Pusaka Negeri Tayli 1
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 1 Pusaka Negeri Tayli Saduran : Can Kontributor : aaa Dimhader Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info Daftar Isi PUSAKA NEGERI TAYLI DAFTAR IS I JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 TAMAT Jilid 1 Ang Nio-cu. Gunung Jong san terkenal sebagai gunung batu marmar yang indah. Luarnya meliputi beratus-ratus li. Puncak gunung yang terletak diwilayah Hun-lam itu, sepanjang tahun tertutup kabut. Di musim dingin, kabut itu menjadi gumpalan salju putih. Puncak yang tertutup salju abadi. Demikian orang menjulukinya, karena sepanjang tahun salju itu tak pernah cair. Negeri Tayli terletak di tengah-tengah pegunungan itu. Karena letaknya itu maka negeri Tay-li memiliki keindahan alam yang tiada taranya. Negeri yang kecil mungil itu, memiliki kebudayaan tersendiri. Istana, bangunan dan peradabannya masih murni. Tetapi sekalipun begitu, tak terhindar juga dari beberapa pengaruh kebudayaan luar juga. Pendiri dari kerajaan Tayli, seorang marga Toan, bergelar Toan Hong-ya. Dia mengangkat diri sebagai raja yang dipertuan dari negeri Tayli. Pada masa tahun ketiga berdirinya kerajaan Tayli, Sippat-thian mo atau Delapan-belas iblis-langit dari daerah Tionggoan serempak menuju ke gunung Jong san. Tujuan mereka hendak mencari dua buah mustika pusaka kerajaan Tayli. Kim-cu-giok-pay atau Ikat-pinggang bertabur ratna mutu manikam. Dan kitab Giok-Ka-kim-keng atau Kitab-emas dalam kotak kumala, Kedua benda itu merupakan pusaka negeri Tayli yang termasyhur dalam dunia persilatan sebagai benda yang tak ternilai harganya. Kitab Giok-ka-kim-keng sebuah kitab pusaka kuno yang berisi ilmu pelajaran silat sakti. Barang siapa yang mendapatkannya, tentu akan dapat menjagoi dunia persilatan. Baginda Toan Hong-ya juga gemar ilmu silat. Dalam kerajaannya. ia mempunyai pengawal2 yang berbakat dan berkepandaian tinggi. Setiap kaum persilatan, se dunia persilatan menitikkan air liur mendengar nama kitab Giok-ka-kim-keng, namun apabila membayangkan jago2 sakti Tayli, nyali merekapun menyurut, tiada seorangpun yang berani coba2 mengunjungi daerah selatan itu. Sip-pat-thian-mo atau iblis langit, termasyhur sebagai tokoh dunia persilatan di Tiong goan, tiada seorang jago persilatanpun yang tak gemetar mendengar nama mereka. Merekapun mendengar akan kitab Giok ka-kim-keng itu dan berniat untuk memilikinya dan pergi ke negeri Tayli. Namun selama berpuluh tahun lamanya, tiada seorangpun yang mengetahui jejak mereka, seolah-olah lenyap begitu saja. Beberapa tahun kemudian nampak seorang padri dan seorang imam memberanikan diri menuju ke negeri Tayli, mereka tidak masuk kedalam kota kerajaan melainkan langsung menuju ke gunung Jong-san. Dalam semalaman mereka mendaki, pada hari itu, mereka tiba di bawah sebuah jajaran batu dan kedua padri itu saling tukar pandang. Mata si paderi itu berkilat-kilat memandang pada jajaran batu. Lama sekali ia dalam keadaan seperti orang merenung. "Benar!" tiba2 ia bertepuk tangan lalu tertawa gembira, "Kim-toh-tin yang dirobah dari barisan Pat-tin-tho ciptaan Cukat Su-hou!" Kim-toh-tin artinya barisan Kunci emas. "Gong-gong-cu menganggap tempat ini sebagai ujung dunia. . ." kata paderi itu pula. "Apakah kemungkinan kitab Giok-ka-kim-keng ini berada di dalamnya?" tanya imam tua. "Pasti begitu," sahut si paderi, " hayo kita serbu saja ke dalam!" Dengan kepandaiannya yang tinggi, kedua paderi dan imam itu mulai menyerbu dari dua arah. Mereka menghancurkan jajaran batu2 itu kemudian dengan tertawa gembira keduanya masuk kedalam gua. Tiba di mulut gua, imam tua berkata: "Hud heng, barisan batu telah kita bobol, tetapi apakah di dalam gua masih terdapat rintangan lagi?" Baru ia berkata begitu, tiba2 dari dalam gua terdengar letusan dahsyat. Menyusul belasan sosok bayangan manusia berhamburan keluar. Kejut kedua paderi dan imam itu bukan kepalang. Mahluk2 yang keluar dari gua itu benar2 mengerikan sekali. Tubuh mereka rata2 tak utuh lagi. Wajahnya menyeramkan, rambut dan jenggotnya terurai memanjang. Tiga bagian menyerupai manusia, tujuh bagian seperti setan. Paderi dan imam tua itu terlongong-longong. . . . Manusia2 mengerikan itu berjumlah delapan belas orang. Mereka mengepung kedua paderi dan imam itu di tengah. Kemudian salah seorang dari kawanan manusia mengerikan itu tertawa gelak-gelak dan berseru: "Bagaimana kalau kita bagi keuntungan?" Seorang manusia mengerikan yang lain berteriak keras mencegah: "Jangan! Jika bukan mereka berdua yang membobolkan barisan, tentulah kita seumur hidup takkan melihat sinar matahari lagi. sekali ini kita beri ampun mereka!" "Kalau begitu kita pergi saja." "Ya, hayo pergi !" Terdengar suara hiruk pikuk dan ke delapan belas manusia mengerikan itupun segera lari seperti terbang. Setelah mereka lenyap barulah si imam tua berkata: "Hud-heng, mereka tentulah Sip-pat-thian-mo yang termasyhur itu!" "Omitohud." seru paderi itu, "to-heng, kita telah menempuh bencana besar ..." Tepat pada saat itu seorang tua berambut putih bergegasgegas lari mendatangi. Serentak dia banting2 kaki. "Thian-hiancu, Go-leng-cu, karena nafsu kalian yang temaha, kalian telah menimbulkan bencana besar dalam dunia persilatan, ah, takdir.." Kedua paderi dan imam itu termenung diam. "Bu-lim Sam-cu jika tak berusaha untuk mencegah bencana ini, harus menebus dosa dengan membunuh diri" seru orang tua berambut putih yang baru datang itu. Imam tua mengangkat muka dan berseru: "Gong-gongcu mengapa engkau tak lebih dulu memberi tahu bahwa tempat ini menjadi tempat penjara bagi kawanan Sip-patthian-mo?" Orang tua berambut putih itu menyahut dengan nyaring: "Jika memberi tanda dengan terang2an, bukankah anak buah Sip pat thian mo akan mengobrak abrik kerajaan Tayli?" Tiba2 setiap gelombang badai melanda. Dari udara segera berhamburan salju. Dalam waktu sekejap saja. tempat dan sekeliling ketiga orang itu berdiri telah tertutup salju. Demikian pula mereka bertiga. -ooo0dw0ooo- Setiap musim semi tiba, alam pemandangan di wilayah Kanglam sangat indah. Burung2 berkicau, bunga2 bermekaran, rumput2 menghijau. Ketika matahari menjulang sepenggalah tingginya, di jalan besar yang merentang antara wilayah Sujwan Hopak, seekor kuda tegar tengah mencongklang pesat. Penunggang kuda itu seorang pelajar baju putih, wajah berseri-seri, bibir merah, alisnya yang lebat menjulang hingga ke pelipis. Cakap dan gagah sekali. Disamping pelana kuda, terselip sebatang pedang yang berwarna legam. Tiba2 pelajar pemuda itu bersenandung: Indah nian wilayah Kanglam. Alamnya nan selalu meriah bunga2 bermekaran merah menyala. Air bengawan hijau ke biru2an Mengetuk hati selalu terkenang..." Sehabis bersenandung, ia berkata seorang diri pula: "Ah, perjalanan harus berganti dengan kendaraan air, betapa hati merasa sayang tetapi kuatir ayabunda gelisah menanti. . ." "Aha, sungguh romantis anda ini" Apakah habis pesiar di daerah Kanglam?" Tiba2 seorang berseru dalam nada parau. Pelajar itu kerutkan alis dan hentikan kuda nya. Ia berpaling. "Totiang seorang imam, mengapa tak tahu diri?" serunya agak kurang senang. Ternyata yang berseru dan belakang itu seorang imam tua yang jubahnya tak keruan tetapi mukanya bersih. Sambil mengurut-urut jenggot, imam tua itu tertawa mengikik: "Anda seorang pemuda yang gagah perkasa, bagaimana aku tak mengetahui?" Pelajar itu tertawa angkuh. "Sudah tiga hari lamanya totiang terus menerus membuntuti aku. Apakah maksud totiang?" Imam tua itu mengangguk. "Bertemu itu tandanya berjodoh. Marilah kita berbicara soal jodoh itu..." Dengan tertawa dingin pemuda itu menukas: "Aku tak mengerti soal jodoh, silahkan totiang melanjutkan perjalanan." "Mengapa anda menolak orang yang datang dari seribu li jauhnya?" seru imam itu. "O. apakah totiang memang mengikuti perjalananku?" balas pelajar itu. "Karena pinto tak mau melewatkan "jodoh" itu begitu saja." Tampaknya kuda pelajar itu tak sabar lagi. Berulang kali kuda itu melonjak-lonjak seperti minta kepada tuannya supaya berjalan lagi. Imam itu melesat ke hadapan pemuda pelajar yang saat itu tengah mengemasi duduknya dengan tegak. Ketika memandang imam itu ia berseru: "O, kiranya totiang itu Thian-hian-cu totiang dari tiga serangkai Bu-lim sam-cu ..." "Ha, ha, ha, ha!" ia itu tertawa, "tajam benar penglihatanmu, anak muda. Ya, aku memang Thian-hiancu." "Totiang hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" "Engkau belum menghayati apa yang kukatakan tentu kata "jodoh" tadi." "Maafkan kebodohanku. Aku memang tak mengerti maksud totiang !" "Apakah engkau pura2 tak mengerti?" Wajah yang cakap dan pelajar itu agak berubah cahayanya. . "Mengapa totiang hendak main teka-teki kepadaku?" serunya. Thian-hian-cu kerutkan alis. "Anak muda . . . engkau memiliki dasar kepandaian ilmu silat yang bagus . . ." "Ah apa artinya ilmu silat cakar kucing semacam yang kumiliki itu." sahut pelajar dengan nada hambar. "boleh tahu siapa namamu?" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku she Cu nama Jiang." "Nama perguruan?" "Ini . . . maaf tak dapat memberitahukan." Thian-hian-cu kerutkan dahi merenung sejenak lalu berkata. "Ada sesuatu yang hendak kukatakan kepadamu ...." "Silahkan," kata Cu Jiang. "Dengan bakat yang engkau miliki itu, apabila mendapat petunjuk yang hebat, tentu akan memperoleh hasil yang luar biasa." Cu Jiang tersenyum. "Aku mengerti maksud totiang." "Mengerti bagaimana?" "Apa yang totiang katakan "berjodoh" itu kemungkinan bukan jodoh. Karena aku tak menginginkan hati yang luar biasa. Sampai jumpa lagi!" Habis berkata ia terus memacu kudanya berjalan perlahan-lahan. Imam Thian hian-cu tertegun. Sambil memandang bayangan pemuda itu ia berkata seorang diri: "Siapakah pemuda yang begitu jumawa itu" Pada umumnya, setiap orang persilatan yang mendapat rejeki memperoleh petunjuk dari salah seorang Bu lim Sam cu, tentu akan girang setengah mati. Tetapi dia sedikitpun tak tertarik. Sejenak berhenti dia berkata, lagi: "Tetapi soal itu menyangkut masalah besar, kalau kesempatan ini terlepas kemanakah aku harus mencari lagi" Bila perlu terpaksa aku harus membuang gengsi!" Sekali kebutkan lengan jubah, tubuh imam itupun segera meluncur bagai air mengalir deras, mengejar pemuda tadi. Walaupun tak berpaling tetapi Cu Jiang dapat merasa bahwa imam itu mengejarnya. Ia segera mengeprak kuda dan mencongklangkannya dengan pesat menuju ke arah matahari terbenam. Melintasi sebuah hutan, barulah terdapat tempat menginap. Tetapi tiba di muka hutan, kudanya berhenti dan meringkik sekeras-kerasnya seraya mengangkat kaki depan tinggi2 ke atas: Binatang itu tak mau memasuki hutan. Cu Jiang hampir kewalahan. Ia heran. Ketika memandang ke sekeliling, wajahnya serentak berobah. Tampak ditengah jalan yang merentang ketengah hutan itu terkapar tujuh delapan sosok mayat yang memenuhi jalanan. Cu Jiang loncat turun, mengelus-elus kepala kudanya kemudian melangkah pelahan-lahan ke muka, menghampiri tumpukan mayat itu. Ternyata mayat2 itu terdiri dari orang persilatan semua. Senjata mereka masih terselip di tubuh masing2 seperti belum digunakan. Tetapi mereka sudah mati. Dengan begitu jelaslah bahwa musuhnya tentu seorang yang berilmu tinggi sekali. Ketika memeriksa dengan seksama, ternyata wajah mereka menunjukkan ketenangan, seperti orang yang sedang tidur nyenyak. Juga tiada bekas2 luka pada tubuh mereka. Hanya pada alis mereka terdapat bekas noda warna ungu sebesar kedele. "Jari-terbang." serentak pelajar itu berteriak kaget, "apakah dia . . . Ang Nio-cu!" Memeriksa ke sekeliling, ternyata dia dapat menemukan tanda ciri pengenal dari Ang Nio-cu. Pada sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan tergantung sehelai kain mantel wanita berwarna merah. Warna yang menyolok mata sekali. Segera teringat dalam perjalanan pesiar ke daerah Kanglam kali ini, ketika berada di menara Lui-hong-tha telaga Se-ou, Iapun mengalami peristiwa pembunuhan ngeri semacam itu. Ang Nio cu adalah seorang Iblis atau momok wanita dalam dunia persilatan yang paling ditakuti oleh orang persilatan, baik dari golongan Putih maupun Hitam. Tetapi sejauh itu, tiada seorang persilatan pun yang pernah melihat bagaimana wajah wanita itu. Menurut kabar, dia adalah ahli waris dari perguruan Hiat-ing-bun atau perguruan Bayangan darah. Setelah tertegun beberapa saat. Cu Jing pun naik kuda, mengitari tumpukan mayat ia terus menyusup ke dalam hutan. Tiba2 dari arah bagian dalam dari hutan itu berkumandang tertiup angin suara tertawa yang dingin. Hanya suaranya, tetapi tiada tampak orangnya. Cu Jiang tergetar. Ia menyadari bahwa melintasi tempat yang terdapat tanda pengenal dari Ang Nio-cu, merupakan pelanggaran besar. Tetapi pelajar yang masih berdarah panas itu tak peduli. Dia tak mau kembali lagi. Tiba2 terdengar suara orang berseru: "Berani melanggar tanda pengenalku ini, rasanya baru engkau yang pertama!" Walaupun nadanya dingin dan bengis tetapi kumandangnya melengking nyaring. Cu Jiang menduga orang itu tentulah masih muda juga. Cu Jiang hentikan kuda dan berseru: "Apakah anda ini yang bergelar Ang Niocu?" "Benar." "Aku tergesa-gesa menempuh perjalanan, tolong berikan kelonggaran sekali saja," kata Cu Jiang. "Tidak ada pengecualian!" Dalam berkata-kata itu diam2 Cu Jiang memperhatikan arah suara itu. Tetapi, arahnya sukar di duga, seperti