Pusaka Negeri Tayli 7
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 7 lawan yang mampu menandingi kepandaianku. Kudengar setiap anggauta dari Sip-pat-thian-mo itu memiliki kepandaian hebat maka aku hendak menemui mereka satu demi satu." "Engkau hendak menempur Sip-pat-thian-mo?" "Begitulah" "Mungkin engkau akan kecewa." "Mengapa ?" "Karena hari ini engkau sudah keburu mati ditempat ini." "Ha, ha, ha . . . anda bermulut besar . . .." Kiang Ki mengisar selangkah, serunya: "Gihu, ijinkan aku yang menyempurnakannya" "Jangan," cegah Kiam-mo, "engkau bukan tandingannya." "Bukankah gihu mengatakan bahwa kepandaianku sekarang ini sudah dapat menghadapi jago pedang yang manapun dalam dunia penilaian di Tionggoan .. .." "Tetapi tidak dengan orang ini," tukas Kiam-mo. "Atas dasar apa Gihu membuat penilaian itu?" "Tenaga-dalammu belum menyamainya." "Tetapi ilmu pedangku masakan kalah ?" "Jika tak mencekal senjata, jangan masuk kedalam hutan. Lebih baik engkau jangan coba-coba." "Justeru aku ingin sekali mencoba berhadapan dengan jago pedang yang sakti." Cu Jiang mendengus dingin: "Setiap kali pedang kutungku keluar, takkan masuk kedalam sarungnya apabila belum meminum darah." Kiang Ki getarkan pedangnya sehingga memancarkan sinar sampai meluas, lalu berseru dengan congkak: "Akupun juga begitu. Sebelum minum darah takkan berhenti." Kiam-mo mundur tiga langkah, serunya: "Kalau mau mencoba silahkan. Tetapi hanya boleh sampai tiga jurus saja." Serentak meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memutuskan hendak membasmi pemuda yang ber hati buas itu agar melenyapkan bahaya dalam dunia persilatan. Demikian pula ia hendak mengejutkan kawanan Sip pat thian-mo agar beramai-ramai keluar mencarinya. Ya, ia harus bertindak ganas. "Tidak perlu," serunya, "selama ini aku hanya menggunakan satu jurus saja. " "Peraturan yang kupegang selama ini." sahut Kiang Ki, "jika lawan belum mengucurkan darah, takkan berhenti. " "Bagus, silahkan mulai! " "Cabutlah pedangmu." "Menghadapi engkau, belum perlu." Kata2 yang congkak dari Cu Jiang itu benar2 meledakkan dada Kiang Ki. "Marah merupakan pantangan dalam ilmu pedang," tiba2 Kiam-mo berseru memberi peringatan kepada pemuda yang menjadi putera angkatnya itu. Mendengar itu Kiang Ki tenangkan diri. Ia mengangkat pedang ke atas, sorot matanya penuh dengan nafsu pembunuhan yang meluap-luap. Sementara Cu Jiang tetap memandangnya dengan tak berkedip. Suasana senyap seketika. Seluruh mata sekalian orang tercurah ruah ke tengah lapangan. Hati mereka tegang bukan kepalang. Walaupun belum lama timbul, tetapi kebesaran nama Thong thian kau melebihi penguasa dunia persilatan yang sekarang yakni Gedung Hitam. Bahwa orang berani datang untuk menantang adu kepandaian, tentulah dia manusia yang harus digolongkan satu diantara dua jenis: gila atau sakti. "Hai!" terdengar pekikan singa yang menggetar jantung sekalian orang. Pedang dari Kiang Ki memancar menyambar ke arah Cu Jiang. Bukan saja dengan tenaga penuh, pun jurus gerakannya luar biasa anehnya. Selarik sinar pedang memancar lalu padam. "Huak..." terdengar teriakan keras tetapi hanya setengah jalan berhenti Dan selesailah pertempuran yang penuh ketegangan itu. Tampak Cu Jiang masih mencekal sebatang pedang kutung, entah bagaimana cara dia mencabut dan menyerang. Terlalu cepat bagi mata memandangnya. Ujung pedang Kiang Ki masih menjulur maju ke muka dada Cu Jiang, hanya terpisah tiga inci dari dada. Dan sekalian orangpun masih menahan napas. Tetapi mengapa terdengar jeritan ngeri tadi" Dari mulut siapakah jeritan itu" Mengapa saat itu Kiang Ki tak melanjutkan gerak pedangnya untuk menusuk dada Cu Jiang. Bluk .... sekonyong-konyong tubuh Kiang Ki rubuh, kepalanya terpisah dari leher, menggelinding ke tanah, diantar oleh darah segar yang menyembur seperti pancuran. "Ai..." terdengar teriakan hiruk pikuk yang menggema. Dan Cu Jiangpun pelahan-lahan menyarungkan pedang kutungnya. Wajah Kiam-mo berobah hebat. Serentak dia berteriak: "Bawa pedang ke mari!" Seorang busu baju kuning segera menghaturkan sebatang pedang. Kiam-mo mencabut pedang itu dan busu pun kembali mundur lagi. Pedang itu memancarkan sinar dingin yang kebirubiruan warnanya. Tentulah sebatang pedang pusaka. Maju selangkah kehadapan Cu Jiang, Kiam-mo berseru bengis: "Budak, apakah maksud kedatanganmu kemari benar2 hendak menantang adu ilmu pedang?" "Benar," jawab Cu Jiang. "aku telah terlanjur bersumpah. Apabila aku, Toan-kiam-jan jin masih hidup, takkan membiarkan seorang jago pedang yang manapun menjagoi dunia." "Kecongkakanmu hebat sekali . . ." "Aku tak pandai putar lidah." "Sejak hari ini, dunia persilatan takkan terdapat seorang manusia yang bergelar Toan-kiam-jan-jin lagi." "Jangan anda terlalu membanggakan diri. Mungkin nama Kiam-mo akan lenyap." "Engkau menghendaki cara bagaimana?" "Satu jurus!" "Sebelum engkau mati, aku takkan berhenti." "Aku tetap hanya satu jurus." Wajah Kiam-mo membesi dan gerahamnya bergemerutukan. "Seumur hidup baru pertama kali ini aku berjumpa dengan seorang yang bakal mati tetapi tetap congkak sekali." Cu Jiang tak menghiraukan. Dia tetap tenang dan dingin. "Pujian." serunya. "Mulailah!" "Tunggu dulu, aku mempunyai syarat," tiba-tiba Cu Jiang berkata "Apa" Engkau masih akan mengajukan syarat apa lagi?" "Ya, memang. Dan syarat itu sederhana sekali. Karena ada Toan-kiam-jan-jin, tak boleh ada Kiam-mo. Salah satu, engkau atau aku yang harus hidup di dunia persilatan . . ." "Ha, apa lagi!" "Yang kalah, harus menghancurkan ilmu kepandaiannya sendiri dan selama-lamanya tak boleh muncul dalam dunia persilatan." "Bagiku, hanya jiwamu yang akan kuminta," seru Kiammo. "Baik tetapi anda pun harus menerima syaratku. Kalau tak berani, tak usah turun tangan, " kata Cu Jiang. "Jangan banyak mulut, lekas bersiap menerima kematian!" bentak Kiam-mo. Serentak dia melakukan sikap pembukaan yang aneh. Ujung pedang tak henti-hentinya ditarik dan dijulurkan. Hawa pedang segera berhamburan meluncur seluas satu tombak. Hal itu menandakan bahwa segenap tenaga dalam telah dikerahkan. Rupanya dia sangat bernapsu sekali dalam satu gebrak dapat menghabisi lawan. Suasana tegang sekali. Sekalian pengawal Kiam mo yang berada di sekeliling lapangan itu memandang dengan mata tak berkedip dan napas tertahan. Kedua jago itu masing2 mengadakan sikap kuda2 yang tangguh dan sukar diterobos. Detik demi detik berlalu cepat. Sekalian pengawal Kiammo-un sudah bercucuran keringat. Mereka dicekam ketegangan dari pertempuran yang akan terjadi. Entah bagaimana nanti hasil dari pertempuran itu apabila berlangsung. Mata Cu Jiang seperti melekat tak berkedip. Beberapa waktu kemudian, dahi Kiam-mo mulai agak berkereyutan. "Hatimu!" Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga. Sebuah ledakan suara gemboran yang dahsyat segera disusul dengan dering benturan senjata yang seolah-2 memutuskan urat2 jantung. Setelah itu terus sirap. Sepi lagi. Cu Jiang memasukkan kembali pedang kutungnya ke dalam sarung. Pedang di tangan Kiam-mo menjulai ke bawah dan orangnyapun sudah bergeser tiga langkah ke belakang. Mukanya menggigil, sorot matanya yang menyeramkanpun sudah kehilangan perbawanya. Dua alir darah mengucur dari sudut mata dan mulutnya Kiam-mo, salah seorang tokoh dari gerombolan Sip-pat thian mo yang termasyhur, saat itu menderita kekalahan. Kekalahan yang menggemparkan, Suatu peristiwa yang benar2 orang tak mungkin mau percaya. Suasana sunyi senyap. Tiada barang suatu pekik kejut ataupun teriakan ngeri Seluruh jago2 ko jiu dari Thongthian-kau terlongong-longong. Beberapa saat kemudian baru Cu Jiang terdengar membuka mulut. Nadanya dingin dan hambar tetapi mengandung perbawa yang menakutkan. "Harap anda segera melakukan syarat itu!" sepatah demi sepatah diucapkan dengan nada seberat palu menghantam paku. Tiba2 pecah gelombang bentakan. Belasan sosok tubuh berhamburan menaburkan pedang menyerang Cu Jiang. Huak .... huak .... Tetapi bagaikan gelembung air tertimpa hujan, cepat sekali tubuh itu berserakan tercerai berai keempat penjuru. Yang tertinggal, empat sosok tubuh manusia yang sudah menjadi mayat. Kiam-mo menggigil. "Aku menunggu jawabanmu!" seru Cu Jiang. "Engkau suruh aku menjawab apa?" Kiam-mo meraung seperti singa terluka. "Sesuai dengan syarat yang kukatakan tadi. Lekas engkau hancurkan ilmu kepandaian anda sendiri!" "Tidak bisa!" "Ho, tak kira kalau kawanan Sip pat-thian-mo yang termasyhur itu ternyata hanya kantong nasi yang tak berguna. Sungguh mengecewakan sekali. Apa yang kukatakan tentu kujalankan. Kalau anda tak mau merusak tenaga kepandaian anda sendiri, terpaksa aku yang akan mewakili ...." "Engkau berani?" bentak Kiam-mo dan bertaburan sinar pedangnya mencurah kepada Cu Jiang. Cu Jiang menggembor dan hujan sinar pedang itupun serentak lenyap, berganti dengan selarik sinar melambung ke udara. Pedang Kiam-mo terlempar ke atas. "Auh . . . . " terdengar teriak kejut yang menggeledek. Cu Jiang mengangkat tangan dan menebarkan sebuah jari ke muka Seketika Kiam-mo mengerang tertahan. Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung-huyung. Wajah pucat lesi. "Sejak saat ini, dunia persilatan tak ada tokoh yang bernama Kiam-mo lagi!" seru Cu Jiang dengan nada bengis. Kiam-mo memandang Cu Jiang dengan sorot mata penuh dendam kesumat lalu berputar tubuh dan berjalan masuk ke dalam gedung. Sekian banyak jago2 Thong-thian-kau, tak ada seorangpun yang berani bergerak menyerang Cu Jiang. Dengan langkah yang terpincang-pincang, Cu Jiang segera menghampiri ke tempat tonggak. Dengan pedang menggurat putus tali yang mengikat tubuh seorang pengemis tua. Pengemis itu serta merta menghaturkan hormat. "Terima kasih atas bantuan anda, partai kami .... " Tiba2 Cu Jiang mengacungkan sebuah benda dan serentak pengemis tua itupun terkejut lalu jatuhkan diri berlutut. "Murid Ang Ih, kepala cabang kwan-se, menghaturkan hormat ke hadapan tianglo." "Harap bangun." seru Cu Jiang, "lencana Tiok-hu ini Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pemberian tianglo Kay-pang Pengemis-sakti pencabut nyawa Tong Ih Leng kepada tokoh Lam-kek-sah. Lam keksah minta tolong kepadaku supaya menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Harap Ang tho cu suka mewakili menerimanya." Pengemis tua yang bernama Ang Ik itu segera berbangkit dan menyambuti. "Lekas ajak anak buah anda tinggalkan tempat ini," kata Cu Jiang seraya menyimpan pedangnya. Ang Ikpun segera melakukan perintah. Membebaskan anak buahnya yang terikat lalu membawa kawan2 yang menjadi korban. Sebelum pergi mereka beramai-ramai menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang. Sekalian anak buah Thong thian-kau hanya melihat saja anak buah Kay-pang itu pergi tetapi tak berani berbuat apa2. Setelah mereka pergi barulah Cu Jiang tinggalkan tempat itu. Berita kekalahan partai Thong-thian-kau cabang kota Kwo-se itu cepat sekali tersiar dalam dunia persilatan. Kaum persilatan terkejut, heran dan hampir tak percaya, tetapi mereka harus menerima berita itu sebagai suatu kenyataan. Nama Toan-kiam jan-jin menjadi buah bibir. Tantang menantang. Kira2 empat belas li dari kota Gong-an, di tepi jalan besar dibangun sebuah pagoda peranginan, untuk pejalan2 yang hendak beristirahat. Di tepi