Perang Ilmu Gaib 2
Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Bagian 2 ke kanan. Nelly pun susah menebak, apa yang menyebabkan laki-laki yang kukuh itu, tiba-tiba menjadi luruh. Ketika akan berdiri dari bersimpuh, sekali lagi dia mengerang dengan kedua tapak tangan bertopang kepada kedua lututnya. Wajahnya memerah mengatasi rasa runtuh dari dalam. Dengan mobil Citroen ayahnya, Nelly membawa Mastery menghibur diri kelilingkeliling kota. "Aku heran mengapa ayahmu sangat membenciku," ulang Mastery. "Hampir kepada semua teman kuliah, ia juga begitu." "Tetapi tidak seperti kepadaku, kan"!" "Eh .... iya, memang kelihatan sekali antinya kepada Bang Mas." "Ilmunya barangkali!" terka Mastery. Pukul 9 malam, barulah Nelly sengaja memperlihatkan dengan siapa ia pulang. Kebetulan pula Tuan Wulungan sedang berada di beranda depan. Ia tertegak sejenak melihat siapa di samping anaknya. Baru tiga hari yang lalu ia menambah sejumlah uang kepada orang di kaki gunung untuk membunuh laki-laki itu agar putus langsung hubungannya dengan Nelly. Akan tetapi kini mereka malah memperlihatkan diri bersama-sama. Mastery mengatupkan mulutnya rapat-rapat karena ada suatu yang mendorong kekuatan dari dalam perutnya. Sehingga perutnya terasa bagai digilas, mendesakkan kemualan ke kerongkongannya. Mastery menyetop taksi setelah Nelly Ngantung memasukkan mobil Tuan Wulungan ke halaman. "Tangerang!" ujar Mastery kepada sopir taksi. Kendaraan itu meluncur dengan angka pertama pada hitungan ongkos 200. Ia berbaring lemas di jok belakang. Sehingga sopir bertanya, "Mengapa, Om, sakit ya?" "Sedikit," jawab Mastery, "mau menjumpai Kiai Makruf!" "Oh, . . . .ya, saya juga pernah mengantarkan orang ke sana," sambut si sopir, "tetapi, maaf Om, rasanya Om lebih berat daripada penumpang biasa. Rasanya sama dengan membawa tiga orang!" "Akh, . . . ada-ada saja," dengus Mastery di belakang. "Betul, Om . . . ., saya mengenal mobil ini lebih dari mengenal anak sendiri. Sudah 6 tahun di tangan saya, sih! Tekanan sokbreker di belakang, berat sekali rasanya," dengan dialek Jakarta asli, sopir itu menyatakan perasaannya. Akan tetapi Mastery hanya mengatakan berat badannya cuma 65 kg. lebih sedikit. "Rasanya seperti 200 lebih, Om!" Sampai di beranda rumah Kiai Makruf, Mastery melangkah lunglai. "Ayo . . . masuk . . . .ada apa ini, Nakmas," ucap Kiai itu sambil membopong tubuh Mastery yang terasa berat sekali. Ketika itulah tiba-tiba Mastery tertawa keras dan dahsyat kedengarannya, membuat orang di sekelilingnya terkejut sekali. Tiga orang anak didik Kiai Makruf ke luar dari dalam. Mastery berdiri dengan kedua tangannya terkembang, dan berkata, "Awas.....awas, Pak Kiai! Tanganku mau mencekik!'' Kiai Makruf bingung, mengapa dalam keadaan dikendalikan oleh alam lain, Mastery masih sempat memberi peringatan kepadanya" Ketika ia memegang pergelangan tangan itu, terasa sangat kuat, seperti memegang balok saja. Kiai Makruf juga tahu di mana tempat-tempat terlemah yang sering dijadikan sasaran teluh dan santet untuk mengendalikan kekuatan dari dalam. Ia menunjuk tempat itu dengan telunjuknya sambil membacakan ayat-ayat pengusir makhluk halus. "Hahahahaha, . . . Kiai sangka mudah mengusir kami, ha"!" ucap Mastery dengan suara besar menggarau. Ia maju setindak lagi dengan langkah berat dan tangan akan mencengkeram leher Kiai Makruf. Dipergunakan Kiai Makruf lagi beberapa pegangan pada persendian. Akan tetapi tidak berpengaruh kuat kepada tenaga pembunuh di dalam tubuh itu. Sedikit saja kelihatan wajah Mastery mengerenyit, kemudian berkata lagi, "Kami bukan setan biasa yang mudah disuruh pergi, tahu! Kami mau membunuh orang ini, tetapi nyawanya bandel sekali. Belum pernah kami menjumpai orang sesusah ini membunuhnya. Biasanya hanya dua Iuri sudah kami ambillllll .. Kiai!" Sementara itu, Buraksa sedang mengarahkan kedua telapak tangannya ke sederetan boneka tanah di hadapannya. Tangan itu bergerak seolah-olah sedang menolakkan sebuah pintu besi yang amat berat. Sehingga, bahu dan tangannya bergetar. Kedua matanya melotot dan bibirnya bergerak-gerak. Kerongkongannya naik-turun seperti mengulum sesuatu yang sulit ditelan. Dia mendorong sekali lagi dengan amat kuat, sehingga ketujuh boneka itu bergetar hampir jatuh dari tempat pajangannya. Ketika itu pula Mastery mendapat kekuatan sehingga cengkeramannya hampir mencapai pundak Kiai Makruf. "Maafkan saya Pak Kiai," rintih Mastery dengan suara aslinya, "saya tak mampu menguasai kekuatan mereka menggerakkan tubuh saya." "Bapak tahu,.... bukan kemauanmu ...!" Berbagai Ayat Suci dibacakan Kiai Makruf. Akan tetapi kekuatan itu tidak dapat juga diusir. Selain wajah Mastery saja yang menyeringai seperti kesakitan sedikit. Kemudian tertawa lagi, setelah reaksi sakit itu hilang. "Kami tak bisa pulang jika orang ini tidak dapat kami bunuh . . !!" ucap suara kasar itu kembali dari mulut Mastery. "Mengapa kalian mau membunuhnya ..."!" "Kami tidak tahu, kami hanya diperintah bapak kami! Jika gagal . . .kami tidak dikasih makan . . . hah . . hah .. .hah!" raung makhluk di dalam raga kasar manusia itu lagi. "Di sini juga kau boleh tinggal, kuberi makan!" ucap Kiai Makruf, kedua tangannya masih memegang kening dan pergelangan tangan Mastery. Wajah Mastery menyeringai dengan seluruh gigi-giginya bertonjolan, lalu berkata, "Makan kami bayi, .. hi hi, hi,... mana mau Kiai." "Astagafirullah!!!!" terkejut Kiai Makruf. Ketika ucapan itu keluar, Mastery terdeguk sejenak dengan kepala mendongak ke belakang seperti kena benturan. Akan tetapi segera pulih kembali. Seolah-olah Istigfar itu tidak sanggup melumpuhkannya. Di kaki Gunung Ceremai, Buraksa sedang mengarahkan kekuatan darahnya yang bercampur siluman untuk membantu suruhannya agar jangan mundur berhadapan dengan Kiai Makruf. Dan tindakannya ini sempat membingungkan orang tua itu, karena yang dihadapinya bukan seperti orang kesurupan biasa. Ini dari kelas yang tinggi, yang diberi makan orok yang masih suci pula. Menyebabkan kekuatan mereka tak mudah dikalahkan dengan begitu saja. "Haha... haha .. haha... Kiai sanggup mencarikan kami makanan sekarang"! Tujuh orok berumur seminggu! Kalau sanggup, kami boleh tinggal di sini ... eh, tetapi guru kami kuat sekali, dan dia tanah liat itu. akan menjemput kami dan memenjarakan kami dalam keadaan kelaparan!!!!!" Ketika itu Buraksa mengayun-ayunkan karung kain berisi orok di hadapan bonekaboneka tanah liat itu. Sampai orok di dalam keruntung ayunan itu terdengar menangis. Semuanya telah ada tujuh orok, yang tidak begitu berbeda bulan umurnya. Kaki mereka yang lasak, membuat ayunan kain itu menonjol-nonjol. "He, ... .guru kami telah menyediakan makanan kami. Akh . . . kami tak mau pulang sebelum orang ini mati! Harus mati!" ucap Mastery sambil melihat kepada dirinya sendiri. Perutnya mengempis dan menggelembung, bagai diudak-udak dari dalam. Lehernya memanjang dan terputar ke samping kiri bagai dipuntir oleh kekuatan yang tidak kelihatan. Akan tetapi masih saja belum kesampaian niat makhluk yang telah menguasai seluruh urat nadi dan sambungan tulang-tulangnya itu. Sehingga kelihatan badan kasar itu terengah-engah seperti melakukan pekerjaan berat yang hebat sekali mengerahkan tenaga. Mastery terbatuk. Kelihatan setetes darah di sudut bibirnya. Buraksa di gunung, menggenjotkan kakinya beberapa kali ke depan. Karena satu inci demi satu inci ia juga tertolak ke belakang, hampir membentur tonjolan batu; dinding gua. Ia berusaha mengatupkan mulutnya dengan kuat. Dan menelan sesuatu yang seperti akan keluar dari kerongkongannya. Mastery terjepit di antara tiga kekuatan! Makhluk gaib yang menguasai darahnya, kekuatan Buraksa yang memerisai suruhannya, dan tekanan perlawanan dari Kiai Makruf sendiri. Kiai Makruf mengerti keadaan itu. Akan tetapi ia juga tidak membiarkan ke mauan suruhan gaib itu saja yang menang dan mereka yang menjadi korban. Di dalam hati, ia juga heran, mengapa orang seperti Mastery sanggup menahan ketiga kekuatan itu. Penduduk di sekeliling rumah Kiai Makruf tertarik dengan kejadian itu. Kepala bermunculan dari jendela dan pintu dapur. Di halaman rumah dan beranda, dari kaca jendela, wajah-wajah mendekapkan mata ingin lebih banyak tahu. Jukminah yang menggendong anak, menjenguk dari pintu belakang. "Wahhhh .... itu untuk aku, Kiai?" menggereng suara Mastery sambil melangkahkan kakinya ke arah Jukminah menggendong bayinya. Jukminah tiba-tiba dicekam ketakutan melihat taring di mulut Mastery, muncul semakin berkilau mencuat ke luar. Ia mendekap anaknya yang masih berumur tiga minggu. Mungkin roh anak itu merasa terancam. Tiba-tiba ia memekik kuat sekali, diiringi dengan tangis yang melengking. Kiai Makruf menghalangi langkah Mastery yang dibawa makhluk gaib itu dengan menghadangkan badannya. "Jangan halangi, Kiai! Atau Kiai yang aku makan!" serentak dengan ucapan itu, raga Mastery yang sedang dikendalikan mencekamkan giginya ke bahu Kiai Makruf. Lalu pindah ke lengan Kiai Makruf berusaha menahan rasa sakit. "Akh . . . akh puhhhh ... !" raga Mastery meludah dengan keras, "tubuh orang tua alot, dan pahit... !' Di bahu Kiai Makruf, kelihatan bintik darah bekas gigitan, meresap ke luar bajunya. Dengan ayat tiga kali tujuh yang tak pernah dipergunakannya, Kiai Makruf kembali melancarkan pegangan tangannya ke sendi-sendi badan Mastery. Jasad Mastery melentik disertai lenguhan panjang. Kepalanya tertengadah ke langit-langit kamar. Disusul dengan badannya bagai kehilangan tulang penyangga. Melorot jatuh ke atas lantai, seperti pohon talas didekatkan ke onggokan api unggun. Kepala Mastery terpeletok di kaki kursi tamu. Pucat seluruh tubuhnya bagai kehilangan darah. Buraksa terlempar ke dinding gua di depan boneka suruhannya. Kedua sudut mulutnya yang tebal, menetes darah. Sedangkan pada ketujuh boneka itu, kelihatan darah ke luar dari garis yang berbentuk bibir. Dan tubuhnya kelihatan retakretak seperti tanah kering ditimpa panas matahari. Di dalam ruangan gua bagai terjadi anain miyuh yang menggetarkan seluruh alat-alat magis yang bergantungan. Termasuk sebuah rangka manusia yang kini tulang-tulangnya jatuh berprotolan ke atas tanah. Tengkorak kepalanya menggelinding ke pangkuan Buraksa, yang tersandar di atas batu dengan dada berombak turun naik. Tiga kekuatan ilmu yang dahsyat berlaga. Buraksa dalam jarak jauh, juga menerima akibat benturan itu sama kuatnya dengan yang dialami Kiai Makruf, dan jin yang dikepalai Jarkuz. Dapat dihitung dengan jari, orang seperti Kiai Makruf yang dapat menahan kekuatan hitam itu. Sehingga dirinya pun ikut cidera dalam pertarungan. Orang yang tadinya berkerumun, kini berlarian. Mungkin mereka menyangka Mastery sudah mati. Kiai Makruf mendekatinya. Meletakkan jari pada urat nadi leher. Wajah Kiai Makruf yang tidak berubah suram, membuat orang-orang yang gelisah tadi kembali muncul dengan diam. Tiba-tiba Mastery duduk lagi dengan tenang, memandang Kiai Makruf yang masih jongkok di hadapannya. Ia memandang Kiai itu dengan pandangan seperti baru kenal saja. "Aku berusaha membelanya......Tetapi tenagaku tak sanggup!" "Kau kah ini, Mastery?" tanya Kiai Makruf, karena dilihatnya gaya yang berbicara di dalam raga Mastery, bukan seperti biasa. "Saya ingin membelanya, tanpa diminta. Saya khadam penjaga Makam Syeh Jambak di seberang!" ucap Antasias dengan nada kecewa, "kuat sekali ilmu orang yang mengirim semua kejadian ini. Kalau tak ada tuah badan titisan, mungkin ia telah lama dapat dibunuh mereka." Kiai Makruf yang sudah biasa menghadapi orang yang kesurupan-kesurupan ringan tidak canggung lagi berdialog dengan penunggu raga seseorang. Sehingga dari Antasias, ia mengetahui sebagian perjalanan hidup Mastery. Dan dia tahu pula bahwa di seberang pulau ini, pernah ada seorang Syeh berilmu tinggi yang semasa hidupnya ahli hisab perbintangan. Sehingga jadwal dan waktu awal Ramadhan yang ditetapkannya, diakui oleh Pusat Agama Islam di seberang. "Mungkin ia dianggap sebagai batu penarung datang ke pulau ini, Kiai!" keluh Antasias, "sehingga dijadikan sebab-musabab atau perantaraan karena dia disukai seorang perempuan, ayahnya terpanggil oleh wisik gaib. Untuk menyingkirkan orang yang berkekuatan titisan seperti ini." "Aku juga menduga!" tukas Kiai Makruf, "Kekuatan hitam sekuat ini belum pernah kukenal. Dan tak akan sanggup seseorang yang biasa saja dapat bertahan dari maut." "Saya juga kena di dalamnya," sahut Antasias sambil menghapus sudut bibir raga Mastery, yang ada bekas tetesan darah mulai mengering. "Serangan iiii tampaknya sudah reda. Tetapi belum terkalahkan! Tentu mereka akan datang kembali dengan muslihat yang lebih kuat!" Wajah Antasias yang tercermin di depan raga Mastery seperti bersedih. "Saya akan kembali ke seberang, Kiai! Telah lebih dari enam bulan saya meninggalkan makam orang tua itu. Tentu rumputnya telah panjang, dan pusaranya dipenuhi daun-daun yang jatuh berserakan. Sedangkan saya berjanji, sampai hari Kiamat akan menjaga makam itu dari sembahan manusia yang salah mempergunakan hikmahnya!" Sejenak Kiai Makruf tertunduk, kemudian menyahut sedih, " Ada juga rupanya golongan jin yang berbakti seperti Anda, Antasias! Pergilah .... dan bantu aku dengan doa menghadapi semua keadaan ini." "Alhamdulillah, Kiai!" ucap Antasias, dan kedua mata raga Mastery meredup dengan perlahan. Dan Antasias pergi, tanpa sentakan di tubuh yang ditinggalkannya. Setelah tadi kedua mata Mastery tertutup, kembali terbuka, dan ia mengeluh, "Aduuuuuuh . . . Kiai! Apa yang terjadi . .. seluruh tubuh saya rasanya remuk, bagai baru tergilas atau seperti jatuh dari atas gunung!" Kiai Makruf meminta sepiring air dingin kepada pembantunya dari belakang. Setelah membacakan beberapa ayat dan doa, ia meminumkan air itu kepada Mastery. "Minumlah . . . biarpun tidak seluruhnya kekuatanmu kembali, tetapi ada sedikit pertolongan di dalamnya, sekadar yang aku sanggup." Apa yang dikatakan Kiai Makruf, terbukti dapat mengembalikan sebahagian kepulihan rasa Mastery yang tadinya bagai berantakan. "Semoga Tuhan menurunkan petunjukNya, sebelum mereka datang kembali dengan rencana yang lebih licik dan dahsyat! Amin!" "Amin . . . Amin ... .ya Allah," Mastery ikut menadahkan tangannya. Mastery mengatakan kepada Kiai Makruf, bagaimana kalau ia kembali saja ke seberang. