Ceritasilat Novel Online

San Pek Eng Tay 2

San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Bagian 2 tanpa perlu susah-payah. Di halaman depan kamar mereka, di bagian selatannya, terdapat dua pohon kamper yang besar sehingga kamar menjadi teduh. Di bagian belakang ada pintu serta jendela yang menghadap ke sebuah halaman-dalam yang kecil dan ditanami banyak sekali pohon bambu halus. Bahkan ada dua pohon yang-liu besar. Pekarangan itu dikelilingi dengan tembok putih. Dari luar tembok sering terdengar derap langkah kaki kuda, rupanya di sebelah luar itu adalah jalan umum. Di dalam kamar telah tersedia ranjang dan meja. "Kak, kamar yang belakang itu baik sekali," kata Eng Tay. "Kalau begitu, sebaiknya Kakak saja yang menempati," kata San Pek, yang berdiri di belakang Eng Tay - ya, seorang pemuda ganteng di mata orang bermarga Nio ini. "Kelihatannya Pak Guru sangat memperhatikan kita, beliau melihat kita saling akrab sehingga kita diberi kamar ini." Eng Tay mengangguk, lantas ia melangkah ke kamar yang belakang itu. Tetapi tiba-tiba dia berseru perlahan: "Ah...!" San Pek heran. Ia menghampiri kawannya itu. "Kak, ada apa?" tanyanya. "Anda agaknya kaget...." "Kakak Nio, apakah Anda tidak merasakan sesuatu?" dia balik bertanya. "Apa itu, Kak?" "Ruang belakang ini tidak punya pintu tembus ke luar...," ujar Eng Tay menjelaskan. Nio San Pek tertawa lebar. "Tidak aku tidak merasakan hal itu aneh," sahutnya. "Ini wajar-wajar saja. Menambah pintu di belakang berarti tambah berabe...." Eng Tay diam, agaknya ia sukar bicara lebih jauh. Tetapi toh akhirnya ia berkata juga. Katanya: "Memang benar kita harus lebih berhati-hati sedikit, namun, ada pintu penghubung lebih baik, bukan?" "Kalau Kakak menganggap demikian, baiklah," kata San Pek akhirnya. Eng Tay membungkam, akalnya bekerja. Ia seorang wanita, ini harus ia ingat baik-baik. Ia harus menyimpan baik-baik rahasia dirinya itu, tak boleh ia menimbulkan kecurigaan orang. Maka akhirnya ia tertawa, lalu berkata: "Tidak apa-apa, Kak, aku sekedar berpikir saja. Ya, Kakak benar." San Pek tidak tahu apa yang dipikirkan kawannya itu, ia hanya tertawa. Lantas ia menyuruh Su Kiu dan Gin Sim merapikan kamarnya itu. Ia pun menanyakan tentang kamar kacungnya. "Itu, di sebelah kiri," jawab Su Kiu. "Gin Sim, apakah ada yang kurang tepat?" tanya Eng Tay pada abdinya. "Tidak, tidak ada," sahut si abdi. "Hanya tembok di sini banyak lubangnya, andaikata Su Kiu mengintai, rasanya kurang enak...." "Ah, kalau tembok banyak lubangnya, apakah kau takut ku intai?" tanya Su Kiu. "Kalau demikian, apa yang hendak ku lihat" Sudah ada pintu, tak cukupkah itu?" Eng Tay turut bicara. Katanya: "Su Kiu, kau tak kenal Gin Sim. Sejak kecil, dia punya penyakit. Dia takut diintip orang...." "Kalau begitu, baiklah, aku tak akan mengintip....!" kata Su Kiu. Hingga di situ, kedua kacung itu segera bekerja, merapikan ini dan itu. Belum sampai tengah hari mereka sudah selesai. Melihat hal itu, kedua tuan mereka merasa puas. "Ah, aku teringat sesuatu," kata San Pek suatu sore. Ketika itu, Eng Tay sedang memasang lilin, yang ditancapkannya di tempat lilin. Setelah itu, dia duduk. Tapi dia toh bertanya: "Apa itu, Kakak Nio?" "Tentang lilin," sahut San Pek. "Kamar kita dua, kita memasang lilin setiap kamar satu, itu kurang hemat. Selanjutnya, kecuali ada urusan penting, kita pasang lilin di satu kamar saja. Di waktu belajar, kita belajar bersama-sama, Anda setuju?" "Setuju!" sahut Eng Tay yang tidak mau menolak. "Ya, di mana saja, kita harus berhemat." Segera juga Eng Tay memindahkan lilin ke meja San Pek. Setelah meniup padam lilin si kawan, mereka berdua duduk berhadapan. Ya, mereka belajar bersama-sama dengan tekun. Demikianlah seterusnya, mereka berdua selalu belajar bersama. Di saat santai, mereka makan angin di luar, bersama lebih seratus murid lainnya. Ataupun mereka ke luar, melintas ke jalan besar. Dan, seperti umumnya para mahasiswa, mereka juga suka berkumpul guna saling bertanya atau membahas sesuatu masalah. Atau juga soal cara hidup masing-masing penduduk, bahkan soal-soal kewanitaan. Hanya mengenai masalah wanita, Eng Tay lebih banyak melayaninya dengan senyum atau tertawa saja, atau membungkam.... Adalah kebiasaan San Pek, setiap lohor mengajak Eng Tay ke luar berjalan-jalan. Pada suatu tengah hari, turun hujan rintik-rintik. Gerimis. "Hari ini kita tak bisa ke luar, Kakak Nio, "kata Eng Tay, "pikiranmu ruwet, tidak?" "Ya," jawab San Pek, yang menghampiri jendela hendak memandang ke luar. "Di saat begini, aku sering teringat pertemuan kita yang pertama kali di persinggahan." Eng Tay mengangguk, ia juga memandang ke luar. Agaknya ia memikirkan sesuatu. Kata San Pek lagi: "Beberapa teman sekolah mengatakan kita berdua bagaikan saudara, ku pikir mereka itu benar. Kita juga sama-sama anak tunggal, dan kita sekolah dengan satu tujuan, bahkan keadaan kita berdua di sini, sama segalanya. Bukankah ini pertanda berjodoh" Namun, aku tak berani mengatakannya." "Ya, kita memang sama segalanya," kata Eng Tay. "Kakak Nio, bila kau hendak mengatakan sesuatu, katakanlah!" "Kupikir, Kakak Ciok, bagaimana kalau kita berdua menjadi saudara angkat?" tanya San Pek akhirnya. "Dengan demikian, hubungan kita menjadi tambah erat, kita dapat saling membantu secara sungguh-sungguh... Bagaimana menurut Kakak?" Eng Tay sedang menatap ke luar, pada serumpun pohon bambu. Ia mengangguk. "Kakak benar," sahutnya. "Aku setuju sekali. Berapa usia Kakak sekarang?" "Delapan belas tahun. Katanya kau tujuh belas, benarkah?" "Benar!" sahut Eng Tay. "Dengan demikian, aku lebih tua satu tahun." "Jadi, kau lah Kakakku! Bagaimana caranya kita mengangkat saudara?" San Pek menunjuk ke luar, ke arah pohon yang-liu. "Tempat kita ini tepat sekali," katanya. "Di sana ada pohon yang-liu, ada juga pohon bambu, semua berdaun hijau segar. Ini saat yang baik pula!" Eng Tay mengangguk. Lantas ia memanggil Gin Sim dan Su Kiu, memerintahkan mereka agar menggeser meja serta menyediakan lilin dan hio, dupa harum. Maka di lain saat, keduanya sudah berdiri bersebelahan di depan meja, lantas berlutut. Mereka menjura dan berlutut tiga kali ke arah langit, pertanda bersumpah di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah itu, Eng Tay menghadap San Pek, lalu memberi hormat sambil menjura. "Kak, terimalah hormat adikmu!" katanya. "Terima kasih, Dik!" kata San Pek, yang juga membalas hormat sang adik. Maka dengan demikian, melalui upacara yang sangat sederhana itu, jadilah mereka kakak adik. Keduanya muda, tampan dan terpelajar, bahkan tujuannya juga sama! Dan bukan main girangnya mereka, wajah mereka berseri-seri! "Gin Sim, ke mari!" teriak Eng Tay memanggil abdinya. "Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Sulung." Gin Sim menurut, segera dia menjalankan penghormatan kepada San Pek. "Su Kiu, ke sini!" San Pek pun memanggil kacungnya. "Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Kedua!" Su Kiu memberi hormat pada Eng Tay. Kemudian San Pek berpesan kepada kacungnya itu: "Mulai hari ini kita adalah satu keluarga, maka kau harus melayani kami berdua seperti biasa kau layani aku. Kerja makin rajin, ya!" Su Kiu mengangguk. Tetapi segera dia berkata: "Tuan Muda berdua telah menjalin persaudaraan, bagaimana kalau aku dan Gin Sim juga mengikat persaudaraan, agar kami pun dapat saling membantu dengan lebih erat?" San Pek dan Eng Tay tersenyum. Kemudian si anak muda bermarga Nio itu berpaling pada adik angkatnya, ia tersenyum seakan-akan menanyakan pendapat sang adik. Kata Eng Tay pada abdinya: "Eh, Gin Sim, kau dengar ucapan Su Kiu atau tidak" Aku rasa dia benar." "Tuan Muda berdua telah mengangkat saudara, aku rasa kami pun sama saja," sahut abdi itu. "Eh, Kakak Su Kiu, berapa usiamu?" ia terus menanyai kawannya. "Aku lebih tua satu tahun dari Tuan Muda, usiaku sembilan belas," jawab Su Kiu. "Aku sendiri baru tujuh belas tahun." "Kalau begitu, aku lah kakakmu." "Jika demikian, terimalah hormatku!" kata Gin Sim, yang terus memberi hormat dan dibalas oleh Su Kiu. Demikianlah, mereka juga menjadi saudara angkat. "Masih ada lilin dan hio, ayo kalian menjalankan upacara!" ujar San Pek menganjurkan. Kedua kacung itu menurut, mereka benar-benar bersembahyang, untuk satu kali lagi saling memberi hormat, sebagaimana tadi dilakukan oleh majikan mereka berdua. San Pek berkata pula: "Sebentar, di saat bersantap malam, kita makan dan minum bersama-sama!" "Aku tidak suka minum arak, tetapi nanti akan ku temani juga minum sedikit," kata Eng Tay. San Pek benar-benar girang sekali. Ia memberi persen uang pada Su Kiu dan Gin Sim sehingga kedua kacung itu pun senang bukan main. Dan benar saja, malam itu mereka berempat makanminum bersama-sama. "Dik, mari minum," kata San Pek pada Eng Tay. "Aku hendak memberi selamat padamu!" "Kakak keliru," kata Eng Tay. "Aku lah justru yang harus memberi selamat lebih dulu pada Kakak!" Demikianlah kakak beradik itu saling mengalah. "Adikku, lihatlah," kata San Pek, "di dalam dunia kita ini, yang tidak ada, pada saatnya bisa menjadi ada. Ini terbukti dengan kita. Siapa sangka kita, anak semata wayang, bisa bertemu dan berkumpul di sini sebagai saudara angkat" Kau punya kakak, aku punya adik! Ini dia yang dinamakan takdir. Ya, inilah kegembiraan manusia!" Eng Tay tersenyum, ia membenarkan kata-kata sang kakak itu. Melihat si kakak gembira, dia pun tanpa terasa meneguk arak melebihi yang dia katakan sendiri. "Mari, Dik, keringkan lagi satu cawanl" "Ah, sudah cukup...." "Tambah satu cawan, tidak apa, bukan" Paling juga kita mabuk...." Ucapan mudah dikeluarkan, tetapi kenyataannya lain. Eng Tay benar-benar terkena pengaruh arak, karena ketika dia hendak bangkit berdiri, tubuhnya sempoyongan! "Ah, Dik, kau benar-benar mabuk!" kata San Pek. "Mari ku papah!" Dan benar-benar dia memegangi tangan sang adik itu lalu mengajaknya pergi. Eng Tay sudah mabuk tetapi belum hilang seluruh kesadarannya, maka ia mengerti, tak boleh orang memeluk tubuhnya. Terpaksa ia mencoba berjalan, walaupun dengan terhuyung-huyung, sehingga San Pek harus berjaga-jaga agar ia tidak jatuh. Begitu tiba di kamarnya, dia menjatuhkan diri ke atas pembaringannya. San Pek membukakan sepatunya." Ketika ia pun hendak melepaskan baju panjang kawan itu, ia heran mendapatkan baju-dalam kawannya berkancing banyak. "Ah, kenapa baju ini banyak sekali kancingnya?" kata sang kakak angkat. "Ini ada sebabnya," kata Eng Tay, yang terus berbohong dengan mengarang cerita bahwa jahitan semacam itu dibuat syarat kesembuhan tatkala dulu ibunya jatuh sakit. Karenanya, baju dalamya pun dijahit seperti itu. Sejak itu ibunya, selama tiga tahun, tak pernah sakit lagi.... "Oh, begitu!" kata San Pek. "Kalau demikian, Adikku, kau sungguh berbakti!" "Ini tidak apa-apa," kata Eng Tay. "Ini termasuk kepercayaan belaka. Sudah tiga tahun lamanya aku memakai ini." San Pek percaya, lalu ia tak mengatakan apa-apa lagi. Lega hati Eng Tay. Ia percaya kawannya itu jujur dan baik hati. 6 Belajar Bersama ENG Tay tertidur pulas. Sewaktu mendusin dan membuka matanya, memandang ke arah jendela, langit tampak cerah, daun bambu hijau semua, ia terperanjat. "Ah, aku terlalu pulas! Teman-teman sekolah pasti sudah bangun dari tidurnya," katanya dalam hati. Lantas ia berkata pada San Pek: "Kakak Nio, kau sudah bangun." Orang yang diajak bicara tersenyum. "Aku telah bangun sejak tadi," sahutnya. "Aku lihat kau tidur nyenyak sekali, aku tak mau mengganggu. Dua kali sudah Gin Sim datang melongok, aku larang ia membangunkanmu. Gin Sim mengundurkan diri sambil tersenyum...." "Lain kali, kalau Kakak bangun, bangunkan aku juga," kata Eng Tay. "Aku khawatir teman-teman nanti menertawakan aku...." Seraya berkata begitu, putri Kong Wan ini segera turun dari tempat tidur dan mengenakan bajunya. Gin Sim, yang telah muncul, segera menyediakan air untuk majikannya mencuci muka, menyisir dan merapikan pakaiannya. Kemudian langsung ke luar, menemui San Pek yang sudah ke- luar terlebih dulu. "Kak, tadi tengah malam aku mengganggumu atau tidak?" tanya si adik. "Tidak, sama sekali tidak," sahut San Pek, yang sedang menulis. "Malah aku pernah memanggilmu tetapi kau tidak mendusin. Kau tidur lelap sekali...." Eng Tay menghampiri San Pek, ia melihat tulisannya. "Kak, tulisanmu indah sekali," ujarnya memuji. "Aku pun akan belajar seperti kau." San Pek meletakkan mopitnya, ia menoleh pada si adik angkat. "Dik, tulisanmu pasti indah," katanya. "Kau jangan mengikuti aku. Kata orang, karena aku belajar menulis, aku dicap tolol...." Eng Tay tertawa mendengar nada suara sang kakak itu. "Sudah, kita