Playboy Dari Nanking 8
Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 8 "Aku!" "Aku...!" "Ha-ha, tak mungkin berbareng, Bi Giok. Sebut saja siapa yang ingin lebih dulu, perlahan-lahan. Dan siapa yang i-ngin bebas berarti harus melayaniku dulu sebagai isteri yang baik!" "Maksudmu?" dua nenek itu terbelalak. "Ha-ha, maksudku jelas, Bi Giok. Aku rindu kepada kalian. Aku, hmm... ingin bercinta dengan kalian sebelum kalian pergi meninggalkan aku. Nah, siapa ingin melayaniku lebih dulu dan ingin bebas!" Dua nenek itu tertegun. Mendadak mereka semburat merah dan tersipu jengah, juga marah. Dewa Mata Keranjang minta mereka melayani dulu kalau ingin bebas. Ah, kakek itu memang mata keranjang. Sudah tua bangka pun tak segan-segan memaksa mereka dua nenek-nenek! Tapi karena mereka masih cantik dan jelek-jelek kakek itu adalah suami mereka sendiri maka Bi Hwa memandang adiknya dan terisak, berbisik, "Kau dulu sajalah..." katanya. "Biar aku belakangan, Bi Giok. Betapapun Dewa Mata Keranjang adalah suami kita....!" "Tidak!" nenek ini menggeleng. "Kau sajalah yang duluan, enci. Aku... aku masih benci padanya!" "Ha-ha, kalau begitu tak ada yang ingin bebas?" kakek ini menggoda. "Siapa minta duluan" Hayo, tadi saling berebut, sekarang kok malah saling dorong!" "Keparat kau!" Bi Giok mengumpat caci. "Kau... kau tak tahu malu, Cing Bhok. Kau kakek-kakek bangkotan!" "Hm, jangan begitu," kakek ini mengecup bibir si nenek. "Aku rindu dan bergairah melihat kalian, Bi Giok. Dan kalau kalian berdua masih tak secantik dan sesegar ini tentu aku tak akan meminta kalian!" "Kami... kami masih cantik?" Bi Hwa, yang bersinar dan menghentikan tangisnya tiba-tiba bertanya, bangga dan membuang malunya. "Ya, kenapa tidak?" Dewa Mata Keranjang langsung saja menyambut, berbalik dan mencium nenek ini. "Kau masih cantik dan menggairahkan, Bi Hwa. Sumpah mati aku tak dapat melupakanmu!" "Ah," nenek ini mengerang. "Kalau begitu.... kalau begitu terserah kau, Cing Bhok. Pilih satu di antara kami dan cepat bebaskan kami!" "Benar!" Bi Giok berseru, melihat encinya sudah mau duluan. "Biarlah Bi Hwa melayanimu, Cing Bhok. Setelah itu aku. Tapi jangan biarkan aku begini dan sedikit kendorkan totokanmu!" "Ha-ha, kalau begitu kau sajalah!" kakek ini tiba-tiba melempar Bi Hwa. "Aku suka akan temperamenmu yang panas dan hangat, Bi Giok. Di ranjang atau di luar ranjang kau masih sama-sama panas!" dan ketika nenek itu terkejut karena Dewa Mata Keranjang mencium dan menyambar tubuhnya ke atas tiba-tiba mereka berdua sudah berada di langit-langit ruangan, lenyap dan Dewa Mata Keranjang menundukkan isterinya yang ini dengan belaian dan rayuan. Bi Giok yang tadi marah-marah tiba-tiba saja mengerang dan merintih seperti kucing dicumbu, tak lama kemudian sudah terdengar kikik dan tawa ditahan. Bagaimanapun juga Bi Giok akhirnya menyerah, Dewa Mata Keranjang memang laki-laki yang hebat. Dan ketika Bi Hwa merah padam di bawah dan hanya mendengar suara keresekan di atas sana akhirnya sejam kemudian diapun mendapat giliran. Dipaksa, eh... bukan. Diminta secara baik-baik agar melayani Dewa Mata Keranjang itu karena bagaimanapun mereka adalah suami isteri. Dan ketika dua nenek-nenek ini melayani kakek itu dan Bi Giok cekikikan di atas, karena tak mau meninggalkan Dewa Mata Keranjang itu maka kakek ini akhirnya berbaik kembali dengan isteri-isterinya itu, bergembira dan bersuka-ria di atas dan tawa atau kekeh mereka menimbulkan tanda tanya di luar. Para perajurit yang berjaga menjadi heran dan bertanya-tanya. Mereka berada di luar dan agak jauh dengan tempat itu, ingin mengetahui tapi tentu saja tak berani mengintip. Mampus mereka nanti' Namun ketika dua jam lewat dengan cepat dan sebuah bayangan berkelebat mendengar suara-suara itu, bayangan nenek Lin Lin mendadak saja kakek ini menotok dua orang isterinya itu! "Hei, jangan keras-keras. Lin Lin mendatangi kita!" Bi Giok dan encinya terkejut. Mereka tak sempat mengenakan pakaian karena kakek itu sudah menotok, cepat dan luar biasa dan tentu saja mereka melotot. Sikap baik yang mereka perlihatkan tiba-tiba saja berobah menjadi kemarahan. Dewa Mata Keranjang sungguh terlalu, tak menepati janji! Namun karena mereka tak waspada dan bagaimanapun kakek itu memang hebat maka akhirnya mereka melihat kakek ini sudah berkelebat dan turun ke bawah, langsung menyandarkan tubuh ke dinding dan berpura-pura masih tertawan! Dewa Mata Keranjang pura-pura merintih dan kesakitan segala, padahal semuanya itu tentu saja adalah sandiwara. Dan ketika pintu terbuka dan Lin Lin, isterinya yang lain masuk maka nenek itu tertegun tak melihat adanya Bi Giok maupun Bi Hwa. "Di mana mereka?" nenek ini langsung membentak, berkelebat dan menutup pintu kamar, terbelalak memandang kakek itu. "Hei, di mana mereka, Cing Bhok" Kau tak mendengar kata-kataku?" Kakek ini, yang mendesis-desis dan me rintih kesakitan pura-pura menggigil. "Aku... aku tak tahu, Lin Lin. Mereka itu, ah.... mereka itu menghajar dan menyakiti aku!" "Apa yang terjadi?" "Aku dipukul.... mereka...." dan kakek ini yang batuk-batuk dan pura-pura kesakitan hebat mendadak terguling roboh. "Aduh, tolong, Lin Lin.... aku tak kuat bangun!" Lin Lin, nenek yang lihai terkejut. Segera kewaspadaannya menjadi hilang karena Dewa Mata Keranjang terguling. Batuk dan suara serak kakek itu membuat dia terkesiap. Kakek ini seolah baru dihajar berat atau dipukuli setengah mati, tentu saja dia kaget. Tapi begitu dia berkelebat dan membungkuk membangunkan kakek ini, bermaksud menolong, mendadak saja sebuah totokan kilat menyambar dadanya. -0-dwkz-kei-o0 - Jilid : XIV "HEII...!" Terlambat. Dewa Mata Keranjang telah menotoknya dengan lihai dan kakek itu tertawa bergelak melompat bangun. Lin Lin yang baru membungkuk sudah dikerjainya dengan amat cepat, nenek itu menjerit namun segera tak dapat mengeluarkan suara lagi karena urat gagunya-pun tertotok, itulah berkat kelihaian kakek ini. Dan ketika nenek itu roboh dan Dewa Mata Keranjang terbahak menyambar tubuhnya, berjungkir balik dan sudah menghilang di atas sana maka sang tawanan terbelalak melihat dua rekannya, nenek Bi Hwa dan Bi Giok setengah telanjang di bawah atap! "Ha-ha, syukur kau datang. Lengkaplah sudah tiga kekasihku di sini!" Lin Lin marah dan kaget sekali. Sekarang tahulah dia bahwa dia telah diperdayai kakek ini. Suara kekeh dan tawa yang didengarnya di situ ternyata benar, hanya bukan di bawah melainkan di atas, tersembunyi di balik langit-langit rumah dan kiranya kakek ini telah bermain cinta dengan dua rekannya itu. Dewa Mata Keranjang telah menotok dan merobohkan dua isterinya dan tadi rupanya telah sempat bersenang-senang, dia datang dan berpura-puralah kakek itu sebagai tawanan kembali namun sesungguhnya menipu. Dia terjebak dan nenek yang berjuluk Bhi-kong ciang ini marah bukan main. Matanya melotot sampai hampir terloncat! Namun ketika dia mendelik dan marah memandang kakek itu maka Dewa Mata Keranjang me meluk lehernya dan... mencium. "Heh-heh, terima kasih kau datang, Lin Lin. Aku memang sudah rindu padamu'" Nenek ini hampir menangis. Dia mau berteriak tapi sayang tak ada suara apapun yang keluar. Yang dapat dikeluarkan hanyalah geraman dan kutukan, itupun tak jelas karena suaranya mirip kucing mengeluh, lucu! Jadi kakek itu malah tertawa bergelak. Namun ketika nenek ini mengeluarkan air mata dan mulai menangis, jengkel dan marah bercampur aduk mendadak Dewa Mata Keranjang mengeluarkan saputangannya dan berbisik, lembut. "Sudahlah, aku tak berniat mempermainkanmu. Kau datang bukan atas suruhan-ku. Maaf dan bersikaplah baik-baik kepadaku agar aku dapat membebaskanmu," si kakek menotok, menyentuh jalan darah di atas rahang dan dapat bicaralah nenek itu karena memang urat gagunya dibuka. Namun karena Dewa Mata Keranjang tak bermaksud membebaskan seluruh totokan dan suara nenek itupun tak nyaring dan galak seperti biasa maka suara serak bercampur maki segera berluncuran. "Cing Bhok, kau jahanam keparat. Kau laki-laki tak berjantung. Kau menipu, kau menjebak aku. Bebaskan aku dan mari bertempur seribu jurus!" "Sst, jangan keras-keras, tak perlu marah," si kakek tersenyum. "Kita berdua ada di sini, Lin Lin. Dan sepatutnya kita melepas rindu pula. Hm, kita sudah lama tak bertemu, bukan" Kalaupun bertemu tentu bertanding! Hm-hm, sekarang bertanding boleh bertanding, tapi bukan memakai senjata, melainkan cinta kasih!" dan Dewa Mata Keranjang yang menghapus serta mengusap air mata itu dengan saputangannya lalu mencium dan mengecup lembut, berbisik dua tiga kali sambil meredakan kemarahan nenek ini. Dia berkata bahwa betapapun juga nenek itu bukanlah lawannya, hal ini memang disadari nenek itu. Dan ketika Lin Lin tak menangis lagi namun masih melotot memandang si kakek maka Dewa Mata Keranjang membujuk agar sudilah nenek itu bersikap baik-baik. "Kau adalah isteriku, bukan tawanan. Kalau kau mau menyambut cintaku dan bermesraan seperti dulu tentu aku akan girang sekali. Maaf, maukah kau menerima cinta dan rinduku, Lin-moi" Kau tak akan marah dan gusar lagi, bukan?" Lin Lin menggigil. Diusap dan dibelai seperti itu dia merinding. Dan kakek ini menyebutnya Lin-moi, dinda Lin! Ah, ucapan seperti itu adalah ucapan yang selalu membuat dia terbawa pada masa-masa manis. Dengan usapan dan belaian seperti itulah Dewa Mata Keranjang selalu mencumbunya. Dan dia merasa senang! Dan ketika kakek itu kembali mencium dan dia membiarkan, tak menolak, maka Bi Hwa dari Bi Giok yang ada di situ harus melengos dan membuang muka, panas melihat orang yang baru saja bercinta dengan mereka kini sudah merayu dan mencinta orang lain! "Ada Bi Hwa di situ, ada Bi Giok. Jangan perlakukan aku seperti ini di depan mereka!" "Ah!" kakek ini sadar, segera menoleh "Maafkan aku, Lin-moi. Tapi mereka tak apa-apa. Lihat, mereka diam saja!" "Tentu saja diam, bukankah kau menotoknya" Jahanam, kau selamanya tak tahu malu, Cing Bhok. Mencumbu wanita pun di depan orang lain. Cih, kau laki-laki tak berperasaan!" "Ha-ha!" kakek ini tertawa bergelak. Melihat nada bicara kekasihnya sudah lain. "Kau tak marah lagi kepadaku, Lin-moi " Kau mau menyambut cintaku?" "Jangan keras-keras, jangan tak tahu malu! Aku menjadi benci kalau kau bicara seperti itu!" "Hm, baiklah. Kalau begitu terima kasih. Ah, aku memang tahu bahwa betapapun cinta di hatimu tetaplah untukku. Baiklah.... baiklah, Lin-moi. Kita ke sudut sana dan cium aku dulu sebagai tanda kau tak marah lagi kepadaku!" Nenek ini terbelalak. Kalau bukan Dewa Mata Keranjang yang bicara seperti itu tentu dia akan memakinya habis-habisan. Kakek ini mengajaknya ke sudut untuk melampiaskan rindu, bercinta! Ah, kakek edan mana kalau memang bukan si Dewa Mata Keranjang" Dan ketika dia melotot dan mau marah tiba-tiba kakek ini berbisik bahwa Bi Hwa dan Bi Giok bukanlah orang lain. "Mereka adalah isteri-isteriku juga, seperti kau. Sudah biasa bagi mereka melihat aku bercinta dengan siapapun. Marilah, tak usah takut atau khawatir menghadapi kemarahan mereka, Lin-moi. Aku yang bertanggung jawab kalau ada apaapa!" Nenek ini mendesah. Dia sudah dibawa dan diciumi, gera angan dan bujuk rayu kakek itu sudah membuatnya panas dingin Dan ketika dia mengeluh dan Dewa Mata Keranjang mengadakan satu kecupan dalam, kecupan yang membuat nenek ini bangkit berahinya akhirnya Dewi Kilat Biru itupun menyerah! Dewa Mata Keranjang mendapat ciuman balasan dan tertawalah kakek itu oleh sambutan isterinya. Bi Hwa dan Bi Giok mendengarkan itu semua dengan muka merah padam. Mereka "dipaksa" untuk mendengarkan adegan-adegan selanjutnya, seolah isteri yang menonton suaminya bercinta dengan sang madu, begitu asyik dan tak menghiraukan lagi sekeliling mereka. Bi Hwa en-ci adik hanya mendengarkan saja semuanya itu terjadi, tak jauh, hanya di sudut. Dan ketika semuanya selesai dan malam menjelang tiba mendadak berturut-turut datang nenek-nenek yang lain. Mula-mula Bhi Cu, lalu May-may. Dan ketika terakhir si Cambuk Kilat Bwee Kiok, yang terheran dan terkejut tak melihat teman-temannya di situ, padahal mereka menjaga dan kini entah ke mana maka nenek ini menjadi korban terakhir Dewa Mata Keranjang ini. "Ha-ha, ke sinilah. Teman-temanmu di atas!" Bwee Kiok tertegun. "Marilah, Kiok-moi. Ke sinilah dan lihat mereka!" Dewa Mata Keranjang berkata lagi, sudah tidak ragu-ragu karena semua isterinya sudah ditundukkan di atas sana, di langit-langit ruangan. Setiap habis bercinta tentu kakek ini lalu menotok mereka, agar tak membuat ribut, perbuatan yang sebenarnya membuat semua isterinya marah karena mereka merasa dipermainkan. Kalau saja kakek itu tak sedemikian lihai tentu mereka sudah memberontak dan memaki-maki, menerjang. Habis melayani tahu-tahu mereka dijadikan tawanan, ah, keparat kakek itu. Dan ketika kini Bwee Kiok datang sebagai giliran terakhir, yang pasti juga akan digarap kakek itu maka enam yang di atas melotot marah dan mengepal tinju, di samping