabukkan.
Tangan orang itu bertengger di atas pistolnya. Karena itu Mastery berkata,
"Saudara pasti punya anak istri, serta atasan dalam dinas. Sedangkan saya
sendiri seorang petualang yang tidak ada harganya. Kalau saya yang hanyut di
arus sungai ini, tidak ada yang memperhitungkan.
Tetapi kalau Anda akan menggemparkan banyak orang dan lingkungan, termasuk anak,
istri, atasan, dan disiplin korps sendiri."
Ucapan Mastery, membuat otot geraham orang itu bergerak-gerak.
"Saya juga biasa menghadapi orang seperti Anda ini, termasuk menghadapi binatang
buas di hutan!" ucapan Mastery belum lagi habis, tangan orang kalap itu sudah
terayun ke wajahnya. Akan tetapi Mastery sudah maju selangkah sebelum tangan itu
melayang dan menolakkan bahu kanan orang itu dengan sodokan telapak tangan
terbuka. Berulang kali tangan kiri dan kanan akan melayang, tetapi berhenti oleh
sodokan ringan pada bahunya silih berganti.
"Ini yang namanya silat bela diri," ucap Mastery seperti bercanda, "dan saya
tidak akan membalas, sebelum parah betul."
Perkelahian aneh itu berlangsung beberapa jurus dengan tidak menemui sasaran.
Kelihatan seperti orang bermain-main saja.
Sedangkan Sri Sekarwati menjauh dengan menutup wajahnya. Terakhir sekali ketika
orang ber-seragam itu mengayunkan tendangannya dengan sepatu berat, Mastery menahan lutut dan
menolakkan kening orang itu sehingga ia terduduk di atas jalanan. Mastery,
seenaknya kembali bersandar di terali jembatan, dengan sikap bersiap-siap.
Orang itu bangun tetapi sudah dengan agak tenang.
Memandang Mastery tepat-tepat seperti penuh keheranan, ia berucap, "Saya mau
lihat, apa betul Anda berani mengawininya!" Lalu dia seperti memperbaiki letak
tali pinggangnya. "Kita lihat!" ucap Mastery, "sekiranya sekali lagi Saudara melakukannya, Saudara
akan tiba-tiba berada di bawah sana!"
Perkataan ini menaikkan darah di wajah orang itu, tetapi cepat reda. Ia langsung
naik ke Jip dan menancap gas, seolah-olah mobil itu hendak melompat di jalanan.
"Itu salah satunya?" tanya Mastery.
Sri Sekarwati mengangguk. Sungguhpun kejadian itu dirasanya seperti mustahil,
tetapi ia mulai merasa aneh dan kagum kepada Mastery yang tadi dinilainya biasabiasa saja. Akan tetapi ternyata berani berbuat banyak, bicara dan bertindak
kepada oknum berseragam yang terkenal galak dan mudah membuang tembakan itu.
"Mari ke tempatku! Akan kubuktikan apa yang dikatakannya mustahil!"
Dengan perasaan mengambang, Sri Sekarwati mengikuti Mastery. Di dalam
pikirannya, semua tak berarti. Jika laki-laki di sampingnya sekarang sudah
pergi, kekuasaan kepada dirinya akan terulang lebih keras lagi di masa yang akan
datang. "Saya akan ke rumah dahulu, mengambil pakaian dan lain-lain, serta berpesan
kepada tetangga, bahwa saya mungkin akan lama baru kembali."
"Bukan lama, tetapi tidak akan kembali lagi!" Sri Sekarwati tidak menjawab. Ia
mulai percaya, bahwa laki-laki di sampingnya sekarang ini tidak begitu suka
menghambur bicara. Akan tetapi perbuatan nyatanya telah berbukti sejak
pertengkaran dan kekerasan tadi.
"Belum pernah ia mau direndahkan seperti tadi," tukas Sri.
"Aku bukan merendahkan," ulas Mastery, "hanya agar ia malu kepada dirinya
sendiri. Jika kepada orang lain malu itu bisa disembunyikan."
Mereka menuju sebuah rumah yang paviliunnya didiami Mastery. Orang yang empunya
rumah adalah penjaja obat keliling yang setahun lalu pernah diikuti Mastery
mengelilingi pelosok-pelosok kepulauan ini. Kini Marjohan telah punya toko obat
sendiri dari hasil perjalanan selama dua tahun. Marjohan agak heran ketika
Mastery datang membawa seorang perempuan yang wajahnya kelihatan tidak cerah dan
menarik. "Kawan lama?" tanya Marjohan.
"Lama dan juga baru . . .," balas Mastery sambil memperkenalkan Sri.
Hari itu juga, Mastery menyampaikan maksudnya untuk menikahi Sri.
"Kau ini sadar apa tidak!" heran Marjohan bertanya,
"Apa tidak bisa menanti hari esok."
"Tidak!" tukas Mastery, "kalau besok malah berbahaya!"
Marjohan tidak bertanya apa sebabnya. Karena selama dua tahun, ia tahu bahwa
laki-laki muda di hadapannya
sekarang terkadang bersifat tertutup sekali. Tetapi biasanya yang ditutupinya
itu suatu masa akan diterangkannya juga.
Dan dia juga tidak dapat menolak niat Mastery, karena sedikit banyaknya, Mastery
pernah menolongnya ketika sakit dalam pengembaraan mereka di daerah yang
terkenal nyamuk malarianya, di sekitar Pekanbaru dan Rengat.
Sehingga pukul 3 sore pernikahan itu telah selesai dengan persiapan yang
tergesa-gesa. Sungguhpun dengan biaya yang lebih besar dari pada biasa.
Dua lembar surat nikah langsung selesai hari itu juga.
Yang satu diberikan Mastery kepada Sri Sekarwati.
Sekarwati menangis perlahan-lahan dan menunduk di dalam kamar.
"Apa yang kau tangiskan, Dik," tanya Mastery.
Sri menggeleng, dan perlahan-lahan menyahut, "Seperti mimpi saja, . . Mas baru
tadi rasanya kita masih sama-sama asing!"
"Mungkin inilah yang dinamakan orang jodoh," tukas Mastery kemudian menarik
Sekarwati ke atas pembaringan.
"Boleh ...?" bisik Mastery ke telinga Sri. "Aku belum pernah menyerahkan diriku
kepada laki-laki dengan sepenuh hati, Mas,..... seperti kepadamu hari ini."
Ibarat dua gumpalan besi magnit bertubrukan, mereka berdua terbanting.
Mastery merasa dikurniai kelebihan memandang alam tembus dengan nalurinya yang
amat dalam dan yang selama ini belum pernah meleset. Ia tergulung dalam suatu
lemparan yang amat tinggi ke fatamorgana yang tak pernah dirasakannya selama
ini. Yang masih diduganya,
sungguhpun masih jauh, ada alam lain yang membawanya ke semua kejadian ini.
Sri Sekarwati bagai dilengkapi dengan kelebihan lain.
Seperti seorang pioner yang dilepas dengan persenjataan lengkap melebihi pasukan
biasa. Perempuan surga ranjang! Itulah cap kata hati Mastery kepada Sri.
Keesokan harinya, laki-laki berseragam itu datang lagi dengan Jipnya. Ia menuju
rumah Marjohan, seperti tak ragu sedikit pun akan langkah yang diambilnya.
Kemudian berkata lantang : "Apa Sri di sini?"
Mastery ke luar dari kamar, "Kami sudah kawin,"
katanya sambil memperlihatkan surat nikah yang hijau kulit luarnya. Pukulan ini
menaikkan darah ke wajah orang itu.
Dia menyambar surat nikah itu dengan cepat, dan membacanya dengan mata merah.
"Kalau Saudara koyak, masih ada satu lagi. Dan Anda akan dituduh menghina
peraturan Negara ini!" tukas Mastery.
Dia memandang tepat-tepat kepada Mastery, kemudian gagap berkata, "Sebenarnya
Saudara ini siapa, sih?" sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman, "Saya mulai
yakin, Anda tak mudah berubah oleh sesuatu dari luar, jika Anda sendiri tidak
menghendakinya." "Maksud Saudara?"
"Anda kukuh dan tangguh. Dan saya tidak perlu mengulang atau mencoba Anda lagi."
"Terima kasih . . .," balas Mastery. Kemudian dia memanggil Sri Sekarwati dari
dalam kamar. Disuruhnya mereka bersalaman.
"Selamat tinggal, ya Mas Fen . . . kami akan pulang ke Jawa!" ucap Sri Sekarwati
dengan suara rata dan mantap jelas. Padahal Sri belum pernah mengatakan rencana
itu kepada Mastery. "Maafkan. . . aku yang sering menyulitkanmu, Sri," ucap Fen dengan genggaman
tangan agak menggigil. "Mungkin memang jalan kita harus begini," sambut Mastery menyaksikan wajah
mereka yang tegang kemudian berangsur teduh dan cerah.
Kemudian Fendar melangkah ke halaman dengan menundukkan muka seperti pasukan
kalah perang. Marjohan muncul dari pintu samping, ucapannya seperti bernada ketakutan,
"Mengapa orang sehebat itu terpukul sekali kelihatannya?"
"Coba kalau Abang mengundurkannya sampai besok!"
Marjohan menggeleng-gelengkan kepala, "Hampir ribut dan berbahaya!"
Mastery bertanya kepada Sri Sekarwati, apakah ia benar-benar bermaksud pulang ke
Jawa. Apa hanya sekedar mengelabui Fendar saja. Ternyata benar, hanya baru di
luar tadi bisa dikatakannya. Itu pun kalau Mastery setuju.