jangan bergurau lagi," kata San Pek kemudian. "Sebentar sehabis bersantap tengah hari, pelajaran akan dimulai. Sebaiknya kau siapkan alat tulismu, Dik." Santapan San Pek dan Eng Tay selalu disiapkan oleh Su Kiu dan Gin Sim. Sesudah bersantap, mereka menuju ruang kuliah. Ini pun merupakan kebiasaan hidup para murid lainnya. Mereka semua mempunyai kamar sendiri, dan tiada yang mengacau. Lama-kelamaan, San Pek dan Eng Tay mempunyai banyak kenalan. Bahkan mereka juga saling berkunjung. Dari luar, kakak-beradik itu tidak mempunyai lain teman. Demikianlah, tanpa terasa, tiga bulan sudah berlalu. Sekarang adalah saatnya musim panas, hawa udara berubah, maka dari itu, Eng Tay dan Gin Sim sering menggunakan kipas. Tak pernah mereka melepaskan baju panjang mereka. Begitulah pada suatu hari San Pek dan Eng Tay sedang duduk bersantai, San Pek San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berkata: "Sekarang ini hawa udaranya panas menyengat, kita juga tidak pergi ke luar. Adikku, kenapa kau tidak melepas baju panjangmu?" "Bukan demikian kebiasaanku," jawab Eng Tay. "Rumah ini tinggi dan lebar, hawa di sini tidak sepanas di tempat lain. Aku pun bertubuh lemah ketika kecil, sering sakit, kalau ku buka baju panjangku, hawa dingin segera menyerang." San Pek mengira Eng Tay bicara sejujurnya, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Malam itu, di saat hendak tidur, San Pek melihat Eng Tay membuka baju panjangnya, baju dalamnya banyak kancingnya. Ia tidak bertanya, ia mengira sang adik hanya menuruti pesan ibunya agar menjaga kesehatannya baik-baik. Di kesempatan yang lain, ketika tidak ada orang lain di dalam kamar, Gin Sim berkata pada majikannya: "Bagaimana kalau kita bermain-main di belakang" Di sana, kalau ada su-bo, kita bisa mengobrol. Su-bo baik sekali." Dengan "su-bo" diartikan istri guru, istri pak guru Ciu. Eng Tay setuju. Ia memang sedang tidak belajar maka ia mengikuti Gin Sim ke belakang, ke halaman terbuka di mana tampak pemandangan bukit di kejauhan. Itulah panorama bukit Gouw San. Ada persawahan, ada perkebunan, cantik pemandangannya. Puas Eng Tay memandangi keindahan alam sampai lohor, barulah ia mengajak Gin Sim pulang. Setibanya mereka di dekat pintu belakang, Gin Sim berkata: "Lihat di sana. Orang yang sedang membawa tahang air, bukankah ia istri guru" Mari kita menemuinya untuk bercakap-cakap." Gadis itu setuju. Bersama-sama Gin Sim, ia melangkah mendekati istri guru itu. Bagian belakang itu merupakan suatu tempat terbuka, ada ladang sayurnya, ada sumurnya. Di sana, seorang wanita tua berbaju merah tua sedang mencuci pakaian. Dia habis memetik sayur. Begitu datang di dekat Ho-si, sang istri guru, Eng Tay menyapa sambil memberi hormat. Gin Sim juga turut memanggil: "Su-bo...!" Agak repot, Ho-si meletakkan tahangnya untuk membalas hormat. "Oh, Tuan Muda Ciok!" katanya manis. "Beberapa hari ini tak ku lihat Tuan Muda, repot dengan pelajaran barangkali?" "Itulah bimbingan Pak Guru Ciu," jawab Eng Tay. "Kami harus belajar dengan sungguh-sungguh, kalau tidak kami tak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan." Nyonya Ciu mengangguk, lalu ia menatap Gin Sim dan majikannya itu, kemudian katanya pada Eng Tay: "Kau masih muda sekali, tetapi kau sudah meninggalkan rumah hanya untuk belajar ilmu budaya, apakah kau tidak merasa susah?" Gin Sim, yang berdiri di belakang majikannya, segera menjawab: "Tidak...." Eng Tay segera memotong: "Semuanya leluasa. Guru Ciu telah menyediakan segala sesuatu bagi kami semua...." Ho-si tertawa. Ia masih menatap majikan dan kacungnya itu. "Kalian berdua, ada kekurangan apa?" tanyanya ramah "Sebutkan saja, semua dapat ku pinjamkan." Kembali Gin Sim mendahului majikannya. "Sekarang ini yang kami butuhkan hanya jarum dan benang," katanya. "Dapatkah Su-bo meminjamkannya kepada kami?" "Tentu saja, sebentar ku antarkan," kata istri guru itu. "Tapi, benang dan jarum adalah kebutuhan orang perempuan, kau menghendaki itu, untuk apa?" Gin Sim hendak menjawab, tetapi majikannya mendahuluinya. "Kami orang desa, pria pun dapat menjahit," katanya. "Berada di rantau, kami juga membutuhkan barangbarang itu." "Ya, benar juga," kata Ho-si. "Kalau begitu, Tuan Ciok juga pandai menjahit?" "Ya, sebisanya saja...." sahut Eng Tay. Kembali Nyonya Ciu tertawa. "Baiklah, sebentar aku tunggu kalian di kamarku!" katanya. Eng Tay mengucapkan terima kasih, terus ia memberi hormat, lalu bersama Gin Sim ia meninggalkan istri guru itu. Di dalam kamar, San Pek sudah menunggu. Dia lalu bertanya, ke mana kawannya telah pergi. "Kami jalan-jalan di belakang, melihat pemandangan alam," jawab Eng Tay. "Pemandangan alam di sana cukup menarik." Di dalam hati gadis itu tidak berkata demikian. Ia justru sedang memikirkan sikap Ho-si tadi, nada suara sang istri guru. Ia khawatir istri guru itu mencurigainya, maka pikirnya: "Lain kali, kalau bicara dengan istri guru aku harus berhati-hati...." Gin Sim sebaliknya lega hatinya. Di pihak lain, dari Ho-si pun tidak ada isyarat apa-apa, meski ia heran juga ada seorang lelaki muda meminjam jarum dan benang.... Sementara itu, sang kala berjalan cepat. Segera tiba Cit-gwe, bulan ke-7. Tanggal 7 bulan ke-7, langit terang-benderang, dan malamnya, Bima Sakti bercahaya di langit, sedangkan rembulan muda, sedang turun ke bawah, membuat bayangan orang pun tampak doyong. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara seruling, melantun dari sela-sela pohonpohon yang-liu. Malam sunyi, si putri malam pun setengah bundar. Ketika itu, mengenakan baju panjangnya Eng Tay sedang rebah di atas bangku di halaman luar. Ia memandangi rembulan dengan berdiam saja. "Eh, Saudara Ciok, kau di mana?" terdengar suara San Pek, dari dalam kamar, bertanya. "Aku sedang berangin-angin di sini," jawab Eng Tay. "Ayo ke mari, bawa bangku, kita duduk bersama dan bercakap-cakap." "Baik!" sahut San Pek menyetujui. Maka duduklah mereka mengobrol berdua. "Malam ini Cit-gwe cit-sek 14," kata Eng Tay, "Kau ingat, bukan?" "Tentu saja aku ingat!" sahut San Pek. "Setiap keluarga juga pasti tidak melupakannya, apalagi keluarga yang mempunyai anak-anak yang manis, pasti semua menyediakan buah semangka sambil menantikan sang labah-labah menaikinya. Jika labah-labah sudah naik dan bermain di atasnya, itu artinya keberuntungan sang buah, pertanda kemakmuran! Jadi buah-buahan itu merupakan daya penarik agar labah-labah bermain di atasnya. Ini juga yang di buku disebut kit-kaw!" 15 14 Cit-gwe-cit-sek: "malam ke-7 bulan ke-7," suatu hari raya menurut kepercayaan. 15 Kit-kaw itu berarti "menguji kepandaian," akan tetapi kenyataannya adalah "Kau ingat itu, Kakak Nio, bagus!" kata Eng Tay. "Hanya masih ada satu yang Kakak tidak sebutkan...." "Apakah itu, Adikku?" Eng Tay tertawa lebar, merdu suaranya. Dia pun bangkit dan duduk. "Kalau labah-labah naik dan bermain-main di atas buah," katanya, "itu berarti si nona yang mengatur buah-buahan itu, di tahun itu akan mengalami kegembiraan! Ya, ia akan mendapatkan suami yang berada di lubuk hatinya. Maka dari itu, Kak, di rumah Kakak, kalian memakai penyuguhan buah atau tidak?" San Pek bagaikan tersadar. "Ya, aku lupa!" katanya. "Memang ada kebiasaan itu. Namun, Adikku, apakah kau sendiri pernah menyediakan buah-buahan itu?" "Aku?" tanya Eng Tay tertawa. "Tidak!" jawabnya, "Apabila kita menyediakan buah-buahan, kita juga harus menyiapkan yang disebut 'jarum berlubang tujuh' serta benang lima warna yang harus dililitkan pada buahbuahan itu. Persiapan pun harus dilakukan di ruang tengah untuk menantikan datangnya sang labah-labah. Bukankah itu hal yang tak mudah?" "Kau sangat teliti, Dik, kau ingat segalanya!" ujar San Pek memuji. "Karena mengatur buah-buahan bukan urusan yang mudah maka kami tidak melakukan aturan itu, apalagi itu adalah cerita belaka, mirip dongeng alias takhyul." "Bagaimana sampai dinamakan takhyul?" tanya gadis itu sambil tertawa. "Sebagaimana kau ketahui, yang dinamakan cit-gwe cit-sek itu, atau kit-kaw, adalah lakon atau dongeng tentang Gu Neng dan Cit Li 16, si pemuda penggembala kerbau dan si nona bidadari tukang tenun," kata San Pek. "mencari kepandaian jahit-menjahit atau menyulam di malam tanggal tujuh bulan tujuh." Dan menjahit adalah kepandaian setiap wanita, apalagi para gadis remaja. 16 Cit Li yang disebut penenun adalah sebuah bintang dalam gugusan bintang utara Lyra. "Menurut cerita orang tua," San Pek menerangkan lebih lanjut, "Cit Li itu, yang juga disebut Thian Sun, cucu Tuhan, adalah cucu perempuan luar dari Thian Tee, Kaisar Langit. Thian Sun ingin menikah dengan Cian Gu Che, si bintang penggembala, sehingga ia telah melalaikan pekerjaan menenunnya. Maka itu oleh Thian Tee dia dihukum: dalam satu tahun, ia hanya boleh bertemu satu malam dengan Cian Gu Che yaitu setiap malam tanggal tujuh bulan ke-tujuh. Nah, coba pikir, bukankah kejadian itu hanya cerita takhyul belaka?" Eng Tay diam, ia mengangkat kepalanya memandang ke langit. Dengan perlahan, ia menghela napas, lalu katanya: "Lihat di sana, Thian Ho 17 demikian tenang, bersahaja. Setiap hari dia dibiarkan mengamati saja, tak dapat melintas. Hukuman demikian itu, bukankah melebihi segala-galanya" Betapa dia menderita! Walaupun begitu, di dunia mungkin ada kejadian serupa - bertemu setahun sekali! Sungguh, sang waktu melintas terlalu lama...." San Pek mengawasi kawannya itu. Perkataannya membuatnya kurang mengerti. Ia juga lantas memandang langit. Rembulan telah menghilang, yang tampak ialah Bima Sakti yang melintang di antara bintangbintang yang terang-benderang. Rupanya Gu Neng bersama Cit Li sedang dalam pertemuan setahun sekalinya. Ya, setahun sekali.... "Kakak Nio, kau menatap langit, apa yang sedang kau lihat?" tanya Eng Tay kemudian. "Aku sedang memikirkan Gu Neng dan Cit Li," sahut orang yang ditanya. "Satu tahun satu kali, itu terlalu lama, tetapi, satu tahun sekali pun boleh juga...." Hati Eng Tay terpukul mendengar perkataan sahabatnya itu. Namun, ia diam saja duduk di atas bangkunya. Ia sedang berpikir. Tapi kemudian ia pun berkata. "Kakak Nio," katanya, "manusia itu, siapakah yang tak 17 Thian Ho diartikan llian Sun, atau Cit Li si tukang tenun. dapat bertemu?" "Kak, ini hanyalah perumpamaan," jawab San Pek. "Bukankah ada seseorang yang tak juga pulang selama empat atau lima tahun tetapi istrinya tidak khawatir sama sekali?" Eng Tay tertawa. "Kak, yang kaumaksud istri tentulah Cit Li, bukan" Sekarang umpama saja seorang pembuat patung membikin sepasang boneka pria dan wanita, lalu orang yang memesannya tidak menikahkan muda-mudi itu, sebaliknya, muda-mudi itu justru telah menikah diam-diam. Karena itu si pemesan, katakan saja, sang majikan, menjadi sangat gusar hingga dua patung itu dia pendam terpisah di halaman depan dan belakang rumahnya agar untuk selama-lamanya muda-mudi itu tak dapat bertemu, bukankah itu sangat menyedihkan?" San Pek tertawa. "Adik Ciok, kau bicara mirip bocah usia tiga tahun!" katanya. "Patung kayu tidak berjiwa, mana mungkin mereka bisa menikah?" Eng Tay juga tertawa. "Ya, itu hanya perumpamaan saja. Namun di antara manusia, bukankah benar ada sepasang muda-mudi yang tak berjodoh itu" Muda-mudi demikian itu, bukankah mereka sama saja dengan boneka?" "Ah, sudahlah!" ujar San Pek memutus pembicaraan. "Tak usah kita bergurau terus. Lihat, putri malam sudah tenggelam di barat, hawa pun sudah menjadi dingin, sebaiknya kita masuk dan istirahat. Besok kita harus bangun pagi-pagi!" Eng Tay bangkit dari bangkunya, ia mengangkat dan membawanya sekalian ke kamarnya. San Pek tidak memikirkan kejadian tadi itu, ia menganggap Eng Tay hanya bergurau. Esok tengah hari, Gin Sim muncul sambil tertawa cekikikan. Ia membawa dua piring buah, yang satu buah pir, yang lainnya teratai. Lantas diletakkannya di atas meja, lalu ia berkata: "Dua piring buah ini adalah buah yang tadi malam disuguhkan kepada Gu Neng dan Cit Li, silakan Tuan Muda makan." "Oh, kau juga menyuguh?" kata San Pek tertawa. "Tidak, Tuan Muda...." "Sudah, pergilah kau," kata Eng Tay pada abdinya. "Jangan bergurau!" Namun nona majikan ini pun tertawa. "Kalian berdua, majikan dan bujang, gemar bercanda," kata San Pek. "Aku tak mengerti...." Eng Tay tidak berkata apa-apa, ia hanya tersenyum. Setelah itu, dua bulan pun telah berlalu. Kali ini tiba hari peringatan atau hari raya Tiong Yang, hari besar kaw-gwe ce-kaw - tanggal 9 bulan 9 tahun imlek. Dengan lain nama, hari raya ini pun disebut hari raya Tiong Kiu. Hari ini berdasarkan anggapan atau kepercayaan bahwa tanggal 9 bulan 9 merupakan hari yang paling cerah sehingga cerah juga