Ceritasilat Novel Online

Playboy Dari Nanking 14

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 14 terdengar jelas dan Fang Fang terkejut karena gabungan tenaga duabelas orang itu membuatnya terhuyung maka dia terdesak dan belum apa-apa sudah keteter! "Hi-hik!" nenek Yok Bi terkekeh. "Bagus, Twaliong.... bagus. Hantam pemuda itu dan bunuh dia!" "Kami pasti membunuhnya," si Naga Pertama bersinar. "Dia murid Dewa Mata Keranjang, Yok Bi. Dan kau tahu betapa sakit hati kami kepadanya!" dan ketika duabelas ruyung itu bergerak kembali sementara senjata api siap meletus sewaktuwaktu maka si Setan Pemabok yang tadi bersembunyi menghilang mendadak muncul lagi dan tertawa dengan bulibuli baru di tangan kanannya. "Ha-ha, dan kubantu kalian, Cap-ji-liong. Hampir kalian terlambat datang kalau tidak dipanggil isteriku!" Fang Fang membelalakkan mata. Dia marah ketika tiba-tiba saja dari segala penjuru lawan sudah berkelebatan dengan senjata di tangan. Ruyung itu menderuderu dan kadang kala juga menjeletar, suaranya memekakkan telinga dan kalau bukan Fang Fang barangkali sudah pecah kepalanya. Tapi karena Fang Fang adalah murid Dewa Mata Keranjang dan hampir semua ilmu gurunya telah diwariskan kepadanya maka begitu dia didesak dan Ok-tu-kwipun muncul tiba-tiba Fang Fang mengeluarkan seruan panjang dan kedua tangannya mengembang di kanan kiri. "Siap-siap!" Fang Fang sudah beterbangan seperti burung srikatan. Apa boleh buat dia mengeluarkan Sin-bian Ginkang-nya itu dan ilmu meringankan tubuh ini membuat Fang Fang berkelebatan di antara senjata-senjata lawan. Demikian ringan dan entengnya gerakan tubuh Fang Fang itu hingga tersentuh angin sambaran ruyung saja dia sudah terdorong, tentu saja pukulan lawan luput mengenainya dan itu membuat duabelas Naga Siluman marah dan gusar, di samping tentu saja kagum. Dan ketika Fang Fang mulai meledakkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang dan lawan terkejut merasakan hawa panas maka naga keduabelas, orang termuda di antara Capji-liong itu menjerit ketika dia tak tahan dan terpelanting ditangkis ruyungnya. "Plak!" Saudara-saudaranya yang lain terkejut. Mereka juga merasakan itu dan kini tamparan-tamparan Fang Fang selalu menggetarkan mereka. Hawa panas itu menjalar dan mereka kaget. Dan ketika ruyung serasa terbakar karena Fang Fang menambah kekuatannya itu maka orang ke sebelas tiba-tiba juga berteriak karena telapaknya melepuh. "Aduh..!" Fang Fang sudah tertawa. Akhirnya dia dapat menghadapi duabelas lawannya itu setelah berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya Kapas Sakti. Lalu begitu dia mainkan Pek-in-ciang dan Pukulan Awan Putih itu mengeluarkan cahaya-cahaya panas maka orang-orang termuda di antara duabelas Naga Siluman itu tak tahan. Yang satu terbanting ditangkis ruyungnya sedangkan yang lain lagi melepuh. Senjata di tangan berobah seolah bara api dan tentu saja orang itu terkejut, berteriak dan melempar ruyungnya. Dan ketika yang lain terbelalak dan kaget serta pecah perhatiannya maka Fang Fang membalas mereka dengan tamparan-tamparan kilat. "Nah, tadi kalian bersombong. Sekarang coba robohkan aku dan bunuh kalau bisa!" Duabelas Naga itu pucat. Twaliong, orang pertama, menggereng dan marah. Dua adiknya sudah tak dapat maju lagi karena mengaduh-aduh di sana. Mereka sibuk mendinginkan tangan yang terbakar dan itu cukup merupakan pukulan. Gusarlah orang pertama dari Cap-ji Koai-liong ini karena Fang Fang mendesak mereka. Dan ketika dia membentak dan menyuruh saudara-saudaranya untuk maju lebih hebat lagi maka Fang Fang berkelebatan kian cepat hingga tak dapat disentuh ruyung. "Ha-ha, lihat kalian semua, Cap-ji Koai-liong. Lihat betapa aku akan merobohkan kalian. Waspadalah!" dan ketika Fang Fang tertawa dan bergerak mendahului mereka tiba-tiba tiga di antara mereka menjerit terpelanting roboh. Fang Fang menunjukkan kelihaiannya dengan mengikuti gerakan ruyung, berputar dan mendahului seolah seekor burung garuda yang siap mematuk lawan. Dan ketika dia menukik dan melakukan tamparan tiga kali maka tiga orang itu terbanting dan tak dapat bangkit lagi. "Aduh!" Itu membuat yang lain-lain pucat. Twaliong, orang pertama, melotot dan geram Dia mulai gentar karena Fang Fang seperti gurunya, Dewa Mata Keranjang yang hebat dan sakti itu. Dan ketika dua di antara saudaranya kembali menjerit dan roboh, ruyung mereka patah sementara tangan bengkak kebiruan maka Twaliong membentak agar Ok-tu-kwi yang berkeliaran dan menyemprot-nyemprotkan arak dari jauh supaya maju dan tidak bersikap pengecut. "Kau jangan hanya menyuruh kami yang ada di depan. Majulah dan hadapi pemuda ini dengan jantan!" "Ha-ha, aku hanya membantu, Twaliong, bukan orang yang berhadapan langsung. Kalau kau takut, mundurlah. Pemuda ini memang lihai!" 'Apa" Kau menyuruh kami mundur" Keparat, kami datang karena membantu dirimu, Oktu-kwi. Bukan kau yang membantu kami. Seharusnya kau yang di depan dan aku di belakang!" "Ha-ha, itu sudah kulakukan tadi, tapi pemuda ini terlalu hebat. Kalau kewalahan lebih baik gerakkan pistol di tangan, Twaliong. Dan mari bunuh bersama-sama.... dor!" Twaliong seolah diingatkan, si Setan Pemabok sudah meletuskan senjata apinya dan melesatlah peluru di pinggir telinga Fang Fang, luput. Dan ketika Fang Fang terkejut karena Twaliong dan lain-lain sudah menggerakkan pistol di tangan kiri maka berturut-turut desingan senjata api menyambar tubuhnya. "Dor-dor!" Fang Fang marah. Empat peluru menyambar tapi mental bertemu tubuhnya. Dia secepat kilat mengerahkan sinkang dan melindungi diri, memasang kekebalannya itu. Dan ketika lawan terbelalak dan dia membalas, bergerak dan mencabut pistol dengan tangan kiri maka berhamburanlah enam peluru menyambar mereka. "Dor-dor!" Keadaan menjadi ramai. Twaliong dan adiknya melempar tubuh bergulingan, mereka tak berani menerima seperti halnya Fang Fang menerima peluru-peluru itu, tanda sinkang mereka tak sekuat si pemuda. Dan ketika Fang Fang bergerak dan mengarahkan pistolnya pada Ok-tu-kwi maka si Setan Pemabok itu menjerit karena buli-bulinya pecah! "Huwaduh, celaka. Mati aku...!" dan si Setan Pemabok yang bergulingan menjauh dan meloncat bangun lalu terbirit-birit melarikan diri dan tidak perduli pada duabelas Naga itu lagi, tentu saja membuat yang bersangkutan kaget dan geram. Cap-ji-liong datang untuk membantu si Pemabok, tiba-tiba, eh... kini kakek itu melarikan diri. Dan karena Fang Fang terus bergerak dan membalas mereka dengan tembakan-tembakan pula maka empat dari duabelas Naga itu akhirnya terluka. Mereka berteriak dan terbanting dengan tubuh berlumuran darah. Fang Fang tertawa dan bersinar-sinar, sorot matanya mulai dingin karena dia marah kepada orangorang ini. Dan ketika Twaliong melempar tubuh bergulingan sambil menyambar seorang saudaranya maka orang tertua dari duabelas Naga itu berteriak agar melarikan diri. "Mundur.... mundur...! Ok-tu-kwi telah meninggalkan kita!" Duabelas orang itu tunggang-langgang. Mereka yang terluka disambar saudaranya masing-masing untuk diselamatkan. Fang Fang tertawa dan menyimpan kembali pistolnya, karena pelurunya habis. Dan ketika dia bergerak dan tentu saja mengejar orang-orang ini, Ci Leng dan gurunya telah kabur semua maka pemuda itu berkelebat dan berseru menakut-nakuti. "He, jangan lari. Aku masih ingin memenggal kepala kalian!" Namun tiba-tiba terdengar rintih dan panggilan seseorang. Fang Fang sudah berkelebat di luar kelenteng ketika tiba-tiba panggilan itu ditujukan kepadanya, lemah dan berasal dari dalam. Dan ketika Fang Fang tertegun karena serasa mengenal suara itu maka dia berhenti dan masuk ke dalam, ingin melihat. "Siauwhiap.... to.... tolong. Aku ingin bicara kepadamu...!" Dan Fang Fang tertegun. Dari balik meja altar tiba-tiba memberosot seseorang dengan muka berlumuran darah. Orang itulah yang memanggil-manggilnya tadi -dan sejenak Fang Fang tak mengenal. Tapi ketika tubuh ini keluar semua dan seorang laki-laki pendek gendut merintih dan mengerang-erang maka Fang Fang terkejut karena itulah bupati Se-wai. "Tong-taijin...!" -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXV BUPATI itu mengangguk. Fang Fang sudah bergerak dan menyambar bupati ini, yang merintih dan mengaduh ketika dia memegang tubuhnya. Dan ketika bupati itu berseru agar Fang Fang tidak keras-keras memegang tubuhnya, yang kesakitan dan penuh darah maka Fang Fang melepaskan pegangannya dan terkejut. "Kenapa kau ini. Ada apa. Bagaimana bersembunyi di kolong altar!" "Aduh, ah... aku... aku disiksa secara kejam dan tidak berperikemanusiaan, Fangsiauwhiap. Aku dipukuli dan dijadikan seperti ini. Aku menderita lahir batin oleh perbuatan Gak-taijin!" "Hm, Gak-taijin" Apa maksudmu?" "Dia... dia itulah yang menipu aku, siauwhiap, juga kau. Gak-taijin berada di balik semua peristiwa ini!" "Maksudmu...?" "Ah, tolong aku dahulu, siauwhiap. Aku tak kuat, aku luka-luka. Aku tak dapat bicara banyak kalau kau tidak menolongku...!" Fang Fang sadar. Sebenarnya bupati inilah yang dia cari-cari dan hendak diberi hukuman. Tapi karena orang tampaknya sekarat dan apa yang dikatakan bupati itu menarik perhatiannya, setelah dia diserang dan dicurangi Ci Leng dan gurugurunya tadi maka Fang Fang menolong dan membalut luka-luka di tubuh Tong-taijin itu. Dia merobek dan tidak ragu-ragu membelah baju bagus bupati itu, yang pinggirannya bersulamkan benang emas dan kancing-kancing bermata mutiara. Dan ketika bupati itu merintih tapi Fang Fang cepat mengeluarkan obat penawar sakit, menjejalkannya ke mulut bupati itu maka Tongtaijin mulai dapat bicara lebih baik. "Aku tak nyana akan bertemu denganmu di sini. Aku disiksa, disekap. Sudah tujuh hari tujuh malam tak makan tak minum. Aduh, tolong balaskan sakit hatiku, siauwhiap. Bawa aku ke kota raja dan kita lapor Cun-ongya!" "Hm, apa yang terjadi" Bagaimana asal mulanya?" "Aku ditipu Gak-taijin, siauwhiap, masalah senjata-senjata api itu. Aku., aku mendapatkannya darinya dengan sistim jual beli..." "Jual beli" Jual beli bagaimana?" "Ah, terlalu panjang ceritanya, siauwhiap. Bawa saja aku ke kota raja dan di dalam perjalanan aku akan bercerita!" Fang Fang menatap tajam. Dia tahu bahwa bupati ini adalah seorang licik dan cerdik. Berapa kali dia terkecoh dan kenyang tipuannya. Maka ketika orang minta antar ke kota raja sementara dia tak tahu apa yang menjadi sebab hingga bupati itu luka-luka, hal yang seharusnya malah disyukurinya maka Fang Fang mengejek dan tertawa berkata, "Tong-taijin, kau dan aku adalah orang-orang yang sama sekali tidak menaruh kepercayaan satu sama lain. Bagaimana demikian enak kau meminta antar" Apa kiramu aku akan mau?" "Kau... kau pasti mau, siauwhiap. Ini penting, penting sekali. Aku akan membuka kebusukan Gak-taijin di depan atasannya!" "Hm, Cun-ongya?" "Benar." "Dan kau sendiri tak menyimpan kebusukan?" "Ah," bupati itu menyeringai, menahan sakit. "Aku juga menyimpan kebusukan, siauwhiap. Tapi yang disimpan Gak-taijin itu jauh lebih busuk dan kotor lagi. Dialah pedagang gelap senjata api. Dialah yang diam-diam memberikan senjatasenjata api kepada calon-calon pemberontak yang akan merongrong kaisar yang kurang berwibawa!" "Ha-ha!" Fang Fang tak percaya. "Kau pandai mengarang cerita, Tong-tai-jin. Dan ingin kutahu bagaimana muka sri baginda kalau mendengar terang-terangan kau mengatakannya sebagai kaisar yang kurang berwibawa. Hm, aku kini ingin menangkapmu, taijin, dan membawamu ke istana. Tapi bukan karena laporanmu tentang Gak-taijin melainkan tentang sepak terjangmu sendiri!" "Boleh!" bupati itu tiba-tiba menantang. "Itu sama saja bagiku, siauwhiap. Betapapun Gak-taijin pasti kugigit. Cepatlah, bawa aku ke istana dan laporkan semua sepak terjangku!" Fang Fang tertegun. Kalau begini tentu saja dia tercengang. Heran, bupati ini tak takut-takut menerima ancamannya dan justeru ingin cepat-cepat dibawa ke istana. Katanya, Gak-taijin akan "digigit" pula kalau dia sudah berhadapan dengan kaisar. Dan karena sikap atau kata-kata bupati itu terasa sungguh-sungguh dan tidak dibuat-buat, pasti betul-betul ada sesuatu yang penting maka Fang Fang melengak dan berdebar juga. "Hm, kau serius, taijin, dan agaknya kali ini aku boleh percaya. Baiklah, ceritakan padaku apa yang kauketahui dan kuantar kau ke kota raja!" "Ah, kalau begitu cepat, siauwhiap. Musuh-musuh kita akan datang lagi dan jangan sampai aku dibunuh. Aku telah melihat pertempuranmu tadi, dan aku percaya padamu. Bawalah aku ke istana dan laporkan semua kejahatanku!" Fang Fang tak menunda waktu lagi. Sang bupati yang tak dapat bangkit berdiri segera disambar dan diangkatnya, lalu begitu orang berteriak girang Fang Fang pun sudah berkelebat dan keluar meninggalkan kuil tua itu. "Nah, sekarang kau boleh bercerita, taijin. Cepat atau aku akan membuangmu ke jurang!" Tong-taijin segera bercerita. Dia mengatakan bahwa apa yang terjadi di Se-wai sebenarnya adalah atas perbuatan Gak-taijin itu