San Pek Eng Tay 3
San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Bagian 3 dibuka atau terbuka. Tentu saja San Pek menerangkan bagaimana Eng Tay, secara samar-samar telah menyatakan sudi menyerahkan dirinya sebagai istri. Kemudian putranya ini mohon maaf kepada ayah dan ibunya karena ia telah lancang menerima "lamaran" Eng Tay. Ayah dan ibu itu tidak berkurang senangnya, bahkan sebaliknya, mereka girang. "Bagaikan dongeng saja!" kata ayahnya. "Tetapi sekarang, bagaimana pikiranmu tentang kau dan Eng Tay selanjutnya?" "Saya pikir, sebaiknya segera pergi mengunjungi Eng Tay," jawab San Pek. "Besok atau lusa...." "Pergilah, kau memang harus pergi, Nak," kata Kho-si, sang ibu, "hanya di sana, bagaimanakah nanti sikap Bapak dan Ibu Ciok?" "Menurut Eng Tay, sikap ayah-bundanya nanti sudah tidak menjadi soal," jawab San Pek. Ciu Po bangkit berdiri. "Kepergianmu bukannya soal lagi," katanya kemudian. "Hanya kita, bagaimana dengan pihak kita" Kita orang miskin...." "Masalah sebenarnya sulit, bagaimana nanti saja." "Kalau begitu, berangkatlah lusa," kata si ayah akhirnya. "Baik, Pa," kata San Pek. 11 Dua Perantara Jodoh LIMA hari setelah berpisah dengan Nio San Pek, Eng Tay yang sedang menunggang kudanya mendapatkan bahwa dia segera akan tiba di rumah. Waktu itu siang hari. "Ong Sun pasti sudah sampai di rumah kemarin," kata gadis itu pada abdinya. "Tentu sudah ada orang yang menantikan kita di depan pintu....!" "Ya, Non," sahut Gin Sim. "Sekarang kita mudah pulang, tetapi dulu, waktu hendak berangkat, betapa sulitnya...." "Sudahlah, lain dulu lain sekarang," kata Eng Tay. "Tak heran kalau Papa semula menentang. Tak mudah buat kita menyamar dan harus menjaga diri di rantau. Semoga beberapa ratus tahun kemudian, kaum wanita bisa mencari ilmu pengetahuan secara bebas merdeka. Sayang kita lahir terlalu pagi!" Nona majikan dan abdinya masih asyik bicara, tanpa terasa mereka sudah sampai di muka pintu rumah mereka. Benar saja, di depan pintu sudah ada orang yang menantikan! Bahkan ada yang lantas menyambut kuda dan buntalan mereka. "Apakah aku berubah?" tanya Eng Tay. "Tidak!" terdengar jawaban. Gadis itu tertawa. "Aku telah tukar pakaian selama tiga tahun, mana mungkin tidak ada perubahan?" katanya. "Hanya diriku saja yang tetap, tidak berubah!" Para penyambut itu tersenyum. Segera juga Eng Tay berada di dalam. Di sana ayah dan ibunya sudah menantikannya sebab mereka ini telah mendapat kabar tentang tibanya putri mereka. "Papa! Mama!" teriak Eng Tay memanggil, girangnya tiada kepalang. Ia maju mendekat dan memberi hormat, menjura dalam-dalam. Teng-si, sang ibu, tertawa. "Untuk apa kau menjalankan adat penghormatan besar," katanya dengan senang sekali. Ciok Kong Wan, sang ayah pun tertawa. "Dia masih dandan sebagai seorang pemuda, pantas saja penghormatannya ini!" katanya, gembira bukan kepalang. Apalagi putri mereka pun sehat walafiat, tak kurang sesuatu pun. Gin Sim segera menghampiri guna memberi hormat pada majikannya itu. "Mama sakit, apakah sekarang sudah sembuh betul?" tanya Eng Tay seraya menatap ibunya. Sang ibu tersenyum. "Itu hanya ulah !" katanya. "Ia mendustaimu agar kau lekas pulang!" Gadis itu, juga abdinya, tersenyum. Mereka tak kecewa. Mereka senang karena orangtua dan majikan itu segar-bugar. "Kau baru tiba, Nak, pergilah kau ke kamarmu dulu dan tukar pakaian," kata Kong Wan pada putrinya. "Setelah tiga tahun, sebentar kita bicara lagi ceritakan pengalamanmu." Eng Tay menurut, bersama abdinya ia masuk ke kamarnya, terus mereka beristirahat. Malam itu, selesai bersantap Eng Tay berdiri di depan ayah dan ibunya dan berkata: "Papa, Mama, ketika akan berangkat, aku diberi tiga macam syarat dan itu tak dapat kul upakan. Sekarang silakan Papa memanggil bidan untuk memeriksa diriku!" "Ah, Nak!" kata orangtua itu, yang agak terperanjat. "Kata-kataku di saat keberangkatanmu, kau masih ingat...." "Tentu saja, Pa," sahut sang putri. "Tak berani aku melupakannya." "Baiklah kalau begitu. Dua hari lagi, akan kupanggilkan bidan." Teng-si melihat, sang ayah dan putrinya agak likat, ia menyelak: "Sudahlah, kenapa mesti terburu-buru sekali. Putri kita sudah bicara, ya, sudah saja. Cukup asal kita tahu." Setelah bicara yang lain sebentar, Eng Tay kembali ke kamarnya. Dalam keadaan senggang, segera ia terkenang San Pek. Maka ia merasa: Dalam berjanji, waktu satu bulan rasanya pendek sekali, akan tetapi sekarang, waktu itu terlalu lambat, terlalu lama. Ya, ia memikirkannya setiap saat senggang, baik di kala siang maupun malam tatkala rembulan terang-benderang. Ya, ia menanti.... Pada suatu siang, di saat angin selatan silir-semilir, sekonyong-konyong berhembus angin utara. Saat itu Ciok Kong Wan sedang berada di taman bunganya, dan Gin Sim. sedang menyapu di halaman taman itu. Tiba-tiba, sambil mengusap janggutnya dan tertawa, Kong Wan berkata pada abdinya itu: "Ini, di sini, juga harus disapu. Eh, ya, bagaimana dengan Nonamu" Di saat-saat begini, selain baca buku, biasanya ia datang ke taman, bukan?" Belum lagi Gin Sim menjawab, tampak Ong Sun datang dengan langkah lebar seraya terus saja melapor pada majikannya: "Tuan, di luar ada pegawai Li Tiang-su, katanya dia hendak menyampaikan pesan." "Baik," sahut sang majikan. "Suruh dia tunggu sebentar." Selagi bujangnya mengundurkan diri, majikan itu pun pergi ke luar, ke ruang tamu. Ong Sun kemudian menyusul, bersama seorang tamunya. Sang tamu segera memberi hormat seraya berkata: "Li Tiang-su, atasanku, tadi pagi kedatangan seorang tamu, yaitu Tian Ci-su. Katanya tamu itu minta diperkenalkan dengan Tuan Ciok." "Boleh, boleh saja," kata tuan rumah. "Sayang di sini aku tidak punya sesuatu untuk disuguhkan pada tamu-tamuku...." "Tian Ci-su sekarang sedang dalam perjalanan ke mari," kata si pegawai pula. "Saya diperintahkan mengabarkan terlebih dulu. Sekarang saya ingin kembali untuk memberitahukan Li Tiang-su." Setelah berkata demikian, pegawai itu memberi hormat lagi, terus dia pergi. Sewaktu berjalan, Kong Wan girang. Ia ingat dulu, semasa ia menjadi camat, Tian Ci-su itu, seorang gubernur, adalah atasannya. Sekarang, pensiunan gubernur itu berkunjung padanya, pasti itulah suatu kehormatan baginya. Di pihak lain, dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia harus berhati-hati menyambut tamunya itu. Ia hanya tidak dapat menduga, apa maksud kunjungan itu. Paling-paling, ia berpesan agar segera disiapkan suguhan untuk jamuan penyambutan. Tidak lama kemudian, pengawal di depan mengabarkan tentang tibanya sang tetamu. Tuan rumah ini segera pergi ke depan untuk menyambut. Para tamu datang dengan tiga buah kereta yang dihentikan tepat di depan pintu. Dari kereta pertama muncul seorang berkopiah hijau, berjubah sulaman biru, janggutnya belah tiga. Dialah Li Tiang-su atau Li Yu Seng yang dikenal baik oleh tuan rumah. Dari kereta kedua turun seorang berkopiah sastrawan, jubahnya tersulam dan berwarna merah. Ia pun berjanggut tiga tetapi berwarna putih. Ia bermuka lebar. Tangannya mencekal tim-bwe, semacam pengebut. Wajahnya agak berwibawa. Dialah Tian Ci-su. Kereta yang ketiga adalah kereta untuk pengawal. Kong Wan segera menghampiri menyambut tamutamunya sambil memberi hormat dengan menjura. Setelah itu, ia mengundang mereka untuk masuk ke dalam, dan duduk di ruang tamu. Selagi menyambut, ia berkata sebagai orang desa, merupakan suatu kehormatan besar karena ia mendapat kunjungan kedua tamu agung itu. "Kami merepotkan saja," kata Li Yu Seng, merendah. "Kami cuma ingin bercakap-cakap." Mereka lantas saja disuguhkan teh. Segera juga Tian Ci-su menanyakan jumlah anak laki-laki Kong Wan. "Tidak, saya tidak punya anak lelaki, hanya seorang anak perempuan," sahut Kong Wan menerangkan. "Benar," ujar Li Tiang-su turut bicara. "Bahkan kabarnya putrinya itu cantik dan pintar sekali!" Ia tersenyum sambil mengusap j anggutnya. "Ah, tidak," Kong Wan merendah. "Tapi benar ia telah belajar mirip anak lelaki." "Berapakah usianya sekarang?" tanya Tian Ci-su. "Tahun ini genap dua puluh," sahut tuan rumah. "Apakah dia masih terus bersekolah?" Kong Wan tertawa. Ia menjawab: "Niat putriku itu terus sekolah, tetapi awal tahun ini ia berhenti. Tak leluasa baginya meneruskan sekolah...." "Memang," kata Li Yu Seng, "kalau anak perempuan terus bersekolah, kurang leluasa. Sekarang ini, Leng-ay 23 sudah berjodoh atau belum?" Mendengar pertanyaan itu, Kong Wan segera dapat menerka maksud kunjungan tamu-tamunya ini jelas pihak lelaki meminta Li Tiang Su dan Tian Ci-su menjadi perantara jodoh. "Siao-li 24 belum ada jodohnya," sahut Kong Wan terus-terang. "Putriku itu semata wayang, dia anak perempuan, tak apa dia berdiam lama sedikit di rumah...." "Kalau demikian, biar kujelaskan saja maksud kedatanganku bersama Saudara Yu Seng ini," kata Tian Leng Bow, si Ci-su atau pembesar berkedudukan sebagai gubernur sipil. "Apakah kau kenal Thay-siu Ma Cu Beng?" Kong Wan melipat kedua belah tangannya. "Saya telah lama mendengar namanya," sahutnya. "Beliaukah yang tinggal di Lang-taw kecamatan Gin-koan?" 23 Leng-uy: kata halus untuk menghormat anak gadis tuan rumah. Kira-kira, "Putri Anda," bukan "Anak Tuan." 24 Siao-li berarti "anak perempuan yang tak berarti". "Benar," kata Leng Bow sambil mengangguk. "Ma Thay-siu punya seorang putra bernama Bun Cay, dia sekolah di rumah di bawah bimbingan guru khusus. Sebagai pelajar, namanya sangat terkenal. Thay-siu dengar, Anda mempunyai seorang ciankim sio-cia, 25 yang cantik dan pintar sekali, maka dari itu ia mengutus kami berdua ke mari untuk menjalin kedua keluarga menjadi satu, yaitu agar gadis itu dijodohkan dengan Ma Bun Cay. Aku sendiri merasa khawatir tidak bisa menjelaskan maka aku datang bersama Li Yu Seng. Aku percaya Saudara Ciok tidak akan menampik...." Sambil berkata demikian, pak comblang ini terus saja tertawa. Segera juga Ciok Kong Wan tertarik dengan lamaran itu, apalagi kedua perantara jodoh itu bukan sembarang orang. Tambahan pula, keluarga Ma adalah keluarga termasyhur. Walaupun demikian, ia masih bertanya: "Kata-katamu tadi tak berani aku menolaknya. Namun, dapatkah aku diberitahu, berapa usia Ma Bun Cay sekarang, dan bagaimana perilakunya" Semua ini belum ku ketahui." Tian Leng Bow tertawa mendengar pertanyaan tuan rumahnya itu. "Maaf, kata-kata kami tadi kurang jelas," katanya, menjawab tuan rumah. "Bun Cay sekarang berusia dua puluh dua tahun. Begini...." Belum lagi Ci-su itu selesai, Yu Seng sudah memotong: "Ya, sama-sama dua...!" Dia mau maksudkan cocok, Eng Tay dua puluh, Ma Bun Cay dua puluh dua. Ciok Kong Wan mengangguk. "Kata-kata Tuan berdua sudah jelas," katanya, "tetapi kami mohon diberi izin untuk berpikir dulu sekitar, tiga hari, setelah itu, akan kami berikan jawaban kami. Keluarga Ciok, hanya mempunyai satu anak perempuan 25 Cian-kim sio-cia: harfiah, gadis bernilai seribu emas, artinya, "Nona yang Terhormat". yang sangat kami sayangi, selain itu, ibu si anak pun harus diberitahu lebih dulu. Saya mohon maaf." Yu Seng agak heran. "Apakah masih ada yang kurang jelas?" tanyanya. Tetapi Tian Leng Bow menyela, katanya: "Waktu tiga hari tidak terlalu lama. Baiklah, dalam tiga hari, kami akan menanti berita!" "Terima kasih," kata tuan rumah. "Maaf, istri saya perlu diberitahu lebih dulu." Sambil berkata begitu, Kong Wan bangkit dari tempat duduk. Ia membungkuk, memberi hormat sambil meminta agar kedua tamunya maklum akan keterangannya itu. Kedua tamu itu berdiri, dan membalas hormat. Kemudian kedua belah pihak, duduk pula. Dengan berbicara lebih jauh, Leng Bow mengatakan bahwa keluarga Ma adalah keluarga hartawan sehingga apa saja yang dibutuhkan keluarga Ciok dimintanya agar dikatakan saja, karena pasti akan dipenuhi. Sebaliknya Kong Wan menyatakan bahwa pihaknya tidak membutuhkan apa-apa, karena ia pun berkecukupan. Setelah itu, Kong Wan pamit untuk memberi tahu istrinya, sementara kedua tamu itu menunggu. Tatkala Kong Wan masuk ke dalam, ia mendapati istrinya sedang duduk di dekat jendela. Sang istri sebaliknya melihat wajah suaminya itu agak gembira, ia bertanya: "Apakah para tamu sudah pulang?" "Belum," jawab suaminya, yang terus menjura pada istrinya sambil mengucapkan: "Selamat, Nyonya Besar, selamat!" Istrinya menjadi heran. Namun ia berdiri membalas hormat sang suami. Ia menatapnya. "Ada apa" Apakah maksud kegiranganmu ini?" "Coba kau terka, mau apa kedua tamu itu datang jauh-jauh?" "Mana kutahu...." "Mereka datang untuk melamar Eng Tay, putri kita!" "Oh, begitu!" kata sang istri. "Untuk keluarga siapa?" "Untuk putra Ma Thay-siu yang bernama Bun Cay," jawab suaminya. "Anak