pagoda peranginan itu dibangun juga beberapa rumah pondok untuk kedai minuman dan orang2 jualan. Ciat goan-thong atau pagoda Pelepas-lelah, demikian nama tempat peristirahatan itu. Kabarnya pada jaman dulu ada seorang penyair ternama yang singgah di tempat itu. Sebelum araknya habis, syair telah selesai dirangkainya. Sejak itu maka pagoda peranginan diberi nama seperti diatas. Saat itu waktu lohor. Di dalam pagoda peranginan duduk lima jago pedang yang mengenakan pakaian ringkas. Dua diantaranya berumur dua puluhan tahun, yang dua lagi berumur tiga puluhan tahun sedang yang satu disekitar empat puluhan tahun. Lelaki yang paling tua itu mondar-mandir menggendong tangan. Wajahnya tegang dan tak henti-hentinya memandang ke arah jalanan seperti menunggu sesuatu. Kawanan yang empat juga agak gelisah. "Toa-suheng, kukira sudah sajalah," tiba2 salah seorang yang muda berkata. "Apa" Sudah?" teriak lelaki yang paling tua itu dengan nada tegang. "sejak lima puluh tahun berselang ketika ciang-bun su cun (kakek guru ketua partai) kita kalah adu pedang di gunung Bo-san, nama partai Hoa san-pay seolaholah tenggelam dalam dunia persilatan. Sekarang ini kita mendapat kesempatan yang jarang sekali datangnya untuk membangun kembali nama perguruan Hoa-san pay, bagaimana kita akan sudah begitu saja." "Tetapi .... toa-suheng, ilmu pedang lawan memang benar2 telah mencapai tataran yang sukar dibayangkan . . ." "Sute, sepuluh tahun lamanya aku mati-matian bersusah payah untuk berlatih ilmu pedang, apa tujuanku?" "Membangun partai, banyak jalan yang dapat ditempuh. Mengapa harus mengambil cara begini." "Itu merupakan satu-satunya jalan yang tercepat. " "Apakah toa suheng yakin pasti menang?" "Kalau tak berhasil tentu gagal. Kalau kalah tentu mati. Apakah pendirian hidup seorang ksatria itu?" "Kukira tidak begitu." "Sute, engkau salah pilih. Seharusnya engkau menyekap diri dalam kamar dan rajin belajar agar dapat mencapai nama. Tak seharusnya engkau memilih jalan hidup sebagai seorang bu su." "Toa-suheng, apakah engkau benar2 mempunyai pegangan?" Rupanya lelaki yang paling tua dan dipanggil sebagai toa-suheng itu agak kurang senang, sahutnya: "Sudahlah, ji sute, jangan merengek-rengek. Sejak mendapatkan kitab rahasia peninggalan su-cou ya (kakek guru), aku telah mempelajari dan berlatih keras selama sepuluhan tahun baru dapat mencapai hasil. Hoa-san-pay mampu atau tidak untuk bangkit kembali dan menempatkan diri dalam jajaran Empat-besar partaipedang, semua tergantung pada gerakan kali ini. Sejak berkunjung ke markas partai Bu-tong dan Go-bi, kepercayaan ku makin tumbuh delapan puluh persen. . ." "Pernyataan siau sute tadi memang bukan tak beralasan. Selama dalam perjalanan beberapa kali kita sudah saling menguji ilmu pedang dengan kawan2 dari partai Bu tong dan Gobi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Hal itu cukup." "Keputusanku sudah tetap, tak perlu banyak bicara. Coba pikir, kalau nanti aku dapat menangkan barang setengah jurus saja dari lawan, bagaimanakah akibatnya." "Andaikata Hoa-san-pay tak dianggap sebagai partai ilmu pedang yang paling hebat, tetapi sekurang-kurangnya tentu akan sejajar dengan partai Bu-tong dan Go-bi." "Mudah-mudahan begitu, tetapi..." "Tetapi bagaimana ?" "Kalau tak berhasil menang?" "Telah kukatakan. Sebagai seorang kaum persilatan, janganlah kita berat akan Jiwa kita. Dengan susah payah sucouwnya telah mendirikan partai Hoa-san-pay. Kemudian kita yang menerima warisan untuk memelihara ternyata tak mampu menjaga kelangsungan hidupnya. Apakah ini tidak memalukan ?" Tiba2 lelaki yang paling muda itu menunjuk ke arah jalan dan berseru: "Tuh sudah datang !" Kelima orang itu menjadi tegang dan serempak berdiri. Dua ekor kuda lari sekencang angin dan beberapa saat tiba ditempat itu. Penunggangnya loncat turun. Ternyata dua lelaki baju hitam. "Bagaimana kabarnya?" serentak lelaki tua yang disebut toa suheng itu bertanya. Salah seorang lelaki baju hitam memberi hormat: "Hatur beritahu kepada ciangbun ..." "Jangan menyebut ciangbun, belum saatnya!!" tukas lelaki tua tadi. Orang berbaju hitam itu agak merah mukanya lalu berganti sebutan. "Hatur beritahu kepada toa-supeh, akan segera tiba." "Segera tiba ?" "Ya, dia berjalan lambat sekali dan tak kira kalau hanya seorang cacat..." "Jangan banyak cakap! Sekarang dia sampai di mana?" "Kira-kira lima li." "Baik, kalian boleh kembali ke kota." Setelah mengiakan kedua pendatang itu pun melarikan kudanya. Dibawah bayang2 pagoda peranginan yang menjulur panjang sampai ke tengah itu, tegak berjajar kelima orang itu. Pedagang2 disekitar tempat itu sudah sama menutup dagangannya. Pejalan2 pun sudah sepi. Tak berapa lama tampak sesosok tubuh muncul dari ujung jalan. Jalannya aneh, seperti bergoyang gontai. "Tuh, akhirnya dia datang Juga," kata busu yang dipanggil toa-suheng. Keempat kawannya mulai tegang. Makin dekat makin tampak kalau pendatang itu seorang berkaki pincang, mengenakan dandanan seperti sasterawan tetapi mukanya bertutup kain cadar. "Dengarkan, sute berempat," kata lelaki yang tertua. "kamu cukup menyaksikan disamping, tak boleh ikut turun tangan. Kalau aku gagal maka tugas untuk membangun partai terletak di bahu kalian." "Toa-suheng,kan ini hanya merupakan saling uji kepandaian, bukan ajang saling bunuh mencari balas dendam. Kalah atau menang, bukan soal," seru bu su yang paling muda. "Benar," sahut busu yang tua, "tetapi kali ini aku berjuang untuk mengangkat nama. Seorang ksatrya hidup demi nama." "Tetapi apakah toa-suheng tidak memikirkan beberapa jago dari Bu-tong dan Go bi yang engkau kalahkan itu, juga tidak berpikiran seperti toa-suheng juga ?" "Itu lain persoalannya ..." Saat itu pelajar pincang sudah tiba. Tanpa menghiraukan pandang, dia terus berjalan. Setelah sejenak memandang kearah keempat sutenya, busu yang tertua itu loncat dari pagoda peranginan lalu memberi hormat. "Sahabat, harap berhenti dulu!" Sasterawan pincang itu berhenti. Memandang datar kepada orang itu. Tidak berkata apa-apa kecuali hanya memandang saja. "Aku yang rendah ini adalah Tan Bun Cau dari partai Hoa-san-pay. Bukankah sahabat ini yang disebut Toankiam Jan-Jin ?" seru busu yang tertua itu pula. Memang sasterawan pincang itu tak lain adalah Cu Jiang. Dia hendak ke kota Seng tou untuk memenuhi suatu janji. "Ya, benar, apa maksud anda?" sahutnya dengan nada yang dingin. "Kabarnya, anda telah mengobrak-abrik partai Thongthian-kau cabang Kwo se. Membunuh Pelajar-gemar darah Kiang Ki dan melumpuhkan Kiam-mo ?" seru Tan Bun Biau pula. Cu Jiang tergerak pikirannya. "Lalu apa maksud anda?" "Aku sangat mengagumi ilmu pedangmu !" "Lalu ?" "Sengaja aku mencari anda untuk mohon pengajaran." "Ha, ha, ha, ha " Cu Jiang menengadah dan tertawa gelak2 seraya lanjutkan langkah. Tan Bun Ciau cepat menghadang. "Apakah sahabat tak mau memberi pelajaran kepadaku?" Cu Jiang terpaksa berhenti, Menatap orang itu lalu berkata dengan nada dingin: "Aku tak punya selera !" "Menganggap hina ?" "Terserah anggapan anda." "Toan kiam jan jin, apa engkau kira dalam dunia ini tiada yang mampu menandingi engkau?" "Aku tak pernah mengatakan begitu. " Keempat busu yang berjajar di dalam pagoda peranginan tak setuju melihat tindakan Tan Bun Ciau, toa-suheng mereka. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2. "Apakah engkau tak berani?" seru Tan Bun Ciau menantang. "Apa yang tak berani?" "Menguji ilmu pedang!" "Sudah kukatakan, aku tak punya selera." "Tetapi aku justeru berselera sekali." "Menantang?" "Terserah. " "Apa tujuanmu?" "Untuk membuktikan apakah ilmu pedang dari partai Bu-tong pay itu sederajat dengan partai2 ilmu pedang yang lain!" "Ha, ha, ha, ha .... " "Mengapa tertawa?" Cu Jiang hentikan tawa, serunya : "Aku bukan ukuran ilmu pedang masa ini, anda salah alamat. " "Aku tetap akan minta pelajaran." "Apakah anda bernafsu sekali untuk cari nama?" Tan Bun Ciao terkesiap. Dengan mengertak gigi dia menyahut: "Terserah akan dianggap bagaimana !" "Sudah anda pikirkan masak-masak ?" "Hmm." "Ilmu silat itu tiada batasnya. Andaikata dapat mengalahkan aku, belum tentu anda akan menjadi jago nomor satu dalam dunia. Dan apabila anda sampai lengah." "Aku tak meminta nasehatmu!" "Jadi anda tetap ngotot hendak adu pedang?" "Ya." "Kalau aku menolak ?" "Kecuali engkau Toan-kiam-jan Ji menyatakan menyerah," "Ah, Jangan terlalu mendesak orang." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Terpaksa begitu." "Sekali lagi kuperingatkan. Anda ini bukan tandinganku." "Harus dibuktikan dulu." "Silahkan melolos pedang!" Mendengar itu keempat murid Hoa-sanpay yang lain serempak keluar dari pagoda peranginan. Beberapa pedagang yang masih berada disitu terkejut dan cepat2 membenahi dagangannya. Mereka mengira terjadi bentrokan dari beberapa orang persilatan yang hendak menuntut balas. Tan Bun Ciau mencabut pedang dan terus pasang kudakuda. Matahari hampir tenggelam. Bayang2 orang itu makin menjulur panjang. Cu Jiang tegak seperti patung. Kedua tangannya menjulai kebawah. "Mengapa tak mencabut pedang?" tegur Tan Bun Ciau. "Silahkan mulai." "Jangan keliwat sombong !" "Anda yang menantang pertarungan ini." Tan Bun Ciau tak mau banyak bicara, Ia salurkan tenaga-dalam kebatang pedang. Tetapi segera ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Walaupun tampaknya diam seperti patung tetapi sikap Cu Jiang itu sukar diserang. Tan Bun Ciau masih menunda serangannya. Keempat sutenya menghampiri dan berdiri pada jarak tiga tombak dari tempat pertempuran. Cepat sekali sudah sepeminum teh lamanya dan Tan Bun Cian tak uban lagi. Ia menyadari dirinya bukan tandingan lawan tetapi karena sudah terlanjur menantang, terpaksa dia harus melanjutkan. "Haiiiiit!" Serempak meraung keras, Tan Bun Ciau segera lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Jurus itu luar biasa hebatnya dan telah dilatih dengan sempurna oleh Tan Bun Ciau. Dalam dunia persilatan, dia sudah termasuk jago kelas satu. Tetapi sayang dia cari gara2 dengan Cu Jiang. "Trinng . . . ! " terdengar dering senjata yang nyaring sekali dan Tan Bun Ciau terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Pedangnya hampir jatuh. Keempat sutenya serempak memekik kaget. Cu Jiang menyarungkan lagi pedangnya, dan berseru: "Aku hanya menggunakan setengah jurus karena sebenarnya kita tak saling bermusuhan apa2." Habis berkata dia terus angkat kaki melanjutkan perjalanan. Setengah jurus" Hanya setengah jurus" Ah, mungkin orang2 tentu takkan percaya. Wajah Tan Bun Ciau pucat lesu, tubuh bergemetaran keras. Hanya setengah jurus saja, impiannya yang muluk telah hancur berantakan. "Ya, sudahlah ..." tiba2 dia ayunkan pedang ke tenggorokannya sendiri. "Toa suheng, jangan . . ." keempat sutenya menjerit dan serempak lari mencegah tetapi terlambat. Cret .... Tan Bun Cau rubuh mandi darah. Karena belum jauh Cu Jiang mendengar juga peristiwa itu. Dia menghela napas tetapi tak mau berpaling. Dia merasa tak bertanggung jawab atas peristiwa sedih itu. Hal itu merupakan suatu akibat dari perbuatan seorang persilatan yang sangat ambisius atau bernafsu untuk cari nama. Sekalipun begitu, Cu Jiang diam2 merasa sayang bahwa seorang jago pedang yang memiliki kepandaian sehebat itu harus mengakhiri hidupnya sendiri secara begitu