Ceritasilat Novel Online

Rimba Dan Gunung Hijau 3

Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen Bagian 3 Berdasarkan pengalamannya tidak ada yang salah pada tubuh anak ini. Bila ketidaklancaran atau ketidakmampuan mengalirkan hawa ini adalah buatan orang, sudah tentu ia bisa mengetahuinya. Akan tetapi hal ini tidak dilihatnya. Apa mungkin ada orang yang selihai itu, yang mempu mencelakakan jalan darah anak ini, tanpa anak ini menyadari dan juga dirinya yang memeriksanya. Untuk sementara Rancana menyimpan dulu pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam hatinya. Tak mau ia mengingatkan Lantang pada bencana yang dialaminya dan juga keluarganya. "Baik lah kalau begitu, Lantang," kata Rancana pada akhirnya. "Mulai hari ini kita latihan gerakan-gerakan dan mengheningkan cipta saja. Dengan itu walaupun engkau tidak dapat mengalirkan hawa, setidaknya akan tetap terkumpul hawa di bawah pusar. Aku harap suatu saat jalan darahmu dapat terbuka sehingga engkau dapat memanfaatkan hawa yang sudah kau himpun sampai saat itu tiba." "Baik, guru," sahut Lantang patuh. Terlihat Rancana berpikir sejenak. Lalu katanya, "ada satu seni bela diri yang kelihatannya cocok dengan keadaanmu, yang dikenal sebagai Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu ini berasal dari Negeri Matahari Muncul jauh di sana, di balik lautan." "Wah, terdengar sangat menarik, guru!" tanggap Lantang. "Pencipta ilmu ini, Guru Tua Morehe Uwesiba, dapat mengalahkan seorang lawan berpedang dan bahkan dengan menggunakan tangan kosong serta tidak melukai lawannya. Jadi dengan ilmu ini, bila engkau berlatih dengan baik, engkau akan dapat membela dirimu sendiri," jelas Rancana. "Benar-benar merupakan ilmu pertahanan yang baik dan halus. Tidak akan mendatangkan banyak lawan." "Suka saya mendengarkannya, guru," ucap Lantang, "tidak mengisyaratkan adanya kekerasan di dalamnya." Tersenyum Rancana mendengar ucapan muridnya. Lantang ternyata masih tidak bisa membuang pikiran bahwa ia belajar bela diri bukan untuk menimbulkan kekerasan. Melainkan hanya untuk membela diri. Benar-benar pribadi yang baik pikir Rancana. "Cobalah engkau serang aku, Lantang!" perintah Rancana. "Tapi.., guru..?" bantah Lantang. "Ini hanya pura-pura.., bagaimana kamu nanti dapat membela diri kalau tidak tahu bagaimana orang menyerang," jelas gurunya. "Baik, guru!" jawabnya mengiyakan. Lantang pun menyerang gurunya dengan pukulan lurus ke depan, kaki kanan di majukan serentak dengan tangan kanan dikepalkan dan diarahkan ke dada gurunya, Rancana. Hanya sayang posisi tersebut dilakukannya terlalu maju, sehingga berat badannya tidak lagi berada di antara kedua kakinya. Dan hal ini pun disadari oleh gurunya. Dengan cantik dan lemas, Rancana hanya menggeser salah satu kakinya, sambil memutar tubuhnya, membiarkan tangan itu lewat sekian jari di depan dadanya. Kemudian alih-alih menangkis serangan Lantang, ia malah menarik tangan lantang pada arah pukulannya. Dengan demikian semakin bertambah lajulah Lantang, maju tersuruk dan kehilangan keseimbangan. Pada saat yang tepat, ditangkapnya tangan kirinya yang masih berayun di belakang, sehingga Lantang batal terjatuh. "Kamu mengerti salahmu?" tanya Rancana. "Tidak, guru?" jawab Lantang muridnya jujur. "Kamu menghabiskan semua tenagamu pada serangan itu," jelas gurunya. "Serangan lurus ke depan, memang serangan paling sederhana dan rumit. Sederhana karena geraknya mudah, secara alami bisa setiap orang melakukannya, tanpa tipu-tipu. Rumit karena harus pada saat yang tepat. Bila tidak pada saat yang tepat, jenis serangan ini akan dapat dengan mudah ditebak, dielakan dan dimusnahkan. Bahkan dipukul balik. Seperti yang barusan aku lakukan kepadamu." Lantang mengangguk-angguk, mencoba mengerti penjelasan yang diberikan oleh gurunya. Ia baru dapat menerima beberapa bagian, mengapa serangannya itu tidak berhasil. Bagian lain masih gelap baginya. Melihat kebingungan muridnya, Rancana hanya tersenyum. Lalu diajaknya Lantang untuk melakukan gerakan yang sama, akan tetapi dengan lebih lambat. Dengan gerakan lambat tersebut dapat Lantang melihat bahwa ia tidak seharunya menyerang sehingga kedudukan kakinya tidak lagi stabil. Dengan hanya toelan kecil dari gurunya dari belakang, ia dapat tersungkur, apalagi ditarik seperti tadi. Setelah mengerti, Lantang kemudian mencoba menyerang akan tetapi dengan masih menempatkan berat badannya sebelum lewat kaki depan, tidak melebihi. Dengan cara ini apabila gurunya membalas serangannya ia, masih memiliki kesempatan untuk menghindar dan mengubah kedudukan kakinya. Dan ia tidak lagi tersungkur. Akan tetapi dengan pemahaman yang baru ini, jangkauan serangannya tidak lagi sepanjang yang pertama. "Guru, memang dengan cara ini, saya tidak lagi terguling, tapi bukankah pukulan saya pun tidak mengenai?" tanyanya bingung. "Benar, Lantang," jawab gurunya, "Kamu benar. Dengan demikian, engkau harus punya rasa, apakah pukulanmu sampai apa tidak. Bila tidak sampai. Jangan lepaskan. Mendekatlah, sampai kamu merasa bahwa tanganmu, dengan kedudukan yang stabil, dapat mengenaiku. Cobalah!" Lantan pun mencoba. Memajukan kakinya, baru memukul. Belum sampai. Maju lagi. Belum sampai. Setelah tiga-empat telapak kaki, barulah pukulannya persis mengenai kulit dada gurunya. "Bagus," ucap Rancana, "pada jarak segini, baru pukulan lurus itu boleh dilepaskan." Lantan pun mengangguk-angguk. "Cobalah!" ucap gurunya. Lantang menarik kepalannya dan dalam posisi yang tidak berubah, dilepaskannya kepalannya ke arah dada gurunya. Gurunya tidak bereaksi. Akan tetapi pada saat hampir mengenai kulit dadanya, gurunya hanya beringsut sedikit mundur. Dan pukulan itu tidak lagi mengenai. Penasaran pada hal tersebut, alih-alih menarik kembali pukulannya dan terlebih dahulu memajukan kakinya, Lantang langsung mengejar gurunya dengan pukulannya. Kesalahan yang sama terjadi lagi. Ia kehilangan keseimbangan dan gurunya memanfaatkan hal itu dengan menariknya. Lantang pun kembali terjatuh. Kali ini Rancana membiarkannya. Ingin melihat apakah muridnya mengeluh saat terjatuh. "Maaf, guru!" saya lupa lagi. "Tidak apa-apa. Ada baiknya kita latihan dulu serangan ke depan. Tirukan aku!" perintah gurunya. Rancana pun menunjukkan gerakan serangan ke muka lurus dan bertenaga, akan tetapi dengan kedudukan yang masih stabil. Saat bergerak, kaki belakang melurus dan pinggang berputar. Ia ambil tenaga bumi untuk diteruskan. Bumi, telapak kaki, paha, pinggang, lengan dan meledak sampai ke kepalan. Pukulan Meriam. Lantang mencoba menirukan. Akan tetapi gerakannya tidak saling menunjang, pinggang keburu diputar tapi telapak kaki belum menolak. Sebelum tenaganya sampai ke dada, tangan sudah dikembangkan. Alhasil, hanya gerakannya mirip, tanpa tenaga. Dengan sabar Rancana menunjukkan kembali bagaimana seharusnya gerakan itu dilakukan. Berulang-ulang kali. Sampai akhirnya Lantang bisa sedikit menyalurkan tenaga bumi ke ujung kepalannya. Dan sebagai hasilnya otot-ototnya kaku dan lelah tubuhnya. Tapi ia tidak mengeluh, bahkan saat gurunya memerintahkannya untuk melakukan gerakan itu kembali, akan tetapi untuk tangan kiri dan kaki kanan. Guru dan murid itu pun berlatih sampai matahari hilang dari pandangan mata untuk sembunyi di balik bumi sebelah barat. Rancana menghentikan latihan itu. Dia melihat bahwa Lantang sudah terlihat lelah, akan tetapi tidak minta berhenti. Kagum ia pada semangat muridnya. "Kita istirahat dulu. Sudah waktunya beristirahat. Mengisi perut," kata Rancana. "kamu mandilah dulu dan bersih-bersih. Temui aku nanti di Rumah Kayu." "Baik, guru!" jawab Lantang yang pun beranjak pergi untuk memenuhi peraintah gurunya. Rancana masih melihatnya punggung muridnya yang berjalan untuk kemudian menghilang di balik rerimbunan. Menuju ceruk kecil, di mana terdapat air yang mengalir keluar dari batu-batu. Hasil rembesan sungai di atasnya. Kemudian langkahlah ia perlahan menuju Rumah Kayu. Suatu bangunan sederhana di dekat tanah lapang di depan pintu desa. Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa tempat itu merupakan desa karena hanya lima orang yang tinggal di sana. Rancana dan Lantang muridnya, serta satu keluarga lagi, yang hanya terdiri dari lima orang. Dulu sekali tinggal banyak keluarga di desa itu. Akan tetapi suatu saat pernah terjadi badai besar yang menyapu orang-orang yang tinggal di sana. Setela kejadian itu, tak ada lagi orang yang berani tinggal di pulau itu kecuali keluarga itu ditambah Racana. Keanehan ini sudah pasti mengisyaratkan bahwa keluarga itu juga bukan orang biasa-biasa. Pulau Tengah Danau dan Danau Tengah Gunung itu terletak di selatan agak jauh dari mana-mana. Di selatannya terdapat padang batu-batu yang terus membentang sepanjang mata memandang dengan dijemput lautan pada horisonnya. Tidak ada kehidupan yang dapat berlangsung kiranya di Padang Batu-batu itu. Di timur dan baratnya membentang kaki-kaki gunung, Gunung Berdanau Bepulau dinamakan orang. Gunung tersebut yang membentang memanjang ribuan kambing dewasa. Bila dilihat dari atas, Gunung Berdanau Berpulau seakan-akan menjadi pipih, karena panjangnya pada arah timur-barat, akan tetapi pendek pada arah utara-selatan. Waktu Rancana tiba di Rumah Kayu, tampak ketiga orang lain, selain Rancana dan muridnya yang tinggal di pulau itu, telah menunggu. Hidangan makan malam telah tersedia. Memang untuk urusan masakah keluarga itulah yang menanganinya. Sebagai imbalannya Rancana diminta untuk membeli atau menukar barang-barang kebutuhan mereka di kota. Atau juga mencari kabar sesuatu yang ingin mereka tahu. Kadang bertanya-tanya juga Rancana mengenai siapakah sebenarnya ketiga orang ini, yang dapat hidup terasing di Pulau Tengah Danau ini. Akan tetapi karena mereka juga tidak bertanya-tanya tentang dirinya dan menyediakan kebutuhannya dengan baik, akhirnya Rancana pun menahan mulutnya. Lebih baik membiarkan mereka menceritakannya sendiri kelak. Itu lebih baik, sehingga tidak merusak persahabatan yang telah tumbuh. "Selamat malam, Ki Sura, Nyi Sura, dan Telaga," katanya kepada ketiga orang itu. "Malam Ki Rancana," jawab Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura. Sedangkan Nyi dan Ki Sura hanya mengangguk tersenyum ramah. Tidak banyak bicara mereka. Memang pendiam