Pusaka Negeri Tayli 12
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 12 sampai sekarang masih hidup. Apakah yang melukai Ang Nio Cu juga dia ?" "Ya. pemilik Gedung Hitam itu adalah murid pewarisnya!" "Hei." teriak Ciok Yau Je, "jika benar begitu, engkau telah berhasil menyingkap sebuah rahasia besar yang selama ini tak diketahui dunia persilatan ..." "Lo koko, aku hendak pergi ke lembah Ki lin-koh lagi !" "Mau apa ?" "Mencari Tio Hong Hui dan menyelesaikan urusan Tionggoan- thayhiap." "Baik, aku akan menemanimu." "Berapa jauhnya dari sini ?" "Lebih kurang setengah jam." Keduanya segera lari menuruni gunung. Karena kain kerudungnya hilang maka saat itu Cu Jiang menampakkan wajahnya yang aseli. Selama dalam perjalanan dia tetap memikirkan tentang diri gadis Ki Ing yang ternyata begitu kemati-matian mencintainya. Kini setelah dapat menemukan bagai mana asal usul nona itu maka pandangannya terhadap nona itupun berobah. Tetapi justeru karena hal itu maka diapun kehilangan faham. Asmara, benar2 merupakan sesuatu yang menggelisahkan hati manusia. Ksatrya yang gagah dan berani dapat menabas putus leher musuh, membunuh semua lawan. Tetapi berapakah jumlah ksatrya gagah yang mampu memutuskan libatan asmara, mampu membunuh asmara hatinya" Jika ia nanti akan menyingkap asal usul diri nona itu, lalu bagaimana reaksi Ki Ing" Bagaimana reaksi nona itu apabila tahu bahwa ayahnya telah memberi tugas kepadanya (Cu Jiang) untuk membunuh ibu nona itu" Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di mulut gua. Rupanya Cu Jiang sudah tak sabar lagi. Ia terus menerjang masuk seraya berteriak: "Lo koko, mari kita masuk!" "Baik, tetapi harus hati-hati!" Tiba ditempat Cu Jiang melakukan pertempuran kemarin, ternyata mayat manusia aneh dan Sam Bok thiancun sudah tak kelihatan lagi. Hanya ceceran darah dan dua gunduk makam baru. Cu Jiang menjemput kain kerudung tetapi kedok sudah tak dapat dipakai lagi. "Lo koko. kedoknya sudah rusak." "Lempar saja, aku masih punya." "Kurasa tak perlu lagi. Wajahku sudah terbuka dan musuhpun sudah kelihatan." "Baik, kalau mau pakai, bilang. Lalu bagaimana kita sekarang?" "Masuk kedalam lembah." "Ayo!" Dangau gunakan ilmu meringankan tubuh keduanya berlincahan melintasi gunduk2 batu dan tiba didasar lembah. Tetapi yang ada hanya puing2 batu. Tio Hong Hui tentu sudah menghancurkan markasnya. Cu Jiang kecewa. Untuk mencari Tio Hong Hui bukan hal yang gampang. "Menghancurkan markas dan mengubur kedua orang itu tentu makan waktu setengah malam. Dengan begitu Tio Hong Hui dan puterinya tentu belum lama meninggalkan lembah ini. Mereka tentu menuju ke Gedung Hitam. Jika kita kejar, kemungkinan dapat menyusul mereka," kata Ciok Yau Je. Cu Jiang mengiakan. Keduanya segera meninggalkan lembah itu. Setelah keluar dari daerah gunung, Cu Jiang mengusulkan supaya mereka berpencar. "Kita nanti bertemu di kuil tua diluar kota Keng-ciu itu, " katanya. Ciok Yau Je setuju. Selama menempuh perjalanan Cu Jiang tak mau mengenakan kerudung muka. Kecuali beberapa pentolan Gedung Hitam, anak buah mereka jarang yang kenal akan wajahnya. Dua hari dua malam terus menempuh perjalanan tetapi dia tak melihat jejak wanita itu. Cu Jiang makin penasaran. Kecuali tidak mengambil jalan yang sama, tentulah wanita itu akan tersusul. Hari kedua diwaktu petang, Cu Jiang tiba di sebuah kota kecil Bian yang. Dia memutuskan untuk bermalam. Setelah masuk kedalam kota dia memilih rumah penginapan Lu-an. Dia minta kamar di loteng agar dapat melihat setiap pejalan yang lalu di jalan situ. Tiba2 ia melihat sebuah tandu bercat biru yang keluar dari pintu rumah penginapan. Cu Jiang terkejut dan buru2 turun loteng, mencari jongos: "Siapakah yang naik tandu itu?" "Seorang wanita dengan anak perempuannya. Anaknya cantik sekali dan mamanya . . ." "Uang kamarku!" cepat Cu Jiang susupkan sekeping perak ke tangan jongos, lalu melangkah keluar. Jongos terkejut dan lari menyusul: " Tuan, terlalu banyak ini!" "Kelebihannya, buat engkau!" tanpa berpaling Cu Jiang lanjutkan langkah. Tiba2 disebuah jalan dilihatnya tandu itu berjalan pelahan-lahan. Di jalan besar tak leluasa untuk turun tangan maka diapun terus mengikuti dari kejauhan. Lebih kurang satu Ii jauhnya, pejalan mulai berkurang tetapi pada Saat itu Cu Jiangpun melihat bahwa disebelah muka tampak seorang tua berjubah hitam yang berjalan mengikuti di belakang tandu. Cu Jiang segera cepatkan langkah dan ketika hampir dekat, orang tua jubah hitam itu tiba2 berpaling. Melihat wajah orang tua itu makin yakinlah Cu Jiang bahwa yang berada dalam tandu itu tentu Tio Hong Hui dan Ki Ing. Orang tua jubah hitam itu tak lain adalah Ki Gui Kah, kepala busu dari Gedung Hitam. Jelas dia sedang mengawal keamanan nyonya majikannya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Ki Gui Kah, Cu Jiang lambatkan langkah lagi dan terpisah agak jauh. Jika turun tangan ia harus membasmi Ki Gui Kah dulu. Tak berapa lama tandupun tiba diluar kota yang sepi. Orang di jalanpun jarang2. Cu Jiang anggap sudah waktunya untuk bergerak. Lebih dulu ia mengenakan kain cadar menutup mukanya lalu menyelinap kedalam hutan. Setelah berputar-putar mengitari jalan, dia terus loncat keluar menghadang Ki Gui Kah: "Berhenti!" bentaknya. Ki Gui Kah berhenti. Mengamati penghadang itu, wajahnya berobah seketika. "Apakah engkau Toan-kiam-jan-jin ?" serunya. "Benar." "Mau apa?" "Minta nyawamu!" Ki Gui Kah menggigil lalu menyurut mundur tiga langkah dan mencabut pedang. Cu Jiangpun mencabut pedang dan menggembor: "Hai..." Tetapi pada saat itu juga. Ki Gui Kapun taburkan pedangnya sehingga Cu Jiang gelagapan dan terpaksa memutar pedangnya. Dan tepat pada saat Cu Jiang sibuk menangkis, Ki Gui Kapun terus loncat menyusup kedalam hutan. "Hai, mau lari kemana engkau!" Cu Jiang cepat mengejar tetapi Ki Gui Kah sudah lenyap bayangannya. "Hm, menurut peraturan Gedung Hitam, bukankah tokoh yang mempunyai kedudukan akan mendapat hukuman berat apabila takut berhadapan dengan musuh." pikirnya. Tetapi serentak ia terbeliak karena teringat akan tujuannya. Apabila Tio Hong Hui sampai lolos, bukankah akan sia2 saja jerih payahnya itu" Cepat ia menerobos keluar dari hutan dan dilihatnya tandu itu masih benda pada jarak berpuluh tombak. Segera mengejar dan menghadang: "Jangan bergerak!" bentaknya. Keempat lelaki yang memikul tandu serentak meletakkan tandu dan terus lari ketakutan. Cu Jiang tak menghiraukan mereka. Menghampiri ke muka pintu tandu dia memberi perintah supaya penumpangnya keluar. "Siapa?" terdengar lengking suara seorang wanita. Dan sesaat kain tenda tersingkap maka sesosok tubuh gemuk segera melesat keluar. Cu Jiang terlongong-longong tak dapat berkata apa2. Sementara menyusul lagi sesosok tubuh yang langsingpun keluar dari tandu itu. Kali ini Cu Jiang benar2 seperti terbang semangatnya sehingga dia mundur tiga langkah matanya dipentang lebar dan tubuh gemetar. Sampai lama baru dia dapat membuka mulut : "Toanio, kiongcu, kalian..." Yang muncul dari tandu itu bukan Tio Hong Hui dan puterinya tetapi si wanita gemuk dan puteri raja Tayli. Bahwa wanita gemuk itu kembali ke Tionggoan itu masih dapat dimengerti tetapi bahwasanya kiongcu dari Tayli itu juga ikut, Cu Jiang benar2 seperti bermimpi. Puteri itupun terkejut memandang Cu Jiang, serunya dengan nada gemetar: "Apakah engkau Cu sausu?" "Benar." Dengan wajah sedih, wanita gemuk itu bertanya rawan: "Nak. engkau tahu aku ini siapa?" "Bibiku." "Oh, engkau sudah tahu." "Toa-suheng Ho Bun Cai yang memberitahukan hal itu kepadaku." "Apakah dia masih menjabat congkoan di Gedung Hitam?" "Dia telah tertimpa kemalangan." "Apa katamu?" wanita gemuk membelalak. "Toa-suheng sudah . . ." "Hai, mengapa terjadi begitu?" "Pada saat menutup mata, toa-suheng mengatakan kalau dia dicelakai Bulim-seng-hud Sebun Ong!" "O, Tuhan!" wanita gemuk mengeluh. Air matanya bercucuran deras. Puteri tak mengerti apa pembicaraan mereka. Dia hanya melihat saja kedua orang itu. Beberapa pejalan yang lalu di tempat itu terpaksa mengitari jalan karena tengah-2 jalan dipenuhi oleh tandu. "Bibi, di sini kita mengganggu jalan, lebih baik kita bicara di dalam hutan," bilik Cu Jiang. Wanita gemuk mengangguk. Setelah mengambil barang bekal dari dalam tandu, ia memimpin tangan kongcu berjalan ke arah hutan. Cu Jiang mengikuti dari belakang. Mereka memilih beristirahat di sebuah tempat yang bersih dalam hutan itu. Puteri kerutkan dahi dan berkata: "Sausu, kitakan orang sendiri. Buka saja kerudung mukamu." Cu Jiang mengangguk dan terus melepaskan kain cadar yang menutup mukanya. "Hai ....!" tiba2 puteri menjerit kaget. Cu Jiang tahu apa yang dikejutkan puteri. Sambil tersenyum ia memberi keterangan: "Karena beruntung bertemu dengan tabib sakti, wajahku dapat dipulihkan seperti semula." "Apakah wajah yang sudah rusak dapat di pulihkan kembali?" puteri setengah tak percaya. "Dapat, " sahut Cu Jiang, "tetapi itu tergantung dari rejeki luar biasa." "Ih, ternyata di dunia terdapat ilmu pengobatan yang dapat merobah ketentuan alam ..." "Tetapi dewasa ini, di dunia kiranya hanya ada seorang saja yang mempunyai ilmu kepandaian seperti itu. " "Siapa namanya?" "Kui-jiu Sin-jin." "Enak benar kedengarannya nama itu tetapi aku asing sama sekali dengan tokoh2 Tionggoan .... sausu, engkau benar2 seorang pria yang tampan !" seru puteri. Walaupun puteri raja tetapi kerajaan Tayli terletak didaerah selatan yang terpencil. Kebudayaan dan alam kehidupan di kerajaan itu masih serba bersahaja sehingga perangai puteri Itupun lugu, Apa yang dikandung dalam hati terus di utarakan di mulut. Cu Jiang tersipu-sipu merah mukanya. "Nak, coba engkau ceritakan bagaimana toa suhengmu sampai dicelakai orang ?" si nyonya gemuk berseru dengan nada rawan. "Dibunuh Bu-lim-seng-hud Sebun Ong." "Mengapa Sebun Ong membunuhnya " Bukankah diantara mereka berdua tiada dendam permusuhan suatu apa ?" "Juga terhadap tit ji, diapun berulang kali hendak mencelakai," kata Cu Jiang. Tit-Ji berarti anak keponakan, digunakan Cu Jiang untuk menyebut dirinya kepada khuma atau bibinya. "Kenapa ?" "Entah, hanya dia yang tahu." "Ah, tak nyana pertemuanku dengan toa-suhengmu di kota pegunungan itu merupakan yang terakhir kali," nyonya gemuk atau Poan toanio menghela napas. Hidung Cu Jiang mengembang air. Dengan mengertak Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gigi dia bergumam: "Sebun Ong harus membayar hasil perbuatannya !" "Bagaimana dengan semua musuh2 keluargamu ?" tanya Poan toanio. "Ya, memang tit-ji justeru hendak minta petunjuk bibi. Sesungguhnya permusuhan apakah yang telah terjalin antara ayah dengan ketua Gedung Hitam itu ?" Cu Jiang balas bertanya. "Pada hakekatnya perkataan pada dalih "pohon tinggi tentu menderita angin besar, nama besar tentu terancam bahaya . .." "Tetapi bukankah ayah sudah menyingkir mengasingkan diri ?" "Ya. memang dia sepertinya hendak menyingkiri permusuhan." "Lalu mengapa sampai terjadi permusuhan itu." "Lawan telah mengeluarkan Si-pay (Amanat maut), dalam pertempuran, ayahmu telah menghancurkan dua belas jago2 ko-Jiu musuh dan melukai ketua Gedung Hitam. Setelah Itu musuh lalu mengundang Sam Bok thiancun." "Hm, Sam Bok thiancun ?" Cu Jiang terkejut. "Ya. Apa engkau pernah mendengar nama orang itu?" "Harap bibi suka melanjutkan lagi." "Ayahmu bukan tandingan Sam Bok thiancun. Dalam pertempuran sengit hampir saja ayahmu tak dapat meloloskan diri. Sejak itu dia merasa malu karena mengecewakan harapan kaum persilatan yang telah menyebutnya dengan gelar Kiam-seng (Dewa pedang). Dan menjaga kemungkinan musuh akan melakukan pembunuhan habis-habisan maka ayahmu lalu berusaha untuk menyembunyikan diri atau menyingkir dari kejaran musuh !" "Tetapi musuh tatap tak mau melepaskannya?" "Dendam itu harus dibalas !" seru Poan toa-nio. "Apakah bibi tahu akan riwayat ketua Gedung Hitam ?" "Tidak tahu. Dia adalah benggolan durjana pada masa itu. Sekalipun menyelundup menjadi congkoan di Gedung Hitam sampai bertahun-tahun, tetapi toa-suhengmu tetap tak pernah dapat melihat wajahnya yang aseli dan asal usul dirinya. Toa-suhengmu tak percaya kalau orang mampu merahasiakan diri selama-lamanya. Pada suatu hari dia pasti dapat mengetahuinya!" "Yang jelas, iblis itu adalah anak murid pewaris dari Sam Bok thiancun!" kata Cu Jiang. "Bagaimana engkau tahu ?" Poan toanio kaget. "Tit-ji telah dapat membinasakan Sam Bok thiancun." seru Cu Jiang dengan geram. Poan toanio menggigil. "Apa " Engkau dapat membunuh Sam Bok thiancun ?" "Ya." "Dimana ?" "Di lembah Ki-lin-koh yang terletak dibelakang gunung Kiu-kiong-san." "Ah, nak. ini benar2 kejutan besar. Dengan kepandaianmu itu, dapatlah kiranya engkau menghibur para arwah yang telah menjadi korban keganasan momok itu." "Tit-ji sudah terlanjur bersumpah untuk mencuci Gedung Hitam dengan darah." "Mencuci dangau darah ?" tiba2 puteri terkejut, "mengapa harus begitu " Apakah kecuali balas dendam berdarah, di dunia persilatan itu tiada lain urusan lagi ?" Baginda Toa Hong-ya dari negeri Tayli menganut agama Buddha. menjunjung welas asih. Dia paling benci dengan pertumpahan darah. Puteripun sedikit banyak lelah mewarisi perangai ayahandanya. "Apakah kiongcu tahu akan penderitaan hidupku?" Cu Jiang tertawa hambar. "Ya. toanio yang menceritakan." "Kiongcu, bagaimana pendirian kiongcu?" "Ah, tak perlu membicarakan soal itu. Engkau menyebut aku