Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 5

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 5 "Apakah anda yang disebut Bu-lim-seng-hud?" Entah bagaimana perasaan Sebun Ong saat itu, girang atau terkejut. Tetapi yang jelas wajahnya kelihatan menyeringai seperti kucing tertawa. Namun dengan masih bersikap garang dia menjawab: "Ya, siapakah sahabat ini?" "Aku Gok jin-ji." "Gok-jin-ji?" "Ya benar. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan Thian-hian-cu cianpwe kepala biara di sini." "Oh..." Kemudian Cu Jiang berpaling menghadap Bu-ceng-thayswe Kho Kun dan berseru datar: "Apakah anda terkejut?" "Budak cacad, memang aku tak menduga sama sekali." sahut Kho Kun dengan sinis. "Masih ada lagi yang akan mengejutkan hati mu! " kata Cu Jiang. "Apa?" "Kalian pasti mati semua!" "Budak cacad, jangan tekebur! Engkau mampu lolos satu kali. jangan harap dapat lolos lagi untuk yang kedua kali" Kho Kun maksudkan peristiwa Cu Jiang dapat melarikan diri dari penjara di bawah tanah dalam Gedung Hitam. Merah mata Cu Jiang. Melangkah maju dua tindak, ia mengangkat pedang dan berseru bengis: "Aku hendak membunuh habis kalian budak2 Gedung Hitam ini, hm!" Tiga Pengawal Hitam, yang seorang menyerang dengan tangan kosong dan yang dua menyerang dengan pedang. Mereka bergerak cepat sekali, Cu Jiang berputar tubuh seraya memutar pedangnya. Hauhhh ... terdengar jeritan ngeri ketika salah seorang Pengawal Hitam yang menyerang dengan pedang itu, terpental batang kepala dan menggelinding ke lantai. Tak ampun lagi tubuhnyapun rubuh. Kedua kawannya terlongong kaget. Cu Jiang sudah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan. Sekali bergerak, seorang Pengawal Hitam rubuh lagi. Kini hanya tinggal seorang Pengawal Hitam yang menggunakan pedang. Dengan sebuah serangan yang luar biasa cepatnya, tahu2 dada Pengawal Hitam itu sudah berlubang, darah menyembur deras dan orangnyapun terhuyung mundur sampai setombak. Wajah pucat seperti mayat .... Dengan menggerung keras. Kho Kun terus menghantam. Jurusnya aneh dan dahsyatnya bukan alang kepalang "Berhenti!" tiba2 Sebun Ong membentak dan menangkis pukulan Kho Kun. Sebenarnya Cu Jiang tak senang Sebun Ong mencampuri urusan itu. Tetapi karena mengingat Sebun Ong sama2 menentang Gedung Hitam, terpaksa dia agak sungkan. "Apa maksudmu?" teriak Kho Kun. Dengan wajah serius, Sebun Ong berseru "Maksudku hendak menenangkan keadaan ini." "Mungkin sukar!" "Kho Kun, engkau sudah menyaksikan sendiri kesaktian dari sahabat kecil ini. Kalau aku ikut masuk, mampukah engkau menyelamatkan jiwamu?" "Aku tak mudah digertak !" "Tetapi itu suatu kenyataan yang tak dapat engkau sangkal !" Cu Jiang hendak membuka mulut tetapi rupanya Sebun Ong tahu dan mencegahnya: "Sahabat, dalam melakukan sesuatu kita harus memikirkan akibat dibelakang hari." Terpaksa Cu Jiang tutup mulut lagi. Ia menyadari akan akibat yang akan diterima para imam biara Hian-to kwan dari pembalasan Gedung Hitam nanti. Kembali Sebun Ong berkata kepada Kho Kun: "Bagaimana pendapat mu tentang saranku tadi ?" "Tiga mati dan satu terluka, bagaimana harus menyelesaikan perhitungannya ?" seru Kho Kun dengan gusar. "Juga dalam biara ini sudah empat orang imam yang binasa, apakah itu juga tak sia-sia ?" sahut Sebun Ong. "Pihak Gedung Hitam selamanya tak pernah melepaskan musuh." "Kata-kataku hanya sampai disini, terserah keputusanmu!" Wajah Bu-ceng-thay swe Kho Kun berobah-robah. Rupanya dia sedang memperhitungkan untung ruginya. Lama baru dia membuka mulut: "Sebun Ong, engkau minta waktu sebulan?" "Ya, benar." "Apabila sampai waktunya tidak menyerahkan ?" "Aku Sebun Ong, akan mengundurkan diri dari dunia persilatan." "Apakah ucapanmu dapat dipercaya?" Kho Kun menegas. "Gila ! Apakah Sebun Ong bangsa manusia yang tak dapat dipercaya ?" "Baik. aku dapat menyetujui," kata Kho Kun terus berpaling kepada Cu Jiang. "Budak cacat, terpaksa kita tak dapat menggunakan kesempatan kali ini, sampai Jumpa !" serunya seraya memberi isyarat kepada Pengawal Hitam yang terluka: "Apakah engkau masih dapat jalan ?" "Ya." "Engkau bawa seorang mayat kawanmu. yang lain biar aku ..." "Baik." "Kho Kun, tinggalkan kitab Hiau-to-po-lok itu!" tiba2 Cu Jiang berseru dingin. Dengan deliki mata Kho Kun segera membuang kitab itu. Imam Han Hi buru2 memungutnya. Para imam yang mengepung diluar pintu halaman itupun segera menyingkir. Dengan membawa dua sosok mayat Pengawal Hitam, Kho Kun lalu melangkah keluar diikuti Pengawal Hitam yang terluka dan memanggul mayat kawannya itu. Kawanan imam yang menunggu diluar pintu mengawasi kedua orang itu dengan mata marah. Imam Han Hi segera menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang. Tetapi Cu Jiang mengatakan supaya imam itu jangan banyak peradatan untuk soal sekecil itu. "Harap siauhiap duduk di ruang depan ..." "Maaf, aku hendak melanjutkan perjalanan lagi, Hanya ada sepatah kata yang hendak kuhaturkan kepada totiang." "Soal apa?" Sejenak merenung. Cu Jiang berkata dengan nada yang berat: "Sejak hari ini harap totiang suka membubarkan para murid dalam biara ini. Demi menjaga pembalasan dari Gedung Hitam!" Han Hi tojin terbelalak. Sejenak kemudian Han Hi tojin mengertek gigi, serunya: "Membubarkan mereka?" "Begitulah." sahut Cu Jiang. "Tetapi, harus susiok-ku yang mengambil keputusan . . ." "Thian Hian Cianpwe sudah tak dapat mengambil keputusan! " "siauhiap maksudkan . . ." "Thian Hian cianpwe sudah pulang ke alam kesempurnaan di dalam penjara rahasia Gedung Hitam!" Seketika cahaya muka Han Hi berobah. "Apakah kata2 siauhiap ini sungguh2?" serunya dengan gemetar. "Masakan aku berani omong sembarangan" Aku juga nyawa kembalian dari neraka Gedung Hitam. Aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!" "Bu-liang-siu hud!" Han Hi tojin menundukkan kepala. Tubuhnya menggigil. "Sobat kecil, apakah benar terjadi peristiwa itu?" seru Sebun Ong dengan muka berkerenyutan. "Benar!" "Sobat dapat lolos dari neraka Gedung Hitam, tentu orang sukar percaya . . . . " "Memang benar, aku sendiri juga tak pernah mimpi dapat lolos. Tetapi rupanya Thian memang belum menakdirkan aku harus mati! " "Apakah sahabat dapat menuturkan peristiwa itu?" "Maaf, tak dapat." "Sahabat ini dari perguruan mana" " "Soal ini ... juga sukar kuterangkan." "Jurus ilmu pedang yang engkau mainkan tadi bukankah sama seperti ilmu pedang sakti It kiam-tui-hun dari Nabipedang Cu Beng Ko dahulu?" Tergetar hati Cu Jiang seketika. Tetapi dia berusaha untuk menindas kegoncangan hatinya. Dengan tenang ia menjawab: "Ilmu silat itu sama sumbernya. Banyak persamaannya satu dengan lain." Dengan mata berkilat kilat, Sebun Ong memandang wajah Cu Jiang, seolah-olah hendak menembus isi hatinya. "Mengenai pengetahuanku tentang ilmu silat yang terdapat dalam dunia persilatan Tionggoan, kurasa hanya ilmu pedang dari Nabi-pedang Cu Beng Ko itu yang sangat beda dengan ilmu pedang lain2 aliran," kata Han Hi tojin. Diam2 Cu Jiang memuji ketajaman mata imam itu, ia tertawa hambar. "Aku yang rendah karena masih dangkal dalam ilmu silat, tak berani menyatakan apa-apa," katanya. "Kudengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan bahwa Nabi-pedang Cu Beng Ko mempunyai putera yang berkelana di dunia persilatan..." "Ah, banyak sekali hal2 dalam dunia persilatan yang tak kuketahui." "Wajah anda itu agaknya bukan begitu aselinya tetapi karena menderita luka ..." Kembali tergetar hati Cu Jiang. Tak mau ia melayani berbicara soal itu dan buru2 alihkan pembicaraan: "Sudah lama aku mengagumi akan kemasyhuran nama cianpwe di dunia peralatan. Sungguh beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Jika cian-pwe tak keberatan, sudilah memberi alamat tinggal cianpwe agar kelak lain waktu dapat berkunjung" Maksud Cu Jiang pada waktu yang diperlukan nanti, dia akan melaksanakan sebuah pesan terakhir dari Ko-tiong-jin atau kakek yang menderita dalam gua itu. Jelasnya, Cu Jiang hendak membuat perhitungan yang penghabisan dengan Sebun Ong. "Aku tak punya tempat tinggal tertentu. Tetapi kegiatanku tak lepas dari lingkungan wilayah Kanglam dan Kangpak. Sudah tentu kita mempunyai banyak kesempatan untuk berjumpa lagi." "Oh..." baru Cu Jiang mendesah, tiba2 sesosok bayangan berkelebat masuk. Melihat pendatang itu, Cu Jiang terlongong. Pendatang itu seorang itu seorang kakek tua mengenakan jubah kuning telur. Cu Jiang masih ingat, ketika lolos dari neraka Gedung Hitam dan tiba disebuah kota, dia bertemu dengan orang tua itu mengaku she Gong dan menyatakan hendak memungutnya sebagai murid. Tetapi saat itu dia menolak .... Tiba2 orang tua itu tertawa keras. "Sebun Jite, belasan tahun tak berjumpa, engkau masih tetap awet muda dan gagah seperti dulu!" serunya. Melihat kedatangan orang tua itu, Sebun Ongpun tertawa nyaring, serunya: "Sungguh kebetulan sekali loko datang. Disini telah terjadi suatu peristiwa besar." "Peristiwa apa?" orang tua itu hentikan tawanya. "Menurut berita dalam dunia persilatan, Thian-hian-cu telah mendapatkan kitab Giok-kah-kim keng. Benarkah itu?" "Itu hanya desus desus yang tak sesuai dengan kenyataannya." "Jika loko yang mengatakan begitu, sudah tentu yang paling dapat dipercaya ...." kata Sebun Ong. Tiba2 mata orang tua itu beralih memandang Cu Jiang. Wajahnya cerah tersenyum. "Engkoh kecil, tak kira kita akan bertemu lagi disini." "Sungguh gembira sekali," Cu Jiangpun segera memberi hormat. Dalam pada itu Han Hi tojinpun segera memberi hormat kepada kakek itu. "Engkau ini..." "Han Hi. Tentulah cianpwe masih ingat ketika dalam Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perjamuan dihidangkan arak, cianpwe telah memberi dampratan pedas kepada susiok-ku..." "Ah, engkau ini Han Hi, hampir aku tak ingat lagi. Tempo berlangsung cepat sekali mendorong manusia jadi tua, engkau sudah banyak berobah sekarang." "Dimanakah Thian hian-cu ?" seru orang tua itu pula. "kakiku sudah lelah lari kesana kemari mencarinya . .. ." Seketika wajah Han Hi pucat lesi, sahutnya sedih: "Sudah pulang ke alam baka!" "Hah, sudah mati?" teriak orang tua itu gemetar. "Ya, sudah meninggal." "Bagaimana peristiwanya !" "Menurut keterangan siau sicu ini. beliau telah meninggal dalam kamar rahasia Gedung Hitam . . . . " "Benarkah itu?" serentak orang itu berseru kepada Cu Jiang dengan mata berkilat-kilat. Cu Jiang mengiakan. "Sudah lama kau menginjak dunia persilatan Tionggoan Kabarnya sekarang dunia persilatan Tionggoan ini sudah dikuasai oleh Gedung Hitam. Darimana engkoh kecil tahu hal itu?" "Karena aku juga ditawan bersama Thian-hian cianpwe dalam penjara rahasia itu . .." "Bagaimana engkau dapat lolos?" "Karena mendapat bantuan Go-leng cianpwe yang mengatur siasat supaya aku lolos." "Apakah Go-leng juga di situ?" "Ya. Beliau juga mengalami nasib yang menyedihkan." "Hai! Bu-lim-samcu telah mati dua . . ." seru orang tua tua dengan airmata berlinang linang. Mendengar itu girang Cu Jiang bukan kepalang. Serentak ia berseru: "Jika tak salah, locianpwe tentulah Gonggong-cu locianpwe, bukan?" Orang tua itu mengangguk. "Benar, pada waktu pertama bertemu dengan engkau, bukankah aku sudah menyebut she-ku?" "Aku tolol sekali sehingga mudah lupa." kata Cu Jiang. "Cobalah engkau ceritakan peristiwa yang telah engkau alami." kata Gong-gong-cu. "Kumohon dapat bicara empat mata dengan locianpwe . . . . " "Mengapa perlu begitu?" "Perjalananku kali ini memang khusus hendak mencari lo cianpwe!" "O, baiklah, nanti kita bicara lagi," kata Gonggong-cu lalu berpaling kepada Han Hi, " Han Hi, peristiwa apakah yang terjadi dalam biara ini?" "Gedung Hitam telah mengirim beberapa jagonya ke mari, memaksa kami supaya menyerahkan kitab Giok-kahkim-keng. Kalau tak mau menyerahkan, biara ini akan dicuci dengan darah." "Hm, lalu ?" "Kebetulan Sebun sicu datang dan melerai. Tetapi tetap kami harus menyerahkan kitab itu dalam waktu satu bulan!" "Sama satu kaum saling bunuh membunuh, menandakan bahwa dunia persilatan akan mendekati hari kiamat!" seru Gong-gong-cu. Sebun Ong Juga menghela napas rawan. "Dunia persilatan memang tak pernah mengenyam hari2 damai. Dari dahulu sampai sekarang selalu terjadi pergolakan yang tak kunjung habis," katanya. "Han Hi. lalu bagaimana tindakanmu?" tegur Gonggong-cu pula. "Tiada lain pilihan kecuali harus menyingkir ke lain tempat ...." "Demi menyelamatkan suatu pembunuhan besar, terpaksa aku harus cepat2 bertindak, tak boleh berayal.. ." "Cianpwe hendak ke mana ?" "O, aku harus pergi." "Loko selalu datang dan pergi dengan bergegas-gegas" seru Sebun Ong, "sepuluh tahun tak berjumpa apakah kita tak dapat menikmati omong kosong ?" Gong gong-cu tertawa. "Hari masih panjang, kita masih dapat berjumpa pada lain kesempatan untuk minum arak se puas-puasnya dengan lote. Tetapi hari ini aku benar2 harus mengecewakan lote!" "Menurut ucapan loko tadi, apakah kitab Giok kah-kimkeng itu masih berada di Istana terlarang negeri Tay-li ?" "Ya," "Haa desas desus dunia persilatan itu sungguh berbahaya sekali sehingga Thian-hian-cu dan Go-leng-cu sampai menderita nasib malang." "Tetapi pada suatu hari, Gedung Hitam harus membayar kesemuanya itu," seru Gong-gong-cu dengan geram. Mendengar itu Cu Jiang tak tahan untuk diam. Serentak ia berseru: "Dewa sakti dari manakah sebenarnya ketua Gedung Hitam itu?" "Mungkin tiada seorang dalam dunia persilatan yang tahu akan dirinya," Sebun Ong