orangnya. Hanya Telaga yang banyak bicara. Dulu sebelum Rancana datang, tidak ada teman bicara dia. Saat ini dengan adanya Rancana dan juga Lantang, senanglah Telaga, karena ada orang yang dapat diajar bicara. Tidak hanya mendengarkan dan memberikan komentar-komentar pendek seperti kedua orang tuanya. "Wah, makan besar hari ini ya?" komentar Rancana saat melihat makanan yang dihidangkan. Ada ikan mas bakar, pecel belut, kerang sambal, lalapan, sayur bening, terong dan sudah tentu nasi. Biasanya hanya ikan bakar dan sambal serta nasi. Mungkin makan ini karena ia baru saja datang dan membawa seorang murid, sehingga perlu disambut seperti itu. Seperti telah diduganya, komentar tidak datang baik dari Ki Sura ataupun Nyi Sura, melainkan dari Telaga. "Betul, Ki Rancana," jelasnya, "ini untuk menyambut Ki Rancana dan terutama anak itu. Eh, siapa namanya, Ki?" "Lantang.., Lantang nama anak itu Telaga. Saat ini ia sedang bersih-bersih dulu di ceruk sana," jelas Rancana. "Ceruk mana, Ki Rancana?" tanya Telaga tiba-tiba. Tersirat rasa kuatir dalam wajahnya. "Ceruk sebelah bawah Sungai Batu Hitam.." jawab Rancana agak bingung, melihat perubahan wajah ketiga orang tersebut. Sebelum ada seorang pun yang berkata, melesat Ki Sura diikuti oleh istrinya, ke arah ceruk di bawah Sunga Batu Hitam. Telaga pun bangun sambil menggapainya untuk ikut serta. Baru saat ini Rancana dapat melihat kegesitan keluarga itu. Ia yang disebut Bayangan Menangis Tertawa dan terkenal karena ilmu meringankan dirinya, merasa agak malu melihat bahwa kepandaian tiga orang itu setidaknya sama atau lebih darinya. Apalagi Ki Sura. Ia dapat melaju seakan-akan tanpa mengeluarkan tenaga dengan kecepatan yang mengagumkan. "Ada apa sebenarnya.." tanya Rancana agak kuatir melihat orang-orang beranjak menuju tempat muridnya yang sedang bersih-bersih. Telaga pun meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya secara vertikal, meminta Rancana untuk tidak bertanya-tanya. Lalu bisiknya lirih, "perhatikan saja. Ayah pasti bisa menolong muridmu, Ki." Beberapa hembusan napas sampailah mereka berempat di ceruk yang terletak di bawah Sungai Batu Hitam. Sungai tersebut disebut demikian karena mengalir di atas batu-batu yang merapat dan berwarna hitam. Seakan-akan suatu parit dari batu. Di bawahnya terdapat banyak ceruk-ceruk setinggi dua kali orang dewasa yang mengalirkan air rembesannya. Dalam suatu ceruk yang paling besar, di mana air-air berkumpul membentuk suatu genangan air yang luas, tampak Lantang sedang berdiri terpaku. Ia tampak telah bersih-bersih, akan tetapi tidak langsung berpakaian, melainkan melihat pada suatu arah tertentu. Ada sesuatu di balik batu besar di sisi ceruk itu. Terdengar suara lirih Ki Sura, "cah bagus, jangan bergerak. Biar aku yang menangani Undinen itu." Yang dimaksud dengan Undinen adalah sosok terlihat seperti wanita yang badannya berkilauan biru hijau bersisik. Rambutnya panjang sebahu, berparas cantik dan memiliki tinggi seperti umumnya anak-anak remaja wanita. Ki Sura dengan perlahan mengambil sesuatu dari kantongnya. Sebatang kecil obor dan batu pemantik api. Dengan suatu cara tertentu, dinyalakannya obor kecil dan ditunjukkannya pada Undinen itu. Sang Undinen pun berteriak kecil dan memandang marah pada Ki Sura. Tidak lagi padangan ramah dan memikat seperti ditunjukkannya pada Lantang tadi. Ia pun mulai mendesis-desis perlahan. Ki Sura tetap menggerak-gerakkan obornya sambil perlahan mendekati Lantang. Undinen itu pun bergerak mundur. Tampaknya ia tidak suka api. Setelah kira-kira berjajar dengan Lantang, ditariknya tangan anak muda yang masih terpaku itu dan diajaknya perlahan-lahan mundur ke arah ketiga orang lainnya. Undine itu maju setapak dua akan tetapi tidak lebih karena masih takut dengan obor yang di bawah oleh Ki Sura. Saat-saat yang menegangkan. Rancana sendiri tidak tahu makhluk apa itu yang ada di depan mereka. Tapi sebagai seorang ahli silat ia dapat merasakan aura yang tinggi, menghimpit dan amat dingin muncul dari makhluk itu. Makhluk yang disebut Undinen oleh Ki Sura. Dengan ukuran aura seperti itu, sudah bisa dipastikan kuat juga tenaga atau hawa makhluk itu. Dan belum diketahui apa yang akan terjadi apabila ia menyerang muridnya. Akhinya sampailah Ki Sura dan Lantang di tepian air, selangkah demi selangkah, keluar dari ceruk itu. Nun jauh di tengah-tengah genangan air dalam ceruk, masih tampak sosok Undinen itu memandangi mereka. Saat kemudian membaliklah ia dan menghilang ke dalam aliran air yang mengalir ke bawah di ujung genangan air di samping ceruk itu. Udara perlahan-lahan mulai terasa hangat setelah ketidakhadiran sosok Undinen di dekat mereka. Muka lantang yang tadinya pucat mulai terlihat memerah. Dengan segera Nyi Sura menyampirkan kain yang dibawanya ke pundak Lantang, agar anak itu tidak lebih jauh kedinginan. Belum ada sepatah kata pun terucap di antara mereka. Lantang masih dalam ketegangannya. Rancana masih bingung mengenai apa yang terjadi dan apa sebenarnya makhluk itu. Ketiga orang lain yang lebih mengerti keadaan saat itu, tidak banyak berucap. Mereka membiarkan lebih dulu Rancana, dan terutama Lantang untuk kembali memulihkan perasaannya yang terguncang. *** Makan malam yang tadinya digelar di hadapan kelima orang itu pun telah ludes. Pindah tempat ke dalam lambung mereka. Begitulah orang-orang yang bersyukur. Apa yang dihidangkan dilahap tanpa sisa-sisa. Akan tetapi bila tidak ada tidak mengeluh. Orang-orang yang sederhana. Sunyi sesaat. Hanya terdengar gemerisik angin membelai daun-daun nyiur yang digunakan sebagai atap dari Rumah Kayu itu. Ditemani dengan suara jangkrik yang memainkan orkestra mereka. Malam itu sebenarnya sangatlah indah, bila saja tidak ada peristiwa sebelumnya. Atas tekanan rasa ingin tahunya yang sudah membuncah, bertanyalah Lantang pada Ki Sura, "maaf Ki Sura, apakah tadi itu" Yang membuatku seakan-akan membeku. Tidak punya semangat lagi untuk beranjak." Ki Sura tersenyum. Juga istrinya. Malah lebih lebar senyum anaknya Telaga. Hanya Rancana yang tidak. Ia masih merasakan ketegangan tadi. Rasa dingin yang lembab dan menakutkan saat terdapat Undinen, sang Roh Air. "Itu adalah Roh air, Undinen," jelas Ki Sura lambat-lambat, "yang merupakan bagian dari roh empat elemen, yaitu api, air, udara dan tanah. Undinen adalah salah satu contoh Roh Air, selain Duyung dan Nixen. Sedangkan contoh Roh Api misalnya Salamander dan Naga, Roh Udara misalnya Sylphen dan Roh Tanah misalnya Gnomen, Troll, Irrwische dan Orang Gunung Kerdil (Bergm?nchen)." Sunyi kembali menyeruak di antara mereka. Rancana dan Lantang merasa seakan-akan keempat macam makhluk yang baru disebutkan oleh Ki Sura itu ada di belakang mereka dan ikut mendengarkan pembicaraan itu. "Roh-roh Empat Elemen itu, merupakan makhluk-makhluk purba yang dulu dipercaya ada oleh orang-orang dan tertulis dalam buku-buku kuno. Dan entah kenapa merekamereka itu muncul setelah badai besar yang menyapu seluruh penduduk dari pulau Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ini. Dengan adanya makhluk-makhluk itu di sini, maka tidak ada orang-orang yang berani tinggal di sini," jelas Ki Sura lebih lanjut. "Jika demikian, mengapa Ki Sura, Nyi Sura dan Kakang Telaga masih tinggal di sini?" tanya Lantang penasaran. Masih terasa dinginya udara saat ia ditatap oleh Undinen dan tidak dimengertinya dengan adanya makhluk-makhluk lain yang dari ceritanya lebih mengerikan, akan tetapi keluarga itu masih saja berdiam di pulau ini. "Sebenarnya, mereka tidaklah terlalu berbahaya, apabila kita tahu bagaimana menyikapinya," jelas Nyi Sura arif. Baru kali ini Rancana melihat Nyi Sura berbicara. Dengan adanya kejadian ini banyak ucapan yang dikeluarkan oleh kedua orang itu. Telaga yang biasanya berbicara banyak malah kebalikan. Ia banyak mendengarkan saat orang tuanya berbicara. Kemudian Nyi Sura menjelaskan bahwa sifat-sifat Roh-roh Empat Elemen yang saling membantu dan meniadakan. Misalnya elemen api dan air yang akan saling meniadakan, akan tetapi elemen api dan udara atau api dan tanah dapat saling membantu. Demikian pula dengan elemen udara dan tanah yang dapat saling meniadakan. Keempatnya dapat diletakkan pada sudut-sudut suatu bujur sangkar. Dengan api dan air pada dua sudut berseberangan dan udara dan tanah pada kedua sudut lainnya. Elemen pada sudut-sudut yang berseberangan akan saling meniadakan sedangkan elemen-elemen yang bersebelahan dapat saling membantu. Itulah sebabnya mengapa Ki Sura saat itu menggunakan obor untuk menakut-takuti Undine. Undine adalah Roh Air dan elemen air merupakan musuh dari elemen api, yang dalam hal ini adalah obor yang dibawa Ki Sura. "Akan tetapi ada yang membuatkan bertanya-tanya," tiba-tiba menyeletuk Telaga, "mengapa Undinen tertarik dengan Lantang?" Semua terdiam. Baik Ki Sura, Nyi Sura maupun Telaga tahu bahwa manusia, sebagai makhluk berdarah panas memiliki sifat yang tidak terlalu cocok dengan Roh Air. Manusia lebih ke arah sifat Roh Tanah dengan paduan kecil dari ketiga eleman lainnya. Perihal Lantang yang diminanti oleh Undinen merupakan suatu teka-teki bagi mereka. "Waktu dari menariknya, aku juga merasakan hawa dingin yang aneh dari anak ini," ujar Ki Sura seakan-akan pada dirinya sendiri. "Anak Lantang," lalu tanya Nyi Sura, "adakah engkau penyakit atau kelainan sehingga tubuhmu bersifat dingin?" Tiba-tiba saja hal itu menjadi jelas bagi Rancana. Ya, pasti itu penyebabnya. Ketidaklancaran jalan darah dari Lantang yang menyebabkannya tidak bisa melancarkan hawa ke seluruh tubuhnya yang menyebabkan. Ditambah dengan kondisi air yang dingin, akan membuat tubuhnya semakin dingin. Tidak ada hawa dari pusar yang menghalau dingin itul. Sebab itu Undinen mengira bahwa Lantang adalah salah seorang dari jenisnya. Lalu diceritakannya hal tersebut oleh Rancana kepada Nyi dan Ki Sura serta Telaga. Lantang sendiri hanya ikut mendengarkan karena tidak begitu mengerti. "Hmm, begitu.. ya!" menghela napas Ki Sura, "malang sekali nasibmu, nak Lantang. Dapat menghimpun tenaga, akan tetapi tidak bisa menggunakannya. Tapi itu merupakan kelebihanmu di daerah ini." "Maksud Ki Sura?" tanya Rancana tak mengerti. Tentu saja ia gembira apa bila 'kekurangan' Lantang merupakan suatu 'kelebihan'. "Dengan adanya Roh-roh