dari jauh tetapipun seperti dekat. Akhirnya ia mengertek gigi, berseru: "Lalu bagaimana maksud anda?" "Tinggalkan jiwamu!" "Jika aku menolak?" "Tak ada jawaban semacam itu." Cu Jiang loncat turun dari kudanya dan berseru dengan angkuh. "Aku tak mau kembali lagi!" "Memang kalau mau kembalipun sudah terlambat!" "Jika anda meminta nyawaku, silahkan ke mari mengambilnya." Cu Jiang terus siap sedia. Sekalipun begitu hatinya kebat kebit tak keruan. Ia menyadari telah naik diatas punggung macan. Daripada turun di makan binatang itu lebih baik ia bulatkan tekad untuk menghadapinya. Tapi sampai beberapa saat belum juga terjadi apa2. Cu Jiang heran. Pikirnya: "Bagaimana kah sebenarnya wujud momok wanita itu" Dia hendak menggunakan cara apa untuk membunuh aku" Pertempuran nanti tentu mengerikan sekali." Sejenak ia melirik pada pedang pusaka yang terselip di pelana kuda, diam2 wajahnya membesi. Tiba2 terdengar suara Ang Nio-cu yang melengking dingin itu pula: "Anak kambing memang tak takut pada harimau!" "Jangan terkebur!" sahut Cu Jiang dengan angkuh. "Apakah engkau tak tahu bahwa barang siapa yang bersalah kepadaku temu takkan terhindar dari kematian?" seru Ang Nio cu pula. "Aku tak menghiraukan soal begitu." "Ah, engkau benar2 keras kepala seperti pelajar kutu buku yang tolol. .. Hm, apakah engkau tak tahu akan arti Hidup dan Mati itu?" "Sebagai seorang persilatan, mengapa harus memperhitungkan soal mati dan hidup?" balas Cu Jiang. "Hai, nada bicaramu sok jagoan sekali!" "Ang Niocu, jangan terlalu menghina kepadaku!" seru Cu Jiang. "Ha, ha, ha, ha . ..." Terdengar momok yang disebut Ang Nio-cu itu tertawa nyaring. Cu Jiang meluap amarahnya. Dia masih muda, darahnya masih panas. "Ang Nio-cu, jangan sembunyikan kepala unjukkan ekor, Kalau memang hendak mengambil jiwaku, silahkan keluarlah!" ia menantang. "Engkoh kecil, rupanya engkau sudah bosan hidup" Aha, sudah berapa tahunkah engkau makan nasi?" diluar dugaan, momok Ang Nio-cu itu masih menggodanya. "Huh . ." Cu Jiang mendesah. "Siapa namamu?" seru Ang Nio-cu pula. "Tak perlu memberitahu kepadamu!" "Namamu Cu Jiang, benar kan?" Cu Jiang terkejut. "Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya lagi!" Baru Cu Jiang menjawab begitu tiba2 terdengar derap kuda mencongklang jauh. Tiga ekor kuda lari membinal menerobos ke dalam hutan situ. Cu Jiang berpaling. Ia terkejut. Siapakah ke tiga penunggang kuda yang berani melanggar tanda pengenal Ang Nio cu itu" Adakah mereka juga tak takut terhadap Ang Nio-cu si momok wanita itu" Tepat pada saat itu ketiga penunggang kuda itupun tiba dihadapannya. Mereka berhenti dengan mendadak sehingga menimbulkan debu tebal yang melumuri pakaian Cu Jiang sampai berobah kelabu warnanya. Cu Jiang deliki mata ke arah ketiga penunggang kuda itu. Mereka terdiri dari orang tua berbaju hitam yang berwajah seram. Mata mereka mencurah ke arah Cu Jiang. Salah seorang yang memelihara jenggot kambing segera berseru dengan nada tak enak di dengar: "Hai, budak, apakah engkau melihat seorang budak perempuan lalu di tempat ini?" "Ha, lihat, engkau belum, minta maaf atas perbuatanmu mengotori pakaianku begini rupa!" sahut Cu Jiang. "Apa" Ha, ha, ha, ha . . ." ketiga orang tua itu tertawa keras. "Ini bukan lelucon!" bentak Cu Jiang marah. Salah seorang yang pipinya terdapat bekas luka tergurat golok dan sikapnya seperti seorang banci, berseru: "Kunyuk kecil, sikapmu seperti seorang yang berbakat bagus tetapi engkau begitu tolol!" Habis berkata ia tertawa gelak2. Merah muka Gu Jiang mendengar kata2 si banci itu, bentaknya keras2: "Anda seorang tua, mengapa anda berbicara tanpa aturan sedikitpun juga?" "Tata cara " tata cara apa ?" "Silahkan pikir sendiri !" sahut Cu Jiang. "Ha, ha. engkoh kecil, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi !" "Aku tak ingin menjawab !" "Ho, budak, rupanya engkau bosan hidup..ya?" "Kenapa ?" "Tahukah engkau siapa aku ini ?" "Tidak tahu dan tak ingin tahu." "Tak ingin tahupun tetap kuberitahu. Pernah dengar nama Tiga harimau-Sujwan ?" Sujwan nama sebuah propinsi. Diam2 Cu Jiang terkejut. Tak disangkanya bahwa orang tua itu ternyata salah seorang momok golongan hitam yang termasyhur sebagai Tiga-harimau Sujwan. Ketiga momok itu memang sakti tetapi ganasnya bukan kepalang, Biasanya mereka selalu muncul bertiga, bertempur bertiga. Setiap kaum persilatan mengatakan, lebih suka bertemu dengan bangsa setan seribu, daripada dengan Tiga-harimau-Sujwan." Tetapi Cu Jiang masih muda. Darahnya masih panas. Apalagi dia penasaran karena diperlakukan remeh. Dia tak mempedulikan siapa orang tua itu. Seketika ia berseru nyaring: "Aha, sudah lama aku mendengar nama kalian yang mengerikan!" Orang tua jenggot kambing tadi tertawa seram: "Budak, engkau berteriak tak tahu mati, berani ngoceh sembarangan saja. Bagiku lebih mudah membunuh seorang manusia daripada seekor semut. Apakah engkau sungguh2 sudah bosan hidup ?" Orang tua bermata segi-tiga yang lainnya, ikut bersuara. Suaranya nyaring seperti genderang ditabuh: "Toako, perlu apa banyak bicara dengan dia" Mari kita lekas lanjutkan perjalanan, jangan sampai budak perempuan itu lolos .. ." "Perlu turun tangan ?" "Tak usah, biarkan dia menyelesaikan dirinya sendiri." Lelaki tua yang wajahnya berhias bekas guratan golok, memandang Cu Jiang, serunya: "Budak, engkau dengar tidak?" "Apa ?" sahut Cu Jiang. "Lekas engkau bunuh diri sendiri !" "Bunuh diri " Mengapa ?" "Kami bertiga tak pernah turun tangan terhadap bangsa budak kecil!" Dada Cu Jiang serasa meledak. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba2 terdengar setiap suara tawa dingin. Datangnya dari bagian dalam hutan. Orang tua berjenggot kambing tertawa mengekeh: "Ho, budak kecil, makanya engkau begitu berani mati, kiranya engkau mempunyai tiang andalan." "Hai, sahabat yang bersembunyi didalam hutan, silahkan keluar!" teriak lelaki tua bermata segitiga. Tetapi tiada penyahutan dari dalam hutan. "Kalau keluar, kalian tentu mampus !" tiba2 Cu Jiang mencemooh. "Sungguh besar sekali mulutmu ! Siapakah yang berada dalam hutan itu?" "Ang Nio cu !" sahut Cu Jiang. "Hai!" serempak Tiga-harimau-Sujwan itu berteriak kaget, "apa katamu ?" "Ang Nio cu !" Cu Jiang mengulang. Ketiga momok itu saling bertukar pandang. Tampaknya mereka siap hendak kabur. "Tunggu dulu!" tiba2 orang tua bermuka bekas luka golok berseru, "budak itu mungkin hanya mengacau saja. Mengapa tak kelihatan pertandaannya ?" Kedua kawannya celingukan kesana kemari. Tiba2 wajah si jenggot kambing berobah lesu. Menunjuk pada sebatang pohon dia berteriak: "Hayo, cepat kita pergi !" Habis berkata si jenggot kambing terus loncat keatas kuda dan melarikannya. Kedua kawannya terpaksa mengikuti juga. Kiranya si jenggot kambing tadi telah melihat mantel merah yang tersangkut pada cabang sebatang pohon. Cu Jiang tak mau cari perkara. Dia biarkan saja ke tiga momok itu melarikan diri. Diam2 dia heran mengapa sampai saat itu Ang Nio-cu belum juga menampakkan diri. Terdengar derap kuda ketiga durjana diri Su-jwan itu telah mencapai berpuluh-puluh tombak jauhnya. "Aaah .... ahhh . . . aah..." Terdengar tiga buah jeritan ngeri. Cu Jiang terkejut. Cepat ia menceplak kudanya dan mencongklang ke muka. Tak berapa lama ia terkesiap. Tiga-harimau Sujwan, telah terkapar malang melintang menjadi mayat di tanah. Pada dahi mereka terdapat sebintik pekat warna ungu. Ah, merekapun telah mati dibawah ilmu Hui ci atau Jari-terbang dari Ang Nio-cu. Cu Jiang turun dari kudanya. Memang sikapnya tampak tenang tetapi sesungguhnya hatinya berdebar keras. Ia menyadari bahwa situasi yang dihadapi saat itu sangat berbahaya. Tiga - harimau Sujwan yang termasyhur dan berilmu tinggi, dalam waktu singkat saja sudah hancur. Kepandaian Ang Nio-cu benar2 menakjubkan sekali ! Tetapi Cu Jiang tak mempunyai pikiran untuk melarikan diri. Dia tak takut mati. Hanya apabila dia sampai mati, dia membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya nanti. Dia sudah berjanji kepada orang tuanya akan pulang menurut waktu yang dijanjikannya. Apabila dia sampai tak pulang, betapa bingung perasaan ke dua orang tuanya nanti" Memikirkan keadaan orang tuanya, dia segera mengambil kertas dan pena dari tas bukunya yang ditaruh di pelana kuda. Segera ia menulis: "Ayah bunda yang tercinta, Tak disangka sangka dalam perjalanan pulang anak telah menderita halangan. Anak belum tahu dapatkah anak menghadapi halangan itu dengan selamat. Sebenarnya anak merasa tak berbakti karena tak mau menghindari halangan itu. Tetapi mengingat, anak ini keturunan keluarga ksatria, maka anakpun tak mau bersikap pengecut dan akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Apabila dalam tiga hari anak belum pulang, berarti anak sudah terkubur dalam sebuah hutan belantara. Mohon ampun atas kesalahan anak yang tak berbakti. Cu Jiang. Setelah selesai ia membacanya sekali lagi. Serentak terbayanglah akan wajah kedua orang tuanya yang begitu mencintainya. Tak terasa hatinya seperti disayat sembilu. Tetapi apa daya" Segera ia melipat surat itu lalu dimasukkan dalam tas bukunya. Ia mencabut pedang pusakanya, mengelus-elus kepala kuda dan berkata: "Hijau, untuk sementara terpaksa kita harus berpisah. Pulanglah lebih dulu! " Kuda yang diberi nama Hijau itu rupanya dapat mengerti maksud tuannya. Setelah meringkik pelahan, ia mengucapkan kepalanya ke tubuh Cu Jiang. Melihat kesetian kuda itu berlinang-linanglah airmata Cu Jiang. Tetapi dia harus keraskan hatinya. "Pergilah! " ia menepuk kepala kuda itu dan membentaknya. Kuda itu meringkik lalu mencongklang pergi. Setelah kuda itu lenyap dari pandangan, barulah Cu Jiang menghela napas longgar, seolah perasaannya telan terlepas dari himpitan batu besar. Serentak ia menghapus segala macam keresahan dan mulai mencurahkan pikirannya untuk mengadu kepandaian dengan Ang Nio cu. Ia menyadari bahwa dirinya jelas bukan tandingan dari Ang Nio-cu. Maka ia memutuskan untuk menggunakan siasat main kucing-kucingan. Matahari mulai condong ke barat. Hutan yang pada tengah hari tak tertembus sinar matahari, saat itu makin gelap suasananya. Setelah menenangkan pikiran maka berseru dia dengan nyaring: "Ang Nio-cu, mari kita selesaikan urusan kita ini! " Dari dalam hutan terdengar suara penyahutan Ang Niocu: "Cu Jiang, sia2 saja engkau suruh kuda mengundang bala bantuan ..." "Huh. aku orang she Cu, tak pernah berbuat semacam itu!" "O, kalau begitu engkau mengirim berita kecelakaan?" "Ang Nio-cu, hari sudah gelap. Rasanya tak perlu membicarakan hal2 yang tiada sangkut paut dengan urusan ini!" "Ih, mengapa engkau begitu terburu-buru hendak pulang ke akhirat" " seru Ang Nio-cu. "Jangan tekebur dulu. Kan belum diketahui siapa yang akan kalah dan menang, " sahut Cu Jiang. "Oh" seru Ang Nio-cu, "cobalah engkau tanya pada dirimu sendiri. Adakah engkau lebih sakti dari Tigaharimau-Sujwan atau Delapan tikus Holam?" Saat itu barulah Cu Jiang menyadari bahwa orang pertama kali dilihatnya mayat2 yang malang lintang dalam hutan itu tak lain adalah Delapan-tikus-Holam. Juga kedelapan tikus dari propinsi Holam itu merupakan kawanan tokoh2 Hitam yang terkenal sekali. Dalam waktu yang sangat singkat, Ang Nio-cu telah membunuh kawanan tokoh hitam yang ternama. "Ang Nio-cu, harimau adalah harimau, tikus juga tikus. Tetapi lainlah halnya dengan diriku Cu Jiang. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi!" "Apakah engkau sudah benar-benar ikhlas mati?" "Unjukkanlah dirimu! " seru Cu Jiang. Ang Nio-cu tertawa gelak2. "Engkau tak layak melihat diriku!" -ooo0d-w0ooo- Hukum rimba. Cu Jiang mendengus geram. "Apakah engkau tak berani keluar untuk mengambil jiwaku?" "Kurobah keputusanku..." "Engkau .... engkau hendak merobah keputusanmu?" teriak Cu Jiang terkejut. "Hm . . . ." "Keputusan apa?" "Aku tak jadi membunuh engkau !" Ucapan Ang Nio-cu itu benar2 di luar dugaan Cu Jiang sehingga pemuda itu terlongong-longong. Mengapa momok wanita itu tidak jadi membunuhnya" Apa sebabnya" "Mengapa engkau tak jadi membunuh aku?" akhirnya ia berseru. Tetapi hutan sunyi senyap. Ang Nio-cu tak menjawab. Cu Jiang seperti berada dalam lingkupan kabut. Dia tak mengerti tindakan Ang Nio-cu yang aneh itu. Tetapi betapapun, ia girang sekali karena terhindar dari pertempuran maut. Kini pikirannyapun mulai menimang-nimang, adakah dia harus lekas melanjutkan perjalanan mengejar kudanya si Hijau atau berjalan seenaknya saja. Tetapi rasanya dia harus cepat2 pulang karena apabila membaca surat yang dibawa si Hijau, kedua orang tuanya tentu gelisah sekali. Setelah mengambil keputusan, segera ia enjot kakinya untuk berlari kencang. Namun dia juga masih berjaga-jaga menghadapi serangan tak terduga-duga dari Ang Nio-cu. Tetapi sehingga keluar dari hutan, tetap ia tak mengalami gangguan apa2. Saat itu barulah ia benar2 menghela napas lega Namun iapun tetap tak mengerti mengapa tiba-tiba Ang Nio cu merobah keputusannya itu. Agar dapat mengejar si Hijau, ia tak berani berayal lagi. Dengan menggunakan ilmu lari cepat, ia teras meluncur d sepanjang jalan. Tetapi betapapun ia berusaha, tetap ia tak dapat mengejar lari si Hijau. Kuda itu memang bukan sembarang kuda tetapi seekor kuda istimewa. Ketika senja tiba, hitung2 dia sudah berlari berpuluhpuluh li tetapi tetap tak dapat melihat bayangan si Hijau. Akhirnya ia lambatkan lari. Tetapi saat itu iapun terkesiap. Rupanya