Kembali Marjohan yang menyediakan biaya untuk pesawat terbang mereka menuju ke
Jawa Tengah. "Bus saja, sudah cukup" ucap Mastery yang sedang mempersiapkan tas pakaian
mereka, dikumpul jadi satu dengan Sri.
"Akh, . . biarlah ganti berbulan madu " sahut Marjohan.
"Bulan empedu .... barangkali . . .," tukas Sri Sekarwati, yang mungkin agak
bersemangat karena Prambanan seolah-olah sudah tampak. Dari Talang-betutu,
mereka berangkat. Ketika di ruangan tunggu, masih ada saja telepon dari beberapa orang yang
menanyakan Sri Sekarwati. Dengan jujur, Mastery menyuruh Sri menerima telepon
itu. Sampai 6 kali, telepon ke bagian Penerangan minta agar dihubungkan dengan
seorang penumpang yang akan berangkat dengan nama Sri Sekarwati. Ada yang
mengaku dari omnya, dari orang tua, dari abangnya, dan sebagainya.
Semuanya diterima Sri Sekarwati dengan perkataan yang benar. Bahwa ia memang
akan pulang ke Jawa, dengan suami yang telah ditakdirkan dalam perjalanan
hidupnya. "Habis, . . . aku sebenarnya tak mau menjawab telepon mereka, Mas," ucap
Sekarwati kesal. "Setidak-tidaknya, aku tahu persis, apa yang kau katakan, memang tidak meleset
sedikit pun." "Tentang seorang Ratu, yang dikejar-kejar seluruh anak Pangeran!"
Sri Sekarwati mengatakan kepada Mastery bahwa di antara yang menelepon ada yang
menyangka dia banyak berutang uang kepada laki-laki yang baru menikah dengannya.
Dan mereka bersedia membayar utang itu berapa pun jumlahnya, asalkan Sri tidak
pergi. "Nyatanya kau tidak berutang apa pun kepadaku."
"Ya, . . .!" Sri sambil mencubit pergelangan tangan Mastery, "Tetapi lebih dari
itu," Mastery agak terpekik.
Beberapa orang yang di ruang tunggu tekejut melihat ke arah mereka. Akan tetapi
Mastery memetik-metikkan abu rokoknya. Supaya orang menyangka gemertik api rokok
kretek-lah yang membuatnya terpekik kecil tadi.
Ketika Kaki Mastery menginjak tangga pesawat yang akan berangkat, terasa sedikit
singgungan sejarah hidupnya.
Mungkin inilah awal ia akan menempuh apa yang diduganya semasa sekolah dahulu.
Jadi perkawinan aneh dengan Sri Sekarwati hanya sebagai batu loncatan saja.
Biarpun tak sama, bukankah Adam terusir dari surga, karena Siti Hawa"
Dia mulai teringat kepada perkataan orang tua yang berjumpa selintas ketika di
rakit penyeberangan di Muaro Bungo. Mungkin inilah saatnya ia memulai perjalanan
hidup baru yang penuh dengan tantangan"
Rasanya memang seperti mustahil. Akan tetapi benar-benar mengherankan Mastery.
Ketika pesawat mendarat di Kemayoran, masih saja ada yang menelepon dari
Palembang, untuk menghubungi penumpang yang bernama Sri Sekarwati.
"Tak usah dilayani lagi," sambut Sri sendiri, "Kita kan sudah bukan di Sumatra."
"Itu terserah kau, Sri!"
Sri memetokkan jari Mastery, sehingga ia meringis kesakitan.
Dari Kemayoran kedua sejoli terbang ke Jogja. Dari atas kelihatan kawah-kawah
gunung yang menganga. Ada yang mengeluarkan asap. Sebagian hutan-hutan di lereng
gunung telah gundul. Jalan-jalan seperti cacing halus yang saling kait berkait
ketika pesawat belum terbang terlalu tinggi di atas Jawa Barat.
"Nenek dan kakek pasti terkejut dan senang!" renung Sekarwati, "karena sudah dua
tahun aku hanya janji akan pulang. Kakek kalau sakit, mendengar aku pulang, akan
langsung bangun dari tempat tidurnya."
"Hebat kakekmu itu?"
"Luar biasa. Terlindas mobil saja berapa kali, tidak apa-apa, kok!" sambut Sri
Sekarwati bersungguh-sungguh .
"Mungkin kakekmu punya ilmu."
"Semua orang di sekitar Bokoharjo juga tahu! Beberapa kali sakit parah. Tetapi
kalau kulitnya telah terkelupas dan berganti, ia akan sehat kembali. Sudah lebih
100 tahun umurnya." Ketika sudah mendarat di Jogja, mereka menumpang bus yang menuju Klaten. Naik
dokar dari pasar Prambanan, melewati bekas kerajaan kuno Joboan Bokoharjo,
mereka sampai di desa Watu Gudik. Tak begitu jauh dari Kali Opak.


Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terasa suatu situasi baru bagi Mastery. Seolah-olah dirinya diintip oleh banyak
makhluk di dalam perjalanannya.
"Aku kok seperti samar-samar mendengar banyak orang, suara dan orang yang
mengiringkan dokar kita ini, Mas."
"Mana aku tahu, ini kan kampungmu."
"Tetapi tak pernah begini, kok," sahut Sri lagi.
Sedangkan kuda dokar beberapa kali terkejut dan meringkik, seperti akan
menaikkan kedua kakinya di tengah jalan.
"Wah kuda ini juga tak pernah seperti ini," ucap Sais, sambil melecutkan cemeti
ke pangkal paha kudanya, "Dan rasanya, sungguhpun bertiga delman ini rasanya kok
berat sekali, Den." Ucapan sais delman yang kelihatannya terheran-heran itu,
telah membukakan sedikit hikmah di lubuk hatinya. Mungkinkah ini akan merupakan
saat pertama sejarah petualangannya di pulau Jawa"
Kedatangan mereka yang tiba-tiba, dengan kuda delman yang berkeringat deras
seolah-olah menarik beban lebih dari tujuh penumpang, membuat kakek dan nenek
Sri Sekarwati terpekik dari ruangan dapur.
Pertemuan itu dihiasi dengan tangis, yang tentu saja tangis kegembiraan.
Mastery menyalami kakek Sri yang berpakaian serba hitam. Tubuhnya kurus, tetapi
cukup kekar, dan lincah gerakannya. Tidak memakai alas kaki. Tidurnya di atas
jerami yang berlapis tikar pandan.
Awal yang menarik dan agak aneh, pikir Mastery. Ia terbawa mulai masuk ke alam
yang sama sekali berlainan dengan pengembaraannya yang lain. Malam itu mereka
disuruh menginap di rumah Paklek (pakcik) mereka yang sudah lama tidak didiami.
Tampaknya Sri Sekarwati, seperti enggan. Akan tetapi Mastery berkata, di mana
saja dia akan merasa senang. Mas Sartono, abang Sri juga berkata begitu. Lebih
bebas dan aman, jika mereka tinggal di sana.
"Ada . . . anunya . . .," ucap Sri, "nanti Mas heran.
"Ada apanya?" "Kamar yang satu itu masih seperti dulu, Mas?" tanya Sri kepada abangnya,
Sartono. "Ya, masih. Itu kan tempat samadinya pak-lekmu,"
jawab Sartono. "Bagaimana sih, . . . ayo di sana saja," ucap Mastery sambil memegang tali tas
pakaian mereka. Rumah itu pada dasarnya cukup bagus untuk didiami. Akan tejtapi
karena sudah lama ditutup saja, maka ketika pintunya dibuka, berbau lembab dan
apak. Mungkin oleh udara pengap yang tertutup di dalamnya. Sartono dengan
gembira sekali membersihkan seluruh ruangan. Kecuali sebuah kamar yang bagai tak
dihiraukannya. Tidak terkunci, hanya pintunya saja dirapatkan.
Ketika mereka telah tinggal berdua, Mastery melangkah ke arah kamar yang
terletak di sudut. "Itu kamar tapa paklek," ucap Sri.
"Ada apanya sih?" tukas Mastery. Pintu berdenyit dikuakkannya dengan perlahanlahan. Kelihatan kamar itu kosong dari perabot. Di tengah kamar yang berlantai
semen itu, ada enam lembar papan untuk menutup lantai di
bawahnya. Sungguhpun celah-celah papan itu seharusnya membuat semen di bawahnya
terbayang, tetapi yang terlihat hanya kegelapan semata.
"Lubang . . . ya?" tanya Mastery.
"Lahat tempat paklek tapabrata," sahut Sri.
Mastery menarik napas. Semakin jelas baginya bahwa suatu alam lain telah mulai
dilaluinya perlahan-lahan namun pasti, dengan segala langkah seperti telah
diatur terlebih dahulu. Karena itu ia menyimak-nyimak, apa yang akan terjadi
sesudah hari-hari ini berlalu pula .... Sedangkan Sri Sekarwati yang telah
menghempaskan diri di atas tempat tidur bagai mengundang Mastery untuk mereguk
bulan madu. Apalagi hawa malam dingin, sunyi dan syahdu.
*d*w* III RASANYA hari seperti tengah malam. Akan tetapi Mastery tidak mampu mengangkat
pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Ada suatu perasaan mengambang,
seolah-olah tempat tidurnya terangkat perlahan-lahan dari lantai kamar. Diiringi
sayup-sayup oleh bunyi klenengan dan gamelan. Dan pada ujung setiap irama, gema
sebuah gong bagai menggetarkan tali jantung.
Bunyi instrumen klasik itu membuat jiwa terlena di antara sadar dan jaga.
Semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Diiringi suara orang ramai, yang
kurang jelas makna ucapannya. Dinding rumah mendadak bagai lepas. Mastery merasa
seperti berada di alam bebas tanpa batas. Dua orang yang semula sayup-sayup
bagai ke luar dari kabut, kini berdiri tidak jauh dari tempat ia terbaring.
"Mengapa kau datang ke mari?" tanya yang seorang, kancing bajunya kelihatan
selebar permukaan tutup gelas.
Mastery berusaha menjawab, tetapi kerongkongannya terkunci. Hanya bibirnya saja
yang bergerak-gerak tanpa suara. Akan tetapi kedua orang itu tampaknya mengerti
apa yang diucapkannya. "Ada tiga jenis yang datang ke pulau ini, yang pertama sebagai tamu, kedua
merampok, dan ketiga ikut melihat hukum!" ujar yang seorang, berpakaian hitam
dengan serban merah. "Aku belum bisa menjawabnya sekarang!" sahut Mastery, dengan hanya menggeliatkan
badan di tempat tidur. Sedangkan Sri Sekarwati tidak ada di sampingnya.
Entah memang ada batas, entah Sri pergi.
"Kau hanya boleh menonton seperti orang lumpuh di atas kursi roda, hei
petualang!" ujar yang memakai tongkat gada amat besar.
"Bukankah seluruhnya bumi Allah?" bisik hati Mastery.
"Ya, tetapi ketika pertama kali manusia menginjakkan kakinya ke pulau ini, telah
mengikat perjanjian dengan kami! Tak seorang pun dapat membuka tali ikatan
perjanjian itu!" ucap yang seorang lebih pendek, tetapi bertubuh lebih lebar dan
kukuh seperti batu gunung yang mencuat ke luar dari tebing.
Mastery akan memijakkan kakinya ke lantai. Akan tetapi kedua manusia ukuran
besar dengan wajah remang-remang itu, seperti mengejek. Mereka mengatakan, bila
ia menginjakkan kaki ke tanah dengan tubuh belum disucikan maka ia sama juga
dengan seekor singa jantan yang kehilangan bulu tengkuknya, atau harimau
kehilangan belangnya. Kaki Mastery terjuntai di tepi tempat tidur.
Mengapa mereka berbaik hati juga untuk mengingatkan
kelemahan manusia setelah selesai melakukan hubungan badan dengan perempuan,
tidak punya kekuatan untuk berhadapan dengan alam gaib" Apakah ia termasuk orang
yang diperhitungkan. Kelihatan oleh Mastery kedua orang besar itu berunding
sangat hati-hati dan teliti.
"Pergilah engkau ke Parang teritis dan ke gua yang ada di sana! Penghulu kami
menantimu." Dengan tubuh yang amat lemah, karena sebagian kekuatannya disedot ke
bagian yang dihidangkan Sekarwati, Mastery mengangguk lesu.
Pada waktu alam samar-samar itu akan berlalu, Sri terlihat berada kembali di
sampingnya. Akan tetapi di atas kepala Sri bagai ada sebuah ketopong yang tak
sempat diperhatikannya dengan teliti. Karena cepat menghilang dari pandangan
alam nyata. Sehingga yang terlihat oleh Mastery hanya wajah istrinya yang tenang
terletak di atas bantal. "Sri!" tegur Mastery sambil mengusap-usap mata untuk meyakinkan diri apakah ia
telah berada" di alam sadar atau belum.
"Apa, Mas?" sahut Sri, sambil menggelungkan lengannya ke leher Mastery.
"Kok tengah malam tadi, ada suara riuh penonton diiringi!bunyi gamelan,
klenengan dan gong yang sayup-sayup bagai menidurkan roh?"
"Mas betul-betul mendengarnya?"
"Kita baru sore kemarin tiba," ulas Mastery untuk menekankan kepada Sri bahwa
apa yang dirasakannya benar-benar terjadi.
"Siang nanti kita lihat!"
"Jauh?" "Hanya di belakang rumah ini," jawab Sri, "tidak semua orang dapat mendengar
suara itu. Terkadang sampai ke Prambanan terdengar seperti orang sedang
mengadakan pesta panen. Tetapi orang di kampung sini sendiri tidak mendengar
apa-apa." "Mengapa aku yang baru datang bisa mendengarnya?"
tukas Mastery. Sri mengatakan, bahwa mungkin sekali Mastery pada suatu ketika pernah punya
hubungan dengan mereka. Mastery heran sebab dia bukanlah termasuk suku asli daerah ini. Sungguhpun pada
garis keturunan kakek-kakeknya di atas, memang bertalian dengan daerah ini.
Sesudah sarapan pagi, perasaan kembali segar. Mereka minta izin kepada Kakek
Mustono, untuk melihat-lihat ke tanah ladang di belakang.
"Kalau ada apa-apa, jangan dilangkahi," ucap Kakek Mustono. Tempat itu tidak
begitu jauh dari Kali Opak.
Dibatasi sekelompok hutan bambu yang pucuknya bagai bertaut ke tanah, agak aneh
kelihatannya, seperti payung alam. Di bawahnya ada sebuah lapangan lembab, sejuk
dan berlumut, dengan tanah agak meninggi, seperti punggung sesuatu yang cembung.
Untuk masuk ke dalam, ada sebuah celah rumpun bambu yang terkuak seperti gerbang
"Paklek yang dulu sering bersamadi di sini." ucap Sri
"Tanah kita." Sri Sekarwati mengangguk. Mereka masuk ke lindungan pohon bambu yang sejuk.
Mastery melihat bongkah-bongkah seperti batu besar terjungkir balik. Dia
mencungkil ujung batu itu, sehingga kelihatan susunan batu berbentuk
gong jumlahnya 6 buah, terletak di atas sebuah batu panjang. Tampaknya deretan
batu berbentuk gong itu bukan satu saja. Ada sembilan buah, yang letaknya tidak
lagi serata tanah. Mungkin karena pengaruh tanah lembab dan air tergenang,
letaknya tidak lagi rata di atas permukaan tanah.
Mastery, memukul-mukul ranting bambu ke cembungan gong batu. Sambil berpikirpikir mungkinkah gong batu seperti ini bunyinya berdengung demikian nyata, dan
menggetarkan perasaan yang mendengarnya.
"Memang aneh, Mas. Batu, kok bunyinya bisa sampai jauh," ulas Sri.
Mastery tersenyum pahit. Mungkin karena hal itu sulit diterima oleh akal.
Sekarwati bercerita, kata orang, bambu yang tinggal sekarang adalah sisa dari
bambu yang dibakar ketika Sunan Geseng tertutup oleh hutan bambu. Sehingga
badannya ikut hangus, tetapi tidak mati karena tongkat bambu yang diberikan
sunan Bonang adalah bambu sungsang ruas, yang dikatakan bambu pak-pak.
Tiba-tiba kaki kanan Mastery terperosok hampir mencapai betisnya. Ia bergantung
ke bahu Sri. Sebelum kaki itu ditariknya, sejenak ia tersimak.
"Bagai ada suara makhluk aneh di bawah sana," ucap Mastery.
"Kok ada yang berlubang, ya?"
"Pasti di bawah ini ada rongga yang sebagian telah tertutup," tukas Mastery
setelah mencabutkan kakinya.
Sebatang ranting bambu ditusukkannya ke dalam tempat kakinya terperosok tadi
lebih sedepa, ranting bambu itu masih masuk terus.
"Memang kadang-kadang orang di sekitar desa ini mendengar suara seperti kerbau
melenguh, tetapi lebih kuat dari pada itu. Dan suaranya bercampur auman
panjang." "Di sini juga?" tanya Mastery lalu tambahnya, "Aku akan samadi malam ini di
sini." "Mas masih baru di sini!"
"Bumi ini diperuntukkan bagi manusia yang berakal!"
Hanya beberapa ratus meter dari watu Gudik, bekas kerajaan tua Bokoharjo,
terletak bangunan besar dengan kolam-kolam terbuat dari batu bersusun. Ada juga
tiang-tiang batu tempat mengikatkan gajah.
Sekarwati menyuruh Mastery membawa sajensajen menurut biasanya jika seseorang
akan melakukan nyepi. Mastery tidak menolak, tetapi Sri-lah yang dimintanya meletakkan sajen pada
malam Jumat Kliwon itu. Tidak jauh dari tempat kakinya terperosok, dipajang di
atas sebuah tikar terbuat dari daun kelapa yang dianyam.
Bagai embun yang tipis, keliling teduhan pohon bambu menjadi tabir tertutup
dengan alam luar. Tabir embun itu mulai bergoyang seperti cairan lilin kental
yang menuju berbagai bentuk. Bentuk-bentuk asing yang belum dikenal.
Bentuk itu kini semakin merayap menuju bentuk hampir sempurna. Kini bergoyanggoyang banyak sekali. Namun masih dengan anggota badan yang tidak sempurna.
Dia muncul dengan dada koyak dan seluruh isi dada itu telah kosong. Ada yang
seluruh bagian daging yang tebal, telah habis. Tinggal beberapa bagian yang
berjuntaian, seperti akar-akar tergantung. Ada lagi kepala yang bagian atasnya
bergelinding ke arah Mastery duduk. Sehingga jelas sekali terlihat isi kepala
itu telah kosong. Namun kedua matanya masih mengedip-ngedip. Tiba-tiba tempat
itu berubah baunya menjadi anyir, seperti hampir menyamai
bau pasar ikan, atau tempat jagal ternak. Mengapa roh begini yang bermunculan"
"Apa yang merusak mereka demikian ganas?" bisik hati Mastery bertanya di dalam
raga yang hening. Tiba-tiba sebuah teriakan keras disertai erangan mendesah amat kuat terdengar di
tengah pemandangan itu. Suara itu mengerang dengan suara makhluk yang belum pernah ada di dunia ini.