kagum. Bayangkan, kakek macam apa Dewa Mata Keranjang ini" Bagaimana dapat terusmenerus bermain cinta dengan keenam isterinya tanpa istirahat" Kalau bukan tenaga kuda tentu tenaga super, super kuat. Kalah anak-anak muda kalau diadu dengan kakek ini, kakek yang hebat. Kakek yang memang membuat mereka kagum dan justeru karena kagum itulah mereka jatuh cinta! Dewa Mata Keranjang memang kakek luar biasa yang tenaganya hebat luar dalam. Tak ada a-nak muda yang kiranya dapat menandingi kakek ini, kakek yang istimewa! Dan ketika mereka melihat betapa Bwee Kiok berkelebat ke dalam dan Dewa Mata Keranjang tidak lagi berpurapura melingkar di sudut melainkan tegak dan berdiri berhadapan dengan isterinya itu maka isteri-isterinya yang lain terbelalak dan mendengarkan percakapan di bawah. "Kau... bagaimana bisa bebas" Dan apa maksudmu dengan mereka di atas?" "Ha-ha, lihatlah ke sana, Kiok-moi. May-may dan lain-lain telah membebaskan aku dan menyatakan akan meninggalkan dua pemberontak itu dan siap berdampingan seperti biasa dengan bahagia!" Bwee Kiok membelalakkan mata. Nenek ini tertegun melihat Dewa Mata Keranjang menuding ke atas, ke langit-langit ruangan di mana tak terlihat apa-apa dari bawah. Dia hanya mendengar suara-suara aneh di atas, seperti keluhan atau orang yang didekap. Dan ketika nenek ini berkelebat dan berjungkir balik melayang ke atas, melihat apa yang dikata kakek itu maka dia tertegun melihat May-may dan lain-lain malang-melintang dengan tubuh setengah telanjang! "Cing Bhok, kau terlalu! Kau rupanya telah mempermainkan mereka!" nenek ini melayang turun, marah dan membentak namun Dewa Mata Keranjang tiba-tiba berkelebat naik. Memapak dan menyambut isterinya ini kakek itu melakukan totokan ringan, Bwee Kiok melengking dan berseru bahwa Lauwtaijin dan Thaitaijin akan segera mendatangi. Dua panglima itu curiga Kenapa May-may dan lain-lain tak datang, melapor. Mereka seharusnya memberi keterangan dan bukan menghilang begitu saja. Dan ketika kakek ini terkejut dan totokannya berhasil dikelit, tertegun, maka si Cambuk Kilat itu sudah berjungkir balik ke bawah sementara Dewa Mata Keranjang juga terpaksa mengikuti dan melayang pula turun ke bawah. "Apa" Thaitaijin dan Lauwtaijin akan ke sini?" "Benar, mereka menunggu-nunggu May-may dan lain-lainnya itu, Cing Bhok. Tapi kau rupanya telah menangkap dan mem permainkan mereka. Sekarang kau harus membebaskan mereka atau Lauwtaijin dan Thaitaijin akan menganggap mereka bersekongkol denganmu!" "Ah!" dan Dewa Mata Keranjang yang terbelalak berseru tertahan tiba-tiba melihat Bwee Kiok melayang lagi ke atas, berkelebat membebaskan totokan keenam rekannya tapi tidak berhasil. Nenek ini terkejut karena Dewa Mata Keranjang rupanya memberikan totokan khusus, tak dapat dibuka kalau bukan oleh kakek itu sendiri. Dan ketika May-may dan lain-lairi ah-uh-ah-uh meminta pertolongan maka di luar terdengar letusan senjata-senjata api dan pintu didobrak serta muncullah di situ dua panglima pemberontak itu dengan ratusan anak buahnya. "Menyerah, atau kami terpaksa membunuh!" Dewa Mata Keranjang terkejut. Dia melihat Bwee Kiok pucat dan dua pimpinan pemberontak itu memandangnya penuh curiga. Ratusan orang telah mengelilingi mereka dan tak ada tempat di ruangan itu yang lolos begitu saja. Semua senjata api diarahkan ke arah mereka berdua dan sekali dua orang itu berteriak tentu anak buahnya akan melepaskan tembakan. Menghadapi peluru jelas jauh lebih berbahaya daripada menghadapi senjata rahasia, peluru bergerak lebih cepat daripada senjata rahasia. Dan ketika nenek ini tertegun dan pucat karena teringat teman-temannya yang masih tertotok, di atas sana maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak dan tiba-tiba kakek yang sudah mengambil keputusan cepat ini menjentikkan dua kerikil hitam ke tangan Lauwtaijin dan Thaitaijin itu. "Kami menyerah, jangan tembak.... tak-tak!" Dua orang itu terkejut. Mereka memekik karena tiba-tiba pistol di tangan jatuh ke lantai. Dewa Mata Keranjang berkata menyerah dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi namun secara cepat dan amat lihai kakek ini telah menjentikkan dua kerikil hitam itu. Pasukan di luar melihat pula kedua tangan kakek ini yang Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo diangkat ke atas, tak melihat sambaran dua kerikil itu ketika si kakek mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Inilah taktik si Dewa Mata Keranjang. Dan ketika pasukan terkejut karena tanpa sebab dua pimpinannya itu menjerit dan melepaskan pistol, tak tahu bahwa mereka terkena serangan gelap maka Dewa Mata Keranjang berjungkir balik dan membebaskan totokan May-may dan lain-lain, berseru pada Bwee Kiok agar menerjang keluar. Perhatian pasukan sedang terpaku oleh teriakan Lauwtaijin dan Thaitaijin, itulah kesempatan bagus. Tapi Bwee Kiok yang rupanya kebingungan dan gugup, memikirkan May-may dan lain-lain ternyata tak melakukan tindakan apa-apa. "Hei, jangan mendelong saja, Bwee Kiok. Keluar dan terjanglah mereka. Aku membebaskan May-may dan lain-lainnya ini!" Bwee Kiok segera sadar. Namun nenek ini masih bingung juga. Kalau dia menerjang keluar, benarkah tindakannya itu" Apakah May-may dan lain-lain setuju dengan perbuatannya" Menerjang keluar berarti berbalik memusuhi Lauwtaijin dan Thaitaijin itu. Dan dia tak tahu apakah keenam rekannya memang benar telah berbalik haluan. Melihat dan mendengar kata-kata si Dewa Mata Keranjang tadi katanya May-may dan lain-lainnya i-tu telah membantu kakek ini, jadi berarti memusuhi pemberontak. Tapi begitu nenek ini bingung dan tertegun sendirian, ragu akan apa yang harus dilakukan tiba-tiba Bi Giok, yang pertama kali dirobohkan si Dewa Mata Keranjang mendadak berseru keras dan .... menerjang kakek itu. "Jangan dengarkan seruannya. Kami tetap berpihak pada Lauwtaijin.... des-dess!" Dewa Mata Keranjang mendapat pukulan, terhuyung dan sudah bertubi-tubi diserang nenek itu dan Bwee Kiok terkejut. Ini berarti Dewa Mata Keranjang menipu! Dia marah dan mulai merah. Dan ketika yang lain-lain juga membentak dan menerjang kakek itu, membuat Dewa Mata Keranjang sendiri terkejut maka kakek ini berseru keras dan berteriak-teriak. "Hei-hei! Apa-apaan kalian ini! Jangan gila, berhenti. Aku, eitt.... plak-dess!" dan si kakek yang mendapat hantaman dari kiri kanan akhirnya mendengar pula bentakan Thaitaijin dan Lauwtaijin. Tadi dua pimpinan pemberontak itu terkejut & dan curiga terhadap Bwee Kiok dan teman-temannya, betapapun mereka itu adalah bekas isteri-isteri si Dewa Mata Keranjang ini sendiri. Tapi begitu Bi Giok menerjang dan menghantam kakek itu, berseru bahwa dia tetap berpihak padanya maka dua pimpinan pemberontak ini lega dan girang dan sudah memungut kembali pistol yang terlepas dari tangan, melihat May-may dan lain-lain sudah menyerang Dewa Mata Keranjang dan mereka melepas tembakan ke atas, memberi tanda pada pasukannya agar mereka bersiap untuk menyerang pula. Dan ketika semua pasukan berteriak dan ribut-ribut di malam hari, memberi semangat atau aba-aba satu sama lain maka Dewa Mata Keranjang melihat bahaya yang mengancam dirinya. "Kalian terlalu, sudah mau diajak bercinta dan kubebaskan tiba-tiba saja sekarang menyerang diriku. Hm, kuhajar kalian semua, May-may. Dan jangan salahkan aku kalau aku terpaksa bersikap keras.... des-dess!" kakek itu menangkis, apa boleh buat harus mengelak dan menangkis serangan-serangan lawan dan tibatiba saja kakek ini berkelebatan mengerahkan ginkang. Pek-in-kang dan Im-biankun dikeluarkan dan pukulan-pukulan Kilat Biru atau lain-lain tertolak. Enam nenek itu menjerit dan Bwee Kiok kini melompat maju, harus membantu rekanrekannya dan Dewa Mata Keranjang pun menangkis pukulan isterinya ini. Dan ketika Bwee Kiok melepas senjatanya dan cambuk kilat di tangan nenek itu siap menjeletar dan menyerang kakek ini maka Dewa Mata Keranjang melihat gerakan pistol di tangan dua pimpinan pemberontak itu. "Pergilah!" cambuk tak sempat meledak. Bwee Kiok terhuyung ketika tiba-tiba lawannya mendorong, pukulan jarak jauh menghantam dan saat itu Dewa Mata Keranjang berkelebat mengerahkan Sin-bian Ginkangnya (Ginkang Kapas Sakti). Dan persis moncong pistol diarahkan kepadanya mendadak kakek ini sudah mengebut dan dua pimpinan pemberontak itu berteriak kaget karena tahu-tahu tubuh mereka terpelanting. Dan ketika mereka berteriak dan kakek ini berseru keras tahu-tahu Dewa Mata Keranjang telah berkelebat dan keluar dari ruangan itu, lolos melalui lubang pintu yang sudah terbuka. "Kejar, tembak dia..."Lauwtaijin dan Thaitaijin marah. Mereka terguling-guling dikebut ujung lengan baju kakek itu, berteriak dan menyambar senjata mereka lagi dan berseru agar anak buahnya menembak. Suara dar-dor segera terdengar namun kakek itu tertawa bergelak, telapak tangannya mengebut dan desing peluru yang ditangkis kakek ini terpental. Hebat bukan main! Dan ketika Lauwtaijin dan Thaitaijin terbelalak, kaget dan kagum melihat kesaktian kakek itu maka Dewa Mata Keranjang sudah terbang dan keluar dari Lembah Kuning. "Hei, kejar....! Kejar kataku. Tembak lagi..... dor-dor!" dua pimpinan itu berteriak, marah dan menembak lagi namun kakek lihai itu mengelak. Peluru-peluru berhamburan di kiri kanan tubuhnya dan beberapa yang mengena ternyata tak ada yang sanggup merobohkan si Dewa Mata Keranjang. Timah panas itu mental ketika bertemu tubuh si kakek, seolah membentur tameng baja atau dinding tembok! Dan ketika kakek itu tertawa tergelak-gelak dan pasukan yang ada di depan tungganglanggang maka kakek ini lolos dan dua pimpinan pemberontak marah, mengejar namun tak berhasil dan lenyaplah Dewa Main Keranjang di luar lembah. Kakek ini bergerak amat cepat dan tak seorang pun sanggup mendahului. Memang Dewa Mata Keranjang bukanlah tandingan orang-orang ini. Tapi ketika tujuh bayangan berkelebat dan nenek May-may serta yang lain-lain mengejar maka dua pimpinan pemberontak itu bersinar dan gembira hatinya. "Kalian semua tak mungkin dapat mengejar. Biarlah kami yang mengejar dan kalian sebisanya saja mengejar kami!" Dua orang itu mengangguk. Malam yang gelap memang membantu sekali bagi kakek lihai itu, mereka tak mungkin dapat mengikuti karena mereka hanyalah orang-orang biasa saja. Kelebihan mereka hanya senjata api di tangan namun ternyata menghadapi kakek lihai itu mereka masih tak dapat berbuat apa-apa. Teringat oleh mereka betapa belasan peluru panas ditampar atau disampok terpental oleh Dewa Mata Keranjang itu, dan betapa belasan yang lainnya runtuh ketika mengenai punggung si kakek, yang kebal dan rupanya atos maka dua pimpinan pemberontak ini gentar, ngeri! "Kakek itu tak lumrah manusia, sepantasnya iblis!" "Benar, dan tak ada satu pun peluru-peluru kita yang dapat merobohkannya, rekan Thai. Dewa Mata Keranjang itu sungguh bukan manusia biasa. Dia siluman!" "Dan kita harus bantu ketujuh nenek itu. Mudah-mudahan pasukan kita dapat bergerak cepat dan kakek itu dapat kita tangkap kembali. Kalau dia tidak tertangkap dan masih hidup tentu kedudukan kita selamanya terancam!" "Benar, dan kita tak perlu berkompromi lagi. Begitu tertangkap sebaiknya dibunuh. Mari!" dan dua orang ini yang cepat menoleh dan memberi aba-aba ke belakang lalu mencari kuda dan menyuruh semua orang mengejar dengan kuda. Dan begitu ratusan orang itu bersorak dan gemuruh di atas kudanya masing-masing maka malam yang gegap-gempita itu semakin hiruk-pikuk. "Tangkap Dewa Mata Keranjang itu. Bunuh dia!" Namun ke mana mereka mencari" Bayangan nenek May-may dan lain-lain sudah lenyap mengejar si Dewa Mata Keranjang. Mereka hanya mengira-ngira saja dan pasukan pemberontak itu mencari dengan kebingungan. Dan sementara mereka berteriakteriak dan memberi semangat satu sama lain maka Dewa Mata Keranjang tersentak di depan. Apa yang dipikirkan kakek ini" Bukan lain persoalan Gwa-ciangkun (panglima Gwa). Sebagaimana diketahui, tugas utamanya adalah menangkap atau membekuk dua pimpinan pemberontak itu, juga membebaskan panglima Gwa yang tertangkap dua pimpinan pemberontak. Tapi karena dia bertemu dengan bekas isteri-isterinya di sana dan kesenangan yang akhirnya diperoleh kakek ini membuat dia lupa segala maka sekarang Dewa Mata Keranjang teringat setelah ketujuh isterinya itu menyerangnya. Tadi, mula-mula, dia merasa gembira dan senang karena ketujuh isterinya berhasil dibujuk dan mau diajak berbaik lagi. Dewa Mata Keranjang menganggap tujuh isterinya itu sudah tunduk lagi dan di bawah pengaruhnya, karena mereka mau diajak bermain cinta dan bermesraan seperti biasa. Tapi begitu Bi Giok mengamuk dan rupanya kecemburuan atau entah apa membuat isterinya yang itu marah-marah dan menyerangnya maka kakek ini terkejut juga dan tertegun, tak menyangka dan sekarang akibatnya dia melupakan tugas. Ah, Bi Giok itu harus dihajar. Gara-gara isterinya inilah semua ikut-ikutan dan jadi mengeroyok. Dan ketika sambil melarikan diri mendadak dia teringat Gwa-ciangkun