dia tersesat jalan. Disebelah muka tampak Jajaran batu karang gunung yang berserakan tinggi rendah. Diam2 ia mengeluh. Terpaksa ia harus menempuh perjalanan sepanjang malam. Kemudian ia mendaki karang yang penuh ditumbuhi pohon siong. Saat itu rembulan mulai muncul. Tetapi tempat ia berjalan itu, tertutup oleh kabut tipis. Tiba2 ia mendengar suara ringkik kuda. Ia tak asing dengan suara ringkikan itu. Menurut arah suara itu, segera itu, segera ia menyerbunya. Ah.... Ia terkesiap. Ternyata kudanya si Hijau tertambat pada sebatang pohon siong. Hm, aneh benar. Mengapa si Hijau tertambat di situ " Adakah seseorang sengaja hendak mempermainkannya" Ataukah si Hijau itu telah tertangkap oleh pencuri kuda dan diikat di pohon itu " Segera ia menghampiri kuda itu. Ternyata barang2 yang berada di pelana kuda, tak ada yang hilang. Hanya surat yang ditulisnya secara terburu-buru itu yang hilang. Padahal surat itu ditujukan kepada orang tuanya. Cu Jiang benar2 tak habis herannya. Setelah merenungkan peristiwa itu, ia menarik kesimpulan bahwa memang ada orang yang sengaja menambatkan si Hijau di situ dan orang itu memperhitungkan bahwa dia tentu akan lewat di tempat itu. Siapakah orang itu" Apa maksudnya mengambil surat" Cu Jiang makin puyeng. Benar2 ia tak dapat memecahkan teka teki itu. Aneh... benar2 aneh sekali. Katanya dalam hati seraya geleng2 kepala. Pada saat ia hendak melepas tali pengikat si Hijau sekonyong-konyong ia mendengar suara orang membentak keras2. Kemudian dari arah karang pohon siong jauh di sebelah muka, terdengar suara seorang gadis berseru dengan nada gemetar: "Apakah kalian benar2 hendak membunuh habishabisan" Dulu aku tiada mempunyai dendam dengan kalian, sekarangpun tidak bermusuhan. . ." Seorang lelaki bernada kasar, berseru: "Kami hanya menjalankan perintah saja, bocah ayu, tak perlu engkau banyak bicara!" Mendengar itu Cu Jiang kerutkan alis lalu loncat menerjang kearah suara itu. Dalam hutan dia melihat empat lelaki menghunus pedang sedang mengepung seorang dara. Dara itu berpakaian warna hijau, tangannya membawa sebuah bungkusan kain. Umurnya di sekitar dua-puluhan tahun. Ditingkah cahaya rembulan, tampak gadis itu berwajah amat cantik sekali, Ia terpesona. Jarang dia bersua dengan gadis yang memiliki kecantikan sedemikian cemerlang. Saat itu tampak wajah si nona menampil ketakutan dan Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo airmatanya berlinang linang. Cu Jiang menghampiri. Sampai mencapai jarak dua tombak dari nona itu, tetap keempat lelaki bersenjata pedang itu masih belum mengetahui. Ketika melihat gadis itu berpakaian warna hijau seketika Cu Jiang teringat akan Tiga-harimau-Sujwan yang bertanya kepadanya tentang diri seorang gadis baju hijau. Kemungkinan besar tentu si jelita ini yang dimaksudkan ketiga momok dari Sujwan itu. "Mau kemana engkau, nona cantik ?" seru keempat lelaki itu. Dengan nada teriba-iba. si jelita baju hijau berkata: "Silahkan kalian melanjutkan perjalanan, lepaskan aku, berbuatlah dharma kebaikan untuk penitisan kalian yang akan datang..." Salah seorang dari keempat lelaki itu tertawa mengekeh: "Heh, heh, penitisan yang akan datang" Apa itu" Manisku, biarlah kami yang menggendong mu menempuh perjalanan!" Ucapan yang cabul itu membangkitkan kemarahan Cu Jiang. Salah seorang yang bernada nyaring, tiba2 berteriak: "Hai, kawan2, tadi kuda itu bernama . .. " Lelaki yang cabul tadi menukas: "Persetan, siapa yang suruh dia berani menyiram air dikepala pangeran, berani mencampuri urusan kita. Cu Jiang tak dapat menabas diri. Dia tertawa dingin: "Justeru aku memang hendak bertanya kepada kalian !" "Hai, siapa itu !" serempak keempat orang berteriak seraya berbalik tubuh. Serta melihat seorang yang tampan dan gagah, mereka terkejut. "Kongcu, tolonglah aku !" serentak si jelita berteriak minta tolong kepada Cu Jiang. Cu Jiang mengerling. Pandang matanya tertumbuk pada pandang mata jelita itu. Seketika tersiraplah darahnya. Seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa dengan pandang mata meminta pertolongan. "Gadis ini benar-2 cantik sekali," pikirnya, "selama aku berkelana di Kanglam, entah sudah berapa ratus gadis cantik yang pernah kujumpai. Tetapi yang secantik gadis ini baru pertama kali ini aku bertemu." Salah seorang dari keempat lelaki yang membawa pedang itu, rupanya yang menjadi pemimpinnya, mengawasi lekat pada Cu Jiang. "Engkoh kecil." sesaat kemudian dia berseru, "apakah engkau benar2 hendak turut campur urusan kami ini ?" "Pasti!" sahut Cu Jiang dengan nada tegas. "Mengapa engkau menyiksa dirimu ..." "Apa maksudmu ?" tukas Cu Jiang. "Menilik sikapmu, engkau tentu bukan pemuda sembarangan. Usiamupun belum berapa banyak. Bukankah sayang kalau engkau sampai mati ?" Meledaklah tawa Cu Jiang karena kemarahannya: "Kebalikannya, apakah kalian juga tak sayang kalau sampai mati?" Keempat lelaki itu mengerut dahi. Wajah mereka sarat dan matanya memancarkan sinar pembunuhan. Pemimpin dari keempat lelaki itu segera berseru: "Budak, ini berarti engkau hendak cari mati sendiri." "Apakah anda sekalian hendak bertekad mati ?" walaupun marah tetapi Cu Jiang masih dapat mengendalikan diri. "Lalu bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu ?" "Lanjutkan saja perjalananmu !" "Lalu gadis ini ?" "Tinggalkan saja !" "Ha, ha, ha, ha !" orang itu tertawa mencemooh, "budak, kata-katamu lebih merdu dari orang menyanyi." "Aku sebenarnya tak ingin membunuh orang." "Bau pupuk kepalamu masih belum kering tetapi mulutmu sudah sedemikian besar. Tahukah engkau siapa kami berempat ini ?" "Tak lebih dari kawanan tikus belaka !" Mendengar Jawaban Cu Jiang, seketika meluaplah kemarahan keempat orang itu. Orang yang nada suaranya kasar tadi segera getarkan pedangnya dan berseru: "Budak, pernahkah engkau mendengar nama Gedung Hitam ?" Terkejut Cu Jiang mendengar nama itu. ."Apakah kalian ini orang dari Gedung Hitam?" Gedung Hitam merupakan sebuah perkumpulan rahasia dalam dunia persilatan. Pengaruh partai Gedung Hitam itu meliputi daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka membasmi kaum persilatan yang bukan golongannya. Setiap orang persilatan tentu akan gemetar mendengar nama Gedung Hitam itu. Tetapi di manakah letak markas Gedung Hitam itu dan siapakah pemimpinnya, selama puluhan tahun tiada seorangpun yang tahu. "Ah, rupanya engkau sudah terlambat." seru lelaki yang menjadi pemimpin kawan-kawannya itu. Serentak Cu Jiang teringat akan pesan ayahnya ketika dia hendak berangkat berkelana. Ayahnya pesan, selama berkelana di dunia persilatan itu jangan sekali-kali cari perkara dengan orang-orang Gedung Hitam. Berbahaya sekali tentu celaka. Tetapi apa mau dikata lagi. Saat itu dia sudah terlanjur berhadapan dengan empat anggauta Gedung Hitam. Sekalipun dia hendak menghindar, tentulah mereka tak mau melepaskannya. Seketika bangkitlah semangat Cu Jiang Sebagai putera seorang ksatria, bagaimana dia mau ber peluk tangan mengawasi seorang gadis lemah yang hendak diganggu oleh kawanan anggauta Gedung Hitam" Seketika timbullah semangat kegagahan Cu Jiang. Serunya dengan nada datar: "Apakah kesalahan nona itu kepada kalian?" "Tiada seorangpun yang berani menanyakan urusan pihak Gedung Hitam! " sahut pemimpin ke empat orang itu. "Tetapi kalau aku berkeras hendak bertanya?" "Heh, heh, kematian sudah di depan mata, mengapa engkau masih banyak tingkah." orang itu tertawa seram. "Kongcu, jika engkau tak mau menolong, aku tentu celaka di tangan mereka." kembali jelita Itu berteriak dengan nada beriba. Cu Jiang berpaling memandangnya. Seketika bulatlah tekadnya. Keadilan dalam dunia persilatan tak boleh diinjak-injak. Dia harus turut campur tangan dalam urusan itu. Tetapi tiba2 iapun ingin mengetahui, mengapa gadis cantik itu sampai dikejar-kejar orang Gedung Hitam" Kemudian Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa kawanan Delapan-tikus-Holam dan Tiga harimau-Sujwan yang telah dibunuh Ang Nio cu itu kiranya juga anggauta dari Gedung Hitam. "Mengapa nona sampai berurusan dengan mereka?" akhirnya ia meminta keterangan kepada jelita itu. Dengan nada rawan jelita baju hijau itu berkata: "Delapan jiwa dalam keluargaku telah dibunuh semua, hanya tinggal aku seorang. Tetapi mereka tetap tak mau melepaskan aku!" "Apa sebabnya?" tanya Cu Jiang. "Karena pemimpin Gedung Hitam itu tertarik pada wajahku!" "Harus dibasmi!" Cu Jiang mendengus geram. "Budak, jangan berkentut busuk!" teriak pemimpin kawanan lelaki itu seraya terus menusuk Cu Jiang. Ilmu pedang orang itu memang bukan olah2. Aneh dan ganas sekali. Sekaligus ujung pedang berhamburan mengarah kelima buah jalan darah di tubuh Cu Jiang. Gerakan pedangpun menimbulkan desis angin yang tajam sekali. Dengan tenang Cu Jiang bergerak ke samping untuk menghindar. "Bagus, budak, kiranya engkau mempunyai modal juga maka engkau begitu jumawa!" seru orang itu. Dan mereka berempat segera berpencar di empat penjuru untuk mengepung Cu Jiang. "Apakah kalian hendak memaksa aku harus turun tangan" "seru Cu Jiang. "Serahkan jiwamu!" teriak lelaki yang bersuara kasar. Ia terus menusukkan pedang ke dada Cu Jiang. Sementara ketiga kawannya juga serempak menyerang dari tiga arah. Tring, iring, tring Terdengar serentetan dering senjata yang menusuk telinga dan seketika gerakan pedang keempat orang itu berhenti, orangnyapun masing2 mundur sampai dua tiga langkah. Tampak Cu Jiang sedang memegang pedang pusakanya yang berwarna hitam legam. Mencabut dan membabatkan pedangnya, dilakukan dengan kecepatan yang amat tinggi sekali. Seolah-olah pedang itu sudah melekat pada tangannya. Tetapi hal itu hanya penundaan sementara. Tak ada anggauta Gedung Hitam yang tak ganas. Sudah tentu mereka tak mau menerima begitu saja akan kekalahan itu. Serempak mereka berempat menggembor dan menerjang lagi. Mereka melancarkan jurus2 serangan yang buas, seolah ingin lekas2 membelah pemuda itu. Melihat tingkah mereka, berkobarlah kemarahan Cu Jiang. Dengan mendengus, ia taburkan pedangnya pula. "Huak..." Terdengar jeritan ngeri menguak suasana. Lelaki yang tadi buka suara besar itu rubuh, tubuhnya mandi darah. Ketiga kawannya serentak tertegun. "Aku dipaksanya untuk membunuh!" kata Cu Jiang pula. "Aih . . . !" tiba2 gadis jelita tadi menjerit kaget. Ketiga anggauta Gedung Hitam segera membungkukkan tubuh dan terus mengundurkan diri. Cu Jiang cepat berpaling. Tampak, entah kapan, di tempat itu telah bertambah dengan kemunculan sesosok bayangan raksasa. Ketika mengawasi dengan lekat, bulu roma Cu Jiang meregang tegak dan menahan napas. Bayangan raksasa yang ditingkah sinar rembulan itu sepintas menyerupai bangsa setan gunung. Memakai topi hijau dan jubahnyapun berwarna hijau. Tangannya memegang sekeping papan. Matanya menonjol ke luar, hidung melesak. Mengerikan mata memandangnya. Sepintas menyerupai seorang menteri kerajaan yang berpangkat sebagai hakim. Dengan mata yang berkilat-kilat memancar cahaya hijau, orang itu memandang Cu Jiang. Siapakah orang itu" Dan gerak geriknya ketika dia muncul tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, jelas dia tentu memiliki ilmu yang sakti. Cu Jiang paksakan diri untuk menegur: "Kojiu dari manakah anda ini ?" "Hakim baju hijau dari Gedung Hitam!" sahut orang tinggi besar itu dengan nada macam guntur yang memekikkan telinga. Cu Jiang belum pernah mendengar tentang diri Liokpoan-koan atau Hakim Baju hijau. Tetapi karena dia menjabat pelindung hukum dari Gedung Hitam, tentulah ilmu kepandaiannya tinggi sekali. "O, Hakim baju hijau," tanpa disadari Cu Jiang mengulang nama itu. Tetapi orang itu tak menghiraukan Cu Jiang. Dia mengalihkan pandang matanya kearah gadis jelita. Beberapa jenak kemudian baru dia berkata: "O, benar2 memikat hati!" Kemudian dia beralih memandang Cu Jiang lalu membentaknya: "Budak, tahukah engkau bagaimana cara engkau akan mati?" Cu Jiang mengertek gigi. "Mati dengan cara bagaimana?" serunya. "Tubuhmu akan kusempal-sempal hidup-hidupan !" "Ah, masakan begitu mudah!" "Belum pernah aku meninggalkan mayat korbanku masih utuh !" Cu Jiang menggenggam pedangnya makin kencang. Kemudian dengan besarkan nyali, berseru: "Soal itu harus dilihat kenyataannya !" Liok-poan-koan atau Hakim baju hijau mengeliarkan biji matanya beberapa kali. Kemudian tertawa seram. "Budak, aneh, tiba2 saja aku ingin bermurah hati, tak sampai hati untuk turun tangan..." "Mengapa ?" seru Cu Jiang. "Karena tulang-tulangmu bagus sekali, sebuah bahan istimewa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan!" Lalu ?" "Jika engkau masih ingin hidup, masih terbuka sebuah jalan ...." "Jalan yang bagaimana ?" tukas Cu Jiang. "Menjadi muridku!" Tak tahan Cu Jiang untuk tidak tertawa. Serentak dia berseru: "Anda berpikir terlalu muluk !" Mendengar jawaban itu mata Liok-poan-koen segera menghambur sinar hijau. "Apa katamu" Engkau menolak?" teriaknya marah sekali. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ya," "Coba ulangi lagi kalau berani!" "Aku tidak mau! " "Huh..." kerongkongan Liok-poan-koan menelan ludahnya. Kemudian ia menyusupkan Papan-besi ke pinggangnya lalu berseru: "Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu!" Serempak dengan kata2, tangannya yang segede kipas bertebar dan kelima jarinya yang menyerupai cakar2 besi segera menerkam Cu Jiang. Walaupun tahu bahwa dirinya bukan lawan orang itu tetapi dalam keadaan terdesak seperti saat itu, tiada lain pilihan bagi Cu Jiang kecuali harus melawan. Dia babatkan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Ujung pedang berhamburan bagai hujan mencurah deras ke arah tiga belas buah jalan darah di tubuh lawan. Jurus permainan pedang itu benar2 mengejutkan sekali. "Ahhh ....!" Entah dengan gerak bagaimana, tahu2 Cu Jiang rasakan tangannya yang memegang pedang itu tergetar. Bukan saja seluruh gerakan pedangnya terhalang, pun dia juga harus menyurut mundur tiga langkah. Dan tanpa disadari dia menjerit kaget. Liok-poan-koan tak mau mengejar melainkan hentikan serangannya. Rupanya dia merasa sayang. Liok-poan-koan si manusia aneh itu tertawa aneh, serunya: "Budak, selama ini aku membunuh erang seperti membunuh nyamuk saja. Tapi hari ini, kuadakan pengecualian. Sekali lagi jawablah. Engkau mau atau tidak menjadi muridku?" Cu Jiang deliki mata dan menyahut dengan seram: "Tidak bisa!" Tangan Liok-poan koan yang diangkat ke-atas. diturunkan pula. Kemudian berseru marah: "Kunyuk kecil, jika aku sengaja tak memberi kelonggaran, tak mungkin engkau mampu menerima sebuah seranganku saja. Ketahuilah, jika engkau dapat mewarisi kepandaianku, dalam dunia persilatan tiada yang dapat melawanmu !" "Tidak bisa !" "Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu !" seru Liokpoan koan seraya ulurkan tangan mencengkeram. Ternyata Cu Jiang sudah tak berdaya lagi. Tenaganya habis. Untuk mengangkat pedang saja dia sudah tak mampu. Maka dia hanya pejamkan mata menunggu kematian. Dalam detik2 malaekat Elmaut hendak merenggut jiwa Cu Jiang, sekonyong-konyong terdengar sebuah suara nyaring berseru. "Liok poan-koan, biarlah pinto yang mewakilinya menerima seranganmu!" Serempak muncullah seorang imam tua yang kain kepalanya tak keruan. Cu Jiang terbeliak. Ternyata imam tua itu tak lain adalah Imam yang bertemu padanya di tengah jalan dan berkeras hendak mengambilnya sebagai murid. Dia adalah Thianhian-cu, salah seorang dari Tiga-serangkai-imam dalam dunia persilatan. Cu Jiang timbul pula semangatnya. Liok-poan-koan menarik tangannya dan tertawa gelak: "Imam Jembel. tak kira kalau engkau masih berani keluar gunung. Apakah engkau hendak mengantar jiwamu kemari ?" Thian-hian-cu melemparkan sebutir pil kepada si jelita yang tak berapa jauh dari tempatnya seraya berkata pelahan: "Suruh dia lekas minum lalu lanjutkan perjalanan lagi, jangan lupa!" Setelah memberi pesan dia terus melangkah ke muka dan memberi anggukan kepala kepada Liok-poan-koan: "Ah, sudah lama kita tak berjumpa !" Tetapi Liok-poan-koan membentaknya: "Imam busuk, jangan banyak bicara, lekas serahkan jiwamu !" Segera dia lepaskan sebuah hantaman. Thian hian-cu pun cepat2 mengangkat tangannya untuk menyongsong. Bum . . . terdengar letupan dahsyat. Batu dan pasir berhamburan, ranting dan rumput2 bertebaran. Kedua bayangan itupun segera berpencar lagi. Ternyata kekuatan keduanya berimbang. Sesaat kemudian keduanya lalu maju lagi. Saat itu cuacapun mulai gelap. Malam tiba. Rembulan dan bintang tak tampak di cakrawala. Setelah menerima pil, si jelita tadi segera menghampiri Cu Jiang. Dengan tangannya yang putih mulus, ia menyusupkan pil itu ke mulut Cu Jiang. Cu Jiang mengangakan mulut hendak berkata apa2, tetapi si jelita sudah mendahului untuk menyusupkan pil ke dalam mulutnya. Ketiga lelaki membawa pedang tadi, rupanya hendak mencari kesempatan. Mereka memberi isyarat mata lalu tiba2 mereka serentak menyerang maju. "Hm, cari mampus lu!" Terdengar ketiga orang itu menjerit ngeri dan rubuh di tanah. Ternyata yang turun tangan adalah Thian-hian-cu. Walaupun sedang bertempur dengan Liok-poan-koan tetapi Thian-hiancu masih sempat untuk menghantam ketiga lelaki berpedang itu. Suatu bukti yang jelas bahwa nama Bu-lim sam-cu atau Tiga-serangkai-imam dunia persilatan, memang tak bernama kosong. Hantaman dari Thian hian-cu yang merubuhkan ketiga lelaki bersenjata pedang itu masih membaurkan angin yang melanda ke Cu Jiang sehingga anak muda itu sampai terhuyung. Melihat itu si jelita buru2 memegangnya agar jangan sampai jatuh. Dengan demikian kedua muda mudi itu telah bersentuhan tubuh. Seketika hidung Cu Jiang terbaur oleh bau yang harum sedap dari tubuh dan napas si jelita. Cu Jiang tersirap, mukanya ter-sipu2 merah. Melihat itu si jelitapun segera lepaskan tangannya dan dengan ke malu2an, ia bertanya: "Kongcu, apakah engkau dapat berjalan?" Cu Jiang seperti di ingatkan akan keadaan yang dihadapinya saat itu. serentak ia melakukan pernapasan dan ternyata tenaganya sudah pulih separoh. Ia tahu bahwa pil pemberian Thian-hian-cu itu memang hebat sekali. Serentak timbullah keperwiraan hatinya. Dia tak mau melarikan diri. Setelah Thian hian-cu selamat, baru dia akan pergi. Tetapi pada lain saat, ia menyadari. Sekali pun tenaganya sudah sembuh sama sekali, diapun tetap tak dapat membantu Thian-hian-cu. Ia bingung dan tak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. "Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini," si jelita mendesaknya. Nadanya selembut sutera, kumandangnya semerdu burung kenari. Telinga Cu Jiang seperti mendengar nyanyian yang mengikat jiwa. Terutama ketika jelita itu mengucapkan kata2 kita. Ah, semangat Cu Jiang seperti me-layang2. Walaupun mereka berdua baru saja berkenalan dan belum mengetahui siapa diri masing2 yang sesungguhnya, tetapi keadaan telah mempersatukan mereka dalam nasib yang sama. Dan keadaan itulah yang menyebabkan mereka menghilangkan segala rasa kikuk dan malu satu sama lain. Keduanya seperti kawan lama yang mesra. Di tingkah cahaya rembulan, Cu Jiang sempat pula memperhatikan betapa sorot mata si jelita itu memancarkan rasa bersyukur, harapan dan percikan perasaan hati yang tersembunyi. Dalam pada itu, ketiga lelaki bersenjata pedang telah duduk di tanah untuk menyembuhkan lukanya. Sementara Thian-hian-cupun masih melanjutkan pertempuran maut dengan Liok-poan-koan. Hanya tampaknya Thian-hian-cu lebih di atas angin. Sejenak memandang ke arah gelanggang pertempuran berkatalah Cu Jiang kepada si jelita: "Nona, bagaimana kalau engkau berangkat dulu?" "Mengapa?" tanya si jelita. "Aku tak dapat meninggalkan imam itu .. ." "Tetapi kongcu, imam itulah yang memberi pesan kepadamu." "Tetapi .... sebagai seorang ksatrya.. ." "Kongcu, maaf kalau aku lancang bicara. Tetapi apabila kongcu tetap berada di sini, imam itu akan bertambah beban pikiran. Luka mu . . . ." Merah muka Cu Jiang. "Nona, mungkin kita tak satu jalan." Wajah si jelita tampak sedih, ujarnya: "Kongcu, karena engkau sudah mengulurkan budi pertolongan kepadaku, tentulah kongcu tak tega kalau aku sampai jatuh ke tangan orang2 jahat itu, bukan?" Cu Jiang terkesiap, ia serba salah. Tiba2 Thian-hian-cu berteriak: "Hai, budak, kasak kusuk apa lagi itu" Kalau mau bermesra-mesraan, pindahlah ke lain tempat. Jangan di sini. Celaka kalau sampai datang poan-koan (hakim) yang lain lagi!" Cu Jiang terbeliak. Diam2 dia mengakui ucapan imam itu memang benar. Jika muncul jago ko-jiu dari Gedung Hitam lagi, menilik si jelita itu seperti orang yang tak mengerti ilmu silat, bukankah dirinya akan celaka. Perangai Cu Jiang yang angkuh, saat itu harus mengendap. Ia harus mengalah. Maka berserulah ia kepada Thian-hian-cu: "Cian pwe, budi pertolonganmu itu kelak pasti akan kubalas!" Dia terus berputar tubuh dan mengajak si jelita berlalu dari situ. Keduanya menuju ke dalam hutan. "Kongcu, mengapa balik ke sana lagi" " tegur si jelita. Cu Jiang hentikan langkah dan menjawab: "Kudaku masih berada di bawah karang." "Oh..." "Apakah nona pernah belajar silat?" "Ah, hanya gerakan seperti orang menari-nari saja, masakan dapat digunakan untuk melindungi diri. Mohon tanya siapakah nama kongcu?" "Namaku Cu Jiang." "O, aku . . . namaku Ho Kiong Hwa! " Kiong Hwa artinya Bunga istana. Ah, memang wajahnya benar2 secantik bunga istana. "Nama yang indah!: tanpa disadari Cu Jiang berseru memuji. Kemudian ia tersipu-sipu sendiri karena tak dapat mengendalikan perasaannya. Ho Kiong Hwa tertawa gembira: "Ah, kongcu terlalu memuji. " Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di tempat kuda Hijau ditambatkan. Tetapi seketika itu mata Cu jiang melotot dan wajahnya merah padam. Dadanya hampir meledak karena diluap kemarahan yang besar. Kuda Hijau, kuda kesayangannya, saat itu terkapar di tanah, kepalanya hancur, darah bercucuran ke luar. Antara Cu Jiang dengan kuda kesayangannya itu telah terjalin suatu hubungan yang mesra. Melihat kudanya dalam keadaan begitu mengenaskan, diapun mengucurkan airmata. "Ai, temuan Liok poan-koan itu yang melakukan." seru Ho Kiong Hwa. "Bagaimana nona tahu?" "Yang dapat menghancurkan kepala kuda tanpa menimbulkan suara, siapa lagi kalau bukan makhluk aneh itu." "Nona benar." tukas Cu Jiang dengan geram. "Pada suatu hari aku tentu akan memperlakukan dia seperti apa yang dilakukan terhadap kudaku ini. Kepalanya akan kuhancurkan juga! " "Kongcu, bagaimana kita sekarang?" "Terpaksa harus berjalan kaki. " "Cu kongcu, demi menolong diriku, engkau, banyak mengalami kesukaran apalagi engkau harus menderita kesedihan karena kehilangan kuda kesayanganmu. Hal ini benar2..." "Nona Ho. sungguh menyesal. Karena kepandaianku yang dangkal maka aku sampai mengalami penderitaan ini!" "Ah. kalau kongcu mengatakan begitu, hatiku makin berat." Di sebelah sana pertempuran masih berlangsung seru. Suasana sunyi di pegunungan tersibak oleh hiruk pikuk pertempuran maut itu. "Kita tinggalkan tempat ini dulu baru nanti kita berunding lagi." "Terserah bagaimana kongcu hendak mengatur, aku hanya menurut saja." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dari pelana kudanya, Cu Jiang mengambil beberapa benda yang penting lalu disisipkan dalam bajunya. Yang lain2 ia tinggalkan di situ. Setelah berjalan menyusuri pegunungan karang itu, mereka lalu lanjutkan berjalan dengan cepat. Malam itu rembulan bersinar indah. Tetapi Cu Jiang tak mempunyai hati untuk menikmati keindahan malam itu. Belum pernah ia mengalami penderitaan yang begitu berat dan begitu menyedihkan. Sifat kegagahannya pun seolah pudar. Demikian keduanya menyusur di sepanjang jalan kecil dilereng gunung. Jauh disebelah muka tampak jalan yang lebih lebar. Tiba2 Cu Jiang berhenti. "Nona Ho, kita terpaksa harus berpisah !" Si jelita memandang Cu Jiang dengan rawan, serunya: "Berpisah ?" Cu Jiang terkesiap. "Akhirnya kita tak dapat terus menerus bersama-sama ...." Ho Kiong Hwa tersenyum: "Tetapi aku ingin terus begini !" Percik harapan yang tertumpah pada kata2 itu. sudah tentu Cu Jiang dapat menerima. Tetapi dia selalu memikiri rumah dan ingin pulang. Kedua orang tuanya karena menyingkir dari dendam permusuhan maka mengasingkan diri ditempat yang tersembunyi, agar jangan diketahui orang. Seingatnya, karena tempat tinggalnya diketahui orang, maka ayahnya telah berpindah tempat sampai empat kali. Dia harus mentaati pesan ayahnya, supaya jangan sembarangan menceritakan tentang dirinya dan tempat tinggalnya. Ho Kiong Hwa, sinona jelita itu belum jelas asal usulnya. "Mudah jatuh pada kecantikan wanita, bukan laku seorang ksatrya." Demikian ajaran ayahnya. Maka ia teguhkan hatinya dan berkata: "Nona Ho, kelak kita tentu berjumpa lagi" Wajah si jelita kembali mengerut kesedihan. Kemudian berkata dengan rawan: "Cu kongcu, aku sudah sebatang kara, tiada punya rumah, tiada sanak keluarga. Entah bagaimana jadinya dengan diriku dalam pengembaraanku di dunia persilatan itu. Menilik sikap dan peribadi kongcu, kongcu tentu putera seorang keluarga yang ternama. Apakah kongcu sudi melimpahkan budi untuk menerima diriku sebagai bujang pelayan . . ." Cu Jiang gelengkan kepala pelahan. "Nona Ho, aku sendiri dari keluarga miskin." "Ah, tak percaya." "Terserah pada nona." "Apakah kongcu tak kasihan padaku?" "Nona Ho, apabila aku mengandung hati begitu, mengapa aku harus berjerih payah mengikat permusuhan dengan fihak Gedung Hitam. . ." "Maafkan kongcu, aku kelepasan omong!" "Ah, janganlah nona berkata begitu," sahut Cu Jiang. "Budi pertolongan kongcu, kelak tentu akan kubalas." "Ah, jangan nona berkata begitu. Apa yang kulakukan itu tak berarti apa2." "Meskipun kongcu tak mengharap balas, tetapi aku tentu selalu mengingat budi pertolongan kongcu." "Sebenarnya aku sangat memikirkan keadaan nona tetapi aku tak berdaya hendak membantu nona, kudoakan Thian selalu memberkahi nona." "Terima kasih, kongcu." "Harap nona suka menjaga diri baik2." "Harap kongcu juga baik2 menjaga diri." "Semoga kelak kita akan berjumpa lagi." "Pasti . . ." Cu Jiang memberi hormat. Dengan keraskan hati, ia terus lari menuruni gunung. Ada sesuatu yang membuat hatinya menderita tetapi sukar untuk diucapkan. Setelah tiba di jalan besar, ia terus menuju ke arah selatan. Pada hari ketiga, sampailah ia di kota Li-jwan. Setelah itu akan mencapai daerah gunung Bu-teng-san yang tak jauh dari tempat tinggalnya Ia segera menuju ke rumah makan yang menjadi langganannya apabila dia tiba di kota itu. Pemilik rumah makan itu seorang nyonya bertubuh gemuk. Ia menyambut kedatangan Cu Jiang dengan gembira. Sambil bertepuk tangan dia berseru: "Ai, Kongcu. sudah setengah tahun, kita tak bertemu. Silahkan masuk! Mana kudanya?" "Aku jalan kaki saja," Cu Jiang tertawa. "Ah, kongcu tentu letih, silahkan beristirahat di ruang kebun belakang!" "Toa-Nio, aku