mengenaskan. Menjelang malam tibalah Cu Jiang di pintu selatan kota Gong-an. Jalan Lam-tay terletak di pintu selatan kota itu. Seorang penjual obat tengah merentang tikar dan menjajakan dagangannya. Dia berteriak-teriak memanggil pembeli. Pada sebuah peti obat dilandasi selembar kain yang bertuliskan beberapa huruf, berbunyi. "Obat pusaka dari kakek moyang, khusus mengobati segala penyakit aneh yang sukar disembuhkan." Mendengar suara penjual obat itu, Cu Jiang segera dapat mengenali siapa orangnya. Orang itu tak lain adalah Song Pek Liang, salah seorang dari Keempat jago Tayli yang ditugaskan Cu Jiang untuk menyelidiki tempat yang dijanjikan Sebun Ong. Cu Jiang menghampiri dan memberi isyarat mata. Melihat itu Song Pek Liang segera menegur: "Tuan hendak memerlukan apa?" "Ya apakah khusus mengobati penyakit istimewa ?" sahut Cu Jiang. "Benar," sahut Pek Liang, "ilmu pengobatanku dari warisan leluhur. Penyakit ayan, gila, kesetanan, luka2 dibagian tubuh yang manapun, bisul2 yang kelihatan dan tak kelihatan, angin duduk, angin jahat, tentu dapat ku sembuh kan. Bagaimana kehendak tuan ?" Cu Jiang geli dalam hati. "Ada seorang sanakku, menderita penyakit ulu hati, segala obat telah dicoba tetapi tak mempan ..." "O, penyakit ulu hati ?" seru Pek Liang, "itu karena pencernaan macet, hawa darah tak dapat mengalir lancar. Setelah bertahun-tahun baru meledak. Tuan aku mempunyai resep. Tuan boleh belikan di rumah obat, tiga hari kemudian tuan boleh datang lagi kemari, nanti akan kubuatkan resep lain." Habis berkata dia terus menulis diatas secarik kertas, lalu diserahkan kepada Cu Jiang. "Tuan. obat dalam resep ini harganya mahal tetapi mengingat tuan tentu seorang kaya maka kurasa tuan tentu tak keberatan membelikannya." "O, aku tahu bahan2 obat," seru Cu Jiang. "Kalau begitu kebetulan sekali." Setelah memeriksa resep itu, Cu Jiang mengatakan apakah takerannya tidak terlalu berat. "Tidak, tidak berat." seru Pek Liang. "justeru disitulah letak perbedaan resepku dengan resep orang lain. Kayu pwe-bok lipat dua, tidak pakai biji Ti-lip, yang penting som, harap diperbankan, belikan menurut resep." "O, baiklah. Lalu berapa ongkosnya ?" "Tak usah. Apabila obat itu manjur, tiga hari lagi harap datang dan tuan boleh bayar ongkosnya." Setelah mengucapkan terima kasih, Cu Jiang-pun segera melanjutkan langkah. Cu Jiang berotak cerdas. Sandi2 yang diselipkan dalam kata2 Pek Liang tadi, dia cepat dapat menangkap maksudnya. Yang dibilang "belikan obat menurut resep", ialah supaya bertindak menurut keterangan. Sedang "kayu pwe-bok lipat dua dan tidak pakai biji Ti-lip", berarti ada dua wanita tetapi tidak ada lelakinya. Berarti yang ada hanya si Ratu-kembang Tio Houw Hui dan putrinya. Sedang kata2 "yang penting som", artinya yalah menunjukkan Budha-hidup Sebun Ong. Sementara yang dibilang "Harganya mahal", menunjukkan bahwa lawan memiliki kepandaian tinggi. Menurut tanda2 sandi disepanjang jalan, akhirnya Cu Jiang tiba di depan sebuah rumah gedung besar. Pintu bercat merah, gentengnya warna hijau. Beberapa pohon tua yang tumbuh di sekeliling, menjulang tinggi melampaui puncak rumah. Baru Cu Jiang melangkah ke muka rumah, pintupun sudah terbuka dan seorang lelaki tua menyambutnya. "Apakah yang datang ini bukan tuan Toan-kiam-jan-jin?" "Ya, benar." "Hamba diperintah majikan untuk menyambut kedatangan tuan. Mari silahkan masuk." Sejenak meragu, Cu Jiang segera melangkah ke titian dan masuk ke dalam gedung. Dinding ruangan berhias sebuah lukisan pemandangan alam. Dua buah lentera dari sutera tergantung tinggi. Di belakang tembok, merentang sebuah lorong yang terbuat dari batu putih. Tak panjang dan beberapa saat sudah tampak pintu dan jendela dari gedung utama. Setiba di muka serambi, bujang tua itu berseru nyaring: "Tetamu sudah datang." "Ha, ha, ha, sahabat benar2 menepati janji!" tiba2 terdengar suara orang tertawa dan muncullah Budha-hidup Sebun Ong. "Anda juga pegang janji." Cu Jiang balas memberi hormat. Sebun Ong mempersilakan tetamunya masuk dan duduk di tengah ruang. Seorang kacung menghaturkan teh. "Bolehkah sekarang aku bertemu dengan nyonya Cukat dan puterinya ?" sesaat kemudian Cu Jiang berkata. "Boleh." kata Sebun Ong lalu menggapai kacung tadi, "pergilah mengundang Cukat hujin dan siocia kemari. Katakan kalau tetamu yang ku ceritakan itu sudah datang." Tak berapa lama muncullah dua orang wanita. Dengan nada sopan, Sebun Ong mempersilakan wanita itu masuk. Kembali timbul keraguan dalam hati Cu Jiang. Sebun Ong benar2 bersikap seperti seorang kuncu atau gentleman. Beda sekali seperti yang di gambarkan Koh tiong-jin atau Cukat Giok tempo hari. Apakah benar2 terdapat salah faham dalam peristiwa itu. Kedua wanita itupun melangkah masuk. Yang di muka seorang nyonya dalam pakaian sederhana. Di belakangnya mengikuti seorang gadis berumur 17-18 tahun. Cantik menyilaukan mata. Cu Jiang serentak berdiri memberi hormat: "Maaf atas kedatanganku pada malam begini." Sebut Ongpun memperkenalkan diri Cu Jiang sebagai Toan kiam jan-jin yang menerima permintaan tolong dari Cukat Giok. Sejenak memandang Cu Jiang, wanita itu segera menggandeng tangan si gadis, diajak duduk di samping. Wajahnya menampilkan kedukaan. Sedang gadis itu menundukkan kepala. "Sahabat, silahkan bicara. Kalau tak leluasa, baiklah aku mengundurkan diri . . . . " kata Sebun Ong. "Tak usah," cegah Cu Jiang kemudian berkata kepada wanita itu, "apakah nyonya itu Tio Hong Hui yang bergelar Ratu-kembang dahulu" Dan nona ini apakah puteri nyonya?" "Ya. Kabarnya suamiku masih hidup?" "Masih." "Mengapa dia menelantarkan kami ibu dan anak?" "Tetapi sekalipun masih hidup, keadaannya jauh lebih menderita dari mati. " "Ih, kenapa?" Mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat seperti hendak menembus isi hati nyonya itu. Kemudian dengan keras ia mengucapkan kata2 sepatah demi sepatah: "Dia telah dicelakai orang, kini menjadi orang yang cacad tubuhnya! " Wajah wanita itu pucat seketika dan dengan nada gemetar berseru: "Mengapa dia sampai dicelakai orang?" Cu Jiang tertegun. Dia agak bingung bagai mana akan menyelesaikan persoalan itu. Untuk membalas budi Cukat Giok, dia telah menyanggupi untuk menyelesaikan persoalan itu. Tetapi kenyataannya, lain seperti yang diceritakan Cukat Giok. Karena hal itu mengenai jiwa manusia, ia harus hati2 bertindak. "Maaf. aku hendak bicara secara blak-blakan. Suami nyonya telah dicelakai oleh sahabatnya yang karib sendiri." "Siapa! " teriak wanita itu. Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiang mengerling ke arah Sebun Ong dan berseru: "Sebun tayhiap! " "Ah . . . ! " kedua ibu dan anak itu serempak menjerit kaget. Sebun Ong berbangkit tetapi duduk lagi dan tersenyum hambar: "Bagaimana dasar dari tuduhan itu?" Tiba2 Cu Jiang berdiri dan berseru dengan nada tegang: "Cukat cianpwe menceritakan sendiri kepada ku. Anda telah menurunkan tangan ganas kepada nya. Mengorek sebuah biji matanya, mengutungkan kedua kaki dan melemparkannya ke dasar jurang. Jika tak ada kenyataannya, masakan Cukat cianpwe akan merangkai cerita begitu?" "Aku.... mengapa harus melakukan perbuatan yang tak kenal perikemanusian seperti itu?" teriak Sebun Ong dengan tegang. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Karena hendak merebut isterinya." "Haia. sungguh suatu fitnah yang menyakitkan hati!" Wanita itupun segera mengelap muka dengan lengan bajunya dan dengan suara terisak-isak, berseru: "Aku tak percaya, tak mungkin terjadi peristiwa semacam itu ! Sepuluh tahun lamanya aku dan anakku telah mendapat pertolongan Sebun siokhu yang memberi tempat tinggal dan menjamin kehidupan kami dengan baik. Agar tidak disangka buruk oleh orang, maka hanya setahun sekali Sebun sioksiok datang kemari. Mengapa ... ada cerita semacam itu." Juga gadis itu rebahkan kepala ke dada ibunya dan ikut terisak-isak. Melihat adegan itu, itu tak enak hati Cu Jiang. Soal itu benar2 diluar dugaannya. Lalu bagaimana dia harus berbuat " Jika begitu dia perlu harus kembali ke dalam jurang untuk meminta keterangan yang jelas kepada Cukat Giok mengenai peristiwa itu. Bungkusan bunga teratai yang harus diberikan kepada Tio Hong Hui dan bungkusan kertas yang harus diberikan kepada nona Beng Cu itu, lebih baik ditahan dulu. Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata pula dengan rawan: "Apakah tidak mungkin dia menderita penyakit syaraf karena putus asa?" Cu Jiang terkesiap. Memang hal itu mungkin. Tiba2 nona Beng Cu mengangkat muka dan berkata dengan sedih: "Di manakah ayah sekarang" Aku bersumpah akan mencarinya sampai ketemu . . ." "Sahabat !" Sebun Ong cepat menanggapi lagi. "dalam soal salah paham ini, sukar untuk menjelaskan dengan kata2. Lebih baik anda menunjukkan tempat Cukat beng. Setelah bertemu dengan orangnya sendiri, segala apa tentu dapat dijelaskan!" Cu Jiang tertegun diam. "Apakah suamiku sudah tak dapat berjalan lagi?" tanya wanita itu. "Hm tenaganya sudah hilang, umurnyapun takkan panjang lagi." "Apakah dia minta tolong anda untuk membereskan peristiwa ini?" "Ya." "Apa pesannya?" "Potong kepala manusia yang mencelakai kawan dan merebut isterinya itu !" "O, Aah .. ..." Tio Hong Hui meratap. Air matanya berderai-derai keluar. "Lalu bagaimana anda akan bertindak ?" kata Sebun Ong dengan wajah beku. "Memeriksa lagi persoalan ini sampai jelas." "Mengapa anda keberatan untuk memberitahu tempat Cukat-heng !" "Soal ini .... untuk sementara tak dapat, maaf." Tiba2 wajah Sebun Ong membesi, serunya : "Sahabat, maafkan kelancanganku berbicara. Kedatangan anda ini sangat mencurigakan." Cu Jiang tertawa meringis. Kini dia berbalik menerima tuduhan. Ia mendengus: "Persoalan ini masih belum selesai. Aku masih akan menyelidiki sampai tenang, maaf, aku mohon diri." "Tunggu." "Anda masih mempunyai pesan apa lagi?" "Sahabat datang sebagai tetamu, ijinkan aku menunaikan kewajibanku sebagai tuan rumah ...." "Ah, jangan banyak peradatan." "Lepas dari persoalan ini, apakah anda benar2 tak mau memberi muka kepada Sebun Ong?" "Aku sudah biasa berkelana seorang diri. Tak suka berkawan, maaf." habis berkata Cu Jiang menatap ke arah nona Beng Cu, kemudian melangkah keluar. "Sahabat," Sebun Ong memburu, "setelah persoalan ini selesai, apakah sahabat tak keberatan bersahabat dengan aku ?" "Kelak kita bicara lagi." Jawab Cu Jiang dengan nada dingin. Sehabis keluar dari pintu, tiba2 Tio Hong Hui lari dan menghadangnya: "Anda harus menunjukkan tempat suamiku !" "Nyonya, sekarang masih belum waktunya." "Sudah belasan tahun kami suami isteri tak bertemu. Kita sama2 tak mengetahui bagaimana nasib kita masing2. Mengapa anda begitu ...." "Nyonya, kuminta suka bersabar beberapa waktu lagi." "Tidak, tidak !" tiba2 Tio Hong Hui menjeritkan tangisan. Gadis Beng Cu juga lari keluar dan dengan bercucuran airmata, berseru: "Apakah anda benar2 tak mengetahui bagaimana perasaan suami isteri dan anak?" Tiba2 Tio Hong Hui berlutut, disusul oleh puterinya. Melihat keadaan itu Cu Jiang benar2 kelabakan. Ia tertusuk perasaannya Juga. Jika Tio Hong Hui memang tak bersalah dan semuanya terjadi karena salah faham, bukankah berat untuk menerima permohonan yang disertai berlutut dari Tio Hong Hui " Bukankah Tio Hong Hui itu juga seorang cianpwe dalam dunia persilatan" Kalau