Playboy Dari Nanking 11
Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 11 selanjutnya kakek ini mendesis-desis ketika harus mengelak atau menangkis ke sana ke mari, tak selincah dan secepat tadi karena luka di kaki mengganggu. Ah, si Kuda Binal So Yok Bi sungguh mengganggu. Dan ketika nenek yang bersangkutan sudah meloncat bangun dan mencabut jarumnya, menelan dan sekaligus menawarkan racun dengan obat miliknya sendiri maka nenek itu sudah terkekeh dan menerjang Dewa Mata Keranjang, ikut mengeroyok. "Hi-hik, tahu rasa kau, kakek bangkotan. Sekarang siapa yang roboh dan merobohkan!" Kakek ini memaki. Akhirnya Dewa Mata Keranjang mengakui kehebatan lawan dan dua pukulan ruyung menggebuk punggungnya. Si kakek terpelanting tapi bangun lagi, menerima gebukan-gebukan atau serangan namun Dewa Mata Keranjang mengerahkan sinkang. Pengerahan tenaga sakti inilah yang menyelamatkannya dari luka-luka dalam, kakek itu memang hebat. Dan ketika empat lima pukulan terpental diterima si kakek tapi Dewa Mata Keranjang juga terhuyung-huyung dan terdesak hebat maka Ok-tu-kwi, si Setan Pemabok muncul. "Ha-ha!" iblis itu berseru. "Sekarang aku datang lagi. Dewa Mata Keranjang. Tak takut atau jerih kalau sudah melihat kau begini!" "Keparat!" kakek itu memaki. "Kau memang licik dan pengecut, Ok-tu-kwi. Tapi majulah, satu di antara kalian pasti roboh mengiringi aku ke akherat!" "Ha-ha, mari kita lihat!" dan Ok-tu-kwi yang meloncat sambil menyemburkan araknya tiba-tiba menyerang dan secara licik bersembunyi di balik ruyung duabelas orang Cap-ji-liong. Tentu saja Dewa Mata Keranjang menghindar dari semprotan arak dan kakek itu menghantam. Tapi karena yang dihantam adalah duabelas orang di depan karena Cap-ji-liong dijadikan tameng oleh si Pemabok maka Cap-ji-liong itulah yang menangkis dan mereka terpelanting ketika si kakek melepas pukulan Pek-in-kang, Awan Kilat. Klap"?Duabelas orang itu memekik. Mereka terguling-guling sementara Ok-tu-kwi sendiri menghindar, cepat mengelak dan saat itu Bi Giok dan lain-lain menghantam. Dewa Mata Keranjang sedang menghadapi Cap-ji-liong ketika sebelas nenek itu menyerang. Maka ketika pukulan mendarat dan si kakek mengeluh maka Dewa Mata Keranjang terhuyung dan hampir terjungkal ke depan. "Dess!" Sebelas nenek itu girang. Mereka melihat si kakek terhuyung dan posisinya buruk, dikejar dan dihantam lagi dan mencelatlah Dewa Mata Keranjang oleh pukulan beruntun. Tapi ketika kakek itu dapat bangun lagi dan tertawa serak, tak apaapa, maka sebelas nenek itu menjerit dan Cap-ji-liong yang sudah membentak lagi lalu maju menubruk dan mengeroyok lawan. "Heh-heh," Ok-tu-kwi tertawa. "Nasib sial sedang menimpamu, Dewa Mata Keranjang. Tak mati dibunuh Cap-ji-liong ya tentu mampus dibunuh isteri sendiri. Ha-ha, menyedihkan, tapi apa boleh buat!" Dewa Mata Keranjang tak menjawab. Kakek ini harus mengelak sana-sini lagi karena beberapa pukulan mengenai tubuhnya. Tapi karena dia mengerahkan sinkang dan tenaga sakti di tubuhnya inilah yang melindungi dirinya maka kakek itu kebal meskipun harus terhuyung sana-sini, bergerak dan berlompatan dan Pek-in-kang pun menyambar lagi dari tangannya, lm-bian-kun dan Pek-in-kang silih berganti menyambar ke depan, lima dari Cap-ji-liong akhirnya terbanting dan mengerang di sana, kesakitan. Dan ketika lawan tinggal sembilanbelas lagi namun kakek ini harus berjuang keras, merobohkan lagi tiga dari sebelas isterinya maka semprotan, arak menyambar mukanya dan kakek itu terkejut karena percikan api mengiringi semburan arak itu. "Prat!" Dewa Mata Keranjang tergetar. Dia mengelak namun baju pundaknya terkena, hangus dan bolong-bolong oleh semburan arak yang tiba-tiba seperti bola-bola baja itu, keras dan menyengat. Dan ketika dia terhuyung dan terbelalak marah, melihat lawan terbahak dan menggelogok araknya lagi, siap menyembur, maka kakek itu dibentak dari belakang dan Bi Giok serta tujuh yang lain menghantam dibantu pula oleh si Kuda Binal So Yok Bi. "Des-dess!" Kakek ini tak dapat mengelak. Apa boleh buat dia menerima semua pukulan-pukulan itu, mengerahkan sinkangnya. Tapi karena dia baru saja diserang Ok-tu-kwi dan si Pemabok yang licik itu berkelebat di belakangnya, melepas sebuah serangan lagi maka Dewa Mata Keranjang terpeleset dan roboh di tanah. "Ha-ha, serang lagi. Bunuh dia!" Kakek ini membentak. Marah oleh kelicikan Ok-tu-kwi suami isteri tiba-tiba kakek itu bergulingan meloncat bangun. Saat itu dia dikejar delapan isterinya dan rambut serta Tangan Pedang bercuitan nyaring. Dewa Mata Keranjang tak perduli dan yang diperhatikan adalah serangan Ok-tu-kwi, juga So Yok Bi karena nenek yang licik itu menyelinap di balik serangan Bi Giok dan lain-lain. Dan karena saat itu tujuh dari Duabelas Naga sedang mundur menolong lima saudaranya maka saat itulah kakek ini mengeluarkan bentakan keras dan tongkat di balik pinggang tiba-tiba dikeluarkan dan menyambut serangan atau pukulan suami isteri itu. "Haii...!" "Eiiittt...!" Ok-tu-kwi dan isterinya tak sempat berkelit. Mereka tak menyangka bahwa si Dewa Mata Keranjang menyembunyikan senjata. Tongkat itu dicabut dan tiba-tiba menyambarlah sinar hitam, hebatnya lagi diiringi senyum kakek ini yang luar biasa, seolah Dewa Mata Keranjang tersenyum bagai pengantin! Dan ketika Ok-tukwi tertegun sementara isterinya terpesona, melihat betapa senyum itu amat memikat dan Dewa Mata Keranjang bagai pemuda duapuluhan tahun yang menyambut kekasih, hangat dan penuh keceriaan tiba-tiba saja dua orang ini yang tak tahu bahwa si kakek sedang mengeluarkan Silat Naga Merayu Dewi, silat tongkat yang kini dimainkan itu maka tiba-tiba pukulan Ok-tu-kwi terpental sementara So Yok Bi si Kuda Binal terlempar dan memekik ketika tongkat menghantam lehernya. "Augh.... des-dess!" Nenek itu mencelat terbanting roboh. So Yok Bi sadar namun terlambat, suaminya juga terlempar dan terbanting di sana. Dua orang itu tadi sedang terkesima oleh senyum si Dewa Mata Keranjang. Begitu hebat, begitu penuh pesona. Dan karena senyum itu seolah senyum sahabat atau kekasih yang menyambut begitu manis, menggetarkan, maka dua orang ini menjadi korban dan menjerit muntah darah. Bulibuli di tangan Ok-tu-kwi hancur dan iblis Pemabok itu mengeluh. Dia sadar setelah terlambat seperti isterinya, maklum bahwa sebuah kekuatan semacam sihir sedang bekerja di senyum luar biasa itu. Dan ketika dua orang itu menjadi korban dan terguling-guling di sana, mengeluh; maka delapan isteri si Dewa Mata Keranjang ini juga tersedot dan terpengaruh oleh senyum si kakek yang luar biasa. Mereka sudah menggerakkan senjata dan siap memukul. Tapi begitu senyum berkelebat dan si kakek tiba-tiba seolah berobah menjadi seorang pemuda berumur duapuluhan, gagah dan tampan, mengingatkan mereka akan masa lalu yang penuh madu dan kenangan manis tiba-tiba saja semua serangan yang diluncurkan berhenti di tengah jalan. Ya, delapan nenek-nenek itu ikut terpesona oleh senyum yang mengembang di mulut si Dewa Mata Keranjang. Mereka tak tahu bahwa itulah gaya atau silat tongkat Naga Merayu Dewi. Ilmu silat ini harus .dilancarkan dengan senyum. Dan karena itu adalah ciptaan si kakek sendiri dan tentu saja penga ruh atau hebatnya tak ulah-ulah maka senyum di mulut si kakek menjadi begitu hidup dan mempesona, membetot atau mempengaruhi delapan isterinya yang marah-marah dan ajaib sekali serangan yang sudah diturunkan mendadak berhenti. Mereka semua terpikat dan terpesona oleh senyum itu. Bukan main, begitu menggetarkan, gagah namun amat menawan. Dan ketika semua bengong dan kagum memandang si kakek, yang tiba-tiba tertawa maka tongkatpun berputar dan.... des-des-des, delapan orang itu terpelanting dan roboh dihajar tongkat! "Ha-ha, maaf, Bi Giok. Sekarang aku terpaksa mencabut senjata!" Delapan nenek itu terguling-guling. Mereka terkejut tapi tentu saja marah setelah sadar. Ah, mereka tertipu! Dan ketika mereka meloncat bangun dan tujuh dari Duabelas Naga juga berteriak dan maju menyerang lagi maka Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa menyambut mereka, dengan tongkat di tangan. Dan begitu kakek itu bergerak dan mainkan tongkat dengan amat indah dan menawan, senyum tak pernah lepas dari mulutnya maka tujuh dari Duabelas Naga itu-pun bengong karena berkali-kali ruyung mereka luput menyambar. Bukan oleh gerakan si kakek melainkan oleh senyumnya. Dewa Mata Keranjang mengegos sana-sini dan setiap dia bergerak maka senyum itupun ikut. Akibatnya ruyung di tangan juga ikut terbawa ke sana-sini dan ajaib sekali pengaruh senyum itu begitu luar biasa. Mereka yang semula marah-marah mendadak seakan diredam oleh senyum si kakek. Senyum itu amat lembut dan halus menawan, penuh persahabatan. Dan karena Dewa Mata Keranjang melakukan itu sepenuh perasaan, tanpa benci atau marah maka lawanpun yang semula marah-marah mendadak ikut terpengaruh dan aneh bin ajaib kemarahan pun padam. Tenaga mengendor drastis namun begitu kendor mendadak tongkat bergerak. Celaka! Dan ketika semua terkejut karena tahu-tahu tongkat berseliweran naik turun sekonyong-konyong mereka dipukul dan robohlah tujuh dari Duabelas Naga itu. "Ha-ha, maaf, sobat-sobat. Tapi sudah waktunya kalian pergi. Kembalilah.... bukbuk-buk!" tongkat bergerak tujuh kali, memukul atau menggebuk dan terlemparlah tujuh dari Duabelas Naga itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh namun tak satupun terluka. Pertama karena mereka mengerahkan sinkang untuk bertahan dan kedua karena Dewa Mata Keranjang tak bermaksud menurunkan tangan keras, seperti halnya Ok-tu-kwi dan isterinya tadi, yang muntah darah. Dan ketika tujuh orang itu terguling-guling dan Bi Giok serta lain-lain bengong, tak jadi menyerang maka berkelebatlah seorang pemuda dan Fang Fang muncul membela gurunya. "Suhu, tikus-tikus busuk ini mengganggumu" Ah, biarlah kubunuh mereka, agar tahu adat!" namun ketika sang suhu berteriak mencegah dan Fang Fang menahan tangannya maka Dewa Mata Keranjang tertawa mengulapkan lengan. "Jangan bunuh, jangan bersikap keras. Mereka akan pergi dan lihatlah betapa mereka menyerah!" Fang Fang terbelalak. Duabelas Naga itu tampak gentar dan mukapun pucat. Mereka sudah melihat kelihaian si Dewa Mata Keranjang dan sebagai orang-orang yang tahu diri mereka maklum bahwa gebukan atau pukulan tongkat si kakek tadi tidaklah kejam. Mereka melihat Ok-tu-kwi dan Si Kuda Binal So Yok Bi yang duduk bersila di sana, pucat. Tubuh menggigil dan tampak betapa mereka luka dalam. Itulah perbedaan si Pemabok dengan mereka. Dan karena sadar bahwa Dewa Mata Keranjang mengampuni mereka, tak bersikap kejam, maka Duabelas Naga itu melotot namun mereka bangkit terhuyung dan tiba-tiba Twaliong meluncur turun gunung mengajak sebelas saudaranya pergi. "Dewa Mata Keranjang, kau memang benar. Kami mengaku kalah. Tapi lain kali kami akan datang lagi dan menebus kekalahan!" "Ha-ha, boleh-boleh saja. Tapi sekali tongkatku kucabut hati-hati kalian menjaga diri, Twaliong. Betapapun senjataku ini tak mengenal mata!" "Dan kau siluman tengik!" nenek Bi Giok tiba-tiba melengking. "Kau menipu dan memperdayai kami, Cing Bhok. Ilmu silatmu itu penuh daya tipu dan busuk!" "Ha-ha, tidak," Dewa Mata Keranjang terkekeh. "Ilmu silatku itu penuh daya sayang dan cinta kasih, Bi Giok. Lihat saja berapa kali senyumku mengusap hatimu. Kauakui atau tidak senyumku adalah senyum cinta kasih. Dan kalian hanya kurobohkan secara ringan saja, karena cintaku kepada kalian." "Keparat, kau menipu!" dan Bi Giok yang masih penasaran dan melengking lagi tiba-tiba menyerang dan diikuti tujuh yang lain, memaki dan membentak karena sesungguhnya mereka penasaran oleh kekalahan yang telak ini. Si Dewa Mata Keranjang mengeluarkan senyumnya yang luar biasa itu dan tahu-tahu kemarahan merekapun dipaksa padam. Ah, itu tak boleh terjadi. Itu siluman! Tapi ketika Dewa Mata Keranjang bergerak mengayun tongkat dan senjata itu melenggang-lenggok seperti penari, tertawa dan mengembangkan senyumnya yang luar biasa Itu maka delapan nenek-nenek ini mengeluh karena pukulan-pukulan atau serangan mereka itu kerap melenceng terbawa senyum si kakek yang bergoyang ke sana-sini. Mereka seakan digoyang-goyang pula dan akibatnya kacaulah permainan silat, hati serasa diaduk-aduk dan si kakek sering menahan atau membelai lengan mereka yang memukul, penuh sayang dan cinta kasih! Dan karena senyum itu kian mengembang dan Bi Giok serta tujuh temannya tak dapat marah lagi akhirnya mereka terisak-isak dan sambaran tongkat yang bergerak delapan kali akhirnya merobohkan mereka yang jatuh terduduk! "Nah," kakek itu mengakhiri. "Senyum tak perlu dibalas permusuhan, Bi Giok. Berhentilah, dan kita tak perlu bermusuhan!" Delapan nenek terjengkang. Mereka menangis namun Dewa Mata Keranjang mengusap pundak, satu di antaranya bahkan dikecup keningnya, lembut. Kecupan itu disusul kecupan-kecupan lain di mana tiba-tiba semua nenek-nenek itu mengguguk. Mereka teringat kisah kasih belasan tahun yang silam dan bangkitlah semangat mencinta seperti dulu-dulu. Mereka menubruk dan menciumi kakek itu. Ah, tak bermusuhan lagi. Menyambut dan meminta si kakek memaafkan mereka. Dan ketika Fang Fang bengong melihat kejadian ini, perobahan yang luar biasa, mendadak berkesiur empat bola hitam dan terkejutlah Dewa Mata Keranjang di tengah-tengah pelukan isteri-isterinya itu. "Awas!" kakek ini bergerak cepat. Telinganya yang tajam serta daya refleksinya yang luar biasa membuat Dewa Mata Keranjang mendorong delapan isterinya. Mereka terjengkang dan menjerit saling susul, terkejut. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang tak perduli dan sudah membalik ke belakang, mendorong empat bola hitam yang diluncurkan Ok-tu-kwi dan isterinya maka meledaklah granat tangan atau pelorpelor berbahaya yang menghamburkan ratusan jarum-jarum kecil. "Dar-dar-dar!" Fang Fang terkejut. Pemuda ini kalah cepat dibanding gurunya dan melihat gurunya menghantam atau mengebut bola-bola hitam itu. Ledakan empat kali terdengar berturut-turut dan kakek itu tampak berseru tertahan. Asap hitam membubung tinggi dan orang tak tahu apa yang terjadi, Dewa Mata Keranjang terbungkus di dalamnya. Tapi ketika asap membuyar karena dikebut berulang-ulang, si kakek terbatuk-batuk maka tampaklah seluruh bajunya berlubang dan ratusan jarum menancap di situ tapi tak satupun melukai kulit. "Suhu...!" Fang Fang berkelebat ke depan. Pemuda ini sadar dan kaget tapi cepat merasa lega melihat gurunya tak apa-apa, sejenak bergoyang tapi tertawa b ergelak. Dan ketika delapan isterinya terbelalak kaget dan marah memandang Oktu-kwi, yang tiba-tiba melompat dan berlari kencang mendadak So Yok Bi yang juga memutar tubuh dan mengikuti suaminya tiba-tiba dikejar dan diserang Bi Giok. "Yok Bi, kau manusia keparat!" Si nenek terkejut. Lawan menyambarnya bagai elang dan gin-ciam atau jarum perak mendesir menyertai pukulan. Bi Giok memang marah dan menyerang sambil melepas am-gi (senjata rahasia). Dan ketika lawan menangkis namun jarum-ja-rumnya meluncur, menyambar nenek itu maka Yok Bi menjerit dan terjengkang roboh. Nenek ini bergulingan dan empat jarum menancap di dadanya. Namun ketika Bi Giok mengejar dan tujuh temannya yang lain juga berkelebat dan menyerang nenek ini, yang tiba-tiba dimusuhi, mendadak Ok-tu-kwi kembali berjungkir balik dan menolong isterinya itu, menyemprotkan arak dari mulutnya. "Hei, kita kawan. Lepaskan isteriku... prot-prot!" hujan arak menyambar delapan nenek-nenek itu, menahan dan memak , sa Bi Giok mundur. Dan ketika si Setan Judi atau si Pemabok itu menarik isterinya, yang bergulingan meloncat bangun maka dua orang itu sudah berlari kencang dan turun gunung, dikejar tapi melepas bola-bola hitam dan Bi Giok tertahan, lagi-lagi mengumpat caci. Dan ketika apa boleh buat mereka terpaksa melepaskan musuh dan Ok-tu-kwi lenyap di sana maka mereka kembali dan.... melihat Dewa Mata Keranjang roboh. "Cing Bhok..!" "Suhu!" Bukan hanya Bi Giok dan kawan-kawannya saja yang kaget. Fang Fang juga terkejut karena gurunya itu tiba-tiba roboh, mengeluh, padahal tadi tak apa-apa dan kelihatan segar-bugar. Tapi ketika kakek itu menunjuk kakinya dan Fang Fang tertegun, melihat satu luka di situ maka sadarlah Bi Giok dan nenek-nenek yang lain karena itulah luka pertama yang memang diderita si Dewa Mata Keranjang. Tadi sebelum diserang empat bola hitam memang kakek ini sudah tertusuk sebatang jarum beracun, milik si Kuda Binal. Dan karena pertandingan terus berjalan sementara kakek itu tak sempat merawat lukanya, meskipun sudah ditahan oleh obat yang ditelan maka racun merayap naik dan sedikit tetapi pasti mulai mengganggu kakek ini. Bi Giok dan lain-lain sadar sementara Fang Fang baru tahu itu. Tapi begitu semua berlutut dan Fang Fang menolong gurunya, menyedot dan menghisap luka tiba-tiba Mien Nio berkelebat di situ dan mendorong Fang Fang. "Biarkan aku yang menghisap racun di luka itu!" Fang Fang tertegun. Ibu gurunya termuda ini sudah menghisap dan terisak menyedot luka. Darah hitam bercampur kuning dimuntahkan berkali-kali, baunya amis. Dan ketika yang lain tertegun dan Bi Giok serta teman-temannya saling pandang, merah mukanya, tiba-tiba May-may melengking dan menendang Mien Nio, yang sudah memuntahkan darah merah, tanda racun sudah disedot habis. "Keparat, kau pergilah!" Mien Nio terlempar. Wanita ini mengeluh dan terbanting di sana. Dia tak mempersiapkan diri dan segala perhatian ditujukan kepada kaki itu, tak berjaga. Tapi ketika wanita itu terguling-guling dan hampir tak dapat bangun maka Dewa Mata Keranjang yang bangkit berdiri dan sembuh kakinya tiba-tiba berseru dan berkelebat ke arah Mien Nio. "Jangan menyerang, tahan!" dan ketika kakek itu memeluk dan menolong wanita ini, membangunkannya, maka Mien Nio menangis dan tersedu menyusupkan kepala di dada Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sang kakek. "Biarlah, mereka berhak. Aku tak apa-apa!" namun si kakek yang tentu saja marah dan memandang May-may lalu bangkit berdiri menegur nenek itu, senyumnya lenyap. "May-may, kau terlalu. Kenapa menyerang di saat dia menolongku" Jangan mengumbar kebencian, atau aku terpaksa menghajarmu!" "Apa?" nenek ini mendelik. "Kau membela yang muda melupakan yang tua" Keparat, aku akan membunuhnya biarpun kau melindungi, Cing Bhok. Dan kami semua tentu akan turun tangan menghadapimu!" "Benar," Lin Lin, nenek yang tiba-tiba cemburu juga bangkit bicara. "Aku dan semua yang ada di sini akan membunuhnya, Cing Bhok. Berikan dia atau kami akan menyerangmu!" "Hm-hm!" kakek itu menggeram. "Apa-apaan ini, Lin Lin" Kalian tak mau tahu bahwa aku selamanya begitu" Tak perlu cemburu, kita sudah sama-sama tua!" "Tapi kami tak mau bersaing dengan yang muda ini. Kau pasti melupakan kami!" "Benar!" Bhi Cu nyeletuk bicara. "Dapat yang muda pasti melupakan yang tua, Cing Bhok. Kami tak mau dipermainkan begitu dan serahkan dia atau kami membunuhmu!" "Hm," kakek ini tertawa. "Membunuhku" Ha-ha, kau menggertak sambal, Bhi Cu. Dibantu Cap-ji-liong dan Ok-tu-kwi sekalipun kalian tak dapat mengalahkan aku, apalagi sekarang. Baiklah, siapa mengganggunya dia terpaksa akan berhadapan dengan aku. Kalian baik-baik berdekatan dengan aku atau terpaksa aku menyakiti kalian!" dan belum kakek itu habis bicara mendadak Bhi Cu melengking, marah menerjang dengan pukulan ke depan dan May-may serta yang lain-lain juga bergerak. Mereka jadi marah dan cemburu setelah Mien Nio hadir di situ. Ah, isteri muda memang selalu merupakan ancaman bagi isteri tua. Jangan-jangan yang muda itu akan "merampok" segala-galanya, ya harta suami dan juga cinta kasihnya. Dan karena kemarahan begini tak akan terbendung sebelum diselesaikan dengan a-du kepandaian maka merekapun bergerak dan menyerang Mien Nio. Namun karena Dewa Mata Keranjang melindungi dan wanita itu berada di belakangnya maka prak tis kakek inilah yang dihantam pukulan. "Des-des-dess!" Dewa Mata Keranjang menerima semua pukulan-pukulan itu. Dengan tenang dan tentu saja penuh maklum dia menyam but dan menangkis. Dan karena kakek ini sudah berulang-ulang bertemu isterinya dan keroyokan atau sebangsanya itu sudah kenyang dialami berkali-kali maka kakek itu tahu harus melakukan apa dan pukulan Im-bian-kunnya menyambut. Dan akibatnya isteri-isterinya itu berseru tertahan. Pukulan dingin yang amat lembut namun kuat ini menerima pukulan-pukulan mereka, sejenak menahan namun akhirnya menghisap. Dan karena selamanya mereka kalah dan baik sinkang maupun kepandaian masih selalu di bawah kakek itu maka Bi Giok dan lain-lain menjerit ketika tubuh mereka tersedot ke depan dan tanpa dapat dicegah lagi mereka semua lekat dan menjadi satu dengan tangan si kakek. "Aiihhh...!" Delapan nenek-nenek itu pucat. Mereka dikendalikan si kakek dan kalau Dewa Mata Keranjang mau membunuh tentu kepala mereka itu dipukul, bakal hancur dan binasalah mereka. Tapi karena Dewa Mata Keranjang bukan kakek kejam dan itupun adalah isteri-isterinya sendiri maka kakek itu tertawa dan dilepaslah tenaga sedot yang membuat nenek-nenek itu saling tumbuk sementara si kakek sendiri sudah mencelat ke atas dan berjungkir balik membawa Mien Nio keluar dari kepungan. "Duk-duk-duk!" May-may dan lain-lain kesakitan. Mereka saling tumbuk dan kepalapun benjut! Mereka menangis dan memaki-maki. Dan ketika kakek itu tertawa sementara mereka memegangi kepala sambil terhuyung bangun berdiri, gusar, maka Bi Giok mengeluh kecewa dan meloncat pergi, lari turun gunung. "Cici, kita masih tak dapat mengalahkan lawan kita ini. Biarlah lain kali kita datang dengan membawa kekuatan yang lebih besar!" "Benar, Dewa Mata Keranjang terlalu kuat, Giok-moi (adik Giok). Biarlah lain kali kita datang lagi dan kali ini kita harus tahu diri!" Bi Hwa, sang kakak, juga melengking kecewa. Dua nenek itu mendahului yang lain dan menangis turun gunung. Mereka gagal. Dan ketika Bi Giok serta yang lain-lain juga menyadari dan tak mau di puncak, malu, akhirnya mereka berkelebat dan turun gunung juga, melarikan diri. "Baiklah, aku tak mau berkumpul dengan isteri barumu itu, Cing Bhok. Betapapun isteri tua tak dapat akur dengan isteri muda!" "Dan kami akan mencarimu lagi!" Bhi Cu melengking kesal, marah. "Hari ini a-ku kalah, Cing Bhok. Tapi hari yang lain masih banyak bagiku!" Dewa Mata Keranjang menarik napas dalam-dalam. Dia lega bahwa semua iste-riisterinya itu akhirnya pergi. Betapapun mereka bakal merepotkan kalau terus memusuhi Mien Nio, padahal isterinya itu tak pernah membalas dan tahu diri. Dan ketika semua meloncat dan lari turun gunung, sambil menangis, maka kakek ini mengurut-urut dagunya sementara Fang Fang berdiri bengong memandang semuanya itu, kejadian yang mirip dirinya, dikejar dan dimusuhi kekasih-kekasih yang demikian banyak! "He!" sang guru tiba-tiba menegur. "Apa yang kaurenungkan, Fang Fang" Kau tidak melaksanakan perintah gurumu dengan benar?" "Maaf," Fang Fang bingung. "Perintah yang mana, suhu" Teecu sudah melakukannya dengan baik!" "Hm, subomu ini datang, dan dia lepas dari penjagaanmu. Apakah ini sudah melakukan perintah dengan baik?" Fang Fang terkejut. "Itu bukan salah teecu," pemuda ini membela diri. "Teecu telah mengurungnya di belakang gunung, tapi rupanya subo ini dapat membebaskan totokan suhu dan lolos ke mari!" "Hm, begitukah?" "Benar," Mien Nio, wanita itu terisak. "Jangan salahkan muridmu, kanda. Akulah yang lolos dan dapat membebaskan totokan. Aku merasa tak tenteram mendengar kau didatangi musuh-musuh tangguh. Aku ingin melihat dan kalau perlu i-kut bersamamu mengusir mereka!" "Hm-hm," kakek ini tersenyum, akhirnya memeluk dan tertawa mencium isteri mudanya itu. "Kau terlalu mengkhawatirkan diriku, Mien Nio. Padahal justeru akulah yang seharusnya mengkhawatirkan dirimu. Lihat tadi, kau diserang May-may! "Biarlah, mereka isteri tuamu. Boleh lakukan apa saja kepadaku karena aku dapat memaklumi kemarahan mereka!" "Bodoh! Kenapa harus begitu" Eh, sudahlah. Lain kali kau tak boleh nyelonong lagi, Mien Nio. Turut kataku dan jangan membuat bahaya!" lalu menoleh pada muridnya yang mendelong terlongong longong, melihat gurunya begitu mesra memeluk dan memperhatikan isteri mudanya itu kakek ini mengebutkan lengan baju ke muka Fang Fang. "He, kau!" serunya. "Apalagi yang kau lihat" Kau iri melihat keberuntungan gurumu?" "Maaf," Fang Fang menyeringai, terkejut. "Aku tak iri melihat semuanya ini, suhu. Justeru berpikir apakah kau dapat tenang dan hidup bahagia kalau begini. Sudahlah, teecu girang melihat kau tak apa-apa dan sekarang teecu terpaksa turun gunung." "Apa?" "Teecu akan mencari dan menangkap Ok-tu-kwi suami isteri itu, suhu. Sayang bahwa tadi mereka lolos." "Ah, benar!" si kakek menepuk dahi. "Celaka sekali mereka dibiarkan lolos, Fang Fang. Aku lupa dan tak ingat urusan anakmu itu. Baiklah, kita kejar dan tangkap mereka!" "Nanti dulu!" Mien Nio mencekal lengan suaminya. "Aku ikut, kanda. Aku tak mau sendirian!" "Wah!" si kakek terkejut, sadar. "Kau mau ikut" Mencari dan mendekati bahaya" Tidak, jangan, Mien Nio. Kau di sini saja dan tunggu aku kembali. Aku dan Fang Fang akan menangkap mereka dan kau tinggallah tenang di sini!" "Tidak, aku tak mau di sini. Kalau kau pergi aku ikut. Atau, aku pergi sendiri dan juga dapat mencari mereka, menangkapnya!" "Ha-ha, kau mau melawan Ok-tu-kwi" Eh, kepandaianmu kalah jauh, Mien Nio. Kau harus banyak belajar dan bukan tandingan mereka. Sudahlah, kalau kau mau ikut oKu tak dapat mencegah. Daripada nekat menempuh bahaya sendiri lebih baik Kau bersamaku saja. He..!" kakek itu menoleh. "Mari berangkat, Fang Fang. Kejar dan tangkap dua siluman itu mumpung belum jauh!" Fang Fang tertegun. Sang guru sudah berkelebat dan lenyap di depannya, tahu-tahu sudah meluncur di bawah gunung dan dia menarik napas. Dan karena gurunya sudah bicara dan ia harus turut maka Fang Fang pun menggerakkan kakinya