hanya singgah makan saja terus akan melanjutkan perjalanan lagi." "Sudah lama tak bertemu mengapa begitu terburuburu...." Cu Jiang hanya tertawa dan terus masuk ke ruang belakang. Di belakang terdapat tiga buah halaman. Yang satu terang dan yang dua gelap. Di tengah halaman di tumbuhi dengan bunga2an dan di hias dengan batu. Suasananya sunyi tenang. Cu Jiang menuju ke ruang yang di tengah. Tak berapa lama pelayan mengantar minuman, buah2an dan handuk panas. "Apakah kongcu hendak minum arak?" "Ya, sedikit saja." "Pakai sayur apa?" "Biasa saja yang sering kumakan." Jongos segera ke luar, Cu Jiang duduk merenungkan semua pengalaman selama dalam perjalanannya. Ang Niocu, Liok-poan-koan, si jelita Ho Kiong Hwa, Thian-hian-cu. . . Juga tentang suratnya yang hilang di pelana kuda. Dia heran memikirkan hal itu. Mengapa bukan uang atau perak yang di bekalnya yang hilang tetapi surat itu" Bukankah surat itu hanya sekedar memberitahu kepada kedua orang tuanya tentang keadaan dirinya waktu itu" Apa guna orang itu mengambilnya" Dan pula, mengapa kuda si Hijau sampai tertambat pada pohon siong itu" Setelah melalu lalang dalam lamunan, akhirnya pikirannya teringat kembali kepada si jelita Ho Kiong Hwa. seorang nona yang cantik luar biasa tetapi menderita nasib yang malang. Membayangkan betapa dalam waktu sesingkat itu ada suatu perasaan yang menjalin hatinya dengan si jelita, merahlah muka Cu Jiang. Diam2 dia menyesal mengapa sekali sudah menolong nona itu, ia tak mau menolong sampai akhir, membawanya ke rumah makan di situ" Tetapi ketika teringat bahwa rumah makan itu penuh di kunjungi dengan tetamu2 yang pergi datang, padahal si jelita itu sedang diburu oleh orang2 Gedung Hitam, bukankah rumah makan itu akan terlibat" Tiba2 pelayan muncul dengan membawa hidangan yang di pesannya. Kemudian pelayan itu keluar lagi. Kini Cu Jiang duduk minum seorang diri. Pikirannya masih tertuju pada si jelita. Ho Kiong Hwa benar2 seperti yang terlukis dalam suratan nasib: "Wanita cantik kebanyakan tentu bernasib malang . . ." Sekonyong-konyong tirai pintu tersiak dan muncullah seorang lelaki berpakaian biru di pinggir pintu. Dia melangkah masuk tertawa sinis kepada Cu Jiang. "Mau apa engkau !" bentak Cu Jiang. Lelaki itu lemparkan sebuah benda lalu berbalik tubuh dan melangkah keluar. Cu Jiang menyambuti benda itu dengan sumpitnya lalu berteriak: "Berhenti!" Tetapi orang itu sudah menerobos keluar dan menghilang. Cu Jiang terpaksa tak dapat mengejar. Dia rasakan benda yang disumpitnya itu cukup berat. Ketika diamatinya ternyata sebuah thiat pay atau papan besi warna hitam, bagian tengahnya terdapat sebuah huruf yang menonjol dan berbunyi MATI. 00ood-woo00 Jilid 2 Kejut Cu Jiang bukan kepalang. "Amanat Maut !" teriaknya. Amanat-maut merupakan pertandaan dari pihak Gedung Hitam untuk mencabut nyawa orang. Tak beda seperti amanat dari Giam lo-ong atau si Raja Akhirat. Barang siapa menerima amanat itu tentu mati. Dulu Cu Jiang hanya pernah mendengar tentang itu. Tetapi kini dia benar2 melihat bahkan menerimanya sendiri. Balik kedalam ruangan, hilanglah selera Cu Jiang untuk minum arak. Pengaruh Gedung Hitam benar2 luas dan mengerikan. Dalam waktu singkat saja dia sudah jatuh kedalam cengkeraman mereka. Bagaimana dengan si jelita Ho Kiong Hwa " Ah, nona itu tentu tak terhindar dan genggaman orang2 Gedung Hitam. Entah bagaimana, walaupun dirinya sedang menghadapi bencana maut, lebih dulu dia memikirkan diri dan keselamatan si jelita Ho Kiong Hwa. Pemilik rumah makan bergegas mendatangi dan berseru: "Kongcu, orang tadi. . .." "Menerimakan benda ini." kata Cu Jiang seraya menunjukkan papan besi itu. "Amanat-maut." teriak wanita itu. "Benar, memang amanat kematian," kata Cu Jiang dengan nada sarat. Pipi wanita pemilik rumah makan yang besar dengan daging itu segera mengerut. Sepasang alisnyapun hampir meregang tegak. "Kongcu, kenapa engkau sampai bermusuhan dengan orang Gedung Hitam?" serunya. "Karena menolong seorang nona." "Aih, lalu bagaimana ?" "Toa nio, aku segera hendak melanjutkan perjalanan saja." "Kemungkinan engkau tak dapat mencapai satu li saja !" "Habis, daripada menunggu kematian !" "Kongcu, berikan waktu kepadaku untuk ikut memikirkan..." "Tidak, toa nio, aku tak mau melibatkan dirimu." Wanita gemuk itu deliki mata. "Ngaco !" teriaknya. Cu Jiang terkesiap. Selama ini belum pernah wanita gemuk pemilik rumah makan itu begitu keras sikapnya terhadap dia. Seorang perempuan yang konon kabarnya tak pernah belajar silat tetapi mengapa kenal Amanat-maut dan Gedung Hitam " Aneh. Apakah wanita gemuk itu selama ini memang tak mau unjukkan dirinya yang sesungguhnya " Tetapi betapapun juga, tak mungkin dia berani bertindak menentang Gedung Hitam yang begitu besar pengaruh kekuatannya dalam dunia persilatan. "Toa-nio, apa yang engkau pikirkan?" "Mencarikan jalan hidup untukmu !" "Ah, tak perlu." "Mengapa ?" "Rumah tangga dan Jiwa toa nio, masakan harus ikut menderita karena urusanku." "Tutup mulutmu!" bentak wanita gemuk itu, "apabila engkau mati ditangan orang Gedung Hitam, masih tak mengapa. Tetapi Jiwa papah mamahmu juga terancam bahaya." Cu Jiang terkejut. Selama ini wanita gemuk itu tak bertanya dan diapun tak pernah menceritakan tentang keadaan ayah bundanya. Tetapi mengapa wanita gemuk itu tahu " Apakah wanita itu sesungguhnya orang Gedung Hitam yang sengaja memancing-mancing " "Apa kata toa-nio?" Cu Jiang menegas. "Tutup mulutmu !" bentak wanita gemuk itu pula seraya deliki mata. Cu Jiang terbeliak. Ia terlongong-longong memandang wanita gemuk itu. "Siapakah dia . .. .?" Wanita gemuk itu tiba2 mengisar kemuka dinding lalu menekan dinding itu sampai tiga kali. Dinding yang terbuat daripada batu merah berkembang dan tiba2 merekah dan terbukalah sebuah pintu. Dibalik pintu itu merupakan sebuah titian atau undakundakan batu yang jauh menjurus ke-sebelah bawah. Karena ujung titian yang dapat dilihat mata, tertutup dalam kegelapan, maka tak dapat diketahui sampai berapakah dalamnya lorong rahasia itu. "Kongcu, turunlah. Didalamnya terdapat cukup persedian makanan, tiga hari kemudian engkau boleh keluar !" Cu Jiang terkejut. Diam2 ia menimang. Jika ia menuruti permintaan wanita gemuk itu dan masuk kebawah lorong rahasia, bukankah dia akan seperti burung yang terjebak dalam sangkar " Atau mungkinkah wanita gemuk itu memang benar2 Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengandung maksud baik hendak menyelamatkan dirinya" "Lekas turun !" teriak wanita gemuk itu. "Toa-nio !" "Kusuruh engkau turun mengapa masih banyak omong lagi!" Sejenak meragu, akhirnya Cu Jiang mengambil sikap. Dalam menghadapi saat2 yang membahayakan jiwanya, ia harus lebih dulu mendapat keterangan yang jelas dan tak boleh begitu pasrah saja. Bukankah ia bisa mati konyol " "Toa nio, apakah engkau seorang persilatan?" segera ia bertanya. "Eh, mengapa masih banyak mulut " Apakah engkau benar2 ingin mati ?" "Aku tak mengerti, mengapa toa-nio berani menempuh bahaya untuk menolong seorang yang telah menerima Amanat Maut dari Gedung Hitam" "masih Cu Jiang bertanya. "Kelak engkau tentu tahu !" "Tetapi sekarang juga aku ingin tahu." "Tolol . . . engkau " "Dan lagi rupanya toa-nio tahu akan keluargaku ?" "Anggap saja sudah tahu, lekas engkau masuk!" "Tidak ! Toa-nio harus memberi penjelasan dulu . .. . " "Waktunya tak keburu lagi!" Cu Jiang makin curiga. ia berkeras menolak. "Jika begitu, maaf, aku tak dapat menuruti perintahmu !" Wanita gemuk itu deliki mata dan berseru bengis: "Apakah engkau benar2 menghendaki toaniomu harus turun tangan?" Cu Jiang tergetar hatinya. "Betapapun disembunyikan dalam kulit domba, rubah (rase) tentu akan tampak juga ekornya," pikirnya. "Toanio," ia tertawa dingin, "sungguh tak kira kalau engkau mengerti silat." "Masih banyak hal2 yang tak dapat engkau duga !" "Kalau begitu toanio harus banyak2 memberi penjelasan lagi." "Turun !" "Tidak !" "Rupanya aku terpaksa turun tangan ..." "Apa boleh buat..." Tring, Cu Jiang terus mencabut pedang. Wanita gemuk itupun segera singsingkan lengan bajunya lalu siap mengangkat tangannya ke-atas. Keduanya segera akan bertempur. "Toa-nio," seru Cu Jiang dengan nada gemetar, "bertahun-tahun engkau telah memperlakukan aku dengan baik. Seharusnya tak boleh aku mencurigaimu. Tetapi hal ini menyangkut suatu mati hidup" Wanita gemuk itu melangkah maju dan membentak dengan marah: "Tak perlu engkau banyak berkentut, mau turun atau tidak !" "Maaf..." "Ho, budak kecil." Serempak dengan kata2 itu wanita gemukpun terus ayunkan tangannya menghampiri. Cu Jiang terpaksa menangkis dengan pedangnya. "Ha, kepandaianmu masih jauh sekali terpautnya, budak!" Gerakan tangan wanita gemuk itu lebih cepat dari katakatanya. Sementara pukulan tangan kanannya tadi masih dilanjutkan, tangan kirinyapun menjulur maju menabas. Hebat! Seketika itu gerak pedang Cu Jiang-pun tertutup tak dapat berkembang. Dalam sekejap, Cu Jiangpun terkena pukulan wanita gemuk itu. Dia sempoyongan ke belakang. "Turun !" Sebelum pemuda itu sempat berdiri tegak, kembali dia sudah dilanda oleh gelombang angin pukulan dari wanita gemuk itu. Cu Jiang kehilangan keseimbangan badan dan diluar kehendaknya, dia tergelincir kedalam liang terowongan. Tetapi pemuda itu juga tidak lemah. Selekas kakinya menyentuh tanah dibawah, cepat ia enjot tubuhnya hendak melambung keatas lagi. Wanita gemuk tertawa gelak2 seraya menghantam lagi. Sudah tentu tubuh Cu Jiang tertekan kebawah dan jatuh ke dalam terowongan pula. Ha, ha ha terdengar wanita gemuk itu tertawa mengekeh dan pada lain saat, pintu terowongan rahasia itupun tertutup. Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita bertubuh gemuk seperti seekor babi itu ternyata memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Cu Jiang merasa bahwa apa yang dipelajari selama ini sudah cukup tinggi. Tetapi ternyata berhadapan dengan wanita gemuk saja ia sudah kelabakan dan tak dapat berkutik lama sekali. Memandang ke arah bawah, gelapnya bukan main sehingga ia tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri. Ia siapkan pedangnya menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga. Kemudian ia pejamkan mata dan tenangkan pikiran. Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan dapatlah dengan samar2 ia melihat keadaan terowongan rahasia itu. ia coba mengacungkan pedangnya keatas. Tring, ternyata ujung pedangnya telah menyentuh pintu rahasia tadi. Pintu itu terbuat dari besi baja yang tebal sekali. Sekalipun pedangnya itu juga sebuah pedang pusaka tetapi sukar untuk membobolkan. Betapapun geram dan bencinya terhadap wanita gemuk itu tetapi Cu Jiang dipaksa oleh kenyataan. Dia tak dapat keluar dari terowongan rahasia itu. Apa boleh buat, dia harus berjuang untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Diam2 diapun mengutuk dirinya sendiri yang karena kurang pengalaman maka sampai tertipu oleh wanita gemuk itu. Dengan membulatkan tekad, ia segera menuruni titian, Lebih kurang lima tombak menurun ke bawah, sampailah dia diujung titian yang terakhir. Kini dia berhadapan dengan sebuah jalan yang datar. Setelah menunggu beberapa saat dan tak terjadi suatu apa, barulah ia melangkah maju. Sekalipun lorong terowongan itu gelap tetapi tak berhawa lembab. Lebih kurang dua-puluhan tombak berjalan dia membiluk ke sebelah kiri dan tiba2 keadaannya terang benderang. Sinar penerangan itu berasal dari untaian mutiara yang terpancar dari dalam sebuah ruang. Dalam ruang itu terdapat juga tempat tidur, meja kursi dan lain2 alat perabot. Berdiri di muka pintu, Cu Jiang masih meragu. Dia tak tahu bagaimanakah sebenarnya maksud wanita gemuk itu terhadap dirinya. Adakah wanita gemuk itu bermaksud baik atau buruk kepadanya. Sampai beberapa saat tertegun, ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Karena tiada lain pilihan lagi dan karena ingin tahu, apapun yang akan terjadi ia harus menghadapinya. Dengan menghunus pedang ia segera melangkah masuk ke dalam ruang. Ternyata kamar itu di hias dengan bersih sekali. Di meja telah disediakan bahan makan dan minuman. Tempat tidur pun lengkap dengan selimut dan bantal. Juga disediakan rak buku dengan beberapa puluh jilid buku bacaan. Cu Jiang benar2 heran. Selama memasuki kamar rahasia itu, dia tak menjumpai rintangan apa2. Dan keadaan dalam kamar itu tepat seperti yang dikatakan si wanita gemuk. Persedian makanan dan minuman disitu cukup untuk tiga hari. Apakah dia salah duga terhadap wanita gemuk itu" Pikirnya. "Tetapi mengapa dia menolong diriku?" tanya Cu Jiang dalam hati. Ransum makanan kering dan minuman disitu jelas bukan baru saja disiapkan. Karena waktu dia menerima Amanat Maut, sampai saat itu hanya berselang beberapa saat saja. Ah, hanya satu kemungkinan saja. Tentulah wanita gemuk itu memang sudah siap menyediakan kamar rahasia yang dilengkapi dengan ransum makanan untuk menjaga kemungkinan apabila wanita gemuk itu menghadapi bahaya. Sekalipun ia menduga begitu namun hatinya masih belum yakin. Saat itu dia ibarat burung yang sudah berada dalam sangkar, setiap saat musuh tentu mudah sekali untuk mengambil jiwanya. Tiba2 ia teringat bahwa pintu di atas tadi terbuat dari besi baja yang kokoh. Wanita gemuk mengatakan bahwa tiga hari kemudian dia boleh keluar lagi Ah, bagaimana mungkin! Apabila persedian ransum makanan dan minuman di situ sudah habis, bukankah