Pusaka Negeri Tayli 13
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 13 itu bersembunyi. Kalau dia harus balik kembali untuk mencari disekeliling tempat itu, tentu akan menunda rencananya untuk membebaskan puteri Tayli. "Ah, mungkin mereka telah dibawa olah anak buah Gedung Hitam," akhirnya ia menarik kesimpulan lain. Yang jelas Tio Hong Hui tentu sudah mati. Jika demikian tentulah arah larinya nona itu juga menuju ke Gedung Hitam. Sekali dayung dua tepian. Pikir Cu Jiang. Dan diapun harus memenuhi janji dengan Ang Nio Cu untuk bertemu di Gedung Hitam. Demikian setelah menimang-nimang, akhirnya ia hentikan pengejarannya dan terus menuju ke jalan besar yang mencapai ke arah Gedung Hitam. Menjelang terang tanah dia sudah mencapai seratusan li. Dia berhenti makan disebuah warung ditepi jalan. Dan dia melihat tanda rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang. Setelah makan, cepat2 dia melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan pakaiannya yang berlumur percikan darah. Sepanjang jalan dia menurutkan tanda2 rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang. Sebelum tiba di kota Tongyang, dia mengambil jalan kecil yang menuju ke kota Wasan. Pada hari ketiga, tiba2 tanda rahasia itu tak tampak lagi. Dia heran dan kaget. Apakah dia yang kehilangan jejak atau memang Song Pek Liang yang mendapat bahaya " Dia kembali ke tempat tanda rahasia yang terakhir dan berusaha untuk menyelidiki sekitar tempat itu tetapi hasilnya nihil. Dia bingung juga. Putusnya tanda rahasia itu hanya dapat terjadi dalam dua Kemungkinan. Pertama, memang jejak pemburuan itu hanya sampai ditempat situ. Orang yang dikejar, berhenti disekitar tempat itu. Hanya letaknya yang belum diketahui benar2. Kedua, Song Pek Liang tertimpah bahaya sehingga tak sempat meninggalkan tanda rahasia. Dan kemungkinan kedua itu memang besar kemungkinannya. Karena kalau hanya kehilangan jejak yang dikejar, tentulah Song Pek Liang masih sempat meninggalkan pertandaan rahasia. Setelah menimang-nimang, akhirnya Cu Jiang memutuskan untuk menyelidiki sekeliling tempat itu sampai beberapa li. Jika tak berhasil, barulah dia akan menuju ke gunung Kengsan. Sejam lamanya dia menyelidiki sampai seluas lima li dari tempat tanda rahasia itu, tetap dia tak berhasil menemukan sesuatu. Dia bingung dan kecewa. Jika kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam untuk menekan baginda Tayli supaya menebus dengan kitab pusaka Giok kah-kim keng, itu memang dapat dimaklumi. Gedung Hitam sudah lama sekali menginginkan kitab itu. Diam2 Cu Jiang heran mengapa suhunya. Gong-gong-cu mengijinkan kongcu pesiar ke daerah Tiong-goan padahal tindakan itu berbahaya sekali bagi keselamatan kongcu. Tetapi semuanya telah berlangsung. Tak ada lain pilihan kecuali harus berusaha untuk mendapatkan kongcu kembali. Jika dia hendak menghadang kawanan anak buah Gedung Hitam yang membawa kongcu itu, dia harus merahasiakan diri. Jika tidak, maka musuh tentu dapat mengetahuinya. Ah. sayang mengapa tempo hari dia tak mau meminta beberapa kedok muka dari si pencuri sakti Thian-put thau. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan masuk ke kota kecil disebelah muka. Dia hendak menyaru dan membeli perlengkapan sebagai seorang pemburu. Mungkin kalau ia bertindak hati2 musuh tentu sukar mengetahui. Segera ia lari. Beberapa waktu kemudian tiba2 ia menemukan pertandaan rahasia lagi dari Song Pek Liang. Tanda rahasia itu menyatakan bahwa Song Pek Liang telah dikepung olah jago2 sakti dari pihak Gedung Hitam. Melihat tanda rahasia itu. jelas Song Pek Liang telah membuatnya dalam keadaan terburu-buru sekali. Tetapi dia tak memberi keterangan suatu apa tentang diri kongcu. Sekarang dia harus menolong Song Pek Liang lebih dulu baru nanti meminta keterangan tentang beradanya kongcu. Disebelah depan tampak jalan besar. Terdapat beberapa rumah petani. Sebelah kanan jalan terbentang tanah ladang dan disebelah kiri sebuah hutan. Cu Jiang tujukan langkah ke hutan itu. Kalau tak berhasil menemukan apa2, barulah dia akan kembali lagi menyusur jalan besar. Setelah menjelajahi hutan dan tak menemukan apa2, dia terus hendak keluar lagi. Tiba2 ia melihat diatas tanah bukit yang tak jauh dari hutan itu seperti tampak berkelebat beberapa bayangan. Serentak timbullah semangatnya dan terus saja dia melesat ketempat itu. Tiba di tepi hutan, terpaksa ia harus menghela napas panjang. Ternyata bayang2 itu bukan sosok manusia melainkan batang pohon yang ditancapkan di punggung bukit. Diatas dahan itu terpancang sehelai baju yang berkibar2 dihembus angin. Memandang dengan seksama, dilihatnya batang dahan itu masih digantungi lagi dengan sebuah peti obat. Sudah tentu dia terkejut sekali. Bukankah peti obat itu milik Song Pek Liang ketika dia menyaru menjadi penjual obat tempo hari " Ah, jelas Song Pek Liang tentu menderita bahaya. Ia mengeliarkan pandang ke sekeliling dan kejutnya makin hebat lagi. Tak berada jauh dari dahan itu. sebutir kepala manusia menggeletak di tanah. Darah Cu Jiang mendidih seketika. Song Pek Liang telah dibunuh musuh secara mengerikan sekali. Dia dikubur berdiri sampai sebatas leher sehingga kepalanya saja yang kelihatan di permukaan tanah. "Bajingan2 itu harus kuhancur-leburkan semua!" teriak Cu Jiang. Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan yang gemuruh. Asalnya diperkirakan seperti di sebelah kanan bukit itu. Segera dia lari ke tempat itu. Ternyata dugaannya memang benar. Di tempat itu sedang berlangsung pertempuran yang seru. Dan yang bertempur itu tak lain adalah Ang Nio Cu bersama Thianput thou. Ang Nio Cu berhadapan dengan seorang lelaki tua kurus berjubah kuning emas. Ang Nio Cu menggunakan pedang yang Cu Jiang berikan sebagai tanda perjodohan kepada Ho Kiong Hwa yang lalu. Baru pertama kali itu Cu Jiang melihat Ang Nio Cu bertempur dengan menggunakan senjata. Dan dilihatnya pula bahwa ilmu-pedang nona itu, mempunyai corak gaya permainan yang istimewa. Lawannya, lelaki tua berjubah kening emas, juga menggunakan pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Keduanya bertempur dengan seru sehingga sukar dibedakan satu sama lain. Sedang Thian-put-thou seorang diri menghadapi empat orang Pengawal Hitam dan seorang lelaki pertengahan umur yang mengenakan pakaian seperti seorang thaubak (kepala regu). Keadaan Thian-put-thou memang kurang menguntungkan. Dia hanya mengandalkan kelincahan ilmu meringankan tubuh untuk menghindari serangan lawan. Sementara ditanah tampak berserakan tujuh sosok mayat. Lima diantaranya adalah kawanan Pengawal Hitam. Jelas rombongan anak buah Gedung Hitam itu tentulah yang membunuh Song Pek Liang. Mungkin juga yang membawa kongcu. Cu Jiang tak menduga bahwa Ang Nio Cu dan Thian put-thou akan muncul disitu dan bertempur dengan musuh. Maka diapun terus melayang ke gelanggang dan... Huak. . . huak . .. terdengar beberapa jeritan ngeri yang menyeramkan dan kedua belah pihak yang bertempur itu terkejut dan serempak berhenti Kelima orang yang menjadi lawan Thian-put thou, sudah ada tiga yang menggeletak, diantaranya yalah lelaki setengah tua yang berpakaian sebagai thaubak. "Adik kecil, bagus, engkau datang !" seru pencuri sakti Thian put-thou. "Adik Jiang !" seru Ang Nio Cu. "Toan-kiam-Jan-jin !" teriak lelaki tua yang mengenakan jubah kuning emas dengan wajahnya pun serentak berobah kaget. Sedang kedua Pengawal Hitam tampak pucat pasi. Cu Jiang tak mau berkata apa2 terus berputar tubuh, mencabut pedang dan menyerang. Kedua Pengawal Hitam itu menjerit dan rubuh. Lalu menyerang lelaki tua berjubah emas untuk menggantikan Ang Nio Cu. "Adik Jiang, dia adalah wakil ketua dari Gedung Hitam." seru Ang Nio Cu. Lelaki tua berjubah kuning emas itu cepat melesat melarikan diri. "Hai, mau lari ke mana engkau!" teriak Cu Jiang yang dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat sudah menghadangnya dan terus menghantam. Rupanya lelaki tua yang menjadi wakil ketua Gedung Hitam itu sudah tak menghiraukan soal gengsi lagi. Dengan gerak Keledai malas menggelinding-ke tanah, dan menyambitkan senjata rahasia kearah Cu Jiang. Serangan itu benar2 tak pernah di duga Cu Jiang. Hantamannya tadi bahkan malah membantu lawan untuk berguling ke tanah dan setelah melepaskan senjata rahasia, terus menyelinap lenyap kedalam hutan. Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak loncat mengejar. Cu Jiangpun marah dan terus menyerbu kedalam hutan. Tetapi dalam beberapa kejab itu. ternyata lawan sudah menghilang. Sesaat mereka bertiga berjumpa dalam hutan, ketiganya-pun tertawa kecut. Sambil banting2 kaki, Cu Jiang uring2an: "Aku harus dapat mengejar orang itu . ." "Menolong orang lebih penting," Thian-put-thou mencegah. "Mereka telah menculik puteri Tayli .. .. " "Kutahu," Thian-put-thou mengangguk, "saat ini mungkin sudah berada di Gedung Hitam ..." "Mengapa begitu cepat?" "Setiap pos, mereka berganti kuda, sudah tentu bisa cepat." "Bagaimana lo-koko tahu?" "Karena mendengar mereka secara tak sengaja telah bercakap-cakap membocorkan hal itu." "Lalu bagaimana tindakan kita ?" "Kita berunding lagi." "Kalian berdua mengapa dapat bersama ... " "Bertemu di tengah jalan." Cu Jiang berpaling kepada Ang Nio Cu: "Apakah taci juga mengambil jalan pendek..." "Ah, kita tolong orang dulu " kata Ang Nio Cu. Mendengar itu Cu Jiang gelagapan. Ia baru teringat tentang Song Pek Liang yang dikubur begitu kejam. Entah dia masih hidup atau sudah mati. Cepat dia melesat dan mengajak kedua orang itu "Tunggu dulu, tak perlu terburu-buru !" seru Thian-putthou. "Lo koko kenapa"!" Cu Jiang hentikan langkah. "Itu sebuah jebakan, khusus menunggu engkau, maka jangan gegabah !" "Jebakan ?" "Apakan engkau tak memperhatikan mengapa lawan sengaja menunjukkan pertandaan itu secara menyolok sekali. Tak lain hanya untuk memikat engkau. Untung belum menolongnya, kalau tidak engkau tentu sudah hancur lebur!" Mendengar itu berdetaklah hati Cu Jiang. "Apakah mereka memasang obat peledak?" tanyanya. "Ya !" "Keparat !" "Mari kita ke sana." "Apakah Song Pek Liang masih hidup!" "Mungkin belum mati." Ketiga orang itu menuju ke tepi hutan dibawah bukit. Memandang kepada kepala Song Pek Liang yang menonjol di atas tanah, dada Cu Jiang serasa meledak. Thian put-thou garuk2 telinga dan mukanya dan bersungut-sungut. "Harus mencari akal untuk menghilangkan obat peledak itu." "Bagaimana caranya ?" tanya Cu Jiang. "Jika salah menyentuh bahan itu, akibatnya sukar dilukiskan. Yang menjadi kesulitan, kita tak mengetahui dimana letak mereka memendam obat pasang itu." "Oh, tentu tak jauh dari tempat orang yang dikubur itu. Mereka tentu memperhitungkan, begitu adik Jiang melihat kawannya dikubur hidup-hidupan tentu akan buru2 menolongnya. Begitu mengejar kesitu, tentu segera akan meledak," tiba2 Ang Nio Cu menyelutuk. Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih: "Sayang orang yang dikubur itu jalan darahnya telah ditutuk Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sehingga tak dapat bicara. Kalau tidak, dia tentu dapat memberi tahu." "Apakah dia masih dapat ditolong ?" tanya Cu Jiang harap2 cemas. "Tentu saja masih, asal dapat menyingkirkan bahan peledak itu." "Aneh, mengapa musuh dapat mengetahui diri saudara Song . . . . " "Kudengar semua itu hasil tindakan mereka untuk menekan si puteri manis itu sehingga rombongan pengawal dari Tayli dan bahkan dirimu telah diketahui semua oleh musuh." Cu Jiang tertawa hambar. "Tak apa, kita dapat membuat serangan secara terangterangan," serunya. "Tetapi engkau tentu tak sampai berpikir, bahwa apabila peristiwa itu tersiar keluar, tentu akan menimbulkan banyak kesulitan kepada kerajaan Tayli." "Tetapi tiada lain jalan lagi. Setelah dapat membebaskan kongcu, aku segera hendak mengantarkannya kembali ke Tayli." "Itu memang benar." "Sekarang apa daya kita untuk menolong Song Pak Liang ?" gumam Cu Jiang dan ketika memandang kearah Song Pek Liang, dilihatnya mata pengawal dari Tayli itu sudah mengatup rapat. Cu Jiang serentak berseru meneriaki: "Saudara Pek Liang!" Rupanya pendengaran Song Pek Liang masih belum hilang. Dia membuka mata. Sudah tentu Cu Jiang gembira sekali karena hal itu menandakan bahwa dia masih hidup. Bibir Song Pak Liang bergerak-gerak seperti hendak omong tetapi tak dapat mengeluarkan suara. Tiba2 Cu Jiang mendapat akal, serunya gembira: "Aku menemukan akal!" Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak lompat menghampiri: "Bagaimana ?" "Pandangan Pek Liang masih belum beku," kata Cu Jiang. "hanya tak dapat berkata, dia menggunakan kerling mata untuk menyampaikan maksud hatinya . . ." "Saudara Pak Liang, apakah engkau dapat mendengar omonganku " Jika dapat, harap engkau kicupkan mata !" seru Cu Jiang. Eh, ternyata Pek Liang mengicupkan mata. Sudah tentu Cu Jiang bertiga gembira sekali. "Saudara Peh Liang, aku hendak bertanya. Jika engkau mengiakan, tolong kicupkan mata. Apakah jalan darahmu tertutuk?" seru Cu Jiang. Pek Liang kicupkan mata. "Engkau terluka ?" Kembali Pek Liang kicupkan mata. Cu Jiang mengangguk lalu bertanya pula. "Apakah mereka memasang obat peledak disamping tempatmu?" Lagi2 Pek Liang kicupkan mata. "Sekarang kami hendak mencari tempat obat peledak itu. Apakah obat itu berada dalam lingkungan satu meter di sekelilingmu ?" Pek Liang diam saja. "Dua meter ?" Tetap diam. "Tiga meter " ... Empat ... Lima meter " Satu tombak ?" Namun Pek Liang tak memberi reaksi apa2. "Apakah berada pada tubuhmu ?" akhirnya Cu Jiang mendesak. Pek Liang mengangguk. Cu Jiang berpaling kepada Thian put thou tanyanya: "Lo-koko, obat itu ada pada tubuhnya, bagaimana ?" "Hanya dengan cara perlahan-lahan kita menggali untuk mengeluarkan tubuhnya tetapi hal itu memang mengandung bahaya besar. Salah-salah obat meledak dan tubuh hancur berkeping2." Sejenak merenung Cu Jiang bertanya lagi: "Saudara Pek Liang, kami hendak menyingkirkan obat peledak itu. Lalu dari mana kita harus mulai bertindak" Dari muka ?" "Dari belakang ?" "Dari sebelah kiri ?" Setelah berulang kali diam, akhirnya Pek Liang kicupkan mata, menyatakan bahwa penggalian itu harus dilakukan dari sebelah kiri. Cu Jiang segera minta Thian-put-thou dan Ang Nio Cu supaya mundur karena ia hendak bertindak. "Tidak," sahut Thian-put thou."seharusnya aku yang turun tangan." "Tetapi lo-koko mengapa hendak menempuh bahaya." "Adik kecil, tugasmu yang penting belum selesai. Musuh besarmu belum dibalas dan engkau masih muda belia. Hari depanmu masih gemilang. Sedangkan aku sudah seperti pohon tua yang mendekati lapuk. Kalau harus mati itu sudah wajar, tak ada yang perlu disalahkan. Tetapi itupun hanya suatu kemungkinan karena belum tentu aku mati." "Tidak, lo-koko ! Ini urusanku ..." "Urusanmu apakah bukan urusanku Juga ?" Cu Jiang tergerak hatinya. Ia terbaru mendengar pernyataan lo-koko atau engkohnya yang tua itu. "Lo koko, kecintaanmu terhadap diriku, sampai mati pun takkan kulupakan. Tetapi dalam urusan ini, biarlah aku saja yang turun tangan, harap kalian mundur . .. . " "Tidak!" wajah Thian-put-thou berobah sarat, "bagaimanapun aku takkan menurut perintahmu !" "Jika demikian biarlah aku saja agar kalian tidak saling berebut." tiba2 Ang Nio Cu menyeletuk. "Tidak layak !" seru Cu Jiang terkesiap. "Mengapa ?" "Bagaimanapun alasan taci. tetapi engkau tak boleh menerjang bahaya itu. Dan lagi penerus dari perguruan Hiat ing bun terletak pada diri taci...." "Seorang ksatrya rela mati untuk orang yang akrab hubungannya dengan dia. Tak perlu harus memikirkan segala alasan itu. Dan terus terang, aku sudah jemu dengan kehidupan ini. Kalau bisa melakukan sesuatu yang membahagiakan orang, hatiku sangat gembira . . ." "Taci ..." "Adik Jiang, tetapi ini bukan perjalanan menuju ke kematian!" kata Ang Nio Cu. Tetapi Cu Jiang tak mau berbantah lagi. Sekonyongkonyong tubuhnya melayang ke samping Song Pek Liang. Sudah tentu Ang Nio Cu dan Thian-put-thou terkejut sekali namun sudah tak keburu untuk mencegah. "Hati-hati!" mereka hanya dapat memberi peringatan. "Ya, tahu. Harap kalian beristirahat ke dalam hutan." sahut Cu Jiang. Tampak wajah Song Pek Liang merah padam. Karena tubuh tertanam di tanah, darah tak dapat mengalir lancar sehingga terhenti di muka. Apabila tak lekas ditolong tentu mati. DI samping itu rupanya Song Pek Liang tak menghendaki Cu Jiang bertindak begitu. Sedikit kurang hati2, tentu akan menyentuh obat pasang dan keduanya temu akan hancur lebur. "Song-heng, jangan cemas, aku akan bertindak dengan hati2." seru Cu Jiang lalu mencabut pedang kutung dan mulai menggali. Diam2 sebenarnya hati Cu Jiang juga kebal kebit. Dia tahu bahwa saat itu sedang menghadapi maut. Tak berapa lama pakaiannyapun basah kuyup dengan keringat. Napas memburu keras. Ang Nio Cu dan Thian-put-thou yang berada di hutan juga tak kurang tegangnya. Pelahan-lahan sudah tampak bahu dan rusuk kiri dari Song Pek Liang. Cu Jiang berhenti menggali. "Song heng, di mana obat itu letaknya " Dibawah pinggangmu " "Kaki " Paha " . . . . Pantat.. ?" Tetapi Song Pek Liang tetap pejamkan mata tak menyahut. Sudah tentu Cu Jiang gugup. Terang kalau Song Pek Liang itu pingsan. Cepat ia lanjutkan penggaliannya dengan hati2. Akhirnya sampai ke perut. Tiba2 ia mendapat pikiran. Ia hentikan penggalian lagi. Pikirnya, ia hendak membuka Jalan darah Song Pek Liang yang tertutuk itu agar dapat ditanya keterangan. Ia segera meraba-raba tubuh Song Pek Liang tetapi tak berhasil menamakan bagian yang tertutuk. Ia menyadari bahwa musuh mempunyai ilmu tutuk yang istimewa. Terpaksa ia hentikan usahanya. Saat itu ia mulai menggali lagi dan ketegangannyapun makin memuncak. Mati atau hidup hanya tergantung dari detik2 yang menentukan. "Adik kecil, bagaimana, keadaannya ?" teriak Thian-putthou. "Dia pingsan," Cu Jiang membesut keringat. "Engkau menemukan apa saja?" "Tidak menemukan apa2." "Peti obat atau barang sejenis itu ?" "Tidak!" "Engkau turun kemari, biar aku yang mengganti. Aku lebih ahli dalam soal itu ...." "Tidak !" Cu Jiang menolak. Thian-put-thou dan Ang Nio Cu serempak ayunkan tubuh melayang ke tempat Cu Jiang. "Apa maksud kalian " Apakah hendak bersama-sama mati?" tegur Cu Jiang dengan tegang. "Engkau dan Ang Nio Cu cepat menyingkir, aku yang menyelesaikannya !" kata Thian-put-thou dengan serius. "Tidak !" Sekonyong-konyong dari gunduk atas bukit itu terdengar suara tertawa dingin. Ketiga orang itu terkejut. Memandang kearah suara tawa itu, tampak wakil ketua Gedung Hitam sedang tegak berdiri dengan mencekal seutas tali. Cu Jiang mendengus geram. Pada saat dia hendak bergerak tiba2 wakil ketua Gedung Hitam Itu membentak: "Jangan bergerak!" "Apa engkau hendak mengantar Jiwa?" teriak Cu Jiang marah. Wakil ketua Gedung Hitam itu tertawa mengekeh seraya menggerak-gerakkan tali, serunya: "Tali ini bersambung dengan sumbu obat peledak. Sekali kutarik, kalian bertiga tentu hancur lebar!" Cu Jiang bertiga menelan ludah. Jarak wakil ketua Gedung Hitam dengan tempat mereka terpisah dua puluhan tombak. Betapapun hebat ilmu ginkang seseorang, tetapi tetap masih kalah cepat dengan gerakan menarik tali itu. Cu Jiang rasakan dadanya seperti meledak. Dengan ilmu langkah Gong gong-poh mungkin dia masih dapat terhindar dari bahaya kehancuran. Tetapi Ang Nio Cu dan Thian putthou tentu hancur. Tak ada lain daya dari ketiga orang itu kecuali saling bertukar pandang. "Li Ing Bo, apa maksudmu" " teriak Thian-put-thou. Ternyata wakil ketua itu bernama Li Ing Bo. Dia membalas dengan tawa gelak2, serunya: "Kalian bertiga hendak kuantar naik ke akhirat!" "Adik kecil, dengan kepandaianmu, mungkin engkau dapat menghindar dan tempat ini . . . ," bisik Thian put thou. "Lo koko menganggap aku ini orang apa?" Cu Jiang memberingas. "Bukan begitu maksudku," kata Thian put thou, " perlu apa kita bertiga harus mati" Bukankah masih ada seorang yang kelak dapat membalaskan dendam darah ini?" "Aku tak mau!" "Adik kecil, saat ini bukan saat main keras kerasan kepala . . . . "Tidak! Kecuali kita bertiga sama2 ke luar!" "Tak mungkin!" "Taci tentu dapat keluar juga," kata Cu Jiang kepada Ang Nio Cu. "Hm, apakah lo kokomu ini juga tak mampu ?" dengus Ang Nio Cu "Kalau kita bergerak keluar dan lingkungan tempat ini, mungkin dapat selamat. Tetapi bagaimana dengan jiwa saudara Pek Liang..." "Kecuali menemaninya mati, memang sudah tak ada lain jalan lagi." kata Ang Nio Cu. "Kalian hendak memberi pesan terakhir apa saja ?" seru Li Ing Bo dengan keras. "Orang she Li," teriak Cu Jiang dengan keras, "kalau aku tak mati, kelak tentu akan kuratakan Gedung Hitam dan takkan kutinggalkan seorangpun bahkan anjing dan ayam pun akan kubunuh semua !" "Heh, heh, heh, sayang engkau sudah mati dulu !" Cu Jiang kebingungan faham. Tiba2 Thian put-thou berkata dengan segera. "Kita tak boleh menunggu kematian dengan cara begini. Harus lekas mengambil putusan !" Tiba2 saat itu sesosok bayangan muncul disamping Li Ing Bo. Hai jelas si Jelita Ki Ing, puteri dari Tay hiap-tionggoan Cukat Giok yang belum tahu asal usul dirinya dan mengira kalau ketua Gedung Hitam itu ayahnya. "Susiok, berikan tali itu kepadaku !" tiba2 si Jelita berkata kepada Li Ing Bo. Dengan menyebut Li Ing Bo sebagai susiok atau paman guru, mungkin Li Ing Bo ini juga adalah Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seorang murid dari Sam Bok thian cun. "Budak, lekas engkau menyingkir !" bentak Li Ing Bo. "Tidak, aku hendak membalas dendam mamaku." "Apakah kalau aku bukankah sama saja..." "Aku hendak menghancurkan Toan-kiam-jan-jin dengan tanganku sendiri ..." Merah mata Cu Jiang mendengar itu. Tak tahu dia bagaimana caranya untuk memberi penjelasan kepada nona itu. Jika benar2 nona itu turun tangan, ah, akibatnya tentu mengerikan. "Nona Ki Ing engkau bukan . . . ." "Tutup mulutmu Toan kiam-Jan Jin ! Rasanya tak puas hatiku kalau tak menghancurkan engkau dengan tanganku sendiri !" Mendengar itu akhirnya mau juga Li Ing Bo memberikan tali kepada Ki Ing. "Sayang tali itu terpendam dibawah tanah. Jika tidak begitu, kita dapat memutuskannya," bisik Ang Nio Cu. "Budak, mengapa tak lekas engkau tarik tali itu !" seru Li Ing Bo. Cu Jiang terkejut dan serentak dia hendak berteriak lagi memberi penjelasan kepada Ki Ing. Tetapi sekonyongkonyong nona itu lemparkan tali dan berseru gopoh: "Lekas kalian lari !" Sudah tentu Cu Jiang bertiga terlongong-longong menyaksikan perbuatan yang tak terduga-duga itu. Adalah Cu Jiang yang lebih dulu menyadari hal itu. Serentak dia ayunkan tubuhnya seraya meneriaki kedua kawannya : "Lekas lari !" Sesaat ketiga orang itu melesat pergi terdengarlah suara orang menguak yang mengerikan sekali. Kemudian disusul dengan ledakan yang dahsyat. Tanah dan keping2 batu muncrat berhamburan ke udara. Bahan peledak itu telah meledak. Sebenarnya Cu Jiang terus hendak enjot tubuh ke tempat Li Ing Bo tetapi ledakan Itu telah membuatnya tertegun di tempat. Sebuah pemandangan yang mengerikan serentak menusuk hatinya. Ki Ing mati dan Pek Liangpun hancur lebur. Tetapi pada lain saat. Cu Jiang dapat melepaskan pikirannya dari peristiwa itu dan cepat melambung ke atas bukit. Dia hendak menghancurkan Li Ing Bo. Tetapi wakil ketua dari Gedung Hitam itu sudah lenyap. Yang tampak hanya si Jelita Ki Ing, menggeletak di tanah, mata dan hidungnya mengucurkan darah. Cu Jiang cepat lari menghampiri. Dilihatnya wajah nona itu pucat seperti kertas, sinar matanya redup dan layu. Tetapi napasnya belum putus. Jelita itu memandang Cu Jiang, dari sudut bibirnya merekah senyum. "Nona Beng Cu, Jangan kuatir, engkau tentu tertolong !" "Apakah masih dapat ditolong ?" seru Thian-put thou gugup. Ang Nio Cu memeriksa seluruh jalan darah tubuh nona itu. Lama baru dia berkata dengan nada tegang: "Dia menderita luka-dalam yang parah sekali, tetapi denyut jantungnya masih baik, Dia terkena pukulan ganas yang istimewa. Aku tak dapat menolongnya." "Dia telah menyelamatkan kita bertiga, tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja!" seru Cu Jiang. Thian-put-thou mengeluarkan beberapa butir pil dan diberikan kepada Ang Nio Cu: "Untuk mempertahankan jiwanya, baru nanti kita berusaha untuk mengobati." Ang Nio Cu pun lalu menyusupkan pil itu ke dalam mulut Ki Ing. "Ah, kenapa dia harus bertindak begitu ?" Thian-put-thou menghela napas. "Mungkin tak dapat melupakan rasa asmaranya terhadap adik Jiang." kata Ang Nio Cu. Cu Jiang tertegun, memandangnya. Kemudian menengadah memandang kearah bukit, Ditempat Song Pek Liang dikubur hidup hidup tadi, terbukalah sebuah lubang seluas dua tiga tombak. Sedih hati Cu Jiang sehingga ia menitikkan airmata. Diantara empat pengawal dari Tayli yang diperintah Gonggong-cu untuk mengikutinya ke Tionggoan, dua orang yaitu Ong Kian dan Song Pak Liang telah mati. Bahkan kematian Song Pek Liang itu sangat mengerikan. Cu Jiang serentak melesat ke tempat bekas ledakan itu tetapi tubuh Song Pek Liang sudah hancur lebur tak dapat dikumpulkan lagi. Setelah berdoa memanjatkan arwah Song Pek Liang agar mendapat tempat yang layak di nirwana, Cu Jiang kembali ke tempat Ki Ing. "Adik Jiang, satu-satunya yang dapat menolong nona ini ialah Kui jiu-sin-Jin di gunung Busan." Cu Jiang mengangguk. "Kecuali engkau sendiri, lain orang tak mungkin diijinkan masuk ke lembah Mo jin-koh," kata Ang Nio Cu pula. "Baik, akulah yang akan kesana." "Benar, memang kecuali engkau tak ada lain orang yang mampu melindungi nona itu. Dia harus beristirahat. Kalau sampai terganggu dan menderita goncangan hati, dia tentu binasa. Aku akan menemanimu kesana," kata Thian putthou. Kepada Ang Nio Cu, Cu Jiang mengatakan bahwa apabila membawa Ki Ing ke Bu-san, perjalanan ke Keng san tentu tertunda. "Sudah tentu menolong jiwa orang lebih penting." sambut Ang Nio Cu. "Perjalanan ke Bu-san ini paling tidak tentu memakan waktu setengah bulan. ai..." "Aku ikut dan Ciok cianpwe tak perlu capek2 kesana." "Celaka!" teriak Thian-put-thou, "kalau nganggur aku tentu angot penyakitku, Lebih baik aku saja yang menemani adik kecil ke sana !" "Dia seorang gadis, kalian kaum lelaki bagaimana akan merawatnya di sepanjang jalan nanti ?" -oo0dw0oo- Jilid 22 Thian-put-thou terbeliak. Dia benar2 terpojok. Memang, bagaimana mungkin kalau dua orang lelaki harus merawat seorang gadis dalam perjalanan nanti. "Lo-koko, terpaksa engkau yang tidak ikut !" Cu Jiang tertawa. Thian-put-thou garuk2 kepalanya: "Ang Nio Cu tak dapat menunjukkan diri secara terang-terangan. Dan engkau, adik kecil, musuhmu tersebar dimana-mana. Boleh dikata setiap jalanan engkau selalu terancam bahaya. Kalau aku si tua ini ikut dalam perjalanan, tentu dapat diajak berunding apabila menghadapi sesuatu bahaya !" "Ya." akhirnya Cu Jiang menghela napas,"kalau begitu kita harus pergi bertiga