dan berkelebat turun gunung. Tapi jengah dan malu melihat gurunya bergandengan mesra sementara dia seakan penonton yang ada di belakang maka Fang Fang minta agar dia memisahkan diri saja. "Teecu rasa kita membagi tugas saja. Suhu ke barat teecu ke timur. Tentu musuh gampang tertangkap kalau kita mencari dari dua jurusan." "Wah, kau mau ke timur" Baiklah, boleh, Fang Fang. Tapi hati-hati. Mereka a-mat licik dan kau tahu sendiri betapa a-ku hampir menjadi korban!" dan ketika Fang Fang bergerak dan memisahkan dirinya maka kakek itu memandang Mien Nio dan bertanya, "Kau tahu apa yang a-da di pikiran muridku itu?" "Tidak, mana aku tahu?" "Ha-ha, dia malu melihat kita, Mien Nio, jengah. Fang Fang tersipu melihat kita bermesraan dan menjadi penonton di belakang!" "Ih, jadi begitu?" "Ya." "Ah, sialan. Kalau begitu kau yang tak tahu malu. Sudah kubilang agar tidak memelukku di depan muridmu itu dan mencium segala! Ih, kau terlalu, kanda. S.v"% %v!cs aYu tak sadar!" "Ha-ha" kakek ini mengelak cubitan kekasihnya. "Fang Fang sudah terbiasa menonton aku, Mien Nio. Tapi dia pemuda yang baik. Sudahlah, dia juga tahu rasanya orang bermesraan dan dia paling-paling kepingin. Dengan pergi memisahkan diri tentu dia akan mencari pasangan barunya, karena itulah obat satu-satunya untuk penghilang duka!" "Cis, mencari kekasih di saat anaknya hilang" Sungguh tak tahu malu, tak pantas!" "Eitt, jangan marah. Itu baru dugaanku saja. Tapi Fang Fang mungkin punya pikiran lain. Betapapun dia mencintai puterinya itu dan mari kita teruskan perjalanan, ha-ha!" dan sang kakek yang tidak menghiraukan isterinya yang cemberut lalu mengajak Mien Nio ke barat. Dan begitu bergerak dan mengerahkan ginkangnya maka melesatlah kakek itu secepat siluman terbang. Pagi yang cerah. Seorang pemuda melangkah tegap menuju keluar kota raja. Tiga pengawal yang melihat keberadaannya tiba-tiba semua membungkukkan tubuh penuh hormat, menyapa dengan punggung dilipat dalam-dalam dan semua mengucapkan selamat pagi. Itulah Han-kong-cu, putera Han-ciangkun (panglima Han). Dan ketika si pemuda mengangguk dan tersenyum tipis, agak angkuh, maka si pemuda sudah disambut sebuah kereta dengan empat ekor kuda berbulu putih, tegap dan gagahgagah. "Selamat pagi, Han-kongcu. Selamat bersenang-senang. Agaknya kongcu ingin menghibur diri di musim semi yang indah begini!" "Hm, tak usah tahu urusan orang. Tutup pintu gerbang dan berjagalah seperti biasa, pengawal. Katakan kalau aku pergi kalau ditanya ayah!" "Baik, kongcu. Selamat berkereta!" dan ketika sais membuka pintu kereta dan mempersilahkan si pemuda masuk, duduk dan sudah berdua dengan seorang wanita cantik yang ada di dalam maka tiga pengawal tersenyum simpul dan saling pandang dengan isyarat mata, penuh arti. "Aih, nikmat!" pengawal pertama berbisik. "Duduk dan berdua dengan wanita sekereta sungguh membuat hangatnya badan, A-siu. Dan aku kepingin merasakan seperti yang dirasakan Han-kongcu!" "Hm, jaga mulutmu," pengawal kedua menggamit. "Jangan keras-keras bicara, A-lok. Han-kongcu dapat mendengar dan celaka kau nanti kalau sampai diketahui!" "Ah, aku tak mengatai yang tidak-tidak, justeru mensyukuri keberuntungan Hankongcu itu. Sudah tampan dan gagah masih juga mendapat kekasih yang cantik. Bukankah itu tadi Tiong-siocia (nona Tiong) puteri Tiong-taijin?" "Benar, tapi sudahlah. Pura-puralah tidak tahu dan lengoskan mata kalau tidak ingin dipelototi Han-kongcu!" dua pengawal memberi tanda, menjawil dan menyikut temannya yang bicara seolah iri karena tiba-tiba tirai kereta disingkap. Kepala Han-kongcu tampak sedikit dan pemuda itu memandang si pengawal. A-lok, yang dipandang tiba-tiba melengos, terkejut. Tapi ketika Han-kongcu tertawa dan melempar beberapa keping emas, menyuruh kereta berangkat maka tiga pengawal tertegun mendengar pemuda itu berseru, "A-lok, tak usah takut-takut. Kau benar. Bicara jujur adalah lebih baik daripada tidak. Nih, untuk kalian dan jangan berebut. Kalau bukan ayah yang bertanya kepada kalian jangan sebutkan ke mana aku pergi.... cring-cringg!" A-lok dan dua temannya terbelalak. Mereka tak menyangka bahwa pagi-pagi sudah hujan uang. Dengan royal dan mudah Han-kongcu memberi hadiah. Dan ketika mereka tertawa dan tentu saja menubruk, berebut, maka ketiganya meraup uang yang dilempar ke tanah. "Ha-ha, rejeki besar. Han-kongcu sungguh royal!" "Dan aneh bahwa semudah ini dia melempar uang. Bukankah dia terkenal pelit" "Sudahlah, ambil bagianmu dan bagian masing-masing, A-kwi. Kita bagi rata kalau yang lain mendapat lebih!" Tiga pengawal itu bersorak. Mereka gembira karena semudah itu Han-kongcu memberi uang. Tapi ketika mereka tertawa dan menghitung bagian masing-masing, kereta sudah lenyap di kejauhan sana mendadak berkelebat bayangan Bu-goan swe dan tujuh kereta lain. "Hei, apa yang kalian lakukan. Uang dari mana itu!" Tiga pengawal terkejut. Bu-goanswe, jenderal Bu, muncul dengan garang. Muka jenderal itu gelap dan pandang matanya tampak bengis. Uang yang sudah diambili tiga pengawal ini tiba-tiba dirampas, sekali raup sudah berada di tangan sang jenderal. Dan ketika tiga pengawal terkejut dan buru-buru menjatuhkan diri berlutut, kaget, gentar, maka jenderal itu bertanya apakah mereka melihat Hankongcu. "Aku mencarinya. Apakah kalian melihat atau tidak!" "Ti... tidak!" A-lok, yang teringat pesan Han-kongcu tiba-tiba menggeleng, pucat. "Kami... kami tak tahu, goanswe. Ka mi tak melihatnya!" "Hm, kalau begitu dari mana uang ini. Siapa yang memberi!" A-lok pucat. Wibawa dan kata-kata jenderal itu jauh lebih kuat daripada wataknya sendiri. Mental A-lok jatuh. Dan ketika pengawal itu tak dapat menjawab dan jenderal Bu menyambar lehernya, men cengkeram maka jenderal itu membentak agar dia menjawab jujur. "Hayo, atau kau kubunuh!" A-lok ketakutan. Akhirnya dia bicara juga bahwa itulah uang dari Han-kongcu, sang pemuda baru saja lewat dan sebuah tamparan mengenai mukanya. Bu-goanswe membentak dan memaki pengawal itu kenapa tadi bohong. Dan ketika A-lok dibanting dan kelengar di tanah, setengah pingsan maka jenderal itu menghadapi dua yang lain dengan mata bersinar-sinar, penuh api. "Kalian!" bentaknya. "Apakah juga tidak tahu ke mana pemuda itu pergi" Dengan apa dan dengan siapa?" "Am... ampun!" dua yang lain membentur-benturkan jidat mereka. "Kami... kami tahu, goanswe. Han-kongcu tadi, dia.. dia ke sana...!" "Dengan siapa?" "Dengan Tiong-siocia.... plak!" dan keduanya yang terguling oleh tamparan Bugoanswe lalu berteriak karena mendapat sebuah tendangan juga, mencelat dan terlempar dan jenderal itu marah sekali memaki-maki. Entah apa yang terjadi namu sang jenderal tampak gusar. Pintu gerbang ditendang dan terbukalah pintu itu. Dan ketika sang jenderal berkelebat dan marah melesat keluar maka tujuh kereta di belakang juga ikut dan berderap gelisah. "Tangkap, dan kejar mereka!" Dua pengawal terbengong-bengong. Mereka tak tahu kejadian apa yang membuat si jenderal gusar. Tapi ketika Bu-goan-swe lenyap dan tujuh kereta berlari kencang, menyusul, maka A-kwi yang bangkit dengan gemetar tiba-tiba ingat komandannya. "Kita lapor kepada Han-ciangkun. Jangan sampai kena salah!" A-siu, pengawal kedua pucat. Dia mengangguk dan mau pergi tapi A-kwi menyuruhnya di situ. Pengawal itulah yang akan melapor dan A-siu diminta berjaga. A-lok kelengar di sana dan harus ditolong. Dan ketika A-siu terkejut karena temannya sudah lari ke dalam kota maka A-kwi buru-buru ke gedung Han-ciangkun, komandannya. "Celaka!" pengawal itu menggedor pintu kamar Han-ciangkun. "Maafkan hamba, ciangkun. Keadaan darurat. Han-kongcu dikejar dan akan ditangkap Bu-goanswe!" "Hei!" bentakan dari dalam terdengar menggeledek. "Siapa itu dan mau apa" Mengganggu orang tidur dan minta dibunuh" Keparat, haram jadah. Terkutuk kau .... brakk!" dan pintu kamar yang dibuka keras dan langsung dibanting keluar tibatiba menghantam A-kwi dan pengawal itu terlempar. Kepalanya kena pintu dan benjutlah dahinya sebesar telur. A-kwi sedang berlutut ketika tadi memanggilmanggil Han-ciangkun, dapat masuk dengan bebas karena ia adalah anak buah komandannya itu. Tapi begitu sang komandan keluar dan melempar pintu membukanya kasar maka pengawal ini terpelanting dan Han-ciangkun tertegun, marah. "Kau?" serunya gusar. "Keparat, tak tahu adat, A-kwi. Jahanam terkutuk kau ...!" dan sang komandan yang bergerak memburu pengawalnya tiba-tiba sudah menghajar dan menendang atau memukuli anak buahnya ini. Tentu saja A-kwi menjerit-jerit Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan melolong minta ampun. Dia berkata bahwa Han-kongcu dikejar dan akan ditangkap Bu-goanswe. Dia hendak melapor itu. Dan ketika sang komandan berhenti tapi tubuh A-kwi sudah babak-belur, mirip bola yang memar kena lumpur di sanasini maka Han-ciangkun berubah dengan muka pucat. "Apa" Puteraku dikejar Bu-goanswe" Ke mana" Dengan siapa?" "Kami tak tahu sebabnya, ciangkun. Tapi yang jelas Han-kongcu keluar kota raja, dengan Tiong-siocia!" "Aih, dan apa yang dibawa puteraku itu!" "Hamba tak tahu, tapi... tapi Han-kong cu membawa sebuah kereta...!" "Haram jadah, celaka kalau begitu... dess!" dan A-kwi yang sekali lagi ditendang mencelat tiba-tiba terbanting. dan roboh pingsan. "Haii..!" Han-ciangkun memanggil pengawalnya, yang lain. "Cepat kalian siapkan kereta dan sepuluh orang ikut aku!" "Apa?" "Tuli!" komandan itu berteriak marah. "Siapkan kereta untukku dan sepuluh o-rang ikut aku, jahanam. Cepat dan jangan membuang-buang waktu... dess!" pengawal itupun ditendang, mencelat dan terlempar tapi tidak pingsan seperti A-kwi. Pengawal yang ini dapat melompat bangun dan yang lain segera diberi tahu. Tempat itu tiba-tiba menjadi ribut dan gedung Han-ciangkun seakan kedatangan musuh. Komandan itu sendiri berteriak-teriak dan memaki Bu-goanswe, juga puteranya. Tapi ketika dia menyambar golok di dinding dan meloncat ke dalam kereta, yang sudah disiapkan buru-buru maka sepuluh pengawal diminta bersamanya di belakang, dengan kuda masing-masing. "Cepat, kita keluar kota raja. Anakku dalam bahaya!" Para pengawal terkejut. Mereka tentu saja tak mengerti apa yang terjadi namun begitu Han-ciangkun menjalankan kereta cepat-cepat merekapun mencengklak kuda. Dan ketika kereta dilarikan secepat setan dan suasana menjadi hiruk-pikuk maka orang-orang di jalan saling berpandangan dengan penuh heran dan tidak mengerti, kaget. -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XX "SEPERTI perampok. Liar dan kasar!" "Ah, apa yang terjadi?" "Siapa tahu" Tapi pagi-pagi begini saling berebut dan mencengklak kuda tentu ada yang penting, kawan. Dan pengawal Han-ciangkun itu tampak buru-buru dan bingung!" "Seperti tidak mengerti kehendak tuannya.." "Ya, dan juga seperti tidak mengerti apa yang telah terjadi!" Dan ketika semua orang saling bicara dan terheran-heran, kaget, maka di sana Han-ciangkun sendiri telah membedal keretanya seperti orang dikejar setan. Panglima itu tampak buru-buru dan para pengawal yang ada di belakang dibentak berkali-kali agar cepat. Mereka yang sudah menjepit perut kuda hingga berlari kencang tampaknya bagi panglima ini masih juga lamban, tentu saja para pengawalnya gugup dan takut. Dan ketika kereta akhirnya ditempel ketat dan Hanciang-kun keluar pintu gerbang maka rombongan itu sudah keluar kota raja tak menghiraukan pandangan orang banyak atau bisik-bisik di sana-sini. Sebenarnya, apakah yang terjadi" Kenapa panglima itu kelihatan gelisah dan tidak tenang" Benarkah semata gugup ingin menolong puteranya" Agaknya memang ada sesuatu yang serius. Sebab, kalau tidak tentu panglima itu tak akan buru-buru dan keluar dengan pakaian seada-nya. Han-ciangkun lupa bahwa waktu itu ia masih memakai piyama. Pakaian tidur itu belum diganti namun sebatang golok sudah dilolos dan dipegang erat-erat. Pang lima ini seakan siap bertarung mati-matian, padahal Bu-goanswe adalah rekannya yang sama-sama merupakan pembantu kai sar. Dan ketika pengawal juga terkejut dan bingung tak tahu apa yang terjadi maka di sana, di depan, Bu-goanswe sudah memburu buruannya. "Berhenti!" jenderal itu membentak berjungkir balik di depan kereta Han-kong cu. "Serahkan dirimu dan biarkan kami memeriksamu baik-baik, Han-kongcu. Atau kami menyerang dan mengambil tindakan keras!" Sais kereta, yang ada di depan, terkejut dan tersentak. Dialah orang pertama yang melihat munculnya jenderal Bu, turun dan melayang ringan di depan keretanya. Tangan mendorong dan empat ekor kuda yang sedang berlari kencang tiba-tiba meringkik. Mereka ditahan tenaga yang kuat dari jenderal ini, berhenti namun kedua kaki depan diangkat tinggi-ting gi, saking kaget dan terkejutnya. Dan ketika Bu-goanswe mengayunkan lengan dan mengibas ke kiri maka sais di depan mencelat dan terlempar. "Kau turunlah, suruh Han-kongcu keluar!" Si sais memekik. Dia tentu saja mengenal jenderal itu yang garang dan bengis. Bu-goanswe terkenal galak dan keras. Dan