penghidupan manusia. "Besok hari raya Tiong Yang, sekolah libur satu hari. Kakak Nio, kau berniat pergi berlibur ke mana?" tanya Eng Tay pada kakak angkatnya. Orang yang ditanya tertawa. Ia mendorong buku di hadapannya. "Dalam hal berlibur, aku tidak berpikir susah-susah," jawabnya. "Aku akan menurut pikiran Adik saja. Andaikata kau tidak berkeinginan mencari hiburan di luar, kita bisa berdiam di rumah saja sambil membaca buku." Eng Tay menggelengkan kepala. "Tidak pergi berlibur, kurang tepat," katanya. "Dalam satu tahun, berapa harikah saat-saat liburannya" Kakak tahu, Su Kiu maupun Gin Sim sangat mengharapkan tibanya hari raya ini. Mereka telah berpikir akan menanyakanku ke mana kita akan pergi. Bukankah tak berlibur berarti kurang kegembiraan?" "Kalau kau pikir demikian, baiklah," kata San Pek. "Sekarang katakan, ke mana kita akan pesiar?" Seraya berkata demikian, sang kakak menatap adiknya. "Bagaimana kalau kita pergi ke Se Ow?" 18 tanya Eng Tay. "Di sana kita dapat menyaksikan pemandangan alam dengan air dan pepohonannya." "Baik!" kata San Pek. "Besok kita berangkat ke sana berbekal makanan, biar Su Kiu yang membawa. Di sana kita nanti memilih tempat agar bisa menikmati keindahan alam." Eng Tay mengangguk sambil tersenyum. Keesokan paginya, San Pek dan Eng Tay berangkat bersama-sama, diikuti oleh Su Kiu dan Gin Sim. Su Kiu memikul barang-barang bawaan. Langit cerah. Keadaan Se Ow masih perawan, belum terjamah tangan-tangan yang cekatan. Pepohonan semua serba hijau dan airnya jernih sekali. Pemandangan bukit itu melapangkan hati. Itulah yang dinamakan keindahan alam. Rombongan muda-mudi ini memilih satu tempat di tepi telaga. Dari situ selain tampak air telaga yang bening, juga panorama, pemandangan yang lapang di sekitarnya. San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dik, di sini indah sekali!" kata San Pek. "Sayang belum ada olahan tangantangan manusia guna menambah ini dan itu...." "Memang indah sekali!" sahut Eng Tay. "Nanti juga akan ada tangan-tangan yang menyemarakkannya. Ah, Kak, manusia itu tak akan hidup lebih dari seratus tahun, keindahan semacam ini tak selayaknya dilewatkan...." San Pek mengangguk. "Benar!" katanya. Mereka lalu berjalan bersama, melihat segala sesuatu di sekitarnya. "Kak, di sana ada perahu, mari kita naik," ajak Eng Tay kemudian pada kawannya itu. Dengan tangannya, ia menunjuk ke tepi telaga. San Pek setuju, maka mereka berdua pergi ke 18 Se Ow dulu tidak sama dengan Se Ow - Telaga Barat - seperti dewasa ini. Nama Se Ow pun baru dikenal mulai akhir dinasti Tang, selama tahun 618-906 Masehi. Sedangkan dinasti Chin - Chin Timur, berlangsung dari tahun 317-419 Masehi. pangkalan, kemudian menyewa perahu tambangan. Dan, keduanya pun sudah hilir-mudik di atas air. Ketika itu, San Pek dan Eng Tay tidak berdua saja, ada orang-orang lain yang juga berpesiar. Su Kiu dan Gin Sim pun menikmati pemandangan alam itu. Mereka juga diajak oleh majikan mereka untuk turut naik perahu. Perahu itu memakai pelindung atap dan bilik bambu di kiri dan kanannya. Jendelanya terbuka agar penumpang dapat memandang sekelilingnya. Demikianlah, selagi berjalan-jalan ada saja yang dibicarakan sepasang muda-mudi itu hingga mereka tidak merasa sepi. Malah sebaliknya, mereka bergembira dan terhibur. Kemudian tibalah saat sarapan, Gin Sim dan Su Kiu segera mengeluarkan bekal makanan dan mengaturnya untuk majikan mereka, dan juga untuk mereka berdua. Mereka pun membekal arak namun mereka telah berjanji untuk tidak minum sampai mabuk. Selagi mereka bersantap, San Pek memetik bunga shu-yi. Bunga itu berikut rantingnya biasa dipakai selama hari raya Tiong Yang sebagai pengusir pengaruh jahat, pembawa keselamatan. "Dik, mari kupakaikan bunga ini padamu guna mengusir pengaruh jahat!" kata San Pek pada Eng Tay. Ia tertawa. Eng Tay mengangguk, ia pun tertawa. Benar-benar San Pek menyisipkan bunga itu, yang berwarna merah, di sisi telinga Eng Tay. Di saat itu, paras gadis itu bersemu merah. "Dik, tahun ini aku yang menyisipkan bunga ini," kata San Pek, "lain tahun...." "Lain tahun juga tetap Kakak!" kata Eng Tay, tertawa. Perkataan gadis ini ada artinya, tetapi si pemuda tidak dapat menangkapnya, maka dalam kegembiraannya, sambil tertawa ia pun berkata: "Baiklah, lain tahun aku juga...! Mari kita keringkan cawan kita!" Keduanya lantas minum arak mereka. Begitulah mereka bersantap, minum arak dan bergembira. 7 Ketika Sakit LEPAS tengah hari, San Pek dan Eng Tay mengajak Su Kiu dan Gin Sim pulang. Mereka merasa puas. Sementara itu, kedua muda-mudi itu telah mempunyai beberapa sahabat di antara teman sekolah mereka, malahan ada juga yang suka berkunjung ke kamar mereka untuk bercakap-cakap. Mereka disenangi kawan-kawan. Di antara mereka itu, seperti halnya San Pek, tidak ada yang mencurigai Eng Tay, bahkan ia mendapat pujian sebagai kawan yang manis budi. Pada suatu hari, selagi duduk di dalam kamar San Pek menghela napas. Dia menatap ke luar, memandangi langit. "Eh, Kak, kenapa kau?" tanya Eng Tay heran. Dia mengamati. Orang yang ditanya menggelengkan kepala. "Entahlah," sahutnya dengan enggan. "Hari ini aku merasa gelisah...." Eng Tay mengawasi. "Kak, mungkinkah karena aku telah melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatimu?" tanyanya. San Pek menggoyangkan tangannya. "Apa katamu, Dik?" katanya separuh menegur. "Sudah satu tahun kita bergaul, tidak pernah kau lakukan sesuatu yang tidak aku senangi. Malahan kau baik sekali. Seandainya kau lakukan sesuatu yang demikian, tentu aku akan menegurmu. Kau salah duga." "Apakah mungkin pak guru Ciu menegurmu?" tanya Eng Tay lagi. "Tidak, pak guru Ciu baik sekali. Sekiranya aku ditegur, aku malah akan sangat berterima kasih." "Lalu, Kakak kenapa?" tanya si adik angkatnya lagi. "Apa mungkin Kakak sedang memikirkan orangtua di rumah?" "Memikirkan memang ya, akan tetapi itu bukan masalah," sahut San Pek. "Biasa saja kalau anak dalam perantauan senantiasa ingat ayah-bundanya yang jauh di rumah. Kau salah menerka, Adikku. Orangtuaku sehat walafiat. Terkaanmu hanya tepat sebagian...." "Ah, aku mengerti sekarang!" kata Eng Tay. "Pastilah karena ayah-bunda Kakak terlalu memikirkan Kakak." Kakak angkat itu menghela napas lagi Sang adik mengamati. "Sebabnya begini, Dik," kata San Pek kemudian, suaranya perlahan sekali. "Maaf, aku bicara terusterang...." "Silakan, Kak." "Baru saja aku menerima surat dari rumah yang mengabarkan bahwa kami kehabisan uang, karenanya Ayah menyuruhku pulang. Ya, aku tak perlu belajar di rantau.... Tak punya uang dan berhenti sekolah, itu satu masalah. Namun aku sangat memikirkan hubungan kita. Kita yang sudah seperti saudara kandung. Kita akan berpisah, betapa beratnya penderitaanku." "Oh, hanya itu!" kata Eng Tay setelah mendengarkan beberapa lama. "Benar juga, berat rasanya kalau kita berpisah. Kita pun baru satu tahun menuntut ilmu di bawah bimbingan pak guru Ciu, Kakak Nio...." "Kau benar, Dik!" sela San Pek memotong. "Dari rumah tak akan datang lagi uang, bagaimana" Apa yang dapat ku lakukan....?" "Kak, jangan khawatir!" kata Eng Tay. "Tak usah dianggap sulit! Kak, perkara uang adalah hal yang mudah asal Kakak bersedia menerima bantuanku yang tidak berarti. Kiriman uang dari rumahku tidak akan putus setengah jalan, kiriman itu lebih dari cukup untuk kita berdua. Mulai sekarang, untuk segala keperluan Kakak, Kakak bisa ambil uang dariku!" San Pek heran, dia menatap sang adik angkat. "Dik," katanya, "kau baik sekali. Akan tetapi...." "Kakak Nio, jangan pikirkan itu! Kita sudah seperti saudara sendiri. Benar, bukan" Maka selanjutnya, Kakak harap tenang-tenang saja. Ayo kita tetap belajar bersama di sini." Akhirnya San Pek mengangguk. "Baiklah, Dik Ciok!" kalanya. "Aku terima kebaikanmu ini. Akan ku tulis surat ke rumah untuk memberi kabar pada orangtuaku." "Nah, begitu baru benar! Selanjutnya kita belajar bersama seperti biasa. Sekarang musim semi, mari kita belajar dengan lebih giat." Benar-benar San Pek dapat berlega hati ia dapat gembira kembali seperti biasa. Malam itu, sewaktu belajar, San Pek melihat Eng Tay mengantuk. "Dik, kau letih, istirahatlah lebih dulu," katanya. Eng Tay bangkit. "Malam ini aku benar-benar lelah," katanya. "Ya, aku tidur lebih dulu...." Gin Sim, yang selalu menemani majikannya, segera bergerak untuk memasang lilin, merapikan pembaringan supaya majikannya dapat segera merebahkan diri. Namun, sebelumnya, sang majikan minta abdinya memapahnya. San Pek menyusul masuk ke kamar. "Dik, apakah kau kurang sehat?" tanya. "Kau sakit?" "Mungkin aku agak sakit," jawab Eng Tay. "Tak apa, besok mungkin akan baik dengan sendirinya. Jangan Kakak khawatirkan...." San Pek menghampiri. Dengan dibantu oleh Gin Sim, Eng Tay melepas baju luarnya, baju panjang. Ia berbaring, meletakkan kepalanya di atas bantal. Gin Sim menyelimutinya sampai ke kakinya. Kemudian abdi ini mengundurkan diri. "Ku pikir, lebih baik aku memanggil tabib besok," kata San Pek. Ia terus meraba dahi si adik angkat, yang terasa panas. "Oh, Adikku, kau benar-benar sakit! Rupanya tadi kau masuk angin...." Eng Tay tidak menjawab, tetapi ia tersenyum lemah. "Malam ini kau tak usah ditemani Gin Sim," kata San Pek. "Aku akan menggantikan dia. Aku bisa rebah di ujung kakimu. Kalau perlu, bangunkan aku." "Ah....!" kata Eng Tay tertawa. "Mana bisa...." Aku menyusahkanmu saja. Biarlah Gin Sim yang menemaniku...." "Nona benar," kata Gin Sim dalam hati, yang masih belum berlalu. San Pek mengerutkan alisnya. "Dik, kau terlalu keras kepala, katanya. "Kau toh sedang sakit! Jangankan baru semalam, dua hari pun aku menemanimu, masih tidak apa-apa!" "Tetapi Kakak tidur di ujung kakiku...." San Pek menggelengkan kepala. "Apalah artinya itu?" jawabnya. "Ah, hebat....!" seru Gin Sim dalam hati. Namun, apa yang dapat dikatakannya" Maka ia berkata: "Inilah kewajiban saya sebagai pembantu...." "Kau benar, ini memang tugasmu, tetapi sekarang majikanmu sedang sakit, bila aku tidur di luar, kalau ada panggilan mana ku dengar" Sudah, jangan kau menjadi seperti tuanmu! Biar aku tidur disini, walaupun sampai tiga malam!" Melihat demikian, Eng Tay tak dapat menolak lagi. Maka, ia pun berkata pada abdinya: "Gin Sim, pergilah kau tidur di luar, kalau perlu, akan ku panggil. Jangan khawatirkan aku, aku tahu apa yang harus ku lakukan...." Kata-kata majikannya yang menghibur itu melegakan hati abdinya. Akhirnya Gin Sim tidak berkata apa-apa lagi. "Bagaimana kalau Adik minum teh?" tanya San Pek kemudian. "Boleh juga," sahut Eng Tay, yang sehabis minum terus membalikkan tubuh agar dapat tidur pulas. Hanya selang setengah jam, ia berbalik pula. Di antara sinar lilin, samar-samar ia melihat San Pek sedang duduk membaca buku. Mendengar suara gerakan di pembaringan, San Pek melepaskan bukunya dan memandang ke pembaringan. Maka sinar mata mereka berdua bertemu.... "Bagaimana Dik, rasanya lebih baik?" tanyanya. "Masih sama saja," jawab Eng Tay. San Pek bangkit, ia menghampiri. Dirabanya dahi Eng Tay, terasa hawa yang panas sekali. Ia berkata: "Sekarang sudah malam, kita tak dapat mengundang tabib, kita harus menunggu sampai besok pagi." "Ya, besok saja," kata Eng Tay. "Kak, tolong panggilkan Gin Sim." "Buat apa memanggil dia?" tanya San Pek. Eng Tay memandang ke langit-langit kelambu, berat ia membuka mulutnya. Tapi akhirnya, ia berkata perlahan: "Kak, aku ingin buang air kecil...." "Kau sedang sakit, buang air kecil maupun air besar, kau perlu dipapah. Dik, bangunlah, nanti aku pegangi." Eng Tay menyingkap selimut, perlahan-lahan ia bangun untuk duduk. Lantas ia berkata, "Tak perlu.... Ayah pernah menasehatiku, minta bantuan orang untuk buang air kecil atau besar, itu perbuatan kurang sopan. Sekalipun Gin sim, dia tak boleh turut masuk ke dalam kakus dia menunggu di luar pintu saja." San Pek menganggap alasan itu kuat, maka ia pergi memanggil Gin Sim. Dengan demikian, gadis itu jadi dibantu oleh abdinya. Kembali ke tempat tidur, Eng Tay tampak lemas sekali. Melihat hal itu, si kakak angkat mendekat, memegangi gadis itu. "Dik, sakitmu tidak ringan," katanya. "Lain kali jangan pergi ke kakus, pakai pispot saja." "Ya," sahut Eng Tay sambil mengangguk, terus ia tidur lagi. "Kau boleh ke luar," ujar San Pek menyuruh Gin Sim, yang masih menunggui majikannya. "Kalau perlu, akan ku panggil lagi kamu." "Ya, Tuan Muda," sahut si abdi, akan tetapi kakinya tak bergeming. "Kau keluarlah," kata Eng Tay. "Kalau perlu, akan ku minta Tuan Muda Nio membangunkanmu." Mendengar penegasan itu barulah Gin Sim mengundurkan diri. "Kakak Nio, kau juga tidurlah," kata Eng Tay