tiba-tiba kakek ini berhenti. Dan saat itu tujuh bayangan isterinya muncul, rupanya berhasil mengejar dirinya yang akhirnya memang bersikap ayal-ayalan. "Cing Bhok, jangan lari. Berhentilah!" Kakek ini berhenti. Bi Giok yang berteriak itu dan tiba-tiba dia menjadi gemas. Inilah biang keladinya. Dan begitu si nenek melepas pukulan Tangan Pedang dan cepat serta ganas isterinya itu menyerang sambil membentak mendadak kakek ini mendengus dan memaki. "Bi Giok, kau lancang dan tak tahu diri. Pergilah.... dess!" nenek itu mencelat, terlempar oleh tangkisan kakek ini dan terbanting berteriak kesakitan. Dewa Mata Keranjang memperkuat tangkisannya tadi dan terguling-gulinglah nenek itu dengan pucat. Tangan Pedangnya tertolak, bahkan lengan yang dipakai menyerang bengkak! Dan ketika nenek itu menjerit dan terguling-guling kesakitan maka Bi Hwa dan lain-lain menghantam kakek itu untuk melindungi temannya, melihat Bi Giok terlempar dan terbanting dengan amat kerasnya. "Kau laki-laki kejam.... des-plak-dess!" Dewa Mata Keranjang berbalik, harus cepat menghadapi isteri-isterinya yang lain itu kalau tak ingin celaka. Kakek ini menggeram dan Im-bian-kun atau Pukulan Kapas Dingin menyambut semua serang an itu. Dan karena dia menambah tenaganya dan Im-bian-kun dikerahkan sampai tigaperempat bagian maka nenek-nenek itu mencelat dan mereka menjerit kesakitan. "Aduh!" "Jahanam...!" Kakek ini berkelebat ke arah Bi Giok. Dia meninggalkan lawan-lawannya dan kilatan matanya yang marah dan keras jelas mengandung suatu ancaman terhadap isterinya ini. Bi Giok melihat itu dan tentu saja terkejut, dia baru melompat bangun dan masih mendesis-desis memegangi tangannya yang bengkak, tangan kanan. Dan ketika kakek itu berseru dan berkelebat ke arahnya dengan sebuah tamparan miring tiba-tiba nenek ini terkesiap karena hawa panas dari pukulan Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih) menyambar. "Bi Giok, kau mengacau dan merusak semuanya. Terimalah, ini hajaran dariku!" Nenek itu berteriak. Pukulan hawa panas itu menyambar dan ia tak sempat mengelak, satu-satunya jalan hanya mena-nangkis dan nenek ini pucat melakukannya, maklumlah, tangan kanannya bengkak, hanya tangan kiri yang dapat digunakan. Dan ketika dia melihat Pek-in-kang menyambar dan dari hawa panas itu dia tahu bahwa Dewa Mata Keranjang marah maka nenek ini mengerahkan Kiamelangnya namun kali ini tangan kirinya malah patah. "Krak!" Nenek itu menjerit. Bi Giok terpelanting dan roboh mengaduh-aduh, Dewa Mata Keranjang berkelebat sekali lagi dan ditamparlah leher isterinya itu dengan perlahan. Namun karena pukulan ini cukup telak dan Bi Giok tak dapat mengelak lagi maka nenek itu terjengkang dan pingsan. "Dess!" Dewa Mata Keranjang sudah lega berdiri tegak. Kemarahannya tersalurkan namun Bi Hwa dan lain-lain sudah meloncat bangun. Mereka itu melihat robohnya Bi Giok dan Bi Hwa, sang enci, tentu saja marah bukan main. Dan ketika nenek ini berteriak dan menerjang lawannya itu maka dari delapan penjuru nenek-nenek yang lain juga sudah menyerang dan berkelebatan memaki-maki. "Cing Bhok, kau terlalu. Kau suami yang kejam?"Hrmterpaksa?" kakek ini berkelit, mengelak sana-sini. "Apa yang kulakukan sudah di luar batas kesabaranku, May-may. Kalau kaupun tak tahu diri tentu aku akan menghajarmu!" "Hajarlah, bunuhlah! Aku tak takut mati!" dan si nenek yang berkelebatan menghujani pukulan lalu disusul pula oleh yang lain-lain. May-may mainkan rambutnya dan meledak-ledaklah Sin-mauw-kang atau tenaga Rambut Sakti dari kepala nenek itu, disusul Bhi-kong-ciang atau Pukulan Kilat Biru yang dilancarkan Lin Lin dan lain-lainnya lagi. Dan ketika semua mengerubut dan mengeroyok kakek ini, tak mau digebah maka Dewa Mata Keranjang membagi-bagi pukulannya dan membalas mereka. Satu per satu dibuat terpental dan didorong mundur, sayangnya maju lagi dan mereka berteriak-teriak. Agaknya, kalau tidak dirobohkan seperti nenek Bi Giok mereka tak mau sudah, kakek ini mengerutkan kening. Dan ketika pertempuran berjalan cepat dan bayangan mereka berkelebatan silih berganti akhirnya kakek itu membentak melepas kedua pukulannya sekaligus. "Mundur!" lalu ketika lawan terpelanting dan bergulingan memaki-maki mendadak kakek ini berkelebat dan memutar tubuhnya, lari memasuki hutan. "Heii...! May-may dan lain-lain berteriak. "Jangan lari, Cing Bhok. Jangan "bersikap pengecut. Kau laki-laki tak jantan!" "Hm, kalian bukan tandinganku. Kalianlah yang tak tahu diri. Mundur dan pergilah baik-baik, May-may. Atau kejar aku kalau dapat!" Enam nenek itu berteriak. Mereka marah dan tentu saja mengejar, tapi Bi Hwa yang teringat adiknya tiba-tiba menangis, berhenti dan menolong adiknya itu. Lalu ketika lima temannya disuruh mengejar duluan, ia menyusul, maka May-may dan lain-lain mengejar. Namun Dewa Mata Keranjang tak berniat bertanding dengan isteri-isterinya lagi. Kakek ini memasuki hutan dan berputaran di situ, dimaki dan dicari-cari lawannya Dan ketika lawan ubek-ubekan dan mencari dirinya, yang menyelinap dan selalu menjauh tiba-tiba kakek ini terbang dan balik menuju ke Lembah Kuning! "Kalian keras kepala, tak tahu diri. Carilah aku kalau dapat!" dan si kakek yang meluncur dan balik ke tempat semula tentu saja tak diduga keenam isterinya itu. Bahkan Lauwtaijin dan Thaitai-jin pun tidak. Mereka sama sekali tidak menyangka perbuatan kakek ini, karena ketika dua pimpinan pemberontak itu lewat bersama pasukan berkudanya, mengejar dan mengikuti May-may dan lain-lain maka Dewa Mata Keranjang berada di atas menonton di sebuah pohon yang paling tinggi, tadi melayang dan berkelebat ke situ dan seperti seorang panglima perang yang melihat barisannya bergerak kakek ini tersenyum-senyum di atas. Lauw taijin dan Thaitaijin tak ditangkapnya dulu karena dia ingin menemukan dulu Gwa-ciangkun, panglima yang tertawan. Dan ketika barisan itu lewat di bawah dan derap kaki kuda mereka bercampur-baur dengan teriakan dan cacian segala macam maka kakek ini turun dan meluncur ke dalam lembah. Tak sulit bagi orang selihai Dewa Mata Keranjang kembali ke tempat semula. Dia langsung menuju Lembah Kuning dan berputaran dua tiga kati. Lalu ketika matanya tertarik pada sebuah rumah besar di mana dapat diduga bahwa itulah pasti tempat tinggal pimpinan pemberontak maka kakek ini berkelebat dan sudah memasuki tempat itu, berkeliling dan akhirnya menemukan seorang laki-laki terkurung di sebuah kamar berjeruji. Dewa Mata Keranjang menggerakkan jari-jarinya dan bengkoklah empat buah ruji yang disentuh tangannya. Dan ketika dia berkelebat dan sudah memasuki tempat itu, yang hanya diterangi sebuah lilin maka kakek ini dapat menduga bahwa itulah panglima she Gwa. "Kau Gwa-ciangkun?" Laki-laki ini, yang gagah namun berewokan dan penuh cambang tak menjawab. Dia memang Gwa-ciangkun adanya tapi tentu saja tak segera memperkenalkan diri. Keributan dan kegaduhan di luar membuat laki-laki ini waspada. Dia tak tahu apakah lawan atau kawan yang datang. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang menyambar tubuhnya dan mengangkat naik, begitu ringan dan enteng maka panglima ini terkejut. "Kau.... kau siapa?" "Ha-ha, kau pasti Gwa-ciangkun. Hah, benar. Ciri-ciri tubuhmu tak mungkin salah lagi. Hayo ikut aku!" dan Dewa Mata Keranjang yang tertawa bergelak tiba-tiba sudah bergerak dan berkelebat membawa panglima itu, tak perduli pada kekagetan orang dan Gwa-ciangkun tentu saja memberontak. Panglima itu berteriak dan coba membebaskan diri. Cengkeraman atau pegangan lawan terlalu kuat baginya, panglima ini kesakitan. Dan ketika kakek itu sadar dan mengendorkan cengkeramannya, tetap berkelebat dan terbang keluar lembah maka panglima ini berteriak-teriak tak dapat melepaskan diri. "Hei-hei, kau siapa! Lepaskan dulu aku. Sebutkan namamu!" "Ha-ha, tak perlu menyebut nanti kau tahu juga, ciangkun. Yang jelas aku adalah sahabat Bu-goanswe (jenderal Bu)!" "Bu-goanswe?" "Ya, dan sekarang diamlah. Awas tutup matamu kalau ngeri!" dan Dewa Mata Keranjang yang tertawa bergelak mengerahkan Sin-bian Ginkangnya tiba-tiba sudah meluncur dan tidak menginjak tanah lagi. Angin bertiup keras di kiri kanan tubuhnya dan Gwa-ciangkun merasa kaget. Bunyi angin yang demikian keras seperti desing sebatang pedang tajam, sakit telinganya. Dan ketika kedua mata juga tak dapat dibuka karena perih oleh suara angin yang menderu maka panglima ini menutup mata dan akhirnya tidak berteriak-teriak, menyerah. Tapi Dewa Mata Keranjang salah jalan. Malam gelap dan cuaca yang tidak menguntungkan membuat kakek ini mengambil jalan keluar yang satunya. Lembah Kuning memang memiliki dua jalan masuk atau keluar yang mirip satu sama lain. Bagi yang tidak biasa tentulah sulit membedakan, apalagi kakek itu yang belum pernah keluyuran seperti Lauwtaijin atau pasukannya. Maka ketika dia salah jalan dan menuju ke utara, bukan ke selatan di mana seharusnya dia kembali maka kakek ini terkejut ketika tiba-tiba jurang dan bukit-bukit terjal dilalui begitu banyak! Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sialan, haram jadah! Tempat apa yang kulalui ini" Kemana aku pergi?" "Locianpwe, arah manakah yang kau-tempuh" Utara ataukah selatan?" "Aku tak tahu, tapi yang jelas aku salah jalan!" "Coba locianpwe tengok Bintang Selatan. Kalau dia ada di kanan kita berarti kita ke utara. Tapi kalau ada di sebelah kiri maka kita ke selatan!" "Setan, tak ada bintang di langit. Langit mendung!" Ternyata benar. Cuaca yang gelap tiba-tiba disusul dengan desau angin yang dingin. Langit tak berbintang dan itulah sebabnya kakek ini tersesat. Dan ketika dia celingukan ke sana-sini dan mengumpat caci mendadak saja hujan turun! "Wah, sial semakin sial. Kita kehujanan!" Gwa-ciangkun membelalakkan mata. Akhirnya kakek itu melepaskan dirinya dan dia terhuyung berjalan. Malam yang gelap karena mendung yang tebal ternyata betulbetul menyulitkan mereka. Dewa Mata Keranjang menyumpah-nyumpah. Dan ketika kakek ini harus berkelebatan ke sana-sini mencari perlindungan maka didapatnya sebuah guha di sebuah bukit karang. "Heh, kau masuk. Kita berlindung sementara di sini!" Gwa-ciangkun didorong ke sudut. Panglima ini hampir terjatuh namun kakek itu menahan pundaknya, lagi-lagi merasakan kuatnya jari-jari si kakek. Dan ketika dua orang ini basah kuyup dan Gwa-ciangkun menggigil maka Dewa Mata Keranjang menyuruh temannya membuat api unggun. "Tak ada kayu kering, mana bisa membuat api?" "Wah, hanya kayu saja yang bisa dibakar, ciangkun" Bodoh sekali, itu ada rumputrumputan di dalam guha, ambil dan bakar semuanya!" "Tapi aku tak mempunyai korek!" "Hm-hm, tolol sekali. Lihatlah, ini api dan cepat ambil rumput-rumput kering itu.... klap!" kakek ini menjentikkan kuku jarinya di sebuah batu hitam, menyala dan tertegunlah Gwa-ciangkun itu melihat api menjilat sejumput rumput yang sudah disambar kakek ini. Dan ketika kakek itu menyuruh dia mengambil rumput yang lain dan membuat tungku, dari batu-batu yang ada di situ maka Dewa Mata Keranjang mengomel panjang pendek. "Disuruh membuat api unggun malah aku sendiri yang membuat. Sial, sungguh kau bodoh sekali dan pantas kalau tertang kap di tangan dua anjing buduk itu!" "Maaf," panglima ini merah padam. "Aku memang tolol dan bodoh sekali, locianpwe. Melihat kepandaianmu seperti ini sungguh aku bukan apa-apa. Aku memang pantas ditangkap pemberontak-pemberontak hina itu, dan aku memang tak bisa apa-apa!" "Sudahlah, kau lapar atau tidak?" "Lapar.., tapi di mana ada makanan?" "Itu, tangkap dia!" dan Gwa-ciangkun yang terkejut mendengar desis seekor ular tiba-tiba saja berteriak dan melempar kepala ke belakang karena tahu-tahu kepalanya sudah di depan moncong seekor ular besar. Ular ini tadi rupanya ada didalam guha dan terkejut melihat kedatangan mereka, berdiri tapi tidak bersuara dan baru mulai menyerang ketika Dewa Mata Keranjang meletikkan api. Binatang atau sebangsa ular memang takut sekali terhadap api, kakek itu sudah melihat ular ini namun diam saja, karena si ular kebetulan berada di dekat Gwa-ciangkun dan bukan dekat dengannya. Maka begitu dia bertanya apakah panglima itu lapar dan dijawab betul, maka saat itu juga ular itu menyambar dan desis yang demikian dekat membuat panglima ini kaget bukan main, melempar kepala ke belakang. Tapi si ular sudah melepas tubuhnya yang panjang. Dia tadi melingkarlingkar dan kini bergerak mengejar panglima she Gwa. Dan ketika Gwa-ciangkun menyambar rumput kering dan dengan rumput ini dia menggebah si ular maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak melihat kegugupan panglima itu. "Rumput kering tak akan menakutkan ular, bodoh! Bakar dulu sedikit dan lempar ke arahnya!" Gwa-ciangkun pucat. Setelah ular itu mengurai tubuhnya dan bergerak memanjang maka dia terbelalak dan ngeri karena ular itu panjangnya tak kurang dari lima meter. Itulah ular phyton yang bobotnya barangkali ada empatratus kati, bulat dan panjang serta kini membuka