Ceritasilat Novel Online

Sengatan Satu Titik 1

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 1 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sengatan Satu Titik Karya : Gedungsongo di Indozone Ebook oleh : Dewi KZ TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ Huruf, rentetan Kata, dan gerbong-gerbong kalimat adalah sebuah dunia tersendiri, sama halnya seperti cersil. Ia tegak bukan karena kita harus menerimanya sebagai mau tidak mau, ia ada karena kita menginginkannya dan bersemangat didalamnya. Masuk dalam cersil, bagi saya, seperti masuk dalam dunia yang penuh harapan, hal tak terduga, dan asik. Ia mungkin khayal, tapi karena kita terus menapakinya, ia seperti garis meredian, yang semu, tapi sekaligus tak bisa dilupakan. 0odwo0 Bab I, Naik ke surga dalam 30 hari Wajahnya dingin kaku. Sikapnya acuh tak acuh. Segala apa tidak diperdulikannya, segala apa tidak dipusingkannya. Bukan saja amat jarang berbicara, bahkan mendongakkan kepala pun rasanya amat berat. Tapi sekalipun ia tidak terlalu suka berbicara, sepasang kakinya jarang sekali diam. Berjalan adalah pekerjaannya, nafasnya, bahkan hidupnya. Cara berjalannya juga rada-rada istimewa. Langkah kakinya tidak terlalu cepat, tapi sangat lebar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Karena ia sangat suka berjalan, maka ia juga tidak punya rumah. Rumahnya adalah dimana bumi ini menghampar, dimana langit memayungi. Sepasang matanya hanya terbuka setengahnya saja. Tapi dari sepasang mata yang kelihatan redup itu seolah - olah tersimpan sembilu. Bagaikan mata golok yang terendam dalam selapis sinar kedukaan. Melihat kerut di keningnya, sinar redup di matanya dan badannya yang kurus kering, orang tidak akan menyangka kalau dia baru berusia dua puluh tujuh tahun. Kini ia sedang berdiri di depan sebuah jembatan sungai. Banyak orang yang lalu lalang di atas jembatan itu. Ada beberapa adalah para muda - mudi tapi kebanyakan adalah bapak dan ibu - ibu paruh baya. Tampaknya mereka adalah penduduk desa yang sedang berangkat ke pasar. Namun semua itu tak di acuhkan oleh pemuda itu. Sikapnya tetap menyendiri, namun kali ini matanya tajam menatap lekat lekat ke depan. Di seberang jembatan itu, beberapa ratus tombak ke depan sana menjulang satu puncak kebiru-biruan. Dengan awan putih yang menggantung di bagian puncak, petak - petak sawah yang terpeta samar - samar, membuat lereng Sindoro ini bagaikan satu pasak teguh. Melambangkan kekukuhan, kegagahan juga kesederhanaan. Pemuda itu menghembuskan nafas panjang. Perlahan lahan matanya mulai meredup. Sudah setengah harian ia berdiri di sana. Selama ini sebenarnya ia tidak pernah ragu untuk melangkah. Tempat apapun, baik itu kandang naga atau gua harimau tidak sedikipun menyurutkan langkahnya. Sekalipun di depannya adalah lautan api, tidak akan membuat matanya berkedip. Tapi sekali ini ia terpaksa menahan langkahnya. Di depan sana adalah desa tempat asalnya, tanah kelahirannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekalipun merupakan bumi dimana dia tumbuh, tempatnya bermain, bercengkrama, tapi juga adalah tempat yang menorehkan luka panjang di hatinya. Luka yang benar - benar amat parah. Sebenarnya ia sudah bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya ke atas sejengkalpun tanah desa ini. Dan ia pun tidak pernah bermaksud untuk menarik sumpahnya. Tapi masa hidupnya tinggal tiga puluh hari lagi. Racun Naik ke surga dalam 30 hari terlalu ganas untuk dipunahka dengan obat apapun. Benar ia tidak pernah gentar menghadapi kematian, ia juga sudah tidak merasakan hidupnya di dunia ini berarti. Tapi sebelum mati setidaknya ia ingin sekali saja melihat pusara ibunya. Sekali saja ia ingin mengunjukkan kebaktian yang terakhir terhadap orang yang melahirkannya itu. Perlahan - lahan ia melangkah ke depan. Pakaian lusuh yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Angin pegunungan yang sejuk. Lamat - lamat sejalur udara segar mengusik dadanya. "Ki sanak ...... tolong berhenti dulu. " Pemuda kita sejenak menghentikan langkahnya. Tiga langkah di depan berdiri tiga orang anak muda berpakaian pengawal dengan masing - masing menyoreng golok. "Ki sanak agaknya bukan penduduk desa sini?" Tanya salah seorang pengawal itu yang bertubuh gemuk. "Benar" jawab pemuda itu sambil menghela nafas. "Siapakah nama ki sanak?" Pemuda kita sedikit tersenyum, "Apa setiap orang yang lewat di desa ini harus menyebutkan nama?" Pengawal gemuk itu sedikit mengerutkan kening, "Setengah bulan ini keadaan tidak begitu aman, rampok dan maling meraja lela, untuk ini kami perlu sedikit berhati - hati terhadap orang asing yang lewat." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pengalihan wahyu keprabon dari majapahit ke demak tidak dapat di sangkal walaupun merupakan hal wajar sebagaimana yang terjadi antara kerajaan satu dengan kerajaan yang lain sejak berabad - abad yang lalu tapi juga menimbulkan kesempatan baik bagi pihak - pihak yang ingin mengail di air keruh. Pemuda kita menjawab, "Aku bahkan tidak membawa sepotong pisau pun, apa kau sangka aku akan merampok atau mencuri?" Tiba - tiba salah satu pengawal itu tertawa, "Di dunia ini memang tidak pernah ku lihat penjahat yang memasang merek di mukanya" "Aku tidak berniat buruk, untuk ini bolehlah kepalaku sebagai jaminannya." "Memangnya kepalamu itu berharga berapa duit" Lagi pula sekalipun kau tidak ada niat jahat, tapi desa kami juga tidak biasa kedatangan kawanan pengemis segala" jawab pengawal yang otot - ototnya kelihatan menonjol keluar. Pemuda kita mengerutkan kening, otot - otot di matanya sedikit berkedut tapi sedetik kemudian wajahnya kembali dingin tanpa ekspresi. Setelah menghela nafas, ia bermaksud membalikkan tubuh. Tiba-tiba terdengar derap kuda. Beberapa ekor kuda mendatangi dari sebelah depan. Mulanya beberapa kuda itu akan terus saja keluar dari batas desa, tapi begitu seorang yang mengendarai kuda putih besar melihat pemuda kita seketika ia menarik tali kekang kudanya. Dengan sendiri beberapa orang di belakangnya juga turut menghentikan kudanya. Ketika kuda putih itu berhenti di depan gardu pengawal seketika ketiga pengawal itu membungkukkan badan mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seorang tinggi besar yang duduk di atas kuda putih itu sedikit menganggukkan kepala, lalu matanya lekat - lekat mengawasi pemuda kurus kering itu. "Kau........apakah Aryadipaloka?" tanyanya setengah tergagap. Ketika mendengar nama ini seketika ketiga pengawal itu juga melengak. Aryadipaloka adalah anak dari Demang mereka. Kabarnya tujuh tahun lalu ia bertarung sendiri dengan Ayahnya. Sekalipun pada pertarungan itu ki Demang mengalami luka berat terbabat golok, tapi tiga jari Aryadipaloka sendiri juga terpapas keris. Ketika ketiga pengawal itu diam - diam mengamati jari jari pemuda kurus kering itu benar saja pada tangan kanannya tinggal tersisa dua jari. "Kau....benar - benar Aryadipaloka?" Pemuda itu yang memang adalah Aryadipaloka hanya terdiam. Tidak menyangkal juga tidak mencegah. Wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Betapapun luka perih pada tujuh tahun yang lalu tidak dapat di lupakannya. Setelah yakin dengan matanya segera laki -laki paruh baya tinggi besar itu meloncat turun dari kudanya. Lalu dengan air mata berlinang dipegangnya ke dua bahu Aryadipaloka. "Akhirnya kau pulang. Aku tahu kau pada akhirnya akan pulang......" ucap ki Demang Kebo Sora setengah berbisik. Ekspresi wajah Aryadipaloka tetap dingin kaku. Sama sekali tidak memperlihatkan suatu emosi. Bahkan pokok kayu yang tumbuh di tepi jalan itu sedikitnya masih lebih berperasaan dari pada ekspresi wajahnya. "Aku tidak mengenalmu" Itulah kalimat pertama yang diucapkannya. Kalimat yang membuat hati K i Demang remuk redam. Meskipun benar pada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tujuh tahun yang lalu ia tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga sampai bertarung dengan putranya ini, namun kasih sayangnya sebagai Ayah lambat laun mengikis hawa amarahnya. Tidak ada seorang Ayah yang benar - benar membenci putranya, seperti juga tidak ada gulungan awan yang benar - benar menutupi langit. Setelah mengatakan satu kalimat ini, dengan langkah lebar Arya berbalik meninggalkan tapal batas kademangan dipa saloka. Beberapa orang lantas saja memperlihatkan wajah gusar. Mereka hanya melihat punggung Arya yang kurus kering, langkahnya yang lebar, wajahnya yang dingin kaku. Tapi tidak ada yang memperhatikan bahwa tiba - tiba saja matanya berkedut, bahkan dirinya sendiri pun tidak ingin memperhatikannya. Sepasang tangan Ki Demang terkepal kencang. Mendadak ia pun menyadari satu hal. Untuk beberapa hal, satu kesalahan yang kau buat cukup untuk membuatmu menyesal seumur hidup. Ia paham benar perasaan yang berkecamuk di dada anaknya. Maka ia pun tidak mengejar putranya itu. ~dewikz~ Rembulan bersinar penuh. Malam ini adalah malam purnama. Lembutnya sinar bulan membias di hamparan air telaga. Arya tersenyum. Telaga ini masih seindah dulu. Ia ingat, setiap malam purnama ibunya akan mengajaknya menikmati cahaya rembulan di tepi telaga ini, bersama dengan adik perempuannya. Mendengarkan cerita tentang si tolol yang meceburkan dirinya ke dalam telaga karena ingin meraih bulan. Maka ia menamakan telaga ini sebagai telaga Bulan. Sewaktu ibunya menceritakan hal ini, ia dan adik perempuannya akan tertawa tergelak. Lepas dari segala kesedihan, susah dan berbagai perasaan tidak enak lainnya. Tetapi sekarang, sekalipun telaga masih seindah dulu, tapi hatinya sudah tidak senyaman dulu. Saat ini yang dirasakannya hanyalah sesuatu yang sama sekali tidak enak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tiba-tiba pucuk alang-alang di depan sana bergerakgerak. Lalu telinga Arya mendengar langkah-langkah halus. Seperti seekor kucing yang berjalan di atas atap. Arya tahu ada seorang berkepandaian cukup tinggi sedang mendatangi. Bukan saja ilmunya cukup tinggi, ilmu ringan badannya bahkan boleh di bilang kelas satu. Tapi Arya bahkan tidak memalingkan wajahnya. Pengalaman telah membuat Saraf-saraf di tubuhnya tergembleng lebih kuat dari baja. Sekalipun tiba-tiba muncul seekor naga berkepala dua belas, matanya bahkan tidak akan berkedip. Langkah - langkah halus itu berhenti 4 meter di belakangnya. Mendadak satu jalur dingin dirasakannya menusuk punggung. Tanpa menoleh pun Arya tahu sebatang pedang dengan tenaga yang menakutkan menyerang punggungnya. Kalau orang lain di serang demikian maka ia akan melenting ke atas, lalu mendarat berbareng dengan membuat serangan balasan. Tentu saja Arya tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi entah kenapa ia malah tidak melakukan satu gerakan pun. Seakanakan ia adalah seorang tuli. Padahal, bahkan seandaianya ia seorang tuli pun ia seharusnya mendengar deru angin serangan itu. Menunggu ujung pedang itu tepat menyentuh punggungnya, tiba-tiba pinggangnya tertekuk ke depan. Hanya lewat satu inci mata pedang itu lewat di atas punggungnya. Ini adalah gerakan luar biasa. Membutuhkan keberanian dan ketepatan akurasi. Tapi dengan membuat gerakan ini Arya sama saja melemparkan dirinya dalam satu sudut mati. Waktu itu ia sedang duduk. Dengan melakukan gerakan seperti ini sama saja ia membuka punggunya lebar lebar dan menutup ruang geraknya. Penyerang gelap itu tampaknya tidak mengira Arya akan melakukan gerakan seperti ini. Maka untuk sedetik pedangnya berhenti di udara sebelum tiba - tiba menebas kebawah. Tapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ia telah terlambat, dan keterlambatan inilah yang diinginkan Arya. Waktu satu detik baginya lebih dari cukup untuk mengubah titik balik. Mendadak dengan masih membungkuk tubuhnya melesat ke belakang, lalu dengan satu sentilan pelan di badan pedang ia sudah membuat penyerang gelap itu terpaksa melepaskan pedangnya. "Ih.." satu jerit tertahan terdengar. Suara seorang perempuan. Sentilan pelan dari Arya telah membuat tangan kanannya kehilangan tenaga, bahkan separo badan bagian kanan juga terasa mati rasa. Sementara itu entah sejak kapan bergerak Arya sudah duduk kembali ke tempatnya