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa yang sedang dihadapinya ini. Sebab sejak mula pun, istrinya Sri Sekarwati telah menganjurkan begitu. Sehingga hubungan rumah tangga mereka menjadi terancam, karena ia tidak mau menurutkan kemauan itu. Rasanya untuk masa yang akan datang, hubungan suami istri mereka bisa utuh kembali. "Soal itu tidak dapat kucampuri, Mastery!" tukas Kiai Makruf, dengan matanya teduh menghadap ke depan sana, "seorang laki-laki yang baik, sanggup memutuskan pendiriannya sendiri. Sungguhpun ia tahu, ada risiko besar di dalam pendirian itu!" "Saya bukan bermaksud meremehkan Pak Kiai!" sambut Mastery lagi; sejenak terdiam, "tetapi rasanya, mereka tak mudah dikalahkan!" "Itu aku tahu, Mastery. Sampai seumurku begini, baru pertama kali hal sehebat ini kuhadapi. Dan aku belum merasa diriku berada di pihak yang menang." Mastery juga menceritakan pertemuannya dengan roh Syeh Burhanuddin dari Ulakan. Yang memberinya doa-doa kekuatan. Akan tetapi juga belum terasa mudah sekali ketika digunakannya. Sedangkan makna lambang bendera bersudut delapan itu pun sedang dicarinya. Termasuk isim yang terdapat pada kedelapan sudut mata tombak itu. "Yang kurang mungkin cara engkau mengamalkannya, Mastery!'' "Semoga demikian, Pak Kiai! Dan saya akan bertahan di sini sampai hayat dikandung badan saya kembali kepada Tuhan!" tekad Mastery"Apakah Antasias mengatakan ia telah kembali ke seberang?" "Di dalam badan saya tadi, kami telah bersalaman dengan takjim," ulas Mastery, Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "dan dia jin terpilih di antara yang paling saleh!" Kiai Makruf menurunkan ayat Alip kepadanya. Bersama keterangan bahwa dengan ayat itu Tuhan akan langsung memberi sesuatu jalan ke luar persoalan paling sulit yang sedang dihadapi. Kemudian disusul dengan sepotong ayat untuk membuka rahasia gaib di langit dan di bumi. Yang harus di-zikirkan! 1.000 kali sehari selama 44 hari dengan berpuasa. "Ini peninggalan orang-orang mandraguna dahulu," susul Kiai Makruf, "yang aku sendiri belum mempraktekkannya, karena belum pernah ada kejadian seberat ini cobaannya." Mastery memangku kertas berisi rangkuman ayat itu dengan kedua tangannya seperti menggendong bayi. Dan langsung dibawanya ke dada, dan dinaikkannya ke atas kepala, dengan wajah luruh dan sendu. Mastery menyatakan keheranannya mengapa sampai demikian hebatnya niat Tuan Wulungan untuk membunuhnya. Sedangkan ia tidak merasa berbuat aniaya kepada Nelly Ngantung. Sungguhpun sebenarnya dengan mudah ia dapat merusak kehormatan gadis itu. Kiai Makruf menjawab hikmah kejadian itu. Mungkin sekali Tuan Wulungan yang kaya dan angkuh sebagai perantara saja untuk mencapai orang seperti Mastery. "Kalau saya dendam,......telah saya rusak anaknya, Pak Kiai !" ucap Mastery kesal dan merutuk. "Jangan kau tumbuhkan serentak jeruk dengan benalu! Amalanmu akan dikuras oleh dosa yang seperti itu!" Mastery mengeluhi dirinya sendiri, mengapa hidupnya seolah-olah melalui percobaan perempuan seperti Sekarwati, dan sekarang Nelly Ngantung. "Mungkin naftu lahirmu, naftu Nabi Daud a.s. yang harus menghadapi cobaan melalui istri dan perempuan. Ada cobaan melalui harta, seperti naftu Nabi Sulaiman a.s. Ada pula cobaan melalui seteru, seperti Naftu Nabi Musa a.s." Di kaki Gunung Cereme tak ada yang menyangka maksud kedatangan seorang laki-laki yang memarkir mobilnya di desa terpencil. Orang itu adalah Tuan Wulungan. Ia kesal sekali karena anak perempuan satu-satunya, Nelly Ngantung, tergila-gila kepada seorang laki-laki yang tak tahu pekerjaannya seperti Mastery. Gengsinya sebagai seorang pengusaha yang selalu bergaul dengan kalangan atas, bagai tercemar. Bukankah lebih bergengsi, jika Nelly berhubungan dengan salah seorang anak jenderal walaupun yang telah pensiun" Biarpun hubungan itu menjadi gosip di harian-harian ibu kota dan majalah, namun akan mengangkat namanya juga di pergaulan tingkat atas. Melalui jalan cerbatu cadas dan jurang kecil-kecil, kemudian jembatan yang terbuat dari tiga batang bambu, ia tiba di tempat Buraksa. Ia tidak memberi salam di depan gua karena ia marah sekali. Karena usaha Buraksa tidak membuahkan hasil yang cepat, menghilangkan nyawa Mastery. Agar Nelly Ngantung dapat dilemparkannya untuk memilih dari sekian anak orang berkedudukan tinggi di Pemerintahan. Dan sekaligus, hubungan anak itu akan dimanfaatkannya menjadi katakanlah kata-belece yang dapat menembus hukum dalam usaha dagangnya. Cahaya terang di luar, membuat ruangan gua terasa kelam. Akan tetapi setelah terbiasa, kelihatan Buraksa sedang mengurut badannya dengan cairan dan akar-akar kayu yang diambilnya dari dalam lumpang batu. Tuan Wulungan tidak menunjukkan punya ilmu yang harus diseganinya. Ia yang membayar orang berilmu seperti Buraksa. Yang memerlukannya, untuk menguangkan ilmu itu sendiri. "Maharaja Buraksa.....!!!" ucap Tuan Wulungan, keras. Buraksa tenang-tenang saja mengurut badannya, sambil meringis. "Buraksa, . .. mana janjimu! Mau tambah uang lagi, hah"!" tegur Tuan Wulungan sambil memukul-mukul tas yang empuk isinya. "Nyatanya ia masih mondar-mandir dengan anakku." "Aku istirahat dahulu ... !" sambut Buraksa, "Lihat ini . . .!" sambil menunjukkan darahnya yang termuntah ke atas batu. Dan patung tanah liat yang terancam retak. "Kalau berilmu jangan kepalang tanggung!" ucap Tuan Wulungan sambil menyeka hidungnya yang mencium bau amis dari dalam gua, "seperti aku memilih jalan punya uang, juga tidak kepalang tanggung. Nah, ini tambahan lagi, kalau perlu selusin orang sepertimu kerjasama, asal maksudku tercapai!" Tas berisi uang itu jatuh ke ujung kaki Buraksa. Memang itu yang sedang dibutuhkannya, untuk membayar penculik-penculik orok dari desa-desa terpencil di kaki gunung. "Kalau ada dan sanggup, orok dari turunan Tuan Wulungan sendiri agar dibawa ke mari. Pasti kuhancurkan laki-laki itu!" dengus Buraksa. "Kau gila! Buraksa! Mana mungkin titisan darahku sendiri akan kukorbankan untuk pekerjaan seperti ini. Gila! Kau gila barangkali!" "Maksudku,-. . . boleh anak dari . . . piaraan Tuan saja!" ucap Buraksa. Tuan Wulungan terdiam sejenak. Ia teringat kepada sekretarisnya yang sedang hamil tiga bulan akibat perbuatannya. Wulungan sedang mencari akal, mendekati salah seorang karyawannya yang susah, agar mau mengawini sekretaris pribadinya itu. Tentu saja, dengan bujukan diberikan sebuah rumah, sebuah mobil sederhana, dan simpanan di bank untuk penutup mulut. Untung saja istrinya sedang pulang ke Menado membangun rumah. Tuan Wulungan bisa mengulur-ulur waktu, dan terus meniduri sekretarisnya, Marisa. Tiba-tiba Buraksa melontarkan jalan baru kepadanya. Sungguhpun di dalam hatinya tersenyum, tetapi di luar ditunjukkannya muka tetap masam kepada Buraksa. Sementara itu di beberapa desa terpencil, desas-desus kehilangan bayi dalam kandungan, semakin santer. Dukun beranak yang menjual bayi itu kepada Buraksa, mengatakan bayi di dalam kandungan bisa raib begitu saja jika diambil kembali oleh yang menjadikannya. Ada pula perempuan yang kehilangan orok ketika ditinggalkan di dalam ayunan kain di gubuk di tengah ladang. Terkadang Buraksa sendiri turun ke dusun dalam penjelmaan lain, membetot orok itu dari kandungan si perempuan hamil tua. *** V SETIAP tahun di Pelabuhan Ratu, diadakan Pesta Pantai yang didahului dengan melepaskan sajian berupa kepala kerbau dan lain-lain ke tengah laut. Ratu apa yang dijadikan asal nama kota itu kini telah tersamar oleh sejarah manusia yang tenggelam ribuan tahun yang lalu. Sedikit sekali tinggal orang waskita yang masih dapat memberi wejangan murni tentang Ratu yang akan berlabuh di masa yang akan datang itu. Sejak upacara di depan pasar ikan sampai ke depan toko, manusia telah padat menantikan acara berikutnya yang merupakan perlombaan perahu, dan perlombaan renang di tempat terbuka. Dari Sukabumi, Cibadak, bahkan sampai dari Bogor dan Bandung pun menyisihkan waktu sehari untuk mengikuti pesta laut ini. Selebaran-selebaran tertempel di dinding kosong, dan di setiap tepi jalan. Bahwa di Cisolok, malamnya, akan diadakan pesta tari Jaipong. Menurunkan, penaripenari terkenal dari Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan daerah-daerah yang kesenian-nya menonjol. "Coba kalau papamu tahu kita berada di sini," kata Mastery sambil memegang tangan Nelly Ngantung, yang mengepit lengannya. "Masa bodoh ... !" "Kau boleh berkata begitu sebagai anak kesayangan tetapi aku" Mungkin aku akan dilemparkan papamu ke dalam laut ini." "Memangnya mudah saja melemparkan orang ke dalam laut!" rutuk Nelly, "aku tahu persis papaku! Dia tida akan segila itu!" "Bukan dia . . . Uangnya yang gila!" ulas Mastery, "aku telah merasakannya!" "Tetapi Bang Mas masih tetap hidup!" "Kebetulan saja, karena nyawa berlebih!" "Bisa saja, memangnya nyawa ada serapnya. Seperti ban mobil saja." Di sepanjang pantai di depan Samudra Beach Hotel, manusia seperti semut mengelilingi tepi gelas bergula kebanyakan berenang atau berjemur. Ada beberapa daerah yang dianggap rawan, dipan-cangi dengan tiang-tiang berbendera merah, sebagai larangan jangan dipergunakan sebagai tempat mandi-mandi. Mungkin karena berdasarkan kumpulan catatan, di tempat itu sering orang hilang dan tenggelam. Baru beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa dari Jogja, dan berikut seorang salesman penyedap makanan, tenggelam di tempat itu. Masih beruntung mayat mereka timbul tak jauh dari tempat mereka hilang. Kalau sampai dibawa arus sampai ke Ujung Kulon, ke tengah laut bebas, mayat baru akan ditemukan setelah rusak dimakan ikan dan karena membusuk. Aki Ukin . dari Sukabumi yang menjadi promotor pesta tari Jaipong itu. Dia orang tua terkenal, yang telah memenuhi segala syarat nyata dan gaib untuk mengadakan pertunjukan seperti itu. Apalagi sekarang ini tempatnya di bagian barat Pantai Selatan. Silih berganti group tari dari kota masing-masing menunjukkan daya tarik tarian mereka. Dengan pakaian yang gemerlapan mereka tampil di atas panggung, seperti bidadari turun malam. "Aduh, . . . siapa bilang pantang memakai baju hijau di daerah ini?" ucap salah seorang pengunjung. Ketika melihat tujuh orang penari dari Sukabumi tampil di atas pentas. "Mereka telah disyarati lebih dahulu .. . .'sahut yang lain, "Aki Ukin kan orang mengerti. Katanya ia sendiri pernah berjumpa dengan Roro Kidul." Mastery mendengar desas-desus yang bertolak dari kepercayaan yang telah lama harus diperhitungkan. Bila laut ini tidak ingin mendatangkan bencana kepada manusia di pantai. "Kau dengar itu, Nel?" bisik Mastery, "sejak kemarin, seperti ada yang menyuruhku ke daerah ini. Mungkin untuk mendengar soal-soal seperti ini." Nelly Ngantung tidak menyahut. Hanya menggenggam tangan Mastery lebih erat. Karena derak gendang yang berbunyi seperti menggedor darah setiap orang muda. Lekuk pinggang penari serta acungan tangan dengan jari lentik, mempesona Nelly Ngantung. "Ehhhh ... sadar . .. tidak"!" usik Mastery karena setelah pinggang Nelly disentuhnya dengan ujung jari, ia masih tetap terpesona. Tanpa merasa geli. Hampir sebulan Mastery menghilang. Dan baru beberapa hari ia jumpa Nelly yang setiap hari menjenguk rumah kost-nya. Maka tak heran jika gadis itu bagai tak mau renggang sedikit pun dari sampingnya. Tiba-tiba, Mastery sendiri jadi terpengaruh. Karena salah seorang penari, yang tercantik, sambil menari menatapkan matanya ke tengah laut. Seolah-olah di depan latar belakang pegunungan Ciomas itu ada sesuatu yang memukaunya. "Penari yang satu itu, . . . kok aneh, ya Bang Mas?" tanya Nelly. "Mata kau tajam juga, . . . memang berlainan dari sejak keluar tadi." Ada sentuhan perasaan di dalam dada Mastery yang mengatakan bahwa keanehan itu berbau alam gaib. Akan tetapi belum dapat dijelaskannya kepada Nelly Ngantung. Masih saja penari yang cantik dan tampaknya masih gadis itu menatap ke tengah laut. Para penonton yang berasal dari kota, memandang kejadian itu sebagai hal yang biasa saja. Karena mereka terbiasa menghadapi keadaan-keadaan yang nyata, surat-menyurat di atas meja, gudang, cek dan karyawan. Panitia menutup pertunjukan itu pada pukul 11 malam. Tetapi manusia tetap ramai berkumpul di tempat itu. Ternyata kelompok dari Cianjur yang berhasil merebut Piala Bergilir. "Ayo ... di mana kita menginap?" ujar Mastery, "dua kamar, atau satu." "Kalau satu,.. mau apa rupanya," ulas Nelly. "Nenek bilang itu berbahaya kan!" potong Mastery, "aku juga mau tahu, apa aku kuat jika tempayan dan gayung didekatkan." Nelly mencubit Mastery agak keras. Mastery memekik halus. "Nah,____sudah mulai, kan"!" Dengan alasan ingin melihat dan mengenal rombongan penari dari Cianjur lebih dekat, mereka juga mengambil sebuah kamar menginap di pondok Sekar Segara. Kelompok dari Bandung juga menginap di sana. Tengah malam, Mastery tidak bisa tidur. Ia ibarat kucing gelisah, karena di hadapannya ada sepotong dendeng yang sebenarnya bisa saja dilahap. Akan tetapi ilmunya membatasi hal