Air di sini, Lantang bisa memanfaatkan aura mereka untuk menumbuhkan hawanya sendiri. Bukan hawa yang biasanya diperoleh dari latihanlatihan. Melainkan hawa para Roh-roh Air," jelas Ki Sura. Dia pun terdiam sambil melirik istri dan anaknya. Terlihat bahwa ada suatu rahasia di antara mereka yang berat dikatakan pada Rancana dan Lantang. "Bila itu suatu rahasia, dan tidak untuk kami," kata Rancana, "tak usahlah kami diceritakan dan diberi harapan. Lantang sendiri pun telah pasrah hanya akan mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang tidak memanfaatkan hawa yang dihimpunnya di bawah pusar." "Kami," papar Ki Sura, "adalah orang-orang terakhir yang menjaga suatu rahasia. Suatu cara pengolahan tenaga untuk dimanfaatkan dalam gerakan bela diri. Akan tetapi kami tidak memiliki ilmu bela diri, melainkan hanya cara mengolah tenaga belaka. Rahasia ini telah lama disimpan. Dan memang ada pada saatnya untuk dibuka dan diwariskan. Kebetulan anak Lantang ini memenuhi persyaratan seperti tertuliskan dalam salah satu cerita-cerita tua itu." Nyi Sura dan Telaga pun mengangguk membenarkan. Itu juga sebagai isyrat bahwa mereka setuju bahwa cerita atau rahasia itu untuk diperdengarkan kepada Lantang dan gurunya, Racana si Bayangan Menangis Tertawa. Lalu diceritakanlah oleh Ki Sura mengenai sejarah keluarga itu dan ilmu-ilmu yang harus dirahasiakan dan dijaganya. *** "Misbaya, kemari!" perintah Ki Tapa sambil tangannya menggapai Misbaya agar mendekat. "Akan kutunjukkan mengenai satu jenis cara melepaskan diri dari cengkeraman belakang." Lalu dengan perlahan Ki Tapa berdiri membelakangi Misbaya, yang kemudian dimintanya untuk memegang dengan erat kedua tangannya dari belakang pada pergelangan tangan. "Pegang yang kuat, jangan sampai lepas!" begitu perintah Ki Tapa. Kemudian ia meminta murid-muridnya untuk memperhatikan apa yang akan ditunjukkannya. Dengan perlahan, ditekuknya lututnya sehingga kedudukannya lebih rendah dari Misbaya. Sebagai akibatnya pegangan Misbaya tidak lagi bisa seerat semula karena pergelangan tangannya telah habis tertekuk ke atas. Dengan cepat Ki Tapa mengangkat tangan sebelah kanannya, yang masih digenggam oleh Misbaya ke atas melewati kepala sehingg berada kira-kira di sebelah kiri kepala. Misbaya mendongak ke belakang menyangka akan diserang dengan tangan itu oleh Ki Tapa. Pada saat itulah Ki Tapa kembali merendahkan dirinya sehingga bahunya berada lebih rendah dari dada Misbaya, untuk kemudian mengungkitnya dengan bahu, sembil menjatuhkan tangan kanannya ke depan, seperti memotong. Akibatnya Misbaya tercongkel dan terungkit ke atas dan terbalik. Terlempar dan terkapar telentang di atas rumput yang hijau. Rekan-rekannya terkesiap. Demikian mudah Misbaya terlempar dengan gerakan sederhana tadi. Sedemikian halus. Tak teduga dan cantik. Gerakan yang memanfaatkan batas-batas sendi manusia, sehingga mau tak mau sang lawan harus ikut, atau sendinya akan terkilir atau lepas. Salah satu jurus bantingan dalam ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Ilmu yang dibawah oleh Petapa Seberang ke Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman. Ki Tapa sebagai salah satu penerus dan pewaris ilmu-ilmu dari Petapa Seberang sudah tentu mengerti betul gerakan tersebut, yang hari ini diajarkannya pada murid-muridnya. Melihat murid-murinya masih terkesima dan takjub pada gerakan itu. Ki Tapa pun menggapai muridnya yang lain. Kali ini Gentong. Pemuda yang tinggi besar dan berbobot. Dari pandangan matanya, Ki Tapa melihat ketidakyakinan murid-muridnya, bahwa Gentong pun dapat dilemparkan dengan gerakan atau jurus yang sama. Akan tetapi hal yang sama pun terjadi. Dan untuk itu, dikarenakan postur tubuh yang lebih tinggi, lebih mudah bagi Ki Tapa untuk mencapai batas-batas perputaran sendi dari Gentong. Dan Gentong pun terlempat sejajar dengan posisi tempat Misbaya tadi terkapar, dengan debum yang lebih kentara tentunya. Setelah beberapa kali memberi contoh menggunakan murid-murid yang berbeda-beda, juga di antara murid-muridnya sendiri, Ki Tapa pun memerintahakan mereka untuk melatihnya sendiri ratusan kali. Sampai gerakan-gerakan tersebut menjadi mendarah daging. Murid-muridnya pun mengiyakan dan mulai melakukannya. Lucu tampaknya, misalnya saja bahwa Paras Tampan berusaha untuk menjatuhkan Rintah yang masih saja berdiri dengan stabil. Berbagai upaya telah dilakukannya. Akan tetapi tetap saja Rintah masih berdiri dan menggenggam kedua tangannya di belakang dengan erat. Melihat ini menghampiri datang Ki Tapa sambil menunjukkan arah yang harus diambil oleh Paras Tampan agar pegangan Rintah menjadi lunak, untuk kemudian membebaskan tangannya ke atas kepala, siap mencongkelnya dengan bahu. Setelah diberi pentunjuk dapatlah Paras Tampan melembarkan Rintah. Menyadari bahwa murid-muridnya terlihat belum paham, akhirnya Ki Tapa memutuskan lebih baik untuk memberi petunjuk satu persatu berpasang-pasangan. Cara ini lebih baik. Setiap murid akan melihat dan merasakan bagaiaman jurus itu diterapakan. Berganti-ganti mereka berperan sebagai yang membanting dan yang dibanting. Begitulah cara latihan dari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Hari pun semakin sore dan para kawula muda itu terus giat berlatih di bawah petunjuk-petunjuk Ki Tapa, yang mengawasinya dengan sabar dan telaten. Bagian 9 -- Berdagang Jauh ke Barat Persiapan perginya rombongan pedagang-pedagang tampak mendominasi kesibukan orang-orang Desa Luar Rimba Hijau pagi ini. Bersamaan dengan itu pula, rombongan dari Pinggiran Sungai Merah ingin berpamit untuk pulang karena orang yang sakit, yang menjadi alasan mereka untuk menetap selama ini di Desa Luar Rimba Hijau sudah berangsur-angsur sembuh. Ki Tapa pun telah berpesan bahwa si sakit dapat pulang setiap saat. Untuk Asap, mereka tidak akan menunggunya, karena selain telah dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri, pun Kepala Desa Luar Rimba Hijau, Ki Surya, telah menjamin bahwa Asap bersama-sama dengan kawula muda desanya akan baik-baik saja selama dalam pelatihan di dalam Rimba Hijau. Rencana yang akan dilaksanakan adalah rombongan pedagang itu akan bersama-sama dengan rombongan dari Pinggiran Sungai Merah menempuh arah yang sama, ke arah barat. Ke arah di mana matahari terbenam. Pinggiran Sungai Merah terletak jauh di barat, untuk mencapainya hanya terdapat dua cara, lewat Gurun Besar yang luas dan gersang atau menyusuri Sungai Menggelegar (D?ssel) di mana terdapat suatu desa yang bernama Desa Pinggir Sungai Menggelegar (D?sseldorf). Sungai menggelegar merupakan kelanjutan dari sungai yang mengalir keluar dari Rimba Hijau, Sungai Hijau orang menamakannya. Sungai ini kemudian mengalir menuju ke arah barat daya untuk kemudian bercabang, satu tetap ke arah barat daya dan lainnya langsung ke selatan, menuju Lautan selatan. Pada percabangan inilah terdapat Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Salah satu alasan orang mengapa sungai ini dinamakan Sungai Menggelagar adalah terdapatnya saat-saat tertentu di mana air sungai bisa bertambah dengan pesat, bisa akibat pasangnya air laut ataupun hujan di daerah hulunya, sehingga sungai ini melubar sampai ke Padang Batu-batu yang berada di bagian baratnya. Akibat luberan ini, Padang Batu-batu akan tergenang. Dan entah bagaimana, aliran genangan-genangan ini di antara tonggakan-tonggakan karang dapat memberikan suara yang satu sama lain saling menguatkan (beresonansi) sehingga menghasilkan suara menggelegar, menggemuruh. Dari sanalah diyakini nama itu datang. Setelah berbicang-bincang antara kelompok pedagang Desa Luar Rimba Hijau yang diwakili oleh Ki Murah, Ki Rabat dan Ki Untung. Nama-nama mereka sendiri telah mengisyaratkan bahwa mereka itu adalah pedangan yang berupaya untuk menjual barang dengan murah, jika bisa dengan potongan (Rabat) dan masih memperoleh keuntungan. Sedangkan dari pihak Rombongan dari Pinggiran Sungai Merah diwakilkan oleh Rota Mera dan Reda, keduanya diangkat sebagai ketua rombongan setelah Asap mulai ikut latihan di dalam Rimba Hijau. "Jadi menurut nak Rota Mera sebaiknya kita mengambil Jalur Panjang dari pada Jalur Pendek..." tegas Ki Rabat agak masih belum setuju. Menurutnya baiknya bila mereka memilih jaluar yang sebaliknya, agar perjalanan cepat selesai dan transaksi perdagangan bisa dilakukan. "Benar, Ki Rabat," ucap Reda mengiyakan pendapat rekannya, "hal ini didasari oleh pengalaman rekan kami Bujang yang sakit itu. Ia terkena gigitan Kadal Gurun saat sedang mencari obat-obatan di Gurun Besar. Dengan alasan ini kami pun datang ke sini melalui jalur selatan." "Tapi bukankah dengan menggunakan Jalur Panjang yang lewat selatan ini, kata kalian, akan memakan waktu dua kali lebih lama?" tanya Ki Murah kemudian. "Benar, Ki," kali ini Rota Mera sendiri yang menjawab. "walaupun dua kali lebih lama, akan tetapi lebih sedikit bahayanya. Di Gurun Besar, selain ada banyak binatang-binatang beracun, juga terdapat badai pasir dan penyamun-penyamun ganas. Mereka itu sering mencegat rombongan orang yang lewat dan merampoknya." "Bila benar begitu, ya..., sudah sepantasnya bila kita memang memilih Jalur Panjang." komentar Ki Untung. "Keterlambatan proses perdaganan dapat diterima, bila dikompensasi dengan terjadi atau tidaknya proses tersebut." Kedua rekannya mengangguk-angguk setuju. Setelah membicarakan beberapa hal lain, akhirnya memang diputuskan untuk memilih Jalur Panjang. Jalur ini akan mengambil arah ke barat daya dari Desa Luar Rimba Hijau, untuk kemudian menyusuri Sungai Menggelegar sampai ke Pantai Selatan. Dari sana akan diambil arah ke barat sambil menyusuri pantai. Setelah beberapa hari perjalanan, dan Padang Batu-batu tidak lagi terlihat di utara pantai, arah akan diubah menjadi menuju barat laut sampai bertemu dengan suatu sungai. Sungai itu sudah Sungai Merah. Selebihnya tinggal menyusuri Sungai Merah menuju ke utara, sampai ke Desa Pinggiran Sungai Merah. Rombongan dari Pinggiran sungai merah mengatakan bahwa di sepanjang Sungai Merah, walaupun tidak terdapat banyak desa, akan tetapi sering berdiam orangorang yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke arah pantai atau utara. Dan orang-orang ini kadang memang membutuhkan sesuatu untuk bekal perjalanannya. Hal inilah