Pusaka Negeri Tayli 6
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 6 pelajari dan berlatih sendiri." Habis berkata Gong-gong cu mengeluarkan sebuah kitab kecil, diangsurkan kepada Cu Jiang. Anak muda itu menyambuti dengan kedua tangan. Kitab itu merupakan pusaka kerajaan Tayli. Merupakan kitab yang paling diincar oleh segenap jago persilatan, Mimpipun tidak bahwa saat itu ia telah memperolehnya. Sudah tentu dia tegang sekali. "Bangunlah !" Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang berbangkit. "Duduk." "Ah, murid tak berani." "Jangan takut segala peradatan. Walaupun aku menjadi Kok-su tetapi perangaiku senang sebagai burung bangau liar. Aku tak senang mengekang kebebasan dengan segala tata peraturan." "Maafkan, kelancangan murid," kata Cu Jiang terus menarik kursi dan duduk. "Sekarang engkau boleh menuturkan riwayat hidupmu." Sebenarnya sedih sekali apabila Cu Jiang harus menceritakan tentang keadaan keluarganya. Tetapi dihadapan suhunya, terpaksa dia harus berlaku terus terang. Ia segera menuturkan semua peristiwa yang telah dialami dan menimpa keluarganya selama ini. Juga peristiwa yang dideritanya mengapa kakinya sampai cacat dan wajahnya rusak, semua diceritakan dengan terus terang. Hanya bagian yang mengenai soal2 asmara dengan beberapa Jelita itu, dia tak mengatakan. "Nak. hapuslah semua kenangan lampau yang sedih itu. Sekarang engkau hanya mencurahkan segenap perhatianmu untuk mempelajari ilmu sakti dalam kitab pusaka itu. Kelak segala sesuatunya tentu dapat diatasi," kata Gong gong-cu. Cu Jiang mengiakan. "Sekarang, mari, akan kuberimu pelajaran ilmu tatalangkah yang kuberi nama Gong-gong-poh-hwat. Keistimewaan dari ilmu gerak langkah itu, mengutamakan kaki kanan sebagai tiang utama dan kaki kiri sebagai pembantu. Kuciptakan khusus untuk dirimu." kata Gonggong-cu. Cu Jiang menghaturkan terima kasih. Dengan memberi petunjuk melalui gerak tangan dan kaki disertai dengan keterangan lisan, dalam waktu singkat saja, Cu Jiang sudah dapat menyelami. Begitu melakukan latihan, dia sudah dapat bergerak sesuai dengan yang diajarkan suhunya. Yang kurang hanya dalam kesempurnaannya saja. Malam itu keduanya bermalam dalam gua. Keesokan harinya menjelang siang, makanan dan alat2 perkakas yang diperlukan sudah tiba. Sementara Cu Jiang membuat perapian, Gong-gong-cupun mengatur lagi barisan Kim sohtin. Pada waktu makan tengah hari, Gong-gong-cu memberitahu tentang cara masuk keluar barisan itu. Setelah meninggalkan beberapa pesan kepada Cu Jiang, Gonggong-cu lalu tinggalkan gua itu. Cu Jiang tak mau buru2 membuka kitab pusaka Giokkah-kim-keng melainkan berlatih lagi ilmu langkah Gong gong poh hwat. Ternyata ilmu tata langkah itu hebat sekali. Didalamnya mengandung beberapa gerak yang tak terdapat dalam pelajaran silat. Beda sekali dengan gerak langkah dalam ilmu silat umumnya. Karena tertarik, semangatnya makin besar dan tiap hari dia giat sekali berlatih. Dalam sepuluh hari dia sudah dapat melakukan gerak tata-langkah itu dengan sempurna. Pada hari yang kesebelas, pada saat semangatnya gembira, diapun bersiap-siap hendak membuka kitab pusaka Giok-kah-kim-keng. Kitab pusaka itu dibuat dengan luar biasa indahnya. Giok atau batu kumala yang menjadi tempatnya juga dipilih dari bahan batu kumala yang tinggi nilainya. Penutup kotak kumala itu di lekat dengan stempel cap kerajaan Tayli Masih mulus tiada cacadnya, pertanda bahwa selama ini kotak kumala atau Giok-kah itu belum pernah di buka. Cu Jiang menahan gejolak hatinya. Lebih dulu dia memberi hormat lalu dengan sikap yang khidmat ia mulai membuka tutup stempel itu. Kotak kumala Itu tidak dikunci, maka sekali stempelnya dibuka, kotakpun terbuka. Di dalamnya berisi sebuah kitab kecil yang kalau menurut warnanya penuh bintik2, jelas sudah berumur tua sekali. Pada sampul kitab itu tertulis empat buah huruf: Giokkah-kim-keng. Begitu membuka lembar pertama, terdapat tulisan huruf2 hias: Kitab ini ditulis olah Kong yang Beng, tokoh aneh pada jaman huru hara Can Kok, tahun kedelapan dari perhitungan tahun Giau Hong. Jika menilik tulisan itu, kitab Giok kah-kim-keng tersebut merupakan sebuah kitab kuno. Kemudian membalik lembaran kedua, terdapat catatan yang bunyinya hampir sama seperti yang diucapkan Gonggong cu mengenai syarat2 penting dari orang yang hendak mempelajari kitab itu. Sedang pada bagian belakang merupakan indeks atau isi kitab itu, yakni: Bagian pertama : Pelajaran Iwekang. Bagian kedua : ilmu pukulan dan jari. Bagian ketiga : Ilmu pedang. Tambahan: Pelajaran ilmu tenaga sakti Kim - kong - sin kang Membuka halaman dari Bagian pertama, disitu memuat pelajaran yang diuraikan dengan bahasa dan sastera yang dalam. Tak mudah untuk menyelami artinya. Orang harus tekun dan mencurahkan segenap pikiran untuk mempelajari. Sebagai putera dari tokoh silat yang mendapat gelar Sian kiam atau Dewa-pedang, Cu Jiang mempunyai pengetahuan luas dan selera tinggi tentang ilmu pedang. Waktu membuka Bagian ketiga yang memuat pelajaran ilmu pedang, mau tak mau dia harus menghela napas. Pelajaran itu terdiri dari dua belas keterangan untuk digabungkan dalam satu jurus. Jurus itu disebut Thian-teKiau-thay. Untuk memahami jurus itu, tentu sukar. Demikian mulai hari itu dia terus mempelajari kitab pusaka Giok-kah-kim-keng dengan sungguh2. Bagian pertama menghabiskan waktu selama seratus hari. Sudah tentu hal itu dikarenakan dia sudah memiliki pokok2 dasar tenaga-dalam. Jika tidak, tentu paling sedikit harus menggunakan waktu tiga tahun. Bagian tengah atau kedua. Juga memerlukan waktu seratus hari. Dalam pelajaran ilmu gerak tubuh karena terpancang oleh kakinya yang cacad, terpaksa di hanya dapat memahami pelajaran teori atau lisan tetapi tak dapat mempraktekkan dalam latihan. Selama itu Gong-gong-cu sudah tiga kali datang menjenguk. Dia hanya bertanya sebentar mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai Cu Jiang. Setelah Itu lalu pergi lagi. Tidak sepatahpun Gong gong cu menceritakan kepada Cu Jiang tentang kejadian diluar. Dia kuatir hal itu akan mengganggu pemusatan pikiran Cu Jiang. Kini Cu Jiang mulai mempelajari sejurus ilmu pedang Thian-te-kiau-thay yang tiada bandingannya itu. Uraiannya terdiri dari dua belas kata. Sepuluh hari telah lalu, huruf yang pertama saja dia tak mampu mengungkap artinya. Dia makin ngotot untuk memecahkan arti huruf itu. Tetapi semakin ngotot, pikirannya makin kacau. Akhirnya ia menyadari bahwa belajar dengan cara memaksa diri tentu tiada gunanya. Dan ia teringat akan sebuah pelajaran dari kaum vihara Siau-lim pay yanki "Dengan menghadap tembok untuk mengheningkan segala kerisauan pikiran." Ah, mengapa dia tak mencobanya. Maka dia lepaskan semua pemikiran, duduk diam menghadap tembok gua. Dia memulai lagi untuk menyelami pelajaran itu. Akhirnya ia terbenam dalam kehampaan dan terlelap dalam keadaan yang tiada. Sehari, dua hari dan akhirnya pada hari yang ke tigapuluh lima, terpetiklah suatu penerangan dalam hatinya. Kini kekosongan alam pikirannya mulai merekah suatu isi dan mulailah ia dapat menyelami arti dari keempat huruf yang terdepan. Dia seperti mendapat penemuan baru, sebuah alam yang memercik sinar terang. Dengan cara itu ia melanjutkan untuk membuka tabir yang menyelimuti rahasia ilmu dalam kitab pusaka Giok kah-kim-keng itu. Selama itu apakah Gong-gong cu menjenguk, dia tak tahu. Karena begitu mulai duduk bersemedhi, tentu dua hari baru selesai. Kadang sampai tiga hari, lupa makan lupa minum. Tempo berjalan cepat sekali. Tak terasa Cu Jiang telah menghabiskan waktu setengah tahun untuk mempelajari ilmu pedang itu. Setelah itu seharusnya ia mempelajari Bagian Tambahan yakni Ilmu pelajaran Kim-kong-sin-kang. Kim kong-sin-kang merupakan tataran tertinggi dari ilmu silat, serupa dengan darah dan daging pada tubuh manusia. Jarang sekali jago silat yang mampu mencapai tingkat itu. Bahkan dalam seratus tahun, kira2 baru satu orang yang berhasil. Setelah membaca uraiannya, Cu Jiang merasa bahwa untuk memahami pelajaran itu harus memerlukan waktu berpuluh tahun. Akhirnya ia memutuskan, akan menghafalkan uraiannya dulu, baru kelak apabila ada kesempatan ia akan berlatih. Dengan keputusan itu, Cu Jiang menganggap bahwa tugasnya mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng sudah selesai. Hidup selama setahun lebih dalam keadaan "hilang diri" kini Cu Jiang sudah memperoleh hasil. Selama itu dia harus menindas segala dendam perasaannya. Kini bagaikan tahang yang telah penuh air, meluaplah semua perasaan yang telak tertampung dalam dada Cu Jiang. Tetapi dia tetap tak mau bertindak sendiri. Dia harus tunggu kedatangan Gong-gong-cu dan menunggu petunjuknya. Jika hampir setahun dia telah mematikan semua perasaan sehingga tak tahu apa yang terjadi selama ini, kini perasaannya mulai hidup dan menyala kembali. Rasanya tempo berjalan amat lambat sekali. Sehari seperti setahun. Dia ingin lekas2 muncul ke dunia luar. Ia ingin supaya suhunya, gong-gong-cu lekas datang. Tetapi ah, sampai beberapa hari ternyata Gong-gong-cu tak muncul. Karena keisengan, dia melangkah keluar gua, melintasi barisan Kim-soh tin. Pemandangan pertama yang menyegel mata adalah puncak gunung yang tertutup salju, badai yang dingin. Aneh, mengapa dia tak merasa kedinginn. Memang secara tak disadari karena ilmu kepandaiannya telah mencapai tataran tinggi, tubuhnya tahan dingin, panas dan segala macam perobahan hawa. Dia mendaki ke puncak yang tertinggi. Dari situ ia memandang ke laut yang tampak seperti sebuah telaga besar. Gunung Ke-tiok-san yang termasyhur indah alamnya di daerah Lampak, tampak seperti sebuah menara di tepi telaga. Kota kerajaan Tayli seperti sebuah lapangan berpagar. Cu Jiang duduk diatas sebuah gunduk es yang menonjol. Diam2 dia merenungkan perjalanan hidupnya. Sejak kecil hingga hampir mencapai usia dua-puluh tahun, dia sudah mengalami nasib yang hebat dan aneh yang mungkin orang tak pernah mengalaminya. Kemudian dia mencabut kutungan pedang Seng-kiam. Itulah benda peninggalan ayahnya. Dan dengan kutungan pedang itulah kelak dia akan menuntut balas kepada musuh-musuhnya. Ketika sedang tenggelam dalam lautan menung, tiba2 ia mendengar suatu bunyi yang pelahan dan halus sekali. Seolah tergetar oleh suatu kontak rasa yang tajam, dia cepat berseru. "Hai. siapa itu ?" Dia tetap duduk tenang seperti batu karang, tak berkisar Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo maupun berpaling. Nada tegurannya lebih dingin dari salju yang menyelimuti sekeliling tempat situ. "Ha, ha, ha" tiba2 terdengar suara tawa bergelak. Dan segeralah Cu Jiang tahu siapa pendatang itu. Segera dia melayang turun dari gunduk es. Tampak suhunya berdiri pada jarak dua tombak, sedang tertawa gembira. "Suhu, murid menghaturkan hormat," katanya segera memberi hormat. Gong-gong-cu hentikan tawa dan berkata: "Menilik nadamu, engkau tentu gelisah menunggu kedatanganku, bukan ?" "Benar, murid memang mempunyai perasaan begitu." "Nak engkau telah berhasil dalam mempelajari ilmu Giok-kah-kim-keng." "Murid menghaturkan terima kasih atas petunjuk suhu." "Ha, ha... nak, itu dari usahamu sendiri yang berhasil. Bagaimana aku engkau anggap berjasa?" "Apabila suhu mengatakan begitu, murid tiada muka hidup lagi." Gong gong-cu tertawa puas. "Nak satu-satunya ilmu kebanggaanku hanya Jari Gonggong-sim-hwat. Bukan tekebur kalau kukatakan bahwa dengan ilmu itu aku dapat muncul lenyap seperti bayangan, tetapi kenyataannya hanya beberapa tokoh persilatan yang mampu menangkap suara gerak tubuhku itu. Bahwa sekarang pada jarak lebih dari tiga tombak jauhnya, ia mampu menangkap suara kedatanganku, ilmu pendengaranmu sungguh tiada tandingannya dalam dunia persilatan." Cu Jiang juga gembira sekali, serunya: "Ah, suhu terlalu menyanjung diriku." "Bukan menyanjung tetapi memang kenyataan," "Tetapi kesemuanya itu adalah berkat petunjuk suhu." "Nak," Gong-gong cu alihkan pembicaraan, "selama mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng itu, ilmu apa yang paling engkau senangi ?" "Ilmu pedang." "Coba engkau mainkan sebuah jurus untuk suhu." "Baiklah. Mohon suhu memberi petunjuk apa bila terdapat kesalahan." "Petunjuk" Ha, ha, ha, nak, hal itu takkan mungkin." Cu Jiang pusatkan semangat, kutungan pedangnya dilintangkan ke muka dada .... "Nak, dalam gudang kerajaan tak kurang senjata pusaka. Lain hari engkau boleh pilih sendiri mana yang engkau sukai .. . ." "Suhu," sahut Cu Jiang dengan nada sarat, "benda ini adalah peninggalan mendiang ayahku. Mohon suhu luluskan agar murid dapat menggunakan kutungan pedang ini sebagai senjata untuk selama-lamanya." Gong-gong-cu kerutkan dahi: "Pedang itu hanya tinggal separoh, apakah tidak mempengaruhi gerak ilmu pedangmu ?" "Selama ini murid berlatih dengan pedang kutung ini dan tak mengurangi keperbawaan ilmu pedang itu." "Ah, hal itu memang di luar dari kelaziman." Tiba2 saat itu seekor burung rajawali yang hanya hidup di daerah gunung es Jong-sa, terbang melayang di udara, melintas di atas kepala Cu Jiang. Serentak pemuda itu mendapat pikiran. Sekali ayun, pedang kutungpun meluncur ke udara. "Kaok ....!" terdengar bunyi seram dan burung yang terbang setinggi dua tombak itu segera menukik jatuh ke tanah salju. Tanah yang bertutup salju putih berhamburan dengan warna merah darah. Gong gong-cu tertegun lalu bertepuk tangan: "Oh, aku tahu. Engkau sudah memahami