semula. Ekspresi wajahnya juga Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak mengunjukkan suatu perubahan. Seakan - akan tidak pernah terjadi sesuatu. Matanya masih lekat memandangi air telaga. "Kakang Arya......", suara yang bening lembut mengusik gendang telinga Arya. Mendengar panggilan ini otot - otot di sekitar mata Arya tiba-tiba berkedut. Sedetik kemudian kepalanya berpaling. Sekilas senyum terbentuk di wajahnya yang pucat. "Dewi........kaukah?" "Ini aku kakang......." Jawaban ini hampir berupa isak tangis. Seorang gadis dua puluhan berdiri empat kaki dari tempat Arya duduk. Gadis itu yang wajahnya bagai kuntum bunga mawar yang sedang mekar, dengan sepasang mata bulat bening. Benar - benar seperti bulan purnama yang mengambang di telaga. Satu jalur embun tampak terpeta di ujung ke dua matanya yang bulat bening. Sekalipun malam cukup gelap, tapi Arya dapat melihat dengan jelas sepasang mata yang bulat bening itu. Sepasang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mata yang bersinar manja. Sepasang mata yang hampir tidak berbeda dengan matanya sendiri. Karena inilah adik kesayangannya. Selang sejenak kemudian sepasang kakak beradik ini sudah duduk berdampingan di pinggir telaga itu. "Kakang....sudah hampir tujuh tahun kau meninggalkan kami. Waktu kau baru pergi dulu setiap hari aku selalu mencarimu kemana - mana. Tapi tidak peduli kemana ku cari, bahkan sebatang rambutmu pun tidak ku temukan. Lalu orang - orang mengatakan kau ....." "Sudah mati".....", sahut Arya sambil tersenyum. "Ya...mereka mengatakan kau terluka berat karena terkena keris Ayah. Lalu ada orang menemukan mayatmu yang tercabik - cabik bekas dimakan harimau di tepi hutan sebelah sana" tutur Dewi. Arya hanya tersenyum. "Sebenarnya kau kemana selama ini?" Tanya Ratno Dewi sambil berpaling memandang wajah kakaknya. Wajah yang kurus dan pucat, walaupun sorot matanya kelihatan lebih hangat. "Aku tidak kemana - mana. Aku hanya berjalan - jalan" "Jalan - jalan...?"" "Ya....kau tidak percaya?" mata Arya berkedip - kedip. Sikapnya seperti seorang kakak yang menyembunyikan gulagula di belakang bajunya. Ratna Dewi sejenak menatap kakaknya, sebelum akhirnya tertawa, "Kalau toh kakang tidak mau memberitahukan cerita perjalananmu itu juga buka soal, Cuma setidaknya kau harus memberikan oleh - oleh kepadaku" Arya tertawa, "Anak nakal, sedang baju saja harus ku tambal beberapa puluh kali, apa yang bisa ku bawa untukmu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kalau kakang juga tidak membawa sesuatu untukku, maka kakang harus melakukan sesuatu untukku" ucap Ratna Dewi sambil melirik kakanya dengan ujung mata. "Dari dulu, apa permintaanmu yang tidak ku turuti?" "Baik......kalau begitu kau sudah meluluskan?" "Ehm....apa yang kau inginkan?" Ratna Dewi terdiam sejenak. Lalu sambil menatap mata kakaknya lekat - lekat ia berkata, "Aku ingin Kakang pulang ke rumah" Ucapan Adiknya ini membuat Arya melengak, untuk sesaat ia tidak berkata apa - apa. "Ingat.....kakang sudah berjanji meluluskan." Setelah agak lama terdiam, akhirnya sebuah senyuman kesal tersungging di bibir arya, "Sejak kapan kau berubah menjadi seekor rubah cilik" Ratna Dewi tertawa, "kakang harus ingat bahwa kakang sendiri adalah seekor rubah tua, lalu bagaimana adiknya tidak menjadi seekor rubah cilik?" _________ Rumah besar berbentuk joglo itu masih seperti dulu. Atapnya yang berbentuk sepasang tanduk banteng, tiang tiang yang hitam mengkilat. Dibawah siraman cahaya bulan, rumah joglo itu seperti menyimpan keangkeran dan aura gaib. Arya memandang rumah itu seperti terkesima. Itulah rumah yang memberinya kehidupan, menyuapinya dengan perasaan kasih, mengukir seribu kenangan di hatinya. "Kakang ..... ayo masuk" kata-kata Ratna Dewi menyadarkannya. "Kau masuklah terlebih dulu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kakang......" tidak sampai Ratna Dewi menyelesaikan kata - katanya mendadak terdengar suara derit pintu yang dibuka. Bersamaan sorot cahaya lampu yang menerobos keluar, satu sosok tinggi besar tampak menuruni undakan pintu. "Dewi...kaukah?" suara Ki Demang terdengar memanggil, "Cepatlah masuk...kau bersama siapa?" "Aku bersama......" Ratna Dewi bermaksud menjelaskan keberadaan kakaknya. Tapi ketika ia menoleh ia tidak melihat siapa - siapa lagi di sampingnya. Akhirnya dengan senyum kesal, ia memandang Ayahnya. "Tidak bersama siapa - siapa" Ki Demang hanya mendengus, "Kau pasti jalan - jalan bersama Mahesa Manunggal itu" Bola mata Ratna Dewi membelalak lebar, wajahnya segera merona merah, "Untuk apa aku berjalan - jalan dengan orang itu?" omelnya dengan mulut menjengkit. Ki Demang tersenyum, "Sudahlah, dari dulu aku tahu diantara kalian ada apa - apa. Cuma kalau harus pacaran sampai larut malam begini betapapun kau juga harus ingat kedudukanku, apalagi keadaan akhir - akhir ini tidak begitu aman" Ratna Dewi tidak menjawab. Setelah menjejakkan kakinya berulangkali, dengan wajah merengut akhirnya Ratna Dewi masuk ke rumah joglo itu. Sinar bulan masih cukup terang menerangi hamparan desa. Meskipun demikian juga tidak cukup untuk menerangi sebuah bayangan hitam di balik atap rumah joglo itu. Sebuah bayangan yang memandang dengan sinar mata aneh. Seperti kedukaan, kerinduan, tapi juga dendam. Setelah Ratna Dewi masuk rumah, Ki Demang ternyata tidak ikut masuk. Ia hanya berdiri terdiam di halaman. Sosoknya yang tinggi besar di tengah kegelapan malam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bagaikan sebuah pohon tua. Sekalipun tampak sangat kuat dan kokoh, tapi juga kelihatan sangat tua dan lelah. Entah berapa lama lagi akar - akarnya masih akan kuat menahan terpaan badai dan angin. Setelah sekian lama berdiri diam di halaman, akhirnya perlahan - lahan Ki Demang melangkahkan kakinya. Tapi bukannya menuju ke dalam rumah sebaliknya ia berjalan ke arah pintu gerbang, lalu berbelok ke sebelah utara, memyusuri jalan setapak. Suara jangkrik dan belalang malam lainnya bercicitan tak henti - hentinya. Saat ini adalah akhir musim penghujan. Sebentar lagi musim panen akan tiba. Saat yang menggembirkan, juga saat yang menakutkan. Maklumlah, kalau ada gula tentu juga ada semut. Setelah menyusur petak - petak sawah dan beberapa kali memeriksa aliran air, akhirnya ki Demang tiba di sebuah tanah lapang. Di hamparan tanah lapang itu terbayang tanah tanah menonjol. Dua buah pohon beringin besar tegak di kedua sisi tanah lapang itu. Sebuah pemakaman. Setelah tiba di pemakaman, ki Demang segera melangkah ke sisi paling barat. Menuju ke sebuah makam yang tampak terawatt bersih, tapi juga sangat sederhana. Hanya letaknya yang berada di s isi paling barat itu membuatnya terbebas dari bayangan pohon beringin sehingga sinar bulan bebas menerangi ke seluruh sisi makan itu. Pemandangan yang menyiratkan rasa khidmat, keterlepasan dari dunia luar dan kesahajaan. Ki Demang berdiri di depan makam itu beberapa lama. Tubuhnya tidak bergerak, juga tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya suara nafasnya yang terdengar agak tersengal. Di tengah rasa khidmatnya tiba - tiba telinga Ki Demang mendengar suara nafas di sampingnya. Telinganya sangat tajam, reaksinya sangat cepat. Tanpa menunjukkan tanda tanda sebelumnya, tangannya melayang ke samping. Yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ digunakannya adalah sejenis ilmu cakar elang, sebelum serangan tiba angin yang di timbulkannya sudah berkesiur mengiris kulit. Si pengintip itu juga agaknya sudah menduga reaksi dari K i Demang. Begitu serangan tiba, seketika ia juga berjumpalitan ke atas, lalu dengan gerak burung walet meneguk air tubuhnya sudah hinggap di salah satu pohon beringin. Sepertinya tidak bermaksud melancarkan serangan balasan. Ki Demang tertawa dingin, "Sudah lama ku dengar nama kelelawar bersayap tunggal, tak tersangka sudi mampir di desa terpencil ini. Sungguh suatu kehormatan bagiku." "Matamu tajam Kebo Sora. Tampaknya kepandaianmu juga meningkat pesat." Sebuah suara yang serak menjawab. Suara yang keluar dari kerongkongan yang pecah. "Ilmu ringan tubuh kelelawar bersayap tunggal di sohorkan sebagai nomor satu di sepanjang Bengawan Solo, ku kira kau tidak perlu menjilat pantatku", kata Ki Demang dingin. Kelelawar bersayap tunggal tertawa panjang, "Otakmu benar - benar kau gunakan dengan baik Kebo Sora" Ki Demang kebo sora tertawa dingin, "kalau otakku tidak kugunakan dengan baik, mungkin sekarang ini akan merepotkanmu untuk membersihkan kuburanku" Sang kelelawar kembali tertawa panjang, "Baik, mengingat kau sudah lebih dahulu berprasangka, aku tidak akan sungkan mengatakan maksud tujuanku" Ki Demang hanya mendengus. "Tujuan kedatanganku ini hanya minta sedikit bantuanmu" Ki Demang masih terdiam. "Ku tahu bahwa kademanganmu ini termasuk kademangan paling kaya di wilayah pesisir utara sini. Sudah berpuluh tahun kau menikmati hasil kemakmuranmu itu........." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Lalu sekarang setidaknya aku harus membagi sedikit untukmu. Begitu bukan?" potong ki Demang. Kelelawar bersayap tunggal tertawa, "Kau toh sudah terlalu kaya, apa salahnya sekarang kau sedikit menghemat?" Ki Demang tertawa dingin, "Ku kira melulu kemampuanmu tidak akan sebesar ini" Mendadak tertawa panjang, melengking nyaring, mirip klenengan rusak yang dibunyikan keras-keras, "Otak Ki Demang benar-benar sehat dan terang" "Sekalipun otaknya cukup sehat, tapi kukira tangannya itu sudah tidak begitu sehat lagi", satu suara lain, yang cemprang dan terdengar menggelikan, terdengar dari sudut barat. Sekalipun suara orang ini terdengar lucu, tapi sekali kau melihat orangnya, pasti kau tidak akan sanggup tertawa lagi. "Sepasang dedemit bukit perahu juga datang. Sungguh hatiku senang tak terkatakan. Entah siapa tamu agung lainnya yang sudi berkunjung di Kademanganku yang terpencil ini. ", Suara Ki Demang tetap tenang dan dingin. Tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiran makhluk-makhluk menyeramkan ini. "Gabungan Sepasang dedemit bukit perahu dan Kelelawar bersayap tunggal memangnya tidak cukup untuk memampuskanmu dan perlu tambah orang lagi. " ujar Demit Laki-laki dingin. Ki Demang tertawa dingin, "Ya, memangnya rejeki kalau dibagi terlalu banyak orang akan menjadi tidak menarik lagi" "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas bunuh diri saja?" Bentak Demik Perempuan. Belum habis suaranya sebilah gaetan berwarna hitam gilap mendadak sudah berjarak beberapa senti dari leher Demang Kebo Sora. Angin mencicit tajam, bersamaan dengan itu bau amis membuyar. Terang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ selain sangat tajam, gaetan hitam itu juga dilumuri racun mematikan. Demang Kebo Sora mendengus dingin, kakinya tidak bergerak, mendadak tubuh bagian pinggang ke atas meliuk ke belakang seakan-akan tiba-tiba patah. Bersamaan dengan itu kakinya memutar. "Ihh..." Demit perempuan menjerit kaget. Tak disangkanya gerak tubuh Demang Kebo Sora benar-benar licin. Bukan saja sepasang cakarnya elangnya yang menderu dahsyat, bahkan tulang-tulang di tubuhnya pun serasa lemas bagai karet. Inilah perpaduan lemas dan keras yang hebat. Begitu gaetan hitam milik Demit perempuan menabas, tentu saja gaetan putih Demit laki-laki dan Payung Tulang Kelelawar tak ketinggalan. Dalam waktu singkat, tanah pekuburan itu jadi ajang pertempuran yang ramai. Selang beberapa kentungan kemudian, tiba-tiba Ki Demang bersuit nyaring, tubuhnya melompat tinggi. Dalam siraman sinar bulan, tubuhnya seperti elang raksasa yang mementang sepasang sayap cakar-cakarnya yang tajam. Bersamaan dengan itu puluhan batang anak panah tiba-tiba melesat dari berbagai sudut ke arah Kelelawar Bersayap Tunggal bertiga. Seketika ketiga orang ini menjadi s ibuk. "Keparat cari mampus", bentak Demit Laki-laki geram. Namun belum sempat ia menerobos maju, mendadak tempat itu jadi terang benderang. Puluhan batang obor dinyalakan, di pegang oleh sekitar lima puluh anak muda yang masing-masing juga menghunus sebatang pedang. Ditambah dengan orang-orang yang melepaskan anak panah, jumlah keseluruhan orang-orang yang mengelilingi tempat itu sekitar Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seratus lebih. "Lemparkan tepung" Teriak Ki Demang tiba-tiba. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Belum habis gema suara Ki Demang, tepung gandum pun menghambur layaknya kabur yang turun mendadak. Karuan keadaan ini tambah menyulitkan ketiga gembong perampok itu. Betapa pun tingginya ilmu silat seseorang, tapi dihujani dengan anak panah dari berbagai arah, dtambah sawuran tepung yang membuat pandangan mata terhalang, mau tidak mau pucat juga muka ketiga gembong perampok itu. "Setan..Aihh", Jerit Demit Perempuan tiba-tiba, rupanya sebatang anak panah bersarang telak di pahanya. "Sial", Geram Demit Laki-laki. Mendadak Kelelawar bersayap tunggal bersuit nyaring, "Kedua sahabat, maaf tidak bisa menemani". Dengan sampokan payungnya ia meruntuhkan delapan anak panah yang mengarah tubuhnya, lalu tubuhnya melesat melewati dua anak muda yang memegang obor, kemudian menghilang di pekatnya rimbunan pohon. Si Demit laki-laki, setelah sekali mengumpat, ia juga segera meraih pinggang Demit perempuan. Tapi belum tangannya menyentuh tubuh gendaannya itu angin yang berkesiur tajam menyambar punggunya. Dengan cepat ia membalikkan gaetaannya ke belakang. Tak tersangka serangan itu cuma tipuan, belum sempat ia menyadari, cakar elang Ki Demang menyambar tepat di leher Dem it Perempuan. Sekali terdengar suara "Kreek" tamatlah riwayat Setan perempuan itu. "Tarmi..", Demit Laki-laki berteriak kaget. Lalu dengan teriakan nyaring ia sudah menerobos barisan panah dan hilang di pekat malam. Sejenak kemudian areal pekuburan itu pun kembali senyap. "Berapa yang terluka?" Tanya Ki Demang setelah terdiam beberapa lama. "Lima orang terluka ringan," Jawab seorang pemuda bernama Pacak Warak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kening K i Demang berkerut, "Hanya terluka ringan?" "Memangnya belum cukup?" timpal Pacak Warak sambil menyeringai. Ki Demang tersenyum maklum, "Sekalipun semua laskar menggunakan rompi baja, tapi melihat terjangan kedua siluman itu sedikitnya harus ada beberapa orang yang mati" Seorang tua dengan sepasang lengan kokoh mendahului menjawab, "Kau benar, Cuma ketika kedua iblis itu menerjang terjadi suatu kejadian menarik" Kening Ki Demang kembali berkerut, "Kenapa aku tidak melihatnya?" Orang tua itu, yang agaknya adalah Jagabaya Kademangan itu menarik nafas panjang, "Jangankan kau, sekalipun aku yang secara langsung diterjang oleh Demit Laki-laki itu pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya merasakan ketika gaetan putih itu hampir mencantolo leherku tiba-tiba Demit Laki-laki itu menjerit kaget. Lalu gaetan putihnya mendadak terjatuh. " "Senjata rahasia yang lihai", puji K i Demang. Maklum orang yang dapat menjatuhkan gaetan putih Demit Laki-laki dengan senjata rahasia tidaklah banyak di dunia ini. Mulut Ki Jagabaya tersenyum aneh, "Sesungguhnya tidak pantas kalau disebut senjata rahasia, melainkan hanya sebatang ranting kecil saja" Ki Demang segera melihat bahwa di tangan kanan orang tua kepercayaannya itu tergenggam sebatang ranting yang agaknya di petik dari rerimbunan pohon akasia di seputar pekuburan. "Dengan sebatang ranting kecil ini dia sanggup memukul jatuh gaetan putih Demit Laki-laki. Di dunia ini ternyata ada ilmu s ilat sehebat ini", Gumam Ki Demang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Orang seperti itu ternyata kawan dan bukan lawan, sungguh membuatku lega", ujar Ki Jayabaya. Mata Ki Demang mengerling, "Dari mana kau tahu kalau dia kawan dan bukan lawan?" Mata Ki Jagabaya terbelalak bingung. "Kalau dia musuh, untuk apa dia membantu kita?", sahut Pacak Warak cepat. Ki Demang menghela nafas panjang, "Aku juga tidak tahu, mungkin dia pun berpendapat kalau keuntungan dibagi terlalu banyak akan menjadi tidak menarik lagi. Tindak-tanduknya yang sembunyi-sembunyi itu betapapun membuatku cemas, apalagi hari ini kita telah membunuh salah satu dedengkot penjahat. Hari-hari selanjutnya Kademangan kita ini mungkin tidak akan berlalu tenang" Mendadak Ki Jagabaya tertawa panjang, "Apapun maksudnya, boleh kita hadapi lain waktu. Ada hujan kita tampung, banjir bandang harus dibendung. Semalaman kita berjaga seperti tikus di tempat ini. Sekarang ini perutku sangat lapar, setidaknya harus gegares dua tiga potong ayam dulu baru bisa berfikir lagi" ~Dewi-KZ~ Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup indah dipandang. Terpasang secara panggung di sebelah jalan raya yang menghadap jurang batu kehitam-hitaman. Membelakangi tebing batu yang curam dan tegak kokoh. Jauh di bawah jurang terhampar area persawahan yang menghijau oleh padi dan berbagai palawija lainnya. Pemandangan yang menghijau itu menghadirkan aroma keindahan yang murni. Ya, di dunia ini hal apakah yang lebih indah dari menghijaunya padi di persawahan yang berisik oleh suara-suara kodok dan jangkrik. Angin bertiup semilir, menghidangkan rasa sejuk yang menyegarkan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Di depan bangunan panggung itu terpancak dua helai panji pancawarna yang berkibar pelan. Beberapa orang tampak duduk santai di beberapa meja dan kursi yang tertata rapi. Sekali melihat saja orang sudah akan tahu itulah Warung Jahe Pancawarna yang terkenal di delapan Kademangan besar. Bukan saja masyhur karena wedang jahenya yang pedas-pedas hangat dah spesial namun juga oleh pemandangan alamnya yang memukau. Saat ini hari masih pagi, matahari belum lagi naik sepenggalah. Hanya ada delapan sembilan orang yang duduk di panggung terbuka Warung Jahe pancawarna. Sepasang suami istri dengan pakaian khas kotaraja duduk di pojok sambil sesekali tersenyum penuh arti satu sama lain. Di sudut kiri seorang pendeta gundul dengan jubah kuning yang lebar komat-kamit sementara dihadapannya gelas bambu mengepulkan hawa hangat. Di sudut kanan membelakangi pintu, seorang kakek tua dengan tubuh bungkuk asyik memandangi hamparan persawahan sambil sesekali menyeruput wedang jahe di hadapannya. Kayu pikulan tersender di belakang kursinya. Selebihnya adalah tiga orang petani yang agaknya hendak berangkat ke sawah, dan seorang pemuda dengan muka pucat. Mendadak terdengar suara gemuruh, selang sejenak dari arah selatan sana terlihat belasan ekor kuda dilarikan kencang. Dilihat dari panji dan seragam yang melekat di tubuh masing-masing penunggang kuda itu, agaknya mereka adalah para prajurit kademangan Jatingaleh, salah satu kademangan diantara delapan kademangan besar di sebelah barat sungai Bengawan Solo. Begitu tiba di depan Warung Jahe Pancawarna orang terdepan dari rombongan berkuda itu mengangkat tangan kanannya. Seketika belasan orang itu sama menarik kekang tali kudanya masing-masing. Lalu dengan lagak tuan besar mereka segera naik ke panggung warung. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Beruntun beberapa belas orang itu segera menarik kursi dan meja melingkar menjadi satu kerumunan. "Pelayan, tuan besarmu sudah datang, kenapa tidak lekas membawakan arak ", teriak salah seorang dari rombongan berkuda itu. Seorang pelayan muda dengan kain tersampir di pundak segera mendekat, "Maaf tuan, kami tidak menyediakan arak, hanya ada wedang jahe dan aren" kata pelayan muda itu hormat. "Tidak menyediakan memangnya tidak bisa mencari", pendek kata kalau tidak ada arak, hehe..bisa-bisa tangan tuan besarmu ini akan kambuh gatalnya dan kalau tak sengaja menyentuhmu mungkin kau bisa cacat seumur hidup", Ujar salah seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan brewok dan cambang menutupi sebagian besar wajahnya. Kata-kata si brewok ini segera ditimpali gelak tawa terbahak-bahak dari teman-temannya. Wajah si pelayan segera pucat pasi. Beberapa bulan ini, delapan Kademangan besar memang sedang berebut pengaruh, akibat dari tahta keprabon yang belum goyang sehingga ikatan keamanan yang selama ini di kendalikan oleh Majapahit menjadi banyak memudar. Hal inji sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengail di air keruh. "Hhh...prajurit zaman sekarang memangnya sudah tidak doyan lagi wedang jahe, sehari-hari hanya minum arak saja. Seandainya tiba-tiba perutnya itu pecah karena terlalu banyak minum, entah rasanya sakit atau tidak?", gumangan ini sebenarnya tidak keras, tapi karena suasana pagi yang lengang dan panggung warung itu memang tidak terlalu besar maka gumangan ini terdengar hampir oleh semua yang ada, dan tentu saja juga beberapa belas prajurit itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Si Brewok yang agaknya pemimpin rombongan itu segera menggebrak meja, "Mulut siapa cari mampus?" "Hhh...mulutku ini biasanya hanya suka cari wedang jahe saja, Kalau mampus, hmk.. seumur hidup kakek tua ini belum pernah merasakannya. Entah mampus itu lebih enak dari wedang jahe atau tidak?" gumangan ini ternyata berasal dari mulut kakek bungkuk dengan kayu pikulan menyender di belakangnya itu. Melihat orang tua yang seakan-akan berdiri tegak saja payah itu si Brewok bergelak tawa, "Tua bangka mampus, memangnya kau sudah merasa hidupmu terlalu lama sehingga berani memaki kami?" "Hhh...siapa sih yang memaki, aku melainkan hanya bertanya saja. Kulihat tuan prajurit ini cukup sehat, tapi kenapa telinganya justru sedikit berpenyakit?" Kakek tua ini menggumang dengan pandangan mata tetap menatap segelas wedang jahe di depannya. "Hihihi....kukira tidak cuma telinganya saja yang berpenyakit" sahut wanita muda dengan pakaian khas kotaraja yang duduk berhadapan dengan suaminya sambil terkikik geli. Karuan si Brewok tambah geram. Mukanya semakin memerah. Bab II, Daun lamtoro di dalam otak kuda Beberapa teman si Brewok bahkan sudah ada yang menggenggam gagang golok. "Lagi-lagi mulutmu yang usil ini mengundang penyakit", timpal suami dari wanita muda tadi sambil menghela nafas panjang, "seorang lelaki kalau sudah beristri katanya hidupnya akan terlebih tenang, tapi yang kurasakan kehidupanku ini malah bertambah gaduh" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kakek tua itu mengatakan telinga prajurit brewok ini yang berpenyakit, kenapa kau malah mengatakan mulutku yang mengundang penyakit. Memangnya telingamu juga bermasalah", Omel wanita muda itu sambil mencibir. "Telingaku sih tidak bermasalah, justru kulihat masalah sedang datang ke meja kita", ujar sang suami sabar. "Memangnya kenapa kalau masalah datang" Aku toh tidak minta bantuanmu buat jadi pengawalku" Laki-laki dengan pakaian khas kota raja itu tersenyum, "Aku memang bukan pengawalmu. Aku melainkan cuma suamimu saja" Sementara kedua suami istri itu bercakap-cakap si Brewok perlahan-lahan mendekati meja di sudut kanan tempat Kakek Tua duduk. Tangan kanannya melekat di gagang golok. Dibawah sinar matahari yang kekuning-kuningan wajah si Brewok yang merah padam terlihat seperti arang yang membara. Si Kakek tua kelihatannya tidak menampakkan perubahan apapun, tapi entah sejak kapan kayu pikulan yang tadinya menyender di belakang kursi itu sudah terletak di pangkuannya. Di tengah suasana yang tegang dan setiap detik memungkinkan pecahnya pertempuran itu tiba-tiba terdengar gumangan seseorang, "Sinar matahari sehangat ini, sekalipun untuk memikul dua tiga batang rumput pun tak akan terasa," Suara ini meski mengandung kehangatan akan persahabatan seperti layaknya sinar matahari pagi, namun juga seperti terdengar dari selapis tirai kegetiran. Mendengar suara yang menarik ini si Nyoya muda tak tahan untuk mengerling sekejap. Di meja paling luar, yang terkena siraman sinar matahari paling banyak, si pemuda bermuka pucat terlihat sedang Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ termenung-menung memandangi kebul tipis dari gelas bambu di tangan kanannya. Pemuda ini, yang memakai pakaian layaknya pemuda dusun kebanyakan, tampaknya juga sangat rudin, Karena sejak tadi diam dan duduk di sebelah timur sehingga tidak seorang pun yang memperhatikannya. Tapi sekali diperhatikan, semakin lama semakin kelihatan menarik. Sekalipun mukanya pucat, tapi seperti menyimpan kegagahan yang jujur. Malah mukanya yang pucat itu seperti menampilkan kebeningan seperti permukaan sungai yang jernih. Meskipun tampaknya sangat rudin, namun