itu. Nelly cepat tertidur. Perlahan-lahan Mastery mendekati gadisnya yang terbujur menggairahkan itu. Dada Nelly membengkak, turun naik. Karena ia tidak memakai bantal di kepala, dada itu kelihatan semakin menantang. Kedua tangan Nelly yang terbentang ke atas membuat belahan dadanya seperti bayangan tangkai ketapel, berkilau ditimpa cahaya remang-remang lampu tidur. Urat-urat darah di kening Mastery timbul men-denyut. Dengan tanpa mengeluarkan bunyi, ia mendekati Nelly yang pulas. Perlahan-lahan wajahnya ditekankannya ke atas dada itu. Tekanan wajah Mastery semakin rapat, sehingga ia merasa bagai menoleh ke dalam jendela surga. Ketika itu pula terdengar ribut-ribut di luar. Ki-latan-kilatan lampu pompa dan senter menerpa kaca jendela. "Baru sebentar ini, ... ia masih berbaring," itu suara yang agak jelas terdengar. Naluri Mastery mengatakan, ada seseorang yang minggat, atau hilang dari Pondok Sekar Segara. Beberapa menit kemudian keadaan di luar semakin ribut. Suara tua Aki Ukin juga terdengar. Seorang penari Jaipong dari Bandung, hilang dari kamarnya tanpa bekas. Seliwiran wisik di hati Mastery mengatakan, mungkin penari yang sore tadi, yang terpukau matanya ke tengah laut. Kata hati itu semakin keras. Biasanya tak pernah meleset. Huru-hara pencarian seseorang di tengah malam itu, membangunkan seluruh penduduk tepi pantai. Obor, lampu, dan lampu-lampu mobil dihadapkan ke seluruh penjuru. Aki Ukin membakar kemenyan, dan meniupkan asapnya ke tepi laut. Mungkin agar memperoleh petunjuk, ke mana perginya penari yang hilang itu. "Itu dia . . . mungkin itu dia ... si Nurdewita!" suara-suara bertemperasan menuju tepi pantai. Yang kelihatan semula seperti tunggul, memang tubuh seorang perempuan, berkemban kain batik saja. Ia berdiri tertegun, dengan air laut setinggi pinggangnya. Perlahan-lahan ia melangkah lagi, tanpa menghiraukan suara orang banyak. "Ayohhh. . . . panggil Aki Ukin . . . panggil!" beberapa suara menganjurkan dalam remang-remang silang-menyilang lampu senter. Aki Ukin dibimbing dua orang yang lebih muda menuju ke pantai. Remang-remang dengan mata tuanya, ia mulai mengenali siapa yang hendak turun ke dalam laut itu. Langsung Aki Ukin menempuh air laut, sambil menyingsingkan kain sarung yang dipakainya. Ia menangkap tangan Nurdewita, memegang tangan itu, dan berusaha menariknya ke luar. Akan tetapi air laut seakan-akan berubah menjadi cairan beton yang telah membeku. Tubuh Nurdewita tak bergerak sedikit pun. Dua laki-laki, ikut menolong. Namun tak juga bergerak. Tiba-tiba Nur berbicara lembut, "Dia akan kembali menjadi sindenku!" Aki Ukin sejenak tersimak, dan kemudian menyahut, "Apa ini Ibu Dewi"!" Nur mengangguk. "Mohon jangan Ibu Dewi, apa kata orang kepada saya nanti?" ucap Aki Ukin. Akan tetapi Nur tetap berkeras akan terus melangkah ke dalam laut yang telah mencapai dadanya. Ketika itu muncul Mastery, berbimbingan dengan Nelly. Perlahan-lahan Mastery juga melangkah ke dalam air laut. Ia memandang wajah perempuan itu dari samping kiri. Ia lalu memegang tangan Nurdewita. sambil berkata, "Saya juga menahan, Bu Nyi Roro Kidul!" Ketika pegangan Mastery menyentuhnya kelihatan sesuatu seperti tangan Nurdewita menyentak kecil. Dan dia memalingkan wajahnya kepada Mastery. Sepintas kilas, keramaian pantai malam itu seperti shooting film Ratu Laut. Nelly Ngantung, terdorong untuk menyusul Mastery. Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata, "Sayang . . . engkau yang datang! Kalau tidak, telah kubawa." Ucapan itu jelas didengar Aki Ukin dan laki-laki lain yang mengelilingi tempat peristiwa tarik-menarik kekuatan gaib itu. "Darahmu telah mengejutkan aku," ujar Bu Roro Kidul. Mastery tidak mengerti maksud ucapan itu. Akan tetapi dirasakannya, tangan yang dipegangnya menjadi lemas. Dan tubuh Nurdewita kini bisa bergerak di dalam air. Kemudian Nurdewita mengalihkan wajahnya ke Nelly yang memegang bahu Mastery, dan menukas lemah, "Kalau tidak, .... ganti dengan dia.....!" "Itu calon istriku, Bu Roro Kidul." "Kau seharusnya kawin dengan aku, agar kekuatanmu direstui!"' Roro Kidul memandang dengan raga Nurdewita, dan berkata : "Sayang engkau yang datang! kalau tidak telah kubawa." "Saya hanya petualang dan tamu di pulau ini, Bu Dewi," ujar Mastery, "saya tidak niat mengganggu jalan Bu Dewi, dan saya pun tidak terusik." Seolah-olah Nurdewita melihat ke sekeliling bagian belakang Mastery, dan berucap perlahan, "Banyak sekali mereka yang kusegani datang bersamamu!" Selesai mengucapkan perkataan itu, Nurdewita jatuh lemas ke pangkuan Mastery. Kepala dan rambutnya yang terjurai, dipegang Nelly Ngantung. Di tepi pantai, orang bersibak melapangkan jalan rombongan Aki Ukin membopong Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Nurdewita yang masih belum siuman. Orang terheran-heran dan merasa aneh melihat Mastery yang bukan putra daerah namun mampu mengalahkan Ratu Laut dengan hanya bersoal-jawab. Bagaimana pengaruh aliran darah di dalam sentuhan tangan Roro Kidul dan Mastery, tak sampai terperhatikan oleh orang banyak. Mungkin Aki Ukin saja yang memaklumi sepintas kilas, bahwa di dalam diri laki-laki muda yang disegani Ratu Laut itu penuh kekuatan-kekuatan yang masih saling berebutan. Ratu Laut kelihatannya bukan takut, dan tidak pula karena ingin berkompromi, tetapi berisi keseganan yang latar belakangnya masih samar-samar penyebabnya. Menjelang pagi Pondok Sekar Segara masih ramai membicarakan kejadian itu. "Sekarang rupanya telah tiba akhir zaman," ucap Aki Ukin, "telah datang orangorang muda yang direstui gaib, mungkin lebih kuat dari orang-orang tua yang telah berpulang satu per satu." Mastery dan. Nelly Ngantung jadi pusat perhatian. Timbul keheranan orang melihat penampilan mereka. Orang-orang mandraguna dan waskita zaman dahulu, ketahuan dari caranya berpakaian, berbaju serba hitam, dengan ikat kepala hitam. Atau dengan serban dan jubah, seperti penampilan santri-santri. Akan tetapi Mastery hanya berpakaian Levis atas bawah. Sepatu dengan hak tinggi. Banyak orang bertanya namun tak dijawab Mastery, siapakah yang mau membawa Nurdewita itu, "Nyi Roro Kidul, Ratu Roro Kidul, atau Dewi Ratu Kidul?" Di atas mobilnya, Mastery mengatakan akan singgah di toko kelontong. Karena kaus kakinya yang basah akibat masuk laut semalam, lupa mengambil dari jemuran. Kalau diambil pun, mungkin belum kering sekali. "Kelewatan . . . .!" ucap Nelly Ngantung ketika mobil mereka telah melewati jembatan kecil ke luar dari Pasar Pelabuhan. "Dari tadi kubilang biar aku yang nyetir supaya kau bisa memperhatikan pasar!" "Itu di depan saja!" tukas Nelly sambil menyikut lengan kiri Mastery-Ketika mobil mereka perlahan-lahan berhenti di sebelah kiri, persendian tulang Mastery mendadak menggeletar, seperti kram. Sehingga pedal rem yang ditekannya ikut menggigil. Dan kendaraan terasa bertambah berat. "Apaan____nih?" ujar Nelly. "Tak tahu . . . !" Ketika menjawab itu, sebenarnya Mastery sedang berusaha sekuat tenaganya untuk menguasai kembali kekuatan-kekuatan yang berontak dari dalam. Berdiri ia sejenak, sebelum melangkah ke seberang jalan. Ke sebuah toko kelontong dua tingkat. Namun keadaannya semakin parah ketika ia semakin mendekati pintu depan toko itu. 'Pak, permisi duduk sebentar . . . tiba-tiba badan saya ini begini," keluh Mastery, setelah memberi salam lebih dahulu. "Kenapa jadi begini, Bang Mas" Heran......ya!?" Nelly menggerutu. "Sebaiknya kau pulang dahulu, . . . tinggalkan saja aku di sini. Nanti papamu marah ....!" "Tidak ... !" tukas Nelly, "dia akan lebih marah lagi kalau aku pulang sendiri." Yang empunya toko, Haji Mufti, telah terbiasa didatangi pengunjung yang kelelahan, mungkin karena baru pertama kali merasakan udara pantai yang panas. Apalagi pengunjung dari daerah dingin seperti Bogor dan Bandung. "Badan saya ini, .... tak bisa dibohongi.... Pak!" resah Mastery, terkulai di sandaran kursi, "Bagai ada apa-apanya di tempat ini dahulu!" Nelly mencecahkan sapu tangan ke kening Mastery yang memercikkan keringat. Hajjah Ramlah, istri Haji Mufti. menghidangkan dua gelas air putih matang. Haji Mufti tercenung sejenak mendengar kata-kata Mastery, kemudian menyahut, "Mungkin! ... mungkin sekali! Tetapi saya heran, mengapa Om ini tahu?" Mastery tersenyum memelas, "Kami belum kawin, Pak Haji. Panggil saja saya, Mas . . . Mastery, atau Nak Mas. Rasanya lebih akrab." Haji Mufti tertawa ringan, dan mengatakan, "Sulit menentukan panggilan kepada orang sekarang. Takut kalau-kalau dianggap kurang hormat kepada tamu." "Tetapi ... ini dulu, Nak Mas!" Haji Mufti memulai ceritanya. Haji Mufti mengatakan, bahwa jalan di sebelah tokonya sekarang ini dahulu tanah miliknya juga. Ketika itu tokonya belum bertingkat seperti sekarang. Akan tetapi, selalu saja seluruh modal jualan habis. Tak pernah mendapat keuntungan. Pada suatu waktu dia diberi nasihat oleh seorang perempuan tua. Yang termasuk orang zaman dahulu. Yang masih sempat merasakan bagaimana orang dari Cibadak dan Sukabumi naik sado kalau ke Pelabuhan Ratu. "Katanya, saya harus memberikan tanah saya yang di sebelah ini untuk jalan gaib!" terhenti sejenak Haji Mufti. "Pak Haji berikan, kan?" "Ya,... .seperti terlihat sekarang. Dan bangunan di sebelahnya saya jadikan bertingkat seperti sekarang ini. Sejak saat itu, kami mulai bisa hidup dari toko yang sebuah ini." Setelah mereguk air putih tadi, Mastery sedikit merasa badannya tidak selimbung tadi lagi. Sungguhpun seperti masih ada suara-suara halus di dalam persendian tubuhnya. Di antaranya dikenalnya juga ada suara seperti suara Antasias. Yang menjaga Makam Syeh Jambak di kaki bukit Kumang, "Ayo, .... datangi dia . . . ikuti jalan ini, sampai ke muara . . . .!" Mastery masih mengabaikan suara Antasias, yang tidak diketahuinya entah sejak kapan kembali lagi. "Kata orang, jalan ini jalan gaib Pajajaran!" ulas Haji Mufti. "Apa rencana Bapak di tingkat atas?" ulas Mastery terpengaruh oleh jalan cerita awal pembukaan jalan di sebelah toko itu. "Kalau dikabulkan Tuhan, saya akan membuka Majelis Taklim!" "Itu kalau dimudahkan Tuhan," Hajjah Ramlah yang sejak tadi hanya mendengar, kini menukas. Jalan itu penuh dengan batu pecah yang digiling begitu saja. Sehingga mobil mereka yang chasisnya rendah, harus berhati-hati sekali memilih jalan, agar badan kendaraan tak ada yang tergerak dan kandas. Daerah ini seperti daerah yang masih perawan. Berlainan dengan pantai Pelabuhan Ratu sebelah kanan, yang sudah banyak dibangun hotel, penginapan, tempat rekreasi, restoran dan Mess perusahaan. Mastery menyapu matanya ketika melihat ke kaki gunung di sebelah kirinya. Nelly yang memegang kemudi menikmati panorama pantai di sebelah kanannya. "Sekejap tadi, seperti ada istana di atas bukit di sebelah kiri kita, Nel!" "Istana apa. Itukan Cagar Alam Tangkuban Perahu yang kemarin sore kita lalui!" "Mungkin cita-citaku ingin membuatkan istana untukmu itu yang terangan-angan." "Jangan mimpi . . .!" sindir Nelly Ngantung, "tadi malam, Bang Mas terlibat urusan dengan penghuni laut, sekarang ke mana lagi"!" "Jalan saja . . ., cerewet benar, sih!" dengus Mastery bercanda sambil mengawasi Cagar Alam Tangkuban Perahu yang seperti ada fatamorgananya berbentuk istana putih seluruhnya. Istana itu seperti terbuat dari batu pualam. Di halamannya yang luas, kelihatan banyak orang hilir-mudik. Juga berpakaian putih-putih. "Ada-ada saja!" pikir Mastery. Perkiraan mereka, telah lebih 3 kilometer mereka mengikuti jalan berbatu. Tak jauh lagi, tampak sebuah bukit kecil memanjang lerengnya menuju Tangkuban Perahu yang terbayang di khayal Mastery tadi. Ketika itu terasa tubuh Mastery menjadi berat kembali. Seolah-olah urat-urat nadinya menggelembung-gelembung oleh tenaga yang berontak dari dalam. Tekanan darahnya melebar ke atas sehingga lehernya seperti mekar dan urat-uratnya bertimbulan. "Mau ke tempat Hyang Santri, Om?" tegur beberapa orang ketika mobil mereka berjalan lambat sekali melalui tonjolan batu pecah-pecah. Ketika nama Hyang Santri disebut mereka, tubuh Mastery berkelejotan meregang. Sehingga kakinya lurus menekan ke depan. Kepala tertolak ke sandaran tempat duduk. "Abang ini, . . . kena apa sih" Ayo kita kembali saja!" oceh Nelly melambatkan mobil. Mastery menggoyang-goyangkan telapak tangan kanannya. Seperti aba-aba melarang niat Nelly itu. Semakin dekat, kelihatan beberapa liang samar-samar di kaki bukit berbentuk kubah itu. Mastery semakin parah kelihatannya. Dari dalam terdengar suara Antasias, "Teruskan! Teruskan! Ini dia tempatnya!" Mastery bagai tidak berdaya lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dia minta dua orang untuk memapahnya ke tempat Hyang Santri yang dikatakan mereka di perjalanan tadi. Untung Nelly Ngantung mengerti apa yang dimaksud Mastery. "Aki Rohom, . . .Lurah Basrah, . . . atau Hyang Santri, Om?" tanya mereka memapah, Kudri dan Tamam. "Hhhhyannng , . . Santri....," bersusah-payah Mastery mengucapkan kata-kata itu. Sedangkan matanya seperti berkeinginan mendatangi tempat lain yang disebutkan mereka. Demikian pula telunjuk tangannya. Terarah ke bangunan gubuk Aki Rohom dan Lurah Basyar, yang terkenal juga sebagai tempat orang berkunjung, ri-yadoh, dan bersemadi. Banyak pula yang bertapa. Yang dikatakan tempat Hyang Santri itu, lebih jauh terpojok dari kelima pintu gua. Melalui jalan setapak di tengah sawah, Mastery telah seperti orang ketakutan. Akan tetapi dualis yang di dalam raganya lebih kuat menyuruhnya mendatangi tempat itu. Antasias di dalam berkata lagi, "Sudah hampir! Dia ada!" Orang tua yang dikatakan Hyang Santri itu, berdiri di lantai gubuknya yang terbuat dari anyaman bambu