itu baru berusia dua puluh dua tahun. Mereka berdua di utus sebagai perantara jodoh. Lihat, perantaranya saja bukan sembarang orang." "Ma Thay-siu itu memang ternama," kata Nyonya Ciok, "akan tetapi putranya itu, kita berdua belum pernah melihatnya. Maka dari itu, ku pikir, kita perlu bersabar dulu. Lagi pula, walau keluarga itu kaya, putranya masih sekolah. Bukankah kita perlu melihat dulu kepandaiannya?" "Pikiranmu sama dengan pikiranku, istriku. Akan ku sampaikan keinginan kita ini pada kedua perantara itu. San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Apakah kaup unya pikiran yang lain?" "Masih ada," sahut istrinya. "Ya, tentang Eng Tay, putri kita. Ia sangat terpelajar, orang biasa saja tak nanti ada di matanya. Maka dari itu, perlu kita tanyakan dulu pendapatnya. Bukankah baik sekali kalau dia diperlihatkan karya tulis pihak sana?" Ciok Kong Wan duduk di sisi istrinya. Tetapi, mendengar kata-kata terakhir istrinya, ia menjadi geram bahkan wajahnya tampak merah. "Nah, inilah kekeliruanmu!" katanya tiba-tiba dengan keras. "Dulu ketika Eng Tay mau pergi belajar ke Hang-ciu, aku tidak setuju, kemudian karena segala ucapanmu, aku memberikan izin. Coba pikir, selama tiga tahun itu, betapa berat perasaan kita, kecemasan kita. Ya, itu masih perkara kecil. Tapi sekarang, urusan pernikahan, ini urusan besar. Kita tidak bisa berikan lagi kebebasan seperti dulu! Dalam hal ini ada keluarga Ma! Mana bisa kita mendapatkan keluarga lain" Sedangkan kedua perantara itu, mana kita mencari mereka" Kau mau tanya dulu pikiran Eng Tay, itu terlalu memusingkan kepala. Di samping itu, juga tidak ada alasan baginya untuk menampik." Teng-si heran mendapatkan suaminya mendadak saja bicara sedemikian rupa. Ia mengawasi. Karena tahu sifat suaminya, ia bersabar. "Aku juga tahu keluarga Ma terkenal," katanya, sabar. "Akan tetapi putranya, bagaimana" Selain tentang kepandaiannya, juga perihal paras wajahnya! Bagaimana kalau dia macam 'tiga bagian manusia dan tujuh bagian hantu'" Apakah Eng Tay pantas dijodohkan dengan dia" Eng Tay pasti tidak setuju. Lagi pula, bagi Eng Tay ilmu budaya adalah bagaikan jiwanya." "Ya, pulang-pergi, pikiranmu sama saja! Lalu, apa lagi katamu?" "Tidak ada lagi," sahut istrinya. "Baiklah kalau begitu," kata suaminya. "Sekarang hendak ku layani tamu-tamu kita." Kembali ke ruang tengah, Kong Wan mendapatkan tamunya sedang berjalan-jalan di taman. Ia lantas menyuruh pelayan memanggil mereka. Tatkala bertemu, Tian Leng Bow menggeleng-gelengkan kepala, terus dia tertawa dan berkata: "Putrimu itu benar-benar bukan sembarang orang! Aku telah melihat syairnya di papan ayunan. Sayang sekali tidak ada mopit hingga aku tidak dapat mengutipnya, tetapi kira-kira begini: 'Benang merah mewarni para tamu, satu kali menantang orang pandai!' Yang lainnya ialah 'Rembulan terang mengantarkan kepergian mega, angin lembut jatuh ke bumi'. Itulah lukisan mengenai gerak-gerik ayunan. Tanda tangannya ialah: 'Eng', maka aku menduga, itulah tulisan putrimu. Seorang gadis berusia dua puluh tahun sudah bisa bersyair demikian indah, sungguh luar biasa!" Mendengar pujian itu, Kong Wan tertawa. Li Yu Seng juga berkata: "Tidak sembarang orang bisa menulis begitu!" Segera Tian Leng Bow menanyakan bagaimana pendapat Nyonya Ciok. Kong Wan pun menjelaskan sikap istrinya. "Kalau demikian, tujuh atau delapan bagian, urusan akan berhasil!" kata Leng Bow. "Kau bagaimana, saudara Yu Seng?" Orang yang di tanya mengangguk. "Benar, urusan akan segera berhasil!" katanya. "Sekarang tinggal tulisan dari Ma Bun Cay. Itu bukan soal lagi. Bun Cay sekarang ada di rumah asal ku temui dan bicara dengannya, pasti dia bersedia. Besok aku akan kirim orang untuk mengambil karya tulis Bun Cay. Bukan hanya satu karya, semuanya pun boleh. Dengan demikian aku berharap, urusan ini tak menemui kesulitan. Kak Leng Bow, kalau begini akan beres seluruhnya. Sekarang kita tinggal menanti lewatnya dua hari lagi!" Orang bermarga Li ini sangat gembira. Tian Leng Bow pun tertawa. "Benar juga, tak ada hal yang sukar lagi!" katanya. "Saudara Ciok, bukankah urusan sudah dapat di anggap selesai?" "Ya, sudah selesai!" jawab Kong Wan tertawa. "Hanya tinggal istri saya, ia ingin sekali dapat melihat Tuan Muda Ma sendiri serta dua buah naskah karangannya. Mengenai hal ini, saya harap perhatian Saudara berdua. Sekarang, sesudah lama kita bicara, saya mengundang Saudara sekalian menikmati jamuan seadanya bersama-sama." Kedua tamu terhormat itu menerima baik undangan perjamuan itu, mereka mengucapkan terima kasih. Maka di lain detik, ketiganya sudah duduk berkumpul, bersantap dan minum bersama. Setelah itu, mereka masih mengobrol di ruang tamu dan kedua orang perantara itu, menegaskan pula agar sang tuan rumah bersedia menerima lamaran keluarga Ma. Kemudian Li Yu Seng berkata: "Begini saja! Enam atau tujuh hari lagi, akan ku suruh istriku membawa naskah karya Tuan Muda Ma ke sini, asal saja Nyonya sudi menerimanya, agar naskah itu dapat diperiksa. Aku percaya, sesama wanita, bicaranya lebih mudah. Mengenai kehendak Nyonya melihat bakal menantunya, kita lihat saja belakangan. Nah, bagaimana, cocok, bukan?" Kong Wan tidak berani banyak bicara lagi, ia mengangguk. Maka sampai di situ kedua tamu itu lantas minta diri untuk pulang. 12 Gadis Luar Biasa CIOK Eng Tay sedang berada di ruang belakang tatkala ia mendapat kabar tentang kedatangan dua orang tamu ayahnya. Ia tidak memperhatikan hal itu. Sesudah lima hari, ia mendengar laporan dari seorang abdi perempuan bahwa ibunya sedang menerima kunjungan Law-si, istri Li Yu Seng. Kali ini ia merasa agak curiga, bukankah tamu itu belum pernah mendatangi rumahnya" Sekarang tiba-tiba dia muncul, mau apakah dia" "Gin Sim, coba kau selidiki," katanya pada abdinya. Sebenarnya Ciok Kong Wan, sesudah menerima kunjungan dua orang tamunya itu, pernah berpesan pada orang-orangnya agar tidak sembarangan membawa cerita. Juga Teng-si, si ibu, tidak memberitahukan putrinya mengenai kedatangan kedua tamu itu serta maksud kedatangannya. Maka ketika Law-si datang, ia menyambut sendiri. Nyonya Li Tiang-su berusia empat puluh lebih, dia mengenakan baju berwarna merah tua. Berhadapan dengan nyonya rumah, dia menghormat. Kemudian Teng-si mengundangnya duduk di ruang tamu. Setelah berbasa-basi, Law-si berkata. "Kedatanganku ini menyambung kunjungan suamiku beberapa hari yang lalu, maka Nyonya tentu sudah tahu maksudnya." "Pasti urusan putriku," sahut Teng-si. "Kami merasa berterima kasih sekali" "Ya, inilah urusan keluarga Ciok dengan keluarga Ma," kata Law-si. "Semoga kedua keluarga nanti berjalin menjadi satu!" Teng-si mendapat kesan baik mengenai sang tamu, yang apik bicaranya. "Terima kasih," katanya tertawa. "Kabarnya Tuan Muda Ma itu baik sekali, maka kami ingin sekali melihatnya." Sang tamu tersenyum. "Memang, paling tidak mesti bertemu satu kali," kata Law-si. "Umpama barang, harus di lihat dulu buruk-baiknya. Terus-terang, Tuan Muda Ma sekarang berada di rumahku, asal Nyonya setuju, pertemuan akan segera terlaksana. Bagaimana pendapat Nyonya?" Teng-si tidak menyangka akan jawaban tamunya itu, karenanya ia menjawab: "Mengenai hal ini, tak berani aku mengambil keputusan, perlu ku tanyakan dulu pendapat suamiku. Baiklah, nanti saja ku beri kabar lebih lanjut." "Apakah Tuan Ciok ada di rumah?" tanya Law-si. "Ada," jawab Teng-si. "Bagus!" kata Law-si yang tampak girang sekali. "Baiklah aku akan duduk menanti disini. Tanyakanlah kepada Tuan di mana pertemuan dapat dilakukan!" Nyonya rumah tertawa. "Kulihat di antara dua perantara, yang wanita lebih mendesak daripada yang pria! Hanya sayang, pembicaraan tidak bisa segera diputuskan. Memangnya sudah sangat ingin minum arak kebahagiaan, ya?" "Ya!" kata Law-si secara polos. "Terus-terang saja, tak ada lagi keluarga lain yang lebih serasi dari dua keluarga Ciok dan Ma! - Oh ya, aku lupa akan sesuatu...." Sambil berkata begitu, si tamu merogoh sakunya. Ia mengeluarkan segulung pita merah dan sambil memberikannya pada nyonya rumah, ia berkata: "Ini naskah Tuan Muda Ma untuk Tuan Ciok lihat dan periksa. Nah, dengan ini telah kami kabulkan permintaan Tuan. Maka sekarang, kami tinggal menanti saja sepatah kata dari Tuan!" Teng-si berdiri, menyambut gulungan naskah itu. "Terima kasih!" katanya. Saat itu, Gin Sim muncul, melintas di ruang tamu itu. "Eh, Gin Sim!" ujar si nyonya majikan memanggil, "pergilah kau temui Tuan Besar dan katakan, sebentar aku mau bicara dengannya." Gin Sim meng-iya-kan, terus ia berjalan pergi. "Abdi siapa itu?" tanya nyonya tamu. "Dia abdi putriku," sahut nyonya rumah. "Kebetulan sekali!" kata Law-si lagi. "Aku ingin bicara dengannya. Dapatkah dia dipanggil kembali?" "Gin Sim, ke mari!" Teng-si lantas memanggil abdinya itu. Sebenarnya ia tidak setuju tetapi ia malu hati kepada tamunya. "Kau beri hormat pada Nyonya Li ini." Abdi itu belum sampai di luar, segera ia kembali. Ia menjura pada tamunya itu. Nyonya Li tertawa, ia berkata: "Ku dengar Nona majikanmu itu pandai ilmu budaya, beberapa pemuda tidak sanggup menyaingi dia. Hari ini kebetulan aku beruntung dapat berkunjung ke sini. Sudah seharusnya aku menemui dia, paling tidak satu kali. Nah, coba kau temui Nonamu dan katakan padanya bahwa ada seorang wanita dari keluarga Li yang sangat ingin bertemu dengannya." "Baik, Nyonya," jawab Gin Sim. Akan tetapi dia tidak lantas mengundurkan diri, melainkan berpaling pada nyonya majikannya untuk menunggu perintah. Teng-si maklum, ia tak dapat menolak kehendak tamunya itu. "Ini Nyonya Law-si, istri Li Tiang-su," katanya pada abdinya, "Nyonya ini sedang melakukan kunjungan kehormatan pada kita. Sekarang beritahukan Nonamu agar bersiap-siap, kami hendak menemui dia." "Ah, tak usah bersiap-siap" kata Law-si tertawa. "Biasa-biasa sajalah...." Gin Sim mengangguk, terus ia mengundurkan diri. Lebih dulu ia menghampiri Ciok Kong Wan untuk menyampaikan pesan Teng-si, kemudian baru ia kembali pada nona majikannya untuk menyampaikan berita. Ia berjalan sangat cepat. "Hei, kau berlari-lari, ada apa?" tegur Eng Tay pada abdinya itu. "Kabar baik apa yang kau bawa?" "Kabar luar biasa, Non!" sahut abdi itu. "Ketika, saya lewat di ruang tengah, Nyonya Besar melihat saya. Sewaktu Nyonya Li mengetahui siapa saya, saya dipanggil kembali, terus Nyonya Besar mengatakan bahwa tamu itu ingin bicara dengan Nona. Saya diperintahkan memberi kabar agar Nona bersiap-siap di sini. Nyonya Besar beserta tamunya hendak menemui Nona." Eng Tay heran, dia berpikir: "Seorang tamu perempuan datang, lalu dia ingin bertemu denganku, mau apa dia?" Kemudian dia mengangguk dan berkata pada abdinya: "Ku tunggu di loteng, jika tamunya datang, persilakan dia naik ke atas." Setelah berkata, gadis itu tersenyum dan terus naik ke loteng. Gin Sim mengangguk dia diam, tapi di dalam hati dia menerka-nerka: "Mestinya Nona sudah dapat menduga maksud kedatangan tamu itu. Tunggu saja sebentar untuk mendengarkan bagaimana Nona dan tamunya bersilat, lidah!" Lantas, abdi itu tetap di tempat, menantikan tamunya. Hanya seketika, terdengar suara langkah kaki, lalu Teng-si muncul, memandu Law-si. Tamu itu kagum melihat keadaan ruang dalam ini, hingga ia memuji: "Tak usah melihat orangnya, menyaksikan saja segala pohon bambu dan cemara beserta bayangannya, lantas sudah dapat diduga bahwa nona rumahnya bukan sembarang orang!" Di dalam, terlihat kursi meja dan perabot rumah lainnya, semua teratur rapi dan serasi, sederhana tetapi menarik hati. Lain lagi meja tulis dan rak bukunya. Gim Sim tidak menanti sang tamu menyapanya, ia mendahului: "Nyonya, silakan menaiki tangga, Nona kami berada di atas sedang membaca buku, tetapi tahu akan ada tamu, ia sudah menanti." "Oh, Nonamu menanti di loteng?" kata Law-si agak heran. "Kamar ini sudah luar biasa, masih ada loteng pula! Baik, mari kita naik!" Gim Sim mendahului tamunya, tiba di atas, ia bersuara: "Non, tamunya sudah sampai!" Law-si mengikuti naik, tiba di atas, kembali ia menjadi kagum. Di tembok tergantung sekeping papan bertuliskan tiga huruf 'Hwe Sim Law', artinya, 'Loteng Menemui Hati' atau 'Hati Bertemu'. Memandang ke luar jendela, tampak taman mungil serta pohon yang-liu yang seakan-akan menaungi loteng itu. Suasana tenang tetapi menarik hati. Rak buku itu ada dua buah, berisikan buku-buku dan gulungan-gulungan gambar serta kaligrafi yang besarbesar dan indah. Di situ terdapat juga alat musik yang dinamakan kim, sejenis kecapi. Ya, segala sesuatunya lengkap sebagai kamar seorang pelajar. Tanaman bunga dalam pot menambah kesemarakan loteng