memang tidak sungguh2, masakan wanita itu mau berlutut di hadapannya. Tetapi apabila memang benar Tio Hong Hui itu menyeleweng, jika ia memberi tahu tempat Cukat Giok kepadanya, apakah itu tidak berarti merusak kepercayaan dan mencelakai Cukat Giok" Dan ia masih mempunyai lain persoalan yang penting, jelas tak dapat menemani wanita dan puterinya itu ke gunung Bu-leng san mencari Cukat Giok. Cu Jiang bingung dan cepat2 menghindar jauh seraya berseru. "Nyonya, jangan bersikap begitu. Kita bisa berunding!" "Oh, anda meluluskan?" seru Tio Hong Hui penuh harap. Cu Jiang teringat bahwa ketika dia jatuh ke dalam jurang dan ditolong Cukat Giok, ia jelas mengetahui orangnya itu masih normal pikirannya, tidak terganggu atau menderita sakit jiwa. Tetapi ternyata keterangan orang tua itu lain dengan kenyataan. Mana yang salah dan mana yang benar, ia masih belum tahu. Teringat akan budi pertolongan orang tua itu, sebaiknya ia menuju ke dasar jurang menemuinya lagi agar persoalan itu jelas dan selesai. Tio Hong Hui dan puterinya masih tetap berlutut. Sebun Ongpun muncul. Dia kerutkan dahi. "Sahabat, persoalan ini harus selekasnya dibereskan, jangan biarkan pembunuh itu bebas berkeliaran diluar. Sebaiknya engkau luluskan permintaan mereka dan bersama-sama menemui Cukat-Heng. Hubungan darah daging, setiap orang tentu merasakan." "Jika anda tetap menolak, lebih baik anda bunuh aku sebagai seorang wanita hina!" teriak Tio Hong Hui, Dalam terdesak dan gugup akhirnya Cu Jiang mengangguk dan meluluskan. Tio Hong Hui dan Beng Cu serempak berbangkit. "Mohon anda memberitahu tempat suamiku itu, agar kami dapat lekas2 menemuinya," seru Tio Hong Hui. "Tidak, tempat itu amat rahasia sekali. Harus aku yang menjadi penunjuk jalan!" "Ini . . . . ah, bagaimana kami berani membikin repot anda . . ." "Aku mempunyai beban dari Cukat cianpwe untuk melindungi kebenaran." Tio Hong Hui memandang kearah Sebun Ong dengan pandang bertanya pendapatnya. "Sahabat." kata Sebun Ong dengan nada sarat, "bukan karena aku banyak curiga, Tetapi ke dua nyonya dan puterinya itu telah diserahkan dalam tanggung jawabku. Maka hendak kutitipkan keselamatan mereka kepadamu." "Baik akan kulaksanakannya dengan sekuat kemampuanku." "Apakah aku juga boleh ikut?" "Ah, maaf, rasanya belum waktunya." "Tetapi sahabat secara lisan mengatakan menjalankan permintaan tolong dari Cukat Heng. Adakah sahabat membawa sesuatu yang dapat dijadikan bukti?" "Ada!" "Harap menunjukkan." Dengan hati2 Cu Jiang segera mengeluarkan bungkusan teratai yang berisi racun sambil menunjuk, dia berkata. "Benda inilah !" Sesaat wajah Sebun Ong tampak berobah pada lain saat sudah tenang kembali. Kemudian berpaling kepada Tio Hong Hui: "Ensoh, kenalkah engkau akan benda itu?" Tio Hong Hui tertegun lalu mengangguk: "Ya, memang benar." Cu Jiang menyimpan kembali. "Sahabat, karena sudah ada keputusan. harap masuk kedalam lagi, akan kuhaturkan arak terima kasih ..." "Ah, tak perlu." "Mengapa sahabat menolak?" "Adatku memang begitu." "Apakah sekarang sahabat akan membawa Toasoh dan puterinya?" "Kita bertemu di kota Li-Jwan." "Ah, Li Jwan jauh sekali. Kapan ?" "Dalam sepuluh hari." "Jika begitu, baiklah." Sepeninggal Cu Jiang dari rumah itu, dia masih berkabut kegelapan. Antara kata Cukat Giok dengan kenyataan tidak sama. Hal itu berarti dia masih terlibat dalam persoalan yang belum selesai. Malam sudah larut. Jalan2 sepi. Tak mungkin dia akan mencari rumah penginapan. Terpaksa dia berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Tiba di tempat Pek Liang menjajakan dagangannya, ia melihat sebuah tanda sandi. Ia mengikutkan pandang matanya kearah yang ditunjuk oleh tanda sandi itu. Diatas segunduk tembok ia melihat beberapa corat-coretan yang melukiskan seorang lelaki tengah dikejar anjing. Diujung muka, terlukis beberapa ekor anjing, dibawahnya diberi tulisan yang berbunyi: "Kawanan anjing milik keluarga siapa?" Sepintas pandang, lukisan itu merupakan corat coret yang biasa dilakukan anak-anak nakal pada tembok2 rumah. Tetapi bagi Cu Jiang hal itu merupakan petunjuk rahasia bahwa saat itu dia sedang dikuntit orang. Selain itu juga sedang terancam oleh beberapa kawanan musuh yang belum di ketahui golongannya. Cu Jiang terkejut heran. Siapa yang secara diam2 mengikuti perjalanannya itu" Orang2 Thong-thian-kau, Gedung Hitam atau... Ah, tetapi dia tak gentar. Setelah melalui pintu kota dan berjalan di jalan yang sepi, ia merasa di belakangnya terdapat seseorang yang mengikuti. Tetapi dia pura2 tak tahu. Tak berapa lama berjalan, tibalah Cu Jiang disebuah rumah berhala kecil yang terletak di tepi Jalan. Cepat ia gunakan tata langkah Gong-gong-poh-hwat, menyelinap bersembunyi. Tetapi orang yang mengintil itu cerdik sekali. Dia berhenti tak mau ikut masuk. Cu Jiang tak mengacuhkan. Dia naik keatas wuwungan dan duduk bersemedhi. Semalam tak terjadi suatu apa. Tetapi ketika keesokan harinya dia hendak melanjutkan perjalanan, tiba2 ia mendengar suara orang mendengus. Kejutnya bukan kepalang dan cepat2 Ia berpaling kearah suara itu, tempat ia bersembunyi, diujung wuwungan belakang, tampak seorang lelaki tua tengah tidur melingkar dan mendengkur. Kapan orang tua itu muncul, sama sekali tak diketahuinya. Yang jelas ketika semalam dia naik keatas wuwungan, ia tak melihat sesosok bayangan manusiapun. Ah.... Suatu hal yang benar2 mengejutkan hatinya. Karena kalau menilik ilmu kepandaian yang dimilikinya sekarang, tak mungkin dia tak mengetahui. Jangankan manusia, barang semut berjalanpun ia dapat menangkap suaranya. Dengan begitu jelas orang tua itu bukan orang sembarangan. Oh, apakah dia yang menguntitnya selama ini " Setelah menenangkan pikiran, Cu Jiang batuk2. Orang tua itu membalikkan tubuh dan mengingau: "Siapa yang lebih dulu sadar dalam mimpi, segala urusan aku dapat mengetahui sendiri. Belum puas tidur diatas wuwungan rumah berhala uh, mahluk apa yang mengganggu mimpiku ?" Kini Cu Jiang semakin Jelas.. Orang tua itu tak lain adalah Ciok Yau to bergelar Thian-put loya atau Hanyalangit-yang-tak-dicuri. Jelas orang tua itu datang belakangan dan bukan karena secara kebetulan tetapi tentu mempunyai tujuan. "Aku manusia, bukan binatang." serunya. Pencuri sakti itu membuka besar-besar mata sambil Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bangun, ia lalu memandang Cu Jiang dan tertawa meringis: "Oh, sungguh kebetulan sekali ! Kiranya Toan-kiam-jan jiu !" Sepasang mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat, serunya dingin: "Apa maksud anda mengikuti aku?" "Mengikuti " Tidak, tidak! Aku kemalaman dan terpaksa tidur disini." "Apa benar begitu ?" "Percaya atau tidak. terserah !" "Didalam dunia itu jangan terjadi hal secara kebetulan seperti kali ini .." Cu Jiang terus melayang turun dan ayunkan langkah. Nada dan suaranya sungguh jumawa sekali. "Hai, menganggap dunia ini tiada tandingannya. Lambat atau cepat tentu akan mengantar Jiwa dibawah kun (rok) si Ciok Liu !" terdengar orang tua itu mengigau seorang diri. Cu Jiang terkesiap tetapi dia tak mau menghiraukan dan pura2 tak dengar. Sinar matahari mulai menghangatkan bumi. Di Jalan pun sudah banyak orang. Cu Jiang singgah disebuah kedai makan lalu melanjutkan perjalanan lagi. Dalam sepuluh hari dia harus tiba di Li jwan, bertemu dengan Tio Hong Hui dan puterinya. Sebenarnya dia segan kembali ke dasar jurang yang menyeramkan itu. Tetapi apa boleh buat. Diam2 ia menimang, berpisah sekian lama, kemungkinan Ko-tiong Jiu Cukat Giok itu sudah meninggal dunia. Karena pada waktu berpisah, orang tua itu mengatakan bahwa tak lama lagi dia tentu sudah mati. Jika Cukat Giok benar2 sudah mati, bukankah persoalan Itu akan terbeku selama-lamanya " Saat itu dia sedang menempuh jalan yang sepi. Walaupun dengan kaki sebilah pincang tetapi kecepatannya mengejutkan orang. Tiba2 ia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Serasa ada orang yang bersembunyi. Sengaja ia lambatkan langkah. Tak berapa lama berjalan, pada jarak sepuluh tombak dari tepi jalan, ada sebuah gunduk tanah digerumbul pohon. Rupanya gunduk itu, masih baru dan didepannya dipasang sebilah papan batu yang bertulis: "Toan-kiam-jan jin dikubur disini." Melihat itu Cu Jiang tertawa gelak2. Dia segera menghampiri. Memang benar, gunduk tanah itu masih baru. rupanya orang2 itu hendak mencegat, membunuh dan menguburkan dia disitu. Selesai memeriksa dia lalu duduk bersemedhi dibawah sebatang pohon tua, diatas lutut, kemudian pejamkan mata. Beberapa saat kemudian semula mendengar suara yang lembut. Dan dua musuh tentu mulai bergerak tetapi dia diam saja. Setiup angin dahsyat segera melanda kearah kepalanya. Huak.... terdengar jeritan ngeri disusul dengan sosok tubuh yang jatuh. Tanpa membuka mata, pedang kutung di acungkan keatas dan hawa pedang memancar sampai dua tombak, merontokkan ranting dan daun2.. "Ha. ha, ha .... Toan-kiam-Jan-jin sungguh hebat sekali !" Suara gelak tawa itu menggetarkan empat penjuru angkasa. Cu Jiang menurunkan pedang, membuka mata dan berbangkit. Kedua matanya memancarkan sinar berapi-api. Didepannya melintang sesosok mayat dari seorang busu baju kuning. Mungkin karena melibat Cu Jiang duduk pejamkan mata, busu itu terus melancarkan serangan. Tetapi akibatnya dia sendiri yang mati. Dua tombak jauhnya, tampak seorang aneh berjubah kuning. Mulutnya mencolot, tulang pipinya menonjol, biji matanya banyak putih dari hitamnya. Tingginya tak kurang dari dua meter. Cu Jiang cepat mengenali orang aneh itu sebagai si Iblis gila atau Gong Mo yang dahulu pernah memukulnya dengan pukulan Thian-kong-sat. Tetapi rupanya iblis itu tak kenal siapa sebenarnya Toankiam jan-jin. Dia tentu tak mengira bahwa Toan kiam-Jan Jin itu tak lain adalah pemuda Gok-jin-Ji yang dahulu itu. Melihat orang yang telah mencelakai dirinya menjadi cacat, seketika meluaplah hawa pembunuhan Cu Jiang. Tetapi ketika keliarkan mata ke sekeliling, ia terkejut juga. Ternyata sekeliling empat penjuru, telah dikepung tak kurang dan lima puluhan orang. Pelahan-lahan mereka maju menghampiri. Dia menyadari apa yang akan dihadapi saat itu. Rupanya Thong thian kau telah mengirim berpuluh-puluh jago sakti untuk membunuhnya. Mereka tentu marah mendengar berita Thong thian-kau cabang Siok-ciu telah diobrak-abrik dan ketuanya yakni Kiam Mo. menjadi manusia lumpuh dan cacat seumur hidup. "Toan-kiam jan jin," seru Gong Mo dengan nyaring, "liang sudah disediakan untukmu. Jika ingin mayatmu utuh, masuklah sendiri ke dalam liang kuburmu itu!" Cu Jiang mendengus dingin: "Gong Mo, liang itu untukmu sendiri!" "Engkau tahu namaku?" Gong Mo terkejut. "Bukan baru sekarang ini!" "Siapakah engkau ini?" "Tak usah bertanya. Aku keluar demi menumpas kawanan iblis seperti engkau dan kawan-kawan mu itu." "Ha, ha. ha ... . engkau adalah manusia kedua yang paling congkak yang kujumpai didunia ini!" "Siapa yang kesatu?" "Gok-jin-ji budak gila itu." Diam2 Cu Jiang geli tetapi ia berseru dengan nada dingin: "Sayang engkau takkan bertemu orang yang ketiga lagi!" "Apa maksudmu?" "Sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat nama Gong Mo lagi!" Karena marah Gong Mo tertawa nyaring: "Akan ku tangkap hidup-hidupan untuk kusiksa sepuas hatiku. " "Asal engkau mampu." sahut Cu Jiang. "aku sih tak memilih