juga. Harga-harga kebutuhan pokok yang naik dua kali lipat sebenarnya diakibatkan perbuatan Gak-taijin. Bupati itu diminta untuk mengirimkan uang sebanyak-banyaknya, sebagai pajak. Dan ketika Fang Fang bertanya untuk apa uang itu, uang pajak apa pula, maka Tongtaijin meringis menerangkan gentar. "Gak-taijin hendak menyusun angkatan perang yang kuat, secara diam-diam. Gubernur itu butuh senjata api yang banyak untuk memberontak. Dan karena semua i-tu membutuhkan uang dan biaya yang banyak maka bupati-bupati bawahannya diperintahkan untuk menambah uang upeti setiap bulan dua kali lebih banyak daripada biasanya. Dan kami, bupati-bupati bawahannya, tentu saja lalu mencari semua dana itu dengan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok untuk menutup keinginan Gak-taijin!" "Ah, benarkah?" Fang Fang terkejut. "Kau tidak bohong?" "Boleh buktikan ke bupati-bupati yang lain, siauwhiap. Coba tanya dan selidiki bupati An-tien, juga bupati Po-tien dan Sha-yang!" Fang Fang berobah mukanya. Tiba-tiba dia terkejut kalau apa yang dikata bupati ini benar. Gak-taijin akan memberontak, dengan pasukan kuat yang semuanya dipersenjatai senjata api! Dan karena dia sudah membuktikan bahwa hampir semua pengawal di tempat gubernur itu memang membawa senjata api maka Fang Fang hampir percaya kepada apa yang dikatakan Tong-taijin ini. Namun dia tak boleh gegabah. Nama-nama tiga bupati yang tadi disebut Tong-taijin akan diselidikinya. Dan mudah menyelidiki itu: bertanya kepada rakyat! Dan karena tiga nama-nama tempat yang tadi disebut bupati ini juga searah dengan perjalanan ke kota raja maka Fang Fang sudah mengerahkan ilmu lari cepatnya dan terbang ke kota-kota itu. Tapi baru dia meninggalkan kuil dan memasuki hutan di depan tiba-tiba seribu pasukan bersenjata lengkap menghadang! Fang Fang terkejut karena di sana tampak Ok-tu-kwi serta isteri dan muridnya, Ci Leng. Dan ketika Fang Fang tertegun karena moncong senjata-senjata api sudah terarah kepadanya, siap tembak maka Oktu-kwi tertawa bergelak menyemburkan araknya ke atas. "Ha-ha, selamat bertemu lagi, bocah. Tapi pertemuan kita adalah pertemuan yang bersahabat. Kami tidak bermaksud menyerangmu, melainkan meminta agar bupati Tong itu kauserahkan kepada kami. Dia berkhianat terhadap Gak-taijin, belum mampus dan ternyata masih hidup. Nah, serahkan bupati itu dan kau boleh pergi secara baik-baik!" "Tidak!" Tong-taijin tiba-tiba berteriak. "Lari dan selamatkan aku, siauwhiap Jangan serahkan aku kepada mereka. Lari!" Fang Fang mengepal tinju. Sebenarnya melihat tiga musuh-musuhnya ada di situ ingin dia menerjang dan menghajar. Ci Leng si gadis penipu itu tersenyum-se-nyum mengejek, Fang Fang ingin bergerak dan menangkap bekas kekasihnya ini. Tapi karena Tong-taijin ada di pundaknya dan bupati itu merupakan saksi hidup yang baik sekali untuk dihadapkan kepada kaisar maka Fang Fang bingung apa yang harus dilakukan. Dan pasukan itu sudah bergerak. Ok-tu-kwi menyembur-nyembur-kan araknya ke atas dan Ci Lengpun tertawa membujuk Fang Fang. Suara merdu gadis itu seakan berobah suara ular bagi telinga Fang Fang. Dan ketika dia tertegun dan masih ragu, musuh sudah kian mendekat mendadak sebuah letusan terdengar mengiringi derai tawa Ok-tu-kwi. "Aduh!" Tong-taijin menjerit. Fang Fang kaget karena dari sebelah kirinya tiba-tiba menyambar letusan itu, padahal musuh rata-rata ada di depan. Dan ketika dia menoleh dan kaget membelalakkan mata ternyata muncul Twaliong dan saudarasaudaranya itu, yang secara diam-diam bersembunyi di sebelah kirinya. "Ha-ha, serahkan bupati itu, Fang Fang. Atau dia akan mati konyol!" Fang Fang menggeram. Sekejap kemudian letusan pistol kembali terdengar, kini dari sebelah kanan dan Tong-taijin kem bali menjerit. Dan ketika Fang Fang diancam untuk menyelamatkan bupati itu atau menerjang lawan, yang berakibat Tong Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo taijin akan celaka maka Fang Fang membentak dan tiba-tiba berkelebat memutar tubuhnya. Apa boleh buat Fang Fang harus meninggalkan musuh-musuhnya dan terbanglah pemuda itu membawa Tong-taijin yang mengaduh-aduh. Bupati itu terkena dua kali tembakan dan semuanya mengenai paha, peluru tinggal dan menancap di dalam daging, tentu saja bupati i-tu tak kuat dan berteriak-teriak. Tapi ketika Fang Fang melarikan diri dan musuh mengejar, Ok-tu-kwi tertawa bergelak tibatiba dari depan muncul empat bayangan dan Bhi-kong-ciang Sia Cen Lin alias nenek Lin Lin muncul bersama tiga nenek yang lain, May-may dan Bi Hwa serta Bi Giok! "Fang Fang, lepaskan bupati she Tong itu!" Fang Fang kaget bukan main. Empat kekasih gurunya muncul, menyerang dan membentak ketika dia melarikan Tong-taijin itu. Dan karena musuh di belakang mengejar sementara empat nenek-nenek ini membentak dan menghadangnya di depan apa boleh buat Fang Fang menggerakkan tangan kanannya dan semua pukulan itu ditangkisnya. "Des-des-dess!" Fang Fang terlempar berjungkir balik. May-may, nenek yang meledakkan rambut panjangnya itu terhuyung dan melotot beringas. Tiga temannya yang lain dibuat terdorong dan Bi Hwa serta Bi Giok memaki pemuda ini. Fang Fang melayang turun dan pucat melihat empat nenek-nenek itu. Ternyata mereka sudah berdiri di belakang Gak-taijin, jadi, rupanya benar kalau gubernur Gak itu akan melakukan pemberontakan. Dan ketika Fang Fang tertegun dan tak mampu mengeluarkan suara, terhenyak dan kaget maka Bhi-kong-ciang Lin Lin menerjang dan kembali menghantam maju, melepas pukulan Kilat Birunya itu. "Fang Fang, robohlah kau!" Pemuda ini mengeluh. Akhirnya dia mengelak namun May-may dan dua nenek lain sudah menerjang juga, mereka membentak dan Kiam-ciang atau Tangan Pedang dari nenek Bi Hwa dan Bi Giok menyambar, suaranya berdesing dan Tong-taijin sampai pucat. Dan ketika Fang Fang menangkis namun keserempet Tangan Pedang maka bupati itu menjerit karena bahunya luka. "Aduh, mati aku....'" Fang Fang bingung. Di belakang sudah terdengar sorakan dan gemuruh seribu pasukan itu, sementara empat nenek ini menyerangnya semakin kalap dan gencar. Dan ketika rambut meledak-ledak dan Kiam-ciang serta pukulan Kilat Biru menyambar-nyambar dari segala penjuru apa boleh buat Fang Fang membentak dan melepas pukulan Awan Putihnya. Dan begitu Pek-in-ciang atau pukulan Awan Putih ini menangkis semua serangan lawan maka empat nenek itu mencelat dan terbanting bergulingan memaki-maki, kalah kuat namun Fang Fang tidak mengejar. Pemuda ini sudah mendengar derap pasukan yang amat dekat, berkelebat dan melewati neneknenek itu dan terbanglah kembali pemuda ini meninggalkan lawan. Dan ketika empat nenek itu berlompatan bangun dan marah membentak Fang Fang maka Fang Fang dikejar dan kembali tidak diberi napas. "Fang Fang, serahkan Tong-taijin. Atau kau mampus bersamanya!" Fang Fang menggigit bibir. Dia mengibas ke belakang dan empat nenek itu kembali terpelanting. Namun karena mereka mengejar lagi dan itu adalah gangguan maka pemuda ini tertunda langkahnya dan sering menerima serangan dari belakang. Fang Fang marah. "Locianpwe, jangan mengganggu aku. Pergilah, atau aku akan membalas kalian lebih keras!" "Keparat, balaslah, Fang Fang. Balaslah! Kami tak takut dan justeru kamilah yang akan menyerangmu semakin keras!" dan ketika empat nenek itu menerjang dan memaki-maki lagi, Fang Fang dicegat maka barisan berkuda itu datang mendekat dan Ok-tu-kwi serta isteri dan muridnya melepas pelor-pelor berbahaya. Fang Fang mengelak namun Tong-taijin menjerit, menjadi korban dan saat itu letusan pistol kembali terdengar. Fang Fang marah dan gusar bukan main. Dan ketika dia membentak dan berkelebatan dengan Sin-bian-ginkangnya, ilmu Kapas Sakti maka Fang Fang memukul roboh empat nenek di depan, yang dianggap paling berbahaya. "Baiklah, locianpwe tak mau mengindahkan kata-kataku dan sekarang terpaksa aku bersikap keras....bres-bres-bress!" dan empat nenek itu yang terpelanting serta menjerit roboh akhirnya pingsan oleh pukulan Awan Putih pemuda ini, yang bergerak dan sudah menghantam pula ke arah Si Setan Pemabok beserta murid dan isterinya. Ci Leng terlempar lebih dulu dan gadis itupun pingsan tak sempat menghindar, Ok-tu-kwi terpelanting tapi sempat bergulingan menjauhkan diri, begitu pula isterinya. Dan ketika semua berteriak dan kaget oleh bayangan Fang Fang maka pemuda itu membalik dan melarikan diri lagi. Sekarang nenek May-may dan lain-lainnya itu pingsan, Fang Fang dapat bergerak bebas dan menjauhkan diri dari pasukan yang mendatanginya itu, bukan takut melainkan semata ingin menyelamatkan nyawa Tong-taijin, saksi hidup satu-satunya yang diharap dapat bercerita banyak di depan kaisar. Tapi ketika Fang Fang keluar hutan dan jauh meninggalkan pasukan ternyata bupati itu tewas, kepalanya ditembus tiga butir peluru panas "Keparat!" Fang Fang membanting kaki dengan kesal. "Apa gunanya aku bersu-sah payah menyelamatkanmu, Tong-taijin" Sial, kaupun sudah keburu melayang ke alam baka!" dan Fang Fang yang gusar menahan kemarahan akhirnya meletakkan mayat bupati itu di tanah, tepekur tapi akhirnya menggali lubang untuk mengubur jasad Tong-taijin ini. Betapapun orang mati memang harus dimakamkan. Dan ketika semuanya selesai dan Fang Fang berpikir apa sebaiknya yang harus dilakukan maka pemuda itu menggigit bibir akan melabrak Gak-taijin dan pasukannya itu. Tapi Fang Fang teringat akan yang lebih penting. Agaknya, dalam keadaan seperti ini maka dia harus secepatnya ke kota raja. Dia akan menghadap Cun-ongya dan menceritakan semuanya itu, mengharap pasukan kerajaan menggempur dan menangkap Gak-taijin, sebelum pembesar itu menyerang dan mendahului istana. Dan ketika Fang Fang berpikir bahwa itulah yang terbaik, menunda dulu urusannya dengan gubernur she Cak itu maka diapun melangkahkan kaki dan berkelebat ke kota raja. Dan karena bupati An-tien, Po-tien dan Sha-yang juga sekaligus dilewati maka Fang Fang bergerak sekaligus menyelidiki kebenaran kata-kata bupati Tong itu. Dan begitu dia bergerak dan meninggalkan tempat itu maka Fang Fang ke kota raja sambil menyelidiki tiga tempat yang disebut mendiang bupati she Tong, yang ternyata benar! "Hm, kebetulan kau ke sini. Ada apa, Fang Fang. Kenapa kau demikian tegang dan seperti orang dikejar setan!" "Aku hendak memberi laporan bahwa Gak-taijin akan memberontak. Aku datang kepadamu karena Cun-ongya yang kucari tak ada!" Bu-goanswe, jenderal yang dekat dengan Fang Fang terkejut pagi itu. Fang Fang telah mendatangi gedung pangeran Cun namun sang pangeran tak ada. Dan ketika berpikir-pikir bahwa sebaiknya dia ke gedung jenderal Bu, jenderal tinggi besar itu maka Fang Fang sudah membangun kan sang jenderal yang pagi itu sebelumnya belum bangun, masih berpiyama dan kusut, belum cuci muka! "Hm, apa maksudmu, Fang Fang. Kau selalu membuat kaget dan cemas orang lain. Kau datang-datang memberi kabar buruk!" "Maaf," Fang Fang tak enak juga, merasa terlalu pagi membangunkan sang jenderal, tak sabar menunggu. "Aku datang memang membawa kabar buruk, goanswe. Tapi ini berkaitan dengan keselamatan negara. Gak-taijin akan memberontak, dan dia sudah menyiapkan angkatan perang secara diam-diam!" "Bagaimana terjadinya" Kau sudah menyelidiki itu dengan betul?" "Sudah, goanswe. Dan semua pasukan gubernur Cak itu dipersenjatai senjata api!" Sang jenderal mencelat kaget. Bu-goan swe berteriak tertahan dan Fang Fang girang melihat jenderal ini tergugah dari mengantuknya yang masih setengahsetengah. Memang Bu-goanswe masih setengah mengantuk menerima Fang Fang, a-gak kaget ketika mendengar rencana pemberontakan tapi betul-betul kaget ketika Fang Fang bicara tentang senjata api, yang jelas-jelas dilarang oleh kaisar dan merupakan dosa besar. Dan ketika jenderal itu tersentak dan melayang turun, mencengkeram pundak pemuda ini maka sang jenderal berseru, "Fang Fang, kau tidak mainmain" Kau bicara benar?" "Ah, aku tak pernah berbohong, goanswe. Dan bukti untuk itu kusimpan untukmu. Aku membawa saksi!" "Saksi?" "Ya. Aku telah dikepung pasukan Gak-taijin, menangkap atau mendapatkan bawahannya yang savang tewas ketika hendak kubawa ke mari. Tapi ketika aku mencari yang lain dan ingat akan ini maka aku membawa saksi hidup yang kini akan bercerita banyak untukmu!" Fang Fang lalu menceritakan peristiwa di tempat Gaktaijin, betapa dia dikeroyok dan diserang pasukan besar yang ingin merampas Tong-taijin, bawahan gubernur Gak itu. Tapi karena Tong-taijin akhirnya tewas diberondong peluru, sementara dia kebal dan tidak apa-apa maka kini bupati Shayang, yang diselidiki dan ditangkap Fang Fang dapat sebagai pengganti Tongcai jin itu. "Ah, di mana dia sekarang. Kausembunyikan di mana. Kenapa tidak ikut!" "Maaf, tadinya aku hendak mengajak bupati Sha-yang itu sekalian ke sini, goan swe, tapi dia takut dan minta disembunyikan. Dan karena aku teringat kamar pemberian Cun-ongya dulu maka kuletakkan dia di sana di samping istana...." "Celaka!" sang jenderal tiba-tiba berkelebat