itu. Law-si kagum karena ia juga mengerti sedikit ilmu budaya. "Ah, aku harus berhati-hati...." kata Nyonya Li Yu Seng dalam hati. Sementara itu Eng Tay telah muncul di ambang pintu, karena ia telah mendengar suara Gim Sim tadi. Segera ia menyambut tamunya sambil memberi hormat, pertanda selamat datang. Segera juga Law-si melihat seorang nona dengan rias rambut Poan-liong-ki, gelung "Naga Melingkar" yang berparas sangat ayu, hidungnya bangir, wajahnya bagaikan selalu tersenyum. Kedua belah pipinya berlesung pipit pula! Tamu ini membalas hormat seraya tersenyum manis dan berkata: "Telah lama aku mendengar bahwa Nona berilmu budaya yang sangat tinggi, aku khawatir selamanya aku tak akan dapat menemui Nona, siapa nyana hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu muka!" "Tetapi saya hanya belajar beberapa tahun saja," kata Eng Tay, "semua itu belum ada artinya. Silakan duduk!" Tamu itu duduk, maka duduklah mereka berdua berhadap-hadapan. Teng-si lantas berkata pada putrinya: "Aku hendak bicara dengan papamu, maka ku tinggalkan Nyonya Li di sini, kau layani dia baikbaik, Nak." "Baik, Ma," sahut putrinya. Sang ibu lalu memohon diri dari tamunya, terus ia mengundurkan diri. Law-si masih melihat-lihat sekitarnya, ia tertarik dengan rak buku. Maka ia bertanya: "Semua buku itu pasti sudah Nona Besar baca. Sebenarnya, buku apa saja di rak itu?" "Nah, nah, rupanya kau hendak mengujiku!" kata Eng Tay dalam hati. "Tapi, aku tak peduli! Aku hendak lihat lagakmu...!" Maka ia lantas menjawab: "Itu buku-buku sejarah karya pujangga Suma Cien dan beberapa buku San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang lain." "Seluruh buku ini adalah modal kaum cendekiawan, harus dibaca," kata si tamu. "Sayang sekali aku sekolah tidak lama; mengenai sejarah, sedikit sekali yang ku ketahui, maka buku-buku itu belum pernah ku baca habis seluruhnya. Nona, bukumu begini banyak kau hebat sekali. Karena itu, ku kira, mengenai pekerjaan wanita, kau tak perlu turun tangan, bukan?" Kata terakhir itu bersayap. Artinya, "Kau tentu tak becus masuk dapur!" Eng Tay mengerti, maka ia berkata dalam hati: "Kau mau main-main, ya"!" Terus saja ia tersenyum dan berkata: "Pekerjaan wanita, jahit-menjahit, sulam-menyulam, itu sudah kewajiban anak perempuan dan kebanyakan telah saya lakukan walaupun sedikit kasar. Tidak apa, bukan" Dalam hal ini, Papa dan Mama tidak begitu mempersoalkan. Tapi inilah bukti bahwa pekerjaan wanita, saya dapat melakukannya." "Oh, kalau begitu, pekerjaan di dapur pun termasuk di dalamnya...." Eng Tay kembali dapat menerka maksud kata-kata itu, ia mengangkat wajahnya dan tertawa. Maka berkatalah ia: "Bibi Li tentu punya anak perempuan, maka kalau nanti Bibi pulang, tolong tanyakan saja padanya, pasti Bibi akan memperoleh jawabannya...." Law-si terdesak, namun ia tertawa. Ia tidak bertanya lagi. Gadis itu tidak mau terlalu menyudutkan tamunya, maka ia tersenyum saja. Law-si melihat kecapi, ia tertarik. "Nona tentu suka bermain musik," katanya. Ia menunjuk ke arah kim. "Ya, pada empat atau lima tahun yang lampau, pernah saya pelajari," jawab Eng Tay, "tetapi sekarang ini, saya telah meninggalkannya." Law-si masih berpikir untuk menanyakan lagi sesuatu, namun ketika melihat munculnya Kiok Ji, si abdi itu segera berkata padanya: "Sekarang ini Nyonya Besar sedang menantikan di ruang tamu, kalau pembicaraan di sini sudah selesai, Nyonya Li dipersilakan menemuinya." Tamu itu belum sempat menjawab, Eng Tay sudah mendahului bangkit berdiri, siap sedia mengantarkan tamunya pergi. Menyaksikan gerak-gerik gadis itu, Law-si mengerti, maka ia berpamitan sambil berjanji bahwa lain waktu ia akan datang lagi untuk "memohon pengajaran." "Memberi pelajaran, itu saya tidak sanggup," kata Eng Tay, tertawa. "Bolehlah bila saya mengundang Bibi untuk datang berbincang-bincang." Law-si mengangguk, terus ia turun dari loteng dan menuju ruang tamu. Begitu melihat sang nyonya rumah, lantas saja ia memberikan pujian: "Sungguh hebat, gadis luar biasa! Sayang anak-anakku semua sudah keluar pintu, jika tidak, gadis yang demikian cantik dan pandai, siapakah yang tidak menyukainya" Sungguh tepat bila dia dipasangkan dengan Tuan Muda Ma! Nyonya tentu telah bicara dengan Tuan Ciok. Apa katanya?" "Naskah itu telah dibaca," sahut nyonya rumah, "katanya boleh juga. Hanya...." "Memang, kalau dibandingkan dengan putrimu, tentu beda," kata si tamu. "Sekarang ini Tuan Muda Ma ada di rumahku, dia ditemani oleh suamiku. Maka, andaikata Nyonya mau menemuinya, silakan datang saja ke rumahku." "Kalau bisa, itu lebih baik lagi," kata Teng-si. "Jika demikian, datanglah ke rumah! " kata Law-si pula. "Hendaknya Nyonya datang beserta Tuan agar bersamasama dapat menemui Tuan Muda Ma!" Teng-si puas dengan sikap tamunya itu, ia pun berjanji bahwa lain hari ia akan berkunjung. Setelah itu, ia mengundang sang tamu bersantap tengah hari. Selesai perjamuan, pulanglah si tamu. Benar saja, keesokan pagi Teng-si bersama Ciok Kong Wan pergi berkunjung. Nyonya itu tampak senang sekali. Di rumah, para pegawai lantas ramai membicarakan kepergian kedua majikan mereka. Gin Sim si pencari berita segera saja menemui majikannya untuk menyampaikan kabar. Katanya: "Non, Tuan Besar bersama Nyonya Besar telah pergi ke rumah keluarga Li, katanya ada soal baru, yaitu ingin menemui calon menantu laki-laki...." Eng Tay yang biasa berada di loteng, ketika itu sedang membaca buku. Mendengar berita si abdi, ia meletakkan bukunya, terus ia berkata padanya: "Tentang hal itu aku sudah tahu, tetapi ku anggap tiada artinya. Sejak kedatangan Bibi Li kemarin, aku telah dapat menduga maksudnya, hanya dia tidak berani bicara terus-terang padaku. Mengenai kepergian Ayah dan Ibu, aku juga maklum. Tetapi ini bukan soal yang dapat diselesaikan dalam tempo dua-tiga hari, maka itu sebaiknya kita jangan bingung tidak keruan. Hanya anehnya, tentang janji yang ku berikan pada Tuan Muda Nio - harinya akan segera tiba, mengapa dia masih belum muncul juga" Ini membuatku prihatin." "Ya, seharusnya ia sudah sampai," kata Gin Sim. "Menurut perhitungan saya, setelah kita berangkat, lima atau enam hari kemudian, ia pun seharusnya sudah berangkat juga. Sekiranya dia memerlukan perjalanan lima-enam hari dan di rumah tiga-empat hari, sekarang seharusnyalah sudah tiba...." Eng Tay duduk sambil bertopang dagu. Ia diam saja, agaknya ia sedang termenung. "Sudahlah, Non, tak usahlah terlalu dipikirkan," kata Gin Sim kemudian. "Saya hendak ke luar mencari berita." Eng Tay diam terus, ia membiarkan abdinya berlalu. Ketika Gin Sim kembali, ia tidak membawa berita penting. Ia tahu kedua majikannya sudah pulang, tetapi tidak tahu hasil kepergian mereka ke rumah keluarga Li. Yang jelas para pegawai lainnya menunjukkan wajah gembira. Ketika Eng Tay menerima laporan abdinya itu, ia berkata: "Kalau Papa dan Mama tidak menjelaskan apa-apa, jelas ada sesuatu yang tidak wajar. Tetapi biarlah, tak perlu dicari tahu." Gin Sim sebaliknya masih saja berpikir. Ia merasakan adanya kejanggalan. "Mengapa paras semua orang tampak girang?" tanyanya, seakan-akan pada dirinya sendiri. "Sudahlah, tak usah menduga-duga," kata Eng Tay. "Kalau benar ada berita penting, pastilah Papa memberitahu aku." Mendengar suara majikannya itu, Gin Sim barulah diam. Di luar dugaan, setelah lewat lima hari, Ciok Kong Wan memberitahukan bahwa dia sudah menerima baik lamaran keluarga Ma, yaitu: Ciok Eng Tay dipertunangkan dengan Ma Bun Cay, putra Ma Thay-siu dan bahwa emas kawin akan segera diantar! Maka, tak ada waktu lagi untuk menentang keputusan itu.... 13 Ayah Kontra Anak SUATU hari di awal bulan, langit jernih sejak fajar. Tatkala Ciok Kong Wan melihat matahari muncul dan angkasa di ufuk timur mulai terang-benderang, ia memerintahkan para pegawai di rumahnya untuk, berbenah, membersihkan segala perabot rumah tangga. Eng Tay mengetahui persiapan pembersihan di rumahnya itu, ia mengira akan diadakan upacara, entah upacara sembahyang apa. Ia tidak mengacuhkan hal itu dalam pikirannya. Tiba saatnya sarapan, Kiok Ji menerima perintah majikan tuannya. Ciok Kong Wan berkata : "Beritahu Nona Eng Tay bahwa Papa dan Mama sedang menantikannya. Ia diharap lekas datang karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengannya." Kiok Ji menuruti perintah itu. Cepat ia pergi ke dalam, ke halaman belakang. Di sana ia memperdengarkan suaranya: "Apakah Nona sudah bangun tidur" Non, Tuan Besar dan Nyonya Besar sedang menanti di ruang dalam!" Sesudah berkata demikian, abdi ini terus masuk ke kamar majikannya. Ketika itu Eng Tay sedang duduk di sisi jendela, matanya memandang jauh ke luar. Kala itu, hujan turun rintik-rintik. Ia sedang termenung. Suara Kiok Ji membuatnya tersadar dari lamunannya, sehingga ia juga menegaskan: "Apa" Papa memanggilku?" "Benar, Non." "Apakah ada upacara sembahyang" Apakah aku harus tukar pakaian?" tanya gadis itu. Ia merasa heran. "Entahlah, Non," ujar Kiok Ji menjelaskan. "Tidak ada upacara apa-apa. Tuan Besar hanya mengatakan bahwa Nona sedang ditunggu." "Baiklah!" kata gadis itu, yang terus berpikir: "Masa bodoh ada urusan apa pun, aku keluar begini saja, tak usah tukar pakaian!" Dan ia terus berjalan, mengikuti si abdi. Ruang tengah tampak bersih dan rapi, meja abu leluhur dilengkapi buah-buahan untuk sembahyang. Di kiri-kanan terdapat meja panjang, meja itu kosong, tanpa isi. Di kiri dan kanannya kursi-kursi tampak teratur. Tuan dan nyonya rumah sedang duduk bersebelahan. "Papa, Mama!" kata Eng Tay segera memanggil. Ciok Kong Wan memandang putrinya. "Selamat, Anakku!" katanya. "Selamat!" Putrinya heran. "Bukankah hari ini adalah hari sembahyang leluhur?" tanyanya. "Ada selamatan apakah?" Kong Wan mengusap janggutnya. "Sembahyang ini ada hubungannya dengan selamatan untukmu, Nak," jawabnya. "Inilah soalnya, akan ku beritahukan padamu." Eng Tay diam, ia mengawasi papanya sambil memasang telinga. Ciok Kong Wan tanpa ayal lagi lantas memberikan keterangannya. "Beberapa hari yang lalu," demikian ia mulai, "Tiang-su Li Yu Seng bersama Ci-su Tian Leng Bow telah datang ke rumah kita. Mereka ternyata sama-sama menjadi perantara Ma Thay-siu untuk mengajukan lamaran bagi anak sulungnya yang bernama Ma Bun Cay. Papa lihat kedua keluarga itu sederajat, Papa setuju sekali. Tetapi Papa belum pernah melihat Tuan Muda Ma itu, maka Papa janjikan, setelah berkesempatan melihatnya, barulah keputusan akan diambil." "Lewat beberapa hari. Nyonya Li Yu Seng telah datang berkunjung ke rumah kita ini," sambung sang ayah, setelah berhenti sejenak. "Ia memberitahukan bahwa Tuan Muda Ma sudah berada di rumahnya dan karenanya setiap saat kita bisa datang melihat dan menemuinya. Nyonya Li juga membawa karya tulis pemuda itu. Setelah membacanya, Papa anggap karyanya bagus. Maka Papa menyatakan pada Nyonya Li bahwa Papa akan datang menengok Tuan Muda Ma." Kembali ayahnya berhenti bicara sejenak, tetapi segera ia meneruskan keterangannya, "Kami melihat pemuda itu," ujar ayahnya, melanjutkan. "Menurut Papa, pemuda itu berparas cakap dan dandanannya rapi. Buat seorang anak lelaki, asal dia rajin belajar, sudah cukup, kelak dia dapat membangun diri. Lainnya adalah soal nanti. Demikianlah, Papa telah menerima baik lamaran keluarga Ma itu. Hari ini pihak sana akan menyampaikan emas kawin, maka dari itu sekarang Papa menyiapkan sembahyang bagi leluhur kita untuk merestui pernikahan ini. Eng Tay, kau telah menjadi anggota, keluarga Ma. Keluarga Ma itu berpangkat Thay-siu, itu sudah cukup...." Eng Tay berdiri di sisi ayahnya. Mendengar keterangan ayahnya itu, ia terkesima. Ia berdiri terpaku, tubuhnya seakan-akan tertikam beberapa golok tajam. Wajahnya, dari merah menjadi pucat pasi. Walaupun demikian, ia berhati keras dan kuat. Maka juga, sebelum ayahnya selesai bicara, ia memotong. "Pa, ini adalah urusan hidupku seumur hidup, mengapa Papa tidak terlebih dulu memberitahu aku" Ma, Mama juga tahu tabiatku, mengapa Mama juga mendustaiku?" Gadis yang biasa berbakti dan lemah-lembut itu, mendadak berubah tingkahnya, ia berani bicara sedemikian rupa pada ayah dan ibunya. Teng-si tercengang mengawasi putrinya. Akan tetapi ia masih bisa membatasi diri. Katanya sabar: "Sebenarnya Mama mau memberitahukan kau, Nak, juga di saat sepulangnya Mama dan papa dari rumah keluarga Li. Namun ketika Law-si datang dan bicara denganmu, dia memujimu sebagai seorang anak yang baik. Katanya pula, meskipun Tuan Muda Ma masih sekolah sekarang, dalam hal kepandaian dia mungkin tidak sama denganmu. Malah dia menerangkan juga tentang kau, Anakku, mungkin