dengan atap daun lalang. Sebagian rambutnya telah memutih. Badannya sedang-sedang saja, tetapi kekar. Memakai baju kaus oblong, kain sarung, ikat pinggang lebar dan tanpa penutup kepala, sehingga keningnya yang luas terlihat berkilau oleh keringat udara pantai. Mastery tertiarap di tepi lantai gubuk. Kedua orang yang memapahnya seperti kehabisan tenaga. Hampir saja mereka melepaskan beban mereka ketika beberapa langkah lagi akan sampai. "Kunaon . . . nyak!" ucap Kudri, "belum ada orang yang seberat ini.'" Kudri heran mengapa badannya yang kekar kuat seperti memikul berat lima orang ketika menyangga berat tubuh Mastery. "Tinggalkan dia....., "ucap Hyang Santri, "dan....." "Saya .... saya .. . anu ... kawan seperjalanan, Pak," potong Nelly yang mengerti maksud Hyang Santri ingin menanyakan dirinya. Hyang Santri bertelekan dengan tongkat. Kedua telapak tangannya terletak lemas di atas penyangga itu. Ia menekuri Mastery yang hampir menelungkup di atas tepi lantai anyaman bambu. Diperhatikannya dengan kewaskitaan. Tahulah ia, bahwa manusia yang datang kepadanya bagai terdampar ini, sedang berada dalam rebutan alam gaib yang tingkatnya tertinggi di pulau ini. Dari tubuh itu dilihatnya berlapis-lapis bayangan yang mengancam Hyang Santri. Bergerak seperti cambuk-cambuk berbentuk makhluk yang menerpa, orang tua itu. Setiap terpaan akan menyentuh, kembali melorot, seperti kain basah yang ditegakkan. Dengan mata gaibnya, kelihatan ada dua makam di seberang lautan yang ikut mengantar orang yang sedang ditekurinya sekarang ini. Hyang Santri meletakkan telapak tangannya ke atas kepala Mastery. Mastery menengadah dengan wajah meringis. Telapak kakinya terasa bagai menyentuh bara api. "Akhh, .... ada lagi yang lebih panas......aduuh guruuuuu.....!" rintih Mastery. Sesaat wajahnya berubah kembali, dan terdengar siuran suara lairi, "Jangan hiraukan, Hyang . ., teruskan .... sampai gurunya datang!" "Siapa kau yang menyala ini?" tegur Hyang Santri dengan- tangan masih tetap di ubun-ubun Mastery. Nelly Ngantung, sedih seperti akan menangis melihat nasib laki-laki yang biasanya kukuh mendampinginya. "Saya Antasias, . . . yang berusaha membawanya kemari, karena saya sendiri tak sanggup menghadapi mereka yang banyak sekali di dalamnya." "Asalmu?" potong Hyang Santri. "Persetan .... anjing ....!! orang ini akan kami bunuh sekarang juga!" suara parau seperti bermacam-macam tiba-tiba menyilang soal-jawab yang belum selesai dengan Antasias. Kini kedua telapak tangan Mastery dengan jari-jemari seperti mencekam, teracung ke atas, bagai hendak melepaskan kepalanya dari sentuhan tangan Hyang Santri. Di antara telapak tangan dengan kepala Mastery, pelan-pelan merayap asap titik lembut. Mengalun dan lambat-laun buyar dibawa angin. Seperti serat halus sutera, kabut itu menerapa dinding gua. Dan terdengar hiruk-pikuk di dalamnya, "Siapa lagi yang datang membawa gara-gara .....kita jadi ikut panas .... huh!" Di atas gua, terdengar suara perempuan menangis tersedu-sedu. Entah sedih entah kesakitan. Mastery memekik memegangi kerongkongannya. Ia mengeluarkan muntah berupa lendir kental berbungkal-bungkal. Dengan lendir ini, rupanya lubang napasnya akan ditutup, dan nadi jantungnya akan disumbat. Setelah lendir itu keluar dengan susah payah, napasnya mulai reda, raga dan jiwa aslinya berkata, "Tolonglah saya, . . . Hyang ... mereka tetap mau membunuh saya. Mereka semua ada di dalam!" "Tunggu! Aku keluar dahulu!" sahut Antasias yang juga menggunakan mulut Mastery. "Aduh, . .. aku bagai terkunci bersama mereka di dalam. Tolong lepaskan dulu, Hyang!" Hyang Santri meregangkan letak tangannya sedikit. "Kau mengapa datang lagi, . . .kau tak sanggup melawan mereka!" ujar Mastery asli, yang dualis kekuatan rohnya bisa melawan. Seolah-olah ia melihat Antasias, yang ikut bilur-bilur hangus di beberapa bagian anggota tubuhnya. "Guru .... Guru . . ., kami panas, . . . aduh hangus .... hangus, aduh . . . .!!" serentak dengan robohnya Mastery, melorot dari tepi lantai, jatuh ke tanah. Diam tak bergerak. Tubuhnya pucat. Ada beberapa menit keadaan mengandung keseraman terjadi. Nelly Ngantung mengangkat kepala Mastery ke pangkuannya sambil meratap, "Bang Mas! Bang Mas, . . ."jangan tinggalkan aku, Bang Mas! Aku mencintaimu!" Tiba-tiba dengan gerakan perlahan tetapi pasti, Mastery bangun dari tanah. Dengan mata terkembang nanap, ia memperhatikan Hyang Santri penuh arti dan perhitungan. Kemudian seperti melihat ke bagian dalam dirinya sendiri. Seolah-olah di dalam tubuh itu terjadi sesuatu yang menyedihkannya. "Orang tua lancang! Kau apakan anak-anakku! Mereka dalam keadaan sekarat!" ucapan itu suara berpengaruh kuat kepada yang mendengar. "Anak buahmukah yang hendak membunuh laki-laki ini?" ucap Hyang Santri. "Ya, . . . aku gurunya, terpaksa datang sendiri menghadapimu!" Sejak tadi di gunungnya, Buraksa memperhatikan boneka tanah liat yang mengandung sebagian roh anak buahnya, kelihatan berasap. Di beberapa tempat di tubuh boneka itu kelihatan mulai hitam seperti terbakar. Buraksa kemudian terpaksa menutup wajahnya dari pemandangan yang mulai hendak menyambar dirinya sendiri pula. Beberapa lembar kain kafan yang teruntai pada dinding gua di kaki Gunung Ceremai itu terbakar dengan tiba-tiba. Dengan antena gaibnya, ia mengetahui bahwa ketujuh anak buahnya yang dikepalai Jarkuz, tak berdaya menghadapi kekuatan baru yang jelas mampu menghancurkan kekuatannya. Buraksa menarik dirinya perlahan-lahan menuju ke permukaan batu hitam tempat ia berbaring jika memerlukan sesuatu tenaga gaib melawan sesuatu tantangan. Kedua telapak tangannya mem-barut kepalanya dari ubun-ubun menuju ujung kaki beberapa kali. Sejenak pinggangnya melentik, kemudian melurus kembali, dan diam seperti mati. Itulah saatnya ia memasuki tubuh Mastery untuk berhadapan dengan Hyang Santri secara tak langsung. Gua itu hening ditinggalkan roh penghuninya. Hanya sebuah dupa dengan api melambai, membuat bayangan benda-benda di dalam masih bergoyang-goyang. Anjing menggonggong panjang menengadahkan kepalanya ke langit. Seolah-olah melihat roh Buraksa berangkat ke daerah barat, Pantai Selatan. Burung hantu yang berlindung di dalam lubang kayu, menjadi gelisah karena ada yang lewat di atasnya, membawa tenaga angkara murka menghancurkan. Seluruh gaib yang dilintasinya di setiap gunung, melihat awan hitam berbau anyir melesat di udara. Bayi-bayi yang di dalam ayunan, tiba-tiba tersentak menangis kejang, kena hawa lintasan itu. Orok yang sedang menyusu, terpekik. Sang ibu menyangka, ada semut yang menggigitnya. Dengan ayat Manunggal Sadak, Hyang Santri menekankan telunjuknya ke kening raga Mastery. Sekejap, wajah itu meringis. Berusaha membuyarkan kekuatan cahaya pijar yang keluar dari telunjuk yang kelihatan seperti besi panas baru keluar dari bara itu. "Haaakkhhhhh . . . hah . . . hahhhh," uap panas bercampur asap, keluar dari mulut Mastery, digenggamkan dengan telapak tangan kanannya oleh Hyang Santri. Kelihatan pegangan itu berasap, seperti meremas kain 'yang baru dicelupkan dari Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo air panas. Akan tetapi roh Buraksa memaksa untuk menggenggam telunjuk orang tua itu. Sebagian tenaga Hyang Santri tertahan karena pangkal telunjuknya dipencet- Namun Buraksa telah mengorbankan genggamannya yang ikut hangus melepuh karena sekatan itu. "Hahhhhhh . . . ha, ha, ha tak semudah itu mengalahkan aku, he! Kau juga akan kubunuh, Santri!" dengan ucapan sombong, walau dalam keadaan kesakitan, roh Buraksa masih mengancam. "Apa engkau mau merampas tugas Malaikat maut" Mengapa anak buahmu kau suruh membunuh orang ini"!" "Itu urusanku! Kita masing-masing telah memilih jalan sendiri!" bentak serak suara gaib Buraksa di dalam raga Mastery. "Sejak kapan kau membuat dosa seberat ini?" suara Hyang Santri tetap lembut dan teduh gemanya. Pertanda di dalam diri orang tua itu, masih kukuh berpijak pada tempat berdirinya semula. "Aku memang menerima upah untuk membunuhnya! Ini . . . ini dari ayahnya ini . .". .!" ucap Buraksa mengarahkan telunjuk kiri Mastery kepada Nelly Ngantung. Nelly tertegun. Kini baru dia yakin bahwa ayahnya memang menggunakan tenaga gaib untuk menghilangkan nyawa Mastery. Hyang Santri tetap berkata dengan suara lemah lembut, tanpa melepaskan ujung telunjuknya dari kening Mastery, melontarkan kata-kata penuh hikmah berisi petunjuk. Mengingat, betapa besar dosa kelak di suatu waktu yang panjang tak berujung, bagi seseorang yang berada di kerak .neraka Syaqar. Apalah artinya sejumlah uang, pengganti masa yang panjang itu, yang bahan bakarnya terdiri dari batu dan jin, serta manusia. "Akhhahhhahhh . . . !" ucapan Buraksa semakin lemah, membawa tubuh Mastery merosot duduk di lantai anyaman bambu. Sungguhpun telunjuk Hyang Santri tidak dipakukan, tetapi tak sanggup digerakkan oleh genggaman Buraksa. Cengkeraman tangannya, hanya, bisa melingkar pada suatu jarak beberapa inci saja dari telunjuk itu tertekan. Dan juga tidak dapat menarikkan kepala Mastery ke belakang. Ketika dicobanya, mata Buraksa mendelik hampir putih seluruhnya, dan kerongkongannya seperti tersumbat. Seolah-olah nyawanya yang berada di raga Mastery akan lepas. Sementara itu, api dupa di gua Buraksa, melambai-lambai lemah. Mengecil dan membuyar kembali, ketika Buraksa mengerahkan tenaganya. Hyang Santri masih terus memberi nasihat, sungguhpun dibantah dengan keras, "Tak usah dakwah, . . . aku sendiri pun dulu Ajengan!!!" Hyang Santri terpukau. Ia selalu menilai sesuatu dari sudut yang baik. Bagaimanapun, di dalam hati manusia isejahat apa pun, tentu masih ada setitik cahaya keimanan yang terselubung oleh dosa dan kabut hitam. "Syukuuuuuur . . . Tuhan mempertemukan saya denganmu, Buraksa, syukur!" ucap Hyang Santri lembut mengelus, "kita yang sudah tua-tua ini, seharusnya nasihatmenasihati." Ketegangan agak mengendor. Buraksa seperti kehilangan sebagian nafsunya untuk membunuh. Matanya nanap memandang lantai di bawah kaki Hyang Santri. "Memang . . . , jalan saya penuh dosa . . . dan Tuhan tidak akan mengampunkannya lagi. Akhhh, karena itu aku teruskan jalan ini . . .. membunuhmu, dan laki-laki ini!" "Kurasa yang mendorongmu bukan karena uang saja, Buraksa!" "Ya, . . ya. . . ada kekuatan gaib lain yang mendorongku. Kalau tidak, aku akan dimusnahkan mereka." "Siapa itu . . .coba katakan?" pinta Hyang Santri lembut. "Tak boleh kukatakan, selama pulau ini masih timbul di permukaan laut!" "Baiklah, . . . ada lagi yang lebih kuat memaksamu! Sungguhpun tidak kau sebutkan, aku maklum. Sebaiknya kau. pulang dan- bertaubat membawa anak buahmu kembali. Dan lepaskanlah mereka sebagai makhluk Allah yang bebas!" Soal-jawab ini aneh bagi orang yang tak biasa menyaksikan peristiwa alam gaib yang tinggi tingkatannya. Seperti permainan sandiwara alam saja. Tiba-tiba Buraksa mengangkat tangan kanannya yang kelihatan hangus pada bagian telapaknya, dan mengeluh, "Memang tangan ini yang berlumuran dosa. Tak terkira lagi berapa yang sudah kubunuh!" "Tobatlah . . . Buraksa. Allah Maha Penerima tobat seseorang!" bujuk Hyang Santri. Wajah Buraksa di belakang wajah Mastery yang tadinya mengeras, kini berangsur cerah, dan terdengar ia mengeluh, "Aku akan berusaha .. . ! Asal saja kekuatan di belakangku bisa melepaskan aku pula! Dan tangan yang banyak mengambil nyawa orang ini akan kusingkirkan dahulu!" Dimulai dengan berkelit menuju ke pinggang, seperti gerak seseorang mengambil sesuatu sungguhpun di pinggang Mastery tidak ada benda nyata yang kelihatan, tangan kirinya mengibas seperti gerak menebas, terarah ke pergelangan tangan kanan, dengan iringan pekik. "Akhkhkhkhhhh .. .!!" Raga Mastery jatuh tersungkur hampir mengenai ujung kaki Hyang Santri yang telah melepaskan tekanan telunjuknya. Buraksa yang terbaring di atas batu hitam dengan keris pusaka di pinggang, menggeliat dan memekik ketika pergelangan tangan kanannya putus. Darah memancur melumuri batu hitam. Masih sempat ia melihat telapak tangan dan jari-jarinya bergerak-gerak ketika baru saja terlepas dari pergelangan. Seperti gerak cakarmencakar kaki kepiting yang akan mati, akhirnya jari-jemari itu diam tak bergerak lagi. Tinggal Buraksa yang bangun dengan cepat, lalu menyambar sobekan kain untuk mengikat bagian yang putus itu. Dia bersimpuh dengan tangan teracung ke langit menghadap Kiblat. Seluruh peralatan magis di dalam gua bergoyang-goyang bagai dilanda gempa. Api di dalam jambangan berbentuk kepala manusia mendadak padam. Akan tetapi, . . . .dari tempat-tempat jauh .... mulai berdatangan utusan-utusan untuk memaksanya kembali ke jalannya semula..... *d*w* VI MUNGKIN benar kata orang bijaksana, bahwa perjalanan hidup manusia sebenarnya mempunyai naftu perjalanan hidup para Nabi pula. Sungguhpun meliputi teritorial yang lebih kecil. Sulaiman a.s. berusaha meliputi kekuasaannya dengan cara menaklukkan Ratu Balkis dengan bantuan para jin seperti Ifrid. Yulius Caesar, mengimbangi kekuasaannya dengan jalan mengawini Ratu Mesir Cleopatra. Seperti yang digariskan para Dewa Yunani dan Mesir, Tuk Ang Among atau Tuk Ang Ra. Apakah Mastery yang lahir di daerah lintang khatulistiwa, membawa titisan gaib pula untuk menaklukkan Nelly Ngantung dari culabesi" Itulah sebabnya Tuan Wulungan, dihasut alam gaib agar menghancurkan hubungan kedua insan yang memperoleh tenaga beradiasi kuat karena hubungan itu. Apakah mungkin missi yang dipikul lebih kuat sehingga Cleopatra bunuh diri dengan seekor ular tanah yang kekuatannya diperoleh dari mengambil tenaga matahari dengan matanya. Nelly Ngantung sendiri terkatung-katung di antara perasaan cinta yang amat dalam kepada