Keringat dingin memercik di kening Mastery. Lalu dari bawah tanah timbul sebuah
takhta batu yang amat besar, mendukung sebuah tubuh yang lebih besar dari seekor
kerbau liar. Seluruh tubuhnya berbulu. Pakaiannya yang gemerlap, tidak dapat menyembunyikan
keseraman bentuknya. Rambutnya kaku, tegak. Bergoyang-goyang seperti sapu ijuk ditegakkan. Mulutnya
lebar mengeluarkan 4 taring yang putih berkilat. Kedua bibirnya yang tebal dan
lebar, tidak dapat menutup dua baris gigi yang masing-masing sebesar kotak korek
api. Wajahnya sebagian besar berbulu.
Di atas kepala bertengger sebuah mahkota dengan untaian tengkorak kepala
manusia. Dia bersuara amat keras lagi. Dan kedua tangannya teracung ke depan, hendak
menyentuh Mastery. "Kau santapanku hari ini!" ucap makhluk itu. Suaranya berderak-derak seperti
bunyi aspal mendidih di dalam drum panas.
"Mengapa harus aku!"
"Darahmu dan keturunanmu berguna untuk kelanjutan umurku," sahut makhluk itu
lagi. Bentuknya hampir menyerupai manusia, tetapi kulitnya mirip dengan kulit kerbau.
"Ya, ya kakekmu dulu yang menyiramkan air ke Mekah yang sedang terbakar,
sedangkan dia berada di pulau ini.
Dan sekarang darahnya turun kepadamu."
Mastery teringat kepada apa yang diceritakan orang.
Entah betul entah tidak. Akan tetapi kisah itu terkenal sekali dan tersebar dari
mulut ke mulut. Waktu itu kakeknya sedang duduk di kursi tukang pangkas untuk
memotong rambutnya. Tiba-tiba kakeknya tersentak bangun dari kursi, dan
berteriak, "Mekah terbakar, Mekah terbakar!" Sambil berlari menuju ke selokan.
Dengan sebuah tempurung kelapa ia menyiduk air selokan, dan menyiramkannya
berkali-kali api sampah yang terletak di dekat sebatang pohon angsana.
Ketika orang pulang dari Haji, orang mengatakan bahwa kakek berada di Mekah. Dan
mereka melihatnya ikut memadamkan kebakaran dengan menyiramkan air ke nyala api
yang sedang berkobar. Mastery tidak ingat lagi tahun berapa kejadian itu. Di
dalam catatan orang tua-tua yang sebagian besar tidak ada lagi, sulit untuk
dijumpai. Namun kisah itu menurun kepada anak cucu, semakin lama semakin pudar.
Sehingga ada yang menganggapnya hanya dongeng semata.
"Sebelumnya aku ingin tahu, siapakah kau ini!?" tanya Mastery kemudian. Dimulai
dengan teriakan keras dan menepuk dadanya, seperti bunyi orang menepuk kasur
yang sedang dijemur sehingga sampai terdengar ke seperdua kampung, ia menyahut,
"Akulah Dewatacengkar!!! Raja sembahan manusia di pulau ini dahulunya."
"Dewatacengkar?" ulang Mastery, "bukankah sudah tilam ke laut Selatan ditelakkan
Doro Sem-bodo, Panokawan Aji Saka?"
"Wahhhhhhh . . . ., bagi kami tidak ada mati. Yang ada berubah bentuk, atau satu
masa menitis kepada bentuk lain!" teriak Dewatacengkar yang baru kali ini berada
di hadapan Mastery dengan jelas.
Sedangkan selama ini ia baru mendengarnya dalam sejarah sastro gaib pulau ini.
Bayangan roh manusia yang telah compang-camping seperti daun pisang kering yang
koyak-koyak, melambai-lambai ke arah Mastery. Entah apa maksudnya, mungkin mau
meminta tolong, tetapi terkadang seperti memanggil agar ikut dengan mereka. Paha
dan badan, yang rompal-rom-pal, seperti bekas jepitan kampak besar, jelas
kelihatan. Atau seperti bekas jalannya gigi-gigi besar yang mengiris otot-otot tubuh
mereka. "Kami punya banyak utusan untuk membawa orang-orang berdarah kuat ke mari!"
pekik Dewatacengkar. "Apa aku juga?" terheran-heran Mastery bertanya.
"Wahhhhhhhhaaaaa, .... istrimu itu utusan kami!
Sebelum engkau, tidak begitu kuat yang mengelilinginya.
Tetapi jika engkau, cukup satu saja. Tak perlu tambahan lain. Aku akan bangun
kembali untuk menghancurkan orang-orang yang me-musuhiku. Terutama Aji Saka,
yang sudah menitis kepada seseorang."
"Aku hanya ingin tahu dengan ilmu, apa sebabnya badanku sangat berharga untuk
santapan-mu, hai Raja Raksasa Manusia!"


Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waahhhhhhhaaaaa, . . . ., darahmu sudah hampir menjadi tembaga. Sumsummu,
hampir menjadi timah putih dan tidak hitam. Tulangmu hampir menyerupai perak.
Sumsum kuningmu hampir menjadi emas. Dan ototmu, hampir menjadi besi," jawab
Dewatacengkar sambil mencapakkan mulutnya. Seperti perempuan hamil ngidam buah asam. Pada kedua sudut
mulutnya yang renggang, keluar air liur yang kental. Meleleh terus sampai turun
dan merekat janggutnya yang kasar dan jarang.
Tanah di lingkungan teduhan pohon bambu itu menggeletar bagai digoncang gempa.
Tangan Dewatacengkar yang berkuku kotor bekas darah, terulur kepada Mastery. Kedua
tangan itu hampir mencapai lehernya.
Sekali betot, tentu kepalanya akan putus, seperti kelapa tanggal dari tandannya
dipelintir monyet. Entah dari mana datangnya, sebuah cahaya putih menyilaukan selebar sebentuk
pedang, menyambar seperti kilat di antara tangan Dewatacengkar dengan lehernya.
Dewatacengkar merasa kukunya panas. Dan panas itu menjalar melemahkan raganya,
Mastery tidak mengetahui ke mana ia harus berterima kasih. Karena terlihat ada
makhluk sebagai pengantar cahaya yang amat cepat itu.
Kemarahan yang sangat, membuat Dewatacengkar menendangi tanah di bawah takhta
tempatnya duduk. Sehingga berbongkah-bongkah berterbangan kian kemari.
Suara ribut itu cukup jelas terdengar oleh orang di sekeliling kampung. Apalagi
bagi yang mempunyai hubungan darah sejak dahulu kala dengan Dewatacengkar.
Akan tetapi tak seorang pun mau bertanya kepada tetangga di dekat rumah. Palingpaling besoknya baru mereka akan berbisik, "Dengar semalam?" Dan yang ditanya
biasanya mengangguk saja tanpa menjawab. Sebab sesungguhnya mereka sudah samasama maklum. Sri Sekarwati pun tidak bisa tidur semalaman. Karena suara teriak dan hardik itu
didengarnya jelas sekali. Walau yang terdengar olehnya hanya sepihak. Semula ia
akan mengajak kakeknya untuk menjemput suaminya pulang.
Akan tetapi kakeknya melarang.
"Tampaknya suamimu bertitisan kuat dari seberang! Dia tidak akan diapa-apakan.
Lain dengan penduduk sini!"
"Kok dia dicobai terus, Kek?"
"Itu harus . . . , apalagi jika dahulu di atasnya ada keturunan penting dan tak
kenal dengan restu gaib pulau ini."
Bongkah tanah tempat Mastery duduk, terlempar ke bawah pohon bambu. Ternyata
bayangan samar-samar roh yang centang-perenang tadi tidak berani menjamah
tubuhnya. Ada yang tidak sesuai ketika mereka akan mengerumuninya. Sesuatu yang
menendang rasanya. Berarti, Mastery bukan jenis makanan biasa.
Takhta tua itu kembali masuk ke bawah tanah. Berderak-derak tanah keras
terbelah, akhirnya tertutup kembali bagai disaput angin.
"Masya Allah ... di mana arahnya tadi!" ucap Mastery dengan mata terbuka
memandang ke sekelilingnya yang mulai remang-remang karena bulan sabit ujung
akhir bulan, ke luar mendahului fajar subuh.
Sampai kepada titisan kakeknya di atas, diketahui Dewatacengkar bagaimana cerukceruknya jaringan gaib mereka ke seluruh pulau yang berserak-serak ini.
Tiba-tiba Kakek Mustono mendadak sakit. Kelihatannya susah bernapas dan dada
serta perutnya seperti remuk dipijak-pijak orang.
"Ia marah kepadaku," ucap Kakek Mustono yang dijagai oleh Nenek Misah dengan
wajah gundah. Mastery kini tahu persoalannya. Tanah itu adalah tanah warisan dengan Kakek
Mustono sebagai kuncennya, maka penghuninya marah karena Kakek Mustono tidak
dapat menggaet Mastery untuk dijadikan makanan bergizi tinggi bagi kelanjutan
misi mereka pada suatu masa. Jika Mastery dapat ditaklukkan, Dewatacengkar akan
dapat menitis kembali kepada manusia biasa. Yang secara tidak langsung akan
mengobrak-abrik kehidupan manusia nyata.