kau tidak sudi atau tidak suka. Ia mengatakan agar lamaran diterima dulu, barulah kau diberitahu. Dengan demikian, tidak akan terjadi penolakan. Mama setuju walau mulanya ragu-ragu. Lagi pula, kalau keluarga Ma ini kita tolak, di mana ada keluarga Ma yang kedua seperti ini. Karena hanya soal beberapa hari, terpaksalah kami membohongimu. Keluarga Ma itu kaya-raya, hartawan pertama di kota ini. Kau tahu, calon mertuamu itu berpangkat Thay-siu, pangkatnya jauh lebih tinggi dari pangkat dulu. Maka itu Mama pikir, kau tentu setuju...." Eng Tay menjadi sangat bingung, terutama tak tahu alasan apa yang bisa ia ajukan untuk menyatakan penolakannya. Ia tak dapat membuka rahasia hatinya. Hingga akhirnya, ia berkata: "Urusan jodoh ini, aku tidak setuju - seribu kali tidak setuju, selaksa kali tidak setuju!" Setelah berkata demikian, Eng Tay berdiri tegak, kedua tangannya dan sepuluh jarinya terlipat menjadi satu, dan diletakkan di depan dadanya. Ia mengawasi ayah-bundanya. Wajahnya Ciok Kong Wan, ayahnya, mendadak berubah menjadi merah. "Kau kira ini urusan apa sehingga kau tidak setuju?" katanya. "Kenapa mesti menyebut-nyebut seribu dan selaksa kali tidak setuju" Bukankah cukup dengan mengatakan saja, satu kali tidak setuju" Mari Papa tanya kau: Apakah pangkat thay-siu itu kecil" Kekayaan keluarga Ma, di sekitar sini, adalah yang paling tersohor, apakah itu masih kurang juga" Mengenali Tuan Muda Ma, dia sekarang memang sedang sekolah. Siapa tahu kalau kemudian hari dia juga akan berpangkat, pangkat yang lebih tinggi dari ini" Apakah kau tidak memikirkan hari kemudianmu - hari keberuntunganmu?" Gadis itu tertawa terbahak-bahak tatkala mendengar papanya berulang kali menyebut-nyebut keluarga Ma sebagai keluarga hartawan besar dan berpangkat tinggi. Tanpa terasa ia tertawa. Ciok Kong Wan heran. Dia menatap putrinya itu. "Kenapa kau tertawa?" tanyanya. "Kau tertawakan siapa" Apakah kau kira bohong?" "Aku tidak mengatakan Papa dan Mama mendustaiku," kata gadis itu kemudian. "Papa dan Mama memang sangat menyayangiku, akan tetapi sekarang ternyata, itu berlebihan. Pa, Ma, aku hendak bertanya: Papa dan Mama masih menyayangi aku atau tidak?" Teng-si, yang sedari tadi diam saja, mengangguk. "Sayang tidak sayang, untuk apa kau tanyakan lagi?" katanya. "Papa dan mama ini tidak punya anak lain lagi! Papa dan Mama, seumur hidup hanya punya kau seorang, dan untukmu...." Kong Wan, sang ayah, turut berkata. "Ketika tiga tahun yang lalu Papa izinkan kamu menyamar sebagai lelaki sekolah ke Hang-ciu, itu karena Papa menyayangimu! Papa sudah tua, kau berada jauh di lain kota, Papa senantiasa memikirkan kesehatanmu, sampai-sampai duduk dan tidur pun tidak tenang. Kau sekarang sudah ada di rumah, betapa girangnya Papa San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan mama !" "Baiklah, Pa," kata gadis itu. "Sekarang aku ingin bicara terus-terang. Dulu dalam perjalanan ke Hang-ciu, di tengah jalan aku bertemu dengan Nio San Pek, pemuda yang usianya lebih tua setahun dari aku. Dia terpelajar dan sopan-santun. Dia tahu aku adalah seorang gadis tetapi dia sedikit pun dia tidak berniat jahat, malahan kami berdua sudah mengangkat sumpah menjadi saudara angkat. Selama tiga tahun, setelah mempelajari dirinya aku mengetahui sifatnya. Selama belajar, dia sangat banyak membantuku. Ketika aku pulang, dia mengantarku sampai sejauh delapan belas li. Tatkala kami berpisah, kuberikan dia teka-teki, namun dia tak dapat menebaknya. Karena itu, aku percaya bahwa dia adalah orang jujur. Kemudian padanya ku beritahukan, bahwa aku mempunyai seorang saudara perempuan bernama Kiu Moy, yang belum menikah. Aku ingin dia menikah dengan adik itu. Ku katakan bahwa Kiu Moy, segala-galanya, sama denganku. Nio San Pek percaya perkataanku, dia girang sekali. Pada istri guru Ho-si, aku telah membuka rahasia dan padanya ku titipkan kupu-kupu kemala sebagai tanda mata dan sekalian minta ia menjadi perantara. Ia sangat setuju dan bersedia membantuku. Demikianlah duduk persoalannya. Ku kira, tidak lama lagi, Nio San Pek akan datang ke mari. Sekarang, Papa dan Mama, aku mohon pertimbangan...." Gadis itu bercerita panjang-lebar, ayah dan ibunya mendengarkan saja. Setelah putrinya itu selesai bicara, sang ayah berjingkrak. "Kau gila!" teriaknya. "Tiga tahun kau sekolah, kau perempuan tetapi kau tak tahu bahwa dirimu perempuan, sungguh kau sangat jujur! Dan, di saat berpisahan, seorang perempuan menyerahkan adiknya! Benar-benar gila!"Tidak, Pa, aku tidak gila!" kata Eng Tay. "Lalu, bagaimana dengan Kiu Moy?" "Kiu Moy adalah Eng Tay." "Karena perbuatanmu ini, bagaimana sekarang dengan Papa dan mama?" tanya ayahnya. Saking gusarnya, tubuh orangtua ini gemetar. Ia berpegangan pada jendela. "Bukankah sekarang aku telah minta izin Papa dan Mama?" kata putrinya. "Kamu meminta izin Papa dan mama" Bagus!" kata ayahnya. "Bagus, tapi aku tidak mengizinkan kamu menikah dengan Nio San Pek! Satu kali tidak mengizinkan, seribu kali juga tidak!" Beda dari biasanya, sebagai anak Eng Tay sangat penurut. Akan tetapi kali ini, sifatnya berubah garang sekali. Tampak dia tidak takut sama sekali. Ia hendak bicara, tetapi ibunya segera maju mencegah. Teng-si melihat gelagat tidak baik, sambil memegangi tangan putrinya, ia berkata: "Nak, kau tahu aturan atau tidak" Kau sedang bicara dengan papamu! Mengapa sikapmu begini keras?" "Aku tidak bersikap keras, Ma," kata putrinya. "Papa bertanya, aku menjawab. Apa salahnya" Memangnya tidak boleh?" "Bukan itu masalahnya," kata ibunya. "Mama mau tanya kau. Sekarang tentang lamaran keluarga Ma! Bagaimana kita harus menjawabnya" Emas kawin akan segera tiba, bagaimana kita menyambutnya" Nak, kau jangan bersikeras tidak keruan...." Eng Tay melepaskan diri dari pelukan ibunya. "Itu bukan masalah!" katanya dengan keras. "Suruh orang mencegat di tengah jalan, katakan bahwa keluarga Ciok tidak dapat menerimanya, suruh dia bawa pulang." "Kau dengar!" teriak Kong Wan. Tangannya pun menuding anak gadisnya. Ia menambahkan: "Kaudengar, apa kata anak ini! Dia sudah gila!" "Aku tidak gila Pa, sedikit pun tidak!" kata Eng Tay. "Ya, emas kawin itu harus ditolak, dikirim pulang!" "Ah, apa maksud perkataan anak ini?" kata Kong Wan bingung. Ia terus menjatuhkan diri, duduk di kursinya. "Sudahlah, kau kembali dulu ke kamarmu," kata Tengsi. "Di sini...." Ia menolak tubuh putrinya, disuruhnya gadis itu mengundurkan diri. Gadis itu tidak mempedulikan ibunya, malah ia berkata: "Di sini ada banyak orang, biar kita bicara supaya semua pun tahu! Ini lebih baik lagi! Aku justru ingin supaya semua orang mendengar dengan jelas!" Tubuh Kong Wan bergetar, tangannya menunjuk ke atas, ke langit. "Tidak! Tidak!" serunya. Tetapi, ia tidak melanjutkannya. Ketika itu langit mendung, hujan pun, turun, angin menyusul. Teng-si menggapai. "Kalian ke mari" katanya, "kalian ajak Nonamu ke kamar. Kalau ada yang mau dibicarakan, kita bicarakan lain kali saja...." Kata-kata majikan itu ditaati, maka para abdinya lantas membujuk Eng Tay. Melihat kepergian ibunya, Eng Tay berkata seorang diri: "Aku pun tidak mau bertengkar dengan Mama dan Papa, maka aku tidak sudi mengadu mulut lebih lama lagi! Tapi aku telah mengambil keputusan: Aku lebih baik mati, aku tak mau menjadi anggota keluarga Ma...!" Selesai berkata demikian, gadis ini lantas berjalan seorang diri kembali ke kamarnya. Gin Sim sudah menanti di bawah tangga, ia menyambut nona majikannya itu dan terus menaiki tangga, masuk kamar. "Sayang sekali tidak dari awal kita memperoleh kabar." kata Eng Tay pada abdinya, "sekarang, walaupun, menolak, sudah terlambat...." Sewaktu berkata demikian, gadis ini berdiri bersandar pada pembaringannya, matanya memandang kosong mengawasi lantai. "Sudah terlambat, Non, lalu Nona hendak berbuat apa?" tanya Gin Sim. "Bukankah telah ku katakan," katanya sengit, "walaupun harus mati, aku bukan anggota keluarga Ma! Putusanku sudah pasti, itu tak akan berubah!" "Kalau demikian, Nona sebaiknya bersabar dulu," kata Gin Sim. "Kita tunggu dua hari ini, sampai tibanya Tuan Nio. Pada saat itu, barulah kita pikirkan lagi." Eng Tay menghela napas. "Andaikata pun Tuan Muda Nio datang hari ini, sudah terlambat katanya. "Tetapi, Non, sebaiknya kita bersabar," kata Gin Sim lagi. "Kita tunggu saja tibanya Tuan Nio. Sekarang, aku hendak mencari berita." "Sudahlah, tak usah!" kata Eng Tay. "Kita pasrah saja!" Mengetahui sikap nona majikannya, Gin Sim diam. Ia mengundurkan diri. Di luar dan di depan rumah suasana ramai, tetapi Eng Tay menganggap seperti tidak ada apa-apa. Ia terus mengunci diri di dalam kamarnya. Hari itu hujan turun, sebentar deras, sebentar berkurang. Di latar, di halaman, terdengar bunyi daun-daun bambu dan cemara yang dipermainkan sang bayu. Tuan rumah, Ciok Kong Wan, sudah selesai mengatur rumahnya. Tetapi selanjutnya, satu hari itu ia tak melihat putrinya. Bagaimanapun juga, ia menjadi gelisah. Akhirnya ia perintahkan untuk memanggil Gin Sim. Abdi Eng Tay itu segera muncul. "Apakah Nonamu baik-baik saja?" tanya si tuan rumah pada abdinya. Gin Sim melihat majikan tua itu duduk di kursi batu dengan wajah muram. "Agaknya Nona kurang enak badan," sahut abdi ini. "Nona terus tidur dengan menutup pintu kamarya." Kong Wan diam, beberapa lama kemudian barulah ia mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangannya. Gin Sim mengerti, ia mengundurkan diri. Majikan itu diam terus, tetapi otaknya bekerja. Malam itu Eng Tay tidak bersantap, tidak juga esok paginya. Kong Wan mengetahui hal itu, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Tidak demikian dengan Teng-si, si ibu kandung. Sang ibu segera pergi melihat putrinya. Eng Tay sedang duduk di bangku, sebelah tangannya ditegakkan di atas meja, sedang bertopang dagu. Di atas meja ada sejilid buku tetapi buku itu tidak disentuhnya. Ia duduk, tak bergeming walau Teng-si, ibunya, telah melangkah di ambang pintu dan dia berdiri mengawasi putrinya. "Eng Tay," akhirnya ibunya berkata, "apakah kau sakit" Mama berdiri sekian lama, kau masih tidak tahu...!" Mendengar suara ibunya, Eng Tay menoleh. "Oh, Mama!" katanya.,"Silahkan duduk!" "Sudah dua kali kau tidak makan, tidak seharusnya begitu," kata ibunya, yang sangat menyayangi putrinya. "Waktu makan, makanlah, kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah. Itu baru caranya gadis remaja." Gadis itu berdiri di tepi meja, ia tersenyum. "Ya, ada nasi, makan; ada kata-kata, bicara," katanya. "Itu memang paling benar! Akan tetapi, ada nasi tak dapat dimakan, ada kata-kata tak dapat diucapkan, itu juga caranya gadis yang dewasa...." "Kau bilang kau punya kata-kata tetapi tidak dapat diucapkan?" kata ibunya. "Itu tidaklah tepat. Suaramu nyaring, di dalam dan di luar, semua orang mendengarnya...." "Seandainya semua orang mendengar, apalah artinya bagiku?" tanya putrinya. "Ini.... ah, sudahlah!" kata ibunya yang tampak kewalahan. "Nak, kau harus bisa menenangkan hatimu. Kau harus makan walaupun sedikit. Kemudian...." "Kemudian?" tanya putrinya. Ia mendesak. "Sudahlah!" kata Teng-si tertawa. "Apa yang bisa menyenangkan hati, hayo, mari kita bicarakan!" "Dua kali Mama menyebutkan, kita tak perlu bicarakan masalah," kata Eng Tay. "Memang benar, kecuali masalah itu tidak ada lagi yang patut dibicarakan. Sebenarnya mudah saja untuk menenangkan kegelisahanku. Aku jangan dipandang sebagai orang hukuman! Hanya dengan demikian barulah hatiku tenang. Ma, kita sudah cukup bicara, silakan Mama keluar dari kamarku ini." Teng-si terperanjat. "Oh, Anakku," katanya, hatinya tersentak, "jadi kau tidak menginginkan lagi Papa dan Mama?" "Aku tidak bermaksud demikian," kata Eng Tay. "Aku hanya mohon agar Mama sudi keluar dari kamarku ini...." Teng-si berdiri, agaknya dia hendak berjalan pergi, tetapi tiba-tiba ia tidak bergerak. Ia menghadap ke putrinya dan terus bertanya: "Nak, Mama ingin menjelaskan. Ketika kemarin ini Nyonya Li datang membawa naskah, telah melihat naskah itu dan katanya, karya itu bagus. Naskah itu telah diberikan kepada Mama untuk diteruskan kepadamu, supaya kau periksa dan kemudian utarakan pendapatmu. Saat itu Mama lihat kau agaknya kurang setuju, maka Mama belum serahkan padamu. Naskah itu masih ada padaku, Mama tak berani serahkan padamu." "Apa yang ku katakan, demikianlah adanya," kata Eng Tay. "Aku bukan sanak atau kenalan pihak Ma, bukan juga sahabat sejati, maka dari itu, buat apa aku membaca tulisan orang?" Teng-si mengawasi putrinya, ia mengerti gadis itu masih saja mendongkol. Ia menghela napas. Tak kurang herannya si ibu, anak gadisnya