yang menarik para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Melakukan kontak dengan sebanyak-banyaknya orang untuk mengadakan kegiatan perdagangan. Di samping rombongan pedangan dan juga rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, terdapat lagi tambahan orang yang akan mengadakan perjalanan, yaitu Citra Wangi dan kedua orang tuanya. Citra Wangi adalalah tunangan Paras Tampan, seorang pemuda yang saat ini sedang berlatih di dalam Rimba Hijau bersama kawankawannya. Keluarga itu mendengar betapa Desa Pinggiran Sungai Merah merupakan desa yang lebih besar dan maju dari pada Desa Luar Rimba Hijau ini, tertarik untuk melancong ke sana. Terlebih berkaitan dengan ikatan antara Citra Wangi dan Paras Tampan. Akanlah sangat bangga apabila pernikahan mereka nanti dilengkapi dengan baju-baju yang dibeli dari tempat yang jauh. Berbeda dengan baju-baju yang ada di sini. Berbekal niat itu ikutlah keluarga itu pada rombongan yang akan pergi ke barat. Sambil tidak lupa mereka juga mendapat titipan-titipan dari kerabat-kerabatnya yang tidak ikut pergi. Sudah lajim bahwa orang yang belum pernah melihat tempat lain akan merasa bahwa tempat itu pasti lebih indah dari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya. Walaupun pada kenyataannya, kadang terjadi sebaliknya. Tempat yang diduga lebih indah itu, setelah dilihat malah menimbulkan kekecewaan karena tidak sebaik atau seindah yang dikhayalkan. Setelah siap berangkatlah rombongan itu. Hari telah menjelang sore saat rombongan itu berangkat. Titipan sana-sini para penghuni desa masih menghiasi keberangkatan itu, sehingga kadang-kadang enggan melepasnya. Tidak banyak orang yang ikut sebenarnya, hanya enam kereta yang ditarik masingmasing oleh dua ekor kuda. Dua kereta berisikan orang-orang dari Desa Pinggiran Sungai Merah dan satu kereta digunakan oleh Citra Wangi dan kedua orangtuanya serta sisanya adalah rombongan pedagang dan barang-barang bawaanya. Kira-kira hanya tiga puluhan orang berada dalam rombongan yang akan berjalan ke barat itu. Perjalanan ke barat itu diperkirakan akan memakan waktu sebulan setengah lebih karena mengambil jalan memutar. Bila langsung menempuh Gurun Besar, cukup diperlukan waktu dua sampai tiga minggu saja. Perjalanan ini merupakan perjalan terjauh yang pernah dilakukan oleh kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau. Sebelumnya mereka hanya berdagang di sekitar daerah mereka saja. Paling jauh ke Desa Pinggir Sungai Menggelegar di selatan. Atau desa-desa di sebelah utara dari Rimba Hijau. Dan ke barat paling jauh sampai pinggiran dari Gurun Besar. Jadi ini merupakan pengalaman yang ditunggu-tunggu pula oleh kelompok pedangang itu. Bila kegiatan ini membuahkan hasil, akan tercipta jalur perdagangan baru antara bagian timur dan barat. Sungai Hijau selepas dari Rimba Hijau dan Desa Luar Rimba Hijau mengalir perlahan dengan lebar yang kurang lebih sama. Mengalun melintasi hamparan spasial geografis secara hampir tanpa lonjakan atau kejutan. Benar-benar membosankan. Membuat siapa pun yang duduk di atas kereta dan berjalan perlahanlahan sambil memperhatikan sungai tersebut, akan menjadi terkantuk-kantuk. Demikian pula dengan rombongan ini. Hampir sebagian besar dari mereka terkantukkantuk melihat kiri-kanan hanya dilengkapi pemandangan yang biasa-biasa aja. Dua hari perjalanan dilalui dengan lancar oleh rombongan itu. Lancar dan sedikit membosankan. Diperkirakan dalam tiga atau empat hari ke depan akan sampai mereka ke awalan Sungai Menggelegar. Malam ketiga. Rombongan itu bermalan di pinggiran sungai, entah sungai apa namanya, apakah masih termasuk Sungai Hijau atau tidak, tiada yang tahu. Nama atau batasan geografis saat itu tidaklah terlalu penting. Akan tetapi bila menilik dari airnya yang tidak lagi didominasi oleh warna hijau pada dasar sungai yang jernih, mungkin lebih baik dinamakan Sungai Jernih. Untuk melepaskan kebosanan, seorang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah memiliki gagasan untuk menceritakan suatu hikayat atau dongeng yang terjadi di daerah Sungai Menggelegar. Daerah yang akan mereka masuki dalam dua atau tiga hari lagi. Yang bercerita adalah Rosata seorang tua setengah baya yang pernah mendengar cerita itu dari salah seorang penduduk Desa Pinggir Sungai Menggelegar saat rombongannya menunju Rimba Hijau untuk mengobati Bujang, yang terkena gigitan Kadal Gurun. Entah kapan dan bagaimana mulainya, Desa Pinggir Sungai Menggelegar memiliki tingkat keteraturan pembangunan desa yang amat baik. Pekerjaan-pekerjaan dibagi sedemikian rupa, sehingga masing-masing insan bekerja untuk kebaikan desanya sesuai dengan peran dan kemampuannya. Hal ini sudah tentu mendukung majunya Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perekonomian dan juga pertanian desa. Adalah berbahaya apabila hal-hal yang penting bagi kehidupan dibiarkan ditangani oleh orang yang tidak ahli dalam bidangnya. Akan hancur suatu daerah, desa atau pun negeri bila hal tersebut dibiarkan terjadi. Dan dalam Desa Pinggiran Sungai Menggelegar hal ini ditangani dengan baik. Orang-orang yang mengurusi kepentingan umum dipilih dari yang ahlinya. Orang-orang yang memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dijadikan pemimpin, sedangkan yang hanya mampu bekerja dengan keras dijadikan bawahan. Setelah bertahun-tahun kegiatan kehidupan berlangsung dengan baik, muncullah ide untuk membuat suatu peringatan bagi jenis-jenis pekerjaan yang telah dianggap berjasa untuk membangun desa itu. Untuk itu dirancang dua belas jenis pekerjaan yang merupakan modal dan kekuatan pembangunan desa. Kedua belas figur itu kemudian dinamakan 12 Yang Berdiri (St?ndichen) dan ditempatkan dalam suatu taman di bagian utara kota, Taman Utara (Nordpark). Kedua belas figur yang dimaksud itu adalah Kelompok Wanita Pemungut Biji-bijian Tertinggal (?hrenlesergruppe), Laki-laki Penyebar Biji-bijian (S?mann), Laki-laki Pelatih Burung Pemburu (Falkner), Laki-laki Penduga Penyakit Hewan (Spatenmann), Wanita Pengembala Domba (Sch?ferin), Laki-laki Pengembala Ternak (Hirte), Laki-laki Pemain Musik (Musikanten), Laki-laki Petani (Bauer), Wanita Petani (B?uerin), Wanita Pemetik Anggur (Winzerin), Laki-laki Nelayan (Fischer) dan Awak Perahu (Matrose). Dibangunnya patung-patung itu tidaklah menjadikan cerita mengenai mereka menjadi heboh apabila tidak ada peristiwa yang berkaitan dengannya. Pada suatu malam yang sunyi dan agak dingin dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Akibat cuaca yang tidak nyaman ini, orang-orang lebih banyak memilih untuk tinggal di rumahnya atau tidak berlama-lama di luar rumah bila tidak ada keperluan. Adalah Jingkit seorang nelayan sungai yang pulang terlalu larut malam itu, ia baru saja menambatkan perahunya di dermaga Sungai Menggelegar, untuk kemudian menangkat muatan-muatan hasil tangkapannya hari itu. Dengan agak terburu-buru ia berjalan menuju rumahnya yang terletak agak di utara. Biasanya ia mengambil jalan pinggiran sungai untuk kemudian menyusurinya ke utara dan berbelok ke timur untuk mecapai rumahnya. Tapi entah kenapa malam itu ia lebih memilih untuk melewati jalan dalam desa baru kemudian mengambil arah ke utara. Dengan demikian mau tidak mau ia harus melewati Taman Utara di mana terdapat keduabelas Yang Berdiri. Tidak ada masalah bagi Jingkit untuk melihat keduabelas Yang Berdiri malam-malam. Ia malah kadang sering mengagumi patung-patung itu. Dan merasa bangga bahwa profesinya sebagai nelayan juga diabadikan dalam salah satu patungpatung itu. Akan tetapi hal yang tidak biasa adalah rasa dingin yang dirasakannya itu. Dingin yang bukan lagi dingin udara atau angin. Dingin ini lain, sempat meresap ke dalam kulit dan menembus tulang. Membuat tubuh benar-benar terasa lelah. Dan rasa dingin yang aneh ini benar-benar membuatnya shok karena ditambah dengan kenyataan bahwa di dalam Taman Utara, di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri itu berada, terasa amat lengang. Tidak ada satu pun Yang Berdiri tersisa di sana. Semuanya hilang, membuat suasana yang telah dingin dan sepi, menjadi semakin sepi dan mengiriskan. Tak tahan dengan keadaan itu Jingkit pun lari lintang pukang. Tidak dipedulikannya lagi ikan-ikan hasil tangkapannya dan juga rempat-rempat serta kain-kain hasil pesanan istrinya yang terjatuh di tengah taman. Di mana seharunya keduabelas Yang Berdiri berada. Malam yang menghebohkan. Setelah Jingkit memberitahu istrinya akan hilangnya keduabelas Yang Berdiri, dan atas usul istrinya, ia pun bergegas ke rumah Ki Tanah, kepal desa dari Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Kentongan bambu pun kemudian bertalu-talu, menyebarkan kabar ke seluruh penjuru desa, bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Penduduk dengan rasa-rasa cemas bergegas ke luar dari rumah dan berkumpul di alun-alun desa untuk mencari tahu apa yang sedang berlangsung. Hanya para laki-laki muda dan yang masih kuat yang muncul. Sisanya bertahan di dalam rumah untuk menanti kabar ada apa gerangan. Setelah Ki Tanah menenangkan warganya, kemudian dengan cepat ia mempersilakan Jingkit, sebagai saksi satu-satunya yang ada, untuk mempersilakan menceritakan peristiwa yang dilihatnya. Ucapan-ucapan yang menyatakan keterkejutan terlontar selama penyampaian itu. Dan pada akhirnya atas usul seorang warga, mereka bersama-sama menuju ke Taman Utara untuk melihat lokasi keduabelas Yang Berdiri. Setelah berjalan bersama-sama, dalam langkah yang tergesa-gesa, tidak sampai air teh yang baru diseduh dingin, sampailah mereka di satu bagian dalam Taman Utara di mana seharusnya keduabelas Yang Berdiri itu berada. Alih-alih patung-patung tersebut yang terlihat, hanyalah kegelapan dan dua belas lobang sebesar kerbau yang tertinggal menganga. Seakan-akan mengejek orang yang mencari-cari apa yang pernah ada ditanamkan di dalam dan di atasnya. Tiada suara di antara seluruh penduduk desa. Sunyinya saat itu seakan-akan suara aliran sungai yang semilir dari jauh dapat terdengar dengan jelas. Bertanyatanya hati semua orang, bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Memindahkan patung-patung yang beratnya hampir tiga kali kerbau bunting dengan tinggi dua kali orang dewasa. Dan dua belas buah lagi. Benar-benar