dia akan mati kelaparan" Apakah wanita gemuk itu memang sengaja hendak membunuhnya secara pelahan" "Ah, benar, benar," pikirnya, "wanita gemuk tadi telah kelepasan omong, jelas dia tahu akan keadaan keluargaku." Merenung hal itu diam2 Cu Jiang menggigil. Apa yang di reka dalam dugaannya tadi, hapus semua. Jelas wanita gemuk itu tentu seorang anggauta dari Gedung Hitam. Diam2 pula Cu Jiang gelisah memikirkan keselamatan ayah bunda dan adik2nya. Makin merenungkan hal itu makin mendidihlah darah Cu Jiang. Serentak ia menyambar pedang dan terus lari ke luar lagi. Saat itu ia tiba kembali di bawah pintu baja yang gelap tadi. Berulang kali ia berusaha untuk membacok, menabas dan menusuk, namun pintu baja itu tak bergeming sedikitpun juga. Apa boleh buat, terpaksa dengan rasa kecewa ia kembali lagi ke dalam kamar. Ia duduk termenung-menung. Tiba2 ia mendapatkan bahwa dalam kamar itu juga diperlengkapi dengan alat waktu atau jam model kuno, yang dari tabung kaca yang berisi pasir. Memang mudah ia untuk mengetahui waktu tetapi tak tahu ia bagaimana nanti peristiwa yang akan menimpa pada dirinya. Entah baik, entah celaka. Mengeliar pandang ke arah rak buku, timbullah rasa iseng untuk melihat2. Segera ia berbangkit dan menghampiri tempat buku itu, mengambil sejilid dan membacanya. Ia tertawa. Ternyata buku2 yang berada di rak itu terdiri dari kitab Kim-kong-keng, Mi-io-keng dan lain2 pelajaran agama Buddha. "Huh, si gemuk itu rupanya hendak mempelajari agama Buddha agar kelak dia dapat menitis lagi sebagai wanita cantik . ." Demikian tak terasa persedian bahan makanan telah habis separuh dan menurut alat penghitung waktu, ternyata saat itu sudah tiga hari lamanya dia berada di situ. Tiga hari rasanya seperti tiga tahun. Harapan Cu Jiang untuk keluar dari situ sudah pudar. Karena hal itu jelas tak mungkin. Tetapi selama hayat masih di kandung badan, manusia tentu selalu berdaya, harapan selalu tergenggam. Saat itu dia keluar dari kamar dan menuju ke pintu di atas tadi. Ketika mengamati dengan seksama, hampir saja dia bersorak kegirangan. Tapi pintu tampak bergurat lubang sehingga sinar dapat memancar masuk. Seketika itu berobahlah pandangannya terhadap wanita gemuk. Ternyata wanita gemuk itu bermaksud baik kepadanya. Diam2 ia malu sendiri mengapa menduga jelek pada orang yang bermaksud baik. Setelah menyelipkan pedang, dia segera mendaki ke atas. Dengan kedua tangan mulailah ia mengisar pintu itu, ternyata pintu itu dapat bergerak. Sejenak berhenti ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Pintupun berkisar lagi. Setelah untuk yang ketiga kalinya ia mendorong, terbukalah sebuah lubang yang cukup untuk dimasuki orang. Girang Cu Jiang bukan kepalang. Selama tiga hari dalam kamar rahasia di bawah tanah, tak pernah ia menduga akan menghadapi peristiwa seaneh itu. Dia mengira pasti akan mati kelaparan dalam kamar di bawah tanah. Serentak ia menerobos ke luar. Tetapi ketika memandang ke sekeliling, kejutnya bukan kepalang. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Bangunan rumah tiga hari yang lalu ia masuk dan dihantam jatuh ke dalam terowongan oleh si wanita gemuk, saat itu hanya tinggal reruntuhan puing. Dinding rubuh, tiang dan genteng berserakan dimana-mana, hangus terbakar. Ah, itulah sebabnya pintu baja memancarkan guratan sinar. Ternyata dinding dan tiang kayunya telah terbakar. Apakah yang telah terjadi" Apakah wanita gemuk itu yang membakar rumahnya ataukah orang Gedung Hitam yang karena tak berhasil menemukan dirinya ( Cu Jiang ) lalu marah dan membakar rumah makan itu" Jika wanita gemuk itu yang membakarnya sendiri, jelas tak mungkin. Masakan dia akan menghancurkan rumah makannya sendiri. Tak mungkin pula hanya karena hendak menolong dirinya, wanita gemuk itu lantas membakar Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rumah makan dan akibatnya tetangga2 yang berdekatan ikut menderita! Kemungkinan yang paling besar, tentulah gerombolan Gedung Hitam yang melepas api. Lalu ke manakah wanita gemuk dan para pegawainya" Apakah mereka mati atau masih hidup" Berbagai pikiran melalu lalang dalam benak Cu Jiang, Tetapi yang jelas. rumah makan itu telah terbakar habis dan pemiliknya, si wanita gemuk, tentu mengalami derita hebat. Teringat akan kebaikan budi wanita gemuk kepadanya, Cu Jiang menitikkan beberapa butir air mata. Nadanya yang nyaring dan wajahnya yang cerah berseri dan wanita gemuk itu, terbayang pada pelupuk Cu Jiang. Sedih dan duka segera berubah menjadi rasa geram dan dendam. Serentak Cu Jiang menengadah dan bersumpah: "Selama aku masih hidup, aku tentu akan menghancurkan Gedung Hitam, demi menghimpaskan dendam kaum persilatan yang telah menjadi korban keganasannya." Apabila wanita gemuk itu karena menolong dirinya sampai rumah-tangganya berantakan dan jiwanya melayang, Cu Jiang merasa berhutang budi seumur hidup. Bulat sudah keputusannya, Gedung Hitam tak perlu disingkiri, tetapi harus dihadapi dan dihancurkannya. Bahkan karena gejolak kemarahannya yang merangsang, saat itu juga ia ingin bertemu dengan orang Gedung Hitam dan mengadu jiwa. Tetapi sesaat teringat akan ilmu kepandaiannya dan kesaktian dari jago2 Gedung Hitam seperti Liok-poan-koan, mau tak mau menurunlah kemarahannya. Akhirnya ia memutuskan untuk segera tinggalkan tempat itu karena dikuatirkan orang2 Gedung Hitam masih berkeliaran di sekitar tempat itu. Dengan mudah mereka pasti akan mengenali dirinya. Dan apabila mereka sampai memergoki dan menyerangnya, bukankah dia akan mati dengan sia2. Dia mati sih tak apa, tetapi dendam darah dari wanita gemuk yang telah mengorbankan jiwanya itu, tentu tak dapat terhimpas selama-lamanya. Setelah menutup pintu rahasia itu, ia segera mengayunkan langkah dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Tak lama ia segera berada di tengah kerumunan orang2 yang di sekeliling jalan. Ia berusaha untuk mendengarkan berita tentang kebakaran rumah makan itu. Tetapi pembicaraan mereka hanya simpang siur tak keruan, sukar untuk menemukan jejak. Kebanyakan mereka tak tahu kejadian yang sebenarnya dan hanya menduga-duga saja. Sekonyong-konyong muncul lima penunggang kuda bulu hitam yang dengan cepat tiba di jalan tempat orang2 berkerumun menyaksikan kebakaran itu. Yang empat berpakaian warna hitam, membekal pedang. Sedang yang seorang seorang baju hitam. Orang2 itu segera menyingkir. Ketika tiba di tempat kebakaran, kelima penunggang kuda itu berhenti. Cu Jiang sebenarnya hendak segera melanjutkan perjalanan. Ia telah memperhitungkan bahwa waktu yang telah dijanjikan kepada kedua orang tuanya sudah lewat. Ia harus buru2 pulang agar mereka jangan gelisah. Tetapi ketika melihat kedatangan kelima penunggang kuda itu, ia batalkan maksudnya dan tetap berada di situ. Ia ingin tahu siapa mereka berlima dan apa yang hendak mereka lakukan. Tampak lelaki tua berbaju hitam berbicara asyik sambil menuding kian kemari dengan keempat orang baju hitam. Karena jaraknya jauh, entah apa yang dibicarakan mereka Cu Jiang tak dapat menangkap. Beberapa saat kemudian salah seorang penunggang kuda baju hitam. tiba2 turun dari kudanya, mencabut pedang lalu menabas lehernya sendiri. Sekalian orang yang berkerumun disitu, menjerit kaget. Darah menyembur dan rubuhlah orang itu. Sudah tentu orang2 terkejut menyaksikan pertunjukan bunuh diri itu. Bahkan yang nyalinya kecil terus ngacir pergi. Cu Jiang juga terkejut. Siapa kelima penunggang kuda baju hitam yang dandanan seperti kaum bu su (persilatan) itu" Dan mengapa salah seorang memenggal lehernya sendiri" Seorang penunggang kuda yang lain lalu turun dari kudanya, mengangkat tubuh kawannya yang bunuh diri itu ke atas kudanya, mengusainya erat2. Setelah lelaki tua itu memberi isyarat, mereka lalu melanjutkan perjalanan lagi. Peristiwa itu masih meninggalkan kesan dan menjadi pembicaraan yang ramai dari orang2 yang masih berkerumun disitu. Tiba2 bahu Cu Jiang ditepuk orang dari belakang. Ia terkejut dan cepat berpaling. Seorang paderi jubah kelabu berada di belakangnya dan tengah memandangnya dengan mata berkilat-kilat. Cu Jiang mengisar ke samping lalu cepat ber putar tubuh, "Cianpwe, apa yang cianpwe hendak katakan kepadaku?" Paderi tua jubah kelabu itu berkata dengan suara sarat: "Lekas ikut loni!" habis berkata paderi tua itu terus ayunkan langkah tinggal tempat itu. Cu Jiang meragu. Ia belum kenal dengan paderi tua itu dan belum tahu dari aliran mana. Mengapa paderi tua itu menyuruh dia mengikutinya " Apakah dia juga seorang anggauta Gedung Hitam " Teringat akan Gedung Hitam, seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Serentak ia menyusul. Paderi tua Itu tak mau berpaling untuk melihat apakah Cu Jiang mau menurut perintahnya atau tidak. Dia tetap berjalan cepat ke muka seolah percaya bahwa Cu Jiang tentu akan menyusulnya. Cu Jiang mengikuti pada jarak lima tombak dibelakang paderi tua itu. Paderi tua itu ternyata tak mau mengambil jalan besar melainkan menyusur jalan kecil dan gang. Tak lama tibalah mereka disebuah tempat sepi dekat tembok kota. Tiba2 paderi tua itu berpaling kearah Co Jiang lalu loncat keatas tembok dan melayang turun diluar tembok. Tempat itu merupakan bagian ujung kota Li-Jwan yang paling sepi. Paderi tua itu tetap lanjutkan berjalan menuju ke sebuah tempat yang lebih sepi. Cu Jiang terpaksa mengikutinya. Tak berapa lama mereka tiba disebuah hutan dan barulah paderi tua itu berhenti. Dengan hati2 Cu Jiang berhenti juga. Ia tetap menjaga jarak lima tombak dari paderi tua itu dan bersiap-siap. Memandang lekat kearah pemuda itu, paderi tua menganguk-angguk kepala dan berkata. "Benar2 seorang bahan yang sukar dicari keduanya !" Cu Jiang terkesiap. "Mohon tanya, siapa cianpwe ini?" serunya. "Loni adalah Go-leng-cu." "Tokoh kedua dari Bu-lim Sam-cu?" "Benar, pengetahuan sicu cukup luas !" sahut paderi tua itu. "Apakah maksud cianpwe memanggil aku kemari ?" Wajah Go-leng-cu mengerut serius, serunya. "Siau-sicu, engkau bernyali besar sekali." "Apa maksud cianpwe ?" Cu Jiang terkejut. "Tahukah sicu, apa artinya peristiwa berdarah di tanah lapang bekas kebakaran tadi?" Soal itulah yang menarik perhatian Cu Jiang. Dia memang hendak mengetahui peristiwa itu. Kecurigaannya terhadap paderi tua yang dikiranya anggauta Gedung Hitam tetapi ternyata salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam cu atau Tiga-serangkai-paderi yang memakai nama gelar Cu, kini mulai lenyap. Iapun teringat akan Thian-hian cu yang pada beberapa hari yang lalu telah menolong dirinya dari serangan Liokpoan-koan, tokoh Gedung Hitam yang menjabat sebagai Hu-hwat atau pelindung hukum dari gerombolan itu. Thian-hian cu adalah tokoh ketiga dari Bu-lim Sam-cu, sedang Go-leng cu yang berada dihadapannya saat itu adalah tokoh kedua. "Harap cianpwe suka memberi penjelasan." "Lelaki tua berpakaian hitam tadi adalah Kho Kun bergelar Bu-ceng-thay-swe atau Pangeran tak berperikemanusian. Keempat penunggang kuda tadi adalah pengikutnya yang di sebut Pengawal hitam." "Pengawal Hitam?" "Engkau belum pernah mendengar?" "Belum." "Pengawal Hitam merupakan pengawal berani mati dari Gedung Hitam. Kepandaian mereka rata2 hebat dan ganasnya bukan main..." "Ho, kiranya kaki tangan Gedung Hitam." seru Cu Jiang dengan mata melotot. "Ko Kun si Pangeran-ganas itu adalah seorang toathaubak (kepala) barisan Pengawal Hitam dari Gedung Hitam . . ." "Mengapa Pengawal Hitam tadi bunuh diri?" tanya Cu Jiang pula. "Karena tak dapat melakukan tugas!" "Tugas apa?" "Membunuhmu!" Cu Jiang serentak loncat ke muka paderi tua itu dan menegas: "Karena gagal membunuh aku?" "Benar," sahut Go-leng-cu, "peristiwa itu merupakan yang pertama kali di mana Amanat Maut dari Gedung Hitam telah menemui kegagalan!" "Karena tak dapat membunuh korbannya, Pengawal Hitam itu harus bunuh diri?" "Itu peraturan Gedung Hitam!" "Tahukah cianpwe siapa pemimpin Gedung Hitam?" "Ini . . . mungkin tiada seorang persilatan yang tahu." "Mengapa rumah makan itu terbakar?" "Api yang aneh." "Api ajaib?" Cu Jiang mengulang. "Benar, karena tak di ketahui siapa yang melepas api itu." Diam2 Cu Jiang menimang. Adakah karena hendak menolong dirinya maka wanita gemuk itu rela membakar rumah makannya sendiri" Jika benar begitu, ah betapa besar pengorbanan wanita gemuk itu terhadap dirinya. Padahal perkenalan mereka hanya sebagai langganan saja, mengapa wanita gemuk itu sampai rela berkorban sedemikian besar" "Cianpwe, mengapa cianpwe tahu hal itu?" akhirnya ia bertanya. Dari pembicaraan kawanan Pengawal Hitam, kutahu bahwa api itu bukan mereka yang melepas," sahut Go-lengcu. "Tahukah pula cianpwe, siapa saja yang mati dalam kebakaran itu?" "Entah, loni kurang jelas." "Mengapa cianpwe tahu akan keadaanku?" "Dari pembicaraan mereka yang menyebut tentang seorang pelajar baju putih, siapa lagi kalau bukan engkau?" Cu Jiang mengangguk. "Seluas seratus li di sekeliling daerah ini, penuh dengan anak buah Gedung Hitam yang sedang mencarimu. Engkau sungguh berani mati sekali karena berani mengunjuk diri . . . . " "Terima kasih atas petunjuk cianpwe." kata Cu Jiang. "Tak usah, itu jodoh namanya." Mendengar kata "jodoh" serentak teringatlah Cu-Jiang akan Thian hian-cu yang juga mengatakan hal itu kepadanya. Bu-lim Sam-cu merupakan tokoh sakti yang termasyhur pada masa itu. Banyak orang persilatan yang ingin bertemu muka dengan mereka tetapi