saja." "Itulah yang tepat," Thian put-thou tertawa, "aku akan menyewa kereta dulu baru nanti kita berangkat." Dia terus lari turun. Ang Nio Cu segera mengangkat KI Ing dibawa masuk ke hutan untuk menunggu kereta. Sedang Cu Jiang masih tetap berjaga diatas gunduk tanah untuk mengawasi apabila pihak Gedung Hitam hendak melakukan serangan. Sejam kemudian Thian-put thou kembali dan membawa mereka turun bukit. Ternyata dia sudah mempersiapkan kereta Ang Nio Cu dan Ki Ing disuruh masuk, sedang Cu Jiang dan Thian put-thou menyaru sebagai ayah dan anak yang mengantar kereta. Karena naik kereta mereka terpaksa harus mengambil jalan ke kota Hu-yang baru kemudian menuju ke barat. Pada hari kedua menjelang petang, Poan toanio, Ki Sian Hong dan Ko Kun muncul menyambut. Cu Jiang menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Ketiga orang itu mengucurkan airmata mendengar nasib yang diderita Song Pek Liang. Akhirnya diputuskan, Poan toanio bertiga supaya menunggu dan bersembunyi sampai nanti Cu Jiang sudah kembali dari Busan baru bergerak lagi untuk menolong kongcu. Sebenarnya Cu Jiang memang cemas akan keselamatan puteri Tayli itu, tetapi karena mengingat jiwa Ki Ing itu perlu diselamatkan, terpaksa ia harus menunda dulu rencananya untuk menggempur Gedung Hitam. Mereka berpisah. Cu Jiang dan rombongannya melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang perjalanan tak terjadi suatu apa. Setelah tiba di Kui-ciu, mereka naik perahu dan setelah tiba di daerah gunung, mereka menempuh perjalanan lagi dengan jalan kaki. Selama perjalanan itu, Ang Nio Cu yang bertugas merawat Ki Ing. Waktu mendaki gunung merekapun tak mengalami kesukaran apa2. Dan kurang menggembirakan luka Ki Ing atau namanya yang aseli Cukat Beng Cu, tak berobah memburuk tetapi tetap begitu saja. Keadaan di lembah Mo-Jin kok tetap seperti dulu. Mereka berhenti di mulut lembah dan Cu Jiang lantas berseru mohon menghadap pemilik lembah. Tak berapa lama putera dari Kui-Jin sin-jin yakni Bun Cong Beng keluar. Cu Jiang segera mengatakan maksud kedatangannya. Sambil menjabat tangan Cu Jiang. Cong Beng berkata: "Cu-heng, engkau tentu sudah tahu bagaimana perangai ayahku yang aneh itu. Dia tak mau bertemu dengan manusia, apalagi diminta mengobati seorang anak perempuan. Tetapi karena yang minta Cu-heng, rasanya tentu lain. Harap tunggu sebentar, aku hendak memberi laporan kepada ayah." "Sebenarnya memang berat rasa hatiku untuk mengganggu ayahmu tetapi apa boleh buat. Soal ini memang penting sekali, harap Bun-heng dapat membantu." "Ah. tentu," kata Cong Bang. "lalu bagaimana tentang permintaan ayah tempo hari ...." "Ah. syukur aku dapat melaksanakannya." kata Cu Jiang. Setelah ia teringat akan peristiwa ketua Hoa-gwatbun Tiam Su Nio. Seperminum teh lamanya, Kui-jiu-sin-jin dan anaknya keluar. Cu Jiang dan kawan-kawannya Bergegas menghaturkan hormat.. Memandang ke arah Thian-put-thou dan Ang Nio Cu, Kui jiu sin jin berkata: "Karena urusanmu, aku tak dapat mengatakan apa2 lagi." Cu Jiang menjura dan menghaturkan terima kasih. Kemudian memandang kepada Ki Ing, tabib sakti itu segera suruh membawanya masuk. Ang Nio Cu meletakkan Ki Ing di muka Kui-jiu-sin-jin. Kui jiu sin jin berjongkok dan memeriksa beberapa jenak lalu berbangkit lagi, ujarnya: "Telat setengah hari, tak mungkin ditolong!" "Tolong tanya, lo cianpwe, dia terkena ilmu pukulan apa?" "Coat bun ciang!" "Coat ban ciang?" Cu Jiang mengulang. "Ya. Ilmu pukulan itu amat beracun sekali. Khusus untuk melukai urat2. Apabila terkena tiada dapat tertolong. Beruntung aku masih dapat menolongnya." "Mohon locianpwe suka menolongnya." "Perlu beristirahat selama sepuluh hari baru dapat sembuh." "Ini ...." "Dia seorang gadis, jika tinggal di dalam lembah, kurang leluasa. Tetapi kalau tinggal di luar lembah dikuatirkan terjadi hal2 yang tak diinginkan . . ." "Apakah locianpwe mengijinkan kalau taciku ini menyertainya tinggal dalam lembah?" tanya Cu Jiang. Kui jiu sinjin kerutkan dahi, akhirnya dengan suara sarat ia mengiakan. "Taci," berseru Cu Jiang kepada Ang Nio Cu, "apakah taci tak keberatan?" "Tidak." "Terimalah lebih dulu terima kasihku." "Jangan berlebih-lebihan adik Cu." seru Ang Nio Cu. "Cu-heng, mari kita masuk dan bercakap-cakap sambil minum hidangan teh." kata Cong Heng. "Maaf, Bun-heng, mungkin aku tak dapat memenuhi permintaanmu." "Kenapa" Apakah Cu-heng tak mau masuk ke dalam lembah?" "Aku masih mempunyai urusan penting yang belum selesai. Selama sepuluh hari ini, biarlah kugunakan untuk menyelesaikan hal itu." "Urusan apa saja?" "Aku hendak menuju ke markas besar perkumpulan Thong thian kau di Pek teshia." "Seorang diri?" "Ya." "Tentu harus pergi?" "Karena melakukan perintah suhu. Kalau tak lekas dilaksanakan dikuatirkan akan timbul perobahan2 yang tak diinginkan." "Ah, kalau begitu sungguh sayang sekali." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Maaf, biarlah lain kali saja aku pasti akan menemani Bun heng." Setelah itu, Ang Nio Cu mengutarakan juga kekuatirannya tentang rencana Cu Jiang yang hendak menuju ke markas besar Thong thian kau seorang diri. "Menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya, tiada lain jalan kecuali harus melaksanakan apa yang telah disanggupkan." "Sepuluh hari kemudian, dimana kita akan bertemu?" tanya Ang Nio Cu. "Bagaimana kalau di gunung Keng-san?" kata Cu Jiang. "Thong thian kau merupakan sarang dari Iblis2 yang ganas, apakah engkau .... tidak berbahaya seorang diri ke sana?" "Jangan kuatir, taci, aku dapat menjaga diri dengan hati2." "Jika memang begitu, baiklah, silahkan engkau berangkat." akhirnya Ang Nio Cu melepas. Tiba2 Kui jiu sinjin mau memberi nasehat kepada Cu Jiang: "Nak, dunia persilatan itu penuh dengan Iblis yang jahat. Hanya dengan mengandalkan kepandaian saja tak cukup. Yang penting engkau harus berhati-hati dan waspada." Cu Jiang menyatakan terima kasih sekali atas kebaikan manusia aneh itu. "Silahkan berangkat, dan jangan kuatir, aku akan berusaha untuk menolong nona itu, " kata Kui jiu-sin-jin. Kemudian manusia aneh itu berpaling kearah Thian put thou, serunya: "Apakah engkau suka menjadi tetamu dari lembah ini?" Thian put thou tertawa gelak2, serunya: "Sudah tentu aku senang sekali tetapi maaf, aku terpaksa harus menemani adik kecil itu agar setiap waktu yang diperlukan dapat memberi bantuan." "Jika begitu, sampai jumpa dan selamat jalan." habis berkata Kui jiu sin jin terus masuk ke dalam lembah. Ang Nio Cu menggendong Ki Ing mengikuti masuk. Demikian pula Bun Cong Beng. "Lo koko, apakah engkau hendak menemani aku?" tegur Cu Jiang kepada Thian put thou. "Jika engkau menolak, kita mengambil jalan sendiri-2 saja." "Ah, tidak, bukan begitu maksudku." Begitulah keduanya segera menuruni gunung. Disepanjang jalan, mereka tak banyak bicara. Cu Jiang terkenang akan semua peristiwa yang dialaminya di gunung Bu-san dahulu. Diam2 ia menghela napas. Thian-put thoa deliki mata: "Adik kecil jarang sekali kudengar engkau menghela napas !" Cu Jiang tertawa tawar: "Kata orang, dunia persilatan itu merupakan laut bahaya. Setiap hari gelombang bahaya itu bergolak dalam dua belas jam." Thian-put thou gelengkan kepala. "Adik kecil, mengapa tiba2 engkau menjadi dewasa ?" "Hanya merasakan kesan2 selama ini saja." "Benar, adik kecil. Ang Nio Cu yang begitu ngotot hendak memperjodohkan engkau, tak terduga dia sendiri jatuh cinta..." "Lo-koko tahu hal itu?" "Ang Nio Cu sendiri yang mengatakan kepadaku." "Hah !" "Adik kecil, apakah sampai sekarang engkau belum pernah melihat wajah yang sebenarnya dari Ang Nio Cu ?" "Belum." "Dia sangat memperhatikan sekali kepadamu. Ada kalanya sampai berlebih-lebihan." "Berlebih-lebihan ?" "Ya. Orang yang diluar persoalan, tentu dapat melihat jelas. Pada waktu aku seperjalanan dengan dia, paling sedikit dia tentu menyebut namamu sampai sepuluh kali dengan nada yang mesra. Sebagai sosok wanita yang dianggap momok aneh oleh kaum persilatan, itulah dia seorang wanita yang mengerikan. Tetapi tiap saat dia menyebut namamu, sering terlepas kata2 keluhan yang bernada pernyataan hatinya kepadamu. Sudah tentu hal itu tak luput dari pengawasanku." "Bagaimana menurut pengawasan lo-koko?" "Dia sangat cinta kepadamu." "Ah, benar2 suatu hal yang mengherankan. Mungkin usianya terpaut lebih dari separoh umurku." "Sukar di kata. Asmara itu memang ajaib. Kadang memang sukar diukur dengan nalar biasa." "Dalam kata-katanya dia pernah kelepasan omong," kata Thian-put-thou pula. "Soal apa ?" "Dia menyatakan bahwa tiga kali dalam penitisan perjodohan itu telah ditentukan, siapa tahu ternyata sampai sekarang tetap hampa . ." "Apakah dia bukan maksudkan Ho Kiong Hwa ?" "Mungkin begitu tetapi mungkin bukan begitu. Karena waktu mengatakan begitu dia hanya seorang diri, dan aku secara kebetulan saja mendengarnya." Cu Jiang mengangguk: "Biarlah begitu. Tetapi aku hanya mempunyai perasaan menghormat jenasah orang tuaku." Saat itu mereka sudah tiba dibawah bukit dan mendengar suara orang bercakap-cakap. "Peraturan perguruan tak boleh dirusak !" Kemudian terdengar suara seorang wanita yang bernada rawan: "Congkoan, karena urusan sudah begini, muridpun taat pada perintah..." Cu Jiang dan Thian put thou terkesiap. Setelah sejenak bertukar pandang, keduanya pun segera menuju ke tempat suara itu. Tampak ditengah hutan lebat, seorang dara yang cantik tengah berlutut di tanah. Disamping tegak seorang pemuda yang cakap dengan wajah membesi. Tak berapa jauh dari tempat dara baju hijau itu. Juga terdapat seorang dara yang dandanannya mirip seorang puteri, mukanya memakai kain cadar. Cu Jiang makin terkejut, Ia seperti kenal dengan mereka. Agaknya dara2 dari istana Sie-li-kiong, Melihat kearah dara baju hijau yang sedang berlutut itu. Cu Jiang segera makin yakin bahwa dugaannya itu memang benar. Dara itu tak lain adalah dara yang pernah diperintah Bu san Sin-li untuk memikatnya masuk ke dalam istana Sin-li kiong tempo hari. Apakah yang telah terjadi ditempat itu. Siapakah pemuda pelajar yang cakap itu " "Geng Siu Yin," seru dara istana itu, "karena engkau telah berhianat melanggar peraturan perguruan, walaupun aku kasihan kepadamu tetapi aku tak dapat berbuat apa2 lagi." Dara baju hijau yang disebut dengan nama Ceng Siu Yin Itu. mengertek gigi lalu berseru: "Congkoan, murid hendak mengajukan sebuah permohonan terakhir.. ." "Apa ?" "Harap lepaskan dia !" "Tidak bisa ! Tidak seharusnya engkau membawanya ke atas gunung sehingga membocorkan rahasia perguruan kita." "Congkoan, murid bersumpah bahwa dia tak tahu apa2." "Yin-moay," tiba2 pemuda pelajar itu berteriak, "tak perlu engkau mintakan ampun jiwaku. Jika engkau mati akupun tak ingin hidup lagi !" Cu Jiang dapat menduga tentang peristiwa itu. Tentulah dara yang bersama Ceng Siu Yin itu telah diutus turun gunung untuk melakukan sebuah tugas. Dia berkenalan dengan pemuda itu. Tetapi menurut peraturan istana Sin-li-kiong, setiap murid yang turun gunung, lebih dulu harus minum pil beracun. Jika tidak pulang pada waktunya, racun itu akan bekerja dan matilah dia. Cu Jiang tahu hal itu atas keterangan Tang Yin dulu. Dia lalu membawa kekasihnya naik gunung, jelas Siu Yin telah melanggar peraturan Istana. Dia harus menerima hukuman yang berat. Tetapi dia merasa tergerak hatinya melihat tekad dari sepasang mudamudi yang telah memadu kasih itu. Sejenak memandang kearah pemuda pelajar itu, kembali dara istana itu berkata. "Siu Yin, bagaimana dengan hasil tugasmu untuk melakukan penyelidikan itu ?" "Toan-kiam-jan-jin tidak membawa pergi Tang Yin Yin." sahut Siu Yin. Cu Jiang terkejut. Ternyata Siu Yin turun gunung itu karena diperintah untuk menyelidiki jejaknya. Diam2 ia menghela napas. Ternyata tindakannya untuk menolong Yin Yin, menghapus racun dengan mustika Thian-ju cu sehingga Yin Yin dapat lolos dari istana Sin-li-kiong, belum diketahui oleh pihak Sin li kiong. "Apakah engkau dapat menemukan mayatnya ?" tanya dara istana itu pula. "Tidak." "Lalu bagaimana engkau dapat memastikan bahwa dia tak dibawa pergi Toan-kiam-janjin ?" "Karena selama kuselidiki, Toan-kiam-Jan-jin itu kemana-mana hanya seorang diri saja." "Adakan kemungkinan dia tak menyembunyikan Yin Yin ?" "Murid telah menyelidiki ke desa tempat kelahiran Yin Yin. Menurut keterangan orang desa di situ. memang pada suatu hari pernah muncul seorang gadis. Dia mondarmandir di desa itu tetapi tak pernah bicara dengan orang. Tak lama gadis itu terus bunuh diri dengan membuang diri ke dalam sungai." Diam2 Cu Jiang mengangguk. Ia tahu bahwa peristiwa itu hanya cerita yang dirangkai Yin Yin untuk menutupi keadaannya. "Benarkah itu?" "Benar." "Baik, lalu apakah engkau masih mempunyai pesan yang hendak engkau tinggalkan lagi?" "Harap lepaskan dia!" "Soal itu tak bisa." "Congkoan, dia tak berdosa apa2." "Dirinya yang melakukan sendiri tak dapat menyesali lain orang." Habis berkata dia berpaling kepada pemuda pelajar itu, serunya: "Sebutir pil ini, dapat membantu engkau tak merasakan penderitaan apa2. Jika dalam kehidupan di dunia kalian tak dapat terangkap dalam perjodohan, kelak di akhirat tentu kalian dapat melaksanakan perjodohan itu. Ingat, setengah jam kemudian, segeralah kalian gali liang untuk tempat peristirahatan kalian selama-lamanya!" Habis berkata dia terus melemparkan pil itu yang disambuti pemuda pelajar lalu tanpa ragu2 terus ditelannya. "Engkoh