dan memotong. "Kau gegabah dan tolol, Fang Fang. Ayo cepat ambil atau nanti tak keburu lagi!" Fang Fang terkejut. Bu-goanswe sudah melayang dan meluncur seperti terbang, langsung ke tempatnya dulu, kamar atau gedung kecil pemberian Cun-ongya semasa dia tinggal di istana. Dan ketika Fang Fang bergerak dan mengikuti jenderal itu, bahkan menyusul dan mendobrak pintu kamar ternyata mayat seseorang menunggunya di situ, bersandar di balik pintu. "Yang-taijin!" Fang Fang hampir tak percaya. Bupati itu, yang dibawa dan disembunyikan disitu ternyata sudah tewas dengan leher tergorok. Sepintas kelihatan seolah bupati itu bunuh diri! Tapi ketika Fang Fang bergerak dan menendang golok itu, yang melekat dan dipegang mayat Yang-taijin maka Fang Fang melihat bahwa sebenarnya bupati itu dibunuh. "Keparat, benar katamu!" Fang Fang tertegun membelalakkan mata. "Aku gegabah, goanswe. Aku telah kehilangan seorang saksi lagi! Ah, terkutuk. Siapa melakukan ini" Bagaimana di kompleks istana sendiri tak aman?" Bu-goanswe berkerot-kerot. Jenderal itu sedang menjublak dengan mata terbuka lebar-lebar. Apa yang disaksikan dan dilihatnya ini memukul perasaannya. Bugoanswe menggigil. Namun ketika dia sadar dan menarik lengan Fang Fang maka jenderal itu berkelebat dan keluar lagi. "Fang Fang, tak aman di sini. Mari kembali ke tempatku lagi dan di sana kita bicara. Ada sesuatu yang menggemaskan!" Fang Fang merah. Dia mengikuti saja ditarik kawannya itu, kembali dan sudah duduk di kamar Bu-goanswe, kamar pribadinya, bukan di ruang tengah atau depan! Dan ketika Fang Fang tertegun karena dapat merasa betapa seriusnya itu, hal yang tak akan dilakukan jenderal ini kalau tidak betul-betul penting maka jenderal itu menutup pintu kamarnya, berkata, "Sekarang kita aman, nah, kita dapat bercakap-cakap dan kebetulan kau ke sini! "Hm," Fang Fang menekan debaran marahnya. "Siapa yang melakukan itu, goanswe" Bagaimana di istana bisa terjadi pembunuhan" Apakah ada perobahan di sini?" "Benar, kau dengarlah. Memang ada beberapa hal penting yang berkembang pesat sejak kau meninggalkan istana. Pertama, lebih baik kutanya dulu, apakah kau telah menemukan anakmu itu. Bagaimana keadaannya!" Fang Fang tiba-tiba gelap. "Aku tak menemukan anakku itu. Aku tak mendapatkan apapun..." "Hm, begitu" Jadi kau selama ini keluyuran sia-sia?" "Begitulah, goanswe. Dan tiba-tiba kudapat berita itu, rencana pemberontakan Gak-taijin." "Hm, sebenarnya bukan hanya Gak-taijin ini saja. Ada hal luar biasa yang merisaukan aku, Fang Fang. Dan aku selama sebulan ini dibuat pusing!" "Tentang apa" Sri baginda sakit?" "Bukan, melainkan oleh lenyapnya tawanan. Tawanan yang berbahaya! Kau ingat Thaitaijin dan Lauwtaijin, bukan" Nah, itulah. Mereka lolos!" "Lolos" Kapan terjadinya?" "Sudah beberapa bulan yang lalu. Dan mereka kabarnya bersembunyi di propinsi Cekiang!" "Di selatan?" "Ya, di selatan. Tapi aku tak mampu menemukannya meskipun sudah menyebar orang ke sana!" "Hm, aneh," Fang Fang bersinar matanya. "Bagaimana mereka itu bisa lolos, goanswe" Bukankah penjara mereka di ruang bawah tanah" Tanpa bantuan siluman tak mungkin mereka bisa keluar, biarpun memiliki sayap!" "Itulah," sang jenderal mengetuk meja "Hanya siluman atau orang-orang seperti siluman yang dapat membebaskan mereka itu, Fang Fang. Apalagi kau dan gurumu tak ada lagi di sini. Tapi bukan siluman yang membawa lari mereka, melainkan orang berpengaruh di sini!" "Orang berpengaruh" Siapa?" "Inilah yang sedang kuselidiki. Karena bersama dua dedengkot pemberontak itu lari juga beberapa orang lain macam Gak-taijin yang dulu pernah mempunyai rencana untuk mengangkat senjata!" "Hm-hm, ceritakan itu. Siapa maksudmu." "Kau ingat nama-nama seperti Li-tai-jin dan Hang-taijin, bukan" Mereka itulah yang kumaksud. Mereka inilah bersama dua dedengkot pemberontak itu lolos dari penjara bawah tanah dan tak seorangpun mengetahui!" "Aneh..." "Ya, aneh. Akupun juga merasa aneh. Masa sekian orang lolos dari penjara tanpa diketahui seorangpun! Memangnya mereka bisa menghilang dan lenyap begitu saja" Memangnya mereka berubah seperti asap hingga tak dapat dilihat orang" Aku menduga seseorang telah membebaskannya, Fang Fang. Dan orang itu adalah orang berpengaruh di istana!" "Maksudmu ada pengkhianat?" "Betul." "Tapi kau tak tahu siapa?" "Betul." "Tapi para penjaga itu dapat ditanyai, goanswe. Komandannya dapat ditangkap dan diinterogasi!" "Hm, komandannya tewas, dan anak buahnya kebingungan. Bagaimana menginterogasi penjaga, Fang Fang" Aku sudah melakukan itu, tapi gagal!" Fang Fang tertegun. "Dan kau tentu khawatir akan mereka. Mereka bisa menimbulkan ancaman pemberontakan lagi!" "Ya, dan kau melapor tentang gerak-gerik Gak-taijin. Kalau mereka bergabung dan Hang-taijin atau Li-taijin juga membangun kekuatan tentu negeri ini celaka. Ah, ini semua gara-gara orang Barat itu. Merekalah yang menjadi sumber kemelut di sini dan biang malapetaka. Keparat, aku tak dapat berbuat apa-apa karena sri baginda kaisar enak-enak saja tenggelam dalam hiburannya, dipelukan wanitawanita cantik!" Fang Fang semburat. Tiba-tiba tanpa sengaja iapun merasa kena sentil. Bu-goan swe telah bicara tentang wanita-wanita cantik dan itu mau tak mau pasti mengenainya. Fang Fang semburat namun sang jenderal tiba-tiba sadar, menahan makiannya dan batuk-batuk. Dan ketika Fang Fang ikut batuk-batuk dan menelan ludah maka jenderal Bu tiba-tiba bertanya apakah dia sudah mendengar suatu kabar, tentang orang-orang Barat. "Tidak, aku tak mendengar apa-apa. Aku tenggelam dalam urusanku sendiri." "Hm, utusan bangsa Inggeris telah diganti, Fang Fang. Maksudku, tuan Smith telah dipanggil pulang ke negerinya sendiri, digantikan orang lain." "Tuan Smith?" Fang Fang tiba-tiba tertegun. "Ayah dari Sylvia?" "Ya, orang tua itu. Ada kabar pribadi tentang mereka tapi kurasa tak usah kuceritakan kepadamu..." "Tidak," Fang Fang tiba-tiba bangkit berdiri. "Kabar pribadi yang bagaimana, goanswe. Ada apa dengan mereka!" "Hm, ayah dan anak kacau. Slyvia tak jadi menikah dengan Michael!" "Tak jadi menikah" Jadi bagaimana?" "Aku tak tahu secara lengkap, tapi dua orang kakak beradik itu lolos dan tidak kembali ke negerinya. Kudengar pertempuran mati hidup di kapal!" Fang Fang terguncang. Kalau Sylvia tak jadi menikah maka terbuka harapan baginya untuk meneruskan hubungan cintanya dengan si cantik. Ah, tiba-tiba Fang Fang kembali tergila-gila dan berkobar rasa cintanya. Gemuruh yang menggebu tiba-tiba bergolak dan bangkit bagai api di gunung Mahameru. Tapi ketika Bu-goanswe menangkap dan mencengkeram pundaknya maka pemuda itu disuruh duduk. "Tenanglah, jangan berpikiran yang macam-macam. Orang yang kini menggantikan tuan Smith itu bukan lain adalah calon mantunya yang gagal itu, Michael!" "Michael" Dia di sini?" "Tenanglah," sang jenderal melihat sorot buas di mata Fang Fang. "Meskipun pimpinan orang Barat sudah diganti namun pemuda itu tak berkedudukan di kota raja, Fang Fang. Pemuda itu tak di sini dan tak perlu kau marah-marah. Semua orang Barat sudah ditarik kecuali pemuda ini dan beberapa temannya saja." "Di mana dia, katakan padaku!" "Tak boleh kau bertanya seperti itu. Michael sekarang utusan bangsa Inggeris dan cukup dihormati kaisar. Kau tentu tak boleh membunuhnya kalau tak ingin bangsa Tiongkok berhadapan dengan bangsa Inggeris!" "Aku tak takut itu, goanswe. Aku tak perduli itu. Aku ingin melenyapkan si Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jahanam ini karena dia biang penyakit!" "Hm, urusan pribadi jangan dicampuradukkan dengan urusan negara, bisa runyam. Kau tolonglah aku mencari pemberontak-pemberontak yang melarikan diri ini dan tinggalkan dulu urusan Michael. Aku ingin membagi kerja denganmu." Fang Fang menggeram, menggeleng. "Tidak, aku terlalu benci kepada jahanam ini, goanswe. Kau tahu sendiri betapa dia berkali-kali hendak membunuhku. Kalau dia tidak pulang ke negerinya dan justeru kembali ke sini maka dia akan kucari dan kubunuh!" Sang jenderal tiba-tiba bangkit berdiri. "Fang Fang," suara itu penuh wibawa dan berat. "Kau ingin dicap pemberontak dan pengacau" Kau ingin mempermalukan sri baginda kaisar dengan membunuh seorang tamu" Kalau dia bukan pucuk pimpinan tak apa hal itu kaulakukan, Fang Fang. Tapi kalau dia sudah memimpin dan menjadi semacam utusan di sini maka tindakanmu tak pantas. Sri baginda akan marah besar dan seluruh pasukan bisa dikerahkan untuk membunuhmu, dan satu di antaranya adalah aku! Kau tahu dan sadar, bukan?" Fang Fang terkejut. "Tekan dan kendalikan dulu amarah pribadimu itu. Berpikirlah jernih bahwa perbuatanmu bisa menyeret rakyat dalam perang, padahal calon-calon pemberontak akan timbul dan membuat susah lagi di sini. Apakah kau tak berpikir sampai di sini" Memangnya otakmu tumpul?" Fang Fang tergetar hebat. Dimaki dan dibentak seperti itu tiba-tiba saja pemuda ini sadar. Kewibawaan dan kegagahan jenderal itu tampak benar, meskipun seandainya mereka bertanding jenderal itu tetap bukan lawannya. Dan ketika Fang Fang terkejut dan menekan amarah pribadinya maka dia menunduk dan menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kau yang memberi nasihat ini, goanswe. Kalau bukan tentu aku tak mau menuruti. Sekarang katakan apa yang harus kulakukan dan bagaimana dengan lepasnya pemberontak-pemberontak itu. Siapa kira-kira yang menjadi dalang hingga lolos tanpa diketahui siapa pun!" "Aku tak dapat menduga siapapun, namun yang kucurigai banyak, satu di antaranya adalah Koktaijin! Kau dapat menyelidiki menteri itu dan bekerja secara diamdiam?" Fang Fang kaget. "Koktaijin" Sahabatmu sendiri?" "Kawan yang berbalik khianat bukan lagi sahabat bagiku, Fang Fang, melainkan musuh, apalagi demi negara. Aku dulu melihatnya bersama seorang pembantunya, di bawah ruang bawah tanah itu. Namun karena tak tahu apa yang dia kerjakan maka aku tak dapat menduga apa yang dia lakukan!" "Hm, hebat kalau begitu," Fang Fang berobah. "Kalau Koktaijin menjadi dalang dari lolosnya pemberontak-pemberontak maka diapun berarti terlibat di sini, goanswe. Dan itu sungguh berbahaya. Tapi siapa pembantunya yang kausebutkan i-tu dan kapan kau melihatnya!" "Dia adalah perwira Sam, orang kepercayaannya. Dan aku melihatnya persis sehari setelah tawanan lari'" "Hm, aku akan menyelidiki. Tapi ke mana Cun-ongya kenapa jarang di gedungnya." "Entahlah, akhir-akhir ini sri baginda sering mengutus Cun-ongya keluar, Fang Fang. Aku sendiri kerepotan kalau ingin menemuinya. Tapi tak apa, kita dapat memantau semua gerak-gerik orang-orang yang kita curigai itu dan tangkap mereka kalau sudah!" "Baiklah, dan ada lagi yang hendak kausampaikan, goanswe?" "Tak ada, sementara ini dulu. Pergilah dan kita mulai bekerja!" tapi ketika Fang Fang mengangguk dan bangkit berdiri, hendak meninggalkan lawannya tiba-tiba jenderal itu berseru, "Eh, satu hal lagi, Fang Fang. Jangan tampakkan dirimu kepada sembarang orang. Sebaiknya kau bekerja secara diam-diam dan jangan diketahui siapapun!" "Tapi kedatanganku rupanya sudah diketahui. Mayat bupati Sha-yang sebagai bukti!" "Hm, benar," sang jenderal terkejut. "Tapi yang mengetahuimu adalah orang-orang tertentu, Fang Fang. Selanjutnya kau hati-hati dan jangan sembarangan memperlihatkan diri!" "Baiklah, aku mengerti. Dan kau sendiri, apa yang kaukerjakan, goanswe?" "Aku akan melapor sri baginda meneruskan keteranganmu!" "Bagus, terima kasih!" dan Fang Fang yang berkelebat mengangguk girang lalu meninggalkan jenderal itu dan mulai melakukan penyelidikan, bukan di luar istana melainkan di dalam, di gedung menteri Kok. Dan karena Fang Fang mengenal tempat itu sebagaimana mengenal rumahnya sendiri maka tak sukar bagi pemuda ini mengintai gedung Koktaijin. -o~dewikz~abu~-o - Malam itu Fang Fang melihat sebuah bayangan berkelebat dari dalam gedung menteri Kok. Seorang laki-laki bertampang gagah, berkumis tipis dan berlenca-na di pundak keluar dari pintu belakang. Fang Fang mengintai dari wuwungan paling tinggi hingga dia mengetahui bayangan itu. Dan ketika bayangan itu berkelebat dan berjungkir balik melewati tembok pagar, ringan dan enteng maka bayangan itu sudah bergerak dan terbang ke selatan. Fang Fang terkejut. Dia segera berdetak karena itulah' Sam-ciangkun, perwira Sam. Pembantu atau orang kepercayaan Koktaijin yang dikenal sepintas tapi kini segera menjadi pusat perhatiannya. Dan ketika dia bergerak dan turun ke bawah, melayang bagai seekor burung garuda raer nyambar maka Fang Fang sudah mengikuti bayangan ini yang berkelebatan dan terus menuju ke selatan. Fang Fang berdebar dan ingin tahu, apa yang kira-kira akan dilakukan lawannya itu, calon korban yang akan disergap dan ditangkap. Dan ketika dia terus mengikuti dan akhirnya menuju sebuah hutan maka Fang Fang tertegun karena Sam-ciangkun memasuki sebuah rumah rusak. Cepat dia bergerak dan menempel perwira itu, yang lenyap dan masuk ke rumah bobrok. Dan Fang Fang yang tak mau dirinya