kemudian. Ia maksudkan agar pemuda itu kembali ke kamarnya. "Tak apa, aku dapat tidur di ujung kakimu, Dik," kata San Pek. "Ah, lebih baik Kakak tidur di kamar Kakak...." "Tidak, malam ini aku harus menemanimu. Kau tahu sendiri, tubuhmu masih saja panas. Harap kau jangan sungkan." Eng Tay kehabisan akal. Dia bingung juga, jantungnya berdebar kencang. Ia tetap ingat bahwa dirinya adalah seorang gadis, ia harus menyimpan rahasia. Mana bisa ia tidur seranjang dengan seorang pemuda" Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak kehendak San Pek" Maka akhirnya, ia berkata dalam hatinya: "Kakak Nio, rupanya aku memang berjodoh denganmu....!" Toh, ia masih bimbang... "Eh, Dik, apa pula yang kau pikirkan?" tanya San Pek heran. "Kak, kau mau tidur di ujung kakiku," kata Eng Tay, "tetapi...." San Pek duduk di sisi pembaringan. "Dik, bagaimana kau ini?" tanyanya. "Kau sedang sakit, apa kau khawatir aku ketularan" Tak mungkin! Dik, aku harus menjagamu!" Eng Tay terdesak, ia mengangguk. Tetapi ia berkata pula: "Kakak benar, namun.... sejak kecil, aku dibiasakan tidur sendiri saja, maka kalau sekarang kita tidur berdua, aku khawatir kita tidak bisa tidur pulas...." "Tak bisa pulas, tak apa," kata San Pek yang bersikeras. "Biar bagaimana, aku harus menemanimu, Dik!" Eng Tay terpojok. Ia memandangi kawannya itu, lantas ia berkata: "Baiklah kalau begitu. Kakak boleh tidur di ujung kakiku. Hanya saja, padaku ada suatu kebiasaan yang telah menjadi aturan...." "Apakah itu, Dik" Sebutkan saja!" "Aturannya," ujar Eng Tay menjelaskan, "siapa yang tidur satu pembaringan denganku ada perjanjian seperti ini: Kita harus menyediakan satu kotak berisikan abu, kotak itu diletakkan di luar selimut di tepi pembaringan. Selagi tidur pulas, kalau kotak itu sampai tumpah maka yang menumpahkannya dianggap bersalah, dan keesokan paginya, dia dihukum denda...." "Hukuman denda" Hukuman apakah itu?" "Dia diharuskan mengadakan pesta makan-makan!" San Pek tertawa. San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ngawur, lucu!" katanya. "Aturan macam apa itu?" "Tetapi itu bukan lelucon. Kalau tidak percaya, coba tanyakan Gin Sim. Dia pernah didenda ibuku!" "Jika benar demikian, baiklah, akan kucoba. Tidak ada orang luar di sini, seandainya aku terdenda kita hanya berpesta berempat dengan Su Kiu dan Gin Sim. Tetapi, siapakah yang akan memastikan yang bersalah?" "Ini mudah! Kita lihat saja letak tumpahannya." "Baiklah kalau begitu!" Maka segera disiapkan satu kotak terbuat dari kertas dan berisikan pasir halus, lalu kotak itu diletakkan diantara mereka. "Sekarang apa lagi?" tanya si anak muda. Eng Tay menyesal sendiri. Ia hanya main-main, siapa sangka San Pek bersungguhsungguh. Tetapi hal ini meninggalkan kesan yang baik pada dirinya. Pemuda itu ternyata polos sekali. Di lain pihak, ia tersenyum sendiri sebab San Pek dianggapnya tolol, mudah ditipu. "Tidak ada apa-apa lagi!" jawabnya kemudian. "Nah, mari kita tidur!" San Pek menurut. Mereka pun tidak berkata-kata lagi Keduanya tidur dengan berselimut. Hanya terlebih dulu, si pemuda memandang wajah gadis itu dan meraba tangannya, yang tidak lagi terasa panas seperti tadi. Ia rebah tak bergeming, khawatir kalah bertaruh dan takut mengganggu tidurnya si kawan.... Eng Tay sebaliknya, ia berdiam saja, berpura-pura pulas. Esok paginya, dua kali Gin Sim muncul, majikannya berdua masih pulas tetapi ia melihat kotak kertas yang terisi pasir. Ia melihat majikannya sedang tidur miring, sebelah tangannya terjulur ke luar selimut. Ia berkata di dalam hati: "Syukurlah San Pek tak tahu siapa majikannya itu, kalau tidak, pasti rahasia majikannya bocor." Ketika ia muncul untuk kedua kalinya, majikannya sudah mendusin, dan gadis itu menunjukkan padanya kotak berisi pasir itu. Lalu keduanya pergi ke luar tetapi tak lama kemudian Eng Tay telah kembali. San Pek sudah bangun. Ia melihat gadis itu. "Dik, sakitmu sudah berkurang?" tanyanya. Eng Tay mengangguk. "Lebih baik," sahutnya. San Pek turun dari tempat tidur, disingkirkannya kotak yang tak bergeser itu. Ia merasa lega menyaksikan kawannya tidak menderita seperti tadi malam. Toh ia merasa, masih perlu memanggil tabib dan Eng Tay membiarkannya. Guru Ciu menjenguk muridnya tatkala diberitahu bahwa si murid sakit. Tabib datang, ia memeriksa dan membuat surat obat. San Pek menjadi repot sebab segala sesuatu ditanganinya sendiri. Su Kiu menyediakan pispot dan San Pek berpesan bahwa kalau Eng Tay ingin buang air, dia tak usah ke luar dari kamar. Selama empat malam, San Pek terus tidur di ujung kaki Eng Tay. Dia tak berani bergolek. Di hari kelima, Eng Tay hampir sembuh. Sejak itu San Pek kembali ke pembaringannya sendiri. Selang sepuluh hari, Eng Tay sudah sembuh sama sekali. "Kakak Nio," kata gadis itu pada kawannya, "selama aku sakit, Kakak bersusahpayah merawatku. Sekarang aku telah sembuh, bagaimana aku harus membalas budimu?" San Pek tersenyum. "Kau telah sembuh, ya sudah saja," sahutnya. "Untuk apa bicara tentang balas budi" Kesembuhanmu adalah balasannya...." Eng Tay, yang berdiri di sisi meja berkata lagi: "Kak, ibuku sekalipun tak dapat melayaniku seperti itu. Beberapa kali Kakak meraba dahiku bahkan membantuku di saat minum obat, kau pegangi. Ya, Kakak pun menyuapkan obatku. "Itu wajar saja," kata San Pek. "Kau sedang lemah sekali." "Aku ingat, di saat hendak makan bubur, aku tak kuat bergeser ke tepi pembaringan, tetapi kau, kau pegangi aku serta menyuapi juga...." Kembali San Pek tertawa. "Itu jamak bukan?" katanya. "Selama sakit, sudah sepantasnya kawan saling menolong. Kalau tidak demikian, itu bukannya kawan. Ingat, Nabi kita pun mengajarkan agar kita saling tolong-menolong." "Ya, tak kul upakan itu," kata Eng Tay. Sekali lagi San Pek tertawa dan berkata: "Dik, kau pernah mengatakan padaku, kecuali ibumu, belum pernah kau tidur bersama orang lain, namun kali ini, selama empat malam kau izinkan aku menemanimu. Sungguh, kau baik sekali. Tak mudah itu terjadi...." Eng Tay tidak menjawab, ia hanya tersenyum. 8 Membuka Rahasia SEJAK mendapat perawatan Nio San Pek, kesan Ciok Eng Tay mengenai sang kawan baik sekali. Maka apa pun kebutuhan si pemuda, tanpa diminta lagi, segera disediakan oleh gadis itu. Karenanya, bukan main rasa bersyukur si kakak angkat itu. "Kau baik sekali, Adikku," kata sang kakak suatu hari. "Betapa bahagianya aku mendapatkan kau sebagai saudara." En Tay yang berdiri di samping San Pek, berkata: "Kak, itulah kewajibanku sebagai adik, maka jangan kau jadikan pikiran. Bahkan ingin sekali aku, seumur hidupku dapat melayanimu. Biarlah aku benar-benar menjadi adikmu!" San Pek tertawa. "Ya, kita seperti saudara kandung!" katanya. "Akan tetapi, jika kita sudah pulang ke rumah masing-masing, mana bisa kau mengikutiku untuk selama-lamanya?" "Asal bisa terjadi, aku suka mengikuti Kakak seumur hidup!" kata Eng Tay. Si anak muda tertawa lebar. "Dik, kaubicara seperti bocah usia tiga atau lima tahun!" katanya. "Ya, kau seperti adik yang minta permen dari kakaknya! Namun, permintaan adik kecil itu keluar dari hati yang tulus! Eng Tay diam, tetapi ia tersenyum. Demikianlah kedua kawan sekolah itu, kakak-beradik angkat, semakin erat hubungannya satu sama lain. Tanpa terasa, sang waktu melintas terus. Tanpa terasa pula, dua tahun sembilan bulan telah berlalu. Pada suatu hari muda-mudi itu sedang berada dalam kamarnya. San Pek sedang menekuni kaligrafi, dan Eng Tay, di sisinya, menggosok bak di atas bak-hi. 19 San Pek melihat dahi Eng Tay berkeringat, ia menggunakan saputangan untuk mengusapnya perlahan-lahan. Ketika sedang mengusap, tiba-tiba San Pek menjerit perlahan, lalu jatuh terduduk di kursinya. Eng Tay terperanjat, dia heran. "Kau kenapa, Kak?" tanyanya, baknya ia letakkan. "Dik, aku heran...." sahut sang kakak. "Aku melihat lubang kecil pada telingamu.... Mengapa?" Eng Tay terkejut, tetapi ia bisa menenangkan diri. "Oh itu, Kak, itu ada sebabnya," jawabnya. "Sebelum aku masuk usia sepuluh tahun, Mama menganggapku sebagai anak perempuan karena ia telah melepas kata-kata pada sang Budha...." "Oh, begitu?" kata San Pek. "Jelas sangat menyayangimu." "Ya, Mamaku memang baik sekali," kata Eng Tay. San Pek percaya keterangan gadis itu, ia tidak bicara lebih jauh. Tidak demikian dengan Eng Tay, hal itu membuatnya berpikir keras. Ia berniat bicara terus-terang, tetapi ia bimbang. Begitulah, sampai sang waktu berlalu lagi tiga bulan, di akhir bulan ketiga. Ini berarti bahwa, tanpa terasa tiga tahun telah lewat. Pada suatu hari, selagi berjalan mondar-mandir di depan pintu, tiba-tiba Eng Tay dihampiri seorang lelaki yang segera saja memanggilnya: "Tuan Muda!" Ketika ia menoleh, terlihat Ong Sun sudah berdiri di hadapannya. "Eh, kau datang kembali," tanya gadis majikan itu. "Kau-bawa surat?" "Ya," jawab si pegawai. "Nyonya Besar sakit, Tuan Muda diminta lekas pulang. Ini suratnya." Sambil berkata demikian, Ong Sun mengeluarkan sepucuk surat dan terus menyampaikan kepada majikannya. 19 Bak: batang tinta cina berwarna hitam; bak-hi: tatakan bak. Surat di zaman dulu itu tak beramplop, hanya dilipat saja. Eng Tay menerimanya, terus membuka dan membacanya. Benar saja, mamanya sakit dan ia diminta lekas pulang. "Mama sakit apa?" tanya Eng Tay sehabis membaca surat. Ong Sung menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu, hanya Nyonya Besar tidur terus. Apakah tidak dijelaskan di dalam surat?" Eng Tay merunduk, pikirannya bekerja. Segera ia memutuskan untuk lekas pulang. Ia pun sudah belajar cukup tiga tahun lamanya. Dulu pernah ia berjanji pada ibunya, "kalau mama sakit, ia akan segera pulang." Maka sekarang telah tiba saatnya. "Baiklah," katanya kemudian kepada Ong Sun. "Aku hendak bersiap-siap dulu, besok pagi baru akan berangkat." Ong Sun mengangguk ia menurut saja. "Tapi kamu berangkat lebih dulu, membawa barangbarang," kata gadis majikan itu lagi "Aku bersama Gin Sim akan menyusul" "Baik, Tuan Muda." "Sekarang beristirahatlah dahulu!" kata Eng Tay yang terus masuk ke dalam. Kepada Gin Sim diberitahukannya, tentang mamanya yang jatuh sakit dan abdi ini diperintahkan segera merapikan segala barang. Kemudian Eng Tay mendatangi San Pek yang di saat itu sedang membaca buku. Hatinya terasa gelisah, toh ia berdiri di depan si kakak angkat dan menyapa: "Kak..!" San Pek meletakkan bukunya, ia menoleh. "Ada apa, Dik?" tanyanya seraya mengawasi. Sang adik tampak lain. "Coba Kakak katakan, sudah berapa lama kita belajar di sini?" tanya Eng Tay. "Hitung-hitung, cukup lama," jawab San Pek. "Sudah tiga tahun. Kau tanyakan hal ini, ada apa?" "Kakak benar. Aku ingin memberitahu, baru saja aku menerima surat dari rumah yang mengatakan bahwa Mamaku sakit, maka aku diminta lekas pulang. Mungkin sakit Mama ringan tetapi aku harus pulang. Tiga tahun sudah aku meninggalkan rumah. Kakak pikir bagaimana?" "Tentu saja kau harus pulang, hanya...." Sambil berkata begitu San Pek bangkit berdiri. Ia menatap kawannya itu. Eng Tay bisa menerka perasaan si pemuda. "Aku juga berat meninggalkan kau, Kak," katanya. "Namun... kalau nanti Kakak juga pulang, bila ada kesempatan sebaiknya Kakak cepat-cepat datang ke rumahku..." "Kapan Adikku berangkat?" tanya San Pek. "Aku ingin mengantarmu selintas." "Aku akan berangkat besok. Kakak Nio, tak sanggup ku terima kebaikan hatimu untuk mengantarkan aku." Waktu itu, Su Kiu muncul. Ia lantas berkata kepada majikannya: "Barusan Gin Sim mengatakan bahwa Tuan Muda Ciok hendak berangkat pulang besok, tak dapatkah Tuan Muda minta agar keberangkatannya ditunda?" Nyata abdi ini pun merasa berat untuk berpisah. "Tak bisa, Su Kiu," jawab sang majikan "Mama Tuan Muda sakit, beliau memangilnya, ia harus pulang. Memang, berat rasanya untuk kita berpisah. Besok kita berdua akan mengantarkan Tuan Muda." "Tuan Muda hendak mengantar, itu baik sekali," kata Gin Sim. "Tapi Tuan Muda saya ingin bicara dengan Tuan Muda." "Gin Sim, barangmu serahkan aku, aku yang bawa!" kata Su Kiu. "Aku tak pandai bicara, ini saja yang bisa kulakukan...." "Boleh saja," jawab Eng Tay mewakili abdinya. "Aku sekarang hendak menemui pak guru Ciu. Gin Sim, ayo ikut aku, kau pun perlu pamit." "Baik Tuan Muda," sahut sang abdi. Maka mereka berdua pergi mencari pak guru Ciu. San Pek mendampingi. "Nak, apa ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan padaku?" tanya Pak Guru Ciu ketika melihat kedatangan murid-muridnya. "Bukan, Pak Guru," sahut Eng Tay, masih di luar pintu, "murid hanya ingin bicara...." "Kalau begitu, mari masuk!" undang Ciu Su Ciang, sang guru, yang sedang duduk di dalam kamarnya. Eng Tay dan San Pek