inti ilmu Kim-gi (hawa pedang) tingkat tinggi. Kuucapkan selamat kepadamu, nak!" Cu Jiang merah mukanya tak dapat menjawab. "Kelak akan kubuatkan sebuah kerangka untuk pedangmu itu." kata Gong-gong-cu pula. Setelah mencabut pedang kutung, Cu Jiang menghaturkan terima kasih kepada suhunya. Gong-gong-cu mengajaknya kembali ke gua. Setelah duduk, Cu Jiang menghaturkan kembali kitab Giok-kah kim keng itu kepada Gong gong-cu: "Murid menghaturkan kembali kitab pusaka kerajaan ini, mohon suhu menghaturkan kembali kepada Hong ya." Setelah menyambuti dan menyimpannya, Gong-gong-cu mengangguk kepala: "Baiklah. Sebenarnya aku memberimu waktu sampai tiga tahun. Sungguh tak kira kalau dalam waktu setahun lebih saja, engkau sudah menyelesaikan pelajaranmu." "Hatur beritahu kepada suhu, murid belum menyelesaikan semua pelajaran." "O, kenapa?" "Bagian terakhir dari kitab itu merupakan Bagian Tambahan yang memuat pelajaran Kim-kong sin-kang. Murid hanya menghafalkan uraiannya tetapi belum pernah berlatih." "Oh, Kim kong-sin-kang merupakan ilmu yang paling sakti dalam pelajaran silat. Mengapa engkau melepaskannya?" "Murid memperhitungkan, pelajaran itu tentu memakan waktu sampai tiga-lima tahun baru selesai ..." "Apakah engkau ingin lekas2 melaksanakan balas dendam?" "Benar, suhu. Murid tak berani membohongi suhu." "Mm, baiklah. Karena engkau sudah faham uraiannya, setiap ada kesempatan engkau harus melatihnya." Cu Jiang mengiakan. "Nak, dengarkan kata-kataku," ujar Gonggong cu, "selekas engkau turun gunung, beban tugas yang terletak pada bahumu, bukan main beratnya. Membasmi durjana memelihara jalan kebenaran, sekarang, besok dan selamalamanya. Walaupun kini engkau sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tetapi Jangan sekali-kali engkau lupakan. Kecerdasan dan keberanian harus saling mengisi. Dan yang penting, jangan engkau tinggalkan kehormatan sebagai seorang ksatrya yang berbudi luhur, jangan melakukan pembunuhan sewenang-wenang." "Murid berjanji akan melakukan semua nasehat suhu." "Karena harus menjaga keamanan kota raja, terpaksa aku tak dapat menemani engkau kembali ke Tionggoan. Tetapi akan kuperintahkan empat orang ko-jiu untuk mengikuti perjalananmu secara diam2 agar setiap saat yang diperlukan dapat membantumu ..." "Baik." "Sekarang kemasilah barang-barangmu dan mari kita turun gunung." "Murid tak punya barang2 yang perlu dikemasi kecuali pakaian yang murid pakai ini." "Pakailah kedok muka lagi nanti boleh engkau buka setelah berada dalam istana." Setelah memakai kedok muka, Cu Jiang lalu bersama Gong-gong-cu turun gunung. Lebih dari setahun melewatkan kehidupan terasing dalam gua. menimbulkan rasa berat hati Cu Jiang untuk meninggalkan tempat itu. Jika tiada berniat akan melaksanakan dendam darah keluarganya, ia merasa lebih senang tinggal di tempat yang terpencil dan terasing dari dunia luar situ. Menjelang sore, mereka tiba di wisma Tiau lim-kiong, Dalam setahun itu ternyata kedua bocah pelayan Gonggong-cu sudah besar. "Ai. sausu. telah membuat aku menderita sekali," seru Ing San ketika menyongsong. Teringat akan peristiwa meloloskan diri dengan membohongi bocah itu, diam2 Cu Jiang geli dan menyesal. "Apakah engkau masih membenci aku ?" "Ah. tidak... sausu, masakan aku berani." Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, Gonggong cu memerintahkan supaya menyiapkan perjamuan guna menyambut dan merayakan keberhasilan Cu Jiang. Yang menemani dalam perjamuan itu adalah keempat kojiu istana. Setelah memperkenalkan keempat ko jiu itu kepada Cu Jiang maka Gong-gong-cu mempersilahkan makan. "Kongcu tiba !" sekonyong-konyong si bocah Bok Cui berseru nyaring. Keempat ko-jiu serempak berbangkit. Walaupun ingat akan hinaan yang pernah diterimanya setahun yang lalu, tetapi demi penghormatan terpaksa Cu Jiang berdiri Juga. Hanya Gong-gong-cu yang tetap duduk. Sesaat kemudian muncullah kongcu dengan di iring empat orang dayang istana. Keempat ko-jiu maju menghaturkan hormat. "Ah. tak usah banyak peradatan. Silahkan duduk," kata kongcu. Juga Cu Jiang menghaturkan hormat. Kongcu tertawa dan berkata: "Tempo hari aku telah berlaku kurang tata sehingga menyinggung perasaanmu. Sekarang aku sengaja datang untuk menebus kesalahan itu." Merah muka Cu Jiang, katanya: "Ah, bagaimana aku berani berlaku kurang hormat. Harap kongcu jangan sungkan." Percakapan yang dilakukan secara begitu terbuka sudah tentu di Tionggoan takkan dapat dijumpai. "Apakah kongcu mempunyai selera untuk minum secawan arak?" "Kalau Nyo kongkong tak menganggap hal itu akan mengganggu acara, aku akan ikut duduk sebentar." "Baik, silahkan duduk disampingku," kata Gong-gong-cu lalu memerintahkan keempat dayang itu melayani kongcu. Setelah minta maaf keempat ko-jiu itupun duduk lagi. Karena kehadiran puteri itu, suasana pun menjadi resmi. Sambil mengangkat cawan arak, kongcu berkata kepada Cu Jiang: "Sausu kuhaturkan secawan arak kepadamu." Cu Jiang terkejut dan serempak berdiri: "Ah. mohon kongcu jangan menyebut begitu. Panggil namaku Cu Jiang saja . . ." "Aku Toan Swi Ci. Cu sausu silahkan minum !" Dengan kedua tangan Cu Jiang menyambut pemberian puteri dan meneguknya habis. Puteri itu pun juga meneguk secawan. Setelah itu baru Cu Jiang duduk lagi. Kongcu juga menghaturkan secawan arak kepada Gonggong cu seraya berkata: "Nyo kongkong, engkau tentu tak marah kalau tadi aku memberi arak kepada muridmu lebih dulu !" Gong-gong-cu tertawa terbahak: "Ah, tidak. Perjamuan ini memang ku peruntukkan dia." Keduanya masing2 meneguk secawan. Sebagai tanda penghormatan, keempat ko-Jiu itupun menghaturkan arak kehormatan kepada puteri. Beberapa saat kemudian tiba2 Khu Bun Ki, congkoan istana bergegas masuk kedalam ruangan. "Kok-su. Hong-ya menitahkan supaya menghadap." "Ada peristiwa apa ?" "Peristiwa besar yang gawat." "Baik," kata Gong-gong cu seraya berbangkit. Setelah sejenak memandang kepada kongcu maka congkoan itupun bersama Gong-gong- cu lalu melangkah keluar. Cu Jiang terkejut. Apakah yang terjadi dalam istana sehingga Hong-ya secara mendadak menitahkan Gonggong-cu menghadap " Diam2 Cu Jiang gelisah. Sepergi Gong gong cu, puteri Toan Swi Ci dengan mengulum senyum, berkata kepada Cu Jiang: "Kuhaturkan selamat atas keberhasilan Cu sausu mempelajari ilmu-silat yang sakti. Tetapi apakah Cu sausu tak berkeberatan untuk mempertunjukkan barang sejurus saja agar dapat menambah pengalaman kami?" Cu Jiang tahu bahwa di balik ucapan yang penuh rasa sungkan itu sebenarnya puteri hendak menitahkan dia mempertunjukkan kepandaian. Sejenak merenung, dia segera berbangkit. "Ah, titah kongcu benar2 membuat aku mengeluarkan keringat dingin." "Ah, sudahlah, jangan memakai kata2 yang merendah." "Baiklah, kongcu. Apakah kongcu meluluskan hamba menghaturkan secawan arak kehormatan ke hadapan kongcu?" "Arak" Ah, Tak usah...." "Kumohon kongcu sudi memberi muka kepada hamba untuk mempersembahkan arak." Cu Jiang terus mengambil cawan dan In Cuipun segera menuang arak sampai penuh. Dengan kedua tangan Cu Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jiang mengangkat cawan kemuka dan tahu2 cawan itupun pelahan-lahan melambung keatas dan melayang kearah kongcu. Keempat ko-jiu terbeliak dan melongo. Sedangkan putripun segera ulurkan tangan untuk menyambuti. Keempat pahlawan dari istana itu menyadari bahwa kepandaian yang diunjukkan Cu Jiang termasuk suatu ilmu tenaga-murni tingkat tinggi. Tidak sembarang orang persilatan yang mampu melakukan hal itu. Dengan begitu ilmu kepandaian Cu Jiang sekarang, jauh diatas keempat pahlawan istana atau ko-jiu itu. "Mohon maaf, hamba mempertunjukan kepandaian yang jelek dihadapan kongcu," seru Cu Jiang. Puteri pun menegak arak itu lalu dengan nada bergetar tegang berseru: "Sausu benar2 berhasil hebat !" Sekonyong-konyong seorang istana bergegas masuk dan menghadap puteri: "Mohon kongcu kembali ke istana!" Putri kerutkan dahi lalu berbangkit: "Ah. maaf tak dapat menemani." Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itu serempak berbangkit dan hendak mengantar. Tetapi puteri menolak dan suruh mereka tetap saja di ruangan melanjutkan makan. Setelah puteri melangkah keluar diiring keempat dayang maka Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itupun duduk kembali. Tetapi perasaan mereka tak tenang lagi. Mereka memandang pada diri puteri. Apakah yang terjadi di istana sehingga puteri di titahkan kembali " Setelah melanjutkan minum beberapa cawan arak yang "dingin", Gong gong cu lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kembali lagi dengan wajah sarat. Cu Jiang dan keempat pahlawan istana serempak menyambut. "Suhu, apakah yang telah terjadi di istana ?" "Raja Biau mengirim puteranya dengan diiring sepuluh pengawal yang sakti." "Oh apakah keperluannya 7" "Meminang." "Meminang?" ulang Cu Jiang terkejut. "Ya, meminang tuan puteri." "Aah..." desah Cu Jiang. "lalu bagaimana keputusan Hong ya ?" "Sudah tentu tak meloloskan." "Kalau begitu tolak saja." "Ah, tidak semudah itu." "Murid tak mengerti apa yang suhu maksudkan," kata Cu Jiang. "Menurut adat istiadat suku Biau. Kalau tak dapat mengikat hubungan keluarga, akan dianggap musuh!" "Musuh ?" "Ya," kata Gong-gong-cu, "mereka menganggap penolakan itu sebagai suatu hinaan besar. Mereka tak segan mengadakan pertumpahan darah dan menganggap sebagai musuh bebuyutan." "Seorang putera raja sebuah suku yang masih belum beradab berani meminang Kongcu. Sungguh tak tahu diri !" seru Cu Jiang. "Mungkin ada lain maksud yang tersembunyi." "O, mohon suhu suka menjelaskan." "Putera raja Biau itu bernama Kopuhoa, sikapnya congkak sekali. Bukan melainkan menimang kongcu, pun juga menuntut kitab pusaka Giok-kah-kim-keng sebagai emas kawin." "Gila !" teriak Cu Jiang. "Diantara barisan pengawalnya, terdapat enam orang suku Han. Menurut pengamatanku, keenam orang itu merupakan jago silat kelas satu." "Lalu bagaimana keputusan Hong-ya ?" "Hong-ya belum dapat memberi keputusan dan menitahkan aku menghadap dan mengusahakan siasat menghadapi mereka." "Maksud suhu bagaimana?" "Menolak berarti pertumpahan darah, tak ada lain penyelesaian lagi." "Penumpahan darah?" Cu Jiang menegas terkejut. "Benar, memang harus begitu. Tetapi sukarnya, selama ini Hong-ya selalu melarang untuk suatu pertumpahan darah." "Dimanakah rombongan tetamu itu ?" "Di Wisma Tamu Agung." "Hanya beberapa belas orang saja berani datang ke kerajaan tayli untuk meminang puteri dan menuntut kitab pusaka, Benar2 suatu perbuatan yang keliwat batas .. ." "Menurut penilaianku mereka tentu mempunyai rencana." "Lalu rencana suhu untuk menghadapi mereka ..." "Terpaksa menurut peraturan suku Biau, menerima tantangan mereka." "Menerima tantangan ?" "Ah, penumpahan darah kali ini memang sukar dihindari." Kemudian Gong gong cu berkata kepada keempat pahlawan itu.: "Karena anda berempat ini berasal dari Tionggoan, lebih baik malam ini jangan unjuk diri. Silahkan anda kembali ke tempat peristirahatan." Keempat pahlawan istana itu mengiakan memberi hormat lalu meninggalkan ruangan. Setelah itu Gong gong-cu berkata pula kepada Cu Jiang: "Bebanmu sangat berat. Saat ini belum saatnya untuk tampil. Pakailah kedok mukamu lagi. Hong-ya titahkan aku supaya mengangkat engkau sebagai Tin tian ciangkun . . ." Tin tian-ciang-kun artinya jenderal kota kerajaan. Cu Jiang terkejut. "Suhu, murid tak ingin menjadi menteri !" "Nak, pangkat itu tiada mempunyai ikatan terhadap dirimu. Yang penting, dalam menghadapi anak raja Biau itu, engkau tak boleh keluar tanpa gelar. Nanti engkau menghadap baginda dan lakukan apapun titahnya." Cu Jiang mengiakan. "Gantilah pakaian dulu. Semua telah tersedia dalam kamarmu." Pada saat Cu Jiang kembali ke kamarnya benar juga di situ telah tersedia seperangkat pakaian baju dan topi besi, sepasang sepatu dan sebatang kerangka pedang yang bertabur mutiara, memancarkan sinar yang kilau kemilau. Itulah kerangka pedang yang telah dijanjikan Gong-gong cu kepada Cu Jiang. Bocah Ing Sanpun masuk dan membantu Cu Jiang untuk mengenakan pakaian itu. Setelah selesai ia berkaca. Hampir saja ia tak mengenali dirinya lagi. Diam2 ia tertawa geli. Tak kira kalau dia bakal jadi seorang jenderal kerajaan. "Sausu, Kok-su menunggu!" seru Ing San. Cu Jiang segera melangkah keluar. Tiba di muka paseban, Gong gong cu sudah menyongsong dengan tertawa gelak2: "Nak, ah, sungguh gagah benar, mari kita ke wisma Seng-bu-tian!" Seng-bu-tian atau wisma Ketetapan-pangkat. Merupakan sebuah gedung mewah dengan enam belas pilar dari batu marmar yang amat besar dan kokoh. Di bawah sinar lampu yang terang, tampak penuh berjajar barisan wisu (pengawal utama). Di tengahnya terdapat meja panjang. Toan Hong-ya atau baginda Toan dari negeri Tayli duduk di tengah meja. Di sebelah kanannya, Gong-gong-cu yang berpangkat Kok-su (penasehat kerajaan.) di sebelah kirinya adalah Toan Swi Ci, puteri raja. Di belakang Hong-ya berdiri menteri urutan istana yakni Khu Bun Ki congkoan dan kepala bayangkara istana Ang Ban. Di samping jajaran tiang sebelah kanan, tampak seorang panglima yang mengenakan pakaian seragam besi. Dia adalah Tin tian-ciangkun Cu Jiang. Pada dua kotak di samping luar tiang pilar, adalah rak senjata. Delapan belas macam senjata berjajar-jajar dalam rak itu. Di muka wisma itu terdapat sebuah tanah lapang. Pada kedua samping lapangan itu, didirikan dua buah panggung datar yang