gagal. Diam2 Cu Jiang merenung, apakah di balik kata jodoh" dari Go leng cu itu mengandung maksud tertentu kepadanya. "Benar, memang berjodoh," katanya. "Dari perguruan manakah sicu." tanya Go-leng-cu. "Didikan keluarga sendiri." "O, siapakah ayah sicu?" "Hal ini, maaf, aku tak dapat memberitahu kan." "Kalau memang tak leluasa, tidak apalah, tak usah engkau katakan. Karena sicu sudah mengakui tentang jodoh itu maka tentulah sicu akan menurutkan garis jodoh Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu." "Garis jodoh?" "Ya." "Harap cianpwe suka menjelaskan." Go-leng-cu berhenti sejenak lalu berkata dengan tandas: "Dengan memiliki seperangkat tulang yang begitu bagus, sicu kelak dapat menjadi jago nomor satu dalam dunia!" Mendengar itu tahulah Cu Jiang kemana arah ucapan paderi tua itu. Jelas paderi itu juga mempunyai maksud sama dengan Thian-hian-cu tempo hari. Maka tanpa ragu2 lagi, dia segera tersenyum: "Apakah di dunia ini terdapat jago nomor satu?" Dengan wajah bersungguh Go-leng-cu menjawab: "Sudah tentu ada. Dengan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi setiap orang dapat menjadi jago nomor satu. Tetapi apa yang di sebut nomor satu itu, hanyalah berlaku untuk satu masa yang tertentu, menunjukkan suatu perbuatan yang cemerlang untuk menundukkan sekalian jago2 silat." Mendengar penjelasan itu, diam-diam Cu Jiang tertawa. Walaupun penjelasan itu memang mempunyai landasan tetapi tampaknya seperti dipaksakan. Ayahnya sendiri bukankah juga jago nomor satu dalam dunia persilatan" Mengapa sekarang harus menyingkir dari musuh- musuhnya" Dengan begitu bukankah musuh-musuhnya itu lebih unggul dari jago nomor satu" Jika begitu tidakkah lebih pantas kalau musuhnya itulah jago yang nomor satu" Lalu masih pula pemimpin dari gedung Hitam itu. Tergolong nomor berapakah dia itu" Walaupun dalam hati berpikir begitu tetapi Cu Jing tetap berkata: "Ucapan cianpwe memang benar. " "Jika begitu bukankah sicu ingin menjadi jago nomor satu dalam dunia?" seru Go leng-cu. "Ah, aku tak berani mengharapkan hal semacam itu." "Bukan mengharapkan tetapi hanya tergantung sicu mau atau tidak." seru Go-lang-cu. "Maksud cianpwe. . ." "Sicu dapat berjumpa dengan loni, sudah suatu jodoh yang luar biasa," seru Go leng-cu pula. Diam2 Cu Jiang membatin: "Dalam kalangan Bu-lim Sam-cu, tokoh yang pertama Gong-gongcu paling tinggi kepandaiannya. Baik dalam ilmu sastera maupun silat dan lain2 pengetahuan, dia memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Sedang kedua tokoh yang lainnya belum tentu lebih unggul dan ayah Cu Jiang sendiri. Mampukah tokoh kedua Go-leng cu itu menggembleng seorang murid yang kelak akan menjadi calon jago nomor satu dalam dunia persilatan" Tetapi Go-leng-cu mempunyai maksud baik terhadap dirinya. Cu Jiang tak mau membuat dia kecewa. "Budi kebaikan cianpwe. kuterima dengan rasa terima kasih yang tak terhingga," akhirnya ia berkata. "Engkau . . . engkau tidak mau ?" seru Go-leng-cu. "Bukan tak mau melainkan tak dapat." "Mengapa ?" "Kaum persilatan menarik garis tajam antara perguruan yang satu dengan yang lain." sahut Cu Jiang. "Soal itu ?" kata Go-leng-cu, "loni tiada partai merk perguruan apa2 dan tak ada suatu ikatan sebagai guru dan murid." Ci Jiang sudah mengambil ketetapan. "Karena aku sudah mendapat pelajaran dari ayahku sendiri, aku tak berani melanggar peraturan maka dengan menyesal terpaksa tak dapat menerima budi kebaikan cianpwe." Wajah Go-leng cu segera menampilkan kerut kecewa. Ia memandang lekat2 pada Cu Jiang untuk beberapa saat, kemudian berkata: "Apakah sicu tak perlu mempertimbangkan lagi ?" "Maafkan kalau aku berlaku kurang hormat kepada cianpwe karena tak dapat menuruti perintah cianpwe !" "Tahukah sicu bahwa dunia persilatan bakal menghadapi kekacauan besar ?" tanya Go-leng cu. "Apakah cianpwe maksudkan... gerombolan-2 Gedung Hitam itu?" "Yang kuat akan bersimaharajalela!" "Maaf, aku tak mengerti maksud cianpwe." "Thian telah memberkahi diri sicu dengan seperangkat tulang yang bagus. Suatu bahan yang apabila ditempa tentu akan berguna sekali. Dunia persilatan di Tionggoan akan mengalami kehancuran. Maka harus ada suatu bibit baru yang tumbuh dan bersemi agar dapat membangun lagi sebuah dunia persilatan yang baru dan jaya lagi. Adakah sicu bersedia untuk berkorban demi kepentingan itu?" "Jika ada kesempatan, sudah tentu aku akan mengerahkan tenagaku," jawab Cu Jiang. "Mengapa sicu menolak maksudku?" "Mohon cianpwe suka memberi maaf kepadaku." Go leng-cu mengucap doa Omitohud, lalu berkata pula: "Umat Buddha memandang penting soal "jodoh" itu. Loni tetap akan menunggu saat tibanya jodoh itu dan untuk sementara akan pergi. Sebelum pergi, loni perlu memberi peringatan kepada sicu, sebaiknya sicu harus menyembunyikan jejak sicu agar jangan diketahui orang." Cu Jiang memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada paderi tua itu. Sejenak memandang pemuda itu lagi, Go-leng-cu segera ayunkan langkah. Setelah paderi tua itu lenyap dari pandang mata, barulah Cu Jiang melanjutkan langkah masuk ke hutan. Keluar dari hutan, dia berhadapan dengan deretan puncak gunung. Seketika wajah pemuda itu ber seri2. Ditempat belantara yang berkabut rimba hijau itulah tempat kediaman dari kedua orang tuanya. Kegembiraannya me luap2 laksana burung yang terbang pulang ke sarangnya. Bahkan untuk mencurahkan kegembiraannya, ia bersenandung. Sesaat kumandang senandung lenyap, sesosok bayangan melintas dan menghadang di hadapannya. Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah. Lebih terkejut lagi ketika melihat orang itu. Dari atas kepala sampai kaki, terbungkus dengan kain hitam. Mengenakan ikat kepala kain hitam, pakaian hitam, mantel hitam dan bahkan sepatunyapun hitam. "Pengawal Hitam !" teriak Cu Jiang seketika. Seketika meluaplah dendam kemarahan pemuda itu. Tangannyapun cepat meraba tangkai pedang. "Ho, budak, tiada seorang manusia yang mampu lolos dari Amanat Maut !" dengus Pengawal Hitam dengan nada seram. Tring, Cu Jiang mencabut pedang dan menjawab dengan geram. "Akan kubasmi kalian kawanan anjing2 ini !" Pengawal Hitam juga mencabut pedang dan berseru: "Budak, jangan ngoceh tak karuan. Sekarang beritahukan dulu asal usulmu agar dapat kuberi putusan !" "Jangan harap ." "Baik, engkau memilih bunuh diri atau perlu kubunuh ?" "Jangan menggongong seperti anjing gila!" "Akan ku belah tubuhmu . . . ." secepat kilat menyambar, sinar pedang segera mengancam ke tubuh Cu Jiang. Cu Jiang benci sekali kepada kawanan Gedung Hitam. Dengan menyeringai dia segera menangkis dengan pedangnya, Tring, tring, tiing .... denting menghambur, letik bunga api segera disusul dengan kedua sosok tubuh yang masing2 menyurut mundur. Pengawal Hitam sejenak memeriksa pedangnya. Ternyata batang pedangnya telah berhias tiga buah lubang. Wajahnya makin seram. "Bagus, budak, kiranya engkau hendak mengandalkan punya pedang pusaka !" Tetapi Cu Jiang tak mau menyahut melainkan taburkan pedangnya menyerang lagi. Keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Dalam beberapa kejap saja sudah sepuluh jurus lebih tetapi ternyata masih berimbang. Diam2 Cu Jiang terkejut. Hanya seorang Pengawal Hitam saja ternyata sudah sedemikian tinggi kepandaiannya. Tak heran kalau Gedung Hitam dapat menguasai dunia. Diam ia malu dalam hati karena teringat akan ucapannya hendak membasmi gerombolan Gedung Hitam. Kata2 itu tak lebih seperti orang bermimpi disiang hari. Tiba2 muncul pula dua orang Pengawal Hitam, Melihat itu diam2 Cu Jiang mengeluh. Serentak ia keluarkan ilmu permainan warisan keluarganya ... "Aihhh" terdengar sebuah pekik ngeri dan Pengawal Hitam itupun terhuyung mundur tiga langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Dadanya sebelah kiri berhias sebuah luka sepanjang sejari. Darah merah mengucur deras. Melihat itu, kedua Pengawal Hitam yang baru muncul itu sempat menyerang dari kanan dan kiri. Cu Jiang kembali menyambut dengan sebuah jurus istimewa. "Auhh .... " salah seorang Pengawal Hitam itu sempoyongan ke belakang sedang kawannya terlongonglongong. Cu Jiang sudah terlanjur mengumbar kemarahannya. Cepat ia menusuk Pengawal Hitam yang tercengangcengang itu. Tiing . . . ., Pengawal Hitam itupun terhuyung kebelakang sampai tiga langkah. "Serahkan jiwamu !" teriak Cu Jiang seraya menyerang dengan jurus istimewa lagi. "Auhhhh..." terdengar jerit teriakan ngeri berkumandang memecah kesunyian dan Pengawal Hitam itupun rubuh mandi darah dan putus jiwanya. Hawa pembunuh sudah berkobar dalam dada Cu Jiang. Segera ia membabat Pengawal Hitam yang masih duduk di tanah tadi. Dan seiring dengan jeritan ngeri, Pengawal Hitam itupun melayang jiwanya. Melihat itu Pengawal Hitam yang menderita luka ringan tadi segera berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi jurus yang dimainkan Cu Jiang itu telah menguras tenaganya. Dia masih muda dan belum memiliki dasar tenaga-dalam yang kokoh. Sehabis mengeluarkan jurus istimewa itu, tenaganyapun habis. Dengan menyanggahkan pedangnya ke tanah ia berdiri dengan napas terengah2. Dia tak mampu mengejar Pengawal Hitam yang melarikan diri itu. "Kembali !" terdengar sebuah teriakan nyaring terdengar dari samping Cu Jiang. Cu Jiang terkejut dan berpaling. Kejutnya bukan kepalang. Seorang Pengawal Hitam tua dengan dikawal empat orang Pengawal Hitam, entah kapan datang, tiba2 muncul ditempat itu. Pengawal Hitam tua itu bermulut runcing, mata menonjol dan wajah seram. Menilik pakaiannya dia tentulah golongan thau-bak dari Gedung Hitam. Pengawal Hitam yang melarikan diri tadi segera berhenti dan kembali menghampiri. Pengawal! Hitam tua itu sejenak memandang Cu Jiang, mulutnya segera menyeringai seram. Diam2 Cu Jiang terkejut. Ia merasa tenaganya yang telah habis itu belum dapat kembali lagi dengan cepat. Bagaimana mungkin menghadapi kelima Pengawal Hitam yang sakti itu. Jelas tak mungkin. Bahkan berhadapan dengan seorang saja, mungkin dia hanya dapat bertahan selama tiga jurus saja. Pengawal Hitam yang lari dan di panggil kembali tadi, dengan wajah pucat lesi menghadap Pengawal Hitam tua dan memberi hormat. "Hormat kepada Ong thaubak!" "Ya." "Budak itu memiliki kepandaian yang diluar dugaan kami sekalian. . ." "Tutup mulut !" bentak lelaki tua yang di panggil Ong thau bak itu," tahu engkau melanggar pasal berapa dari peraturan markas kita?" "Hamba berdosa, mohon thaubak . . . . " "Bilang, pasal ke berapa?" bentak kepala Pengawal Hitam itu. Bluk, anggauta Pengawal Hitam itu segera menekuk lutut di hadapan Ong thaubak dan berkata dengan tersendat-sendat: "Pasal ke ... . lima!" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apa bunyi pasal kelima itu?" Dahi Pengawal Hitam itu mulai mengucurkan keringat sebesar kedelai, kemudian ia menunduk dan berkata dengan nada gemetar: "Mohon thaubak . . ." "Engkau menghendaki aku supaya melindungi engkau?" tegas thaubak yang bermulut lancip itu. "Ah, hamba tak berani." "Sebutkan bunyi pasal itu!" "Takut kepada musuh . . . dan melarikan diri ... . mati!" "Bagus, engkau sudah menentukan pilihan?" "Thaubak . . . ." Thaubak itu berpaling kepada Pengawal Hitam yang berada di sampingnya. Dan Pengawal Hitam itu terus loncat ke muka, menusuk punggung Pengawal Hitam yang berlutut tadi. "Auhhhh!" Pengawal Hitam itu menjerit rubuh tak bernyawa. Pengawal Hitam yang melaksanakan hukuman itu, mengusapkan pedangnya yang berlumur darah ke tubuh korbannya lalu kembali ke tempat semula, seolah tak terjadi apa2. Menyaksikan peristiwa itu kepala Cu Jiang berdenyut keras. Sudah dua kali ia melihat kekejaman gerombolan Gedung Hitam yang tak punya perikemanusian. Jika terhadap kawan sendiri begitu kejam, apalagi terhadap lain orang. Thaubak bermulut lancip itu memberi isyarat: "Di sini sudah beres, bawa mayat itu pulang!" Keempat Pengawal Hitam mengiakan. Mereka segera membawa mayat kawannya pergi. Diam2 Cu Jiang heran. Mengapa si mulut lancip mengatakan disitu sudah beres" Apa maksudnya" Setelah pengiringnya pergi barulah thaubak atau kepala kelompok Pengawal Hitam beralih pandang ke arah Cu Jiang. "Cu sauhiap, sungguh beruntung kita dapat bertemu, " tiba2 thaubak itu memberi hormat dan berseru. Sudah tentu Cu Jiang seperti dipagut ular kejutnya. Bagaimana dia tahu kalau dirinya orang she Cu. Sampai beberapa jenak ia tertegun dan tak dapat menjawab. Thaubak itu tertawa gelak2, serunya: "Aku Ong Tiong Ki, menjabat thaubak dari Gedung Hitam. Adakah ayah dan mamah sauhiap baik2 saja?" Cu Jiang makin terbeliak. "Aku bukan orang she Cu," akhirnya ia mendapat pikiran untuk menyangkal. Sekali lagi Ong Tiong Ki itu tertawa gelak2. "Ah, mengapa siauhiap tak mau mengaku?" "Berdasar apa anda mengatakan begitu?" balas Cu Jiang. "Secara beruntun sauhiap telah membunuh tiga anggauta Pengawal Hitam. Dan yang sauhiap gunakan itu adalah ilmu pedang It-kiam-tui-hun, bukan?" It-kiam-tui-hun artinya Pedang-pemburu nyawa. Mendengar itu seketika berobahlah muka Cu Jiang. Namun ia berusaha untuk menenangkan diri. "Ilmu silat dalam dunia itu beraneka ragam tetapi tetap tak meninggalkan sumbernya. Hampir mirip dan terdapat banyak bagian2 yang sama.. ." Kembali Ong Tiong Ki tertawa geli. "Siauhiap, ilmu pedang It-kiam-tui-hun itu sudah diketahui oleh setiap orang persilatan bahwa penciptanya adalah Dewa-pedang Cu Beng Ko, jago nomor satu dalam dunia persilatan.. Dan di