mulutnya lebar-lebar. Dia yang bergulingan menjauh dikejar, Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa karena justeru panglima itulah yang diserang, bukan dirinya. Dan ketika Gwa-ciangkun berteriak dan menyulut rumput kering untuk dilemparkan ke arah ular ini maka si phyton menguak dan panik. "Awas, dia akan melecutkan ekornya!" Benar saja, Gwa-ciangkun tak melihat ini. Ular besar itu takut dan marah sekali melihat api. Mereka berada di guha yang tak boleh dibilang besar. Kalau untuk dua orang saja cukup, menjadi tidak cukup setelah ada ular besar di situ. Dan ketika panglima ini terkejut dan berteriak tertahan tiba-tiba saja dia sudah menerima sebuah lecutan dahsyat. "Plak!" Panglima ini terbanting. Tubuh ular sudah sebagian terkena api, terbakar dan dia berkoak-koak kesakitan. Ular ini melecut-lecutkan ekornya dan menggelincir serta meluncur ke arah Gwa-ciangkun, yang tadi membuang rumput panas. Dan ketika panglima itu tertegun dan baru saja melompat bangun, setelah terbanting oleh serangan ular maka mulut yang terbuka lebar itu menyambar kepalanya, memperlihatkan gigi-gigi yang runcing dan rongga mulut semerah darah. "Crep!" Panglima ini membentak. Gagah . dan tangkas tiba-tiba dia menyambut patukan ular itu, menggerakkan kedua tangannya dan tepat sekali mencengkeram leher ular. Dan ketika ular meronta dan hampir saja terlepas, karena licin, maka panglima ini menarik dan membetot sekuat tenaga agar kepala ular tertunduk ke bawah. Tapi ular itu juga bergerak. Dia mengerahkan tenaganya pula dan dua orang itu adu otot. Gwa-ciangkun bertangan kosong sementara ular siap dengan taring-taringnya yang runcing. Pergulatan sejenak ini cukup mendebarkan tapi Dewa Mata Keranjang terkekeh-kekeh, gemas dan mendongkol panglima itu. Dan ketika perhatiannya tertuju pada mulut ular yang siap mencaploknya mendadak ekor ular bergerak dan tahu-tahu sudah melilit tubuhnya. "Augh!" Panglima ini terkejut. Dia merasa cekikan yang kuat melilit dirinya, mau melepaskan diri namun tak sempat lagi. Ular besar itu telah melilitnya semakin keras dan tiba-tiba panglima ini merasa sesak. Tapi ketika tenaganya mengendor dan dan perlahan tetapi pasti kepala ular mulai menunduk, rongga mulut yang merah itu semakin dekat dengan kepalanya dan siap menggigit, mendadak sepotong kayu menyambar dan tepat sekali mengganjel mulut ular antara rahang bawah dan rahang atas. "Crep!" Sang ular terkejut. Tiba-tiba dia meronta dan Gwa-ciangkun terbawa. Rasa sakit akibat kayu di mulutnya itu rupanya juga bercampur rasa kaget dan bingung. Ular ini menggerak-gerakkan kepalanya untuk membuang kayu itu, yang sayangnya tak dapat karena kayu menancap semakin kuat di dalam mulutnya. Dan karena ular ini tadi menggigit karena otomatis sesuatu yang asing di mulutnya membuat dia menggerakkan rahang sekuat mungkin maka akhirnya kayu itu akhirnya menembus dan melukai langit-langit mulutnya. "Banting ke tembok. Benturkan kepalanya ke tembok!" Itulah suara si Dewa Mata Keranjang. Kakek inilah yang tadi melempar kayu itu, melihat bahaya mengancam temannya dan tentu saja dia tak tinggal diam. Dibiarkan begitu saja Gwa-ciangkun bisa terancam maut. Ular besar itu memang tidak berbisa namun sekali dia mencaplok kepala si panglima tentu Gwa-ciangkun tak akan dapat melepaskan diri lagi. Taring yang melengkung ke dalam akan membuat mangsa tak berdaya, itulah kehebatan dan keganasan ular ini. Dan ketika dia sudah melempar kayu itu dan bantuan ini tentu saja menggembirakan Gwa-ciangkun maka ular yang meronta-ronta dan kendor tenaganya, karena kesakitan, sudah berhasil dikuasai dan panglima ini memperoleh kembali tenaganya, bergerak dan ular didorong ke kiri. Panglima ini mendengar seruan si Dewa Mata Keranjang dan melihat bahwa itu adalah jalan terbaik. Maka begitu dia berhasil menekuk kepala ular dan ular yang kesakitan ini dipepetkan ke dinding mendadak dengan tenaga sekuatnya panglima ini menghantamkan kepala ular ke dinding, membenturkannya. "Prak!" Ular itu kelenger. Gwa-ciangkun membantingnya sekali lagi dan baru terkulailah tubuh ular itu. Dan ketika lilitan terlepas dan Gwa-ciangkun menginjak kepalanya akhirnya ular pun tewas dan panglima ini melepaskan diri. "Ha-ha, satu pergulatan seru. Menarik sekali!" "Hm, terima kasih," panglima ini mengebut-ngebutkan bajunya, menjura. "Kau telah menolongku, locianpwe. Dan aku hampir saja mampus kalau tidak kau bantu!" "Ha-ha, sudahlah. Sekarang makanan telah tersedia dan kau tentu dapat me-nangsal perutmu." Panglima ini tertegun. "Jadi ini yang kau maksud?" "Wah, apa lagi" Hayo, beset kulitnya, ciangkun. Dan kita nikmati panggang ular!" Panglima ini terbelalak. Sekarang dia baru sadar bahwa kiranya pertanyaan si kakek aneh tadi adalah karena melihat adanya ular itu. Si kakek sudah melihat tapi dia belum. Dan ketika dia menghela napas dan tersenyum pahit, merasa betapa bodohnya dirinya bila dibanding kakek ini maka panglima itu menguliti kulit ular dan tampak sekali lagi betapa susah payahnya laki-laki ini membeset daging buruannya. Dewa Mata Keranjang tersenyum dan meminta bagiannya, mempergunakan kuku dan sekali gurat kulit ular itupun sudah dibesetnya dengan mudah. Dan ketika panglima ini tertegun dan lagi-lagi mendelong maka malam itu mereka melewatkan malam yang dingin dengan santapan daging ular. "Hm, locianpwe hebat sekali. Dan aku semakin kagum tapi sayang belum mengenal nama locianpwe yang terhormat." "Ha-ha, tak perlu. Kelak kau akan tahu juga, Gwa-ciangkun, tak usah menyesal. Sekarang beristirahatlah, besok kita kembali ke benteng." "Hm-hm!" dan si panglima yang kecewa tak mengenal nama tuan penolongnya akhirnya melewatkan malam yang berhujan lebat. Ini sudah hari kedua bagi si Dewa Mata Keranjang itu. Kakek itu terpaksa menahan langkah karena dia tersesat, mau tak mau harus menunggu esok karena dengan bantuan matahari dia akan dapat kembali, daripada melanjutkan perjalanan yang hanya akan membuat dia semakin jauh saja dari tempat Bu-goanswe. Dan ketika malam itu Gwa-ciangkun dapat beristirahat sementara kakek ini duduk bersamadhi maka keesokannya, pada kokok ayam jantan pertama kakek ini membangunkan panglima she Gwa. "Sudah cukup, kita melanjutkan perjalanan!" Gwa-ciangkun geragapan. Dia terlelap tidur dalam mimpi yang indah. Dia bermimpi pulang kembali ke kota raja dan bertemu anak isterinya, mimpi itu demikian membahagiakan dan menyenangkan panglima ini. Maka ketika dia dibangunkan dan sadar bahwa dia masih di tempat yang asing, daerah berbukit-bukit dan gersang maka panglima ini menarik napas dan kecewa. "Hm, kukira sudah di kota raja, tak tahunya masih di sini. Baiklah, mari, locianpwe. Kita berangkat!" "Kau cuci muka dulu, itu ada air!" Panglima ini semburat. Memang mana mungkin dia harus melanjutkan perjalanan bersama orang lain kalau belum mencuci muka" Maka tersipu namun bersinar melihat mata air kecil di situ panglima ini sudah menghampiri dan mencuci mukanya, segar dan berseri-seri dan sebuah harapan besar terbayang di pelupuk matanya. Dia akan bebas, sebentar lagi akan dapat bertemu kawan-kawannya yang lain dan hal itu agaknya mungkin karena dia bersama kakek ini, kakek yang lihai dan ilmu lari cepatnya seperti siluman! Ah, panglima ini bergidik karena teringat dia ketika dibawa terbang meluncur, tak meng injak bumi dan orang-orang yang bukan manusia biasa sajalah yang dapat melakukan hal itu. Kalau dia tidak tahu bahwa kakek ini terdiri dari darah dan daging seperti halnya manusia biasa tentu dia akan menganggap kakek ini dewa, mungkin sejenis mahluk luar biasa yang hidupnya hanya di kahyangan sana! Namun ketika panglima ini disambar dan dicekal lengannya maka dia terkejut ketika melihat kakek itu tertawa. "Kau siap" Nah, pegang lenganku erat-erat. Awas, kita mulai...!" dan begitu tubuh si panglima disentak dan disendai maka panglima ini terbang dan sudah dibawa meluncur seperti semalam. "Ah-ah, jangan terlampau cepat!" pang lima ini berseru. "Mataku pedas, locianpwe. Perlahan sedikit!" "Ha-ha, tak akan sampai kalau mengurangi kecepatan. Tutuplah matamu, ciangkun. Dan berpegangan saja kepada lenganku!" dan ketika si panglima terpaksa memejamkan mata karena sudah dibawa terbang semakin cepat dan tak menginjak tanah lagi maka panglima ini serasa mimpi melayang-layang di atas mega, entah bagaimana dan ke mana dia tak tahu. Yang jelas tentu kembali ke tempat yang benar. Dewa Mata Keranjang memang telah mengetahui kekeliruannya dan kini kembali ke selatan, yang berarti harus kembali dan melewati Lembah Kuning. Dan ketika tak lama kemudian lembah itu sudah kelihatan dan benar saja semalam dia salah jalan maka kakek ini tertawa bergelak tapi segera terkejut ketika melihat pasukan Lauwtaijin menghadang di mulut lembah! "Wah, tikus-tikus busuk itu rupanya mencegat perjalanan kita. Awas, hati-hati, ciangkun. Kita harus melewati musuh!" Panglima ini membuka mata. Si kakek mengendorkan larinya dan beranilah panglima ini melihat apa yang terjadi. Dia terkejut dan berdebar karena benar saja ratusan orang berdiri di mulut lembah. Agaknya, semalam mereka telah tahu bahwa tawanan lolos. Lauwtaijin dan Thaitaijin akhirnya memang kembali setelah nenek May-may dan lain-lain gagal mencari kakek itu. Mereka sudah berputaran di hutan namun Dewa Mata Keranjang keburu menghilang. Kakek itu sudah keluar hutan dan tak ada seorang pun di antara mereka yang menduga bahwa kakek itu justeru kembali ke lembah, teringat pada Gwa-ciangkun yang harus dibebaskan. Dan ketika mereka memaki-maki dan kembali ke lembah maka bukan main kagetnya ketika melihat panglima she Gwa tak ada di tempatnya lagi. "Tawanan lolos! Gwa-ciangkun hilang!" Thaitaijin dan Lauwtaijin terkejut. Mereka menjadi ribut dan May-may berkelebat melihat apa yang terjadi. Dan ketika nenek itu tertegun melihat empat jeruji besi yang bengkok, hasil perbuatan orang lihai yang tentu saja bukan perbuatan Gwa-ciangkun maka nenek ini sadar dan segera membanting kakinya menduga itulah perbuatan si Dewa Mata Keranjang. "Kita kebobolan. Kakek jahanam itu rupanya kembali ke sini!" "Dia?" "Ya, siapa lagi" Ah, kita terkecoh, taijin. Kakek itu telah kembali dan membawa tawanan!" nenek ini berkelebat, keluar dan Bhi Cu serta yang lain-lain juga tertegun. Mereka melihat jeruji yang beng kok itu, lolosnya tawanan. Dan ketika semua ribut dan memaki-maki maka nenek ini sudah berhadapan dengan dua pemberontak itu. "Bagaimana menurut locianpwe" Benarkah si Dewa Mata Keranjang?" "Tak salah," Bhi Cu mengepalkan tinju. "Pantas kita tak menemukannya, taijin. Kiranya dia kembali dan sudah membebaskan Gwa-ciangkun!" "Tapi kami tak melihatnya...." "Kalian memang tak akan dapat melihatnya. Kupikir, hmm.... kakek itu bersembunyi di atas pohon sewaktu kalian lewat. Benar, inilah dugaanku. Dewa Mata Keranjang ada di atas ketika kalian lewat di bawah!" "Di hutan itu?" "Benar, tak salah lagi. Dan kami tak berpapasan lagi. Kalau begitu kakek itu keluar melalui mulut lembah yang lain dan mari kita cegat!" "Eh, nanti dulu!" Thaitaijin berseru, melihat si nenek hendak berkelebat pergi. "Tunggu, locianpwe. Jelaskan kepada kami bagaimana semuanya itu!" "Hm, kau tak tahu juga" Dengar, dugaanku kakek itu keluar lewat utara, tai-jin. Dan dia pasti kembali karena Bu-goan swe ada di selatan..." "Bagaimana kau bisa tahu" Bagaimana kau yakin?" Thaitaijin memotong. "Tentu saja!" nenek ini merah mukanya. "Kalau dia lewat selatan tentu akan bertemu kami, taijin. Dan sewaktu kami pulang kami tak bertemu dengannya. Jadi berarti kakek itu keluar lewat mulut lembah yang lain dan dia tersesat ke utara!" "Kalau begitu pasti kembali!" "Ya, dia pasti kembali. Karena itu kita cegat atau kejar!" Namun ketika hujan turun dan mereka tak dapat melakukan pengejaran maka nenek ini tak jadi dan malam itu semua o-rang disiapkan. Sekarang pasukan sudah diberi tahu bahwa Dewa Mata Keranjang akan kembali. Kakek itu telah keluar lem bah lewat pintu yang salah dan sewaktu-waktu pasti datang. Hal ini membuat pasukan ribut dan ramai. Mereka telah menyaksikan kelihaian kakek itu dan kehebatannya, kakek yang tak dapat ditembak karena kebal! Dan ketika semua berjaga sementara malam itu Dewa Mata Keranjang beristirahat di guha, setelah menonton pergulatan Gwa-ciangkun dengan seekor ular besar maka kakek itu berhenti ketika pagi itu dia terbelalak melihat ratusan orang menghadang di mulut lembah. "Hm, bagaimana?" kakek ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Aku sendiri tak takuti mereka, ciangkun. Tapi kau, wah...!" Panglima ini semburat. "Aku memang tolol, lemah. Ah, maafkan aku, locianpwe. Tapi akupun juga tak takuti mereka dan siap bertarung!" "Hm, mereka berpistol...." "Aku tak takut!" "Bukan takut atau tidak, ciangkun. Me lainkan kalau sampai ada apa-apa denganmu tentu sia-sia sudah usahaku. Kau jangan goblok!" "Hm, maaf..." panglima ini menunduk, mandah saja dimaki. "Aku memang goblok, locianpwe. Tapi terserah kaulah bagaimana baiknya. Yang jelas, aku berani dan siap menerjang bahaya, meskipun goblok!" Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ha-ha, jangan sakit hati!" kakek ini menepuk pundak si panglima. "Meskipun goblok namun kau jujur, ciangkun. Dan kesetiaanmu inilah yang menarik perhatianku untuk menolongmu. Sudahlah, kita duduk dulu dan biar kupikir satu hal..." Dewa Mata Keranjang melempar pantat, duduk tepekur sementara matapun bersinar-sinar menatap ke depan. Kalau saja dia sendiri tentu sudah diterjang dan dihadapinya pasukan pemberontak itu. Tapi karena di situ ada Gwa-ciangkun yang hrus dilindunginya, tak kebal senjata api dan ilmu silatnyapun rendah maka kakek ini memeras otak bagaimana enaknya, Dan matahanpun kian naik semakin tinggi. "Repot!" kakek ini garuk-garuk kepala, belum juga berhasil memecahkan persoalan itu. "Agaknya satu-satunya jalan hanyalah menunggu malam tiba, ciangkun. Baru dengan begitu kita atau kau dapat menerobos keluar.'" "Malam hari" Hm, kau agaknya benar juga. Baiklah, tak apa, locianpwe. Aku siap menunggu dan sungguh aku menyesal kenapa diriku demikian lemah dan tidak sehebat dirimu!" "Sudahlah, atau.... he!" kakek ini tiba-tiba bangkit berdiri. "Aku menemukan akal yang lain, ciangkun. Ha-ha, benar! Itu yang sesungguhnya harus kulakukan!" kakek ini berjingkrak, menemukan akal yang dimaksud tapi tiba-tiba dia terkejut kembali, merasa diingatkan akan sesuatu. Dan ketika dengan lesu dia menampar kepalanya dan duduk dengan kesal maka panglima she Gwa terbelalak memandangnya. "Apa akalmu itu, locianpwe" Kenapa tiba-tiba murung dan lesu kembali?" "Hm, aku sedang sial. Akal itu tak jadi kujalankan." "Kenapa" Akal bagaimana itu?" "Aku hendak menangkap dua pimpinan pemberontak itu. Tapi......" "Benar!" panglima ini tiba-tiba berjingkrak, girang. "Kau dapat melakukan itu, locianpwe. Dan pasti berhasil!" "Berhasil hidungmu!" kakek ini membentak, melotot. "Di sana ada isteri-isteriku, ciangkun. Kalau saja tak ada mereka memang tentu aku berhasil. Tapi, ah.. keparat jahanam!" dan Dewa Mata Keranjang yang mengutuk serta mengepal tinju lalu meremas hancur sebuah batu hitam, remuk menjadi tepung dan Gwa-ciangkun meleletkan lidah. Kakek ini hebat tapi aneh sekali. Dan mendengar tentang isteri segala mendadak panglima ini mengerutkan kening, kecurigaanpun timbul. "Locianpwe, siapakah kau ini sebenarnya" Bagaimana bisa terdapat isteri-isterimu di sana" Dan, maaf.... apakah isteri-isterimu itu membantu Lauwtaijin?" "Hm-hm, memang benar. Tapi semuanya ini tak kuketahui, ciangkun. Baru kutahu setelah aku datang ke situ!" "Kalau begitu aneh. Kau memusuhi pemberontak sementara isterimu membantu pemberontak. Dan isterimupun agaknya lebih dari satu! Hm, siapa sebenarnya kau ini, orang tua" Kawan ataukah lawan?" "Eh!" kakek ini bangkit berdiri. "Omongan apa yang kaulancarkan ini, Gwaciangkun" Kalau aku lawan apakah kau dapat hidup sedemikian lama" Dan aku-pun menolongmu semalam. Kalau tidak. tentu kau sudah di perut ular!" "Maaf," laki-laki ini menjura. "Aku bingung dan tak dapat menetapkan hati, orang tua. Tapi kalau begitu maafkanlah aku. Kau terlalu berahasia, kau menyembunyikan diri. Biarlah nanti kalau aku bertemu Bu-goanswe akan kutanyakan siapa kau orang tua yang aneh ini!" . "Hm-hm, kau benar. Sebaiknya memang begitu!" dan ketika kakek ini hilang kemarahannya karena dicurigai, mendadak, seperti setan tiba-tiba kakek itu berkelebat lenyap. Entah ke mana! "He!" Gwa-ciangkun terkejut. "Kau di mana, locianpwe" Dan apa yang kaulakukan!" "Tutup mulutmu, jangan berteriak-teriak!" tiba-tiba panglima ini mendengar suara di atas kepalanya. "Ada sesuatu yang perlu kau lihat dan kau dengar, orang she Gwa. Lihat dan dengarlah suara genderang itu!" Gwa-ciangkun mendongak. Ternyata kakek itu ada di atas batu karang di mana dia berada di bawahnya. Seperti kucing atau siluman saja ternyata kakek itu berkelebat ke atas, hinggap atau berdiri di sana seraya menuding ke depan. Panglima ini terkejut dan tak melihat apa-apa, suara genderang seperti yang dikatakan kakek itupun tak dia dengar. Namun ketika dia diminta naik ke atas dan berdiri di situ, memandang jauh ke depan maka panglima ini tertegun melihat sebuah barisan besar sedang menuju ke Lembah Kuning. "Siapa itu" Dari mana?" "Heh, kau tak melihat benderanya" Tak awas?" "Terlalu jauh bagiku, locianpwe. Aku tak dapat melihat apa-apa, kecuali barisan besar seperti semut!" "Ah, itulah barisan kerajaan. Ha-ha, Bu-goanswe kulihat ada di sana. Bagus, sekarang kita dapat bergerak, ciangkun. Aku akan menyerang tapi kau tetap di sini dulu!" dan Dewa Mata Keranjang yang bergerak dan melayang turun tiba-tiba berkelebat dan terbang mendatangi Lembah Kuning, dari arah yang berlawanan dengan pasukan Bu-goanswe. "He!" panglima ini terjun, jatuh berdebuk. "Tunggu dulu, locianpwe. Aku ikut!" "Apa?" Dewa Mata Keranjang berhenti, begitu mendadak. "Ikut" Kau minta mati?" "Biarlah, bertempur dan mati di medan laga jauh lebih menyenangkan bagiku, locianpwe. Tapi di sana ada Bu-goanswe dan pasukannya seperti katamu tadi. Aku ikut, aku tak mau sendiri!" "Tidak bisa, kau harus di sini dan robohlah!" Dewa Mata Keranjang yang terkejut melihat kilatan sinar mata orang tiba-tiba menggerakkan jarinya dari jauh dan robohlah panglima ini, ditendang dan panglima itu kembali ke tempatnya semula, mengeluh, tak diberi kesempatan karena rupanya dia tadi hendak nekat. Semangatnya yang bangkit karena datangnya pasukan Bu-goanswe membuat jiwa kepahlawanan di hati panglima ini timbul. Api kegagahan itu bangkit dan panglima ini hendak ikut berperang! Tapi ketika Dewa Mata Keranjang menotok dan menendangnya maka panglima itu roboh dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali mulutnya. Karena begitu kakek itu tertawa dan berkelebat meninggalkannya maka Gwa-ciangkun ini berteriak-teriak. "Hei-hei....! Jangan tinggalkan aku, orang tua. Jangan biarkan aku sendiri di sini. Aku ingin ikut menghajar dua pimpinan pemberontak itu. Aku harus membantu Bu-goanswe!" "Ha-ha, tak perlu. Kau diam saja di situ, Gwa-ciangkun. Dan biarkan aku bekerja dengan tenang. Tunggu saja satu jam, setelah itu aku pasti kembali!" dan si panglima yang ditinggal dan dibiarkan berkaok-kaok akhirnya tak diperdulikan kakek itu karena Dewa Mata Keranjang sudah meluncur ke depan. Datang dan hadirnya pasukan Bu-goanswe membuat kakek ini teringat bahwa sudah terlalu lama dia meninggalkan jenderal itu, tahu bahwa itulah serbuan Bu-goanswe yang dilancarkan secara besar-besaran dalam usaha mencari dirinya. Tentu jenderal itu khawatir dan cemas kenapa dia tak pulang, padahal janjinya hanya sehari. Dan karena maklum bahwa pasukan itu akan menghadapi pasukan pemberontak yang bersenjata api, senjata yang jelas jauh lebih berbahaya karena dapat mendahului tombak atau pedang maka kakek ini menuju Lembah Kuning untuk mendahului sekaligus mengacau perhatian pasukan pemberontak. Pasukan Bu-goanswe pasti akan datang memasuki mulut lembah bagian selatan sementara dia akan masuk lewat utara. Kalau dia dapat menyerang dan mengacau pasukan ini sehingga pasukan Bu-goanswe dapat menyerbu dan tinggal membabat tentulah itu amat bagus. Dan karena semuanya ini sudah dipikirkan kakek itu dan dilaksanakan maka pasukan pemberontak terkejut sekali ketika bagai terbang kakek ini menyerbu dan menyerang mereka. "Ha-ha, kalian rupanya menunggu aku. Baiklah, ini aku datang dan siapa yang berani melawan!" kakek ini bergerak luar biasa cepat, berkelebat dan terbang seperti siluman dan tahu-tahu dia sudah ada di depan puluhan perajurit yang berjaga. Tanpa banyak bicara lagi kakek ini menggerakkan kedua tangannya dan meluncurlah serangkum angin pukulan dahsyat menghembus ke depan. Dan ketika perajurit berteriak kaget dan tak sempat menembakkan pistolnya maka sebelas di antaranya jatuh bangun dan berteriak-teriak. "Bres-bres-bress!" Dewa Mata Keranjang tertawa terbahak-bahak. Seperti yang sudah diduga maka belasan pasukan pemberontak terlempar. Mereka jungkir balik dan gaduhlah yang lain melihat sepak terjangnya. Dan ketika kakek ini beterbangan dan membagi-bagi pukulan bagi yang siap mengarahkan pistolnya maka para pemberontak itu menjadi gempar dan kacau. "Awas, kakek ini datang. Tembak dia ...... dor-dor-dorr!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Kakek ini mengebut dan timah-timah panas mental bertemu telapak tangannya. Yang di tengah menjadi ngeri karena kakek itu menyambar ke arah mereka, yang di depan sudah dibuat tunggang-langgang dan gegerlah pasukan ini karena si Dewa Mata Keranjang sudah menghalau mereka. Setiap kebutan atau angin pukulannya selalu membuat mereka terlempar, peluru-peluru yang ditembakkan juga runtuh ketika mengenai tubuh si kakek, yang kebal. Dan ketika kakek itu terus maju sementara bunyi tembakan silih berganti maka kakek ini melihat bayangan Lauwtaijin dan Thaitaijin, dua pimpinan pemberontak. Mereka melepas tembakan namun kakek ini mengebut. Ujung bajunya mementalkan peluru senjata api itu namun dari mana-mana meletus pula timah-timah panas dari pasukan pemberontak. Tubuh kakek ini kebal namun baju dan pakaiannya berlubang-lubang. Tak mungkin memang harus melindungi pakaiannya itu, kecuali kalau pakaian itu dipergunakan sebagai senjata. Dan karena hanya ujung baju yang dapat dipergunakan kakek ini untuk menangkis atau meruntuhkan peluru-peluru itu maka pakaian yang lain yang bolongbolong dan hangus terbakar. "Uwah, kurang ajar. Keparat jahanam!" kakek ini memaki-maki, sibuk dan menghindar sana-sini agar pakaiannya tidak banyak menjadi korban. Yang bolongbolong dan hangus itu adalah bagian-bagian yang tak terlindung sinkang, jadi tentu saja lemah dan tembus ketika terkena senjata api. Namun ketika kakek ini berkelebatan kian cepat dan tubuhnya bak walet menyambar-nyambar maka pasukan menjadi repot karena tak dapat mengikuti gerakannya lagi, akhirnya menjadi ngawur dan beberapa tembakan mengenai teman sendiri. Lauwtaijin dan Thaitaijin berteriak agar pasukannya tak ngawur. Dan ketika kakek itu sudah mendekati dua orang ini dan tertawa bergelak, siap menangkap, tiba-tiba saja enam isterinya itu muncul. "Cing Bhok, kau bedebah keparat. Mana Gwa-ciangkun yang kauculik!" "Ha-ha, siapa menculik siapa" Aku tak mengerti bicaramu, May-may. Namun mari kita mainmain sebentar... des-dess!" kakek ini menangkis pukulan isterinya, mencelat dan nenek itu berteriak. Tapi ketika Lin Lin dan lainnya maju membantu, mengeroyok dan membentak kakek ini maka di sana pasukan Bu-goanswe sudah berderap semakin dekat dan hal ini tak disadari penghuni lembah. Mereka terpikat dan tertuju perhatiannya kepada kakek lihai ini, yang memang ditakuti, dan ditunggu. Maka ketika kakek itu kembali dikeroyok isteri-isterinya sementara Dewa Mata Keranjang berkelebatan sambil tertawa-tawa maka pasukan pemberontak baru merasa kaget ketika dari mulut lembah yang lain datang pasukan penyerbu itu! Jilid : XV "SERANG! Tangkap dan bunuh pemberontak..!" Lauwtaijin dan pasukannya tersentak. Mereka melihat berderapnya pasukan Bugoanswe dan baru sekaranglah mereka melihat itu. Tadi mereka terpusat perhatiannya pada kakek lihai ini dan pucatlah muka dua pimpinan pemberontak itu karena mereka tak bersiap-siap. Penjagaan di belakang terlewatkan dan saat itulah pasukan Bu-goanswe menyerbu. Dan karena mereka semuanya berkuda dan tadi kedatangan mereka rupanya disembunyikan sedemikian rupa, suaranya hampir tak terdengar maka pekik dan bentakan Bu-goanswe yang tiba-tiba girang dan gembira melihat adanya Dewa Mata Keranjang sudah membangkitkan semangat jenderal itu yang tiba-tiba menjadi garang dan menyerbu bersama pasukannya. "Ha-ha, kau di sini, Dewa Mata Keranjang, dan masih hidup! Syukurlah, isterimu menuntut aku dan kini aku datang menyerbu!" Dewa Mata Keranjang melihat kedatangan jenderal ini. Kakek itu tertawa bergelak karena memang itulah yang dikehendaki. Tadi dari jauh dia sudah melihat datangnya jenderal ini bersama pasukannya dan menyerang duluan untuk memecah perhatian lawan, juga sekaligus memberi kesempatan pada jenderal itu agar dapat menyerbu dengan mudah. Dan ketika benar saja jenderal itu datang dan pasukannya bersorak-sorai maka seribu orang yang dibawa jenderal gagah perkasa ini sudah menerjang dan menyerbu pasukan pemberontak. "Dor-dor!" Dua tembakan membuat dua pasukan sang jenderal menjerit. Mereka itu pasukan paling depan dan terkejutlah Bu-goan-swe oleh kenyataan itu, segera teringat bahwa lawan memiliki senjata api dan letusan senjata itu memang berbahaya. Terjungkalnya anak buahnya membuat jenderal ini sadar. Tadi dia terlalu girang melihat adanya si Dewa Mata Keranjang, lupa tapi kini segera ingat. Dan begitu dia membentak agar pasukan berhati-hati, memecah diri dan menyerbu dengan sikap gajah membuka telinga maka jenderal itu sudah berteriak agar pasukannya melepas panah. "Bertempur jarak jauh. Pentang busur dan jepretkan