tak memperlihatkan sikap yang meminta dan ingin dikasihani. Bahkan di bawah siraman matahari pagi yang kuning bersih, profilnya semakin terlihat gagah, namun juga lembut. Kata-kata yang barusan diucapkan si Pemuda ini seperti tidak berhubungan antara kalimat yang pertama dengan yang terakhir. Bahkan seakan tidak ditujukan kepada siapa pun. Tapi aneh, begitu mendengar perkataan pemuda ini si Brewok seketika menghentikan langkahnya, kedua matanya menatap lekat ke pikulan di pangkuan Kakek tua di hadapannya. Setelah termangu-mangu beberapa lama, mendadak ia tertawa, "Sepagi ini memangnya tidak cocok kalau dibuat bekerja terlalu keras, jangan-jangan nasi tiga piring yang kumakan tadi akan amblas tanpa sisa, padahal manusia kan juga tidak bisa makan rumput di tepi jalan. " katanya sambil berjalan balik ke meja teman-temannya. "Pagi-pagi begini kalau minum terlalu banyak bisa-bisa nanti kita terkencing-kencing di perjalanan" Ujar si Brewok lagi, "marilah kawan-kawan kita lanjutkan perjalanan saja" Mendengar perkataan si Brewok ini, yang agaknya adalah pemimpin mereka, sekalipun masih ada diantara prajurit itu yang tidak puas dan memelototi si Kakek Tua namun secara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ beruntun satu persatu mereka segera meninggalkan panggung warung. Ketika hendak menuruni tangga, sengaja tidak sengaja si Brewok melirik sekejap ke arah pemuda bermuka pucat. Ujung mulutnya tampak menampilkan senyum misterius. Tak lama terdengar suara berderapnya kaki kuda yang dilarikan. Setelah derap kaki kuda menghilang di ujung jalan, suasana kembali suny i. Mendadak si Kakek tua berdiri, dengan langkah tertatih ia berjalan ke arah meja pemuda muka pucat. Tangan kanannya menggenggam gelas bambu. Anehnya, sekalipun langkahnya tertatih-tatih seakan setiap waktu bisa terjatuh, namun wedang jahe yang mengepul di gelas bambu di tangan kananya tak tampak bergetar. Dengan tersenyum si Kakek tua menepuk ujung meja di hadapan pemuda itu, "Sobat cilik yang suka cahaya matahari pagi ini, entah sudi tidak beromong-omong dengan kakek ompong ini " "Silahkan," jawab pemuda itu ramah. Sikapnya tidak memperlihatkan penghormatan yang dibuat-buat, lebih terkesan hangat bersahabat. "Kebanyakan anak muda sekarang lebih suka gending dan tuak dari pada wedang jahe dan matahari pagi. Anak muda yang berselera seperti sobat cilik ini masa kini sudah teramat langka. Nah, marilah kita rayakan pagi ini dengan satu tegukan", Ujar Kakek tua itu sambil mengangkat gelas bambunya. Setelah minum satu tegukan si Kakek T ua kembali berkata sambil tertawa, "Otak tua ini kurasa sudah terlalu berkarat, sampai-sampai nama dari sobat cilik ini sudah tidak ku ingat lagi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Saya Arya dipaloka, " jawab pemuda itu yang memang adalah Arya. Si Kakek segera tertawa bergelak, "Kukira siapa, ternyata adalah ksatria muda yang baru-baru ini ramai dibicarakan, sungguh mujur sekali peruntunganku hari ini" "Ah...tidak berani" "Orang muda seperti kau ini terlebih sukar ditemukan dalam sejuta manusia. Mari kita minum satu tegukan lagi" Dengan ramah, Arya segera mengangkat gelas bambunya. Setelah habis satu tegukan mendadak si Kakek tua menghentikan tawanya, lalu bentaknya bengis "Bukankah kau yang dijuluki orang sebagai Sengatan satu titik satu nyawa, yang tiga bulan lalu menumpas habis perkampungan Ular Merah di pesisir utara?" "Benar," jawab Arya. Begitu mendengar pernyataan ini seketika semua orang mendongakkan kepalanya, menatap lekat-lekat ke arah Arya. Maklum peristiwa musnahnya perkampungan Ular Merah yang katanya dilakukan oleh seorang muda dengan seorang diri merupakan salah satu peristiwa paling menggemparkan dalam tiga tahun ini. Konon katanya sampai-sampai ayam dan kambing pun turut mati. Orang-orang di warung itu pun semakin heran mendengar jawaban Arya yang acuh tak acuh. Seakan kejadian menggemparkan itu dianggapnya cuma angin lalu saja. "Memangnya apa salah seluruh penghuni perkampungan itu sehingga bahkan anak ayam dan itik pun tidak kau sisakan"," Suara orang tua ini seperti mengandung penuh kemurkaan, tapi raut wajahnya justru tersenyum ramah. Sungguh selama hidup Arya belum pernah melihat manusia seaneh ini. Seakan syaraf yang menghubungkan otot suara dan perubahan raut mukanya sudah terputus sama sekali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tentu saja bagaimana warna hatinya terlebih sulit lagi untuk diselami. Untuk menghadapinya pasti terlebih sulit lagi. Kalau suara dan raut muka saja bisa berkebalikan seperti itu menandakan hawa murni pemiliknya sudah mencapai tingkat dimana yang ada bisa ditiadakan dan yang tidak ada bisa dihadirkan. "Dan apakah kau tahu siapa aku?" bentak orang tua ini lagi. "Dengan pikulan kayu membabat dua helai rumput," jawab Arya sambil tersenyum. "Kalau kau sudah tau siapa aku, kenapa masih berani tonjolkan hidungmu disini" Memangnya kau sudah tidak doyan nasi lagi dan pengen makan rumput?" Arya tersenyum tenang, "Perkataan ini apa tidak lebih baik di cicipi oleh anda terlebih dahulu?" Dengan perkataannya ini Arya maksudkan si Kakek tualah yang pertama kali membuat gara-gara dengan mengolok si Brewok. Karuan jawaban Arya yang tenang dan berani ini membuat semua yang hadir melengak. Maklum nama Kiai Santun Paranggi, Dengan pikulan kayu membabat dua helai rumput, orang tua itu, terkenal hampir di seluruh wilayah utara dan selatan. Bahkan diakui sebagai salah satu dari tiga belas tokoh utama di dunia persilatan. Tampaknya saja sebagai seorang kakek tua yang berjalan saja payah, namun dengan sebatang pikulannya itu dia sanggup membidik sehelai rumput di semak belukar dan tidak sampai merusak tanaman yang lain. Maka betapa betapa sempurna tenaga dalamnya sungguh sukar dibayangkan. "Hmk...rumput cilik seperti kau ini juga berani banyak cincong dihadapanku?" Jengek Kiai Santun Paranggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya hanya tersenyum tenang, sama sekali tidak menjawab. Mendadak entah bagaimana caranya tiba-tiba uap yang masih mengepul dari gelas bambu di tangan Kiai Santun Paranggi bergerak seperti sebuah angin puyuh kecil, berputaran dan perlahan membentuk semacam galah mini. Uap berbentuk galah itu lalu berbelok menuju muka Arya. Wajah Arya Dipaloka masih tersenyum, sama sekali tak mengunjukkan satu perubahan. Seakan uap yang mengarah ke wajahnya itu dianggapnya asap biasa, padahal segenap yang hadir maklum bahwa Kiai Santun Paranggi sedang mendemonstrasikan tenaga dalamnya yang lihai. Sekali asap itu mengenai tubuh manusia, sekalipun tidak melepuh sedikitnya juga akan terbakar hangus. Tapi sebelum uap berbentuk galah mini itu tiba di muka Arya, kira-kira berjarak tiga empat senti mendadak tiga titik air menerobos dari samping. Sektika terdengar suara "Cess," dan uap itu pun buyar. "Sancay...segala apa bisa dibicarakan, segala hal bisa diseberangkan. Kenapa harus menghunus golok?" terdengar biksu dengan serenceng tasbih di tangan kanannya itu menggumang perlahan. Rupanya pendeta itu juga yang memercikkan tiga tetes air tadi. Kiai Santun Paranggi mendengus dingin, "Sungguh aneh, pendeta zaman sekarang mengapa lebih suka bersantai dan membela seorang pembunuh dari pada berdoa di kuil?" jengeknya sambil menatap lekat tasbih di tangan kanan biksu berjubah kuning tadi. Belum sempat Biksu berjubah kuning itu menjawab mendadak terdengar teriakan ngeri beberapa orang dari ujung jalan sana. Tampaknya ada hal menakutkan terjadi. Belum sempat Kiai Santu Paranggi menengok, tiba-tiba ia merasakan kesiur angin dingin di sebelahnya. Ketika matanya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ melirik ternyata bayangan Arya telah sudah berupa titik kecil di kejauhan sana. Karuan ini membuat wajahnya berubah. Maklum orang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh setinggi ini di dunia ini dapat dihitung dengan jari. Tidak menunggu lama, Kiai Santun Paranggi juga lekas melesat kesana. Diikuti oleh Biksu berjubah kuning yang bernama Thian-ok Hwesio (Biksu Langit beracun) dan sepasang suami istri muda tadi. "Ihhh...", Jerit Sukma Maningrum, perempuan muda itu sambil mendekap muka dengn kedua telapak tangan begitu melihat pemandangan di depannya. Di tikungan jalan yang rimbun oleh pohon lamtoro, dengan sebuah pohon beringin raksasa tepat di potongan jalan sebelah kiri itu bergeletakan belasan bangkai kuda. Tentu saja wajar bahwa kemungkinan ada kuda yang disembelih, namun anehnya kuda-kuda itu seperti tidak disembelih dengan menggunakan senjata tajam tapi lebih tepat dikatakan bahwa kepala kuda-kuda itu dibetot paksa dari badannya. Hal ini bisa dilihat dari keadaan leher kuda-kuda itu yang remuk dengan pecahan tulang leher berserakan disanasini. Ajaibnya semua bangkai kuda itu telah kehilangan kepalanya. Darah mengalir seperti anak sungai menggenangi hampir seluruh medan jalan. Arya tampak termenung-menung memandangi bangkai kuda tanpa kepala yang berserakan tumpah tindih itu."Kudakuda ini agaknya yang digunakan prajurit Kademangan Jatingaleh tadi", katanya setengah harian kemudian. "Benar, kuda putih berbelang hitam di kakinya ini seperti pernah kulirik beberapa kali," timpal Braja Lelana, suami Sukma Maningrum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Berapa kali kau meliriknya?", Tanya istrinya dengan bibir menahan geli. Kelihatannya nyonya muda ini begitu mudah melupakan hal-hal yang membuat perutnya mual. Braja Lelana hanya tersenyum kecut. Sukma Maningrum terkikik geli melihat tingkah sang suami, "Kau meliriknya berapa kali toh bukan masalah, asal yang kau lirik bukan 'kuda betina' saja" "Kalau kudanya mati disini, lalu mana orangnya?" Tanya Kiai Santun Paranggi. "Ya, aneh juga, belasan kuda ini mati secara mengenaskan, tapi penunggangnya bahkan sebatang hidung pun tak ada," "Hidung manusia sih tidak ada, tapi hidung kuda ma lah ada," sahut Arya, masih dengan gaya acuh tak acuhnya. Ketika semua orang menengok, tampak pemuda itu sedang termangu-mangu di bawah pohon beringin. Diantara akarakaran beringin yang bergelantungan bagaikan tabir bambu itu terlihat sebuah kepala kuda dengan darah segar bertotosan terpancak kuat ke batang pohon. Sebenarnya Sukma Maningrum sudah tak tahan melihat bangkai yang bergelimpangan memenuhi jalan raya itu, Cuma permasalahannya menjadi semakin menarik dan ajaib, maka sedapatnya ia tahan perutnya yang bergolak sejak tadi. Tanyanya, "Kenapa kepala kuda itu nyasar sampai disitu?" "Karena ada orang yang memanteknya disitu," sahut sang suami sambil tersenyum. Sukma Maningrum segera memelototkan matanya, "Siapa bilang ada orang yang memanteknya disitu, siapa tahu kepala kuda itu terlalu iseng lalu ...." Be lum selesa i bicara tiba-tiba ia merasakan kalau dirinya terlalu mau menang sendiri, tak tahan ia terkikik geli. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Orang ini sanggup membetot belasan kepala kuda, kemudian membawa pergi kepalanya sekalian penungganya dalam waktu sesingkat ini. Di dunia ini sungguh aku tidak bisa membayangkan ada kepandaian demikian." tutur Kiai Santun Paranggi. "Yang terpenting adalah semoga para ksatria itu masih hidup. Untuk ini kuharap ketiga sicu sudi membuang sedikit tenaga," Kata Thian-Ok Hwesio setelah menggumangkan beberapa kata Budha. "Kakek Bhiksu memang terlalu sopan. Kalau aku sih lebih mengatakan para pencoleng", sela Sukma Maningrum sambil terkikik geli. Ia selalu tidak bisa melupakan si Brewok yang berangasan dan suka berlagak tuan besar itu. "Menolong memang harus menolong, tapi kemana kita harus menolong?" Sahut Kiai Santun Paranggi. "Kukira aku tahu sepotong kepala yang bisa kita tanyai", Kata Arya dengan mata bersinar tajam. "Siapa" Apa kepala kuda itu?" Timpal Sukma Maningrum sambil terkekeh. Mulut Arya menyunggingkan senyum aneh, lalu tanpa berkata apa-apa tangan kirinya menghantam ke arah kepala Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kuda itu. Suara angin yang menderu menandakan pemuda ini menyertakan tenaga dalam dalam pukulannya. Karuan semua orang heran, maklum kalau hanya untuk menghancurkan kepala kuda itu, hanya sedikit tenaga saja sudah cukup, sedangkan tenaga yang dikerahkan Arya itu sedikitnya bisa menggetar rontok pohon beringin raksasa dihadapannya. Namun sebelum kepalannya menghajar telak kepala kuda mendadak Arya membuka telapak tangannya. Lewat satu inci lagi ia menghentikan gerak tangannya. Selang sejenak terdengar suara "cess..