dikenal, kalau nanti ada apa-apa tiba-tiba sudah mengenakan topeng karetnya, benda mainan yang dulu dipakai di kota Se-wai. Tapi begitu dia memasuki rumah ini dan mengintai dari balik sebuah dinding rusak tiba-tiba Fang Fang berubah hebat. "Leo...!" Desisan itu hampir saja terlontar dalam pekik tertahan. Fang Fang terkejut dan kaget karena di dalam rumah itu, menunggu Sam-ciangkun telah ada seorang pemuda lain yang berambut pirang. Itulah Leo si pemuda bule, pembantu atau anak buah tuan Smith dan berarti juga sahabat atau teman James Smith, kakak Sylvia. Tapi ketika Fang Fang menekan debaran hatinya karena bagaimana pemuda itu ada di situ, padahal dulu ikut dan pergi bersama Sylvia kakak beradik maka terdengar percakapan di sini yang menarik perhatian Fang Fang. "Koktaijin minta bantuan gurumu untuk cepat ke istana. Seseorang telah datang membantu Bu-goanswe. Jenderal itu bersikap mencurigakan karena gerak-geriknya tertutup!" "Siapa yang datang, ciangkun" Dari mana?" "Kami tak tahu. Aku kemarin hanya melihat sebuah bayangan berkelebat dan Bugoanswe bercakap-cakap dengan seseorang, di kamar pribadinya!" "Hm, penting kalau begitu, bersifat rahasia. Dan bagaimana selanjutnya?" "Gerak-gerik jenderal itu diawasi Koktaijin pribadi. Kecurigaan bahwa jenderal itu melepaskan para pemberontak menjadi semakin kuat, karena kini seseorang telah menghubunginya. Bagaimana dengan, tugasmu yang lain, Leo, apakah sudah selesai?" "Belum, kami semua harus bergerak amat hati-hati. Kami berempat tak boleh diketahui lawan. Sayang tak ada Fang Fang yang amat lihai itu!" "Hm, pemuda itu memang dapat diandalkan, tapi dia telah meninggalkan istana beberapa bulan yang lalu. Fang Fang kecewa, dia frustrasi. Selain kehilangan anak perempuannya juga karena cintanya kepada Sylvia yang masih belum padam!" "Hm, akupun merasa kasihan. Sylvia juga menderita dan sering menangis sendirian. Ah, kalau saja mereka dapat bertemu dan berbaik seperti dulu!" "Eh!" Sam-ciangkun menegur. "Kau ini aneh, Leo. Bukankah kau juga mencintai puteri atasanmu itu" Bukankah kau juga setengah mati mencintai Sylvia?" "Hm, cinta boleh cinta, ciangkun. Tapi aku merasa tak pantas mendapatkannya. Aku tak mampu melindungi gadis itu, kalau seandainya kelak menjadi isteriku. Lain dengan Fang Fang yang lihai dan berkali-kali menunjukkan kehebatannya. Ah, apa aku ini dibanding pemuda i-tu" Sylvia kupikir pantas menjadi isteri Fang Fang, tapi sayang pemuda itu...." "Mata keranjang!" Sam-ciangkun meneruskan, tertawa dan Fang Fang terpukul hebat mendengar kata-kata ini. Leo dilihatnya tersenyum pahit dan pemuda yang ternyata mencintai Sylvia itu menarik napas dalam-dalam. Terbayang ketulusan dan kegagahan mengagumkan dari mata biru yang amat jernih dan dalam itu. Terbayang watak yang baik dan penuh cinta. Dan ketika Fang Fang tertegun karena Leo jujur dan sportif menilai diri sendiri maka Sam-ciangkun menghentikan percakapan itu dan bersikap serius kembali, ke persoalan semula. "Leo, malam ini kembalilah ke gurumu. Katakan kepadanya bahwa Koktaijin memintanya datang, secara diam-diam. Koktaijin tak berani terang-terangan menyelidiki Bu-goanswe karena betapapun mereka masih sama-sama memegang persahabatan!" "Hm, baiklah. Besok guruku kuharap datang, ciangkun, dan aku pasti menyampaikannya." "Baiklah, terima kasih. Kita berpisah sampai ketemu besok!" Fang Fang tertegun. Sekarang Sam-ciangkun berkelebat keluar dan Leo mengangguk. Pemuda bule yang tiba-tiba ada di situ dan melakukan percakapan dengan Samciangkun tiba-tiba menarik perhatian Fang Fang. Fang Fang berdebar karena Leo mengatakan bahwa dirinya berempat, jadi ada tiga temannya yang lain dan disebutkan pula bahwa guru pemuda itu ada di situ. Aneh, baru kali ini Fang Fang tahu akan guru si pemuda bule, padahal seingatnya pemuda itu tak mempunyai guru dan selalu sendirian saja. Maka ketika Sam-ciangkun pergi sementara Leo juga bergerak dan meloncat keluar, lewat belakang rumah rusak maka Fang Fang menujukan perhatiannya ke sini dan tidak jadi menguntit Sam-ciangkun lagi, karena Leo dan berita tentang Sylvia jauh lebih menarik! Maka begitu pemuda itu bergerak dan meninggalkan rumah tua, masuk dan menyelinap memasuki perut hutan yang gelap Fang Fang sudah mengikuti dan alangkah herannya pemuda ini ketika di tengah hutan yang lebat berdiri sebuah rumah kecil yang kokoh dan baru, dikelilingi pohon-pohon besar yang membuat tempat itu jadi sejuk dan nyaman! "Hm, sebuah tempat persembunyian yang baik," Fang Fang membatin. "Tak kelihatan dari luar dan aman serta terlindung!" Fang Fang berdebar terheran-heran. Kalau saja Leo tak hapal tempat itu sedemikian baiknya tentu tak mungkin bagi pemuda itu untuk mendatangi tempat ini di malam dan di tengah hutan yang gelap. Rupanya Leo sudah biasa keluar masuk ke hutan ini dan lampu di rumah kecil itu menjadi petunjuk yang jelas. Ada suara orang bercakap-cakap dan Fang Fang berdetak. Ada suara wanita yang lembut dan empuk di rumah itu, suara Sylvia! Dan ketika Fang Fang tertegun karena dua bayangan berkelebat dan Leo disambut, sudah memberikan siulan kecil di luar maka benar saja Sylvia dan kakaknya, James, muncul di pintu. "Haii...!" suara itu dikenal dan dihapal baik-baik oleh Fang Fang. "Apa kabar, Leo" Sudah ketemu?" "Hm, sudah," Leo berseri dan melompat masuk. "Aku sudah bertemu Sam-ciang kun, Sylvia. Tapi ada sebuah kabar yang membuat kita harus berhati-hati!" "Kabar apa itu. Coba ceritakan." "Bu-goanswe berhubungan dengan seseorang yang lihai. Sam-ciangkun tak sempat menangkap bayangannya tapi diduga dia adalah pengawal rahasia jenderal ini. Kita harus waspada. Mana guru?" "Guru di dalam, mari masuk..." tapi baru kata-kata itu selesai diucapkan tiba-tiba terdengar bentakan dan benturan pukulan. Tiga muda-mudi itu kaget karena di luar rumah tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan tinggi besar, menubruk atau menerkam seseorang yang bersembunyi di situ. Itulah Fang Fang, yang tadi tertegun dan menggigil memandang Sylvia, yang membetot semua semangatnya hingga dia tak tahu akan adanya sepasang mata yang tajam menatapnya, mata seorang laki-laki berperawakan raksasa yang muncul dari samping rumah. Dia tadi mengeluarkan suara berkeresek perlahan dan suara itulah yang ditangkap laki-laki ini, yang kokoh dan kekar bagai seekor banteng yang siap tarung. Maka begitu tiga muda-mudi itu bercakap-cakap sementara Fang Fang kehilangan kewaspadaannya, karena tertarik atau terbetot oleh bayangan Sylvia maka dia tak tahu ketika laki-laki berperawakan raksasa itu menghampirinya dengan langkah ringan. Fang Fang baru tahu ketika tiba-tiba dirinya disergap dan ditubruk bagai seekor kelinci diterkam harimau, mendengar bentakan dan suara laki-laki yang dahsyat dan parau. Suaranya saja sudah cukup membuat jantung seakan copot. Dan ketika dia terkejut dan cepat menangkis, tak sempat lagi mengelak maka terdengarlah suara benturan pukulan itu tapi Fang Fang yang kaget dan amat terburu-buru tidak dapat mengerahkan semua tenaganya dan terbanting serta terpelanting bergulingan oleh sergapan yang dahsyat itu, mirip sergapan biruang yang sedang kelaparan! "Dess!" Fang Fang kaget berseru tertahan. Dia berteriak dan bergulingan meloncat bangun, kini sudah di dekat rumah kecil itu dan Sylvia serta yang lain-lain terkejut. Fang Fang masih mengenakan topeng karetnya itu dan karena itu tak dikenal. Fang Fang sendiri lupa bahwa mukanya tertutup topeng. Dan ketika dia berteriak dan memanggil nama gadis itu, sengau dan parau maka Sylvia yang tentu saja tak mengenalnya tiba-tiba melompat mundur dan bayangan tinggi besar yang menyergapnya itu menggeram dan berseru penasaran. "Minggir, kubekuk binatang ini. Dia menguntit Leo!" Leo terkejut. Pemuda itu tentu saja tak tahu bahwa dirinya diikuti, Fang Fang memang bergerak amat ringan dan bukan tandingan pemuda itu. Maka ketika dikatakan bahwa orang aneh bertopeng i-ni mengikutinya, menguntit, tiba-tiba Leo marah dan membentak maju. "Begitukah" Jadi dia menguntitku" Keparat, serahkan padaku, guru. Biar aku yang membekuk dan menghajarnya...... dess!" dan Fang Fang yang tertegun menerima pukulan, kaget kenapa Leo tak mengenalnya tiba-tiba harus melempar tubuh ke kiri ketika si raksasa yang ada di belakangnya itu menerkam dan membentak. "Tidak, orang ini luar biasa. Kau bukan tandingannya karena dia mampu menahan pukulanku tadi... bress!" dan rumput yang bergoyang hancur oleh pukulan si raksasa lalu diteruskan lagi dengan kejaran dan bentakan. Fang Fang sekarang melihat bahwa lawannya ini adalah seorang laki-laki bermata kehijauan, tampang nya gagah dengan muka segi empat. Sepasang matanya menyorot bagai mata seekor harimau dan Fang Fang cepat maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh. Pukulan atau serangan tadi sudah membuktikannya. Dan ketika Fang Fang terkejut karena tak mengenal siapa lawannya ini, seorang laki-laki setengah baya bercambang lebat maka dia merunduk tapi terpelanting oleh sebuah sapuan kaki yang amat dahsyat, tak tahu dan juga tertegun kenapa Leo dan kawan-kawannya itu tak mengenalnya. Fang Fang lagi-lagi lupa bahwa dia masih mengenakan topeng karetnya itu. Tapi ketika dia dibentak dan disuruh melepas topeng karetnya itu, si raksasa menubruk dan menyerang lagi maka barulah Fang Fang ingat dan tibatiba tertawa bergelak, gembira melihat lawan yang luar biasa ini, yang bantingan serta sergapannya sungguh dahsyat. "Ha-ha, aku si Topeng Maut, orang gagah. Dan siapa kau yang begini garang dan ganas sepak terjangmu!" "Hari, aku tak perlu memperkenalkan nama. Orang macam kau harus kubekuk dan kulipat-lipat. Keparat!" dan si raksasa yang menerjang dan menubruk lagi akhirnya berhasil menangkap pinggang Fang Fang, dilipat dan ditekuk tapi Fang Fang tentu saja tak mau dirobohkan secara konyol. Dia kagum dan terkejut akan kecepatan gerak lawannya ini karena untuk kesekian kalinya lagi dia kalah cepat mengelak, bukan main. Maka begitu pinggangnya tertangkap dan siap ditekuk, hal yang tentu bakal membuatnya celaka tiba-tiba Fang Fang mengerahkan sinkangnya dan tubuh yang akan ditekuk itu tiba-tiba menjadi kaku dan tegak seperti kayu, tak dapat dilipat. "Krak-krek?" Pinggang dan seluruh tulang-tulang Fang Fang berkeratak dan berbunyi. Fang Fang mengerahkan sinkangnya semen tara si raskasa membentak mengeluarkan semua tenaganya. Lawannya itu terkejut karena tubuh yang semula lemas itu mendadak kaku seperti kayu, tak dapat ditekuk atau dilipat. Si raksasa menjadi marah dan akibatnya diapun menambah tenaganya, tulang-tulang Fang Fang sampai berbunyi semua, persis kerupuk digoreng. Tapi karena Fang Fang tetap bertahan dan sengaja mencoba tenaga lawan, sambil sekalian memamerkan kesaktiannya maka lawan melotot dan tubuh yang tak dapat ditekuk itu mendadak diangkat dan dibanting. "Bress!" Fang Fang tak menyangka ini. Lagi-lagi dia kalah cepat oleh perubahan gerak lawannya itu, yang merobah tekukan menjadi bantingan. Dan ketika Fang Fang terkejut dan bergulingan menjauhkan diri maka lawan terbelalak dan marah mengejarnya, kaget karena Fang Fang tak apa-apa. "Keparat, kau tak remuk tulang-tulangmu" Kau minta kubanting lebih keras lagi" Ke sini, bocah. Jangan lari dan lihat berapa lama kau dapat bertahan!" Fang Fang tahu-tahu sudah dicengkeram lagi, cepat dan kuat dan pemuda itupun terkejut kafena untuk kesekian kalinya lagi dia kalah cepat dengan lawan. Tapi ketika dia dibanting dan sudah mengerahkan sinkangnya itu maka Fang Fang pun dapat bangkit lagi dan tertawa. Lawan . melebarkan mata dan selanjutnya Fang Fang mendengar kutukan seram. Dia diterkam dan ditubruk lagi, menangkis dan segera keduanya terlibat dalam serang-menyerang yang sama-sama cepat. Sekarang Fang Fang Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya itu dan lawan mulai berseru heran. Tubuh pemuda itu selalu melejit seperti belut, luput dan dikejar lagi seperti raksasa mengejar kupu-kupu. Sekarang Fang Fang memamerkan ginkang nya itu dan lawan mengumpat-umpat. Dua kali serangan ditangkis Fang Fang tapi pemuda itu terpental, tanda betapa lawan benar-benar memiliki tenaga yang dahsyat sekali. Dan ketika Fang Fang mulai beterbangan tapi lawan juga bergerak cepat mengejarnya maka dua orang itu sudah saling menunjukkan kepandaian dengan Fang Fang di pihak yang diserang. "Ha-ha, pukul terus, orang tua. Ayo robohkan aku dan lihat berapa lama kau memenangkan pertandingan!" "Keparat, bedebah. Jangan kau lari saja seperti tikus dikejar-kejar kucing. Hayo balas pukulan-pukulanku dan lihat a-pakah kau dapat juga merobohkan aku!" Fang Fang kagum. Memang dia akhirnya membalas serangan-serangan lawan dan beberapa tamparan sinkangnya mendarat di tubuh kakek itu. Tapi karena lawan memiliki tubuh yang demikian kekar dan rupanya semua tamparan itu seperti elusan seorang bocah saja maka Fang Fang pun tak mampu merobohkan lawan di samping karena iapun tak sungguh-sungguh mengeluarkan semua