yang lemah-lembut, yang biasanya penurut, sekarang menjadi demikian keras sikapnya. Akhirnya Teng-si berkata: "Baiklah! Kau tahu, Mama pernah memberitahukan bahwa kau, Anakku, bersifat seperti lelaki, dan menasehatkan agar dalam urusan pernikahanmu nanti, agar berhati-hati. Sejak kau kembali dari Hang-ciu, gerakgerikmu berubah mirip laki-laki. Karenanya, dalam urusan jodohmu, Mama menjadi lebih prihatin. Sekarang muncul lamaran keluarga Ma. Mama melihat keluarga itu keluarga berpangkat, lagi pula kaya-raya, maka Mama pikir, keluarga semacam itu pantas menjalin hubungan keluarga dengan kita. Tuan Muda Ma juga tidak bercela. Siapa sangka selama kau di Hang-ciu, kau telah berkenalan dengan Nio San Pek, bahkan dengan caramu sendiri kau telah jodohkan dia dengan Kiu Moy. Ah, sungguh sulit...." Gin Sim berada di tepi jendela mendengar suara majikan tuanya itu, ia ikut bicara. Katanya: "Keluarga Ma itu datang belakangan, bukankah mudah untuk membatalkan urusan lamarannya?" "Hei, kau mengerti apa?" tegur sang majikan. "Lamaran keluarga Ma itu sudah tidak bisa dibatalkan lagi!" Eng Tay mendengarkan kata-kata ibunya, juga dampratan si ibu pada Gin Sim. Ia tidak menanggapi, tetapi ia berkata pada ibunya: "Ma, silakan Mama kembali. Tak usah Mama bicarakan lagi urusan ini!" Teng-si kembali memandang putrinya, sukar rasanya untuk bicara lagi, maka ia kembali menghela napas panjang, lantas berjalan pergi, terus ke depan. Tetapi di ruang tengah ia berhenti. "Gin Sim!" ujarnya memanggil. Sang abdi segera muncul. "Ya, Nyonya Besar, ada apa?" tanyanya. "Nonamu sedang dongkol, kau layani dia baik-baik," kata Teng-si. "Apa yang Nonamu kehendaki, segera kausediakan. Sebentar tengah hari, sewaktu makan siang, kau sediakan segala hal yang diinginkannya, apa pun juga." Gin Sim mengangguk. "Baik, Nyonya." katanya. Teng-si lantas berjalan terus, perlahan-lahan. Hari itu cuacanya terang sekali. Matahari bertengger di tengah-tengah langit. Daun-daun pohon bambu dan cemara, semua terbayang di permukaan bumi. Di bawah pepohonan, nyaman rasanya. Seorang diri Eng Tay berjalan perlahan-lahan di bawah keteduhan pepohonan itu. Hanya pohon-pohon bambu halus yang selalu menghadangnya. Di belakangnya, tampak Gin Sim mengikuti dari belakang. Menghadapi abdinya itu, gadis itu berkata: "Pohonpohon bambu ini berdiri tegak lurus. Walau kau telah menebangnya, mereka tetap saja lurus. Karenanya aku sangat menyukai pohon bambu. Demikian pula manusia: Manusia harus lurus seperti pohon bambu, dengan demikian, manusia pun tidak akan menjadi keropos! Kau mengerti atau tidak?" Gin Sim menjawab: "Setelah Nona mengucapkannya sekarang, aku baru maklum." "Orang yang bermarga Ma itu tidak bersalah padaku," kata Eng Tay lagi kemudian. "Dia boleh turunan bangsawan dia boleh berpangkat besar, dia boleh berharta! Tetapi aku, aku tidak menghiraukan itu semua! Kalau kini keluargaku menjadi kacau-balau itu hanya disebabkan ulahku sendiri! Ya, akulah penyebabnya! Ingat Gin Sim, mulai hari ini ku larang kamu menyebut-nyebut nama keluarga Ma. Walau sepatah kata pun! Itu pertanda bahwa aku tidak jodoh dengan mereka!" Gin Sim memaklumi amarah majikannya itu. "Baik Non!" sahutnya sambil mengangguk. San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sejak hari itu, Eng Tay menutup pintu halaman belakang rumahnya. Ia tetap berada di belakang. Setiap hari ia hanya berkawan dengan pohon-pohon cemara dan bambunya itu. Dengan demikian, lambat-laun ia merasa agak tenang.... 14 Pertemuan di Loteng TERIKNYA matahari siang di awal musim panas itu sangat menyengat para musafir. Justru saat itulah, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Nio San Pek dan Su Kiu tiba di dusun Ciok, kampung halaman keluarga Ciok. Dari jauh sudah tampak rumpun pohon bambu yang seakan-akan mengurung sebuah rumah besar berloteng tinggi. Segera majikan dan abdinya itu tiba di depan rumah dan San Pek menyuruh Su Kiu mengetuk pintu. "Mencari siapa?" tanya seorang tua, yang muncul di ambang pintu. "Kami dari Hwe-ke, hendak menemui Tuan Besar Ciok Kong Wan," ujar Su Kiu memberitahu. "Kalian datang tak pada waktunya," kata orang tua itu, "Tuan Besar kami sedang bepergian sejak kemarin." San Pek menghampiri orang tua itu. "Kalau Tuan Muda Ciok Eng Tay ada di rumah, aku ingin bertemu dengannya," katanya. Mendengar itu, si orang tua tercengang. "Di sini tidak ada Tuan Muda Ciok," katanya heran. "Itu.... Tuan Muda yang dulu sekolah di Hang-ciu," ujar San Pek menjelaskan. Ia pun heran dan, tidak menyadari kekeliruannya. "Aku Nio San Pek, dulu selama tiga tahun sekolah bersama Tuan Muda. Tak mungkin dia tak ada di sini...." Orang tua itu tertegun, dia menatap si anak muda di hadapannya. "Oh, Tuan Nio?" katanya kemudian. "Nyonya Besar ada di dalam, tunggu sebentarsaya memberitahukannya." "Kalau Nyonya Ciok ada di rumah, kebetulan, aku pun hendak menjumpainya," kata San Pek. Ia ingat, si nyonya besar yang dimaksud adalah ibu Eng Tay. Si orang tua mencari majikannya yang sedang berada di taman. Ia memberitahu kedatangan tamu bermarga Nio yang ingin menjumpai tuan besar, nona Eng Tay, dan juga sang nyonya. Teng-si terperanjat. "Nio San Pek datang?" tanyanya menegaskan. "Apakah dia seorang diri?" "Ia datang bersama seorang abdinya." Nyonya rumah berpikir sejenak. "Dia datang dari tempat yang jauh, sudah seharusnya diterima," katanya kemudian. "Kau ajak dia ke ruang tamu." Pegawai tua itu menurut, tetapi lebih dulu ia pergi ke kamar nona majikannya. Di dalam hati ia berkata. "Nona sangat baik padaku, teman sekolahnya datang, mau tidak mau aku mesti memberitahukannya...." Demikianlah, sampai di Loteng Hati Bertemu, ia memanggil: "Gin Sim!" "Siapa ya" Ada berita apa?" tanya Gin Sim, yang muncul di jendela. "Ada kabar penting!" "Kabar penting apa?" "Ada tamu berpakaian biru datang, ia bermarga Nio." "Oh, dia datang..!" seru Gin Sim tertahan. "Tunggu...!" Abdi ini pun berlari turun. "Dia menyebut dirinya Nio San Pek?" tanyanya setelah menghampiri si pegawai tua. "Benar, karena Tuan Besar tidak ada di rumah, ia minta bertemu dengan Nyonya Besar. Nyonya Besar mengizinkan dia masuk." Gin Sim mengangguk pada pegawai tua itu. "Terima kasih, Paman!" "Lekas beritahu Nona! Dan ada kacungnya, dia itu mau bertemu dengan kau, Gin Sim!" Gin Sim tertawa. "Baiklah, aku hendak menyambut tamu dulu...." dan si abdi tua berlari ke luar, sedangkan Gin Sim masuk. "Bagus! Bagus!" katanya sambil berjalan cepat. Ketika itu Eng Tay sedang hendak naik ke lotengnya. Mendengar suara Gin Sim, ia berhenti, bahkan langsung bertanya: "Ada apa, bagusbagus?" Sang abdi berdiri di depan nonanya, dia tertawa. "Tadi penjaga pintu mengabarkan, Tuan Nio datang," jawabnya. "Dia sekarang sedang mengundangnya masuk." Eng Tay diam, ia menunduk. "Non, bagaimana sekarang?" tanya Gin Sim. Ia tak bergurau lagi. "Jangan-jangan Mama melarangku menemuinya. Aku...." "Ya, habis bagaimana?" desak Gin Sim. "Baiklah, mari kita ke ruang tamu. Biar ibuku tahu bahwa aku sudah tahu. Mama mau mempertemukan kami atau tidak, masa bodoh, aku tetap akan menemuinya juga!" Gin Sim mengangguk. Maka mereka pergi berdua ke ruang tamu. Ketika itu San Pek sudah berada di ruang tamu, Su Kiu mengikutinya. "Bibi, terimalah hormat dari keponakan Bibi!" kata San Pek selekasnya begitu ia melihat seorang nyonya sedang menantikannya. Ia memberi hormat karena percaya bahwa nyonya itu pasti ibu Eng Tay. Teng-si menyambut. "Tak perlu menjalankan adat penghormatan," katanya. "Setelah melakukan perjalanan jauh, tentunya kau lelah." San Pek tetap memberi hormat dengan menjura sebanyak empat kali, lalu disuruhnya Su Kiu memberi hormat juga. Ia tidak berani duduk walau nyonya rumah telah mempersilakannya. Lantas ia bertanya, mengapa tuan rumah, tidak ada di rumah. "Ia sedang menemui sahabatnya," ujar Teng-si menerangkan. "Mungkin dua hari lagi, baru pulang." San Pek menoleh ke sekitarnya. "Adik Eng Tay tentu ada di rumah," katanya, "saya mohon bertemu dengannya." Teng-si mengawasi anak muda di depannya itu, baru saja ia mau menjawab "Eng Tay tak ada di rumah," muncullah Gin Sim. Ia terperanjat. Bahkan segera pelayan gadisnya itu menghampiri si anak muda tamunya itu, dan menyapa: "Tuan Nio, apa kabar?" San Pek menoleh, ia terkejut. Ia melihat seorang pelayan muda berkundai sepasang bajunya hijau, wajahnya lonjong. Abdi Eng Tay kiranya telah berganti wajah! "Gin Sim!" seru San Pek kemudian yang telah mengenali gadis remaja itu. Su Kiu berdiri di sisi majikannya, ia pun heran sekali, hingga ia melotot mengawasi sahabatnya itu. "Kakak Su Kiu, kau baik-baik saja?" tanya Gin Sim mendahului menegur sambil tertawa manis. Dia tak malu-malu lagi walau sekarang ia telah menjadi seorang perempuan.... "Ah, kau adik Gin Sim?" kata Su Kiu sambil tetap menatap. Gin Sim mengangguk, ia tersenyum. Menyaksikan pemandangan di hadapannya itu, untuk sementara Teng-si tercengang, tetapi kemudian ia berkata: "Eng Tay adalah putriku, pasti Keponakan sudah tahu. Tiga tahun kalian sekolah bersama, tentu sekali kalian mau bertemu muka. Gin Sim, mana Nonamu?" Nyonya ini terpaksa harus mengubah niatnya, ia tak dapat berdusta. Belum sempat Gin Sim menjawab nyonya majikannya itu, dari balik sekesel, muncullah Eng Tay sebagai seorang gadis nan ayu, bukan lagi seorang pemuda tampan. Ia memakai baju merah hingga kecantikannya bertambah. Ia berkundai 'Naga Melingkar' tetapi bedaknya tipis, sedang alisnya lancip dan menantang. Ia lantas menghampiri San Pek dan memberi hormat sambil menjura dalam, ia pun tak canggung-canggung lagi. "Kakak Nio, apa kabar?" sapanya, suaranya merdu. Si anak muda repot membalas hormat. "Kau Eng Tay?" tanyanya. "Wah!" "Benar," sahut gadis itu. "Panggil saja aku Sio-moy...." 26 "Hian-moy, 27 kakakmu baik-baik, saja," jawab San Pek. "Kau pun baik-baik saja?" "Aku, ya, baik," jawab gadis itu tetapi ia lantas merunduk. "Su Kiu, ke sini!" kata San Pek pada abdinya. "Ini Ji sio-cia dari keluarga Ciok, ayo kau beri hormat kepadanya!" Ji sio-cia ialah 'Nona yang kedua'. Abdi itu segera menghampiri ia memberi hormat seraya menyapa: "Ji siang-kong!" Eng Tay tertawa. "Ya, sapaan ji siang-kong pun baik!" katanya menggoda. San Pek turut tertawa. Su Kiu kembali ke sisi majikannya, ia jengah sendiri. Teng-si puas melihat tamunya itu: muda dan tampan serta tahu sopan-santun. Dia pun terpelajar seperti anak gadisnya sendiri. Katakata si anak muda juga halus. Coba tidak ada Tuan Muda Ma, pasti pilihannya jatuh pada pemuda ini. Ia juga memperhatikan suasana di hadapannya, ia merasa bahwa ia harus tahu diri maka terpaksa ia berkata: "Keponakan Nio, saya masih punya urusan, maaf saya tak dapat menemanimu lamalama. Eng Tay, baik-baik saja kau layani Kakak Niomu...." "Bibi, silakan!" kata San Pek. Teng-si mengangguk, terus ia berjalan, tetapi sambil berkata: "Eng Tay, ke mari, Mama ingin bicara denganmu!" Eng Tay mengawasi ibunya, lantas ia mengikuti. Dimintanya San Pek untuk menanti sebentar. Terpisah agak jauh dari ruang tamu itu, Teng-si lantas berkata pada putrinya. "Sebenarnya Mama hendak beritahukan bahwa kau sedang tak ada di rumah, tak disangka Gin Sim tiba-tiba muncul. Karenanya Mama 26 Sio-moy berarti perempuan. 