masuk, keduanya memberi hormat. "Baru saja murid menerima surat dari rumah," kata Eng Tay kemudian. "Katanya, Mama saya sakit dan saya diminta pulang, maka dari itu, murid datang untuk memberitahu sekalian mohon pamit." "Jika Nyonya Besar sakit, memang kau harus pulang," kata sang guru. "Kapan kau berangkat?" "Besok, Pak Guru," jawab Eng Tay. "Sekarang murid ingin menemui Su-bo." "Kau ingin bertemu Su-bo-mu, baiklah, akan kupanggil dia ke luar. Tunggu sebentar." Guru itu berdiri, terus ia masuk. Hanya sebentar, ia sudah ke luar pula bersama Ho-si, istrinya. "Kau hendak pulang, Nak?" tanya sang istri guru mendahului murid suaminya. "Ya, Su-bo," sahut Eng Tay, yang terus menyambut dan memberi hormat. "Murid mohon pamit. Murid mengucapkan terima kasih, sebab selama tiga tahun saya diizinkan mengganggu Subo." Sang istri guru itu tertawa. "Jangan kau ucapkan itu, Nak, itu tidak ada artinya," katanya. "Su-bo, Gin Sim juga ingin pamit," ujar Eng Tay menambahi. "Maafkan dia yang sering rewel. Ia mengatakan, Su-bo sangat baik terhadapnya." Istri guru yang baik hati itu tertawa. "Dia hanya meminjam ini dan itu yang tidak berarti," katanya. "Sekarang, Nak, kau hendak bicara apa denganku" Silakan." Eng Tay mengawasi istri guru itu, ia tampak ragu-ragu hingga Ho-si menganjurkannya untuk berbicara saja. Eng Tay masih juga bimbang, baru saat kemudian ia minta untuk berbicara di dalam. Ho-si heran, namun ia mengajak murid itu masuk. Segera Eng Tay, membuka rahasianya sehingga sang istri guru menjadi terkesima. Ia mengamati gadis itu dalam penyamarannya. "Sekarang murid mau pulang, murid minta agar rahasia ini tidak dibuka, mohon San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pengertian Su-bo...." Ho-si mengawasi, ia tersenyum. "Nak, kau jangan kuatir," katanya "Kau tahu, sudah dari awal aku menerka siapa kalian berdua. Ternyata kalian pandai membawa diri, aku tadinya kuatir. Kalian boleh berlega hati, aku tahu apa yang harus ku lakukan. Nah, kau hendak bicara apa lagi" Duduklah!" Eng Tay tidak duduk, melainkan mendekati nyonya rumah. "Saya ingin bicara mengenai kakak Nio San Pek," katanya perlahan. "Ia baik dan jujur, dengan saya ia seperti saudara kandung. Tiga tahun kami sekolah bersama, dia tak tahu siapa diri saya sesungguhnya Ho-si mengangguk. "Sungguh luar biasa!" katanya. "Walaupun demikian, saya merasa tak enak," kata Eng Tay lagi. "Sekian lama saya telah mendustainya...." "Lalu sekarang, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Ho-si. "Bukankah lebih baik kalau bicara terus-terang saja padanya?" "Itu sulit. Beberapa kali saya ingin bicara, tetapi selalu gagal, demikian juga kali ini. Maka sekarang saya berpikir Su-bo...." Sang istri guru tertawa. "Ini tidaklah sukar," katanya. "Akan ku jelaskan padanya. Ada pesan lainnya?" "Saya mohon bantuan Su-bo lagi. Tolong katakan padanya tentang hubungan kami yang akrab selama tiga tahun seperti kakakberadik. Saya minta Su-bo sampaikan padanya bahwa sejak hari ini, saya tak bisa dijodohkan, dengan orang lain, siapa pun juga. Maka saya berharap dia segera datang...." Nona Ciok tak bisa meneruskan kata-katanya, ia jengah dengan sendirinya. Akan tetapi Ho-si sudah maklum maka ia berkata: "Baiklah! Kau jangan kuatir! Aku akan menjadi perantara jodoh kalian berdua. Kau akan memberikan tanda mata apa?" Eng Tay merogoh sakunya, ia mengeluarkan kupu-kupu terbuat dari batu kemala yang indah. Diserahkannya itu pada istri gurunya lalu ia berkata: "Inilah permata milikku sejak kecil. Karena permata ini, ayah dan ibuku memanggilku Kiu Moy. Kalau nanti Su-bo menemui dia, biarlah dia menggunakan kupu-kupu kemala ini sebagai tanda mata." Ho-si mengawasi batu kemala itu, ia tertawa. "Baiklah, akan ku serahkan kemala ini padanya," janjinya. "Terima kasih, Su-bo!" kata Eng Tay sambil memberi hormat. "Semoga rahasia ini bisa tertutup rapat. Sekarang murid hendak menemui Pak Guru kembali, murid hendak mengucapkan selamat berpisah." Ho-si yang baik hati dan manis budi itu, tertawa lagi. Segera ia memanggil suaminya, dan pak guru Ciu segera muncul. Eng Tay lantas menjura pada guru dan nyonya gurunya itu, lalu mengucapkan selamat berpisah dengan berat hati. Bapak guru dan istrinya itu sangat baik terhadapnya. Setelah itu, bersama Gin Sim ia kembali ke kamarnya. Ia melihat barangnya telah disiapkan. "Kakak Nio," kata adik ini, "kita telah sekolah bersama-sama, kita benar-benar seperti kakak-adik, maka dari itu barang-barang kita tak bisa dipisah-pisah, semua sudah tercampur menjadi satu. Ya, tak bisa kita membedakannya...." San Pek menggoyangkan tangannya. Ia pun tertawa. "Tidak demikian halnya, Saudaraku," katanya. "Singkatnya, apa yang kau sukai itulah milikmu." "Kak, jelas Kakak menyanjung-nyanjung aku! Bukankah segala hal yang ku sukai juga disukai olehmu" Maka dari itu, janganlah Kakak membeda-bedakan...." Memang, di atas meja segala barang telah dipisahpisahkan, kecuali seekor burung-burungan walet dan bebek mandarin atau belibis Tiongkok yang terbuat dari kuningan, masih terletak di sisi bak-hi. "Dik," kata San Pek seraya menunjuk burung-burungan itu, "apa yang kau sukai menjadi kesukaanku pula, demikian pula belibis ini "Kakak Nio, jadi Kakak menyukai burung-burungan ini...?" kata Eng Tay. "Bagiku, melihat burung-burungan ini seperti juga melihatmu," kata San Pek. Eng Tay mengambil burung-burungan itu, dimainmainkannya dengan kedua belah tangannya. "Kak, burung ini berdekatan denganmu," katanya. "Nanti setelah aku pergi, Kakak bisa sering-sering bermain dengannya." San Pek mengawasi si adik yang tampan. "Ah, Dik," katanya, "jadi kau hendak serahkan burung kuningan ini padaku" Tetapi, kata-katamu tadi membuatku tidak mengerti...." Eng Tay tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memperhatikan barang-barang lainnya di atas meja itu. "Dik, coba lihat isi keranjang itu," kata San Pek. Eng Tay menurut, ia melongok ke dalam keranjang, terus ia mengambil satu sarung mopit yang terbuat dari tembikar. 20 Sarung mopit itu berlukiskan setangkai buah delima. "Kakak Nio, dapatkah sarung mopit ini Kakak berikan 20 Di zaman Chin Timur itu belum ada sarung mopit dari porselen. padaku?" tanya Eng Tay. "Adikku, tak usah ku jelaskan lagi," jawab San Pek tersenyum. "Sarung mopit itu bermakna." "Apa maknanya?" "Delima, adalah salah satu tanaman buah yang mudah beranak, mudah tumbuh dan berbuah," ujar San Pek menjelaskan. "Adikku semata wayang, kelak di belakang hari Adik akan mudah memperoleh turunan...." Eng Tay tertawa. "Kalau Kakak, anak tunggal atau bukan?" ia balik bertanya. San Pek turut tertawa. "Aku sama dengan kau, Dik!" Keduanya lalu tertawa bersama. Eng Tay mengawasi sarung mopit di tangannya, ia melihat si buah delima yang sudah merekah dan bijibijinya tampak nyata. Ia tertawa pula: "Delima ini hendak diserahkan kepada siapa, kepada sang tuan atau sang nyonya?" "Tentu saja pada sang tuan!" sahut San Pek. Si adik mengangguk. "Aku ingat sekarang," katanya, "Ketika dulu aku beli sarung mopit ini, aku telah menghadiahkannya pada Kakak dengan harapan nanti berbuah dan beranak..." "Itulah tanda kebaikan hati Adik. Namun, Dik, kenapa kau sendiri tidak menghendakinya?" Eng Tay melihat sekelilingnya, di situ tidak ada orang ketiga. Ia berpikir cepat, lantas ia berkata di dalam hati: "Inilah saatnya aku harus sadarkan dia!" Maka segera ia berkata: "Aku" Tentu saja aku, mengingininya, asal bersama kau, Kak...." Tampak si pemuda bingung. "Dik, apakah arti perkataanmu ini?" tanyanya. "Apa artinya" Apakah Kakak masih belum tahu?" "Aku memang belum mengerti...." "Aku telah bicara jelas, kau masih belum mengerti, baiklah!" pikir Eng Tay dalam hati. Maka lantas ia meletakkan sarung mopit itu bersebelahan dengan dua burung-burungan, burung walet dan belibis mandarin, kemudian ia menghadap ke pria di hadapannya seraya berkata: "Tunggu, hendak ku lihat-lihat dulu." "Silakan, Dik" Eng Tay mengamati barang-barang di hadapannya itu. ia melihat sepotong tembikar yang merupakan alat penindih buku, berukuran lebar kira-kira 6 atau 7 inci, demikian juga panjangnya. Di atasnya, yaitu bagian depannya, ada relief sepasang kupu-kupu besar berwarna-warni indah. Melihat itu, ia tertarik, segera diambilnya, terus ia perlihatkan pada si anak muda sambil berkata: "Jadi ini juga Kakak hadiahkan padaku?" "Benar!" jawab San Pek lekas. "Bukankah Adik sangat menyukainya" Telah ku lihat, selama membaca buku, Adik tak pernah terpisah dari tatakan ini. Ya, Adik selalu memakainya untuk menindih buku!" "Memang aku menyukai kupu-kupunya," sahut gadis itu. "Sengaja aku memilih ini untuk diberikan pada Kakak." San Pek menatap tajam kawan yang tampan itu. "Bagaimana, Dik?" katanya. "Bagaimana bisa kau berikan barang ini padaku" Aku melihat tiada barang lain selain ini yang Adik sangat sukai. Kalau aku terima ini, bukankah kau seperti telah kehilangan sesuatu?" "Memang benar, barang ini sangat ku sukai," ujar Eng Tay menjelaskan, "tetapi kalau sekarang ku berikan pada Kakak itu karena ada maksudnya. Nanti, setelah aku pulang, bila Kakak melihat penindih kupu-kupu ini, Kakak pasti akan merasa, ada Kakak juga ada aku, dengan demikian, pastilah hati Kakak akan tergugah untuk mengenang kita berdua." "Kata-katamu kurang tepat, Dik. Kau lihat, kupu-kupu itu toh sepasang, satu jantan, satu betina. Ya, bukan kupu-kupu jantan semua. Mana bisa kau samakan dengan kita berdua... Eng Tay mengawasi penindih dari tembikar itu, ia pun menoleh pada pria muda dan tampan di hadapannya. Ia mendapatkan pemuda itu agak kurang senang, ia bisa memakluminya. Namun, ia mendapat harapan. Jelas San Pek tidak menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis jelita. Lalu tiba-tiba ia tertawa sendiri. San Pek heran, dia menatap wajah Eng Tay. "Eh, Dik, kenapa tertawa?" tanyanya polos. "Karena aku melihat Kakak lugu sekali!" jawab Eng Tay. "Tidak apa-apa, aku hanya menghendaki kau terima baik-baik penindih buku ini." Sambil berkata begitu, gadis itu meletakkan sarung mopit dan penindih itu menjadi satu di atas meja. San Pek terpaksa menerima. "Baiklah kalau demikian," katanya. "Nah, apa lagi yang hendak Adik katakan?" Kembali Eng Tay berkata di dalam hatinya: "Apa lagi yang harus ku utarakan" Aku, seperti telah membuka pintu hingga gunung pun terlihat." Akan tetapi ia toh memberikan jawabannya: "Tidak, tidak ada lagi. Besok Kakak hendak mengantarku satu lintasan, di sepanjang jalan mungkin kita akan bisa melihat orang atau menyaksikan sesuatu. Atau, kita bercakap-cakap lagi...." San Pek masih tidak menyangka bahwa EngTay adalah seorang wanita, dia belum curiga mungkin karena ia terlalu memikirkan: besok mereka berdua akan berpisah. Keduanya lantas membenahi barang-barang itu dan Ong Sun datang untuk membawanya pergi. Gin Sim hanya membawa barang yang akan dibutuhkan dalam perjalanan. Malam itu, kedua muda-mudi itu duduk mengobrol. Mereka duduk berhadapan. "Kakak Nio," pesan Eng Tay, "kalau nanti Kakak selesai sekolah, ku harap Kakak lekas-lekas datang ke rumahku. Aku tidak bekerja, aku hanya mengharap Kakak...." "Dik, pasti aku akan mengunjungimu!" kata San Pek. "Barangkali telah ada kabar gembira untuk Adik?" Mendengar kata-kata "kabar gembira" itu, tiba-tiba wajah Eng Tay bersemu merah. Ia tahu, pasti San Pek menduga ia akan segera menikah. Sahabat itu tak tahu bahwa ia adalah seorang gadis. Namun ia bertanya: "Kak, ada kabar gembira apakah untukku?" "Adik mengharap aku lekas-lekas datang, bukankah itu berarti Adik akan segera menemui mertua" Aku girang kalau kau mempunyai nyonya!" Mau tidak mau, Eng Tay tertawa. "Kak, terkaanmu ini jauh meleset!" katanya. "Tetapi nanti, setelah aku pulang Kakak tentu akan mengerti." "Ya, aku pasti akan mengerti!" kata San Pek, yang masih belum sadar bahwa dirinya sebenarnya sangat lugu.... Seterusnya mereka berbincang-bincang lagi, dan Eng Tay senantiasa tersenyum-senyum. Mereka seperti tidak peduli bahwa sang kala merayap terus. Akhirnya Gin Sim muncul dengan kedua matanya kesap-kesip. "Tuan Muda berdua, sudah saatnya beristirahat," katanya pada majikan serta tamunya. "Besok pagi kita akan berangkat, dan Tuan Muda Nio, bukankah akan mengantar selintas" Sekarang sudah larut malam, nanti besok terlambat bangun." Mendengar itu, muda-mudi ini seperti tersadar, lantas saja mereka pergi tidur. 