menyeramkan. Seakan-akan itu bukanlah perbuatan seorang atau sekelompok manusia saja. Sampai akhirnya berkatalah Ki Tanah, selaku pimpinan di sana, "baiknya kita menenangkan diri dulu. Besok pagi-pagi kita rundingkan lagi. Siapa pun atau apapun yang mengambilnya, sudah di luar kemampuan kita. Sekarang atau besok mengetahuinya akan sama saja." Semua mengangguk-angguk setuju. Beberapa masih bergidik saat Ki Tanah tadi menegaskan "apapun" sebagai alternatif yang melakukan hal itu. Lalu orang-orang pun bubarlah. Mendengar cerita yang dilantunkan Rosata itu tidak ada orang-orang yang bersuara, bahkan sekecip apa pun suara. Pembawaan suasana yang disajikan benarbenar membuat yang mendengarkannya terkesima dan seakan-akan terbawa ke sana saat peristiwa itu benar-benar terjadi dihadapan mereka. Sebagian besar anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah telah mendengar cerita itu dari Rosata sebelumnya. Akan tetapi tetap saja mereka masih bergidik dan merinding mendengar cerita yang penuh misteri itu, lebih-lebih karena lokasi tempat di mana kejadian itu pernah berlangsung tidak jauh dari tempat mereka bermalam saat ini. Tidak bisa dibayangkan ketegangan keluarga Citra Wangi dan kelompok para pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, yang baru pertama kali mendengar cerita menyeramkan itu. Sunyi. Sesekali terdengar hanya suara jengkerik dan burung hantu. *** Lima hari kemudian sampailah mereka di daerah Desa Pinggir Sungai Menggelegar, perlu dua hari dari awalan Sungai Menggelegar untuk mencari desa tersebut. Selama lima hari tersebut tidak ada apa-apa yang patut diperhatikan terjadi dalam perjalanan rombongan itu. Sungai Menggelegar terlihat biasa seperti sungai-sungai biasa lainnya, dengan lebar sampai sepuluh kerbau dewasa berjajar dan air di tengahnya yang tenang, menandakan bahwa sungai itu cukup dalam. Akan tetapi anehnya, pada sisi seberang, yaitu sisi barat, terdapat banyak sekali batu-batu menjulang setinggi orang sampai setinggi pohon kelapa di pinggir sungai dan di daratnya. Akibatnya ada aliran air dan udara yang lewat di antaranya menghasilkan suara yang menderu. Bila banjir, kata seorang anggota rombongan yang pernah mendengar suatu cerita, akan semakin keras suaranya. Bisa-bisa sampai menggelegar. Dengan cara itu orang juga jadi tahu apabila banjir bandang akan datang dari hulu. Desa yang sepi, yang memiliki suasana hampir sama dengan Desa Luar Rimba Hijau. Itulah Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Desa di mana penduduknya banyak memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pencari batu-batuan ketimbang petani seperti di Desa Luar Rimba Hijau. Batu-batuan yang dipilih umumnya bermotif cemerlang dan campur-campur, kadang pula telah berpermukaan halus. Dengan suatu cara tertentu batu-batu ini dapat dipotong dan dibentuk untuk dijadikan hiasan. Kelebihan inilah yang pertama kali terlihat oleh orang-orang anggota perdagangan Desa Luar Rimba Hijau. Jiwa bisnis mereka memang telah melekat ke sanubari. Sedikit ada kelebihan suatu daerah yang dapat dimanfaatkan untuk perdagangan, pastilah langsung tercetus ide untuk mengembangkannya. Bagi Citra Wangi, ibu dan ayahnya sendiri, Desa Pinggir Sungai Menggelegar memberikan wawasan baru mengenai suatu desa, yang tidak semestinya bertatanan melulu seperti Desa Luar Rimba Hijau. Di sini mereka melihat banyaknya sampansampan dan perahu yang ditambatkan di sepanjang sungai. Terdapat pula semacam Pasar Terapung, di mana kegiatan perekonomian dan perdagangan terjadi bukan di darat melainkan di atas perahu. Suatu suasana yang mereka belum pernah lihat sebelumnya. Itulah salah satu kelebihan desa atau tempat yang kehidupannya bisa dikembangkan sampai ke atas air. Terdapat ikan-ikan aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ada yang panjang dan pipih ada juga yang bersisik keperakan dengan jenggotnya. Terlihat ikan tersebut menjadi agak berwibawa berenang ke sana kemari dalam sebuah gentong besar yang dipertontonkan di pasar pinggir sungai itu. Orang menyebutnya Arowana. Disebut pula oleh orang yang mempertontonkan ikan itu, bahwa umur ikan ini bisa tahunan dan dapat berukuran sampai sebesar orang dewasa. Bergidik Citra Wangi membayangkan ikan berjenggot itu sebesar dirinya, dan kemudian berenangrenang di sekitarnya, misalnya saat ia mandi di sungai bersama teman-temannya. Setelah puas melihat-lihat pasar dan juga hal-hal baru yang ada di sekitar Desa Pinggir Sungai Menggelegar itu, ketiganya, Citra Wangi dan kedua orang tuanya, kembali ke lokasi di mana rombongan itu menyimpan kereta-kereta dan kudakudanya. Di sana tampak sedang menunggu beberapa orang anggota rombongan dari Pinggiran Sungai Merah yang tidak ikut berjalan-jalan, karena mereka telah pernah mampir di desa ini. Setelah menunggu beberapa lama, tampaklah anggota rombongan pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, di antaranya terlihat Ki Murah, Ki Untung dan Ki Rabat, yang ditemani beberapa orang dari Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Bisa diduga kawankawan mereka itu adalah para pedagang-pedangan dari desa ini. Orang-orang yang sejenis akan dengan mudah berkawan dan bersahabat, begitu kata ujar-ujar kuno. "Nak Citra Wangi," gapai Ki Rabat dari jauh, "ini ada sesuatu yang pasti menarik bagimu." Mendengar panggilan itu, Citra Wangi pun menoleh kepada ayah dan ibunya, minta persetujuan untuk menghampiri Ki Rabat. Keduanya mengangguk tanda setuju. Bahkan ibunya pun turut berdiri untuk ikut serta menghampiri Ki Rabat. Bersemi senyum di wajah Ki Rabat melihat kedatangan mereka berdua. Pikirnya, paling tidak kedua orang ini akan membawakan kabar bagi kawan-kawanya di Desa Luar Rimba Hijau. Bila ia bisa meyakinkan mereka betapa baiknya barang-barang di sini, sudah tentu akan muncul produk baru yang bisa dijual di sana nanti. "Ada apa, Ki?" tanya Citra Wangi sopan. "Lihatlah, batu-batu hiasana ini.., indah, bukan?" katanya sambil menunjuk batubatu gemerlap susu yang dibawa oleh rekan dagangnya, yang baru dikenalnya itu. Terdiam Citra Wangi dan ibunya melihat-lihat batu-batu berwarna-warni itu yang baru kali ini mereka lihat. Pernah mereka mendengar adanya batu-batu mirip telur bentuknya, kecil sebesar kuku jadi dan berwarna-warna mirip susu diberi pewarna. Suatu hiasanya yang mereka hanya pernah dengar. Dan saat ini mereka menyaksikannya sendiri. Betapa ingin mereka memilikinya. Mengenakannya. Ki Rabat sebagai seorang pedagang ulung telah melihat bahwa kedua wanita tersebut telah terpesona oleh produk barunya itu. Untuk menambahkan rasa ingin memiliki ditambahkannya, "untuk Citra Wangi dan Nyi Apik, ini harga khusus. Tapi jangan bilang-bilang sama orang desa ya?" Berseri kedunya mendengar kata "harga khusus" itu. Siapa pembeli tak senang diberi "harga khusus", walaupun kadang mereka pun tahu bahwa harga itu sebenarnya adalah harga yang telah dinaikkan dulu untuk mendapatkan keuntungan berlipat, kemudian diturunkan, agar seakan-akan terlihat bahwa barang tersebut menjadi murah harganya. Cara ini masih digunakan orang sampai saat ini. Nyi Apik memilih dua buah yang berwarna merah dan ungu untuk dirinya dan Citra Wangi memilih yang berwarna hijau muda dan kuning bercampur biru. Selain itu mereka masih memilihkan beberapa untuk oleh-oleh. Di kejauhan Ki Rapih, suami Nyi Apik hanya geleng-geleng kepala melihat istri dan putrinya begitu bersemangat mengaduk-aduk batu-batu tersebut dalam wadahnya. Ia yang biasanya membatasi, saat itu membiarkannya saja. Peristiwa perjalanan ini pun bukan peristiwa biasa, jadi harus dirayakan dengan cara yang tidak biasa. Begitu pikirnya. Setelah berunding sejenak, para anggota rombongan pun bersepakat untuk bermalam di Desa Pinggir Sungai Menggelegar. Selain suasananya yang nyaman, juga adanya pertemuan adat yang menarik mereka. Pertemuan membicarakan hilangnya keduabelas Yang Berdiri tersebut. Hati siapa yang tidak tertarik mendengar pembahasan mengenai hal itu. Para pedagang Desa Pinggir Sungai Menggelegar pun mengatakan bahwa para tamu boleh mendengarkan pertemuan itu, karena diharapkan dapat menjadi mata dan telinga untuk mencari tahu di mana terdapat patung-patung itu sekarang. *** Setelah lima minggu dalam perjalanan menuju Desa Pinggiran Sungai Merah, melaului Pantai Selatan, di mana di utaranya terbentang Padang Batu-batu. Sampailah rombongan itu di padang rumput yang luas. Padang rumput yang memisahkan sedikit jarak sampai mereka tiba di Sungai Merah. Tinggal empat sampai lima hari lagi perjalanan, sehingga sampailah mereka ke Desa Pinggiran Sungai Merah. Sebenarnya di sepanjang Sungai Merah terdapat juga beberapa rumah atau kumpulan rumah-rumah penduduk, akan tetapi karena tidak memiliki struktur pemerintahan, agak sulit dikatakan atau dinamai apa tempat itu. Bukan desa. Walaupun demikian wajah sumringah kelompok pedagang tak dapat disembunyikan. Tak jadi soal bagi mereka apakah itu desa atau hanya sekelompok orang, sejauh subyek perdagangan mereka ada. Senanglah hati mereka. Lain halnya dengan para anggota Rombongan dari Pinggiran Sungai Merah, berbulanbulan jauh dari kampung halaman telah menumbuhkan rindu di dalam hati mereka. Bersua kembali sanak saudara merupakan satu-satunya obat bagi keadaan tersebut. Dengan demikian sudah sepantasnyalah mereke juga berbunga-bunga hatinya, saat langkah-langkah mereka sudah bisa dipastikan akan sampai ke kampung halamannya kembali, Desa Pinggiran Sungai Merah. Pada jaman itu perdagangan memiliki cara yang unik untuk menyatakan alat penukar barang atau uangnya. Suatu lempengan logam berbentuk segitiga sama sisi digunakan. Sisi-sisinya berukuran satu dua kuku ibu jari panjangnya. Entah siapa yang mulai membuatkan patokan, hampir semua di daerah sekitar Pinggiran Sungai Merah memakai cara penukar barang yang sama. Dan uniknya pada barang-barang yang dijual, terdapat gambaran "mata uang" itu yang disebut Tigaan. Untuk orang-orang utara dari Sungai Merah mereka memberi cetakan gambaran Tigaan sejumlah harga barangnya, semacam stempel. Jadi orang yang tidak bisa berhitung pun dapat melakukan transaksi. Cukup mencocokkan jumlah Tigaan yang dimilikinya dengan gambar Tigaan yang ada pada barang yang akan dibelinya. Bila cocok, barang dan Tigaan berpindah