27 Hian-moy aninya "adik perempuan yang bijaksana". duga, kau tentu sudah mengetahui tentang kedatangan San Pek ini, hingga Mama tak dapat membohonginya. Terpaksa Mama mempertemukan dia denganmu. Sayang ayahmu tidak ada di rumah. Jika beliau berada di rumah, beliau girang sekali karena kalian berdua telah bertemu setelah berpisah sekian lama. Sekarang layani dia baik-baik, Mama akan menyuruh agar disediakan hidangan untuk kalian berdua." "Dulu kami adalah dua saudara angkat," kata Eng Tay, "tetapi sekarang kami adalah kakak dan adik perempuan, walau dari lain keluarga. Bukankah aku boleh bicara lama dengannya?" "Boleh-boleh saja, tetapi kau harus ingat bahwa sekarang ini kau adalah anggota keluarga Ma," kata ibunya, mengingatkan. "Kau harus jaga agar urusan kau ini jangan sampai terdengar orang luar. Nah, kalau sudah mengerti, pergilah kau temani dia!" Sehabis berkata demikian ibunya berlalu dengan cepat. Eng Tay jadi sangat berduka. Namun hanya sebentar, ia lantas memperlihatkan wajah gembira. Saat itu San Pek sedang mendengarkan Su Kiu dan Gin Sim yang sedang asyik berbicara. Si pemuda membiarkan keduanya bercakap-cakap, bahkan ia turut mendengarkan. "Kakak Nio, mari ikut aku," ajak Eng Tay. "Di sini bukan tempat untuk bicara. Aku punya kamar baca di loteng, di sana kita dapat leluasa bicara." San Pek mengangguk. "Baik sekali," katanya. Sekarang tak lagi ia sungkan seperti semula. Eng Tay lantas berkata pada Gin Sim: "Gin Sim, pergilah ke bawah loteng sana, kau temani Su Kiu istirahat." Abdi itu meng-iya-kan, lalu ia berkata pada sahabat lamanya itu: "Kakak Su Kiu, ayo ikut aku!" Pelayan San Pek mendekati majikannya, ia bertanya perlahan: "Bolehkah saya pergi ke sana?" "Boleh, asal kau hati-hati!" pesan sang majikan. Mendengar demikian, abdi ini lantas mengikuti Gin Sim. "Kakak Nio, mari!" ujar Eng Tay mengajak sahabatnya. San Pek berjalan mengikuti. Mereka melangkah perlahan sekali. Si anak muda puas menyaksikan keadaan sebelah dalam rumah gadis sahabatnya ini. Segala sesuatunya tampak indah, sedap dipandang mata. Tiba di muka tangga loteng, ada sebuah papan bertuliskan tiga huruf besar. Hwe Sim Law - Hati Bertemu.... Sampai di atas, mereka menghadapi sebuah meja panjang. Eng Tay lantas mengundang: "Kakak Nio, silakan duduk! Di sini kita dapat bebas mengobrol." Juga di sini, sang tamu mengagumi segala sesuatu di sekitarnya. Itulah bukti dari perawatan yang teliti dan sempurna. Sungguh tepat untuk seorang sastrawan! "Sungguh indah Hwe Sim Law ini!" akhirnya si pemuda memuji. "Memang menyenangkan sekali bila berbincang-bincang di sini." "Kakak hanya memuji," kata Eng Tay tersenyum. Kemudian ia bertanya: "Kak, kau datang ke mari hanya untuk bercakap-cakap?" "Itu hanya salah satu alasannya," jawab San Pek. "Yang terutama ialah aku hendak menyatakan hormat pada Paman dan Bibi, kemudian barulah mengenai janjimu, Dik. Kau tahu, aku tak berani berlambat-lambat lagi. Ya, aku ingin menengok Kiu Moy!" "Oh, Kiu Moy....!" "Benar! Terima kasih, Adikku yang cerdik, yang telah menunangkan dia denganku. Sekarang aku datang dengan maksud untuk memastikan jodoh kita itu!" Eng Tay tersenyum. "Di sini, mana aku punya Kiu Moy?" katanya. "Kiu Moy adalah Eng Tay!" Sambil berkata begitu, gadis ini mencabut bunga dari kundainya. San Pek Pun tertawa, malah dia bertepuk tangan. "Ini telah ku ketahui sejak awal!" katanya. "Inilah jodoh kita!" Betapa berbunga-bunga hati si pemuda. Mendadak saja Eng Tay bangkit berdiri. "Kakak Nio...." katanya, perlahan, sekali bagaikan kehabisan tenaga. Si anak muda heran, dia menatap gadis di hadapannya ini "Dik, ada apa?" tanyanya. "Kenapa kau tampak raguragu" Aku tak mengerti...." "Ah, Kakak Nio!" kata gadis itu lagi. "Kak..." Tiba-tiba Eng Tay mundur dua langkah, tampak pucat wajahnya. San Pek bingung. "Ada urusan yang membuat kedatanganku terlambat dua hari," katanya. "Bukankah keterlambatan itu tak menjadi masalah?" "Kedatangan Kakak tidak terlalu terlambat," kata Eng Tay, "akan tetapi orang lain tak dapat menanti, dia telah mendahului...." San Pek benar-benar heran, hingga dia pun bangkit berdiri. "Orang lain tidak dapat menanti?" katanya. "Apakah artinya itu?" "Setelah adikmu pulang dari Hang-ciu," kata Eng Tay, "telah datang dua orang pembesar negeri. Mereka itu mengaku diri sebagai perantara jodoh. Papaku melihat yang datang itu bukan sembarang orang, ia tidak berdaya. Lalu Papa menerima lamaran itu, aku dijodohkan dengan keluarga Ma...." Sehabis berkata demikian, tiba-tiba muka gadis itu berubah menjadi pucat-pasi, namun dengan kedua San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tangannya ia memegang rak buku kuat-kuat. Jelas ia berusaha menjaga agar dirinya tidak roboh. "Eh, kau mengapa?" tanya San Pek kaget, walau hatinya pun tergetar mendengar bahwa sang adik sudah ditunangkan dengan orang lain. Eng Tay tidak menjawab, sebaliknya, ia mengeluh, menyusul kemudian, tubuhnya bergoyang sempoyongan seperti hendak jatuh, tetapi, ternyata ia masih dapat menguatkan hatinya. Tibatiba saja ia melangkah cepat, turun dari lotengnya itu. Justru di saat itu Gin Sim sedang menaiki loteng sambil membawa dua mangkuk teh, ia kaget sekali. Ia mendapatkan San Pek sedang berpegangan pada rak buku, matanya memandang kosong ke bawah loteng. Ia sadar, ia maklum apa arti perubahan itu. Ia cepat-cepat meletakkan mangkuknya. San Pek menoleh pada abdi itu, dia masih sempat berkata: "Baru saja Nonamu menyebut tentang keluarga Ma, wajahnya lantas menjadi pucat-pasi. Tanpa berkata apa-apa, ia lari turun dari loteng! Gin Sim, kau tentu tahu sebabnya?" "Ah, sudahlah, jangan Tuan Muda tanyakan itu," sahut Gin Sim. Ia melihat wajah si tuan muda pun pucat sekali. San Pek dapat menguatkan hati, tetapi ia masih memegang ujung meja. Dengan mata sayu, ia memandang. Gin Sim, lalu ia berkata: "Saat ini adalah saatnya mati dan hidup, mana boleh aku tidak bertanya?" Gin Sim tidak menjawab, ia hanya mengambil mangkuk untuk dibawa turun dari loteng. Akan tetapi San Pek segera menghadang. Mau tidak mau, terpaksa ia menjawab juga. Katanya: "Nonaku telah diserahkan oleh Tuan Besar kepada putra keluarga Ma...." "Oh, Ma Bun Cay?" kata San Pek, separuh menjerit. Lalu ia memegang keras-keras ujung meja. Saat itu, Eng Tay kembali. "Kakak Nio, sekarang ini aku sudah tidak menguasai diriku lagi...." katanya perlahan, suaranya sangat lemah. "Baiklah, Dik, aku mengerti," kata San Pek. "Ini bukan lagi soalmu sendiri. Aku tak dapat tinggal lebih lama lagi di sini, itu tidak baik. Maka, izinkanlah aku pamit...." Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas menjura kepada gadis itu. "Kakak Nio, tunggu sebentar," kata, Eng Tay, yang berdiri di depan tangga, "walaupun kedatanganmu ini sia-sia belaka, tetapi mengingat persahabatan kita selama tiga tahun, hal itu tak dapat dilewatkan dengan cara begitu saja. Aku telah menyiapkan hidangan sebagai balasan cintamu...." San Pek mengawasi, ia mengangguk. "Baiklah," katanya perlahan. Ia tak jadi pergi, bahkan ia duduk lagi. Eng Tay benar-benar menyiapkan hidangan, semua itu dibawa oleh Gin Sim dari bawah loteng ke atas, lantas diatur di atas meja. Muda-mudi itu duduk berhadapan, untuk sesaat mereka membungkam. Kemudian, Eng Tay-lah yang lebih dulu memecah kesunyian. "Kakak Nio, ingatkah kau akan Malam Cit Sek" "demikian tanya gadis itu. "Ya, tentang pembicaraan Thian Ho. Ingatkah kau akan pembahasan tentang Daun Hijau di hari Tiong Yang?" Dengan 'Daun Hijau' dimaksudkan perjamuan yang menggembirakan selama perayaan Tiong Yang itu, suatu perayaan di zaman dahulu. San Pek menarik napas panjang. "Ya, aku tahu itu," sahutnya. "Hanya dulu itu, mana ku tahu bahwa kau adalah seorang wanita...." "Apakah Kakak masih ingat saat aku sakit?" tanya Eng Tay lagi. Si anak muda mengangguk lesu. "Tentu saja," sahutnya perlahan. "Kakak Nio, kau benar-benar lelaki sejati. Kau tidur bersamaku di satu pembaringan, tetapi kau sama sekali tidak bermaksud untuk berbuat sesat. Akan tetapi aku...." Tiba-tiba gadis itu berhenti bicara, sebaliknya, air matanya berlinang. Ia merunduk tetapi segera pula ia mengangkat wajahnya, memandang pemuda di hadapannya, lalu memandang Gin Sim, abdinya, yang di saat itu muncul dengan membawa hidangan yang baru matang, yang segera diatur di atas meja. Eng Tay bangkit berdiri, air matanya telah diusapnya. "Kakak Nio, ayo, ku berikan kau tiga cawan arak," katanya. Gin Sim yang cerdik pun turut berkata: "Tuan Muda Nio, silakan minum. Inilah tanda rasa hormat yang tulus dari Nona saya." San Pek kemudian berdiri, kepada Gin Sim dia mengangguk. Sang abdi segera mengundurkan diri, turun dari loteng. "Kakak Nio, silakan duduk," kata Eng Tay menyilakan. "Aku tak usah duduk lagi," sahut si anak muda. "Sesudah minum, aku hendak segera pulang." Eng Tay mengangkat cawan arak, lantas diletakkannya di depan si anak muda, kemudian ia mengangkat juga guci arak untuk menuangkan isinya. Ia hampir tidak kuat mengangkat dan menuangkan isinya. "Kakak Nio, mari minum...." ujarnya mengajak, suaranya lemah. "Semoga kau memperoleh kemajuan...!" San Pek menyambut cawan itu, bahkan ia segera mengeringkan isinya. Begitu meletakkan cawan di atas meja, ia berkata: "Adikku, Kakakmu berangkat...!" "Kakak Nio, jalan perlahan-lahan," kata Eng Tay. Ia melangkah di depan si anak muda. "Jalan perlahan-lahan," kata si anak muda. "Oh, adikku masih mau berjalan bersama-sama" Baiklah...." "Tidak, aku tak dapat pergi bersamamu," jawab Eng Tay. "Sekeliling kampung ini berada dalam kekuasaan Papa. Begitu ada perintah tangkap, nanti Kakak tak dapat ke luar dari sini. Belum lagi di sana, pengaruh keluarga Ma besar sekali." "Kalau demikian, Adikku hendak bicara apa lagi?" "Telah ku persembahkan kupu-kupu kemala, apa itu masih ada?" "Ah, aku lupa! Ini, ada di sakuku. Memang harus ku kembalikan padamu." Eng Tay menggoyangkan tangannya. "Bukan, bukan, bukan itu maksudku! Aku justru mau minta agar Kakak bersedia menyimpannya baik-baik." San Pek merogoh sakunya. "Sudah menjadi keluarga Ma, buat apa kemala ini?" "Aku.... ku mohon, Kak, ku mohon Kakak sudi menyimpannya. Biarlah itu menjadi tanda kenanganku bagimu...." "Adikku, apa arti ucapanmu ini" Kenapa Adik ucapkan itu?" "Kak, selama kita di sekolah, aku telah banyak bicara ku harap kau mengerti, tetapi sayang sekali, kau malah sebaliknya. Kau sangat baik. Selama aku sakit, sekalipun saudaraku sendiri, tak mungkin dia bisa menjagaku sepertimu. Maka, sejak itu aku diam-diam telah mengambil keputusan, kecuali dengan Kakak, aku tak akan menikah; maka juga di saat perpisahan, telah ku serahkan barang yang paling ku sukai. Sayang sekali, masih saja Kakak tidak mengerti. Dan di perhentian Delapan Belas Li, telah ku utarakan seluruh isi hatiku, tetapi Kak, masih saja Kakak tidak mengerti. Karenanya, aku sampai menyerahkan Kiu Moy, supaya kita menjadi satu.... Siapa sangka, hanya dalam waktu satu bulan, perubahan besar telah terjadi.... Walaupun demikian, hatiku tidak berubah!" Berkata sampai di situ, merahlah wajah gadis ini, tetapi segera berubah menjadi pucat lagi. Ia pun mesti berpegang erat-erat pada meja. San Pek mengawasi, ia bingung sekali. "Adikku, aku terlalu lugu, terlalu bodoh hingga aku...." kata si anak muda. Lalu tiba-tiba ia berhenti bicara, ia batuk-batuk, dan lekaslekas merogoh sakunya untuk mengeluarkan sapu-tangan. Dengan itu, dengan kedua tangannya, ia menutup mulutnya. Ia pun tak dapat berdiri terus, lalu ia jatuh terduduk di kursinya, terus merunduk. Mulutnya masih ditutup dengan sapu-tangannya. Beberapa kali ia batuk-batuk pula. Eng Tay tertegun, lalu ia terkejut sekali hingga berteriak: "Eh, kenapa sapu-tanganmu merah" Apakah kau muntah darah?" Ditanya begitu, San Pek tidak bersuara, ia diam saja. Eng Tay menghampiri, tangannya diulur. Ia memegang sapu-tangan berdarah! Dengan sendirinya tangan itu gemetar! "Ah, kau benar-benar batuk darah...! Oh, adikmu telah mencelakaimu...!"seru Eng Tay kemudian. Ia menjadi sangat bingung. San Pek mencoba menenangkan diri. "Tidak apa," katanya lemah. "Mendadak saja hatiku sakit dan muntah darah. Sebentar tentu sudah baik..." Eng Tay meletakkan sapu-tangan itu di atas meja, lantas ia mengambil semangkuk kuah, terus diserahkan pada si anak muda. "Kak, ayo minum," katanya. San Pek mengawasi gadis itu. "Terima kasih!" katanya. Ia menerima mangkuk itu dan menghirup dua kali. Terus dikumurnya, air kumur itu dimuntahkannya pada sapu-tangannya. Lalu ia bangun berdiri seraya berkata: "Aku tak boleh sakit di sini, aku mesti pulang sekarang...." Eng Tay meletakkan mangkuk sup itu dengan perlahan sekali, dan ia mengangguk. "Baiklah, Kak," katanya kemudian. "Akan ku antar Kakak selintasan...." Di mulut gadis itu berkata demikian, tetapi airmatanya ternyata berlinang tak tertahankan. Ia tak mampu bicara lebih jauh. San Pek menghela napas panjang. "Dari jauh aku datang ke mari, semata-mata untuk menjengukmu, Dik," katanya kemudian, "tetapi sekarang...." Sambil berkata demikian, si anak muda menuruni tangga loteng, jalannya sempoyongan. Eng Tay khawatir kawannya roboh, ia mengiringi tetapi tak berani ia memegangi. Sambil berjalan ia berkata: "Setiap hari aku membaca buku, kapan saja aku mendengar suara langkah kaki, ku kira Kakak datang; sekarang, Kakak datang, tetapi Kakak justru muntah darah merah..." "Tetapi tak apa, Dik. Bagiku cukup asal Adik senantiasa mengingatku...." Ketika itu Gin Sim dan Su Kiu berada di bawah loteng. Melihat si anak muda berjalan turun, perlahan-lahan, dengan tubuh yang agak goyah hingga perlu didampingi Eng Tay, mereka terperanjat saking herannya. "Tuan Muda!" ujar mereka memanggil. Mereka pun cepat mendekati. "Gin Sim, siapkan kudaku!" kata Eng Tay pada pembantunya. "Aku hendak mengantarkan Tuan Muda!" Gin Sim menyahut, terus ia berlari ke luar, untuk menyediakan kuda yang diminta. "Sudahlah, Dik, Adik tak usah mengantarkan aku," kata San Pek sambil memberi hormat pada Eng Tay. Eng Tay mengawasi pemuda