ketika jenderal itu berhasil meng hentikan kereta dan menyuruh pemiliknya keluar, membentak, maka Han-kongcu muncul membuka tirai kereta, berubah dan pucat begitu melihat jenderal ini. "Ah, Bu-goanswe kiranya!" pemuda itu menyingkap namun segera menutup tirai kereta, membuka pintu dan meloncat keluar. "Selamat pagi, goanswe. Selamat bertemu tapi kenapa kau menghentikan keretaku. Apa salahku dan kenapa kau marahmarah!" "Jangan banyak mulut!" Bu-goanswe tak bersikap ramah. "Aku mendengar sesuatu tentang dirimu, kongcu. Keretamu terisi barang-barang terlarang. Biarkan aku, memeriksa dan kau menjauhlah!" "Apa?" Han-kongcu tersentak, semakin berubah lagi mukanya. "Ap... apa kau bilang, goanswe" Barang terlarang" Kau .... kau menuduhku sekasar ini" Apa maksudmu?" "Hm, tak usah berpura-pura. Keretamu berisi senjata api, kongcu. Aku mendengar kabar bahwa kau menyelundupkan dan akan menjual senjata!" "Ah, bohong!" pemuda itu berseru pucat. "Kau menuduhku yang tidak-tidak, goanswe. Kau menghina aku dan juga a-yah. Kau tahu siapa aku dan ayahku!" "Hm, ayahmu jangan disebut-sebut. ini urusan dirimu, urusan senjata terlarang. Kau tak usah membawa-bawa nama ayahmu kalau tidak ingin mencelakakan keluarga!" dan berkelebat serta akan membuka tirai kereta tiba-tiba jenderal itu dibentak dan dihadang si pemuda. "Goanswe, kau tahu aturan militer. Kau bukan maling atau rampok. Aku minta surat kuasa untuk menggeledah keretaku!" Sang jenderal terkejut. "Surat itu tak sempat kumintakan, tapi aku akan membawa bukti-bukti yang lebih dari sekedar surat perintah. Minggir, dan biarkan aku memeriksa!" "Aku tak memperbolehkan!" Han-kongcu menghardik. "Kau tak tahu aturan dan sewenang-wenang, goanswe. Aku akan melapor. tindakanmu ini kepada kaisar!" "Ah, kau banyak omong!" dan Bu-goanswe yang tak memperdulikan atau menghiraukan si pemuda tiba-tiba sudah mendorong dan menyuruh pemuda itu minggir. Han-kongcu mengelak namun jari-jari lawan sudah mencengkeram. Tapi ketika dia memberontak dan mencabut pisau, yang terselip di pinggangnya tiba-tiba pemuda itu menusuk Bu-goanswe. "Bret!" Sang jenderal terkejut. Lawan menjadi kalap dan tiba-tiba marah. Leher bajunya terkuak tapi untung jenderal itu berkelit, melepas cengkeramannya. Dan ketika Han-kongcu melengking dan menyerang maju tiba-tiba pemuda itu sudah menggerakkan senjatanya berulang-ulang, menyambar dan menusuk dan jenderal itu mendengus. Dia bukanlah orang yang tidak mengenal siapa Han-kongcu ini, seorang pemuda yang berkepandaian lumayan tapi tidak perlu ditakuti. Pemuda yang biasanya bersenangsenang melulu dan berkawan gadis-gadis cantik. Maka ketika dia mengelak dan membentak gusar, tujuh kereta di belakangnya sudah tiba di situ maka jenderal ini menampar dan mencelatlah pisau di tangan Han-kongcu. "Aduh...!" Gerakan selanjutnya adalah mendorong si pemuda. Bu-goanswe sudah melompat dan pemuda itu terpelanting roboh, berkelebat dan memasuki kereta. Tapi ketika jenderal itu bergerak dan membuka pintu, mendadak, tanpa diduga, sebuah pemandangan membuat jenderal itu berseru tertahan, langsung menutup pintu kereta lagi. "Aih, kurang ajar!" sang jenderal merah padam. Anak buahnya yang sudah berlompatan tak tahu apa yang menjadikan jenderal itu melompat turun. Mereka tak tahu bahwa di dalam kereta, seperti tak sengaja, duduk seorang gadis cantik yang pakaiannya awut-awutan. Itulah Tiong-sio-cia dan gadis itu tampak menggigil, ketakutan. Kedua kaki dinaikkan ke atas dan seluruh pahanya terbuka lebar. Gadis itu menjerit ketika Bu-goanswe masuk, menaikkan kedua kaki dan memeluk dada dengan muka pucat. Tentu saja sikapnya itu membuat Bu-goanswe tersentak dan jengah. Cadis itu memamerkan sepasang pahanya yang mulus, gempal. Darah akan cepat tersirap karena tak ada laki-laki yang normal akan "tahan" melihat pemandangan seperti itu. Pemandangan yang membuat darah berdesir! Tapi ketika Bu-goanswe mampu menekan guncangan hatinya lagi dan menyuruh gadis itu turun, yang malah disambut tangis maka jenderal ini membuka lagi pintu kereta dan berseru, "Kaupun turunlah, aku hendak memeriksa kereta!" Tiong-siocia, yang menjerit dan menangis di dalam tiba-tiba disambar keluar. Gadis ini ditarik dan Bu-goanswe tak perduli mendengar lawan memekik, menyambar dan sudah melempar gadis itu keluar. Dan ketika Tiong-siocia roboh dan tergulling-guling di sana, pakaian menjadi semakin tak keruan lagi maka barulah anak buah jenderal itu mengerti apa yang terjadi, dan kontan menahan napas. "Ah, Tiong-siocia kiranya!" Ternyata gadis itu sudah dikenal. Para pengawal memang sudah mengenal puteri Tiong-wangwe (hartawan Tiong) ini, seorang hartawan yang kaya dan cukup terkenal di kota raja Tapi melihat gadis itu tersungkur dan bagian bawah tubuhnya terlihat jelas, karena pakaian bawahnya tersingkap ketika dilempar dan ditarik Bu-goanswe maka semua laki-laki. yang ada di situ melotot! Tapi Han-kongcu tiba-tiba membentak Bu-goanswe, membuat kejutan. Sang jenderal yang masuk dan mau memeriksa kereta sekonyong-konyong mendengar letusan. Putera Han-ciangkun yang ditampar dan terlepas pisaunya itu mendadak mencabut pistol, menembak dan langsung mengarahkannya pada Bu-goanswe. Dan karena jenderal itu sedang membelakangi untuk memeriksa kereta, tak menyangka, maka jenderal itu berteriak ketika sebuah peluru mengenai punggungnya. "Dor!" Sang jenderal terpelanting. Han-kongcu yang marah dan membidik Bu-goanswe tibatiba berseru menyambar Tiong-sio-cia. Kekasihnya itu ditarik dan meletuslah lagi empat tembakan membabi-buta. Tiga pengawal Bu-goanswe berteriak karena tiba-tiba mereka roboh. Tiga peluru bersarang di tubuh. Dan ketika Han-kongcu meloncat ke dalam kereta dan mengancam semua orang untuk tidak mengejarnya, membedal, maka kereta itu sudah dilarikan cepat dan sais yang tadi ditampar Bu-goanswe sudah diminta untuk melarikan kudanya. "Siapa mengejar akan kutembak. Ha-yo, siapa mencari mati!" Cegerlah anak buah jenderal itu. Empatpuluh orang yang berdiri bengong tiba-tiba tak berkutik. Tembakan dan robohnya Bu-goanswe membuat mereka pucat. Ulah atau sepak terjang Han-kongcu sungguh di luar dugaan. Tapi ketika terdengar bentakan parau dan Bu-goanswe bangkit terhuyung, mandi darah, maka jenderal itu membentak agar semua mengejar. "Jangan hiraukan ancamannya. Kejar, dan tangkap pemuda itu!" "Tapi... tapi dia bersenjata api, goanswe. Dan tiga orang di antara kami sudah roboh!" "Jahanam! Kalian takut" Kalau begitu berikan seekor kuda dan lihat aku mengejar siluman terkutuk itu!" dan Bu-goanswe yang menyambar serta merampas seekor kuda tiba-tiba meloncat dan mencong klang mengejar kereta. Jenderal itu tak menghiraukan luka-luka di punggungnya dan dengan gagah serta berani mengejar Han-kongcu. Kereta sudah dibedal dan lenyap di depan. Tapi ketika sang jenderal mengejar dan anak buahnya tentu saja pucat, ketakutan, maka merekapun bergerak dan apa boleh buat melakukan pengejaran juga. "Goanswe, maafkan kami. Tapi kami akan mengejar dan menangkap pemuda itu!" "Bodoh! Kenapa baru sekarang mau" Hm, kupecat kalian nanti, Hu-ciangbu. Lihat apa yang kulakukan kalau pemuda i-tu tidak sampai tertangkap!" Para pembantunya kecut. Mereka sudah mengiring dan cepat di samping si jenderal. Ancaman itu membuat mereka ketakutan karena kalau sampai Han-kongcu tak tertangkap tentu mereka dipecat. Hukuman itu jauh lebih berat ketimbang kematian. Maka ngeri dan menyadari itu, takut dihukum, maka tujuh kereta kembali bergerak dan Bu-goanswe diminta berpindah tempat. "Kami akan dapat menolong goanswe kalau di kereta. Biarlah kuda itu goanswe serahkan kepada kami dan kami akan menjalankan kereta dengan baik!" "Hm, kurcaci-kurcaci busuk!" sang jenderal membentak. "Aku tak mau berpindah tempat, Hu-ciangbu. Aku tetap di sini dan biar kulihat seberapa kalian berusaha membantuku!" Sang pendamping gugup. Kalau Bu-goan swe sudah bicara seperti itu dan itu adalah kemarahannya yang tak dapat ditawar-tawar lagi maka tak ada jalan kecuali berbuat sebaik mungkin. Menebus semuanya itu adalah dengan jalan menangkap Hankongcu, hidup atau mati. Maka mengeprak dan mendahului sang jenderal, yang mulai mengeluh dan sering menggigit bibir maka sepuluh perwira sudah melarikan keretanya amat kencang. "Baiklah, maafkan kami, goanswe. Tapi kami akan menebus dosa!" dan bergerak mendahului sang jenderal, yang tersenyum dan mengangguk puas, berhasil menakuti bawahannya maka berturut-turut kereta yang lain menyusul. Han-kongcu memang sudah jauh di depan dan pemuda itu licik sekali, karena ketika menghadapi jalanan berbatu mendadak dia berbelok, memasuki hutan. Dan ketika kejaran dilakukan dan apa boleh buat pemburu di belakang juga memasuki hutan, yang segera menjadi gaduh dan ramai oleh ringkik kuda maka kereta Han-kongcu akhirnya terlihat menerabas jalanan setapak. "Berhenti, atau kami menyerang!" Lawan tak menjawab. Han-kongcu menyelinap dan hilang di balik kerimbunan pohonpohon besar. Tempat itu memang cocok sekali untuk bersembunyi. Tapi ketika kuda meringkik dan tempat persembunyian Han-kongcu diketahui, hal yang tak diduga pemuda ini maka Han-kongcu mengumpat caci dan mengutuk kudanya habis-habisan. Dia tak tahu bahwa seekor ular besar bergelantungan di atas, siap menyergap. Dan karena kuda memiliki naluri tinggi untuk menangkap bahaya maka meringkiklah kuda itu dan suara inilah yang ditangkap pengawal Bu-goanswe. "Dor!" Ular tertembak roboh. Akhirnya binatang melata itu terkulai dan saispun gemetar. Tadi dia juga tak tahu tapi segera ketakutan ketika sang ular mendesis. Namun begitu ular ditembak dan Han-kong cu memaki maka pemuda itu membuka pintu dan menyuruh sais membedal kereta. "Jalankan lagi, di depan akan ada pertolongan!" "Tapi.... tapi..." sang sais pucat. "Hutan ini lebat, kongcu. Jalanan sulit!" "Keparat, kau minta kutembak" Nah, turut kata-kataku atau kau mampus..... dor!" peluru mendesing lagi, bukan ke kepala si sais melainkan ke samping telinganya. Suara bercuit atau mendesing itu membuat si sais terbang semangatnya, hampir dia roboh. Tapi begitu menyentak kereta dan berteriak menarik tali kekang maka kuda diminta untuk lari menerabas apa saja. "Herr.... hyehhh! Ayo lari.... lariii....!" Kereta melonjak bagai dihentam. Kuda meloncat dan kaburlah menerabas apa saja. Sang sais jatuh bangun sementara Han-kongcu dan Tiong-siocia yang ada di dalam juga terpental-pental. Tiong-siocia malah menjerit-jerit karena tubuhnya jatuh bangun di dalam, untung disambar dan dipeluk kekasihnya. Dan ketika kuda dibedal bagai gila tapi rombongan pengawal Bu-goanswe juga mengejar dan sudah melihat mereka maka cepat dan menegang kan kejar-kejaran itu terjadi lagi. Han-kongcu berkali-kali menembak ke belakang menakut-nakuti pengejar, dua di antaranya bahkan roboh lagi. Bukan terkena peluru melainkan saking takutnya mendengar bunyi letusan. Maksudnya tak ikut mengejar dan biarlah tinggal di hutan itu saja. Tapi ketika aum harimau terdengar menggetarkan dan dua pengawal itu kaget mendengar ini maka mereka bingung dan apa boleh buat terpaksa meloncat di atas punggung kudanya lagi, mencengklak dan kabur karena mereka tak mau mati diterkam harimau. Sungguh mengelikan! Dan ketika semua mengejar dan Han-kong-cu keluar dari mulut hutan di depan maka di situ sudah menunggu orang-orang bersaputangan hitam yang ternyata sahabat atau teman dari pemuda ini. "Cepat, lindungi kami. Di mana Lucker!" "Di bukit!" seorang tinggi besar menuding. "Kau sudah ditunggu-tunggu, kongcu. Dan pimpinan kami sudah merasa khawatir sekali. Cepatlah dan serahkan orangorang itu "Baiklah, kalian lindungi kami!" dan si pemuda yang girang dengan muka berseriseri lalu menyuruh sais terus melariskan kudanya, kini lega dan mendapat bantuan karena itulah orang-orangnya Lucker. Dan ketika kereta berderap dan meninggalkan hutan maka terkejutlah para bawahan Bu-goanswe itu melihat orang-orang bersaputangan hitam ini. Karena begitu mereka bergerak dan menyambut ke depan tiba-tiba saja golok dan pedang menyambar mereka, Hei!! siapa Kalian? "Namun tawa dan bentakan keji yang terdengar. Para perwira menjadi gusar dan tentu saja melawan. Mereka segera bertanding dan jerit atau pekik kesakitan segera terdengar, disusul jatuh atau tumbangnya tubuh-tubuh yang terluka. Namun ketika dari mana-mana muncul bayangan-bayangan lain dan seratus orang menyambut pembantu-pembantu Bu-goanswe ini maka mereka terdesak tapi untunglah muncul Bugoanswe yang masih gagah. Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ha, semakin jelas lagi belangnya. Bunuh atau tangkap mereka!" Sang jenderal mengamuk. Tanpa menghiraukan lukanya di punggung jenderal ini sudah menghadapi lawan-lawannya. Tak kurang dari sepuluh orang mengeroyok, namun Bu-goanswe mengibaskan lengan. Pukulan Im-kang menyambar dan berteriaklah orangorang itu ketika sang jenderal berkelebatan di kiri kanan. Dan ketika mereka roboh dan orang . terakhir melarikan diri maka Bu-goanswe mencabut pisau dan langsung melemparkannya ke punggung lawan. 