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Ketika Arya menepuk perlahan, kepala kuda itu pun rontok seperti digiling, benar-benar remuk sampai tulang. Meihat demonstrasi tenaga angin lembut ini sampai-sampai Thian-Ok hwesio yang biasanya jarang memuji juga menggelengkan kepala beberapa kali. Maklum kalau bukan seorang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan pengaturan tenaga, tak akan sanggup mengeluarkan serangan yang aneh dan spesial begini. Cuma semua orang belum juga paham kenapa untuk menghancurkan kepala kuda saja pemuda itu mengerahkan kepandaian yang istimewa seperti itu. Tepat di pecahan otak kepala kuda itu tertampak sehelai warna hijau. Perlahan Arya menjumput benda berwarna hijau itu. Ternyata sehelai daun lamtoro muda. Di permukaan daun itu terlihat beberapa gurat tulisan. Melihat daun lamtoro muda itu barulah semua orang paham kenapa Arya menggunakan tenaga angin lembut untuk menghancurkan kepala kuda itu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai daun lamtoro yang tersembunyi di dalam kepala kuda itu hancur. Kalau sampai ada tenaga keras setitik saja yang menghantam maka daun muda yang masih basah ini seketika akan lumat. "Kepala kuda menunjuk kepala naga. Manusia tak berguna jadi kunci pembukanya", baca Arya pelan. "Apa maksudnya?", sela Sukma Maningrum cepat. "Mungkin kepala kuda ini menunjukkan sesuatu yang berharga," sahut Braja Lelana. "Sesuatu yang berharga itu apa?" Braja Lelana hanya menyengir mendengar pertanyaan isterinya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Itu mungkin sejenis harta karun, atau senjata pusaka, atau kitab ilmu s ilat", kata Arya Lalu lanjutnya lagi, "apapun itu, mengingat cara untuk menyampaikan pesan saja begini rumit, maka nilai dari benda yang dipertaruhkan pasti tidak main-main." "Tapi bagaimana kau tahu bahwa pesan itu tersembunyi di dalam kepala kuda itu?" "Aku juga hanya menebak-nebak saja. Kepala kuda ini di pantek disini, pasti dimaksudkan untuk menarik perhatian orang. Dari sembilan per sepuluh kemungkinan orang akan segera menduga bahwa pada kepala kuda ini terdapat apaapanya", jawab Arya kalem. Lalu lanjutnya, "Apalagi kulihat terdapat darah bertetesan dari hidung kuda ini, terang daun itu telah dicucukkan me lalui hidung dengan tenaga dalam tinggi" "Dan bagaimana kau tahu kalau benda yang dicucukkan itu adalah sehelai daun lamtoro?", Sukma Maningrum agaknya termasuk orang yang tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Arya tersenyum, "Aku juga tidak tahu. Aku hanya menduga, dengan kepandaian yang sanggup membetot kepala kuda dengan tangan telanjang ini, maka orang itu pasti tidak memerlukan senjata apa-apa lagi." "Benar. Bila ilmu silat seseorang sudah mencapai puncak kesempurnaan, apapun yang terpegang ditangannya, bahkan semua anggota badannya akan menjelma menjadi senjata ampuh", sela Braja Lelana. Arya mengangguk, "Apalagi sepanjang jalan ini penuh dengan rimbunan pohon lamtoro. Untuk menuliskan suatu pesan, kukira tidak ada yang lebih baik dari pada menggunakan daun lamtoro" Mata Arya tiba-tiba bersinar aneh, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ada apa?" Tanya Sukma Maningrum cepat. Arya menatap daun lamtoro di tangannya, "Orang ini dengan cara yang amat rumit berusaha menyampaikan pesan, tapi sebenarnya siapakah yang ingin dikiriminya pesan itu?" "Benar, dengan cara yang aneh begini, kecuali orang yang sebelumnya di beritahu terlebih dahulu, orang biasa tak akan bisa memecahkannya", sahut Braja Lelana. "Tapi Arya toh tahu"!", sela Sukma Maningrum cepat. Mendadak wajah Kiai Santun Paranggi berubah pucat. Sepasang matanya menatap Arya lekat-lekat. Wajahnya semakin beringas menakutkan, "Semua ini bukankah permainan busukmu?" bentaknya dengan suara berat. Kening Arya berkerut tajam, "Apa maksud Kiai?" "Kau pura-pura tidak tahu atau sedang merancang akal bulus baru?" jengek Kiai Santun Paranggi. Melihat suasana yang menegang, Thian-Ok Hwesio segera berdehem, kemudian tuturnya, "Tiga bulan yang lalu ketika kami, beberapa padri mengunjungi perkampungan Ular Merah sesaat setelah tersiar kabar kemusnahannya, diantara puingpuing bangunan dan mayat berbagai macam binatang yang berserakan terdapat satu tiang yang masih bertahan tegak. Disitu terpancak satu kepala kerbau dengan darah yang sudah membeku. Seakan sebagai tanda kenal dari orang yang melakukan perbuatan mengerikan itu Hal ini telah tersiar luas dikalangan sahabat-sahabat rimba persilatan, apa sicu tidak mengetahuinya?" "Kalau dia tidak tahu, lalu siapa yang tahu?" dengus Kiai Santun Paranggi. "lagi pula mayat dari seluruh penduduk perkampungan itu juga lenyap tak berbekas." Tambahnya. "Tapi ketika jeritan itu terdengar bukankah saudara Arya ini masih berada bersama-sama kita?", sela Braja Lelana. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sekalipun dia bersama-sama kita saat itu, tapi siapa yang mengharuskannya untuk tidak punya kaki tangan?" Arya tersenyum, "Seseorang yang sanggup membetot belasan kepala kuda dalam sekejap, untuk apa menjadi kaki tangan orang lain?" "Benar juga. Kalau orang itu mempunyai kepandaian setinggi ini, lalu untuk apa menjadi suruhan orang lain, sekalipun mampu pasti juga tidak akan sudi." Kata Sukma Maningrum pelan. Kiai Santun Paranggi mencibir, "Dari mana kau tahu dia tidak sudi. Yang kutahu semakin tebal otot seseorang biasanya otaknya malah semakin kecil". Orang tua dengan senjata pikulan ini agaknya sudah teramat yakin bahwa Aryalah biang keladi dari semua ini. Katanya lagi, "Apalagi sekalipun semua orang sama mengatakan bahwa dengan seorang diri iblis cilik ini berhasil memusnahkan seluruh perkampungan Ular Merah, namun Formasi Ular Darah setahuku merupakan salah satu barisan ajaib di dunia persilatan. Kalau bocah ini tidak punya kaki tangan kurasa tidak akan berhasil dengan segemilang itu," Mendengar ini semua orang sama terdiam, agaknya sekalipun ada yang belum yakin benar, mau tidak mau ada juga sedikit kecurigaan. Arya tahu, sekalipun dirinya tak bersalah tapi urusan ini seperti sudah diarahkan secara pasti terhadap dirinya, ingin menghindar rasanya juga sulit. Apalagi ada beberapa urusan yang tak ingin di ceritakannya kepada orang luar. Maka ia pun hanya diam termenung. Melihat Arya yang terdiam semua orang semakin yakin dengan kecurigaan mereka. Bahkan wajah Braja Lelana, yang pada awalnya menaruk kesan baik, juga mulai menegang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setelah termenung beberapa lama, akhirnya sudut bibir Arya menampilkan senyum khasnya, "Urusan ini entah dimana sudut pangkalnya, biar diriku sendiri mau tak mau juga radarada sangsi. Tapi kalau para Saudara dan kisanak yakin pasti bahwa diriku ini pelakunya maka aku pun tak akan lari dari tanggung jawab. Cuma sekalipun harus mati tapi kalau mati secara penasaran kan terlalu konyol. Maka para saudara silahkan menunggu di tempat ini. Begitu matahari terbit pada dua puluh sembilan hari mendatang persilahkan salah satu dari saudara untuk turun tangan" Setelah kata terakhir diucapkan, tanpa menunggu jawaban tubuhnya berbalik dan berjalan perlahan, seperti sama sekali tidak khawatir bahwa salah satu dari empat orang itu akan menghalanginya. Kenyataannya memang tidak seorang pun dari keempat orang itu yang mencoba menghalangi langkah Arya. Hal ini karena mereka sama tahu, kata-kata yang diucapkan dengan tenang dan senyum itu pasti bukan omong kosong belaka. ~Dewi-KZ~ Suara kentongan dengan tanda titir memekak memecahkan pagi yang dingin. Segera setelah suara pertama terdengar, dari pojok utara segera terdengar balasan. Dalam sekejap tanda yang berarti bahaya itu pun bersahutan diantara kokok ayam jago dan munculnya siluet merah di kaki langit. Ki Jagabaya dengan tergopoh menarik kudanya dari kandang dan tanpa sempat lagi memasangkan pelananya segera memacunya cepat-cepat ke arah pintu gerbang Kademangan, dimana suara titir itu pertama kali terdengar. "Ada apa?", teriaknya begitu suara meringkik kudanya yang kaget karena tali kekang yang disendal mendadak berhenti. Seorang pemuda bernama Sawung Geni segera meraih tali kekang kuda Ki Jagabaya dan sedapatnya memberikan jawaban, "Sebuah kepala kuda terpancak di atas pintu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ gerbang kademangan, dibawahnya juga tergantung mayat. Ki Demang dan beberapa teman yang tadi malam berjaga sedang memeriksanya" "Mayat siapa?" begitu Ki Jagabaya melontarkan pertanyaannya, segera ia pun mendapat jawabannya. Di atas gapura yang melintang selebar badan jalan dan digunakan sebagai pintu gerbang itu, yang berbentuk menyerupai atap candi yang dibuat lancip di puncaknya dengan beberapa beberapa ukiran batang padi dan dua helai daun alang-alang, juga beberapa patah tulisan kuno, terpancak sebuah kepala kuda dengan darah setengah membeku, tepat di bagian lancipnya. Dibawahnya tergantung dengan leher terjerat sesosok mayat. "Kelelawar bersayap tunggal," desis Ki Jagabaya. "Nyenyakkah tidurmu?" sapa Ki Demang dengan tersenyum. Muka Ki Demang yang gagah dan keras tampak memerah segar, namun sepasang matanya justru memerah kurang tidur. Dada Ki Jagabaya seketika terasa hangat mendengar Orang nomor satu di Kademangan Dipasalaka itu menaruh perhatian terhadap keadaannya sebelum menanyakan hal yang lain. "Cukup nyenyak untuk seorang tua sepertiku. Agaknya kau yang tidak tidur semalaman" Apa nyamuk dirumahmu terlalu ganas?" sambutnya hangat. Ki Demang tersenyum lelah, "Nyamuk sih tidak ada, hanya seorang anak perempuan yang tidak mau makan semalaman." Ki Jagabaya segera tertawa bergelak, "Gadis cilikmu tidak doyan makan, maka kau juga tidak bisa tidur. Selama ini hanya aku saja yang jadi sasaran ulah gadis cilik itu, sekarang kau pun mencicipinya, sungguh membuatku semakin segar. Setidaknya aku punya teman senasib sepenanggungan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ya..aku mungkin harus segera mencari orang yang cocok untuk membendung ulah gadis cilik itu" Tawa Ki Jagabaya mendadak berhenti, "Lalu bagaimana dengan mayat kelelawar keparat ini" Ki Demang menghela nafas panjang, "Tampaknya sudah sejak tadi malam orang ini mati." "Apa ia kembali mencoba menyantroni lumbung padi kita?" "Tampaknya tidak. Tanpa membawa konco, seorang diri dia tidak akan sanggup menghadapiku. Apalagi ada kau." Jawab Ki Demang, "Pasti ada orang lain yang membunuhnya, kemudian membawanya kesini." Ki Jagabaya menghela nafas panjang, "Apa tidak mungkin Demit kura-kura itu yang melakukannya?" Ki Demang menggeleng, "Kepandaian mereka berdua berimbang. Sekalipun Demit Laki-laki berhasil membunuhnya, tapi tidak akan segemilang ini. Apalagi Demit Perempuan sudah tidak bersamanya lagi" "Maka...", Ki Jagabaya mengerdipkan matanya. "Maka kemungkinan besar orang itu sama dengan orang yang menolongmu dengan ranting kecil dua malam yang lalu" Sementara itu seseorang telihat memacu kencang kudanya menuju ke arah Ki Demang, "Tidak terjadi apa-apa di pintu utara." Kata Pacak Warak begitu ia berhasil mengatur nafasnya. "Benar-benar tidak kau temukan apapun?" tegas Ki Demang. Pacak Warak menyeringai aneh, "Aku memang tidak menemukan apapun, aku justru menemui seseorang, orang hidup" "Seseorang?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ya..Seseorang yang pasti Ki Demang kenal, juga pernah bertempur dengan Ki Demang" "Demit Laki-laki?" potong Ki Jagabaya. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pacak Warak menggeleng dengan senyum misterius, "Kalau keparat itu yang kutemui, bagaimana aku bisa hidup sampai sekarang?" "Lalu siapa?" desak Ki Jagabaya tak sabar. "Arya dipolaka" "Arya?" Wajah Ki Demang segera menegang, "dimana dia sekarang, kau membawanya kesini?" Pacak Warak kembali menggeleng, "Aku menemukannya tepat di bawah gapura utara. Dia menyampaikan sepatah kalimat kepadaku, lalu ketika aku menoleh sekejap untuk melihat kudaku yang tiba-tiba meringkik, bahkan bayangan tubuhnya pun sudah tak kulihat lagi" Setelah terdiam sejenak, kembali katanya, "Sungguh kalau hari itu tak kulihat ia muncul dan menemui K i Demang dipintu gerbang sini, aku mungkin sudah menganggap diriku bertemu dengan hantu alas kidul" "Pesan apa yang ia sampaikan?" Tanya Ki Demang. "Dari pada dikatakan pesan lebih tepat disebut sebagai sepatah kalimat saja. Sepatah kalimat yang membuatku pusing" jawab Pacak Warak. Lalu lanjutnya, "Ia mengatakan, 'Kepala Naga keluar, orang tak berguna pergi saja ke kolong ranjang'" Kening Ki Demang berkerut tajam. Patah kata terakhir dari kalimat itu membuat dadanya berdesir. Seakan luka yang telah lama coba ia sembunyikan mendadak dibeset paksa. Beberapa kenangan seketika berkelebat susul menyusul di kepalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa maksud sebenarnya dari bocah itu?" pertanyaan Ki Jagabaya menyadarkan Ki Demang. "Entahlah" Ki Demang menghela nafas panjang,"sekian lama tidak bertemu, agaknya anak itu telah berubah banyak." Ki Jagabaya tersenyum masam, "Yang kuharapkan Cuma agar segala perubahannya itu tak membuat kita harus menghadapinya sebagai musuh. Aku masih ingat bagaimana dulu, setiap kali aku punya makanan enak selalu bocah itu yang pertama kali mencurinya." Lalu lanjutnya dengan tertawa, "agaknya setiap anakmu punya satu dua macam kepandaian bawaan untuk membuat susah orang lain" Dada Ki Demang seketika hangat oleh rasa terima kasih. Setidaknya ada masih ada orang yang mengingat hubungan hangat antara dirinya dan Arya, disamping perselisihan diantara keduanya. "Tapi dia juga memperlihatkanku seseorang, orang mati" kata Pacak Warak Tiba-tiba. "Siapa?" Pacak Warak tersenyum aneh, "Seseorang yang pasti Ki Demang kenal, juga pernah bertempur dengan Ki Demang". Agaknya orang ini punya hobi untuk membuat orang lain penasaran. Ki Jagabaya segera tergelak, "Sudahlah, kuakui akal bulusmu memang tidak sedikit. Katakan siapa dia" Pacak Warak menjawab perlahan, "Demit Laki-laki" Seketika wajah Ki Jagabaya ikut menegang, "Dimana mayatnya?" Pacak Warak menyengir letih, "Ketika aku menemukan bayangan Arya menghilang, aku juga tak melihat mayat Demit Laki-laki lagi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ~Dewi-KZ~ Bab III, Pelangi Satu Warna Percik air masih bertetes dari pucuk-pucuk daun, ujung ranting, atau pinggir bebatuan. Udara mengalirkan hawa segar yang menggugah. Langit cerah. Di sebuah pucuk pohon, dua ekor kutilang saling bercumbu dan bercicit riuh, sepasang sayapnya terkebas beberapa kali. Suasana setelah hujan seperti ini selalu disukai Arya. Dalam seluruh perjalannya, ia hanya berhenti untuk beberapa hal, salah satunya adalah ketika hari hujan. Bukan karena ia takut berbasah dengan curahan air dari langit itu, tapi karena ia selalu senang dengan suasana setelah hujan, dimana harapan dan kedamaian, juga kesegaran akan hidup memancar dimana-mana, dihirup oleh siapa saja, dan meresap dalam apa saja. Bahkan kepandaian khasnya, yang membuat setiap bulu kuduk lawannya bergidik justru timbul dari keadaan ini. Duduk di atas sebuah batu hitam yang berkilat oleh air hujan barusan, dengan sepasang telapak tangan menopang kepala dan kaki kanan bersilang di atas lutut kiri, Arya termenung-menung mendengarkan riuh cicit berbagai burung yang sibuk. Sepasang matanya memandangi langit yang bersih, dengan sepotong awan yang putih. Tapi meskipun tampak amat tenang dan hanyut, isi kepala pemuda itu sebenarnya sedang berputar cepat, mengurai peristiwa demi peristiwa, dari musnahnya perkampungan Ular Merah, munculnya tokoh-tokoh kosen di sekitar gunung sindoro s ini, sampai misteri daun lamtoro di dalam otak kuda. Beberapa hal itu satu sama lain sepertinya tidak berhubungan sama sekali, tapi justru itu menjadi aneh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seakan ada seseorang yang sengaja menghilangkan benang merah tersebut. Arya sebenarnya tidak terlalu pusing dengan "orang" itu, baginya siapapun bisa menjadi si "dia", yang menarik adalah seakan secara sengaja tidak sengaja orang itu memaksa Arya untuk terlibat. Bukan saja terlibat, bahkan seperti mengarahkan segala sesuatunya sehingga orang ramai sama yakin bahwa Arya lah pelaku utamanya. Beberapa lama kemudian, mungkin karena terlalu pusing, atau karena terhanyut dalam udara yang segar, kelopak mata pemuda itu perlahan-lahan mengatup. Kaki kiri yang mulanya bersilang diatas lutut kanan juga pelan-pelan diselonjorkan. Ketika itulah mendadak terdengar jerit perempuan, lalu disusul dengan suara senjata yang beradu, bentakan dua tiga orang lelaki, kemudian deru pohon yang tumbang. Sekejap kemudian, di ujung utara padang rumput dengan berbagai gerumbul bunga dan pohon perdu itu terlihat seorang perempuan muda dengan baju hijau pupus yang melambai-lambai tertiup angin berlari cepat ke arah sini dengan sebatang pedang yang diputar kencang. Tidak lama menyusul empat orang lelaki dengan perawakan berbeda muncul sambil sesekali menaburkan senjata rahasia. Tampaknya ilmu meringankan tubuh empat orang lelaki itu lebih tinggi dari si perempuan muda, apalagi terlihat pergelangan tangan nona muda itu sudah merembes darah, sehingga dalam sekejap ia terkurung di tengah. Setelah berhasil mengurung perempuan muda itu, keempat orang lelaki itu ternyata tidak menghentikan gerakan mereka. Susul menyusul mereka menyerang bergantian. Ketika yang lain menyerang maka temannya bertahan. Gerakan keempat lelaki itu tampak lugas dan sederhana, tapi angin yang menyertai setiap serangan menderu tajam, bahkan pakaian yang dikenakan Arya pun beberapa kali berkibar karena Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terkena angin serangan yang nyelonong. Padahal jarak antara mereka dan Arya ada lima puluh meteran lebih. Sebaliknya gerakan perempuan muda itu indah dan rumit, dengan pedang yang bersinar putih bersih, ia seperti menari diantara gugusan awan. Tapi anehnya, sekalipun cepat dan keji serangan keempat orang itu, agaknya mereka tidak berani mendekati perempuan muda itu. Mereka hanya menyerang dengan angin pukulan tajam atau senjata rahasia. "Empat tua bangka keparat, kalau berani ayolah mendekat sini. Ingin kulihat tulang-tulang karatan kalian itu apakah sanggup menahan satu kali sabetan pedangku." Bentak perempuan muda itu. Salah satu dari lelaki itu terkekeh geli, "Memangnya kami anak-anakmu sehingga bisa kau perintah sesuka perutmu" Apalagi sekalipun kami agak tua toh tak sampai bangka segala" "Kalian hanya berani mengerubut dan menyerang dari jauh, memanya tidak takut ditertawai anak kecil", suara perempuan muda ini sekalipun sedang bertempur hebat dan payah pula namun tetap terdengar merdu dan tenang. "Kami tidak menertawai anak kecil, kenapa anak kecil mau menertawai kami" Perkataanmu ini kan jadi tidak masuk akal" teriak salah seorang dari keempat laki-laki itu. "Salah besar, yang benar kita dan anak kecil sama-sama tertawa. Begini barulah menyenangkan" teriak yang pertama. "Si Tua hijau salah, kau juga salah, yang benar adalah nona ini" jawab seorang dari mereka yang berpakaian hitam. "Kalau nona muda ini yang benar, kan kita harus berhenti berkelahi?"timpal s i Baju hijau. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Si Baju hitam terkekeh, "Berhenti ya berhenti, memangnya apa susahnya?" Seketika keempat orang ini sama menghentikan serangan. Cara mereka berhenti menyerang ini rada special juga, seakan perasaan keempat orang ini sama berhubungan sehingga gerakan mereka bisa serentak. Begitu berhenti maka dengan jelas segera terlihat perawakan maupun raut wajah dari keempat orang itu. Nyata mereka memang empat orang kakek tua dengan muka mirip satu sama lain, seakan keempatnya di buat dalam satu cetakan. Perawakan mereka juga serupa, tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek, jenggot yang memutih keperakan, dan rambut riap-riapan. Yang membedakan hanya baju mereka yang berbeda warna. Di tengah mereka, seorang nona dengan pakaian hijau pupus ringkas, tapi rapi, rambut hitam legam yang diikat, juga dengan secarik kain hijau pupus, dan anehnya, cadar sutra yang menutupi hidung dan mulut yang juga berwarna hijau pupus. Di tangan nona itu tergenggam sebatang pedang dengan sinar putih, namun tidak menyilaukan. Berwarna lebih mirip seperti awan yang bergerombol. Lembut dan hangat. Gagang pedang tampak dibebat dengan sepotong sutra hijau. "Tiada angin dan hujan tiba-tiba kalian menyerangku, memangnya kalian empat tua bangka ini sudah pikun atau bagaimana?" Kata nona muda dengan penasaran. "Kami memang tua, tapi sekali-kali tidak pikun dan tidak bangka. Hal ini kan sudah kukatakan tadi, memangya telingamu sedang sakit atau bagaimana?" Jawab s i Baju Hijau aseran. "Kalau telinganya berpenyakit, bagaimana dia bisa mendengar perkataanmu?" delik si Baju hitam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku kan tidak mengatakan telinganya berpenyakit. Aku kan melainkah hanya bertanya saja." Sahut si Baju Hijau tak kalah garang. "Kau bertanya padanya, lalu kenapa mendelik padaku?" bentak di Baju hitam tak kalah. "Memangnya tidak boleh?" balas si Baju Hijau, "aku bertanya padanya memakai mulut, memangnya aku memandangmu juga pakai mulut?" Begitulah kedua orang kakek berbaju hitam dah hijau itu saling gugat dan bertengkar sendiri. Seorang lain yang berbaju kuning tua hanya diam sambil senyum-senyum, orang ini bahkan ketika bertempur tadi mulutnya juga tidak mengelurkan suara. Seorang lagi yang berbaju putih pucat, tanpa peduli pertengkaran ke dua temannya perlahan berkata terhadap si perempuan muda. "Kau T anya kenapa kami menyerangmu, kenapa tidak kau Tanya dirimu sendiri kenapa kau membunuh ular merah kami?" "Ular Merah?" kening perempuan muda itu berkernyit, "Kau maksudkan ular merah darah dari perkampungan Ular Merah di daerah utara?" "Memangnya ada Ular Merah lain lagi?" Jengek orang tua berpakaian putih pucat. "Ular Merah lain memang tidak ada, yang ada hanya Ular Hijau Sekarat" timpal si Baju Hitam dengan terkekeh. Karuan si Baju Hijau kembali mendelik. "Tapi yang membunuh Ular Merah Darah dan memusnahkan perkampungan Ular Merah bukankah seorang muda berjuluk Sengatan Satu Titik Satu Nyawa?" kata nona berpakaian hijau muda itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Memangnya kau bukan Sengatan Satu Titik Satu Nyawa?" balas si Baju putih pucat. "Dan memangnya kau tidak muda," tambah si Baju Hijau cepat. Si Nona muda mencibir, "Kalau aku adalah dia, kenapa aku memakai pedang" Lagi pula kalau aku adalah Sengatan Satu Titik Satu Nyawa, kalian empat tua bangka ini memangnya masih mampu menghirup udara?" Mendengar jawaban nona muda itu Si Baju putih pucat terdiam, matanya melirik si Baju kuning tua yang dari tadi tampak adem ayem. Perlahan akhirnya si Baju kuning tua membuka mulut, "Benar juga, Ku dengar Sengatan Satu T itik Satu Nyawa tidak pernah membawa senjata" Si Nona muda hanya mendengus. "Kalau nona ini bukan si Sengatan lebah itu, lalu siapa dan dimana dia?" sahut si Baju Hijau. "Yang pasti bukan disini", potong si Baju Hitam. "Dari mana kau tahu dia tidak ada disini?" bentak si Baju Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hijau dengan melotot. "Dari mana ku tahu, hehe, sekalipun ku katakan padamu juga kau tidak akan paham," jawab si Baju Hitam santai. Kontan si Baju Hijau berjingkrak gusar, "Justru ku katakan dia ada disini, kau mau apa?" Aneh juga, dengan keributan yang sanggup membuat gajah yang sedang menyusui kaget itu, Arya bahkan tidak menggerakkan jempol kakinya. Pemuda itu terus tertidur nyenyak. "Dia ada disini" Memangnya dia" Hehe, Kucing pingsan sepertinya mana sanggup membunuh Ular Merah Darah kita" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sekalipun ayam sekarat juga tak sanggup dibunuhnya. Hehe, semakin tua tampaknya rabun di matamu semakin tebal" O lok si Baju Hitam sambil menunjuk Arya. Si Baju Hijau segera berjingkrak gusar, "Kentut busukmu, kukatakan bahwa kucing malas inilah pembunuhnya, memangnya kau mau apa?" Si Baju Hitam terkekeh geli, "Nona muda, selama