itu, kedua matanya tergenang airmata. Ia membalas hormatnya. "Setelah sampai di rumah, Kak, kau baik-baik merawat dirimu," pesannya. "Kalau nanti kau sudah sembuh, harap kau datang lagi menjengukku...." "Asal aku tidak sakit, aku pasti akan datang lagi," sahut si anak muda. "Tetapi, kalau sakitku bertambah parah, aku khawatir tidak berumur panjang, mungkin aku tidak akan sanggup datang lagi." Ketika itu, mereka sudah turun dari loteng. Kala itu, matahari sudah doyong ke barat. "Jangan kau ucapkan kata-katamu itu, Kak," kata Eng Tay perlahan. "Akan tetapi, jika toh terjadi hal yang tidak baik, kau ingat dusun Ow-kio-tin di tepi sungai Yong-kang bukan" Nah, itulah tempat di mana kita nanti tinggal bersama-sama selama ribuan tahun. Semoga di sana dipasang sepasang batu nisan, yang satu bertuliskan 'Nio San Pek', dan yang satu lagi 'Ciok Eng Tay'. Aku...." Tiba-tiba, air-mata gadis itu mengucur deras. Ia tak sanggup meneruskan katakatanya. Di saat itu, dari luar terdengar ringkik kuda. Hati San Pek bagaikan hancur-luluh. Ia berkata: "Oh, dusun Ow-kio-tin menjadi tempat kediaman abadi kita selama ribuan tahun" Jadi Adikku sudi pergi ke sana...?" "Ya!" jawab gadis itu. "Telah ku putuskan, kecuali dengan Kakak, aku tidak akan menikah, sampai mati pun! Keputusanku ini tidak akan berubah! Asal Kakak telah memastikan memilih tempat itu, ke sana Adikmu akan pergi! Di sana kita akan terkubur bersama...!" "Pesanmu, Dik, akan pasti terlaksana!" sahut San Pek memberi kepastian. "Kalau benar aku tidak beruntung, akan ku pesan orang di rumahku agar membuatkan dua batu nisan di dusun itu, untuk menantikan kedatangan Adik di sana...." Eng Tay menangis terus, ia tak mampu lagi bicara. "Tuan Muda, mari kita pulang," kata Su Kiu. "Tuan Muda tidak sehat...." San Pek pun melipatkan kedua tangannya kepada Eng Tay. "Dik, aku berangkat katanya seraya memberi hormat. Eng Tay mengangguk, ia menyahut, "Ya," suaranya lemah. "Kak...." 15 Sepucuk Surat DI luar pintu pekarangan, Gin Sim sudah menyiapkan dua ekor kuda lengkap dengan pelananya. Ia menuntun kuda itu masing-masing di tangan kiri dan kanannya. Su Kiu, mendampingi San Pek, melangkah menghampirinya. "Adik Gin Sim, kau siapkan dua ekor kuda, untuk apa?" tanya Su Kiu. "Tuan Muda sedang tidak sehat, ia mesti lekas tiba di rumah," sahut orang yang ditanya, "maka itu kau dan Tuan Muda masing-masing naik seekor kuda. Kakak jadi tak usah berlari-lari mengikutinya." "Terima kasih! " kata San Pek seraya menerima seekor kuda. "Memang, dengan menunggang kuda, aku akan cepat sampai di rumah." "Kau baik sekali, Dik, terima kasih!" kata Su Kiu juga. "Lain hari aku akan mengantarkannya kembali." Gin Sim mengangguk. Ia tidak berani tertawa karena dilihatnya San Pek pucat-pasi, lemah sekali. Tetapi ia berpesan: "Tuan Muda, setibanya di rumah harap kirim surat memberi kabar." Anak muda itu hanya mengangguk. "Selamat jalan!" kata Gin Sim. Dan di lain saat, ia melihat mereka sudah pergi jauh. Tanpa banyak bicara, Nio San Pek bersama Su Kiu melakukan perjalanan pulang. Saat itu pertengahan bulan, perjalanan dapat dilakukan juga diwaktu malam. Dini hari San Pek sudah tiba di rumah. Su Kiu segera minta dibukakan pintu agar majikan mudanya bisa segera masuk ke dalam rumah. Nio Ciu Po, sang ayah, heran mendapatkan anaknya pulang di saat itu. Ia menduga telah terjadi sesuatu. Lekas-lekas ia keluar, untuk menemui putranya. Dan, San San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pek pun segera merebahkan diri di dalam kamarnya, wajahnya pucat sekali. "Ah, kau sakit, Nak?" tanya orang tua itu, bingung. Pemuda itu mengangguk. "Tidak apa-apa, Pa," sahut San Pek perlahan. "Aku masuk angin, besok pagi tentu sembuh." Ayah itu meraba kepala putranya, terasa panas sekali. Ia heran. "Nak, apakah kau pulang sebelum tiba di dusun Ciok?" tanyanya. "Sudah, sudah sampai, Pa." "Apa mungkin keluarga Ciok itu tidak ada di rumah?" tanya ayahnya. "Ada, Pa. Malahan aku telah bertemu dengan adik Eng Tay itu. Eng Tay sekarang sudah ganti wajah sebagai seorang wanita. Ia menyambutku dengan baik sekali." "Terus, apakah ada pembicaraan tentang perjodohan?" "Tentang perjodohan, panjang ceritanya, Pa. Besok saja kita bicarakan." Ciu Po sudah duduk di sisi tempat tidur, segera ia bangkit berdiri. Ia tidak bertanya secara rinci lagi karena tahu anaknya sedang sakit. "Baiklah," katanya. "Ku dengar ringkik kuda yang ramai - itu toh bukan seekor?" "Ya, dua ekor. Yang satu dipakai Su Kiu atas kebaikan adik Eng Tay." Hati ayah itu lega juga. Lantas ia bertanya, putranya ingin makan apa, tetapi San Pek menggelengkan kepala. Tak lama muncullah Kho-si, sang ibu. "Ah, anakku sakit!" katanya, melihat putranya yang lemas dan pucat. "Tidak apa-apa, Ma, besok pagi juga sudah baik," kata putranya. Ia masih mencoba tersenyum. Ketika itu Su Kiu muncul, segera ia berkata pada kedua majikan tuanya: "Bapak dan Ibu berdua sebaiknya kembali ke dalam saja, Tuan Muda sekarang perlu istirahat. Besok pagi kesehatan Tuan Muda tentu akan pulih kembali" Ayah dan ibu itu menurut, mereka mengundurkan diri. Seberlalunya kedua majikannya itu, Su Kiu menggeser bangku ke tepi pembaringan majikannya, untuk menemaninya tidur. Saking letihnya, San Pek tertidur, tetapi ia diganggu mimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan Ciok hian-moy, si adik perempuan yang cantik jelita dan berbudipekerti halus. "Hal-ihwalku ini harus ku jelaskan pada Papa dan Mamaku," pikirnya setelah mendusin. Karena bisa memutuskan demikian, hatinya menjadi lapang dan ia dapat tidur pulas. Ia tidak bermimpi lagi. Hanya, tidak lama kemudian ia sudah terbangun pula karena fajar telah tiba. Ia pun merasakan tubuhnya lemas, ia kaget! Sewaktu hendak duduk di ranjang, ia roboh pula! "Pulang dengan menunggang kuda, aku masih bisa," pikirnya, heran sekali. "Mengapa sekarang, setelah beristirahat dengan tidur, tenagaku habis" Ya, kepalaku pusing.... Su Kiu mendusin, ia mendengar suara keras robohnya sang majikan. Dilihatnya sang majikan itu sudah mendusin tetapi masih berbaring saja. "Tuan Muda kenapa?" tanyanya heran. "Aku tak bisa bangun," jawab sang majikan. "Coba kau bawakan aku air panas." Su Kiu lantas menggeser bangkunya, terus ia berlalu. Sementara itu, Ciu Po pun sudah bangun. Terlebih dulu ia melihat anaknya. "Anakku, bagaimana?" tanya ayahnya. "Mungkin aku sakit, Pa," jawab putranya. "Sungguh cepat.... Ayah itu mengawasi putranya, yang masih saja rebah, wajahnya pucat bahkan agak mengerut, kedua matanya suram. Pemuda itu tidak memakai baju panjang, hanya baju dalam warna putih. "Kalau begitu, perlu panggil tabib," kata ayahnya kemudian. "Boleh juga, Pa," kata pemuda itu, "tetapi mungkin tak ada gunanya.... "Apa katamu?" tanya ayahnya menegaskan. "Mengapa" Aneh!" "Sebentar, setelah Mama bangun, akan ku jelaskan," kata San Pek. Ciu Po tidak bisa menunda lagi. Di satu pihak ia menyuruh orang memanggil tabib, di lain pihak Ia membangunkan istrinya, memberi tahu bahwa putra mereka sakit. Su Kiu sementara itu telah siap dengan air panas. San Pek segera minum, namun, baru dua teguk, ia sudah menggoyangkan kepala. Diletakkannya cawan di atas meja. Waktu itu, Ciu Po dan istrinya muncul. Mereka segera duduk menghadap putra mereka, mengawasi dengan hati gelisah. "Nak, coba kau ceritakan sekarang," pinta ayahnya. San Pek, sambil berbaring, memperhatikan kedua orang-tuanya itu. "Ini benar-benar soal sulit, Pa," demikian pemuda itu mulai menutur. "Hal ini menyangkut kedua orangtua Eng Tay, tetapi keduanya tak dapat disalahkan. Di sini terlibat suatu kekuasaan...." Seterusnya San Pek menceritakan perihal Eng Tay telah dijodohkan dengan anak keluarga Ma dan bagaimana pertemuannya dengannya. Sebagai penutup ia berkata: "Maafkan aku, Pa, Ma. Kalau terjadi sesuatu atas diriku, sia-sia Papa dan Mama memeliharaku. Aku belum pernah menunaikan baktiku, aku sangat berdosa. Semoga di lain kehidupan aku dapat membalas budi Papa dan Mama...." Kedua orangtua itu tercengang, mereka sangat heran dan sekaligus berduka. "Rupanya demikian," kata ayahnya kemudian. "Tapi, Nak, kau jangan bersedih hati. Sekarang kau rawat saja dirimu, nanti setelah kau sembuh, kita akan pikirkan bagaimana baiknya." "Benar, Nak," ujar ibunya turut bicara. Ibunya pun sangat cemas seperti suaminya. "Mama akan membantumu sedapat-dapatnya. Sekarang jangan berpikir terlalu banyak. Bila terjadi sesuatu atas dirimu, bagaimana dengan Papa dan Mama ini" Ingat, kau masih muda, jangan sekali-kali kau putus asa." San Pek tak ingin ayah dan ibunya bersedih, ia meng-iya-kan saja. Namun apa mau dikata, hari demi hari penyakitnya bertambah parah. Sia-sia saja obat dari tabib, obat itu bagaikan tenggelam dalam samudera. Bahkan selewat lima hari kemudian, Ciu Po menyaksikan sakit putranya bertambah parah. "Kuda keluarga Ciok sudah dikembalikan atau belum?" tanya San Pek suatu kali. "Kuda itu harus dipulangkan. Aku pun ingin menyuruh Su Kiu pergi ke dusun Ciok. Aku ingin menyampaikan pesan pada adik Eng Tay." "Boleh saja kau sampaikan pesanmu itu, Nak," kata Ciu Po. "Kuda keluarga Ciok akan dikirim pulang." San Pek masih melayap, tetapi ia senang mendengar kata-kata ayahnya itu. Sejenak, ia dapat tersenyum. Kemudian ia berkata: "Pa, aku hendak menulis surat...." "Kau sedang sakit, Nak, tak perlu menulis surat," ujar ayahnya menasihati. "Cukup kalau Su Kiu saja disuruh untuk menyampaikan pesan." "Tidak apa, Pa," kata San Pek, yang terus menggerakkan tubuhnya untuk tengkurap. "Aku harus menulis surat." Ciu Po heran sekali, hingga ia hanya mengawasi putranya. Su Kiu cerdas, segera dia menyiapkan alat-alat tulis. Ia senang melihat majikannya sudah bisa duduk. Sebagai meja, ia sediakan sekeping papan. Lantas saja San Pek menulis. Demikian bunyi suratnya itu: "Kakakmu, San Pek, menyampaikan surat ini pada Adik, Eng Tay. Aku ingin mengutarakan sesuatu. Pertemuan kita di Hwe Sim Law membuatku merasa sangat beruntung. Tiga tahun kita sekolah bersama, tak tahu aku bahwa kaulah seorang wanita sejati. Dasar kakakmu yang tolol. Baru sekarang aku sadar. Di luar dugaaanku, telah datang lamaran keluarga Ma itu. Satu di selatan, satu di utara, mana bisa bertemu, bersatu" Demikianlah kesedihan, nasib manusia. Kesedihan kita, tak ada yang melebihinya! Adikku, kau menangis, tetapi Kakakmu hanya bisa merunduk, bersedih saja. Adikku, sekarang ini Kakakmu sedang sakit, dia tidak berdaya. Mengapa nasib kita begini menyedihkan" Empat hari sepulangku, setiap malam aku memimpikanmu, Adikku. Sia-sia belaka aku minum obat, obat bagaikan batu tercebur ke sungai dan tenggelam. Maka dari itu, Kakakmu kira, tak akan lama lagi Kakakmu hidup di dunia. Adikku, aku tahu adik mempunyai resep obat yang sangat mujarab, maka dari itu aku mengirim Su Kiu padamu, akan mohon resep obat itu. Semoga saja resep obatmu itu dapat menolong Kakakmu ini. Nah, Adikku, sekian saja suratku. Aku mengucapkan terima kasih sekali padamu. Kakakmu, San Pek Sehabis menulis, San Pek mengulang membaca suratnya itu, kemudian ia berkata: "Suratku ini, tolong kirimkan!" Ia meminta kertas tebal untuk menggulung suratnya. Kemudian surat tersebut diserahkan pada Su Kiu, yang dipesankan untuk menyampaikannya pada Eng Tay. Abdinya itu sudah tahu kewajibannya, ia tak perlu dinasihati lagi. Tetapi Nio Ciu Po, sang ayah, berkata: "Apakah surat ini dapat sembarang disampaikan" Tadi aku telah turut membaca isinya. Bagaimana kalau surat ini diketahui oleh ayah-bunda Nona Eng Tay" Apakah tak dikhawatirkan akan terjadi sesuatu nanti?" "Jangan khawatir," kata Su Kiu. "Abdimu tahu bagaimana surat ini harus disampaikan pada Nona Eng Tay." "Baiklah kalau begitu," kata Ciu Po, yang terus berpesan pada abdinya: "Kau harus berlaku hati-hati. Setelah dapat resep obat itu, simpanlah baik-baik. Apabila nanti Tuan Mudamu sembuh, kami sangat berterima kasih padamu!" Su Kiu mengangguk, ia berjanji. Kho-si, sang ibu, girang sekali mendapatkan putranya bisa menulis surat. Ia sampai tersenyum. "Kau harus menunggang kuda," kata Ciu Po pada Su Kiu. "Pasti Nona Eng Tay akan menulis surat balasan, kau simpan itu baik-baik, terutama resep obatnya. Mungkin esok pagi kau sudah akan tiba kembali!" Su Kiu meng-iya-kan, lantas saja ia berangkat. Majikan itu mengantarkan abdinya sampai di luar pintu. Su Kiu pergi dan segera menuntun dua ekor kuda. Seekor, yakni kudanya sendiri ia tunggangi, sebab ia harus pulang dengan cepat. Tak perlu dikatakan lagi bahwa ia bekerja dengan baik sekali. Ia mengenal si pengawal pintu keluarga Ciok, begitu bertemu ia memberitahukan bahwa majikannya sudah