menyeletuk. Memberi isyarat tangan kepada Cu Jiang. Gong-gong-cu lalu mengajaknya. "Engkoh kecil, mari kita berangkat. Saudara2, sampai jumpa !" "Ijinkan wanpwe mengantar" kata Han Hi. Tetapi dicegah Gong-gong-cu. Habis itu Gong-gong-cu sudah mendahului melesat keluar. Setelah memberi hormat kepada Sebun Ong dan Han Hi tojin, Cu Jiangpun segera menyusul. Karena sebelah kakinya pincang, maka larinyapun tidak stabil. "Engkoh kecil, kita cari tempat yang sepi, jangan sampai terdengar orang." kata Gong-gong-cu. Cu Jiang mengiakan. Gong-gong cu berjalan dimuka dan Cu Jiang mengikuti dibelakang. Setengah li kemudian, Cu Jiang sudah ketinggalan jauh. Walaupun dia memiliki tenaga dalam yang hebat tetapi karena sebelah kakinya cacad, walaupun larinya masih jauh lebih cepat kalau ditanding dengan jago silat biasa tetapi karena bertanding dengan tokoh semacam Gong-gong-cu, sudah tentu terpaut jauh sekali. Rupanya Gong gong cu tahu hal itu. Ia lambatkan larinya, kemudian berseru: "Kita ke puncak bukit itu!" Cu Jiang mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di puncak bukit itu dan duduk di atas batu dalam hutan. Lebih dulu Gong gong cu memetik beberapa ranting pohon, di tancapkan di sekeliling tempat itu. Lalu mengumpulkan batu besar kecil diletakkan diantara pagar2 ranting itu. Setelah itu baru duduk dengan Cu Jiang. Sebagai putera dari seorang tokoh silat yang termasyhur sudah tentu Cu Jiang memiliki pengetahuan yang luas. "Ah, kiranya lo cianpwe ahli sekali dalam soal barisan Ki-bun." serunya. "Demi menjaga ketenangan, terpaksa harus berbuat begitu," sahut Gong-gong-cu. "Barisan apakah yang locianpwe susun ?" "Barisan Thian-lotin, bagian yang mudah dirobah dari barisan Kim-soa-tin." "Ah. aku buta sama sekali tentang ilmu itu," kata Cu Jiang. "Marilah kita mulai bicara. Coba engkau dulu yang bicara, mengapa engkau mencari aku," kata Gong-gong-cu. Cu Jiang agak bersangsi. Apakah ia harus menceritakan siapa dirinya ataukah menurut pesan Go-leng cu saja. Sejenak merenung, ia berkata: "Aku telah berjanji untuk melaksanakan pesan Go-leng cu cianpwe, untuk menyampaikan pesan lisan dari beliau. . ." "Katakanlah !" "Thian-hian cu dan Go leng cu berdua lo cianpwe, karena berita2 fitnah di dunia persilatan, telah ditangkap dan dijebloskan dalam penjara Gedung Hitam Dipaksa harus menyerahkan kitab. Menunjukkan dimana kitab Giok-kah-kim-keng. Karena kedua lo-cianpwe itu memang tak tahu dan tak dapat memberi keterangan, akhirnya disiksa sampai mati..." "Terkutuk! Teruskan ceritamu!" "Go-leng-cu cianpwe pesan, bahwa tunas yang luar biasa itu adalah pada diri Pelajar baju putih. Harap locianpwe mencarinya sampai ketemu !" "Pelajar baju putih ?" "Ya." "Hanya itu pesannya?" "Ya, hanya begitu." Gong-gong-cu memandang Cu Jiang tajam2, kemudian sepatah demi sepatah ia berkata: "Menurut penilaianku, tunas luar biasa itu tak lain adalah engkau sendiri!" Cu Jiang gemetar. "Ah, masakan aku berani menerima pujian setinggi itu dari locianpwe !" "Itu memang kenyataan, bukan pujian kosong. Tempo hari aku pernah mengatakan kalau akan menunggu kesempatan, sekarang .. ." Ia hentikan kata-katanya dan memandang Cu Jiang. Rupanya dia hendak menunggu bagaimana reaksi anak muda itu. Cu Jiang tahu akan maksud orang. Sengaja dia bertanya pula. "Jika ingin memberi petunjuk, harap locianpwe katakan." "Apalagi kalau bukan persoalan tempo hari itu pula." "Hendak mengambil murid?" ulang Cu Jiang. Wajah Gong-gong-cu membesi, katanya: "Engkoh kecil, dari daerah Tay-li di ujung selatan menuju ke utara kali ini, tujuanku bukan hendak mencari pewaris melainkan demi suatu rencana besar dalam dunia persilatan ...." "Demi suatu rencana besar dalam dunia persilatan ?" Cu Jiang terkejut. "Benar," kata Gong-gong-cu, "karena salah langkah akhirnya Thian-hian-cu dan Go-leng-cu telah membuat kesalahan besar. Akibatnya dunia persilatan telah menderita bencana. Harus diusahakan untuk menolong. Karena itu maka Bu-lim Sam-cu bergerak untuk mencari tunas luar biasa itu !" Tertarik perhatian Cu Jiang mendengar keterangan itu. "Dapatkah lo cianpwe memberi penjelasan selengkapnya ?" tanyanya. Gong-gong-cu menghela napas, ujarnya. "Sudah tentu dapat kujelaskan kepadamu, tetapi..." "Bagaimana ?" "Bersediakah engkau menjadi bintang penolong dari keadaan yang sudah morat marit itu." "Aku belum jelas persoalannya..." "Jika engkau menyatakan bersedia, barulah dapat kuberitahu." "Dengan tubuh yang cacat ini, mungkin aku..." "Jangan merendahkan dirimu. Semuanya akan diatur beres. Yang penting, engkau bersedia atau tidak ?" "Bukankah langkah yang pertama harus mengangkat guru kepada locianpwe ?" "Dunia persilatan mempunyai peraturan tersendiri. Hubungan itu memang masih diperlukan." "Mengapa locianpwe belum memandang penting kepada seorang cacat seperti diriku ?" "Karena bakatmu yang luar biasa." "Bakatku yang begini jelek ...." "Sudahlah, jangan merendah diri." Cu Jiang merenung. Menghadapi pilihan yang sepenting itu yang menjadi murid lain perguruan, bukan suatu hal main2. Sekali salah pilih, akan menyesal seumur hidup. Gonggong cu seorang tokoh terkemuka dalam aliran putih, Dia mendapat penghargaan diangkat sebagai Kun-su atau penasehat kerajaan Tayli. Ucapan dan tindakannya tentu dapat dipertanggung jawabkan. Kebetulan pula ketiga tokoh Bu-lim atau Bu-lim Sam-cu itu sama menaksir dirinya. Apakah itu bukan suatu jodoh yang hebat " Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Cu Jiang mengambil keputusan, serunya: "Baik, aku bersedia. Tetapi, aku hendak menghaturkan sepatah kata." "Bilanglah!" kata Gong-gong-cu. "Wanpwe mempunyai beban untuk membalas sakit hati ayah bunda. Apakah tindakan wanpwe kelak dapat wanpwe lakukan sendiri ?" kata Cu Jiang yang berganti dengan sebutan wanpwe kepada Gong-gong-cu. Tanpa banyak pikir, Gong-gong-cu serentak menyahut: "Sudah tentu boleh saja, asal jangan sampai melanggar kesusilaan tata persilatan." "Masih ada sebuah hal lagi, untuk sementara waktu ini. wanpwe tak dapat memberitahu asal usul diri wanpwe ...." "Boleh. Apa masih ada lain lagi ?" "Tidak ada." Tepat pada saat itu dari arah biara Hian-hu kwan mengepul asap tebal. Seketika wajah Gong-gong-cu berobah, serunya: "Celaka, Hian-hu-kwan telah dirampok mereka." "Tentulah perbuatan orang Gedung Hitam." Cu Jiang menggeram. "Engkau tunggu saja di sini. Walaupun menyaksikan apa2, jangan engkau melangkah ke luar dari barisan ini. Aku hendak menengok ke Hian-tou-kwan," kata Gonggong-cu. "Silahkan," kata Cu Jiang. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tubuh Gonggong cu menggeliat dan melayang beberapa tombak terus lenyap. Cu Jiang marah melihat perbuatan orang Gedung Hitam yang selalu melakukan pengacauan, pembunuhan dan kekejaman. Selama berpuluh tahun seolah dunia persilatan telah di teror oleh gerombolan Gedung Hitam dan tak ada seorang tokoh persilatan yang berani menentang. Tiba2 ia melibat beberapa sosok bayangan lari ke lereng gunung. Makin lama makin mendaki ke puncak. Saat itu Cu Jiang dapat melihat jelas, mereka adalah anak buah Gedung Hitam yang terdiri dari enam Pengawal Hitam, tiga orang tua baju hitam. Diantaranya terdapat Pangerantanpa-perikemanusian Kho Kun. Cu Jiang serentak berbangkit. Tetapi tiba2 ia teringat akan pesan Gong-gong cu. Terpaksa ia duduk lagi. Kesembilan orang itu naik ke atas puncak dari beberapa jurusan. Makin lama makin dekat. Sudah tentu Cu Jiang tegang sekali. Tetapi sungguh heran sekali. Tiba di tepi barisan ranting dan batu yang tampaknya berserakan tak teratur itu, mereka berhenti. Dan aneh pula. Mereka seolah-olah tak melihat Cu Jiang. Sedang Cu Jiang. Sedang Cu Jiang dapat melihat jelas gerak-gerik mereka. "Aneh, jelas naik ke puncak ini mengapa tak kelihatan. Apakah dapat terbang ke langit" " kata salah seorang tua. Kho Kun memandang kian kemari lalu berkata: "Rasanya puncak ini agak aneh . . . ." Dingin2 saja Cu Jiang memandang tingkah ulah mereka. Diam-diam ia kagum kepada Gong-gong-cu. "Ah, kalau dulu ayah juga belajar ilmu gaib begini, tentulah tak sampai mengalami nasib yang menyedihkan." diam2 ia teringat akan ayahnya. Sekonyong-konyong ke sembilan orang itu terkesiap kaget, menundukkan tubuh memberi hormat lalu menyisih ke sebelah kanan dan kiri. Dua sosok tubuh tiba2 muncul. Yang pertama, mengenakan Jubah hitam dan mukanya ditutup dengan cadar hitam. Dari atas kepala sampai ujung kaki semua tertutup dengan kain hitam. Hanya terdapat dua buah lubang untuk kedua matanya yang berkilat-kilat tajam sekali. Sedang yang dibelakangnya seorang sasterawan pertengahan umur. Dia adalah congkoan atau pengurus besar dari Gedung Hitam, bernama Ho Bun Cai. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dia memastikan bahwa orang yang seluruh tubuhnya tertutup Jubah hitam itu tentulah pemimpin Gedung Hitam. Ah, tak sangka kalau ia mempunyai kesempatan untuk melihatnya. Sebenarnya ingin sekali ia menerjang keluar dari barisan. Tetapi kesadaran pikirannya mengharuskan dia bersabar. Ia menyadari bahwa saat itu masih terlalu jauh untuk melakukan pembalasan kepada musuh. Dilanda oleh kebencian sakit hati dan diamuk oleh gemuruh amarah, hampir saja membuat Cu Jiang kalap. Kepala Gedung Hitam dan Ho congkoan berdiri diluar barisan dan tengah memperhatikan barisan itu. Kesembilan anak buah Gedung Hitam tadi jangankan bergerak, mengangkat kepala yang masih menunduk saja tak berani. Beberapa waktu kemudian baru pemimpin Gedung Hitam itu berkata dengan nada yang aneh. "Ho congkoan, apakah engkau melihat sesuatu ?" "Menurut penglihatan kami, agaknya seperti sebuah barisan aneh." kata Ho congkoan. "Benar," kala pemimpin Gedung Hitam," Gong-gong-cu memang ahli dalam hal itu. Menurut pendapatmu, barisan apakah itu ?" "Ini .... kami tak berani sembarangan menebak," Pemimpin Gedung Hitam mengguratkan kaki pada tanah dan mulutnya menghafal: "Seng, Si, Keng .... ah, salah, Kung ... disini ujung akhirnya. Bagaimana kalau kita memasukinya ?" "Kami menurut perintah," kata Ho congkoan. Ketuanya segera melangkah kedalam barisan. Melihat itu Cu Jiang segera bangkit lagi dan bersiap seraya memandang kedua orang itu. Begitu kedua orang itu mendekat, dia hendak turun tangan lebih dulu. Pemimpin Gedung Hitam dan Ho cong koan berjalan di kanan kiri. Lebih kurang tiga meter berjalan, mereka berputar-putar kian kemari tetapi tetap dalam lingkungan seluas satu tombak. Melihat itu tenanglah hati Cu Jiang. Dia tak mengerti ilmu barisan maka diapun tak berani gegabah melangkah keluar. Dia taat perintah Gong-gong-cu untuk tetap tinggal ditempatnya. Beberapa saat kemudian kedua pimpinan Gedung Hitam itupun mundur lagi. "Bagaimana baiknya Ho congkoan?" ujar ketua Gedung Hitam. "Jaga pohon menunggu kelinci, setiap tempat kita jaga", sahut Ho cong-koan. "Walaupun cara itu agak bodoh tetapi tiada lain cara yang lebih baik dari itu. Perintahkanlah!" seru ketua Gedung Hitam. Ho cong-koan berseru kepada Kho Kun: "Kho thaubak. perintahkan anak buah supaya mengepung bukit ini dengan rapat!" Kho Kun mengiakan dan rombongan anak buah Gedung Hitampun segera berpencar melakukan perintah. Suasana puncak sunyi kembali. Diam2 Cu Jiang gelisah. Jika Gong gong cu kembali, jelas tentu akan kepergok. Entah dapatkah dia menghadapi ketua Gedung Hitam" Jumlah mereka begitu besar, hebat sekalipun Gong-gong cu, paling2 hanya dapat menyelamatkan diri lari. Gong-gong-cu dapat lolos tetapi bagaimana nasib dirinya" Bukankah dia akan terkepung dan akhirnya mati kelaparan dalam barisan" Andaikata gerombolan Gedung Hitam itu menarik anak buahnya dan tinggalkan bukit itu, tetapi dia tetap tak mampu ke luar dari barisan. Bukankah hal itu sama artinya dia akan mati kelaparan" Memandang ke arah biara, api masih tampak berkobar. Tentulah biara itu habis dimakan api. Ah, siasat orang Gedung Hitam memang busuk sekali. Setengah jam telah berlalu tetapi suasana masih sunyi. Kepala Cu Jiang mulai bercucuran keringat. Mengapa Gong-gong-cu belum kembali" Apakah dia disergap musuh" Ah, benar2 dia harus mati dalam barisan itu. Pikir Cu Jiang. Cu Jiang tak mengerti sama sekali tentang ilmu barisan. Thian-lo-tin atau barisan Jala-langit, asing sama sekali baginya. Pada saat pikiran tegang hati gelisah, tiba2 bahunya ditepuk orang dari belakang. Ia tersentak kaget dan berpaling, ah ... . kiranya Gong-gong-cu. "Kapan locianpwe datang" " serunya gembira. Tetapi wajah Gong gong-cu muram dan hanya mendengus geram. "Bagaimana keadaan Hian-tou-kwan ?" tanya Cu Jiang pula. "Jadi tumpukan puing." "Dan para imam ?" "Tak ada yang hidup." "Kejahatan Gedung Hitam memang sudah melampaui batas!" "Jika kesaktian persilatan tak berkembang, kawanan durjana tentu timbul dan menginjak-injak peri- kemanusian." "Apakah locianpwe bertempur?" "Tidak. Masih belum saatnya. Membasmi beberapa kerucuk, takkan dapat menolong keadaan." "Pemimpin Gedung Hitam sudah unjuk diri..." "Ya, kutahu." "Kenalkah locianpwe padanya ?" "Tidak." "Apakah locianpwe kepergok mereka ?" "Tidak." "Tidak" Lalu..,." "Buyung, engkau heran, bukan" Sebenarnya aku tak mempunyai keistimewaan melainkan hanya kepercayaan pada diri sendiri. Kalau aku mau menyembunyikan diri, tak mungkin mereka dapat mencari aku. Kalau tidak begitu masakah aku mendapat gelar ...... Jilid 8 Halaman 25/26 Hilang ..... jaga mereka jangan sampai lolos, kututup goa itu dengan barisan Kiat-soh-tin (barisan