dengan sebutan kiongcu dan akupun memanggilmu Sausu atau ciangkun. Rasa2nya janggal. Bagaimana kalau kita berganti dengan lain sebutan saja?" "Sebutan apa?" "Sesuai dengan adat istiadat Tionggoan, bagaimana kalau engkau panggil aku nona Toan dan aku menyebutmu Cu toako" " Cu Jiang gelengkan kepala. "Tidak! Tata-susila tak boleh dihilangkan." Puteri tundukkan kepala dan berkata sendu: "Apakah engkau masih membenci perbuatanku ketika pertama kali aku melihat wajahmu?" "Tidak," Cu Jiang gopoh menjawab, "sama sekali aku tak mengandung pikiran semacam itu. Memang wajahku waktu itu, aku sendiripun juga ngeri melihatnya." "Kalau begitu engkau anggap wajahku tentu buruk?" desak puteri. "Kiongcu secantik bidadari menjelma di dunia, bagaimana aku berani menghina?" OdwO Puteri mengangkat muka dan menatap Cu Jiang dengan pandang mendesak. Cu Jiang tergetar hatinya. Dia tak asing dengan sinar mata begitu dari seorang gadis Ho Kiong Hwa dan Ki Ing juga pernah menatapnya dengan pandang mata begitu, hati puteri telah terpancar keluar melalui sinar matanya. Tetapi dia sudah beristeri, disamping diapun hanya seorang busu, sedang gadis itu seorang puteri raja, apakah dia layak menjadi pasangannya" "Jika tidak begitu engkau tentu memandang diriku ini seorang gadis dari daerah liar," seru puteri pula dengan nada rawan. "Ah, kiongcu makin lama makin jauh," Cu Jiang tergopoh-gopoh. Poan toanio tersenyum. "Apakah salahnya untuk berganti dengan lain sebutan saja?" Cu Jiang merah mukanya. "Bibi, engkau tak tahu . . ." "Nak, kutahu Kiongcu suka kepadamu, seharusnya engkau berbahagia!" "Bibi, aku . . ." "Baiklah, hari masih panjang, kelak kita bicara lagi." Cu Jiang terpaksa menurut dengan beralih pada lain pembicaraan. Dia bertanya bagaimana bibinya bersama puteri dapat tiba di Tiong goan. Wajah Poan toanio kembali gelap. "Waktu aku berada di istana, aku telah menerima berita dari toa-suhengmu yang mengatakan bahwa Gok jin-ji itu tak lain adalah engkau sendiri. Hari pembalasan sudah di ambang pintu. Maka akupun membulatkan tekad kembali ke Tionggoan. Kiongcu ingin sekali menikmati alam pemandangan Tiong goan yang permai dan memaksa ikut . . ." "Oh, dewasa ini suasana dunia persilatan sedang terancam bahaya, keselamatan jiwa kiongcu ..." "Asal tidak menunjukkan diri tentu tiada halangan apa2." sahut Poan toanio. "Perkumpulan Thong thian-kau dan Gedung Hitam sama2 mengincar jiwaku. Apabila mereka tahu kalau bibi dan kiongcu mempunyai hubungan dengan aku. akibatnya tentu runyam sekali . . ." "Oleh karena itu di depan umum, hendaknya kita jangan menonjolkan hubungan itu. Di samping itu masih ada empat orang ko jiu istana Tayli yang mengawal keselamatan kiongcu . . ." "Apakah bibi sudah bertemu dengan Ki Siau Hong dan kawan-kawannya?" "Hm." "Bibi tahu juga nasib yang diderita Ong Kian?" "Ya, tahu. Berita itu sudah disampaikan ke Tayli. " "Tit-ji sungguh merasa tak enak hati." "Bukan salahmu. Sekali orang berani turun ke gelanggang dunia persilatan, tentu tak dapat menghindari hal2 yang buruk." "Apa petunjuk dari suhu?" "Hanya sepatah. Jangan mengecewakan harapan baginda." "Baik," sahut Cu Jiang tegas. "Nak, kalau panggil aku tetap saja dengan sebutan "toanio". Aku suka dengan sebutan itu." Cu Jiang mengiakan. "Kita tak boleh terlalu lama disini, Kemanakah engkau hendak pergi ?" tanya Poan toanio. "Tit-ji hendak ke Keng-ciu." "Setelah itu?" "Ke Gedung Hitam!" "Benar! Kok-su masih mengirim sebuah pesan .... " "Bagaimana?" "Apabila tugas berat itu sudah engkau selesaikan, apabila engkau tak mau kembali ke Tayli, engkau boleh tinggal di Tionggoan." Sejenak Cu Jiang merenung dan kemudian mengatakan bahwa soal itu kelak akan ia pertimbangkan lagi. "Sausu sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Tayli!" tiba2 puteri menyeletuk. Cu Jiang terbeliak. "Bagaimana kiongcu dapat mengatakan demikian?" Puteri tertawa rawan, sahutnya: "Tanyalah pada hatimu sendiri." Cu Jiang dapat menyelami kata2 puteri itu. Jelas puteri itu menuduh bahwa dia takkan mau menerima cinta puteri, Cu Jiang tak mau menjawab. Ia berpaling kepada bibinya. "Pemikul tandu toanio sudah melarikan diri, lalu bagaimana?" "Nanti akan ku usahakan lagi. Eh, benar, siapakah orang tua yang mengikuti di belakang tandu tadi ?" "Kepala pasukan pengawal dalam dari Gedung Hitam yang bernama Ki Gui Kah." "Bagaimana engkau menyelesaikannya?" "Sayang dia dapat lolos." Sejenak merenung Poan toanio berkata: "Rasanya akan terjadi sesuatu yang tak terduga lagi. Karena curiga dia lalu mengikuti tandu, kemudian engkau hajar tetapi dia dapat lolos. Dia tentu penasaran. Dan paling tidak jejak kita tentu sudah diketahuinya ..." "Mungkin tidak begitu mencemaskan karena dia tak tahu penyamaranku." "Bagaimana engkau dapat mengejar tandu yang kami naiki ?" "Karena tit-ji menyangka bahwa yang berada dalam tandu ini, orang yang hendak kucari." "Siapa orang itu ?" "Ratu-kembang Tio Hong Hui dan anaknya." "Ah..." Tiba2 kesiur angin yang lembut bertiup. Poan toanio dan puteri tak merasakan apa2 tetapi telinga Cu liang yang tajam cepat dapat menangkap kesiur angin itu dan dapat pula mengetahui bahwa ada serombongan orang yang tengah mendatangi. Serentak ia bangun berdiri. "Toanio, ada orang datang. Lekas ajak kiong cu menuju kearah barat hutan ini. Dan yang datang bukan hanya seorang !" Poan toanio mengangguk-angguk. "Nak, hati2 menghadapi mereka. Selanjutnya kalau mengadakan hubungan, kita gunakan sandi rahasia." "Baik." "Kiongcu, mari kita berangkat," kata nyonya gemuk itu. Namun sejenak puteri menatap Cu Jiang. Bibirnya gemetar hendak mengucap sesuatu tetapi tak jadi. Dia terus mengikuti wanita gemuk itu melintasi hutan. Cu Jiang mengantar kedua wanita itu dengan pandang penuh arti. Yang seorang, putri raja dari sebuah kerajaan di pedalaman selatan. Yang seorang, adalah bibinya, satusatunya keluarga yang masih hidup dalam dunia. Cu Jiang dapat menangkap apa arti sinar mata puteri yang bersinar-sinar memancarkan luapan kasih hati kepadanya. Sementara itu suara dari kejauhan itu makin terdengar jelas, menyusup disela-sela dan Cu Jiang cepat mengenakan kain kerudung mukanya lagi dan duduk bersandar pada sebatang pohon. Kedua matanya setengah dipejamkan. Pada lain kejab terdengar suara kata2 orang: "Ui tongcu, apakah engkau anggap lawan akan terperangkap siasat kita?" "Tentu," sahut yang ditanya, "saat ini pengaruh Thianthong-kau sedang berkembang sedangkan gerombolan Sippat-thian-mo itu sama sekali tak memandang mata pada orang persilatan ... "Kalau siasat ini tak termakan mereka dan lawan dapat menguasai Oh-yang, kita siapkan siasat lagi di Hun yang. Dan pihak kita pasti akan keluar sebagai yang utuh sendiri... ." "Li hu-hwat, bagaimana dengan tempat ini ya, disini kita mulai mempersiapkan." Mendengar pembicaraan itu tahulah Cu Jiang bahwa mereka anak buah Gedung Hitam tetapi tujuannya bukan mengejar dia melainkan hendak mengatur siasat untuk menghadapi Thian-thong-kau. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Rombongan pendatang itu berhenti pada jarak puluhan tombak dari tempat Cu Jiang. Beberapa saat kemudian terdengar kesiur angin menggetar daun2 pohon. Diam2 Cu Jiang menimang. Kalau tujuan anak buah Gedung Hitam itu hendak mengarah tokoh gerombolan Sip-pat-thian-mo, sungguh suatu kesempatan bagus sekali baginya. Ia memutuskan, untuk sementara takkan menampakkan diri dulu. Ia berbangkit lalu mencari tempat bersembunyi yang lebih rapat. Dari celah2 daun yang menutup tempatnya, ia dapat mengintai gerak-gerik mereka. Ia terkejut ketika melihat dua lelaki tua baju hitam dan serupa orang Pengawal Hitam tengah menggantung empat sosok mayat pada batang pohon. Kemudian mereka menggali liang disekeliling pohon itu. Lebih kurang sepeminum teh lamanya, keempat Pengawal Hitam itu meninggalkan tempat itu tetapi kedua lelaki tua baju hitam masih berada disitu. "Siap!" "Lepaskan pertandaan rahasia !" "Jangan, tunggu sebentar lagi. Biar kaum Iblis itu mulai curiga dulu baru lepaskan pertandaan rahasia untuk menjebak mereka!" "Kalau ketiga iblis itu tidak semua muncul ?" "Muncul satu, bunuh satu !" Mendengar ucapan kawannya, lelaki tua baja hitam itu tertegun, kemudian berkata: "Menurut keterangan dari korban tadi, Jika melepaskan panah-api panca-warna, menandakan kalau ada peristiwa besar. Entah apakah keterangannya dapat dipercaya." "Tentunya dapat dipercaya." "Menurut kata Ki thongleng, Toan-kiam Jan-jin sudah muncul disekitar tempat ini, Entah mau apa dia ?" "Hal itu mudah saja ditebak. Kalau bukan mencari sasaran kepada Gedung Hitam kita, tentulah perkumpulan Thong-thian-kau.." "Hm, sungguh sombong sekali manusia itu berani menentang dua kekuatan besar yang merajai dunia persilatan dewasa ini !" "Tetapi memang ilmu pedangnya luar biasa sekali. Ki thongleng mengaku bukan tandingannya." "Bagaimana kalau ketua kita." "Ah, Jangan membicarakan soal itu lagi!" "O, ya, ya." "Segera saja mulai bekerja !" "Baik," kata salah seorang tua itu lalu mengeluarkan sebuah benda dari kantong baju dan menyulut korek. Sepercik sinar bintang melayang ke udara dan pletak, benda itu meledak menghamburkan bunga api warna warni. Melihat itu Cu Jiang tahu apa yang terjadi. Anak buah Gedung Hitam berhasil menangkap anak murid Thong thian-kau, setelah dikorek keterangannya lalu dibunuh. Kemudian ditempat itu mereka memasang perangkap dengan melepaskan panah api sebagai umpan. Setelah melepas panah-api panca warna, kedua lelaki tua itupun cepat2 meninggalkan tempat itu. Tetapi baru dua puluh tombak jauhnya, pandang mata mereka nanar ketika melihat seorang yang wajahnya bertutup kain hitam, tegak menghadang ditengah jalan. Keduanya berhenti dan salah seorang memekik keras. "Toan-kiam Jan-jin!" Wajah kedua lelaki tua itu tampak ketakutan sekali. "Ingin kubertanya beberapa patah kata kepada kalian," seru Cu Jiang yang saat itu dalam perwujudan sebagai Toan-kiam-Jan-jin lagi. "Soal apa ?" seru salah seorang dengan gemetar. "Untuk menghadapi pihak manakah rencana yang kalian siapkan dalam hutan itu," tanya Cu Jiang. "Perlu apa engkau tanyakan hal itu?" "Jangan bertanya apa2, cukup engkau memberi jawaban saja !" Kedua lelaki tua itu saling bertukar pandang, kemudian tertawa mengekeh. "Mungkin engkau tentu gembira sekali mendengarkannya. Rencana itu kami tujukan kepada iblis nomor sebelas, dua belas dan lima belas dari gerombolan Sip-pat thian mo!" "Hm, Bagus, aku memang girang sekali, tetapi .. ." "Bagaimana ?" "Kalian juga harus serahkan jiwa!" Kedua lelaki tua itu pucat dan menyurut mundur beberapa langkah. Tangannya meraba pedang. Cu Jiang tak mau membuang waktu. "Bersiaplah menjaga diri!" serunya seraya menerjang. Mencabut pedang dan menyerang maju, hampir dilakukan dengan serempak dalam gerak yang luar biasa cepatnya. "Huak, huak" kedua lelaki tua itupun rubuh. Cu Jiangpun bersembunyi lagi di tempat tadi. Lebih kurang menunggu sampai sepeminum teh lamanya, tiba2 muncul beberapa lelaki dalam pakaian kuning emas. Mereka terkejut melihat tubuh yang tergantung diatas pohon. "Berhenti !" teriak salah seorang yang menjadi pimpinan rombongan, "tunggu dulu perintah dari ketiga Huhwat kita!" Tak berapa lama, muncul tiga sosok tubuh yang tinggi besar. Sedikitpun gerak mereka tak bersuara. Cu Jiang tegang. Jelas ketiga orang itu tentu iblis nomor sebelas, dua belas dan lima belas dari Sip pat-thian-mo. "Kawanan kerucuk itu memang menjemukan sekali." kata salah seorang dari ketiga pendatang itu, "Ong thaubak !" Pimpinan rombongan baju emas tadi segera tampil memberi hormat: "Murid siap mendengar perintah." "Lepaskan mayat itu !" Ong thaubak mengiakan lalu memberi perintah dan empat orang baju emas segera naik keatas pohon. Mereka masing2 menurunkan sesosok mayat. "Potong saja talinya dengan pedang," perintah Ong thaubak. "Baik!" seru keempat baju emas lalu mencabut pedang dan membabat tali penggantung. Keempat mayat itu meluncur jatuh. Bum . .. Serempak pada saat mayat2 itu jatuh di tanah terdengarlah letupan keras dan asap tebal segera bergulunggulung menyelimuti empat penjuru. Pohon tumbang, tubuh2 manusia beterbangan. Cu Jiang juga terpental beberapa meter dari tempat persembunyiannya, Ia rasakan seperti terjadi gempa bumi hebat. Setelah asap menipis, barulah dia tahu apa yang terjadi. Sekeliling tempat itu penuh dengan darah dan kutungan2 anggauta badan. Mengerikan sekali. Daerah seluas lima tombak keliling, hampir sudah binasa semua. Baru Cu Jiang berdiri, tiba2 ia mendengar suara orang menggembor. "Oo, engkau budak !" Ia terkejut dan mengangkat muka. Ah, ternyata saat itu dia sudah dikepung olah tiga manusia aneh yang bertubuh tinggi besar. Ia terkejut dan heran mengapa ketiga iblis durjana itu tak sampai mati dalam ledakan itu. "Budak, bukankah engkau yang disebut Toan kiam-janjin itu?" salah seorang iblis bertanya. "Benar !" "Engkau berani menggunakan siasat licik itu?" "Rasanya aku belum pernah melakukan pekerjaan selicik itu!" "Kalau begitu .. ." "Ingat saja hutang piutangmu dengan pihak Gedung Hitam !" "Budak, Mengapa engkau memusuhi pihak kami ?" "Anggap saja sebagai Jalan kearah kesejahteraan!" "Untuk kesejahteraan " Ha. ha ha. ha . .. ." enam pasang biji mata yang berapi-api mencurah kearah wajah Cu Jiang, seolah hendak menelan hidup-hidupan. Baru mendengar nama Sip-pat-thian-mo saja, orang persilatan pasti sudah menggigil nyalinya. Apalagi kalau bertemu dengan salah seorang anggautanya. Tetapi berhadapan dengan ketiga iblis dari Sip-pat-thianmo itu, Cu Jiang tak gentar sama sekali. Dia memang sedang mengemban tugas untuk membasmi kawanan Sippat-thian-mo yang ganas itu. Untuk menyelamatkan dunia persilatan dan kepentingan negeri Tayli. "Pedang tak bermata, harap kalian suka mempertimbangkan !" seru Cu Jiang. Tetapi peringatan Cu Jiang itu hanya disambut dengan gelak tawa oleh ketiga iblis. "Mengapa kalian tertawa ?" "Budak, apa yang engkau kehendaki supaya kami bertiga mempertimbangkan?" "Hancurkan kepandaian kalian sendiri dan lekas tinggalkan dunia persilatan !" Kembali ketiga iblis itu tertawa nyaring. "Budak, apakah engkau tengah mengigau dalam bermimpi ?" salah seorang iblis itu berseru. "Aku mengatakan yang sejujurnya!" "Tetapi justeru akulah yang hendak mencincang tubuhmu." "Rupanya kalian memaksa aku harus turun tangan !" "Akan kubeset kulitmu hidup-hidupan !" sahut ketiga iblis itu. Tiba2 Cu Jiang mendapat pikiran. Untuk meringankan bebannya, ia tak boleh memberi kesempatan sehingga ketiga momok itu dapat bersatu untuk mengerubutinya. Suhu dan baginda Toan Hong-ya memang menitahkan supaya kawanan Sip-pat thian mo itu jangan dibasmi semua. Tetapi terhadap kawanan durjana semacam mereka, sukar untuk melaksanakan perintah itu. Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedang kutung. Ketiga iblis itupun saling bertukar pandang lalu serempak mengangkat tangan mereka ... Tiba2 dengan kecepatan seperti kilat menyambar, Cu Jiang menyerang kepada iblis yang berada disamping kanan. Dia menggunakan tenaga penuh. Terdengar suara orang tertahan, darah menyembur dan iblis itupun terhuyung-huyung empat lima langkah, bluk. ia jatuh terduduk. Serempak pada saat itu juga pukulan dahsyat dari kedua iblis telah melanda Cu Jiang sehingga anak muda itu terpental mundur sampai lima enam langkah. Dengan menggembor seram, kedua iblis itu terus loncat menerjang Cu Jiang seraya lepaskan empat buah pukulan maut. Cu Jiangpun ayunkan pedang. Kiam-gi atau hawa pedang menyongsong pukulan lawan, menimbulkan benturan keras. Cepat sekali kedua momok itu mengisar kaki berganti langkah. Mereka menyerang dari kanan kiri. Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk menghindar, tetapi kepandaian kedua momok itu memang bukan olah2 hebatnya. Mereka dapat menguasai setiap gerakannya, menyerang dan menarik pukulan, dilakukan dengan sempurna. Setelah menilai posisi gerak putaran Cu Jiang, keduanya lalu menyerang gencar. Cu Jiang terpaksa memutar pedang untuk menyerang iblis yang menyerangnya dari kanan. "Huak . .. ." terdengar pula suara erang yang ngeri, iblis itu rubuh tetapi punggung Cu Jiang termakan pukulan iblis yang berada dikiri. Cu Jiang terseok-seok kebelakang sampai beberapa langkah dan hampir rubuh. Darahnya bergolak keras, pandang matanya gelap. Tetapi ia masih memiliki kesadaran pikiran. Waktu terhuyung-huyung dia menjurus ke sebelah samping. Siut, siut, siut angin tajam yang berasal dari pancaran jari, berhembus lewat disisinya. Kurang sedikit saja dia tentu hancur tubuhnya. Angin tajam itu telah menyasar pohon dan menimbulkan tiga buah lubang. Karena kedua kawannya sudah mati. iblis Itu marah sekali. Saat itu Cu Jiang sudah menyelinap ke belakangnya. "Anda menduduki urutan yang ke berapa ?" Seru Cu Jiang. Iblis itu berputar tubuh. Dia pancarkan lagi semburan tenaga-jari yang sakti seraya menyahut: "Aku berada di urutan nomor sebelas!" "Apakah anda Kim ci-mo?" tanya Cu Jiang seraya menghindar. Tetapi baru dia tegak, punggungnya telah dilanda angin pukulan dahsyat. "Uh .,..," ia sempoyongan hampir rubuh. Ternyata yang menyerangnya itu adalah iblis yang terluka dan jatuh terduduk itu. Saat itu Cu Jiang terhuyung beberapa langkah di mula iblis. Setelah berhenti dan berdiri tegak, ia menegur. "Dan anda termasuk urutan yang ke berapa?" "Kelima belas !" "Hai, anda benar2 tak bernama kosong Hek sim-mo!" seru Cu Jiang. "Budak, Jiwamu memang alot sekali!" "Jika begitu, yang telah mendahului berangkat itu Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tentulah iblis nomor dua belas Toan bing-mo ...." dalam berkata-kata itu Cu Jiang sudah melesat kemuka Kim ci-mo atau iblis Jari-emas. Ia mengangkat pedang kutung dan berseru: "Sekarang giliran anda yang akan kuberangkatkan ke akhirat!" "Jangan tekebur!" Kim-ci mo menggembor, mengendapkan tubuh, kedua tangan menjulur dan jarijarinya menebar. Saat itu Cu Jiang baru menyadari bahwa ujung jari lawan berwarna kuning emas, seperti menjepit jarum atau paku emas. Tiga batang jarum itu telah mengenai batang pohon dan pohonpun berlubang. Apabila dirinya sampai terkena jari emas itu, uh, ngeri juga membayangkan bagaimana akibatnya. Barang siapa menyerang dulu, dia tentu memperoleh posisi yang kuat, Ya, benar dan Cu Jiang-pun segera kembangkan ilmu pedang Thian-te-kau-thay dan menyerang dengan cepat. Tring. tring.... Terdengar bunyi berdering-dering dan percikan sinar emas berhamburan, Cu Jiang rasakan bahu kirinya nyeri sekali sampai menusuk tulang. Dia tahu kalau terkena jariemas lawan. Dari rasa sakit, ia duga Jari-emas atau Kim-ci itu tentu mengandung racun. Huakkkkk. Terdengar pekik seram dan tubuh Kim-ci-mo terhuyunghuyung, bluk, dia jatuh terkapar berlumuran darah. Cu Jiang cepat mengeluarkan mustika katak dan disusupkan ke dalam mulutnya. Kemudian ia berpaling ke arah Hek sim mo. Iblis itu tengah merangkak bangun. Wajahnya seperti binatang yang buas. Mustika katak itu memang bukan olah2 sakti nya. Dalam beberapa kejap saja bahu kirinya yang terluka itu sudah lenyap sakitnya. Cu Jiang muntahkan mustika itu dan disimpannya lagi. "Budak, engkau pasti mati!" seru iblis Hek-sim mo atau Hati-hitam sambil memandang Cu Jiang. "Iblis tua, apakah engkau memastikan bagiku?" "Engkau telah terkena racun dari Kim ci, walaupun tenaga dalamnya sudah sempurna sekali, pun hanya mampu bertahan untuk beberapa waktu saja. Jika tidak menggunakan tenaga, memang tak apa2. Tetapi begitu engkau bergerak mengeluarkan tenaga, racun itu akan menyerang ulu hatimu !" "Belum pasti begitu !" "Aku bersedia menolongmu ..." "Ha, haa, kalau anda mati dulu, tentu tak dapat melihat aku mati, bukan ?" Hek sim-mo mundur beberapa langkah. Wajahnya berkerenyutan lalu berseru tegang: "Walaupun aku dicari sebagai iblis berhati hitam, sebenarnya tidak begitu ..." "Bagaimana ?" "Kalau engkau sekarang ingin hidup, aku dapat membantumu tetapi..." "Tetapi ada syaratnya, bukan ?" "Tentu." "Apa syaratnya ?" "Hancurkan kepandaianmu sendiri, nanti baru kuberitahu obat penawar." Cu Jiang tertawa gelak2. "Caramu itu terlalu kekanak-kanakan. Biarlah kulawan racun dalam tubuhku itu dan akan kuantar anda ke akhirat lebih dulu !" "Coba saja kalau engkau tak percaya !" "Kalau aku turun tangan anda tentu mati !" "Tak apa, cobalah !" Cu Jiang masukkan pedang kedalam sarung lalu berkata dengan dingin: "Bagaimana kalau kugunakan pukulan tangan saja ?" Hek-sim-mo tertawa aneh, teriaknya: "Bagus kesombonganmu ini memang tak ada duanya dalam dunia!" "Sebenarnya aku tak ingin membasmi habis-habisan. Silakan anda menghancurkan ilmu kepandaian anda sendiri dan kubebaskan dari kematian !" seru Cu Jiang. "Engkau bermimpi?" "O. anda benar2 ingin mati?" Tiba2 Hek-sim-mo ayunkan kedua tangan menghantam. Dia ingin memancing Cu Jiang supaya balas menghantam dengan sepenuh tenaga agar racun Kim-ci segera berkembang menyerang uluhatinya. Cu Jiang memang menangkis dengan dorongkan kedua tangan. Dia menggunakan tenaga penuh. Bum..... Terdengar benturan keras dan seketika Hek-sim mo muntah darah lalu jatuh terduduk lagi. "Bagaimana ?" seru Cu Jiang. Betapapun hitam hati Hek-sim-mo tetapi ia baru rontok nyalinya ketika melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa. Pada hal racun Kim-ci itu ganasnya bukan kepalang. Orang yang kepandaiannya kurang, seketika tentu mati. Dan yang kepandaiannya tinggi, hanya dapat bertahan beberapa waktu saja. "Toan-kiam-jan-jin engkau... tidak terkena racun itu ?" serunya terbata-bata. "Racun semacam Kim-ci masakah mampu berbuat apa2 terhadap diriku ?" "Engkau..." "Kejahatan anda sudah melewati takaran, matipun masih enak!" Cu Jiang terus maju dan mengangkat tinju, diarahkan ke kepala Hek-sim-mo. Saat itu Hek-sim-mo sudah tak berdaya sama sekali. Dia meraung lalu muntah darah. Pada saat tinju hendak diayunkan tiba2 Cu Jiang menghentikannya. "Budak, engkau bermaksud bagaimana?" teriak Hek-sim mo. Saat itu tiba2 Cu Jiang teringat akan pesan suhunya agar jangan mengobral pembunuhan. Pun baginda Toan Hongya juga melarang pertumpahan darah apabila tak terpaksa. Cu Jiang berkata. "Kali ini kuberi ampun jiwamu, Kuharap engkau memberitahukan kepada kawan-kawanmu, setelah dapat membubarkan Thong-thian-kau. lekaslah kalian tinggalkan dunia persilatan . . ." 0odwo0 "Huh, siapa sudi menerima ampunmu ?" "Apa yang telah kukatakan tentu kulaksanakan, engkau akan tetap hidup tetapi ilmu kepandaianmu harus dilenyapkan agar engkau jangan berbuat kejahatan lagi." "Bunuhlah aku!" teriak Hek-sim-mo marah, "toh nanti tentu ada orang yang akan membalaskan engkau budak . . ." "Engkau tak dapat menuruti kehendakmu sendiri!" seru Cu Jiang dan serentak dia pancarkan tenaga-sakti dari Jari. Seketika Hek-sim-mo gemetar, meraung keras dan muntah darah. Ilmu kepandaian dihancurkan, bagi seorang tokoh persilatan ternama, jauh lebih tersiksa daripada dibunuh. Terutama durjana2 seperti gerombolan sip-pat-thian-mo itu. "Budak, bunuhlah aku saja !" Hek-sim-mo meraungraung pilu. Cu Jiang tertawa dingin: "Dengarkan, aku hendak titip pesan supaya engkau sampaikan kepada kawan kawanmu. Bahwa aku memang ditugaskan untuk membasmi gerombolan Sip-pat-thian-mo!" Hek-sim mo menggigil keras. Sementara Cu Jiangpun terus ayunkan langkah keluar dari hutan. Dia menghitung-hitung jumlah gerombolan Sippat-thian-mo yang telah diselesaikan. Hek sim-mo dan Kiam-mo telah dihancurkan ilmu kepandaiannya. Longsim-mo, Kiau-thian-mo, Gong mo, Toa lat Sin-mo, Bu-mo dan tadi di tambah pula dengan Kim-ci mo serta Toan lengmo, semua berjumlah tujuh iblis yang telah dibunuhnya. Dengan demikian kedelapan belas iblis itu sekarang sudah berkurang separuh. Suhunya pernah mengatakan bahwa yang paling ditakutkan ialah apabila Lo Mo atau iblis tertua diantara mereka, masih hidup. Sip-pat-thian mo sudah begitu menggelisahkan dunia, ketua mereka tentu lebih hebat lagi. Kemudian ia beralih memikirkan diri putri Tayli yang mengembara ke Tiong goan itu. Sungguh berbahaya sekali tindakan puteri itu. Apalagi hanya ditemani oleh Poan toanio, tentu setiap saat terancam bahaya. Diam2 Cu Jiang cemas. Teringat betapa sikap dan nada puteri itu kepadanya Cu Jiangpun makin gelisah. Dia menyadari dirinya hanya seorang persilatan biasa, tentu tak layak menjadi pasangan hidup puteri itu. Juga tali pernikahannya dengan Ho Kiong Hwa sudah menjadi kenyataan, sukar untuk diputuskan lagi. Teringat akan Ho Kiong Hwa, ia membayangkan betapa nasibnya yang malang. Gadis itu seorang yang baik, layak mendapat curahan kasihan. Saat itu dia sudah muncul dijalan besar. Sebenarnya dia hendak mengejar Jejak Ratu-bunga Tio Hong Hui dan puterinya tetapi diluar dugaan dia bertemu dengan puteri Tayli dan Poan toanio, kemudian dapat membasmi tiga iblis sip pat-thian-mo. Hari itu dia tiba di sebuah dusun yang tak jauh dari kota Keng-ciu. Saat itu hari sudah petang tetapi dia ingin lekas2 berjumpa dengan Ang Nio Cu. Maka setelah mengisi perut disebuah rumah-makan, iapun meneruskan perjalanan lagi. Diperhitungkannya bahwa menjelang tengah malam nanti dia tentu tiba ditempat Ang Nio Cu. Entah bagaimana keadaannya, apakah lukanya sudah sembuh. Beberapa li jauhnya, tiba2 sesosok bayangan hitam lewat disisinya dengan menggunakan ilmu lari yang cepat. Walaupun malam gelap tetapi mata Cu Jiang yang tajam dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Pengawal Hitam. Terhadap musuh besar dari Gedung Hitam, dia tak pernah mau memberi kelonggaran. Diikutinya Pengawal Hitam itu. Beberapa waktu kemudian, orang itu membiluk kesebuah jalan kecil dan lebih kurang satu li jauhnya tampak sebuah pedesaan yang terdiri dari beberapa rumah kaum pemburu. Pengawal Hitam itu lari menuju ke desa yang sunyi senyap itu. Bahkan lampu2 pun sudah dipadamkan semua. Rupanya kehidupan mereka miskin maka merekapun sangat berhemat. Setelah melompat pagar tembok yang pendek. Pengawal Hitam itu terus masuk ke dalam sebuah rumah yang terdiri dari tiga petak. Terdengar anjing menyalak tetapi sesaat kemudian sudah sirap lagi. Cu Jiang dengan hati2 mengikuti masuk. "Siapa?" terdengar suara orang dari dalam rumah. "Aku, yah, Sam Long" "Mengapa tengah malam pulang ?" "Ada urusan penting, lekas buka pintu." "Ya, tunggu sebentar." Penerangan dalam rumah dinyalakan dan terdengar suara wanita bergumam lalu suara anak kecil terkejut bangun. Pintu terbuka dan masuklah Pengawal Hitam itu. Yang membuka pintu seorang lelaki setengah tua. Kemudian muncul seorang wanita muda yang mengempo bayi. Sambil mengucal-ucal mata, lelaki tua itu menegur: "Sam Long, ada peristiwa apa?" "Yah, ringkasilah barang2, kita pergi dari sini!" kata Pengawal Hitam dengan gopoh. "Ada kejadian apa sih ?" seru wanita muda itu agak gemetar. Pengawal Hitam yang bernama Sam Long Itu belum ada tiga puluh tahun umurnya. Cakap juga