"Biar bagaimanapun, . . . jangan mau sudah cukup banyak cucu di atas entah
berapa jumlahnya yang telah menjadi korban!" kata Kakek Mustono dengan suara
lantang sungguhpun tubuhnya lemah.
Sri Sekarwati menceritakan, ketika bentak-bentak makhluk pemakan manusia itu
terdengar sampai ke kampung tetangga, ada perempuan cantik datang dengan kereta
kuda, naik dari tepi kali Opak.
"Semalaman aku tak bisa tidur, Mas!" ucap Sri, "Ia menjagaku terus. Katanya
kalau Mas berhasil diambil Dewatacengkar, kerajaan lautnya akan terancam seperti
dahulu, Mas." Bukan itu saja. Dalam keadaan mengigau, Kakek Mustono meracau. Ia menceritakan,
bahwa seluruh kerajaan gaib di kaki gunung, bersiap-siap menghadapi
Dewatacengkar yang akan merajalela kembali seperti biasa jika ia berhasil
mendapat ti-tisan kekuatan dari darah seseorang yang berketurunan tangguh.
Mastery tersimak dengan kejadian yang saling sambung itu. Apakah yang dikatakan
orang tua sekian tahun yang lalu di Muaro Bungo, mungkin mempunyai alasan untuk
dipercayai dan diperhatikan"
Yang anehnya, sejak kejadian itu rumah tempat mereka tinggal setiap malam
dipenuhi suara orang dan langkah-langkah berat. Yang paling aneh dan sulit
ftntuk diduga, mereka selalu datang ketika keduanya sedang melakukan hubungan
badan. Jadi Mastery tidak berani memijakkan kakinya ke tanah. Yang dahsyat dan
merindingkan bulu roma sehingga mereka sama berbaring di tengah malam dingin
tetapi dengan keringat berbintik-bintik di kening, begitu selesai mereka
terkapar, terdengar seperti goni berisi sesuatu diseret sekeliling rumah.
Dicelah-celahi dengan suara sepasang kaki berat yang berdebuk-debuk di atas tanah.
"Aku sebenarnya ingin tahu bagaimana bentuknya,"
ucap Mastery sambil melihat Sri Sekarwati yang menengadahi langit-langit kelambu
dengan mata tak berkedip.
"Tak usah, . . . biarkan saja. Dia kan cuma di luar . . . !"
ucap Sri. Lalu terdengar bunyi seperti orang mengiris tulang dengan geraham dan
gigi. Dan entah bagaimana besarnya mulut itu. Sehingga setumpukan tulang, bagai
dikacau di dalamnya. Berlaga-laga sebagian dengan tulang geraham dan gigi depan.
Seperti ada dua golongan yang datang. Yang satu takut terancam, karena
Dewatacengkar mendapat kekuatan untuk menitis kembali. Yang lainnya seperti
memperkenalkan diri agar dikagumi, dan menerima mereka sebagai kawan sebarisan.
Muncul lagi satu keganjilan. Tiba-tiba saja Sri Sekarwati ingin kembali ke
Sumatra. Tak betah tinggal di Jakarta sekalipun. Apalagi di tempat kelahirannya
sekarang. Ini tentu suatu rencana aneh, menurut pikiran Mastery.
Yang mulai ingin menyelusuri sampai di mana akhir semua kejadian yang aneh yang
mulai mendatanginya. Sementara itu Sri kelihatan semakin tak sehat. Dan wajahnya
kelihatan murung, sungguhpun biaya hidup mereka cukup. Karena uang simpanan
Mastery masih ikut memberi keuntungan kepada Apotik Marjohan di Palembang.
Apakah ingin kembalinya Sri ke Sumatra sebagai salah satu jalan untuk
mengusirnya dari pulau ini" Agar tidak ada yang merasa terganggu dengan
kehadirannya. Apakah memang Sri dipengaruhi mereka untuk mengajaknya pindah kembali ke
seberang" Wah, .... alangkah peliknya kekuatan-kekuatan tidak tampak yang sedang mengelilinginya
seperti jaringan benang laba-laba ini. Sungguhpun halus tetapi berperekat yang
amat kuat. "Pulanglah kau duluan ke Medan. Di sana kan ada makcikmu! Aku menerima uang
cukup untuk membeli rumah sederhana berikut perabotnya dari Abang Marjohan.
Kau menumpang saja dahulu dengan Makcik Saranun. Dia dan suaminya, kan
berjualan," anjur Mastery ketika Sri berkeras untuk ke seberang lagi. Tak ada
alasan yang pasti, mengapa Sri Sekarwati merindukan pulau seberang.
Sedangkan dalam soal hubungan lain, mereka cukup serasi, dan sulit untuk saling
meninggalkan begitu saja.
Setelah seminggu lamanya, baru surat dari Medan datang mengabarkan bahwa Sri
telah ditolong suami makciknya membelikan sebuah rumah sederhana. Sebagai usaha
sampingan, ia mengikuti makciknya berdagang kain.
Untuk bertahan hidup di kota, Mastery berusaha mencari pekerjaan di perusahaan
swasta. Di pemerintahan, ia memikirkan akan ikatannya. Sehingga mungkin tidak
dapat bertahan lama dengan kecenderungan hatinya untuk tidak terlalu terikat.
Akan tetapi tak satu pun perusahaan yang mau menerimanya dengan alasan yang
tidak jelas. Pada lamaran pertama, ia lulus. Namun setelah dipanggil, Mastery
tidak diterima. Sebagai basa-basi, disuruh saja pulang dahulu menunggu
panggilan. Berpuluh perusahaan melakukan dirinya seperti itu. Padahal di dalam
testing dia selalu mendapat nilai yang baik.
Terkadang ia berpikir, ada apakah di dalam dirinya, sehingga orang tidak begitu
serius memandang kehendaknya untuk bekerja"
Beberapa orang tua didatanginya untuk minta nasehat ketenangan batin. Akan
tetapi semuanya tidak dapat memberi jawaban. Malah ada yang mengatakan, "Anak
ini sebenarnya tidak memerlukan kerja seperti orang lain."
Sedangkan yang tidak bekerja itu hanya raja atau Ratu menurut pandangan Mastery.
Ada lagi, didatanginya seorang tua yang dikatakan orang sebagai banyak tahu
meninjau nasib seseorang untuk masa yang akan datang. Akan tetapi Kiai itu malah
pergi meninggalkannya begitu Mastery kelihatan akan memasuki pintu halaman
rumahnya. Sehingga ia menjadi penasaran, dan memegang lengan Kiai Makruf itu.
"Jelek-jelek saya ini tamu, Pak!" ujar Mastery, "Bapak kok mau menghindar dari
saya jum-pai. Kiai Makruf tidak melihat tepat ke wajah Mastery. Entah apa yang kelihatan
olehnya di wajah itu. "Saya tak dapat memberikan petunjuk apa-apa kepada Ananda," ujar Kiai Makruf,
"karena jalan hidup Ananda telah demikian lengkap sehingga setiap simpangnya
penuh penjagaan. Sekiranya saya coba mengungkapkannya mereka pasti kurang senang
kepada saya." Kiai Makruf mengatakan, ada sebuah tanda pada Mastery yang tidak bisa
disembunyikan kecuali jika ia memakai topeng. Ujung hidungnya berkilau, seperti
ada debu aluminium. Itu menjadi perhatian makhluk gaib, di mana pun Mastery
berada. "Pergilah engkau secepatnya ke makam Syeh Jambak di seberang!"
"Mengapa saya harus ke sana, Kiai ?" tanya Mastery.
Kiai Makruf mengatakan, bahwa di sana ada yang akan dijumpainya. Seminggu
kemudian, setelah kiriman, uang dari Marjohan tiba Mastery berangkat ke tempat
yang dikatakan Kiai Makruf. Setelah terlebih dahulu bertanya-tanya letak makam
itu kepada guru-guru pesantren dan ulama setempat. Makam itu kelihatan bersih
sekali di sekitarnya. Tak ada daun kering selembar pun di atas rumput yang bagai
dirawat. Sebuah pohon mengkudu besar tumbuh meneduhi makam itu. Akan tetapi
tidak ada kelihatan daunnya yang gugur, atau buahnya yang jatuh ke bawah. Satu
malam ia riyadoh di bawah pohon besar itu.
Lewat pandangan mata gaibnya, kelihatan ada seseorang menghuni pohon itu. Tinggi
besar, dengan serban dan jubah berwarna biru, sampai ke mata kakinya.
"Siapa engkau . . . ," tanya Mastery.
"Aku yang menjaga makam ini, dan membersihkannya setiap waktu," jawabnya. Sangat
dahsyat bunyinya. "Sejak kapan kau berada di sini?" tanya Mastery lagi dengan memicingkan matanya.
Makhluk tinggi besar itu menjawab, bahwa ia sudah mengiringkan Syeh itu sejak
hidupnya. Sebagai khadam, sekalipun tidak diminta.
"Aku yang mengisi guci air wudunya. Aku yang mencuci serban dan jubahnya, dan
aku juga yang membentangkan tikar sajadahnya, dan ber-imam di belakangnya ketika
ia shalat." Makhluk itu sangat hebat. Dengan ikat pinggang merah lebar yang pada bagian
depan agak ke kanan tersisip samsir.
Sebentuk pusaka atau senjata tajam, yang asing bentuknya.
Dengan mata pusaka bergerigi hampir menyerupai gerigi mata gergaji balok kayu.
Sedangkan hulunya berkepala naga.