Kunci Emas)." "Mengapa tidak dibasmi saja agar jangan menimbulkan bahaya dikemudian hari ?" tanya Cu Jiang. Gong-gong-cu menghela napas: "Mungkin sudah kehendak Thian. Raja Tayli Toan hongya memang penganut agama Buddha, beliau tak mengijinkan pembunuhan ...." "Lalu?" tanya Cu Jiang. "Peristiwa Sip-pat Thian-mo dijebloskan dalam gua lio tiada seorang persilatan yang tahu. Beberapa tahun kemudian Thian-hian-cu dan Go-leng-cu datang ke daerah selatan dan menyelidiki gunung Jongsan. Tanpa sengaja mereka mengetahui seorang keadaan Sip pat thian-mo. Pada waktu itu karena dirangsang kebanggaan, aku kelepasan omong, mengatakan bahwa tiada manusia dalam dunia ini yang mampu memecahkan barisan Kim-soh-tin itu. Tak terduga, ucapanku itu diterima dengan sungguhsungguh.." "Apakah hubungan antara Sam-cu itu?" tanya Cu Jiang pula. "Sebenarnya tiada hubungan apa2, melainkan hanya kenalan saja. Tetapi entah bagaimana dunia persilatan menamakan kami bertiga sebagai Bu-lim Sam-cu. Bermula Thian-hian-cu hanya bergelar Thian hian dan Go-leng-cu juga Go-leng. Sedang aku Gong gong-cu. Kemudian kaum persilatan menganggap kita sebagai tiga-serangkai atau Sam-cu. hanya begitulah .. "Oh..." desah Cu Jiang. "Disamping Thian-hian dan Go-leng itu masih memiliki rasa ke-Aku-an dan berusaha untuk lebih dari orang lain, dan karena mengira bahwa dalam barisan Kim-soh-tin itu tentu terdapat kitab pusaka negeri Tayli yakni kitab Giokkah-kim-keng, maka timbullah nafsu mereka. Setelah mempelajari keadaan barisan itu selama sepuluh tahun, akhirnya mereka berhasil memecahkan. Untuk yang kedua kali mereka datang ke Jongsan lagi dan dapat memecahkan Kim-soh-tin dan melepaskan Sip-pat Thian-mo..." "Ah. makanya kedua locianpwe itu selalu menyesali dosanya sendirinya yang telah salah langkah sehingga menimbulkan bencana besar." "Hal itu mungkin memang sudah jalannya Karma. Mereka berdua harus menerima akibatnya dengan kematian yang menyedihkan." "Dari sumber mana maka dunia persilatan timbul desas desus bahwa kedua cianpwe telah <> Selama itu tak sedikit Gong-gong-cu harus berhenti tetapi sebelum musuh memergoki dia sudah melesat ke lain tempat. Belum sampai setengah jam kemudian, dia sudah lari belasan li jauhnya tanpa diketahui sama sekali oleh anak buah Gedung Hitam. Setelah tiba diluar hutan barulah Gong-gong-cu meletakkan Cu Jiang. Gong-gong-cu mengeluarkan sehelai kedok muka yang terbuat dari kulit manusia, diberikan kepada Cu Jiang. "Pakailah kedok kulit ini!" Cu Jiang menurut. Setelah mengenakan kedok kulit, kini wajahnya yang buruk lenyap dan dia telah menjelma sebagai seorang lelaki pertengahan umur. Wajahnya berwarna semu ungu. Sementara Gong-gong- cupun juga mengenakan kedok kulit dan menyamar sebagai seorang tua berwajah hitam, memelihara dua jalur jenggot. Ia membuka baju dan kini mengenakan jubah warna biru. dengan penyamaran itu mereka telah menjadi manusia baru. Tak seorangpun yang mengenal dan mengira siapa diri mereka itu sebenarnya. "Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita cari rumah makan di kota yang terdekat dari sini." kata Gong-gong-cu. "Lo cianpwe, kita ambil jalan mana ?" "Naik perahu ke Sujwan, mengitari daratan lalu masuk ke wilayah Hun - lam. Kurasa itulah jalan yang paling singkat !" "Tetapi tetap makan waktu sebulan." "Ah, tak sampai, mari kita berangkat." Sekeluarnya dari hutan mereka lagi berjalan di jalan besar, Sambil berjalan Gong-gong-cu berkata: "Buyung, agaknya dengan waktu berjumpa padaku tempo hari, sekarang engkau sudah berbeda..." "Apanya yang berbeda ?" "Keng, go, sin, semua telah berobah." Keng artinya semangat. Go hawa murni dan sin artinya jiwa. Diam2 Cu Jiang kagum akan pengamatan Gong-gong Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cu yang teliti. Diantara ketiga Sam-cu, rasanya Gong gongcu ini lebih lihay segalanya dari kedua rekannya. Cu Jiangpun lalu menceritakan bagaimana ketika berhadapan dengan Samsat (algojo ketiga) dari gerombolan Kiu-te-sat, ia masih kalah setingkat. "Rupanya itu sudah kehendak Thian, nak, dengan begitu aku tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran," kata Gong-gong-cu dengan perasaan lega. Diam2 Cu Jing menimang. Jelas bahwa tujuan Gong gong-cu hendak membawanya ke daerah selatan itu yalah hendak mengambilnya sebagai murid dan menempanya menjadi seorang kojiu Hal itu dipersiapkan untuk membasmi kawanan Sip-patthian-mo. Tetapi pada umumnya, demikian ia berpikir, tentulah guru itu lebih tinggi kepandaiannya dari murid. Belum tentu murid itu dapat menyerap semua pelajaran yang diturunkan gurunya. Jika begitu, mengapa Gong-gong cu itu tidak mau menghadapi gerombolan Sip-pat-thian-mo itu sendiri saja " Bukankah itu lebih singkat waktunya dan lebih praktis daripada harus bersusah payah mencari murid" Dengan pemikiran itu segera ia bertanya. "Kalau dahulu locianpwe mampu menangkap Sip-patthian-mo, mengapa sekarang locianpwe harus bersusah payah mencari murid?" Gong-gong-cu tertawa: "Buyung, lain dulu lain sekarang. Telah kukatakan bahwa aku berhasil menangkap gerombolan Sip-pat-thianmo itu adalah berkat menggunakan siasat. Tetapi kawanan iblis itu bukan manusia bodoh. Mereka tak mungkin terjebak lagi untuk yang kedua kalinya." "Kelak kalau berhadapan dengan mereka boanpwe harus menggunakan siasat atau kepandaian?" "Kedua-duanya," sahut Gong-gong-cu. "Kalau kepandaian kurang dan kecerdikan tak cukup?" desak Cu Jiang. Gong-gong-cu tertawa gelak2: "Buyung, kutahu isi hatimu. Tetapi akupun tentu sudah mempertimbangkan. Apabila kedua syarat itu masih belum cukup, tentu aku tak berani sembarangan menyuruh engkau menghadapi mereka." "Benar. memang wanpwe juga mempunyai pikiran begitu." "Bukankah telah kukatakan bahwa aku masih mempersiapkan sesuatu lagi...." Tetapi Cu Jiang tak dapat menduga persiapan apa yang telah dirancang Gong-gong-cu itu. Dia diam saja. Beberapa saat kemudian Gong-gong-cu memecah kesunyian: "Buyung, kuberitahu kepadamu dengan terus terang. Atas kemurahan baginda Toan Hong-ya yang memberi ijin kepadaku untuk mencari calon jago itu, baginda berkenan akan memberikan kitab pusaka kerajaan Giok-kah-kimkang." "Kitab Giok-kah-kim-keng ?" Cu Jiang terkejut. "Ya, itulah yang kumaksud bahwa aku mempunyai persiapan lain." Kini Cu Jiang baru menyadari mengapa ketiga Bu-lim Sam-cu sama2 hendak mencari tunas baru yang akan ditempa menjadi kojiu sakti. Kiranya mereka memang sudah membuat perjanjian. "Tetapi kitab Giok-kah-kim-keng itu adalah pusaka kerajaan Tay-li." masih Cu Jiang ingin mendapat keterangan yang jelas. "Ya, memang kitab pusaka kerajaan." "Jika begitu, apakah tak mungkin diantara menteri2 dan Jenderal2 kerajaan yang mempelajari kitab itu." "Baginda tak mengijinkan," kata Gong-gong-cu, "sampai saat ini belum seorangpun yang pernah mempelajari kitab itu." "Wanpwe sungguh tak mengerti." "Untuk mempelajari kitab Giok-kah-kimkeng harus mempunyai tiga buah syarat...." "Apakah ketiga syaraf itu ?" Cu Jiang makin heran. Dengan tenang Gong-gong-cu berkata: "Pertama, orang itu harus memiliki kecerdasan yang tinggi dan bakat yang luar-biasa. Kedua, harus masih seorang perjaka. Ketiga harus memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang kuat. Tampaknya ketiga syarat itu memang tak berat, tetapi untuk menjadi seorang yang sekaligus memiliki tiga syarat itu sukarnya seperti mencari jarum dalam lautan." "Apakah locianpwe menganggap diri wanpwe memiliki ketiga syarat itu ?" tanya Cu Jiang dengan gemetar. Gong-gong-cu berpaling memandang Cu Jiang dan berkata dengan tandas: "Memiliki semua bahkan lebih !" Pada saat itu tiba2 sebuah tandu lewat. Memandang tandu itu tiba2 mulut Cu Jiang mendesuh kejut. Tandu itu diangkat oleh empat wanita baju merah, yang kakinya besar dan alis tebal. Jalannya seperti orang lari. Hanya dalam beberapa kejap saja sudah berada belasan tombak jauhnya. "Nak, banyak nian hal2 yang aneh dalam dunia persilatan itu. Engkau harus membiasakan diri untuk tidak heran melihat sesuatu yang heran." Serta merta Cu Jiang menghaturkan terima kasih. Nasehat orang tua itu memang benar2 tepat dan berharga sekali. Tiba2 terdengar derap kuda berlari deras. Debu dan kotoran berhamburan tebal ke arah Gong-gong-cu dan Cu Jiang. Cu Jiang marah. Tetapi ketika melihat Gong gong-cu tenang2 saja, diam2 ia malu hati sendiri. Ketika memandang ke muka, tampak penunggang kuda itu bermantel hitam. "Pengawal Hitam! " seru Cu Jiang. Gong gong cu menyahut hambar. "Pertunjukan bagus akan berlangsung!" "Bagaimana locianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang heran. "Keempat penunggang kuda itu jelas mengejar tandu indah tadi. Siapa yang berada dalam tandu itu, memang masih sukar diketahui. Tetapi kalau menilik keempat wanita yang membawanya begitu lihay, tentulah orang yang berada dalam tandu itu bukan tokoh sembarangan . ." 000ood-eoo00 Jilid 9 "Oh !" desah Cu Jiang. Tiba2 terdengar suara bentakan. Tandu indah Itupun berhenti di tengah jalan, Keempat penunggang kuda Pengawal Hitam masing2 loncat turun dari kuda dan mengepung tandu. Sambil menarik tangan Cu Jiang ke samping, Gonggong-cu mengajaknya mendekat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Tiga tombak dari tempat orang2 itu, Gong-gong-cupun berhenti. "Perlu apa kalian mengejar kami?" seru salah seorang wanita baju merah. Salah seorang dari Pengawal Hitam membentak bengis: "Lekas buka tandu itu!" "Mau cari mati?" "Kentut!" "Kalau berani mengapa tak mau membuka sendiri?" Sring .... serentak Pengawal Hitam itu menabas wanita baju merah yang mengejeknya. Tetapi dengan gerak yang lincah, wanita itu dapat menghindarinya. Hanya terpaut selembar rambut tubuh dengan pedang. Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali. "Maju!" serempak terdengar sebuah aba2 dan keempat Pengawal Hitam itu pun segera menyerang. Keempat wanita penggotong tandu itupun bergerakgerak laksana bayangan setan. Keempat Pengawal Hitam itupun menyerang dari empat jurusan. Salah seorang Pengawal Hitam yang mendekat tandu segera mencungkilkan ujung pedang menyingkap kain layar yang menutup pintu tandu. "Aahhh. . ." seorang Pengawal Hitam yang mengikuti dengan pandang mata akan tindakan kawannya yang mencungkil tenda tandu itu serentak menjerit kaget. Demikian pula ketiga kawannya yang lain Ternyata yang berada dalam tandu itu adalah seorang lelaki jubah putih. Dia bukan lain adalah Pek poan koan atau Hakim Putih. Keempat wanita baju merah cepat lari menghampiri tandu dan menutup tendanya. Bahwa tandu dari Hakim Putih dipikul oleh empat orang wanita memang aneh. Tetapi lebih menggelikan lagi bahwa Pengawal Hitam atau anak buah Gedung Hitam kemati-matian mengejarnya orang atasannya sendiri. Kejut keempat Pengawal Hitam bukan alang kepalang. Serempak mereka menghaturkan hormat dengan pedangnya ke arah tandu. Dari dalam tandu hanya terdengar suara orang mendengus dan tak mengucap apa2. "Locianpwe, memang benar2 suatu pertunjukan yang menarik." kata Cu Jiang. "Itu baru permulaan, yang lebih menarik lagi nanti di belakang." Salah seorang dari keempat wanita baju merah itu menegur Pengawal Hitam: "Mengapa kalian tak lekas pergi dari sini?" Keempat Pengawal Hitam itu saling bertukar pandang lalu mundur beberapa langkah tetapi tetap tak pergi. Tanpa pedulikan mereka lagi keempat wanita baju merah itupun segera mengangkat tandu dan berangkat lagi. Mereka lari cepat sekali "Nak. mari kita pergi juga," kau Gong-gong-cu. Salah seorang Pengawal Hitam cepat menghampiri dan membentaknya: "Siapa kalian ini!" Cu Jiang marah dan hampir tak dapat mengendalikan diri lagi. Tetapi Gong-gong-cu sudah mendahului menjawab: "Kami berdua paman dan keponakan akan menuju ke Su jwan." "Aku tak bertanya ke mana kalian hendak pergi tetapi siapa nama kalian! " Gong-gong-cu pura2 ketakutan: "Aku orang tua ini orang she Ho nama Siong Ya dan keponakanku ini Ho Jin." "Gelaran?" "Tidak punya. " "Dari perguruan?" "Tidak punya perguruan apa2. Kami hanya belajar sedikit ilmu silat untuk jaga diri saja, " jawab Gonggong cu. Ketiga Pengawal Hitam segera menghampiri dan setelah memandang Gong-gong-cu dan Cu Jiang beberapa jenak, salah seorang berkata: "Orang desa tua, biarkan mereka pergi!" Gong-gong-cu menarik tangan Cu Jiang: "Nak, mari kita lanjutkan perjalanan." "Baik," Cu Jiang mengiakan. Terpaksa dia menahan diri dan mengikuti Gong-gong-cu. Setelah tiba di sebuah tikungan gunung, mereka melihat sebuah tandu tadi menggeletak di tengah jalan. Keempat wanita baju merah tak kelihatan, entah di mana. Sudah tentu Cu Jiang heran dan bertanya. "Eh, mengapa begitu ?" Gong gong-cu hanya ganda tersenyum. "Cobalah engkau buka kain tandu dan melihat apa yang berada dalam tandu itu." katanya. "Apakah locianpwe kenal dengan lelaki baju putih yang berada dalam tandu itu ?" tanya Cu Jiang. "Engkau kenal?" balas Gong-gong-cu. "Ya, dia adalah hoohwat dari Gedung Hitam yang disebut Hakim Putih." "Tetapi dia sudah meletakkan jabatan." "Meletakkan Jabatan?" Cu Jiang heran. "Sudah tentu. Poan-koan (hakim) itu sebuah jabatan di Akhirat. Di dunia masakan perlu dengan hakim semacam itu." "Lo - cianpwe, wanpwe benar tak mengerti...." "Lihat saja kesana sendiri engkau tentu tahu." Namun Cu Jiang masih bersangsi. "Aneh, mengapa keempat wanita pemikul tandu tadi membiarkan saja tandu itu di tengah jalan ?" katanya dengan penuh keheranan. Sambil masih tertawa Gong - gong - cu berkata: "Poan-koan sudah melepaskan jabatan, tak perlu lagi dengan mereka !" Tetapi Cu Jiang tak mengerti. Pikirnya, kalau menurut kata Gong-gong-cu, tandu itu kosong. Tetapi dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tadi Hakim Putih berada di dalamnya. Apakah Gong-gong-cu ini memang ahli dalam meramal ?" Ia maju menghampiri kemuka tandu dan ulurkan tangan kiri untuk menyingkap kain penutup, sedang tangan kanan bersiap menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga. Begitu kain tersingkap, kejutnya bukan kepalang sehingga ia sampai menyurut mundur tiga langkah dan terus hendak menghantam .... Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jangan !" cepat Gong-gong-cu berteriak mencegah. Cu Jiang turunkan tangannya. Jelas ia melihat Hakim Putih masih duduk di dalam tandu, maka dia hendak mendahului menyerangnya. Tetapi sesaat ia teringat bahwa Hakim Putih itu duduk diam saja seperti patung. Serentak timbul kecurigaannya dan ia maju pula untuk mengamati. "Hai, dia sudah tak bernyawa !" serentak ia berteriak kaget. "Memang," sahut Gong-gong-cu, "dia sudah beberapa lama tak bernyawa lagi." "Bagaimana lo cianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang makin heran. "Nak," kata Gong- geng-cu dengan wajah bersungguh, "hal itu bukan suatu ilmu gaib, melainkan dari ketajaman cara kita berpikir dan menarik kesimpulan. Coba engkau renungkan peristiwa tadi lagi. Bahwa kawanan Pengawal Hitam mengejar tandu itu. Jelas tentu menganggap orang di dalam tandu itu musuh mereka. Kemudian ternyata dalam tandu itu berisi Hakim Putih tetapi Hakim Putih itu tak bicara apa2 kepada Pengawal Hitam. Saat itu juga aku sudah mengetahui bahwa Hakim Putih tentu mati. Dia tentu mati di tangan pemilik tandu itu," "Siapakah pemilik tandu itu ?" tanya Cu Jiang. "Dia tentu bersembunyi dibelakang tubuh Hakim Putih. Karena mayat, apabila tidak disanggah oleh orang dari belakang, tentu tak dapat duduk dengan tegak, Bukankah Hakim Putih tadi duduk tegak dan bukan bersandar pada tandu " Dan ingat2 suara Hakim Putih yang tidak menyahut tetapi hanya mendengus tadi. Jelas tentu berasal dari pemilik tandu itu." "Oh." desah Cu Jiang tersipu-sipu malu-hati, "dan kenapa tandu itu sekarang diletakkan di tengah jalan ?" "Ciri yang mereka gunakan hanya dapat membingungkan orang Gedung Hitam. Tetapi untuk sementara waktu saja karena bagaimanapun juga akhirnya orang Gedung Hitam tentu tahu dan akan mengejar mereka lagi," kata Gong-gong cu. Saat itu terdengar ayam berkokok bersahut-sahutan, menandakan bahwa hari hampir menjelang pagi. Segera Gong-gong - cu mengajak melanjutkan perjalanan lagi agar terhindar dari kesulitan. Keduanya segera lari kearah sebuah hutan. Pada saat itu timbul pula suatu peristiwa yang aneh mengejutkan. Entah bagaimana tiba2 tandu itu bergerak masuk kedalam hutan. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. Ia berpaling dan melihat mayat Hakim Putih menggeletak di tengah jalan. Dengan begitu jelas pemilik tandu itu tadi masih berada dalam tandu dan belum melarikan diri. Sesaat kedua orang itu masuk kedalam hutan maka terdengarlah gemuruh rombongan kuda lari mendatangi ke tempat mayat Hakim Putih. Ternyata penunggang kuda itu ialah keempat Pengawal Hitam tadi bahkan tambah dengan seorang tua baju hitam, muka seram. Kelima penunggang kuda itu serempak loncat turun. Salah seorang segera mengangkat mayat Hakim Putih ke atas kudanya lalu dibawanya pergi. Sedangkan yang empat orang loncat ke kudanya masing2 dan terus lari ke muka. Jelas mereka tentu hendak mengejar tandu tadi. Brakkkk .... terdengar suara keras. Gonggong cu dan Cu Jiang cepat menghampiri ke tempat suara itu. Ternyata mereka mendapatkan tandu bagus tadi sudah hancur. Tentu dihancurkan orang tetapi siapa orangnyalah tampak bayangannya lagi. Sejenak memandang ke sekeliling, Gonggong cu berkata: "Kali ini pemilik tanda tentu benar2 sudah pergi." "Berani menentang Gedung Hitam, jelas dia tentu bukan tokoh sembarangan, " kata Cu Jiang. Gong-gong-cu batuk2 kecil. "Nak, kita ini bukan orang persilatan, lebih baik tak perlu mengurus urusan persilatan. Mari kita lanjutkan perjalanan lagi. " Mendengar kata2 Gong-gong cu, Cu Jiang tak habis herannya. Tetapi dia segera tahu bahwa tentu ada maksudnya mengapa Gong-gong cu berkata begitu. "Ah, aku hanya sembarangan omong saja. Baiklah, paman, mari kita lanjutkan perjalanan," akhirnya ia berkata. Dalam berkata-kata itu Cu Jiang mengeliarkan pandang ke sekeliling. Ia terkejut sekali ketika melihat seorang lelaki tua baju hijau, tegak berdiri dibawah pohon lebih kurang dua tombak jauhnya, dengan pandang mata yang berkilatkilat tajam. Rambutnya merah dan mukanya juga merah. Cu Jiang tak tahu bila dan bagaimana orang tua rambut merah itu secara tiba2 muncul disitu. Mungkin memang sejak tadi dia sudah berada disitu. Saat itu baru dia mengerti mengapa Gong-gong-cu tadi berkata supaya tak usah mencampuri urusan persilatan. Tentulah Gong-gong-cu sudah lebih dulu melihat orang tua rambut merah itu Karena dipandang sedemikian rupa, hati Cu Jiang tak enak. "Anda ini kutu dari mana ?" tiba2 karena tak kuat menahan perasaan, Cu Jiang berseru. Lama sekali baru orang tua itu menyahut. "Cik bin Jin!!" tiba2 orang itu menjawab dengan nada yang menusuk telinga. Cek bin-jin artinya Manusia-berwajah-merah. Tentu baja nama itu sebuah gelaran persilatan. Tetapi sepengetahuannya. belum pernah ia mendengar gelar yang bergelar Cek-bin-jin. Cu Jiang alihkan pandang matanya ke arah Gong-gongcu. Ia yakin sebagai seorang tokoh angkatan tua yang memiliki pandangan luas, tentulah Gong-gong-cu tahu. Tetapi Cu Jiang putus asa ketika memperhatikan mata Gong-gong-cu juga tampak bingung. "Engkau tentu asing kepadaku, bukan ?" seru orang tua rambut merah pula. "Benar, karena belum pernah mendengar," jawab Cu Jiang. "Tetapi aku tak asing kepadamu..." Cu Jiang berdebar keras. "Anda kenal padaku ?" tanyanya gugup. "Tentu." "Di depan Hud, jangan suka menyulut dupa palsu. Jangan berpura-pura, bukankah engkau ini si Gok jin-ji ?" Cu Jiang seperti disambar halilintar kejutnya sehingga ia tersurut selangkah ke belakang. "Siapakah Gok-jin-ji itu 7" serunya. "Engkau !" "Anda punya bukti apa ?" "Kakimu sebelah kiri!" Cu Jiang mendesah. Ia tak menduga bahwa kakinya sebelah kiri yang cacat itu dapat dijadikan ciri dirinya. Namun ia berusaha untuk bersikap tenang dan berkata dengan nada dingin: "Dalam dunia orang yang kaki kirinya pincang, bukan hanya Gok-jin-ji seorang?" Cek bin-jin mengekeh. "Memang benar. Tetapi wataknya tentu tak sama." "Belum tentu, " bantah Cu Jiang. "Tetapi kuanggap memang engkau ini!" Cu Jiang marah. "Apa sebenarnya maksud anda" " tegurnya. "Kalau begitu engkau mengakui, bukan?" si rambut merah Cek bin-jin balas bertanya. Cu Jiang menyengir. Ia agak bingung. Mengaku atau tidak. "Kalau engkau berani membuka kedok mukamu, engkau tentu tak dapat menyangkal lagi, " Cek-bin-jin mendesak. Cu Jiang makin kaget. Kedok muka yang di pakaiannya itu sedemikian halus buatannya sehingga umumnya orang tentu tak dapat mengetahui. Tetapi nyatanya kakek rambut merah itu cepat dapat mengetahui. Tiba2 Gong-gong-cu menyelutuk: "Bukankah anda ini yang berada dalam tandu tadi?" Si rambut merah tertawa mengekeh: "Kalau benar lalu mau apa?" "Andapun memakai kedok muka ..." "Sama-sama, sama-sama!" "Apakah sebenarnya tujuan anda?" "Omong2 beberapa patah dengan Gok jin-ji." Mendengar bahwa tujuan orang hendak mencari dirinya, Cu Jiang segera menyela . "Apakah anda hendak bicara dengan aku ?" "O, engkau sudah mengakui dirimu ?" Cek-bin jin melanjutkan. "engkau kenal dengan Ang Nio-cu ?" Cu Jiang terkejut. Sejenak merenung ia mengiakan. "Bagaimana pandanganmu tentang dirinya ?" tanya Cekbin-Jin pula. "Aku belum pernah melihat wajahnya yang sungguh tetapi telah berhutang budi kepadanya." "Engkau jujur. Kedatanganku kemari adalah karena hendak menyampaikan pesannya .. ." "O, silahkan." "Engkau masih ingat perjanjian di lembah dulu ?" Seketika Cu Jiang terbeliak. Ia terbayang akan bayang si jelita baju hijau dan teringat akan perjanjiannya dengan Jelita itu tempo hari. Cepat ia dapat menduga apa yang akan disampaikan oleh Cek-bin-jin saat itu. Ia merasa tak enak hati namun apa boleh buat, ia terpaksa menjawab: "Takkan melupakan." Sejenak Cek - bin - jin keliarkan pandang lalu bertanya: "Apakah tiada halangan pamanmu palsu itu hadir disini ?" "Tak apa." "Baik, sekarang aku hendak menyampaikan kata2 Ang Nio-cu." Cek-bin-jin mulai pembicaraan, "engkau masih ingat akan gadis lembah Ho Kiong Hwa itu?" Walaupun sudah menduga tetapi tak urung hati Cu Jiang berdebar keras, mukanya merah padam dan keningnya mulai mengucurkan keringat dingin. " Ya, masih ingat, " katanya terbata. "Engkau tinggalkan dia seorang diri dalam lembah, jika sampai terjadi sesuatu, coba tanya pada hati nuranimu, apakah engkau merasa enak?" "Aku mengira bahwa Ang Nio-cu tentu akan melindunginya. " "Kalau terlambat datangnya?" "Ini .... ini ... . aku memang mengaku salah." "Engkau merasa dirimu paling hebat, bukan?" "Ah, tidak, aku tak merasa begitu." "Lalu mengapa engkau tak menurut apa yang Ang Niocu telah mengatur untukmu?" Cu Jiang terlongong kemudian tertawa hambar: "Karena aku merasa diriku tak sepadan." "Apanya yang tak sepadan?" "Ang Nio-cu tentu sudah maklum sendiri. Telah kutulis dalam surat yang kuberikan kepada Ho Kiong Hwa. " Tetapi Cek-bin jin tetap menuntutnya: "Jelas engkau memandang dirimu terlalu tinggi sehingga memandang rendah pada Ho Kiong Hwa." "Kusangkal tuduhan itu! " seru Cu Jiang. "Tak mungkin Ang Nio-cu akan bertindak secara gegabah. Soal itu tentu lebih dulu sudah minta persetujuan Ho Kiong Hwa." "Tetapi aku tak ingin menghancurkan masa remajanya yang indah." "Engkau salah." kata Cek-bin-jin, "Ho Kiong Hwa hanya ingin menitipkan dirinya yang sudah sebatang kara, bukan soal wajahmu buruk atau tampan." "Tetapi orang tentu harus mempunyai rasa tahu diri sendiri." "Sudahlah, kita persingkat saja pembicaraan ini. Bagaimana pandanganmu terhadap Ho Kiong Hwa?" "Cantik dan cerdas Orangnya sesuai dengan namanya!" "Lalu engkau setuju atau tidak?" "Sukar untuk melaksanakan." Cek-bin-jin mendengus dingin: "Engkau menolak ?" Dengan nada yang berat Cu Jiang berkata: "Budi kebaikannya takkan kulupakan seumur hidup." "Jangan banyak pertimbangan lagi!" "Aku telah mempertimbangkan sedalam-dalamnya." "Apakah engkau sudah pernah membayangkan akibat penolakan terhadap kemauan Ang Nio-cu itu ?" Cu Jiang keraskan hati, sahutnya: "Jika tak mau menerima penjelasanku, sudah tentu aku tak dapat berbuat apa2 kecuali rela menerima akibat apapun juga dikemudian hari." "Engkau terlalu congkak!" "Ah, tidak." "Jika saat ini kuambil jiwamu..." Cu Jiang tersentak kaget, serunya: "Apakah maksud anda ?" Dengan suara dingin seram, Cek-bin-jin berkata: "Telah kukatakan bahwa aku dimintai tolong Ang Niocu." "Apakah dia minta anda supaya mencabut Jiwaku?" "Ha. ha..." "Aku tak takut mati, tetapi saat ini, maaf, aku belum dapat menyerahkan nyawaku." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kenapa ?" "Masih ada urusan penting yang belum ku selesaikan." "Aku tak peduli semua itu !" Cu Jiang mengertak gigi, serunya: "Beri waktu setahun, aku nanti tentu akan menyerahkan diri." "Kalau aku tak setuju ?" "Terpaksa aku harus melawan." "Mungkin engkau tak mampu mengadakan perlawanan itu." "Kalau begitu, salahku sendiri mengapa belajar silat tak sungguh2. Aku takkan menyesali siapa2 lagi." Saat itu suasana tegang regang. Hawa pembunuhan bertebaran. Kenyataan sudah jelas bahwa Cek-bin jin mampu membunuh Hakim Putih dari Gedung Hitam dan dapat membawa lari tandu seperti orang terbang. Muncul lenyapnya seolah tak meninggalkan bekas. Jelas dia seorang tokoh yang amat sakti. Dan Jelas pula bahwa Cu Jiang tentu tak mampu melawannya. Tiba2 Gong-gong-cu tertawa gelak2 dan maju selangkah, serunya: "Ah, sahabat ini terlampau sekali !" Cek-bin-jin deliki mata, sahutnya: "Aku hanya mewakili permintaan tolong orang!" "Kurasa Ang Nio-cu tak bermaksud begitu.." "Bagaimana engkau tahu ?" "Pernikahan merupakan soal besar dalam kehidupan seseorang. Harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Kalau tidak begitu, tentu bukan suatu perjodohan yang wajar, bahkan akan menimbulkan saling dendam diantara suami isteri !" "Lebih baik jangan ikut campur !" "Tetapi aku terikat keluarga dengan engkoh kecil ini." "O, berarti engkau hendak ikut turun tangan ?" "Sahabat, walaupun tak tahu bagaimana persoalan yang sebenarnya tetapi aku telah mendengarkan pembicaraan tadi. Engkoh kecil itu tak mau dengan badannya yang cacat, akan mengecewakan masa muda diri nona itu. Dia bermaksud baik, bukan bermaksud hendak menolak kemauan Ang Nio-cu. Dan lagi urusan ini belum sampai pada tingkat dimana orang harus putus asa. Mengapa tidak sabar menanti pada lain kesempatan yang menguntungkan dan harus menyelesaikan sekarang dengan pertumpahan darah " Ingat, ini soal perjodohan, suatu hal yang bahagia. Bagaimana pendapat anda ?" Agaknya Cek-bin jin tergerak mendengar kata2 Gonggong cu. Dia diam merenung. Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio-cu memang bermaksud baik kepadanya. Karena Ang Nio-cu tahu akan asal usul dirinya dan sebelum dia rusak wajah dan kakinya dulu. Sedang Gong-gong cu belum tahu tentang dirinya. Cu Jiang merasa bahwa apabila saat itu harus memutuskan perjodohan itu, memang kurang tepat. Akhirnya ia mengambil keputusan. "Aku minta waktu setahun. Apabila pada waktu itu bertemu dengan Ang Nio-cu, aku akan memberi keputusan. Bagaimana ?" Setelah merenung beberapa saat, baru Cek-bin-jin menjawab: "Satu tahun ?" "Dalam setahun itu kemana saja engkau hendak pergi ?" "Aku sendiri belum tahu." Sejenak menatap Cu Jiang dengan tajam. Cek-bin jin akhirnya berkata. "Baiklah, kuharap engkau dapat pegang janji!" "Seorang lelaki tentu takkan menjilat ludahnya lagi" "Sampai jumpa pada lain waktu..." "Mohon sampaikan pada Ang Nio-cu, budi kebaikannya lain waktu pasti akan kubalas." "Sampai Jumpa !" tahu2 Cek bin-jin sudah melesat lenyap kedalam gerumbul. "Hebat sekali !"seru Cu Jiang memuji gerakan orang yang luar biasa gesitnya itu. "Rasanya selatanku itu harus kutaruhkan kepadanya." kata Gong-gong-cu. "Apakah locianpwe benar2 belum pernah mendengar tentang diri tokoh itu ?" "Apa engkau tak mengetahui ?" "Mengetahui apa ?" "Dia adalah Ang Nio cu sendiri!" Cu Jiang seperti digambar petir kejutnya: "Hai! Dia itu Ang Nio Cu sendiri ?" "Benar." "Tetapi Ang Nio-cu itu seorang wanita. Nada suaranya juga tak begitu." "Aku tak mengatakan bahwa dia tadi seorang lelaki. Ada dua hal yang dapat membuktikan." Cu Jiang meminta penjelasan. Dengan pelahan, Gong-gong-cu berkata: "Pertama, dia mengaku kalau orang yang ada dalam tandu dan yang memikul tanda itu empat wanita baju merah. Dengan begitu Jelas bahwa yang di dalam tandu itu tentulah seorang wanita. Kemudian kakinyapun lebih kecil dari seorang lelaki, memakai sepatu kain. Suatu hal yang janggal bagi seorang pria. Dengan begitu jelas dia tentu seorang wanita yang sedang menyaru ..." "O, penilaian locianpwe sungguh tajam sekali. Lalu yang kedua ?" "Yang kedua, dia menggunakan tenaga-dalam untuk merobah nada suaranya. Tetapi nada itu kalau dibanding dengan suara seorang tua pada umumnya, masih beda sekali. Tidakkah engkau merasa bahwa suaranya itu aneh dan menusuk telinga ?" "Ah, benar, wanpwe memang tolol sekali tak dapat memikir sampai disitu ..." "Engkau tidak tolol melainkan masih kurang pengalaman dan lagi kurang tenang." "Terima kasih atas petunjuk lo-cian-pwe!" "Mari kita lanjutkan perjalanan lagi," ajak Gong-gongcu. Singkatnya setelah lebih dari satu bulan mengadakan perjalanan, pada hari itu mereka tiba di kota Tayli yang terletak di tepi laut. Gong-gong-cu sudah membahu kedok mukanya, sedang Cu Jiang masih tetap memakai. Cu Jiang merasa tegang sekali. Dia berada dalam alam dan suasana yang asing. Orang2 yang berpapasan disepanjang Jalan, baik pakaian dan bahasanya, terasa aneh dan beda dengan Tiong goan. Banyak sekali aneka ragam keadaan yang belum pernah dilihatnya. Boleh dikata setiap seratus Ii, tentu ia melihat keadaan yang baru. Baik mengenai cara dan pakaian rakyat disitu. Hanya untungnya, sedikit banyak penduduk disitu sedikit-sedikit mengerti bahasa Han. Tiba di pintu kota timur, tampak penduduk memenuhi sepanjang Jalan untuk melihat. Di pintu kota berpuluhpuluh pembesar2 yang berpakaian dinas, baik dari kalangan militer maupun sipil, sudah tegak berjajar dalam dua deret untuk menyambut. Gong-gong-cu memimpin tangan Cu Jiang. Dengan mengulum senyum, tokoh itu melintasi barisan pembesar2 yang menyambut kedatangannya. Terdengar sorak gembira menyatakan selamat datang kepada Kok su (penasehat kerajaan). Dan Gong gong-cu melambaikan tangan sebagai tanda balas menghormati. Hampir tiba di pintu kota, seorang tua bertubuh tinggi besar dan berjubah ungu segera maju menyambut dan memberi hormat: "Mengemban seng-ci (amanat) baginda untuk menyambut Kok-su!" Sekalian menteri dan pembesar serempak membongkokkan tubuh memberi hormat. Dengan suara nyaring. Gong-gong-cu menyambut: "Ah. sungguh berat untuk menerima penyambutan begini." Saat itu Cu Jiang merasa seperti berada dalam keadaan yang hanya dapat dijumpai dalam impian. Dia tak dapat berkata apa2. Sebagai seorang Kok-su. kedudukan Gonggong-cu itu hanya setingkat dibawah baginda Tayli. Demikian deretan menteri dan pembesar2 kerajaan Tayli itu segera memasuki kota. Cu Jiang menjadi pusat perhatian orang menilik wajahnya yang biasa saja, orang tak melihat sesuatu pada dirinya. Tetapi mengapa Kok-su berjalan berjalan berdampingan dan menggandeng tangannya " Para pembesar itu segera kasak kusuk untuk merangkai dugaan tentang diri Cu Jiang. Pada saat memasuk jalan yang menuju ke istana, disitu telah dipersiapkan meja perjamuan. Empat orang pemuda dan pemudi cantik, tegak di kedua sisi meja. Meja itu tiada hidangan apa2 kecuali tiga buah piala kumala, sebuah teko perak. Tiga orang gadis mengangkat piala kumala dan menuang kedalam tiga cawan lalu serempak menghaturkan kehadapan Gong-gong-cu: "Hong-ya berkenan memberi arak untuk pelepas lelah." Wajah Gong-gong-cu serentak berobah serius. Dia membungkuk tubuh dan berseru penuh khidmat: "Menghaturkan terima kasih atas budi yang dilimpahkan Hong-ya." Ia menyambuti cawan, satu demi satu diteguknya habis. Sebuah tandu yang dipikul olah delapan orang segera disediakan di muka meja. Orang tua jubah ungu tadi maju dua langkah dan berseru : "Silahkan Kok-su naik kedalam tandu !" "Terima kasih." kata Gong-gong-cu lalu memimpin tangan Cu Jiang dan diajak naik tandu. "Ah, lebih baik wanpwe berjalan di belakang tanda saja," Cu Jiang tersipu-sipu. "Jangan, tidak menguntungkan kalau engkau berjalan kaki. Lebih baik duduk bersama aku saja," kata Gong gongcu. Teringat akan kakinya yang pincang, apabila berjalan tentu akan menimbulkan perhatian orang, maka Cu Jiangpun menurut. Dia duduk disebelah Gong-gong-cu. Demikian tandu segera diangkat oleh kedelapan pemikul bertubuh kekar. Sepanjang Jalan masuk kedalam kota, ternyata negeri Tayli yang kecil itu juga amat ramai. Jalan raya terbuat daripada marmer, rumah2 penduduk, rumah makan yang berjajar-jajar disepanjang jalan, dihias dengan mewah sebagai tanda penyambutan atas kedatangan Koksu. Beberapa saat kemudian tibalah mereka di pintu gerbang istana raja. Diatas pintu gerbang yang tinggi itu terpancang tiang bendera. Sedang di kanan kiri pintu, berhias sepasang singa batu yang besar sekali. Melalui pintu gerbang, merupakan sebuah lapangan seluas setengah bau yang juga ditutup dengan batu marmer semua. Didepan pintu gerbang istana itu dijaga oleh delapan belas wi-su atau pengawal istana yang bersenjata. Tandu diturunkan dibawah titian. Belasan pembesar berpakaian kebesaran segera menyambut. Satu demi satu Gong-gong-cu membalas hormat mereka. Setiap orang tentu memandang Cu Jiang dengan mata terkejut tetapi tiada yang berani bertanya. sekalipun demikian tetapi Cu Jiang merasa likat sendiri. Dibelakang pintu terdapat pula sebuah lapangan luas, terbuat dari marmer, dibelah menurut bentuk palang. Empat keliling lapangan itu berjajar-jajar bangunan gedung yang besar. Sepanjang jalan bertumbuhan pohon siong yang hijau. Seorang tua berpakaian kuning, keluar menyambut dari tengah lorong berbentuk palang itu dan berseru lantang: "Hong-ya melimpahkan amanat karena habis menempuh perjalanan jauh, Kok-su tentu lelah dan dipersilahkan beristirahat dulu." Gong gong cu menghaturkan hormat dan menyatakan terima kasih. Setelah itu baru orang tua baju kuning itu tertawa seraya maju menghampiri: "Ah, Kok-su tentu lelah." "Ah, tidak. Semoga Hong-ya sehat selalu," sahut Gonggong-cu dengan hormat. "Hong-ya sehat dan bahagia." "Semoga cong-koan juga sehat2 saja." kata Gong-gongcu kepada orang tua baju kuning. Dia pembesar istana yang berpangkat cong-koan. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ah, doa keselamatan untuk Kok-su juga." kata orang tua baju kuning itu. "Baiklah, lain waktu kita bercakap-cakap lagi...." "Silahkan, Kok-su. O. tuan ini...." mata orang tua baju kuning itu memandang Cu Ciang. Gong-gong-cu tertawa gelak2, serunya: "Dia adalah muridku yang baru kuperoleh waktu didaerah Tionggoan !" Kemudian ia berpaling kepada Cu Jiang: "Inilah Khu Bun Ki, cong koan istana. Masih banyak hal2 yang engkau perlu meminta bantuannya." "Khu cong koan, terimalah hormatku," Cu Jiangpun secara menghaturkan hormat. "Ah, tak usah banyak peradatan." kata Khu Bun Ki yang menjabat cong-koan atau pembesar urusan istana Itu. Kemudian Gong-gong-cu pun meminta kepada rombongan pembesar yang menyambutnya tadi supaya kembali ke tempat masing2. Demikian setelah berbicara basa-basi dengan beberapa pembesar istana yang mengerumuninya itu, akhirnya Gong-gong-cu mengajak Cu Jiang menuju ke lorong kiri dan melangkah ke jalan besar yang rindang dengan pohon2. Sesungguhnya istana raja Tayli itu tak lebih hanya sebesar gedung kediaman seorang menteri Kerajaan di negeri Tionggoan. Paling bedanya hanyalah istana Tayli itu dihias dengan sebuah lapangan. Setelah melalui beberapa pintu halaman, akhirnya Gonggong-cu dan Cu Jiang tiba dimuka sebuah pintu berbentuk rembulan. Begitu melangkah, Cu Jiang segera merasakan suatu suasana yang baru. Pagoda kecil tempat beristirahat yang terbuat dari batu, tiang2 pilar yang tinggi bersih dan terbuat dari batu marmer, menghias sebuah gedung yang tenang. Dari dalam gedung itu muncul dua orang anak yang berlari-lari menyambut: "Kok-su sudah pulang ...!" Dengan penuh kasih sayang Gong-gong cu mengeluselus bahu kedua bocah itu seraya berkata: "Ing San, Bok Ci, beri hormat kepada Sausu !" Cu Jiang diam2 menghela napas longgar. Dengan bijaksana Gong-gong-cu dapat menghindarkan kesulitan Cu Jiang dengan memberinya sebutan sebagai sausu atau guru muda. Juga ketika memperkenalkan kepada Khu Bun Ki, congkoan atau menteri rumah-tangga istana, Gong-gong cu juga tak menyebut nama Cu Jiang. Sejenak memandang ke arah Cu Jiang kedua bocah itu berturut-turut memberi hormat. "Ing San menghaturkan hormat kepada sau-su." kata salah seorang bocah itu sambil berlutut. "Bok Cui menghaturkan hormat," kata bocah yang seorang pula. Keduanya segera berlutut di hadapan Cu Jiang. "Bangunlah!" buru2 Cu Jiang mengangkat mereka. Kedua bocah itupun lalu mundur ke samping. Gong-gong-cu melambai dan suruh Cu Jiang mengikutinya masuk. "Rumahku ini bebas, tak perlu sungkan" katanya. Gong-gong-cu menuju ke sebuah bangunan gedung di tengah pagar bunga. Walau pun tidak berapa besar tetapi gedung itu amat bersih dan sedap. Pada papan yang besar tertulis tiga buah huruf "Tiau-tim-tian" atau wisma Pembersih Debu. Alat perabot dalam ruang gedung itu terdiri dari barang2 antik yang jarang terdapat. Ing San membawa Cu Jiang ke belakang untuk mandi dan tukar pakaian. Setelah itu Bok Cui datang mengundangnya supaya makan. Ruang makan berada di tengah kolam. Walaupun bukan tergolong jenis yang mewah tetapi hidangannyapun terdiri dari masakan yang mahal dan lezat. Gong-gong-cu sudah menanti di situ dan Cu Jiangpun segera duduk berhadapan di sebelah bawah. "Anggap engkau telah kuberi pencucian debu," Gonggong cu. "Ah, terima kasih." "Sebelum pengangkatan resmi sebagai guru dengan murid, kita masih sebagai kawan," kata Gong gong-cu pula, "Jangan engkau sungkan." "Baik !" "Lepaskan kedok mukamu." Begitu Cu Jiang membuka kedoknya, kedua bocah yang berdiri disamping itu menjerit tertahan. Gong gong cu melirik dan merekapun buru2 tundukkan kepala, Betapa perasaan hati Cu Jiang, dapat dibayangkan. Setelah makan malam selesai, barulah mereka masuk kedalam ruang tamu yang telah disiapkan. Semalam itu benak Cu Jiang penuh diliputi berbagai pikiran sehingga semalam suntuk tak tidur. Pagi2 sekali Ing San sudah berseru pelahan2 dimuka pintu: "Sausu, utusan baginda datang, harap sausu mandi dan ganti pakaian." Cu Jiang buru2 bangun. Selesai mandi dan ganti pakaian, Gong-gong-cupun sudah memangginya. Buru2 dia keluar dan menghaturkan selamat. "Hongya akan menerima engkau." "Ya, wanpwe tahu." "Ikut aku." Mereka melalui pintu samping, berjalan disepanjang lorong marmar putih. Dinding keraton tinggi sekali. Tiba diujung lorong, mereka berhadapan dengan sebuah pintu gerbang bercat merah. Didalam pintu merupakan sebuah taman yang indah, penuh dengan aneka bunga yang aneh. Lorong yang menuju ke ruang istana, terbuat dari marmer putih. Ditepi titian dimuka pintu ruang, sudah menyambut Khu Bun Ki menteri pengurus istana. "Hong-ya menunggu Kok-su." seru Khu Bun Ki. Setelah mengemasi pakaiannya, Gong-gong-cu suruh Cu Jiang menunggu di situ sedang dia terus naik ke titian dan masuk kedalam istana. Beberapa waktu kemudian, baru menteri Khu Bun Ki berseru memangginya: "Gok-Jin-Ji, silahkan naik." Dengan langkah yang pincang, Cu Jiang segera meniti titian dan naik ke atas. Ruang mana tampak berkilaukilauan bergemerlapan. Zamrud permata menghias segenap ruang. Di tengah ruang tampak duduk seorang lelaki tua berjubah kuning. Wajahnya keren tetapi sikapnya amat ramah. Usianya disekitar 50-an tahun. Sedang Gong-gongcu duduk disebelah samping bawah. "Apakah ini raja Tayli ?" pikir Cu Jiang. Tetapi sebelum ia sempat berkata apa2 Gong-gong-cu sudah berseru: "Haturkan hormat kepada Hong-ya!" Cu Jiangpun segera berturut: "Menghaturkan hormat kepada Hong-ya." "Bangunlah, disini ruang paseban muka, tak perlu banyak peradatan," seru orang berjubah kuning itu. "Terima kasih, Hong-ya," seru Cu Jiang lalu berdiri. Ketika mengangkat muka dan beradu pandang dengan pria jubah kuning itu, hati Cu Jiang bergetar. "Hong-ya, walaupun