9 Perpisahan MEGA indah di waktu pagi perlahan-lahan bergerak dihembus angin tenggara yang sepoi-sepoi basah. Sang surya juga sudah terbit, tampak menyinarkan cahayanya yang masih lembut. Keadaan demikian itu bagaikan menganjurkan, barangsiapa hendak melakukan perjalanan, seyogyanya berangkat pagi-pagi sebelum panas terik. Itulah hari-hari di bulan ketiga. Su Kiu bersama Gin Sim sudah siap, Gin Sim membawa buntalannya. Mereka berdua berjalan di depan, perlahan-lahan. Di belakang mereka, Eng Tay dan San Pek menunggang kuda masing-masing bersebelahan. Mereka pun berjalan santai, setelah keduanya berpamitan pada bapak guru dan istri guru mereka, yang mengharapkan keselamatan mereka di perjalanan. "Kakak Nio, kita harus mengenang Pak Guru yang telah membimbing kita dengan baik sekali," kata Eng Tay di tengah jalan. "Kita terpaksa harus meninggalkan rumah sekolah kita yang bagus ini." "Memang," kata San Pek. "Buktinya kau, Dik. Kau pandai dan mendapat pujian dari kawan-kawan, bahkan ada yang mengatakan bahwa kau mirip salah seorang di antara Han Kee Sam Kiat, tiga sastrawan di zaman dinasti Han. Thio Liang yang muda dan kewanita-wanitaan, kau dapat disamakan dengannya." Eng Tay tersenyum. "Tak mungkin, Kak! Mana bisa aku disamakan dengan Thio Liang yang pandai dan ternama itu?" "Adik merendah saja," kata sang kakak angkat. Ketika itu mereka tiba di jalan yang di kiri dan kanannya ditumbuhi pohon-pohon kaya yang besar, bercabang banyak dan berdaun rindang. Di sebuah cabang pohon kebetulan ada sepasang burung kucica sedang berkicau berdua.... Eng Tay berkata: "Aku sekarang sedang dalam perjalanan pulang, burung-burung itu bernyanyi, berita sukacita apakah yang mereka bawa?" Terus saja gadis kita ini mengalunkan syairnya: "Sungguh, cabang-cabang lebat membentuk rimba, San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mega tebal nan hitam memenuhi lembah yang hampa, Di ranting burung kucica bernyanyi, Bernyanyi-nyanyi gembira untuk menyenangkan hati. Bukankah itu angin baik yang datang menyambut" Maka kita berdua, jangan kita berkhayal-khayalan, Menyulut api bunga tunjung, teratai emas! San Pek sangat gembira, dia kagum. "Dik, kau pandai sekali!" katanya memuji. "Baru saja kita melihat pohon-pohon, kau sudah lantas dapat membuat syairnya. Namun, tak aku mengerti makna syairmu itu! Apakah artinya 'Maka kita berdua, jangan kita berkhayal-khayalan. Menyulut api lilin bunga tunjung, teratai emas'. Ya, apa artinya itu?" "Artinya...?" kata Eng Tay, yang tersenyum dan terus tertawa. Si anak muda heran, walaupun demikian ia tidak bertanya lagi. Tanpa terasa, keduanya telah tiba di batas tembok kota. Di situ, orang-orang yang berlalu-lalang sudah berkurang. Kelihatan tujuh atau delapan buah rumah, juga terdapat pepohonan. Ada orangorang yang berjalan terus, ada yang berhenti dan berteduh di bawah pohon. Di situ pun terdapat kedai makan. Ada pula beberapa orang sedang memanggul kayu dan rumput. Eng Tay tidak mengerti, dia bertanya: "Biasanya pembawa kayu masuk ke kota di malam hari, mengapa mereka ini justru di siang hari?" "Itu kebiasaan saja," ujar San Pek menerangkan. "Jelas mereka penduduk di dekat sini, mereka pergi ke gunung mencari kayu lalu mereka bawa itu ke kota untuk dijual. Mereka ke kota siang hari dan lohornya pulang sehabis membeli berbagai barang. Sebaliknya dari kebiasaan penduduk kota." Eng Tay paham. "Jadi mereka melakukan pekerjaan itu untuk hidup mereka sehari-hari," katanya. "Kak, tak samakah cara hidup mereka dengan Kakak?" "Jelas tidak, Dik. Mereka mondar-mandir mencari nafkah untuk istri dan anak-anak mereka, untuk makan dan pakaian. Aku" Aku hanya sedang mengantar kau yang berangkat pulang kampung." Keduanya berjalan terus memasuki kota. Mereka tetap menunggang kuda mereka perlahan-lahan. Semua hijau di sekitar mereka, maklum ini bulan ketiga. Di hadapan mereka tampak sebuah bukit kecil, di sana ada sebuah liok-kak-teng, bangunan tempat perhentian berbentuk segi enam. Ke sana mereka menuju. "Kakak Nio," kata Eng Tay, "ingatkah kau ketika dulu kita bertemu dan singgah di perhentian" Itu namanya jodoh! Sekarang kita akan berpisah. Tanpa terasa tiga tahun telah berlalu. Sungguh pesat lewatnya sang hari! Perhentian ini mengingatkan kita pada masa lalu, bagaimana kalau kita singgah di sana?" San Pek setuju. "Baik!" sahutnya. Eng Tay segera meneriaki Su Kiu dan Gin Sim agar mereka singgah. Hanya sebentar, mereka sudah tiba di perhentian itu. Selagi menurunkan buntalan, Su Kiu tertawa. Ia berkata pada Gin Sim: "Gin Sim, bungkusan ini ringan sekali, aku merasa seperti tidak membawa barang apa pun. Kawanmu si Ong Sun, sungguh baik sekali. Sekiranya aku menjadi Ong Sun, pada majikanmu pasti aku berkata: kalau saudara Gin Sim menikah, aku akan menjadi tamu pertama untuk makan dan minum biar puas. Bagiku, Gin Sim adalah bagaikan saudaraku!" Mendengar kawannya bergurau, Gin Sim tertawa. "Lalu bagaimana dengan arakku" Kau minum atau tidak?" tanyanya. Su Kiu terlihat heran. "Apa katamu?" Eng Tay mendengar dua abdi itu bergurau, ia menyela: "Su Kiu, jangan kau tanya pada Gin Sim atau aku, tanya saja Tuan-Mudamu! Nah, kau lihat tanda petunjuk jalan di tepi jalan itu!" Memang di tepi jalan ada selembar papan pemberitahuan. Bunyinya: Kalau mau mendaki Gunung Hong Hong, Naikilah dari depan, menuju ke barat. "Ya," kata San Pek, "di atas bukit itu ada taman mungil yang dinamakan Hong Ciat, di sana banyak pohon bunga bow-tan yang indah-indah. Sayang kita tak dapat mengambil bunga itu untuk dihadiahkan kepada orang...." "Kakak benar," kata Eng Tay. "Kalau Kakak gemar bunga bow-tan di rumahku, di kebunku, aku tanam banyak. Coba Kakak datang, sebaiknya waktunya dipercepat, lebih awal lebih baik. Pendek kata, asal Kakak datang, jangankan bunga bow-tan akan menjadi milik Kakak, juga semua lainnya yang berada di dalam kebun itu!" Mendengar kata-kata sang adik, San Pek benar-benar menjadi tidak mengerti, sia-sia belaka ia berpikir dan berjalan mondar-mandir. Maka ia membungkam saja. Eng Tay tertawa, ia merasa lucu karena sahabatnya itu tetap tak dapat menerka maksud sebenarnya dari ucapannya. Bagi San Pek, hal itu terlalu kabur. "Kakak Nio, perlahan-lahan saja Kakak memikirkannya," katanya. "Mari!" Gadis ini mendahului melangkah ke luar dari perhentian. Mereka kembali ke jalan besar. Tetapi di sepanjang jalan, gadis itu terus berpikir: "Kakak Nio ini benar-benar polos. Aku telah bicara begitu jelas, masih saja dia belum dapat menerka." Sambil berjalan dengan kepala merunduk, otak Eng Tay terus bekerja. Ketika kemudian ia melihat ke depan, tampak sebuah selokan yang airnya mengalir deras, hingga di tempat dangkal di mana air itu mengalir, pasirnya memperdengarkan suara nyaring. Air itu mengalir terus sampai menjadi sebuah empang kecil. Di tengah empang itu sekawanan angsa putih sedang berenang kian ke mari. "Lihat, air itu bening laksana kaca," kata Eng Tay sambil menunjuk ke empang. "Lihat, kawanan angsa itu bagaikan berada di dalam cermin!" "Ya," sahut San Pek membenarkan. "Air jernih, angsa yang sedang bermain, sungguh suatu pemandangan yang mempesona!" "Nah, angsa itu bersuara, apakah Kakak dengar?" tanya Eng Tay. "Tentu saja!" sahut sang kawan. "Hanya saja, suaranya kurang enak didengar...." "Tidak benar, Kak," kata si adik. "Kawanan itu bagaikan memperdengarkan syair pujian. Yang di depan adalah yang jantan, yang betina mengiringi di sebelah belakang. Yang betina itu khawatir nanti semua mengeluarkan suaranya. Ya, semuanya bagaikan mengatakan: Kak! Kak...!" Mendengar itu, San Pek tersenyum. Tengah mereka berjalan, Gin Sim berkata pada Su Kiu: "Su Kiu, majikanmu itu jalan di depan, dia mirip ayam jago!" San Pek mendengar gurauan abdi itu, ia tertawa, malah ia berkata: "Majikanmu justru dapat bicara seperti angsa memanggil 'Kak! Kak!' Eh, Gin Sim, kau terlalu! Kau samakan aku dengan angsa! Kau ngaco!" Eng Tay berjalan di depan, kepalanya menunduk. Ia merenung mengapa San Pek masih belum juga sadar. Melihat sahabatnya membungkam saja, San Pek pun menegur: "Dik, kau sedang memikirkan apa?" Eng Tay menoleh, tetapi tak sepatah pun keluar dari mulutnya. Di hadapan mereka sekarang tampak sebuah kali kecil, airnya mengalir deras sekali. Lebar kali kira-kira tiga tombak, airnya dangkal. Lewat menerjang banyak bebatuan, air itu berbunyi keras juga. Untuk menyeberangi kali, yang mirip kanal, penduduk mengatur rapi batu-batu besar untuk pijakan kaki. Eng Tay tak berani menggunakan cara penyeberangan itu maka San Pek mengajaknya menggunakan jembatan kayu yang beralaskan daun serta papan. Ketika mereka sedang berjalan, suatu barang Eng Tay terjatuh. "Dik, barangmu jatuh! Barang apakah itu?" tanya San Pek memberitahu. Ternyata satu kupu-kupu kemala, yang biasa diikat dengan pita merah sebagai gantungan kipas. "Kakak Nio, tolong ambilkan," pinta Eng Tay. "Ayo pegangi aku...." Jembatan kayu itu sempit, gadis itu merasa ngeri. Maka San Pek segera memegangi tangannya. Tubuh mereka hampir merapat. "Kakak Nio, perlahan-lahan jalannya," kata Eng Tay. Mereka berjalan perlahan sekali. "Jangan takut," kata San Pek. Segera juga mereka sampai di seberang. "Terima kasih, Kakak Nio!" kata gadis itu setibanya di seberang itu. "Tidak apa-apa, Dik," kata si pemuda tertawa. "Lain kali kau harus memberanikan diri...." "Lain kali pun aku masih perlu mengandalkan bantuanmu, Kak...." Gadis itu tertawa. San Pek juga tertawa, bahkan dia berkata: "Dik, lain kali kau justru harus menjadi pelindung Nyonya Ciok! Mana bisa aku terus menjadi pelindungimu" Nah, ini kupu-kupumu." Sambil berkata begitu, si pemuda menyerahkan gantungan kupu-kupu yang tadi dipungutnya. Eng Tay, mengawasi pemuda itu, ia tidak mengulurkan tangan untuk menerimanya. Malah kemudian ia berkata: "Kakak Nio, ku berikan kupu-kupu kemala itu padamu. Tak lama lagi, kupu-kupu ini akan berpasangan, maka harap kau simpan baik-baik." San Pek heran. Mengapa di tengah jalan, ia dihadiahi kemala itu. Namun ia terima saja sambil mengucapkan terima kasih. Ia tidak berkata apa-apa sehubungan dengan pesan agar menyimpan baik-baik kemala itu. Ia lantas menyimpannya di pinggangnya. Gin Sim dan Su Kiu berhenti di bawah sebuah pohon. "Tuan Muda Ciok takut menyeberang bahkan ia minta Tuan-Mudaku menjadi pelindungnya," kata Su Kiu pada kawannya. "Hus!" bentak San Pek. "Kamu tahu apa" Hayo jalan!" Su Kiu membungkam, ia berjalan bersama Gin Sim. Di hadapan mereka, kini tampak banyak pohon cemara, besar dan tingginya tujuh atau delapan kaki, cabangnya banyak, daunnya rimbun. "Entah siapa pemilik pohon-pohon cemara ini," kata Eng Tay. "Rindang sekali!" "Dan itu di sana, entah kuburan siapa," kata San Pek. tangannya menunjuk. "Coba kita lihat batu nisannya," ujar Eng Tay mengajak. Ramai-ramai mereka menghampiri makam itu. "Oh, rupanya ini adalah kuburan sepasang suami-istri!" kata Eng Tay. "Letak kuburannya baik sekali, ada pepohonan dan bagian depannya terbuka. Menurutku, nanti seratus tahun kemudian, Kakak dan aku, oleh turunan kita akan dikubur seperti ini supaya kelak siapa, saja yang lewat dapat melihat dan mengetahuinya...." San Pek heran. "Dik," katanya sambil menggelengkan kepala, "kau dan aku adalah saudara angkat yang berlainan nama keluarga, mana bisa kita dikubur bersama?" "Bisa saja," jawab Eng Tay. "Aku bilang bisa, tentu bisa." San Pek bingung, maka ia berkata: "Dik, kali ini aku sedang mengantarkan Adik pulang kampung, sebaiknya kita bicara hal-hal yang baik saja. Urusan seratus tahun kemudian, lebih baik tak usah kita bicarakan sekarang...." Dengan urusan 'seratus tahun kemudian' dimaksudkan 'setelah meninggal dunia'. Eng Tay tidak berkata apa-apa, mereka bersama-sama meninggalkan kuburan itu, kembali ke jalan besar. Berdua mereka menyusul Su Kiu dan Gin Sim. Lewat kira-kira dua li, mereka berhenti di sebuah tempat yang banyak pohon serta jalannya terbuat dari batu hijau. "Kak, di sini tentunya ada rumah penduduk," kata Eng Tay. "Kita istirahat di sini sebentar." San Pek setuju. Maka berhentilah ia di bawah sebuah pohon tungching. 21 Su Kiu dan Gin Sim lantas saja duduk di bawah sebuah pohon. "Sebaiknya kita mencari air minum," kata San Pek. Ia haus. Eng Tay mengangguk, lantas ia melihat ke sekeliling. Segera ia melihat seorang petani yang sedang memikul dua tahang, muncul dari samping pepohonan yang lebat. Ia cepat menghampiri orang itu. "Kak, kami sedang dalam perjalanan, kami mau mencari air minum, di manakah bisa kami dapat?" "Mau minum" Oh, ada," sahut petani itu. Dari sini jalan ke sana, di situ ada sebuah sumber air serta ada gayungnya juga." Eng Tay mengucapkan terima kasih, lantas ia mengajak kawannya maju ke depan. Benar saja, di tepi jalan ada sebuah mata air yang jernih sekali. Mata air itu hidup, airnya selalu bergolak naik. Benar pula, di sisi itu tersedia gayung piranti menyendok air yang terbuat dari kulit labu. "Bagus," kata San Pek, "kita bisa minum! Su Kiu, Gin Sim, kalian juga boleh membasahi kerongkongan kalian! Sementara itu, Eng Tay berpikir. 