Tio, aku berdosa kepadamu!" seru Siu Yin dengan pilu. "Yin-moay, jika hidup tak dapat berkumpul biarlah kalau mati kita berada dalam satu liang! " sahut pemuda itu. Kedua anak muda itu tak mengucurkan air mata tetapi derita perasaan hati mereka memang sangat mengibakan sekali. Dara istana yang berpangkat congkoan atau pengurus istana Sin-li-kiong itu berputar tubuh terus melesat lenyap. Pemuda pelajar itu mengangkat tubuh Siu Yin dan membelainya dengan pilu: "Adik Yin, besarkanlah hatimu. Ini memang sudah takdir kita, kita harus menerimanya. Kelak dalam penitisan yang akan datang, kita tentu dapat bersatu." Rebahkan kepalanya di dada sang kekasih, Siu Yin berkata sedih: "Engkoh Tio, akulah yang bersalah, tak seharusnya aku... menerima cintamu." "Yin-moay, aku tak menyesal karena harus mati. Dua bulan kita berkumpul rasanya melebihi lain orang yang berkumpul seumur hidup." "Engkoh Tio, jika tahu keadaan bakal begini, dan aku . . ." "Yin moay, waktu setengah jam itu sangat singkat sekali. Engkau lihat bagaimana keadaan tempat ini sebagai tempat peristirahatan kita selama lamanya." "Mari. . ." kedua sejoli itu bergandengan tangan dan ayunkan langkah tinggalkan tempat itu. Cu Jiang menghela napas. "Lo koko," kalanya, "cinta mereka benar2 sekokoh baja. Pemuda itu sungguh hebat, dia memandang kematian seperti pulang saja .. ." "Aku tak mengerti maksudmu?" Tiba2 Cu Jiang teringat akan janjinya kepada Bu-san Sinli bahwa dia takkan membocorkan rahasia istana Sin-li kiong kepada siapapun juga. Maka kata2 yang sudah tiba dimulutnya, ditelannya kembali. "Mari kita ikuti mereka," akhirnya ia alihkan pembicaraan. "Adik kecil, mereka menyebut-nyebut namamu dengan dikaitkan peristiwa melarikan seorang murid," kata Thian Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo put-thou. "Itu hanya salah faham tetapi maaf, aku sudah berjanji dan tak dapat memberitahu soal itu." "Baik. Tetapi apa guna kita mengikuti kedua kekasih itu" Apakah kita hendak melihat mereka mati ?" Sejenak keliarkan pandang kesekeliling penjuru. Cu Jiang berbisik-bisik: "Aku mempunyai akal untuk menolong mereka." "Sungguh !" "Masakah aku bergurau." Mereka terus mengikuti dan ternyata kedua pasangan itu menuju ke gua batu yang pernah dipakai Thian-put thou dan Cu Jiang tempo hari. "Memang tempat itu bagus sekali," kata Cu Jiang. "Lalu bagaimana engkau hendak menolong mereka?" tanya Thian-put-thou. "Lo koko jangan campur tangan, lihat sajalah nanti." Tiba di mulut gua, tiba2 sepasang kekasih itu tahu kalau ada orang datang. Mereka keluar dan menegur: "Siapa itu?" "Aku, orang yang kebetulan jalan lewat gunung ini." sahut Cu Jiang. Memang saat itu dia dan Thian put thou menyaru menjadi orang biasa, kusir kereta. "Engkoh Tio, suruh mereka pergi," seru Siu Yin dari dalam. "Kuminta kalian segera pergi." kata pemuda pelajar itu kepada Cu Jiang berdua. "Tetapi hari sudah tengah petang aku dan ayahku ini butuh bermalam di gua ini. Sayang telah kalian diami, ini ...." "Maaf. terpaksa harus minta saudara berdua supaya cari lain tempat saja." "Gunung ini banyak harimau dan serigala. Kalau tidak tidur di tempat ini tentu berbahaya." bantah Cu Jiang. Pemuda itu berpaling ke dalam, serunya: "Yin-moay, memang nasib kita sial. Bahkan hendak moksha saja kita tak dapat tempat yang tenang." "Waktu sudah mendesak sekali. Ke mana lagi kita harus cari tempat" Kita tutup pintu gua saja!" Cu Jiang sengaja deliki mata dan berseru: "Tuan tadi mengatakan moksha?" "Ya, apa engkau tahu artinya moksha itu?" "Mungkin aku salah dengar . . ." "Tidak, memang moksha!" "Hm, pernah kudengar cerita paderi dari kuil di desaku bahwa moksha itu artinya pulang ke Se-thian (akhirat). Alam telah menciptakan hubungan yang sungguh tak karuan, sungguh kacau. . ." "Tak peduli keruan atau tidak keruan, silakan saudara berdua pergi. Maaf, gua ini tak dapat kuberikan kepada lain orang." "Tidak bisa! " Cu Jiang berkeras. "Apa yang tidak bisa?" "Bahwa tuan tadi mengatakan moksha, jelas tentu mencari kematian. Ujar orang tua mengatakan melihat kematian tidak menolong, berarti dosa . . ." "Silakan pergi, aku tak mempunyai waktu untuk adu lidah. Yin-moay, kita . . ." "Tunggu dulu! Mengapa kalian, sedikitpun tak punya rasa kemanusian?" "Apa maksudmu?" "Kalau kalian memang hendak mencari kematian, mengapa harus memilih segala macam cara. Mengapa harus bersembunyi tak mau didekati orang" Kalau aku dan ayahku sampai dimakan harimau, apakah aku takkan jadi setan penasaran?" Wajah Siu Yin mulai pucat dan menjerit kesakitan yang hebat, ia berseru tersendat-sendat: "Engkoh Tio . . . aku . . . tak . . . kuat ..." Pemuda itu cepat memeluknya: "Yin-moay, mari kita ke puncak di sebelah depan itu. Kita cari lain tempat dan biarlah gua ini ditempati mereka." "Baik." "Biar kupanggulmu, Yin-moay." kata pemuda itu terus memeluk tubuh kekasihnya lalu dibawa lari. Melihat gerakannya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Cu Jiang mengangguk. "Lo koko, hati budi pemuda itu baik sekali." "Hm, jangan menyiksa orang, lekas engkau tolong mereka!" Keduanya lalu melesat. Menjelang petang mereka tiba di karang buntung. Sambil membopong kekasihnya, pemuda itu selangkah demi selangkah menghampiri ke tepi karang. "Tunggu, tunggu! " teriak Cu Jiang. Pemuda itu terkejut dan berputar tubuh. Dia terkejut lalu membentak keras2: "Oh, kiranya sahabat ini orang persilatan. Apa maksudmu hendak mempermainkan aku?" "Sekarang aku sudah sadar, Bahwa kalau melihat orang menderita tak menolong, itu berdosa. Maka aku buru2 mengejar kemari, " Cu Jiang tertawa. "Sahabat sengaja hendak mencari-cari alasan untuk bertengkar?" kata pemuda itu dengan nada bengis. "Betapapun buruknya tetapi hidup itu lebih baik dari mati. Kalian masih muda, mengapa sependek itu pikiran kalian?" Pemuda itu berputar tubuh dan lanjutkan langkah menuju ke tepi karang buntung. Cu Jiang melesat menghadangnya. "Kongcu, mengapa pikiran kongcu begitu gelap?" serunya. Melihat gerakan Cu Jiang, pemuda itu terkejut, Siu Yin yang masih dalam pondongannya makin tampak pucat, keringatnya bercucuran deras. Rupanya dia tengah menderita kesakitan hebat. Cu Jiang mengangguk: "Rupanya nona itu menderita keracunan yang bersifat pelahan bekerjanya." Pemuda itu merentang mata dan berseru gemetar: "Sahabat, engkau dapat mengetahui?" "Tentu, " sahut Cu Jiang, "kalau tak tahu bagaimana dapat mengatakan?" "Sahabat, apakah engkau dapat menolongnya?" "Hm, soal ini bukan main-main." "Sahabat, bukan hanya dia, aku sendiri pun termakan racun ganas, tetapi..." "Tetapi bagaimana ?" "Katanya, racun itu tak dapat diohati siapapun juga." "Bagaimana kalau kucobanya?" Pemuda itu memandang Cu Jiang dengan pandang bersangsi. Wajah pemuda yang biasa saja itu apakah mampu untuk menolongnya. "Letakkan dia" tiba2 Cu Jiang berseru. "Jika sahabat tak dapat menolongnya ?" "Mudah. Engkau boleh lanjutkan keputusan untuk terjun kebawah jurang itu." "Kalau racun dalam tubuhku sudah bekerja sehingga aku tak dapat berjalan?" "Aku bersedia unjuk melakukan pesanmu apa saja." "Benarkah itu ?" "Ucapan seorang lelaki seperti kuda lepas dari kandang." "Baik," pemuda itu segera meletakkan gadis kekasihnya. Wajah pemuda itu sendiripun mulai berobah cahayanya. Rupanya racun dalam dirinya juga sudah mulai bekerja. "Engkoh Tio, apakah aku harus mengalami penderitaan yang lebih lama lagi ?" gumam Sio Yin. "Yin-moay, mungkin Tuhan bermurah hati untuk menolong kita." Cu Jiang mengeluarkan mustika laba2 pemberian Bu-san Sin li. Ia menjepitnya dengan kedua jari dan berseru: "Kulumlah dalam mulut nona, tentu sembuh." Sepasang mata Sin Yin yang sudah redup tiba2 membelalak lebar2 dan serentak timbullah pula tenaganya. Dia bergeliat bangun seraya berseru gemetar: "Mustika laba2 !" "Nona kenal barang ini ?" "Engkoh Tio, kita... ketolongan !" seru Siu-Yin dengan kegembiraan yang meluap-luap. "Benarkah Itu. Yin-moay " Oh, Tuhan terima kasih !" Kemudaan Siu Yin memandang lekat2 pada wajah Cu Jiang. Beberapa saat kemudian, dengan nada gemetar ia berseru: "Bukankah anda ini Toan kiam jan-jin ?" Cu Jiang mengangguk. Setiap orang persilatan tentu kenal akan nama Toan kiam jan-jin. Maka menggigillah pemuda pelajar itu demi mendengar nama itu. "Anda .. . anda ... Toan kiam Jan-Jin " Ah, sudah lama aku mengagumi nama anda, sayang selama itu tak ada rejeki untuk bertemu. Ah, maafkan kalau tadi aku berlaku kurang hormat." "Sudahlah, rupanya kita dapat bertemu ini karena memang berjodoh," kata Cu Jiang. Ia segera menyerahkan mustika laba2 itu dan dengan tangan gemetar Siu Yin menyambut lalu dimasukkan ke dalam mulut. Hanya dalam beberapa jenak saja. wajahnya yang sudah pucat itu, pelahan-lahan berobah merah segar lagi. Beberapa saat kemudian Siu Yin dapat berdiri, memuntahkan mustika itu dan disusupkan ke-mulut kekasihnya. Setelah beberapa waktu, pemuda itu menyerahkan kembali mustika kepada Cu Jiang. katanya: "Namaku Tio Ki Hung, selama hidup aku pasti takkan melupakan budi anda." "Ah, tak perlu saudara mengingat pertolongan sekecil ini," kata Cu Jiang. Diam2 ia memperhatikan sepasang kekasih yang penuh kesetiaan itu. Ia tahu bahwa Siu Yin usianya sudah setengah abad umurnya. Hanya karena mengandalkan obat Giok-sik-leng-lu, maka dia dapat mempertahankan kecantikan seperti masa remaja. Sedangkan Tio Ki Hong lebih kurang baru berumur dua puluhan tahun. Apakah mereka memang sudah ditakdirkan menjadi jodoh ataukah karena kekhilafan. Bagaimana reaksi pemuda itu apabila mengetahui keadaan Siu Yin yang sebenarnya" Walaupun pikirannya berkata begitu tetapi Cu Jiang tak mau mengatakan apa2. "Sauhiap, persoalan Tang Yin Yin yang meloloskan diri dari Sin li kiong itu..." "Dia mati secara mengenaskan sekali." "Tidak, dia tidak mati." "Apa" Dia tidak mati ?" "Tidak, Dia masih hidup dengan selamat. Akulah yang menolongnya dengan mustika ini." "O, mengapa orang2 di desanya mengatakan kalau dia bunuh diri ke dalam sungai." "Dia memang pintar. Siasat itu kena sekali " "Dimana dia sekarang?" "Ah, aku sendiri tak tahu." Saat itu hari sudah gelap, Cu Jiang menganjurkan supaya kedua kekasih itu segera tinggalkan tempat itu. Demikian setelah menghaturkan terima kasih, Tio Ki Hong dan Siu Yin segera mohon diri. "Lo-koko, bagaimana kita sekarang ?" tanya Gu Jiang. "Lanjutkan perjalanan lagi !" seru Thian-put thou. Kedua orang itupun segera lari menuruni puncak dan menuju ke jalan besar. Selama dalam perjalanan ia tak henti-hentinya Cu Jiang menyatakan kecemasannya terhadap diri puteri Tayli. "Adik, menurut pendapatku, untuk saat ini lebih baik jangan engkau menuju ke Pek-te shia." tiba2 Thian put thou berkata. "Mengapa?" "Segala persoalan itu ada urutan tingkatannya. Yang mana harus cepat2 dikerjakan dan yang mana boleh pelahan sedikit. Thong-thian-kau takkan pindah tempat sedang keselamatan kongcu menguatirkan. Lebih dulu harus menolong kongcu itu ke Gedung Hitam. Dikuatirkan nanti timbul lain2 perobahan yang tak kita inginkan." "Tetapi aku sudah berjanji dengan Ang Nio Cu . . ." "Hm, bukankah kalian sudah saling berjanji akan bertemu di gunung Keng-san" Bukankah hal itu takkan terganggu?" Cu Jiang kerutkan kening merenung, Akhirnya Ia dapat menyetujui pendapat Thian-put-thou untuk menuju ke Keng-san. ^0dooow0^ Demikian pada hari itu mereka tiba di kota Kui-cia. Setelah beristirahat makan di sebuah kedai di luar kota, tiba2 Cu Jiang menanyakan apakah dalam kota Kui-cia itu tak ada cabang perkumpulan Thong-thian-kau. "Hm, ya." "Karena lo ko-ko pernah mencuri pil Hoa-tok tan dari Ngo tok mo. tentulah lo koko paham keadaan markas cabang itu." "Tentu." "Kurasa aku hendak menyelesaikan Iblis Ngo tok mo sekalian." "Baik, karena engkau membekal mustika yang dapat mengobati racun, maka dapatlah engkau menghadapinya." Tiba2 jongos menghampiri dan berkata bisik2: "Apakah tuan berdua tetamu dari lain daerah?" "Ya, kenapa?" "Lebih baik tuan segera tinggalkan tempat ini." "Mengapa?" "Kota ini sedang diserang wabah penyakit. Tiap hari tentu jatuh korban." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apa " Wabah penyakit ?" "Ya, mengerikan sekali. Warung inipun kami bersiapsiap hendak menutupnya dalam dua tiga hari lagi." "Terima kasih." Setelah jongos pergi, Thian-put-thou kerutkan dahi, katanya: "Aneh, aneh, ditempat ini tidak di serang banjir atau kebakaran maupun peperangan, mengapa terjangkit wabah penyakit menular ?" "Lebih baik menyingkir saja daripada harus menerjang bahaya," kata Cu Jiang. "Tidak, disini tentu ada apa-apanya . ." "Ada apanya " Apakah maksud lo ko-ko, wabah itu tidak wajar dan buatan manusia ?" "Benar, dalam dunia persilatan memang tak jarang hal itu terjadi." "Tetapi apa tujuan orang hendak mencelakai jiwa manusia yang tak berdosa ?" "Mungkin jiwa, harta benda atau mungkin untuk sesaji sembahyangan." Tiba2 diluar jalan tampak beratus-ratus rakyat, tua muda, besar kecil, laki perempuan berjalan berduyun-duyun dalam keadaan yang kacau balau. "Apakah yang telah terjadi ?" Thian-put-thou memanggil seorang jongos dan bertanya. "Selain Malaekat-hidup yang hendak menyembuhkan wabah penyakit itu, apa lagi.. .." "Malaekat hidup ?" "Ya." "Bisa mengobati wabah penyakit ?" "Bukan saja bisa mengobati, pun dapat melindungi. Asal orang mau minum air suci dari Malaekat-hidup itu, Jiwanya tentu selamat." "Dimana Malaekat hidup itu ?" "O, di biara Sian-yu kwan lebih kurang sepuluh li dari sini." "Bagaimana wajah Malaekat-hidup itu?" "Ini .. . tak ada orang yang pernah melihatnya" Yang minta air-jimat, cukup datang menghadap dan menyerahkan uang sembahyangan. Heh heh... tak mungkin Malaekat-hidup itu akan menipu. Kabarnya pagi2 tadi seorang bernama Ma Han Lim berasal dari kota. pura2 menyaru sebagai orang miskin yang hendak mohon airJimat. Dia dikenali oleh Malaekat hidup dan seketika rubuh mati..." "O. sudah berapa lama Malaikat hidup itu muncul ?" "Rasanya belum lama." "Baik," setelah membayar rekening, Cu Jiang dan Thianput thou segera melangkah keluar, Thian put-thou mengajak Cu Jiang untuk menyaksikan keramaian itu. "Apakah lo-koko hendak campur tangan?" "Tidak belum semudah begitu. Kukira Malaekat hidup itu tentulah perbuatan dari kaum Thong thian kau. Mereka hendak memperdayai rakyat, mengumpulkan harta benda dan pengikut ?" "Mungkinkah begitu ?" Cu Jiang menegas. "Jangan lupa bahwa iblis Ngo-tok-mo itu seorang ahli penyebar racun yang lihay." "O," tiba2 Cu Jiang teringat. Keduanya segera ayunkan langkah menuju ke biara Sian-yu-kwan. Dimuka biara itu berkerumun penuh sesak dengan orang2. Suasananya seperti pasar malam. Cu Jiang dan Thian-put-thou berhasil menyusup ke dekat pintu biara. Di muka pintu dijaga empat orang imam yang mencegah orang berdesak-desakan hendak masuk. Orang2 itu harus masuk satu persatu. Setelah beberapa waktu menunggu akhirnya Cu Jiang mendapat giliran masuk. Keempat imam itu memandangnya lalu menegur. "Apa tidak membawa uang lilin?" "Ada," kata Cu Jiang. Dia segera dipersilahkan masuk. Cu Jiang ikut dalam urut-urutan orang yang masuk ke dalam ruang besar. Sebuah meja sembahyangan yang besar, diterangi dengan lilin yang terang benderang. Orang yang hendak minta air mantra harus berlutut memberi hormat lalu menyerahkan uang dan imam yang menjaga di pinggir meja memberikan selembar kertas hu (mantra) warna kuning. Menunggu hampir setengah jam, baru Cu Jiang bisa berada nomor dua dari orang yang paling depan. Di depannya itu seorang tua perut gendut, pakaian bagus. Dia tampaknya tegang sekali. Cu Jiang hanya terpisah tiga langkah dari orang tua gendut itu. Begitu tiba di muka meja, orang itu terus berlutut dan berkemak kemik memanjatkan doa: "Hamba Ut Toa Ki, mohon dengan sangat agar Sin-sian (malaekat) menurunkan belas kasihan untuk menyembuhkan lima orang keluarga hamba yang sakit." Tiba2 dari balik tirai dibelakang meja terdengar suara orang: "Ui Toa Ki. Sin-sian menitahkan agar engkau menghaturkan seribu tail emas." Orang itu gemetar dan berkata dengan tersendat-sendat : "Hwat sin-sian .... hamba .... hamba tidak kaya ..." "Ui Toa Ki, ini bukan jual beli yang boleh tawar menawar. Apakah lima orang jiwa tak berharga seribu tail " Apalagi itu suatu dana kebaikan untuk kepentingan orang banyak." "Baik .. , baik . .. hamba baru membawa dua ratus...." "Baik. sisanya boleh suruh orang mengantar kemari." "Ya, ya," ia segera menyambuti beberapa lembar kertas kuning, keringatnya bercucuran deras sekali. Rupanya ia gemetar karena harus mengeluarkan biaya yang begitu banyak. "Bakar kertas hu itu dan abunya terus telan saja. Segala macam penyakit tentu hilang. Nah, pergilah!" seru orang dibelakang kain tirai pula. Setelah menyerahkan uang dua ratus tail, orang gendut itupun terus merangkak keluar pintu samping. Sekarang giliran Cu Jiang. Dia agak ragu-ragu tetapi mengingat dia hendak menyelidiki, terpaksa ia lakukan juga upacara itu. Berat rasa hatinya harus berlutut memberi hormat kepada kain tirai. Thian put thou tak tampak, entah menyelinap ke mana saja. "Lekas, jangan mengganggu lain orang yang menunggu giliran !" imam di pinggir meja berseru. Cu Jiang terpaksa melakukan juga. Dia berkata: "Tecu bernama Cu Jiang kebetulan lewat di desa ini, mohon Sinsian suka memberikan hu untuk menjaga wabah penyakit itu." Habis berkata ia terus ulurkan tangan dimasukkan dalam lubang diatas meja. Tetapi saat itu juga tangannya telah disambut oleh sebuah tangan yang memancarkan tenagadalam kuat. Dia terkejut dan mengakui bahwa apa yang diduga lo koko Thian put thou memang benar. Malaikat-hidup itu seorang jago silat yang berilmu tinggi. Cu Jiangpun segera memancarkan tenaga-dalam untuk bertahan. Ternyata orang didalam itu tidak lemah. Diapun pancarkan tenaga dalam lebih hebat lagi. Cu Jiang mendapat akal. Dia pura2 meringis kesakitan. "Orang she Cu engkau terkena penyakit aneh. Bila hendak mengobatimu. Masuk dari pintu samping sebelah kanan !" "Engkau membawa uang lilin tidak ?" seru imam yang menjaga disamping meja. "Berapa ?" "Sebutir mutiara." "Baik, bangunlah !" Tangan yang menjabat tangan Cu Jiang itupun mengendor dan Cu Jiang segera berbangkit. Sejenak merenung ia terus melangkah masuk pintu samping kanan. Begitu tiba di ruang besar pandang matanya terbentur pada pemandangan yang mengejutkan. Ruang itu sekelilingnya ditutup dengan kain layar. Malaikat Hidup itu juga tidak kelihatan berada di situ. Hanya dua orang lelaki baju hitam memandang berkilatkilat ke arah Cu Jiang. Juga terdapat seorang imam yang duduk bersila dengan mata menunduk. Suasana dalam ruang itu sungguh menyeramkan. Salah seorang dari kedua lelaki baju hitam segera menggapai ke arah Cu Jiang. "Mari, ikut aku." Cu Jiang mengangguk dan mengikutinya. Setelah melintasi ruang besar itu, ia tiba di sebuah halaman besar yang sunyi senyap, Setelah tiga kali melintasi halaman barulah ia tiba di sebuah bangunan rumah yang dikelilingi pagar tembok tinggi. Rupanya bangunan itu merupakan tempat tinggal para Imam. Setelah membawa masuk Cu Jiang, lelaki baju hitam itu diam2 terus menyelinap pergi. Seorang lelaki tua Jubah kuning, duduk dibagian yang tinggi dalam ruang bangunan itu. Matanya berkilat-kilat memandang Cu Jiang sampai beberapa saat. "Sahabat, kepandaianmu hebat juga" serunya. Cu Jiang tertegun, serunya. "Kedatanganku kemari hendak meminta hu." "Aku tahu." "Lalu mengapa aku diundang kemari?" "Kasih tahu dulu nama perguruanmu!" "Apa hubungan hal itu dengan pengobatan penyakitku ?" "Jangan bertanya, engkau hanya wajib menjawab !" "Aku tak mempunyai perguruan, kepandaianku berasal dari keluargaku sendiri." "Siapa ayahmu ?" "Dahulu dia seorang piausu." "Engkau berlatih dengan senjata apa ?" "Pedang." "Bagus!" seru orang tua jubah kuning itu lalu meneriaki orangnya. Seorang lelaki berpakaian hitam muncul dari pintu samping dengan membawa pedang. Cu Jiang tak mengerti apa yang akan terjadi. "Cu Ing Jit. engkau boleh bertanding pedang dengan dia." seru orang tua jubah kuning. Memang Cu Jiang menggunakan nama Cu Ing Jit. "Bertanding pedang " Mengapa harus begitu?" Cu Jiang terkejut. "Jangan tanya !" "Kedatanganku kemari bukan untuk bertanding ilmu pedang," Cu Jiang membantah. "Jangan banyak bicara !" Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Ia akan menurut saja perintah orang. Ia ingin tahu apa saja tujuan mereka. Segera ia menuju ketengah halaman. Lelaki baju hitam itupun menyerahkan sebatang kepada Cu Jiang. "Sahabat, engkau harus mengeluarkan seluruh kepandaianmu kalau tidak engkau tentu menyesal." katanya. Memang Cu Jiang tak membawa pedang kutungnya. Pedang kutung itu dibungkus kain dan dibawa Thian putthou. "Menyesal bagaimana?" tanya Cu Jiang seraya menyambuti pedang. "Terluka atau mati, engkau sendiri yang menanggung akibatnya." "Ini mengadu kepandaian atau bertanding dengan taruhan jiwa?" "Kalau tak bertanding sungguh2, tentu tak dapat diketahui kepandaianmu yang sesungguhnya!" "Aku tak mengerti apakah maksudnya semua ini ?" "Tak perlu tanya. Nanti engkau tahu sendiri, Itupun kalau engkau masih hidup." Cu Jiang kerutkan dahi. Ia benar2 tak mengerti apa maksud orang itu. "Lekas cabut pedang !" seru orang itu. Cu Jiang terpaksa menurut, Lelaki baju hitam itupun segera menghunus pedangnya dan terus menaburkannya dalam suatu gerak lingkaran yang menimbulkan tebaran sinar pedang. "Sahabat, kita saling menyerang dalam tiga jurus !" "Baik." "Awas, sambutlah. . ." "Silahkan !" Lelaki baju hitam itu berubah merah wajahnya. Segera ia menyerang dengan jurus yang ganas. Cu Jiang hanya gunakan tiga bagian tenaganya untuk menghadapi. Tring tring .. . pedang saling beradu dan kekuatan kedua belah fihak ternyata berimbang. "Kali ini harap hati2!" seru orang baju hitam itu seraya menyerang dengan gerak yang cepat dan dahsyat. Ujung pedang mengarah ketiga buah jalan darah didada Cu Jiang. Kali ini Cu Jiang gunakan lima bagian tenaganya untuk menangkis dan dapat mengimbangi. "Sahabat," orang itu tertawa dingin. "engkau selalu hanya bertahan. Serangan yang ketiga ini memastikan Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hidup matimu. Waspadalah !" Dalam berkata-kata itu pedangpun sudah meluncur cepat. Tampaknya orang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menyerang. Terpaksa Cu Jiang gunakan delapan bagian tenaganya untuk bertahan. Tring .. . pedang orang baju hitam itu terpental dan orangnyapun tersurut mundur dua langkah. "Sudah cukup ?" "Sahabat, sekarang giliranmu yang menyerang !" "Ah, tak usah." "Tidak bisa." orang itu berkeras. "Selama ini aku hanya menyerang cukup satu jurus saja." "Apa engkau hanya mampu menyerang dalam satu jurus saja ?" "Katakan begitu." "Baik." Cu Jiang memutuskan, sebelum ia Jelas akan keadaan orang, ia takkan menggunakan jurus yang ampuh. Ia akan menggunakan delapan bagian tenaga dan setengah dari Jurus Thian te-kiau-thay. Sekalipun begitu, perbawanya masih tetap dahsyat. Tring .... orang itu mundur sampai beberapa langkah. Ujung pedang Cu Jiang mengarah ke dada dan terus membayanginya, terpisah hanya satu dim tetapi tidak ditusukkan. Wajah orang itu berobah menyeramkan. "Bagus, boleh masuk kemari !" seru orang tua berjubah kuning. Cu Jiang hentikan serangannya dan mengembalikan pedang kepada orang baju hitam itu. "Ilmu pedangmu menarik sekali," orang tua jubah kuning itu memuji. "Ah, jangan memuji." "Engkau lulus ujian !" "Lulus ujian " Apa artinya ?" "Engkau akan diangkat sebagai pengawal dari perkumpulan kita!" "Tetapi kedatanganku kemari karena hendak minta obat. bukan untuk melamar menjadi pengawal .. ." "Engkau tak boleh menolak !" Cu Jiang menyeringai heran lalu bertanya perkumpulan apakah yang akan dimasukinya itu. "Thong-thian kau!" Mendengar itu benar2 Cu Jiang kagum akan ketajaman mata Thian put-thau. Thian put thou dengan cepat dapat menduga bahwa wabah penyakit di kota itu adalah buatan dari kaum Thian-thong-kau hendak mengumpulkan dana dan mencari pengikut. "Tong-thian kau ?" Cu Jiang pura2 terkejut. "Ya. Perkumpulan Thong thian kau dalam waktu yang tak lama lagi akan bergerak untuk menguasai dunia. Sahabat, kesempatan yang engkau peroleh ini tak sembarang orang bisa mendapatkan. Aku adalah hu-hwat dari cabang Thong-thian-kau kota Kui-ciu, Engkau jelas sekarang ?" "Tetapi, aku ... " "Jangan banyak bicara ! Engkau tak dapat memilih lain." "Jika aku tak ingin menjadi pengawal Thong thian-kau ?" Orang tua jubah kuning itu bertepuk tangan dan pintu samping terbuka. Diatas meja tampak beberapa butir kepala manusia yang masih berlepotan darah. "Seperti itulah !" serunya. Melihat itu bergidiklah bulu roma Cu Jiang Seketika hawa pembunuhan meluap-luap dalam dadanya. Tetapi dia pura2 bersikap kaget, serunya: "Aku . . . suka menerima . . . ." Pintu itupun tertutup lagi. Kemudian lelaki tua berjubah kuning itu segera memerintahkan orang berbaju hitam supaya membawa Cu Jiang keluar menunggu perintah. "Aku masih mempunyai seorang kawan yang datang bersama, aku hendak memberitahu kepadanya dulu . ." "Tidak boleh !" "Ikut aku !" lelaki baju hitam itu melambai kepada Cu Jiang. Dengan membawa sikap seperti enggan, Cu Jiang mengikuti orang itu masuk ke dalam halaman samping. Dalam ruang terdapat empat orang pemuda yang mengerut dahi. Rupanya mereka juga terpilih menjadi pengawal Thong-thian-kau. Melihat kedatangan Cu Jiang. merekapun diam tak mengacuhkan. "Tunggulah disini, Jangan coba2 membuat rencana yang tidak-tidak, tak ada orang yang mampu keluar dengan masih bernyawa dari tempat ini" habis berkata lelaki baju hitam itu terus ngeloyor pergi. Kini kelima orang itu saling berpandangan tanpa berkata-kata apa. Tak berapa lama, dari lain ruangan terdengar suara orang dan gemerincing pedang lalu erang jeritan ngeri. Tentulah seorang calon sedang diuji dan karena kepandaiannya kurang lalu menemui kematian. Seperminun teh lamanya, terdengar lagi suara pertempuran. Tetapi kali ini rupanya dengan adu pukulan, tidak menggunakan pedang. Setelah berhenti beberapa waktu, seorang lelaki tua kurus berumur lebih kurang lima puluhan tahun, dibawa masuk ke dalam ruang itu. Begitu melihat orang itu, diam2 Cu Jiang bersorak dalam hati. Orang itu tak lain adalah lokokonya yakni Thian put-thou. Dia telah lulus dari ujian. Dengan langkah bergoyang gontai, Thian-put-thou melangkah masuk. Setelah pengawal baju hitam itu pergi, dia terus melangkah kedepan mata kepada Cu Jiang, serunya: "Aku si tua ini sungguh masih punya rejeki besar. Dalam umur yang begini tua, aku masih mendapat kesempatan untuk mengangkat nama." Keempat pemuda yang lebih dulu berada dalam ruang itu tak menyahut. Thian-put-thou Ciok Yau Hong itu sudah berumur delapan puluh tahun, rambutnya putih. Tetapi karena dia menyaru, maka sukarlah orang mengenalinya. "Ha, ha." Cu Jiang menyambut