kematian cara apa saja." "Bagus, engkau ini memang budak . .." Gong Mo maju dua langkah sehingga hanya terpisah tidak sampai dua meter. Cu Jiang lekatkan pandang matanya, menyalurkan tenaga dalam ke tangan. Suasana tegang sekali, diliputi hawa pembunuhan. Tiba2 Gong Mo dorongkan kedua tangannya, menghantam Cu Jiang. Pedang berkilat, dengan sepenuh tenaga Cu Jiang pancarkan ilmu pedang Thian-tay kiau-thay. Angin pukulan menderu dahsyat, hawa pedang pun meroket angkasa. Jeritan ngeri, erang tertahan serempak terdengar. "Huak . . . . " "Auh..." Cu Jiang terdorong tiga langkah ke belakang. Darah dalam tubuhnya bergolak-golak, pukulan Thian-kong-sat dari Gong Mo hampir memberantakan tenaga kong gi yang dipancarkan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya. Jika setahun yang lalu, dia tentu mati karena pukulan itu. tetapi sekarang ia mampu bertahan. Jubah Gong Mo mengalirkan darah merah. Bluk .... tubuhnya yang tinggi besar segera terjungkal rubuh ke tanah dan tak dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. "Hai ...." pecahlah teriak kejut dari sekalian anak buah Thong-thian-kau. Benar2 mereka tak percaya pada peristiwa yang dilihatnya saat itu. Seorang anggauta Sip-pat thian mo yang termasyhur, ternyata hanya dengan sebuah jurus saja, sudah terbunuh mati. Secepat kilat dua batang pedang segera menerjang Cu Jiang. Cu Jiangpun cepat memutar pedang kutungnya. Huak. . . huak . . . kembali di atas tanah bertambah lagi dengan dua sosok mayat. Menyusul tiga pedang menyerang lalu pekik bentakan, jeritan ngeri. Darah, sinar golok, bayangan pedang, angin pukulan dan deru sambaran senjata rahasia, bertubi-tubi menggemuruh .... Hutan itu segera berobah menjadi tempat pembunuhan. Jago2 Thong-thian-kan susul menyusul rubuh. Setiap kali Cu Jiang menggerakkan pedang, paling sedikit tentu ada seorang musuh yang rubuh. Mayat makin lama makin menumpuk. Tetapi jago2 Thong-thian kau itu seperti kerasukan setan. Mereka menyerang dengan jurus2 maut. Mereka tak menghiraukan mati. Cu Jiang merah matanya. Diapun ikut kalap seperti lawan. Pakaiannya penuh berlumur percikan darah. "Mundur ...!" tiba2 terdengar sebuah bentakan menggeledek. Kawanan jago itupun berhamburan mundur. Dari sejumlah lima puluhan orang, kini mereka hanya tinggal belasan orang. Dua orang aneh berjubah warna kuning, serempak maju ke dalam gelanggang. Keduanya berwajah menyeramkan. Cu Jiang menjulurkan pedangnya ke bawah, pedang itu masih mengucurkan darah. Kedua pendatang itu yang seorang memegang senjata Tok kak thong jiu atau Orang-tembaga-berkaki-satu dan yang lain mencekal Ki bi-thiat kun atau tongkat besi. Kedua senjata itu termasuk senjata berat. Jelas keduanya tentu memiliki tenaga yang kuat sekali. Sepasang mata mereka berkilat-kilat memancarkan sinar buas sekali seperti singa mencium darah. "Rupanya kalian berdua ini juga anggauta dari Sip pat thian mo?" tegur Cu Jiang. "Benar, aku adalah Bu Mo yang termasuk pada jajaran ke tujuh belas." sahut orang yang mencekal tongkat besi. "Dan aku iblis yang ketiga belas. Toa-lat-sin-mu. Budak, aku takkan berhenti sebelum mencincang tubuhmu! " "Kalian akan maju berdua atau . . ." "Heh, heh, heh .... Sip pat thian-mo selalu bertempur satu lawan satu." "Siapa yang akan maju dulu?" "Aku." "Silakan ! Aku masih ada lain urusan penting. Tak dapat lama disini." Bu Mo mundur setombak jauhnya. Sementara setelah siap dengan senjata Tok-kak-thong-jin. maka dengan tertawa seram, Toa-lat-cin-mo atau Iblis-sakti-bertenaga besar segera melancarkan serangan menghantam kepala Cu Jiang dengan sekuat-kuatnya. Cu Jiang menangkis dengan pedangnya. Tring . . . senjata Tok-kak-thong-jin tertolak tetapi adu tenaga itu menggetarkan tubuh Cu Jiang sehingga darahnya bergolak keras. Tok-kak-thong Jin atau naga berbentuk orang berkaki satu merupakan senjata yang berat. Sedang pedang adalah senjata ringan, hanya mengutamakan kelincahan dan tenaga si pemakai. Kalau bukan Cu Jiang, tentu tak ada orang berani mengadu pedang dengan Tok-kak-thong-Jin tetapi pun jika bukan Toa lat sin-mo, tentu sudah mati di bawah pedang Cu Jiang. Toa-lat-sin-mo juga terkejut bukan kepalang. Dia tak menyangka lawan berani mengadu pedang dengan gada yang berat. Dan lebih kaget lagi ketika ia merasakan akibat dari benturan senjata itu. Ternyata lawan memiliki tenaga dalam yang hebat sekali. Pada saat Toa lat-sin-mo masih tercengkram terlongong keheranan. Cu Jiangpun sudah bergerak menyerang dengan jurus Thian te kun-thay. "Uh.." cepat Toa lat sin-mo lintangkan gada Tok kak thong-jin untuk melindungi tubuhnya. Iblis itu memang hebat dan cepat bergerak tetapi sayang masih kalah cepat setindak dengan Cu Jiang. Serentak terdengar seruan tertahan dan keduanyapun loncat berpencar diri. Dada Toa-lat sin-mo berhias dengan suatu luka sepanjang setengah meter, darahnya bercucuran. Melihat dirinya terluka, Sin-mo marah sekali. Dengan menggerung seperti singa kelaparan, dia menyerang dahsyat. Wut.. tongkat besi dari Bu Mopun ikut menyerang. Kalau dua iblis maju serempak, dahsyatnya sukar dilukiskan. Cu Jiang terkejut dan cepat menggunakan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat untuk menghindar. Kedua iblis itu menggeram dan serempak berputar tubuh. Sebenarnya Cu Jiang hanya menyelinap ke belakang, bukan melarikan diri. "Bukankah Sip-pat-thian-mo itu selalu bertempur satu lawan satu?" serunya mengejek. "Kecuali terhadap engkau karena engkau harus mati," sahut Bu Mo dengan menyeringai. Dan kedua iblis itu lantas menyerang lagi. Deru angin sambaran dan dua buah senjata berat mereka, menimbulkan letupan2 macam halilintar menyambar. Kali ini Bu Mo benar2 ngotot sekali. Dia menumpahkan segenap kepandaiannya. Dia cepat merobah permainannya dalam jurus Ya-con-pat-hong atau bertempur-empat-arahpada-malam-hari. Suatu jurus yang sederhana.. Tetapi dimainkan oleh seorang iblis macam Bu Mo, jurus itu berobah menjadi Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gerak yang hebat. Saat itu Cu Jiang melihat suatu lubang kesempatan. Sehabis menghindari serangan, dia terus menghantam punggung Sin-mo. 0oodwoo0 Jilid 13 Tring ... . terdengar dering senjata beradu di susul dengan erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati. Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sinmo sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di dadanya sehingga dia terhuyung-huyung hampir rubuh. Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata berat dan panjang. Harus dibasmi dulu. Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah cepat-cepat menghindar lalu menghantam. "Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya. Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka Toa lat sin mo tak keburu menghindar. Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun rubuh. Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia terpaksa hanya menghindar saja. Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas. Darah bergolak keras. Dia sempoyongan sampai lima langkah baru dapat berdiri tegak. Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang. Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras. Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding memancarkan tenaga-dalam ke luar. "Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia menyerang lagi makin dahsyat dan gencar. Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan. Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus menyerang, tring Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut, hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu kekerasan dengan Cu Jiang. Urat2 jantungnya putus. Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh terduduk. Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah itu. Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk menyambut serangan musuh. Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh. Yang lain2 serempak mundur. Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat orang menyerang lagi dari empat arah. Cu Jiang mengertek gigi. "Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh, habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya. Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya. Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah mengalami kematian yang mengerikan. Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain kerudung muka Cu Jiang. Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserakserak memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian juga. Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya meluap, semangatnya pun berkobar lagi. "Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya menyerupai aum singa yang menginjak korbannya. Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu Jiang telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu kesempatan yang bagus. Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih mampu membunuh empat orang jago kojiu ... Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu dibunuh itu. Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah menurun itu mulai bangkit lagi. Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu. Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat berdarah, tampak merah membara sehingga nyali kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti dengan bayang2 ketakutan. "Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan orang itupun segera berhamburan mundur. "Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat berputar-putar menyerang mereka. Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh morat marit. Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini." Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya, cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya. Namun tekadnya yang membaja menimbulkan kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan terhuyung-huyung ia melangkah pergi. "Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo, terus jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik . . ." suara hatinya membisikinya. Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya ia merasa tak kuat lagi. "Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. . Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit kaget: "Oh, kiranya dia!" Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu seorang wanita. Tetapi siapakah dia" Apakah dia kenal pada Cu Jiang" Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam kegelapan lagi. Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan menyurut mundur tiga langkah. "Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!" Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2 dihentikan lagi. "Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2 terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari kearah suara tawa itu. Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari. Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat mengetahui kalau sedang berada disebuah goa. "Hah, mengapa aku berada disini " Bukankah aku terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri. Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenagadalam. Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak merasa sakit. Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Sengsi-hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai kesempurnaan tenaga-dalam. Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat kemudian, tenaganya makin pulih. Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam. Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip. Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari. Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang gelap itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun. Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa. Mengapa orang tua itu berada disitu" Belum sempat ia menegur, orang itu sudah mendahului tertawa: "Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah sembuh !" Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya. "Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku dapat dengan mudah mencabut jiwamu!" Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang. "Apakah cianpwe yang menolong aku?" "Separoh bagian." "Separoh bagian" Aku tak mengerti maksud cianpwe." "Engkau mati satu kali." Cu Jiang makin bingung. "Aku benar2 masih tak jelas!" "Duduk dan mari kita bercakap-cakap," orang itu memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut. Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahanlahan. "Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan menggeletak dalam hutan . . ." "O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut. "Tentu." "Lalu?" "Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ." "Ah, dia ...." "Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka, dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang Nio Cu !" "Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya mendengar namanya belum pernah tahu orangnya." "Lalu?" "Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi. Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda, dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain..." "Siapa ?" "Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain hitam, entah siapa . . ." Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan. Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu mengenal engkau . . ." "Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu Jiang terkejut. "Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2. Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu kali." "Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?" "Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman, tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya." "Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio Cu. "Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula. Cu Jiang bangun dan memberi hormat: "Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat baik2 dalam hati." "Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah, "aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi sahabat saja." "Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .." "Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku sebagai lo-koko, mau?" "Ini ..." "Aku tak senang segala macam peradatan." "Kalau begitu terpaksa aku menurut saja." "Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ." "Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ." "Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ." "Lo koko mau bilang apa, silakan." "Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah pantangannya nomor satu?" Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan dimaksud oleh orang tua itu. "Pantangan .... apa?" "Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas. Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu . . ." Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2 Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng .... Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking jeritan ngeri dari seorang wanita. Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2 wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?" "Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi. "Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia hendak mencari engkau...." "Lo koko, mari kita ke sana." "Hayo !" Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan arahnya. Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio Cu. Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang darah yang terakhir. "Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan." "Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu Jiangpun menuju ke barat. Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang sampai jarak seluas delapan tombak. Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan. Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari balik gerumbul. Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh. Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap. Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya. Dalam beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang. Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari seorang wanita baju merah lagi. Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah salah seorang dari keempat wanita baju merah yang memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu. Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejarkejaran tadi, wanita itu sudah tahu. "Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu. "Ya, benar." "Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa sungkan lagi. Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada bujang baju merah itu, sahutnya: "Kalau mati masakan bisa datang ke sini." Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram: "Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati." "Mengapa mati?" "Karena engkau." Cu Jiang terperanjat, serunya: "Apa" Dia mati karena aku?" "Siapa bilang tidak?" "Bagaimana peristiwanya?" "Kami berdua menerima perintah majikan untuk mencari jejakmu . . ." "Oh, lalu siapa yang membunuhnya?" "Seorang baju hitam yang berkerudung muka." "Dia!" Cu Jiang mengertek gigi. "Siapa?" dayang baju merah itu tegang. "Ketua Gedung Hitam!" "Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai dunia persilatan itu?" "Ya. " "Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang meluap-luap. Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi tegas: "Aku akan membalaskan sakit hatinya." "Majikan kamipun dapat juga!" "Di mana majikanmu?" "Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu." "Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?" "Menurut peraturan perguruan kami, akan dikubur dengan baik. " "Apakah aku dapat membantu" " "Tak usah." "Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang. "Barat. " "Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan, bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!" "Hm, mudah-mudahan hatimu sesuai dengan katakatamu." wanita baju merah mendengus dingin. "Apa maksudmu ?" Wanita baju merah itu tertawa rawan. "Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat apa yang anda ucapkan tadi!" Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak. "Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah pendirianku Bagaimana aku tak dapat pegang Janji" Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah barat. Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa, terpaksa dia kembali ke timur lagi. "Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu." pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan perjalanan. Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-posay, tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi. Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya" Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung. Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak terdapat sebuah rumah pendudukpun juga. Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain. Cepat ia lari menuju ke tempat itu. Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah airterjun. Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun. Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya membawa sebuah buntalan kain panjang. Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar. Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit. Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun. "Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang. "Engkoh Hong!" "Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali. "Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang. Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak, lalu berseru: "Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?" "Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu dengan tak acuh. "Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya agak lain ..." "Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat dan tubuh gemetar. "Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya dengan nada tergetar. Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan. Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi. "Ceng-moay. aku . . . aku ..." "Engkau bagaimana?" "Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak dapat melupakan barang ini!" Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan rawan berkata: "Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau mempermainkan aku?" Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana engkau mengatakan begitu?" "Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ." "Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat mengatakannya." "Tetapi engkau . . . berobah.." "Berobah?" "Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau mencintai aku atau tidak?" Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu. "Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu. "Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! " seru wanita itu dengan tegang. "Tetapi ..." "Oh, tak dapat melupakan, bukan?" "Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu. Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ." "Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak menghindari keramaian dunia?" Dahi sasterawan itu nampak berkerut. "Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi pada tubuhmu itu" Tampaknya engkau sudah hampir mati sampai beberapa kali " Engkau pernah mengatakan bahwa selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau berobah pendirian ?" Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang. Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau. "Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!" akhirnya ia berkata. "Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang. "Kudengar.... di daerah Tionggoan telah muncul seorang jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!" "Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus buru2 mencarinya. Apa yang engkau dapatkan" Engkau.... engkau..." Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh kemarahan. Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada tegang: Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewapedang. Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !" Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2 yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan. Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah, memberantas yang jahat dan lain2 cara yang bersifat ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan terpuji daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya. Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat memahaminya dengan sempurna." Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya dingin. Wajah sastrawan itu berobah merah. "Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !" Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan tegas: "Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !" Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?" "Karena kita berdua takkan dapat berkumpul" "Mengapa ?" "Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan kembali lagi." Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar: "Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toankiam jan Jin?" "Aku benar2 mempunyai firasat begitu !" Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan sebatang pedang pusaka nampak menongol. "Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada keputusanmu?" teriak wanita cantik itu. Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang aneh, seolah memberi suatu firasat. "Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon kepadamu!" Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk: "Sejak dulu aku memang sudah meramalkan bahwa kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini sudah garis takdir !" "Ceng-moay, jangan berkata begitu!" "Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk pedang..." "Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..." Wanita cantik tertawa dingin: "Bukankah kenyataan memang begitu?" "Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu kali ini saja, ya, sekali ini saja !" "Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !" "Ceng-moay . .." "Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !" habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah dan terus lari keatas gunung. Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru berteriak: "Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?" Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar dan berteriak-teriak memangginya: "Ceng-moay . . . Ceng-moay ..." Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya, manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup tenteram, masih hendak cari perkara" Mengapa orang itu lebih mengutamakan nama daripada cinta" Apakah kemasyhuran nama itu" Ayah juga diagungkan sebagai Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya" Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar. Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang airterjun yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak. Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru membujuknya. "Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala permintaanmu!" Wanita cantik tertawa dingin: "Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ." Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah.... hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita cantik itu sudah loncat ke bawah jurang .... "Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun kepiluan dan putus asa. Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang menutupi permukaan jurang. Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang, tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki yang dicintainya. Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toankiam-jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu. Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat bernafsu untuk mencari nama itu" Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu akan menyadarkan pikirkan orang itu. Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan. Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan. Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi. Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di Li-jwan. Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan puterinya sudah datang atau belum. Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman. Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual dari desa. Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai dan minta disediakan arak putih. Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2 terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru: "Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun, selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li pesiar ke daerah yang begini sunyi?" Kawannya, juga seorang anak muda menyahut: "Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada lain tujuan . . ." "Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun itu?" "Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman bunga Tho yang indah?" "Apakah Ho toako tak ingin juga?" "Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..." "Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada mereka ?" "ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh." "Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali." "Dan engkau ?" "Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ." "Ah, cukup nilainya." Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun, dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil, dibuka cabang. Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki ilmu silat yang tinggi. "Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda yang pertama. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana tentu dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?" "Ah, sudah . . . pernah sekali." "Bagaimana?" "Sukar dikata." "Ha, ha, ha, ha...." "Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi setanpun orang tetap akan mengenang." "Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari." "Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam satu perahu, bukan?" "Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud, ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh . . ." "Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!" "Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin terjadi rebutan, ha, ha, ha .... " "Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan sana?" "Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai didahului lain orang." "Mari." Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi. Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih sedang dalam perjalanan. Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu" Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thianmo" Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan ke muka. Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk menghampiri. Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di warung tadi. Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat jago Tayli itu " Tetapi sampai lama ia tak dapat menemukan jawabannya. Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat maksiat semacam itu. Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia supaya datang ke tempat itu " Karena tetap tak dapat menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang memutuskan untuk bersembunyi menunggu perkembangan. Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup masuk kedalam kuil. Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali. Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya. Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah. terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu yang berkobar-kobar. Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun, dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara. Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika berada di kota Gong-an tempo hari. "Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan merenung peristiwa aneh itu. Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu. Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio Hong Hui kearah pintu. "Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang burung hong mencari burung hong." Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur rencana dalam peristiwa itu. Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan tubuh lalu berkata. "Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..." Bun-cu artinya ketua perguruan. "Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul. "Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam tinggalan leluhurku!" "Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk bermain-main dengan burung hong !" "Ini.... ini ... ." "Terserah mau atau tidak. Jika tak mau, silahkan kembali dan bawalah barang upeti itu !" Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2 mengangguk. Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang duduk disampingnya: "Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2, Jangan sampai mengecewakan." Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya mengundang: "Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona yang kuat. Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa ketika dipuncak wuwungan rumah berhala. "Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke bawah kun (rok) si Ciok Liu ..." Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik. Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau bertanya lebih lanjut. Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum. Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu, meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah perkasa, memasuki ruangan. Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan kawanan Sip-pat-thian-mo. Terpaksa dia menahan kesabarannya. Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning itu berseru. "Buncu, sudah lama kita tak berjumpa." Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat ia tenangkan diri dan tertawa. "Oh, siapakah anda ?" "Cobalah terka !" "Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk menerka." "Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi orangnya kecuali aku." "O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ." "Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang berlangsung sehari semalam itu?" Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan berseru tegang: "Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo, bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?" Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2. "Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu sekarang?" "Dalam seratus babak, masih dapat melayani!" "Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal pintu gedung bun-cu!" Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja. Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah mulai melangsungkan adegan yang disebut "Sepasang burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan. "Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning itu. "Tunggu dulu!" "Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?" "Anda tahu peraturan perguruan kami?" "Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?" "Siapapun tiada yang dikecualikan!" "Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?" "Ilmu silat yang bagaimana?" "Kui ai-lay-hwat?" "Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan lebih dulu. . ." "Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..." "Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan kami!" "Baiklah." "Silahkan masuk!" Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi. Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus melesat ke luar. Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah diduganya. Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram. "Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari mampus?" Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan membalik tubuh dan . . . "Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi golonganku?" serunya gemetar. "Benar!" "Baik, aku memang hendak mencarimu!" "Sama-sama." "Hari ini engkau harus mati!" "Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!" Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang. Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil. Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada angin, jubahnya menggelembung sendiri. Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja, tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi. Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih kesempatan pada lawan " . . . . Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawankawannya. Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului menghantam lawan dengan kedua tangannya. Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan menghantam diapun terus menyabet dengan pedang kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya. Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya berguncang keras. Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja sudah ngacir. "Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat, sukar untuk mengejarnya. Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak sempat melarikan diri lagi. Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang. Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah kosong melompong. Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan menerobos masuk. Apa yang di saksikan membuatnya muak dan panas. Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos. Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu terkena ilmu pesona. "Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya mengangkat tinjunya. Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata menunggu kematian. Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan manusia iblis. Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di neraka. Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal karena meragukan kepercayaan Cukat Giok. Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci, mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2. Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri semua. Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh. "Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat. Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat mengenalinya" "Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?" tenang2 saja Lam-ki soh menjawab. "Sudah tentu tak lupa." "Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun akan menjaga dirimu . . ." "Oh, terima kasih, lo cianpwe. " "Tak perlu." "Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari" " Cu Jiang bertanya pula. "Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu. Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si gagak tua yang tidak tahu malu itu?" "Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat untuk menyelesaikan sebuah persoalan." "Menerima permintaan orang ?" "Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok." "Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?" "Karena wanita itu adalah isterinya !" "Apa?" "Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok." "Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak. Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada dingin: "Aku tidak ngaco!" "Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat Giok itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh. "Cukat Giok sendiri." "Apa itu bukan ngaco belo namanya?" "Aku bukan manusia yang gemar ngaco !" "Apa Cukat Giok sudah gila?" Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas: "Dia tidak gila !" "Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari jejak isterinya?" "Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng." Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu berkata: "Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari Hoa gwat bun?" "Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa Hou (Ratu kembang) To Hong Hui." "Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?" Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. . "Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?" serunya dengan nada gemetar. "Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui" Apakah engkau hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?" "Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram. "Siapa yang menipu ?" "Bu lim-seng hud Sebun Ong !" Lam-Ki soh kerutkan dahi. "Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana menipumu?" Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang. "O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-kisoh. "Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi." seru Cu Jiang. "Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan dilakukannya terhadap dirimu. " "Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?" "Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam." Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang menusuk telinga. "Siapa!" teriak Cu Jiang. Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya: "Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui. Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak mencari ketua Gedung Hitam itu?" "Aku sudah punya rencana !" Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan. Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar. Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan lima rahib muda. "Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan. "Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?" "Ya, kau..." Cu Jiang cepat loncat ke muka. Dengan beberapa ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan terlempar lagi ke dalam api. "Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.kisoh. "Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah pada manusia." "Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh. Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak perlu dibantu orang. Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio Hong Hui. Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun. Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan menelantarkan pesan Cukat Giok" Ketua Hoa-goat-bun mati selagi Tio Hong Hui masih hidup. Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi. Dia memutar dari samping tembok kota lalu menyusur jalan di sepanjang tepi sungai. Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang berseru: "Hai, bung. berhenti dulu!" Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan balas menegur: "Sahabat dari mana ini?" "Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu pula. "Benar." "Aku Ban Ki Hong." "Ada keperluan?" "Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda." Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar diri ke dalam jurang. Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu benar2 gila. "Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya menunjuk ke sebuah pesisir. "Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni permintaanmu?" seru Cu Jiang. "Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas bertanya. "Mungkin." Wajah Ban Ki Hong berobah seketika. "Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan nada tergetar. "Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu Jiang. Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak memandang mata kepadaku!" "Memang." "Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ." "Lalu?" "Kita bertempur sampai mati!" "Telah kukatakan, engkau belum pantas!" Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya. Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata. "Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah keputusan. Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menjurus ke tepi sungai. "Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya perikemanusian !" seru Cu Jiang. Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar marah, serunya: "Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu pedang sudah lazim dikalangan persilatan. Mengapa engkau menghambur makian kepadaku ?" "Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum pantas menjadi lawanku." "Apa artinya ?" "Dengan memburu nama kosong, engkau mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?" Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru: "Bagaimana engkau tahu ?" "Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!" "Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh mengandung kesedihan. "Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang membunuh ?" Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang. "Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya dengan gemetar. "Ya " "Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu." "Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau tetap akan turun gunung." Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang kalap: "Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . .. tetapi .... akhirnya mati dibawah pedang." Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya. "Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan mengeluarkan pedang itu lagi ?" "Ya." "Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji, mengapa engkau menikah dengan dia ?" "Ini.... ini... karena aku mencintainya!" "Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau menjadi seorang bu-su !" Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak sekerasnya: "Tetap harus mengadu pedang!" "Mudah sekali untuk membunuhmu !" "Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak penting lagi." "Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang tak dapat dinasihati lagi." "Cabut pedangmu." "Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang engkau dapat mengerti pelajaran itu?" "Benar!" "Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu pedang itu?" "Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang ayahku." "Apakah ayahmu juga segila engkau ?" "Jangan menghina orang yang sudah mati !" "Ah !" "Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah kanan. Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada. Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang kesaktiannya. Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga dan berseru: "Tunggu dulu!" "Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong. "Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?" "Entah !" "Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu Wasiat Sang Ratu 2 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Rahasia Dara Ayu 1