berbentuk seperti sayap burung belibis. Di sebelah kiri, duduk para pegawai kerajaan bagian sipil maupun militer. Sedang di sebelah kanan, dideret depan dan di tengah2, tampak seorang pemuda yang mengenakan pakaian aneh. Di belakangnya dikawal oleh sepuluh orang. Yang empat orang busu (militer) berumur pertengahan abad. Sedang yang enam orang tua. Walaupun kesepuluh pengawal itu mengenakan pakaian suku Biau namun masih dapat dilihat bahwa empat dari keenam orang tua dan dua dari ke empat lelaki pertengahan umur itu, bukan orang Biau melainkan orang Han. Telinga mereka tidak pakai anting-anting seperti umumnya lelaki suka Biau. Suasana tanah lapang itu sunyi senyap tetapi tegang sekali. Seorang lelaki Biau tua, berdiri lalu dengan bahasa Han yang lancar, berseru: "Lohu adalah Beng Kiu, kepala dari Thian-ji-tong. Mendapat titah dari Lo-ong (raja) untuk mengiring siau ong ( raja muda ) Kopuhoa berkunjung ke mari untuk meminang. Sungguh suatu hinaan besar bagi suku kami bahwa peminangan kami itu telah ditolak. Lohu mewakili lo-ong untuk menantang adu kepandaian pada para pahlawan kerajaan ini dalam lima kali bertanding. Yang memenangkan tiga kali pertandingan, dianggap menang. Jika pihak kami yang beruntung menang, mohon supaya permintaan kami diluluskan semua." Habis berkata dia duduk kembali. Mendengar itu seluruh hulubalang dan perwira kerajaan Tayli serempak berobah air-mukanya. Mereka marah. Gong-gong cupun segera berdiri dan berseru dengan suara nyaring: "Aku, Tayli Koksu, atas nama baginda, menerima baik tantangan tetamu!" Seketika suasanapun tegang regang. Sesaat Gong gong-cu duduk kembali, Kopuhoa, putera kepala suku Biau segera apungkan tubuh melayang ke tengah gelanggang Dengan tertawa menyeringai, dia berseru: "Kudengar bahwa kongcu kerajaan Tayli itu seorang puteri yang ahli dalam ilmu sastera dan pandai dalam ilmu silat. Biarlah dalam pertandingan pertama ini kumohon supaya kongcu yang keluar untuk menyambut tantanganku." Seketika seluruh hadirin gemuruh. Toan Hong-ya kerutkan alis dan memandang dengan pandang meminta pendapat kepada Gong-gong-cu. Dengan berbisik-bisik Gong-gong cu menghaturkan pendapatnya. Toan Hong-ya tampak mengangguk angguk kemudian Gong gong cu bisiki puteri Toan Swi Gi. Setelah itu baru berseru nyaring: "Kongcu bertubuh lemah lembut dan berharga. Tetapi karena Ong cu ( pangeran ) mengajukan tuntutan begitu, sungkan untuk menolak. Baginda telah menurunkan titah, dalam pertandingan itu jangan menggunakan pedang atau tombak tetapi cukup dengan tangan kosong. Barang siapa terkena totokan, dia harus mengaku kalah. Entah bagaimana pendapat Ong-cu?" Wajah Kopuhoa berseri cerah. Tetapi karena mukanya penuh dengan gurat2 dan tato, maka tawanyapun bukan sedap dipandang melainkan menyeramkan hati. "Baik, aku setuju !" serunya. "Bertanding dengan cara bagaimana?" "Gulat !" Sudah tentu kata2 itu diluar dugaan orang. Gulat memang menjadi ciri permainan khusus dari suku Biau. Dalam adu gulat itu tentu orang harus bergumul, mencengkram, berpelukan dan lain2 gerak yang merapat. Dengan mengusulkan cara begitu, jelas anak raja Suku Biau itu tentu mngandung tujuan yang buruk. Belum orang habis dilanda kejut, tiba2 terdengar Gong gong-cu berseru lebih menggemparkan. "Tantangan itu diterima. Tetapi terbatas hanya dalam sepuluh jurus." Kopuhoa gembira sekali. Dia menyurut ke belakang tiga langkah dan mulai pasang kuda-kuda. Gong-gongcu memberi isyarat anggukan kepala dan berbangkit dan menuruni titian masuk ke lapangan. Walaupun tak mengerti ilmu gulat tetapi Cu Jiang dapat menduga bahwa adu permainan itu tentu akan saling mencengkram dan banting membanting. Dalam hal ini, berpakaian ringkas akan lebih leluasa geraknya. Padahal puteri mengenakan celana panjang dan baju Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo semacam jubah yang menjulur sampai ke lutut. Bukankah hal itu akan menghambat gerakannya " Dia cemas tetapi kemudian dia teringat akan Gong-gong cu. Ia percaya penuh dan mengagumi kecerdasan gurunya itu. Jika Gong-gong-cu mengijinkan puteri maju ke medan, tentu dia sudah mempunyai rencana memenangkan pertandingan itu. Menghadapi Kopuhoa yang bertubuh tinggi besar, puteri bersikap tenang sekali. Seolah tiada terjadi suatu apa. Adalah anak raja suku Biau itu sendiri yang tampak kelabakan. Betapa tidak. Berhadapan dengan seorang puteri yang secantik bidadari, semangat Kopuhoa seperti terbang melayanglayang. Kini semua perhatian tertumpah ruah kearah lapangan. Jika puteri sampai kalah atau sampai dibuat malu oleh Kopuhoa, Kerajaan Tayli akan menderita hinaan besar. Dengan mengangkat kedua tangan memberi hormat seperti lazimnya orang Tionggoan, Kopuhoa berseru: "Sungguh suatu peristiwa yang paling bahagia dalam hidupku bahwa saat ini aku mendapat kesempatan untuk melihat wajah tuan putri." "Ah, jangan memuji." Toan Swi Ci tertawa. "Walaupun rakyatku tinggal di daerah yang terpencil tetapi kemewahan dan kebesaran istana kami, tak kalah dengan negeri tuan puteri. Dan aku adalah putera pewaris raja ... ." Toan Swi Ci mengangkat tangan dan menukas: "Saat ini kita sedang adu pertandingan. Jangan membicarakan soal2 lain" Muka putera raja Biau itu makin hitam lalu berkata dengan sinis: "Kalau aku yang menang, apakah tuan puteri takkan mencari alasan lain . .." "Sekarang masih terlalu pagi untuk mengatakan hal itu!" "Hm, silahkan bergerak dulu!" "Ong-Cu seorang tetamu, silahkan turun tangan dulu !" "Jika begitu, maaf!" Dalam gaya macan lapar, Kopuhoa terus menerkam Toan Swi Ci. Gaya gerakannya aneh sekali. Berbeda dengan ilmu silat di Tionggoan. Sekalian orang menahan napas. Kalau puteri yang bertubuh lemah gemulai itu sampai kena terdekap, ah .... Sekalian orang tak tahu bagaimana puteri bergerak. Yang mereka lihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 Kopuhoa sudah menubruk angin karena puteri sudah pindah ke lain tempat. Tetapi Kopuhoa tidak berhenti sampai disitu saja. Berturut-turut dia menerkam sampai tiga kali tetapi tiada yang kena. Bahkan ujung pakaian puteri saja dia tak mampu menyentuh. Rombongan jago2 yang mengiring Kopuhoa, serempak berobah cahaya mukanya. Sepintas memandang tahulah Cu Jiang bahwa puteri sedang menggunakan gerak langkah ajaran Gong-gong-cu. Diam2 Cu Jiang menghela napas longgar. Ilmu ciptaan Gong-gong cu itu memang luar biasa sekali. Tak ubah seperti gerak bayangan setan. Walaupun tak dapat mengalahkan musuh tetapi jangan harap musuh mampu mengalahkannya. Karena malu akhirnya marahlah Kopuhoa. Wajahnya yang hitam tampak makin hitam sehingga menyeramkan sekali. "Hai, ilmu apakah yang seperti gerak setan itu ?" teriaknya kalap. "Ah, hanya permainan anak kecil saja." sahut puteri dengan lenggang. "Apakah ini sudah dianggap bertanding?" "Mengapa tidak dianggap ?" "Tetapi tuan puteri selalu menghindar saja." "Apakah hal itu melanggar peraturan pertandingan" Sudah tiga jurus, silahkan melanjutkan lagi! " Geraham Kopuhoa tampak bergemerutukan karena menahan kemarahan. Dia mulai menyerang lagi, makin dahsyat dan keras. Tetapi gerak tubuh puteri luar biasa sekali, cepat dan aneh. "Berhenti! Sudah sepuluh jurus" Tiba2 karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Cu Jiang berteriak. Kopuhoa-pun terpaksa hentikan serangannya. "Maaf." seru puteri. Tiba2 Kopuhoa mencabut goloknya. Melihat para jago2 Tayli yang berjajar di muka wisma serempak merabah senjatanya. Seketika suasana tegang sekali. Pertumpahan darah tak dapat dihindari lagi. Melihat itu Beng Kiu, kepala daerah gunung Thian ji tong segera berseru: "Ong-cu, pertandingan baru berjalan satu kali. Kita harus melaksanakan menurut rencana!" Toan Swi Ci tertawa dingin lalu melangkah ke luar gelanggang, kembali ke dalam wisma lagi. Rupanya Kopuhoa tak dapat menahan perangainya yang kasar. Sambil membolang-balingkan golok, dia berseru menggeledek: "Untuk pertandingan kedua, tetap aku yang akan maju!" Melihat itu Toan Hong-ya kerutkan dahi lalu berpaling kepada Gong-gong-cu yang berada di sampingnya: "Koksu, terserah kepadamu untuk menyelesaikan mereka !" Gong-gong cu berdiri lalu memberi hormat kepada raja setelah itu dia duduk lagi. Sejenak memandang ke segenap penjuru, tiba2 dia berseru: "Li ciangkun. harap tampil ke gelanggang!" Seorang lelaki berjubah Imam segera maju ke tengah gelanggang. Setelah menghadap baginda dan memberi hormat kepada baginda diapun terus memberi hormat juga kepada Gonggong cu. Setelah itu baru menghadapi Kopuhoa dan pelahan-lahan mencabut pedang. "Silahkan Ongcu menentukan bagaimana cara pertandingan ini harus dilakukan?" "Jika ada salah seorang yang rubuh baru pertandingan itu berhenti! " seru Kopuhoa dengan geram. "Silahkan!" seru ciangkun atau hulubalang yang bernama Li Kong Hi itu. Tanpa banyak bicara lagi Kopuhoa terus menyerang. Cepat sekali kedua jago itu terlibat dalam serang menyerang yang seru dan dahsyat. Keduanya sama2 bertubuh tinggi besar dan tenaga kuat. Mereka berimbang kekuatannya. Dalam beberapa kejab saja sudah melangsungkan tujuh sampai delapan jurus. Tampak Kopuhoa kalap sekali cara bertempurnya. Dia menyerang dengan jurus2 yang dahsyat dan adu jiwa. Sama sekali dia tak menghiraukan pertahanan. Setelah mencapai jurus yang ke lima puluh, tampak Li ciangkun sudah mulai lelah. Tetapi pertandingan itu tak dapat dihentikan sebelum ada salah satu yang rubuh. Atau ada yang mau mengaku kalah. Tampak Gong-gong-cu kerutkan dahi. Jelas dia gelisah. "Hai! Huak..." Terdengar suara bentakan disusul oleh jeritan tertahan. Li ciangkun terhuyung mundur beberapa lagi. Bluk, dia jatuh tak dapat bangun lagi. Dadanya sebelah kanan memancarkan darah. Kopuhoa tertawa gelak2: "Ha, ha, dua kali pertandingan ini, anggap saja serie!" Dua orang busu segera turun ke gelanggang untuk mengangkut hulubalang Li. Kesempatan itupun digunakan Beng Kiu untuk mempersilahkan Kopuhoa mundur: "Harap Ong-cu beristirahat. Pertandingan ke tiga biarlah Auyang huhwat yang melakukan!" Kopuhoa menurut dan kembali ke tempat duduknya. Empat orang Han yang berpakaian seperti suku Biau serempak berbangkit. Dan entah dengan gerak apa, tahu2 sudah melayang ke tengah gelanggang. Dari gerak itu saja dapatlah diketahui bahwa mereka tentu jago yang berisi. Salah seorang yang tua, memberi hormat ke arah Gong gong cu: "Hamba Auyang Jong-san, huhwat dari istana raja Biau, akan menyambut pertandingan yang ketiga ini!" "Koksu, dia tentu sakti sekali," bisik Toan Hong-ya kepada Gong gong-cu. Gong gong cu mengangguk, kemudian memberi perintah: "Ang wi tiang, silahkan ke luar!" Ang Ban, kepala prajurit bhayangkara keraton segera mengiakan dan turun ke gelanggang. Setelah saling berhadapan, berkatalah Auyang Jong san dengan nada yang tajam: "Anda hendak memakai senjata apa ?" "Dan anda sendiri ?" "Sepasang daging tangan." "Akupun akan melayani dengan sepasang tangan juga." "Silahkan." "Silahkan." Sejenak saling membidik pandang Auyang Jong-san menggembor keras dan terus menghantam. Ang Ban menangkisnya Rupanya keduanya hendak saling mengukur kekuatan tenaga lawan. Bum! Terdengar letupan keras dan angin berhamburan menderu sehingga lampu2 obor bergoncang2. Sungguh suatu adu pukulan yang dahsyat sekali. Auyang Jong san masih tetap tegak ditempat sedangkan Ang Bau tersurut mundur dua langkah. "Ah, kali ini akan kalah lagi," diam2 Cu Jiang mengeluh. Tetapi pada saat itu Auyang Jong sanpun sudah menggembor keras dan menyerang Ang Ban. Jurus yang digunakan aneh sekali. Selama menyerang belum habis sejurus sudah berganti lain jurus lagi. Baru setengah jalan Ang Ban menyambut, dia sudah mengerang dan muntah darah. Tubuhnya terhuyunghuyung. Auyang Jong-san tak memberi ampun lagi. Maju ke muka ia menghantam kepala Ang Ban sekeras-kerasnya. "Hai!" terdengar teriak kejut dari empat penjuru. "Jangan melukai orang." Tiba2 terdengar bentakan menggeledek dan tahu2 di tengah gelanggang telah bertambah seorang yang sudah menyambar tubuh Ang Ban. Bagaimana dia loncat ke tengah gelanggang dan menarik tubuh Ang Ban, tiada seorangpun yang melihat jelas. Auyang Jong-san terkejut dan mundur tiga langkah lalu membentak: "Anda telah merusak peraturan pertandingan!" "Adu kepandaian bukan bertujuan membunuh. Li ciangsuu tadi sudah menderita luka. Jika anda hendak melukai orang lagi berarti menghina rakyat Tayli! " seru orang itu. "Anda siapa?" "Tin-tian ciangkun!" "Bagus, pertandingan keempat akulah yang maju!" "Aku bersedia melayani." "Dengan senjata apa?" "Cukup tangan kosong." "Bagus! Jika kali ini aku menang, pihak kami telah menang tiga kali dan kalah satu kali. Dengan demikian jelas kemenangan tentu ditangan kami." "Ah, mungkin anda akan kecewa!" "Hm, kenyataan akan berbicara, mulailah! " "Tunggu, aku hendak menyatakan sesuatu . .." "Silahkan." "Dalam gebrak pertama, anda harus mengerahkan seluruh tenaga!" "Lho, kenapa?" "Karena anda bakal tak punya kesempatan untuk menyerang lagi." Ucapan dari Tian-tian ciangkun Cu Jiang yang begitu congkak, membuat wajah Auyang Jong-san merah padam, rambut menjingkrak dan mata melotot. "Auyang huhwat, bertempur sampai mati baru berhenti!" tiba2 Kopuhoa berseru marah. "Hm, apakah ciangkun sudah mendengar perintah Ongcu kami?" Auyang Jong-san berseru mengejek. "Sudah, mengapa?" "Berani menerima?" "Hong ya tak meluluskan pembunuhan!" tiba2 Gonggong-cu berteriak. Kopuhoa tertawa keras: "Memangnya Hong ya seorang junjungan