"Jika engkau ingin memanggilku, pencetlah ujung hidungmu," ucap jin itu dengan
hormat sambil membungkukkan badannya di hadapan Mastery,
"hidungmu itu, seperti antene gaib yang getarannya menarik perhatian seluruh
makhluk gaib di mana pun kau berada.u
"Namaku Antasias," ucap jin saleh itu lagi, "tetapi jangan kau gunakan namaku
itu untuk memaksaku melakukan sesuatu yang tidak diredhoi Tuhan."
"Aku tak mau berjanji! Karena aku pun tidak perlu kau bantu!!!!"
"Terimalah bantuanku, . . karena satu saat kelak kau akan menghadapi bahaya yang
amat besar, dan sulit kau tolak," tawar jin perkasa itu lagi.
"Tidak.....!" "Aku membantumu seikhlasnya."
"Tidak!!!!" ucap Mastery lebih keras, dan menadahkan kedua telapak tangannya ke
depan dada. Mastery membarutkan kedua tangannya ke batu nisan Syeh Jambak yang
hampir dilupakan orang. Ia meneruskan perjalannya ke Medan, untuk menjumpai Sri
Sekarwati, yang telah lama tidak menyuratinya.
**d*w** MASTERY heran karena kelihatan Sri agak berubah dari biasanya. Mungkinkah karena
mereka telah berjarak" Sri membuka sebuah restoran kecil. Makciknya yang
membantunya memasak segala sesuatu.
Sekarwati ingin agar Mastery meninggalkan Pulau Jawa.
Akan tetapi Mastery mengatakan akan bertahan selama beberapa tahun, sampai ia
mendapatkan kerja yang serasi
dengan hidupnya. Sempat terjadi ketegangan yang tak mungkin ke-mauan mereka
berdua saja. Sampai akhirnya Sri Sekarwati mengatakan kepada Mastery, bahwa
Kakek Mustono yang menyuruh Sri untuk kembali ke seseorang bernama Mastery. Agar
hidup mereka langgeng dan aman.
"Apa alasan kakek?" usut Mastery, duduk di pojok restoran minum kopi dan sarapan
pagi. "Katanya . . , Mas tidak begitu disenangi mereka di Pulau Jawa. Melintas di
pikiran Mastery mungkin inilah sebabnya mengapa selama itu ia mencari kerja yang
sesuai, tetapi tak satu pun perusahaan yang bersedia menerimanya sebagai
karyawan. Sungguhpun pada testing ia mencapai nilai terbagus. Keadaan jadi
berubah setelah orang-orang penting di perusahaan itu berhadapan dengannya.
"Aku tau itu, . . . sungguhpun sebenarnya bukan manusia biasa saja yang berbuat
demikian kepadaku. Tetapi aku telah mengambil keputusan, untuk melanjutkan
usahaku mengungkapkan apa arti terpendam di belakang semuanya ini, Sri! Apa
artinya semua ini!" "Aku selalu didatangi mimpi-mimpi buruk selama di Jawa!"
"Seperti mengusirmu untuk membawaku?" tanya Mastery.
"Begitulah, . . . mungkin!"
"Aku akan bertahan! Biarpun hubungan kita terancam!"
tegas ucapan Mastery yang penasaran mengenai apa yang telah dialaminya.
"Kok berantem?" sambut Makcik Sri yang muncul dari dapur.
Mastery mengubah tingkahnya, menutupi apa
sesungguhnya yang menjadi pokok persoalan di antara mereka berdua. Wisik baikkah
yang membawa dirinya kawin dengan Sri Sekarwati" Dan wisik apakah yang membuat
Sri seperti menariknya kembali ke Sumatra meninggalkan Pulau Jawa" Kabur dan
berkunang-kunang makna semua yang terjadi. Yang belum jelas hikmahnya.
Masih gaib! Masih samar! Mastery melayangkan sudut matanya kepada laki-laki yang baru memarkir sepeda
motornya di sisi restoran. Laki-laki itu pun beradu pandang dengannya sejenak.
Kemudian sama-sama memalis. Walau Mastery, merasa seperti pernah kenal dengan
laki-laki itu. Diperhatikannya lebih nanap. Benar! Ia kenal laki-laki yang kebetulan duduk
hampir berhadapan dengan dirinya, yang dari pojok menghadap ke tengah ruangan.
"Maaf . . .!" ucap Mastery, "Kalau tak salah Anda pernah di Langsa!"
Laki-laki itu mengerutkan kening sejenak, baru menyahut, "Benar .... benar!!!
Tetapi Anda siapa . . . ya. . ., akh . . . rasanya pernah satu sekolah!"
"Aku Mastery____!"
"Mastery . . ., ya Mastery .... yang banyak aneh-aneh itu
.'. . !" setengah bersorak laki-laki itu bangun dari kursinya, mengulurkan
tangan kepada Mastery, dan menyebut namanya, "Hasbullah . . ., anak Matang
kuli . . . !" Mastery tertawa, karena baru ia ingat Hasbullah . .. , yang sering nyontek dari
belakang bangkunya. Keduanya segera terlibat pembicaraan yang
mengasyikkan. Karena banyak yang teringat ketika mereka sama-sama sekolah.
Hasbullah mengatakan, sekarang ia
wartawan salah satu koran Sumatra Utara. Sambil mengajar di sebuah SMP swasta.
"Kau di mana sekarang?" maksud Hasbullah sebenarnya menanyakan pekerjaan
Mastery. "Aku bingung . . .!" ucap Mastery.
"Kau memang termasuk kawan yang membingungkan sejak sekolah dahulu juga!" ulas
Hasbullah, "Kau masih ingat peristiwa si Alibasyah! Ia menjerit-jerit mengatakan
dunia mau kiamat. Setelah melompat dari dalam kelambu menuju halaman asrama!"


Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh,... eh ... ya lucu ya?"
"Apa yang ketika itu kau perbuat, Mas?" tanya Hasbullah, "karena kau yang
berdampingan tempat tidur dengan dia."
Mastery menceritakan, sorenya ia mandi di sungai Langsa. Di tepi guguran tebing
sungai, ia menemukan sepotong tulang seperti tulang ujung kelingking orang.
Malamnya, iseng-iseng tulang kecil itu diletakkannya di atas kelambu tidur Alibasyah. "Belakangan baru kuketahui, bahwa itu bukan tulang kelingking manusia!" ucap
Mastery. "Jadi!" "Tulang sulbi orang mati rupanya," sambut Mastery lagi,
"bukankah di atas tebing sungai itu tadinya letak tanah wakaf yang terkikis oleh
banjir?" Hasbullah bertanya, ke mana akhirnya benda itu dibuang Mastery.
"Besoknya kupulangkan kembali ke tempat kuterima pertama kali. Dan malamnya aku
bermimpi, didatangi seorang anak perempuan yang masih perawan. Ia berterima kasih kepadaku. Ia
meninggal karena sakit panas."
Hasbullah menceritakan, sesudah penyerahan Kedaulatan teman-teman sekolah
.berserakan banyak juga yang ke Pulau Jawa. Ada yang jadi Jaksa, Militer,
pedagang besar, dan guru sekolah lanjutan. Akan tetapi ada juga yang hilang
begitu saja. "Termasuk aku yang hilang itu," sambut Mastery.
"Andai saja semua orang mengetahui di mana ia harus berdiri!" i
"Itulah yang sekarang ingin kuketahui," sambut Mastery lagi, "sejak sekolah
dahulu, kalian menuduhku sebagai anak jin!"
"Seharusnya kau mencari orang tua yang dapat mengungkap rahasia dirimu, Mas!"
"Sudah beberapa kali, ... tetapi malah mereka takut."
"Kok begitu, .... ya" Kau memang masih aneh," tukas Hasbullah, "tetapi kalau kau
mau, kutunjukkan orang yang dimaksud. Masih muda tetapi banyak orang tua alim
mengunjunginya. Namanya Datuk Tuah. Nama batinnya nama seorang Syeh yang telah
wafat ratusan tahun yang lalu!"
"Eh ... hampir lupa, kenalkan dahulu, ini istriku, Sri Sekarwati!" ucap Mastery
memegang lengan Sri. Hasbullah bersalaman, dan lebih keras dari berbisik, ia berkata, "wah .... nama
yang jarang terdengar!"
"Mungkin . . . juga perkenalan kami, mungkin jarang juga terjadi bagi orang
lain," ucap Mastery.
Entah apa yang kemudian dirundingkan kedua bekas teman sekolah itu akan tetapi
akhirnya Mastery memberi tahu Sri Sekarwati, bahwa ia akan pergi sampai malam bersama Hasbullah. "Kau
yakin dia orang hebat?" tanya Mastery membonceng di belakang Hasbullah.
"Kurasa, . .. dari yang lain dia hebat. Kau lihat saja nanti. Haji sekalipun,
ingin menjumpainya!"
Mereka tiba sesudah waktu isya. Di depan beranda kelihatan banyak orang
berkumpul. Biasanya sesudah isya, baru Datuk Tuah menerima kedatangan orang yang
bermaksud menjumpainya. "Kita duduk di halaman saja," ujar Hasbullah, sambil menyeret dua kursi rotan
kecil. Terasa pinggul mereka agak terjepit karena kursi itu adalah kursi anakanak bermain di halaman rumah.
"Bagaimana rupanya."
"Akh .... kau tak sabar saja. Nanti juga kau akan melihat sendiri. Manusia
biasa, bukan malaikat," jawab Hasbullah.
Beberapa orang sudah masuk bergantian. Ada yang keluar kembali membawa piring
yang telah bertulisan Arab. Ada juga yang membawa tujuh lembar daun sirih yang
telah dirajah. Dua orang Haji yang dipanggil, telah duduk kembali di beranda
rumah. "Itu yang di halaman . . . suruh masuk!" ujar suara dari dalam. Membuat beberapa
orang melengos ke kiri ke kanan, mencari siapa yang dimaksud dari dalam kamar
Datuk Tuah. "Yang mana Tuan Syeh . . . ?" tanya orang yang berdiri di depan pintu. Yang
kerjanya, mungkin mengatur tamu masuk.