tawa gembira. Thian-put-thou kerutkan alis lalu berkata dan menyerahkan bungkusan pedang kutung: "Adik kecil, inilah barangmu !" "Terima kasih." Cu Jiang menyambutinya. Beberapa waktu kemudian, masuklah lelaki jubah kuning dengan dua orang pengawal baju hitam. Mereka memandang rombongan enam orang yang berada dalam ruang itu lalu berkata dengan nada sarat: "Saudara2 telah mendapat kehormatan untuk menjadi pengawal perkumpulan kami. Lebih dulu kami hendak menghaturkan selamat. Kemudian akan membagikan tugas menurut urutan kepandaian kalian. Sekarang, beberapa pil ini dapat menambah tenaga dan kekuatan, pemberian khusus dari Malaikat hidup sebagai tanda menyambut kedatangan kalian." Kedua pengawal baju hitam lalu maju dan membagikan sebutir pil merah kepada setiap orang. Setelah menyambuti, keempat pemuda itu tampak bersangsi untuk menelan. "Jangan tak menghargakan kebaikan Hwat-sin-sian (Malaekat hidup), makanlah!" Setelah memberi kicupan ekor mata, Cu Jiang terus menelan pil itu demikian pula Thian-put thou. Melihat itu keempat pemuda itupun segera mengikuti. Lelaki jubah kuning tertawa serunya: "Bagus, sebentar lagi akan disalurkan hidangan, silakan nanti kalian menikmati sepuas-puasnya, Malam ini kita nanti mengadakan pertemuan!" "Bagus! Thian put-thou bertepuk tangan, sudah tiga bulan aku si tua ini tak pernah makan enak dan sebulan tak pernah minum arak!" Sejenak memandangnya lelaki jubah kuning itupun segera meninggalkan ruang itu. Menjelang petang, memang benar muncul orang yang mengantar hidangan dan arak. Walaupun tak terdiri diri masakan yang lezat tetapi juga cukup untuk membuat lidah bergoyang. Saat itu keempat pemuda tadi sudah berobah sikapnya. Mereka bicara dan tertawa. Wajahnya yang mengerut, sudah lenyap. Thian-put thou juga seperti berobah adanya. Diam2 Cu Jiang sudah mengulum katak mustika, kemudian diam2 menaruhkan mustika itu ke dalam cawan araknya dan lalu ditukarkan dengan cawan Thian-put thou. Setelah minum, tak berapa lama tingkah laku Thian-put thou sudah normal kembali. Tetapi dia tak mengetahui hal itu. Menjelang tengah malam, dua orang pengawal baju hitam muncul dan salah seorang berseru mengajak mereka berangkat. Mereka keluar dan biara itu menyusur jalan menuju ke barat. Setelah tiba ditempat yang sunyi. Cu Jiang baru turun tangan menotok jalan darah kedua pengawal baju hitam itu. "Hah, apa-apaan itu ?" keempat pemuda itu berteriak kaget. Cu Jiang tak sempat memberi penjelasan lagi, dengan cepat dia berkata: "Pil yang saudara telan tadi, mengandung racun. Sekarang akan kuberi obat dan setelah itu silakan saudara pergi !" Tanpa memberi kesempatan. Cu Jiang memaksa keempat orang itu supaya mengulum katak-mustika. Mereka menurut. Beberapa saat kemudian mereka seperti sadar. "Mengapa tak lekas pergi!" bentak Thian-put thou. Keempat pemuda itu memberi hormat lalu melesat pergi. "Lo koko, kita tunggu dulu beberapa waktu lagi." bisik Cu Jiang. "Apa maksudmu?" "Tunggu mereka datang kemari hendak memberi pertolongan kepada kedua orangnya ini.. "Apa tak kuatir kalau kita akan ketahuan ?" "Tak apa, kalau secara gelap tak dapat kita harus menempuh dengan cara yang terang-terangan. Silahkan lo koko menyingkir dulu." "Mengapa?" "Yang ku arah hanyalah si Iblis Ngo-tok-mo itu. Jika aku bertindak seorang diri, tentu lebih leluasa !" "Apakah engkau hendak membuang aku?" "Ah, Jangan lo koko berpendapat begitu. Berbicara soal pengetahuan dan pengalaman sudah tentu aku tak menang dengan lo-koko. Hanya kali ini dalam menghadapi jago2 dari Kawanan iblis ..." "Sudahlah, Jangan panjang lebar. Dimana kita nanti akan berjumpa?" "Di warung kecil yang kemarin kita singgahi itu. Disebelahnya terdapat sebuah penginapan, bagaimana kalau kita bertemu di situ !" "Sudah. Hati-hati saja di jalan." "Terima kasih." Habis memberi pesan Thian put thou terus berputar tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum berapa jauh sudah kembali lagi. "Apakah lo koko hendak memberi pesan lagi?" "Hampir saja aku melupakan sebuah urusan besar." "Urusan apa." "Soal wabah penyakit itu. Sebenarnya itu merupakan racun yang bekerjanya lambat. Perbuatan keji dari pihak Thong-thian kau itu tentu dilakukan dengan cara diam2 menyebarkan racun dalam sumur2 rumah rakyat. Jika tak memperoleh obat yang tepat tentu akan menimbulkan bencana..." "Baiklah." "Kita bekerja secara terpisah..." "Bagaimana tindakan lo koko?" "Hi, hi, kerjaan lama. Malam ini aku hendak berziarah ke biara Sin yu kwan, menjenguk si Malaekat hidup itu. Mereka memberi hu, pada hal itu tentu dilumuri dengan obat penawar racun. Di samping itu akan menggali tanah baru." "Apa maksud lo-koko?" "Menganjurkan supaya penduduk jangan menggunakan air dari sumur tetapi membuat sumur baru atau menggunakan air sungai. agar terhindar dari keracunan." "Bagus !" "Sudahlah, pencuri tua akan mulai bekerja !" habis berkata Thian put thou terus melesat sampai beberapa tombak dan pada lain saat sudah lenyap dalam kegelapan. Diam2 Cu Jiang kagum akan ilmu meringankan tubuh lo kokonya itu. Kecuali tata langkah Gong-gong pon hwat, Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rasanya dalam dunia persilatan tak ada lain ilmu yang mampu menandingi gerakan Thian put-thou itu. Beberapa waktu kemudian, tampak beberapa sosok bayangan berlari-lari mendatangi. Yang di muka tak lain adalah orang tua jubah kuning itu. Cu Jiang serentak menyongsong dan berseru: "Laporan kepada hu hwat, telah terjadi peristiwa besar." Rombongan pendatang itu berhenti. Orang tua jubah kuning memandang kedua pengawal baju hitam yang menggeletak di tanah lalu berseru: "Peristiwa apa ?" "Kita menerima serangan gelap yang tak terduga-duga !" "Dan orang2 itu kemana ?" "Dibawa mereka !" "Mengapa engkau tidak ikut dibawa?" "Uh . .. hamba bukan kerbau. Dengan kepandaian yang kumiliki, mereka tak mampu membawa aku." "Apakah kedua orang itu mati?" "Tidak, hanya ditutuk jalan-darahnya tetapi entah dengan ilmu tutukan apa, aku tak mengerti." "Siapa musuh yang menyerang itu?" "Semua mengenakan pakaian hitam sampai mukanyapun tertutup kain hitam..." "O, kutahu. Tentulah pihak Gedung Hitam hendak mencari gara-gara." Orang tua jubah kuning itu terus memeriksa kedua anak buahnya yang menggeletak di tanah itu. Tetapi sampai beberapa saat dia tak berhasil apa2. Jelas diapun tak tahu ilmu tutuk apa yang digunakan musuh untuk menutuk jalan darah ke dua orang itu. Diam2 Cu Jiang geli. Memang dia mempergunakan ilmu tutukan dari kitab Giok kah-simkeng. Tokoh-2 silat pada umumnya tentu tak mengerti ilmu tutukan itu. "Bawa mereka pulang ke markas !" teriak lelaki jubah kuning dengan marah. Rombongan anak buahnya segera memanggul kedua korban itu Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi,.Tak berapa lama tiba di sebuah pedesaan. Setelah saling memberi sandi rahasia, mereka lalu masuk. Lingkungan markas itu memang luas dan besar. Sepanjang jalan terdapat pos2 penjagaan yang ketat. Sampai jalan masuk tentu dijaga oleh pengawal. Cu Jiang dibawa kesebuah ruang oleh seorang pengawal. Dalam ruang itu beberapa anak buah tengah bergembira ria, bersorak dan mabuk-mabukan sehingga mereka tak mengacuhkan kedatangan Cu Jiang. Cu Jiang duduk disebuah meja dekat jendela. Dia tak mau membuang waktu. Keselamatan puteri Tayli selalu membayangi benaknya. Urusan di tempat itu harus selesai malam itu. Paling lambat sampai besok pagi. Tiba2 seorang thau-bak atau kepala kelompok, muncul di pintu dan melongok ke dalam. "Ong San Ko. kalian berenam nanti menjelang tengah malam harus pergi ke biara Sianyu-kwan untuk mengganti penjagaan di sana !" Ternyata kawanan anak buah yang berada dalam ruangan itu tengah berjudi dan minum arak. Salah seorang yang bermuka hitam mengangkat muka dan berseru: "Li thaubak, apakah engkau yang memimpin kami?" "Hm." "Siapakah yang menjadi Malaekat hidup besok pagi?" "Song hu-hwat." "Uh, sukar dilayani . .." "Ong Sam Ho, jangan kuatir, lain orang malah mudah." "Apa yang harus kita sediakan?" "Mudah saja, bawakan seguci air yang sudah bertuliskan huruf2 mantra." "Harus meminta kepada Song hu-hwat?" "Tak usah, besok aku yang membawanya." "Saudara2, mari kita lanjutkan permainan lagi sampai puas," si wajah hitam itu berseru lalu memegang lagi kartunya. Kemudian thaubak yang disebut orang she Li itu berseru kepada Cu Jiang: "Thamcu memanggil, mari ikut aku!" "Baik," Cu Jiang berbangkit lalu melangkah. Dia masih membawa bungkusan pedang. "Hai. bung, taruh saja barang itu disini. Tak ada orang yang mau mencurinya." "Tetapi ini . . . tak dapat terpisah dari aku." "Apa berisi pusaka?" "Hampir begitulah." Salah seorang anak buah yang tengah bermain judi itu, menyelutuk: "Kabarnya pendatang baru itu berkepandaian tinggi sehingga Tio si su saja kalah . . ." "Mungkin akan diberi jabatan yang keras. Karena walaupun kepandaiannya tinggi tetapi orangnya dingin." sambut Ong Sam Ho. Cu Jiang tertegun. Dipanggil oleh pimpinan tentu tak boleh membawa bungkusan barang. Tetapi di mana dia harus menaruh bungkusan pedang itu. "Lekas apa engkau suruh thamcu menunggu sampai lama?" teriak Li thaubak. Karena belum mendapat akal, terpaksa Cu Jiang membawa bungkusan pedangnya. Thaubak itu hanya tertawa tapi tak berkata apa2. Setelah melalui berlapis-lapis penjagaan, mereka tiba di sebuah ruang besar yang diterangi dengan lampu besar. "Anggauta yang baru itu telah menghadap." seru Li thaubak. "Suruh masuk." Li thaubak melirik kepada Cu Jiang dan menyuruhnya dia sendiri yang masuk. Cu Jiang mengangguk. Ia masuk dan melangkah naik ke atas titian dan masuk ke dalam ruang. Dalam ruang Itu terdapat sebuah meja besar, rupanya sebagai tempat untuk memberi perintah. Di belakang meja itu duduk seorang tua berjubah kuning emas Matanya berkilat-kilat merah seperti mata ular sehingga menimbulkan rasa seram. Pada kedua samping meja terdapat delapan kursi dari kayu jati. Tetapi baru berisi tiga orang lelaki tua dan seorang lelaki setengah tua berjubah kuning. Cu Jiang menduga bahwa lelaki tua berjubah emas duduk dibelakang meja pimpinan itu tentulah iblis Ngo tokmo. "Menghaturkan hormat kepada thamcu." begitu masuk Cu Jiang memberi hormat kepada lelaki di meja pimpinan itu. "Oh, engkau membawa apa itu?" "Perlengkapan bekal." Ngo tok mo mengerling memandang ke arah tiga lelaki tua jubah hitam yang duduk di sebelah kanan. "Ku congkoan !" "Siap !" seru salah seorang lelaki jubah hitam itu. "Sediakan semua persiapan dan tunggu perintah dari thancu." "Di ruang Bu-thia," katanya pula. "Baik." Ruang Bu-thia atau tempat berlatih silat saat itu terang benderang. Di panggung telah hadir tokoh2 pimpinan yang berada dalam ruang tadi. Di bawah panggung terbentang sebuah lapangan seluas tiga tombak. Di sekeliling lapangan itu berjajar-jajar dua puluhan orang busu atau jago silat, tua dan muda. Cu Jiang ditempatkan di pintu masuk. "Song huhwat !" seru Ngo-tok-mo. Lelaki tua Jubah kuning berdiri dari tempat duduk dan memberi hormat. "Siapa namanya?" "Cu Ing Jit." "Kepandaiannya tergolong tingkat ke berapa?" "Dalam ujian, dengan sebuah jurus dia dapat mengalahkan Tio sisu, rupanya bisa digolongkan kelas satu." "Kelas satu?" "Ya," "Suruh seorang busu kelas satu untuk bertanding dengan dia ?" "Baik." Lelaki jubah kuning itu berpaling kearah busu yang duduk pada Jajaran kedua dan berseru: "Kwee sisu, cobalah dia barang sejurus !" Seorang bu-su berumur lebih kurang 40an tahun segera berbangkit dan mengiakan. Dia melangkah ke tengah gelanggang, memberi hormat ke arah panggung lalu berputar tubuh dan berdiri di samping. "Cu Ing Jit, pilihlah senjata dan bertandinglah dengan Kwee si-su !" Sebenarnya Cu Jiang sudah sebal tetapi apa boleh buat, dia harus bersabar lagi. Tanpa menyahut ia terus menghampiri rak senjata dan sembarangan saja mengambil sebatang pedang lalu menuju ke gelanggang dan berhadapan dengan jago yang bernama Tio si-su. Tangan kirinya tetap mencekal bungkusan pedang kutung. Orang she Tio itu kerutkan kening dan berseru : "Letakkan bungkusanmu itu." "Tak usah !" Cu Jiang tersenyum. "Mengapa engkau begitu sombong ?" "Bukan sombong tetapi aku memang selamanya hanya menggunakan sebelah tangan saja." "Kita bertandang sejurus saja." "Silakan menyerang dulu!" "Tidak, engkau yang mulai dulu" "Si su adalah tokoh terkemuka dalam perkumpulan kita, bagaimana aku berani berlaku kurang hormat" "Jika begitu, siap2lah menyambut seranganku ini!" pedang dileburkan dan berhamburan hawa dingin melanda Cu Jiang. Jalan-darah yang penting diseluruh tubuh, dari atas sampai bawah. terancam ujung pedang. Hebatnya membuat orang leletkan lidah. Saat itu Cu Jiang tak berani menunjukkan siapa dirinya. Dia hanya menangkis. Terdengar dering pedang beradu dan serangan Kwee si-su itu semua dapat ditangkisnya. Merah padam muka jago she Kwee itu. "Maaf. sekarang harap menyambut seranganku." seru Cu Jiang. ia terus gunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang Thian te kiau thay. Pedang menyerang datar dan lurus ke muka tetapi Kwee si su kelabakan tak dapat menangkis dan terpaksa mundur tiga langkah. Wajahnya menyeringai tak sedap dipandang. Cu Jiang tak mau mengejar. Ia menarik pulang pedangnya. "Cukup!" seru Ngo-tok-mo "persidangan dibubarkan, tujuh hari kemudian akan diadakan pengangkatan jabatan yang resmi." Selain bu su serempak berdiri dan memberi hormat. Ngo tok mopun segera masuk