yang penuh kasih sayang atau karena . . . ." "Jangan kurang ajar! " bentak Cu Jiang. "Engkau berani menghina Ong cu kami !" Kopuhoa balas membentak. Melihat ketegangan itu, buru2 Beng Kiu mencegah. "Ongcu sukalah memikirkan kepentingan besar. Kita datang kamar hendak meminang." Kemudian dia berseru nyaring: "Menurut tata peraturan, setiap penantang berhak untuk menentukan cara pertandingan." Mendengar itu Gong gong-cu segera menghaturkan laporan kepada Hong-ya: "Hong ya, agaknya pertumpahan darah tak dapat dihindari lagi." Toan Hong-ya gelengkan kepala dan menghela napas, Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tak berkata apa2. "Tin-tian ciangkun, silahkan engkau menentukan keputusan sendiri." Cu Jiang memberi hormat kearah Gong-gong-cu lalu menghadap musuh dan berseru dengan nada dingin: "Harap anda pertimbangkan lagi, karena anda bakal tiada kesempatan menyerang lagi." "Engkau tak berani menerima tantanganku tadi." "Rasanya anda ini orang persilatan dari Tionggoan. Aku tak sampai hati melihat mayatmu dibuang ke bawah gunung." Auyang Jong - san terkesiap. Matanya berkilat2 memancarkan sinar pembunuhan. "Saat ini kita sedang adu kepandaian. Kesudahannya akan menyangkut hubungan kedua belah pihak. Entah menjadi kawan atau lawan. Dan akulah sebagai pihak yang menantang." Sejenak merenung, akhirnya Cu Jiang menjawab: "Baiklah, aku menerima tantanganmu untuk bertempur sampai mati!" Mendengar itu suasana berubah tegang sekali. Sekalian orang, terutama rombongan pihak Tayli berdebar-debar. Auyang Jong-san segera silangkan kedua tangannya lalu pelahan-lahan dijulurkan lurus ke muka dada. Sepasang telapak tangannya berwarna hitam. Jelas dia memiliki ilmu tangan beracun yang ganas. Sudah tentu sekalian menteri hulubalang Tayli was-was akan keselamatan jenderal baru yang baru saja dilantik itu. Yang membuat pihak Tayli tegang dan cemas ialah apabila pertandingan itu dimenangkan pihak tetamu lagi, jelas puteri Toan Swi Ci akan diperisteri Kopuhoa. Tampak Cu Jiang tegak berdiri bagaikan gunung karang. Diam2 dia telah menyalurkan tenaga-murni untuk melindungi seluruh tubuhnya. Tiba2 saja Toan Hong-ya berpaling: "Kok-su, adakah dia dapat diandalkan?" "Jika tidak, Jelas waktu setahun itu akan sia-sia belaka !" sahut Gong gong-cu. "Kok-su, pertandingan itu menyangkut kepentingan negara..." "Harap Hong-ya suka lepaskan pikiran, tentu takkan mengecewakan!" Puteri Toan Swi Ci Juga gelisah. Bahkan paling gelisah sendiri. Karena pertempuran itu menyangkut nasib dirinya. Jika kalah, jelas dia tentu akan menjadi isteri Kopuhoa yang memuakkan itu. Saat itu ditengah gelanggang, Cu Jiang dan Auyang Jong-san saling berhadapan. Selurun perhatian orang tertumpah ruah pada kedua orang itu. Keduanya sama2 berdiri tegak mengambil sikap dan bersiap-siap menyalurkan seluruh tenaga murni. Siapa yang lengah atau lemah, tentu akan lenyap jiwanya. Suasana hening lelap Maut mulai bertebaran "Hait...!!" sekonyong-konyong Auyang Jongsan berteriak keras dan kedua tangannya yang berwarna hitam itupun segera menghantam. "Bum ... bum..." =00o-d^w-o00= Jilid 11 Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan sakti saling beradu. Cu Jiang tergetar. Dia tidak menghindar, juga tidak balas menyerang. Sedangkan wajah Auyang Jong-san tampak ngeri dan ketakutan. Dia mundur selangkah demi selangkah. Mungkin, baru pertama kali itu dia berjumpa dengan seorang manusia yang mampu menerima pukulan yang disertai dengan seluruh tenaganya. Auyang Jong-san mundur, mundur dan mundur lagi sehingga dia sudah mundur sampai delapan langkah. Cu Jiang cepat melesat kehadapannya dan berseru dingin: "Dengan sejujurnya kuberitahu kepadamu, bahwa engkau pasti mati hari ini !" Wajah Auyang Jong-san mengerut dalam, keringat bercucuran membasahi kepala. Dia tak mundur lagi. Segenap jago2 pengiring putera raja Biau serempak berdiri dengan mulut terlongong-longong. Dendam dan kebencian Cu Jiang yang terpendam selama ini, tercurah dalam pandang matanya yang berapi api menyeramkan. Seolah-olah dia hendak menelan orang itu. Gong-gong-cu cepat berteriak nyaring: "Tin tian ciangkun, kalau lawan sudah mengaku kalah, terimalah saja." Cu Jiang teringat bahwa raja Tayli itu tak menyukai pembunuhan. Dia pun teringat bahwa kepandaiannya berasal dari budi yang dilimpahkan baginda dengan mengijinkan dia mempelajari kitab pusaka Giok kah kimkeng. Dia menyadari bahwa baik-baik kalau dia mengumbar nafsu kemauannya sendiri. Setelah menekan perasaannya, berserulah dia dengan nada sarat: "Apakah engkau sudah menyerah ?" "Tidak!" teriak Auyang Jong san lalu tiba-tiba menyerang. Memukul dengan tangan kiri, menutuk dengan jari tangan kanan lalu menendang ke jalan darah Gi-hay pada perut orang. Tiga buah gerakan itu dilancarkan secara tak terduga duga, cepat dan serempak. Tetapi diluar dugaan Cu Jiangpun bergerak luar biasa cepatnya Secepat tubuh berkisar, tangan menghantam dan huak . . . terdengar jeritan ngeri. Auyang Jongsan muntah darah, terhuyung-huyung sampai tiga langkah dan terus jatuh terduduk. Para pembesar sipil dan militer kerajaan Tayli yang duduk pada panggung sebelah itu, tak ingat lagi kalau baginda berada disitu. Mereka serempak bersorak sorai menyambut kemenangan Cu Jiang itu dengan kegembiraan yang meluap luap. Anak rombongan Biau terkejut sekali. Untuk membunuh lawan, Cu Jiang hanya seperti menampar nyamuk saja. Tetapi dia tak mau membunuhnya, melainkan hanya berseru: "Demi menjunjung titah Hong ya yang penuh welas asih, kuampuni jiwamu!" habis berkata dia terus mundur ke tengah gelanggang. "Tunggu!" tiba2 terdengar sebuah suara yang seram, disusul dengan sesosok tubuh yang muncul di tengah gelanggang. Sekalian orang terkesiap. Gerakan orang itu masuk ke tengah gelanggang sungguh hebat sekali. Hampir mereka tak dapat melihatnya. Bahkan mereka mengira kalau orang itu memang sebelumnya sudah berada di tengah gelanggang. Cu Jiang hentikan langkah, berputar tubuh. Dilihatnya pendatang itu adalah salah seorang pengiring Kopuhoa, orang Han yang berpakaian seperti suku Biau. "Anda bermaksud bagaimana?" tegur Cu Jiang. "Menantang!" "Kali ini merupakan pertandingan yang terakhir." "Tahu!" "Ada syaratnya?" "Bertempur dengan pedang." "Baik. Siapakah nama anda?" "Kepala huhwat istana Biau, Ih bun Ih Hiong." "Rupanya anda mempunyai keistimewaan dalam ilmu pedang." "Tak perlu engkau tanyakan." Tiba2 Cu Jiang teringat. Apabila kali ini dia menggunakan kutungan pedang, kelak tentu akan menimbulkan kesulitan apabila dia muncul di Tionggoan. Hal itu tentu akan menyangkut kerajaan Tay-li. Iapun memutuskan untuk memakai pedang lain maka dia berseru kepada rombongan perwira yang berjaga di depan meja supaya membawakan pedang. Seorang perwira segara mengambil sebatang pedang ceng-kong-kiam dari rak senjata dan di serahkan ke Cu Jiang Rupanya Gong-gong-cu tahu kandungan hati Cu Jiang. Diam2 ia mengangguk. Kepala huhwat dari istana Biau, Ih bun Ih Hiong pelahan-lahan mulai melolos pedangnya. Di tingkah sinar obor, batang pedang itu berkilat-kilat memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Jelas bahwa pedangnya itu tentu sebuah pusaka. Dan ketika ia getarkan ujung pedang maka ujung pedang itupun menjulur panjang beberapa jari. Setelah saling mengucap sepatah kata untuk mempersilahkan maka kedua jago itupun segera saling berhadapan. Keduanya melakukan kuda2 pembukaan yang aneh. Beda dengan kuda2 ilmu pedang biasa. Namun mereka belum segera mulai bertempur melainkan saling beradu tatap pandang. Tajam dan penuh dengan sinar pembunuhan. Sedetik, semenit... berjalan merayapi ketetapan suasana. Tiada seorang pun yang mengedipkan mata. Pelahan lahan ujung hidung Ih hun Ih Hiong mengucurkan keringat. Beberapa tokoh ahli pedang, berturut-turut berdiri. Mereka tak kuat menahan ketegangan hatinya. Mereka tahu bahwa sekali bergerak, keduanya tentu akan menghadapi kekalahan atau kemenangan. Memang sikap dari kedua jago itu, berbeda dengan pertempuran jago pedang yang kebanyakan. Tetapi mereka tak tahu apa sebenarnya yang sedang dilakukan Cu Jiang. Sikap yang diambil Cu Jiang untuk menghadapi lawan itu sebenarnya hanya untuk mengetahui bagaimana serangan yang akan dibuka lawan. Ia baru akan menunggu lawan menyerang lebih dulu baru akan mendahului untuk mematikannya. Tampak para jago2 pengawal Kopuhoa pun berturutturut berdiri. Merekapun tegang sekali. Dari acara pertandingan yang akan dilangsungkan lima kali, kedua belah pihak sama2 membagi angka. Dalam empat kali pertandingan, mereka kalah dua kali dan menang dua kali. Jadi seri. Pertandingan saat itu merupakan pertandingan kelima atau yang terakhir. Itulah sebabnya kedua belah pihak amat tegang sekali. Beberapa saat kemudian tampak tubuh Ih-bun It Hiong gemetar. Hal itu menandakan bahwa dia tak kuat bertahan lagi. Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Cu Jiang dapat turun tangan. Lawan sudah goyang konsentrasi semangatnya. Tetapi Cu Jiang tak mau. Dia tetap diam tak bergerak. Orang dan pedang seperti bersatu. Dalam pandangan ahli pedang, keadaan itu merupakan ilmu pedang yang telah mencapai tataran tertinggi. Dapat membunuh lawan tanpa terasa. Kopuhoa mulai mengucurkan keringat. Wajahnya yang hitam makin menyeramkan. Sementara Toan Hong-ya berbisik kepada Gonggong cu: "Kok-su, tak kira anak itu memperoleh hasil yang sedemikian hebat!" "Hong-ya, mungkin tidak hanya sampai di situ saja, " sahut Gong-gong cu. "Nyo kongkong, sesungguhnya berapa tinggikah kepandaian dari sausu itu ?" tanya Puteri Toan Swi Ci. Gong- gong cu tertawa: "Sukar dikata. Cukup dikatakan bahwa dia sukar dicari tandingannya !" "Jika begitu bukankah dia merupakan jago nomor satu dalam dunia?" "Ilmu silat itu tiada batasnya. Tak ada yang disebut nomor satu. Hanya ada tinggi dan rendah saja." "Bagaimana kalau dibanding dengan Nyo kongkong ?" "Aku terpaut jauh sekali dengan dia !" "Aneh, besar2 aneh. Murid lebih sakti dari guru." Murid dan guru hanya soal nama saja." "Nyo kongkong, lihatlah.... dia tetap belum turun tangan!" Memang Cu Jiang bahkan menyimpan pedangnya dan berkata: "Hong-ya tak memperkenankan darah menumpah!" Habis berkata dia terus melangkah, berhenti serentak memberi hormat kearah tempat duduk baginda kemudian baru kembali ketempat duduknya semula. Wajah Kopuhoa dan sekalian jago2 pengiringnya berobah, tak sedap dipandang. Dan saat itu Gong gong Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cupun berbangkit. "Pertandingan adu kepandaian ini, telah berakhir. Pihak Tayli beruntung dapat menangkan sebuah pertandingan. Urusan peminangan, menurut peraturan sudah bebas. Sekarang kami persilahkan para tetamu yang terhormat supaya beristirahat ke Wisma Tamu Agung lagi..." Dengan napas memburu keras, Kopuhoa berseru: "Tak lama kami akan datang kembali untuk mohon pelajaran. sekarang kami hendak mohon diri." Beng Kiu yang mengepalai rombongan pengiringpun menyatakan mohon diri kepada tuan rumah. Diam2 Cu Jiang geli dalam hati. Dia tak mengerti adat istiadat suku yang tinggal di daerah selatan itu. "Walaupun kami mengecewakan harapan, tetapi kami takkan mengecewakan peraturan. Atas nama Hong-ya, kami mengucapkan selamat jalan kepada rombongan tamu agung!" seru Gong-gong cu dengan nyaring sebagai pengantar dan kepergian rombongan Kopuhoa. Setelah itu dia mohon petunjuk baginda dan raja pun memberi isyarat agar upacara pertandingan itu dibubarkan. Sesaat Gong-gong cu mengumumkan bahwa acara telah selesai dan dibubarkan maka seluruh pegawai sipil dan militer kerajaan Tayli serempak berdiri memberi hormat. Dengan diiring puteri, bagindapun tinggalkan tempat itu. Sorak sorai bergemuruh gegap gempita dari sekalian menteri dan rakyat Tayli menyambut kemenangan Cu Jiang. Cu Jiang membalas hormat kepada mereka. Dua butir airmata haru dan gembira menitik keluar dari pelupuk Cu Jiang. Dia merasakan saat itu suatu saat yang mempunyai kebahagian tersendiri. Gong-gong cu mengajak Cu Jiang pulang ke wisma Tiautim-tian, Ing San dan Bok Cui menyiapkan hidangan. "Nak, kuhaturkan secawan arak kehormatan atas kemenanganmu!" seru Gong gong cu. "Ah bagaimana murid berani menerimanya " Selayaknya muridlah yang harus menghaturkan arak kehormatan sebagai tanda terima kasih atas budi suhu." seru Cu Jiang. Gong gong-cu tertawa. "Ha, ha, ha, sudahlah, jangan peduli siapa yang harus menghaturkan arak kehormatan, yang penting mari kita meneguknya." Cu Jiang terpaksa menyambuti dan setelah meneguk habis diapun menghaturkan secawan arak kepada Gonggong-cu. "Nak, Hong-ya sangat menaruh kepercayaan kepadamu, Engkau diharapkan dapat menyelesaikan tugas besar, melenyapkan gerombolan Sip-pat-thian-mo yang ganas itu !" "Murid berjanji akan melaksanakan titah Hong ya dengan sekuat tenaga." "Kuharap dalam waktu tak lama lagi, aku dapat menyiapkan perjamuan untuk memberi arak kehormatan kepadamu lagi." "Terima kasih suhu." "Apakah engkau ingin bertamasya melihat-lihat tempat2 indah dalam negeri Tayli sini ?" Sejenak merenung Cu Jiang mengatakan bahwa dia ingin selekasnya kembali ke Tionggoan. Kelak kalau tugasnya sudah selesai, ia tentu akan melihat2 tempat2 indah di negeri Tayli itu. Gong-gong cu tak mau memaksa. "Suhu, kapankah murid dapat berangkat ?" "Bagaimana kalau lusa saja ?" Cu Jiang mengiakan. Demikian setelah beristirahat sehari pada hari kedua Cu Jiangpun segera tinggalkan kota Tayli. Dengan