panah kalian!" Pasukan segera sadar. Mereka tadi juga lupa dan terlampau girang melihat adanya Dewa Mata Keranjang. Mereka tahu bahwa itulah kakek lihai yang amat mereka andalkan. Tadi sudah cemas dan berdebar karena Dewa Mata Keranjang tak kembali ke perbatasan, mengira kakek itu terbunuh atau paling tidak tertangkap musuh, hal yang sebenarnya masih sukar dipercaya bagi mereka, karena kakek itu sudah mereka lihat kesaktiannya. Maka begitu si kakek ada di situ dan kini bertanding melawan enam nenek yang lihai, yang melengking-lengking dan lenyap berkelebatan seperti burung srikatan maka mereka bangkit semangatnya dan semangat yang berlebih-lebihan inilah yang tadi membuat dua perajurit di depan terlalu sembrono, menyerang dan menendang perut kudanya mengejar musuh namun dua peluru menembus tubuh. Itulah pembayaran mahal yang pertama kali jatuh di pihak Bugoanswe ini. Tapi ketika sang jenderal membentak dan pasukannya dipecah, ada yang keluar lembah dan memutari musuh untuk mencegat dari luar maka pasukan panah melepaskan senjatanya dan suara dar-dor segera diiringi desing anak panah yang meluncur dan menyambar bagaikan hujan ke arah pasukan pemberontak itu. Dewa Mata Keranjang sendiri berseru agar pasukan Bu-goanswe. mempergunakan tameng, senjata yang memang sudah disiapkan pasukan Bu-goanswe itu, senjata yang dipakai menangkis letusan senjata-senjata api. Dan ketika mereka menerjang dan tameng berkali-kali memukul jatuh peluru-peluru yang terlalu jauh jarak tembaknya, yang berkurang tenaganya karena pemiliknya menembak secara membabi-buta maka pasukan panah yang menerjang dan melepas panah mereka juga berhasil merobohkan banyak anak buah pemberontak. Lauwtaijin dan Thaitaijin marah dan mereka melepaskan tembakan berulang-ulang, satu dua memang jatuh korban tapi tiba-tiba sebatang panah menjepret dengan amat cepatnya. Itulah panah yang diluncurkan Bu-goan-swe. Jenderal itu menyelinap dan dengan panahnya yang besar jenderal itu memanah satu dari dua pemberontak ini, kebetulan Lauwtaijin. Dan ketika pimpinan pemberontak itu menjerit dan pistolnya terjatuh, kena panah, maka laki-laki ini pucat melihat siapa pemanah berbahaya itu. "Keparat, jahanam kau, orang she Bu. Terkutuk dan mampuslah.... dor-dor!" Lauwtaijin mencabut sebuah pistol lain dengan tangan kirinya, menembak namun luput karena tangan kiri tak selihai tangan kanan. Bu-goanswe tertawa bergelak dan tiba-tiba kudanya dicengklak, maju dan menerjang lawannya itu. Tapi ketika dari sebelah kanan terdengar tembakan dan seorang perwira berteriak memperingatkan jenderal itu maka Bu-goanswe mengangkat tamengnya dan tepat sekali peluru yang dilepaskan Thaitaijin, rekan Lauwtaijin, mengenai senjata penangkis-nya itu. "Tang!" Peluru jatuh ke tanah. Bu-goanswe melotot dan tiba-tiba memasang gendewanya menjepret sebatang panah ke arah Thaitaijin ini. Lawan kebetulan mengisi selongsong pelurunya dengan yang baru, rupanya pistol itu kehabisan isi. Dan tepat orang she Thai itu membidikkan senjata apinya maka saat itu pulalah Bugoan swe mendahului dengan sebatang panah yang menjepret ke leher. "Awas!" Thaitaijin terkejut. Sekarang rekannya berteriak dan dia harus melempar kepala kalau tak ingin lehernya dipanah. Tapi karena gerakannya buru-buru dan kurang cepat maka panah menancap di pundaknya dan laki-laki ini mengaduh. "Crep!" Thaitaijin terbanting. Bu-goanswe tertawa beringas dan sudah menerjang maju dengan kudanya, berteriak dan Lauwtaijin yang ada di depan tiba-tiba terjungkal. Jenderal yang gagah perkasa ini mengayunkan gendewanya dengan dahsyat, tak perduli Lauwtaijin atau Thaitaijin. Dan ketika lawan terpekik dan roboh terguling-guling maka dua perwira membantunya sementara di pihak lawan juga pem bantu-pembantu Lauwtaijin dan Thaitaijin itu maju mengerubut, mengeroyok dan terjadilah pertandingan seru di sini. Pistol di tangan Thaitaijin juga terlepas dan jenderal gagah perkasa itu menerjang dengan kudanya pula. Siapa yang hendak menembak selalu didahului jepretan anak panahnya, hebat dan tangkas jenderal ini. Dan karena dia berlari ke sana ke mari dengan kudanya sementara gendewa atau tameng menangkis peluru-peluru yang nyasar maka Lauwtaijin dan Thaitaijin akhirnya terdesak dan apa boleh buat menyambar kudanya pula dan lari mencongklang. "Tahan orang she Bu ini, bunuh dia!" Siapa yang hendak menembak selalu didahului jepretan anak panahnya, hebat dan tangkas jenderal ini. Jenderal itu tertawa bergelak. Duduk dan menyambar ke sana ke mari di atas kudanya sungguh jenderal ini gagah sekali, tak heran kalau dia menjadi panglima Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo di perbatasan. Dan ketika pasukannya juga menyerang dan melindunginya maka pasukan musuh porak-poranda setiap hendak menghalangi jenderal ini, yang mengejar dan selalu mengincar dua pimpinan pemberontak. Lauwtaijin sudah terluka sementara Thaitaijin juga begitu. Dua orang itu tak dapat mempergunakan lagi senjata apinya dengan baik karena . luka di tangan atau pundak mengganggu, akibatnya mereka berteriak-teriak saja memerintahkan para pembantunya membantu. Tapi karena semua sudah terlanjur kaget dan gentar oleh datangnya si Dewa Mata Keranjang dan tandang atau sepak terjang kakek itu membuat nyali menciut maka datang dan munculnva pasukan Bu-goanswe yang amat tiba-tiba ini mengacau semangat pasukan pemberontak. Mereka sudah kalah nyali dengan melihat kehebatan kakek itu, apalagi ketika dua di antara enam nenek itu roboh terbanting, tak dapat lagi bertempur. Dan ketika dua lagi yang lain mengeluh dan terlempar oleh angin kebutan si kakek ma ka praktis Dewa Mata Keranjang hanya menghadapi dua isterinya saja, Bi Hwa dan Bhi Cu. "Ha-ha, lihat, isteri-isteriku sayang. Kalian tak dapat memenangkan aku dan terpaksa sebentar lagi kurobohkan. Maaf, kalian harus tunduk dan menyerah kepadaku!" "Keparat!" Bi Hwa membentak. "Kau melukai adikku, Cing Bhok. Aku tak.akan menyerah dan lebih baik kaubunuh!" "Hm, aku tak dapat melakukan itu. Maaf, adikmu terlalu keras kepala, Bi Hwa. Tapi betapapun aku tak sampai membunuhnya. Aku tetap menyayang adikmu itu seperti akupun tetap menyayangmu pula.... des-dess!" si kakek menerima pukulan, balik mendorong dan mengerahkan Im-bian-kunnya dan si nenekpun mencelat. Sudah berkali-kali Bi Hwa mengalami hal itu dan berkali-kali pula nenek ini mengeluh. Empat temannya yang lain sudah roboh tertotok dan mereka sendiri tinggal menanti waktu. Dan ketika hal itu semakin dekat karena Bhi Cu atau si nenek berpayudara besar juga terpelanting dan menjerit oleh tamparan si kakek maka Lauwtaijin dan Thaitaijin yang melihat i|u tiba-tiba mengeprak kudanya dan kabur, meninggalkan pertempuran. "Hei, jangan lari!" Bu-goanswe membentak. "Menyerah dan berhentilah, orang she Lauw. Atau aku terpaksa membunuh kalian!" Lauwtaijin pucat mukanya. Pasukannya sudah terpukul mundur dan mereka banyak yang jatuh korban. Serangan mendadak yang dilancarkan pasukan kerajaan ini sungguh mengejutkan banyak pihak. Bhi Cu dan kawan-kawannya juga terkejut dan kalau saja tak ada Dewa Mata Keranjang di situ tentu mereka sudah membantu dua pemberontak itu. Sayang, karena kakek ini selalu menghalangi mereka dan setiap satu atau dua orang di antara mereka hendak meninggalkan pertempuran tentu kakek itu mencegah dengan pukulan-pukulannya yang bersifat mengikat maka mereka mengutuk dan mengumpat caci kakek ini, yang hanya ketawa ha-ha-he-he dan berkali-kali menyuruh mereka menyerah. Senjata api di tangan pemberontak ternyata tak banyak berdaya menghadapi pasukan Bu-goanswe. Hal ini karena dua sebab. Pertama pasukan Bugoanswe itu menyerbu di atas kuda mereka sementara pasukan pemberontak di atas tanah sedang kedua adalah karena hadirnya kakek lihai itu. Dewa Mata Keranjang berkali-kali menyentilkan tangannya setiap melihat pasukan pemberontak hendak melepas tembakan. Kerikil-kerikil hitam menyambar dan membuat pasukan pemberontak menjerit kesakitan karena tangan mereka dilumpuhkan serangan si kakek lihai itu, pistol terlepas dan tentu saja selanjutnya mereka menjadi sasaran empuk dari hujan panah atau tombak lawan, yang mendapat kesempatan baik kakek itu, yang masih sempat juga menolong pasukan Bu-goanswe di sela-sela pertandingannya dengan enam isterinya. Dan karena sentilan atau sambaran kerikil-kerikil hitam itu merupakan totokan jarak jauh di mana lawan yang terkena tentu roboh menjerit-jerit maka pasukan pemberontak akhirnya gentar dan merekapun mulai lintang-pukang. Apalagi setelah melihat larinya dua pimpinan mereka, Lauwtaijin dan Thaitaijin itu. Mereka melihat betapa dua orang pimpinan ini terluka dan dikejar Bu-goanswe, yang tampak begitu garang dan gagah sekali di atas kudanya. Dan ketika pasukan pemberontak menjadi mawut dan mundur berteriak-teriak maka Lauwtaijin dan Thaitaijin tiba-tiba menjadi pucat mukanya karena ketika mereka keluar dari mulut lembah, yang disangka aman, mendadak saja di situ sudah menghadang pasukan kerajaan yang tadi secara cerdik memang telah diperintahkan jenderal ini untuk mengurung! "Ha-ha, ke mana kalian lari, tikus-tikus pemberontak. Daripada terbunuh lebih baik kalian menyerah!" Dua orang itu pucat. Tak kurang dari seratus pasukan kerajaan berdiri tegak di situ, di atas kudanya. Mereka ini memang menanti siapa saja yang akan keluar dari lembah, menangkap atau membunuh siapa saja yang melawan. Dan karena mereka hanya berdua sementara di depan terdapat seratus pasukan maka dua orang ini terbelalak tapi tiba-tiba Lauwtaijin yang memegang senjata apinya dengan tangan kiri menembak. "Mundur..... dor-dor!" Lawan mengangkat tameng. Pasukan kerajaan cepat melindungi diri dengan senjata penangkis itu dan peluru yang menyambarpun runtuh, ditembak lagi namun mereka berjaga rapat. Dan ketika Thaitaijin juga melakukan hal yang sama dan di belakangnya Bu-goanswe berteriak-teriak maka dua orang ini tiba-tiba mengeprak kudanya dan nekat menerjang maju. "Mundur, atau kalian kubunuh!" senjata api ditembakkan lagi, kali ini mengenai dua orang musuh dan anak buah Bu-goanswe itu terjungkal. Tapi karena pistol tak banyak berisi peluru karena setiap habis tentu harus diisi lagi maka saat itulah Bu-goanswe menjepretkan dua anak panahnya ke arah dua orang ini. "Crep-crep!" Dua orang itu menjerit. Mereka terjatuh dan terguling dari atas kudanya, pasukan Bu-goanswe hendak bergerak namun jenderal yang gagah perkasa itu membentak. Jenderal ini mengeprak kudanya meng hampiri kencang, lalu ketika dekat di tempat lewan tiba-tiba jenderal ini berjungkir balik dan turun menghadapi dua lawannya yang juga sudah tidak berkuda lagi. "Orang she Lauw, orang she Thai. Sekarang kalian kutangkap!" jenderal itu menubruk, bergerak dengan tangan mencengkeram dan sekali kena cengkeraman jarijari jenderal ini tentu lawan tak akan dapat melepaskan diri lagi. Itulah sejenis Kim-na-jiu atau ilmu gulat, dipelajari jenderal ini sejak kecil dan Lauwtaijin serta Thaitaijin tahu, tak berani dan cepat mengelak mundur. Dan ketika jenderal itu menubruk lagi dan menerkam lawannya maka Lauwtaijin memaki. "Bu-goanswe, kau manusia curang. Berani kalau berjumlah banyak!" "Ha-ha, tak perlu banyak mulut. Kau pun berani kalau menggunakan senjata api, orang she Lauw. Tanpa senjata api tak mungkin kalian berani memberontak. Hayolah, menyerah atau kalian kubanting hancur.... des-dess!" terkaman atau tubrukan jenderal itu ditangkis, dua lawannya berseru marah dan mereka bertiga sama-sama terpelanting. Thaitaijin juga marah memaki lawan dan tiba-tiba mencabut pedang pendek, senjata yang diselipkan di pinggangnya. Dan ketika Lauwtaijin juga mencabut pisau gading dan dengan dua senjata itu mereka menyerang Bu-goanswe, yang bertangan kosong dan mengandalkan Kim-na-jiunya maka pedang dan pisau menyambar-nyambar mengkhawatirkan anak buahnya, yang lagi-lagi hendak maju membantu. "Jangan, biarkan aku sendirian. Kini saatnya mengadu kepandaian dengan cara jantan!" Jenderal itu sudah menghadapi lawannya. Gagah dan mengagumkan jenderal ini berkelit sana-sini menghindari tusukan atau bacokan lawan. Thaitaijin dan Lauwtaijin melotot, mereka tak dapat menyerang lawan karena tusukan-tusukan senjata mereka selalu luput. Pertama karena mereka sudah terluka dan kedua karena jenderal itu memang cepat bergerak. Sebenarnya, meskipun mereka tidak terluka jangan harap mereka berdua mampu menghadapi jenderal ini. Bu-goanswe adalah seorang jenderal yang kepandaiannya cukup tinggi, setingkat dengan menteri perdagangan Koktaijin dan dulu mereka berdua pernah mengeroyok Fang Fang, sayang harus mengakui keunggulan murid si Dewa Mata Keranjang itu karena Fang Fang bukanlah pemuda biasa. Namun karena lawan yang dihadapi kali ini adalah Lauwtaijin dan Thaitaijin yang tingkat kedudukannya saja sebenarnya masih di bawah jenderal itu maka akhirnya ketika Bu-goan swe mengeluarkan pukulanpukulan Im-kang, pukulan berhawa dingin maka dua orang lawannya mulai