Mastery. Sementara Mastery disibukkan oleh usahanya mengikis duri-duri kekuatan gaib yang ingin menguasai dirinya. Dan Tuan Wulungan yang serakah dunianya diliputi setan, tidak sadar bahwa dirinya dipergunakan alam gaib hitam untuk menyekat kekuatan yang mungkin timbul dari perkawinan Mastery dengan Nelly. Dan adakah ranji-ranji perkawinan seperti ini meliputi manusia lain di pulau ini, sungguhpun dalam prahara spiritual yang lebih kecil sekalipun" Setelah Hasbullah berjumpa dengan Mastery di Medan, ia berusaha mencari Mastery kembali di Jakarta. Dengan bertanya kepada beberapa wartawan freelance yang pernah bergaul tak begitu rapat dengan Mastery. Karena mereka tidak dapat memahami bahan yang diberikannya untuk dijadikan tulisan dengan topik aneh. "Benar . . . ," ucap Hasbullah, "saya pun bermula mendengar kisah hidupnya seperti kisah orang sedeng atau sinting." Darmawan sejenak tersimak. Karena ia juga belum dapat memahami apa yang diceritakan Mastery kepadanya. Tentang apa yang dialaminya. Tentang di dalam dirinya ada berbagai tenaga yang saling tolak-menolak atau menguasai. Kini Hasbullah menyeberang dari Sumatra mencari Mastery, karena mulai merasakan apa yang sedang dijalani Mastery menuju suatu sejarah yang penuh tanda tanya di masa yang akan datang. "Begitu berpisah dengan dia, malamnya aku bermimpi," ucap Hasbullah, sambil meletakkan cangkir kopinya kembali, "mimpi aneh yang tidak pernah muncul selama hidupku." "Kalau boleh aku tahu mimpimu itu," sela Darmawan yang berasal dari Jawa Tengah menyorongkan piring tempe goreng kepada Hasbullah. "Kalau tidak salah malam Jumat!" Hasbullah memulai, "sampai di sini, baru kujumpa kalender yang menyatakan bahwa malam itu adalah malam Jumat Kliwon. Di seberang, seperti kau ketahui sendiri, . . . orang tidak begitu terasa penting dengan Wage, Kliwon dan sebagainya itu." Darmawan tertawa, dan menukas, "Bisa saja kau, . . . .memang begitu kalau jauh dari Pulau Jawa! Sekarang kau mulai mengakui pengaruh nama-nama hari itu bukan?" "Ini mau mendengar atau memasukkan Ja-wanologimu kepadaku," sambut Hasbullah yang tampangnya seperti peranakan Arab. "Nah, .... kelihatan gila Aceh itu masih kuat bertengger di hatimu," balas Darmawan, "mudah marah dan panas!" Wartawan-wartawan muda pada generasi ini, cepat menjadi akrab. Dan bicara seenaknya, tanpa perlu merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan sinis. Berlainan dengan wartawan-wartawan kawakan "tempo doeloe", yang selalu rapi menyusun kalimat dan kata-kata mereka dalam berdebat atau simposium dengan bidai-bidai ketimuran yang lembut. "Kau Jawa goblok!" "Goblok-goblok perkebunan di sana pasti terlantar jika tidak ada kami!" Hasbullah tersentak cerah, menukas, "Benar . .. benar! Setiap suku ada keistimewaannya." "Mawan . . . !" ada suara memanggil di luar warung. "Mawan, mobilmu ada yang nabrak!" Dino, tukang parkir yang merangkap Satpam di percetakan harian ibu kota, mendatangi pintu warung. Darmawan terperanjat bangun. Sehingga kursi duduknya jatuh ke belakang. "Persetan! Siapa sih yang sok jagoan itu?" "Hehe . . . , Jawa bisa juga marah, ya"!" ucap Hasbullah, ikut beranjak ke luar warung. Mang Dino, menghadapkan Darmawan dengan orang yang menabrak lampu belakang mobil Citroen Darmawan. Setelah jarak tinggal beberapa langkah, sopir penabrak yang tadinya menekurkan kepala seperti bercermin ke kaca spion, mendongakkan wajahnya, dan menyongsong Darmawan dengan kata-kata, "Kalau tidak ditabrak sedikit, orangnya tidak keluar, dan tahu berada di mana!" "Busyettt . . kau Mastery! Ayo ganti lampu sign itu." "Sepuluh ribu . . ?" Mastery meraba kantong belakangnya, untuk sementara, tutup saja dulu dengan plastik merah!" "Kau menghina, ya" Mentang-mentang punyamu Honda Life. Mobil kecil gitu aja tak jungkirkan ke parit!" "Siapa temanmu di dalam?" Mastery melangkahi bahu Darmawan dengan pandangan matanya. "Hahahh, ... itu Aceh gila itu mencarimu . . !" "Siapa . . . ya?" ulang Mastery. "Lihat sendiri . . . !" rutuk Darmawan sambil meraba-raba lampu sign belakang mobil dan memperhatikan pecahan kap lampu yang berserakan. Pertemuan yang menyentak itu, seperti bunyi pecahan beling mengganggu orang lain sedang minum. Mengetahui ujung pangkal sebab meledaknya suara pertemuan kawan lama, mereka mengerti dan tidak memedulikan mereka lagi. Darmawan cepat berlari kecil ke tempat semula ia duduk, "Nanti aku ketinggalan mendengar cerita kalian yang tak masuk akal itu." "Sudah pulang dari Datuk Tuah malam itu, malamnya aku langsung mimpi," Hasbullah memulai, sungguhpun masih kesal kepada Darmawan yang masih sinis, "Kepadaku diperlihatkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa ini, sebagai satu kesatuan yang panjang bentuknya, seperti ular phyton. Tetapi lebih mirip dengan bentuk naga, dengan kaki yang samar-samar." "Di mana ada naga sekarang ini," potong Darmawan, melipat tangannya di atas meja. Hasbullah marah, karena Darmawan memotong, "Itu di kelir wayangmu pun masih ada!" "Intermezo kan boleh!" "Tetapi bagian kepala ular naga itu berketo-pong seperti mahkota! Apa artinya itu Teri"!" "Ya .... ibu kotamu dahulu itu, Kotaraja!" "Hahhhhh. . . .!"rengah Hasbullah, "karena tiba-tiba dasar mimpinya beralasan." "Dan Gunung Serandil dikatakan orang Gunung Aceh berasal dari salah seorang mandor kebun, yang dahulunya bekas buangan Nusakambang-an. Kini, ia mengepalai buruh di perkebunan kelapa sawit!" tambah Hasbullah. Mastery menekurkan kepala, dan menyahut, "Ada-ada saja, apakah itu sanipo" Apakah hubungannya sebenarnya?" Darmawan terperangah heran. Hasbullah kelihatan bersemangat, "Mandor Sangkar Rogo yang sudah tua itu mengatakan bahwa ketika ia masih berumur tujuh tahun ia melihat banyak meriam Belanda porak-poranda di Gunung Serandil Cilacap. Ketika ditembaki Belanda, gunung itu mengeluarkan cairan seperti darah." "Gunung kok seperti makhluk?" oceh Mastery. "Siapa yang mau percaya yang begitu di abad teknologi ini!" tukas Darmawan. "Kau sebenarnya berterima kasih, Mawan . . .!" rutuk Hasbullah yang memang bertemperamen tinggi, "jika ada orang yang berusaha mengungkap misteri pulau ini sebagai keutamaan di masa yang akan datang!" "Oke . . .. oke .. . !" Darmawan, memperlihatkan kepatuhan mendengar. "Romo Sangkar Rogo mengatakan, Raja Aceh pernah bertitah kepada Belanda dahulu bahwa kalau mereka hendak menggempur dan mengalahkan Aceh, gempur dahulu Gunung Serandil! Apa maknanya, ya?" "Nyatanya . . . digempur?" ulas Mastery. "Yah . . . nyatanya Aceh juga dijajah Belanda, sungguhpun tak selama pulau lain!" jawab Hasbullah ' yang berusaha memberi nilai obyektif dan menghilangkan perasaan kesukuannya. "Kapan putusannya pulau ini dari bentuk ular naga sehingga seperti sekarang?" Darmawan tampaknya mulai ikut serius mendengarkan mereka. "Dalam Jangka Joyoboyo, mungkin yang disebut di zaman Tirta barangkali. Habis, . . . umur dan dinas Pemerintahan manusia di bumi ini kan sangat kerdil jika dibandingkan dengan umur bumi dengan segala perubahan bentuk pulaunya," Mastery menge tengahi. "Gadismu tak ikut, Teri?" tanya Darmawan, "cantik, seperti besi putih!" "Pasti dong, . . . aslinya Culabesi, kok!" "Agamanya, apa sih?" Hasbullah, yang juga sudah mendengar selentingan tentang gadis yang dikatakan Darmawan dari mulut Mastery sendiri. Bahkan Mastery mengeluh, mengatakan ceweknya belum beragama. "Besi putih tidak dimakan karat, kan?" "Mana yang bagus, ya?" ulas Darmawan, berseloroh. "Besi biasa, jelek tetapi mengandung magnit sebagai sumber api. Sedangkan besi putih tidak mengandung sumber api tetapi mengkilap!" potong Mastery, "dan yang paling baik untuk dijadikan rangka yang kebal karat." "Nah, sekarang aku mengerti!" sambut Darmawan, "tempat duduk mesin juga paling baik dari besi putih!" "Maksudmu, . . . yang harus diduduki, si Tery?" Hasbullah mulai ngacau lagi. Mastery menyatakan pandangan imaginasi inkonvensionologinya, bahwa Pulau Jawa sekarang berbentuk harimau, sulbi dan ekornya adalah Pulau Madura yang telah mulai putus oleh selat. Seperti juga putusnya pulau-pulau kecil di bagian timur, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan seterusnya. Dan Jakarta terletak pada tengkuknya." "Wah . . . wahhh-! Berarti beban atau tanggung jawab, dong," ulas Darmawan. "Jangan ngoceh saja, nama Jakarta asli pun, barangkali kau tak tahu, ayo!" Mastery menantang. "Sunda Kelapa!" "No,. . . ," sahut Mastery. Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jayakarta____!" "Gundulmu____!" "Batavia ....!' "Lebih gundul' lagi," potong Mastery, "Yang betul adalah Padang Gambir." "Aneh . . . !!!" dongak Darmawan. "Itu sebabnya ada stasiun Gambir. Goblok amat sih, lu!" Hasbullah yang merasa memperoleh inspirasi, cepat memotong. "Ini ilmu tua . . .!" ucap Mastery meneduhi Darmawan dan Hasbullah. "Di bawah kota ini pun ada lelembutnya." "Akh . . kuno! Itu kuno . . . !" tuding Darmawan sambil mematahkan puntung rokok Marlboro-nya ke asbak. "Rokokmu saja dari Amerika, mana bisa lagi kau memahami pulau kelahiranmu sendiri!" rutuk Hasbullah. Mastery mengatakan lelembut Jakarta adalah Mbah Sambar Angin. Karena itu penyakit penduduk Jakarta kebanyakan berasal dari angin, muntaber, influenza, perut gembung dan banyak buang angin. Orang lain yang ikut mendengarkan pembicaraan tiga sekawan aneh itu, jadi ikut-ikutan juga tertawa mendengar penyakit terakhir penduduk Jakarta adalah buang angin. Sebagian pengunjung yang semula sedikit kesal karena keributan pembicaraan mereka bertiga, jadi ingin ikut mendengar, apakah itu dongeng......atau legenda .. . atau memang ada benarnya. "Pantas Menado ceweknya cakep-cakep," renung Darmawan, "Culabesi besi putih stainless steel rupanya." "Mirip Sunda itu," Hasbullah menukas. Mastery tersenyum karena imajinasi kedua temannya terbuka sendiri, dan ia mengetengahi, "Sudah itu besi baja yang ada magnitnya pula lagi!" "Kami Aceh, kenapa tak kau sebut, Teri!" "Akhhh . . . kamu itu kan kepala ular berbisa! Itu makanya namanya Ule Ulheu, kepala ular. Jadi cewek kamu biar cantik, ada rencongnya, berbahaya!" Ketika itulah Mastery merasakan tubuhnya memberi tanda lain lagi. Kerongkongannya terasa seperti ada sesuatu yang akan termuntah. "Kau sakit" Mungkin terlambat makan, Teri," tegur Hasbullah. "Tidak . . . tanda seperti ini selalu datang, jika aku terancam!" "Maksudmu, terancam siapa" Penembak misterius, barangkali," Darmawan yang urakan kembali berkelakar. "Hampir sama, tetapi yang ini dari alam lain!" sambung Mastery, "aku harus pergi sekarang juga!" "Sedang dalam keadaan begini?" Hasbullah mulai tersimak. "Kalau mau ngantar, boleh," kata Mastery mulai tersendat. "Kalau memang membahayakanmu, kami akan mengantar!" Darmawan jadi ikut mulai berperha-tian. "Nyawaku yang menjadi taruhannya!" rintih Mastery. "Ayo ... ayo .. sekarang juga! Ayo .... Wan ... pegang dia. Kita pakai satu mobil saja," usul Hasbullah. "Nanti mogok. Sudah kadaluarsa, sih," Darmawan mengulas. "Nyatanya dia pakai itu ke seluruh pelosok," Hasbullah membopong ketiak kanan Mastery. Darmawan di sebelah kiri. Sampai di mobil, Mastery langsung tergeletak di jok belakang, dengan sikap seperti akan muntah-muntah. "Ayo, ini minyaknya irit. Tak usah singgah ke galon lagi!" Mobil kecil meluncur dengan kecepatan sedang. Hampir 4 jam, pada pukul 11.30, mereka baru tiba di Pelabuhan Ratu. Langsung menuju ke tempat Hyang Santri. Mastery disambut Hyang Santri. Dia mengatakan bahwa pukul 8 pagi tadi gelombang ether telah membawa berita itu kepadanya. Rasanya seperti dari Pantai Selatan, di bagian lebih ke timur Pelabuhan Ratu. "Ujung Genteng, Hyang!" ucap Darmawan yang merasa apa yang ditanggung Mastery bukan main-main lagi. "Lebih ke timur lagi," ujar Hyang Santri, "tetapi sudahlah. Kita kan tidak mengundang." Hyang Santri masuk ke dalam kamar yang kelihatan digunakannya khusus untuk ibadah. Kemudian ia keluar dengan menjinjing sebuah sajadah, kelihatan ada beberapa aksara tersulam di bagian kepala tempat bersujud. "Cepat pulang, sebelum malam. Dan sesudah isya, tidak boleh berada di luar lagi!" perintah Hyang Santri, "Hyang akan mencoba apakah ia dapat membela diri sendiri sekarang. Karena sekarang tak sempat mengajarkan kepadanya, bawa pita kaset ini pulang. Di dalamnya ada tiga rangkup doa, yang disebut doa tiga kali tujuh untuk menahan itu." "Bagaimana kalau dia belum dapat menghafalnya, Hyang?" susul Hasbullah, yang tiba-tiba seperti telah akrab sekali dengan orang tua yang baru dikenalnya itu. Sifat pengayom dan kebapaannya sangat terasa. Sungguhpun ada sedikit kerut di pangkal hidung dan di sudut mata orang tua itu ada tanda-tanda, bahwa ia juga bisa marah luar biasa. "Aku akan mengawasinya dari jauh, tanpa membantu!" ucap Hyang Santri bersikap tidak akan memberikan wejangan lagi. Dia diam berdiri menghadap sejajar dengan Gunung Gendokan Kuda Sembrani, di sebelah kiri teluk Pelabuhan Ratu. Seolah-olah di sana sedang bersiap-siap suatu kekuatan yang akan datang malam ini juga. Di tempat yang rupanya telah dikunjungi Tuan Wulungan lebih dahulu. Sesuatu peristiwa bergoncang hebatnya mahligai kerajaan Buraksa, kelihatannya Pandito berilmu hitam itu sedang mengemasi dirinya. Karena itu Tuan Wulungan dikendalikan alam gaib yang penasaran, mencari kekuatan lain dari salah satu gunung di pantai Selatan. Melihat Hyang Santri kelihatan seperti tidak lagi memerlukan kehadiran mereka, Hasbullah dan Darmawan yang tiba-tiba telah ikut terlibat dengan perjalanan Mastery, dengan tergopoh-gopoh melarikan Mastery ke tempat kostnya di Jakarta Selatan, di daerah Tanah Kusir. Dalam perjalanan tak ada yang aneh. Selain mobil kecil itu terasa berat sekali. Seolah-olah di atas atap kendaraan itu, ikut penumpang lain yang tidak kelihatan oleh mereka. Sementara Mastery tetap tertengadah kepalanya ke lengkungan langit-langit mobil itu. Ibu tempat kost Mastery, selama ini memang sudah merasakan sedikit keanehan pada diri Mastery. Tidak bekerja, dan selalu mendapat kiriman dari Palembang, tetapi terkadang sibuk dengan sesuatu urusan yang tidak jelas kegunaannya. "Mengapa lagi dia, dan, anak yang mengantar ini, siapa?" tanya ibu kost mengiringkan mereka membawa Mastery masuk ke kamar. Hasbullah menerangkan dengan singkat, siapa mereka. Dan Darmawan menunjukkan kartu identitas dirinya. Kebetulan pula ibu kost akan mengunjungi kakaknya malam itu di Suralaya. Jadi rumah diserahkan kepada mereka bertiga. Darmawan bertugas membeli nasi bungkus karena ibu kost tidak meninggalkan makanan yang sudah dimasak, menyangka Mastery tidak akan pulang. 