mengenakan pakaian seperti seorang pelajar dan muka tertutup, dia berjalan pelahan-lahan. Hampir setahun lamanya Cu Jiang pergi dari daerah Tionggoan selama itu banyak sekali terjadi perobahan. Dan beberapa kaum persilatan yang dijumpai dalam perjalanan, Cu Jiang banyak mendengar cerita2 tentang dunia persilatan yang mengejutkan. Perkumpulan agama Thong-thian-kau berdiri di kota Khay-hong. Siapa ketuanya tiada diketahui orang. Perkumpulan itu mempunyai delapan buah cabang yang tersebar di beberapa tempat. Pengaruhnya amat besar. Kecuali Siau-lim-pay, Bu-tong, Kay-pang dan Hek-poh atau Gedung Hitam, semua partai2 dan perhimpunan silat kecil2 telah ditelan dan dilebur ke dalam Thian tong kau itu. Tetapi Cu Jiang tak tertarik akan partai baru itu. Dia tetap mencurahkan perhatian pada musuh utamanya yakni gerombolan kedelapan belas durjana yang disebut Sip-patthian mo itu. Setiap detik, menit dan jam, hatinya selalu tersikut oleh dendam kesumat terhadap kawanan durjana itu. Darahnya bergolak keras ketika teringat akan peristiwa yang lalu yang menyebabkan kedua orang tuanya mati dan yang membuat dirinya sekarang menjadi pemuda cacad dan bermuka buruk. Kini hutang itu harus di impas. Setelah memasuki daerah Kwitang dia terus menuju ke Sujwan. Rencananya dari Sujwan terus akan menuju ke gunung Keng san tempat markas Gedung Hitam. Ia belum tahu apakah ketua dari Gedung Hitam itu terlibat juga dalam peristiwa berdarah, masih harus diselidiki. Tetapi tentang dendam dengan Go-leng cu dan Thian-hiancu memang sudah jelas. Terhadap gerombolan durjana Sip pat-thian-mo, harus mencari kesempatan untuk menemui mereka. Untuk itu harus menggunakan siasat memikat perhatian mereka. Hari itu dia tiba di kota Keng-ciu wilayah Sujwan. Saat itu hari sudah menjelang petang. Seperti beberapa hari yang lalu, dia membeli saja makanan dan minuman botolan, lalu mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat. Dia tak mau masuk kota melainkan melingkar memutari kota itu untuk mencari tempat yang sepi. Tak berapa lama, dia melihat sebuah biara. Dengan langkah yang terpincangpincang dia menghampiri biara itu. Ketika tiba di muka biara itu, pada papan nama di atau pintu terpampang tiga buah huruf besar: Bu Hou Si atau tempat pemujaan panglima perang. Biara itu sunyi senyap tiada bekas dupa sembahyangan. Rupanya sebuah tempat pemujaan yang tak pernah dikunjungi orang lagi. Hal itu mencocoki selera Cu Jiang. Dia memang hendak mencari tempat yang sepi dan tenang. Setelah masuk dia terus duduk bersila dan membuka bungkusan makanan. Selesai makan hari pun sudah malam, suasana amat sunyi. Dalam biara yang sebesar itu ternyata tiada berpenghuni sama sekali. Cu Jiang mulai mencurahkan pikirannya untuk merenungkan ilmu pelajaran Kim-kong-sin kang yang belum difahaminya itu. Entah berapa lama, ketika rembulan berada di tengah, tiba2 terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan masuk. Masakan tengah malam buta seperti saat itu, muncul seorang pendatang. Siapa mereka" Dua sosok bayangan melesat ke dalam ruang. Yang di depan seorang baju hitam setengah tua. Yang di belakangnya seorang bun-su ( orang terpelajar ), juga setengah tua. Cu Jiang tak asing lagi dengan bun su itu. Siapa lagi kalau bukan Ho Bun Cai, congkoan atau pengurus Gedung Hitam. Seketika teringatlah Cu Jiang akan peristiwa yang lampau. Ho Bun Cai giat menyelidiki jejak pemuda pelajar baju putih ( Cu Jiang sendiri kala masih belum rusak mukanya ) Sebagai seorang congkoan Gedung Hitam tetapi ternyata Ho Bun Cai itu itu malah membunuh beberapa jago Gedung Hitam sendiri. Pernah membantunya lolos dan penjara neraka Gedung Hitam. Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa ia masih berhutang setitik budi kepadanya. Mengapa congkoan itu tiba2 muncul di biara situ" Siapakah sebenarnya orang itu" Agar tak dipergoki mereka, Cu Jiang kerahkan tenaga sakti. Tanpa berkisar dari posisi duduknya, tubuhnya melayang ke belakang sebuah tiang yang besarnya sepemeluk lengan orang. Tepat pada saat itu kedua orang itupun muncul di tengah ruang. "Di sini saja kita selesaikan," tiba2 orang baju hitam itu berseru dingin. Ho Bun Cai tertawa hambar: "Tio Pit Bu, mengapa engkau tetap ngotot demikian rupa?" Pengawal Hitam yang bernama Tio Pit Bu itu tertawa dingin: "Ho Bun Cai, urusan ini harus diselesaikan. Kalau tidak bagaimana dapat mengubur agar arwah suhu mengasuh dengan tenang di alam baka ..." "Kalau menurut umur, aku lebih tua dua tahun dari engkau, " seru Ho Bun Cai dengan nada serius, "layaknya kusebut engkau sebagai hian-te. Pada masa itu guruku dan gurumu merupakan sepasang sahabat yang karib . . ." "Tutup mulutmu! Kalau memang karib hubungannya mengapa tak mau memberi kelonggaran pada orang?" "Hiante, ucapanmu itu mengandung prasangka . . . . " "Prasangka " Adalah karena hal itu maka mendiang suhuku sampai binasa. Pada saat menutup mata masih tetap tak melupakan jurus ilmu pedang yang menyebabkan dia mendendam kebencian !" "Hiante, sebenarnya kedua orang tua itu tidak bermusuhan, hanya .... hanya . . .." "Hanya bagaimana ?" "Gurumu itu berwatak agak mau menang sendiri." "Ngaco! Gurumulah yang hendak membuktikan bahwa dirinya adalah jago pedang nomor satu didunia ini sehingga dia tak mau mempedulikan sahabat lagi." "Hiante, Jurus ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang guruku sendiri. Pada waktu mereka mengadu kepandaian tujuannya tak lain hanya saling menguji dan mempelajari kelemahan masing2 ..." "Ah, tak perlu menguraikan peristiwa yang telah lalu. Perhitungan yang oleh angkatan terdahulu belum selesai, kita sebagai angkatan sekarang harus menyelesaikannya. Marilah kita buktikan, apakah Jurus ilmu pedang ciptaan gurumu itu benar2 merupakan ilmu pedang yang tiada tandingannya dalam dunia ini!" "Ah, siapapun yang menang atau kalah, engkau atau aku, lantas bagaimana ?" "Jika aku sampai kalah," seru Tio Pit Bo dengan nada tergetar, "aku akan bunuh diri." Seketika wajah Ho Bun Cai berobah: "Ah, janganlah hiante begitu serius. Kedua beliau sudah menutup mata, kita sebagai angkatan sekarang masakan hendak mengikuti jejak mereka?" "Lebih dari sepuluh tahun aku membenam diri dari dunia ramai, perlunya hanya untuk menunggu saat seperti sekarang ini !" "Hiante menganggap hal itu sebagai suatu dendam permusuhan ?" "Permusuhan sih bukan tetapi hanya dendam saja." "Tetapi aku sudah bersumpah takkan menggunakan jurus ilmu pedang itu lagi." "Apakah dengan alasan itu engkau hendak menjaga gengsi ?" "Tidak hiante, apa yang kukatakan itu memang sesungguhnya." "Keputusanku sudah mantap, tak mungkin di robah lagi." Sudah tentu Cu Jiang tak mengerti apa yang mereka percakapkan itu. Tetapi ia hanya menduga bahwa urusan itu menyangkut pertengkaran yang terjadi pada guru mereka. Memang rata2 kaum persilatan mempunyai watak begitu, menganggap "nama baik" itu lebih berharga dari Jiwa. "Hiante, apakah sudah engkau pikirkan akibatnya ?" seru Ho Bun Cai pula. "Akibat yang bagaimana?" "Demi menjaga agar nama baik mendiang guruku tak sampai terhina, terpaksa aku harus mainkan jurus itu dengan sepenuh tenaga." "Justeru itulah yang kukehendaki !" "Tetapi begitu dimainkan. Jurus ilmu pedang itu tentu melukai orang..." "Juga ilmu pedangku nanti." "Untuk apakah kita akan bertempur ini ?" "Demi menumpahkan ganjalan hati" "Tetapi aku tak mau menggunakan jurus itu." "Engkau harus!" "Kalau tidak ?" "Akan segera kusiarkan kepada dunia persilatan bahwa ilmu pedang gurumu itu ternyata bukan Ilmu pedang yang menjagoi kolong langit!" "Kalau begitu, silahkan hiante menyiarkan!" "Ilmu pedang ajaran suhu dikala beliau hendak menutup mata, tak dapat disiarkan ke dunia persilatan bersama dengan jurus ilmu pedang gurumu itu." "Apa maksudmu ?" "Malam ini marilah kita sama2 menguji mana yang lebih sakti." "Adu Jiwa?" "Mati hidup tergantung dari kepandaian yang didapat masing2. Jangan mengaitkan dengan kata adu Jiwa." Sebagai putera dari Kiam-seng (Nabi pedang) sudah tentu Cu Jiang tertarik sekali. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Rupanya yang dipertengkarkan kedua orang itu mengenai sebuah jurus ilmu pedang yang tiada tandingannya. Apakah didunia ini benar2 terdapat ilmu pedang yang tiada lawannya" Jika begitu ilmu pedang Thian te-kiamhoat atau Langit bumi-saling-terangkap yang dipelajarinya dari kitab Giokkan-kim- keng itu termasuk ilmu pedang tingkat bagaimana" Ah, lebih baik ia melihat saja ilmu pedang apa yang akan dipertunjukkan kedua orang itu. "Aku tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang Itu," seru Ho Bun Cai. "Takut ?" "Bukan begitu." "Suatu pengakuan tak berani?" "Juga bukan." "Hm, kalau begitu harus dibuktikan." Dalam berkata itu, Tio Pit Bupun sudah mencabut pedang dan mengambil sikap dalam gaya yang aneh sekali. Sekali dipandang tampaknya rapat sekali dan sukar diserang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, masih ada beberapa bagian kelemahannya. Ho Bun Cai tiba2 mundur selangkah dan berseru dingin: "Maaf, tak dapat melayani!" "Tidak ! Loloslah pedangmu !" "Tidak !" "Sungguh tak mau ?" "Tidak !" "Penakut, engkau mencemarkan nama baik gurumu." Wajah Ho Bun Cai menampil kerut kedukaan tetapi sepasang matanya berapi-api. Tetapi hanya sekejap terus padam lagi. Dengan mengerenyit geraham dia berkata. "Hiante. aku tetap tak mau mencabut pedang." "Engkau tak mau menjaga diri ?" "Apakah hiante hendak membunuh orang yang tak melawan ?" "Mungkin ! Aku mungkin .... melakukan hal itu," seru Tio Pit Bu dengan nada tinggi dan geram. Diam2 Cu Jiang heran mengapa Ho Bun Cai menolak untuk adu kepandaian dengan orang itu. Memang tindakan itu dapat digolongkan pengecut, suatu perbuatan menghina perguruan sendiri. Jelas dia tahu bahwa Ho Bun Cai itu bukan penakut tetapi mengapa dia bersikap seaneh itu " Apakah karena dia tahu tak dapat menang " Ataukah karena mempunyai alasan lain " "Cabut pedangmu !" kembali Tio Pit Bu berteriak. "Tidak!" Ho Bun Cai tetap menolak. Ujung pedang Tio Pit Bu bergetar perlahan, sekali menyambar tentulah dada Ho Bun Cai akan tembus. "Kubilang cabutlah pedangmu dan jaga dirimu dari seranganku. Ho Bun Cai, engkau adalah murid pewaris dari jago pedang nomor satu di dunia !" "Siapa bilang " Dalam dunia persilatan siapa yang tahu?" "Aku yang tahu, itu sudah cukup !" "Ah, hiaute, kita berdua bertempur adu jiwa, engkau yang menang atau aku menang, tiada orang yang menjadi saksi . .. ." "Bagaimana kalau aku yang menjadi saksi ?" tiba2 sebuah suara parau berkumandang dari ujung sudut ruangan dan menyusul sesosok bayangan melesat ke tengah ruang dalam gerak yang seringan daun kering gugur. Kini di tengah ruangan bertambah dengan seorang tua berambut putih bertubuh kurus kering. Cu Jiang terkejut. Dia tak menyangka bahwa diruang itu masih terdapat seorang lain lagi. Menilik gerakannya, jelas orang tua berambut putih itu bukan seorang tokoh yang lemah. Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berpaling. "Apakah anda ini bukan Thian put-thou Ciok Siau Ji?" seru Ho Bun Cai seraya kerutkan dahi. Melangkah dan berhenti lebih kurang setombak jauhnya, orang tua berambut putih itu tertawa gelak-gelak. "Benar, memang aku inilah orangnya!" Cu Jiang terkejut lagi. Dia tak kira kalau orang tua berambut putih dan bertubuh kurus kering, ternyata raja pencuri yang termasyhur dalam dunia persilatan. Kepandaiannya mencuri memang hebat sekali sehingga orang persilatan menggelarinya dengan julukan Thian-putthoo atau Hanya-langit-yang-dia tak-mampu-mencuri. Semua benda apapun dalam dunia dia sanggup mengambil kecuali langit. Sejak pertama-tama keluar mengembara kedunia persilatan, waktu tiba didaerah Kanglam, Cu Jiang pernah mendengar nama orang itu. Sungguh tak kira bahwa malam itu dia bakal bertemu dengan manusianya. Menurut cerita orang persilatan Thian-put-thou itu berwatak aneh, ilmu kepandaiannya tinggi, suka usil mencampuri urusan orang. Sekali dia menggoda, orang tentu akan kewalahan, Tak peduli benda apa saja, asal dia melihat dan senang, tentu takkan berhenti berusaha mengambilnya sebelum dapat. Pendek kata, kecuali langit, dia akan mencuri segala apa dalam dunia ini. Tetapi ada suatu keganjilan pada diri pencuri itu. Walaupun dia digelari sebagai pencuri sakti tetapi dalam soal kebaikan dan kepahlawanan, namanya tak kalah dengan Bu-lim-seng-hud Sebun Ong. Tio Pit Bu segara memberi hormat kepada Thian-putthou, serunya: "Sungguh kebetulan sekali Ciok cianpwe hadir, mohon suka menjadi saksi dalam pertandingan kami ini." Thian-put-thou tertawa gelak2: "Kalian berebut soal kebesaran nama?" "Ya." "Tujuannya hanya hendak membuktikan siapa sebenarnya yang paling unggul ilmu pedangnya ?" "Ya." "Jika demikian sebutkanlah nama perguruan kalian !" "Maaf, aku tak dapat memberitahukan nama suhuku," seru Ho Bun Cai. Tetapi Tio Pit Bu cepat merebut pembicaraan dengan berseru: "Mendiang guruku adalah Hui-kong kiam Go Siok Ping!" Mendengar itu Cu Jiang terkejut sekali, Hui-kong-kiam Go Siok Ping termasuk salah seorang jago pedang kelas satu dalam dunia persilatan. Semasa hidupnya, ayah Cu Jiang sering membicarakan tokoh itu sebagai seorang manusia yang berdada sempit dan pikiran cupet. Hal itu merupakan pantangan dalam pelajaran ilmu pedang. Kalau tidak. Go Siok Ping pasti memperoleh kemajuan ilmu pedang yang tiada taranya. Thian- put thou mengangguk lalu memandang Ho Bun Cai. serunya: "Kutahu siapa gurumu, tak usah engkau katakan!" "Terima kasih atas kepercayaan locianpwe," seru Ho Bun Cai dengan wajah cerah. Tetapi diam2 Cu Jiang kecewa. Sebagai putera seorang tokoh yang digelari sebagai Nabi-pedang ternyata dia tak banyak mengetahui nama tokoh ilmu pedang dalam dunia persilatan. "Ho heng. apakah kita dapat mulai?" seru Tio Pit Bu yang menyala-nyala nafsunya. Ho Bun Cai gelengkan kepala: "Telah kukatakan, aku tak mau menggunakannya." "Tidak beralasan sama sekali!" "Mengapa hiante tak dapat memaafkan orang." "Aku hanya ingin adu ilmu pedang, aku hanya ingin membuktikan, lain2 hal aku tak peduli!" seru Tio Pit Bu dengan nada keras. "Maaf, aku tak dapat melayani," Ho Bun Cai tetap pada pendiriannya. Tio Pit Bu hilang kesabarannya. Gentar pedang dia berteriak dengan marah: "Engkau harus turun tangan!" "Tidak!" "Takut kubunuh?" "Silahkan turun tangan!" "Ho Bun Cai, engkau kira aku tak berani?" "Kalau berani, langsungkanlah!" Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih, serunya: "Menurut pendapatku orang tua ini, sudahlah." "Tidak bisa sudah begini saja," teriak Tio Pit Bu dengan nada gemetar, "aku Tio Pit Bu kalau pulang tak membawa kemenangan, lebih baik kuserahkan jiwaku di tempat ini. Jika Ciok locianpwe tak suka menjadi saksi, silahkan menonton di pinggir saja. Dia, jika tak mau menangkis seranganku, bukan salahku!" Thian put-thou tertawa gelak2: "Tunggu dulu! Yang berada di tempat ini, bukan hanya aku seorang." "Hai ...." Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berseru kaget. Mereka tak mengira bahwa dalam ruang itu masih terdapat seorang lagi. Juga tak terperikan kejut Cu Jiang. Karena menyadari jejaknya telah diketahui si pencuri sakti, akhirnya ia memutuskan untuk unjuk diri. "Sahabat, silahkan ke luar!" belum ia melaksanakan keputusannya, si raja pencuri sudah berseru ke arahnya. Cu Jiang segera berdiri lalu melangkah keluar, menghampiri ke tempat mereka. Dia berhenti tiga empat langkah dari mereka. "Aku baru pertama kali ini mengembara ke luar, tak kenal dengan siapa saja! " serunya. "Kalau begitu, silahkan sahabat tinggalkan tempat ini," seru Tio Pit Bu. "Kenapa?" "Menurut tata peraturan dunia persilatan, suatu pantangan apabila orang mencuri dengar percakapan orang. Apalagi saat ini kami sedang membicarakan urusan pribadi Tidak mengharap orang luar ikut campur dan mendengarkan." Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang. Jika ia bertindak, sekaligus ia akan memperoleh tiga keuntungan. Pertama, rupanya Ho Bun Cai menyimpan sesuatu rahasia, karenanya tak mau bertempur. Dia merasa berhutang setitik budi dari Ho Bun Cai, biarlah dia yang mewakili Ho Bun Cai untuk menyelesaikan urusan itu. Kedua, diapun mendapat kesempatan untuk menguji sampai dimana tingkat ilmu pedang yang dipelajari selama ini. Dan ketiga, apabila dapat menundukkan lawan, tentu akan cepat tersiar ke dunia persilatan. Dengan begitu tentulah akan menarik perhatian dari orang2 yang justeru hendak dicarinya itu. Setelah mantap dengan rencananya, Cu Jiang menjawab tegas: "Aku yang lebih dulu datang ke sini. Dan kalian datang belakangan. Menurut peraturan, kalianlah, yang seharusnya pindah ke lain tempat." "Apakah sahabat tahu tata peraturan?" "Tentu." "Kalau begitu silahkan pergi." "Telah kukatakan, kalau pergi seharusnya kalian yang pergi. " "O, apakah sahabat memang hendak ikut campur dalam urusan ini?" "Kalau memang perlu begitu." Tiba2 mata Ho Bun Cai tertumbuk pada pedang yang tergantung pada pinggang Cu Jiang. Seketika wajahnya berobah dan berseru dengan nada tergetar: "Sahabat engkau . . . pedangmu . . .." "Kenapa?" Cu Jiang juga terkejut. "Kumaksudkan .... pedang dalam kerangka itu . . . . " "Sudah tentu pedang tersimpan dalam kerangkanya!" Beberapa jenak Ho Bun Cai memandang Cu Jiang kemudian berkata pula dengan nada gemetar: "Kerangka pedang sahabat ini tentu bukan kerangka yang aseli." Kali ini Cu Jiang terbeliak kaget. Rupanya orang2 persilatan paham akan pedang pusaka yang digunakan mendiang ayahnya. Namun ia beralih tanya tak acuh: "Apa maksud kata2 anda itu?" "Aku faham sekali akan pedang itu, tetapi belum pernah melihat kerangkanya semacam itu." "Aneh benar anda ini." "Siapakah nama sahabat?" Cepat Cu Jiang mendapat pikiran, dengan tegas dia menyahut: "Toan- kiam Jan-jin" "Apa" Sahabat bernama Toan-kiam Jan-jin?" Ho Bun Cai menegas. Toan kiam artinya pedang kutung. Jan-jin artinya orang cacad. Orang cacad bersenjata pedang kutung. "Pedang itu . . ." "Bu-te-toan kiam, minumannya hanya darah bangsa iblis durjana!" kata Cu jiang. Bu te-toan-kiam artinya pedang Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kutung-tanpa-lawan. Cu Jiang hanya mengangguk tak menjawab. Tio Pit Bu memandang Ho Bun Cai dan berseru: "Engkau dengar, bukan " Pedang tanpa tanding ?" "Ya, dengar. Bagaimana ?" "Tak ada komentar." Tio Pit Bu mendengus dingin lalu berpaling lagi kepada Cu Jiang : "Aku merasa gembira jika sahabat suka memberi pelajaran ilmu Pedang-tanpa-tanding itu." "Suatu tantangan ?" "Boleh dianggap begitu!" "Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi anda pasti tak mampu menahan sejurus saja." Seketika berubahlah wajah Tio Pit Bu. "Engkau sungguh besar mulut!" serunya marah. "Memang begitu kenyataannya," Cu Jiang tetap menyahut dengan nada dingin. "Kalau begitu mari kita buktikan !" "Boleh," Cu Jiang terus memandang Thian-put thou dan berseru: "Harap cianpwe menjadi saksi !" Raja pencuri itu hanya mengangguk. Saat itu sikap Tio Pit Bu berobah sembilan puluh derajat. Jika tadi dia tenang2, kini dia tampak serius sekali. Diam2 Cu Jiang memuji dalam hati. Memang begitulah layaknya sikap seorang jago pedang yang berkepandaian tinggi. "Silahkan!" ia berseru. "Mengapa anda tak mencabut pedang?" Tio Pit Bu menegur. "Silahkan anda menyerang dulu, begitu kucabut pedang tentu anda kalah !" Ucapan itu benar2 menggelitik hati orang. Tetapi ternyata Tio Pit Bu tak kena diprovokasi. Ia segera mengambil sikap dan pusatkan perhatian. Cu Jiangpun terpaksa tak berani mengabaikan. Dia juga pasang kudakuda. Keduanya mengambil sikap yang hebat. Pertempuran itu pasti akan dahsyat. Suasana makin tegang. Ho Bun Cai dan Thian-put-thou juga ikut tegang pula sebagai seorang tokoh silat, keduanya terasa bahwa pelajar yang mengenakan kerudung muka ini memang tidak bermulut besar. Kenyataannya memang seorang ahli ilmu pedang yang sukar diketahui tingkat kepandaiannya. Dahi Tio Pit Bu mulai mengucur keringat. Berhadapan mengadu sikap itu jauh lebih menekan perasaan dan lebih berbahaya daripada bertempur dengan pedang. Tiba2 sebuah gemboran teras memecahkan ketegangan dan menyusul terdengar dering nyaring dari dua buah senjata yang beradu keras. Tetapi cepat sekali sinar pedang yang berhamburan itu lenyap lagi. "Ah," beberapa saat kemudian terdengar Ho Bun Cai mendesah kejut. Sementara Thian-put-thoupun menyeloteh seorang diri: "Malang melintang delapan belas tahun, baru malam ini mataku terbuka. " Cu Jiang menyarungkan pula pedangnya ke dalam kerangka. Tiba2 terdengar Tio Pit Bu melengking geram dan putus asa: "Ah, sudahlah." dia terus menusuk tenggorokannya sendiri. "Jangan!" secepat kilat Thian put-thou melesat dan mencengkeram tangan Tio Pit Bu. "Ah, mengapa anda hendak berbuat begitu" Apakah anda tak memiliki sedikit kesabaran saja" Dalam dunia ini tiada yang disebut ilmu pedang tanpa tanding. Tidak ada yang dikata pedang nomor satu. Yang kuat masih ada yang lebih kuat. Apa perlunya anda berebut soal nama kosong" " kata Cu Jiang. Tio Pit Bu menghela napas panjang, kemudian mulut mengigau: "Toan-kiam Jan-jin! Toan-kiam Jan-jin !" Sesaat Thian-put-thou lepaskan cengkeramannya, Tio Pit Bo terus lari keluar dan tetap berteriak . "Toan-kiam Jan jin. . ." "Ah, dia sesungguhnya seorang jago pedang ternama, sayang .. . ," baru Ho Bun Cai berkata begitu, Thian-put thou sudah menyanggupi. "Sayang bertemu dengan sahabat ini !" Kemudian dengan tersendat-sendat, Ho Bun Cai berkata kepada Cu Jiang: "Sahabat, dapatkah .... aku mohon keterangan tentang asal usul pedang kutung anda itu ?" "Aku akan menjawab segala pertanyaan apapun kecuali soal itu," sahut Cu Jiang. Ho Bun Cai terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi. Tiba2 Cu Jiang melihat bahwa jari kiri si Raja pencuri hanya tinggal tiga buah. Jari telunjuk dan jari tengahnya hilang Serentak dia teringat akan penemuannya dua buah jari tangan ditempat kedua ayah bundanya terbunuh dahulu. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dipandangnya Thian-put-thou dengan pandang mencekam. Rupanya tahu juga orang tua berambut putih yang bergelar Thian-put-thou itu. "Sahabat, mengapa engkau memandang diriku begitu rupa ?" "Tangan kirimu !" "Tangan kiriku mengapa ?" "Mengapa jarinya kurang dua buah ?" Seketika wajah Thian put-thou berobah geram. Urat2 dahinyapun meregang-regang dan berat, barulah dia berkata dengan nada getar: "Apakah maksudmu ?" "Aku ingin tahu !" "Apakah engkau hendak cari-cari?" "Terserah, pasti aku minta supaya engkau memberi keterangan !" Thian-put-thou tak dapat menahan kemarahannya lagi: "Hak apa engkau hendak menanyakan soal itu ?" "Kurasa aku memang mempunyai kepentingan untuk mengetahui." sahut Cu Jiang dengan dingin. "Sudah berpuluh tahun aku malang melintang di dunia persilatan, belum pernah ada orang yang berani memperlakukan aku begitu liar . . ." "Anggaplah malam ini sebagai suatu pengecualian !" "Menyelidiki urusan peribadi orang, merupakan pantangan dalam dunia persilatan . ." "Kalau melakukan tindakan yang terang dan benar, kenapa tetap takut diketahui orang?" "Dalam hal apa aku bertindak tak terang?" "Aku hanya minta agar anda suka menuturkan tentang hilangnya kedua jari anda itu." "Kalau aku tak mau ?" "Mungkin anda tak dapat menolak !" "Apa engkau hendak menumpahkan darah !" "Mungkin." Karena marahnya tubuh Thian put-thou sampai menggigil. Tetapi berhadapan dengan seorang jago pedang yang misterius seperti yang dihadapinya saat itu, dia tak dapat berbuat apa2. Mungkin, saat itu merupakan saat yang paling menyiksa hatinnya selama hidup ini. Dan merupakan adegan yang paling menekan jiwanya. "Ah, tentulah ada sebabnya mengapa sahabat begitu mendesak hendak mengetahui hal itu !" tiba2 Ho Bun Cai ikut bicara lagi. Sejenak melirik kepadanya. Cu Jiang menyahut: "Tentu, kalau tidak masakan aku hendak mencari perkara!" "Menurut pengetahuan, empat puluh tahun yang lampau, di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh sakti yang jarang mendapat lawan. Dia bernama Nabi pedang-berjari-tujuh !" "Nabi-pedang-Jari-tujuh ?" "Benar. Dan Nabi pedang - jari - tujuh pada empat puluh tahun yang lalu itu adalah Thian-put-thou Ciok cianpwe saat ini!" "Apakah peristiwa itu terjadi pada empat puluh tahun yang lalu?" "Benar." "Sungguh ?" "Sungguh ! Yang kenal akan nama Nabi-pedang-jari tujuh bukan hanya aku seorang !" Cu Jiang memandang Thian-put-thou, ujarnya : "Benarkah begitu ?" "Benar," sahut Thian-put-thou. Tiba2 Cu Jiang mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Ah. aku salah faham, harap dimaafkan." "Tak apa," Thian-put-thou tertawa menyeringai. Cu Jiang kembali berpaling memandang Ho Bun Cai hendak berkata tetapi tiba2 tak jadi. Dia berputar tubuh terus melangkah keluar. Dingin, misterius dan nyentrik sekali sikapnya saat itu. "Tunggu dulu !" tiba2 Thian put-thou berseru. Cu Jiang berputar tubuh tetapi tak berkata apa2. Thianput-thou maju menghampiri. "Engkau benar2 memiliki perbawa seorang bu-su (ksatrya). Kalau tak kukatakan isi hatiku, rasanya masih mengganjal. Lima puluh tahun yang lalu, aku mengandalkan sebatang pedang malang melintang di daerah Kanglam Kang-pak. Itu waktu aku masih muda dan menganggap diriku yang paling sakti. Tetapi dalam sebuah pertempuran hebat, aku telah kehilangan dua buah jari. Sejak itu aku digelari orang sebagai Jit-ci seng-kiam atau Nabi-pedang jari-tujuh. Kecewa dengan kekalahan itu, aku mengasingkan diri dan beralih selama lima tahun, kemudian keluar lagi untuk mencari musuh itu. Secara kebetulan, akupun dapat bertemu dan melangsungkan pertempuran. Aku beruntung menang dan menjadikan dia cacad Waktu kutanya asal usul dirinya, kejutku bukan alang kepalang. Ternyata dia adalah kakak kandungku sendiri yang sejak kecil sudah berpisah dengan aku. Serentak kupatahkan pedang dan bersumpah. Sejak saat itu aku tak mau menggunakan pedang lagi. Demikianlah sekelumit kisah hidupku!" "Oh, kiranya begitu. Maafkan kalau tanpa sengaja aku telah mengungkit lagi peristiwa yang menusuk perasaan locianpwe." Cu Jiang dengan lapang dada meminta maaf. "Tetapi engkohku sudah meninggal, dan tak lama akupun tentu akan mati. Tak ada sesuatu yang harus dipedihkan lagi, "kata Thiau-put-thou. "Aku mohon diri!" Cu Jiang memberi hormat lalu lanjutkan langkah. "Ahli pedang seperti dia, dalam seratus tahun sukar ditemui," Thian-put-thou mengigau seorang diri. Sambil memandang bayangan Cu Jiang, Ho Bun Caipun berkata: "Seorang yang cacad tubuhnya ternyata mampu memiliki kepandaian sesakti itu ...." "Itu yang dikatakan, jangan pandang orangnya tetapi kepandaian." sambut Thian-put thou. "Cianpwe kaya akan pengalaman dan luas pandangan. Dapatkah cianpwe memberitahu, apakah sumber ilmu pedang orang itu?" tanya Ho Bun Cai. "Sedikitpun aku tak mengetahui?" "Mungkinkah dia seorang jago pedang dari seberang