tangan. Akan teatpi orang-orang yang tinggal di selatan Sungai Merah lebih kreatif. Mereka membuat lambang-lambang Tigaan yang menarik dan lebih nyeni. Sebagai contoh untuk barang yang berharga enam Tigaan, mereka gambarkan lambang segienam atau heksagonal, yang di dalamnya terlukis enam buah Tigaan. Atau Belah ketupat dan jajaran genjang untuk benda berharga dua Tigaan. Segitiga besar juga dapat digunakan untuk barang-barang berharga empat Tigaan. Selain itu ada pula corakcorak lain yang menambah nilai estetis dari barang yang akan dijual. Melihat cara perdagangan yang menarik ini, pada kelompok pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau memikirkan untuk menerapkannya sekembalinya ke desa mereka. Mereka berpikir dengan cara ini, akan lebih mudah berdagang. Tidak lagi membaca produkproduk langsung yang kadang bisa rusak, cukup Tigaan sebagai hasil penjualan. Yang dikemudian hari dapat digunakan kembali untuk berdagang. Dan atas keterangan seorang yang ditemuinya selama mereka berdagang di Pinggiran Sungai Merah, mereka ingin menemui semacam kelompok yang membuat Tigaan tersebut. Tidak sembarang orang dapat membuat Tigaan. Hal in dikarenakan sifat logamnya yang keras dan aneh, juga keseragaman dari cap yang ada di atasnya. Pernah terdapat Tigaan palsu. Untuk mencegahnya, maka dibuat suatu cap di atasnya sehingga orang dapat membedakan mana Tigaan yang asli dan mana yang palsu. Hanya terdengar bahwa bahan dasar Tigaan itu dapat diperoleh di daerah Gurun Besar. Dalam suatu lembah yang terdapat di sana. *** "Ini adalah lingkaran Empat Elemen," terang Ki Sura perlahan pada Lantang dan Rancana, "masing-masing elemen diyakini dalam ujar-ujar kuno sebagai pembentuk kehidupan ini." "Segitiga dengan puncak ke atas melambangkan api. Ingatlah bahwa itu bentuk api pada obor atau suluh. Segitiga dengan puncak ke bahwa melambangkan air. Untuk itu ingatlah arah air yang selalu menuju ke tempat yang rendah dalam mengalir. Lambang tanah, adalah lambang air yang diberi garis mendatar di tengahnya. Bayangkan sebagai air yang merembes ke dalam tanah. Dan satu lambang tersisa adalah udara. Api yang meresap dalam sesuatu. Dan sesuatu itu adalah udara. Jadi lambang api diberi garis mendatar di tengahnya..." begitu jelas Ki Sura pada kedua orang itu perihal pemahamannya mengenai Empat Elemen. Suatu cara pandang kuno mengenai kekuatan atau unsur-unsur yang membentuk alam ini. Dengan memahami dulu inti dari cara pandang kuno itu baru dapat dipelajari ilmu-ilmu yang didasarkan pada cara pandang itu. Ilmu yang akan diturunkan oleh Ki Sura kepada Lantang dan dititipkan juga melalui Rancana. Berkaitan dengan kondisi tubuh Lantang yang aneh. Yang tidak dapat mengalirkan hawa, sebagaimana orang seharusnya bisa saat belajar ilmu kanuragan. Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bagian 10 -- Perubahan-perubahan (TAMAT) Lima tahun waktu pun berlalu. Bukan waktu yang sebentar apabila dalam berlalunya tersebut terjadi banyak perubahan-perubahan dalam empat penjuru. Jalur perdaganan yang dibuka oleh pedagang-pedagang dari Desa Luar Rimba Hijau, yang menghubungkan antara bagian timur dan barat, dan juga utara dan selatan, membuat makin banyaknya tumbuh desa-desa dan kota di sekitar jalur tersebut. Tempattempat yang dulunya hanya merupakan kumpulan rumah dan tidak memiliki pemerintahan berangsur-angsur menjadi desa. Sedangkan desa-desa yang dulunya sudah teratur seperti Desa Luar Rimba Hijau, Desa Pinggir Sungai Menggelegar, Desa Pinggiran Sungai Merah, Desa Air Jatuh dan Desa Paparan Karang Utara, tumbuh menjadi kota-kota yang ramai dikunjungi orang. Di kota-kota tersebut hampir ada semua keperluan. Terjadi pula perpindahan penduduk dari desa-desa ke kota, dikarenakan banyak kemudahan untuk hidup di kota-kota, sejalan dengan diterapkannya Tigaan sebagai mata uang. Benar-benar perubahan yang cepat dalam kurun lima tahun ini. Apabila lingkungan berubah, bagaimana dengan individu-individu yang hidup di dalamnya" Dapatlah dikatakan secara naif bahwa mereka sudah sepantasnya pun turut berubah. Entah sebagai agen perubahan atau pun sebagai obyek modernisasi. Sisanya adalah orang-orang yang dapat digolongkan sebagai ketinggalan jaman, yang belum tentu jelek dalam artian luas. Setelah bepergian bersama rombongan pedangan dari Kota Luar Rimba Hijau, saat itu masih Desa Luar RImba Hijau, lima tahun yang lalu, akhirnya pindahlah keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ini pun atas desakan dari Citra Wangi dan ibunga, Nyi Apik. Mereka begitu terpesona akan keadaan Desa Pinggiran Sungai Merah saat itu. Berangsung-angsur dengan berkembangnya desa itu menjadi kota, semakin kuat niat mereka untuk hijrah ke sana. Perubahan Desa Luar Rimba Hijau yang menjadi Kota Luar Rimba Hijau pun tak dapat menghalangi niat mereka untuk pindah. Kemoderenan Kota Pinggiran Sungai Merah sebagai pusat informasi, membuat mereka merasa kerasan. Dan bahwa orang harusnya tinggal di suatu kota yang seperti itu. Bukan lagi di kota seperti Kota Luar Rimba Hijau yang jauh dari mana-mana. Janji akan pertunangan dengan Paras Tampan tidaklah terlalu dipersoalkan. Citra Wangi sendiri yang mengatakan hal itu. Orang tua Paras Tampan hanya dapat mengelus dada melihat hal itu. Tak tahu mereka bagaimana anak mereka nanti menghadapi hal ini. Rombongan pedagang Kota Luar Rimba Hijau, bersama-sama dengan Kota Pingir Sungai Menggelegar berkerja sama membangun suatu jasa pengiriman barang, yang mereka namakan Antaran Pasti, yang memiliki semboyan "Antar barang sampai depan pintu dengan mengaruni hutan, sungai dan gunung. Barang sampai pasti. Dijamin." Dengan berbekal jaringan yang kuat dan juga didukug oleh pengawal-pengawal yang kuat berani mereka memberikan jaminan seperti itu. Akan tetapi tentu saja dalam batas-batas yang diperhitungkan. Jarang-jarang mereka berani melewatkan barang mereka melalui Gurun Besar. Hanya untuk barang-barang tertentu yang tidak terlalu berharga berani mereka melalui tempat itu. Akibat adanya jasa pengantaran barang Antaran Pasti ini, semakin tidak ada bedanya antara barangbarang yang dapat dibeli di kota besar dan kota-kota di pedalaman. Apa-apa pun dapat dipesan. Asalkan ada Tigaan. Tigaan telah memainkan peran dalam kehidupan. Hilangnya patung-patung keduabelas Yang Berdiri di Kota Pinggiran Sungai Menggelegar beberapa tahun yang silam masih menyimpang banyak tanda tanya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengusutnya. Akan tetapi hanya jalan buntu yang ditemui. Akhirnya para penduduk bersepakat untuk melupakan saja peristiwa itu. Beberapa patung dibangun kembali. Tidak utuh semuanya. Hanya enam buah tiruan yang dibuat dan diletakkan di tempat di mana patung aslinya seharusnya berada. Di tempat-tempat dudukan patung yang tidak dibuat tiruannya diletakkan bunga-bunga di atasnya. Jika itu adalah gambaran sekilas perubahan-perubahan pada penduduk dan kotakota, dunia persilatan sendiri masih tampak adem-ayem saja. Perguruan Kapak Ganda semakin memapankan dirinya. Dengan hampir dua ratusan murid-murid tingkat menengah, sehingga dengan murid-murid tingkat bawah dan yang baru belajar mencapai seribuan orang. Jumlah yang cukup mengiriskan bagi perguruan yang bermusuhan dengannya. Adapun hal ini dapat dicapai dengan dibukanya cabangcabang perguruan ini di berbagai kota. Perguruan pusatnya tetap terdapat di Kota Paparan Karang Utara, akan tetapi terdapat dua cabang besarnya yaitu di Kota Lembah Batu Langit dan Kota Pinggiran Sungai Merah. Ketiga lokasi cabang-cabang perguruan ini entah mengapa melingkupi perguruan silat saingannya atau lawannya, yaitu Perguruan Atas Angin yang berlokasi di Kota Air Jatuh. Lain halnya dengan Perguruan Kapak Ganda, lain pula halnya dengan Perguruan Atas Angin. Perguruan silat ini walaupun terlihat juga berambisi untuk menambah jumlah murid, akan tetapi tidak seagresif Perguruan Kapak Ganda dalam melakukan proses perekrutan anggota. Mereka masih memilih dan memililah murid-murid yang dianggap berbobot. Baik dari segi bakat ataupun finansial. Setelah tiadanya Lingkaran Dalam, puncak pimpinan perguruan dipegang tunggal oleh Tapak Kelam. Saudara-saudaranya yang tinggal lima orang bersama dirinya, ditempatkan sebagai Empat Pilar. Sisanya adalah murid-murid tingkat rendahan. Tidak seperti dulu, bahwa tradisi Lingkaran Dalam dapat digonta-ganti oleh murid-murid tingkat satu yang pandai, posisi ketua perguruan dan Empat Pilar mutlak adanya. Dan memang tiada seorang pun dari murid-muridnya dapat menandingi Empat Pilar atau pun sang guru. Sebenarnya di luar kelima orang ini masih terdapat sedikitnya tiga orang lingkaran dalam yang cukup mumpuni. Dua orang dari mareka masih berkecimpung dalam bidang kanuragan dengan membuka perguruan di kota lain. Tidak menggunakan nama sebagai cabang Perguruan Atas Angin, akan tetapi tidak pula menyembunyikan diri bahwa mereka mengajarkan ilmu yang sama dengan perguruan tersebut. Seorang Lingkaran Dalam yang lain tidak diketahui rimbanya. Bayangan Hitam Berbisik julukannya. Sejak meninggalnya Ki Jagad Hitam ia pun menghilang. Saat terakhir hanya tampak ia berada di makam gurunya. Tiada pesan yang ditinggalkan. Saudarasaudaranya dari Lingkaran Hitam pun tidak begitu mempedulikannya, mengingat sifatnya yang agak tertutup dan suka menyendiri. *** Jalan setapak yang menuju lereng-lerang Gunung Hijau tampak membentang di depan matanya. Seorang pemuda tampak berdiri memandangi jalan setepak tersebut yang melingkar-lingkar seperti ular, menanjak dan akhirnya hilang ditelan awan di atasnya. Benar-benar menggirisi. Bila saja belum memiliki ilmu seperti yang telah dilatihnya selama ini, bisa jadi pemuda itu akan mengurungkan niatnya untuk mendaki gunung itu. Pemuda itu Paras Tampan sedang menunggu waktu. Menunggu isyarat alam, saat yang tepat untuk mulai mendaki. Kegiatan ini merupakan ujian penghabisan bagi ia dan kawan-kawannya. Ujian bahwa ia dan kawan-kawannya telah tamat belajar di dalam Rimba Hijau. Bukan perguruan silat, kata Ki Tapa, melainkan hanya tempat menempa diri. Cukup Rimba Hijau, tanpa embel-embel perguruan imbuhnya. Dari dua puluh empat kawula muda yang berlatih saat itu, telah gugur enam belas orang. Tinggal tujuh orang yang masih bertahan. Kawula muda yang gagal telah