21 Pohon tung-ching, nama Latinnya Hex Gedunculosa. "Sebaiknya sekarang aku bicara lebih jelas, mungkin dia mengerti," demikian pikirnya, dan terus ia maju mendekat dua langkah. Ia pun lalu bertanya: "Apakah airnya segar?" San Pek memegang gayung, ia sedang hendak menyendok air. "Pasti segar, Dik," katanya. "Nah, coba Dik minun." Ia menyendok air dan memberikan itu kepada kawannya. Eng Tay menerimanya, terus ia minum. Di saat itu, Su Kiu dan Gin Sim sudah selesai minum dan berada sedikit jauh dari majikan mereka. Eng Tay melihat mereka, lalu ia berkata pada San Pek: "Kak, mari kita lihat mata airnya. Ayo kita berkaca di air, melihat bagaimana wajah kita setelah melakukan perjalanan sampai di sini...." "Baik, Dik," jawab San Pek. "Ayo!" Maka bersama-sama, mereka menghampiri mata air yang berkubang. Mereka berdiri bersebelahan, menghadap ke air yang jernih sekali hingga bayangan mereka berdua terlihat jelas. "Bayangan kita di dalam air, bagus sekali," kata Eng Tay. "Ah, tidak terlalu mirip," kata San Pek polos. Wajah Eng Tay mendekati telinga sahabatnya. "Bukankah bayangan kita itu tegas sekali?" katanya. "Seorang tampan, seorang lagi lemah-lembut. Dua bayangan berdiri rapat, sekali, sungguh sedap dipandang! "Biar bagaimana, itu hanya bayangan" kata San Pek. "Bayangan tinggal bayangan, tetap parasnya lain...." "Ah, sudahlah," kata San Pek sambil menolak tubuh gadis itu. "Kau agak aneh, Dik. Apakah pikiranmu kacau karena kita akan segera berpisah" Mari, kita berjalan selintas lagi!" Eng Tay menurut. Kemudian, dengan sebelah tangan memegang sebatang cabang yang-liu, ia menoleh pada pria di sisinya sambil berkata. "Kak, aku hendak berteka-teki, coba kau terka!" "Apakah itu, Dik?" "Jernihnya mata air, di depanku dia memancarkan wajah yang cantik bagaikan batu kemala. Syair itu tidak mudah, bagaikan hanyutnya batang yang-liu. Angin halus meniup rambut indah, membuat orang terperanjat dan tertawa. Apakah yang disebut gunung nan bersih dan San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jernih" Coba terka!" Gadis itu tertawa, San Pek pun tertawa. "Dik" katanya, "itu syair, bukannya teka-teki! Kau sungguh cerdas, begitu kau buka mulut, jadilah sebait kata-kata yang puitis!" Demikianlah si anak muda, ia menjawab tetapi tidak menerka. Eng Tay jengkel sekali. "Tolol!" katanya dalam hati. Ia tak bisa tertawa, juga tidak bisa juga ia menghilangkan kemasygulan, kekecewaannya. Pemuda itu teramat polos.... "Gin Sim!" panggilnya. Ia melemparkan ranting yang-liu-nya. Sang abdi menyahuti, ia muncul dari sela-sela pohon kayu. Gadis itu masih membungkam beberapa lama, hingga akhirnya ia berkata: "Ayo kita berangkat!" Dan ia melangkah. "Cuacanya baik sekali!" Berempat, mereka memulai lagi perjalanan mereka. Kemudian... Jauh di depan, Eng Tay melihat sebuah perhentian. "Kita sudah sampai di Perhentian Delapan Belas Li, ayo kita singgah," kata gadis itu. Segera juga mereka sampai di perhentian itu. Mereka memasukinya untuk menghilangkan lelah. Perhentian itu bertiang empat. Atap gentengnya terbuka di empat penjuru. Lantainya berundak-undak. Di bagian dalam terdapat meja dan kursi batu untuk duduk beristirahat. Gin Sim melangkah memasuki perhentian untuk meletakkan buntalannya, sedangkan Su Kiu menambatkan kuda majikannya agar kudanya bisa merumput. San Pek tampak tidak bergembira bahkan wajahnya tampak kecut. Ia berdiri diam saja, matanya memandang ke empat penjuru. Ia termenung, memandang jauh.... Eng Tay juga turut melihat ke sekitarnya. Di saat sesunyi itu, dialah yang membuka pembicaraan. Katanya: "Kakak Nio, kita telah sampai di Perhentian Delapan Belas Li ini, maka dari itu, sebaiknya kau tak usah mengantarkan aku lebih jauh...." San Pek mengangguk. "Ya," sahutnya lesu. "Tiga tahun kita sekolah bersama-sama, sekarang kita berpisah. Tak ada kata-kata yang dapat melukiskan perasaan kita ini...." Eng Tay mengawasi kawannya juga itu. Tiga tahun mereka tinggal bersama, selama ini di tengah perjalanan, semua itu lebih dari cukup baginya untuk mengenal pribadi San Pek sebenarnya. Seorang pemuda yang baik dan polos, tulus. Lagi pula, jelas dia tidak pernah mengira bahwa pemuda tampan di hadapannya adalah seorang gadis. "Ya, benar," ia pun berkata. "Di dalam hati kita ada perasaan yang sulit, yang sukar dikemukakan, akan tetapi aku mempunyai suatu jalan. Kakak Nio, jika kau menyayangiku, adikmu, kau tentu dapat mengingatnya selama-lamanya...." San Pek heran, ia tertarik. Maka ia menatap kawannya itu."Jalan apakah itu, Dik?" tanyanya. "Bukankah Kakak pernah mengatakan tentang sikap ayah-bunda Kakak mengenai jodoh Kakak?" kata Eng Tay. "Karena Kakak adalah anak tunggal, dalam hal memilih gadis menantu, ayah-bunda Kakak bersikap sangat hati-hati, karenanya, sampai sekarang Kakak masih belum mempunyai pasangan. Apakah masih ingat ucapan Kakak itu?" "Tidak salah, aku pernah mengatakan hal itu! Kenapa Adik mengingatkan ucapanku itu?" Eng Tay melihat pemuda itu menatapnya. "Aku..." katanya tertahan. "Aku apa, Dik?" Eng Tay memegangi pilar erat-erat. "Soalnya begini, Kak," sahutnya kemudian. "Aku punya seorang adik perempuan, namanya Kiu Moy, aku berpikir akan menjalin rapat antara si dan lo...22 Entah bagaimana pendapat Kakak?" San Pek menatap kawannya itu. "Oh, jadi Adik masih punya adik?" ujarnya menegaskan. "Be... benar..." sahut Eng Tay. Luar biasa sambutan San Pek si pendiam yang polos itu. "Adikku sudi menjadi perantara untuk jodohku, mana mungkin aku tidak setuju!" katanya cepat. "Namun, karena aku belum pernah melihat orangnya, aku masih merasa sedikit bimbang...." "Tentang hal ini, harap Kakak jangan khawatir," sahut Eng Tay memastikan. "Aku dan Kiu Moy adalah anak kembar, parasnya dan parasku sama, sangat mirip satu sama lain. Sedangkan tentang pelajarannya dan kepintarannya sama dengan aku yang pernah sekolah di rantau, tidak ada bedanya. Aku telah mengeluarkan kata-kataku, itu sudah sama juga dengan kata-kata Kiu Moy sendiri!" "Perkataanmu, Dik, pasti tidak salah," kata San Pek. "Hanya, bagaimana dengan sikap ayah dan ibu?" "Tentang ayah dan ibuku, itu mudah," jawab Eng Tay. "Nanti setelah tiba di rumah, akan ku beritahu pada kedua beliau. Yang paling perlu ialah Kakak sendiri. Aku harap Kakak lekas-lekas datang ke rumahku agar pembicaraan dapat segera dikukuhkan. Dengan begitu, aku tak usah memikirkan lagi siang dan malam." "Kalau demikian, Adikku, baiklah kau tetapkan saja harinya." "Baik, Kak," kata Eng Tay, yang menatap lagi si anak 22 Dua kata 'si' dan 'lo' adalah singkatan dari 'toh-si' dan 'li-lo.' Itulah nama dua macam pohon rumput merambat, yang merapat sangat erat. Karenanya, kedua rumput itu biasa diandaikan satu pasangan hingga berarti suatu pepohohan. Kata-kata ini terdapat dalam suatu syair tua. muda. "Kita main teka-teki saja. Aku janjikan: satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan." San Pek tercengang. "Oh...!" serunya tertahan "Satu tujuh, dua delapan, tiga enam dan empat sembilan ia diam sejenak, ia berpikir. "Apakah artinya itu?" Eng Tay berkata: "Sekarang ini, tak usah Kakak menerka-nerka. Tetapi nanti, setelah Kakak pulang dan tiba di rumah, asal Kakak ingat dan memikirkannya, segera Kakak akan mengerti dan dapat menebaknya!" "Oh!" kata si anak muda heran. "Setelah sampai di rumah, setelah aku memikirkannya, aku dapat menerka...." Eng Tay tersenyum. Ia hanya berkata: "Lihat di sana, awan putih sudah mulai naik! Aku akan pergi menuju ke arah sana! Nah, di sini saja kita berpisah!" Berkata begitu, gadis yang dalam penyamaran itu lantas menjura pada San Pek, memberi hormat. Agak repot, si anak muda menjura juga membalas hormat itu. "Baiklah, Dik!" sambutnya. "Maafkan aku, aku tak dapat mengantar lebih jauh lagi. Semoga Adik selamat dalam perjalanan!" "Terima kasih, Kak!" Kemudian gadis itu menggapai ke luar perhentian. "Gin Sim, ke sini! Kau beri hormat pada Tuan Muda!" Si kacung menghampiri, segera dia memberi hormat pada San Pek sambil berkata: "Tuan Muda, harap Tuan Muda tidak melupakan Tuan Muda saya ini!" "Pasti tidak!" San Pek menjawab. Kemudian ia memanggil: "Su Kiu, kemari! Kau beri hormat pada Tuan Muda!" Su Kiu dari luar lari mendatangi, ia lantas menjura pada Eng Tay seraya berkata: "Tuan Muda, lewat sedikit waktu Tuan Muda akan pergi berkunjung. Su Kiu akan ikut serta sebab saya ingin menjenguk adik Gin Sim. Di sana nanti; harap Tuan Muda menyambut baik Tuan Muda saya...." "Itu pasti!" sahut Eng Tay, yang terus memberi hormat sekali lagi pada San Pek, setelah itu ia menghampiri Gin Sim yang sudah siap dengan kudanya. Maka ia lantas menunggang kudanya itu dan mulai berangkat. Gin Sim mengikuti dari belakang. San Pek berdiri diam, mengawasi kawannya itu berlalu. Ia masih melihat Eng Tay menoleh kepadanya. Bersama Su Kiu, ia memandang terus, sampai kawan serta kacungnya itu lenyap di balik pepohonan.... "Tuan Muda," kata Su Kiu pada majikannya, "mari kita pulang!" San Pek tidak menjawab, tetapi ia bergerak, menaiki kudanya, dan terus berjalan pulang dengan dibuntuti abdinya. "Mengantar Sejauh Delapan Belas LU" kata sebuah syair. Itulah artinya perpisahan: Pergi berempat, pulang masing-masing berdua! Berpisah! 10 Pulang SAAT lohor, San Pek tiba kembali di asrama sekolah. Lenyap kegembiraannya, sebab kini ia tak berkawan. Ya, ia sendiri saja. Tiga tahun dan sekarang terasa hampa. Hanya kenangan saja yang masih tinggal, bagaikan bayangan. Ada banyak teman sekolah, tetapi mereka bukan Eng Tay. Hambar rasanya. Tak lagi ada kawan, dengan siapa ia bisa keluar berjalan-jalan. Saking kesepian, ia mendadak teringat teka-teki Eng Tay, teka-teki perpisahan. "Kata Eng Tay, setelah pulang aku akan dapat menerkanya," katanya dalam hati. "Sekarang baiklah aku coba-coba...." Terus saja ia mengulangi: "satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan Dalam berpikir, pemuda ini berkata di dalam hati: "Satu kali tujuh: tujuh. Dua kali delapan: enam belas. Tiga kali enam: delapan belas. Empat kali sembilan: Tiga puluh enam...." Selagi membaca itu, San Pek menggerak-gerakkan jari-jari tangannya untuk menghitung, tetapi tak juga ia memperoleh jawaban. "Kata Adik Ciok, setibanya, asal aku berpikir, aku akan dapat menebaknya," katanya dalam hati. "Nyatanya, masih sulit...." Pemuda ini bingung beberapa lama. "Ah, sudahlah!" pikirnya. "Hari ini gagal, besok akan aku pikirkan lagi...." Malam itu, San Pek tak bisa tidur dengan tenang. Kemudian ia teringat kata-kata Eng Tay tentang Kiu Moy, si adik kembar, yang segala sesuatunya, paras dan kepandaiannya persis sama dengan sang kawan. "Kenapa sebelumnya Eng Tay tak pernah menyebutnyebut adiknya itu?" pikir si anak muda. Dia heran. "Bagaimana sebenarnya wajah Kiu Moy?" Tiba-tiba tampak seorang berjalan mendatangi, langkahnya perlahan. Dia seorang wanita muda, parasnya mirip Eng Tay, jalannya lemah-gemulai. San Pek segera menyambut gadis itu dan memberi hormat. Sang dara membalas hormat, sikapnya wajar sekali. "Nona, maaf, aku ingin bertanya," kata si anak muda kemudian. "Aku lihat, kau mirip sekali dengan Ciok Eng Tay hian-te." Dengan 'hian-te' si pemuda maksudkan 'adik laki-laki'. Si gadis melipat kedua tangannya ketika menjawab: "Aku adalah Kiu Moy. Kami anak-anak kembar maka kami mirip satu sama lain." "Oh, kiranya Adik Kiu Moy!" kata San Pek tertegun. "Ketika itu Kakak Eng Tay pulang," lanjut Kiu Moy, "ia mengutarakan tentang soal pernikahanku, katanya aku telah dijodohkan denganmu, Kakak Nio." San Pek mengangguk. "Aku dengan kakakmu adalah seperti saudara kandung," ujarnya menerangkan, "maka dari itu, apa katanya ku turuti saja. Sekarang aku melihat kau, Dik, nyata penjelasan adik Eng Tay benar sekali. Ini dia yang dikatakan, 'kebahagiaan tiga kali reinkarnasi!' Bagaimanakah pikiran Nona sendiri?" Kiu Moy tersenyum manis. Itulah jawabannya. San Pek melipat kedua tangannya. "Dan bagaimana dengan Ayah dan Ibu?" tanyanya. "Kakak Eng Tay telah memberitahukan bahwa Kakak Nio adalah seorang budiman dan sangat rajin belajar," jawab gadis itu, "mendengar hal itu, Ayah dan Ibu senang sekali dan menyetujui. Sekarang ini Kakak Nio diminta segera datang melamar." "Namun," kata San Pek perlahan, "Adik Eng Tay dan Ayah serta Ibu demikian baik, juga Adik sendiri, bagaimana dengan aku" Aku ini dari keluarga miskin, mana aku pantas...." Kiu Moy menunjuk dengan kedua tangannya ke arah tembok, kemudian ia menghadap anak muda di depannya dan berkata serius: "Uang bukan masalah! Asal