lautan?" "Sukar diduga." Dalam pada itu Cu Jiangpun sudah jauh dari biara. Rembulan sudah pudar dan angin segar mulai berhembus. Saat itu menjelang pagi. Dari pertandingan tadi, dia mulai menaruh kepercayaan pada ilmu pedang yang dimilikinya. Apabila ajaran ilmu pedang It-kiam-tui-hun dari mendiang ayahnya, ia mainkan dengan tenaga sakti yang dimilikinya sekarang, tentu perbawanya hebat sekali. Tak mungkin lemah lagi. Rasanya dalam dunia persilatan dewasa itu, jarang sekali jago silat yang mampu menerima serangan dengan ilmu pedang itu. Mendiang ayahnya telah digelari sebagai Kiam-seng ibu Nabi pedang. Tentulah gelar itu bukan didapat dengan siasia. Tetapi ilmu pedang ayahnya apabila dibanding dengan ilmu pedang Thian-te-kiau-thay, ah, masih kalah tinggi. Hal itu menandakan bahwa ilmu silat itu benar2 tiada batasnya. Tak lama hari pun pagi, Kota Kengciu sudah tertinggal jauh di belakang. Tiba2 ia tersentak oleh sebuah pemandangan yang mengerikan di sebelah muka. Di tengah jalan terdapat sebelas tubuh manusia yang terkapar malang melintang. Mereka berpakaian warna hitam. Empat orang diantaranya memakai mantel hitam. Cu Jiang tak ragu lagi. Kesebelas mayat itu tentulah anak buah Gedung Hitam. Mayat2 itu keadaannya mengerikan sekali. Jelas bahwa pembunuhnya telah melampiaskan dendam kebencian yang meluap-luap. Terutama keempat Pengawal Hitam itu, tubuhnya penuh berhias tusukan pedang. Rupanya sebelum Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mati mereka telah melakukan pertempuran dahsyat. Tetapi siapakah gerangan yang berani bermusuhan dengan Gedung Hitam" Yang dapat membunuh Pengawal Hitam tentulah tokoh yang sakti. Tetapi apakah pembunuh itu hanya seorang atau beberapa orang" Karena tiada hubungan dengan kepentingannya, Cu Jiangpun tak mau menyelidiki lebih lanjut Ia terus berjalan. Tetapi baru setengah li jauhnya, kembali dia berhadapan dengan pemandangan yang ngeri lagi. Kali ini lima sosok mayat malang melintang di tengah jalan jalan. Empat di antaranya berpakaian ringkas warna kuning dan seorang mengenakan jubah kuning. Kepala mereka hancur, benaknya berhamburan ke luar. Apakah artinya itu" Apakah dalam dunia persilatan muncul pula seorang momok yang ganas" Dan siapakah mayat-mayat berpakaian kuning itu " Di kala Cu Jiang sedang menimang-nimang peristiwa aneh itu, tiba2 tiga sosok bayangan berlarian mendatangi. Ketika dekat, ternyata mereka berpakaian baju kuning semua. Seorang mengenakan jubah panjang dan yang dua berpakaian ringkas seperti umumnya kaum persilatan. Mereka itu jelas sekaum dengan korban2 baju kuning yang terkapar di tengah jalan. "Hai!" Terdengar teriakan kaget dan ketiga orang baju kuning itupun serempak berhenti. Orang berjubah kuning itu seorang lelaki tua, matanya tajam, hidung seperti paruh burung elang. Dengan wajah sarat dan mata berapi memandang Cu Jiang. "Sahabat, engkau terlalu ganas.!" serunya. "Aku hanya kebetulan jalan di tempat ini," sahut Cu Jiang. "Sudah membunuh orang masih tak berani mengaku?" "Gila!" "Sebutkan namamu!" Tetapi Cu Jiang tak peduli. Setelah mendengus dia terus ayunkan langkah. "Berhenti!" teriak orang tua jubah kuning itu seraya menghadang jalan. Sementara kedua lelaki muda yang lain terus mencabut pedang dan mencegat di kanan kiri Cu Jiang. "Apakah artinya ini" " seru Cu Jiang. "Hutang jiwa bayar jiwa!" lelaki tua itu tertawa seram. Cu Jiang tertawa mengkal tetapi dia masih dapat menguasai diri, serunya: "Sudah kukatakan dengan sejujurnya, aku hanya kebetulan lalu di tempat ini." "Beritahukan namamu!" "Tak perlu." "Minta mati, ya" " "Engkau tak layak mengatakan begitu." "Jangan menutup muka pura2 jadi orang baik. Tahukah engkau aku ini siapa?" "Siapa" " "Kepala barisan keamanan dari perkumpulan Thong thian-kau cabang Siok-ciu." Cu Jiang terkesiap. Sepanjang berita yang didengarnya sepanjang perjalanan, partai yang baru muncul ialah Thong thian-kau, makin berkembang dan makin mendesak pengaruh Gedung Hitam. Tak kira kalau kawanan orang baju kuning itu ternyata anak buah mereka. "Aku tiada mempunyai kepentingan suatu apa dengan partai kalian," seru Cu Jiang dengan nada dingin. "O. kalau begitu jelas engkau memang cari mati." "Kentut !" "Bunuh!" Serta mulut berteriak, serempak kedua lelaki muda baju kuning itu pun membacok Cu Jiang. Cu Jiang mengisar tubuh dan menggunakan gerak langkah Gong-gong-poh-hwat ajaran Gong-gong-cu. Dengan lincah, dia menghindari serangan pedang. Tetapi diam2 ia terkejut Juga. Ternyata jurus ilmu pedang kedua orang itu, cukup unggul. Lebih unggul dari kepandaian Pengawal Hitam. Dapat digolongkan sebagai jago kelas satu dalam dunia persilatan. Ketiga orang baju kuning itu tertegun. "Jangan memaksa aku membunuh orang!" teriak Cu Jiang memberi peringatan. Tetapi kedua lelaki muda baju kuning itu rupanya penasaran. Dengan mendengus geram, mereka menyerang lagi, makin ganas. Setelah lolos dari serangan maut, mata Cu liang berapiapi memancarkan hawa pembunuhan. "Apa kalian benar-2 ingin mati?" serunya. "Ha, dengan mengandalkan ilmu meloloskan diri seperti setan itu, engkau hendak menggertak kami?" orang tua baju kuning menyeringai. Kedua lelaki muda baju kuning mulai menyerang lagi. "Haahh, bum. ..." terdengar jeritan ngeri dan kedua lelaki baju kuning itupun rubuh ke tanah. Sementara tahu2 tangan Cu Jiang sudah mencekal pedang kutung yang memancar sinar darah. Orang tua baju kuning mundur beberapa langkah. Wajahnya berubah pucat dan ketakutan. Rupanya dia tak tahu cara bagaimana tadi Cu Jiang mencabut pedang dan membunuh kedua kawannya. Pelahan-lahan Cu Jiang masukkan pedang kutungnya kedalam kerangka dan dengan tegas menyebut dirinya: "Toan-kiam-jan-jin !" Tetapi lelaki tua baju kuning itu sudah pecah nyalinya. Tanpa berkata apa2, dia terus lari. Dengan menyebut nama itu, Cu Jiang bermaksud hendak memperdengarkan diri agar kawanan durjana yang menjadi musuh2 keluarganya itu muncul mencarinya. "Ho, sahabat, ilmu pedangmu sungguh membuat hatiku pecah !" sekonyong-konyong terdengar gema nyaring dan dari dalam hutan ditepi jalan muncul seorang lelaki tua mengenakan jubah berwarna kuning emas. Dia bukan lain adalah Sebun Ong, yang bergelar Bu limseng hud atau Budha-hidup dunia-persilatan. "Bagus," diam2 Cu Jiang bersorak girang dalam hati. "Bukankah anda ini yang bernama Buddha hidup Sebun Ong ?" serunya. Orang itu tertawa gelak2. "Ho, kiranya engkau juga tahu namaku ?" "Ya, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu muka .. .." "Ah, Jangan merendah diri !" "Tetapi memang benar aku hendak mencari anda." Serentak Sebun Ong hentikan tawa dan berseru kaget: "Engkau hendak mencari aku?" "Benar." "Keperluan ?" "Menolongi seorang sahabat untuk membereskan suatu hutang lama dengan engkau !" "Menagih hutang ?" "Hm," "Sepanjang hidup, Jarang sekali aku meminjam kepada orang. Siapakah kiranya sahabatmu itu?" "Anda tentu tak asing lagi dengan orang itu. Dia adalah Pendekar-besar dari Tionggoan yang bernama Cukat Giok!" Seketika cahaya muka Sebun Ong berobah dan menyurut mundur selangkah. "Apakah Cukat Giok masih hidup ?" serunya. "Ya." sahut Cu Jiang dengan dingin, "tetapi hiduphidupan, jauh lebih celaka dari orang mati." Muka Sebun Ong berkerenyutan. Sampai beberapa saat tak dapat berkata apa2. Wajahnya berobah-robah dan akhirnya terluncurlah kata-kata dari mulutnya: "Dia ... dia masih hidup ?" "Anda tak menyangka bukan ?" "Benar, memang tak kusangka sama sekali. Dia seorang sahabatku yang paling erat. Sejak dia lenyap, aku membuang waktu sepuluhan tahun untuk mencarinya tetapi sia2. Kukira dia sudah meninggal.. ." Mendidih darah Cu Jiang. Sebun Ong benar-benar seorang manusia yang pandai bermain sandiwara. Mulutnya bersedih tetapi hatinya membenci. Dia telah mencelakai sahabat itu dan merebut isterinya. Manusia yang berhati serigala, masih digelari orang sebagai Buddhahidup. Dengan begitu jelas dunia persilatan itu kabur akan pandangannya terhadap manusia baik dan jahat. "Apakah engkau berkata dengan sesungguh hati?" tegur Cu Jiang. "Sudah tentu," sahut Sebun Ong, "di manakah dia sekarang?" "Soal itu anda tentu sudah tahu sendiri." "Ah, mengapa engkau berkata begitu?" "Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku cukup tahu siapa anda ini. " Sebun Ong kerutkan alis. "Sahabat, walaupun aku tak berani bertepuk dada membanggakan bahwa setiap tindakanku selama ini selalu berjalan lurus sesuai dengan Jalan Persilatan, tetapi sedikit banyak aku mempunyai nama." "Singkat saja kukatakan, bahwa lebih dulu aku hendak bertemu dengan Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterimu . . . . " "Hai, engkau salah. Tio Hong Hui itu isteri Cukat Giok dan anak perempuan itu juga puterinya . . ." "Apakah aku boleh bertemu?" "Tentu saja boleh. Kalau ibu dan anak itu tahu Cukat Giok masih hidup, ah betapa girang mereka!" Ucapan itu benar2 diluar dugaan Cu Jiang. Apakah ada sesuatu rahasia dibalik peristiwa itu" Mengapa Sebun Ong mengakui bahwa Tio Hong Hui dan puterinya itu adalah anak isteri Cukat Giok" Dan betapa cepat Sebun Ong menyanggupi untuk mempertemukannya dengan kedua ibu anak itu. Hal itu beda sekali dengan keterangan Cukat Giok tempo hari. Tetapi ketika dia terjatuh di dasar jurang, dia melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa penderitaan Cukat Giok saat itu. Apakah dia sampai hati akan merangkai cerita bohong" Mungkinkah itu" Menilik keadaannya, keterangan Cukat Giok itu berlawanan dengan Sebun Ong. Apakah memangnya Cukat Giok hendak memperalat dirinya untuk melakukan balas dendam terhadap Sebun Ong. Tetapi ah, pada saat itu bukankah dia masih seorang pemuda yang cacad dan tak berkepandaian tinggi" Mungkinkah Cukat Giok hendak mengelabuhinya supaya menuntutkan balas" Tetapi di kalangan persilatan nama Sebun Ong itu sangat harum. Mungkinkah dia akan melakukan perbuatan yang sedemikian hina, membunuh sahabat dan merampas isterinya" Cu Jiang agak bingung. Dan akhirnya ia memutuskan, sebelum mengetahui jelas duduk perkaranya, ia tak mau turun tangan lebih dulu. Tiba2 ia teringat akan bungkusan Ho poh (teratai ) dan Poh-po (kain). Bungkusan ho poh itu berisi racun, diperuntukkan Tio Hong Hui. Sedang bungkusan kain supaya diserahkan kepada puterinya. Kedua bungkusan itu masih disimpannya dengan baik. Nanti apabila berhadapan dengan Tio Hong Hui, segala sesuatu tentu akan terang. Sebun Ong menghela napas, ujarnya: "Sejak Cukat Giok menghilang, isteri dan anaknya tiada yang menjadi tiang sandaran. Aku sebagai seorang sahabat, wajib untuk memelihara mereka selama belasan tahun ini." "Tetapi keterangan Cukat Giok lain dengan keterangan anda!" tukas Cu Jiang. "Apa katanya?" "Mencelakai sahabat merampas isterinya." "Ah, atas dasar apakah tuduhan itu?" sesaat berhenti, dia melanjutkan pula, "soal itu tentu terselip suatu kesalahan paham. Kuyakin Cukat Giok bukan seorang yang suka menghambur fitnah. " "Di manakah nyonya Cukat sekarang?" "Telah kuatur tempat yang aman untuknya, di jalan Lam-tay kota Gong-an." "Ah." "Silahkan saudara mengunjunginya. Dengan begitu selesailah sudah tugasku sebagai seorang sahabat." Menilik ucapannya itu, jelas bahwa Sebun Ong itu seorang yang budiman suka menolong orang. "Apakah aku tentu dapat menemukan alamat itu?" kata Cu Jiang masih meragu. "Tentu." "Bagaimana cara mencarinya?" "Akan kusuruh orang untuk menanti kedatangan anda." "Baik, dalam sepuluh hari lagi aku pasti akan mengunjungi rumah itu." "Apakah aku boleh pergi dulu?" "Silahkan." Sebun Ong memberi hormat. Sambil memandang bayangan orang itu, timbullah keraguan dalam hati Cu Jiang. Tetapi betapapun setiap perbuatan jahat pasti akan terbuka kedoknya. Kalau Sebun Ong itu hanya seorang kuncu ( gentlemen ) palsu, akhirnya tentu terbuka juga belangnya. Menurut keterangan Cukat Giok, Sebun Ong itu seorang manusia yang tak pantas diberi hidup. Tetapi buktinya dunia persilatan sangat menjunjung dan menghormatinya. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cu Jiang menarik kesimpulan manusia semacam Sebun Ong itu hanya dapat tergolong satu diantara dua. Kalau bukan seorang ksatrya yang budiman tentulah seorang bajingan besar. Tiba2 muncul seorang lelaki yang menggendong peti obat. Orang itu memberi hormat ke hadapannya: "Menghaturkan hormat kepada ciangkun." Ciangkun adalah jenderal. Demikian pangkat Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru mengetahui bahwa orang yang menyaru sebagai tukang obat itu tak lain adalah salah seorang dari Su-tay ko-jiu atau Empat jago sakti dari istana Tayli, yang ditugaskan untuk diam2 mengikuti dan memberi bantuan Cu Jiang apabila dalam perjalanan ke Tionggoan itu mendapat kesulitan. Keempat jago sakti dari Tayli itu sebenarnya memang telah dilatih oleh Gong-gong-cu sebagai mata-mata. Tugas pokoknya untuk menyelidiki jejak gerombolan Sip-pat thian-mo. Mereka pandai sekali dalam ilmu menyamar dan berpengalaman luas dalam dunia persilatan. "Oh apakah bukan saudara Song Pik Liang?" tegur Cu Jiang setelah mengetahui siapa yang berada didepannya itu. "Ah, harap ciangkun jangan merendah diri. Panggil saja namaku secara langsung." "Ah, masakan begitu. Ada kabar ?" "Ya. Menurut keterangan Ko Cun, kepala dari partai Thian- liong - kau cabang Siok Liu itu adalah Kian mo. Iblis terakhir dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Saat ini Ko Cun masih akan menyelidiki lagi secara cermat. Demikianlah aku mengaturkan laporan lebih dulu kepada sausu agar sausu dapat berita !." "Jika begitu Thian tong-kau itu didirikan oleh Sip-patthian-mo?" Cu Jiang menegas. "Kemungkinan besar." "Baik, aku akan kembali kedalam kota." Sejenak memandang kearah mayat2 baju kuning itu berkatalah Song Pek Leng pula: "Apakah ciangkun tahu akan asal usul korban2 itu?" "Anak buah partai Thian-tong-kau cabang Siok-ciu !" "Benar. Dan tahukah ciangkun siapa pembunuhnya ?" "Siapa ?" "Lelaki tua jubah kuning emas yang barusan pergi tadi." "O, Bu-lim-seng hud Sebun Ong yang membunuh mereka ?" teriak Cu Jiang terkejut. Song Pak Liang mengangguk. "Ya, memang dia. Lebih dulu kawanan baju kuning ini yang membunuh belasan jago pedang Gedung Hitam tadi, kemudian baru lelaki Jubah kuning emas yang membunuh mereka." "Oh," Cu Jiang mendengus. Bahwa enam murid Thiantong-kau membunuh jago2 Gedung Hitam, itu memang merupakan permusuhan antara kedua partay yang sedang berebut pengaruh, Tetapi mengapa Sebun Ong membunuh murid2 Thian-tong-kau?" Gedung Hitam merupakan sebuah persekutuan jahat yang mengganggu keselamatan dunia persilatan. Sungguh kebetulan sekali kalau diberantas oleh Thian-tong-kau. tapi Thian-tong-kau sendiri tentu juga bukan suatu perkumpulan yang baik. Mungkinlah Sebun Ong hendak menggunakan siasat mengadu domba kedua perkumpulan jahat itu" "Cara lelaki jubah kuning emas turun tangan sungguh ganas sekali. Tak memberi kesempatan kepada korban itu untuk membalas." kata Song Pek Liang pula. "Bagaimana kalau Pek Liang heng melakukan suatu urusan untukku ?" tanya Cu Jiang. "Silahkan ciangkun memberi perintah." "Lelaki Jubah kuning emas itu adalah tokoh Bu lim-senghud Sebun Ong yang terkenal. Dia telah merawat seorang wanita dan putrinya, ditempatkan di jalan Lam-tay, kota Gong-an...." "Suruh hamba melakukan penyelidikan ?" "Ya, tetapi jangan sampai mengejutkan mereka sehingga mereka dapat bersiap. Dalam sepuluh hari aku tentu datang kesana." "Baik." Cu Jiang meminta agar jangan menggunakan sebutan ciangkun dan berbahasa saja sebagai orang persilatan, demi menjaga agar diri mereka jangan sampai ketahuan orang. "Baik. aku akan ke Siok-ciu dulu untuk berunding dengan ketiga kawanku, baru menuju ke Gong-an." Cu Jiang mengiakan. "Tetapi menurut ciangkun, kita menggunakan sebutan apa?" tanya Song Pek Liang pula. "Kupanggil kakak dan kamu berempat menyebut aku lote saja." "Ada beberapa kata sandi untuk mengadakan hubungan, harap dicatat agar hubungan kita jangan sampai putus . .." "Sebutkan." "Ciangkun . . ." "Ai, jangan menyebut begitu!" "O, benar. Semua telah kutulis di kertas. Setelah membaca harap lote merobeknya." Song Pek Liangpun menyerahkan sehelai kertas. Kemudian dia pamit pergi. Cu Jiangpun segera melanjutkan perjalanan sambil membuka kertas dan menghafalkan sandi2. Tiba di kota Sok ciu sudah menjelang petang. Setelah semua sandi dihapalkan diapun lalu menghancurkan kertas itu. Dia memilih sebuah rumah makan kecil yang terletak ditempat yang sepi. Setelah memberi sandi pada pintu dia lalu masuk. Dia pesan hidangan dan arak, menyuruh jongos pergi dan mulai makan. Dia sengaja duduk membelakangi jendela dan menghadap ke sebelah dalam agar orang jangan melihat wajahnya. Rumah makan itu sudah sering menerima tetamu-tetamu yang bertingkah aneh. Mereka tak menghiraukan mereka. Pokok mereka makan dan bayar. Brak ,. . tiba2 terdengar meja ditepuk keras oleh orang. "Hai, Jongos, lekas sediakan daging porsi besar. Ho, lapar setengah mati. Juga sepoci besar arak !" Jongos gopoh2 melakukan pesanan itu. Diam2 Cu Jiang membatin tetamu kasar itu kalau bukan Jahat tentu seorang limbung. Rupanya tetamu itu tak menghiraukan apa2. Dia bersenandung dengan nada suaranya yang parau: "Tio Bik Tik dengan tiga kali menggerung dapat meruntuhkan tiang. Bu Siong membunuh harimau besar di Kang-yang-hong...." Mendengar senandung yang tak keruan juntrungannya itu, tiba2 Cu liang teringat akan kata2 sandi. Ah, tetamu itu tak lain dari Ong Kian, salah seorang dari Su-tay-ko-ju Tayli. Rupanya dia memang sengaja melantangkan kata sandi. Tetapi entah dia membawa berita apa saja..." Tetapi setelah bersenandung beberapa kata tadi, Ong Kianpun berhenti. Tiba2 sebuah kertas yang telah dipulung kecil melayang keatas meja Cu Jiang. Ketika Cu Jiang membukanya ternyata berisi beberapa tulisan, berbunyi: "Disebuah gedung besar kira2 tiga li dari sini ke timur, ketua cabang memang Kiam-mo." Cu Jiang cepat meremas hancur kertas itu lalu mengenakan kain kerudung muka lagi. Setelah membayar rekening dia terus melangkah keluar. Ia sempat melihat pada Ong Kian yang menyamar sebagai seorang lelaki kasar tengah menggerogoti paha ayam dan minum arak. Setelah saling memberi isyarat mata. Cu Jiangpun terus lanjutkan perjalanan. Dia menuju ke pintu kota timur, Berjalan tiga li jauhnya dia melihat sebuah bangunan gedung besar, terletak ditengah hutan dan dikelilingi sawah yang tak terurus keadaannya. Bukan padi melainkan rumput dan Ilalang yang tumbuh. Diluar dari hutan itu didirikan sebuah lingkaran pagar tembok, pintunya setengah terbuka tetapi tak tampak barang seorangpun juga. Cu Jiang segera menghampiri ke pintu yang terbuat daripada papan kayu itu. Seorang lelaki tua berpakaian kuning segera muncul menyambut. Dalam sikap dan nada yang dingin dia berkata: "O, ternyata sahabat datang juga !" Cu Jiang terkejut. Diam2 ia membatin bahwa ternyata orang sudah mengadakan persiapan. "Aku hendak bertemu dengan thau-cu kalian!" sahut Cu Jiang. "Sahabat.... engkau mau bertemu thancu kami ?" "Ya." "Perlu ?" "Adu pedang!" "Apa " Adu pedang ?" "Ya!" "Ah, sahabat datang ke alamat yang tepat, Silahkan ikut aku." O0odwo0O Jilid 12 Cu Jiang melangkah masuk. Ternyata di dalamnya telah bersiap berpuluh-puluh jago silat berpakaian kuning dengan senjatanya. Tiap tiga langkah seorang baju kuning. Suatu penjagaan yang seketat pagar pedang. Pada saat berjalan melalui mereka, mereka pun mengangkat pedang selaku hormat kepada lelaki tua baju kuning itu. Jelas lelaki tua itu tentu mempunyai kedudukan tinggi. Paling tidak tentu sebagai seorang tongcu. Setelah berpuluh meter menyusuri jalan, tibalah Cu Jiang disebuah lapangan yang cukup luas. Sebuah bangunan gedung bertingkat tampak berdiri dengan kokoh. Bangunan itu tentu sudah lama dibangun, bukan didirikan oleh partai Thong-thian-kau. Mereka tentu merebutnya dari lain orang. Tiba di tengah lapangan, lelaki tua itu berseru: "Harap tunggu disini," kakinya terus melangkah kearah gedung. Cu Jiang hentikan langkah. "Heh, heh, heh, heh, heh .. "Huak, huak !" Terdengar kekeh tawa seram disusul dengan Jeritan ngeri. Cu Jiang memandang kearah suara itu dan seketika darahnya pun mendidih. Pada tepi yang hitam dari lapangan itu, sedang berlangsung suatu penjagalan yang mengidikkan bulu roma. Seorang pemuda dengan dandanan sebagai pelajar, duduk di sebuah kursi. Di depannya terpancang berpuluh batang tonggak. Setiap tonggak terikat seorang lelaki yang berpakaian compang-camping seperti pengemis. Tua dan muda. Di muka tonggak, tegak sekelompok busu baju kuning mencekal pedang. Pada saat itu sudah ada empat orang pengemis yang kepalanya menggelinding ke tanah. Tanah tergenang darah merah. Tawa kekeh tadi berasal dari mulut pemuda pelajar itu. Jelas yang sedang dijagal itu adalah anak murid dari partai Kay pang atau pengemis. Pemuda pelajar mengangkat tangan dan berseru: "Hayo, menerima atau tidak?" Seorang pengemis tua, meraung dengan nada ngeri: "Tidak bisa ! Anak murid Kay-pang lebih suka mati daripada menyerah!" Pemuda pelajar itu tertawa dingin lalu menjulur tiga buah jari tangannya. Pedang berkelebat dan jeritan ngeri segera menusuk telinga. Batang kepala tiga orang murid Kay-pang menggelinding lagi ke tanah. Darah menyembur tinggi ke udara. "Berhenti!" Cu Jiang menggembor keras dan terus menghampiri. "Tunggu!" terdengar teriakan empat orang bu-su pengawal yang melangkah maju dengan membawa pedang. Tetapi Cu Jiang tetap ayunkan langkah. Ia memandang tajam pada keempat bu-su itu. Pemuda pelajar itu masih tetap duduk di kursinya. Dia hanya berpaling dan berseru: "Hai, ada apa?" Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Cu Jiang. Dan dengan gunakan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat, dalam dua putaran saja Cu Jiang sudah berdiri di muka pemuda pelajar itu. Dipandangnya pemuda pelajar itu dengan tajam. Seorang pemuda yang berumur dua puluhan tahun, berwajah sadis. Serentak pemuda itupun berbangkit dan menghardik: "Siapa engkau!" Belasan bu-su yang bertugas melakukan penjagalan itupun serempak mengepung. Kilau sinar pedang mereka mengerikan sekali. Tetapi Cu Jiang tenang2 saja. "Dan engkau siapa?" Cu Jiang balas bertanya. "Pelajar-gemar darah Kiang Ki, putera angkat dari ketua cabang partai . . . . " tiba2 dia teringat sesuatu. Wajahnya meregang dan berseru dengan tersendat: "Apakah engkau bukan . . . . " Sepatah demi sepatah, Cu Jiang berkata: "Toan . . . kiam ... jan ... jin ...." Serentak cahaya muka Kiang Ki berobah dan tiba2 ia menyurut mundur, menendang kursi sampai terpental setombak jauhnya. Juga kawanan bu-su itupun pucat lalu mundur beberapa langkah. "Andakah yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu?" "Benar." "Apa maksud kedatangan anda ke mari?" "Menantang adu pedang." Pemuda pelajar itu terkesiap lalu tertawa sinis: "Toan-kiam-jan jin, apakah engkau mampu hidup Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo panjang dengan sikapmu yang congkak itu?" Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke arah anak murid Kay-pang yang diikat pada tonggak. "Apakah anda gemar membunuh orang?" serunya. "Itu bukan urusanmu. " "Lepaskan mereka!" "Heh, heh, heh, dengan dasar apa anda memberi perintah begitu?" "Pedang kutung!" "Bagus ! Hari ini anda beruntung bertemu dengan leluhur dari orang yang bersenjata pedang." "Lepaskan mereka !" "Tidak bisa!" Namun Cu Jiang tak menghiraukan- Dengan langkah yang terpincang pincang dia menghampiri ke tempat tonggak itu. Sekonyong-konyong setiup hujan pedang segera menghambur ke arahnya. Setiap bu su itu merupakan jago pedang kelas satu. Mereka berjumlah belasan orang. Sudah tentu perbawanya luar biasa dahsyatnya. Sepasang tangan Cu Jiangpun serempak bergerak. Segulung angin pukulan yang sedahsyat badai segera berhamburan memekikkan telinga. Jeritan ngeri dan teriak tertahan, disusul dengan sosok tubuh yang mencelat keempat penjuru segera tampak. Tiga dari kawanan bu su itu mencelat ke udara dan melayang sampai tiga tombak jauhnya Nyawanya pun putus seketika. Melihat itu wajah Kiang Ki berobah merah padam. Matanya memancarkan sinar pembunuhan yang ngeri. Mencabut pedang dia terus melangkah maju dan membentak bengis: "Toan-kiam jan jin, engkau berani membunuh anak buahku, sungguh besar sekali nyalimu." "Tempat macam apakah ini ?" sahut Cu Jiang. "Engkau memang hendak cari mati atau hendak menjual jiwa untuk Kay-pang?" "Dua-duanya." "Kalau membiarkan engkau keluar dari sini dengan masih bernyawa nama Thong - thian - kau tentu akan pudar dari dunia persilatan." "Barangkali." Kiang Ki makin kalap, ia tertawa seram : "Hm, engkau akan mati dengan tubuh tercincang!" "Jangan terburu mengatakan begitu dulu. Apa lagi engkaupun tak layak berkata begitu. Sekarang katakan dulu, apa sebab anak murid Kay-pang hendak engkau jagal ?" "Sederhana sekali. Kay-pang harus enyah dari wilayah Kekuasaan partai Thong thian-kau cabang kota ini. Kalau tidak, akan dibunuh semua !" "Apa mampu ?" "Tentu." "Saat ini aku belum mau membunuhmu..." Belum selesai Cu Jiang berkata, tiba2 terdengar suara nyaring berteriak. "Than cu datang !" Sekalian bu-su serempak mundur sampai beberapa tombak, menundukkan kepala dan tubuh. Juga kawan-2 mereka yang terluka, berusaha untuk mundur. Cu Jiang berputar tubuh, memandang ke muka. Seorang lelaki tua bertubuh tinggi besar dan berjubah kuning dengan dikawal oleh berpuluh orang, melangkah masuk. Lebih kurang lima tombak dari tempat Cu Jiang, para pengawal itu berhenti dan membentuk diri dalam formasi busur melengkung. Sementara lelaki tua berjubah kuning itu teruskan langkah menuju ke tengah lapangan. Pelajar-gemar-darah Kiang Ki serentak memberi hormat: "Gihu, orang ini hendak menantang adu pedang." "Kutahu," sahut lelaki tua jubah kuning itu. Ketika beradu pandang, Cu Jiang agak terkesiap. Dari sorot mata lelaki tua itu, dapatlah ia menarik kesimpulan bahwa orang itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali. "Apakah engkau yang disebut Toan-kiam-Jan-jin?" tegur lelaki tua jubah kuning. "Benar," sahut Cu Jiang, "dan anda tentulah ketua cabang partai Thong-thian-kau yang bernama Kiam-mo. bukan?" "Geladak! Engkau berani menyebut gelar itu seenakmu sendiri ....!" bentak Kiang Ki dengan kemarahan meluapluap. Tetapi Cu Jiang tak berkedip dan tak mengacuhkan. Dia tetap mencurah pandang kepada lelaki tua berjubah kuning itu. Tiba2 lelaki jubah kuning itu tertawa, serunya: "Engkau . ... hendak menantang adu pedang dengan aku?" "Benar." "Bagaimana engkau tahu gelaranku?" "Berkelana dalam dunia persilatan, mata dan telinga harus tajam." "Apa tujuanmu?" Cu Jiang teringat sesuatu.. Dengan nada dan sikap yang congkak sekali ia berkata: "Sejak turun gunung, belum pernah aku ber temu dengan Perebutan Patung Kalingga 2 Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Menumpas Angkara Murka 1