'Robohlah!" Jeritan ngeri terdengar. Orang itu roboh dan langsung tewas seketika, pisau menancap sampai hampir ke dada. Dan ketika sang jenderal bergerak dan menolong bawahannya, yang terdesak, maka keadaan segera berubah karena datangnya, jenderal itu sungguh merupakan dewa penolong. Lawan ganti tertekan dan jatuh bangun. Hal ini membangkitkan semangat di pasukan Bu-goanswe dan akhirnya lawanpun melarikan diri. Tapi ketika terdengar bentakan dan mereka disuruh kembali, Bu-goanswe mengaduh maka sebutir peluru telah melukai lengan jenderal ini. "Tak perlu takut. Jenderal ini dapat kita bunuh.... dor-dor!" sang jenderal membanting tubuh bergulingan, dua kali mendapat tembakan dan tentu saja dia terkejut. Luka di punggung tiba-tiba terasa pedih dan darah di lenganpun mengucur. Ah keadaan berbalik berbahaya. Tapi karena jenderal ini adalah lakilaki gagah perkasa dan tak kenal takut maka dengan se-ruan keras jenderal itu menyuruh pasukannya menghadapi lawan. Peluru-peluru segera berdesingan namun Bugoanswe sudah melempar tubuh ke semak belukar. Bawahannya sudah diperintahkan untuk melakukan hal yang sama dan menjepretlah panah-panah kuat ke arah lawan. Bu-goanswe ternyata menghadapi letusan senjata api dengan balasan anak panah, melakukannya di balik semak belukar dan sebelas lawan berteriak dan terbanting roboh. Itulah balasan yang membuat semangat anak buahnya bangkit lagi! Dan ketika lawan mengumpat caci dan tiga laki-laki berpakaian hitam bingung melepaskan tembakan ke sana ke mari maka dua belah pihak akhirnya tak berani maju dan bertahan di tempat masing-masing. "Keparat, jahanam orang she Bu itu. Cari akal dan tangkap atau bunuh dia!" '"Ha-ha!" sang jenderal tertawa bergelak, diam-diam menahan sakit. "Tangkap dan bunuhlah aku, tikus-tikus busuk. Tapi sekali aku yang menangkap atau membunuh kalian maka mautlah bagiannya!" Lawan mengumpat. Mereka akhirnya bersembunyi pula sambil berlari ke gerumbulgerumbul di sebelah, maksudnya ingin mendekati Bu-goanswe dan pasukannya itu tapi pihak lawan melepaskan anak-anak panah. Siapa berani mendekat pasti mereka terjungkal, apalagi kalau oleh sebatang panah besar yang bunyinya paling berat, mendesing dan tak satupun yang sanggup mengelak kalau anak panah ini yang menyambar, panah yang dilepas Bu-goanswe. Dan ketika mereka mundur lagi dan Bugoanswe coba maju maka balik lawanlah yang melepas tembakan dan tiga bawahan sang jenderal menjadi korban. "Keparat," Bu-goanswe menggeram. "Siapa punya akal menghantam mereka" Siapa dapat menolong aku menangkap tiga laki-laki itu?" "Kami tak sanggup," seorang pembantunya mengeluh. "Senjata api jauh lebih berbahaya daripada panah, goanswe. Kami tak dapat maju meskipun lawan juga tak dapat menyerang." "Hm, bukan begitu maksudku. Yang kumaksudkan ialah siapa yang dapat menarik perhatian tiga laki-laki itu. Mereka tinggi besar, seluruh tubuh ditutup rapat. Aku ingin menangkap atau mendapatkan ketiganya asal kalian ada yang mampu mengecoh!" "Goanswe mau ke sana sendiri?" "Ya, kalau kalian dapat menarik perhatian tiga laki-laki itu. Aku akan menyergap dan merobohkan mereka karena hanya mereka itulah yang bersenjata api!" Semua tertegun. Mereka mengangguk dan tiba-tiba berseri, mau mencari akal. Tapi belum mereka menemukan mendadak terdengar tawa parau dan muncullah bayangan lain di belakang mereka. "Ha-ha, bisa. Tapi di sini ada kami, goanswe. Menyerahlah, atau kau mampus!" Bu-goanswe terkejut. Dua orang tiba-tiba membacoknya dari belakang, muka ditutup saputangan pula namun bukan hitam seperti orang-orang di depan. Sang jenderal tak tahu tapi tentu saja menangkis, membentak. Dan ketika golok terpental tapi dia juga terhuyung, karena luka-lukanya maka anak buahnya yang lain juga mendapat serangan dan segera menjadi panik. "Augh.... crep-crep!" Bu-goanswe terbelalak. Empat pembantunya tiba-tiba roboh mandi darah. Panah mereka direbut dan paniklah keadaan ketika tiba-tiba belasan orang menyergap dari belakang. Mereka tak tahu siapa dan saat itu lawan yang di depan tertawa bergelak, maju dan dilepaslah tembakan-tembakan yang membuat Bu-goanswe marah. Dan ketika mereka diserang dari muka dan belakang, dikepung, maka jenderal Bu melotot marah-marah karena anak buahnya roboh bergelimpa.ngan. "Keparat, jahanam busuk!" sang jenderal menangkis dua bacokan lagi, membentak dan lawan berteriak karena golok terpental. Dan ketika Bu-goanswe menerjang dan tak menghiraukan luka-lukanya, mengamuk, maka dua lawan' yang membokongnya itu dibuat jatuh bangun dan sebuah pukulan lm-kang malah membuat satu di antaranya tak dapat bangun berdiri. Tapi ketika sang jenderal hendak mengejar satunya yang bergulingan dengan sikap gentar mendadak sebuah tembakan nyaris mengenai pipinya. "Dor!" Bu-goanswe membanting tubuh bergulingan. Posisinya di tempat terbuka membuat keadaannya tak menguntungkan, lagi sebuah tembakan dilepas dan menggeramlah jenderal itu menyelamatkan diri. Lawan mundur menjauh sementara anak buahnya dibantai satu per satu, keadaan jenderal ini terdesak. Tapi ketika Bu-goanswe mengelak sana-sini dan tiga laki-laki bersenjata api mengejar dan mengepungnya sambil tertawa-tawa mendadak berkelebat sebuah bayangan dan mencelatlah tiga laki-laki itu ketika mendapat sebuah tendangan dan bentakan. "Tak tahu malu, sudah bersenjata api masih mengeroyok juga.... des-dess!" dan tiga lawan yang terpelanting berteriak kaget tahu-tahu melihat bayangan yang baru datang itu berkelebatan di antara mereka. Barisan di belakang tiba-tiba kacau dan ribut ketika bayangan itu membagi-bagi pukulan dan tendangan. Dan ketika duapuluh lebih jungkir balik tak keruan dan bayangan itu menyelamatkan Bugoanswe maka sang jenderal tertegun karena itulah Fang Fang, murid si Dewa Mata Keranjang. "Fang Fang...!" sang jenderal girang bukan main, tertawa bergelak. "Ha-ha, bagus dan robohkan mereka, Fang Fang. Tangkap dan bekuk yang bersenjata api itu. Aku ingin melihat siapa mereka!" Tiga yang disebut terkejut. Mereka pucat melihat siapa yang datang itu, rupanya tergetar. Maklumlah, Fang Fang memang lihai dan murid si Dewa Mata Keranjang ini rupanya sudah cukup dikenal. Tapi ketika mereka bergulingan melompat bangun dan saling memberi tanda tiba-tiba tiga tembakan dilepas ke arah pemuda itu. "Dor-dor!" Yang menembak terbelalak. Mereka melihat peluru mental bertemu tubuh si pemuda, menambak lagi namun ditangkis dan peluru mental ke arah mereka, pedas dan kesakitan. Dan ketika Fang Fang menggeram dan membentak berjungkir balik tibatiba satu dari tiga laki-laki ini mendapat pukulannya. "Kau robohlah!" Laki-laki itu pucat. Dia menembak namun peluru habis, celaka. Dan ketika dia berteriak dan kaget melempar tubuh ternyata Fang Fang bergerak lebih cepat dan laki-laki itu terbanting, satu tamparan keras mengenai mukanya. "Jangan bunuh..... plak!" Fang Fang tahu. Memang dia tidak bermaksud membunuh lawannya ini kecuali merobohkan saja. Orang itu terbanting dan pingsan, dua yang lain terkejut dan memutar tubuh namun Fang Fang bergerak dua kali. Dia berkelebat dengan Sin-bian Ginkangnya dan Ginkang Kapas Sakti ini jauh lebih cepat daripada gerakan lawan. Dua laki-laki itu menjerit ketika Fang Fang menampar tengkuknya, roboh dan terjungkal. Dan ketika yang lain terkejut karena tiga laki-laki bersenjata api ini roboh maka mereka tiba-tiba buyar dan melarikan diri. "Awas, pemuda itu seperti siluman. Lari...!" Bu-goanswe tertawa bergelak. Dia sendiri lupa kepada lawan pertama yang kini tiba-tiba menghilang. Sang jenderal bergerak dan sudah membuka saputangan tiga laki-laki ini. Dan begitu saputangan direnggut dan dilepas dari pemiliknya tibatiba Bu-goanswe tertegun. "Anak buah Tuan Smith!" Fang Fang membelalakkan mata. Ternyata tiga laki-laki yang dirobohkan dan berkerudung itu adalah orang-orang kulit putih, bangsa Inggeris. Mereka tentu saja segera diduga sebagai anak buah Tuan Smith dan Bu-goanswe melotot. Tapi ketika keluh dan rintih terdengar di sana-sini, menyadarkan sang jenderal maka duapuluh dari empatpuluh anak buahnya menjadi korban. "Aduh...!" Hu-ciangbu, pembantu terdekatnya mengerang. "Aku tak dapat membantumu secara baik, goanswe. Aku bodoh dan rela menerima hukuman...!" "Dan aku juga..." rintih di sebelah kiri menyambung. "Aku juga tak dapat menjalankan tugas dengan baik, goanswe. Musuh yang lain melarikan diri dan aku tak mampu mengejarnya...'" "Hm-hm!" sang jenderal bergerak, tapi tiba-tiba terhuyung dan roboh sendiri. "Aku juga menderita luka, Hu-ciangbu. Kalau tak ada Fang Fang di sini tentu kita semua sudah roboh binasa. Ah, tolong a-ku sekali lagi, anak muda. Tangkap Hankongcu yang menjadi sumber malapetaka!" "Apa yang terjadi?" Fang Fang berkelebat menolong jenderal ini, mengusap keringat. "Aku kebetulan saja lewat, goanswe. Dan tertarik mendengar tembakantembakan. Tak kuduga kaulah yang di sini dan rupanya menghadapi orang-orang kulit putih!" "Tidak... tidak! Yang kuhadapi bukan orang-orang Inggeris ini, melainkan bangsaku sendiri. Mereka rupanya sudah berkomplot dan menjadi pelindung Han-kongcu. Keparat, kau bantu aku, anak muda. Tolong dan mari cari anak muda itu!" "Tapi kau terluka." "Aku tidak apa-apa!" "Hm, jangan berkeras kepala," Fang Fang membalut luka di punggung dan lengan, yang deras mengalirkan darah. "Kau lemas dan banyak kehilangan tenaga, goan swe. Sebaiknya katakan saja apa yang harus kulakukan dan kenapa semuanya ini terjadi, bagaimana kau bisa ada di sini!" "Aku mencari dan hendak menangkap Han-kongcu. Bocah itu melanggar peraturan istana!" "Hm, apa yang dia lakukan" Dan siapa Han-kongcu ini?" "Dia putera Han-ciangkun, Fang Fang. Pemuda itu terlibat jual beli senjata api, secara gelap!" "Hm, senjata api" Putera seorang panglima?" "Benar, dan kau tahu apa hukumannya itu. Kaisar tak menghendaki senjata api ada di negeri ini, kecuali yang sudah terlanjur di istana. Karena itu tangkap dan bekuk pemuda itu, Fang Fang. Jual beli senjata api pasti akan menimbulkan pemberontakan baru karena Han-kongcu itu bersekongkol dengan calon pemberontak!" "Hm, baiklah. Kalau begitu katakan kepadaku di mana pemuda itu dan bagaimana ciri-cirinya." "Dia tampan dan cerdik. Tadi melarikan diri bersama sebuah kereta indah. Di dalamnya ada Tiong-siocia pula!" "Siapa itu Tiong-siocia?" "Kekasihnya, dan aku curiga bahwa hartawan she Tiong pun terlibat perdagang an senjata gelap. Cepat, bantu aku, Fang Fang. Cari dan bekuk pemuda itu atau aku bersamamu'." "Hm, kau tak perlu emosi. Luka-lukamu banyak mengeluarkan darah, goanswe. Dan tampaknya kau tak menghiraukan selama ini. Dan anak buahmupun banyak yang jatuh korban. Sebaiknya kucari sendiri dan tunggulah di sini!" "He!" Bu-goanswe terbelalak, girang. "Kau akan bekerja sendiri" Kau tak perlu bantuan?" "Bantuan tak perlu sementara ini, goan swe. Kecuali kau urus dirimu sendiri dan sisa-sisa anak buahmu ini. Sudahlah, aku pergi dan ikat tiga orang bule itu untuk menjadi saksi hidup!" Sang jenderal berseri-seri. Fang Fang sudah bergerak dan tiba-tiba berkelebat menghilang. Gerakan pemuda itu seperti siluman seperti datangnya tadi, lenyap dan muncul tak lumrah manusia biasa. Dan ketika jenderal itu tertawa tapi meringis menahan sakitnya, baru sekarang merasa betapa luka-lukanya cukup berbahaya kalau tidak diurus maka Fang Fang sudah menghilang dan lenyap meninggalkan jenderal itu. -o~dewikz~abu~-oTak sukar bagi Fang Fang untuk mencari jejak Han-kongcu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ilmu meringankan tubuhnya yang hebat maka sebentar kemudian pemuda ini sudah menemukan kere-ta yang ditunjuk Bu-goanswe. Di depan sana berderap kereta yang dimaksud itu dan di belakang kereta tampak mengiring puluhan orang yang terseok-seok. Mereka ikut berlari tapi tentu saja tak secepat kereta di depan, yang melaju dan berlari cepat bagai dikejar setan. Dan ketika Fang Fang berkelebat dan melewati orang-orang ini, yang terkejut dan terbelalak karena serasa dilewati hantu maka beberapa di antara mereka yang mengenal pemuda itu lewat bajunya tiba-tiba berteriak, "Bocah itu! Pemuda siluman itu...!" Fang Fang tersenyum. Tanpa menoleh ia menggerakkan tangan menampar orang-orang ini, yang berteriak dan terlempar terguling-guling, menjerit, ngeri, karena pemuda itu amat ditakuti dan kontan mereka berteriak kalang-kabut dan meloncat bangun lari terbirit-birit. Takut Fang Fang mengejar tapi pemuda itu sesungguhnya tak bermaksud menangkap kerucuk-kerucuk ini. Yang dicari dan dikejar adalah Han-kongcu, biang keladi yang dimaksud Bu-goanswe. Maka begitu orang-orang itu terlempar dan mereka menjerit berteriak-teriak, lari ke kanan kiri maka Fang Fang meneruskan perjalanannya dan lenyap di tikungan di depan. "Ha-ha, tak perlu takut. Aku tidak mencari kalian, tenang sajalah!" Orang-orang itu pucat. Akhirnya mereka melihat bahwa Fang Fang memang