'Apa perlu kami beri tahu Nelly!" ulas Darmawan. "Jangan!" sahut Mastery cepat. Ia minta didudukkan di atas sajadah yang diberikan Hyang Santri siang tadi. Hasbullah yang ingin mengetahui apa isi pita kaset tadi, segera memutarnya di taperecorder kecil kepunyaan sendiri. Yang biasa digunakannya untuk mewawancarai orang-orang tertentu, yang dianggapnya bisa memberikan bahan-bahan berita penting. Dengan jelas zikir itu terdengar. Tubuh Mastery mengerut seperti ulat tersinggung batu panas. Mulutnya megap-megap menghirup udara pengap. Sedangkan tangannya terkembang seperti menahan sesuatu yang ke luar dari dalam pita kaset yang sedang berputar perlahan itu. Pelan-pelan reaksi menegang itu berkurang. Sampai Mastery agak sadar, dan menyadari bahwa ia telah berada di rumah. "Sebaiknya kalian tak usah ikut bermalam di sini!" ucap Mastery kemudian. "Ibu kost tahu bahwa kami bersamamu," sambut Darmawan, "jika kau cidera bagaimana" Apa kami tidak disangka terlibat?" "Kami akan berjaga-jaga di kamar ibu kost, yang di depan!', usul Hasbullah. Sejak pukul 9.00 malam, Mastery telah mulai menghafal zikir di dalam pita itu. Untung lafaz aksaranya lambat dan jelas, mengumandangkan suara Hyang Santri. Menambah keyakinan di dalam diri Mastery. Akan tetapi masih ada saja suara membentak-bentak dari dalam dirinya. "Kau sangka semua itu ada gunanya . . . Sejak zaman manusia pertama menginjakkan kakinya di sini, telah ada janji . . . .Itu yang membuat kekuatan manusia berilmu seperti tak ada gunanya menghadang jalan kami!'' Mastery berusaha tidak mengacuhkan godaan itu. Sungguhpun iman di dadanya bergoyang juga mendengar ancaman gaib itu. Kemudian suara itu pindah lagi dari atas kepalanya ke arah belakang. "Wali-wali dahulu pun tak mampu membendung kekuatan kami. Sehingga mereka hanya bergerak di tempat sebatas kami tentukan!" "Tetapi, apa salahku?" pekik Mastery dengan kepala tertengadah. "Karena darahmu berisi misi almarhum kakekmu dahulu!" sahut suara gaib itu lagi, dilatarbelakangi suara-suara banyak menggerenyam. Dari pukul 11 lewat, Mastery telah beberapa kali shalat sunat. Kemudian duduk menanti dengan seluruh indera tubuhnya bersiap. Darmawan dan Hasbullah, di kamar depan, merasa terkunci oleh jepitan ether di sekeliling mereka. Membuat mereka berat untuk melangkahkan kaki ke luar kamar. Mastery mulai mengiringkan zikir dan ayat yang berbunyi di pita kaset itu. Ia mulai hafal sepotong-sepotong. Padahal biasanya tidak secepat ini ia mampu menghafal sesuatu. Pertama sekali dirasakan Mastery bubungan rumah bagai bergoyang. Semula dikiranya hanya perasaan semata. Akan tetapi sudut matanya melihat sangkar burung perkutut itu juga bergoyang seperti dilanda gempa. Kemudian terdengar tujuh kali bunyi siulan panjang mengelilingi rumah. Dan bunyi pegangan daun pintu diputar ke atas ke bawah, seperti ada orang akan masuk dan minta pintu dibukakan. Hasbullah yang berada di kamar depan juga mendengarnya. Darmawan, yang rupanya dari luar bernyali kuat, pucat dan sebentar-sebentar masuk kamar mandi untuk buang air kecil. Ada sesuatu benda berat yang naik ke atas atap seng. Terdengar atap itu bagai digoresi oleh pecahan-pecahan kaca tajam, atau seperti kuku menggesek kaleng. Beberapa kali nyaris mencapai bubung rumah, tetapi melorot kembali ke bawah. Di bagian belakang rumah, terdengar benturan-benturan pada dinding luar, seolah-olah ada kerbau yang sedang menggesek-gesekkan badannya ke pohon kayu. Untung semua jendela berterali besi di bagian dalam. Burung sintil yang kata orang berbunyi jika ada orang akan mati, menciap-ciap jauh di ujung pohon angsana. Sungguhpun" burung itu badannya hanya sebesar empu jari tangan, tetapi lengkingannya mengandung roh pembawa maut, mengumandang berkilometer di daerah Tanah Kusir. Ketika itu sebenarnya ada tujuh harimau siluman yang sedang mengelilingi rumah itu. Dua ekor sedang berusaha masuk dari atas lubang rumah. Mastery bersikap seperti orang akan bersilat. Di dalam dirinya, terdengar lagi suara kedua yang menekan kesadaran aslinya, "Masuk .. . cepat! Dan gigit tengkuknya, . . . kita bawa malam ini juga!" "Coba . . . cobalah angkat! Cobaa ...!" hardik kesadaran Mastery disertai gerakan seperti mendudukkan dirinya, lebih rapat ke permukaan lantai di atas sajadah. Beberapa kali tubuhnya tersedot oleh kekuatan gaib. Hampir terangkat dari sajadah. Akan tetapi sajadah itu bagaikan berubah menjadi lintah besar yang melekat erat sekali, tidak mau lepas dari lantai kamar. Beberapa kali terdengar suara meng-gelepak. Sajadah itu akhirnya terangkat lalu kembali jatuh terhampar bersama Mastery di atasnya. Dan setiap itu pula Mastery mengatur duduknya kembali menghadap Kiblat. Suitan yang terakhir mendengingkan telinganya. Seperti peluit uap sebuah pabrik didekatkan untuk merusak gendang alat pendengaran itu. Mastery menutup telinganya dengan kedua pangkal lengan yang dirapatkan! Didahului oleh sebuah ledakan kecil di lantai kamar, muncul kepala jamur merah sebesar ujung peluru. Mengeluarkan asap setipis asap puntung rokok. Mata Mastery terpukau oleh tenaga jamur yang kelihatan lemah tetapi memecahkan ubin lantai itu. Mengorak cepat seperti payung. Ruangan kamar segera dipenuhi bau yang aneh. Hampir sama dengan pedas udara di tempat orang sedang menempa barang besi dengan api berbahan bakar batu bara. Kemudian dari beberapa lubang angin berbentuk bintang dan dari celah-celah daun jendela, meresap tali asap bagai cemeti putih berjela-jela, dan berputat-putar di depan Mastery duduk. Hampir sama dengan gumpalan asap yang dijalari cahaya senter, asap itu menjelma menjadi bentuk tubuh perempuan tua yang mata kanannya picak sebelah. Mulutnya yang setengah terbuka, berlinang gelap, dengan bibir berkerut-kerut merah darah. "Pasti si Hyang Santri lagi yang menghalangi!" ucapnya sambil menudingkan telunjuk kanan berkuku panjang. "Mengapa dari Gunung Salak ia sampai di Pelabuhan Ratu"!" Mastery mendengar makhluk itu menyebut nama Hyang Santri dengan jelas. Ketika ia tertegun, nenek tua itu maju selangkah lagi. Namun terhenti kembali begitu Mastery melafazkan zikir. Nenek tua itu bertahan dengan tongkat, yang kelihatan terbuat dari batu pilihan berbentuk akar hitam. Pikiran Mastery menyimak kejadian. Ada yang mengatakan bahwa Gunung Salak adalah induk gaib Pelabuhan Ratu. Apakah ada jalan di bawah tanah dari gunung itu sampai ke Pelabuhan Ratu, tempat Hyang Santri" Di atas atap masih terdengar sosok-sosok berat, melesot-lesot lalu melorot kembali. Si nenek mengerahkan seluruh tenaganya sehingga dalam wujud asap putih bergetar, ia maju untuk merekah kepala Mastery yang masih tetap tetunduk tak mampu mengelak. "Sekali ini aku tak akan kalah!" ucap si nenek, dan tangannya terus bergerak ke ubun-ubun Mastery. Akan tetapi entah dari mana datangnya, sebuah benda seperti pedang lentik berbentuk hampir sama dengan bulan sabit, melayang seperti kitiran, mengeluarkan kerdipan cahaya seperti pelangi. Diiringi bunyi mendesis yang amat tajam, menyebarkan angin dingin merasuk ke dalam persendian tulang, putaran pedang seperti kitiran kencang itu menghadang kedua cakar si nenek yang sudah akan menyentuh kepala Mastery. Nenek tua itu terpekik. Kedua telapak tangannya yang tadi seperti tabung kaca TL yang bercahaya pijar, kini ditulari cahaya kitiran itu, sehingga jari-jemarinya menggeletar keras. Lalu mendadak tergenggam dengan kuku-kuku berpatahan, seperti bara rapuh. Ia melenting, melentur seperti tepung pulut yang drtarik dari lantai. Terhirup ke lubang angin, diiringi'beberapa benda berat yang berjatuhan dari atas atap. Nenek penguasa Gunung Pamenpeuk melejit. Membawa tujuh harimau silumannya yang gagal menjemput Mastery. Kamar yang tadinya seperti udara dalam ketel uap asam arang, berangsur-angsur melegakan napas. Mastery duduk dengan hampir seluruh baju di badannya lengket oleh keringat. "Mastery . . . Tery . . . dia sudah pergi . . . !" kata Darmawan, "kita berhasil!" Ucapan kita dalam seruan Darmawan sebagai pernyataan bahwa ia telah ikut memahami kejadian gaib itu. Padahal dulunya segala pengalaman Mastery itu dianggapnya pengalaman orang sinting di zaman teknologi. "Kau tidak apa-apa"!" bujuk Hasbullah, yang melihat ujung hidung Mastery digantungi tetesan keringat yang belum lepas terjatuh ke pangkuannya. "Pamengpeuk . . . ," desis Mastery, " ke sana pun Tuan Wulungan minta bantuan untuk meng-habisiku." Seorang laki-laki sejati tak akan mudah meneteskan air mata. Selain air mata tobat atau ketika bayi di saat minta susu ibunya didekatkan. Akan tetapi saat ini, air mata Mastery tergenang. Tidak sampai menetes, sehingga menguap oleh panasnya aliran darah. Mastery hanya memikirkan, adakah orang lain seperti dia, didatangi utusan yang tidak kepalang tanggung untuk mengambil jiwanya" Apalah arti dirinya seorang dibandingkan dengan orang lain yang berjuta-juta" Apakah mereka juga mengalami apa yang dialaminya sekarang" Kalau tidak, mengapa" Mengapa ia yang selalu dituju melalui rantai-rantai sebab akibat secara tak langsung" "Mastery," ujar Darmawan, "Aku akan mengetengahkan kejadian ini sekiranya ada simposium kaum spiritual dan paranormal!" "Jangan!" ulas Mastery, "mungkin sekali kejadian seperti ini tidak terbuka kepada setiap orang-orang waskita. Bukankah maling kecil-kecilan, tidak mengetahui tipu muslihat perampok bank" Apalagi taktik tipu-muslihat mafia menguasai sebuah negara!" *d*w* Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo VII TIGA minggu lagi akan terjadi gerhana matahari total di Pulau Jawa. Dari berbagai negara, Asia dan Eropa, pengejar-pengejar peristiwa astrologi di tengah jagat makrokosmos, telah datang dengan peralatan mereka yang mutakhir. Dalam harian dan majalan, diberi petunjuk-petunjuk, bagaimana mengamati gerhana itu, tanpa harus memandang langsung sebab berbahaya bagi mata. Darmawan merasa dirinya sangat terpanggil. Karena gerhana itu akan tegak lurus di daerahnya Jawa Tengah. Ia membawa sebuah bola dunia yang berisi karet busa. Bukan bola dunia yang biasanya digembungkan dengan tiupan angin. "Aku mempunyai daya imaginasi fantastis," ucap Mastery, "coba kita lihat apa ada maknanya semua yang kuperbuat ini." Dia menusukkan jari-jari sepeda yang telah diruncingkan ke setiap titik gerhana total matahari di dunia. Pertama-tama ditembusnya Panama dengan jari-jari sepeda itu. Ujung jari-jari sepeda itu ditusukkannya ke dalam. Dan menembus Jawa Tengah dari bawah bola dunia. Kedua, ditusuknya titik gerhana total matahari Kenya (Afrika Tengah), sehingga ujung jari-jari sepeda itu ke luar di Jepang. Ketiga, tusukan jari-jari sepeda masuk di Mesir, ke luar di daerah Sungai Gangga di India, sebagai pusat agama Hindu. Hasbullah, ikut menyimak bola dunia di depan mereka. Ada enam ujung jari-jari sepeda yang ke luar dari bulatan dunia itu. Yang hampir tepat memotong belahan dunia dan asnya, adalah tusukan melalui Panama dan tembus di Jawa Tengah, hampir di dekat Borobudur. "Mungkin ini yang dimaksud dengan Wisnu bertangan enam, Teri," ucap Darmawan yang seolah-olah menemukan rahasia angka Porkas. "Entahlah!" rengut Mastery, "tetapi belum ada ilmuwan yang mengatakan begitu. Kita ini terkadang belum berani mengatakan sebelum ada orang lain lebih dahulu mengatakannya." "Mungkin kita yang menemukan dan menetapkannya!" tukas Darmawan. "Akh, kita kan cuma orang urakan, anak singkong!" rutuk Hasbullah pula, kembali mengawasi keenam jari-jari yang mencuat dari bola dunia itu. "Nah dari sini kan kelihatan, sesudah gerhana total matahari di Jawa, akan disusul oleh gerhana total matahari di Panama, demikian juga berikutnya-menurut jalan jari-jari," kata Darmawan tiba-tiba mengagetkan. Tiba-tiba terdengsfr ketukan pintu, dan suara perempuan memanggil. "Seperti suara Nelly," desis Mastery menerka. "Setiap laki-laki memang hafal sekali suara ceweknya," ujar Darmawan mengganggu dan melangkah ke ruangan depan membukakan pintu. Muncul Nelly Ngantung, yang kata Mastery seperti besi putih, karena asalnya dari Kepulauan Culabesi. Dengan dandanan marak dan memikat sekali, membuat Darmawan melongo sejenak. Rambut diekor kuda, mencuat pangkalnya ke atas, melengkung menjauhi kepala, dan menyentuh tengkuknya yang putih terbuka. Baju berbungabunga merah besar, dengan dasar putih. Ikat pinggang berwarna biru gelap. "Ke mana saja sih, kok tidak muncul-muncul?" tegur Nelly kepada Mastery., yang sedang menghadapi bola dunia. "Ini, sedang belajar ilmu bumi, seperti di SMP dahulu," Hasbullah yang menyahut. "Aku lebih suka jika ayahmu mengejar aku dengan parang, Nel," ucap Mastery, "daripada apa yang kualami sekarang." "Ah, sudahlah!" Darmawan menyisip, "penampilan cerah ini, tidak boleh dijadikan seperti di rumah duka. Mari kita