berteriak ketika tubuh tiba-tiba serasa beku. "Aduh!" Satu pukulan keras akhirnya mendarat di muka Lauwtaijin itu. Untuk pertama kalinya pemimpin pemberontak ini terpelanting, kaget berteriak kesakitan dan untuk sejenak dia merasa nanar. Tinggallah temannya yang harus berhadapan dengan lawannya seorang diri. Dan ketika pedang ditampar jenderal itu dan mencelat pula, membuat lawan pucat maka satu tendangan miring mengakhiri pertandingan ini. "Dess!" Thaitaijin mencelat. Bu-goanswe bergerak dan tahu-tahu kedua jarinya sudah menotok lawan. Thaitaijin berkelit namun apa boleh buat kalah cepat, pundaknya yang terluka sungguh mengganggu dan robohlah pimpinan pemberontak yang satunya ini. Dan ketika Lauwtaijin hendak melarikan diri namun jenderal itu berkelebat menotoknya pula maka robohlah dua pimpinan pemberontak ini dalam j waktu yang tidak terlalu jauh. "Bluk!" Pasukan jenderal itu bersorak. Mereka tiba-tiba memburu dan sudah menangkap serta mengikat kaki tangan dua pimpinan ini, yang tak berdaya lagi. Dan ketika robohnya dua orang ini segera didengar pasukannya yang sudah terdesak hebat maka sisa pasukan pemberontak akhirnya menyerah dan melempar senjata, tak dapat melarikan diri atau keluar dari lembah karena seluruh penjuru sudah dikepung Mereka tak dapat berkutik lagi dan saat itu selesailah juga pertandingan Dewa Mata Keranjang menghadapi enam isteri-isterinya. Bi Hwa ditotok dan Bhi Cu ditendang mencelat. Dan ketika dua orang itu juga lumpuh dan tak dapat bergerak oleh kelihaian kakek ini, yang betapapun tak berani terlalu keras terhadap isteri-isterinya yang masih disayang maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak melihat pertempuran itupun selesai. "Ha-ha, bagus. Tak perlu jatuh korban lagi, goanswe. Cukup!" Bu-goanswe tertawa nyaring. Jenderal ini juga gembira sekali karena sisa-sisa pemberontak tak perlu dihabisi. Betapapun mereka itu adalah orang-orang sendiri bekas pasukan-pasukan kerajaan, yang terbujuk dan tergaet oleh kata-kata manis dua orang pimpinannya. Tapi ketika semua orang merasa lega dan gembira oleh selesainya pertempuran, merampas! senjata-senjata api dan mengumpulkan tawanan mendadak terdengar derap kaki seekor kuda dan muncullah di situ Mien Nio yang pucat dan gelisah. "Goanswe, mana itu suamiku" Kau dapat menumpas pemberontakan?" Bu-goanswe tertegun. Dalam penyerbuan ini ia tak mengikut-sertakan Mien Nio. Wanita itu disuruhnya tinggal di perbatasan karena penyerbuan ini adalah suatu misi berbahaya. Dia tak tahu apakah Dewa Mata Keranjang masih hidup atau tidak, masih ada di tempat lawan atau tidak, karena kakek itu tak ada kabar beritanya setelah tiga hari. Maka begitu wanita ini tiba-tiba muncul dan berteriak menanyakan suaminya, Dewa Mata Keranjang yang tersembunyi di tengah-tengah kerumunan pasukan maka Mien Nio sudah tiba dekat dan langsung berjungkir balik meninggalkan kudanya, tak sabar, sudah menghadapi jenderal tinggi besar itu yang diam saja, tertegun "He, mana suamiku, goanswe" Mana Dewa Mata Keranjang?" "Itu...." jenderal ini terpaksa mengangkat jarinya, menuding dan cepat seketika itu juga Mien Nio menoleh. Dewa Mata Keranjang memang tak dilihatnya karena jenderal inilah yang menyolok di tempat itu, tinggi besar dan berdiri di samping dua tawanan penting. Dan begitu wanita ini melihat si kakek, yang tersenyumsenyum kecut maka kontan saja Mien Nio menjerit dan berlari menubruk, tak tahu adanya May-may dan lain-lain yang roboh tertotok. "Ah, kau....!" wanita ini langsung saja -mengguguk, memukul-mukul dada kakek itu. "Kau terlalu, Bhok-ko (kanda Bhok). Kau terlalu dan tidak berperasaan sama sekali. Kau kejam dan membiarkan aku cemas berhari-hari! Kau bohong?"Hm-hm, sabarlah...!" kakek ini batuk-batuk, melirik dan melihat May-may serta yang lain-lain melotot! "Aku ada persoalan yang tidak diduga-duga, Mien Nio. Aku, ah... panjang sekali ceritanya!" dan! ketika Mien Nio menangis dan mengguguk di tempat itu, tak segan dan malu-malu memeluk kakek ini maka Dewa Mata Keranjang balas memeluk dan mencium isterinya itu. "Maaf, aku memang salah. Tapi sudahlah, aku tak apa-apa, bukan" Aku selamat, dan aku berterima kasih atas perhatianmu yang demikian besar!" May-may dan lain-lain tiba-tiba mendelik. Mereka tak menyangka bahwa setua itupun masih juga kakek ini berbini-muda! Keparat, dasar si mata keranjang! Dan ketika kakek itu memeluk dan mencium kekasihnya maka Lin Lin, nenek yang paling terbakar saat itu tak dapat lagi mengendalikan mulutnya. "Cing Bhok, kau tua bangka mata keranjang. Jahanam kau, setua inipun masih juga berbini baru!" "Siapa dia?" Mien Nio tiba-tiba terkejut, melepaskan diri. Dia melihat dan baru sekarang sadar bahwa di situ ada enam nenek yang roboh tertotok. Mereka memandangnya penuh kebencian dan saat itu juga mundurlah wanita ini. Mien Nio ngeri oleh pandang mata yang seolah hendak menelannya bulat-bulat itu. Dia serasa dibakar dan dipanggang! Namun ketika Dewa Mata Keranjang menggenggam lengannya lembut dan kakek ini menghela napas maka kakek itu berkata. "Maaf, inilah Lin Lin dan lain-lainnya itu, Mien Nio. Mereka itulah yang dulu pernah kuceritakan padamu." "Lin Lin" Si Dewi Kilat Biru?" "Benar." "Ooh...!" dan Mien Nio yang terkejut mendekap mulutnya tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan dan mendadak berkelebat ke arah si Dewi Kilat Biru itu. Orang tak tahu apa yang hendak dilakukan wanita ini namun Bu-goanswe dan lain-lain merasa berdebar. Mereka takut wanita itu menghantam lawannya. Biasanya madu dengan madu tak pernah saling cocok. Tapi ketika Mien Nio bergerak untuk membebaskan totokan, yang seketika itu juga dapat membuat si nenek melompat bangun maka orang-orang di situ terkejut ketika si nenek malah menghajar wanita ini. "Kau wanita terkutuk, tak tahu malu. Cih, masih muda sudah suka merampas suami orang.... plak-dess!" dan Mien Nio yang mencelat serta terlempar oleh tendangan dan tamparan si nenek tiba-tiba dikejar dan sudah menghadapi pukulan bertubitubi. Lin Lin marah sekali begitu tahu bahwa ini adalah isteri baru si Dewa Mata Keranjang. Cing Bhok sungguh kurang ajar tapi wanita inipun tak tahu malu. Dan karena Dewa Mata Keranjang tak mungkin dibalas dan kemarahannya dapat dilampiaskan kepada wanita ini maka jadilah Mien Nio bulan-bulanan pukulan nenek itu, jatuh bangun dan mengeluh tak keruan dan berkali-kali Mien Nio minta ampun. Wanita itu berkata tak tahu dan tubuhnya matang biru dihajar si nenek, bahkan mukanya juga lebam karena Bhi-kong-ciang Sia Cen Lin itu menggampar mukanya pulang balik, bukan sekedar gamparan melainkan pukulan yang dapat meretakkan tulang tengkorak! Dan ketika Mien Nio menangis tersedu-sedu dan sama sekali tak melawan, merasa sebagai isteri muda maka Dewa Mata Keranjang tak tahan lagi dan tiba-tiba membentak nenek itu. "Minggir.... dess!" Si nenek mencelat. Lin Lin ganti berteriak dan bergulingan ditampar si kakek. Dewa Mata Keranjang marah karena nenek itu dinilai kelewatan. Kalau saja Mien Nio tak memiliki sejurus dua ilmu silat yang dipelajarinya mungkin kekasihnya itu sudah binasa! Dan ketika si nenek menjerit bergulingan dan mengaduh-aduh, berteriak dan memaki kakek itu maka Dewa Mata Keranjang berkelebat dan sudah menolong isteri mudanya itu. "Keparat, terkutuk nenek jahanam itu. Ah, maaf, Mien Nio. Kau seharusnya memberi tahu bahwa semuanya itu bukan kesalahanmu. Akulah yang membujuk dan semuanya itu berkat aku!" "Tak apa, aku salah.... aku memang salah...!" Mien Nio tersedu-sedu. "Biarkan toa-ci (kakak perempuan) menghajarku, Bhok-ko. Aku memang salah karena merebut suami orang!" "Ah, tapi kau tak tahu siapa aku. Waktu itu aku tak memperkenalkan diriku dan kau menyangka aku orang biasa'" "Tidak.... tidak..... biarkan, Bhok-ko. Toa-ci memang berhak menghajarku karena aku merebut suami orang!" dan ketika wanita itu tersedu-sedu dan cepat melepaskan diri dari kekasihnya mendadak Mien Nio berlutut dan menolong si nenek Lin Lin. "Toa-ci, aku memang salah. Aku wanita terkutuk. Bunuhlah aku kalau kau kurang puas!" "Aku memang tidak puas!" nenek itu tiba-tiba melompat bangun, marah dan melengking tinggi. "Kau memang patut dibunuh, wanita sundal. Dan jangan sebut aku toa-cimu!" nenek ini melepas Bhi-kong ciang, dahsyat menyambar kepala Mien Nio dan tentu saja semua orang yang a-da di situ berteriak. Mereka kaget oleh keganasan si nenek ini dan Dewa Mata Keranjang pun terkejut. Kakek itu melihat betapa lembutnya isteri mudanya ini dan betapa tahu dirinya si Mien Nio itu. Dan wanita selembut dan sehalus ini tiba-tiba saja mau dibunuh oleh Lin Lin. Keparat! Dewa Mata Keranjang naik darah dan hilanglah kesabaran kakek itu oleh sepak terjang Lin Lin yang dinilai kelewatan. Baik-baik Mien Nio merendah di depan kakinya tahu-tahu si nenek menghantam dengan pukulan maut. Bhi-kong-ciang mengeluarkan cahayanya yang terang kebiruan dan itulah tanda betapa si pemilik mengerahkan segenap tenaganya. Hancur nanti kepala Mien Nio oleh pukulan sekejam itu, apalagi Mien Nio tampak pasrah dan tidak mengelak! Namun ketika pukulan itu menyambar dan untung sejak tadi Dewa Mata Keranjang tak pernah meninggalkan Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kewaspadaannya tiba-tiba kakek ini membentak dan sebuah pukulan Pek-in-kang menangkis dan menyam bar pukulan Bhi-kong-ciang itu. "Terlalu!" Ini saja yang diserukan si Dewa Mata Keranjang. Selanjutnya terdengar ledakan keras dan menjeritlah nenek Lin Lin oleh tangkisan si Dewa Mata Keranjang. Kakek itu menyelamatkan Mien Nio dan apa boleh buat harus bersikap keras terhadap isteri tuanya itu. Lin Lin terlempar dan terguling-guling di sana, mengaduh dan melontakkan darah segar. Dan ketika nenek itu mengeluh dan berhenti menabrak pohon ternyata dia sudah pingsan dengan mulut berlumuran darah. "Kau...!" Dewa Mata Keranjang tertegun. "Terlalu kau, Bhok-ko. Kejam.... plak plak-plak!" dan Mien Nio yang bangkit menudingkan telunjuknya tiba-tiba menampar Dewa Mata Keranjang sambil berteriak, tiga kali berturut-turut dan kakek itupun terhuyung. Bu-goanswe dan lain-lain terbelalak menyaksikan kejadian ini, bengong. Tapi karena itu urusan rumah tangga dan tak seorangpun di antara mereka boleh campur tangan maka Mien Nio mengguguk dan sudah menghampiri nenek Lin Lin. menotok dan menolong nenek itu namun si nenek terlanjur luka dalam. Totokan saja tak mungkin dapat menyembuhkannya. Dan ketika Mien Nio mengguguk dan melompat menghampiri May-may dan lain-lain, membebaskan totokan mereka maka wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan berseru menggigil. "Maafkan aku.... maafkan aku, tolonglah toa-ci Lin Lin dan selamatkan dia .....i" May-may dan lain-lain tertegun. Mereka melihat semua kejadian itu dan melihat betapa Mien Nio mandah dibunuh. Agaknya, kalau merekapun mau membunuh wanita ini mungkin saja Mien Nio juga akan mandah menerima. Wanita itu akan pasrah dan tentu saja perasaan mereka tersentuh. Mien Nio ternyata wanita yang baik, isteri muda yang tahu diri! Dan ketika semua tertegun dan tak ada satupun yang menaruh kebencian, hilang sudah semua kemarahan setelah melihat watak wanita itu tibatiba May-may berkelebat dan terisak menyambar Lin Lin. "Cing Bhok, kau benar-benar menyakiti kami. Ah, tak habis-habisnya kau melukai perasaan wanita. Baiklah, sudah menjadi watakmu untuk bermata keranjang, Cing Bhok. Mudah-mudahan isteri barumu itu tak sakit hati kalau melihat kau mengambil bini lagi!" lalu, ketika yang lain mengangguk dan rupanya sependapat tiba-tiba mereka berkelebat dan Bwee Kiok, yang terharu dan melirik Dewa Mata Keranjang menepuk pundak wanita ini sebelum pergi. "Mien Nio, kau wanita yang baik. Mudah-mudahan kau tabah menghadapi watak suami kita itu!" dan ketika wanita inipun berkelebat dan pergi menyusul May-may, yang sudah terbang dan membawa tubuh Lin Lin maka Bi Hwa juga membawa adiknya dan semua nenek-nenek itu pergi. Mereka tak perlu mendapat ijin lagi dan pasukan Bugoanswe tiba-tiba menyibak. Setelah mereka tahu bahwa itulah isteri-isteri si Dewa Mata Keranjang " maka mereka pun tak ada yang berani menghalangi. Juga menghalangi barangkali berarti mati. Mereka sudah melihat keganasan nenek Lin Lin tadi! Dan ketika semua nenek-nenek itu pergi sementara Mien Nio menangis membanting-banting kakinya mendadak wanita ini berseru dan tiba-tiba mengejar May-may dan lain-lainnya itu. "Aku ikut....!" Dewa Mata Keranjang berteriak kaget. Mien Nio tiba-tiba meninggalkannya untuk bersimpati kepada enam isterinya di sana, kakek ini kelabakan dan tentu saja berteriak, tak mau Mien Nio mengikuti isteri-isteri tuanya itu. Dan ketika Mien Nio tertangkap namun memberontak dan memaki-maki kakek ini maka sebuah tamparan hinggap di pipi sang Dewa Mata Keranjang. "Dewa Mata Keranjang, kau laki-laki yang terlalu. Kau kejam dan tak berperasaan terhadap isteri-isterimu.... plak!" kakek itu terhuyung, Mien Nio sudah melepaskan dirinya lagi