kedalam pintu samping. Sementara seorang bu-su lain mengantarkan Cu Jiang kembali kedalam kamar peristirahatannya. Keenam bu su yang berjudi tadi sudah selesai dan siap menunggu perintah. Diatas meja terdapat sebuah botol, tentulah berisi air hu atau mantra. Tak berapa lama, Li thaubak bergegas datang dan berkata: "Cu In Jit, kamar ini hanya tinggal engkau seorang, silakan beristirahat, jangan pergi kemana-mana." "Baik." Ketujuh orang itupun segera tinggalkan ruangan. Cu Jiang menutup pintu dan memadamkan lampu lalu rebah di ranjang. Dia memikir-mikir bagaimana tindakan yang akan dilakukan. Saat itu sudah lewat tengah malam, suasana sunyi sekali. Kecuali hanya terdengar derap langkah dari para peronda, tak terdengar apa2 lagi. Cu Jiang memutuskan untuk bertindak. Ia berganti pakaian dan mengenakan kain kerudung muka, membawa pedang kutung. Setelah siap dalam penyamaran sebagai Toan-kiam-jan-jin, dia terus ke luar. Para peronda itu hanya anak buah biasa. Sudah tentu mereka tak dapat mengetahui gerak-gerik Cu Jiang. Gedung itu mempunyai banyak sekali ruangan sehingga sukar untuk mencari tempat Ngo tok-mo. Dia menuju ke sebuah ruang yang paling akhir sendiri lalu bersembunyi di ujung yang gelap. Tiba2 sesosok bayangan masuk ke dalam ruang dan berseru: "Hamba Lu Goan, mohon menghadap hun thanciang untuk menghaturkan laporan penting!" Semangat Cu Jiang timbul seketika. Ternyata dia telah menemukan ruang yang tepat. Dari dalam ruang itu terdengar suara Ngo-tok-mo yang menusuk telinga: "Soal penting apa?" "Cong-than, memberitahukan sebuah peristiwa yang penting!" "Katakan!" "Menurut laporan rahasia, puteri Tayli yang pesiar ke Tiong goan telah ditawan oleh pihak Gedung Hitam. Dan tokoh yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu ternyata telah menjabat pangkat sebagai Tin tian ciang-kun (jenderal bhayangkara keraton) Tayli. Diapun murid dari Koksu Gong gong-cu. Pimpinan mengumumkan, supaya setiap ketua cabang menyelidiki tentang gerak gerik Toan kiamjanjin. Kalau menemukannya tak boleh bergerak sendiri tetapi harus cepat2 memberi laporan karena ketua hendak turun tangan sendiri untuk membereskannya." "Oh." seru Ngo tok-mo. "Murid masih ada sebuah hal yang perlu murid Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo haturkan." "Hal apa?" "Kedua anak buah kita yang tertutuk jalan-darahnya itu tak dapat diobati sehingga binasa. Kamipun berhasil menangkap lima anak buah Gedung Hitam dan setelah kami paksa menelan pil Ok-tim-wan, mereka memberi keterangan bahwa Gedung Hitam tak mempunyai jago2 unggul didaerah Kwi ciu. Gedung Hitam tak tahu menahu tentang peristiwa itu." "Lu ciangleng. bagaimana pendapatan sendiri ?" "Kuanggap Cu Ing Jit yang baru saja kita terima menjadi pengawal itu, mencurigakan . . ." "Apa alasannya ?" "Dari kelima calon yang hendak kita terima menjadi busu. ternyata yang empat dapat meloloskan diri, hanya tinggal dia seorang yang selamat. Dan pula menilik gerak ilmu pedangnya seperti bukan berasal dari ilmu pedang aliran Tionggoan. Dia masih belum mau menunjukkan ilmu kepandaiannya yang sesungguhnya. Sebenarnya waktu di biara Sian-yu-kwan dia sudah disuruh menelan pil Inseng-wan, tetapi ternyata pikirannya masih sadar dan tingkah lakunya juga tetap biasa .... " "Hal itu aku memang sudah melihatnya. Kalau menurut Lu ciangleng, bagaimana kita akan menyelesaikan orang itu?" "Segera membuka sidang peradilan dan seluruh tong-cu harus hadir." "Baik." Ciangleng atau pembawa amanat orang she Lu itu segera bergegas keluar. Cu Jiang loncat ke luar dari tempat gelap. Ia mendorong pintu ruang tengah tetapi ruang itu kosong. Dia terus melangkah masuk. "Siapa?" "Aku." "Engkau siapa?" "Orang yang anda hendak cari itu!" Ngo tok-mo segera membawa lampu keluar. Begitu melihat siapa yang berada dalam ruang itu, dia berteriak gentar: "Engkau Toan-kiam-jan jin?" "Heh, heh, benar," Cu Jiang tertawa mengekeh, "silakan engkau berteriak minta tolong atau memanggil bala bantuan anak buahmu!" Ngo-tok-mo deliki mata. Ia menyulut lilin besar dalam ruang itu kemudian mempersilakan tetamunya duduk. "Tak usah," Cu Jiang menolak. "Kita akan bercakap cakap." "Tak perlu!" "Lalu apa maksudmu datang kemari?" "Katakan saja, untuk menagih hutang darah dari rakyat!" "Ha, ha. ha, ha ...." "Hm, rupanya engkau tenang2 saja" " Segulung bau harum bertebaran menyusup hidung. Cu Jiang segera menyadari bahwa saat itu Ngo-tok-mo sedang menebarkan racun harum. Tetapi dia tenang saja karena mempunyai katak-mustika. "Toan kiam-jan-jin, engkau benar2 bernyali besar karena berani menyusup masuk ke dalam markas ini. Entah bagaimana engkau harus menderita kematian nanti." "Mungkin kebalikannya, bukan aku tetapi engkau!" "Mengapa engkau tak mencoba mengerahkan tenagamu?" "Apa maksudmu?" "Ketahuilah, dalam lingkungan tempat kamar ku, penuh dengan racun2 berbisa. Sekali melangkah kedalam lingkaran daerah racun itu, dewapun pasti mati juga! "Benarkah itu?" "Engkau..." "Bagaimana kepandaianmu kalau dibanding dengan nenek Teh-hun-pi-peh?" Wajah Ngo tok-mo seketika berobah. Sesaat kemudian dia menenangkan diri, mempersiapkan kedua tangan untuk menjaga diri dengan ketat. Cu Jiang harus memburu waktu. Dia tak mau tenaganya diperas terlalu lama disitu. Dengan membentak keras, ia terus ayunkan pedang kutung. Harus cepat2 dapat membunuh iblis itu maka dia gunakan seluruh tenaganya. Ngo tok-mo tak dapat menghindar mundur. Kanan kiripun telah tertutup oleh sinar pedang. Tak ada lain jalan kecuali harus mengadu jiwa. Maka diapun lancarkan serangan balasan. Huak.... terdengar suara menguak ngeri, disusul dengan darah menyembur. Tangan Ngo tok mo masih menuding Cu Jiang dan mulut menganga seolah-olah ia tak puas harus menemui keakhiran hidup seperti itu. Tetapi nasib sudah digariskan. Dia tetap terkulai dan rubuh ke tanah. Pada saat lawan melancarkan serangan balasan tadi, Cu Jiang pun sudah mundur beberapa langkah. Darahnya bergolak keras. Jeritan ngeri dari Ngo-tok-mo itu telah mengejutkan kawanan peronda. Mereka segera memburu masuk ke ruang itu. Cu Jiang membakar kain tirai dan kelambu. Begitu terbit kebakaran, terompet pertandaan segera berbunyi. Seluruh markas di makan api. Sekali sudah turun tangan, Cu Jiang tak mau kepalang tanggung. Dia terus melepas api untuk membakar markas. Setelah seluruh markas menyala, barulah dia lari menuju ke biara Sian-yu-kwan. Tetapi saat itu ternyata biara Sian-yu-kwan juga sedang kacau balau tak keruan. Malaikat-hidup yang biasa memberikan obat, hilang entah ke mana. Sedang seguci hu yang baru saja diangkut ke biara itu juga lenyap. Siapakah yang berani melakukan perbuatan itu" Lelaki jubah kuning yang hendak mengganti giliran sebagai Malaikat hidup, berjingkrak-jingkrak seperti kebakaran jenggot. Dia memerintahkan seluruh anak buah biara itu untuk mencari secara diam2 tak boleh menyiarkan. Karena kalau hal itu sampai bocor, tentulah permainan mereka akan ketahuan orang. Tiba di biara Sian yu kwan. Cu Jiang melihat waktu sudah hampir mendekati fajar. Dia terus menyelinap masuk ke bagian belakang. "Siapa itu ?" Terdengar orang menegur dan terdengar pula suara sosok tubuh yang jatuh ke tanah. Lelaki jubah kuning lari memburu ke halaman. Sejenak memandang ke empat penjuru, ia berseru bengis: "Sahabat dari manakah yang berkunjung kemari?" "Aku datang hendak menghadap Malaikat-hidup." terdengar suara penyahutan dari arah tempat yang gelap. Lelaki jubah kuning itu terkejut dan dengan gemetar ia berseru pula: "Siapakah sahabat ini?" Tiba2 dihadapannya muncul seorang yang mengenakan kain kerudung muka. "Engkau . , . Toan kiam janjin" " "Benar! " "Engkau . . , engkau . .. hendak mengapa?" "Hendak menumpas kedosaanmu yang berani menyaru menjadi Malaikat dan mencelakai rakyat!" "Tolong . . !" teriak lelaki jubah kuning memanggil anak buahnya. Beberapa anak buahnya segera berhamburan muncul. Empat orang yang mengenakan pakaian seperti imam serta busu terus menyerang Cu Jiang. Tetapi hampir serempak, mereka menjerit ngeri dan rubuh. Lelaki jubah kuning itu tahu akan kelihayan Toan-kiam jan jin yang mampu mengalahkan nenek Toh-hun pipeh atau guru dari gerombolan iblis Sip-pat-thian mo. Maka pada saat keempat anak buahnya menyerang Cu Jiang, diapun terus menyelinap pergi dan menghilang dalam kegelapan. Tetapi ternyata Cu Jiang lebih gesit. Begitu tiba dalam hutan di belakang biara, baru lelaki tua jubah kuning itu menghela napas longgar dan hendak menyembunyikan diri, tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan: "Malaikat-hidup, mau mengumpat kemana engkau?" terdengar teriakan disertai munculnya Toan kiam jan jin di hadapannya. Lelaki jubah kuning melongo seperti kehilangan semangat. "Malaikat hidup, bagaimana kalau engkau bunuh diri saja?" Cu Jiang tertawa dingin. Tiba2 lelaki tua jubah kuning itu mengangkat kedua tangannya dan menghantam. Karena gugup ketakutan, dia telah menggunakan seluruh tenaganya. "Hm, rupanya engkau mau membangkang! " Cu Jiang menyelinap dan ayunkan tangan. Lelaki jubah kuning itu mengaum, terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang dan muntah darah. "Uh..." Cu Jiang memburu dan menutukkan jarinya. Lelaki tua jubah kuning itupun rubuh. Cu Jiang menjinjing tubuh orang itu, lari kembali ke biara, menyingkap kain tirai dan mengikat lelaki jubah kuning itu pada kursi. "Malaikat hidup, begitu hari terang, rakyat yang minta air hu kepadamu itu akan memberi peradilan!" "Toan kiam janjin, bunuhlah aku!" seru lelaki jubah kuning itu. Cu Jiang menutuk jalan darah gagu di tenggorokan orang itu, katanya: "Enak kalau engkau harus mati. Masakah permainan tadi dari Thong thian kau tak ada urusannya lagi?" Sepasang mata lelaki jubah kuning itu seperti mau pecah. Dadanya diamuk amarah dan kembali dia muntah darah. Tetapi ilmu kepandaiannya sudah dirusak dan mulutnya tak dapat bicara, Tak ada lain jalan baginya kecuali hanya pasrah nasib. Cu Jiang berdiri di muka ruang sambil mencekal pedang kutung. Kawanan anak buah yang diperintah untuk mencari gentong air hu yang hilang itu mulai kembali lagi ke biara. Tetapi mereka telah disambut Cu jiang. Cu Jiang tak mau membunuh, melainkan hanya merusak tenaga kepandaian mereka. Hari baru saja fajar tetapi di luar pintu biara sudah banyak orang yang berkerumun untuk minta air hu. Mereka antri. Cu Jiang tertawa puas, lalu tinggalkan biara itu. Begitu masuk kedalam biara, rakyat tentu akan mengetahui peristiwa dalam biara itu. Cu Jiang kembali menyamar seperti pemburu dan lari keluar kota untuk menemui Thian put thou di rumah penginapan. Ternyata Thian put thou memang sudah menunggu. "Adik kecil, bagaimana keadaannya?" "Rakyat akan menghakimi. Tetapi air hu itu .... " "Oh. telah kuserahkan kepada pimpinan partai Kay pang disini untuk membagi-bagikan kepada penduduk." Keduanya lalu melanjutkan perjalanan. Hari itu mereka tiba di sebuah kota kecil didaerah pegunungan. Dari situ mulai memasuki gunung tempat markas Gedung Hitam. Ternyata kota kecil disitu sudah dikuasai pihak Gedung Hitam. Tiga empat kali mereka bertemu dengan orang2 Gedung Hitam yang bertanya tentang diri mereka. Untung Thian-put thou banyak pengalaman. Dia dapat memberi jawaban yang menghilangkan kecurigaan orang, Menilik hal itu, jelas bahwa penjagaan Gedung Hitam tentu luar biasa ketatnya. Mereka singgah disebuah rumah makan. Waktu makan. Cu Jiang berbisik-bisik meminta agar Thian put thou tinggal di kota itu. "Uh, engkau memang selalu hendak mencampakkan aku saja ..." "Bukan begitu. Aku terlanjur bersumpah hendak melakukan balas dendam itu dengan tanganku sendiri." "Tetapi bukankah tujuanmu kemari karena hendak menolong puteri dari Tayli itu ?" "Melakukan pembalasan, sekalian untuk menolong orang dan mungkin masih ada lain2 hal lagi." "Apakah tenagaku tak engkau butuhkan ?" "Tentu. Maka kuminta lo koko tinggal disini agar setiap waktu yang diperlukan, dapat memberi bantuan kepadaku." "Baiklah, toh percuma saja aku ngotot, engkau tentu tak mau merobah pendirianmu." Cu Jiang tertawa dan minta maaf karena selama ini selalu suka membawa adat menuruti kemauannya sendiri. Thian-put thou hanya tertawa dan mengajaknya melanjutkan makan dan minum. Setelah selesai, mereka lalu berpisah. Cu Jiang berangkat masuk ke gunung. Dia tak mau mengambil jalan biasa melainkan melintas gunung dan desa yang lebih dekat. Selain mempersingkat waktu, pun pos2 penjagaan Gedung Hitam juga sukar untuk mengetahui. Menjelang petang, tibalah dia di puncak yang terdapat kuil gunung. Kuil itu dulu pernah dibuat tempat sau-pohcu atau putera dari ketua Gedung Hitam, melarikan Ki Ing dan hendak mencemarkan kehormatan nona itu. Saat itu malam tiada rembulan, hanya bintang2 bertaburan di langit. Tiba2 Cu Jiang melihat tak berapa jauh dari tempatnya berdiri, terdapat dua gunduk tanah kuburan. Dia terkejut dan heran. Segera tempat itu dihampirinya. Ternyata tak ada batu nisannya dan gundukan tanah itupun penuh ditumbuhi dengan rumput tinggi. Dengan begitu tak dapat diketahui siapakah yang dikubur didalam tanah itu. Didepan tanah kuburan yang tak bernama itu terdapat sebuah batu besar yang berbentuk seperti kerbau mendekam. Dia naik keatas gunduk batu itu dan Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menimang-nimang langkah selanjutnya. Dia lalu membuat guratan tentang peta yang dibuai Ih Se lojin, paman gurunya dahulu. Tindakan itu memang tepat sekali. Apabila terlambat, dia tentu akan mengalami nasib yang mengerikan. Pada saat jarinya merabah permukaan batu itu, ia seperti merasakan batu itu terdapat guratan, serentak ia menghapus pakis yang memenuhi batu itu. Kini ia melihat jelas bahwa pada permukaan batu itu terdapat dua buah guratan yang melukiskan sebuah topi imam dan sebuah kopiah pendeta. Apakah artinya itu " Setelah merenung beberapa saat, tiba2 ia tersadar. Jelas bahwa yang dikubur dalam dua buah gunduk tanah itu tentulah kedua tokoh dari Bu-lim Sam-cu yakni Thian-hian cu dan Go-leng-cu. Ternyata toa suhengnya, Ho Bun-cai, tak ingkar janji. Dia benar2 mengubur jenazah kedua tokoh itu dengan sebaik-baiknya. Dan agar tidak diketahui orang, maka dia hanya membuat dua buah guratan gambar topi dan kopiah. Penemuan itu hanya membuat hatinya sedih mengenangkan peristiwa2 yang telah lampau. Kedua tokoh Bu-lim Sam-cu telah binasa demikian pula Ho Bau Cai, toa suhengnya, pun mati dibunuh oleh Gedung Hitam. Ia harus membalas semua dendam darah itu. ia tak tahu bagaimana nanti kesudahan dari tindakannya menggempur markas Gedung Hitam itu. Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring memecah kesunyian. Cu Jiang menduga tentulah kawanan anak buah Gedung Hitam yang sedang melakukan ronda. Untuk sementara ia tak mau turun tangan dan akan bersembunyi dulu. Ia segera melayang masuk kedalam hutan dan bersembunyi di atas dahan sebuah pohon yang lebat. Tepat pada saat itu muncul empat orang lelaki tua bertubuh tinggi besar. Salah seorang rambutnya putih mengkilap, Cu Jiang dapat melihat jelas bahwa kemungkinan besar keempat orang itu bukan dari Gedung Hitam. Keempat orang itu tiba2 berhenti lalu duduk bersila di muka gunduk kuburan. "Suhu, kapan kita mulai turun tangan ?" seru salah seorang yang duduk di sebelah kanan kepada lelaki tua berambut putih yang duduk ditanah. "Setelah terang tanah !" "Masih ada waktu." "Kita bunuh dulu beberapa kelinci dan anak cucunya." "Tetapi tidakkah hal itu akan membuat mereka tahu dan memperkeras penjagaan ?" "Ah. tak apa. Mereka hanya mengandalkan barisan Ho thian-tin saja." Orang yang duduk di sebelah kiri berseru sinis: "Asal Gedung Hitam sudah dibasmi dan Toan-kiam-janjin menyerahkan batang kepalanya, perkumpulan kita tentu akan menjadi yang dipertuan dalam dunia persilatan." Cu Jiang terkejut. Kiranya beberapa orang itu adalah tokoh2 terkemuka dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Sungguh kebetulan sekali. Jika mereka menyebut kakek berambut putih itu dengan panggilan suhu, bukankah kakek itu tokoh iblis yang bernama Jui- beng-koh" Barisan Ho-thian-tin merupakan salah satu dari ilmu barisan Ki bun ceng coat. Dan ilmu ajaran Ki bun ceng coat itu berasal dari perguruan Thay hi bun. Mengapa mereka tahu akan nama barisan itu" Dan mengapa pihak Gedung Hitam dapat menyusun barisan semacam itu" Cu Jiang teringat bahwa toa-supeh (paman guru) pernah menyuruh dia menyelidiki, siapakah orang yang dapat menyusun barisan itu. Tiba2 salah seorang dari keempat lelaki tua itu berkata: "Kali ini jika tak mengandalkan ilmu kepandaian merobah muka dari Kiu-te (saudara yang kesembilan) sehingga dapat menyusup kedalam Gedung Hitam tentu sukar untuk mengetahui siapa yang menyusun barisan itu..." Cu Jiang menimang. Kiu-te adik kesembilan tentulah dimaksud Cian-bin Koay-mo atau Iblis-seribu muka yang tercantum pada urutan ke sembilan dalam gerombolan Sippat-thian-mo. Mengapa mereka hendak mencari orang yang menyusun barisan itu " Apa maksudnya " Cu Jiang segera memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut. "Lo pat, rupanya Thian memberkahi kita," kata lelaki yang berada di sebelah kiri. "Tetapi harus membantu diri sendiri dulu baru Thian akan membantu kita." sahut orang tua berambut pulih. "Lo-liok, yang paling menakutkan adalah si Toan kiam jan-jin itu..." "Ji-ko," kata kawannya yang disebut Lo-liok atau saudara yang keenam, "keadaan kita memang sudah berantakan. Yang mati dan yang cacad. Dendam darah ini, negeri Tayli harus membayar seratus kali lipat." -oo0dw0oo- Jilid 23 Tamat Diam2 Cu Jiang menghitung-hitung. Gerombolan sippat-thian-mo, selain tiga iblis yang saat itu berada disitu, hanya tinggal dua lagi yaitu iblis nomor sembilan dan iblis nomor satu. Kalau ia dapat membasmi empat iblis lagi. kekuatan mereka tentu sudah rontok. Tetapi dia tahu bahwa iblis tua yang berada disitu, tentu sukar dihadapi. Tentu harus mencari aksi dan kesempatan untuk menghancurkan mereka. Jika mereka sempat bersatu dan melakukan pengeroyokan, akibatnya tentu sukar dibayangkan. "Lo kiu datang"!" tiba2 lelaki tua di sebelah kiri berseru. Dan serentak itu seorang lelaki tua berpakaian hitam muncul dengan mencekal tangan seorang lelaki setengah tua yang juga berbaju hitam. Wajah lelaki setengah tua itu pucat lesi dan gemetar ketakutan. Lelaki tua berambut putih berpaling dan menegur tajam: "Bagaimana !" "Dia sudah melukis barisan itu." "Boleh dipercaya?" "Dia takut mati sekali !" "Ha, ha, ha, ha..." Cian bin koay-mo segera mengeluarkan segulung kertas, katanya: "Inilah gambar barisan itu. Setiap lukisan empat helai, harap suhu periksa." Ia memberikan kepada iblis kedelapan yang berada dekat dengan dia, kemudian iblis kedelapan itu memberikan selembar kepada iblis tua berambut putih, sisanya dibagibagikan setiap orang selembar. Dalam tempat persembunyiannya, Cu Jiang memandang dengan seksama kepada lelaki setengah tua yang tangannya dicengkeram iblis Cian-bin koay-mo. Tetapi ternyata dia tak kenal dengan orang itu, Menurut pakaiannya, orang itu tentulah seorang tokoh Gedung Hitam yang mempunyai kedudukan tinggi. Keempat iblis itu memeriksa teliti gambar barisan. Kemudian iblis ke sembilan atau cian-bin koay-mo (iblis seribu muka) berkata: "Gambar itu sama dengan gambar yang dulu dia serahkan. Agar tidak salah maka kusuruh dia membuat lagi empat lembar..." "Waktu sudah hampir tiba, kita bekerja menurut rencana semula!" kata iblis tua rambut putih. Cianbin koay-mo segera menarik lelaki setengah tua itu bersembunyi kearah ia datang tadi. Sedang ketiga iblis yang lain lalu berpencaran. Terdengar suara genderang berbunyi tiga kali. Cu Jiang makin tegang. Tak perlu diragukan lagi iblis tua berambut putih itu tentulah iblis Jui bengkok atau si Genderangpelelap nyawa, guru dari kawanan Sip pat thian mo. Suara kentungan itu ternyata bukan kentungan biasa melainkan hamburan dari mulut iblis berambut putih itu. Memang aneh dan dahsyat sekali nadanya sehingga anak telinga hampir pecah di buatnya. Diam2 Cu Jiang teringat akan pasangan dari iblis tua itu yakni nenek Toh hun pi peh. Jika tidak karena ia memiliki tenaga dalam yang kuat, tentulah dia sudah binasa digetar suara harpa nenek itu. Diapun masih memikiri lelaki setengah tua yang diringkus Cian bin koay mo itu. Orang itu rupanya tahu akan rahasia barisan Ho thian tin ia harus membayangi orang itu. Maka iapun segera menyelinap turun dari pohon dan terus mengitar menuju kesamping mencari Cian-bin koaymo. Bagian belakang gunung itu merupakan sebuah tempat yang turun naik seperti bentuk pelana kuda, puncak disitu seolah2 bersambung dengan puncak yang lain seperti bentuk punggung onta. Saat itu sudah menjelang tengah malam, Gelap sekali. Karena sampai beberapa waktu tak dapat melihat bayangan Cian bin koay-mo akhirnya Cu Jiang naik lagi ke puncak gunung. Diatas puncak itu pohon2 tumbuh tinggi tetapi tak berapa banyak. Dari jauh ia seperti melihat sosok bayangan bergerak dibawah pohon. Hati2 sekali Cu Jiang menghampiri. Ternyata dibawah pohon itu memang terdapat Cian bin koay-mo. Sedang lelaki setengah tua itu diikat dengan akar pohon, rupanya jalan-darahnya telah ditutuk. Cu Jiang membuka bungkusan dan menyisipkan pedang kutung di pinggang. Dia tak mengenakan kerudung muka dan tetap tak ganti pakaian. "Tio-huhwat." seru Cian bin koay-mo dengan nada sinis. "terpaksa menyiksamu satu malam ini. Kalau penghancuran barisan itu berjalan lancar, engkau boleh bebas!" Kiranya lelaki setengah tua itu hu-hwat dari Gedung Hitam. Tetapi mengapa dia dapat melukis barisan Ho thiantin " Waktu amat mendesak. Cu Jiang tak mau membuang waktu. Dia terus muncul dan Cian-bin koay-mo pun cepat dapat mengetahui. "Siapa ?" Ia berputar diri dan membentak. "Seorang pejalan gunung." sahut Cu Jiang. Melihat perwujudan Cu Jiang, rupanya Cian bin koaymo meremehkan, Dia terus melesat maju menghampiri dan tertawa mengekeh: "Budak kecil, pulang saja ke rumah nenekmu !" Secepat kilat. Cian-bin koay-mo mencengkeram. Begitu hampir menyentuh dada. Cu Jiang terus menghantamnya. Sudah tentu Cian-bin koay-mo tak mengira sama sekali. Apalagi tenaga kepandaian Cu Jiang jauh lebih tinggi. Seketika ia menjerit ngeri dan muntah darah. "Bluk . . ." iblis itupun jatuh. "Bangun !" bentak Cu Jiang. Cian-bin koay-mo berbangkit dan memandang Cu Jiang dengan bengis. "Budak, engkau .... siapa ?" "Bukankah anda ini Cian-bin koay-mo ?" Cu Jiang balas bertanya. "Bagaimana .... engkau tahu ?" "Aku telah mengarungi empat penjuru dunia karena hendak mencari engkau." Cian bin koay-mo menyurut langkah. "Siapa sebenarnya engkau !" Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedangnya. "Toan-kiam-jan Jin!" Cian-bin koay-mo memekik kaget, seraya terus loncat ke balik pohon. Tetapi Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk mengejar sehingga Cian-bin-koay-mo kabur matanya karena tak dapat menentukan tempat posisi lawannya. Cian bin koay-mo serasa bilang semangatnya ketika melihat Cu Jiang seperti lenyap. Pukulan yang dideritanya telah menyebabkan ia terluka parah. Satu-satunya jalan yang paling selamat ialah harus lari. Dengan menghimpun sisa tenaga, dia terus hendak ayunkan tubuh.... "Berhenti!" tiba2 segulung tenaga telak mendorong tubuhnya yang tengah melayang di udara itu terpental jatuh ke tanah lagi. Dan tahu2 Toan-kiam-jan-jin sudah berada dihadapannya. "Toan-kiam jan-Jin ... engkau hendak mengapakan diriku ?" seru iblis itu menggigil. Karena jejaknya sudah diketahui oleh kawanan Sip-patthian mo, maka Cu Jiang memutuskan akan membasmi kawanan iblis itu. Kalau tidak kelak tentu menimbulkan bahaya besar bagi negeri Tayli. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bagaimana selera anda tentang alam pemandangan di tempat ini?" serunya dingin. Tubuh Cian-bin koay-mo gemetar. Tiba2 mulutnya memekik aneh dan dengan menggunakan segenap sisa tenaganya yang ada. ia hantamkan kedua tangannya kearah Cu Jiang. Dia memang sudah kalap dan tak mau mati begitu saja. Bum . . . Cu Jiang pun menyongsongkan kedua tangan untuk mengadu kekerasan. Terdengar suara erang tertahan dan tubuh Cian bin koay-mo sempoyongan lalu rubuh. Setelah beberapa saat menggelepar meregang jiwa, akhirnya tubuhnya pun kaku tak berkutik lagi. Cu Jiang terkejut sekali ketika melihat wajah Cian-bin koay-mo telah berubah menjadi lain perwujudan. Tetapi dia tak sempat untuk menyelidiki hal itu dan terus lari kembali ke tempatnya tadi. Dari puncak disebelah muka terdengar suara bentakan keras bercampur dengan pekik jeritan ngeri. Rupanya kawanan iblis itu sudah mulai mengganyang anak buah Gedung Hitam. Biar mereka saling bunuh sendiri, Cu Jiang tak mau menghiraukannya. Ketika melihat Cu Jiang, huhwat Gedung Hitam yang diikat dengan akar pohon tadi. wajahnya berobah lesi. Cu Jiang segera menghampiri. "Siapakah nama anda ?" tegurnya. "Lau Wi Han." "Asal dari ?" "Maaf tak dapat memberitahu." Cu Jiang mendengus: "Apakah barisan Ho-thian tin itu anda yang merencanakan?" "Ya, benar." "Gambar barisan yang aseli, darimana anda mendapatkan ?" Hu-hwat Gedung Hitam itu deliki mata. Beberapa saat kemudian baru dia berkata dengan suara tersendat: "Ini ... ini .. . warisan keluargaku!" "Apa katamu" Warisan dari keluarga?" "Ya." "Siapa keluarga anda?" "Ya . . . yalah keluarga Lau." "Ilmu barisan keluarga Lau." "Benar." "Dalam dunia persilatan Tionggoan, rasanya tak pernah terdengar sebuah barisan dari keluarga Lau ..." "Yang mengerti, belum pasti namanya akan termasyhur." Cu Jiang menggeram marah: "Ketahuilah, Jika anda tak mau bicara terus terang, aku tak menjamin keselamatan jiwamu." "Memang keteranganku itu semua sungguh2!" "Betul" Hm, rupanya kalau belum Melihat peti mati, anda memang belum menangis . . . . " habis berkata Cu Jiang hendak menutuk perut orang itu tetapi tiba2 dia melihat jari tangan kanan orang itu hanya tiga. Jari telunjuk dan jari tengah hilang. Seketika meluaplah bawa pembunuhan dalam benak Cu Jiang. Dia batalkan tutukannya. "Mengapa jari tangan anda hilang dua buah?" tegurnya dengan mengertek gigi. Seketika wajah orang itu berkerenyutan tegang dan membisu. "Bilang!" bentak Cu Jiang. "Ini . . . apa kepentinganmu?" "Apa engkau tetap tak mau bilang?" "Tak . . . bisa memberitahu." "Peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san, apa engkau masih berani menyangkal tak ikut campur?" Wajah Lau Wi Hian makin ngeri. "Toan kiam janjin . . . engkau . . . engkau benar putera dari Dewa-pedang?" "Ya. " "Mengapa . . . engkau tahu?" "Di tempat pertempuran itu terdapat kutungan jari." "Tetapi . . . tetapi hal itu hanya secara kebetulan saja. Aku . . . aku tak tahu ..." Karena geram, Cu Jiang menutuk perut orang itu. Lau Dewi Karang Samudera 1 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Ratu Kembang Mayat 1