"Yang berdua, . . . yang seorang suruh masuk!" ucap suara dari dalam kamar.
Hasbullah berdiri, terdengar suara itu kembali, "Bukan . .
yang seorang lagi," ulas suara itu.
Mastery pula yang berdiri di samping Hasbullah. Soal yang kecil itu menarik
perhatian banyak orang yang hadir.
Ada apa maka orang tua dari dalam memanggil orang yang sama sekali jauh, dan
tidak kelihatan dari dalam rumah itu"
Mastery melangkah ke beranda rumah sambil
mengucapkan salam kepada tamu yang duduk. Dan tertegun-tegun masuk ke dalam
rumah. Matanya bertatapan dengan seorang laki-laki, yang wajahnya seperti batu pualam.
Licin dan memancarkan cahaya di bawah kulit keningnya.
Mastery mengulurkan tangan kepada laki-laki yang kelihatan baru berumur 30 tahun
lebih itu akan tetapi tangan kiri orang itu yang bergerak menyambut salamannya.
Mastery menarik tangannya kembali, dan berkata, "Saya belum pernah melihat orang
menyambut salam dengan tangan kiri."
Mastery mengulurkan tangan kirinya pula. Dan mereka bersalaman. '.'Apa sebabnya
Pak Datuk menggunakan tangan kiri, kalau boleh saya tahu?"
Sebentar raga Datuk Tuah itu memandang Mastery nanap, "Kau ini ... . orang yang
tak mudah tunduk oleh sesuatu di luar kebiasaan yang berlaku. Ini untuk menjaga
badan si Datuk ini. Terkadang ada orang yang datang menyalami dengan ilmu.
Karena itu aku tabiri dia dengan tangan kiri."
"Kalau boleh saya tahu .... siapakah akan saya sebut nama Bapak yang di dalam
raga ini?" tanya Mastery dengan penuh sopan, dan bersila di hadapan Datuk Tuah.
"Sebenarnya nama itu tidak ada . . . Coba kau cari nama itu di badan si Datuk
ini. Yang mana dia dan yang mana aku! Di akhirat kelak, nama itu hanya merupakan
qahaya, dari berbagai cahaya aksara yang warnanya sesuai dengan amalan ibadah
masing-masing!" ujar orang di dalam tubuh Datuk Tuah.
Hasbullah diam-diam duduk di sisi kusen daun pintu, memasang telinga mendengar
soal-jawab aneh itu. "Dahulu ibunya telah 11 tahun kawin tidak punya anak.
Ia datang bernazar ke makamku. Sejak itu aku telah menjaganya dari dalam rahim.
Karena ada jembatan rahim yang bermaksud merusak janin di dalam kandungan
ibunya." "Makam Syeh Burhanuddin Ulakan!" sambut Mastery dengan takjim.
"Dari mana kau tahu"!" ucap Datuk Tuah lagi, "Kau laki-laki mempunyai daya hayal
yang tajam, dan banyak mendapat hikmah dari alam. Kemudian raga Datuk Tuah
memanggil! Haji Nurdin dan Haji Rusli, ke dekatnya.
"Kalian lihat dia ini...," ucap Datuk Tuah, "entah mengapa dia mengetahui masa
yang akan datang. Dan yang gaib-gaib banyak menguangkannya di luar sana.
Perjalanannya masih panjang. Berlainan dengan kalian Haji Rusli dan kau Haji
Nurdin. Kau telah diberi jalan, sampai di sini saja, menghidupi keluargamu,
mengajarkan ilmu Agama sesanggupmu di sekeliling tempat tinggalmu. Tetapi dia
ini lain . . . .sekarang belum tampak."
Haji Nurdin dan Haji Rusli bersalaman dengan Mastery yang jauh lebih muda dari
mereka berdua. "Kau ini kelihatannya diiringkan oleh orang-orang saleh dan baik-baik. Coba aku
akan menghubungkan dirimu dengan yang lebih tinggi. Misalnya dengan Syeh Abdul
Jailani dan lain-lain."
Mastery tidak menjawab. Tangan kanan Datuk Tuah terulur kepadanya. Mereka
bersalaman ketat. Sampai akhirnya raga Datuk Tuah bergoyang ke samping kiri
seperti tertidur. "Ia sedang pergi . . .," ucap Haji Rusli. Sampai kepala Datuk Tuah terletak ke
lantai. Diangkat Haji Nurdin kepala itu perlahan-lahan, dialasinya dengan sebuah
bantal kecil. Datuk Tuah seperti tertidur dengan napas teratur'.
Tiba-tiba ia bangun cepat sekali dan dengan gerak gelisah, ia berkata kepada
Mastery, "Tak mau mereka turun
. . . .aku yang jadi malu! Rupanya ibadahmu masih ompong. Yang kulihat tadi
rohmu, dilapisi oleh roh kesalehan kakekmu dahulu."
Ketika itu datang seorang perempuan mengatakan suaminya sakit perut yang berat
sekali. Sehingga memutuskan pembicaraan mereka berdua.
"Bawa piring ke mari....." ucap raga Datuk Tuah.
Tergesa-gesa terdengar piring berlaga di dapur. Kemudian dari tangan ke tangan,
sampai kepada Datuk Tuah.
Dengan sebuah spidol, Datuk Tuah berisi roh Syeh itu menuliskan sederetan aksara
merangkum ayat, di permukaan piring dengan susunan melingkar. Mastery kagum
melihat bentuk aksara yang klasik dan bagus, itu walaupun dituliskan secara
cepat. Tak mungkin orang dapat melakukan yang begitu kalau bukan bekas guru
pesantren, atau seorang kiai.
Di tengah piring itu dibubuhkannya sebuah tanda, hampir berbentuk bendera kecil,
dengan bentuk ujung tombak pada keempat sudutnya. Kemudian dibalas lagi dengan
sebuah bentuk trapesium di atas bentuk bendera itu, juga mempunyai ujung tombak
pada keempat sudut bidangnya. Lama roh Syeh itu meletakkan ujung jarinya di
tengah bidang lambang aneh itu.
"Laburkan air masak putih ke dalam piring ini, dan minumkanlah kepada suamimu.
Ia sakit jem-balang perut,"
ucap Datuk Tuah. Mastery kemudian bertanya tentang lambang yang aneh di tengah
kalimah tadi. "Satu masa nanti, . . . kau akan memperoleh ilmu tentang itu. Ilmu yang dituntut
bersusah payah seperti menyelami mutiara, tentu lebih tinggi nilainya dari pada
batu kerikil yang mudah mencarinya di sepanjang jalan!"
*** IV Lereng Gunung Cereme sebelah timur, pada suatu lekukan lembah, tak disangka
orang, ada sebuah ceruk berpintu kecil. Dahulunya mungkin gelembung-gelembung
magma pulau ini, diiringi oleh buih-buih lahar telah men-ciptakan banyak gua
yang bertebaran di seluruh kaki gunung itu.
Lubang masuk gua itu, kecil. Hanya bisa dilalui dengan membungkuk. Di bagian
depan ada dua pohon besar, seperti pintu gerbang yang kukuh bentuknya. Dengan
rimbun daun yang rapat di bagian atasnya. Anak-anak pohon turi yang hampir
seluruhnya sebesar pergelangan tangan, berbaris tegak lurus seperti menutupi
pintu masuk itu dari pandangan sekilas mata orang biasa. Turun melalui tangga
batu alam sebanyak tujuh langkah ada sebuah aula suram dengan langit-langit gua
yang melengkung. "Apa katamu?" suara parau dari dalam gua, menggema dibalas-balaskan dinding batu
yang berceruk-ceruk. Sehingga tak jelas dari mana asal suara itu, 'Perempuan itu mencintainya?"
'Padahal ayah perempuan itu menyuruhku
membunuhnya!" susul suara itu lagi. Yang berbicara berwajah berewokan dan rambut
tersanggul di atas kepala.
Walau dia sebenarnya laki-laki dengan tubuh kotor hampir berlumut.
Sepintas lalu dia seperti orang gila yang berbicara dengan sederetan patungpatung tanah liat lembab. Patung-patung seperti mummi yang diberi rambut
manusia. Dan rambut itulah yang sedang berbicara.
"Kau bertujuh telah kuutus kepada laki-laki itu, mengapa kau kembali tanpa
hasil?" tanya suara serak itu lagi seperti marah seorang pemimpin pasukan kepada
anak buahnya yang tidak berdisiplin.
Anehnya mulut patung-patung itu seperti bergerak-gerak menyahut segala
pertanyaan. Yang terpilih di antara tujuh boneka utusan berisi roh itu,
mengatakan bahwa gadis yang ayahnya langganan mereka telah jatuh cinta kepada
seorang laki-laki yang berbahaya untuk keutuhan pengaruh mereka di masa yang
akan datang. Mulut patung-patung yang lebih besar bergerak-gerak,
"Kami telah mencoba untuk membunuhnya dari dalam dan dari luar. Tetapi ada orang
yang menyaksikan perbuatan itu dari luar. Sungguhpun dia diam saja, tetapi
getarannya mengilukan kami."
"Sehingga hidung dan mata kami mengeluarkan darah!"
tambah patung lain di sisi sebelah kiri penghulunya.