kepandaiannya. Kakek itu jelas guru Leo dan ilmu banting atau cengkeramannya tadi hebat sekali. Fang Fang percaya bahwa kalau bukan dirinya pasti hancur diterkam jari-jari kakek itu, yang demikian dahsyat dan bertenaga besar. Tapi karena lawan bukanlah musuh sementara di situ ada Sylvia yang mengguncangkan perasaannya akhirnya Fang Fang mengeluarkan Sin-bian Ginkangnya dan Ilmu Kapas Sakti itu sekonyong-konyong disambut jerit dan teriakan tertahan si cantik. "Ah, itu... itu Sin-bian Ginkang!" Fang Fang berdegup. Memang sengaja dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya itu agar dikenal Sylvia. Tapi karena si gadis tampak ragu-ragu dan masih kurang percaya tiba-tiba satu tubrukan kakek itu disambut pukulan Awan Putih yang dimiliki Fang Fang. "Dess!" Kakek itu mencelat terlempar. Kali ini Fang Fang mengerahkan hampir segenap tenaganya dan barulah kakek raksasa itu berteriak. Pukulan Awan Putih mengeluarkan sinar terang dan Sylvia menjerit melihat si kakek bergulingan. Dan ketika tiga bayangan berkelebat dan Sylvia serta dua temannya bergerak mencabut pistol maka Fang Fang sudah ditodong dari tiga penjuru oleh tiga pucuk senjata api itu. "Lepaskan kedokmu, atau kami akan menembak!" Fang Fang tertegun. Bentakan dan seruan nyaring itu mengingatkan dia akan peristiwa di kapal. Begitulah dulu ketika Sylvia dan kakaknya ini mengancam. Dan ketika Fang Fang mundur dan menarik napas dalam, menenangkan guncangan batinnya yang besar maka perlahan-lahan dia membuka topeng karetnya itu sementara si kakek sudah meloncat bangun dan menggigil, juga tak apa-apa! "Kau.... Fang Fang!" Jerit dan teriakan itu hampir disertai tangis dan sedu-sedan. Fang Fang telah membuka kedok karetnya dan Sylvia yang sudah menduga tapi ragu-ragu tiba-tiba undur dan berteriak tertahan. Memang, hanya gadis inilah yang tahu Sin-bian Ginkang dan ilmu pukulan Awan Putih. Jelek-jelek Fang Fang dahulu telah menurunkan sebagian ilmu silatnya dan tentu saja Sylvia kenal. Maka ketika topeng dibuka dan itu memang Fang Fang adanya maka Sylvia yang kaget dan mengeluh perlahan tiba-tiba terguling dan.... pingsan. "Ah, kau kiranya!" James dan Leo sama-sama terkejut. Si kakek yang ada di belakang tiba-tiba berkelebat maju dan menahan tubuh Sylvia. Fang Fang harus mengakui bahwa kakek tinggi besar ini cukup hebat, gerak-geriknya tangkas dan dia yang tadi mau menyambar tubuh Sylvia terasa kalah cepat, karena di situpun masih ada Leo dan temannya. Dan ketika Fang Fang mengangguk dan tahu bahwa Sylvia diguncang kaget, seperti halnya dirinya sendiri yang juga tak menyangka gadis itu sudah ada di daratan Tiong-goan maka kakek tinggi besar itu menepuk kedua tangannya yang meledak seperti guntur. "Ah, ini bocah yang bernama Fang Fang itu" Murid si Dewa Mata Keranjang" "Benar," Leo menjawab, mendahului yang lain. "Inilah pemuda gagah perkasa yang sering kami ceritakan kepadamu itu guru. Dialah murid si Dewa Mata Keranjang itu!" "Ah, pantas. Hebat sekali. Dan pukulanmu yang terakhir tadi membuat aku sesak! Ha-ha, sudah lama aku ingin menemuimu, anak muda. Dan juga ingin berkenalan dengan gurumu. Aku Frederick, tua bangka yang tidak mampu mengalahkan seorang bocah!" Fang Fang menjura. Si kakek sudah menyerahkan Sylvia kepada kakaknya dan James cepat membawa masuk adiknya yang pingsan itu. Leo menemani gurunya di situ dan Fang Fang mau tak mau harus di luar. Dan ketika dia memberi hormat dan berkata bahwa kakek itupun hebat, karena dia berkali-kali dibanting maka Frederick, kakek gagah itu menepuk pundaknya. "Tidak, tak perlu merendah. Meskipun berkali-kali kau kubanting namun kau tak apa-apa. Hm, sinkangmu hebat, aku si tua bangka harus memujimu. Eh, mana gurumu itu, anak muda" Dan kenapa kau menguntit Leo?" "Maaf," Fang Fang menarik napas, melirik ke dalam. "Aku kebetulan saja bertemu Leo, tuan Frederick. Aku sebenarnya mengikuti bayangan Sam-ciangkun dan melihat Leo menjemputnya di luar "hutan." "Eh!" Leo terkejut. "Kau mengetahuinya, Fang Fang" Jadi kau ada di sana?" "Ya, aku ada di sana. Tapi tak menduga bahwa kau ada pula di situ..." "Ah, kalau begitu kau mendengar semua percakapanku. Kau siluman dan meng goda orang saja!" "Tidak sengaja," Fang Fang menyeringai. "Tapi justeru kutemukan kesalahpahaman ini, Leo. Bu-goanswe dan Koktaijin ternyata selidik-menyelidik!" "Ha-ha, ayo masuk ke dalam!" suara tawa dan parau nyaring itu memotong di tengah. "Kalau sahabat sudah ada di sini maka persilahkan dia masuk, Leo. Jangan di luar saja dikerumuni dingin dan gelap!" "Ah, benar. Mari masuk!" dan Leo yang tersipu ditegur gurunya lalu masuk dan sudah didahului gurunya yang melangkah lebar ke dalam. Frederick, kakek gagah itu, mengajak Fang Fang dan Leo ke dalam. Kakek itu tertawa-tawa dan tampak gembira sekali. Dan ketika mereka duduk namun Fang Fang tak melihat Sylvia maupun kakaknya maka si kakek menyambar sepucuk surat yang tiba-tiba a-da di situ. "Hm-hm, James tak dapat menemani. Sylvia dibawa keluar!" Fang Fang merah mukanya. Dia segera terpukul karena James kiranya tak suka bertemu muka dengannya, juga Sylvia. Tapi karena dia sudah ada di situ dan kakek gagah itu juga rupanya orang jujur dan suka bicara blak-blakan maka Fang Fang diam saja ketika kakek itu memandangnya. "Kau mengerti?" "Ya, aku mengerti." "Kau tidak marah?" "Ah, aku tidak marah, tuan Frederick. Aku tahu bahwa kedatanganku kurang disukai kakak beradik itu. Barangkali tuan sudah mendengar semuanya tentang aku." "Hm, jangan panggil tuan. Di negerimu ini ada adat-istiadat sendiri, Fang Fang. Kau boleh sebut saja aku seperti tata cara negerimu." "Baiklah, locianpwe (orang tua gagah)," Fang Fang akhirnya merobah sebutan. "Aku kagum dan suka akan keterbukaanmu ini. Tapi maaf bahwa aku mungkin tidak menyenangkan hatimu dalam persoalanku dengan dua kakak beradik itu." "Hm-hm, aku tahu. Tapi masalah cinta aku tak mau mencampuri! Eh, mari bicara yang lain dan bagaimana kau bisa menemui muridku ini, Leo!" "Aku mengikuti Sam-ciangkun..." "Ya-ya, itu maksudku. Bagaimana dan kenapa kau mengikuti perwira itu!" "Aku disuruh Bu-goanswe, menyelidiki Koktaijin, juga perwira itu," dan ketika Fang Fang mulai bercerita karena dilihatnya guru dan murid membelalakkan mata akhirnya dia menyelesaikan bahwa sebenarnya yang dilihat perwira she Sam itu adalah dirinya. "Akulah yang datang dan berkelebat di tempat Bu-goanswe itu. Aku yang dilihat oleh Sam-ciangkun!" "Ah, begitukah?" Leo melonjak. "Jadi kau yang dilihat Sam-ciangkun itu" Kenapa tidak segera memberi tahu dan muncul ketika kau melihat kami di rumah tua itu" Ah, kau terlalu, Fang Fang. Kalau begini Sam-ciangkun tak mungkin mengenalmu!" "Hm, aku tak mau memperlihatkan diri. Aku tak ingin membuat kalian kaget." "Atau karena kau memang ingin mengikuti dan menguntit aku" Ah, kau terus teranglah saja, Fang Fang. Kau tahu bahwa aku suka kejujuran dan keterbukaan. Kaupun biasanva jujur dan terbuka, kenapa sekarang sembunyi-sembunyi?" "Hm, barangkali betul," Fang Fang merah mukanya, memang melihat bahwa Leo ini adalah pemuda jujur dan terbuka, seperti gurunya, si kakek raksasa. Dan ketika kakek itu tertawa lebar dan geli melihat raut muka Fang Fang maka kakek ini berseru, menimpali, "Tahu aku, Fang Fang memang ingin melihat siapa teman-temanmu yang lain di sini. Dan karena dia sudah melihatmu maka tentu saja dia juga ingin melihat Sylvia dan kakaknya. Ha-ha, bukankah benar begitu, Fang Fang?" "Hm, locianpwe terlalu blak-blakan," Fang Fang semakin merah. "Tapi baiklah, kuakui itu. Aku memang ingin melihat Sylvia dan kakaknya, aku rindu mereka..." "Ha-ha, mereka siapa" Kau tak jujur lagi, anak muda. Tapi sudahlah, itu bukan urusanku!" dan Fang Fang yang seperti kepiting direbus lalu menunduk dan tidak memperhatikan Leo yang juga berubah mukanya, menggigit bibir namun pemuda itu tersenyum mengangguk. Leo juga menahan diri karena Fang Fang yang mencintai Sylvia jelas merupakan saingannya, saingan berat. Tapi karena pemuda ini tahu diri dan dapat menahan gerak-geriknya akhirnya pembicaraan dilanjutkan dengan bagaimana Fang Fang bisa selamat. "Dulu kau terlempar dan jatuh di kapal. Siapa yang menyelamatkanmu." "Hm, aku diselamatkan seorang nelayan. Aku berusaha mengejar lagi namun tak berhasil." "Dan kau kehilangan anak perempuanmu. Bagaimana itu, Fang Fang?" Fang Fang .menggigit bibir. "Leo, kau rupanya banyak tahu tentang aku. Dari mana kau tahu ini?" "Aku tahu dari kenalan-kenalanku," pemuda itu tersenyum. "Dan tentu kau hendak bertanya apakah Sylvia dan kakaknya juga tahu tentang ini!" "Hm, benar. Mereka juga tahu, bukan" "Ya, seperti aku. Tapi mari kembali ke persoalan serius yang lebih penting. Apa yang dikata tentang Bu-goanswe dengan pemberontak-pemberontak yang lolos itu!" "Bu-goanswe menduga Koktaijin..." "Tidak, justeru Koktaijin yang menduga Bu-goanswe. Hm, kalau begitu jelas o-rang lain, Fang Fang. Dan kukira orang itu guruku yang lebih tahu!" "Wah, tahu bagaimana" Kita selalu sembunyi di hutan, Leo. Hanya malam hari saja kita bergerak. Kau ngawur. Aku juga belum tahu apa-apa!" Leo terkejut. Gurunya memberi kedipan dan kakek raksasa itu memberi semacam teguran kepada muridnya. Fang Fang tak tahu ini. Dan ketika Leo mengerutkan kening dan jadi heran, Fang Fang menunduk maka pemuda itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata bahwa dia tak tertarik lagi urusan pemberontak. "Aku sudah bertemu kalian, baiklah. Aku akan kembali dan melapor pada Bu-goanswe bahwa Koktaijin tak layak dicurigai. Aku akan kembali." "Eh, kenapa, Fang Fang" Kita baru saja bertemu, belum puas aku bercakap-cakap!" "Hm, Fang Fang kecewa. Kenapa kau tak melihat ini, Leo" Pergunakan perasaan hatimu dan jangan tolol. Biarlah dia kembali karena kita tentu akan bertemu lagi. Bukankah begitu, anak muda?" kakek tinggi besar itu mengedip pada muridnya, menyadarkan Leo bahwa Fang Fang memang kecewa karena tak dapat menemui Sylvia, karena gadis itu sudah dibawa kakaknya. Maka ketika dia sadar dan mengangguk akhirnya pemuda ini diam dan tidak berkata apa-apa lagi, selain maaf. "Hm, tak apa. Gurumu ini tajam sekali perasaannya, Leo. Aku jadi gugup dan takut berlama-lama dengannya. Dia benar, kita tentu akan bertemu lagi. Selamat tinggal dan sampai besok!" dan ketika Fang Fang bergerak dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka pemuda ini sudah menghilang di luar dan kakek itu serta muridnya mengejar, tak melihat bayangan pemuda itu lagi dan kakek ini berseru kagum. Fang Fang baru saja bergerak tapi tahu-tahu sudah tak tampak bayangannya lagi, sungguh seperti siluman' Dan ketika Leo juga mendecak dan kagum memuji Fang Fang maka kakek i-tu menepuk pundak muridnya agar jangan terlalu banyak bicara. "Kau jangan mengatakan aku tahu apa-apa. Kita sendiri sedang melaksanakan tugas negeri kita!" "Baik, maaf, guru. Aku memang terlalu bodoh dan polos untuk menyimpan rahasia. Baiklah, aku tak akan berkata apa-apa lagi selain urusan itu!" Fang Fang tak mendengar. Pemuda i-tu sendiri sudah lenyap dan kalau dia a-da di situ barangkali pemuda ini akan tertegun. Si kakek raksasa bicara begitu aneh, mencurigakan! Tapi karena pemuda itu pergi dan sudah tidak ada di situ lagi maka Fang Fang yang berkelebat dan keluar hutan bermaksud untuk kembali lagi ke tempat jenderal Bu ketika tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda lain yang rambutnya pirang. "James!" Fang Fang terkejut. James, pemuda i-tu, tegak menghadangnya di tepi hutan. Kiranya sewaktu Fang Fang bercakap-cakap tadi pemuda ini meninggalkan tengah hutan, menunggu dan sudah berada di luar hutan, yakni di mana Fang Fang akan keluar lagi. Dan ketika pemuda itu muncul dan James, pemuda ini gagah menunggu maka Fang Fang melirik sekitar tapi Sylvia tidak dilihatnya ada di situ. Jadi, pemuda ini sendiri! "Hm," Fang Fang berdebar, maju selangkah. "Ada apa kau menghadangku, James" Kau ingin bicara atau memusuhiku?" James, pemuda itu, tegak bersinar-sinar memandang lawannya. Fang Fang menekan debaran hatinya karena sepasang mata lawannya itu dingin dan beku menyambarnya. James tidak segera menjawab selain dengan pandangannya yang dingin menusuk itu, penuh benci! Tapi ketika Fang Fang meremang dan bersiap-siap, maklum lawannya itu marah kepadanya maka James berkata lambat-lambat dengan kaki menggigil. -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXVI "FANG FANG, aku datang karena terpaksa, tapi ini karena ulahmu. Adikku masih pingsan, jalan darah di tenggorokannya tersumbat. Dan karena kau yang menjadi gara-gara karena tadi adikku kaget dan tersentak melihat kedatanganmu maka kau tolonglah dia atau aku akan bertanding denganmu tanpa menghiraukan kepandaianku sendiri yang rendah!" Fang Fang tertegun. "Adikmu masih pingsan?" "Ya." "Tersumbat jalan darahnya?" "Hm, kau lebih tahu nanti, Fang Fang. Sekarang tolonglah dia atau aku akan membunuhmu atau kau yang membunuh aku!" "Jangan gila!" Fang Fang membentak, berkelebat