pulang kembali ke Kota Luar Rimba Hijau untuk melanjutkan hidupnya. Walaupun gagal, sedikitnya mereka memiliki kebisaan dalam Ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta untuk menjaga diri. Mereka pun diperbolehkan untuk melatih orang-orang di kotanya. Beberapa dari mereka bahkan bekerja sama membentuk suatu padepokan dan mengajarkan ilmu tersebut. Kegagalan mereka semata-mata hanyalah karena bakat yang kurang cocok dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi. Untuk itu Ki Tapa telah mengajarkan ilmu-ilmu lain yang lebih cocok untuk mereka. Jadi untuk ukuran orang biasa, mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Dan menjadi suatu kebanggaan bahwa mereka pernah berlatih di dalam Rimba Hijau. Ketujuh orang yang tinggal adalah Gentong, Asap, Misbaya, Rintah, Rantih, Kirani dan pemuda itu Paras Tampan. Kedua kawula putri terlihat amat berbakat dalam pengobatan, oleh karena itu mereka tidak mengikuti ujian ini. Lima orang saya yang harus menggenapi latihannya dengan memanjat ke atas gunung dan melampaui tempat-tempat yang ditugaskan oleh Ki Tapa. Pesannya, bahwa di tempat-tempat tersebut bila berjodoh dapat bertemu peninggalan-peninggalan ahli-ahli silat jaman kuno, yang bertapa menuliskan hasil-hasil karyanya di atas batu dan meninggal di sana. Akan tetapi mengingat betapa banyaknya lorong-lorong batu, gua-gua dan juga sisa-sisa pondok di atas pohon di gunung itu, tidak dapat dipastikan apakah seseorang yang mampu untuk naik ke atas gunung dapat menemukan paling tidak satu catatan tersebut. Bahkan kadang terdapat catatan-catatan palsu yang dibuat oleh orang-orang yang dulu pernah mencoba tetapi gagal, dan untuk turut menggagalkan orang lain, dibuatnya catatan-catatan palsu tersebut. Untuk itu Ki Tapa pun tidak dapat memberi petunjuk. Seorang seperti Ki Tapa pun belum tentu memperoleh keberuntungan untuk memperoleh catatan-catatan itu. Benar-benar nasib yang menuntun atau catata-catatan itulah yang mencari penerusnya. Untuk berguru sendiri di gunung itu masing-masing kelima orang itu diberi waktu dua tahun. Apa pun yang terjadi, dapat atau tidak, mereka harus kembali turun. Ki Tapa akan memilih dari kelima orang itu nanti, dua orang yang akan menggantikannya. Menjaga Rimba Hijau seperti dirinya. Sisanya dapat mengembara ke empat penjuru angin untuk menambah pengalaman. Keempat temannya telah lebih dulu berangkat. Dari urutan yang ditarik, Paras Tampan mendapat bagian terakhir. Setelah matahari tiada lagi di puncak titik kulminasinya, ia dapat berangkat. Misbaya mendapat giliran saat ayam belum berkokok. Menyusul kemudian Gentong. Rintah berangkat setelah matahari agak tinggi. Asap mendapat giliran sehabis itu, saat matahri sedang tinggi-tingginya. Dan sekarang gilirannya, Paras Tampan. Ia tidak tahu kemana ia harus mengambil arah. Menurut Ki Tapa, ke arah mana saja tidak jadi soal. Biarkan kitab-kitab itu yang menemuimu. Jadilah dirimu sendiri. Jangan berpura-pura. Kitab atau catatan yang sesuai akan mencari orang yang sesuai pula. Sejenak Paras Tampan memejamkan matanya. Menenangkan dirinya. Mengucap puja dan puji pada Sang Pencipta. Mohon bimbingan atas ujian ini. Seraya pula tidak lupa mengucap syukur atas karunia yang diterimanya selama ini. Bisa sampai di titik ini. Berdoa pula ia untuk teman-teman seperjuangannya yang telah berangkat. Teman-temannya yang telah pulang ke luar Rimba Hijau. Juga untuk Rantih dan Kirani yang tidak turut serta, serta Ki Tapa gurunya. Setelah merasa ia beranjaklah Paras Tampan. Melangkahkan kaki menempuh jalan setapak yang akan membawa perubahan besar bagi hidupnya. *** Undinen itu bernama Xyra, seorang Undinen yang rupawan. Pertemuannya pertama kali dengan Lantang seorang anak manusia tidak dapat menghilang dari benaknya. Masih terbayang bagaimana ia terpesona pada sosok anak kecil itu. Sosok yang membayangkan hawa yang lain. Bukan hawa manusia bukan pula hawa bangsa Undinen. Hawa yang menarik hatinya. Apalagi sejak anak itu Lantang mempelajari Ilmu Hawa Air atas bimbingan Ki Sura dan Nyi Sura, semakin kental hawa anak itu menarik hatinya. Ada rasa nyaman dalam hawa itu. Baik Lantang, maupun kedua guru barunya Ki dan Yi Sura, mengetahui keberadaan Undinen yang selalu mengamat-amati Lantang. Mereka membiarkannya saja, karena tidak mengganggu. Bahkan keberadaannya kadang dapat membantu Lantang dalam mengendalikan hawa dingin, mengingat sifat alami dari Undinen yang membuat hawa di tempat ia berada menjadi amat dingin. Hal ini terutama baik apabila Lantang harus melatih ilmunya pada saat musim panas datang, di mana tidak ada lagi tempat yang cukup dingin di Pulau Tengah Danau itu. Saat itu biasanya Xyra sang Undinen telah mengerti tanpa diminta, sering berada dekat dengan Lantang, walaupun tidak menampakkan diri. Entah bagaimana telah tumbuh semacam persahabatan di antara mereka. Rancana sudah satu tahun pergi meninggalkan Pulau Tengah Danau itu. Ada urusan yang harus diselesaikannya. Ia hanya berpesan pada Lantang, apabila telah selesai belajar, untuk mencarinya ke timur. Di Rimba Hijau. Bila tidak dapat menemui dirinya, carilah Ki Tapa. Pada awalnya sedih hati Lantang melihat kepergian guru pertamanya, Rancana yang dikenal sebagai Bayangan Menangis Tertawa, akan tetapi lama kelamaan hilang kesedihan itu setelah tenggelam ia dalam kesibukan mempelajari ilmu-ilmu pengolahan tenaga air yang diajari oleh Ki dan Nyi Sura. Telaga, anak dari Ki dan Nyi Sura, juga telah pergi merantau satu tahun sebelum perginya Rancana. Ia mengambil arah ke selatan, menembus Padang Batu-batu terus ke Pantai Selatan. Ingin ia meluaskan pengalamannya dan menambah ilmu. Bujukan orang tuanya agar ia menunda perjalanannya tidak diindahkannya. Katanya arif bahwa dengan adanya Lantang, ayah dan ibunya telah mendapat ganti dirinya. Ia juga telah menganggap Lantang sebagai adiknya sendiri. Kedua orang itu saling memanggil kakak dan adik. *** Cermin Maut tampak mematut-matut dirinya. Wajahnya yang tidak lagi bisa dikatakan muda, masih terlihat cantik. Hal dikarenakan ilmu awet muda yang diterapkannya. Di hadapannya tampak Sabit Kematian duduk, tanpa tudung kepalanya. Terlihat lucu karena tampak sosok wajah bulat yang hampir tiada ditumbuhi rambut di atas kepalanya. Sosoknya menjadi tidak lagi terlihat menakutkan tanpa tudung kepala yang biasanya menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan dan juga tanpa sabitnya. Di sisi lain dari meja di hadapan keduanya duduk Mayat Pucat yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Ketiganya terdiam seakan-akan asik dengan pikirannya masing-masing. "Kakak Mayat Pucat..," ucap Cermin Maut perlahan memecah keheningan. "Apakah menurutmu wasiat dari adik Naga Geni itu benar adanya?" "Hmm, maksudmu apa tertera di alas prasasti itu?" tanya Mayat Pucat sambil menunjuk sehelai catatan peninggalan Naga Geni. Tertulis di atas secarik kertas tulisan Naga Geni, yang berbunyi "Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa memperkuat tulang, melemaskan otot dan melancarkan peredaran darah. Angin-angin meringankan gerak dan menghilangkan bayangan. Batu-batu membuat lapisan kulit menebal seperti besi dan Seribu Ramuan memberi tubuh asupan yang berguna." "Menarik.., menarik..," gumam Sabit Kematian sambil mengangguk-angguk. Alih-alih membaca catatan peninggalan Naga Geni, ia malah membolak-balik prasasti yang dimaksud dengan sabitnya. Bisa dibayangkan berapa besar tenaga Sabit Kematian, yang dapat membolak-balik prasasti seukuran kerbau itu. Ia rupanya telah beranjak pergi di saat Cermin Maut dan Mayat Pucat sedang berbicara. "Di sini, di bawah syair yang dituliskan Naga Geni, masih ada lambang-lambang aneh..!" katanya seakan-akan pada dirinya sendiri. Lambang itu ditemukannya setelah mencongkel-congkel bagian yang tertutup tanah liat kering. Di dalamnya ternyata terdapat guratan-guratan yang membentuk sesuatu. Mungkin karena bentuknya yang agak menjorok sejauh ibu jari, tidak ada orang yang mengira bahwa warna coklat kehitaman itu bukanlah batu asli, melainkan hanya tanah liat yang sengaja direkatkan dan dilapisi sedemikian rupa sehingga terlihat seperti batu biasa. Mendengar itu kedua saudara angkatnya langsung bagaikan terbang melayang dari meja tempat mereka duduk menuju tempat di mana prasasti itu tergeletak setelah diletakkan oleh Sabit Kematian. "Apa maksudnya ini?" tanya Cermin Maut tak mengerti. Di bawah tulisan tersebut terdapat panah dan gambar sebuah segitiga yang ujung lancipnya menghadap ke atas dan di setengah tingginya terdapat garis mendatar. Panah tersebut mengarah ke lambang tersebut. Seakan-akan ingin mengatakan bahwa jawaban terdapat pada lambang segitiga itu. "Tentu ada maknanya," ucap Sabit Kematian dengan ragu-ragu. Entah di mana, pernah rasanya ia melihat lambang seperti itu. Lupa. Sudah lama sekali rasanya. "Sudahlah, biarkan saja!" usul Mayat Pucat. "Paling-paling itu hanya lambang yang tidak berarti. Lebih baik kita menafsirkan dulu, apa maksud tulisan Naga Geni ini." "Maksud Kakak Pucat," tanya Sabit Kematian, "apakah itu sebuah kitab atau hanya sebuah jurus saja atau ilmu" Menurutku itu masing-masing sebuah kitab. Jadi ada empat buah kitab." "Tapi lebih terdengar sebagai sebuah kiasan saja," usul Cermin Maut. Ketiganya pun kembali termenung. Melayang dalam pikiran masing-masing. Memang Naga Geni tidak meninggalkan pesan apa-apa terhadap pesan itu. Bagaimana ia dapat memperoleh prasasti dan catatan itu. Prasasti itu sebenarnya bukan berada pada tempatnya di sini, melainkan jauh ke arah barat laut di kota lain. Prasasti itu berhasil dicuri oleh salah seorang muridnya dekat saat Perguruan Kapak Ganda dan Perguruan Atas Angin sedang berseteru di Bukit Utara beberapa tahun yang silam. Suatu pertempuran habis-habisan bagi Perguruan Kapak Ganda. Murid yang dipesankannya untuk mencuri itu adalah seorang murid pilihannya yang tidak dikenal oleh murid-murid lainnya, bahkan oleh Penjuru Angin, yang merupakan murid-murid tingkat tinggi perguruan itu. Murid ini dirancangnya untuk menjadi penerusnya kelak karena bakatnya yang melebihi kedelapan orang Penjuru Angin. Akan tetapi tidak diperkenalkannya sosok itu kepada khalayak ramai karena ia punya misi tertentu dengan orang itu. Dan salah satunya adalah urusan