benar tidak meneruskan serangannya kepada mereka, lenyap dan sudah menghilang seperti iblis di depan. Dan ketika mereka berkumpul dan pucat memandang satu sama lain maka Fang Fang sendiri sudah menyusul dan berada di belakang kereta. "Berhenti!" pemuda itu berseru. "Jangan lari, Han-kongcu. Atau aku akan menangkap dirimu dan menyerahkannya secara kasar kepada Bu-goanswe!" Kuda meringkik panjang. Fang Fang telah berjungkir balik dan turun di depan kereta, tak perduli pada kereta yang berlari kencang dan empat ekor kuda itu tentu saja kaget. Mereka tak dapat menahan lari namun Fang Fang sudah menggerakkan tangan kirinya ke depan. Kayu di antara dua ekor kuda terdepan disambar, dicekal kuat. Dan ketika kuda terpaksa meringkik tinggi dan terlonjak ke atas, Fang Fang hampir tertarik naik maka sais di depan terjungkal dan terlempar dari tempat duduknya, disusul jerit dan pekik-pekik kaget di dalam kereta. "Aduh...!" "Keparat, kurang ajar...!" Fang Fang tertawa. Seorang pemuda terlempar pula dari dalam kereta itu namun pemuda ini dapat menggulingkan dirinya dengan baik, menggelinding dan mendahulukan pundaknya untuk akhirnya melompat bangun. Dialah Han-kongcu dan Fang Fang bersinar memandang pemuda itu. Namun ketika di jendela yang lain berkelebat sesosok bayangan dan sebuah golok menyambar pemuda ini, dari belakang, maka Fang Fang terkejut namun cepat menggerakkan tangan menangkis. "Plakk!" Bayangan itu berseru tertahan. Goloknya terpental dan tubuhnyapun terpelanting oleh tangkisan Fang Fang tadi, tak kuat menerima. Tapi ketika bayangan itu bergulingan meloncat bangun maka Fang Fang sudah dikepung tiga orang laki-laki di mana satu di antaranya adalah seorang kulit putih yang memegang pistol! "Jangan kurang ajar, atau kau kutembak!" "Hm," Fang Fang tertegun. "Siapa kau" Dan siapa ini?" "Keparat!" pemuda itu, Han-kongcu, membentak dengan muka gusar. "Kau tak tahu diri dan kurang ajar, Fang Fang. Mentang-mentang sebagai murid Dewa Mata Keranjang kau hendak berbuat semena-mena. Tak usah bertanya, apa maksudmu menghadang dan apa salah kami kepadamu!" "Hm!" Fang Fang menyeringai. "Kau sudah mengenal aku, Han-kongcu" Dan kau bertanya apa salahmu di sini" Kau dituduh menjualbeli senjata api, kau melanggar larangan kaisar. Kau patut ditangkap dan sekarang semakin jelas dengan adanya orang bule ini!" "Tuduhan ngawur!" pemuda itu membentak. "Aku tak memperjualbelikan senjata api, Fang Fang. Boleh kauperiksa dan lihat isi keretaku. Tapi katakan padaku bagaimana sikapmu nanti kalau kau tak menemukan bukti!" "Hm, apa maksudmu?" Fang Fang mengerutkan kening. "Sikap bagaimana?" "Jelas, kau datang tentu karena hasutan atau fitnahan jenderal Bu itu, Fang Fang. Dan aku tak terima ini. Aku dituduh memperdagangkan senjata gelap, baiklah. Tapi kalau hal itu tak terbukti aku minta agar kau berlutut minta ampun dan seret Bu-goanswe itu untuk minta maaf pula! Kau sanggup?" Fang Fang tertegun. Sebenarnya, dia tak tahu jelas persoalan yang dihadapi. Dia datang karena mendengar suara tembakan, melihat Bu-goanswe itu dikeroyok dan sebagai orang yang pernah mendapat budi jenderal itu tentu saja pemuda ini menolong. Kisah sekilas yang diceritakan Bu-goanswe kepadanya memang tidak leng Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kap, artinya dia hanya mendengar garis besarnya saja dan kini tiba-tiba ditantang pemuda itu untuk memperlihatkan kebenaran. Tapi karena Bu-goanswe telah memberitahu kepadanya bahwa di kereta pemuda itu tersimpan berpeti-peti senjata api, yang siap diperdagangkan, maka pemuda ini tersenyum mengejek dan tentu saja lebih percaya kepada omongan Bu-goanswe daripada omongan pemuda itu, yang dianggap hanya sebagai gertakan belaka. "Baiklah, aku tak takut," Fang Fang berkata. "Bu-goanswe memberi tahu kepadaku bahwa di kereta ini tersimpan puluhan senjata api, orang she Han. Aku i-ngin memeriksa tapi terbukti atau tidak tak perlu aku berlutut kepadamu. Masalah Bugoanswe, hm... tentu dia kusemprot kalau bohong!" "Tidak bisa!" Han-kongcu membentak sambil mencegat. "Memeriksa barang carang tanpa ijin adalah seperti perampok merajah barang orang, Fang Fang. Kami sedia diperiksa tapi kau harus berjanji minta maaf kalau di kereta ini tak ada senjata api!" "Dan Bu-goanswe itu harus kaubunuh!" si bule berkata, menyambung. "Kami tak mau diperlakukan sewenang-wenang, anak muda. Kau berjanjilah atau kami terpaksa mempertahankan kereta menganggap kau perampok!" Fang Fang penasaran juga. "Baiklah," katanya. "Bu-goanswe tak mungkin menipuku. Kalau di kereta ini tak ada senjata api maka aku akan minta maaf. Tapi Bugoanswe adalah urusanku, tak perlu kalian ikut campur. Mau kubunuh dia a-tau kumaki maka itu adalah urusanku. Aku sudah berjanji, dan kalian jangan minta lebih!" "Kalau begitu tambahkanlah janjimu bahwa kau tak mengejar-ngejar kami lagi, sebagai pengganti Bu-goanswe yang tak kau hukum. Beranikah kau, Fang Fang" Atau kau seorang pengecut yang selalu bersikap tidak adil dengan menarik keuntungan dari kerugian orang lain?" "Kau bermulut tajam!" Fang Fang melotot. "Baiklah, Han-kongcu. Kalau itu sebagai pengganti Bu-goanswe yang menipu aku maka aku berjanji bahwa aku tak a-kan mengejar-ngejar kalian lagi. Dan sekarang tunjukkan kepadaku isi kereta ini!" "Kau periksalah sendiri," Han-kongcu tiba-tiba girang, berseri. "Kau sudah berjanji dan janji seorang laki-laki tak akan dijilat kembali, Fang Fang. Silahkan periksa kereta dan harap tepati janjimu!" Fang Fang berdebar. Kalau lawan sudah bersikap seperti ini maka terdapat satu kesimpulan bahwa di kereta benar-benar tak ada senjata-senjata api itu. Atau, Han-kongcu mungkin akan bersikap licik dan menyerangnya dari belakang seperti temannya tadi, seorang laki-laki tua yang berpakaian piyama. Fang Fang tak tahu bahwa itulah Han-ciangkun, ayah si pemuda. Tapi ketika Fang Fang tersenyum mengejek dan tentu saja tak gentar menghadapi serangan dari belakang, betapapun itu, maka dia tertawa dan menghampiri kereta, tentu saja diam-diam waspada dan siap melindungi diri kalau ada serangan gelap. Tapi, apa yang didapat pemuda ini" Fang Fang tertegun. Di dalam kereta, yang sudah dibuka dan dikuak pintunya tiba-tiba sepasang paha gempal menyambutnya telanjang. Paha itu tersingkap karena seorang gadis memeluk lutut menggigil di situ, pucat, mengangkat kaki tinggi-tinggi dan tentu saja Fang Fang tersirap. Sungguh tak disangkanya bahwa bukan senjata api yang didapat melainkan sepasang paha yang gempal mulus. Ah! Dan ketika pemuda itu terkejut dan berdetak, jantung seolah dipukul kuat maka Fang Fang tiba-tiba mendengar tawa Han-kongcu yang berkelebat di sampingnya. "Nah," pemuda itu berseru. "Apa yang kaulihat, Fang Fang" Senjata api" Ha-ha, itu kekasihku, Tiong Li. Dia ketakutan dan hampir tak dapat bicara gara-gara perbuatanmu yang kasar!" dan halus memeluk gadis itu menurunkan kakinya, mencium, maka si pemuda berbisik bahwa tak perlu kekasihnya takut. "Ini Fang Fang, pemuda baik-baik. Turunkan kakimu dan jangan takut." "Oh!" si gadis tiba-tiba menangis, menubruk dan menjerit melepaskan takutnya. "Dia... dia bukan perampok, Han-ko-ko" Dia..... dia murid Dewa Mata Keranjang itu?" "Benar," si pemuda tersenyum, mengangguk. "Dialah Fang Fang yang lihai i-tu, Tiong Li. Fang Fang bukan perampok dan seorang laki-laki gagah yang tak suka mengganggu orang lain. Marilah, kita berkumpul di sana." dan mengajak kekasihnya turun serta digandeng mesra akhirnya Han-kongcu memberikan gadis itu kepada ayahnya, membalik menghadapi Fang Fang lagi, yang masih tergetar dan merah oleh pemandangan yang merangsang, membangkitkan birahi! "Fang Fang," Han-kongcu tersenyum. "Kau sudah melihat isi kereta bahwa tak ada apa-apa di sini. Dan sesuai janjimu, silahkan kau pergi dan jangan ganggu kami lagi." "Tidak," Fang Fang tiba-tiba sadar. "Aku belum memeriksa keseluruhannya, orang she Han. Di belakang tempat duduk itu terdapat ruang!" "Hm, kau curiga" Baiklah, periksa sepuasmu tapi setelah itu jangan ganggu kami lagi. Silahkan!" Fang Fang menekan guncangan hatinya. Apa yang dilihat memang membuat darahnya berdesir namun tiba-tiba dia ingat bahwa di belakang tempat duduk ada ruangan kosong. Dia menekan semua pemandangan tadi dan cepat menguatkan batin. Bagi orang muda seusia dia pemandangan paha yang gempal mulus memang dapat membuat lupa segala, dan Fang Fang hampir mengalami ini. Tapi karena dia murid Dewa Mata Keranjang dan Fang Fang berhasil menindas guncangan perasaannya tadi maka dia melompat dan teringat kembali tugasnya. Dia harus membekuk dan menangkap Hankongcu ini karena dituduh menyembunyikan senjata terlarang di kereta. Dia harus melihat itu dan menangkapnya. Tapi ketika ruang kosong diperiksa dan ternyata di belakang tempat duduk itu tak ada apa-apa, kecuali sedikit rumput atau makanan kuda maka Fang Fang tertegun dan mendengar Han-kongcu lagi-lagi bicara, "Nah, kosong. Kau ditipu dan dihasut jenderal Bu itu, Fang Fang. Selayaknya kau kembali dan menuntut tanggung jawabnya. Kau dipermainkan, Bu-goanswe sentimen kepadaku. Sekarang biarkan kami pergi dan hukuman apa yang patut kauberikan pada orang yang menipumu i-tu biarlah kupercayakan saja kepadamu!" Fang Fang menggigil. Tiba-tiba saja dia menjadi marah dan menganggap Bu-goanswe betul-betul menipu. Keparat, dia mendapat malu! Maka ketika Han-kongcu naik kembali ke kereta dan tiga yang lain duduk dan mempersilahkannya keluar, mata indah dari Tiong Li terbelalak dan menggetarkan hatinya tiba-tiba Fang Fang menjadi malu dan gusar. "Baiklah," serunya. "Kau benar, Han-kongcu. Dan maaf untuk semuanya ini. Aku akan kembali dan teruskanlah perjalananmu!" "Ha-ha, terima kasih, Fang Fang. Dan aku percaya janjimu untuk tidak mengejarngejar aku lagi.... hyehh!" dan mengeprak kuda menjalankan kereta tiba-tiba Hankongcu itu sudah melambaikan tangan dan pergi dengan wajah berseri-seri. Fang Fang pucat dan malu serta marah. Dia tak mendapat bukti! Tapi begitu kereta meluncur dan mengecil di sana maka Fang Fang berkelebat dan kembali ke tempat semula. Dan Bu-goanswe kaget. Fang Fang langsung mencengkeram dan membentaknya. Pemuda itu merah padam dan merasa terhina. Dan ketika jenderal itu dijengkangkan dan didudukkan kasar maka para perwiranya yang ada di situ pucat melihat pemuda ini marah-marah, marah besar! "Bu-goanswe, kau menipu. Kau mempermainkan aku. Keparat, di kereta itu tak ada senjata api!" "Ah-ah...!" sang jenderal terhenyak. "Apa katamu, Fang Fang" Aku mempermainkan dirimu" Aku bohong" Keparat, lepaskan cekikanmu. Atau aku akan menampar mulutmu dan kita bertanding sampai satu di antara kita mampus!" Fang Fang merah padam. "Kau membuat aku malu," pemuda ini melepaskan cekikannya. "Siapa bilang di kereta ada senjata api" Kereta itu tak ada apa-apa, kecuali Tiong-siocia!" "Hm, kau tertipu," sang jenderal balik melotot memandang pemuda ini. "Sebelumnya aku sudah melihat isi kereta itu, Fang Fang. Di kota raja! Tapi aku tak menangkapnya karena waktu itu Han-kongcu tak ada di sana. Ketika aku pergi sebentar untuk kencing di belakang tiba-tiba kereta itu lenyap dan Han-kongcu telah pergi, kabur!" "Kau yakin?" Fang Fang tertegun, tiba-tiba bingung. "Kau sendiri yang melihat isi kereta itu" Tapi bagaimana tak ada apa-apanya ketika kuperiksa?" "Itulah ketololanmu!" sang jenderal membentak. "Tadi sudah kuminta agar kita pergi berdua, Fang Fang. Tapi kesombonganmu yang menganggap diri pandai tak mau mendengar kata-kataku. Ada dua kesimpulan di sini. Bocah itu menyembunyikan barangnya di tempat lain atau menukar kereta!" Fang Fang terkejut. Tiba-tiba dia menjadi gugup mendengar itu. Bu-goanswe adalah laki-laki gagah yang selama ini dikenal jujur dan tak pernah bohong, tegas dan berwibawa dan kata-katanya itu beralasan juga. Kalau tidak menyembunyikan di tempat lain barangkali keretanyalah yang ditukar. Dan ketika Fang Fang terkejut dan dapat menerima itu maka si jenderal mencengkeram bajunya dan terpincang pergi. "Mari kita lihat, siapa yang bohong dan dusta!" "Eh," Fang Fang terkejut, diseret. "Nanti dulu, goanswe. Aku juga penasaran tapi berjalan seperti ini tak bakal mengejar musuh. Marilah, pegang tanganku dan kita terbang ke sana!" Fang Fang menyambar lengan orang, ganti meminta Bu-goanswe berpegangan padanya dan tiba-tiba berkelebat. Pemuda ini juga masih dilanda gusar dan malu. Sekarang dia di persimpangan jalan karena sikap serta kata-kata Bu-goanswe tegas dan meyakinkan. Akhirnya dia curiga lagi kepada Han-kongcu itu. Dan ketika dia bergerak dan terbang ke depan maka jenderal itu mencengkeramnya dan memegangi lengannya erat-erat. "Hu-ciangbu, susul kami. Semua berangkat dan tangkap jahanam keparat itu!" Hu-ciangbu terkejut. Tadinya dia gelisah dan kaget melihat Fang Fang mencekik Bu-goanswe. Kalau pemuda itu membunuh tak ada seorangpun di antara mereka yang dapat menandingi. Murid si Dewa Mata Keranjang itu terlalu lihai! Tapi ketika Fang