dan lari mengejar May may di depan. Dewa Mata Keranjang tertegun dan merah mukanya. Tapi ketika dia berseru keras dan bingung serta marah oleh sikap Mien Nio ini mendadak sang kakek berkelebat dan kembali berseru. "Mien Nio, kau harus ikut aku. Atau kau akan mampus di tangan mereka!" dan menyambar serta memeluk pinggang ramping itu kakek ini tiba-tiba menotok dan robohlah Mien Nio oleh gerakan si kakek, menjerit dan berteriak-teriak namun Dewa Mata Keranjang tak perduli. Kakek ini menoleh pada Bu-goanswe dan berseru biarlah jenderal itu kembali ke kota raja, menyerahkan tawanan dan kakek itu sendiri sudah terbang entah ke mana, yang jelas tidak searah dengan Maymay. Dan ketika semua mendelong dan geleng-geieng kepala menarik napas maka Bu-goanswe segera teringat persoalannya semula dan mengangguk serta menyiapkan pasukan untuk kembali ke kota raja. Mereka telah berhasil menumpas pemberontakan dan Lauwtaijin serta Thaitaijin tertangkap. Dua orang itu sudah ada di tangan mereka dan senjata api milik pemberontak disita, dibawa dan dijadikan bukti pula ke kota raja. Dan ketika semua berangkat dan Bu-goanswe diam-diam menghela napas penuh terima kasih kepada Dewa Mata Keranjang maka kakek itu sendiri sudah tak ada di Lembah Kuning. (Oo-dwkz-abu-oO) Pagi itu Fang Fang bangun kesiangan. Menjelang pagi baru dia terlelap dan pemuda ini menguap bangkit berdiri. Ada mimpi-mimpi buruk yang tak enak sekali dialaminya semalam. Pagi itu dia berdebar tanpa sebab namun pemuda ini sudah menenangkan diri, mencuci muka dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi yang segar. Dan persis dia selesai berganti pakaian tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan seorang pelayan memberi tahu bahwa di tempat tuan Smith terjadi keributan. "Kami tak tahu apa, tapi James meminta agar siauwhiap cepat-cepat ke sana." Fang Fang berdetak. Tiba-tiba perasaan tak enak itu timbul kembali, kini semakin hebat dan rasa debaran di hatinya itu dag-dig-dug semakin keras saja. Ah, air segar yang baru saja dinikmatinya tiba-tiba terasa panas. Fang Fang berkeringat dan pemuda ini berubah. Kalau ada apa-apa dan James sampai memintanya untuk ke sana tentu persoalan itu serius. Keributan apakah yang terjadi" Dan siapa yang ribut-ribut" Sylvia dengan ayahnya" Hmm, mungkin saja. Dan Fang Fang tiba-tiba berkelebat lenyap. "Terima kasih, aku akan ke sana!" Pelayan melongo. Pemuda itu menghilang dengan cepat dan seperti siluman saja tahu-tahu telah lenyap di luar. Tapi karena pemuda itu adalah murid si Dewa Mata Keranjang dan kelihaiannya memang sudah diketahui maka pelayan ini kagum dan segera membersihkan kamar si pemuda, karena tadi Fang Fang tak sempat menghiraukan tempat tidurnya dan begitu saja dia meninggalkan tanpa perduli. Berita dan panggilan dari kakak kekasihnya selalu akan menarik perhatian pemuda ini. Semua bisa dilupakan dan Fang Fang pun sudah berkelebat menuju ke gedung di mana Sylvia dan ayah serta kakaknya tinggal. Dan ketika dia memasuki halaman dan mendengar ribut-ribut serta bentakan di dalam maka tiba-tiba dia bertemu dengan Michael yang mendadak tersenyum mengejek dan menjura padanya. "Fang-kongcu (tuan muda Fang), di dalam ada tamu yang ingin bertemu denganmu. Silahkan, sudah ditunggu sejak tadi!" Fang Fang berkelebat mendorong pemuda ini. Dia tahu bahwa pemuda kulit putih itu hanya ingin mengejeknya saja. Mata yang bersinar-sinar dan licik serta culas membuat Fang Fang marah namun menahan kemarahannya itu. Dan ketika dia bergerak dan sudah memasuki tamanan belakang, di mana terdengar bentakan dan ribut-ribut itu maka Fang Fang tersirap ketika melihat seorang gadis berbaju hijau bertengkar hebat dengan Sylvia. Eng Eng "Aku tak perduli apa katamu. Tapi Fang Fang adalah kekasihku dan kau kuanggap merebut secara tak tahu malu. Heh, katakan di mana pemuda itu, Sylvia Atau aku akan membunuhmu karena kau merampas kekasih orang!" "Tutup mulutmu!" Sylvia membentak, merah padam. "Kau yang tak tahu malu dan datang-datang seperti kambing kebakaran jenggot, Eng Eng. Aku sama sekali tak merasa merampas atau merebut Fang Fang. Kalau dia tak pernah menceritakan masa lalunya kepadaku tentu aku tak akan mengampunimu karena menganggapmu gila dan sedang tidak sehat! Kau mengacau dan tak tahu malu menghina orang seenaknya!" "Hm, kau begitu tergila-gila pada si busuk itu" Bangsa kulit putih tak punya lagi pemuda lain hingga jauh-jauh kau ke mari hanya untuk mencari Fang Fang" Cih, kaulah yang tak tahu malu dan tak sehat, Sylvia. Kau gila dan tidak waras! Kalau aku tak menganggapmu bahwa kau tentu sudah dibujuk dan ditipu Fang Fang tentu aku akan membunuhmu'" "Keparat, kau bermulut busuk!" dan Sylvia yang tak tahan serta meloncat ke depan tiba-tiba menampar dan memukul gadis itu, dikelit tapi Sylvia mengejar dan Eng Eng terkejut karena melihat gerakan-gerakan ilmu silat di situ. Ini jelas ilmu silat orang Han dan tahulah dia bahwa Fang Fang rupanya sudah mengajari gadis ini dengan ilmu silat-ilmu silat miliknya. Gadis itu marah dan merah mukanya. Maka ketika dia dikejar dan Sylvia menyerangnya bertubi-tubi mendadak dia mengerahkan Bhi-kong-ciangnya dan mencelatlah Sylvia karena tentu saja dia masih bukan tandingan murid si Dewi Kilat Biru ini. "Duk!" Sylvia menjerit. Gadis itu terpelanting dan jatuh terguling-guling karena betapa pun sinkangnya taklah sekuat lawan. Gadis ini baru saja beberapa bulan melatih ilmu silat Tiongkok, lain dengan Eng Eng yang sejak kecil dan sudah bertahuntahun digembleng subonya (ibu guru). Dan ketika gadis itu melompat bangun dan Eng Eng tertawa mengejek maka gadis ini bertolak pinggang. "Sylvia, rupanya kaupun sudah mempelajari ilmu silat segala. Hm, aneh bahwa bangsa Barat mempelajari ilmu orang lain. Apalagi yang Fang Fang berikan padamu" Apakah kaupun sudah menyerahkan pula tubuhmu untuk semua budi kebaikan Fang Fang?" "Jahanam!" Sylvia marah bukan main, tiba-tiba mencabut pistol. "Mulutmu kotor dan busuk, Eng Eng. Kubunuh kau!" namun ketika picu ditarik dan siap melepas tembakan tiba-tiba James, pemuda yang berdiri di situ merebut dan membentak adiknya itu. "Jangan tembak!" lalu berapi-api dan merah memandang Eng Eng pemuda ini membungkuk, memberi hormat. "Nona, sungguh tak pantas kiranya kau gadis begini cantik dapat mengeluarkan kata-kata begitu kotor. Apa kiramu adikku ini" Hm Sylvia bukan gadis murahan, nona. Dan aku berani jamin bahwa apa yang kaukatakan tadi tak pernah dilakukan adikku ini. Tolong cabut kata-katamu tadi atau kami akan bersikap tak hormat lagi padamu'" "Hm, kau mau apa?" Eng Eng mengejek, mengeluarkan suara dari hidung. "Aku tak takut pistol atau senjata api, James. Kalau kau mau tembak tembaklah, aku tak takut!" "Aku tahu bahwa kau adalah gadis pemberani. Tapi tak pantas kiranya kalau kau mengeluarkan kata-kata seperti itu." "Memangnya kenapa" Kaukira si Fang Fang itu tak akan merayu dan membujuk adikmu untuk menyerahkan tubuhnya" Cih, aku tahu benar siapa pemuda itu James, murid si Dewa Mata Keranjang yang ingin berpetualang dan mengajak semua wanita-wanita cantik untuk melakukan itu!" "Hm, apakah nona melakukan itu" Apakah nona sudah pernah diajaknya dan kini hendak mengukur orang lain dengan baju sendiri?" "Apa?" Eng Eng mendelik. "Kau... kau menghina aku" Keparat, kubunuh kau." dan Eng Eng yang berkelebat dengan pukulan Bhi-kong-ciangnya tiba-tiba membentak dan marah sekali oleh omongan itu, tak mau melihat diri sendiri bagaimana ketika dia melancarkan hinaannya terhadap Sylvia. Memang Eng Eng mengira gadis kulit putih itu sudah melakukan hubungan intim dengan Fang Fang, seperti halnya diri sendiri yang sudah diajak dan hanyut oleh rayuan pemuda itu. Namun ketika James melempar tubuh dan membanting diri menghindari pukulan maut itu maka pemuda ini melepas tembakan ke arah gadis itu, menggertak. "Tahan, atau aku melawan.... dor!" dan letusan senjata api yang menyerempet pangkal lengan gadis ini membuat Eng Eng terhuyung karena melihat pangkal lengannya terluka, mengucurkan darah dan gadis itu mendelik. Eng Eng menggeram namun James sudah meloncat bangun di sana, senjata api siap di tangan dan tembakan yang tanpa meleset jelas menunjukkan bahwa pemuda ini adalah jago tembak kelas satu. Eng Eng harus memperhitungkan itu kalau tak ingin celaka! Dan ketika gadis itu melotot dan mendesis penuh kemarahan, siap bertarung dan matimatian membela kebenaran sendiri maka pemuda kulit putih itu menarik napas dan membungkukkan tubuhnya, tanda menyesal. "Aku tak menghendaki ini, tapi kalau kau mendesak apa boleh buat terpaksa aku membela diri. Maaf, semua persoalan dapat diselesaikan baik-baik, nona. Aku sudah memanggil Fang Fang dan sebaiknya kau bersabar sejenak." "Aku memang ingin berhadapan dengan pemuda itu. Tapi kalau kaupun mau menyerang silahkan. Aku tahu bahwa bangsa Barat memang pengecut-pengecut yang beraninya hanya mengandalkan senjata api!" "Hm, kau salah. Senjata api tetaplah sama seperti halnya pedang ataupun senjata lain di negeri ini. Kalau kau menuduh bangsa Barat pengecut yang suka dan beraninya mengandalkan senjata api maka akupun dapat mengatakan dan menuduh bahwa bangsa Han-pun tak kalah licik dan curang dengan senjata-senjata gelap mereka, paku-paku beracun atau jarum-jarum beracun!" pemuda itu membela diri. "Apakah bangsa nona tak ada orang-orang pengecut dan hina seperti itu?" "Kau... kau pintar bicara seperti nenek-nenek bawel. Sudahlah, bawa itu Fang Fang dan tunjukkan dia ke mari!" "Hm, sebentar lagi dia akan datang, dan pasti datang. Harap nona tunggu sebentar karena Fang Fang bukanlah seorang pengecut yang suka menyembunyikan perbuatan sendiri di depan orang lain!" Fang Fang terpukul hebat. Tiba-tiba saja kata-kata pemuda itu menusuknya setajam pedang, dia yang bersembunyi memang tak mungkin harus bersembunyi lagi kalau tak ingin disebut pengecut. Dan karena Fang Fang tak mau sebutan ini dan tentu saja harus keluar maka pemuda itu yang tadi bersembunyi dan terpaksa menahan langkah di balik tanaman bunga akhirnya menampakkan diri dan berkereseknya dedaunan tiba-tiba saja membuat semua orang cepat menoleh. "Itu dia....!" Dua pasang mata memandang dengan perasaan berbeda. Eng Eng dan Sylvia sudah mengikuti jari telunjuk ini dan mereka melihat Fang Fang muncul di situ, dari balik tanaman bunga. Namun kalau Sylvia menyorotkan kecewa dan marah maka Eng Eng tampak gentar dan jerih setelah pemuda ini muncul. "Selamat pagi," James sudah menghampiri dan menyambut Fang Fang. "Maaf bahwa aku meminta kau datang ke sini, Fang Fang. Ada persoalan yang minta diselesaikan olehmu juga. Nona ini, mengaku bernama Eng Eng, marah-marah dan memaki-maki adikku. Silahkan kau lihat dan apakah betul gadis ini sudah kenal denganmu!" "Hm," Fang Fang merah mukanya. "Bukan hanya kukenal, James. Tapi lebih dari itu. Dia... dia bekas kekasihku!" "Cih!" Eng Eng mencemooh. "Bukan bekas, Fang Fang, melainkan masih kekasihmu. Kau tak tahu malu mencari gadis lain dan meninggalkan aku! Katakan, apakah kau tak pernah membujukku dan membuat aku tersia-sia!" "Hm!" Fang Fang melihat sorot mata marah dari Sylvia, adik James. "Kau dan aku kukira sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi, Eng Eng. Kau telah meninggalkan aku dan aneh sekali bahwa pagi ini kau datang dan marah-marah kepada semua orang. Sylvia memang kekasihku, tapi aku sudah menceritakan masa laluku kepadanya, termasuk bekas hubunganku denganmu!" "Keparat! Kau tak bertanggung jawab dengan perbuatanmu" Kau meninggalkan aku begitu saja dengan cara seenak ini?" "Hm, jangan memutar balik kenyataan. Kau yang meninggalkan aku, Eng Eng, bukan aku yang meninggalkanmu. Dan karena kau pergi dan mengikuti subomu maka hubungan kita putus dan tak perlu kiranya kau datang mencari-cari aku!" "Jahanam! Kalau begitu kau tak bertanggung jawab, Fang Fang. Setelah menikmati aku kaupun pergi begitu saja mencari bunga-bunga yang lain. Ah, kubunuh kau!" dan Eng Eng yang timbul kemarahannya akibat kata-kata Fang Fang tadi tiba-tiba tak takut dan sudah menerjang pemuda Ini, membentak dan melepas pukulan dan Fang Fang pun mengelak. Gadis itu menyerang lagi dan apa boleh buat Fang Fang menangkis, karena dikejar. Dan ketika gadis itu terpental dan memekik marah maka Eng Eng sudah menyerang lagi dan untuk selanjutnya gadis ini berkelebatan dan menusuk serta membacok, mencabut pedangnya dan dengan senjata itu di tangan kanan serta pukulan-pukulan di tangan kiri murid si Dewi Kilat Biru ini menerjang Fang Fang. Fang Fang mengerutkan kening dan berkelebatan pula mengimbangi lawan. Dan ketika mereka mulai bertanding dan Sylvia terisak menonton kejadian itu maka kakaknya menarik napas dan memeluk adiknya. "Fang Fang sungguh merepotkan diri sendiri, dan kini merepotkanmu. Ah, apakah kau masih mencintainya, adikku" Kau tahan kalau menghadapi peristiwa-peristiwa Golok Bulan Sabit 10 Pendekar Slebor 52 Pulau Seribu Setan Tujuh Pedang Tiga Ruyung 12