hidupmu pernahkah kau lihat tua bangka dogol seperti kura-kura tua ini?" Melihat kedua orang tua bangka yang lebih kekanakkanakan dari pada bocah cilik ini, sekalipun tubuhnya cukup payah, mau tak mau tersenyum juga perempuan muda dengan pedang putih itu. Muka si Baju Hijau semakin merah, "Justru kukatakan pemuda ini mempunyai ilmu mahatinggi, " Si Baju Hitam semakin terkekeh geli, "Ilmu maha tinggi, hehe, kalau ilmunya memang maha tinggi kenapa tidak kau jajal dengan golok buntungmu itu, ingin kulihat apa golok buntung berkaratmu sanggup menahan satu kebasan ilmu maha tingginya" Si Baju Hijau rupanya benar-benar Orang tua berangasan yang sulit dicari tandingannya. Begitu mendengar ucapan setorinya itu segera ia melolos Golok yang terselip di pinggangnya. Golok ini warnanya sangat biasa, hitam kelabu dan agak berkarat, badan golok pun buntung separo. Golok seperti ini sebenarnya lebih tepat digunakan oleh penjual kayu bakar dari pada seorang jago persilatan seperti si Baju Hijau ini. Begitu golok terlolos, dengan satu gerakan membacok, si Baju Hijau mengayunkan goloknya ke kepala Arya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Gerakan si Baju Hijau ini sangat sederhana, lagi pula tidak terlalu cepat, namun angin yang ditimbulkannya berkesiur tajam ke empat penjuru. Nona muda berbaju hijau itu pun seketika wajahnya berubah pucat. Maklum sekalipun sederhana gerak perubahan golok itu, tapi inti dari serangan si Baju Hijau memang tidak terletak pada gerak perubahannya, melainkan pada menutup setiap kemungkinan musuh untuk mengelak. Dengan gerak perubahan yang sederhana, tidak terlalu cepat, dan angin yang menderu ke empat penjuru ini ke arah mana pun Arya mengelak tetap tidak akan terhindar dari bacokan golok. Tapi ajaib, Arya ternyata tidak mengelak atau pun menghindar, kelopak matanya bahkan tidak bergetar. Sikapnya seperti bayi yang tertidur dan tertiup angin pantai, sekalipun sepoi angin mengelus tajam kulitnya dan mengibarkan helai rambutnya namun tetap tidak membangunkannya. Bahkan deru angin yang menyambar itu seperti lebih mengasyikkan pemuda itu untuk tambah pulas. Karuan setiap orang sama melengak. Nona muda itu bahkan sampai menjerit ngeri. "Sss" tiba-tiba terdengar suara desisan pelan, lalu segalanya kembali senyap. Ketika semua orang sama memandang ke arah Arya, anak muda itu ternyata masih tertidur, tidak kurang suatu apa. Golok buntung di tangan si Baju Hijau berhenti tepat menempel di atas jidad Arya. Seutas rambut yang tadinya menempel di atas jidat itu sudah terputus. Wajah si Baju Hijau tampak memerah, tangan kanannya yang memegang golok mengepal keras dengan otot yang menegang putih. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pelan-pelan, dari sela-sela gagang golok yang dipegangnya beberapa tetes darah merembes keluar. Rupanya untuk menahan bacokan goloknya tadi si Baju Hijau telah menggunakan seantero tenaganya sehingga telapak tangannya sampai terbeset. "Kenapa berhenti, apa jidat kucing malas itu lebih keras dari pada golok berkaratmu?" ejek si Baju Hitam. Sikap si Baju Hijau sendiri agak luar biasa. Pandangan matanya melekat erat ke arah jari kanan Arya yang sebelumnya tidak terlihat dari s isi sini. Perlahan-lahan wajahnya menegang, kemudian memerah. Ejekan dari s i Baju Hitam sama sekali tidak diperhatikannya. Perlahan ia memalingkan mukanya ke arah si Baju Kuning dan pelan-pelan berkata, "Tangan kanan orang ini hanya punya dua jari" Mendengar perkataan ini bahkan si Baju Kuning yang selamanya adem ayem agak berubah paras mukanya. "Jadi dia lah keparat si Sengatan Satu Titik Satu Nyawa" desis si Baju Kuning sambil berjalan perlahan ke arah Arya. "Kalau dia adalah keparat itu, kenapa kau hentikan bacokan golokmu?" pertanyaan si Baju Hitam ini terdengar serius. "Karena aku tidak bisa membunuhnya" "Kenapa kau tidak bisa membunuhnya?" "Karena keparat ini memang mempunyai ilmu maha tinggi" sela si Baju Putih cepat. "Ilmu maha tinggi kentut, satu bacokan s i kura-kura tua ini saja hampir membelah kepalanya. Bagaimana dia bisa punya ilmu maha tinggi?" kata si Baju Hitam sambil berjingkrak. Si Baju Putih tersenyum sabar, "Seandainya kau yang di bacok adi Sentanu, apa yang akan kau lakukan?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Akan ku tangkis dengan golok pusakaku" jawab si Baju Hitam cepat. "Golok pusaka, hehe, Golok dari masa batu seperti itu kau sebut golok pusaka?" ejek si Baju Hijau. Kontan sepasang mata si Baju Hitam melotot besar, tapi sebelum ia menjawab, si Baju Putih sudah berkata lebih dahulu, "Dengan begitu kau akan me lawan keras dengan keras. Dan kesempatanmu untuk menang pun tinggal separoh, apalagi dengan perlawanan seperti itu kedua pihak tak akan terhindar dari luka dalam, besar atau kecil" Si Baju Hitam mengernyitkan kening, namun tak urung ia membenarkan juga, "Tapi setidaknya lebih baik dari mandah saja disembelih" "Dari mana kau tahu pemuda itu mandah di sembelih" kenapa tidak kau perhatikan dimana dia meletakkan jari kanannya?" potong si Baju Kuning dingin. Si Baju Hitam melengak, segera ia memperhatikan jari tangan kanan Arya. Sekejap kemudian wajahnya mendadak berubah pucat. Rupanya kedua jari tangan kanan Arya terletak tepat di jalur lintas bacokan golok. Ini artinya, dalam sekejap tadi, kalau mau ia bisa menyerang pergelangan tangan si Baju Hijau, tepat di jalan darah dimana terletak pusat pengerahan tenaga si Baju Hijau, namun juga titik lemahnya. Dan itu berarti, Sengatan satu titik, hanya satu kali, satu tempat, namun juga meminta satu nyawa. "Apalagi ketenangan pemuda itu, sekalipun kita berempat digabung menjadi satu juga tidak akan bisa menandinginya, " kata Si Baju Putih lagi. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"tanya si Baju Hijau. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa yang harus kita lakukan" tentu saja mundur teratur dan mengeram saja selama hidup." sahut si Baju Hitam ketus. Sepasang mata si Baju Hijau segera mendelik lagi, namun belum sempat ia balas semprot, si Baju Kuning, yang agaknya orang tertua dari keempat orang tua aneh itu mendahului berkata, "Benar, kita memang harus mundur. Setelah orang mengampuni kita memangnya kita masih tidak tahu malu dan tidak hirau akan budi orang?" "Lalu bagaimana dengan Ular Darah." "Yang mati biarlah mati. Apalagi ia toh hanya sekadar ular saja" sahut si Baju Kuning dingin. Setelah termangu-mangu sejenak si Baju Kuning, diikuti oleh ketiga kawannya perlahan me langkah ke arah hutan sana. Langkah keempat orang tua ini tidak terlalu cepat, namun sangat rapi dan dalam sekejap sudah menghilang di rerimbunan hutan sana. Sepeninggal keempat orang tua aneh itu, Arya ternyata tetap tertidur. Bahwa ada seorang nona cantik dengan sehelai cadar yang basah oleh keringat dan tubuh agak payah ternyata tidak membangkitkan minatnya untuk sekedar membuka mata. Si Nona muda sendiri juga tidak ambil peduli dan lekas duduk bersandar pada sebuah batu, sekejap kemudian sudah tenggelam dalam meditasi pemulihan tenaga. Pedang putihnya ditancapkan begitu saja pada batu hitam di sebelahnya. Meski ditancapkan seperti tanpa menggunakan tenaga, pedang berwarna putih awan itu melesak hampir setengahnya. Angin berhembus pelan, menggoyang pucuk perdu dan kelopak bunga yang mekar. Tetes air berhamburan laksana gelembung sabun yang ditiup perlahan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Di kaki langit, selempang pelangi membayang bagaikan pintu gerbang ke arah keabadian. Dua ekor burung elang, dengan bentangan sayap yang bertumpuk, tampak terbang pelan melintasi gerbang pelangi tersebut. "Pelangi yang indah", t iba-tiba Arya menggumam perlahan. Tubuhnya belum bergerak, tapi kelopak matanya terbuka setengah, menyorotkan pandangan hangat. Si Nona muda perlahan juga membuka matanya, nafasnya berhembus perlahan dan hangat. Jari-jari tangannya perlahan menyibak beberapa helai rambutnya yang nakal menggelitik lehernya yang putih jenjang. Dengan hidung yang membayang bagai kelopak melati di balik cadarnya, dan liuk tubuh yang anggun dan mengundang rasa hangat, sebenarnya amat sulit untuk menilai nona jelita ini dengan angka atau kata-kata, apalagi harga. Namun yang paling menarik dari nona ini adalah pandangan matanya yang bagaikan telaga pagi, dengan sorot layaknya matahari terbit. Kalau kau bertemu wanita seperti ini, maka bukan saja hangat yang akan kau rasakan dibawah perutmu, namun juga di dalam hatimu. Bahkan Arya yang biasanya acuh tak acuh terhadap apapun, mau tak mau harus mengakui hatinya berdesir ketika sekejap tadi ia melirik wajah bercadar hijau itu. "Ya, pelangi yang indah." Sahut nona muda itu pelan. Berbeda ketika berbicara dengan keempat orang tua tadi, kali ini suaranya lembut. Ketika mendengarnya Arya seperti mendengar tujuh bidadari senyum dan tertawa berbareng. "Tapi yang indah kenapa harus selalu cepat hilang?" gumam Arya lagi seperti kepada diri sendiri. Nona muda itu tersenyum, "Sekalipun yang indah selalu cepat hilang, namun keindahan sendiri tak akan pernah hilang." Belum habis kata-katanya nona muda ini mendadak terdiam seperti menemukan sesuatu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya tersenyum, senyum yang hangat dan lembut, karena bukan saja kini kedua ujung mulutnya yang tersenyum namun hatinya juga mendadak terasa hangat. "Terima kasih" ujar Nona muda itu perlahan, setelah setengah harian terdiam. Raut muka Arya mengunjukkan T anya. "Melihatmu memperhatikan pelangi tadi aku tiba-tiba menemukan sesuatu. Sesuatu yang telah lama hilang." "Oh?" "Dulu, ketika pertama kali nenekku mengajarkan ilmu pedang pelangi satu warna ini, beliau pernah mengatakan apa yang kukatakan tadi. Sekian lama aku mendengarnya tapi baru kali ini aku memahaminya setelah kau menanyakannya." Tutur nona muda itu. Lanjutnya lagi, "Bahwa sekalipun ilmu silat mempunyai gerak perubahan yang terbatas namun dalam penggunaannya ia harus hidup dan melebur bagaikan tujuh warna pelangi yang jadi satu, satu yang tidak terbatas. Seperti halnya pelangi yang indah bisa hilang dengan cepat, namun keindahan sendiri tak akan pernah hilang" Arya tersenyum, "Keajaiban dan misteri ilmu s ilat terkadang memang datang tanpa diundang, seperti sebuah pertemuan kebetulan yang menyenangkan." "Yang kuharapkan semoga pertemuan kebetulan itu tidak kadang-kadang, tapi sering" Arya tertawa kecil, "Terhadap seseorang sepertimu, aku yakin hal itu akan terjadi sesering mungkin" Nona muda itu pun tertawa kecil, ujung bibirnya tampak menjengkit kecil ketika berkata, "Orang sepertiku" Apa maksudnya orang sepertiku" Dan kenapa dengan orang sepertiku?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa, "Karena bahkan keajaiban akan selalu senang dengan nona cilik yang menggemaskan" Anak muda ini sepertinya memang jarang bicara, tapi ketika bicara ia tidak bicara kecuali dengan apa yang ada di Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hatinya. Paras Nona muda itu seketika memerah, "Dasar laki-laki, kau sedang merayu atau menjerat mangsa?" omelnya pelan. Arya bangkit dari berbaringnya, "Aku tidak sedang menjerat siapapun, bahkan jika aku ingin pun aku tidak akan mampu" Gadis itu merasakan kata-katanya meluncur begitu saja secara naluriah ketika ia bertanya, "Kenapa?" Arya tersenyum nakal, "Karena berhadapan dengan gadis sepertimu, lelaki macam apapun tiba-tiba akan merasakan dirinya terjerat lebih dahulu, apalagi bila darahnya masih agak panas." "Kau mau keman?" Tanya nona muda itu ketika dilihatnya Arya berjalan kesana perlahan. Arya tidak menoleh, ia hanya menggumam, "Aku pun seorang laki-laki, lagi pula darahku masih sering mendidih" Berbeda dengan biasanya, kali ini, sekalipun masih melangkah dengan perlahan tapi dalam dua tiga langkah saja tubuhnya sudah berupa titik hitam di kejauhan sana. Nona muda itu menghela nafas panjang, ia seperti terpesona sekian lamanya sebelum tiba-tiba sepasang matanya yang jeli memancarkan sinar yang lembut dan bersemangat. ~Dewi-KZ~ Gemericik air terdengar ramai, bersahut-sahut dengan kongkong kodok dan kerik jangkrik. Matahari tepat berada di pusar langit. Daun-daun padi yang menghijau setengah kuning Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tampak gemerlap oleh bias cahaya matahari. Area persawahan yang menghampar hijau, dengan beberapa petani yang asyik, dan gunung yang membiru di jauh sana, seolah sebuah lukisan dengan pigura kaki langit. Seorang pemuda berbadan tegap dan kulit coklat mengkilat, dengan dada telanjang, asik mengarahkan cangkulnya ke pematang yang runtuh oleh hujan barusan. "Hai", seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang. Pemuda itu melengak kaget, sambil menolehkan kepalanya tangan kirinya berbareng juga meraba gagang golok yang terselip di pingganya. "Untuk menyalamiku kau tidak usah menggunakan golok" sahut orang itu sambil tertawa. Beberapa kejap pemuda itu membiasakan matanya dengan sinar matahari yang bersinar menyilaukan. Ketika dengan tepat matanya bisa menangkap seratu wajah pucat dan putih dibalik caping lebar di hadapannya segera ia berjingkrak kaget. "Arya?"