dan menampar pemuda itu yang mencabut pistol. "Tanpa kau ancam-pun aku pasti menolongnya, James. Mari tunjukkan padaku di mana adikmu itu dan kenapa tadi kau menjauhi aku!" James terkejut. Pistol yang dicabut secepat kilat sudah dirampas Fang Fang, yang bergerak dan memasukkannya kembali di kantong pinggangnya. Dan ketika pemuda itu tersentak dan kaget melompat mundur tahu-tahu Fang Fang sudah menangkap pundaknya dan dibawa terbang, kembali memasuki hutan. "Di mana adikmu itu, cepat katakan!" James menuding. Sebenarnya dia kaget dan kagum tapi juga marah disambar Fang Fang seperti ini. Tubuhnya diangkat dan dia dibawa seperti seekor kelinci dicengkeraman seekor garuda saja. Tapi ketika dia memberontak dan tidak membawa hasil, Fang Fang sudah semakin jauh ke dalam maka pemuda itu berseru, gemetar, "Di sini, bukan di situ...!" dan ketika Fang Fang bergerak dan tiba di tempat yang ditunjuk maka tampaklah di bawah sinar bulan sosok tubuh gadis itu. Sylvia menggeletak dan rupanya benar saja tetap tak sadar, karena tubuhnya membujur kaku dan tak bergerak-gerak. Tapi ketika Fang Fang melempar tubuh lawannya dan James menggeram bergulingan meloncat bangun maka pemuda itu sudah melihat Fang Fang berlutut dan memeriksa. "Tercekik! Jalan darah di tenggorokan tersumbat! Ah, cari sebatang sapu lidi, James, atau apa saja benda runcing untuk menusuknya. Cepat, aku akan meniupkan hawa ke mulutnya!" James terbelalak. Fang Fang, pemuda itu, tiba-tiba sudah menunduk dan mencium mulut adiknya. Kalau saja Fang Fang tidak memberi tahu bahwa akan meniupkan hawa ke mulut adiknya tentu pemuda ini sudah menerjang dan menghantam kepala Fang Fang. Tapi pemuda itu bukan bermaksud kurang ajar. Fang Fang sedang meniupkan hawa sakti karena jalan darah di tenggorokan si gadis tersumbat. Hal itu bisa terjadi karena ketika kaget dan terpekik tadi Sylvia tersedak kerongkongannya, tak dapat menahan diri dan celaka sekali jalan darah teng-hi-hiat menyempit, terjepit atau "kaget" oleh guncangan yang diterima gadis itu. Maka ketika Fang Fang melihat bahwa ini cukup membahayakan, dapat mencekik pernapasan dan membuat gadis itu binasa maka Fang Fang sudah meniupkan hawa sakti ke mulut gadis itu untuk membuka dari dalam. James sendiri sudah disuruhnya untuk mencari sapu lidi atau a-pa saja yang runcing, untuk ditusukkan dari luar. Dan ketika James datang membawa apa yang diminta maka Fang Fang, masih meniupkan hawa, sudah menusuk dan membuka sumbatan jalan darah teng-hihiat itu. Saking asyik dan khawatirnya Fang Fang sampai tidak tahu bahwa si gadis mulai sadar, kaget membuka mata dan tentu saja perlahan-lahan Sylvia teringat apa yang terjadi. Tapi begitu tubuhnya ditindih seseorang sementara kakaknya dilihatnya di situ, mendelong, mendadak gadis ini menjerit dan Fang Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Fang yang menempelkan mulut tiba-tiba digigit! "Aduh!" Fang Fang terpelanting mencelat jauh. Pemuda itu kaget dan berteriak karena tiba-tiba mulutnya digigit, pecah berdarah! Dan ketika Fang Fang bergulingan meloncat bangun sementara si gadis berteriak dan berseru tertahan, melompat bangun dan melihat siapa lawannya mendadak Sylvia melengking dan.... menerjang pemuda ini. "Keparat, jahanam terkutuk. Kiranya di samping mata keranjang kaupun suka memaksa orang, Fang Fang. Ah, hina dan biadab sekali caramu terhadap wanita. Kubunuh kau... sing-wut!" Fang Fang meng hindar, kaget dan terheran-heran karena dia disangka mau memperkosa. Sylvia memang belum tahu duduk persoalannya dan dia sendiri tak segera menerangkan. Sinar bulan yang menerangi wajah Sylvia membuat wajah gadis itu begitu cantik rupawan, indah berkilau-kilau dan rambutnya yang keemasanpun tampak begitu hidup dan melambai-lambai. Ah, Fang Fang terpesona dan untuk kesekian kalinya lagi tergetar dan kagum akan. wajah ini, wajah yang memang dicintanya. Dan ketika dia lambat berkelit sementara pedang terus menyambar-nyambar maka Fang Fang tak dapat menghindar lagi ketika sebuah tusukan mengenai pundaknya. "Cep!" Fang Fang terkejut. Dia lupa mengerahkan sinkang hingga kekebalannya tak dipakai, luka dan berdarah dan gadis itu sudah menerjangnya lagi dengan beringas dan marah-marah. Fang Fang menahan sakit tapi berlompatan ke sana-sini, coba menghindar tapi tak sepenuh semangat. Dan ketika sebuah tusukan kembali mengenai tubuhnya dan James berseru tertahan maka pemuda yang sudah sadar itu tiba-tiba berteriak. "Sylvia, tahan. Fang Fang tidak bersalah!" dan ketika sang adik terkejut dan melompat mundur, menarik serangannya maka pemuda kulit putih ini sudah menggigil mengangkat tangan di kiri kanan tubuhnya, melerai. "Stop, Fang Fang telah menolongmu. Dia bukan mau memperkosa. Aku yang memanggil dan mendatangkannya ke mari!" Si gadis tertegun. Kakaknya sudah menerangkan dan dengan cepat serta buru-buru pemuda itu menenangkan adiknya. Tapi ketika selesai dan si gadis membanting kaki Sylvia malah marah-marah dan memaki kakaknya kenapa membiarkan dia ditolong pemuda itu. "Kau membuatku malu, kau merendahkan adikmu sendiri. Keparat, kenapa kau meminta tolong padanya, James" Bukankah kau tahu aku tak mau disentuh" Dan dia.... dia menciumku tadi. Ah, jahanam, sungguh pemuda ini tak tahu malu. Biar aku membunuhnya atau aku yang dibunuhnya!" "Eiii, sabar Fang Fang bukan menciummu, Sylvia, melainkan meniupkan hawa sakti untuk membuka jalan darahmu yang tersumbat. Kalau dia menciummu seperti yang kau sangka tentu aku akan membunuh dan mendahuluinya!" Gadis ini tertegun. Untuk kesekian kalinya ladi dia menjublak. Fang Fang sendiri pucat dan merah berganti-ganti. bukan oleh malu, melainkan oleh perasaan tertikam melihat betapa Sylvia kini benar-benar membencinva. Ah, tak ada ampun rupanya baginya. Dia memang penuh dosa. Dan tak ingin kakak beradik itu bertengkar masalah dirinya tiba-tiba Fang Fang bergerak dan lenyap keluar hutan, hati perih bagai diiris sembilu. "James, adikmu benar. Tak usah kalian bertengkar. Aku memang bukan pemuda baikbaik dan tak perlu kau membela aku. Sudahlah, aku minta maaf dan selamat tinggal!" "Fang Fang...!" Fang Fang tak mau berhenti. Yang memanggilnya itu adalah sang kakak dan pemuda ini menulikan telinga. Jangankan James, biar Sylvia sendiri barangkali Fang Fang tak akan mau berhenti. Cinta yang semula menggebu-gebu itu mendadak runtuh seperti salju ditiup angin kencang. Fang Fang tak melihat kemesraan sedikitpun di hati Sylvia lagi. Maka daripada perasaannya seperti ditusuk-tusuk dan gadis itu akan bertengkar dengan kakaknya sendiri maka Fang Fang berpikir lebih baik meninggalkan keduanya dan tidak menggubris panggilan James. Fang Fang tak tahu betapa Sylvia tiba-tiba mengeluh dan roboh terbelalak. Gadis itupun memanggil namanya namun sayang panggilan itu terlalu lirih. Fang Fang tak melihat betapa dari sepasang mata gadis i-tu membanjir air mata yang bercucuran. Sylvia mengeluh dan roboh terguling. Dan ketika gadis itu mengguguk namun Fang Fang lenyap di luar hutan maka kakaknya menggigil sementara Fang Fang sendiri sudah terbang ke kota raja. Pemuda ini menemui Bu-goanswe dan menggigil menceritakan apa yang terjadi. Bahwa curiga-mencurigai telah terjadi antara dirinya dengan Koktaijin. Dan ketika Fang Fang memberi tahu bahwa Leo dan teman-temannya ada di dalam hutan, bertemu dan bercakap-cakap dengan Sam-ciangkun maka pemuda itu berkata bahwa lolosnya pemberontak bukan oleh ulah Koktaijin. "Aku berani menjamin, dan aku akan ke gedung Koktaijin. Goanswe lebih baik bekerja sama dengan Koktaijin seperti dulu dan cari musuh yang sesungguhnya. Aku sendiri tak sanggup bekerja lagi, aku mau pergi. Nah, selamat tinggal, goanswe, dan hati-hati menjaga dirimu!" "Eh-eh, nanti dulu!" Bu-goanswe berkelebat dan mengejar pemuda ini, karena Fang Fang sudah lenyap dan berkelebat di luar. "Aku tak puas dengan segala omonganmu, Fang Fang. Kenapa kau begini aneh dan apa yang telah terjadi padamu!" Namun Fang Fang lenyap menggenjot kakinya. Sang jenderal berteriak-teriak tapi Fang Fang hilang di balik gedung. Dan ketika jenderal itu tertegun dan mematung gemetar, kaget, maka di depan kakinya menyambar sepucuk surat yang menceritakan tempat persembunyian Leo dan kawan-kawannya, juga rumah tua yang menjadi tempat pertemuan antara Sam-ciangkun dengan pemuda kulit putih itu. Fang Fang sendiri lenyap tapi keesokannya jenderal itu mendapat tamu, yakni Sam-ciangkun dan Koktaijin! Dan ketika Bu-goanswe tertegun karena sahabatnya yang dicurigai itu sudah membungkuk dan meminta maaf dalam-dalam, membawa pula sepucuk surat dari Fang Fang maka jenderal ini mendusin dan cepat mengajak tamunya ke dalam. Selanjutnya dua sahabat yang tadinya curiga-mencurigai itu sudah saling berbaik kembali. Mereka sama-sama sadar bahwa bukan merekalah yang meloloskan tawanan. Dan ketika Sam-ciangkun menjaga dan melindungi tuannya maka Bu-goanswe juga melaporkan laporan Fang Fang tentang adanya rencana pemberontakan dari Gaktaijin. Selanjutnya dua pembesar itu terlibat pembicaraan serius yang menyang kut negara. Bu-goanswe menggeleng dan mengepal-ngepal tinju kenapa tenaga sepenting Fang Fang tak dapat dijangkaunya lagi. Tapi ketika Koktaijin berkata bahwa pemuda itu bebas pulang dan pergi sebagaimana layaknya orang-orang kang ouw maka Koktaijin bilang bahwa biarlah pekerjaan itu diselesaikan mereka berdua, yang bagaimanapun juga toh adalah pembesar negara. Fang Fang sendiri memang akhirnya tak lama-lama di kota raja. Dia terpukul dan berduka sekali oleh sikap Sylvia, diam-diam girang dan mengharap cintanya lagi namun si gadis rupanya sudah menutup pintu hatinya rapat-rapat. Semuanya itu memang karena ulah dirinya pula, yang menjalin hubungan dan bahkan akhirnya mendapat keturunan dari satu di antara sekian pacar-pacarnya. Dan ketika dua pembesar negeri itu sibuk dengan urusan sendiri, urusan negara, maka Fang Fang tak kelihatan lagi untuk dua bulan lamanya. Ke mana pemuda itu" Ternyata kembali ke Liang-san, tempat gurunya! -o~dewikz~abu~-o - Fang Fang patah hati. Malam itu juga, setelah mencari Koktaijin dan membawa Samciangkun, menjelaskan curiga-mencurigai di antara Bu-goanswe dan menteri itu Fang Fang terbang ke barat. Dia menangis sepanjang jalan meskipun tak bersuara. Sungguh mengherankan melihat pemuda yang suka bercanda-ria ini mendadak begitu gelap dan muram. Fang Fang tak akan tertawa melihat kelucuan apapun. Dia tak akan tergelitik oleh kicau burung atau canda monyet yang menggemaskan, di tempat-tempat yang dilaluinya. Dan ketika pagi itu, dua hari kemudian dia tiba di Liang-san maka pemuda ini sudah bergegas mencari gurunya. Fang Fang memang hendak kembali dan berkumpul dengan gurunya itu. Dalam saatsaat seperti itu tak ada orang lain lagi yang dapat menghiburnya kecuali gurunya. Sudah bulat tekad Fang Fang bahwa dia akan ke puncak dan tak akan turun-turun lagi. Dia akan menyatakan diri untuk bertapa, meskipun gurunya nanti menentang! Tapi ketika Fang Fang tiba di atas dan melihat suasana sepi, kosong, maka Fang Fang tertegun melihat gurunya tak ada di situ. Ke mana gurunya" Entahlah, Fang Fang tiba-tiba juga tak ambil perduli. Barangkali gurunya sedang turun sebentar untuk mencari garam atau bumbu-bumbu dapur. Kalau begitu biarlah dia tunggu dan Fang Fang teringat isteri gurunya yang paling muda, yakni Mien Nio. Dulu wanita itu di belakang gunung tapi disitupun tak ada. Fang Fang sebenarnya hendak bertanya kepada subonya itu ke mana gurunya pergi. Tapi ketika subonya itu juga tak ada di tempat dan Fang Fang membuang semua kekesalannya dengan duduk bersila maka pemuda itu sudah meramkan mata dan siulian atau bersamadhi menunggu gurunya. Namun Fang Fang mengerutkan kening. Dua hari dia bersila namun gurunya itu tak muncul juga. Tiga hari.... empat hari... dan akhirnya seminggu penuh! Dan ketika Fang Fang mulai tahu bahwa gurunya sedang pergi, karena tak mungkin selama itu mencari bumbu dapur atau rempah-rempah akhirnya Fang Fang memejamkan mata kembali dan duduk bertapa untuk selama-lamanya! Dan hebat pemuda itu. Sebulan penuh tanpa makan tanpa minum tak membuatnya kurus. Bahkan, hawa yang bersinar tiba-tiba mencorong di mukanya. Fang Fang telah pergi ke alam hening dengan duduk bersamadhi di puncak gunung. Segala pikiran di bumi ditarik, dijadikan satu atau diikat dengan alam pikiran batin. Dan karena ini adalah latihan samadhi yang hebat dan luar biasa, Fang Fang telah bertekad untuk tidak menerjunkan diri lagi di dunia yang biasa maka perlahanlahar hawa murninya naik ke atas dan terciptalah semacam gulungan cahaya di atas kepalanva bagai mustika atau kabut yang tembus pandang! Fang Fang akan menjadi orang sakti kalau saja dia terus-menerus begitu. Setidaktidaknya. pemuda ini akan menjadi manusia dewa yang pilih tanding. Bayangkan, setiap hari dia mengumpulkan hawa murninya itu dan kalau ini sudah membungkus seluruh tubuhnya maka pemuda itu tak akan kasat mata lagi. Barangkali, setahun