mencuri prasasti di air terjun Air Jatuh, yang merupakan daerah kekuasaan Perguruan Atas Angin. Perkara pencurian prasasti sebesar kerbau itu bukan urusan gampang, apalagi membawanya sampai ke Perguruan Kapak Ganda. Bisa dibilang mustahil, mengingat perjalanan yang jauh dan juga penjagaan yang ketak di Perguruan Atas Angin. Akan tetapi seperti dituliskan dalam banyak Ujar-ujar Kuno, di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Dengan berbekal kemampuannya untuk menyamar, Murid Rahasia dari Naga Geni berpura-pura sebagai pengukir prasasti dan berkeliling menawarkan Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo barang dagangannya. Untuk itu ia perlu pula membawa batu-batu sebesar kerbau dalam keretanya. Tidak banyak, cukup paling banyak tiga buah. Karena mana ada kereta yang mampu membawa lebih dari tiga buah batu-batu sebesar itu. Dengan dalih bahwa perguruan silat sebesar Perguruan Atas Angin seharusnya memiliki prasasti sendiri untuk menceritakan kegagahan-kegagahan pendiri dan murid-muridnya, maka ia diterima untuk membuat salah sastu prasasti yang akan diletakkan di sekitar air terjun Air Jatuh dalam lingkungan Perguruan Atas Angin. Ia diperintahkan untuk membuat prasasti yang menceritakan tentang Ki Jagad Hitam dan Lingkaran Dalam. Oleh gurunya, Naga Geni, Murid Rahasia dipesankan untuk mencuri satu prasasti di sana, yang menggambarkan bagaimana kedaan di sana saat sebelum dan sesudah ilmuilmu dari Petapa Seberang diamalkan. Suatu prasasti yang sebenarnya mengejek keberadaan Perguruan Atas Angin yang meruntuhkan Perguruan Embun dan Angin sebagai pewaris ilmu-ilmu Petapa Seberang. Akan tetapi Ki Jagad hitam yang tidak tahu sejarah prasasti itu tetap membiarkan prasasti itu berada di tempat itu. Pernah Naga Geni mendapat pesan dari seorang pendekar perantau bahwa dahulu kala terdapat tiga petapa yang merupakan sumber ilmu-ilmu di tanah ini. Salah seorangnya adalah Petapa Seberang, yang keberadaannya diabadikan dalam prasasti itu. Mengingat cerita itu, Naga Geni berkeyakinan bahwa prasasti itu tentu akan dapat bercerita kemana perginya kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu warisan tersebut. Dengan alasan inilah ia menitahkan Murid Rahasia untuk mencurinya. Mencuri suatu prasasti tidaklah mudah. untuk itu Murid Rahasia perlu terlebih dahulu merencanakannya dengan seksama. Gagasan yang dipakainya, adalah ia akan membuat tiruan yang sama persis dengan prasasti yang akan dicurinya itu, berikut tulisan di bawahnya. Tulisan di bawah prasasti itu telah ditemukannya secara tidak sengaja. Selain syair ia menemukan pula lambang di bawahnya. Lambang seperti yang ditemukan oleh Sabit Kematian. Murid Rahasia pula yang berinisiatif untuk menutupi lambang tersebut agar tidak semua informasi di bawah prasasti itu dapat dibaca dengan mudah. Setelah prasasti tiruan jadi, yang dibuatnya bersamaan dengan prasasti pesanan Perguruan Atas Angin, ditukarnya prasasti itu dengan diam-diam sehingga tidak ada seorangpun yang tahu. Bahkan Ki Makam yang kemudian hari mengambil keempat kitab di bawahnya tidak mengetahui palsunya prasasti itu. Dan hal ini amatlah wajar, karena selain kepiawaian Murid Rahasia menirukan bentuk prasasti itu, juga bahwa Ki Makam sama sekali belum pernah melihat prasasti itu. Sampai ia harus menggesernya untuk mengambil kitab-kitab sebagai pelaksanaan pesan dari gurunya, Ki Tilu. Lalu mengapa Murid Rahasia sampai tidak melihat kita-kitab tersebut. Hal yang sama pun berlaku seperti tipuan yang dilakukannya. Lubang di bawah prasasti itu telah ditutup dengan cara yang mirip dilakukan olehnya untuk menyembunyikan lambang itu kemudian. Dan ia sama sekali tidak menyangkanya bahwa ada sesuatu persis di bawah prasasti itu. Ki Makam tentu saja tahu karena telah dipesankan sebelumnya. Dalam tiruan prasasti Murid Rahasia sengaja tidak mengukirkan lambang yang disembunyikannya. Secara naluriah ia merasa bahwa lambang itu memiliki arti penting bagi syair-syair itu, atau bahkan merupakan kuncinya. Lambang itu pula yang sebenarnya dipesankan oleh Ki Tilu kepada Ki Makam untuk ke mana menyimpang kitab-kitab itu. Ke timur, ke suatu gunung di tengah belantara hijau. Gunung Hijau. Kembalinya Murid Rahasia membawa prasasti yang dipesan oleh gurunya Naga Geni tepat saat perguruannya telah dibumihanguskan oleh Perguruan Atas Angin. Sesak kesedihan menjalar ke seluruh darahnya. Jika saja ia tahu akan perseteruan itu pasti ia lebih memilih pulang untuk membantu gurunya. Dengan kemampuannya mungkin saja ia dapat mempertahankan kehidupan guru dan saudara-saudara seperguruannya. Akan tetapi sekarang apa yang dapat dilakukannya, semua telah hancur dan hilang. Tujuan hidupnya pun juga. Setelah menempatkan prasasti curian itu pada tempat latihan gurunya yang terletak agak rahasia, sehingga tidak dibumihanguskan oleh Perguruan Atas Angin, Murid Rahasia pun pergi meninggalkan perguruan itu. Ke arah barat ia melangkahkan kakinya. Ke arah Gurun Besar. *** Seorang pemuda dengan pakaian yang amat sederhana berjalan cepat di atas pasir yang panas di dalam lingkungan Gurun Besar. Langkahnya ringan dan mantap. Tidak terlihat terlalu dalam jejak kaki yang ditinggalkannya di atas pasir yang telah dilaluinya. Hal ini menandakan ada sedikit ilmu yang dimiliki pemuda itu. Setelah berjalan bergegas beberapa lama, sampailah ia pada suatu danau kecil di tengah gurun. Danau yang cukup luas dengan kehijauan di sekitarnya. Di pinggir danau itu terdapat sebuah rumah sederhana. Satu-satunya rumah di kawasan itu. Tanpa membuang waktu bergerak ia menuju rumah itu. Baru saja dibukanya pintu itu telah terdengar suatu suara menyambutnya, "ceritakan..., ceritakan.., bagaimana semuanya berlangsung." Suara itu berasal dari seorang tua yang duduk di atas suatu rajang sederhana yang terbuat dari kayu dan daun-daun. Sedang sedang duduk bersila sambil menuliskan sesuatu di pangkuannya. "Baik, guru!" jawab pemuda itu patuh. Tidak dirasakannya dongkol atau pun kesal, bahwa orang itu, gurunya, sama sekali tidak menaruh perhatian pada dirinya, melainkan hanya pada kabar yang dibawanya. Sudah kenal pemuda itu pada tabiat gurunya. Sudar terbiasa ia. Jadi mulailah ia bercerita. "Di timur makhluk tanah bercerita bahwa pada akhirnya hanya tinggal lima orang yang akan naik gunung untuk menentukan nasibnya. Dua orang tambahan akan hanya jadi peracik obat. Makhluk air di selatan mengatakan seorang telah pergi makin ke selatan, sementara gantinya sedang melatih tenaga air. Makhluk api dan udara belum mengatakan apa-apa." Pemuda itu tampak berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Malah boleh dikatakan bahwa saya sama sekali belum bertemu dengan makhluk api dan udara." Orang tua itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Informasi ini menggembirakan dirinya. Hal itu tampak dari senyumnya dan tawa kecilnya. Lalu katanya, "bagaimana dengan pergerakan-pergerakan?" "Yang di utara sudah menyebarkan cabang-cabang mengapit yang agak di tengah. Yang agak di tengah hanya memusatkan kekuatan di satu titik," jelas pemuda itu kemudian. "Menarik..., lalu tiga kekuatan yang agak di tengah itu?" tanya orang tua itu kemudian. "Beberapa saat belakangan ini tidak terlihat pergerakan mereka. Selain melatih mereka biasanya hanya mengunci diri di ruang semedi. Tampak seperti ada yang direncanakan," terang pemuda itu. "Dan urusanmu sendiri?" tanya gurunya akhirnya. "Belum selesai guru. Saya masih tidak tahu ke mana harus mencari kakak saya yang hilang itu," katanya tanpa ekspresi. Sudah telalu lama ia berpisah dengan kakaknya. Tepatnya sejak ia menjadi murid orang tua itu. Dan sudah selama itu pula ia mencari kakaknya. Jadi bisa dikatakan sudah lupa bagaimana rasanya memiliki seorang kakak. Pencarian itu pun dilakukan hanya karena pesan dari kedua orang tuanya, yang saat ia jumpai sedang meregang nyawa. "Berjanjilah untuk mencari adikmu!" kata salah seorang dari mereka. Anak kecil itu pun mengangguk. Tak lama melepas nyawalah kedua orang yang telah terluka parah itu. Pemuda itu tak ingat jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan gurunya itu. Saat ia sadar, ia telah berada di tengah gurun ini, Gurun Besar. Gurunya hanya mengatakan bahwa ia menemukan dirinya pingsan di jalan dan membawanya ke sini. "Bagimana menurutmu?" tanya sang guru kemudian. "Tak bisa dielakkan, pasti akan terjadi" jawabnya tegas. "Yakin sekali kelihatannya..," komentar gurunya sambil tersenyum. "Berdasarkan tanda-tanda yang dibaca dan juga suara-suara dari empat elemen makhluk. Tidak bisa tidak. Pertempuran harus terjadi..." gumamnya. Orang tua itu mengangguk-angguk. Bangga atas uraian muridnya mengenai prediksi akan masa yang datang menjelang. Ia memang mengajarkan murid-muridnya bagaimana mengali informasi tidak hanya dari orang akan tetapi juga dari alam dan makhlukmakhluk lainnya. Sebagai contoh makhluk-makhluk empat elemen. "Tetapi guru, jika kita bisa membaca tanda-tanda jaman, mengapa tidak tandatanda untuk diri kita sendiri?" tanyanya kemudian. Mendengar pertanyaan itu gurunya tertawa kecil, "aku tidak akan menjawabnya, carilah sendiri. Aku yakin kamu pasti bisa menjawabnya. Tapi perlu waktu." Pembicaraan pun berlanjut mengenai hal-hal lain. Orang tua itu pun kemudian mencatat beberapa hal yang dianggapnya perlu. Bila ingat akan sesuatu yang dirasanya penting tapi belum dicatatnya, ditanyakannya lagi hal itu dan pemuda itu dengan sabar mengulanginya kembali. Walau mungkin suatu hal telah berulang kali dijelaskannya. Begitulah kebiasaan dari guru dan murid yang tinggal di dekat Danau Tengah Gurun Besar itu. Di luar pun angin berhembus perlahan menghempas pasir-pasir halus kering menuju danau yang beriak kecil-kecil pada permukaannya. Rumput-rumput kering yang bergulung-gulung tampak juga menari-nari. Sunyai dan kering. Sepi. *** Demikianlah kisah mengenai Rimba dan Gunung Hijau serta daerah-daerah sekitarnya berikut tokoh-tokoh yang hidup di dalamnya. Kelanjutan dari kisah ini dapat diikuti pada buku berikutnya, yaitu "Kehidupan Para Pendekar" yang akan dituliskan tak lama lagi. Nantikan kemunculannya! Nordrhein-Westfalen, 11 Agustus 2006. TAMAT Sengketa Guci Pusaka 2 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W 3 Kehidupan 3 Dunia 1

Cari Blog Ini