Jika masuk ke tempat orang menempa cangkul dan parang, kita akan tercium bau
arang dan pedasnya bau besi panas yang ditempa. Sedangkan ruangan di dalam gua
berbau sengit, hampir sama dengan bau udara panas yang keluar dari panggangan
ikan. Atau lebih mendekati dari itu, bau sengit seperti uap bangkai dibakar.
Sejak kemarin Tuan Wulungan telah mengantarkan uang berjumlah satu juta rupiah
untuk memasang sekat agar anak gadisnya yang bernama Nelly Ngantung tidak
mendekati seorang laki-laki yang sangat dibencinya.
Persoalan perkenalan mereka hanya sepele, tetapi berbuntut panjang, menjadi
pergaulan intim yang menyebabkan Nelly Ngantung seperti tergila-gila kepada
laki-laki itu. Sungguhpun laki-laki itu telah mengatakan kepada Nelly, bahwa ia
telah berkeluarga. Tuan Wulungan
tak suka anak gadisnya jatuh cinta kepada seorang pengangguran. Merasa laki-laki
seperti itu, seperti diutus untuk mempereteli kekayaannya.
"Akan kutahan makan kalian jika tak ada hasilnya,"
suara orang seram itu menunjuk ke deretan patung-patung tanah di depannya.
"Ampun . . . Buraksa, ... aku tak mau lapar," ucap boneka yang di sebelah kanan,
"aku selalu ke-bagian yang berumur 3 bulan. Sudah agak keras dan alot
dagingnya." "Kau belum pantas untuk menyantap yang berumur tiga hari atau seminggu," sahut
Buraksa dengan setengah menghardik. Dinding gua seperti ikut menggeletar, dan
boneka-boneka itu tergeser diterpa udara keras dari mulutnya.
"Kau . . . Jarkuz, . . . jika gagal lagi, santapan-mu kuturunkan menjadi yang
berumur tujuh bulan ... .!"
"Aduh kerasnya, Buraksa. Mana bisa dagingnya dihirup begitu saja," jawab yang
disebut Jarkuz sebagai kepala dari tujuh orang.
"Atau kau kulepaskan mencari makan sendiri. Memakan tulang ternak seperti biasa.
Kalian tidak akan menjumpai makanan senikmat di sini, mengerti!!"
"Ampun, Buraksa, . . . ampun, kami takut lapar, dan takut tak bisa makan tulang
lagi. Kami akan pergi mencarinya lagi asal saja kami disediakan santapan yang
tujuh atau tiga hari, Buraksa Maharaja!"
"Minggat . .. sana! Sampai berhasil! Uang yang kuterima telah menjadi utang,
tahu" Juga untuk membeli makananmu!" hardik Buraksa membuat boneka-boneka itu
bergerak tersentak. Diiringi oleh deru hembusan angin di
depan mulut gua, mendesis mereka menuruni gunung dengan perintah berisi ancaman
jika tidak terlaksana. Utusan gaib itu membentuk wujud mereka seperti kabut bintang. Berputar-putar
seperti kitiran baling-baling mesin kapal di bawah air. Kitiran dengan warna
pelangi, menimbulkan bunyi ledakan di atas bubungan kamar tidur sebuah rumah.
Turun ke bawah seorang laki-laki yang sedang berbaring.
Mundur-maju kitiran warna pelangi mengeluarkan bau amis itu, mendekati tubuh
yang sedang terbaring. Tubuh laki-laki itu menggeletar dengan lutut membengkok
dan mata setengah membelalak. Di beberapa tempat, urat nadinya menggembung
seperti akan pecah. Kemudian hening setelah semua duduk di sendi-sendi yang
aman. Laki-laki itu tak lain dari Mastery, yang telah kembali dari Medan.
Ia masih sempat memperhatikan persendiannya yang menggeletar di luar kemauannya
sendiri itu. Sampai seluruh tubuhnya berkeringat. Di dalam kerongkongannya
seperti ada sesuatu yang memeras, menahan napas, dan mempersempit
tenggorokannya. Sehingga hampir-hampir saja paru-parunya membengkak, karena
napasnya hampir tumpat. Dengan zikir yang diperolehnya dari roh di dalam raga Datuk Tuah, dibarut
Mastery kedua kakinya dengan ujung jari yang telah diberi air langit-langit
mulutnya. Ada suara-suara mengeluh kesakitan seperti berkeliaran di dalam
tubuhnya tetapi tidak mau keluar. Dicari Mastery dengan ujung jarinya dari
sepanjang tulang punggung sampai ke setiap celah jari kaki. Akan tetapi suara
orang bertengkar di dalam dirinya tetap terdengar, sungguhpun semakin lama
semakin sayup. Mungkin karena tingkat kesadarannya sudah sangat tinggi, biarpun dalam keadaan
goyah seperti itu, dia masih dapat mendengar apa pembicaraan mereka di bagianbagian tubuh yang tersembunyi.
"Kau .... gagal lagi," kata suara yang lebih besar. "Ada apanya ini orang" Kok
susah sekali dibunuh. Biasanya yang lain, tak sampai berhari-hari!" Ricuh di
dalam dirinya saling tuduh dan saling menyesali.
Mastery mengumpat dengan wajah tegang ke segala arah persendiannya, "Setan
kalian,.....siapa yang menyuruh kalian menggangguku" Siapa?" Tak ada sahutan.
Mereka diam sambil bersembunyi di sendi-sendi yang paling aman.
Mastery merasa ruang dadanya dipenuhi gas panas seperti berasal dari knalpot
mobil. Baunya busuk, tercium oleh hidungnya sendiri. Beberapa kali ia melepaskan
uap panas itu dengan mulut ternganga melompatkan udara itu ke luar.


Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika itu pula di dalam persendiannya terdengar gemertak-gemertak seperti
terjadi saling tarik kekuatan yang tersembunyi. Sehingga Mastery meregang-regang
di atas pembaringan. Orang lain mungkin sudah tidak tahan mengalami kejadian
yang seperti ini. Apakah ini yang dimaksud titisan sejak lahir" Atau karena ada
roh kakeknya yang melapisi dari dalam"
Sampai siang, ia terbujur diam. Keringat mengalir dari kulitnya yang merah
seperti dipanggang. Kedua sudut matanya mengeluarkan air yang panas.
Ketika itu pula terngiang suara perempuan di telinga Mastery.
"Bu____bu,... Bang Mas ada?"
"Mungkin masih tidur. Padahal tak pernah ia bangun sesiang ini," Bu Marnoum
pemilik rumah indekost menyambut Nelly Ngantung lalu membawanya ke depan pintu kamar Mastery.
"Bang____Bang Mas ... aku Nelly!"
Ketika pintu kamar dibukakan Nelly, Mastery masih dalam keadaan belum terbebas
dari kekuatan yang akan membunuhnya. Matanya merah berair. Persendiannya lesu
dan berat untuk digerakkan.
"Aduh, ... Nel, kok ada orang yang mau membunuhku!!!" desah suara Mastery dari
atas pembaringan. "Aku takut, . .. ayahmu sangat membenciku!"
Nelly Ngantung mengusap kening Mastery. Dan mengatakan bahwa ia tahu ayahnya
tidak menyukai hubungan mereka. Akan tetapi ia tak dapat mencurigai ayahnya
melakukan perbuatan gaib untuk menyingkirkan orang yang sedang dicintainya.
Perkenalan mereka aneh juga. Nelly yang sedang mengendarai Honda Cup, tersenggol
Mastery yang akan memotong jalan. Stang Honda Nelly tertarik sebelah. Demikian
besarnya benturan itu sehingga Nelly terlempar dengan kepalanya membentur dada
Mastery. Kalau tidak begitu, ia tentu telah mencium aspal jalan.
Seharusnya Mastery juga terbanting ke belakang karena benturan itu. Akan tetapi
nyatanya ia hanya tergoncang di tempatnya menjatuhkan langkah. Lalu dengan tidak
banyak menggunakan tenaga, Mastery melempangkan kembali stang
Honda Cup dengan kedua lututnya menjepit roda depan kendaraan roda dua itu.
Mungkin Nelly terpukau kepada kesederhanaan tindakan laki-laki yang ditabraknya
itu. Demikian kukuh menyambut dirinya yang jatuh ke dadanya. Demikian lembut
pula ia meluruskan stang Honda Cup yang cukup parah bengkoknya.
Sepintas kilas, hatinya berbisik, "Inilah salah satu tipe laki-laki pelindung
wanita." "Ayo ... kutemani ke dokter," ajak Nelly.
"Jangan! .... Tidak, Nel, . . . aku tak pernah memerlukannya," desah suara
Mastery, sambil menggeliatkan badannya.
Nelly tahu bahwa Mastery akan mengatakan sakitnya bukan penyakit yang pantas
dibawa ke dokter. Dengan kekuatan dari dalam tubuhnya sendiri, Mastery berangsur
pulih. Sungguhpun suara-suara orang bertengkar itu terdengar di dalam dirinya.
Akan tetapi tidak dapat menumpas seluruh kesadarannya.
Dengan sabar Nelly menunggu Mastery selesai shalat.
Kelihatan ia bersusah payah sujud dan rukuk. Seolah-olah persendiannya menjadi
kaku. Diarahkan Mastery konsentrasinya dari dalam. Karena ada suara-suara seperti
kepanasan, ketika ia melakukan shalat lohor itu.
Belum pernah ia sampai bersusah payah seperti itu menyelesaikan syarat shalat
seperti siang ini. Berakhir dengan keluh keletihan, ia memberi salam ke kiri dan
Pendekar Aneh Naga Langit 35 Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong Pendekar Muka Buruk 1

Cari Blog Ini