?"" jeritnya tertahan. Arya tertawa, "Tidak usah terlalu bersemangat. Kau toh pasti sudah mendengar namaku disebut-sebut beberapa hari terakhir ini" Pemuda itu agaknya belum dapat sepenuhnya menguasai perasaannya. Anggukan kepalanya seperti dilakukannya dengan tidak sadar. "Kalau begitu, baik-baikkah kau, Mahesa Manunggal?" Pemuda itu, yang bernama Mahesa Manunggal masih harus mengatur nafas beberapa kali sebelum bisa menjawab, "Baik, baik sekali, dan bagaimana kau?" "Ku kira aku menjadi terkenal disini" jawab Arya sambil tersenyum. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sambil bercakap-cakap mereka berdua berjalan menuju gubuk milik Mahesa. Gubug itu, yang dibuat panggung dari batang alang-alang kering tampak kokoh dengan penyangga dari pokok bambu hijau. Bau ayam bakar menguar bersama udara yang berhembus. "Dan bagaimana kabar adikku?" Tanya Arya dengan tersenyum kecil. "Dan kau menanyakannya padaku?" Mata kiri Mahesa melirik sekejap ke wajah Arya. Arya tertawa, "Tidak kepadamu memangnya harus kepada siapa?" Mahesa menyengir kesal. Arya tertawa senang, sejak dahulu salah satu kepandaian Ratna Dewi yang paling lihai adalah membuat kesal orang lain. Setiap orang yang mengenalnya paling tidak satu atau beberapa kali harus tersenyum, atau menyengir kesa l. "Aku datang untuk minta sedikit bantuanmu" kata Arya sambil mencomot satu potong paha ayam. "Dan kalau aku tidak bersedia?" Mahesa mengerling sekejap. Arya tertawa, "Akan kusuruh Dewi mengerjaimu lebih ganas." Mahesa segera tersenyum letih, "Kau mungkin tidak bisa memaksaku dengan apa saja, kecuali dengan yang satu itu." "Jadi kau bisa menyembelih beberapa ekor kuda itu nanti malam." "Menyembeli kuda" Kau suruh aku menyembelih kuda?" "Ya, setelah itu kau letakkan kepalanya di kawah belerang ujung kademangan sana, pacak satu-satu dengan batang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bambu, dan jangan lupa pukul kentongan dengan irama titir begitu malam menjelang" "Memangnya apa yang kau inginkan?" "Aku ingin orang-orang berkumpul di kawah belerang" "Hanya itu?" Sepasang mata Arya menampilkan sorot aneh, "Ya, hanya itu," lalu mulutnya sibuk mengunyah serat paha ayam untuk ke sekian kalinya. Mahesa terdiam dengan tanya. Agaknya pemuda dengan tulang jari yang terlihat kokoh itu belum begitu yakin dengan apa yang didengarnya. Ketika menemukan sedikit rona keraguan di wajah Mahesa Manunggal, Arya perlahan berucap, "Ku tahu kau agak raguragu terhadapku, tapi aku tidak punya pilihan lain" Mahesa Manunggal menggeleng, "Meski kuakui ada sedikit kebimbanganku, namun itu tidak berarti apapun dibanding keyakinanku terhadapmu." Setelah menampilkan sekulum hangat, sambungnya, "Ku tahu Arya Dipaloka yang kutemui sekarang meski agak berubah, namun tidak berbeda dengan Arya Dipaloka yang dulu ku kenal" Arya segera merasakan hatinya hangat oleh rasa terima kasih. Sebuah pengertian akan dirinya, yang telah lama berjalan dan berubah, dari seorang sahabat sama halnya seperti sepotong roti manis yang tiba-tiba hinggap di perutnya. "Lalu berapa ekor kuda yang harus ku pancung?" Tanya Mahesa. "Tiga ekor sudah lebih dari cukup, semakin menggemparkan semakin baik" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ~Dewi-KZ~ Bab IV, Istana Dasar Teratai Suara kentongan dengan irama titir masih menggema di kegelapan dengan terang bulan remang-remang ketika sesosok bayangan terlihat mengendap diantara rerimbunan pohon pisang. Gemuruh derap kaki kuda masih sesekali terdengar. Layaknya seekor rajawali yang hinggap di wuwungan rumah, sosok hitam itu dengan cepat melintasi atap-atap rumah. Ia sedang bersiap untuk masuk ke jendela sebuah rumah ketika beberapa jalur angin tajam dan suara mengaung yang jernih mengiris punggungnya. Dengan cepat ia mengibaskan lengan bajunya kebelakang, dan dalam seketika tiga buah pisau pendek dengan bentuk melengkung rontok di tengah jalan. "Penghormatanku yang agak tidak pantas ini mohon Ki Sanak memaafkannya," ucap seseorang dengan nada dingin di belakang sana. Bayangan hitam itu, dengan sebatang pikulan kayu tersampir di punggungnya tertawa dingin, "Memaafkan sih aku tidak berani, hanya kalau gerakanku terlambat sedetik saja, mungkin merepotkanmu untuk mengurus mayat tuaku, " Orang yang berdiri tegak dengan sikap angker di atas wuwungan rumah itu balik tertawa dingin, "Sekalipun aku menimpuk dengan segenap kekuatanku, memangnya sanggup melukai sejari tangan Kiai Santun Paranggi?" Mendengar namanya disebut dengan tepat, bayangan hitam itu, yang memang adalah Kiai Santun Paranggi tertawa terkekeh, "Matamu tajam Demang Kebo Sora." Demang Kebo Sora hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sedetik kemudian Kiai Santun Paranggi menghentikan tawanya dan dengan bengis bertanya, "Kau menghadangku disini, bukankah ada rasa curigamu terhadapku?" Demang Kebo Sora tersenyum dan dengan dingin menjawab, "Bahwa dalam beberapa hari ini beberapa gembong persilatan menyantroni Kademangan Dipa Saloka sini, adalah wajar kalau terhadap orang luar kami menyimpan sedikit rasa was-was." Kiai Santun Paranggi mendengus, "Apa juga terhadapku kau berani menyimpan curiga?" Demang Kebo Sora masih tersenyum, "Ah, mana berani, aku hanya ingin sekadar bertanya saja kenapa dalam gelap malam ini Kiai mencapekkan diri melompati atap-atap. Jika sebelumnya menyuruhku untuk menyiapkan kuda kan jauh lebih baik?" Kiai Santun Paranggi terdiam dan mencoba mengamati wajah Demang Kebo Sora. Dibawah sinar bulan yang membias remang, raut muka Demang Kebo Sora terlihat angker dan tenang. "Lalu apa pendapatmu dengan suara titir itu?" Tanya Kiai Santun Paranggi. "Seseorang kadang menimbulkan keributan di suatu tempat untuk mengalihkan perhatian" Kiai Santu Paranggi melengak, "Kau juga berpendapat demikian?" Demang Kebo Sora berkerut kening, "Aku hanya belajar dari kejadian yang lalu, dan kenapa Kiai juga berpendapat demikian?" "Ketika ku dengar suara titir tadi, bersamaan juga kulihat bayangan seseorang melintasi atap dan masuk ke jendela sana, " Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bias wajah Demang Kebo Sora menampilkan perasaan ragu-ragu, "Tapi satu-satunya bayangan yang kulihat adalah Kiai sendiri, " Kiai Santun Paranggi menghela nafas, "Bahkan aku pun hampir tidak mempercayai mataku sendiri bahwa di dunia ini ada manusia dengan ilmu meringankan tubuh sedemikian tinggi." "Bagaimana kalau memang tidak ada?" Wajah Kiai Santun Paranggi segera berubah, "Sekalipun tidak ada, memangnya dengan beberapa pisau dapurmu itu kau pikir sanggup mengalahkanku?" dengusnya dingin. Demang Kebo Sora tersenyum, "Ada atau tidak ada persilahkan Kiai untuk ikut memeriksa." Ketika terdengar suitan panjang dari mulut Demang Kebo Sora segera tempat itu terang dengan nyala belasan obor. Sejumlah dua puluh tiga pemuda dengan gendewa terbentang ternyata telah siap mengepung tempat itu. Diam-diam Kiai Santun Paranggi membatin, "Kebo Sora ini tidak terlalu dikenal di dunia persilatan, tapi dari tenaga dalamnya yang sempurna dan kecermatan tindakannya kukira tidak banyak orang di dunia ini yang bisa menandinginya." Secara berbareng Demang Kebo Sora dan Kiai Santun Paranggi melayang masuk ke jendela yang mulanya dituju oleh orang tua itu. Ruangan itu tidak terlalu luas, tidak berbeda dengan kamar bedeng penduduk biasa. Meja dan pembaringan pun ditata secara lumrah. Justru yang paling menyolok adalah bahwa kamar itu terlalu rapi, sedikitpun tidak terlihat sebagai kamar yang baru di masuki orang. Di beberapa tempat bahkan masih terlihat lapisan debu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Ku kira tidak ada orang yang masuk ke ruangan ini sebelum kita," Kata Ki Demang sambil mencolek lapisan debu di atas meja. Kiai Santun Paranggi mengangguk-anggukkan kepala, "Ya, ku rasa aku pun mulai menganggap kedua matakku semakin rabun." Setelah memeriksa lagi sekian lama dan masih tidak menemukan sesuatu, Kiai Santun Paranggi berkata dengan gegetun, "Kebo Sora, apa yang aku katakan tidak bisa ku buktikan, sekarang terserah apa yang akan kau lakukan." Ki Demang Kebo Sora menggelengkan kepalanya berulang kali, sepasang matanya tercenung tajam, "Apa yang Kiai katakan sekalipun tidak terbukti tapi juga tidak bisa begitu saja dianggap salah. Ketika kita masuk tadi jendela ini terbuka sebagian, jelas dimaksudkan untuk mengundang perhatian bahwa seseorang telah masuk ke dalam atau keluar me lalui jendela ini," "Tapi kita sudah memeriksa setiap sudut dan bekas kaki tikus pun tidak kita temukan, memangnya di dunia ini terdapat manusia yang bisa melayang seperti hantu?", sambung Kiai Santun Paranggi. Seseorang tiba-tiba menyambung, "Sekalipun dia membuka jendela, tapi bukankah tidak ada yang mengharuskannya untuk masuk ke sini." Sorot mata Ki Demang memandang pemuda itu lekat-lekat, "Mahesa Manunggal, maksudmu orang itu Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekadar mengalihkan perhatian kita?" "Kupikir demikian." Jawab Mahesa Manunggal. "Lalu apa arti suara titir itu?" Mahesa Manunggal berfikir sejenak, "Orang itu mungkin tahu, dengan hanya suara titir saja perhatian kita tidak akan teralih sepenuhnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Percakapan itu terputus ketika dari arah barat terdengar jerit perempuan. Mendengar jeritan itu seketika wajah Ki Demang Kebo Sora berubah pucat, dengan sekali menjejakkan kaki tubuhnya sudah melayang sejauh lima enam meter, sedetik kemudian sudah hilang ditelan malam. Tentu saja yang lain pun tidak ketinggalan. Tubuh Ki Demang berlari cepat menuju rumahnya sendiri. Jeritan tadi dikenalnya sebagai suara Ratna Dewi, anak perempuannya. Ketika jarak dirinya dan rumahnya masih selisih sekitar seratus meter, Ki Demang masih sempat melihat sesosok bayangan hitam memanggul tubuh perempuan dengan potongan mirip Ratna Dewi melesat keluar dari daun jendela samping. Tanpa pikir panjang Ki Demang segera mengerahkan segenap kemampuan Ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar. Bayangan hitam itu agaknya juga menyadari ada seseorang yang memburunya, tiba-tiba ia melompat ke atas atap, melayang dan melintasi beberapa rumah, melompat turun, dan anehnya, berlari menyusuri jalan raya. Dalam sekejap, jalan kademangan pun ramai oleh teriakan dan derap langkah berpuluh orang yang mengejar bayangan hitam tadi. Di depan, tampak Ki Demang Kebo Sora dan Kiai Santun Paranggi berlari berendeng. Namun sekalipun sudah sepenuh tenaga para pengejar itu berusaha memburu, jarak antara mereka dan si bayangan hitam tak pernah memendek. Hal ini membuat Kiai Santun Paranggi dan Ki Demang Kebo Sora penasaran, maklum biasanya mereka sangat yakin dengan kepandaian masingmasing yang dipatahkan dalam waktu beberapa puluh tahun. Tapi sekarang bahkan mengejar seorang yang mengempit tubuh manusia saja mereka tidak dapat memendekkan jarak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Apalagi orang itu lari dengan menyusuri jalan raya, seolah mengejek pemburunya bahwa kalau ia mau maka dalam sekejap dirinya akan mampu menghilang dari kejaran mereka. Manusia Pemuja Bulan 3 Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana Hikmah Pedang Hijau 12

Cari Blog Ini