rencanakan riset kecil-kecilan terhadap gerhana matahari total yang akan datang beberapa hari lagi ini." "Bagaimana kalau kita berekreasi di Tanjung Kodok?" usul Mastery. "Aku ikut!" potong Nelly Ngantung menggayuti bahu Mastery. Tiba-tiba Darmawan tercenung, dan menyahut. "Sekarang aku hampir mengerti mengapa kembang Wijayakusuma yang dilalui gerhana sekali dalam 360 tahun, berlainan warna bunganya daripada di daerah lain." "Eh, tiba-tiba matamu jadi terbuka, Wan," oceh Hasbullah yang giginya masih meninggalkan bekas mengunyah sirih di masa kanak-kanak. "Habis, kalian orang seberang banyak maunya!" potong Darmawan. Mastery hanya menertawai kedua kawannya yang saling bertengkar itu. Akhirnya mereka sepakat untuk menempuh route yang dikatakan Mastery. Mereka mempersiapkan teropong biasa yang ditutupi dengan film gelap. Serta kaca pembesar untuk membiaskan gambar gerhana ke permukaan air. Akan tetapi sebelum itu, mereka akan meminta pendapat Hyang Santri lebih dahulu. Mungkin ada sesuatu yang berguna untuk didengar sebagai wejangan. Sungguhpun orang tua itu tidak mempunyai titel kesarjanaan. Pada malam Selasa Legi mereka telah berada di pondok Hyang Santri. Demikian petunjuk rasa badan Mastery yang harus diikuti mereka. Ternyata niat Buraksa akan tobat dan kembali seperti ajengan semula, mendapat tantangan hebat dari para gaib yang membina, dan mengutusnya. Sehingga kaki Gunung Cereme dan gua Buraksa terancam akan diruntuhkan mereka. Dan Buraksa akan tertimbun hidup-hidup di dalamnya, sebagai tumbal. Kini gua menggelegar, dan Gunung Cereme mengeluarkan gas ke lereng-lerengnya. Mengendap menjadi uap racun. Terus turun menuju ke gua tempat Buraksa bertapa. ''Buraksa! Buraksa! Buraksa!" sepanjang lembah di luar gua, dipenuhi suara-suara beradiasi dan bernada tinggi, bagai menusuk benak Buraksa. "Setiap makhluk, harus seperti pion-pion anak catur pada tempatnya masingmasing. Kau telah memilih sendiri berdiri menjadi pion-pion anak catur kami! Mengapa kini kau mau merusak dirimu sendiri" Sedangkan kau ditugaskan untuk membayangi Raja dan Ratu di hadapanmu! Untuk dimakan atau memakan!" "Benih sebesar biji bayam di dadaku diguit Hyang Santri," jawab Buraksa. Terdengar tawa-tawa besar yang gemanya menggetarkan lereng gunung. Seperti tawa raksasa di dalam adegan pertunjukan wayang orang. Kemudian terdengar lagi kutukan, "Alangkah dungunya kau, Buraksa, memotong tanganmu sendiri! Bukan cacat yang dibanggakan sebagai pahlawan, tetapi sebagai pengecut! Kau sangka Tuhan akan mengampuni tanganmu yang penuh dosa itu?" Buraksa memegang tangan kanannya yang berbalut perca kain kafan kuburan, dan ia menyahut, "Hyang Santri kuat sekali. Dan mengapa laki-laki itu sampai ke sana" Dia menurunkan zikir Manunggal Sadak kepada laki-laki itu." "Si Antasias jahanam itu yang membawanya! Pohon kayu tempatnya tinggal telah kami cabut dan kami buang ke gunung! Dan makam Syeh Jambak telah kami pijakpijak sebagai pembalasannya!" suara kutuk itu seperti guntur di siang hari. Penduduk di kaki Gunung Cereme melihat mendung seperti akan membawa hujan. Padahal sebenarnya makhluk gaib sedang mengerubuti Buraksa yang tertegun di persimpangan jalan hidupnya. Selama seminggu, kemudian dan ditambah seminggu lagi, Hyang Santri menyuruh mereka berempat meminum jamu kelapa hijau, yang disebut juga oleh orang waskita jamu logam yang ada di matahari. "Air apakah yang ditarik matahari naik paling tinggi ke atas pohon?" ucap Hyang Santri pada suatu kali. Keempatnya termenung. Darmawan yang cepat menyahut. "Air kelapa, Hyang!" "Salah kalau yang digunakan hanya airnya saja, sebab air itu akan menyedot kekuatan logam di tubuh mereka. Karena itulah olahragawan tidak mau meminum air kelapa. Mengilukan tulang, dan melemahkan otot!" ulas Hyang Santri lagi. Selanjutnya Hyang Santri mengatakan kelapa itu ada beberapa macam, selain kelapa hijau, masih ada kelapa gading dan kelapa tembaga, yang dahulunya mudah dijumpai di halaman-halaman kerajaan silam. Seminggu setelah mereka meminum Jamu Logam Kelapa Hijau itu, tubuh mereka jadi kemerah-merahan. Nelly Ngantung bagai berubah dari tesi putih yang melebur kembali menjadi besi baja jerkutub magnit. Darmawan, gatal-gatal seperti diserang penyakit campak, karena ada sesuatu yang menjadi netral di dalam darahnya. Hasbullah yang terkenal kuat makan cabai rawit, turun temperamennya yang biasa tinggi dan penaik darah. Kodrat menentukan, Buraksa datang kembali memperbarui misinya. Dengan bantuan dari induk sentral muslihat yang mengatur segala perjalanan hidupnya yang hitam. Namun jelas kelihatan bersusah-payah ia berusaha menempati raga Mastery. Mungkin karena telah bertambah penyekatnya dengan Jamu Kelapa Hijau ciptaan Hyang Santri. "Kurang ajar!" rutuk Buraksa terengah-engah, "setelah kupikir-pikir panjang, aku menyesal memotong tanganku sendiri, Santri! Kali ini aku akan membunuhmu dan anak buahmu!" Hyang Santri, yang kelihatan tidak terlalu terkejut, mungkin karena telah ada Sirullah alam gaib sampai kepadanya bahwa hal ini seperti harus terjadi kembali, menyahut, "aku tahu, kau datang dengan segala majikanmu!" Ketika itu udara di sekeliling gubuk Hyang Santri seperti bertambah tekanannya daripada biasa. Menyesakkan dada, seperti berada di dalam tekanan air beberapa ratus meter di permukaan laut. Segala yang bergoyang, terpaku. Sampai-sampai mulut pun sulit untuk dibuka. Sehingga Nelly Ngantung hanya tersandar di dinding dengan mata terbelalak. Dia sadar dan menangis, tetapi anggota badannya tak dapat digerakkan. Sedangkan Darmawan dan Hasbullah agak bertenaga sedikit. Tetapi juga tidak dapat berdiri dan membantu Mastery dengan zikir ataupun doa yang dipunyai mereka. Hyang Santri kembali menusukkan telunjuk jari kanannya ke kening Buraksa yang sudah berada di dalam raga Mastery, dengan ucapan, "Mungkin telah ditakdirkan engkau menjadi ajengan yang munafik pengisi kerak neraka!" Buraksa terdongak, dan sedikit meringis. Kemudian berusaha tertawa amat keras, dan memekik sambil seperti meraup tenaga dari atas. "Mari ----mari kita hancurkan Hyang Santri dan laki-laki yang tidak mau mengikuti restu kita ini!" Dua kali kelihatan Mastery bertitisan Buraksa meraup tenaga dari alam makrokosmos. Gayanya seperti mengaduk-aduk seluruh langit. Kemudian memintal dan menekankan ke dalam ubunubun. Wajah raga Mastery jadi berubah. Besar, kukuh dan merah kehitam-hitaman. Ketika itulah Mastery, dengan tubuh seperti jago karate kelas tertinggi, menerjang ke arah Hyang Santri yang sedang duduk bersila. Akan tetapi orang tua itu masih saja tidak bergeser sedikit pun menerima serangan seperti ini. Perutnya ditekan raga Mas-terv dengan kaki kanannya. Sedangkan leher orang tua it j, bagai hendak dicekik dengan dua tangan serta dua ibu jari menegang siap menekan kerongkongan. Akan tetapi herannya, kedua ibu jari itu tak dapat menyentuh leher Hyang Santri. Sehingga bagai terkatung-katung saja beberapa sentimeter di permukaan kulit orang tua itu. Sekuat tenaga Buraksa menekankan tangannya. Sehingga kedua lengan badan Mastery menggeletar keras. "Kau telah berlebihan menghina hamba Allah dengan kakimu kepadaku!" ucap Hyang Santri. "Sedangkan Tuhan pun tidak berbuat demikian kepada hambanya!" Hyang Santri membukakan kelima jari tangan kanannya. Pelahan-lahan menghadapkan telapak tangan terkembang itu kepada Buraksa. Beberapa senti lagi akan sampai, kelima jari itu tertancap cepat sekali di dada raga Mastery. Dada Buraksa menghentak-hentak. Perutnya bergelombang mengempis-mengembung. Dan akhirnya dia muntah-muntah. Bersamaan dengan itu raga Mastery terjajar ke belakang. Berguling-guling seperti jatuh dari tempat yang tinggi. Terdiam, dengan lendir kental di sudut bibirnya. Tiba-tiba ia bangun lagi dengan warna kulit kepucatan. Kembali ia duduk seperti semula, dan berkata, "Beri aku kesempatan sekali lagi untuk membunuhmu. Kalau aku kalah. Aku akan pergi, dan menerima segala yang akan mereka perbuat kepadaku!" "Silakan saja . . . !" ucap Hyang Santri tawakal, duduk bersila lagi seperti biasa. Buraksa kembali duduk seperti duduk Yoga, mengundak-undak udara di atas kepalanya dengan jari-jari tangan terkembang. Seolah-olah tenaga itu diambilnya dari alam kosong, yang menjadi pusat , kekuatan yang terhimpun pada satu titik. Kemudian ditekankannya ke ubun-ubun seperti tadi. Kini raga Mastery terlihat lebih mengerikan bentuknya. Merah seperti tembaga dibakar. Matanya terbelalak, sehingga kelihatan lebih banyak putihnya. "Nah .... sekali ini, tamat riwayatmu, bersama-sama anakmu, Hyang Santri." Hyang Santri tidak menyahut. Hanya mengubah letak duduknya menjadi duduk Alip. Yakni dengan ujung tulang sulbi terpacak ke lantai. Buraksa datang dengan besar tubuhnya seperti beruang es. Membuat permukaan tanah bergetar oleh langkahnya. Karena ditumpangi kekuatan-kekuatan gaib yang sebelum-sebelumnya tidak semudah itu mau turun tangan menghadapi persoalan seperti ini. Nelly Ngantung tersandar dengan kepala lemas terkulai. Darmawan dan Hasbullah berpegangan tangan agar tidak roboh. Sekali ini raga Mastery lebih keras menekankan kakinya ke perut Hyang Santri. Dan kedua tangannya yang mencekik, sekarang sampai menyentuh leher Hyang Santri. Buraksa tertawa sombohg, dan menengadahkan kepalanya sejenak sebelum berkata, "Belum ada yang berhasil lepas dari restu kami, hei Santri! Karena demikian janji manusia ketika pertama kali menginjakkan kakinya di sini!" "Aku tak ikut dalam janji seperti itu!" dengus Hyang Santri yang merasa kerongkongannya bagai di dalam genggaman, dan perutnya diinjak keras agar roh cepat melompat dari tubuhnya yang tua. Burung srintil, melengking-lengking di cabang pohon tinggi. Pertanda ada roh yang akan ke luar dari raga seseorang. Dalam saat regang-meregang seperti itu, perlahan-lahan kaki Hyang Santri terangkat mendekati perut raga Mastery. Lalu dengan zikir Manunggal Sadak, kaki itu ditancapkannya ke permukaan pusat Buraksa di tubuh Mastery. Buraksa tersentak, tetapi kerongkongan orang tua itu masih di dalam genggamannya. Hyang Santri terpengaruh juga oleh kekuatan yang menindasnya itu. Di saat-saat mayanya hampir hampa, kepalanya tertengadah ke atas. Hanya bibirnya saja yang tinggal bergerak-gerak tanpa suara. Hanya sebuah gerakan lagi tenaganya tersisa. Yaitu, memutarkan telapak kakinya di perut raga Mastery. Dan begitu dilakukannya, Mastery merasa seperti ada akar-akar putus di dalam perutnya. Sedangkan di bawah bumi tempat mereka bertarung, seperti ada tebingtebing yang runtuh. Dan suara-suara makhluk berlarian hilir-mudik sambil melolong-lolong memekik panjang. Persis seperti huru-hara penduduk di lereng gunung yang sedang meletus layaknya. Raga Mastery melentik, dengan leher mekar oleh urat-urat nadi yang tegang karena darah mengencang. Malah bagaikan akan meletus di beberapa tempat. Ketika itulah Hyang Santri melakukan suatu gerakan kecil seperti tidak ada artinya. Dengan telapak kakinya, ia bagai menekankan suatu patok ke dalam pusat raga Mastery. Akan tetapi tekanan yang kelihatan tidak berarti itu, mengakibatkan raga Mastery seperti lumpuh. Kedua lengannya terlepas dari kerongkongan Hyang Santri. Terjuntai di bahu seperti pelepah pisang patah. Tubuhnya terlipat di tanah. Bergulung-gulung bagai jatuh dari langit. Lalu memuntahkan cairan bening berbau anyir. Akhirnya ia terkapar, bagai kehilangan tulang penyangga badan. Perlahan-lahan Mastery bangun kembali. Ia duduk dengan tenang, dan menatap Hyang Santri tanpa bernafsu seperti tadi lagi. "Kami tidak kalah .... hanya segan kepadamu, Hyang Santri!" ucap seluruh tenaga yang lumpuh di raga Mastery, "Karena kau mengakui bahwa kami juga adalah makhluk Allah, yang menjadi pembawa cobaan kepada manusia. Kami bawa mereka yang sesat dan ragu-ragu kepada Hukum-Nya, dan kau pun tidak berhak untuk membela mereka, karena manusia bukannya malaikat yang patuh dan tunduk kepadaNya." "Itu aku tahu, begitu pula seluruh hikmah di dalam kejadian ini," jawab Hyang Santri lemah lembut, "dan aku sendiri bukan bermaksud mengalahkan kekuasaan dan hak kalian. Aku pun bisa terhukum jika berniat demikian! Pulanglah Buraksa, semoga doa orang di pulau ini dapat memohonkan ampun dosamu kepada Tuhan. Karena bagaimanapun, asalmu dahulu manusia juga seperti kami ini!" Mereka bersalaman dengan ujung jari tidak saling menyentuh. Dan bagaikan pesan terakhir, Buraksa dengan himpunan seluruh penghulunya berwejang, "Sebaiknya, janganlah laki-laki ini (menunjuk raga Mastery sendiri), berada di bawah lintang gerhana matahari yang akan datang!" Hyang Santri tidak sempat menyahut. Kekuatan di dalam tubuh Mastery sudah keburu berangkat ke alam lain, dan menduduki kembali tempat petak catur yang telah ditentukan Tuhan kepada diri mereka. Tekanan udara kembali seperti sediakala. Nelly Ngantung menggoncang-goncangkan bahu Mastery. Darmawan dan Hasbullah, menyimak ke sekeliling halaman, seperti ada suatu rombongan yang baru berangkat meninggalkan tempat itu. "Hyang, Hyang diapakan mereka?" tanya Darmawan yang tadi hanya bisa menyimak Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan perasaan runtuh, apa yang hampir melumpuhkan orang tua itu. Hyang Santri menyampaikan pesan, agar Mastery sedapat mungkin jangan menempuh route yang dilalui gerhana matahari total 11 Juni 1983. Mereka berempat jadi tertegun karena rencana mereka telah matang untuk mengadakan riset kecil-kecilan di tempat yang lebih dekat dengan obyeknya. "Hyang belum mendapatkan hikmah dari permintaan itu," tambah Hyang Santri. "Sayangnya kami telah mempersiapkan perjalanan ini, Hyang," susul Darmawan yang berniat singgah di kota kelahirannya, Jogjakarta. "Aku juga belum pernah melihat Borobudur yang tekenal itu dari dekat," potong Hasbullah pula. "Saya juga Hyang . . . ," suara Nelly Ngantung mengelus lemah. Hyang Santri menyatakan, tentu ada hikmah atau kejadian lain di balik permintaan mereka itu. Diikuti tentu ada baiknya. Akan tetapi sebagai makhluk Allah yang ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi, tentu saja manusia boleh mencari ilmu tentang semua kejadian disebabkan kebesaran Allah! Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk pergi juga. Akan tetapi berpisah jalan yang akan dilalui. Mastery bersama Nelly, satu mobil. Dan Darmawan dengan Hasbullah yang lebih akrab disebabkan peristiwa itu, satu mobil dengan Darmawan. Mastery dan Nelly memotong dari utara, langsung menuju candi Borobudur. Darmawan dan Hasbullah melalui Gunung Serandil, menuju Kroya, baru mengikuti route perjalanan ke Jawa Tengah. Karena Hasbuljah ingin sekali melihat mana yang disampokan sebagai Gunung Aceh itu. Sebelum berangkat mereka mencium punggung tangan Hyang Santri dengan perasaan takjim dan terharu. Karena orang tua itu hanya dapat mengiringkan mereka dengan doa saja. Dua hari kemudian, Mastery dan Nelly telah berada di Jawa Tengah. Borobudur yang perkasa mencuat ke udara dengan berbagai misteri yang dikandungnya. Sarjana-sarjana Jerman, Belgia, Belanda, Inggris, dan berbagai pelacak dari seluruh pelosok, telah bertebaran dengan peralatan mereka masing-masing, siap diarahkan ke langit. Di tempat akan terjadi gerhana matahari total. Pelacak-pelacak Asia yang lebih pendek, terutama Jepang, lebih sigap, dan lebih bernafsu kelihatannya karena daerah kepulauan mereka juga termasuk dalam lintasan gerhana matahari total yang akan datang secara teratur tahunnya itu. "Bang . . Mas . . .," ucap Nelly ketika mobil kecil mereka yang tak begitu menarik, berhenti di arah utara Borobudur. "Perasaanku kok lain, Mas?" "Ayo, ... mari kita ke titik pusatnya yang lebih vertikal!" ajak Mastery menarik tangan Nelly sementara segala alat-alat potret dan teropong tergantung di bahu kirinya. "Ke mana sih, Mas.*' "Mendekati stupa induk!" tukas Mastery, "kau lihat, stupa lain memakai banyak jendela dan ada patung di dalamnya. Stupa induk tidak memakai jendela tetapi tentu ada patungnya juga, atau benda lain di dalamnya." "Stupa kecil ada 72 buah, ya Mas." "Ya, 73 dengan stupa induk yang seperti kubah itu!" ulas Mastery sembari berjingkat-jingkat berdua menaiki tangga batu bersusun. "Kata orang waskita, bangunan Borobudur ini juga menjadi pedoman kalender untuk ribuan tahun!" "Begitulah," kata Mastery terengah-engah karena merasa sedikit lelah, menaiki tangga sambil membimbing Nelly. Waktu mereka memasuki bagian tingkat keempat candi Borobudur, belum lagi ada pengawalan yang ketat. Sehingga mereka sampai mendekati tingkat kelima. "Makanan kita cukup apa tidak?" tanya Mastery. "Untuk tiga empat hari pun rasanya cukup. Ada ketupat, dan lontong ketan ...." "Ah, ya, cukup .... air yang penting!" potong Mastery. Mastery menanyakan pendapat Nelly tentang penyusunan batu-batu candi yang sedemikian he barnya, melebihi kehebatan susunan batu piramida Mesir yang polos saja tanpa ukiran kebudayaan masa silam yang lengkap. "Kau pilih yang mana, Borobudur atau j>na mida," pancing Mastery. "Borobudur, tentu!" "Karena peninggalan nenek moyang kita, bukan?" Mastery menukas. "Juga karena memang lebih hebat, kok!" Nelly mengatakan, bahwa udara mulai terasa berbeda. Padahal gerhana, masih beberapa hari lagi. Mereka menerka-nerka, Darmawan dan Hasbullah kira-kira telah sampai di mana. "Paling-paling juga baru lewat Banyumas," terka Mastery. "Sunyi ya, tak ada mereka berdua yang suka saling ngotot!" "Apa perlu aku sekarang yang ngotot"!" Mastery merangkul pinggang Nelly yang hanya sepelukan tangan kirinya. Nelly merasa aman dan terlindung oleh lengan Mastery yang kukuh dan berbulu tersusun sedang itu. Nelly mengacungkan jari tangan Mastery di hadapannya. Mengatakan, ia suka melihat jari yang kukuh dengan ruas yang rapi. Dan tegaknya seperti jeriji besi. "Jari direktur bank yang bagus," oceh Mastery, "bulat dan gendut-gendut lagi. Pertanda jari orang berduit!" "Tak jadi soal tak punya uang!" rengut Nelly. Dengan teropong di tangan mereka mengawasi sekitar alam. Sampai sejauh beberapa kilometer, telah ada kemah-kemah para pecinta alam, dan pelacak gerhana. * "Mereka belum juga tampak," gelisah Nelly mengerutkan dahi. Dua hari kemudian, kelihatan semakin ramai daerah di sekeliling Borobudur. Karena diperhitungkan, di tempat itulah gerhana penuh terjadi. Sehingga matahari hanya kelihatan bayangannya saja. Penjagaan sudah semakin ketat, karena semakin banyak orang yang ingin berada di bawah titik vertikal gerhana penuh. Ketika Darmawan dan Hasbullah sampai, mereka tidak bisa lagi bergabung dengan Mastery dan Nelly. Hanya dengan teropong di tangan mereka melihat keduanya telah berada di tingkat terakhir di dekat stupa induk yang perkasa itu. "Bagaimana caranya, ya?" Hasbullah menanyakan cara agar mereka bisa bergabung. "Akh, .... biarlah, dengan begini malah akan lain-lain pandangan yang akan dilihat!!" Darmawan yang merasa lebih tenteram dan merindukan daerah sendiri, menenangkan Hasbullah. Sehabis gerhana besok, mereka akan singgah ke rumah neneknya di Kalasan. Hasbullah tertawa membayangkan akan menyantap goreng ayam Kalasan. "Coba kalau matahari tertutup terus, bagaimana?" Nelly berseloroh. "Ya, manusia di bawah lintasan gelap pasti jadi heboh!" ujar Mastery, mereka sama-sama tertawa, "tumbuhan akan kerdil, dan banyak lagi akibat lainnya." Kata Nelly, kalau PLN akan mencabut aliran listrik di suatu rumah karena tidak melunasi rekening listriknya, maka si pemilik akan membujukbujuk dan minta maaf agar aliran listriknya tidak dicabut. Akan tetapi kepada yang punya matahari mengapa tak banyak orang yang mau berterima kasih" "Termasuk kau!" tukas Mastery. "Mulai saat ini.... barangkali!" Pagi-paginya, banyak orang meninggalkan pekerjaan untuk sekedar mengikuti keadaan alam sekali dalam 360 tahun itu. Dari teropong-teropong bintang yang menganga, seperti ember-ember besar, sampai ke teropong mainan anak-anak, teracung ke langit. Banyak orang menanti dengan darah berdebar-debar. Terlebih lagi Mastery dan Nelly yang berada di dekat stupa induk. Langit mulai kelihatan semu ketika bulan telah mulai menutupi matahari di daerah gerhana pertama tampak, di daerah Cilacap. Kemudian suasana menjadi hening. Seolah-olah awan merendah ke bawah. Udara terasa berangsur-angsur dingin. Awan merendah, mungkin karena tekanan atmosfir telah berbeda. Dimulai dari arah selatan dan barat, kelihatan matahari mulai sompal, ditutup sudut bayangan bulan. Langit menjadi suram, di sekitar matahari kelihatan lingkaran sinar lembayung. Mastery menarik tangan Nelly, ke dekat stupa induk. Terasa ada yang bergemuruh perlahan-lahan di dalam stupa. Kemudian semakin keras, seperti suara dari kawah gunung berapi. "Bang . . . Mas ....!!" suara Nelly sebagian ditelan gemuruh seperti lumpur mendidih di bawah tanah itu. "Sini . . . cepat ke mari . . . !" pekik Mastery. Ternyata Nelly telah sulit melangkahkan kakinya karena pengaruh bunyi itu. Perlahan-lahan Nelly mendekap dinding stupa induk, dengan telapak tangan merayap mencari-cari tangan Mastery yang semakin kabur di dalam suasana yang semakin gelap mendekati gerhana penuh. Mastery mengacungkan teropong yang berlapis film gelap tegak lurus ke atas kepalanya. Nelly Ngantung hanya memakai kaca mata yang dilapisi film hitam juga. "Mastery . . . Mas . . . !" pekik Nelly berulang karena gemuruh di bawah tempat mereka berpijak semakin jelas terdengar seperti lumpur mendidih. Ketika itu gerhana penuh telah terjadi. Sehingga yang kelihatan hanya tinggal bagian cincin bercahaya. "Mas . . . Tery ... !" suara ngilu Nelly, "tubuhku bagai kesemutan." "Aku juga,. . . !" sahut Mastery ketika akhirnya tangan mereka bertemu saling berpagut di dinding stupa induk yang menjulang. Udara menjadi bagaikan beku dan awan turun menutupi sebagian candi, sehingga pemandangan alam seperti pada tengah malam. Margasatwa terkejut, dan pulang menuju sarang. Bunga-bunga menguncup, disertai daun yang terpentang, seperti ikut menutupi bunga-bunga itu. Mastery dan Nelly berpegangan tangan erat-erat. Karena terasa tubuh mereka semakin ringan. Bulatan corona tempat di atas ubun-ubun mereka. "Mas . . .Tery . . . Mas Tery . . . Maaaas . . . .!" pekik Nelly lagi. "Nelll .... Nelllll . . . mana kau . . . mana tanganmu ....!" balas Mastery. "Aku di sini!" jawab Nelly, semakin sayup. "Aku . . . kok begini, . . . terasa semakin jauh.. . . . .!" Mastery masih mengulurkan tangan ke arah Nelly, yang lepas dari genggamannya. Kemudian corona mulai pecah oleh bersit cahaya matahari yang menjengukkan wajahnya kembali. Darmawan mengarahkan teropongnya ke stupa induk, dan berkata, "Ke mana mereka, ya?" "Paling-paling juga menelentang agar lebih santai melihat kejadian ini sampai kembali seperti biasa." Setengah jam kemudian, pengunjung dan penyimak gerhana matahari total, telah ribut bersiap-siap pulang dengan kenangan terekam di dalam negatif film ataupun film video. Dua jam telah berlalu, Mastery dan Nelly belum juga kelihatan turun dari tangga Borobudur. Darmawan dan Hasbullah mulai diliputi kegelisahan. Mereka berdua sepakat untuk menyusul ke atas. Sungguhpun hari vtelah menjelang pukul setengah 3 sore tanggal 11 Juni. Hasbullah terpaku jongkok di kaki stupa indtil-Di tangannya sebelah sepatu Nelly. Dan tak jauh, dari sana terlihat tustel foto Mastery ketinggalan. "Oh . . . oh, Mawan, apa yang terjadi dengan mereka"!" ucap luruh Hasbullah dengan wajah muram dan mata berlinang. "Aku . . . aku tak tahu. Apakah mungkin bisa terjadi" Has . . .!" gemetar keduanya memikirkan kejadian yang sulit diterima akal mereka sebagai generasi pewaris teknologi di masa yang akan datang. Keduanya menatap puncak stupa induk yang hening dan terpaku diam. Tidak mengatakan apa-apa tentang sepasang anak manusia yang ketika memeluk bangunan bersejarah ini, keduanya raib..... Darmawan dan Hasbullah berangkulan, sedih diiringi kengerian dahsyat membayangkan peristiwa yang belum pernah terjadi dalam sejarah resmi ini. Dengan berpegangan tangan dan sempoyongan mereka menuruni tangga batu bersusun candi. Mencari-cari di mana kendaraan yang ditinggalkan Mas tery. Mobil kehilangan tuan itu, putih mulus di bawah pohon pinus. Dengan kunci yang tcrcjaniuiui di tali tustel Mastery, pintu mobil itu dibuka Hasbullah tersegut dengan suara tn.aMul.it, "Aku bagai tak sanggup membawa mobilnya ini, Wan!" "Kuatkan hatimu! Katamu Aceh itu p|m berani!" templak Darmawan juga ingin menghilangkan kengerian itu, "kita akan langsung ke Hyang Santri!" Hasbullah tenang sedikit, dan mereka berangkat beriringan. Dari belakang Darmawan mengawasi Hasbullah menyetir mobil Mastery yang terkadang cepat dan terkadang bagai akan berhenti, mengikuti irama hati orang yang membawanya. Pukul 7 malam mereka baru tiba di gubuk Hyang Santri. Orang tua itu tidak terkejut sedikit pun mendengar berita Mastery dan Nelly hilang raib di stupa induk Borobudur. "Allah mempunyai jalan-jalan naik." Tiba-tiba Darmawan teringat kepada penemuan di piramida Mesir kuno. Ada makam Firaun di dalam peti batu granit. Dengan lak dan cap ke-rajaan. Akan tetapi jenazahnya telah hilang raib. Sedangkan bekas-bekas yang menunjukkan bahwa di sana mummi pernah diletakkan, jelas kelihatan. Tak sampai sebulan kemudian Hasbullah dan Darmawan terkejut bagai mendengar petir di siang hari bolong menerima surat dari Mastery dan Nelly Ngantung. Mastery menceritakan, ia terkapar di makam kakeknya di Pasaman. Nelly Ngantung, mengisahkan, ia tertidur di kuburan neneknya di Menado. "Bisakah ini terjadi di zaman teknologi ini, Wan!" "Aku tak berani menyangkal" Darmawan mengamati sampul surat, "Tetapi aku pernah membaca hikayat lama tentang dua orang yang mencari makam Nabi Sulaiman di dalam laut. Akhirnya mereka terlempar masing-masing ke pangkuan ibu mereka yang sedang tidur." "Mastery pasti akan merahasiakan kejadian ini Has!" "Kurasa begitu, kalau tidak mau dituduh orang sebagai pembohong besar!" jawab Hasbullah sambil mengamati tanggal surat yang mereka terima "Dan kita juga akan menyimpan rahasia Ini kecuali. .. !" tukas Mawan. "Kecuali apa lagi... ada-ada aja .. . !" "Kecuali di pesta perkawinan mereka nanti" bisik Darmawan. Hasbullah meraba-raba hikmah semua kejadian yang dialami sahabat mereka itu. "Mungkin . . . , mungkin sekali sampai waktu tertentu, ia memang tak boleh mengikuti peristiwa peristiwa gaib di pulau ini! Sehingga untuk sementara dia hanya menjadi penonton yang baik," ulas Darmawan memelas. Hasbullah akan bertanya lagi tetapi Darmawan meletakkan jarinya di mulut Hasbullah menyuruhnya jangan bicara lagi. -----selesai----- Sebaiknya jangan Anda lewatkan kisah lain yang sebuah ini! TUNTUTAN DARI ALAM BARZAH Diceritakan arwah dari seorang wanita yang mencari bekas suaminya yang telah melanggar sumpah. Percayakah Anda akan adanya roh yang mampu kembali karena ia tidak merasa tenang di dunia barunya" Kisah ini akan memberi jawaban yang jelas dan kemudian terserah kepada Anda apakah mau sembarangan dengan janji dan sumpah. Penggubahnya sudah Anda kenal : MPU WESI GENI yang pegang peranan besar dalam kehidupan dunia gaib. Sejak awal akan mengikat segenap perhatian Anda. Buku ini sudah siap. Harga Rp 3.000,00 Untuk pesanan tambah Rp 500,00 ongkos kirim SELECTA GROUP ? Kebon Kacang 29/4 - Jakarta Penghuni Kuil Neraka 2 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Jejak Di Balik Kabut 20