wajahnya buruk, tetapi anak muda itu seorang tunas yang berbakat luar biasa." "Um.." pria Jubah kuning itu hanya mendesah tetapi tak berkata apa2. "Mohon Hong-ya menurunkan titah." seru Gong-gongcu pula. Sampai beberapa saat baru pria jubah kuning itu berseru: "Koksu, untuk sementara tunda dulu." Wajah Gong-gong-cu agak berobah. "Hong-ya, walaupun tua tetapi rasanya mata hamba masih dapat mengenal barang..." Pria jubah kuning memotong, serunya: "Koksu, besok pagi kita berunding lagi." Gong-gongcu berbangkit dan membungkuk tubuh dalam2, serunya: "Hamba menerima perintah, mohon mengundurkan diri." Tubuh Cu Jiang terasa agak gemetar. Hanyalah karena memandang mukanya buruk, rupanya raja Tayli itu kurang berkenan dalam hati. Tampaknya sia2 saja perjalanan ke negeri Tayli itu. "Nak, mari kita kembali dulu," kata Gong-gong-cu dengan tenang. Cu Jiang terkejut dan buru2 memberi hormat kepada raja seraya mohon diri. Kemudian ia mengikuti Gong gong-cu kembali ke wisma Tiau-tiok-tian, tempat kediaman Gonggong cu. "Nak, jangan putus asa, aku akan berusaha untuk menembus persoalan ini." Cu Jiang hanya tertawa hambar. "Terserah bagaimana locianpwe hendak mengatur," katanya "Nak, apabila sampai gagal, akupun hendak meletakkan jabatan." "Ah, jangan locianpwe bertindak begitu. Manusia berusaha, Thian yang memutuskan. Aku tak bernafsu nekad untuk menginginkan sesuatu." "Ya kutahu isi hatimu, nak, beristirahatlah dulu." Kembali ke kamarnya, perasaan Cu Jiang tak keruan rasanya. Pikirnya, bagaimana ia dapat lolos dari istana terlarang itu. Kesan yang telah dialaminya, membangkitkan pula dendam kebencian yang sudah mengendap beberapa waktu. Pada saat dia sedang dilanda oleh luap amarah yang sukar dikendalikan, tiba2 ia mendengar gemerincing suara tawa seorang gadis yang berasal dari ruang di sebelah muka. Ia duga tentulah gadis2 pelayan atau dayang istana disitu. "Bagaimana latihan badan?" tiba2 terdengar suara Gong gong-cu tertawa keras. "Mau sembunyi tapi takut dapat diketahui," seru gadis itu. "Ha, ha, ha " "Kabarnya Nyo kongkong ketika di Tionggoan telah menerima seorang murid hebat ?" "Ih, bagaimana engkau tahu ?" "Hm, segala apa yang terjadi di negeri ini, dari atas sampai ke bawah, tiada yang tak kuketahui." "Engkau lihay sekali!" "Ucapan Nyo kongkong sukar dipercaya." "Ih ?" "Bukankah Nyo kongkong pernah mengatakan tak mau menerima murid?" "Oh. .. soal itu, lain dulu lain sekarang." "Orang tua tetapi tak malu!" "Mengapa engkau tak mengatakan "tua tetapi tidak mati" " "Berbicara dengan sungguh2, Nyo kongkong, apakah aku boleh berkenalan dengan dia?" Mendengar itu hati Cu Jiang bergetar keras. Siapakah gadis itu" Mengapa dia menyebut Gong-gong-cu sebagai kongkong ( kakek )" Menurut kata gadis itu. Gong-gong cu itu orang she Nyo Dan kalau menilik nada pembicaraannya, gadis itu jelas bukan dayang istana. Lalu siapakah dia?" Tiba2 terdengar Gong-gong-cu tertawa: "Kongcu lebih baik jangan kenal dia." Kali ini Cu Jiang benar2 tergetar hatinya. Ternyata gadis itu adalah kongcu atau puteri raja. Pembicaraan kedua orang itu bebas sekali dan tak terikat oleh adat istiadat istana. Rupanya di istana itu. peraturan antara pria dan wanita bukan merupakan larangan. Kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan itu menyerupai suatu kerajaan tersendiri. "Kenapa tak boleh?" puteri itu melengking. "Tak sedap dipandang!" sahut Gong gong cu. "Asal dapat melihat bagaimana macam orang yang mampu mendorong Nyo kongkong sampai merobah keputusan takkan menerima murid. Soal sedap atau tak sedap dipandang, aku tak peduli!" "Engkau tak mengerti." "Apanya yang tak mengerti?" "Kelak kita bicara lagi. " "Setelah mendapat murid baru, rupanya Nyo kongkong tak sayang padaku Toan Swi Ci lagi, ya?" Tergerak hati Cu Jiang. Toan Swi Ci, oh, nama puteri itu Toan Swi Ci. "Apakah engkau tetap akan melihat?" "Tentu, kalau tidak aku tentu tak dapat setiap waktu datang ke mari untuk meminta pelajaranmu." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Baik, nak, keluarlah menemui kongcu!" Kejut Cu Jiang seperti disambar petir. Dia harus keluar bertemu puteri raja itu" Ah tidakkah wajahnya begitu menyeramkan orang" Bagaimana mungkin dia ketemu seorang puteri raja dengan wajah begitu" Tetapi ah, kalau toh menyeramkan,kan hanya satu kali saja Selanjutnya puteri raja itu tentu tak mau bertemu dengan dia lagi. Setelah mengambil keputusan dia terus melangkah ke luar. Begitu melangkah ke dalam ruang, seketika terpancar penerangan yang gemilang. Tampak seorang dara secantik bidadari tengah duduk berhadapan dengan Gong-gong-cu. Usianya baru diantara 16-17 tathun. "Aah..." Toan Swi Ci menjerit kaget, wajahnya berobah tegang. Betapa perasaan Cu Jiang saat itu sukar dilukiskan. Malu, marah, benci dan dendam campur aduk menjadi satu. Serentak ia berputar tubuh dan melangkah keluar. "Nak, kembalilah !" teriak Gong-gong-cu. Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan. Dia terus menuju ke ruang di belakang dan duduk terlongong diatas kursi. "Engkau menyebabkan dia tertusuk perasaannya." tiba2 terdengar suara Gong-gong-cu dari ruang depan. "Aku tak mengerti mengapa Nyo kongkong menjatuhkan pilihan padanya ?" "Itulah sebabnya kukatakan tadi, kalau engkau tak mengerti." "Harap Nyo kongkong suka memberi petunjuk." "Aku memilih bakat tulangnya yang luar biasa, bukan dari air mukanya." "Kalau begitu. . . aku hendak minta maaf kepadanya." "Tak usah." "Siapa namanya ?" "Gok jin-ji." "Gok-jin-ji" Ah, rasanya itu bukan suatu nama. Dikalangan rakyat juga tak terdapat orang she Gok." "Itu nama gelarannya." "Yang kutanyakan nama sebenarnya." "Dia tak punya nama." "Ih, aneh. Masakan orang tak punya nama." "Kongcu yang baik, banyak sekali hal2 dalam dunia persilatan yang tak engkau ketahui." Sampai disitu Cu Jiang tak mau mendengarkan lagi. Ia memandang kearah almari rak buku yang penuh dengan buku. Ia segara mengambil sebuah. Ternyata sebuah buku sejarah. Membuka beberapa halaman, ia tak ada selera membacanya lalu menukar dengan yang lain. Juga tak senang. Setelah mengembalikan buku itu dia terus melangkah ke luar halaman. Kebun halaman penuh dengan aneka bunga yang belum pernah dilihatnya. Hatinya terasa agak lapang. Sekonyong-konyong sesosok tubuh yang rasanya sudah pernah dikenal, mendadak berjalan pelahan-lahan dititian belahan Jalan-setapak di tengah kebun bunga. Ketika memperhatikan, hampir saja Cu Jiang memekik. Itulah si wanita gemuk, pemilik rumah makan yang telah dibakar oleh orang Gedung Hitam, Tetapi mengapa wanita gemuk itu berada di istana Tayli " Kenangan lama muncul kembali. Ia hendak menemui wanita gemuk itu dan memperkenalkan dirinya. Selagi dia masih bersangsi, wanita gemuk itupun, sudah tiba beberapa langkah di mukanya. "Hai, engkau!" teriak wanita gemuk itu terkejut. Cu Jiang menahan luapan perasaannya dan bersikap tenang: "Ya, memang aku." "Masih ingat kepada wanita penjual kacang yang menjajakan dagangannya di kota kecil tempo hari ?" "Tentu." "Bukankah engkau bersama seorang sasterawan pertengahan umur . . ." "Ya, benar, tetapi aku segera berpisah dengan dia." Dengan tegang wanita gemuk itu memandang Cu Jiang, serunya : "Lalu bagaimana harus menyebutmu ?" "Aku bernama Gok Jin ji." "Yang kumaksudkan sebutannya." "Mereka memanggil dengan sebutan sausu." "Sausu?" "Ya." "Apakah sausu ikut Kok - su yang baru datang dari Tionggoan itu?" "Ya." "Bagaimana keadaan sasterawan yang telah memberi bantuan uang kepadaku itu ?" Cu Jiang tak mau mengatakan bahwa orang yang dimaksud wanita gemuk itu sesungguhnya adalah seorang cong koan dari Gedung Hitam. Dia hanya menjawab sembarangan saja. "Dia baik2 saja. Apakah aku boleh menyebutmu dengan panggilan .... toanio ?" "Ah, jangan, sausu ! Aku hanya salah seorang tukang masak." "Bukan soal. Aku seorang persilatan. Kaum persilatan tak membedakan pangkat dan kedudukan." "Kalau sausu menghendaki, terserah. Memang orang2 di istana sini memanggil aku begitu." "Bagaimana toanio dapat datang kemari?" "Menghindari musuh." "Ah.." Cu Jiang hanya mengaduh tetapi tak mau bertanya lebih lanjut. Dia tahu yang dimaksud musuh tentulah pihak Gedung hitam. Diam2 Cu Jiang merasa menyesal. Kesemuanya itu adalah gara-garanya. Jika dia tak mencampuri urusan si jelita Ho Kiong Hwa tentu tak sampai bentrok dengan orang Gedung Hitam dan takkan diberi Amanat Maut. Wanita gemuk itupun tak perlu melindungi dirinya dan tak sampai rumah makannya dibakar orang Gedung Hitam dan orangnya harus lari menyembunyikan diri dari kejaran pihak Gedung Hitam. "Maaf toanio, kelak budimu tentu akan kubalas," diam2 Cu Jiang berjanji dalam hati. Sambil memandang lekat2 pada wajah Cu Jiang, wanita gemuk itu berkata: "Sausu, maaf, tetapi memang benar engkau ini mirip dengan seseorang yang kenal baik dengan aku..." "Siapa ?" Cu Jiang terkejut. "Usianya sebaya dengan sausu, juga sinar matanya, bahkan perawakannya. Hanya, ah, mungkin dia sudah tak berada di dunia lagi.." "Dia mempunyai hubungan apa dengan toanio ?" "Keluarga." "Keluarga" Apa ikatannya dalam keluarga dengan toanio ?" "Ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku sedih kalau mengingat dia." "Cu Jiang, kasih tahu pada toanio, bahwa pemuda yang dikenangnya itu saat ini berdiri dihadapannya. Hanya karena wajahnya rusak, engkau tak mengenalnya . . .. " tiba2 hati Cu Jiang melantang. Tetapi dia berusaha untuk menekan perasaannya. Saatnya belum tiba, pikirnya. Saat Itu bocah Ing San bergegas memanggil. "sausu !" katanya kepada Cu Jiang, dan kepada wanita gemuk, bocah itupun berseru: "Toanio, aku mencarimu kemana-mana." "Ada apa?" "Siang nanti kongcu hendak bersantap di wisma Tiautim-tian. Koksu pesan agar disiapkan hidangan." "O, baiklah, aku segera menyiapkannya." wanita gemuk itu memberi hormat kepada Cu Jiang lalu bergegas pergi. Cu Jiang kerutkan dahi. Ada sesuatu yang melintas dalam benaknya. "Ing San, aku hendak jalan-2 ke luar istana ini, " katanya. "Sausu hendak pesiar melihat-lihat luar?" "Ya." "Biarlah kulaporkan pada Koksu dulu." "Ya, silahkan." Bocah itu gopoh2 pergi dan tak lama kemudian dia muncul kembali seraya tertawa: "Koksu mengijinkan tetapi supaya dekat2 saja dan cepat kembali. Juga pesan supaya sausu mengenakan kedok muka." Cu Jiang girang sekali, ia masuk ke kamar dan mengenakan kedok muka. "Hayo, kita ke luar." Ing San yang mengiring dan menjadi penunjuk jalan. Mereka keluar dari pintu samping dan setelah melalui beberapa lorong akhirnya keluar dari istana. Saat itu sedang ramai-ramainya orang berjualan. Pasar2 penuh sesak dengan orang berjual beli. Rupanya Ing San jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Dia tampak gembira sekali. Sepanjang jalan selalu nyerocos ngoceh sembari menuding kesana kesini. Cu Jiang hanya mengiakan saja tetapi hatinya tak memikirkan soal itu. Diam2 dia mengasah otak untuk mencari jalan bagaimana dapat kembali ke Tiong goan. Kesan yang diterimanya ketika menghadap raja Tayli tak menyenangkan hati. Lebih baik dia kembali ke Tionggoan saja. Tak terasa hampir separoh kota telah dijelajahi dan saat itu mereka tiba di pintu kota utara. Sengaja Cu Jiang bersikap gembira, serunya: "Ing San. kabarnya pemandangan laut Ki-hay itu indah sekali. Mari kita ke sana . . ." Ing San menengadah memandang matahari, serunya: "Sausu, sekarang sudah saatnya kita harus pulang." "Lebih baik kita makan di luar saja." "Jangan! Koksu pesan, agar sausu menemani kongcu makan siang." "Ing San, aku justeru takut menghadapi peristiwa itu . . ." "Kenapa?" "Wajahku yang begini buruk, masakan layak duduk bersama kongcu?" "Kongcu sering berkunjung ke wisma Tian-tim-tian. Dan kongcu tentu akan lebih sering datang, lama kelamaan tentu biasa." "Itu soal besok, Ing San. Lebih baik hari ini kita pesiar sampai puas." "Hamba tak berani, takut pada Koksu ...." Melihat sikap bocah itu, tergeraklah hati Cu Jiang. Ia mendesak: "Jangan kuatir, segala kesalahan aku yang tanggung nanti. Engkau hanya menjadi penunjuk jalan. Tak nanti Koksu akan marah kepadamu." "Sausu, tindakan sausu itu berarti tak menghormat pada kongcu . . ." "Pagi tadi ketika melihat wajahku, kongcu tampak ngeri. Kalau aku tak pulang, bukankah sesuai dengan kehendak hatinya?" Ing San termenung sejenak, katanya: "Hong-ya hanya mempunyai seorang puteri, amat disayanginya " "Tak punya putera?" "Tidak." Pada saat itu mereka sudah ke luar dari kota. Ing San hentikan langkah. Cu Jiang berpaling kepadanya: "Begini sajalah. Apakah di tepi laut ada rumah makan?" "Ada, rumah makan Ong-hay-loh, mewah dan bersih, ramai tetapi tenang." "Ah, bahasa Han-mu lancar sekali." "Memang ayah bundaku orang Tionggoan. Mereka berdagang sampai ke Tayli dan aku dipilih menjadi pelayan Koksu." "O, kalau begitu . . . begini sajalah. Engkau pulang dulu dan memberitahu Koksu. Katakan aku sedang bertemu dengan seorang sahabat dari Tionggoan dan masih omong2 di rumah makan. Terpaksa sore nanti baru pulang. Akan kutunggumu di rumah makan Ong hay loh sana, bagaimana?" "Apakah tak apa2?" "Tak apa, lekas engkau pulang dan kembali cari aku lagi." "Apakah sausu tahu di mana letak rumah makan Onghay-loh itu?" "Uh, masakan tak dapat bertanya orang?" "Tetapi . . ." Tetapi Cu Jiang cepat menepuk bahu bocah itu dan berseru: "Ai, sudahlah, pulang dan kutunggu kedatanganmu lagi. Hari ini kita akan pesiar sampai puas." Sebenarnya Ing San takut dimarahi Koksu tetapi dalam hati ia memang senang kalau dapat pesiar diluar. Akhirnya ia mau juga menurut perintah Cu Jiang dan harus berangkat pulang. Setelah bocah itu jauh, barulah Cu Jiang dapat menghela napas longgar. Ia pun melanjutkan langkah. Setelah tiba pada jalan yang terakhir dalam kota, seharusnya belok ke kanan baru akan tiba di rumah makan Ong hay-loh. Tetapi Cu Jiang sengaja belok ke kiri. Walaupun kakinya pincang hingga tak leluasa berlarilari, karena ia memiliki tenaga-dalam yang kokoh, walaupun hanya mengandalkan kaki kanan berlari, pun tetap cepat sekali. Jago silat biasa tak mungkin dapat mengimbangi larinya. Ia takut Gong-gong-cu akan mengirim orang untuk mengejarnya, maka ia lari terus tanpa berhenti. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Arah yang ditujunya, sama dengan ketika ia datang ke Tayli, hanya Jalannya yang berbeda. Menjelang petang hari setelah memperkirakan mencapai seratusan li, tibalah dia disebuah kota kecil di pegunungan. Penduduknya separoh suku Han separoh penduduk pribumi. Tetapi yang digunakan disitu adalah bahasa Han. Diam2 ia menimang Pada saat bocah Ing San pulang memberitahu kepada Gong gong cu, tentulah Gong-gong-cu akan perintahkan orang untuk mencarinya di dalam kota. Untuk sementara waktu. Gong-gong cu tentu tak menduga kalau ia sudah meloloskan diri. Pada saat Gong gong-cu menyadari kalau dia minggat, tentu sudah tak keburu lagi untuk memerintahkan orang mengejarnya. Apa lagi jalanan, bukan melainkan satu. Setelah memperhitungkan hal itu, dia masuk kedalam kota dan beristirahat dalam sebuah kedai minum yang diusahakan orang Han. Rumah makan kecil itu tiada sesuatu hidangan yang enak. Tetapi Cu Jiang tak memikirkan soal itu. Ia pesan makanan dan arak. Kini pikirannya mulai merancang rencana. Lebih baik menempuh perjalanan pada malam hari atau siang. Walaupun tenaga-dalamnya sudah bertambah lihay tetapi ilmu silatnya masih kurang. Sedang musuh yang dihadapinya terdiri dari tokoh2 lihay, Lalu bagaimana langkahnya apabila dia kembali ke Tionggoan nanti" Dalam waktu merenung dan menimang-nimang pikiran itu tak terasa ia telah menghabiskan arak dan minta tambah lagi. Tetapi daya arak itu bahkan menambah kedukaan hatinya. Pemilik kedai seorang lelaki pertengahan umur, mengenakan pakaian warna hitam dari kain kasar. Tetamu hanya sedikit, berikut Cu Jiang hanya tiga orang. Pemilik kedai itu menghampiri dan duduk pada sebuah meja lain. "Apakah tuan ini orang Han ?" "Ya," sahut Cu Jiang. "Berdagang atau .." "Oh, aku .. . menjenguk sahabat." "Siapakah sahabat tuan " Jelek2 aku sudah kenal dengan semua penduduk disini." "Ah, tak perlu. Aku sudah tahu. Sahabatku itu menjadi tabib di kota kerajaan Tayli." "O, tabib " Siapakah namanya ?" Sebenarnya Cu Jiang hanya sekenanya saja menjawab. Tak tahunya pemilik kedai itu malah mendesak terus. Untung dia memakai kedok muka sehingga cahaya air muka tak terlihat orang. "Orang she Ih," katanya hambar. Tiba2 pemilik kedai itu menepuk pahanya sendiri dan tertawa gembira: "O, apa bukan Sin-Jiu Ih Hoa?" "Ya, dia!" "Ah, sungguh tak tahu adat, maaf. Tabib besar In Hoa, namanya harum mewangi didaerah selatan. Entah berapa banyak jiwa yang telah ditolongnya. Dia mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati!" seru pemilik rumah makan itu dengan gembira. Cu Jiang geli dalam hati. Dia hanya sembarangan saja menyebut sebuah she, eh, kiranya memang ada seorang tabib yang bernama Ih Hoa. Pemilik rumah makan itu masuk dan keluar lagi dengan membawa poci perak, sepiring ayam panggang dan sepasang sumpit. "Harap tuan suka dahar sebagai tanda hormat kami," katanya dengan tertawa. "Ah, apakah artinya ini ?" Cu Jiang heran. "Terhadap seorang sahabat dari Ih toa-koh jiu (tabib negara) kepada siapa aku pernah berhutang budi, sudah sepantasnya kalau aku menghaturkan hormat." Ia menuang arak ke cawan Cu Jiang dan ke cawannya sendiri lalu mempersilahkan pemuda itu minum dan dahar. Cu Jiang mengucapkan kata2 basa-basi tetapi pemilik rumah makan itu mendesaknya supaya jangan sungkan, Terpaksa Cu Jiang minum juga. "Arak yang hebat," serunya memuji. Pemilik rumah makan lalu menuang lagi. Berturut turut Cu Jiang menegak sampai tiga cawan. Tetapi beberapa kejab kemudian ia rasakan matanya ngantuk sekali, sampai sukar dibuka. Ia terkulai, rebahkan kepalanya di meja dan tak ingat apa2 lagi. Entah berselang berapa lama, ingatannya mulai timbul kembali. Ia rasakan sekujur tubuhnya tak enak dan kaki tangannya tak dapat digerakkan. Bahkan terasa seperti lunglai. Ia mendengar suara ribut2 dan bau asap dupa wangi. Ketika membuka mata, kejutnya bukan kepalang. Ternyata saat itu dirinya sedang terikat pada sebatang tonggak. Sekelilingnya penuh dengan orang, ada yang duduk ada yang berdiri. Masing2 membawa obor. Bau asap kayu cendana, timbul dari unggun api. Tempat itu merupakan sebuah lapangan terbuka. Menilik pagar-pagar yang terpancang di sekeliling, seperti merupakan sebuah pasar. Di sebelah muka, disiapkan meja sembahyangan, bunga dan lilin. Di atas meja diberi sebuah sin-pay atau nisan yang bertulis beberapa huruf, berbunyi: Arwah mendiang tabib Sin-jiu Ih Hoa. Cu Jiang tercengang tak tahu apa yang terjadi. Bukankah karena menganggap Cu Jiang itu seorang sahabat dari Ih Hoa maka pemilik rumah makan lalu menyediakan arak dan hidangan ayam panggang" Mengapa tahu terjadi adegan seperti saat itu" Cu Jiang sudah tentu tak kenal siapa tabib Ih Hoa itu dan bagaimana peribadinya. Dan hanya karena menjawab pertanyaan, ia sekenanya saja mengatakan hendak menjenguk seorang sahabat orang she Ih. Ai, mengapa tahu2 jadi begini... Di samping meja tegak delapan lelaki berjubah panjang. Salah seorang tak lain adalah pemilik rumah makan itu sendiri. Menilik gelagatnya, jelas mereka tentu bermaksud buruk terhadap Cu Jiang. Tentulah pemilik rumah makan itu telah mencampuri obat ke dalam arak. "Tho-si telah tiba!" tiba2 terdengar lelaki tua yang berdiri di tepi meja itu berseru nyaring. Tho-si adalah sebutan untuk pembesar atau kepala daerah dari suku golongan minoritas (kecil) yang hidup di daerah Lam bong atau Tionggoan sebelah barat-daya Suasana hening seketika. Dari jauh tampak mendatangi sebuah rotan panjang yang menyerupai ular api. Ternyata mereka terdiri dan berpuluh-puluh lelaki berpakaian pendeta, memegang obor dan berjalan menuju ke lapangan. Diantara cahaya api itu, tampak sebuah tandu besar. Cu Jiang duga, yang berada dalam tandu itu tentu tho-si. Selekas memasuki lapangan, rombongan obor itu segera berpencar dengan rapi sehingga lapangan terang benderang seperti siang. Tandu berhenti di muka meja sembahyangan. Orang2 yang berdiri di tepi meja segera maju menghampiri. Seorang pengawal yang bersenjata golok, segera membuka tenda penutup tandu dan seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengenakan jubah kuning emas, melangkah ke luar dari dalam tandu. Dengan mata berkilat-kilat ia memandang ke sekeliling. Bagai rumput tertiup angin, sekalian orang yang berada di lapangan itu, segera berlutut memberi hormat. Lelaki yang menyambut ke muka tandu itu-pun juga membungkukkan tubuh memberi hormat. Rupanya ke delapan orang yang tegak berjajar di kedua samping meja itu merupakan tokoh2 penduduk yang terkemuka. Lelaki tua jubah kuning emas lalu berjalan pelahan-lahan menuju ke muka meja. Ia mengangkat tangan selaku membalas penghormatan orang2 itu. Kemudian ia duduk di kursi yang telah disediakan. Kedelapan pengiring bersenjata golok, tegak berjajar di belakangnya. Orang2 yang berlutut tadipun bangun. Tetapi tiada seorangpun yang berani membuka mulut. Suasana masih tetap hening lelap. Cu Jiang rasakan benaknya masih memar sehingga ia tak jelas apa yang terjadi di tempat itu. Delapan penduduk terkemuka yang berjajar pada kedua samping meja sembahyangan, berdiri di tepi tempat duduk lelaki tua berjubah kuning. Setelah beberapa jenak menatap Cu Jiang, lelaki berjubah kuning emas itu baru berkata: "Apakah hanya dia seorang?" "Ya," jawab seorang tua berjubah panjang. "semalam dia singgah di kedai Tio lopan. Dalam pembicaraan, dia telah kelepasan omong, Tio lopan segera menghidangkan arak obat untuk meringkusnya..." "Apakah sudah pernah ditanya?" "Belum, kami menantikan loya yang memeriksanya." "Tio lopan." seru lelaki tua jubah kuning emas itu. Pemilik rumah makan segera mengiakan. "Kapan dia singgah di kedaimu?" "Baru semalam." "Dia berkata apa saja ?" "Katanya hendak berkunjung ke daerah selatan menjenguk seorang sahabat. Aku curiga dan mendesaknya, Dia mengatakan sahabatnya itu orang she Ih. Segera kuhidangkan arak obat sehingga dia rubuh dan ternyata memang terdapat bukti." "Bukti ?" "Kutungan pedang!" kata pemilik rumah makan, menjemput sebilah kutungan pedang, diangkat tinggi2 lalu diletakkan kembali. Bukan main marah Cu Jiang. Kutungan pedang itu adalah benda peninggalan mendiang ayahnya. Ia tak menduga orang akan menggeledah dirinya dan menganggap benda itu sebagai barang bukti. Wajah lelaki tua jubah kuning emas itu tampak gelap. Dengan penuh dendam ia memandang Cu Jiang lalu ke segenap hadirin dan terakhir berseru dengan lantang: "Tabib Ih, seorang tabib yang budiman dan pandai, menyelamatkan jiwa manusia dari cengkeraman maut. Didaerah ini beliau merupakan dewa penolong yang sangat dipuja dan dihormati. Sungguh tak kira kalau orang yang begitu baik akhirnya harus mengalami nasib menyedihkan dibunuh oleh serombongan lima orang. Sudah empat pembunuh yang membayar dosanya. Arwah tabib Ih masih melayang-layang di daerah ini sehingga pembunuh2 itu kebingungan dan menyerahkan diri. Pada tubuh mendiang tabib Ih, masih tertanam sebilah pedang kutung. Dan karena dibadan orang itu-pun terdapat kutungan pedang, maka bukti kejahatannya sudah jelas, tak perlu ditanya lagi..." Beratus-ratus mata yang penuh dendam kemarahan mencurah pada Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru menyadari persoalannya. Ternyata dia telah didakwa sebagai pembunuh tabib Ih Hua. Padahal ia tak kenal sama sekali siapa dan bagaimana tabib Ih itu. "Ah, jika aku tak membantah, tentu akan mati konyol," pikir Cu Jiang. "Tho-si, apakah ucapan anda itu benar ?" serunya. "Soal apa ?" sahut lelaki tua berjubah kuning emas. "Anda tak boleh hanya dengan kesimpulan dugaan saja lalu menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak berdosa..." "Apa engkau tak berdosa?" "Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu didaerah ini. Kutungan pedang itu adalah peninggalan ayahku. Bagaimana engkau jadikan bukti sebagai alat pembunuh tabib itu ?" "Itu menurut katamu." "Mengapa tak mencocokkan dulu kedua kutungan pedang itu ?" "Jenasah tabib mulia itu tak boleh diganggu. Kutungan pedang masih berada pada Jenasah dan ikut dikubur." "Aku sama sekali tak kenal siapa tabib Ih itu. . ." "Tutup mulutmu ! Percuma engkau membantah. Lekas sumbat mulutnya !" Seorang pengiring segera maju. Merobek baju Cu Jiang lalu menyumpalkan pada mulut pemuda itu. Hampir melotot keluar mata Cu Jiang karena menahan kemarahannya. Tetapi dia tak berdaya. Tenaganya masih merana, tenaga-dalam masih di hanyut obat dalam arak tadi. Jika saat itu dia mau menyebut nama Gong gong-cu, persoalan tentu akan berobah. Tetapi dia memang berhati tinggi. Tak mau dia mengemis pertolongan orang. "Mulai sembahyang !" teriak lelaki berjubah kuning emas. Seorang laki tua yang mengenakan pakaian warna biru segera maju ke depan meja sembahyangan. Kawankawannya yang lain mundur dan berjajar di belakang tho-si. Sementara thosi itupun segera menghadap meja. "Mulai! Satu dua.... tiga," dengan suara aneh lelaki berjubah biru itu berteriak. Thosi berturut-turut tiga kali melakukan sembahyangan dengan dupa dan menancapkan pada sebuah tempat dupa. "Berlutut !" lelaki jubah biru itu berteriak nyaring dan panjang. Seluruh hadirin segera berlutut. Suasana hening, tegang dan seram. Cu Jiangpun berdiri bulu kuduknya. Kini ia menyadari apa yang akan terjadi. Dia akan dijadikan sesaji sembahyangan, Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Penghormatan dimulai. Satu .. . dua .. tiga " kembali lelaki berjubah biru itu berseru. Sekalian hadirin segera membungkukkan kepala hingga sampai ke tanah. "Menghaturkan sesaji !" Dua orang lelaki baju merah muncul dari meja sembahyangan. Yang seorang membawa panci kayu warna merah. Dalam panci kayu itu terdapat basi dari tembikar. Sedang yang seorang mencekal sebatang pisau sebesar kuping kerbau. Setelah maju memberi hormat dihadapan meja, keduanya lalu menghampiri Cu Jiang. Semangat Cu Jiang serasa terbang. Dia tak nyana bahwa dirinya akan mati dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Jauh di daerah pedalaman Lam bong dan disembelih seperti babi. Kedua Jagal itu berdiri di kanan kiri Cu Jiang. Dengan kata2 dalam bahasa Han yang kurang lancar, jagal yang memegang pisau itu berkata pelahan-lahan: "Semoga dalam penitisanmu besok, engkau akan menjadi orang baik!" Orang yang membawa panci kayu, mengertek gigi: "Dia memang jahat sekali. Jangan cepat2 di bunuh tetapi harus disayat pelahan agar dia tahu rasa!" Jagal yang memegang pisau itu segera mengangkat pisau dan ujung pisaupun mulai digerakkan ke tenggorokan Cu Jiang. Dan Cu Jiang karena tak berdaya hanya pejamkan mata pasrah nasib. "Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan keras yang mengejutkan sekalian orang. O0xxdw-kzxx0O