Fang berhasil disadarkan dan kini mengajak atasannya pergi maka Hu-ciangbu terpincang dan menyiapkan teman nya yang lain untuk melakukan pengejaran. "Yang luka biar di sini, yang dapat berlari dan mengejar mari menyusul!" Fang Fang sudah berkelebat lenyap. Bu-goanswe sendiri mula-mula terpincang dan lari dengan marah, tak memperdulikan punggung dan lengannya yang sakit, kena tembak. Tapi begitu Fang Fang mengangkatnya dan pemuda itu tak menginjak tanah lagi maka jenderal ini juga terbang dan terbawa si pemuda, cepat bagai hantu meluncur! "Eh-eh!" si jenderal berseru berulang-ulang. "Jangan terlampau cepat, Fang Fang. Aku belum dapat mengikuti!" "Hm, pegang saja lenganku, erat-erat. Aku membawamu dan tak perlu kau mengeluarkan tenaga, goanswe. Cekallah tanganku dan jangan sampai lepas!" Bu-goanswe melebarkan mata. Akhirnya dia kagum dan takjub karena kini tubuhnya tidak menginjak tanah juga, sama seperti si pemuda. Fang Fang mengerahkan ilmu lari cepatnya itu dan pemuda ini meluncur bagai seekor burung ter-.. bang, gagah dan cepat luar biasa. Dan ketika deru angin tak kuat ditahan jenderal ini yang terpaksa memejamkan mata, eh... tahu-tahu Fang Fang sudah menunjuk kereta di depan. "Nah, itulah," pemuda ini berseru. "Lawan sudah hampir tersusul, goanswe. Dan itulah kereta yang ditumpangi Han-kongcu!" "Keparat!" Bu-goanswe mendelik, membuka mata. "Kereta itu bukan kereta yang kumaksud, Fang Fang. Itu kereta lain!" "Dari mana kau tahu?" "Atapnya! Kereta yang kumaksud beratap hitam, tapi kereta itu merah. Ah, susul jahanam itu dan suruh dia berhenti!" Fang Fang tertegun. Akhirnya dia mulai percaya bahwa Han-kongcu menipunya, bukan jenderal ini. Tapi ketika dia berkelebat dan siap menangkap tiba-tiba dari kiri kanan muncul penunggang-penunggang kuda lain yang jumlahnya tigapuluh orang. "Apa itu?" "Orang-orang bersaputangan hitam. Hm, rupanya Han-kongcu minta dilindungi Apa pendapatmu, goanswe" Bagaimana sekarang?" "Terus kejar, tangkap. Kita tak perlu takut atau jerih menghadapi mereka!" "Hm, bukan begitu," Fang Fang mengerutkan kening. "Kau sedang terluka, goanswe. Dan Han-kongcu sekarang dikelilingi banyak orang. Sebaiknya kau berhenti di sini dan kususul jahanam she Han i-tu!" "Heii..!" Bu-goanswe terkejut, tahu-tahu diturunkan dan ditotok di situ. "Jangan macam-macam, Fang Fang. Lepaskan aku dan bebaskan!" "Maaf," Fang Fang tak mau berdebat lagi. "Totokan ini hanya berlaku sepuluh menit, goanswe. Dan setelah itu tentu para pembantumu tiba di sini. Aku tak ingin kau bersamaku kalau bocah she Han itu dikelilingi pembantu-pembantunya. Kau di sini saja, dan maaf aku meninggalkanmu sebentar!" dan Fang Fang yang meloncat serta meninggalkan Bu-goanswe akhirnya berkelebat dan sudah meluncur di depan. Bu-goanswe berteriak-teriak namun Fang Fang tak menghiraukan. Dia sudah meloncat beberapa kali dan tahu-tahu tigapuluh orang berkuda yang mengawal di belakang terkejut, melihat bayangan berkelebat dan Fang Fang sudah membentak menyuruh kereta berhenti. Dan ketika kuda meringkik dan sekali lagi sais pucat melihat Fang Fang maka seperti tadi kereta itupun dihentikan dengan paksa. "Berhenti, dan maafkan aku!" Jerit dan pekik kaget terdengar di dalam. Kuda berhenti dengan mendadak karena ditahan iengan Fang Fang, kokoh dan tak sanggup dilawan empat ekor kuda hingga sais lagi-lagi terjungkal! Namun ketika orangorang berkuda mengeluarkan seruan keras dan Han-kongcu yang ada di dalam juga melompat keluar, setengah terlempar oleh berhentinya kereta yang begitu mendadak maka pemuda itu terkejut melihat Fang Fang menghadang di depan. "Kau"!" pemuda ini pucat, berjungkir balik melayang keluar. "Ada apa lagi, Fang Fang" Bukankah kau tak mengejar kami lagi" Kau bohong, pendusta!" "Hm!" Fang Fang tak menghiraukan kepungan orang-orang bersaputangan hitam yang saling berteriak dan memberi aba-aba. "Aku kembali karena justeru tertipu, Hankongcu. Sekarang aku ingin minta tanggung jawabmu kenapa menipu aku!" "Dor!" sebuah tembakan dilepas ke atas. "Omongan apalagi ini, anak muda" Siapa menipu dirimu?" "Hm, kau siapa?" "Aku Lucker, utusan Tuan Smith!" Fang Fang terkejut, tapi mendengus pendek. "Sementara ini aku tak berurusan denganmu, minggirlah!" dan kembali menghadapi Han-kongcu yang lagi-lagi sudah berdiri di samping ayahnya, laki-laki berpiyama itu maka Fang Fang coba melupakan nama Tuan Smith yang bakal menggetarkan hatinya, karena menyebut nama itu berarti sama dengan menyebut nama Sylvia, gadis kulit putih yang amat dicintanya, cinta setengah mati! "Han-kongcu, aku datang karena ingin bertanya kepadamu. Ke mana kereta beratap hitam yang mula-mula kautumpangi dari kota raja. Nah, kereta itulah yang ingin kuperiksa karena Bu-goanswe menyatakan bahwa di kereta itulah kau menyembunyikan senjata!" "Bu-goanswe" Ah, jenderal itu lagi!" sang pemuda mengutuk. "Dia mengada-ada dan mempermainkan dirimu, Fang Fang Aku sejak mula membawa kereta ini dan tak pernah berpindah tempat. Jenderal itu mencari-cari dan menipumu lagi. Aku tak tahu kereta yang dimaksud!" "Hm, berani kau berhadapan dengan Bu-goanswe?" "Maksudmu?" Han-kongcu terkejut, memberi kedipan rahasia ke kiri kanan. "Kau mau menyuruh jenderal itu bertanding denganku" Ha, aku tak takut, suruh dia ke mari!" "Bukan begitu," Fang Fang bersinar matanya. "Aku ingin mengadu kau dalam soal siapa yang bohong, Han-kongcu. Kau atau dia. Kalau kau berani kuhadapkan padanya dan bersikap jantan maka aku akan tahu siapa yang sebenarnya dusta dan tidak!" "Boleh, suruh dia ke mari. Aku tak takut!" dan tertawa jumawa memberi kedipan lagi pemuda ini menyelinapkan jari ke celana. Fang Fang melihat tonjolan di situ dan sebagai pemuda yang mulai banyak pengalaman tahulah dia bahwa itulah moncong senjata api. Han-kongcu membawa pistol! Tapi tak takut dan tertawa dingin tibatiba dia berkelebat dan memasuki kereta. Lalu begitu dia keluar lagi dan mendengar seman kaget di sana-sini tiba-tiba Fang Fang telah menyambar dan mencengkeram kekasih Han-kongcu itu, nona Tiong! "Orang she Han, aku tak ingin kau bersikap licik. Kalau kau jantan dan bicara jujur tentu kau tak takut kalau aku membawa Bu-goanswe ke sini. Kekasihmu ini sebagai jaminan, kalau kau bersikap curang atau licik tentu aku akan membunuh kekasihmu ini!" "Keparat!" Han-kongcu terkejut. "Kau licik dan curang, Fang Fang. Kau menyandera wanita. Tak pantas hal itu kaulakukan. Lepaskan dia!" "Aku akan melepaskannya," Fang Fang tersenyum. "Asal kau tidak macam-macam dan berani menyangkal itu di depan Bu-goanswe. Nah, tunggu di sini dan kupanggil dia!" dan tidak menghiraukan si nona yang menjerit dan meronta-ronta, pucat, Fang Fang berkelebat dan-menghilang lagi. Gerakannya seperti siluman dan orangorang yang mengepung tiba-tiba tak mampu mencegah. Mereka itu seakan menghadapi iblis atau hantu saja, pergi dan datang sesuka hati. Namun ketika tak lama kemudian Fang Fang sudah membawa Bu-goanswe, dengan tangan yang lain maka Hankongcu pucat dan sejak tadi menggigil gemetar. Bu-goanswe tampak mendelik begitu melihat pemuda ini. Beberapa saat yang lalu Fang Fang membebaskan totokannya tepat di saat anak buahnya bermunculan. Mereka bercakap-cakap sejenak dan Bu-goanswe mengatur siasat. Lalu begitu dia dibawa dan diajak pemuda ini kontan saja jenderal tinggi besar itu memaki-maki lawan. "Bocah she Han, kiranya kau di sini bersama ayahmu. Dan orang bule itu di pihakmu lagi. Keparat, tahu aku. Bukti-bukti lebih lengkap lagi dan mari ke istana kalau kau berani menyangkal tuduhan memperjualbelikan senjata api! Hayo, mana kereta beratap hitam itu dan kausem-bunyikan di mana puluhan peti-peti senjata itu. Aku mempunyai saksi, dan kau tentu tak lupa pada kusir Tek yang Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kaubunuh tapi berhasil kuselamatkan!" Han-kongcu pucat. Belum membentak tahu-tahu dia sudah diberondong dan dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu. Dan ketika sang jenderal menyebut-nyebut nama kusir Tek, yang membuat mukanya berubah semakin hebat maka Fang Fang berkelebat di depannya berseru, "Nah, mari ke istana kalau kau bersih, Han-kongcu. Sangkallah kata-kata Bugoanswe kalau kau benar!" Han-kongcu mundur. Pemuda ini melompat menjauh dan tiba-tiba tanpa banyak cakap dia mencabut sesuatu di saku celananya itu. Hampir serentak sang ayah juga mencabut pistol bersamaan dengan Lucker, si bule yang sudah mendapat isyarat itu. Dan begitu mereka bergerak dan menyerang Bu-goanswe maka jenderal itu mendapat tiga kali tembakan namun secepat setan Fang Fang menangkis. "Dor-dor-dor..!" Semua terbelalak. Dengan tangannya telanjang Fang Fang menghalau tiga butir peluru itu. Dan ketika peluru mental sementara Bu-goanswe sudah ditendang mencelat maka Fang Fang bergerak dan menyambar pemuda itu. "Nah, ketahuan belangmu!" Fang Fang berseru. "Kaulah yang dusta dan bohong, bocah she Hari. Kau tak berani ke istana dan menyangkal perbuatanmu.... des!" Fang Fang yang menendang pemuda ini menghajar gemas tiba-tiba mau mengejar lagi ketika dua tembakan berdesing di telinganya, disusul oleh teriakan atau bentakan orang-orang berkuda yang sekonyong konyong maju meluruk. Mereka sudah mendapat aba-aba namun Fang Fang berjungkir balik, turun dan menendangi mereka dengan cepat sehingga sebelas tubuh terlempar dari kudanya, terbanting dan menjerit di sana dan seketika keadaan menjadi geger. Fang Fang berkelebatan dan selanjutnya orang-orang itulah yang dihajar atau dijatuhbangunkannya, karena mereka melindungi Han-kongcu yang segera lari dan memasuki keretanya. Tapi ketika Bugoanswe juga bergerak di sana dan meskipun terpincang jenderal itu mampu melepas pukulan Im-kangnya maka pemuda itu mencelat dan kereta yang sudah ditumpangi mendadak roboh dan terguling telentang, keempat ekor kudanya meringkik keras, kaget! "Kau jangan lari, hayo ikut aku!" Han-kongcu pucat. Menghadapi jenderal ini tentu saja dia gentar. Bu-goanswe menubruk tapi pistolnya meletus, sang jenderal melempar tubuh dan selamatlah pemuda itu menggulingkan tubuh, meloncat bangun. Dan ketika Bu-goanswe menggeram dan kembali menyerangnya maka empat kali peluru meletus namun empat kali pula meleset, karena Han-kongcu gugup! "Ha-ha, habis pelurumu, anak muda. Sekarang kau tak dapat menembak!" Han-kongcu pias. Pada tarikan terakhir ternyata picunya mengeluarkan suara "klik", peluru habis. Dan ketika sang jenderal menerkam dan tak memperdulikan rasa sakitnya maka pemuda ini melem par tubuh bergulingan namun baju pundaknya tersambar robek, mengeluh dan untuk berikutnya Bu-goanswe menyerang bertubitubi. Han-kongcu mengelak sana-sini namun akhirnya terdesak hebat, berteriak minta tolong dan saat itulah ayahnya datang. Dan ketika Han-ciangkun membentak dan melepas tembakan pada pundak sang jenderal terluka namun saat itu muncullah Hu-ciangbu dan sisa pasukannya yang lain. "Tangkap pemberontak, kita tolong Bu-goanswe!" Lawan menjadi kaget. Di sana Fang Fang berkelebatan seperti setan yang menyambar-nyambar. Setiap kali dia bergerak setiap kali itu pula lawan terpelanting roboh. Sekejap saja tigapuluh orang itu jatuh dari atas kuda dan merintih-rin-tih. Fang Fang gemas kepada mereka karena orang-orang ini nekat sekali melindungi Han-kongcu, yang setiap akan diserang tentu dihalangi orangorang ini. Maka ketika mereka diroboh-robohkan dan Fang Fang cemas tapi lega melihat Hu-ciangbu dan kawan-kawannya muncul maka si bule anak buah Tuan Smith itu dirobohkan terakhir kali ketika pelurunya habis dan tujuh kali menembak tapi tujuh kali itu pula peluru mental mengenai tubuh Fang Fang yang kebal! "Nah, kau sekarang pucat. Senjata apimu tak berguna. Robohlah, dan tunggu hukuman di sana.... dess!" Fang Fang menendang laki-laki ini, tepat mengenai bawah dagu" dan si bule kontan menjerit. Dia terpental dan terbanting roboh, seketika kelengar, pingsan! Dan ketika Fang Fang berkelebat ke tempat lain dan Han-kongcu pucat melihat anak buahnya hancur berantakan tiba-tiba pemuda itu meloncat ke kereta dan menegakkan kereta yang terguling ini. Lalu begitu berdiri dan tidak menghiraukan sekeliling lagi tiba-tiba pemuda itu mencengklak dan melarikan kudanya. "Heii...!" sang ayah terkejut. "Tunggu aku, Han Kian. Jangan ditinggal...!" Namun sang anak sudah terlampau gentar. Entah bagaimana Han-kongcu itu malah mempercepat lari kereta, ayahnya berteriak-teriak tapi seolah tak didengar. Namun ketika Fang Fang berkelebat dan berjungkir balik melewati kereta maka Hankongcu terkejut karena Fang Fang meluncur turun di tempat duduknya dan memberi sebuah tendangan. "Kau berhentilah!" Han-kongcu menjerit. Dia kaget dan panik begitu melihat Fang Fang. Berhadapan dengan Bu-goanswe saja dia sudah pucat, apalagi pemuda lihai ini. Maka begitu dia terlempar dan terguling-guling dari keretanya seketika pemuda itu mengeluh dan ngeri serta minta ampun. Tigapuluh orang anak buahnya sudah tumpang-tindih di sekitarnya tanpa