begitu Fang Fang sudah akan jauh melampaui gurunya karena sebulan itu saja tibatiba tubuhnya sudah mulai terangkat naik perlahan dan perlahan dan pada bulan kedua tiba-tiba Fang Fang sudah bersila secara mengambang! Luar biasa sekali. Orang tentu takjub dan akan kagum memandangnva. Tapi ketika pagi itu terdengar jerit dan tangis wanita, vang berteriak dan melolong-lolong tiba-tiba alam samadhi Fang Fang buyar. Sebenarnya, Fang Fang sudan akan mencapai tingkat vang mentakjubkan. Pemuda ini akan dapat terbang tanpa sayap, dapat menghilang tanpa menggerakkan tubuh. Tapi begitu jerit dan tangis wanita mengganggunya, dan kebetulan pemuda ini "lemah" terhadap suara wanita, maka tiba-tiba saja Fang Fang terkejut dan membuka matanya ketika terdengar suara berdebuk dan sebuah tubuh yang empuk hangat jatuh di pangkuannya, di saat dia bersamadhi! "Aduh, tolong. Mati aku...!" Fang Fang tersentak. Saat itu, satu-satunya pantangan baginva adalah suara wanita. Dia sampai bertapa adalah karena juga wanita. Maka begitu suara teriakan dan minta tolong itu disusul oleh jatuhnya sebuah tubuh yang nangat empuk, yang menyentakkan heningnya dari alam samadhi tiba-tiba Fang Fang membuka mata dan bukan main kaget serta tersentaknya pemuda ini ketika melihat bahwa itu adalah Sylvia! "Fang Fang, tolong. Aku dikejar-kejar musuh...!" Fang Fang hilang rasa manunggalnya dengan alam. Hening samadhi yang dua bulan ini menenggelamkannya dari suasana menyatu mendadak buyar berantakan. Apalagi Sylvia yang membangunkannya, gadis dari semua gadis yang dicintanya! Maka begitu dia tersentak dan sadar, kaget dan tiba-tiba terbanting ke bawah mendadak Fang Fang yang tadi mengambang sudah melekat lagi di permukaan tanah dan tergulingguling bersama tubuh gadis cantik itu. "Ah, keparat. Apa yang terjadi ini. Siapa menganggumu!" Sylvia tersedu-sedu. Dia meloncat bangun dan melepaskan diri dari pelukan Fang Fang. Pemuda itu mencengkeram dan memeluknya ketika jatuh di atas pangkuan, kini menuding dan tampaklah di bawah gunung puluhan orang mendaki ke atas. Gerakan mereka cepat dan gesit dan Fang Fang tertegun melihat bayangan-bayangan nenek-nenek cantik berkelebatan ke situ. Itulah nenek May-may dan lain-lain. Dan ketika pemuda itu tertegun dan mendelong, kaget, maka di bawah gunung di kakinya yang jauh di sana terlihat ribuan orang sedang bertempur dan mengadu jiwa. Perang. Fang Fang membelakakkan mata. Tadi di alam samadhinya itu memang samar-samar dia mendengar denting senjata beradu, juga teriakan atau jerit sayup-sayup. Tapi karena semuanya itu suara lelaki dan Fang Fang tak tembus oleh ini maka pemuda itu dapat meneruskan samadhinya dan tetap hening. Tapi begitu suara wanita datang menjerit dan sudah lama ini Fang Fang "rindu" akan suara itu, pengaruh dari kebiasaannya berkumpul dengan lawan jenis maka Fang Fang tergugah dan langsung sadar. Apalagi itu adalah suara Sylvia. Dan begitu dia sadar dan putus samadhinya, tubuh anjlok ke bawah maka Fang Fang kehilangan sinar terang tadi dan sudah berubah merah gelap, apalagi mendengar tawa dan kekeh di pinggang gunung, bayangan-bayangan itu. "Hi-hik, menyerah saja, Mata Keranjang. Kami akan mengejarmu sampai ke puncak!" Fang Fang terkejut. Di bawah itu, di pinggang gunung, tampak gurunya lari terbirit-birit. Fang Fang terkejut karena gurunya tampak mengempit seorang wanita, sementara di bawahnya mengejar puluhan orang yang barangkali mendekati seratus! Dan ketika gurunya terseok-seok dan berkali-kali jatuh bangun, pucat, maka Fang Fang tersentak melihat gurunya luka-luka. "Suhu...!" bentakan atau pekik menggeledek itu tiba-tiba menggetarkan gunung. Dewa Mata Keranjang yang sedang lari jatuh bangun tiba-tiba membelalakkan mata melihat Fang Fang berkelebat dan meluncur turun. Pemuda itu terjun begitu saja dari atas ke bawah, padahal jarak ada limapuluh meter! Tapi ketika pemuda itu jatuh dengan ringan dan kakinya hinggap seperti kucing saja maka di atas ganti terdengar teriakan dan jerit Sylvia, yang tadi dilupakan Fang Fang. "Fang Fang, tolong. Aku diserang binatang jahanam ini!" Fang Fang terbeliak. Lupa dan tidak ingat gadis itu di atas tiba-tiba dia melihat bayangan seorang pemuda di puncak. Tadi dia tak melihat bayangan itu karena rupanya si pemuda bersembunyi. Tapi begitu dia terjun dan turun ke bawah, Sylvia ditinggalkannya karena melihat gurunya lari terpincang-pincang maka Fang Fang ke sini dan sekarang menjadi nyalang matanva melihat siapa kiranya pemuda itu. "Michael!" Bentakan atau geraman itu disusul oleh tubuh vang mencelat ke atas. Kalau tadi Fang Fang terjun dan melayang ke bawah adalah sekarang pemuda ini "terbang" dan naik ke atas. Jarak limapuluh meter itu dilalui Fang Fang seperti garuda yang menyambar naik, sepasang tangan mengembang di kiri kanan dan ratusan orang berseru kaget melihat kesaktian itu. Fang Fang sendiri tak sadar bahwa tiba-tiba tubuhnya melayang naik, begitu menjejakkan kaki ke bumi. Jadi mirip manusia terbang atau siluman vang hendak masuk ke awan. Tapi begitu dia tiba di atas dan langsung menyambar bayangan ini, menggerakkan tangan kirinya maka pemuda itu mencelat dan terlempar oleh hawa pukulannya yang amat dahsyat, padahal jaraknya juga belasan meter. "Augh.... bress!" Michael terbanting ke bawah. Pemuda itu berteriak dan karena Fang Fang mendorongnya begitu dahsyat maka pemuda itu terlempar ke dinding gunung sebelah kiri. Di sini menganga jurang yang dalam dan siap menelan tubuh pemuda itu. Tapi ketika terdengar suara menjeletar nyaring dan empat sosok tubuh berkelebat maka pemuda itu disambar empat helai sabuk hitam di mana tubuhnya tiba-tiba ditarik dan diselamatkan dari jurang. "Ah, keparat. Jahanam bedebah!" pemuda itu mengutuk dan memaki-maki. Fang Fang sendiri terbelalak dan teringat si cantik, berkelebat dan menyambarnya ke kanan. Dan ketika gurunva di bawah tertawa bergelak dan Fang Fang ingat itu mendadak pemuda ini meluncur lagi dan.... melayang turun bersama-sama Sylvia. "Ahhhhh....'" Teriakan panjang itu mirip pekik ngeri. Siapa tak ngeri kalau dibawa meloncat turun dari tempat setinggi itu" Fang Fang membawa Sylvia seperti seekor garuda membawa seekor anak ayam, terjun dan langsung ke bawah sementara empat nenek di atas terkejut dan terbelalak. Mereka telah menolong Michael dan Fang Fang tak menghiraukan lagi pemuda itu karena gurunya di bawah terseok dan jatuh bangun diserang puluhan orang. Panah dan senjata-senjata gelap menyambar, Dewa Mata Keranjang sibuk menangkisi semua itu karena melindungi wanita yang dipanggulnya, yang bukan lain adalah Mien Nio isteri mudanya, isteri yang paling dicinta. Dan ketika Fang Fang tiba di bawah dan anjlok seperti gajah menggetarkan tempat itu, sengaja mempergunakan tenaga Seribu Katinya untuk menciutkan nyali lawan maka benar saja belasan orang yang ada di depan terpelanting dan mencelat oleh gedrukan kaki seperti gajah bengkak itu. "Aduh, celaka...'" Fang Fang sudah mengibas dan menghalau semua benda-benda yang menyambar gurunya. Gurunya terbelalak dan kaget melihat ulah muridnya itu. Kepandaian Fang Fang mentakjubkan sekali karena kibasan tangannya Itu membuat yang lain terlempar dan jatuh terguling-guling di lereng gunung, berteriak dan menjerit karena kibasan itu jauh lebih dahsyat daripada pukulan Dewa Mata Keranjang sendiri. Itulah akibat siulian yang dilakukan Fang Fang selama dua bulan penuh. Hebatnya bukan main karena dari jarak duapuluh meter saja pemuda ini dapat menghalau musuh tanpa disentuh, Dewa Mata Keranjang terbelalak karena dia sendiri tak mampu melakukan itu, paling-paling hanya sepuluh atau sebelas meter saja. Maka ketika Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo puluhan orang jungkir balik dan Fang Fang sendiri tak menyadari kehebatannya ini, hasil dari samadhi dua bulan maka gurunya tertawa bergelak dan berseru, "Fang Fang, para pemberontak mencari aku dan dirimu. Mereka hendak membunuh kita. Hayo sapu mereka dan bantu Bu-goanswe di bawah gunung!" "Bu-goanswe?" Fang Fang terkejut. "Ada apa dengan jenderal itu, suhu" Kenapa dia sampai ke mari?" "Ha-ha, biang pemberontak akan ditemukan. Aku diminta Bu-goanswe untuk membantunya setelah kau pergi. Tak tahunya kau mendekam di sini dan kini kemajuanmu hebat sekali. Wah, bagus, bocah. Aku dikeroyok ratusan orang dan tak tahan karena di sana ada May-may dan lain-lainnya itu. Mereka isteri-isteri-ku, tak dapat kubunuh. Maka aku terluka dan sekarang kau tolong gurumu yang lemah ini, ha-ha!" Fang Fang tertegun. Kiranya Bu-goanswe ada di bawah dan kini pasukannya bertempur dengan pasukan pemberontak. Dan ketika dia bertanya siapa pemberontak yang dimaksudkan maka gurunya itu terkekeh. "Gak-taijin, siapa lagi" Dialah yang mengatur jualbeli senjata api, Fang Fang. Tapi dedengkot nomor satu masih bersembunyi di balik layar. Gak-taijin itu hanya orang nomor dua atau tiga!" "Ah, dan kau sudah tahu siapa dedengkot nomor satu itu?" "Belum, tapi kalau gubernur she Gak itu ditangkap dan dikompres tentu dia akan mengaku!" Fang Fang terbelalak. Saat itu puluhan lawan yang berpelantingan sudah meloncat bangun dan berseru lagi, marah dan menerjang gurunya dan Dewa Mata Keranjang sibuk menangkis dan mengelak. Tapi karena Dewa Mata Keranjang sudah terluka sementara dia lebih memusatkan perhatian untuk melindungi isterinya, yang rupanya pingsan maka Fang Fang bergerak dan menerjang orang-orang itu, tujuh di antaranya adalah Cap-ji Koai-liong. "Suhu, serahkan tikus-tikus busuk ini kepadaku. Biarlah kau terus naik dan selamatkan isterirnu!" "Ha-ha, sekarang tak perlu. Aku ke sini karena memang ingin menarikmu, A-fang. Kalau kau tak ada di mana-mana tentu kau kembali ke Liang-san. Benar saja, kau di sini dan kita bertemu. Hayo sapu mereka dan basmi antek-antek Gak-taijin ini.... des-dess!" Dewa Mata Keranjang mengamuk, menghantam dan melepas pukulan dan delapan orang mencelat oleh balasan kakek itu. Hebat si Dewa Mata Keranjang ini biarpun dia sudah luka-luka. Dan ketika kakek itu berkelebatan dan Mien Nio akhirnya dikempit di bawah ketiak, menerjang membantu Fang Fang maka musuh kocar-kacir dan tiba-tiba berlarian turun gunung. Tapi, sebelas bayangan tibatiba berkelebat. "Cing Bhok, jangan banyak tingkah. Hayo lawan kami dan bunuh kalau bisa!" Kakek itu terkejut. May-may, dan lain-lainnya itu, tiba-tiba berdatangan dan menyambar bagai burung-burung srikatan mendapat mangsa. Mereka membentak dan menerjang dan kakek itu mengeluh. Dan ketika dia menangkis namun terhuyung, terbelalak, maka May-may sudah menjeletarkan rambutnya dan menerjang bersama yang lain, nenek Lin Lin atau Bi Hwa dan Bi Giok. "Hayo, bunuh kakek ini. Cincang dia'" Dewa Mata Keranjang tampak ragu-ragu. Berhadapan dengan sebelas isterinya ini kakek itu memang selamanya banyak mengalah. Berkali-kali dia memukul mundur namun berkali-kali itu pula bekasbekas isterinya ini menyerang lagi. Kalau hendak mengusir maka harus menurunkan tangan berat, dan kakek itu biasanya tak tega. Hanya kalau dia terpaksa saja maka pukulan atau tangan besi kakek ini turun. Dan ketika hari itu isteriisterinya kembali menyerang dan mereka dibantu pasukan pemberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang lihai macam Cap-ji Koai liong dan lain-lain, bahkan Setan Judi Ok-tu-kwi suami isteri ada di situ pula, mengeroyok dan mencari kesempatan maka kakek ini mengeluh. "May-may, kalian pergilah. Jangan musuhi aku dan harap kalian tahu diri. Jangan membuat aku marah!" "Keparat, siapa takut" Justeru kalau kau marah silahkan marah, Cing Bhok. Kami datang memang untuk menuntut balas dan penghinaan!" "Ah, tapi aku tak pernah menghina kalian. Aku tetap menyayang dan mencintai kalian!" "Bohong! Mencintai sambil mengambil isteri baru" Menyayang sambil mengempit wanita siluman itu" Serahkan dia kepada kami, Cing Bhok. Baru kami akan berhenti dan tak akan menyerangmu. Hayo, serahkan siluman itu atau kami akan menganggap semua kata-katamu kosong!" "Ah, mana bisa?" kakek ini mengelak, bingung. "Dia isteriku yang paling akhir, May-may. Aku telah bersumpah untuk tidak mencari pasangan lagi. Kalian harap mengerti dan tidak terlalu mendesak aku. Biasanya kalian dapat akur dan mengerti satu sama lain!" "Tapi kami benci wanita itu. Kau menumpahkan semua kasih sayangmu kepadanya!" "Ah, tidak. Kalian salah. Aku.... des-dess!" dan sang Dewa Mata Keranjang yang mengelak dan menghentikan kata-katanya, karena harus menerima tujuh pukul an sekaligus akhirnya berjungkir balik meloncat tinggi menghindari serangan May-may dan lain-lainnya itu, yang meledak di bawah kakinya dan tanah seketika berlubang seakan dihantam meriam. Cing Bhok akhirnya tak bisa bicara lagi karena sebelas isterinya mengamuk dan menggencet dari segala penjuru, mengeluhlah kakek itu dan sibuklah dia melindungi diri. Dan ketika rambut akhirnya mengenai juga pundaknya dan Kiam-ciang atau Tangan Pedang nenek Bi Giok juga nyaris mengenai Mien Nio maka