Jilid 10 Kedua jagal itu terkejut dan mundur sampai beberapa langkah Orang2 yang berlutut mengikuti upacara penjagalan Cu Jiang itupun serempak berdiri. Cu Jiang membuka mata. Tampak seorang lelaki berumur 40 an tahun melesat ke depan meja sembahyangan. Dia mengenakan pakaian ringkas seperti orang persilatan dan menyanggul pedang. Melihat pendatang itu, lelaki jubah kuning emas tadi serentak pucat wajahnya. Buru2 dia membungkuk tubuh memberi hormat. "Se-cun thosi lo Ciau Liang menghaturkan hormat ke hadapan Lwe-si-tiang." Orang yang disebut lwe-si-tiang atau kepala prajurit keraton (bhayangkara) menghela napas longgar. "Ah, lo thosi tak usah banyak peradatan. Kalau aku terlambat datang, urusan ini tentu hebat akibatnya . . ." Sekalian orang berturut-turut menghaturkan hormat kepada kepala bhayangkara keraton itu, kemudian sama menyingkir ke samping. "Mohon segera diberitahu, perintah apa yang lwe-si-tiang hendak berikan kepada kami?" kata thosi yang ternyata bernama lo Ciau Liang. "Tahukah In thosi siapa pemuda itu?" "Dia ... . adalah . . ." "Pewaris dari Kok-su!" tukas kepala bhayangkara itu. "Ah!" thosi itu menjerit kaget, menyusul sekalian hadirinpun melengking kejut. Lwe-si tiang terus menghampiri Cu Jiang melepaskan pengikat dan sumbat mulutnya. "Ah, sausu tentu menderita kejut," serunya tegang. Cu Jiang hanya tertawa hambar, tak berkata apa2. Keduanya segera menghampiri ke muka meja sembahyangan. Pemilik rumah makan tadi, pucat wajahnya dan serta merta berlutut, menundukkan kepalanya sampai ke tanah. "Hamba pantas dibunuh! Hamba pantas dibunuh!" "Sausu mengapa tak mau mengatakan diri sausu sehingga rakyat kami hampir saja melakukan kesalahan besar," kata In thosi sembari memberi hormat kepada Cu Jiang. "Aku tak mendapat kesempatan," sahut Cu Jiang dengan nada dingin. Sejenak memandang ke arah rakyat yang masih dicengkam kejut dan ketakutan, berkatalah kepala bhayangkara itu kepada Cu Jiang: "Sausu, Kok-su sedang menuju ke mari, mari kita menyambutnya." Untuk menebus dosa, kepala desa In thosi itu mohon agar tetamu2 agung itu suka singgah di rumahnya. Tetapi kepala bhayangkara menolaknya. "Mohon Iwe si-tiang suka memintakan ampun di hadapan Kok-su." kata In thosi. "Kok-su selalu bijaksana." Dalam pada itu pemilik rumah makan segera berlutut di hadapan Cu Jiang dan menyerahkan sebuah bungkusan: "Sausu, hamba memang harus mendapat hukuman mati. Dengan ini hamba haturkan obat penawar arak beracun itu." Sambil menyambuti, Cu Jiang mengatakan bahwa orang yang tak tahu itu tak berdosa. Sudah tentu pemilik rumah makan sangat gembira dan menghaturkan terima kasih tak terhingga atas kelapangan hati Cu Jiang. Setelah minum obat penawar, tenaga Cu Jiang pun pulih kembali. Walaupun Cu Jiang mengampuni tetapi kepala bhayangkara itu tetap marah: "Hm, kalian tetap tak mau tunduk perintah. Masih berani menggunakan obat bius untuk mencelakai orang." Pemilik rumah makan dengan gemetar mohon ampun atas kesalahannya. "Sausu, mari kita tinggalkan tempat ini." kata kepala bhayangkara. Sebelum pergi, Cu Jiang mengambil kutungan pedang di meja lalu bersama lwe-si-tiang melangkah pergi. Sekalian orang serempak memberi hormat. Salah seorang pengawal dari In thosi, memberikan kudanya kepada Cu Jiang. Demikian Cu Jiang dan Iwe sitiang segera naik kuda menyongsong Gong-gong-cu. Beberapa saat kemudian tiba2 Cu Jiang hentikan kudanya. "Lwe-si tiang, pelahan dulu!" "Oh, sausu hendak memberi pesan apa ?" kepala bhayangkara hentikan kuda. "Ah, hanya mohon tanya siapakah nama lwe-si-tiang yang mulia?" "Aku bernama Ang Ban !" "Oh. harap Ang Iwe-si- tiang sampaikan kepada Koksu bahwa aku hendak kembali ke Tiong goan . ." Kepala bhayangkara itu terkejut, serunya: "Aku tak dapat memberi keputusan. Harap menghadap Kok-su dulu." Cu Jiang diam2 menghela napas. Dia sebenarnya malu kembali ke keraton Tayli tetapi dia tak mau menyulitkan kepala bhayangkara yang telah menolong jiwanya tadi. Tidak jauh arah muka tampak tiga ekor kuda mencongklang datang dengan pesat. "Koksu sudah tiba," seru Ang Iwe-si-tiang gembira. Yang dimuka memang Gong-gong-cu. Dua penunggang kuda dibelakangnya adalah wi-su atau prajurit penjaga keraton. Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba. Gong-gong-cu loncat dari kudanya. "Nak, mengapa engkau hendak melarikan diri ?" Cu Jiangpun turun dari kuda. "Lo cianpwe, wanpwe merasa tak layak menerima budi yang sebesar itu maka wanpwe pikir akan kembali ke Tionggoan saja." "Ah, semuanya dapat diatur pelahan-lahan" kata Gong gong-cu kemudian berpaling dan bertanya kepada Ang Ban bagaimana tadi dapat menemukan jejak Cu Jiang. Ketika Ang Ban selesai menceritakan semua yang terjadi pada diri Cu Jiang, Gong-gong cu banting2 kaki: "Berbahaya, sungguh berbahaya sekali! Nak, engkau terlalu keras hati! "Wanpwe menyesal sekali," kata Cu Jiang. "Untung tak sampai terjadi sesuatu yang menyedihkan." "Wanpwe hendak mohon pamit kepada cian-pwe." "Jangan terburu-buru dulu." kata Gong-gong-cu lalu memberi perintah kepada Ang Ban, "lwe-si-tiang, perintahkan agar semua kesatuan yang mencari jejak supaya pulang. Dan haturkan ke hadapan Hong-ya, bahwa dalam beberapa hari lagi aku tentu pulang." "Apakah untuk sementara waktu ini Kok-su tak kembali keraton?" "Aku hendak mengurus sebuah persoalan penting harap kalian pulang." Kepala bhayangkara itu mengiakan. Bersama kedua prajurit penjaga keraton dia memberi hormat kepada Gonggong-cu lalu melarikan kuda. Tak berapa lama mereka lenyap dalam kegelapan. Setelah mereka pergi, barulah dengan wajah serius Gong-gong-cu berkata: "Nah segalanya telah beres." Cu Jiang terkejut dan heran, tanyanya: "Apa yang locianpwe maksudkan dengan beres itu ?" "Semua berjalan menurut yang kita rencanakan." "Apakah baginda meluluskan?" "Tentu. Pernah kukatakan, kalau baginda tak meluluskan, aku akan mengundurkan diri." "Ah, mengapa locianpwe akan bertindak begitu ?" "Nak, soal ini menyangkut urusan besar dan kepentingan mati hidupnya dunia persilatan. Rupanya Thian telah meluluskan sehingga secara kebetulan dapat berjumpa dengan engkau. Sudah tentu aku tak mau melepaskan begitu saja sebelum selesai" "Tetapi wanpwe sudah tak berminat kembali ke kota Tayli lagi. Harap locianpwe suka memberi maaf." "Engkau boleh kembali pulang ke Tionggoan," kata Gong-gong cu. "Boleh pulang ke Tionggoan ?" Cu Jiang terbeliak kaget: "Ya, untuk sementara lebih baik jangan dulu." "Wanpwe sungguh tak mengerti maksud ucapan locianpwe." "Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjelaskan Hong-ya sehingga Hong-ya meluluskan untuk menyerahkan kitab pusaka kerajaan Tayli Giok-kah-kim-keng kepadamu agar engkau dapat mempelajarinya. Di puncak utama dari gunung Jong-san terdapat sebuah tempat yang bagus untuk berlatih silat. Di tempat itulah dulu aku memenjarakan gerombolan Sip-pat-thian-mo. Maksudku, supaya engkau seorang diri mempelajari isi kitab itu. Aturlah soal makananmu. Setiap waktu boleh suruh orang untuk mengambil . . . . " "Wanpwe benar2 tak mengerti." "Soal apa?" "Jika kitab pusaka Giok kah kim-keng itu sungguh sebuah kitab pusaka kerajaan mengapa Hong-ya tak mau mempelajarinya sendiri" Begitu pula masakan dalam kerajaan Tayli tiada seorang mentri dan hulubalang yang mampu untuk meyakinkan isi pelajaran kitab itu?" "Pertanyaanmu bagus sekali." seru Gong gong cu, "tetapi pernah kukatakan bahwa untuk mempelajari isi kitab itu harus yang masih perjaka tulen, mempunyai pokok ilmu tenaga-dalam yang kokoh dan bakat serta kecerdasan tinggi. Ketiga syarat itu tak boleh kurang salah satu. Hong-ya tak berputera melainkan hanya mempunyai seorang puteri tunggal. Didalam negeri Tayli tiada tunas yang luar biasa. Dan lagi kalau sembarangan saja menurunkan pada orang, besar sekali akibatnya. Kalau orang itu buruk moralnya, akibatnya tentu mengerikan." "Apakah lo cianpwe memastikan bahwa aku ini seorang manusia baik?" Gong gong cu tertawa. "Nak, dalam ilmu meramalkan tampang muka rasanva aku masih dapat dipercaya." "Apakah pusaka milik kerajaan itu, boleh diberi kau kepada orang luar?" "Keadaan memaksa begitu. Selama gerombolan Sip patthian-mo itu belum terbasmi, Tayli tentu akan terancam bahaya. Gerombolan durjana itu. tentu takkan melupakan dendam kemarahannya karena telah dipenjara selama Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berpuluh tahun." "Tetapi mengapa sampai saat ini mereka tak tampak melakukan kegiatan apa2?" "Jika dianggap tenang, ketenangan itu merupakan ketenangan pada saat badai akan melanda. Sekali meletus tentu sukar diatasi lagi. Mungkin gerombolan Sip-pat thianmo itu hendak membereskan dunia persilatan Tiong goan dulu, baru kemudian akan bergerak menghancurkan Tayli." "Oh, apakah terdapat kemungkinan begitu?" "Nak, bukankah sekarang engkau sudah tak mempunyai pikiran hendak melarikan diri lagi ?" "Jika lo cianpwe tidak berkeras menahan, wanpwe tentu akan pulang." "Sudahlah, nak, naik kuda dan ikut aku." Sebenarnya Cu Jiang tak berminat besar tetapi karena sikap dan perlakuan Gong gong- cu ramah dan hangat, terpaksa dia menurut. Dia segera naik kuda dan mengikuti dibelakang Gong-gong- cu. Tak lama. cuaca terang dan disebelah muka tampak beberapa orang siap menyambut kedatangan mereka. Gong-gong-cu memberi perintah supaya menyediakan makanan dan diantar ke puncak gunung Jong-san. Setelah itu ia turun dari kuda dan bersama Cu Jiang lalu mendaki keatas gunung. Menjelang sore mereka sudah mencapai setengah perjalanan Puncak gunung yang tertutup salju sudah nampak. Jelas puncak itu dingin sekali hawanya. Terdapatnya salju abadi, salju yang tak lumer sepanjang tahun. Menjelang petang hari, mereka tiba di tempat di mana dahulu gerombolan Sip-pat thian-mo dipenjarakan. Barisan Kim soh-tin yang sudah morat marit, masih berada di muka gua. "Nak, di tempat inilah," Gong-gong-cu menunjuk gua itu, "barisan itu telah kuperbaiki lagi. Engkau dapat mempelajari kitab itu dengan tenang. Tak perlu kuatir diganggu orang. Mari kita masuk." Cu Jiang mengiakan. Diam2 dia setuju sekali. Setelah melintasi barisan, mereka masuk kedalam gua. Gua itu merupakan gua alam yang aneh. Lebar dan bersih sekali. Gong-gong-cu ternyata sudah mempersiapkan segala sesuatu disitu. Terdapat juga kursi dan meja, tempat perapian dan lain2. Didalam gua terdapat beberapa cekung yang menyerupai gua kecil, jumlahnya delapan buah. Setelah menyulut api, Gong-gong-cu dan Cu Jiang duduk berhadapan. Sambil melirik ke sekeliling. Cu Jiang berkata: "Ah, rupanya locianpwe sudah mempersiapkan semuanya." Gong gong-cu mengiakan. "Atas jerih payah lo cianpwe, wanpwe sungguh berterima kasih sekali." "Nak, tak usah mengatakan begitu. Sekarang mari kita membicarakan yang penting2." Cu Jiang mengiakan. "Apakah engkau sungguh2 rela masuk menjadi muridku?" "Suka." "Tata peraturan tak boleh diabaikan. Apakah engkau bersedia untuk melakukan upacara mengangkat guru?" "Tentu." Gong-gong cu berbangkit dan mendorong kursi ke samping. Wajahnya tampak serius. Juga Cu Jiang berbangkit dan duduk menghadap Gong gong cu. Ia membuka kedok mukanya. Gong-gong-cu mulai berseru dengan tegas dan khidmat: "Aku Nyo Wi, tiada perguruan tiada partai persilatan. Ilmu yang kuperoleh, sebagian kudapat secara kebetulan, sebagian dari buah ciptaanku sendiri. Engkau, menjadi muridku yang pertama. Sesungguhnya, setelah mempelajari ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, engkau sudah cukup pantas menjadi seorang pendiri sebuah partai persilatan." Cu Jiang berlutut dan berseru dengan penuh hormat: "Murid. Cu Jiang, menghaturkan hormat ke hadapan suhu!" "Apa" Namamu Cu Jiang?" seru Gong-gong-cu. "Ya, murid adalah pelajar baju putih yang pernah bertemu dan disebut-sebut oleh kedua locianpwe Go Lengcu dan Thian-hian-cu itu." "Jadi pelajar baju putih itu engkau sendiri?" "Benar, murid adalah anak sebatang kara dari Dewapedang Cu Beng Ko." Gong-gong cu termangu beberapa saat. Kemudian tertawa gelak2: "Jodoh ! Jodoh ! Inilah yang disebut jodoh! Nak, kini kepercayaanku makin besar terhadap daya penilaianku. Aku kenal baik dengan ayahmu. O, engkau mengatakan sudah sebatang kara, apakah. . ." Dengan mata merah dan nada tersekat Cu Jiang berkata: "Ijinkanlah murid menuturkannya dengan pelahan-lahan nanti." "Baik!" Cu Jiang lalu menjalankan upacara memberi hormat dengan berlutut dan membungkukkan kepala sampai tiga kali. Setelah itu baru ia memohon petunjuk suhunya. Sejak saat itu dia menjadi murid Gong-gong-cu dan menyebut Gong-gong-cu sebagai suhu. "Engkau adalah anak keturunan dari seorang tokoh termasyhur. Tak usah engkau menuturkan riwayatmu. Sebagai suhu, aku tetap harus menekan beberapa hal padamu agar jadi peganganmu. Kesungguhan, Kejujuran Kebajikan dan Keberanian. Empat hal itu harap engkau lakukan dan pelihara sebaik-baiknya." "Murid berjanji akan melakukan pesan suhu." "Menilik kaki kirimu cacat, akan kuajarkan ilmu gerak Gong gong-sim-hwat hasil ciptaanku sendiri. Ilmu itu merupakan sebuah aliran tersendiri. Agar jangan engkau awut-awutan mempelajari beberapa macam ilmu, untuk sementara waktu2 ilmu takkan kuberikan. Curahkan segenap perhatian untuk meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng itu. Apa isi kitab itu, aku sendiri juga belum pernah melihat. Engkau Antara Budi Dan Cinta 7 Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Pendekar Cacad 15

Cari Blog Ini