dapat menolong. Han-kongcu benar-benar tinggal sendiri karena ayahnya saat itu sedang serang-menyerang dengan Bu-goanswe, dengan goloknya, karena senjata api sang ayahpun sudah habis pelurunya dan tak sempat diisi lagi. Han-kongcu benar-benar sendiri dan pemuda itu terbang semangatnya, mau meloncat bangun tapi apa daya tendangan Fang Fang tadi demikian keras. Pemuda ini tak dapat bangun dan roboh lagi karena seluruh tubuhnya seakan remuk, dadanya sesak. Maka ketika Fang Fang berkelebat dan menotoknya dengan sebuah telunjuk jari seketika pemuda itu terjungkal dan Han-ciangkun yang melihat itu tiba-tiba berteriak dan meninggalkan Bu-goanswe. "Berikan anak terkutuk itu kepadaku!" Fang Fang terkejut. Han-ciangkun melompat ke arahnya dan golok di tangan tibatiba dibuang, hal yang membuat Fang Fang tertegun, lega, menganggap Han-ciangkun itu tak akan menyerang dan dia mundur. Tapi begitu Han-kongcu didekati dan sang ayah mencabut sesuatu, pistol cadangan, tiba-tiba saja pistol itu diarahkan ke kepala Han-kongcu dan : anaknya itu ditembaknya dengan keji. "Dor!" Kejadian berlangsung cepat. Fang Fang sendiri tak mengira kejadian itu dan berteriaklah sang anak ditembak dari dekat. Kepala Han-kongcu berlubang dan tentu saja pemuda itu tewas seketika, menggelepar dan tidak bergerak-gerak lagi, nyawanya terbang ke langit. Dan ketika Fang Fang membentak dan siap menghadapi kejadian berikut, karena Hanciangkun diduga akan menyerang dan kalap ternyata laki-laki itu membuang senjata apinya dan tersedu, berlutut. "Aku menyerah, tapi anakku sudah kuhukum. Semua terserah Bu-goanswe atau Fang-siauwhiap (pendekar muda Fang) untuk memperlakukan aku!" Bu-goanswe dan Fang Fang membelalakkan mata. Mereka tak mengira atau menduga kejadian cepat itu. Han-ciangkun menembak anaknya! Tapi ketika Bu-goanswe sadar dan membentak maju maka jenderal ini menendang dan memaki lawannya itu. -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXI "KAU manusia biadab. Tak kenal kasihan!" Han-ciangkun menangis. "Maaf, aku terpaksa melakukan itu, goanswe. Anakku memang berdosa dan hanya kematianlah yang pantas untuknya. Aku tak menduga bahwa ia terlibat dalam perdagangan senjata gelap. Aku malu dan lebih baik kubunuh daripada dibunuh orang lain!" Bu-goanswe melotot. "Kau sangka dirimu juga bersih" Kau menganggap diri sendiri tak terlibat dalam perdagangan ini" Bah, aku tahu semuanya, Han-ciangkun. Dan kau juga tak luput dari dosa. Hayo ikut ke kota raja dan pertanggungjawabkan semua ini ditambah lagi kematian anakmu yang kaubunuh!" "Aku tak melakukan jual beli senjata gelap," Han-ciangkun terbata. "Yang bersalah adalah anakku, goanswe. Yang berdosa adalah anakku. Aku tak tahu dan sudah berulang kali menasihatinya untuk tidak melakukan yang tidak-tidak namun dia melanggar!" "Hm, tak usah banyak omong. Di sana ada kusir Tek dan dialah yang akan menceritakan sepak terjangmu pula. Hayo, kau kutangkap. Menyerah baik-baik atau terpaksa aku menghabisi nyawamu!" "Aku memang sudah menyerah," si panglima menunduk. "Mau dibunuh atau tidak adalah urusanmu, goanswe. Tapi tentang tuduhan ini aku dapat membela diri di istana. Baiklah, boleh kau ikat aku dan mari kita lihat." Bu-goanswe mendengus. Dia menyuruh Hu-ciangbu mengikat dan selesailah pertempuran di situ. Orang-orang yang roboh malang-melintang juga diikat, akhirnya diseret dan dibawa ke kota raja. Mayat Han Kian atau Han-kongcu itu dikubur. Semua diam-diam bergidik melihat kekejaman Han-ciangkun ini. Betapa teganya. Anak sendiri dibunuh! Tapi ketika Han-ciangkun ditawan dan menyerahkan diri baik-baik ternyata di kota raja terjadi suatu kejadian yang tak diduga. A-tek, kusir kereta yang diselamatkan Bu-goanswe dari pembunuhan Han-kongcu ternyata meninggal. Laki-laki itu kedapatan menggantung diri di atas pohon. Tak ada bekas-bekas siksaan, tak ada bekas-bekas penganiayaan. Dan ketika Bu-goanswe memeriksa dan mendapatkan sepucuk surat tinggalan, yang digenggam di tangan laki-laki itu ternyata A-tek bunuh diri karena takut pembalasan Han-kongcu. "Aku tak mau menjadi saksi. Aku takut. Aku hanyalah orang kecil. Biarlah Bugoanswe urus sendiri persoalan itu dan lebih baik aku ke alam baka." Sang jenderal tertegun. Fang Fang i-kut membaca dan terkejut. Kusir itu, seorang laki-laki muda berperawakan kurus rupanya memang dilanda ketakutan bertubi-tubi, setelah akan dibunuh Han-kongcu yang akhirnya juga tewas. Laki-laki itu rupanya gelisah dan kelihatan bingung, mengambil jalan pendek dan rupanya dia memilih bunuh diri daripada disuruh menjadi saksi oleh Bu-goanswe, jenderal yang garang dan keras. Dan ketika Fang Fang membelalakkan mata sementara sang jenderal membanting kakinya, kecewa, maka mayat laki-laki itu diturunkan namun Bu-goanswe tetap menghadapkan Han-ciang-kun dalam tuduhan terlibat perdagangan senjata api, di depan kaisar. Namun Bu-goanswe kalah bukti. Semua tawanan yang ditangkap rata-rata memberikan keterangan bahwa mereka tak berhubungan dengan panglima she Han itu. Yang mereka hubungi adalah Han-kongcu, puteranya. Dan karena saksi satu-satunya tiada lagi karena hanya kusir Tek itulah yang tahu segalanya ma-ka Han-ciangkun dibebaskan dari tuduhan dan Bu-goanswe malah disuruh minta maaf! "Gila!" sang jenderal melotot gusar. "Aku tahu bahwa Han-ciangkun inilah yang membawahi anaknya, Fang Fang. Dialah yang bersembunyi di balik layar dengan mengatur perdagangan senjata gelap. A-tek telah menceritakan kepadaku karena kusir itulah yang telah berkali-kali disuruh mengantar dan memberikan senjata api kepada orang-orang tertentu, calon pemberontak!" "Hm, tapi kau tak mempunyai bukti lagi," Fang Fang mengerutkan alis. "Di sini kau lemah, goanswe. Dan tanpa bukti memang tak mungkin kau menuduh membabi-buta kepada Han-ciangkun. Panglima itu ternyata bersih. Kaisar dapat membedakan kesalahan anaknya dan sang ayah. Kau tak boleh melepaskan kebencian." "Keparat, kebencian bagaimana" Aku tahu Han-ciangkun itulah yang berdiri di balik layar, Fang Fang. Dialah yang mengatur semuanya ini dan memasang sang anak di depan!" "Tapi kau tak dapat membuktikannya." "Ya, karena bocah she Tek itu telah mati. Tapi aku curiga. Jangan-jangan kusir itu bukan menggantung diri melainkan digantung orang lain!" "Hm," Fang Fang tersenyum hambar. "Menurutkan emosi dan bicara dalam keadaan panas begini dapat menduga yang tidak-tidak, goanswe. Akan semakin melantur saja. Sebaiknya kautenangkan diri dan beristirahatlah. Aku mau pergi." Sang jenderal melompat. "Tidak," serunya menggigil. "Enam bulan ini terjadi gerakan-gerakan serius, Fang Fang. Sejak kau pergi mencari anakmu itu diam-diam di kota raja timbul persekongkolan tidak sehat. Kuminta jangan kau pergi dulu dan tolonglah negara mengatasi kesulitan!" "Hm," Fang Fang mengerutkan kening. "Aku punya urusan, goanswe. Dan kau tahu itu. Aku tak mau diganggu dan tak kulihat gejala-gejala seperti yang kaukatakan itu." "Goblok, kau memang orang awam! Kau tak tahu bencana yang akan terjadi! Ah, dengar kata-kataku, Fang Fang. Sejak kau dan gurumu pergi dari sini maka di kota raja terjadi kasak-kusuk dan jual beli senjata api. Masing-masing panglima mau berkomplot dan mengadakan pemberontakan. Mereka dihasut seseorang dan orang inilah yang hendak kucari. Jangan kau pergi!" Fang Fang terkejut. "Kau serius?" "Setan, pernahkah aku bicara mainmain" Eh, jangan memandang aku seperti itu, Fang Fang. Aku serius dan kau tahu aku tak pernah bohong! Nah, dengarkan. Di sini ada gerakan-gerakan kuat yang bertendens jual beli senjata api. Dan karena senjata api adalah alat untuk memberontak maka negara sesungguhnya berada dalam bahaya dan perang. Kaudengarkan ini!" sang jenderal mencengkeram lengan si pemuda, tak mau Fang Fang pergi dan pemuda yang sudah bangkit berdiri itu disuruhnya duduk kembali. Sang jenderal tampak serius, gemetar. Dan ketika Fang Fang duduk dan mendengarkan dengan mata terbelalak maka satu demi satu pemuda itu mulai mengetahui apa yang semula tidak diketahui. Ternyata, sejak kepergiannya enam bulan yang lalu tiba-tiba saja gerakan itu muncul. Jual beli senjata api menderas dan hanya Bu-goanswe serta beberapa orang tertentu sajalah yang tahu. Semua i-tu terjadi secara diam-diam dan Bugoanswe tentu saja terkejut. Senjata api dilarang di Tiongkok. Siapa yang melakukan akan dirampas dan pelakunya dihukum. Paling ringan penjara seumur hidup, selebihnya adalah hukuman mati! Tapi ketika semua itu tak menjadikan pelakunya jera dan perdagangan demikian santer di dalam istana maka Bu-goanswe marah dan mulai bertindak Tapi mereka adalah orang-orang licin. Bu-goanswe menghadapi sindikat yang rapi dan teratur, juga cerdik. Setiap gerakan itu terlihat dan akan ditangkap tibatiba saja mereka menghilang. Bukti-bukti lenyap, seperti hilangnya kereta yang ditumpangi Han-kongcu itu. Kejadian yang membuat jenderal Bu melotot lebar dan menggeram membanting-banting kaki. O-rang yang dihadapi ternyata manusia-manusia licin di mana berkali-kali dia gagal dan menemui kehampaan. Namun karena gerakan itu deras arusnya dan betapapun tercium juga maka pagi itu Bu-goanswe mencegat Han-kongcu tapi si pemuda sudah keburu kabur. "Gerakan ini menjadi-jadi. Mereka demikian berani dan akan melakukan apa saja sejak kau dan gurumu tak ada di sini. Nah, ini mungkin alasan yang menjadikan mereka kurang ajar dan berani, Fang Fang. Sampai tadi pagi aku menerima informasi akan gerak-gerik Han-kongcu itu. Kusirnya, A-tek, disiksa dan dijebloskan ke sumur maut. Aku kebetulan mendengar rintihannya dan menolong. Dan ketika kusir itu kunaikkan dan kutanya maka semua perbuatan Han-kongcu diceritakan dan aku sempat memeriksa kereta beratap hitam itu. Tapi sayang, bocah itu terlalu licin dan kereta yang kumaksud sudah ditukar dan kini entah berada di mana!" "Hm-hm, agaknya cukup serius," Fang Fang mengangguk-angguk. "Tapi kau baru mendapatkan seorang bocah she Han itu saja, tidak lain-lainnya. Barangkali memang hanya Han-kongcu ini saja yang terlibat, goanswe. Selebihnya bukan!" "Tidak, bukan begitu!" sang jenderal melotot. "Aku mendengar lagi tiga empat perwira melakukan hal yang sama, Fang Fang. Tapi aku seorang diri tentu saja tak sanggup menyelidiki berbareng. Aku dan Koktaijin coba membagi tugas dan kebetulan aku yang lebih dulu mengejar Han-kongcu itu tapi sayang si bocah sudah ditembak ayahnya sendiri!" "Dan A-tek itu, kenapa dia disiksa dan hendak dibunuh?" "Kusir itu ketakutan, Fang Fang. Katanya dia sudah diawasi Koktaijin dan takut keluar membawa senjata kiriman. Kiranya Koktaijin juga sudah mengendus gerakgerik Han-kongcu itu tapi aku yang lebih dulu mengejarnya!" "Dan A-tek dibunuh, karena tak mau mengantar senjata?" "Benar." "Dan siapa perwira-perwira lain yang kaucurigai itu?" "Lieciangkun dan Gokciangkun serta panglima Coa dan Bing!" "Hm, nama-nama yang belum kukenal, tapi sudah pernah kudengar. Bukankah mereka adalah komandan-komandan perbatasan yang sering berganti tugas?" "Itulah, tapi aku tak mendapat bukti, Fang Fang. Mereka orang-orang licin bagai belut yang tak mudah ditangkap!" "Dan aku hendak kau minta menjebak orang-orang ini, begitukah?" "Betul, aku sendiri dan Koktaijin kurang tenaganya, Fang Fang. Tak mungkin kami berdua harus menangkap sindikat penjualan senjata api itu tanpa bantuan tenaga yang lihai. Dan kebetulan kau datang. Aku sudah mengutus orang untuk mencarimu tapi kau tak tentu rimbanya!" "Hm, aku pergi ke mana-mana, mencari anakku yang hilang itu. Masa tinggal di suatu tempat hingga mudah ditemukan?" "Baiklah, aku mengerti, Fang Fang. Dan aku prihatin bahwa kau belum juga menemukan anakmu itu. Aku berjanji a-kan menyebar orang-orangku untuk menemukan anakmu yang hilang itu, sementara kau bantulah aku menjebak dan membekuk orangorang yang menjualbelikan senjata api ini. Kau tidak keberatan, bukan?" "Hm," Fang Fang menarik napas. "Sebenarnya berat aku melaksanakan permintaanmu ini, goanswe. Tapi karena ini menyangkut calon-calon pemberontak biarlah kulakukan. Tapi kau berjanjilah sungguh-sungguh bahwa kaupun menyebarkan orangorangmu untuk mencari anakku yang hilang itu!" "Tentu, aku berjanji, Fang Fang. Dan aku siap menyebar seratus anak buahku Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencari anakmu itu!" Fang Fang mengangguk. Dia percaya dan akhirnya mau juga menerima permintaan ini. Bu-goanswe memang patut ditolong. Tapi ketika dia siap melaksanakan tugas mendadak sebuah panggilan dari kaisar didapatnya. "Siauwhiap diminta datang menghadap. Sri baginda ingin menemui siauwhiap." "Ada apa?" Fang Fang tertegun. "Kami tak mengerti, tapi harap siauwhiap datang dan kami siap mengiring." "Hm, tak usahlah," Bu-goanswe tiba-tiba berseru, juga merasa aneh. "Biar aku yang membawa pemuda ini ke sana, pengawal. Pergi dan sampaikan kepada sri baginda bahwa sebentar lagi kami datang!" Gajahmada 1 Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad Pendekar Riang 15