kakek itu marah dan berkilat matanya. "Bi Giok, May-may, berhenti! Atau aku tak akan mengingat kalian sebagai isteriisteriku lagi dan kalian kuhajar!" "Hajarlah, bunuhlah. Siapa takut" Kami memang sudah sering kausia-siakan, Cing Bhok. Boleh hajar dan bunuh kami kalau mampu.... des-siuuttt!" dan pedang serta rambut yang bercuit dan meledak di belakang si kakek akhirnva membuat kakek ini naik pitam dan gusar. Mien Nio pingsan karena terluka dihajar isteri-isterinya ini. Dia lengah ketika melindungi isterinya itu. Dan ketika May-may dan lainlain menerjang lagi sementara Cap-ji Koai-liong tiba-tiba muncul bersama puluhan perwira, sang kakek tertegun karena muridnya tak tampak di situ, entah ke mana maka Dewa Mata Keranjang berseru keras dan mencabut tongkatnya, mainkan Silat Naga Merayu Dewi. "Baiklah, kalian tak dapat dimaafkan, Bi Giok. Sekarang aku akan memberi pelajaran dan awas tongkat.... siutt!" dan Dewa Mata Keranjang yang terkekeh dan tersenyum lebar tiba-tiba berkelebat dan cepat serta luar biasa mengelak serta menjauhi serangan isteri-isterinya, tak mau mendekat dan saat itu sebelas isterinya berteriak keras karena rambut atau Tangan Pedang bertemu sendiri, meledak dan tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu membalik. Bi Giok dan lainlain terkejut karena mereka kehilangan bayangan kakek itu, Dewa Mata Keranjang entah berkelebat ke mana karena kakek itu bergerak dengan ilmunya meringankan tubuh Sin-bian Ginkang (Ginkang Kapas Sakti). Dan karena ilmu meringankan tubuh ini memang luar biasa dan kecepatannya bagai siluman, si kakek lenyap, maka begitu sebelas isterinya berteriak keras tahu-tahu si kakek muncul lagi dan putaran tongkatnya yang bagai angin puyuh menggebuk tujuh dari sebelas isterinya. "Aduh.... buk-buk-bukk!" Bi Giok dan lain-lain terbanting. Mereka mengaduh karena gebukan tongkat bukan sembarang gebukan. Dewa Mata Keranjang mengisi tenaganya dengan sinkang Awan Putih, kuat luar biasa hingga Bi Giok yang terpukul duluan langsung roboh, tulang punggungnya retak! Dan ketika yang lain terkejut karena enam yang terpukul juga tak dapat bangun lagi, merintih-rintih dan akhirnva pingsan maka May-may dan sisanya yang pucat dan terbelalak melihat itu menjadi marah namun juga gentar bukan main. Namun kakek ini tak memberi kesempatan. Empat isterinya yang lain dikejar dan tongkat bergulung-gulung bagai naga menari, tampaknya indah namun berbahayanya tak dapat dibayangkan. Kakek itu telah bertekad untuk merobohkan isteri-isterinya, apa boleh buat harus bertangan besi. Tapi karena saat itu Cap-ji Koai-hong sudah datang dan puluhan perwira para pemberontak juga bermunculan mengeroyok kakek ini, berteriak-teriak sambil melempar tom bak atau panah, si kakek sibuk maka May-may dan tiga sisanya berhasil menyelamatkan diri. "Awas, kakek ini sudah bukan manusia. Dia iblis haus darah!" Kakek itu terbahak. Dia terpaksa menangkis hujan senjata para perwira di mana tombak atau anak-anak panah mental, bahkan bukan hanya sekedar menangkis melainkan "meretour" semua senjata-senjata itu ke arah tuannya. Dan ketika para perwira itu berteriak karena tombak a-tau anak-anak panah mengenai tubuh mereka sendiri, menancap di dada atau perut maka semuanya roboh namun yang lain maju lagi dan saat itu Ok-tu-kwi muncul pula di balik bayang-bayang Cap-ji Koailiong. "Ha-ha, tak usah takut. Mari kubantu di sini..... prott!" arak menyembur bagai hujan, muncrat ke atas tapi akhirnya meluncur ke tubuh si Dewa Mata Keranjang. Kakek itu terkejut tapi mulutnyapun meniup ke atas, dengan khikang atau tiupan mulutnya yang kuat hujan arak itu ditolak balik, Ok-tu-kwi terbelalak dan memaki-maki. Dan ketika Cap-ji Koai-liong sudah bergerak dengan ruyung-ruyung mereka dan May-may serta tiga yang lain timbul keberaniannya lagi, maju mengeroyok maka Dewa Mata Keranjang berkelebatan naik turun dengan segenap kepandaiannya. "Baik, boleh maju semua. Ha-ha, ayo maju. Biar kusikat habis!" Lawan-lawan terpukul mundur. Cap-ji Koai-liong terdorong tubuhnya karena tong kat menyapu mereka. Ok-tu-kwi juga terkejut karena semprotan araknyapun tak membawa hasil, malah ditiup balik dan hujan araknya menjadi semacam jarum-jarum kecil yang membuat para perwira berteriak kesakitan, tiga di antaranya bahkan buta karena mengenai mata! Dan ketika semua terkejut tapi menyerang lagi, si kakek tertawa-tawa maka Cap-ji Koai-liong terpengaruh oleh senyum dan sikap lawan yang seolah bercanda. Mereka heran melihat kakek itu tak menunjukkan rasa marah melainkan justeru sebaliknya, senyumnya itu begitu mempesona hingga mereka tertegun. Tak tahu bahwa itulah senyum di balik bayang-bayang maut. Silat Tongkat Naga Merayu Dewi justeru di sini kekuatannya, mengecoh lawan di balik senyum manis dan ramah, padahal tongkat selalu bergerak naik turun mencari mangsa. Dan ketika benar saja duabelas orang Naga Siluman itu lengah dan masingmasing tertegun oleh senyum si Dewa Mata Keranjang, yang tak pernah ' menghentikan tawanya maka mendadak ketika dua di antara mereka mematung dan heran sekonyong-konyong tongkat menyambar dan menusuk dada. "Ha-ha, kalian sahabatku. Tak ada musuh, ah, kita sahabat. Mari kuantar menghadap akherat!" dan tongkat si kakek yang sekonyong-konyong menukik dan bergerak luar biasa cepat, menusuk ke bawah tiba-tiba sudah menancap dan tembus merobohkan dua orang Cap-ji Koai-liong itu. "Aduhh...!" Jeritan ini menyadarkan yang lain. Sisa dari Cap-ji Koai-liong tersentak ketika dua saudara mereka roboh, dada tertusuk tongkat dan tentu saja tewas seketika! Dan ketika kakek itu terbahak namun meneruskan gerakannya, senyum itu tetap ramah dan "bersahabat" maka empat di antara mereka kembali roboh dan binasa! "Ha-ha, mari kuantar ke akherat. Kita sahabat!" Enam dari sisa Cap-ji Koai-liong pucat. Mereka tentu saja ngeri namun juga marah oleh kehebatan kakek itu. Dikeroyok sekian banyak orang masih juga kakek itu demikian hebat. Ok-tu-kwi terbelalak dan setan arak itu mundur menjauh, tak berani melihat senyum si kakek karena diapun tersedot dan hendak ikut tersenyum. May-may, dan lain-lain, ternyata juga tertarik pada senyum ini dan mereka sudah tersenyum. Gila! Dan ketika semua menjadi kacau karena tak mung kin bermusuhan sambil tersenyum, karena musuh harus dihadapi dengan marah dan sikap benci maka Dewa Mata Keranjang kembali berhasil merobohkan dua di antara Cap-ji Koai-liong, yang kini tinggal empat! "Ha-ha, kita bukan musuh. Ah, kita sahabat. Mari, kuantar ke akherat!" Cap-ji Koai-liong melempar tubuh bergulingan. Setiap kakek itu bicara tentang "sahabat dan akherat" maka seorang di antara mereka pasti roboh. Delapan saudara mereka sudah terbunuh dan kini tinggal mereka berempat saja, bukan main ngeri dan gentarnya empat orang Cap-ji Koai-liong yang tersisa ini. Mereka pucat dan berteriak-teriak sendirian. Dan ketika mereka meloncat bangun namun si kakek terus tertawa-tawa, tongkatnya menyambar naik turun diiringi senyumnya yang "bersahabat" itu maka May-may dan tiga lainnya roboh pula terbanting. "Mari, kuantar ke akherat. Ah, kalian sahabat-sahabatku yang manis!" May-may dan lain-lainnya menjerit. Mereka sadar bahwa pengaruh ilmu batin membuat pikiran mereka kosong. Senyum itu terlanjur melekat dan karena jelekjelek kakek itu adalah bekas suami sendiri, jadi mereka adalah orang yang paling mudah terpengaruh maka begitu si kakek menyihir dan mempengaruhi mereka tibatiba semua sudah masuk namun nenek May-may yang menjerit dan sadar lebih dulu, karena tongkat menusuk dada tiba-tiba membuat Dewa Mata Keranjang merobah tusukannya menjadi pukulan ke pundak. . "Krak-krakk!" May-may dan lain-lain patah tulangnya. Dewa Mata Keranjang teringat kisah-kasih dengan bekas isteri-isterinya ini, May-may tidak dibunuh melainkan dibuat roboh terluka, terbanting dengan pundak sengkleh. Dan ketika mereka merintih-rintih namun kakek itu menyerang yang lain, karena Ok-tu-kwi dan para perwira menyerang dari jauh, harus dibasmi maka kakek itu berkelebat dan mengejar si setan arak ini. "Heh-heh, jangan lari. Kita sahabat, Ok-tu-kwi. Dan akan kuantar kau menghadap Giam-lo-ong (Raja Akherat)!" "Tidak.... jangan!" si setan arak menyemburkan araknya, melempar bulibuli dan tunggang-langgang menghindari serangan Dewa Mata Keranjang. Namun karena Dewa Mata Keranjang menghalau dan semburan arak itu memukul balik tuannya, Ok-tu-kwi menjerit karena tubuhnya serasa ditusuki jarum maka saat itulah tongkatnya mengejar dan paha si setan pemabok mendapat hajaran. "Bukk!" Ok-tu-kwi menjerit. Hajaran bukan sembarang hajaran yang dilakukan si Dewa Mata Keranjang tadi nyaris membuat lawannya ini menangis saking sakitnya. Ok-tu-kwi hampir mengaduh-aduh seperti a-nak kecil. Tapi ketika setan pemabok itu bergulingan meloncat bangun dan terpincang-pincang memaki si Dewa Mata Keranjang, marah namun juga gentar maka isterinya berkelebat dan bayangan So Yok Bi muncul, menolong suaminya. "Dewa Mata Keranjang, tak usah banyak tingkah. Rasakan pelorku dan coba tangkis ini.... dar-dar!" pelor meledak, ditangkis tongkat dan seketika itu juga jarumjarum halus berhamburan. Itulah senjata andalan nenek ini dan setan pemabok girang isterinya datang membantu. Namun karena Dewa Mata Keranjang bukanlah kakek biasa dan kakek itu terbahak berjungkir balik, tinggi empat lima kali di udara maka semua jarum-jarum halus runtuh kembali ke tanah, tak satu pun yang mengenai tubuhnya. "Ha-ha, bagus. Suami isteri sudah datang ke sini. Bagus, mari mainmain denganku, Yok Bi. Ah, teringat aku ketika dulu kau ingin bermesraan denganku, ha-ha!" kakek itu gembira, memaki lawan namun mulut tersenyum-senyum. Si Kuda Binal So Yok Bi tertegun namun saat itu bayangan lawan berkelebat di depannya. Tongkat menyambar dan langsung menghan tam muka, sekali kena tentu hancur! Dan ketika nenek itu menjerit dan melempar tubuh ke kiri, tongkat menghantam pecah batu di sebelah kanannya maka setan pemabok memberi tahu agar isterinya tidak memandang mulut lawannya. "Jangan perhatikan senyum si Dewa Mata Keranjang itu. Dia licik, jahat!" "Apa yang dia lakukan?" sang isteri bergulingan meloncat bangun, bertanya. "Ada apa dengan senyumnya?" "Entahlah, delapan dari Cap-ji Koai-liong roboh binasa, isteriku. Dan itu karena mereka memandang senyum si tua bangka ini. Dewa Mata Keranjang bermain sihir!" "Ha-ha, tak ada sihir!" Tan Cing Bhok tertawa bergelak, sikapnya seperti mainmain, atau bicara dengan sahabat. "Senyumku adalah senyum tulus, Ok-tu-kwi. Kalau kalian mau diajak bersahabat maka aku tak akan menyerang kalian. Lihat, aku sungguh-sungguh!" namun ketika lawan terbelalak dan tertegun, lengah, tibatiba tongkat yang dikata tak akan menyerang itu mendadak menyerampang dan menggebuk pinggang si setan pemabok, terus meliuk dan membabat So Yok Bi dan suami isteri itu kaget menangkis sambil mengelak. Yok Bi baru saja meloncat bangun ketika tiba-tiba serampangan itu datang menyambar dirinya. Maka ketika dia memekik dan membuang diri, mencabut tusuk konde dan menghantam tongkat lawan maka nenek itu terpelanting sementara suaminya terjengkang tak kuat menahan tongkat. "Adouw, matik aku!" Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa. Dua lawannya dibuat jungkir balik namun dia terus mengejar, mulut berkata "sahabat" namun senjata di tangan sungguh menunjukkan lain. Dan karena empat dari Cap-ji Koai-liong akhirnya melarikan diri sementara May-may dan tiga rekannya patah tulang pundaknya maka sisa perwira yang membantu Ok-tu-kwi tak ada artinya bagi dua suami isteri itu, dikejar dan didesak dan tongkat kembali menghantam punggung. Kalau Ok-tu-kwi tidak mengerahkan sinkangnya tentu punggungnya remuk, setidak-tidaknya retak! Dan ketika So Yok Bi juga keteter dan tusuk konde akhirnya patah, nenek itu menjerit maka si setan pemabok sudah mendahului lari meninggalkan pertempuran, sekaligus juga meninggalkan isterinya, yang tadi datang membantu! "Heii, keparat! Tak tahu malu! Jangan tinggalkan aku, Pemabok. Tunggu atau nanti kau kuhajar!" "Wah, tobaat...! Tak berani aku lama-lama menghadapi lawan kita itu, Yok Bi. Menyingkir saja dan selamatkanlah dirimu jauh-jauh!" "Tapi tunggu aku, atau kau mampus ..... dess!" dan si isteri yang akhirnya Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyerang suami akhirnya membuat Ok-tu-kwi menjerit dan terlempar bergulingan di lereng gunung, menerima pukulan yang mengenai pundaknya dan kakek itu berteriak. Dewa Mata Keranjang terkekeh-kekeh dan hendak mengejar lagi dua lawannya ketika tiba-tiba Mien Nio mengeluh, sadar dan membuka mata dan bertanya di mana mereka sekarang. Dan ketika kakek itu tertegun dan teringat bahwa isterinya harus ditolong, Mien Nio menderita luka dalam maka Dewa Mata Keranjang menahan langkahnya dan membiarkan Ok-tu-kwi lintang-pukang dihajar isterinya sen diri, Cincin Warisan Setan 2 Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna Kelelawar Hijau 1

Cari Blog Ini