sampai di rumah dan sekarang ia mengembalikan kuda yang telah dipinjamkan oleh Nona Eng Tay yang baik hati itu. Pengawal itu menerima kuda tersebut, terus ia bertanya, apakah ada pesan buat nona majikannya. Su Kiu berdiri diam, ia tidak segera menjawab. Pengawal itu, yang sudah tua, mengerti. Maka ia berkata: "Sekarang ini Tuan Besar ada di rumah, tak baik kalau beliau mengetahui kedatanganmu ini. Sebaiknya aku langsung mengajakmu menemui Gin Sim, dan kemudian biarlah ia mengajakmu masuk menemui Nona." Su Kiu setuju, ia mengucapkan terima kasih sambil memberi hormat. "Kamu tunggu sebentar," kata si pengawal itu lagi,yang terus saja masuk. Segera ia telah kembali bersama Gin Sim. "Oh, Kakak Su Kiu, kau datang?" tanya nona pembantu itu. Dia girang sekali. "Bagaimana dengan sakit Tuan Muda?" "Sakit Tuan Muda bertambah parah, tetapi hari ini lebih baik," sahut Su Kiu. "Bagaimana dengan Nona?" "Nona justru sedang menantikanmu untuk mendengarkan keteranganmu!" kata Gin Sim, yang terus mengajak sahabatnya itu masuk ke dalam, langsung ke loteng. Maka segera Su Kiu bertemu dengan Ciok Eng Tay. "Apakah keadaan Tuan Muda Nio baik?" gadis itu langsung bertanya. Su Kiu memberi hormat dulu, baru ia menyahut: "Setibanya di rumah, Tuan Muda terus tidur. Tabib telah dipanggil, setiap hari Tuan Muda makan obat, akan tetapi tidak ada hasilnya, bahkan keadaannya semakin parah. Kali ini majikanku memerintahkan aku memulangkan kuda. Tatkala majikan tuaku menanyakan niatnya untuk mengirimkan pesan atau tidak, mendadak saja Tuan Muda dapat menulis surat untuk Nona...." "Oh, ada surat?" kata Eng Tay cepat. "Ya inilah suratnya," Su Kiu, yang terus mengeluarkan, surat majikannya dan diserahkannya pada gadis itu. Eng Tay mengenali surat San Pek, segera ia buka gulungannya dan membacanya. Mendadak saja, airmatanya berlinang. Tak sempat ia mengucapkan apa-apa. Su Kiu mengawasi gadis itu, Ia berdiri terpaku. Gin Sim pun diam di tempat. Eng Tay memperhatikan kedua pelayan itu. "Gin Sim, kau ajak Su Kiu makan," perintahnya. "Sebentar, setelah bersantap, kau ajak dia ke mari untuk mengambil surat dariku." Abdi itu mengangguk, lantas saja ia ajak Su Kiu mengundurkan diri. Eng Tay membaca lagi surat kekasihnya, lalu ia diam termenung matanya masih basah. Berulang kali ia menghela napas. Akhirnya ia pergi ke meja dan menulis surat. Beginilah bunyi suratnya: "Adikmu, Eng Tay, menghaturkan surat ini pada Kakak, San Pek. Begitu membaca surat kakak, airmataku mengalir. Aku mengerti setiap kata-kata Kakak. Mengenai kesehatan Kakak, aku hanya bisa mengharapkan semoga lekas sembuh. Tentang nasib kita lihat saja nanti. Kita pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun mengenai diriku, aku pasti tidak akan menikah dengan orang lain. Aku bersumpah! Kak, andaikata Kakak mesti meninggalkan Adikmu ini, selagi perjalananmu belum jauh, tunggulah aku. Aku akan pergi menyusul, sampai di alam baka. Adikmu bicara, malaikat menjadi saksinya. Kak, hatiku risau sekali, aku tak bisa menulis banyak-banyak. Maka ku harap Kakak berlaku tenang merawat diri baik-baik. Kak, terimalah hormat Adikmu ini, Eng Tay." Selesai menulis, Nona Ciok melipat dan menggulung suratnya itu. Ketika itu sudah waktunya menyalakan api. Gin Sim segera muncul untuk memasang lilin. Gadis itu lantas berkata padanya: "Ajaklah Su Kiu ke mari, aku hendak bicara dengannya." Gin Sim menurut, ia cepat turun dari loteng, tetapi segera kembali lagi beserta Su Kiu, si sahabat abadi "Aku telah selesai menulis surat," kata Eng Tay pada abdi sahabatnya. "Ini surat balasanku. Setelah tiba di rumah kau serahkan suratku ini pada Tuan Mudamu, katakan juga bahwa aku sangat memperhatikan sakitnya, mengharapkan agar ia merawat diri baik-baik. Setelah sembuh, kita akan bertemu lagi. Tetapi kalau...." Mendadak saja gadis itu menghentikan ucapannya. Ia duduk terpaku. Ketika sesaat kemudian ia berdiri, ia berpegangan pada meja, San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tubuhnya bergetar. Bahkan lantas saja airmatanya menitik... Su Kiu hanya mengawasi gadis itu, ia tak berani berkata. Gin Sim sangat terharu, ia menghampiri nona majikannya. Ia berkata perlahan: "Non, Tuan Besar baru saja pulang, kita tak boleh bicara keras-keras. Nona mau berpesan, apa lagi pada Kakak Su Kiu, agar dia bisa cepat-cepat pulang?" Tidak ada lagi pesanku," jawab Eng Tay sambil mengusap airmatanya. "Semua telah ku tulis dalam suratku." Sambil berkata-begitu, Eng Tay menyerahkan suratnya pada abdi sahabatnya. Su Kiu menerima surat itu, terus ia simpan dalam bajunya. "Ada pesan apa lagi, Tuan Muda Ciok?" tanyanya. "Saya hendak segera pulang." "Sebaiknya berangkat nanti saja setelah kau istirahat dulu," kata Eng Tay. "Kau telah melakukan perjalanan jauh, kau pasti letih sekali." Su Kiu lantas memberi hormat, terus ia mengundurkan diri. Gin Sim mengantarkan ke luar karena ia khawatir sahabatnya itu salah jalan. Sambil berjalan, melihat tidak ada orang di tempat itu, perlahan Su Kiu berkata pada pengantarnya itu: "Kalau Tuan Mudaku tidak beruntung, bagaimana dengan Tuan Muda Ciok, eh, Nona Ciok?" "Entahlah, sukar dikatakan," kata Gin Sim. "Tapi aku tahu watak Nonaku." "Aku dapat mengerti sikap Nonamu," kata Su Kiu. "Lalu, bagaimana dengan kita?" Gin Sim tertawa. "Tidak apa-apa!"jawabnya. "Eh, aku bicara sungguh-sungguh!" "Nonaku sedang dalam kesulitan, mana ada waktu buat kita bicara?" "Kalau sampai ada waktu, aku khawatir kau sudah tidak berkuasa lagi atas dirimu." "Terus bagaimana sekarang?" Su Kiu menggelengkan kepala, ia menarik napas panjang. Ketika itu mereka sudah sampai di pintu depan, penjaga pintu mengundang Su Kiu agar bersantap lebih dulu. Katanya, hidangan sudah sedia. Abdi San Pek itu menampik, tetapi ia minta diberi kesempatan untuk berbaring guna istirahat sejenak. "Hus, perlahan!" kata Gin Sim mengingatkan. "Adik Gin Sim, masuklah, mungkin Nonamu memerlukanmu." Abdi itu mengawasi Su Kiu, ia tidak berkata apa-apa, hanya sambil merunduk, ia lantas kembali ke dalam. Su Kiu mendapat tempat untuk berbaring, tetapi ia kepulasan hingga si pengawal membangunkannya. Sehabis minum, segera ia berangkat. Seperti waktu pergi, waktu pulangnya ini ia melarikan kudanya dengan kencang. Maka dengan cepat ia pun tiba di rumah. Baru saja ia sampai, Nio Ciu Po,majikannya sudah menemuinya sambil bertanya: "Apa ada surat balasan dari Nona Ciok?" Abdi itu menyahut "Ya" sambil segera mengeluarkan surat Eng Tay. Ciu Po menerima surat itu, terus ia buka dan membacanya. Lantas saja ia menarik napas dan berkata perlahan: "Gadis itu benarbenar baik sekali, tetapi San Pek, anakku...." Tepat pada saat itu dari jendela terdengar suara putranya: "Pa, Papa bicara dengan siapa" Apakah Su Kiu sudah kembali?" "Ya, Tuan Muda!"jawab sang abdi mendahului majikan tuanya. "Ya, Nona Ciok juga membalas surat..!" Ciu Po menggulung lagi surat Eng Tay dan menyerahkannya pada Su Kiu, dan abdi ini segera berlari masuk ke dalam, langsung ke kamar San Pek. Ketika itu si tuan muda sedang rebah dengan separuh berselimut. Ia segera mengulurkan sebelah tangannya seraya mengucapkan pertanyaan yang lemah dari mulutnya: "Mana suratnya?" Cepat sekali Su Kiu menyerahkan surat Eng Tay. San Pek menerima surat itu, bahkan dengan sangat cepat ia membukanya untuk dibaca. Setelah itu dia menghela napas, lalu mengeluh: "Inilah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, apa mau dikata?" 16 Permintaan Terakhir NIO Ciu Po menyusul masuk ke dalam dan sempat melihat putranya melemparkan surat Eng Tay. Ia sangat berduka dan menghela napas. Tapi toh ia bertanya: "Bagaimana isi surat itu?" "Isi suratnya?" putranya balik bertanya. "Ah, sudah terlambat.... Kasihan dia! Karena di zaman ini sudah tiada harapan, biarlah kami menanti di zaman lain saja." Habis berkata demikian, sambil berbaring si tuan muda memperhatikan Su Kiu. Ciu Po memungut surat itu lantas ia berpaling pada pelayannya. "Kau telah pergi ke dusun Ciok, sekarang coba ceritakan semuanya...." Ketika itu Kho-si muncul, ia pun ingin sekali mendengar penuturan abdinya. "Penyambutan di sana baik sekali," kata Su Kiu, yang terus saja dengan sabar menyampaikan ceritanya, khususnya tentang kesedihan Eng Tay. "Memang, kecuali Paman Ciok, semua orang di sana baik sekali," kata San Pek. "Tetapi, Paman Ciok juga tidak dapat disalahkan. Siapa suruh dia lahir di zaman seperti ini, hingga ia terpengaruh oleh harta dan kekuasaan! Selesai berkata demikian, San Pek menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia pun bergolek miring. "Oh, Anakku," kata Kho-si "Kau tulis surat, kau harapkan surat jawaban, sekarang surat balasan sudah datang, kenapa kau tidak gembira. Mengapa?" "Surat balasannya ada di sini, akan ku bacakan supaya kau tahu," kata Nio Ciu Po. "Su Kiu juga boleh turut mendengar." Tuan majikan ini membaca, di dekat jendela. "Ah, gadis itu bisa berpikir demikian, sungguh luar biasa!" kata Kho-si. Tetapi, ketika mendengar "janji" Eng Tay yang akan "menyusul ke alam baka," nyonya ini menangis. Ia sangat terharu, ia kagum terhadap Eng Tay. Namun kemudian ia berkata pada putranya: "San Pek, Eng Tay benar. Kau harus baik-baik merawat dirimu." San Pek mengangguk seraya menyahut "Ya." Tetapi, kemudian ia terus tidur. Sementara itu, Su Kiu berdiri terpaku, airmatanya berlinang. Ciu Po menggulung surat itu, lalu diselipkannya di bawah bantal. "San Pek sudah tidur, mari, kita pun beristirahat," katanya kemudian mengajak istrinya. "Di sini biar Li-so 28 yang menjaga." Ternyata mereka tak bisa beristirahat. Kho-si gelisah. Dia tak tenang, ada saja yang dirisaukannya. Sering ia menatap langit atau melongok pemandangan alam di luar, bahkan juga pergi ke dapur, memikirkan masakan untuk putranya. Kemudian ia teringat sesuatu, maka dipanggilnya Su Kiu agar datang padanya. "Tuan Mudamu sekolah bersama Ciok Eng Tay, sekolah bersama selama tiga tahun, apakah benar ia tak tahu sama sekali bahwa kawannya itu perempuan?" tanyanya kepada abdinya itu. "Nona itu menyamar dengan sempurna sekali, kami benar-benar tidak tahu," jawab Su Kiu. "Bahkan aku pun, tak tahu bahwa si Gin Sim pun ternyata perempuan...." "Apa mungkin Tuan Mudamu tak tahu sama sekali?" "Memang Tuan Muda tidak tahu sedikit pun.". "Tuan Mudamu adalah anakku, pasti aku percaya dia," kata Kho-si kemudian. "Sekarang ia sakit begini rupa, bagaimana jadinya" Apa dayaku...?" "Abdimu ini orang bodoh, bagaimana kalau kita tulis 28 Hian-moy aninya "adik perempuan yang bijaksana". surat pada Ma Thay-siu?" kata Su Kiu. "Kita jelaskan tentang hubungan Tuan Muda dan Nona Ciok, lalu kita minta pihaknya membatalkan lamarannya supaya Tuan Muda bisa menikah dengan Nona Ciok. Atau kalau dia menolak, kita tegaskan saja bahwa Nona Ciok sudah bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun, hingga kalau pernikahan putranya dilangsungkan juga, akhirnya akan sia-sia saja?" Kho-si ragu-ragu. Justru saat itu muncul Ciu Po seraya menggoyangkan tangan. "Tidak, mana bisa!" katanya. "Tidak mungkin pihak Ma mau mundur. Kita harus berusaha sendiri. Paling benar bila kita rawat dulu San Pek, setelah ia sembuh, baru kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Kita bujuk saja anak kita agar dia bersabar. Surat Nona Ciok pun masih memberi sedikit harapan...." Kho-si tidak bisa berbuat lain. Maka ia terus merawat dan menjagai putranya. Bantuan tabib telah diusahakan. Tetapi, sia-sia saja San Pek minum obat. Dia terus tidur, tetapi otaknya bekerja, terus mengenang Eng Tay. Ia bermimpi. Sebuah perhentian berbentuk segi enam, terlindung oleh daun-daun dan cabang-cabang pepohonan. Di sana, San Pek berjalan-jalan seorang diri. Di situ ada sebuah pohon mawar berbunga merah muda, indah sekali di antara daun-daunnya yang hijau tua. Dijalan besar, beberapa orang sedang berlalu-lalang. San Pek ingat, itulah kampung Paman Ciok, hanya bedanya, di sana ada tanaman mawar itu. Justru ketika ia mengawasi pohon bunga itu, tiba-tiba Eng Tay muncul berdandan seorang wanita. Ia heran hingga ia berseru: "Dik, Adik!" "Kakak Nio!" jawab gadis itu." Adikmu sangat memikirkanmu, maka, walau penjagaan sangat keras, aku toh ke luar juga dan datang ke mari.... "Kau hebat, Dik," kata San Pek. "Lalu, sekarang bagaimana" Kini kau akan pergi ke mana?" "Lebih jauh meninggalkan rumah, lebih baik," jawab Eng Tay. "Sekalipun ke gunung dan laut, harus pergi juga!" San Pek tertawa. "Bagus!" serunya. "Tempat ini, kau lihat, tempat apakah, dan di mana?" Pengelana Rimba Persilatan 4 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Pendekar Pedang Sakti 1