wajahnya. "Kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini. Kalau mereka tahu, tentu celaka kita !" kata Pengawal Hitam itu. "Katakan apa yang terjadi!" lelaki tua itu berseru gemetar. Pengawal Hitam itu membuka bajunya dan melongok keluar dengan pandang cemas, lalu berkata: "Yah, aku telah melarikan diri dari mereka." "Mengapa " Apa yang terjadi ?" "Cong-koan kami yang lama Ho Bun Cai telah dibunuh, ditanam ditepi sungai. Enam orang Pengawal Hitam yang mempunyai hubungan rapat dengan Hu congkoan, sudah ada lima orang yang dibunuh. Tinggal aku seorang maka akupun nekat melarikan diri." "Oh !" seru lelaki itu. "Ai !" wanita muda itupun menjerit. Sam Long melanjutkan lagi. "Tadi aku kebetulan Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendapatkan tugas meronda diluar. Ditengah jalan kawanku yang bernama Tong Co Ju memberi tahu tentang peristiwa itu maka . . . akupun segera melarikan diri." "Nak, walaupun dunia ini lebar sekali, tetapi tak mungkin kita dapat bersembunyi," kata lelaki tua itu. "Tetapi kita tak dapat menunggu kematian tanpa berdaya apa-apa. . ." "Bawalah isterimu pergi sejauh mungkin. Biarlah aku tetap menjaga warisan leluhur kita ditempat ini. Matipun aku ingin berkubur disini!" San Long bertekuk lutut dihadapan ayahnya dan meratap: "Anak tidak berbakti, mohon ayah..." "Kita akan menuju kemana ?" "Kota Pek-te-shia." "Apa " Pek-te-shia ... mengapa ?" "Kota itu merupakan daerah kekuasaan perkumpulan Thong-thian-kau. Disana pengaruh Gedung Hitam tidak seberapa." "Tetapi kota itu ribuan li jauhnya. Mampukah kita mencapai kesana dengan selamat?" "Yah, jangan hiraukan soal itu, kita nanti akan menyamar ...." "Bangun !" Sam Longpun berbangkit, pipinya bercucuran air mata. isterinyapun pucat dan berkata dengan gemetar: "Dulu lebih baik engkau jangan masuk perkumpulan Gedung Hitam itu." "Ah, tak perlu menyesali hal itu, tak ada gunanya. Aku berhutang budi kepada Ho congkoan yang telah menolong jiwaku. Dialah yang minta kepadaku supaya masuk sebagai pengawal dari Gedung Hitam. Sudah tentu aku tak dapat menolak." "Ah," isterinya menghela napas. "Pergilah kalian berdua, aku tetap akan tinggal disini." sahut lelaki tua itu berkata dengan mantap. Sam Long menangis: "Yah. mereka tentu takkan melepaskan engkau." Tetapi orang tua itu tetap kukuh: "Aku sudah tua, tak tahan menempuh bahaya sejauh perjalanan itu . ..." Tiba2 dari ruang tengah melayang sebuah benda yang tepat jatuh keatas meja, tring .... "Amanat Maut!" teriak Sam Long ketika melihat benda itu. Seketika ia menggigil seperti orang sakit demam. Wajahnya pucat seperti mayat. Lelaki tua dan isteri Sam Long juga kaget. Bayinya menangis. "Ah, habis riwayat kita sekarang" Sam Long mengernyut geraham. Sebuah suara seram terdengar dari ruang tengah. "Kang Sam Long, keluarlah!" seru suara itu. Sejenak memandang kepada ayah dan isterinya Sam Long menendang pintu dan melangkah keluar. Ayah dan isterinyapun mengikuti ke pintu. Dihalaman muka tampak empat sosok tubuh. Yang tiga mengenakan pakaian hitam seperti Sam Long dan yang seorang lelaki tua berlengan tunggal. Ditingkah cahaya bulan remang, wajah orang tua itu tampak menyeramkan sekali. Sam Long memberi hormat di hadapan orang berlengan satu itu. "Menghaturkan hormat kepada congkoan !" Lelaki berlengan tunggal itu tertawa seram: "Kang Sam Long, tak usah banyak omong, tahukah engkau akan peraturan Gedung kita " Bagaimana tindakanmu ?" Rupanya Sam Long sudah menentukan keputusan. Dengan suara tenang dia berkata: "Cong-koan, hamba tahu akan kesalahan hamba, terserah bagaimana hukuman yang hamba terima. Tetapi hamba hendak mengajukan sebuah permohonan !" "Apa ?" "Mohon keluarga hamba dibebaskan dari hukuman .." "Engkoh Sam..." wanita muda menjerit dan menangis. Bayinya juga ikut menangis keras. Lelaki tua berlengan satu itu berpaling ke arah seorang pengawal: "Jangan sampai membikin kaget para tetangga sekeliling. Hentikan tangis mereka !" Pengawal Hitam itu segera mencabut pedang dan menghampiri. Melihat itu Sam Long berseru kepada isterinya: "Lekas masuk jangan bersuara." Dengan wajah sedih dan takut, wanita itu mendekap mulut anaknya dan masuk kedalam. Pengawal Hitam itu melanjutkan langkahnya. Kang Sam Long juga mencabut pedang dan berteriak: "Li San Beng, jangan membunuh orang yang tak berdosa. Semuanya aku yang bertanggung jawab !" Lelaki berlengan tanggal mengangkat tangan, memberi isyarat agar Li Sin Bang kembali ke tempatnya lagi. Kemudian lelaki lengan satu itu memandang Sam Long, serunya: "Kang Sam Long, engkau berani mencabut pedang?" "Congkam, mohon keluargaku yang tak berdosa ini diberi ampun. Hamba rela menerima hukuman apapun juga!" jawab Sam Long. "Sekarang jawablah beberapa pertanyaanku dengan terus terang," kata lelaki lengan satu itu, "kesatu, masukmu ke dalam Gedung Hitam adalah Hu congkoan yang mengusulkan. Lalu tugas apa yang Ho Bun Cai berikan kepadamu?" "Tidak memberi tugas apa2." kata Sam Long dengan keraskan hati. "Hm. dalam sekian tahun, apa saja yang engkau telah lakukan untuknya ?" "Hamba bertugas sebagai Pengawal Hitam dan selalu bertindak menurut perintah atasan. Tak pernah hamba melakukan sesuatu yang melanggar peraturan." "Ah, baik sekali engkau hendak menghindar. Engkau tentu kenal jelas tentang diri Ho Bun Cai . . ." "Hamba tak tahu." "Dan kaki tangannya itu ?" "Cong-kam, hamba benar2 tak tahu." "Rupanya semua pertanyaanku itu sia2 saja." "Hamba menjawab dengan sejujurnya." "Baik Pengawal, kemarilah!" Ketiga Pengawal Hitam serempak menghadap. "Seret keluar orang2 dalam rumah itu tetapi jangan sampai menimbulkan suara gaduh !" Setelah mengiakan ketiga Pengawal Hitam segera melangkah kedalam rumah. Tetapi secepat itu Sam Longpun sudah melintangkan pedang menghadang. "Congkam, apakah hendak memaksa hamba melawan ?" serunya dengan bengis. "Engkaukan sudah melawan !" "Silakan . . ." seru Sam Long mengucap sepatah kata, tiba2 lengan congkam itu berayun dalam gerak setengahlingkar lalu kembali lagi ke tempatnya. Telapak tangan Sam Long terkulai dan pedangnyapun terlepas. Dia tegak seperti patung. Jelas jalan darahnya telah ditutuk oleh lelaki bertangan tunggal itu. Ketiga Pengawal Hitam menyerbu ke dalam, menyeret isteri Sam Long dan ayahnya. Memang mereka tak menjerit dan menangis karena jalan-darahnya sudah ditutuk. Sepasang mata Sam Long merah membara, keringat bercucuran deras. Walaupun tak dapat berkutik tetapi mulutnya masih dapat bicara. "Jika keluarga sampai dibunuh, aku Kang Sam Long sekalipun jadi setan, tetap akan jadi setan untuk membalas dendam ini !" serunya. Lelaki tua berlengan tunggal itu hanya menyambut dengan tertawa iblis. Berpaling kearah Pengawal Hitam yang membawa bayi: "Bawa ke-sampingnya!" Pengawal Hitam itu segera membawa bayi ..... ^^Jilid 20 Halaman 26/27 Hilang^^ ......hendaki orang tua dan perempuan itu hidup. Janganlah engkau ikut campur urusan ini !" Cu Jiang tak menghiraukan, ia memberi peringatan keras kepada kedua Pengawal Hitam itu. "Dengarkan, serambut saja kalian berani mengganggu kedua orang itu, kalian pasti kucincang !" Kedua Pengawal Hitam itu gemetar. Kemudian Cu Jiang berpaling lagi kepada Li Ho. serunya: "Lengan anda yang putus itu bukankah terjadi ketika di gunung Bu-leng-san dahulu?" Wajah Li Ho berobah seketika, serunya. "Budak, apakah engkau benar2 putera dari Cu Beng Ko ?" "Orang she Li, sudah lama aku mencarimu !" "Siapa namamu ?" "Cu Jiang !" "Hm, bukankah dahulu eagkau sudah terlempar kebawah jurang ....." "Tuhan belum menghendaki aku harus mati." "Tidak ! Tidak ! Engkau . . . tentu si Gok-jin ji itu." Serentak Cu Jiang mencabut kain penutup muka dan tampaklah wajahnya yang tampan. Melihat itu Li Ho menyurut mundur. "Engkau ,.. pelajar baju putih itu ?" "Benar," "Umurmu sungguh panjang .. ." "Li Ho, siapakah yang turun tangan waktu di gunung dahulu itu ?" "Engkau kira aku tentu mau memberitahu ?" "Mungkin." "Engkau ngimpi!" Cu Jiang maju selangkah, matanya berapi-api, serunya: "Li Ho, engkau hendak membayar apa yang telah engkau lakukan selama ini?" "Budak," teriak Li Ho. "selangkah engkau berani maju lagi, lelaki dan wanita ini tentu kuhabisi jiwanya !" Cu Jiang berpaling kearah kedua Pengawal Hitam, serunya: "Kurasa mereka takkan berani melakukan." "Coba saja kalau engkau tak percaya !" "Ya, aku memang hendak mencoba . . ." Sambil mengangkat pedang kutung, Cu Jiang maju selangkah lagi. Cring, Li Ho juga mencabut pedang. Sekali-pun lengannya tinggal satu tetapi sikapnya memang masih berwibawa. Jelas bahwa ilmu pedangnya tentu hebat. Keduanya saling mencurah perhatian, menunggu kesempatan. Dalam pada itu Kang Sam Long-pun mencabut pedang dan menghampiri ke samping kedua Pengawal Hitam. Jika kedua Pengawal Hitam itu berani membunuh ayah dan isterinya, diapun akan menyerang. Sampai beberapa saat masih belum terjadi gebrakan tetapi saat itu kepala Li Ho sudah bercucuran keringat dan matanya mulai berkunang-kunang. Dalam mata seorang ahli pedang, tanda2 itu sudah menunjukkan suatu kesalahan yang fatal. "Hait . . . tring . . . ngekkk !" Terdengar gemboran, denting benturan dan suara menguak ngeri. Hanya dalam sekejap mata, mautpun sudah menyambar nyawa. Lima buah tusukan celah menghias tubuh Li Ho. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Cu Jiang cepat berputar tubuh dan menghadap ke arah kedua Pengawal Hitam : "Lepaskan !" Kedua Pengawal Hitam itu ngeri dan tanpa disadari telah melepaskan ayah dan isteri Kang Sam Long. Melihat itu Kang Sam Long buru2 menyarungkan pedang lalu menarik kedua ayah dan isterinya. Cu Jiangpun memancarkan tenaga dari jari untuk membuka jalan darah kedua orang yang tertutuk itu. "Kang Sam Long, lekas benahi2 barang-mu dan tinggalkan tempat ini !" seru Cu Jiang lalu mengambil dua butir beng cu (mutiara) dan dilemparkan: "Benda ini rasanya cukup untuk membuat rumah baru lagi." Kang Sam Long terlongong-longong mengawasi Cu Jiang. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan kata2. "Ho Bun Cai itu suhengku, engkau harus mengerti dan lekaslah pergi !" seru Cu Jiang. Kang Sam Long mendesah kejut, memungut mutiara lalu menghaturkan hormat: "Budi anda akan kuukir sampai mati!" habis berkata dia terus memimpin tangan ayah dan istrinya masuk kedalam rumah. Tiba2 kedua Pengawal Hitam loncat hendak melarikan diri. Tetapi Cu jiang cepat membentak: "Berhenti !" Kedua Pengawal Hitam itu terpental kembali ketempatnya semula dan tahu2 Cu Jiang sudah menghadang dimuka mereka. "Menurut peraturan Gedung Hitam, anak buah yang melarikan diri dari lawan, akan dihukum mati!" Wajah kedua Pengawal Hitam itu pucat seperti mayat. Mengangkat pedang kutung. Cu Jiang berseru: "Mati dalam pertempuran merupakan kematian yang gemilang dari seorang ksatrya. Sekarang hunuslah pedang kalian dan siaplah membela diri!" Kedua Pengawal Hitam itu sejenak melihat kearah congkam mereka yang masih duduk ditanah. Dengan gemetar keduanya menyurut mundur. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lekas cabut pedang. Aku hanya menyerang dalam satu jurus, Jika kalian mampu membela diri tentu akan kulepaskan pergi !" Kedua Pengawal Hitam Itu saling bertukar pandang lalu mencabut pedang. "Awas, terimalah seranganku !" Cu Jiang berseru, pedang berkelebat dan terdengarlah jerit auman ngeri memecah kesunyian malam. Kedua Pengawal Hitam terkapar dalam kubangan darah. Setelah menyelesaikan kedua Pengawal Hitam, Cu Jiang menghampiri ketempat Li Ho: "Orang she Li, membunuh, memperkosa, engkau tentu turut ambil bagian, bukan ?" Li Ho membisu. Cu Jiang menengadahkan kepala. Sekilas terbayang akan pemandangan delapan belas bulan yang lalu. Darah, kepingan daging dan tubuh yang telanjang. "Li Ho, engkau mau menjawab atau tidak, sama juga. Aku akan mencincang tubuhmu !" Wajah Li Ho berkerenyutan menyeramkan sekali. Dengan lengannya yang tinggal satu itu dia berusaha untuk berbangkit. Cu Jiang pelahan-lahan mencabut pedang dan sekali ayun, Li Ho menjerit ngeri lalu jatuh terduduk lagi. Pedang kutung berulang kali bergerak kian kemari, seiring dengan jeritan ngeri yang berturut-turut, Li Ho telah berobah menjadi manusia darah yang terkapar dan meregang-regang. Dia harus menderita siksaan yang hebat sebelum jiwanya melayang... Cu Jiang menghela napas. Setelah memasukkan pedang, ia lantas membuang mayat Li Ho ke-dalam sumur dan ditutup. Saat itu sudah lewat tengah malam. Dia terus lari menuju kejalan besar dan melanjutkan perjalanan ke kota Kang ciu. Tiba ditempat Ang Nio Cu terluka, haripun sudah menjelang fajar. Saat itu tentulah Ang Nio Cu masih tidur. Dia sungkan untuk membangunkan dan terpaksa mondarmandir di luar biara. Tetapi beberapa waktu kemudian, dia tak sabar lagi terus masuk kedalam biara. Sengaja dia batuk2 dan memberati langkah kakinya. Tiba2 dia merasakan sesuatu yang tak wajar. Batuk dan langkah kaki berat, tentu akan mengejutkan mereka tetapi mengapa tetap sunyi senyap saja. Ya, benar, paling tidak Ang Nio Cu tentu menyuruh salah seorang muridnya untuk berjaga diluar tetapi mengapa tak seorangpun yang tampak" Tiba2 dipintu ruang tempat Ang Nio Cu dirawat, tampak pintu terbuka dan keadaannya sunyi saja. "Taci..." Cu Jiang berteriak keras. Tak ada penyahutan. Ia memperhitungkan tentulah Ang Nio Cu sudah sembuh dari lukanya, masakan sampai tak tahu kalau ada orang masuk kedalam biara itu. Dengan cemas Cu Jiang terus melesat masuk kedalam ruang. Ah, tempat tidur tua kosong melompong, tak ada orangnya sama sekali. Apakah Ang Nio Cu sudah pindah ke lain tempat" Toh, tak mungkin. Bukankah dia sudah berjanji akan bertemu ditempat itu " Cu Jiang memandang ke sekeliling ruang untuk mencari sesuatu jejak. Tiba2 pandang matanya terbeliak dan hatinya berdebar keras. Di lantai terdapat bekas darah dan bekas2 pertempuran. Celaka! Ang Nio Cu tentu telah menderita bencana. Tiba2 ia mendengar helaan napas orang dari sudut ruang. Ah. Cu Jiang menjerit kaget dan cepat melesat ketempat itu. Sesosok tubuh manusia yang berlumuran darah rebah di lantai. Dia adalah seorang anak buah Ang Nio Cu. Napasnya sudah lemah sekali. Cu Jiang berjongkok dan berteriak: "Apakah yang telah terjadi " Kemana mereka?" Tetapi nona itu tak menjawab lagi. Cu Jiang kucurkan keringat dingin. Memeriksa denyut nadi tangan nona itu, ia mengeluh dalam hati. Urat-nadi jantungnya sudah tak normal jalannya. Rasanya sukar ditolong lagi. Cu Jiang bingung. Satu-satunya jalan untuk mendapat keterangan harus bertanya kepada nona itu. Segera ia mencekal tangan nona itu dan menyalurkan tenaga-murni. Beberapa saat kemudian tampak mata nona itu bergerakgerak dan mulutnya menghembus napas. "Engkau masih mengenal aku " Di mana dia?" seru Cu Jiang. Mulut nona itu bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan kata2. Cu Jiang menghapus keringat di jidanya lalu menyaluri tenaga-murni lagi. Akhirnya wanita itu dapat mengeluarkan suara lemak seperti ngiang nyamuk : "Nona Thong-thian Keng-cia . . . cabang, . . markas. .." "Nona" Siapa dia ?" Cu Jiang gopoh menegas. Tetapi wanita itu menghembuskan napas yang terakhir, kepala terkulai dan melayanglah jiwanya. Cu Jiang terpaksa lepaskan cekalannya. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Siapa yang dimaksudkan nona itu " Kawanan pengiring itu selalu menyebut Ang Nio Cu sebagai majikan. Lalu pengiring yang dua orang, Soa Tan Hong dan Gu Kiau, kemanakah mereka " Thong-thian Kang-ciu, Jelas berarti partai Thong thiankau di Kangciu. Tetapi dimanakah letak cabang markasnya" Ia menggali lubang untuk mengubur mayat wanita itu. Sampai terang tanah Cu Jiang masih termenung-menung dalam biara untuk merenung siasat. Kembali ia terkejut ketika daun pintu yang berlumuran darah, Juga diluar biara. Ia segera menuruti bekas2 ceceran darah itu yang menuju ketepi hutan. Mengeliarkan pandang, seketika lunglailah semangatnya. Hampir saja dia rubuh. Dua sosok mayat rebah berselang. Jelas kedua mayat itu adalah Song Tan Hong dan Gi Kiau. Karena ketiga pengiringnya sudah dibunuh, jelas Ang Nio Cu tentu menderita bencana. Setelah beberapa saat termenung seperti patung karena menyaksikan kebiadaban orang persilatan yang gemar melakukan pembunuhan, akhirnya Cu Jiang mengubur kedua mayat itu. Matahari bersinar gemilang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, tak lain hanya darah merah. Tiba2 terdengar langkah kaki orang. Cu Jiang cepat berpaling ke belakang. Tiga tombak jauhnya, tampak tegak seorang baju merah yang mukanya bertutup kain. "Taci, engkau... tak kena apa2 ?" serentak Cu Jiang berteriak kegirangan. Memang yang muncul itu adalah Ang Nio Cu. Tetapi dia tak menjawab melainkan melangkah maju beberapa langkah. Ketika mata saling beradu. Cu Jiang tergetar hatinya. Sinar mata Ang Nio Cu sedemikian rupa seperti yang belum pernah dilihatnya selama ini. "Taci, apakah yang telah terjadi?" seru Cu Jiang. "Adik, engkau telah datang," kata Ang Nio Cu dengan nada rawan, "tetapi... terlambat . . ." "Apa" Terlambat?" Cu Jiang makin kaget. "Dendam telah terjadi, tak dapat dihapus kembali!" Cu Jiang melesat maju dan berseru gemetar: "Taci, sebenarnya apakah yang telah terjadi ?" "Engkau sudah melihat mayat2 itu?" "Ya, sudah kukubur. Siapa yang membunuhnya." "Kedua iblis Hong-gwat-mo dan Thian-kau-mo beserta belasan anak buahnya." Marah Cu Jiang meluap-luap. Iblis Hong-gwat mo pernah ia kalahkan ketika berjumpa dibiara Lian hoa yan di luar kota Li-jwan dulu. Tetapi Thian-kau-mo dia belum pernah bertemu. "Apakah Thian-kau-mo itu termasuk iblis yang ke empat belas?" tanyanya. "Benar, dia menjabat sebagai ketua cabang kota Keng ciu, dibantu oleh Hang-gwat-mo .. .. " "Bagaimana peristiwa itu telah terjadi?" "Demi kepentingan isterimu Ho Kiong Hwa!" Hati Cu Jiang tergetar keras: "Karena dia?" "Hm." "Bagaimana urusannya?" "Ketika dia menuju ke biara tua, dia telah dibuntuti musuh . . ." "Perlu apa musuh hendak mengikutinya?" "Karena kecantikannya!" "Dimana dia sekarang?" "Pergi jauh!" "Dimana letak cabang Keng ciu itu?" "Dari sini delapan li menuju ke timur akan terdapat sebuah gedung. " Cu Jiang diam sejenak lalu mengertek gigi: "Aku hendak membuat perhitungan ..." "Tunggu !" Ang Nio Cu mencegah. "Taci hendak memberi pesan apa lagi?" "Bagaimana dengan perjalananmu kemari?" "Dapat membasmi iblis tua!" "Siapa?" "Sam-bok thian cun, guru dari ketua Gedung Hitam." "Ah." "Aku akan pergi dan nanti kita bicara lagi!" "Aku masih hendak bicara." "Silakan." Ang Nio Cu berdiam sejenak, katanya: "Pedang yang engkau serahkan untuk tanda pengikat pernikahan itu Ho Kiong Hwa telah menyerahkan kembali kepadaku.. .." "Kenapa?" "Dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepadamu. Tetapi kupikir, akan kuminta kepadamu supaya benda itu kusimpan sebagai kenang-kenangan. Tentang gelang kumala yang dia berikan kepadamu, dia minta supaya engkau simpan sebagai kenangan selama-lamanya .. ." "Apakah artinya ini?" Cu Jiang terkejut. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tali pernikahan itu diputuskan !" -oo0dw0oo- Jilid 21 Gemetar tubuh Cu Jiang sehingga dia sempoyongan mundur sampai tiga langkah, serunya: "Tali pernikahan bukan seperti mainan kanak-kanak. Dan taci sendiri yang telah menjodohkan, mengapa . . ." "Karena dia sudah tak bermuka lagi bertemu dengan engkau!" "Aku benar2 tak mengerti." Dengan nada rawan. Ang Nio Cu berkata. "Sekarang dia merasa seperti bunga layu yang telah gugur tercampak dilumpur!" Cu Jiang terlongong-longong sampai beberapa saat. Lama sekali baru dia dapat berkata: "Ini . . . ini . . . . bagaimana terjadi ?" "Dia telah dinodai Hong gwat-mo dengan cara kekerasan. . ." Saat itu Cu Jiang rasakan dirinya seperti disambar petir. Dia tegak mematung, hatinya hancur berkeping-keping. Beberapa waktu kemudian tiba2 dia tertawa nyaring. Nadanya penuh menghambur kedukaan dan dendam kesumat. "Adik ku. ini memang sudah takdir," setelah Cu Jiang berhenti tertawa, barulah Ang Nio Cu menghiburnya. Pukulan batin yang diderita Cu Jiang saat itu tak kalah dengan ketika melihat kedua orang tuanya mati terbunuh dahulu. Dia rasakan bumi serasa berputar cepat, tubuh terhuyung-huyung hingga mau jatuh. Mulutnya tak hentihentinya mengigau: "Takdir! Nasib! Apakah ini yang disebut nasib?" tiba2 dia terus lari. "Adik Wan, tunggu dulu" teriak Ang Nio Cu, tetapi Cu Jiang sudah tak menghiraukan lagi. Dia lari seperti orang kalap. Dalam sekejap saja dia sudah mencapai delapan li. Sebuah gedung besar tampak menyembul ditengah gerumbul pohon. Sekeliling penjuru merupakan sawah ladang yang tak terurus dan beberapa rumah petani. Dia tak sangsi lagi bahwa gedung besar itu tentu markas cabang Keng-ciu. Dia segera melangkah dengan kaki sarat menuju ke gedung itu. Tiba di tepi hutan, terdengar bentakan orang yang menyuruhnya berhenti. Dua orang bu-su (orang persilatan) berpakaian ringkas warna biru, menghadang jalan. Cu Jiang dengan mata menyala-nyala memandang kedua orang itu. "Cari mati. berhenti!" teriak kedua busu itu. Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan dan tetap melangkah maju. Kedua penjaga itupun segera mencabut pedang dan menyongsong. Tiba2 Cu Jiang dorongkan kedua tangannya. Seketika segulung angin dahsyat berhamburan melanda ke muka. Huak, huak, sebelum sempat bergerak kedua penjaga itu sudah muntah darah dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Cu Jiang tak menghiraukan mereka, terus lanjutkan langkah. Rupanya dia sudah hangus terbakar oleh bara dendam yang menyala-nyala. Bagi seorang lelaki, tunangan atau isteri dinodai orang, merupakan hinaan yang tak dapat ditahan lagi. Tujuh delapan sosok tubuh manusia berhamburan lari menghampiri. Salah seorang berteriak: "Siapa kau yang berani mati masuk kedalam markas" " Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cu Jiang tak mau menjawab Dengan menirukan gaya Toan-kiam jan-jin, dia berjalan dengan kaki terpincangpincang. Kedelapan orang itu segera menyerbu. Tetapi kepandaian mereka kalah dengan kawanan Pengawal Hitam dari Gedung Hitam. Terdengar jerit menguak beberapa kali dan dari delapan orang itu, yang lima sudah rubuh mandi darah. Sambil mencekal pedang kutung yang masih berlumuran darah, Cu Jiang terus melangkah maju. "Toan- kiam-jan jin!" sisa ketiga orang yang masih hidup itu serempak menjerit keras dan terus lari masuk kedalam. Setelah melintas jalan dari papan batu tampaklah sebuah gedung bertingkat yang dipagari dengan pagar tembok. Sepasang pintu besar berbentuk huruf pai, tampak terpentang lebar. Tetapi di dalamnya tak tampak barang seorangpun juga. Tentulah kedelapan orang tadi bertugas menjaga pintu besar itu. Terdengar gemuruh derap kaki berlari mendatangi dan pada lain saat muncul belasan busu. Yang di muka sendiri seorang lelaki tua brewok, tangannya mencekal sebatang golok kui thau-to (golok kepala setan) bergigi tebal. Alisnya lebat, mata bundar dan wajahnya menyeramkan sekali. Orang itu menerobos ke luar pintu sedang di belakangnya berjajar belasan anak buahnya. Cu Jiang hentikan langkah, memandang lelaki tua itu dengan menyala-nyala. Lelaki tua itupun balas menatap Cu Jiang lalu menyeringai: "Toan-kiam-jan-jin, perkumpulan kami memang justeru hendak mencari engkau..." "Tak perlu dicari, " sahut Cu Jiang dengan nada dingin, "aku tentu akan datang sendiri." "Perlu apa engkau datang kemari?" "Membikin perhitungan!" "Perhitungan apa?" "Darah !" "Aku ...." "Siapa nama anda?" "Song Piu, menjabat sebagai penilik." "Menyingkirlah! " "Engkau kira engkau boleh bertindak semaumu sendiri?" "Aku tak punya waktu meladeni engkau!" Cu Jiang menutup kata-katanya dengan taburkan pedang kutung. Lelaki tua itupun mengangkat golok kui-thau-tonya tetapi belum sempat ia memainkannya, mulutnya sudah menguak darah dan tubuh terkulai rubuh, goloknya terlempar sampai beberapa meter memancarkan letikan bunga api. Kawanan anak buah itu serasa melayang semangatnya, mereka cepat menyiak ke samping, Cu Jiang melangkah masuk. Di halaman yang merupakan sebuah lapangan, tampak kosong melompong. Sepanjang tepi lapangan berjajar-jajar perumahan. Tampak orang2 sibuk lari kian kemari. Ada yang meniup terompet pertandaan bahaya. Tetapi Cu Jiang mengangkat kepala ayunkan langkah menuju ke bangunan gedung di tengah. Sepanjang jalan tiada yang menghalangi. Tiba di muka gedung besar, berpuluh-puluh busu dari kedua samping gedung berhamburan muncul sembari lepaskan senjata rahasia. Untuk menghadapi hujan taburan senjata rahasia itu, Cu Jiang gunakan tata langkah Gong gong poh-hwat. Dan kelompok busu itu bergabung untuk menghadang tetapi Cu Jiang masih mampu menyelinap kian kemari. Yang terdengar hanya jerit pekik ngeri, darah muncrat dan pedang2 yang berhamburan melayang. Setelah itu tubuh2 kawanan busu yang malang melintang menggeletak tumpang tindih. Berpuluh busu itu tak seorangpun yang masih hidup. Tampak pula gelombang kedua dari puluhan busu yang berlari larian datang tetapi mereka berhenti pada jarak lima tombak. Suasana dalam gedung markas itu tampak tegang sekali. Menunggu sampai beberapa waktu tetap tak melihat kedua iblis itu muncul, diam2 Cu Jiang menimang. Markas itu luas sekali, kalau kedua Iblis itu sengaja bersembunyi, tentu akan memakan waktu untuk mencari mereka. Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan siasat, mendesak mereka supaya munculkan diri. Dia mundur ke tempat serambi. Setelah menyarungkan pedang, dia lalu kerahkan tenaga dan menghantam sebatang tiang besar, bum . . . tiang berkisar tempat dan rubuhlah wuwungan rumah menimbulkan suara yang gemuruh sekali. "Tua bangka Hong-gwat, Jika engkau tetap tak berani keluar, sarangmu ini akan kuhancurkan dan kubasmi semua anak buahmu!" teriaknya nyaring. Tetapi tetap tiada penyahutan sama sekali. Karena tak sabar, Cu Jiang kembali menghantam sebuah tiang di sebelah kiri, bum .... para2 rumah bagian tengah berhamburan roboh. "Hayo, Thian-kau, Hong-gwat, apakah kalian benar2 tak berani unjuk muka" " teriak Cu Jiang lagi. Namun tetap tiada jawaban suatu apa. Karena marah, Cu Jiang terus lari menghampiri kawanan busu yang berjajar-jajar di tempat jauh itu. Kembali terdengar jeritan ngeri. Cu Jiang benar2 seperti harimau lapar yang menerkami kawanan kambing. Kawanan busu itu memang berkepandaian tinggi tetapi berhadapan dengan Cu Jiang mereka tak ubah sebagai kawanan ayam yang menjadi bulan2an serangan burung elang. "Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang menggeledek. Cu Jiang berhenti. Mayat2 berserakan memenuhi tempat itu. Yang masih hidup hanya beberapa orang saja. Dua lelaki bertubuh tinggi besar muncul. Ke duanya tak lain adalah Hong-gwat mo dan Thian kau mo. Keduanya diiring oleh tujuh orang anak buah yang mempunyai kedudukan tinggi. "Iblis tua, sudah berapa banyak gadis2 suci yang telah engkau celakai?" teriak Cu Jiang. "Budak kecil, kalau engkau tanyakan hal itu, aku sudah tak ingat lagi !" "Kalau peristiwa kemarin itu, apa engkau tidak ingat lagi." "Bagaimana ?" "Engkau harus membayar sampai seratus kali lipat." "Bagai mana cara membayarnya ?" "Aku akan mencuci markas ini dengan darah!" Mendengar itu menggigil hati sekalian orang yang berada di tempat itu. "Toan-kiam-jan-jin, mulutmu memang besar sekali. Engkaulah yang harus membayar semua perbuatanmu disini." tiba2 Thian-kau-mo membentak keras2. "Serbu!" Hong-gwat-mopun segera memberi perintah. Kedua iblis Itu terus berkisar memecah diri dan menyerang dari kanan kiri. Ketujuh jago yang di belakang merekapun segera berpencar mengepung. Terdengar letupan dari pukulan yang beradu. Tubuh Cu Jiang terhuyung tetapi kedua iblis itupun menyurut mundur selangkah. Pada saat itu barisan ketujuh jago serempak menyerang dengan senjata pedang. Cu Jiang mencekal pedang kutung lalu memutarnya, tring, tring, tring.... seorang Jago tua rubuh dan enam orang mundur. Kedua iblis segera melemparkan pukulan dahsyat untuk menutup lubang yang bobol itu. Menilik cara mereka bertempur, jelas kalau sudah diatur lebih dulu. Pedang hanya dapat digunakan untuk jarak dekat. Kalau mengandalkan hawa-sakti yang dipancarkan pada gerakan pedang, sukar untuk melukai kedua iblis itu. Menghadap pukulan yang mampu menghancurkan karang dan kedua iblis itu, memang tak menguntungkan Cu Jiang. Hawa pedang terdampar dan Cu Jiang sendiripun terpaksa harus sempoyongan. Dalam kesempatan itu, keenam jago segera menerjang dengan pedangnya. Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat. sambil pancarkan tenaga-penuh pada gerak pedang kutung, ia berlincahan menghindar dan menabas. Hiiak, huat ,.. kembali tiga orang lawan terkapar ditanah. Tetapi pukulan sedahsyat bumi terbelah segera melandanya. Cu Jiang mundur sampai tiga empat langkah, Darahnya bergolak-golak keras. Setelah empat dari tujuh jago2 anak buah kedua iblis itu terbasmi, kini hanya tinggal tiga orang. Dan ketiga jago itu memang tak mampu menyelonong melakukan serangan lagi. Sejenak mengurusi pernapasan, kini Cu Jiang pun maju menyerang Thian kau-mo. Serangan kali ini dilancarkan dengan sepenuh tenaga dan harus dapat merobohkan lawan. Iblis Thian-kau-mo memekik ngeri, tubuhnya terhuyunghuyung lalu rubuh. Melihat gelagat tak baik, iblis Hong gwat-mo berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi Cu Jiang lebih cepat untuk menghadang. "Anjing tua, akan hendak mencincang tubuhmu menjadi bakso !" Hong-gwat mo membentak dan menghantam dengan kedua tangannya terus melenting ke samping. Pukulan iblis itu memang istimewa. Anginnya tidak berhembus lurus melainkan berputar-putar seperti angin lesus. Ia terkejut dan tak sempat lagi untuk menghindar. Dalam keadaan yang genting, ia masih dapat melontarkan pedang kutung kearah Hong-gwat-mo yang saat itu sudah loncat keatas wuwungan rumah. "Uh..." iblis itu menjerit dan meluncur jatuh. Cu Jiang yang berhasil membebaskan diri dari libatan angin lesus terus menyusuli dengan sebuah hantaman dahsyat, bummm . . Tubuh Hong gwat-mo yang hampir tiba di tanah, mental lagi sampai dua tombak jauhnya. Rusuk kirinya berhias pedang kutung yang menyusup sampai ke tangkainya. Iblis itu masih meregang-regang nyawa. "Anjing tua." Cu Jiang loncat menghampiri "ketahuilah, nona yang engkau cemarkan kesuciannya semalam itu adalah calon istriku." Sepasang mata iblis itu membeliak dan mulutnya hanya menganga tak dapat bicara lagi. Setelah mencabut pedangnya. Cu Jiang berkata pula: "Anjing tua, engkau harus membayar hutangmu !" Cu Jiang benar2 sudah kehilangan diri. dia marah sekali atas peristiwa yang telan diderita Ho Kiong Hwa. Maka dilampiaskan dendam kemarahannya itu dengan mencincang tubuh Iblis itu. Setelah itu ia menyulut api dan membakar markas gerombolan iblis2 terkutuk itu. Kemudian ia kembali ke biara tua untuk menemui Ang Nio Cu. Sesosok tubuh langsing tengah tegak memandang mentari pagi yang baru timbul di ufuk timur. Rupanya semangat dan perhatian orang itu seperti tercurah sepenuhnya sehingga ia tak tahu kalau Cu Jiang sudah berada di belakangnya. Cu Jiang menduga tentulah Ang Nio Cu itu sangat berduka sekali atas peristiwa yang menimpa diri Ho Kiong Hwa. "Taci, aku sudah kembali," akhirnya ia berseru. "Ih ..." Ang Nio Cu menghela napas dan pelahan-lahan berputar tubuh. Cu Jiang tak berani beradu pandang dengan Ang Nio Cu. Ia merasa sinar mata nona itu benar2 menghancurkan hati. "Adik." akhirnya beberapa saat kemudian Ang Nio Cu berkata dengan suara rawan. "semula dunia ini terasa indah sekali, siapa tahu ternyata hanya impian di musim semi." "Taci." "Sejak dahulu kala, wanita cantik tentu bernasib jelek. Kiong Hwa memang kasihan sekali." "Nasib telah menggariskan jalan hidup yang kejam terhadap dirinya." "Adik. bagaimana hasilmu ke markas iblis itu ?" "Kedua iblis itu sudah kucincang dan markasnya kubakar!" "Terima kasih engkau telah membalaskan sakit hati Kiong Hwa." "Ah, mengapa taci mengatakan begitu. Sudah tentu hal itu merupakan kewajibanku!" "Adik .. . apakah engkau dapat mengijinkan dia bersemayam dalam hatimu untuk selama lamanya ?" Sepasang mata Cu Jiang memancar terang dan dengan nada bersungguh dia berkata. "Taci, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu." "Apa ?" "Apakah hubungan taci dengan Ho Kiong Hwa?" Ang Nio Cu tercengang. "Sudah tentu amat erat sekali, hampir seperti diriku sendiri." "Ah, dalam hubungan apakah itu?" "Adik, hal itu kelak akan kuterangkan lagi kepadamu." Cu Jiang tak berani mendesak lebih lanjut. "Taci. tolong kasih tahu dimana beradanya Ho Kiong Hwa saat ini .... " Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Buat apa?" "Aku harus mencarinya." "Engkau.... masih mau mencarinya?" "Kenapa taci heran" Bukankah dia itu isteriku" Tali hubungan itu tentu tak dapat diputuskan selama-lamanya." "Adik, dia sudah bukan isterimu lagi. Tali pernikahan itu sudah putus." "Tidak! Aku tidak setuju! Aku tetap akan menjadi suami isteri untuk selama-lamanya dengan dia. Tak ada alasan mengapa aku harus membuangnya. Apakah itu kesalahannya" Tidak, dia tak bersalah, dia mendapat kecelakaan . . ." "Adik," kata Ang Nio Cu dengan gemetar. "dia bukan lagi sesuci dia yang dulu, dia laksana permata yang sudah pecah . . ." "Apakah dia merasa rendah diri begitu" Tidak! Yang ternoda hanya tubuhnya tetapi jiwanya masih tetap suci bersih. Kuanggap dia tak beda dengan dulu. Yang berbeda hanya dia mempunyai penderitaan hatin tetapi kini musuhnya sudah terbunuh. Tak perlu dipikirkan lagi. Yang lampau biarlah lalu ..." "Adik, kata-katamu itu ... tentu akan menghiburnya sampai mati." "Taci, dimanakah tempatnya?" "Tak perlu engkau mencarinya. Dia sudah menentukan keputusan. Jika engkau mencarinya, hanya akan menambah derita hatinya saja." "Taci, kumohon engkau ..." "Tetapi akupun tak tahu ke mana perginya. Dia hanya mengatakan bahwa sejak saat ini dunia sudah tak ada lagi manusia yang bernama Ho Kiong Hwa . . ." "Ah, tentulah taci tak mau memberitahu kepadaku!" "Adik yang baik, sudahlah, lupakan saja dia!" "Tidak! Tak mungkin aku melupakannya!" teriak Cu Jiang dengan kalap, "aku tak dapat melupakannya, tidak dapat melupakannya!" Nadanya amat tegas bagaikan paku menancap di kayu. Betapapun dingin atau keras hati seseorang tentu akan trenyuh juga mendengar ucapan itu. Ang Nio Cu menghela napas: "Adik, mari kita ke gunung Keng-san." Cu Jiang mengangguk: "Baik, apabila urusanku sudah selesai, ke ujung duniapun aku tetap akan mencarinya!" "Ah, cintamu itu hanya tinggal kenangan belaka." "Tidak, cinta itu tetap akan kulanjutkan sampai kapan pun juga." "Adik, kita berpencar saja dan ketemu lagi di mulut gunung Keng-san." "Apakah tidak baik bersama-sama saja?" "Kurang leluasa. " "Setelah memasuki gunung, kita akan menyerang secara terang-terangan atau..." "Secara terang-terangan saja tak perlu pakai tedeng aling2." "Baik." "Silakan berangkat dulu, aku hendak tinggal disini beberapa jenak lagi. Tiga tetua angkatan terdahulu, bertahun-tahun mengikuti aku. Sekarang mereka telah tiada, sudah selayaknya kalau aku tinggal beberapa waktu lagi untuk mengenang mereka ... ." Cu Jiang terharu. Perpisahan memang merupakan peristiwa yang mengharukan hati. Baik pisah hidup maupun karena meninggal. "Taci, dari sini aku akan melalui Tang yang, Wan-an lalu menuju ke Keng-san. Kita bertemu didesa gunung itu." Ang Nio Cu mengiakan dan Cu Jiangpun segera minta diri. Dia pergi dengan membawa hati yang hancur sehingga lupa makan dan lupa segala. Hari itu dia hanya mampu mencapai jarak sepuluhan li. Disebelah muka tampak sebuah bukit tanah merah. Ketika ia melintasi jalan yang membelah tengah2 bukit itu, tiba2 dari jauh terdengar suara harpa. Dia terkejut dan sadar dari lamunannya. Ia memasang telinga dan memperhatikan bahwa suara harpa itu berasal dari arah kanan tak jauh dari bukit itu. Harpa itu aneh sekali suaranya. Nadanya seperti orang yang baru belajar, menusuk telinga menyebabkan hati kacau dan perasaan tak keruan. Memandang ke muka, tak berapa jauh ia melihat gulungan asap mengepul dari arah bukit itu. Sejenak berhenti, Cu Jiang melanjutkan langkah lagi. Tiba2 suara harpa itu berobah, nadanya penuh dengan hawa pembunuhan sehingga perasaan Cu Jiang tak enak dan darah dalam tubuhnyapun ikut bergolak. Dia terkejut dan hentikan langkah. Suara harpa itu memang menimbulkan kecurigaan. Sesaat kemudian timbulkan keinginannya untuk mengetahui. Setelah menenangkan semangat dan perasaan, dia segera menuju ke arah kepulan asap. Tiba2 harpa berhenti. Melintasi sebuah gundukan tinggi, pemandangan di sebelah muka membuatnya terkejut. Tampak api unggun yang berasal dari tiga batu yang dijajar, di atas batu itu digantung sebuah kuali besar yang airnya mendidih. Asap dan uap air mendidih itu bergulung-gulung campur jadi satu. Disamping api unggun itu duduk seorang nenek tua baju kuning. Wajahnya seperti burung dara, rambutnya yang putih sudah banyak yang rontok. Dia tengah mendekap sebuah harpa. Matanya memejam, diam tak berkutik. Dengan rasa heran Cu Jiang menghampiri. Ia melihat jelas tubuh nenek itu menyerupai pohon jeruk yang layu, sepasang tangannya seperti cakar burung, kuku panjang dan runcing, kulitnya mengeriput. Sukar menentukan usianya. Entah apa yang sedang dilakukan nenek itu tetapi didengar dari petikan harpa tadi tentulah nenek itu seorang persilatan. Karena sampai beberapa jenak nenek itu tetap tak bergerak, Cu Jiangpun tak sabar, tegurnya: "Pohpoh, apakah yang sedang engkau lakukan?" Kelopak mata nenek agak terbuka dan dari celah selaput matanya memancar sinar yang membuat Cu Jiang terkejut sekali. Sinar mata nenek itu jelas menunjukkan seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. "Siapa engkau?" seru nenek itu. "Orang2 menyebut diriku sebagai Toan-kiam-jan-jin." "O, Toan-kiam . . . jan-jin!" "Pohpoh, menggodok kuali besar . . ." "Menggodok orang!" Cu Jiang melonjak kaget: "Apa" Menggodok orang?" Nenek itu membuka kelopak mata dan menyahut dingin: "Benar, menggodok orang!" "Buat apa?" "Dimakan." Cu Jiang mendelik, serunya: "Ah, mengapa nenek bergurau?" Nenek itupun deliki mata dan napasnya memburu keras, serunya: "Sudah hidup seabad, perlu apa aku bergurau dengan seorang bocah yang belum tulang bau susu ibunya seperti engkau!" Cu Jiang menyurut mundur selangkah. Memandang kuali besar dan berseru penuh keheranan: "Pohpoh memasak orang untuk dimakan?" "Ya." "Siapa yang pohpoh masak itu?" "Dia datang sendiri." Hampir Cu Jiang tak percaya pendengarannya. Belum pernah ia mendengar orang yang memasak makanan dari tubuh orang. Jika nenek itu seorang gila, ah, tentu berbahaya sekali bagi keselamatan dunia persilatan. Tetapi mengapa dia belum pernah mendengar dalam dunia persilatan terdapat tokoh yang suka makan orang?" "Siapa nama pohpoh yang mulia?" tanyanya. "Pertandaanku yalah harpa." Cu Jiang tertegun lagi. Dia belum pernah mendengar tokoh persilatan yang memakai ciri pertandaan harpa. "Maafkan pengetahuanku yang sempit sehingga tak mengetahui diri pohpoh." "Ya, sudahlah." "Mengapa tak tampak orang yang datang mengantar diri?" "Sudah datang." "Di mana?" "Engkau!" Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya sehingga dia menyurut selangkah lalu berteriak: "Aku ?" Tiba2 nenek itu berdiri dan memandang Cu Jiang dengan mata menyala: "Benar !" "Pohpoh sudah memperhitungkan bahwa aku tentu datang kemari ataukah karena melihat aku datang lalu hendak menggodok diriku?" "Aku memang sengaja menungguimu." Cu Jiang menggigil, serunya: "Pohpoh memang sengaja menunggu kedatanganku?" "Ya, benar!" "Tetapi kitakan belum pernah kenal?" "Siapa bilang" Engkau telah berhutang banyak sekali peristiwa berdarah, harus membayar." "Ini ... . bagaimana jelasnya?" "Engkau akan masuk ke dalam kuali itu sendiri atau perlu aku harus turun tangan?" "Apakah omongan pohpoh ini sungguh2?" "Mengapa tidak?" Serentak bergeloralah darah Cu Jiang. Hawa pembunuhan merangsang dadanya. "Harap memberitahu siapa pohpoh ini?" teriaknya. "Sudah kukatakan, pertandaan diriku ialah harpa, kalau engkau tak tahu. Jangan banyak omong lagi!" "Aku berhutang darah apa kepada pohpoh?" "Bagaimana nasib dari kawanan Sip-pat-thian-mo itu?" Seketika sadarlah Cu Jiang. Ia tertawa nyaring: "Oh, kiranya engkau salah seorang komplotan kawanan iblis itu. Bagus, aku gembira dapat membasmi seorang kutu penyakit . . . . " Nenek itu mendengus: "Asal sudah tahu saja, agar kalau mati jangan engkau menjadi setan penasaran !" Tiba2 Cu Jiang teringat akan kata2 suhunya bahwa dibelakang kawanan Sip pat-thian-mo itu, masih terdapat beberapa iblis tua. mungkin sudah mati. Tetapi kalau mereka masih hidup, tentu sukar dihadapi. Ia duga, nenek ini tentulah salah seorang dari iblis tua yang berdiri dibelakang Sip pat-thian-mo. Teringat akan hal itu. Cu Jiang berseru dingin : "Sebagai tokoh dibelakang Sip-pat-thian-mo, sudah lama aku mengagumi pohpoh !" Menuding pada kuali yang mendidih, nenek itu berseru seram: "Bocah, engkau turun sendiri, tentu lebih nyaman. Kalau suruh aku turun tangan, engkau tentu mati secara pelahan !" Cu Jiang mengertek gigi, serunya: "Mungkin akulah yang hendak meminta engkau terjun kedalam kuali itu !" "Mana orang2 ini !" teriak nenek itu dan serentak dua sosok bayangan muncul dari balik gunduk bukit disebelah. Cepat sekali mereka sudah melesat tiba. Dua orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah menyeramkan. Yang satu memanggul tiga batang kayu, yang satu membawa tali. Tanpa bicara apa2 mereka terus mengikat ketiga batang kayu itu dalam bentuk segi tiga, lalu dipasang diatas kuali dan diberi gantungan tali. Setelah itu keduanyapun mundur. Menunjuk pada tiang segi-tiga, si nenek berseru pula: "Bocah, engkau hendak kugantung diatas tiang itu lalu pelahan-lahan kuturunkan kedalam kuali. Nah. engkau dapat merasakan sendiri betapa rasanya kalau digodok dengan pelahan-lahan itu!" Cu Jiang mendengus dingin: "Asal engkau mampu melakukan, akupun tak menghiraukan harus mati dengan cara apa saja !" "Bagus, nyalimu sungguh besar." seru nenek itu. "aku tak dapat menemukan cara lain lagi, bagaimana harus menyuruhmu mati secara lebih menderita lagi . . ." "Nenek tua, kata-katamu itu terlalu pagi engkau ucapkan. Nanti saja apabila engkau sudah berhasil meringkus aku, barulah engkau boleh bergembira!" "Bocah edan, rupanya aku terpaksa harus turun tangan . . ." "Silakan !" Cu Jiang mencabut pedang kutung dan pasang kuda2. Ia percaya nenek itu tentu lebih lihay dari gerombolan Sip-pat Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo thian-mo. Dia tak berani memandang sepele. Dia pancarkan tenaga penuh hingga pedang itu memancarkan hawa yang menyeramkan. Nenek itupun harus melintangkan harpa, matanya memancarkan sinar pembunuhan yang buas. Suasana tempat itu sunyi senyap. Keduanya sama2 maju dua langkah dan mencapai jarak yang dapat dilakukan pertempuran. Cu Jiang telah mempersatukan semangat, pikiran, tenaga dan pedang menjadi satu. Baru sekali itu dia benar2 harus menumpahkan seluruh semangatnya untuk menghadapi musuh. Mungkin nenek itu terlalu memandang rendah lawan atau mungkin dia terlalu membanggakan diri. Setelah merenung diapun mendesuh lalu menghantamkan harpanya dari samping. Gerakannya tampak biasa2 saja tetapi sebenarnya mengandung perubahan2 yang sukar diduga dan ditaksir. Cu Jiangpun ayunkan pedang untuk melawan keras dengan keras. Tring .., keduanya menyurut mundur selangkah. Saat itu Cu Jiang baru mengetahui bahwa harpa nenek itu terbuat daripada baja murni. Diam2 dia terkejut. Tenaga yang terpancar dari harpa itu sedahsyat gunung rubuh sehingga tangan Cu Jiang kesemutan. Diam2 ia terkejut dan mengagumi nenek itu. Yang mampu menerima Jurus Thian-te kau thay, barulah nenek itu saja. Nenek itu juga mengetahui kesaktian Cu Jiang. Diapun terkejut tetapi cepat dia sudah tenang kembali. "Hait.... !" terdengar lengking dan gemboran ketika kedua senjata beradu lagi. Kali ini Cu Jiang yang melancarkan serangan. Setelah itu keduanya menyurut mundur lagi. Tetapi keadaannya agak berbeda. Baju nenek itu dari bahu sampai keujung lengan telah rompal sehingga lengannya yang kurus kering tampak tergurat dengan goresan pedang yang memanjang. Kali ini nenek itu benar2 marah bukan kepalang sehingga rambutnya sama tegak berdiri. Wajahnya yang penuh keriput itu makin menyeramkan. Harpa bergetargetar mendengung. Cu Jiang meningkatkan kewaspadaannya. Kembali terdengar pekik dan gemboran ketika keduanya berhantam lagi. Bayangan harpa menggunduk seperti gunung, sinar pedang bertebaran seperti awan. tring, tring . . Sejurus, dua jurus, tiga jurus. Ternyata tenaga kepandaian keduanya hampir berimbang. Dalam pertempuran maut itu, keduanya telah menghamburkan tenaga dalam yang menakjubkan. Tiada ampun lagi dalam pertempuran itu kecuali salah seorang roboh. Tring .... terdengar dering keras sekali disusul oleh erang tertahan. Cu Jiang sempoyongan sampai lima enam langkah baru dapat berdiri tegak. Kain kerudung mukanya hampir separoh telah basah dengan darah. Pedang kutung menjulai kebawah dan napasnya tersengal-sengal keras. Nenek itu juga tersurut mundur sampai dua meter, mulut menyembur darah dan harpapun jatuh ke tanah. Keadaannya lebih mengerikan. Kedua lelaki kekar tadi hanya terlongong-longong kaget. Cu Jiang cepat2 mengatur pernapasannya. Beberapa saat kemudian dia sudah dapat bergerak, mengangkat pedang dan menghampiri ke tempat nenek itu. "Nenek, ambillah harpamu agar engkau dapat menyerah dengan hati puas," serunya. Wajah si nenek yang penuh keriput tampak berkerenyutan. Dia melangkah maju memungut harpa lalu mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tetap berapiapi memandang Cu Jiang, "Toan kiam jan-jin, engkau satu-satunya musuh tangguh yang pernah kujumpai seumur hidup. Beranikah engkau mendengar petikan harpaku?" "Silakan! "sahut Cu Jiang dengan angkuh. Si nenek terus duduk bersila dan melintangkan harpa dipangkuan. Matanya menunduk dan jari jarinya yang menyerupai cakar burung itupun mulai meraba senar harpa, trung Bagaikan suitan nyaring yang berasal dari langit. Seketika gundahlah hati Cu Jiang. Buru2 dia menenangkan pikiran dan mengarahkan tenaga-murni untuk melawan. Tring, tring, trung. trung . . . . Makin lama harpa makin deras. Nadanya mengandung kumandang rintihan setan. Cu Jiang menggerenyet gigi, mengeraskan semangat untuk menahan darah yang bergolak keras. Suara Harpa makin deras dan riuh. Bagai langit berputar, bumi bergetar dan badai prahara mengamuk, gelombang tam menghempas dahsyat. Dunia seakan kiamat .... Seperminum teh lamanya, sekonyong-konyong suara harpa itu berhenti. Cu Jiang rasakan tenggorokannya manis- anyir, ia muntahkan segumpal darah segar. Bajunya basah kuyup dengan keringat. Brungng .... harpa nenek itu tiba2 jatuh ke tanah. Mulutnya mengalir darah dan sinar matanya pun redup. Setelah mengusap darah di mulut, Cu Jiang melangkah ke tempat nenek itu, serunya: "Pohpoh, engkau ingin mati dengan pedang ini atau turun mencebur ke dalam kuali itu sendiri?" Nenek itu meraung-raung. "Budak, engkau menang, hayo bunuhlah aku." Sejenak Cu Jiang memandang ke arah kuali yang masih mendidih itu. Dilihatnya kedua lelaki gagah tadi sudah terkapar tak bernyawa. Jelas mereka mati karena suara harpa maut tadi. Memandang kembali ke arah nenek, Cu Jiang berkata. "Pohpoh, kalau menggodokmu itu kelewat tak berperi kemanusian. Lebih baik kuantar dengan pedang saja!" "Bunuhlah! Jangan . . . banyak omong!" Cu Jiangpun segera mengayunkan pedang dan nenek itu pejamkan mata menunggu maut. Tetapi pada saat pedang hampir mendarat di leher si nenek, tiba2 Cu Jiang menghentikannya. Melihat rambut yang sudah putih dan banyak yang rontok di kepala si nenek, hati Cu Jiang tak tega. Seorang nenek yang sudah begitu tua renta, masih dapat hidup berapa tahun lagi" "Mengapa tak lekas turun tangan" Engkau hendak mengapakan diriku?" seru si nenek. Cu Jiang menarik pedangnya dan berseru dingin: "Engkau sudah di tepi lubang kubur. Aku tak tega membunuhmu, kali ini kuampuni jiwamu . . ." "Tutup mulutmu! Aku tak sudi menerima ampunmu!" "Tidak, aku sudah terlanjur berkata, takkan kutarik kembali. Kalau mau mati, silahkan engkau bunuh diri sendiri !" "Jahanam ..." "Hanya satu hal yang pasti akan kulakukan. Yaitu ilmu kepandaian yang membuat engkau melakukan kejahatan itu harus kulenyapkan..." "Engkau berani?" Sebagai jawaban Cu Jiang acungkan jarinya untuk menotok. Nenek itu mengerang ngeri dan berguling-guling ke tanah. "Pohpoh, sekarang engkau boleh tenang2 melewatkan sisa hidupmu!" Nenek itu menggeliat duduk dan bergumam dengan sedih: "Sungguh tak kira, aku Harpa penyambar nyawa, yang begitu ditakuti dunia, sekarang harus hancur di tangan seorang bocah yang tak ternama ...." Mendengar kata2 itu terkejutlah Cu Jiang. Nama Harpapenyambar nyawa itu rasanya dia pernah mendengar tetapi ia lupa entah di mana. Ah, benar. teringat dahulu mendiang ayahnya pernah menceritakan bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat sepasang iblis besar yakni Harpa-sambar nyawa dan Genderang-pelelap-jiwa. Kedua iblis itulah yang menghabiskan jago2 dari lima partai persilatan besar. Cu Jiang benar2 tak menduga bahwa nenek yang dihadapannya itu tak lain adalah Toh Hun pi-peh atau nenek Harpa-penyambar nyawa. Nenek itu tentu sudah berumur 100 tahun lebih. Apakah Jui-beng-to itu Genderang pelelap nyawa itu, apakah masih hidup dalam dunia" "O, kiranya engkau tak lain adalah Toh-hun-pi peh yang melakukan kejahatan setinggi gunung. Sebenarnya kalau kubunuh mati itu sudah jauh lebih murah menilik dosamu. Tetapi biarlah kali ini kuampuni asal engkau masih dapat hidup untuk menebus dosamu." seru Cu Jiang. "Budak hina, sungguh tak kukira siapa manusia dalam dunia persilatan yang mampu mengajarkan ilmu kesaktian begitu hebat kepadamu ..." "Kalau tak dapat menduga, ya sudahlah !" "Jangan bermulut besar ! Kelak pasti akan terdapat seseorang yang akan membereskan Jiwamu !" "O. si Jui-beng-ko itu ?" "Benar." "Jangan kuatir, kalau dia tak bertemu aku, aku akan mencarinya." "Engkau .. . mengapa bermusuhan dengan Sip pat thianmo?" "Untuk memulihkan kesejahteraan dunia persilatan." "Aku tak punya waktu, sampai jumpa !" habis berkata Cu Jiang terus melanjutkan perjalanan. Diam2 dia masih merata terkejut. Kiranya gerombolan Sip- pat thian mo itu adalah murid2 dari sepasang iblis Toh hun-pi-peh dan Juibeng-ko. Jika kedua momok itu berada disitu, tak mungkin dia mampu mengalahkan mereka. Setelah dapat melakukan pembalasan di gunung Kengsan lalu menghancurkan markas Thong-thian kau di kota Pek te-shia, tugasnya yang penting telah selesai. Sisanya dia dapat mempergunakan untuk jejak calon isterinya Ho Kiong Hwa. Diapun juga terkenang kepada si dara baju hijau Ki Ing atau tepatnya bernama Cukat Bengcu. Diam2 ia heran atas kesalahan faham dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok atau ayah dari nona itu yang mengira bahwa yang mencelakai dirinya adalah si Buddha - hidup - Sebun Ong. Padahal jelas isteri dari Cukat Giok itu kini telah diperisteri oleh ketua Gedung Hitam. Dalam peristiwa itu tentu terjadi sesuatu yang masih gelap. Saat itu haripun sudah mulai gelap. Tiba2 ia mendengar jeritan nyaring yang mengerikan memecahkan kesunyian malam. Cu Jiang terkejut dan cepat2 lari menuju ke arah tempat itu. Ia tiba di sebuah anak sungai di tengah hutan. Di seberang anak sungai itu tampak sebuah pemandangan yang membuatnya marah sekali. Wanita gemuk atau Poan toanio beserta dua anggauta pengawal Su-tay-kojiu yakni Ki Siau Hong dan Ko kun sedang dikepung oleh kawanan orang yang tak dikenal. Sedang puteri dari Tayli tak tampak bayangannya. Di tengah gelanggang pertempuran itu sudah rebah empat orang baju busu. Dalam pertempuran itu ada sebuah pemandangan yang menyebabkan darah Cu Jiang naik seketika. Dalam lingkaran kepungan orang2 itu, Poan toanio bertiga telah bertempur dengan Ratu- bunga Tio Hong Hui dan putrinya, dibantu oleh dua orang lelaki tua baju hitam. Dengan demikian jelas bahwa gerombolan yang mengepung itu tentulah dari pihak Gedung Hitam. Cu Jiang serentak hendak muncul tetapi tiba2 ia mendapat pikiran dan menahan diri. Dia hendak memperhatikan keadaan di seberang itu dengan lebih jelas lagi. Yang menjadi pemikirannya, mengapa puteri tak berada dengan Poan toanio " Di belakang tepi anak sungai itu terdapat sebuah gerumbul hutan pohon yang melingkari tiga buah rumah pondok. Rumah itu memancarkan penerangan. Saat itu bintang2 bermunculan di angkasa sehingga pertempuran itu dapat dilihat jelas. Sesaat terdengar Ratu bunga Tio Hong Hui tersenyum. "Putri negeri Tayli berkunjung ke Tionggoan, masa kami dari pihak Gedung Hitam tak menyambutnya." serunya. "Jika kalian berani mengganggu kongcu, kelak tentu akan menerima pembalasan yang mengerikan." seru Poan toanio. Mendengar itu tercekatlah hati Cu Jiang. Dengan begitu jelas puteri telah jatuh di tangan musuh. Kedua pengawal dari Tayli, Ki Siau Hong dan Ko Kun, telah mendapat perintah agar merahasiakan diri. Tetapi karena saat itu mereka terang2 muncul dan bertempur dengan musuh, tentulah karena keadaan sudah gawat sekali. "Cu Heng ih, karena engkau mempunyai rejeki besar dan banyak pengalaman, tentulah diangkat menjadi inang besar di negeri Tayli," seru Tio Hong Hui lagi. "Tio Hong Hui." teriak Poan toanio, "hendak kalian mengapakan kongcu kami?" "Tidak apa2," sahut Tio Hong Hui tenang2, "pihak kami hanya ingin menjamunya sebagai tetamu agung. Asal raja Toan Hong ya mau memberikan kitab Giok-kah kim-keng, setiap saat kongcu boleh kembali ke negeri Tayli!" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Engkau ngimpi!" "Bukan, aku tidak bermimpi tetapi itu memang kenyataan." "Engkau kira Tayli mau tunduk pada tuntutanmu itu?" "Demi keselamatan kongcu, lebih baik kita tak saling merusak persahabatan." "Engkau kira mampu melakukan hal itu?" "Kukira bisa." "Engkau mengira Tayli tak mempunyai jago?" "Cu Heng Ih, meskipun engkau mengatakan begitu, tetapi aku tak dapat merobah apa yang telah kukatakan. Kedua sahabatmu itu boleh kembali ke Tayli untuk menghaturkan laporan tetapi engkau .... harus tetap tinggal di sini." "Apa?" "Anak keponakanmu si Toan kiam jan jin itu apabila tahu kalau engkau bertamu di gedung kami tentu akan datang, ha, ha, ha .... " "Tio Hong Hui, jangan buru2 bergiring dulu. Apakah engkau yakin dapat menjamin dirimu bakal pulang dengan selamat?" "Tentu !" "Engkau mempunyai keyakinan begitu?" "Tentu saja karena saat ini mungkin kongcu sudah berada di Gedung Hitam!" Mendengar itu serasa terbanglah semangat Cu Jiang. Ternyata kongcu sudah ditawan oleh orang2 Gedung Hitam untuk dijadikan sandera. Dia harus bertindak. Kalau terlambat dan sampai terjadi sesuatu dengan diri kongcu, bagaimana kelak dia harus memberi pertanggungan jawab di hadapan baginda Toan Hong-ya" Wajah Poan toanio berobah seketika. "Kalian berdua tentu sudah jelas." seru Tio Hong Hui kepada Ki Siau Hong dan Ko Kun. Kami minta agar kongcu ditukar dengan kitab Giok kah kim keng. Silakan kalian pergi dan kami pujikan supaya selamat tiba di negeri Tayli!" Dengan mengertek gigi Ki Siau Hong berseru: "Hujin, kelak engkau pasti menyesal." "Ah takkan begitu, " Tio Hong Hui tersenyum. "Hujin, tunggu dan lihatlah saja nanti," seru Ko Kun "Ya, kami tentu akan menunggu kabar baik dari kalian." Tio Hong Hui berseru lagi. "Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau." tiba2 Poan toanio berteriak kalap dan terus maju menyerang. Tetapi salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera songsongkan tangan dan Tio Hong Hui pun menyurut mundur. Poan toanio bertempur seru melawan lelaki tua baju hitam itu. Diam2 Cu Jiang terkejut dan kagum menyaksikan kepandaian dari wanita gemuk yang menjadi bibinya itu. Baru kali itu ia mengetahui kepandaian dari bibinya "Bukan urusan kalian, silakan pergi!" seru Tio Hong Hui kepada kedua pengawal dari Tayli. Tampak wajah Ki Ing yang berada di samping, mengerut tak puas atas sikap mamanya. Melihat itu Cu Jiang tak dapat bersabar lebih lama. Setelah dia ayunkan tubuh melayang melewati anak sungai kecil itu. Selekas menginjak tepi, dia ayunkan lagi kaki untuk melayang kedalam kepungan. "Hai siapa itu ?" "Huak..." lelaki tua yang bertempur melawan Poan Toanio. serentak roboh dan di gelanggang pertempuran telah bertambah dengan seorang bertutup muka dan mencekal pedang kutung. "Toan kiam-Janjin !" serempak terdengar pekik kejutan. Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun berobah girang bukan kepalang. Wajah Tio Hong Hui berobah wajahnya. Ki Ing kerutkan alis. Sekalian anak buah Gedung Hitam yang berada di tempat itupun pucat. 0oodwoo0 Cu Jiang langsung menghampiri ke hadapan Tio Hong Hui dan berseru dengan dingin: "Nyonya Gedung Hitam, selamat bertemu lagi." Tio Hong Hui menyurut mundur dua langkah. "Toan kiam-jan-Jin. engkau benar2 panjang umur!" serunya. "Kalau aku tak panjang umur. habis siapa yang akan membereskan kalian kawanan kurcaci ini semua?" seru Cu Jiang. "Apa kehendakmu ?" "Tidak menghendaki apa2. Lebih dulu bebaskan dulu puteri ?" "Kalau tidak?" "Semua orang-orangmu yang berada di tempat ini pasti tak ada satupun yang hidup!" "Rupanya engkau juga mempunyai hubungan dengan negeri Tayli ?" "Sudahlah. Jangan banyak bicara !" "Kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam, bagaimana ?" "Sederhana sekali. Akan kurebut kembali puteri itu dan nyawaku sebagai tebusannya !" "Apakah semudah itu ?" Cu Jiang berpaling kearah bibinya: "Toanio, kapan kongcu dilarikan ?" "Kemarin pagi." "Saudara Song Pek Liang Juga sudah mengejar ke sana. Di sepanjang Jalan tentu dia meninggalkan jejak pengenal." kata Ki Siau Hong. Cu Jiang menimang-nimang. Dia dapat mencapai markas Gedung Hitam di gunung Keng-san dalam satu hari. Maka ia mengangguk, serunya: "Toanio. Ki-heng dan Ko-heng, bersiaplah untuk membantai kawanan anjing2 ini !" Habis berkata. Cu Jiang melirik kearah Ki Ing dengan pandang meminta maaf. Kemudian berkata bengis kepada Tio Hong Hui: "Apakah aku harus menyebutmu sebagai nyonya Gedung Hitam atau nyonya Cukat ?" Mendengar itu seketika wajah Tio Hong Hui pucat lesi. Ki Ing pun terkejut memandang pada pelajar baju putih yang pernah mencuri hatinya itu. Cu Jiang tertawa dingin, Katanya pula: "Tio Hong Hui, karena hendak mencari engkau, beberapa kali aku hampir kehilangan nyawa!" "Engkau .. . hendak mencari aku !" "Benar." "Perlu apa?" "Heh, heh, aku melakukan permintaan orang untuk menyerahkan barang kepadamu!" "Barang apa ?" Tio Hong Hui makin tegang. "Kalau sudah melihat engkau tentu tahu sendiri," sahut Cu Jiang, lalu mengambil dompet titipan dari Ko-tiong-jin atau Orang-dari lembah yaitu Tiong-goan thayhiap atau pendekar besar dari Tionggoan, Cukat Giok. Dia menjepit benda itu dengan kedua jari tangan kirinya, serunya: "Kenalkah engkau akan benda ini ?" Gemetar tubuh Tio Hong Hui dan wajahnya makin pucat. Dia berpaling kepada puterinya "Nak, masuklah kedalam pondok itu!" "Mengapa?" Ki Ing terkejut. "Turutilah kata-kataku. Keadaan sudah sangat genting, aku tak menghendaki engkau terlibat dalam bahaya !" "Apakah .... begitu?" "Anakku, apa maksudmu ?" "Aku tetap akan tinggal disini." "Kusuruh engkau tinggalkan tempat ini." "Tidak !" sahut Ki Ing dengan mantap. "Puteri nyonya seharusnya hadir disini." "Engkau hendak menjadikannya sandera dan hendak menukar dengan puteri Tayli itu?" "Nyonya, engkau tentu tahu bahwa aku tak akan berbuat begitu." "Budak perempuan, mengapa engkau masih tak mau pergi !" teriak Tio Hong Hui. "Tak mau !" "Nyonya, biarlah dia hadir disini..." kata Cu Jiang. "Toan-kiam-jan-Jin baiklah, engkau hendak mengatakan apa ?" "Silakan nyonya mengatakan dulu kenal atau tidak dengan benda ini ?" "Kenal!" "Bagus," Cu Jiang mengangguk, "suami nyonya Cukat tayhiap, minta tolong kepadaku untuk menyerahkan benda ini kepadamu !" "Apa maksudnya ?" "Serahkan kemari!" "Tunggu dulu, aku hendak bertanya....*" "Soal apa?" "Bukanlah nyonya telah bersatu hati dengan Buddhahidup Sebun Ong " Mengapa nyonya menjadi isteri dari ketua Gedung Hitam?" Wajah Ki Ing mulai bergolak dan sepasang matanya yang indah, mulut membulat. Tio Hong Hui mulai berkeringat. "Engkau tak perlu mengurus soal itu !" teriaknya melengking. "Kalau nyonya tak mau menerangkan, terpaksa aku harus mencari lain bukti!" "Apalagi kata Cukat Giok ?" "Dia sudah tak dapat hidup lama lagi di dunia ini. Hanya satu satunya yang masih menjadi ganjalan hatinya yalah tentang benda ini." "Serahkan kepadaku !" teriak Tio Hong Hui. Cu Jiangpun terus melontarkan dan Tio Hong Hui menyambutinya. Tubuhnya gemetar tak berkata apa-apa. "Apakah nyonya tak mau membuka dan memeriksa isinya ?" seru Cu Jiang. Tio Hong Hui memandang dengan penuh dendam kebencian kepada Cu Jiang lalu membuka bungkusan itu dengan jarinya: "Apakah isinya ?" "Persembahan dari suami nyonya!" "Apa ?" baru berkata begitu, wajah Tio Hong Huipun berobah seketika dan cepat melemparkan bungkusan itu, serunya: "Ra...cun..." Dia terus rubuh terkulai di tanah. Sekalian orang menjerit kaget. Dan Ki Ingpun terus hendak lari menubruk mamanya. Tio Hong Hui bergeliatan, meregang-regang. Menderita kesakitan yang hebat. Mulutnya tak henti-hentinya merintih dan mengerang-erang. "Toan-kiam-jan-jin, engkau sungguh keji, menggunakan cara yang begitu biadab!" tiba2 lelaki baju hitam tadi membentak. "Huak .,.." terdengar jeritan ngeri dan lelaki tua itu pun rubuh mandi darah. Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun tertampak ikut turun tangan. Karena Cu Jiang berada disitu sudah tentu kawanan anak buah Gedung Hitam itu pecah nyalinya. Mereka lari tunggang langgang. Yang kepandaian rendah, harus meninggalkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Cu Jiang tegak di samping Ki Ing yang menangisi mamanya. Dia sedang merenungkan cara bagaimana hendak memberi penjelasan kepada nona itu. Tiba2 Poan toanio melesat dan terus menyambar Ki Ing: "Ia dapat dijadikan penukar kongcu !" "Toanio, lepaskanlah!" seru Cu Jiang. "Mengapa?" Poan toanio terkejut. "Jangan menjadikannya barang penukar kong-cu!" "Kenapa tidak?" "Aku pernah menerima budi pertolongannya menyelamatkan jiwaku, " sahut Cu Jiang. "Menarik garis tajam antara budi dan dendam memang benar. Tetapi keadaan kongcu saat ini .... " "Sukalah toanio lepaskan dia lebih dulu. " "Keselamatan kongcu?" "Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk menolongnya." Mendengar janji itu terpaksa Poan toanio mau melepaskan Ki Ing. Jelita itu tidak menangis. Tak mengucurkan setetes air matapun juga. Wajahnya merah biru dan tiba2 dia meraung kalap: "Engkau telah membunuh mamaku!" terus menyerang Cu Jiang. Pemuda itu menghindar dengan gerak langkah Gong gong-poh hwat, sembari berseru: "Nona, dengar dulu, aku hendak bicara .." Tetapi Ki Ing kalap. Dia menyerang makin hebat dan melancarkan jurus2 maut. Karena berulang kali berseru memberi peringatan tetap tak digubris, akhirnya Cu Jiang balas menyerang, mencengkeram lengan si nona seraya berseru: "Dengarkan dulu aku hendak menceritakan tentang peristiwa itu..." "Tak perlu, engkau telah membunuh mamaku!" teriak Ki Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ing. "Nona, aku hanya melaksanakan permintaan dari . . ." "Tutup mulutmu " Aku dapat menandingi engkau, bunuh sajalah aku !" "Tiada alasan aku harus membunuhmu . . ." "Jika engkau tak mau membunuh aku, aku bersumpah pada suatu hari tentu akan membunuhmu !" "Dengarkan dulu keteranganku . . " Ternyata Tio Hoag Hui masih belum mati. Tiba2 dengan terputus-putus dia berseru: "Anakku ... kemarilah ..." "Lepaskan !" teriak Ki Ing dengan mata melotot. Tertegun oleh sikap yang begitu berani dari si nona, Cu Jiangpun melepaskannya. Nona itu menubruk dan memeluk mamanya lalu mengangkatnya terus dibawa pergi .... "Dengarkan dulu," cepat Cu Jiang melesat menghadang, "aku harus memberitahu kepadamu bahwa engkau ini sebenarnya berasal. .." "Enyah!!" "Engkau harus mendengarkan keteranganku !" "Tidak!!" Wajah Tio Hong Hui saat itu sudah berobah kehitamhitaman. Dengan terengah-engah wanita itu berkata "Toan-kiam .... jan-jin tujuanmu ... telah tercapai .. . aku . . , segera mati ... dia . . memang anak kandungku., . biarlah aku dan anakku ... . pada saat terakhir . ..." sampai disitu ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena nyawanya putus. Cu Jiang terlongong. Sementara Ki Ing terus memondong tubuhnya dibawa lari. "Sausu, engkau membiarkan dia lari?" seru Ki Siau Hong. Cu Jiang menghela napas: " Biarlah mereka ibu dan anak dapat bersama dalam saat2 terakhir!" " Apakah itu bukan budi pekerti seorang perempuan?" "Aku mempunyai pertimbangan sendiri." Cu Jiang deliki mata membentak marah. "Jika kongcu sampai terjadi apa2, bagaimana kami atau menghadap baginda dan Koksu?" Ko Kun menyeletuk. "Kalian boleh membawa batang kepalaku!" sahut Cu Jiang getas. Mendengar penyahutan dan sikap Cu Jiang, kedua pengawal dan Tayli itu leletkan lidah dan tak berani berkata apa2 lagi. "Nak, jangan membawa adatmu sendiri," seru Poan toanio pula. Cu Jiang terdiam sejenak lalu berkata: "Sekarang juga aku hendak mengejar kongcu, toanio dan kedua saudara itu boleh mengikuti secara diam2. Setelah berhasil merebut kongcu, aku segera akan kembali. Karena saudara berdua dan saudara Song Pek Liang sudah mengunjuk diri, dan gerombolan Sip pat-thian mo pun sudah tinggal separoh kurang. tak menguatirkan. Setelah kubebaskan kongcu, kalian boleh mengantarkannya ke Tayli." Ki Siau Hong dan Ko Cun hanya mementang mata tak menyahut. "Toanio," kata Cu Jiang dengan nada menyesal, "kuharap toanio bersama kedua saudara itu lebih dulu berangkat. Aku hendak mengejar Tio Hong Hui dengan puterinya itu, demi untuk menyelesaikan urusan yang orang minta tolong kepadaku!" "Nak, aku benar2 tak mengerti." Terpaksa Cu Jiang menceritakan peristiwa dahulu ketika dia dilempar musuh kebawah jurang, telah ditolong oleh Ko-tiong Jin, Ternyata Ko-tiong-jin itu tak lain adalah Tionggoan-tayhiap Cukat Giok yang kemudian minta tolong kepadanya untuk mencari isteri dan putrinya. "Tio Hong Hui dan nona itu tak lain adalah isteri dan puteri dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok." kata Cu Jiang. "Oh," Poan toanio mendesuh kejut, "kiranya demikianlah peristiwa itu." "Toanio, aku segera akan mengejar jejak nona Beng Cu." seru Cu Jiang terus melesat keluar dari pondok. Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun pun segara tinggalkan tempat itu. Cu Jiang terkejut ketika memandang ke empat penjuru tak tampak barang seorangpun juga. Ia masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kantong kain dari Cukat Giok kepada puterinya. Begitu pula ia merasa wajib harus menerangkan asal usul diri Ki Ing agar nona itu tidak salah paham. Lari sampai empat lima li, tetap ia kehilangan jejak Ki Ing yang membawa mamanya itu. Tak mungkin nona itu mampu lari sejauh itu. Mungkin karena malam gelap, nona Sampul Maut 8 Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Runtuhnya Sebuah Kerajaan 2