ketahui orang pula bahwa Dewapedang Cu Beng Ko itu tak pernah mempunyai murid. Itulah sebabnya dengan mudah aku segera dapat mengenali diri sauhiap!" "Ah, mungkin anda salah duga," Cu Jiang. "Dunia akan geli apabila si Mata-jeli Ong Tiong Ki ini sampai salah lihat!" Saat itu Cu Jiang rasakan tenaganya sudah agak pulih. Apabila ia dapat mengulur waktu, tentulah ia akan lebih kembali lagi tenaganya. Untung lawan sudah menyuruh pergi pengiringnya. Maka ia segera tertawa datar. "Dugaan anda seolah hampir mendekati tetapi kenyataannya masih jauh sekali," serunya. "Sikap dan wajah sauhiap menyerupai Dewa pedang Cu Beng Ko, lalu apa kata sauhiap lagi?" "Baru kali ini aku mendengar orang berkata begitu!" sahut Cu Jiang. "Cu sauhiap..." "Apakah anda tetap memastikan aku ini orang she Cu?" tukas Cu Jiang. "Rasanya takkan salah," seru Ong Tiong Ki, "dalam hidupku aku sangat mengagumi Dewa-pedang Cu Beng Ko, sayang karena tiada rejeki, aku tak berjodoh untuk bertemu muka. Tetapi rupanya keinginanku dikabulkan juga oleh Thian karena saat ini aku dapat berjumpa dengan Cu siauhiap. Maukah Cu siauhiap membawa aku menghadap ayah sauhiap?" Cu Jiang menyadari bahwa karena menghindari musuh maka ayahnya sampai beberapa kati pindah tempat. Tak mungkin ia terpikat oleh Ong Tiong Ki yang belum dikenalnya. Ia gelengkan kepala: "Anda salah faham. Tak tahu aku bagaimana harus memberi penjelasan kepada anda." Tampaknya Ong Tiong Ki masih bersikap sabar. Dengan lemah lembut ia berkata pula: "Apakah karena aku menjadi anggauta Gedung Hitam maka sauhiap menolak membawa aku kepada ayah sauhiap?" "Anda benar2 salah faham. Aku bukan putera dan Dewa-pedang!" cepat Cu Jiang menukas. "Lalu dari mana asal usul sauhiap ini?" "Soal itu maaf, aku tak dapat memberi tahu." Tiba2 wajah Ong Tiang Ki mengerut gelap. "Orang she Cu, aku Ong Tiong Ki, bukan orang yang mudah dipermainkan!" serunya dengan bengis. Diam2 Cu Jiang geli karena akhirnya orang itu tak dapat menahan diri dan menampakkan dirinya yang asli. Diam2 Cu Jiang telah mengerahkan tenaga dan dapatkan bahwa tenaganya sudah sembilan bagian pulih. Kegagahannyapun timbul lagi. "Anda bicara menurut seenak lidah anda sendiri saja." serunya. Wajah suara dari Ong Tiong Ki makin seram. "Bagus. budak. engkau benar2 tak tahu diri:" Sambil cebirkan bibir, Cu Jiang menyahut: "Kenal diripun tak perlu memberitahu kepadamu!" "Budak, engkau benar2 tak tahu diri. Berani melindungi dara cantik yang hendak ditangkap perhimpunan Gedung Hitam. Kemudian berani menentang Amanat-maut dan sekarang engkau berani membunuh tiga orang Pengawal Hitam. Tahukah engkau bagaimana engkau harus mati?" Cu Jiang deliki mata. serunya: "Menurut anda, bagaimana aku harus mati?" "Tulang belulang di cacah2 dan dagingmu dijadikan makanan anjing." "Kentut!" "Lihat sajalah!" Tring, si Mata-jeli Ong Tiong Ki terus mencabut pedang. seketika suasana penuh diliputi hawa pembunuhan. Diam2 Cu Jiang telah menghimpun seluruh tenaganya ke arah pedang. Dia mengharap dengan jurus istimewa akan dapat menundukkan lawan. Sepasang mata Ong Tiong Ki yang menonjol, tampak memancarkan sinar yang tajam. Kemudian pedangnya pelahan lahan di angkat ke atas. Dengan pembukaan itu jelas dia telah memandang Cu Jiang seperti seorang lawan yang tangguh. Tak berani ia meremehkan anak muda itu. Cu Jiang juga tampak serius sekali. Ia menyadari bahwa kalau tak mampu menundukkan lawan dengan ilmu pedang simpanannya, akibatnya tentu runyam sekali. Terdengar kedua orang itu serempak memekik keras, dan sesaat kemudian di susul oleh dering senjata beradu. Cepat sekali serangan itu berlangsung dan pada lain saat keduanyapun segera mundur dua langkah ke belakang. Terdengar napas mereka memburu keras. Bahu sebelah kiri dari si Mata jeli Ong Tiong Ki berlumuran darah merah. Tetapi lukanya hanya bagian luar saja. Cu Jiang terkejut sekali. Jurus yang dilancarkan itu, merupakan jurus terhebat dari ilmu pedang It-kiam-tuihong. Tetapi ternyata hanya mampu membuat musuh terluka ringan saja. Ong Tiong Ki tertawa menyeringai. "Hai, budak, engkau benar2 berisi. Sayang belum sempurna. Jika serangan tadi dimainkan oleh Dewa-pedang Cu Beng Ko, saat ini aku pasti sudah jadi mayat !" Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Cu Jiang memang belum dapat mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu pedang ajaran ayahnya itu. Sudah tentu kesaktian dari ilmu pedang itu jauh berkurang sekali perbawanya. Cu Jiang diam2 bingung. Ia merasa tenaga-dalamnya mulai berkurang lagi. Memang tampaknya ia masih tetap tenang2 saja agar lawan jangan mengetahui kelemahannya. Saat itu Ong Tiong Ki mulai maju lagi. Setelah jaraknya cukup untuk menyerang, segera ia menggembor keras dan mulai menyerang lebih dulu. Dengan mengertek gigi, Cu Jiang kerahkan sisa tenaganya. Ia tetap menggunakan ilmu pedang It kiam-tuihun untuk bertahan dan menyerang. "Huh . . ." terdengar desah tertahan dan tubuh Cu Jiang sempoyongan ke belakang, pedangnya hampir terlepas. Ong Tiong Ki tertawa mengejek. "Budak, kiranya kepandaianmu hanya begitu saja!" serunya. Lalu menyerang lagi. Cu Jiang sudah tak mempunyai tenaga untuk menangkis lagi. Ia mengisar langkah kesamping untuk menghindar. Tetapi setelah serangannya itu luput, Ong Tiong Ki tetap mengejarnya dan menghujani lagi serangan yang lebih gencar. "Auh !" terdengar desuh mengerikan. Cu Jiang menderita tiga buah luka. Bahu kiri, dan dada kiri kanan. Pakaiannya yang putih segera berlumuran darah merah. Ong Tiong Ki maju selangkah dan lekatkan ujung pedang pada dada Cu Jiang. Dengan gembira ia tertawa mengekeh. "Ho, budak, sekarang bukankah engkau melihat buktinya?" Cu Jiang meraung seperti singa terluka: "Ksatria rela dibunuh daripada dihina. Hayo bunuhlah !" "Ah, tidak seenak itu." "Apa maksudmu ?" "Sebelum tahu siapa dirimu, memang engkau tentu kubunuh. Tetapi setelah tahu engkau ini putera dari Dewapedang Cu Beng Ko, maka lain lagi urusannya." "Maksudmu ?" "Sudah tujuh delapan tahun Cu Beng Ko menyembunyikan diri. kali ini dia mau tak mau harus keluar !" Cu Jiang meraung lalu muntah darah. "Budak, ayo jalan!" bentak Ong Tiong Ki. "Tidak bisa," suruh Cu Jiang pelahan. "Jangan engkau membawa kemauanmu sendiri !" "Kalau mau bunuh, bunuhlah . . . ." "Sekarang belum dapat membunuhmu. Pohcu (pemimpin) kami tentu akan gembira sekali menyambut kedatanganmu !" Cu Jiang terkejut. Adakah musuh yang dihindari ayahnya itu ternyata pemimpin Gedung Hitam " "Siapa poh-cu kalian itu?" tanyanya. "Engkau tak pantas bertanya begitu !" "Kalau aku masih dapat hidup, hinaanmu saat ini, kelak tentu akan kubalas!" "Hahaha," Ong Tiong Ki mengekeh," budak, rupanya engkau bermimpi." Tiba2 mengangkat tangan dan melentikkan jarinya. Dia gunakan ilmu menutuk dari jarak jauh dan tepat mengenai jalan darah Jien-ma-hiat (pelemas) pada tubuh Cu Jiang. Anak muda itu serentak rubuh. Ong Tiong Ki menyarungkan pedangnya lagi lalu berseru. "Budak, mari kita jalan !" ia terus mencengkeram tubuh Cu Jiang. Cu Jiang masih dapat mendengar dan melihat tetapi tak dapat berkutik. Ia hanya deliki mata memandang Ong Tiong Ki tetapi tak dapat berbuat apa2. Betapa kemarahan dan penderitaan hatinya saat itu, benar2 sukar dilukiskan. Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara kuda meringkik. Ong Tiong Ki pasang telinga lalu menggeram marah: "Hm, setan mana yang berani mengganggu kudaku itu !" Ia terus lepaskan tubuh Cu Jiang dan lari menuju kearah Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo suara itu. Baru saja orang itu pergi, Cu Jiang segera mencium bau yang harum dan tahu2 ia rasakan tubuhnya diangkat orang lalu dibawa lari masuk ke dalam hutan. Saat itu tubuh Cu Jiang masih lemas. Dia tak dapat berkutik sama sekali. Ia tahu bahwa yang menolong dirinya itu tentu seorang gadis tetapi ia tak berdaya untuk melihat wajah penolongnya itu. Beberapa kejap kemudian, mereka sudah terpisah beberapa li dari tempat tadi. Hutan itu sebuah hutan belantara yang lebat sekali sehingga tak tertembus sinar matahari. Cu Jiang diletakkan diatas sebuah tumpukan daun kering yang lembut dan sesaat kemudian terdengar suara seorang wanita berseru: "Siau Hui, bukalah jalan darahnya yang tertutuk itu !" Terdengar seorang gadis yang berada dekat di sampingnya berseru: "Nona, mengapa engkau melakukan hal Ini ?" "Entah, aku sendiri juga tak tahu." sahut suara yang merdu. "Apabila hal ini sampai tersiar..." "Hanya aku dan engkau yang tahu, siapa yang akan membocorkan lagi?" "Tetapi . . ." "Sudahlah, jangan membantah, lekas engkau bebaskan jalan darahnya." "Baiklah." Setiap angin membentur tubuh Cu Jiang dan seketika itu dia rasakan tubuhnya ringan sekali menggeliat ia terus melenting bangun. Ternyata dihadapannya terdapat seorang dara baju hijau, usianya di antara enam belas tahun. Dara itu tengah tersenyum kepadanya. Cu Jiang buru2 memberi hormat: "Terima kasih atas pertolongan nona." Dara itu tertawa mengikik. "Namaku Siau Hui, jangan berterima kasih kepadaku, tetapi berterima kasihlah kepada nonaku." katanya seraya menunjuk ke samping. Menurutkan arah yang ditunjuk dara itu, Cu Jiang berputar tubuh dan ah ia terlongong-longong seperti patung. Tiga tombak jauhnya, tampak seorang gadis yang dandanannya seperti seorang puteri keraton dan cantiknya laksana bidadari turun dari kahyangan. Tubuhnya yang langsing ramping bagaikan setangkai bunga melati yang dihempus angin membuai. Puteri jelita itu tengah mengulum senyum yang mengikat jiwa. Kecantikan puteri jelita itu tak dibawah jelita Ho Kiong Hwa yang dijumpainya beberapa hari yang lalu itu. Jika terdapat perbedaan maka letaknya hanyalah sikap dan cahaya muka kedua jelita itu. Ho Kiong Hwa memiliki sifat yang lemah lembut seperti sifat kewanitaan. Tetapi jelita yang berada di di hadapan itu, memiliki sifat kekerasan macam sikap seorang pendekar wanita. Si cantik itu juga gemetar hatinya ketika beradu pandang dengan Cu Jiang. Senyumnyapun pelahan2 lenyap, berganti dengan pipinya yang bertebar merah. Sikap si jelita itu benar2 membuat hati Cu Jiang berdebar keras dan semangatnya melayang. Keduanya seperti terpukau. Tak sepatahpun keluar dari mulut masing2. Beberapa jenak kemudian Cu Jiang cepat tersadar. Ia menyadari bahwa sikapnya itu kurang sopan. Segera ia membungkuk tubuh dan berseru: "Terima kasih atas pertolongan nona." Wajah si cantik itu tersipu merah. "Ah, tak usah siangkong mengatakan begitu. Siapakah siangkong ini?" "Namaku Cu Jiang." "Dari perguruan manakah Cu siangkong ini?" "Ini . . . mohon nona suka maafkan..." "Kalau siangkong tak leluasa mengatakan, tak perlulah siangkong memaksa diri." "Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari nona?" "Aku Ki Ing." "Ki Ing?" Cu Jiang mengulang. Ia tahu nona cantik itu hanya mengatakan nama dan tidak menyebut shenya. "Hm." "Lalu bagaimana aku harus memanggil nona?" "Panggil namaku saja." "Apakah itu pantas , . ." "Sudahlah, tak perlu memikirkan pantas atau tak pantas." "Bagaimana kalau kupanggil nona Ki?" "Baik." Tentulah ada sebabnya mengapa si cantik itu tak mau mengatakan shenya. Dan Cu Jiang pun tak mau mendesak. Demikian pula tentang asal usul si cantik itu, dia tak mau bertanya dengan melilit. Karena dia merasa, dia sendiri juga sedang merahasiakan dirinya. "Bagaimana nona dapat datang ke dalam hutan belantara sini dan menolong . . ." "Anggap saja secara kebetulan." Cu Jiang tahu bahwa tadi dirinya telah di bawa oleh dara baju hijau yang bernama Siau Hui itu. Seorang dara tampaknya begitu lemah tetapi ternyata mampu mengangkut tubuh Cu Jiang berlari sampai beberapa li jauhnya, bukankah suatu peristiwa yang luar biasa" Jelas dara itu tentu bukan dara sembarangan. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada puteri cantik yang menyebut dirinya bernama Ki Ing. Jika bujangnya memiliki kepandaian begitu hebat, tidakkah nona majikannya akan lebih hebat lagi" Merenungkan nona dan bujangnya begitu hebat kepandaiannya. diam2 Cu Jiang malu dalam hati. Kini baru ia menyadari betapa kecil dan rendah kepandaian yang dimilikinya. Dunia ini benar2 penuh dengan manusia2 yang berkepandaian tinggi, ia menganggap dirinya seperti "katak dalam tempurung", menganggap kalau kepandaiannya sudah hebat tetapi ternyata di luar, masih banyak orang2 yang jauh lebih sakti kepandaiannya. "Nona, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini." kata Siau Hui. Puteri cantik itu mengangguk. Sepasang bola matanya yang bersinar terang bagai bintang kejora, sejenak mengeliar pandang ke wajah Cu Jiang. "Betulkah karena melindungi seorang nona jelita, Cu siangkong terlibat permusuhan dengan orang2 Gedung Hitam" " tanya si cantik. Cu Jiang terkejut sekali. Mengapa puteri cantik itu tahu peristiwa yang lalu. "Benar." ia mengiakan. "Karena hal itu selanjutnya dalam dunia persilatan Cu siangkong tentu bakal menghadapi bermacam-macam kesulitan!" kata puteri cantik itu pula. "Benar. Tetapi aku bersumpah takkan mundur." "Aku hendak memberikan sebuah benda kepada Cu siangkong." Mendengar itu bujang Siau Hui hendak membuka mulut tetapi tak jadi bicara. "Nona Ki hendak memberi aku sebuah benda?" tiba2 Cu Jiang tergerak hatinya. "Hm, hanya sebuah mainan anak2, sebagai tanda perkenalan kita saat ini!" puteri cantik itu terus Sengketa Tiga Potong Peta 2 Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi Wanita Gagah Perkasa 1