pihak laki-laki dan pihak perempuan bersatu hati, jendela kuningan dan tembok besi pun dapat ditembus!" San Pek kagum sekali. "Oh...!" serunya. "Jendela kuningan dan tembok besi pun dapat ditembus!" Sewaktu pemuda ini mengutarakan keheranan atau kekaguman itu, tubuh gadis itu bergerak cepat sekonyong-konyong ia telah menghilang.... "Kiu Moy!" seru si anak muda, memanggil nama gadis itu. Atau ia lantas diam, bagaikan orang terkesima. Sebab.... ternyata ia telah bermimpi dan lenyapnya gadis itu membuatnya mendusin dari tidurnya! Beberapa lama anak muda ini masih diam saja. Ia sedang memikirkan mimpinya itu. Impian itu aneh. Aneh juga kata-kata gadis itu: asal pria dan wanita bersatu hati! Itulah ucapan yang jelas sekali. "Tidak, aku tak bisa menyia-nyiakan waktu lagi!" kemudian ia berkata dalam hati. "Aku harus segera menemuinya untuk memberi penjelasan guna memperoleh kepastian, khususnya untuk menemui ayah-bundanya...." Berpikir sampai di situ, anak muda ini jadi teringat lagi dengan teka-teki Eng Tay tentang 'satu tujuh', yang masih tetap belum sanggup ia pecahkan. Kemudian ia pun mengeluarkan dari sakunya cenderamata dari Eng Tay, untuk dimain-mainkan.... Masih lewat beberapa lama, setelah letih berpikir, San Pek tertidur. Esok paginya, ia sekolah seperti biasa. Di waktu, lohor, tidak seperti biasanya, ia diundang Ho-si, si nyonya guru. Ia heran tetapi segera ia pergi menemuinya. Ho-si tertawa dan bangkit dari kursinya atas kedatangan si anak murid. Bahkan ia segera mendahului berkata. "Keponakan Nio, aku hendak bicara dengan kau. Silakan duduk!" Sebagai murid dari suaminya, Ho-si memanggil San Pek 'keponakan'. San Pek memberi hormat, dalam rasa herannya ia duduk. Kemudian ia memandang, mengawasi saja sang istri guru. "Kau belajar rajin sekali, ini aku tahu," kemudian Ho-si berkata lagi. "Karena kau terlalu rajin, agaknya kau sampai kurang perhatian atas cara hidupmu setiap hari. Itu kurang tepat." San Pek berdiam, ia tidak mengerti. Ia hanya mengangguk. Ho-si mengawasi si anak muda, ia berkata lagi: "Kau sekolah bersama Eng Tay, sekarang dia sudah pulang, maka kini aku bisa bicara terus-terang. Ijinkan aku bertanya: sesudah sekian lama berkumpul bersama, coba jawab pertanyaanku: dia itu sebenarnya pria atau wanita?" San Pek tercengang. Itu pertanyaan aneh, di luar dugaan sama sekali. "Dia seorang pria," jawabnya sambil memberi hormat. "Apakah Su-bo melihat sesuatu?" Sang istri guru tertawa. "Bukan, kau keliru!" katanya. "Eng Tay itu wanita! San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bukan hanya dia, pengikutnya juga wanita!" San Pek tercengang, ia sungguh heran. "Su-bo," tanyanya kemudian, "bagaimanakah Su-bo tahu hal ini?" "Aku mengetahui hal ini ketika dia pamit untuk pulang," ujar Ho-si menerangkan. "Ia telah menjelaskan segalanya padaku." Heran atau tidak, sekarang San Pek tidak sangsi lagi. Yang bicara pun istri gurunya. Ho-si berkata pula: "Eng Tay mengatakan juga, setelah tiga tahun sekolah dan berkumpul bersama, ia ketahui dengan baik sekali bahwa kau lah seorang laki-laki sejati, maka dari itu dia rela menyerahkan dirinya padamu. Bahkan dia telah menitipkan kupu-kupu kemala, untuk diserahkan padamu sebagai tanda mata." Sambil berkata begitu, nyonya guru itu merogoh sakunya, mengeluarkan kupu-kupu kemala yang disebutkannya tadi. Lantas saja ia berikan pada si anak muda itu. San Pek menerimanya dengan hormat. Sebagai seorang terpelajar, ia kenal baik adat-istiadat. Sambil mengawasi cenderamata itu ia bolak-balik di tangannya. Sekarang barulah ia sadar benar. "Terima kasih, Su-bo!" katanya kemudian "Ah, sungguh tidak saya sangka ia adalah seorang wanita. Tiga tahun kami sekolah bersama, bahkan juga sama-sama tinggal di satu rumah, saya sama sekali tidak duga. Ketika perpisahan, dia menjodohkah saya dengan Kiu Moy. Siapakah gadis itu" Bukankah yang disebut adiknya itu, dia sendiri...?" "Kiu Moy adalah Eng Tay!" kata Ho-si. "Sekarang, setelah kau ketahui segalanya, kau harus lekas pergi menemui Bapak-Ibu Ciok supaya bisa diajukan lamaran resmi!" Si anak muda itu mengangguk. "Benar! "jawabnya. "Apakah Pak Guru juga tahu urusan ini?" "Tadinya tidak, sekarang sudah," sahut Ho-si. "Tapi, aku akan menemuinya lagi untuk menjelaskan bahwa kau sudah mengetahui hal-ihwal kalian berdua. Guru justru yang menganjurkan agar kau lekas pergi menyusul Eng Tay untuk menemui ayah-bundanya." "Baiklah!" kata San Pek. "Nanti sore akan saya temui Pak Guru agar beliau bisa pilihkan hari yang baik untuk keberangkatan saya. Su-bo, San Pek mengucapkan terima kasih pada Su-bo!" Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas memberi hormat. Sambil tersenyum, Ho-si menyambut hormat itu. San Pek pamit, terus kembali ke kamarnya. Pertamatama, kupu-kupu kemala itu ia persatukan dengan kupu-kupu kemala yang lain, miliknya, hingga keduanya menjadi sepasang. "Dik!" katanya kemudian seorang diri, "mengapa sekian lama kau tidak menunjukkan tanda apa pun hingga aku tidak tahu sama sekali?" Pemuda ini lantas duduk berdiam diri saja, namun pikirannya bekerja. "Sebenarnya akulah yang kurang perhatian," katanya kemudian seorang diri. "Coba aku berprasangka, aku pasti mengetahui juga akhirnya. Ya, ku ingat sekarang! Ketika itu aku sedang berlatih kaligrafi, ia berada di sampingku, sedang menggosok bak. Ketika kebetulan aku menoleh, kulihat liang kecil di cuping telinganya. Aku hanya terkejut karena heran, tetapi dia mengatakan kepadaku bahwa kupingnya dilubangi oleh ibunya yang membayar kaul. Aku tidak curiga, aku mempercayainya. Dasar aku terlalu lugu! Masih ada lagi suatu pertanda. Tatkala dia sakit, aku berbaik hati dengan menemani tidur di ujung kakinya. Saat itu dia menolak namun akhirnya ia setuju juga setelah ada perjanjian tentang penghalang yang ditaruh di tengah tempat tidur. Mengenai hal ini, ia pun menyebut-nyebut kebiasaannya sejak kecil bersama ibunya. Sebenarnya, bagaimana masuk akal alasan ibunya itu" Yang jelas dia hendak mengekang aku. Ya, mengapa aku terlalu polos hingga aku dibohonginya?" Merenung sampai di situ, San Pek berhenti berpikir dengan sendirinya. Ia menghampiri pembaringannya untuk merebahkan diri. Namun beberapa lama, matanya masih terbuka terus, dan hanya menatapi langit-langit pembaringan.... Sekonyong-konyong, langit-langit kelambu terbelah dua, muncullah Eng Tay berdandan wanita dan gadis itu segera berkata: "Asal pria dan wanita bersatu hati, tembok kuningan dan besi pun dapat ditembus...." Lalu, mendadak saja gadis itu lenyap! Tembok kuningan dan besi pun dapat ditembus" San Pek sadar dan bangun, ia berdiri. Justru itu, Su Kiu muncul untuk berbenah. Tak ia sangka, majikannya sedang berdiri dengan wajah berseri-seri hingga ia menjadi heran. "Su Kiu, kau sudah lama tinggal bersama Gin Sim, kau tahu atau tidak bahwa dia...." Si abdi tercengang, dia menatap tuannya itu. San Pek pun segera meneruskan pertanyaan: "Tahukah kau, macam apa dia itu?" "Dia orang yang baik sekali," jawab Su Kiu. "Semenjak dia dan majikannya berkumpul bersama kita, kami berdua belum pernah bermuka merah." Artinya, Su Kiu dan Gin Sim belum pernah bertengkar. "Bagus!" kata sang majikan. "Dua atau tiga hari lagi kita akan pergi ke dusun Ciok untuk menjenguknya!" Su Kiu heran, namun dia tertawa. "Itu bagus, Tuan Muda!" katanya. San Pek tak berkata apa-apa lagi, kemudian ia berjalan mondar-mandir dalam kamarnya itu. Otaknya bekerja, mengiringi langkah kakinya. "Satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan...." Otaknya bekerja hingga ia tak tahu bahwa kacungnya sudah berlalu. Seorang diri, ia masih mondar-mandir sampai tiba-tiba ia berkata sendiri: "Satu tujuh, dua delapan.... Di samping satu dua, ada tujuh delapan, dan tujuh tambah delapan ialah lima belas. Tiga enam, empat sembilan. Di samping tiga dan empat, enam tambah sembilan ialah lima belas juga! Satu, dua, tiga dan empat, itulah nomor urut. Ini bukan masalah. Hanya dua kali lima belas, itulah artinya satu bulan. Ah, apakah itu berarti adik Eng Tay menghendaki agar aku mendatanginya, jangan lewat dari satu bulan?" Berhenti sejenak, San Pek berkata pula: "Apakah aku tidak salah tafsir?" Kembali, di dalam hati dia mengulangi menyebut "satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan." "Tak salah, ada satu, ada dua, ada tiga, ada empat. Lalu, apakah maksudnya itu?" demikian ia bertanya-tanya sendiri, suaranya keras. Di luar dugaan, di halaman luar ada beberapa orang teman sekolah sedang berkumpul. Mereka heran mendengar San Pek bersuara keras seorang diri, mereka lari menghampirinya dan bertanya: "Ada apa...?" "Ah, tidak ada apa-apa," jawab San Pek yang merasa jengah sendiri. Ia pun tertawa: "Baru saja ada kelabang, aku terperanjat, setelah ku usir, dia kabur...." Kawan-kawan itu maklum, mereka pun bubar. San Pek duduk, ia memainkan lagi kupu-kupu kemala itu. Ia mengamatinya, ya, ia termenung. Ia pun tersenyum simpul. Ya, otaknya bekerja terus.... "Sikap Adik Eng Tay ada maksudnya," pikirnya kemudian. "Sepasang kupu-kupu kemala ini, dua kali ia serahkan padaku. Bukankah itu ada artinya" Tiga kali dia mengembalikan barang-barangku: walet, delima dan kupu-kupu!, Dia pun mengingatkan aku agar dalam waktu tiga puluh hari, aku harus menyusulnya. Ya, aku harus segera mendatanginya!" Anak muda ini menggebrak meja seraya berseru perlahan: "Ya, berangkat!" Malam itu San Pek menemui gurunya untuk mohon diri. Pak guru Ciu mengetahui hal-ihwal anak muda itu, ia menasihatinya. Ia pun menetapkan hari keberangkatan si anak muda: Lusa. Hari itu tiba dengan cepatnya. San Pek sudah siap. Pagi-pagi ia berpamitan dengan guru dan istrinya. Hanya kali ini ia harus berjalan kaki, kudanya telah mati karena sakit. Su Kiu mengikuti dari belakang dengan membawa buntalan-nya. Setelah berada, di jalan besar dan melihat pepohonan, San Pek terkenang pertemuannya semula dengan Eng Tay dan bagaimana gadis itu bersyair. Ia ingat benar bunyi syair itu. Ya, ia ingat segala pengalamannya berdua dengan gadis itu. "Ya, Kiu Moy adalah Eng Tay!" pikirnya kemudian. Ia girang hingga sering ia tersenyum dan tertawa sendiri, sampai-sampai Su Kiu si abdi, menjadi heran. "Aneh, mengapa aku tidak sadar juga...." kata si anak muda itu, sendirian. "Tuan Muda," tanya Su Kiu, heran, "apa yang tak sadar juga?" "Tidak apa-apa!"jawab sang majikan. Keduanya berjalan terus, sampai suatu hari tibalah mereka di kampung halaman mereka. Kebetulan sang ayah, Nio Ciu Po, sedang berada di ambang pintu, dan ia melihat dua orang sedang mendatangi. "Tuan Besar!" seru Su Kiu sambil menghampiri, terus dia memberi hormat. "Oh, San Pek pulang!" kata sang ayah girang. Segera juga San Pek memberi hormat pada ayahnya, dan menanyakan kesehatannya. "Mari, Nak, temui !" kata ayah itu. Maka masuklah mereka ke dalam. Sang ayah berseru: "Ma, San Pek pulang! Nyonya Nio, atau Kho-si, ibu San Pek, pun sangat girang. San Pek segera memberi hormat pada ibunya itu. "Oh, anakku!"seru ibunya. "Mama baik-baik saja?" tanya pemuda itu. "Kau baik, Nak" Aku baik-baik saja." Maka gembiralah keluarga Nio itu. Maklumlah, tiga tahun ayah-bunda berpisah dari putranya, dan sekarang, mereka bertemu dan semua sehat-walaflat. Su Kiu memberi hormat pada nyonya majikan itu sesudah meletakkan buntalannya. Malam itu selagi si putri malam bertengger di langit, ayah dan ibu serta sang putra duduk berkumpul di ruang dalam. Pemuda itu menceritakan segala sesuatu yang berlangsung selama ia sekolah, dan kedua orangtua itu menanyakan berbagai hal. Mereka senang dan puas, terutama karena mereka dapat berkumpul bersama dalam keadaan segar-bugar. Hanya ayahnya tampak lebih tua dan ibunya wajahnya sedikit keriput. Kemudian pembicaraan sampai pada masalah Ciok Eng Tay, gadis itu bernyali besar, yang berani menyamar sebagai pemuda dan merantau menuntut ilmu bertahun-tahun dengan penyamaran yang sempurna sekali. "Namun ternyata dia bukan pria melainkan wanita," kata San Pek akhirnya. Tentu saja, penyamaran Gin Sim pun turut disebut-sebut. Ciu Po dan Kho-si senang mendengar kisah putranya, yang menemui pengalaman yang luar biasa itu. Mereka memuji Eng Tay. "Bagaimana asal-mulanya sampai ketahuan bahwa dia wanita?" kemudian tanya sang ayah. San Pek menjelaskan, mulai dari pertemuannya di tengah jalan, hingga mereka sekolah dan tinggal sekamar; bagaimana mereka bergaul erat, sampai akhirnya mereka berpisah sebab gadis itu dipanggil pulang berhubung ibunya sakit. Sepulangnya gadis itu barulah rahasia penyamaran itu Raja Naga 7 Bintang 2 Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Raja Silat 4

Cari Blog Ini